2
ANALISIS TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN ANAK DI WILAYAH KOTA JAYAPURA Oleh : Hafni Nazla Mahasiswa Program Strata Satu Fakultas Hukum Universitas YAPIS Papua
ABSTRAK Tujuan penelitian ini untuk mempelajari dan menganalisa faktor-faktor penyebab terjadinya, faktor-faktor apa yang mempengaruhi terjadinya tindak pidana persetubuhan anak di wilayah Kota Jayapura, dan upaya penanggulangan tindak pidana persetubuhan anak di wilayah Kota Jayapura. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Penelitian hukum normatif yang ditujukan untuk melakukan penelitian yang mengkaji aturan-aturan normatif atau aturan-aturan ideal yang bersumber dari peraturan perundangundangan, dan pendapat para ahli sesuai dengan objek yang diteliti. Sedangkan penelitian hukum empiris adalah tipe penelitian yang mengkaji situasi hukum yang nyata-nyata berlaku dalam masyarakat dan bersumber dari data lapangan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti Hasil penelitian menunjukkan bahwa tindak pidana persetubuhan anak di wilayah Kota Jayapura dari tahun ke tahun semakin meningkat, adapun faktor penyebab sehingga terjadinya Tindak Pidana Persetubuhan Anak di wilayah Kota Jayapura adalah dipengaruhi oleh faktor lingkungan, faktor budaya, faktor ekonomi, faktor media, faktor kejiwaan dan psikologi, juga dipengaruhi oleh rendahnya pemahaman penghayatan terhadap nilai keagamaan. Kata Kunci : Tindak Pidana, Persetubuhan, Anak
PENDAHULUAN Perkembangan hukum akan selalu berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat. Demikian pula permasalahan hukum juga akan ikut berkembang seiring dengan perkembangan permasalahan yang terjadi di masyarakat. Bangsa Indonesia selain mengalami perkembangan secara pesat dalam bidang hukum semenjak era orde baru berakhir, juga mengalami perkembangan dalam bidang pendidikan, kebudayaan dan teknologi, tetapi disadari atau tidak disadari oleh masyarakat bahwa tidak selamanya perkembangan itu membawa aspek yang positif, akan tetapi dapat membawa dampak negatif yang berakibat timbulnya suatu kejahatan. Apa yang disebut dengan istilah “kejahatan merupakan bagian kehidupan sosial, hidup dan tidak terpisahkan dari kegiatan manusia sehari-hari. Perampokan, pemerkosaan, penipuan, penodongan dan berbagai bentuk perilaku sejenis, menunjukkan dinamika sosial, suatu bentuk normal dari kehidupan sosial”. 1 1
Mien Rukmini, Aspek Hukum Pidana dan Krominologi, Alumni, Bandung, 2006, h. 81 JURNAL PENELITIAN MAHASISWA FAKULTAS HUKUM “MIX LAW” Volume 1 Nomor 1, Februari 2013 UNIVERSITAS YAPIS PAPUA - JAYAPURA
3
Sebuah semboyan yang mengatakan bahwa kejahatan timbul bukan karena ada niat dari pelakunya akan tetapi karena adanya kesempatan, dari kesempatan itulah kejahatan dapat terjadi. Mengenai masalah kejahatan, dimana kejahatan tersebut sulit untuk di prediksi atau ditebak, kapan kejahatan itu akan tibul dan kapan kejahatan itu tiada. Kejahatan itu sulit untuk dimengerti, apapun bentuk, jenis, besar maupun kecilnya kejahatan tersebut tetap berdampak buruk sebagai kejahatan yang dapat merugikan dan meresahkan masyarakat. Beragam kejahatan yang dilakukan oleh para pelaku kejahatan seiring dengan perkembangan dan kemajuan disetiap negara terutama di Indonesia. Korbannya tidak hanya pemerintah, instansi swasta dan masyarakat, akan tetapi anak pun dapat menjadi korban dari suatu kejahatan seperti tindak kekerasan, perdagangan, eksploitasi, penelantaran, kejahatan seksual dan lain-lain. Mengenai masalah anak, anak sering mendapatkan perlakuan yang salah terutama masalah kejahatan seksual. Anak sering menjadi korban kejahatan seksual khususnya persetubuhan yang dilakukan oleh orang dewasa dan menjadi korban ialah anak dibawah umur. Tindak pidana persetubuhan terhadap anak, termasuk pula kedalam salah satu masalah hukum yang sangat penting untuk dikaji secara mendalam. Sebagaimana diketahui, tindak pidana persetubuhan (yang dalam kejahatannya lebih banyak menimpa kaum wanita remaja dan dewasa) merupakan perbuatan yang melanggar norma sosial yaitu kesopanan, agama dan kesusilaan, apalagi jikalau yang disetubuhi adalah anak dibawah umur, yang notabene secara fisik belum mempunyai daya tarik seksual seperti wanita remaja dan dewasa. Dalam hal kasus persetubuhan terhadap anak tersebut, mengingat usia mereka relatif sangat muda, kebanyakan dari mereka yang menjadi korban belum mengetahui atau mengerti, bahwa tanpa disadari mereka telah menjadi korban dari suatu kejahatan yang dimana mereka telah disetubuhi, karena mereka tidak menyadari dan tidak mengerti mengenai arti perbuatan yang dilakukan oelh pelaku persetubuhan terhadap mereka. Sangat sedikit kasus persetubuhan terhadap anak yang tertangkap tangan pada saat pelaku sedang melakukan kejahatan tersebut. Sebagian besar kasuskasus tersebut diketahui berasal dari laporan keluarga korban, karena telah terjadi luka pada bagian tubuh anak tersebut atau cerita polos dari anak-anak yang bersangkutan mengenai peristiwa yang dialaminya tanpa disadarinya bahwa dia telah menjadi korban persetubuhan yang dilakukan oleh pelaku kejahatan tersebut. Tindak pidana persetubuhan terhadap anak ini bukan suatu hal yang dapat dianggap sebagai masalah kecil dan tak penting. Masalah ini sangat penting karena yang menjadi korbannya adalah anak, dimana anak sebagai tunas bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa yang harus diperhatikan, dilindungi dan dijaga dari segala tindakan yang dapat merugikannya. Oleh karena itu, tidak hanya keluarganya yang berperan aktif akan tetapi seluruh lapisan masyarakat berperan aktif dalam memperhatikan, melindungi dan menjaganya dari perlakuan yang dikemukakan Koesparmono Irsan, sebagai berikut :
JURNAL PENELITIAN MAHASISWA FAKULTAS HUKUM “MIX LAW” Volume 1 Nomor 1, Februari 2013 UNIVERSITAS YAPIS PAPUA - JAYAPURA
4
1. Diskriminasi. Perlakuan diskriminasi, misalnya perlakuan yang membedabedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik budaya dan bahasa, status hukum, urutan kelahiran anak dan kondisi fisik atau mental. 2. Eksplotasi, baik ekonomi maupun seksual, misalnya tindakan atau perbuatan memperalat, memamfaatkan atau memeras anak untuk memperoleh keuntungan pribadi, keluarga atau golongan. 3. Penelantaran, misalnya tindakan atau perbuatan mengabaikan dengan sengaja kewajiban untuk memelihara, merawat atau mengurus anak sebagaimana mestinya. 4. Kekejaman, kekerasan dan penganiayaan. Perlakuan kejam misalnya tindakan atau perbuatan secara zalim, keji, bengis atau tidak menaruh belas kasihan kepada anak. Perlakuan kekerasan atau penganiayaan, misalnya perbuatan melukai dan/atau mencedarai anak, dan tidak hanya semata-mata fisik tetapi juga mental dan sosial. 5. Ketidak adilan, misalnya tindakan keberpihakan antara anak yang satu dan lainnya atau kesewenang-wenangan terhadap anak. Perlakuan salah lainnya, misalnya tindakan pelecehan atau perbuatan tidak senonoh kepada anak. 2 Anak adalah aset bangsa dan sebagai generasi penerus bangsa yang harus dilindungi dan kesejahteraan harus dijamin. Didalam masyarakat seorang anak harus mendapatkan perlindungan dari segala bentuk kekerasan dan kejahatan yang dapat membahayakan keselamatan anak. Sesuai dengan tujuan nasional bangsa indonesia yang tertuang dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 pada alinea ke empat yaitu : “melindungi segenap bangsa dan tumpah darah indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia”. Dalam hal tindak pidana persetubuhan terhadap anak tersebut, sebenarnya perangkat perundang-undangan di Indonesia sudah cukup lengkap, yaitu Undangundang Perlindungan Anak dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Mengenai batasan yang dikategorikan sebagai anak dapat dipedomani dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku seperti Undang-undang Perlindungan Anak, Undang-undang Kesejahteraan Anak dan Undang-undang Peradilan Anak yang sangat diperlukan dalam menganalisa masalah Tndak Pidana Persetubuhan terhadap Anak. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka yang menjadi masalah pokok dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi terjadinya tindak pidana persetubuhan anak di wilayah Kota Jayapura? 2. Upaya penanggulangan tindak pidana persetubuhan anak di wilayah Kota Jayapura?
2
Koesparmono Irsan, Hukum Perlindungan Anak, Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional Veteran, Jakarta, 2007, h. 7 JURNAL PENELITIAN MAHASISWA FAKULTAS HUKUM “MIX LAW” Volume 1 Nomor 1, Februari 2013 UNIVERSITAS YAPIS PAPUA - JAYAPURA
5
METODE PENELITIAN Tipe penelitian dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris. Penelitian hukum normatif adalah tipe penelitian yang mengkaji aturan-aturan normatif atau aturan-aturan ideal yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, dan pendapat para ahli sesuai dengan objek yang diteliti. Sedangkan penelitian hukum empiris adalah tipe penelitian yang mengkaji situasi hukum yang nyata-nyata berlaku dalam masyarakat dan bersumber dari data lapangan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pengertian Tindak Pidana Berkaitan dengan permasalahan pada penulisan hukum ini, tidak akan pernah terlepas dari hukum pidana. Pengertian dari Hukum Pidana tersebut adalah “Hukum yang mengatur tentang pelangaran dan kejahatan terhadap kepentingan umum. Pelanggaran dan kejahatan tersebut diancam dengan hukuman yang merupakan penderitaan atau siksaan bagi yang bersangkutan”.3 Istilah tindak pidana yang dikenal didalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang mana pembentuk undang-undang mengenalnya dengan istilah strafbar feit. Didalam bahasa Belanda, Strafbar yang berarti dapat dihukum, sedangkan feit menurut pendapat Simons istilah “kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab”. 4 Sedangkan menurut pendapat Van Hamel, Strafbar Feit adalah “Kelakuan orang (menselijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (strafwardig) dan dilakukan dengan kesalahan”.5 Beberapa asumsi atau pendapat mengenai pengertian tindak pidana menurut para ahli seperti yang diungkapkan oleh seorang ahli hukum pidana yaitu Moeljatno, menurutnya tindak pidana yang dikenalnya dengan istilah perbuatan pidana yang berarti “perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut”.6 Berdasarkan asumsi diatas, dalam hal dilarang dan diancamnya perbuatan pidananya, yaitu berdasarkan asas legalitas (principle of legality) yang terkandung di dalam pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang dimana suatu asas yang menentukan bahwa tidak ada suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundangundangan. Kalimat asas yang tersebut diatas, lebih dikenal dalam bahasa latin sebagai Nullum delictum nulla poena sine praevia lege (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu), kalimat tersebut berasal dari Von Feurbach, seorang sarjana hukum pidana Jerman. Asas legalitas tersebut yang dimaksud mengandung tiga pengertian yang dapat disimpulkan yaitu antara lain : 3
J.B. Daliyo, Pengantar Hukum Indonesia, Prenhallindo, Jakarta, 2001, h. 88 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2002, h. 56 5 Ibid. h. 75 6 Ibid. h.54. 4
JURNAL PENELITIAN MAHASISWA FAKULTAS HUKUM “MIX LAW” Volume 1 Nomor 1, Februari 2013 UNIVERSITAS YAPIS PAPUA - JAYAPURA
6
a. Tidak ada suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang. b. Untuk menentukan suatu perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi. c. Aturan-aturan hukum pidana tidak boleh berlaku surut. Pengertian Persetubuhan Berdasarkan penjelasan Pasal 284 KUHP, Persetubuhan adalah persentuhan sebelah dalam dari kemaluan si laki-laki dan perempuan yang pada umumnya dapat menimbulkan kehamilan yang dilakukan secara bersama-sama. Berdasarkan batasan konsep di atas dapat disimpulkan bahwa yang di maksud dengan penerapan ketentuan pidana dalam kasus persetubuhan terhadap anak yaitu berupa penjatuhan pidana oleh hakim terhadap pelaku persetubuhan terhadap anak dengan memberlakukan ketentuan yang berbeda. Disetubuhi, diperkosa, direnggut kehormatannya, digagahi atau kata kata lainnya sering tertulis dalam media massa untuk mengambarkan perbuatan keji berbentuk pemaksaan hubungan seksual. Indonesia, dengan KUHP-nya yang berlaku sejak tahun 1918 telah mengkualifikasikan perbuatan pemaksaan hubungan seksual ini sebagai kejahatan dengan sebutan sebagai pemerkosaan, dan kejahatan ini termuat dalam Buku II Bab XIV tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan. Istilah yang digunakan dalam KUHP adalah "kejahatan terhadap kesusilaan", tidak menggunakan istilah kejahatan seksual (sexual violence) yang diartikan sebagai perbuatan pidana berkaitan dengan seksualitas yang dapat dilakukan terhadap laki-laki ataupun perempuan. Penggunaan istilah kesusilaan menyebabkan masyarakat terutama aparat hukum sering terjebak dalam menempatkan pasal-pasal kesusilaan semata-mata sebagai persoalan pelanggaran terhadap nilai-nilai budaya, norma agama, atau sopan santun yang berkaitan dengan nafsu perkelaminan (birahi), bukan kejahatan terhadap tubuh dan jiwa seseorang. 7 Hal lain yang tergolong kualifikasi persetubuhan antara lain pemerkosaan, menurut Pasal 285 KUHP adalah Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama 12 tahun. Dengan Pasal 291 ayat 2 KUHP) ancaman pidananya menjadi 15 tahun jika pemerkosaan tersebut mengakibatkan korbannya mati. Dengan demikian pemerkosaan mensyaratkan : 1. Dilakukan terhadap wanita, artinya pelakunya harus laki-laki, laki-laki yang bisa memperkosa wanita dan tidak bisa sebaliknya. Pembuat Undang-Undang (KUHP) ternyata menganggap tidak perlu untuk menentukan hukuman bagi perempuan yang memaksa untuk bersetubuh, bukanlah semata-mata oleh karena paksaan oleh seorang perempuan terhadap orang laki-laki itu dipandang tidak mungkin, akan tetapi justru karena perbuatan itu bagi laki-laki dipandang tidak mengakibatkan sesuatu yang buruk
7
Kalyamedia, edisi I No.2 juli 2004 JURNAL PENELITIAN MAHASISWA FAKULTAS HUKUM “MIX LAW” Volume 1 Nomor 1, Februari 2013 UNIVERSITAS YAPIS PAPUA - JAYAPURA
7
atau yang merugikan. Bukanlah seorang perempuan ada bahaya untuk melahirkan anak oleh karena itu.8 2. Adanya persetubuhan, yakni adanya peraduan antara anggota kemaluan lakilaki dan perempuan yang biasa dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi anggota laki-laki harus masuk ke dalam anggota perempuan, sehingga mengeluarkan air mani, sesuai dengan Arrest HR 5 Februari 1912. 9 Persetubuhan mana HARUS dilakukan di luar perkawinan, jadi tidak dimungkinkan adanya pemerkosaan isteri oleh suami. Pasal tentang perkosaan (pasal 285) menerangkan bentuk perkosaan terbatas pada persetubuhan atau penetrasi penis ke dalam vagina perempuan secara paksa, belum termasuk benda-benda lain selain penis yang dimasukkan secara paksa ke dalam vagina atau bagian tubuh perempuan lainnya serta perlakuan menggesek-gesekkan penis ke bibir kelamin perempuan di luar kehendak perempuan. 10 3. Persetubuhan dilakukan dengan memaksa baik dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Pengertian Anak Dan Kategori Batasan Usia Anak Anak dalam keluarga merupakan pembawa bahagia, karena anak memberikan arti bagi orang tuanya. Arti disini mengandung amksud memberikan isi, nilai, kepuasan, kebanggaan, dan rasa penyempurnaan diri yang disebabkan oleh keberhasilan orang tuanya yang telah memiliki keturunan, yang akan melanjutkan semua cita-cita harapan dan eksistensi hidupnya. Berikut ini adalah defenisi atau pengertian tentang menurut beberapa ilmu hukum yang ada : 1. Pengertian anak menurut Kitab undang-undang hukum pidana (KUHP). Hukum pidana di indonesia berdasarkan atas Kitab undang-undang hukum pidana, atau dengan kata lain KUHP adalah acuan dasar dalam hukum yang diterapkan di indonesia. Pengertian tentang anak apabila masuk kedalam lingkup hukum pidana juga harus dikaitkan dengan kitab undang-undang hukum pidana, namun dalam kitab undang-undang hukum pidana tersebut tidak ditemukan secara jelas defenisi tentang anak, melainkan hanyalah defenisi tentang “belum cukup umur (minderjarig)”, serta beberapa defenisi yang merupakan bagian atau unsur dari pengertian anak yang terdapat pada beberapa pasalnya. Namun, pengertian belum cukup umur belum memberikan arti yang jelas tentang pengertian anak menurut kitab undang-undang hukum pidana, jadi perlu dicari lagi pengertian tentang anak tersebut dalam pasalpasal lain yang terdapat dalam kitab undang-undang hukum pidana. Dalam kitab undang-undang hukum pidana juga terdapat pasal yang memberikan salah satu unsur pengertian tentang anak, seperti yang terdapat pada Bab IX tentang arti beberapa istilah yang dipakai dalam kitab undangundang hukum pidana, pada pasal 45 berbunyi :
8
R. Soesilo, KUHP dan KUHAP, Jakarta, 1976, h. 210. Ibid, h. 181. 10 Ibid, h. 23. 9
JURNAL PENELITIAN MAHASISWA FAKULTAS HUKUM “MIX LAW” Volume 1 Nomor 1, Februari 2013 UNIVERSITAS YAPIS PAPUA - JAYAPURA
8
“Dalam menuntut orang yang belum cukup umur (minderjarig) karena melakukan perbuatan sebelum umur enam belas tahun. Hakim dapat menentukan, memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya tanpa pidana apapun atau memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apapun yaitu jika perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut”. Pasal 45 KUHP sudah dicabut ketentuannya tentang penuntutan anak dikarenakan telah ada undang-undang yang lebih khusus mengatur tentang masalah anak, yaitu undang-undang No.3 tahun 1997 tentang pengadilan anak. 2. Pengertian anak menurut hukum perdata Hukum perdata menjamin hak-hak dasar bagi seorang anak sejak masih dalam kandungan. Dalam hukum perdata, pengertian anakdimaksudkan pada pengertian “sebelum dewasa”, karena menurut hukum perdata seorang anak yang belum dewasa sudah bisa mengurus kepentingan-kepentingan keperdataannya. Untuk memenuhi keperluan ini, maka diadakan peraturan tentang “hendlichting”, yaitu suatu pernyataan tentang seseorang yang belum mencapai usia dewasa sepenuhnya atau hanya untuk beberapa hal saja dipersamakan dengan seorang yang sudah dewasa.11 Pada prakteknya peraturan perihal “hendlichting” sedikit sekali dipergunakan didalam masyarakat terlebih setelah ditetapkannya batas umur didalam undang-undang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan, yang membuat lembaga (hendlichting), ini sudah kehilangan artinya dan pada akhirnya dicabut karena dianggap sudah tidak mengikuti dan tidak sesuai dengan perkembangan yang ada didalam masyarakat saat ini. Menurut dalam pasal 330 KUHPerdata belum dewasa adalah “Mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin” 3. Pengertian anak menurut undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Hukum perlindungan anak menggunakan dasar hukum yang terdapat dalam undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, pengertian anak adalah : “Seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Menurut pasal tersebut, anak adalah siapa saja yang belum berusia 18 tahun dan termasuk anak yang masih didalam kandungan, yang berarti segala kepentingan akan mengupayakan perlindungan terhadap anak sudah dimulai sejak dini sejak anak tersebut berada didalam kandungan hingga berusia 18 tahun. 4. Pengertian anak menurut undang-undang No. 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak. Salah satu hak anak yang harus diupayakan adalah kesejahteraan, karena anak merupakan tunas bangsa dan potensi serta penerus cita-cita perjuangan bangsa yang rentang terhadap perkembangan zaman dan 11
R. Subekti, Pokok-pokok hukum perdata, cet. 31, PT. Intermasa, Jakarta, 2003, h. 55. JURNAL PENELITIAN MAHASISWA FAKULTAS HUKUM “MIX LAW” Volume 1 Nomor 1, Februari 2013 UNIVERSITAS YAPIS PAPUA - JAYAPURA
9
perubahan lingkungan di masa hal tersebut bisa mempengaruhi kondisi jiwa dan psikologisnya. Pelaksanaan pengadaan kesejahteraan bergantung pada partisipasi yang baik antara objek dan subjek dalam usaha pengadaan kesejahteraan anak tersebut, yang dimaksudnya adalah bahwa setiap peserta bertanggung jawab atas pengadaan kesejahteraan anak. 12 Dalam pengupayaan kesejahteraan ini tidak hanya dibebankan kepada orang tua semata, tetpi juga oleh lingkungan tempat si anak tumbuh dan berkembang serta pemerintah sebagai penanggung jawab kesejahteraan generasi penerus bangsa. Pengupayaan kesejahteraan anak oleh pemerintah yang sesuai dengan hukum kesejahteraan anak telah dituangkan dalam undang-undang No. 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak, yang isinya tentang pengupayaan kesejahteraan anak yang diselenggarakan oleh negara. 5. Pengertian anak menurut undang-undang No. 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak. Dalam undang-undang No. 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak, diatur tentang hukum acara dan ancaman pidanaa terhadap anak atau proses peradilan anak yang mana harus dibedakan oleh orang dewasa. Pembedaan perlakuan tersebut didasarkan atas pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial anak tersebut. Sanksi terhadap anak dibedakan berdasarkan perbedaan umur anak, yang berarti dalam hal ini adalah pengertian tentang anak, dimana menurut dalam pasal 1 ayat (1) undang-undang No. 3 tahun 1997 tentang perlindungan anak, anak adalah “orang yang dalam perkara hal ini telah mencapai umur 8 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin”. Sedangkan pengertian anak menurut sejarah adalah sebagai berikut “Manusia berasal dari Adam dan Hawa, dan dari kedua mahluk Tuhan ini lahirlah keturunan yang kemudian beranak pianak menjadi kelompok-kelompok yang semakin membesar berpisah dan berpencar satu sama lain berupa suku dan kabilah dan bangsa-bangsa seperti sekarang ini, seperti apa yang difirmankan Tuhan dalam Al-Hujarat.13 Sedangkan anak menurut kamus bahasa indonesia yang dapat disimpulkan adalah keturunan yang kedua yang berarti dari seorang pria dengan seorang wanita yang melahirkan keturunannya, yang dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian berkembang biak didalam rahim wanita berupa suatu kandungan dan kemudian wanita tersebut pada waktunya nanti melahirkan keturunan. Anak adalah amanah dari karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabak sebagai manusia seutuhnya, 14 anak merupakan mahluk sosial, hal ini sama dengan orang dewasa, anak tidak dapat tumbuh dan berkembang sendiri tanpa adanya orang lain, karena anak lahir dengan segala kelemahan sehingga tanpa orang lain anak tidak mungkin dapat mencapai taraf kemanusiaan yang normal, anak harus kita jaga dan lindungi, dikarenakan : a. Anak mempunyai suatu sifat dan ciri khusus 12
Arif Gosita, Masalah perlindungan anak, Akademika Pressindo, Jakarta, 2001, h. 213. Op cit, h. 169 14 Irsan Koesparmono, Hukum Perlindungan Anak, Jakarta, 2007, h. 1 13
JURNAL PENELITIAN MAHASISWA FAKULTAS HUKUM “MIX LAW” Volume 1 Nomor 1, Februari 2013 UNIVERSITAS YAPIS PAPUA - JAYAPURA
10
b. Anak adalah sebagai potensi tumbuh kembang bangsa dimasa depan c. Anak tidak dapat melindungi dirinya sendiri dari perlakuan salah dari orang lain Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Tindak Pidana Persetubuhan Anak Dalam hal mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya tindak pidana persetubuhan anak di wilayah kota jayapura, dapat dimulai dengan mengetahui hubungan pelaku sampai modus operandi dari kasus persetubuhan anak. Tindak pidana persetubuhan tidak hanya dapat dilakukan oleh orang dewasa saja, akan tetapi seorang anak pun dapat melakukannya. Ini membuktikan bahwa prilaku seorang anak yang melakukan persetubuhan disebabkan oleh peniruan perlakuan dari orang dewasa, dikarenakan usia seorang anak masih sangat polos dan dapat terpengaruh mengikuti atau mengetahui perbuatan orang dewasa. Pelaku tindak pidana persetubuhan anak dalam melakukan suatu tindak pidananya dilakukan dengan berbagai macam cara untuk pemenuhan atau pencapaian hasrat seksualnya, tidak hanya anak-anak yang menjadi korban akan tetapi anak terkadang dapat menjadi seorang pelaku persetubuhan. Berdasarkan hasil penelitian dalam hal persetubuhan anak diwilayah kota jayapura dapat dilakukan dengan beragam modus operandi, diantaranya : 1. Modus I Pelaku melakukan tindak pidana persetubuhan anak dengan cara mengajak berkenalan dengan anak yang akan menjadi korbannya, pelaku menawarkan sesuatu seperti mengantarkannya pulang ataupun menjanjikan sesuatu, setelah korban menerima tawaran tersebut pelaku pelan-pelan membujuk korbannya untuk melakukan persetubuhan, bahkan bila korban tidak menginginkan pun si pelaku bisa berbuat kekerasan. 2. Modus II Pelaku melakukan tindak pidana persetubuhan anak dengan cara atau modus memberikan minuman yang mana minuman tersebut telah di campurkan obat yang membuat anak menjadi tidur atau pinsan, obat-obatan tersebut dengan mudah didapatkan di apotek tanpa memerlukan resep dokter yang antara lain seperti CTM (Chlorpheniramin) atau diazepam dan obat bius lainnya yang dapat menimbulkan rasa kantuk yang kuat. Setelah korbannya tidak berdaya atau tidak sadarkan diri kemudian pelaku melakukan persetubuhan. 3. Modus III Pelaku melakukan persetubuhan anak dengan cara pelaku yang mempunyai jiwa yang dekat dengan anak-anak atau yang sering berada di lingkungan anak-anak, mengajak bermain ataupun berbicara dengan anak kemudian mengajakanya kesuatu tempat dengan iming-iming akan diberi sejumlah ahadiah atau uang, setelah anak tersebut mengiyakan ajakan pelaku, setelah itu pelaku melakukan persetubuhan. 4. Modus IV Modus pelaku persetubuhan yang menjadikan anak sebagai objek persetubuhan dengan cara berawal dari media elektronik berupa jejaring sosial JURNAL PENELITIAN MAHASISWA FAKULTAS HUKUM “MIX LAW” Volume 1 Nomor 1, Februari 2013 UNIVERSITAS YAPIS PAPUA - JAYAPURA
11
seperti Yahoo, Faceebook, Friendster dan lain-lain yang dimana usia seorang anak sudah dapat mengetahui dan memakai kemajuan teknologi tersebut, setelah pelaku berbincang atau dengan kata lain chatting dengan korbannya anak, kemudian anak tersebut diajak bertemu dengan pelaku dan setelah pelaku bertemu dengan anak yang akan menjadi objeknya, kemudian pelaku menggiring anak tersebut kesuatu tempat untuk melakukan niat jahat pelaku yaitu persetubuhan. 5. Modus V Pelaku melakukan persetubuhan anak dengan modus atau cara mencuri anak yang akan menjadi objek yang akan disetubuhi dan membawanya ke suatu tempat kemudian pelaku melaksanakan niat jahatnya yaitu menyetubuhi anak tersebut. 6. Modus VI Pelaku melakukan persetubuhan anak dengan modus dan cara pelaku menghipnotis atau membuat anak tersebut tidak sadar dengan kekuatan alam bawah sadar yang dibuat oleh pelaku sehingga apa yang pelaku katakan, anak atau korbannya akan selalu menurutinya dari keadaan seperti pelaku melakukan niat jahatnya dengan menyetubuhi anak atau korbannya. 7. Modus VII Pelaku melakukan persetubuhan anak dengan cara atau modus kekerasan dan ancaman kekerasan terhadap anak atau korbannya sehingga anak tersebut menjadi takut, sehingga pelaku bebas melakukan persetubuhan terhadap korbannya. Dari modus-modus operandi persetubuhan anak di wilayah kota jayapura, merupakan modus operandi atau cara yang digunakan oleh pelaku persetubuhan demi mencapai kepuasan seksualnya yang dilampiaskan kepada anak-anak. Dari beragam bentuk modus yang di lakukan oleh para pelaku disebabkan oleh suatu faktor yang mendukung perbuatan tersebut. Berdasarkan penelitian dan disertai dengan wawancara, faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya tindak pidana persetubuhan anak di wilayah kota jayapura ialah sebagai berikut : 1. Faktor Lingkungan Faktor lingkungan merupakan salah satu faktor yang dapat mendukung terjadinya tindak pidana persetubuhan anak di wilayah kota jayapura. Hal ini dapat terjadi dikarenakan situasi dan keadaan dari lingkungan tempat tinggal yang mendukung dan memberi kesempatan untuk melakukan suatu tindak pidana persetubuhan anak di wilayah kota jayapura, yang antara lain sebagai berikut : a. Pergaulan di lingkungan masyarakat sekitar yang terkadang sering kali melanggar norma-norma yang berlaku seperti perkumpulan atau tongkrongan yang seringkali berprilaku yang tidak sopan seperti mengganggu wanita, minum-minuman beralkohol dan lain-lain. b. Lingkungan tempat tinggal yang cenderung mendukung terjadinya kejahatan, seperti lampu penerangan jalanan yang tidak memadai sehingga menimbulkan daerah tersebut menjadi gelap dan sepi yang mana hal tersebut dapat mendukung terjadinya tindak pidana persetubuhan. JURNAL PENELITIAN MAHASISWA FAKULTAS HUKUM “MIX LAW” Volume 1 Nomor 1, Februari 2013 UNIVERSITAS YAPIS PAPUA - JAYAPURA
12
c. Kurang efisiensinya sistem pengamanan dari suatu daerha oleh masyarakat maupun aparat keamanan setempat sehingga menyebabkan daerah tersebut rawan dan sering timbul kejahatan. d. Keadaan di lingkungan keluarga yaitu kurang efisiennya antisipasi keluarga terhadap anak seperti seorang anak dibiarkan bermain atau bepergian sendirian tanpa pendampingan dan pengawasan secara intensif sehingga anak dapat diawasi dengan baik, dengan siapa anak bermain ataupun dengan siapa teman yang baru anak kenal dan ketahui. e. Keadaan di lingkungan keluarga dalam hal hubungan seksual suami istri dapat mendukung terjadinya tindak pidana persetubuhan seperti seorang ayah menyetubuhi anaknya yang disebabkan karena hasrat seksual ayah tidak dapat di penuhi oleh sang ibu dan menyebabkan ayah lepas kontrol dan menyetubuhi anaknya sendiri, hal tersebut lebih cenderung pelakunya ialah ayah tiri tapi dapat juga di lakukan oleh ayah kandung atau saudarasaudara dari anak tersebut. f. Keadaan di lingkungan pendidikan dapat juga mempengaruhi dikarenakan dilingkungan pendidikan juga harus di waspadai sebab banyak kasus persetubuhan yang dilakukan oleh seorang pengajar ataupun teman sekolahnya yang disebabkan oleh kurangnya moralitas dan mentalitas dari pelaku sehingga membuat moralitas dan mentalitas yang tidak dapat bertumbuh dengan baik, membuat pelaku tidak dapat mengontrol nafsu dan prilakunya. g. Keadaan lingkungan di jalanan bagi anak-anak yang berkehidupan di jalanan dapat mempengaruhi terjadinya tindak pidana persetubuhan anak, dikarenakan kehidupan jalanan dapat diatakan sebagai kehidupan yang sangat keras dan memiliki potensi yang relevan bagi suatu tindak pidana persetubuhan, kebanyakan korbannya anak-anak jalanan yang tidak tinggal bersama keluarganya. 2. Faktor Kebudayaan Kebudayaan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya tindak pidana persetubuhan anak di wilayah kota jayapura yang dalam hubungannya dengan masalah ini merupakan suatu hasil karya yang di ciptakan dan secara terus menerus diperbaharui oleh sekelompok masyarakat tertentu atau dengan kata lain perkembangan suatu ciri khas masyarakat pada suatu daerah seperti gaya hidup manusia atau masyarakat. Disebagian negara yang berkembang khusunya di Indonesia yang memiliki beragam kebudayaan mulai dari yang tradisional sampai modern yang semakin lama semakin berkembang. Menurut Koentjaraningrat ada tiga wujud kebudayaan yang antara lain sebagai berikut : a. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. b. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktifitas serta tindakan berpolda dari manusia dalam masyarakat. c. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. 15 15
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, cet. 8, Rineka Cipta, Jakarta, 1990, h. 186 JURNAL PENELITIAN MAHASISWA FAKULTAS HUKUM “MIX LAW” Volume 1 Nomor 1, Februari 2013 UNIVERSITAS YAPIS PAPUA - JAYAPURA
13
Ketiga wujud tersebut diatas, berupa wujud dari suatu kebudayaan yang dimana jika dikaitkan dengan permasalahan persetubuhan, terdapat faktorfaktor yang dapat mempengaruhi terjadinya persetubuhan anak yaitu dengan berkembangnya kebudayaan tersebut dapat mengarah pada keterbukaan dalam bentuk seksual, seperti gaya berpakaian terutama kaum wanita dan ditiru oleh anak-anak, semakin bebasnya pergaulan terutama dalam hal seksual bebas dan lain-lain yang mengarah pada perbuatan melanggar norma-norma yang berlaku. Budaya berpakaian anak yang sekarang terkadang mengikuti perkembangan zaman yang model dari pakaiannya tidak menutupi auratnya yang hal ini disebabkan usia seorang anak masih dalam taraf peniruan orangorang disekitarnya demi tumbuh kembangnya, hal berpakaian inilah yang sedikit demi sedikit yang dapat menjadi dampak yang mengancam anak untuk melakukannya suatu perbuatan persetubuhan tersebut, dikarenakan anak yang berpakaian tidak menutupi auratnya yang dapat mengundang hasrat seksual lawan jenisnya untuk melakukan persetubuhan. 3. Faktor Ekonomi Ekonomi merupakan suatu penunjang kehidupan setiap manusia, ekonomi atau keuangan dapat merupakan faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya suatu persetubuhan anak. Dalam hal yang dimaksud tersebut ialah apabila seseorang mengalami himpitan atau kesusahan dalam bidang perekonomian, hal tersebut dapat mengganggu akal pikirannya dan dapat mengakibatkan orang tersebut akan mengalami stres berat, sehingga dapat membuat orang tersebut dapat melakukan sesuatu hal yang tak bisa di kontrol oleh dirinya sendiri. Hal ini cenderung dikehidupan berkeluarga dan penggangguran yang dapat melakukan tindakan apa saja yang tidak bisa di kontrol oleh dirinya sendiri akibat dari kemerosotan perekonomian dalam kehidupannya. 4. Faktor Media Salah satu faktor yang turut serta mempengaruhi terjadinya tindak pidana persetubuhan anak adalah faktor media. Media merupakan sarana yang efisien dan efektif dalam menyebarluaskan informasi kepada masyarakat luas, karena dengan biaya yang relatif sesuai dengan kemampuan dan mampu menjangkau masyarakat dalam waktu yang cukup signifikan. Faktor media tersebut meliputi media cetak seperti majalah-majalah atau bacaan-bacaan yang mengandung unsur pornografi dan faktor media lainnya ialah media elektronik seperti internet, film-film yang mengandung unsur fornografi dan lain-lain. Pornografi tersebut dapat mempengaruhi tindak pidana persetubuhan anak dikarenakan pornografi mengandung unsur negatif yang dapat menimbulkan seseorang terpengaruh dari media-media yang dilihatnya. Hal tersebut dapat menimbulkan nafsu seksual, rangsangan dan pikiran-pikiran tidak sehat, khususnya di kalangan dewasa. Walaupun undang-undang No 44 tahun 2008 tentang Pornografi tersebut telah diberlakukan, akan tetapi peredaran media yang mengandung unsur pornografi dapat beredar secara mudah dikalangan masyarakat, seakanJURNAL PENELITIAN MAHASISWA FAKULTAS HUKUM “MIX LAW” Volume 1 Nomor 1, Februari 2013 UNIVERSITAS YAPIS PAPUA - JAYAPURA
14
akan para pembuat, pengedar dan konsumen film dan bacaan porno tidak menghiraukan keberlakuan undang-undang tentang pornografi tersebut. Internet merupakan suatu media elektronik yang bermamfaat sebagai penyebar informasi diseluruh dunia bahkan bukan hanya orang dewasa saja yang menggunakan media elektronik tersebut akan tetapi anak-anak pun sudah dapat menggunakan media elektronik tersebut. Fungsi dari internet bukan hanya untuk mengetahui informasi akan tetapi dapat juga digunakan sebagai media untuk berinteraksi sosial dari situssitus seperti yahoo, friendster, facebook, twiters dan lain-lain yang merupakan suatu media untuk berkomunikasi dengan orang lain. Media interaksi sosial tersebut dapat mempengaruhi terjadinya tindak pidana persetubuhan, sebagai contoh tindak pidana persetubuhan anak yang berawal dari media elektronik berupa jaringan interaksi sosial, sebagai berikut : “Cinta monyet muda-mudi ini berawal dari situs pertemanan Facebook, tapi berkahir di kantor polisi. Bahkan, keduanya bersilang pendapat dengan memberi keterangan berbeda terkait dua hari tiga malam kebersamaannya. Diketahui dua remaja itu telah melakukan hubungan badan.” 16 Dari hal diatas, merupakan suatu kasus yang mana berawal dari media internet berupa situs jejaring sosial. Hal ini dapat membuktikan bahwa media pun dapat mempengaruhi tindak pidana persetubuhan anak, yang mana anak mengalami pertumbuhan dalam bidang teknologi sehingga dapat menggunakan media sebagai alat untuk berkomunikasi dengan orang lain, apabila ia berkomunikasi dengan orang yang baru anak tersebut kenal dan ingin berbuat jahat pada anak tersebut, maka ini dapat membahayakan bagi anak-anak tersebut. 5. Faktor Kejiwaan dan Psikologi Faktor kejiwaan dalam hal ini dapat mempengaruhi terjadinya tindak pidana persetubuhan anak di wilayah Kota Jayapura. Beberapa dokter ahli jiwa mengemukakan pendapat, “bahwa perbuatan kejahatan itu selalu disebabkan oleh beberapa ciri-ciri atau sifat-sifat seseorang, yang merupakan pembawaan dari suatu keadaan penyakit jiwa”. 17 Terkadang para pelaku persetubuhan mempunyai kejiwaan yang terganggu akibat pernah mengalami suatu peristiwa yang dapat membuat jiwanya menjadi terganggu. Beberapa penyakit jiwa yang berhubungan dengan pelaku melakukan kejahatan, yang antara lain sebagai berikut : a. Epilepsi. Penyakit sawan yang nampak nyata maupun yang tidak mudah diketahui, yang datangnya tiba-tiba. Si penderita bila penyakitnya kambuh tidak mampu menguasai dirinya, sehingga dalam keadaan tersebut yang bersangkutan dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang membahayakan diluar kesadarannya, antara lain perbuatan yang bertentangan dengan hukum. b. Gejala Sosiopatik, ciri-cirinya adalah bahwa si penderita hampir-hampir tidak mengenal norma, tidak dapat membedakan perbuatan mana yang 16 17
C3, Edi, Yp, Cinta monyet berakhir di polisi, Poskota, 10 Februari 2010, h.1. Op.cit. h. 57. JURNAL PENELITIAN MAHASISWA FAKULTAS HUKUM “MIX LAW” Volume 1 Nomor 1, Februari 2013 UNIVERSITAS YAPIS PAPUA - JAYAPURA
15
diperbolehkan dan mana yang tidak, akibatnya si penderita hampir selalu berurusan dengan hukum, karena ada diantara perbuatannya diluar keinginannya yang merupakan kejahatan. c. Schizophrenic, Suatu penyakit jiwa yang menyebabkan si penderita hidup dalam keadaan jiwa yang terbelah, dimana yang bersangkutan sering dalam kehidupan khayal, yang suatu saat khayalannya dianggap kenyataan yang dihadapi. 18 Bagi pelaku persetubuhan anak ini sering disebut dengan istilah phedofilia yaitu suatu istilah dari ilmu kejiwaan yang mempunyai makna melampiaskan hasrat seksual kepada anak-anak. Pada faktor kejiwaan yang menyimpang inilah yang merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya tindak pidana persetubuhan anak. Penyebab penyakit phedofilia ini sangat bervariasi, ada yang berupatrauma sewaktu kecil akibat pernah disodomi ataupun ketidaksukaan terhadap orang dewasa, akan tetapilebih menyukai anak-anak dalam hal hubungan seksualnya. Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Persetubuhan Anak Upaya untuk menanggulangi tindak pidana persetubuhan anak diwilayah kota jayapura dapat dilakukan dengan dua cara yaitu pencegahan dan penanggulangan jika tindak pidana persetubuhan anak terlanjur terjadi, upaya tersebut dapat dilakukan antara lain sebagai berikut : 1. Langkah-langkah Pencegahan Untuk menanggulangi suatu kejahatan dapat dilakukan dengan upaya pencegahan atau dengan kata lain mencegah lebih baik daripada mengobati hal yang telah terjadi, sehubungan dalam pembahasan skripsi ini berarti upaya untuk mencegah terjadinya tindak pidana persetubuhan yang merupakan perbuatan yang keji dan tidak bermoral. Langkah-langkah pencegahan diupayakan yang bertujuan untuk mengurangi tindak pidana khususnya persetubuhan pada anak-anak dan juga suatu usaha untuk melindungi anakanak yang memang sangat rentan untuk menjadi korban persetubuhan, dikarenakan anak ialah sebagai tunas bangsa, merupakan generasi penerus dalam pembangunan bangsa dan negara. Anak harus mendapatkan perlindungan dari gangguan-gangguan berupa perlakuan salah kepada anak jika tidak dilindungi, maka anak sebagai generasi bangsa dapat mengalami kehancuran, lebih memprihatinkan apabla anak-anak sampai menjadi korban tindak pidana persetubuhan, maka hancurlah kreativitas, kemauan dan bakat seorang anak dalam mengembangkan pemikiran dan tumbuh kembang melalui proses coba-mencoba, sehingga generasi muda akan mengalami hambatandan pada akhirnya secara keseluruhan akan menghambat berjalannya proses kaderisasi bangsa. Oleh karena itum keluarga, masyarakat bersama pemerintah dan penegak hukum saling bekerja sama bahu membahu untu menekan peningkatan angka tindak pidana persetubuhan anak hingga serendah-rendahnya bahkan sampai kejahatan ini tidak ada lagi. Usaha-usaha yang dapat dilakukan oleh keluarga, 18
Ibid, h. 27 JURNAL PENELITIAN MAHASISWA FAKULTAS HUKUM “MIX LAW” Volume 1 Nomor 1, Februari 2013 UNIVERSITAS YAPIS PAPUA - JAYAPURA
16
masyarakat bersama pemerintah dan penegak hukum untuk mencegah terjadinya tindak pidana persetubuhan anak ialah sebagai berikut : a. Meningkatkan keamanan di lingkungan sekitar, hal ini dapat dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat bersama saling membahu untuk menjaga lingkungan disekitarnya, sehingga kesempatan dan ruang gerak dari para calon pelaku persetubuhan menjadi sempit dan dapat mengurangi peningkatan angka kejahatan khususnya tindak pidana persetubuhan anak di wilayah kota jayapura. b. Membenahi sarana dan fasilitas di lingkungan sekitar, misalnya menambah dan memperbaiki penerangan lampu pada tempat-tempat yang gelap dan mendirikan sarana pos pengamanan yang bertujuan sebagai tempat pemantauan keamanan. c. Pemberantasan film dan bacaan yang mengandung unsur pornografi yang beredar secara luas dikalangan masyarakat, karena seringkali tindak pidana persetubuhan anak terjadinya karena melihat film atau bacaan yang mengandung pornografi. d. Partisipasi aktif atau keikutsertaan tokoh-tokoh agama dan masyarakat untuk membina dan menuntun masyarakat dilingkungan sekitarnya, dikarenakan tokoh-tokoh tersebut adalah sebagai contoh dari pengembangan prilaku masyarakat dan dimana tokoh tersebut sangat dihargai pendapatnya. Oleh sebab itu, tokoh-tokoh ini berfungsi meningkatkan dan membimbing moralitas dan mentalitas masyarakat agar tidak terjerumus dalam hal-hal yang negatif atau jahat. Apabila dalam hal ini dapat berjalan dengan baik, maka diharapkan mental dan moral masyarakat menjadi baik dan angka peningkatan tindak pidana persetubuhan anak diwilayah kota jayapuradapat berkurang semaksimal mungkin. e. Masyarakat harus lebih intensif dalam menyikapi dan menyaring kebudayaan asing atau baru yang mengandung unsur negatif dan yang dapat merusak moral. Hal tersebut dapat berjalan dengan baik dengan didukungnya oleh peran aktif seluruh unsur-unsur yang memegang kedudukan penting seperti orang tua, guru, para tokoh agama dan masyarakat, aparat penegak hukum dan lain-lain sebagainya. f. Dalam hal kehidupan rumah tangga atau keluarga, seperti hubungan orang tua dan anak selayaknya harus tetap efisien terjalin, seperti memberikan perhatian, nasehat, bimbingan dan perlindungan bagi anak demi kebaikannya dan menyelamatkannya dari perlakuan salah yang dilakukan oleh pelaku. Hal tersebut sangat diperlukan dalam proses pendewasaan anak serta anak dapat mengetahui hal-hal apa yang baik bagi anak dan hal-hal apa yang buruk bagi anak. Dari rincian usaha mencegah terjadinya tindak pidana persetubuhan anak di wilayah kota jayapura, merupakan suatu bentuk untuk mencegah agar perbuatan yang keji dan tidak bermoral yang korbannya ditujukan kepada anak-anak khusunya kasus persetubuhan yang menimpa anak atau dengan kata lain mencegah lebih baik daripada menanggulangi. Mencegah perbuatan tersebut merupakan suatu bentuk untuk melindungi anak agar tidak menjadi korban tindak pidana. Perlindungan anak merupakan suatu usaha yang JURNAL PENELITIAN MAHASISWA FAKULTAS HUKUM “MIX LAW” Volume 1 Nomor 1, Februari 2013 UNIVERSITAS YAPIS PAPUA - JAYAPURA
17
mengadakan suatu kondisi, dimana setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya, maka dengan demikian kita wajib mengusahakan perlindungan anak sesuai dengan kemampuan untuk melindungi anak dari perlakuan salah yang ditujukan kepada anak, demi kepentingan tumbuh kembang anak serta kepentingan bangsa dan negara. 2. Langkah-langkah penanggulangan jika terjadi tindak pidana persetubuhan anak di wilayah Kota Jayapura. Apabila seluruh lapisan masyarakat beserta pemerintah dan penegak hukum telah berupaya untuk mencegah terjadinya tindak pidana persetubuhan anak dengan menerapkan langkah pencegahan akan tetapi peristiwa atau perbuatan yang tidak diharapkan tersebut ternyata tetap terjadi juga, maka terpaksa dilakukan langkah penanggulangan untuk menyelesaikan dan mengatasi dengan tuntas kasus yang terlanjur terjadi. Dalam penyelesaian kasus-kasus persetubuhan yang menimpa anak, walaupun kasus tersebut telah tuntas diproses secara hukum akan tetapi menyisakan masalah-masalahlainnya seperti dampak akibat persetubuhan tersebut bagi anak dan keluarganya, karena merasa keadilan yang mereka harapkan belum terpenuhi seluruhnya. Terkadang hukuman bagi para pelaku tidak sesuai dengan perbuatan pelaku tersebut. Oleh karena itulah aparat penegak hukum diharapkan untuk bekerja seoptimal mungkin, agar penegakan hukum dapat terwujud sebagaimana yang diharapkan oleh seluruh lapisan masyarakat. Proses hukum bagi para pelaku tindak pidana persetubuhan anak merupakan suatu langkah dalam menanggulangi tindak pidana khususnya tindak pidana persetubuhan anak yang telah terjadi. Yang dimana proses hukum tersebut harus berjalan secara efisien demi tercapainya suatu penegakan hukum yang diharapkan oleh seluruh lapisan masyarakat khususnya korban dan keluarganya. Langkah penanggulangan yang dapat menjadi acuan bagi masyarakat beserta pemerintah dan para penegak hukum dalam menanggulangi tindak pidana persetubuhan anak ialah sebagai berikut : a. Dukungan dari masyarakat sangat dibutuhkan dalam pengungkapan kasus kejahatan khususnya kasus persetubuhan anak, apanila tindak pidana persetubuhan anak terjadi dilingkungan sekitar, maka pihak masyarakat yang mengetahui adanya tindak pidana persetubuhan anak segera mengadukan hal tersebut keaparat keamanan setempat. Hal tersebut sangat dibutuhkan dalam upaya menanggulangi tindak pidana persetubuhan anak di wilayah kota jayapura, sebab terkadang tindak pidana persetubuhan anak, korbannya yang masih usia anak masih polos dan lugu, biasanya anak tersebut mendapatkan imbalan berupa uang dan ancaman dari pelaku yang membuat anak tersebut menjadi takut dan tunduk sehingga tidak memberitahukan hal tersebut pada orang lain. Peran masyarakatlah khususnya pihak keluarga korban yang sangat dibutuhkan apabila terjadi suatu gejala atau tingkah laku yang aneh pada mental ataupun tubuh anak akibat persetubuhan, hendaknya segera melapor keaparat keamanan setempat. b. Kepolisian sebagai penyidik dan sekaligus pelindung, penagyom dan pelayanan masyarakat khususnya dalam hal ini Unit Pelayanan Perempuan JURNAL PENELITIAN MAHASISWA FAKULTAS HUKUM “MIX LAW” Volume 1 Nomor 1, Februari 2013 UNIVERSITAS YAPIS PAPUA - JAYAPURA
18
c.
d.
e.
f.
19
dan Anak (PPA), harus teliti dan cermat dalam mencari bukti-bukti seperti visum maupun keterangan saksi, agar pelaku tindak pidana persetubuhan anak tidak lepas begitu saja dari tindak pidana yang disangkakan, sebab banyak kasuspersetubuhan anak yang terjadi, para pelaku seringkali dibebaskan dikarenakan dengan alasantidak cukup bukti yang menguatkan tersangka. Hal tersebut dapat di pahami, karena ketika terjadi persetubuhan anak selalu melakukan kejahatannya ditempat yang sulit diketahui dan didengar oleh orang lain dengan kata lain tertangkap tangan. Oleh sebab itu, kinerja, profesionalisme maupun mentalitas dari pihak kepolisian sangat di harapkan dalam hal ini dalam mengungkap kejahatan khususnya kasuskasus persetubuhan anak di wilayah kota jayapura. “Penuntut umum adalah jaksa yang diberikan wewenang oleh undangundang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim” 19 sesuai dengan Pasal 13 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Kejaksaan merupakan suatu institusi yang diberikan wewenang untuk melakukan penuntutan terhadap pelaku, yang dimana jaksa diharapkan untuk melakukan penuntutan terhadap pelaku, yang dimana jaksa diharapkan untuk dapat mencermati, menelaah dan memperhatikan unsur-unsur pasal yang disangkakan dalam mendakwa dan menuntut para pelaku persetubuhan ank agar di jerat dengan pasal yang sesuai dengan perbuatan pelaku. Pihak Kehakiman harus bekerja efisien dalam menjatuhkan hukuman yang benar-benar setimpal dengan perbuatan si pelaku. Ini bukan sekedar suatu kesempatan balas dendam, melainkan agar pelaku jera dan supaya para calon pelaku yang berikutnya berpikir seribu kali jika hendak berniat melakukan persetubuhan anak, dan supaya korban dan keluarga serta masyarakat merasa lebih tenang dan terlindungi serta demi kepercayaan masyarakat terhadap hukum di Indonesia ini tetap dapat di pertahankan. Lembaga independen dan lembaga swadaya masyarakat yang berkaitan dengan masalah perlindungan anak, dapat melakukan upaya penanggulangan jika terjadi persetubuhan anak yaitu dengan cara mengedepankan hak-hak seorang anak seperti melindungi anak yang menjadi korban persetubuhan, mendampingi, memantau, melakukan pendekatan pada anak yang menajdi korban persetubuhan yang berguna untuk membantu proses penyidikan diakrenakan anak korban persetubuhan sulit untuk mengingat atau berbicara peristiwa yang dialaminya, dan yang terakhir ialah melakukan proses rehabilitasi anak atau dengan kata lain melakukan upaya untuk memulihkan psikis anak korban persetubuhan akibat trauma atau peristiwa persetubuhan yang dialaminya. Media cetak maupun media elektronik dapat juga membantu proses penanggulangan terjadinya tindak pidana persetubuhan anak dengan cara mengadakan berita investigasi atas kasus persetubuhan anak akan tetapi wajah maupun identitas korban disamarkan atau disensor agar identitas
Penghimpun Solahuddin, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Acara Pidana dan Perdata, Visimedia, cet I, Jakarta, 2008, Pasal 13 KUHAP. JURNAL PENELITIAN MAHASISWA FAKULTAS HUKUM “MIX LAW” Volume 1 Nomor 1, Februari 2013 UNIVERSITAS YAPIS PAPUA - JAYAPURA
19
korban tidak diketahui publik demi kelangsungan masa depan korban, sehingga ruang gerak dari pelaku yang buron menjadi sempit, dengan demikian polisi akan lebih mudah melacaknya serta menangkapnya. Dalam hal ini juga, pihak aparat bisa bekerja sama dengan pihak media untuk mencoba melakukan berbagai cara atau tindakan yang diperkirakan dapat menekan angka tindak pidana persetubuhan anak di wilayah kota jayapura beserta memaparkan ancaman hukumannya, ataupun dengan acara penyuluhan hukum tentang tindak pidana tersebut di televisi dan lain-lain. PENUTUP Kesimpulan 1. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan dan mempengaruhi terjadinya tindak pidana persetubuhan anak di wilayah Kota Jayapura yaitu faktor lingkungan, faktor kebudayaan, faktor ekonomi, faktor media dan faktor psikologi atau kejiwaan pelaku. 2. Upaya penanggulangan jika tindak pidana persetubuhan anak terlanjur terjadi yaitu : a. Langkah Pencegahan - Meningkatkan keamanan di lingkungan sekitar - Membenahi sarana dan prasarana di lingkungan sekitar - Pemberantasan film dan bacaan yang mengandung unsur pornografi - Partisipasi aktif atau keikutsertaan tokoh-tokoh agama dan masyarakat - Masyarakat harus lebih intensif dalam menyikapi dan menyaring kebudayaan asing yang mengandung unsur negatif - Memberikan nasehat dalam Kehidupan keluarga b. Langkah Penanggulangan - Dukungan dari masyarakat untuk pengungkapan kasus khususnya persetubuhan anak - Kepolisian harus teliti dalam menyikapi persoalan - Kejaksaan melakukan penuntutan dan penetapan hakim - Pihak Kehakiman harus bekerja secara efisien - Mengedepankan hak-hak anak - Media harus berperan serta dalam pemberitaan terhadap kasus tindak pidana persetubuhan Saran 1. Meningkatkan mentalitas, moralitas serta keimanan dan ketaqwaan pada diri sendiri yang bertujuan untuk pengendalian diri yang kuat sehingga tidak mudah tergoda untuk melakukan sesuatu yang tidak baik, dan juga untuk mencegah agar dapat menghindari pikiran dan niat yang kurang baik didalam hati serta pikiran seseorang untuk berbuat tindak pidana persetubuhan. 2. Aparat pemerintah sekiranya bekerja dengan efisien untuk mencegah dan menanggulangi suatu tindak pidana khususnya tindak pidana persetubuhan anak di wilayah Kota Jayapura dengan cara antara lain : memberantas filmfilm atau bacaan yang mengandung unsur pornografi karena dari sinilah persetubuhan anak di wilayah Kota Jayapura ini berakar, apabila hal tersebut JURNAL PENELITIAN MAHASISWA FAKULTAS HUKUM “MIX LAW” Volume 1 Nomor 1, Februari 2013 UNIVERSITAS YAPIS PAPUA - JAYAPURA
20
di lakukan setidaknya dapat mencegah ataupun mengurangi peningkatan tindak pidana persetubuhan anak di wilayah Kota Jayapura. DAFTAR PUSTAKA Arif Gosita, 2001. Masalah Perlindungan Anak, Akademika Presindo, Jakarta. C3, Edi, Yp, Cinta monyet berakhir di polisi, Poskota, 10 Februari 2010, Daliyo J.B, 2001. Pengantar Hukum Indonesia, Prenhallindo, Jakarta. Irsan Koesparmono, 2007, Hukum Perlindungan Anak, Jakarta. Kalyamedia, edisi I No.2 juli 2004 Koentjraninggrat, 1997. Metode Penelitian Masyarakat, edisi ke III, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Koesparmono Irsan, 2007, Hukum Perlindungan Anak, Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional Veteran, Jakarta. Mien Rukmini, 2006. Aspek Hukum Pidana dan Kriminologi, Bandung. Moeljatno, 2002. Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta. R. Subekti, 2003. Pokok-pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Cet 31, Jakarta. R. Soesilo, 1976, KUHP dan KUHAP, Jakarta. Solahuddin, 2008, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Acara Pidana dan Perdata, Pasal 13 KUHP, Visimedia, cet I, Jakarta. PERUNDANG-UNDANGAN Undang-undang No 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak; Undang-undang No 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak; Undang-undang No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; Undang-undang No 23 tahun 2003 tentang Perlindungan Anak; Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
JURNAL PENELITIAN MAHASISWA FAKULTAS HUKUM “MIX LAW” Volume 1 Nomor 1, Februari 2013 UNIVERSITAS YAPIS PAPUA - JAYAPURA