PELAKSANAAN PROSES PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR (Studi Kasus di Polres Boyolali) Oleh : IBNU YUDHAGUSMARA NPM. 12102110 Universitas Slamet Riyadi Surakarta ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pekasanaan proses penyidikan tindak pidana persetubuhan yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak dibawah umur di Polres Boyolali dan mengetahui seharusnya menjadi hak-hak tersangka dan hak-hak korban dalam proses penyidikan berdasarkan Undang-Undang di Polres Boyolali Latar belakang masalah dalam penelitian ini adalah perkara persetubuhan terhadap anak dibawah umur oleh orang dewasa dimana hal tersebut termasuk dalam kejahatan kesusilaan yang sangat mencemaskan dan memunculkan pengaruh psikologis terhadap korbannya maka penanganan tindak pidana ini harus di tangani secara serius. Metode penelitian dalam penyusunan skripsi ini adalah jenis penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian normative yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan hukum pustaka atau data sekunder berkala. Dan sifatnya penelitian ini merupakan penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif yaitu suatu penelitian yang dimaksudkan untuk memberi data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan dan gejala-gejala lainnya. Hasil penelitian ini adalah pelaksanaan proses penyidikan terhadap tindak pidana persetubuhan dengan tersangka orang dewasa dan korban dibawah umur yang diperiksan di kantor Kepolisian Resor Boyolali telah di lakukan berdasarkan hukum acara di Indonesia yaitu KUHAP, hal ini terlihat dari telah dilakukannya prosedurprosedur tindakan penyidik dalam melakukan proses penyidikan. Hak-hak tersangka dalam penyidikan perkara persetubuhan di kantor Kepolisian Resor Boyolali dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 50 sampai Pasal 68 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Proses penyidikan dengan tersangka orang dewasa di Kepolisian Resor Boyolali telah dilaksanakan secara baik dan lancar. Namun penerapan hak-hak anak sebagai korban tindak pidana sebagaimana yang dimaksud Pasal 64 ayat (1) UUPA belum sepenuhnya dilaksankan oleh penyidik yang merupakan bagian dari kepolisian sebagai wakil dari pemerintah sebagaimana yang dimaksud Pasal 64 tersebut. Hal ini terlihat dalam penyidikan di Kepolosian Resor Boyolali, korban seakan hanya sebagai saksi dan tidak diperhatikan mengenai keadaan mentalnya yang trauma setelah memberikan keterangan mengenai kejadian di hadapan penyidik. Kata kunci : Penyidikan Tindak Pidana Persetubuhan dan Anak di Bawah Umur
1
A. PENDAHULUAN Masalah pokok terkait dengan penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut, adalah sebagai berikut: 1. Faktor hukumnya sendiri, 2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun yang menerapkan hokum, 3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hokum, 4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau di terapkan, dan 5. Faktor kebudayaan,yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang di dasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Minimnya lapangan pekerjaan yang tersedia dan masalah tuntutan kebutuhan hidup (ekonomi) di masyarakat menyebabkan munculnya berbagai macam kejahatan/tindak pidana. Salah satunya adalah pidana kesusilaan dengan kekerasan. Diberbagai massa media cetak maupun elektronik banyak di beritakan mengenai kesusilaan yang di lakukan oleh pelaku dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang perempuan yang bukan istrinya untuk bersetubuh dengan dia. Di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sebenarnya telah di atur ketentuan mengenai sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana pencabulan dengan kekerasan, namun pada kenyataanya kejahatan ini masih saja terjadi di banyak tempat dan tersembunyi dalam kehidupan masyarakat. Tidak jarang kasus tersebut lolos dari jeratan hukum yang berlaku, bahkan ada yang berhenti sampai pada tingkat pemeriksaan oleh kepolisian maupun kejaksaan sehingga tidak sampai di proses di pengadilan. Untuk mewujudkan keberhasilan penegakan hukum dalam memberantas maraknya kasus pencabulan dengan kekerasan sangat di perlukan
2
pemantapan koordinasi kerjasama yang serius baik dari aparat kepolisian, aparat kejaksaan maupun hakim-hakim di pengadilan. Putusan hakim pemeriksa kasus pencabulan dengan kekerasan di berbagai pengadilan bervariasi. Bahkan ada kasus pencabulan dengan kekerasan yang hanya di vonis main-main dengan hukum penjara enam bulan. Hal mana dapat di benarkan karena dalam batas-batas maksimum dan minimum (satu hari sampai dua belas tahun) tersebut hakim bebas untuk bergerak untuk mendapatkan pidana yang tepat. Pada dasarnya seseorang telah melakukan suatu tindak pidana dapat dikenai sanksi pidana apabila perbuatannya tersebut memenuhi unsur-unsur tindak pidana. Unsur-unsur tindak pidana yang harus di penuhi antara lain adalah suatu perbuatan memenuhi rumusan undang-undang dan bersifat melawan hukum dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang di anggap mampu bertanggungjawab. Tindak pidana pencabulan dengan kekerasan diancam dalam pasal 285 & 289 KUHP memutuskan “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman. Kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan kesusilaan, dengan pidana paling lama dua belas tahun”. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul PELAKSANAAN PROSES PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR (Studi Kasus di Polres Boyolali) B. LANDASAN TEORI Tinjauan Umum Tentang Penyidikan Berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP pada Pasal 1 butir (2) menentukan bahwa yang dimaksud dengan penyidikan adalah serangkaian tindakan
3
penyidikan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menentukan tersangkanya. Penyidikan mencangkup penyelidikan tindak pidana atau pengaduan, memanggil, dan memeriksa saksi-saksi termasuk merubah status penahanan tersangka, menggeleda, menyita, memeriksa surat yang dalam keadaan tertentu dapat meminta
keterangan
dari
ahli,
membuat
resume
hasil
penyidikan
dan
memberitahukan penyidikan kepada penuntut umum. KUHAP memberi pengertian penyelidikan sebagai serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menentukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Tugas utama dari penyelidik adalah penerimaan laporan dan pengaturan serta menghentikan orang yang dicurigai untuk dilakukan pemeriksaan. Bermula dari pengertian penyelidikan sebagaimana digariskan pada pasal 1 angka 5 KUHAP tersebut, maka dapat dikatakan bahwa penyelidikan adalah tindakan yang dilakukan oleh pejabat penyelidik dalam rangka mempersiapkan suatu penyelidikan terhadap suatu tindak pidana. 1 Berdasarkan pengertian penyidikan menurut pasal 1 ayat (2) KUHAP maka tugas pokok dari seorang penyidik dalah untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Wewenang polisi untuk menyidik meliputi kebijaksanaan polisi (polite beleid: police disrection) sangat sulit dengan membuat pertimbangan
1 Harun Husien, 1991, Penyidikan dan Penuntutan dalam Proses Pidana, Jakarta : Rineka Cipta, hal. 55
4
tindakan apa yang akan diambil dalam saat yang sangat singkat pada penangkapan pertama suatu delik. 2 Polri Sebagai Penyidik Utama di dalam Perkara Pidana Dengan diungkapnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Kepolisian Negara, maka semakin tegas diatur tentang peranan Polri sebagai salah satu fungsi pemerintah Negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Pejabat Polisi merupakan penyidik utama di dalam perkara-perkara pidana disamping penyidik dari Pejabat Pegawai Negeri Sipil, hal ini telah diatur pada UU No 8 Tahun 1981 Pasal 6 ayat (1) huruf a dan b dalam pada itu, untuk mendukung tugas Kepolisian sebagai penyidik, maka diatur pula di dalam KUHAP kewajiban dan wewenang Pejabat Polisi dalam kegiatan penyidikan. Hal ini dijabarkan lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara. Dalam KUHAP Pasal 7 ayat (1), karena kewajiban penyidik memiliki wewenang : 1. 2. 3.
Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana; Melakukan tindakan pertama pada saat di tempatkan kejadian; Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; 4. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan; 5. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; 6. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang; 7. Memamnggil orang untuk didengar dan dipriksa sebagai tersangka atau saksi; 8. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; 9. Mengadaan penghentian penyidikan; 10. Mengadakan tindakan ini menurut hukum yang bertanggung jawab.
2 Andi Hamzah, 1990, Pengantar Hukum Acara Pidana, Jakarata : Ghalia Indonesia, hal. 75
5
Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Persetubuhan Strafbaarfeit sebagai suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja maupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya yang dapat dihukum. Seperti halnya tindak pidana kesusilaan. Tidak pidana kesusilaan dalam KUHP dibedakan menjadi dua, yaitu Tindak pidana perkosaan untuk bersetubuh yang diatur dalam pasal 285 KUHP dan tindak pidana perkosaan untuk berbuat cabul yang diatur dalam pasal 289-296 KUHP. Sedangkan dalam Undang-undang Perlindungan Anak tindak pidana kesusilaan yang melibatkan anak didalamnya diatur dalam Pasal 82 dan Pasal 88 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Yang disebut persetubuhan (coitus) adalah perpaduan antara 2 kelamin yang berlawanan jenisnya untuk memenuhi kebutuhan biologik, yaitu kebutuhan seksual. Persetubuhan yang lengkap terdiri atas penetrasi penis kedalam vagina, gesekan-gesekan penis terhadap vagina dan ejakulasi. Menurut kalangan ahli hukum suatu persetubuhan tidak harus diahkiri dengan ejakulasi. Bahkan penetrasi yang ringan, yaitu masuknya kepala zakar diantara kedua bibir luar, sudah dapat dianggap sebagai tindakan persetubuhan. Berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia, seorang wanita dianggap cukup umur dalam soal persetubuhan jika ia sudah genap berumur 15 tahun. Pada umur tersebut ia sudah dianggap mampu memahami resiko-resikonya dan oleh karenanya ia dapat menentukan sendiri apakah ia akan menyetujui suatu persetubuhan atau tidak. Namun persetubuhan persetubuhan dari seorang wanita yang tidak sehat akalnya tidak dianggap syah, meskipun wanita itu sudah berumur 15 tahun. Ikatan perkawinan dapat dianggap sebagai persetujuan atau izin bagi suami
6
untuk melakukan persetubuhan dengan istrinya. Jika persetubuhan dilakukan dengan tidak mengindahkan prinsip-prinsip di atas maka persetubuhan tersebut dianggap tak legal dan dapat dipidana. C. METODE PENELITIAN Lokasi Penelitian Lokasi penelitian di Polres Boyolali. Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa lokasi penelitian tersebut tersedianya data yang diperlukan sehingga lebih memudahkan dalam pelaksanaan penelitian. Jenis Penelitian Jenis penelitian yuridis sosiologis yaitu penelitian dimana dasar yang digunakan adalah suatu peraturan perundang-undangan yang sudah ada, ditambah dengan penelitian lapangan yang berhubungan dengan masalah yang diteliti yaitu mengenai tinjauan yuridis. Sifat Penelitian Sifat penelitian adalah penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif adalah “Penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau hipotesia agar dapat membantu dalam memperkuat teori-teori lama, atau didalam penyusunan teori-teori baru. 3 Bahan/Materi Penelitian 1. Bahan hukum primer, yaitu beberapa peraturan perundang-undangan yang ada kaitannya dengan obyek yang diteliti, meliputi: KUHP, RUU KUHP, UU No. 23 Tahun 2002 dan UU No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak.
3 Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Pers, hal. 10
7
2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang erat hubungannya dan dapat menjelaskan bahan hukum primer, yaitu berupa buku-buku atau literatur-litiatur, laporan-laporan penelitian, catatan, majalah, Koran, makalah-makalah, artikelartikel dan sumber-sumber lain di bidang hukum yang berhubungan masalah yang diteliti. Sumber Data 1. Data Primer, berupa keterangan diperoleh dari Hakim Pengadilan Negeri Boyolali yang memahami tentang kasus tindak pidana persetubuhan dengan wanita di bawah umur. 2. Data sekunder, berupa bahan kepustakan, arsip, literature, dokumen, serta tulisantulisan lain yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Cara Pengumpulan Data Cara pengumpulan datanya adalah dengan dokumentasi, yaitu teknik pengumpulan data dengan cara mengumpulkan bahan-bahan yang berupa buku-buku dan bahan pustaka lainnya yang ada hubungannya dengan masalah yang teliti yang digolongkan sesuai dengan katalogisasi. Metode pengumpulan data ini berguna untuk mendapatkan landasan teori yang berupa pendapat para ahli mengenai hal yang menjadi obyek penelitian seperti peraturan perundangan yang berlaku dan berkaitan dengan hal-hal yang perlu diteliti. Metode Analisis Data Analisis dalam penelitian ini adalah analisa kualitatif. Analisis kualitatif adalah merupakan cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan, dan perilaku nyata. Selanjutnya data-data yang diperoleh tersebut, kemudian diteliti, dipelajari dan disusun dalam
8
peraturan yang logis dan sistematis kemudian dipaparkan tanpa menggunakan datadata statistik. 4 D. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Pelaksanaan Proses Penyidikan Tindak Pidana Persetubuhan Terhadap Anak Di Bawah Umur di Polres Boyolali Dalam penyidikan telah dilakukan beberapa tindakan, antara lain berupa : a. Penangkapan Dengan surat perintah penangkapan Nomor : Sprin Kap / 02 / I / 2015 / Reskrim. Untuk Kepentingan penyidikan tindak pidana, perlu untuk melakukan tindakan, Penangkapan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. b. Penyitaan Dengan surat perintah penyitaan Nomor : SP.Sita / 05 / XII / 2014 / Reskrim. Untuk kepentingan Penyidikan, penuntutan dan peradilan, perlu untuk melakukan tindakan penyitaan barang bukti. Tanggal 17 Desember 2014 telah melakukan penyitaan barang bukti berupa : 1) 1 (satu) buah kaos warna merah milik korban. 2) 1 (satu) buah celana jeans warna biru tua milik korban. 3) 1 (satu) buah BH warna ungu muda. 4) 1 (satu) buah celana dalam warna orange. c. Penahanan Dengan surat perintah penahanan Nomor : Sprin.Han / 04 / I / 2015 / Reskrim. Bahwa berdasarkan hasil pemeriksaaan diperoleh bukti yang cukup tersangka
4 Ibid, hal. 32
9
diduga keras melakukan tindak pidana yang dapat dikenakan penahanan dan tersangka dikhawatirkan akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana, maka perlu dilakukan penahanan. Penahanan terhadap tersangka FEBRIANTO EKO PUTRO Bin SUWARNO. 2. Pemenuhan Hak-Hak Tersangka Dalam Proses Penyidikan Berdasarkan Undang-Undang Di Polres Boyolali Pemenuhan hak-hak tersangka dalam proses penyidikan di Kepolisian Resor Boyolali pada perkara Nomor BP/83/XII/2014/RESKRIM telah dilakukan berdasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku. Pada proses penyidikan, sudah dilakukan sesuai dengan hukum acara pidana yang digunakan di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dalam berita acara pemeriksaan yang telah dibuat oleh penyidik dan ditanda tangani pejabat yang berwenang di Kepolisian Resor Boyolali yang menyebutkan si pelaku benar-benar terpenuhi hak-haknya sebagai tersangka. 3. Hak Dan Kewajiban Korban Dalam Proses Penyidikan Di Polres Boyolali Pemahaman tentang korban kejahatan ini baik sebagai penderita sekaligus sebagai faktor/elemen dalam suatu peristiwa pidana akan sangat bermanfaat dalam upaya-upaya pencegahan terjadinya tindak pidana itu sendiri (preventif). Oleh karena itu seorang korban dapat dilihat dari dimensi korban kejahatanan ataupun sebagai salah satu faktor kriminogen. Selain itu korban juga dapat dilihat sebagai komponen penegakan hukum dengan fungsinya sebagai saksi korban atau pelapor. Korban seharusnya dipandang sebagai pihak yang paling banyak merasakan kerugian dan harus dilindungi segala hak-haknya. Adapun hak dan kewajiban korban sebagaimana diuraikan oleh Arif Gosita :
10
a. Hak korban meliputi: 1) Mendapatkan hak kembali miliknya. 2) Mendapat perlindungan terhadap ancama pihak pelaku apabila melapor dan menjadi saksi. 3) Mendapat informasi mengenai permasalahan yang dihadapinya. 4) Mendapat pelayanan untuk ahli warisnya. 5) Mendapatkan bantuan atau konpensasi. 6) Dapat melangsungkan pekerjaannya. 7) Mendapat pelayanan yang layak sewaktu sebelum persidangan, selama persidangan, dan setelah persidangan. 8) Mendapat bantuan penasehat hukum. 9) Menggunakan upaya hukum. b. Kewajiban korban 1) Berpartisipasi dengan masyarakat mencegah adanya korban lebih lanjut. 2) Tidak melakukan tindakan pembalasan. 3) Tidak main hakim sendiri. 4) Menjadi saksi apabila tidak membaahayakan dirinya dan perlindungan keamanan untuk dirinya E. KESIMPULAN Pelaksanaan proses penyidikan terhadap tindak pidana persetubuhan terhadap anak di bawah umur dengan tersangka pria dewasa yang di periksa di kantor Kepolisian Resor Boyolali telah dilakukan berdasarkan hukum acara di Indonesia yaitu KUHAP, hal ini terlihat dari telah dilakukannya prosedur-prosedur tindakan penyidik dalam melakukan proses penyidikan.
11
Bahwa
pemenuhan
hak-hak
tersangka
dalam
penyidikan
perkara
persetubuhan di kantor Kepolisian Resor Boyolali dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 50 sampai dengan Pasal 68 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Proses penyidikan di Kepolisian Resor Boyolali telah dilaksanakan secara baik dan lancar. Begitu pula sama halnya dengan pemenuhan hak-hak korban yang masih di bawah umur dalam penyidikan perkara persetubuhan di kantor Kepolisian Resor Boyolali dilakukan berdasarkan ketentuan. Proses penyidikan di Kepolisian Resor Boyolali telah dilaksanakan secara baik dan lancar tanpa kendala apapun. DAFTAR PUSTAKA Andi Hamzah. 2002. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta. Sinar Grafika. Harun Husien. 1991. Penyidikan dan Penuntutan dalam Proses Pidana. Jakarta : Rika Cipta. Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : Universitas Indonesia (UI-Press). Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KHUP). Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tantang Perlindungan Anak.
12
JURNAL S K R I P S I PELAKSANAAN PROSES PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR (Studi Kasus di Polres Boyolali)
Disusun Oleh : IBNU YUDHAGUSMARA NPM. 12102110
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA 2015
13