PERLINDUNGAN HUKUM SAKSI KORBAN ANAK DALAM TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN DISERTAI KEKERASAN DAN PAKSAAN (Tinjauan Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Boyolali nomor 14/Pid.Sus/2012/PN.Bi)
SKRIPSI
Oleh: DANANG ARIEF SASONGKO E1A008143
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2013 i
ii
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya Nama
: DANANG ARIEF SASONGKO
NIM
: E1A008143
Angkatan
: 2008
Judul Skripsi
: PERLINDUNGAN HUKUM SAKSI KORBAN ANAK DALAM TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN DISERTAI KEKERASAN DAN PAKSAAN (Tinjauan Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Boyolali nomor 14/Pid.Sus/2012/PN.Bi)
Menyatakan bahwa skripsi yang saya buat ini adalah betul-betul hasil karya saya sendiri dan tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuatkan oleh orang lain. Dan apabila ternyata terbukti saya melakukan pelanggaran sebagaimana tersebut diatas, maka saya bersedia dikenai sanksi apapun dari Fakultas.
Purwokerto,............................. Hormat Saya,
DANANG ARIEF SASONGKO NIM. E1A008143
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT, karena dengan berkat kasih dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Perlindungan Hukum Saksi Korban Anak Dalam Tindak Pidana Persetubuhan disertai kekerasan dan paksaan (Tinjauan Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Boyolali nomor 14/Pid.Sus/2012/PN.Bi)”. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, maka penulisan skripsi ini tidak akan mendapatkan hasil sesuai yang diharapkan, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Dr.Angkasa, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas HukumUniversitas Jenderal Soedirman. 2. Handri Wirastuti Sawitri, S.H., M.H.,selaku Dosen Pembimbing Skripsi I , atas kesabaran dan kearifan beliau dalam membimbing serta memberikan dorongan atau motivasi kepada penulis. 3. Pranoto, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Skripsi II dan sekaligus selaku Kepala Bagian Hukum Tata Negara yang telah memberikan saran, bimbingan serta arahan kepada penulis selama proses penyelesaian penyusunan skripsi tersebut. 4. Dr. Hibnu Nugroho, S.H., M.H., selaku Dosen Penilai Skripsi, yang telah memberikan evaluasi dan saran-saran yang sangat konkret bagi penulis terkait dengan penyusunan skripsi tersebut. 5. Sarsiti S.H, M.Hum,selaku Pembimbing Akademik penulis,yang telah memberikan saran dan arahan kepada penulis selama masa perkuliahan. Terima kasih atas semua bantuannya. 6. Orang tua penulis (Bapak Sri Mulyarto dan Mama S.M Padmaningsih), serta adik-adik penulis (Wisnu T.H dan Anindya P.S) yang telah memberikan cinta, kasih sayangnya sebagai orang tua dan adik-adik terkasih, keluarga luar biasa, yang memberikan doa yang
iv
luar biasa dan suntikan-suntikan semangat, nilai-nilai hidup yang sangat berarti bagi penulis dalam mengarungi hidup ke depan. 7. Segenap civitas akademika Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. 8. Sahabat Penulis, Shinta Listya Dewi, Lia Amalia,Kiki Amalia, Kartika Aprilia, Anita Meriam, dan Achmad Andiyang selalu mau mendengarkan segala keluh kesah penulis. 9. Teman teman bagian Hukum Acara Pidana Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman 10. Semua pihak yang turut memberikan kontribusi bagi penulis selama ini, yang tidak dapat disebutkan satu persatu di sini. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, datangnya saran yang membangun bagi penulis adalah hal yang senantiasa dinantikan guna penyempurnaan dalam penulisan skripsi tersebut untuk menjadi lebih baik lagi. Namun demikian, harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Terima kasih.
Purwokerto,.....................................
Danang Arief Sasongko E1A008143
v
ABSTRAK Kasus persetubuhan yang menimpa anak-anak yang masih di bawah umur akhir-akhir ini sangat marak sekali terjadi. Pelakunya beraneka ragam mulai dari orang yang sudah dewasa hingga anak yang masih dibawah umur pula. Pelakunya juga bisa siapa saja,mulai dari orang yang dikenal hingga orang yang tidak dikenal sekalipun dapat menjadi pelaku pemerkosaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apa saja perlindungan hukum yang diperoleh saksi korban anak, yang dalam kasus ini menjadi korban tindak pidana persetubuhan yang dilakukan
dengan
kekerasaan
dan
paksaan
berdasarkan
putusan
Nomor
:
14/pid.sus/2012/PN.BI. Selain itu penelitian ini juga untuk mengetahui apa saja yang menjadi dasar pertimbangan hukum bagi Hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap perkara persetubuhan disertai kekerasan dan paksaan ini. Perlindungan hukum terhadap anak dapat diartikan sebagai upaya perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak, serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak. Bentuk perlindungan hukum terhadap anak korban tindak pidana diatur dalam pasal 64 ayat (3) Undang-Undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam menjatuhkan putusan pada perkara ini, Hakim berpedoman pada pasal 183 KUHAP yang berisikan batas minimum pembuktian. Artinya sebelum menjatuhkan putusan, Hakim harus memeriksa minimum 2 alat bukti dan Hakim memperoleh keyakinan bahwa si terdakwa bersalah. Selain itu dalam putusan ini Hakim juga mempertimbangkan ketentuan yang diatur dalam Undang Undang nomor 3 tahun 1997 tentang peradilan anak sebelum menjatuhkan putusan kepada terdakwa. Dari uraian tersebut diatas, menjadi dasar pertimbangan bagi penulis untuk menyusun skripsi terkait perlindungan hukum bagi anak yang menjadi korban tindak pidana dan untuk mengetahui apa saja yang menjadi dasar pertimbangan bagi Hakim dalam menjatuhkan putusan pada perkara ini. Kata Kunci : Perlindungan Hukum, Saksi Korban Anak, tindak pidana persetubuhan
vi
ABSTRACT ABSTRACT Cases of promiscuity that befell the children who are still minors lately very lively once occurred. The culprit is diverse ranging from people who've grown up children that are still under anyway. The culprit also could be anyone, from people who are well known to people who are not well known though can be perpetrators of rape. This research aims to find out what legal protection is obtained child victim witnesses, which in this case are victims of criminal acts of copulation is done with violence and coercion based on the verdict of the number: 14/pid. sus/2012/PN.BI. In addition the study also to know what the basis of the considerations of law for the judge in the case against ruling to drop promiscuity with violence and coercion. Legal protection of the child can be interpreted as an effort legal protection of various freedoms and rights of the child, as well as various interests related to child welfare. Form of legal protection of the child victims of criminal acts provided for in article 64, paragraph (3) of Act No. 23 of 2002 on child protection. In dropping the verdict on this matter, the judge based on article 183 KUHP containing the minimum threshold of proof. It means before dropping the verdict, the judge must examine the evidence and a minimum of 2 Judges gain confidence that the defendant is guilty. Furthermore, in this ruling the judge also considered the provisions set forth in Law No. 3 of 1997 concerning the judicial child before dropping the verdict to the defendant. From the description above, the basis of consideration for the writers to craft a thesis related to legal protection for children who are victims of criminal acts and to see what is the basis of consideration for judges in meting out the verdict on the matter. Keywords: the protection of law, witness the victim of a child,criminal act of coition
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................................................. i HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................................ ii SURAT PERNYATAAN ...................................................................................................... iii KATA PENGANTAR ..........................................................................................................iv ABSTRAK ............................................................................................................................ vii ABSTRACT .......................................................................................................................... viii DAFTAR ISI ........................................................................................................................... ix BAB I PENDAHULIAN A. Latar Belakang Masalah .......................................................................................... 1 B. Perumusan Masalah ................................................................................................. 7 C. Tujuan Penelitian ..................................................................................................... 7 D. Kegunaan Penelitian ................................................................................................ 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Acara Pidana ......................................................................................... 9 B. Asas Asas Hukum Acara Pidana ........................................................................... 15 C. Pembuktian 1. Pengertian Pembuktian…………….................................................................. 21 2. Alat Bukti Menurut KUHAP ………………………………………………… 23 3. Sistem Pembuktian …………………………………………………………… 27 D. Konsep Perlindungan Hukum Anak 1. Pengertian Perlindungan Hukum .......................................................................33 2. Dasar Hukum Perlindungan Anak …………………………………………… 37 viii
3. Bentuk Perlindungan Hukum Anak …………………………………………. 42 4. Penerapan Perlindungan Anak …………………………………………. …… 45 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan ........................................................................................... 48 B. Spesifikasi Penelitian ........................................................................................ 48 C. Jenis Data……... ............................................................................................... 49 D. Metode Penyajian Data………. ....................................................................... 49 E. Metode Pengumpulan Data ............................................................................... 49 F. Metode Analisis Data ........................................................................................ 50 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ................................................................................................. 51 B. Pembahasaan ..................................................................................................... 71 BAB V PENUTUP A. Simpulan ........................................................................................................... 91 B. Saran ................................................................................................................. 92 DAFTAR PUSTAKA
ix
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kasus persetubuhan yang menimpa anak-anak yang masih di bawah umur akhir-akhir ini sangat marak sekali terjadi.Pelakunya beraneka ragam mulai dari orang yang sudah dewasa hingga anak yang masih dibawah umur pula. Pelakunya juga bisa siapa saja,mulai dari orang yang dikenal hingga orang yang tidak dikenal sekalipun dapat menjadi pelaku pemerkosaan. Hal ini mencerminkan betapa parahnya kebrobrokan moral seseorang pelaku. Tindak Pidana kesopanan dalam hal persetubuhan tidak ada yang masuk jenis pelanggaran,semuanya masuk pada jenis kejahatan. Kejahatan yang dimaksudkan ini diatur dalam lima Pasal yakni: Pasal 284 KUHP tentang
perzinaan,Pasal
285
KUHP
tentang
perkosaan
dengan
bersetubuh,Pasal 286 KUHP tentang bersetubuh dengan perempuan yang bukan istrinya yang dalam keadaan pingsan,Pasal 287 KUHP tentang bersetubuh dengan perempuan yang belum berumur lima belas tahun yang bukan istrinya, dan Pasal 288 KUHP tentang bersetubuh dengan perempuan yang bukan istrinya yang menyebabkan kematian. Sementara itu kata perkosaan menurut Wirjono1, sebagai terjemahan dari kualifikasi aslinya yaitu verkrachting.oleh karena itu menurut beliau perkosaan adalah suatu perbuatan untuk bersetubuh. Pengertian perbuatan memaksa (dwingen) adalah perbuatan yang ditujukan pada orang lain dengan menekan kehendak orang lain yang 1
Adam Chazawi. 2005. Tindak Pidana Mengenai Kesopanan. Jakarta: Rajawali Pers. hlm. 65
1
bertentangan dengan kehendak orang lain itu agar orang lain tadi menerima kehendak orang yang menekan atau sama dengan kehendaknya sendiri. 2 Sementara kejahatan kesusilaan lainnya seperti yang dirumuskan masing Pasal 287 KUHP yaitu Bersetubuh dengan perempuan yang bukan istrinya yang umurnya belum lima belas tahun. Sementara iu kejahatan yang dimaksudkan dalam Pasal 287 KUHP dirumuskan sebagai berikut : (1) “Barang siapa bersetubuh dengan seorang perempuan diluar perkawinan , padahal diketahuinyaatau sepatutnya harus diduga bahwa umurnya belum lima belas tahu, atau kalau umurnya tidak jelas, bahwa ia belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun” (2) “Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan,kecuali jika umur permpuan itu belum sampai dua belas tahun atau jika ada salah satu hal berdasarkan Pasal 291 dan Pasal 294”. Dari rumusan Pasal 287 KUHP tersebut terdapat unsur-unsur sebagai berikut: Unsur-unsur Objektif : 1. Perbuatannya: Bersetubuh; 2. Objek: dengan perempuan diluar kawin; 3. Yang umurnya belum 15 tahun;atau jika umurnya tidak jelas belum waktunya dikawin; Unsur Subjektif : Diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa umurnya belum 15 tahun; Dari rumusan tersebut maka dapatlah dimengerti
penjelasan tentang
kejahatan kesusilaan dan apa saja bentuk dari kejahatan kesusilaan tersebut
2
Adam Chazawi ,ibid
2
yang diatur di dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) di Indonesia. Dalam kasus ini berlaku asas lex spesialis derogate legi generale, yaitu Undang Undang yang bersifat khusus mengesampingkan Undang Undang yang bersifat umum. Dalam hal ini berlaku Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang
No
23
tahun
2002
tentang
Perlindungan
Anak
mengesampingkan pasal 287 KUHP. Berikut rumusan pasal 81 ayat (1) Undang Undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak : (1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). (2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.Semua anak mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan.Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi3. Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
3Reza LubisPerlindungan Hukum Anak yang berhadapan dengan hukum
http://rezalubis.wordpress.com/2011/05/07/artikelperlindungan-hukum-abh/ diakses tanggal 8 januari 2013
3
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Dalam memberikan perlindungan kepada anak, diperlukan juga pengetahuan seputar perlindungan anak.Hal ini ditujukan agar dalam perlindungan anak tidak membuat anak kehilangan hak dan kewajiban dalam kehidupan sehari-hari.Berikut 9 pengetahuan yang dapat membantu dalam memberikan perlindungan anak. : 1. Setiap anak harus mempunyai kesempatan untuk tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Jika keluarga tidak mampu memelihara dan mengasuh anak, pihak pemangku kepentingan harus melakukan upaya untuk mengetahui penyebabnya dan menjaga keutuhan keluarga. 2. Setiap anak mempunyai hak untuk mempunyai nama dan kewarganegaraan. Pencatatan kelahiran (akte kelahiran) anak membantu kepastian hak anak untuk mendapat pendidikan, kesehatan serta layananlayanan hukum, sosial, ekonomi, hak waris, dan hak pilih. Pencatatan kelahiran adalah langkah pertama untuk memberikan perlindungan pada anak. 3. Anak perempuan dan anak laki-laki harus dilindungi dari segala bentuk kekerasan, diskriminasi dan eksploitasi. Termasuk ketelantaran fisik, seksual dan emosional, pelecehan dan perlakuan yang merugikan bagi anak seperti perkawinan anak usia dini dan pemotongan/perusakan alat kelamin pada anak perempuan. Keluarga, masyarakat dan pemerintah berkewajiban untuk melindungi mereka. 4. Anak-anak harus mendapat perlindungan dari semua pekerjaan yang membahayakan. Bila anak bekerja, dia tidak boleh sampai meninggalkan sekolah. Anak-anak tidak boleh dilibatkan dalam bentuk pekerjaan yang terburuk sepertiperbudakan, kerja paksa, produksi obat-obatan atau perdagangan anak. 5. Anak perempuan dan laki-laki berisiko mengalami pelecehan seksual dan eksploitasi di rumah, sekolah, tempat kerja atau masyarakat. Hukum harus ditegakkan untuk mencegah pelecehan seksual dan eksploitasi. Anak-anak yang mengalami pelecehan seksual dan eksploitasi perlu bantuan segera. 6. Anak-anak rentan terhadap perdagangan orang jika tidak ada perlindungan yang memadai. Pemerintah, swasta, masyarakat madani dan keluarga bertanggung jawab mencegah perdagangan anak sekaligus menolong anak yang menjadi korban untuk kembali ke keluarga dan masyarakat. 4
7. Tindakan hukum yang dikenakan pada anak harus sesuai dengan hak anak. Menahan atau memenjarakan anak seharusnya menjadi pilihan terakhir. Anak yang menjadi korban dan saksi tindakan kriminal harus mendapatkan prosedur yang ramah anak. 8. Dukungan dana dan pelayanan kesejahteraan sosial, dapat membantu keutuhan keluarga dan anak-anak yang tidak mampu untuk tetap bersekolah serta mendapatkan akses pelayanan kesehatan. 9. Semua anak mempunyai hak untuk mendapatkan informasi yang sesuai dengan usianya, didengarkan dan dilibatkan dalam pengambilan keputusan yang menyangkut diri mereka. Pemenuhan hak anak seharusnya memberi kesempatan pada anak untuk berperan aktif dalam perlindungan diri mereka sendiri dari pelecehan, kekerasan, dan eksploitasi sehingga mereka dapat menjadi warga masyarakat yang aktif.4 Dalam menjatuhkan putusan sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 183 KUHAP, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Penjelasan mengenai ketentuan yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, dan kepastian hukum bagi seseorang. Putusan perkara dengan Nomor 14/Pid.Sus/2012/PN.Bi dimana pelaku dalam kasus ini melakukan Ancaman Kekerasan dan Kekerasan Memaksa Anak melakukan persetubuhan, di dalam persidangan jaksa penuntut umum mengajukan beberapa orang saksi.Salah satu saksi yang diajukan di dalam persidangan ini adalah saksi korban. Sementara itu keterangan saksi menurut D.Simons5adalah Satu keterangan saksi yang berdiri sendiri tidak dapat membuktikan seluruh dakwaan, tetapi satu keterangan saksi dapat membuktikan 4
http://www.promkes.depkes.go.id/index.php/topik-kesehatan/62-apa-yang-perlu-kita-ketahuitentang-perlindungan-anak 5
Andi Hamzah, 1993,HukumAcara Pidana Indonesia,Jakarta,Sinar Grafika, hlm 269.
5
suatu keadaan tersendiri dan menjadi petunjuk suatu dasar pembuktian. Kesaksian di persidangan di dengarkan beberapa pengakuan dari para saksi dan saksi korban. Dari keterangan yang diberikan para saksi di persidangan, seluruh keterangan saksi tersebut dibenarkan oleh si terdakwa. Diantara saksi yang memberikan pernyataan di persidangan tedapat juga kesaksian dari saksi korban yang menyatakan telah dicabuli oleh si terdakwa sebanyak 2 (dua) kali, dimana pada saat pertama kali dicabuli, korban sudah tidak ingat lagi kapan perbuatan itu dilakukan tetapi saksi ingat tempat dilakukannya yaitu di kamar nenek. Sementara itu kejadian yang kedua terjadi pada hari Sabtu tanggal 12 Nopember 2011 pada jam sekiranya 12.00 WIB,yang pada saat itu saksi sedang berada di rumah sendirian karena orang tuanya sedang pergi, kemudian terdakwa datang kerumah mengajak main petak umpat. Setelah merasa lelah, saksi lalu tidur dikasur di depan tv lalu secara tiba-tiba terdakwa menurunkan celana saksi sampai selutut dan juga menurunkan celananya sampai ke lutut,setelah itu saksi terdakwa menindih badan saksi dan memasukan kemaluannya kedalam kemaluan saksi,danpada saat itu saksi tidak menangis karena dilarang oleh terdakwa agar tidak berteriak. Akibat dari perbuatan terdakwa,saksi korban mengalami trauma,setiap kali ditanya tentang masalah tersebut dan korban langsung menangis, dan berdasarkan hasil dari visum et repertum dapat diketahui bahwa terdakwa telah melakukan persetubuhan dengan korban sehingga terdapat luka pada kemaluan si korban. Atas pertimbangan tersebut, terdakwa telah melakukan kejahatan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Atas dasar tersebut hakim menyatakan bahwa terdakwa telah terbukti secara sah dan menyakinkan 6
melakukan tindak pidana “Melakukan ancaman kekerasan dan kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya” Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk meneliti dan menuangkan hasilnya dalam skripsi yang berjudul : PERLINDUNGAN DALAM
TINDAK
HUKUM
PIDANA
SAKSI
KORBAN
PERSETUBUHAN
ANAK
DISERTAI
KEKERASAN DAN PAKSAAN (Tinjauan Yuridis Putusan Nomor 14/Pid.Sus/2012/PN.Bi) B Rumusan Masalah 1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap saksi korban anak dalam tindak pidana persetubuhan dalam Putusan Perkara Nomor 14/Pid.Sus/2012/PN.Bi ? 2. Bagaimana pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap tindak pidana pencabulan dalam Putusan perkara Nomor 14/Pid.Sus/2012/PN.Bi ? C Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap saksi korban anak dalam
tindak
pidana
pencabulan
dalam
Putusan
perkara
Nomor
14/Pid.Sus/2012/PN.Bi 2. Untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan pidana dalam Putusan perkara Nomor 14/Pid.Sus/2012/PN.Bi D Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan teoritis 7
Hasil penelitian ini diharapkan akan dapat menambah wacana dan pengetahuan hukum dalam bidang acara pidana terutama dalam hal kekuatan pembuktian Alat bukti saksi korban. 2. Kegunaan praktis Hasil penelitian diharapkan dapat menambah pengetahuan kepada masyarakat mengenai pembuktian tindak pidana Persetubuhan khususnya dalam hal kekuatan pembuktian Keterangan Saksi korban
8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hukum Acara Pidana Perkembangan hukum acara pidana
sudah meliputi pembagian
hukum acara pidana formil dan hukum acara pidana materiil. Hukum pidana formil merupakan aturan hukum yang meliputi tata beracara perkara pidana , dan hukum acara pidana materiil merupakan segala aturan hukum tentang sistem beban, alat-alat, dan kekuatan pembuktian serta sarana ilmu pengetahuan. Di dalam perkembangan keilmuan ternyata hukum acara pidana tidak hanya sekedar menemukan kebenaran dan keadilan dalam hukum, akan tetapi kemampuannya harus sampai pada segala aspek yang terkandung dalam nilainilai kebenaran dan keadilan yang bersangkutan. Menurut pendapat Wirjono Prodjodikorotenatang hukum acara pidana sebagaimana dikutip dari buku Andi Hamzah6, hukum acara pidana berhubungan erat dengan adanya hukum pidana, maka dari itu merupakan suatu rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana badanbadan pemerintah yang berkuasa yaitu kepolisian, kejaksaan dan pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan Negara dengan mengadakan hukum pidana. Pengertian Hukum Acara Pidana menurut Van Bemmelen7yaitu : Kumpulan ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur bagaimana cara Negara, bila dihadapkan suatu kejadian yang menimbulkan syak wasangka telah terjadi suatu pelanggaran hukum pidana, dengan perantaraan alat-alatnya mencari kebenaran, menetapkan dimuka hakim suatu keputusan mengenai perbuatan yang didakwakan, bagaimana hakim harus memutuskan suatu hal yang telah terbukti, dan bagaimana keputusan itu harus dijalankan. 6
Andi Hamzah, 1988, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta, Sapta Artha Jaya, Hlm. 7. http://www.negarahukum.com/hukum/pengertian-hukum-acara-pidana.html diakses tanggal 4 januari 2012 7
9
Tujuan dari hukum acara pidana adalah mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum dan selanjutnya meminta memeriksa dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwakan itu dapat dipersalahkan. 8 Sementara menurut doktrin (pendapat para ahli hukum) bahwa tujuan hukum acara pidana adalah mencari dan menemukan kebenaran materil, memperoleh putusan hakim, dan melaksanakan putusan hakim. Van Bemmelen 9 mengemukakan tiga fungsi hukum acara pidana yaitu sebagai berikut : 1. Mencari dan menemukan kebenaran materil Tujuannya yaitu mencari dan menemukan kebenaran materil, artinya kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum secara jujur dan dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindakan pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan. 2. Pemeberian keputusan oleh hakim Tujuan hukum acara pidana ini dapat diartikan bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap. 8 Moch Faisal Salam, 2001, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, Bandung, Mandiri Maju, Hlm. 1.
9
Andi Hamzah, 2001,Hukum Acara Pidana Indonesia edisi revisi ,Jakarta,Sinar Grafika hlm 8 10
3. Pelaksanaan keputusan Dari ketiga fungsi tersebut, yang paling penting karena menjadi tumpuan kedua fungsi berikutnya,ialah “mencari kebenaran”. Setelah menemukan kebenaran yang diperoleh melalui alat bukti dan bahan bukti itulah, hakim akan sampai kepada putusan (yang seharusnya adil dan tepat), yang kemudian dilaksanakan oleh jaksa. B. Asas-Asas Hukum Acara Pidana Undang-Undang Hukum Acara Pidana disusun dengan didasarkan pada falsafah dan pandangan hidup bangsa dan dasar negara, dimana penghormatan atas hukum menjadi sandaran dalam upaya perlindungan terhadap setiap warga negaranya.Sejalan dengan perkembangan pandangan bangsa ini terhadap hak asasi manusia maka materi Pasal dan ayat harus mencerminkan adanya perlindungan, pemenuhan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Hal ini tergambar dari sejumlah hak asasi manusia yang terdapat dalam KUHAP yang pada dasarnya juga diatur dalam dua aturan perundang-undangan lainnya yaitu Undang Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Suatu hukum pastilah ada asas yang digunakan sebagai landasan berpijaknya dalam operasional pelaksanaannya, begitu pula hukum acara pidana.Untuk melaksanakan hukum acara pidana, ada beberapa asas-asas penting yang perlu diketahui. Menurut Mackay10 tentang Asas Pokok pidana adalah :
10
http://andruhk.blogspot.com/2012/07/asas-asas-hukum-pidana.html diakses tanggal 24 maret 2013
11
yang dapat dipidana hanya pertama, orang yang melanggar hukum, ini adalah syarat mutlak (Condotio sinequanon), kedua bahwa perbuatan itu melanggar hukum ancaman pidana yang berupa Ultimum remedium setiap orang yang berpikir sehat akan dapat mengerti hal tersebut tidak berarti bahwa ancaman pidana tidak diadakan dan harus menjaga jangan sampai terjadi obat yang diberikan terlalu jahat dari pada penyakit Adapun asas tersebut antara lain: 1. Cepat, Singkat, Biaya Ringan, Jujur, Bebas, Tidak Memihak. Asas ini menghendaki proses pemeriksaan tidak berbelit-belit dan untuk melindungi hak tersangka guna mendapat pemeriksaan dengan cepat agar segera didapat kepastian hukum. Asas ini diatur dalam Pasal 24 dan 50 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Berikut bunyi Pasal 24 KUHAP: (1) Perintah penahan yang diberikan oleh penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20,hanya berlaku paling lama dua puluh hari. (2) Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai,dapat diperpanjang oleh penuntut umum yang berwenang untuk paling lama empat puluh hari. (3) Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya tersangka dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi. (4) Setelah waktu enam puluh hari tersebut, penyidik harus sudah mengeluarkan tersangka dari tahanan demi hukum. Berikut bunyi Pasal 50 KUHAP : (1) Tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum. (2) Tersangka berhak perkaranya segera dimajukan ke pengadilan oleh penuntut umum. (3) Terdakwa berhak segera diadili oleh pengadilan. Pencantuman peradilan cepat (contante justitie) di dalam KUHAP cukup banyak diwujudkan dengan istilah “segera”.Asas Peradilan cepat, singkat, biaya ringan, jujur, bebas, tidak memihak ini yang dianut didalam 12
KUHAP sebenarnya merupakan penjabaran Undang-undang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Peradilan cepat ini merupakan bagian dari hak hak asasi manusia yang bertujuan untuk menghindari penahanan yang lama sebelum adanya keputusan Hakim. Begitu pula peradilan bebas,jujur dan tidak memihak yang ditonjolkan dalam Undang-undang. Sedangkan asas peradilan cepat menurut Yahya Harahap 11yaitu Asas ini dengan mengaitkan dengan ketentuan yang relevan dengan KUHAP terlihat dengan term “dengan segera’ Seperti segera mendapatkan pemeriksaan dari penyidik (Pasal 50 ayat 1). 2. Asas Praduga Tak Bersalah (Presumption of innocence) Bahwa setiap orang yang ditangkap, dituntut, ditahan dan atau dihadapkan di muka siding wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan bersalah dan memperoleh kekuatan hukum tetap. Adanya penahanan semata-mata untuk mempermudah proses pemeriksaan bukan untuk penghukuman (penahanan tidak sama dengan penghukuman. Asas ini disebut di dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan juga didalam penjelasan umum butir 3c KUHAP yang berbunyi sebagai berikut: “setiap orang yang disangka,ditangkap,ditahan,dituntut, dan atau dihadapkan di muka siding pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah
11
http://www.damang.web.id/2011/12/asas-asas-umum-kuhap.html diakses tanggal 2 April 2013
13
sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap”. Penerapan Asas praduga tidak bersalah menurut Yahya Harahap 12adalah Tersangka harus ditempatkan pada kedudukan manusia yang memiliki hakikat martabat.Dia harus dinilai sebagai subjek, bukan objek.Yang diperiksa bukan manusia tersangka.Perbuatan tindak pidana yang dilakukannyalah yang menjadi objek pemeriksaan.Ke arah kesalahan tindak pidana yang dilakukan pemeriksaan ditujukan.Tersangka harus dianggap tidak bersalah, sesuai dengan asas praduga tak bersalah sampai diperoleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan tetap.” 3. Asas Opportunitas. Dalam hukum acara pidana dikenal suatu badan yang khusus diberi wewenang untuk melakukan penuntutan pidana ke pengadilan yang disebut dengan penuntut umum.Di Indonesia penuntut umum disebut juga dengan Jaksa. Wewenang penuntutan dipegang oleh penuntut umum sebagai monopoli, artinya tiada badan lain yang boleh melakukan itu.ini disebut juga dengan dominus litis ditangan penuntut umum atau jaksa. Dominus berasal dari bahasa latin yang artinya pemilik. Hakim tidak dapat meminta supaya delik diajukan kepadanya.Jadi Hakim hanya menunggu saja penuntutan dari penuntut umum.13 Asas oportunitas adalah memberi wewenang pada penuntut umum untuk menuntut atau tidak menuntut seorang pelaku dengan alasan kepentingan umum. Asas ini diatur dalam Pasal 32 C Undang-Undang Nomer 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan. Berdasarkan asas opurtunitas ini pula penuntut umum tidak wajib menuntut seseorang yang melakukan delik jika menurut pertimbangannya
12
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl2663/tentang-asas-praduga-tak-bersalah diakses tanggal 2 April 2013 13
Andi Hamzah Op cit hlm 13
14
akan merugikan kepentingan umum. Jadi, demi kepentingan umum, seseorang yang melakukan delik tidak dituntut.14 4. Asas Pemeriksaan Pengadilan Terbuka Untuk Umum. Sidang pemeriksaan perkara pidana harus terbuka untuk umum, kecuali diatur oleh Undang Undang dalam perkara tertentu seperti perkara kesusilaan, sidang tertutup untuk umum tetapi pembacaan putusan pengadilan dilakukan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Asas ini diatur dalam Pasal 64 Undang-Undang nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Pasal 64 Undang-Undang nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana berisi : “Terdakwa berhak untuk diadili di sidang pengadilan yang terbuka untuk umum”. Jadi, pada saat membuka membuka persidangan pemeriksaan perkara seseorang terdakwa, haim ketua harus menyatakan “terbuka untuk umum”. Pelanggaran atas ketentuan hukum ini atau tidak dipenuhinya ketentuan ini mengakibatkan putusan pengadilan “batal demi hukum” .15 Tentunya terhadap ketentuan ini ada pengecualiannya sepanjang mengenai perkara yang menyangkut “kesusilaan” atau yang duduk sebagai terdakwa terdiri dari “anak-anak”.Dalam hal ini persidangan dapat dilakukan dengan pintu tertutup. 5. Peradilan Dilakukan oleh Hakim Karena Jabatannya dan Tetap. Yaitu bahwa pengambilan keputusan salah tidaknya terdakwa dilakukan oleh hakim karena jabatannya dan bersifat tetap.Untuk jabatan ini
14
Ibid hlm 14
15
Yahya Harahap, 2009. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali), Jakarta : Sinar Grafika hlm 56
15
diangkat hakim-hakim yang tetap oleh kepala Negara. Asas ini diatur dalam Pasal 31 Undang-Undang
Nomer 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman dan Pasal 1 Angka 8 Undang-Undang nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 1 Angka 8 Undang-Undang nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana berisi : “Hakim adalah pejabat peradilan Negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili” Pasal 31 Undang Undang Nomer 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman : “Hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang”. Dalam sistem lain yaitu sistem juri, yang menentukan salah tidaknya terdakwa ialah suatu dewan yang mewakili golongan-golongan dalam masyarakat. Pada umumnya mereka adalah awam tentang ilmu hukum.
6. Tersangka/Terdakwa Berhak mendapat Bantuan Hukum Yaitu adanya bantuan hukum yang diberikan bagi tersangka/terdakwa. Dalam Pasal54Undang Undang nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
diatur tentang bantuan hukum terhadap tersangka atau terdakwa,
dimana tersangka/terdakwa berhak mendapatkan bantuan hukum dari seseorang atau lebih penasihat hukum. Oleh karena itu tersangka atau terdakwa mendapat kebebasan yang sangat luas. Kebebasan itu antara lain sebagai berikut :
16
1. 2. 3. 4.
5. 6.
Bantuan hukum dapat diberikan sejak saat tersangka ditangkap atau ditahan. Bantuan hukum dapat diberikan pada semua tingkat pemeriksaan. Penasihat hukum dapat menghubungi tersangka atau terdakwa pada semua tingkat pemeriksaan pada setiap waktu. Pembicaraan antara penasehat hukum dan tersangka tidak didengar oleh penyidik dan penuntut umum kecuali pada delik yang menyangkut keamanan negara. Turunan berita acara diberikan kepada tersangka atau penasihat hukum guna kepentingan pembelaan. Penasihat hukum berhak mengirim dan menerima surat dari tersangka atau terdakwa. Pembatasan hanya dikenakan jika penasehat hukum
menyalahgunakan hak-hak tersebut.Tidak hanya di dalam KUHAP, prinsip ini merupakan prinsip umum yang diatur dalam konvensi internasional tentang hak sipil dan politik. Dengan adanya ketentuan Pasal 69 hingga Pasal 74 Undang Undang nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ini, maka azas penentuan hukum bagi terdakwa jelas merupakan azas tersurat. Wajib diberikan bantuan hukum secara Cuma-Cuma untuk terdakwa dengan ancaman pidana mati/ pidana penjara 15 tahun/ bagi yang tidak mampu dengan ancaman pidana penjara diatas 5 tahun. Berikut isi Pasal 69 KUHAP : Penasehat hukum berhak menghubungi tersangka sejak saat ditangkap atau ditahan pada semua tingkat pemeriksaan menurut tatacara yang ditentukan dalam Undang-Undang ini Pengertian bantuan hukum menurut Adnan Buyung Nasution, 16 Pengertian bantuan hukum disini dimaksudkan adalah khusus bantuan hukum bagi golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah atau dalam bahasa populer simiskin, ukuran kemiskinan sampai saat ini masih tetap merupakan masalah yang sulit dipecahkan, bukan saja 16
http://komhum.blogspot.com/2012/02/pendahuluan-selama-ini-yang-terjadi.html diakses tanggal 2 April 2013
17
bagi negara-negara berkembang bahkan negara-negara yang sudah majupun masih tetap menjadi masalah. 7. Pemeriksaan Hakim Yang langsung dan lisan Yaitu peradilan dilakukan oleh hakim secara langsung dan lisan (tidak menggunakan tulisan seperti dalam hukum acara perdata artinya langsung kepada terdakwa dan para saksi.Pemeriksaan hakim juga dilakukan secara lisan, artinya bukan tertulis antara hakim dan terdakwa.Ketentuan mengenai hal di atas dapat diambil dari penjabaran Pasal-Pasal 154, 155 KUHAP, dan seterusnya. Berikut ini isi dari Pasal 154 KUHAP: (1) Hakim ketua sidang memerintahkan supaya terdakwa dipanggil masuk dan jika ia dalam tahanan, ia dihadapkan dalam keadaan bebas. (2) Jika dalam pemeriksaan perkara terdakwa yang tidak ditahan tidak hadir pada hari sidang yang telah ditetapkan, hakim ketua sidang meneliti apakah terdakwa sudah dipanggil secara sah. (3) Jika terdakwa dipanggil secara tidak sah, hakim ketua sidang rnenunda persidangan dan memerintahkan supaya terdakwa dipanggil lagi untuk hadir pada hari sidang berikutnya. (4) Jika terdakwa ternyata telah dipanggil secara sah tetapi tidak datang di sidang tanpa alasan yang sah, pemeriksaan perkara tersebut tidak dapat dilangsungkan dan hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa dipanggil sekali lagi. (5) Jika dalam suatu perkara ada lebih dari seorang terdakwa dan tidak semua terdakwa hadir pada hari sidang, pemeriksaan terhadap terdakwa yang hadir dapat dilangsungkan. (6) Hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa yang tidak hadir tanpa alasan yang sah setelah dipanggil secara sah untuk kedua kalinya, dihadirkan dengan paksa pada sidang pertama berikutnya. (7) Panitera mencatat laporan dari penuntut umum tentang pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (6) dan menyampaikannya kepada hakim ketua sidang. Berikut ini isi Pasal 155 KUHAP: (1) Pada permulaan sidang. hakim ketua sidang menanyakan kepada terdakwa tentang nama Iengkap. tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaannya sertta mengingatkan terdakwa supaya memperhatikan segala sesuatu yang didengar dan dilihatnya di sidang. 18
(2)a.Sesudah itu hakim ketua sidang minta kepada penuntut umum untuk membacakan surat dakwaan b.Selanjutnya hakim ketua sidang menanyakan kepada terdakwa apakah ia sudah benar-benar mengerti, apabila terdakwa ternyata tidak mengerti, penuntut umum atas permintaan hakim ketua sidang wajib memberi penjelasan yang diperlukan. Yang dipandang pengecualian dari asas ini ialah kemungkinan putusan dijatuhkan tanpa hadirnya terdakwa.Yaitu pada putusan verstek atau in absentia.Tetapi, ini hanya merupakan pengecualian, yaitu dalam acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan. Menurut Andi Hamzah17 Pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan oleh hakim secara langsung artinya kepada terdakwa dan para saksi. Pemeriksaan hakim juga dilaksanakan secara lisan artinya bukan tertulis antara hakim dan terdakwa 8. Asas Akusator dan Inkisitor (Accusatoir dan Inquisitoir) Kebebasan memberi dan mendapatkan bantuan atau nasihat hukum menunjukkan bahwa KUHAP telah dianut asas akusator itu.Ini berarti perbedaan antara pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan sidang pengadilan pada asasnya telah dihilangkan. Asas accusatoir menunjukkan bahwa seorang tersangka/tersangka yang diperiksa bukan menjadi obyek tetapi sebagai subyek.Asas ini memperlihatkan pemeriksaan dilakukan secara terbuka untuk umum.Dimana setiap orang dapat menghadirinya.
17
http://id.netlog.com/T3BING/blog diakses tanggal 2 April 2013
19
Asas Inquisitoir adalah asas yang menjelaskan bahwa setiap pemeriksan yang dilakukan harus dengan cara rahasia dan tertutup. Asas ini menempatkan tersangka sebagai obyek pemeriksaan tanpa memperoleh hak sama sekali. seperti bantuan hukum dan ketemu dengan keluarganya. Asas ini sendiri diatur dalam Pasal 164 KUHAP,yang berisi: (1) Setiap kali seorang saksi selesai memberikan keterangan, hakim ketua sidang menanyakan kepada terdakwa bagaimana pendapatnya tentang keterangan tersebut. (2) Penuntut umum atau penasihat hukum dengan perantaraan hakim ketua sidang diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan kepada saksi dan terdakwa. (3) Hakim ketua dapat menolak pernyataan yang diajukan oleh penuntut umum atau penasehat hukum kepada saksi atau terdakwa dengan memberikan alasannya Menurut Andi Hamzah18 Asas Inquisitoir berarti tersangka dipandang sebagai objek pemeriksaan yang masih dianut oleh HIR (Her Herzine Indonesich Reglement) untuk pemeriksaan pendahuluan 9. Semua orang diperlakukan sama di depan Hukum Asas yang umum dianut di Negara-negara yang berdasarkan hukum ini tegas tercantum pula dalam Undang –Undang Pokok Kehakiman Pasal 5 ayat (1) dan KUHAP dalam penjelasan umum butir 3a. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Pokok Kehakiman ini berbunyi : “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak mebedakanbedakan orang” Asas semua orang diperlakukan sama didepan hakim digunakan dalam moto Prasaja (Persatuan Jaksa), yang sering dipakai dalam bahasa sansekerta “tan hama dharma manna”. 19 18
Ibid id.netlog.com
19
Ibidid.netlog.com
20
10. Asas Legalitas Asas ini tercantum didalam Pasal 1 ayat 1 KUHP dirumuskan didalam bahasa latin: ”Nullum Delictum nulla poena sine legipoenali” yang artinya. Tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa ketentua pidana yang mendahuluinya. Ada kesimpulan dari rumus tersebut: 1) Jika sesuatu perbuatan yang dilarang atau pengabaian sesuatu yang diharuskan dan diancam dengan pidana, maka perbuatan atau pengabdian tersebut harusdtercantum didalam undang-undang. 2)Ketentuan tersebut tidak boleh berlaku surut, dengan satu kekecualian yang tercantum didalam Pasal 1ayat 2 KUHP. Munurut Andi Hamzah20 Adanya asas Legalitas di dalam KUHP Indonesia merupakan dilemma, karena memang dilihat dari segi yang satu seperti digambarkan oleh Utrecht tentang hukum adat yang masih hidup, dan menurut pendapat Andi Hamzah tidak mungkin dikodifikasikan seluruhnya karena perbedaan antara adat pelbagai suku bangsa, tetapi dilihat dari sudut yang lain, yaitu kepastian hukum dan perlindungan terhadap hak asasi manusia dari perlakuan yang tidak wajar dan tidak adil dari penguasa dan hakim sehingga diperlukan adanya asas itu. Lagipula sebagai negara berkembang yang pengalaman dan pengetahuan para hakim masih sering dipandang kurang sempurna sehingga sangat berbahaya jika asas itu ditinggalkan.” C. Pembuktian 1. Pengertian Pembuktian Pembuktian merupakan suatu rangkaian dari proses pemeriksaan di depan persidangan. Dalam hal ini hakim diharapkan betul-betul cermat, teliti dan matang menilai serta mempertimbangkan seluruh bukti-bukti yang diajukan di depan persidangan, karena dengan pembuktian inilah ditentukan apakah terdakwa benar-benar terbukti melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya dan selanjutnya dibebaskan dari hukuman. 20
http://gagasanhukum.wordpress.com/2010/07/26/asas-legalitas-dalam-perspektifhukum-pidana-dan-kajian-perbandingan-hukum-bagian-iii/ diakses tanggal 2 April 2013
21
Di dalam hukum acara pidana pembuktian merupakan titik sentral di dalam pemeriksaan perkara di pengadilan. Hal ini karena melalui tahapan pembuktian inilah terjadi suatu proses, cara, perbuatan membuktikan untuk menunjukkan benar atau salahnya si terdakwa terhadap suatu perkara pidana di dalam sidang pengadilan.Tahap pembuktian dalam persidangan merupakan jantungnya sebuah proses peradilan guna menemukan kebenaran materiil, sebagai tujuan adanya hukum acara pidana.21 Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan,proses pembuktian tersebut akan menentukan nasib terdakwa. Pada dasarnya KUHAP tidak memberikan penjelasan mengenai pengertian pembuktian, KUHAP hanya memuat jenisjenis alat bukti yang sah menurut hukum, yang tertuang dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Walaupun KUHAP tidak memberikan pengertian mengenai pembuktian, akan tetapi banyak ahli hukum yang berusaha menjelaskan tentang arti dari pembuktian. Seperti yang dijelaskan oleh Yahya Harahap 22. Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alatalat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh di pergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan. Menurut R.Supomo23 pembuktian mempunyai arti sebagai berikut: “Pembuktian mempunyai dua arti, yaitu arti yang luas dan arti yang terbatas. Arti yang luas ialah membenarkan hubungan hukum, misalnya apabila hakim mengabulkan tuntutan penggugat. Pengabulan ini mengandung arti, hakim menarik kesimpulan bahwa apa yang 21
Hibnu Nugroho, Bunga Rampai Penegakan Hukum Di Indonesia, Badan Penerbit Universitas Diponogoro, 2011, Semarang, hlm 27. 22 Yahya Harahap op cit , hlm. 253. 23 Ray PratamaBeberapa Pengertian dan Dasar Hukum Pembuktian http://raypratama.blogspot.com/2012/02/beberapa-pengertian-dan-dasar-hukum.html diakses pada tanggal 6 Januari 2013
22
dikemukakan oleh penggugat sebagai hubungan hukum ntara penggugat dan tergugat adalah benar. Untuk itu, pembuktian dalam arti yang luas berarti memperkuat kesimpulan hakim dengan syaratsyarat bukti yang sah. Dalam arti terbatas, pembuktian hanya diperlukan apabila apa yang dikemukakan oleh penggugat itu dibantah oleh tergugat. Apa yang tidak dibantah, tidak perlu dibuktikan”. Sementara itu menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pembuktian yaitu proses,cara, pebuatan membuktikan yang bertujuan untuk menunjukan benar atau salahnya si terdakwa didalam siding pengadilan. Pembuktian adalah kegiatan membuktikan, dimana membuktikan berarti memperlihatkan bukti-bukti yang ada, melakukan sesuatu sebagai kebenaran, melaksanakkan, menandakan, menyaksikan dan meyakinkan. Pembuktian bertujuan untuk mendapatkan kebenaran suatu peristiwa atau hak yang diajukan kepada hakim.Para ahli hukum membedakan tentang kebenaran yang dicari dalam hukum perdata dan hukum pidana.Dalam hukum perdata, kebenaran yang dicari oleh hakim adalah kebenaran formil, sedangkan dalam hukum pidana, kebenaran yang dicari oleh hakim adalah kebenaran materiil. Pembuktian ini menjadi penting apabila suatu perkara tindak pidana telah memasuki tahap penuntutan di depan sidang pengadilan. Tujuan adanya pembuktian ini adalah untuk membuktikan apakah terdakwa benar bersalah atas tindak pidana yang didakwakan kepadanya. 2. Alat Bukti Menurut KUHAP Pembuktian dalam perkara pidana, bertujuan mencari kebenaran material, yaitu kebenaran sejati atau yang sesungguhnya. Hakimnya bersifat aktif. Hakim berkewajiban untuk mendapatkan bukti yang cukup untuk membuktikan tuduhan kepada tertuduh.
Alat buktinya bisa berupa
keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa. 23
Dasar hukum tentang pembuktian dalam hukumacara pidana mengacu pada Pasal 183-189 KUHAP(Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana ). Menurut Pasal 184 KUHAP, alat bukti dalamperkara pidana bisa berupa keterangan saksi,keterangan ahli, surat, petunjuk dan keteranganterdakwa. Hal-hal yang sudah diketahui umum,tidak perlu dibuktikan lagi. Adapun alat-alat bukti yang sah menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP, adalah sebagai berikut: a. Keterangan Saksi b. Keterangan Ahli c. Surat d. Petunjuk e. Keterangan Terdakwa Berikut ini penjelasan dari Pasal 184 Undang-Undang nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana : 1. Keterangan saksi
Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Menurut Yahya Harahap24mengemukakan bahwa “hampir semua pembuktian perkara pidana selalu bersandar kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya disamping pembuktian dengan alat bukti yang lain masih selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi. Masalah keterangan saksi sebagaimana di uraikan dalam Pasal 185 KUHAP menegaskan: 1) Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan didepan sidang pengadilan. 24
http://www.negarahukum.com/hukum/keterangan-saksi.html diakses tanggal 24 maret 2013
24
2) Keterangan seorang saksi saja tidak cukup membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya. 3) Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila tidak disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya. 4) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah, apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu. 5) Baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja bukan merupakan keterangan saksi. 6) Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan: 1. Persesuaian antara keterangan saksi 1 dengan yang lain. 2. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain. 3. Alasan yang mungkin yang dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu. 4. Cara hidup dan kesusilaan saksi dan segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya. 7) Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai dengan yang lain tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah, dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain. Menurut D.Sions 25 bahwa keterangan saksi yang berdiri sendiri tidak dapat membuktikan seluruh dakwaan, tetapi suatu keterangan saksi dapat membuktikan suatu kejadian tersendiri 2. Keterangan ahli Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Dasar hukum keterangan ahli sendiri diatur dalam Pasal 186 UndangUndang nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Pengertian keterangan ahli sebagai alat bukti menurut Andi Hamzah26
25
IbidNegarahukum.com
26
http://raypratama.blogspot.com/2012/02/jenis-jenis-alat-bukti-menurut-kuhap.html diakses tanggal 3 April 2013
25
Yang dimaksud dengan keahlian ialah ilmu pengetahuan yang telah dipelajari (dimiliki) seseorang. Pengertian ilmu pengetahuan diperluas pengertianya oleh HIR yang meliputi Kriminalistik, sehingga van Bemmelen mengatakan bahwa ilmu tulisan, ilmu senjata, ilmu pengetahuan tentang sidik jari dan sebagainya termasuk dalam pengertian ilmu pengetahuan. 3. Surat
Surat sebagaimana tersebut dalam Pasal 184 ayat (1) huruf c KUHAP, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah : 1. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu; 2. surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundangundangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenal hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan; 3. surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dan padanya; 4. surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain. Pengertian Surat menurut I. Rubini dan Chaidir Ali27 bukti surat adalah suatu benda (bisa berupa kertas, kaya, daun lontar dan sejenisnya) yang memuat tanda-tanda baca yang dapat dimengerti dan menyatakan isi pikiran (diwujudkan dalam suatu surat). Dasar hukum alat bukti surat yaitu Pasal 187 Undang-Undang nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana 4. Petunjuk Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Menurut Andi Hamzah28
27
Ibid ray pratama
26
Pengamatan hakim disebut oleh Belanda eigen waarneming van de rechter, bahasa Inggrisnya judicial notice," kata Andi. Tidak ada KUHAP di dunia ini yang menyebut petunjuk (aanwijzing dalam Bahasa Belanda, indication dalam Bahasa Inggris) sebagai alat bukti kecuali Strafvordering Belanda tahun 1838, Inlandsch Regelement, HIR dan KUHAP 1981, karena meniru HIR. Dasar hukum alat bukti Petunjuk yaitu Pasal 188 Undang-Undang nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana 5. Keterangan terdakwa
Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang dilakukan atau yang ia ketahui sendiri atau ia alami sendiri. Menurut Andi Hamzah29 keterangan terdakwa” sebagai alat bukti dalam Pasal 184 butir c. KUHAP juga tidak menjelaskan apa perbedaan antara keterangan terdakwa sebagai alat bukti dan pengakuan terdakwa sebagai alat bukti.Keterangan terdakwa sebagai alat bukti tidak perlu sama atau terbentur pengakuan. Semua keterangan terdakwa hendaknya didengar, apakah itu berupa penyangkalan, pengakuan ataupun pengakuan sebagaian dari perbuatan atau keadaan. Dasar hukum Keterangan terdakwa yaitu Pasal 189 Undang-Undang nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana 3. Sistem Pembuktian Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan,merupakan bagian terpenting dari acara pidana. Dalam hal ini pun hak asasi manusia dari terdakwa dipertaruhkan.Untuk inilah maka
28
http://nasional.kompas.com/read/2013/03/20/19522011/HatiHati.Pengamatan.Hakim.Bisa.Jadi.Alat.Bukti diakses tanggal 3 April 2013 29
Op cit, Ray Pratama
27
hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiil, berbeda dengan hukum acara perdata yang cukup puas dengan kebenaran formal. Dalam ilmu hukum acara pidana, dikenal beberapa sistem pembuktian, yang bertujuan untuk mengetahai bagaimana cara meletakan hasil pembuktian terhadap perkara yang sedang diperiksa. Hasil dan kekuatan pembuktian yang bagaimana yang dapat dianggap cukup memadai pembuktian kesalahan terdakwa. Macam-macam sistem pembuktian di dalam ilmu hukum acara pidana yaitu; a. Sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif, yaitu sistem pembuktian yang berpedoman pada alat-alat bukti yang secara
limitatif
membuktikan
telah
salah
ditentukan
atau
tidaknya
undang-undang. terdakwa
Untuk
semata-mata
digantungkan pada alat-alat bukti yang sah. b. Sistem pembuktian convection-intime, yaitu sistem pembuktian yang menentukan salah tidaknya seorang terdakwa semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim. c. Sistem pembuktian convection-raisonce, yaitu bahwa dalam sistem ini keyakinan hakim tetap memegang peranan yang penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi dalam sistem ini, faktor keyakinan hakim dibatasi. Yaitu keyakinan hakim harus dibatasi dengan alasan-alasan yang jelas. d. Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif, ialah merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian convection intime.30 A. Sistem atau teori Pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara Positif (Postifief Wettelijk Bewijstheorie) 30
Andi Hamzah, Op cit hlm 250
28
Dalam menilai kekuatan pembuktian alat-alat bukti yang ada,dikenal beberapa system atau teori pembuktian. Pembuktian yang berdasarkan melulu kepada alat-alat pembuktian yang disebut Undang-Undang , disebut dengan system atau teori pembuktian berdasar Undang-undang secara positif (positief wettelijk bewijstheorie). Dikatakan secara positif, karena hanya didasarkan kepada Undang-Undang melulu.Artinya jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut oleh undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. System ini disebut juga teori pembuktian formal (formele bewijstheorie) Menurut D.Simons31, sistem atau teori pembuktian berdasar undang-undang secara positif ini berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut peraturan-peraturan pembuktian yang keras. Dianut di Eropa pada waktu berlakunya asas inkisitor (inquisitoir) dalam acara pidana. Teori pembuktian ini sekarang tidak mendapat penganut lagi.Teori ini terlalu banyak mengandalkan kekuatan pembuktian yang disebut undangundang. Teori pembuktian ini juga ditolak oleh Wirjono Prodjodikoro 32untuk dianut di Indonesia, karena katanya bagaimana hakim dapat menetapkan kebenaran selain dengan cara menyatakan kepada keyakinannya tentang hal kebenaran itu,lagi pula keyakinan seorang hakim yang jujur dan berpengalaman mungkin sekali adalah sesuai dengan keyakinan masyarakat. B. Sistem atau teori Pembuktian Berdasarkan Hakim Melulu (Sistem pembuktian convection-intime) Sistem pembuktian menurut keyakinan hakim melulu (conviction intime).Pada sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim melulu, hakim 31
Ibid hlml 247
32
Ibid hlm 247
29
dapat menjatuhkan putusan berdasarkan keyakinan belaka dengan tidak terikat oleh suatu peraturan.Melalui sistem “Conviction Intime”, kesalahan terdakwa bergantung kepada keyakinan belaka sehingga hakim tidak terikat pada suatu peraturan.Dengan demikian, putusan hakim dapat terasa nuansa subjektifnya. Disadari bahwa alat bukti berupa pengakuan terdakwa sendiri pun tidak selalu membuktikan kebenaran.Pengakuan pun kadang-kadang tidak menjamin
terdakwa
benar-benar
melakukan
perbuatan
yang
didakwakan.Oleh karena itu, diperlukan bagaimanapun juga keyakinan hakim sendiri.Bertolak pangkal pada pemikiran itulah, maka teori berdasarkan keyakinan hakim melulu yang didasarkan kepada keyakian hati nuraninya sendiri ditetapkan bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan.Sistem ini memberi kebebasan hakim yang terlalu besar, sehingga sulit diawasi.Di samping itu, terdakwa atau penasihat hukumnya sulit untuk melakukan pembelaan. Dalam hal ini hakim dapat memidana terdakwa berdasarkan keyakinannya bahwa ia telah melakukan apa yang didakwakan. Wirjono Prodjodikoro mengatakan33, pembuktian demikian pernah dianut di Indonesia, yaitu pada pengadilan distrik dan pengadilan kabupaten. Sistem ini memungkinkan hakim menyebut apa saja yang menjadi dasar keyakinannya, misal keterangan medium atau dukun. Pelaksanaan pembuktian seperti pemeriksaan dan pengambilan sumpah saksi, pembacaan berkas perkara terdapat pada semua perundang33
Mohammad Taufik Makaro dan Suharsil, 2002, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, Jakarta,Ghalia Indonesia, hlm 104.
30
undangan acara pidana, termasuk sistem keyakinan hakim melulu (conviction intime) C. Sistem atau teori berdasar keyakinan Hakim atas alasan yang logis (Laconviction Raisonnee) Sistem pembuktian convection-raisonce, menurut teori ini, hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasarkan keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Keyakinan hakim tetap memegang peranan penting untuk menentukan kesalahan terdakwa, tetapi penerapan keyakinan hakim tersebut dilakukan dengan selektif dalam arti keyakinan hakim dibatasi dengan harus didukung oleh alasan-alasan jelas dan rasional dalam mengambil keputusan. Sistem atau teori pembuktian ini
disebut juga
pembuktian bebas karena hakim bebas menyebut alasan-alasan keyakinannya (vrije bewijstheorie).34 Sistem atau teori pembuktian jalan tengah atau yang berdasar keyakinan hakim sampai batas waktu tertentu ini terpecah kedua jurusan. Yang pertama yang disebut diatas yaitu pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alas an yang logis dan yang kedua ialah teori pembuktian berdasarkan undang undang secara negative. Persamaan antara keduanya adalah sama berdasarkan atas keyakinan hakim, artinya terdakwa tidak mungkin dipidana tanpa adanya keyakinan hakim bahwa ia bersalah. 34
Andi Hamzah Op Cit hlm 249
31
Perbedaannya adalah bahwa yang tersebut pertama berpangkal tolak pada keyakinan hakim, tetapi keyakinan hakim itu harus berdasarkan kepada suatu kesimpulan (conclusive) yang logis, yang tidak didasarkan kepada Undang-undang, tetapi ketentuan-ketentuan menurut ilmu pengetahuan hakim sendiri, menurut pilihannya sendiri tentang pelaksanaan pembuktian yang mana yang akan dia pergunakan. Sedangkan yang kedua berpangkal tolak pada aturan aturan pembuktian yang ditetapkan secara limitative oleh undang-undang, tetapi harus diikuti dengan keyakinan hakim. D. Teori
pembuktian
berdasarkan
Undang-undang
secara
negative (Negatief Wet-Telijk) Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif, menurut teori ini hakim hanya boleh menjatuhkan pidana terhadap terdakwa apabila alat bukti tersebut secara limitatif ditentukan oleh undang-undang dan didukung pula oleh adanya keyakinan hakim terhadap eksistensinya alat-alat bukti tersebut.Sistem pembuktian ini menekankan kepada sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah kemudian keyakinan hakim. Sistem ini tercantum dalam Pasal 183 KUHAP . Berikut ini isi dari Pasal 183 KUHAP: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya” Dari ketentuan Pasal 183 KUHAP itu juga dapat diketahui, bahwa sama halnya dengan sistem pembuktian yang dianut oleh HIR dahulu,
32
KUHAP pun menganut apa yang disebut negatief-wettelijke stelsel atau sistem pembuktian menurut undang-undang bersifat negative35 Dalam sistem pembuktian atau teori pembuktian berdasarkan undangundang secara negative ini,pemidanaan didasarkan kepada pembuktian berganda (dubbel en grondslag) menurut D. simons 36yaitu Pada peraturan undang-undang dan pada keyakinan hakim , dan menurut undang-undang, dasar keyakinan hakim itu bersumberkan pada peraturan undang-undang. Hal tersebut ini sesuai dengan Pasal 183 Undang Undang nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tersebut, yang mengatakan bahwa dari dua alat bukti sah itu diperoleh keyakinan hakim. Pada penjelasan Pasal 183 Undang Undang nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana mengatakan bahwa ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran,keadilan, dan kepastian hukum bagi seseorang. D. Konsep Perlindungan Hukum Anak 1. Pengertian Perlindungan hukum Manusia dilahirkan ke muka bumi dengan membawa hak-hak dasar yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa atau lazim disebut dengan hak asasi manusia.Hak asasi manusia diberikan kepada setiap individu di dunia tanpa memandang suku, ras, warna kulit, asal usul, golongan, dan perbedaan perbedaan lainnya. Hak ini tidak akan pernah lepas dan selalu melekat seumur hidup.
35
Yahya Harahap Op cit hlm 259
36
Andi Hamzah Op cit hlm 252
33
Demikian pentingnya hak asasi manusia bagi setiap individu sehingga eksistensinya harus senantiasa diakui, dihargai, dan dilindungi, diantaranya melalui berbagai produk perundang-undangan.Adanya pengakuan terhadap eksistensi hak asasi manusia tentu membawa konsekuensi pada perlunya diupayakan perlindungan terhadap hak hak tersebut dari kemungkinan munculnya tindakan-tindakan yang dapat merugikan manusia itu sendiri, baik dilakukan oleh manusia lainnya maupun oleh pemerintah. Atas dasar pemikiran tersebutlah dapat diketahui bahwa has asasi manusia merupakan pemberian/anugerah Tuhan Yang Maha Esa, maka tidak seorang pun atau lembaga apa pun, yang dapat mencabut/mengurangi has asasi seseorang kecuali ada alasan yang dapat dibenarkan. Pengertian perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan terhadap subyek hukum dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Dengan kata lain perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum., yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian.37 Dasar filosofis dibalik pentingnya korban kejahatan (keluarganya) meperoleh perlindungan adalah dalam konteks perlindungan terhadap korban kejahatan, adanya upaya preventif maupun represif yang dilakukan, baik oleh masyarakat maupun pemerintah (melalui aparat penegak hukumnya), seperti pemberian perlindungan/pengawasan dari berbagai ancaman yang dapat membahayakan nyawa korban, pemberian bantuan medis, maupun bantuan hukum secara memadai, proses pemeriksaan dan peradilan yang fair terhadap pelaku kejahatan, padas dasarnya merupakan salah satu dari perwujudan perlindungan hak asasi manusia serta instrument penyeimbang. 38
37
http://blog.bestlagu.com/arti-perlindungan-hukum diakses tanggal 7 januari 2013 Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris GUltom, 2006, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, Jakarta, RajaGrafindo, hlm 161 38
34
Pentingnya
korban
memperoleh
pemulihan
sebagai
upaya
menyeimbangkan kondisi korban yang mengalami gangguan, dengan tepat dikemukan oleh Muladi 39tentang perlindungan korban kejahatan yaitu : 1. Masyarakat dianggap sebagai suatu wujud sistem kepercayaan yang melembaga (system of institutionalized trust). Kepercayaan ini terpadu melalui norma norma yang di ekspresikan di dalam struktur kelembagaan,seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan sebagainya. Terjadinya kejahatan atas diri korban akan bermakna penghancuran sistem kepercayaan tersebut sehingga pengaturan hukum pidana dan hukum lain yang menyangkut korban akan berfungsi sebagai sarana pengembalian sistem kepercayaan tersebut. 2. Adanya argument kontrak social dan solidaritas social karena Negara boleh dikatakan memonopoli seluruh reaksi social terhadap kejahatan dan melarang tindakan tindakan yang bersifat pribadi. Oleh karena itu apabila terdapat korban kejahatan, maka Negara harus memperhatikan kebutuhan korban dengan cara peningkatan pelayanan maupun pengaturan hak. 3. Perlindungan korban yang biasanya dikaitkan dengan salah satu tujuan pemidanaan, yaitu penyelesaian konflik. Dengan adanya penyelesaian konflik yang ditimbulkan oleh adanya tindak pidana akan memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. Dengan mengacu pada penerapan perlindungan hak-hak korban kejahatan sebagai akibat dari terlanggarnya hak asasi yang bersangkutan, maka dasar dari perlindungan korban kejahatan dapat dilihat dari beberapa teori, diantaranya sebagai berikut40 : 1. Teori Utilitas Yaitu teori ini menitikberatkan pada kemanfaatan yang terbesar bagi jumlah yang terbesar. Konsep pemberian perlindungan pada korban kejahatan dapat diterapkan sepanjang memberikan kemanfaatan yang lebih besar 39
Muladi, 1997, perlindungan korban dalam sistem peradilan pidana: sebagaimana dimuat dalam kumpulan karangan Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem peradilan pidana, Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, hlm 172 40 Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris GUltom op cit hlm 162
35
dibandingkan dengan tidak diterapkannya konsep tersebut, tidak saja bagi korban kejahatan, tetapi juga bagi sistem penegakan hukum pidana secara kesuluruhan. 2. Teori tanggung jawab Pada
hakikatnya
subjek
hukum
(orang
maupun
kelompok)
bertanggung jawab terhadap segala perbuatan hukum yang dilakukannya, sehingga apabila seseorang melakukan sesuatu tindak pidana yang mengakibatkan orang lain menderita kerugian (dalam arti luas), orang tersebut harus bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkannya, kecuali ada alasan yang membebaskannya. 3. Teori Ganti kerugian Sebagai perwujudan tanggung jawab karena kesalahannya terhadap orang lain, pelaku tindak pidana dibebani kewajiban untuk memberikan ganti kerugian pada korban atau ahli warisnya. Dalam konsep perlindungan hukum terhadap korban kejahatan, terkandung pula beberapa asas hukum yang memerlukan perhatian.Hal ini disebabkan dalam konteks hukum pidana, sebenarnya asas hukum harus mewarnai baik hukum pidana materiil, hukum pidana formil, maupun hukum pelaksanaan pidana41. Adapun asas-asas yang dimaksud adalah sebagi berikut : 1. Asas manfaat Artinya, perlindungan korban tidak hanya ditujukan bagi tercapainya kemanfaatan (baik materiil maupun spiritual) bagi korban kejahatan, tetapi 41
Arif Gosita, 1993, Masalah Korban Kejahatan, Jakarta, Akademika Pressindo, hlm 50
36
juga kemanfaatan bagi masyrakat secara luas,khususnya dalam upaya mengurangi jumlah tindak pidana serta menciptakan ketertiban masyrakat. 2. Asas keadilan Artinya, penerapan asas keadilan dalam upaya melindungi korban kejahatan tidak bersifat mutlak karena hal ini dibatasi pula oleh rasa keadilan yang juga harus diberikan pada pelaku kejahatan. 3. Asas keseimbangan Karena tujuan hukum disamping memberikan kepastian dan perlindungan terhadap kepentingan manusia, juga untuk memulihkan keseimbangan tatanan masyarakat yang terganggu menuju pada keadaan yang semula (restitutio in integrum), asas keseimbangan memperoleh tempat yang penting dalam upaya pemulihan hak hak korban. 4. Asas kepastian hukum Asas ini memberikan dasar pijakan hukum yang kuat bagi aparat penegak hukum pada saat melaksanakan tugasnya dalam upaya memberikan perlindungan hukum pada korban kejahatan. 42 2. Dasar Hukum Perlindungan Anak Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam
rangka menjamin
pertumbuhan
dan
dan
perkembangan
fisik,
mental
sosial.Untuk
melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap anak 42
Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris GUltom, op cit hlm164
37
diperlukan dukungan baik yang menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum yang lebih mantap dan memadai oleh karena itu terhadap anak yang melakukan tindak pidana diperlukan pengadilan anak secara khusus. Dalam bukunya yang berjudul Hukum dan Hak-Hak Anak, mantan hakim agung, Bismar Siregar 43 mengatakan bahwa masalah perlindungan hukum bagi anak-anak merupakan salah satu sisi pendekatan untuk melindungi anak-anak Indonesia, di mana masalahnya tidak semata-mata bisa didekati secara yuridis saja tetapi juga perlu pendekatan yang lebih luas, yaitu ekonomi, sosial dan budaya Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak haknya agar dapat hidup ,tumbuh,berkembang,dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusian serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.Orang tua,keluarga dan masyarakat bertanggung jawab untuk menjaga dan memelihara hak anak sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh hukum.44 Dalam Pasal 1 nomor 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979, tentang Kesejahteraan Anak disebutkan bahwa : “anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin”. Sementara Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak dalam Pasal 1 nomor 1 menyebutkan bahwa Anak adalah : “orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur delapan tahun, tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin”.
43
Bismar Siregar dkk. 1986, Hukum dan Hak-Hak Anak. Jakarta : Rajawali, hlm.22.
44Reza LubisOp cit
38
Sedangkan menurut Pasal 1 angka (5) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, yang dimaksud dengan anak adalah: “Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) Tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya”. Sementara itu menurut Undang-Undang nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak disebutkan bahwa anak adalah “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) Tahun, termasuk anak yang ada dalam kandungan” Pengertian Perlindungan Anak di dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak diartikan sebagai segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Dengan demikian pada dasarnya Anak harus dilindungi karena Anak mempuyai ketergantungan yang sangat tinggi terhadap seluruh penyelenggara Perlindungan Anak yaitu orangtua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara. Sudah barang tentu masing-masing mempunyai peran dan fungsinya yang berbeda dimana secara keseluruhan, satu sama lain saling terkait di bawah pengertian Perlindungan sebagai payungnya. Hukum Perlindungan Anak merupakan sebuah aturan yang menjamin mengenai hak-hak dan kewajiban anak yang berupa : hukum adat, hukum
39
perdata, hukum pidana, hukum acara perdata, hukum acara pidana, maupun peraturan lain yang berhubungan dengan permasalahan anak. Menurut Barda Nawawi Arief45, perlindungan hukum bagi anak dapat diartikan sebagai upaya perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak (fundamental rights and freedoms of children) serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak. Indonesia, sudah memiliki sederet aturan untuk melindungi, mensejahterakan dan memenuhi hak-hak anak.Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak.Seharusnya sudah dapat menjadi rujukan dalam pengambilan kebijakan terhadap perlindungan anak. Indonesia mengesahkan undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Hukum anak sebenarnya memiliki makna yang tidak sebatas pada persoalan peradilan anak, namun lebih luas dari itu. Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah membantu memberikan tafsir, apa-apa saja yang menjadi bagian hukum anak di Indonesia yang dimulai dari hak keperdataan anak di bidang pengasuhan, perwalian dan pengangkatan anak; juga mengatur masalah eksploitasi anak anak di bidang ekonomi, sosial dan seksual. Persoalan lain yang diatur dalam hukum perlindungan anak adalah bagaimana penghukuman bagi orang dewasa yang melakukan
45Rusmilawati Windari PERLINDUNGAN ANAK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG DI INDONESIA
http://rusmilawati.wordpress.com/2010/01/25/perlindungan-anak-berdasarkan-undang-undangdi-indonesia-dan-beijing-rules-oleh-rusmilawati-windarish-mh/ diakses pada tanggal 8 januari 2013
40
kejahatan pada anak-anak dan juga tanggung jawab orang tua, masyarakat dan negara dalam melindungi anak-anak. Dengan demikian cakupan hukum anak sangat luas dan tidak bisa disederhanakan hanya pada bidang pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anak-anak. Perlindungan hukum bagi anak mempunyai cakupan yang cukup luas. Dalam berbagai dokumen dan pertemuan internasional terlihat bahwa perlunya perlindungan hukum bagi anak dapat meliputi berbagai aspek, yaitu: a. Perlindungan terhadap hak-hak asasi dan kebebasan anak. b. Perlindungan anak dalam proses peradilan. c. Perlindungan kesejahteraan anak (dalam lingkungan keluarga,
pendidikan dan lingkungan sosial). d. Perlindungan anak dalam masalah penahanan dan perampasan
kemerdekaan. e. Perlindungan anak dari segala bentuk eksploitasi (perbudakan,
perdagangan anak, pelacuran, pornografi, perdagangan/penyalahgunaan obat-obatan, memperalat anak dalam melakukan kejahatan dan sebagainya). f. Perlindungan terhadap anak-anak jalanan. g. Perlindungan anak dari akibat-akibat peperangan/konflik bersenjata. h. Perlindungan anak terhadap tindakan kekerasan.
Dengan demikian pada dasarnya Anak harus dilindungi karena Anak mempuyai ketergantungan yang sangat tinggi terhadap seluruh penyelenggara Perlindungan Anak yaitu orangtua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara. Sudah barang tentu masing-masing mempunyai peran dan fungsinya 41
yang berbeda dimana secara keseluruhan, satu sama lain saling terkait di bawah pengertian Perlindungan sebagai payungnya. 3. Bentuk Perlindungan Hukum Anak Perlindungan anak adalah suatu usaha yang mengadakan situasi dan kondisi yang memungkinkan pelaksanaan hak dan kewajiban anak secara manusiawi positif. Ini berarti dilindunginya anak untuk memperoleh dan mempertahankan haknya untuk hidup, mempunyai kelangsungan hidup, bertumbuh kembang dan perlindungan dalam pelaksanaan hak dan kewajibannya sendiri atau bersama para pelindungnya46 Setiap terjadi kejahatan, mulai dari kejahatan ringan sampai dengan kejahatan berat, pastilah korban akan mengalami penderitaan, baik yang bersifat materiil maupun immaterial. Penderitaan yang dialami korban dan keluarganya tentu tidak akan berakhir dengan ditangkap dan diadilinya pelaku kejahatan, terlebih apabila penderitaan itu berakibat korban menderita cacat seumur hidup ataupun meninggal. Secara teoritis, bentuk perlindungan terhadap anak korban kejahatan dapat diberikan dalam berbagai cara, bergantung pada penderitaan/kerugiaan yang diderita oleh si anak.Sebagai contoh, untuk kerugian yang sifatnya mental/psikis anak tentunya berbeda dengan dengan ganti rugi dalam bentuk materi/uang.Tidaklah memadai apabila disertai dengan pemulihan mental korban. Pada umumnya, upaya perlindungan anak dapat dibagi menjadi perlindungan langsung dan tidak langsung, dan perlindungan yuridis dan
46
Arif Gosita Op cit
42
non-yuridis. Upaya-upaya perlindungan secara langsung di antaranya meliputi: 1. Pengadaan sesuatu agar anak terlindungi dan diselamatkan dari sesuatu yang membahayakannya 2. Pencegahan dari segala sesuatu yang dapat merugikan atau mengorbankan anak 3. Pengawasan, penjagaan terhadap gangguan dari dalam dirinya atau dari luar dirinya 4. Pembinaan (mental, fisik, sosial), pemasyarakatan pendidikan formal dan informal 5. Pengasuhan 6. Pengganjaran (reward 7. Pengaturan dalam peraturan perundang-undangan.47 Sedangkan, upaya perlindungan tidak langsung antara lain meliputi pencegahan orang lain merugikan, mengorbankan kepentingan anak melalui suatu peraturan perundang-undangan, peningkatan pengertian yang tepat mengenai manusia anak serta hak dan kewajiban, penyuluhan mengenai pembinaan anak dan keluarga, pengadaaan sesuatu yang menguntungkan anak, pembinaan (mental, fisik dan sosial) para partisipan selain anak yang bersangkutan dalam pelaksanaan perlindungan anak, penindakan mereka yang menghalangi usaha perlindungan anak. Kedua upaya perlindungan di atas sekilas nampak sama dalam hal bentuk upaya perlindungannya. Perbedaan antara keduanya terletak pada objek dari perlindungan itu sendiri. Objek dalam upaya perlindungan langsung
tentunya adalah anak secara langsung. Sedangkan upaya
perlindungan tidak langsung, lebih pada para partisipan yang berkaitan dan berkepentingan terhadap perlindungan anak, yaitu orang tua, petugas dan pembina. 47
rusmilawatiOp cit
43
Ditinjau dari sifat perlindungannya, perlindungan anak juga dapat dibedakan dari menjadi: perlindungan yang bersifat yuridis, meliputi perlindungan dalam bidang hukum perdata dan dalam hukum pidana; perlindungan yang bersifat non-yuridis, meliputi perlindungan di bidang sosial, bidang kesehatan dan bidang pendidikan. (Perlindungan yang bersifat yuridis atau yang lebih dikenal dengan perlindungan hukum. Menurut Barda Nawawi Arief48 adalah upaya perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak (fundamental rights and freedoms of children) serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak Perlindungan anak yang bersifat non-yuridis dapat berupa, pengadaan kondisi sosial dan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan anak, kemudian upaya
peningkatan kesehatan dan gizi anak-anak, serta
peningkatan kualitas pendidikan melalui berbagai program bea siswa dan pengadaan fasilitas pendidikan yang lebih lengkap dan canggih.49 Sebagai puncak dari upaya legislasi adalah lahirnya UU no 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pada Undang Undang ini memberikan nuansa yang lebih komprehensif dalam upaya Negara memberikan perlindungan pada anak di Indonesia Berdasarkan Undang-Undangbentuk perlindungan anak diatur pada Pasal 64 ayat (2) Undang-Undang nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Dimana Pasaltersebut mengatur tentang perlindungan khusus terhadap anak yang sedang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui :
48 49
Arif Gosita, 1985, Masalah Perlindungan Anak, Jakarta, Radar Jaya Offset, hlm. 123 Ibid hlm 125
44
a. Penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini; b. Penyediaan sarana dan prasarana khusus; c. Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak; d. Pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum; e. Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga; dan f. Perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi. Selanjutnya, dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak yang pada prinsipnya mengatur mengenai perlindungan hak-hak anak. Dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 1979, tentang Kesejahteraan Anak, pada prinsipnya diatur mengenai upaya-upaya untuk mencapai kesejahteraan anak. Dan, yang terakhir Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak, yang pada prinspnya mengatur mengenai perlindungan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana dalam konteks peradilan anak. Sementara itu perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana diatur pada Pasal 64 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Bentuk perlindungan khusus tersebut antara lain adalah sebagai berikut : a. Upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga; b. Upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi; c. Pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental, maupun sosial; dan d. Pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara. 4. Penerapan Perlindungan Anak Undang Undang nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak muncul karena di ilhami semakin banyaknya pelanggaran terhadap Hak Asasi 45
MAnusia (HAM) anak anak. Semakin banyaknya kekerasan yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak ank sehingga membuat anak anak merasa terancam, bahkan hingga terluka dan meninggal karenanya.Oleh karena itulah, Undang Undang nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak mencoba untuk mengatur perlakuan yang harus diterapkan kepada anak anak. Penerapan perlindungan anak dalam bentuk pertanggung jawaban Negara adalah tanggung jawab Negara terhadap pemajuan hak hak anak bukan hanya sekedar tanggung jawab hukum, melainkan menjadi tanggung jawab konstitusional dan hak asasi manusia yang telah diakui secara internasional.50 Dalam konteks penerapan perlindungan anak berdasarkan Undang Undang nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan/atau mental berdasarkan Pasal 21 Undang Undang Perlindungan Anak. Berdasarkan Pasal 23 ayat (1) Undang Undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Negara dan pemerintah menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali, atau orang lain yang secara hukum bertanggung
50
Wiratman, Herlambang, Pengarusutamaan Hak hak Anak: Tinjauan Hukum Ham, Surabaya 2008
46
jawab terhadap anak. Negara dan pemerintaha juga berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 22 Undang Undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
47
BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabnya. Pendekatan pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum adalah pendekatan Perundang undangan (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan perbandingan (comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach).51 Metode Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu yuridis normatif dengan pendekatan konseptual. Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum.Fungsi logis dari konsep ialah memunculkan objek-objek yang menarik perhatian dari sudut pandangan praktis dan sudut pengetahuan dalam pikiran dan atribut-atribut tertentu.52 B. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah preskriptif yaitu suatu penelitian yang menjelaskan keadaan objek yang akan diteliti melalui kacamata disiplin hukum atau sering disebut Peter Mahmud Marzuki sebagai yang seyogyanya dan juga merupakan suatu penelitian yang menerapkan standar prosedur ketentuan dan rambu-rambu dalam melakukan aturan hukum sehingga apa yang senyatanya berhadapan dengan apa yang seharusnya agar dapat menjadi rumusan tertentu.
51
Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, hlm 93. 52
Johnny Ibrahim, 2008, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang : Bayu Media, hal. 306
48
C. Jenis Data Jenis data yang penulis pergunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder . a. Bahan Hukum Primer. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoratif,artinya mempunyai otoritas.Bahan hukum primer terdiri dari perundang undangan, catatan catatan resmi, atau risalah di dalam pembuatan peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. b. Bahan Hukum Sekunder. Bahan bahan sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku buku komentar atas putusan pengadilan. 53 Dan sumber lain untuk mendukung penelitian ini. D. Metode Penyajian Data Data sekunder akan disajikan dalam bentuk uraian yang disusun secara
sistematis
sesuai
dengan
kebutuhan
analisis
namun
tidak
menghilangkan maksud yang terkandung dalam bahan hukum tersebut. Penyajian bahan hukum ini dapat ditempatkan pada seluruh bab maupun sub bab pada karya tulis ini sesuai dengan relevansinya pada hal yang bersangkutan. E. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menginventarisasi peraturan perundang-undangan, mempelajari dan menganalisis keputusan, buku literatur, artikel, makalah, seminar, maupun surat-surat resmi yang ada hubungannya dengan penelitian tersebut. F. Metode Analisis Data 53
Peter Mahmud Marzuki, Op cit , hlm 141
49
Metode analisis data dilakukan dengan menggunakan metode analisis normatif kualitatif yaitu data yang diperoleh akan dianalisis dengan pembahasan dan penjabaran hasil-hasil penelitian dengan mendasarkan pada norma-norma dan doktrin-doktrin yang berkaitan dengan materi yang diteliti.
50
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Dalam penelitian tentang Perlindungan saksi korban anak dalam tindak pidana persetubuhan disertai kekerasan dan paksaan, bahan yang diperoleh berdasarkan buku-buku literature dan perundang-undangan yang berhubungan dengan pokok permasalahan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Pengadilan Negeri Boyolali terhadap Putusan nomor 14/Pid.Sus/2012/PN.Bi maka diperolah data sebagai berikut: 1. Duduk Perkara: Terdakwa A.W alias NJENDONGbin SUTRISNO, yang bertempat tinggal di desa Keyongan RT 04 RW.07 Kecamatan Nogosari,Kabupaten Boyolali pada hari Sabtu tanggal 12
Nopember 2011 sekira pukul 12 .00
WIB, atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam tahun 2011, bertempat di rumah saksi korban yang beralamat di Dk.Sumurwaru Kecamatan Nogosari Kabupaten Boyolali atau setidak- tidaknya disuatu tempat yang masih termasuk da lam daerah hukum Pengadilan Negeri Boyolali, yangdengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, yakni dilakukan denganperbuatan ataucara-cara antara lain sebagai berikut Pada hari Sabtu tanggal 12 Nopember 2011 sekira pukul 12.00 WIB sepulang sekolah, terdakwa langsung main kerumah saksi korban yang 51
bertetangga dengan rumah terdakwa, setelah itu terdakwa lalu mengajak main petak umpet dengan saksi korban, hingga keduanya merasa capek, selanjutnya saksi korban dan terdakwa istirahat diatas kasur yang sudah digelar didepan TV diruang keluarga.Tidak berapa lama saksi korban tertidur dikasur tersebut kemudian terdakwa juga ikut tiduran disamping saksi korban dengan posisi agak kebawah dekat kaki saksi korban. Tidak berapa lama terdakwa melihat rok saksi korban tersingkap hingga ke lihatan paha saksi korban yang mulus, melihat hal tersebut maka timbullah nafsu birahi terdakwa sehingga alat kelamin terdakwa menjadi tegang. Karena terdakwa tidak dapat menahan hawa nafsunya, lalu terdakwa berusaha melepas celana dalam saksi korban, lalu terdakwa mengatakan kepada saksi korban “Awas, ojo ngomong papa mamahmu!” (Bhs. Ind :Awas, jangan bilang papa dan mamahmu! ”. Karena mendengar perkataan terdakwa tersebut, maka saksi korban menjadi takut kemudian terdakwa langsung melepas celana jeans dan celana dalam yang dipakainya kemudian terdakwa langsung memasukkan alat kemaluannya yang sudah dalam keadaan tegang ke dalam lubang vagina saksi korban hingga masuk kurang lebih mencapai 2cm, selanjutnya karena terdakwa takut ketahuan orang lain maka terdakwa langsung mencabut alat kemaluannya kemudian berpesan kepada saksi korban: Kamu jangan bilang sama siapa-siapa ya”. Setelah itu terdakwa langsung memakai celananya sendiri selanjutnya saksi korban disuruh memakai celananya sendiri kemudian terdakwa langsung pergi beli es krim sedangkan saksi korban ditinggal sendirian di rumahnya. 52
Akibat perbuatan terdakwa, saksi korban EP merasa sedih, malu, trauma secara psikis serta mengalami luka sobek pada vagina sesuai dengan visumet repertum nomor: 10045/E.08/RSAS/X I/2011 ditanda tangani oleh dr.Luluk Diany Zuhdiya dari Rumah Sakit Umum ASIFA Sambi Kab Boyolali tanggal 16 Nopember 2011 pada pemeriksaan saksi korban diperoleh kesimpulan” Telah diperiksa seorang perempuan umur tujuh tahun dari hasil pemeriksaan ditemukan selaput dara sudah tidak ada, adanya bengkak pada dinding Vagina, tampak ada luka sobek pada Vagina yang d isebabkan oleh trauma benda tumpul. Perbuatan terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 81
Ayat(1 )Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. 2. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum Berdasarkan uraian tersebut di atas maka Terdakwa didakwa dengan dakwaan
yakni:
melakukan
tindak
pidana
yangdengansengajamelakukanKekerasanatauancamankekerasanmemaksaana kmelakukanpersetubuhandengannyaataudenganoranglain”sebagaimanadiatur dandiancampidanadalamPasal81ayat1UUNo.23tahun2002tentangPerlindunga nAnak 3. Pembuktian a. Keterangan Saksi-Saksi Penuntut umum telah mengajukan saksi-saksi guna didengar keterangannya dipersidangan yang bunyi selengkapanya sebagiamana termuat 53
dalam berita acara persidangan , adapun saksi-saksi tersebut telah disumpah menurut agama dan kepercayaannnya dengan memberikan keterangan pada pokoknya sebagai berikut; 1. Saksi korban E.P Binti AGUS JOKO WIDODO di bawah sumpah pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: Saksi didampingi orang tuanya menyatakan pernah diperiksa oleh penyidik dan keterangan di Berita Acara Pemeriksaan yang diberikan sudah benar dan tanpa ada paksaan dan tekanan. Antara saksi dan terdakwa masih ada hubungan keluarga yaitu bahwa terdakwa adalah anak dari mbokder saksi. Bahwa saksi telah dicabuli oleh terdakwa pada hari Sabtu tanggal 12 Nopember 2011 sekitar jam 12.00 WIB dirumah saksi, dan dilakukan diatas kasur depan TV diruang tengah. Berdasarkan pengakuan saksi,bahwa ia telah dicabuli oleh terdakwa sebanyak 2 (dua) kali, dimana yang pertama kali saksi tidak ingat tetapi pada saat yang kedua kali yaitu dilakukan pada tanggal 12 Nopember 2011 dirumah saksi. Benar terdakwa telah menurunkan celana saksi sampai lutut dan juga menurunkan celananya sendiri sampai lutut juga, setelah itu menindihi badan saksi dan memasukan kemaluannya kedalam kemaluan saksi dan pada saat itu saksi tidak menangis karena dilarang oleh terdakwa agar tidak berteriak-teriak. Pada saat kejadian itu dilakukan ada adik saksi yang ada sedang berada dirumah, namun oleh terdakwa disuruh pergi untuk membeli jajanan, sehingga adik saksi tidak melihat kejadian tersebut.Atas keterangan saksi tersebut, terdakwa menyatakan benar dan tidak keberatan. 54
2. Saksi A.J.W di bawah sumpah pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: Saksi kenal dengan terdakwa, karena terdakwa adalah anak dari kakak saksi.Pada hari Minggu tanggal 13 Nopember 2011, saksi sedang berada di Tlatar lalu ditelpon oleh istri saksi yang mengatakan bahwa anak saksi telah dicabuli oleh terdakwa.Sesampainya dirumah, saksi langsung menanyai terdakwa dan terdakwa langsung mengakuinya.Saksi langsung memeriksakan sasksi korban yang juga anak dari saksi ke dokter, dan hasilnya vagina anak saksi selaput daranya sudah rusak/sobek.Menurut penuturan saksi, saksi korban sehari hari dengan neneknya sering bermain bersama dengan terdakwa dan antara rumah terdakwa dengan saksi masih satu halaman yang hanya dipisahkan oleh jalan setapak.Bahwa saksi korban kalau dirumah biasanya bermain dengan anak anak sebayanya, dengan laki laki atau perempuan. Dan menurut saksi bahwa terdakwa sering nonton tv dan tidur dirumah saksi karena sudah seperti satu keluarga. Atas keterangan saksi, terdakwa menyatakan benar dan tidak keberatan. 3. Saksi T.W di bawah sumpah pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: Saksi kenal dengan terdakwa, karena terdakwa adalah anak dari kakak suami saksi.Saksi mengetahui bahwa anak saksi yaitu saksi korban telah disetubuhi oleh terdakwa pada saat saksi sedang memandikan saksi korban dan adiknya yang bernama Iwan yang selanjutnya adik saksi korban mengatakan bahwa saksi korban telah disetubuhi oleh saudara 55
UNTUNG (adik terdakwa).Kemudian saksi menanyakan kebenarannya kepada saksi korban dan saksi korban menganggukan kepalanya tanda membenarakan, dan saksi korban juga mengatakan kepada saksi bahwa sebelumnya sudah pernah disetubuhi oleh terdakwa. Selanjutnya saksi memeriksakan saksi korban ke bidan Eri dan setelah diperiksa oleh bidan Eri ternyata vagina bagian luar milik saksi korban terdapat luka, dan kemudian bidan menyarankan agar saksi korban diperiksakan ke dokter spesialis dan hasil dari pemeriksaan dokter tersebut juga ternyata menyatakan bahwa memang benar vagina korban sudah rusak. Akibat dari perbuatan terdakwa,saksi korban mengalami trauma setiap ditanya tentang masalah tersebut saksi korban langsung menangis dan merasa takut kalau ditinggal dirumah sendiri. Menurut saksi tingkah laku terdakwa sehari-hari tumbuh seperti anak yang biasa-biasa saja dan bergaul dengan sebaya maupun dengan yang berumur diatasnya.Atas keterangan saksi, terdakwa menyatakan benar dan tidak keberatan. b. Keterangan Terdakwa Di persidangan telah di dengar keterangan dari terdakwa AGUNG WIBOWO Alias NJENDONG Bin SUTRISNO (alm) yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut; Pada hari Sabtu tanggal 12 Nopember 2011 sekitar jam 11.30 WIB terdakwa pulang dari sekolah, setelah itu main kerumah korban. Kemudian terdakwa dan korban bermain petak umpet hingga capek bermain, lalu korban duduk diatas kasur dan kemudian berbaring diatas kasur dan terdakwa juga 56
tiduran disamping korban namun posisi terdakwa agak dibawah tepatnya didekat kaki korban, kemudian tanpa sengaja terdakwa melihat rok korban agak terangkat keatas sehingga terdakwa melihat celana dalam korbandan paha korban. Lalu terdakwa mempunyai niat untuk mencabuli korban dan setelah tidak bisa menahan nafsunya terdakwa kemudian menurunkan celana dalam korban dan juga menurunkan celana miliknya.Setelah itu terdakwa berusaha memasukan alat kelamin terdakwa ke dalam vagina korban selama kurang lebih 1 menit tetapi tidak berhasil.Maka terdakwa menarik kembali alat kelaminnya dan kemudian pergi meninggalkan korban.Jarak rumah korban dan terdakwa hanya 50 meter,dan terdakwa dan korban sering bermain bersama dan masih punya hubungan keluarga. Pada saat terdakwa menyetubuhi korban,korban tidak menangis dan hanya diam saja. Pada saat itu terdakwa tidak membujuk korban melakukan perbuatan cabul namun terdakwa terangsang ketika melihat rok korban terangkat dan terdakwa hanya mengancam agar korban diam saja. Terdakwa hanya bermain dengan anakanak diluar maupun didalam rumah,sedangkan kalau dirumah hanya nonton tv saja. Kalau bermain diluar biasanya hanya bermain petak umpet,pasarpasaran dan sekolah-sekolahan. c. Barang bukti 1)
1 (satu) buah rok panjang warna biru kotak-kotak kuning orange
2)
1 (satu) buah baju muslim warna biru kotak-kotak kuning orange
3)
1 (satu) buah jilbab warna biru kotak-kotak kuning orange
4)
1 (satu) buah celana dalam warna putih 57
5)
1 (satu) buah kaos dalam warna putih
6)
1 (satu) buah celana pendek warna biru Barang bukti tersebut diakui dan dibenarkan oleh para saksi dan
Terdakwa sendiri dan terhadap barang bukti tersebut telah disita sesuai dengan prosedur hokum yang berlaku, oleh karena itu terhadap barang bukti tersebut dapat dijadikan sebagai barang bukti dalam perkara terdakwa ini. 4. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum Terdakwa dituntut oleh Penuntut Umum di Persidangan pada pokoknya sebagai berikut: 1. Menyatakan terdakwa Agung Wibowo alias Njendong bin Sutrisno melakukan tindak pidana yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 81 ayat 1 Undang-Undang nomor 23 tahun 2001 tentang Perlindungan Anak sebagaimana dalam dakwaan pertama Jaksa Penuntut Umum; 2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 4 (empat) tahun dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan dan denda Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) subsidair 3 (tiga) bulan kurungan; 3. Menyatakan barang bukti berupa :
58
a. 1 (satu) buah rok panjang warna biru kotak-kotak kuning orange ; b. 1 (satu) buah baju muslim warna biru kotak-kotak kuning orange ; c. 1 (satu) buah jilbab warna biru kotak-kotak kuning orange ; d. 1 (satu) buah celana dalam warna putih ; e. 1 (satu) buah kaos dalam warna putih ; f. 1 (satu) buah celana pendek warna biru ; Masing-masing dikembalikan kepada saksi korban E.P BINTI AGUS JOKO WIDODO 4. Menetapkan supaya terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah); 5. Putusan Hakim a.
Dasar Pertimbangan Hakim Menimbang, bahwa Jaksa Penuntut Umum menyusun dakwaannya
secara Alternatif, oleh karena itu akan dipilih Pasal mana yang akan dibuktikan sesuai dengan fakta-fakta huku yang terungkap dipersidangan, dan berdasarkan fakta-fakta hukum yang terungkap dipersidangan akan dipilih Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang memuat unsur-unsur sebagai berikut : 1. Setiap Orang; 2. Dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman memaksa anak; 3. Melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain; 59
1) Unsur Setiap Orang Yang dimaksud setiap orang dalam hal ini ialah orang atau badan hukum pelaku dari suatu tindak pidana yang kepadanya dapat dipertanggung jawabkan segala akibat dari perbuatannya tersebut; Yang dimaksud dengan barang siapa dalam perkara ini sebagaimana fakta yang terungkap dipersidangan ialah AGUNG WIBOWO alias NJENDONG bin SUTRISNO dengan identitas sebagaimana tertera dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum; Sebagaimana fakta yang terungkap dipersidangan oleh karena terdakwa adalah orang yang dapat dimintakan pertanggungjawaban secara hukum atas perbuatannya, maka oleh karena itu unsur setiap orang dalam hal ini telah terpenuhi; 2) Unsur Dengan Sengaja Melakukan Kekerasan Atau Ancaman Memaksa Anak Pertanggung
jawaban
pidana
didasarkan
pada
adanya
kesalahan(schuld), kesalahan tersebut menunjukan sikap batin tertentu dari terdakwa dalam hubungannya dengan perbuatan pidana yang dilakukan, untuk itu perlu dibuktikan dengan adanya kesengajaan dari terdakwa; Inti dari “opzet” atau kesengajaan itu ialah willens (menghendaki) dan witens (mengetahui), artinya agar seseorang itu dapat disebut telah memenuhi unsur-unsur opzet, maka terhadap unsur-unsur obyektif yang berupa tindakan-tindakan, orang itu harus willens atau menghendaki melakukan tindakan-tindakan tersebut, sedang terhadap unsur-unsur obyektif 60
yang berupa keadaan-keadaan, terdakwa itu cukup witens atau mengetahui tentang keadaan tersebut; Unsur dengan sengaja, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak memberikan penjelasan tetapi apabila melihat memorie van toelichting MVS disebutkan “Pidana pada umumnya hendaknya menjatuhkan hanya pada barang siapa melakukan perbuatan yang dilarang dengan dikehendaki dan diketahui atau diinsyafi akibat dari perbuatan tersebut; Yang dimaksud anak berdasarkan Undang-Undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perindungan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih didalam kandungan; Undang-Undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tidak memberikan pengertian yang dimaksud dengan kekerasan, ancaman kekerasan, dan memaksa, oleh karenanya maka akan dicari pengertian kekerasan dari Undang-Undang yang mengatur pengertian dari kekerasan, anacaman kekerasan, dan memaksa yaitu di dalam Undang-Undang nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, yang menyatakan kekerasan adalah : “setiap perbuatan secara melawan hukum dengan atau tanpa menggunakan sarana terhadap fisik atau psikis yang menimbulkan bahaya bagi
nyawa,
badan,
atau
menimbulkan
terampasnya
kemerdekaan
seseorang”(Pasal 1 angka 11 Undang-Undang noor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang); Ancaman kekerasan adalah: 61
“Setiap perbuatan secara melawan hukum berupa ucapan, tulisan, gambar, symbol, atau gerakan tubuh, bbaik dengan atau tanpa menggunakan sarana yang menimbulkan rasa takut atau menyerang kebebasan hakiki seseorang”(Pasal 1 angka 11 Undang-Undang noor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang); Sedangkan yang dimaksud memaksa adalah perbuatan aktif, dan pengertiannya adalah kebalikan dari dipaksa yang merupakan perbuatan pasif. Dipaksa adalah : ”Suatu keadaan dimana seseorang / korban disuruh melakukan sesuatu sedemikian rupa sehingga orang itu melakukan suatu berlawanan dengan kehendak sendiri”(Pasal 1 angka 11 Undang-Undang noor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang); Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan pada hari Sabtu tanggal 12 Nopember 2011 sekira pukul 12.00 WIB sepulang sekolah, terdakwa langsung main kerumah saksi korban yang bertetanggaan dengan rumah terdakwa, setelah itu terdakwa lalu mengajak bermain petak umpet dengan saksi korban, hingga keduanya merasa capek, selanjutnya saksi korban dan terdakwa istirahat diatas kasur yang sudah digelar didepan TV diruang keluarga, tak berapa lama saksi korban tertidur di kasur tersebut kemudian terdakwa juga ikutan tidur disamping saksi korban dengan posisi agak kebawah dekat dengan kaki saksi korban, saat itu terdakwa melihat rok saksi korban tersingkap hingga kelihatan paha saksi korban yang mulus,
62
melihat hal tersebut maka timbullah nafsu birahi terdakwa sehingga alat kelamin saudara menjadi tegang; Karena terdakwa tida dapat menahan hawa nafsunya, lalu terdakwa berusaha melepas celana dalam saksi korban, lalu terdakwa mengatakan kepada saksi korban “Awas, ojo ngomong papa mamahmu!” (Bahasa Indonesia: Awas, jangan bilang papa dan mamahmu!), mendengar perkataan terdakwa tersebut maka saksi korban menjadi takut; Berdasarkan fakta tersebut terdakwa telah memaksa dan dengan ancaman kekerasan telah melakukan perbuatan melawan hukum berupa ucapan dan gerakan tubuh yang menimbulkan rasa takut dan menyerang kebebasan hakiki saksi korban yaitu terdakwa langsung melepas celana jeans dan celana dalam yang dipakainya kemudian terdakwa langsung memasukan alat kemaluannya yang sudah dalam keadaan tegangkedalam lubang vagina saksi korban hingga masuk mencapai 2 cm selanjutnya karena terdakwa takut ketahuan orang lain maka terdakwa langsung mencabut alat kelaminnya kemudian berpesan kepada saksi korban,”kamu jangan bilang sama siapasiapa ya”; Dari fakta tersebut dapat disimpulkan terdakwa melakukan kekerasan berupa perbuatan yang menimbulkan bahaya bagi nyawa, badan atau menimbulkan terampasnya kemerdekaan saksi korban, setelah itu terdakwa langsung memakai celananya sendiri selanjutnya saksi korban disuruh memakai celannya sendiri dan terdakwa langsung pergi beli es krim sedangkan saksi korban ditinggal sendirian dirumahnya; 63
Saksi korban E.P adalah anak yang berumur 7 tahun, (lahir pada tanggal 29 Oktober 2004) berdasarkan Akta Kelahiran Nomor : 6952/2004, dengan demikian masuk dalam pengertian anak sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas unsur dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman memaksa anak telah terpenuhi; 3) Melakukan Persetubuhan Dengannya atau Dengan Orang Lain Yang dimaksud dengan persetubuhan adalah :“Peraduan antara anggota kemaluan laki-laki dan perempuan yang biasa digunakan untuk mendapatkan anak, jadi anggota laki-laki harus masuk kedalam anggota perempuan, Sehingga mengeluarkan air mani”(arrest Hoogee Raad
5
Pebruari 1912) (W.9292); Karena terdakwa tidak dapat menahan hawa nafsunya, lalu terdakwa berusaha melepas celana dalam saksi korban, lalu terdakwa mengatakan kepada saksi korban “awas, ojo ngomong papa dan mamahmu!” (bhs.Ind :Awas, jangan bilang papa dan mamahmu!) mendengar perkataan terdakwa tersebut maka saksi korban menjadi takut, kemudian terdakwa langsung melepas celana jeans dan celana dalam yang dipakainya kemudian terdakwa langsung memasukan alat kemaluannya yang sudah dalam keadaan tegang kedalam lubang vagina saksi korban hingga masuk mencapai 2 cm selanjutnya karena terdakwa takut ketahuan orang lain maka terdakwa
64
langsung mencabut alat kelaminnya kemudian berpesan kepada saksi korban,”kamu jangan bilang sama siapa-siapa ya”; Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas dapat disimpulkan terdakwa telah melakukan persetubuhan dan akibat perbuatan terdakwa, saksi korban E.P merasa sedih, malu, trauma secara psikis serta mengalami luka sobek
pada
vagina
sesuai
dengan
visum
et
repertum
nomor
:
10045/E.08/RSAS/XI/2011 ditanda tangani oleh dr.Luluk Diany Zuhdiya dari Rumah Sakit Umum ASIFA Sambi Kab Boyolali tanggal 16 Nopember 2011 pada pemeriksaan saksi korban diperoleh kesimpulan : a.Pemeriksaan ditemukan selaput dara sudah tidak ada; b. Adanya bengkak pada dinding vagina; c. Tampak ada luka sobek pada vagina disebabkan oleh trauma benda tumpul; Dengan demikian unsur melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain telah terpenuhi; Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas maka Hakim berkesimpulan semua unsur untuk adanya perbuatan pidana yang didakwakan telah terpenuhi adanya, sehingga terdakwa harus dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan pidana dalam dakwaan alternative kesatu tersebut; Selama pemeriksaan dipersidangan, tidak ditemukan hal-hal yang dapat menghapuskan pidana bagi terdakwa, baik alasan-alasan pemaaf
65
maupun alasan-alasan pembenar maka oleh karenanya terdawa haruslah dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana yang setimpal dengan kesalahannya; Sebelum menjatuhkan pidana terhadap terdakwa, Hakim akan mempertimbangkan
apakah
terdakwa
merupakan
anak
sebagaimana
dimaksud Pasal 1 angka 1 jo Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang nomor 3 tahun 1997; Dalam perkara
ini, terdakwa A.W alias NJENDONG bin
SUTRISNO sebagaimana termuat dalam dakwaan penuntut umum terdakwa AGUNG WIBOWO alias NJENDONG bin SUTRISNO lahir pada tanggal 2 Nopember 1995, dan pada saat terdakwa diajukan ke persidangan masih berumur 16 tahun sehingga dari fakta tersebut pada saat terdakwa melakukan tindak pidana ia belum berumur 18 tahun, dengan demikian kepada terdakwa berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 jo Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang nomor 3 tahun 1997; Dalam menjatuhkan pidana kepada terdakwa sebagai pelaku tindak pidana bukan sebagai sarana balas dendam semata, tetapi pidana dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana juga sebagai sarana pendidikan atau pembelajaran bagi perilaku pelaku tindak pidana supaya selama menjalani pidana sebagai pelaku tindak pidana dapat memperbaiki akhlak dan perilaku agar nantinya tidak lagi mengulangi melakukan tindak pidana; Pasal 1 angka 2 huruf a Undang-Undang nomor 3 tahun 1997 menyatakan yang dimaksud dengan :
66
(1) Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetepi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin; (2) Anak nakal adalah : a. Anak yang melakukan tindak pidana; Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) dan (2) huruf a Undang-Undang nomor 3 tahun 1997 tersebut, Hakim berpedoman kepada Pasal 22 Undang Undang nomor 3 tahun 1997 bahwa anak nakal hanya dapat dijatuhkan pidana atau tindakan yang ditentukan dalam undang-undang ini; Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang nomor 3 tahun 1997 menyatakan tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal ialah : a. Mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh b. Menyerahkan kepada Negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja, atau c. Menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak dibidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja. 2) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat disertai dengan teguran dan syarat tambahan yang ditetepkan Hakim; Pasal 25 ayat (1) menyatakan terhadap Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, Hakim menjatuhkan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 atau tindakan sebagiana dimaksud dalam Pasal 24. 67
Dari fakta dipersidangan telah terungkap fakta terdakwa masih berstatus sebagai pelajar dan masih bersekolah; Berdasarkan
fakta
hukum
tersebut,
Hakim
dengan
tetap
memperhatikan akibat dari perbuatan terdakwa yang mengakibatkan saksi korban E.P merasa sedih, malu, trauma secara psikis serta mengalami luka sobek
pada
vagina
sesuai
dengan
visum
et
repertum
nomor
:
10045/E.08/RSAS/XI/2011 ditanda tangani oleg dr.Luluk Diany Zuhdiya dari Rumah Sakit Umum ASIFA Sambi Kab Boyolali tanggal 16 Nopember 2011, dengan pertimbangan terhadap diri terdakwa yang berstatus sebagai anak yang masih menempuh pendidikan, maka Hakim akan menjatuhkan tindakan sebagaimana diatur dalam Pasal 22 jo Pasal 24 ayat (1)(2) jo Pasal 25 ayat (1) Undang Undang nomor 3 tahun 1997; Menimbang, bahwa dipersidangan telah pula didengar pendapat dari orang tua terdakwa yang mengemukakan hal-hal pada pokoknya sebagai berikut: d. Orang tua terdakwa berjanji akan mendidik dan menasihati serta mengawasi terdakwa; e. Orang tua terdakwa menyerahkan sepenuhnya tentang hukuman yang akan di jatuhkan terhadap terdakwa kepada Pengadilan karena sebelumnya terdakwa pernah melakukan tindak pidana; Hakim
dalam
menjatuhkan
pidana
kepada
terdakwa
juga
berpedoman kepada Pasal 59 ayat (2) Undang-Undang nomor 3 tahun 1997 tentang Penelitian Masyarakat; 68
Sebelum menjatuhkan pidana terhadap terdakwa , Hakim akan mempertimbangkan hal hal yang memberatkan dan meringakan bagi terdakwa : Hal-Hal yang memberatkan : Akibat perbuatan terdakwa saksi korban mengalami trauma fisik dan psikis; Hal-Hal yang meringankan : 1. Terdakwa masih bersekolah 2. Terdakwa mengakui terus terang perbuatannya, bersikap sopan dipersidangan Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, Hakim tidak sependapat dengan jaksa penuntut umum tentang hukuman yang akan dijatuhkan kepada terdakwa; Terhadap barang bukti yang diajukan dipersidangan berupa : a. 1 (satu) buah rok panjang warna biru kotak-kotak kuning orange ; b. 1 (satu) buah baju muslim warna biru kotak-kotak kuning orange ; c. 1 (satu) buah jilbab warna biru kotak-kotak kuning orange ; d. 1 (satu) buah celana dalam warna putih ; e. 1 (satu) buah kaos dalam warna putih ; f. 1 (satu) buah celana pendek warna biru ; Karena merupakan milik saksi korban maka dikembalikan kepada saksi korban E.P Binti AGUS JOKO WIDODO;
69
Oleh karena terdakwa dijatuhi tindakan, maka kepadananya dibebani pula membayar biaya perkara yang besarnya akan ditentukan dalam amar putusan Memperhatikan ketentuan Pasal 81 ayat (1) Undang Undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Undang Undang no 3 tahun 1997 tentang peradilan anak; b. Amar Putusan 1. Menyatakan terdakwa A.W alias NJENDONG bin SUTRISNO (alm) telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “melakukan ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya”; 2. Menjatuhkan tindakan kepada terdakwa untuk diserahkan kepada Negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja sebagai ANAK NEGARA selama 3 (tiga) tahun di Lembaga Permasyarakatan Anak di KUTOARJO Kabupaten PURWOREJO; 3. Menetapkan barang bukti berupa : a. 1 (satu) buah rok panjang warna biru kotak-kotak kuning orange ; b. 1 (satu) buah baju muslim warna biru kotak-kotak kuning orange ; c. 1 (satu) buah jilbab warna biru kotak-kotak kuning orange ; d. 1 (satu) buah celana dalam warna putih ; e. 1 (satu) buah kaos dalam warna putih ; 70
f. 1 (satu) buah celana pendek warna biru ; Dikembalikan kepada saksi korban
Binti Agus Joko Widodo
4. Menetapkan agar terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah); B. Pembahasan 1. Perlindungan Hukum Saksi Korban Anak Dalam Tindak Pidana Persetubuhan Disertai Kekerasan Dan Paksaan Dalam Putusan Nomor :14/Pid.Sus/2012/PN.Bi Perlindungan hukum terhadap anak dapat diartikan sebagai upaya perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak, serta berbagai
kepentingan
yang
berhubungan
dengan
kesejahteraan
anak.Kekerasan yang dialami anak salah satunya adalah kekerasan seksual. Perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban kejahatan telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak . Pengertian Perlindungan anak menurut Pasal 1 ayat (2) UndangUndang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, adalah : “Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi’ Sementara itu yang dimaksud dengan perlindungan anak menurut Arif Gosita adalah54 Perlindungan anak adalah suatu usaha untuk melindungi anak agar dapat melaksanakan hak dan kewajibannya. 54
Dr Maidin Gultom,Perlindungan Hukum Terhadap Anak, Refika Aditama, Bandung,2010, hal 34
71
Dalam tindak pidana persetubuhan disertai kekerasan dan ancaman dengan Putusan nomor : 14/Pid.Sus/2012/PN.Bi, perlindungan hukum terhadap saksi korban anak, yang dalam hal ini E.P Binti Agus Joko widodo kurang maksimal, karena berdasarkan Pasal 64 ayat (3) Undang-Undang nomor 23 tahun 2002, perlindungan hukum terhadap saksi korban anak dalam tindak pidana ini kurang maksimal yang dimana Pasal tersebut berbunyi : (3). Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui : a) Upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga; b) Upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi; c) Pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental, maupun social;dan d) Pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara. Dari penjabaran Pasal tersebut, dapat dilihat macam macam bentuk perlindungan hukum terhadap anak korban tindak pidana, tetapi pada kasus Putusan nomor : 14/Pid.Sus/2012/PN.Bi ini, macam macam bentuk perlindungan hukum terhadap anak korban tindak pidana tidak seluruhnya diberikan kepada korban. Hanya upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi saja yang didapatkan oleh saksi korban anak E.PBinti Agus Joko Widodo. Padahal sebagai akibat dari perbuatan terdakwa Agung Wibowo alias Njendong bin Sutrisno ini sudah membuat saksi korban merasa sedih, malu, dan trauma secara psikis.Oleh sebab itu harusnya perlu dilakukan upaya rehabilitasi untuk menghilangkan rasa trauma yang ada pada korban tersebut.
72
Berdasarkan uraian terebut maka jelas lah bahwa Negara wajib melakukan upaya rehabilitasi terhadap anak korban kejahatan yang dalam kasus ini adalah anak korban kejahatan seksual.Oleh sebab itu peranan Negara dalam hal ini melalui Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) diharapkan lebih aktif lagi dalam melakukan pengawasan pelaksanaan upaya perlindungan anak yang dilakukan oleh institusi Negara serta melakukan investigasi terhadap pelanggaran hak-hak anak seperti dalam kasus ini. Hal ini sesuai Visi dan Misi dari KPAI yaitu meningkatnya efektifitas penyelenggaraan perlindungan anak demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera. Misi dari KPAI adalah melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan perlindungan anak, melakukan pengumpulan data dan informasi tentang anak, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, dan evaluasi terhadap penyelenggaraan perlindungan anak, pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak, memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka Perlindungan Anak.55 Upaya rehabilitasi terhadap korban dianggap perlu, apa lagi upaya rehabilitasi itu merupakan hak dari korban sebagaimana di ataur didalam Pasal 64 ayat (3) Undang-Undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Sementara itu menurut Pasal 39 Konvensi Hak Anak mengenai rehabilitasi adalah : “Negara-negara peserta akan mengambil semua langkah yang tepat untuk meningkatkan pemulihan fisik maupun psikologis dan reintegrasi dalam masyarakat seorang anak yang menjadi korban dari; setiap bentuk penelantaran, eksploitasi, atau penyalahgunaan; penyiksaan atau setiap bentuk kekejaman atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi atau yang merendahkan martabat atau pertentangan kesepakatan. Pemulihan dan reintegrasi seperti itu akan dilakukan dalam suatu lingkungan yang membantu pengembangan kesehatan, harga diri dan martabat anak” Berdasarkan uraian Pasal 39 Konvensi Hak Anak terebut maka jelas lah bahwa Negara wajib melakukan upaya rehabilitasi terhadap anak korban 55
http://www.gugustugastrafficking.org/index.php?option=com_content&view=article&id=1491: kpai&catid=197:lembaga-layanan&Itemid=241 diakses 25 juli 2013
73
kejahatan yang dalam kasus ini adalah anak korban kejahatan seksual.Oleh sebab itu peranan Negara dalam hal ini melalui komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) diharapkan lebih aktif lagi dalam melakukan pengawasan pelaksanaan upaya perlindungan anak yang dilakukan oleh institusi Negara serta melakukan investigasi terhadap pelanggaran hak-hak anak seperti dalam kasus ini. Perlindungan hak-hak anak pada hakikatnya menyangkut langsung pengaturan
dalam
peraturan
perundang-undangan.Perlindungan
anak
bermanfaat bagi anak dan orang tuanya serta pemerintahnya, maka koordinasi kerja sama perlindungan anak perlu diadakan dalam rangka mencegah
ketidakseimbangan
kegiatan
perlindungan
anak
secara
keseluruhan.56 Tetapi pada penerapannya, perlindungan anak melalui Komisi Perlindungan
Anak
Indonesia
pada
kasus
Putusan
nomor
:
14/Pid.Sus/2012/PN.Bi ini tidak terlihat. Dalam kasus ini dapat dilihat penerapan bentuk perlindungan hukum terhadap anak kurang maksimal dan tidak adanya peran KPAI yang dalam hal ini merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah untuk melakukan pengawasan dan menjamin di lindunginya saksi korban anak seperti yang diatur didalam Pasal 64 ayat (3) UndangUndang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.Padahal adanya lembaga KPAI ini diharapkan dapat menjamin terpenuhinya hak-hak anak korban kejahatan untuk mendapatkan haknya yang berupa perlindungan hukum tersebut.
56
Maidin Gultom ibid hal 35
74
Berdasarkan Pasal 23 ayat (1) Undang Undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Negara dan pemerintah menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali, atau orang lain yang secara hukum bertanggung jawab terhadap anak. Negara dan pemerintaha juga berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 22 Undang Undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Hak hak dari korban dalam Putusan nomor : 14/Pid.Sus/2012/PN.Bi tidak terlalu diperhatikan. Hal ini dapat dilihat dari putusan pengadilan yang diputuskan oleh hakim tidak mencantumkan upaya proses rehabilitasi terhadap korban yang sudah mengalami trauma psikis akibat perbuatan terdakwa Agung Wibowo alias Njendong yang sudah mencabuli saksi korban E.P Binti Agus Joko Widodo disertai dengan ancaman dan kekerasan. Tidak adanya proses rehabilitasi yang dicantumkan dalam putusan oleh majelis Hakim ini ditakutkan akan mengganggu pertumbuhan jiwa saksi korban E.P Binti Agus Joko widodo yang ketika kasus ini terjadi baru berumur 7 tahun (lahir tanggal 29 Oktober 2004) berdasarkan Akta Kelahiran Nomor :6952/2004. Walaupun dalam kasus ini tidak ada proses rehabilitasi, tetapi masih ada bentuk perlindungan hukum lain yang diberikan kepada saksi korban, yaitu upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi. Hal ini dapat dilihat di dalam putusan kasus ini, 75
dimana bentuk perlindungan tersebut dilakukan dengan menyamarkan nama asli korban atau dapat dilakukan dengan tidak mencantumkan nama korban seperti yang ada pada putusan ini. Yang dimana berdasarkan putusan ini, dimulai dari proses penuntutan oleh penuntut umum hingga pada pembacaan putusan oleh hakim, nama saksi korban tidak dicantumkan. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari labelisasi yang dapat mengganggu pertumbuhan si korban ketika dia ada di masyarakat nantinya. 2. Pertimbangan hukum Hakim dalam menjatuhkan Putusan nomor : 14/pid.sus/2012/PN.Bi Pada Putusan perkara nomor : 14/Pid.Sus/2012/PN.Bi, Agung Wibowo alias Njendong sebagai terdakwa, telah didakwa oleh jaksa penuntut umum bersalah melakukan tindak pidana “ Melakukan ancaman kekerasan dan kekerasan memakasa anak melakukan persetubuhan dengannya”, sebagaimana diatur dalam Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Atas kesalahannya, terdakwa dituntut pidana selama 4 (empat) tahun dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan dan denda Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) subsidair 3 (tiga) bulan kurungan. Untuk membuktikan kesalahan terdakwa di dalam sidang pengadilan, hakim dalam menjatuhkan putusan selalu mendasari pada alat bukti yang sah. Ketentuan yang mengatur tentang pembuktian ini diatur didalam acara pemeriksaan perkara pidana diatur dalam Pasal 183 KUHAP yaitu: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan ia 76
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Pasal 183 KUHAP terkandung prinsip batas minimum pembuktian, yaitu prinsip yang mengatur batas minimum alat bukti yang harus dipenuhi untuk membuktikan kesalahan terdakwa atau dengan kata lain asas minimum pembuktian ialah suatu prinsip yang harus dipedomani dalam menilai cukup atau tidaknya alat bukti membuktikan salah atau tidaknya terdakwa57 Setiap pemeriksaan apakah itu pemeriksaan acara biasa, acara singkat, maupun acara cepat setiap alat bukti itu diperlukan guna membantu hakim dalam mengambil keputusan. Adapun alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang yang diatur didalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP disebutkan alat bukti yang sah untuk membantu hakim dalam mengambil keputusan, alat bukti tersebu adalah : f. Keterangan Saksi g. Keterangan Ahli h. Surat i. Petunjuk j. Keterangan Terdakwa Pada Putusan perkara nomor : 14/Pid.Sus/2012/PN.Bi, alat bukti yang diajukan ke persidangan oleh penuntut umum berupa keterangan saksi,yaitu keterangan dari saksi korban E.P binti Agus Joko Widodo, saksi Agus Joko Widodo, saksi Tatik Wulandari, saksi Saimin Nugroho, saksi Widodo, saksi Mardi Bin Iman Damsiri Marto Wijoyo, dan saksi Insiyah Binti Achamad Nasir. Yang pada kesaksiannya semuanya menuturkan bahwa benar terdakwa Agung Wibowo melakukan perbuatan sesuai yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam surat Dakwaannya.
57
M.Yahya Harahap, op.Cit hal 262
77
Selain alat bukti keterangan saksi tersebut juga diajukan alat bukti lainnya yaitu alat bukti surat yang dalam hal ini adalah Visum et Repertum dengan nomor : 10045/E.08/RSAS/XI/2011 yang ditanda tangani oleh dr.Luluk Diany Zuhdiya dari Rumah Sakit Umum Asifa Sambi Kab Boyolali tanggal 16 November 2011 pada saksi korban diperoleh kesimpulan : a. Pemeriksaan ditemukan selaput dara korban sudah tidak ada; b. Adanya bengkak pada dinding Vagina; c. Tampak ada luka sobek pada Vagina disebabkan oleh trauma benda tumpul Selain kedua alat bukti tersebut juga diajukan alat bukti Keterangan Terdakwa yang dalam hal ini terdakwa Agung Wibowo berdasarkan fakta di persidangan telah mengakui perbuatan yang didakwakan kepadanya serta membenarkan keterangan keterangan yang sudah disampaikan oleh para saksi saksi yang diajukan penuntut umum dipersidangan. Berdasarkan alat bukti tersebut menjadi dasar pertimbangan hukum hakim dalam memutuskan perkara nomor : 14/Pid.Sus/2012/PN.Bi, berdasarkan fakta fakta yang terungkap dalam persidangan dengan dikuatkannya alat bukti yakni: Keterangan saksi, surat (Visum Et Repertum No pol :10045/E.08/XI/2011) maupun keterangan terdakwa serta barang bukti yang diajukan dipersidangan, dimana dari alat alat bukti yang diajukan dalam persidangan tersebut terdakwa telah terbukti melakukan persetubuhan dan hakim memperoleh keyakinan sesuai dengan ketentuan Pasal 183 78
KUHAP bahwa Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya yaitu melakukan ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya. Pengertian pertimbangan hakim sendiri adalah pendapat mengenai baik dan buruk dalam menjatuhkan putusan. Sebelum menjatuhkan putusan maka hakim perlu mempertimbangkan beberapa hal baik itu pertimbangan hukum (yuridis) maupun pertimbangan non hukum (non yuridis) Berkaitan dengan pertimbangan yuridis hakim dalam mengambil putusan, maka hakim akan berpedoman pada bunyi Pasal 183 KUHAP serta harus sesuai dengan Pasal 184 ayat (1) KUHAP yang menentukan secara rinci limitative jenis alat bukti yang sah. Penerapan Pasal 183 KUHAP tersebut memaksa hakim untuk menerapkan prinsip minimum pembuktian menurut ketentuan KUHAP dan digabungkan dengan keyakinan hakim yang bersifat subyektif yaitu tentang persesuaian, saling menguatkan, dan tidak bertentangan antara alat bukti satu dengan yang lainnya yang semuanya dinilai oleh hakim. Dalam hal ini hakim harus hati hati, cermat, dan matang dalam menilai, mempertimbangkan serta memahami suatu perkara dan pemahaman hakim akan keadilan sangat mendukung profesi sebagai hakim. Menimbang, bahwa jaksa penuntut umum menyusun dakwaannya secara alternative, oleh karena itu akan dipilih Pasal mana yang akan dibuktikan sesuai dengan fakta fakta dipersidangan, dan berdasarkan fakta hukum yang terungkap dipersidangan akan dipilih Pasal 81 ayat (1) Undang
79
Undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang memuat unsur unsur sebagai berikut : a. Setiap Orang; b. Dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak; c. Melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain; d. Unsur Setiap Orang : Dalam unsur pertama, yaitu unsur setiap orang, yang dimaksud dengan setiap orang dalam hal ini adalah orang atau badan hukum pelaku dari suatu tindak pidana yang kepadanya dapat dipertanggung jawabkan segala akibat dari perbuatannya tersebut. Dalam kasus ini, yang dimaksud dengan barang siapa dalam perkara ini adalah terdakwa Agung Wibowo Alias Njendong dengan identitas sebagaimana tertera dalam surat dawaan penuntut umum. Berdasarkan fakta dipersidagan, oleh karena terdakwa adalah orang yang dapat dimintakan pertaggungg jawaban secara hukum atas perbuatannya, maka karena itu unsur barang siapa dalam hal ini telah terpenuhi e. Unsur Dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak : Dalam unsur kedua yaitu Dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anakmenimbang, bahwa Undang-Undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tidak memberikan pengertian yang dimaksud dengan kekerasan, ancaman kekerasan, dan memaksa, oleh karenanya maka akan dicari pengertian kekerasan dari 80
Undang-Undang yang mengatur pengertian dari kekerasan, anacaman kekerasan, dan memaksa yaitu di dalam Undang-Undang nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, yang menyatakan kekerasan adalah : “Setiap perbuatan secara melawan hukum dengan atau tanpa menggunakan sarana terhadap fisik atau psikis yang menimbulkan bahaya bagi
nyawa,
badan,
atau
menimbulkan
terampasnya
kemerdekaan
seseorang”(Pasal 1 angka 11 Undang-Undang noor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang); Ancaman kekerasan adalah: “Setiap perbuatan secara melawan hukum berupa ucapan, tulisan, gambar, symbol, atau gerakan tubuh, bbaik dengan atau tanpa menggunakan sarana yang menimbulkan rasa takut atau menyerang kebebasan hakiki seseorang”(Pasal 1 angka 11 Undang-Undang noor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang) Sedangkan yang dimaksud memaksa adalah perbuatan aktif, dan pengertiannya adalah kebalikan dari dipaksa yang merupakan perbuatan pasif. Dipaksa adalah :”Suatu keadaan dimana seseorang / korban disuruh melakukan sesuatu sedemikian rupa sehingga orang itu melakukan suatu berlawanan dengan kehendak sendiri” (Pasal 1 angka 11 Undang-Undang noor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang) Berdasarkan fakta yang terungkap dipersidangan yaitu berdasarkan keterangan saksi saksi dan keterangan terdakwa, bahwa benar pada hari sabtu tanggal 12 Nopember 2011 sekira pukul 12.00 , terdakwa langsung main kerumah saksi korban yang bertetanggaan dengan rumah terdakwa, setelah 81
itu terdakwa lalu mengajak bermain petak umpet dengan saksi korban, hingga keduanya merasa capek, selanjutnya saksi korban dan terdakwa istirahat diatas kasur yang sudah digelar didepan TV diruang keluarga, tak berapa lama saksi korban tertidur di kasur tersebut kemudian terdakwa juga ikutan tidur disamping saksi korban dengan posisi agak kebawah dekat dengan kaki saksi korban, saat itu terdakwa melihat rok saksi korban tersingkap hingga kelihatan paha saksi korban yang mulus, melihat hal tersebut maka timbullah nafsu birahi terdakwa sehingga alat kelamin saudara menjadi tegang karena terdakwa tidak dapat menahan hawa nafsunya, lalu terdakwa berusaha melepas celana dalam saksi korban, lalu terdakwa mengatakan kepada saksi korban “Awas, ojo ngomong papa mamahmu!” (Bahasa Indonesia: Awas, jangan bilang papa dan mamahmu!), mendengar perkataan terdakwa tersebut maka saksi korban menjadi takut Berdasarkan fakta tersebut terdakwa telah memaksa dan dengan ancaman kekerasan telah melakukan perbuatan melawan hukum berupa ucapan dan gerakan tubuh yang menimbulkan rasa takut dan menyerang kebebasan hakiki saksi korban yaitu terdakwa langsung melepas celana jeans dan celana dalam yang dipakainya kemudian terdakwa langsung memasukan alat kemaluannya yang sudah dalam keadaan tegangkedalam lubang vagina saksi korban hingga masuk mencapai 2 cm selanjutnya karena terdakwa takut ketahuan orang lain maka terdakwa langsung mencabut alat kelaminnya kemudian berpesan kepada saksi korban,”kamu jangan bilang sama siapasiapa ya”. Bahwa dari fakta tersebut dapat disimpulkan terdakwa melakukan 82
kekerasan berupa perbuatan yang menimbulkan bahaya bagi nyawa, badan atau menimbulkan terampasnya kemerdekaan saksi korban, setelah itu terdakwa langsung memakai celananya sendiri selanjutnya saksi korban disuruh memakai celannya sendiri dan terdakwa langsung pergi beli es krim sedangkan saksi korban ditinggal sendirian dirumahnya Berdasarkan pemeriksaan, bahwa saksi korban E.P adalah anak yang berumur 7 tahun, (lahir pada tanggal 29 Oktober 2004) berdasarkan Akta Kelahiran Nomor : 6952/2004, dengan demikian masuk dalam pengertian anak sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas unsur dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman memaksa anak telah terpenuhi f. Unsur Melakukan Persertubuhan Dengannya atau dengan orang lain: Persetubuhan adalah pertemuan alat kelamin laki laki (penis) dengan alat kelamin wanita (vagina), masuknya alat kelamin laki-lai kedalam kemaluan perempuan. Berdasarkan keterangan saksi dan terdakwa di persidangan serta alat bukti Visum Et Repertum diketahui bahwa pada hari sabtu tanggal 12 Nopember 2011 sekira pukul 12.00 WIB, terdakwa Agung Wibowo alias Njendong telah melakukan persetubuhan dengan saksi korban dengan cara mula mula terdakwa melepaskan celana dalam saksi korban, lalu terdakwa mengatakan kepada saksi korban “awas, ojo ngomong papa mamahmu!” (bhs Indonesia: Awas jangan ngomong papa dan mamahmu!), dan mendengar perkataan terdakwa tersebut,maka saksi korban merasa takut 83
dan terdakwa langsung melepas celana jeansnya dan celana dalamnya kemudian terdakwa langsung memasukan alat kelaminnya yang sudah dalam keadaaan tegang ke dalam lubang vagina saksi korban hingga masuk mencapai 2 cmdan selanjutnya karena terdakwa takut ketahuan orang lain maka terdakwa langsung mencabut alat kelaminnya kemudian berpesan kepada saksi korban “kamu jangan bilang siapa siapa ya” lalu terdakwa langsung pergi meninggalkan korban sendirian untuk membeli es krim. Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik yang dilakukan terhadap saksi korban dapat disimpulkan bahwa korban merasa sedih, malu dan trauma psikis serta mengalami luka sobek pada vagina sesuai dengan Visum Et Repertum. Dengan demikian unsur ini telah terpenuhi. Sesuai fakta fakta hukum yang terungkap dipersidangan, dimana dalam acara pembuktian pemeriksaan alat bukti saksi, keterangan saksi saksi yang dihadirkan oleh Penuntut Umum telah memperkuat dakwaan yang dijatuhkan kepada terdakwa dan menunjukan bahwa terdakwa telah benar benar melakukan persetubuhan dengan anak dibawah umur. Untuk penilaian kebenaran keterangan saksi saksi dipersidangan sebagai alat bukti yang sah, harus dapat saling berhubungan antara keterangan saksi satu dengan yang lainnya, sehingga dapat membentuk keterangan yang membenarkan suatu kejadiaan atau keadaan tertentu. Namun dalam menilai kebenaran para saksi, maka menurut Pasal 185 ayat (6) KUHAP diuraikan sebagai berikut : Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan : a. Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain; b. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain; 84
c. Alasan yang dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan tertentu; d. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya. Keterangan saksi tersebut dalam persidangan dinyatakan diterima atau tidak diterima oleh hakim tergantung persesuaiannya dengan alat bukti yang lainnya seperti keterangan saksi yang dihadirkan dipersidangan yang mendukung atau tidak dengan fakta yang terungkap dipersidangan.Penilaian diserahkan kepada hakim yang tertuang dalam pertimbangannya dalam putusan. Didepan persidangan telah dibacakan Visum Et Repertumnomor : 10045/E.08/RSAS/XI/2011 yang dibuat dan ditanda tangani oleh dr. Luluk Diany Zuhdiya dari Rumah Sakit Umum ASIFA Sambi Kab Boyolali tanggal 16 Nopember 2011 yang dari hasil pemeriksaan sebagai berikut : pemeriksaan ditemukan selaput dara sudah tidak ada, adanya bengkak pada dinding vagina, tampak ada luka sobek pada vagina disebabkan oleh benda tumpul. Dipersidangan terdakwa telah membenarkan dan mengakui telah melakukan persetubuhan dengan anak dibawah umur yaitu E.P Binti Agus Joko Widodo. Keterangan terdakwa diatur lebih lanjut dalam Pasal 189 KUHAP bahwa keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan dipersidangan tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri. Keterangan terdakwa sendiri tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia telah bersalah melakukan perbuatan yang dilakukan.kepadanya, oleh karena itu harus didukung dengan alat bukti lain untuk menujukan kesalahannya. Hal ini 85
sesuai dengan asas pembuktian yang dianut di KUHAP yaitu asas pembuktian Undang-Undang secara negative. Berdasarkan fakta didalam persidangan pada putusan nomor : 14/Pid.Sus/2012/PN.Bi,
jelas
tidak
ditemukan hal
hal
yang dapat
menghapuskan pidana bagi terdakwa, baik alasan alasan pemaaf maupun alasan alasan pembenar maka oleh karenanya terdakwa haruslah dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana yang setimpal dengan kesalahannya, yang dalam hal ini perbuatan terdakwa telah melanggar ketentuan Pasal 81 ayat (2) Undang Undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, dimana perbuatan terdakwa tesebut dapat menimbulkan trauma bagi anak dan perasaan sedih dan malu baik pada korban maupun pada keluarga korban, dengan demikian jelas bahwa perbuatan terdakwa tersebut adalah suatu perbuatan yang sepatutnya dijatuhi pidana. Berdasarkan fakta dipersidangan, bahwa sebelum menjatuhkan pidana bagi terdakwa, hakim akan mempertimbangkan apakah terdakwa merupakan anak sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 jo Pasal 3 ayat (1) Undang Undang nomor 3 tahun 1997. Berdasarkan pertimbang tersebut bahwa terdakwa Agung Wibowo alias Njendong bin Sutrisno lahir pada tanggal 2 Nopember 1995 dan pada saat terdakwa diajukan dipersidangan masih berumur 16 tahun sehingga dari fakta tersebut pada saat terdakwa melakukan tindak pidana ia belum berumur 18 tahun, dengan demikian kepada terdakwa berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 jo Pasal 3 ayat (1) Undang Undang nomor 3 tahun 1997tentang Peradilan Anak. 86
Hakim dalam menjatuhkan pidana kepada terdakwa sebagai pelaku tindak pidana, bukan sebagai sarana balas dendam semata, tetapi pidana dijatuhkan kepada pelaku juga sebagai sarana pendidikan atau pembelajaran bagi perilaku pelaku tindak pidana supaya dalam menjalani tindak pidana dapat memperbaiki akhlak dan perilaku agar nantinya tidak lagi mengulangi tindak pidana.Berdasarkan fakta dipersidangan telah terungkap fakta bahwa terdakwa masih berstatus sebagai pelajar dan masih bersekolah Berdasarkan fakta hukum tersebut, hakim tetap memperhatikan akibat dari perbuatan terdakwa yang mengakibatkan saksi korban E.P binti Agus Joko Widodo merasa sedih, malu, trauma secara psikis, serta mengalami luka sobek pada vagina sesuai dengan visum Et Repertum nomor : 10045/E.08/RSAS/XI/2011 yang ditanda tangani oleh dr. Luluk Diany Zahdiya dari Rumah Sakit Umum ASIFA Sambi Kab Boyolali tanggal 16 Nopember 2011, dengan mempertimbangkan terhadap diri terdakwa yang berstatus sebagai anak dan masih menempuh pendidikan, maka Hakim akan menjatuhkan tindakan sebagaimana diatur dalam Pasal 22 jo Pasal 24 ayat (1) (2) jo Pasal 25 ayat (1) Undang Undang nomor 3 tahun 1997. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka terhadap terdakwa dijatuhkan tindakan dengan berdasarkan kepada Pasal 24 ayat (1) huruf b Undang Undang nomor 3 tahun 1997. Berdasarkan fakta dipersidangan telah di dengar pula pendapat dari orang tua terdakwa yang pada pokoknya orang tua berjanji akan mendidik dan menasehati serta mengawasi terdakwa dan orang tua menyerahkan 87
sepenuhnya tentang hukuman yang akan dijatuhkan kepada terdakwa kepada pengadilan karena sebelumnya terdakwa pernah melakukan tindak pidana. Hakim dalam menjatuhkan pidana kepada terdakwa juga berpedoman kepada Pasal 59 ayat (2) Undang Undang nomor 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak. Bahwa sebelum menjatuhkan pidana terhadap terdakwa, Hakim mempertimbangkan hal hal yang memberatkan dan meringakan bagi terdakwa : Hal Hal yang memberatkan : g. Akibat perbuatan terdakwa saksi korban mengalami trauma fisik dan psikis. Hal Hal yang meringankan : h. Terdakwa masih bersekolah i. Terdakwa mengakui terus terang perbuatannya, bersikap sopan dipersidangan Pertimbangan hakim ini didasarkan pada pembuktian yang ada dalam KUHAP yang menganut sistem pembuktian negative yag diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Dalam Pasal 183 KUHAP, antara batas minimum pembuktian dan keyakinan hakim harus saling mendukung walaupun sebenarnya antara keduanya mengandung unsur yang berbeda. Batas minimum pembuktian yaitu 2 (dua) alat bukti tersebut mengandung unsur objektif yaitu sesuai yang telah ditetapkan Undang Undang dan unsur subjektif dari keyakinan hakim, walaupun demekian keduanya harus saling mendukung. 88
Pembuktian pada putusan perkara nomor 14/Pid.Sus/2012/Pn.Bi, juga menggunakan sistem pembuktian secara negative, dimana penuntut umum menghadirkan saksi dipersidangan yang dalam keterangannya telah disebutkan diuraian sebelumnya yang menunjukan saksi telah mengalaminya sendiri, melihat dan mendengar tentang kejadian tersebut dan menunjukan bahwa terdakwa benar telah melakukan tindak pidana persetubuhan terhadap anak disertai kekerasan dan paksaan. Kemudian dari terdakwa sendiri juga mengakui perbuatannya dan didukung barang bukti yang dihadirkan di persidangan yang semakin memeprkuat dakwaan penuntut umum. Pertimbangan hukum hakim dalam putusan perkara nomor : 14/Pid.Sus/2012/PN.Bi, telah sesuai dengan aturan yang ada. Dari segi hukumnya yaitu terpenuhinya unsur-unsur Pasal 81 ayat (1) Undang Undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Undang Undang nomor 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak dan dikaitkan dengan Pasal 184 ayat (1) KUHAP menunjukan syarat minimum pembuktian yaitu minimum 2 (dua) alat bukti dan disertai dengan keyakinan hakim telah terpenuhi, serta dari segi non yuridis ada keadaan yang atau hal hal yang memberatkan dan meringakan telah dipertimbangkan pula oleh Hakim dalam putusannya yang telah diuraikan sebelumnya sehingga unsur melakukan ancaman kekerasan dan kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya telah terpenuhi dan sesuai dengan Pasal 81 ayat (1) Undang Undang nomor 23 tahun 2002 yang sesuai dengan dakwaan penuntut umum dalam dakwaan alternative. Oleh karena itu Hakim menyatakan bahwa Hakim menghukum 89
terdakwa
dengan
diserahkan
kepada
Negara
untuk
mengikuti
pendidikan,pembinaan, dan latihan kerja sebagai anak Negara selama 3 (tiga) tahun di lembaga Permasyarakatan Anak di Kutoarjo Kabupaten Purworejo.
90
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari uraian dan pembahasan dan hasil penelitian maka dapat disimpulkan
bahwa
dalam
putusan
nomor
:14/pid.sus/2012/PN.Bi,
perlindungan hukum terhadap saksi korban E.P Binti Agus Joko Widodo kurang maksimal. Hal ini dapat dilihat dalam perlindungan hukum terhadap anak berdasarkan Pasal 64 ayat (3) Undang Undang nomor 23 tahun 2002 mengatur tentang adanya upaya rehabilitasi, upaya perlindungan informasi untuk menghindari labelisasi, memberikan jaminan keselamatan dan pemberian aksesbilitas untuk mengetahui perkembangan perkara. Dari seluruh yang diatur tersebut hanya untuk perlindungan informasi untuk menghindari labelisasi saja yang didapatkan korban anak, Sementara upaya rehailitasi tidak didapatkan oleh korban tindak pidana tersebut. Dari uraian diatas juga dapat dilihat bahwa hakim dalam menjatuhkan putusan pidana kepada terdakwa didasari dari berbagai macam pertimbangan yaitu pertimbangan secara yuridis dan non yuridis. Dimana pertimbangan yuridis didasarkan Pasal 183 KUHAPyaitu didapat berdasarkan Keterangan saksi, surat (Visum Et Repertum No pol :10045/E.08/XI/2011) maupun keterangan terdakwa serta barang bukti yang diajukan dipersidangan, dimana dari alat alat bukti yang diajukan dalam persidangan tersebut terdakwa telah terbukti melakukan persetubuhan dan hakim memperoleh keyakinan
sesuai
dengan
ketentuan
Pasal
183
KUHAP.Sedangkan 91
pertimbangan non yuridis didasarkan alasan alasan yang sifatnya sosiologis yaitu yang dapat dijadikan pedoman bagi Hakim untuk memberatkan atau pun meringankan hukuman yang akan dijatuhkan kepada si terdakwa nantinya. B. SARAN Hendaknya dikemudian hari apabila ada kasus serupa, upaya perindungan terhadap anak korban tindak pidana harus lebih diperhatikan lagi, dan jangan hanya memperhatikan hak hak terdakwa saja yang dilindungi, melainkan hak dari korban juga harus diperhatikan.Oleh sebab itu peran Komosi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sebagai kepanjangan tangan dari Negara harus lebih aktif lagi dalam memastikan pengawasan agar hak hak korban anak dapat dipenuhi
92