ANALISIS PENDEKATAN AGROFORESTRI DALAM UPAYA PERBAIKAN PEMANFAATAN LAHAN BERBASISKAN PARTISIPASI MASYARAKAT

ANALISIS PENDEKATAN AGROFORESTRI DALAM UPAYA PERBAIKAN PEMANFAATAN LAHAN BERBASISKAN PARTISIPASI MASYARAKAT. STUDI KASUS HUTAN LINDUNG SUNGAI WAIN BALIKPAPAN Analysis of Agroforestry Approach in Restoring Effort of Land Management Based on Community Participation. A Case Study of Sungai Wain Protected Forest, Balikpapan

Hamidah1), Mustofa Agung Sardjono2) dan Johanes Johni Hang Kueng2) Abstract. The purpose of this research was to diagnose the land exploitation pattern by the community in Sungai Wain Protected Forest (SWPF), furthermore, based on the data was offered as the restoring proposal of available agroforestry program, in order that appropriate with the potency and the existence of SWPF, also strive for increasing the community awareness in participation. The research results showed that the existing land-use system was upland farming system, among others: sedentary farming home and fruit gardens. From the problems, that was, social threats to the forest degradation which was caused by 3 factors, among others: low farm productivity, low participation to the forest protection also less government interventions. As a consequence was low community’s income. The factors influenced those conditions were internal and external. The internal factors were related to the less functioned formal and non formal institution, low education. The external factors concentrated to the government policies, also the increasing of land illegal occupancy, forest encroachment and brokers. The program which had been done by SWPF until now was the farm land management as the first step to perform the real agroforestry. Based on the research conclusions, it has been suggested some important alternatives, among others: the necessity of land management effort which is the agroforestry practice can be done by the homegarden management optimally and also intensification of the multipurpose of tree species planting as well as animal husbandry. Kata kunci: agroforestri, persepsi, pemanfaatan lahan

_________________________________________________________________________ 1) Fakultas Pertanian Universitas Widya Gama Mahakam, Samarinda 2) Laboratorium Sosekbud Fak. Kehutanan Unmul, Samarinda

159

JURNAL KEHUTANAN UNMUL 2 (2), OKTOBER 2006

160

Kawasan permukiman di sekitar hutan, baik berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan, berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal/lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung peri kehidupan dan penghidupan penduduknya. Namun dalam kenyataannya tidak semua penduduk tinggal pada kawasan permukiman, melainkan ada petani bermukim dan atau melakukan aktivitas hidup di dalam kawasan hutannya. Apa yang terjadi tersebut sesuai dengan pendapat Herawati (1995) dalam Sukmajaya dkk. (1999), bahwa hutan yang memiliki aksesibilitas yang tinggi cenderung menarik penduduk untuk membuka hutan serta tinggal dan mengusahakan pertanian. Selain itu kawasan hutan yang landai dan berada di dataran rendah lebih menarik daripada hutan yang bergelombang dan berada di dataran tinggi. Selama ini cara-cara pemanfaatan lahan di hutan lindung atau kawasan konservasi oleh masyarakat cenderung membawa dampak negatif terhadap kerusakan hutan. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka agroforestri dipandang sebagai suatu solusi yang dapat memecahkan permasalahan tersebut. Agroforestri merupakan bentuk/pendekatan pemanfaatan lahan yang dalam dua setengah dasawarsa ini dipromosikan di seluruh dunia, melalui pengkombinasian tanaman berkayu (kehutanan) dengan tanaman non-kayu (pertanian) atau dapat pula dengan rerumputan (pasture), kadang-kadang ada komponen ternak atau hewan lainnya (lebah, ikan) sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antara tanaman berkayu dengan komponen lainnya (Hairiah dkk., 2003). Pengembangan agroforestri di Kalimantan Timur meliputi praktek pemanfaatan lahan usaha tani oleh rakyat, artinya manajemen dan pola tanamnya oleh dan atas kehendak rakyat di atas lahan yang dikuasai atau dimilikinya. Adapun pola agroforestri yang akan dikembangkan dapat berbasis pada praktekpraktek pemanfaatan lahan tradisional atau inovasi teknologi terbaru (Bratawinata dan Sardjono, 1988; Radite, 1988). Sebagai contoh, menurut Wijanarko (1996), praktek pemanfaatan lahan usaha tani oleh rakyat telah dilakukan oleh petani di Desa Mari dan dengan memanfaatkan lahan pekarangan yang berada di lahan yang dimilikinya sendiri. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mendiagnosis pola pemanfaatan lahan oleh masyarakat di kawasan utan Lindung Sungai Wain (HLSW), yang selanjutnya berdasarkan data yang diperoleh diajukan perbaikan program agroforestri yang ada agar sesuai antara potensi, kondisi dan keberadaan HLSW. Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan data/informasi teknis dan sosekbud berkaitan dengan pola pemanfaatan lahan yang dipraktekkan serta akan diintrodusir dalam kawasan HLSW. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan di kawasan Hutan Lindung Sungai Wain (HLSW), khususnya pemukiman penduduk di Km 15; 17; 20 dan 24 yang secara administratif berada dalam wilayah Kelurahan Karang Joang, Kecamatan Balikpapan Utara, Kotamadya Balikpapan, Propinsi Kalimantan Timur.

161

Hamidah dkk. (2006). Analisis Pendekatan Agroforestri

Penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan sejak persiapan sampai pengambilan data. Dalam penelitian ini yang menjadi objek utama adalah masyarakat petani yang diwakili oleh kepala keluarga terpilih (responden); pola pemanfaatan lahan hutan oleh masyarakat di sekitar maupun di dalam kawasan HLSW; program-program yang dilakukan oleh Badan Pengelola HLSW. Data yang diperlukan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh langsung di lapangan dari hasil kuisioner dan wawancara penduduk di dalam dan di sekitar HLSW, antara lain: Data umum responden (asal usul, umur, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga dan mata pencaharian); luas lahan yang dikelola serta status kepemilikannya; kondisi sosial ekonomi masyarakat (pendapatan); pola pemanfaatan lahan; persepsi masyarakat tentang agroforestri. Data sekunder diperoleh dari sumber-sumber data yang berasal dari laporanlaporan instansi terkait, badan pengelola dan literatur-literatur yang berkaitan dengan penelitian, antara lain: demografi (jumlah penduduk, kepadatan penduduk dan struktur penduduk); sarana dan prasarana fisik (jumlah dan jenis fasilitas pendidikan, agama dan kesehatan); peta kawasan dan letak geografis; data dan informasi lainnya yang mendukung. Data dan informasi yang diperoleh dari kuisioner, wawancara dan studi literatur di lapangan kemudian diedit, selanjutnya diklasifikasikan dan ditabulasikan sesuai dengan tujuan penelitian. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Kondisi Biogeofisik Areal studi mempunyai fisiografi dataran yang cukup bervariasi, yaitu sekitar 85 % bergelombang sampai berbukit dan 15 % datar sampai landai. Jenis tanah yang dominan di areal penelitian adalah podsolik merah kuning (ultisol). Jenis tanah ini dapat mengalami pencucian lebih cepat, berstruktur berat dan mengandung unsur liat yang tinggi dengan permeabilitas rendah. Kandungan bahan organik dan unsur haranya rendah dengan pH berkisar 4,5–6,0 (Anonim, 2003). Subroto (2003) mengklasifikasikan tanah berdasarkan nilai pH menurut USDA (United State Department of Agriculture) yaitu tanah dengan pH 4,6–5,5 masam, sedangkan pH 5,6–6,0 agak masam. Oleh karenanya tanah di HLSW tergolong masam hingga agak masam. Oleh sebab itu, jika jenis tanah ini digunakan untuk lahan pertanian, maka diperlukan perlakuan tambahan (misal pengapuran) untuk memperbaiki tekstur dan unsur haranya sehingga dapat produktif. Ditinjau dari sisi topografi sebagian besar areal penelitian di HLSW adalah datar dengan kelas kemiringan 0–2 %. Daerah datar pada umumnya terdapat di sekitar pantai dan pinggir sungai atau lembah. Daerah datar biasanya sangat bagus untuk beberapa komoditas pertanian dan sayuran dataran rendah lainnya.


162

Curah Hujan dan Tipe Iklim Data rata-rata curah hujan bulanan yang tercatat di stasiun Karang Joang dari tahun 2000–2004 adalah 128,7 mm. Distribusi curah hujan sepanjang tahun dapat digolongkan sebagai wilayah relatif basah (tanpa bulan kering < 60 mm), meskipun lokasinya berada di zona pantai (catatan: Kaltim seringkali dibagi atas tiga zona, yaitu: pantai, pedalaman dan perbatasan). Bulan-bulan kering hanya dijumpai pada saat periode kemarau panjang yang diakibatkan pengaruh El Nino di Pasifik setiap 5–10 tahun sekali. Berdasarkan data rata-rata curah hujan dari tahun 2000–2004, curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Desember sebanyak 206,0 mm dengan 16 hari hujan, sedangkan curah hujan terendah terjadi pada bulan Agustus 63,2 mm dengan 4 hari hujan. Berdasarkan klasifikasi iklim menurut Schmidt dan Fergusson, lokasi penelitian termasuk wilayah dengan tipe iklim relatif basah (tipe A) dengan nilai Q = 0 % (tidak ada bulan kering dengan curah hujan <60 mm). Bila dikaitkan dengan pemanfaatan lahan, maka walaupun tergolong beriklim basah, namun hari hujan rata-rata per bulan hanya 10,78 hari. Kondisi demikian ini tidak dapat mendukung bila di lokasi studi hanya mengembangkan tanaman semusim, tanpa adanya tanaman tahunan, berupa tanaman berkayu seperti halnya dalam bentuk agroforestri. Menurut Abood (1990) dalam Anonim (1997), tanaman berkayu memberikan beberapa keuntungan, antara lain: memperbaiki tata air serta mengurangi terjadinya suhu ekstrim (baik di udara, dalam tanah, maupun dalam batang dan daun), sehingga meningkatkan produktivitas tanaman pertanian. Pemanfaatan Lahan Masyarakat 1. Usaha tani menetap Ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya hutan sudah lama berlangsung, bahkan sudah beberapa generasi sampai mereka memiliki kebudayaan kegiatan berladang. Pada awalnya mereka melakukan kegiatan ladang berpindah (shifting cultivation). Tetapi dengan semakin ketatnya pengawasan di kawasan HLSW, maka kegiatan ladang berpindah tidak lagi dilakukan oleh masyarakat. Berdasarkan hasil perhitungan, maka didapatkan rataan petani yang menerapkan usaha tani menetap (agrisilvikultur) berkisar antara 0,47–0,72 dengan tingkat kepercayaan 95 %, struktur dan komposisi dari sistem pertanian yang dikelola petani, baik di dalam atau di sekitar kawasan HLSW sebenarnya tidak semuanya murni (monokultur) tetapi campuran. Petani menanam berbagai jenis tanaman palawija pada waktu yang bersamaan, antara lain: jagung (Zea mays), ketela pohon (Manihot utilisima) dan ketela rambat (Ipomoea batatas) serta kacang tanah dan sayur-sayuran seperti ditampilkan pada Tabel 1.

163


Tabel 1. Jenis Tanaman Sayuran di Kelurahan Karang Joang Suku, jenis Solanaceae: Capsicum annum Solanum albuma Solanum licopersicum Papilionaceae: Phaseolus vulgaris Vigna sesquipedalis Cucurbitaceae: Cucumis sativus Momordica charantia Brassica junea

Nama lokal

Sekitar kawasan

Dalam kawasan

Lombok Terong Tomat

x x x

x x x

Buncis Kacang panjang

x x

x x

Ketimun Pare Sawi

x x x

x x x

Ditinjau dari struktur pendapatan masyarakat, maka sangat jelas bahwa tanaman sayuran tidak sekedar untuk memenuhi kebutuhan sendiri sehari-hari (subsistens). Usaha tani menetap ini justru sebagai sumber penghidupan (pendapatan). 2. Lahan pekarangan Di samping usaha tani menetap, masyarakat khususnya yang berada di sekitar kawasan juga memanfaatkan lahan di sekitar tempat tinggal mereka (pekarangan). Sistem pemanfaatan lahan pekarangan masyarakat yang berada di sekitar kawasan HLSW merupakan pola tanaman campuran antara tanaman berkayu, non kayu dan pemeliharaan ternak. Tanaman berkayu didominasi pohon buah-buahan, sedangkan non kayu didominasi tanaman sayuran maupun tanaman perdu lainnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Bratawinata dan Sardjono (1983), bahwa sistem pemanfaatan lahan pekarangan merupakan kombinasi antara komponen kehutanan, pertanian dan peternakan (agrosilvopastura), yang merupakan salah satu sistem agroforestri yang dapat dijumpai di Kalimantan Timur. Pengusahaan lahan pekarangan pada dasarnya juga merupakan karakteristik masyarakat pedesaan (Rahardjo, 1999). Sardjono (1995a) bahkan mengemukakan bahwa pengelolaan lahan pekarangan seringkali lebih intensif (dalam arti pemanfaatan ruang) daripada areal pertanian yang jauh, meskipun bukan menjadi lahan utama. Meskipun demikian, Sardjono (1995a) menambahkan, bahwa terdapat perbedaan antara kebun pekarangan tradisional dengan yang lebih modern. Pemanfaatan kebun pekarangan tradisional lebih didominasi tanaman berkayu yang tidak dibudidayakan dan umumnya lebih polikultur (terdiri dari lebih banyak jenis tumbuhan penyusun). Lahan pekarangan yang dimanfaatkan terdiri dari komponen tanaman berkayu, tanaman non-kayu dan dikombinasikan dengan pemeliharaan ternak, sebagai berikut: 2.a. Tanaman berkayu. Tanaman berkayu terpenting yang ada pada lahan pekarangan didomonasi oleh jenis buah-buahan. Pohon buah-buahan yang ditanam petani adalah termasuk jenis-jenis yang sudah dibudidayakan seperti yang terlihat pada Tabel 2.


164

Tabel 2. Jenis Tanaman Berkayu pada Lahan Pekarangan di Kelurahan Karang Joang Suku, jenis Bombacaceae: Durio zibethinus Moraceae: Artocarpus champeden Artocarpus integra Artocarpus altilis Anacardeaceae: Mangifera indica Spondias pinnata Annonaceae: Annona muricata Meliaceae: Sandoricum koetjape Myrtaceae: Eugenia aromatica Eugenia polyanta Eugenia aquea Psidium guajava Rutaceae: Citrus spp. Sapindaceae: Nephelium lappaceum Oxalidaceae: Averrhoa bilimbi Averrhoa carambola Sterculiaceae: Theobroma cacao Rubiaceae: Coffea spp.

Nama lokal Durian

Sekitar kawasan

Dalam kawasan

x

x

Cempedak Nangka Sukun

x x x

x -

Mangga Kedondong

x x

x x

Sirsak

X

-

Kecapi

X

x

Cengkeh Salam Jambu air Jambu biji

x x x x

x x

Jeruk

X

x

Rambutan

X

x

Belimbing tunjuk Belimbing

x x

x -

Coklat

-

x

Kopi

-

x

Bila ditinjau dari komponen berkayu pada lahan pekarangan terlihat lebih miskin jenis ataupun sukunya dibandingkan kebun pekarangan tradisional yang diidentifikasi di Hulu Mahakam (Sardjono, 1995a). Warga di lokasi penelitian tampaknya lebih mementingkan jenis buah-buahan yang selain dapat dikonsumsi sendiri juga laku di pasaran. 2.b. Tanaman non kayu. Tanaman non kayu didominasi oleh jenis-jenis yang kurang memerlukan perawatan secara intensif, seperti suku Palmae (Cocos nucifera), pisang-pisangan (Musa spp.) dan suku Bromeliaceae (Ananas comosus), Caricaceae (Carica papaya), Solanaceae (Capsicum spp.), salak (Salacca edulis) dan lain-lain. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan untuk menghemat biaya dan tenaga kerja. Pengelolaan lahan pekarangan masih dilakukan sebagai pekerjaan sambilan, mereka lebih mengutamakan pengelolaan lahan pertanian. Meskipun demikian ditinjau dari jenis yang diusahakan, pada umumnya juga memiliki kemungkinan bisa dipasarkan.

165


2.c. Pemeliharaan ternak. Lahan pekarangan selain ditanami tanaman pohon dan non kayu juga dimanfaatkan untuk memelihara ternak (seperti kambing, ayam dan itik). Kandang ternak ini biasanya terletak di samping atau bagian belakang rumah. Hal ini memberikan berbagai keuntungan baik, bagi petani maupun untuk lingkungan. Keuntungan lingkungan diperoleh dari hasil limbah berupa kotoran hewan. Secara tidak langsung proses itu akan membantu petani dalam memperbaiki kesuburan tanah karena pupuk kandang dapat menambah unsur hara tanah, memperbaiki struktur tanah dan mendorong kehidupan jasad renik (Sarief, 1985). Peningkatan kesuburan tanah diharapkan dapat memacu pertumbuhan tanaman, sehingga akan meningkatkan produktivitasnya. Berdasarkan hasil perhitungan, maka diperoleh rataan petani yang memanfaatkan lahan pekarangan untuk memelihara hewan ternak (agrosilvopastura) berkisar antara 0,18–0,42 dengan tingkat kepercayaan 95 %. 3. Kebun buah Bagi pemilik kebun buah manfaat yang diperoleh yaitu buah yang dihasilkan dapat dimanfaatkan bagi pemenuhan kebutuhan keluarga. Pemenuhan kebutuhan jangka panjang merupakan salah satu alasan petani menanam pohon, produksi pohon yang dapat diambil secara kontinyu sangat cocok sebagai “tanaman pensiun”. Adanya tanaman pensiun ini membuat mereka percaya diri, karena mereka tidak tergantung pada orang lain di masa tua mereka. Mengingat keterbatasan dan kekuatan fisik yang semakin menurun, cenderung memilih tanaman tahunan yang tidak memerlukan pemeliharaan intensif dan berat, namun memberikan penghasilan kontinyu (Suharjito dkk., 2003). Berdasarkan hasil perhitungan, maka didapatkan rataan petani yang memanfaatkan lahan pekarangannya dan menjadi kebun buah berkisar antara 0,15– 0,38 dengan tingkat kepercayaan 95 %. Berdasarkan Tabel 3, dapat ditarik kesimpulan bahwa masyarakat yang berada di dalam kawasan tidak memanfaatkan lahan pekarangan dengan baik (lahan pekarangan dibiarkan begitu saja), walaupun ada yang memanfaatkan lahan pekarangan, itupun hanya bersifat subsisten. Hal ini tentu saja akan berpengaruh terhadap hasil pendapatan masyarakatnya dan akan menyebabkan tingkat ketergantungan masyarakat terhadap hutan akan semakin tinggi. Masyarakat (baik di sekitar maupun di dalam kawasan) sudah tidak mengerjakan lahan basah (sawah) lagi sejak adanya larangan dari BP-HLSW kurang lebih 5 tahun yang lalu. Implementasi Intervensi Program Agroforestri 1. Program pemanfaatan lahan agroforestri Sejak terbentuknya Badan Pengelola Hutan Lindung Sungai Wain (BPHLSW) pada tahun 2001, telah ditetapkan blok utama, dengan pertimbangan konservasi fungsi hidroorologi (dan sekaligus bioekologis) kawasan serta sekaligus kehidupan masyarakat yang sudah bermukim di sekitar bahkan di dalam

166


HLSW. Blok yang terdapat di kawasan HLSW adalah Blok Perlindungan, Blok Kegiatan Terbatas dan Blok Kegiatan Pemanfaatan. Program agroforestri akan dikembangkan pada blok pemanfaatan kawasan yang dibuat oleh BP-HLSW pada saat ini, yaitu: Penggunaan Lahan Pertanian (PLP) di dalam kawasan dengan ketentuan: i) tidak menebang pohon, ii) teknik mengolah tanah yang tidak menimbulkan erosi, iii) tidak menggunakan pestisida dan insektisida melebihi ambang batas baku mutu lingkungan dan iv) melakukan kegiatan tidak dilakukan pada kelerengan 25 %. Mengenai bagaimana bentuk/pola agroforestri dan jenis tanaman yang akan ditanam pada kawasan tersebut belum ditentukan oleh BP-HLSW. Tabel 3. Ringkasan Pola Pemanfaatan Lahan yang Terdapat di Kawasan HLSW Tipe pemanfaatan lahan Lahan kering

Bentuk Lokasi pemanfaatan lahan Usaha tani Sekitar menetap dan dalam kawasan HLSW

Manfaat bagi masyarakat

Struktur dan Kendala komposisi

Membantu pemenuhan kebutuhan pangan

Tidak murni monokultur (tumpang sari)

Keterbatasan modal dan biaya serta kurangnya tenaga kerja

Lahan pekarangan

Sekitar HLSW

Dapat membantu pemenuhan kebutuhan keluarga

Multistrata dan polikultur

Kebun buah

Sekitar Tidak kawasan langsung: Membantu menyuburkan tanah Mengurangi laju erosi Langsung: Keamanan pangan Dalam Masih bersifat kawasan subsisten Dalam dan sekitar kawasan

Kurang tenaga kerja dan perawatan sehingga produksinya tidak maksimal Kurang tenaga kerja dan perawatan sehingga produksinya tidak maksimal

Lahan basah Sawah

-

-

Proses produksi

Pembukaan lahan dimulai dengan perintisan, penebasan dan pembakaran selama ±1 bulan. Selanjutnya dilakukan penanaman dan pemeliharaan sampai waktu panen tiba

Terbentuknya kebun buah yang merupakan proses kelanjutan dari pemanfaatan lahan pekarangan. Produksinya dapat diperoleh secara periodik, tergantung musim

-

167


2. Persepsi masyarakat tentang program agroforestri Ternyata istilah agroforestri (wanatani) di kalangan masyarakat masih mempunyai persepsi yang berbeda-beda. Pada Tabel 4 ditampilkan, bahwa persepsi responden mengenai agroforestri cukup bervariasi yaitu yang mempunyai persepsi yang benar tentang agroforestri 58,3 %, sedangkan yang tidak tahu 11,7 % dan yang mempunyai persepsi masih keliru tentang agroforestri sebesar 30,0 %. Tabel 4. Persepsi Masyarakat Tentang Pengertian Agroforestri Persepsi Campuran tanaman pohon dan sayuran Campuran tanaman sayuran Tidak tahu Jumlah

Jumlah responden 35 18 7 60

Persentase (%) 58,3 30,0 11,7 100,0

Kebersediaan masyarakat mengikuti program agroforestri berdasarkan hasil kuisioner dan wawancara yang dilakukan terhadap 60 responden adalah 71,7 % bersedia mengikuti program agroforestri tersebut dan selebihnya tidak memberikan jawaban pasti 28,3 % dalam artian tergantung kepada pemilik lahan yang mereka pinjam (Tabel 5). Tabel 5. Kesediaan Responden Mengikuti Program Agroforestri Kesediaan mengikuti program Bersedia Tidak bersedia Tergantung pemilik lahan Jumlah

Jumlah responden 43 17 60

Persentase (%) 71,7 0 28,3 100,0

Masyarakat yang tinggal di dalam kawasan tidak seluruhnya memiliki lahan sendiri. Petani yang tidak memiliki lahan sendiri biasanya meminjam lahan milik orang lain yang tidak digarap oleh pemiliknya karena kurangnya tenaga kerja dan modal. Permasalahan dan Tujuan Pemanfaatan Lahan serta Kebutuhan Masyarakat 1. Analisis permasalahan 1.1. Permasalahan inti. Berdasarkan uraian tentang bentuk dan praktek pemanfaatan lahan di lokasi penelitian, maka terlihat jelas bahwa perekonomian masyarakat utamanya bertumpu pada pertanian menetap (lahan kering). Hal ini dapat dilihat bahwa masyarakat yang melakukan pertanian menetap (lahan kering) dengan cara menanam tanaman palawija dan sayur-sayuran 32,6 %. Kegiatan tersebut ditinjau dari sisi ekologis hutan lindung akan sangat berbahaya, karena dapat membawa kerusakan pada ekosistem yang ada. Kebun selain sebagai sumber pangan, juga berfungsi sebagai sumber kayu bakar. Ketergantungan terhadap hasil kebun, meluaskan suksesi tekanan terhadap sumberdaya hutan meningkat.


168

Hal ini dikarenakan pembukaan lahan untuk berkebun berarti pengalihan lahan hutan menjadi areal pertanian. Pemanfaatan lahan di Kalimantan Timur sedang mengalami perubahan yang tidak terarah. Hal ini disebabkan tidak adanya orientasi yang menyeluruh, sehingga dari yang seharusnya kemajuan yang diperoleh, justru mengarah kepada kemunduran (Sardjono, 1995b). 1.2. Penyebab. Permasalahan inti yang dihadapi yaitu ancaman sosial terhadap degradasi hutan yang tinggi, disebabkan oleh faktor utama sebagai berikut: 1.2.a. Rendahnya produksi hasil pertanian. Peruntukan pemanfaatan lahan belum dikelola secara optimal seperti lahan pertanian belum digunakan secara intensif, kebun buah dan lahan pekarangan tidak dirawat secara benar, disebabkan antara lain: kurangnya modal dan tenaga kerja dan juga lahan pertanian belum dimanfaatkan secara intensif. 1.2.b. Partisipasi dalam pengamanan hutan rendah. Permasalahan ini diperoleh dari hasil wawancara dengan petani yang menyatakan, bahwa keinginan untuk menjaga atau merawat hutan masih rendah. Hal ini disebabkan sumber mata pencaharian mereka masih tergantung dari hutan, seperti mencari kayu bakar dan lahan pertanian mereka yang berada di daerah kawasan. Ketergantungan masyarakat pada hutan itu disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: rendahnya tingkat pendidikan serta adanya pola pikir tradisional 1.2.c. Intervensi pemerintah kurang menjangkau. Keadaan ini dapat dilihat dari minimnya bimbingan dari instansi terkait yang dihubungkan dengan peningkatan intensifikasi pertanian yang terbatas. Bimbingan dan penyuluhan terkait masih kurang, terutama bagi masyarakat yang berada dalam kawasan. Akibatnya kemampuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat masih tergantung dari hasil hutan dan apa yang ada di sekitar mereka. Untuk mengurangi ketergantungan itu diperlukan bimbingan dari instansi terkait untuk memperbaiki atau meningkatkan teknologi pemanfaatan lahan yang ada. Dengan demikian produksi dapat meningkat dan masyarakat akan memperoleh nilai tambah dari lahan yang dikelolanya. 1.3. Akibat. Akibat negatif yang telah dan dapat terjadi berdasarkan hasil analisis dapat diidentifikasi sebagai berikut: 1.3.a. Pendapatan masyarakat rendah. Masyarakat pada umumnya masih mengandalkan sumber pendapatan dari hasil pertanian. Pendapatan dari hasil pertanian ternyata rendah. Rendahnya hasil pertanian tersebut sebagai akibat dari kesuburan tanah yang mulai menurun. Kurangnya modal untuk membeli pupuk dan kurangnya tenaga kerja. Kondisi tersebut di atas akan membawa dampak lebih lanjut yaitu: daya beli masyarakat rendah, aksesibilitas ke pasar rendah serta tengkulak makin berkembang. 1.3.b. Produktivitas daerah rendah. Kebutuhan hidup yang didapat hanya diperoleh dari hasil pertanian dan hasil hutan di sekitarnya. Sementara keadaan hutan semakin terdesak dan hasil produksi pertanian yang dihasilkan hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri, karena tidak cukup untuk dijual ke wilayah lain,

169


maka kondisi ini akan membawa dampak lebih jauh lagi, antara lain: kesenjangan ekonomi dengan wilayah kota akan semakin tinggi serta pertumbuhan ekonomi daerah menurun. 2. Analisis tujuan Untuk memahami proses diagnosis pola pemanfaatan lahan dengan pendekatan agroforestri, pada dasarnya dapat didekati melalui teknik diagram pohon dari metode analisis pemecahan projek berdasarkan tujuan (ZOPP = Ziel Orientierte Projekt Plannung) yang telah disederhanakan. Berdasarkan metode tersebut permasalahan yang dihadapi (keseluruhan kondisi negatif) perlu diupayakan menjadi kondisi-kondisi positif. Dengan demikian hal penting yang harus dipecahkan dapat dilakukan pendekatan melalui i) peningkatan produksi hasil pertanian, yaitu dengan cara memperbaiki sistem pemanfaatan lahan yang ada; faktor ini merupakan faktor yang harus mendapat perhatian utama, ii) peningkatan kesadaran kelestarian hutan, yaitu dengan cara meningkatkan tingkat pendidikan, mengubah pola pikir menjadi rasional dan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, iii) memperbesar intervensi pemerintah, yaitu dengan cara meningkatkan intensitas bimbingan dan penyuluhan instansi terkait pada masyarakat. Kondisi di atas dapat menurunkan pengaruh ancaman sosial terhadap degradasi hutan dan kondisi berikut ini akan dapat dicapai, yaitu antara lain: i) daya beli masyarakat meningkat, disebabkan produksi hasil pertanian meningkat, sehingga pendapatan masyarakat juga meningkat, ii) produktivitas daerah dalam arti kemampuan bersaing secara ekonomi antara masyarakat pedesaan dan perkotaan menjadi meningkat. Mengingat permasalahan inti berasal dari berbagai sumber permasalahan awal, maka berbagai alternatif upaya pemecahan masalah dapat dijalankan. 3. Kebutuhan masyarakat 3.1. Kepastian status lahan. Permasalahan status lahan, sertifikat dan hak guna telah menjadi konflik yang berkepanjangan. Sementara tanggapan dari pihak pengelola tidak akan ada pemberian sertifikat tanah bagi mereka yang tinggal di kawasan Hutan Lindung, sedangkan untuk masyarakat yang berada di pinggir jalan Balikpapan – Samarinda, yang dibebaskan sebagai areal pemukiman itu juga belum dapat diberikan sertifikat tanah, status mereka hanya sebagai hak pakai/guna. Untuk menjawab keresahan masyarakat yang tinggal di dalam kawasan, maka dengan adanya Keputusan Walikota Balikpapan Nomor: 13 Tahun 2004, pada Bab II Pasal 2 menyatakan, bahwa Kawasan HLSW ditata dengan sistem Blok yang terdiri atas: Blok Perlindungan, Blok Kegiatan Terbatas dan Blok Pemanfaatan. Pada blok pemanfaatan inilah masyarakat dapat menggunakan lahan pada kawasan yang tentunya kegiatan pemanfaatan kawasan harus sesuai dengan peraturanperaturan yang dibuat oleh pemerintah ataupun Badan Pengelola. Kegiatan pemanfaatan kawasan terdiri dari budidaya jamur, budidaya tanaman obat, budidaya tanaman hias, budidaya perlebahan serta agroforestri.


170

3.2. Bantuan modal. Tengkulak pada kawasan HLSW ini berkembang dengan sangat subur, hampir seluruh masyarakat di lokasi penelitian dalam melakukan penjualan hasil pertaniannya ditangani oleh tengkulak dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Sistem Pemasaran Hasil Pertanian di Lokasi Penelitian Sistem pemasaran Pedagang yang datang Petani yang langsung membawa ke pasar Dibeli tengkulak Jumlah


Persentase (%) 0 3,3 96,7 100,0

Pada Tabel 6 dapat dilihat, bahwa petani yang tinggal di sekitar maupun di dalam kawasan sebanyak 96,7 % menjual hasil pertaniannya kepada tengkulak, dengan beberapa alasan yang dikemukakan antara lain: i) terbatasnya waktu, ii) jumlah panen yang sedikit, iii) keterkaitan peminjaman modal pada saat awal penanaman kepada tengkulak sehingga pada saat panen, mereka harus menyerahkan hasil panennya kepada tengkulak. Dengan adanya bantuan modal dari Koperasi Unit Desa (KUD) diharapkan dapat mengurangi tingkat ketergantungan petani kepada tengkulak, sehingga tingkat pendapatan masyarakat menjadi lebih tinggi dan dengan sendirinya ketergantungan masyarakat kepada hutan akan berkurang. 3.3. Tanaman berkayu dari jenis pohon buah-buahan. Berdasarkan hasil kuisioner, masyarakat yang menginginkan tanaman jenis pohon buah-buahan yang menjadi tanaman berkayu dalam pelaksanaan program agroforestri di dalam kawasan dan di sekitar kawasan adalah 71,7 %, sedangkan selebihnya memberikan jawaban terserah (dalam artian apakah jenis tanaman berkayunya itu dari jenis tanaman kehutanan atau jenis pohon buah-buahan tergantung kepada pemilik lahan yang mereka pinjam) (Tabel 7). Tabel 7. Jenis Tanaman Berkayu yang Diinginkan oleh Masyarakat di Lokasi Penelitian Jenis tanaman berkayu yang diinginkan Jenis tanaman kehutanan Jenis pohon buah-buahan Terserah Jumlah


Persentase (%) 0 71,7 28,3 100,0

Jenis pohon buah yang diinginkan masyarakat di dalam kawasan kebanyakan adalah suku Bombacaceae dengan jenis Durio zibethinus (durian) dan suku Moraceae dengan jenis Artocarpus champedens (cempedak) (Tabel 8). Kedua jenis pohon buah tersebut banyak diminati masyarakat dengan berbagai alasan, antara lain: bersifat komersial (harga durian dan cempedak lebih tinggi dibandingkan

171


dengan jenis buah-buahan lainnya), kedua jenis pohon buah tersebut mampu tumbuh dengan baik di lokasi penelitian (terutama di sekitar kawasan). Tabel 8. Jenis Pohon Buah yang Diminati Masyarakat di Lokasi Penelitian Jenis pohon buah Durian Cempedak Rambutan Mangga Jeruk Jumlah

Jumlah responden 31 17 7 4 1 60

Persentase (%) 51,7 28,3 11,7 6,7 1,6 100,0

3.4. Ternak lebah madu. Keinginan ini terutama diungkapkan oleh sebagian masyarakat yang berada di dalam kawasan HLSW. Selain sebagai tambahan sumber penghasilan dari program agroforestri, petani juga menginginkan adanya usaha ternak lebah madu. Setelah melihat keberhasilan kebun buah (sebagai kelanjutan dari pemanfaatan lahan pekarangan) masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan, maka beberapa petani yang tinggal di dalam kawasan HLSW, juga melakukan inisiatif penanaman pohon buah durian dan ada yang mencoba menanam coklat dan kopi pada lahan pekarangan. Namun pada saat dilakukan penelitian, pohon durian, coklat dan kopi tersebut belum berproduksi. Agroforestri Sebagai Alternatif Pemanfaatan Lahan Dengan melihat program yang dibuat oleh BP-HLSW, maka dapat dilakukan analisis keadaan yang terdiri dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi kekuatan dan kelemahan, sedangkan faktor eksternal meliputi peluang dan ancaman. Dari data yang telah diperoleh, maka dapat dilihat matrik perbaikan program agroforestri HLSW yang disajikan pada Tabel 9. Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat beberapa strategi yang dapat dilaksanakan untuk memperbaiki program agroforestri yang ada. 1. Strategi Strengths-Opportunities (S-O) Melalui adanya kebijakan tentang sanksi/aturan diharapkan masyarakat dapat mendukung dan selalu bersama-sama menjaga keutuhan areal, jangan sampai terjadi lagi adanya penyerobotan lahan dan perambahan lahan, sehingga diharapkan sekali dukungan kebijakan pemerintah yang terkait dengan pengawasan suatu kawasan. 2. Strategi Weaknesses-Opportunities (W-O) Strategi ini dilakukan dengan melakukan penyuluhan kepada masyarakat tentang informasi pemasaran hasil pertanian/non pertanian. Peran Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) terhadap masyarakat hendaknya lebih diintensifkan. Hal ini dilakukan agar petani dapat lebih bergairah dalam berusaha yang mengarah kepada orientasi pasar.


172

3. Strategi Strenghts-Treaths (S-T) Strategi ini dilakukan dengan memfungsikan kelembagaan formal/non formal dalam menjaga, mempertahankan dan melestarikan sumberdaya hutan hendaknya lebih ditingkatkan. Hal ini harus dilaksanakan karena lembaga formal/non formal desa yang dianggap paling berkompeten terhadap keutuhan dan keselamatan kawasan desa tersebut. Dengan peningkatan fungsi masyarakat dapat mencegah penyerobotan lahan, kebakaran hutan dan mencegah sistem tengkulak. Hal ini perlu dilakukan agar terjalin kerjasama individu petani dalam belajar untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan. Khususnya dalam hal pengolahan lahan, proses produksi untuk mencapai skala ekonomi, proses kerjasama pengelolaan usaha tani mulai dari penggandaan sarana, kegiatan budidaya, pengolahan dan pemasaran hasil sehingga masyarakat tani dapat meningkatkan kerjasamanya sebagai suatu unit usaha bersama yang mandiri,produktif dan berkelanjutan. Tabel 9. Matrik Analisis SWOT terhadap Program Agroforestri di HLSW

Strategi program agroforestri

E k s t e r n a l

OPPORTUNITIES (O) 1. Adanya kebijakan otonomi daerah 2. Orientasi pasar

I n t e r n a l STRENGTHS (S) 1. Adanya kelembagaan formal/nonformal 2. Tersedianya SDA yang cukup

Strategi SO Diperlukan sangsi yang tegas terhadap tindakan perusakan hutan

Weaknesses (W) 1. Rendahnya tingkat pendidikan 2. Adanya tradisi masyarakat yaitu ketergantungan terhadap alam 3. Tidak berfungsinya kelembagaan yang ada Strategi WO Penyuluhan kepada masyarakat dalam rangka pemasaran hasil

TREATHS (T) Strategi ST Strategi WT 1. Adanya penyerobotan lahan 1. Memfungsikan kelembagaan 1. Program agroforestri dapat 2. Tengkulak makin yang ada dalam menjaga disempurnakan agar bersifat berkembang dan mempertahankan partisipatif 3. Bencana kebakaran baik kelestarian SDH 2. Meningkatkan usaha oleh alam maupun manusia 2. Meningkatkan penyuluhan pencegahan dan dan pengembangan sistem penanggulangan terhadap pemanfaatan lahan dan pola kerusakan kawasan HLSW agroforestri yang didukung kebijakan lokal, inovasi teknologi dan pemilihan komoditas pertanian/ perkebunan yang sesuai dan memiliki nilai ekonomis yang tinggi

173


4. Strategi Weaknesses-Treaths (W-T) Strategi ini dilakukan dengan perencanaan program secara partisipatif yang merupakan salah satu cara agar kegiatan yang direncanakan dapat berhasil dilaksanakan. Program yang direncanakan hendaknya melibatkan semua komponen masyarakat, dari pemerintah desa, kelompok masyarakat ataupun lembaga terkait lainnya. Dengan mengandalkan program ini setidaknya tengkulak dapat diminimalkan. Upaya Perbaikan Pemanfaatan Lahan 1. Penanaman pohon serbaguna (multipurpose trees) bernilai ekonomis Pohon serbaguna adalah pohon yang memiliki lebih dari satu manfaat, seperti kelapa (Cocos nucifera), Bambu (Bambusa sp.), aren (Arenga pinnata) dan lainlain. Tanaman kelapa dapat dimanfaatkan buah, batang dan daunnya. Hampir seluruh masyarakat kelurahan Karang Joang menanam pohon kelapa terutama masyarakat sekitar kawasan HLSW, sedangkan masyarakat yang tinggal dalam kawasan hanya sebagian kecil yang menanam pohon kelapa dan itupun hanya berfungsi sebagai pembatas tanah. Tanaman bambu dapat dimanfaatkan tanaman muda (rebung), batang, daun dan akarnya. 2. Mengintensifkan lahan pekarangan Lahan pekarangan oleh sebagian besar petani ditanami jenis pohon buahbuahan, sedangkan yang ditanami jenis non kayu dan beternak hewan masih sedikit. Kondisi ini menunjukkan masih ada tanaman strata bawah yang perlu diintroduksi dengan tanaman semusim, agar kebutuhan akan sayur dan juga tanaman rempah (apotik hidup) dapat terpenuhi, sehingga petani dapat menghemat biaya kebutuhan sehari-hari (karena kebutuhan tersebut dapat dipenuhi dari lahan sendiri). Ternak hewan di lahan pekarangan dapat juga dilakukan mengingat bahwa ternak dapat memberikan tambahan pendapatan dan juga sebagai sumber protein bagi manusia. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan Kondisi biogeofisik di daerah penelitian memiliki fisiografi bervariasi, mulai dari bergelombang, berbukit, datar sampai dengan landai. Tanah didominasi oleh jenis podsolik merah kuning, dengan curah hujan 1.544,4 mm/tahun dan hari hujan 129 hari/tahun. Rata-rata curah hujan bulanan 128,7 mm/bulan. Sistem pemanfaatan lahan yang terdapat di lokasi penelitian adalah sistem pemanfaatan lahan kering yang terdiri dari usaha tani menetap, lahan pekarangan dan kebun buah. Program agroforestri yang ditawarkan oleh BP-HLSW adalah pemanfaatan lahan pertanian sebagai langkah awal untuk melaksanakan program agroforestri


174

yang sebenarnya. Dari permasalahan yang dihadapi yaitu berupa ancaman sosial terhadap degradasi hutan yang tinggi yang disebabkan oleh faktor Produktivitas hasil pertanian yang rendah, partisipasi masyarakat terhadap pengamanan hutan rendah serta intervensi pemerintah yang kurang menjangkau, akibatnya pendapatan masyarakat rendah dan produktivitas juga rendah. Rata-rata hampir keseluruhan dari responden bersedia mengikuti program agroforestri dengan beberapa catatan yaitu pohon yang ditanam berupa jenis buahbuahan yang bersifat komersial, serta sebagian yang lain menginginkan adanya ternak lebah madu. Alternatif perbaikan pemanfaatan lahan adalah praktek agroforestri yang dapat dilakukan dengan memanfaatkan lahan pertanian secara intensif, lahan pekarangan dan kebun buah yang ada dirawat secara optimal, sehingga untuk perbaikan program agroforestri yang ada cukup dengan mengembangkan pola yang telah dilakukan oleh masyarakat yang ada sekarang ini. Saran Agar program agroforestri dapat terlaksana dengan baik, maka diperlukan upaya: membuat program agroforestri yang bersifat partisipatif, dalam artian lebih memperhatikan kebutuhan masyarakat adanya bantuan modal, untuk menghindari peminjaman modal dari tengkulak. danya kerjasama antara instansi/dinas terkait seperti Dinas Pertanian, Kehutanan dan Badan Pengelola sendiri. Dengan melihat inisiatif masyarakat yang ada saat ini maka sebaiknya pemanfaatan lahan pekarangan lebih dimanfaatkan dan juga adanya penanaman pohon serbaguna. BP-HLSW sebaiknya segera merealisasikan pelaksanaan secara teknis program agroforestri dengan mempertimbangkan pola yang telah ada di masyarakat. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1997. Petunjuk teknis Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Lindung (RPHL) Propinsi. Direktorat Jenderal PHPA Departemen Kehutanan, Jakarta. Anonim. 2003. Laporan Tahunan Kantor Pertanian KPH Kota Balikpapan. Balikpapan. Bratawinata, A.A. dan M.A. Sardjono. 1988. Inventarisasi Sistem-sistem Agroforestry di Kalimantan Timur. Prosiding Seminar Agroforestry untuk Pengembangan Daerah Pedesaan Kalimantan Timur. Hairiah K.; M.A. Sardjono dan S. Sambar. 2003. Pengantar Agroforestri. Bahan Ajaran Agroforestri I. ICRAF. Radite, D.S. 1988. Pemikiran Global Tentang Pengembangan Agroforestry di Kalimantan Timur. Prosiding Seminar Agroforestry untuk Pengembangan Daerah Pedesaan Kalimantan Timur. Rahardjo. 1999. Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

175


Sardjono, M.A. 1995a. Budidaya Lembo di Kalimantan Timur, Satu Model untuk Pengembangan Pemanfaatan Lahan Agroforestri di Daerah Tropis Lembap (Terjemahan). Disertasi Doktor Universitas Hamburg, Hamburg, Jerman. Sardjono, M.A. 1995b. Diktat Agroforestry Bagian I (Konsep Dasar). Fahutan Unmul. Sarief, E.S. 1985. Konservasi Tanah dan Air. Pustaka Buana, Bandung. Subroto. 2003. Tanah Pengelolaan dan Dampaknya. Fajar Gemilang, Samarinda. Suharjito, D.; L. Sundawati; Suyanto dan S.R. Utami. 2003. Aspek Sosial Ekonomi dan Budaya Agroforestri. World Agroforestry Center (ICRAF), Bogor. Sukmajaya, W.E; Subandi; L.A. Hakim dan K.P. Antonius. 1999. Analisis Sosial Ekonomi Masyarakat di Dalam dan di Sekitar Hutan Lindung Sungai Wain, Kalimantan Timur. Wanariset Samboja. Wijanarko, B. 1996. Pola Pengelolaan Lahan Pekarangan Secara Agroforestry di Desa Maridan Kecamatan Penajam Kabupaten Pasir. Skripsi Sarjana Fahutan Unmul, Samarinda.

ANALISIS PENDEKATAN AGROFORESTRI DALAM UPAYA PERBAIKAN PEMANFAATAN LAHAN BERBASISKAN PARTISIPASI MASYARAKAT

Recommend Documents