ANALISIS PENDAPAT ASY-SYAIBANI TENTANG AL-HADMU (PENGHAPUSAN BILANGAN TALAK)
SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1 Dalam Ilmu Syari’ah
Oleh:
AHMAD ANWAR NIM: 2102296
JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSIYAH FAKULTAS SYARIAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2007
MOTTO
َوأَوﺣﻰ رﺑﻚ اﻟﻰ اﻟﻨﺠﻞ ان اْﺗﺨﺬى ﻣﻦ اﻟﺠﺒﺎل ﺑﻴﻮﺗﺎ وﻣﻦ اﻟﺜﺠﺮوﻣﻤﺎﻳﻌﺮﺷﻮن “Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang di bukitbukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia.” (Q.S. An Nahl: 68)
PERSEMBAHAN Alhamdulillah ….……… Penulis panjatkan segala puji bagi Allah SWT sang maha pencipta. Dalam menempuh perjalanan hidup yang penuh dengan rintangan dan mengarungi samudra Ilahi tanpa batas, dengan keringat dan air mata kupersembahkan karya tulis skripsi ini kepada orang-orang yang senantiasa hadir dan berharap akan keindahan dan keridhoan-Nya. Maka kupersembahkan untuk
mereka yang tetap setia berada di ruang dan waktu kehidupan ku
khususnya buat: ¾ Ayahanda H. Rifai dan Hj. Mubaro’ah tercinta yang dengan perjuangan hidupnya telah memberikan dukungan moril dan materiil serta senantiasa mendoakan supaya saya bisa menyelesaikan skripsi ini. ¾ Adik-adikku de’ Uun dan de’ Iin serta saudara-saudaraku tersayang, yang selalu memberikan mengisi suasana yang menjadi hidup ¾ Para Kyai, ustadz – ustadz di desa yang selalu menysiarkan siraman rohani sampai ke pelosok desa dan mengabdikan diri untuk umat Islam, perjuanganmu akan kutiru dan selalu kucatat dalam akal dan rasa. ¾ Temen-temen IAIN Walisongo yang tidak dapat belum sempat saya sebutkan, serta rasa terima kasihku untuk Pak Abdullah, Pak Abu, Pak Topeq yang telah memberikan semangat kepada saya dan rasa terima kasihku sebesarbesarnya untuk rekan – rekanku.
DEKLARASI Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang telah pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satupun pemikiran-pemikiran orang lain, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan. Semarang, 15 Juli 2007 Deklarator
Ahmad Anwar
ABSTRAK Bubarnya suatu hubungan perkawinan atau terlepasnya ikatan perkawinan antara suami istri dengan menggunakan atau mengucapkan lafaz yang disebutkan kemudian dinamakan dengan talak. Talak dapat terjadi dengan cara menunjukkan adanya berakhirnya hubungan suami istri, baik dinyatakan dalam bentuk kata– kata talak secara jelas, surat atau isyarat maupun dengan diwakilkan. Seorang suami mempunyai hak tiga kali dalam bilangan mentalak dari bilangan talak satu sampai talak tiga. Talak satu atau dua (talak raj’i) dapat rujuk kembali sebelum masa iddahnya selesai tetapi apabila iddah istri telah habis maka suami boleh menikahinya kembali dengan akad baru dan dia bersama suaminya meneruskan sisa talak yang masih ada. Adapun talak tiga (talak ba’in) tidak boleh rujuk, kecuali apabila si perempuan telah dinikahi oleh orang lain dan ditalak pula oleh suaminya yang kedua. Adapun dalam skripsi ini yang menjadi topik permasalahan yaitu apabila suami mentalak istri satu atau dua kali kemudian membiarkan seorang istri habis masa iddahnya setelah itu dinikah oleh orang lain lalu kembali lagi pada suami yang pertama dengan nikah yang baru lagi. Maka apakah pernikahan yang kedua pada istri (apabila telah dinikahi oleh suami yang kedua) tersebut dengan suami yang pertama akan menghapuskan bilangan talak satu atau talak kedua yang dijatuhkan pada perceraian yang pertama? ataukah justru bertambah apabila suami yang pertama kembali menceraikan istrinya?. Selanjutnya permasalahan yang lebih spesifik yang akan dibahas dalam skripsi ini yaitu bagaimana pendapat dari Asy-Syaibani tentang masalah al-hadmu (penghapusan bilangan talak ) dan bagaimana istinbath hukumnya dalam menyelesaikan masalah al-hadmu. Dalam penyusunan skripsi ini menggunakan metode riset kepustakaan (library research) dengan teknik menganalisis data secara deskriptif komparatif. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa menurut Asy-Syaibani dalam masalah al-hadmu berpendapat suami kedua tidak menghilangkan bilangan talak, Apabila ada seseorang mentalak istrinya sekali atau lebih kemudian setelah wanita tersebut menikah lagi dengan orang lain, dan dia kembali menikah dengan suami pertamanya, maka menurut Asy-Syaibani, suami yang kedua hanya menghapuskan pada pentalakan 3 saja, bukan selainnya. Maka apabila ada seorang wanita yang telah ditalak 2 kali kemudian setelah dia menikah dengan orang lain, dia kembali kepada suaminya yang awal maka si suami tersebut hanya berhak mentalaknya satu kali. Adapun yang menjadi istinbath hukum bagi Asy-Syaibani dalam penyelesaian masalah al-hadmu yaitu menggunakan dasar hukum Q.S AlBaqarah: 230 dan hadist yang diriwayatkan dari Aisyah. Asy-Syaibani mengatakan nash Al-Qur'an tersebut tidak dapat ditetapkan kepada pentalakan dibawah tiga (satu atau dua) karena beliau menafsirkan kalimat ﺣﺘﻰmerupakan batasan secara hakikat. Hukum keharaman hanya dapat menghukumi kepada pentalakan tiga dan pentalakan satu dan dua tidak dapat menetapkan keharaman karena Allah SWT telah membedakan antara talak tiga dengan talak dibawahnya (satu dan dua).
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang. Senantiasa kami panjatkan puji syukur kehadirat-Nya yang telah memberikan limpahan rahmat, taufik dan hidayah-Nya kepada semua hamba-Nya. Sehingga
penulis
dapat
menyelesaikan
skripsi
dengan
judul
ANALISIS
PENDAPAT ASY-SYAIBANI TENTANG AL-HADMU (PENGHAPUSAN BILANGAN TALAK). Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW, keluarga, sahabat beserta pengikutnya. Dengan segala kemampuan dan keterbatasan yang ada, penulis telah berusaha dengan segala daya dan upaya dalam menyelesaikan skripsi. Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak akan berarti tanpa adanya dukungan, bantuan dan kerjasama antara pihak-pihak yang berperan dalam penyusunan skripsi ini. Untuk itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada: 1. Bapak Prof. Dr. H. Abdul Djamil, M.A., selaku Rektor IAIN Walisongo Semarang. 2. Bapak Drs. H. Muhyiddin, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Syari'ah IAIN Walisongo Semarang beserta stafnya. 3. Bapak Drs. H. Abu Hapsin, M.A, Ph.D dan bapak H. Khoirul Anwar, M.Ag selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, pengarahan serta nasihat kepada penulis hingga penyusunan skripsi ini selesai. 4. Bapak dan Ibu dosen fakultas Syari'ah IAIN Walisongo semarang yang telah dengan ikhlas mendidik penulis selama dibangku perkuliahan.
5. Ayahanda H. Rifai dan Ibunda Hj. Mubaro’ah tercinta yang selalu mengiringi samudra hidupku dengan perhatian, kasih sayang dan doa. Adikku tersayang de’ Uun dan de’ Iin, terima kasih atas motivasi dan doanya. 6. Temen – temenku Fahmi, Hibat, Aris, Udin and all, (terima kasih atas desakannya untuk secepatnya menyelesaikan skripsi), Caswi, Alvin, Hasan, Rikza, Wahidin, Umar, Iid yang memberikan kesempatan untuk berekspresi, mari lanjutkan perjuangannya. 7. Terima kasihku selalu untuk mas Sidik/ mas Sys, mas Rencek, mas Tasith, mas Mutohar, mas Amir Tajrid, mas Subhan yang telah memberikan motivasi dan dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini 8. Temen-temen kos (pak Edi, bu nor, Ova, Imron, Nawir, lukman, burhan and all) serta tetangga kos margoyoso II/ 41 (mas Arif, mba Nana&keluarga, Istin, Zaki, Asep, Zen), toldi, fatkhi, yoga, lukman dan temen-temen yang yang tidak sempat penulis sebutkan satu persatu, tanpa kehadiranmu apalah arti hidup ini sehingga kudapatkan konsep hidup “3 S”(siapa aku, siapa dia, siapa saja). Akhirnya hanya kepada Allah SWT penulis berserah diri, dan semoga apa yang tertulis dalam skripsi ini bisa bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan para pembaca pada umumnya, Amin.
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN MOTTO HALAMAN PERSEMBAHAN HALAMAN DEKLARASI ABSTRAKSI KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I
: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……………………………......... 1 B. Perumusan Masalah ……………………………………… 11 C. Tujuan Penulisan Skripsi ……………………………….... 12 D. Telaah Pustaka ………………………………..………….. 12
BAB II
E. Metode Penulisan Skripsi ……………………..…………
15
F. Sistematika Penulisan Skripsi …………………..….…….
18
: TINJAUAN UMUM TENTANG BILANGAN TALAK SERTA MODEL PENAFSIRAN YANG TERKAIT A. Pengertian Talak …………………………….…….…...… 20 B. Talak Raj'i dan Talak Ba’in ……………………….…....... 23
C. Nikah Muhallil ……………………………….…….…...... 30 D. Pengertian dan Perbedaan Pendapat Ulama Tentang Al-Hadmu ……………………………………….. 32 BAB III
: ASY-SYAIBANI: PENDAPATNYA TENTANG AL-HADMU (PENGHAPUSAN BILANGAN TALAK) A. Biografi dan Pendidikan Asy-Syaibani ………….………
44
B. Karya–karya Asy-Syaibani ……………………….…….... 51 C. Pendapat Dan Metode Istinbath Hukum Asy-Syaibani Tentang Al-Hadmu ………………………………………... 58 BAB IV
: ANALISIS PENDAPAT ASY-SYAIBANI TENTANG AL-HADMU (PENGHAPUSAN BILANGAN TALAK) A. Analisis Pendapat Asy-Syaibani Tentang Al-Hadmu ……..
61
B. Analisis Istinbath Hukum Asy-Syaibani Tentang Al-Hadmu …………………………..…………... 67 BAB V
: PENUTUP A. Kesimpulan …………………………………………..…...
79
B. Saran-Saran …………………………..…………………...
80
C. Penutup ……………………………………..…………….
81
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pernikahan1 merupakan suatu tujuan yang sangat mulia dan dijunjung tinggi dalam sumber hukum Islam2 yaitu Al-Qur'an dan Hadits karena membentuk keluarga bahagia dan kekal sehingga dapat menghasilkan keturunan dalam keluarga. Dalam syariat Islam3 telah dinyatakan dengan jelas bahwa setiap makhluk hidup diciptakan berpasang-pasangan di dunia ini. Adapun firman Allah SWT yang menyatakan demikian yaitu :
ن َ ﻦ َﻟ َﻌﱠﻠ ُﻜ ْﻢ َﺗ َﺬ ﱠآﺮُو ِ ﺟ ْﻴ َ ﺧَﻠ ْﻘﻨَﺎ َز ْو َ ﻲ ٍء ْ ﺷ َ ﻦ ُآﻞﱢ ْ َو ِﻣ Artinya: “Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.” (Q.S. Adz Dzaariyaat: 49)4 Bertitik dari ayat di atas, lebih lanjut Abdurrahman I. Doi dalam bukunya Perkawinan Dalam Islam, menjelaskan tujuan dari pernikahan adalah 1 Pernikahan adalah akad yang bersifat luhur dan suci antara laki-laki dan perempuan yang menjadi sebab sahnya sebagai suami istri dan dihalalkannya hubungan seksual dengan tujuan mencapai keluarga yang penuh kasih sayang, kebajikan dan saling menyantuni; keadaan seperti ini disebut sakinah. Lihat: Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, cet. III, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hlm. 2 2 Sumber utama hukum Islam selain Al-Qur'an dan as-Sunnah (hadits) juga terdapat ijma’, secara terperincinya yaitu kesepakatan para sahabat Nabi tentang suatu masalah yang muncul tidak lama setelah wafatnya Nabi SAW (disebut juga fatwa sahabat); dan qiyas yaitu pendapat para ulama akhir yang meneliti suatu topik dengan menghasilkan kesimpulan yang didasarkan pada sumber lainnya. Sumber hukum sekunder harus bersandar kepada Al-Qur'an dan as-Sunnah dan para ulama tidak boleh bertentangan dengan sumber utama. Lihat: Cristine Huda Dodge, Kebenaran Islam, terj. Ahmad Asnawi, cet. I, (Yogyakarta: Anindya Mitra Internasional, 2006), hlm. 49 3 Pengertian dari syariat Islam adalah seluruh hukum legal yang di implementasikan dalam Islam. Istilah syariat menyiratkan atau mengistilahkan sebuah sumber air yang tidak pernah kering dari mana orang memuaskan dahaganya; secara khusus, ia mengacu pada hukum ilahi yang diwahyukan dalam Al-Qur'an dan dicontohkan pengamalannya dalam kehidupan Nabi SAW. Lihat: Cristine Huda Dodge, …Ibid, hlm. 146 4 Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahannya, (Surabaya: Mekar, 2004), hlm. 756
1
2
sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan emosi dan seksual yang sah dan benar, cara untuk memperoleh keturunan yang sah, menduduki fungsi sosial, mendekatkan hubungan antar keluarga dan solidaritas kelompok, jalan menuju ketakwaan dan merupakan suatu bentuk ibadah.5 Hal ini juga disinggung oleh Undang-undang Perkawinan No. 1 (satu) tahun 1974 yang dikutip dari Rachmadi Usman, menyatakan bahwa: "Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Perkawinan akan dianggap sah apabila perkawinan tersebut dilakukan menurut hukum agama atau kepercayaan agama yang dianut oleh calon mempelai. Prinsip ini dapat dijumpai dalam pasal 2 (dua) ayat 1 (satu) Undang–Undang Perkawinan yang menentukan, bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing–masing agamanya dan kepercayaannya itu.6 Ketentuan tersebut juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 (dua) mengenai dasar–dasar perkawinan yang menyatakan bahwa: "Perkawinan menurut Hukum Islam adalah Pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau Mitsaqan Ghalidzan7 untuk mentaati perintah Allah SWT dan melaksanakannya merupakan ibadah", serta pasal 3
5
Abdurrahman I. Doi, Shari’ah The Islamic Law, terj. Basri Iba Asghary, Perkawinan Dalam Syariat Islam , cet. I, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), hlm. 6 6 Rachmadi Usman, Aspek–Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan Di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 264–265. 7 Mitsaqan Ghalidzan adalah ikatan suci dari kedua belah pihak yang harus tetap diingat dalam hatinya bahwa melalui perkawinan itu dia telah membuat janji. Lihat: Abdurrahman I. doi, Shari’ah The Islamic Law, terj. Basri Iba Asghary, Perkawinan dalam syari’at Islam, cet. I, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), hlm. 75
3
(tiga) yaitu "Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.8” Oleh karenanya, kehidupan-kehidupan yang sudah baik tersebut harus terjaga dan tetap dibina untuk selama-lamanya. Tentunya juga harus diimbangi dengan suatu usaha yang membutuhkan sikap serta tindakan yang bijaksana dari suami istri supaya perkawinan yang dialaminya sedikit mengurangi hambatan dan keretakan rumah tangga yang berakibat pada suatu perselisihan yang terus menerus. Untuk menjaga agar benih–benih kebencian dan pertengkaran antara suami istri itu tidak menjalar kepada anggota keluarga dan sanak famili yang lebih luas, maka Islam mensyariatkan perceraian antara suami istri sebagai jalan keluar untuk menuju kemaslahatannya masingmasing sehingga dengan demikian hubungan antara orang tua dengan anakanaknya antara keluarga yang satu dengan keluarga yang lain, demikian pula dengan masyarakat sekitarnya tetap berjalan baik sebagaimana biasa.9 Namun perceraian tersebut dilakukan dengan jalan yang baik agar pada kemudian hari bertemu lagi tidak menimbulkan dendam dan kebencian diantara manusia. Talak, artinya "melepaskan atau meninggalkan" atau melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan".10 Perkataan talak dalam Hukum Nasional dapat juga diartikan sebagai perceraian atau cerai. Sedang menurut Al-Fannani dalam kitabnya Fathul Muin, talak adalah:
وهﻮ ﻟﻔﻆ ﺣﻞ اﻟﻘﻴﺪ وﺷﺮ ﻋﺎ ﺣﻞ ﻋﻘﺪ اﻟﻨﻜﺎح ﺑﺎﻟﻠﻔﻆ اﻻﺗﻰ 8
Departemen Agama R.I, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia (Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2000), hlm 14. 9 Hady Mufaat Ahmad, Fiqh Munakahat, (Semarang: Duta Grafika, 1992), hlm. 167 10 M. Thalib, Perkawinan Menurut Islam, cet. II (Surabaya: Al-Ikhlas, 1993), hlm. 97
4
“Thalaq menurut istilah bahasa artinya “melepaskan ikatan”, sedang menurut istilah syara’ artinya “melepaskan ikatan nikah dengan lafaz yang akan disebutkan kemudian.11” Hukum talak adakalanya wajib,12 haram,13 mubah14 dan sunnah.15. Talak itu dibenci bila tidak ada suatu alasan yang benar, sekalipun Nabi saw menamakan talak sebagai perbuatan halal. Karena ia dapat merusakkan perkawinan yang mengandung sendi-sendi kebaikan yang dianjurkan oleh agama, karena itu talak seperti ini dibenci.16 Isyarat tersebut menunjukkan bahwa talak atau perceraian merupakan alternatif terakhir, sebagai pintu darurat yang boleh ditempuh, manakala bahtera kehidupan rumah tangga tidak dapat lagi dipertahankan keutuhannya dan kesinambungannya. Islam menunjukkan agar sebelum terjadinya talak atau perceraian, ditempuh usahausaha perdamaian antara kedua belah pihak, baik melalui hakam (arbitrator)
11
Zainuddin bin Abdul Azis Al-Malibari Al-fannani, Terjemahan Fathul Mu’in, jilid II, terj. Moch. Anwar, cet. I, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994), hlm. 1347 12 Talak menjadi wajib bagi suami atas permintaan istri dalam hal suami tidak mampu menunaikan hak-hak istri serta menunaikan kewajibannya sebagai suami, seperti suami tidak mampu mendatangi istri, atau suami tidak mampu menyelenggarakan nafkah istri dan talak tersebut dijatuhkan oleh hakam karena merupakan jalan satu-satunya untuk mengakhiri persengketaan suami istri. Lihat: Abdurrahman Al Jaziri, Al Fiqhu ala Madzhabil Arba'ah, juz. IV, (Beirut: Darul Kutub Al Ilmiyah, t.th), hlm. 296-297 13 Talak menjadi haram apabila talak tersebut tanpa alasan, diharamkannya talak karena merugikan bagi suami atau istri, dan tidak adanya kemaslahatan yang mau dicapai dengan perbuatan talaknya itu. Jadi talaknya haram seperti haramnya merusakkan harta benda. Lihat: Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, juz VIII alih Bahasa Moh. Thalib, cet. II., (Bandung: Al Ma'arif, 1983), hlm. 12 14 Hukumnya mubah apablila talak itu dijatuhkan dengan alasan tertentu, seperti akhlak wanita yang diceraikan tidak baik dan hubungan antara keduanya tidak sejalan meskipun pertengkaran dapat dihindari. Lihat: Abdul Azis Dahlan (ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, cet. I, (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1996), hlm. 1777 15 Sunnah. Jika suami tidak sanggup membayar kewajibannya (nafkahnya), atau wanita tidak memelihara kehormatan dirinya, maka talak dihukumkan sunnah. Lihat: Mochtar Effendy, Ensiklopedi Agama Dan Filsafat, cet. I, (t.tp, Universitas Sriwijaya, 2001), hlm. 212-213 16 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, jilid 8, Alih Bahasa Moh. Thalib, cet. II, (Bandung, Al Ma’arif, 1983), hlm. 13
5
dari kedua belah pihak.17 Apabila hakam gagal dalam usahanya (mendamaikan perselisihan suami istri), maka barulah dapat dicarikan jalan untuk memisah kedua pasangan suami istri itu dengan cara yang baik. Sebagaimana tersirat dalam firman Allah SWT:
ن ُﻳﺮِﻳﺪَا ْ ﻦ َأ ْهِﻠﻬَﺎ ِإ ْ ﺣ َﻜﻤًﺎ ِﻣ َ ﻦ َأ ْهِﻠ ِﻪ َو ْ ﺣ َﻜﻤًﺎ ِﻣ َ ق َﺑ ْﻴ ِﻨ ِﻬﻤَﺎ ﻓَﺎ ْﺑ َﻌﺜُﻮا َ ﺷﻘَﺎ ِ ﺧ ْﻔ ُﺘ ْﻢ ِ ن ْ َوِإ ﺧﺒِﻴﺮًا َ ﻋﻠِﻴﻤًﺎ َ ن َ ن اﻟﱠﻠ َﻪ آَﺎ ﻖ اﻟﻠﱠ ُﻪ َﺑ ْﻴ َﻨ ُﻬﻤَﺎ ِإ ﱠ ِ ِإﺻْﻼﺣًﺎ ُﻳ َﻮ ﱢﻓ Artinya: “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suamiisteri itu.” (Q.S. An Nisaa : 35)18 Dalam Islam perceraian pada prinsipnya dilarang, hal ini dapat dilihat pada sabda Nabi SAW. Bahwa talak atau perceraian adalah perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah SWT. 19
.اﻟﻄﻼق
اﺑﻐﺾ اﻟﺤﻼل اﻟﻰ اﷲ: ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ
Artinya: “Nabi SAW bersabda: "Perbuatan halal yang paling dimurkai oleh Allah adalah Talak" (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Hakim dari Ibn Umar). Adapun menurut Sayyid Sabiq dalam Fikih Sunnah, menjelaskan tentang hukum cerai. Diantara pendapat yang paling benar diantaranya yaitu yang mengatakan "terlarang", kecuali karena alasan yang benar pendapat tersebut diambil dari golongan Hanafi dan Hambali. Alasannya yaitu :
ﻟﻌﻦ اﷲ آﻞ ذو اق وﻣﻄﻼق: ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ 17
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, cet. VI (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hlm. 268-269 18 Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahannya …Op.cit., hlm. 109 19 Muhammad bin Yazid Abi Abdillah Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, juz I, (ttp: Dar alFikr, 1995), hlm. 633
6
Artinya: “Nabi SAW bersabda: "Allah SWT melaknat tiap–tiap orang yang suka merasai dan bercerai (maksudnya suka kawin dan cerai)” Alasan tersebut disebabkan bercerai itu kufur terhadap nikmat Allah SWT. Sedangkan perkawinan adalah satu nikmat dan kufur terhadap nikmat adalah haram. Keadaan darurat yang membolehkan cerai yaitu bila suami meragukan kebersihan tingkah laku istrinya, atau sudah tidak punya cinta dengannya. Sebab soal hati hanya terletak dalam genggaman Allah SWT. Tetapi jika tidak ada alasan apapun, maka bercerai yang demikian berarti kufur terhadap nikmat Allah SWT, berlaku jahat kepada istri. Maka karena itu dibenci dan dilarang.20 Perceraian dapat terjadi dengan cara menunjukkan adanya berakhirnya hubungan suami istri, baik dinyatakan dalam bentuk kata–kata, surat atau isyarat oleh orang yang bisu ataupun mengirimkan seorang utusan (mewakilkan).21 Ditinjau dari lafal (pengucapan) talak mengenai segi penegasan dan tidaknya suatu perkataan yang dipergunakan maka talak dibagi menjadi dua macam yaitu talak sharih yaitu kata talak dengan jelas, tegas atau mudah dipahami dan talak kinayah yaitu talak yang mempergunakan kata sindiran atau samar–samar.22 Bilangan talak bagi setiap orang yang merdeka berhak mentalak istrinya dari talak satu sampai talak tiga. Talak satu atau dua masih boleh rujuk atau kembali bagi suami sebelum habis masa iddahnya seorang istri dan
20
Sayyid Sabiq, …Op. cit, hlm. 11 M. Thalib, …Op.cit., hlm. 107 22 Departemen Agama R.I, Ilmu Fiqh, jilid II, cet. II, (Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1984/1985), hlm. 228-229 21
7
apabila iddah istri telah habis maka suami boleh menikahinya kembali dengan akad baru. Adapun talak tiga tidak boleh rujuk23 atau kawin kembali, kecuali apabila si perempuan telah dinikahi oleh orang lain dan ditalak pula oleh suaminya yang kedua.24 Hal ini juga ditegaskan dalam Firman Allah SWT :
ن ٍَ ﺣﺴَﺎ ْ ﺢ ِﺑِﺈ ٌ ﺴﺮِﻳ ْ ف َأ ْو َﺗ ٍ ك ِﺑ َﻤ ْﻌﺮُو ٌ ن َﻓِﺈ ْﻣﺴَﺎ ِ ق َﻣ ﱠﺮﺗَﺎ ُ اﻟﻄﱠﻼ Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (QS. Al Baqarah :229)25 Maksud ayat diatas menjelaskan bahwa dalam bilangan talak yang dapat dirujuki oleh suami kepada istrinya yaitu talak yang kedua dengan syarat rujuknya dilakukan sebelum berakhirnya masa iddah telah habis. Para ulama telah sepakat bahwa seorang suami haram menceraikan istrinya dengan talak tiga sekaligus atau dengan kalimat yang berturut–turut tiga kali di satu masa suci. Pendapat tersebut beralasan bahwa talak tiga menutup pintu rujuk dan bertentangan dengan syara'.26 Jadi hukum Islam menganjurkan dalam melakukan talak hendaklah dijalankan satu demi satu. Jika suami menjatuhkan bilangan talak tiga sekaligus, menurut paham para ahli, yaitu yang difatwakan oleh jumhur, maka
23
Rujuk atau kembali, konsep rujuk dalam pembahasan fikih islam dibicarakan dalam permasalahan talak satu atau talak dua. Jumhur ulama mendefinisikan rujuk dengan "mengembalikan wanita yang ditalak, selain talak ba'in (suami boleh kembali kepada istrinya dengan akad nikah baru) pada perkawinan selama wanita itu masih dalam masa iddah tanpa akad nikah baru. Konsep rujuk hanya berlaku bagi suami yang menalak istrinya dengan talak pertama atau talak kedua kalinya, karena pada kedua talak inilah hak rujuk tersebut dibolehkan oleh syara". Lihat: Abdul Azis Dahlan, (ed.), …Op. cit, hlm. 1509 24 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, terj. Li Sufyana M. Bakri, cet. 32, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1998), hlm. 403 25 Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahannya, ...Op.cit. hlm. 45 26 Al Hamdani, Risalah Nikah, cet. III, (Jakarta: Pustaka Amani, 1989), hlm. 195
8
talak itu jatuh tiga.27 Karena apabila terjadi demikian maka suami tidak dapat kembali kepada istrinya terkecuali istri tersebut telah nikah lagi dengan lakilaki lain tanpa adanya perjanjian antara suami pertama dengan laki-laki lain agar menikahi istrinya yang telah ditalak karena hal itu menyebabkan hukumnya tidak sah.28 Al-Qur'an tidak mengisyaratkan talak ba'in dengan lafadz tiga. Ini adalah kadar yang hampir tidak diperselisihkan oleh seorangpun.29 Sedangkan dalam talak raj'i dapat mengurangi bilangan talak yang dimiliki oleh suami atas istrinya. Apabila talak telah jatuh satu, maka hak seorang suami mentalaknya tinggal dua, kalau sudah dua kali tinggal satu.30 Apabila waktu iddah31 telah habis dan ingin kembali maka perlu nikah lagi dan talaknya tetap dihitung dalam bilangan.32 Allah SWT berfirman:
ﻃﱠﻠ َﻘﻬَﺎ ﻓَﻼ َ ن ْ ﻏ ْﻴ َﺮ ُﻩ َﻓِﺈ َ ﺢ َز ْوﺟًﺎ َ ﺣﺘﱠﻰ َﺗ ْﻨ ِﻜ َ ﻦ َﺑ ْﻌ ُﺪ ْ ﻞ َﻟ ُﻪ ِﻣ ﺤﱡ ِ ﻃﱠﻠ َﻘﻬَﺎ ﻓَﻼ َﺗ َ ن ْ َﻓِﺈ ﺣﺪُو َد اﻟﱠﻠ ِﻪ ُ ن ُﻳﻘِﻴﻤَﺎ ْ ﻇﻨﱠﺎ َأ َ ن ْ ﺟﻌَﺎ ِإ َ ن َﻳ َﺘﺮَا ْ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻬﻤَﺎ َأ َ ح َ ﺟﻨَﺎ ُ Artinya: “Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang 27
Tengku Jafizham, Persintuhan Hukum Di Indonesia Dengan Hukum Perkawinan Islam, cet. II, (Jakarta: Mestika, 2006), hlm. 304-307 28 Masalah ini oleh para ulama disebut dengan nikah muhallil atau nikah yang dimaksudkan untuk menghalalkan bekas istri yang telah ditalak 3 (tiga) kali. Mengenai nikah muhallil para ulama terjadi silang pendapat, ada yang menyatakan nikahnya dapat difasakh, ada yang berpendapat nikah tersebut sah dan juga ada yang mengatakan nikahnya tidak sah. Lihat: Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, terj. M.A. Abdurrahman, cet. I, (Semarang: Asy Syifa’, 1998), hlm. 472 29 Mahmud Syaltut, Muqaaranatul Madzaahib Fil Fiqhi, terj. Abdullah Zakiy Al kaaf, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm. 173 30 Al Hamdani, … Op.cit., hlm. 207 31 Iddah adalah masa tunggu yang wajib bagi istri yang berbisah dengan suaminya oleh kematian suami atau perceraian hidup. Iddah bermacam-macam masanya sesuai dengan keadaan perceraian dan atau kondisi istri. Yang dimaksud disini (lebih jelas baca Q.S Ath Thalaq ayat 1) adalah istri yang telah digauli, apabila istri yang dicerai sebelum digauli maka tidak memiliki iddah (Baca Q.S Al Ahzab ayat 49). Lebih jelas baca: M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah Pesan, Kesan dan keserasian Al-Qur'an Vol. 14, cet.II, (Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2004), hlm. 291 32 Mustofa Diibulbigha, Fiqih Syafi'I , Terjemah Attahdziib, terj. NY. Adlchiyah Sunarto, (Surabaya: Bintang Pelajar, 1984), hlm. 396
9
kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.“ (QS.Al Baqarah: 230)33 Maksud dari ayat diatas menerangkan tentang talak ba’in terhadap bilangan sesudah hitungan yang kedua, yaitu suami mentalak tiga kali dia tidak boleh menikahi istrinya lagi kecuali apabila istrinya itu telah menikah dengan orang lain, setelah itu istrinya baru diperbolehkan untuk menikah dengan suami yang pertama dan wanita tersebut kembali keadaannya ketika dia menikahi dengan suami yang pertama dalam artian suami yang pertama memiliki pentalakan tiga. Pentalakan pada bilangan kedua haram bagi suami untuk merujuk istrinya apabila habis masa iddah, terkecuali suami kembali kepada istri dengan melakukan akad nikah baru dan apabila istri telah dinikahi oleh orang lain maka haram juga bagi suami untuk kembali, suami diperbolehkan kembali tetapi istri tersebut sudah pernah digauli, ditalak, ditunggu masa iddahnya barulah suami pertama bisa kembali dengan catatan melakukan akad nikah yang baru. Namun dalam benak penulis muncul pertanyaan, bagaimana kedudukan wanita yang ditalak satu atau dua kali apabila kembali pada suami pertama setelah dinikahi oleh orang lain? apakah pernikahan yang kedua pada istri (apabila telah dinikahi oleh suami yang kedua) tersebut dengan suami 33
Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahannya …Loc. cit.
10
yang pertama akan menghapuskan bilangan talak satu atau talak kedua yang dijatuhkan pada perceraian yang pertama? ataukah justru bertambah apabila suami yang pertama kembali menceraikan istrinya?. Dalam konteks inilah para ulama fiqih menamakannya dengan pengertian al-hadmu34. Menurut imam Muhammad Hasan Asy-Syaibani ( )اﻟﺸﻴﺒﺎﻧﻲyang berpendapat dalam masalah al-hadmu bahwasannya suami kedua hanya menghapuskan tiga talak saja dalam talak ba’in kubra bukan yang lain dan suami yang kedua merupakan tujuan bagi keharaman yang timbul sebab pentalakan tiga kali.35 Sedangkan menurut pendapat dari golongan mazhab Hanafi yang lain yaitu Abu Hanifah dan Abu Yusuf berpendapat bahwa suami kedua dapat menghilangkan pentalakan yang di bawah tiga sama halnya pada talak bain (talak tiga) sehingga suami pertama masih memiliki tiga pentalakan.36 Imam Malik dan imam Syafi'i juga berpendapat tidak dapat menggugurkan atau menghilangkan talak yang kurang dari tiga. Sedang sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa pengguguran bilangan talak ditentukan oleh syara.37
34
Pengertian al-hadmu dalam masalah talak yaitu apakah suami kedua menghapuskan talak yang berjumlah kurang dari tiga kali seperti halnya terhapusnya talak tiga atau tidak?. Lihat: Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, jilid 8, Alih Bahasa Moh. Thalib, cet. II, (Bandung, Al Ma’arif, 1983), hlm. 69 35 Syamsuddin Ash-Sharkhasi, Al-Mabsuth, juz VI, (Beirut: Dar Al-Kutub al-Ilmiyah, t.th), hlm. 95. Pendapat dari Asy-Syaibani inilah yang menurut penulis dapat melemahkan pendapat dari Abu Hanifah dan Abu Yusuf. Akan tetapi pada golongan mazhab Hanafiyah pendapat Asy-Syaibani dianggap lemah. Lihat juga: Sayyid Sabiq, …Ibid. 36 Ahmad Ghoundur, Ath-Thalaq Fi Asy-Syari’ah Al-Islamiyah Wa Al-Qonun, (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1967), hlm. 246-247 37 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, terj. M.A. Abdurrahman, cet. I, (Semarang: Asy Syifa’, 1998), hlm. 398
11
Dari uraian latar belakang diatas maka penulis bertujuan untuk mengetahui lebih detail dan mendalam mengenai perbedaan pendapat dari para ulama fikih dalam permasalahan al-hadmu atau penghapusan bilangan talak yang dikemukakan oleh pendapatnya Asy Syaibani. Selanjutnya penulis mencoba menelaah secara ilmiah kedalam bentuk skripsi dengan judul "ANALISIS PENDAPAT ASY-SYAIBANI TENTANG AL-HADMU (PENGHAPUSAN BILANGAN TALAK)"
B. Perumusan Masalah Berdasarkan deskripsi singkat di atas, maka penulis dapat menarik suatu titik permasalahan, yaitu : 1. Bagaimana
pendapat
Asy-Syaibani
tentang
masalah
al-hadmu
(penghapusan bilangan talak )?; 2. Bagaimana istinbath hukum yang digunakan oleh Asy-Syaibani dalam permasalahan al-hadmu ( penghapusan bilangan talak )?.
C. Tujuan Penulisan Skripsi Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah :
12
1. Untuk mengetahui pendapat Asy-Syaibani tentang al-hadmu (penghapusan bilangan talak); 2. Untuk mengetahui istinbath hukum yang digunakan oleh Asy-Syaibani dalam menentukan hukum tentang
al-hadmu (penghapusan bilangan
talak).
D. Telaah Pustaka Telaah pustaka secara garis besar merupakan teori-teori dan konsepkonsep pada umumnya yang dapat diketemukan dalam sumber acuan umum, yaitu kepustakaan yang berwujud buku-buku teks, kitab-kitab dan sejenisnya, sedangkan hasil penelitian yang terdahulu pada umumnya dapat diketemukan dalam sumber acuan khusus yaitu kepustakaan yang berwujud jurnal, buletin penelitian, skripsi dan lain sebagainya.38 Adapun mengenai permasalahan penghapusan bilangan talak atau alhadmu menurut pendapat Asy-Syaibani sepengetahuan penulis belum ada yang meneliti. Namun sebenarnya wacana maupun kajian mengenai talak sudah banyak yang menulis oleh peneliti sebelumnya. Sedangkan kajian mengenai talak yang pernah dibahas sebelumnya salah satu diantaranya: Skripsi mahasiswa Syari'ah yaitu skripsi dari saudara Ummi Nadlirorus sa'adah (NIM. 2101141) lulus tahun 2006 yang berjudul "Analisis Pendapat Imam Hanbali Tentang Tidak Adanya Hak Nafkah Perempuan Yang Sedang Dalam Iddah Talak Ba'in" dalam skripsi ini menjelaskan perbedaan pendapat
38
Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, cet. IV., (Jakarta: Rajawali, 1981), hlm. 72
13
para ulama bahwa perempuan yang sedang dalam iddah disebabkan terjadinya talak raj'i masih berhak nafkah dan tempat tinggal. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa ia berhak tempat tinggal dan nafkah. Menurut imam Malik dan imam Syafi'i ia hanya berhak tempat tinggal dan tidak berhak mendapat nafkah. Berbeda halnya dengan imam Ahmad bin Hanbal ia berpendapat bahwa perempuan yang sedang dalam iddah talak ba'in tidak berhak apa-apa, baik nafkah maupun tempat tinggal. Skripsi dari mahasiswa Syari'ah nama Nur Amaliyah (NIM 2199028) lulus tahun 2004 yang berjudul “Studi Analisis Pendapat Ibn Hazm Tentang Mewakilkan Talak” dalam skripsi ini menjelaskan pendapat dari Ibn Hazm bahwa tidak diperbolehkan mewakilkan seseorang pada masalah talak karena al-Qur’an atau Sunnah rosul SAW sudah jelas tidak memperbolehkan terkecuali al-Qur’an atau Sunnah rosul SAW memperbolehkannya dan tidak diperbolehkan juga mewakilkan perkataan seseorang kepada orang lain kecuali al-Qur’an dan Sunnah memperbolehkannya dan tidak juga pada masalah talak seseorang pada orang lain dengan cara diwakilkan dan tidak diperbolehkan oleh al-Qur’an dan Sunnah. Adapun beberapa pendapat dan tulisan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan masalah tersebut, penulis temukan dalam buku-buku atau kitab sebagai berikut: Kitab Al-Mabsuth karangan Ash-Sarakhsi menjelaskan perbedaan pendapat di antara ulama-ulama mazhab Hanifah yang satu sama lain saling menguatkan pendapatnya tentang al-hadmu, mereka adalah Abu Hanifah dan
14
Abu Yusuf yang mengatakan bahwa suami kedua juga dapat menghapuskan pentalakan yang bukan tiga, sedang Asy-Syaibani berpendapat bahwa persoalannya lain apabila talak tiga disamakan dengan talak yang bukan tiga. Selanjutnya
dalam
Radd
Al-Mukhtar
karangan
Ibn
Abidin
menerangkan tentang pendapat dari para ulama mazhab Hanafiyah bahwa pendapat dari Abu Hanifah dan Abu Yusuf menerangkan tentang bilangan talak dari talak satu sampai dengan talak tiga, dalam masalah al-hadmu kedua ulama (Abu Hanifah dan Abu Yusuf) berpendapat bahwa suami yang kedua menjatuhkan talak yang di bawah tiga atau talak raj'i sama halnya menggugurkan talak tiga atau talak ba'in dan suami yang pertama tadi mempunyai hak talak tiga pada pernikahan kedua, sedang menurut AsySyaibani suami yang kedua hanya membatalkan tiga talak saja, bukan selainnya. Selain itu ketiga ulama tersebut berselisih pendapat mengenai bilangan talak yang dapat dirujuk. Dalam kitab Bidayatul Mujtahid, karangan Ibnu Rusyd beberapa ulama fikih seperti Imam Malik dan Syafi'I berpendapat tidak menggugurkan talak di bawah tiga, sedang bagi fuqoha yang lain berpendapat bahwa pengguguran talak ditentukan oleh syara' hanya untuk talak yang ketiga. Dalam kitab Al-Muwatta karangan imam Malik, menjelaskan apabila ada suami perantara atau muhallil maka tidak dapat bertahan dalam suatu pernikahan untuk memperbolehkan pernikahan baru. Dari beberapa buku maupun tulisan-tulisan yang dicantumkan diatas yang membahas tentang masalah talak, menurut pemahaman penulis belum
15
ada yang membahas tentang bilangan talak maupun penghapusan bilangan talak yang lebih spesifik. Apabila penulis kaitkan dengan kepentingan penelitian ini, maka penulis merujuk pada nash (Al-Qur’an dan Hadits), kitab-kitab ushul fiqh maupun kitab-kitab fikih serta buku-buku yang bersangkutan dengan hukum Islam yang lain karena di dalam penelitian ini terdapat bab mengenai istinbath hukum dan teori-teori dari berbagai referensi.
E. Metode Penelitian Dalam melakukan penelitian ini penulis menggunakan beberapa metode secara sistematis untuk melakukan tahapan guna mendapatkan suatu data tertentu secara ilmiah, sehingga kebenaran isi skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan. Metode adalah cara atau menuju suatu jalan atau juga merupakan kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan suatu cara kerja (sistematis) untuk memahami suatu subjek atau objek penelitian, sebagai upaya untuk menentukan jawaban atas keabsahan karya tulis secara ilmiah.39 Adapun dalam penulisan ini, penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut: 1. Pengumpulan data Dalam
pengumpulan
data,
penulis
menempuh
jalan
mengumpulkan dokumen-dokumen (baik dari buku dan atau majalah atau sumber lainnya). Menurut Sumadi Suryabrata teknik pengumpulan data 39
Rosady Ruslan, Metode Penelitian: Public Relation & Komunikasi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 23-24
16
terbagi menjadi dua yaitu pengambilan data primer dan data sekunder.40 Namun pada penelitian ini penulis akan menyajikan sumber-sumber berupa kitab-kitab fiqih dan hadis maupun buku-buku lainnya yang menyangkut permasalahan yang akan dibahas oleh penulis. Mlihat judul di atas, penelitian ini bercorak kepustakaan murni (library research), yaitu mencari dan mengumpulkan dengan cara membaca dan memahami bukubuku yang sesuai dengan pembahasan.41 2. Metode analisis data Dalam menganalisis data yang telah dikumpulkan, penulis akan menggunakan beberapa metode untuk menganalisis data-data yang telah disajikan. Adapun metodenya yaitu : a. Metode deskripsi Tulisan ini berbentuk penelitian yang menggunakan library research atau studi teks terhadap data primer yang disajikan. Metode yang tepat untuk menjelaskan terhadap data-data primer maupun sekunder bermaksud
dibutuhkan untuk
metode
membuat
deskripsi yaitu pencandraan
penelitian yang
(deskripsi)
terhadap
permasalahan yang sedang dibahas.42 b. Metode komparatif Tujuan metode komparatif yaitu untuk menyelidiki kemungkinan hubungan sebab akibat dengan cara: berdasarkan pengamatan terhadap
40
Sumadi Suryabrata, …Op.cit, hlm. 93 Sutrisno Hadi, Metodologi Reseach, (Yogyakarta: Penerbit Fak. Psikologi UGM, 1987), hlm. 9. 42 Sumadi Suryabrata, …Op.cit, hlm. 19 41
17
akibat yang ada mencari kembali faktor yang mungkin terjadi penyebab melalui data tertentu. Penelitian komparatif dilakukan dengan mengumpulkan data semua kejadian yang dipersoalkan berlangsung (lewat). Peneliti mengambil satu atau lebih akibat dan menguji data dengan menelusuri kembali ke masa lampau untuk mencari sebab-sebab, saling hubungan dan maknanya43 Penerapan metode komparatif dalam penelitian ini sangatlah tepat sebab penulis akan meneliti sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat diantara ulama fikih klasik di dalam permasalahan al-hadmu atau penghapusan bilangan talak.
F. Sistematika Penulisan Sistematika penelitian dan penulisan skripsi ini terperinci menjadi 5 (lima) bab yang di setiap bab-nya menampilkan perbedaan namun penulisan ini masih tetap dalam kesatuan yang saling berhuhubungan dan mudah dipahami. Adapun sistematika penulisan skripsi ini yaitu : Bab pertama berisi pendahuluan. Dalam bab ini akan mengetengahkan pada beberapa pembahasan, yaitu yang berisikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan skripsi, telaah pustaka, metode penulisan skripsi dan sistematika penulisan skripsi.
43
Ibid., hlm. 28–29
18
Bab kedua berisi tinjauan umum tentang bilangan talak serta model penafsiran yang terkait. Bab ini merupakan landasan teori, sesuai dengan judul skripsi ini maka pembahasan dalam bab ini berisi tentang pengertian talak, talak raj'i dan talak ba’in, nikah muhallil, pengertian dan perbedaan pendapat ulama tentang al-hadmu serta model-model tafsir terkait dengan masalah alhadmu. Bab ketiga berisi Asy-Syaibani yaitu pendapatnya tentang al-hadmu (penghapusan bilangan talak). Dalam bab ini yang terdiri dari sub bab, berisi pembahasan tentang mengenai biografi dan pendidikan Asy-Syaibani, karya– karya Asy-Syaibani serta pendapat dan metode istinbath hukum Asy-Syaibani tentang al-hadmu. Bab keempat berisi analisis terhadap pendapat Asy-Syaibani tentang al-hadmu (penghapusan bilangan talak). Bab ini merupakan analisis terhadap data-data yang telah diuraikan sebelumnya, yang berisi tentang analisis tarhadap pendapat Asy-Syaibani tentang al-hadmu dan analisis terhadap istinbath hukum Asy-Syaibani tentang al-hadmu. Bab kelima berisi penutup. Bab ini merupakan akhir dari seluruh rangkaian pembahasan dalam skripsi ini, yang berisi kesimpulan, saran-saran dan penutup.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG BILANGAN TALAK
A. Pengertian Talak Kata talak berasal dari kata “ithlaq’’ yang berarti “melepaskan atau meninggalkan”.1 Sedang dalam bahasa arab berasal dari kata ﻃﻼق-ﻳﻄﻠﻖ-ﻃﻠﻖ yang bermakna melepas atau mengurai tali pengikat, baik tali pengikat itu bersifat konkrit (seperti tali pengikat kuda) maupun bersifat abstrak (seperti tali pengikat perkawinan). Kata talak merupakan isim mashdar dari kata ﻃﻠّﻖ ﻃﻠّﺎﻗﺎ- ﻳﻄّﻠﻖyaitu melepaskan atau meninggalkan.2 Talak menurut pengertian Abdurrahman I. Doi secara harfiah berarti membebaskan seekor binatang. Pengertian ini dipergunakan dalam syari’ah untuk menunjukkan cara yang sah dalam mengakhiri suatu perkawinan. Ajaran Islam memperkenankan talak atau perceraian kalau terdapat alasanalasan yang kuat baginya, namun hak itu hanya dapat dipergunakan dalam keadaan yang sangat mendesak.3
1
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, jilid 8, Alih Bahasa Moh. Thlmib, cet. II, (Bandung, PT. Al Ma’arif, 1983), hlm. 9 2 Departemen Agama R.I, Ilmu Fiqh, jilid II, cet. II, (Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1984/1985), hlm. 226 3 Abdurrahman I. Doi, Shari’ah The Islamic Law, terj. Basri Iba Asghary, Perkawinan Dalam Syariat Islam , cet. I, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), hlm. 76
20
21
Putusnya hubungan perceraian dalam syari’at Islam menurut Sudarsono dalam buku Hukum Perkawinan Nasional menyebutkan talak yaitu suatu bentuk pemutusan hubungan ikatan suami istri karena sebab-sebab tertentu yang tidak memungkinkan lagi bagi suami istri meneruskan hidup berumah tangga. Menurut ajaran Islam yang telah ditetapkan oleh Allah SWT, talak adalah perbuatan halal yang tidak disukai Allah SWT. Sesuai sabda Nabi SAW dari Ibnu Umar yang diriwayatkan Abu Daud. 4
اﺑﻐﺾ اﻟﺤﻼل اﻟﻰ اﷲ اﻟﻄﻼق: ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ
Artinya: “Nabi SAW bersabda: "Perbuatan halal yang paling dimurkai oleh Allah adalah Talak" (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Hakim dari Ibn Umar). Karena itu, asal hukum talak adalah haram, tapi karena ada illat yang memperbolehkan, maka hukumnya menjadi dibolehkan.5 Sedangkan istilah yang digunakan pada Kompilasi Hukum Islam yang berkaitan dengan putusnya perkawinan dan akibat hukumnya termasuk di dalamnya teknis pelaksanaannya agar tindakan perceraian itu dilakukan secara benar.6 Maka Kompilasi Hukum Islam pada pasal 117 berisi: “Talak adalah ikrar suami dihadapan sidang pengadilan agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129, 130 dan 131”7
4
Muhammad bin Yazid Abi Abdillah Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, juz I, (ttp: Dar alFikr, 1995), hlm. 633 5 Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, cet. III, ((Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005), hlm. 128 6 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, ed. I, cet. VI, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003), hlm. 276 7 Departemen Agama R.I, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2000), hlm. 56
22
Sementara beberapa ulama fikih mendefinisikan tentang talak yaitu : 1. Menurut Abdurrahman Al-Jaziri, Talak adalah menghilangkan ikatan perkawinan dan mengurangi ikatannya dengan mempergunakan kata-kata tertentu.8 2. Menurut Sayid Sabiq, talak menurut syara’ adalah melepaskan tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri.9 3. Menurut Taqiyuddin Abi Bakar, talak menurut syara’ adalah nama untuk melepaskan ikatan dan talak itu adalah lafadz jahiliyah yang setelah syara’ datang ditetapkan sebagai kata melepaskan nikah.10 Sedangkan dasar hukum atau hukum asal dari talak adalah dilarang, namun karena adanya ayat Al-Qur'an surat ath-Thalaq: 1 yang berbunyi:
ﺣﺼُﻮا ا ْﻟ ِﻌ ﱠﺪ َة ْ ﻦ َوَأ ﻦ ِﻟ ِﻌ ﱠﺪ ِﺗ ِﻬ ﱠ ﻄﱢﻠﻘُﻮ ُه ﱠ َ َﻓ Artinya: “Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)” (Q.S. ath-Thalaq: 1)11 Ayat diatas menunjukkan adanya bolehnya talak pada waktu-waktu tertentu yang diperbolehkannya. Dan ayat ini merupakan penghubung bagi nash-nash lainnya yang muthlak dalam hal talak dan juga ayat ini sebagai
8
Abdurrahman Al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala Madzhahib al-Arba’ah, juz IV, (Beirut: Dar al-Kutub al ‘Alamiyah, 1990), hlm. 248 9 Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz II, (ttp: Dar al-Fath lil I’lami al-Arabi, 1990), hlm. 344 10 Taqiyuddin Abi Bakar, Kifayatul al-Akhyar, Juz II, (Semarang: Toha Putra, tth), hlm. 84 11 Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahannya, (Surabaya: Mekar, 2004), hlm. 945
23
penjelas bahwa talak yang dibolehkan ialah talak sebagai yang tersebut dalam ayat diatas. Hal ini juga dapat dijelaskan bahwa nash-nash yang datang mengenai ibadah dan muamalah lainnya seperti nikah dan jual beli walaupun ia muthalaq, juga tidak mencakup kecuali apa yang telah disyariatkan.12
B. Talak Raj’i dan Talak Ba’in 1. Talak Raj’i Menurut Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid mengatakan, talak raj’i adalah suatu talak dimana suami memiliki hak untuk merujuk istrinya tanpa kehendaknya. Talak raj’i ini disyaratkan pada istri yang telah digauli.13 Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 118 menjelaskan: “Talak raj’i adalah talak satu atau kedua, dimana suami berhak rujuk selama istri dalam masa iddah.”14 Sedang menurut Sayyid Sabiq dalam Fikih Sunnah-nya mengatakan bahwa talak raj’i yaitu talak yang dijatuhkan oleh suami kepada istrinya yang telah dikumpulinya betul-betul, yang ia jatuhkan bukan sebagai ganti dari mahar yang dikembalikannya dan sebelumnya belum pernah menjatuhkan talak kepadanya sama sekali atau baru sekali saja.15 Dasar hukum dari talak raj’i adalah firman Allah SWT:
12
Mahmud Syalthut, Fatwa-fatwa, jilid II, terj. Bustami A. Gani, Zaini Dahlan, cet. I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hlm 137 13 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, terj. M.A. Abdurrahman, cet. I (Semarang: Asy Syifa’, 1998), hlm 476 14 Departemen Agama R.I, Kompilasi Hukum Islam, … Op. cit, hlm. 57 15 Sayid Sabiq, … Op. cit, hlm. 58
24
ن ٍَ ﺣﺴَﺎ ْ ﺢ ِﺑِﺈ ٌ ﺴﺮِﻳ ْ ف َأ ْو َﺗ ٍ ك ِﺑ َﻤ ْﻌﺮُو ٌ ن َﻓِﺈ ْﻣﺴَﺎ ِ ق َﻣ ﱠﺮﺗَﺎ ُ ﻄﻼ اﻟ ﱠ Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (QS. Al Baqarah :229)16 Talak raj’i selain disyaratkan pada istri yang telah digauli, juga talak tersebut tidak dengan menggunakan uang pengganti (iwadh) dan tidak pula dimaksudkan untuk melengkapi talak tiga. Wanita yang di-talak raj’i hukumnya seperti istri. Mereka masih mempunyai hak-hak suami istri, seperti hak waris-mewarisi antara keduanya (suami istri) manakala salah satu di antara keduanya ada yang meninggal sebelum selesainya masa iddah.17 Menurut jumhur ulama fiqh, akibat dari talak raj’i adalah sebagai berikut: a. Bilangan talak yang dimiliki suami berkurang; b. Ikatan perkawinan berakhir setelah masa iddah habis jika suami tidak rujuk; c. Suami boleh rujuk dalam masa iddah istrinya, baik disetujui istri maupun tidak, karena rujuk tidak memerlukan persetujuan istri; (lihat: Q.S. ath-Thalaq: 2) d. Wanita tersebut berhak mendapatkan nafkah dari suaminya selama masa iddah;
16
Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahannya, …Op. cit. hlm. 55 Muhammad Jawad Mughniyah, Al-Fiqh ‘Ala Madzahib Al-Khamsah, terj. Masykur A.B, cet. VII, (Jakarta: Lentera, 2001), hlm. 451 17
25
e. Anak yang lahir dalam masa iddah bernasab kepada suami yang mentalak; f. Apabila dalam masa iddah salah satu dari suami istri meninggal dunia maka berhak atas harta warisnya; g. Istri masih berkewajiban melayani dan mengurus rumah tangga suaminya dalam masa iddah sebagai perimbangan dari haknya menerima nafkah dari bekas suaminya;18 Talak raj’i termasuk bilangan talak, oleh karena itu jika dalam masa iddah suami merujuknya atau menceraikan istrinya, setelah itu diharuskan adanya saksi pada waktu merujuknya atau pada saat menceraikannya dengan tujuan dapat mengetahui dan membedakan antara talak yang pertama dengan talak yang kedua dan seterusnya.19 2. Talak Ba’in Talak ba’in yaitu talak yang tidak memberi hak merujuk bagi bekas suami terhadap bekas istrinya, untuk mengembalikan bekas istri ke dalam ikatan perkawinan dengan bekas suami harus melalui akad nikah baru, lengkap dengan rukun dan syaratnya. Talak bain terdiri dua macam, yaitu a. Talak Ba’in Shughro (Talak Ba’in Kecil) Talak ba’in shughro adalah talak ba’in yang menghilangkan pemilikan bekas suami terhadap bekas istri tetapi tidak menghilangkan kehalalan bekas suami boleh mengadakan akad nikah baru dengan 18 19
Hadi Mufaat Ahmad, Fiqh Munakahat, (Semarang: Duta Grafika, 1992), hlm. 185 Ibid.
26
bekas istri baik dalam masa iddah-nya maupun sesudah berakhir masa iddah-nya.20 Seperti yang diterangkan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 119, berbunyi: 1) “Talak ba’in shughra adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah; 2) Talak ba’in shughra sebagaimana tersebut pada ayat (1) adalah: a. Talak yang terjadi qabla al-dukhul; b. Tidak dengan tebusan atau khulu’21; c. Talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama.”22 Termasuk kedalam golongan talak ba’in shughra adalah: 1) Talak raj’i yang telah habis masa iddahnya bagi bekas istrinya; 2) Talak yang dijatuhkan suami sebelum dukhul (sebelum melakukan persetubuhan dalam masa perkawinan); 3) Talak karena sebab khulu’. 4) Talak atau perceraian yang dijatuhkan oleh hakim karena sebab rafa’ (tuntutan) pihak istri kepada pengadilan; Sedangkan akibat hukum talak ba’in shughra adalah: 1. Talak bain shugra memutuskan ikatan perkawinan antara suami dan istri;
20
Departemen Agama R.I, Ilmu Fiqh, …Op.cit, hlm. 231 Khulu’ artinya perceraian antara suami istri dengan pembayaran dari pihak istri. Cerai dengan khulu dpt menjadi ba’in apabila sang suami tidak dapat rujuk kepada istrinya kembali. Jika terdapat kesepakatan hendak hidup sebagai suami istri kembali keduanya harus melakukan akad nikah yang baru lagi dengan hadirnya wali. Lihat: T. Jafizham, Persintuhan Hukum Di Indonesia Dengan Hukum Perkawinan Islam, cet. II, (Jakarta: PT. Mestika, 2006), hlm. 314, sebagian ulama mazhab ada yang mengatakan bahwa khulu’ tidak termasuk golongan talak melainan faskh (perusak) nikah. Lihat: Muhammad Jawad Mughniyah, Al-Fiqh ‘Ala Madzahib Al-Khamsah, terj. Masykur A.B, cet. VII, (Jakarta: Lentera, 2001), hlm. 452 22 Departemen Agama R.I, Kompilasi Hukum Islam, …Op. cit, hlm. 58 21
27
2. Hak bergaul antara suami istri termasuk ber-khalwat menjadi haram sebelum terjadi akad nikah; 3. Suami atau istri tidak berhak saling waris mewarisi apabila salah satu meninggal dunia; 4. Rujuk dilakukan dengan akad nikah baru dan memenuhi syaratsyarat yang lain; 5. Bilangan talak yang dimiliki suami berkurang 6. Dalam masa iddah bekas istri berhak atas tempat tinggal, nafkah dan apabila anak yang lahir dalam masa iddah bernasab pada suaminya;23 b. Talak Ba’in Kubra (Talak Ba’in Besar). Talak ba’in kubra adalah talak yang mengakibatkan tertutupnya kembali hak rujuk sekalipun dengan akad nikah baru. Para fuqaha berpendapat bahwa talak ba’in kubra adalah talak tiga, yaitu talak ketiga kalinya dari talak-talak yang dijatuhkan oleh suami kepada istrinya.24 Bagi mantan suaminya hukumnya terlarang dan tidak sah untuk kembali berumah tangga dengan mantan istrinya itu walaupun dengan jalan rujuk. Dalam nash Al-Qur'an Allah SWT berfirman mengenai talak ba’in kubra:
ﻃﱠﻠ َﻘﻬَﺎ َ ن ْ ﻏ ْﻴ َﺮ ُﻩ َﻓِﺈ َ ﺢ َز ْوﺟًﺎ َ ﺣﺘﱠﻰ َﺗ ْﻨ ِﻜ َ ﻦ َﺑ ْﻌ ُﺪ ْ ﻞ َﻟ ُﻪ ِﻣ ﺤﱡ ِ ﻃﱠﻠ َﻘﻬَﺎ ﻓَﻼ َﺗ َ ن ْ َﻓِﺈ ﻚ َ ﺣﺪُو َد اﻟﱠﻠ ِﻪ َو ِﺗ ْﻠ ُ ن ُﻳﻘِﻴﻤَﺎ ْ ﻇﻨﱠﺎ َأ َ ن ْ ﺟﻌَﺎ ِإ َ ن َﻳ َﺘﺮَا ْ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻬﻤَﺎ َأ َ ح َ ﺟﻨَﺎ ُ ﻓَﻼ (230) ن َ َﻳ ْﻌَﻠﻤُﻮ 23 24
Hadi Mufaat Ahmad, …Op.cit., hlm. 186-187 Ibid.
ﺣﺪُو ُد اﻟﱠﻠ ِﻪ ُﻳ َﺒ ﱢﻴ ُﻨﻬَﺎ ِﻟ َﻘ ْﻮ ٍم ُ
28
Artinya: “Kemudian jika si suami menalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.” (Q.S. al-Baqarah 230)25 Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 120 menjelaskan: “Talak ba’in kubra adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya, talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali, kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas istri menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba’da al dukhul dan habis masa iddahnya.”26 Sebagai akibat dari talak ba’in kubra adalah: 1) Ikatan nikah antara suami istri menjadi terputus sama sekali; 2) Hak bergaul sebagaimana suami istri menjadi haram termasuk jima’; 3) Hak waris mewarisi antara keduanya apabila salah seorang meninggal dunia menjadi hilang; 4) Selama dalam masa iddah istri tidak berhak lagi nafkah dan tempat tinggal dari bekas suaminya; 5) Antara keduanya menjadi haram melakukan akad nikah lagi, kecuali apabila bekas istri telah menikah dengan laki-laki lain kemudian diceraikan oleh suaminya yang kedua dan telah habis menjalani masa iddah-nya dengan suami yang kedua tersebut.27
25
Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahannya, …Op. cit., hlm. 56 Departemen Agama R.I, Kompilasi Hukum Islam, …Loc.cit. 27 Hadi Mufaat Ahmad, … Op. cit., hlm. 187-189 26
29
Menurut Ibnu Hazm dalam kitab Muhallal, berpendapat bahwa talak ba’in kubra adalah talak tiga kali dengan arti sesungguhnya atau talak sebelum dikumpuli saja. Dalam agama Islam Allah SWT dan Nabi SAW, tidak pernah mengetahui talak ba’in yang tidak dibolehkan rujuk itu, selain karena talak, baik dijatuhkan sekaligus atau berkalikali atau talak sebelum dikumpuli saja.28 Para
fuqaha
berpendapat
bahwa
bilangan
talak
yang
mengakibatkan talak ba’in pada orang yang merdeka adalah tiga kali talak, jika dijatuhkan secara terpisah-pisah (tidak dalam satu waktu).29 Adapun syarat untuk wanita yang telah di-talak tiga kali supaya halal bagi suaminya adalah: a. Habis masa iddah-nya dari suami tersebut; b. Kawin dengan laki-laki lain; c. Suami yang baru tadi telah mengumpuli dan menggaulinya (menyetubuhinya); d. Wanita tersebut bercerai dari suaminya (yang baru/ suami kedua); e. Habis masa iddah-nya dari suaminya (yang baru tadi).
C. Nikah Muhallil Kata Muhallil berasal dari kata bahasa arab yaitu
ﺣﻞ – ﻳﺤﻞ – ﺣﻼ
yang berarti dihalalkan atau diizinkan.30 Sedang muhallil dalam masalah ini 28
Ibnu Hazm, Muhlmla, juz. X, (Beirut: Dar al Fikri, tth.), hlm. 216 Ibnu Rusyd, …Op.cit, hlm. 477-478 30 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, cet. VIII, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), Hlm. 108 29
30
berasal dari kata “Tahlil” yang disebut juga “hallala” yaitu mengesahkan atau membuat sesuatu hal menjadi halal, juga merupakan amalan yang biasa dilakukan sebelum Islam.31 Muhallil adalah orang yang menikahi wanita yang sudah tertalak tiga kali agar bisa menikah lagi dengan suami yang pertama.32 Sedang nikah muhallil adalah perkawinan antara laki-laki dengan perempuan yang telah di-talak tiga oleh suaminya dengan tujuan untuk menghalalkan kembali perkawinan antara perempuan itu dengan bekas suaminya yang pertama setelah dia di-talak oleh suaminya yang kedua. Perkawinan seperti ini dilarang oleh syari’at Islam.33 Disebutkan dalam Undang–undang nomor 1 (satu) tahun 1974 menjelaskan tentang putusnya perkawinan, berbunyi: Pasal 10: “Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu dari yang bersangkutan tidak mengatur lain.”34 Seorang muhallil harus mengikuti syarat-syarat yang ditetapkan oleh Allah SWT, syarat tersebut muhallil harus menggauli istri secara baik, mentalaknya, selanjutnya ditunggu hingga habis masa iddah-nya. Setelah itu
31
Abdur Rahman I. Doi, …Op. cit, hlm. 95 Muhammad Rawwas Qal’ahji, Mausu’ah Fiqhi Umar Ibnil Khattab ra, Ensiklopedi Fiqh Umar bin Khattab ra, terj. M. Abdul Mujieb AS (et.al.), cet. I (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1999), hlm. 383 33 Hadi Mufaat Ahmad, … Op. cit, hlm. 95-96 34 Mohammad Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis Dari UndangUndang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, cet. V, (Jakarta: PT. Bumi aksara, 2004), hlm. 106 32
31
baru sang istri boleh kembali kepada suami pertama kalau mereka berdua sama-sama suka.35 Dalam masalah nikah muhallil seperti yang dikutip dari Mahmud Syaltut, para ulama berbeda pendapat diantaranya imam Syafi'i, imam Ahmad dan Abu Tsauri mengatakan bahwa perkawinan dengan mensyaratkan tahlil (untuk menghalalkan), atau dengan niat tahlil (untuk menghalalkan), yang demikian tidak sah dan haram bagi suami pertama menyetubuhinya. Muhammad Abduh berpendapat bahwa nikah tahlil (Pernikahan muhallil) dipandang tidak baik daripada nikah mut’ah karena pernikahan muhallil lebih buruk (fasid) dan cacat.36 Selanjutnya Abu Hanifah mengatakan nikah muhallil diperbolehkan dan niat untuk menikah tidak mempengaruhi sahnya. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Abu Daud dan segolongan fuqaha. Mereka berpendapat bahwa pernikahan tersebut menyebabkan kehalalan istri yang dicerai tiga kali.37 Hadits mengenai muhallil diriwayatkan dari Ali bin Abu Thalib ra, Ibnu Mas’ud ra, Abu Hurairah ra dan Uqbah bin Amir ra, Nabi saw. bersabda:
اﻻ اﺧﺒﺮآﻢ ﺑﺎﻟﺘﻴﺲ اﻟﻤﺴﺘﻌﺮﻗﺎﻟﻮا,ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ 38
ﺑﻠﻰ ﻳﺎرﺳﻮل اﷲ ﻗﺎل هﻮاﻟﻤﺤﻠﻞ ﻟﻌﻦ اﷲ اﻟﻤﺤﻠﻞ واﻟﻤﺤﻠﻞ ﻟﻪ
Artinya: “Rasulullah saw. Bersabda: “Maukah kalian aku beritahu tentang pejantan pinjaman: “dia adalah si muhallil, Allah melaknati si muhallil (orang yang menghalalkan) dan si muhallallahu (orang yang dihalalkan untuknya).” 35
Syekh Ali Ahmad Jurjawi, Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuhu, terj. Hadi Mulyo, jilid I, (Semarang: Asy Syifa’, 1938), hlm. 310 36 Mahmud Syaltut, …Loc. cit. 37 Ibnu Rusyd, …Op. cit., hlm. 530 38 Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukani, Nail al-Autar, juz IV, (Beirut: Dar al-Kitab al-Araby, tth.), hlm. 217
32
(H.R. Ahmad, an-Nasa’I, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah
D. Pengertian dan Perbedaan Pendapat Dalam Masalah Al-Hadmu Kata al-hadmu berasal dari kata
هﺪم- هﺪم – ﻳﻬﺪمyang mempunyai
makna “merobohkan atau menghapuskan”.39 Al-hadmu menurut Ibn Abidin dalam permasalahan talak adalah apabila suami yang kedua menghapuskan talak yang dibawah tiga kali (talak satu atau dua kali) sebagaimana menggugurkan talak tiga (talak ba’in).40 Sedangkan Sayyid Sabiq, menjelaskan istilah al-hadmu adalah penghapusan bilangan talak. Maksudnya, apakah suami kedua menghapuskan talak yang berjumlah kurang dari tiga kali seperti halnya terhapusnya talak tiga kali atau tidak?.41 Seseorang apabila menceraikan istrinya satu atau dua kali, maka boleh ia kembali padanya asal belum habis masa iddah-nya. Bila sudah habis masa iddah-nya maka halal baginya mengawininya dengan akad yang baru dan bila dia bersama suaminya meneruskan sisa talak yang masih ada. Apabila seseorang suami mencerai istrinya, ia berhak untuk kembali sebelum habis masa iddah-nya. Apabila waktu iddah telah habis dan ingin kembali, maka perlu nikah lagi dan talak-nya tetap dihitung dalam bilangan.42 Namun berbeda dalam permasalahan al-hadmu, yaitu apabila suaminya mentalaknya di bawah tiga (talak satu atau dua), setelah habis masa 39
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Ponpes al-Munawwir, 1984), hlm. 1596 40 Ibnu Abidin, Radd Al Mukhtar, juz III, (Beirut: Darul Fikr, tth), hlm. 337-338 41 Sayid sabiq, …Op. cit., hlm. 69 42 Mustofa Diibulbigha, Fiqih Syafi'i: Terjemah Attahdziib, terj. NY. Adlchiyah Sunarto, M. Muhtazam, (Surabaya: Bintang Pelajar, 1984), hlm. 396
33
iddah-nya kemudian dia menikah lagi dengan laki-laki lain (muhallil), lalu kembali lagi pada suami yang pertama dengan nikah yang baru lagi, maka dia kembali kepada suaminya dengan sisa talak-nya yaitu tinggal satu talak saja. Jika dalam nikah pertama sang suami men-talak-nya dengan satu talak, maka talak yang dimilikinya setelah pernikahan yang kedua tinggal dua kali talak saja. Jika dalam pernikahan pertama si suami mentalaknya dengan dua kali talak, maka setelah dalam pernikahan kedua, dia hanya mempunyai satu talak saja. Pada masa sahabat Umar bin Khattab, sesungguhnya ia pernah berkata: “wanita mana yang ditalak suaminya dengan talak satu atau dua, kemudian mantan suaminya itu membiarkannya sampai ia selesai menjalani masa iddah lalu ia menikah dengan laki-laki lain yang kemudian meninggal dunia atau men-talak-nya, kemudian suaminya yang pertama tadi menikahinya kembali, maka sang suami pertama tadi hanya punya satu kesempatan lagi men-talaknya”. Perkataan dari sahabat Umar tersebutlah yang dijadikan pendapat oleh imam Malik dalam permasalahan ini.43 Ada riwayat lain yang
juga
diriwayatkan dari Abu Hurairah, beliau berkata: “saya pernah bertanya pada Umar tentang seorang laki-laki dari Bahrain yang men-talak istrinya dengan satu atau dua kali talak, kemudian si istri tadi menikah lagi dengan laki-laki lain, lalu suami keduanya men-talak-nya dan suami pertama menikahinya lagi.
43
Imam Malik, Muwaththa’ al-Imam Malik r.a, terj. Adib Bisri Musthofa, (Semarang: Asy-Syifa’, 1992), hlm. 120
34
Maka masih ada berapa lagi hak talak-nya? “Umar menjawab: “Dia mempunyai sisa talak-nya.”44 Beberapa ulama telah sepakat, bahwa perempuan yang tertalak ba’in kubra bila kawin dengan laki-laki lain kemudian bercerai lalu kawin lagi dengan bekas suami yang pertama sesudah habis iddah-nya, maka mulai lembaran baru dan laki-lakinya berhak atas tiga kali talak. Karena suami kedua (yang bercerai) telah menghapuskan lembaran pertama. Jika perempuan tersebut kembali kepada bekas suaminya yang pertama dengan akad baru, maka akad baru ini menimbulkan lembaran baru pula. Adapun perempuan yang ter-talak ba’in shughra, jika kawin dengan laki-laki lain kalau sudah habis iddah-nya lalu bercerai dan kemudian kembali kawin lagi dengan bekas suaminya yang pertama, maka hukumnya sama dengan perempuan yang ter-talak ba’in kubra, yaitu berulang kembali lembaran baru dan laki-lakinya berhak atas tiga kali talak. Demikianlah menurut pendapat Abu Hanifah dan Abu Yusuf.45 Alasan Abu Hanifah dan Abu Yusuf mengatakan: berkumpul dengan suami yang kedua dalam pernikahan yang sah membuat wanita yang di-talak berhubungan dengan orang lain di dalam hukum khusus mengenai pen-talakan sebagaimana setelah pen-talak-an tiga kali. Suami kedua menghilangkan keharaman tidak penyebab timbulnya keharaman yang dikemukakan oleh Abu Hanifah dan Abu Yusuf adalah: “Ketidak bolehan suami yang pertama untuk menikahi wanita itu timbul dengan sendirinya dan keharaman itu hilang 44 45
Muhammad Rawwas Qal’ahji,… Op. cit., hlm. 603 Sayid sabiq, … Op. cit., hlm. 69
35
setelah adanya suami yang kedua, hal ini menunjukkan suami kedua menghilangkan keharaman dan mewajibkan kehalalan karena Nabi SAW menamainya dengan muhallil. Seseorang dinamakan muhallil karena dia mewajibkan hukum halal dan sekaligus menghilangkan keharaman. Alasan inilah yang menjelaskan bahwa suami yang kedua menjadi batas secara majazi (kiyasan) saja. Hukum talak itu ditetapkan untuk selamanya tidak dalam batas tertentu, tetapi hukum tersebut dapat tidak berlaku sebab adanya perkawinan yang membuat tidak berlakunya hukum talak, sebagaimana hukum hilangnya hak milik tidak dibatasi oleh waktu, tetapi menjadi tidak berlaku apabila ada perkara yang membuatnya tidak bisa berlaku yaitu nikah. Apabila telah ditetapkan bahwa suami yang kedua menjadi sebab kehalalan maka hanya pada saat pentalakan tiga kali suami yang kedua menyebabkan timbulnya kehalalan, hukum ini juga ditetapkan pada pen-talak-an satu atau dua kali meskipun hal ini tidak terdapat pada pen-talak-an satu atau dua kali.46 Mereka juga beralasan bahwa suami yang kedua menghilangkan pentalakan tiga kali dan wanita tersebut kembali pada suami yang pertama dengan ikatan (pernikahan) yang baru, maka hal tersebut lebih berhak untuk diterapkan pada pen-talak-an yang di bawah tiga karena suami yang kedua menghilangkan pengharaman dan membuat ikatan baru pada saat bersamaan. Berbeda dengan murid Abu Hanifah yang lain yaitu Asy-Syaibani yang berpendapat pernikahan yang kedua tidak menghilangkan pen-talak-an di 46
Asy-Syamsuddin as-Sarakhsi, al-Mabsuth, juz. VI, (Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub alIlmiyah, tth.), hlm. 95-96
36
bawah tiga dan suami yang kedua hanya menghapuskan pada pen-talak-an tiga saja 47 Para fuqaha juga berselisih pendapat mengenai apakah suami kedua menghapuskan talak di bawah tiga pada permasalahan di atas.. Imam Malik dan Syafi'i berpendapat, suami kedua tidak menghapuskan. Yakni apabila istri kawin lagi sebelum talak yang ketiga bukan dengan suami yang pertama merujukinya lagi, apakah talak pertama dihitung atau tidak? Bagi fuqaha yang berpendapat bahwa menghapuskan bilangan talak ditentukan oleh syara’ hanya untuk talak yang ketiga, maka mereka mengatakan bahwa perkawinan tersebut tidak menggugurkan talak yang kurang dari tiga. Sedang bagi fuqaha yang berpendapat bahwa jika perkawinan tersebut dapat menggugurkan talak yang ketiga dan terlebih lagi dapat menggugurkan talak yang lebih kurang, maka mereka mengatakan bahwa perkawinan tersebut dapat menggugurkan talak yang kurang dari tiga.48 Mengenai pengurangan bilangan talak, Ibnu Rusyd mengatakan bahwa terjadinya pengharaman lebih berat dirasakan dengan dua talak ketimbang dengan tiga talak, lantaran boleh jadi pada terjadinya keharaman tersebut dapat terjadi penyesalan. Sebab jika setiap kali terjadi talak terhadap istri dapat dirujuk atau dinikahi kembali, tentu istri akan mengalami kesulitan dan kesusahan. Oleh karenanya, dengan aturan dari Allah Swt menggabungkan antara dua kepentingan suami maupun istri. 49
47
Ahmad Ghoundur, ath-Thlmaq fi al-Syari’at al-Islamiyah wal Qonun, (Mesir: Darul Ma’arif, 1967), hlm. 246-247 48 Ibnu Rusyd, …Op. cit., hlm. 531-532 49 Ibid, hlm. 482
37
Pendapat Imam Syafi'i yang menyatakan bahwa hukum Allah SWT menunjukkan perbedaan antara wanita yang di-talak satu atau dua kali dengan wanita yang ditalak tiga kali, hal ini dikarenakan dalam nash Al-Qur'an (Q.S. al-Baqarah: 229-230) tersebut menjelaskan bahwa wanita halal bagi suami yang mentalaknya satu atau dua kali kemudian merujukinya, apabila si suaminya mentalak tiga kali maka wanita tersebut tidak dapat dinikahinya lagi sampai dia menikah dengan orang lain.50
50
Imam Abi Abdullah Muhammad bin Idris asy-Syafi'i, al-Umm, juz V, (Beirut: Dar alKutub, tth), hlm. 266
BAB III ASY-SYAIBANI: PENDAPATNYA TENTANG AL-HADMU (PENGHAPUSAN BILANGAN TALAK)
A. Biografi dan Pendidikan Asy-Syaibani Asy-Syaibani adalah ahli fiqh dan tokoh ketiga mazhab Hanafi yang berperan besar dalam mengembangkan dan menulis beberapa pandangan imam Abu Hanifah. Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad Ibnul Hasan bin Farqad Asy-Syaibani.1 ia dilahirkan dari sebuah desa di Damsyiq di daerah Wasith yang bernama Harrasta-Damaskus2 yaitu pada tahun 132 H/ 749 M. Ia sejak kecil bertempat tinggal di kota Kufah, lalu pindah dan menetap di Baghdad.3 Ayahnya bernama Hasan adalah seorang komandan pasukan di Syam, ia adalah seorang wali dan penisbatannya kepada Asy-Syaibani disebabkan karena keturunan wali.4 Asy-Syaibani tumbuh dan berkembang di Kufah kemudian menetap di Baghdad dalam naungan orang-orang Abbasiyah. Dari sejak mudanya, ia menuntut ilmu bermacam-macam ilmu pengetahuan agama dan mempelajari ilmu hadits, kemudian dengan perantaraan para ulama di Irak ia lalu belajar kepada imam Abu Hanifah. Belum beberapa lama ia belajar pada gurunya yaitu Abu Hanifah, tiba-tiba gurunya itu meninggal dunia, padahal waktu itu 1 Abdul Azis Dahlan (ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, jilid V, (Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1996), hlm. 1686 2 Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, juz H, cet. X, (Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al Araby, tth.), hlm. 203 3 Munawwar Khlmil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, cet. IV, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), hlm. 35 4 Ahmad Amin, …op.cit.
38
39
ia baru berusia 18 (delapan belas) tahun5 pada saat menuntut ilmu pada guru utamanya itu. Oleh sebab itu, ia lalu melanjutkan belajar kepada murid imam Abu Hanifah yang lain yaitu Abu Yusuf karena ia mengerti bahwa imam Abu Yusuf itu adalah seorang bekas murid imam Abu Hanifah yang terpandai dan terkemuka.6 Jenjang pendidikannya berasal dari lingkungan keluarganya sendiri dibawah bimbingan langsung ayahnya yang juga seorang ahli fiqh pada zamannya. Pada usia belia, Asy-Syaibani telah menghafal Al-Qur’an. Asy-Syaibani dalam memahami fiqh Mazhab Hanafi dan tumbuh menjadi pendukung utama dalam perumusan Mazhab tersebut dari kedua gurunya itu. Asy-Syaibani dikemudian hari banyak menulis ragam pengetahuan yang pernah disampaikan imam Abu Hanifah kepadanya.7 Asy-Syaibani dalam menuntut ilmu dan meriwayatkan hadits belajar pada Abu Hanifah tentang jalan penduduk Irak. Ia mempunyai akal yang cerdas sehingga ia berkembang sangat pesat dan pada masa hidup Abu Yusuf ia menjadi tempat kembali Ahl Ra’yu8 dan diantara dua orang itu terdapat
5
Menurut beberapa pendapat yang mengatakan bahwa Asy-Syaibani terakhir berguru pada saat Abu Hanifah meninggal yaitu umur 18 tahun, namun pendapat yang lain mengatakan Asy-Syaibani belajar kepada Abu Hanifah pada usia 19 tahun, sedang ada pendapat yang mengatakan ketika Abu Hanifah meninggal Asy-Syaibani baru berusia 20 tahun, ini menunjukkan bahwa Asy-Syaibani dalam menuntut ilmu dan fiqh sejak usia belia. Lihat dan bandingkan Abdul Azis Dahlan, (ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, jilid V, (Jakarta: PT.Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1996), hlm. 1686 dan Ahmad Asy-Syarbasyi, al-Aimmah al-Arba’ah, “4 Mutiara Zaman” Biografi Empat Imam Mazhab: Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Malik bin Anas, Imam Ahmad bin Hanbal, terj. Fatahul Arifin, cet. I, (Jakarta: Pustaka Qalami, 2003), hlm. 31 6 Munawwar Khlmil, …loc. cit. 7 Abdul Azis Dahlan (ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, jilid V, ...Loc.cit. 8 Istilah al-ra’yu atau ahl al-ra’yu digunakan untuk menyebut kelompok pemikiran hukum Islam yang memberi porsi akal lebih banyak karena dalam menjawab persoalan hukum tampak tidak terikat oleh teks nash (Al-Qur'an dan al-hadits), mereka leluasa menggunakan pendapat akal. Ahl al-ra’yu juga tetap menggunakan Al-Qur'an dan hadits sebagai dasar penetapan hukum, akan tetapi dalam melihat kasus penetapan hukum berpendapat bahwa nash syar’i itu mepunyai tujuan tertentu yaitu mendatangkan maslahat manusia. Lihat: Muhammad Zuhri, Hukum Islam Dalam Lintaan Sejarah, cet. I, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1996), hlm. 69
39
40
keretakan yang berlangsung beberapa waktu sampai wafatnya Abu Yusuf.9 Selanjutnya selain ia belajar kepada Abu Hanifah dan Abu Yusuf , ia juga belajar di Madinah (wilayah munculnya hadits) tentang ilmu hadits dan ilmu riwayat dibawah bimbingan imam Malik untuk beberapa lama,10 dan belajar kepada Sufyan al-Tsaury dan Abdurrahman al-Awza’i. Bergurunya AsySyaibani kepada imam Malik kerena imam Malik mempunyai latar belakang sebagai ulama Ahl al-Hadits dan ia belajar selama lebih kurang 3 (tiga) tahun. Asy-Syaibani pernah menuntut ilmu dan belajar mengenai hadits kepada imam Malik dan tokoh-tokoh Madinah ini, hal ini telah memberikan wawasannya dalam pemikiran hukumnya. Asy-Syaibani menjadi tahu lebih banyak hadits yang selama ini luput dari pengamatan Abu Hanifah yang lebih menekankan pada aspek penalaran (al-ra’yu). Sehingga Asy-Syaibani banyak mempunyai kemiripan dengan Abu Yusuf dalam hal penguasaan hukum ahl al-ra’yu di Kufah dan hukum ahl al-hadits di Madinah. Demikian juga dalam disiplin keilmuannya juga seperti Abu Yusuf. Asy-Syaibani menguasai sastra, nahwu, lughat, syair, ilmu-ilmu agama, seperti Al-Qur’an, hadits dan fiqh. Karenanya, ia ahli dalam bahasa dan proses pentasyri’an hukum dari ragam kasus yang berbeda-beda.11 Kebenaran Asy-Syaibani belajar pada imam Malik
9
Hudhari Bik, Tarjamah Tarikh al-Tasyri’ al-Islami, Sejarah Pengembangan Hukum Islam, alih bahasa: Mohammad Zuhri, (Indonesia: Darul Ihya, 1980), hlm. 414 10 W. Montgomery Watt, The Majesty That What Islam, Kejayaan Islam: Kajian Kritis Dari Tokoh Orientalis, terj. Hartono Hadikusumo, cet. I, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990), hlm. 127 11 Ahmad Amin, …Loc.cit.
40
41
yaitu Asy-Syaibani pernah berkata, “Aku duduk dipintu rumah Malik selama 3 tahun dan telah mendengar lebih dari 700 hadits”.12 Asy-Syaibani sangat berkecukupan dalam hal kekayaan yang tidak sama dengan Abu Yusuf, bahkan sangat bertolak belakang. Ia mampu membiayai studinya dalam ilmu-ilmu yang telah disebutkan diatas, sebanyak tiga puluh ribu Dirham. Ia pernah menolong imam Syafi’i dengan hartanya, penampilannya sangat elegan, berpakaian rapi dan bagus, fasih ucapannya, matang ilmu fiqhnya.13 Berdasarkan atas studinya yang berguru kepada guru utamanya yaitu Abu Hanifah yang menganut paham ahl al-ra’yu di Irak dan juga pernah belajar kepada imam Malik penganut ahl al-hadits yang berdomisili di Madinah, maka Asy-Syaibani mampu mengkombinasikan antara dua aliran yang bertentangan, yaitu ahl al-ra’yu dan ahl al-hadits14. Dalam beberapa hal, ia tidak selalu mengikuti pendapat gurunya, Abu Hanifah, yang lebih mengutamakan metodologi nalar (al-ra’yu) dalam menjawab permasalahan hukum, akan tetapi ia lebih yakin dengan mengikuti pendapatnya sendiri.15 Akan tetapi ia juga masih mempertimbangkan serta mengutip hadits-hadits yang tidak dipakai oleh imam Abu Hanifah dalam memperkuat pendapatnya.
12
Imam Munawwir, Mengenal Pribadi 30 Pendekar Dan Pemikir Islam Dari Masa ke Masa, cet. I, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1985), hlm. 225 13 Ahmad Amin, …Loc.cit. 14 Pengertian ahl al-hadits adalah kelompok orang yang menggunakan metode pemahamannya terhadap ajaran wahyu sangat terikat oleh informasi dari Nabi. Mulanya aliran ini timbul di Hijaz, utamanya di Madinah karena penduduk Hijaz lebih banyak mengetahui hadits dan tradisi Rosul. Hijaz adalah daerah yang perkembangan budayanya dalam pantauan Rosulullah hingga ia wafat. Lihat: Muhammad Zuhri, Hukum Islam Dalam Lintaan Sejarah, …Op. cit., hlm. 67 15 Amir Tajrid, Formulator Mazhab Hanafi, dalam Jurnal Penelitian Walisongo, Vol. XIV No. 2 November 2006, (Semarang: Pusat Penelitian IAIN Walisongo, 2006), hlm. 378
41
42
Akhirnya Asy-Syaibani termasuk seorang alim besar dari mazhab Hanafi di Baghdad yang banyak ilmu pengetahuannya tentang hukum-hukum agama serta cabang-cabangnya.16 Hubungan ia dengan Abu Hanifah bukanlah hubungan seorang yang taklid17 kepada orang yang ditaklidi, namun hubungan murid kepada guru disertai dengan kemerdekaan dalam apa yang akan mereka fatwakan. Mereka tidak berhenti pada pada apa yang difatwakan oleh guru mereka, bahkan mereka menyelisihinya apabila nyata bagi mereka sesuatu yang mewajibkan adanya perbedaan pendapat. Ulama-ulama golongan Hanafiyah sesudah Abu Hanifah tidaklah taklid kepada Abu Hanifah, karena taklid belum timbul dikalangan kaum muslimin pada masa itu, namun para mufti berdiri sendiri dalam berfatwa berdasarkan dalil-dalil yang tampak bagi mereka, sama saja bagi mereka apakah mereka menyelisihinya guru-guru mereka atau sesuai dengan mereka. Hubungan Abu Yusuf dan Asy-Syaibani kepada Abu Hanifah hanyalah seperti hubungan imam Syafi'i kepada imam Malik.18 Adapun mengenai soal taklid, Abu Hanifah pernah berkata: “jika perkataan saya menyalahi kitab Allah SWT dan hadits Nabi SAW, maka tinggalkanlah perkataan saya ini” dan juga ia pernah berkata “seseorang tidak boleh
16
Munawwar Khlmil, … Loc.cit. Pengertian taklid ialah mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui sumber atau alasannya. Syarat taklid ada dua yaitu: syarat orang yang dibolehkan bertaklid adalah orang awam yang tidak mengerti cara-cara mencari hukum syariat maka harus berijtihad sendiri apabila waktunya cukup tetapi apabila tidak ada waktu maka boleh mengikuti pendapat orang pandai, yang kedua syarat pada soal-soal yang ditaklidi yaitu kepada hukum yang terbagi dua yaitu hukum akal dan hukum syara’. Lihat: A. Hanafie, Usul Fiqh, cet. XII, (Jakarta: Widjaya, 1993), hlm. 157 18 Hudhari Bik, …Op.Cit., hlm. 414-415 17
42
43
mengambil perkataan saya sebelum mengetahui dari mana saya berkata”.19 Jadi jelas apabila para murid-muridnya sering berbeda pendapat dalam permasalahan hukum-hukum syara’ maupun lainnya. Asy-Syaibani pernah bertemu dan bersahabat dengan imam Syafi’i di Kufah, pada saat itu umur dari imam Syafi’i masih berusia 22 tahun. Mereka sering bertukar pikiran dan saling memberi soal-soal ilmu pengetahuan. Pada kesempatan tersebut, tujuan dari imam Syafi’i dapat mengetahui aliran-aliran atau cara-cara fiqh mazhab Hanafi yang agak jauh bedanya dari cara dan aliran fiqh dalam mazhab Maliki.20 Imam Syafi’i pernah berkomentar tentang Asy-Syaibani, “Ia adalah orang yang paling fasih, ketika berbicara ia dapat membuai pendengarnya sehingga seolah-olah Al-Qur’an itu diturunkan dengan bahasanya”. Asy-Syaibani mampu memadukan antara fiqh dan sastra, ia juga ahli dalam pemecahan masalah dan ilmu berhitung.21 Asy-Syaibani yang berprofesi sebagai guru besar di Baghdad banyak berjasa dalam mengembangkan fiqh Mazhab Hanafi. Imam Syafi’i sendiri sering ikut dalam halaqah Asy-Syaibani. Karena hal ini ditopang oleh kebijaksanaan pemerintah Dinasti Abbasiyah yang menjadikan mazhab Hanafi sebagai mazhab resmi Negara. Pada masa pemerintahan Khalifah Harun alRasyid yang terkenal, Asy-Syaibani diangkat menjadi Hakim agung (Qadhi
19
A. Hanafie, Usul Fiqh, cet. XII, (Jakarta: Widjaya, 1993), hlm. 159 Sirodjuddin Abbas, Sejarah Dan Keagungan Madzhab Sjafi’i, cet. II, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1972), hlm. 23-24 21 Ahmad Asy-Syarbasyi, al-Aimmah al-Arba’ah, “4 Mutiara Zaman” Biografi Empat Imam Mazhab: Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Malik bin Anas, Imam Ahmad bin Hanbal, terj. Fatahul Arifin, cet. I, (Jakarta: Pustaka Qalami, 2003), hlm. 31 20
43
44
al-Qudah) di Al-Riqqah (Irak).22 Asy-Syaibani dalam memegang posisinya sebagai hakim di al-Riqqah yaitu selama 7 tahun di umurnya yang ke-48 tahun dari 180 H/ 797 M sampai 187 H/ 803 M. Meskipun telah menjabat sebagai hakim tetapi dia tetap meneruskan untuk menulis dan membuat karya sastra, dia telah membuktikan sebagai penulis karya sastra atraktif. Dia dingat di Kufa sebagai sastrawan handal. Asy-Syaibani telah memberi tahu gurunya bahwa posisi pejabat tinggi tidaklah menarik bagi dirinya. Pada tahun 187 H/803 M Asy-Syaibani dibubarkan sebagai hakim Raqqa alasannya karena memberi wacana yang diisukan oleh dia pada kebenaran di Aman (perjanjian keamanan yang memegang konferensi di Raqqa ibukotanya dimana urusan imam Zaidi sebagai subyek), pada permusyawaratan dengan khalifah yang menurunkan Asy-Syaibani sebab dia menuduhnya mungkin bersimpati kepada imam Zaidi, dia pergi ke Baghdad dimana dia mengahabiskan 2 tahun berikutnya dalam membuat karya sastra dan menulis, kesetiaan Asy-Syaibani kepada khalifah telah ditunjukkan setelah tinggal di Baghdad, khalifah menunjukkan apresiasi tindakannya dan integritas moral menghormati.23 Pada zaman Khalifah Harun al-Rasyid, Baghdad adalah pusat ilmu pengetahuan, baik pengetahuan yang datang dari barat atau yang datang dari timur. Memang Irak pada zaman Harun al-Rasyid dianggap sebagai negeri tempat ilmu pengetahuan memancar keseluruh dunia.24
22
Abdul Azis Dahlan, (ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, jilid V,…Op.cit., hlm 1687 Majid Khadduri, The Islamic Law Of Nations Shaybani’s Siyar, (Maryland: The John Hopkins Press, 1966), hlm. 32-34 24 Sirodjuddin Abbas, …Loc.cit. 23
44
45
Tidak lama Asy-Syaibani menjabat sebagai hakim agung, Khalifah Harun al-Rasyid mengajaknya menyertainya dalam perjalanan ke timur dan Asy-Syaibani meninggal dekat Ray di Persia sekitar tahun 189 H/804 M.25 Asy-Syaibani sehari meninggal dengan Abul Hasan Ali bin al-Hamzah alKisay, syeikhul qiraat dan nahwu. Pada saat Asy-Syaibani meninggal, Harun al-Rasyid berkata: “saya kebumikan Arabiyah dan fiqh di Ray”.26
B. Karya-Karya Asy-Syaibani Guru Asy-Syaibani yaitu Abu Hanifah dalam melakukan formulasi mazhabnya tidak secara langsung. Mengingat sampai saat ini belum diketemukan karya-karyanya dibidang hukum Islam (fiqh) di Asia Tenggara (khususnya Indonesia karena bermazhab Syafi’iyyah). Pendapat lain mengatakan bahwa ia sama sekali tidak pernah menulis dalam bidang yang dimaksud. Asumsi bahwa Abu Hanifah tidak menulis kitab dalam bidang fiqh akhirnya menjadi jelas. Walaupun demikian, murid-murid kenamaan Abu Hanifah (misalnya: Abu Yusuf dan Asy-Syaibani) berusaha menghafal dan menulis pendapatnya dan yang kemudian mentransmisikan ragam pemikiran hukumnya dengan cara menuliskan, mencari dalil (istidlal) mencari masalah dan memperluasnya sekaligus memformulasikannya.27 Tulisan atau karya-karya dari Asy-Syaibani telah menjadi dasar yang sebenarnya bagi Mazhab Hanafi, pemikiran dan karyanya dipengaruhi oleh
25
W. Montgomery Watt, …Loc.cit. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam, cet. I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1971), hlm. 195 27 Amir Tajrid, …Op. cit. hlm. 367-368 26
45
46
Abu Yusuf (murid Abu Hanifah). Pentingnya dia bagi Mazhab Hanafi terlihat dari banyaknya jumlah naskah-naskah dan karya-karyanya yang masih ada dan juga sejumlah besar ulasan-ulasan yang ditulis mengenai karya-karya itu. Asy-Syaibani maupun Abu Yusuf lebih mendasarkan pada hadits dibanding Abu Hanifah yang berpijak pada penalaran (ra'yu).28 Asy-Syaibani sangat konsisten dengan pekerjaan menulis dan menghasilkan banyak kitab.29 Asy-Syaibani bukanlah yang pertama dalam penulisan karya–karya hukum sejak Awza’I, Malik dan Abu Yusuf yang telah mendahuluinya tentunya Abu Yusuf terdaftar dengan banyak karya meskipun pandangannya telah diraih olehnya, Asy-Syaibani mulai menulis ketika dia masih seorang murid dan membuktikan yang paling produktif dalam periode pertumbuhan syariah.30 Menurut Abu Zahrah dalam al-Tarikh al-Madzahib al-Fiqhiyah yang mengatakan bahwa Asy-Syaibani termasuk penulis yang cukup produktif dan karya-karya intelektual dari Asy-Syaibani tergolong karya asli pertama bidang hukum mazhab Hanafi yang memuat ragam permasalahan hukum.31 Imam Asy-Syaibani termasuk istimewa dibandingkan dengan yang lain dalam meriwayatkan mazhab-mazhab Hanafiyah, karena sampai saat ini masih terpeliharanya kitab-kitab tentang mazhab Abu Hanifah dan murid-muridnya yang sependapat dengannya.32 Karya-karya Asy-Syaibani ini terhitung cukup
28
Ibid Ahmad Asy-Syarbasy, …Op.cit., hlm. 32 30 Majid Khadduri, …Op. cit., hlm 36-37 31 Muhammad Abu Zahrah, al-Tarikh al-Madzahib al-Fiqhiyah, (t.tp: Mathba’ah alMadany, tth.), hlm. 187 32 Hudhari Bik, …Op.cit, hlm. 416 29
46
47
banyak, akan tetapi karya-karya yang dianggap muktabar (terkenal) sebagai kitab rujukan pertama dalam hukum dibagi menjadi 2 bagian.33 yaitu: 1. Zahir ar-Riwayah (riwayat yang tampak) merupakan kitab yang ditulis berdasarkan pelajaran yang disampaikan oleh imam Abu Hanifah. Sebagaimana dijelaskan bahwa Abu Hanifah tidak meninggalkan karya yang mengungkapkan pokok-pokok pikirannya dalam hukum. AsySyaibani-lah yang menuqilkan dan merekam pandangan Abu Hanifah dalam Zahir ar-Riwayah ini. Kitab Zahir ar-Riwayah terdiri atas enam judul, yaitu: kitab al-Mabsuth atau al-Ashl, al-Jami al-Kabir, al-Jami ashShagir, as-Siyar al-Kabir, as-Siyar as-Shagir dan az-Ziyadah.34 Keenam kitab tersebut berisikan pendapat Abu Hanifah tentang berbagai masalah ke-Islaman, seperti: fiqh, ilmu kalam dan sejarah.35 a. Kitab al-Ashl atau al-Mabsuth (Uraian) Kitab ini dikenal sebagai kitab induk dan kitab terpanjang yang ditulis oleh Asy-Syaibani. Manuskrip kitab ini ada di-Istambul, Turki.36 Dalam kitab ini dikumpulkan beribu-ribu masalah yang diselisihi oleh Abu Yusuf dan Asy-Syaibani. Sebagian dari kebiasaannya dalam kitab ini adalah ia memulai dengan atsar-atsar yang tersiar dalam kalangan mereka kemudian baru disebutkan masalahnya. Dan sering juga ia menutupnya dengan masalah-masalah 33
Muhammad Abu Zahrah, … Loc.cit. Muhammad Zuhri, Hukum Islam Dalam Lintasan Sejarah, cet. II, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1997), hlm. 104 35 Muhammad Yusuf Musa, Abu Hanifah, (Mesir: Maktabah Nahdhah Mesir bi alFujalah, tth), hlm. 170 36 Abdul Azis Dahlan, (ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, jilid III, (Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1996), hlm. 1346 34
47
48
yang diselisihi oleh Abu Hanifah dan Ibnu Abi Laila. Orang yang meriwayatkan dari padanya adalah Ahmad bin Hafsh salah seorang muridnya dan dia tidak mengupas ta’lil (alasan) hukum.37 b. Kitab al-Jami’ al-Kabir (kumpulan hadits yang besar) Kitab ini menguraikan berbagai masalah fiqh yang lebih luas. Menurut
pendapat
Muhammad
Az-Zuhaili
(guru
besar
fiqh
Universitas Damaskus, Suriah) manuskrip kitab ini masih ada.38 Secara garis besar kitab ini mengulas tentang permasalahan ibadah (ubudiyah) dan hubungan antar sesama manusia (mu’analah)39 c. Kitab al-Jami ash-Shagir (kumpulan hadits yang kecil) Dalam kitab ini dikumpulkan masalah-masalah yang diriwayatkan dari Asy-Syaibani, oleh muridnya Isa Bin Aban dan Muhammad bin Sina’ah. Masalah-masalah ini dalam 40 buah kitab fiqh yang permulannya adalah kitab shalat dan tiap-tiap kitabnya tidak dibuat bab-bab. Hakim Abu Thahir Muhammad bin Muhammad bin adDahlan (ulama mazhab Hanafi abad ke-4 H) membuat bab-bab dan mengurutkannya untuk memudahkan para pelajar dalam menghafal dan mempelajarinya. Asy-Syaibani meriwayatkan masalah-masalah kitab ini dari Abu Yusuf dari Abu Hanifah dan didalamnya tidak tercantum cara pengambilan dalil (istidlal).40 Kitab ini dicetak Abu
37
Hudhari Bik,…Op.cit, hlm. 491 Abdul Azis Dahlan, (ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, jilid III, …Op.cit., hlm. 346 39 Amir Tajrid,, …Op. cit. hlm. 381 40 Hudhari Bik, …Op.cit., hlm. 491 38
48
49
Thahir ad-Dahlan di Mesir, India dan Turki.41 d. Kitab as-Siyar ash-Shagir (perjalanan kecil) Kitab ini membahas permasalahan jihad dan hubungan antara muslim dan non muslim. Manuskrip buku ini masih ada di Istambul dan telah diterjemahkan kedalam bahasa Turki.42 e. Ktab as-Siyar al-Kabir (perjalanan besar) Kitab ini juga membahas tentang permasalahan jihad dan hubungan antara muslim dan non muslim. Manuskrip buku ini masih ada di Istambul dan sudah diterjemahkan kedalam bahasa Turki.43 Kitab ini merupakan karangannya yang terakhir dalam fiqh. Oleh karena itu Abu Hafsh Ahmad Bin Hafsh tidak meriwayatkannya seperti meriwayatkan kitab-kitabnya, karena kitab itu ditulis sesudah Abu Hafsh pindah dari Irak. Dalam kitab ini tidak disebutkan nama Abu Yusuf sedikitpun, karena dia mengarangnya sesudah terselipnya kebencian antara keduanya. Setiap kali ia membutuhkan kepada riwayat hadits dari padanya ia mengatakan: “orang yang terpercaya menceritakan kepadaku”. Itulah maksudnya manakala ia menyebutkan kata-kata tersebut. Orang yang meriwayatkan buku ini dari AsySyaibani adalah Abu Sulaiman al-Jauzajani dan Ismail bin Tsawabah.44
41
Abdul Azis Dahlan, (ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, jilid III, …Loc.cit. Ibid. 43 Ibid. 44 Hudhari Bik, …Op.cit., hlm. 492 42
49
50
f. Kitab az-Ziyadah (tambahan) Disusun oleh imam Asy-Syaibani setelah ia menyusun kitab alJami’ al-Kabir. Dalam buku ini dibahas persoalan yang tidak tercakup dalam al-Jami’ al-Kabir.45 2. Kitab an-Nawadir disusun oleh imam Asy-Syaibani berdasarkan pandangannya sendiri. Kitab ini memuat permasalahan yang belum termuat dalam kitab-kitab Zahir ar-Riwayah sehingga diberi judul anNawadir (yang langka).46 Kitab-kitab yang termasuk dalam an-Nawadir adalah Amali Muhammad fi al-Fiqh (pandangan Asy-Syaibani tentang berbagai masalah hukum), al-Ruqayyat (himpunan keputusan terhadap masalah-masalah yang dihadapinya ketika menjadi Hakim di al-Riqqah), al-Mukharij al-Khiyal (tentang masalah hilah dan jalan keluarnya), alRadd ala Ahl al-Madinah (penolakan atau sanggahan terhadap pandangan penduduk Madinah), al-Ziyadah (pendapat Asy-Syaibani yang tidak terangkum dalam keempat kitab tersebut diatas), serta al-Atsar. Kitab yang terakhir ini melahirkan polemik tentang hak-hak non muslim dinegara Islam dan ditanggapi oleh imam Syafi’i. Sedangkan karya lain yang terpisah-pisah dari Asy-Syaibani adalah kitab al-Kisaniyat, al-Haruniyat, al-Jurjaniyat dan ar-Raqiyyat. Kitab-kitab ini dikategorikan sebagai kitab-kitab yang tidak termasuk Zahir ar-Riwayah, karena tidak diriwayatkan dengan riwayat yang jelas oleh Asy-Syaibani.47 Imam Syafi’i dalam kitabnya al-Umm secara khusus menulis bantahan dan 45
Abdul Azis Dahlan, (ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, jilid III …Op.cit. Ibid 47 Muhammad Abu Zahrah, al-Tarikh al-Madzahib al-Fiqhiyah, …Loc.cit. 46
50
51
kritik terhadap Asy-Syaibani dengan judul al-Radd ala Muhammad ibnul Hasan (bantahan terhadap pendapat Muhammad ibnul Hasan Asy-Syaibani). Selanjutnya pada permulaan abad ke-4, Abu Fadhl Muhammad bin Ahmad al-Marwazi (w.334 H/945 M) yang terkenal dengan Hakim AsySyahid telah jaya dan mengarang kitab yang berjudul “Al-Kafi” (ringkasan yang memadai) yang didalamnya ia menyebutkan pengertian-pengertian kitabkitab Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani yang diuraikan secara panjang lebar dan dihilangkan masalah-masalah yang berulang. Kitab ini merupakan golongan dari enam judul bagian kitab Zahir ar-Riwayah. Kitab al-Kafi adalah kitab yang baik dan tercatat dalam perpustakaan di-Mesir.48 Kitab al-Kafi ini kemudian disyarah (penjelasan) oleh imam As-Sarakhsi (abad ke-5 H) dalam judul “al-Mabsuth”. Kitab al-Mabsuth ini disusun oleh imam As-Sarakhsi secara sistematis dengan bahasa yang mudah dan lugas, serta dibarengi dengan berbagai alasan. Disamping itu, dalam persoalan dikemukakan pendapat mazhab-mazhab lain dengan alasannya dan diakhiri dengan keterangan tentang keunggulan pendapat mazhab Hanafi. Kitab ini terdiri dari 30 juz. Manuskrip kitab ini ada di Dar al-Kutub al-Misriyyah (Kairo) dan telah dicetak ulang berulang kali.49
48 49
Hudhari Bik, … Loc. cit. Abdul Azis Dahlan, (ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, jilid III …Loc.cit.
51
52
C. Pendapat dan Metode Istinbath Hukum Asy-Syaibani tentang Al Hadmu Dalam bab sebelumnya telah penulis jelaskan mengenai pengertian tentang masalah al-hadmu yaitu apakah suami kedua menghapuskan talak yang berjumlah kurang dari tiga kali seperti halnya terhapusnya talak tiga kali atau tidak?. Apabila ada seseorang suami mentalak istrinya sekali atau dua kali (dibawah tiga) kemudian habis masa iddahnya sehingga istri tersebut menikah lagi dengan orang lain, setelah itu ditalak oleh suami kedua, lalu suami pertama ingin kembali menikah dengan istrinya lagi. Dalam masalah al-Hadmu (penghapusan bilangan talak) Asy-Syaibani berpendapat : 50
أن اﻟﺰوج اﻟﺜﺎﻧﻲ ﻏﺎﻳﺔ ﻟﻠﺤﺮﻣﺔ اﻟﺤﺎﺻﻠﺔ ﺑﺎﻟﺜﻼث
“Bahwasannya suami kedua merupakan batas akhir dari keharaman yang ditimbulkan sebab pentalakan tiga kali”. Sementara dalam kitab Radd al-Mukhtar karangan Ibn Abidin mengutip pendapat Asy-Syaibani mengenai al-hadmu yaitu sebagai berikut :
ﻓﻤﻦ ﻃﻠﻖ اﻣﺮأﺗﻪ ﺛﻨﺘﻴﻦ ﺛﻢ,اﻧﻤﺎ ﻳﻬﺪم اﻟﺜﺎﻧﻰ اﻟﺜﻼث ﻓﻘﻂ ﻻ ﻣﺎدوﻧﻬﺎ 51
ﻋﺎدت اﻟﻴﻪ ﺑﻌﺪ زوج أﺧﺮ ﻋﺎدت اﻟﻴﻪ ﺑﻤﺎ ﺑﻘﻰ وهﻮ ﻃﻠﻘﺔ واﺣﺪة
“Suami yang kedua hanya menghapuskan pada pentalakan tiga saja, bukan selainnya. Maka apabila ada seorang wanita yang telah ditalak dua kali kemudian setelah dia menikah dengan orang lain, dia kembali kepada suaminya yang awal maka si suami tersebut hanya berhak mentalaknya satu kali”. Dasar hukum yang digunakan Asy-Syaibani dalam masalah ini adalah firman Allah SWT Q.S. Al-Baqarah: 230: 50 Asy-Syamsuddin as-Sarakhsi, Kitab al-Mabsuth, juz. VI, (Beirut, Lebanon: Dar alKutub al-Ilmiyah, tth.), hlm. 95-96 51 Ibnu Abidin, Radd Al Mukhtar, , juz III, (Beirut: Darul Fikr, t.th), hlm. 337
52
53
ﻃﱠﻠ َﻘﻬَﺎ ﻓَﻼ َ ن ْ ﻏ ْﻴ َﺮ ُﻩ َﻓِﺈ َ ﺢ َز ْوﺟًﺎ َ ﺣﺘﱠﻰ َﺗ ْﻨ ِﻜ َ ﻦ َﺑ ْﻌ ُﺪ ْ ﻞ َﻟ ُﻪ ِﻣ ﺤﱡ ِ ﻃﱠﻠ َﻘﻬَﺎ ﻓَﻼ َﺗ َ ن ْ َﻓِﺈ ﺣﺪُو ُد اﻟﱠﻠ ِﻪ ُ ﻚ َ ﺣﺪُو َد اﻟﱠﻠ ِﻪ َو ِﺗ ْﻠ ُ ن ُﻳﻘِﻴﻤَﺎ ْ ﻇﻨﱠﺎ َأ َ ن ْ ﺟﻌَﺎ ِإ َ ن َﻳ َﺘﺮَا ْ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻬﻤَﺎ َأ َ ح َ ﺟﻨَﺎ ُ ن َ ُﻳ َﺒ ﱢﻴ ُﻨﻬَﺎ ِﻟ َﻘ ْﻮ ٍم َﻳ ْﻌَﻠﻤُﻮ Artinya: “Kemudian jika si suami menalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah: 230)52 Dalam menafsirkan ayat di atas, Asy-Syaibani menjelaskan :
آﻠﻤﻪ ﺣﺘﻰ ﻟﻠﻐﺎﻳﺔ ﺣﻘﻴﻘﺔ وﺑﺎﻟﺘﻄﻠﻴﻘﺔ واﻟﺘﻄﻠﻴﻘﺘﻴﻦ ﻟﻢ ﻳﺜﺒﺖ ﺷﻴﺊ ﻣﻦ ﺗﻠﻚ اﻟﺤﺮﻣﺔ ﻷﻧﻬﺎ ﻣﺘﻌﻠﻘﺔ ﺑﻮﻗﻮع اﻟﺜﻼث وﺑﺒﻌﺾ أرآﺎن اﻟﻌﻠﺔ ﻻ ﻳﺜﺒﺖ ﺷﻴﺊ ﻣﻦ اﻟﺤﻜﻢ ﻓﻼ ﻳﻜﻮن اﻟﺰوج اﻟﺜﺎﻧﻲ ﻏﺎﻳﺔ اﻟﺤﺮﻣﺔ ﻗﺒﻞ وﺟﻮدهﺎ ﻻ 53
ﻳﺘﺤﻘﻖ
“Kalimat ﺣﺘﻰdalam kalimat ini (Q.S. Al-Baqarah:230) berfungsi sebagai batasan secara hakikat, karena itu pentalakan satu atau dua kali tidak sampai menetapkan keharaman karena hukum keharaman ini bisa ditetapkan apabila terjadi pentalakan tiga kali. Apabila hanya sebagian alasan yang terpenuhi maka hukum keharaman tidak bisa digunakan untuk menghukumi. Suami ke-dua dalam permasalahan ini tidak bisa menjadi batas keharaman karena suatu batas hanya bisa digunakan setelah timbul keharaman.” Lebih lanjut ia memberikan contoh perbandingan, apabila ada seseorang mengatakan jika awal bulan telah tiba, demi Allah saya tidak akan berbicara dengan seseorang sampai aku yang berbicara dulu kepadanya.
56
52
Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahannya, (Surabaya: Mekar, 2004), hlm.
53
Asy-Syamsuddin as-Sarakhsi, …Op. cit.
53
54
Kemudian orang yang bersumpah itu mengawali pembicaraan dengan seseorang itu sebelum awal bulan tiba, hal ini tidak dianggap karena memulai pembicaraan itu merupakan batas bagi keharaman yang ditimbulkan oleh sumpah sehingga sebelum sumpah itu dipenuhi maka batas akhir sumpah tersebut tidak dianggap atau diperhitungkan dan ketika hal itu tidak diperhitungkan ada atau tidak adanya batas sumpah itu sama saja.54 Selanjutnya Asy-Syaibani berargumen :
ﺛﺒﻮت اﻟﺤﺮﻣﺔ ﺑﺴﺒﺐ إﻳﻘﺎع اﻟﻄﻼق وذﻟﻚ ﻻ ﻳﺮﺗﻔﻊ ﺑﺎﻟﺰوج اﻟﺜﺎﻧﻲ ﺣﺘﻰ ﻻ ﺗﻌﻮذ ﻣﻨﻜﻮﺣﺔ ﻟﻪ وﺑﻘﺎء اﻟﺤﻜﻢ ﺑﺒﻘﺎء ﺳﺒﺒﻪ ﻓﻌﺮﻓﻨﺎ أﻧﻪ ﻟﻴﺲ ﺑﺮاﻓﻊ ﻟﻠﺤﺮﻣﺔ وﻻ هﻮ ﻣﻮﺟﺐ ﻟﻠﺤﻞ ﻻن ﺗﺄﺛﻴﺮ اﻟﻨﻜﺎح اﻟﺜﺎﻧﻲ ﻓﻲ ﺣﺮﻣﺘﻬﺎ ﻋﻠﻰ ﻏﻴﺮﻩ ﻓﻜﻴﻒ ﻳﻜﻮن ﻣﻮﺟﺒﺎ ﻟﻠﺤﻞ ﻟﻐﻴﺮﻩ وﺳﻤﺎﻩ ﻣﺤﻠﻼ ﻻﻧﻪ ﺷﺮط ﻟﻠﺤﻞ ﻻ ﻻﻧﻪ ﻣﻮﺟﺐ ﻟﻠﺤﻞ أﻻ ﺗﺮى أﻧﻪ ﺳﻤﺎﻩ ﻣﻠﻌﻮﻧﺎ ﺑﺎﺷﺘﺮاط ﻣﺎﻻ ﻳﺤﻞ ﻟﻪ 55
ﺷﺮعا
"Penetapan keharaman disebabkan oleh jatuhnya talak, keharaman ini tidak hilang karena adanya suami kedua sampai wanita tersebut sudah tidak menikah (ditalak) lagi dengan suami ke-dua. Hukum menjadi tidak berubah apabila sebabnya juga tetap, karena itu kita bisa mengetahui bahwasannya suami ke-dua tidak menghilangkan keharaman ataupun mewajibkan kehalalan. Pernikahan ke-dua menjadi penyebab keharaman wanita bagi selain suami, maka bagaimana mungkin pernikahan ke-dua ini bisa menjadi penyebab kehalalan bagi selain suami? sedangkan suami ke-dua dinamakan muhallil karena dia mewajibkan penghalalan. Seorang muhallil menjadi terlaknat dengan syarat dia menjadi penyebab kehalalan bagi sesuatu yang tidak dihalalkan oleh syara'.
54 55
Ibid. Ibid.
54
BAB IV ANALISIS PENDAPAT ASY-SYAIBANI TENTANG AL-HADMU (PENGHAPUSAN BILANGAN TALAK)
A. Analisis Pendapat Asy-Syaibani tentang Al-Hadmu Seperti yang dijelaskan pada bab III, Asy-Syaibani berpendapat dalam masalah al-hadmu yaitu bahwa suami kedua hanya menghapuskan bilangan talak jika terjadi pen-talak-an tiga saja, bukan selainnya. Maka apabila ada seorang wanita yang telah ditalak dua kali kemudian setelah dia menikah dengan orang lain, lalu dia kembali kepada suaminya yang awal maka si suami tersebut hanya berhak men-talak-nya satu kali.1 Lebih lanjut Asy-Syaibani seperti yang penulis kutip dari kitab alMabsuth, menjelaskan bahwasannya suami kedua merupakan batas akhir dari keharaman yang ditimbulkan sebab pen-talak-kan tiga kali. Pen-talak-an satu atau dua kali tidak sampai menetapkan keharaman karena hukum keharaman ini bisa ditetapkan apabila terjadi pen-talak-an tiga kali. Apabila hanya sebagian alasan yang terpenuhi maka hukum keharaman tidak bisa digunakan untuk menghukumi. Suami kedua dalam permasalahan ini tidak bisa menjadi batas keharaman karena suatu batas hanya bisa digunakan setelah timbul keharaman.2 Digambarkan
menurut
Asy-Syaibani,
apabila
ada
seseorang
mengatakan jika awal bulan telah tiba, demi Allah saya tidak akan berbicara 1
Ibnu Abidin, Radd Al Mukhtar, juz III, (Beirut: Darul Fikr, t.th), hlm. 337 Asy-Syamsuddin as-Sarakhsi, Al-Mabsuth, juz. VI, (Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub alIlmiyah, tth.), hlm. 95-96 2
61
62
dengan seseorang sampai aku yang berbicara dulu kepadanya. Kemudian orang yang bersumpah itu mengawali pembicaraan dengan seseorang itu sebelum awal bulan tiba, hal ini tidak dianggap karena memulai pembicaraan itu merupakan batas bagi keharaman yang ditimbulkan oleh sumpah sehingga sebelum sumpah itu dipenuhi maka batas akhir sumpah tersebut tidak dianggap atau diperhitungkan dan ketika hal itu tidak diperhitungkan ada atau tidak adanya batas sumpah itu sama saja.3 Para ulama mazhab berbeda pendapat mengenai ketentuan al-hadmu. Imam Syafi'i berpendapat sama dengan Asy-Syaibani yaitu
وان ﻃﻠﻘﻬﺎ اﻟﺰوج واﺣﺪاﺛﻨﺘﻴﻦ ﻓﻨﻜﺤﻬﺎ زوج ﻏﻴﺮﻩ واﺻﺎﺑﻬﺎ ﺛﻢ ﺑﺎﻧﺖ ﻣﻨﻪ ﻓﻨﻜﺤﻬﺎ اﻟﺰوج اﻻول ﺑﻌﺪﻩ آﺎﻧﺖ ﻋﻨﺪﻩ ﻋﻠﻰ ﻣﺎﺑﻘﻰ ﻣﻦ ﻃﻼﻗﻬﺎ آﻬﻰ ﻗﺒﻞ ﻳﺼﻴﺒﻬﺎ زوج ﻏﻴﺮﻩ ﻳﻬﺪم اﻟﺰوج اﻟﻤﺼﻴﺒﻬﺎ 4
ﺑﻌﺪﻩ اﻟﺜﻼث وﻻ ﻳﻬﺪم اﻟﻮاﺣﺪة واﻟﺜﻨﺘﻴﻦ
"Apabila seorang wanita ditalak oleh suaminya sekali atau 2 kali, kemudian dia menikah dengan orang lain, mereka berkumpul dan dia menginap bersamanya, setelah dia berpisah dengannya. Suami yang pertama menikahinya lagi maka suaminya hanya berhak sisa dari talak pernikahan pertama sebagaimana apabila wanita tersebut tidak menikah lagi. Suami yang kedua atau muhallil hanya menghilangkan talak 3 bukan talak 1 atau 2 kali." Selanjutnya menurut Imam Syafi’i, 5
ﺣﻜﻢ اﷲ ﻋﺰوﺟﻚ ﻋﻠﻰ اﻟﻔﺮق ﺑﻴﻦ اﻟﻤﻄﻠﻘﺔ واﺣﺪة واﺛﻨﺘﻴﻦ و اﻟﻤﻄﻠﻘﺔ ﺛﻼ ث
"Hukum Allah SWT menunjukkan perbedaan antara wanita yang di-talak satu atau dua kali dengan wanita yang di-talak tiga kali."
3
Ibid. Imam Abi Abdullah Muhammad bin Idris asy-Syafi'i, al-Umm, juz V, (Beirut: Dar alKutub, tth), hlm. 266 5 Ibid 4
63
Sementara Abu Hanifah dan Abu Yusuf berbeda dalam menetapkan masalah al-hadmu, mereka berpendapat bahwa suami kedua dapat menghapuskan bilangan talak di bawah tiga karena perempuan yang tertalak bain shughra jika nikah dengan orang lain lalu di-talak suami kedua, ditunggu masa iddahnya dan kemudian kembali menikah dengan bekas suami pertama, maka hukumnya sama dengan perempuan yang ter-talak bain kubro yaitu berulang kembali lembaran baru dan suami pertama tadi berhak atas tiga talak. Menurut mereka, bahwa pen-talak-an tiga kali menyebabkan wanita tersebut haram dan ter-talak. Kedua sifat ini menjadi hilang sebab berkumpulnya wanita tersebut dengan suami yang kedua. Hal ini menunjukkan suami kedua menghilangkan keharaman dan mewajibkan kehalalan.6 Imam Malik berpendapat berdasarkan pendapat dari sahabat Umar, sesungguhnya Umar berkata: “perempuan mana yang ditalak oleh suaminya dengan talak satu atau dua kemudian mantan suaminya membiarkannya sampai selesai masa iddahnya lalu ia menikah dengan laki-laki lain kemudian meninggal dunia atau mentalaknya, kemudian suami yang pertama tadi menikahinya kembali maka suami pertama tadi hanya punya sisa dari pentalakan.7 Dalam permasalahan al-hadmu dapat dikatakan bahwa pendapat yang disampaikan Asy-Syaibani relevan pada kondisi sekarang, bahwa adanya suami kedua tidak menghapuskan bilangan talak, karena yang menghapuskan 6
Asy-Syamsuddin as-Sarakhsi, …Op. cit. Imam Malik, Muwaththa’ al-Imam Malik r.a, terj. Adib Bisri Musthofa, (Semarang: Asy-Syifa’, 1992), hlm. 120 7
64
bilangan talak adalah talak tiga. Di dalam aturan perceraian yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan hadits, telah dijelaskan bahwa jika seorang istri telah ditalak tiga oleh suaminya, maka haram bagi suami untuk menikahi istri tersebut kembali, kecuali jika istri tersebut telah menikah lagi dengan orang lain. Hal ini sesuai dengan hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Aisyah yang berbunyi:
ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ اﺧﺒﺮﺗﻪ ان اﻣﺮأة رﻓﺎﻋﺔ اﻟﻘﺮﻇﻰ ﺟﺎﺋﺖ اﻟﻰ رﺳﻮل اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻓﻘﺎﻟﺖ ﻳﺎرﺳﻮل اﷲ ان رﻗﺎﻋﺔ ﻃﻠﻘﻨﻰ ﻓﺒﺖ ﻃﻼﻗﻰ واﻧﻰ ﻧﻜﺤﺖ واﻧﻤﺎ ﻣﻌﻪ ﻣﺼﻞ اﻟﻬﺪﺑﺔ ﻗﺎل, ﺑﻌﺪﻩ ﻋﺒﺪاﻟﺮﺣﻤﻦ اﺑﻦ اﻟﺰﺑﺒﻴﺮ اﻟﻘﺮﺿﻰ ﺣﺘﻰ ﺗﺬوق,رﺳﻮل اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻟﻌﻠﻚ ﺗﺮﺑﻦ ان ﺗﺮﺟﻌﻰ اﻟﻰ رﻓﺎﻋﺔ ﻻ 8
Artinya:
.ﻣﻦ ﻋﺴﻴﻠﺘﻚ و ﺗﺬوﻗﻰ ﻋﺴﻴﻠﺘﻪ
“Dari Aisyah ra. Bahwasannya istri Rifaah Al Qurazhi datang kepada Nabi SAW. Ia berkata: “Wahai Rosulullah, sesungguhnya rifa’ah menceraikan saya, maka perceraian itu pasti dan setelah itu saya menikah dengan Abdurrahman bin Zubair Al Qurazhi namun bersama dia seperti ujung (kain), Nabi SAW bersabda: “barangkali kamu mau kembali kepada Rifa’ah. Tidak, sehingga ia merasakan madunya dan kamu merasakan madunya” (HR. Bukhori)
Menurut penulis, untuk mendapatkan gambaran mengenai posisi suami kedua (muhallil) apakah dapat dijadikan sebagai penghapusan bilangan talak pada talak satu atau dua, perlu di lihat hikmah diwajibkannya istri menikah lagi jika ingin kembali dengan suami pertama pada talak tiga. Keberadaan suami kedua menurut penulis pada dasarnya adalah sebagai cara untuk menguji kesungguhan bagi suami pertama yang ingin 8
Imam Abdullah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shohih Bukhari, juz VII, terj. Achmad Sunarto, (Semarang: Asy Syifa, 1993), hlm. 171
65
kembali kepada istri yang telah ia talak. Standar kesungguh-sungguhan seseorang untuk menikah dengan orang lain adalah dengan menerima apa adanya kondisi orang yang akan dinikahi. Pada hadits di atas, yang dimaksud madu dalam hadits di atas adalah bercampur atau bersetubuh, yang karena lezatnya hingga dipersamakan madu. Pengertian bercampur bukan sekedar akad melainkan menjalankan selayaknya pernikahan pada umumnya. Jika suami pertama yang telah mengetahui mantan istrinya telah digauli orang lain, akan tetapi ia masih mau menikah dengannya, maka dapat dinilai bahwa suami pertama tersebut benar-benar bersungguh-sungguh untuk kembali dengan mantan istrinya. Sehingga tidak khawatir terjadi perceraian lagi diantara mereka. Tanpa adanya ujian tersebut, maka si istri tidak dapat menilai apakah mantan suaminya yang pertama bersungguh-sungguh atau tidak untuk menikahinya. Demikian hikmah yang dapat penulis simpulkan dari diwajibkan adanya muhallil sebagai persyaratan untuk dapat dinikahi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tujuan dari adanya suami kedua adalah sebagai ujian terhadap kesungguhan suami pertama untuk menikah lagi dengan istrinya yang telah di-talak tiga. Jadi yang menjadikan keharaman adalah tetap pada talak tiga bukan suami kedua. Oleh karena itu, suami kedua tidak menghapuskan bilangan talak pada talak satu dan dua. Muhallil adalah orang yang menikahi wanita yang sudah tertalak tiga kali agar bisa menikah lagi dengan suami yang pertama. Menurut imam Malik yang menyandarkan pendapatnya mengenai muhallil pada hadist yang
66
diriwayatkan dari Nabi SAW, dari Ali bin Abu Thalib, Ibnu Mas’ud, Abu Hurairah dan Uqbah bin Amir:
اﻻ اﺧﺒﺮآﻢ ﺑﺎﻟﺘﻴﺲ اﻟﻤﺴﺘﻌﺮﻗﺎﻟﻮا,ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ 9
ﺑﻠﻰ ﻳﺎرﺳﻮل اﷲ ﻗﺎل هﻮاﻟﻤﺤﻠﻞ ﻟﻌﻦ اﷲ اﻟﻤﺤﻠﻞ واﻟﻤﺤﻠﻞ ﻟﻪ
Artinya: “Nabi SAW. Bersabda: “Maukah kalian aku beritahu tentang pejantan pinjaman: “dia adalah si muhallil, Allah melaknati si muhallil (orang yang menghalalkan) dan si muhallallahu (orang yang dihalalkan untuknya).” (H.R. Ahmad, an-Nasa’I, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah) Lebih lanjut imam Malik mengatakan bahwa kata pelaknatan dalam hadist tersebut sama halnya pelaknatan terhadap pemakan riba dan peminum khamar. Hadist tersebut menunjukkan adanya larangan, sedang larangan menunjukkan rusaknya perbuatan yang dilarang karena perkataan nikah dalam nash Al-Qur'an tidak mencakup nikah yang dilarang. Alasan untuk tidak memegangi maksud orang perempuan karena apabila suami tidak menyetujui maksudnya, maka maksud orang perempuan tersebut tidak akan ada artinya, sedang talak pun tidak berada ditangannya karena yang berhak mentalak adalah suami dengan diucapkan secara jelas. Pernikahan yang baru dengan orang lain disyaratkan dapat memberikan kemaslahatan bagi keduanya, apabila dalam pernikahan tersebut bertujuan akan menyengsarakan si istri maka haram bagi suami kedua untuk kembali. Karena bisa jadi suami merasa terhina sebab istri tersebut telah dipergauli oleh orang lain yang menimbulkan suami menjadi dendam ataupun sebaliknya. 9
Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukani, Nail al-Autar, juz IV, (Beirut: Dar al-Kitab al-Araby, tth.), hlm. 217
67
B. Analisis Istinbath Hukum Asy-Syaibani tentang Al Hadmu Hukum Islam mengatur perilaku manusia dalam dua dimensi, vertikal dan horizontal. Yang dimaksud vertikal yaitu hubungan manusia dengan tuhan, dan horizontal yaitu hubungan manusia dengan sesama (muamalah). Oleh karena itu, hukum yang bersifat horizontal tidak terlepas dari suatu istinbath hukum. Tidak terkecuali Asy-Syaibani, beliau dalam ber-istinbath memakai metode yang berprinsip kepada sumber utama yaitu Al-Qur'an dan sunnah Nabi SAW. Istinbath merupakan metode yang dilakukan para mujtahid guna menemukan atau menetapkan suatu hukum. Istinbath berkaitan erat dengan masalah fiqh karena merupakan hasil ijtihad10 para mujtahid atau ulama dalam menemukan hukum dari sumber asalnya. Menurut Asy-Syathiby yang penulis kutip dari Abu Zahroh bahwa mujtahid harus mengerti dasar-dasar ijtihad yaitu : 1. Memahami tujuan syariah maksudnya mengerti bahwa kemaslahatan dalam Islam merupakan hakekat yang inti dan secara substansial harus dilihat segi manfaat atau bahaya dalam suatu hal.
10
Ijtihad dari segi kata bararti kesanggupan , kekuatan, dan berat. Menurut bahasa, menurut ulama Hanafiyah yang dikutip dari Jaih Mubarok yang menggambarkan bahwa ijtihad adalah pengerahan segenap kemampuan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan atau persoalan dalam berbagai bidang dan membatasi ruang lingkupnya hanya dalam fiqh. Jaih Mubarok, Ijtihad Kemanusiaan di Indonesia, cet. I, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005), hlm. 4
68
2. Kemampuan beristinbath, yaitu menguasai alat istinbath seperti menguasai bahasa arab, hukum-hukum yang ada dalam Al-Qur'an, sunnah dan yang lainnya yang merupakan pelengkap bagi tujuan dan sasaran syariah.11 Selanjutnya langkah ijtihad Asy-Syaibani dalam ushul fiqh sama dengan metode dari gurunya, Abu Hanifah. Metode Hanafiyah berprinsip dari permasalahan hukum yang detail dan yang telah ditetapkan pendahulu mereka berdasarkan fatwa hukum serta menganalisanya.12 Asy-Syaibani merupakan pengikut atau murid utama yang berperan dalam penyebaran mazhab Hanafiyah karena beliau langsung berguru kepada Abu Hanifah (guru utama). Langkah ijtihad yang ditempuh oleh Asy-Syaibani sama dengan gurunya, Abu Hanifah, dengan urutan sumber sebagai berikut, yaitu: al-Kitab, al-Sunnah, fatwa shahabat, Qiyas, Istihsan, Ijma’ dan Urf. Bila tiga sumber pertama tidak mengungkap hukum secara jelas, maka AsySyaibani menggunakan Qiyas, Istihsan, Ijma’ dan Urf sebagai pendukung dalam berijtihad. Tetapi dalam perjalanan kehidupannya beliau tidak selalu taqlid kepada orang yang ditaklidi, namun hubungan murid kepada guru disertai dengan kemerdekaan dalam apa yang akan mereka fatwakan.13 Walaupun beliau dalam beristinbath terdapat kesamaan terhadap gurunya, bukan berarti begitu saja mengambilnya akan tetapi dikajinya terlebih dahulu, mengakui keabsahannya dan keunggulannya. Jadi jelaslah bahwa prinsipprinsip berijtihad pada masa Abu Hanifah belum merupakan disiplin ilmu 11
Muhammad Abu Zahroh, Ushul Fiqh, terj. Saefullah Ma’shum, cet. IX, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005), hlm. 576 12 Muhammad Abu Zahrah, Al-Tarkh al-Mazhahib al-Fiqhiyah, (t.tp: Mathba’ah alMudunyt, tth), hlm. 175 13 Ibid, hlm. 381
69
yang sempurna yang berdiri sendiri. Kenyataan tersebut yang mendasari bahwa Asy-Syaibani berprinsip kepada metode yang dipakai gurunya hanya sama pada sebagian besar saja dan ushul mereka tidaklah sama persis. Hal ini membuktikan sifat kemandirian yang dimiliki oleh Asy-Syaibani.14 AsySyaibani pernah diangkat menjadi Qodhi (hakim peradilan) pada masa Abbasiyah, hal ini kebalikan dari Abu Hanifah yang tidak mau atau melarang muridnya menjadi Qodhi. Imam Suyuthi memberi penjelasan bahwa seorang Qodhi disyaratkan ahli ijtihad dan penyampaian fatwa tidak boleh dengan bertaqlid.15 Pada biografi Asy-Syaibani yang telah penulis jelaskan di atas, beliau selain berguru kepada Abu Hanifah juga pernah berguru kepada Imam Malik, sehingga dia bisa menghafal beberapa hadist yang diajarkan oleh Imam Malik yang menimbulkan corak pemikirannya dalam mengambil keputusan juga berdasar kepada hadist dan tidak selalu menggantungkan kepada ahl al-ra’y, hal ini kebalikan dari gurunya Abu Hanifah yang ketat dalam menerima hadist dan tidak mudah menerima hadist tanpa disertai sikap kritis.16 Hal ini dikarenakan Abu Hanifah lebih menekankan kepada aspek penalaran (Ahl alra’y). Selain itu beliau juga pernah bersahabat dengan Imam Syafi'i (saat itu umur Syafi'i berusia 22 tahun) pada tahun 172 H, dari persahabatan itu mereka sering berdiskusi masalah fiqh.
14
Muhammad Abu Zahroh, …Op. cit, hlm. 581-582 Imam Suyuthi, Kontekstual Keharusan Ber Ijtihad, terj. Abdul Azis Masyhuri dan Munawir Az Zahidi, (Semarang: Karya Toha Putra, 1999), hlm. 39 16 Mochtar Effendy, Ensiklopedi Agama dan Filsafat, cet. I, (t.tp: Universitas Sriwijaya, 2001), hlm. 95-96 15
70
Dari perjalanan hidupnya dan pemikiran Asy-Syaibani menjadi jelas bahwa dalam menentukan suatu hukum tidak selalu mengikuti kepada mazhab yang dianutnya, karena beberapa mazhab sama-sama bersumber dari dasar syariat dan kelebihan seorang mujtahid dibandingkan dengan yang lain hanyalah kepada kemampuannya dalam menggali lebih dalam apa yang terkandung di dalam dasar-dasar syariat.17 Memang telah dibenarkan apabila Asy-Syaibani dalam beberapa hal berbeda pendapat dengan gurunya, semisal dalam masalah al-hadmu (penghapusan bilangan talak). Dalam menggali hukum mengenai permasalahan al-hadmu, AsySyaibani menggunakan Q.S. Al-Baqarah: 230 sebagai sandaran hukum. Ayat tersebut berbunyi :
ﻏ ْﻴ َﺮ ُﻩ َ ﺢ َز ْوﺟًﺎ َ ﺣﺘﱠﻰ َﺗ ْﻨ ِﻜ َ ﻦ َﺑ ْﻌ ُﺪ ْ ﻞ َﻟ ُﻪ ِﻣ ﺤﱡ ِ ﻃﱠﻠ َﻘﻬَﺎ ﻓَﻼ َﺗ َ ن ْ َﻓِﺈ Artinya: “Kemudian jika si suami menalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain” (Q.S. Al-Baqarah: 230)18 Asy-Syaibani menafsirkan “Kalimat
ﺣﺘﻰ
dalam kalimat ini (Q.S. Al-
Baqarah:230) berfungsi sebagai batasan secara hakikat, karena itu pentalakan satu atau dua kali tidak sampai menetapkan keharaman karena hukum keharaman ini bisa ditetapkan apabila terjadi pentalakan tiga kali. Apabila hanya sebagian alasan yang terpenuhi maka hukum keharaman tidak bisa digunakan untuk menghukumi. Suami ke-dua dalam permasalahan ini tidak
17
Abdul Wahab As-Sya’roni, Al-Mizanul Kubra, terj. Achmad Zaidundan A. Ma’ruf Asrori, cet. I, (Surabaya: Dunia Ilmu, 1997), hlm. 34 18 Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahannya, (Surabaya: Mekar, 2004), hlm. 56
71
bisa menjadi batas keharaman karena suatu batas hanya bisa digunakan setelah timbul keharaman.”19 Menurut Abu Bakar Al-Jashash, penafsiran firman Allah SWT Q.S. Al-Baqarah: 230 adalah merupakan batas akhir pengharaman perempuan yang ditalak tiga, ketika perempuan sudah menikah dengan suami kedua maka hilanglah keharaman tersebut. Namun keharaman tersebut tetap selama ia menjadi istri bagi suami kedua seperti perempuan pada umumnya, maka suami kedua mencerainya dan masa iddahnya sudah habis maka perempuan tersebut bisa kembali lagi dengan suami pertama.20 Talak tiga menunjukkan telah rusaknya fondasi kehidupan rumah tangga yang bersangkutan dan sudah tidak ada jalan untuk memperbaikinya dalam waktu dekat karena sang istri harus terlebih dahulu dinikahi oleh orang lain dan itu juga berlaku apabila istri ditalak suami dengan talak dibawah tiga yang sudah dinikahi orang lain karena suami pertama membiarkan masa iddah istri habis dan nikah dengan orang lain. Al-Maraghi dalam menafsirkan ayat tersebut, jika suami telah mentalak dua kali maka boleh rujuk kepada istrinya. Suami tidak berhak merujuk sesudah talak yang ketiga kecuali kalau perempuannya kawin dengan laki-laki lain secara sah dan dengan maksud mencapai tujuan perkawinan
19 20
Asy-Syamsuddin as-Sarakhsi, …Op. cit. Abu Bakar Al-Jashash, Ahkam Al-Qur'an, juz. I, (t.tp: Dar Al-Fikr, t.th), hlm. 532
72
yaitu adanya persenggamaan yang sungguh-sungguh antar laki-laki kedua dengannya, sebagaimana dijelaskan oleh hadist Nabi SAW21 yaitu:
ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ اﺧﺒﺮﺗﻪ ان اﻣﺮأة رﻓﺎﻋﺔ اﻟﻘﺮﻇﻰ ﺟﺎﺋﺖ اﻟﻰ رﺳﻮل اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻓﻘﺎﻟﺖ ﻳﺎرﺳﻮل اﷲ ان رﻗﺎﻋﺔ ﻃﻠﻘﻨﻰ ﻓﺒﺖ ﻃﻼﻗﻰ واﻧﻰ ﻧﻜﺤﺖ واﻧﻤﺎ ﻣﻌﻪ ﻣﺼﻞ اﻟﻬﺪﺑﺔ ﻗﺎل, ﺑﻌﺪﻩ ﻋﺒﺪاﻟﺮﺣﻤﻦ اﺑﻦ اﻟﺰﺑﺒﻴﺮ اﻟﻘﺮﺿﻰ ﺣﺘﻰ ﺗﺬوق,رﺳﻮل اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻟﻌﻠﻚ ﺗﺮﺑﻦ ان ﺗﺮﺟﻌﻰ اﻟﻰ رﻓﺎﻋﺔ ﻻ 22
Artinya:
.ﻣﻦ ﻋﺴﻴﻠﺘﻚ و ﺗﺬوﻗﻰ ﻋﺴﻴﻠﺘﻪ
“Dari Aisyah ra. Bahwasannya istri Rifaah Al Qurazhi datang kepada Rosulullah saw. Ia berkata: “wahai Rosulullah, sesungguhnya rifa’ah menceraikan saya, maka perceraian itu pastidan setelah itu saya menikah dengan Abdurrahman bin Zubair Al Qurazhi namun bersama dia seperti ujung (kain), Rosulullah saw bersabda: “barangkali kamu mau kembali kepada Rifa’ah. Tidak, sehingga ia merasakan madunya dan kamu merasakan madunya” (HR. Bukhori)
Sedangkan Hasbi Ash-Shiddieqi
menyimpulkan bahwa hadits
tersebut merupakan asbabun nuzul dari Q.S. al-Baqarah: 230. Dalam ayat tersebut Allah menjelaskan bahwa sesudah jatuh talak tiga kali, suami tidak boleh rujuk lagi kepada bekas istri, sebelum bekas istri itu bersuami lelaki lain dengan nikah yang sah dan telah di dukhul (bersetubuh). Sesudah diceraikan oleh suami yang kedua barulah terbuka pintu bagi suami pertama untuk menikahinya kembali.23 Dalam tafsir Jalalain, penafsiran ayat tersebut adalah: “Kemudian jika si suami menalaknya” yaitu si suami mentalak lagi setelah talak kedua. “maka 21
Ahmad Musthofa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, juz II, terj. M. Thlmib, cet. II, (Bandung: Rosda, 1987), hlm. 224-225 22 Imam Abdullah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, …Op. cit. 23 Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur'anul Majid An-Nuur, cet. II, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000), hlm. 396
73
perempuan itu tidak halal lagi baginya” yakni setelah talak yang ketiga, “hingga dia kawin dengan suami yang lain” yakni kawin dengan suami kedua itu telah menyetubuhinya sebagaimana yang tercantum pada hadist riwayat Bukhari.24 Dalam kedua ayat tersebut isinya membahas mengenai bilangan talak namun ayat satu dengan yang lainnya mengandung penafsiran yang berbeda terhadap wanita yang ditalak tiga dan wanita yang ditalak dibawah tiga. Hadist tersebut merupakan hadist yang shahih sanadnya karena menurut imam Syafi'i syarat kesahihan sanad hadist harus memenuhi dua syarat yaitu: pertama, hadist tersebut diriwayatkan oleh orang yang adil; kedua, rangkaian riwayatnya bersambung sampai kepada Nabi Muhammad SAW atau dapat dapat juga tidak sampai kepada Nabi melainkan orang terdekat Nabi SAW. Hadist yang berasal dari Bukhari menjelaskan keumuman tentang kriteria hadist yang kualitasnya sahih dan mengharuskan terjadinya pertemuan antara para periwayat dengan periwayat terdekat dalam sanad.25 Apabila dilihat pada beberapa tafsir (diantaranya: tafsir Al-Maraghi dan tafsir An-Nuur) yang penulis lihat bahwa hadist tersebut juga merupakan asbabun nuzul dari Q.S. Al-Baqarah: 230 dan hal itu tidak diperselisihkan lagi oleh para periwayat yang lain. Sebagai pegangan dalam pendapatnya Asy-Syaibani merujuk kepada sahabat Umar yang diriwayatkan Abu Hurairah: “Saya pernah bertanya
24
Jalaluddin Al-Mahlmliy dan Jalaluddin As-Suyuthi, Tafsir Jalalain, terj. Aliy As’ad, (Yogyakarta: Kota Kembang, t.th), hlm. 336-337 25 Bustamin dan M. Isa, Metodologi Kritik Hadits, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 21-22
74
kepada Umar tentang seorang laki-laki dari Bahrain yang menceraikan istrinya dengan satu atau dua kali talak, kemudian si istri tadi menikah lagi dengan laki-laki lain. Lalu suami keduanya menceraikannya dan suami pertama menikahinya lagi. Maka masih ada berapa lagi hak talaknya?” Umar menjawab: “dia masih punya sisa talaknya.”.26 Fatwa sahabat Umar tersebut juga disepakati oleh sahabat yang lain yaitu Ali bin Abu Thalib, Ubai bin Ka’ab, Imron bin Hashin.27 Menurut penulis fatwa tersebut dapat dijadikan sebagai istinbath hukum atau hujjah dalam berpendapat oleh para mujtahid dengan memenuhi beberapa kriteria yang dikemukakan oleh Abu Zahroh, klasifikasi atau kriteria yang membolehkannya yaitu:
1. Pendapat tersebut mereka (para sahabat) dengar langsung dari Nabi SAW; 2. Pendapat tersebut mereka dengar dari sahabat yang mendengarkan fatwa dari Nabi SAW; 3. Pendapat tersebut mereka fahami dari ayat-ayat suci Al-Qur'an yang tidak jelas. 4. Pendapat tersebut telah mereka sepakati, akan tetapi hanya disampaikan oleh seorang mufti. 5. Pendapat tersebut merupakan pendapat sahabat secara pribadi karena mereka mengetahui latar belakang suatu kitab Al-Qur'an dan hadist atau 26
Muhammad Rawwas Qal’ahji, Mausu’ah Fiqhi Umar bin Khattab, (t.tp: Dar al-Tafas, tth.), hlm. 622-623 27 Asy-Syamsuddin as-Sarakhsi, …loc. cit. Dalam kitab al-Mabsuth inilah penulis temukan nama-nama sahabat yang tertera di atas, akan tetapi tidak disebutkan dan dijelaskan bagaimana proses terjadinya kesepakan di antara mereka.
75
karena mereka lebih menguasai permasalahan-permasalahan yang berkembang sepanjang pantauan mereka terhadap Rasulullah SAW. Dengan demikian, mereka mempunyai pemahaman terhadap Al-Qur'an dan hadist yang lebih mendalam.28 Menurut hemat penulis, fatwa dari sahabat Umar masuk kedalam kriteria poin 3, 4 dan 5 sehingga apabila dijadikan istinbath bagi para mujtahid jelas dan juga para sahabat yang tertera diatas merupakan sahabat yang dekat dengan Nabi dan beberapa diantaranya dijadikan khalifah menggantikan Nabi setelah wafat. Sebagai perbandingan, istinbath yang dipakai oleh Abu Hanifah dan Abu Yusuf mengambil dari pendapat Ibnu Umar, Ibnu Abbas dan An Nakha’i. diriwayatkan dari Abu Hurairah dari Hammad bin Abi Sulaiman dari Sa’id bin Jabir, dia berkata: “Aku sedang bersama Abdillah bin Udbah bin Mas’ud ketika datang orang badui (orang arab pedesaan), dia bertanya pada Abdullah tentang permasalahan apabila ada seorang leleki men-talak istrinya satu atau dua kali kemudian habis masa iddahnya setelah itu dia menikah dengan orang lain dan sudah pernah dikumpuli kemudian wanita tersebut ditinggal mati atau di-talak setelah masa iddah-nya habis, suami yang pertama ingin menikahinya lagi, maka berapa pen-talak-an yang masih dia (suami) miliki?” Abdullah bin Mas’ud menoleh kepada Ibnu Abbas lalu dia berkata:”Bagaimana pendapatmu tentang masalah ini?” Ibnu Abbas berkata: “Suami kedua menghilangkan satu, dua dan tiga pen-talak-an”. Bertanyalah pada Ibnu Umar. Said Ibnu Jabir
28
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh,…op. cit., hlm. 330-332
76
(sebagai perawi) berkata: “kemudian aku menemui Ibnu Umar”, dia berkata: “pendapatku sebagaimana Ibnu Abbas”.29 Fatwa sahabat yang dipakai oleh Abu Hanifah dan Abu Yusuf dianggap lemah karena para sahabat tersebut (Ibnu Umar, Ibnu Abbas dan An Nakha’i) dilemahkan oleh para pembesar atau senior dari Madinah yaitu Umar bin khatab, Ali bin Abu Thalib, Ubai bin Ka’ab dan Imron bin Hashin.30 Memang dibenarkan kalau pendapat dari Abu Hanifah dan Abu Yusuf seperti yang tertera dalam kitab Al-Mizanul Kubra bahwa kebersambungan pendapat menyambung kepada Allah Swt. Jalur sanadnya yaitu Imam Abu Hanifah, dari Atha’, dari Ibnu Abbas, dari Nabi SAW, dari Jibril as, dari Allah SWT. Namun dalam beberapa hal pendapat antara murid dengan gurunya (Abu Hanifah) selalu mempunyai perselisihan karena pada masa tersebut pintu ber ijtihad masih terbuka untuk muridnya.31 Menurut Ahmad Hasan dalam buku Ijma mengatakan bahwa AsySyaibani adalah ahli hukum pertama yang membenarkan ijma’ atas dasar sebuah hadist, tetapi hadist tidak boleh digeneralisasikan sebab kemungkinan apa yang terjadi dalam kehidupan masyarakat yang bertentangan dengan ajaran-ajaran Al-Qur'an dan sunnah bisa disahkan atas dasar otoritasnya dan harus ditafsirkan dalam arti terbatas. Nabi SAW pernah berkata: “Umatku tidak akan bersepakat dalam kesalahan”, hadist tersebut dikutip dari imam Syafi'i. dengan demikian gagasan tentang ketidakmungkinan salah dari
29
Ahmad Ghoundur, …loc. cit. Asy-Syamsuddin as-Sarakhsi, …loc. cit. 31 Abdul Wahab As-Sya’roni, …op. cit, hlm. 168 30
77
praktek kaum muslimin telah ada pada masa hidup Asy-Syaibani, perkataan Nabi SAW tersebut merupakan bukti yang jelas bagi anggapan ini.32 Beberapa ulama selain Asy-Syaibani seperti Syafi'i dan Malik bersepakat bahwa suami kedua tidak dapat menghapuskan bilangan talak di bawah tiga. Kita mengetahui bahwa imam Syafi'i pernah bersahabat dengan Asy-Syaibani sekitar tahun 172 H, Asy-Syaibani bertemu dengan Syafi'i saat umurnya berusia 40 tahun, sedangkan saat itu umur imam Syafi'i sekitar 22 tahun dan pernah mengembara diberbagai tempat seperti di Kufah dimana mereka saling bertukar pikiran masalah fiqh. Beberapa mujtahid tidak dapat melakukan ijma’ apabila kedudukan atau tempat tinggal mereka berjauhan satu sama lain. Sedangkan ijma’ yang dilakukan oleh para sahabat karena mereka bertempat tinggal di Madinah dan apa yang setelah dilakukan oleh sahabat Umar pada permasalahan fiqh selalu dipertimbangkan bersama-sama sahabat yang lain. Dalam permasalahan ini yang dimaksud sahabat yang lain adalah Ali bin Abu Thalib, Ubai bin Ka’ab dan Imron bin Hashin. Jadi dapatlah disimpulkan bahwasannya dalam ber istinbath hukum Asy-Syaibani menggunakan kaidah fiqhiyah yang ditemukannya sendiri melalui pengembangan pemikiran mazhab Hanafiyah yaitu yang kami kutip dari Amir Tajrid dalam tulisannya tentang Formulator Mazhab Hanafi, diantaranya: a. Al-Tafsir fi al-Ibadah wa al-Mu’amalah artinya kaidah dalam hal ibadah dan mu’amalah, yang merupakan dasar syari’at islam. Salah satu tujuan
32
Ahmad Hasan, Ijma’, terj. Rahmani Astuti, (Bandung: Pustaka, 1985), hlm. 40-42
78
disyariatkannya hukum Islam adalah terwujudnya kemudahan dengan menarik kesulitan dan menghilangkan masyaqat baik dalam bidang akidah, ibadah, maupun hukum.33 Hal ini berdasarkan firman Allah SWT:
ﺴ َﺮ ْ ﺴ َﺮ َوﻟَﺎ ُﻳﺮِﻳ ُﺪ ِﺑ ُﻜ ُﻢ ا ْﻟ ُﻌ ْ ُﻳﺮِﻳ ُﺪ اﻟﱠﻠ ُﻪ ِﺑ ُﻜ ُﻢ ا ْﻟ ُﻴ Artinya: “Allah menghendaki kemudahan bagi kamu, dan tidak menghendaki kesulitan bagi kamu” (QS. Al Baqarah :185)34 b. Ri’ayat Hurriyat al-Insan wqa insaniyatih, yaitu menjaga kemerdekaan manusia dan sifat kemanusiannya. mazhab Hanafi sangat mengutamakan kemerdekaan manusia dan sifat kemanusiaannya.35
33
Amir Tajrid, Formulator Mazhab Hanafi, dalam Jurnal Penelitian Walisongo, Vol. XIV No. 2 November 2006, (Semarang: Pusat Penelitian IAIN Walisongo, 2006), hlm. 383 34 Departemen Agama, Al-Qur'an dan Terjemahannya, …op. cit, hlm. 45 35 Amir Tajrid,…op. cit.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dengan melihat serta mencermati uraian dari bab per bab isi skripsi ini, maka dalam upaya memahami secara lebih sederhana dan mudah, penulis mencoba mengambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Menurut Asy-Syaibani dalam permasalahan al-hadmu (penghapusan bilangan talak yang kurang dari tiga) bahwasannya fungsi suami kedua hanya menghapuskan pada pentalakan tiga saja, bukan pada talak satu atau dua dan suami pertama apabila ingin kembali kepada istri yang ditalak kurang dari tiga maka dia mempunyai sisa pentalakannya. Selanjutnya Asy-Syaibani berpendapat bahwa suami kedua merupakan batas akhir dari keharaman yang ditimbulkan sebab pen-talak-an tiga kali. Pen-talak-an kurang dari tiga tidak sampai menetapkan keharaman. 2. Pengambilan hukum yang dilakukan oleh Asy-Syaibani menggunakan dasar hukum Q.S Al-Baqarah: 230 dan hadits yang diriwayatkan dari Aisyah. Asy-Syaibani dalam mengambil hukum pada Q.S Al-Baqarah: 230 menggunakan kalimat ﺣﺘﻰyang berfungsi sebagai batasan secara hakikat, karena itu pentalakan satu atau dua kali tidak sampai menetapkan keharaman. oleh karena itu hukum keharaman ini bisa ditetapkan apabila terjadi pentalakan tiga kali. Adapun hadits yang
79
80
dipakai berfungsi sebagai penafsir pada ayat tersebut bukan sebagai pengambil hukum serta hadits ini hadits mutawatir terhadap sanad yang shahih sebab diriwayatkan oleh beberapa perawi yang adil.
B. Saran-Saran Dari pembahasan secara menyeluruh mengenai skripsi ini, maka penulis memberikan saran-saran untuk dapat dimengerti agar mempunyai manfaat. 1. Pernikahan merupakan ikatan yang sangat kuat dalam agama Islam. Apabila terjadi perceraian hendaknya suami dalam menjatuhkan talak supaya tidak gegabah untuk mengambil keputusan talak tiga sekaligus atau berurutan karena akan mengharamkan istri terhadap suaminya. 2. Allah telah memberikan batasan bilangan talak bertujuan agar suami tidak terus menerus dan mengulang-ulang menjatuhkan talak kepada istri, sebab ucapan talak menyakitkan hati istri. Talak mengandung perpecahan, kehancuran rumah tangga dan apabila mempunyai anak maka meresahkannya. 3. Dalam menjatuhkan talak ataupun rujuk hendaknya dihadirkan saksi yang berfungsi memperingatkan kepada suami mengenai bilangan talak yang dijatuhkan karena untuk menghindari kemunafikan suami terhadap istri. Berbilangnya talak mempunyai manfaat untuk membedakan talak satu dengan yang lain.
81
C. Penutup Puji syukur terlimpahkan kehadirat Allah SWT yang memberikan anugerah dan pertolongan-Nya sehingga skripsi ini dapat selesai. Sebagai manusia yang diciptakan Allah SWT, kami sadar bahwasannya perbuatan manusia tidak luput dari kesalahan. Meskipun tulisan ini telah diupayakan secermat mungkin, namun ada kemungkinan bahwa penulisan ini masih jauh dari kesempurnaan dan banyak terdapat kesalahan. Oleh karena itu kritik, ide dan saran yang bersifat konstruktif kami harapkan guna kesempurnaan tulisan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Sirodjuddin, Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafi’i, cet. II, Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1972. Abidin, Ibnu, Radd Al-Mukhtar, juz III, Beirut: Darul Fikr, t.th. Abi Bakar, Taqiyuddin, Kifayatul al-Akhyar, Juz II, Semarang: Toha Putra, tth Abu Zahrah, Muhammad, Al-Tarikh al-Madzahib al-Fiqhiyah, t.tp: Mathba’ah alMadany, tth. ------------------------------, Ushul Fiqh, terj. Saefullah Ma’shum, cet. IX, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005. Al Hamdani, Risalah Nikah, cet. III, Jakarta: Pustaka Amani, 1989. Al Jaziri, Abdurrahman, Al-Fiqhu ala Madzhabil Arba'ah, juz. IV, (Beirut: Darul Kutub Al Ilmiyah, t.th. Al-Bukhari, Imam Abdullah Muhammad bin Ismail, Shohih Bukhari, juz VII, terj. Achmad Sunarto, Semarang: Asy Syifa, 1993. Al-Jashash, Abu Bakar, Ahkam Al-Qur'an, juz. I, t.tp: Dar Al-Fikr, t.th. Al-Maraghi, Musthofa, Ahmad, Tafsir Al-Maraghi, juz II, terj. M. Thalib, cet. II, Bandung: Rosda, 1987. Amin, Ahmad, Dhuha al-Islam, juz H, cet. X, Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al Araby, tth. Ash-Shiddieqy, Hasbi, Muhammad, Tafsir Al-Qur'anul Majid An-Nuur, cet. II, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000. -----------------, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam, cet. I, Jakarta: Bulan Bintang, 1971. As-Sarakhsi, Asy-Syamsuddin, Al-Mabsuth, juz. VI, Beirut, Lebanon: Dar alKutub al-Ilmiyah, tth. As-Sya’roni, Wahab, Abdul, Al-Mizanul Kubra, terj. Achmad Zaidun dan A. Ma’ruf Asrori, cet. I, Surabaya: Dunia Ilmu, 1997.
82
83
Asy-Syafi'i, Imam Abi Abdullah Muhammad bin Idris, Al-Umm, juz V, Beirut: Dar al-Kutub, tth. Asy-Syarbasyi, Ahmad, al-Aimmah al-Arba’ah, “4 Mutiara Zaman” Biografi Empat Imam Mazhab: Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Malik bin Anas, Imam Ahmad bin Hanbal, terj. Fatahul Arifin, cet. I, Jakarta: Pustaka Qalami, 2003. Asy-Syaukani, Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad, Nail al-Autar, juz IV, Beirut: Dar al-Kitab al-Araby, tth. Bik, Hudhari, Tarjamah Tarikh al-Tasyri’ al-Islami, Sejarah Pengembangan Hukum Islam, alih bahasa: Mohammad Zuhri, Indonesia: Darul Ihya, 1980. Bustamin dan M. Isa, Metodologi Kritik Hadits, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004. Dahlan, Azis, Abdul, (ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, jilid III, Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1996. -------------------------------, Ensiklopedi Hukum Islam, jilid IV, Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1996. -------------------------------, Ensiklopedi Hukum Islam, jilid V, Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1996. Departemen Agama R.I, Ilmu Fiqh, jilid II, cet. II, Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1984/1985. -----------------------------, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2000. -----------------------------, Al-Qur'an dan Terjemahannya, Surabaya: Mekar, 2004 Diibulbigha, Mustofa, Fiqih Syafi'i: Terjemah Attahdziib, terj. NY. Adlchiyah Sunarto, M. Muhtazam, Surabaya: Bintang Pelajar, 1984. Dodge, Huda, Cristine, Kebenaran Islam, terj. Ahmad Asnawi, cet. I, Yogyakarta: Anindya Mitra Internasional, 2006. Effendy, Mochtar, Ensiklopedi Agama dan Filsafat, cet. I, t.tp: Universitas Sriwijaya, 2001. Ghoundur, Ahmad, ath-Thalaq fi al-Syari’at al-Islamiyah wal Qonun, Mesir: Darul Ma’arif, 1967.
84
Hadi, Sutrisno, Metodologi Reseach, Yogyakarta: Penerbit Fak. Psikologi UGM, 1987. Hady Mufaat Ahmad, Fiqh Munakahat, Semarang: Duta Grafika, 1992. Hanafie, Usul Fiqh, cet. XII, Jakarta: Widjaya, 1993. Hasan, Ahmad, Ijma’, terj. Rahmani Astuti, Bandung: Pustaka, 1985. Hazm, Ibnu, Muhalla, juz. X, Beirut: Dar al Fikri, tth. I. Doi, Abdurrahman, Shari’ah The Islamic Law, terj. Basri Iba Asghary, Perkawinan Dalam Syariat Islam , cet. I, Jakarta: Rineka Cipta, 1992. Ibnu Majah, Muhammad bin Yazid Abi Abdillah, Sunan Ibnu Majah, juz I, ttp: Dar al-Fikr, 1995 Jafizham, Tengku, Persintuhan Hukum Di Indonesia Dengan Hukum Perkawinan Islam, cet. II, Jakarta: Mestika, 2006. Jalaluddin Al-Mahalliy, Jalaluddin As-Suyuthi, Tafsir Jalalain, terj. Aliy As’ad, Yogyakarta: Kota Kembang, t.th. Jurjawi, Ali, Syekh, Ahmad, Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuhu, terj. Hadi Mulyo, jilid I, Semarang: Asy Syifa’, 1938. Khadduri, Majid, The Islamic Law Of Nations Shaybani’s Siyar, Maryland: The John Hopkins Press, 1966. Khalil, Munawwar, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, cet. IV, Jakarta: Bulan Bintang, 1983. M. Thalib, Perkawinan Menurut Islam, cet. II, Surabaya: Al-Ikhlas, 1993 Malik, Imam, Muwaththa’ al-Imam Malik r.a, terj. Adib Bisri Musthofa, Semarang: Asy-Syifa’, 1992. Mubarok, Jaih, Ijtihad Kemanusiaan di Indonesia, cet. I, Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005. Mughniyah, Jawad, Muhammad, Al-Fiqh ‘Ala Madzahib Al-Khamsah, terj. Masykur A.B, cet. VII, Jakarta: Lentera, 2001. Munawwir, Imam, Mengenal Pribadi 30 Pendekar dan Pemikir Islam Dari Masa ke Masa, cet. I, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1985.
85
Munawwir, Warson, Ahmad, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, Yogyakarta: Ponpes al-Munawwir, 1984. Musa, Yusuf, Muhammad, Abu Hanifah, Mesir: Maktabah Nahdhah Mesir bi alFujalah, tth. Qal’ahji, Rawwas, Muhammad, Mausu’ah Fiqhi Umar bin Khattab, t.tp: Dar alTafas, tth. --------------------------------------, Mausu’ah Fiqhi Umar Ibnil Khattab ra, Ensiklopedi Fiqh Umar bin Khattab ra, terj. M. Abdul Mujieb AS (et.al.), cet. I, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1999. Ramulyo, Idris, Mohammad, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis Dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, cet. V, Jakarta: PT. Bumi aksara, 2004. Rasjid, Sulaiman, Fiqh Islam, terj. Li Sufyana M. Bakri, cet. 32, Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1998. Rofiq, Ahmad, Hukum Islam Di Indonesia, cet. VI, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003. Ruslan, Rosady, Metode Penelitian: Public Relation dan Komunikasi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003. Rusyd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid, terj. M.A. Abdurrahman, cet. I, Semarang: Asy Syifa’, 1998. Sabiq, Sayid, Fiqh al-Sunnah, Juz II, ttp: Dar al-Fath lil I’lami al-Arabi, 1990 Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah, jilid 8, Alih Bahasa Moh. Thalib, cet. II, Bandung, Al Ma’arif, 1983. Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan keserasian Al-Qur'an, Vol. 14, cet.II, Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2004. Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, cet. III, Jakarta: Rineka Cipta, 2005 Suryabrata, Sumadi, Metodologi Penelitian, cet. IV, Jakarta: Rajawali, 1981 Suyuthi, Imam, Kontekstual Keharusan Ber Ijtihad, terj. Abdul Azis Masyhuri dan Munawir Az-Zahidi, Semarang: Karya Toha Putra, 1999.
86
Syalthut, Mahmud, Fatwa-fatwa, jilid II, terj. Bustami A. Gani, Zaini Dahlan, cet. I, Jakarta: Bulan Bintang, 1973. ---------------------, Muqaaranatul Madzaahib Fil Fiqhi, terj. Abdullah Zakiy Al kaaf, Bandung: Pustaka Setia, 2000. Tajrid, Amir, Formulator Mazhab Hanafi, dalam Jurnal Penelitian Walisongo, Vol. XIV No. 2 November 2006, Semarang: Pusat Penelitian IAIN Walisongo, 2006. Usman, Rachmadi, Aspek–Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006. Watt, W. Montgomery, The Majesty That What Islam, Kejayaan Islam: Kajian Kritis Dari Tokoh Orientalis, terj. Hartono Hadikusumo, cet. I, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990. Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, cet. VIII, Jakarta: Hidakarya Agung, 1990. Al-fannani, Zainuddin bin Abdul Azis Al-Malibari, Fathul Mu’in, jilid II, terj. Moch. Anwar, cet. I, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994. Zuhri, Muhammad, Hukum Islam Dalam Lintasan Sejarah, cet. II, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1997.
87
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
NAMA
: Ahmad Anwar
TEMPAT/ TANGGAL LAHIR
: Pemalang, 18 Juni 1984
ALAMAT ASAL
: Jalan Urip Sumoharjo No. 63 B Rt 01 Rw 05 Kel. Pelutan, Kec./ Kab. Pemalang
PENDIDIKAN
: SD Negeri 01 Pelutan Pemalang SMP Negeri 02 Pemalang MA Negeri Pemalang Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang
Demikianlah daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sebenarnya untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya. Semarang, 15 Juli 2007 Penulis
Ahmad Anwar