BAB IV ANALISIS PENDAPAT YUSUF QARDHAWI TENTANG DIPERBOLEHKANNYA KAWIN MISYAR
A. Analisis Pendapat Yusuf Qardhawi Tentang Diperbolehkannya Kawin Misyar Perkawinan adalah salah satu peristiwa yang sangat penting dalam penghidupan masyarakat kita.1 Juga merupakan pertemuan yang teratur antara pria dan wanita dibawah satu atau untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tertentu baik bersifat biologis. Khusus psikologis, sosial ekonomi maupun budaya bagi masing-masing, bagi keduanya secara bersama-sama dan bagi masyarakat dimana mereka hidup serta bagi kemanusiaan secara keseluruhan.2 Pada dasarnya pengertian nikah adalah suatu pengertian yang menekankan kepada aspek tujuan yaitu pengertian sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang perkawinan. Dalam Undang-undang tersebut, nikah dikatakan sebagai ikatan lahir batin yang dilakukan oleh seorang pria dan wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.3 Sejalan dengan perkembangan zaman, muncullah bentuk perkawinan misyar. Perkawinan seperti ini telah menjadi sebuah fenomena yang serius dalam beberapa negara Islam pada akhir-akhir ini, disebabkan oleh
1
Surojo Wignjodipura, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Jakarta : Gunung Agung, 1983, hlm. 122 2 Abdul Ghani Abud, Masalah Keluarga, Bandung : Pustaka, 1979, hlm. 46 3 UU Perkawinan (UU RI No. 1 Tahun 1974) Beserta Penjelasannya, Yogyakarta : Pustaka Widyatama, 2004, hlm 8
54
55
perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan, asal usul perkawinan ini telah ada pada orang-orang dahulu.4 Yusuf Qardhawi mengartikan kawin misyar yaitu
ﻭﻻ ﺗﻨﺘﻘﻞ ﺍﻟﻮﺭﺃﺓ ﺇﱃ ﺑﻴﺖ، ﻭﻫﻮ ﺍﻟﺰﻭﺍﺝ ﺍﻟﺬﻯ ﻳﺬﻫﺐ ﻓﻴﻪ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﺇﱃ ﺑﻴﺖ ﺍﳌﺮﺃﺓ ﻭﻋﻨﺪﻩ ﺯﻭﺟﺔ ﺃﺧﺮﻯ ﻫﻰ ﺍﻟﱴ، ﺗﻜﻮﻥ ﻫﺬﻩ ﺯﻭﺟﺔ ﺛﺎﻧﻴﺔ: ﻭﰱ ﺍﻟﻐﺎﻟﺐ، ﺍﻟﺮﺟﻞ 5 .ﺗﻜﻦ ﰱ ﺑﻴﺘﻪ ﻭﻳﻨﻔﻖ ﻋﻠﻴﻪ "Yaitu pernikahan dimana seorang laki-laki (suami) mendatangi kediaman wanita (istri), dan wanita ini tidak pindah kediaman laki-laki tersebut. Biasanya, hal ini terjadi pada istri kedua, sedang laki-laki ini memiliki istri lain di rumah yang dinafkahinya."6 Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kawin misyar ini mengarah kepada pemberian keringanan terhadap suami dari kewajiban memenuhi tempat tinggal, nafkah dan persamaan bagian antara istri kedua dan istri yang pertama, yang didasari dari sikap mengalah istri kedua. Istri yang terakhir ini hanya menginginkan keberadaan laki-laki yang biasa menjaga dan memeliharanya (dari kebutuhan biologis) dengan mengasihinya. Meskipun dia tidak memberikan kewajiban pemenuhan materi dan tanggung jawab secara maksimal. Namun, pemberian keringanan ini tidak menutup pada suami yang beristri satu. Nikah semacam ini bukanlah tipe nikah yang dianjurkan Islam, tetapi nikah seperti ini diperbolehkan karena adanya desakan kebutuhan, imbas dan
4
Muhammad Fuad Syakir, Perkawinan Terlarang, Jakarta : Cendekia Sentra Muslim, 2002, hlm. 17 5 Yusuf Qardhawi, Zawajul Misyar Haqiqatuhu wa Hukmuhu, Kairo : Maktabah Wahbah, 1999, hlm. 9 6 Yusuf Qardhawi, "Zawajul Misyar Haqiqatuhu wa Hukmuhu", terj. Adi Irfan Jauhari, Nikah Misyar (Nikah Lawatan), Fenomena Baru dalam Sejarah Perjodohan Manusia, Bekasi : Noen, 2005, hlm. 21
56
perkembangan masyarakat dan karena berubahnya keadaan zaman, dengan catatan akad nikahnya harus dilaksanakan karena kalau akad sampai ditiadakan maka nikahnya batal.7 Dengan demikian kawin misyar menurutnya tidak diharamkan, karena tujuannya untuk menghormati dan mensucikan wanita, dan juga mempertimbangkan kemashlahatan dan kerugiannya, manfaat dan mudaratnya. Seperti yang dikatakannya :
ﻭﻟﻜﻦ ﺍﳍﻢ ﻋﻨﺪﻯ ﺃﻥ ﺗﺘﺤﻘﻖ ﺃﺭ ﻛﺎﻥ ﻋﻘﺪ ﺍﻟﺰﻭﺍﺝ، ﲰﻮﺍ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺰﻭﺍﺝ ﻣﺎ ﺗﺴﻤﻮﻧﻪ 8 ﻭﺷﺮﻭﻃﻪ "Namakanlah pernikahan ini sebagaimana yang disebut oleh banyak orang, tetapi yang penting menurut saya adalah terpenuhinya rukun dan syarat ikatan pernikahan". Alasan Yusuf Qardhawi memperbolehkannya perkawinan ini, dia menganggap bahwa di era sekarang ini, rintangan perkawinan sangat beragam, yang sebagian besar muncul dari diri wanita itu sendiri. Dari sini kemudian bermunculan kaum awanis, yaitu : a. Wanita-wanita yang melajang sampai usia tua, yang telah lewat masa untuk melangsungkan perkawinan. b. Wanita-wanita yang masih hidup dengan orang tua mereka, dan tidak mampu memenuhi kebutuhan fitrah dalam membangun sebuah keluarga dan menjadi seorang ibu. c. Wanita-wanita yang mengalami perceraian, fenomena ini sangat banyak sekali.
7
Yusuf al Qardhawi, “Al-Fatwa al-Muassirah”, Terj. Muhammad Ihsan, Masalahmasalah Islam Kontemporer, Jakarta : Najah Press, 1994, hlm. 401 8 Yusuf Qardhawi, Zawajul Misyar Haqiqatuhu wa Hukmuhu, op.cit., hlm. 11
57
d. Janda yang ditinggal mati oleh suaminya sendirian atau bersama dengan harta yang melimpah ruah e. Wanita-wanita karier, berkarya dan bekerja sendiri, seperti menjadi guru, instruktur, dokter, apoteker, pengacara, atau profesi lainnya yang berpenghasilan tetap. Dengan adanya kaum awanis tersebut di atas, maka mereka semuanya tidak menuntut hak materi dari suaminya. Dalam hal ini lebih dikenal dengan istilah kawin misyar.9 Mereka mau melakukan perkawinan ini berdasarkan niatnya yang benar-benar murni untuk kebaikan dirinya sendiri, karena dia (wanita tersebut) adalah orang yang lebih mengetahui mana yang terbaik bagi dirinya, dia adalah orang yang berakal, baligh, pandai yang mengetahui mana yang dapat mendatangkan manfaat dan mana yang dapat mendatangkan kerugian dan tidak masuk dalam kategori orang yang harus dilindungi, seperti anak kecil, orang gila dan orang bodoh. Dari alasan Yusuf Qardhawi di atas dapat diketahui bahwa kawin misyar pada hakekatnya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan biologis (naluri seks) sekaligus memuliakan dan menjaga agar tidak tergelincir dalam perbuatan zina.10 Seperti halnya kaum awanis yang merupakan wanita-wanita dari segi materi sudah berkecukupan sehingga tidak menuntut hak materi dari 9
Yusuf al Qardhawi, “Al-Fatwa al-Muassirah”, Terj. Muhammad Ihsan, Masalahmasalah Islam Kontemporer, op.cit., hlm. 397 10 Mengenai tujuan perkawinan ini terdapat beberapa rumusan dari kalangan ulama, namun pada intinya yaitu untuk mendekatkan diri (taqqarub) kepada Allah SWT; untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawadah dan rahmah; untuk memenuhi kebutuhan biologis (naluri seks) sekaligus memuliakan dan menjaga agar tidak tergelincir dalam perbuatan zina; dan melangsungkan keturunan. Lihat Dirjen Bimbaga Islam Depag RI, Ilmu Fiqh, Jilid 2, Jakarta : Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama, 1985, hlm. 64-69
58
suaminya, dimana perkawinan bagi mereka yang terpenting adalah status hukum dan status dalam kehidupan bermasyarakat. Perkawinan bagi kaum awanis bila ditinjau dari hukum perkawinan adalah wajib.11 Menurut hemat penulis, keadaan kaum awanis bukan merupakan hambatan perkawinan ataupun suatu kondisi yang dikatakan tidak mampu untuk menikah, tetapi karena keengganan mereka untuk menikah. Padahal dalam ajaran Islam, mereka termasuk orang yang mampu untuk menikah dan melaksanakan perkawinan hukumnya wajib. Hal ini dimaksudkan untuk menghindarkan mereka dari perbuatan zina, sekaligus memuliakan mereka. Sebagaimana dalam kaidah fiqhiyah ditegaskan : 12
ﺩﺭﺀ ﺍﳌﻔﺎﺳﺪ ﻣﻘﺪﻡ ﻋﻠﻰ ﺟﻠﺐ ﺍﳌﺼﺎﱀ
"Menolak kerusakan itu didahulukan daripada menarik kebaikan " Dalam hadits nabi juga ditegaskan :
: ﻋﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﺑﻦ ﻣﺴﻌﻮﺩ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻪ ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻳﺎﻣﻌﺸﺮ ﺍﻟﺘﺒﺎﺏ ﻣﻦ ﺍﺳﺘﻄﺎﻉ ﻣﻨﻜﻢ ﺍﻟﺒﺎﺀ ﺓ ﻓﻠﻴﺘﺰﻭﺝ ﻓﺎﻧﻪ ﺍﻏﻀﻰ ﻟﻠﺴﺒﺼﺮﻭ 13 (ﺃﺣﺼﻦ ﻟﻠﻔﺮﺝ ﻭﻣﻦ ﱂ ﻳﺴﺘﻄﻊ ﻓﻌﻠﻴﻪ ﺑﺎﻟﺼﻮﻡ ﻓﺈﻧﻪ ﻟﻪ ﻭﺟﺎﺀ )ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﻴﻪ Dari Abdullah bin Mas'ud r.a ia berkata : Rasulullah SAW bersabda kepada kamu : Wahai pra pemuda ! barang siap diantara kamu sekalian yang mampu kawin, kawinlah. Maka sesungguhnya kawin itu lebih memejamkan mata (menundukkan pandangan) dan lebih memelihara farji, barang siap yang belum kuat kawin (sedangkan sudah menginginkannya) berpuasalah, karena puasa itu dapat melemahkan syahwat." (HR Bukhari dan Muslim). 11
Melakukan perkawinan hukumnya wajib artinya bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk kawin dikhawatirkan akan tergelincirnya pada perbuatan zina seandainya ia tidak kawin, maka hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut adalah wajib. Lihat Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta : UI Press, 1974, hlm. 49 12 Moh. Adib Bisri, Terjamah al-Faraidul Bahiyyah, Kudus : Menara, 1977, hlm. 24 13 Sayyid Muhammad bin Ismail al-Kahlani, Subu al-Salam, Juz III, Bandung : Dahlan, t.th, hlm. 109.
59
Selain itu membujang merupakan pelanggaran atas naluri dasar manusia, dan hal ini yang menyebabkan Islam tidak memperkenankan membujang sebagai jalan hidup.14 Sebagaimana firman Allah swt :
ﺎ ﻓِﻲﻌ ﹾﻠﻨ ﺟ ﻭ ﻧﺠِﻴ ﹶﻞﻩ ﺍﹾﻟِﺈ ﺎﻴﻨﺗﻭﺀَﺍ ﻢ ﻳﺮ ﻣ ﺑ ِﻦﻰ ﺍﺎ ِﺑﻌِﻴﺴﻴﻨﻭﹶﻗ ﱠﻔ ﺎﺳِﻠﻨ ﺮ ﻢ ِﺑ ﻋﻠﹶﻰ ﺀَﺍﺛﹶﺎ ِﺭ ِﻫ ﺎﻴﻨ ﹶﻗ ﱠﻔﹸﺛﻢ ﺎ َﺀﺑِﺘﻐﻢ ِﺇﻟﱠﺎ ﺍ ﻴ ِﻬﻋﹶﻠ ﺎﺎﻫﺒﻨﺘﺎ ﹶﻛﺎ ﻣﻮﻫﺪﻋ ﺘﺑﻴ ﹰﺔ ﺍﺎِﻧﻫﺒ ﺭ ﻭ ﻤ ﹰﺔ ﺣ ﺭ ﻭ ﺭﹾﺃﹶﻓ ﹰﺔ ﻩ ﻮﺒﻌﺗﻦ ﺍ ﺏ ﺍﱠﻟﺬِﻳ ِ ﹸﻗﻠﹸﻮ ﻢ ﻬ ﻨﲑ ِﻣ ﻭ ﹶﻛِﺜ ﻢ ﻫ ﺮ ﺟ ﻢ ﹶﺃ ﻬ ﻨﻮﺍ ِﻣﻣﻨ ﻦ ﺀَﺍ ﺎ ﺍﱠﻟﺬِﻳﻴﻨﺗﺎ ﻓﹶﺂﻳِﺘﻬﺎﻖ ِﺭﻋ ﺣ ﺎﻮﻫ ﻋ ﺭ ﺎﺍ ِﻥ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ﹶﻓﻤﺿﻮ ِﺭ (27 : ﻓﹶﺎ ِﺳﻘﹸﻮ ﹶﻥ )ﺍﳊﺪﻳﺪ Kemudian Kami iringkan di belakang mereka rasul-rasul Kami dan Kami iringkan (pula) Isa putra Maryam; dan Kami berikan kepadanya Injil dan Kami jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang. Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya. Maka Kami berikan kepada orang-orang yang beriman di antara mereka pahalanya dan banyak di antara mereka orang-orang fasik. (Q.S al-Hadid : 27)15 Dalam sebuah hadits lebih ditegaskan :
ﲪﺪ ﺍﷲ ﻭﺍﺛﲏ: ﻋﻦ ﺍﻧﺲ ﺑﻦ ﻣﻠﻚ ﺭﺿىﺎﷲ ﻋﻨﻪ ﺃﻥ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﻗﺎﻝ ﻟﻜﻦ ﺃﻧﺎ ﺍﺻﻠﻰ ﻭﺍﻧﺎﻡ ﻭﺍﺻﺎﻡ ﻭﺍﺻﻮﻡ ﻭﺍﻓﻄﺮﻭ ﺗﺰﻭﺝ ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ ﻓﻤﻦ 16 (ﺭﻏﺐ ﺳﻨﱵ ﻓﻠﻴﺲ ﻣﻦ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﳌﺘﻔﻖ ﻋﻠﻴﻪ Dari Annas bin Malik r.a bahwa Nabi SAW memuji Allah SWT. Dan menyanjung-Nya. Kemudian beliau bersabda : akan tetapi aku shalat, tidur, puasa dan mengawini perempuan. Maka barang siap yang tidak suka akan sunnahku, maka ia bukan dari golonganku" (HR Sepakat ahli hadits).
14
A. Rahman I. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah (Syari'ah), Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 159 15 Depag RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, op.cit., hlm. 905 16 Sayyid Muhammad bin Ismail al-Kahlani, op.cit., hlm. 110
60
Kawin misyar merupakan perkawinan yang didalamnya terdapat pengurangan hak dari pihak istri. Ada beberapa faktor yang menjadikan seseorang rela untuk mengurangi haknya diantaranya adalah tujuan untuk mendapatkan sesuatu yang lebih bermanfaat bagi dirinya. Seperti yang dilakukan oleh salah satu isteri Rasulullah SAW, yaitu Saudah binti Zam’ah. Ia adalah isteri pertama yang dinikahi Rasulullah SAW, setelah Khodijah r.a. Saudah adalah seorang perempuan yang sudah tua, dia merasa bahwa Nabi SAW tidak akan memperlakukannya dengan mesra, sebagaimana sebelumnya. Ia sangat khawatir kalau nabi SAW menceraikannya, predikatnya sebagai ummul mukminin akan hilang. Ia juga takut, kalau nantinya setelah hari pembalasan, tidak bisa mendampingi (menjadi isteri) Rasulullah SAW, diberikannya hak tersebut kepada isteri rasulullah yang lain yaitu Aisyah r.a dengan adanya keringanan ini. Rasulullah SAW sangat berterima kasih dan menempatkan Saudah r.a pada tempat yang mulia.17 Dalam perkawinan model ini, seorang laki-laki tidak dituntut untuk memberikan nafkah kepada wanita dan mereka tidak pula berkewajiban menyediakan tempat tinggal bagi istrinya. Walaupun demikian dalam kawin misyar laki-laki masih tetap harus membayar mahar (mas kawin), sehingga ia sudah dikatakan telah memberikan nafkah kepada istri. Jadi, dalam kawin misyar, sudah terpenuhi kewajiban tanggung jawab seorang laki-laki terhadap perempuan. 17
Lihat Amru Yusuf, Istri Rasulullah Contoh dan Teladan, Jakarta : Gema Insani Pers, 1997, hlm. 28-40
61
Yusuf Qardhawi memberikan gambaran lain tentang perkawinan yang terkadang ditemukan sah menurut syara, tetapi tidak diterima oleh masyarakat. Misalkan, seorang perempuan kawin dengan supirnya atau pembantunya, menurut pandangan masyarakat, perkawinan ini adalah tidak etis dan kurang layak untuk dilakukan. Mereka tidak menerima kejadian semacam ini karena menurutnya hal semacam ini dapat menyebabkan turunnya kredibilitas dan harga diri wanita tersebut, sedangkan menurut syara’, nikah semacam ini hukumnya tetap sah dan tidak ada larangan. Dari uraian pendapat Yusuf Qardhawi diatas dapat diketahui bahwa terdapat 2 unsur penting yang menurut penulis telaah, yakni tentang hukum nikah misyar dan seputar kewajiban memberikan nafkah yang meliputi boleh tidaknya seorang istri melepaskan sebagian hak perkawinannya serta berpengaruhnya pada sah atau tidaknya akad (ikatan) perkawinan. Pertama, mengenai hukum nikah misyar. Sebagaimana diketahui bahwa para ulama mazhab sepakat pernikahan baru dapat dianggap sah jika dilakukan dengan akad, yang mencakup ijab dan qabul antara wanita yang dilamar dengan lelaki yang melamarnya, atau antara pihak yang menggantikannya seperti wakil dan wali, dan dianggap tidak sah hanya semata-mata berdasarkan suka sama suka tanpa adanya akad.18 Ketentuan di atas bila dikaitkan dengan praktek kawin misyar yang secara prinsipil tidak jauh berbeda dengan nikah biasa yaitu segala sesuatu 18
Permasalahan senada dengan pembahasan ini yakni mengenai syarat yang ditetapkan istri atas suami, dalam hal ini para imam mazhab berbeda pendapat mengenai batal tidaknya syarat tersebut. Namun mereka sependapat bahwa akad dalam perkawinan tersebut tetap sah. Lebih jelasnya lihat Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta : Lentera, 2001, hlm. 309 dan 319.
62
yang menjadi syarat dan rukun dari nikah biasa terdapat pula pada pernikahan misyar, dapat dikatakan bahwa kawin misyar sesuai dengan hukum Islam yang dalam hal ini hukum perkawinan mengenai sah tidaknya akad suatu perkawinan.19 Sedangkan pendapat Yusuf Qardhawi yang mengatakan bahwa para ahli fiqih tidak memiliki alasan untuk membatalkan akad (ikatan) perkawinan semacam ini (kawin misyar) yang telah memenuhi rukun dan syarat sahnya perkawinan,20 menurut penulis sangat beralasan, karena terpenuhinya syarat dan rukun nikah merupakan hakekat timbulnya hukum pernikahan sendiri, dengan tidak terpenuhi syarat maupun rukun nikah maka tidak ada pula hukum pernikahan itu. Dengan terpenuhinya rukun dan syarat pernikahan ini juga akan menimbulkan akibat syara' yang berupa penetapan halal atau kebolehan hubungan antara laki-laki dan perempuan.21 Selain itu jika syarat dan rukunnya terpenuhi, maka pernikahan menjadi sah dan dari sanalah timbul skala kewajiban dan hak-hak pernikahan.22 Bila kita lihat hukum perkawinan di Indonesia tentang sahnya perkawinan, disebutkan dalam Undang-Undang Perkawinan pasal 2 ayat (1)
19
Pendapat ini didasarkan bahwa imam mazhab merupakan fuqaha yang berkompeten atau ahli dalam hukum Islam, dan pendapat-pendapatnya dijadikan rujukan oleh orang Islam sampai sekarang. Pertimbangan lainnya yaitu menurut pengamatan dan sepengetahuan penulis tidak ada pendapat yang menentang tentang ketentuan sah tidaknya perkawinan ini. 20 Yusuf Qardhawi, "Zawajul Misyar Haqiqatuhu wa Hukmuhu", terj. Adi Irfan Jauhari, Nikah Misyar (Nikah Lawatan), Fenomena Baru dalam Sejarah Perjodohan Manusia, op.cit., hlm. 29 21 Dalam kaidah hukum Islam hal ini dikenal dengan istilah syarat, yaitu sesuatu yang ada atau tidak adanya hukum tergantung ada dan tidak adanya sesuatu itu. Yang dimaksud dengan adanya sesuatu itu ialah adanya sesuatu itu yang menurut syara' dapat menimbulkan pengaruh (atsar) kepada ada dan tidak adanya hukum. Lebih jelasnya lihat Abdul Wahhab, Kaidah-kaidah Hukum Islam, Ilmu Ushuhul Fiqh, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2000, hlm. 180 22 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid 2, Beirut-Libanon : Dar al-Fikr, 1992, hlm. 48
63
dikatakan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut agamanya dan kepercayaannya itu.23
Maka bagi umat Islam ketentuan
mengenai terlaksananya akad nikah dengan baik tetap mempunyai kedudukan yang sangat menentukan untuk sah atau tidaknya sebuah perkawinan. Maksud dari perkawinan yang sah disini adalah suatu perkawinan yang dilakukan oleh orang-orang Islam Indonesia, memenuhi baik rukun-rukun24 maupun syaratsyarat25 perkawinan, seperti yang diatur dan ditentukan oleh Undang-undang Nomor 1 tahun 1974.26 Selain dilakukan menurut agamanya dan kepercayaannya, perkawinan harus dicatatkan. Ketentuan ini dalam Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974 pasal 2 ayat (2) : “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.27 Dan pencatatan adalah salah satu bukti otentik dalam berinteraksi. Dengan demikian ketentuan pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) tersebut mengindikasikan bahwa suatu perkawinan dianggap sah apabila telah memenuhi dua syarat, yaitu :
23
Departemen Agama RI, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Rukun nikah yaitu adanya mempelai laki-laki, mempelai perempuan, wali, 2 orang saksi, sighat (ijab qabul). Lihat Abd ar-Rahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh 'ala al-Mazahib alArba'ah, Juz 4, Beirut-Libanon : Dar al-Fikr, tt, hlm. 16 25 Syarat-syarat nikah yaitu 1) calon mempelai pria : beragama Islam, laki-laki, jelas orangnya, dapat memberikan persetujuan, tidak terdapat halangan perkawinan; 2) Calon mempelai wanita : beragama Islam, perempuan, jelas orangnya, dapat dimintai persetujuannya, tidak terdapat halangan perkawinan, 3) wali nikah : laki-laki, dewasa, mempunyai hak perwalian, tidak terdapat halangan perkawinan. Lihat Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995, hlm. 71 26 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta : UII Press, 1999, hlm. 8. Syarat dan rukun pernikahan dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 diatur dalam pasal 6 sampai 12, lebih jelasnya lihat Departemen Agama RI, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 27 Departemen Agama RI, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. 24
64
1. Telah memenuhi ketentuan materiil, yaitu telah dilakukan dengan memenuhi syarat dan rukun menurut hukum Islam 2. Telah memenuhi ketentuan hukum formil, yaitu telah dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah yang berwenang. Perkawinan yang hanya memenuhi ketentuan hukum materiil tetapi tidak memenuhi ketentuan hukum formil dianggap tidak pernah ada perkawinan atau wujuduhu ka’adamihi, sedang perkawinan yang telah memenuhi ketentuan hukum formil tetapi ternyata tidak memenuhi ketentuan hukum materiil dapat dibatalkan. 28 Ketentuan sahnya perkawinan menurut peraturan perundangan di Indonesia tersebut di atas, bila dikaitkan dengan pendapat Yusuf Qardhawi tentang kawin misyar, dapat dikatakan bahwa pendapatnya tersebut sesuai dengan ketentuan Undang-undang No 1 tahun 1974 pasal 2 tentang sahnya perkawinan. Dalam pasal 2 ayat (1), terlihat kesesuaiannya dengan pendapat Yusuf Qardhawi yang mengatakan "pernikahan ini sebagaimana yang disebut oleh banyak orang, tetapi yang penting menurut saya adalah terpenuhinya rukun dan syarat ikatan pernikahan". Sedangkan pada pasal 2 ayat (2) juga terlihat kesesuaiannya dimana Dia mensyaratkan pernikahan ini tidak dilakukan secara sembunyi dan rahasia, melainkan dilakukan pencatatan secara resmi di institusi yang kompeten menanganinya. Dari uraian di atas dapat penulis simpulkan bahwa praktek kawin misyar sebagaimana pendapat Yusuf Qardhawi, menurut hukum fiqh dan 28
A. Mukti Arto, “Masalah Pencatatan Perkawinan dan Sahnya Perkawinan”, dalam Mimbar Hukum, Jakarta : Intermasa, 1993, hlm. 47
65
ketentuan perundangan di Indonesia (UU No 1 tahun 1974) adalah terdapat kesesuaian. Dengan kata lain, kawin misyar dapat dikatakan sah menurut ketentuan fiqh maupun hukum perkawinan di Indonesia. Permasalahan kedua, unsur terpenting dalam nikah misyar ini adalah adanya keringanan kewajiban pemberian nafkah bagi suami terhadap istri. Selanjutnya muncul pertanyaan : apakah seorang istri boleh melepaskan sebagian hak perkawinannya ? Apakah ini berpengaruh kepada sah atau tidaknya akad (ikatan) perkawinan. Perkawinan adalah hal kesepakatan sosial antara seorang laki-laki dan perempuan, yang tujuannya adalah menjamin hubungan kekeluargaan melalui perkawinan, menurunkan keturunan, memohon karunia anak, membentuk keluarga dan menempuh kehidupan bersama. Keadaan demikian dinamakan sebagai kehidupan suami isteri yang menyebabkan seorang perempuan menerima
hukum-hukum
maskawin
dan
memperoleh
hak
seperti
mendapatkan nafkah.29 Dipandang dari segi hukum, perkawinan adalah suatu perbuatan hukum. Setiap perbuatan hukum yang sah akan menimbulkan akibat hukum, berupa hak dan kewajiban suami isteri.30 Karena hak-hak perkawinan merupakan arti penting bagi kedudukan perempuan dalam masyarakat. Dalam kebanyakan masyarakat dan sistem keagamaan, perempuan tidak mendapatkan hak independen untuk memasuki kehidupan perkawinan menurut kehendak
29
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, Yogyakarta : Eksaqpress, 2004, hlm. 436 30 Muhammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 28
66
mereka sendiri. Pernikahan atau tepatnya berpasangan merupakan ketetapan ilahi atas segala makhluk.31 Mendambakan pasangan merupakan fitrah sebelum dewasa dan dorongan yang sulit dibendung setelah dewasa. Oleh karena itu agama mensyariatkan dijalinnya pertemuan antara pria dan wanita dalam sebuah perkawinan. Mengenai pemberian nafkah dalam al-Qur'an ditegaskan sebagai berikut :
ﻣﺮِﻳﺌﹰﺎ ﻫﻨِﻴﺌﹰﺎ ﻩ ﺎ ﹶﻓ ﹸﻜﻠﹸﻮﻧ ﹾﻔﺴ ﻨﻪﻲ ٍﺀ ِﻣ ﺷ ﻦ ﻋ ﻢ ﻦ ﹶﻟ ﹸﻜ ﺒﺤﹶﻠ ﹰﺔ ﹶﻓِﺈ ﹾﻥ ِﻃ ﻦ ِﻧ ﺪﻗﹶﺎِﺗ ِﻬ ﺻ ﺎ َﺀﻨﺴﻮﺍ ﺍﻟﻭﺀَﺍﺗ Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. (Q.S an-Nisa' : 4)32 Demikianlah nash al-Qur'an di atas menunjukkan kewajiban untuk memberikan nafkah kepada isteri. Sebagaimana dikutip Shalahuddin Sulthan bahwa Ibnu Qudamah berkata : Para ahli Ilmu bersepakat tentang kewajiban para suami untuk menafkahi istri-istrinya. Maksudnya adalah pemberian nafkah kepada isteri terikat dengan kondisi dari kedua adalah orang-orang yang sempit (kurang berada), maka wajib kepada suami untuk memberikan nafkah layaknya orang yang sempit. Dan apabila keduanya termasuk orang yang biasa-biasa saja (menengah), maka wajib kepada suami memberikan
31 32
Quraish, Shihab, Wawasan al-Qur'an, Bandung : Mizan, 1996, hlm. 191 Depag RI,, Al-Qur’an dan Terjemahnya, op.cit., hlm. 115.
67
nafkah layaknya orang yang menengah. Begitu juga, jika salah satunya merupakan orang yang lapang, dan yang lain adalah orang sempit.33 Keharusan suami memberi nafkah kepada istrinya ialah apabila mereka sudah tinggal sekamar dan watha’, bukan karena sudah terjadi akad nikah saja. Dan yang menyebabkan wajib memberi nafkah ada tiga, pertama ikatan perkawinan, kedua hubungan kerabat dan ketiga sebagai hak milik. Nafkah yang wajib diberikan itu dalam bentuk : a) Makanan / minuman dan yang sehubungan dengannya b) Pakaian yang layak dan memadai c) Tempat tinggal yang layak meskipun rumah sewa d) Perabot dan perlengkapan rumah tangga34 Sedangkan menurut Sayyid Sabiq kewajiban memberi nafkah ini yaitu :
ﺍﳌﻘﻮﺩ ﺑﺎﻟﻨﻔﻔﺔ ﻫﻨﺎﺗﻮ ﻓﲑ ﻣﺎﳛﺘﺎﺝ ﺍﻟﻴﻪ ﺍﻟﺰﻭﺟﺔ ﻣﻦ ﻃﻌﺎﻡ ﻭﻣﻜﻦ ﻭﺣﺪﻣﺔ ﻭﺩﺍﺀ ﻭﺍﻥ ﻛﺎﻧﺖ ﻏﻨﻴﺔ “Yang dimaksud dengan belanja / nafkah disini yaitu memenuhi kebutuhan terhadap isteri berupa makanan, tempat tinggal, pembantu rumah tangga, obat-obatan walaupun ia orang kaya.35 Dalam hadits Nabi SAW juga ditegaskan :
ﻋﻦ ﺟﺎﺑﺮ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻪ ﻋﻦ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﰱ ﺣﺪﻳﺚ ﺍﳊﺞ ﺑﻄﻮﻟﻪ 36 (ﻦ ﺑﺎﳌﻌﺮﻭﻑ )ﺍﺣﺮﺟﻪ ﻣﺴﻠﻢﻗﺎﻝ ﻣﻰ ﺩﻛﺮ ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ ﻭﳍﻦ ﻋﻠﻴﻜﻢ ﺭﺯﻗﻬﻦ ﻭﻛﺴﻮ 33
Shalahuddin Sulthan, Keistimewaan Wanita atas Pria dalam Warisan dan Nafkah, Pustaka al-Kautsar, 2005, hlm. 78-79 34 Pe Unoh Daly, Hukum Perkawinan Islam (Suatu Study Perbandingan dalam Kalangan Ahlussunah di Negara Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1988, hlm. 98099 35 Sayyid Sabiq, op.cit., hlm. 147 36 Al-Hifizh bin Hajar al-Asqalani, Bulughul Maram, terj. Muh. Rifa'i dan al-Qusyaini Misbah, Semarang : Wicaksana, t.th., hlm. 683-684
68
“Dari Jabir r.a dari Nabi SAW dalam hadits haji diterangkan dengan panjang, beliau bersabda tentang wanita, kamu berkewajiban memberi nafkah dan pakaian dengan baik kepada mereka (para wanita). (HR Muslim) Selain hak yang sama dimiliki oleh lelaki dan perempuan, ada hak yang khusus dimiliki kaum perempuan, hal ini merupakan kutipan dari deklarasi Islam universal tentang hak asasi manusia yang disusun berdasarkan al-Qur’an dan hadits oleh dewan Islam pada tahun 1981, sebagaimana dikutip dari bukunya Lily Zakiah Munir yang menyebutkan bahwa setiap wanita bila telah menikah berhak atas : a) Berdiam di rumah tempat suaminya tinggal37 Agama menganjurkan untuk menyediakan rumah yang tersendiri buat istri hingga ia merasa leluasa, anjuran ini diperuntukkan bagi suami yang mempunyai kemampuan atas itu, begitu juga mengubah pembantu dan menyediakan tempat untuknya. b) Menerima penghasilan yang diperlukan untuk menjaga standar kehidupan yang tidak lebih rendah dari pasangannya, dan apabila terjadi perceraian, selama masa tunggu (iddah), menerima harta untuk menjaga diri yang sepadan dengan penghasilan suami, untuk dirinya sendiri dan untuk anakanak yang ia asuh dan jaga. Terlepas dari status keuangan yang telah ia miliki, penghasilan, atau pemilikan yang menjadi haknya.
37
Lily Zakiyah Munir, Memposisikan Kodrat (Perempuan dan Perubahan dalam Perspektif Islam), Bandung : Mizan, 1999, hlm. 151
69
c) Berusaha dan memperoleh pemutusan perkawinan (khul’) sesuai dengan syarat-syarat hukum. Disamping itu, ada hak untuk mengusahakan perceraian melalui pengadilan d) Memperoleh warisan dari suami, orang tua, anak-anak dan keluarga lainnya sesuai dengan hukum e) Memperoleh yang ketat dari suaminya / bekas suami bila bercerai.38 Uraian diatas mengindikasikan bahwa betapa urgensinya kewajiban suami terhadap nafkah istrinya. Kemudian bila dikaitkan dengan kawin misyar dimana terdapat keringanan kewajiban suami dalam memberikan nafkah, atau dengan kata lain kerelaan istri melepaskan sebagian haknya dari suami, apakah hal tersebut dibolehkan menurut hukum Islam. Menurut penelurusan literatur, penulis tidak menemukan pembahasan tentang keringanan kewajiban dalam memberikan nafkah secara rinci sebagaimana yang terdapat dalam kawin misyar. Sedangkan dalam al-Qur'an disebutkan :
(6 : )ﺍﻟﻄﻼﻕ
ﺝ
ﻦ ﻤﹶﻠﻬ ﺣ ﻦ ﻌ ﻀ ﻳ ﱴ ﺣ ﻦ ﻴ ِﻬﻋﹶﻠ ﺍﻧ ِﻔ ﹸﻘﻮﻤ ٍﻞ ﹶﻓﹶﺎ ﺣ ﺕ ِ ﺍﹸﻭ ﹶﻻﻭِﺍ ﹾﻥ ﹸﻛﻦ
“Dan jika mereka (hai isteri-isteri yang sudah ditalak) itu perempuanperempuan yang sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya sampai mereka bersalin” ( At-Thalaq : 6)39
ﻪ ﻒ ﺍﻟﱠﻠ ﻳ ﹶﻜﻠﱢ ﻪ ﻟﹶﺎ ﻩ ﺍﻟﱠﻠ ﺎﺎ ﺀَﺍﺗﻖ ِﻣﻤ ﻨ ِﻔﻴ ﹶﻓ ﹾﻠﺯﻗﹸﻪ ﻴ ِﻪ ِﺭﻋﹶﻠ ﺭ ﻦ ﻗﹸ ِﺪ ﻣ ﻭ ﻌِﺘ ِﻪ ﺳ ﻦ ﻌ ٍﺔ ِﻣ ﺳ ﻖ ﺫﹸﻭ ﻨ ِﻔﻴِﻟ (7 : ﺍ )ﺍﻟﻄﻼﻕﺴﺮ ﻳ ﺴ ٍﺮ ﺪ ﻋ ﻌ ﺑ ﻪ ﻌﻞﹸ ﺍﻟﱠﻠ ﺠ ﻴﺳ ﺎﺎﻫﺎ ﺀَﺍﺗﺎ ِﺇﻟﱠﺎ ﻣﻧ ﹾﻔﺴ Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari 38 39
Ibid., hlm. 151 Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, op.cit., hlm. 946
70
harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan. (QS. At-Thalaq : 7) 40 Dalam ayat al-Qur'an di atas memberikan gambaran umum, yaitu nafkah itu diberikan kepada istri menurut yang patut, dengan arti cukup untuk keperluan istri dan sesuai pula dengan penghasilan suami. Sedangkan jumlah nafkah yang diberikan itu hendaklah sedemikian rupa sehingga tidak memberatkan suami, apalagi menimbulkan mudarat baginya. Berdasarkan ayat tersebut, para ulama mazhab berbeda pendapat mengenai tolok ukur pemberian nafkah terhadap istri. Hambali dan Maliki mengatakan apabila keadaan suami istri berbeda, yang satu kaya dan lainnya miskin, maka besarnya nafkah yang ditentukan adalah tengah-tengah antara kedua hal itu. Sedang Syafi'i dan Imamiyah mengatakan nafkah diukur berdasar kaya dan miskinnya suami, tanpa melihat keadaan istri.41 Sedangkan dalam kawin misyar, dimana suami diberi keringanan dalam memberikan nafkah pada istri, dan hal itu tidak melihat keadaan suami apakah dia kaya atau miskin. Oleh karena itu, kawin misyar merupakan fenomena baru dalam hukum perkawinan, baik modelnya maupun substansinya, sehingga memunculkan perbedaan pendapat dalam kalangan ulama saat ini. Seperti yang diungkap oleh Dr. Muhammad Shahrur dalam bukunya "Metodologi Fiqih Islam Kontemporer", dia mengatakan bahwa “syarat-syarat sahnya perkawinan misyar adalah bukan seperti syarat-syarat perkawinan
40 41
Ibid., hlm. 946 Lihat Abd ar-Rahman al-Jaziri, op.cit. hlm. 422-433
71
resmi pada umumnya, karena tujuannya bukanlah menjalin hubungan kekeluargaan, meneruskan keturunan dan membina keluarga, tetapi murni hubungan seksual dan ia termasuk kategori perkawinan resmi meskipun pada saat yang sama ia tidak haram, menurut hemat penulis hal itu adalah salah satu kondisi atau kasus kontemporer dan penulis menyebutnya dengan nama “aqd ihsan” (perjanjian atau perjanjian hubungan seks).42 Lebih lanjut dia mengatakan bahwa sesuai dengan fiqih yang berlaku, terdapat perjanjian yang dinamakan perjanjian (aqd nikah), didalamnya disebutkan tentang maskawin kontan dan maskawin hutang, yang bisa menjadikan hubungan seksual dari haram menjadi halal, dan tidak berbeda dengan perjanjian jual beli mobil yang berisi harga, cara pembayaran dan syarat-syarat hukum. Maka, apakah boleh bagi seorang laki-laki mengawini seorang perempuan, setelah itu dia menyingahinya barang sebentar dalam satu minggu atau dalam satu bulan atau dua bulan, kemudian meninggalkannya dan pergi merambah kenikmatan dunia yang lain ? atau dia hanya sekedar menggunakan perempuan itu, untuk tujuan tidak mendapatkan keturunan sehingga tidak ada tanggung jawab ? Sebenarnya dalam hal ini telah terjadi penyimpangan dari maksud-maksud Allah SWT dalam mensyariatkan perkawinan. Dr. Nashir Farid Washil mengungkapkan bahwa perkawinan misyar terjadi karena realita dan kondisi pada sebagian kelompok masyarakat dan perkawinan ini mencukupi rukun akad yang disyariatkan, seperti ijab, qabul,
42
Muhammad Shahrur, op.cit. hlm. 436
72
saksi dan wali. Perkawinan ini adalah perkawinan yang sah, hanya saja dalam perkawinan ini, laki-laki mensyaratkan kepada perempuan untuk menyatakan bahwa dia tidak akan menuntut hak-haknya yang berhubungan dengan tanggungan laki-laki sebagai suaminya.43 Dan menurutnya perkawinan ini tidak ada dasar-dasarnya dalam ilmu fiqh, hanya saja diambil dari realita kehidupan yang materialistis sekarang ini, dikarenakan sering berjalan dan berpindah, sehingga mulailah para ahli syariat dalam negara tertentu memikirkannya, apakah seorang perempuan lebih baik hidup selamanya tanpa suami atau ia terpaksa mengalah dari sebagian hak-haknya untuk bisa kawin, barangkali orang tua dan walinya berpendapat lebih baik kawin, maka disetujuilah persyaratan itu, jadi dalam fiqh perkawinan misyar ini tidak ada asal usulnya, akan tetapi menurut syariat perkawinan itu sah. Uraian pendapat di atas dapat diketahui bahwa mereka menentang perkawinan misyar. Mereka mengkhawatirkan kawin model ini bertentangan dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Sesuai dengan ketetapanNya, kaum laki-laki mempunyai hak untuk mengawasi wanita dan bertanggung jawab atas diri wanita beserta seluruh anggota keluarga. Dalam pelaksanaan kawin model ini, seorang laki-laki tidak dituntut untuk memberikan nafkah kepada wanita dan mereka tidak pula berkewajiban tempat tinggal. Memang dalam hal ini Allah menegaskan :
ﻢ ﺟ ِﺪ ﹸﻛ ﻭ ﻦ ﻢ ِﻣ ﺘﻨﺳ ﹶﻜ ﻴﺚﹸﺣ ﻦ ﻦ ِﻣ ﻫ ﻮﺳ ِﻜﻨ ﹶﺃ "Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu" (QS. At-Talaq : 6)44 43 44
Ibid., hlm. 33-34 Ibid., hlm. 946
73
Dan juga menurut mereka perkawinan model ini dikhawatirkan sebagai lahan pemerasan dan pemerkosaan laki-laki terhadap hak-hak wanita. Ketika seorang laki-laki merasa bahwa wanita yang akan dikawininya sangat membutuhkannya, sedangkan suami tersebut akan selalu menekan dan meminta wanita tersebut untuk menyerahkan semua harta kepadanya. Apabila dihalalkannya kawin ini hanya sebagai solusi bagi orang-orang kaya yang terlambat melaksanakan kawin, bagaimana dengan orang-orang miskin yang tidak mampu melangsungkan pernikahan. Lain halnya dengan Prof Dr. Muhammad Rawi, anggota Badan Penelitian Islam (Majma’al al Buhuts al-Islamiah) dan sebagian Dekan Fakultas al-Qur'an al Karim di Universitas al Imam Muhammad Ibn Sa’ud, ia berkata bahwa suatu perkawinan mempunyai hukum-hukum dan ketentuan permasalahan
peredaman
dan
keterlambatan
kawin
sering
muncul,
menurutnya bahwa tidak ada cara untuk memelihara kemanusiaan khususnya perempuan dari kerusakan, kecuali dengan mengisi kekosongan dengan pekerjaan, mengarahkan kemauan (kecenderungan) dengan iffah (menjaga diri dari maksiat) dan membiasakan diri dengan sabar. Seperti firman Allah SWT :
ﻀِﻠ ِﻪ ﻦ ﹶﻓ ﻪ ِﻣ ﺍﻟﱠﻠﻢﻴﻬﻐِﻨ ﻰ ﻳﺣﺘ ﺎﻭ ﹶﻥ ِﻧﻜﹶﺎﺣﺠﺪ ِ ﻳ ﻦ ﹶﻻ ﻒ ﺍﱠﻟﺬِﻳ ِ ﻌ ِﻔ ﺘﺴ ﻴﻭﹾﻟ “Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya. Sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.” (QS. An-Nur : 33)45 Dari paparan pendapat di atas, dapat disimpulkan memang dalam kawin misyar tidak terdapat unsur pertanggungjawaban dari pihak suami, disamping
45
Depag RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, op.cit., hlm. 549
74
itu juga dilihat dari keadilan (pembagian yang adil). Karena perkawinan misyar merupakan perkawinan dalam perjalanan (lawatan). Kondisi berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lainnya, seperti dalam perkawinan ini, bisanya menyulitkan suami untuk memenuhi tuntunan keadilan dalam membagi waktu antara isteri-isterinya. Hal ini akan menyeret suami kepada pelanggaran syariat. Bila ditinjau dari disisi ini,46 kawin misyar akan terlihat kemiripan dengan poligami, maka sang suami tidak boleh berdiri disalah satu istrinya. Sedangkan perinciannya ada beberapa pendapat yaitu sebagai berikut : a) Mazhab Hanafi Suami harus menentukan masa berdiam di salah satu istrinya, karena masa berdiam pada rumah isteri-isterinya tidak ditentukan oleh syari’at. Tapi dikembalikan kepada kebijaksanaan suami, akan tetapi syariat tidak membiarkan suami begitu saja. Syariat memberikan batasan jangan sampai lebih dari empat bulan, karena empat bulan adalah batas habisnya illa’.47 b) Madzhab Maliki Madzhab Maliki membolehkan lebih dari sehari semalam, dan boleh juga waktu dikurangi, kalau ada kerelaan dari istri-istrinya. Kalau tidak ada kerelaan baik itu dalam penambahan maupun pengurangan, maka wajib bagi suami membaginya dengan adil. Hal ini bisa dilakukan apabila istri-
46
satu.
47
Maksudnya kawin misyar bila dilakukan oleh suami yang mempunyai istri lebih dari
Illa' adalah sumpah suami terhadap isteri untuk tidak menemuinya selama empat bulan. Lihat Muhammad Fu'ad Syakir, op.cit., hlm. 24
75
istrinya berada di daerah yang sama, atau di dua daerah yang berada dalam satu teritorial c) Madzhab Syafi’i Mazhab Syafi'i berpendapat bahwa lebih baik bagi suami membagi waktu antara istrinya satu malam penuh dan dibolehkan membagi dua malam atau tiga malam tanpa kerelaan mereka, akan tetapi mazhab Syafi'i tidak membolehkan lebih dari tiga malam. Tanpa kerelaan mereka, hal ini disebabkan oleh : 1) Berkeyakinan suami meninggal dalam waktu sepanjang itu, sementara ia belum memenuhi kewajiban tinggal pada salah satu istrinya yang berhak atas itu, maka pada saat itu ia telah melalaikan kewajibannya karena tidak adil dalam pembagian 2) Waktu yang panjang bisa menyebabkan istri yang lain merasa kesunyian dan kegelisahan karena kesendiriannya d) Mazhab Hanbali Tidak boleh suami di tempat salah satu istrinya lebih dari satu malam tanpa izin dari istri-istrinya yang lain.48 Menurut penulis perkawinan misyar yang dilakukan oleh suami beristri lebih dari satu dibolehkan dengan syarat yang sama dengan poligami yaitu keadilan. Sebagaimana yang diungkapkan mazhab Maliki, “jika suami mengawini beberapa orang perempuan yang berbeda dan berjauhan daerahnya, maka suami harus memberikan masa berdiam kepada setiap isteri
48
Ibid., hlm. 22
76
tersebut satu minggu atau satu bulan, selama itu tidak menimbulkan kerusakan dan penyakit bagi istri-istrinya".49 Namun disini penulis tegaskan bahwa kawin misyar dan poligami memang dituntut adanya keadilan, tetapi dalam kawin misyar "keadilan" ini hanya pada pembagian sang suami untuk singgah di rumah istri-istrinya (nafkah lahir), sedangkan dalam hal nafkah terdapat keringanan, dan hal ini merupakan perbedaan yang mendasar dengan poligami. Setelah paparan singkat ini dalam rangka menganalisis pendapat Yusuf Qardhawi yang membolehkan perkawinan misyar, dan penulis dapat disimpulkan bahwa pernikahan misyar dari segi hukum Islam mengenai sahnya suatu pernikahan yaitu terpenuhinya syarat dan rukun pernikahan. Adapun mengenai kerelaan istri untuk melepas haknya dalam hal nafkah sebagai syarat utama kebolehan nikah misyar, sesuai dengan surat an-Nisa ayat: 29
ﻦ ﻋ ﺭ ﹰﺓ ﺎﺗﻜﹸﻮ ﹶﻥ ِﺗﺠ ﺎ ِﻃ ِﻞ ِﺇﻟﱠﺎ ﹶﺃ ﹾﻥﻢ ﺑِﺎﹾﻟﺒ ﻨ ﹸﻜﻴﺑ ﻢ ﺍﹶﻟ ﹸﻜﻣﻮ ﺗ ﹾﺄﻛﹸﻠﹸﻮﺍ ﹶﺃ ﻮﺍ ﻟﹶﺎﻣﻨ ﻦ ﺀَﺍ ﺎ ﺍﱠﻟﺬِﻳﻳﻬﺎﹶﺃﻳ ﻢ ﻨ ﹸﻜﺽ ِﻣ ٍ ﺍﺗﺮ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. (QS an-Nisa : 29).50 Dan hadits : 51
49
( ﺍﳕﺎ ﺍﻟﺒﻴﻊ ﻋﻦ ﺗﺮﺍﺽ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﺑﻦ ﺣﺒﺎﻥ: ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ
Ibid., hlm. 32 Depag RI,, Al-Qur’an dan Terjemahnya, op.cit., hlm. 122 51 Al-Hadidl Abi Abdillah Muhammad Ibnu Yazid al-Gazwiny, Sunan Ibnu Majah, Juz II, Beirut : Dar al-Fikr, t.th., hlm. 737 50
77
Rasulullah SAW bersabda : Sesungguhnya jual beli itu sah dengan saling merelakan (HR Ibnu Hibban) Dari nash-nash ini terdapat tiga aspek dalam kebebasan berkehendak, pertama, kebebasan mengadakan akad, kedua, kekuatan ilzam bagi suatu akad, ketiga, kebebasan membuat akad dan syarat-syarat membuat akad.52 Ketiga aspek di atas memberi kelapangan atau kebebasan bagi kehendak pihak-pihak yang mengadakan akad, dan syarat-syarat yang tidak dibolehkan oleh syara', namun kebebasan ini tidak dapat berlaku sekehendaknnya. Dalam hal ini sesuai dengan kaidah fiqhiyah :
ﺍﻟﺮﺽ ﺑﺎﻟﺸﺊ ﺭﺿﻰ ﲟﺎ ﻳﺘﻮﻟﺪﻣﻨﻪ
Rela dengan sesuatu adalah rela dengan akibat yang terjadi daripadanya.53 Dalam perkawinan misyar, seorang laki-laki tidak dituntut untuk memberikan nafkah kepada wanita dan mereka tidak pula berkewajiban menyediakan tempat tinggal bagi istrinya. Walaupun demikian dalam kawin misyar laki-laki masih tetap harus membayar mahar (mas kawin), sehingga ia sudah dikatakan telah memberikan nafkah kepada istri. Jadi, dalam kawin misyar, sudah terpenuhi kewajiban tanggung jawab seorang laki-laki terhadap perempuan. Seperti yang diungkapkan Syekh Taqyuddin (Ibnu Taimiyah) bahwa "Persyaratan untuk tidak memberi nafkah tetapi menjadikan sahnya ikatan perkawinan". Syekhul Islam berkata pula : “Lebih-lebih jika suami mengalami
52
Hasbi Ash-Shiddeqy, Pengantar Fiqh Muamalah, Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2001, hlm. 77 53 Muklis Usman, Kaidah-kaidah Istinbath Hukum Islam (Kaidah-kaidah Ushuliyyah dan Fiqhiyah), Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1999, hlm. 159
78
kesulitan dalam memberikan nafkah materi dan si istri merasa rela keadaan ini. Maka si istri tidak memiliki alasan untuk menuntutnya setelah itu. Dan Ibnu Taimiyah lebih memiliki pendapat yang menyatakan rusaknya (tidak sah) akad pernikahan, jika masyarakat untuk tidak memberi maskawin. Pendapat ini banyak diyakini oleh para ulama salaf (terdahulu. Ia juga memiliki pendapat yang menyebutkan tetapi sahnya ikatan perkawinan jika terdapat persyaratan untuk tidak berhubungan biologis, karena syarat seperti ini identik dengan syarat seperti ini identik dengan syarat untuk mengabaikan apa yang mesti diperoleh dalam pernikahan.54 Jika telah terdapat empat perkara tersebut, yaitu ijab dan kabul dari yang memiliki hak, pemberitaan meski dikalangan terbatas, tidak adanya pembatasan waktu, dan mas kawin meskipun setelah itu sang isteri memberi keringanan, maka secara syar’i sahlah pernikahan tersebut. Namun keringanan hak itu tidak berlaku dalam hal hubungan biologis, yang tidak boleh disyaratkan dalam akad, karena hal itu merupakan syarat yang menafikan maksud dari suatu akad, sehingga membatalkan akad nikah itu sendiri.55 Sudah sangat jelas bahwa perkawinan sebagai perbuatan hukum antara suami dan istri, bukan saja bermakna untuk merealisasikan ibadah kepadaNya. Tetapi sekaligus menimbulkan akibat hukum keperdataan diantara keduanya. Namun demikian, karena tujuan perkawinan yang begitu mulia,
54
Yusuf al-Qardhawi, Hadyul Islam Fatawi Muashirah, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, Fatwa-fatwa Kontemporer, op.cit., hlm. 344 55 M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta : Bina Aksara, 1996, hlm. 16-19.
79
yaitu membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.56 Dalam akhir analisis ini penulis memberikan catatan kecil mengenai kawin misyar ini. Pertama, perkawinan ini hanya merealisasikan standard yang paling rendah dari hubungan suami istri, dan menanggalkan nilai-nilai perkawinan serta kosong dari hakikat-hakikat yang sebenarnya dalam tujuan menciptakan keluarga idaman yang merupakan embrio dari masyarakat yang shaleh, yaitu saling mengasuh keturunan dan membangun generasi yang baik dalam konteks kasih sayang. Kedua, dalam perkawinan misyar, suami kehilangan harga dirinya karena tidak memenuhi semua kewajiban maka dia hanya menjadi tanggungan bagi istri. Sesungguhnya kehidupan perkawinan bukanlah hubungan seksual semata. Hubungan seksual dalam kehidupan keluarga sehari tidak lebih dari 2 %, artinya masih terdapat 98 % dari masa kehidupan bersama dalam perkawinan yang tidak tercover selain oleh aqad nikah semata, yaitu aktivitasaktivitas yang akan terjadi didalamnya, dan ini merupakan wilayah yang sangat luas.57 Apabila kita ingin mengkovernya maka kita harus menjelaskan tentang aspek-aspek perkawinan, yang mencakup hubungan seksual dan menempuh kehidupan bersama sepanjang hidup, dan bertujuan membina keluarga yang didalamnya terdapat anak-anak dan cucu-cucu, serta menjalin hubungan kekeluargaan, meneruskan keturunan, kasih sayang, rahmat dan ketenteraman. 56 57
Dirjen Binbaga, UU No. I Tahun 1974, Jakarta, 1999, hlm. 96 Muhammad Shahrur, op.cit. hlm. 437
80
Dalam membangun pilar-pilar keluarga marilah kita melandasinya diatas tujuan-tujuan Allah SWT, bukanlah untuk tujuan hiburan atau kenikmatan sementara. Dan perlu diingat perkawinan adalah sebuah tanggung jawab yang besar, Allah SWT menurunkan perintah adalah sebuah tanggung jawab yang besar, Allah SWT menurunkan perintah kawin untuk membangun dunia, mengembangbiakkan keturunan dan untuk perbaikan alam. B. Analisis Istinbath Hukum Yusuf Qardhawi Kajian tentang ijtihad dan ushul fiqh pada umumnya tidak terlepas dari kajian tentang sumber hukum sebagai dasar tempat bertolak dalam melakukan penggalian hukum (istimbath al hakam). Tanpa lebih dahulu mengkaji dalil dan sumber hukum, kajian tentang ijtihad akan menjadi tidak utuh, karena tidak berangkat dari fondasi hukum yang akan dijadikan acuan setiap aktivitas ijtihad. Dalil jamak dari adillah adalah suatu yang mengandung petunjuk (dalalah) atau bimbingan (irsyad). Pengertian tersebut dapat diketahui dari kebiasaan (‘Urf) para fuqaha yang terlihat dalam kandungan kitab-kitab fiqh, dimana dalam membicarakan suatu masalah mengambil rujukan ayat-ayat AlQur’an dan Al-Sunnah58. Para ahli ushul fiqh biasa memberi pengertian dalil sebagai suatu yang mungkin dapat mengantarkan seseorang pada pengetahuan yang pasti (benar) sebagaimana “alam ini merupakan dalil yang menunjukkan adanya Tuhan.” Menurut mereka orang akan sampai pada kesimpulan
58
Nasrun Rusdi, Konsep Ijtihad al-Syaukani Relevansinya bagi Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Logos, 1990, hlm.19-22.
81
demikian bila ia dapat menggunakan pikiran yang benar dalam melihat kondisi dan sifat alam dengan benar. Sementara sumber hukum biasa dipakai dalam hukum umum dalam pengertian segala yang menimbulkan aturan-aturan yang apabila dilanggar mengakibatkan sangsi yang tegas. Sumber (mashdar) jamaknya mashadir mengandung pengertian asal atau permulaan sesuatu, sumber tempat munculnya sesuatu, sumber air, mata air. Wacana tersebut kemudian dipakai dalam istilah ushul fiqh, sehingga menjadi mashdar al-Hukm (sumber hukum) atau jamaknya mashdir al-hukm (sumber-sumber hukum)59. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalil, merupakan penunjuk atau alasan untuk melihat atau mengetahui sesuatu, sementara sumber merupakan asal sesuatu, yang merupakan tempat munculnya hukum. Jika kemudian ditempatkan dalam lapangan hukum, maka mashdar (sumber) tersebut adalah hanya Al-Qur’an dan sunnah pengertian demikian didukung oleh adanya kesepakatan pendapat para ulama bahwa Allah adalah sumber Syar’i (pencipta /penentu syari’at) atau hakim (pencipta/penentu hukum) satu-satunya. Untuk itu mereka membuat kaidah (rumusan) La hukma illa li Allah (tidak ada hukum melainkan bagi Allah). Jadi sesungguhnya, segenap hukum itu berasal dari Allah, artinya yang menjadi rujukan segenap dalil hukum ialah al-Qur'an, sementara Sunnah Rasulullah hanya berfungsi penjelas dan pemberi keterangan atas al-Qur'an.
59
Ibid.,hlm.22-23.
82
Dari kajian di atas terlihat dengan jelas bahwa dalil adalah alasan yang menyebabkan timbulnya hukum yang menetapkan. Berdasarkan pengertian di atas, suatu dalil tidak dapat dikatakan sumber bila memerlukan dalil lain untuk dijadikan sebagai hujjah, karena yang dikatakan sumber hukum bersifat mandiri. Dengan demikian yang dikatakan sebagai sumber hukum, ialah asal yang darinya keluar hukum. Sebagaimana yang telah disepakati para ulama bahwa sumber hukum adalah Al-Qur'an, al-Hadist, ijma, qiyas. Keempat sumber hukum tersebut diberlakukan secara berurutan dari yang pertama sampai yang terakhir. Memang telah dijanjikan oleh Allah bahwa semua bentuk perbuatan manusia telah diatur dalam al-Qur’an yang didukung oleh hadits sebagai bayannya. Namun tidak semua masalah tersebut padat termuat dalam setiap kejadiankejadian saat sekarang ini yang memang permasalahannya menjadi sangat komplek dan membutuhkan ijtihad yang tidak bisa dilakukan oleh setiap orang untuk menentukan justifikasi terhadap suatu hukum. Dengan demikian yang menjadi sumber hukum dalam Islam ialah AlQuran dan al-Sunah yang sekaligus pula sebagai dalil hukum. Sementara ijma’, qiyas, istihsan, istihsab, ‘urf dan lain-lainnya paling tinggi disebut sebagai sumber sekunder hukum (mashadir al-tabi’iyyah li al-hukm), oleh karena hanya bersifat sekunder tidak boleh bertentangan dengan sumber hukum primer. Para ahli ushul fiqh tidak menyebut kelompok dalil-dalil hukum (sumber sekunder) sebagai metode penetapan/penggalian hukum (thuruq istimbat al-ahkam).
83
Seperti yang telah penulis sebutkan Yusuf Qardhawi merupakan sosok ulama yang dapat dikategorikan sebagai ulama yang mendukung pendapat yang menyatakan bahwa sumber fiqih Islam ialah al-Qur'an, hadist, dan ijma. Ini merupakan sumber hukum yang primer dan bersifat mengikat. Para ulama sunni sepakat bahwa tiga dasar tersebut merupakan fondasi hukum Islam yang tidak dapat di tinggalkan, sedangkan dalam masalah-masalah yang belum ada keputusannya dalam al-Qur'an, hadist dan ijma. Dalam menghadapi masalah yang belum ada keputusan hukumnya dalam al-Qur’an, hadits dan ijma’, ataupun masalah-masalah yang belum diberikan fatwa hukumnya oleh pada ulama terdahulu, maka tanpa ragu beliau melakukan ijtihad baru secara kolektif dengan menggunakan metode analogi deduktif.60 Metode deduktif ini merupakan cara berfikir dengan menarik suatu kesimpulan di mulai dari pernyataan umum menuju pernyataan-pernyataan khusus dengan menggunakan penalaran atau rasio (berfikir rasional).61 Metode ini dalam istilah ahli ushul fiqih disebut istinbath qiyasi. Istinbath qiyas yaitu menarik sebuah illat (sebab terjadinya) hukum terhadap masalah-masalah yang belum ada nashnya dalam al-Qur’an dan hadits, terkecuali illat tersebut dipersamakan dengan illat masalah yang dalam al-
60
Nouruzzaman Shiddiqy, Jeram-jeram Peradaban Muslim, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996, hlm. 228 61 Nana Sudjana, Tuntutan Penyusunan Karya Ilmiah, Bandung : Sinar Baru, 1999, hlm. 5-6
84
Qur’an dan hadits sudah ada nashnya. Dengan menarik persamaan illat ini dicapaikan maksud untuk mempersamakan hukum masalah tersebut.62 Yusuf Qardhawi berbicara tentang perkawinan misyar lebih diposisikan dengan keadaan zaman dan geografis suatu tempat. Dan apabila suatu permasalahan atau suatu kejadian Yusuf Qardhawi berpendapat bahwa pertama kali harus dicari hukumnya di dalam al-Qur’an, khususnya mengenai hukum perkawinan misyar, yang secara eksplisit tidak terdapat dalam al-Qur’an. Berdasarkan pendapat serta argumentasi Yusuf Qardhawi dapat diketahui bahwa yang menjadi illat adanya kawin misyar yaitu kerelaan istri untuk melepaskan sebagian hak perkawinannya yang berupa nafkah dari suaminya. Kemudian dalam menetapkan hukum tersebut ia menggunakan metode qiyas dengan illat nash al-Qur'an dan hadits nabi dengan tidak mengeyampingkan segi kemaslahatan (mashalih mursalah). Perkawinan misyar merupakan fenomena baru dalam perkawinan, sehingga diperlukan ijtihad yang baru pula. Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa menurut Yusuf Qardhawi kawin misyar dibolehkan dengan syarat utamanya adanya kerelaan dari pihak istri untuk melepaskan sebagian haknya dari pihak suami.63 Adapun yang menjadi landasan Yusuf Qardhawi yaitu surat an-Nisa ayat 128 :
62
Abdul Wahab Khalaf, “Ilm Ushul al Fiqh”, Terj. Masdar Helmy, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung : Gema Risalah Press, 1996, hlm. 92-93 63 Dari penelurusan literatur kitab fiqh klasik tidak ditemukan pembahasan mengenai kawin misyar ini. Para imam mazhab misalnya, mengenai pengurangan hak istri terlihat pada masalah nusyuznya istri, mereka sepakat bahwa istri yang melakukan nusyuz tidak berhak atas nikah. Lihat Abd ar-Rahman al-Jaziri, op.cit., hlm. 402
85
ﺎﻬﻤ ﻨﻴﺑ ﺎﺼِﻠﺤ ﻳ ﺎ ﹶﺃ ﹾﻥﻴ ِﻬﻤﻋﹶﻠ ﺡ ﺎﺟﻨ ﺎ ﹶﻓﻠﹶﺎﺍﺿﻋﺮ ﻭ ِﺇ ﺍ ﹶﺃﻮﺯﻧﺸ ﺎﻌِﻠﻬ ﺑ ﻦ ﺖ ِﻣ ﺎﹶﻓﺮﹶﺃﹲﺓ ﺧ ﻣ ﻭِﺇ ِﻥ ﺍ ﻪ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ ﺘﻘﹸﻮﺍ ﹶﻓِﺈﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﺗﻭ ﻮﺍﺴﻨ ِﺤ ﻭِﺇ ﹾﻥ ﺗ ﺢ ﺸ ﺍﻟﻧﻔﹸﺲﺕ ﺍﹾﻟﹶﺄ ِ ﺮ ﻀ ِ ﺣ ﻭﺃﹸ ﺮ ﻴﺧ ﺢ ﺼ ﹾﻠ ﺍﻟﺎ ﻭﺻ ﹾﻠﺤ (128 : ﲑﺍ )ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ ﺧِﺒ ﻤﻠﹸﻮ ﹶﻥ ﻌ ﺗ ﺎِﺑﻤ Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir, Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan". (Q.S an-Nisa : 128) 64 Dalam tafsir al-Maraghy dijelaskan bahwa ﺻْﻠﺤًﺎ ُ ﺼِﻠﺤَﺎ َﺑ ْﻴَﻨ ُﻬﻤَﺎ ْ ن ُﻳ ْ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻬﻤَﺎ َأ َ ح َ ﺟﻨَﺎ ُ َﻓَﻠﺎ ditafsirkan maka dibolehkan bagi mereka untuk mengadakan perdamaian, seperti istri memberikan keringanan kepada suaminya untuk tidak memenuhi sebagian haknya dalam hal nafkah, atau bermalam dengannya atau seluruh haknya dalam kedua hal tersebut atau salah satunya, agar ia tetap berada didalam perlindungannya secara terhormat. Atau memberikan keringanan untuk tidak memenuhi sebagian mahar dan mut'ah (pemberian jaminan nafkah)
thalaq,
atau
tidak
memenuhi
seluruhnya,
agar
suami
menceraikannya.65 Sebagaimana firman Allah Ta'ala :
ﺕ ِﺑ ِﻪ ﺪ ﺘﺎ ﺍ ﹾﻓﺎ ﻓِﻴﻤﻴ ِﻬﻤﻋﹶﻠ ﺡ ﺎﺟﻨ ﹶﻓﻠﹶﺎ "… Maka tidak ada dosa atau keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya (QS. Al-Baqarah : 229)66 Hal itu halal, jika istrinya meridhainya atas dasar keyakinan istri, bahwa yang demikian itu akan mendatangkan kebaikan baginya, tanpa merasa dianiaya dan dihinakan. 64
Depag RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, op.cit., hlm. 143 Ahmad Musththa al-Maraghy, Tafsir al-Maraghy, Terj. Bahrun Abubakar, Semarang : Toha Putra, 1986, hlm. 285 66 Depag RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, op.cit., hlm. 55 65
86
Kemudian ﺧ ْﻴ ٌﺮ َ ﺢ ُ ﺼ ْﻠ وَاﻝ ﱡberarti berdamai itu lebih baik daripada bercerai, karena ikatan suami istri merupakan ikatan yang paling agung dan paling berhak untuk dipelihara, dan janji setianya merupakan janji yang paling kuat. Meskipun demikian, perselisihan diantara suami istri dan implikasinya merupakan nusyuz, ketidakacuhan dan pergaulan yang buruk antara mereka, termasuk perkara alami yang tidak mungkin dapat dihindarkan dari manusia. Cara yang paling indah yang digariskan oleh Islam untuk menghindarkan perselisihan itu ialah ketetapan tentang persamaan antara pasangan suami istri dalam segala hal, kecuali dalam memimpin keluarga, karena suami lebih kuat daripada istri dalam hal badan maupun akal, disamping itu lebih mampu mencari nafkah, dan ia berkewajiban memberikan nafkah itu kepada istrinya.67 Sebagaimana firman Allah :
ﺟ ﹲﺔ ﺭ ﺩ ﻦ ﻴ ِﻬﻋﹶﻠ ﺎ ِﻝﺮﺟ ﻭﻟِﻠ ﻑ ِ ﻭﻌﺮ ﻤ ﻦ ﺑِﺎﹾﻟ ﻴ ِﻬﻋﹶﻠ ﻦ ِﻣﹾﺜﻞﹸ ﺍﱠﻟﺬِﻱ ﻭﹶﻟﻬ "Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya" (QS. Al-Baqarah : 228).68
Dari penjelasan ayat di atas bila dikaitkan kawin misyar akan terlihat kesesuaiannya,
yakni
kebolehan
mengadakan
suatu
perjanjian
yang
mendatangkan kebaikan bagi mereka. Bila dikaitkan dengan pendapat Yusuf Qardhawi tentang kawin misyar, dapat dikatakan bahwa Yusuf Qardhawi mengambil istinbath hukum dengan jalan lafdzi.
67 68
Ahmad Musththa al-Maraghy, op.cit., hlm. 286 Depag RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, op.cit., hlm. 55
87
Dalam ushul fiqh dijelaskan bahwa dari nash-nash terbagi kedalam dua bagian, yaitu jalan maknawi dan lafdzi. Yang dimaksud jalan maknawi adalah istinbath dengan selain nash, seperti qiyas, istihsan, maslahah, syadz alDzar'iyah dan sebagainya. Sedangkan dengan jalan lafdzi adalah istinbath dengan berpegang pada petunjuk lafadz yang tersurat dalam teks / nash tersebut.69 Oleh karena itu menurut hemat penulis, secara metodologis bahwa dalalah nash atau fathwal al-khitab (qiyas aulawi) adalah merupakan metode rasional yang dapat dijadikan istidlal dan pengambilan hukum dari suatu nash, karena pengambilan makna dengan dalalah nash ini telah disepakati oleh ahli ushul kecuali ulama dzahiriyah saja. Sebab dalalah nash merupakan pengambilan makna yang dipahami dari jiwa nash dan rasionalnya. Karena hukum syara' itu adakalanya yang dapat dipahami secara langsung dari nash / teks dan ada juga yang melalui dari makna nash dan maksud yang terkandung didalamnya.70 Dengan demikian jika suatu nash itu ungkapannya menunjukkan pada hukum mengenai suatu kejadian karena suatu illat yang menjadi dasar hukumnya dan terdapat kejadian lain yang sama illat hukumnya atau lebih utama dengan kejadian pertama dan persamaan itu menuntut pemahaman secara bahasa tanpa memerlukan ijtihad yang mendalam, maka secara bahasa dapat dipahami bahwa nash yang dimaksud adalah mencakup dua kejadian tersebut. 69 70
Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, Beirut : Dar al-Fikr al-Arabi, t.th, hlm. 115. Ibid., hlm. 218
88
Dari sini menurut analisis penulis, bahwa metode istinbath Yusuf Qardhawi berdasarkan bahasa dapat dibenarkan dan cukup rasional, yaitu suami istri boleh mengadakan perjanjian yang memberikan keringanan dalam hal kewajiban nafkah terhadap istri demi kebaikan mereka. Dengan demikian dari segi metodologis menurut penulis metode Yusuf Qardhawi dapat diterima. Kemudian As-Sunnah ini digunakan Yusuf Qardhawi dalam masalah keringanan kewajiban suami tidak berlaku dalam hubungan biologis, yang tidak boleh disyaratkan dalam akad.71 Sabda nabi :
، ﻓﻤﺎﻛﺎﻥ ﻣﻦ ﺭﺑﺢ ﻓﻬﻮﻟﻚ ﺃﻭﺑﻴﲏ ﻭﺑﻴﻨﻚ، ﺇﺫﺍ ﻗﺎﻝ ﺑﻌﻪ ﺑﻜﺬﺍ: ﻭﻗﺎﻝ ﺍﺑﻦ ﺳﲑﻳﻦ ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺍﳌﺴﻠﻤﻮﻥ ﻋﻨﺪ ﺷﺮﻭﻃﻬﻢ. ﻓﻼ ﺑﺄﺱ ﺑﻪ ()ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺤﺎﺭﻱ "Dan berkata Ibu Sirrin : "Apabila seseorang mengatakan juallah barang itu sedemikian rupa, maka jika untung, keuntungan itu menjadi hakmu atau menjadi hak menjadi hak aku dan kamu (bersama) dan yang demikian itu diperbolehkan". Dan berkata Nabi SAW : "Orang muslim adalah yang memenuhi sebagai syarat mereka (yang dijanjikan)" (HR Bukhari)72 As-Sunnah lain yang digunakan yaitu tentang menyebutkan ketulusan melepas hak tersebut ke dalam teks / kalimat akad cukuplah hal ini dijadikan sebagai sesuatu yang dipahami oleh kedua belah pihak secara adat.
71
Yusuf Qardhawi, "Zawajul Misyar Haqiqatuhu wa Hukmuhu", terj. Adi Irfan Jauhari, Nikah Misyar (Nikah Lawatan), Fenomena Baru dalam Sejarah Perjodohan Manusia, op.cit., hlm. 27-32 72 Bukhari, Shahih Bukhari, Jus III, Beirut : Dar Kitab Ilmiah, 1992, hlm. 73
89
ﺇﻥ ﺃﺣﻖ: ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ: ﻗﺎﻝ، ﻋﻦ ﻋﻘﺒﺔ ﺑﻦ ﻋﺎﻣﺮ 73 ( ﻣﺎ ﺍﺳﺘﺤﻠﻠﺘﻢ ﺑﻪ ﺍﻟﻔﺮﻭﺝ )ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢ،ﺍﻟﺸﺮﻁ ﺃﻥ ﻳﻮﰱ ﺑﻪ "Dari U'bah Ibn 'Amir berkata : Rasulullah SAW bersabda : sesungguhnya syarat yang lebih berhak untuk kalian penuhi adalah sesuatu yang dengannya kemaluan menjadi halal bagi kalian" (HR Muslim) Kedua hadits di atas bila ditinjau dari ilmu hadits dapat dikategorikan sebagai bayan at-taqrir.74 Yusuf Qardhawi menukilkan kedua hadits tersebut untuk menjelaskan lebih lanjut tentang kebolehan pengurangan kewajiban memberikan nafkah bagi suami. Sedangkan mengenai segi rawi (sanad periwayatan), kedua hadits tersebut diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Sebagaimana diketahui bahwa Bukhari dan Muslim merupakan perawi hadits yang dapat dijadikan pedoman dan sandaran.75 Maka menurut penulis kedua hadits tersebut dapat diterima. Disamping menggunakan al-Qur'an dan hadits nabi, Yusuf Qardhawi dalam istinbathnya juga memakai pendekatan qiyas. Dalam hal ini Yusuf Qardhawi menqiyaskan kesepakatan kedua belah pihak dalam jual beli dengan ketulusan melepas hak dari pihak istri terhadap kewajiban suami yang dijadikan sebagai sesuatu yang dipahami oleh kedua belah pihak secara adat. Yusuf Qardhawi dalam hal ini memahami keumuman akad dalam jual beli, sedangkan jual beli termasuk dalam kategori muamalah. Begitu juga 73
Imam Muslim Ibn Hajaj al-Khusairi an-Naisaburi, Shahih Muslim, Beirut : Dar Kutub Ilmiyah, t.th., hlm. 46 74 Yang dimaksud dengan bayan at-taqrir ialah menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan dalam al-Qur'an, selain itu juga berfungsi memperkokoh isi kandungan alQur'an. Lihat Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, Jakarta : Gaya Media Pratama, 1996, hlm. 27 75 Lihat M. Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta : Bulan Bintang, 1977, hlm. 141.
90
dengan perkawinan dapat dikategorikan dalam perbuatan muamalah. Sebagaimana yang dikatakannya bahwa sebagian dalil-dalil agama berbentuk pernyataan umum, supaya lingkup pengertiannya mengenai orang-orang atau bagian-bagian yang banyak, hal ini merupakan seperangkat rahasia yang membuat Islam abadi dan cocok untuk setiap masa dan tempat.76 Menurut penulis, istinbath Yusuf Qardhawi yaitu mengqiyaskan masalah perkawinan dengan jual beli disebabkan ada persamaan illat hukum yaitu bila ada perjanjian yang rela untuk melepaskan haknya untuk mendapatkan nafkah. Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa dalam bermuamalah Islam memberi kelapangan atau kebebasan bagi kehendak pihak-pihak yang mengadakan akad, dan syarat-syarat yang tidak dibolehkan oleh syara', namun kebebasan ini tidak dapat berlaku sekehendaknnya. Hal ini juga ditegaskan dalam kaidah fiqhiyah :
ﺍﻟﺮﺽ ﺑﺎﻟﺸﺊ ﺭﺿﻰ ﲟﺎ ﻳﺘﻮﻟﺪﻣﻨﻪ
Rela dengan sesuatu adalah rela dengan akibat yang terjadi daripadanya.77 Dengan demikian, dapat kita lihat adanya persamaan antara kerelaan melepaskan sebagian hak nafkah dengan syarat akad dalam jual beli dalam hal illat hukumnya, yaitu berupa unsur pemaksaan dan kemadlaratan. Sementara kedua unsur tersebut sesuai dengan kaidah ushul fiqh harus diperhatikan dan dihilangkan dalam rangka mewujudkan kemashlahatan. Dari sini penulis menyimpulkan bahwa pendapat Yusuf Qardhawi yang menggunakan metode
76 77
Yusuf Qardhawi, Fiqh az-Zakat, Juz I, Kairo : Muktabah Wahabah, t.th, hlm. 20 Muklis Usman, op.cit, hlm. 159
91
pengqiyasan antara perkawinan dengan jual beli didalamnya sama-sama harus ada unsur kerelaan adalah bisa diterima secara metodologis. Selain metode seperti yang telah diuraikan di atas, Yusuf Qardhawi juga menggunakan metode mashalih mursalah, dimana ia membolehkan kawin misyar (keringanan kewajiban suami memberikan nafkah kepada istri), karena tujuannya untuk menghindarkan dari perzinaan dan mensucikan wanita. Bila memperhatikan hikmah dan tujuan ditetapkannya perundang-undangan hukum syara' (maqasyid al-Tasyri'), bahwa pada dasarnya maksud dan disyariatkan hukum syara' tidak lain kecuali untuk merealisir kemashlahatan umat manusia baik di dunia maupun di akhirat, dan menolak segala bentuk kemafsadatan / kemadharatan yang membahayakan kehidupan manusia itu sendiri serta mewujudkan keadilan sosial di antara umat manusia.78 Sebagaimana dalam kaidah fiqhiyah ditegaskan : 79
ﺩﺭﺀ ﺍﳌﻔﺎﺳﺪ ﻣﻘﺪﻡ ﻋﻠﻰ ﺟﻠﺐ ﺍﳌﺼﺎﱀ
"Menolak kerusakan itu didahulukan daripada menarik kebaikan " Yusuf Qardhawi yang membolehkan kawin misyar sebagaimana dengan latar belakang munculnya kaum awanis, merupakan salah satu jalan untuk menghilangkan perzinaan dan memuliakan wanita di tengah kehidupan masyarakat.
78 79
Abdul Wahhab Khallaf, op.cit., hlm. 125 Moh. Adib Bisri, op.cit, hlm. 24