BAB III PEMIKIRAN DR. YUSUF QARDHAWI TENTANG NISHAB ZAKAT MAL
I.
Sekilas Tentang Biografi Dr. Yusuf Qardhawi Muhammad Yusuf Qardhawi lahir di desa Safat al-Turab, Mesir bagian barat, pada tanggal 9 September 1926 M. beliau adalah seorang ulama kontemporer yang ahli dalam bidang hukum Islam, dan mantan Dekan Fakultas Syar'i’ah Universitas Qatar.1 Yusuf Qardhawi tumbuh berkembang dalam lingkungan keluarga yang taat beragama. Ketika umurnya menginjak lima tahun, ia mulai menghafal AlQur'an, dan telah menghafal keseluruhan ayat Al-Qur'an saat usianya belum genap sepuluh tahun. Lantaran suaranya yang merdu dan cara membacanya yang fasih, Yusuf yang masih belum dewasa itu sudah sering disuruh menjadi imam, terutama untuk shalat-shalat Jahriyyah (yang menjaharkan / mengeraskan bacaannya, seperti shalat maghrib, isya’ dan subuh). Seusai menamatkan pendidikannya di Ma’had Thantha dan Ma’had Sanawi,2 Yusuf melanjutkan studinya ke Fakultas Ushuluddin, Universitas alAzhar Kairo. Kecerdasannya mulai tampak jelas ketika ia berhasil menyelesaikan kuliahnya tersebut dengan predikat lulus terbaik pada tahun
1
Depag. RI, Ensiklopedi Hukum Islam,Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996,
hlm.1448
2
Dr. Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, Terj. Hartono, Jakarta: Gema Insani Press, 1997, hlm. 154
42
1952/1953.3 Dari sini Yusuf melanjutkan pendidikannya ke jurusan khusus bahasa Arab di al-Azhar selama dua tahun. Tahun 1957 Yusuf melanjutkan studinya di Lembaga Tinggi Riset dan Penelitian Masalah-Masalah Islam selama tiga tahun dan berhasil menggondol Diploma dibidang sastra dan bahasa. Kemudian ia melanjutkan studi ke Pascasarjana Jurusan Tafsir Hadits.4Qardhawi meraih gelar Doktor dengan menulis disertasi berjudul Fiqh az- Zakah (Fikih Zakat) yang selesai dalam dua tahun. Di era 50-60-an, tepatnya pada tahun 1956, Yusuf Qardhawi pernah di penjara 2 bulan di penjara militer kelas satu di Thamtha bersama temantemannya pengikut Ikhwan al-Muslimin. Ia di penjara gara-gara menulis sebuah artikel kontroversial di majalah “Mimbar Islam”. 5 Saat dalam penjara Yusuf
Qardhawi
menunjukkan
kecerdasannya
dengan
menciptakan
Malhamatul Ibtilaa salah satu puisinya yang terhimpun dalam antologinya yang berjudul Nafahat wa Lafahat. Ketika itu tak ada pena dan secarik kertas pun disampingnya, hanya kegeniusannya yang sanggup merekam syair yang memuat lebih dari tiga ratus bait .6 Sebagai seorang ulama kontemporer, Qardhawi sangat berjasa dalam usaha mencerdaskan bangsanya melalui berbagai aktivitas di bidang pendidikannya, baik formal maupun nonformal. Dalam bidang dakwah, ia
3
Ibid. Ibid. 5 Dr. Yusuf Qardhawi, Ijtihad Kontemporer: Kode Etik dan Berbagai Penyimpangan, Terj. Ahmad Satori, Surabaya: Risalah Gusti, 1995, hlm. 6 6 Dr. Yusuf Qardhawi, Fiqh Tajdid dan Shalawat Islamiyah, Terj. Didin Hafifuddin, Bandung: Mizan, 1999, hlm.viii 4
43
juga aktif menyampaikan pesan-pesan keagamaan melalui program khusus di radio dan televisi Qatar, antara lain dalam acara mingguan yang diisi dengan tanya jawab tentang keagamaan.7 Yusuf Qardhawi juga aktif berkunjung ke berbagai negara untuk melakukan misi keagamaannya. Dan pada tahun 1989 Qardhawi datang ke Indonesia dengan tugas yang sama. Beliau aktif mengikuti kegiatan ilmiah seperti seminar-seminar tentang hukum Islam, muktamar dan lain-lainnya. Seperti seminar Hukum Islam di Libya, Muktamar I Tarikh Islam di Baerut, Muktamar Internasional I mengenai Ekonomi Islam di Makkah, dan Muktamar Hukum Islam di Riyadh.8 Dr. Yusuf Qardhawi, meskipun bisa dikatakan sebagai seorang tokoh pemikir kontemporer dengan segala analisis-kritisnya terhadap perkembangan hukum Islam, juga sangat menghormati ulama-ulama klasik beserta pendapat mereka, seperti sosok Syeikh Hasan al-Banna. Al Banna adalah seorang tokoh yang menjaga dan tetap konsisten terhadap kemurnian ajaran Islam. Bagi Qardhawi, al-Banna adalah seorang ulama yang tetap konsisten dan tidak terpengaruh oleh faham nasionalisme dan sekularisme yang di impor dari barat atau yang di bawa oleh kaum penjajah yang datang ke Mesir dan dunia Islam. Namun demikian, Qardhawi tidak bertaklid begitu saja terhadap pendapat mereka. Hal ini dapat dibuktikan dengan beberapa tulisannya tentang zakat profesi, yang tidak ditemui dalam kitab-kitab klasik.
7 8
Depag RI, Ensiklopedi Hukum Islam, op.cit., hlm. 1449. Ibid.
44
Sebagai seorang ilmuwan dan da’i, Qardhawi juga aktif menulis karya ilmiahnya yang bernuansakan ajaran agama Islam. Dia juga aktif melakukan penelitian tentang Islam di berbagai penjuru dunia Islam. Di antara sebagian kecil karya-karyanya yang masyhur adalah Fiqh al-Zakah (berbagai masalah zakat dan hukum-hukumnya), Fatawa Mu’ashirah (berisi tanya jawab tentang berbagai persoalan Islam), al-Halal wa al-Haram fi al-Islam (mengenai halal dan haram yang ada dalam Islam), Musykilat al-Fakr wa Kaifa ‘Alajah alIslam (membahas perbedaan faham berbagai golongan dalam Islam dan cara yang ditempuh Islam untuk menyelesaikannya),9 al-Ijtihad Fi al-Syar'i’ah alIslamiyyah (berbicara tentang ijtihad dalam Islam), dan masih banyak lagi karya-karyanya yang sangat memberikan kontribusi kepada perkembangan hukum Islam. Dalam
masalah
ijtihad,
Qardhawi
merupakan
seorang
ulama
kontemporer yang menyuarakan bahwa untuk menjadi seorang mujtahid berwawasan luas dan berpikiran obyektif, maka yang diperlukan adalah banyak membaca dan menelaah buku-buku yang juga ditulis dari orang non Islam dan orang-orang yang menjadi lawan Islam dengan segala kritiknya. Menurutnya seorang yang bergelut dalam pemikiran hukum Islam maka tidak cukup hanya dengan membaca karya-karya ulama tempo dulu. Menanggapi adanya kelompok yang menentang pembaharuan, termasuk pembaharuan Hukum Islam, Qardhawi berkomentar bahwa mereka adalah orang yang tidak memahami jiwa dan cita-cita Islam.
9
ibid
45
II.
Istinbath Hukum Yang Dipergunakan Dr. Yusuf Qardhawi Metodologi penelitian Dr. Yusuf Qardhawi dalam berijtihad ketika hendak memutuskan suatu hukum, dalam hal ini khususnya mengenai nishab zakat mal, berdasarkan pengamatan penulis langkah pertama yang dilakukannya adalah mengumpulkan data yang diperlukan dari sumber yang berkaitan dengan obyek penelitian. Lebih jelasnya adalah mengumpulkan ayat-ayat, hadis-hadis dan pendapat para ulama dan beserta rujukannya baik ulama lama maupun baru, baik yang berupa nash yang secara eksplisit maupun hasil-hasil ijtihad. Terutama al-Qur'an dan as-Sunah yag dijadikannya landasan utama dalam menerangkan hakekat, hukum, tujuan dan kedudukan zakat dalam Islam. Sumber rujukan dalam rangka ia berijtihad dalam hal ini sangat banyak sekali, yaitu meliputi kitab-kitab tafsir dari berbagai zaman yang meliputi tafsir dengan hadits dan tafsir dengan logika, khususnya tafsir ayatayat hukum, kitab-kitab hadis, buku-buku fiqih madzhab dan perbandingan buku-buku fiqih keuangan dan administrasi. Dr. Yusuf Qardhawi berbicara tentang nishab zakat mal tidak melupakan dalil asli baik nash al-Qur'an maupun hadis sebagai rujukan utama. Namun, dari sumber utama tersebut lebih diposisikan dengan keadaan zaman dan geografis suatu tempat. Sehingga penelitiannya lebih kontemporer dan lebih bisa diterima baik dalam tingkat wacana maupun aplikasinya. Seperti penelitiannya tentang harga satu kambing yang diperkirakan sama dengan lima dirham. Dia meneliti kembali berapa satu dirham tersebut dengan mata
46
uang kita sekarang. Dengan begitu ketika seseorang ingin melaksanakan zakat tidak kebingungan dalam penghitungan dan pembayaran zakatnya. Dr. Yusuf Qardhawi sepakat dengan pendapat jumhur ulama, bahwa dalil-dalil syar’iyah yang dijadikan dasar pada hukum-hukum amaliyah berpangkal pada empat pokok, yaitu al-Qur'an, as-Sunah, ijma dan qiyas. Ia sepakat pula bahwa sistem penggunaan ke empat dalil tersebut adalah menurut susunan sebagai berikut: 1. Al-Qur'an Apabila ada suatu permasalahan atau suatu kejadian, Dr. Yusuf Qardhawi berpendapat bahwa pertama kali harus dicari hukumnya didalam al-Qur'an, khususnya mengenai hukum nishab zakat, yang secara explisit tidak terdapat dalam al-Qur'an Yusuf terlebih dulu mencari landasan hukumnya dari keumuman ayat al-Qur'an yang berbunyi sebagai berikut:
Artinya : “Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang apa yang akan mereka berikan. Katakanlah ‘sesuatu yang lebih”10 Dalam menafsirkan ayat di atas Yusuf berpegang dengan tafsir Ibnu Katsir yang megatakan bahwa “sesuatu yang kebih” adalah sesuatu ang lebih dari kebutuhan keluarga. Dengan demikian menurutnya al-Afwu dalam ayat di atas adalah sesuatu yang “lebih”.11 Hal itu berarti bahwa Allah Swt. yang Maha Bijaksana menentukan obyek zakat adalah sesuatu
10 11
Mujamma’ al-Malik Fahd, Al-Qur'an dan Terjemahannya, Medinah: As-Syarif, tt.,hlm.53 Dr. Yusuf Qardhawi, Fiqh al-Zakah, Juz I, Baerut: Muasasah ar-Risalah, tt. hlm.153.
47
yang melebihi keperluan biasa, keperluan orang tersebut, keluarga dan keperluan orang yang berada dibawah tanggungannya. Ditetapkannya lima wasaq bijian dan kurma itu sesuai dengan kebutuhan minimal rumah tangga selama setahun sementara keluarga di sini adalah terdiri dari seorang suami, seorang istri, seorang anak dan seorang pembantu. Tiap harinya mereka memerlukan minimal satu gantang atau satu kati beras, dan diperkirakan besar lima wasaq tersebut akan cukup dalam setahun.begitu halnya dengan uang perak 200 dirham juga akan diperkirakan cukup selama setahun.12 Dari uraian di atas terlihat bahwa Dr. Yusuf Qardhawi mengenai dalil yang menerangkan masalah ketentuan nishab zakat didasarkan pada keumuman ayat (surat al Baqoroh 219) . Dia berpegang pada prinsip dalil (nash) berlaku umum selama tidak ada petunjuk bahwa dalil itu berlaku khusus. 2. Al-Sunah Dalam menjawab suatu permasalahan hukum dia berpegang pada pendapat jumhur (mayoritas ulama) bahwa setelah mencari hukum suatu permasalahan tersebut dalam al-Qur'an, dan bila tidak ada maka harus melihat dalam as-Sunah. Ia juga sependapat bahwa adakalanya as-Sunah berfungsi menetapkan atau mengukuhkan hukum yang telah terdapat dalam al-Qur'an, merinci, menafsiri, hal-hal yang telah ada dalam alQur'an secara global, atau membatasi hal-hal yang terdapat dari al-Qur'an
12
ibid, hlm.150.
48
secara umum. Dan adakalanya as-Sunah itu membentuk dan menetapkan hukum yang tidak terdapat dalam al-Qur'an.13 Dalam perihal nishab zakat mal, secara explisit telah terdapat dalam hadis Nabi Saw. dan telah diperinci besar dan kadar dari masingmasing harta wajib zakat. Seperti yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitabnya Shahih Muslim sebagai berikut:
Artinya : “Tidak ada zakat pada tumbuh-tumbuhan yang kurang dari lima wasaq, dan tidak ada zakat pada unta yang kurang dari lima, dan tidak ada zakat dari perak yang kurang dari lima awqiyah (200 dirham). (HR. Muslim)14 Hadis di atas adalah merupakan bayan dari ayat-ayat yang menerangkan tentang perintah zakat. Sementara ketentuan kekayaan yang terkena zakat harus sampai senishab telah disepakati oleh para ulama, kecuali hasil pertanian, buah-buahan dan logam mulia. Abu Hanifah berpendapat bahwa banyak maupun sedikit hasil yang tumbuh dari tanah harus dikelurakan zakatnya sepuluh persen. Demikian juga pendapat Ibnu Abbas, Umar b. al-Khattab bin Abdul Aziz dan lain-lain, bahwa dalam sepuluh ikat sayur yang tumbuh dari tanah harus dikeluarkan sedekahnya satu ikat. Namun, jumhur ulama sepakat bahwa nishablah yang menjadi ketentuan diwajibkannya zakat dengan dasar hadis yang menerangkan
13 14
Dr. Yusuf Qardhawi, Ijtihad Kontemporer, op.cit., hlm.22. Imam Muslim, Shahih Mulim, Juz I,Bandung:Syirkatul Ma’arif, tt.hlm.390.
49
bahwa tidak ada zakat bila kurang dari lima wasaq.15 Ketentuan tersebut dapat dianalogikan dengan seluruh kekayaan yang lain, seperti uang, ternak, barang dagangan dan logam mulia. Dengan demikian jelaslah bahwa zakat hanya diperuntukan dan dibebankan pada orang yang telah mampu mencukupi kebutuhan minimalnya dalam setahun. Dengan kata lain orang yang telah mampu memenuhi kebutuhan minimalnya maka orang tersebut telah bisa dianggap sebagai orang kaya dan berkewajiban untuk ikut berpartisipasi dalam usaha kesejahteraan Islam dan kaum mukmin lainnya sebagai saudara seagama. Sesuai dengan sabda Nabi Saw.:
Artinya : “Zakat hanya dibebankan di atas pundak orang kaya”.16 3. Ijma’ Menurut Dr. Yusuf Qardhawi konsensus ulama tentang suatu agama, terutama pada abad-abad terdahulu membuktikan dengan jelas bahwa mereka sudah mendasari
konsensus mereka itu pada pertimbangan
keagamaan yang benar yaitu ayat atau hadis, kemanfaatan, atau keperluan yang sangat mendesak. Oleh karena itu dia sangat menghormati konsensus para ulama tersebut, supaya konsensus dalam hukum agama tetap dapat menjadi alat penjaga keseimbangan dan distorsi intelektual.17
15 16
Dr. Yusuf Qardhawi, Fiqh al-Zakah, op.cit.,hlm.151. Musthofa M. Imaroh,Jawahiru al- Bukhori, Semarang: Usaha Keluarga, 1381H.,
hlm.109. 17 Dr. Yusuf Qardhawi, Ijtihad Kontemporer, op.cit., hlm.23.
50
Begitu halnya mengenai nishab zakat mal, Dr. Yusuf Qardhawi disamping mengutip dalil-dalil nash secara explisit dari hadis Nabi Saw. juga mengambil dari berbagai konsensus para ulama terdahulu. Seperti sebuah konsensus yang mengatakan bahwa besar zakat emas sama dengan besar zakat perak yaitu empat per sepuluh, atau seperti kesepakatan mereka bahwa satu mistqal tahil itu sama dengan satu tiga per tujuh dirham. Dr. Yusuf Qardhawi tdak terpaku pada satu madzhab, oleh karena itu dia selalu mengambil pendapat dari berbagai madzhab untuk mengambil atau dalam rangka dia berhujjah dan menemukan suatu hukum baru ketika tidak ditemukan secara pasti dalam nash. Karena menurutnya banyak terjadi pengklaiman bahwa suatu pendapat ulama atau konsensus tidak ada yang menentang, namun dikemudian hari ternyata ada yang menentang pendapat tersebut. Seperti pendapat Imam Syafi’i yang mengatkan bahwa zakat sapi dalam tiga puluh ekor adalah seekor anaknya, dan dalam empat puluh ekor adalah seekor yang telah cukup umurnya. Pendapat Syafi’i tersebut kelihatannya tidak ada yang menentangnya, namun menurut Qardhawi ada yang menentangnya yakni, Jabir bin Abdullah, Said bin Musaiyib, Qatadah, petugas-petugas zakat pada masa Abdullah bin Zubir di Madinah, dan lain-lain.18 Namun, ketika ada konsensus yang sudah pasti benar dan tidak ada yang menyanggahnya sekalipun tidak terhindar dari polemik
tentang
konsensus
itu
18
terjadi,
Dr. Yusuf Qardhawi, Fiqh al-Zakah, op.cit., Jilid I, hlm.25.
51
maka
Qardhawi
tidak
mengesampingkan begitu saja terjadi pada hukum tertentu, karena menurut Qardhawi masih ada peluang untuk pintu berijtihad. Sebaliknya, bila ada konsensus yang tidak benar kita dapat membantah dengan bukti-bukti dan argumentasi yang kita kemukakan dan membuktikannya bahwa hal itu tidak suatu konsensus.19 4. Qiyas Dr. Yusuf Qardhawi sependapat dengan kebanyakan ulama baik klasik maupun kontemporer bahwasannya dalam usaha penggalian hukum yang secara eksplisit tidak terdapat dalam nash maka langkah selanjutnya untuk mengkaji hukum tersebut kita menggunakan qiyas. Menurutnya qiyas adalah memberikan hukum yang sama kepada suatu perkara hukum oleh karena sebab (illat)yang sama, dan hal itu merupakan suatu hak yang dikaruniakan Allah Swt. kepada akal dan fitrah manusia.20 Qiyas merupakan alat ukur untuk mencapai keadilan dan menjadi alat untuk mengetahui mana yang adil dan mana yang tidak adil.qiyas (analogi) adalah sebuah sarana yang digunakan untuk menyatukan dua yang sama dan memisahkan dua yang beda, maksudnya dengan mengetahui illat suatu hukum maka kita akan mengetahui persamaan dan perbedaan ketika kita bandingkan dengan sesuatu yang tidak ada nash tekstual. Namun pada prakteknya qiyas yang sebagai salah satu dalil
19 20
Ibid. Ibid, hlm. 28.
52
pokok bagi madzhab telah terjadi perselisihan dan perdebatan panjang khususnya golongan Dzahiriyah dan lain-lainnya.21 Dalam kitabnya Fiqh al-Zakah penggunaan qiyas dapat dijumpai pada kasus zakat profesi yang diqiyaskan dengan zakat mal sebagai zakat pendapatan. Dr. Yusuf Qardhawi mengqiyaskan nishab zakat sutera dengan nishab zakat hasil bumi yakni 10 %.22 5. Mengacu Kepada Maqosid al-Syar'i’ah Para ulama dari golongan teoritis menegaskan bahwa hukum-hukum agama diundangkan semata-mata untuk kepentingan kebutuhan umat manusia di dunia dan akherat baik yang bersifat primer, sekunder dan tertier. Konsep ini diakui oleh para ulama dan oleh karena itu mereka menformulasikan suatu kaidah yang cukup populer, “Di mana ada kepentingan umum, maka di sana ada hukum Allah Swt.”23 Sebagaimana halnya yang telah diterangkan oleh Dr. Yusuf Qardhawi bahwa zakat selain mempunyai nilai ibadah seperti halnya shalat sebagai rukum Islam, namun zakat juga mempunyai muatan norma dan ajaran muamalat. Karena pada dasarnya zakat bukanlah ibadat murni, karena selain berhubungan dengan Allah Swt. juga berhubungan dengan manusia dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga lebih tepat dikatakan bahwa zakat termasuk pada ruang lingkup sosio-ekonomi.
21
Dr. Yusuf Qardhawi, Al-Ijtihad fi al-Syar'i’ah al-Islamiyah, Terj. Drs. Ahnad Syatori, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1987, hlm. 90. 22 Dr. Yusuf Qardhawi,Fiqh al-Zakah, op.cit., Jilid I, hlm. 29. 23 Yusdani, Peranan Kepentingan Umum Dalam Reaktualisasi Hukum, Yogyakarta:UII Press, 2000, hlm.67.
53
Salah satu tujuan dari pembentukan hukum dan perintah mengeluarkan zakat adalah untuk menciptakan keadilan dikalangan umat Islam. keadilan antara sikaya dan simiskin. Sementara keadilan ini sendiri tidak hanya terbatas pada tataran fungsi zakat itu sendiri , namun juga mencapai pada tataran praktek aplikasinya. Seperti keadilan pada yang mengeluarkan zakat, harta yang dizakatkan, besar zakatnya dan lain-lain. Seperti kadar nishab zakat mal antara satu dengan yang lain adalah sama nilainya. Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Dr. Yusuf Qardhawi tentang kadar nilai nishab zakat dalam kitabnya fiqh al-Zakah. Diketahui bahwa nilai 200 dirham adalah sama dengan 20 dinar, nishab kambing sama dengan jumlah nishab unta.24 Islam memiliki bentuk hubungan antara sang Khalik dengan makhluk-Nya, hubungan antara sesama makhluk, dengan alam semesta dan kehidupan. Semuanya itu dikembalikan kepada konsep menyeluruh yang terpadu. Dan itulah yang disebut dengan konsep tujuan syar’ah. Sementara memahami konsep tujuan syar'i’ah ini akan memudahkan setiap pembahas hukum Islam untuk memahami prinsip-prinsip dan kaidah, serta akan mempermudah mengambil kesimpulan dari masalah parsial dari masalah yang global. Dalam melangkah untuk berijtihad Dr. Yusuf Qardhawi mempunyai metode menarik untuk dikaji dan diterapkan, yakni metode ijtihad Intiqa’i dan ijtihad insya’i. Menurutnya di masa sekarang kebutuhan akan ijtihad
24
Dr. Yusuf Qardhawi, Fiqh al-Zakah, Jilid I, hlm. 150.
54
sangatlah dibutuhkan ketimbang masa dahulu, karena perubahan dan adanya kebutuhan yang terjadi dalam kehidupan dan perkembangan sosial yang amat pesat setelah adanya refolusi industri yang terjadi di dunia dewasa ini. Ijtihad intiqa’i maksudnya adalah ijtihad untuk menilik salah satu pendapat terkuat diantara pendapat yang ada dalam hasanah ilmu fiqih yang penuh dengan fatwa dan keputusan hukum,25 sementara yang dimaksud dengan ijtihad insya’i adalah mengambil konklusi hukum baru dalam suatu permasalahan, dimana permasalahan tersebut belum pernah dikemukakan oleh ulama terdahulu, baik masalah itu baru maupun lama. Dengan kata lain, ijtihad model ini bisa mencakup sebagian masalah klasik yakni dengan cara seorang mujtahid kontemporer memiliki pendapat baru yang belum pernah ada ulama sebelumnya mempunyai pendapat tersebut.26 Satu contoh dari hasil ijtihad insya’i ini adalah hendaknya zakat uang sekarang ini memiliki satu ukuran nisbah, dan tidak boleh dua macam seperti yang terdapat dengan nash. Lebih diutamakan nisbah ini diperkirakan dengan nilai nisbah emas dan bukan dengan perak. Pendapat yang demikian ini bukanlah berarti keluar dari nash dan ijma’.27
III. Pemikiran Dr. Yusuf Qardhawi Tentang Nishab Zakat Mal Dalam bukunya yang berjudul Fiqh al-Zakah, Dr. Yusuf Qardhawi mengupas secara komprehensip dan terperinci, mulai kewajiban zakat, harta-
25
Dr. Yusuf Qardhawi, Al-Ijtihad fi al-Syar'i’ah al-Islamiyah,op.cit., hlm. 150. Ibid, hlm.169. 27 Ibid, hlm. 170. 26
55
harta wajib zakat, serta siapa saja yang menerima zakat. Beliau juga menjelaskan dengan sangat lengkap tentang kadar dan nishab zakat khususnya zakat mal dengan dilengkapi nash dan dalil baik aqli maupun naqli. Dr. Yusuf Qardhawi adalah salah seorang tokoh kontemporer yang tidak fanatik terhadap satu madzhab. Hal itu terbukti dengan tulisantulisannya, selalu disertai dengan pendapat dari berbagai ulama yang dianggapnya benar. Khususnya dalam hal ini mengenai kadar dan nishab zakat mal. Pada umumnya Dr. Yusuf Qardhawi mengambil pendapat jumhur ulama dalam menetukan nishab zakat mal, seperti nishab zakat pada ternak. Menurutnya syarat pertama ternak wajib zakat adalah sampai nishab, yaitu mencapai kwantitas tertentu yang ditetapkan oleh hukum syara’. Oleh karena zakat dalam Islam hanya dibebankan kepada orang kaya. Sementara menurut ukuran syara’ dan masyarakat kala itu dengan memiliki lima unta maka sudah bisa dianggap kaya.28 Islam tidak mewajibkan zakat atas seberapa saja besar kekayaan yang berkembang sekalipun kecil sekali, tetapi memberi ketentuan sendiri yaitu sejumlah ketentuan yang dalam ilmu fiqh disebut dengan nishab. Hal itu menurut Dr. Yusuf Qardhawi untuk menjelaskan besar hikmah nishab zakat itu sendiri. Nishab merupakan batas minimal kekayaan seseorang untuk memenuhi kebutuhan minimalnya dalam setahun. Seperti lima wasaq
28
Dr. Yusuf Qardhawi, Fiqh al-Zakah, op.cit, hlm.169.
56
diperkirakan akan cukup untuk makan sekeluarga dalam waktu setahun, juga dengan 200 dirham atau 20 dinar (karena nilainya sama) akan cukup untuk kebutuhan minimal sekeluarga dalam setahun..29 Dr.
Yusuf
Qardhawi
telah
melakukan
beberapa
penelitian
(sebagaimana pendapat As-Syarkashi) tentang kadar nilai nishab antara harta wajib zakat satu sama lain. Seperti nilai nishab kambing (40 ekor) adalah sama dengan nishab perak (200 dirham). Karena kala itu harga satu ekor kambing adalah sekitar lima dirham. Juga dengan harga lima unta adalah sekitar 200 dirham.30 Tetapi perlu disebutkan disini bahwa mujtahid besar Ibnu Humam dalam al-Fath dan Zain bin Najim dalam al-Bahr mengkritik pendapat tersebut dengan mengemukakan hadis Shahih al-Bukhari bahwa orang yang harus mengeluarkan zakat unta tetapi ia tidak memiliki kambing sebagai zakatnya, maka ia menggantinya dengan 10 dirham sebagai ganti seekor kambing, dan ini jelas bertentangan dengan pendapat as-Syarkashi diatas. Berdasarkan hadis shahih tersebut jelas bahwa 40 kambing yang merupakan nishabnya sama dengan 400 dirham (10x40) pada masa Nabi Saw. dan hal itu berarti dua kali nishab uang logam.31 Kurangnya nilai nishab uang logam dengan nishab ternak (khususnya dalam hal ini kambing) adalah merupakan hal yang disengaja oleh si pembuat syar'i’. Hal itu dikarenakan orang yang memiliki uang secara kontan akan
29
Ibid, hlm.149-150. Ibid, hlm.268. 31 Ibid 30
57
lebih mampu memenuhi kebutuhannya ketimbang orang memiliki harta yang berupa kambing atau ternak lainnya. Uang merupakan alat tukar secara langsung tentu akan lebih mudah dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari ketimbang ternak. Dan juga uang adalah harta yang dapat disimpan untuk jangka waktu yang cukup lama sehingga bisa mencapai masa haul (satu tahun) yang ada kaitan dengan syarat berlalunya masa satu tahun. Dan disitulah ternyata letak keadilan diantara nilai-nilai nishab zakat yang menyentuh pada tingkat substansi kemudahan penggunaan harta oleh si pemiliknya. Islam menetukan jumlah zakat dengan harta dengan adil, dengan melindungi kerja keras kelompok kaya dan melindungi hak fakir miskin. Namun Islam juga tidak merugikan kelompok kaya juga tidak menelantarkan kaum miskin. Zakat merupakan petunjuk paling adil pada aspek waktu, kuantitas zakat, standar kuantitas harta yang harus dizakati (nishab). Allah Swt. mewajibkan zakat sekali dalam setahun dan setiap kali panen dari hasil perkebunan adalah merupakan kebijakan yang paling adil. Jika seandainya kewajiban zakat harus ditunaikan seminggu sekali tantu akan memberatkan bagi pemilik harta, begitu juga sebaliknya jika hanya seumur hidup maka kaum miskin tentu akan terlantar karena kurangnya kepedulian dari kaum kaya. Sementara 20 % dan tanpa menuggu satu tahun, untuk hasil temuan (rikaz) dikarenakan cara mendapatkan harta tersebut sangat mudah tanpa usaha sedikitpun.Untuk pertanian dikenakan kewajiban antara 10% bagi pertanian tanpa biaya irigasi, dan 5% untuk pertanian yang menggunakan
58
biaya untuk irigasi dan biaya lainnya sehingga tingkat kesulitannya sedikit lebih banyak. Sementara 2,5% ditentukan untuk harta perniagaan sebagai kekayaan yang harus diperoleh dengan pengembangan harta dengan tingkat kontinuitas kerja dan biaya-biaya lain seperti transportasi, penggudangan, dan admisintrasi lainnya.32 Hal itu dianggap tingkat kesulitannya lebih tinggi dari pada usaha pertanian yang tidak memerlukan modal, setidak-tidaknya hal itu berlaku pada masa Nabi Saw. Sungguh keputusan Nabi Saw. dalam menentukan kadar nishab zakat sangatlah adil lagi bijaksana. Sebuah keputusan seorang pemimpin negara,33 demi terciptanya kemaslahatan rakyatnya dan terciptanya keadilan antara pemilik harta dengan segala tingkat kesulitan untuk mendapatkannya. Maka dengan demikian tercapailah tujuan pembentukan hukum (maqashid alsyar'i’ah) demi terciptanya keadilan. Keadilan adalah merupakan maksud dan tujuan yang bersifat umum dan bahkan ia merupakan maksud dan tujuan dari seluruh risalah agama samawi.34 Zakat adalah sebuah produk hukum demi menciptakan keadilan perekonomian dikalangan umat Islam. Hukum ini tidak pernah ditemui sebelumnya dalam agama samawi manapun. Bahkan demi terciptanya keadilan tersebut zakat tidak boleh dilaksanakan hanya karena Allah Swt. semata, namun harus didasari kepedulian untuk meringankan beban kaum
32
Dr. Yusuf Qardhawi, Misykilat al-Fakro wa Kaifa Alajaha, terj. Maimun Syamsyudin, Teologi Kemiskinan,Yogyakarta:Mitra Pustaka, 2002, hlm.166-167. 33 Dr. Yusuf Qardhawi, Fiqh al-Zakah, op.cit., hlm.203 34 Dr. Yusuf Qardhawi, As-Sunah Mashdaran li al-Ma’rifah wa al-Hadharah, terj. Setiawan Budi Utomo, As-Sunah sebagai Sumber IPTEK dan Peradaban, Jakarta:Pustaka al-Kautsar, 1998, hlm.283.
59
miskin.35 Sehingga akan tercipta suatu nuansa kekeluargaan ibarat satu badan, ketika salah satu dari anggota badan ada yang sakit maka seluruh badan akan ikut merasakan sakit.36 Dari uraian di atas dapat diambil satu garis lurus bahwa tujuan diadakannya zakat dengan segala ketentuan-ketentuannya, mulai dari harta wajib zakat, penerima zakat, dan nishab zakat mal adalah untuk menciptakan keadilan diantara umat muslim. Keadilan disini tidak hanya terbatas pada format hukum zakat saja, namun juga mnyentuh pada nilai substansi secara filosofis yang terkandung di dalam hukum zakat.
239.
35
Dr. Yusuf Qardhawi, Al-Ibadah fi al-Islam, Baerut:Muasasah al-Risalah, 1993, hlm.238-
36
Ibid, hlm.253.
60