BAB III NISHAB ZAKAT UANG MENURUT YUSUF AL-QARDHAWI A. Biografi Yusuf Al-Qardhawi Yusuf Al-Qardhawi adalah seorang ulama kontemporer, mujaddid, ahli fiqh, dan mujtahid di zaman ini. Ia dilahirkan di desa Safat Turab, Republik Arab Mesir pada tanggal 9 September 1926, dengan nama lengkap Muhammad Yusuf Al-Qardhawi. Ia berasal dari keluarga yang taat menjalankan agama Islam. Ayahnya meninggal dunia ketika ia masih berusia 2 tahun. Sebagai anak yatim, ia dididik dan diasuh oleh pamannya. Pamannya memberikan perhatian yang cukup besar kepadanya selayaknya orang tuanya sendiri, dan sebagaimana keluarganya, keluarga pamannya pun taat menjalankan agama Islam. Tidak heran jika Yusuf Al-Qardhawi menjadi seorang yang kuat dalam beragama. Ketika usianya mencapai lima tahun, ia dididik menghafal al-Qur’an secara intensif oleh pamannya dan pada usia 10 tahun ia sudah menghafal seluruh al-Qur’an dengan fasih. Karena kefasihannya, ditambah dengan kemerduan suaranya, ia sering diminta menjadi imam dalam shalat-shalat Jahriyyah.1 Pendidikan tingkat dasar ia tempuh melalui Ibtida’iyyah dan Tsanawiyah di Ma’had Thomtho’ Mesir,2 salah satu sekolah yang merupakan
1
Shalat Jahriyyah adalah shalat yang dilakukan dengan cara berjama’ah, di mana imamnya harus mengeraskan bacaannya, seperti Maghrib, Isya’ dan Shubuh. Abdul Azis Dahlan et.al. (eds.), Ensiklopedi Islam, Jilid II, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996, hlm. 1448 2 Yusuf Al-Qardhawi, Syaikh Muhammad Ghazali Yang Saya Kenal, Jakarta: Rabbani Pers, 1999, hlm, 7, sebagaimana dikutip kembali oleh A. Muqtafin, “Studi Analisis Pemikiran Yususf
69
cabang Al-Azhar dan selalu meraih ranking I. Kecerdasannya telah tampak sejak kecil, sehingga salah seorang gurunya memberikan gelar kepadanya dengan sebutan “allamah”.3 Kecerdasan Qardhawi sangat dikagumi oleh kawan-kawannya. Hal ini dikarenakan sejak kecil ia sudah rajin dan gemar mengunjungi perpustakaan Al-Azhar untuk membaca. Bahkan ketika usianya baru genap 15 tahun ia sudah gemar membaca buku referensi mahasiswa. Setelah itu ia pergi ke Kairo dalam rangka melanjutkan studinya ke Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar. Ia lulus sebagai sarjana S.1 pada tahun 1952 dengan meraih ranking pertama dari mahasiswa yang berjumlah 180 orang.4 Selain itu ia juga kuliah pada Fakultas Syari’ah dan bahasa Arab selama dua tahun. Pada tahun 1954, dia memperoleh ijazah setingkat S.2 dan memperoleh rekemondasi untuk mengajar di Fakultas Bahasa dan Sastra. Dia menduduki ranking pertama dari tiga kuliah yang ada di Al-Azhar dengan jumlah siswa 500 orang. Kemudian ia melanjutkan studinya ke Lembaga Tinggi Riset dan Penelitian Masalah Islam dan perkembangannya selama tiga tahun. Pada tahun 1958, ia memperoleh ijazah Diploma dari Ma’had Dirasat At-Tarbiyah Al-Aliyah dalam bidang Bahasa dan Sastra. Dan pada tahun 1960 ia juga mendapat ijazah setingkat Master, untuk jurusan ilmu-ilmu Al-Qur’an
Al-Qardhawi Tentang Pengaruh Tekstualitas Nash dan Tujuan Syari’at Terhadap Istinbath Hukum”, Skripsi Sarjana Syari’ah Jurusan Al-Ahwal As-Shakhsiyah, Semarang: Perpustakaan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, 2003, hlm. 56 3 Ishom Talimah, Al-Qardhawi Fiqqihaa, terj. Samson Rahman, “Manhaj Fiqh Yusuf AlQardhawi”, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, cet. I, 2001, hlm. 4 4 Ibid.
70
dan Sunnah di Fakultas Ushuluddin. Pada tahun itu juga ia masuk Pasca Sarjana (Dirasah Al-Ulya) dari Universitas Al-Azhar, Kairo. Di Fakultas ini ia memilih jurusan Tafsir Hadits atau jurusan Aqidah Filsafat.5 Tahun 1973, ia mampu menyelesaikan program doktornya dengan disertasi yang berjudul “Az-Zakat wa Atsaruhu fi Hill Al-Masyakil AlIjtima’iyah” (Zakat dan Pengaruhnya dalam Memecahkan Problematika Sosial Kemasyarakatan). Perjalanan karirnya dimulai dari bekerja sebagai penceramah dan pengajar di masjid-masjid. Kemudian menjadi pengawas pada akademi para imam, yaitu lembaga yang berada di bawah kementrian wakaf di Mesir, setelah itu al-Qardhawi pindah ke urusan bagian administrasi umum untuk masalah-masalah budaya di Al-Azhar, yaitu mengawasi hasil cetakan dan seluruh pekerjaan yang menyangkut teknis pada bidang Da’wah. Selain itu, ia juga menjadi Kepala Sekolah di sebuah sekolah menengah di Qatar pada tahun 1961, dan berhasil menggabungkan khazanah lama dan kemodernan. Pada tahun 1977, ia ditugaskan memimpin pendirian dan sekaligus menjadi Dekan I Fakultas Syari’ah dan Studi Islam di Universitas Qatar hingga akhir tahun 1989/ 1990. Madrasah inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya Fakultas Syari’ah Qatar yang kemudian berkembang menjadi Universitas Qatar dengan beberapa fakultas. Akhirnya dia kembali mengerjakan tugas rutinnya di pusat riset sunnah dan sirah Nabi
5
Abdul Azis Dahlan, et al. (eds), op.cit
71
setelah ditugaskan oleh pemerintah Qatar untuk menjadi dosen tamu di AlJazair pada tahun 1990/ 1991. Karena perannya yang begitu besar dalam bidang keilmuan, tidak sedikit penghargaan yang diberikan kepadanya, antara lain dari IDB (Islamic Development Bank) dalam bidang perbankan (1411 H), bersama Sayyid Sabiq dari King Faisal Award dalam bidang keislaman (1413 H), dari Universitas Islam Antar Bangsa Malaysia dalam bidang ilmu pengetahuan (1996), dan Sultan Brunei Darussalam atas jasanya dalam bidang fiqh (1997). Aktivitasnya dalam pengabdian kepada Islam tidak terbatas pada satu sisi atau satu medan tertentu. Aktivitasnya sangat beragam dan sangat luas serta melebar ke banyak bidang dan sisi, yaitu dalam bidang ilmu pengetahuan, bidang fiqh dan fatwa, bidang dakwah dan pengarahan, bidang seminar dan muktamar, kunjungan dan ceramah, bidang ekonomi Islam, bidang amal sosial (dalam kebangkitan umat), bidang pergerakan dan jihad. Bidang pergerakan dan jihad ini telah aktif dilakukannya sejak masa remaja, dengan asumsi bahwa Islam adalah aqidah dan aturan hidup, ia melakukan dakwah agar orang lain paham tentang Islam, antara lain melalui khatbah-khatbah dan ceramah. Dan yang sangat membantu aktifitas dakwahnya adalah keterlibatannya dalam gerakan Ikhwanul Muslimin. Dalam perjalanan dakwahnya ia telah banyak mengalami rintangan, tantangan, dan tekanan keras bahkan harus dipenjara beberapa kali sejak masih berstatus sebagai siswa Sekolah Menengah Umum pada masa pemerintahan raja Faruq tahun 1948. Al-Qrdhawi juga pernah dipenjarakan
72
pada masa revolusi bulan Januari tahun 1954, kemudian pada bulan November di tahun yang sama dipenjarakan selama 20 bulan. Sejak tahun 1968-1970 ia ditahan oleh penguasa militer Mesir atas tuduhan mendukung pergerakan Ikhwanul Muslimin (organisasi yang didirikan oleh Syaikh Hasan Al-Banna {1906-1949} pada tahun 1928 yang bergerak dalam bidang dakwah, kemudian bergerak dalam bidang politik).6 Tokoh ulama yang paling berpengaruh pada diri Yusuf Al-Qardhawi adalah Hasan Al-Banna, seorang pemikir gerakan Ikhwanul Muslimin. Akan tetapi ia juga tertarik pada pengaruh pemikiran ulama lain, seperti Baqy AlKanly dan Al-Ghazali, di samping itu pemikiran Yusuf Al-Qardhawi juga dipengaruhi oleh ulama Al-Azhar seperti Muhammad Abdullah Barros tentang pemikirannya dalam filsafat akhlaq dan Islam, juga dipengaruhi oleh pemikiran Mahmoud Syalthout dan Abdul Hakim Mahmud yang mengajarnya dalam bidang ilmu filsafat lainnya.7 Walaupun Yusuf Al-Qarhawi tetarik dengan pemikiran mereka, namun tidak menjadikannya taqlid buta kepada mereka. hal ini beliau ungkapkan dalam tulisannya: “Termasuk karunia Allah kepada saya, bahwa kecintaan saya terhadap seorang tokoh tidak menjadikan saya untuk bertaqlid buta kepadanya. Karena saya bukan lembar foto copy dari orang-orang terdahulu tetapi saya mengikuti ide dan polanya.”8
6
Ishom Talimah, op. cit, hlm. 5 Ibid, hlm. 128-135 8 Yusuf Al-Qardhawi, Syaikh Mihammad Ghazali Yang Saya Kenal … dalam A. Muqtafin, op. cit, hlm. 13 7
73
Dia pernah dipenjara pada tahun 1956 selama kurang lebih 2 bulan di sebuah penjara militer kelas satu di Thomtho’ bersama teman-temannya pengikut gerakan Ikhwanul Muslimin. Untuk mengatasi agar tidak dipenjara lagi karena beberapa artikel yang ditulisnya, ia disarankan oleh salah satu dari gurunya agar menggunakan nama samaran yaitu dengan nama Yusuf Abdullah sebagai ganti nama Qardhawi.9 Walaupun demikian, tidak menjadi sebuah hambatan bagi Yusuf AlQardhawi untuk lebih giat dan maju ke depan dalam menjadikan Islam sebagai jalan hidup dengan melakukan berbagai kegiatan keagamaan dengan cara berdakwah dan menuangkan hasil pemikirannya melalui karya-karya dalam bentuk tulisan. B. Karya dan Corak Pemikiran Yusuf Al-Qardhawi 1. Karya-karya Yusuf Al-Qardhawi Yusuf Al-Qardhawi adalah profil tokoh yang tidak hanya menggeluti ilmu pengetahuan Islam, tetapi juga mendalami pelajaran ilmu umum, sehingga ia dapat menampilkan wajah Islam menjadi cemerlang dengan menuangkan pemikirannya lewat beberapa hasil karyanya. Beliau merupakan ulama yang produktif dalam menulis. Karya-karyanya banyak yang telah dipublikasikan, di samping juga yang belum dipublikasikan. Bahkan ceramah-ceramah keagamaan beliau dipublikasikan dalam bentuk kaset. Jika dilihat dari karya-karyanya yang begitu banyak pantas bila ia disebut ulama monumental abad ke-21. Karya-karya beliau antara lain: 9
Ibid. hlm. 14
74
a. Bidang Fiqh dan Ushul Fiqh: Al-Halal wal Haram fil Islam Fatawa Mu’ashirah Juz I Fatawa Mu’ashirah Juz II Fatawa Mu’ashirah Juz III Taysir Al-Fiqh: Fiqh Shiyam Al-Jihad Fisy-Syari’ah Al-Islamiyah Madkhal li Dirasat Al-Syari’ah Al-Islamiyah Min Fiqhid Daulah Fil Islam Taysir Al-Fiqh Li al-Muslim Al-Mu’ashir I Al-Fatwa Baina Al-Indhibath wat-Tasayyub Awamil as-Sa’ah wal Murunah fisy-Syari’ah al-Islamiyah Al-Fiqh Al-Islami bainal-Ashalah wat-Tajdid Al-Ijtihad al-Mu’ashir bainal Indhibath wal Infirath Ziwaj Al-Misyar Adh-Dhawabith Asy-Syar’iyah li Binaa al-Masaajid Al-Ghina’ wal Musiqa fi Dhau’il Kitab was-Sunnah b. Bidang Ekonomi Islam Fiqhu az-Zakat (dua juz) Musykilat al-Faqr wa Kaifa Alajaha al-Islam Bai’ al-Murabahah lil-Amir bisysyira’ Fawaidul Bunuk Hiya ar-Riba al-Haram Daurul Qiyam wal-Akhlaq fil-Iqtishadi al-Islami
75
c. Bidang Ulum al-Qur’an dan Sunnah Ash-shabru wal-Ilmu fil –Qur’an al-Karim Al-‘Aqlu wal-ilmu fil-Qur’ani al- Karim Kaifa Nata’ammal Ma’a as-Sunnah an-Nabawiyah (bagaimana berinteraksi dengan sunnah) Kaifa Nata’ammal ma’a al-Qur’ani al-‘Azhim? Tafsir Surat ar-Ra’d Al-Madkhal li Dirasat as-sunnah an-Nabawiyah Al-Muntaqaa fit-Targhib wat-Tarhib (dua juz) As-Sunah Mashdar lil Ma’rifah wal-Hadharah Nahwa Mausu’ah lil Hadits an-Nabawi Quthuf Daniyah min al-Kitab wa as-Sunnah d. Bidang Akidah Al-Iman wa al-Hayat Mauqif al- Islam min kufr al-Yahud wan-Nashara Al-Iman bil-Qadar Wujudullah Haqiqat at-Tauhid e. Bidang Fiqih Perilaku Al-Hayat ar-Rabbaniyah wal-Ilmu An-Niyat wal-Ikhlash At-Tawakkul At-Taubat ilaa Allah
76
f. Bidang Dakwah dan Tarbiyah Tsaqafat ad-Da’iyah At-Tarbiyah al-Islamiyah wa Madrasatu Hasan al-Banna Al-Ikhwan al-Muslimin 70 ‘Aaman fi al-Da’wah wa al-Tarbiyah Ar-Rasul wa al-Ilmu Risalat al-Azhar baina al-Amsi wal-Yaum wal-Ghad Al-Waqtu fil-Hayat al-Muslim g. Bidang Gerakan dan Kebangkitan Islam Ash-Shahwah al-Islamiyah baina al-Juhud wat-Tatharruf Ash-Shahwah al-Islamiyah Walhumum al-Wathan al- ‘Arabi walIslami Ash-Shahwah al-Islamiyah baina al-Ikhtilaf al- Masyru’ watTafarruq al-Madzmum Min Ajli Shahwah Rashidah Tujaddid ad-Din wa Tanhad bid-Dunya Aina al-Khalal? Awlawiyat al-Harakah al-Islamiyah fi al-Marhalah al-Qadimah Al-Islam wal-‘Almaniyah Wajhan bi Wajhin Fi Fiqhi al-Awlawiyat (Fiqih Prioritas) Ats-Tsaqafah al-‘Arabiyah al-Islamiyah baina al-Ashalah walMu’asyarah Mulamih al-Mujtama’ al-Islami Alladzi Nunsyiduhi Ghairul Muslimin fi al-Mujtama’ al-Islami Syari’at al-Islam Shalihah lit-Tatbiq fi Kuli Zamanin wa Makanin
77
Al-Ummat al-Islamiyah Haqiqat la Wahm Zhahirat al-Ghuluw fit-Tafkir Al-Hulu al- Mustawriah wa Kaifa Jannat ‘Ala Ummatina Al-Hiil al-Islami Faridhah wa Dharurah Bayyinal
Hill
al-Islami
wa
Syubuhat
al-‘Ilmanyyin
wal-
Mutagharribin A’da’ al-Hill al-Islami Dars an-Nakbah al-Tsaniyyah Jailun Nashr al-Mansyud An-Naas wa al-Haq Ummatuna Baina al-Qarnain h. Bidang Penyatuan Pemikiran Syumul-Islam Al-Marji’iyah al-‘Ulya fi al-Islam li al-Qur’an wa as-Sunnah Mauqif al-Islam min al-Ilham wa al-Kasyf wa ar-Ru’aa wa min atTama’in wa al-Kahanah wa al-Ruqa Al-Siyasah al-Syar’iyah fi Dhau’ Nushush al-Syari’ah wa Maqashidiha i. Bidang Pengetahuan Islam yang Umum Al-Ibadah fi al-Islam Al-Khashaish al-‘Ammah li al-Islam Madkhal li Ma’rifat al-Islam Al-Islam Hadharat al-Ghad
78
Khuthab al-Syaikh al-Qardhawi Juz I Khuthab al-Syaikh al-Qardhawi Juz II Liqa’at wa Muhawwarat Hawla Qadhaya al-Islam wal-‘Ashr Tsaqafatuna baina al-Infitah wa al-Inhilaq Qadhaya Mu’ashirah ‘ala Bisath al-Bahts j. Bidang Tokoh-Tokoh Islam Al-Imam al-Ghazali baina Madihihi wa Naqidihi Al-Syaikh al-Ghazali kama ‘Araftuhu: Rihlah Nishfu Qarn Nisaa’ Mu’minat Al-Imam Juwaini Imam al-Haramain ‘Umar bin Abdul Aziz Khamis al-Khulafa’ al-Rasyidin k. Bidang Sastra Nafahat wa Lafahat (Kumpulan Puisi) Al-Muslimin Qadimun (Kumpulan Puisi) Yusuf ash-Shiddiq (Naskah drama dalam bentuk prosa) ‘Alim wa Thaghiyah l. Buku-buku Kecil tentang Kebangkitan Islam Ad-Din fi ‘Ashr al-Ilmi Al-Islam wa al-Fann An-Niqab lil-mar’ah baina Qaul bi Bid’atihi wal Qaul bi Wujubihi Markaz al-Mar’ah fil-Hayah al-Islamiyah Fatawa lil-Mar’ah al-Muslimah
79
Jarimah ar-Riddah wa ‘Uqububat al-Murtad fi dhau’ al-Qur’an wa as-Sunnah Al-Aqalliyat ad-Diniyah wal-Hil al-Islami Al-Mubasysyirat bi Intishar al-Islam Mustaqbal Al-Ushuliyah Al-Islamiyah Al-Quds Qadhiyat kulli Muslim Al-Muslimun wal-‘Awlamah m. Kaset-Kaset Ceramah Syaikh al-Qardhawi Limadza al-Islam Al-Islam Alladzi Nad’u Ilaihi Wajib asy-Syabab al-Muslim Muslimat al-Ghad Ash-Shahwah al-Islamiyah bainal ‘Amal wal-Mahadzir Qimat al-Ihsan wa Ghayat Wujudihi fil-Islam Likay Taujah Muassasah az-Zakat fit-Tathbiq al-Mu’ashir At-Tarbiyah ‘Inda al-Imam asy-Syathibi Al-Islam Kama Nu’minu Bihi Insan Surat al-‘Ashr As-Salam al-Mustahil baina al-‘Arab wa Israel Al-Islam wal-Muslimun wa ‘Ulum al-Mustaqbal ‘ala A’tab al-Qarn al-Qadim Al-Muslimun wat-Takhalluf al-‘Ilmi
80
Ash-Shahwah al-Islamiyah wa Fiqh al-‘Aulawiyat10 2. Corak Pemikiran Yusuf al-Qardhawi Perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi dewasa ini menuntut ulama untuk melakukan upaya rekonstruksi terhadap khazanah pengetahuan secara inovatif. Termasuk yang cukup urgen dalam hal ini adalah upaya ulama tersebut secara terus menerus untuk melakukan ijtihad11di bidang fiqih secara benar dan dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini disebabkan karena kedudukan dan fungsi ijtihad dalam yurisprudensi Islam yang tidak bisa dipisahkan dengan produk-produk fiqh, apakah itu berfungsi sebagai purifikasi ataukah reaktualisasi. Dalam sejarah fiqih Islam, fungsi ijtihad ini pernah mengalami stagnasi atau kejumudan dikarenakan munculnya institusi ijtihad yang telah dibatasi oleh kelembagaan para mujtahid, seperti institusi empat imam madzhab yang sangat populer itu.12 Sehingga umat Islam mengalami era taqlid yang begitu lama dan yang muncul hanya sekedar komentar (syarah) dari pengikut para imam itu.
10
Data penulis peroleh dari buku “Manhaj Fiqh Yusuf al-Qardhawi” karya Ishom Talimah, hlm. 35-39 11 Ijtihad berasal dari kata jahada yang berari “mencurahkan segala kemampuan”, sedangkan menurut istilah ahli ushul adalah mencurahkan kemampuan untuk mendapatkan ilmu tentang hukum Islam.Lihat al-Ghazali, Al-Mustashfa, Juz II, Beirut, Dr al-Fikr, t.t., hlm.250. Menurut alAmidy,ijtihad adalah mencurahkan segala tenaga untuk merealisasikan suatu masalah. Lihat alAmidy, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, Jilid II, Beirut, Dar al-Fikr, t.t., hlm.141. Lihat AsySyaukani, dalam memberikan definisi ijtihad mirip dengan al-Ghazali, hanya ada tambahan kata “amaly” melalui istinbath, dalam Irsyadul Fuhul ila Tahqiq al-Haq min al-Ushul, Beirut, Dar alKitab al-Ilmiyah, t.t., hlm.370 12 Asumsi-asumsi bahwa pintu ijtihad telah tertutup karena taqlid (menerima otoritas secara mentah-mentah) berkembang begitu subur sejak akhir abad ke-4 H. sampai dengan munculnya Ibnu Taimiyah abad ke-7 H.
81
Yang memiliki pandangan berbeda tentang status ijtihad, minimal ada tiga kelompok besar di antara para Yuris Islam. Kelompok pertama, menolak ijtihad secara mentah-mentah, dengan alasan bahwa produk ulama salaf telah mampu menjawab semua tantangan zaman dan masalah-masalah kontemporer. Masalahnya hanya terletak pada bagaimana merelevansikan pemikiran-pemikiran mereka terhadap situasi dan kondisi saat ini. Kelompok ini lebih memilih taqlid, daripada ijtihad. Singkatnya, mereka mengikuti pola pandang bahwa kreatifitas fiqih selalu disandarkan kepada para imam mujtahidnya. Kelompok kedua, kelompok yang menganjurkan untuk ijtihad dan secara ekstrim menolak taqlid. Kelompok ini lebih puritan, namun menolak taqlid mentah-mentah, sehingga memunculkan sikap gegabah dalam melakukan ijtihad. Mereka tidak mau lagi menengok khazanah pemikiran ulama salaf dalam memproduksi kebutuhan fiqih yang berkembang, tetapi cukup menjadikan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai dalil dasarnya. Karena itu,
dari
kelompok
ini
muncul
beberapa
mujtahid
baru
yang
mengatasnamakan dirinya sebagai pembaharu Islam, yang secara kritis sering mereduksi pemikiran-pemikiran mapan para ulama fiqih itu sendiri. Yang sangat disayangkan, sikap ekstrim ini menjadikan keroposnya khazanah intelektual Islam, mengingat prasyarat-prasyarat ijtihad yang seharusnya dipenuhi oleh seorang mujtahid diabaikan begitu saja. Kelompok ketiga, mereka lebih moderat. Para pakar fiqh yang mengambil “jalan tengah” ini tetap bersemangat agar fiqh Islam senantiasa
82
aktual sepanjang masa, sembari tanpa harus lepas dari melepaskan dataran tempat berpijak para ulama pendahulunya (as-Salaf as-Shalih), sebab apa yang telah dicapai oleh para ulama salaf itu dalam skala global telah memenuhi tuntutan psikologis para yuris Islam pada umumnya. Kelompok ini cukup berhasil dalam mengkolaborasikan antara metode ulama salaf dengan ulama modern, bahkan secara komprehensif menghasilkan apa yang disebut dengan ijtihad kolektif (ijtihad jama’i).13 Dalam hal ini, Yusuf Al-Qardhawi dapat dikategorikan pada kelompok ulama atau cendekiawan yang berpandangan moderat di atas. Ini seperti yang diungkapkan oleh Muhammad Bakir: “Melalui organisasi-organisasi keislaman yang dipimpinnya, ia mencoba menggagas masalah hukum Islam kontemporer agar hukum Islam mampu menjawab tantangan zaman, bukan menampilkan sikap ekstrim. Menurutnya sikap ekstrim lebih dekat kepada kebinasaan dan sangat membahayakan, bahkan akan menjauhkan diri dari keamanan dan kesejahteraan.”14 Pendirian tersebut berasal dari pemahamannya yang mendalam terhadap Islam. Secara garis besar, pendirian dan pemikirannya tersebut bisa disimpulkan dari pandangannya yang berkisar mengenai Al-Qur’an dan As-Sunnah, halal dan haram, ijtihad, ijma’ dan qiyas. Kelima aspek pemikiran Yusuf Al-Qardhawi tersebut akan penulis paparkan dalam pembahasan berikut:
13
Yusuf Al-Qardhawi, Al-Ijtihad Al-Ma’ashi Baina Al-Indhibath wal Infirath, terj. Ahmad Sathori, “Ijtihad Kontemporer: Kode Etik dan Berbagai Penyimpangan”, Surabaya: Risalah Gusti, 1995, hlm. 16-17. Lihat juga Ilyas Supna dan M. Fauzi, Dekonstruksi dan Rekonstruksi Hukum Islam, Yogayakarta: Gamma Media, 2002, hlm. 164 14 Muhammad Bakir, Islam Ekstrim (Analisa dan Pemikirannya), Bandung: Mizan, cet. I, 1985, hlm. 16
83
a. Al-Qur’an dan As-Sunnah Al-qur’an menurut pandangan Yusuf Al-Qardhawi merupakan kitab suci agama Islam dan sumber utama syariat serta ajarannya.15 Sementara itu, as-Sunnah adalah sebagai penjelas dan penafsir terhadap al-Qur' an dan merupakan dasar syari’at Islam yang kedua setelahnya, dengan tujuan untuk membimbing hidup dan kehidupan manusia dalam rangka mencapai kesejahteraan baik di dunia maupun di akhirat. b. Halal dan Haram Pada dasarnya segala yang diciptakan oleh Allah di muka bumi ini adalah untuk kepentingan manusia dan boleh memanfaatkannya untuk kepentingan mereka. Oleh karena itu, sebelum ada nash yang melarangnya, maka segala sesuatu baik yang berupa perbuatan atau tindakan
hukum
boleh
dilakukakan,
terutama
dalam
bidang
muamalah.16 Sedang yang berkaitan dengan ibadah murni (mahdhah), tidak diperbolehkan lagi manusia untuk mencampurinya, baik menambah maupun menguranginya, karena yang berhak menentukan kehalalan dan keharaman sesuatu hanyalah Allah SWT. Sementara tugas para qadhi Islam hanya mengungkapkan hasil yang digali dari al-Qur' an dan As-Sunnah, bukan menetapkan halal atau haramnya. Sedangkan dalam urusana muamalah yang berkaitan dengan kehidupan sosial kemasyarakatan, pemikiran manusia sangat diperlukan
15
Yusuf Al-Qardhawi, Al-Ijtihad fi Asy-Syari’at a-Islam, Kuwait: Dar al-Qalam, t.t., hlm. 16 Yusuf Al-Qardhawi, Al-Halal wa Al-Haram fi Al-Islam, Beirut: Al-Makta Al-Islami, 1967, hlm. 12 16
84
untuk memberikan ketentuan-ketentuan yang belum diatur secara rinci dalam al-Qur' an. c. Ijtihad Yusuf Al-Qardhawi berpendirian bahwa sesungguhnya ijtihadlah yang membuat syari’at Islam menjadi subur dan kaya serta mampu beradaptasi dengan berbagai kondisi dan situasi zaman. Hal ini akan dapat direalisasikan jika ijtihad yang dilakukakn itu merupakan ijtihad yang benar dan memenuhi kriteria yang telah ditentuakan oleh para ahli dan tepat pada tempatnya.17 Secara tegas ia menyatakan bahwa pintu ijtihad masih terbuka luas. Dia sependapat dengan para ulama yang berpendapat bahwa hukum Islam yang ditunjukkan oleh dalil-dalil yang dzanni (samar) atau hukum yang tidak ada nash yang terperinci, merupakan lapangan ijtihad.18 Meskipun pintu ijtihad masih terbuka lebar,19 akan tetapi dalam melakukan ijtihad diperlukan syarat-syarat tertentu agar dapat menghasilkan yurisprudensi yang mampu menjawab tantangan zaman. Bagi Yusuf al-Qardhawi, orang boleh berijtihad, asalkan paling tidak memenuhi dua bagian dari syarat-syarat yang telah disepakati para ulama, di antaranya adalah: - Harus mengetahui Ulumul Qur’an 17
Yusuf Al-Qardhawi, Ijtihad Kontemporer …., op. cit, hlm. 7 Ibid, hlm. 22 19 Di Indonesia jargon tersebut berkembang, paling tidak setelah terbitnya buku Membuka Pintu Ijtihad karya Fazlur Rahman (Bandung: Pustaka, 1983) dan buku Pintu Ijtihad Belum Tertutup, karya Ahmad Hasan (Bandung: Pustaka, 1984) 18
85
- Harus mengetahui Ulumul Hadits - Harus mengetahui Filologi Bahasa Arab - Harus mengetahui Ushul Fiqh - Harus mengetahui Maqashid asy-Syari’ah - Harus mengetahui Ilmu Ushuluddin - Harus mengetahui Ilmu Manthiq (Silogisme) - Harus mengetahui ilmu-ilmu cabang fiqh20 Terlepas dari beberapa persyaratan di atas, dengan melihat adanya perekembangan zaman yang semakin global, tampak adanya upaya yang serius dari Yusuf Al-Qardhawi dalam rangka menelurkan gagasan-gagasannya tentang metode berfikir dalam memahami hukum Islam (ijtihad). Menurutnya, ijtihad di zaman sekarang ini merupakan suatu keharusan yang tidak dapat dielakkan. Ia menganggap bahwa ijtihad sekarang hukumnya fardhu kifayah.21 d. Ijma’ Ijma’ dalam pandangan Yusuf Al-Qardhawi merupakan syarat bagi para mujtahid untuk berijtihad, sehingga dalam memberikan fatwa atau menetapkan sesuatu hukum tidak bertentangan dengan hasil ijma’ yang telah disepakati para mujtahid sebelumnya.22 Ijma’ yang dimaksud
20
Yusuf al-Qardhawi, Ijtihad Kontemporer …, op. cit, hlm. 60 Fardhu Kifayah adalah suatu kewajiban yang sekiranya suatu wilayah tertentu sudah ada yang melaksanakannya dan menutup lowongan fardhu kifayah tersebut dengan kecukupan dan kelayakan, gugurlah dosa-dosa atas semua ummat, tetapi bila tidak maka berdosalah semua umat Islam terutama pemerintahnya. Sebab merekalah yang bertanggungjawab untuk menyiapkan orang-orang yang melaksanakan fardhu kifayah secara umum. lebih jelasnya lihat Yusuf alQardhawi, Ijtihad …, ibid, hlm. 23 22 Ibid, hlm. 41 21
86
adalah ijma’ para sahabat dan tabi’in pada abad pertama Hijriyah, yang telah membuktikan dengan jelas bahwa ijma’ mereka berdasarkan pertimbangan agama yang benar dan demi kemaslahatan ummat dan sejalan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah serta sesuai dengan keperluan yang mendesak pada saat itu.23 Ijma’ yang demikianlah menurut Yusuf Al-Qardhawi yang harus menempati posisi yang dihormnati, supaya posisi ijma’ dalam hukum tetap dapat menjadi alat keseimbangan dan penyingkir distorsi intelektual.24 Yusuf Al-Qardhawi berpendirian bahwa ijma’ yang dapat dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum adalah ijma’ yang betulbetul benar (shahih). Artinya, ijma’ tersebut belum ada yang menyanggahnya, sehingga kalau ada sesuatu ijma’, dengan hasil penelitian ternyata masih diragukan lagi kebenarannya, maka dari itu, sesungguhnya bukan ijma’ yang benar. e. Qiyas Qiyas dalam pandangan Yusuf al-Qardhawi adalah memasukkan masalah yang tidak dicantumkan kekuatan hukumnya kepada masalah lain yang telah ditentukan, karena sebab illat yang menggabungkannya, dan tidak terdapat perbedaan prinsip antara kedua masalah tersebut.25
23
Yusuf Al-Qardhawi, Fiqh Az-Zakat, Juz I, Kairo: Maktabah Wahabah, t.t., hlm. 40 Ibid, hlm. 41 25 Yusuf al-Qardhawi, Keluasan dan Keluwesan Syariat Islam, alih bahasa Salim Bazemool, Solo: 1998, Cet I, hlm. 20 24
87
Lebih lanjut Yusuf al-Qardhawi berpendirian bahwa penggunaan Qiyas tidak dapat diterapkan dalam masalah ibadah murni, seperti shalat, puasa, dan haji.26 Adapun selain ibadah murni, maka qiyas dapat diterapkan, misalnya pada zakat. Menurutnya zakat tidak termasuk ibadah murni, sebab masalah zakat erat kaitannya dengan kehidupan sosial kemasyarakatan. Zakat merupakan kewajiban tertentu terhadap harta kekayaan. Sebagaimana para faqih yang lain, al-Qardhawi juga memiliki karakteristik fiqh tersendiri, yang membedakannya dari fuqaha lainnya karakteristik fiqih al-Qardhawi tersebut, antara lain : 1. Penggabungan antara fiqih dan hadits (antara atsar dan nazhar atau rasio) 2. Moderasi, yaitu sikap pertengahan antara dua kutub, yang sangat liberal dan yang sangat ekstrim. Al-Qardhawi selain membahas tentang golongan yang berpandangan sangat tekstual yang hanya melihat nash secara zhahir, juga membahas tentang golongan yang sangat liberal dan berlebih-lebihan dalam menafsirkan teks. Di samping itu moderasi al-Qardhawi ini juga tampak dalam metode-metodenya antara lain ia menggabungkan antara fiqih dan hadits, selalu mengambil pendapat dari generasi awal Islam, menggabungkan antara salafiyah dan tajdid. Mengedepankan yang
26
Ibid., hlm. 22
88
kulli atas yang juz’i, memadukan antara mengikuti nash dan memperhatikan maksud syariah serta pembedaan antara variabel zaman dan prinsip-prinsip Islam.27 3. Memberi kemudahan (Simplifikasi Fiqih). Hal ini mencakup dua hal: a. Mempermudah pemahaman bagi insan muslim kontemporer, melalui cara-cara sebagai berikut: 1) Penyatuan antara kemudahan kemoderatan. 2) Mendialogkan akal modern. 3) Menggunakan pengetahuan-pengetahuan modern dan istilahistilahnya. 4) Mengaitkan antara fiqih dan realitas. 5) Menjelaskan hikmat syariat. 6) Mengaitkan satu hukum dengan hukum lainnya. 7) Mengurangi sikap memperbanyak tambahan. 8) Memanfaatkan tulisan-tulisan di era modern ini. 9) Tingkatan-tingkatan kitab fiqh yang berbeda. 10) Fungtuasi dan sarana-sarana penjelasan. b. Mempermudah hukum-hukum fiqih agar mudah dilaksanakan dan diaplikasikan antara lain meliputi: 1) Memperhatikan segi rukhshah.
27
Selengkapnya baca Ishom Talimah, op.cit., hlm. 59-76
89
2) Memperhatikan urgensitas dan kondisi yang meringankan hukum. 3) Memilih yang termudah. 4) Mempersempit dalam pewajiban dan pengharaman. 5) Membebaskan diri dari fanatisme madzhab.28 4. Realitas; Al-Qardhawi selalu mendasarkan pendapat-pendapatnya pada pertimbangan antara maslahat dan mafsadat (mudharat) serta mampu membumikan dalil itu pada realitas yang ada.29 5. Bebas dari fanatisme madzhab. 6. Pemahaman nash yang juz’i dalam koridor maksud syariah yang kulli. 7. Perbedaan antara yang qath’i dan yang zhanni. 8. Gabungan antara salafiyah dan tajdid (antara orisinalitas dan kemoderan).30 C. Pendapat Yusuf al-Qardhawi tentang Nishab Zakat Uang Menurut Yusuf al-Qardhawi, kata zakat ditinjau dari segi bahasa berarti bertambah dan tumbuh.31 Sedangkan dari segi istilah fiqih (syara’), ia mengatakan bahwa zakat adalah: sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah untuk diserahkan
28
Poin-poin ini dijelaskan secara rinci, dalam Yusuf al-Qardhawi, Taisicul Fiqhi Limuslimil Mu’ashiri fi Dhau’il – Qur’ani was Sunnah, Terj. Abd. Hayyie al-Kattani : “Fiqih Praktis bagi Kehidupan Modern”, Jakarta : Gema Insani Press, Cet I, 2002, hlm. 11-26 29 Lihat Ishom Talimah, op.cit., hlm. 97-100 30 Ibid., hlm. 115 dst 31 Lihat Ahmad Warson Munawwir, Al-munawwir Kamus Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997, hlm. 577
90
kepada orang-orang yang berhak dan juga berarti mengeluarkan jumlah tertentu itu sendiri.32 Dalam bahasa al-Qardhawi, zakat disebut juga dengan shadaqah. Menurut
al-Qardhawi
sedekah
berati
bukti
“kebenaran”
iman
dan
“membenarkan” adanya hari kiamat. Disamping itu ia juga berpendapat bahwa kata zakat dalam bentuk ma’rifat (definitif) disebut 30 kali dalam al-Qur’an, 27 kali disebutkan dalam satu ayat bersama shalat dan 1 kali tidak disebutkan bersama-sama dengan shalat dalam satu ayat, tetapi memiliki konteks yang sama. Sedangkan dalam bentuk nakirah (indefinitif) disebutkan dalam dua ayat, namun tidak bermakna zakat sebagai ibadah. Ketigapuluh penyebutan zakat itu terdiri dari 8 surat yang turun di Makkah dan selebihnya terdapat dalam surat-surat yang turun di Madinah.33 Lebih lanjut ia mengatakan bahwa tujuan utama diwajibkannya zakat adalah untuk menghapuskan kemiskinan. Karena itulah maka golongan yang pertama kali berhak untuk menerima zakat adalah orang-orang miskin dan kaum papa.34 Zakat dalam Islam mempunyai kedudukan yang sangat penting. Diantaranya zakat menjadi syarat bagi seseorang yang masuk Islam, serta memiliki kaitan yang sangat erat dengan shalat. Hal ini terlihat dalam alQur’an dan Sunnah, di mana shalat hampir selalu digandengkan dengan zakat. Al-Qur’an menyebutkan bahwa karakter orang yang beriman, pemurah dan takwa adalah orang yang menunaikan zakat. Sebaliknya orang yang tidak mau 32
Yusuf al-Qardhawi, Fiqhu az-Zakat, op.cit., hlm. 53 Ibid., hlm. 57-58 34 Yusuf al-Qardhawi, Musykilat al-Faqr Wa Kaifa Alajaha al-Islam, terj. Syafril Halim “Kiat Islam Mengentaskan Kemiskinan, Jakarta : Gema Insani Press, 1995, hlm. 87 33
91
menunaikannya merupakan ciri-ciri orang yang musyrik dan munafik (Q.S. 23: 1-4 dan 27: 2-3). Orang yang tidak mau membayar zakat tidak dapat tergolong orang yang berbuat baik, orang yang mendapat rahmah dan petunjuk dari Allah SWT (Q.S. 31: 3-4, 2: 177, 5: 55, 22: 40-41) . Disamping itu Islam mengancam akan memberikan hukuman yang berat di dunia dan akhirat bagi orang yang enggan mengeluarkan zakat (Q.S. 9: 34-35, 3: 180) Kewajiban zakat ini juga didukung oleh beberapa sunnah Nabawiyah yang mutawatir dan sudah disepakati oleh para ulama.35 Pada hakikatnya, zakat merupakan kewajiban yang sudah ditetapkan. Menurut konsep Islam, zakat merupakan hak kaum lemah serta utang bagi orang-orang kaya kepada Allah SWT. Bagian orang miskin maupun rasio yang harus diberikan oleh orang kaya sudah ditetapkan dengan tegas menurut jumlah dan persentase tertentu. Zakat adalah hak Allah, karena dialah yang telah menciptakan harta dan manusia. Kepemilikan yang dimiliki manusia hanyalah kepemilikan yang tidak mutlak. Manusia hanya dipercaya oleh Allah SWT, sang pemilik hakiki, untuk menafkahkan sebagian harta yang telah dititipkan kepadanya (Q.S 57: 7) kepada orang-orang yang berhak yang menerimanya (Q.S. 2: 177). Atas dasar itulah, maka kewajiban zakat tidak gugur walaupun telah melalaikannya selama setahun atau lebih, ataupun karena matinya si pemilik harta. Allah SWT sudah menentukan siapa saja yang berhak mendapatkan zakat (Mustahiq Zakat). Ia membaginya kepada 8 bagian yang terdiri atas 2
35
Ibid., hlm. 92-98
92
tipe manusia, yaitu: pertama, mereka yang benar-benar membutuhkan harta zakat terebut. Terdiri dari fakir miskin, hamba sahaya dan ibnu sabil. Kedua, mereka yang mendapatkan zakat karena jasa dan manfaat yang telah diberikannya. Golongan ini terdiri dari pengumpul zakat, muallaf, orang yang berutang (gharim), dan mereka yang berjuang di jalan Allah SWT.36 Zakat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu zakat mal dan zakat fitrah. Zakat mal merupakan kewajiban berkala yang pengambilannya berulangulang setiap satu haul (perhitungan tahun Hijriyah) baik dari uang, perniagaan, hewan ternak, maupun setiap panen atau menuai tanaman dan buah-buahan yang telah mencapai nishab syar’i (batas minimal jumlah harta yang diwajibkan syariah untuk dizakati).37 Yang termasuk golongan harta yang wajib dizakati antara lain: 1. Berbagai hasil pertanian, seperti biji-bijian, buah-buahan dan sayur-sayuran. Zakat yang harus dikeluarkan sebesar sepersepuluh (10 %) atau seperdua puluh (5 %). Dasarnya adalah firman Allah SWT surat al-Baqarah: 267, dan hadits Nabi SAW: “Kalau diairi dengan air hujan, zakatnya 1/10 dan kalau diairi dengan menggunakan alat, zakatnya 1/20”. (HR. Bukhari dan Muslim dengan teks yang berbeda). Gedung-gedung bertingkat, perusahaan, dan sebagainya yang merupakan sumber kekayaan (mendatangkan keuntungan) dan 36
Ibid., hlm. 105-106 Yusuf Al-Qardhawi, Daurul Qiyam Wal Akhlaq fil Iqtishadil Islam, terj. Didin Hafidhuddin, et.al, “Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam”, Jakarta: Rabbani Press, cet. I, 1997, hlm. 417 37
93
sumber
input
bagi
mayoritas
masyarakat,
dianalogikan
(diqiyaskan) dengan hasil pertanian tersebut. Begitu juga dengan madu yang dihasilkan oleh lebah, serta produk-produk yang dihasilkan zakatnya sebesar 1/10. 2. Hewan ternak, meliputi unta, sapi dan kambing. Zakat tetap diwajibkan atasnya, meskipun sepanjang tahun ternak tersebut digembalakan di padang rumput. 3. Barang temuan (peninggalan masyarakat dahulu); zakat yang harus dikeluarkan adalah 1/5. 4. Barang tambang; jenis harta ini, wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5 %. 5. Kekayaan perdagangan dan uang, zakatnya dikeluarkan 1/40 (2,5 %).38 Adapun zakat fitrah adalah zakat tahunan yang diwajibkan atas setiap kepala berkenaan dengan idul fitri yang terjadi setiap tahun. Zakat ini tidak disyaratkan adanya nishab, melainkan diwajibkan jika setiap muslim memiliki kelebihan dari bahan makanan pokok di negerinya atau nilai harganya. Kelebihan yang dimaksud yaitu kelebihan dari persediaan makanannya di malam dan hari Idul Fitri, yaitu 1 sha’ atau kurang lebih 2,5 Kg.39 Al-Qardhawi berpendapat bahwa Islam memandang harta sebagai sarana untuk mencapai kebaikan. Harta bukan petaka ataupun pemberian arwah-arwah buruk sebagaimana anggapan sebagian ahli agama. Anggapan 38 39
Yusuf al-Qardhawi, Musykilat al-Faqr …….., op. Cit, hlm. 88-89 Yusuf al-Qardhawi, Daurul Qiyam …….., loc. Cit
94
kaum sufi, bahwa kefaqiran adalah syiar bagi orang-orang yang shalih, juga tidak dapat dibenarkan. Al-Qur’an menyebut harta dengan “kebaikan” (Q.S 100: 8, 2: 15, 2: 180, 2: 215). Harta juga dipandang sebagai perhiasan hidup, pilar kesejahteraan dan kemaslahatan manusia. (Q.S. 18: 46, 4: 5). Islam memerintahkan untuk menjaga harta, melarang memubazirkan dan menyianyiakannya, karena dalam harta itu ada bagian dan hak sosial.40 Termasuk jenis harta yang wajib dizakati oleh emas dan perak, baik itu dalam bentuk uang/leburan logam (tibr), bejana, souvenir, ukiran/perhiasan bagi pria. Emas dan perak ini telah dijadikan manusia sebagai uang dan nilai tukar bagi segala sesuatu dalam waktu yang lama. Hal ini tidak lain karena kelangkaan dan keindahan yang dimilikinya.41 Nabi Muhammad SAW, telah mewajibkan zakat harta dalam dinar dan dirham. Padahal pada waktu itu dinar dan dirham dipakai sebagai alat tukar dan orang-orang Arab pada masa Nabi Muhammad SAW. Sehingga emas dan perak dianggap sebagai mata uang yang disyariatkan. Banyak hukum-hukum yang dikaitkan dengan emas dan perak, antara lain dalam hukum perdagangan, seperti dalam hal riba dan pinjaman, berhubungan dengan urusan individu, seperti dalam hal mahar perkawinan, serta berhubungan dengan hukum pidana, seperti dalam hal pemotongan tangan pencuri, dan diyat (denda). Selain itu berhubungan juga dengan hukum harta seperti dalam hal zakat.42 Mengenai uang yang ada sekarang, di mana materinya bukan berupa emas dan perak lagi, bahkan standar nilainyapun tidak didasarkan lagi pada 40
Ibid., hlm. 90-95 Yusuf al-Qardhawi, Fiqih az-Zakat, op.cit., hlm. 260 42 Ibid., hlm. 262 41
95
emas dan perak (fiat money). Al-Qardhawi dengan tegas mengatakan bahwa uang-uang tersebut tetap wajib dikenai zakat. Uang menurutnya adalah segala sesuatu yang dapat dipakai sebagai pengganti harga nilai, sebagai alat tukar dan alat untuk menyimpan. Setiap barang yang diterima serta mempunyai fungsi sebagaimana di atas oleh suatu masyarakat tertentu dan mengganti harga apa yang dijual, maka barang itu disebut uang, tanpa melihat kepada cara yang dipakai dalam tukar menukar.43 Uang kertas dengan berbagai jenisnya, mempunyai status dan akibat hukum yang sama dengan uang emas dan perak (dinar dan dirham). AlQardhawi membagi uang kertas menjadi 3 bagian, yaitu : 1. Uang kartal (tsaabitah), yaitu cek yang bernilai sejumlah emas dan perak dan tersimpan di bank tertentu. Cek kertas ini menggantikan uang/leburan logam, agar mudah membawa dan memindahkannya dan cek ini diedarkan atau dikeluarkan jika ada permintaan. 2. Uang perjanjian (demand deposite atau watsiiqah), yaitu cek yang dibawa berdasarkan perjanjian dari penandatangannya untuk dibayar kepada pembawanya dengan bilangan tertentu sesuai dengan permintaannya. Nota bank (bank note) yang dikeluarkan oleh bank-bank atas izin bank sentral dengan jaminan (borog), yang dikeluarkan sesuai dengan batas waktu yang ditentukan, adalah termasuk dalam jenis uang ini.
43
Ibid., hlm. 300
96
3. Uang biasa (al-Ilzamiyah) adalah jenis yang tidak menerima pengembalian dengan emas dan perak. Jenis uang ini ada dua macam: a. Uang resmi (treasury money); hanya dicetak pemerintah pada waktu-waktu tertentu dan menjadi mata uang utama, namun tidak dapat ditukar dengan emas dan perak, serta tidak dapat menerima borog. b. Nota bank; yang dikeluarkan oleh bank pengedar serta boleh diedarkan dengan emas dan perak. Jenis uang yang terakhir inilah, yang dipakai oleh mayoritas negaranegara dan di dunia setelah PD I. Uang ini harganya disandarkan kepada administer si perencana, karena ia tidak memiliki nilai intrinsik. Sehingga jika jenis uang ini dibatalkan atau dihanguskan, maka hilanglah nilainya. Syekh al-Aisyi – seorang mufti di Mesir – sebagaimana dikutip kembali oleh yusuf al-Qardhawi, mengemukakan bahwa “kaghid” (uang kertas yang padanya ada tanda tangan sultan) mempunyai hukum yang sama dengan emas dan perak, jika nilainya mencapai nilai emas dan perak dan telah mencapai waktu setahun (haul), karena itu wajib zakat atasnya. Menurut tiga madzhab (Syafi’i, Hanafi dan Maliki), jika kertas berharga (nota bank dan sejenisnya sebagai bukti piutang atas bank) tersebut, dapat ditukarkan langsung dengan emas atau perak zakat diwajibkan atasnya. Namun tidak demikian dengan madzhab Hanbali. Mestinya, zakat wajib atas uang kertas itu, jika dapat ditukarkan secara konkrit dengan emas dan perak.
97
Dan al-Qardhawi lebih cenderung pada pendapat pertama, karena mewajibkan zakat atas uang kertas tersebut, lebih baik dari pada membiarkannya berkembang biak. Status uang kertas adalah tidak beda dengan status emas dan perak. Ini dapat dilihat di mana kertas-kertas berharga itu menjadi nilai segala sesuatu, sebagai alat untuk melakukan transaksi jual beli dan untuk membayar gaji, upah dan sejenisnya. Pemilikan terhadap surat-surat berharga itu dinilaikan sebagai kekayaan. Ia memiliki kekuatan sebagaimana emas dan perak, baik itu dalam memenuhi kebutuhan, memudahkan tukar menukar dan dalam menentukan untung dan rugi. Pewajiban zakat atas uang kertas, bukanlah karena nilai bendawinya. Melainkan karena fungsi-fungsi yang dimilikinya sama dengan fungsi uang yang disyariatkan (emas dan perak). Emas dan perak memang memiliki nilai harta yang esensiil, karena keduanya merupakan bahan tambang. Walaupun jika suatu saat tidak sah tukar menukat dengannya, namun nilainya sebagai barang tambang masih tersisa. Al-Qardhawi lebih menitikberatkan pada pemahaman jiwa nash dan syariat. Secara riil dapat dilihat bagaimana semua manusia berusaha keras untuk memperoleh jenis uang kertas tersebut. Para fakir miskin begitu mendambakannya dan sangat gembira jika mereka diberikan sebagian kecil dari jenis uang tersebut. Sangat tidak beralasan, jika mengharamkan para mustahiq zakat untuk menerima zakat dan untuk memanfaatkan uang-uang
98
semacam itu yang mempunyai fungsi yang banyak sekali untuk dirinya pribadi dan juga untuk masyarakat. Ia juga berpendapat, bahwa surat-surat berharga dikenakan zakat, karena beberapa analogi, yaitu: 1. Sebagai harta yang dijamin bank, maka ia seperti harta yang tersedia. 2. Sebagai harta yang tersimpan di bank. 3. Sebagai hutang dalam jaminan bank; dalam hal ini ia dizakatkan sebagaimana zakat hutang. 4. Sebagai barang yang berharga; oleh karena itu maka diwajibkan zakat atasnya, dengan menganalogikannya dengan zakat uang emas atau perak tembaga. Jadi, surat-surat berharga maupun uang-uang kertas yang ada sekarang ini, baik yang ada di bank, maupun yang dimiliki sendiri wajib dikeluarkan zakatnya. Bank tidak memiliki keharusan untuk menukarkannya dengan emas dan perak. Para fuqaha terdahulu tidak mewajibkan zakat atas uang-uang semacam itu, karena pada awal penggunaannya, pemerintah belum merasa aman dalam menggunakannya dan masih menganggapnya sebagai barang baru. Dengannya mahar dapat dibayar, dengannya upah terbayar, diyat bagi pembunuh dibayar dengan menggunakan jenis uang tersebut, begitu pula orang-orang yang mencuci surat-surat berharga tersebut, dapat dihukum
99
selayaknya orang yang mencuri uang emas dan perak. Orang-orang yang memilikinya dianggap kaya dan memiliki status sosial dalam masyarakat.44 Hukum wajib zakat atas uang ini, juga didasarkan pada al-Qur’an dan al-Hadits. Diantara dasar-dasar hukum yang dijadikan alasan-alasan bagi wajibnya zakat uang, menurut Yusuf al-Qardhawi, adalah: 1. Q.S at-Taubah ayat 34-35 ; yang kurang lebih artinya: “…dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkakannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, pada hari dipanaskannya emas dan perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung-lambung punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka : Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan.” Dalam penjelasannya, al-Qardhawi berpendapat bahwa ayat tersebut memperingatkan bahwa dalam emas dan perak terdapat hak Allah secara menyeluruh. Penggalan ayat yang berbunyi : Dan mereka tidak menafkahkannya, yang dimaksud adalah emas dan perak dalam artian uang, karena ia adalah sesuatu yang dapat iinfakkan dan alat yang dapat digunakan langsung untuk itu selain itu, kata ganti ‘nya’ kembali kepada keduanya (dinar dan dirham). Hal ini tidak lain adalaah karena dinar dan dirham telah ditentukan sebagai mata uang dari emas dan perak. 2. Hadits Nabi SAW; yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah r.a, bahwa Nabi bersabda: “Tiadalah bagi pemilik emas dan perak yang tidak menunaikan haknya untuk menzakatkan keduanya, melainkan di hari kiamat ia dudukkan di atas pedang batu yang lebar dalam neraka, maka 44
Lebih lengkapnya lihat Yusuf al-Qardhawi, Ibid., hlm. 293-299
100
dibakar di dalam jahannam, diseterika dengannya pipi, kening dan punggungnya. Setiap api itu padam maka dipersiapkan lagi baginya (hal serupa) untuk jangka waktu 50 ribu tahun, hingga selesai pengadilan umat manusia semuanya, maka ia melihat jalannya, apakah ke surga ataukah ke neraka.” Dalam riwayat lain disebutkan dalam sabda Nabi: “Tiadalah bagi pemilik simapanan yang tidak mennaikan zakatnya, kecuali dibakar atasnya di neraka jahannam.” Selain itu juga hadits yang diriwayatkan dari Anas, ketika Abu Bakar mengirim surat kepada Anas, pada waktu ia diutus ke Bahrain: “dan dari mata uang dipungut dalam jumlah 200 dirham 2,5, %, jika tidak mencapai jumlah itu, kecuali 190 dirham, maka tidak ada padanya zakat kecuali jika dikehendaki oleh pemiliknya.” 3. Ijmak Qardhawi mengatakan bahwa tidak ada keraguan lagi dikalangan kaum muslimin di segala zaman atas wajibnya zakat 2 mata uang, yaitu emas dan perak.45 Dalam hal menentukan nishab uang, al-Qardhawi berpegang pada hadits ‘muttafaq alaih’ yang menyebutkan: “Tidak ada pada selain 5 awqiyah sedekah (zakat)”. Di samping itu juga berdasar pada firman Allah dalam surat al-Kahfi : “Maka suruhlah salah seorang diantara kamu ke kota dengan membawa uang perakmu.” Kata ‘warq’ dalam surat tersebut berarti dirham. Sedangkan Nawawi, sebagaimana dikatakan oleh Qardhawi, menyatakan: 5 uqiyah sama dengan 200 dirham. Dalam nash yang masyhur dan juga kesepakatan kaum muslimin 1 uqiyah itu sama dengan 40 dirham. Dari sini,
45
Ibid., hlm. 263-264
101
dapat dipahami bahwa uang perak banyak beredar pada masa Nabi, serta didukung oleh hadits-hadits yang masyhur. Sehingga ditetapkan, bahwa nishab perak adalah 200 dirham. Namun mengenai nishab uang emas (dinar), tidak terdapat hadits yang sekuat hadits tentang nishab perak. Hanya saja para jumhur terbesar dari fuqaha berpendapat bahwa nishab emas adalah 20 dinar. Menurutnya, kelemahan hadits-hadits tersebut jika diterima, maka hal itu menjadi urusan para sahabat, dan ulama salaf, bukan urusan ulama muta’akhir. Tidak terdapat penolakan syari dalam hadits, ketika hal ini terdapat dalam hadits-hadits yang mewajibkan zakat dalam 20 dinar satu dinar. Mengenai hadits yang menyebutkan bahwa nishab emas adalah 40 dinar, ia berpendapat bahwa tidak ada alasan untuk menyisakan zakat pada selain 40 dinar, karena ia merupakan nash tentang ukuran wajib, dan tidak mempertentangkan keterangan nishab. Mengenai sabda Nabi “pada setiap 40 dinar satu dinar” sama dengan perkataan manusia pada umumnya “pada setiap 100 dinar 2,5 dinar atau pada 1000 dinar 25 dinar.” Hal itu hanya masalah pengaitan saja, sebagaimana 200 dirham disamakan dengan 20 dinar.46 Kaum muslimin telah sepakat bahwa ukuran kewajiban pengeluaran zakat emas dan perak (uang) adalah 2,5 %. Sebagaimana ditetapkan dalam hadits Rasulullah: “Pada riqqah 2,5 %”. Besarnya kadar zakat uang ini merupakan semacam pajak atas pemiliknya baik untung maupun rugi. Berbeda dengan ukuran zakat tanam-tanaman atau buah-buahan (5 % atau 10 %), 46
Hadits-hadits tentang nishab emas tersebut, dijelaskan secara rinci oleh Yusuf al-Qardhawi, baik dari segi rawi, maupun sanadnya. Lebih lengkapnya baca, Yusuf al-Qardhawi, Ibid., hlm. 268-275
102
karena tanam-tanaman/buah-buahan merupakan suatu keuntungan bagi pemilik harta.47 Besarnya zakat tersebut tidak bisa diubah-ubah, baik itu dikurangi maupun
ditambahkan.
Al-Qardhawi
mengemukakan
dalil-dalil
yang
menjelaskan bahwa ukuran besarnya zakat uang tersebut merupakan suatu ketetapan yang sudah paten. Alasan-alasan tersebut antara lain: 1. Hal itu bertentangan dengan nash yang jelas, seperti sunnah nabi dan sunnah Khulafaur Rasyidin. Padahal Allah memerintahkan agar umat Islam berpegang teguh kepada sunnah. 2. Bertentangan dengan ijmak kaum muslimin selama 14 abad. Meskipun terjadi perubahan sistem ekonomi, konstelasi politik dan budaya, para ulama tidak melakukan perubahan terhadap prosentase zakat tersebut. 3. Perbedaan pendapat para ulama, mengenai penambahan prosentase zakat tersebut, menunjukkan bahwa ukurannya adalah tetap. 4. Para fuqaha ada yang memakai qiyas untuk merubah ukuran zakat tersebut sedangkan golongan Hanafiah berpendapat bahwa masalah ukuran dan pembatasan adalah hak syariat, karena itu tidak dapat dimasuki Qias. Jika Qias tidak bisa memasuki persoalan ukuran, maka nash dan ijmak juga tidak bisa merubah ukuran tertentu. 5. Zakat merupakan suatu kewajiban, yang mempunyai sifat yang tetap, kekal dan utuh. Perubahan atasnya merupakan penghapusan karakteristik yang dimilikinya dan hal itu tidak boleh dilakukan.
47
Ibid., hlm. 266. Lihat juga Yusuf al-Qardhawi, Daurul Qiyam…….., loc. Cit.
103
6. Sesuatu yang dapat ditambah dapat pula dikurangi, sehingga hilanglah makna dan hakikat zakat sebagai ibadah dengan tetap dan syariat yang abadi. 7. Jika persoalan ini dibicarakan secara terbuka, maka akan mengakibatkan penjauhan dari syariat. Kebutuhan dana bagi masyarakat atau negara dapat diatasi dengan pengadaan pajak lain di luar zakat.48 Adapun mengenai ukuran nilai dirham dan dinar yang disyariatkan, para ulama berbeda pendapat. Namun al-Qardhawi lebih condong untuk mengikuti ukuran yang diketemukan berdasarkan metode penelusuran, yaitu dengan cara memeriksa berat uang logam yang tersimpan dalam museummuseum Arab dan barat, terutama mengenai dinar dan mitsqalnya. Hal itu disebabkan, bahwa ukuran atau berat dinar dan dirham adalah tetap, baik pada zaman jahiliyah maupun pada zaman Islam, sebagaimana yang dikatakan oleh para sejarawan. Dari penelusuran tersebut, diketemukan bahwa berat 1 dinar Abdul Malik beratnya 4,25 gr, yaitu sama dengan berat 1 Poundsterling Inggris. Sehingga berat 1 dirham berarti 4,25 X 7 = 2,975 gr. Mengenai hal ini para sejarawan berbeda pendapat. Tetapi mereka sependapat bahwa perbandingan dinar dan dirham adalah 7: 10. Sedangkan berat 1 mitsqal sama dengan berat 1 dinar yang sah, yaitu mitsqal Makkah yang beratnya 4,25 gr. Dalam hal ini alQardhawi lebih cenderung untuk menetapkan bahwa berat 1 dirham = 2,97 gr.
48
Yusuf al-Qardhawi, Fiqih az-Zakat, ibid., hlm. 266-268
104
Jadi nishab perak dengan timbangan baru menjadi 200 X 2,975 = 595 gr, sedangkan nishab emas adalah 20 X 4,25 = 85 gr.49 Permasalahan berikutnya adalah dengan mata uang mana ditentukan nishab zakat. Apakah dengan menggunakan standar emas ataukah perak. AlQardhawi berpendapat bahwa nishab zakat uang sekarang lebih tepat didasarkan/disandarkan kepada emas. Ia berargumen, bahwa dahulu Rasulullah memang menetapkan nishab zakat atas dasar emas dan perak. Namun, yang beliau maksudkan hanya menetapkan satu nishab atas dasar 2 mata uang (dinar dan dirham). Nabi memang menetapkan bahwa nishab kekayaan atas mata uang dinar sebesar 20 dinar (20 mitsqal) atau mata uang perak sebesar 200 dirham. Pada waktu penetapan tersebut, nilai 1 dinar = 10 dirham. Tetapi, pada masamasa setelah Nabi SAW, nilai mata uang perak terus merosot secara drastis. Pada masa Khulafaur Rasyidin, nilai 1 dinar = 12 dirham, kemudian merosot lagi sehingga 1 dinar = 15 dirham, 20 dirham, 30 dirham, dan seterusnya. Kemerosotan tersebut semakin parah, sehingga terjadi ketimpangan atau selisih yang sangat besar antara nishab yang didasarkan pada emas dan nishab yang didasarkan pada perak. Pada waktu itu, al-Qardhawi mengatakan bahwa 200 sama dengan 50 riyal Saudi atau riyal Qatar. Sedangkan nishab kekayaan yang ditetapkan atas dasar mata uang emas (dinar) mencapai 1500 riyal atau lebih. Nishab
49
Dalam menentukan ukuran nilai dinar dan dirham syar’i ini, banyak metode yang digunakan para ulama maupun para sejarawan. Secara jelasnya lihat Yusuf al-Qardhawi, Ibid., hlm. 275-283
105
berdasarkan perak amat rendah nilainya dan tidak dapat dijadikan pedoman. Orang yang mempunyai uang senilai 50 riyal tidak dapat dianggap kaya. Al-Qardhawi menetapkan bahwa penghitungan nishab uang harus berdasarkan emas, karena ukuran emaslah yang paling tepat. Disamping itu, dengan menggunakan standar emas, nilainya tidak jauh berbeda dengan penghitungan nishab harta kekayaan selain uang. Misalnya nishab unta: 5 ekor, kambing 40 ekor, dan seterusnya. Jadi, jika seseorang memiliki uang kertas (atau logam selain emas dan perak) yang jumlahnya sama dengan harga 85 gr
emas, maka ia wajib
menunaikan zakatnya sebesar 2,5 %.50
50
Yusuf al-Qardhawi, Hadyu al-Islam Fatawa Mu’ashirah, terj. Al-Hamid al-Husaini, “Fatwa-fatwa Kontemporer”, Jakarta : Pustaka Hidayah, 2000, Cet ke-4, hlm. 362-364