ANALISIS NILAI TAMBAH COKELAT BATANGAN (CHOCOLATE BAR) DI PIPILTIN COCOA, KEBAYORAN BARU, JAKARTA SELATAN
VITALIA PUTRI ASHERI
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Nilai Tambah Cokelat Batangan (Chocolate Bar) di Pipiltin Cocoa, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan,adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Mei 2014 Vitalia Putri Asheri NRPH34100057
ABSTRAK VITALIA PUTRI ASHERI. ANALISIS NILAI TAMBAH COKELAT BATANGAN (CHOCOLATE BAR) DI PIPILTIN COCOA, KEBAYORAN BARU, JAKARTA SELATAN. Dibimbing oleh AMZUL RIFIN. Indonesia merupakan produsen biji kakao ketiga didunia.Selama ini kakao Indonesia hanya diekspor dalam bentuk biji kakao kering.Produsen produk kakao olahan yaitu cokelat didominasi oleh negara – negara Eropa. Ironis sekali, biji kakao sebagai bahan baku utama cokelat tidak dihasilkan di Eropa. Oleh karena itu, sudah saatnya Indonesia mengubah peran dari sebagai eksportir biji kakao mentah menjadi negara produsen produk – produk sekunder berbahan bakukakao. Pemerintah mulai mendukung industri pengolahan biji kakao dengan menerapkan kebijakan pajak ekspor biji kakao dan hasilnya, volume ekspor biji kakao terlihat menurun serta terjadi peningkatan kapasitas industri kakao dalam negeri.Namun industri pengolahan kakao ini masih didominasi oleh perusahaan – perusahaan asing seperti Nestle, Marz, JB Cocoa Malaysia, dan sebagainya.dibandingkan usaha kecil menengah. Industri kecil menengah saat ini lebih banyak menghasilkan produk cokelat turunan (cokelat compound) dengan penggunaan lemak kakao yang sangat sedikit proporsinya dan produk antara atau cokelat setengah jadi. Biji kakao diproduksi mayoritas oleh petani rakyat sehingga penggunaan kakao dalam industri pengolahan yang semakin besar akan membantu mendorong petani untuk meningkatkan produksinya. Sedangkan selama ini nilai tambah dari hasil pengolahan biji kakao masih dinikmati oleh pengusaha – pengusaha asing.Harapan baru muncul dari industri pengolahan kakao menengah “Pipiltin Cocoa” di daerah Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.Pipiltin Cocoa menghasilkan produk cokelat utama (cokelat batangan) asli dengan biji kakao lokal yaitu dari Bali dan Aceh.Penelitian ini menghitung nilai tambah produk cokelat batangan Pipiltin Cocoa dengan membandingkan dua metode yaitu metode Hayami dan Syahza.Hasil penelitian menunjukan bahwa nilai tambah cokelat batangan Pipiltin Cocoa adalah sebesar Rp 298 000 per kg penggunaaan biji kakao.Berdasarkan hasil perhitungan, nilai tambah cokelat batangan Pipiltin Cocoa yang dianalisis dengan metode Hayami adalah sama dengan analisis nilai tambah menggunakan metode Syahza. Kata kunci: Biji kakao, cokelat, industri cokelat, nilai tambah
ABSTRACT VITALIA PUTRI ASHERI. Added Value Analisys of Chocolate Bar in Pipiltin Cocoa, Kebayoran Baru, South Jakarta.Supervised by AMZUL RIFIN. Indonesia is the third largest world cocoa producer. Previously, Indonesia is just an exportir of cocoa beans. Producer of processing cocoa
product is dominated by European countries. Although cocoa beans as a main raw product of chocolate was not produced in Europe. Thus, Indonesia should change their role from being a cocoa beans exporter to a cocoa finished product exporter. Indonesian government start to support manufacturing of cocoa beans by implementing export tax policy. The result of that policy is cocoa beans export volume decreased and increased in domestic cocoa industry capacity. Unfortunately, cocoa manufacturing industry is still more dominated by international companies such as Nestle, Marz, JB Cocoa Malaysia, and others than domestic small and medium enterprise. Nowadays, the most of small and medium enterprise produce compound chocolate and semi finished chocolate. For a long time, added value of cocoa beans processing was still enjoyed by international companies. One of small and medium enterprise in producing real chocolate from local cocoa beans is Pipiltin Cocoa in Kebayoran Baru, South Jakarta. Pipiltin Cocoa produce main product which is chocolate bar with local cocoa beans from Aceh and Bali. This research use two methods: Hayami and Syahza in counting added value. The result of this research showed that value added of chocolate bar by Pipiltin Cocoa as much as Rp 289 000 per kg cocoa beans which is used in production. Based on calculation result, added value of Pipiltin Cocoa’s chocolate bar which was analyzed by Hayami method is same as the results of added value calculation by using Syahza method. Keyword:Cocoa beans, chocolate, chocolate industry, added value
ANALISIS NILAI TAMBAH COKELAT BATANGAN (CHOCOLATE BAR) DI PIPILTIN COCOA,KEBAYORAN BARU, JAKARTA SELATAN
VITALIA PUTRI ASHERI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014
Judul Skripsi
Nama NRP
:ANALISIS NILAI TAMBAH COKELAT BATANGAN (CHOCOLATE BAR) DI PIPILTIN COCOA, KEBAYORAN BARU, JAKARTA SELATAN : Vitalia Putri Asheri : H34100057
Disetujui oleh
Dr Amzul Rifin, SP, M.A Dosen Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Dwi Rachmina MSi Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Desember 2013 ini adalah Analisis Nilai Tambah Cokelat Batangan (Chocolate Bar)di Pipiltin Cocoa, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Penelitian ini berlatarbelakang rendahnya jumlah usaha kecil menengah dalam mengolah biji kakao menjadi cokelat asli dibanding cokelat turunan serta industri pengolahan biji kakao asing yang lebih mendominasi. Pengkajian nilai tambah cokelat batangan di industri pengolahan kakao lokal “ Pipiltin Cocoa” diharapkan dapat menjadi sumber informasi besarnya nilai tambah pengolahan kakao menjadi cokelat asli. Terimakasih tidak terhingga kepada Mamah, Papah, Tante, Paman, Adik – adik, dan seluruh keluarga atas segala doa dan bimbingannya. Terima kasih sebesar – besarnya juga penulis ucapkan kepada Dr. Amzul Rifin, SP, M.A selaku dosen pembimbing dan pihak Pipiltin Cocoa khususnya Ibu Tissa dan Bapak Ivan yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian di Pipiltin Cocoa. Selain itu, penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Dr. Dwi Rachmina, Dr. Nunung Kusnadi, dan Bapak/Ibu dosen lainnya yang turut menyumbangkan saran, kepada Ibu Yoyoh, Ibu Dian, dan Ibu Ida serta para staf di Departemen Agribisnis yang turut membantu kelancaran administrasi. Di samping itu, penulis juga mengucapkan terimakasih kepada sahabat – sahabat tercinta, Muhjah Fauziyyah, Novita Permatasari, Aghnia An’umillah, Siti Nurjanah, Resty Yanuar, Nurlela, Putri Amalia, Putri Anggraeni, Novita Nurul, Rahmi Yuniarti, keluarga Agribisnis 47, dan keluarga Annaba47, yang telah membantu dan memberikan motivasi dan doanya serta kepada para pihak lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah membantu dalam pengumpulan data. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Mei 2014 Vitalia Putri Asheri
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR LAMPIRAN
vii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
4
Tujuan Penelitian
6
Manfaat Penelitian
6
Ruang Lingkup Penelitian
7
TINJAUAN PUSTAKA Studi Empiris tentangAnalisis Nilai Tambah Pada Usaha Kecil Menengah KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis Konsep Nilai Tambah Kerangka Pemikiran Operasional
7 7 11 11 11 13
METODOLOGI PENELITIAN
16
Lokasi dan Waktu Penelitian
16
Jenis dan Sumber Data
16
Metode Pengumpulan Data
16
Metode Pengolahan dan Analisis Data
16
Prosedur Perhitungan Nilai Tambah Metode Hayami
17
Prosedur Perhitungan Nilai Tambah Metode Syahza
17
GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN
18
Sejarah dan Perkembangan Perusahaan
18
Lokasi Perusahaan
19
Struktur Organisasi
20
Bahan Baku dan Operasional Perusahaan
20
Peralatan Produksi
21
Proses Produksi Cokelat Batangan
21
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Nilai Tambah Cokelat Batangan Metode Hayami
23 24
Analisis Nilai Tambah Cokelat Batangan Metode Syahza
28
Perbandingan Analisis Nilai Tambah Metode Hayami dan Syahza
29
SIMPULAN DAN SARAN
31
Simpulan
31
Saran
31
DAFTAR PUSTAKA
32
LAMPIRAN
35
RIWAYAT HIDUP
38
DAFTAR TABEL 1 Produksi biji kakao dunia 2 Grinding ( Pengolahan) biji kakao (000 Ton) 3 Volume dan nilai ekspor biji kakao sebelum dan sesudah penetapan Bea Keluar 4 Perbandingan kapasitas produksi kakao sebelum dan sesudah penetapan Bea Keluar 5 Prosedur perhitungan nilai tambah pengolahan biji kakao dengan MetodeHayami 6 Hasil Analisis Nilai Tambah pada Pengolahan Biji Kakao menjadi cokelat dengan Metode Hayami 7 Perbandingan hasil analisis nilai tambah dengan metode Hayami dan Syahza 8 Proporsi hasil dan nilai tambah pengolahan biji kakao menjadi produk antara oleh Dilana ( 2012)
1 2 2
3 17 25 27 29
DAFTAR GAMBAR 1 Kerangka operasional analisis nilai tambah cokelat 2 Proses pengolahan biji kakao
15 23
DAFTAR LAMPIRAN 1 Daftar Industri Kakao dan Cokelat tahun 2013 2 Lokasi Pipiltin Cocoa
35 37
PENDAHULUAN Latar Belakang Cokelat merupakan produk turunan dari industri pengolahan biji kakao.Penghasil biji kakao terbesar di dunia sampai tahun 2013 adalah negara Pantai Gading (1480000 ton) dan Ghana (850000 ton), selanjutnya disusul oleh Indonesia (430000). Saat ini kakao dunia diproduksi oleh Afrika dengan pangsa produksinya sebesar 73% dari produksi dunia, kemudian diikuti Asia dan Oceania sebesar 14% dan Amerika sebesar 13% (Cocoa Market Update 2012). Tabel 1 menunjukan perkembangan produksi kakao dunia sampai pada tahun 2013. Tabel 1 Produksi biji kakao dunia ( 000 ton) Afrika Kamerun Pantai Gading Ghana Nigeria Lainnya Amerika Brazil Ekuador Lainnya Asia dan Oceania Indonesia Papua New Guinea Lainnya Total Dunia
2010/2011 3224 229
2011/2012 2919 207
2012/2013 2876 225
1511 1025 240 220 561 200 161 201
1486 879 235 113 642 220 190 232
1480 850 230 91 595 185 185 225
526 440 48 39 4312
520 450 39 32 4082
515 430 45 40 3986
Sumber : ICCO 2013
Indonesia merupakan produsen biji kakao terbesar ketigadi dunia setelah Pantai Gading dan Ghana.Hal yang cukup mengganjal sampai saat ini adalah penggunaan biji kakao dalam negeri sebagai bahan baku industri pengolahan produk – produk turunan seperti lemak, bubuk, pasta cokelat, dan cokelat batangan masih sangat rendah. Pada tabel satu terlihat bahwa produksi biji kakao Indonesia tahun 2010/2011 sebesar 440 000 ton, namun total grinding (pengolahan) hanya sebesar 190 000 ton( Tabel 2), sisanya diekspor dalam bentuk biji mentah ( Kementerian Pertanian 2011). Pada periode tahun 2010/2011 hingga 2012/2013terlihat adanya peningkatan terhadap volume pengolahan biji kakao Indonesia. Perkiraan oleh ICCO ( International Cocoa Organization 2013), total pengolahan biji kakao Indonesia tahun 2011/2012 bertambah menjadi 270 000 ton dan sebesar 255 000 ton pada tahun 2012/2013. Statistik data grinding biji kakao Indonesia dapat dilihat pada tabel 2 berikut,
2
Tabel 2 Grinding ( pengolahan) biji kakao ( 000 Ton) Eropa Jerman Belanda Lainnya Afrika Pantai Gading Ghana Lainnya Amerika Brazil Ekuador
Lainnya Asia dan Oceania Indonesia Papua New Guinea Lainnya Total Dunia
2010/2011 1624 439
2011/2012* 1521 407
2012/2013* 1575 400
540 646
500 614
530 645
658 361 230
717 431 212
755 460 225
67 861 230 67 221 795 190 305 299 3938
74 845 212 74 216 873 270 297 307 3956
70 878 225 70 225 845 255 293 298 4956
Keterangan: * Estimasi Sumber : ICCO 2013
Pada tahun 2010, pemerintah menerapkan kebijakan Bea Keluar (BK) terhadap ekspor biji kakao. Kebijakan ini diterapkan untuk menurunkan volume ekspor biji kakao mentah dan terus meningkatkan volume grinding biji kakao sebagai bahan baku industri dalam negeri.Berdasarkan penelitian Syadullah (2012), setelah pemberlakuan bea keluar tersebut, ekspor biji kakao menurun dan jumlah perusahaan pengolahan kakao meningkat. Perubahan signifikan juga terjadi pada volume ekspor biji kakao dan kakao olahan pada 2011, seperti terlihat pada tabel dibawah (tabel 3).Ekspor biji kakao pada tahun 2010 menurun sebesar 6 868 ton (2 persen), sedangkan produk olahannya meningkat sebesar 20.516 ton (25 persen).Berita ini menyimpulkan bahwa kondisi agribisnis kakao dalam negeri sudah mulai menunjukan upaya peningkatan nilai tambah. Tabel 3 Volume dan nilai ekspor biji kakao sebelum dan sesudah penetapan Bea Keluar Komoditi Biji kakao Kakao olahan
Volume (MT) 2009 2010 439, 300 432, 426 82,539 103,055
Keterangan : 2009 sebelum penetapan BK 2010 setelah penetapan BK *) Prediksi Sumber :Kementerian Perindustrian 2012
% -2 25
Nilai (USD) 2009 2010 1,090,000,000 1,190,000,000 295,000,000 406,000,000
% 9 38
3 Dampak penerapan BK lainnya adalah adanya penggeseran penggunaan biji kakao dalam negeri sebagai bahan baku industri lokal yang terus meningkat sekaligus tumbuhnya industri – industri baru pengolah kakao.Pada tahun 2006, industri kakao dan cokelat masih berjumlah 21 unit, sedangkan saat ini terdapat peningkatan jumlah industri kakao dan cokelat menjadi 39 unit (lampiran 1).Selain itu, perusahaan pengolah kakao dalam negeri juga terlihat meningkatkan kapasitas produksinya (tabel 4), bahkan beberapa pabrik cokelat yang sempat mati suri kembali beroperasi (Kementerian Perindustrian, 2012) . Tabel4 Perbandingan kapasitas produksi pengolahan kakao sebelum dan sesudah penetapan bea keluar Keterangan Kapasitas produksi (ton) Kenaikan
Tahun 2009 125 000
2010 150 000
2011* 280 000
2012* 400 000
20%
87%
43%
Keterangan : 2009 sebelum penetapan BK 2010 – 2011setelah penetapan BK *) Prediksi Sumber :Kementerian Perindustrian 2012
Peningkatan jumlah industri kakao bukan parameter kuat terhadap kemajuan indusri kakao dalam negeri.Kakao dihasilkan mayoritas oleh petani rakyat, sebesar 89%, disusul oleh swasta 5%, dan perkebunan negara sebesar 6% (Kementrian Perindustrian 2012).Oleh karena itu perlu diperhatikan apakah kemajuan indusri pengolahan kakao sudah menjamin dalam pembentukan kesejahteraan petani sebagai aktor utama penghasil biji kakao.Sebagian besar petani mampu mengolah kakaonya dalam suatu industri kecil dan menengah.Sedangkan meningkatnya industri kakao didominasi oleh peran perusahaan asing atau multinasional. Perkembangan industri pengolahan kakao dalam negeri belum mempunyai pengaruh yang signifikan dalam mendorong munculnya industri pengolahan kakao skala kecil dan menengah.Pada tahun 2011, munculnya pabrik pengolahan kakao baru di Batam oleh investor asal Malaysia yaitu PT. Asia Cocoa Indonesia.Sedangkan tahun 2013, pabrik asing lainnya mulai masuk dan beroperasi di Indonesia seperti JB Cocoa asal Malaysia, Mars dan Cargil asal AS, dan Nestle asal Swiss (Asosiasi Industri Kakao Indonesia, 2013).PT Nestle melakukan ekspansi pabrik susu Milo dan Dancow di Pasuruan dan Karawang.Pabrik – pabrik ini memproduksi produk perantara industri hilir seperti bubuk cokelat yang kemudian dikirim ke negara asli untuk diolah menjadi cokelat.Cokelat atau produk turunan cokelat dari negara – negara tersebut kemudian diekspor kembali ke Indonesia. Sedangkan cokelat yang telah dikenal didalam negeri seperti Silverqueen, Delfi, Cadburry, merupakan cokelat lisensi perusahaan luar negeri meskipun proses produksi dilakukan di Indonesia. Industri kecil dan menengah pengolahan biji kakao masih kalah bersaing dengan perusahaan asing tersebut. Produk cokelat hasil industri menengah merupakan cokelat compound yaitu jenis cokelat dengan proporsi penggunaan lemak cokelat yang sangat rendah (adanya kombinasi antara lemak cokelat dengan
4 lemak sayur). Selain itu, saat ini Indonesia belum mempunyai produk cokelat unggulan hasil produksi industri kecil dan menengah.Hal ini memberikan pelajaran besar bahwa kemajuan industri kakao dalam negeri hanya kemajuan perusahaan asing yang berhasil menanamkan investasinya didalam negeri. Indonesia masih menggantungkan industri hilir kakaonya kepada perusahaan asing dan itu artinya nilai tambah hasil olahan kakao masih dirasakan oleh produsen luar dan Indonesia masih berperan sebagai penyedia bahan baku saja. Lambatnya pengembangan industri pengolahan pengolahan kakao skala kecil dan menengah perlu diidentifikasi faktor- faktor penyebabnya. Salah satu faktor yang dapat dianalisis adalah nilai tambah. Nilai tambah yang besar sebagai ukuran keutungan kotor produsen menjadi satu faktor pemicu perkembangan Usaha Kecil Menengah (UKM) pengembangan cokelat.Berdasarkan uraian diatas, menarik untuk diteliti apakah nilai tambah pengolahan kakao menjadi cokelat oleh UKM selama ini masih rendah sehingga industri pengolahan kakao menjadi cokelat masih didominasi oleh perusahaan besar dan asing. Harapan terhadap majunya industri pengolahan kakao dalam negeri muncul dari Pipiltin Cocoa.Pipiltin Cocoa merupakan industri menengah pengolah biji kakao asli Indonesia untuk dihasilkan menjadi cokelat asli (cokelat converture) dan berbagai produk turunannya.Pemilik Pipiltin adalah warga domestik yang memahami dengan baik kondisi agribisnis kakao Indonesia.Pipiltin mengolah biji kakao lokal dari Aceh dan Bali menjadi cokelat asli.Motivasi utama pemilik adalah mendirikan suatu industri pengolahan kakao lokal menjadi produk cokelat dengan kualitas tinggi layaknya cokelat – cokelat luar negeri. Dari uraian ini, menarik untuk diteliti besarnya nilai tambah industri cokelat “ Pipiltin Cocoa” sebagai bahan informasi bagi seluruh stakeholder agribisnis kakao khususnya pemerintah dalam mengembangkan industri cokelat.
Perumusan Masalah Berdasarkan kualitasnya, kelebihan kakao Indonesia di pasar dunia yaitu bubuk kakao yang dihasilkan memiliki mutu yang baik dan mengandung lemak cokelat serta mempunyai titik leleh yang tinggi sehingga mudah untuk blending dan tidak mengandung pestisida dibanding biji kakao Ghana dan Pantai Ghading. Selain itu, dapat juga dilihat perkembangan harga kakao pada tahun 2012 hingga tahun 2013 di pasar dunia yang semakin meningkat. Pada tahun 2012, harga kakao adalah US$ 2410/ton dan meningkat menjadi 2824/ton pada tahun 2013 (ICCO 2013). Peningkatan harga kakao ini akan berpengaruh positif terhadap harga cokelat. Dari uraian tersebut diatas, sudah saatnya Indonesia lebih fokus untuk mengembangkan industri pengolahan kakao selain dari pada peningkatan produksi. Kecenderungan perdagangan global yang semakin terbuka dan kompetitif merupakan peluang dan tantangan yang sama besarnya bagi seluruh pelaku bisnis, termasuk pelaku dalam industri pengolahan kakao. Kebijakan pemerintah untuk menurunkan volume ekspor telah dilakukan dengan menerapkan bea keluar untuk ekspor biji kakao. Kebijakan ini telah berhasil menurunkan volume ekspor biji kakao dan menggeser penggunaannya untuk memasok industri dalam negeri.Akibatnya, Indonesia pun mulai berhasil mengekspor produk kakao olahan
5 dan meningkatkan kapasitas produksi industri pengolahan kakao di dalam negeri.Selain itu, beberapa pabrik pengolahan cokelat yang sebelumnya mati suri dapat kembali beroperasi.Hal ini menunjukan adanya upaya pengembangan pemberian nilai tambah kakao melalui penciptaan produk turunan.Pengolahan kakao menjadi produk cokelat yang memiliki nilai tambah menjadi fokus utama pemerintah yang harus semakin serius digalakkan.Nilai tambah sebagai ukuran seberapa besar nilai guna cokelat yang telah diproduksi dan sebagai parameter kesuksesan industri dalam upaya menghadapi persaingan dengan industri cokelat di luar negeri. Namun saat ini industri pengolahan kakao di dalam negeri masih kalah bersaing dengan produk cokelat di negara Swiss, Belgia, dan negara – negara Eropa lain dimana negara – negara tersebut tidak memiliki bahan baku sendiri. Kualitas cokelat negara tersebut sudah tidak diragukan lagi sehingga diimpor oleh berbagai negara pengolah cokelat termasuk Indonesia.Cokelat yang beredar di pasaran saat ini tidak sedikit yang mengimpor kepingan cokelat atau bubuk kakao dari luar khususnya dari Belgia. Aspek lainnya yaitu industri cokelat yang tidak menggunakan bahan baku impor namun mengganti lemak kakaonya dengan minyak nabati. Suatu keganjalan juga terlihat bahwa produk cokelat yang telah lama dikenal oleh masyarakat lokal rata – rata bukan dimiliki oleh pengusaha asli Indonesia, namun perusahaan penghasil cokelat ini masih di bawah manajemen perusahaan Eropa dimana dalam processingnya harus mendapat ijin lisensi dari perusahaan tersebut pada setiap kali produksi. Selain itu, mulai tumbuhnya industri pengolahan kakao di Indonesia saat ini namun baru menghasilkan cocoa powder atau bubuk kakao sebagai bentuk cokelat setengah jadi atau bahan baku cokelat. Volume industri kakao ini masih lebih besar dibandingkan industri cokelat yang menghasilkan produk – produk cokelat batangan dan turunannya. Tumbuhnya pabrik – pabrik pengolahan kakao di dalam negeri yang didominasi oleh produk antara disebabkan oleh sebagian besar perusahaan tersebut adalah milik perusahaan asing. Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI 2012) mengatakan bahwa beberapa pabrik asing yang telah masuk dan beroperasi di Indonesia pada tahun 2013 lalu adalah JB Cocoa asal Malaysia, Mars dan Cargil asal AS, dan Nestle asal Swiss. Pabrik – pabrik ini memproduksi produk perantara industri hilir seperti bubuk cokelat yang kemudian dikirim ke negara asli untuk diolah menjadi cokelat.Cokelat atau produk turunan cokelat dari negara – negara tersebut kemudian diekspor kembali ke Indonesia.Keadaan demikian membuktikan bahwa hasil nilai tambah dari industri pengolahan kakao ini belum sepenuhnya dinikmati oleh industri lokal. Kepemilikan perusahaan asing terhadap pabrik pengolahan kakao di dalam negeri menjadi salah satu faktor penghambat kemajuan industri kakao lokal milik usaha kecil dan menengah.Banyaknya industri kakao dan cokelat dalam negeri dengan kepemilikan perusahaan asing membuat para investor tidak tertarik untuk berinvestasi pada usaha kecil menengah atau industri kecil kakao.Akibatnya, petani sebagai produsen kakao sulit untuk merubah posisinya sebagai produsen kakao menjadi pengolah biji kakao. Petani hanya berperan sebagai pemasok bahan baku cokelat. Nilai tambah dari beragam produk cokelat dan turunannya ini belum bisa dirasakan manfaatnya secara langsung oleh petani sebagai pemilik industri kecil pengolahan kakao.Hal ini disebabkan oleh besarnya nilai investasi awal dari pembangunan industri pengolahan kakao.Piter (Ketua UmumAIKI) mengatakan
6 bahwa perkiraan investasi pabrik olahan cokelat asal Malaysia seperti yang dijelaskan diatas adalah Rp 435 Milliar.Oleh karena itu, berkembangnya industri olahan cokelat milik industri besar luar negeri memberikan dampak yang negatif bagi kemajuan industri kecil di dalam negeri. Perhitungan nilai tambah pada industri cokelat “Pipiltin Cocoa” ini perlu dilakukan berkaitan dengan seberapa besar nilai tambah yang dihasilkan oleh perusahaan lokal dengan pemilik asli Indonesia serta bahan baku lokal. Selain itu, pentingnya menghitung nilai tambah pada cokelat berbahan baku lokal ini diharapkan dapat membangkitkan industri kecil untuk termotivasi menghasilkan produk cokelat dengan loyalitas kualitas tinggi. Dengan demikian, investor pun tertarik menanamkan investasinya pada industri kecil saat ini.Penelitian ini berfokus pada produk cokelat batangan sebagai produk utama Pipiltin Cocoa sekaligus jenis cokelat yang selama ini lebih dikenal masyarakat. Penelitian mengenai analisis nilai tambah yang telah dilakukan oleh banyak pihak pada penelitian sebelumnya adalah menggunakan metode Hayami yang muncul pertama kali pada tahun 1987.Dalam penelitian kali ini, penulis mencoba memandang pada sisi yang berbeda yakni mengambil dua metode dalam perhitungan nilai tambah cokelat yaitu metode Syahza yang dicetuskan pada tahun 2000.Selanjutnya, hasil nilai tambah pada masing – masing metode dianalisis perbedaan maupun kesamannya. Berdasarkan uraian diatas, secara ringkas, perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Berapa nilai tambah cokelat batangan di Pipiltin Cocoa? 2. Bagaimana perbandingan nilai tambah berdasarkan metode Hayami dengan Syahza?
Tujuan Penelitian 1. Mengkaji nilai tambah cokelat di Pipiltin Cocoa dengan fokus pada produk cokelat utama yaitu cokelat batangan (chocolate bar) 2. Membandingkan hasil analisis nilai tambah berdasarkan metode Hayami dan Syahza
Manfaat Penelitian 1. Bagi Industri: sebagai informasi pengukuran peluang mengembangkan produk cokelat dan bahan evaluasi untuk terus meningkatkan nilai tambah sehingga cokelat lokal dapat menembus pasar internasional (sebagai bahan pertimbangan pengembangan usahanya). 2. Bagi Pemerintah, Pengambil Kebijakan, dan Instansi terkait, diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan untuk semakin fokus berupaya melakukan ekspansi terhadap industri kakao dan cokelat nasional. 3. Bagi Akademisi dan peneliti khususnya diharapkan dapat menjadi bahan untuk terus meneliti agribisnis kakao dan pemicu untuk meningkatkan wawasan dan pengetahuan mengenai kakao dan industri cokelat.
7 Ruang Lingkup Penelitian Penelitianini mengkaji pengolahan biji kakao yang menghasilkan produk cokelat converture (cokelat asli) dengan kualitas tinggi pada industri cokelat dalam negeri dan menggunakan bahan baku lokal. Dalam penelitian ini, telah dianalisis mengenai nilai tambah produk olahan biji kakao menjadi cokelat batangan berkualitas tinggi. Lingkup analisis dalam penelitian ini adalah perhitungan nilai tambah cokelat tidak hanya menggunakan metode Hayami yang secara umum digunakan dalam analisis nilai tambah pengolahan komoditas pertanian, namun juga dibandingkan dengan metode perhitungan nilai tambah lain yakni metode Syahza.
TINJAUAN PUSTAKA Studi Empiris Tentang Analisis Nilai Tambah Pada Usaha Kecil Menengah Penelitian sebelumnya mengenai perhitungan nilai tambah telah dilakukan oleh Popong Nurhayati (2006) dengan menggunakan metode nilai tambah Hayami. Nurhayati melakukan perhitungan nilai tambah pada produk olahan hasil perikanan pada industri pengolahan ikan skala kecil yaitu PHPT Muara Angke antara lain berupa ikan asin (dari berbagai jenis ikan), ikan asap, ikan pindang, terasi, hasil penyamakan kulit ikan pari, kerupuk kulit. Produk olahan hasil industri perikanan tradisional ini didistribusikan kepada sejumlah besar konsumen di Jakarta maupun konsumen di luar Jakarta. Berdasarkan perumusan masalahnya, dilihat dari sisi produksi, selain menggunakan sumberdaya perikanan yang berasal dari laut, kegiatan usaha pengolahan ikan di PHPT Muara Angke juga didukung oleh berbagai input lain yang bersumber dari luar industri perikanan. Oleh karena itu, besarnya nilai tambah produk-produk olahan perikanan pada industri perikanan tradisional tersebut belum diketahui secara mendetail, termasuk didalamnya nilai marjin, imbalan tenaga kerja langsung, sumbangan input lain dan keuntungan perusahaan (pengolah). Hasil penelitian Popong Nurhayati ini menyatakan bahwa sembilan jenis olahan produk perikanan memiliki nilai tambah yang berbeda.Jika dilihat dari bersarnya nilai tambah, nilai marjin, keuntungan perusahaan dan imbalan tenaga kerja langsung yang diperoleh, maka penyamakan kulit ikan pari merupakan kegiatan usaha pengolahan produk perikanan yang paling baik.Dengan demikian penyamakan kulit ikan pari memiliki prospek pemasaran· yang cukup baik.Pengasinan ikan kakap menghasilkan nilai tambah tertinggi yaitu sebesar Rp 12 854.48.Nilai tambah cukup tinggi terkait dengan aspek.pasar (selera konsumen) yang secara umum dapat mengkonsumsi jenis ikan ini. Pengasinan ikan kakap selain memberikan kontribusi kepada pemilik-pemilik faktor produksi yang mengolah ikan tersebut, juga memberikan nilai tersendiri kepada konsumen.Ditinjau dari aspek pasar, pengasinan ikan kakap memiliki prospek yang baik untuk dikembangkan.
8 Penelitian mengenai perhitungan nilai tambah juga telah dilakukan pada usaha kecil pengolahan biji kakao oleh Dilana (2012) mengenai nilai tambah biji kakao di Kabupaten Madiun, Jawa Timur. Indra menganalisis nilai tambah produk olahan kakao menjadi produk antara atau cokelat semi finished yaitu lemak cokelat, bubuk cokelat, dan pasta cokelat. Ketiga produk ini diproduksi menggunakan bahan baku dan sumbangan input lain dalam jumlah yang sama. Namun, terdapat keunikan dalam tahap produksinya yaitu bahan baku biji kakao yang digunakan akan diproses menjadi pasta cokelat, bubuk cokelat, dan lemak cokelat secara terpisah proses produksinya dan hanya diproses menjadi lemak dan bubuk cokelat saja dalam satu kali proses produksi. Penelitian ini dilakukan di sebuah UKM (Usaha Kecil Menengah) yaitu Putri Willis dengan anggota penggeraknya adalah kelompok tani.UKM “Putri Willis” merupakan unit usaha pengolahan biji kakao yang masih tergolong rendah permintaannya sehingga produksi tidak jarang dilakukan hanya pada saat ada pemesan atau bersifat insidental. Hal ini mengakibatkan proses pengolahan biji kakao hanya dibentuk menjadi lemak cokelat dan bubuk cokelat saja. Dari hasil perhitungan, nilai tambah yang dihasilkan pada UKM yang mengolah biji kakao menjadi pasta cokelat, lemak cokelat, dan bubuk cokelat berturut – turut adalah Rp 16 347, Rp 5 847, Rp 2 847 per kg. Setiap hari UKM Putri Willis ini memproduksi 75 kg pasta cokelat, 45 kg lemak cokelat, dan 30 kg bubuk cokelat dari penggunaan 100 kg biji kakao. Jika dihitung perbulan, nilai tambah yang diterima untuk ketiga produk tersebut berturut- turut adalah Rp 36 780 750, Rp 7 893 450, dan Rp 2 562 300. Pengamatan lain berbeda ketika pengolahan kakao ini sekaligus diproduksi menjadi bubuk dan lemak cokelat. Dalam pengolahan biji kakao yang dijadikan dua produk sekaligus yaitu 100 kg biji kakao yang digunakan menghasilkan 45 kg bubuk cokelat dan 30 lemak cokelat dengan nilai tambah sebesar Rp 29847 per kg per hari. Nilai ini jika dihitung perbulannya adalah sebesar Rp 67 155 750. Berdasarkan hasil penelitian, nilai tambah biji kakao yang diproses menjadi bubuk kakao, lemak cokelat, dan pasta cokelat secara terpisah lebih kecil nilainya dibandingkan nilai tambah pengolahan biji kakao menjadi lemak cokelat dan bubuk kakao.Pengolahan biji kakao setiap satu kilogram yang diproses menjadi pasta cokelat memberikan nilai tambah sebesar Rp 16 347, sedangkan menjadi bubuk cokelat sebesar Rp 5.847, dan nilai tambah pengolahan biji kakao sebanyak satu kilogram menjadi lemak cokelat memberikan nilai tambah sebesar Rp 2.847. Perbedaan nilai tambah ini dapat disimpulkan bahwa dengan bahan yang sama, pengolahan biji kakao memberikan nilai tambah yang lebih besar pada proses pengolahan yang menghasilkan produk diversifikasi dibandingkan hanya satu jenis produk olahan biji kakao saja. Pengamatan lainnyamengenai usaha kecil pengolahan cokelat juga dilakukan pada suatu perusahaan cokelat milik gabungan kelompok petani yang berada di Kabupaten Luwu Utara yaitu Kelompok Usaha Bersama (KUB) Sibali Resoe oleh Elly Ishak et al(2000). Pabrik atau perusahaan ini mulai berdiri pada tahun 2008 yang diberi nama Kelompok Usaha Bersama (KUB) Sibali Resoe di Kelurahan Kasimbong, Kecamatan Masamba, Luwu Utara, yang merupakan binaan dinas koperasi dan perdagangan (koperindag) Luwu Utara. Produksi cokelat KUB Sibali Resoe adalah cokelat batangan dan cokelat bubuk. Kemampuan produksi KUB Sibali Resoe ini perhari sekitar 15 – 20 kg
9 atau dalam satu bulan mencapai 450 kg sampai dengan 600 kg. Nama produk cokelat produksi KBU Sibali Resoe diberi nama Cokelat Sayang dengan produksi awal 3 cita rasa yaitu, cokelat mente, cokelat kacang dan cokelat kurma. Modal untuk pendirian perusahaan cokelat adalah berasal dari modal pribadi dan pemerintah.Modal pribadi digunakan untuk pembelian tanah dan pendirian bangunan, sedangkan alat dan mesin merupakan sumbangan dari pemerintah.Dengan adanya potensi produksi kakao yang cukup besar yang dimiliki oleh Kabupaten. Luwu Utara maka Departemen Perindustrian RI melalui Direktorat Industri Kecil dan Menengah dan bekerja sama dengan Pemda Luwu Utara memberikan bantuan mesin atau peralatan pengolahan kakao. Total investasi pendirian KUB Sibali Resoe mencapai Rp 1. 200.000.000 atau Rp 1,2 Milliar (tidak termasuk tanah dan bangunan). Tenaga kerja yang bekerja sebanyak enam orang dengan rata – rata pendidikan akhir SMA dan SMP.Sedangkan pemilik KUB Sibali Resoe berpendidikan Sarjana.KUB Sibali Resoe pun tidak jarang mengajak karyawannya untuk mengikuti pelatihan.Pendapatan yang diterima KUB Sibali Resoe khusus untuk cokelat batangan adalah sebesar Rp 7 000 000 per bulannya. Berdasarkan hasil penelitian diatas, dapat disimpulkan bahwa usaha kecil menengah pengolahan biji kakao masih menghasilkan cokelat - cokelat turunan yaitu cokelat dengan proporsi penggunaan lemak sayur yang mendominasi dibandingkan lemak cokelat. Hasil tinjauan pustaka belum berhasil menemukan penelitian terdahulu berkaitan dengan perhitungan nilai tambah pada usaha kecil pengolahan biji kakao yang menghasilkan produk cokelat asli ( cokelatconverture). Penelitian Elly Ishak et al (2000) menunjukan bahwa usaha pengolahan cokelat membutuhkan investasi awal yang besar meskipun pendapatan yang diterima juga cukup besar. Penelitian terdahulu mengenai perhitungan nilai tambah juga dilakukan oleh Nenni (2000) pada industri pengolahan ubi kayu skala kecil di Kecamatan Bondowoso. Penelitian ini bertujuan membandingkan nilai tambah yang dihasilkan dari industri pengolahan ubi kayu menjadi produk tape, dodol, dan suwar – suwir pada tri wulan pertama tahun 2000 dengan menggunakan metode Hayami dan M. Dawam Rahardjo. Berdasarkan hasil perhitungan dengan metode M. Dawam Rahardjo, nilai tambah yang dihasilkan dari industri ubi kayu ini adalah sebesar Rp 305 441 500 untuk tape, Rp 3 862 725 untuk dodol,dan Rp 7 365 350 untuk suwar – suwir. Sedangkan besarnya nilai tambah yang dihitung dengan metode Hayami pada produk pengolahan ubi kayu ini adalah sebesar Rp 425 351 594 untuk tape, Rp 5276 725 untuk dodol, dan Rp 7 705 250 untuk suwar – suwir. Berdasarkan kedua metode tersebut, nilai tambah yang dihasilkan dari memproduksi tape memiliki nilai lebih besar dibandingkan dodol dan suwar – suwir. Dengan menggunakan metode perhitungan Hayami, persentase keuntungan dari nilai tambah pengolahan ubi kayu menjadi tape, dodol, dan suwar – suwir dapat diketahui nilainya yaitu berturut – turut sebesar 71.8 persen, 73.2 persen, dan 95.5 persen.Sedangkan penggunaan metode M Dawam Rahardjo, nilai tambah yang dihasilkan belum dapat memberikan informasi persentase keuntungan yang diterima oleh produsen.Dengan demikian, penggunaan metode Hayami lebih disarankan untuk digunakan pada perhitungan nilai tambah pengolahan komoditas pertanian.
10 Penelitian lain mengenai nilai tambah pada usaha kecil menengah telah dilakukan oleh Sinaga (2012). Sinaga melakukan penelitian mengenai perhitungan nilai tambah pada industri tempe skala menengah di Desa Citereup, Kabupaten Bogor. Desa Citereup merupakan salah satu daerah sentra pengolahan kedelai menjadi tempe dengan adanya 100 unit usaha tempe. Perhitungan nilai tambah pengolahan kedelai menjadi tempe ini dilakukan dengan metode perhitungan nilai tambah Hayami.Perhitungan didasarkan pada satu bahan baku utama yaitu satu kilogram kedelai. Hasil perhitungan analisis nilai tambah menunjukkan bahwa nilai faktor konversi pada industri tempe sebesar 1,6. Nilai ini menunjukkan bahwa setiap satu kilogram kedelai yang diolah akan menghasilkan 1,6 kilogram tempe. Industri pengolahan kedelai menjadi tempe di Desa Citeureup menunjukkan bahwa industri tersebut mampu menghasilkan nilai tambah sebesar Rp 2.198,91 per kilogram input kedelai. Rasio nilai tambah yang dimiliki yaitu 21,14 persen. Nilai koefisien tenaga kerja yang diperoleh yaitu 0,02. Nilai ini dapat diinterpretasikan sebagai jumlah Hari Orang Kerja yang diperlukan untuk memproduksi satu kilogram kedelai hingga menjadi tempe adalah 0,02 HOK (1HOK = 7 jam kerja). Apabila nilai koefisien tenaga kerja tersebut dikali dengan banyaknya unit usaha tempe di Indonesia maka dapat dilihat banyaknya jumlah tenaga kerja yang dapat terserap oleh industri tempe. Perhitungan nilai tambah laiinya juga dilakukan oleh Suherman (2012). Suherman melakukan penelitian mengenai analisis nilai tambah kayu mahoni sebagai bahan baku kerajinan boneka Whimsy pada CV Atlas. CV Atlas merupakan Industri Kecil Menengah yang bergerak di bidang pengolahan kayu di Kabupaten Tasikmalaya.hasil produksi dari CV Atlas diantaranya adalah kerajinan kayu seperti Boneka Kayu. Menurut Suherman, perhitungan dan analisis nilai tambah pengolahan boneka kayu ini diperlukan oleh perusahaan untuk mengetahui kondisi dan kekuatan yang dimiliki perusahaan untuk meningkatkan produktivitas pengolahan yang akan meningkatkan keuntungan.Analisis nilai tambah dilakukan dengan metode Hayami. Berdasarkan hasil perhitungan metode hayami, nilai tambah yang diperoleh dari produk boneka Whimsy adalah sebesar Rp 33.702,535 dengan rasio 87,54%. Suherman mengatakan bahwa nilai tambah pada produk hasil pengolahan kayu mahoni memiliki nilai tambah, total secara agregat akan menggambarkan nilai tambah yang hasilkan oleh CV ATLAS. Nilai tambah produk merupakan nilai tambah yang dihasilkan dari pengolahan bahan baku untuk setiap produk Whimsy. Nilai tambah boneka Whimsy per unit Rp 33.702,535 dapat menghasilkan nilai tambah selama satu bulan sebesar Rp 26.962.028.
11
KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis Konsep Nilai Tambah Nilai tambah adalah pertambahan nilai suatu komoditas karena mengalami proses pengolahan, pengangkutan, ataupun penyimpanan dalam suatu produksi. Dalam proses pengolahan nilai tambah dapat didefinisikan sebagai selisih antara nilai produk dengan nilai biaya bahan baku dan input lainnya, tidak termasuk tenaga kerja (investasi). Sedangkan margin adalah selisih antara nilai produk dengan harga bahan bakunya saja. Dalam margin ini tercakup komponen faktor produksi yang digunakan yaitu tenaga kerja, input lainnya, dan balas jasa pengusaha ( Hayami et al, 1987). Berdasarkan pengertian tersebut, perubahan nilai bahan baku yang telah mengalami perlakuan pengolahan besar nilainya dapat diperkirakan. Dengan demikian, atas dasar nilai tambah yang diperoleh, margin pun dapat dihitung dan selanjutnya imbalan bagi setiap faktor produksi dapat diketahui.Nilai tambah yang semakin besar atas produk pertanian dapat berperan bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi.Pertumbuhan ekonomi yang besar tentu saja berdampak bagi peningkatan lapangan usaha dan pendapatan masyarakat yang akhirnya adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Konsep added value merupakan analisis nilai tambah yang dimulai dari pembelian bahan baku sampai dengan produk jadi. Pemikiran lain diungkapkan oleh Azfa (2005) dalam Caska dan Almasdi Syahza (2007), Azfa mengungkapkanbahwa nilai tambah bukan diukur dari apa yang sudah dilakukan termasuk segala biaya yang harus dikeluarkan, tetapi dari persepsi nilai pada konsumen. Oleh karena nilai tambah diukur dengan persepsi konsumen, maka peran pemasaran termasuk brand menjadi penting. Apabila persepsi lebih tinggi dapat diberikan melalui value creation dan dilengkapi dengan aplikasi pemasaran yang benar, maka agroindustry (industri pengolahan produk pertanian) akan memberikan sumbangan yang lebih besar. Nilai tambah terjadi ketika peningkatan perbaikan diberikan pada sebuah produk atau pelayanan oleh sebuah perusahaan sebelum produk tersebut ditawarkan kepada konsumen akhir. Studi kasus terjadi pada produk lebah, lebah ini dianggap telah menjadi produk yang bernilai tambah jika produk mentahnya yaitu madu sudah berubah bentuk atau telah termodifikasi menjadi produk lain yang memiliki nilai lebih tinggi. Proses modifikasi bahan baku ini akan menghasilkan suatu produk sekunder yang memiliki manfaat bersih lebih tinggi sehingga setiap unit produk dapat dijual dengan harga yang lebih tinggi dan memberikan tambahan penerimaan (Bradbear2006). Berikut ini beberapa alasan pengembangan produk dengan nilai tambah yaitu sebagai berikut, 1. Meningkatkan penjualan melalui penciptaan produk yang beragam 2. Mencapai pendapatan yang stabil meskipun bisnis dalam keadaan buruk 3. Meningkatkan keuntungan 4. Memberikan kesempatan dalam penciptaan pendapatan (peluang lapangan pekerjaan) kepada suatu kelompok atau sektor lain
12 5. Menciptakan agen – agen pemasaran yang mengoptimalkan kreativitasnya 6. Menciptakan fungsi baru bagi produk yang beragam Penjelasan lebih mendalam mengenai kekuatan nilai tambah yaitu sebagai berikut, ( Bradbear2006). 1. Peningkatan pendapatan melalui produk yang beragam Produk bernilai tambah dapat mengakibatkan adanya peningkatan penjualan melalui keberagaman produk yang dihasilkan serta cenderung akan meningkatkan dan menstabilkan pendapatan yang diperoleh produsen. Keberagaman produk ini menawarkan sesuatu yang beda dari yang lain, memenuhi kebutuhan pada sektor pasar tertentu yang selama ini tidak terjangkau, dan memiliki differensiasi dalam persaingan. Produk yang bernilai tambah telah mengalami perubahan pada kemasan atau cara memasarkannya. Bahan baku yang terkandung dalam produk mengalami perubahan karena adanya proses pengolahan lanjut sehingga menyebabkan produk akhir berbeda – beda secara fisik. Tujuan strategi ini adalah membangun sebuah image pada konsumen yang potensial bahwa produk adalah unik. Jika target pasar dari seorang produsen berbeda dari pesaingnya, maka produsen akan lebih fleksibel dalam membangun bauran pemasaran. Kesuksesan strategi produk dengan differensiasi ini akan memposisikan produk tersebut sebagai sebuah produk yang berdaya saing berdasarkan harganya serta faktor non harga seperti karakteristik produk, strategi distribusi, dan variable – variable pemasaran ( promosi, pelayanan) yang dilakukan oleh produsen. 2. Menciptakan produk yang layak di jual ke pasar internasional Produk bernilai tambah ini memunculkan peluang penciptaan pasar di luar negeri atau para tourist.Para wisatawan dari luar negeri yang berkunjung ke Indonesia merasa kurang nyaman jika harus membawa oleh – oleh yang cukup banyak dalam kemasan yang besar.Produk yang telah diproses dengan kemasan menarik dan bentuk yang fleksibel dengan tidak menghilangkan cita rasa asli lebih dibutuhkan oleh konsumen tersebut.Para wisatawan ini tidak memandang harga, mereka mencari suatu produk yang unik dan portable.Oleh karena itu, produk bernilai tambah yang memberikan kepuasan tertentu memiliki potensi besar untuk masuk pada pasar – pasar internasional. 3. Penciptaan Lapangan Pekerjaan Kreativitas dan inovasi produsen untuk menciptakan produk bernilai tambah melibatkan pihak – pihak baru. Keterkaitan ke belakang yang disebut backward linkage dan keterkaitan ke depan yang disebut forward linkage terjadi pada proses pengolahan bahan baku menjadi produk akhir yang bernilai tambah. Keadaan demikian secara tidak langsung membutuhkan sumberdaya dalam setiap tahapan prosesnya.Misalnya, proses pengolahan suatu komoditas membutuhkan suatu teknologi atau mesin tertentu, dengan demikian mendorong penciptaan sumber daya manusia baru yang mampu menghasilkan teknologi tersebut. Demikian pula pada bagian proses produksinya, produk bernilai tambah membutuhkan beberapa pihak dengan keahlian tertentu. Secara ringkas, industri pengolahan yang menghasilkan produk bernilai tambah menciptakan peluang kerja baru selain pada sektor primer.Produk bernilai tambah tidak selalu didukung dengan kemajuan teknologi atau mesin produksi yang digunakan, namun juga adalah pemikiran kreatif yang menyebabkan produk memiliki nilai tinggi.Dengan
13 demikian industri pengolahan kakao memiliki kesempatan untuk turut menciptakan peluang lapangan kerja baru bagi sektor jasa. 4. Sebuah cara meningkatkan produksi produk primer Studi kasus mengenai buah – buahan, berdasarkan pengalaman tidak jarang ditemukan di lapang buah yang membusuk akibat tidak laku dan akhirnya menyebabkan petani rugi. Oleh karena itu, buah – buahan ini perlu diolah menjadi produk lain yang memiliki nilai tambah. Konsumen pada zaman sekarang lebih memilik produk – produk yang siap dikonsumsi dibanding mereka harus mengolahnya, tidak terkecuali buah – buahan.Supermarket saat ini lebih memilih menjual makanan atau minuman kemasan dengan kandungan buah tertentu dibanding menjual buah – buahan langsung.Dengan demikian, produk bernilai tambah ini membantu produsen primer untuk mengurangi tingkat kerugiannya selain memberi keuntungan pada pihak industri.Petani termotivasi menciptakan buah – buahan yang berkualitas untuk memenuhi permintaan industri dengan meningkatkan produktivitasnya. Hal ini memberikan pengaruh pada stabilitas pendapatan dan proses usaha petani melalui peningkatan produksi. 5. Penentu harga bagi produk bernilai tambah Berdasarkan pengamatan dan analisis pasar, produk yang bernilai tambah akan membangun sebuah pandangan lain yakni adanya manfaat baru. Informasi ini merupakan kekuatan bagi produsen dalam menentukan harga.Produk bernilai tambah menciptakan pasar baru dengan konsumen yang lebih luas.Kelebihan ini memudahkan produk tersebut memasuki supermarket – supermarket dengan pasar konsumen menengah atas. Dengan demikian kekuatan harga akan dapat dikendalikan oleh produsen. Nilai tambah merupakan salah satu komponen dalam membentuk nilai produk. Nilai produk merupakan nilai yang dimiliki sebuah produk dan terdiri dari nilai tambah pengolahan, nilai bahan baku, dan nilai input lainnya. Nilai tambah pelaku usaha merupakan nilai tambah yang diperoleh dan diciptakan atas usahanya dalam mengatur pemakaian input dan menghasilkan output (Dilana, 2012). Dalam analisis nilai tambah ini akan diketahui keuntungan dan margin yang diterima perusahaan. Keuntungan merupakan bagian yang diterima perusahaan karena menanggung risiko. Sedangkan margin menunjukan kontribusi pemilik faktor – faktor produksi selain bahan baku yang terlibat dalam faktor produksi. Kerangka Pemikiran Operasional Indonesia merupakan produsen kakao ketiga didunia.Ironisnya, total pengolahan biji kakao menjadi berbagai produk sekunder masih rendah.Pada tahun 2010, pemerintah telah menerapkan tarif bea keluar terhadap ekspor bii kakao. Menurut Rifin (2012) berdasarkan hasil penelitiannya, tarif bea keluar kakao tersebut tidak akan meningkatkan harga kakao internasional karena harga kakao internasional dipengaruhi oleh harga petani. Dengan demikian, kenaikan tarif ekspor akan menurunkan harga biji kakao lokal dan menurunkan tingkat ekspor. Biji kakao lokal yang semakin bertambah akan digunakan sebagai pasokan industri dalam negeri. Penerapan bea keluar ekspor biji kakao mentah tahun 2010 berhasil meningkatkan volume produk olahan kakao dalam negeri. Namun kepemilikan
14 industri kakao masih didominasi oleh perusahaan asing.Industri kecil dan menengah pengolahan biji kakao masih kalah saing dengan perusahaan asing. Produk cokelat hasil industri menengah merupakan cokelat compound (cokelat turunan) dimana proporsi penggunaan lemak cokelat yang sangat rendah. Selain itu, saat ini Indonesia belum mempunyai produk cokelat unggulan hasil produksi industri kecil dan menengah.Hal ini memberikan pelajaran besar bahwa kemajuan industri kakao dalam negeri hanya kemajuan perusahaan asing yang berhasil menanamkan investasinya didalam negeri. Indonesia masih menggantungkan industri hilir kakaonya kepada perusahaan asing dan itu artinya nilai tambah hasil olahan kakao masih dirasakan oleh produsen luar dan Indonesia masih berperan sebagai penyedia bahan baku saja. Peningkatan jumlah industri kakao didominasi oleh peran perusahaan asing atau multinasional.Pada tahun 2011, munculnya pabrik pengolahan kakao baru di Batam oleh investor asal Malaysia dengan kapasitas terpasang sebesar 65 000 ton yaitu PT. Asia Cocoa Indonesia.Sedangkan tahun 2013, pabrik asing lainnya mulai masuk dan beroperasi di Indonesia seperti JB Cocoa asal Malaysia, Mars dan Cargil asal AS, dan Nestle asal Swiss (Asosiasi Industri Kakao Indonesia 2012).PT Nestle juga melakukan ekspansi pabrik susu Milo dan Dancow di Pasuruan dan Karawang.Pabrik – pabrik ini memproduksi produk perantara industri hilir seperti bubuk cokelat yang kemudian dikirim ke negara asli untuk diolah menjadi cokelat.Cokelat atau produk turunan cokelat dari negara – negara tersebut kemudian diekspor kembali ke Indonesia.Sedangkan cokelat – cokelat yang cukup dikenal didalam negeri seperti Silverqueen, Delfi, Cadburry, merupakan cokelat lisensi perusahaan luar negeri meskipun proses produksi dilakukan di Indonesia. Peningkatan produksi kakao di dunia tidak lepas dari pengaruh semakin tinggi tingkat permintaan kakao.Hal ini dikarenakan selain semakin bertambahnya populasi dunia, minat masyarakat dunia mengkonsumsi cokelat semakin besar. Pada 2010-2011 permintaan kakao dunia tercatat sebesar 3,77 juta ton dan bahkan hingga 2015-2016 diprediksi terus meningkat hingga 4,3 juta ton. Selain itu, industri kakao di Indonesia semakin berpeluang dikembangkan (Outlook Industri 2012) karena mempunyai alasan sebagai berikut: a. Indonesia produsen biji kakao nomor tiga di dunia Setelah Pantai Gading dan Ghana. b. Tingkat konsumsi kakao per kapita di Indonesia masih sekitar 0,2 kg/kapita/tahun padahal jumlah penduduk Indonesia telah mencapai sekitar 240 juta jiwa dengan income per kapita mencapai + US$ 3.000. c. Keunggulan melting point cocoa butter tinggi dan FFA rendah. d. Pasar terbuka luas : Indonesia, India, RRC, Eropa. Analisis nilai tambah pada unit penghasil cokelat domestik “Pipiltin Cocoa” dengan standar cokelat kualitas tinggipenting dilakukan sebagai informasi nilai tambah usaha kecil pengolahan cokelat.Perhitungan nilai tambah dilakukan dengan metode Hayami dan Syahza dan kemudian akan dibandingkan hasil dari kedua metode tersebut. Selanjutnya, hasil nilai tambah cokelat Pipiltin Cocoa ini juga akan dibandingkan dengan produk olahan kakao lain yang telah dihitung nilai tambahnya pada penelitian – penelitian sebelumnya yang telah dijelaskan dalam tinjauan pustaka.
15 Indonesia Produsen Biji Kakao ketiga di dunia.Produksi (2011): 430 000 ton ( ICCO, 2013)
Mayoritas diekspor dalam bentuk biji kakao mentah sebanyak 214 739,3 Ton (2011)
Penerapan bea keluar ekspor biji kakao mentah tahun 2010 berhasil meningkatkan volume produk olahan kakaodalam negeri
Industri Pengolahan kakao masih didominasi oleh perusahaan asing , Usaha Kecil Menengah masih kalah bersaing
Peningkatan Kapasitas Industri Pengolahan Kakao dalam negeri
Analisis Nilai Tambah Cokelat Batangan di Pipiltin Cocoa sebagai salah satu unit pengolahan kakao skala menengah dengan menggunakan metode Hayami dan Syahza
Nilai tambah
Gambar 1Kerangka operasional analisis nilai tambah cokelat di Pipiltin Cocoa
16
METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan dengan metode survey dengan memilih tempat penelitian yaitu Pipiltin Cocoa secara sengaja (purposive sampling) dengan pertimbangan pada kriteria perusahaan asli Indonesia yang menghasilkan produk cokelat converture (real cokelat) dengan kualitas cokelat tinggi dan memenuhi kriteria untuk pemasaran internasional serta berbahan baku lokal. Penelitian ini dilakukan pada bulan Desember 2013 sampai Januari 2014.
Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder.Data Primer yang digunakan berupa hasil pengajuan pertanyaan melalui wawancara secara langsung kepada pihak manajemen unit bisnis pengolahan kakao dan cokelat yaitu Pipiltin Cocoa berkaitan dengan data yang dibutuhkan dalam perhitungan nilai tambah.Sedangkan data sekunder yang digunakan adalah statistik data – data terkait dalam penelitian in.
Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data terkait dengan jenis datanya yaitu data primer dan sekunder.Data primer terkait mengenai aspek operasional perusahaan yang diperoleh melalui wawancara langsung kepada pihak manajemen perusahaan, sedangkan data sekunder diperoleh dari berbagai sumber informasi dengan mendatangi langsung instansi – instansi pusat data maupun melalui media internet.
Metode Pengolahan dan Analisis Data Dalam pengolahan dan analisis data metode yang digunakan dalam penelitian adalah analisis kuantitatif dengan metode Hayami dan Syahza.Metode Hayami digunakan untuk menghitung nilai tambah suatu komoditas setelah mengalami pengolahan. Metode Hayami. Secara matematis, fungsi nilai tambah (NT) menurut metode Hayami (1987) dapat dirumuskan sebagai berikut: NT = f (K, B, T,H,U,h, L) Keterangan: K = kapasitas produksi (Kg) B = jumlah bahan baku yang digunakan (Kg) T = jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan (orang) H = harga output (Rp/kg) U = upah kerja (Rp)
17 h = harga bahan baku (Rp/kg) L = nilai input lain (Rp) Table 5 Prosedur perhitungan nilai tambah pengolahan biji kakao dengan Metode Hayami Variabel
Nilai
Output, Input, dan Harga Output ( kg) Input (kg) Tenaga Kerja (HOK) Faktor Konversi Koefisien Tenaga Kerja Harga Produk (Rp/kg) Tingkat Upah (Rp /HOK)
a b c d = a/b e = c/b f g
Penerimaan dan Keuntungan (Rp/bahan baku) Harga Bahan Baku (Rp/kg) Harga Input Lain (Rp/kg) Nilai Output (Rp/kg) Nilai Tambah (Rp/kg) Rasio Nilai Tambah (%) Pendapatan Tenaga kerja (Rp/kg) Pangsa Tenaga Kerja (%) Keuntungan (Rp /kg) Tingkat Keuntungan (%)
h i j=dxf k = j – h -i l% = k/j x 100% m=exg n% = m/k x 100% o=k–m p = o/j x 100%
Balas Jasa Pemilik Faktor-Faktor Produksi Marjin (Rp/kg) Tenaga Kerja (%) Modal (Sumbangan Input Lain) (%) Keuntungan (%)
q=j–h r = m/q x 100% s = i/q x 100% t = o/q x 100%
Sumber: Hayami et al 1987
Sedangkan perhitungan dengan metode Syahza adalah sebagai berikut, (Caska dan Almasdi Syahza 2007) Atau
100 %
Keterangan: NT= nilai tambah (Rp/kg bahan baku), O= luaran (kg/satu proses produksi), Ibb= Volume masukan (input) bahan baku (kg/satu proses produksi), Ho= Harga luaran (Rp/kg),
18 Hbb= Harga bahan baku (Rp/kg), dan Bib= Biaya di luar bahan baku per unit bahan (Rp/kg bahan baku). Sedangkan keuntungan yang diperoleh adalah, – 100 %
Keterangan: KP= Keuntungan pengolah (Rp/kg bahan baku), Np= Nilai produksi per unit bahan baku (Rp/kg bahan baku), ITK= Imbalan tenaga kerja (Rp/kg bahan baku), Itk= Masukan tenaga kerja (HKP/satu proses produksi), Ibb= Volume masukan bahan baku (kg/satu proses produksi), dan Utk= Upah rerata tenaga kerja (Rp/HKP).
GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN Sejarah dan Perkembangan Perusahaan Pipiltin Cocoa didirikan pada tanggal 7 Maret 2013 oleh dua orang yang masih memiliki hubungan keluarga.Pemilik Pipiltin Cocoa adalah Ibu Tissa Aunilla dan Bapak Irvan.Ibu Tissa adalah seorang pengacara sebelum menjalankan bisnis di bidang cokelat, sedangkan Bapak Irvan sekaligus sebagai adik kandungnya adalah seorang pengusaha yang juga memiliki restaurant coffee.Latar belakang Ibu Tissa dan Pak Irvan membangun bisnis cokelat ini adalah adanya keprihatinan terhadap kondisi Indonesia sebagai negara produsen kakao dunia nomor tiga namun belum mampu memajukan industri cokelat lokal.Ibu Tissa dan Pak Irvan sangat prihatin melihat sebagian besar kakao Indonesia hanya diekspor dalam bentuk biji mentah sedangkan di luar negeri biji kakao tersebut diolah menjadi berbagai produk cokelat yang tidak sedikit sedikit diekspor kembali ke Indonesia.Akhirnya Ibu Tissa Pak Irvan mempelajari dengan sungguh – sungguh mengapa industri cokelat di luar negeri begitu berkembang. Pemilik Pipiltin Cocoa ini telah belajar mengenai cokelat di beberapa negara pengolah cokelat dunia salah satunya Swiss. Kurang lebih tiga bulan Ibu Tissa dan Pak Irvan mengamati secara langsung pengolahan cokelat di negara tersebut mulai pasokan bahan baku utama datang, salah satunya adalah biji kakao asal Jember pada saat itu. Selain itu, Ibu Tissa pun pernah mengikuti sekolah cokelat yang diadakan oleh salah perusahaan cokelat terbesar di Indonesia yaitu PT. Frey Abadi (Tulip).Berdasarkan pengalaman tersebut, Ibu Tissa dan Pak Irvan semakin menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang menyebabkan lambatnya pengembangan industri cokelat dalam negeri. Salah satu alasan yang dikemukakan adalah cokelat luar negeri senantiasa mengutamakan proses pembuatannya yang meliputi asal biji kakaonya. Biji kakao pada industri luar negeri senantiasa mengutamakan biji kakao yang telah terfermentasi diikuti dengan kemajuan teknologi (alat dan mesin produksi) yang digunakan.Ibu Tissa
19 sangat menyadari bahwa investasi yang ditanam oleh perusahaan cokelat ini sangat besar untuk menghasilkan cokelat berkualitas. Hasil pengalaman belajar ini membuat Ibu Tissa dan Pak Irvan semakin termotivasi mengembangkan cokelat di dalam negeri setelah menyadari bahwa cokelat sangat berkontribusi bagi kesehatan seperti mengurangi risiko penyakit jantung, menimbulkan perasaan tenang dan menghilangkan stress, mengurangi zat antioksidan, dan sebagainya. Keadaan demikian menjadi alasan utama Ibu Tissa dan Pak Irvan mendirikan sebuah perusahaan pengolahan kakao. Tujuan Pipiltin Cocoa ini tidak hanya menghasilkan keuntungan maksimum saja, namun bagaimana menawarkan cokelat yang sebenarnya yaitu dengan bahan asli biji kakao terfermentasi dan tekstur cokelat kualitas luar negeri. Selain itu, Pipiltin berusaha mengembangkan industri cokelat lokal dengan penggunaan bahan baku asli Indonesia bukan cocoa butter impor seperti yang masih banyak digunakan oleh industri cokelat lokal saat ini. Pipiltin Cocoa berusaha memperkenalkan produk cokelat berkualitas dengan bahan lokal.Oleh karena itu, produk pipiltin tidak melihat budaya konsumen Indonesia selama ini dalam mengkonsumsi cokelat namun mengutamakan brand cokelat riil dengan kandungan lemak cokelat asli. Hal ini mempengaruhi harga jual produk cokelat Pipiltin yang cukup tinggi karena tingginya tingkat kerumitan selama proses pengolahan kakao. Pemakaian biji kakao lokal yang dilakukan oleh Pipiltin diharapkan dapat membantu menstabilkan pendapatan petani dan meningkatkan produksinya serta membantu mengurangi volume ekspor biji kakao mentah. Konsumen sasaran adalah masyarakat yang mengutamakan kualitas bukan hanya harga.Oleh karena itu, produk cokelat yang dihasilkan Pipiltin dapat dijamin mutu dan rasanya serta konsistensi dari menu yang ditawarkan. Pipiltin Cocoa merupakan salah satu industri cokelat (confectionery) yang menghasilkan berbagai produk turunan cokelat atau converture.Produk Pipiltin Cocoa adalah berbagai chocolate confectionery yang dapat langsung dinikmati oleh konsumen.Produk utama Pipiltin Cocoa adalah chocolate bar dengan kandungan cokelat riil 74% dan 84%.Selain itu, Pipiltin Cocoa menawarkan berbagai bentuk kue dengan kualitas cokelat yang tinggi seperti macaroons, cokelat praline, dan cake.
Lokasi Perusahaan Pipiltin Cocoa atau Unit pengolahan kakao (industri cokelat) sebagai objek penelitian analisis nilai tambah pengolahan biji kakao menjadi cokelat ini terletak di Jakarta Selatan, tepatnya berada pada Jalan Barito 2 no. 5 , Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Lokasi ini terletak tidak jauh dari terminal Blok M atau dapat ditempuh dengan menggunakan sarana transportasi umum cukup 1 kali dari Terminal Blok M. Saat ini Pipiltin Cocoa belum mempunyai cabang pemasaran dan lokasi pabrik pengolahan biji kakao terletak satu tempat dengan tempat pemasaran produk cokelatnya ( restaurant). Pipiltin Cocoa terdiri dari dua lantai.Pabrik pengolahan biji kakao ini terletak pada lantai utama sedangkan restaurant sebagai tempat pemasaran produk cokelat terletak di lantai ke dua.
20 Struktur Organisasi Struktur kepengurusan Pipiltin Cocoa saat ini baru dikontrol oleh dua orang yakni seorang kakak dan adik kandungnya yang juga berperan sebagai pendiri dan pemilik Pipiltin Cocoa.Tenaga kerja yang dimiliki saat ini berjumlah dua belas orang. Ibu Tissa dan Pak Irvan sebagai pemilik perusahaan bertanggung jawab dalam operasional perusahaan, sedangkan bagian keuangan dijalankan oleh tenaga kerja lain atau berperan sebagai manajer keuangan. Tenaga kerja bagian produksi chocolate bar sendiri sebanyak tiga orang.Pendidikan rata – rata tenaga kerja adalah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan D3.Sedangkan pemilik perusahaan sendiri mempunyai pendidikan akhir pascasarjana dan bagian produksi chocolate bar atau chefnya adalah lulusan D3.Dalam rangka meningkatkan keterampilan dan pengetahuan tenaga kerja, pemilik perusahaan intens mengajak para karyawannya mengikuti training berkaitan dengan konsep pembuatan cokelat dan bisnisnya pada pelatihan – pelatihan tertentu yang sedang diadakan. Pipiltin Cocoa belum memiliki struktur kepengurusan usaha yang jelas.Bagian operasional perusahaan yang meliputi pemasaran, manajemen produksi, sumber daya manusia, research dan development, masih dikendalikan oleh pemilik perusahaan.Pipiltin baru memberi kepercayaan kepada pihak luar pada bagian keuangan perusahaan.Hal ini mengingat umur bisnis Pipiltin Cocoa yang belum mencapai satu tahun.
Bahan Baku, Operasional, dan Pemasaran Pipiltin Cocoa memasok bahan baku utamanya yaitu biji kakao langsung dari Tabanan di Bali dan Pidie Jaya di Aceh. Tabanan merupakan wilayah pusat pengolahan kakao di Bali sedangkan Pidie Jaya merupakan salah satu wilayah penghasil kakao terbesar di Aceh.Pipiltin Cocoa melakukan proses produksi dengan rata – rata menggunakan biji kakao sebanyak 30 kg dengan jangka waktu prosesnya hingga jadi cokelat selama tiga hari. Kegiatan operasional dimulai dari pukul 09.00 WIB sampai pukul 22.00 WIB pada hari kerja yaitu Senin sampai Jumat.Sedangkan pada hari Sabtu dan Minggu Pipiltin Cocoa menghentikan aktivitas operasionalnya pada pukul 23.00 WIB. Konsumen sasaran Pipiltin Cocoa adalah rata – rata usia dewasa, remaja, dan umum bagi penikmat coklat. Sehubungan dengan umur perusahaan yang baru menginjak satu tahun, pemasaran chocolate bar belum memasuki pasar – pasar umum atau retail. Lokasi pemasaran masih berada satu tempat dengan lokasi proses produksi. Pengambilan biji kakao dilakukan setiap satu sampai dua bulan sekali bergantung pada permintaan konsumen pada saat itu. Pada waktu – waktu tertentu seperti menjelang liburan natal, valentine, libur nasional, permintaan chocolate bar meningkat dan pada saat ini perusahaan memasok biji kakao setiap bulan.
21 Peralatan Produksi Investasi pembelian mesin ini tidak cukup dengan biaya sebesar Rp 1 Milliar artinya pembangunan industri pengolahan cokelat ini membutuhkan investasi awal yang sangat besar.Hal ini dikarenakan pengolahan biji kakao hingga menjadi produk cokelat yang siap makan membutuhkan processing yang cukup panjang dan menghabiskan waktu yang cukup lama. Pada proses counching, misalnya, dengan tujuan menghasilkan tekstur cokelat yang diharapkan dengan titik leleh yang baik membutuhkan waktu minimalnya tiga hari. Efektifitas produksi dan kualitas cokelat yang dihasilkan pun bergantung pada jenis alat dan mesin yang dihasilkan.Semakin berkualitas cokelat yang digunakan, semakin besar biaya yang dapat dikeluarkan dalam pembelian mesin processingnya. Adapun Alat dan mesin pengolahan biji kakao pada Pipiltin Cocoa adalah mesin sangria biji kakao, mesin sortir, mesin pembersih biji kakao atau mesin roasting, mesin pemisah biji kakao dengan nibs atau winnower, mesin penggilingan biji cokelat atau grinder Refiner dan, mixer Mesin Councing, mesin Pengempa Lemak atau tempering, oven, dan genset. Masing – masing alat ini memiliki kapasitas produksi sebesar 3 sampai 4 kg per jam.
Proses Produksi Cokelat Batangan Pipiltin cocoa memproduksi cokelat yang dimulai dari datangnya biji kakao tersebut yang telah dilakukan proses fermentasi dari petani.Tahap awal yang dilakukan Pipiltin Cocoa dalam memproduksi cokelat ini setelah biji kakao fermentasi datang adalah melakukan proses penyangraian. Tujuan penyangraian ini adalah menghilangkan kotoran dan debu – debu yang menempel.Setelah biji dilepaskan dari kotoran – kotorannya, kemudian biji disortir atau dipilah – pilah. Pada tahap ini, biji akan dipilah-pilah berdasarkan berat jenisnya. Cara mudahnya adalah dengan menghitung berat per 100 gram.Dalam 100 gram biji kakao yang bagus, harus terdiri 80-90 biji, diluar jumlah tersebut kualitas biji buruk. Proses pengolahan selanjutnya yaitu melakukan pembersihan biji kakao atau roasting. Tujuan roasting ini adalah membangun rasa dan aroma cokelat yang diharapkan. Proses roasting ini dilakukan pada suhu tinggi dalam mesin oven yang berputar selama minimal 30 menit sampai 2 jam bergantung pada jenis cokelat dan citarasa yang diharapkan. Selanjutnya adalah pelepasan kulit biji yang disebut winnowing. Mesin yang digunakan dalam proses ini biasa disebut winnower. Cangkang yang setengah halus ini akan terpisah dalam proses pengayaan. Setelah biji terlepas dari kulitnya yang disebut dengan nibs kemudian nibs tersebut digiling dalam mesin penggilingan yang disebut dengan grinding untuk menciptakan cairan cokelat yang kental (liquor). Cairan cokelat kental tersebut akan dipisahkan fungsinya yaitu sebagai bahan baku industri kakao atau langsung diolah menjadi cokelat. Pipiltin Cocoa memproses lanjut liquor ini menjadi cocoa butter (lemak cokelat) dan kemudian ditambahi susu dan gula sebagai bahan baku tambahan untuk menambah rasa. Proses ini disebut refiner (pengadukan) dan mixer.Dalam proses refiner ini akan ditentukan apakah suatu industri akan menghasilkan dark, white, atau milk chocolate.
22 Langkah berikutnya yang disebut sebagai councing. Pasta yang berasa agak manis tersebut, kemudian mengalami proses pengadukan. Proses ini sekaligus cara untuk mengurangi keasaman. Councing dilakukan selama tiga hari.Pasta berasa tersebut diaduk nonstop hingga mengeluarkan hawa panas yang menandai bahwa rasa asam dari pasta berkurang. Langkah terakhir dalam proses pembuatan chocolate bar ini adalah tempering. Tempering merupakan proses akhir pengolahan cokelat yang memisahkan jenis cokelat berdasarkan pengolahan susu. Cokelat yang telah dihilangkan keasamannya ini kemudian dipanaskan pada suhu tertentu untuk mendapatkan titik leleh yang terbaik. Cokelat yang baik akan memiliki titik leleh sekitar 36 derajat celcius atau disebut cokelat converture atau real cokelat. Kelebihan real cokelat konsumen tidak perlu mengunyah cokelat tersebut dan cokelat pun tidak akanmenempel pada gigi. Hal ini berbeda dengan cokelat compound atau cokelat yang menggunakan lemak sayur bukan cocoa butter asli. Cokelat kemudian didinginkan pada suhu 26 sampai 28 derajat celcius untuk menciptakan warna cokelat yang cantik dan tekstur yang lembut.Selanjutnya cokelat batangan siap dikemas dan dipasarkan kepada konsumen.Gambar 2 dibawah ini merupakan skema pembuatan cokelat batangan (chocolate bar) Pipiltin Cocoa dan telah sesuaidengan proses produksi chocolate bar dunia oleh UNCTAD (2008) ,
23 Biji kakao panen fermentasi pengeringan Biji kakao telah difermentasi dan dikeringkan pembersihan sortasi roasting Biji kakao siap mengalami proses pengolahan
grinding Liquor for chocolate
Councing Industri cokelat converture (cokelat asli)” tempering pengemasan chocolate bar dan produk turunan cokelat lainnya
Gambar 2 Proses produksi cokelat Sumber :UNCTAD 2008 dan Pipiltin Cocoa 2013
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis nilai tambah yang digunakan dalam penelitian ini dimulai dari pengadaan bahan baku yaitu biji kakao fermentasi hingga menjadi produk coklat siap konsumsi. Penelitian ini berfokus pada produk cokelat utama yaitu cokelat batangan (chocolate bar).Komposisi coklat batangan ini adalah 84 persen real cokelat. Kandungan 84 persen ini diartikan bahwa berdasarkan kandungan dalam satuan gram, cokelat bar yang dijual dalam kemasan dengan berat 100 gram terdiri
24 dari 84 gram cocoa butter dan sisanya adalah bahan baku tambahan yakni gula dan susu. Bahan baku yang digunakan adalah biji kakao fermentasi yang diambil langsung dari kelompok petani kakao di Aceh. Setiap periode produksinya, Pipiltin Cocoa mengolah 30 kg biji kakao dan membutuhkan waktu empat hari hingga menjadi cokelat bar yang siap dikonsumsi. Dalam 30 kg input yang digunakan, sebesar 26 kg akan terbentuk menjadi cokelat. Jika dihitung per hari, Pipiltin memproduksi cokelat batangan setiap harinya sebesar 6,5 kg. Dasar perhitungan dalam analisis nilai tambah kegiatan pengolahan biji kakao ini menggunakan per satuan kilogram per biji kakao sebagai bahan baku utama. Harga biji kakao fermentasi yang diterima Pipiltin dari Aceh adalah Rp 44 000 per kg, sedangkan biaya bahan baku tambahannya yaitu gula dan susu secara akumulatif adalah sebesar Rp 6000 per kg. Harga jual cokelat batangan ini adalah Rp 40 000 per 100 gram atau Rp 400 000 per kg. Dalam setiap proses produksi, Pipiltin menggunakan tiga orang karyawan setiap harinya selama delapan jam waktu bekerja. Jika dikonversikan dalam satuan HOK, Pipiltin Cocoa menggunakan tenaga kerja sebanyak 3 HOK per periode produksi dimana 1 HOK adalah delapan jam.Setiap harinya tenaga kerja ini diberikan insentif (upah) sebesar Rp 67 000 per HOK. Analisis Nilai Tambah Cokelat Batangan dengan Metode Hayami Analisis nilai tambah menggunakan metode Hayami yang dilakukan dalam penelitian ini berguna untuk menguraikan proses produksi menurut sumbangan masing – masing faktor produksi, serta berguna untuk mengetahui distribusi nilai tambah tenaga kerja serta pengusaha. Distribusi tenaga kerja dan pengusaha diharapkan dapat tersebar secara adil (Nenni, 2000). Berdasarkan hasil pembagian besaran total output per input bahan baku utama didapatkan nilai faktor konversi sebesar 0,87 (Tabel 6). Nilai ini menunjukan bahwa setiap satu kilogram biji kakao yang diolah akan menghasilkan chocolate bar sebesar 0,87 kg. Nilai koefisien tenaga kerja diperoleh dari hasil pembagian antara jumlah total tenaga kerja (HOK) selama satu periode produksi dengan jumlah input bahan baku yang diolah dalam satu hari. Hasil perhitungan tersebut menunjukan bahwa nilai koefisien tenaga kerja pada industri coklat “ Pipiltin Cocoa” adalah sebesar 0,4. Nilai ini dapat diinterpretasikan sebagai jumlah hari orang kerja (HOK) yang diperlukan untuk mengolah 1 kg biji kakao menjadi chocolate bar adalah 0,4 HOK ( 1 HOK = 8 jam kerja). Jumlah hari orang kerja akan semakin rendah ketika perusahaan menambah volume produksi. Sumbangan input lain adalah biaya-biaya yang juga dikeluarkan industri selain biaya bahan baku utama dan tenaga kerja langsung. Sumbangan input lain yang digunakan adalah berupa susu dan gula. Nilai total susu dan gula yang digunakan oleh Pipiltin Cocoa dalam penggunaan 30 kg biji kakao adalah sebesar Rp 180 000. Nilai tersebut kemudian dibagi dengan jumlah input bahan baku utama yang digunakan sehingga diperoleh sumbangan input lain per satuan kg biji kakao sebesar Rp 6000. Berikut ini hasil perhitungan nilai tambah proses pengolahan biji kakao mentah menjadi cokelat batangan dengan metode Hayami,
25 Table 6 Hasil analisis nilai tambah pada pengolahan biji kakao menjadi chocolate bar dengan Metode Hayami Variabel
Nilai
Output, Input, dan Harga Output ( kg) Input (kg/hari) Tenaga Kerja (HOK) Faktor Konversi Koefisien Tenaga Kerja Harga Produk (Rp/kg) Tingkat Upah (Rp /HOK)
26 30 3 0,87 0,4 400 000 67 000
Penerimaan dan Keuntungan (Rp/bahan baku) Harga Bahan Baku (Rp/kg) Harga Input Lain (Rp/kg) Nilai Output (Rp/kg) Nilai Tambah (Rp/kg) Rasio Nilai Tambah (%) Pendapatan Tenaga kerja (Rp/kg) Pangsa Tenaga Kerja (%) Keuntungan (Rp/kg) Tingkat Keuntungan (%)
44 000 6 000 348 000 298 000 85,63 26 800 8,99 271 200 91
Balas Jasa Pemilik Faktor-Faktor Produksi Marjin (Rp/kg) a. Tenaga Kerja (%) b. Modal (Sumbangan Input Lain) (%) c. Keuntungan (%)
304 000 8,82 1,97 89,21
Nilai output cokelat diperoleh dari hasil perkalian harga output per kgdengan faktor konversi.Nilai output chocolate bar Pipiltin Cocoa yang diproduksi yaitu sebesar Rp 348 000. Berdasarkan nilai output ini, Pipiltin Cocoa memperoleh nilai tambah sebesar Rp 298 000 dengan rasio nilai tambah 85,63 persen. Nilai ini dapat diinterpretasikan bahwa 85,63 persen dari nilai output merupakan nilai tambah pengolahan kakao menjadi cokelat. Nilai tambah disini merupakan nilai tambah kotor karena belum memperhitungkan imbalan tenaga kerja. Nilai tambah yang tinggi diperoleh Pipiltin karena harga jual output yang besar yakni Rp 40 000 per 100 gram cokelat atau Rp 400 000 per kg cokelat batangan. Selain itu, biaya bahan baku lain dalam pengolahan kakao ini tidak terlalu besar yang hanya meliputi biaya untuk gula dan susu sebagai input tambahan. Jika dikaji lebih mendalam, industri cokelat yang mengutamakan cokelat asli khususnya dark cokelat akan memberikan nilai tambah cenderung memberikan nilai tambah cukup tinggi. Hal ini disebabkan oleh penggunaan input tambahan dalam proporsi sangat rendah. Imbalan tenaga kerja merupakan perkalian dari koefisien tenaga kerja dengan upah rata – rata tenaga kerja per HOK. Tingkat upah tenaga kerja adalah sebesar Rp 6 700 per HOK dengan pangsa tenaga kerja sebesar 8,89 persen. Hal ini berarti 8,99 persen dari nilai tambah sebesar Rp 298 000 merupakan imbalan yang
26 diterima oleh tenaga kerja yaitu sebesar Rp 26 800 per hari atau 8 jam kerja. Kontribusi bagi tenaga kerja terhadap nilai tambah akan semakin kecil apabila perusahaan menambah volume produksinya. Sedangkan kapasitas perusahaan cokelat yang meningkat akan menurunkan biaya produksi. Produk chocolate bar yang dihasilkan Pipiltin Cocoa ini berhasil memberikan keuntungan sebesar Rp 271 200 per kg.Keuntungan ini dihitung berdasarkan selisih antara nilai tambah dengan imbalan tenaga kerja. Dengan demikian, nilai dari keuntungan ini merupakan manfaat bersih yang diterima pemilik industri karena sudah menghitung pengeluaran untuk tenaga kerja selain dari pada biaya input utama dan tambahan. Keuntungan yang cukup tinggi ini berhasil diperoleh Pipiltin karena besarnya nilai tambah. Dengan demikian semakin besar nilai tambah suatu industri pengolahan komoditas pertanian maka berdampak positif terhadap keuntungan yang akan diterima. Tingkat keuntungan sebesar 91 persen diartikan bahwa 91 persen dari nilai tambah merupakan keuntungan bersih karena sudah memperhitungkan imbalan tenaga kerja. Selain nilai tambah dan keuntungan pemilik industri, didalam metode Hayami juga tercakup bagaimana menghitung margin. Nilai margin diperoleh dari selisih antara nilai output dengan nilai bahan baku utama. Margin ini berbeda dengan nilai tambah karena dalam nilai tambah akan diperhitungkan nilai bahan baku tambahan sedangkan margin hanya memperhatikan nilai bahan baku utama. Setelah diperoleh margin yang merupakan nilai tambah kotor, pemilik harus menghitung rate balas jasa untuk input tambahan, tenaga kerja, dan keuntungan pemilik dari nilai margin yang diperoleh. Berdasarkan hasil analisis nilai tambah diketahui bahwa margin dari pengolahan 1 kg biji kakao menjadi produk chocolate bar adalah sebesar Rp 304 000. Margin ini kemudian didistribusikan menjadi imbalan bagi tenaga kerja, sumbangan input lainnya, serta keuntungan perusahaan. Sebesar 8,82 persen dari nilai margin merupakan balas jasa untuk tenaga kerja, kemudian 1,97 persen untuk sumbangan input lainnya, dan distribusi margin bagi keuntungan perusahaan sebesar 95,8 persen. Hasil penelitian menunjukan bahwa nilai tambah pengolahan biji kakao menjadi chocolate bar adalah sebesar Rp 298 000 per kg biji kakao yang digunakan.Sedangkan balas jasa terhadap faktor – faktor produksi atau margin adalah Rp 304 000 per kg biji kakao.Jika periode produksi per empat hari menggunakan 30 kg biji kakao maka dalam satu bulan kapasitas produksi Pipiltin adalah 225 kg biji kakao. Berdasarkan perhitungan per bulan, Pipiltin menerima nilai tambah dari proses produksi cokelat tersebut adalah sebesar Rp 67 050 000. Nilai ini diperoleh dari hasil perkalian antara volume penggunaan bahan baku per bulan dengan nilai tambahnya. Sedangkan untuk margin, perusahaan menerima margin sebesar Rp 68 400 000 yang merupakan hasil perhitungan dari Rp 304 000 per kg dikalikan 225 kg. Berdasarkan perhitungan nilai tambah industri kakao yang telah dijelaskan dalam tinjauan pustaka, nilai yang dihasilkan untuk Pipiltin Cocoa dengan nilai tambah pada cokelat batangan per bulan yaitu sebesar Rp 67 050 000 ini jauh lebih tinggi dibandingkan industri kakao seperti UKM Putri Willis di Madiun. Putri Willis menerima nilai tambah per bulan untuk produk pasta, lemak, dan bubuk cokelat berturut- turut adalah Rp 36 780 750, Rp 7 893 450, dan Rp 2 562 300. Sedangkan jika UKM Putri Willis mendiversifikasi produk olahannya yaitu bubuk dan lemak cokelat dalam satu kali produksi, nilai tambah yang dihasilkan
27 lebih besar yaitu Rp 67 155 750. Nilai tersebut akan sebanding apabila Industri Cokelat seperti Pipiltin menghasilkan jenis cokelat yang lebih banyak. Keadaan ini dapat disimpulkan bahwa industri cokelat memiliki nilai tambah yang lebih besar dibanding industri kakao. Namun, nilai tambah akan lebih besar apabila masing – masing industri dapat menghasilkan beragam produk olahan dengan jumlah bahan baku yang sama. Tabel 7 Proporsi hasil nilai tambah pengolahan biji kakao menjadi produk antara oleh Dilana ( 2012) Variabel
Proporsi hasil per 100 kg bahan baku (kg) Nilai tambah ( Rp/kg)
Pasta
75 16 347
Bubuk
Lemak
Bubuk dan Lemak
45
30
75&30
5 847
2 847
29 847
Berdasarkan nilai tambah yang telah dihitung, industri cokelat converture seperti Pipiltin menerima pendapatan yang lebih besar dibandingkan industri cokelat compound.Berdasarkan nilai marginnya, Pipiltin cocoa menerima margin sebesar Rp 68 400 000 per bulan dari penjualan cokelat batangannya. Nilai ini jauh lebih besar dibandingkan pendapatan yang diterima oleh KUB Sibali Resoe sebagai industri cokelat compound seperti yang telah dibahas dalam tinjauan pustaka, yaitu Rp 7 000 000 per bulan. Margin ini dapat dibandingkan dengan pendapatan karena hasil perhitungan margin diatas berdasarkan nilai output dikurangi dengan nilai bahan baku yang dikeluarkan. Ironisnya, nilai pendapatan KUB Sibali Resoe ini merupakan pendapatan kotor karena dihitung berdasarkan jumlah produksi perbulan dan harganya. Dengan demikian, jika dikurangkan dengan biaya bahan baku maka nilainya akan lebih rendah. Selain itu, harga cokelat batangan Sibali Resoe adalah Rp 1500 per 30 g atau sekitar Rp 5000 per 100 gram. Nilai ini berbeda jauh dengan harga produk cokelat batangan Pipiltin Cocoa yaitu Rp 40 000 per 100 gram. Harga yang murah ini disebabkan karena jenis produk yang dihasilkan adalah cokelat compound yang menggunakan proporsi lemak cokelat sangat rendah. Hal ini berbeda dengan Pipiltin Cocoa yang sangat mengutamakan kualitas cokelat yang dihasilkan melalui penggunakan lemak cokelat seluruhnya dan tanpa tambahan lemak nabati.Perbedaan nilai ini membuktikan bahwa pengetahuan pemilik dan jenis cokelat yang dihasilkan memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap pendapatan pemilik perusahaan cokelat. Total investasi pendirian KUB Sibali Resoe, suatu perusahaan pengolah biji kakao milik kelompok petani yang telah dibahas dalam tinjauan pustaka, adalah mencapai Rp 1.200.000.000 atau Rp 1,2 Milliar (tidak termasuk tanah dan bangunan). Nilai ini dapat menjadi asumsi besarnya investasi untuk pendirian Pipiltin Cocoa dengan produk keluaran yang sama yaitu cokelat batangan. Dengan demikian, berdasarkan informasi keuntungan dari analisis nilai tambah, Pipiltin dapat memprediksikan berapa besarnya kontribusi keuntungan terhadap investasi awal pada setiap periode produksinya. Berdasarkan kedua jenis industri cokelat tersebut, faktor yang dapat dibedakan adalah jenis produk cokelat yang dihasilkan. Pemahaman yang sangat luas
28 dimiliki pemilik Pipiltin Cocoa menjadikan produknya sangat mengutamakan loyalitas kualitas cokelat sebenarnya dengan proses produksi yang cukup rumit. Hal ini tidak menjadi suatu keanehan mengapa harga jual cokelat Pipiltin sangat mahal. Selain itu, dari espek tenaga kerja, Pipiltin menerima karyawan dengan pendidikan minimal SMK dengan keterampilan tata boga yang baik, sedangkan tenaga kerja yang bekerja di KUB Sibali Resoe adalah rata – rata berpendidikan akhir SMA dan SMP, sedangkan pada Pipiltin Cocoa tenaga kerja adalah lulusan SMK dan tidak terdapat lulusan SMP. Dan untuk pemilik KUB Sibali resoe adalah berpendidikan Sarjana.Keadaan ini tidak jauh berbeda pada Pipiltin Cocoa, namun yang menjadi perbedaan adalah pemilik Pipiltin yaitu Ibu Tissa berpendidikan S2 serta terdapat rekan kerja.Selain itu, KUB Sibali Resoe pun tidak jarang mengajak karyawannya untuk mengikuti pelatihan - pelatihan layaknya Pipiltin Cocoa. Berdasarkan hasil perhitungan diatas, dapat disimpulkan bahwa industri pengolahan kakao menjadi produk cokelat batangan memberikan nilai yang cukup besar.Dari hasil perhitungan nilai tambah produsen dapat mengetahui keuntungan bersih yang diterima dari pengolahan biji kakao.Nilai keuntungan bersih ini dapat digunakan sebagai parameter dalam memperkirakan umur ekonomis bisnisnya.Dengan demikian, produsen mengetahui jangka waktu yang dibutuhkan perusahaan untuk menerima kembali investasi awal yang telah dikeluarkan.
Analisis Nilai Tambah Cokelat Batangan dengan Metode Syahza Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan metode Syahza, nilai tambah yang diperoleh adalah sebesar Rp 298 000, namun dalam presentase yang berbeda. Tingkat nilai tambah berdasarkan metode Syahza adalah sebesar 85,96%. Sedangkan keuntungannya adalah Rp 271 200 atau dalam presentase sebesar 78%. Metode perhitungan dengan metode Syahza ini telah dijelaskan dalam bab sebelumnya yaitu pada bagian metode pengolahan data. Setelah dianalisis nilai tambah dan keuntungan yang diterima produsen pada uraian diatas, dengan mengkaitkan perhitungan dari nilai investasi yang ditanam dibagi dengan margin yang diterima perusahaan perbulannya, maka sebuah perusahaan cocholate bar seperti Pipiltin ini yang mengeluarkan biaya investasi lebih dari Rp 1 Miliar (tidak termasuk tanah dan bangunan) diperkirakan membutuhkan waktu dua tahun agar modal awal untuk penyediaan investasi alat dan mesin yang telah dikeluarkan dapat diterima kembali. Dua tahun merupakan jangka waktu yang tidak terlalu lama dalam sebuah bisnis, mengingat sejak memulai bisnis, pemilik perusahaan sudah dapat menikmati keuntungan.Hal ini berbeda dengan petani yang membutuhkan beberapa tahun agar dapat merasakan keuntungan dari penjualan buah kakaonya.Dengan demikian, prospek pengolahan biji kakao cukup memberikan harapan yang cerah. Permasalahan yang dihadapi adalah pada nilai investasi awal yang cukup besar dibutuhkan dalam pembangunan pada industri ini. Nilai tambah yang cukup besar diterima oleh Pipiltin ini bergantung pada beberapa aspek seperti pemilik yang memang mempunyai pengetahuan luas mengenai cokelat, mempunyai pendidikan yang tinggi, dan modal yang cukup, serta prinsip penjualan dengan mengutamakan loyalitas kualitas cokelat, tidak
29 hanya melihat pada harganya. Faktor – faktor ini menjadi kekuatan pemilik Pipiltin untuk membangun sebuah budaya pada industri cokelat yang mengutamakan kualitas layaknya industri cokelat di negara – negara produsen cokelat dunia.Keteguhan prinsip pemasaran Pipiltin yang tidak hanya mengutamakan loyalitas konsumen namun loyalitas kualitas produk menjadi sebuah bargaining position bagi Pipiltin Cocoa tersendiri. Kemajuan Pipiltin Cocoa ini secara tidak langsung dalam jangka panjang akan memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan petani kakao di Aceh dan Tabanan. Pipiltin Cocoa dibangun dengan nilai investasi yang tidak rendah.Berdasarkan hasil wawancara, pemilik industri cokelat ini mengatakan bahwa pembelian alat dan mesin pengolah kakao ini sangat mahal dan tidak cukup dengan biaya Rp 1 Miliar. Oleh karena itu, dalam jangka pendek perusahaan akan memperluas pemasarannya untuk mendapatkan penerimaan yang lebih baik. Pembangunan industri cokelat akan lebih memiliki prospek yang cerah jika perusahaan memperbanyak jenis cokelat yang diproduksi dan meningkatkan jumlahnya. Volume cokelat yang besar akan mampu menekan biaya produksi. Oleh karena itu, rencana pemasaran Pipiltin Cocoa ke depan akan mencoba memasuki supermarket atau retailer.
Perbandingan Nilai Tambah Cokelat Batangan antara Metode Hayami dengan Syahza Berdasarkan kedua metode perhitungan nilai tambah diatas, industri pengolahan kakao menjadi produk utama yaitu cokelat memberikan nilai tambah yang besar yaitu sebesar Rp 298 000 per kg biji kakao yang digunakan.Nilai tambah yang telah diperoleh memberikan pengaruh yang besar terhadap keuntungan produsen. Hal ini terlihat bahwa semakin besar nilai tambah yang dihasilkan maka produsen pun akan menerima keuntungan yang lebih besar. Tabel 8 Perbandingan hasil analisis metode Hayami dan Syahza Variabel Nilai Tambah (Rp/ kg) Keuntungan (Rp/ kg) Imbalan Tenaga Kerja Nilai Produk Margin ( Rp/kg)
Hayami 298 000 271 200 26 800 348 000 304 000
Nilai Tambah Persentase Syahza 85, 63 298 000 91 271 200 26 800 348 000 -
Persentase 85, 96 91
-
Berdasarkan hasil perhitungan Hayami dan Syahza diatas, terlihat adanya beberapa kesamaan. Nilai tambah, keuntungan, nilai produk, dan imbalan tenaga kerja yang dihitung berdasarkan kedua metode menunjukan nilai yang sama. Perbedaan dari kedua metode disini adalah presentase nilai tambah dan keuntungan.Namun pada variable keuntungan, nilai yang diperoleh menunjukan perbedaan yang sangat tipis. Sedangkan perbedaan presentase keuntungan disebabkan oleh perhitungan pada metode Syahza menunjukan cara yang berbeda. Presentase keuntungan ini diperoleh dari perbandingan antara keuntungan yang telah diperoleh dengan nilai produknya.Sedangkan pada metode Hayami,
30 presentase keuntungan ini diperoleh berdasarkan perbandingan antara keuntungan dengan nilai tambahnya.Perbedaan hasil analisis nilai tambah dengan kedua metode diatas tidaklah signifikan.Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa industri pengolahan kakao menjadi produk cokelat batangan memberikan nilai yang cukup besar. Kelemahan penggunaan metode Syahza dalam analisis nilai tambah komoditas pertanian ini tidak dapat diketahui nilai balas jasa terhadap penggunaan faktor produksi seperti distribusi margin terhadap tenaga kerja, sumbangan input lain, dan keuntungan produsen. Perbedaan hasil analisis nilai tambah dengan kedua metode diatas tidaklah signifikan.Kelemahan dalam perhitungan nilai tambah menggunakan metode Hayami ini adalah perlunya menghitung beberapa variabel tambahan dimana dalam metode Syahza tidak dibutuhkan. Variabel – variabel tersebut seperti koefisien tenaga kerja dan adanya perhitungan untuk mengkonversi antara input per output. Akan tetapi secara tidak langsung metode Hayami merupakan penyempurnaan terhadap metode Syahza.Hal ini berkaitan dengan langkah – langkah dalam perhitungan Hayami lebih jelas dan sistematis. Selain itu, berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, beberapa kelebihan dari analisis nilai tambah Hayami menurut Nenni (2000) antara lain, 1. Dapat mengestimasi produktivitas produksi 2. Dapat mengestimasi balas jasa terhadap faktor – faktor produksi 3. Prinsip analisis ini dapat digunakan pula untuk selain subsistem pengolahan
31
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah disajikan sebelumnya dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut, 1. Hasil nilai tambah dari produk chocolate bar adalah Rp 298 000 per kg biji kakao. Dengan demikian bahwa produk olahan biji kakao yang dihasilkan industri kecil seperti Pipiltin Cocoa ini memberikan pendapatan yang cukup besar kepada pemilik usaha. 2. Perhitungan nilai tambah dengan dua metode yaitu Hayami dan Syahza memberikan hasil nilai tambah, keuntungan, imbalan tenaga kerja, dan nilai produk yang sama. Perbedaan hanya terlihat pada presentase nilai tambah dan keuntungan yang sangat kecil. Oleh karena itu, dapat disimpulkan jika industri pengolahan kakao dengan studi kasus di Pipiltin Cocoa ini memberikan nilai tambah yang cukup besar. Meskipun metode Hayami telah lama digunakan, namun penggunaannya masih lebih jelas dan sistematis dalam menganalisis nilai tambah pada pengolahan komoditas pertanian dibandingkan metode Syahza yang lebih baru.
Saran 1. Setelah dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yaitu pada industri kakao di Madiun dan industri kakao dan cokelat di Luwu Utara, maka terlihat bahwa nilai tambah pada industri cokelat “Pipiltin Cocoa” lebih besar dibanding kedua industri tersebut meskipun umur perusahaan baru akan menginjak satu tahun. Oleh karena itu, saran untuk pemerintah dan stakeholder terkait dalam agribisnis kakao ini adalah agar lebih memfokuskan untuk menghasilkan produk – produk olahan kakao hingga menjadi cokelat dengan penggunaan cocoa butter asli atau cokelat converture dan mengggeser produksi sekunder yang masih berupa produk antara atau cokelat compound. 2. Penelitian ini memberikan suatu pelajaran bahwa harapan pembangunan industri cokelat yang dimulai dari petani atau perusahaan Indonesia membutuhkan banyak pihak yang dapat membantu, dalam hal ini terutama pemerintah. Kekuatan utama dalam mengolah biji kakao menjadi beragam produk turunan adalah faktor modal. Pemerintah berperan dalam mendukung petani khususnya dengan menyediakan alat dan mesin yang dibutuhkan karena mengingat pendirian industri pengolahan kakao membutuhkan investasi awal yang cukup besar. Selain itu, pabrik pengolahan kakao sebaiknya berlokasi tidak jauh dari lokasi perkebunan kakao. Hal ini diupayakan untuk mengurangi pengeluaran biaya produksi. 3. Dalam penelitian selanjutnya mengenai perhitungan nilai tambah pada pengolahan suatu komoditas pertanian, sangat direkomendasikan untuk menghitungnya dengan metode Hayami, mengingat beberapa keunggulan yang telah diuraikan diatas.
32 DAFTAR PUSTAKA Asosiasi Industri Kakao Indonesia.2012. Pabrik Cokelat JB Cocoa Beroperasi 2012. Surabaya: Surabaya Post. Callebaut, Barry. 2012. Chocolate Consumption and Taste Preferences araind the World. Barry Callebaut Journal – 2012, Ecocomy International Barry Callebaut Internal. Bradbear.2006. Bees and their role in forest livelihoods. www.fao.org/docrep/015/i2462e/i2462e00.pdf.Non-wood forest products No. 19, Rome pp. 32- 42 and FAO.2006.Value-added products from. Caska dan Almasdi Syahza. 2007. Analisis Nilai Tambah dan Peluang Pengembangan Bebuahan sebagai Komoditas Unggulan Agribisnis di Kabupaten Karimun Propinsi Riau.Jurnal Eksekutif Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi IBMT, Surabaya, Vol. 4, No 3, Desember 2007. Dilana, Indra Akbar. 2012. Pemasaran dan Nilai Tambah Biji Kakao di Kabupaten Madiun, Jawa Timur. Thesis, Sekolah Pasca Sarjana, IPB. Bogor. Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia. 2005. BUKU II – Analisis Penguatan dan Pengembangan Klaster Industri Agro dan Kimia. Jakarta: Kementerian Perindustrian. Direktorat Pengembangan Usaha dan Investasi, Kementerian Pertanian. 2013. Sehat Dengan Romantis Cokelat. 2013. Jakarta: Kementerian Pertanian. Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. 2013. Laporan Akuntabilitas Instansi Pemerintah 2012. Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Jakarta: Kementerian Pertanian. Ishak, Mira, dan Indriyanti Sudirman. 2000.Analisis Prospek dan Strategi Pengembangan Perusahaan pengolahan cokelat (Studi Kasus pada KUB Sibalie Resoe Luwu Utara). Hayami, Y., T, Kawagoe, Y. Marooka, dan M. Siregar. 1987. Agricultural Marketing and Processinng in Upland Java A Perspective From A Sunda Village. CGPRT Centre, Bogor. International Cocoa Organization (2013).Production of Cocoa Beans.Accessed on: 17 November 2013. Available from: http://www.icco.org/aboutus/international-cocoa-agreements/cat_view/30related-documents/46statistics-production.html Kementrian Perindustrian. 2012. Laporan Kinerja Sektor Industri dan Kinerja Kementerian Perindustrian 2012. Jakarta: Kementerian Perindustrian.
33 Kementerian Pertanian. 2013. Laporan Data Kinerja Kementerian Pertanian 2004-2012. Jakarta: Kementerian Pertanian. Nurhayati, Popong. 2006. Nilai Tambah Produk Olahan Perikanan Pada Industri Perikanan Traoisonal di Dki Jakarta. Buletin Ekonomi Perikanan Vol. V. No.2 Pusat Data dan Informasi Pertanian Kementrian Pertanian. 2011. Statistik Pertanian 2011. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Pertanian Kementerian Pertanian. Pusat Data dan Informasi Kementrian Perindustrian.__.Laporan Ekspor Hasil Industri Pengolahan. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kementerian Perindustrian. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia.2013. 100 Tahun Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia.Jember: Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Rifin, Amzul. 2012. Impact of Export Tax Policy on Cocoa Farmers and Supply Chain. SEADI Discussion Paper Number one.The United States Agency for International Development. Sinaga, Merika Sondang. 2008. Analisis Nilai Tambah dan Dayasaing serta Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Industri Tempe di Kabupaten Bogor (Kasus: Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup).[Skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Suherman, Astriani. 2012. Analisis Nilai Tambah Kayu Mahoni Sebagai Bahan Baku Kerajinan Boneka Whimsy Di CV ATLAS Kota Tasikmalaya.[Skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Sukandar, Nenni WH. 2000. Analisis Nilai Tambah dan Prospek Pengembangan Industri Pengolahan Kayu (Perbandingan Metode M. Dawam Rahardjo dan Hayami).[Skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Swisscontact. 2012. CoklatKakaoCocoa. State Secretariat for Economic Affairs SECO. Syadullah, Makmun. 2012. Dampak Kebijakan Bea Keluar Terhadap Ekspor dan Industri Pengolahan Kakao.Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan, Vol. 6 No. 1, Juli 2012. The Times 100. 2012. Industry.www.bcca.org.uk
Creating
a
Sustainable
Chocolate
34 Tim INDEF (Institut For Development of Economics and Finance). 2011. Outlook Industri 2012 “ Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri”. Jakarta: Kementrian Perindustrian. World Cocoa Foundation. 2012. Cocoa Market Update. www.worldcocoa.org UNCTAD secretariat. 2008. Cocoa Study: Industry Structures and Competition. United Nations Conference on Trade and Development, New York and Geneva.UNCTAD/DITC/COM/2008/1.
35
LAMPIRAN Lampiran 1 Daftar Industri Kakao dan Cokelat Indonesia tahun 2013 No 1
Perusahaan UD. TAMA COKELAT ( CHOCODOT)
2
PT. DANORA AGO PRIMA
3
PT. PERKEBUNAN NUSANTARA VIII
4
PT. PERKEBUNAN NUSANTARA IX
5
PT. PERKEBUNAN NUSANTARA VII
6
PT. BUMI TANGERANGMESINDOTAMA
7
PT. DAVOMAS ABADI TBK
8
PT. MAS GANDA
9
PT. BUDIDAYA KAKAO LESTARI
10
PT. CACAO WANGI MURNI
11
PT. INDUSTRI KAKAO UTAMA
12
PT. KOPI JAYA KAKAO
13
PT. UNIKOM KAKAO MAKMUR SULAWESI
14
PT. POLEKO COCOA INDUSTRIES
15
PT. COCOA VENTURES INDONESIA
16
PT. TRI KEESON UTAMA
17
PT. CERES
18
PT. DHOLPIN
19
PT. EFFEM INDONESIA
20
PT. TEJA SEKAWAN COCOA INDUSTRY
21
PT. GANDUM MAS
Lokasi Otista Road No. 2 Pasawahan Tarogong, Garut, Jawa Barat Gading Maditerania Residences 2nd floor tower C no 36 H/ I, Jakarta 14240 Sindangsirna Road No. 4 Bandung, Jawa Barat Ronggowarsito Road No. 164 Surakarta, Jawa Tengah Rajawali Road No. 44 Surabaya, Jawa Timur 60175 Dipati Unus Road No. 30 Cibodas, Tangerang, Banten. P. Jayakarta Road 117 Blok B No. 35 – 39 Jakarta Muara Karang Road Blok M/IX No. 15 Jakarta 14440 Majapahit Road No. 18 Blok A/3-4 Jakarta 101160 Kali Besar Barat Road No. 50 – B Jakarta Imperium Tower H.R Rasuna Said Road Kav. 1 Jakarta 12980 Veteran Selatan Road No. 212 Makasar, Sulawasi Selatan 90135 Kima 4 Road Kav M3 Makasar, Sulawesi Selatan Kapasa Raya Road No. 2 Makasar, Sulawesi Selatan 90241 Pulau Nusa Barung Road No. 1, Medan Industrial Complex, Medan, Sumatera Utara Danau Sunter Selatan Road, Royal Sunter Office Complex Blok F No. 10 Jakarta Dayeuhkolot Raya Road No. 84 Bandung City, Jawa Barat 40256 Industri Raya Road III Blok AE Kav. 4-7 Jatake Industrial Complex, Tangerang, Banten 15710 Kima Road No. 10 Kav. A6, Sulawesi Selatan Rungkut Industri II Road No. 27, Surabaya Raya Moh. Toha, Km.21 Tangerang, Banten.
36 22 23
24 25
26
27 28 29 30
31 32
33 34 35 36 37 38 39
CV. MULTI ORGANIC INDO CV. HAKIWA MANDIRI UTAMA
Sukarno Hatta Road Km 7 Lampung Ki. Moh. Salim Road No. 26 Way Lunik Panjang, Bandar Lampung, Lampung 35244 CV. MUSTIKA KENCANA Kgs Hi Anang Road No. 23 Kuala, Bandar Lampung, Lampung 35243 PT. NEDCOMMODITIES Villa Citra Complex Block D -3 Sukaramai, Bandar Lampung, Lampung PT. OLAM INDONESIA KH Agus Anang Road No. 36 Ketapang, Bandar Lampung, Lampung 35245 ANEKA BUMI KENCANA Raya Mulyosari Road No. 236 Surabaya, Jawa Timur PT. COCOA PERKASA Poros Palu Pantoloan Road Km 15 Palu, Sulawesi Tengah PT. TANAH MAS CELEBES INDAH Nangka Road No. 2, Palu, Sulawesi Tengah UD. PUTRA LIONG Trans Sulawesi Maesa Parigi Road, Royal Sunter Office Complex Blok F No. 10, Jakarta PT. MAKASSAR BERKAT KAKAO INDUSTI Kima 8 Kav. SS – 21, Kawasan Industri Makasar, Makasar 90242 PT. ANUGERAH MULIA SENTOSA ( Dalem KG III/978 RT 043 RW 10 CHOCOLATE MONGGO) Kel. Purbayan Kotagede 55173 Yogyakarta, Indonesia PT. KAKAO MAS GEMILANG Tomang Raya Road No. 21 – 23 Jakarta Barat PT. COCOA VENTURES INDONESIA P. Nusa Barung Road No.1, Kawasan Industri Medan PT. GENERAL FOOD INDUSTRIES Raya Deyeuh Kolot Road No. 84, Bandung PT. CERES MEW INDONESIA PT. FAJAR Jl. Maligi III Lot 12B, Kawasan MATARAM SEDAYU Industri KIIC, Karawang 41361 PT. FAJAR MATARAM SEDAYU Soekarno Hatta NO. 225 Bandung PT. GANDUM MAS Raya Moh. Toha Road KM 21 Tangerang PT. MAID BERSAMA COCOA INDUSTRI Kima 8 Road Kav. SS-21, Makassar
Sumber: Kementerian Pertanian (2013)
37 Lampiran 2 Lokasi Pipiltin Cocoa
38
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pemalang, Jawa Tengah pada tanggal 31 Januari 1992 dari Ayah Tarmidi dan Ibu Dinarsih. Penulis adalah putri pertama dari tiga bersaudara. Pada tahun 2010 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Pemalangdan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB dan diterima di Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten mata kuliah Ekonomi Umum TPB IPB tahun ajaran 2012/2013 dan Pendidikan Agama Islam. Penulis juga aktif mengikuti beberapa organisasi baik di tingkat Departemen, Universitas, maupun luar Universitas. Beberapa organisasi yang diikuti antara lain di Lembaga Struktural Badan Eksekutif Mahasiswa KM IPB 2010 di Kementerian Pemberdayaan Sumber Daya Manusia, LDK Alhurriyyah tahun 2010, Dewan Mushola Asrama TPB tahun 2010, Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Forum Scientist (FORCES) tahun 2011 - 2013, Komite Nasional Rakyat Palestina (KNRP) tahun 2011, dan Himpunan Profesi Mahasiswa Peminat Agribisnis (HIPMA) tahun 2011- 2013. Pada UKM FORCES, penulis menjadi Bendahara departemen Community Development dan pada organisasi HIPMA, penulis menjadi ketua Creativity And CareerDeveopment Department Selain itu, penulis juga aktif mengikuti kepanitiaan dan kegiatan pemberdayaan masyarakat dari hasil kegiatan ilmiah Pekan Kreativitas Mahasiswa di Desa Gunung Bunder, Bogor. Penulis juga aktif dalam mengikuti lomba karya tulis ilmiah tingkat baik tingkat universitas, nasional, dan internasional. Beberapa kegiatan ekstra akademik yang telah diikuti antara lain menjadi presentator paper di tingkat Universitas, presentator paper di Universitas Malaya, Malaysia, presentator paper di Asia University, Taiwan, juara lomba debat dengan topic Agribisnis, dan beberapa kegiatan keilmiahan Pekan Kreativitas Mahasiswa. Selain itu, selama perkuliahan penulis juga aktif menjadi pengajar di beberapa bimbingan belajar formal dan privat di Bogor.Penulis juga aktif mengikuti kegiatan seminar baik yang bersifat akademik maupun peningkatan soft skill di tingkat universitas, nasional, maupun internasional. Saat ini penulis sedang melanjutkan perkuliahan di S2 Departemen Magister Sains Agribisnis program Fasttrack 2013.