IDENTIFIKASI LANSKAP KOTA TAMAN KEBAYORAN BARU SEBAGAI IDENTITAS KOTAMADYA JAKARTA SELATAN
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh: DEWINA PUTRI SUGIANTO A34203040
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
RINGKASAN DEWINA PUTRI SUGIANTO. Identifikasi Konsep Kota Taman Kebayoran Baru Sebagai Identitas Kota Administratif Jakarta Selatan. Di bawah bimbingan NURHAYATI HS ARIFIN. Kawasan yang kini menjadi Kecamatan Kebayoran Baru merupakan kawasan permukiman pertama yang direncanakan oleh arsitek Indonesia. Dalam perencanaannya kawasan ini mengadaptasi konsep kota taman dan menyesuaikannya dengan iklim tropis. Dari segi arsitektural, Kebayoran Baru direncanakan dengan struktur dan pola penataan ruang serta karakter bangunan yang spesifik. Kota ini memiliki konsistensi hirarki jalan dan peruntukan lahan yang jelas serta dirancang dengan penutupan RTH lebih dari 40 persen dari total luas kota. Berdasarkan sejarah perkembangannya, Kebayoran Baru memang layak dikategorikan sebagai kawasan cagar budaya dan identitas kota di Jakarta Selatan. Akan tetapi perubahan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat memberikan imbas tersendiri bagi perkembangan kota taman ini. Peruntukan dan fungsi lahan tidak lagi sesuai dengan yang telah direncanakan. Oleh karena itu perlu dilakukan tindak lanjut dari upaya yang telah dilakukan sebelumnya dengan menganalisa faktor-faktor pemicu konversi peruntukan lahan di kawasan Kebayoran Baru dan memberikan alternatif solusi tindakan pelestarian yang dapat dilakukan. Studi ini bertujuan untuk mengidentifikasi eksistensi konsep kota taman dalam kawasan ini untuk menganalisis integritasnya serta peluang penanganannya dalam rangka membangun alternatif identitas lanskap Kota Administratif Jakarta Selatan. Menurut hasil identifikasi dalam studi ini, Kawasan Kotabaru Kebayoran yang kini terdapat dalam kecamatan Kebayoran Baru, Kota Administratif Jakarta Selatan merupakan kota pertama yang dirancang oleh arsitek Indonesia, M. Soesilo. Pembangunannya merupakan solusi atas masalah kekurangan perumahan di Kotapradja Djakarta. Pembangunan kawasan ini mulai dibahas pada tanggal 1 Juni 1948 dan dimulai pada tanggal 18 Maret 1949. Kawasan ini dibangun di areal seluas 730 Ha yang berada di luar wilayah Kotapradja Djakarta. Dalam perencanaannya kawasan ini dinamakan Kota Satteliet Kebajoran akan tetapi penamaan kota satelit dirasa kurang tepat karena kawasan ini hanya berjarak ±8 Km dari lapangan Monas atau ±4,5 Km dari batas selatan Kotapradja Djakarta. Pada awalnya kawasan ini direncanakan untuk menampung 50.000 penduduk, sehingga dibangun ±6000 unit rumah. Akan tetapi semenjak pemindahan Ibukota dari Yogyakarta ke Kotapradja Djakarta, dilakukan penambahan pembangunan ±1000 unit rumah. Dan pada tahun 1950 melalui Putusan Pemerintah mengenai luas dan batas-batas wilayah Kotapradja Djakarta, kawasan ini resmi menjadi bagian yang terintegrasi dengan Kotapradja Djakarta. Kawasan ini direncanakan dengan mengadopsi konsep Kota Taman (Garden City) yang digagas oleh Ebenezer Howard pada tahun 1898. Konsep ini diterapkan secara parsial dan disesuaikan dengan tujuan pembangunan, anggaran pembangunan dan budaya masyarakat Indonesia.
Mengingat tujuan pembangunannya sebagai solusi masalah pemukiman, maka limitasi jumlah penduduk sebesar 32.000 jiwa tidak diterapkan. Pola blok dalam kawasan ini mengadaptasi pola jalan yang radial namun tidak memiliki taman besar di pusat kota. Kawasan ini juga tidak mengadaptasi pengunaan enam boulevard namun hanya empat jalan utama. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi masalah lalu lintas dan menyesuaikan dengan budaya masyarakat Indonesia yang berorientasi pada empat arah mata angin. Akan tetapi standar lebar boulevard sebesar 37 meter diterapkan dalam jalan utama yang membelah kawasan ini dari utara ke selatan. Seperti halnya dalam konsep Kota Taman, areal pusat kota diisi dengan bangunan-bangunan umum sedangkan fungsi crystal palace diakomodir dalam pasar yang berada di selatan pusat kota. Klasifikasi hunian yang dipisahkan oleh grand avenue menjadi Zona 2 dan Zona 3 dalam konsep Kota Taman tidak diterapkan. Arsitek kawasan ini membagi kawasan dalam beberapa blok dan mengintegrasikan berbagai tipe hunian dalam satu blok. Konsep Zona 4 sebagai wilayah industri juga tidak diterapkan karena kawasan ini memang diperuntukkan sebagai kawasan hunian. Selain itu, kawasan ini juga tidak dilintasi oleh jalur kereta api karena jalur yang telah ada dinilai cukup dekat dengan kawasan. Akan tetapi perencanaan kawasan ini mengadopsi konsep permanent belt of agriculture yang mengitari sebagian kawasan. Selain sebagai wilayah pertanian penduduk, permanent belt of agriculture tersebut juga ditujukan sebagai sempadan Kali Grogol dan Kali Krukut. Kawasan ini ditetapkan sebagai kawasan pemugaran pada tahun 1975 melalui SK Gubernur DKI Jakarta No. D.IV-6097/d/33/1975. Akan tetapi kebijakan tersebut hanya menitikberatkan pada pemugaran bangunan dan tidak mengkaji kawasan secara menyeluruh. Kebijakan ini dinilai telah tidak relevan dengan kondisi aktual dimana telah banyak terjadi konversi penggunaan lahan terutama pada golongan pemugaran bangunan B dan C serta RTH. Berdasarkan kriteria penilaian keunikan, didapatkan hasil penilaian bahwa konsep Kotabaru Kebayoran memiliki originalitas dan keunikan konsep. Sedangkan berdasarkan kriteria untuk penilaian keaslian dan fungsi kota, didapatkan hasil penilaian bahwa kawasan Kebayoran Baru saat ini masih dapat mempertahankan originalitas atau keaslian kawasan. Sedangkan berdasarkan kriteria identitas kota menurut Relph (1976), kawasan Kotabaru Kebayoran dapat memenuhi enam dari tujuh kriteria identitas kota yaitu Existential insideness, Empathetic Insideness, Behavioral Insideness, Objective Outsider, Mass Identity of Place dan Existential Outsideness sehingga kawasan ini dapat dianggap layak untuk dijadikan sebagai identitas kota. Menurut hasil analisis dengan metode SWOT, faktor utama yang memicu terjadinya permasalahan diatas adalah kebijakan yang berlaku dinilai kurang komprehensif dan sudah tidak ditegakkan dengan konsisten. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya revisi kebijakan untuk menetapkan kembali kawasan ini sebagai kawasan pemugaran dengan menyesuaikan kondisi aktual kawasan. Kebijakan ini diharapkan dapat mencakup berbagai aspek dan mengkaji keutuhan kawasan sebagai Kota Taman. Dalam studi ini diusulkan upaya pelestarian kawasan dengan membagi kawasan menjadi zona inti dan zona penyangga. Sebagai tindak lanjut dari revisi kebijakan tersebut, diusulkan pula penyusunan petunjuk teknis dan penetapan insentif dan disinsentif atas upaya pemugaran yang telah dilakukan
oleh masyarakat. Selain itu diperlukan upaya sosialisasi kebijakan dan petunjuk teknis yang telah ditetapkan baik kepada masyarakat maupun kepada aparatur terkait serta melakukan koordinasi dalam pelaksanaan kebijakan tersebut. Dengan adanya upaya revitalisasi konsep awal ini diharapkan dapat mengembalikan dan memperkuat ciri khas kawasan sekaligus meningkatkan persentase RTH mendekati 30% sebagaimana yang telah diundangkan dalam UU No.26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang dan Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 135 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang Kawasan Kebayoran Baru.
LEMBAR PENGESAHAN Judul Skripsi
: Identifikasi Lanskap Kota Taman Kebayoran Baru sebagai Identitas Kota Administratif Jakarta Selatan
Nama
: Dewina Putri Sugianto
NRP
: A34203040
Program Studi
: Arsitektur Lanskap
Disetujui Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Nurhayati Hadi Susilo Arifin, M.Sc NIP. 19620121 198601 2 001
Mengetahui Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 19571222 198203 1 002
Tanggal Lulus
:
RIWAYAT HIDUP
Dewina Putri Sugianto lahir di Jakarta pada tanggal 20 Februari 1986. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, putri pasangan drh. Djoko Sugianto dan drh. Estina Deni. Penulis memulai pendidikan formal di SD Dharma Karya Universitas Terbuka pada tahun 1991 dan lulus tahun 1997, kemudian melanjutkan ke SLTP Islam Al Azhar Bumi Serpong Damai dan SMU Islam Al Azhar Bumi Serpong Damai. Pada tahun 2003 penulis diterima sebagai mahasiswi Institut Pertanian Bogor (IPB) pada Program Studi Arsitektur Lanskap, Departemen Budidaya Pertanian melalui jalur USMI. Selama menjadi mahasiswa penulis berpartisipasi sebagai pengurus Himpunan Mahasiswa Arsitektur Lanskap. Selain itu penulis juga berpartisipasi sebagai koordinator seksi dana dan usaha (danus) pada kepanitiaan fieldtrip mahasiswa Arsitektur Lanskap angkatan 42, sebagai anggota seksi dokumentasi kepanitiaan Entrepreneur Fair 2005 dan sebagai anggota seksi acara GELORA yang diadakan oleh BEM Fakultas Pertanian IPB. Penulis juga menjalani magang kerja di bagian maintenance Damai Indah Golf and Country Club Bumi Serpong Damai pada tahun 2006. Di luar kegiatan kemahasiswaan, penulis aktif dalam mendirikan Yayasan Myasthenia Gravis Indonesia, sebuah organisasi kemanusiaan yang bergerak dalam bidang kesehatan. Penulis dipercaya sebagai narasumber di acara Kick Andy (Metro TV), majalah Gogirl! dan Radar Bekasi. Selain itu penulis mendapat sertifikasi Jurnalistik dari Femina Group dan sempat menjadi kolumnis di majalah IKRAR hingga tahun 2004. Hingga saat ini penulis aktif mensosialisasikan Myasthenia Gravis sebagai juru bicara Myasthenia Gravis Indonesia.
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Identifikasi Kota Taman Kebayoran Baru Sebagai Identitas Kota Administratif Jakarta Selatan. Tujuan penulisan skripsi ini adalah sebagai syarat memperoleh gelar sarjana di Institut Pertanian Bogor. Dalam penyelesaian skripsi ini, penulis mendapat banyak bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih dan memberikan penghargaan kepada: 1. Dr. Ir. Nurhayati HS Arifin, M.Sc selaku dosen pembimbing akademik dan pembimbing skripsi atas saran, kritik dan bimbingannya baik selama penyusunan skripsi maupun selama masa studi penulis, 2. Dr. Ir. Aris Munandar, Ms dan Dr. Ir. Nizar Nasrullah M.Agr selaku dosen penguji 3. Seluruh staf Suku Dinas Kebudayaan Kota Administratif Jakarta Selatan, 4. Seluruh staf Kantor Kecamatan Kebayoran Baru, 5. Seluruh staf Pusat Dokumentasi Arsitektur, 6. Seluruh pihak yang selama ini telah membantu dalam penyusunan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa hasil skripsi ini masih jauh dari sempurna. Akan tetapi penulis berharap agar skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pihakpihak yang membutuhkan.
Bogor, Desember 2009
Penulis
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL .................................................................................................iii DAFTAR GAMBAR.............................................................................................iv DAFTAR LAMPIRAN .........................................................................................vi BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ...........................................................................................1 1.2 Tujuan Penelitian .......................................................................................3 1.3 Kegunaan Penelitian...................................................................................3 BAB II. TIJAUAN PUSTAKA 2.1 Lanskap Sejarah .........................................................................................4 2.2 Sejarah Kota Taman ...................................................................................5 2.3 Kota Taman di Indonesia ...........................................................................8 2.4 Identitas Kota ...........................................................................................10 2.5 Pelestarian Lanskap Sejarah dan Benda Cagar Budaya...........................11 BAB III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ..................................................................15 3.2 Metode Penelitian.....................................................................................16 3.3 Bahan dan Alat Penelitian ........................................................................16 3.3.1 Alat..................................................................................................16 3.3.2 Bahan...............................................................................................16 3.4 Tahapan Penelitian ...................................................................................17 3.4.1 Persiapan .........................................................................................17 3.4.2 Pengumpulan Data ..........................................................................17 3.4.3 Identifikasi Konsep Kota Taman ....................................................19 3.4.4 Analisis dan Sintesis Data ...............................................................19 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sejarah dan Perkembangan Kebayoran Baru ...........................................23 4.1.1 Tujuan Awal Pembangunan ............................................................23 4.1.2. Konsep Awal Pembangunan ..........................................................24 4.1.3 Sejarah Pembangunan .....................................................................29 4.1.4 Sejarah Perkembangan ...................................................................34
ii
4.2 Kondisi Aktual Kebayoran Baru ..............................................................39 4.2.1 Wilayah Administratif.....................................................................39 4.2.2 Kondisi Sosial Ekonomi..................................................................39 4.2.3 Tata Guna Lahan .............................................................................40 4.2.4 Kebijakan yang Berlaku ..................................................................42 4.3 Analisis.....................................................................................................49 4.3.1 Analisis Penerapan Konsep Garden City Dalam Perencanaan .........................................................................49 4.3.2 Analisis Keutuhan dan Integritas ....................................................54 4.3.2.1 Analisis Keutuhan dan Integritas Visual.............................54 4.3.2.2 Analisis Perubahan Landuse ...............................................57 4.3.3 Analisis Sebagai Identitas Kota ......................................................70 4.3.4 Analisis Keberlanjutan ....................................................................72 4.4 Usulan Pelestarian .....................................................................................74 BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ..............................................................80 DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................83 LAMPIRAN..........................................................................................................85
iii
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1. Kriteria Garden City (Howard, 1898) ..................................................................7 2. Jenis Data, Sumber Data dan Kegunaan Penelitian ...........................................18 3. Kriteria untuk Penilaian Keaslian dan Fungsi Kota Taman Kebayoran Baru ..................................................................20 4. Kriteria Untuk Penilaian Keunikan Kota Taman Kebayoran Baru ...................21 5. Rencana Awal Penggunaan Lahan Kotabaru Kebayoran ..................................25 6. Rencana Akhir Penggunaan Lahan Kotabaru Kebayoran.................................25 7. Konversi Lahan Kawasan Pemugaran Kebayoran Baru Tahun 1975-2005 .....................................................................................40 8. Luas Lahan Berdasarkan Golongan Pemugaran ................................................42 9. Penerapan Konsep Garden City Dalam Perencanaan Kawasan Kotabaru Kebayoran………………………………………….53 10. Penilaian Kawasan Kebayoran Baru Berdasarkan Kriteria Penilaian Keaslian dan Fungsi Kota ........................................58 9. Penilaian Keunikan Kotabaru Kebayoran .........................................................53 11. Penilaian Integritas Kawasan Per Blok ............................................................65 12. Analisis Kelayakan Lingkungan Cagar Budaya Kebayoran ............................69
iv
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Kriteria Kota Taman Menurut Howard (1898) ....................................................6 2. Diagram prinsip Garden City sebagai kota satelit yang mandiri dengan limitasi area dan jumlah populasi penduduk ...........................................8 3. Batas Wilayah Studi ...........................................................................................15 4. Tahapan Penelitian .............................................................................................22 5. Jarak Antara Kotabaru Kebajoran dengan Kotapradja Djakarta........................24 6. Peta Rencana Pembangunan Kawasan Kotabaru Kebayoran ............................26 7. Identifikasi Konsep Awal Kotabaru Kebayoran ................................................27 8. Pembagian Blok .................................................................................................28 9. Jalan Besar Dua Arah.........................................................................................31 10. Kawasan Perniagaan dan Bioskop Mayestik ...................................................32 11. Sumur Artesis...................................................................................................33 12. Sentral Listrik Sementara ................................................................................33 13. Ilustrasi Landuse Tahun 1955 ..........................................................................35 14. Proses Pembangunan Kawasan 1949-1954 .....................................................36 15. Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia .................................................37 16. Identifikasi Landuse Akhir (1975) ...................................................................38 17. Landuse Eksisting (2008) ................................................................................41 18. Peta Golongan Pemugaran Bangunan (1975-sekarang) ..................................43 19. Pembagian Kawasan Menurut RTRW DKI Jakarta 2005-2010 ......................46 20. Pemukiman di Kawasan Mantap .....................................................................47 21. Kawasan Peralihan Menuju Mantap ................................................................48 22. Pemukiman di Kawasan Menuju Dinamis .......................................................49 23. Boulevard Utara - Selatan yang membelah Kebayoran ...................................50 24. Sarana Ibadah ...................................................................................................51 25. Pertokoan di Pasar Mayestik............................................................................52 26. Rumah Jengki...................................................................................................54 27. Taman Ayodya .................................................................................................55 28. Kawasan di Sekitar Taman Ayodya ................................................................55
v
29. Visual Lanskap Jalan Berintegritas Tinggi ......................................................56 30. Visual Lanskap Jalan Berintegritas Rendah ....................................................56 31. Lahan Pemukiman Terkonversi Menjadi Lahan Perdagangan dan Jasa.......................................................................................57 32. Lahan Terkonversi ...........................................................................................59 33. Identifikasi Konversi Lahan Ruang Terbuka Hijau .........................................60 34. Identifikasi Konversi Lahan Pemukiman.........................................................61 35. Identifikasi Konversi Lahan Fasilitas Umum ..................................................62 36. Identifikasi Konversi Lahan Komersial ...........................................................63 37. Penilaian Integritas Kawasan Berdasarkan Blok .............................................66 38. Benda Cagar Budaya di Kawasan Kebayoran Baru.........................................67 39. Representasi Area Sangat Original ..................................................................67 40. Representasi Area Original ..............................................................................68 41. Representasi Area Kurang Original .................................................................68 42. Representasi Area Tidak Original ....................................................................68 43. Bangunan Bersejarah di Kawasan Kebayoran Baru ........................................69 44. Wilayah Blok M ...............................................................................................70 45. Wilayah Pemukiman yang Teduh …................................................................70 46. Area yang Mengarahkan Persepsi Publik ........................................................71 47. Pohon Peneduh di Sepanjang Jalan Utama ......................................................71 48. Hasil Perencanaan Jalan yang Baik .................................................................72 49. Usulan Pembagian Zonasi Lingkungan Pemugaran ........................................76 50. Contoh Upaya Penertiban Fasilitas Umum yang Berada pada Kawasan RTH .........................................................................................78
vi
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Keputusan Kepala Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor D.IV-6099/d/33/1975 Tentang Penetapan Daerah Kebayoran Baru Sebagai Kawasan Pemugaran ..................................86 2. Tipologi Bangunan Dalam Kawasan Kotabaru Kebayoran .............................88 3. Daftar Inventaris Jalur Hijau ............................................................................92 4. Daftar Inventaris Taman Kota..........................................................................94 5. Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 135 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang Kawasan Kebayoran Baru ...............................................................................96
1
BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebayoran Baru merupakan kota taman pertama di Indonesia yang dirancang oleh arsitek Indonesia, H. Moh. Soesilo. Pembangunannya dilakukan pada tahun 1948 atas prakarsa Presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno di atas lahan seluas 730 Ha sebagai kota satelit untuk memenuhi kebutuhan pemukiman warga Jakarta yang kala itu berpenduduk lebih dari satu juta jiwa. Perencanaan Kebayoran Baru merupakan hasil adaptasi dari kota taman bergaya Eropa seperti layaknya kota taman yang dikembangkan oleh Ir. Herman Thomas Karsten di beberapa kota di Bogor, Bandung dan Malang. Selain itu Kebayoran Baru menyesuaikan desain kota taman dengan iklim tropis sehingga dapat disebut sebagai Kota Taman Tropis. (Mauboy, 2006). Secara geografis, Kebayoran Baru berbatasan dengan Kali Grogol di sebelah barat, Kali Krukut di sebelah timur dan Kompleks Gelora Bung Karno di bagian utara. Di dalamnya tersedia fasilitas ruang publik dengan konsep tamantaman penghubung (connector park) dalam bentuk taman kota dan taman lingkungan yang tersebar secara sistematis, terencana, saling berhubungan dan disesuaikan dengan peruntukan hunian. Selain itu Kebayoran Baru memiliki cadangan RTH yang cukup luas seperti halaman Hotel Dharmawangsa, Kantor Kejaksaan Agung RI, SMA 70 Bulungan, Kompleks Yayasan Pesantren Islam AlAzhar, Kantor Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah serta Mabes Polri (Joga, 2004 dan 2005). Dari segi arsitektural, Kebayoran Baru direncanakan dengan struktur dan pola penataan ruang serta karakter bangunan yang spesifik. Kota ini memiliki konsistensi hirarki jalan dan peruntukan lahan yang jelas, mulai dari Blok A hingga Blok S. Sebagai kota taman, Kebayoran Baru dirancang dengan penutupan RTH lebih dari 40 persen dari total luas kota (Julianery, 2006). Kebayoran Baru memiliki kekayaan warisan budaya arsitektur yang sederhana, modern dan tropis yang selayaknya dilindungi. Berbagai tipe bangunan dengan bermacam ukuran dan gaya yang berbeda melatarbelakangi sejarah kota taman tersebut. Selain itu, arsitek kota ini juga telah memasukkan pusat-pusat
2
perniagaan dalam perencanaannya seperti Pasar (tradisional) Santa, Pasar Blok A, Pasar Mayestik dan kawasan perniagaan Blok M. Joga (2004) mengemukakan bahwa berdasarkan sejarah perkembangan kota Jakarta, aset dan potensi Kebayoran Baru memang layak dikategorikan sebagai kawasan cagar budaya. Hal ini sesuai dengan apa yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya Pasal 1 yang berisi: Benda Cagar Budaya adalah benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagianbagiannya atau sisa-sisanya yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Akan tetapi perubahan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat memberikan imbas tersendiri bagi perkembangan kota taman ini. Setelah berusia lebih dari setengah abad, beban aksesibilitas lingkungan, kelemahan peraturan dan perubahan kepemilikan bangunan menyebabkan konsep awal kota taman yang bersejarah di kawasan ini terabaikan. Peruntukan dan fungsi lahan tidak lagi sesuai dengan yang telah direncanakan. Gubernur DKI Jakarta pernah berusaha mengerem alih fungsi ini. Pada tahun 1975 Kebayoran Baru ditetapkan sebagai lingkungan pemugaran melalui Surat Keputusan (SK) Gubernur Nomor DIV.6099/d/33/1975 namun perubahan tata guna lahan tetap saja berlangsung. Dua puluh tahun kemudian alih fungsi lahan ini ditanggapi dengan lebih serius dengan dikeluarkannya Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta Nomor 6 Tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta dan Nomor 9 tentang Pelestarian dan Pemanfaatan Lingkungan dan Bangunan Cagar Budaya. Akan tetapi adanya Perda tersebut tidak didukung dengan upaya realisasi di lapangan. Bahkan semakin banyak kawasan hijau dalam rancangan awal kota taman semakin berkurang dan beralih fungsi menjadi kawasan pemukiman dan komersial (Julianery, 2006).
3
Oleh karena itu perlu dilakukan tindak lanjut dari upaya yang telah dilakukan sebelumnya dengan menganalisa faktor-faktor pemicu konversi peruntukan lahan di kawasan Kebayoran Baru dan memberikan alternatif solusi tindakan pelestarian yang dapat dilakukan.
1.2 Tujuan Penelitian Studi ini bertujuan untuk mengidentifikasi eksistensi konsep Kota Taman dalam kawasan Kebayoran Baru pada masa awal pembangunannya dan pada kondisi kawasan saat ini, untuk menganalisis integritasnya serta peluang penanganannya dalam rangka membangun alternatif identitas lanskap Kota Administratif Jakarta Selatan.
1.3 Kegunaan Penelitian Beberapa kegunaan studi ini diantaranya: 1. Memberikan informasi tentang konsep awal pembangunan Kebayoran Baru yang mengadopsi konsep kota taman dan eksistensinya saat ini sebagai lanskap bersejarah di Kota Administratif Jakarta Selatan. 2. Memberikan masukan bagi pemerintah Kota Administratif Jakarta Selatan dan dinas terkait dalam rangka pembangunan atau pengembangan kawasan kota dengan mempertimbangkan kawasan atau elemen bersejarah tersebut sebagai identitas kota.
4
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lanskap Sejarah Lanskap sejarah adalah lanskap yang memiliki nilai penting sejarah, yaitu lanskap yang mempunyai karakter khusus dan mempunyai kaitan erat dengan manusia, budaya atau kejadian penting masa lalu (Nurhayati, 1998)1 Menurut Nurisjah dan Pramukanto (2001), suatu bentukan lanskap dikatakan memiliki nilai sejarah apabila memiliki minimal satu kriteria dan/atau alasan sebagai berikut: a. Kriteria umum: 1) Etnografis. Yaitu merupakan produk khas suatu sistem ekonomi dan sosial suatu kelompok/suku masyarakat (etnik). Dua bentuk utama dari lanskap ini yaitu rural landscape (lanskap pedesaan) dan urban landscape (lanskap perkotaan). 2) Asosiatif. Yaitu suatu bentuk lanskap yang berasosiasi atau yang dapat dihubungkan dengan suatu peristiwa, personal, masyarakat, legenda, pelukis, estetika dan sebagainya. 3) Adjoining. Yaitu bentukan lanskap yang merupakan bagian dari suatu unit tertentu, bagian monumen atau bagian struktur bangunan tertentu. b. Kriteria Khusus: 1) Lanskap tersebut merupakan contoh penting dan harus dihargai dari suatu tipe sejarah. 2) Mengandung bukti-bukti peristiwa penting, baik yang tampak di permukaan maupun yang berada di bawah tanah, yang menarik untuk dikaji dan dipelajari lebih lanjut. c. Terdapat kaitannya dengan masyarakat atau peristiwa sejarah yang penting dengan berbagai alasan atau latar belakang 1) Peranan sejarah. Suatu tempat merupakan lokasi peristiwa penting sebagai bentuk ikatan simbolis antara peristiwa dahulu dan sekarang dalam kehidupan kita. 1
Dikutip dari bahan perkuliahan Sejarah dan Pelestarian Lanskap
5
2) Kejamakan. Melestarikan suatu karya sebagai wakil dari suatu kelas, contoh, tipe lanskap tertentu. 3) Kelangkaan. Merupakan satu-satunya contoh atau merupakan perwakilan dari tipe budaya tertentu. 4) Keistimewaan. Merupakan karya yang memiliki keistimewaan seperti yang terpanjang, terbesar, tertua, pertama dan sebagainya. 5) Estetik. Pelestarian karena suatu karya merupakan prestasi khusus dalam suatu gaya sejarah tertentu. d. Mengandung
nilai-nilai
yang
terkait
dengan
bangunan-bangunan
bersejarah, monument-monumen, bangunan dan taman-taman. Disamping itu, Goodchild (1990) menyatakan bahwa suatu lanskap dikatakan bernilai sejarah apabila mengandung satu atau lebih alasan berikut: a. Lanskap tersebut merupakan suatu contoh penting dan harus dihargai dari suatu tipe lanskap atau taman. b. Mengandung bukti-bukti penting (baik yang tampak di atas permukaan tanah maupun yang tersembunyi di bawah tanah) yang menarik untuk dikaji dan dipelajari. c. Terdapat kaitan dengan masyarakat atau peristiwa sejarah yang penting. Menurut Harris dan Dines (1988), lanskap sejarah secara sederhana dapat diartikan sebagai lanskap dari masa lalu. Lanskap bersejarah memuat bukti-bukti fisik mengenai keberadaan manusia di lahan tersebut pada masa lalu.
2. 2. Sejarah Kota Taman Konsep Kota Taman lahir sebagai solusi dari permasalahan lingkungan yang terjadi semenjak revolusi industri di Inggris. Pada akhir abad ke-18, perumahan dibangun sebanyak mungkin terutama di daerah sekitar lokasi industri tanpa memperhatikan nilai-nilai ekologis. Para industrialis lebih mementingkan keuntungan yang berlipat ganda dengan menempatkan sebanyak mungkin buruh untuk tinggal dekat dengan pabrik untuk meningkatkan efisiensi waktu dan biaya transportasi. Sebagai akibat dari menurunnya kualitas visual dan ekologis di daerahdaerah industri, maka pada rentang tahun 1833-1843, Parlemen Inggris
6
mengeluarkan berbagai undang-undang yang menyangkut kesehatan lingkungan perumahan buruh. Dengan demikian terbuka kemungkinan pengumpulan pajak untuk sarana kepentingan umum seperti perbaikan sistem sanitasi, sistem pembuangan air kotor dan penyediaan taman lingkungan bagi masyarakat. Salah satu industrialis yang menerapkan kebijakan tersebut adalah Cadbury Brothers, salah satu pemilik perusahaan coklat terbesar di Inggris. Pada tahun 1898, mereka merencanakan upaya renovasi lingkungan pemukiman kumuh buruh pabrik mereka dengan tujuan menghadirkan suasana lingkungan pedesaan Inggris dalam pemukiman tersebut. Ebenezer
Howard
mengkristalisasi
kebutuhan
akan
kenyamanan
lingkungan dan peraturan tata kota baru tersebut menjadi sebuah konsep perencanaan kota. Konsep Garden City (Kota Taman) dipublikasikan oleh Ebenezer Howard pada tahun 1898 dalam bukunya yang berjudul “Tomorrow: A Peaceful Path to Social Reform” yang kemudian dipublikasi ulang menjadi “Garden Cities of Tomorrow” (Catanese, 1988). Berdasarkan teori Howard, kota taman berpegang pada empat prinsip yaitu: 1. Seluruh wilayah hanya dikelola oleh satu pihak (Pemda setempat atau developer) 2. Populasi maksimal dibatasi untuk 32.000 orang penduduk per 100 acre 3. Terdapat greenbelt yang mengelilingi kota 4. Terdapat kombinasi penggunaan lahan untuk menjamin kesejahteraan ekonomi dan sosial Secara lebih mendetail, dalam konsep Kota Taman, Ebenezer membagi tata ruang dalam lima zona sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 1 dan Tabel 1.
Gambar 1. Kriteria Kota Taman menurut Howard (1898)
7
Tabel 1. Kriteria Garden City (Howard, 1898) Zona (Rings)
Zona I
Zona II
Zona III
Ukuran • • • • • •
Luas pusat kota 405 Ha Diameter pusat kota 1.134 m Luas taman di pusat kota 2.2 Ha Lebar boulevard 37 m Luas taman publik 59 Ha Panjang Crystal Palace 549 m
Elemen
• Pusat kota berbentuk lingkaran • Bangunan-bangunan publik yang besar mengelilingi taman (pusat kota) • Enam buah boulevard berbentuk radial memusat pada satu titik (pusat kota) melintangi kota dari pusat ke wilayah sekitarnya
• Ruang terbuka berupa taman di pusat kota • Bangunan-bangunan publik yang besar seperti balai kota, principal concert dan lecture hall, theater, perpustakaan, museum, picture gallery dan rumah sakit • Taman publik, terdiri atas lahan rekreasi dengan akses mudah • Crystal Palace yang mengelilingi taman publik sebagai tempat rekreasi dan berbelanja souvenir • Pepohonan atau jalur hijau yang selalu hadir di berbagai jalan perkotaan • Rumah mewah disertai arsitektur dan desain rumah atau sekelompok rumah yang beragam • Beberapa memiliki taman umum dan gabungan tanaman dapur • Pepohonan atau jalur hijau yang selalu hadir di berbagai jalan perkotaan • Taman • Sekolah yang dikelilingi oleh tempat bermain dan taman • Gereja • Stasiun dan jalur kereta api • Pabrik-pabrik, gudang barang, pabrik susu, pasar, lahan batu bara, lahan kayu dan sebagainya
• Terdiri dari 5.500 bangunan perumahan • Ukuran sedang 6 x 40 m • Ukuran minimum 6 x 30 m • Populasi 30.000 penduduk
Terdapat berbagai jalan masuk ke perumahan mewah (berbentuk lingkaran), atau terletak di depan boulevard dengan jalan menuju satu titik yaitu pusat kota.
• Lebar jalan raya utama dan jalur hijau 128 m • Panjang jalur hijau 4.827 m • Luas taman 47 Ha • Luas sekolah dan gereja masingmasing 1.6 Ha
Jalan raya utama berbentuk lingkaran
Zona IV
Zona V
Struktur
• Luas wilayah pertanian 2.024 Ha • Populasi 2.000 penduduk
• Garis utama jalur kereta api melewati perkebunan • Bangunan-bangunan seluruhnya berada di depan wilayah jalur kereta api yang mengelilingi kota Wilayah pertanian
Peternakan yang luas, pemilik tanah kecil, allotments, penggembalaan sapi, dan sebagainya
8
Esensi dari konsep Kota Taman adalah limitasi area dan penduduk, yakni sekitar 1000 acre untuk kurang lebih 32.000 penduduk agar tercapai keseimbangan dan apabila penduduk tumbuh melebihi batas ini diperlukan tumbuhnya Kota Taman di tempat lain yang masing-masing dihubungkan dengan jaringan transportasi (Gambar 2).
Gambar 2. Diagram prinsip Garden City sebagai kota satelit yang mandiri dengan limitasi area dan jumlah populasi penduduk Sumber: Howard (1898) dalam Damayanti (2002) 2. 3. Kota Taman di Indonesia Konsep kota taman pertama kali diterapkan di Indonesia dalam pembangunan kota taman Menteng oleh arsitek Belanda; PAJ Mooejen dan FJ Kubatz pada tahun 1913 (Adolf Heuken dan Grace Pamungkas, 2001). Kemudian konsep ini dikembangkan oleh Ir. Herman Thomas Karsten di banyak kota seperti Bogor, Bandung, Malang, Semarang, Palembang, Padang, Medan dan Banjarmasin (Mauboy, 2006). Memasuki
abad
ke-20,
di
Batavia
terjadi
berbagai
perubahan.
Dikukuhkannya Undang-Undang Desentralisasi tahun 1903 dan berbagai organisasi tentang kewenangan lokal dalam pengaturan kota mendorong terjadinya perubahan secara signifikan. Perkembangan kota menjadi demikian pesat, demikian juga pola lingkungan kota, skala ruang-ruang kota dan lain sebagainya yang banyak dipengaruhi oleh hadirnya kereta api, trem, mobil, truk serta jaringan listrik dan telepon. Berbagai prasarana kota dalam skala makro juga
9
mulai digarap. Saluran pengendali banjir atau Banjir Kanal juga sudah mulai dibangun. Demikian pula rel kereta api yang dimulai dengan jalur tengah dan timur kemudian ditambah dengan jalur barat. Dalam asumsi para perencana kota kala itu, Batavia akan dihuni oleh 600.000 penduduk. Untuk pengembangan lingkungan pemukiman, Menteng, yang dahulu terdiri dari Niew Gondangdia dan Menteng, merupakan perancangan kota modern pertama di negri ini dan dipersiapkan untuk menjadi kawasan elit. Menteng dibangun oleh developer swasta NV de Bouwploeg yang dipimpin arsitek PAJ Moojen yang juga merencanakan pola dasar kawasan tersebut. Namun ternyata pada perkembangannya rencana Moojen dianggap kurang praktis sehingga Gemeente (pemerintah kota) Batavia menyuruh arsitek F.J Kubatz untuk menyempurnakannya. Maka perancangan Menteng dikerjakan oleh Kubatz dan perancangan Niew Gondangdia dilakukan oleh Moojen dan kedua rancangan tersebut bertemu di Jl. Teuku Umar yang membentuk aksis utara-selatan. Selain di Batavia dan sekitarnya, konsep Kota Taman juga diterapkan di berbagai daerah, salah satunya adalah Malang. Pada tahun 1812 Malang termasuk ke dalam wilayah residensi Pasuruan dengan Bupati Raden Temenggung Kartonegoro. Baru pada tahun 1824 Malang dipimpin oleh seorang Asisten Residen. Pada tahun 1903 lahirlah Undang-Undang Desentralisasi dan pada tanggal 1 April 1914, Gemeente Malang terbentuk. Setelah tahun 1919 Malang dipimpin oleh seorang walikota (Burgemeester) bernama HI Bussemaker dan pada tahun 1930, balai kota diresmikan dan beberapa desa diubah menjadi lingkungan. Pada pemerintahan kolonial Belanda, fasilitas perkotaan direncanakan dan diperuntukkan bagi kepentingan pemerintah kolonial dan keluarga serta golongan Eropa lainnya. Hasil dari perencanaan yang dibuat oleh Ir. H. Thomas Karsten menyebabkan beberapa kawasan kota Malang teratur rapi, indah dan menyenangkan karena kelengkapan fasilitas umumnya. Hal ini terjadi karena penduduk Malang pada saat itu masih sedikit, pemerintah dikendalikan oleh Belanda dengan tenaga ahli perencanaan yang mereka miliki, lahan yang cukup memadai dan dana yang tersedia berasal dari golongan pribumi. Perubahan kota Malang terjadi pada rentang tahun 1925-1935.
10
Sementara itu karya tata kota pertama yang dibuat oleh arsitek pribumi adalah Kebayoran Baru yang direncanakan oleh Ir. M. Soesilo. Kebayoran Baru mulai dibangun pada tahun 1949 sejauh delapan kilometer dari lapangan Monas dan merupakan adaptasi tata kota modern dengan alusi oriental yang ditandai dengan empat jalan utama yang menyebar dari satu pusat persis ke empat penjuru.
2. 4 Identitas Kota Menurut Relph (1976) dalam Carmona, Heath, Oc dan Tiesdell (2003), identitas sebuah kawasan dapat dibentuk oleh: 1. Existential Insideness Jika kawasan tersebut merupakan daerah yang hidup dan dinamis, sehingga menciptakan suatu identitas yang dapat langsung dirasakan. 2. Empathetic Insideness Jika kawasan tersebut menyimpan dan mengekspresikan nilai budaya dan perkembangan masyarakat dan pembangunannya. 3. Behavioral Insideness Jika kawasan tersebut dapat merefleksikan suasana tertentu baik karena bentukan lanskap maupun tata kotanya dan telah menjadi citra khusus yang melekat di benak khalayak umum 4. Incidental Outsideness Jika fungsi kawasan tersebut yang lebih dikenal oleh masyarakat daripada latar belakang pembangunannya. 5. Objective Outsider Jika suatu kawasan lebih dikenal atas apa yang terdapat di dalamnya baik berupa objek maupun area. 6. Mass Identity of Place Dimana posisi identitas ditempati oleh elemen massal yang terlepas dari perkembangan utama kota. Struktur massal ini biasanya tidak dominan secara individu namun bila dilihat secara massal, keberadannya mengalahkan identitas lain yang telah ada.
11
7. Existential Outsideness Jika kawasan memiliki keterkaitan dengan keberhasilan pada masa lalu maupun pada saat ini.
2. 5 Pelestarian Lanskap Sejarah dan Benda Cagar Budaya Attoe (1998) menyatakan bahwa area bersejarah merupakan elemen positif yang menunjukkan kualitas suatu daerah. Pertumbuhan suatu daerah dapat memberikan pengaruh negatif terhadap kualitas lanskap bersejarah dimana salah satu penyebabnya adalah perencanaan pengembangan wilayah yang kurang tepat. Hal tersebut dapat mengakibatkan kurangnya perhatian masyarakat terhadap masa lalu. Oleh karena itu diperlukan upaya pelestarian dalam menunjang pembangunan kota yang berkelanjutan. Attoe (1998) juga menyatakan bahwa perlindungan benda bersejarah merupakan bagian penting dari perencanaan perkotaan. Perlindungan Benda Bersejarah ini meliputi penggunaan kembali yang bersifat adaptif, rehabilitasi dan rekonstruksi daerah-daerah kuno yang terdapat di pusat perkotaan. Menurut Goodchild (1990), ada beberapa alasan untuk melestarikan lanskap bersejarah, yaitu: a. Lanskap bersejarah merupakan sesuatu yang penting dan merupakan bagian integral dari warisan budaya. Keberadaannya dapat membantu memberi definisi tentang warisan alam sebagai suatu referensi tentang warisan alam sebagai suatu referensi atau landmark yang bisa dimengerti dan juga memberikan nilai penting. b. Lanskap sejarah memberikan fakta-fakta fisik dan arkeologi tentang sejarah sebagai warisan budaya. c. Lanskap
bersejarah
memberikan
kontribusi
untuk
pengembangan
selanjutnya, keberadaannya dapat dimanfaatkan sebagai objek yang dapat dikunjungi. d. Dapat memberikan kesenangan pada orang banyak, karena merupakan sebuah tempat dimana orang-orang bisa rileks, rekreasi, membangkitkan semangat atau untuk menemukan inspirasi.
12
e. Untuk kepentingan ekonomi dan dapat membangkitkan serta mendorong kepariwisataan. Sedangkan jenis-jenis tindakan pelestarian yang dapat dilakukan diantaranya: a. Rekonstruksi. Yaitu mengembalikan keadaan suatu obyek atau tempat yang pernah ada, tetapi sebagian besar telah hilang atau hilang sama sekali. b. Preservasi. Yaitu menjaga obyek pada kondisi yang ada, dengan mencegah kerusakan dan perubahan. c. Perbaikan obyek. Yaitu memperbaiki atau menyelamatkan obyek yang telah rusak atau keadaannya telah memburuk dengan tidak merubah karakter atau keutuhan obyek. d. Stabilisasi dan Konsolidasi. Yaitu memperbaiki dan menyelamatkan obyek dari segi struktur tanpa mengubah atau dengan perubahan yang minimal pada penampakan dan keutuhan sejarahnya. e. Adaptasi atau Revitalisasi. Yaitu menyesuaikan suatu obyek pada suatu kawasan untuk keadaan atau penggunaan baru yang sesuai, yang dilakukan dengan pemahaman yang mendalam terhadap karakter sejarah yang dimiliki oleh obyek sehingga karakter dan keutuhan kawasan asli tetap terpelihara. Dalam pelestariannya, lanskap bersejarah dapat dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh maupun dibagi menjadi elemen-elemen yang terdapat dalam lanskap tersebut. Di Indonesia, apabila lanskap dinilai secara utuh maka disebut sebagai kawasan pemugaran. Sedangkan apabila lanskap secara utuh dinilai sebagai elemen pendukung pelestarian satu atau beberapa elemen lanskap itu sendiri seperti pohon, prasasti atau bangunan maka lanskap tersebut diistilahkan sebagai lingkungan pemugaran. Sedangkan benda atau elemen lanskap yang dilestarikan tersebut dikategorikan sebagai Benda Cagar Budaya. Benda cagar budaya adalah suatu benda buatan manusia, bergerak maupun tidak bergerak yang merupakan kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya berumur sekurang-kurangnya lima puluh tahun atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya yang sekurang-kurangnya berumur
13
lima puluh tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan (UU No.5 tahun 1992) Wujud benda cagar budaya menurut Undang-Undang No.5 tahun 1992 pasal 1(a) terbagi dua yaitu: a. Benda bergerak, yaitu benda yang dapat dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain. b. Benda tidak bergerak, yaitu benda yang tidak dapat dipindahkan dari suatu tempat ke tempat lain dan memiliki kesatuan dengan situsnya. Berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (1995), perlindungan dan pemeliharaan benda cagar budaya penting dilakukan dan wajib bagi setiap orang yang memiliki dan/atau menguasai benda cagar budaya dengan cara penyelamatan dan pengamanan baik terhadap fisik maupun benda cagar budaya yang dimiliki dan/atau dikuasai. Perlindungan merupakan upaya mencegah dari dan menanggulangi segala gejala dan akibat yang disebabkan oleh perbuatan manusia atau proses alam yang dapat menimbulkan kerugian atau kemusnahan bagi nilai manfaat dan keutuhan Benda Cagar Budaya dengan cara penyelamatan, pengamanan dan penertiban. Sedangkan pemeliharaan adalah upaya melestarikan Benda Cagar Budaya dan situs dari kerusakan yang diakibatkan oleh faktor manusia, alam dan hayati dengan cara perawatan dan pengawetan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1995) dalam SK No.63/U/1995 tentang Perlindungan dan Pemeliharaan Benda Cagar Budaya menyatakan bahwa: a. Pemugaran dapat dilakukan oleh pemilik setelah ada izin dari Dirjen. b. Untuk mendapatkan izin harus dilakukan studi kelayakan dan atau penilaian dari Direktur. c. Berdasarkan penilaian, maka terhadap Benda Cagar Budaya tersebut dapat dilakukan Restorasi atau Rekonstruksi atau Rehabilitasi atau Konsolidasi atau Konservasi sesuai dengan tingkat kerusakannya.
14
Berdasarkan PP No. 10 tahun 1993 tentang pelaksanaan Undang-Undang No.5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya Pasal 36 (1993), beberapa ketentuan tentang pemanfaatan benda cagar budaya yaitu: (1) Pemanfaatan Benda Cagar Budaya dapat dilakukan atas dasar izin yang diberikan oleh Menteri. (2) Pemanfaatan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) hanya diberikan untuk
kepentingan
agama,
sosial,
pariwisata,
pendidikan,
ilmu
pengetahuan dan/atau kebudayaan. (3) Pemanfaatan benda Cagar Budaya untuk kepentingan sebagaimana dimaksud daam ayat (2) dilakukan dengan tetap memperhatikan fungsi sosial dan kelestarian Benda Cagar Budaya. (4) Untuk
memperoleh
izin
pemanfaatan,
yang
bersangkutan
wajib
menyampaikan permohonan kepada Menteri disertai dengan kerangka acuan pemanfaatan Benda Cagar Budaya. (5) Berdasarkan hasil penelitian dan penilaian kerangka acuan, Menteri dapat memberikan izin pemanfaatan Benda Cagar Budaya. (6) Apabila dalam pelaksanaan pemanfaatan Benda Cagar Budaya ternyata: a. Tidak sesuai dengan perizinan yang diberikan b. Bertentangan dengan upaya perlindungan Benda Cagar Budaya c. Mencari keuntungan pribadi dan/atau golongan d. Karena keadaannya, Benda Cagar Budaya tidak mungkin dimanfaatkan lagi. (7) Penghentian pemanfaatan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dapat mengakibatkan dicabutnya izin. (8) Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan pemanfaatan Benda Cagar Budaya diatur oleh Menteri.
15
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Studi ini dilakukan di Kecamatan Kebayoran Baru, Kotamadya Jakarta Selatan, DKI Jakarta. Survei pendahuluan tapak dilakukan pada bulan Maret 2009 dilanjutkan sampai dengan pengumpulan data, pengolahan data dan penyusunan laporan sampai dengan bulan Desember 2009.
Propinsi DKI Jakarta
Kotamadya Jakarta Selatan
Kota Taman Kebayoran Baru
Gambar 3. Batas Wilayah Studi
16
3.2. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: 1. Metode historik untuk mengidentifikasi kawasan Kota Taman Kebayoran Baru. Metode historik merupakan penelitian yang terkait dengan nilai kesejarahan suatu bentuk lanskap, rekonstruksi masa lampau secara sistematik dan obyektif dengan cara mengumpulkan, mengevaluasi, memverifikasi dan mensintesiskan bukti-bukti untuk menegakkan fakta dan kesimpulan (Nurisjah, 2007). Metode ini lebih banyak bergantung pada data sekunder dan lebih banyak menggali informasi dari pustaka. Indentifikasi, evaluasi, pelestarian terhadap historic fabric merupakan aspek penting dalam memperbaiki lanskap sejarah (Harris dan Dines, 1988) 2. Metode penilaian untuk mengevaluasi eksistensi kota taman Kebayoran Baru (Harris dan Dines, 1988, Goodchild, 1990). 3. Teknik overlay terhadap peta analisis perubahan fungsi lahan dengan program AutoCAD 2004 4. Metode analisis SWOT untuk merencanakan pelestarian konsep Kota Taman Kebayoran Baru
3.3 Bahan dan Alat Penelitian 3.3.1 Alat Penelitian ini menggunakan alat berupa perangkat komputer, scanner dan kamera digital serta perangkat lunak berupa Adobe Photoshop CS3, AutoCAD 2004 dan Microsoft Office 2003.
3.3.2 Bahan Sedangkan data yang digunakan dalam penelitian ini berupa peta, site plan, data visual berupa foto, data sekunder berupa literatur dan hasil penelitianpenelitan yang telah dilakukan sebelumnya serta laporan dari dinas terkait.
17
3.4 Tahapan Penelitian Proses penelitian ini dilakukan dalam empat tahap yaitu persiapan, pengumpulan data, identifikasi konsep kota taman yang diaplikasikan dalam konsep, analisis keutuhan dan integritas konsep kota taman pada tapak saat ini, analisis keberlanjutan dengan metode SWOT dan menyusun usulan pelestarian Kota Taman Kebayoran Baru sebagai identitas Kota Administratif Kebayoran Baru.
3.4.1. Persiapan Tahapan persiapan dalam penelitian ini meliputi kegiatan: 1. Merumuskan permasalahan penelitian mengenai hilangnya konsep awal Kota Taman Kebayoran Baru yang sebagian besar disebabkan karena perubahan lanskap dan alih fungsi lahan 2. Menentukan tujuan dan arah penelitian 3. Studi pustaka untuk memberikan batasan mengenai pengertian konsep Kota Taman, Identitas Kota dan rencana pelestarian
3.4.2. Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini dibagi ke dalam dua kategori yaitu pengumpulan data primer dan pengumpulan data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan dengan survei atau pengamatan langsung di lapang. Sedangkan pengumpulan data sekunder dilakukan dengan studi literatur dan pengambilan data dari instansi-instansi terkait. Data yang dibutuhkan berupa data sejarah, data fisik Kebayoran Baru saat ini, data sosial, dan peraturan perundangan yang berlaku sebagaimana yang dapat dilihat pada Tabel 2. Metode yang digunakan dalam tahapan ini adalah metode historik. Tahapan yang dilakukan dalam pengumpulan data yaitu: 1. Mempersiapkan informasi mengenai konsep Kota Taman baik konsep asli menurut Ebenezer Howard maupun kosep Kota Taman yang diterapkan pada saat pembangunan Kebayoran Baru. 2. Mempersiapkan berbagai data yang akan dianalisis yaitu kondisi aktual kawasan, sejarah pembangunan, sejarah perkembangan, data visual serta
18
data sosial budaya dan ekonomi masyarakat dan pengguna/pengunjung kawasan. Tabel 2. Jenis Data, Sumber Data dan Kegunaan Penelitian Jenis Data Data Sejarah: • Asal-usul terbentuknya KTKB • Perkembangan KTKB • Gambaran kondisi visual KTKB pada masa pembangunan • Master Plan KTKB • Peta/gambar Kebayoran Baru setelah pembangunan KTKB Data Fisik Kebayoran Baru saat ini: • lokasi, luas, landuse, visual, sistem RTH
Data Sosial - Ekonomi: • Demografi • Kepemilikan lahan • Nilai jual lahan • Persepsi dan keinginan masyarakat setempat (data sekunder) Data Kebijakan: • Peraturan perundangan yang berlaku (UU, PP, Perda tingkat DKI, Kotamadya Jakarta Selatan dan Kecamatan) • Kebijakan yang telah dibuat dan diterapkan • Rencana pengelolaan
Sumber Data
Kegunaan
• Literatur • Peta • PEMDA
• Mengidentifikasi konsep, struktur dan elemen KTKB • Mengidentifikasi budaya dan sejarah KTKB • Mengidentifikasi kondisi visual KTKB • Membatasi wilayah penelitian
• Literatur • PEMDA • Survei lapang
• Untuk mengidentifikasi tata ruang KTKB saat ini • Untuk mengidentifikasi kondisi fisik dan fungsi KTKB saat ini • Untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi besarnya perubahan konsep Kota Taman
• PEMDA
• Mengetahui pemahaman masyarakat terhadap pentingnya nilai budaya dan sejarah KTKB • Mengetahui pendapat dan keinginan masyarakat KTKB
• Literatur • PEMDA
• Mengetahui usaha pengelolaan dan pelestarian yang telah dilakukan pemerintah • Mengidentifikasi kemungkinan perkembangan kawasan Kebayoran Baru di masa yang akan datang
19
3.4.3. Identifikasi Konsep Kota Taman Tahapan ini dilakukan dengan metode historik dan metode overlay. Peta atau gambar master plan Kebayoran Baru digunakan untuk mengidentifikasi konsep kawasan tersebut menurut kriteria Howard (1898) yaitu berdasarkan ukuran, struktur, elemen, sistem ruang terbuka hijau, sistem jalur hijau dan Permanent Belt of Agriculture. Sedangkan peta terbaru Kecamatan Kebayoran Baru digunakan untuk mengidentifikasi bentuk fisik Kebayoran Baru saat ini. Selain itu dilakukan pula survei lapang untuk memastikan apabila terdapat perubahan-perubahan baru yang belum terekam dalam peta. Peta tersebut kemudian didigitasi melalui program berbasis vektor (AutoCAD 2004) untuk menghasilkan peta konversi lahan dan konsep Kebayoran Baru saat ini.
3.4.4. Analisis dan Sintesis Data Perubahan konsep Kota Taman Kebayoran Baru dianalisis dengan menggunakan metode penilaian berdasarkan kriteria untuk melestarikan kawasan sejarah (Harris dan Dines, 1988, Goodchild, 1990) sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 3 dan 4. Tahapan analisis ini bertujuan untuk mengevaluasi eksistensi kawasan sebagai kota taman dan sebagai urban heritage. Metode analisis SWOT dilakukan untuk menganalisis keberlanjutan kawasan yang kemudian digunakan untuk menyusun usulan tindakan pelestarian.
20
Tabel 3. Kriteria untuk Penilaian Keaslian dan Fungsi Kota Taman Kebayoran Baru Kriteria Garden City Luasan Pola Distrik Sistem Ruang Terbuka
Sistem Jalur Hijau dan Permanent Belt
Skor 1 • Luasan berubah >75% • Karakter, pola, elemen dan dan fungsi kota berubah total atau >75% • Tidak memiliki ruang terbuka atau memiliki ruang terbuka dalam jumlah <25% dari yang ditetapkan dalam standar garden city. • Karakter, struktur, elemen dan fungsi ruang terbuka berubah total • Tidak memiliki jalur hijau atau permanent belt atau hanya tersisa <25% dari konsep awal • Karakter, struktur, elemen dan fungsi jalur hijau atau permanent belt berubah total atau mengalami perubahan >75%
Skor 2
Skor 3
Skor 4
• Luasan berubah • 51-75% • Karakter, pola, elemen dan dan fungsi kota berubah 51-75% • Memiliki ruang terbuka dalam jumlah 26-50% dari yang ditetapkan dalam standar garden city. • Karakter, struktur, elemen dan fungsi ruang terbuka berubah 51-75%
• Luasan berubah • 26-50% • Karakter, pola, elemen dan dan fungsi kota berubah 26-50% • Memiliki ruang terbuka dalam jumlah 51-75% dari yang ditetapkan dalam standar garden city. • Karakter, struktur, elemen dan fungsi ruang terbuka berubah 26-50%
• Luasan tetap atau berubah <25% • Karakter, pola, elemen dan dan fungsi kota tidak berubah atau <25% • Memiliki ruang terbuka dalam jumlah >75% dari yang ditetapkan dalam standar garden city. • Karakter, struktur, elemen dan fungsi ruang terbuka berubah <25%
• Memiliki jalur hijau atau permanent belt dalam jumlah 25-50% dari konsep awal • Karakter, struktur, elemen dan fungsi jalur hijau atau permanent belt berubah 5075%
• Memiliki jalur hijau atau permanent belt dalam jumlah 50-75% dari konsep awal • Karakter, struktur, elemen dan fungsi jalur hijau atau permanent belt berubah 2550%
• Memiliki jalur hijau atau permanent belt seperti kondisi awal atau dalam jumlah >75% dari konsep awal • Karakter, struktur, elemen dan fungsi jalur hijau atau permanent belt tidak berubah atau mengalami perubahan <25%
Keterangan: Skor 1 = tidak original, Skor 2 = kurang original, Skor 3 = Original, Skor 4 = Sangat original. Sumber: Modifikasi Howard (1898), Harris dan Dines (1988) dan Goodchild (1990)
21
Tabel 4. Kriteria Untuk Penilaian Keunikan Kota Taman Kebayoran Baru Kriteria Keunikan Nilai Kesejarahan
Kekhasan/keunikan • Kelangkaan • Arsitektur • Memorial (yang pertama, terakhir, dsb.) Integritas (Integrity) • Fisik • Fungsi • Visual
Skor 1
Skor 2
Skor 3
Skor 4
• Tidak mengadopsi atau hilangnya konsep Garden City • Tidak memiliki nilai sejarah • Karakter dan struktur elemen bersifat umum dan dapat dijumpai di tempat lain dengan mudah serta tidak memiliki nilai sejarah
• Mengadaptasi sebagian atau <75% konsep Garden City • Tidak memiliki nilai sejarah • Karakter dan struktur elemen bersifat khas namun dapat dijumpai di tempat-tempat tertentu • Jumlahnya sedikit
• Mengadaptasi sebagian konsep atau <75% Garden City • Memiliki nilai sejarah
• Mengadaptasi keseluruhan atau >75% konsep Garden City • Memiliki nilai sejarah • Karakter dan struktur elemen bersifat khas dan sulit dijumpai di tempat lain (langka) dan memiliki nilai sejarah • Jumlahnya cukup banyak
• Karakter, struktur dan fungsi elemen tidak menyatu dan harmonis dengan lingkungan sekitarnya • Kondisi visual dan tata ruang kota berubah total atau >75% dari konsep awal
• Karakter, struktur dan fungsi elemen tidak menyatu dan harmonis dengan lingkungan sekitarnya • Kondisi visual dan tata ruang kota berubah sebagian atau 25-75% dari konsep awal
• Karakter dan struktur elemen bersifat khas namun dapat dijumpai di tempat-tempat tertentu dan memiliki nilai sejarah • Jumlahnya cukup banyak • Karakter, struktur dan fungsi elemen menyatu dan harmonis dengan lingkungan sekitarnya • Kondisi visual dan tata ruang kota berubah sebagian atau 25-75% dari konsep awal
• Karakter, struktur dan fungsi elemen menyatu dan harmonis dengan lingkungan sekitarnya • Kondisi visual dan tata ruang kota tidak berubah atau <25% dari konsep awal
Keterangan: Skor 1 = tidak original, Skor 2 = kurang original, Skor 3 = Original, Skor 4 = Sangat original. Sumber: Modifikasi Harris dan Dines (1988), Goodchild (1990) dan Nurisjah dan Pramukanto (2001)
22
Konsep Kota Taman
Kebayoran Baru Saat Ini
(Howard, 1898)
• Tujuan Pembangunan • Konsep Awal / Master Plan • Sejarah Pembangunan • Sejarah Perkembangan
Kondisi Fisik • • • • •
Lokasi Aksesibilitas Luas Sistem RTH Landuse
Sosial dan Ekonomi • Demografi • Data Pengguna / Pengunjung • Kepedulian Masyarakat • Nilai Jual Lahan
Kebijakan dan Pengelolaan • Peraturan dan Kebijakan yang Berlaku • RTRW Jakarta Selatan
• • • • •
Ukuran Struktur Elemen Sistem RTH Permanent Belt of Agriculture
2. Integritas
• Pemanfaatan • Pengelolaan • Pelestarian
Kriteria Identitas Kota • Existential Insideness • Emphatetic Insideness • Behavioral Insideness • Incidental Insideness • Objective Outsider • Mass Identity of Place • Existential Outsideness
IDENTIFIKASI DAN ANALISIS
1. Keutuhan Konsep
INVENTARISASI
Aspek Kesejarahan
Analisis Keberlanjutan Kota Taman Kebayoran Baru Sebagai Urban Heritage Dengan Metode SWOT
Gambar 4. Tahapan Penelitian
SINTESIS
Usulan Tindakan/Upaya Pelestarian Urban Heritage Kota Taman Kebayoran Baru Sebagai Identitas Kota Administratif Jakarta Selatan
23
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sejarah dan Perkembangan Kebayoran Baru 4.1.1 Tujuan Awal Pembangunan Pasca Perang Dunia II, terjadi kenaikan arus urbanisasi di seluruh belahan dunia sehingga menyebabkan kenaikan kepadatan penduduk di daerah perkotaan. Namun hal ini tidak diimbangi dengan ketersediaan tempat tinggal. Bahkan situasi ini dipersulit dengan menyusutnya jumlah pemukiman akibat perusakan bangunan yang terjadi pada masa perang. Hal serupa juga terjadi di Indonesia. Pada masa awal kemerdekaan, kekurangan jumlah pemukiman mulai dirasakan terutama di DKI Jakarta, yang pada masa itu dikenal sebagai Kotapradja Djakarta. Selain diakibatkan oleh pemusnahan bangunan pada masa pendudukan Jepang, hal ini juga diperburuk oleh derasnya arus urbanisasi dan tingginya laju pertumbuhan penduduk. Dalam kurun waktu 10 tahun, yaitu pada rentang tahun 1940-1950 penduduk Kotapradja Djakarta bertambah sebanyak dua kali lipat dari kisaran semula sebesar 700.000 jiwa menjadi 1,5 juta jiwa. Dan pada tahun 1952, jumlah penduduk Jakarta diperkirakan membengkak menjadi 2,5 juta jiwa. Pada saat inilah kebutuhan perumahan dirasakan semakin mendesak. Untuk mempertahankan jumlah rata-rata maksimal 6,5 orang penghuni per rumah di Jakarta, maka telah dihitung bahwa Jakarta mengalami kekurangan perumahan sekitar 8.000 unit. Akan tetapi hal yang kemudian menjadi permasalahan adalah bahwa Kotapradja Djakarta tidak mampu mengakomodasi kebutuhan lahan untuk pembangunan unit-unit perumahan tersebut. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, digagaslah rencana pembangunan sebuah kawasan pemukiman di luar area Kotapradja Djakarta. Hal ini juga dimaksudkan untuk memperkecil tingkat kepadatan penduduk di Ibukota. Lokasi yang terpilih berada di selatan Jakarta, di sebelah timur desa Kebayoran. Lokasi ini dibatasi oleh dua buah sungai yaitu Kali Grogol dan Kali Krukut dan memiliki jenis tanah laterit atau tanah liat merah. Jumlah penduduk di area tersebut relatif sedikit sehingga tidak banyak pemukiman yang harus dikorbankan. Kemungkinan ketersediaan air minum dan listrik juga dapat disuplai
24
oleh area tersebut. Transportasi bahan bangunan juga sangat dimungkinkan mengingat telah adanya jalur kereta api yang melintas di sekitar daerah tersebut.
4.1.2 Konsep Awal Pembangunan Dalam rencana awalnya, pembangunan Kotabaru Kebayoran diberi nama ‘Kota Satelliet Kebayoran’. Akan tetapi, penamaan kota satelit dirasa kurang tepat mengingat salah satu syarat kota satelit adalah berjarak ±15 Km dari kota utama sedangkan Kebayoran Baru hanya berjarak ±4,5 Km dari batas selatan Kotapradja Djakarta (Gambar 5). Oleh karena itu, berikutnya dalam tulisan ini, kawasan ini disebut sebagai Kotabaru Kebayoran seperti
yang tertera dalam buku
Pembangunan Kotabaru Kebajoran yang diterbitkan oleh Kementrian Pekerjaan Umum dan Tenaga Republik Indonesia.
Gambar 5. Jarak Antara Kotabaru Kebajoran dengan Kotapradja Djakarta (Sumber: Prof. K. Hadinoto) Dalam perencanaan kawasan ini hal utama yang paling dipertimbangkan adalah aspek ekonomi karena pembangunan Kotabaru ini diperuntukkan bagi sebagian besar penduduk kelas menengah ke bawah. Selain itu Kotabaru ini juga diharapkan memiliki identitas khas Indonesia. Dengan mengadaptasi konsep Garden City (kota taman) milik Ebenezer Howard, persentase RTH direncanakan mencapai 46% dari total luas area. RTH yang dimaksud dalam perencanaan kawasan ini mencakup areal pertanian, jalur hijau jalan dan taman-taman kota (Sudiro, 1953). Kawasan hijau yang membatasi Kotabaru Kebayoran dengan Ibukota juga dianggap perlu untuk dipertahankan.
25
Dalam perkembangan perencanaannya, konsep Kotabaru Kebayoran mengalami beberapa perubahan. Pada awalnya, rencana penggunaan lahan Kotabaru Kebayoran adalah sebagaimana dapat dilihat dalam Tabel 5. Sedangkan mengikuti perkembangan keadaan, rencana penggunaan lahan tersebut kemudian berubah. Rencana akhir penggunaan lahan Kotabaru Kebayoran dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 5. Rencana Awal Penggunaan Lahan Kotabaru Kebayoran Penggunaan Lahan Perumahan Rakyat Perumahan Kelas Menengah Villa Gedung / Bangunan Khusus Flats Unit Perdagangan Industri Kecil Ruang Terbuka Hijau Jalan Areal Pertanian Total
Jumlah Unit 6730 2198 834
Luas (Ha) 152,5 69,8 55,1 75,2 6,6 17,0 20,9 118,4 181,5 33,0 730
Sumber: Kementrian Pekerjaan Umum dan Tenaga Republik Indonesia (1953) Tabel 6. Rencana Akhir Penggunaan Lahan Kotabaru Kebayoran Penggunaan Lahan Perumahan Rakyat Perumahan Kelas Menengah Gedung, Villa, Flat Unit Perdagangan Gedung / Bangunan Khusus Industri Kecil Jalan Fasilitas Olah Raga Ruang Terbuka Hijau Kuburan, Sawah, dsb. Total
Jumlah Unit 2676 3197 1168 505
Luas (Ha) 85,0 115,0 105,0 18,0 69,0 10,2 181,5 9,6 52,7 54,0 730
Sumber: Kementrian Pekerjaan Umum dan Tenaga Republik Indonesia (1953)
26
Dalam perencanaannya, kawasan ini dibagi dalam beberapa blok mulai dari Blok A hingga Blok S. Akan tetapi belum ditemukan kriteria yang pasti dalam pembagian blok-blok tersebut. Penulis memperkirakan hal ini ditujukan untuk mempermudah proses pembangunan. Peta rencana pembangunan kawasan Kotabaru Kebayoran yang diperoleh dari data sekunder dapat dilihat pada Gambar 6. Peta identifikasi konsep awal kawasan yang merupakan hasil identifikasi penulis berdasarkan peta rencana dan peta tahun 1975 dapat dilihat pada Gambar 7. Sedangkan peta pembagian blok kawasan dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 6. Peta Rencana Kotabaru Kebayoran (Sumber: Kementrian Pekerjaan Umum dan Tenaga Republik Indonesia (1953)
27
Gambar 7. Identifikasi Konsep Awal Kotabaru Kebayoran
28
Gambar 8. Pembagian Blok
29
4.1.3 Sejarah Pembangunan Rencana pembangunan Kotabaru Kebayoran mulai dibahas pada tanggal 1 Juni 1948. Rencana ini kemudian dibahas kembali pada tanggal 19 Juli 1948 dan disetujui oleh pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 21 September 1948. Kotabaru ini direncanakan oleh Praktijk Ingenieur M. Soesilo dari Centrale Planologish Bureau dan peletakan batu pertama pembangunan dilaksanakan pada tanggal 18 Maret 1949. Pelaksanaan pembangunan Kotabaru Kebayoran diserahkan pada sebuah lembaga bernama Central Stichting Wederopbouw (CSW) yang didirikan pada tanggal 1 Juni 1948. Lembaga ini bertindak selaku badan hukum yang memiliki wewenang atas hak penggunaan lahan. Oleh karena itu setiap rencana penggunaan lahan baik untuk keperluan industri, komersial maupun perumahan harus mendapatkan ijin dari lembaga ini. Sedangkan dalam penyelenggaraan pembangunan kota, CSW membentuk organisasi setempat yang bernama Regional Opbouw Bureau Kebayoran. Seiring dengan berjalannya pelaksanaan pembangunan, terjadi pergeseran wewenang
atas
proyek
penggunaan
lahan
tersebut.
Central
Stichting
Wederopbouw (CSW) beralih nama menjadi Jajasan Pemugaran Pusat dan pengaturan
keuangan
(financieringsregeling)
yang
sebelumnya
menjadi
wewenang CSW kemudian dikesampingkan. Lembaga-lembaga yang sebelumnya berada di bawah CSW kemudian melepaskan diri dari ikatan tersebut dan menjadi lembaga mandiri diantaranya Stichting Wederopbouw Oost Indonesia dan Plaatselijk Opbouwdiensten (POD). Melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 65 Tahun 1951, Jajasan Pemugaran Pusat atau CSW dinyatakan dalam likuidasi. Segala hak kepemilikan dan hutang-piutang lembaga tersebut dialihkan sepenuhnya kepada Pemerintah Republik Indonesia. Sedangkan wewenang atas pembangunan Kotabaru Kebayoran diserahkan pada Kementrian Pekerjaan Umum dan Tenaga. Setelah serah terima kedaulatan atas proyek pembangunan tersebut, Menteri Perhubungan, Pekerjaan Umum dan Tenaga membentuk sebuah lembaga khusus untuk melanjutkan pembangunan Kotabaru tersebut, yaitu Djawatan Pekerdjaan Chusus Kotabaru Kebayoran. Dan terhitung mulai tanggal 1 Januari
30
1952, lembaga tersebut beralih menjadi Pembangunan Chusus Kotabaru Kebayoran, sebuah organisasi di bawah Kementrian Pekerjaan Umum dan Tenaga yang
memiliki
anggaran
sendiri.
Sedangkan
pekerjaan-pekerjaan
yang
sebelumnya merupakan tanggung jawab CSW namun tidak termasuk dalam tugas Djawatan Pekerdjaan Chusus Kotabaru Kebayoran, dialihkan menjadi tanggung jawab Djawatan Perumahan Rakjat. Dalam pelaksanaan pembangunan, Djawatan Pekerdjaan Chusus Kotabaru Kebayoran membawahi beberapa instansi yang memiliki deskripsi kerja yang lebih spesifik yaitu: 1. Perusahaan Gudang Perlengkapan Instansi ini bertanggung jawab atas ketersediaan bahan bangunan. Tugasnya adalah mengumpulkan dan membuat bahan bangunan baik yang berasal dari dalam maupun luar negri dengan harga serendah-rendahnya. 2. Perusahaan Pabrik Kayu Instansi ini bertanggung jawab atas pembuatan atribut bangunan yang berasal dari kayu, yaitu kusen, daun pintu dan jendela yang berasal dari kayu jati dan rangka atap (kaphout) yang berasal dari kayu agathis yang didatangkan dari Kalimantan. 3. Perusahaan Perbengkelan dan Alat-alat Besar Instansi ini bertanggung jawab atas pengangkutan bahan-bahan bangunan serta pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan alat-alat berat. 4. Perusahaan Penggalian Batu dan Pasir Instansi ini bertugas untuk melakukan penggalian batu dan pasir di daerah Serpong untuk memenuhi kebutuhan pembangunan jalan. Pada tahun 1951, instansi ini diserahkan pasa Biro Rekonstruksi Nasional. 5. Pabrik Beton dan Aspal Instansi ini bertanggung jawab untuk mengolah campuran aspal dan beton untuk membuat jalan, jembatan, saluran air hujan, riolering, gedung, dsb. Pembiayaan instansi ini dimasukkan dalam anggaran pembuatan jalan, jembatan dan infraskruktur lain yang dibangunnya.
31
6. Perusahaan Tanah (Land-business) Instansi ini ditugaskan untuk mengurus segala urusan jual beli serta sewa lahan di Kotabaru Kebayoran. Pembelian tanah yang dilakukan pemerintah adalah seluas 730 Ha, meliputi desa Grogol Udik, Pelapetogogan, Gandaria Utara, Senayan, kecamatan Kebayoran dan sebagian kabupaten Jatinegara. Jumlah anggaran yang dikeluarkan untuk pembelian tanah ini seluruhnya mencapai Rp. 17.500.000 Pada awal perencanaan Kotabaru ini, akan dibangun ±6000 unit rumah. Pada akhir tahun 1951, jumlah hunian yang telah selesai dibangun mencapai 2.058 unit dan ±1.717 diantaranya disewakan dengan harga minimum sebesar Rp. 17,50 dan harga maksimum sebesar Rp. 100,00. Akan tetapi, semenjak terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dimana ibukota dipindahkan kembali dari Yogyakarta ke Jakarta, diperlukan adanya tambahan tempat tinggal bagi para pegawai negri yang dimutasikan. Oleh karena itu pada akhir tahun 1950, mulai dibangun tambahan hunian sebanyak ±1000 unit di Kotabaru ini. Untuk dapat mencapai tujuan akhir sebagai kota mandiri, diperlukan dukungan infrastruktur dan fasilitas yang memadai di Kotabaru ini. Sebagai area residensial bagi para pekerja yang bermata pencaharian di Jakarta, perlu adanya kemudahan aksesibilitas antara Kebayoran dan Jakarta. Hal ini diakomodir dengan pembangunan sebuah jalan besar dua arah untuk jalur cepat dan dua jalur lambat yang persis di sisi-sisinya. Kotabaru itu sendiri memiliki jalan-jalan dalam kota yang berbentuk radial.
Gambar 9. Jalan Besar Dua Arah (Sumber: Prof. K. Hadinoto)
32
Dalam perencanaannya, Kotabaru Kebayoran juga dibagi dalam beberapa blok perumahan. Setiap blok dilengkapi dengan sebuah sekolah dasar. Selain itu sebuah sekolah menengah pertama, sekolah menengah akhir, sekolah tinggi teknik, sekolah khusus putri dan sebuah sekolah internasional yang ditujukan bagi anak-anak kaum ekspatriat juga direncanakan untuk dibangun. Sedangkan untuk pelayanan kesehatan, perencanaan Kebayoran Baru dilengkapi dengan sebuah rumah sakit besar berkapasitas lebih dari 600 tempat tidur. Dalam hal ekonomi, hanya ada satu pasar besar yang dibangun di jantung kota Kotabaru Kebayoran. Akan tetapi ada tiga lokasi pasar yang lebih kecil ditempatkan di bagian barat, timur dan selatan kawasan.
Gambar 10. Kawasan Perniagaan dan Bioskop Mayestik (Sumber: Prof. K. Hadinoto (kiri), Kementrian Pekerjaan Umum dan Tenaga Republik Indonesia (kanan)) Pada masa itu, Ibukota Jakarta tidak dapat memberikan suplai pada Kotabaru ini, Jakarta sendiri mengalami kekurangan sumber air bersih. Oleh karena itu untuk memenuhi kebutuhan air bersih di kota Jakarta dan sekitarnya, pemerintah merencanakan pembangunan instalasi penjernihan air kali di Karet. Namun sebelum proyek tersebut selesai, untuk memenuhi keutuhan sementara di Kebayoran, dibangun 9 buah sumur artesis yang dapat memberikan suplai air sebesar 90 liter per detik dan diperkirakan dapat memenuhi kebutuhan 15.000 orang penduduk.
33
Gambar 11. Sumur Artesis (Sumber: Kementrian Pekerjaan Umum dan Tenaga Republik Indonesia) Sama halnya dengan masalah air minum, Ibukota Jakarta pada saat itu juga tidak mampu memberikan suplai energi bagi Kotabaru Kebayoran karena Jakarta sendiri mengalami kesulitan memenuhi kebutuhan listrik dalam kota. Untuk mengatasi permasalahan kekurangan energi ini sekaligus untuk memberikan sumber suplai energi bagi Kotabaru Kebayoran, maka dibangunlah sentral listrik di Ancol, Karet dan Kebayoran. Sementara itu untuk memenuhi kebutuhan energi sebelum proyek pembangunan sentral listrik itu selesai, Kotabaru Kebayoran mendapat suplai energi dari sebuah sentral yang dilengkapi dengan 3 mesin diesel kecil berkekuatan total ±560kw. Energi listrik ini kemudian disalurkan melalui sistem kabel diatas tanah yang memiliki tekanan 3.300 Volt.
Gambar 12. Sentral Listrik Sementara (Sumber: Kementrian Pekerjaan Umum dan Tenaga Republik Indonesia)
34
4.1.4 Sejarah Perkembangan Mutohar Sudiro (1953) dalam bukunya Pembangunan Kotabaru Kebajoran mengemukakan; “Jalan raya ini pada waktu waktu risalah ini ditulis sudah selesai seluruhnya, tinggal menyempurnakan saja. Bagi Indonesia, jalan raya ini merupakan jalan modern dan indah megah nampaknya. Bagi orang yang baru dari Jakarta menuju Kebayoran melalui jalan raya ini ada perbedaan dalam rasa dan pandangan mata. Udara dan hawanya sejuk. Pemandangannya luas dan indah. Di atas jalan raya yang megah ini berlaku lalu-lintas teratur, lancar meluncur di tempatnya dan ke tempat tujuannya masing-masing. Tidak berdesakdesak dan hiruk pikuk seperti jalan-jalan raya dalan kota Jakarta yang kurang lebar itu. Kesemuanya tadi menimbulkan kelegaan, keamanan dan ketentraman hati”. Pada awal pembangunannya (1949), Kebayoran Baru merupakan wilayah yang terpisah dari Ibukota Jakarta. Kota ini direncanakan sebagi kota satelit yang ditujukan untuk menampung 50.000 penduduk yang sebagian besar memiliki mata pencaharian di Jakarta. Akan tetapi pada tahun 1950 melalui Putusan Pemerintah mengenai luas dan batas-batas wilayah Kotapradja Djakarta, kawasan ini resmi menjadi bagian yang terintegrasi dengan Ibukota. Pada periode 1950-1955, kegiatan pembangunan dipusatkan di sekitar Jl. Sisingamangaraja, Jl. Trunojoyo dan Jl. Kyai Maja. Pembangunan kota dititik beratkan pada pembangunan hunian serta infraktruktur pendukung kegiatan rumah tangga diantaranya instansi pengolahan dan penyaluran air bersih, sistem pembuangan limbah, serta instansi penyedia energi listrik. Ilustrasi tata guna lahan pada Tahun 1955 dapat dilihat dalam Gambar 13. yang didapat dari data sekunder Sedangkan ilustrasi proses pembangunan kawasan ini dalam rentang 1949-1954 dapat dilihat dalam Gambar 14.
35
Gambar 13. Ilustrasi Landuse Tahun 1955 (Sumber: Prof. K. Hadinoto)
36
Gambar 14. Proses Pembangunan Kawasan 1949-1954 (Sumber: Prof. K. Hadinoto
37
Pada periode 1955-1965, kegiatan pembangunan mulai merambah kepada sarana yang lebih luas dan gedung-gedung khusus, mencakup Markas Besar Kepolisian, KOMDAK, PTIK, PLN, perbankan, perumahan flat dan lain-lain.
Gambar 15. Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Sumber: Kementrian Pekerjaan Umum dan Tenaga Republik Indonesia) Pada periode 1965-1980, pembangunan Kotabaru Kebayoran telah dianggap selesai. Kebayoran baru telah dapat berfungsi sebagai kota mandiri, dilengkapi dengan fasilitas umum (fasum) dan fasilitas sosial (fasos). Akan tetapi perkembangannya mulai tidak terencana dan tidak terkendali. Menanggapi hal itu, dikeluarkanlah keputusan gubernur DKI Jakarta No. D IV–6099/d/33/1975 tentang Penetapan Daerah Kebayoran Sebagai Lingkungan Pemugaran. Peta penggunaan lahan kawasan ini ketika ditetapkan sebagai kawasan pemugaran (Tahun 1975) dapat dilihat dalam Gambar 16. Pada periode 1980-2009, akibat terus meningkatnya jumlah penduduk, perkembangan Ibukota Jakarta semakin meluas kearah selatan sehingga terjadi akses kuat menembus Kotabaru Kebayoran. Kotabaru Kebayoran kini telah menjadi bagian dari wilayah DKI Jakarta dan menjadi salah satu pusat kegiatan. Dampaknya, perkembangan kota semakin tidak terencana dan tidak terkendali.
38
Gambar 16. Identifikasi Landuse Akhir (1975)
39
4.2 Kondisi Aktual Kebayoran Baru 4.2.1 Wilayah Administratif Akibat derasnya arus urbanisasi dan pertambahan penduduk, Kotabaru Kebayoran yang dulu direncanakan sebagai kota satelit yang terpisah dari Ibukota Jakarta kini telah mengalami konurbasi. Jalur hijau yang sebelumnya dipertahankan untuk membatasi antara Kotabaru Kebayoran dengan Jakarta kini telah berubah menjadi area terbangun. Hal ini terjadi terutama setelah Kotabaru Kebayoran diputuskan menjadi bagian dari Ibukota Jakarta pada tahun 1950. Kotabaru Kebayoran kini termasuk ke dalam wilayah kecamatan Kebayoran Baru, Kotamadya Jakarta Selatan. Secara administratif, batas-batas Kecamatan Kebayoran Baru adalah sebagai berikut: •
Utara : Kecamatan Tanah Abang, Kecamatan Setiabudi
•
Timur : Kecamatan Mampang Prapatan dan Kali Krukut
•
Selatan: Kecamatan Cilandak
•
Barat : Kali Grogol dan Kecamatan Kebayoran Lama Kecamatan Kebayoran Baru saat ini memiliki luas 1.291 Ha atau meluas
sebesar 561 Ha dari luas awal Kotabaru Kebayoran. Wilayah Kotabaru Kebayoran sebelumnya kini menempati delapan kelurahan dalam lingkup Kecamatan Kebayoran Baru yaitu Kelurahan Selong, Rawa Barat, Petogogan, Melawai, Pulo, Gunung, Kramat Pela dan sebagian Kelurahan Senayan.
4.2.2 Kondisi Sosial Ekonomi Kebayoran Baru kini menjadi salah satu sentra perekonomian DKI Jakarta. Jumlah penduduk Kecamatan Kebayoran Baru saat ini diperkirakan mencapai 150.000 jiwa. Berdasarkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) 2006, harga tanah per meter persegi paling rendah terdapat di Jalan Sawo Ujung Kelurahan Cipete Utara yakni Rp. 394.000. Di pasaran, tanah di daerah itu dihargai sekitar Rp 500.000. NJOP tertinggi, Rp 16.155.000 per meter persegi, adalah untuk lokasi di Jalan Jenderal Sudirman, Kelurahan Senayan. Harga pasarnya hampir dua kali lipat, sekitar Rp 30 juta per meter persegi.
40
4.2.3 Tata Guna Lahan Meskipun Kecamatan Kebayoran Baru termasuk ke dalam kawasan pemugaran yang disahkan melalui Perda dan SK Gubernur DKI Jakarta, dalam perkembangannya terjadi banyak konversi lahan di Kotabaru Kebayoran. Terutama area pemukiman dan bangunan-bangunan umum kini didominasi oleh fungsi komersial. Contohnya di Jl. Panglima Polim Raya dan Jl. Iskandarsyah. Jumlah luas lahan dalam kawasan pemugaran yang telah terkonversi dalam rentang tahun 1975-2005 dapat dilihat pada Tabel 7. Sedangkan peta tata guna lahan kawasan dapat dilihat dalam Gambar 17. Tabel 7. Konversi Lahan Kawasan Pemugaran Kebayoran Baru Tahun 1975-2005. Penggunaan Tahun Penggunaan Tahun Luas (m2) 1975 2005 3,581,529.61 Perumahan 371,975.51 Perdagangan dan Jasa 117,375.48 Bangunan Umum 42,804.31 RTH 80,131.87 Perumahan Bangunan Umum 156,328.6 Perdagangan dan Jasa 695,198.24 Bangunan Umum 22,495.05 RTH 70,558.74 Perumahan RTH 3,779.51 Perdagangan dan Jasa 132,388.59 Bangunan Umum 418,988.5 RTH 125,041.7 Perdagangan dan Jasa Perdagangan dan Jasa 990.63 Perumahan Sumber: Laporan Evaluasi Lingkungan Cagar Budaya Daerah Kebayoran, Pusat Dokumentasi Arsitektur dan Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta, 2006 Perumahan
Akan tetapi data tersebut tidak mencakup wilayah bekas permanent belt of agriculture yang kini telah terkonversi menjadi area pemukiman. Namun meskipun greenbelt yang mengelilingi Kotabaru Kebayoran kini telah terkonversi menjadi kawasan terbangun, persentase taman kota dan jalur hijau masih relatif dapat dipertahankan hingga saat ini. Menurut hasil perhitungan penulis, jumlah luas taman kota dan median jalan dalam kawasan Kotabaru Kebayoran saat ini adalah 554535m2.
41
Gambar 17. Landuse Eksisting (2008)
42
4.2.4 Kebijakan Yang Berlaku Berdasarkan sejarah, aset dan potensi Kebayoran Baru dapat dikategorikan sebagai kawasan cagar budaya. Hal ini diperkuat dengan dikeluarkannya SK Gubernur DKI Jakarta No. D.IV-6099/d/33/1975 tentang penetapan daerah Kebayoran sebagai kawasan pemugaran. SK Gubernur ini kemudian ditindak lanjuti dengan diberlakukannya Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta No. 6 Tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta dan Perda No. 9 Tahun 1999 tentang Pelestarian dan Pemanfaatan Lingkungan dan Bangunan Cagar Budaya. Dalam SK Gubernur DKI Jakarta No. D.IV-6099/d/33/1975, pengelolaan benda cagar budaya yang terdapat di Kota Taman Kebayoran Baru digolongkan menjadi empat golongan pemugaran yaitu kelas A, B, C dan D. Golongan kelas A merupakan situs yang harus dipertahankan sesuai bentuk aslinya dengan tindakan preservasi. Golongan kelas B merupakan situs yang dapat dipugar dengan cara rekonstruksi atau rehabilitasi. Golongan kelas C merupakan situs yang dapat dipugar dengan cara adaptasi atau revitalisasi dengan tetap mempertahankan tampak bangunan (fasad) utamanya. Sedangkan golongan kelas D merupakan situs yang dapat dibongkar karena kondisinya dianggap dapat membahayakan pengguna atau lingkungannya. Peta golongan pemugaran bangunan dapat dilihat pada Gambar 18. Sedangkan luas lahan berdasarkan golongan pemugaran bangunan dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Luas Lahan Berdasarkan Golongan Pemugaran Golongan Pemugaran Golongan A Golongan B Golongan C Golongan D Ruang Terbuka Hijau (RTH) Sumber: Pusat Dokumentasi Arsitektur
Luas (m2) 3,359.55 719,705.13 3,339,729.55 1,149,038.85 626,566.05
43
Gambar 18. Pembagian Kawasan Berdasarkan Golongan Pemugaran Bangunan (1975-sekarang)
44
Sedangkan dalam Perda No. 9 Tahun 1999, lingkungan cagar budaya Kebayoran Baru terbagi atas tiga golongan, yaitu: 1. Golongan I merupakan lingkungan dan bangunan yang tidak dapat diubah dari aslinya. Tujuannya ialah mempertahankan karakter lingkungan. Jenis tindakan pelestarian yang dapat dilakukan adalah rehabilitasi dan restorasi. 2. Golongan II merupakan lingkungan yang ditata dengan tetap mempertahankan keaslian unsur lingkungan yang menjadi ciri khas kawasan. Tujuannya adalah untuk menyelamatkan karakter lingkungan. Jenis
tindakan
yang
dapat
dilakukan
adalah
rehabilitasi
dan
rekonstruksi. 3. Golongan III merupakan lingkungan yang ditata dengan penyesuaian terhadap rencana kota tanpa mengurangi unsur keaslian yang menjadi ciri khas kawasan. Tujuannya ialah untuk menata ulang secara optimal unsur-unsur karakter lingkungan yang masih ada. Jenis tindakan yang dapat dilakukan adalah rekonstruksi dan revitalisasi. Akan tetapi dalam pelaksanaannya di lapangan, kebijakan yang diterapkan adalah SK Gubernur DKI Jakarta No. D.IV-6099/d/33/1975 serta Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) yang berlaku. SK Gubernur DKI Jakarta No. D.IV6099/d/33/1975 dapat dilihat pada Lampiran 1. Dalam RTRW DKI Jakarta Tahun 2005-2010, untuk memudahkan penyusunan manajemen pemanfaatan kawasan, maka setiap kecamatan dibagi dalam empat tipologi kawasan dengan penjelasan sebagai berikut: a. Kawasan Mantap (KM) Perkembangan Kawasan
: Sudah terbangun
Perkembangan Fungsi
: Tidak berubah
Struktur Fisik
: Umumnya baik
Tingkat Pelayanan
: Memadai
Penataan Kawasan
: Terencana dengan baik
45
b. Kawasan Peralihan Menuju Mantap (KPM) Perkembangan Kawasan
: Sudah terbangun
Perkembangan Fungsi
: Sedikit sekali berubah
Struktur Fisik
: Sebagian besar cukup baik
Tingkat Pelayanan
: Kurang memadai
Penataan Kawasan
: Umumnya terencana
c. Kawasan Peralihan Menuju Dinamis (KPD) Perkembangan Kawasan
: Sebagian terbangun
Perkembangan Fungsi
: Kurang berkembang/statis
Struktur Fisik
: Umumnya kurang baik
Tingkat Pelayanan
: Tidak memadai
Penataan Kawasan
: Kurang terencana
d. Kawasan Dinamis (KD) Perkembangan Kawasan
: Sebagian terbangun, sebagian belum
Perkembangan Fungsi
: Berubah dan berkembang dengan cepat
Struktur Fisik
: Sebagian baik, sebagian belum
Tingkat Pelayanan
: Sebagian memadai, sebagian belum
Penataan Kawasan
: Sebagian terencana, sebagian belum
Kawasan Kotabaru Kebayoran saat ini yang merupakan bagian dari Kecamatan Kebayoran Baru hanya termasuk dalam tiga kriteria yaitu Kawasan Mantap (KM), Kawasan Peralihan Menuju Mantap (KPM) dan Kawasan Peralihan Menuju Dinamis (KPD). Pembagian tipologi kawasan berdasarkan RTRW DKI Jakarta Tahun 2005-2010 ini dapat dilihat pada Gambar 19.
46
Gambar 19. Pembagian Kawasan Menurut RTRW DKI Jakarta 2005-2010
47
Bagian Kotabaru Kebayoran yang termasuk ke dalam Kawasan Mantap (KM) adalah bagian yang kini termasuk ke dalam Kelurahan Gunung, Kelurahan Selong, Kelurahan Rawa Barat, Kelurahan Petogogan, Kelurahan Melawai, Kelurahan Pulo dan Kelurahan Kramat Pela. Area-area yang termasuk ke dalam Kawasan Mantap ini pada umumnya adalah kawasan perumahan atau kawasan pemugaran. Kawasan ini mempunyai nilai arsitektur sehingga akan dipertahankan fungsinya sebagai kawasan perumahan. Kawasan ini juga dibangun secara terencana, dinilai memenuhi kriteria perencanaan kota, perancangan bangunan dan lingkungan.
Gambar 20. Pemukiman di Kawasan Mantap Bagian Kotabaru Kebayoran yang termasuk ke dalam Kawasan Peralihan Menuju Mantap (KPM) merupakan kawasan yang mengalami perubahan intensitas bangunan dengan fungsi tetap. Kawasan ini dibangun secara terencana, dinilai memenuhi kriteria perencanaan kota, perancangan bangunan dan lingkungan. Kawasan Peralihan Menuju Mantap (KPM) yang berupa kawasan perkantoran pemerintah berada pada: 1. sebagian wilayah Kelurahan Selong yaitu Kantor Walikota lama, MABAK, Kantor Sekretariat ASEAN, Kantor BPN, Gedung Telkom serta Kantor Departemen Pekerjaan Umum. 2. Sebagian wilayah Kelurahan Melawai yaitu gedung PLN dan PTIK 3. Sebagian wilayah Kelurahan Kramat Pela yaitu Kejaksaan Agung RI dan bekas Percetakan Negara. 4. Sebagian wilayah Kelurahan Pulo yaitu di area bekas Peruri
48
Gambar 21. Kawasan Peralihan Menuju Mantap; Gedung PTIK (kiri atas), Gedung PLN Bulungan (kanan atas), Gedung ASEAN (kiri bawah), Gedung TELKOM (kanan bawah) Kawasan Peralihan Menuju Mantap (KPM) yang berupa kawasan perdagangan dan jasa yaitu sepanjang Jl. Panglima Polim dan Jl. Fatmawati serta sebagian Kelurahan Melawai yaitu kawasan Blok M dan sekitarnya. Sedangkan Kawasan Peralihan Menuju Mantap (KPM) yang berupa kawasan perumahan dan kuburan berada di antara Jl. Wijaya Timur dan Kali Krukut, sekitar Pasar Santa dan kuburan Blok P. Sedangkan bagian Kotabaru Kebayoran yang termasuk ke dalam Kawasan Peralihan Menuju Dinamis (KPD) berada pada Kelurahan Kramat Pela dan Kelurahan Gunung yaitu di sepanjang Kali Grogol hingga Kompleks Pertamina. Kawasan ini kini didominasi oleh pemukiman.
49
Gambar 22. Pemukiman di Kawasan Menuju Dinamis Area Kecamatan Kebayoran Baru yang digolongkan ke dalam Kawasan Dinamis dalam RTRW 2005-2010 umumnya adalah area yang tidak direncanakan dalam pembangunan Kotabaru Kebayoran dan umumnya merupakan area yang mengalami konurbasi. Area yang dimaksud diantaranya adalah area SCBD, Kelurahan Gandaria dan Kelurahan Cipete Utara.
4.3 Analisis 4.3.1 Analisis Penerapan Konsep Garden City Dalam Perencanaan Berbeda dengan pembuatan kota taman Menteng, arsitek Ir. M. Soesilo tidak menerapkan secara utuh konsep Garden City milik Ebenezer Howard ke dalam perencanaan Kotabaru Kebayoran. Konsep Garden City hanya diterapkan sebagian karena disesuaikan dengan kebutuhan dan budaya masyarakat setempat. Kotabaru Kebayoran dibangun dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan pemukiman dengan anggaran yang terbatas. Oleh karena itu konsep limitasi penduduk sebesar 32.000 jiwa per 1000 acre yang menjadi esensi konsep Garden City tidak dapat diterapkan. Ditambah lagi dengan adanya peristiwa pemindahan Ibukota Negara yang menyebabkan kebutuhan pemukiman semakin meningkat. Dalam konsep awalnya, Kotabaru Kebayoran direncanakan untuk menampung 50.000 penduduk dan pasca pemindahan Ibukota, Kotabaru Kebayoran dipersiapkan untuk menampung sekitar 65.000 penduduk. Kotabaru Kebayoran memiliki pola jalan berbentuk radial namun tidak berbentuk lingkaran sempurna. Pada konsep awalnya, Kotabaru Kebayoran memiliki taman pusat kota berbentuk lingkaran namun luasannya tidak mencapai 2.2 Ha melainkan hanya berupa traffic island. Sedangkan konsep enam boulevard
50
yang memusat pada pusat kota juga tidak diterapkan dalam konsep. Menurut panulis, hal ini memiliki dua kemungkinan alasan. Yang pertama, arsitek M. Soesilo mencoba menyesuaikan dengan budaya lokal masyarakat Indonesia yang lebih berorientasi pada empat arah mata angin yaitu Utara, Selatan, Timur dan Barat. Kemungkinan yang kedua, Ir. M. Soesilo mengambil pelajaran dari pembangunan kota taman Menteng yang pola jalannya menuai banyak kritik karena dinilai tidak cocok dengan masyarakat Indonesia atau penduduk Jakarta pada umumnya. Pola kota taman Menteng mengadaptasi pola jalan Ebenezer Howard yang memiliki banyak pertigaan di pusat kota dan menghasilkan banyak sudut tajam dan tumpul dalam pola radial sehingga menciptakan masalah lalu lintas (Heuken dan Pemungkas, 2001) . Namun demikian, Kotabaru Kebayoran menerapkan standar lebar boulevard sebesar minimal 37 meter. Dalam perencanaannya, boulevard yang membelah Kebayoran dari utara ke selatan memiliki dua jalur dalam satu lajur yaitu jalur cepat dan jalur lambat. Perencanaan boulevard ini terbukti dapat mengakomodir kebutuhan lalu lintas yang padat hingga saat ini.
Gambar 23. Boulevard Utara - Selatan yang membelah Kebayoran (Sumber: Kementrian Pekerjaan Umum dan Tenaga Republik Indonesia)
Pada pusat kota terdapat bangunan-bangunan umum yang besar seperti gedung PLN, kantor walikota, gedung sekretariat ASEAN juga fasum dan fasos seperti terminal dan taman kota yang dapat diakses dengan mudah. Karena pusat kota tidak berbentuk radial maka Kotabaru Kebayoran juga tidak memiliki crystal
51
palace. Akan tetapi fungsi crystal palace diakomodir dalam sebuah sentra perdagangan di selatan pusat kota. Hal ini juga disesuaikan dengan budaya masyarakat Indonesia yang biasa melakukan aktivitas jual beli secara terpusat dalam satu tempat yang biasanya berupa pasar. Pemisahan Zona 2 dan Zona 3 dengan grand avenue selebar 128 m juga tidak diterapkan dalam perencanaan Kotabaru Kebayoran. Arsitek M. Soesilo mengintegrasikan keberadaan rumah besar dan rumah kecil dalam satu blok. Yang besar di luar, di tepi jalan besar dan yang kecil di dalam, mengelilingi taman lingkungan (Hakim, 2002). Akan tetapi keberadaan taman lingkungan dan adanya pepohonan dan jalur hijau di jalan perkotaan diadopsi dalam konsep ini serta keberadaan tempat ibadah dan sekolah yang disekitarnya terdapat taman dan tempat bermain (Gambar 24).
Gambar 24. Sarana Ibadah; Geraja Katolik (kiri) dan Masjid (Kanan) Dikarenakan
peruntukkannya
sebagai
kawasan
hunian,
Kotabaru
Kebayoran tidak direncanakan untuk mengakomodir kebutuhan industri. Oleh karena itu kawasan industri yang terdapat dalam Zona 4 yang terdapat dalam konsep Garden City tidak diterapkan dalam konsep perencanaannya. Begitu pula dengan keberadaan stasiun dan jalur kereta api yang dinilai cukup dekat dengan kawasan yaitu di Kebayoran Lama dan Senayan. Meskipun terdapat di luar kawasan, lokasi stasiun dan jalur kereta api dinilai cukup dekat dengan Kotabaru Kebayoran. Sedangkan area perdagangan di pinggir kota atau dalam Zona 4 yang terdapat dalam konsedp Garden City, kembali direalisasikan dalam bentuk pasar yang berskala lebih kecil daripada yang terdapat di pusat kota. Pasar-pasar ini
52
adalah Pasar Mayestik di sebelah barat (Gambar 25), Pasar Santa di sebelah timur dan Pasar Blok A di selatan kawasan.
Gambar 25. Pertokoan di Pasar Mayestik Satu hal yang menonjol dalam konsep awal perencanaan Kotabaru Kebayoran adalah diadopsinya keberadaan permanent belt of agriculture. Meskipun tidak mengelilingi kota secara keseluruhan, greenbelt yang awalnya ditujukan sebagai area pertanian warga mendapat porsi yang cukup besar dan sekaligus berfungsi sebagai sempadan Kali Krukut dan Kali Grogol. Secara umum, penerapan konsep Garden City dalam perencanaan kawasan Kotabaru Kebayoran dapat dilihat dalam Tabel 9.
53
Tabel 9. Penerapan Konsep Garden City Dalam Perencanaan Kawasan Kotabaru Kebayoran Zona (Rings)
Zona I
Zona II
Zona III
Ukuran • Luas pusat kota kurang dari 405 Ha • Taman di pusat kota hanya berupa traffic island • Lebar boulevard 37 m • Luas taman publik kurang dari 59 Ha • Crystal Palace berupa pasar di pusat kota • Terdiri dari 7.000 bangunan perumahan • Populasi 65.000 penduduk • Lebar jalan raya utama dan jalur hijau kurang dari 128 m • Panjang jalur hijau 4.827 m • Luas taman 47 Ha • Luas sekolah dan gereja masingmasing 1.6 Ha
Struktur • Pusat kota tidak berbentuk lingkaran • Bangunan-bangunan publik yang besar berada di pusat kota namun tidak mengelilingi taman • Empat buah boulevard berbentuk radial memusat pada satu titik (pusat kota) melintangi kota dari pusat ke wilayah sekitarnya Terdapat berbagai jalan masuk ke perumahan (berbentuk radial), atau terletak di depan boulevard dengan jalan menuju satu titik yaitu pusat kota. Terintegradi dengan Zona 2
• Tidak terdapat jalur kereta api Zona IV Zona V
• Terdapat
Wilayah pertanian
Elemen • Ruang terbuka berupa taman di pusat kota • Bangunan-bangunan publik yang besar terdapat pada pusat kota • Taman publik, terdiri atas lahan rekreasi dengan akses mudah • Fungsi Crystal Palace diakomodir dalam bentuk pasar • Pepohonan atau jalur hijau yang selalu hadir di berbagai jalan perkotaan • Rumah mewah dan rumah sederhana diintegrasikan dalam satu blok dengan desain yang beragam. • Pepohonan atau jalur hijau yang selalu hadir di berbagai jalan perkotaan • Taman • Sekolah yang dikelilingi oleh tempat bermain dan taman • Tempat ibadah seperti masjid dan gereja • Tidak terdapat jalur kereta api • Pasar terdapt di Blok A (selatan), Mayestik (barat) dan Santa (timur). Peternakan yang luas, pemilik tanah kecil, allotments, penggembalaan sapi, dan sebagainya
54
4.3.2 Analisis Keutuhan dan Integritas 4.3.2.1 Analisis Keutuhan dan Integritas Visual Meskipun telah ditetapkan sebagai lingkungan pemugaran, dalam kurun waktu 60 tahun semenjak awal pembangunannya, Kotabaru Kebayoran yang kini disebut dengan Kebayoran Baru mengalami banyak perubahan baik secara visual maupun fungsi lahan di berbagai tempat. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Pusat Dokumentasi Arsitektur pada tahun 2005, banyak terjadi perubahan karakter bangunan di wilayah yang ditetapkan sebagai golongan pemugaran B dan C. Kawasan Kotabaru Kebayoran memiliki warisan gaya arsitektur yang khas. Salah satunya adalah gaya rumah Jengki serta berbagai tipe rumah tropis lainnya. Menurut Anggraeni (2007), istilah Jengki mungkin diambil dari kata Yankee yaitu sebutan untuk orang-orang New England yang tinggal di bagian Utara Amerika Serikat. Arsitektur jengki memiliki beberapa perbedaan dengan arsitektur kolonial pada umumnya. Karakter arsitektur jengki ditandai dengan atap pelana dengan kemiringan atap 35º. Penggunaan atap pelana menghasilkan tembok depan yang lebar sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari tampak depan bangunan. Tembok depan yang dikenal dengan gewel ini menjadi sarana kreativitas arsitek. Pengolahan tampak depan bangunan juga diperkuat dengan kehadiran dinding yang berkesan miring dan membentuk geometri segi lima terhadap tampak bangunan. Ilustrasi rumah Jengki dapat dilihat dalam Ggambar berikut ini:
Gambar 26. Rumah Jengki (Sumber: Survey Pusat Dokumentasi Arsitektur (kiri))
55
Beberapa tipe bangunan asli yang terdapat dalam kawasan Kotabaru Kebayoran dapat dalam dilihat Lampiran 2. Oleh karena banyaknya perubahan fasad bangunan yang juga disertai dengan perubahan fungsi bangunan, Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta mengeluarkan Pedoman Teknis Pemugaran. Akan tetapi pedoman tersebut hanya menitikberatkan pada bangunan dan kurang mengkaji mengenai pemugaran lingkungan dan RTH. Oleh karena itu pemugaran taman yang dilakukan kurang mempertimbangkan desain awal taman itu sendiri sehingga mengurangi nilai integritas kawasan dan terkesan kurang menyatu dengan taman-taman lainnya. Contoh kasus adalah Taman Ayodya atau yang biasa dikenal dengan Taman Barito (gambar 27). Desain yang terlalu modern tidak selaras dengan Taman Leuser yang ada di sebelahnya dan juga tidak harmonis dengan lingkungan di sekitarnya yang masih memiliki ciri visual khas Kebayoran (Gambar 28).
Gambar 27. Taman Ayodya
Gambar 28. Kawasan di Sekitar Taman Ayodya; view dari Jl. Leuser menuju ke arah traffic island serta taman leuser di kiri jalan.
56
Selain taman-taman yang masih mempertahankan desain asli, visual kawasan Kotabaru Kebayoran saat juga dibentuk oleh keberadaan vegetasi asli terutama pohon-pohon peneduh yang mengisi jalur hijau jalan. Oleh karena itu penebangan pohon di sebagian kawasan turut menurunkan keharmonisan area tersebut dengan bagian kawasan lainnya. Contoh visual lanskap jalan yang masih mempertahankan vegetasi asli dapat dilihat pada Gambar 29. Sedangkan contoh visual lanskap jalan yang telah kehilangan ciri khasnya sebagai kota taman dapat dilihat pada Gambar 30.
Gambar 29. Visual Lanskap Jalan Berintegritas Tinggi; Jl. Brawijaya 8 (kiri) dan Jl. Sriwijaya Raya (kanan)
Gambar 30. Visual Lanskap Jalan Berintegritas Rendah; Jl. Wolter Monginsidi (kiri) dan Jl. Suryo (kanan) Saat ini luas Ruang Terbuka Hijau publik yang masih ada hanya tersisa 45% dari total luas awal. Data mengenai lokasi dan luas taman dan jalur hijau yang masih terdapat dalam kawasan ini dapat dilihat dalam Lampiran 3 dan 4.
57
4.3.2.2 Analisis Perubahan Landuse Sebagian perubahan fasad bangunan juga diikuti dengan perubahan fungsi bangunan itu sendiri. Menurut Laporan Evaluasi Lingkungan Cagar Budaya Kebayoran, hingga tahun 2005 konversi penggunaan lahan di kawasan pemugaran Kebayoran Baru mencapai 99,8 Ha atau sebesar 14 persen dari luas kawasan. Konversi penggunaan lahan yang paling mencolok adalah dari area non-komersial menjadi area komersial yaitu sebesar 53,2 Ha seperti yang dapat dilihat pada Gambar 31.
Gambar 31. Lahan Pemukiman Terkonversi Menjadi Lahan Perdagangan dan Jasa; sepanjang Jl. Mahakam (kiri) dan The Dharmawangsa Square (kanan) Selain perubahan ke arah kawasan komersial, perubahan penggunaan lahan juga menyebabkan hilangnya greenbelt di sekeliling kota yang kini terkonversi menjadi area pemukiman. Menurut perhitungan penulis, luasan RTH Kota yang terkonversi termasuk greenbelt adalah sebesar 55% dari total luas awal atau menyusut menjadi 7,5% dari total luas kawasan. Hal ini diantaranya disebabkan oleh: 1. Meningkatnya jumlah kebutuhan perumahan di Jakarta 2. Kebijakan pemugaran yang berlaku belum menguraikan secara jelas mengenai lingkungan pemugaran maupun lingkungan cagar budaya. Pembahasan dalam SK Gubernur DKI Jakarta No. D.IV-6097/d/33/1975 lebih menitikberatkan pada pemugaran bangunan. 3. Kurangnya sosialisasi kebijakan kepada masyarakat. Hal ini dapat disimpulkan dari hasil polling yang dilakukan oleh Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta pada tahun 2005, penduduk Kebayoran Baru
58
yang tidak mengetahui bahwa tempat tinggalnya telah ditetapkan sebagai kawasan pemugaran mencapai 76,25 persen. 4. Kurangnya konsistensi aparat dalam menerapkan kebijakan yang berlaku. 5. Tidak adanya kompensasi terhadap pemilik lahan apabila mereka melaksanakan kebijakan pemugaran yang berlaku. Berdasarkan hasil polling yang dilakukan oleh Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta pada tahun 2005, 82,50 persen penduduk bersedia melaksanakan tindakan pelestarian apabila diberikan kompensasi berupa keringanan PBB, 6,25 persen mengharapkan keringanan retribusi listrik dan air, sedangkan 5 persen mengharapkan kompensasi berupa kredit lunak untuk merenovasi rumah. Besarnya konversi lahan pada kawasan ini dapat dilihat pada Gambar 32, 33, 34, 35 dan 36. Akan tetapi berdasarkan kriteria untuk penilaian keaslian dan fungsi kota sebagaimana yang dapat dilihat kembali pada Tabel 3, didapatkan hasil penilaian bahwa kawasan Kebayoran Baru saat ini masih dapat mempertahankan originalitas atau keaslian kawasan sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Penilaian Kawasan Kebayoran Baru Berdasarkan Kriteria Penilaian Keaslian dan Fungsi Kota. Kriteria Garden City Luasan Pola Distrik Sistem RTHK
Sistem Jalur Hijau dan Permanent Belt.
Kondisi Eksisting Kebayoran Baru
Skor
Luasan tetap atau berubah <25% Karakter, pola, elemen dan fungsi kota berubah atau berubah 26-50% • Memiliki ruang terbuka dalam jumlah 50-75% dari yang ditetapkan dalam standar garden city. • Karakter, struktur, elemen dan fungsi ruang terbuka berubah 51-75%. • Tidak memiliki jalur hijau atau permanent belt atau hanya tersisa 25-50 % dari konsep awal. • Karakter, struktur, elemen dan fungsi jalur hijau atau permanent belt berubah 50-75%
4 3
TOTAL
2
11
Keterangan: ∑ Nilai 4-6 7-10 11-13 14-16
2
= Tidak original = Kurang original = Original = Sangat original
59
Gambar 32. Lahan Terkonversi
60
Gambar 33. Identifikasi Konversi Lahan Ruang Terbuka Hijau
61
Gambar 34. Identifikasi Konversi Lahan Pemukiman
62
Gambar 35. Identifikasi Konversi Lahan Fasilitas Umum
63
Gambar 36. Identifikasi Konversi Lahan Komersial
64
Sedangkan berdasarkan kriteria penilaian keunikan seperti yang dapat dilihat dalam Tabel 4, didapatkan hasil bahwa Kotabaru Kebayoran memiliki keunikan dan originalitas. Hasil penilaian tersebut dapat dilihat dalam Tabel 11. Tabel 11. Penilaian Keunikan Kotabaru Kebayoran Kriteria Keunikan Nilai Kesejarahan Kekhasan/Keunikan • Kelangkaan • Arsitektur • Memorial Integritas • Fisik • Fungsi • Visual TOTAL
Konsep Kebayoran Baru • • • • • •
Mengadaptasi sebagian konsep Garden City Memiliki nilai sejarah Karakter dan struktur elemen bersifat khas namun dapat dijumpai di tempat-tempat tertentu dan memiliki nilai sejarah. Jumlahnya cukup banyak Karakter, struktur dan fungsi elemen menyatu dan harmonis dengan lingkungan sekitarnya. Kondisi visual dan tata ruang kota berubah sebagian dari konsep awal.
Skor 3 3
3
9
Keterangan: ∑ Nilai 3-4 5-7 8-10 11-12
= Tidak original = Kurang original = Original = Sangat original
Selain penilaian berdasarkan keaslian dan fungsi serta keunikan kawasan, dilakukan juga penilaian integritas kawasan berdasarkan blok yang dapat dilihat dalam Tabel 12. Penilaian ini ditujukan untuk memetakan bagian mana dari kawasan tersebut yang masih memiliki tingkat integritas tinggi dan bagian yang memiliki integritas rendah untuk kemudian dianalisis bentuk-bentuk upaya pelestarian yang dapat dilakukan dengan lebih spesifik. Penilaian yang terdapat dalam Tabel 12 adalah penilaian integritas karakter, elemen, fungsi, pola, RTH dan visual kawasan. Penilaian karakter dilakukan dengan melihat keutuhan sebagai kawasan pemukiman dengan kelestarian arsitektur dan lanskap jalan khas Kebayoran. Penilaian elemen dilihat dari keutuhan keberadaan bangunan, taman dan jalur hijau. Penilaian fungsi dinilai dari besarnya perubahan landuse. Penilaian RTH dilihat dari perubahan total luas RTH baik taman maupun jalur hijau. Sedangkan visual dinilai dari keharmonisan suatu elemen dengan lingkungan sekitarnya atau suatau blok dengan bagian kawasan lainnya.
65
Selain mempertimbangkan keutuhan, penilaian pada Tabel 12 juga dilakukan dengan mempertimbangkan peruntukan kawasan. Misalnya kawasan komersial dapat memiliki nilai visual dan elemen yang tinggi meskipun integritasnya rendah karena memang kawasan tersebut telah direncanakan sebagai kawasan yang dinamis selama kawasan tersebut masih dapat mempertahankan ciri khas kawasan yang lainnya dan desain baru yang terdapat pada kawasan tersebut masih dapat menyatu harmonis dengan lingkungan di sekitarnya. Penilaian pada Tabel 12 ini secara spasial dapat dilihat pada Gambar 37. Sedangkan representasi visual kawasan berdasarkan hasil penilaian dapat dilihat pada Gambar 38, 39, 40 41, 42 dan 43. Tabel 12. Penilaian Integritas Kawasan Per Blok Blok A B C D E F G H I K L M N O P Q R S PBT PBB Total
Karakter 1 2 2 2 3 3 3 3 3 2 3 2 3 3 3 2 3 3 1 1 50
Elemen 3 2 3 2 3 4 4 2 3 4 3 4 3 3 3 3 3 3 1 1 57
Fungsi 3 3 2 3 3 3 4 3 4 4 4 4 3 3 3 3 4 3 1 1 61
Pola 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 3 4 4 4 4 4 4 1 1 73
Keterangan: PBT = Permanent Belt Timur Penilaian 1 = Berubah >75% 2 = Berubah 50-75% 3 = Berubah 25-50 % 4 = Berubah <25%
Hasil Per Blok 6-10 = Tidak Original 11-15 = Kurang Original 16-20 = Original 21-24 = Sangat Original
RTH 2 4 4 3 4 3 3 3 3 4 4 4 4 4 2 3 4 1 1 1 61
Visual 1 2 2 3 4 3 3 3 4 2 3 2 2 3 3 2 3 3 1 1 50
Total 14 19 17 17 21 20 21 18 21 20 21 18 19 18 18 17 21 17 6 6
PBB = Permanent Belt Barat Hasil Per Kriteria 20-34 = Tidak Original 35-40 = Kurang Original 50-64 = Original 65-80 = Sangat Original
66
Gambar 37. Penilaian Integritas Kawasan Berdasarkan Blok
67
Gambar 38. Benda Cagar Budaya di Kawasan Kebayoran Baru; Masjid Agung Al Azhar di Blok K (kiri) dan Masjid Syarif Hidayatullah di Blok N(kanan)
Gambar 39. Area Sangat Original; Rumah Jengki di Blok E (atas), Rumah Peninggalan Alm. Ibu Fatmawati dan Rumah Tipe Asli di Blok I (tengah), Jalan Pemisah Blok R dan L (kiri bawah) dan Jalan Utama di Blok I (kanan bawah)
68
Gambar 40. Area Original; Taman Lingkungan di Blok O (kiri atas), Jalan Pemisah Blok M dan Blok N (kanan atas), Rumah Tipe Asli di Blok P (kiri bawah) dan Kawasan Perniagaan di Blok M (kanan bawah)
Gambar 41. Area Kurang Original di Blok A
Gambar 42. Area Tidak Original di Area ex-Permanent Belt
69
Gambar 43. Bangunan Bersejarah di Kawasan Kebayoran Baru; Rumah Peninggalan Alm. Jend. DI Panjaitan (kiri) dan Rumah Peninggalan Alm. Ibu Fatmawati (kanan Selain itu, dengan tolak ukur Perda DKI Jakarta No. 9 Tahun 1999, didapatkan hasil analisis sebagai berikut: Tabel 12. Analisis Kelayakan Lingkungan Cagar Budaya Kebayoran Kriteria Nilai sejarah
Perda No. 9 Tahun 1999 Peristiwa perjuangan, ketokohan, politik, budaya yang menjadi simbol nilai kesejarahan.
Kebayoran Baru • • • •
Umur
Batas usia sekurangkurangnya 50 (lima puluh) tahun.
•
Keaslian
Keutuhan baik sarana dan prasarana lingkungan maupun stuktur, material, tapak bangunan dan bangunan di sekitarnya.
•
• • Kelangkaan
Keberadaan sebagai satusatunya atau yang terlengkap dari jenisnya yang masih ada.
• •
Sumber: Pusat Dokumentasi Arsitektur (2006)
Merupakan kawasan yang dikonsepkan sebagai kota satelit pertama di Indonesia Kota Taman kedua di DKI Jakarta Terdapat rumah bersejarah milik Jend. DI Panjaitan dan Alm. Ibu Fatmawati Terdapat bangunan cagar budaya Masjid Agung Al-Azhar Dibangun pada tahun 1949 dan ditetapkan sebagai lingkungan pemugaran pada tahun 1975. Pada saat penetapan baru berusia 26 tahun namun pada saat ini sudah berusia lebih dari 60 tahun. Seluruh kawasan masih dibentuk oleh struktur blok-blok hunian, dengan pola jalan pembentuk lingkungan yang juga masih asli yaitu radiosentris dan sirkular. Desain arsitektur bangunan pada setiap blok sebagian besar sudah berubah. Jenis vegetasi dan pola taman lingkungan belum banyak berubah Masih terdapat bangunan perumahan dan komersial dengan gaya arsitektur yang khas Kebayoran Terdapat bangunan bergaya arsitektur ‘Jengki”
70
4.3.3 Analisis Sebagai Identitas Kota Sedangkan dari kriteria identitas kota menurut Relph (1976), Kotabaru Kebayoran yang kini berada dalam Kecamatan Kebayoran Baru dapat memenuhi beberapa kriteria pembentuk identitas kota, yaitu: 1. Existential Insideness Sebagai salah sentra perekonomian Jakarta Selatan, Kotabaru Kebayoran merupakan kawasan yang dinamis, khususnya di wilayah Blok M.
Gambar 44. Wilayah Blok M 2. Behavioral Insideness Kotabaru Kebayoran menghadirkan suasana yang khas dengan pola keruangan yang lebih tertata dan lebih teduh dari daerah-daerah di sekitarnya terutama pada wilayah-wilayah pemukiman yang memiliki nilai integritas yang cukup tinggi yaitu Blok B, C, D, E, F, G, H, I, K, L, N, O, P, Q, R dan S.
Gambar 45. Wilayah Pemukiman yang Teduh; Blok O (kiri) dan Blok K (kanan) 3. Objective Outsider Dalam kawasan Kotabaru Kebayoran terdapat area Blok M yang menjadi salah satu area paling dikenal di Jakarta Selatan. Selain itu terdapat
71
bangunan penting yang mengarahkan persepsi publik atas Jakarta Selatan ke dalam kawasan ini yaitu Kantor Walikota Jakarta Selatan.
Gambar 46. Area yang Mengarahkan Persepsi Publik; Kantor Walikota Jakarta Selatan (kiri) dan Wilayah Blok M (kanan) 4. Mass Identity of Place Keberadaan pohon-pohon peneduh sepanjang jalan serta gaya arsitektur khas Kebayoran termasuk tipe rumah Jengki seakan menjadi salah satu penanda batas kawasan Jakarta Selatan.
Gambar 47. Pohon Peneduh di Sepanjang Jalan Utama; Perbatasan Blok M dan Blok N (kiri) dan Perbatasan Blok E (kanan) 5. Empathetic Insideness Sebagai salah satu titik awal perkembangan DKI Jakarta ke arah selatan, Kotabaru Kebayoran menyimpan nilai sejarah pembangunan dan perkembangan Ibukota Jakarta.
72
6. Existential Outsideness Kawasan ini merefleksikan keberhasilan membangun kota baru yang saat ini masih terus berkembang dan menjadi salah satu kawasan penting di Jakarta.
Gambar 48. Hasil Perencanaan Jalan yang Baik; Jl. Sisingamangaraja terbukti lebih mampu mengakomodir mobilitas warga Ibukota hingga saat ini 4.3.4 Analisis Keberlanjutan Sebagai urban heritage, keberlanjutan Kebayoran baru dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor baik internal maupun eksternal. Faktor internal dapat dibagi menjadi Kekuatan (Strength) dan Kelemahan (Weakness). Sedangkan faktor eksternal dapat dibagi menjadi Peluang (Opportunity) dan Hambatan (Threat). Secara rinci, faktor-faktor tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Kekuatan (Strength) •
Kawasan ini memiliki nilai kesejarahan, keunikan keaslian dan integritas yang cukup tinggi.
•
Terdapat dua Benda Cagar Budaya (BCB) yang terdapat dalam kawasan ini.
•
Telah
ditetapkan
sebagai
lingkungan
pemugaran
melalui
Keputusan Gubernur Nomor DIV.6099/d/33/1975. •
Adanya keinginan dari warga setempat untuk mendukung upaya pelestarian.
2. Kelemahan (Weakness) •
Telah banyak lahan yang terkonversi baik secara penggunaan lahan maupun secara visual
73
•
Penduduk setempat masih belum mendapatkan informasi yang cukup mengenai pentingnya pelestarian kawasan tempat tinggal mereka.
•
Kebijakan yang berlaku masih memerlukan revisi atau penyesuaian kembali dan dinilai sudah tidak dapat memenuhi perkembangan kota saat ini.
3. Peluang (Opportunity) •
Telah dikeluarkannya Undang Undang No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang yang menetapkan bahwa proporsi RTH pada wilayah kota paling sedikit tiga puluh persen dari total luas kota dan dua puluh persen diantaranya adalah ruang terbuka hijau publik (pasal 29).
•
Telah diundangkannya Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 135 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang Kawasan Kebayoran Baru sebagi tindak lanjut dari Undang No. 26 Tahun 2007 dan upaya revisi dari kebijakan-kebijakan yang telah berlaku sebelumnya (Lampiran 5).
•
Ditetapkannya kawasan Kebayoran Baru sebagai daerah resapan bagi Kota Administratif Jakarta Selatan dalam RTRW 2005-2010.
4. Hambatan (Threat) •
Derasnya peningkatan jumlah penduduk yang menyebabkan meningkatnya kebutuhan permukiman sehingga memicu laju konversi lahan RTH menjadi kawasan pemukiman.
•
Meningkatnya nilai lahan, baik NJOP maupun beban pajak lahan sehingga mendorong pemilik lahan untuk menggunakan lahan tersebut untuk tujuan komersial.
•
Belum adanya implementasi kebijakan yang nyata yang dilakukan oleh pemerintah.
•
Lemahnya penegakan hukum yang terjadi di lapangan.
•
Kebijakan yang berlaku masih menitikberatkan pada pemugaran bangunan dan belum mengkaji secara detail mengenai pemugaran lingkungan.
74
4.4 Usulan Pelestarian Sebagai identitas kota sekaligus sebagai pusat aktivitas perdagangan dan pemerintahan kota, perlu dilakukan tindakan pelestarian yang terencana dengan memperhatikan faktor eksternal maupun internal kawasan. Sebagai solusi dari potensi dan permasalahan diatas, dapat diusulkan upaya pelestarian sebagai berikut: 1. Melakukan revisi kebijakan yang menegaskan kembali kawasan Kebayoran Baru sebagai kawasan pemugaran secara lebih holistik dan terintegrasi
dalam
konsep
pembangunan
kota
yang
juga
mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi dan historis. Untuk itu diusulkan pembagian zona kawasan menjadi zona inti dan zona penyangga sebagai solusi dari kebutuhan komersial dan pemukiman yang semakin meningkat. Zona inti diterapkan pada kawasan yang dinilai perlu untuk dipertahankan karena tidak mengalami banyak perubahan tata guna lahan dan masih banyak bangunan asli yang dilestarikan. Sedangkan zona penyangga adalah bagian kawasan yang telah banyak mengalami perubahan baik secara visual maupun perubahan tata guna lahan. Zona penyangga ini berfungsi sebagai area pengaman dari tekanan eksternal terutama penetrasi komersial. Usulan pembagian zonasi dapat dilihat pada Gambar 49. Pembagian zonasi didasarkan pada kecenderungan perubahan lahan yang terjadi dewasa ini di dalam kawasan terutama perubahan menjadi area komersial, perubahan menjadi area pemukiman mewah (apartemen) serta area permanent belt of agriculture yang kini telah terkonversi menjadi pemukiman dengan KDB tinggi. Menurut hasil pengamatan, kecenderungan terjadinya penetrasi komersial tersebut banyak terjadi di sepanjang Jl. Radio Dalam, Jl. KH. Ahmad Dahlan dan daerah bekas permanent belt of agriculture yang kini dikenal sebagai Wijaya Barat dan Wijaya Timur serta area residensial Pakubuwono dan Gandaria. Sebagian besar dari area yang terkonversi ini tercatat sebagai kawasan pemukiman hingga tahun 2008 namun pada penerapannya, area tersebut banyak digunakan sebagai lahan komersial.
75
Selain mengalami perubahan fungsi, bangunan di daerah ini juga mengalami perubahan visual yang sebagian besar dipugar dengan tidak mengindahkan kebijakan pemugaran. Sedangkan daerah yang telah terkonversi sebelumnya atau yang telah terkonversi lebih dari 20 tahun terutama di sekitar blok M yaitu Jl. Iskandarsyah, Jl. Hasanuddin, Jl. Panglima Polim dan Jl. Melawai Raya dimasukkan ke dalam zona inti karena kawasan ini telah memberi karakter tersendiri ke dalam wilayah Kebayoran dalam jangka waktu yang lama. Kawasan Blok M juga dimasukkan ke dalam zona inti karena meskipun memiliki integritas visual yang rendah karena terdapat bangunanbangunan komersial baru dengan desain modern, namun kawasan ini dinilai dapat mewakili kasawan komersial yang telah direncanakan sejak awal. Selain itu masih terdapat beberapa bangunan komersial yang masih melestarikan desain awalnya. Sedangkan untuk daerah yang dulunya merupakan permanent belt of agriculture seperti daerah Wijaya Timur dan Barat serta sekitar Jalan Gandaria dan Pakubuwono dimasukkan ke dalam zona penyangga karena selain telah mengalami konversi lahan menjadi area terbangun dengan KDB cukup tinggi, daerah-daerah tersebut juga tidak direncanakan sebagai areal terbangun. Khusus untuk wilayah ini, diharapkan adanya penambahan vegetasi dan ruang publik yang ditujukan untuk menyatukan karakter sebagai bagian dari kota taman dan mengembalikan ciri area tersebut yang pada awalnya direncanakan sebagai RTH. Sebagai tindak lanjut dari revisi kebijakan tersebut, perlu dilakukan penyusunan golongan pemugaran yang baru yang tidak hanya berorientasi pada bangunan namun juga RTH yang bernilai historis dan memiliki nilai integritas tinggi. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga karakter kota taman yang pada akhirnya merupakan perwujudan identitas kota. Kebijakan baru ini diharapkan dapat mempertimbangkan karakter atau identitas kawasan ini sebagai
Kota
Taman
dan
tingkat
integritas
kawasan
serta
peruntukannya sebagai daerah resapan dalam RTRW DKI Jakarta 20052010 yang akan dilakukan sebagai acuan dalam tindakan selanjutnya.
76
Gambar 49. Usulan Pembagian Zonasi Lingkungan Pemugaran
77
2. Sebagai tindak lanjut dari revisi kebijakan yang diusulkan pada poin pertama, perlu dilakukan upaya melengkapi aspek legal termasuk penetapan insentif dan disinsentif atas upaya pemugaran yang telah dilakukan oleh masyarakat. Insentif yang disarankan untuk diberikan adalah berupa keringanan PBB. Sedangkan disinsentif yang dimaksud adalah berupa sanksi hukum atas pelanggaran yang terjadi. Pelanggaran yang dimaksud dapat berupa upaya mengkonversi peruntukan lahan maupun upaya pemugaran bangunan yang tidak sesuai dengan kebijakan yang berlaku. Selain itu perlu dilakukan pula penyusunan petunjuk teknis untuk diimplementasikan dalam kawasan sesuai dengan yang telah ditetapkan pada revisi kebijakan. Acuan petunjuk teknis yang diusulkan dalam studi ini yaitu: •
Untuk mengimplementasi kebijakan RTH dan kebijakan penetapan kawasan sebagai daerah resapan air serta meningkatkan karakter sebagai kota taman, perlu dilakukan upaya sebagai berikut: a) Meningkatkan presentase RTH. b) Merehabilitasi RTH yang ada dengan memperhatikan desain awal dan visual lingkungan sekitarnya. c) Menambah vegetasi peneduh. d) Melestarikan vegetasi asli terutama pohon-pohon peneduh di tepi jalan yang menjadi salah satu ciri kawasan selama keberadaannya tidak membahayakan pengguna. e) Meningkatkan KDH dan jumlah vegetasi pada area pemukiman yang pada awalnya dikonsepkan sebagai permanent belt of agriculture. f) Melakukan rekonstruksi RTH semaksimal mungkin dapat mendekati seperti yang telah direncanakan dalam konsep awal, terutama RTH dalam kota. Misalnya dengan melakukan penertiban bangunan atau fasilitas yang berada pada wilayah RTH baik jalur hijau maupun taman.
78
Gambar 50. Contoh Upaya Penertiban Fasilitas Umum yang Berada pada kawasan RTH; penutupan SPBU di Blok N •
Tindakan pelestarian lingkungan yang disarankan pada zona inti adalah: a) Mempertahankan landuse dan melakukan penertiban terhadap penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan RTRW yang berlaku b) Mempertahankan pola blok dan jarak jalan c) Mempertahankan proporsi dan tipologi bangunan asli d) Mengembalikan fungsi RTH publik yang saat ini telah terkonversi menjadi area perdagangan dan jasa e) Melestarikan vegetasi asli terutama pohon-pohon peneduh di sepanjang jalan selama keberadaannya tidak membahayakan pengguna f) Mempertahankan dominasi vegetasi besar dan kanopi pohon yang rapat g) Melakukan rehabilitasi RTH, semaksimal mungkin mengikuti konsep awal pembangunan dengan memperhatikan desain awal dan kondisi visual saat ini h) Menambah jumlah pohon peneduh terutama di wilayahwilayah yang jumlah vegetasinya telah berkurang seperti di Jl. Senopati, Jl. Suryo, Jl. Sisingamangaraja, Jl. Wolter Monginsidi, Jl. Panglima Polim serta jalan-jalan lainnya untuk memperkuat ciri khas kota taman serta memberikan kesatuan karakter (unity) dengan wilayah lainnya
79
i) Untuk kawasan komersial, bangunan yang tidak memiliki niai kesejarahan dapat dipugar dengan memperhatikan desain awal dan visual lingkungan di sekitarnya. •
Tindakan pelestarian lingkungan yang disarankan pada zona penyangga adalah: a) Perubahan penggunaan lahan harus mengacu pada RTRW yang berlaku b) Perubahan
fasad
bangunan
harus
mengikuti
kebijakan
penggolongan pemugaran bangunan c) Mempertahankan pola blok d) Bangunan yang masih mempertahankan bergaya arsitektur asli perlu dilestarikan (di Blok A, B dan C) e) Keberadaan RTH ditingkatkan f) Mempertahankan dan merawat RTH yang ada g) Menambah vegetasi peneduh dan melestarikan vegetasi asli terutama di jalan-jalan utama h) Mengeluarkan
dan
mensosialisasikan
pedoman
teknis
pemugaran untuk masyarakat 3. Sebagai tindak lanjut dua poin usulan diatas, perlu dilakukan sosialisasi kebijakan dan guidelines yang telah ditetapkan baik kepada masyarakat maupun kepada aparatur terkait. Selain itu perlu juga dilakukan koordinasi dalam upaya implementasi serta penegakan hukum atas pelanggaran yang terjadi.
80
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Kebayoran Baru merupakan kawasan yang memiliki nilai sejarah bagi perkembangan kota Jakarta. Dalam perencanaan awalnya, kawasan pemugaran Kebayoran Baru atau yang dulu disebut sebagai Kotabaru Kebayoran dirancang dengan mengadaptasi konsep Garden City (Kota Taman) yang digagas oleh Ebenezer Howard dan menyesuaikannya dengan budaya dan kebutuhan masyarakat pada saat itu. Konsep Garden City yang diadaptasi dalam perencanaan kawasan ini selain pola jalan yang sirkular adalah keberadaan fasum dan fasos yang memadai yang juga dikelilingi oleh taman-taman di sekitarnya sebagai pendukung keberlanjutan ekologis. Fasum dan fasos yang dimaksud diantaranya fasilitas pendidikan, sarana ibadah, sentra perdagangan yang terdapat di pusat kota dan di pinggiran kota, serta bangunan-bangunan umum yang terdapat di pusat kota. Pola blok dalam kawasan ini mengadaptasi pola jalan yang radial namun tidak memiliki taman besar di pusat kota. Kawasan ini juga tidak mengadaptasi pengunaan enam boulevard namun hanya empat jalan utama. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi masalah lalu lintas dan menyesuaikan dengan budaya masyarakat Indonesia yang berorientasi pada empat arah mata angin. Akan tetapi standar lebar boulevard sebesar 37 meter diterapkan dalam jalan utama yang membelah kawasan ini dari utara ke selatan. Seperti halnya dalam konsep Kota Taman, areal pusat kota diisi dengan bangunan-bangunan umum sedangkan fungsi crystal palace diakomodir dalam pasar yang berada di selatan pusat kota. Klasifikasi hunian yang dipisahkan oleh grand avenue menjadi Zona 2 dan Zona 3 dalam konsep Kota Taman tidak diterapkan. Arsitek kawasan ini membagi kawasan dalam beberapa blok dan mengintegrasikan berbagai tipe hunian dalam satu blok. Konsep Zona 4 sebagai wilayah industri juga tidak diterapkan karena kawasan ini memang diperuntukkan sebagai kawasan hunian. Selain itu, kawasan ini juga tidak dilintasi oleh jalur kereta api karena jalur yang telah ada dinilai cukup dekat dengan kawasan. Akan tetapi perencanaan kawasan ini mengadopsi konsep permanent belt of agriculture
81
yang mengitari sebagian kawasan. Selain sebagai wilayah pertanian penduduk, permanent belt of agriculture tersebut juga ditujukan sebagai sempadan Kali Grogol dan Kali Krukut. Berdasarkan hasil Penilaian Keunikan Kawasan, Kebayoran Baru mendapatkan skor 9 dalam rentang 8-10 yaitu dalam kriteria hasil Original. Sedangkan berdasarkan Penilaian Kawasan Berdasarkan Kriteria Penilaian Keaslian dan Fungsi Kota, Kebayoran Baru mendapatkan skor 11 dalam rentang 11-13 yaitu dalam rentang Original sehingga fungsi kawasan ini dapat dikatakan cukup lestari. Sedangkan berdasarkan kriteria identitas kota, kawasan Kotabaru Kebayoran dapat memenuhi enam dari tujuh kriteria identitas kota yaitu Existential insideness, Empathetic Insideness, Behavioral Insideness, Objective Outsider, Mass Identity of Place dan Existential Outsideness sehingga kawasan ini dapat dianggap layak untuk dijadikan sebagai identitas kota. Saat ini kawasan Kotabaru Kebayoran telah menjadi bagian dari Ibukota Jakarta. Permasalahan utama yang dihadapi kawasan ini ialah terjadinya konversi lahan yang cukup besar yang juga diikuti dengan perubahan fisik bangunan di dalamnya. Konversi lahan yang paling mencolok adalah perubahan landuse dari area non komersial menjadi area komersial terutama pada jalan-jalan primer dan area di sekitar pasar Blok M, pasar Mayestik, pasar Santa dan pasar Blok A. Sedangkan lahan yang paling banyak terkonversi adalah lahan Ruang Terbuka Hijau yaitu sebesar 55%. Hal ini juga diakibatkan oleh terkonversinya permanent belt of agriculture menjadi kawasan terbangun. Konversi lahan dan fisik kawasan ini menurunkan nilai kekhasan karakter kota sebagai Kota Taman dan juga menurunkan nilai integritas kawasan. Menurut hasil analisis dengan metode SWOT, faktor utama yang memicu terjadinya permasalahan diatas adalah kebijakan yang berlaku dinilai kurang komprehensif dan sudah tidak ditegakkan dengan konsisten. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya revisi kebijakan untuk menetapkan kembali kawasan ini sebagai kawasan pemugaran dengan menyesuaikan kondisi aktual kawasan. Kebijakan ini diharapkan dapat mencakup berbagai aspek dan mengkaji keutuhan kawasan sebagai Kota Taman. Dalam studi ini diusulkan upaya pelestarian kawasan dengan
82
membagi kawasan menjadi zona inti dan zona penyangga. Sebagai tindak lanjut dari revisi kebijakan tersebut, diusulkan pula penyusunan petunjuk teknis dan penetapan insentif dan disinsentif atas upaya pemugaran yang telah dilakukan oleh masyarakat. Selain itu diperlukan upaya sosialisasi kebijakan dan petunjuk teknis yang telah ditetapkan baik kepada masyarakat maupun kepada aparatur terkait serta melakukan koordinasi dalam pelaksanaan kebijakan tersebut.
5.2 Saran 1. Melakukan penegasan kembali kawasan pelestarian berdasarkan karakter atau identitas kota taman dan tingkat integritas kawasan yang akan digunakan sebagai acuan dalam tindakan pelestarian. Dalam studi ini diusulkan pembagian zonasi pemugaran menjadi zona inti dan zona penyangga. Zona inti diterapkan pada kawasan yang dinilai perlu untuk dipertahankan karena tidak mengalami banyak perubahan tata guna lahan dan masih banyak bangunan asli yang dilestarikan. Sedangkan zona penyangga adalah bagian kawasan yang telah banyak mengalami perubahan baik secara visual maupun perubahan tata guna lahan. 2. Melakukan revisi kebijakan yang berlaku untuk kawasan pemugaran Kebayoran Baru secara komprehensif dan dilengkapi penjabaran teknis pelaksanaan pelestarian. 3. Implementasi secara konsisten dengan menerapkan sistem insentif dan disinsentif serta penegakan hukum secara tegas. 4. Melakukan studi lebih lanjut yang lebih mendetil dan mengkaji dari berbagai bidang untuk menyusun golongan pemugaran kawasan yang baru.
83
DAFTAR PUSTAKA Anggraeni DS. 2007. Tipologi Perubahan Wajah Bangunan Rumah Jengki di Kawasan Pakubuwono Jakarta Selatan. Program Studi Teknik Arsitektur. Fakultas Teknik. Universitas Budi Luhur (tidak dipublikasikan). Jakarta. Attoe W. 1988. Historic Preservation. In A.J Catanese and J.C. Synder (eds). Urban Planning. Mc. Graw Hill, Inc. United States of America. P: 344-365. Aziz TP, Nurdiani N dan Hendarti R. The Image of a Preserved Housing Settlement. Case Study: Kebayoran Baru, The Sattelite Town of Jakarta. Departemen Arsitektur. Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan. Universitas Trisakti (tidak dipublikasikan). Jakarta. Budiharjo E. 1983. Arsitektur dan Kota di Indonesia. (Buku Peringatan Dies Natalis UNDIP ke XX, Oktober 1978). Bandung: Penerbit Alumni Carmona M, Heath T, Oc T, Tiesdell S. 2003. Public Places - Urban Spaces. Architectural Press, Elsevier. United Kingdom. Catanese AJ. 1988. Evolution and Trends. In A.J Catanese and J.C. Synder (eds). Urban Planning. Mc. Graw Hill, Inc. United States of America. P: 1 - 37. Damayanti A. 2002. Menata Kembali Menteng Sebagai Kota Taman. Departemen Arsitektur Lanskap. Fakultas Teknologi Lingkungan dan Arsitekur Lanskap. Universitas Trisakti (tidak dipublikasikan). Jakarta. Goodchild PH. 1990. Some Principles for The Conservation of Historic Landscape. University of York. 58p. Hadinoto K. Kebajoran. A New Town Under Construction. Hakim R. 2002. Arsitektur Lansekap. Manusia, Alam dan Lingkungan. Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti. Harris CW. and Dines NT. 1988. Time-Saver Standards for Landscape Architecture. Mc Graw Hill Book Inc. New York. 800p. Heuken A dan Pamungkas G. 2001. Menteng. Kota Taman Pertama di Indonesia. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka. Jellicoe G and Jellicoe S. 1982. The Landscape of Man. London: Thames and Hudson Ltd. London. 383p. Joga N. 2004. Kebayoran Baru Kota Taman Pertama Karya Arsitek Lokal. http://www.arsitekturindis.com. [16 Desember 2007]
84
Joga N. 2005. Menteng dan Kebayoran Baru, Nostalgia Kota Taman Tropis. http://www.arsitekturindis.com. [16 Desember 2007] Julianery BE. 2006. Kebayoran Baru, Riwayatmu Dulu. http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0607/29/metro/2714760.htm. [12 november 2008] Julianery BE. 2006. Potret Perubahan Fungsi Kawasan Permukiman. http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0607/29/metro/2714760.htm. [12 november 2008] Mauboy CW. 2006. Building Initiative on Heritage Conservation in Jakarta. Skripsi. Program Studi Teknik Arsitektur. Fakultas Teknik. Universitas Budi Luhur (tidak dipublikasikan). Jakarta. 90 hal. Nurisjah S dan Pramukanto Q. 2001. Perencanaan Kawasan untuk Pelestarian Lanskap dan Taman Sejarah. Program Studi Arsitektur Lanskap. Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor (tidak dipublikasikan). Bogor. 52 hal. [PDA] Pusat Dokumentasi Arsitektur. 2006. Konsep Laporan Akhir Evaluasi Lingkungan Cagar Budaya Daerah Kebayoran. Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Propinsi DKI Jakarta (tidak dipublikasikan). Jakarta. Sudiro M. 1953. Pembangunan Kotabaru Kebajoran. Kemetrian Pekerjaan Umum dan Tenaga Republik Indonesia. Jakarta.
LAMPIRAN
88
TIPOLOGI BANGUNAN DALAM KAWASAN KOTABARU KEBAYORAN
1. Tipe Hunian Flat
2. Rumah Ukuran Kecil dengan Varian Rumah Deret
89
3. Rumah Ukuran Kecil dengan Varian Rumah Tunggal
4. Rumah Ukuran Sedang dengan Varian Rumah Deret
5. Rumah Ukuran Sedang dengan Varian Rumah Tunggal
90
6. Rumah Ukuran Sedang Dengan Varian Rumah Gandeng
7. Tipe Rumah Villa dengan Varian Jenis Rumah Tunggal
91
8. Tipe Rumah Villa dengan Varian Jenis Rumah Gandeng
92
Daftar Inventaris Jalur Hijau Kecamatan Kebayoran Baru Kota Administratif Jakarta Selatan No.
Nama
Luas
Lokasi
Penggunaan
2
(m ) 1
JH. Jl. Pangeran Antasari
6200
Kel. Pulo
Jalur Hijau
2
JH. Jl. Sisingamangaraja
6140
Kel. Gunung
Jalur Hijau
3
JH. Jl. Trunojoyo
3505
Kel. Melawai
Jalur Hijau
4
JH. Jl. Pattimura
15758
Kel. Selong
Jalur Hijau
5
JH. Jl. Kertanegara
835
Kel. Selong
Jalur Hijau
6
JH. Jl. Melawai (Kiri-Kanan)
2000
Kel. Melawai
Jalur Hijau
7
JH. Jl. Raden Patah
3250
Kel. Selong
Jalur Hijau
8
JH. Jl. Hasanuddin Timur
2650
Kel. Melawai
Jalur Hijau
9
JH. Jl. Senayan
Kel. Rawa Barat
Jalur Hijau
10
JH. Jl. Hasanuddin Barat
2350
Kel. Melawai
Jalur Hijau
11
JH. Jl. Kyai Maja
1000
Kel. Gunung
Jalur Hijau
12
JH. Jl. Taman Puring
Kel. Kramat pela
Jalur Hijau
13
JH. Jl. Ciragil
3500
Kel. Selong
Jalur Hijau
14
JH. Jl. Gunawarman
2800
Kel. Selong
Jalur Hijau
15
JH. Jl. Senopati
840
Kel. Senayan
Jalur Hijau
16
JH. Jl. Panglima Polim III
800
Kel. Melawai
Jalur Hijau
17
JH. Jl. WIjaya II
1200
Kel. Melawai
Jalur Hijau
18
JH. Jl. Adityawarman
2000
Kel. Selong
Jalur Hijau
19
JH. Jl. Radio Dalam
850
Kel. Gandaria Utara
Jalur Hijau
20
JH. Jl. Hang Tuah VII
763
Kel. Gunung
Jalur Hijau
21
JH. Jl. Barito
800
Kel. Kramat pela
Jalur Hijau
22
JH. Jl. Pati Unus
1000
Kel. Gunung
Jalur Hijau
23
JH. Jl. Depan Sayap Ibu
2447
Kel. Kramat pela
Jalur Hijau
24
JH. Jl. Radio Dalam (ujung)
850
Kel. Gandaria Utara
Jalur Hijau
25
JH. Jl. Hang Jebat
763
Kel. Gunung
Jalur Hijau
26
JH. Jl. Darmawangsa VIII
Kel. Pulo
Jalur Hijau
27
JH. Jl. Iskandarsyah
Kel. Melawai
Jalur Hijau
28
JH. Jl. Prapanca Raya
2100
Kel. Pulo
Jalur Hijau
29
JH. Jl. Wijaya I
1200
Kel. Petogogan
Jalur Hijau
30
JH. Jl. Wijaya II
1500
Kel. Melawai
Jalur Hijau
31
JH. Jl. Brawijaya Raya
6090
Kel. Pulo
Jalur Hijau
32
JH. Jl. Velbak dan sekitarnya
2000
Kel. Gunung
Jalur Hijau
33
JH. Jl. F. X. Sutono
1500
Kel. Petogogan
Jalur Hijau
34
JH. Jl. Gunung
1604
Kel. Gunung
Jalur Hijau
840
850
5325 750
93
35
JH. Jl. Hang Jebat (separator)
3602
Kel. Gunung
Jalur Hijau
36
JH. Jl. Tmn. Brawijaya Ib
1475
Kel. Pulo
Jalur Hijau
37
JH. Jl. Tmn. Dharmawangsa
1600
Kel. Pulo
Jalur Hijau
38
JH. Jl. Tmn. Mataram Barat
2000
Kel. Selong
Jalur Hijau
39
Tmn. Bunderan Blok P
Kel. Pulo
Jalur Hijau
Total Luas RTH
600 95337
Sumber: Kartu Inventaris Barang (KIB) Tanah, Suku Dinas Pertamanan Kota Administrasi Jakarta Selatan
94
Daftar Inventaris Taman Kota Kecamatan Kebayoran Baru Kota Administratif Jakarta Selatan No.
Nama
Luas (m2)
Lokasi
Penggunaan
1
Tmn. Gandaria I
3000
Kel. Kramat Pela
Taman Kota
2
Tmn. Gandaria Tengah I s/d III
6240
Kel. Kramat Pela
Taman Kota
3
Tmn. Radio II
450
Kel. Kramat Pela
Taman Kota
4
Tmn. Yado
250
Kel Gandaria Utara
Taman Kota
5
Tmn. Martimbang II
2354
Kel. Gunung
Taman Kota
6
Tmn. Martimbang III
2310
Kel. Gunung
Taman Kota
7
Tmn. Martimbang IV
2202
Kel. Gunung
Taman Kota
8
Tmn. SD Mexico
996
Kel. Gunung
Taman Kota
9
Tmn. Tebah
1800
Kel. Gunung
Taman Kota
10
Tmn. Dempo I
200
Kel. Gunung
Taman Kota
11
Tmn. Dempo II
350
Kel. Gunung
Taman Kota
12
Tmn. Dempo V
165
Kel. Gunung
Taman Kota
13
Tmn. Pela
5000
Kel. Kramat Pela
Taman Kota
14
Tmn. Barito II
1450
Kel. Kramat Pela
Taman Kota
15
Tmn. Kerbau/Gajah
1800
Kel. Pulo
Taman Kota
16
Tmn. Radius
1800
Kel. Pulo
Taman Kota
17
Tmn. Dharmawangsa Tanggul
2000
Kel. Pulo
Taman Kota
18
Tmn. Dharmawangsa Terusan
480
Kel. Pulo
Taman Kota
19
Tmn. Brawijaya Ib
1475
Kel. Pulo
Taman Kota
20
Tmn. Taman Kura-Kura
2750
Kel. Pulo
Taman Kota
21
Tmn. Pangudi Luhur
1200
Kel. Pulo
Taman Kota
22
Tmn. Dharmawangsa VIII
1600
Kel. Pulo
Taman Kota
23
Tmn. Brawijaya VII
2250
Kel. Pulo
Taman Kota
24
Tmn. Prapanca IV
1350
Kel. Pulo
Taman Kota
25
Tmn. Kerinci X
2250
Kel. Gunung
Taman Kota
26
Tmn. Pakubuwono Apotik/Senayan
2695
Kel. Gunung
Taman Kota
27
Tmn. Mataram Timur
3931
Kel. Selong
Taman Kota
28
Tmn. Daha/SMU82
1000
Kel. Selong
Taman Kota
29
Tmn. Dharmawangsa IX
Kel. Pulo
Taman Kota
30
Tmn. Blok M Plaza
3500
Kel. Kramat Pela
Taman Kota
31
Tmn. Sampit
450
Kel. Kramat Pela
Taman Kota
32
Tmn. Melawai
1116
Kel. Melawai
Taman Kota
33
Tmn. Villa Sawo
2000
Kel. Cipete Utara
Taman Kota
34
Tmn. Pulo/Pangkalan Taxi
500
Kel. Pulo
Taman Kota
35
Tmn. POM Bensin SMK 30
1500
Kel. Gunung
Taman Kota
36
Tmn. Dharmawangsa VIII & IX
1600
Kel. Pulo
Taman Kota
37
Tmn. Wijaya I (Ex. POM Bensin)
2000
Kel. Petogogan
Taman Kota
38
Tmn. Darmajaya
350
Kel. Senayan
Taman Kota
39
Tmn. Bakti I
970
Kel. Selong
Taman Kota
450
95
40
Tmn. POM Bensin Senopati
500
Kel. Rawa Barat
Taman Kota
41
Tmn. Mpu Sendok Dalam
460
Kel. Senayan
Taman Kota
42
Tmn. Pulobangkeng
1100
Kel. Selong
Taman Kota
43
Tmn. Sanjaya
2500
Kel. Selong
Taman Kota
44
Tmn. Sriwijaya
1500
Kel. Selong
Taman Kota
45
Tmn. Mataram Barat
2854
Kel. Selong
Taman Kota
46
Tmn. Galuh
3500
Kel. Selong
Taman Kota
47
Tmn. Cilosari
1150
Kel. Pulo
Taman Kota
48
Tmn. Cililin
3500
Kel. Pulo
Taman Kota
49
Tmn. Cibulan/Masjid
1150
Kel. Pulo
Taman Kota
50
Tmn. Tulodong Bawah
Kel. Senayan
Taman Kota
51
Tmn. Sanjaya
Kel. Selong
Taman Kota
Total Luas RTH
275 2500 88773
Sumber: Kartu Inventaris Barang (KIB) Tanah, Suku Dinas Pertamanan Kota Administrasi Jakarta Selatan