ANALISIS MORFOLOGI DAN SEKUENS ITS rDNA JAMUR EDIBEL EKTOMIKORIZA PELAWAN DAN STRUKTUR EKTOMIKORIZANYA
DINI TASURUNI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul “Analisis Morfologi dan Sekuens ITS rDNA Jamur Edibel Ektomikoriza Pelawan dan Struktur Ektomikorizanya” merupakan gagasan dan karya saya bersama dengan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juli 2012
Dini Tasuruni G351090011
ABSTRACT DINI TASURUNI. Morphological and ITS rDNA Sequences Analysis of Pelawan Ectomycorrhizal Edible Mushroom and its Ectomycorrhizal Structure. Supervised by NAMPIAH SUKARNO and UTUT WIDYASTUTI. Ectomycorrhizae is the symbiosis of fungi and specific plant which is characterised by miselium mantled on root, the presence of Hartig net, and extracellular hyphae. Some ectomycorrhizal fungi are edible mushroom, and one of edible ectomyorrhizal fungi in Indonesia is pelawan mushroom. Morphological and molecular analysis of pelawan mushroom has been done. The spore shape is ovoid to ellipsoid with completely reticulate ornamentation. The characteristic of macroscopic and microscopic feature, especially spore shape and ornamentation, drew the description to genus Heimioporus which close to H. retisporus but different in its spore morphology and some cystidial features. The DNA isolated using CTAB method and PCR amplified with ITS1 and ITS 4 primers showed about 700 bp long. Molecular analysis based on ITS ribosomal DNA showed this mushroom was closely related to Strobilomyces retisporus, a basidionym of H. retisporus with similarity under 90%. However, the lack of similar ITS sequences of the same genus made it hard to decide the species judgment based on molecular approach. The ectomycorrhizal structure of root symbiont was also examined. The root has crème colour with monopodially branch type and white extra radical septated hyphae without clamp connection. The section of the root revealed the mantle with plectenchymatous and pseudoparenchymatous hyphae and para-epidermal Hartig net. This research revealed a new information about ectomycorrhizal symbiosis between Heimioporus sp. and Tristaniopsis merguensis. Keywords:
Edible mushroom, Heimioporus, ectomycorrhizae, morphological merguensis.
ITS rDNA, pelawan, characters, Tristaniopsis
RINGKASAN DINI TASURUNI. Analisis Morfologi dan Sekuens ITS rDNA Jamur Edibel Ektomikoriza Pelawan dan Struktur Ektomikorizanya. Dibimbing oleh NAMPIAH SUKARNO dan UTUT WIDYASTUTI. Ektomikoriza merupakan hubungan simbiosis antara cendawan dan tumbuhan yang ditandai dengan akar yang diselimuti mantel hifa, adanya jala Hartig, dan miselium ekstra seluler. Beberapa ektomikoriza adalah jamur yang dapat dimakan, salah satu jamur edibel di Indonesia yang mempunyai nilai ekonomis tinggi adalah jamur pelawan. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menganalisis karakter morfologi dan sekuens ITS rDNA tubuh buah jamur pelawan serta struktur simbiosis ektomikorizanya. Analisis karakter morfologi tubuh buah dilakukan secara makroskopik dan mikroskopik. Berdasarkan karakter morfologi terutama bentuk dan ornamen sporanya, jamur pelawan merupakan anggota genus Heimioporus yang mirip dengan H. retisporus tetapi berbeda morfologi spora dan bentuk beberapa komponen pelisnya. Sekuens ITS rDNA yang diisolasi dengan metode CTAB dan diamplifikasi PCR menggunakan primer ITS1 dan ITS4 menunjukkan hasil sekitar 700 bp. Hasil analisis sekuens ITS rDNA jamur pelawan menunjukkan kekerabatan terdekat dengan H. retisporus dengan homologi di bawah 90%. Rendahnya jumlah sekuens dari genus yang sama yang terdapat di Bank Gen menyebabkan identifikasi spesies jamur pelawan belum dapat ditentukan. Akar ektomikoriza simbion berwarna krem kekuningan dengan tipe percabangan monopodial. Miselium yang menyelimuti akar berwarna putih, bersekat, tanpa jembatan apit. Mantel tersusun atas hifa plektenkim dan pseudoparenkim. Jala Hartig bersifat para-epidermal. Penelitian ini mengungkap informasi baru mengenai hubungan simbiosis ektomikoriza antara Heimioporus sp. dengan Tristaniopsis merguensis. Kata kunci: ektomikoriza, Heimioporus, ITS rDNA, jamur edible, pelawan, morfologi, Tristaniopsis merguensis.
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
ANALISIS MORFOLOGI DAN SEKUENS ITS rDNA JAMUR EDIBEL EKTOMIKORIZA PELAWAN DAN STRUKTUR EKTOMIKORIZANYA
DINI TASURUNI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Mikrobiologi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Atik Retnowati
Judul Tesis Nama NIM
Analisis Morfologi dan Sekuens ITS rDNA Jamur Edibel Ektomikoriza Pelawan dan Struktur Ektomikorizanya : Dini Tasuruni : G351090011 :
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Nampiah Sukarno Ketua
Dr. Ir. Utut Widyastuti, M.Si. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Mikrobiologi
Dr. Ir. Gayuh Rahayu
Tanggal Ujian : 13 Pebruari 2012
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji dan Syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya, sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Penelitian yang berjudul “Analisis Morfologi dan Sekuens ITS rDNA Jamur Edibel Ektomikoriza Pelawan dan Struktur Ektomikorizanya” ini didanai oleh Dana Hibah Fundamental IPB atas nama Dr. Ir. Nampiah Sukarno. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Nampiah Sukarno dan Dr. Ir. Utut Widyastuti, M.Si. selaku pembimbing atas kesabarannya dalam memberikan saran, bimbingan, dukungan serta kesempatan dalam pelaksanaan penelitian dan penyempurnaan penyusunan karya ilmiah ini. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Atik Retnowati atas kesediaannya sebagai penguji luar komisi dengan memberikan saran dan bimbingan dalam penyempurnaan penulisan tesis ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Iman Rusmana, M.Si atas kesediaannya sebagai penyelenggara dari Mayor mikrobiologi Pascasarjana IPB. Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Kementerian Agama Republik Indonesia yang telah memberikan beasiswa bagi penulis untuk menempuh program Pascasarjana (S2) bagi guru madrasah utusan daerah, Institut Pertanian Bogor yang telah memberi kesempatan belajar dan menambah wawasan, para staf dosen, pegawai TU, laboran Departemen Biologi, Mikologi dan Biorin, teman-teman yang bekerja di Laboratorium Mikologi dan Biorin atas kesabarannya membantu penulis dalam pelaksanaan penelitian di laboratorium. Penulis juga berterima kasih kepada Pemerintah Daerah Bangka Tengah yang telah memberikan fasilitas dan bantuan yang sangat besar bagi penelitian ini. Mbak Pepy, Dr. Iman Hidayat, Echa, Eka, Erwin, Oktan, Nicho, dan juga kepada teman-teman Mikrobiologi serta teman-teman di IPB yang senantiasa siap membantu dan memberi semangat untuk senantiasa berjuang menjadi lebih baik, yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu, penulis mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dan kebersamaannya. Ucapan terima kasih akhirnya disampaikan kepada suami H. Abas Nurgaha dan ananda Kamila Rahmani Wafda atas dukungan, kekuatan, kesabaran, pengorbanan, dan ketulusannya dalam memberi motivasi dan semangat. Kepada Ibu (almh.) dan Bapak yang senantiasa memberi inspirasi, semangat, dukungan dan do’a untuk penulis dalam menyelesaikan tugas belajar di Pascasarjana IPB. Semoga Alloh mengampuni kekhilafan mereka dan selalu melimpahkan kasih sayang-Nya, amin. Kepada keluarga besar H. Anwar Rahmatillah dan Suhendar D. Abdullah, terima kasih atas dukungan, doa dan kasih sayangnya selama ini. Kepada seluruh keluarga besar MA Cilendek dan Pondok pesantren Raudlatul Muta’allimin Cilendek atas doa dan dukungannya. Semoga Allah senantiasa membalas kebaikan semuanya dengan pahala yang berlipat ganda, amin. Semoga hasil penelitian ini bermanfaat, terutama dapat memberikan informasi untuk kepentingan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan kesejahteraan manusia terutama masyarakat Indonesia. Bogor, Juli 2012
Dini Tasuruni
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tasikmalaya Propinsi Jawa Barat pada tanggal 19 Maret 1977 sebagai anak kelima dari delapan bersaudara dari pasangan Bapak H. Anwar Rahmatillah dan Ibu Siti Aisyah Nurjanah (almh.). Pada tahun 1996 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Tasikmalaya dan kemudian melanjutkan studi di Jurusan Biologi FMIPA UNPAD dan lulus pada tahun 2003. Saat ini penulis bekerja sebagai staf pengajar di Madrasah Aliyah Cilendek Kota Tasikmalaya Propinsi Jawa Barat. Tahun 2009 penulis mendapatkan kesempatan untuk belajar di Program Magister Sains pada Program Studi Mikrobiologi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor melalui Beasiswa Utusan Daerah (BUD) dari Departemen Agama Republik Indonesia.
DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR .....................................................................................
xix
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................
xxi
PENDAHULUAN Latar Belakang ........................................................................................ Tujuan Penelitian .................................................................................... Manfaat Penelitian ..................................................................................
1 2 2
TINJAUAN PUSTAKA Ektomikoriza ........................................................................................... A. Manfaat Ektomikoriza ...................................................................... B. Keragaman Tumbuhan Inang ........................................................... C. Keragaman Cendawan Ektomikoriza ............................................... D. Heimioporus ...................................................................................... Identifikasi Jamur Ektomikoriza ............................................................. A. Metode Identifikasi Jamur Ektomikoriza .......................................... B. Daerah ITS rDNA ............................................................................... Morfotipe Akar Ektomikoriza ................................................................
3 3 4 5 7 9 9 11 12
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ................................................................. Bahan Penelitian...................................................................................... Metode Penelitian ................................................................................... 1. Karakterisasi Morfologi Tubuh Buah .............................................. 1.1. Metode Pengumpulan Bahan .................................................... 1.2. Karakterisasi Makroskopik ........................................................ 1.3. Karakterisasi Mikroskopik ......................................................... 1.4. Preparasi Parafin dan SEM ........................................................ 2. Analisis Sekuens ITS rDNA ............................................................. 2.1. Ekstraksi dan Kuantifikasi DNA................................................ 2.2. Amplifikasi DNA dengan PCR .................................................. 2.3. Sekuensing DNA ....................................................................... 2.4. Analisis BLAST ......................................................................... 2.5. Analisis Filogenetik ................................................................... 3. Karakterisasi Struktur Simbiosis Ektomikoriza Pelawan ................
15 15 15 15 15 15 16 16 17 17 17 18 18 18 18
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Karakteristik Morfologi Jamur Pelawan ........................................... A. Deskripsi Morfologi Jamur Pelawan ............................................ B. Identifikasi Jamur Pelawan .......................................................... 2. Analisis Sekuens ITS rDNA Jamur Ektomikoriza Pelawan ............... A. Ekstraksi DNA, PCR dan Sekuensing........................................... B. Analisis BLAST Sekuens ITS rDNA ............................................ C. Analisis Filogenetik Sekuens ITS rDNA ...................................... 3. Struktur Simbiosis Ektomikoriza Pelawan .........................................
19 19 20 26 26 27 28 32
xvii
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan .................................................................................................. Saran ......................................................................................................
35 35
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................
37
LAMPIRAN ....................................................................................................
43
xviii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Spora beberapa spesies Heimioporus. H. betula (A), H. fruticicola (B), H. ivory (C), H. japonicus (D), H. retisporus (E), H. rubropunctus (F) (www.mycobank.com) ................................................................................
8
2 Sekuen DNA ribosom ................................................................................... 11 3 Warna tudung tubuh buah jamur pelawan. Gambar atas dikoleksi pada bulan Maret, gambar bawah dikoleksi pada bulan Oktober. Merah marun tua (A, C), merah kecokelatan (A, B), merah muda kusam (D), cokelat kekuningan (E).. ............................................................................................. 20 4 Warna tudung tubuh buah jamur pelawan. Gambar atas dikoleksi pada bulan Maret, gambar bawah dikoleksi pada bulan Oktober. Merah marun tua (A, C), merah kecokelatan (A, B), merah muda kusam (D), cokelat kekuningan (E).. ............................................................................................ 21 5 Spora Heimioporus sp. dilihat di bawah mikroskop SEM. A. Permukaan spora dengan lubang-lubang yang cukup lebar, B. Permukaan spora dengan lubang-lubang melebar dan memanjang ............................................ 22 6 Produk PCR daerah ITS rDNA jamur pelawan . DNA ITS rDNA tubuh buah pori kuning (A) dan pori merah (B).. ..................................................... 26 7 Hasil penyejajaran sekuens ITS rDNA jamur pelawan dengan program Clustal W bioedit. JPPK (atas) dan JPPM (bawah). ....................................... 27 8 Pohon filogenetik daerah ITS1-ITS2 rDNA jamur pelawan dan spesiesspesies yang telah diketahui dengan outgroup S. bovista. Pohon filogeni dikonstruksi dengan metode MP dengan nilai bootstrap 1000. Jamur pelawan adalah Heimioporus sp. JPPK dan Heimioporus sp. JPPM (kotak). ............................................................................................................ 29 9 Pohon filogenetik daerah ITS rDNA jamur pelawan dan spesies-spesies yang telah diketahui dengan outgroup S. bovista. Pohon filogeni dikonstruksi dengan metode NJ dengan nilai bootstrap 1000. Jamur pelawan adalah Heimioporus sp. JPPK dan Heimioporus sp. JPPM (kotak). ............................................................................................................ 30 10 Analisis filogenetik sekuens jamur pelawan dengan sekuens genus Heimioporus. Pohon filogeni dikonstruksi dengan metode NJ dengan nilai bootstrap 1000. Jamur pelawan adalah Heimioporus sp. JPPK dan Heimioporus sp. JPPM (kotak). ............................................................. 31
xix
11 Morfotipe akar ektomikoriza pelawan. Tipe percabangan akar (A), miselium yang menyelimuti akar (B), miselium dengan pewarna biru trifan (C) ......................................................................................................... 32 12 Penampang memanjang akar ektomikoriza pelawan. Mantel (M), jala Hartig (tanda panah), sel epidermis yang mengalami pemanjangan (REEC) (R).. ................................................................................................... 33
xx
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Tabel perbandingan morfologi makroskopik tubuh buah pelawan berpori kuning (JPPK) dan berpori merah (JPPM) …............................................. 43
2
Tabel perbandingan morfologi mikroskopik tubuh buah pelawan berpori kuning (JPPK) dan berpori merah (JPPM).…............................................. 43
3
Gambar tubuh buah jamur pelawan …………….......................................
44
4
Gambar spora jamur pelawan pada media air dan KOH …........................
45
5
Gambar spora pelawan pada media Melzer’s. ……………........................
45
6
Gambar karakter mikroskopis jamur pelawan ……………........................
46
7
Gambar sekuens ITS rDNA Heimioporus sp. JPPK …………. ........ .. …
48
8
Gambar sekuens ITS rDNA Heimioporus sp. JPPM ........................ ……
48
9 Hasil BLAST NCBI sekuens ITS rDNA jamur pelawan ……………......
49
10 Tabel hasil BLAST sekuens ITS rDNA jamur pelawan JPPK menggunakan Mycobank ………….…...…..............................................
50
11 Tabel hasil BLAST sekuens ITS rDNA jamur pelawan JPPM menggunakan Mycobank ………….…...…................................................
50
xxi
xxii
xxiii
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Mikoriza ialah simbiosis mutualisme yang terbentuk antara cendawan dengan akar tumbuhan (Smith & Read 1997). Umumnya mikoriza berperan penting dalam memacu pertumbuhan tumbuhan inang dan pengambilan unsur hara mineral dan air dari tanah bagian rizosfer (Van Hees et al. 2004; Wilson et al. 2007). Di sisi lain, tumbuhan berperan menyediakan sumber karbon hasil fotosintesis bagi cendawan. Manfaat lain dari cendawan mikoriza diantaranya ialah melindungi tumbuhan dari serangan hama dan penyakit, menghasilkan fitohormon, membantu melancarka
proses asimilasi karbon oleh tumbuhan,
membantu perbaikan struktur dan kesuburan tanah, dan lain-lain. Bagi ekosistem, mikoriza berperan dalam siklus nutrisi seperti siklus karbon, mendukung peningkatan populasi mikroba tanah yang bermanfaat dan mengeluarkan eksudat akar di daerah rizosfer dan hifosfer, hifa dan tubuh buahnya sebagai habitat dan sumber makanan bagi hewan avertebrata tanah. Selain sebagai pupuk hayati, tubuh buah jamur ektomikoriza juga banyak yang digunakan sebagai sumber pangan, obat, pewarna, dan etnobotani dengan nilai ekonomis yang sangat penting (Brundrett et al. 1996). Berdasarkan struktur kolonisasinya, mikoriza secara umum dibagi menjadi 7 kelompok, diantaranya ialah ektomikoriza (Smith & Read 1997). Ciri utama ektomikoriza yaitu terbentuknya mantel yang menyelimuti akar, kolonisasi hifa terjadi di ruang antar sel-sel akar, mempunyai hifa eksternal yang mengeksplorasi tanah dan umumnya membentuk tubuh buah makroskopik di dalam atau permukaantanah.Ektomikoriza di daerah tropis belum banyak dipelajari, baik peranan maupun jenisnya.Karakterisasi dan identifikasi ektomikoriza dapat dilakukan terhadap tubuh buah cendawan dan morfotipe ektomikoriza pada akar tumbuhan inangnya (Brundrett et al. 1996). Struktur ektomikoriza berkembang sebagai hasil perkembangan dan adaptasi antara cendawan mikoriza dan tumbuhan inangnya.Struktur tersebut bersifat khas dan dapat digunakan untuk mengidentifikasi cendawan yang terlibat jika tubuh buahnya tidak ditemukan (Agerer 1991).
2
Jamur ektomikoriza pelawan merupakan ektomikoriza edibel yang tumbuh di sekitar pohon pelawan (Tristaniopsis merguensis) di Bangka Tengah. Jamur tersebut mempunyai nilai ekonomis tinggi, dengan harga per kilogram kering dapat mencapai Rp. 1.800.000,00. Tingginya nilai ekonomis jamur pelawan menyebabkan makin tingginya minat masyarakat untuk memburu jamur tersebut. Oleh karena itu, identifikasi dan karakterisasi morfologi jamur tersebut sangat diperlukan agar tidak terjadi kesalahan identifikasi dengan jamur lain yang mungkin berbahaya yang tumbuh berdampingan di hutan pelawan. Identifikasi jamur dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan morfologi dan molekular. Akan tetapi karakter morfologi mempunyai kelemahan yaitu hanya memperlihatkan sifat pewarisan dominan dan resesif, tingkat polimorfismenya sedikit dan sangat dipengaruhi oleh lingkungan.
Akibatnya
individu yang mempunyai genotipe yang sama dapat menunjukkan fenotipe yang berbeda, dan yang memiliki genotipe yang sama dapat menunjukkan fenotipe yang sama jika lingkungannya berbeda. Kemiripan pada fenotipe belum tentu menunjukkan kemiripan pada tingkat DNA (Tanskley 1983).
Sementara itu,
metode molekuler dianggap bersifat lebih stabil dan lebih akurat, meski kadangkadang lebih mahal dan rumit. Metode morfologi dan molekular menyediakan pendekatan yang saling melengkapi untuk menganalisis struktur komunitas ektomikoriza. Dalam penelitian ini dilakukan identifikasi secara morfologi dan molekuler. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi jamur pelawan menggunakan analisis karakter morfologi tubuh buah 2. Melakukan analisis sekuens ITS rDNA tubuh buah jamur pelawan untuk mengetahui kekerabatan terdekatnya 3. Melakukan karakterisasi struktur simbiosis ektomikoriza jamur pelawan Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi awal untuk konservasi dan pemanfaatan jamur pelawan sebagai jamur edibel dan sebagai pupuk hayati.
3
TINJAUAN PUSTAKA Ektomikoriza Mikoriza didefinisikan sebagai simbiosis mutualisme antara cendawan dan akar tumbuhan, yang khususnya berperan dalam penyerapan dan transfer nutrisi (Brundrett 2004). Menurut Smith & Read (1997), mikoriza dibagi ke dalam tujuh kelompok berdasarkan tipe penetrasi hifa, perkembangan sel akar, dan spesies tumbuhan inangnya.
Ketujuh kelompok tersebut ialah mikoriza arbuskula,
mikoriza monotropoid, mikoriza arbutoid, mikoriza erikoid, mikoriza anggrek, ektendomikoriza dan ektomikoriza. Ektomikoriza merupakan tipe mikoriza yang dapat dibedakan dari kelompok lain karena tidak adanya penetrasi intraseluler oleh cendawan.
Menurut Smith & Read (1997) umumnya ektomikoriza
mempunyai 3 ciri struktur utama. Pertama, akarnya diselubungi oleh mantel atau jaringan hifa. Kedua, terdapat jaring-jaring pertumbuhan hifa yang tumbuh di dalam ruang antara sel-sel epidermis dan korteks yang disebut jala Hartig. Ketiga, terdapat sistem hifa yang tumbuh di daerah rizosfer yang membentuk hubungan esensial dengan tanah maupun dengan tubuh buah dari cendawan yang membentuk ektomikoriza. Umumnya akar berektomikoriza dapat dibedakan dari akar yang tidak bersimbiosis secara kasat mata karena memiliki bentuk yang khas yaitu lebih pendek, menebal, dan memiliki warna yang berbeda karena diselubungi hifa atau mantel (Brundrett et al. 1996). A. Manfaat Ektomikoriza Manfaat mikoriza bagi tumbuhan diantaranya ialah meningkatkan penyerapan unsur hara makro dan mikro terutama fosfat dan nitrogen dari tanah saat laju mineralisasi tidak memenuhi kebutuhan tanaman (Smith & Read 1997) dan menyerap lebih banyak air sehingga tumbuhan tahan terhadap kekeringan. Selain itu, mikoriza dapat meningkatkan daya tahan tumbuhan terhadap serangan patogen akar, toksisitas logam berat (Rizzo et al. 1992), serta tingkat salinitas. Cendawan mikoriza juga dapat memacu pertumbuhan tanaman karena menghasilkan zat-zat pemacu pertumbuhan seperti auksin, giberellin, dan sitokinin (Smith & Read 1997). Sebaliknya, cendawan mendapat manfaat dengan mendapatkan sumbangan karbon dan senyawa organik lainnyadari tumbuhan
4
inang.
Banyak
tumbuhankehutanan
sangat
bergantung
pada
cendawan
ektomikoriza dan di area tanah yang miskin hara, tumbuhan bahkan tidak dapat hidup tanpa bersimbiosis. Akibatnya dalam manajemen hutan, cendawan ektomikoriza merupakan komponen penting. B. Keragaman Tumbuhan Inang Hampir semua tumbuhan yang membentuk ektomikoriza berupa pohon tahunan. Meski hanya sekitar 2% tumbuhan Angiosperma yang merupakan ektomikoriza (Brundrett 2009), namun peran pentingnya sangat besar karena tumbuhan-tumbuhan tersebut menempati sebagian besar permukaan daratan dan mempunyai nilai ekonomi tinggi. Sebagai contoh ialah Pinaceae yang tumbuh mendominasi hutan boreal dari hemispera utara, Fagaceae yang mendominasi hutan iklim sedang di belahan bumi utara, dan Myrtaceae di hutan iklim sedang dan subtropis di wilayah hemispera selatan. Myrtaceae meliputi 10 genus dan terdiri dari sekitar 1800 spesies, diantaranya ialah Eucalyptus, Melaleuca, dan Tristaniopsis (Brundret 2008). Di hutan tropis Asia Tenggara, hutan Dipterocarpaceae umumnya hanya membentuk ektomikoriza (Taylor & Alexander 2005), misalnya tengkawang (Lee et al. 2008). Selain itu leguminosae tertentu seperti Caesalpiniaceae yaitu Azfelia, Intsia, dan Eperua, tumbuhan Mimosoideae seperti Acasia juga pernah dilaporkan membentuk ektomikoriza (Read dan Smith 1997). Tumbuhan Angiospermae yang berbentuk semak dan sebagian kecil herba juga sering ditemukan membentuk ektomikoriza, seperti semak Dryas (Rosaceae), Helianthemum (Cistaceae), Polygonum viviparum, dan Kobresia miyosuroides. Berdasarkan ketergantungan terhadap simbiosis mikoriza, tumbuhan dibagi ke dalam 3 kelompok, yaitu mikoriza obligat, mikoriza fakultatif, dan non mikoriza (Brundrett et al. 1996). Tumbuhan mikoriza obligat ialah tumbuhan yang tidak akan bertahan hidup sampai kematangan reproduktiftanpa berasosisasi dengan cendawan mikoriza. Tumbuhan mikoriza fakultatif ialah tumbuhan yang secara alami mendapat keuntungan darisimbiosis mikoriza hanya jika tanah atau habitatnya kurang subur.
Tumbuhan non mikoriza yang sering juga disebut
tumbuhan bukan inang mikoriza ialah tumbuhan yang sistem perakarannya secara
5
konsisten resisten terhadap kolonisasi cendawan mikoriza, setidaknya pada saat muda dan sehat. Tumbuhan pelawan
mempunyai nama ilmiah Tristaniopsis merguensis
(Griff.) Peter G. Wilson & J.T. Waterhouse (http://data.gbif.org 2010). Tumbuhan tersebut merupakan bagian dari divisi Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida, ordo Myrtales, famili Myrtaceae, dan genus Tritaniopsis. Spesies tersebut
mempunyai
beberapa
sinonim
yaitu
Tristania
merguensis,
T. backhuizenni Back, T maingayi, dan T. subauriculata. Di beberapa daerah T. merguensis memiliki nama yang berbeda-beda yaitu pelawan tudak (Belitung), pelawan bukit (Malaysia), nyakamaung (Myanmar), dan kha nang (Thailand) (Sosef & Prawirohatmodjo 1998). Di Indonesia, T. merguensis tumbuh di Jawa Barat, Kalimantan, dan Kepulauan Bangka Belitung (Sosef & Prawirohatmodjo 1998). Selain di Indonesia, T. merguensis juga terdapat di Malaysia, Myanmar dan Thailand bagian selatan. Tumbuhan Myrtaceae telah dilaporkan sebagai salah satu simbion ektomikoriza (Lapeyrie & Chilvers 1985, Jones et al. 1998). Simbiosis tersebut diperkirakan sangat berperan dalam kelangsungan dan kelestarian tumbuhan pelawan di hutan yang miskin hara. Tristaniopsis merguensis banyak dimanfaatkan masyarakat Bangka Belitung sebagai kayu bakar, kayu tajar bagi tanaman pertanian, kayu bahan bangunan, dan bahan pembuatan kapal. Di samping itu, nektar bunga pelawan diduga menjadi makanan lebah penghasil madu pahit yang disebut madu pelawan (Yarli 2011). Menurut Hidayanti (2010), tumbuhan tersebut juga merupakan tumbuhan inang dari jamur edibel ektomikoriza pelawan. C. Keragaman Cendawan Ektomikoriza Cendawan pembentuk ektomikoriza berjumlah sangat besar dan merupakan kelompok cendawan yang paling penting secara ekonomi. Mayoritas cendawan ektomikoriza merupakan Basidiomisetes dan Askomiseteses, meski sejumlah kecil Zigomisetes juga dilaporkan membentuk ektomikoriza. Menurut Molina et al. (1992) terdapat sekitar 5000 sampai 6000 spesies cendawan yang membentuk ektomikoriza atau ektendomikoriza. Cendawan tersebut kebanyakan bersifat epigeal dan hanya sekitar seperempat bagian yang bersifat hipogeal. Semua cendawan epigeal merupakan anggota Basidiomisetes, yaitu Amanitaceae,
6
Boletaceae,
Corticiaceae,
Russulaceae,
Cortinariaceae,
Sclerodermataceae,
Hydnaceae,
Telephoraceae,
dan
Hygroporaceae, Tricholomataceae.
Cendawan hipogeal merupakan gabungan dari Basidiomisetes, Askomiseteses, dan Zigomisetes. Menurut beberapa taksonom, famili Boletaceae terdiri dari beberapa genus. Corner (1972) membagi Boletaceae di Malaysia menjadi empat genus yaitu Boletus, Gyroporus, Heimiella, dan Strobilomyces sementara
Austroboletus,
Boletellus, Ixocomus, Leccinum, Pulveroboletus, Tylopilus, dan
Xerocomus
tersebar dalam sub genus yang terpisah. Pegler & Young (1981) melaporkan klasifikasi baru cendawan kelompok Bolet berdasarkan morfologi spora yaitu menjadi 6 familiyang terdiri dari 35 genus. Lebih lanjut Singer (1981, 1986) menyatukan Bolet ke dalam satu famili dengan 25 genus berdasarkan pada alasan bahwa semua karakter pada Bolet dianggap sama, meski pada prakteknya Beliau lebih menekankan pada morfologi basidioma dibandingkan spora. Halling et al. (2007) membagi Bolet kedalam 31 genus yang terbagi dalam 4 famili yaitu Boletaceae, Boletinellaceae, Gyroporaceae, dan Suillaceae. Genus tersebut ialah Afroboletus, Aureoboletus, Austroboletus, Boletellus, Boletochaete, Boletinellus, Boletus (termasuk
Xerocomus), Bothia, Chalciporus, Fistulinella (termasuk
Mucilopilus), Gyrodon, Gyroporus, Heimioporus, Leccinellum, Leccinum, Paragyrodon,
Phlebopus,
Phylloboletellus,
Pseudoboletus,
Pulveroboletus,
Strobilomyces,
Suillus,
Retiboletus,
Tuboseta
Phylloporus,
Porphyrellus,
Rubinoboletus,
Sinoboletus,
(termasuk
Setogyroporus),
Tylopilus,
Veloporphyrellus, dan Xanthoconium. Menurut Corner (1972), secara makroskopik terdapat kemiripan yang sangat tinggi antara Boletaceae dan
Xerocomaceae.
Meski demikian, terdapat
perbedaan utama yang membedakan kedua famili tersebut, diantaranya ialah bentuk dan pelekatan himenofora, yaitu pada Boletaceae selalu tubulat, adnatusbebas,
umumnya
sinuato-adnat,
tidak
pernah
decurrent.
Sementara
Xerocomaceae selain tubulat, himenoforanya dapat juga lamelat dan decurrent. Di samping itu, pori Boletaceae berbentuk bulat ataupun bersiku dengan ukuran yang kecil (-0.5 cm), sedangkan pori Xerocomaceae umumnya bersiku dengan ukuran sedang sampai besar (0.5-1.5 cm) (Corner 1972). Ciri khas yang lain dari
7
Boletaceae ialah adanya kandungan gelatin yang sangat tinggi pada trama tabungnya, sedangkan pada Xerocomaceae kandungan gelatinnya lebih rendah (Corner 1972).
Menurut Pegler (1986), spora Boletaceae dapat memiliki
permukaan yang halus atau berornamen. Spora yang halus digolongkan ke dalam genus Pulveroboletus, Leccinum atau Boletus, sedangkan spora yang berornamen retikulat hanya dimiliki oleh genus Heimioporus [Horak]. Menurut Brundrett et al. (1996), spora
retikulat dimiliki oleh dua genus, yaitu Strobilomyces dan
Heimioporus. Jika keseluruhan spora berornamen, maka genusnya ialah Heimioporus, sedangkan jika memiliki pola adaxial yang tidak berjala, maka genusnya ialah Strobilomyces. Cendawan pembentuk mikoriza umumnya mempunyai kisaran inang yang luas.
Artinya cendawan tersebut dapat membentuk mikoriza dengan banyak
spesies tumbuhan. Meski demikian ada juga cendawan yang mempunyai kisaran inang yang sempit atau bersifat spesifik.
Sebagian
kecil cendawan bersifat
spesifik genus, sebagian lagi bersifat spesifik famili, dan sebagian lain ada yang bersifat terbatas pada Gimnospermaee saja (Smith & Read 1997). Contoh cendawan dengan kisaran inang yang luas diantaranya ialah Amanita muscaria, Cenococcum geophyllum, Hebeloma crustuliniforme, Laccaria laccata, Pisolithus tinctorius, dan Telephora terrestris, yang tersebar luas di dunia pada kisaran tumbuhan yang sangat luas. Sementara itu, sistem akar individu tumbuhan dapat dikolonisasi oleh beberapa spesies cendawan, misalnya pada tumbuhan Eucalyptus, Pseudotsuga, dan Pinus. D. Heimioporus Menurut Corner (1972), Heimella [Boedijn] atau Heimioporus [Horak] merupakan spesies dari famili Boletaceae yang memiliki spora retikulat atau berjala, sama dengan Strobilomyces. Perbedaannya terletak pada sporanya yang berwarna cokelat zaitun yang tidak segelap warna spora Strobilomyces, dengan eksospora yang tidak berwarna dan endospora berjala yang berwarna, serta tidak mempunyai pola adaksial. Spora yang berjala inilah yang membedakannya dengan
spora
Boletus
yang
umumnya
halus.
Dibandingkan
dengan
Strobilomyces, Heimioporus berbeda dalam beberapa hal, yaitu: warna daging tubuh buah yang tidak berubah menjadi kemerahan atau kehitaman saat terpapar
8
udara, tudung yang bersifat rata tomentosus atau mengkilat (tidak pecah-pecah), dan struktur trama tabung yang bersifat boletoid sejati.
Hampir pada semua
anggota spesiesnya mempunyai tangkai yang panjang (Corner 1972). Menurut Singer (1986) Heimiosporus retisporus termasuk ke dalam genus Boletellus section Retisporus, meski sporanya berjala dan trama tabungnya sangat boletoid berbeda dengan karakter Boletellus.
A
B
C
D
A
A
A
E A
E
F
A
A
Gambar 1 Spora beberapa spesiesHeimioporus. H. betula (A), H. fruticicola (B), H. ivory (C), H. japonicus (D), H. retisporus (E), H. rubropunctus (F) (www.mycobank.com) Salah satu ciri utama yang membedakan antara spesies Heimioporus dari genus lainnya ialah bentuk dan ornamentasi sporanya.
Mungkin inilah yang
menyebabkan genus tersebut bertambah jumlahnya karena mengakomodir beberapa jamur yang semula digolongkan ke dalam Boletus, Boletellus, Austroboletus, Porphyrellus, dan Strobilomyces. Saat ini di Mycobank terdapat 18 spesies Heimioporus yang terdaftar dengan tiga macam tipe perhiasan spora yaitu punctat, punctat retikulat, dan alveolat retikulat (Gambar 2). Meski demikian menurut Halling & Fechner (2011), spesies yang sudah diakui hanya 10 spesies. Heimioporus merupakan jamur pembentuk ektomikoriza yang diantaranya bersimbiosis dengan tumbuhan Fagaceae, Dipterocarpaceae dan Myrtaceae Halling et al. (2007). Sebagai contoh H. fruticicola ditemukan bersimbiosis dengan Allocasuarina littoralis, Eucalyptus camaldulensis, Eucalyptus sp., Acacia sp. dan Hibbertia riparia. Heimioporus japonicus juga dilaporkan membentuk simbiosis dengan tumbuhan pinus dan ek di Jepang, serta dengan Melaleuca, Allocasuarina, Eucalyptus dan Leptospermium di Australia (Halling &
9
Fechner 2011). Selain kedua negara tersebut, genus ini tersebar di berbagai belahan dunia, yaitu di daerah timur Amerika Utara, Asia Timur, Asia Tenggara, Mexico, dan Belize Costa Rica. Di Asia, jamur ini juga dilaporkan ditemukan di Cina, Malaysia (Corner 1972), Myanmar, Singapura, dan Thailand (Chantorn et al.2007).
Boedijn (1951)
telah
mendeskripsikan spesies lainnya yaitu
H. retisporus dari Jawa. Jamur pelawan adalah sejenis jamur epigeal yang ditemukan di hutan Pelawan, Bangka Tengah. Jamur tersebut muncul setahun sekali sekitar bulan Oktober. Kemunculan jamur pelawan biasanya diawali dengan banyaknya petir pada akhir musim panas yang diikuti oleh hujan lebat selama berhari-hari. Penduduk Bangka Tengah banyak memburu jamur ini karena memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Selain memiliki nilai ekonomi penting, jamur pelawan mempunyai nilai ekologis yang signifikan karena menentukan keberhasilan pertumbuhan pohon pelawan (T. merguensis) di alam (Hidayanti 2010). Sintesis ulang simbiosis ektomikoriza antara jamur pelawan dan pohon pelawan telah berhasil dilakukan menggunakan inokulan alami. Identifikasi morfologis tubuh buah dan spora jamur pelawan telah dilakukan oleh Hidayanti (2010), dan hasilnya menunjukkan bahwa jamur tersebut termasuk ke dalam genus Boletus. Ciri jamur tersebut ialah tudung dan tangkainya berwarna merah, bagian bawah tudung berpori yang berwarna kuning, dengan spora yang berbentuk fusiformis.
Identifikasi Jamur Ektomikoriza A. Metode Identifikasi Jamur Ektomikoriza Identifikasi dapat dilakukan secara morfologi, biokimia, dan molekuler. Secara morfologi, identifikasi dilakukan dengan memperhatikan ciri-ciri tubuh buah, secara biokimia berdasarkan kemampuan metabolisme atau enzimatik, dan secara molekular berdasarkan susunan bahan penyusun genetika suatu makhluk hidup. Karakter yang diamati secara morfologi diantaranya ialah ukuran, bentuk, warna, dan tekstur permukaan tudung, tangkai, pori atau himenium, daging, spora, trama, sistidium, serta basidium (Brundrett et al. 1996, Largent et al. 1978). Secara biokimia karakter yang diamati diantaranya ialah perubahan warna pada saat terpapar udara, terbentuknya reaksi setelah diberi larutan tertentu misalnya
10
Melzer’s, atau terbentuknya zat pati atau gelatin pada saat direndam dengan larutan FAA, dan sebagainya. Secara molekular umumnya ciri yang diamati ialah urutan sekuen basa pada DNA secara terperinci maupun dalam bentuk mini satelit dan mikrosatelit (Grubisha et al. 2005). Karakter morfologi mempunyai kelemahan yaitu hanya memperlihatkan sifat pewarisan dominan dan resesif, tingkat polimorfismenya sedikit dan sangat dipengaruhi oleh lingkungan.
Akibatnya individu yang mempunyai genotipe
yang sama dapat menunjukkan fenotipe yang berbeda, dan yang memiliki genotipe yang sama dapat menunjukkan fenotipe yang sama jika lingkungannya berbeda. Kemiripan pada fenotipe belum tentu menunjukkan kemiripan pada tingkat DNA (Tanskley 1983). Metode morfologi dan molekular menyediakan pendekatan yang saling melengkapi untuk menganalisis struktur komunitas ektomikoriza. Idealnya kedua metode tersebut diaplikasikan secara bersamaan untuk menyediakan potensi verifikasi hasil yang lebih memuaskan. Sekitar 93% mikoriza teridentifikasi sama dengan kedua metode tersebut (Sakakibara et al. 2002). Secara molekuler, umumnya identifikasi cendawan ektomikoriza dilakukan berdasarkan dua metode utama, yaitu metode sekuensing (Landeweert et al. 2003) dan penggunaan enzim restriksi.
Metode restriksi biasanya digunakan untuk
analisis komunitas, sedangkan sekuensing dilakukan untuk analisis individu. Sekuensing dilakukan untuk merunut susunan basa nukleotida dari suatu gen secara terperinci. Sementara itu, enzim restriksi digunakan untuk membedakan potongan-potongan DNA berdasarkan situs restriksi yang terdapat pada DNA cendawan.
Perbedaan situs restriksi yang terdapat pada urutan DNA
menyebabkan hasil potongan yang unik untuk spesies-spesies yang berbeda. Metode restriksi yang banyak digunakan untuk ektomikoriza ialah restriction fragment length polymorpism (RFLP) (Gardes et al. 1991).
Beberapa metode
lain telah dilakukan yaitu LH-PCR (Ranjard et al. 2001), T-RFLP (Burke et al. 2006), dan DGGE (Landeweert et al. 2005). Metode-metode tersebut merupakan metode yang cukup akurat untuk membandingkan potongan-potongan yang mengandung sekuens nukleotida spesifik. Pada RFLP, DNA dipotong dengan enzim restriksi kemudian potongannya dipisahkan dengan elektroforesis. Namun
11
RFLP mempunyai kelemahan yaitu tidak dapat membedakan dua fragmen yang berukuran sama tetapi mempunyai susunan nukleotida yang berbeda. Dengan demikian metode sekuensing DNA dianggap lebih dapat diandalkan. Perkembangan PCR berbasis DNA dan primer spesifik takson (Mullis & Faloona 1987, Micklos et al. 2003) telah mempermudah studi
taksonomi
cendawan. DNA ribosom (rDNA) merupakan daerah penyandi RNA dan daerah sekitarnya. Daerah tersebut, terutama internal transcribed spacer (ITS) merupakan salah satu daerah yang paling umum digunakan untuk penanda molekular cendawan (Bruns & Gardes1993, Sanchez-Ballesteros et al. 2000). Daerah ITS bersifat konservatif, memiliki variabilitas yang sangat tinggi yang spesifik takson, dan mempunyai jumlah ulangan yang tinggi.
Konfirmasi
simbiosis mikoriza B. edulis dengan membandingkan sekuens ITS rDNA dari mikoriza dan tubuh buahnya telah dilakukan oleh Agueda et al. (2006). B. Daerah ITS rDNA DNA ribosom (rDNA) merupakan DNA inti yang menyandikan DNA ribosom. Ribosom merupakan makromolekul intra sel yang menghasilkan protein atau rantai-rantai polipeptida. Ribosom sendiri terdiri dari protein dan rRNA. DNA ribosom dan pemisahnya terdapat dalam suatu kluster gen (biasanya 8-12 kb) yang berulang beberapa kali. Pada sel tanaman tingkat tinggi, setiap genom inti haploid mengandung 1.000 sampai 10.000 salinan rDNA yang tersusun secara tandem pada satu atau beberapa lokasi kromosom (Micklos et al. 2003).
Gambar 2 Sekuen DNA ribosom Unit dasar DNA ribosom terdiri dari gen-gen untuk sub unit ribosom kecil (18S), sub unit 5.8S, dan sub unit besar (28S) (Gambar 2). Ketiga gen tersebut
12
dipisahkan oleh dua daerah ITS (internally transcribed spacer), yang panjangnya beberapa ratus pasang basa. Daerah ITS1 terletak antara daerah 18S dengan 5.8S, dan ITS2 berada di antara 5.8S dengan 28S. Daerah yang memisahkan unit transkripsi dari rDNA berulang bersifat non transkrip dan disebut IGS (intergenic spacer). Pada banyak spesies cendawan, terdapat pula sub unit 5S (Hillis & Dixon 1991). Beberapa situs restriksi terkonservasi di dalam rDNA cendawan, sehingga dapat memudahkan dalam proses pengklonanan (Binder & Hibbett 2006). Gen-gen sub unit mempunyai domain yang terkonservasi maupun variabel, yang dapat digunakan untuk perbandingan genus. Daerah pemisah yang dianggap lebih beragam dapat digunakan sebagai pembanding spesies, bahkan pada beberapa kasus sebagai pembanding bentuk patogenik spesifik. Daerah ITS lebih beragam
dibandingkan
daerah
penyandi,
sehingga
bermanfaat
untuk
membandingkan hubungan antar spesies dan genus yang berkerabat dekat. Banyaknya jumlah ulangan kebanyakan sekuens rDNA per genom, dan pola evolusi bersamaan yang terjadi antara unit yang berulang menjadikan kluster tersebut sebagai penanda molekular yang baik yang memberi kemudahan dalam analisis rDNA dengan metodologi sekuensing RNA secara langsung, sekuensing DNA (baik dengan kloning maupun amplifikasi), maupun dengan restriksi (Hillis & Dixon 1991).
Morfotipe Akar Ektomikoriza Ektomikoriza terbentuk ketika akar inang dan cendawan yang sesuai tumbuh dalam hubungan yang erat dan kondisi lingkungan yang mendukung. Urutan terbentuknya simbiosis ektomikoriza secara singkat diawali oleh terjadinya kontak, pengenalan dan pelekatan hifa pada sel epidermis dekat ujung akar lateral muda yang sedang aktif tumbuh. Selanjutnya, miselia berproliferasi pada permukaan akar dan berdiferensiasi membentuk mantel. Hifa selanjutnya menembus antara sel-sel epidermis (dalam kebanyakan Angiospermae) atau ke ruang antar sel-sel korteks (dalam Gymnospermae) untuk membentuk jala Hartig berlabirin (Agerer 1991). Respon tumbuhan inang terhadap kolonisasi cendawan
13
dapat berupa produksi polifenol di dalam sel maupun deposisi metabolit sekunder di dalam dinding sel. Sebagai akibat waktu yang diperlukan untuk pembentukan simbiosis mikoriza, daerah mikoriza aktif terbentuk beberapa mili meter di belakang ujung akar. Akan tetapi hifa jala Hartig mengalami pematangan pada daerah yang lebih tua, yang lebih jauh dari ujung akar (Massicotte et al. 1987). Akibatnya, aktivitas jala Hartig tergantung pada usia akar dan pertumbuhannya. Dalam akar yang lebih tua, mantel biasanya masih ada setelah simbiosis menjadi tidak aktif yang mungkin berfungsi sebagai struktur penyimpan dan propagul. Struktur anatomi selubung akar dan miselia yang menyelimutinya bersifat stabil setidaknya sampai tingkat genus cendawan dan semakin banyak digunakan untuk mempermudah karakterisasi dari ektomikoriza yang terbentuk (Agerer 1991).
Bahkan,
perbedaan
struktur
mantel
mengidentifikasi simbion cendawan yang terlibat dijumpai.
dapat
digunakan
untuk
jika tubuh buahnya tidak
Selain itu teknik sidik jari molekular untuk cendawan yang
bersimbiosis dengan ujung akar mikoriza juga memegang peranan penting dan semakin besar dalam menentukan komposisi spesies cendawan di dalam populasi alami (Bruns
&Gardes 1993).
Umumnya simbiosis ektomikoriza diketahui
berdasarkan pengamatan tubuh buah dan tumbuhan inang di lapang, dan hanya sebagian kecil status mikorizanya yang telah diketahui.
Oleh karenanya
pengamatan dengan menelusuri hubungan dari tubuh buah ke akar tumbuhan, dan sintesis ulang mikoriza pada kondisi aksenik yang diikuti dengan sidik jari molekular sangat disarankan. Selain dari tubuh buahnya, cendawan ektomikoriza dapat dibedakan satu dari mikoriza lainnya berdasarkan beberapa ciri utama struktur simbiosisnya yaitu adanya jala Hartig, mantel, dan miselium ekstraradikal (miselium perpanjangan akar). Jala Hartig sebagai struktur transfer nutrisi antara cendawan dan tumbuhan inangnya, memiliki konformasi yang sama pada semua ektomikoriza, kecuali bahwa pemanjangan penetrasi akar besifat lebih superfisial pada kebanyakan Angiospermae dibandingkan dengan Gimnospermae. Sebaliknya, mantel hifa mempunyai struktur diagnostik dari spesies cendawan yang membentuknya. Perbedaan
bentuk
anatomi
struktur
tersebutdapat
digunakan
untuk
14
mengidentifikasi cendawan sampai tingkat genus dan spesies ketika tubuh buahnya tidak dijumpai (Agerer 1991).
Di samping
itu, teknik sidik jari
molekular juga digunakan untuk mempertanyakan identitas tipe-tipe mikoriza dan memungkinkan pertimbangan perubahan komposisi spesies cendawan dalam populasi alami.
15
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan dari bulan Oktober 2010 sampai dengan Oktober 2011 di laboratorium Mikologi dan Mikroteknik Tumbuhan Biologi FMIPA serta Biorin PPSHB IPB. Bahan Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian iniialah tubuh buah jamur pelawan yang dikoleksi dari Air Pasir Bangka Tengah pada bulan Maret, dan September 2011. Metode Penelitian 1. Karakterisasi Morfologi 1.1. Metode Pengumpulan Bahan Berdasarkan Largent (1973) pengambilan sampel jamur dilakukan dengan cara mencabut keseluruhan bagia-bagian badan buah (tudung buah, pori, dan tangkai) dengan menggunakan sekop kecil. Spesimen jamur pelawan diambil lalu dibungkus menggunakan kertas tisyu kemudian dibungkus dengan keras merang, dan dimasukkan ke dalam kotak berisi es kering. Cara lain yaitu tubuh buah dimasukkan ke dalam kotak koleksi yang terbuat dari plastik dan menutupnya rapat-rapat agar tidak terjadi penguapan. Foto dilakukan untuk merekam karakter segar di lapang dan setelah sampai di laboratorium. Sampel segar diambil untuk isolasi DNA, sedangkan sisanya dikeringkan dan disimpan pada kertas merang dan dimasukkan ke dalam lemari es. Sebagian lagi dikeringkan dengan oven pada suhu 80°C. Akar simbion yang diamati ialah yang melekat pada dasar tangkainya. 1.2. Karakterisasi Makroskopik Identifikasi morfologi dilakukan pada tubuh buah segar dan spora, dan akar ektomikoriza pelawan menggunakan metode Brundrett et al. (1996) dan Largent et al. (1978).
Ciri-ciri makroskopik yang diamati diantaranya ialahkarakter
tudung (bentuk, ukuran, warna, dan tekstur dari tudung), karakter pori (cara pori menempel pada tangkai, bentuk, ukuran, dan warna pori), dan karakter tangkai (bentuk dan ukuran, warna, sifat permukaan, cara menempel pada media tumbuh,
16
ada tidaknya rhizomorf), sisa tudung, tudung universal, dan warna miselium bila ada. Karakter tersebut diamati secara langsung di lapang dan melalui hasil foto. 1.3. Karakterisasi Mikroskopik Karakter mikroskopis yang diamati diantaranya ialah bentuk, ukuran, warna, dinding sel,
dan
ornamentasi
spora,
basidia,
basidiola, pleurocystidia,
cheilocystidia, trama himenofor, pileipellis, serta ada tidaknya clamp connection menggunakan mikroskop cahaya. Pengamatan dilakukan menggunakan spesimen kering yang direvitalisasi menggunakan alkohol absolute dan air, kemudian diwarnai menggunakan reagen KOH 5%, larutan Melzers, dan biru trifan. Sebagian sampel dikeringkan dan diamati setelah preparasi paraffin. Struktur pori dan permukaan akar diamati menggunakan mikroskop stereo. Spora diamati juga menggunakan SEM. 1.4. Preparasi Parafin Sampel akar segar dan jaringan tubuh buah dipreparasi parafin untuk dipotong menggunakan mikrotom dengan menggunakan metode Johansen (1940) yang dimodifikasi. Sampel difiksasi sedikitnya selama 12 jam dengan FAA (formaldehid:asam asetat:alkohol5:5:90), kemudian dicuci dua kali menggunakan alkohol 70% dengan selang waktu 30 menit. Selanjutnya sampel direndam 4x dengan alkohol 50% yang diganti setiap 1 jam.Sampel kemudian direndam dalam larutan Johansen.Larutan Johansen I digunakan 2 jam, Johansen II semalam, dan Johansen III-V masing-masing 2 jam. Johansen VI digunakan semalam, lalu diulang 3x masing-masing selama 2 jam. Johansen VII dibiarkan di suhu ruang selama 4 jam, kemudian diinkubasi pada suhu 58°C semalaman. Penanaman parafin dilakukan bertahap pertama selama 5 jam, lalu parafin diganti selama 6 jam, kemudian selama semalam. Parafin terakhir ditanamkan selama 3 jam, baru dilakukan pengotakan. Setelah membeku sempurna kotak parafin dimasukkan ke dalam larutan Gifford (asam asetat: alkohol: gliserin 10:90:5) untuk pelunakan. Sampel kemudian disayat dengan ketebalan 5-12 μm dengan menggunakan mikrotom. Sayatan kemudian diwarnai dengan biru trifan.
17
2. Analisis Sekuens ITS rDNA Jamur Pelawan 2.1. Ekstraksi dan Kuantifikasi DNA DNA yang diamplifikasi dan disekuens berasal dari spesimen jamur pelawan yang memiliki ciri-ciri tudung berwarna merah tua, warna pori kuning, tangkai berwarna merah tua dengan permukaan berjalur atau berjala, dan spora retikulat. DNA genom total diekstraksi berdasarkan metode CTAB (Sambrook et al. 1989) dan yang dimodifikasi menggunakan buffer Raeder & Broda (1985). Sekitar 200 mg tubuh buah yang telah disterilisasi permukaan digerus dengan menggunakan nitrogen cair. Tepung hasil gerusan dimasukkan ke dalam tabung mikro yang berisi 600 μl buffer CTAB (CTAB, 2% PVP, 100 mM Tris-HCl pH 8, 25 mM EDTA, 2 M NaCl dan 200 mM β-merkapto etanol/BME) yang telah dipanaskan, kemudian disimpan pada suhu 65° C selama 30-60 menit. Setelah didinginkan, larutan ditambah dengan volume yang sama dari fenol: kloroform: isoamil alkohol (25:24:1, v/v), kemudian disentrifugasi selama 5 menit pada kecepatan 10.000 rpm. Larutan ditambah kloroform: isoamil alkohol (24:1, v/v) lalu disentrifugasi 10 menit. Supernatan dipindahkan ke dalam tabung baru, ditambah 0.6 volume isopropanol dan dibolak-baik lalu diendapkan selama 30-60 menit di freezer. Endapan diperoleh dengan sentrifugasi 10.000 rpm selama 15 menit, pelet dicuci dengan 70% etanol dan disentrifugasi 5 menit. Pelet yang didapat dikeringkan kemudian diresuspensi dengan 20- 50 μl air steril. Setelah DNA larut ditambahkan 0,1 volume RNAse (10μl/U) dan diinkubasi selama 30 menit pada suhu 37°C.Selanjutnya, enzim diinaktivasi dengan memanaskan tabung pada suhu 70°C selama sekitar 10 menit. Kualitas dan jumlah konsentrasi DNA ditentukan dengan spektrofotometri pada nilai absorbansi 260 dan 280 nm dengan empat ulangan. Keutuhan DNA dilihat dengan eletroforesis pada 100V, selama 30 menit pada media agarosa 1% dengan buffer TAE 1x. Marker 1Kb digunakan sebagai penanda DNA genom, sedangkan marker λ digunakan untuk standar hasil PCR. 2.2. Amplifikasi DNA dengan PCR Amplifikasi DNA daerah ITS rDNA dilakukan menggunakan primer ITS1 (TCCGTAGGTGAACCTGCGG) dan ITS4 (TCCTCCGCTTATTGATATGC).
18
Komposisi PCR berjumlah 50 μl yang terdiri dari 5 μl 10 x buffer PCR, 5μl campuran 10 μM dNTP (masing-masing 10 μl), 1.25 μl 10 μM setiap primer, 1 μg DNA cetakan, dan 0.25 μl Taq DNA polymerase (5U/ μl). Reaksi PCR ialah pra denaturasi pada 95°C selama 5 menit, denaturasi 95°C selama 1 menit, annealing 52°C selama 1 menit, elongasi 72°C selama 2 menit, pasca PCR 72°C selama 10 menit, dan pendinginan 15°C selama 10 menit. 2.3. Sekuensing DNA Sekuensing dilakukan dengan bantuan PT. Genetika Science Indonesia, Jakarta.DNA murni disekuen menggunakan metode Sanger dengan alat ABI 3730XL (Sambrook et al. 1989). 2.4. Analisis BLAST Sekuens ITS rDNA Hasil sekuensing dianalisis dan ditentukan homologinya dengan spesiesspesies yang telah ada di Bank Genmenggunakan program Clustal W Bioedit dan BLAST
(Altscchul
et
al.
1997)
dengan
bantuan
situs
NCBI
(http://www.ncbi.nlm.nih.gov.) dan Mycobank (www.mycobank.com). 2.5. Analisis Filogenetik Analisis filogenetik dilakukan dengan membandingkan hasil sekuensing daerah ITS rDNA jamur pelawan dengan sekuens-sekuens hasil BLAST-nya yang telah ada di Bank Gen. Sekuens diekstrak menggunakan program Clustal W bioedit sedangkanpohon filogeni dikonstruksi dengan MEGA 4 (Tamura et al. 2007). Analisis filogenetik dilakukan dengan menggunakan daerah ITS DNA ribosom untuk menentukan spesies yang memiliki kekerabatan terdekat dari jamur pelawan. 3. Karakterisasi Struktur Ektomikoriza simbion Akar yang melekat pada tubuh buah dikarakterisasi dengan diamati di bawah mikroskop stereo dan mikroskop cahaya. Tipe percabangan akar diamati di bawah mikroskop stereo, sedangkan struktur mantel dan jala Hartig diamati di bawah mikroskop cahaya dengan penyayatan secara memanjang dan radial. Pewarnaan akar dilakukan dengan pewarna biru trifan merujuk pada metode Brundrett et al. (1996).
Tipe percabangan dan struktur mantel diamati
berdasarkan metode Agerer (1991). Sayatan akar dipreparasi dengan metode parafin.
19
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Karakteristik Morfologi Jamur Pelawan A. Deskripsi morfologi jamur Pelawan Heimioporus sp. Tudung berdiameter 1.51-14.2 cm, cembung, agak berbentuk payung sampai mendatar, halus atau retak, kering, agak mengkilat saat basah, merah marun tua, merah kecokelatan, sebagian kuning kecokelatan, sering dengan bagian tepian berwarna kuning. Daging tudung tebalnya 1.2-8.4 mm, krem, kuning muda pucat,atau putih kemerahan, tidak berubah kebiruan saat terpapar udara atau agak biru. Pori hampir bebas sampai bebas, diameter 0.25-1.8 mm, bersiku atau agak bulat, merah tua, kuning muda pucat sampai kuning kehijauan; tinggi tabung pada bagian pusat 0.41-0.73 cm dan bagian tengah 0.67-1.65 cm, kuning muda, kuning kemerahan sampai kuning kehijauan, tepian rata. Tangkai berdiameter atas 0.32-1.3 cm, tengah 0.48-1.5 cm dan bawah 0.58-1.6 cm, panjang 4.54 sampai 12.7 cm, letak di pusat, permukaan berlajur seiring panjang atau berjala dangkal sampai agak dalam, merah marun tua, merah kecokelatan, atau merah muda, puncak kuning tepat di bawah tudung, dasar ada yang kuning atau hijau kecokelatan, daging tangkai kuning, krem atau kemerahan, tidak berubah saat terpapar udara atau sedikit membiru, padat atau berongga, kering, miselium berwarna putih atau krem menutupi bagian dasar atau sampai bagian atas tangkai. Basidiospora 8.67-12 x 6-7.65(8.58) μm (n=24, x 10.14 + 0.95 x 7.09 + 0.50, Q= 1.43), bulat telur memanjang-lonjong, berjala yang menonjol 1-2.5μm, kuning madu, dekstrinoid, dinding tipis. Basidia 12.75-33.15 x 8.67-15.3 μm, clavatus, dinding tipis, bening, 2, 3-4 spora, sterigmata 3.5-10μm. Basidiola 15.326.78 x 7.65-20 μm, clavatus, dinding tipis, bening. Cheilocystidia 39.78-58.65 x 5.1-20μm, berbentuk seperti botol, dinding tipis, bening. Pleurocystidia 25.5835.47 x 12.01-12.85. Pileipelis berupa jaringan palisade dengan pileocystidia 22.95-56.1 x 5-12.75μm, clavatus atau dermatocystidia piriformis, hifa bersekat, lebar 2.55- 5.5μm, dinding tipis, bening. Caulocystidia 17.85-22.95 (39.78) x 5.512.41 μm, berbentuk clavatus, fusiformis atau lageniformis, hifa bersekat 17.85
20
sampai 45.9 x 10.2 sampai 16.5 μm, hifa tidak bersekat lebar 5.1-10.2 μm, sangat panjang, dinding tipis, bening. Terdapat hifa oleiforus. Trama tabung bilateral tipe boletoid. Clamp connection tidak ada. Habit dan habitus. Soliter, dua-dua atau berkelompok di atas tanah, di atas serasah sekitar tumbuhan T. Merguensis. Spesimen yang diamati diambil pada 29 Maret 2011 oleh Dini Tasuruni dan pada 7 Oktober 2011 oleh Nampiah Sukarno dari Bangka Tengah, Indonesia. 2
3
1
2
4
5 6
Gambar 3
Karakter morfologi tubuh buah jamur pelawan. 1 Tubuh buah, 2. Basidiospora, 3. Basidia dan basidiola, 4. Cheilocystidia, 5. Pileocystidia, 6. Caulocystidia. Semua skala=10 µm kecuali skala tubuh buah =1 cm.
B. Identifikasi Jamur Pelawan Warna tudung jamur pelawan memiliki kisaran yang sangat beragam, dari mulai merah marun tua, merah kecokelatan, sampai cokelat kekuningan dengan bercak-bercak merah (Gambar 4). Warna tubuh buah yang dikoleksi pada bulan
21
Maret umumnya lebih seragam dibandingkan dengan yang dikoleksi pada bulan Oktober. Pada bulan Oktober terdapat gradasi warna bahkan dalam satu tubuh buah. Hanya tubuh buah yang sangat kecil ( diameter tudung 1.33-1.57 cm yang memiliki warna sangat merah (Gambar 4C).
Hal tersebut kemungkinan
disebabkan oleh kelembaban yang tinggi dan curah hujan yang berbeda. Bentuk, warna dan ukuran tubuh buah jamur dapat mengalami variasi yang disebabkan oleh faktor lingkungan misalnya intensitas cahaya, paparan terhadap cahaya, komposisi serasah (Way et al. 1995) sehingga warna tubuh buah pada musim hujan umumnya lebih terang. A
C
B
D
E
Gambar 4 Warna tudung tubuh buah jamur pelawan. Gambar atas dikoleksi pada bulan Maret 2011, gambar bawah dikoleksi pada bulan Oktober 2011. Merah marun tua (A, C), merah kecokelatan (A,B), merah muda kusam (D), kuning kecokelatan (E). Jamur pelawan mempunyai variasi morfologi yang cukup mencolok (Gambar 4, lampiran 1-3). Meski demikian, terdapat beberapa ciri umum yang dimiliki oleh jamur tersebut. Ciri-ciri tersebut ialah tudung cembung sampai mendatar atau agak berbentuk payung, berwarna merah tua-merah kecokelatan, halus atau pecah-retak, berpori dengan bentuk bersiku atau agak bulat, merah atau kuning muda pucat sampai kuning kehijauan, tangkainya merah yang sama dengan tudung atau lebih tua, berjala merah tua, jejak spora kuning zaitun
22
kecokelatan, spora berbentuk agak seperti telur sampai lonjong dan berornamen berwarna kuning madu. Merujuk pada kunci identifikasi Pegler (1986) dan Singer (1986) jamur pelawan termasuk ke dalam ordo Boletales, famili Boletaceae.
A
B
Gambar 5 Spora Heimioporus sp. dilihat di bawah mikroskop SEM. A. Permukaan spora dengan lubang-lubang yang cukup lebar B. Permukaan spora dengan lubang-lubang melebar dan memanjang Bentuk dan ornamentasi spora jamur pelawan (Gambar 5) menyerupai bentuk spora Heimioporus retisporus
dan spesies Heimioporus lainnya yang
dilaporkan oleh Watling & Hollands (1990).
Brundret et al. (1996), Corner
23
(1972) dan Pegler (1986) menyatakan bahwa Boletaceae dengan spora retikulat sempurna tanpa adanya pola bagian dasar (adaxial patch) digolongkan ke dalam genus Heimioporus. Bentuk spora retikulat ini pula yang membedakan Heimioporus dari Boletus, Boletellus dan Austroboletus.
Permukaan spora
Boletus halus, Boletellus bergerigi, dan Austroboletus berbintik-bintik (Halling & Mueller 2005). Berdasarkan morfologi sporanya, jamur pelawan merupakan bagian dari genus Heimioporus. Genus ini ditandai dengan ornamentasi spora yang unik, yaitu dinding basidiosporanya berlubang-lubang atau berornamen alveolatretikulat sampai retikulat atau dengan lubang-lubang seperti gua, tidak pernah padat (Halling & Fechner 2011).
Ornamentasi spora jamur pelawan yaitu
alveolat-retikulat atau berlubang-lubang yang besar dan lebar (Gambar 5). Berdasarkan Horak (2005), jamur pelawan termasuk ke dalam genus Heimioporus subgen. heimioporus.
Bentuk spora ini berbeda dengan spesies Heimioporus
subgen punctisporus seperti H. alveolatus, H. betula dan H. punctisporus yang berlubang-lubang kecil atau punctatus (Gambar 1A) dan H. fruticicola yang bergerigi seperti otak atau kawah (Gambar 1B).
Sebaliknya, cukup banyak
spesies dari genus Heimioporus yang mempunyai ornamentasi yang sama dengan jamur pelawan yaitu H. anguformis, H. ivoryi, H. japonicus, H. kinabaluensis, H. mandarinus,
H. nigricans, H. retisporus, H. ridleyi, H. rubropunctus,
H. subretisporus, dan H. xerampelina (Horak 2005). Bila dibandingkan dengan Heimioporus lainnya, jamur pelawan mempunyai beberapa kesamaan dan perbedaan. Bentuk, ukuran, dan warna tudung jamur pelawan hampir sama dengan beberapa spesies Heimioporus lainnya.
Warna
tudung dan tangkai jamur pelawan mirip dengan H. ivoryi (Ortiz-Santana et al. 2008),
H. japonicus (Chantorn et al. 2007, Halling & Fechner 2011),
H. mandarinus (Horak 2011) dan H. retisporus (Corner 1972, Horak 2011, Seehanan & Pecharat 2008, Thongklam 2008).
Akan tetapi jamur pelawan
berbeda dengan H. ivoryi karena ukuran sporanya lebih kecil, tangkainya berjala merah tua dengan puncak yang berwana kuning hanya tepat di bawah tudung, dan warna tubuh buah tidak segera menghitam setelah terbuka. Jamur pelawan berbeda dengan H. nigricans yang mempunyai warna tudung kehitaman, dengan
24
Heimioporus anguiformis, H. kinabaluensis dan H. mandarinus (Corner 1972, Horak 2011) yang tangkainya umumnya panjang (lebih dari 17 cm), spora lebih besar, dan tidak mempunyai hifa oleiferus.
Berbeda dengan jamur pelawan,
H. japonicus (Halling & Fechner 2011) bentuk sporanya lebih panjang (lonjongfusoid) dengan tangkai yang berjala atau beralur dan berbintik merah serta permukaan tudung yang berbeda, sedangkan H. subretisporus mempunyai tangkai yang lebih panjang (12-17 cm) dan tidak berjala. Dengan merujuk pada kunci identifikasi Halling pada sistus NYBG (www.nybg.org), jamur pelawan termasuk spesies H. retisporus karena tudungnya berwarna merah dan kering, berada di Asia, dan sporanya retikulat-alveolat serta berukuran kecil. Heimioporus retisporus pertama kali dideskripsikan oleh Patouillard dan Baker (1918) sebagai Boletus retisporus. Selain itu Boedijn (1951), Corner (1972), Seehanan & Petcharat (2008) dan Thongklam (2008) juga telah meneliti H. retisporus dari Asia. Dari semua publikasi yang ada didapati beberapa variasi dari spesies tersebut.
Dibandingkan dengan H. retisporus, jamur pelawan
mempunyai beberapa kesamaan dan perbedaan. Warna dan bentuk tudung jamur pelawan sama dengan hampir semua H. retisporus kecuali yang dideskripsi oleh Boedijn (1951) karena tidak mempunyai puncak yang menonjol atau umbo. Selain itu ukuran spora jamur pelawan sama atau mendekati H. retisporus Horak (2011), Patouillard & Baker (1918), dan Seehanan & Petcharat (2008) tetapi berbeda dengan H. retisporus Boedijn (1951) dan Thongklam (2008) yang berukuran jauh lebih besar. Perbedaan ukuran ini juga terjadi pada H. japonicus dari Malaysia yaitu 9,5 -15 X 8-10 μm (Corner 1972), dari Thailand yaitu 9-13 X 6-8 μm (Chantorn et al. 2007) dan dari Australia yaitu 10-14,7 x 6,3-8,4 μm (Halling & Fechner 2011).
Ciri dan ukuran mikroskopis jamur pelawan
mendekati H. retisporus Malaysia (Corner 1972, Horak 2011) tetapi bentuk komponen pelis dan caulocystidianya berbeda. Jamur pelawan juga mirip dengan H. retisporus Thailand (Seehanan & Petcharat) tetapi deskripsinya kurang lengkap sehingga perbandingan ciri mikroskopiknya tidak dapat dilakukan. Heimioporus retisporus Patouilard & Baker (1918) juga sangat mirip jamur pelawan tapi warna sporanya berbeda yaitu cokelat. Karena perbedaan tersebut maka kemungkinan jamur pelawan bukan merupakan spesies H. retisporus.
25
Foto SEM spora jamur pelawan menunjukkan lubang-lubang yang besar dan lebar dengan banyak sisi atau memanjang (Gambar 5). Jika dibandingkan dengan artikel Watling & Hollands (1990) dan koleksi gambar dari Mycobank (Gambar 2) (http://www.nybg.org/bsci/res/hall/boletes/Heimioporus spores.html/) foto SEM spora jamur pelawan mirip dengan spora H. retisporus, H. mandarinus dan H. rubropunctus (Gambar 1D-F), tetapi tidak benar-benar sama. Perbedaannya terletak pada jala-jala yang lebih tebal pada H. retisporus dan lubang-lubang yang lebih dalam dan membulat pada H. mandarinus dan H. rubropunctus. Dengan demikian jika berdasarkan foto SEM, spesies jamur pelawan berbeda dengan jenis yang telah ada, padahal data tersebut merupakan data yang sangat akurat dan informatif. Selain itu, karena bentuk mikroskopik jamur pelawan juga berbeda dengan spesies H. retisporus yang lain, maka kemungkinan jamur pelawan merupakan spesies yang berbeda. Dari kedua variasi tubuh buah jamur pelawan yang dikarakterisasi tampak keduanya merupakan spesies yang sama. Hal ini dapat dilihat dari perbandingan mikroskopik yang hampir sama, terutama bentuk dan ukuran spora (Lampiran 1 dan 2). Warna pori yang merah kemungkinan merupakan warna pori jamur tersebut pada saat muda. Setelah pori terpapar udara dan kelembaban di sekitar serta seiring dengan perkembangan tubuh buah, kemungkinan pori berubah warna menjadi kuning.
Keadaan lingkungan yang berbeda menyebabkan perbedaan
kisaran warna merah-kuning tersebut.
Hal tersebut juga terbukti dari tidak
terdapatnya tubuh buah besar dengan warna pori yang semerah tubuh buah pada saat masih sangat kecil. Selain itu, tudung buah dengan pori yang semula berwarna merah, setelah perlakuan lembab satu malam warnanya berubah menjadi kuning kecokelatan. Dapat disimpulkan bahwa keragaman morfologi yang terjadi semata-mata disebabkan oleh kondisi lingkungan yang berbeda pada saat tubuh buah tersebut tumbuh dan berkembang. Tubuh buah jamur pelawan umumnya tidak bereaksi dengan udara sehingga tidak berubah warna segera menjadi biru saat dibuka atau terpapar udara atau bersifat non cyanescent. Demikian juga saat tubuh buah dibelah dengan pisau atau dipegang dengan tangan, bagian yang tersentuh tidak berubah atau mengalami bruising. Hal ini merupakan salah satu ciri bahwa jamur tersebut
26
aman dikonsumsi dan tidak beracun. Sifat ini sama dengan spesies Heimioporus lainnya yang besifat edibel (Thongklam 2008). Meski demikian, satu spesies heimioporus yang bersifat halusinogen yaitu H. anguiformis, juga bersifat non cyanescent (Corner 1972).
2. Analisis Sekuens ITS rDNA Tubuh Buah jamur Ektomikoriza Pelawan A. Ekstraksi DNA, PCR dan Sekuensing DNA genom diisolasi dari tubuh buah jamur pelawan yang mempunyai pori berwarna kuning dan merah.
DNA diisolasi dengan metode CTAB maupun
metode Raeder & Broda (1985). Hasil spektrofotometri DNA mempunyai kemurnian sekitar 1.73 sampai 2.0 yang menunjukkan hasil yang cukup murni, tidak terkontaminasi oleh protein. DNA selanjutnya diamplifikasi PCR menggunakan primer ITS1 dan ITS4. 850pb 650pb
A
B
Gambar 6 Produk PCR daerah ITS rDNA jamur pelawan. DNA ITS rDNA tubuh buah berpori kuning (A) dan berpori merah (B). Produk PCR daerah ITS DNA tubuh buah jamur pelawan yang diamplifikasi menggunakan primer ITS1 dan ITS4 mempunyai ukuran sekitar 700 nukleotida (Gambar 6). Menurut Nilsson et al. (2008) nilai rataan ukuran ITS 1, 5.8S, dan ITS 2 berturut-turut ialah 183, 158, dan 173 pasang basa. Berdasarkan ukuran basa yang diperoleh menunjukkan bahwa daerah yang teramplifikasi meliputi sebagian daerah 18S, daerah yang utuh dari ITS1, 5.8S dan ITS2, serta sebagian daerah 28S DNA ribosom. Hal ini sesuai dengan peran primer ITS 1 yang mengamplifikasi daerah DNA ribosom dari ujung 18S ke arah kanan menuju daerah 28S, sedangkan primer ITS4 mengamplifikasi DNA dari daerah ujung 28S ke arah kiri menuju daerah 18S (White et al. 1990). Hasil PCR dengan menggunakan primer ITS1 dan ITS4 dari kedua tubuh tubuh buah dengan pori kuning (JPPK) tersekuens sebanyak 706 pb, sedangkan sekuens DNA JPPM berjumlah 595 pb. Perbedaan jumlah basa DNA ini
27
disebabkan hasil sekuens JPPM hanya satu arah yang dapat terbaca dengan baik. Dari kedua sekuens tersebut hanya ditemukan 3 basa yang berbeda, yaitu pada ujung kanan (Gambar 7). Perbedaan 3 basa nitrogen dari sekitar 600 pasang basa dalam daerah ITS rDNA masih dapat ditoleransi karena keragaman daerah tersebut sangat tinggi, termasuk di dalam satu spesies sehingga dapat digunakan juga sebagai penanda variabilitas intra spesies.
Pada Basidiomisetes, rataan
keragaman daerah ITS rDNA intraspesies adalah 3.33% (Nilsson et al. 2008). Dengan demikian kedua tubuh buah jamur pelawan merupakan spesies yang sama.
Gambar 7 Hasil penyejajaran sekuens ITS rDNA jamur pelawan dengan program Clustal W bioedit JPPK (atas) dan JPPM (bawah). B. Analisis BLAST Analisis BLAST sekuens ITS rDNA jamur pelawan dilakukan untuk seluruh DNA yang teramplifikasi dengan primer ITS1 dan ITS4 di NCBI dan Mycobank. Rendahnya perbedaan antara sekuens DNA kedua tubuh
buah (Gambar 7)
menyebabkan hasil BLAST antara kedua sekuens tersebut sama. Hasilnya menunjukkan bahwa jamur pelawan memiliki kesamaan tertinggi dengan Strobilomyces retisporus sebesar Lampiran 9) dan kesamaan
89% dengan nilai penutupan 90% (NCBI,
86.7% dengan penutupan 72.6% (Mycobank,
lampiran 10 dan 11). Menurut Corner (1972), Horak (2005, 2011), dan data Mycobank, S. retisporus merupakan sinonim dari H. retisporus.
Dengan
demikian secara molekuler jamur pelawan mempunyai kemiripan yang cukup tinggi dengan H. retisporus.
Rataan keragaman intraspesies dalam filum
Basidiomycota ialah di bawah 4% (Nilsson et al. 2008).
Karena nilai
homologinya masih di bawah 96%, maka jamur pelawan berkerabat dekat dengan H. retisporus tetapi berbeda spesies. Nilai homologi yang rendah dengan spesies-spesies yang terdapat di Bank Gen menunjukkan bahwa spesies jamur pelawan belum terdaftar. Data ITS untuk
28
Heimioporus yang tersedia di Bank Gen hanya dua sekuens, yaitu daerah ITS1 sampai 5.8 S dari H. japonicus dan ITS1-ITS2 dari S. retisporus. Sekuens ITS rDNA meupakan sekuens yang paling banyak digunakan untuk identifikasi cendawan (Bruns & Gardes 1993, Nilsson et al. 2008). Akan tetapi sekuens tersebut juga sebaiknya tidak secara otomatis digunakan untuk menentukan spesies cendawan, karena sekuens-sekuens spesies pembanding yang ada di Bank Gen belum tentu mewakili spesies sebenarnya yang telah diakui (Ko et al. 2011, Nilsson et al. 2008). Idealnya, perbandingan sekuens DNA dilakukan terhadap sekuens-sekuens spesimen tipe spesies, sehingga jika sekuens-sekuens tersebut belum ada maka spesies yang diidentifikasi sebaiknya tidak ditentukan dulu (Ko et al. 2011) sampai pembandingnya ditemukan. Karena belum semua sekuens dari H. retisporus dan spesies-spesies lain dari genus Heimioporus telah dipublikasi, maka berdasarkan metode BLAST penentuan spesies Heimioporus jamur pelawan belum dapat ditentukan. C. Analisis Filogenetik Sekuens ITS rDNA Belum diketahuinya spesies jamur pelawan menyebabkan diperlukannya analisis filogenetik untuk mengetahui kekerabatan terdekat jamur tersebut. Meski hasil BLAST menunjukkan kemiripan suatu sekuens DNA, namun tidak secara otomatis homologi tersebut dapat menunjukkan hubungan kekerabatannya. Analisis filogenetik dilakukan dengan sekuens-sekuens hasil BLAST dan dengan beberapa sekuens Boletaceae yang telah ditentukan spesiesnya. Sebagai outgroup digunakan sekuens Scleroderma bovista. Hasil analisis filogenetik sekuens rDNA jamur pelawan mengelompok ke dalam beberapa clade (Gambar 8).
Kedua
sekuens jamur pelawan terletak saling bersinggungan. Sekuens tersebut mempunyai kekerabatan terdekat dengan S. retisporus, namun letaknya yang bersinggungan tidak didukung dengan nilai bootstrap yang tinggi. Sekuens pelawan juga berada dalam satu clade dengan P. bellus tetapi terpisah dari genusgenus lain dari Boletaceae seperti Afroboletus, Boletus, Bothia, Chamonixia, Tylopilus, Truncocolumella dan Xerocomus. Sekuens jamur pelawan berasal dari nenek moyang yang sama dengan genus-genus yang lain dari famili Boletaceae. Hasil ini memperkuat hasil BLAST dan analisis morfologinya bahwa jamur
29
pelawan merupakan anggota Heimioporus, tetapi bertentangan dengan pendapat Hidayanti (2010) bahwa jamur tersebut merupakan anggota Boletus. 75
77
92
94
72
93 83 99 60 99
61
HQ882198.1 Boletus appendiculatus AY680996.1 Boletus pseudoregius HM347653.1 Boletus subappendiculatus HQ882200.1 Boletus speciosus GQ166877.1 Boletus bicolor HM347667.1 Boletus rhodopurpureus DQ679806.1 Boletus calopus HM347644.1 Boletus erythropus EU837225.1 Truncocolumella rubra HM190085.1 Xerocomus cisalpinus EU526005.1 Boletus subtomentosus EU837221.1 Boletus pulcherrimus JN020981.1 Boletus floridanus DQ066410.1 Boletus spadiceus DQ867114.1 Bothia castanella GQ981490.1 Afroboletus luteolus HM190016.1 Tylopilus felleus GQ166909.1 Boletus pallidus EU852804.1 Chamonixia caespitosa HE814186.1 Phylloporus bellus HE814079.1 Strobilomyces retisporus Heimioporus sp. JPPM Heimioporus sp. JPPK AY680966.1 Boletus aestivalis GQ984158.1 Boletus edulis EU231949.1 Boletus nobilissimus GU198972.1 Boletus reticulatus AY680962.1 Boletus aereus EU231948.1 Boletus mamorensis JQ669943 Scleroderma bovista
Gambar 8 Pohon filogenetik daerah ITS1-ITS2 rDNA jamur pelawan dan spesiesspesies yang telah diketahui dengan outgroup S. bovista. Pohon filogeni dikonstruksi dengan metode MP dengan nilai bootstrap 1000. Jamur pelawan adalah Heimioporus sp. JPPK dan Heimioporus sp. JPPM (kotak). Menurut Nilsson et al. (2008), variabilitas intraspesies sekuens ITS 1 DNA ribosom
lebih tinggi dibandingkan dengan ITS2, dan keduanya lebih tinggi
daripada daerah 5.8S yang lebih terkonservasi. Dengan demikian perbandingan filogenetik sekuens ITS1-5.8S juga dilakukan (Gambar 9). Hasilnya sekuens
30
99
DQ066410.1| Boletus spadiceus DQ066401.1| Xerocomus ferrugineus GU220375.1| Xerocomus badius GQ166909.1| Boletus pallidus DQ679806.1| Boletus calopus EU837221.1| Boletus pulcherrimus 86 EU669376.1| Boletus pulcherrimus 97 HM347667.1| Boletus rhodopurpureus JF907790.1| Boletus rhodopurpureus JN020981.1| Boletus floridanus AY680996.1| Boletus pseudoregius HQ882198.1| Boletus appendiculatus 67 HM347653.1| Boletus subappendiculatus 61 69 HQ882200.1| Boletus speciosus 1 GQ166877.1| Boletus bicolor EU837225.1| Truncocolumella rubra EU569284.1| Boletellus russellii HM347644.1| Boletus erythropus DQ533981.1| Xerocomus chrysenteron EU526005.1| Boletus subtomentosus 77 DQ822794.1| Xerocomus zelleri 53 AF402140.1| Xerocomus pruinatus 69 HM190052.1| Xerocomus cisalpinus HM190016.1| Tylopilus felleus 99 JF908787.1 Tylopilus felleus DQ867114.1| Bothia castanella EU852804.1| Chamonixia caespitosa Heimiella retispora CMU 59 AF438575.2| Heimioporus japonicus 90 HE814079.1 Strobilomyces retisporus 72 Heimioporus sp.JPPM 2 94 Heimioporus sp.JPPK GQ981490.1| Afroboletus luteolus EU231949.1| Boletus nobilissimus 56 JN020984.1| Boletus nobilissimus GQ984158.1 Boletus edulis 99 AY680966.1| Boletus aestivalis 65 GU198972.1| Boletus reticulatus 3 JN020989.1| Boletus reticulatus EU417845.1 Boletus aereus 69 EU231948.1| Boletus mamorensis JQ669943 Scleroderma bovista outgroup 0.02
Gambar 9 Pohon filogenetik daerah ITS rDNA jamur pelawan dan spesies-spesies yang telah diketahui dengan outgroup S. bovista. Pohon filogeni dikonstruksi dengan metode NJ dengan nilai bootstrap 1000. Jamur pelawan adalah Heimioporus sp. JPPK dan Heimioporussp. JPPM (kotak).
31
jamur pelawan tetap memiliki kekerabatan terdekat dengan S. retisporus. Jamur pelawan juga berkerabat dekat dengan H. japonicus dan H. retisporus CMU. Selain itu, jamur pelawan juga memiliki nenek moyang yang sama dengan Phylloporus bellus dan Chamonixia caespitosa namun tidak didukung dengan nilai bootstrap yang tinggi (Gambar 9). Analisis filogenetik juga dilakukan untuk sekuens ITS1-5.8S dari spesiesspesies Heimioporus yang belum terdaftar di Bank Gen. Hasilnya kedua sekuens jamur pelawan identik dan mempunyai kekerabatan terdekat dengan S. retisporus. Jamur pelawan lebih dekat hubungan evolusinya dengan S. retisporus, sedangkan H. japonicus lebih dekat dengan H. retisporus CMU (Thongklam 2008) (Gambar 10). Namun karena kesamaan jamur pelawan dengan kedua sekuens H. retisporus rendah, maka kemungkinan keduanya berbeda spesies dengan jamur pelawan.
99
100 Heimioporus sp. JPPK Heimioporus sp. JPPM Strobilomyces retisporus HE814079.1 Heimioporus retisporus CMU Heimioporus japonicus AF438575.2
0.02
Gambar 10 Analisis filogenetik sekuens jamur pelawan dengan sekuens genus Heimioporus. Pohon filogeni dikonstruksi dengan metode NJ dengan nilai bootstrap 1000. Jamur pelawan adalah Heimioporus sp. JPPK dan Heimioporussp. JPPM (kotak). Hasil karakterisasi morfologi didukung oleh analisis sekuens BLAST maupun analisis filogeni, yaitu bahwa jamur pelawan mempunyai kekerabatan terdekat dengan Heimioporus retisporus. Nilai homologi yang rendah disebabkan karena belum banyaknya sekuens ITS rDNA genus Heimioporus di Bank Gen. Analisis morfologi dan molekuler terbukti telah saling melengkapi dan menguatkan (Sakakibara et al. 2002) sehingga keduanya harus tetap dilakukan. Ditemukannya genus Heimioporus di Indonesia bukan merupakan hal yang baru. Boedijn (1951) telah mendeskripsikan H. retisporus dari Kebun Raya Bogor. Hal ini mendukung pendapat Chantorn
et al. (2007) bahwa genus tersebut
memang terdistribusi terutama di Asia Tenggara. Di Malaysia telah dilaporkan 6
32
spesies dari genus tersebut (Corner 1972, Horak 2011), di Thailand 2 spesies (Chantorn et al.2007) dan di Australia 2 spesies (Halling & Fechner 2011). Di samping itu genus ini juga terdapat di Jepang dan di Cina (Corner 1972).
3. Struktur Simbiosis Ektomikoriza Pelawan Struktur ektomikoriza yang terbentuk pada akar tumbuhan pelawan menunjukkan ciri khas dari kolonisasi ektomikoriza ialah akar tampak lebih pendek dan tebal dengan percabangan yang khas (Agerer 1991, Smith & Read 1997). Warna akar krem atau kuningatau agak kecokelatan. Kondisi ini sesuai dengan warna akar tumbuhan pelawan yang terkolonisasi isolat jamur pelawan (Hidayanti 2010). Tipe percabangan akar termasuk tipe monopodial (Gambar 11A). Di bawah mikroskop terlihat miselia yang menyelimuti permukaan akar berwarna putih (Gambar 11B) atau biru dengan pewarnaan biru trifan (Gambar 11C). Permukaan akar yang diselimuti miselium putih tersebut menyerupai kondisi kolonisasi tahap awal ketika mantel belum matang (Smith & Read 1997). Hifa ekstra seluler bersekat, clamp connection
tidak ditemukan. Tipe
percabangan akar, miselia yang menyelimuti permukaan akar, adanya mantel, dan adanya jala Hartig menunjukkan bahwa tipe simbiosis akar tersebut merupakan ektomikoriza (Brundrett et al. 1996, Smith & Read 1997). Di samping itu, hifa ekstraradikal yang bersekat dan tubuh buah yang bersifat epigeal menunjukkan bahwa cendawan yang terlibat adalah Basidiomisetes. Warna miselium dan ciri hifa sesuai dengan ciri yang terdapat pada jamur pelawan. Hasil ini memperkuat penelitian Hidayanti (2010) bahwa jamur pelawan merupakan ektomikoriza. A
B
C
Gambar 11 Morfotipe akar ektomikoriza pelawan. Tipe percabangan akar (A), miselium yang menyelimuti akar (B), miselium dengan pewarna biru trifan (C).
33
Pada penampang memanjang akar tampak terdapat penebalan di daerah permukaan akar dan di antara sel-sel epidermis (Gambar 12). Mantel tampaknya merupakan gabungan sel plektenkim dan pseudoparenkim. Jala Hartig telah terbentuk yang ditandai masuknya hifa ke ruang antar sel-sel epidermis atau bersifat epidermal (Gambar 12, panah). Sel epidermis tidak terkolonisasi hifa secara sempurna, sehingga jala Hartig disebut bersifat para-epidermal (Agerer 1991, Smith & Read 1997).
Kedalaman jala Hartig yang bersifar epidermal
merupakan karakter yang khas untuk tumbuhan Angiospermae (Agerer 1991, Smith & Read 1997). Selain itu, pada sayatan tersebut tampak adanya pemanjangan sel-sel epidermis atau radical elongation epidermal cell (REEC). Menurut Agerer (1991) karakter tersebut juga merupakan ciri khas yang membedakan struktur ektomikoriza Angiospermae dari Gymnospermae. Hasil ini memperkuat penelitian sebelumnya (Hidayanti 2010) bahwa inang jamur pelawan ialah T. merguensis yang merupakan tumbuhan Angiospermae.
M
R
R
Gambar 12 Penampang memanjang akar ektomikoriza pelawan. Mantel (M), jala Hartig (tanda panah), sel epidermis yang mengalami pemanjangan (REEC) (R).
34
Meski ditemukan di sekitar perakaran tumbuhan T. merguensis, ada kemungkinan jamur pelawan tidak hanya bersimbiosis dengan tumbuhan tersebut. Hal ini terbukti di dusun Air Pasir, tubuh buah tumbuh tidak tepat di bawah pohon pelawan.
Selain itu, tidak semua pohon pelawan di Bangka Tengah pernah
didapati tubuh buah jamur pelawan. Meski demikian, pada bagian dasar jamur pelawan yang diamati umumnya didapati biji buah pelawan saat dibersihkan. Kemungkinan hal tersebut merupakan salah satu cara tubuh buah untuk mengkolonisasi biji tersebut sehingga saat tumbuh dan berkecambah simbiosis telah terbentuk. Menurut Smith & Read (1997), Tristaniopsis merupakan tumbuhan yang dikolonisasi oleh ektomikoriza dan mikoriza arbuskula (MA). Semua anggota Heimioporus tercatat sebagai simbion ektomikoriza dengan tumbuhan berdaun lebar dari beberapa famili, khususnya dari tumbuhan Fagaceae dan Dipterocarpaceae (Horak 2005). Selain itu, Heimioporus juga membentuk simbiosis ektomikoriza dengan tumbuhan Myrtaceae (Halling et al. 2007). Akan tetapi ditemukannya simbiosis Heimioporus dengan Tristaniopsis merguensis belum pernah dipublikasi dan merupakan suatu hal yang baru.
35
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Dari penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa berdasarkan karakter morfologi dan molekulernya menggunakan sekuens ITS rDNA tubuh buahnya jamur pelawan merupakan anggota genus Heimioporus yang sangat mirip dan memiliki kekerabatan terdekat dengan H. retisporus tetapi memiliki beberapa
perbedaan
sehingga
kemungkinan
merupakan
spesies
baru.
Perbedaannya terutama ialah morfologi sporanya yang mempunyai jala yang tidak terlalu tebal dengan lubang-lubang yang bersisi banyak atau memanjang dan ukuran spora yang lebih kecil dibandingkan dengan H. retisporus. Hasil BLAST jamur pelawan memiliki kemiripan terdekat dengan S. retisporus yang merupakan sinonim dari H. retisporus, dengan homologi di bawah 90%. Struktur ektomikoriza pelawan menunjukkan akar berwarna krem kekuningan dengan tipe percabangan monopodial, dan ciri simbiosis tumbuhan Angiospermae berupa mantel yang bersifat plektenkim dan pseudoparenkim serta jala Hartig yang bersifat para epidermal. Saran Karakterisasi morfologi tubuh buah jamur pelawan masih harus dilengkapi kembali untuk semua variasi yang ada secara langsung di lapangan. Analisis morfologi jamur pelawan sebaiknya dilengkapi dengan kajian biokimia, genetika, dan observasi struktur mikro yang lebih memadai dengan menggunakan SEM. Sebagai kandidat spesies yang baru, sebaiknya dilakukan konfirmasi ciri morfologi dengan menggunakan jumlah sampel yang lebih banyak dan dilakukan registrasi sekuens ITS rDNA jamur pelawan di Bank Gen.
36
37
DAFTAR PUSTAKA
Agerer R. 1991. Characterization of Ectomycorrhizae. Methods in Microbiol 23:25-73. Agueda B, Parlade J, De Miguel AM, Martinez-Pena F. 2006. Characterization and identification of field ectomycorrhizae of Boletus edulis and Cistus ladanifer. Mycologia 98 (1):23-30. Altschul SF, Madden TL, Schaffer AA, Zhang J, Zhang Z, Miller W, Lipman DJ. 1997. Gapped BLAST and PSI-BLAST: a new generation of protein database search programs. Nucleic Acids Re. 25:3389–3402. Binder M, Hibbett D. 2006. Molecular systematics and biological diversification of Boletales. Mycologia 98:971-981. Boedijn, KB. 1951. Some mycological notes. Sydowia 5:211-2019. Brundrett MC, Bougher N, Dell B, Grove T, Malajczuk N. 1996. Working with Mycorrhizas in Forestry and Agriculture. Australia: ACIAR Monograph 32. Brundrett MC. 2004. Diversity and classification of mycorrhizal associations. Biol Rev Camb Philos Soc. 79:473-495, Brundrett MC. 2009. Mycorrhizal associations and other means of nutrition of vascular plants: understanding the global diversity of host plants by resolving conflicting information and developing reliable means of diagnosis. Plant Soil 320:37–77. Bruns TD, Gardes M. 1993. Molecular tools for the identification of ectomycorrhizal fungi–taxon specific oligonucleotide.probes for suilloid fungi. Molec Ecol 2:233–242. Burke D, Martin K, Rygiewicz P, Topa M. 2006. Relative abundance of ectomycorrhizas in a managed loblolly pine (Pinus taeda) geneticsplantation as determined through terminal restriction fragment length polymorphism profiles. Can J Bot 84:924–932 Chantorn K, Pachinburavan A, Sanoamuang N. 2007. Nine new records of boletes (Boletales, Hymenomycetes) from Nam Nao and Phu Rua national parks, Thailand. KKU Res J 12:257-264. Corner EJH. 1972. Boletus in Malaysia. Singapore: Governer Printer.
38
Gardes M, FortinJ, White TJ, Bruns TD, Taylor JW. 1991. Identification of indigenous and introduced symbiotic fungi in mycorrhizae by amplification of the internal transcribed spacer. Can J Bot 69:180–190. Grubisha LC, Kretzer AM, Bruns TD. 2005. Isolation and characterization of microsatellite loci from the truffle-like ectomycorrhizal fungi Rhizopogon occidentalis and Rhizopogon vulgaris. Mol Ecol Not 5:608-610 Halling RE, Fechner NA. 2011. Heimioporus (Boletineae) in Australia. Aust Mycol 29:47-51. Halling RE, Chan HT, Lee SS. 2007. Basidiomycota: Boletaceae. Malay Fungal Div 40:33-45. Halling RE, Mueller GE. 2005. Common Mushrooms of the Talamanca Mountains, Costa Rica. New York: New York Botanical Garden: 195 pp. Halling RE, Osmundson TW, Neves MA. 2008. Pacific boletes: implications for biogeographic relationships. Mycol Res 112:437-447. Hidayanti AR. 2010. Analisis simbiotik ektomikoriza pohon pelawan (Tristaniopsis merguensis) [skripsi]. Bogor: Bogor Agricultural University (IPB). Hillis DM, Dixon MT. 1991. Ribosomal DNA- molecular evolution and phylogenetic inference. Q Rev Biol 66:410-453. Hongo T. 1973. Notes on Japanese larger fungi (20). J Japan Bot 44:230–238. Horak E. 2005. Heimioporus E. Horak replacing Heimiella Boedijn (1951, syn.post. Boletales, Basidiomycota). Sydowia 56:237-239. Horak E. 2011. Revision of Malaysian species of boletales s.l. (Basidiomycota) described by EJH Corner (1972, 1974). Malayan Forest Rec 51:159-252. Johansen DA. 1940. Plant Microtechnique. New York: McGraw Hill. Jones MD, Durall DM, Tinker PB. 1998. A comparison of arbuscular and ectomycorrhizal Eucalyptus coccifera: growth response, phosphorus uptake efficiency and external hyphal production. New Phytol 140:125–134. Ko KTW, Stephenson SL, Bahkali AH, Hyde KD. 2011. From morphology to molecular biology: can we use sequencedata to identify fungal endophytes? Fungal Div 50:113-120. Lapeyrie FF, Chilvers GA. 1985. An endomycorrhiza-ectomycorrhizal succession associated with enhanced growth by Eucalyptus dumosa seedlings planted in a calcarious soil. New Phytol 100:93–104.
39
Landeweert R, Leeflang P, Smit E, Kuyper TW. 2005. Diversity of an ectomycorrhizal fungal community studied by a root tip and total soil DNA approach. Mycorrhiza 15:1–6. Landeweert R, Leeflang P, Kuyper TW, Hoffland E, Rosling A, Wernars K, Smit E. 2003. Molecular identification of ectomycorrhizal mycelium in soil horizons. Appl Environ Microbiol 69:327–333. Largent DL. 1973. How to identify mushrooms to genus I: Macroscopic features. California: Mad River Press, Inc. Largent DL, Johnson D, Watling R. 1978. How to identify mushrooms to genus III: Microscopic features. California: Mad River Press, Inc. Lee JS. et. al.. 2006. Identification of medicinal mushroom species based on nuclear large subunit rDNA sequences. J Microb 44 (1):29-34 Massicotte HB, Peterson RL, Ackerley CA, Ashford AE. 1987. Ontogency of Eucalyptus pilularis – Pisolithus tinctorius ectomycorrhizae. II. Transmission electron microscopy. Can J Bot 65:1940–1947. Molina R, Massicotte H, Trappe JM. 1992. Specificity phenomena in mycorrhizal symbioses: community-ecological consequences and practical implications. Dalam: Mycorrhizal Functioning an Integrative Plant-Fungal Process. (Ed. Allen MJ). New York: Chapman & Hall:357-423. Nilsson RH, Kristiansson E, Ryberg M, Hallenberg N, Larsson KH. 2008. Intraspecific ITS variability in the kingdom fungi as expressed in the international sequence databases and its implications for molecular species identification. Evol Bioinfo 4:193-201. Micklos DA. Freyer, GA. Crotty, DA. 2003. DNA science, a first course. 2nded. New York: Cold Spring Harbour Laboratory Press. Mullis KB, Faloona FA. 1987. Specific synthesis of DNA in vitro via a polymerase-catalyzed chain reaction. Methods in Enzymol 155:335-350. Ortiz-Santana B, Lodge DJ, Baroni TJ, Both EE. 2007. Boletes from Belize and Dominican Republic. Fungal Div 27:247-416. Patouillard N, Baker CF. 1918. Some Singapore boletinae. J Straits Br Asiat. Soc 78:67-72 Peay KG, Kennedy PG, Davies SJ, Tan S, Bruns TD. 2010. Potential link between plant and fungal distributions in a dipterocarp rainforest: community and phylogenetic structure of tropical ectomycorrhizal fungi across a plant and soil ecotone. New Phytol 185(2):529-542.
40
Pegler DN. 1986. Agaric flora of Sri Lanka. London: Her Majesty’s Stationary Office. Pegler DN, Young TWK. 1981. A natural arrangement of the Boletales, with reference to spore morphology. Transactions British Mycol Soc 76:103-146. Raeder U, Broda P. 1985. Rapid preparation of DNA from filamentous fungi. Letters in Appl Microbiol 1:17-20 Rizzo DM, Blanchette RA, Palmer MA. 1992. Biosorption of metal ions by Armillaria rhizomorphs. Can J Bot 70:1515-1520. Sakakibara SM, et al. 2002. A comparison of ectomycorrhiza identification based on morphotyping and PCR-RFLP analysis. Mycol Res 106:868-878 Sambrook J, Fitsch EF, Maniatis T. 1989. Molecular Cloning: A Laboratory Manual. 2nded. New York: Cold Spring Labor Press. Sanchez-Ballesteros J. et al. 2000. Phylogenetic study of Hypoxylon and related genera based on ribosomal ITS sequences. Mycologia 92 (5):964-977. Seehanan S, Pecharat V. 2008. J Agric Tech 4 (1):109-118.
Some species of wild boletes in Thailand.
Singer R. 1981. Notes on bolete taxonomy III. Persoonia 11:269-302. Singer R. 1986. The Agaricales in Modern Taxonomy. 4th ed. Germany: Koeltz Scientific Books. Smith SE, Read DJ. 1997. Mycorrhizal Symbiosis. Academic Press, London. Sosef H, Prawirohatmodjo. 1998. PROSEA 5 (3) Timber trees lesser known timbers. Bogor: PROSEA Foundation. Tamura K, Dudley J, Nei M, Kumar S. 2007. MEGA4: molecular evolutionary genetics analysis (MEGA) software version 4.0. Molec Biol Evol 24:15961599. Tanskley SD. 1983. Molecular markers in plant breeding. Plant Molec Biol 1:3-5 Taylor AFS, Alexander IJ . 2005. The ectomycorrhizal symbioses: life in the real world. Mycologist 19:102–112. Thongklam S. 2008. Diversity of boletes in some national parks of upper northern Thailand [Thesis] Chiang Mai: Graduate School of CMU.
41
Van Hees PAW, Jones DL, Jentschke G, Godbold DL. 2004. Mobilization of aluminium, iron and silicon by Picea abies and ectomycorrhizas in a forest soil. Euro J Soil Sci 55:101-111. Watling R, Hollands R. 1990. Boletes from Sarawak. Edinb J Bot 46:405-422. Way Y, Sinclair L, Hall IR, Cole AL. 1995. Boletus edulis semenlato: a new record for New Zealand. NZJ Crop Hort Sci 23:227-231. Wilson AW, Hobbie EA, Hibbett DS. 2007. The ectomycorrhizal status of Colostoma cinnabarium determined using isotopic, molecular, and morphological methods. Can J Bot-Rev 85:385-393. White TJ, Bruns T, Lee S, Taylor J. 1990. Amplification and direct sequencing of fungal ribosomal RNA genes for hylogenetics, p. 315–322. Dalam M. A. Innis, DH Gelfand, JJ. Sninsky, TJ White (ed.), PCR protocols. A guide to methods and applications. San Diego: Academic Press. Yarli N. 2011. Ekologi pohon pelawan (Tristaniopsis merguensis Griff.) sebagai inang jamur pelawan di Kabupaten Bangka Tengah [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
42
43
Lampiran 1 Tabel Perbandingan morfologi makroskopik tubuh buah pelawan berpori kuning (JPPK) dan berpori merah (JPPM) Variasi TB JPPK
JPPM
Tudung
Tangkai
Warna Homogen, merah tua sampai merah kecokelatan
Permukaan Halus, bintik warna merah tua
Homogen-heterogen, merah tua, merah kusam muda, kecokelatan, kuning
Halus, berbintikbintik atau agak retak
Warna Merah anggur/tua lebih gelap dari tudung, puncak sering kuning Merah tua atau merah muda, puncak sering kuning
Pori
Permukaan Beralur ditutupi jala atau berjala agak dalam Beralur halus ditutupi dengan jala merah tua
Warna Kuning muda pucat-kuning kehijauan Merah tuamuda, kuning muda pucat sampai kuning kehijauan
Miselium Bentuk Bersiku, Putih-putih krem, agak di dasar, jarang bulat menutupi sebagian besar tangkai Bersiku, Putih-putih krem, agak di dasar, jarang bulat menutupi sebagian besar tangkai
Lampiran 2 Tabel Perbandingan morfologi mikroskopik tubuh buah pelawan berpori kuning (JPPK) dan berpori merah (JPPM) Variasi TB
Tudung (cm)
Tangkai (cm)
Pori (mm)
Basidiospora (μm)
JPPK
4.4-14.2
4.54-12.7
0.3-1.4
9-12 x 6-8
JPPM
1.51-7.8
5.7-8.6
0.2-1.8
(8.67) 9-12 x (5.1) 6-8
Basidia (μm) 15-33.15 x 8.5-15.4 12.75-33.4 x 10-15.3
Caulocystidia (μm)
Pileocystidia (μm)
17.85-40 x 5-12.5 20-35.7 x 5-11.5
25.5( 56.1) x 4.8-12.5 22.95(45) x 5-12.75
Cheilocystidia (μm) 30.5-43.5(58.6) x 5-10.78 30.5-39.78(51) x 5-10.64
43
44
Lampiran 3 Gambar tubuh buah jamur pelawan Heimioporus sp. JPPK
Heimioporus sp. JPPM
45
Lampiran 4 Spora jamur pelawan pada media air dan KOH.
Lampiran 5 Spora jamur pelawan pada media Melzer’s.
46
Lampiran 6 Gambar karakter mikroskopis jamur pelawan
basidi a
basidia cheilocystidia
10µ µµ
10µ µµ
caulocystidia
pileocystidia
47
pileocystidia
cheilocystidia
id
48
Lampiran 7 Sekuens ITS rDNA Heimioporus sp. JPPK
Lampiran 8 Sekuens ITS rDNA Heimioporus sp. JPPM
49
Lampiran 9
Hasil BLAST sekuens ITS rDNA jamur pelawan menggunakan NCBI
50
Lampiran 10
Lampiran 11
Hasil BLAST Sekuens ITS rDNA jamur pelawan JPPM menggunakan Mycobank
Hasil BLAST Sekuens ITS rDNA jamur pelawan JPPM menggunakan Mycobank