ANALISIS MODEL MANGSA-PEMANGSA MENGIKUTI MODEL HOLLING TIPE III PADA SATU MANGSA DAN DUA PEMANGSA
RACHMAT AGUSTIAN G54103040
DEPARTEMEN MATEMATIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
ABSTRACT RACHMAT AGUSTIAN. Analysis of Predator-prey model following Holling type III model at one prey and two predators. Supervised by N. K. KUTHA ARDANA and ALI KUSNANTO. One of nature occurence which becoming central topic of mathematical modeling is emulation to obtain food in eat and eaten events. Eater creature or known as a predator will look for hunting or recognized with prey utilize to survive. There are a lot of models depicting Predator-prey events, such as: Lotka-Volterra model, Holling Type II, and Holling type III. In this paper, we study Holling type III model involving one prey and two predators. All dynamics population in early perception will fluctuate which going to reach stability gradually. Predator’s population size in stabilizing system plays an important part, because of prey growth which not in control can be stabilized with amount population of predators. From result stability analysis of fixed point, we obtained three group of fixed point such as: T1 ( 0, 0, 0 ) at center ordinate, T2 ( K , 0, 0 ) at prey axis, and T3 = Sing λ . If K change, then dynamics population will changes too, but not in stability of fixed point. The third group of fixed point after reflecting to three plane in space S , x1 , x2 , there are stable fixed points, unstable fixed points, saddle, and unstable spiral.
ABSTRAK RACHMAT AGUSTIAN. Analisis Model Mangsa-Pemangsa Mengikuti Model Holling Tipe III Pada Satu Mangsa dan Dua Pemangsa. Dibimbing oleh N. K. KUTHA ARDANA dan Ali Kusnanto. Salah satu kejadian alam yang menjadi topik sentral pemodelan matematika yaitu persaingan untuk memperoleh makanan dalam peristiwa makan dan dimakan. Makhluk hidup pemakan atau dikenal sebagai pemangsa (predator) akan mencari buruan atau dikenal dengan mangsa (prey) guna mempertahankan hidup. Terdapat banyak model yang menggambarkan peristiwa mangsa-pemangsa, seperti; model Lotka-Volterra, Holling tipe II, dan Holling tipe III. Dalam tulisan ini dipelajari model Holling tipe III yang melibatkan satu mangsa dan dua pemangsa. Semua dinamika populasi di awal pengamatan akan berfluktuasi yang lambat laun akan mencapai kestabilan. Ukuran populasi pemangsa dalam menstabilkan sistem memegang peranan penting, dikarenakan pertumbuhan mangsa yang tidak terkendali dapat distabilkan dengan jumlah populasi pemangsa. Dari hasil analisis kestabilan diperoleh tiga kelompok titik tetap, yaitu T1 ( 0, 0, 0 ) pada titik pusat, T2 ( K , 0, 0 ) pada sumbu mangsa, dan T3 = Sing λ . Jika K berubah, maka dinamika populasi akan berubah pula, tetapi tidak pada kestabilan titik tetap. Pada ketiga kelompok titik tetap tersebut setelah dilakukan pencerminan terhadap ketiga bidang datar pada ruang S , x1 , x2 , terdapat titik tetap stabil, titik tetap tidak stabil, titik tetap saddle, dan spiral takstabil.
ANALISIS MODEL MANGSA-PEMANGSA MENGIKUTI MODEL HOLLING TIPE III PADA SATU MANGSA DAN DUA PEMANGSA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor
Oleh:
RACHMAT AGUSTIAN G54103040
DEPARTEMEN MATEMATIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
Judul : Analisis Model Mangsa-Pemangsa Mengikuti Model Holling Tipe III Pada Satu Mangsa dan Dua Pemangsa. Nama : Rachmat Agustian NIM : G54103040
Menyetujui:
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Ir. N. K. Kutha Ardana, M.Sc. NIP. 131 842 412
Drs. Ali Kusnanto, M.Si. NIP. 131 913 135
Mengetahui, Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor
Dr. drh. Hasim, DEA. NIP. 131 578 806
Tanggal Lulus : ………………………
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 7 Agustus 1985 sebagai anak pertama dari dua bersaudara, dari pasangan Daswirman dan Deswita. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar pada tahun 1997 di SD Negeri 08 Pagi Jakarta, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 73 Jakarta tahun 2000, Sekolah Menengah Umum Negeri 37 Jakarta tahun 2003, kemudian masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB dan diterima di Departemen Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam pada tahun yang sama. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif menjadi asisten dosen untuk mata kuliah Komputasi Terapan pada tahun 2005/2006, asisten pelatihan Pengantar Metode Komputasi Sekolah Pascasarjana Matematika Terapan S2 IPB tahun 2006/2007, salah satu tim akreditasi Borang BAN-PT S1 Departemen Matematika tahun 2007/2008, asisten dosen untuk mata kuliah Metode Komputasi Sekolah Pascasarjana Matematika Terapan S2 IPB tahun 2007/2008, penulis juga sempat menjadi anggota aktif himpunan profesi Gugus Mahasiswa Matematika IPB sebagai staf Departemen Informasi dan Komunikasi pada tahun 2004/2005 serta staf Departemen Kesekretariatan pada tahun 2005/2006.
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang senantiasa memberikan nikmat iman serta nikmat islam, sehingga penulis dapat senantiasa berada di jalan yang diridhoiNya. Limpahan rahmat, hidayat dan karuniaNya yang besar sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Shalawat serta salam tak lupa penulis panjatkan pada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, sahabat dan keluarga, serta para pengikutnya hingga akhir zaman. Keterbatasan dan ketidaksempurnaan membuat penulis membutuhkan bantuan, dukungan dan semangat dari orang-orang, baik secara langsung ataupun tidak langsung, berkontribusi besar dalam pembuatan karya ilmiah ini. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Orang tua tercinta yang selalu memberikan dukungan serta doa restunya selama penulis menempuh pendidikan selama ini. Adikku tercinta, teruslah berjuang mencapai cita-cita. Juga keluarga besar yang selalu mendoakan. 2. Ir. N. K. Kutha Ardana, M.Sc. dan Drs. Ali Kusnanto, M.Si. selaku pembimbing pertama dan pembimbing kedua yang telah dengan sabar membantu, membimbing, dan berbagi ilmu pengetahuannya kepada penulis. 3. Dr. Toni Bakhtiar, M.Sc. selaku penguji dan moderator seminar. 4. Al ‘Allamah Al ‘Arif Billah Fadhillahtul Sayyid Da’I Ilallah Al Habib Munzir bin Fuad Al Musawa pimpinan Majelis Ta’lim Rasulullah SAW selaku guru besar spiritual saya. 5. Sohibul Majelis Ta’lim Syababbun Nabawiy: As Sayyid Al Habib Muhammad bin Alwi Al Kaff, As Sayyid Al Habib Sholeh bin Salim Al Haddad, As Sayyid Al Habib Ja’far bin Salim Al Haddad, Al Ustadz M. Jamil, dan lainnya. 6. Semua wanita yang telah mengisi hari-hari penulis penuh dengan senyum, canda dan tawa. 7. Keluarga besar Red ‘de’ Ville: Sangebs, Ridwan, Stefi, Buyung, D-Must, D-Yar, Tomi, Azis, Prawira, dan Saor atas semua dukungannya. 8. Rismanto dan Rusli yang telah banyak membantu dalam segala hal sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini. 9. Putra, Berri, dan Rusli sebagai pembahas yang telah memberi kritik serta sarannya dalam kesediaan menjadi pembahas dalam seminar. 10. Bella, Uwie, Acha, dan Didik (horti 40) atas kesediaannya menjadi relawan konsumsi. 11. Teman tongkrongan “Sutar Palace, Pecel Lele dan Ayam Bakar” : Mang Sutar, Ompong, Ucup, Bang Jon, Giri, Yudi, Mang Adi “Cadil”, dan Erwin. 12. Fotokopi Rubi yang telah bersedia direpotkan dalam perbanyakan Karya Ilmiah ini. 13. Rekan-rekan sejawat matematika angkatan 40 (Liberte da Forte) yang tidak bisa disebutkan satu persatu atas kecriaan yang selama ini kita rasakan. 14. Rekan-rekan matematika 39, 41, dan 42 yang tidak bisa disebutkan satu persatu. 15. Seluruh Dosen Matematika IPB yang telah bersusah payah memberikan ilmunya pada kami. 16. Staf Departemen Matematika IPB (Bu Susi, Bu Marisi, Bu Ade, Pak Bono, Pak Yono, Pak Juanda, Mas Deni, dll.) yang senantiasa mengurusi administrasi kami. 17. Serta seluruh pihak-pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Semoga karya ilmiah ini dapat memberikan banyak manfaat, baik bagi penulis maupun bagi orang yang membaca karya ilmiah ini. Akhirul kalam min akhina fillah, Syukron Jazakumulla Khoiran Katsiro. Wassalammu’ alaikum warahmatullah wabarakatuh.
Bogor, Januari 2008
Rachmat Agustian
DAFTAR ISI
halaman DAFTAR GAMBAR ..............................................................................................................
ix
DAFTAR LAMPIRAN ...........................................................................................................
ix
I
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ....................................................................................................... 1.2 Tujuan...................................................................................................................... 1.3 Sistematika Penulisan .............................................................................................
1 1 1
II
LANDASAN TEORI ....................................................................................................
1
III
PEMBAHASAN 3.1 Perumusan Model.................................................................................................... 3.2 Titik Tetap ............................................................................................................... 3.3 Analisis Kestabilan Titik Tetap ...............................................................................
5 8 8
IV
SIMPULAN DAN SARAN .......................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 11 LAMPIRAN............................................................................................................................. 13
ix
DAFTAR GAMBAR halaman 1. 2. 3.
Kurva model logistik......................................................................................................... Medan arah dan potret fase ............................................................................................... Ukuran populasi mangsa pada waktu t untuk S ( 0 ) = 1 ..................................................
2 5 7
4.
Ukuran populasi pemangsa 1 pada waktu t untuk x1 ( 0 ) = 3.1 ........................................
7
5.
Ukuran populasi pemangsa 2 pada waktu t untuk x2 ( 0 ) = 0.01 .....................................
7
6. 7.
Gabungan gambar 11, 12, dan 13...................................................................................... Medan vektor dan bidang fase pada bidang ( S , x1 , x2 ) ....................................................
7 9
8.
Medan vektor dan bidang fase pada bidang ( x1 , S ) .......................................................... 10
9.
Medan vektor dan bidang fase pada bidang ( x2 , S ) ......................................................... 10
10. Medan vektor dan bidang fase pada bidang ( x1 , x2 ) ........................................................ 10
DAFTAR LAMPIRAN halaman 1. 2. 3. 4. 5. 6. 6. 7.
Penurunan persamaan (3.1) menjadi persamaan (3.3)....................................................... Penurunan persamaan (3.3) menjadi (3.4) ........................................................................ Penurunan persamaan (3.4) menjadi (3.5) ........................................................................ Bukti teorema 1................................................................................................................. Bukti teorema 2................................................................................................................. Bukti teorema 3................................................................................................................. Program Mathematica guna melihat hubungan state variable dengan waktu................... Program Mathematica guna melihat medan arah dan bidang fase....................................
14 16 17 18 20 22 23 24
1
I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Di alam terdapat banyak sekali jenis makhluk hidup. Makhluk hidup tersebut akan menjalani seleksi alam di mana yang kuat yang akan bertahan. Salah satu kejadian yang dapat diamati adalah persaingan untuk memperoleh makanan dalam peristiwa makan dan dimakan. Makhluk hidup pemakan atau dikenal sebagai pemangsa (predator) akan mencari buruan atau dikenal dengan mangsa (prey) guna mempertahankan hidup. Dalam tulisan ini, peristiwa tersebut diamati pada dua pemangsa dan satu mangsa, beserta analisis solusinya. Persaingan bagi dua pemangsa dalam mencari satu mangsanya dapat dimodelkan sebagai pemodelan tiga dimensi yang melibatkan tiga variabel state. Terdapat banyak model yang menggambarkan peristiwa mangsa-pemangsa, seperti; model Lotka-Volterra, Holling tipe II, dan Holling tipe III. Dalam penulisan karya ilmiah ini, penulis membatasi diri pada model Holling tipe III, mengingat bahwa model ini menggambarkan secara jelas penurunan
tingkat pemangsaan pada saat kepadatan mangsa rendah Model Holling (Eisenberg dan Maszle, 1995) untuk kali pertama diperkenalkan oleh seorang ilmuwan matematika bernama Holling pada tahun 1959 dalam tulisannya yang berjudul “Some characteristics of simple types of predation and parasitism.” 1.2
Tujuan
Tujuan utama penulisan ini adalah menganalisis solusi model mangsa-pemangsa mengikuti model Holling Tipe III secara grafis. 1.3
Sistematika Penulisan
Pada bab satu dijelaskan latar belakang serta tujuan dari penulisan karya ilmiah ini. Bab dua berisi landasan teori yang menjadi konsep dasar dalam penyusunan pembahasan. Bab tiga akan membahas model persamaan mangsa-pemangsa mengikuti model Holling tipe III, serta bab empat berisi simpulan dan saran.
II LANDASAN TEORI
2.1
Sistem Persamaan Diferensial Linear
Misalkan sebuah sistem persamaan diferensial (SPD) linear dinyatakan sebagai: x = Ax + b, x ( 0 ) = x0 , x ∈ n (2.1) dengan A adalah matriks koefisien berukuran n x n dan vektor konstan b ∈ n , maka sistem tersebut dinamakan SPD linear orde 1 dengan kondisi awal x ( 0 ) = x 0 . Sistem (2.1) dikatakan homogen jika takhomogen jika b ≠ 0 .
b=0
Sistem Mandiri
Persamaan
(2.2) y = g ( x , y ), dengan f dan g fungsi kontinu bernilai real dari x dan y , dengan laju perubahan x dan y dinyatakan dengan fungsi x dan y sendiri serta tidak berubah terhadap waktu, maka sistem (2.2) merupakan sistem persamaan differensial mandiri.
dan
(Tu, 1994) 2.2
x = f ( x, y ),
Diferensial
Misalkan diberikan suatu sistem persamaan diferensial orde 1 sebagai berikut:
(Verhulst, 1990) 2.3
Metode Runge-Kutta Orde 4 Pandang masalah nilai awal x = f ( t , x ) , t ∈ [ a, b ] , x ( a ) = x 0 (2.3)
Solusi numerik dari (2.3) dapat dicari dengan menggunakan formula Runge-Kutta orde 4 sebagai berikut:
2
x k +1 = x k + dengan
h ( f1 + 2f2 + 2f3 + f4 ) 6
f1 = f ( tk , x k ) h h ⎞ ⎛ f 2 = f ⎜ tk + , x k + f1 ⎟ 2 2 ⎠ ⎝ h h ⎞ ⎛ f3 = f ⎜ tk + , x k + f 2 ⎟ 2 2 ⎠ ⎝ f 4 = f ( tk + h, x k + hf3 )
dan tk +1 = tk + h untuk k = 0,1,..., n − 1 ; h=
2.4
b−a ; n = banyaknya iterasi. n (Mathews, 1992)
Bagian inilah yang sebanding dengan pertumbuhan perkapita. Oleh karena itu (k − N ) (k − N ) dN dN =r = rN atau . Ndt k dt k Pada kasus nilai awal N 0 < k , model logistik meramalkan bahwa ukuran populasi naik dan memiliki asimtot sebesar k . Grafik k model ini memiliki titik belok di N = , 2 k cekung ke atas jika N < dan cekung ke 2 k bawah jika N > . Lihat Gambar 1. 2
N
Fungsi Logistik
k
Laju pertumbuhan populasi tidak tetap tetapi bergantung pada ukuran populasi. Jika hal ini dijadikan asumsi, secara matematis berarti bahwa laju pertumbuhan populasi itu merupakan fungsi ukuran populasi dN = N = f (N ) dt dengan f ( N ) merupakan fungsi turun jika N bertambah besar. Nilai f ( N
)
k /2 N0 Gambar 1. Kurva Model Logistik (Hasibuan, 1988)
membesar
jika N mendekati nol. Bentuk paling sederhana dari fungsi f ialah bentuk linear yang dapat dibentuk sebagai berikut: jika N sangat kecil ( N → 0 ) , populasi tumbuh secara eksponensial dan setiap individu yang ditambahkan ke dalam populasi akan mengakibatkan laju pertumbuhan per kapita turun sebesar konstanta a , maka persamaan diferensial untuk pertumbuhan populasi akan menjadi: dN = r − aN Ndt dengan r dan a merupakan konstanta positif. Persamaan inilah yang disebut model logistik. Ada cara lain yang dapat digunakan untuk memperoleh model logistik, yaitu secara eksplisit memasukkan faktor daya dukung lingkungan ( k ) . Jika dalam populasi ada N individu, maka lingkungan masih dapat mendukung k − N individu. Jadi masih ada bagian lingkungan yang masih bisa diisi, (k − N ) sebesar . k
t
2.5
Model Holling
Ada banyak model mangsa-pemangsa, salah satunya adalah model Holling. Pada model Holling tipe II, saat kepadatan populasi mangsa rendah, model tersebut menggambarkan tingkat pemangsaan sebagai fungsi naik dari populasi mangsa, sampai pada kepadatan mangsa yang tinggi di mana tingkat konsumsi mencapai titik jenuh. Hal ini disebabkan setiap pemangsa hanya dapat memakan sejumlah kecil mangsa pada saat satu unit waktu. Model Holling tipe III juga menggambarkan tingkat pertumbuhan pemangsa. Tetapi pada model ini dapat terlihat jelas mengenai penurunan tingkat pemangsaan pada saat kepadatan mangsa rendah. Hal tersebut tidak dapat terlihat pada model Holling tipe II. Adapun tingkat pertumbuhan mangsa pada model Holling tipe II dan III diberikan pada fungsi berikut:
3
2.8
ax 1 + bx ax 2 F ( III ) ( x ) = 1 + bx 2 F ( II ) ( x ) =
di mana F ( II ) F ( III ) a, b x
2.6
Titik Tetap Diberikan SPD mandiri x = f ( x), x ∈
Titik x
: fungsi Holling II. : fungsi Holling tipe III : konstanta : jumlah populasi mangsa (Eisenberg dan Maszle, 1995)
Nilai Eigen dan Vektor Eigen
Misalkan A adalah matriks n x n . Sebuah vektor tak nol x di dalam n disebut vektor eigen dari A , jika untuk sebuah skalar λ , yang disebut nilai eigen dari A , berlaku: Ax = λ x . (2.4) Vektor x disebut vektor eigen yang bersesuaian dengan nilai eigen λ . Untuk mencari nilai eigen dari matriks A yang berukuran n x n , maka persamaan (2.4) dapat dituliskan sebagai berikut: (2.5) ( A − λI ) x = 0 .
*
(2.7)
n
disebut titik tetap jika f ( x
*
)=0.
Titik tetap disebut juga titik kritis atau titik kesetimbangan. (Tu, 1994) 2.9
Titik Tetap Stabil
Misalkan x * adalah titik tetap SPD mandiri dan x (t ) adalah sebuah solusi SPD mandiri dengan nilai awal x ( 0 ) = x 0 dengan x 0 ≠ x * . Titik x * dikatakan titik tetap stabil jika untuk sebarang radius ρ > 0 terdapat r > 0 sedemikan sehingga jika posisi awal x 0 memenuhi x 0 − x * < r maka solusi x (t ) memenuhi x (t ) − x * < ρ , untuk setiap
t >0.
(Verhulst, 1990)
dengan I matriks identitas. Persamaan (2.5) mempunyai solusi tak nol jika dan hanya jika: det ( A − λ I ) = 0 . (2.6)
2.10
Persamaan (2.6) karakteristik dari A .
persamaan
SPD mandiri dengan nilai awal x ( 0 ) = x 0
(Anton, 1995)
dengan x 0 ≠ x * . Titik x * dikatakan titik tetap takstabil jika terdapat radius ρ > 0 dengan ciri sebagai berikut: untuk sebarang r > 0 terdapat posisi awal x 0 memenuhi
2.7
disebut
Titik Singular Diberikan sebuah titik ( a, b ) pada kurva
f ( x , y ) = 0 . Titik
(a, b ) merupakan titik
singular jika turunan parsial dari f terhadap x dan y keduanya bernilai nol pada titik
(a, b ) , yaitu
f x ( a, b ) = 0 dan f y ( a, b ) = 0 .
(Arfken, 1985)
Titik Tetap Takstabil
Misalkan x * adalah titik tetap sebuah SPD mandiri dan x (t ) adalah sebuah solusi
x0 −x* < r ,
memenuhi
berakibat x (t ) − x * ≥ ρ ,
solusi untuk
x (t )
paling
sedikit satu t > 0 . (Verhulst, 1990)
4
2.11
Pelinearan
Untuk suatu SPD taklinear, analisis kestabilannya dilakukan melalui model hasil pelinearan. Misalkan diberikan SPD taklinear sebagai berikut: x = f (x) . (2.8)
2. Takstabil, jika a. Setiap nilai eigen real adalah positif atau sama dengan nol ( λi ≥ 0 untuk setiap i ). b. Setiap nilai eigen kompleks memiliki positif bagian real, ( Re ( λi ) > 0 untuk setiap i ).
Dengan menggunakan ekspansi Taylor untuk suatu titik tetap x* , maka persamaan (2.8) dapat ditulis sebagai berikut: x = Ax + ϕ ( x ) . (2.9)
3. Sadel, jika Perkalian dua buah nilai eigen real sembarang adalah negatif ( λi λ j < 0 untuk
Persamaan tersebut merupakan SPD taklinear dengan A adalah matriks Jacobi, A = Df ( x* ) = Df ( x ) x = x*
(Tu, 1994)
∂f1 ⎤ ⎡ ∂f1 ⎢ ∂x ∂xn ⎥ ⎡ a11 a1n ⎤ ⎢ 1 ⎥ ⎥ ⎥=⎢ =⎢ ⎢ ⎥ ⎢ ⎥ ∂f n ⎥ ⎢⎣ an1 ann ⎥⎦ ⎢ ∂f n ⎢⎣ ∂x1 ∂xn ⎥⎦ dan ϕ ( x ) suku berorde tinggi yang bersifat
lim ϕ ( x ) = 0 . x →0
Akibatnya
persamaan
diferensial (2.9) diberikan sebagai berikut: x = Ax . (2.10) Persamaan (2.10) disebut pelinearan dari persamaan diferensial (2.8). (Tu, 1994) 2.12 Analisis Kestabilan Titik Tetap Misalkan diberikan SPD mandiri x = f (x) , x ∈ n
2.13
(2.11)
det ( A − λ I ) = 0 .
Secara umum kestabilan titik tetap mempunyai tiga perilaku sebagai berikut: 1. Stabil, jika a. Setiap nilai eigen real adalah negatif ( λi < 0 untuk setiap i ). b. Setiap nilai eigen kompleks memiliki negatif bagian real atau sama dengan nol, ( Re ( λi ) ≤ 0
Invarian
Misalkan E merupakan himpunan bagian terbuka dari n , misal 1 ( E ) menyatakan turunan parsial
∂f i , dengan i, j = 1,… , n ∂x j
yang kontinu di E , dan misalkan φt : E → E merupakan aliran dari sistem taklinear dari persamaan (2.8) yaitu trayektori fase dari solusi persamaan tersebut. Sebuah himpunan S ⊂ E disebut invarian jika φt ( S ) ⊂ S dan S disebut invarian positif (atau negatif) jika φt ( S ) ⊂ S untuk semua t ≥ 0 (atau t ≤ 0 ). (Perko, 1991)
2.14
Selanjutnya, dilakukan pelinearan di sekitar titik tetap sesuai dengan persamaan (2.9), sehingga diperoleh persamaan (2.10). Analisis kestabilan SPD (2.11) dilakukan melalui analisis kestabilan SPD (2.10). Penentuan kestabilan titik tetap didapat dengan melihat nilai-nilai eigen matriks A , yaitu: λi , i = 1,..., n yang diperoleh dari
untuk setiap i ).
i dan j sembarang).
Manifold
Misalkan E merupakan himpunan bagian n terbuka dari , misal f ∈ 1 ( E ) yaitu turunan parsial
∂f i , dengan i, j = 1,… , n ∂x j
yang kontinu di E , dan misalkan φt : E → E merupakan aliran dari sistem taklinear dari persamaan (2.8) yaitu trayektori fase dari solusi persamaan tersebut. Misalkan bahwa f ( 0 ) = 0 dan Df ( 0 ) yaitu turunan fungsi dari f mempunyai k nilai eigen yang bagian realnya bernilai negatif dan n − k nilai eigen yang bagian realnya bernilai positif. Maka terdapat suatu manifold S yang berdimensi k yang terdiferensialkan dan bersinggungan dengan subruang stabil E S dari sistem linear pada 0 sehingga untuk t ≥ 0 , φt ( S ) ⊂ S dan untuk setiap x 0 ∈ S , lim φt ( x 0 ) = 0 ; n →∞
5
dan terdapat suatu manifold U yang berdimensi ( n − k ) yang terdiferensialkan
y 3
dan bersinggungan dengan subruang takstabil E U dari sistem linear pada 0 sehingga untuk setiap t ≤ 0 , φt (U ) ⊂ U dan untuk setiap x 0 ∈U , lim φt ( x 0 ) = 0 .
2
1
x
n →−∞
-3
-2
(Perko, 1991) 2.15
2
3
-2
Himpunan invariant E ⊂ n dikatakan r invariant manifold ( r ≥ 1) jika E
2.16
1 -1
Invariant Manifolds
merupakan manifold pada
-1
r
. (Wiggins, 1990)
Trayektori Fase
Diberikan solusi sistem diferensial seperti di bawah ini:
persamaan
-3
Gambar 2. Medan Arah dan Potret Fase Dari Gambar 2 terlihat adanya lintasan yang ditempuh oleh solusi ( x , y ) seiring berjalannya waktu. Lintasan ini disebut trayektori fase. Sedangkan titik-titik ekuilibrium dan trayektori fase tipikal disebut potret fase. (Stewart, 1998)
III PEMBAHASAN
3.1
di : laju kematian pemangsa ke-i.
Perumusan Model
Dalam penulisan karya ilmiah ini, model Holling yang digunakan adalah tipe III. Model ini dipilih karena menggambarkan secara jelas penurunan tingkat pemangsaan pada saat kepadatan populasi mangsa yang rendah, di mana hal tersebut tidak terlihat pada model Holling tipe II. Model mangsa-pemangsa yang mengikuti model Holling tipe III dalam karya ilmiah ini melibatkan satu mangsa dan dua pemangsa dapat dituliskan sebagai berikut: dS S⎞ S2 2 ⎛ = S = rS ⎜ 1 − ⎟ − ∑ i =1 mi xi 2 , dt ai + S 2 ⎝ K⎠ dxi S2 = xi = mi xi 2 − di xi , i = 1, 2, dt ai + S 2
(3.1) di mana: S : banyaknya mangsa. xi : banyaknya pemangsa ke-i. r : laju pertumbuhan intrinsik. K : daya dukung lingkungan bagi mangsa. mi : laju kelahiran pemangsa ke-i. ai : konstanta kejenuhan pemangsa ke-i.
dengan positif.
r , K , mi , ai , di
adalah
parameter
Sistem persamaan (3.1) di atas menggambarkan kepadatan dari mangsa dengan waktu t dilambangkan dengan S ( t ) , dan dua pemangsa pada waktu t yang dilambangkan masing-masing dengan x1 ( t ) , dan x2 ( t ) . Bentuk dari fungsi pemangsa mengikuti model kurva logistik, maka jika S menuju tak hingga, laju kelahiran pemangsa per kapita akan menuju mi . Dalam hal ini terlihat jelas bahwa pemangsa ke-i yang bertahan hidup membutuhkan laju kelahiran yang lebih tinggi dari laju kematian, asumsikan: m bi = i > 1 , i = 1, 2 di Oleh karena itu, harus dipertimbangkan pemangsa dengan konstanta kejenuhan ai yang rendah; a1 < a2 dengan populasi pemangsa ke- i mulai berkembang hanya jika ruas kanan pada persamaan ke dua pada sistem persamaan (3.1) adalah positif,
6
di =a m ( i − di ) i
S > Si := ai
1 b ( i − 1)
dengan asumsi : ST := S1 = S2 ⇒
a12 d1 a 2d = 2 2 m1 − d1 m2 − d 2
(3.2)
mengakibatkan: ⇒
a12 a2 = 2 b1 − 1 b2 − 1
⇒
a12 b1 − 1 = a2 2 b2 − 1
Model sistem persamaan (3.3) di atas direduksi menggunakan parameter r r ⎧ ⎫ ⎨m i → m i , d i → d i ⎬ , i = 1, 2 , dan K K ⎭ ⎩ dilakukan transformasi linear pada koordinat ⎧ xi ⎫ ⎨ xi → ⎬ , sehingga sistem persamaan (3.3) d i ⎭ ⎩ menjadi: S = S ( K − S ) ( a12 + S 2 )( a2 2 + S 2 )
a2 karena a1 < a2 ⇒ 1 2 < 1, a2 b −1 ⇒ 1 <1 b2 − 1
−
m1 2 2 S ( a2 + S 2 ) d1
−
m2 2 2 S ( a1 + S 2 ) d2
x1 = m1 S 2 ( a2 2 + S 2 ) x1
⇒ b1 < b2
(3.4)
−d1 ( a12 + S 2 )( a2 2 + S 2 ) x1
Model dinamis sistem persamaan (3.1) dapat disederhanakan dengan menggunakan ruang variabel nyata sebagai berikut : Ω = {( S , x1 , x2 ) S , xi ≥ 0, i = 1, 2} ,
x2 = m2 S 2 ( a12 + S 2 ) x2
dengan memilih: K t → ( a12 + S 2 )( a2 2 + S 2 ) t . r selanjutnya dengan melakukan substitusi variabel di atas ke dalam sistem persamaan (3.1), sehingga sistem persamaan menjadi:
Sistem persamaan (3.4) di atas kembali direduksi menggunakan parameter {m i → m i d i } , i = 1, 2 , sehingga sistem persamaan menjadi: S = S ( K − S ) ( a12 + S 2 )( a2 2 + S 2 ) − x1m1 S 2 ( a2 2 + S 2 )
S = S ( K − S ) ( a12 + S 2 )( a2 2 + S 2 ) m1 K 2 2 S ( a2 + S 2 ) x1 r mK − 2 S 2 ( a12 + S 2 ) x2 r m1 K 2 2 x1 = S ( a2 + S 2 ) x1 − r d1 K 2 ( a1 + S 2 )( a22 + S 2 ) x1 r mK x2 = 2 S 2 ( a12 + S 2 ) x2 r d K − 2 ( a12 + S 2 )( a2 2 + S 2 ) x2 r
−d 2 ( a12 + S 2 )( a2 2 + S 2 ) x2
− x2 m2 S 2 ( a12 + S 2 )
−
(3.5)
x1 = x1d1 ( a2 2 + S 2 ) ⎡⎣( m1 − 1) S 2 − a12 ⎤⎦
x2 = x2 d 2 ( a12 + S 2 ) ⎡⎣( m2 − 1) S 2 − a2 2 ⎤⎦
(3.3)
Pada sistem persamaan (3.5) di atas, dapat dilihat hubungan antar ukuran populasi mangsa, pemangsa 1, dan pemangsa 2 dengan waktu t yang diperoleh menggunakan software Mathematica versi 6.0 dengan 2 3 parameter a1 = , a2 = , d1 = d 2 = 1 , 5 5 7 8 m1 = , m2 = , dan K = 4 . 5 5
7
x2 2.0
S 2.5 2.0
1.5
1.5
1.0 1.0
0.5
0.5 0.0
0
100
Gambar 3.
200
300
400
500
t
Ukuran populasi mangsa pada waktu t untuk S ( 0 ) = 1 .
Gambar 3 di atas menjelaskan bahwa tingkat populasi mangsa berfluktuasi di awal pengamatan dengan kecenderungan menaik hingga mencapai kestabilan. x1
0
Gambar 5.
100
200
300
400
500
t
Ukuran populasi pemangsa 2 pada waktu t untuk x2 ( 0 ) = 0.01 .
Gambar 5 di atas menjelaskan bahwa pemangsa mengkonsumsi mangsa lebih banyak sehingga jumlah populasi menaik mengikuti model kurva pertumbuhan logistik. Dari ketiga gambar, yaitu Gambar 3, Gambar 4, dan Gambar 5 terlihat bahwa ukuran populasi mencapai kestabilan pada waktu t = 500 . Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 6 di bawah:
4
3
S,x1,x2 5
2
1
0
0.0
4
0
Gambar 4.
100
200
300
400
500
t
Ukuran populasi pemangsa 1 pada waktu t untuk x1 ( 0 ) = 3.1 .
Gambar 4 di atas menjelaskan bahwa pemangsa mengkonsumsi mangsa lebih sedikit sehingga lambat laun jumlah populasinya akan menurun mencapai kestabilan mengikuti model kurva peluruhan.
Pemangsa 1
3
Pemangsa 2
2 1
Mangsa 0
0
100
200
300
400
500
t
Gambar 6. Gabungan Gambar 3, 4 dan 5.
8
3.2
P ( S , x1 , x2 ) = S ( K − S ) ( a12 + S 2 )( a2 2 + S 2 )
Titik Tetap
Misalkan X menyatakan bidang vektor pada sistem persamaan (3.5) yakni: ∂ ∂ ∂ + Q1 + Q2 X =P ∂S ∂x 1 ∂x 2 maka kesingularan dari X dinyatakan sebagai berikut:
dalam Ω dapat
− x1m1 S 2 ( a2 2 + S 2 )
− x2 m2 S 2 ( a12 + S 2 ) Q1 ( S , x1 , x2 ) = x1d1 ( a2 2 + S 2 ) ⎡⎣( m1 − 1) S 2 − a12 ⎤⎦
Q2 ( S , x1 , x2 ) = x2 d 2 ( a12 + S 2 ) ⎡⎣( m2 − 1) S 2 − a2 2 ⎤⎦
2
Sing ( X ) = P −1 ( 0 ) ∩Q i −1 ( 0 )∩ Ω i =1
Pada penskalaan sebelumnya, terlihat bahwa S1 = S 2 pada sistem persamaan (3.2) a12 a2 = 2 , dengan dapat diubah menjadi m1 − 1 m2 − 1
nilai d1 = d 2 = 1 . Titik tetap yang akan dicari, diperoleh dengan menggunakan definisi dari titik singular. Sebelumnya diberikan teorema seperti berikut:
Dengan demikian bentuk linear dari sistem persamaan (3.5) adalah x = Ax dengan x = ( S , x1 , x2 ) dan A merupakan matriks Jacobi berikut: ⎡ ∂P ⎢ ⎢ ∂S ⎢ ∂Q A=⎢ 1 ⎢ ∂S ⎢ ∂Q ⎢ 2 ⎢⎣ ∂S ⎡ a11 = ⎢⎢ a21 ⎢⎣ a31
Teorema 1. Diberikan
a12 d1 a 2d = 2 2 , m1 − d1 m2 − d 2
i = 1, 2 . Jika λ = ai
mi > di ,
di , maka himpunan mi − d i
kesingularan dari sistem persamaan (3.5) dinyatakan dengan Sing ( X ) = {( 0, 0, 0 ) , ( K , 0, 0 )} ∪ Sing λ
di mana; ⎧( S , x1 , x2 ) S = λ ≤ K , ⎫ ⎪⎪ ⎪⎪ Sing λ = ⎨λ ( K − λ ) − x1 − x2 = 0, ⎬ ⎪ x ≥ 0, i = 1, 2 ⎪ ⎩⎪ i ⎭⎪ Bukti (lihat Lampiran 4).
Dari teorema di atas diperoleh titik tetap : T1 = ( S = 0, x1 = 0, x2 = 0 ) . T2 = ( S = K , x1 = 0, x2 = 0 )
Dan T3 yang diperoleh dari Sing λ . Berdasarkan titik tetap yang diperoleh di atas dapat dilakukan analisis kestabilannya. 3.3
Analisis Kestabilan Titik Tetap
Pada bagian ini akan dianalisis kestabilan titik tetap dari sistem persamaan (3.5). Sistem persamaan (3.5) dapat dituliskan menjadi:
∂P ⎤ ⎥ ∂x2 ⎥ ∂Q1 ⎥ ⎥ ∂x2 ⎥ ∂Q2 ⎥ ⎥ ∂x2 ⎥⎦ x =T
∂P ∂x1 ∂Q1 ∂x1 ∂Q2 ∂x1 a12 a22 a32
i
a13 ⎤ a23 ⎥⎥ a33 ⎥⎦ x =T
i
dengan a11 = 2 ( K − S ) S 2 ( a12 + S 2 ) +2 ( K − S ) S 2 ( a2 2 + S 2 )
+ ( K − S ) ( a12 + S 2 )( a2 2 + S 2 ) − S ( a12 + S 2 )( a2 2 + S 2 )
−m1 2 S 3 x1 − m1 2 S ( a2 2 + S 2 ) x1
−m2 2S 3 x2 − m2 2S ( a12 + S 2 ) x2 . a12 = 2d1 ( −1 + m1 ) S ( a2 2 + S 2 ) x1
+2d1 S ( −a12 + ( −1 + m1 ) S 2 ) x1
a13 = 2d 2 ( −1 + m2 ) S ( a12 + S 2 ) x2
+2d 2 S ( − a2 2 + ( −1 + m2 ) S 2 ) x2
a21 = −m1 S 2 ( a2 2 + S 2 )
a22 = d1 ( a2 2 + S 2 ) ( − a12 + ( −1 + m1 ) S 2 ) a23 = 0
a31 = −m2 S 2 ( a12 + S 2 )
a32 = 0
a33 = d 2 ( a12 + S 2 ) ( − a2 2 + ( −1 + m2 ) S 2 )
9
Melalui uji parameter a1 =
ii. Titik tetap dari koordinat
2 3 , a2 = , 5 5
7 8 , m2 = , dan K = 4 , 5 5 diperoleh titik tetap:
d1 = d 2 = 1 , m1 =
Untuk T1 = ( S = 0, x1 = 0, x2 = 0 ) dengan matriks Jacobi 0 0 ⎤ ⎡0.96 ⎢ A=⎢ 0 −0.24 0 ⎥⎥ ⎢⎣ 0 −0.24 ⎥⎦ 0
Pada λ < K di sekitar titik
( K , 0, 0 )
merupakan titik tetap tidak stabil pada sumbu xi , i = 1, 2 , sedangkan pada sumbu S , merupakan titik tetap stabil. Bukti (lihat Lampiran 5).
Persamaan karakteristik dari A adalah: det ( A − λ I ) = 0 , atau
Berikut ini akan diberikan gambar bidang fase pada sistem persamaan (3.5) dengan uji 2 3 parameter a1 = , a2 = , d1 = d 2 = 1 , 5 5 7 8 m1 = , m2 = , dan K = 4 menggunakan 5 5 tools Dynpac 10.71 pada Software Mathematica versi 5.2.
0.055296 + 0.4032λ + 0.48λ 2 − λ 3 = 0
Didapat nilai eigen dari A adalah: λ1 = 0.96
λ2 = −0.24 λ3 = −0.24 Untuk T2 = ( S = 4, x1 = 0, x2 = 0 ) dengan matriks Jacobi: ⎡ −1088.96 −371.84 −419.84 ⎤ 0 99.6 0 ⎥⎥ A = ⎢⎢ 0 0 147.6 ⎦⎥ ⎣⎢
2.00 3.00 4.00 , $%%%%%%%%%%%%%%%%%%% , $%%%%%%%%%%%%%%%%%%% , 5.00 5.00
7.00 , 5.00
.02
−1.60088*10 + 254490λ − 841.76λ − λ = 0 2
• Pada bidang ( S , x1 , x2 ) . , m1, m2, d1, d2 <=9
Persamaan karakteristik dari A adalah: det ( A − λ I ) = 0 , atau 7
( S , x1 , x2 )
merupakan titik tetap saddle. Pada sumbu S tidak stabil, sedangkan pada sumbu x i , i = 1, 2 stabil. iii. Jika λ ≠ K , maka pada titik singular ( K , 0, 0 ) merupakan titik tetap saddle.
3
175
015
Didapat nilai eigen dari A adalah: λ1 = −1088.96
125
λ2 = 99.6 λ3 = 147.6
.01
4 3.5 0.5 3
x1
1
Selanjutnya akan diperiksa kestabilan dari nilai titik tetap menggunakan teorema di bawah ini.
Gambar 7.
Teorema 2. Dari sistem persamaan (3.5): i. Pada koordinat ( S , x1 , x2 ) dalam
Pada Gambar 7, terlihat bahwa kurva akan membesar seiring berjalannya waktu.
3
,
sumbu serta koordinat bidang merupakan invariant manifolds dari sistem persamaan (3.5).
2.5
1.5 S
2
Medan vektor dan bidang fase pada bidang ( S , x1 , x2 ) .
10
• Pada bidang ( x1 , S ) . , m1, S m2, d1, d2 <=9
• Pada bidang ( x1 , x2 ) .
2.00 3.00 4.00 , $%%%%%%%%%%%%%%%%%%% , $%%%%%%%%%%%%%%%%%%% , 5.00 5.00
7.00 , 5.00
, m1, x2 m2, d1, d2 <=9
2.5
025
2
0.02
1.5
015
1
0.01
0.5
005
2.00 3.00 4.00 , $%%%%%%%%%%%%%%%%%%% , $%%%%%%%%%%%%%%%%%%% , 5.00 5.00
7.00 , 5.00
x1 2.5
Gambar 8.
3
3.5
4
4.5
x1 2.5
3
3.5
4
4.5
Medan vektor dan bidang fase pada bidang ( x1 , S ) .
Gambar 10. Medan vektor dan bidang fase pada bidang ( x1 , x2 ) .
Gambar 8 di atas merupakan cerminan dari Gambar 7 pada dua dimensi bidang ( x1 , S ) .
Gambar 10 di atas merupakan cerminan dari Gambar 7 pada dua dimensi pada bidang ( x1 , x2 ) .
Di mana pada suatu λ < K terdapat titik tetap bersifat spiral tidak stabil. • Pada bidang ( x2 , S ) . , m1, S m2, d1, d2 <=9
2.00 3.00 4.00 , $%%%%%%%%%%%%%%%%%%% , $%%%%%%%%%%%%%%%%%%% , 5.00 5.00
7.00 , 5.00
2.5
Selanjutnya dengan menggunakan teorema di bawah ini, dapat ditunjukkan bahwa sistem persamaan (3.1) terbatas pada variabel nyata Ω.
Teorema 3. Misal diberikan fungsi: B ( t ) = S ( t ) + x1 ( t ) + x2 ( t )
2
dengan S ( t ) , x1 ( t ) , x2 ( t ) adalah sistem pada persamaan (3.1). Jika S ≥ K , maka B ( t ) < 0 . Ini membuktikan
1.5
bahwa trayektori dari sistem akan melewati bidang S + x1 + x2 = C dari luar ke dalam. Jika konstanta C cukup besar, maka sistem persamaan (3.1) terbatas di Ω . Bukti (lihat Lampiran 6).
1
0.5
0.005
Gambar 9.
0.01
0.015
0.02
x2 0.025
Medan vektor dan bidang fase pada bidang ( x2 , S ) .
Gambar 9 di atas merupakan cerminan dari Gambar 7 pada dua dimensi bidang ( x2 , S ) .
11
IV SIMPULAN DAN SARAN
4.1
Simpulan
Model mangsa-pemangsa mengikuti model Holling tipe III menggambarkan perilaku pertumbuhan dalam sistem yang terdiri atas populasi mangsa serta populasi dua pemangsa. Dari hasil uji parameter yang diberikan pada sistem persamaan (3.5) dengan menggunakan tools Software Mathematica versi 6.0, diperoleh dinamika populasi pemangsa 1 yang mengkonsumsi mangsa lebih sedikit berakibat lambat laun jumlah populasinya akan menurun hingga mencapai kestabilan mengikuti model kurva peluruhan. Pada pemangsa 2, dinamika jumlah populasi menaik dengan asumsi bahwa pemangsa ini mengkonsumsi mangsa lebih banyak mengikuti model kurva pertumbuhan logistik Pada model mangsa, dinamika populasi baik pertumbuhan maupun kematian bergantung pada persaingan pemangsa 1 dan pemangsa 2 dan juga lambat laun akan mencapai kestabilan. Ukuran populasi pemangsa dalam menstabilkan sistem memegang peranan penting, dikarenakan pertumbuhan mangsa yang tidak terkendali dapat distabilkan dengan jumlah populasi pemangsa. Dengan meningkatnya populasi pemangsa,
mengakibatkan populasi mangsa berkurang dan akhirnya membuat sistem stabil. Analisis yang digunakan yaitu analisis kestabilan titik tetap menggunakan definisi titik singular. Dari analisis kestabilan diperoleh 3 kelompok titik tetap, yaitu kelompok titik tetap pertama T 1 = {S = 0, x 1 = 0, x 2 = 0} , kelompok titik tetap
kedua
T 2 = {S = K , x 1 = 0, x 2 = 0}
dengan K konstanta positif, dan kelompok titik tetap ketiga yang diperoleh dari Sing λ . Jika K berubah, maka dinamika populasi akan berubah pula, tetapi tidak pada kestabilan titik tetap. Pada ketiga kelompok titik tetap tersebut setelah dilakukan pencerminan terhadap ketiga bidang datar pada ruang S , x1 , x2 , terdapat titik tetap stabil, titik tetap tidak stabil, titik tetap saddle, dan spiral takstabil.
4.2
Saran
Saat ini telah berkembang model Holling tipe IV guna memodelkan peristiwa mangsapemangsa. Tidak menutup kemungkinan jika topik ini dikembangkan dengan mengambil model Holling tipe IV.
V DAFTAR PUSTAKA Anton, H. 1995. Aljabar Linear Elementer. Edisi ke-5. Terjemahan Pantur Silaban dan I Nyoman Susila. Erlangga, Jakarta.
Mathews, J. H., 1992. Numerical Methods for Mathematics, Science and Engineering. Prentice-Hall, London
Arfken, G. 1985. Mathematical Methods for Physicists 3rd ed. Academic Press, pp. 396-400 and 451-454. Orlando, Florida.
Perko, L. 1991. Differential Equations and Dynamical System, Texts in Applied Mathematics, vol. 7. Springer-Verlag, New York.
Eisenberg, J. N. & Don R. M. 1995. The Structural Stability of a Three-Species Food Chain Model. J. of Theo. Biol. 176:501-510. Hasibuan, K. M. 1988. Pemodelan Matematika di Dalam Biologi Populasi. PAU Ilmu Hayat IPB, Bogor.
Saez, E., Eduardo S. & Ivan S. 2006. Simultaneous Zip Bifurcation and Limit Cycles in Three Dimensional Competition Models. SIAM J. Applied Dynamical Systems. Vol. 5, No. 1, pp. 1-11.
12
Stewart, J. 1998. Kalkulus. Susila, I. N & Hendra G (penerjemah). Erlangga, Jakarta.
Verhulst, F. 1990. Nonlinear Differential Equation and Dynamical System. Springer-Verlag, Heidelberg, Germany.
Strogatz, S. H. 1994. Nonlinear Dynamics and Chaos, With Applications to Physics, Biology, Chemistry, and Engineering. Addison-Wesley Publishing Company, Reading, Massachusete.
Wiggins, S. 1990. Introduction to Applied Nonlinear Dynamical Systems and Chaos. Springer-Verlag, New York
Tu, P. N. V. 1994. Dynamical System, An Introduction with Application in Economics and Biology. Springer-Verlag, Heidelberg, Germany.
13
LAMPIRAN
14
LAMPIRAN 1 Penurunan sistem persamaan (3.1) menjadi sistem persamaan (3.3) Untuk menyederhanakan model dari sistem persamaan (3.1) digunakan ruang variabel nyata K Ω = ( S , x1 , x2 ) S , xi ≥ 0, i = 1, 2 . Dengan memilih t → ( a12 + S 2 )( a2 2 + S 2 ) t diperoleh sistem r persamaan (3.3).
{
}
Dari persamaan (3.1): Substitusikan persamaan berikut pada sistem persamaan (3.1): K S → ( a12 + S 2 )( a2 2 + S 2 ) S r K 2 xi → ( a1 + S 2 )( a2 2 + S 2 ) xi r Pada model mangsa: S⎞ 2 S2 ⎛ S = rS ⎜ 1 − ⎟ − ∑ mi xi 2 ai + S 2 ⎝ K ⎠ i =1 S⎞ S2 S2 ⎛ = rS ⎜ 1 − ⎟ − m1 x1 2 − m2 x2 2 2 a1 + S a2 + S 2 ⎝ K⎠ K Substitusikan S → ( a12 + S 2 )( a2 2 + S 2 ) S pada persamaan di aatas, diperoleh: r S⎞ S2 ⎛K 2 ⎞⎛ ⎛K ⎞ 2 = r ⎜ ( a1 + S )( a2 2 + S 2 ) S ⎟ ⎜1 − ⎟ − m1 ⎜ ( a12 + S 2 )( a2 2 + S 2 ) x1 ⎟ 2 ⎝r ⎠⎝ K ⎠ ⎝ r ⎠ ( a1 + S 2 )
S2 ⎛K ⎞ − m2 ⎜ ( a12 + S 2 )( a2 2 + S 2 ) x2 ⎟ 2 ⎝ r ⎠ ( a2 + S 2 ) = KS ( a12 + S 2 )( a2 2 + S 2 ) −
mK mK K 2 2 S ( a1 + S 2 )( a2 2 + S 2 ) − 1 S 2 ( a2 2 + S 2 ) x1 − 2 S 2 ( a12 + S 2 ) x2 K r r
S = S ( K − S ) ( a12 + S 2 )( a2 2 + S 2 ) −
m1 K 2 2 mK S ( a2 + S 2 ) x1 − 2 S 2 ( a12 + S 2 ) x2 r r
■ Pada model pemangsa 1: S2 x1 = m1 x1 2 − d1 x1 a1 + S 2 K 2 ( a1 + S 2 )( a22 + S 2 ) x1 pada persamaan di atas, diperoleh: r K S2 K = m1 ( a12 + S 2 )( a2 2 + S 2 ) x1 2 − d1 ( a12 + S 2 )( a2 2 + S 2 ) x1 2 r ( a1 + S ) r
Substitusikan x1 →
x1 =
m1 K 2 2 dK S ( a2 + S 2 ) x1 − 1 ( a12 + S 2 )( a2 2 + S 2 ) x1 r r
■
15
Pada model pemangsa 2: S2 x2 = m2 x2 2 − d 2 x2 a2 + S 2 K 2 ( a1 + S 2 )( a22 + S 2 ) x2 pada persamaan di atas, diperoleh: r d K K = m2 ( a12 + S 2 ) x2 − 2 ( a12 + S 2 )( a2 2 + S 2 ) x2 r r m2 K 2 2 d K x2 = S ( a1 + S 2 ) x2 − 2 ( a12 + S 2 )( a2 2 + S 2 ) x2 r r
Substitusikan x2 →
■ Hasil di atas dapat ditulis kembali menjadi sistem persamaan (3.3) mK mK S = S ( K − S ) ( a12 + S 2 )( a2 2 + S 2 ) − 1 S 2 ( a2 2 + S 2 ) x1 − 2 S 2 ( a12 + S 2 ) x2 r r mK dK x1 = 1 S 2 ( a2 2 + S 2 ) x1 − 1 ( a12 + S 2 )( a2 2 + S 2 ) x1 r r m2 K 2 2 d K x2 = S ( a1 + S 2 ) x2 − 2 ( a12 + S 2 )( a2 2 + S 2 ) x2 r r ■
16
LAMPIRAN 2 Penurunan sistem persamaan (3.3) menjadi sistem persamaan (3.4) r r ⎫ ⎧ Dengan mereduksi parameter ⎨mi → mi , d i → d i ⎬ , i = 1, 2 , serta transformasi linear pada K K ⎩ ⎭ ⎧ ⎫ x koordinat ⎨ xi → i ⎬ ke dalam sistem persamaan (3.3), diperoleh sistem persamaan (3.4). d i ⎭ ⎩
Dari persamaan (3.3): Pada model mangsa: S = S ( K − S ) ( a12 + S 2 )( a2 2 + S 2 ) −
m1 K 2 2 mK S ( a2 + S 2 ) x1 − 2 S 2 ( a12 + S 2 ) x2 r r rm K x x r m2 K 2 2 S ( a1 + S 2 ) 2 = S ( K − S ) ( a12 + S 2 )( a2 2 + S 2 ) − i S 2 ( a2 2 + S 2 ) 1 − Kr d1 K r d2 diperoleh: m S2 m S = S ( K − S ) ( a12 + S 2 )( a2 2 + S 2 ) − 1 ( a2 2 + S 2 ) x1 − 2 S 2 ( a12 + S 2 ) x2 d1 d2
■ Pada model pemangsa 1: mK dK x1 = 1 S 2 ( a2 2 + S 2 ) x1 − 1 ( a12 + S 2 )( a2 2 + S 2 ) x2 r r r m1 K 2 2 r d1 K 2 = S ( a2 + S 2 ) x1 − ( a1 + S 2 )( a22 + S 2 ) x1 K r K r diperoleh: x1 = m1 S 2 ( a2 2 + S 2 ) x1 − d1 ( a12 + S 2 )( a2 2 + S 2 ) x1 ■ Pada model pemangsa 2: mK d K x2 = 2 S 2 ( a12 + S 2 ) x2 − 2 ( a12 + S 2 )( a2 2 + S 2 ) x2 r r r m2 K 2 2 r d2 K 2 2 = S ( a1 + S ) x2 − a1 + S 2 )( a2 2 + S 2 ) x2 ( K r K r diperoleh: x2 = m2 S 2 ( a12 + S 2 ) x2 − d 2 ( a12 + S 2 )( a2 2 + S 2 ) x2 ■ Hasil di atas dapat ditulis kembali menjadi sistem persamaan (3.4): m m S = S ( K − S ) ( a12 + S 2 )( a2 2 + S 2 ) − 1 S 2 ( a2 2 + S 2 ) x1 − 2 S 2 ( a12 + S 2 ) x2 d1 d2 x1 = m1 S 2 ( a2 2 + S 2 ) x1 − d1 ( a12 + S 2 )( a2 2 + S 2 ) x1
x2 = m2 S 2 ( a12 + S 2 ) x2 − d 2 ( a12 + S 2 )( a2 2 + S 2 ) x2
■
17
LAMPIRAN 3 Penurunan sistem persamaan (3.4) menjadi sistem persamaan (3.5) Dengan mereduksi kembali menggunakan parameter
{mi → mi di } , i = 1, 2
ke dalam sistem
persamaan (3.4), diperoleh sistem persamaan (3.5). Dari persamaan (3.4): Pada model mangsa: S = S ( K − S ) ( a12 + S 2 )( a2 2 + S 2 ) − = S ( K − S ) ( a12 + S 2 )( a2 2 + S 2 ) −
m1 2 2 m S ( a2 + S 2 ) x1 − 2 S 2 ( a12 + S 2 ) x2 d1 d2 m1d1 2 2 md S ( a2 + S 2 ) x1 − 2 2 S 2 ( a12 + S 2 ) x2 d1 d2
diperoleh: S = S ( K − S ) ( a12 + S 2 )( a2 2 + S 2 ) − x1m1 S 2 ( a2 2 + S 2 ) − x2 m2 S 2 ( a12 + S 2 ) ■ Pada model pemangsa 1: x1 = m1 S 2 ( a2 2 + S 2 ) x1 − d1 ( a12 + S 2 )( a2 2 + S 2 ) x1
= m1d1 S 2 ( a2 2 + S 2 ) x1 − d1 ( a12 + S 2 )( a2 2 + S 2 ) x1 = x1d1 ⎡⎣ m1 S 2 ( a2 2 + S 2 ) − ( a12 + S 2 )( a2 2 + S 2 ) ⎤⎦ = x1d1 ( a2 2 + S 2 ) ⎡⎣ m1 S 2 − ( a12 + S 2 ) ⎤⎦ = x1d1 ( a2 2 + S 2 ) ⎡⎣ m1 S 2 − a12 − S 2 ⎤⎦
diperoleh: x1 = x1d1 ( a2 2 + S 2 ) ⎡⎣( m1 − 1) S 2 − a12 ⎤⎦ ■ Pada model pemangsa 2: x2 = m2 S 2 ( a12 + S 2 ) x2 − d 2 ( a12 + S 2 )( a2 2 + S 2 ) x2 = m2 d 2 S 2 ( a12 + S 2 ) x2 − d 2 ( a12 + S 2 )( a2 2 + S 2 ) x2 = x2 d 2 ⎡⎣ m2 S 2 ( a12 + S 2 ) − ( a12 + S 2 )( a2 2 + S 2 ) ⎤⎦ = x2 d 2 ( a12 + S 2 ) ⎡⎣ m2 S 2 − ( a2 2 + S 2 ) ⎤⎦
diperoleh: x2 = x2 d 2 ( a12 + S 2 ) ⎡⎣ S 2 ( m2 − 1) − a2 2 ⎤⎦ ■ Hasil di atas dapat ditulis kembali menjadi sistem persamaan (3.5): S = S ( K − S ) ( a12 + S 2 )( a2 2 + S 2 ) − x1 m1 S 2 ( a2 2 + S 2 ) − x2 m2 S 2 ( a12 + S 2 ) x1 = x1 d1 ( a2 2 + S 2 ) ⎡⎣( m1 − 1) S 2 − a12 ⎤⎦
x2 = x2 d 2 ( a12 + S 2 ) ⎡⎣( m2 − 1) S 2 − a2 2 ⎤⎦
■
18
LAMPIRAN 4 Bukti Teorema 1: Dari persamaan (3.2) dengan parameter di = 1; i = 1, 2 , diperoleh : a12 d1 a2 2 d 2 = m1 − 1 m2 − 1
ST := S1 = S2 ⇒
a12 a2 = 2 m1 − 1 m2 − 1
Misalkan untuk kasus S = λ pada S > Si := ai 2
d1 , diperoleh: mi − d i
λ = ai
di mi − di
= ai
di mi − di
= ai =
1 mi − 1 ai mi − 1
Bentuk di atas dapat ditulis kembali sebagai berikut: ⎧ a 2d a 2d ⎪ 1 1 = 2 2 → ⎪ m1 − d1 m2 − d 2 ⎪ mi > di → ⎨ ⎪ di ⎪ λ=a → i ⎪ mi − di ⎩
a12 a2 = 2 m1 − 1 m2 − 1 mi > 1
λ=
ai mi − 1
Dalam pencarian titik singular dari sistem persamaan (3.5), dapat ditulis persamaan sebagai berikut: dx dx dS S= = 0 , x1 = 1 = 0 , dan x2 = 2 = 0 dt dt dt Nyatakan bahwa ( mi − 1) S 2 = ai 2 mi S 2 − S 2 = ai 2 xi mi S 2 − xi S 2 = xi ai 2 xi mi S 2 = xi ai 2 + xi S 2
xi mi S 2 = xi ( ai 2 + S 2 ) , i = 1, 2
Dari persamaan kedua pada sistem persamaan (3.5), diperoleh: x1 = x1d1 ( a2 2 + S 2 ) ⎡⎣( m1 − 1) S 2 − a12 ⎤⎦ = 0 ⇒ x1d1 ( a2 2 + S 2 ) ⎡⎣ a12 − a12 ⎤⎦ = 0 =0
x1 = 0 ⇒ x1 = 0
19
Dari persamaan ketiga pada sistem peramaan (3.5), diperoleh: x2 = x2 d 2 ( a12 + S 2 ) ⎡⎣( m2 − 1) S 2 − a2 ⎤⎦ = 0 ⇒ x2 d 2 ( a12 + S 2 ) ⎡⎣ a2 2 − a2 2 ⎤⎦ = 0 0
x2 = 0 ⇒ x2 = 0
Dari persamaan pertama pada sistem peramaan (3.5), diperoleh: S = S ( K − S ) ( a12 + S 2 )( a2 2 + S 2 ) − x1m1 S 2 ( a2 2 + S 2 ) − x2 m2 S 2 ( a12 + S 2 ) = 0 ⇒ S ( K − S ) ( a12 + S 2 )( a2 2 + S 2 ) = x1m1 S 2 ( a2 2 + S 2 ) + x2 m2 S 2 ( a12 + S 2 ) ⇒ S (K − S) =
x1 m1 S 2 x2 m2 S 2 + a12 + S 2 a2 2 + S 2
⇒ S ( K − S ) = x1 + x2
⇒ S ( K − S ) = 0 , karena x1 = 0 dan x2 = 0 ⇒ S = 0∨ S = K
Diperoleh bahwa titik singular pada persamaan (3.5) adalah ( 0, 0, 0 ) dan ( K , 0, 0 ) .
Mengingat xi mi S 2 = xi ( ai 2 + S 2 ) , i = 1, 2 , persamaan pertama pada sistem persamaan (3.5) menjadi: S = S ( K − S ) ( a12 + S 2 )( a2 2 + S 2 ) − x1m1 S 2 ( a2 2 + S 2 ) − x2 m2 ( a12 + S 2 ) = S ( K − S ) ( a12 + S 2 )( a2 2 + S 2 ) − x1 ( a12 + S 2 )( a2 2 + S 2 ) − x2 ( a12 + S 2 )( a2 2 + S 2 ) = ( a12 + S 2 )( a2 2 + S 2 ) ⎡⎣ S ( K − S ) − x1 − x2 ⎤⎦
Jika λ ≤ K , dari S ( K − S ) = x1 + x2 pada penyelesaian pencarian titik tetap persamaan pertama pada (3.5), dapat digambarkan kurva seperti berikut: x2
x1 + x2 = 0
0
λ ( K − λ ) = x1 + x2 , karena S = λ
K
x1 S =λ
S
Ilustrasi Teorema 1.
Sing λ =
{( S , x , x ) S = λ , λ ( K − λ ) − x − x 1
2
1
2
}
= 0, xi ≥ 0, i = 1, 2
■ terbukti
20
LAMPIRAN 5 Bukti Teorema 2: i.
Pada koordinat S , x1 , x2 dalam 3 , sumbu serta koordinat bidang merupakan invariant manifolds dari sistem persamaan (3.5) Bukti : ∂ ∂ ∂ X =P + Q1 + Q2 ∂S ∂x 1 ∂x 2 ∂ ⎧ 2 2 2 2 ⎪ X ( S , 0, 0 ) = S ( K − S ) ( a1 + S )( a2 + S ) − 0 − 0 ∂S ⎪ ⎪ X ( 0, x , 0 ) = x d ( a + 0 ) ⎡( m − 1) 0 − a 2 ⎤ ∂ 1 1 1 2 1 ⎦ ⎪ ⎣ 1 ∂x 1 ⎨ ⎪ ...... ⎪ ∂ ∂ ⎪ 2 2 2 2 ⎪X ( 0, x 1 , x 2 ) = − ( x 1d 1a1 a2 ) ∂x − ( x 2d 2a1 a2 ) ∂x ⎩ 1 2 ∂ ⎧ 2 2 2 2 ⎪ X ( S , 0, 0 ) = S ( K − S ) ( a1 + S )( a2 + S ) ∂S ⎪ ⎪ X ( 0, x , 0 ) = − x d a 2a 2 ∂ ( 1 1 1 2 ) ∂x 1 ⎪ 1 ⎨ ⎪ ...... ⎪ ⎪X 0, x , x = − x d a 2a 2 ∂ − x d a 2a 2 ∂ ( 1 1 1 2 ) ∂x ( 2 2 1 2 ) ∂x ⎪ ( 1 2) ⎩ 1 2
( (
)
)
■ terbukti ii.
Dapat dituliskan kembali sistem persamaan(3.5) sebagai berikut: P ( S , x1 , x2 ) = S ( K − S ) ( a12 + S 2 )( a2 2 + S 2 ) − x1m1 S 2 ( a2 2 + S 2 ) − x2 m2 S 2 ( a12 + S 2 ) Q1 ( S , x1 , x2 ) = x1d1 ( a2 2 + S 2 ) ⎡⎣( m1 − 1) S 2 − a12 ⎤⎦
Q2 ( S , x1 , x2 ) = x2 d 2 ( a2 2 + S 2 ) ⎡⎣( m2 − 1) S 2 − a2 2 ⎤⎦
Dengan melakukan turunan untuk setiap fungsi terhadap state variable, diperoleh: ⎛ ∂P ∂P ∂P ⎞ ⎜ ⎟ S x x2 ⎟ ∂ ∂ ∂ 1 ⎜ a12 a13 ⎞ ⎛a ⎜ ∂Q1 ∂Q1 ∂Q1 ⎟ ⎜ 11 ⎟ DX = ⎜ ⎟ = ⎜ a21 a22 a23 ⎟ ∂x1 ∂x2 ⎟ ⎜ ⎜ ∂S ⎟ ⎜ ∂Q ∂Q ∂Q ⎟ ⎝ a31 a32 a33 ⎠ 2 2 2 ⎜⎜ ⎟ ∂x1 ∂x2 ⎟⎠ ⎝ ∂S dengan : a11 = 2 ( K − S ) S 2 ( a12 + S 2 ) + 2 ( K − S ) S 2 ( a2 2 + S 2 ) + ( K − S ) ( a12 + S 2 )( a2 2 + S 2 ) − S ( a12 + S 2 )( a2 2 + S 2 ) − m1 2S 3 x1 − m1 2 S ( a2 2 + S 2 ) x1 −m2 2 S 3 x2 − m2 2 S ( a12 + S 2 ) x2 .
a12 = 2d1 ( −1 + m1 ) S ( a2 2 + S 2 ) x1 + 2d1 S ( −a12 + ( −1 + m1 ) S 2 ) x1
a13 = 2d 2 ( −1 + m2 ) S ( a12 + S 2 ) x2 + 2d 2 S ( − a2 2 + ( −1 + m2 ) S 2 ) x2
21
a21 = −m1 S 2 ( a2 2 + S 2 ) a22 = d1 ( a2 2 + S 2 ) ( − a12 + ( −1 + m1 ) S 2 ) a23 = 0
a31 = −m2 S 2 ( a12 + S 2 )
a32 = 0
a33 = d 2 ( a12 + S 2 ) ( − a2 2 + ( −1 + m2 ) S 2 )
Dengan memasukkan titik singular ( S , x1 , x2 ) = ( 0, 0, 0 ) , bentuk matriks menjadi: ⎛ a12a2 2 K ⎜ DX ( 0, 0, 0 ) = ⎜ 0 ⎜ 0 ⎝ ⎛K ⎜ =a a ⎜ 0 ⎜0 ⎝ 2 2 1 2
0
−a a d 0 0
−d 1 0
⎞ ⎟ 0 ⎟ −a12a2 2d 2 ⎟⎠ 0
2 2 1 2 1
0 ⎞ ⎟ 0 ⎟ −d 2 ⎟⎠
K , ai , d i > 0; i = 1, 2
■ terbukti iii.
Dengan memasukkan titik singular ( S , x1 , x2 ) = ( K , 0, 0 ) , sehingga bentuk matriks menjadi: ⎛ a11 a12 a13 ⎞ ⎜ ⎟ DX ( K , 0, 0 ) = ⎜ 0 a22 0 ⎟ ⎜ 0 0 a33 ⎟⎠ ⎝ ai ai Dari Teorema 1 diperoleh: λ = ⇔ λ2 = . 2 m −1 mi − 1 i
λ2 =
ai mi − 1
⇒ λ 2 ( mi − 1) = ai 2 ⇒ −ai 2 + λ 2 ( mi − 1) = 0 ⇒ −ai 2 + K 2 ( mi − 1) > 0, karena λ < K
Maka aii > 0, i = 2,3 , dengan;
a11 = − K ( a12 + K 2 )( a2 2 + K 2 ) < 0
a22 = d1 ( a2 2 + K 2 ) ( −a12 + K 2 ( −1 + m1 ) ) = d1 ( a2 2 + K 2 ) ⎡⎣ − a12 + ( m1 − 1) K 2 ⎤⎦ > 0
a33 = d 2 ( a12 + K 2 )( −a2 2 + K 2 ) ( −a2 2 + K 2 ( −1 + m2 ) ) = d 2 ( a12 + K 2 ) ⎡⎣ − a2 2 + ( m2 − 1) K 2 ⎤⎦ > 0
■ terbukti
22
LAMPIRAN 6 Bukti Teorema 3: Pada fungsi B ( t ) = S ( t ) + x1 ( t ) + x2 ( t ) , turunannya terhadap t dapat dituliskan sebagai berikut: B = S + x1 + x2 ⎛ ⎛ ⎞ ⎛ ⎞ S⎞ S2 S2 ⎞ ⎛ S2 S2 = ⎜ rS ⎜ 1 − ⎟ − m1 x1 2 − + − + − d 2 x2 ⎟ m x m x d x m x ⎜ 1 1 2 ⎜ 2 2 2 2 2 1 1⎟ 2 2 2 ⎟ 2 2 a1 + S a2 + S ⎠ ⎝ a1 + S a2 + S ⎝ ⎝ K⎠ ⎠ ⎝ ⎠ S ⎛ ⎞ = rS ⎜ 1 − ⎟ − d1 x1 − d 2 x2 ⎝ K⎠ r = S ( K − S ) − d1 x1 − d 2 x2 K Misalkan S ≥ K , maka B ( t ) = S ( t ) + x1 ( t ) + x2 ( t ) < 0 , sehingga sistem persamaan (3.1) terbatas
di Ω karena S ≥ K ■ terbukti
23
Lampiran 7 Program ditulis dan dijalankan pada Mathematica versi 6.0
ü Program Mathematica guna melihat hubungan state variable dengan waktu d1 = d2 = 1;H∗ laju kematian untuk pemangsa 1 dan pemangsa 2∗L 7 m1 = ;H∗ laju kelahiran pemangsa 1 ∗L 5 8 m2 = ;H∗ laju kelahiran pemangsa 2 ∗L 5 a1 =
2
;H∗ konstanta kejenuhan pemangsa 1 ∗L
5 3
;H∗ konstanta kejenuhan pemangsa 2 ∗L 5 K = 4;H∗ daya tampung mangsa ∗L tmax = 1000;H∗ waktu maksimum ∗L a2 =
H∗ Menyelesaikan model secara Numerik ∗L sol1 = NDSolveA9S '@tD
S@tD ∗ HK − S@tDL ∗ Ia12 + HS@tDL2 M ∗ Ia22 + HS@tDL2 M −
m1 ∗ x1@tD ∗ HS@tDL2 ∗ Ia22 + HS@tDL2 M − m2 ∗ x2@tD ∗ HS@tDL2 ∗ Ia12 + HS@tDL2 M,
x1 '@tD x2 '@tD S@0D
d1 ∗ x1@tD ∗ Ia22 + HS@tDL2 M ∗ IHm1 − 1L ∗ HS@tDL2 − a12 M,
d2 ∗ x2@tD ∗ Ia12 + HS@tDL2 M ∗ IHm2 − 1L ∗ HS@tDL2 − a22 M, 1, x1@0D
3.1, x2@0D
0.01=, 8S@tD, x1@tD, x2@tD<,
8t, 0, tmax<, DependentVariables → 8S, x1, x2<, MaxSteps → ∞E;
8prey, pred1, pred2< = 8S@tD, x1@tD, x2@tD< ê. Flatten@sol1D; H∗ Membangkitkan data ∗L data1 = Table@prey, 8t, 0, tmax
H∗ Menampilkan grafik untuk data1 ∗L graf1 = ListPlot@data1, PlotStyle → 8RGBColor@1, 0, 0D,
[email protected]<, AxesLabel → 8"t", "S"<, Joined → True, AspectRatio → 1, PlotRange → 880, 500<, 80, Max@data1D<<, ImageSize → 300D H∗ Menampilkan grafik untuk data2 ∗L graf2 = ListPlot@data2, PlotStyle → 8RGBColor@0, 1, 0D,
[email protected]<, AxesLabel → 8"t", "x1"<, Joined → True, AspectRatio → 1, PlotRange → 880, 500<, 80, Max@data2D<<, ImageSize → 300D H∗ Menampilkan grafik untuk data3 ∗L graf3 = ListPlot@data3, PlotStyle → 8RGBColor@0, 0, 1D,
[email protected]<, AxesLabel → 8"t", "x2"<, Joined → True, AspectRatio → 1, PlotRange → 880, 500<, 80, Max@data3D<<, ImageSize → 300D H∗ Menampilkan keseluruhan grafik yang ada ∗L Show@graf1, graf2, graf3, AxesLabel → 8"t", "S,x1,x2"<, DisplayFunction → $DisplayFunction, PlotRange → 880, 500<, 80, 5<<, ImageSize → 300D
24
Lampiran 8 Program ditulis dan dijalankan pada Mathematica versi 5.2
ü Program Mathematica guna melihat medan arah dan bidang fase ü Langkah awal H∗ Memeriksa versi dari Paket DynPac ∗L sysid Mathematica
5.2.0, DynPac 10.71, 1ê16ê2008
H∗ Mereset semua variabel bernilai integer yang ada ∗L intreset; H∗ Mereset semua gambar yang ada ∗L plotreset; H∗ Menyatakan state variables ∗L setstate@8S, x1, x2
H∗ Konstanta dari parameter ∗L
2 3 7 8 parmval = 94, $%%%%%% , $%%%%%% , , , 1, 1=; 5 5 5 5
H∗ Pemberian nama sistem ∗L sysname = "PredatorPrey"; H∗ Kondisi awal dari state variabel ∗L initvec = 81, 3.1, 0.01<; H∗ Waktu kondisi awal, biasanya 0 ∗L t0 = 0.0;
H∗ Selang integral ∗L window = 88−0.5, 0.5<, 8−0.5, 0.5<, 8−0.5, 0.5<<;
H∗ Kenaikan waktu berikutnya ∗L h = sugtimestep@windowD 0.00668388
25 H∗ Banyak langkah integral ∗L nsteps = 2000; H∗ Perhitungan integral ∗L sol = integrate@initvec, t0, h, nstepsD;
ü Plot gambar bidang S, X1 , X2 H∗ Aspek rasio dari grafik 3 D ∗L boxrat = 81, 1, 1<;
H∗ Menggambarkan bidang fase 3 D ∗L graph1 = phaseplot3D@sol, 1, 2, 3D;
ü Plot gambar bidang X1 , S H∗ Aspek rasio dari grafik 2 D ∗L asprat = 1.0; H∗ Jarak sumbu ∗L plrange = 882, 4.5<, 80, 2.5<<;
H∗ Membuat panah dalam grafik bidang fase ∗L arrowflag = True; H∗ Letak dari panah dalam bidang fase ∗L 1 arrowvec = 9 =; 3
H∗ Menggambar bidang fase 2 D pada sumbu x1 ,S ∗L graphxyproj1 = phaseplot@sol, 2, 1D;
ü Plot gambar bidang X2 , S H∗ Aspek rasio dari grafik 2 D ∗L asprat = 1.0; H∗ Membuat panah dalam grafik bidang fase ∗L arrowflag = True; H∗ Letak dari panah dalam bidang fase ∗L 1 arrowvec = 9 =; 3
H∗ Jarak sumbu ∗L plrange = 880, 0.025<, 80, 2.5<<;
H∗ Menggambar bidang fase 2 D pada sumbu x2 ,S ∗L graphxzproj2 = phaseplot@sol, 3, 1D;
26
ü Plot gambar bidang X1 , X2 H∗ Aspek rasio dari grafik 2 D ∗L asprat = 1.0; H∗ Membuat panah dalam grafik bidang fase ∗L arrowflag = True; H∗ Letak dari panah dalam bidang fase ∗L 1 arrowvec = 9 =; 3
H∗ Jarak sumbu ∗L plrange = 882, 4.5<, 80, 0.025<<;
H∗ Menggambar bidang fase 2 D pada sumbu x1 ,x2 ∗L graphyzproj3 = phaseplot@sol, 2, 3D;