ANALISIS MENGENAI PERBANDINGAN BENEFICIAL OWNER DI DALAM TAX TREATY (STUDI KASUS ANTARA NEGARA INDONESIA – BELANDA DAN INDONESIA HONG KONG)
STEFY YANTI Universitas Bina Nusantara. Jl. Kebon Jeruk Raya No 27, Telp: (021) 53696969 Email:
[email protected] Dosen Pembimbing: Yunita Anwar, S.E., M.M., BKP
ABSTRAK The purpose of research is to understand Tax Treaty that involves Indonesia - Netherlands and Indonesia - Hong Kong, especially application of Beneficial Owner regulated in Article 10 about dividends, Article 11 about interest, and Article 12 about royalty. Research Methods and Objects used in the thesis are literature study and field study by interviewing the parties who understand the taxation field in Indonesia, especially regarding Beneficial Owners. Indonesia shall conduct Tax Treaty with Netherlands and Hong Kong to prevent double taxation that would adverse tax payers at each country. With the establishment of Tax Treaty, arrangements may be taxed in accordance with the agreement between the two countries involved in agreement. In the application Tax Treaty Indonesia - Netherlands and Indonesia - Hong Kong not create conflict domestic law of countries involved. (SY) Keywords: Tax Treaty, Beneficial Owner.
ABSTRAK Tujuan Penelitian adalah untuk memahami Tax Treaty yang melibatkan Indonesia – Belanda dan Indonesia – Hong Kong, khususnya penerapan dalam hal Beneficial Owner yang diatur dalam Pasal 10 tentang dividen, Pasal 11 tentang bunga, dan Pasal 12 tentang royalti. Metode dan Objek Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi adalah studi pustaka dan studi lapangan dengan cara wawancara kepada pihak yang mengerti bidang perpajakan Indonesia khususnya mengenai Beneficial Owner. Indonesia melakukan perjanjian penghindaran pajak berganda dengan negara Belanda dan negara Hong Kong untuk mencegah timbulnya pajak berganda yang akan merugikan wajib pajak di masing-masing negara. Dengan dibuatnya perjanjian penghindaran pajak berganda maka dapat dilakukan pengaturan pajak sesuai dengan kesepakatan kedua negara yang terlibat dalam perjanjian. Dalam penerapan Tax Treaty Indonesia – Belanda dan Indonesia – Hong Kong tidak menimbulkan pertentangan dalam Undang-Undang domestik negara yang terlibat.(SY) Kata Kunci: Tax Treaty, Beneficial Owner.
PENDAHULUAN Dapat kita lihat seiring dengan semakin berkembang dan meningkatnya kegiatan ekonomi di era globalisasi yang telah melewati batas-batas yuridiksi negara maka dapat menimbulkan permasalahan tersendiri dari sisi perpajakan. Setiap negara didunia telah mempunyai peraturan perpajakan masing-masing, yang mengatur segala urusan perpajakan dinegara tersebut baik pajak atas penduduk maupun bukan penduduk yang ada dinegara tersebut sebab pajak dapat dikatakan sebagai salah satu unsur terpenting untuk membantu meningkatkan pembangunan disuatu negara. Prinsip tersebutlah yang mempengaruhi perlakuan perpajakan terhadap subjek maupun objek pajak baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri, agar pajak yang diberikan dapat terus menyokong berdirinya negara akan tetapi juga tidak memberatkan investor yang akan menanam modal dinegara tersebut. Untuk menekankan pentingnya pajak bagi kemajuan negara, seorang negarawan besar Amerika Serikat yaitu Benjamin Franklin, yang juga presiden negara tersebut pada saat itu, dengan lebih ekstrim mengatakan “In this world nothing can be said to be certain, except death and taxes”. Tentu saja Benjamin Franklin tidak berusaha dan bermaksud untuk menumbuhkan atau memberikan rasa takut kepada penduduknya, akan tetapi ia berusaha untuk menekankan kepada mereka betapa pentingnya pajak dari penduduknya bagi kemajuan bangsa tersebut diberbagai bidang yang diatur oleh negara untuk seluruh masyarakat. Dengan masalah dapat terjadinya pengenaan pajak berganda (double taxation) tersebut, dapat terjadi kerugian bagi masing-masing negara. Maka dari itu perlu diadakan pengaturan khusus untuk kedua negara tersebut secara bilateral agar segala kegiatan investasi antar negara dapat berjalan dengan lancar dan tanpa hambatan, pengaturan khusus tersebut adalah Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau yang dapat disebut sebagai Tax Treaty. Didalam praktek perpajakannya sendiri, sampai saat ini Indonesia telah memiliki Tax Treaty atau Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan kurang lebih 65 negara yang telah memiliki hubungan kerjasama yang baik dan terus berjalan. Indonesia menyerahkan hak pemajakan kepada negara sumber (Source State) penghasilan yang memiliki kerja sama Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dan memperoleh hak pemajakan atas sumber yang diperoleh dari Indonesia. Maka dari itu Indonesia memberikan kredit pajak atas penghasilan yang terutang atau dibayar di luar negeri dan hanya memungut selisih kurang bayar atas penghasilan luar negeri tersebut. Dalam OECD model, UN model, dan model Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) Indonesia, terdapat ketentuan mengenai beneficial owner (pemilik manfaat yang sebenarnya). Maksud dari adanya ketentuan beneficial owner adalah untuk menangkal praktik treaty shopping (pihak yang tidak berhak) dengan cara mencegah penduduk yang tidak mempunyai treaty menikmati manfaat suatu treaty. Dalam OECD model, UN model, dan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) Indonesia, pada pasal yang mengatur pengurangan tarif pajak oleh negara sumber atas dividen, bunga, dan royalti disebutkan, bahwa pengurangan tarif pajak akan diberikan apabila beneficial owner dari dividen, bunga, atau royalti merupakan penduduk dari negara yang telah melakukan perjanjian Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) tersebut. Seandainya dividen, bunga, atau royalti tersebut diterima oleh penduduk negara mitra P3B, tetapi beneficial owner dari penghasilan tersebut
bukan penduduk negara mitra P3B, maka penerima penghasilan tersebut tidak berhak mendapatkan pengurangan tarif pajak. Berdasarkan masalah yang telah diuraikan diatas, maka penulis memutuskan untuk melakukan penelitian lebih mendalam mengenai “ANALISIS MENGENAI PERBANDINGAN BENEFICIAL OWNER DI DALAM TAX TREATY (STUDI KASUS ANTARA NEGARA INDONESIA-BELANDA DAN INDONESIA-HONG KONG)”. Setelah penjabaran diatas, maka dapat diketahui identifikasi masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. 2. 3. 4.
Bagaimana pelaksanaan tax treaty negara Belanda, Hong Kong dan Indonesia terkait dengan masalah beneficial owner ? Apakah masalah yang berkaitan dengan beneficial owner tersebut menimbulkan pertentangan dengan perpajakan Indonesia ? Apakah manfaat yang didapatkan negara Belanda, Hong Kong dan Indonesia atas Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) / tax treaty tersebut ? Bagaimana hubungan investasi antara negara Belanda, Hong Kong dan Indonesia?
Pembatasan ruang lingkup masalah ini dilakukan peneliti dengan tujuan agar pembahasan dapat terpusat dan fokus pada satu topik sebab Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) mengatur banyak hal yang berhubungan dengan pajak internasional antar kedua negara yang melakukan perjanjian, dengan pembatasan yang dilakukan diharapkan agar topik yang akan disajikan tidak melebar dari materi yang akan dibahas sehingga dapat menjawab permasalahan yang ada. Tujuan dari penelitian yang ingin dicapai adalah sebagai berikut: 1.
2. 3. 4.
Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai beneficial owner yang tercantum pada pasal 10 mengenai dividen, pasal 11 mengenai bunga dan pasal 12 mengenai royalti berdasarkan OECD model. Untuk melihat apakah Tax Treaty yang ada bertentangan dengan undang-undang domestik. Untuk lebih memahami manfaat hubungan yang terjalin antara negara Belanda, Hong Kong dan Indonesia berdasarkan tax treaty yang telah disepakati. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai hubungan investasi antara negara Belanda, Hong Kong dan Indonesia.
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak yang membutuhkan, diantaranya: 1.
Bagi Penulis Mendapatkan kesempatan untuk mengulas masalah-masalah terkait dengan bidang perpajakan khususnya perpajakan internasional dan menghubungkan masalah tersebut dengan teori-teori serta ilmu yang selama ini telah diperoleh maupun dipelajari di bangku kuliah.
2.
Bagi Dunia Pendidikan Penelitian ini diharapkan dapat mengambil peranan penting dalam menambah ilmu pengetahuan dibidang perpajakan internasional bagi orang-orang yang membutuhkan sumber tambahan untuk belajar mengenai pajak terutama pajak internasional yang terkait dengan beneficial owner didalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) / tax treaty.
3.
Bagi Universitas Hasil penelitian ini sangat diharapkan dapat turut menyumbangkan suatu ilmu pengetahuan yang berharga sebagai tambahan perbendaharaan serta referensi dan dapat memberikan ideide untuk pengembangan penelitian lebih lanjut bagi rekan-rekan yang mengadakan penelitian dalam bidang yang berkaitan / berhubungan dengan tulisan penelitian dimasa yang akan datang. Sehingga topik mengenai pajak internasional dapat lebih banyak dibahas dimasa yang akan datang sebab kerja sama antar negara sekarang ini semakin menguntungkan serta berkembang dan harus diperhatikan sebagai materi yang baik untuk diteliti.
4.
Bagi Masyarakat Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat turut serta digunakan sebagai tambahan wawasan dan referensi mengenai perkembangan sistem perpajakan internasional di Indonesia bagi masyarakat yang tertarik dan membutuhkan sumber informasi yang mengacu pada teori beneficial owner.
5.
Bagi Pihak Lain Diharapkan bagi pihak lainnya yang membutuhkan dapat berguna jika suatu saat mengadapai masalah berkaitan dengan masalah yang diteliti, yaitu mengenai perpajakan internasional khususnya dalam hal beneficial owner.
METODE PENELITIAN Objek penelitian adalah mengenai perbandingan tax treaty antara negara yang telah bekerja sama dengan Indonesia dalam upaya penghindaran pajak berganda. Jenis penelitian yang dilakukan menggunakan metode kualitatif, sumber data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data primer dan data sekunder. Dalam metode pengumpulan data menggunakan metode kualitatif dapat kita jabarkan sebagai berikut ini: 1.
2.
Metode Kepustakaan (Library Research) Metode penelitian ini biasanya dilakukan peneliti dengan cara membeli, membaca atau meminjam buku yang berhubungan erat dengan tema skripsi yang dibuat (dalam penelitian ini tema yang dibahas menekankan mengenai perpajakan internasional), seperti berbagai buku mengenai pajak dan juga undang-undang perpajakan terutama pajak penghasilan dan pajak internasional yang merupakan tema dari penelitian yang dilakukan. Metode Studi Lapangan (Field Research) Metode ini dilakukan peneliti dengan cara mendatangi langsung orang yang bersangkutan dan mengerti serta telah ahli mengenai bidang perpajakan internasional dan melakukan beberapa hal seperti: a. Observasi Penulis melakukan tinjauan / pengamatan secara langsung dengan cara pengambilan data dan mencatat segala hasil observasi yang dapat mendukung penelitian. b. Wawancara Penulis melakukan wawancara dengan tanya jawab secara langsung dengan orang yang ahli dalam bidang tersebut dan berkaitan erat dengan perpajakan internasional untuk memperoleh keterangan yang dapat memberikan informasi atas data yang dibutuhkan dalam penelitian. c. Dokumentasi Mengumpulkan data kepada orang terkait sesuai dengan kasus yang sedang diteliti, dan mengumpulkan data wawancara tersebut agar dapat memberikan bukti yang akurat berdasarkan fakta yang ada dan berdasarkan sumber yang jelas. d. Teknik Analisa Mengelola data-data yang sudah ada dan terkumpul dengan cara menganalisa dengan cara seksama, sehingga data yang didapatkan bisa menggambarkan data yang akurat atas penelitian yang sedang dilakukan oleh peneliti.
HASIL DAN BAHASAN Syarat dalam pemberlakuan tahap-tahap yang biasanya dijalankan dalam proses pembuatan perjanjian penghindaran pajak berganda dan proses penghentian perjanjian penghindaran pajak berganda adalah sebagai berikut:
1.
Tahap Komunikasi Awal (Initial Contact) Perjanjian penghindaran pajak berganda biasanya didahului dengan komunikasi awal yang dilakukan antara pemerintah kedua negara yang ingin mengadakan perjanjian, dalam hal ini biasanya dilakukan oleh Menteri Keuangan melalui Menteri Luar Negeri.
2.
Tahap Negosiasi (Negotiation) Anggota delegasi dari masing-masing negara yang akan mengadakan perjanjian penghindaran pajak berganda melakukan diskusi untuk merumuskan perjanjian. Pada umumnya, dalam proses negosiasi ini dilakukan dalam beberapa kali perundingan yang tempatnya saling bergantian di antara dua negara yang mengadakan perjanjian.
3.
Tahap Pemarafan (Initialling) Setelah draf perjanjian penghindaran pajak berganda telah disetujui oleh delegasi dari masing-masing negara untuk dimintai persetujuannya oleh pihak yang berkompeten yang biasanya dilakukan oleh Menteri Keuangan.
4.
Tahap Penandatanganan (Signature) Setelah perjanjian penghindaran pajak berganda diterima oleh masing-masing negara, dan jika disetujui maka ditandatangani secara formal oleh pihak yang berkompeten di masingmasing negara yang biasanya dilakukan oleh Menteri Keuangan. Tanggal penandatanganan ini menunjukkan “date of conclusion”.
5.
Tahap pengesahan (Ratification) Proses ratifikasi atau pengesahan ini merupakan proses tahapan yang penting dalam proses persetujuan perjanjian penghindaran pajak berganda. Proses ratifikasi ini dilakukan atas dasar ketentuan hukum perjanjian internasional di masing-masing negara yang mengadakan perjanjian.
6.
Tahap pemberlakuan (Entry into Force) Suatu perjanjian penghindaran pajak berganda dikatakan berlaku (entry into force) yaitu pada saat di mana perjanjian penghindaran pajak berganda tersebut menjadi kewajiban formal yang mengikat masing-masing negara untuk melaksanakannya. Saat berlakunya perjanjian penghindaran pajak berganda selalu dinyatakan secara eksplisit dalam perjanjian penghindaran pajak berganda segera dapat diberlakukan (entry into force).
7.
Tahap Berlakunya Ketentuan yang terdapat dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (Effective Date) Effective date adalah saat di mana ketentuan-ketentuan dalam perjanjian penghindaran pajak berganda berlaku efektif untuk dapat dipergunakan oleh subjek pajak. Effective date ini selalu dinyatakan dengan tegas dalam perjanjian penghindaran pajak berganda.
8.
Tahap Penghentian (Termination) Suatu perjanjian penghindaran pajak berganda juga mempunyai ketentuan yang mengatur tentang berakhirnya perjanjian. Ketentuan tentang berakhirnya perjanjian penghindaran pajak berganda yang terdapat dalam pasal perjanjian penghindaran pajak berganda merupakan ketentuan formal di mana salah satu atau dua negara yang mengadakan perjanjian penghindaran pajak berganda memutuskan untuk menghentikan atau mengakhiri perjanjian penghindaran pajak berganda yang sedang berlaku. Pada dasarnya perjanjian penghindaran pajak berganda berlaku untuk jangka waktu yang tidak ditentukan sampai dihetikan oleh salah satu negara yang terikat atas perjanjian penghindaran pajak berganda tersebut. OECD Model menyarankan agar ketika suatu negara yang terikat atas perjanjian penghindaran pajak berganda ingin mangakhirinya, sebaiknya diberitahukan kepada negara mitra perjanjian penghindaran pajak berganda sekurangkurangnya 6 (enam) bulan sebelum berakhirnya suatu tahun pajak atau tahun kalender yang dilakukan melalui saluran diplomatik. Dalam praktiknya Indonesia pernah menghentikan berlakunya perjanjian penghindaran pajak berganda, contohnya dengan Mauritius.
Berikut ini akan ditampilkan gambar cara untuk menentukan pemakaian PPh Pasal 26 atau tax treaty yang akan diberlakukan:
Penghasilan kepada Wajib Pajak Luar Negeri.
Objek termaksud PPh Pasal 26?
Tidak
Tidak memotong PPh Pasal 26.
Ya
Wajib Pajak Luar Negeri berasal dari negara Treaty Partner?
Tidak
Potong PPh Pasal 26 sesuai dengan ketentuan Pasal 26 UU PPh dan PMK / KMK / Per Dirjen Pajak terkait.
Ya Tidak Ada COD / CRT / SKD?
Tax Treaty tidak dapat diterapkan. Potong PPh Pasal 26 sesuai dengan ketentuan Pasal 26 UU PPh dan PMK / KMK / Per Dirjen Pajak terkait.
Ya Potong sesuai dengan ketentuan Tax Treaty.
Gambar 1 Gambar Cara Menentukan Penggunaan PPh 26 atau Tax Treaty
Penjelasan gambar: 1. 2. 3.
4.
5.
Terdapat penghasilan kepada wajib pajak luar negeri. Tentukan apakah objek termaksud PPh Pasal 26, jika tidak maka tidak memotong PPh Pasal 26. Bila objek termaksud PPh Pasal 26 teliti lagi apakah wajib pajak luar negeri berasal dari negara treaty partner? Jika tidak maka potong PPh Pasal 26 sesuai dengan ketentuan Pasal 26 UU PPh dan PMK / KMK / Per Dirjen Pajak terkait. Bila wajib pajak luar negeri berasal dari treaty partner kemudian harus memenuhi persyaratan selanjutnya yaitu memberikan COD / CRT / SKD, jika tidak memiliki syarat tersebut maka tax treaty tidak dapat diterapkan maka potong PPh Pasal 26 sesuai dengan ketentuan Pasal 26 UU PPh dan PMK / KMK / Per Dirjen Pajak terkait. Bila wajib pajak luar negeri memenuhi syarat memiliki COD / CRT / SKD maka pajak dapat dipotong sesuai dengan ketentuan tax treaty yang berlaku.
Surat Keterangan Domisili SKD adalah surat ketereangan yang diterbitkan oleh Competent Authority atau wakilnya yang sah dari suatu negara pihak pada persetujuan yang menyatakan bahwa wajib pajak yang bersangkutan adalah penduduk dari negara tersebut. Surat Keterangan Domisili (SKD) yang diterbitkan oleh pejabat dari Kantor Pajak tempat ia terdaftar dapat diterima dan dipersamakan dengan SKD yang dibuat oleh Competent Authority atau wakilnya yang sah. Sehubungan dengan Surat Keterangan Domisili (SKD), diatur ketentuan-ketentuan sebagai berikut dibawah ini: 1.
2.
3.
Wajib pajak luar negeri yang memperoleh penghasilan dari Indonesia (beneficial owner) wajib menyerahkan SKD yang asli kepada yang melakukan pembayaran atas penghasilan tersebut dan fotokopi-nya diserahkan kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat yang melakukan pembayaran itu terdaftar. Apabila SKD itu digunakan untuk lebih dari satu pembayar maka wajib pajak luar negeri itu dapat menyampaikan fotokopi dari SKD yang telah dilegalisir oleh kepala KPP tempat salah satu pembayar terdaftar. Sedangkan SKD yang asli disimpan oleh kepala KPP yang melakukan legalisasi. Jangka waktu Surat Keterangan Domisili (SKD) adalah 1 (satu) tahun sejak tanggal diterbitkan. Pengecualian diberlakukan atas wajib pajak bank dan sepanjang alamat yang tercantum pada Surat Keterangan Domisili (SKD) itu tidak berubah.
Bentuk Surat Keterangan Domisili (SKD) disesuaikan dengan kelaziman di negara tempat wajib pajak luar negeri terdaftar sebagai penduduk.
Konsep Beneficial Owner pertama kali digunakan di tahun 1966 dalam protokol perjanjian penghindaran pajak berganda antara UK dan USA. Sedangkan dalam OECD Model, konsep beneficial owner pertama kali dinyatakan dalam OECD Model tahun 1977 berkaitan dengan Pasal 10 (dividen), Pasal 11 (bunga), dan Pasal 12 (royalti).
Tabel 1 Tabel Perbandingan Tarif WPLN Indonesia dan Tarif Beneficial Owner di Belanda Serta Hong Kong Negara Dividen Bunga Royalti
Indonesia WPLN 20% 20% 20%
Belanda 10% 10% 10%
Hong Kong 10% 10% 5%
Tax treaty antara Indonesia dan Belanda di tanda tangani pada tanggal 29 Januari 2002 dan berlaku efektif pada tanggal 1 Januari 2004, akan dijelaskan lebih lanjut mengenai bagian beneficial owner yang mencakup Pasal 10 tentang dividen, Pasal 11 tentang bunga, dan Pasal 12 tentang royalti. Berdasarkan peraturan perpajakan Indonesia dividen untuk wajib pajak orang pribadi dikenakan tarif sebesar 10% dan bersifat final, sedangkan tarif dividen untuk wajib pajak badan yang memiliki kepemilikan saham kurang dari 25% akan dikenakan tarif 15 % dan untuk wajib pajak badan yang memiliki kepemilikan saham lebih dari 25% makan akan dibebaskan dari pengenaan pajak. Berdasarkan peraturan perpajakan Belanda bagi penerima dividen yang bukan merupakan penduduk akan dikenakan tarif 10% dan bersifat final.
Tabel 2 Tabel Perbandingan Tarif antara Indonesia dan Belanda Negara Wajib Pajak Orang Pribadi Badan Kurang Dari 25% Badan Lebih Dari 25% Bukan Penduduk Belanda
Indonesia 10% final 15% Bebas Pajak -
Belanda 10% final
Berdasarkan perpajakan Indonesia pendapatan yang berasal dari bunga akan dikenakan tarif sebesar 15%. Sedangkan berdasarkan perpajakan Belanda pendapatan yang berasal dari bunga untuk orang yang bukan penduduk adalah 0%. Berdasarkan perpajakan Indonesia pendapatan yang berasal dari royalti akan dikenakan tarif 15%. Dalam peraturan perpajakan Belanda pendapatan yang berasal dari royalti untuk orang yang bukan penduduk akan dikenakan tarif sebesar 0%. Seperti yang telah disebutkan diatas, wajib pajak orang pribadi dan wajib pajak badan dapat menjadi beneficial owner. Saat beneficial owner adalah wajib pajak orang pribadi maka yang menjadi negara domisilinya adalah negara tempat orang pribadi tersebut bertempat tinggal, sedangkan saat beneficial owner adalah wajib pajak badan maka negara domisilinya adalah negara tempat pemilik 50% atau lebih atas kepemilikan saham. Tabel berikut adalah contoh beneficial owner bagi wajib pajak badan:
Tabel 3 Tabel Contoh Beneficial Owner atas Perusahaan Astra Indonesia Negara Kepemilikan Saham atas Perusahaan Indonesia Australia 30% Belanda 55% Thailand 15% Yang menjadi Beneficial Owner adalah Belanda
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan Pasal 26 seluruh penghasilan yang didapatkan dari Indonesia dan dibayar oleh Indonesia yang berhubungan dengan wajib pajak luar negeri akan dikenakan tarif sebesar 20% final jika wajib pajak luar negeri tersebut bukan merupakan negara mitra perjanjian penghindaran pajak berganda. Kasus Indonesia – Belanda telah memiliki tax treaty akan tetapi saat wajib pajak luar negeri tersebut mendapatkan penghasilan, ia tidak dapat menunjukkan bukti bahwa ia benar merupakan warga negara Belanda maka tax treaty yang ada tidak dapat diterapkan dan akan diberlakukan tarif berdasrkan Pasal 26.
Tax treaty antara Indonesia dan Hong Kong di tanda tangani pada tanggal 23 Maret 2010 dan berlaku efektif pada tanggal 1 Januari 2013, akan dijelaskan lebih lanjut mengenai bagian beneficial owner yang mencakup Pasal 10 tentang dividen, Pasal 11 tentang bunga, dan Pasal 12 tentang royalti. Berdasarkan peraturan perpajakan Indonesia dividen untuk wajib pajak orang pribadi dikenakan tarif sebesar 10% dan bersifat final, sedangkan tarif dividen untuk wajib pajak badan yang memiliki kepemilikan saham kurang dari 25% akan dikenakan tarif 15 % dan untuk wajib pajak badan yang memiliki kepemilikan saham lebih dari 25% makan akan dibebaskan dari pengenaan pajak.
Berdasarkan peraturan perpajakan Hong Kong bagi penerima dividen yang bukan merupakan penduduk akan dikenakan tarif 0%.
Tabel 4 Tabel Perbandingan Tarif antara Indonesia dan Hong Kong. Negara Wajib Pajak Orang Pribadi Badan Kurang Dari 25% Badan Lebih Dari 25% Bukan Penduduk Hong Kong
Indonesia 10% final 15% Bebas Pajak -
Hong Kong 0%
Berdasarkan perpajakan Indonesia pendapatan yang berasal dari bunga akan dikenakan tarif sebesar 15%. Sedangkan berdasarkan perpajakan Hong Kong pendapatan yang berasal dari bunga untuk orang yang bukan penduduk adalah 0%. Berdasarkan perpajakan Indonesia pendapatan yang berasal dari royalti akan dikenakan tarif 15%. Dalam peraturan perpajakan Hong Kong pendapatan yang berasal dari royalti untuk orang yang bukan penduduk akan ditampilkan dalam table berikut ini:
Tabel 5 Tabel Pengenaan Tarif Royalti bagi Witholding Tax Kondisi Dibayarkan kepada Badan Dibayarkan kepada Orang Pribadi
Tarif 4,95% 4,5%
Tarif 16,5% 15%
Untuk tarif 4,95% dan 4,5% adalah tarif final yang berlaku untuk orang-orang yang tidak menjalankan bisnis di Hong Kong, sedangkan tarif 16,5% dan 15% adalah tarif final yang berlaku untuk asosiasi pembayar dan jika hak kekayaan intelektual yang sebelumnya dimiliki oleh wajib pajak Hong Kong. Seperti yang telah disebutkan diatas, wajib pajak orang pribadi dan wajib pajak badan dapat menjadi beneficial owner. Saat beneficial owner adalah wajib pajak orang pribadi maka yang menjadi negara domisilinya adalah negara tempat orang pribadi tersebut bertempat tinggal, sedangkan saat beneficial owner adalah wajib pajak badan maka negara domisilinya adalah negara tempat pemilik 50% atau lebih atas kepemilikan saham. Table berikut adalah contoh beneficial owner bagi wajib pajak badan:
Tabel 6 Tabel Contoh Beneficial Owner atas Perusahaan Indonesia Negara Kepemilikan Saham atas Perusahaan Indonesia Australia 25% Hong Kong 52% Inggris 23% Yang menjadi Beneficial Owner adalah Hong Kong
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan Pasal 26 seluruh penghasilan yang didapatkan dari Indonesia dan dibayar oleh Indonesia yang berhubungan dengan wajib pajak luar negeri akan dikenakan tarif sebesar 20% final jika wajib pajak luar negeri tersebut bukan merupakan negara mitra perjanjian penghindaran pajak berganda. Kasus Indonesia – Hong Kong telah memiliki tax treaty akan tetapi saat wajib pajak luar negeri tersebut mendapatkan penghasilan, ia tidak dapat menunjukkan bukti bahwa ia benar merupakan warga negara Hong Kong maka tax treaty yang ada tidak dapat diterapkan dan akan diberlakukan tarif berdasrkan Pasal 26.
Belanda dan Hong Kong merupakan salah satu negara di eropa dan asia yang melakukan investasi di Indonesia. Belanda menempati urutan kedua berada tepat dibawah inggris yang jumlah investasinya lebih besar untuk kawasan Eropa. Sedangkan Hong Kong menempati urutan ke lima setelah negara Korea Selatan, Jepang, Republik Rakyat China, dan Taiwan untuk kawasan Asia di luar Asean. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh BKPM setiap tahun Proyek yang dilakukan oleh Belanda dan Hong Kong terus meningkat dalam jangka waktu tahun 2010 - 2013, hal ini tentunya akan membawa dampak baik bagi perekonomian Indonesia.
Tabel 7 Tabel Jumlah Proyek Serta Investasi Belanda Dan Hong Kong Di Indonesia 2010 P I Belanda 106 608,3 Hong Kong 62 566,1 *Nilai Investasi dalam US$. Juta Negara
2011 P 118 104
I 1.354,4 135,0
2012 P 131 105
2013 I 966,5 309,6
P 233 233
I 927,8 376,2
Informasi pada tabel 7 negara Belanda Dan Hong Kong melakukan investasi di Indonesia: 1.
2.
3.
4.
Tahun 2010 proyek Belanda di Indonesia berjumlah 106 proyek dan jumlah investasi 608.300.000, proyek Hong Kong di Indonesia 62 proyek dan jumlah investasi 566.100.000. Tahun 2011 proyek Belanda di Indonesia berjumlah 118 proyek dan jumlah investasi 1.354.400.000, proyek Hong Kong di Indonesia 104 proyek dan jumlah investasi 135.000.000. Tahun 2012 proyek Belanda di Indonesia berjumlah 131 proyek dan jumlah investasi 966.500.000, proyek Hong Kong di Indonesia 105 proyek dan jumlah investasi 309.600.000. Tahun 2013 proyek Belanda di Indonesia berjumlah 233 proyek dan jumlah investasi 927.800.000, proyek Hong Kong di Indonesia 233 proyek dan jumlah investasi 376.200.000.
US$ US$ US$ US$ US$ US$ US$ US$
Dalam tabel dan penjelasan diatas jumlah proyek yang Belanda dan Hong Kong lakukan di Indonesia tiap tahun terus meningkat, akan tetapi jumlah Investasi yang ada belum tentu juga meningkat sesuai dengan besar proyek yang ada. Hal ini dapat disebabkan karena adanya upaya penghindaran pajak yang dilakukan oleh wajib pajak yang bersangkutan. Kita telah mengetahui adanya kemungkinan penghindaran pajak yang disengaja oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dengan cara memanfaatkan perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) / tax treaty yang seharusnya tidak dapat diterima oleh orang tersebut, salah satu caranya dengan melakukan treaty shopping. Treaty shopping itu sendiri memiliki pengertian sebagai suatu skema yang dilakukan untuk mendapatkan fasilitas, misalnya penurunan tarif pemotongan pajak (withholding taxes) yang disediakan oleh suatu perjanjian penghindaran pajak berganda, oleh subjek pajak yang sebenarnya tidak berhak untuk mendapatkan fasilitas tertentu. Maka dari itu kita harus menerapkan pencegahan penghindaran pajak tersebut dengan cara sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5.
Kedudukan Surat Keterangan Domisili (SKD) dalam Pencegahan Treaty Shopping. Beneficial owner dan Treaty Shopping. Limitation on Benefits sebagai anti Treaty Shopping. SAAR sebagai anti Treaty Shopping. GAAR sebagai anti Treaty Shopping.
SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan sebelumnya maka dapat diambil simpulan sebagai berikut: 1.
2.
3.
4.
Di dalam tax treaty seperti yang telah dijelaskan sebelumnya telah mengatur mengenai beneficial owner di dalam Pasal 10 (dividen), Pasal 11 (bunga) dan Pasal 12 (royalti) sebagai acuan pengenaan pajak dan tidak ada aturan khusus atau aturan tersendiri yang dibuat untuk mengatur hal tersebut. Beneficial owner haruslah dapat digunakan secara tepat agar tidak terjadi kecurangan penggunaan oleh orang-orang yang tidak berhak atas suatu manfaat yang berkaitan dengan dividen, bunga dan royalti tersebut. Belanda dan Hong Kong merupakan contoh negara yang telah membuat perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) / tax treaty dengan negara Indonesia, dan dalam hal beneficial owner yang terdiri dari dividen, bunga, dan royalti hak pemajakan dimiliki baik oleh negara domisili dan juga oleh negara sumber. Dalam ketentuan yang ada pajak yang dibayarkan di negara sumber akan dapat dikreditkan untuk menjadi pengurang pajak di negara domisili. Pembahasan pada bab-bab sebelumnya telah menunjukkan bahwa untuk Tax Treaty antara Indonesia – Belanda dan juga Tax Treaty antara Indonesia – Hong Kong telah dilaksanakan dengan baik dan tidak terjadi pertentangan dengan undang-undang domestik baik itu undangundang negara Indonesia maupun undang-undang negara mitra. Manfaat yang didapatkan Belanda, Hong Kong dan Indonesia atas perjanjian penghindaran pajak berganda ialah memberi kemudahan atas pembagian hak pemajakan, hal tersebut dilakukan untuk mencegah seminimal mungkin terjadinya pengenaan pajak berganda. Dengan dibuatnya perjanjian penghindaran pajak berganda diharapkan dapat menghindari pengenaan pajak berganda sehingga Belanda dan Hong Kong semakin banyak menanamkan modal, diharapkan untuk dapat meminimalisir pengelakan pajak dan juga meningkatkan investasi di Indonesia.
Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan sebelumnya maka saran yang didapat adalah sebagai berikut: 1.
Sebaiknya dalam penerapan tax treaty Indonesia dengan negara-negara mitra yang ada, konsep dan pengertian dari beneficial owner lebih dipertegas kembali agar tax treaty yang dibuat dapat berfungsi dengan baik dan tidak disalah gunakan. Definisi tersebut haruslah fleksibel dan proporsional agar dalam perkembangan ekonomi Indonesia para investor akan tertarik untuk berinvestasi sehingga pasar dalam negeri semakin berkembang dan maju
2.
3.
4.
karena adanya kejelasan serta pegangan aturan yang ada tidak akan merugikan kedua belah pihak yang terkait dalam perjanjian yang telah disepakati. Jika Indonesia maupun negara mitra yang melakukan perjanjian ingin mengubah ataupun menambah ketentuan atas undang-undang domestik dinegara masing-masing, sebaiknya hal yang diubah tersebut tidak bertentangan dengan tax treaty yang telah disepakati. Telah diketahui manfaat perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) ialah untuk menghindari pengenaan pajak berganda antar negara, maka Indonesia harus terus menambah perjanjian dengan negara-negara lainnya terutama negara yang belum menerpakan perjanjian dengan Indonesia tetapi telah ada kegiatan ekonomi yang dilakukan antar Indonesia dan negara tersebut. Tarif yang diberikan dalam tax treaty harus lebih terjangkau dan menarik dari pada tarif yang diberikan saat menggunakan tarif pajak domestik, agar dapat meningkatkan jumlah investasi dimasa yang akan datang sehingga akan terus memberi pengaruh peningkatan atas ekonomi negara-negara yang melakukan perjanjian penghindaran pajak berganda tersebut di masa yang akan datang.
REFERENSI Aritonang, J.M., dan Tony Marsyarul. (2008). Perpajakan Internasional Sebagai Materi Studi Di Perguruan Tinggi. Jakarta : Grasindo. Collier, R. (2011). Clarity, Opacity and Beneficial Ownership. British Tax Review, No. 6, diakses 7 Maret 2014 dari http://www.uscib.org/docs/btr_issue_beneficial%20ownership_collier.pdf. Darussalam, John Hutagaol, dan Denny Septriadi. (2010). Konsep Dan Aplikasi Perpajakan Internasional. Jakarta : PT. Dimensi Internasional Tax. Flouren, S. (2013). Beneficial Owner di Dalam Tax Treaty (Studi Kasus Tax Treaty Indonesia Belanda). Disertasi tidak diterbitkan. Jakarta : Fakultas Akuntansi dan Keuangan Universitas Bina Nusantara. Ilyas, W.B., dan Richard Burton. (2010). Hukum Pajak (Edisi 5). Jakarta : Salemba Empat. Jurdant, F. (2013). Disclosure of Beneficial Ownership and Control in Indonesia : Legislative and Regulatory Policy Options for Sustainable Capital Markets. OECD Corporate Governance Working Papers, No. 9, OECD Publishing, diakses 7 Maret 2014 dari http://dx.doi.org/10.1787/5k43m4pdrj36en. Mangoting, B. (2010). Penentuan Status Beneficial Owner Untuk Mencegah Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. Disertasi tidak diterbitkan. Jakarta : Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Mardiasmo. (2013). Perpajakan (Edisi Revisi 2013). Yogyakarta : Andi. Sutedi, Adrian. (2011). Hukum Pajak. Jakarta: Sinar Grafika. Vermeulen, E.P.M. (2013). Beneficial Ownership and Control : A Comparative Study – Disclosure, Information and Enforcement. OECD Corporate Governance Working Papers, No. 7, OECD Publishing, diakses 7 Maret 2014 dari http://dx.doi.org/10.1787/5k4dkhwckbzv-en. Zakaria, J. (2005). Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda Serta Penerapannya Di Indonesia. Jakarta : Rajawali Pers.
RIWAYAT PENULIS Stefy Yanti lahir di kota Jakarta pada 20 Sptember 1992. Penulis menamatkan pendidikan S1 di Universitas Bina Nusantara dalam bidang Akuntansi pada tahun 2014.