BENEFICIAL OWNER DI DALAM TAX TREATY (STUDI KASUS TAX TREATY INDONESIA – BELANDA)
Silvia Flouren Universitas Bina Nusantara Jalan Rawa Belong Raya No.8, Kemanggisan – Jakarta Barat 11480 085217772077
[email protected]
ABSTRACT The purpose of this study is to understand the relationship between Indonesia and The Netherlands and also abou the beneficial owner in the Tax Treaty, to understand the role of beneficial owner in article 10 about dividend, article 11 about interest and article 12 about royalty in the Indonesian – Netherlands Tax Treaty, and can applythe role of the beneficial owner of dividend, interest and royalty in the Indonesian – Netherlands Tax Treaty. Object of this research is Indonesia, The Netherlands and also the Tax Treaty between Indonesian – Netherlands and this reseacrh using a qualitative method and also literature study and interview to those who understand and proficient in international taxation. Indonesian and Dutch objectives tied to each other in a bilateral Tax Treaty is to avoid double taxation adverse tax payer. The point of this study is the passive income of dividend, interest and royalty received by the beneficial owner. In the application of Indonesia – The Netherlands Tax Treaty not to antagonize the income tax act 26 of Indonesian tax Domestic law nor the Dutch domestic law so as Indonesia – The Netherlands Tax Treaty is still running from January 1st, 2004 until now. (SF) Keywords. Tax Treaty, Beneficial Owner, Passive Income
ABSTRAK Tujuan penelitian ialah memahami tentang hubungan Indonesia dan Belanda dalam Tax Treaty dan beneficial owner yang terdapat dalam Tax Treaty tersebut, memahami peran beneficial owner yang terdapat dalam Pasal 10 mengenai dividen, Pasal 11 mengenai bunga dan Pasal 12 mengenai royalti dalam Tax Treaty Indonesia-Belanda, serta dapat mengaplikasikan peran beneficial owner dalam dividen, bunga dan royalti yang ada di dalam Tax Treaty Indonesia-Belanda. Metode penelitian dalam penulisan ini adalah metode kualitatif berupa studi pustaka dan wawancara kepada pihak yang mengerti dan mahir dalam bidang perpajakan internasional dan objek penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah Indonesia, Belanda dan Tax Treaty Indonesia – Belanda Tujuan Indonesia dan Belanda untuk saling terikat dalam Tax Treaty yang bersifat bilateral adalah untuk menghindari pengenaan pajak berganda yang merugikan tax payer. Hal pokok yang dibahas dalam penulisan ini adalah passive income yang berupa dividen, bunga dan royalti yang diterima oleh beneficial owner. Dalam penerapan Tax Treaty Indonesia – Belanda ini tidak menimbulkan pertentangan dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan 26 maupun Undang-Undang domestik Belanda sehingga Tax Treaty Indonesia – Belanda tetap berjalan sejak tanggal 01 Januari 2004 hingga sekarang.(SF)
Kata Kunci. Tax Treaty, Beneficial Owner, Passive Income
PENDAHULUAN Seiring dengan perkembangan era globalisasi, semakin banyak perusahaan di negara maju seperti Belanda mengembangkan kegiatan usahanya dengan cara melakukan kegiatan usaha di negara berkembang, salah satunya adalah Indonesia. Kegiatan usaha yang dilakukan di negara lain ini tentu akan menyebabkan konsekuensi dalam bidang perpajakan karena telah terjadi interaksi antara dua negara. Salah satu masalah yang timbul dari hal ini adalah mengenai pembagian hak pemajakan. Negara domisili akan mengklaim bahwa dirinya berhak memajaki penghasilan tersebut karena perusahaan tersebut adalah penduduknya sedangkan negara sumber juga akan mengklaim bahwa dirinya berhak memajaki karena penghasilan tersebut berasal dari negaranya. Akibat dari kedua negara tidak mau berbagi hak pemajakan adalah terjadinya pengenaan pajak berganda atau dikenal dengan double taxation yang merugikan wajib pajak karena atas satu jenis penghasilan yang sama akan dikenakan pajak dua kali. Oleh karena itu diperlukan suatu perjanjian bilateral yang mengatur mengenai interaksi antar dua negara dan dibuatlah suatu perjanjian yang dikenal dengan Tax Treaty atau persetujuan penghindaran pajak berganda. Tax Treaty adalah suatu perjanjian bilateral yang dibuat oleh dua negara dengan tujuan untuk membahas mengenai pembagian hak pemajakn atas suatu penghasilan yang diterima oleh penduduk salah satu negara atau dua negara yang saling terikat perjanjian. Penerapan dalam Tax Treaty umumnya sama dengan pengaturan dalam hukum pajak domestik akan tetapi sedikit berbeda dengan pasal 10 mengenai dividen, pasal 11 mengenai bunga dan pasal 12 mengenai royalti karena dalam penerapannya mengacu pada terminologi beneficial owner. Beneficial owner merupakan pemilik manfaat atas penghasilan dividen, bunga dan royalti. Beneficial owner dapat berupa orang pribadi maupun badan. Dalam hal beneficial owner adalah orang pribadi yang menjadi negara domisilinya adalah tempat domisili dari ornag pribadi tersebut sedangkan apabila beneficial owner adalah badan maka negara domisilinya adalah negara tempat pemilik 50% atau lebih pemegang saham berkedudukan. Secara umum pengertian dividen adalah suatu pengahasilan yang muncul atas kontribusi modal sedangkan penghasilan bunga timbul karena adanya pemberian pinjaman atau hutang dan penghasilan royalti timbul karena pemberian hak atas penggunaan harta berwujud dan harta tidak berwujud yang di dalamnya termasuk knowhow atau suatu ilmu di dalam bidang industri informasi. Rumusan masalah yang diajukan dalam penulisan ini adalah hubungan Indonesia dan Belanda dalam Tax Treaty Indonesia – Belanda, pelaksanaan dar hubungan yang berkaitan dengan beneficial owner yang terdapat dalam Tax Treaty Indonesia – Belanda, dan apakah penerapan dari Tax Treaty Indonesia – Belanda menimbulkan pertentangan dalam Undang-Undang Perpajakan Indonesia. Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah memahami hubungan Indonesia dan Belanda serta beneficial owner dalam Tax Treaty Indonesia – Belanda, memahami peran beneficial owner dalam pasal 10 mengenai dividen, pasal 11 mengenai bunga dan pasal 12 mengenai royalti yang terdapat dalam Tax Treaty Indonesia – Belanda serta dapat mengaplikasikan peran tersebut.
METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode pendekatan kualitatif dengan pengumpulan data berdasarkan studi pustaka dan wawancara. Studi pustaka yang digunakan dalam penelitian ini berupa media cetak dan media elektronik.Studi pustaka berupa buku-buku yang berkaitan dengan Tax Treaty dan di dalamnya membahas mengenai penerapan atas penghasilan dividen, bunga dan royalti yang diterima oleh beneficial owner yang ditulis oleh penulis yang ahli dalam bidang perpajakn internasional. Studi pustaka berupa media cetak lainnya adalah Undang-Undang Perpajakan Indonesia dan modul brevet. Dalam Undang-undang Perpajakan Indonesia yang difokuskan adalah mengenai Undang-Undang Pajak Penghasilan. Studi pustaka yang diperoleh melalui media elektronik adalah Tax Treaty Indonesia dan Belanda yang diunggah melalui stus resmi Direktorat Jendral Pajak, www.pajak.go.id dan berbagai peraturan yang berkaitan dengan topik penelitian serta surat edaran yang di unggah melalui ortax.org. Karena penelitian ditujukan antara Indonesia dan Belanda sehingga tidak hanya UndangUndang Perpajakan Indonesia saja yang dibutuhkan tetapi juga hukum pajak domestik Belanda mengenai pengaturan penghasilan yang diperoleh oleh penduduk dan non penduduknya. Oleh karena itu, didukung pula oleh peraturan mengenai tarif dan hal lain yang berkaitan dengan hukum pajak domestik Belanda yang di unggah pada situs resmi pemerintah Belanda, www.government.nl. Pengumpulan data lain untuk penelitian ini adalah dengan cara wawancara. Wawancara dilakukan kepada pihak yang berkompeten dalam bidang ini. Beliau adalah seorang konsultan pajak yang memiliki Kantor Konsultan Pajak dan memahami serta mendalami tentang perpajakan internasional.
HASIL DAN BAHASAN Tax Treaty dibuat dengan tujuan untuk menghindari pengenaan pajak berganda atas satu jenis penghasilan yang sama yang dapat merugikan wajib pajak dari salah satu negara. Hal yang dilakukan untuk menghindari pemajakan berganda ini dilakukan dengan berbagai cara baik secara unilateral maupun bilateral. Upaya unilateral yang digunakan adalah dengan menerapkan tiga jenis metode penghindaran pajak. Metode tersebut terdiri dari metode kredit yakni negara domisili memperbolehkan pajak yang sudah dibayarkan di negara sumbr untuk dikreditkan. Metode pembebasan adalah metode penghindaran pajak berganda dengan cara penghasilan yang diperoleh dari negara sumber tidak lagi dikenakan pajak di negara domisili. Metode fiktif adalah insentif pajak yang diperoleh dari luar negeri oleh penduduk dari suatu negara yang dapat diperhitungkan sebagai kredit pajak atas pajak yang terutang di negara itu. Selain penghindaran pajak secara unilateral, dibutuhkan juga penghindaran secara bilateral karena masing-masing negara memiliki prinsip pemajakan yang berbeda dengan negara lainnya. Oleh karena itu dibuatlah Tax Teraty oleh dua negara yang menjalani transaksi lintas batas negara. Model perjanjian penghindaran pengenaan pajak berganda yang dibuat oleh negara Indonesia dan Kerajaan Belanda atau disebut dengan Tax Treaty Indonesia – Belanda dibuat dan ditandatangani pada 29 Januari 2002 dan mulai efektif sejak 01 Januari 2004. Dalam Tax Treaty tersebut terdapat 32 pasal dan dibuat dalam 3 naskah, masing-masing berbahasa Inggris, bahasa Indonesia dan bahasa Belanda.
Beberapa negara, salah satunya Belanda, proses pengesahan harus melalui persetujuan dari lembaga perwakilan rakyat atau parlemen. Sedangkan Indonesia, proses pengesahan ini tidak serumit Belanda. Indonesia tidak perlu mendapat persetujuan dari DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), tetapi hanya dengan penerbitan Keputusan Presiden kemudian cukup diberitahukan kepada DPR. Penerapan Tax Treaty Indonesia – Belanda tidak dilakukan secara langsung melainkan secara bertahap. Ada 5 tahap dalam penerapan Tax Treaty Indonesia – Belanda. Tahap pertama adalah untuk mengetahui subjek pajak dan objek pajak dalam Tax Treaty Indonesia – Belanda. Tahap kedua berkaitan dengan definisi istilah. Istilah-istilah yang ada dalam Tax Treaty Indonesia – Belanda terdapat pada pasal 3 (1). Terdapat juga istilah yang tidak dijelaskan dalam pasal tersebut tetapi dijelaskan dan diatur dalam pasal-pasal lainnya seperti “penduduk salah satu negara” yang diatur dala pasal 4(1), “bentuk usaha tetap” diatur dalam pasal 5(1), “harta tidak bergerak) pasal 6(2), istilah “dividen”, “bunga” dan “royalti” yang masing-masing diatur dalam pasal 10(5), pasal 11(6) dan pasal 12(3). Untuk istilah-istilah yang tidak diatur dalam pasal 3(1) maupun dalam pasalpasal lainnya maka intrepretasinya diatur dalam pasal 3(2) Tax Treaty Indonesia – Belanda. Tahap ketiga mengatur tentang pembagian hak pemajakan. Tax Treaty Indonesia – Belanda menggolongkan penghasilan berdasarkan jenisnya dan kemudian menentukan hak pemajakannya. Dalam tahap ketiga dibagi antara “shall be taxable only” dan “maybe taxed”. Istilah ini digunakan untuk membagi hak pemajakan antara Indonesia dan Belanda dalam Tax Treaty. Istilah “shall be taxable only” digunakan untuk menyatakan hak pemajakan atas suatu penghasilan diberikan oleh negara domisili. Dan “maybe taxed” digunakan untuk menyatakan bahwa pemajakan atas suatu penghasilan dibagi kepada Indonesia dan Belanda. Jadi kedua negara berhak atas pemajakan dari suatu penghasilan tersebut. Dan untuk menghindari pengenaan pajak berganda, negara domisili diwajibkan untuk memberikan keringanan yang berupa mekanisme kredit pajak. Tahap keempat dilakukan hanya untuk menghilankan pengenaan pajak berganda dalam istilah “maybe taxed” dengan menggunakan mekanisme kredit pajak. Tahap kelima digunakan hanya apabila dalam penerapan tahap pertama sampai tahap keempat masih menimbulkan persengketaan. Tahap terakhir ini diatur dalam pasal 27 Tax Treaty Indonesia – Belanda mengenai Tata Cara Persetujuan Bersama. Passive income berupa dividen menurut perpajakan Indonesia adalah sebesar 10% dan bersifat final untuk wajib pajak orang pribadi. Untuk dividen yang diterima oleh badan akan dikenakan tarif 15% untuk kepemilikan saham kurang dari 25% dan tidak dikenakan pajak untuk kepemilikan saham lebih dari sama dengan 25%. Sedangkan menurut perpajakan Belanda, dividen yang diterima akan dikenakan tarif 15% dan khusus untuk penerima yang bukan penduduk, tarif tersebut bersifat final. Jenis passive income yang selanjutnya adalah bunga. Dari segi perpajakan Indonesia, pendapatan berupa bunga dikenakan tarif sebesar 15%. Sedangkan dalam perpajakan Belanda, pendapatan bunga ini akan dikenakan tarif yang lebih besar yakni 25%. Untuk jenis passive income yang terakhir yang dibahas dalam penulisam ini adalah royalti. Tarif yang dikenakan untuk royalti dalam perpajakan indonesia adalah 15%. Untuk pendapatan serupa, perpajakan Belanda mengenakan tarif pajak yang lebih rendah, yaitu 5%. Dalam Tax Treaty Indonesia – Belanda mengatur tentang perlakuan terhadap passive income yang diterima oleh beneficial owner. Dalam hal beneficial owner adalah orang pribadi, yang menjadi negara domisilinya adalah negara tempat orang pribadi
tersebut bertempat tinggal sedangkan apabila beneficial owner adalah badan maka negara domisilinya adalah negara tempat pemilik 50% atau lebih pemegang saham berkedudukan. Dalam penerapannya, beneficial owner memberikan dampak positif dan negatif. Segi positifnya adalah beneficial owner dibuat untuk menghindari tax haven. Dan segi negatifnya, beneficial owner dapat dimanfaatkan untuk treaty shopping. Dalam Tax Treaty Indonesia – Belanda, pengertian dividen adalah penghasilan dari kepemilikan saham, termasuk saham “joissance” atau hak “joissance”, saham pendiri, atau hak-hak atas pembagian laba lainnya, serta penghasilan dari surat-surat tagihan piutang yang berhak atas pembagian laba dan penghasilan dari hak-hak atas perusahaan yang dapat disamakan dengan penghasilan dari saham. Secara jelas bahwa dividen merupakan penghasilan dari kontribusi modal bukan dari kontribusi pinjaman. Hak pemajakan untuk dividen dibagi antara Indonesia dan Belanda. Dan tarif yang ditetapkan untuk penghasilan dividen adalah maksimal 10% apabila yang menerima penghasilan tersebut adalah beneficial owner. Bunga berdasarkan pasal 11(6) Tax Treaty Indonesia – Belanda adalah penghasilan dari semua jenis tagihan piutang, baik yang dijamin dengan hipotik maupun tidak, dan baik yang mempunyai hak atas pembagian laba maupun tidak, dan khususnya, penghasilan dari sekuritas yang diterbitkan oleh pemerintah dan penghasilan dan surat-surat obligasi atau surat-surat utang, termasuk premi dan hadiah yang melekat pada sekuritas, boligasi, atau surat utang tersebut. Hak pemajakan atas penghasilan bunga adalah Indonesia dan Belanda. Sama seperti dividen, hak pemajakan negara sumber atas penghasilan bunga dibatasi dan tarif yang berlaku adalah maksimal 10% apabila yang menerima penghasilan tersebut adalah beneficial owner. Royalti diperoleh dari penggunaan atas aset tidak berwujud. Pemakai royalti hanya memiliki hak untuk menggunakan hak tersebut tetapi kepemilikan dari harta tersebut tidak beralih kepada penggunanya. Berdasarkan pasal 12(3) Tax Treaty Indonesia – Belanda, royalti adalah semua bentuk pembayaran yang diterima sebagai imbalan atas penggunaan, atau hak untuk menggunakan hak cipta kesusasteraan, kesenian, atau karya ilmiah – termasuk film sinematografi dan film atau pita untuk siaran radio atau televisi – paten, merek dagang, desain atau model, rencana, rumus atau proses yang dirahasiakan, atau untuk penggunaan, atau hak menggunakan, perlengkapan industri, perdagangan, atau ilmu pengetahuan, atau untuk informasi mengenai pengalaman dibidang industri, perdagangan, atau ilmu pengetahuan. Tarif yang berlaku adalah maksimal sebesar 10% apabila penerima royalti merupakan beneficial owner. Apabila Indonesia dan Belanda tidak terikat dalam perjanjian Tax Treaty maka atas penghasilan dividen sebesar Rp 100.000.000,- yang diterima oleh Dutch Company atas penyertaan saham sebanyak 60% pada PT. Indonesia akan dikenakan tarif sebesar 20% dan dipotong PPh sebesar Rp 20.000.000,-. Sedangkan apabila kasusnya adalah PT. Indonesia yang menerima penghasilan dividen tersebut dari Dutch Company dengan penyertaan saham yang sama dan penghasilan yang sama juga, maka atas penghasilan tersebut Belanda akan melakukan pemotongan pajak sebesar Rp 15.000.000,- selain itu PT. Indonesia juga akan mendapatkan pengurangan pajak berdasarkan metode kredit pajak dengan pembatasan. Apabila dicontohkan PT. Indonesia memiliki penyertaan saham sebanyak 60% pada Dutch Company dan menerima dividen sebesar Rp 100.000.000,-. Dalam hal ini PT. Indonesia adalah beneficial owner karena berdomisili dan berkedudukan di Indonesia serta memiliki penyertaan saham lebih dari 50%. Dari penjelasan diatas, PT. Indonesia akan dikenakan pajak sebesar 10% berdasarkan Tax Treaty Indonesia –
Belanda. Demikian juga apabila Dutch Company yang menerima penghasilan dividen sebesar Rp 100.000.000,- dengan penyertaan 60% pada PT. Indonesia maka pemajakan dilakukan menurut Tax Treaty dan pengenaan pajak atas dividen tersebut adalah 10%. Penghasilan bunga dapat terjadi lintas negara. Contohnya adalah orang pribadi yang berdomisili di Indonesia menerima penghasilan bunga atas suatu jenis piutang dari Dutch Company senilai Rp 3.000.000.000,-. Dalam hal ini yang menjadi negara sumber adalah Belanda dan Indonesia merupakan negara domisili. Apabila Indonesia – Belanda tidak terikat dalam Tax Treaty maka atas penghasilan bunga yang diterima oleh orang pribadi (Indonesia) tersebut akan dipotong pajak sebesar Rp 0,- oleh pemerintah Belanda. Orang pribadi yang berdomisili di Belanda dan menerima jumlah penghasilan bunga yang sama dengan contoh pertama dari PT. Indonesia. Untuk contoh kedua ini yang menjadi negara sumber adalah Indonesia dan Belanda yang menjadi negara domisili. Apabila Indonesia dan Belanda tidak terikat dalam Tax Treaty maka berdasarkan Undang-Undang PPh pasal 26, atas penghasilan bunga senilai Rp 3.000.000.000,- yang diterima oleh orang pribadi (Belanda) akan dikenakan tarif sebesar 20% dan dipotong pajak Rp 600.000.000,- oleh Indonesia. Dicontohkan ada transaksi pemberian informasi know-how antara Indonesia dan Belanda dengan nilai penghasilan royalti sebesar Rp. 1.500.000.000,-. Berdasarkan Tax Treaty atas royalti yang berupa know-how tersebut dikenakan tarif sebesar 10%. Apabila Indonesia yang menjadi negara penerima royalti, maka atas penghasilan tersebut akan dikenakan pajak Rp 150.000.000,- oleh pemerintah Belanda sedangkan jika Belanda yang menjadi negara penerima royalti maka penghasilan tersebut akan dipotong pajak sebesar Rp 150.000.000,- oleh Indonesia. Undang-Undang domestik kedua negara lebih tinggi dibandingkan dengan tarif yang diatur dalam Tax Treaty Indonesia – Belanda. Tetapi pada passive income yang berupa bunga dan royalti, tarif yang diterapkan oleh pemerintah Belanda lebih rendah daripada yang ditetapkan dalam Tax Treaty. Dengan penerapan tarif Tax Treaty yang lebih tinggi daripada tarif yang diatur dalam Undang-Undang domestik, menyebabkan wajib pajak Indonesia dirugikan karena apabila penghasilan bunga dan royalti yang diterima oleh wajib pajak Indonesia sebesar Rp 1.500.000.000,- akan dikenakan pajak sebesar Rp 150.000.000,- sedangkan jika penerapan pajak menurut Undang-Undang domestik, maka atas penghasilan tersebut dipotong pajak lebih kecil yaitu Rp 0,-. Dapat dilihat secara jelas bahwa dari ketiga jenis passive income ini, wajib pajak Indonesia diuntungkan apabila tidak ada Tax Treaty dan sebaliknya Belanda merasa diuntungkan dengan adanya Tax Treaty. Dan syarat untuk dapat menikmati fasilitas Tax Treaty tersebut, masing-masing wajib pajak Indonesia dan Belanda harus dapat menunjukan Surat Keterangan Domisili atau Resident Certificate. Sehingga hal ini dapat menimbulkan pengelakan pajak yang dilakukan wajib pajak Indonesia untuk tidak menunjukan Surat Keterangan Domisili kepada pembayar pajak Belanda agar penghasilan bunga atau royalti yang diterimanya dikenakan pajak menurut UndangUndang domisili Belanda, yakni tidak mengenakan pajak atas kedua penghasilan tersebut, bunga dan royalti. Sedangkan bagi wajib pajak Belanda akan lebih baik untuk menunjukan Resident Certificate agar dapat menikmati fasilitas Tax Treaty yang tarifnya jauh lebih rendah daripada tarif Undang-Undang PPh Pasal 26. Tetapi kembali lagi pada tujuan semula, suatu Tax Treaty dibuat dengan tujuan untuk menghindari terjadinya pengenaan pajak berganda (double taxation). Tax Treaty seperti penengah yang bersifat netral. Tujuan dari Tax Treaty ini bukan untuk menguntungkan salah satu pihak dan merugikan pihak yang lainnya tetapi kedua negara
saling terikat perjanjian bilateral agar tidak terjadi pemajakan berganda atas suatu penghasilan sehingga dapat merugikan tax payer dari salah satu negara. Dapat dikatakan bahwa secara keseluruhan penerapan Tax Treaty Indonesia – Belanda tidak menguntungkan maupun merugikan salah satu pihak karena Tax Treaty Indonesia – Belanda sudah berlangsung selama 9 tahun sejak 01 Januari 2004 hingga sekarang, sehingga apabila salah satu negara merasa dirugikan dengan adanya Tax Treaty ini maka negara tersebut akan mengakhiri perjanjian ini seperti Indonesia mengakhiri perjanjian Tax Treaty dengan Mauritus karena Indonesia merasa dirugikan.