Meningkatkan Tax Ratio Indonesia
A. Pendahuluan Penerimaan perpajakan merupakan salah satu pilar penerimaan dalam APBN, hal ini sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Pasal 8 huruf e. Amanat tersebut mengimplikasikan bahwa sebagai salah satu unsur pengemban tugas pelaksanaan dalam pemungutan pendapatan negara, penerimaan perpajakan harus mampu memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan negara sesuai dengan kemampuan dalam menghimpun pendapatan negara. Mendesaknya tuntutan akan kenaikan pendapatan negara dari perpajakan seiring dengan kebutuhan belanja negara untuk pembangunan nasional. Secara nominal, dari tahun ke tahun jumlah penerimaan pajak senantiasa meningkat, seiring dengan peningkatan target penerimaan. Pada dasarnya, tax ratio mengukur perbandingan antara penerimaan pajak dengan gross domestic product (GDP) suatu negara. Melihat definisi ini, maka nampak bahwa manfaat tax ratio adalah untuk mengetahui kira-kira seberapa besar porsi pajak dalam perekonomian nasional. Tax burden terkait pula dengan keadilan. Keadilan (equity) sendiri ada dua macam, yaitu horizontal dan vertical equity. Dalam horizontal equity, orang yang mempunyai posisi yang sama akan mendapatkan perlakuan serupa, sedangkan pada vertical equity, mereka yang mempunyai kondisi yang berbeda – misalnya perbedaaan penghasilan – seharusnya dikenakan pajak yang berbeda pula. Konsep vertical equity inilah yang diadopsi dalam tarif progresif pajak penghasilan. Melihat konsep-konsep di atas, maka sebenarnya tax ratio bisa dilihat dari dua sisi. Pertama, tax ratio menunjukkan kemampuan pemerintah dalam mengumpulkan penerimaan pajak. Semakin tinggi penerimaan pajak suatu negara, maka semakin besar pula tax ratio-nya. Penerimaan pajak yang besar akan memungkinan suatu negara menyelenggarakan manajemen pemerintahan dengan lebih leluasa. Karena terkait erat dengan penerimaan inilah maka pembahasan tax ratio antara pemerintah dan parlemen biasanya alot. Dalam hal ini bahkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menghimbau supaya semua pihak dalam menghitung tax ratio menggunakan pendekatan yang dianut oleh Organization for Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN-SETJEN DPR-RI| 1
Economic Cooperation and Development (OECD), bisa jadi dikarenakan hasilnya tinggi. Kedua, tax ratio bisa dilihat sebagai ukuran beban pajak. Logikanya adalah bahwa selain dilihat sebagai keseluruhan nilai pasar barang dan jasa yang dihasilkan suatu negara dalam satu tahun, GDP bisa pula dilihat sebagai total penghasilan semua orang di dalam suatu perekonomian. Jadi jika tax ratio didefinisikan sebagai: Tax Ratio : (∑Pajak)/GDP
maka semakin tinggi tax ratio, semakin besar pula penghasilan masyarakat yang masuk ke dalam penerimaan pajak (ceteris paribus). B. Isi Tax Ratio Indonesia Rasio penerimaan perpajakan terhadap Produk Domestik Bruto /PDB (tax ratio) Indonesia tahun 2009-2012 berkisar antara 11,0 persen-11,9 persen. Besarnya penerimaan perpajakan dalam perhitungan tax ratio tersebut hanya memperhitungkan penerimaan perpajakan yang dipungut oleh Pemerintah Pusat, tidak termasuk penerimaan pajak daerah dan SDA migas. Jika penerimaan pajak daerah dan SDA migas dimasukkan dalam perhitungan tax ratio, maka tax ratio Indonesia tahun 2009-2012 menjadi lebih tinggi, yaitu berkisar antara 14,1 persen 15,4 persen. Perhitungan tax ratio yang pemasukkan penerimaan pajak daerah dan SDA migas merupakan tax ratio dalam arti yang lebih luas. Perkembangan tax ratio Indonesia tahun 2009-2012 dengan berbagai cara perhitungan dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.
1 2 3 4
Penerimaan Perpajakan SDA Migas Penerimaan Pajak Daerah PDB Tax Ratio (a) = 1 : 4 Tax Ratio (b) = (1+2) : 4 Tax Ratio (c) = (1+2+3) : 4
2009 619,9 125,8 45,1 5.613,40 11,04% 13,28% 14,09%
2010 723,3 152,7 47,7 6.422,20 11,26% 13,64% 14,38%
2011 873,9 193,5 63,6 7.427,10 11,77% 14,37% 15,23%
2012 980,52 205,8 81,6 8.241,90 11,90% 14,39% 15,38%
Tabel 1. Perhitungan Tax Ratio Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN-SETJEN DPR-RI| 2
Indonesia sendiri untuk penghitungan tax ratio menggunakan metode pertama dimana penerimaan pajak pusat dibagi PDB dikarenakan selama ini APBN menggunakan metode seperti itu, namun ketika tax ratio indonesia dibandingkan dengan negara lain menggunakan pendekatan data yang dianut oleh OECD sesuai himbauan Direktorat Jenderal Pajak, maka tax ratio Indonesia tetap lebih rendah.
Gambar 1. Tax Ratio Negara Asia Tengara tahun 2011
Rata-rata di Asia Tenggara pada tahun 2011 adalah sebesar 12,24% digambarkan dengan garis horizontal warna merah, sedangkan untuk tahun yang sama, posisi Indonesia berada pada 11,77%. Rasio tertinggi dimiliki oleh Thailand sebesar 17,55% dan terendah adalah Myanmar (3,27%). Jika kita lihat gambar di atas, tax ratio Indonesia hanya lebih tinggi dibandingkan dengan Myanmar dan Kamboja.
Gambar 2: Tax ratio negara-negara G-20 Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN-SETJEN DPR-RI| 3
Di kalangan G-20, tax ratio tertinggi adalah UK (27,40%) diikuti oleh Afrika Selatan (25,67%), sedangkan yang terendah adalah Spanyol (9,45%) dengan rata-rata sebesar 15,56% (digambarkan dengan garis horizontal warna merah). Dengan demikian Indonesia masih di bawah rata-rata G-20. Kemudian laporan OECD pada tahun 2009 melansir bahwa posisi tax ratio Indonesia memang berada di bawah negara-negara lain
Gambar 3: Perbandingan tax ratio tahun 2009 menurut OECD
Tahun 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Tax Ratio LKPP (%) 11,5 12 12,2 12,5 12,3 12,4 13,3 11,1 11,3 11,8 11,9
Realisasi Pajak (T) 210,1 242 280,6 347 409,2 491 658,7 619,9 723,3 873,9 980,1
Pendapatan Negara (T) 298,6 341,4 407,9 495 638 707,8 981,6 848,8 995,3 1210,6 1338,1
Ratio Pajak/ Pendp Negara 70,4% 70,9% 68,8% 70,1% 64,1% 69,4% 67,1% 73,0% 72,7% 72,2% 73,2%
Tabel 2 : Tax Ratio Indonesia menurut LKPP
Berdasarkan data dari dan LKPP tax ratio Indonesia dalam kurun waktu 2002-2012, menunjukkan tren yang fluktuatif. Tax ratio cenderung meningkat dalam periode 2002-2012 dari 11,5% hingga mencapai 13,3%. Namun pada tahun 2009 terjadi penurunan tajam ke posisi 11,1% sebelum kembali mengalami kenaikan yang konsisten pada periode 2010-2012 hingga mencapai 11,9%. Menurut data IMF, rasio penerimaan pajak aktual terhadap PDB pada tahun 2010 sebesar 11,06 persen, padahal kapasitas pajak Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN-SETJEN DPR-RI| 4
diperkirakan sekitar 21,5 persen dari PDB. Rasio penerimaan pajak terhadap PDB di Indonesia adalah yang terendah diantara negaranegara G-20 dan negara-negara emerging markets. Untuk bisa setara dengan negara-negara berkembang di dunia, setidaknya Indonesia perlu memiliki tax ratio 20% dari PDB. Namun, untuk mencapai target 20% tersebut dibutuhkan waktu yang panjang sekitar 4 sampai 5 tahun lagi, bahkan jika kondisi Indonesia terus mengalami krisis, bisa butuh waktu sampai 8 tahun lagi. Strategi Meningkatkan Tax Ratio Realisasi penerimaan pajak pada triwulan II hingga IV tahun 2014 diperkirakan melambat seiring pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diprediksi 5,1-5,5 persen. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2014 menargetkan penerimaan pajak Rp 1.110,19 triliun. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pajak (DJP), realisasi penerimaan pajak per 7 Mei 2014 mencapai Rp 307,5 triliun atau 27,7 persen dari target, jumlah tersebut dapat dicapai karena terbantu oleh setoran SPT Badan dan Orang Pribadi yang jatuh tempo pada bulan Maret dan April. Sampai dengan akhir tahun 2014, artinya penerimaan pajak masih kurang Rp 802,59 triliun atau 72,3%. Sedangkan untuk tingkatan dan struktur penerimaan pajak sendiri cenderung stabil dalam 5 tahun terakhir. Hal ini antara lain disebabkan oleh populasi wajib pajak yang masih sempit di Indonesia, walaupun terjadi peningkatan secara bertahap dalam periode tersebut. Berdasarkan data World Bank menunjukkan bahwa populasi penduduk Indonesia di tahun 2012 berjumlah 246 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, minimal 25%-nya, atau sekitar 61,5 juta jiwa, dikatakan telah memenuhi syarat sebagai Wajib Pajak. 2009 WP Badan 1,608,337 WP Orang Pribadi 13,861,253 WP Bendahara 441,986 Total 15,911,576 Sumber: DJP, 2013
2010 1,760,108 16,880,649 471,833 19,112,590
2011 1,929,507 19,881,684 507,882 22,319,073
2012 2,136,014 22,131,323 545,232 24,812,569
2013 2,218,573 23,082,822 555,995 25,857,390
Tabel 3 : Struktur Wajib Pajak OP dan Badan
Namun kenyataannya, jumlah Wajib Pajak Orang Pribadi yang terdaftar dan mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pada tahun 2013 berjumlah 23,082 juta. Artinya, masih terdapat kurang Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN-SETJEN DPR-RI| 5
lebih 38 juta penduduk yang belum ber-NPWP. Hal ini juga berarti telah terjadi ketidakadilan terhadap 23,082 juta Wajib Pajak Orang Pribadi yang memenuhi kewajiban perpajakannya dan 2,2 juta Wajib Pajak Badan yang telah terdaftar. Untuk pajak penghasilan memberikan kontribusi sekitar 50 persen dari total penerimaan pajak, pajak konsumsi sekitar 40 persen, pajak properti 4−6 persen dan pajak perdagangan sekitar 3−5 persen. Dibandingkan dengan periode 1990−1999 peran pajak penghasilan menurun dan porsi pajak konsumsi meningkat. Realisasi Penerimaan Negara (Milyar Rupiah). 2009-2014 Sumber Penerimaan Tax Ratio LKPP Realisasi Penerimaan Pajak Penerimaan Perpajakan Pajak Dalam Negeri Pajak Penghasilan Pajak Pertambahan Nilai Pajak Bumi dan Bangunan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Cukai Pajak Lainnya Pajak Perdagangan Internasional Bea Masuk Pajak Ekspor Penerimaan Bukan Pajak Penerimaan Sumber Daya Alam Bagian laba BUMN Penerimaan Bukan Pajak Lainnya Pendapatan Badan Layanan Umum Jumlah / Total
2009 1)
2010 1)
2011 1)
2012 1)
2013 2)
11.1
11.3
11.8
11.9
12.2
619 922
723 307
873 874
980 500
1 148 300
601 252 317 615 193 067 24 270 6 465 56 719 3 116 18 670 18 105 565
694 392 357 045 230 605 28 581 8 026 66 166 3 969 28 915 20 017 8 898
819 752 431 122 277 800 29 893
930 900 465 100 337 600 29 000
1 099 900 538 800 423 700 27 300
77 010 3 928 54 122 25 266 28 856
95 000 4 200 49 600 28 400 21 200
104 700 5 400 48 400 30 800 17 600
227 174
268 942
331 472
351 800
349 200
138 959 26 050 53 796 8 369
168 825 30 097 59 429 10 591
213 823 28 184 69 361 20 104
225 800 30 800 73 500 21 700
203 700 36 500 85 500 23 500
847 096
992 249
1 205 346
1 332 300
1 497 500
Catatan:
: Perbedaan satu digit dibelakang terhadap angka penjumlahan karena pembulatan. 1) LKPP 2) APBN-P 3) APBN
Sumber
: Departemen Keuangan
Tabel 4 : Struktur Penerimaan Pajak
Salah satu penyebab rendahnya tax ratio adalah rendahnya penerimaan pajak oleh karena itu yang dapat dilakukan untuk menaikkan tax ratio Indonesia adalah dengan cara melakukan optimalisasi penerimaan pajak terutama dengan meningkatkan tingkat kepatuhan wajib pajak serta meminimalisir kebocoran penerimaan pajak. Optimalisasi penerimaan pajak dapat dilakukan dengan : a. Perluasan populasi wajib pajak orang pribadi, penyederhanaan administrasi PPh OP serta penguatan, pembenahan dan penambahan sumber daya manusia di otoritas perpajakan; Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN-SETJEN DPR-RI| 6
b. Kebijakan pengurangan kelompok barang atau jasa yang bebas PPN yang tidak memberi manfaat besar bagi perekonomian namun mengorbankan potensi penerimaan; c. Peningkatan efisiensi mekanisme restitusi dan audit PPN yang belum optimal untuk meningkatkan penerimaan PPN sehingga mendekati potensi yang ada; d. Melibatkan partisipasi publik dalam hal pengawasan serta penerapan sistem “Reward and Punishment” bagi bagi wajib pajak dan petugas pajak; e. Harus ada kebijakan yang sinkron antara kebijakan moneter dengan kebijakan fiskal untuk mencapai keseimbangan ekonomi sehingga potensi penerimaan pajak tidak hilang akibat kebijakan yang kontra-produktif terhadap upaya peningkatan penerimaan pajak; f. Evaluasi atas pengenaan pajak ekspor dan tax holiday untuk pioneer industry, Menurut Angel Gurria - Sekretaris Jenderal OECD - struktur pajak di Indonesia itu bagaikan keju yang banyak lubangnya dan saat ini banyak perusahaan yang ingin berada di dalam lubang itu. Padahal mereka itu sebenarnya tetap saja datang ke Indonesia meskipun tidak disediakan insentif pajak apapun karena pertumbuhan ekonomi yang relatif kuat dan stabil serta besarnya potensi pasar. C. Penutup Tax ratio pada hakikatnya selain menjadi ukuran penerimaan pajak, juga menunjukkan beban pajak yang harus ditanggung masyarakat. Semakin tinggi tax ratio, semakin besar pula penerimaan pajak dan dengan demikian, semakin leluasa pemerintah membiayai penerimaannya. Tax ratio Indonesia relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara, negara anggota G-20, bahkan jika dibandingkan dengan negara-negara Afrika. Beberapa cara untuk meningkatkan tax ratio adalah dengan melakukan optimalisasi penerimaan pajak terutama dengan meningkatkan tingkat kepatuhan wajib pajak serta meminimalisir kebocoran penerimaan pajak sehingga Indonesia bisa sejajar dengan negara anggota G-20 dalam hal Tax Ratio. (AP)
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN-SETJEN DPR-RI| 7