ANALISIS KINERJA DAN POTENSI SISTEM RESI GUDANG UNTUK SUMBER PEMBIAYAAN, STABILISASI HARGA DAN PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI JAGUNG DAN KEDELAI Iwan Setiajie Anugrah Pendahuluan (1) Terjadinya penurunan harga komoditas pertanian pada saat panen raya hingga titik terendah, tidak sedikit menyebabkan para petani harus menerima kerugian. Begitu pula akses yang dimiliki para petani terhadap sumber permodalan untuk keberlanjutan pengelolaan usaha tani melalui pihak perbankan relatif masih sangat terbatas, karena terkait dengan agunan yang harus dijaminkan untuk memperoleh pinjaman atau kredit. (2)
Sejak tahun 2006, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan mengeluarkan kebijakan Sistem Resi Gudang (SRG) yang didasarkan pada Undang-Undang (UU) Nomor 9 Tahun 2006 tentang SRG. Sistem Resi Gudang (SRG) merupakan kegiatan yang berkaitan dengan penerbitan, pengalihan, penjaminan, dan penyelesaian transaksi Resi Gudang (RG). Dalam UU tersebut dinyatakan bahwa RG merupakan dokumen bukti kepemilikan atas barang yang disimpan di gudang yang diterbitkan oleh pengelola gudang.
(3)
Tujuan dari program SRG di antaranya untuk membantu petani dalam mengatasi persoalan pemasaran produk agar terlepas dari masalah rendahnya harga komoditas ketika musim panen dengan mekanisme tunda jual. Melalui mekanisme tunda jual tersebut petani memperoleh peluang untuk menyimpan komoditas hasil panennya pada gudang SRG selama waktu tertentu sampai diperkirakan terjadi kenaikan harga. Kebijakan tersebut juga untuk membantu petani memperoleh akses kredit pembiayaan dari perbankan dan lembaga keuangan lain. Mekanisme tersebut juga dapat membantu pengendalian fluktuasi harga terkait dengan eksistensi komoditas pertanian yang bersifat musiman.
(4)
Penyelenggaraan program SRG sebagai program pemerintah, selain didasarkan pada dasar hukum SRG di Indonesia, Undang-Undang No. 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang yang diamandemen dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2011, juga beberapa peraturan perundang-undangan, meliputi (1) Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2013; (2) Peraturan Menteri Perdagangan No. 37/M-DAG/PER/07/2011 tentang Barang yang dapat disimpan di gudang dalam Penyelenggaraan Sistem Resi Gudang sebagaimana telah diubah dengan Permendag No. 08/M-DAG/PER/02/2013; (3) Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/6/PBI/2007 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum; (4) 15 Peraturan Kepala Bappebti tentang Peraturan Teknis Pelaksanaan Sistem Resi Gudang
(5)
Berdasarkan Permendag Nomor 26/2007, jenis komoditas yang dapat diresigudangkan, diutamakan untuk barang ekspor dan ketahanan pangan. Persyaratan komoditas SRG, yaitu: (1) mempunyai usia simpan yang cukup lama, minimal tiga bulan; (2) harga berfluktuasi; (3) mempunyai standar mutu tertentu, (4) mempunyai pasar dan informasi harga yang jelas; dan (5) merupakan komoditas potensial dan sangat berperan dalam perekonomian daerah setempat dan nasional.
(6)
Dengan mekanisme penyelenggaraan SRG, komoditas pertanian dapat diperdagangkan dengan harga tinggi melalui peningkatan kualitas produk serta sekaligus dapat diajukan untuk mendapatkan kredit permodalan dari lembaga perbankan. Dengan demikian, pendapatan pengguna SRG baik petani, kelompok tani (poktan), maupun gabungan kelompok tani (Gapoktan) dapat ditingkatkan.
(7)
Menurut UU Nomor 9/2006, dokumen RG dapat dijadikan agunan ke bank atau Lembaga Keuangan NonBank (LKNB) untuk memperoleh kredit berupa kredit komersial dan kredit subsidi. Kredit komersial dapat diberikan kepada pemilik barang atau pihak yang menerima pengalihan dari pemilik barang atau pihak lain yang menerima pengalihan lebih lanjut. Sementara itu, kredit subsidi adalah kredit modal kerja skema subsidi resi gudang (S-SRG) yang mendapat subsidi bunga dari pemerintah dengan jaminan resi gudang yang diberikan bank kepada petani, kelompok tani, gapoktan, dan koperasi.
(8)
Berdasarkan konsep dan mekanisme, sebagaimana dituangkan dalam Undang Undang Nomor 9 tahun 2006 tersebut, SRG dapat dijadikan sebagai alternatif model pemasaran komoditas pertanian yang mengalami fluktuasi harga dan memungkinkan petani melakukan tunda jual sekaligus dapat memperoleh uang tunai untuk memenuhi kelangsungan usaha tani dan keperluan keluarganya.
(9)
Berdasarkan data dari konferensi Warehouse Receipt System (WRS) di Amsterdam pada tanggal 9-11 Juli 2001, negara-negara yang tercatat cukup berhasil menerapkan Sistem Resi Gudang (SRG) adalah Rumania, Hungaria, Afrika Selatan, Zambia, Ghana, Rusia, Slovalia, Bulgaria, Chechnya, Polandia, Kazahtan, Turki, dan Meksiko. Secara umum penerapan SRG mampu meningkatkan pendapatan rumah tangga petani, menaikkan posisi tawar petani, memotivasi petani untuk berproduksi lebih tinggi dan menjaga kualitas, meningkatkan akses pembiayaan ke lembaga keuangan, membuka wawasan dan keterampilan petani terkait teknologi informasi, dan mengurangi intervensi pemerintah dalam mengatur perdagangan komoditas pertanian.
Permasalahan (10) Secara umum implementasi penyelenggaraan SRG di Indonesia, termasuk untuk komoditas pertanian yang telah masuk daftar SRG sampai tahun 2016 sudah berjalan, tetapi perkembangannya masih lambat bahkan sebagian tidak berlanjut dibandingkan dengan potensi yang bisa dikelola dalam mekanisme SRG. Masih terbatasnya jumlah para petani, kelompok
1
tani, gapoktan serta koperasi yang menjadi pengguna dan sudah ditetapkan sebagai penerima manfaat dalam peraturan penyelenggaraan SRG, secara konsepsi juga telah berdampak pada rendahnya tingkat pemanfaatan skim pembiayaan (S-SRG) yang sudah disediakan oleh lembaga keuangan dalam SRG. Rendahnya jumlah pengguna SRG juga sangat terkait dengan jumlah Resi Gudang (RG) yang terbitkan sebagai bukti kepemilikan barang sekaligus sebagai agunan untuk memperoleh SSRG tersebut. (11) Beberapa pertanyaan yang perlu dijawab terkait dengan implementasi SRG. Pertama, apakah dari sisi konsep (format, aturan, dan operasionalisasi) SRG sudah sesuai dengan karakteristik petani dan usaha pertanian? Kedua, bagaimana kinerja SRG selama ini dalam menstabilkan harga yang bermuara pada pendapatan petani? Ketiga, kendala apa saja yang masih dihadapi dalam implementasi SRG serta solusi dan manfaat yang dapat ditawarkan untuk mengoptimalkan peran SRG? Temuan-Temuan Pokok Analisis SRG sebagai Sumber Pembiayaan (12) Tujuan S-SRG adalah memfasilitasi Petani, Kelompok Tani, Gabungan Kelompok Tani, dan Koperasi untuk memperoleh pembiayaan dari Bank Pelaksana/LKNB dengan memanfaatkan Resi Gudang sebagai jaminan/agunan guna menjaga kesinambungan produksi pertanian. Dengan target penjualan produk SRG pada saat harga yang tinggi, akan sangat berdampak pada nilai jual dan pembagian keuntungan kepada pengguna SRG sebagai pemilik barang/komoditas serta pengelola SRG. (13) Secara teoritis dan dari beberapa kasus pengguna SRG khususnya para petani di lokasi SRG, penyediaan kredit pembiayaan SRG sangat membantu memenuhi kebutuhan modal usahatani yang akan digunakan pada musim tanam berikutnya. Disisi lain pengguna tadi masih mendapatkan tambahan keuntungan dari selisih harga jual produk/komoditas tertinggi dengan harga taksiran awal dan biaya-biaya yang menjadi kewajiban pengguna untuk diselesaikan, termasuk dalam penyelesaian kredit pembiayaan yang diperoleh dari bank penyelenggara skim SRG sebelum jatuh tempo. Proses ini kemudian menjadi bagian dari gambaran ideal, bagaimana peningkatan pendapatan petani yang dilaksanakan melalui tunda jual komoditas dalam waktu tertentu melalui penyelenggaraan SRG. (14) Dalam implementasinya, pemanfaatan S-SRG oleh para pengguna di tiga lokasi penelitian jumlahnya masih relatif kecil. Hal ini sangat terkait dengan jumlah pengguna dan volume simpan komoditas melalui mekanisme SRG juga masih sangat terbatas. Jumlah pengguna dan volume simpan sangat berkorelasi dengan jumlah Resi Gudang (RG) yang diterbitkan dan sekaligus menjadi agunan untuk pengajuan kredit pembiayaan kepada bank penyedia. Kenyataannya dari sejumlah debitur yang menjadi pengguna SRG dan mengagunkan RG untuk sumber pembiayaan bukan dari para petani yang menjadi produsen langsung
2
komoditas atau produk yang disimpan di SRG, melainkan para pelaku pemasaran yang selama ini menjadi pengumpul atau pembeli produk/komoditas dari petani. Kesempatan ini digunakan debitur, selain mempunyai jumlah produk yang cukup banyak juga dengan modal dan sarana yang ada bisa melakukan proses peningkatan mutu yang bisa diterima dalam mekanisme SRG. Analisis SRG sebagai Stabilisasi Harga (15) Dalam penyelenggaraan SRG untuk gabah maupun beras, manfaat stabilisasi harga nampaknya menjadi bagian dari proses SRG dari sisi stok penyediaan produk komoditas yang disimpan di gudang SRG. Selain terpenuhinya stok kebutuhan produk juga adanya standar harga yang sudah ditetapkan oleh pemerintah melalui HPP (Harga Penetapan Pemerintah) sebagai acuan harga (beli-jual) produk di pasaran, mendorong pada harga pasar komoditas atau produk yang cukup stabil. Kondisi ini akan bertolak belakang dengan konsep yang harus dijalankan oleh penyelenggara SRG pada saat melakukan penjualan barang/produk yang disimpan di gudang, dimana harga yang tinggi menjadi target penetapan harga produk yang disimpan selama waktu 2-3 bulan. (16) Secara teoritis dan empiris SRG akan berkembang atau jasa RG diperlukan disuatu wilayah produksi pertanian manakala terjadi fluktuasi harga musiman yang nyata, dimana selisih harga melebihi biaya yang harus dibayar untuk membeli jasa resi gudang. Harga melonjak akibat kurang pasokan (shortage of supply) dan harga merosot akibat kelebihan pasokan (over-supply). Penyelenggaraan SRG menguntungkan penyelenggara dan petani produsen/pedagang, manakala selisih harga yang didapat dengan menunda jual dan menyimpan hasil panen di gudang SRG melebihi biaya untuk membeli jasa RG. Jika kondisi keharusan (necessary condition) ini tidak terpenuhi maka mustahil untuk mengharapkan berkembangnya SRG untuk komoditi tertentu. Analisis SRG untuk Peningkatan Pendapatan Petani (17) Secara konseptual SRG dirancang sebagai instrumen untuk pola tunda jual komoditi pada saat terjadi harga fluktuatif dan ektrim rendah yang selama ini seringkali terjadi pada saat panen raya, seiring terjadinya peningkatan jumlah produksi. Kemudian setelah panen raya harga cenderung berkembang karena jumlah produk di pasaran juga semakin terbatas. Selisih harga melalui pola tunda jual, menjadi fokus pengelolaan SRG. Dengan selisih harga diharapkan akan memberikan margin pengelolaan komoditas SRG bagi penyelenggara maupun pengguna SRG. (18) Dalam implementasinya, penyelenggaraan SRG jagung di tiga lokasi penelitian telah memberikan peningkatan selsih harga yang diperoleh pengguna. Namun demikian jumlah petani, kelompok tani, gapoktan ataupun koperasi yang menjadi pengguna dan penerima manfaat SRG masih sangat terbatas. Hal ini disebabkan kemampuan para petani dan pengguna lain yang ditetapkan dalam UU, masih terkendala untuk
3
memenuhi volume dan standar mutu produk yang dipersyaratkan oleh pengelola SRG. (19) Beberapa kendala dan permasalahan dalam pelaksanaan penyelenggaraan SRG jagung di tiga lokasi penelitian : (1) Keterbatasan informasi dan pengetahuan para petani maupun kelompok tani terhadap penyelenggaraan SRG serta manfaatnya; (2) Terbatasnya lahan skala usahatani dan jumlah produk yang dihasilkan di tingkat petani; (3) Terbatasnya kemampuan untuk peningkatan mutu produk, terkait sarana dan biaya jasa pengolahan produk, mendorong penjualan jagung pipil basah dan tongkol secara langsung saat panen; (3) kebutuhan petani dan keluarganya terhadap dana cepat/kontan, sulit tenaga kerja dan upah tinggi memungkinkan masih berlangsungnya penjualan produk dengan sistem ijon dan tebasan; (4) Keterikatan modal dan hasil produk dengan pedagang atau pemberi modal; (5) Penyerapan produk dan harga pasar jagung pada saat panen relatif masih layak/menguntungkan; (6) Intensitas dan kemampuan pengelola, tingkat kepercaayaan pengguna kepada pengelola SRG terkait dengan keberlanjutan SRG; (6) koordinasi dan fokus terhadap penyelenggaraan SRG dari para pemangku kepentingan dalam Tim SRG; (7) Sinergitas dan dukungan kebijakan dari pimpinan institusi tekait di pusat, provinsi dan kabupaten. (20) Kondisi sumberdaya, kebutuhan pasar dan program pengembangan untuk peningkatan produksi kedelai, serta adanya disparitas harga produk kedelai untuk konsumsi dan benih di beberapa sentra produksi, menjadi potensi untuk diinisiasikan masuk dalam mekanisme pemasaran melalui SRG. Namun, pengelolaan SRG untuk komoditas kedelai sampai saat ini belum terselenggara. Kedelai belum termasuk komoditas yang ditetapkan dalam SRG, berdasarkan peraturan perundang-undangan dan persyaratan Permendag, atas usulan atau pengajuan pemerintah daerah melalui Kementrian Teknis terkait. Analisis SRG dalam Mewujudkan Stok Pangan Nasional (21) Sampai saat ini, pemerintah masih kesulitan untuk mengetahui besarnya ‘stok’ pangan nasional. Kesuksesan pemerintah dalam mendukung dan memfasilitasi penyebarluasan SRG akan menjadi kesuksesan dalam membangun cadangan (stok) pangan nasional dan sekaligus mengurangi beban anggaran pemerintah dalam melaksanakan program stabilisasi harga pangan dan mengendalikan inflasi. Keberadaan stok pangan masyarakat (beras dan jagung) akan membantu pemerintah dalam pelaksanaan kebijakan stabilisasi harga pangan dan pengendalian inflasi. Dengan SRG, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, petani dan pedagang secara langsung dapat berpartisipasi dalam pengendalian harga pangan. Analisis SRG Mewujudkan Sistem Perbenihan Nasional (22) Sampai saat ini, ketersediaan benih berkualitas masih menjadi masalah dalam sistem produksi pangan nasional. Program peningkatan produksi pangan nasional seringkali terkendala oleh keterbatasan ketersediaan, baik
4
dari sisi jumlah, kualitas maupun kontinuitas ketersediaan. Perbedaan harga yang cukup tinggi antara jagung/kedele untuk konsumsi dan untuk benih, membuka peluang penyelenggaraan jasa SRG untuk tujuan pengadaan benih dari kedua komoditas ini. Diperlukannya ‘sertifikasi’ untuk menjamin kualitas dalam penyelenggaraan SRG sejalan dengan persyaratan sertifikasi untuk perbenihan. Persyaratan standar gudang berikut fasilitasnya dalam penyelenggaraan SRG akan lebih menjamin standar mutu benih yang dihasilkan. (23) Jika penyelenggaraan SRG diarahkan untuk pengadaan benih jagung dan kedele, maka ketersediaan benih kedua komoditas pangan ini diharapkan memenuhi 6 tepat, yakni tepat jenis, jumlah, kualitas, harga, tempat dan waktu, khususnya di wilayah sentra produksi kedua komoditas pangan tersebut. Keberadaan SRG benih jelas akan membantu suksesnya program peningkatan produksi pangan nasional yang digulirkan pemerintah. Dengan adanya SRG perbenihan akan terwujud ‘stok benih’ sehingga informasi ketersediaan benih diketahui setiap saat secara lebih akurat. SRG Memperpendek Rantai Pasok Jagung dan Pangan lain. (24) Penyelenggaraan jasa SRG memberi pilihan bagi petani untuk menundajual hasil panennya dengan menyimpannya di gudang SRG dan memperoleh Resi Gudang yang selanjutnya dapat digunakan sebagai kolateral untuk memperoleh kredit (pinjaman) dari Bank atau lembaga keuangan pelaksana. (25) Resi Gudang (RG) sebagai surat berharga dapat dialihkan atau diperjualbelikan oleh pemegang resi gudang kepada pihak ketiga sehingga tercipta suatu sistem perdagangan yang lebih efisien dengan dihilangkannya komponen biaya pemindahan barang. Hal tersebut menciptakan efisiensi logistik dan distribusi. Manfaat SRG lainnya adalah dapat berkontribusi (fiskal) melalui transaksi-transaksi Resi Gudang yang terjadi (26) Dengan adanya jasa resi gudang, petani punya pilihan untuk ‘menunda jual’ yakni menjual hasil panen pada saat yang tepat, untuk memperoleh harga jual yang lebih tinggi dibandingkan harga pasar yang berlaku saat panen atau harga taksiran saat mulai menyimpan di gudang. Petani pemegang resi gudang juga punya pilihan untuk menjual hasil panennya lewat pasar lelang, dengan cukup membawa resi gudang tersebut tanpa harus membawa produknya ke lokasi lelang. Petani pemegang resi gudang dapat menjual produknya di pasar lelang dan/atau mencari pembeli yang menawarkan harga paling tinggi. SRG Mewujudkan Produk Pangan Berstandar Mutu. (27) Sampai saat, komoditas pangan yang diproduksi petani Indonesia, termasuk jagung dan kedele belum menghiraukan standar mutu/kualitas. Petani tidak terbiasa dan tidak terpacu untuk menghasilkan produk yang memenuhi standar mutu tertentu. Situasi ini mengakibatkan petani terpaksa harus rela menerima harga jual ‘rendah’ sementara ‘ price premium’ lebih sering dinikmati oleh para pedagang. 5
(28) Petani produsen menjadi pelaku pasar dengan posisi tawar terlemah di dalam rantai pasok (suppy chains) dan rantai nilai (value chains). Akibat struktur pasar yang cenderung ‘monopsonis’ saat ini, rantai pasar tidak mampu menjamin petani untuk dapat menikmati premium harga, meski mereka telah berusaha menghasilkan produk yang memenuhi standar mutu tertentu. (29) Semakin paham dan meningkatnya minat petani terhadap manfaat jasa SRG tidak hanya akan meningkatkan pendapatan petani, tetapi secara berangsur akan membuat produksi pangan nasional memenuhi standar mutu sehingga lebih berdaya-saing. Keberadaan Standar Nasional Indonesia (SNI) komoditas pangan yang sebagian besar tidak wajib dan tekad pemerintah untuk meningkatkan kualitas produksi pangan sesuai SNI sampai saat ini masih bersifat wacana karena tidak ada instrumen efektif untuk mewujudkannya. Implikasi Kebijakan (30) Untuk lebih mengoperasionalkan konsep dan peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan tatakelola penyelenggaraan SRG dan implementasinya, bersinergi dengan kepentingan para pengelola SRG di masing-masing lokasi gudang SRG, serta pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten), diperlukan tingkat pemahaman yang sama untuk menjadi acuan kebijakan operasional yang akan digunakan dalam pelaksanaan SRG. Penyusunan kebijakan turunan dari konsep dan perundangundangan menjadi ketentuan di daerah dan pengelola, juga dapat mempertimbangkan sekaligus mengakomodasi potensi, kondisi dan kemampuan para petani yang menjadi sasaran pelaksanaan dan sebagai pengguna SRG, supaya penyelenggaraan SRG bisa berjalan dan dapat dimanfaatkan oleh sasaran, sebagaimana konsep dasar dan peraturan perundang-undangan tentang SRG. (31) Optimalisasi kinerja penyelenggaraan SRG untuk komoditas jagung di tiga lokasi penelitian, masih harus terus ditingkatkan untuk mempertahankan keberlanjutan pengelolaan SRG dan mendorong para petani, kelompok tani, gapoktan serta koperasi menjadi pengguna SRG. Peran pengelola dituntut lebih pro aktif dalam memasarkan SRG, sekaligus meningkatkan kepercayaan dan pemahaman para petani tentang manfaat SRG pada saat terjadi fluktuasi harga rendah serta fasilitas penyediaan sumber pembiayaan melalui bank penyedia yang dapat diakses oleh para petani melalui proses penerbitan RG. Peran serta pemerintah daerah, institusi pendukung dan para pelaku usaha jasa sarana pengolahan panen dan pasca panen yang terkoneksi dengan mekanisme penyelenggaraan SRG dan yang menjadi bagian penting dari sistem secara keseluruhan, masih perlu dikoordinasikan secara intensif pada penyelenggaraan SRG melalui peran Dinas Perdagangan di tingkat provinsi dan kabupaten. Pemberdayaan peran dan fungsi kelompok tani, gapoktan ataupun koperasi untuk mengatasi kendala ketidakmampuan para petani memenuhi standar mutu dan kwalitas serta volume jagung yang dapat diterima SRG sesuai aturan yang ditetapkan oleh pengelola SRG, dapat
6
dilakukan melalui instrumen penguatan modal awal maupun saranaprasarana pendukung yang dapat diusahakan oleh kelompok tani, untuk menampung produksi jagung milik petani skala usaha kecil dengan jumlah produksi terbatas, selanjutnya dikelola oleh kelompok tani menjadi produk yang dapat diterima, sesuai persyaratan SRG hingga diterbitkan Resi Gudang (RG) atas nama petani atau kelompok, dan selanjutnya bisa dijadikan agunan untuk mendapatkan sumber pembiayaan usaha petani atau kelompok pemegang RG. (32) Masih terbatasnya informasi dan pemahaman para petani dan petugas di lingkungan SKPD terkait SRG, Dinas Perdagangan di tingkat provinsi dan kabupaten sebagai coordinator penyelenggaraan SRG di daerah, dituntut untuk meningkatkan intensitas kegiatan koordinasi dan sosialisasi dalam kegiatan SRG dengan berbagai institusi yang kompeten dengan penyelenggaraan SRG, termasuk perbangkan, lembaga uji mutu, asuransi serta para pelaku pemasaran dan pengguna produk, seperti industri pakan. Intensitas kegiatan sosialisasi di tingkat petani, pemerintahan desa dan kelompok tani yang sudah dilakukan dalam Tim SRG di masing-masing kabupaten, masih perlu diintensipkan kembali, dengan dukungan pendanaan yang bisa dilakukan melalui fasilitasi anggaran khusus untuk penyelenggaraan SRG dimasing-masing institusi ataupun yang dipusatkan melalui anggaran kegiatan di Dinas Perdagangan Kabupaten maupun Provinsi. Untuk mensinergikan semua kepentingan dalam proses percepatan penyebarluasan SRG di masing-masing daerah, peran dan kebijakan pimpinan daerah menjadi sangat penting untuk mendorong pimpinan SKPD dan para pelaku yang terkait dengan penyelenggaraan SRG di daerahnya secara bersama-sama untuk mempercepat penyebarluasan SRG melalui tugas dan fungsi masing-masing. (33) Sampai saat ini komoditas kedelai belum terdaftar menjadi komoditas yang dikelola melalui mekanisme SRG, walaupun beberapa daerah sentra produksi yang mengalami surplus produksi menyampaikan usulan agar komoditas kedelai dapat diusulkan dalam SRG. Kebijakan dan inisiasi penyelenggaraan SRG kedelai memungkinkan dapat dilaksanakan untuk SRG perbenihan kedelai, dengan melihat disparitas dan fluktuasi harga kedelai di sentra produksi (lokasi penelitian) atau secara nasional. Namun yang paling utama adalah dalam kaitan ketersediaan teknologi penyimpanan benih yang bias mempertahankan mutu dan kwalitas selama umur simpan di SRG, untuk pemenuhan kebutuhan benih bermutu, tersertifikasi dan pendistribusiannya kepada pengguna. Ketersediaan benih kedelai bermutu yang memenuhi prinsip enam tepat, sangat diperlukan untuk mendukung program pembangunan pertanian, seperti peningkatan produksi kedelai melalui kegiatan intensifikasi, perluasan areal tanam, upsus pajale serta program nasional dan daerah yang lainnya. Selain masih perlu kajian dan perumusan lebih lanjut dalam keterkaitan dengan kebijakan pembangunan pertanian, inisiasi penyelenggaraan SRG komoditas kedelai khususnya pengelolaan kedelai untuk benih (perbenihan kedelai) secara bertahap dapat dilakukan melalui pilot project SRG di sentra produksi kedelai baik yang sudah ada penyelenggaraan SRG untuk
7
pengelolaan komoditas padi, beras maupun jagung, ataupun dalam proses kegiatan rintisan SRG perbenihan kedelai, dan selanjutnya dapat dijadikan model SRG perbenihan kedelai yang disinergikan mendukung programprogram pembangunan pertanian secara nasional.
8