ANALISIS KESENJANGAN PEMBANGUNAN ANTAR WILAYAH PEMBANGUNAN DI KABUPATEN ALOR
YUNUS ADIFA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
ABSTRAK YUNUS ADIFA. Analisis Kesenjangan Pembangunan antar Wilayah Pembangunan di Kabupaten Alor. (ERNAN RUSTIADI sebagai Ketua dan SETIA HADI sebagai Anggota Komisi Pembimbing). Strategi perencanaan yang berspektif keterpaduan dan keterkaitan antar sektor dan antar spasial yang mendasari penyusunan tata ruang wilayah sebagai induk dari proses pembangunan suatu wilayah yang efisien, adil dan berkelanjutan, sangat diperlukan untuk mengurangi tingkat kesenjangan pembangunan antar wilayah. Tujuan penelitian ini adalah: menganalisis besarnya kesenjangan pembangunan antar satuan Wilayah Pengembangan (SWP), dan menentukan sektor-sektor basis/komoditi unggulan yang mendukung satuan Wilayah Pengembangan di Kabupaten Alor guna memperkuat struktur ekonomi wilayah dan pendapatan masyarakat. Metode analisis yang digunakan adalah, Indeks Williamson, Indeks Skalogram, Indeks Entropy dan Entropy Interaksi Spasial tanpa Kendala (Unconstrained Entropy Model) dan analisis deskriptif, Location Quotient (LQ) dan analisis Shift Share (SSA). Hasil analisis menunjukkan adanya kesenjangan Pembangunan antar Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) di Kabupaten Alor. Dari ketiga Satuan Wilayah Pengembangan yang ada, SWP-B memperlihatkan tingkat perkembangan wilayah yang lebih baik. Tingkat kesenjangan pembangunan yang paling lebar ditemukan pada SWP-C. Ini terjadi karena lemahnya keterkaitan/keterpaduan antar sektor dan spasial dalam kinerja pembangunan wilayah, terutama berkaitan dengan pendistribusian sumberdaya yang bersifat asimetrik. Kata Kunci : Kesenjangan pembangunan, Sektor/komoditi basis, Wilayah pembangunan, Interaksi spasial.
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis “ Analisis Kesenjangan Pembangunan antar Wilayah Pembangunan di Kabupaten Alor Provinsi Nusa Tenggara Timur “ adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari Penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar pustaka.
Bogor, Mei 2007
Yunus Adifa Nrp.A155030121
ANALISIS KESENJANGAN PEMBANGUNAN ANTAR WILAYAH PEMBANGUNAN DI KABUPATEN ALOR - PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
YUNUS ADIFA
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
Judul Tesis
: Analisis Kesenjangan Pembangunan antar Wilayah Pembangunan di Kabupaten Alor - Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Nama
: Yunus Adifa
Nomor Pokok
: A155030121
Program Studi : Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr.Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. Ketua
Dr. Ir. Setia Hadi, MSi Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor,
Prof.Ir. Isang Gonarsyah,Ph.D
Prof. Dr.Ir.Khairil Anwar Notodiputro,MS
Tanggal Ujian : 05 Mei 2007
Tanggal Lulus :.........................
@ hak cipta milik Yunus Adifa, Tahun 2007 Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotocopy, mikrofilm, dan sebagainya.
KATA PENGANTAR Puji syukur Penulis Panjatkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena hanya atas tuntunan dan karunia-Nya, sehingga penyusunan Tesis yang berjudul “Analisis Kesenjangan Pembangunan Antar Wilayah Pembangunan di Kabupaten Alor” dapat diselesaikan. Pengambilan Judul penelitian sebagaimana tersebut di atas, didasari pada suatu kerangka pemikiran Penulis, bahwa pelaksanaan otonomi daerah yang sementara bergulir, akan dapat lebih efektif, jika setiap daerah otonom lebih dahulu memahami apa yang menjadi
kesenjangan pembangunan selama ini, seberapa
besar kesenjangan itu dapat terjadi dan apa yang sebenarnya harus dilakukan untuk mereduksi kesenjangan pembangunan dimaksud. Setiap daerah otonom yang selalu membuka diri dan berupaya memahami dan menyadari berbagai kesenjangan pembagunan di daerahnya, dipastikan akan menekan tingkat ketidakpastian (uncertainty) dalam pengambilan keputusan alokasi sumber daya pembangunan wilayah yang cenderung asimetrik dan stagnan. Salah satu tolok ukur untuk mereduksi tingkat kesenjangan pembangunan adalah bagaimana membangun suatu keterpaduan dan keterkaitan antar sektor dan antar spasial yang mendasari pada Tata ruang wilayah sebagai Induk dari proses pembangunan suatu wilayah yang lebih efisien, adil dan berkelanjutan. Namun demikian kelangkaan sumber daya manusia pada berbagai wilayah otonom, terutama wilayah wilayah marjinal, sering menjadi tantangan untuk menemukan berbagai kesenjangan
pembangunan baik antar sektor maupun antar wilayah
pembangunan sebagai dasar pengambilan keputusan alokasi sumber daya pembangunan yang simetrik dan dinamik. Sehubungan dengan itu
penelitian ini, selain sebagai syarat akademik bagi
Penulis dalam mengakhiri proses Studi Pascasarjana pada Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan – IPB, diharapkan sedikitnya bisa menjawab berbagai tantangan daerah otonom khususnya Kabupaten Alor dalam upaya menemukan informasi yang lebih konsisten sebagai acuan transformasi perencanaan pembangunan wilayah ke depan. Disadari bahwa penulisan Tesis ini dapat terselesaikan, karena kontribusi setiap pihak, sehingga tiada sesuatu yang lebih berharga, kecuali ungkapan terimakasih yang sebesar-besarnya disampaikan kepada :
1. Dr.Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr, dan Dr. Ir. Setia Hadi, MSi selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Anggota yang telah meluangkan waktu, pikiran dan Literatur sejak proses penelitian hingga terselesaikannya penulisan Tesis ini. 2. Prof. Ir. Isang Gonarsyah, Ph.D, Selaku Ketua Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, dan Prof.Dr.Ir.Khairil Anwar Notodiputro,MS, selaku Dekan Pascasarjana Institut Pertanian Bogor bersama civitas Akedemiknya yang telah meluangkan waktu, pikiran dan legalitas administrasi selama proses studi hingga terselesaikannya Tesis ini. 3. Para Dosen dan Karyawan Program Study Ilmu-Ilmu Perencanaan dan Perdesaan Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, yang telah memberikan Ilmu dan dukungan administrasi selama dalam proses study. 4. Prof.Dr.W.H.Limbong, Msc selaku Moderator Kolokium II dan Dr.Hedi.M.Idris, selaku Dosen Penguji Luar Komisi dari Bappenas, atas masukan perbaikan Draft selama dalam proses Seminar dan ujian Tesis. 5. Rekan-rekan Mahasiswa
Angkatan 2003, Angkatan 2004, Angkatan 2005,
Senior S3 PWD dan teman-teman bimbingan Pak Ernan yang berkenan meluangkan waktu menghadiri kolokium dan berbagai kesempatan diskusi yang cukup
memberikan
berbagai
masukan
yang
sangat
berharga
bagi
terselesaikannya penulisan Tesis ini. 6. Pemerintah Kabupaten Alor dan DPRD, yang telah merekomendasikan dan memfasilitasi Penulis selama dalam proses studi di PWD-IPB dan kegiatan penelitian. Termasuk Pimpinan dan staf seunit kerja Bappeda dan unit kerja terkait, yang cukup memberikan dukungan data, tenaga dan moril dalam proses Studi dan proses penelitian di Kabupaten Alor, hingga terselesaikannya Tesis ini. 7. Istri dan anak-anak serta keluarga, yang dalam segala ketabahan memberikan dukungan doa dan materi, sehingga Penulisan Tesis ini dapat terselesai. Kendatipun berbagai pihak telah ada andil di dalamnya, namun demikian Penulis menyadari bahwa penulisan Tesis ini masih jauh dari sempurna, oleh karenanya Penulis sangat mengharapkan saran dan kritikan dari setiap pihak yang peduli bagi penyempurnaan tulisan ini, dihaturkan terimakasih. Bogor, Mei 2007 Penulis,
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Weman - Alor Selatan Kabupaten Alor Provinsi Nusa Tenggara Timur pada tanggal 12 Nopember 1965. Merupakan anak kedua dari dua bersaudara kandung dari pasangan suami istri Karel Adifa dan Juliana Letsibuda dan 7 saudara tiri. Namun sejak balita Penulis diasuh, dibesarkan dan disekolahkan sebagai anak asuh dari 6 bersaudara pasangan ayah dan ibu asuh Anderias Letsibuda dan Sarci Lakatina. Penulis mengawali Pendidikan Dasar (SD) pada SD GMIT Kabola Kalabahi Alor Tahun 1971-1974 dan menamatkannya Tahun 1976 pada SD GMIT Silaipui Alor Selatan, setelah itu tamat pada SMP Negeri Kalabahi Alor Tahun 1980 dan pada SMA Negeri Kalabahi Alor Tahun 1983. Kemudian menamatkan Sarjana Peternakan Tahun 1990 pada Fakultas Peternakan Universitas Negeri Nusa Cendana Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pada Tahun 2003 Penulis melanjutkan Pendidikan pada Program Magister Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, Institut Pertanian Bogor. Sebelum
melanjutkan
Pendidikan
pada
Program
Magister
Ilmu-ilmu
Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan Institut Pertanian Bogor, Penulis bekerja sebagai Asisten Manager Koperasi Unit Desa di Alor Selatan dan Alor Timur Laut Tahun 1992 – 1994. Kemudian bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil pada Kantor Camat Pembantu Alor Timur Tahun 1994 -1996 dalam jabatan Plt. Sekertaris wilayah Kecamatan. Setelah itu bekerja dalam jabatan Kepala Sub bidang Pertanian pada Bagian Ekonomi Kantor Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Alor Tahun 1996 - 2003. Disamping itu sebagai Dosen pengajar Luar Biasa pada Jurusan Sosiologi Fakultas Sosial Politik Universitas Muhamadyah Kupang kelas Khusus Kalabahi Tahun 2000-2003.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................. DAFTAR GAMBAR ........................................................................... I PENDAHULUAN ............................................................................ 1.1. Latar Belakang ..................................................................... 1.2. Permasalahan ..................................................................... 1.3. Perumusan Masalah .................................................................... 1.4. Tujuan Penelitian ..................................................................... 1.5. Kegunaan Penelitian ..................................................................... II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 2.1. Pengertian dan Deskripsi ............................................................. 2.1.1. Kerangka teori keterkaitan antar sektor dan spasial ................. 2.1.2. Kerangka teori kesenjangan dan keberimbangan pembangunan antar wilayah ................................................... a.Urgensi keberimbangan Pembangunan wilayah ................... b.Teori Ketidakseimbangan Pertumbuhan Wilayah .................. c. Faktor-faktor penyebab Kesenjangan Pembangunan ............ d. Penataan Ruang .............................................................. e.Teori Pusat Pertumbuhan ......................................................................... f.Teori Interaksi Spasial .......................................................... g.Teori Resource Endowment .................................................... h.Teori Eksport Base ............................................................ i.Teori Keunggulan Komparatif dan Kompetitif ......................... j.Teori Multiplier effect (dampak Pengganda) ........................ k.Teori Kemiskinan dan Indeks kemiskinan manusia ................. l. Teori Indeks Pembangunan Manusia (IPM) ......................... 2.2. Deskripsi Hasil Penelitian Terdahulu ............................................ III METODE PENELITIAN ....................................................................... 3.1. Kerangka Pemikiran ....................................................................... 3.2. Hipotesis ........................................................................ 3.3. Lokasi dan waktu penelitian ......................................................... 3.4. Sumber dan Jenis data ........................................................ 3.5. Metode pengumpulan data ......................................................... 3.6. Metode analisis ........................................................ 3.6.1. Analisis kesenjangan antar wilayah pembangunan .................. 3.6.2. Analisis Sektor Basis/Komoditi Unggulan Antar Wilayah Pembangunan .......................................................................... IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ 4.1. Profil wilayah Kabupaten Alor ....................................................... 4.1.1. Keadaan Fisik .......................................................................... 4.1.1.1. Letak geografis dan Administrasi wilayah ...........................
xii xiv 1 1 4 13 14 14 15 15 21 24 24 24 27 30 32 36 39 40 43 45 48 51 54 56 56 61 63 63 63 64 64 68 72 72 72 72
4.1.1.2. Topografi, Iklim, Sumberdaya air, dan Penggunaan lahan .......... 4.1.1.3. Sumberdaya Fisik Laut ..................................................... 4.1.2. Perkembangan kependudukan dan sosial–ekonomi ................. 4.1.2.1. Kependudukan .......................................................... 4.1.2.2. Sosial budaya .......................................................... 4.1.2.3. Ekonomi wilayah ......................................................... 4.1.3. Perkembangan infrastruktur/fasilitas sosial dan ekonomi ........ 4.1.3.1. Fasilitas sosial ........................................................... 4.1.3.2. Infrastuktur ekonomi ........................................................... 4.2. Analisis Kesenjangan Pembangunan Antar SWP ......................... 4.3. Analisis Sektor Basis/Komoditi Unggulan Antar SWP ................... 4.4.Sintesa dan alternatif rencana strategis pembangunan wilayah Berimbang ........................................................................................ V. SIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 5.1.Simpulan ....................................................................................... 5.2.Saran ...................................................................................... DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. LAMPIRAN ..................................................................................
73 75 76 76 78 83 87 87 89 93 125 134 143 143 145 147 151
DAFTAR TABEL Halaman 1 2 3
4 5 6 7 8 9 10 11
12 13
14 15
16
17 18 19 20
Data Penyebaran Potensi Komoditi di Kabupaten Alor Tahun 2003 .................................................................................. Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Alor Tahun 1998-2003 Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1993 .................... Prosentase Konstribusi Sektor Terhadap PDRB Kabupaten Alor Tahun 1998 – 2003 Atas Dasar Harga Konsatan Tahun 1993 .................................................................................. Data Realisasi Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan di Kabupaten Alor Tahun 1998-2003 ................................................. Prosentase Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Indeks Kemiskinan (IKM) di Kabupaten Alor Tahun 1999 dan 2002 ............ Beberapa Indikator Pembangunan antar Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) .................................................................... Matriks Analisis Skalogram ............................................................ Matriks Rangkuman Kerangka Penelitian Analisis Kesenjangan Pembangunan Antar Pembangunan Wilayah ................................... Penggunaan lahan berdasarkan luas wilayah daratan Tahun 2003 ........................................................................................ Penyebaran jumlah penduduk dan mata pencaharian Penduduk antar SWP di Kabupaten Alor Tahun 2003 ......................................... Perkembangan penduduk Alor berumur 10 tahun ke atas, berdasarkan tingkatan Ijazah pendidikan yang dimiliki Tahun 2003. ....................................................................................... Perkembangan jumlah murid, Guru dan rasio murid terhadap Guru menurut tingkatan sekolah di Kabupaten Alor Tahun 2003 ............. Perkembangan beberapa indikator pembangunan kesehatan antar Satuan wilayah pengembangan di Kabupaten Alor Tahun 2003 ...................................................................................... Perkembangan jumlah penganut agama antar satuan wilayah pengembangan di Kabupaten Alor Tahun 2003 ................................ Ratio pertumbuhan PDRB Per kapita Kabupaten Alor terhadap PDRB Per kapita Provinsi NTT dan PDB Per kapita Indonesia Tahun 2000-2003 ............................................................................... Perkembangan perdagangan komoditi Antar pulau/ eksport dan Penerimaan sumbangan Pihak ketiga (SP3) di Kabupaten Alor periode 2002-2004 ............................................................................. Perkembangan pembangunan infrastruktur sosial antar SWP di Kabupaten Alor Tahun 2003 .............................................................. Perkembangan pembangunan infrastruktur Ekonomi antar SWP di Kabupaten Alor Tahun 2003 .......................................................... Indeks Williamson untuk SWP A, SWP B dan SWP C di Kabupaten Alor pada kurun waktu 1999-2004 .............................. Perkembangan desa hirarki Antar SWP berdasarkan indeks Skalogram Tahun 2003 ....................................................................
3 5
6 10 11 12 66 70 74 78
79 79
80 81
84
86 88 90 93 96
21 22 23
24 25 26 27
28
Indeks Perkembangan hirarki Ibu Kota Kecamatan Tahun 2003 ...... Nilai Entropy penyebaran Alokasi APBD Pembangunan di Kabupaten Alor TA.1997/1998-2003 ................................................... Hasil Analisis Entropy Interaksi spasial (Pengiriman dan Penerimaan Berita melalui Saluran SSB ) di Kabupaten Alor Tahun 2004 ....................................................................................... Orientasi Perjalanan/Bepergian Penduduk Pada SWP A, B dan C Prosentase Kemiskinan Penduduk Antar SWP Di Kabupaten Alor Tahun 2000 – 2004 ............................................................................ Hasil Analisis LQ Komoditi Unggulan Antar Satuan Wilayah Pengembangan di Kabupaten Alor Keadaan Tahun 2003 ................. Pergeseran Pertumbuhan komoditi unggulan antar Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) di Kabupaten Alor Tahun 1998 dan Tahun 2003 ...................................................................... Matriks kombinasi hasil analisis LQ dengan SSA terhadap 17 jenis komoditi unggulan daerah di Kabupaten Alor .......................
99 101
105 114 124 126
129 133
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
19
20 21 22 23 24
Peta Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) di Kabupaten Alor Tahun 1991 ................................................................................... Peta Kota hirarki antar Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) di Kabupaten Alor Tahun 1991 ........................................................... Bagan Kerangka Pemikiran Analisis Kesenjangan Pembangunan Antar Wilayah Pembangunan di Kabupaten Alor ......................... Peta Lokasi Penyelaman di Taman laut Selat Pantar ...................... Perkembangan penduduk Kabupaten Alor Tahun 1990-2003 .......... Prosentase Pertumbuhan penduduk kabupaten Alor Tahun 1990-2003 .......................................................................... Prosentase perkembangan struktur ekonomi Kabupaten Alor Tahun 1988 dan Tahun 1998-2003 ............................................. Peta Penyebaran jalan di Kabupaten Alor ......................................... Kesenjangan pembangunan antar-inter SWP A, B dan C di Kabupaten Alor kurun waktu 1999-2004 .......................................... Peta Perkembangan hirarki wilayah di Kabupaten Alor Atas dasar Indeks Skalogram Tahun 2003 ............................................ Nilai Entropy penyebaran APBD Pembangunan di Kabupaten Alor TA.1997/1998-2003 ............................................. Prosentase Alokasi APBD Pembangunan antar SWP TA.1997/1998-2003 ...................................................................... Entropi Interaksi Spasial (pengiriman berita melalui SSB) antar hirarki wilayah di Kabupaten Alor Tahun 2004 .................... Entropi Interaksi Spasial (Penerimaan Berita Melalui SSB ) antar Hirarki Wilayah di Kabupaten Alor Tahun 2004 ................... Rataan orientasi bepergian penduduk pada SWP A ................... Rataan orientasi bepergian penduduk pada SWP B ................... Rataan orientasi bepergian penduduk pada SWP C .................... Perkembangan jumlah interaksi spasial / pergerakan arus penumpang, barang dan hewan yang menyinggahi Pelabuhan Kalabahi antar dan inter regional Periode 1998-2003 ................... Prosentase perkembangan interaksi spasial /pergerakan arus penumpang, orang dan hewan yang menyinggahi pelabuhan Kalabahi antar dan inter regional Periode 1998-2003 .................... Perkembangan interaksi spasial /pergerakan jenis barang yang di bongkar/masuk melalui pelabuhan Kalabahi .............................. Prosentase perkembangan interaksi spasial /pergerakan jenis barang yang di bongkar/masuk melalui pelabuhan Kalabahi ............ Perkembangan interaksi spasial /pergerakan jenis barang yang di muat/keluar melalui pelabuhan Kalabahi ............................. Prosentase perkembangan interaksi spasial /pergerakan jenis barang yang di muat/keluar melalui pelabuhan Kalabahi ................. Jalur interaksi spasial komoditi/barang antar pulau/antar regional Tahun 2003. .......................................................................
9 9 62 76 77 77 85 92 94 96 101 102 106 106 115 115 115
118
118 119 119 120 120 122
25 26 27 28 29 30 31 32
Jumlah frekwensi pesawat dan bongkar/muat penumpang dan barang melalui Bandara Mali Tahun 2003 ......................................... Proporsi penumpang dan barang yang dibongkar dan di muat melalui Bandara Mali Tahun 2003 .................................................. Pergeseran Pertumbuhan Komoditi Unggulan Antar SWP di Kabupaten Alor Tahun 1998 dan Tahun 2003 ............................ Bagan Keterkaitan hasil analisis kesenjangan pembangunan antar satuan wilayah pengembangan (SWP)di Kabupaten Alor ................. Model keterkaitan/keterpaduan didalam Rencana Strategis Pembangunan wilayah berimbang di Kabupaten Alor ..................... Stadia Pengembangan Wilayah melalui demand side Strategy di Kabupaten Alor ............................................................................. GERBADESTAN sebagai strategi opersional rencana Strategis pembangunan Kabupaten Alor Tahun 2005-2009. ....................... Bagan kerangka keterkaitan sintesa hasil analisis kesenjangan pembangunan wilayah dan alternatif Rencana strategi pembangunan wilayah berimbang (Renstrabangwilbang) ................
123 123 129 134 136 139 142
142
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 2 3 4 5
6
7 8 9
Tabel Analisis Kesenjangan Pendapatan (Penerimaan PBB) antar SWP Periode 1999-2004 (Model Indeks Williamson) ............. Tabel Rekapitulasi Analisis Skalogram Perkembangan kota hirarki antar SWP di Kabupaten Alor Tahun 2003 .......................... Tabel Analisis Kesenjangan Alokasi APBD Antar SWP di Kab. Alor Periode 1997/1998-2003 (Model Indeks Entropy) ......................... Tabel Data Interaksi Spasial (Arus informasi berita) melalui SSB Pemerintah Kabupaten Alor Tahun 2004. ........................................ Tabel Rekapitulasi hasil analisis entropi interaksi spasial (pengiram dan penerimaan berita melalui saluran SSB) di Kabupaten Alor Tahun 2004 ............................................................ Analisis Entropy Interaksi spasial (pengiram dan penerimaan berita ) melalui saluran SSB antar kota hirarki di Kabupaten Alor Tahun 2004 ................................................................................... Tabel Analisis Location Quoentient (LQ) Sektor/Komoditi unggulan antar SWP di Kabupaten Alor Tahun 2003 ...................................... Tabel Analisis Shift Share (SSA) Sektor/Komoditi unggulan antar SWP di Kabupaten Alor Tahun 1998 danTahun 2003 ……………. Penyebaran Kota hirarki/pusat aktivitas antar SWP menurut RUTRW Kabupaten Alor Tahun 1991 ............................................
151 153 156 158
160
170 176 177 179
I. PENDAHULUAN 1.1. Latarbelakang Kabupaten
Alor
merupakan
salah
satu
daerah
otonom
dari
16
Kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kabupaten ini dibentuk seiring dengan Penetapan UndangUndang Nomor 69 Tahun 1958 Tentang Pembentukan Daerah–Daerah Tingkat II Dalam Wilayah Daerah–Daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor
122, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 1655). Dalam konteks Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional Posisi Kabupaten Alor sebagai salah satu Kabupaten Kepulauan Nusa Tenggara dan juga sebagai Kawasan Perbatasan Maritim dengan Negara Timor Leste. Sebagai Wilayah Kepulauan, Kabupaten ini terdiri atas 17 gugusan pulau, dimana 9 pulau dihuni penduduk sedang 8 pulau di antaranya adalah pulau-pulau kecil yang masih merupakan potensi pengembangan. Kabupaten ini memiliki luas daratan 2.864, 64 Km2 dan luas wilayah perairan laut seluas 10.973, 62 km2 dengan penduduk yang berjumlah 168.965 jiwa,
tersebar pada
9 kecamatan,
158 desa dan 17 kelurahan,
dengan rata-rata kepadatan penduduk 59 orang/km2. Sebahagian besar luas daratan merupakan gunung dan berbukit-bukit yang dibatasi lembah dan jurang dalam, dengan kemiringan di atas 40 % seluas 64,25 % (BPS, 2003)*. Posisi Kabupaten Alor sebagai wilayah perbatasan negara, kondisinya tidak jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Soegijoko (1997), bahwa wilayah perbatasan sebagai bagian integral dari wilayah nasional pada umumnya merupakan kawasan penyangga yang
memungkinkan terjadinya gangguan
maupun kerja sama dengan wilayah negara tetangga. Untuk itu, daerah perbatasan semestinya diberikan perhatian yang lebih besar untuk dibangun secara layak sebagaimana daerah-daerah lain. Wilayah perbatasan merupakan kawasan khusus karena perbatasan dengan wilayah negara tetangga,sehingga penanganan pembangunannya memerlukan kekhususan.
Pada umumnya
daerah perbatasan nasional merupakan bagian wilayah yang terpencil dan rendah aksesibilitasnya oleh moda transportasi
umum, terbelakang dan
masih belum berkembang secara mantap, kritis dan rawan dalam ketertiban dan keamanan. Daerah perbatasan pada dasarnya termasuk dalam kategori daerah rawan, tetapi bersifat strategis. Bila dibandingkan dengan keadaan
2
wilayah negara tetangga yang berbatasan, pasti tampak adanya kesenjangan sosial-ekonomi dan sosial-budaya. Gejala seperti ini mudah menimbulkan kerawanan, karena penduduk kawasan perbatasan cenderung berorientasi ke kawasan negara tetangga untuk pemenuhan berbagai kepentingan mereka. Apabila tidak diwaspadai dan dibina sejak dini, kerawanan itu dapat tumbuh menjadi ancaman terhadap berbagai aspek kepentingan nasional, terlebih bila dikaitkan dengan adanya potensi sumberdaya alam strategis di kawasan perbatasan dan sekitarnya. Wilayah kepulauan dengan kondisi geofisik dan geostrategis wilayah perbatasan seperti di atas, umumnya rawan terhadap pertahanan keamanan teritorial serta rawan bencana seperti gempa, longsoran, banjir, kekeringan dan kebakaran selalu memperparah laju pertumbuhan pembangunan wilayah yang cenderung lamban. Sehingga tak dapat dipungkiri bila rata-rata penduduk masih banyak yang miskin dan hidup terisolasi dari aksesibilitas aktivitas ekonomi dan pelayanan sosial. Kondisi yang demikian apabila tidak diimbangi dengan suatu kebijaksanaan perencanaan pembangunan wilayah yang komprehensif dan akomodatif dalam perspektif keterpaduan dan keterkaitan akan berdampak pada kemerosotan struktur ekonomi wilayah dan kualitas hidup masyarakat. Kabupaten Alor sebenarnya memiliki sumberdaya domestik yang beraneka ragam, baik migas dan non migas, serta panorama alam (sebagai obyek wisata bahari dan alam) yang apabila dikelola dan dimanfaatkan secara optimal, tentu memberikan kontribusi yang signifikan bagi struktur perekonomian wilayah baik secara domestik, regional maupun nasional. Sumberdaya domestik wilayah yang sudah atau sedang dan akan dikembangkan sebagai komoditas unggulan dan andalan untuk memenuhi permintaan domestik, regional, dan nasional antara lain seperti diperlihatkan dalam Tabel 1. Dari sejumlah Potensi domestik, yang tertera pada Tabel 1, potensi pertambangan dan penggalian masih dalam bentuk desain potensi kecuali batu hitam sudah menjadi komoditi eksport/antar pulau. Khusus potensi minyak dan gas (migas), serta sumberdaya laut di Selat Ombay merupakan potensi strategis dalam kawasan perbatasan negara, telah menjadi ajang perebutan antara negara Timor Leste, Australia dan Indonesia. Berkaitan dengan eksploitasi migas di Celah Timor, Australia lebih unggul dalam teknologi pengelolaan sumberdaya dasar laut dibandingkan dengan Indonesia dan Timor Leste.
3
Tabel 1 Penyebaran Potensi Komoditi di Kabupaten Alor Tahun 2003. Luas Kapasitas/ Areal/ Jumlah Kecamatan /Lokasi No Keterangan Panen Produksi Basis Pengembangan (Ha) (Ton) I Pertambangan & penggalian 1 Minyak Bumi Pantar, Panbar,dan abad potensi 2 Emas Pantar,abad & Alsel potensi 3 Timah Alsel,Altim & Altim Laut potensi 4 Panbar & Abad potensi Gypsum Altim & Altim Laut potensi Sumber Panas 5 6 Batu Hitam 6000.00 Alsel,Altim, Abad ,Panbar eksport/AP II Pertanian Tanaman 7 Kemiri 6268.50 1589.50 9 Kec. eksport/AP 8 Kelapa 4737.84 845.07 9 Kec. eksport/AP 9 Kopi 693.56 18.25 9 Kec. 10 Jambu Mente 8456.50 507.86 9 Kec. eksport/AP 11 Cengkeh 109.46 17.85 Abal,Alsel,Telmut,Abad, Pantar eksport/AP 12 Pinang 746.50 34.10 8 Kec. kecuali .Panbar eksport/AP 13 Vanili 124.10 15.00 Alsel eksport/AP 14 Kakao 169.64 0.86 Telmut, Abal & Alsel 15 Lada 20.00 0.15 Abad, Alsel 16 Asam 500.00 9 Kec. eksport/AP 17 Sirlack 59.16 9 Kec. eksport/AP 18 Kacang hijau 261.00 168.30 9 Kec. AP (2001) 19 Kacang tanah 44.00 37.20 7 Kec.kecuali Telmut , Altu 20 Sawah 183.00 760.60 6 Kec.kecuali Telmut,Pantar 21 Padi Ladang 3852.00 7991.90 9 Kec. 22 Jagung 11790.00 18728.10 9 Kecamatan III Perikanan dan Kelautan 23 Tangkapan Ikan 4164 1761.90 9 Kec (110 desa ) eksport/AP 24 Kerang Mutiara 20 15040 ekor Telmut dan Abad eksport/AP 25 Rumput laut 1200 - Telmut, Panbar, Pantar budidaya 26 Tambak 145 - Telmut, Abal budidaya 27 Ikan kerapu 60 - Pantar, Abad, Altim potensi 28 Teripang 40 - Telmut, Altim laut, Abal,Abad potensi 29 Ikan hias 35 - Abal,Telmut,Altim laut, Abad potensi IV Peternakan 30 Sapi 1510 ekor 9 Kec. 31 Kerbau 13 ekor Pantar, Abad, Altim Laut, Alsel 32 Kambing 31138 ekor 9 Kec. 33 Babi 69 971 ekor 9 Kec. 34 Rusa 244 ekor 7 Kec. kecuali Alsel, Altim Laut Sumber : BPS ( Alor Dalam Angka, 2003). Katerangan : AP= Antara Pulau; Kec = Kecamatan: Telmut = Teluk Mutiara; Abal = Alor Barat laut , Abad = Alor Barat Daya, Alsel = Alor Selatan; Altu =Alor Tengah Utara, Altim = Alor Timur, Altim Laut = Alor Timuir Laut dan Panbar =Pantar Barat. Jenis Sektor/ Komoditi
Di lain sisi, mencermati akan potensi domestik yang dimiliki Kabupaten Alor sebagaimana yang ditampilkan pada Tabel 1 seharusnya masyarakat Alor tidak harus miskin, apabila limpahan sumberdaya domestik tersebut dapat dikelola secara efisien dan efektif. Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya domestik yang
belum
efisien
dan
efektif
merupakan
bias
alokasi
sumberdaya
pembangunan dari pemerintah pusat maupun provinsi yang sangat tidak proporsional pada masa lalu, untuk
membangun infrastruktur wilayah yang
dapat mendorong investasi sumberdaya manusia (human capital), modal usaha,
4
teknologi
dan
informasi
untuk
mengembangkan
sumberdaya
domestik
(resources endowment) yang ada menjadi produktif dalam skala ekonomik (economic scale) Sehubungan dengan itu Teori Resource endowment menyatakan bahwa pengembangan ekonomi wilayah bergantung pada sumberdaya alam yang dimiliki dan permintaan terhadap komoditas yang dihasilkan dari sumberdaya itu, dimana dalam jangka pendek, sumberdaya wilayah tersebut merupakan suatu aset untuk memproduksi barang dan jasa yang dibutuhkan (Perloff and Wingo, 1961). Dengan demikian suatu sumberdaya wilayah akan menjadi berharga jika dapat dimanfaatkan dalam bentuk-bentuk produksi dan ada permintaan. Disamping kesenjangan dalam distribusi alokasi sumberdaya pembangunan yang tidak proporsional terhadap kondisi spesifik wilayah seperti yang dipaparkan di atas, kesenjangan tersebut juga terjadi karena pendekatan perencanaan pembangunan daerah selama ini, juga lebih berbasis sektoral dan administratif, kurang berbasis pada pengembangan wilayah. Pendekatan pembangunan
yang
menekankan
pada
pembangunan
sektoral,
kurang
memperhatikan aspek ruang secara keseluruhan dan lebih memperlihatkan ego sektor ketimbang keterkaitan sektor, sehingga kesenjangan pembagunan antar sektor menjadi semakin melebar. Menurut Rustiadi et al. (2004), salah satu bentuk dari terjadinya kegagalan pemerintahan (government failure) di masa lalu adalah kegagalan dalam menciptakan keterpaduan sektoral yang sinergis dalam kerangka pembangunan wilayah. Lembaga-lembaga (instansi) sektoral di tingkat wilayah/ daerah sering hanya menjadi berupa perpanjangan lembaga sektoral di tingkat nasional/pusat dengan sasaran pembangunan, pendekatan dan perilaku yang tidak sinergis dengan lembaga yang dibutuhkan sektoral di tingkat daerah. Akibatnya lembaga pemerintah daerah gagal menangkap kompleksitas pembangunan yang ada di wilayahnya,
dan
partisipasi
masyarakat
lokal
tidak
mendapat
tempat
sebagaimana mestinya. Sedangkan wilayah yang berkembang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan antar sektor ekonomi wilayah, dalam arti terjadi transfer input dan output barang dan jasa antar sektor yang sangat dinamis. 1.2. Permasalahan. Akibat krisis ekonomi 1997 (wilayah-wilayah di Indonesia mengalami hal yang sama) pertumbuhan ekonominya lebih lambat pulih dari krisis moneter 1997 hampir selalu dibawah rata-rata proporsi. Hal ini memberikan kesadaran
5
bahwa dampak krisis yang meluas tidak luput dari kebijaksanaan pembangunan, termasuk perencanaan wilayah yang tidak tepat masa lalu, sehingga saat krisis merupakan saat untuk memikirkan kembali arah kebijaksanaan pembangunan wilayah (Nurzaman, 2002). Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Alor mencapai tingkat minus 2,50% pada tahun 1998, namun mulai berangsur membaik pada awal otonomi daerah seperti ditunjukkan pada Tabel 2 Tabel 2 Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Alor Tahun 1998 - 2003 Atas Dasar Harga Konstan (1993) Tahun 1998 1999
Kabupaten Alor -2,50 -0,44
Propinsi NTT -2,73 2,73
Nasional
2000
4,44
4,17
4,84
2001
4,74
5,10
3,45
2002
5,49
5,96
3,69
2003
5,63
5,87
4,10
-13,13 0,85
Sumber: BPS (PDRB Kabupaten Alor 2003 dan PDB Nasional 2003).
Secara makro pertumbuhan ekonomi mulai membaik dalam 4 tahun terakhir perberlakuan otonomi daerah atau setelah krisis, bahkan berada di atas rata-rata nasional dan berada sedikit di bawah rata-rata Propinsi NTT. Akan tetapi timbul pertanyaan: (1) apakah trend pertumbuhan ekonomi yang meningkat tersebut diikuti oleh semakin kuatnya keterkaitan antar sektor yang memperkokoh struktur ekonomi wilayah yang lebih dinamik?; (2) apakah pertumbuhan ekonomi yang cenderung meningkat tersebut masih tergantung pada sektor-setor tertentu yang hanya memberikan nilai tambah ekonomi yang berkurang (diminishing)?. Hal ini bisa diperlihatkan
dengan
perkembangan pangsa (share) masing-masing
sektor terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah dalam kurun waktu lima tahun terakhir seperti pada Tabel 3. Dari Tabel 3, dapat disimak beberapa hal sebagai berikut: (1) sektor pertanian pada satu sisi merupakan penyumbang terbesar bagi pertumbuhan ekonomi Kabupaten Alor, namun kontribusinya menurun dari 42,2% pada tahun 1998 menjadi 34,58%
pada tahun 2003.
Hal ini menunjukkan telah terjadi
trasformasi struktur ekonomi dari sektor primer (sektor pertanian) ke sektor modern (industri dan jasa). Walaupun demikian, sektor pertanian masih menjadi sektor andalan di dalam penyerapan tenaga kerja 82,79%; (2) Pada sisi yang lain, sektor industri yang diharapkan dapat menyerap surplus usaha dan tenaga kerja sektor pertanian justru tidak memperlihatkan kinerja yang meningkat.
6
Tabel 3 Prosentase kontribusi Sektor terhadap PDRB Kabupaten Alor Tahun 1998-2003 Atas Dasar Harga Konstan (1993) No 1
2 3 4 5 6
7
8
9
Sektor
Pertanian a.Tanaman bhn makanan b.Perkebunan c.Peternakan d.Kehutanan e.Perikanan Pertambangan & penggalian Industri Pengolahan Listrik,Gas dan Air minum a.Listrik b.Air minum Bangunan/Konstruksi Perdagangan, rumah makan dan hotel a.Perdagangan besar & eceran b.Restoran/rmh makan c.Perhotelan Angkutan & Komunikasi a.Angkutan 1.Jalan raya 2.Penyeberangan 3.Laut 4.Udara 5.Jasa penunjang b.Komunikasi Keuangan,Persewaan & Jasa Perusahaan a.Bank b.Nir Bank c.Sewa Bangunan d.Jasa perusahaan Jasa-jasa a.Pemerintahan umum b.Swasta 1.Sosial kemasyarakatan 2.Hiburan dan rekreasi 3.Perorangan & rumahtangga Total PDRB Sumber : BPS (PDRB Kabupaten Alor
1998
1999
2000
2001
2002
2003
42.2 20.75 5.25 9.27 1.63 5.30 1.38 2.17 0.61 0.47 0.15 5.47 12.81
39.34 16.63 6.47 8.94 1.44 5.87 1.39 2.15 0.61 0.46 0.15 5.69 14.47
38.34 15.61 6.45 8.33 1.13 6.81 1.35 2.10 0.59 0.45 0.14 5.98 13.45
37.08 15.00 6.21 7.96 1.08 6.83 1.30 2.04 0.57 0.43 0.14 5.74 13.01
35.21 14.41 5.90 7.58 0.98 6.34 1.24 1.97 0.55 0.42 0.13 5.59 12.7
34.58 13.83 6.16 7.41 0.96 6.22 1.20 1.91 0.55 0.41 0.13 5.76 12.7
12.29 0.48 0.04 5.72 5.27 4.36 0.11 0.39 0.04 0.37 0.45 4.67
13.94 0.50 0.02 5.86 5.38 4.49 0.13 0.48 0.03 0.24 0.48 4.6
12.93 0.50 0.03 6.09 5.59 4.46 0.15 0.67 0.04 0.26 0.51 4.52
12.5 0.48 0.03 6.10 5.58 4.39 0.17 0.73 0.04 0.25 0.51 4.41
12.19 0.48 0.03 6.68 6.15 4.78 0.24 0.84 0.04 0.25 0.53 4.22
12.16 0.51 0.03 6.57 6.04 4.66 0.28 0.83 0.03 0.24 0.53 4.12
1.48 1.31 1.77 0.11 24.97 22.98 1.99 1.44 0.00 0.55 100 2003).
1.31 1.37 1.80 0.12 25.89 23.84 2.05 1.47 0.00 0.59 100
1.32 1.34 1.74 0.12 27.57 25.59 1.98 1.42 0.00 0.56 100
1.30 1.32 1.68 0.11 29.76 27.86 1.90 1.36 0.00 0.54 100
1.23 1.28 1.61 0.11 31.85 30.06 1.79 1.29 0.00 0.51 100
1.20 1.24 1.58 0.11 32.6 30.83 1.76 1.27 0.00 0.49 100
Pertumbuhan sektor industri cenderung stagnan bahkan mengalami penurunan dari 2,17% pada tahun 1998 menjadi 1,91% pada tahun 2003; dan hanya mampu menyerap tenaga kerja sebesar 1,47% pada tahun 2003; (3) Hal yang sama terjadi pada
sektor perdagangan. Sebagai salah satu sektor modern,
sektor perdagangan juga mengalami pertumbuhan yang fluktuatif. Pertumbuhan sektor perdagangan pada tahun 1998 mencapai 12,81%, kemudian meningkat naik 14,7% menurun lagi menjadi 12,7% pada tahun 2003, dan hanya mampu menyerap tenaga kerja 3,58 persen; (4) Sektor jasa-jasa mengalami tingkat pertumbuhan yang cukup signifikan dari 24,97% meningkat menjadi 32,6% pada tahun 2003 dan mampu menyerap tenaga kerja sebesar 10,07%. Akan tetapi
7
prosentase terbesar terdapat pada jasa pemerintahan umum, sehingga perlu dikritisi apakah surplus tenaga kerja di sektor pertanian terserap di sektor jasa pemerintahan umum? (5) Pergeseran sektor pertanian dengan pertumbuhan industri yang stagnan apakah dapat memperkuat pertumbuhan ekonomi yang dinamik? Lima hal yang dikritisi
dari tabel tersebut di atas merupakan hal yang
menarik untuk dikaji apakah ada kaitan dengan keterkaitan antar sektor yang masif
atau lemah?, sementara Teori dualisme Lewis menegaskan bahwa
struktur ekonomi yang lebih didominasi hanya oleh satu sektor, perkembangan wilayah tersebut akan menjadi stagnan. Teori dualisme Lewis tersebut, mengisyaratkan agar resources endowment wilayah dapat diproduksi kembali dalam wilayah menjadi barang dan jasa, sehingga dapat menyerap surplus tenaga kerja subsisten dari sektor pertanian ke sektor industri yang memberikan nilai tambah domestik yang lebih efisien
dan indikasi terjadinya kebocoran
wilayah yang melebar dapat ditekan. Bagaimana dapat memenuhi isyarat teori Lewis, maka pengenalan akan resources endowment
suatu wilayah yang
memiliki kekuatan utama dalam penyediaan bahan baku industri domestik, merupakan tekanan utama untuk dikaji, karena suatu industri domestik akan berkembang jika didukung oleh bahan baku industri
domestik yang cukup
tersedia secara kontinyu. Di lain sisi pengetahuan akan resources endowment wilayah, diharapkan dapat menekan inefisiensi dalam alokasi sumber daya antar pembangunan wilayah. Secara spasial, perkembangan sektor-sektor ekonomi yang memberikan nilai tambah
yang cenderung menurun (diminishing) dan pergeseran sektor
pertanian yang semakin menurun tanpa diikuti pergeseran tenaga kerja yang signifikan ke sektor modern seperti yang dikritisi di atas, apakah terkait dengan pembangunan struktur wilayah
yang belum memberikan rangsangan yang
berarti bagi introduksi investasi sektor modern ( industri dan jasa ) pada wilayahwilayah pengembangan yang di arahkan dalam Struktur Tata Ruang Wilayah Kabupaten, adalah hal menarik yang perlu dikaji dalam kaitan dengan kesenjangan pembangunan antar wilayah pembagunan. Sehubungan dengan itu Pemerintah Kabupaten Alor secara de facto telah menyusun Rencana Tata Ruang wilayah pada Tahun 1991, dan secara dejoure di tetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten Alor Nomor: 7 Tahun 1999 Tentang Rencana Umum Tata Ruang Daerah (RUTRD) Kabupaten Daerah
8
Tingkat II Alor. RUTRD tersebut membagi wilayah Kabupaten menjadi tiga Satuan Wilayah Pengembangan (SWP), yakni SWP A, SWP B dan SWP C. Setiap SWP ditetapkan beberapa hirarki/pusat aktivitas ekonomi dan sosial yang terdiri atas Kota Ordo I (kota ordo utama) yang berpusat di Ibu kota Kabupaten dan Kota Orde II yang berpusat pada beberapa ibu kota kecamatan dan ibu kota desa yang dapat dikembangkan sebagai wilayah kerja pelabuhan serta kota Orde III dan IV yang berpusat pada beberapa ibu kota kecamatan dan beberapa ibu kota desa, seperti pada Gambar 1 dan 2. RUTRD tersebut, diharapkan menjadi pedoman umum bagi semua stakeholders dalam berbagai
aktivitas pembangunan wilayah, akan tetapi
bagaimana implementasi yang konsisten dan simetrik sesuai dengan hakekat RUTRD
yang
sebenarnya,
sering
menjadi
dilema
dalam
kesenjangan
pembangunan wilayah. Apalagi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang disusun akhirnya mengalami stagnasi dan mengalami situasi Masterplan syndrome, dari pada sebagai arahan kebijakan pembangunan wilayah (Rustiadi et al. 2003 ) karena terkait dengan kebijaksanaan pembangunan yang sentralis tik yang sangat syarat dengan ego kepentingan, dan sektoral, kemungkinan besar untuk melakukan investasi sumberdaya pembangunan secara terpadu dan terkait sesuai hakekat RUTRW untuk menciptakan keseimbangan pembangunan wilayah menjadi masif atau tidak konsisten. Pada kenyataannya
wilayah-wilayah pengembangan di Kabupaten Alor
yang potensial sebagai sentra-sentra produksi yang seharusnya mendapat prioritas pembangunan, karena dapat menciptakan multiplier effect
bagi
pembangunan wilayah secara utuh selalu saja menjadi bagian kegiatan yang kurang prioritas, sehingga wilayah–wilayah tersebut masih dililit ketertutupan dari aksesibilitas jaringan transportasi dan informasi yang mendorong daya tarik investasi sumberdaya produksi dan pemasaran. Pembangunan hirarki pusatpusat aktivitas sosial ekonomi yang mendorong kegiatan interaksi spasial dari kota hirarki utama ke kota-kota hirarki II, III dan IV yang ditunjukkan dengan jumlah dan kualitas infrastruktur wilayah, nampaknya belum menunjukkan interaksi spasial yang memberikan efek sebar bagi wilayah-wilayah hinterland. Sebagai contoh, transportasi jalan yang berkualifikasi baik hanya 32,34% dari ruas panjang jalan (1 422,33 km).
9
Kondisi infrastruktur wilayah yang belum memadai tersebut, apakah ada hubungannya dengan tingkat kesejahteraan masyarakat Kabupaten Alor yang masih memprihatinkan ?. Hal ini dapat ditunjukkan oleh beberapa indikator RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN ALOR
P E T A
Kokar
KEC . ALO R BA RAT LA UT
KEC . TELUK uk l M UTIA RA Te
KEC. ALOR TENGAH UTARA Mebung
Kalabahi Bakalang
KEC. PANTAR
Moru
Te l uk B
P.PANTAR KEC. PANTARBARAT
Bukapiting
Ib u ko ta Ka b u p a te n
K EC . A LO R TIM U R
Ib u ko ta Ke ca m a ta n Ba ta s Ka b u p a te n Ba ta s Ke ca m a ta n Maritaing
Ja la n Asp a l
P. A L O R
KEC. ALOR BARATDAYA SE LA TP AN TA R
Baranusa
KEC. ALOR TIMUR LAUT
Apui
lan
gm e
ran g
Kabir
Be
SATUAN WILAYAH PENGEMBANGAN (SWP) K A B U PA T E N A L O R
g l an nl e
Ja la n Ba tu Su n g a i
KEC . ALO R SELATAN
Ba ta s W P
Tg. Margeta
Tg. Delaki
U B
Hirarki I Hirarki II
T
Hirarki III Hirarki IV
S
0
6.7
13.4
20.1
26.8 Km
PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN ALOR BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH
“BAPPEDA“
Jl. El Tari No. 19 Telepon (0386) 21378
Gambar 1 Peta Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) di Kabupaten Alor Tahun 1991. RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN ALOR
P E T A
Kokar
KEC . A LO R BA RAT LA UT
KEC . TELUK M UTIA RA
Kalabahi Bakalang
KEC. PANTAR
Moru
uk B
lan
gm
er an g
Kabir
P.PANTAR KEC. PANTARBARAT
SE LA T
Baranusa
KEC . ALOR TENGAH UTARA Mebung
KEC . ALOR TIMUR LAUT Bukapiting
Apui
Ib u ko ta Ka b u p a te n
K E C . A LO R TIM U R
Ib u ko ta Ke ca m a ta n Ba ta s Ka b u p a te n Ba ta s Ke ca m a ta n Maritaing
Ja la n Asp a l
P. A L O R
Ja la n Ba tu Su n g a i
KEC . ALO R SELATAN
Ba ta s W P
PA NT AR
Te l
KEC. ALOR BARATDAYA
B luk Te
SATUAN WILAYAH PENGEMBANGAN (SWP) K A B U PA T E N A L O R
ng lela en
Hirarki I Tg. Margeta
Hirarki II Hirarki III
Tg. Delaki
Hirarki IV U B
T S
0
6.7
13.4
20.1
26.8 Km
PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN ALOR BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH
“BAPPEDA“
Jl. El Tari No. 19 Telepon (0386) 21378
Gambar 2 Peta kota hirarki antar satuan wilayah Pengembangan di Kabupaten Alor Tahun 1991.
10
kesejahteraan masyarakat antara lain berdasarkan Data Susenas Tahun 2003 bahwa prosentase kemiskinan penduduk Kabupaten Alor berdasarkan indikator keluarga sejahtera (prasejahtera + sejahtera 1) mencapai 71,52 %; sedangkan indikator kemiskinan berdasarkan daya beli masyarakat (rata-rata pengeluaran rumahtangga penduduk), yang kurang dari Rp 500.000 per bulan mencapai 99,79% dan angka pengangguran terbuka mencapai 4,59% (BPS, 2003). Selain
tingkat pendapatan rendah yang ditunjukkan oleh daya beli
masyarakat tersebut di atas, maka secara relatif dapat pula diperlihatkan dari Data realisasi penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB) sebagai salah
satu representase penerimaan pendapatan daerah dari berbagai lapangan usaha. Perkembangan realisasi penerimaan PBB pada kurun waktu
Tahun
1999 – 2003 dapat diperlihatkan pada Tabel 4. Tabel 4 Data realisasi penerimaan PBB di Kabupaten Alor Tahun 1998-2003. No
Tahun
Jumlah Wajib Pajak (RT)
Target Penerimaan
Realisasi Penerimaan
(Rp)
(Rp)
Prosentase (%)
1
1998
50207
318451149
17474249
5.49
2
1999
50207
318451149
196846046
61.81
3
2000
50147
376192722
209113318
55.59
4
2001
54852
465941157
307024401
65.89
5
2002
54852
465941157
323152418
69.35
6 2003 61106 438883452 415201586 Sumber : Dispenda Kabupaten Alor, 2004 (Laporan Bulanan Penerimaan PBB Tahun 1998-2003).
94.60
Data pada Tabel 4 menunjukkan bahwa prosentase realisasi penerimaan PBB menurun tajam pada Tahun 1998 (masa krisis), kemudian mulai meningkat di atas 60 persen antara Tahun 1999-2002, walaupun mengalami fluktuasi pada Tahun 2000 (55,59 %), setelah itu
mengalami pergeseran yang cukup
signifikan, yakni mencapai 94,60 persen pada Tahun 2003, namun masih di bawah realisasi 100 persen. Dampak lain dari buruknya Infrastruktur wilayah yang terkait dengan rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat adalah
kondisi pendidikan dan
kesehatan yang disinyalir buruk. Kondisi pendidikan dan kesehatan yang buruk berimplikasi pada indeks pembangunan manusia (IPM) Alor yang rendah dan Indeks kemiskinan Manusia (IKM) Alor yang tinggi. Secara emperik, dapat dilihat pada Laporan BPS–BAPPENAS dan UNDP Tahun 2004,seperti tertera pada Tabel 5.
11
Tabel 5 Prosentase Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Indeks Kemiskinan (IKM ) di Kabupaten Alor Tahun 1999 dan 2002 Nomor
Wilyah
IPM 1999 2002 1 Kabupaten Alor 55.3 57.1 2 Provinsi NTT 60.4 60.3 3 Indonesia 64.3 65.8 Sumber : Laporan Pembangunan Manusia (HDR. 2004).
IKM 1999 26.7 29.5 25.5
2002 28.4 28.9 22.7
Mencermati data pada Tabel 5, memperlihatkan IPM Alor, sedikit membaik pada Tahun 2002 bila dibanding Tahun 1999, tetapi masih jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan tingkat Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Indonesia. Sedangkan IKM Alor, nampak memburuk pada tahun 2002 bila dibanding Tahun 1999. Demikian pula bila dibandingkan dengan Tingkat Nasional, IKM Alor nampak lebih buruk , tapi sedikit lebih baik bila dibandingkan dengan tingkat Provinsi. Berdasarkan kondisi umum kesenjangan pembangunan tersebut di atas, dapat diperlihatkan dengan data kesenjangan antar wilayah pembangunan berdasarkan beberapa indikator pembangunan wilayah seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 6. Tabel 6, menunjukkan bahwa (1) Dari aspek ekonomi, memperlihatkan bahwa limpahan
sumber daya domestik wilayah (resources
endowment) terbesar berada di wilayah pengembangan C, tetapi pengelolaan dan pemanfaatan masih jauh dari optimal; bila dibanding dengan wilayah Pengembangan A dan B; (2) Infrastruktur jalan sebagai sarana aksesibilitas dalam proses produksi dan pemasaran sumber daya domestik terutama pada wilayah pengembangan C, jauh lebih rendah bila dibanding dengan wilayah pengembangan A dan B dan lebih terkonsentrasi pada wilayah pengembangan B; (3) Dari aspek Kesehatan, antara lain penyebaran Puskesmas /Pustu pada ketiga wilayah pengembangan rata-rata berada di atas
proporsi 1/1000
penduduk, tetapi tidak diimbangi dengan tenaga medis dan para medis secara proporsional; (4) Dari aspek pendidikan, memperlihatkan bahwa rasio murid terhadap
ruang
kelas
dan
guru
hampir
proporsional
antar
wilayah
pengembangan, tetapi dari status pendidikan guru pada wilayah pengembangan C terlihat lebih rendah dari wilayah pengembangan A dan B, bahkan status pendidikan guru Diploma/S1 lebih terkonsentrasi pada wilayah pengembangan B. Begitu pula murid putus Sekolah Dasar, wilayah pengembangan C lebih tinggi dibanding wilayah pengembangan A dan B (5) Tingkat kemiskinan berdasarkan indikator Keluarga prasejahtera pada wilayah pengembangan C lebih tinggi,
12
setelah itu diikuti wilayah pengembangan A dan B; (6) Apakah kesenjangan yang ditunjukkan dalam Tabel 6 tersebut, terkait dengan lemahnya interaksi dan keterkaitan atau keterpaduan antar wilayah pembangunan ? Tabel 6 Beberapa Indikator Pembangunan pada Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) di Kabupaten Alor keadaan Tahun 2003. No 1 2 3 4 4.1 4.2 4.3 4.4
4.5 4.6 5
6
7
8
Potensi dan indikator pembangunan
Proporsi Satuan wilayah Kabupaten pengembangan (SWP) (%) Alor SWP A SWP B SWP C 26.34 34.16 39.50 286 464 000 Ha 22.27 61.38 16.35 168 965 Jiwa 50 106 59 58.98 org/km^2
Proporsi luas wilayah Proporsi jumlah peduduk Kepadatan penduduk Sumberdaya Alam Lahan basah (sawah) A.Potensi 0.00 8.56 91.44 3 354.50 Ha B.Luas panen 0.00 25.14 74.86 183 Ha Lahan kering A.Potensi 31.39 32.79 35.82 136237.88 Ha B.Luas panen 39.91 42.88 17.21 17892.60 Ha Perkebunan A.Potensi 31.27 31.19 37.54 116892.88 Ha B.Luas produksi 38.26 37.47 24.27 24600.46 Ha Kehutanan A.Lindung 26.74 18.60 54.66 5 910.62 Ha B.Produksi 61.94 8.39 29.68 28 147.09 Ha C.Konversi 0.00 32.31 67.69 20 657.86 Ha D.Cagar alam 29.71 0.00 70.29 8 751.05 Ha Padang rumput 26.55 5.76 67.70 13 561.50 Ha Produksi perikanan 48.97 44.82 6.22 1 764.90 Ton Infrastruktur Jalan A.Aspal 31.85 50.00 18.15 463.18 KM B.Telfort 35.62 58.98 5.39 92.72 KM C.Tanah 14.59 42.51 42.90 882.10 KM Kesehatan A Jumlah Rumah sakit/ Puskesmas/Pustu 22.03 45.76 32.20 59 unit B.Jumlah tenaga medis/paramedis 20.94 52.99 26.07 234 orang C.Rasio jumlah penduduk terhadap rumah sakit/puskesmas/ pustu 2895 3841 1454 2864 orang D.Rasio jumlah penduduk terhadap tenaga medis/paramedis 768 836 453 722 orang Pendidikan Dasar (SD) A.Jumlah ruang kelas 22.99 53.66 23.35 1379 unit B.Rasio murid-ruang kelas 25.24 24.32 16.14 21.90 % C.Rasio murid-guru 21.8 17.09 16.25 17.91 % D.Proporsi murid putus SD 0.34 1.04 2.98 0.01 % E.Proporsi guru SD menurut Tingkat Pendidikan 1).SMTA Kejuruan 22.00 56.99 21.01 1 209 orang 2).DIPLOMA/S1 17.65 70.77 11.59 561 orang Proporsi keluarga miskin 76,55 66,66 81.33 71.52 % Sumber: Diolah dari Data BPS 2003; ( Alor Dalam Angka dan Kecamatan Dalam Angka 2003) dan dari Dinas Kesehatan Kabupaten Alor Tahun 2003 (Laporan Tahunan).
Tentu saja kesenjangan pembangunan tersebut di atas tidak terlepas dari bias kebijakan pembangunan nasional masa lalu sebagai wilayah marjinal dengan alokasi sumberdaya yang jauh di bawah proporsional sehingga untuk membangun suatu struktur wilayah yang spesifik dan strategis seperti uraian di
13
atas secara berimbang dan cepat adalah sesuatu yang mustahil (impossible). Namun yang lebih penting adalah apabila alokasi sumberdaya yang terbatas itu direncanakan dan diimplementasikan dalam suatu pemahaman bersama, secara terpadu dan terintegrasi yang berorientasi pada skala prioritas dalam kerangka pengembangan wilayah, maka kesenjangan pembangunan antar sektor dan antar wilayah seharusnya tidak terlalu melebar. Pelaksanaan otonomi daerah akan lebih efektif jika didukung dengan informasi mengenai kesenjangan pembangunan antar sektor dan antar wilayah pembangunan yang konsisten sebagai arah berpijak bagi proses pembangunan yang berimbang.
Proses pembangunan yang berimbang tidak selalu berarti
bahwa semua wilayah harus mempunyai perkembangan yang sama, atau mempunyai tingkat industrialisasi yang sama, atau mempunyai pola ekonomi yang sama, atau mempunyai kebutuhan pembangunan yang sama. Akan tetapi yang lebih penting adalah adanya pertumbuhan yang seoptimal mungkin dari potensi yang dimiliki oleh suatu wilayah sesuai dengan kapasitasnya. Dengan demikian diharapkan keuntungan dari pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan merupakan hasil dari sumbangan interaksi yang saling memperkuat diantara semua wilayah yang terlibat (Murty , 2000 ). Untuk mengetahui lebih lanjut penyebab dan seberapa besar kesenjangan pembangunan antar wilayah pembangunan, diperlukan suatu kajian sistematis dengan penggunaan alat analisis ekonomi wilayah yang lebih memperjelas adanya kesenjangan wilayah, sehingga menjadi acuan transformasi kebijakan perencanaan pembangunan wilayah ke depan. Hal inilah yang mendorong sebagai langkah awal untuk melakukan suatu penelitian yang berjudul “ Analisis Kesenjangan Pembangunan Antar Wilayah Pembangunan di Kabupaten Alor “ 1.3. Perumusan Masalah Dari deskripsi latar belakang dan permasalahan yang diuraikan diatas, maka di berikan batasan permasalahan penelitian sebagai berikut: 1. Seberapa
besar
tingkat
kesenjangan
Pembangunan
antar
wilayah
Pembangunan, yang berdampak terhadap pendapatan per kapita dan kesejahteraan masyarakat, yang ditinjau dari aspek : (1)
Kesenjangan pendapatan antar Satuan Wilayah Pengembangan (SWP)
(2)
Kesenjangan perkembangan infrastruktur (sarana dan prasarana) antar Satuan Wilayah Pengembangan
14
(3)
Kesenjangan proporsi alokasi APBD Pembangunan antar Satuan Wilayah Pengembangan
(4)
Kesenjangan interaksi spasial antar Satuan Wilayah Pengembangan.
2. Seberapa besar sektor basis/komoditi unggulan antar
Satuan Wilayah
Pengembanga yang memperkuat struktur ekonomi wilayah dan pendapatan masyarakat. 1.4. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Menganalisis seberapa besar kesenjangan Pembangunan antar wilayah pembangunan,
yang
berdampak
pada
pendapatan
per
kapita
dan
kesejahteraan masyarakat; yang ditinjau dari aspek : (1)
Kesenjangan pendapatan antar Satuan Wilayah Pengembangan (SWP)
(2)
Kesenjangan perkembangan infrastruktur (sarana dan prasarana) antar Satuan Wilayah Pengembangan.
(3)
Kesenjangan proporsi alokasi APBD Pembangunan antar Satuan Wilayah Pengembangan.
(4)
Kesenjangan interaksi spasial antar Satuan Wilayah Pengembangan.
2. Menganalisis seberapa besar sektor basis/komoditi unggulan antar Satuan wilayah Pengembangan yang memperkuat struktur ekonomi wilayah dan pendapatan masyarakat 1.5. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi Pemerintah Kabupaten
Alor
dalam
rangka
perumusan
kebijaksanaan
perencanaan
pembangunan wilayah kedepan, terutama dalam merumuskan kebijaksanaan perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian
pembangunan wilayah yang
berorientasi pada skala prioritas serta keterpaduan dan keterkaitan antar sektor dan antar wilayah pembangunan yang konsisten dan simetris.
15
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian dan Deskripsi Menurut Chaniago et al. (2000), bahwa kesenjangan dapat diartikan sebagai suatu
kondisi
ketidakseimbangan
atau
ketidakberimbangan
atau
ketidaksemetrisan. Sehingga bila dikaitkan dengan pembangunan sektor dan wilayah, maka kesenjangan pembangunan tidak lain adalah suatu kondisi ketidakberimbangan/ketidaksemetrisan pembangunan antar sektor dan antar wilayah. Ketidakberimbangan pembangunan antar sektor dan antar
wilayah
lazim ditunjukkan dengan perbedaan pertumbuhan antar wilayah. Dimana kesenjangan pertumbuhan antar wilayah tersebut sangat tergantung pada perkembangan struktur ekonomi (perkembangan sektor-sektor ekonomi) dan struktur wilayah (perkembangan sarana dan prasarana sosial dan ekonomi seperti sarana dan prasarana pendidikan, kesehatan, perumahan, transportasi (darat, laut dan udara), telekominikasi, air besih, penerangan) serta keterkaitan dalam interaksi spasial secara optimal yang didukung dengan perkembangan peningkatan kualitas sumberdaya manusia (pengetahuan dan ketrampilan) serta penguatan kelembagaan. Selanjutnya mengenai pengertian pembangunan, para ahli memberikan definisi yang bermacam-macam.
Namun secara umum ada suatu kesepakatan
bahwa pembangunan merupakan proses untuk melakukan perubahan. Sehingga secara sederhana pembangunan diartikan sebagai suatu upaya untuk melakukan perubahan menjadi lebih baik (Riyadi dan Bratakusumah 2003). Sedangkan Saefulhakim (2003) mengartikan pembangunan sebagai suatu proses perubahan yang terencana (terorganisasikan) kearah tersedianya alternatif-alternatif /pilihanpilihan yang lebih banyak bagi pemenuhan tuntutan hidup yang paling manusiawi sesuai dengan tata nilai yang berkembang di dalam masyarakat. Menurut Siagian (1994) yang diacu Riyadi dan Bratakusumah (2003), Pembangunan sebagai suatu perubahan mewujudkan suatu kondisi kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang lebih baik dari kondisi sekarang, sedangkan pembangunan sebagai suatu pertumbuhan menunjukkan kemampuan suatu kelompok untuk terus berkembang, baik secara kualitatif maupun kuantitatif dan merupakan sesuatu yang mutlak harus terjadi dalam pembangunan. Definisi ini memberikan suatu
pemahaman
pertumbuhan,
dalam
pertumbuhan
dan
bahwa arti
pembangunan pembangunan
pertumbuhan
akan
tidak dapat
terjadi
dapat
dipisahkan
menyebabkan sebagai
akibat
dari
terjadinya adanya
16
pembangunan. Dalam hal ini pertumbuhan dapat berupa pengembangan atau perluasan (expansion) atau peningkatan (improvement) dari aktivitas yang dilakukan oleh suatu komunitas masyarakat. Sedangkan Wiranto (1997) mendefinisikan pembangunan dalam konsep pembangunan yang bertumpuh pada masyarakat adalah untuk mengembangkan kehidupan suatu masyarakat dan harus dapat dilakukan dari, oleh dan untuk masyarakat. Selain itu Bappenas (1999) mendefinisikan pembangunan sebagai suatu rangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan yang dilakukan secara terencana dan berkelanjutan dengan memanfaatkan dan memperhitungkan kemampuan sumberdaya, informasi, dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta memperhatikan perkembangan global. Sedangkan pembangunan daerah adalah bagian integral dari pembangunan nasional yang dilaksanakan melalui otonomi daerah, pengaturan sumberdaya nasional, yang memberi kesempatan bagi peningkatan demokrasi dan kinerja daerah yang berdaya guna dalam penyelenggaraan pemerintah dan layanan masyarakat, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah secara merata dan berkeadilan. Pembangunan sebagai suatu proses perubahan tidak akan bisa lepas dari perencanaan maka perencanaan pembangunan didefinisikan sebagai suatu proses
perumusan
alternatif-alternatif
atau
keputusan-keputusan
yang
didasarkan pada data-data dan fakta-fakta yang akan digunakan sebagai bahan untuk melaksanakan suatu rangkaian kegiatan atau aktivitas kemasyarakatan, baik yang bersifat fisik (material) maupun non fisik (mental dan spritual), dalam rangka mencapai tujuan yang
lebih baik (Riyadi dan Bratakusumah 2003).
Namun demikian suatu perencanaan pembangunan sangat terkait dengan unsur wilayah atau lokasi dimana suatu aktivitas kegiatan akan dilaksanakan, sehingga Riyadi dan Bratakusumah (2003) mendefinisikan perencanaan pembangunan wilayah/daerah
sebagai
suatu
proses
perencanaan
pembangunan
yang
dimaksudkan untuk melakukan perubahan menuju arah perkembangan yang lebih baik, bagi suatu komunitas masyarakat, pemerintah, dan lingkungan dalam wilayah/daerah tertentu, dengan memanfaatkan atau mendayagunakan berbagai sumberdaya yang ada, dan harus memiliki orientasi yang bersifat menyeluruh, lengkap, tapi tetap berpegang pada azas prioritas.
Sedangkan Hadi (2001)
mengartikan perencanaan pembangunan wilayah sebagai suatu proses atau tahapan pengarahan kegiatan pembangunan di suatu wilayah tertentu yang
17
melibatkan interaksi antara sumberdaya manusia dengan sumberdaya lain, termasuk sumberdaya alam dan lingkungan melalui investasi. Selanjutnya
Istilah
“wilayah“
atau
“daerah”
sering
penggunaannya dalam beberapa Literatur, namun berbeda
di
pertukarkan
dalam cakupan
ruang, dimana ‘wilayah’ digunakan untuk pengertian ruang secara umum, sedangkan istilah ‘daerah’ digunakan untuk ruang yang terkait dengan batas administrasi pemerintahan (Tarigan 2004). Tarigan mendefinisikan wilayah sebagai satu kesatuan ruang secara geografis yang mempunyai tempat tertentu tanpa terlalu memperhatikan soal batas dan kondisinya, sedangkan daerah dapat didefinisikan sebagai wilayah yang mempunyai batas secara jelas berdasarkan jurisdiksi administratif. Definisi ini hampir sejalan dengan Murty (2000) yang mendefinisikan wilayah sebagai suatu area geografis, teritorial atau tempat, yang dapat berwujud sebagai suatu negara, negara bagian, provinsi, distrik dan perdesaan.Tapi suatu wilayah pada umumnya tidak sekedar merujuk suatu tempat atau area, melainkan merupakan satu kesatuan ekonomi, polotik, sosial administrasi, iklim hingga geografis, sesuai dengan tujuan pembangunan atau kajian. Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang, Wilayah didefinisikan sebagai ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administrasi dan atau aspek fungsional.
Kemudian menurut Rustiadi
et al.
(2003), wilayah didefinisikan sebagai suatu unit geografis dengan batas-batas spesifik (tertentu) dimana komponen-komponen di dalamnya (sub wilayah) satu sama lain saling berinteraksi secara fungsional (memiliki keterkaitan dan hubungan fungsional). Dari definisi ini memperlihatkan bahwa tidak ada batasan spesifik dari luasan suatu wilayah. Batasan yang ada lebih bersifat ”meaningful” untuk perencanaan, pelaksanaan, monotoring dan evaluasi. Sedangkan pengertian wilayah berdasarkan tipologinya diklasifikasikan atas bagian (1) wilayah homogen (uniform); (2) wilayah sistem/fungsional; dan (3) wilayah perencanaan (planning region atau programing region). Ketiga kerangka konsep wilayah ini dianggap lebih mampu menjelaskan berbagai konsep wilayah yang telah dikenal selama ini, dimana dalam pendekatan klasifikasi konsep wilayah yang terakhir, wilayah nodal dipandang sebagai salah satu bentuk dari konsep
wilayah
sistem,
sedangkan
dalam
kelompok
konsep
wilayah
18
perencanaan, terdapat wilayah administratif - politis dan wilayah perencanaan fungsional (Rustiadi et al. 2003). Wilayah homogen adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan kenyataan bahwa
faktor-faktor
dominan
pada
wilayah
tersebut
bersifat
homogen,
sedangkan faktor-faktor yang tidak dominan bisa saja beragam (heterogen). Secara umum terdapat dua penyebab homogenitas wilayah yakni (1) homogenitas alamiah (kemampuan lahan, iklim dan berbagai faktor alam lainnya); dan (2) homogenitas artifisial, penyebab homogenitas yang bukan berasal dari faktor alam (fisik) tetapi faktor sosial, misalnya wilayah kemiskinan karena faktor penciri yang menonjol pada wilayah tersebut adalah kemiskinan. Pemahaman terhadap wilayah homogen ini penting karena bermanfaat dalam proses perencanaan dan kebijakan yang akan dibuat, karena pembangunan suatu wilayah harus diprioritaskan pada pengembangan faktor-faktor dominan yang secara kuat dapat mendorong pertumbuhan suatu wilayah terutama keunggulan potensi sumberdaya alam dan iklim yang memiliki ”comparative adventage”. Pada umumnya wilayah homogen sangat dipengaruhi oleh sumberdaya alam dan permasalahan spesifik yang seragam. Dengan demikian konsep wilayah homogen sangat bermanfaat dalam (1) menentukan sektor basis perekonomian wilayah sesuai dengan potensi/daya dukung utama yang ada (comparative advantage); (2) pengembangan pola kebijakan yang tepat sesuai dengan permasalahan masing-masing wilayah. Sehingga wilayah homogen biasanya berhubungan dengan program perwilayahan komoditas karena beberapa alasan mendasar diantaranya: (1) budidaya bermacam-macam komoditas dalam satuan wilayah yang kecil tidak efisien; (2) upaya untuk menurunkan biaya pendistribusian input dan pendistribusian output; dan (3) untuk memudahkan manajemen. Sedangkan wilayah fungsional atau wilayah sistem ditunjukkan oleh adanya saling ketergantungan antar wilayah yang satu dengan wilayah yang lain, misalnya saling ketergantungan ekonomi
(Hoover
1985). Hal ini dilandasi atas pemikiran bahwa suatu wilayah adalah suatu entitas yang terdiri atas komponen-komponen atau bagian-bagian yang memiliki keterkaitan, ketergantungan dan saling berinteraksi satu sama lain dan tidak terpisahkan dalam kesatuan (Rustiadi et al. 2003). Lebih lanjut dikatakan bahwa struktur-komponen-komponen yang membentuk wilayah fungsional dapat dipilah atas wilayah sistem sederhana (dikotomis) dan sistem kompleks (non dikotomis).
19
Sistem dikotomis adalah sistem yang bertumpuh atas ketergantungan atau keterkaitan antara dua komponen wilayah, dimana bentuk wilayah tersebut mencakup wilayah nodal, wilayah (kawasan) perkotaan dan perdesaan, kawasan budidaya dan non budidaya. Sedangkan sistem kompleks menunjukkan suatu
deskripsi
wilayah
sebagai
suatu
sistem
yang
bagian-bagiannya
(komponen-komponen) didalamnya bersifat kompleks baik jumlah, jenis serta keragaman bentuk hubungan yang banyak. Bentuk wilayah sistem kompleks tersebut mencakup sistem ekologi (ekosistem), sistem sosial dan sistem ekonomi. Menurut Hoover
(1985) bahwa
bentuk
wilayah nodal didasarkan pada
hirarki suatu hubungan perdagangan. Struktur pusat wilayah diasumsikan menyerupai kehidupan sel atau atom yang dikelilingi oleh plasma (nucleus). Dimana inti (simpul) adalah pusat-pusat pelayanan dan atau permukiman sedangkan plasma adalah daerah belakang (hinterland), yang mempunyai sifatsifat tertentu dan mempunyai hubungan fungsional (Rustiadi et al. 2003). Lebih lanjut diutarakan bahwa Inti (pusat) wilayah berfungsi sebagai: (1) tempat terkonsentrasinya penduduk (permukiman); (2) sebagai pusat pelayanan terhadap daerah hinterland; (3) pasar bagi komoditas-komoditas pertanian maupun industri; dan (4) sebagai lokasi pemusatan industri manufaktur (manufactory) yang diartikan sebagai kegiatan mengorganisasikan faktor-faktor produksi untuk menghasilkan suatu output tertentu. Sedangkan hinterland berfungsi sebagai: (1) pemasok (produsen) bahan-bahan mentah dan atau bahan baku; (2) pemasok tenaga kerja melalui proses urbanisasi dan commuting (menglaju); (3) sebagai daerah pemasaran barang dan jasa industri manufaktur; dan (4) penjaga keseimbangan ekologis. Kemudian Konsep wilayah administratif politis didasarkan pada suatu kenyataan bahwa wilayah berada dalam satu kesatuan politis yang umumnya dipimpin oleh suatu sistem birokrasi atau sistem kelembagaan dengan otonomi tertentu, sehingga wilayah administratif sering disebut sebagai wilayah otonomi. artinya suatu wilayah yang mempunyai suatu otoritas melakukan keputusan dan kebijaksanaan sendiri dalam pengelolaan sumberdaya-sumberdaya di dalamnya, misalnya negara, provinsi, kabupaten dan desa/kelurahan. Berdasarkan deskripsi dan definisi wilayah dan pembagunan wilayah/daerah seperti di atas, maka wilayah pembangunan dapat didefinisikan sebagai wilayah tertentu yang secara spasial di tetapkan atau diarahkan untuk perencanaan pembangunan wilayah
20
yang melibatkan interaksi antara sumberdaya manusia dengan sumberdaya lain, termasuk sumberdaya alam dan lingkungan melalui investasi. Dimana wilayah pembangunan tersebut bisa mencakup kawasan perkotaan, kawasan perdesaan, kawasan pengembangan ekonomi, kawasan budidaya, dan lain sebagainya. Lebih spesifik wilayah pembangunan yang dimaksudkan dalam konteks penelitian ini adalah satuan wilayah pengembangan (SWP) dengan Hirarki/pusat aktivitasnya, yang diarahkan dalam Struktur Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten merupakan salah satu wujud Perecanaan Tata Ruang yang diatur dalam pasal 22 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
merupakan arahan kebijakan dan strategi pemanfaatan ruang
wilayah Kabupaten /kota yang berisikan: (1) tujuan pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pertahanan keamanan; (2) rencana struktur ruang dan pola pemanfaatan wilayah kabupaten; (3) pengelolaan kawasan lindung dan budidaya; (4) pengelolaan kawasan perdesaan, kawasan perkotaan, kawasan budidaya dan kawasan tertentu; (5) rencana pengembangan sistem kegiatan pembangunan dan system permukiman pedesaan dan perkotaan; (6) rencana pengembangan
system prasarana
transportasi, telekominikasi, energi, pengairan dan prasarana pengelolaan lingkungan; penata gunaan tanah, penata gunaan air, penata gunaan udara dan penataan sumberdaya alam lainnya serta memperhatikan keterpaduan dengan sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan; (7) pedoman pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten; dan (8) penetapan dan pengelolaan kawasan prioritas kabupaten. Selanjutnya RTRW Kabupaten yang disusun, dimaksudkan untuk menjadi pedoman bagi: (1) perumusan kebijakan pokok pemanfaatan ruang wilayah kabupaten;
(2)
program-program
pembangunan
daerah
kabupaten;
(3)
mewujudkan keterpaduan, keterkaitan dan keseimbangan perkembangan antar wilayah didalam wilayah kabupaten serta keserasian antar sektor; (4) penetapan lokasi investasi di wilayah kabupaten; (5) penyusunan rencana rinci tata ruang di kabupaten; dan (6) pelaksanaan pembangunan dalam rangka pemanfaatan ruang.
21
Sehubungan dengan definisi kesenjangan pembangunan di atas, maka perlu kelengkapan kerangka teori yang dapat menginspirasi kerangka pemikiran dasar perlunya penelitian ini antara lain: 2.1.1. Kerangka teori keterkaitan antar sektor dan spasial. Keterkaitan antar sektor dan antar spasial, sebenarnya bertujuan untuk mencapai suatu perubahan struktur ekonomi dan struktur wilayah yang dapat bertumbuh secara berimbang. Ada keseimbangan keterkaitan antar sektor untuk memberikan kontribusi bagi struktur ekonomi wilayah. Perubahan struktur ekonomi wilayah yang diharapkan dari dampak keterkaitan adalah pergeseran surplus produksi
dan tenaga kerja
subsisten dari sektor primer (pertanian,
pertambangan) ke sektor sekunder (manufaktur dan konstruksi) dan sektor tersier (transportasi dan komunikasi, perdagangan, pemerintah dan jasa lainnya) Fisher (1935) sebagai orang pertama yang memperkenalkan
kegiatan
usaha primer, sekunder dan tersier menilai bahwa negara perlu diklasifikasikan berdasarkan proporsi tenaga kerja yang ada di tiap sektor. Kemudian Clark (1951) juga mendukung pandangan Fisher dengan kumpulan analisis data untuk mengukur dan membandingkan karakteristik ekonomi sektoral pada tingkat pendapatan per kapita yang berbeda. Menurut Clark (1951) bahwa pada saat ekonomi negara tinggi, proporsi tenaga kerja yang terkait dengan sektor primer menurun; proporsi tenaga kerja pada sektor sekunder meningkat mencapai tingkat tertentu; proporsi tenaga kerja pada sektor tersier meningkat setelah sektor primer dan sekunder telah mencapai keseimbangan. Perubahan proporsi tenaga kerja di setiap sektor menunjukkan bahwa pergerakan tenaga kerja akan terjadi dari sektor primer menuju sektor sekunder dan tersier karena adanya perbedaan produktivitas tenaga kerja dan kemajuan teknologi di setiap kegiatan. Teori dualisme ekonomi yang dikembangkan oleh Lewis yang diacu Rustiadi et al. (2003) menyatakan bahwa perkembangan suatu wilayah akan mengalami stagnasi bila hanya satu sektor saja di kembangkan. Misalkan perkembangan sektor pertanian yang tanpa diikuti oleh perkembangan sektor industri akan memperburuk tawar-menawar (term of trade) sektor pertanian tersebut akibat kelebihan produksi atau tenaga kerja, akhirnya pendapatan disektor pertanian menjadi anjlok (depresif) dan rangsangan penanaman modal dan pembaharuan menjadi tidak terangsang.
22
Demikian juga pembangunan ekonomi yang dipusatkan pada industri yang mengabaikan pertanian, akhirnya akan menghambat proses pembangunan itu sendiri. Adanya sektor industri yang mampu menampung surplus produksi pertanian akan meningkatkan pendapatan sektor pertanian. Demikian juga bila terjadi surplus tenaga kerja di sektor pertanian yang dapat ditampung di sektor industri akan menjaga tingkat pendapatan yang tinggi di sektor pertanian. Tingkat pendapatan yang tinggi merangsang berbagai kebutuhan akan barangbarang non pertanian. Demikian juga perkembangan sektor pertanian dan industri pengolahan tanpa diikuti sektor ekonomi lain seperti sektor Perbankan, swasta serta sektor infrastruktur dalam menopang kegiatan pertanian dan industri pengolahan mengakibatkan pertumbuhan ekonomi wilayah menjadi stagnan. Misalnya pembangunan sektor infrastruktur yang tidak memadai dalam mendukung sektor pertanian dan industri maka pergerakan ekonomi wilayah menjadi tidak efisien. Laporan Bappenas (2002), mengisyaratkan bahwa Sektor infrastruktur dituntut untuk makin mampu berperan mendukung pergerakan orang, barang dan jasa nasional demi mendukung timbulnya perekonomian nasional dan pengembangan
wilayah
dan
sekaligus
mempersempit
kesenjangan
pembangunan antar daerah. Infrastruktur dituntut untuk memiliki korelasi yang tinggi dengan pertumbuhan ekonomi wilayah, kesesuaian tata ruang, dan kelestarian lingkungan hidup. Pembangunan infrastruktur harus menjadi salah satu alternatif bagi pemulihan pertumbuhan ekonomi pasca krisis 1997 untuk dapat menyerap banyak tenaga kerja, membangkitkan sektor riil, dan memicu produksi dan konsumsi masyarakat serta dapat mengurangi kesenjangan antar daerah dan mengurangi kemiskinan. Sehubungan dengan itu Sipayung (2000) menyatakan bahwa sektor pertanian dan non petanian merupakan suatu sistem dalam perekonomian oleh karena itu sektor pertanian dengan sektor non pertanian memiliki keterkaitan ekonomi yang saling mempengaruhi kinerja kedua sektor. Rangrajan (1982) menyatakan bahwa terdapat 5 (lima) mekanisme keterkaitan ekonomi antara sektor pertanian dan non petanian sebagai berikut :Pertama, sektor pertanian dan non pertanian menghasilkan bahan baku bagi sektor non pertanian. Produksi sektor pertanian berupa bahan pangan dan non pangan merupakan input utama dari sektor non petanian seperti industri pengolahan hasil pertanian dan perdagangan, restoran.
Ke dua, sektor non
23
pertanian menghasilkan input yang diperlukan oleh sektor pertanian. Pupuk, pestisida, mesin peralatan pertanian dan berbagai jenis jasa merupakan hasil sektor non pertanian yang menjadi input sektor pertanian. Ke tiga, sektor pertanian (rumahtangga pertanian) merupakan pasar bagi output akhir sektor non pertanian. Bahan pangan olahan, sandang dan papan serta berbagai jenis jasa-jasa merupakan hasil sektor non pertanian di konsumsi oleh rumahtangga pertanian. Ke empat, keterkaitan melalui tabungan pemerintah dan investasi publik. Peningkatan output sektor akan secara langsung meningkatkan penerimaan pajak tak langsung pemerintah yang selanjutnya digunakan untuk membiayai investasi publik. Peningkatan investasi publik ini akan meningkatkan permintaan barang-barang modal yang dihasilkan sektor non pertanian. Kelima, keterkaitan melalui prilaku investasi swasta. Harga komoditas pertanian yang relatif rendah dan stabil, akan merangsang investasi swasta pada sektor non pertanian. Hal ini disebabkan karena naik turunnya harga komoditas pertanian baik melalui kenaikan atau penurunan biaya bahan baku maupun upah tenaga kerja. Dengan keterkaitan demikian, pertumbuhan sektor pertanian dengan pertumbuhan sektor non pertanian secara teoritis akan saling mendukung pertumbuhan ekonomi secara agregat. Namun demikian berbagai hasil studi emperis menggambakan bahwa keterkaitan sektor pertanian dengan sektor non pertanian menunjukkan keterkaitan yang lemah dimana antara pertumbuhan sektor pertanian dengan sektor non pertanian cenderung menurunkan peranan sektor pertanian dalam pembentukan PDB. Namun belum menunjukkan faktor-faktor apa yang dapat menyebabkan lemahnya keterkaitan tersebut. Penurunan pangsa sektor pertanian dalam perekonomian yang bertumbuh disebabkan oleh tiga faktor utama yaitu penurunan harga relatif komoditas pertanian terhadap harga produk non pertanian, perbedaan laju perubahan teknologi dan perubahan relatif faktor produksi (Martin and Warr, 1993). Budiharsono (1996) mengemukakan bahwa terjadinya penyimpangan pola normal transformasi struktur produksi antar daerah terutama disebabkan karena relatif kecilnya keterkaitan antar sektor pertanian dan dengan sektor industri. Dari hasil analisis dengan menggunakan model input-output ternyata keterkaitan sektor pertanian dengan sektor industri relatif kecil. Sedangkan salah satu ukuran kemajuan suatu daerah adalah adanya keseimbangan antar sektor pertanian dan industri (Todaro, 1978).
24
2.1.2. Kerangka teori kesenjangan dan keberimbangan pembangunan antar wilayah. a. Urgensi keberimbangan pembangunan wilayah. Menurut Rustiadi et al. (2003 ) bahwa setiap pemerintah baik di negara berkembang (developing countries) maupun belum berkembang (less developed countries) selalu berusaha untuk meningkatkan keterkaitan yang simetris antar wilayah dan mengurangi kesenjangan karena beberapa alasan, antara lain: (1) Untuk mengembangkan
perekonomian
secara
simultan
dan
bertahap;
(2)
Untuk
mengembangkan ekonomi secara cepat; (3) Untuk mengoptimalkan pengembangan kapasitas dan mengkonservasi sumber daya; (4) Untuk meningkatkan lapangan kerja;(5) Untuk mengurangi beban sektor pertanian; (6) Untuk mendorong desentralisasi; (7) Untuk menghindari konflik lepas kendali dan instabilitas politik disintegratif; (8) Untuk meningkatkan Ketahanan Nasional. Menurut Hill (1996) yang diacu Hadi (2001), isu pemerataan pembangunan wilayah sangat penting dengan beberapa alasan pokok: (1) terdapat ketimpangan antar wilayah dalam berbagai aspek seperti pertumbuhan ekonomi, kepadatan penduduk, potensi sumberdaya alam, potensi sumberdaya manusia; (2) alasan politis dalam bentuk permasalahan etnis yang mendiami wilayah yang tersebar, dimana isu ketidakmerataan distribusi sumberdaya alam daerah yang harus diserahkan seluruhnya kepada pusat dan bukannya kepada daerah penghasil itu sendiri; dan (3) permasalahan dinamika spasial yang terjadi di daerah-daerah, yaitu sebagai suatu warisan historis dengan adanya ketidakseimbangan yang mencolok antara Jawa dan luar Jawa. b. Teori Ketidakseimbangan Pertumbuhan Wilayah. Menurut Tamenggung (1997) bahwa Teori ketidakseimbangan pertumbuhan wilayah muncul terutama sebagai reaksi terhadap konsep kestabilan dan keseimbangan pertumbuhan dari teori Neoklasik. Tesis utama dari teori ini adalah bahwa kekuatan pasar sendiri tidak dapat menghilangkan perbedaanperbedaan antar wilayah dalam suatu negara; bahkan sebaliknya kekuatankekuatan ini cenderung akan menciptakan dan bahkan memperburuk perbedaan-perbedaan itu. Dalam kritiknya terhadap teori keseimbangan pertumbuhan, Myrdal (1975) berpendapat bahwa perubahan-perubahan dalam suatu sistem sosial tidak diikuti oleh penggantian perubahan-perubahan pada
arah
yang
berlawanan. Beranjak dari pendapat ini, ia mengembangkan teori penyebab kumulatif dan berputarnya proses sosial untuk menjelaskan ketimpangan internasional dan antar wilayah. Menurut Myrdal, terdapat dua kekuatan yang
25
bekerja dalam proses pertumbuhan ekonomi, efek balik negatif (backwash effect) dan efek penyebaran (spread effect). Kedua kekuatan itu digunakan untuk menunjukkan konsekuensi spasial dari pertumbuhan ekonomi terpusat baik negatif maupun positif. Kekuatan efek penyebaran mencakup penyebaran pasar hasil produksi bagi wilayah belum berkembang, penyebaran inovasi dan teknologi; sedangkan kekuatan efek balik negatif biasanya melampaui efek penyebaran dengan ketidakseimbangan aliran modal dan tenaga kerja dari wilayah tidak berkembang ke wilayah berkembang. Jadi, interaksi antar wilayah pada sistem pasar bebas cenderung memperburuk kinerja ekonomi wilayah yang belum berkembang. Menurut Myrdal, kondisi ini memberikan pengesahan terhadap intervensi mekanisme pasar untuk mengatasi efek balik negatif yang akan menimbulkan kesenjangan wilayah. Teori ketidakseimbangan pertumbuhan wilayah lebih jauh dikembangkan oleh Kaldor (1970) dan berdasarkan pandangan Kaldor teori ini diperjelas oleh Dixon dan Thirwall (1975). Menurut Kaldor, pertumbuhan output wilayah ditentukan oleh adanya peningkatan skala pengembalian, terutama dalam kegiatan manufaktur. Hal ini berarti bahwa wilayah dengan kegiatan utama sektor industri pengolahan akan mendapat keuntungan produktivitas yang lebih besar dibandingkan wilayah yang bergantung pada sektor primer, sehingga dapat disimpulkan bahwa wilayah dengan sektor industri akan tumbuh lebih cepat dibandingkan wilayah yang bergantung pada sektor primer. Dixon dan Thirwall mengembangkan teori Kaldor dengan menekankan dampak proses penyebab kumulatif terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah. Pertumbuhan output wilayah menentukan tingkat perubahan teknologi dan pertumbuhan rasio modal dan tenaga kerja. Kedua faktor ini lebih l a n j u t akan menentukan pertumbuhan dan tingkat produktivitas wilayah. Pertumbuhan ekspor suatu wilayah bergantung pada daya saing relatif terhadap wilayah lainnya; dengan kata lain, pertumbuhan wilayah bergantung pada produktivitas wilayah itu sendiri, dan hal ini berarti bahwa suatu peningkatan produktivitas akan mempengaruhi pertumbuhan dan tingkat ekspor suatu wilayah. Pada masalah ini, proses penyebab kumulatif pertumbuhan ekonomi akan terjadi secara menyeluruh, karena pertumbuhan ekspor wilayah menentukan pertumbuhan output wilayah. Keterkaitan antara pertumbuhan output wilayah dan pertumbuhan produktivitas juga dikenal sebagai efek Verdoorn.
26
Teori pertumbuhan yang tidak seimbang menggambarkan bahwa pada saat suatu wilayah mencapai manfaat pertumbuhan, manfaat itu akan terus dipertahankan
melalui
efek
Verdoorn.
Semakin sering suatu wilayah
memproduksi barang-barang dengan elastisitas
permintaan yang tinggi
terhadap pasar-pasar ekspor, semakin cepat tingkat pertumbuhan produktivitas sehingga wilayah lain akan menemukan kesulitan untuk menahan persaingan terhadap wilayah itu. Hirchman (1958)
dan
Myrdal (1957) yang diacu Alonso (1979)
menemukan mode - model polarisasi spatial ekonomi yang mirip sekali di dalam proses
perkembangan.
Pada
tahap-tahap
permulaan
perkembangan,
keuntungan terletak pada pusat-pusat yang sudah maju, yang menikmati fasilitas yang lebih lengkap, keuntungan-keuntungan ekstern, kekuatan politik, preferensi wilayah dari pada pembuat keputusan, masuknya unsur-unsur yang lebih bersemangat dan terpelajar dari daerah-daerah yang masih terbelakang, mengalirnya dana yang berasal dari tanah yang kaya di daerah pedalaman ke pasar-pasar uang di kota-kota, serta berbagai macam faktor-faktor lainnya. Faktor-faktor tersebut dapat menimbulkan polarisasi, yakni konsentrasi di kotakota besar dan bertambah besarnya perbedaan pendapatan antara daerahdaerah. Akan tetapi setelah melewati titik tertentu efek-efek penurunan (tricle down effect) tertentu akan kelihatan. Di lain sisi meningkatnya jumlah penduduk yang melek huruf, peluasan pelaksanaan
birokrasi,
meningkatnya
pengetahuan
pada
daerah-daerah
terbelakang, pembukaan jaringan-jaringan angkutan untuk mencapai daerahdaerah terbelakang, dapat membuka akses pasar bagi pusat-pusat yang sudah maju juga memberikan kemungkinan bagi terbukanya daerah-daerah itu bagi kegiatan-kegiatan yang produktif, pendidikan yang merata dan standardisasi seluruh segi kehidupan akan membawah integrasi pada ekonomi wilayah (space economy) dan dengan mengusahakan berbagai eksternalitas menjadi hampir sama untuk semua daerah, peluang-peluang yang terletak lebih jauh akan semakin berarti dan semakin penting bagi pembangunan. Demikianlah
dalam
pandangan
ini
pada
tahap-tahap
permulaan
perkembangan, terjadi kesenjangan yang makin meningkat antar daerah yang sudah maju dengan daerah yang masih terbelakang, akan tetapi kemudian terdapat
kecenderungan
kearah
pemerataan
pendapatan
pada
waktu
perekonomian mulai memasuki tahap pendewasaan. Myrdal lebih pesemis dari
27
pada Hischman dalam hal konfergensi akhir (eventual convergence)” ini dan menghentikan analisisnya dengan apa yang disebutnya Lingkaran setan backwash effects yang dapat disamakan dengan polarisasi Hirschman. Pandangan Hirschman dan Myrdal diperkuat dengan penemuan Williamson (1965) bahwa: (1) disparitas regional lebih besar di negara-negara berkembang dan lebih kecil di negara-negara maju; (2) disparitas ini makin lama makin meningkat di negara-negara berkembang, sebaliknya akan menurun di negaranegara maju, penemuan ini benar-benar menunjukkan bahwa ketidak merataan regional jika digambarkan dalam kaitannya
dengan perkembangan ekonomi
akan menghasilkan kurva berbentuk lonceng yang beberapa titik puncaknya dicapai pada saat peralihan dari tahap lepas landas menuju tahap pendewasaan. c. Faktor-faktor penyebab Kesenjangan Pembangunan. Sebagaimana pada uraian di atas bahwa kesenjangan antar daerah dalam suatu perekonomian nasional maupun regional merupakan fenomena dunia. Hal ini terjadi pada semua negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan hal tersebut adalah struktur sosial ekonomi dan distribusi spasial dari sumberdaya bawaan. Pada umumnya kesenjangan antar daerah lebih tajam terjadi pada negara sedang berkembang karena kekakuan sosial ekonomi (social economic rigidities)
dan imobilitas
faktor (factor immobilities). Dalam mengatasi masalah kesenjangan tersebut, hampir
semua
negara
berusaha
menerapkan
kebijakan
khusus
pembangunan daerah terbelakang (Uppal dan Handoko 1986
untuk
yang diacu
Budiharsono 1996). Namun yang terjadi di Indonesia, proses pembangunan yang
dilaksanakan
selama
ini
ternyata
disisi
lain
telah
menimbulkan
kesenjangan pembangunan antar wilayah yang cukup melebar. Sehubungan dengan itu, Hanafiah (1988) menyatakan bahwa
secara alami
tingkat pembangunan di berbagai wilayah dalam suatu daerah atau negara adalah tidak sama. Dengan demikian, dalam suatu wilayah tertentu dapat diidentifikasikan adanya wilayah yang kaya, maju, dinamis, dan berkembang serta wilayah yang miskin, tradisional, statis, dan terbelakang. Wilayah yang kaya adalah wilayah yang mempunyai sumberdaya alam melimpah dan diikuti oleh kegiatan manusia yang tinggi sehingga berkembang menjadi wilayah yang maju. Sedangkan wilayah yang miskin adalah wilayah yang mempunyai sumberdaya alam yang terbatas dan kegiatan penduduk yang masih rendah sehingga wilayah tersebut lambat berkembang atau wilayah tersebut belum berkembang akibat sumberdaya alamnya yang belum dieksploitasi secara optimal
28
dan berkelanjutan. Akibat adanya perbedaan tingkat perkembangan wilayah dan tingkat pembangunan dalam suatu wilayah atau daerah tertentu maka terjadi jurang kesejehteraan masyarakat antara wilayah kaya dan wilayah miskin. Apabila tidak ada campur tangan pemerintah secara aktif, keadaan tersebut akan bertambah buruk bagi corak pembangunan selanjutnya. Campur tangan pemerintah yang efektif akan mengatasi kekurangan penyediaan modal dan kapasitas teknologi di wilayah pendukung dalam proses pertumbuhan (Gerschenkron 1962). Hadi (2001), juga menandaskan bahwa pertimbangan pemerataan dan keberlanjutan pembangunan antar wilayah, sering menjadi masalah yang belum dapat di atasi secara baik sampai saat ini. Apabila hal ini tidak diperhatikan maka daerah terbelakang tetap tertinggal dan yang sudah berkembang melaju lebih berkembang. Secara umum penyebab terjadinya kesenjangan pembangunan antar sektor dan antar wilayah
antara lain faktor
geografi, sejarah, politik, kebijakan pemerintah,
administrasi , sosial dan ekonomi ( Murty 2000; Rustiadi et al . 2004 ). Secara geografis, pada suatu wilayah yang cukup luas akan terjadi perbedaan spasial baik jumlah maupun mutu sumberdaya mineral, sumberdaya pertanian, topografi, iklim, curah hujan
dan sebagainya. Apabila
wilayah
tersebut memiliki kondisi geografis yang baik, maka wilayah tersebut akan lebih berkembang. Faktor sejarah memberikan inspirasi bahwa tingkat perkembangan suatu masyarakat dalam suatu wilayah cenderung tergantung pada apa yang telah dilakukan pada masa yang lalu. Bentuk organisasi/kelembagaan dan kehidupan perekonomian pada masa yang lalu merupakan penyebab yang cukup penting, terutama yang terkait dengan sistem insentif terhadap kapasitas kerja dan enterpreneurship. Sebagai contoh sistem feodalistik atau sistem kolonial cenderung tidak memberikan iklim yang bisa memacu prestasi dan kerja keras; contoh lain adanya budaya-budaya paternalistik dan egalatarian, dilain sisi dapat menguatkan social capital, tetapi dalam kenyataannya cenderung melemahkan sistem insentif terhadap kapasitas kerja dan enterpreneurship. Oleh karenanya perlu sistem yang dapat menciptakan kebebasan atau menekan tekanan psikis untuk bekerja dan berusaha yang dapat mendorong orang untuk berkembang lebih cepat. Faktor instabilitas politik sangat mempengaruhi proses perkembangan dan pembangunan di suatu wilayah. Politik yang tidak stabil akan menyebabkan
29
ketidakpastian atau keraguan orang atau investor untuk mengembangkan usaha atau menanamkan modal disuatu wilayah, sehingga wilayah tersebut tidak akan mengalami pertumbuhan. Bahkan seringkali terjadi pelarian modal keluar wilayah, untuk diinvestasikan ke wilayah lain yang kondisinya relatif lebih stabil (Rustiadi et al, 2004). Lebih lanjut Rustiadi et al. (2004) menyatakan bahwa kesenjangan yang terjadi sebagai akibat kebijakan pemerintah, diantaranya adalah kebijakan pembangunan nasional masa lalu yang menekankan pertumbuhan ekonomi dan membangun
pusat-pusat
pertumbuhan
telah
menimbulkan
kesenjangan
pembangunan yang luar biasa. Tricle down effect yang diharapkan bisa terjadi, dalam kenyataannya malah digantikan oleh backwash effect (pengurasan sumberdaya berlebihan) dari wilayah belakang (hinterland). Di katakan pula bahwa
dalam era desentralisasi dan otonomi daerah
kesenjangan
pembangunan bisa terjadi, jika kebijakan pemerintah daerah untuk memperoleh PAD yang besar, kemudian menetapkan retribusi daerah yang tinggi bisa saja berdampak terhadap insentif permintaan yang rendah terhadap produksi rakyat. Melakukan eksplorasi sumberdaya alam tanpa mempertimbangkan aspek keberlanjutan, keterkaitan antar sektor dan wilayah sering menjadi dilema., dan lain sebagainya. Rustiadi et al. (2004) menyatakan pula bahwa kesenjangan pembangunan yang terjadi sebagai akibat dari faktor administrasi, sering terjadi pada wilayahwilayah dengan sumberdaya manusia yang menjalankan fungsi administrator tersinyalir kurang jujur, kurang terpelajar, kurang terlatih
dengan sistem
administrasi yang kurang efisien. Sehingga pelayanan publik dalam bentuk perizinan usaha dll, menjadi rumit dan berbelit. Wilayah yang demikian dipastikan tidak memiliki insentif untuk kegiatan investasi dan pertumbuhan wilayah menjadi stagnan. Selanjutnya kesenjangan pembangunan yang terjadi sebagai akibat dari faktor sosial, sering terisolasi
terjadi pada wilayah-wilayah yang masih tertinggal atau
dan yang masih kental dengan kehidupan atau kepercayaan-
kepercayaan primitif, kepercayaan-kepercayaan tradisional dan nilai-nilai sosial yang sangat kontra produktif
terhadap perkembangan ekonomi. Ciri sosial
budaya masyarakat seperti itu umumnya tidak memiliki institusi dan prilaku yang kondusif
bagi berkembangnya perekonomian. Sebaliknya wilayah dengan
masyarakat yang relatif maju umumnya memiliki institusi dan prilaku yang
30
kondusif
untuk berkembang. Mereka percaya pada agama, tradisi, nilai-nilai
sosial yang lebih mendorong
tumbuh dan berkembangnya intelektualisme,
profesionalisme, moralitas dan social cohesiveness bagi
“kemajuan untuk
semua” (Rustiadi et al. 2004) Rustiadi et al. (2004) juga menyatakan bahwa kesenjangan pembangunan yang terjadi sebagai akibat dari faktor ekonomi, antara lain mencakup : (1) Perbedaan kuantitas dan kualitas faktor produksi yang dimiliki seperti lahan, tenaga kerja, modal , teknologi, infrastruktur, organisasi dan perusahaan. (2) Proses akumulasi dari berbagai faktor seperti lingkaran setan kemiskinan (Comulative causation of poverty propensity). Ada dua tipe lingkaran setan kemiskinan di wilayah-wilayah tertinggal. Pertama, sumberdaya terbatas dan ketertinggalan masyarakat menjadi sebab dan akibat dari kemiskinan. Kedua, kondisi masyarakat yang tertinggal, standar hidupnya rendah, efisiensi rendah, produktivitas rendah, pendapatan rendah, konsumsi rendah, tabungan rendah, investasi rendah, pengangguran meningkat dan pada akhirnya masyarakat menjadi semakin tertinggal. (3) Pengaruh pasar bebas yang berpengaruh pada spread effect dan backwash effect. Pengaruh atau kekuatan pasar bebas telah mengakibatkan faktorfaktor ekonomi (tenaga kerja, modal, perusahaan) dan aktivitas ekonomi (industri, perdagangan, perbankan dan asuransi) yang dalam ekonomi maju memberikan hasil (return) yang lebih besar cenderung terkonsentrasi di wilayah-wilayah berkembang (maju). Perkembangan wilayah-wilayah ini ternyata terjadi karena penyerapan sumberdaya dari wilayah-wilayah sekitarnya (backwash effect). Spread effect yang diharapkan terjadi, ternyata lebih lemah dibanding dengan backwash effect . Sebagai akibatnya wilayahwilayah atau kawasan yang beruntung akan semakin berkembang sedangkan wilayah-wilayah atau kawasan yang kurang beruntung akan semakin tertinggal. (4) Terjadi distorsi pasar seperti immobilitas, kebijakan harga, keterbatasan spesialisasi, keterbatasan ketrampilan tenaga kerja dan sebagainya d. Penataan Ruang. Berbicara menyangkut kesenjangan pembangunan antar sektor dan antar wilayah pembangunan, tidak akan bisa terlepas dari kebijaksanaan penataan ruang karena penataan ruang merupakan salah satu bagian dari perencaan pembangunan wilayah, dimana
kedudukannya adalah
sebagai induk dari
31
semua proses perencanaan pembangunan wilayah. Penataan ruang merupakan bagian dari proses menciptakan keseimbangan antar wilayah sebagai wujud dari pembangunan yang berkeadilan. Penataan ruang mengisyaratkan, bagaimana membangun struktur keterkaitan pembangunan sektor dan wilayah yang seimbang dan berkeadilan, mencegah terjadinya kesenjangan pembangunan yang rawan menimbulkan berbagai konflik dan atau mengurangi kesenjangan tingkat pertumbuhan antar wilayah. Undang-Undang No. 24 1992 Tentang Penataan Ruang menegaskan bahwa Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. Akan tetapi Ruang yang merupakan bagian dari alam tersebut dapat pula menimbulkan suatu pertentangan jika
tidak diatur dan direncanakan
dengan baik dalam penggunaan dan pengendaliannya. Oleh karena itu perlunya suatu perencanaan “tata ruang” yang lebih komprehensif dan akomodatif terhadap semua kepentingan yang berspektif efisien, adil dan keberlanjutan. Dalam hal ini sejalan dengan apa yang diulas oleh Rustiadi et al. (2003) bahwa di masa sekarang dan akan datang diperlukan suatu pendekatan baru penataan ruang yang berbasis pada hal- hal berikut: (1) sebagai bagian dari upaya memenuhi kebutuhan masyarakat untuk melakukan perubahan atau upaya untuk mencegah terjadinya perubahan yang tidak diinginkan; (2) menciptakan keseimbangan pembangunan antar wilayah; (3) menciptakan keseimbangan pemanfaatan sumberdaya di masa sekarang dan masa yang akan datang (pembangunan
berkelanjutan);
dan
(4)
disesuaikan
dengan
kapasitas
pemerintah dan masyarakat untuk mengimplementasikan perencanaan yang disusun. Untuk melakukan suatu perencanaan tata ruang yang berbasis pada paradigma baru sebagaimana yang di ungkapkan diatas, tentunya diperlukan suatu kajian yang mendalam terhadap pola dan struktur tata ruang suatu wilayah yang sudah ada, karena pada umumnya suatu perencanaan wilayah yang di lakukan sebelum era otonomi daerah, dapat diprediksi banyak kekurangannya baik
dari
sisi
proses
perencanaan
maupun
pada
implementasi
dan
pengendaliannya. Menurut Rustiadi, et al (2003) bahwa setidaknya terdapat dua
unsur
penataan ruang, yakni unsur pertama terkait dengan proses penataan fisik ruang
32
dan unsur kedua adalah unsur institusional/kelembagaan penataan ruang (non fisik). Dimana unsur non fisik mencakup aspek-aspek organisasi penataan ruang dan aspek-aspek mengenai Aturan-aturan main penataan ruang. Sedangkan unsur fisik penataan ruang mencakup: (1) penataan pemanfaatan ruang; (2) penataan struktur/hirarki pusat-pusat wilayah aktivitas sosial ekonomi; (3) pengembangan jaringan keterkaitan antar pusat-pusat aktivitas; dan (4) pengembangan infrastruktur. Pada umumnya proses perencanaan tata ruang hanya di lihat sebagai suatu kegiatan pembagian zonasi (pengaturan penggunaan lahan) dan dianggap sebagai perencanaan fisik yang paling utama dalam proses penataan ruang, namun sekarang ini semakin disadari bahwa penataan penggunaan lahan (tata guna tanah) tanpa kelengkapan penataan unsur-unsur esensial lainnya, tidak akan pernah efektif, karena penatagunaan lahan tidak bersifat independent dari perencanaan struktur hirarki pusat-pusat pelayanan, struktur jaringan jalan dan perencanaan infrastruktur lainnya yang menyeluruh, termasuk unsur-unsur kelembagaan yang berperan (Rustiadi et al. 2003). Rustiadi et al. (2003) menyatakan pula bahwa penataan struktur hirarki sebenarnya penting sebagai upaya meningkatkan fungsi dan peran wilayahwilayah pusat pertumbuhan agar lebih berkembang sesuai potensi yang dimilikinya sekaligus dapat memberikan manfaat sosial (social benefit) yang optimal. Tetapi konsentrasi spatial (Aglomerasi) jika implementasi
perencanaan
yang
baik
maka
tidak diimbangi dengan
akan
terjadi
ketimpangan
pertumbuhan wilayah karena perbedaan economic rent antara lokasi yang satu dengan lokasi yang lain. Di lain sisi suatu aktivitas pusat ekonomi tidak akan memberikan economic rent, apabila tidak diimbangi dengan pembentukan jaringan
keterkaitan
(linkage)
antara
pusat-pusat
aktivitas
yang
dapat
memfasilitasi ”aliran barang, jasa dan informasi”. Demikian pula pengembangan infrastruktur yang mencirikan suatu aktivitas ekonomi wilayah dapat bertumbuh dan berkembang. e. Teori Pusat Pertumbuhan Salah satu model pengembangan wilayah yang erat kaitannya dengan aspek tata ruang adalah konsep pusat-pusat pertumbuhan. Konsep ini didasarkan kepada 2 (dua) hipotesa dasar, yaitu: (1) pertumbuhan dan perkembangan ekonomi dimulai dan mencapai puncaknya pada sejumlah pusat-pusat tertentu; (2) pertumbuhan dan perkembangan ekonomi dijalarkan (disebarkan) di pusat-pusat pertumbuhan ini,
33
secara nasional melalui hirarkhi kota-kota secara regional dari pusat-pusat perkotaan (urban centre) ke daerah belakang (hinterland) masing-masing . Gagasan konsep tersebut pertama kali dikemukakan oleh Walter Christaler (1933) yang kemudian dikenal sebagai teori tempat sentral (Central Theory) yang selanjutnya dikembangkan oleh Losh, Berry dan Garrison (Hanafiah 1985, Pradhan 2003). Menurut teori ini pertumbuhan dari suatu kota merupakan akibat penyediaan barang dan jasa pada daerah belakangnya.
Dengan kata lain, pertumbuhan daerah
perkotaan adalah fungsi dari penduduk dan tingkat pendapatan daerah belakangnya, sedangkan laju peningkatan pertumbuhannya tergantung pada laju peningkatan permintaan dari daerah belakang atas barang dan jasa atau pelayanan perkotaan (Richardson, 1969 yang diacu Sitohang, 1991). Pusat-pusat
pertumbuhan
tersebut
berdasarkan
studi
di
India
telah
dimodifikasikan dan dapat dibedakan atas: (1) pusat pelayanan pada tingkat lokal; (2) titik pertumbuhan pada tingkat sub-wilayah; (3) pusat pertumbuhan pada tingkat wilayah; (4) kutub pertumbuhan pada tingkat nasional. Pusat suatu wilayah juga merupakan pusat barang dan jasa yang secara terperinci
dinyatakan
sebagai
pusat
perdagangan,
perbankan,
organisasi
perusahaan, jasa profesional, jasa administrasi, pelayanan pendidikan dan hiburan bagi daerah hinterland. Permintaan antar hinterland sangat bervariasi dan berbanding terbalik dengan jarak dari pusat pertumbuhan karena adanya perbedaan dalam biaya transportasi. Dari uraian tersebut, terlihat bahwa jarak merupakan faktor kunci bagi Teori Christaler. Jarak didefinisikan sebagai maksimum jarak yang ingin ditempuh oleh seseorang untuk membeli barang tertentu yang ditawarkan pada suatu tempat. Model teori pusat pertumbuhan yang dinyatakan oleh Christaler ini dapat digunakan jika memenuhi asumsi-asumsi berikut: (1) populasi penduduk tersebar di suatu wilayah secara homogen; (2) pusat menyediakan barang-barang dan jasa-jasa untuk hinterland-hinterland-nya, sehingga jika terdapat dua tempat sentral yang mampu menyediakan pelayanan yang sama akan mempunyai hinterland dengan ukuran yang sama pula; (3) pusat mempunyai pola memaksimumkan lokasi spasialnya (misalnya: dalam penggunaan lahan); (4) pusat membentuk suatu hirarkhi. Dengan demikian dapat dikemukakan, bahwa fasilitas pelayanan dalam aspek tata ruang, kualitas dan jumlahnya berkaitan erat dengan tingkat kesejahteraan masyarakat. Sehingga dapat diidentifikasi, bahwa peningkatan kesejahteraan masyarakat ini ditentukan oleh derajad penyediaan fasilitas pelayanan yang tersedia. Ketersediaan fasilitas pelayanan pada gilirannya juga akan mendorong aktivitas
34
ekonomi yang makin maju. Sebagaimana dikemukakan oleh Hanafiah (1985), bahwa sistem pusat-pusat pertumbuhan sebagai salah satu implementasi pembangunan wilayah akan menciptakan perubahan-perubahan sosial ekonomi dalam masyarakat, yaitu menurut suatu hirarkhi yang akan menciptakan suatu struktur dan organisasi tata ruang baru bagi kegiatan manusia. Selanjutnya
dalam
menelaah
pembangunan
wilayah
terutama
dengan
pendekatan pusat pertumbuhan dan wilayah pendukungnya, perlu diketahui hubungan atau interaksi pusat pelayanan dengan daerah belakangnya (hinterland) dalam ruang lingkup kegiatan sosial ekonomi. Hubungan tersebut dapat berupa spread effect yang menguntungkan daerah belakang, ataupun sebaliknya yaitu fenomena back-wash effect yang akan merugikan daerah belakang (hinterland). Dengan demikian dari penjelasan tersebut terlihat, bahwa adanya hubungan yang erat antara pusat-pusat pertumbuhan yang menyediakan berbagai fasilitas pelayanan dengan aktivitas-aktivitas dan kegiatan sosial ekonomi masyarakat, baik yang berada di daerah pusat pertumbuhan itu sendiri maupun daerah belakangnya. Menurut Tarigan (2004), bahwa hubungan antara pusat pertumbuhan dan wilayah pendukung dapat dikategori atas 3 bentuk hubungan, yakni : (1) Hubugan generatif, yakni hubungan yang saling menguntungkan atau saling menyumbangkan antara daerah yang lebih maju dengan daerah yang ada di belakangnya. Daerah kota atau wilayah pusat dapat menyerap tenaga kerja atau memasarkan produksi dari daerah pedalaman (wilayah yang lebih terbelakang). Sedangkan wilayah pedalaman berfungsi untuk memasarkan produk-produk yang dihasilkan oleh industri perkotaan, dan sekaligus dapat memenuhi kebutuhan wilayah belakang. Selain itu wilayah pusat (kota) berperan sebagai tempat inovasi dan modernisasi yang dapat diserap oleh daerah pedalaman. Adanya pertukaran dan saling ketergantungan ini akan menyebabkan terjadinya pertumbuhan dan perkembangan sejajar antara wilayah pusat dan wilayah belakang. (2). Hubungan Parasitif, yakni hubungan yang terjadi dimana wilayah kota (wilayah yang lebih maju) tidak banyak membantu atau menolong wilayah belakangnya (hinterland). Wilayah kota yang bersifat parasit, umumnya kota yang belum banyak berkembang industrinya dan masih berciri wilayah pertanian, tetapi berciri wilayah perkotaan sekaligus. (3) Hubungan enclave (tertutup), yakni hubungan dimana wilayah pusat (kota yang lebih maju), seakan-akan terpisah sama sekali dengan daerah sekitarnya yang lebih terbelakang. Buruknya sarana dan prasarana, perbedaan taraf hidup dan pendidikan yang mencolok dan faktor-faktor lainnya dapat menyebabkan kurang hubungan antar
wilayah pusat dan
hinterland. Untuk menghindari hal ini, wilayah-wilayah terbelakang perlu didorong
35
pertumbuhannya, sedangkan wilayah
yang lebih maju dapat berkembang atas
kemampuannya sendiri. Selanjutnya dikatakan pula bahwa tidak semua kota generatif dapat dikategorikan sebagai pusat pertumbuhan, karena pusat pertumbuhan harus memiliki empat ciri, yakni : (1) Adanya hubungan internal dari berbagai macam kegiatan yang memiliki nilai ekonomi. Hubungan internal sangat menentukan dinamika sebuah kota. Ada keterkaitan antara sektor dan sektor lainnya sehingga apabila ada satu sektor mendorong
yang tumbuh akan
pertumbuhan sektor lainnya, karena saling terkait. Pertumbuhan tidak
terlihat pincang, ada sektor yang tumbuh cepat tetapi ada sektor lainnya yang tidak terkena imbas sama sekali. Berbeda halnya dengan sebuah kota, yang fungsinya sebagai perantara (transit). Dimana kota tersebut hanya berfungsi mengumpulkan berbagai macam komoditi dari wilayah di belakangnya dan menjual ke kota lain yang lebih besar dan selanjutnya dapat membeli berbagai macam kebutuhan masyarakat dari kota lain untuk didistribusikan ke wilayah yang ada di belakangnya. Kota dengan ciri perantara, tidak terdapat banyak pengolahan ataupun kegiatan yang dapat menciptakan nilai tambah (value edded) atau tidak ada proses industri yang menghasilkan value edded. (2) Adanya efek pengganda (multiplier effect). Keberadaan sektor-sektor yang saling terkait dan saling mendukung akan menciptakan efek ganda. Apabila ada suatu sektor disuatu wailayah mengalami kenaikan permintaan yang berasal dari luar wilayah, maka produksi sektor tersebut akan meningkat, karena ada keterkaitan dengan sektor-sektor lain, maka produksi sektor-sektor lain juga meningkat dan terjadi beberapa kali putaran pertumbuhan, sehingga total kenaikan produksi bisa beberapa kali lipat dibandingkan dengan kenaikan permintaan awal yang berasal dari luar wilayah tersebut. Unsur efek pengganda tersebut sangat berperan untuk membuat sebuah kota dapat memacu pertumbuhan wilayah di belakangnya, karena terjadi peningkatan produksi pada sektor di wilayah yang lebih maju, akan memacu dan meningkatkan permintaan bahan baku dari wilayah-wilayah yang berada di belakangnya. (3)
Adanya konsentarasi geografis. Konsentarasi geografis dari berbagai sektor atau fasilitas, selain bisa menciptakan efisiensi di antara sektor-sektor yang saling membutuhkan, juga meningkatkan daya tarik (attractivennes) dari wilayah yang lebih maju tersebut. Orang yang datang ke wilayah tersebut, dapat memperoleh berbagai kebutuhan pada lokasi yang berdekatan. Dengan demikian dapat menghemat waktu, tenaga dan biaya. Hal tersebut menjadi daya tarik untuk dikunjungi orang, karena volume
36
interaksi yang semakin meningkat akan menciptakan economic of scale sehingga terjadi efisiensi lanjutan. (4) Bersifat mendorong pertumbuhan daerah belakangnya. Hal ini berarti antara wilayah yang lebih maju dan wilayah belakangnya terdapat hubungan yang harmonis. Wilayah yang lebih maju membutuhkan bahan baku dari wilayah belakangnya untuk mengembangkan diri, apabila wilayah yang lebih maju memiliki hubungan yang harmonis dengan daerah belakangnya dan juga memiliki ketiga ciri di atas, maka wilayah tersebut akan berfungsi mendorong wilayah belakangnya. f. Teori Interaksi spasial. Interaksi antar wilayah (interaksi spasial) merupakan suatu mekanisme yang menggambarkan dinamika yang terjadi di suatu wilayah karena aktivitas yang dilakukan oleh sumber daya manusia di dalam suatu wilayah. Aktivitas-aktivitas yang dimaksudkan mencakup diantaranya mobilitas kerja, migrasi, arus informasi dan arus komoditas, mobilitas pelajar dan aktivitas-aktivitas konferensi, seminar, lokakarya atau kegiatan sejenisnya, pemanfaatan fasilitas pribadi dan atau fasilitas umum bahkan tukar menukar pengetahuan (Kingsley E. Hayes, 1984 yang diacu Saefulhakim, 2003). Analisis interaksi spasial mempelajari hubungan berupa pergerakan komoditi, barangbarang, orang, informasi dan lainnya antara titik-titik dalam ruang. Analisis ini menekankan pada saling ketergantungan dari tempat dan area. Interaksi spasial semakin menurun karena jarak. Salah satu persamaan kurva yang menggambarkan hubungan aliran dan jarak adalah F = aD-ß , dimana F adalah aliran , D adalah jarak dan ß adalah nilai konstanta. Para analis spasial lebih tertarik pada nilai konstanta ß. Nilai ß yang rendah mengindikasikan slope yang rendah dengan aliran-aliran dalam area yang lebih luas. Nilai
ß
yang tinggi
mengindikasikan penurunan yang tajam dari aliran-aliran yang disebabkan oleh jarak, sehingga aliran-aliran hanya akan terjadi di area yang terbatas. Salah satu metode yang banyak digunakan untuk meduga besarnya interaksi spasial adalah model gravitasi. Persamaan model gravitasi
tersebuit dapat digunakan untuk
menganalisis dan menduga pola interaksi spasial. Model gravitasi tersebut pada dasarnya merupakan bentuk analogi fenomena Hukum Fisika Gravitasi Newton yang kemudian dikembangkan untuk ilmu sosial. Secara klasik, konsep gravitasi
interaksi manusia
mendalilkan bahwa kekuatan yang membuahkan interaksi diantara dua wilayah dari aktivitas manusia diciptakan oleh massa populasi kedua wilayah, dan jarak kedua wilayah. Yaitu bahwa interaksi antara dua (2) pusat pemusatan populasi bervariasi, berbanding lurus dengan fungsi ukuran populasi dari dua pusat dan bebanding terbalik fungsi jarak di antara keduanya (Carrothers,1956 yang diacu Saefulhakim 2003). Hipotesis tersebut didasarkan
37
pada alasan bahwa : (a) Untuk memproduksi interaksi , individu-individu harus berkominikasi, secara langsung atau tidak langsung dengan yang lainnya; (b) individu sebagai unit dari group yang besar, mungkin dipertimbangkan untuk membentuk pengaruh interaksi yang sama dengan individu lainnya dan (c) Frekwensi interaksi yang dibentuk oleh individu dalam lokasi tertentu berbanding terbalik secara proporsional dengan kesulitan pencapaian, atau kominikasi dalam lokasi tersebut. Konsep model gravitasi yang dikembangkan dari persamaan gravitasi Newton tersebut berkaitan dengan 2 hal pokok ; (a) dampak skala, yaitu sejauhmana dampak yang telah ditimbulkan oleh suatu aktivitas tertentu di suatu lokasi tertentu terhadap daerah sekitarnya. Sebagai contoh suatu lokasi dengan jumlah populasi lebih besar cenderung akan membangkitkan dan menarik aktivitas lebih banyak dibandingkan dengan kota lain yang mempunyai populasi lebih sedikit. Dapat dihipotesiskan bahwa skala usaha aktivitas berkaitan dengan besarnya daya tarik aktivitas tersebut; (b) dampak jarak, yaitu seberapa jauh dampak yang mampu ditimbulkan oleh suatu aktivitas di suatu lokasi terhadap lokasi disekitarnya. Sebagai contoh, makin jauh jarak antara 2 lokasi, maka kecil interaksi yang terjadi antara 2 lokasi tersebut. Pengertian jarak yang dimaksudkan tidak selalu berarti jarak fisik, tetapi juga yang mencakup pengertian jarak tempuh (waktu), biaya transportasi, hingga jarak psikologis (Saefulhakim, 2003). Selain itu salah satu penurunan dari model gravitasi adalah model potensial, yang dapat digunakan untuk menghitung indeks derajat aksesibilitas setiap sub-sub wilayah terhadap total wilayah. Wilayah dengan indeks potensial tertinggi merupakan wilayah-wilayah dengan potensi/hirarki sebagai pusat pelayanan yang tinggi. Model lain dari penurunan model gravitasi adalah model entropy interaksi spasial (Hukum entropy)
yang dikembangkan oleh Wilson (1967, 1970) yang diacu
Saefulhakim (2003) menyatakan bahwa apabila terdapat N buah indi’vidu yang melakukan mobilitas spasial (misalnya: commuting, transportasi, perdagangan, dsb.) antara satu dan i buah alternatif tempat asal (origins) dengan satu dan j buah alternatif tempat tujuan (destinations). Yang dimaksud dengan individu bisa berupa orang, kendaraan, barang, informasi dsb. Yang dimaksud dengan tempat (lokasi) bisa berupa desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, dsb. Model entropi
interaksi
spasial
secara
matematis
dapat
dirumuskan
sebagai
memaksimumkan fungsi entropi: Max S(Eij) = Eij
N!
ΠE i, j
ij
!
..................................................
(1)
38
dengan fungsi-fungsi kendala:
∑ E ij = ∑ Fij = O i
(a).
j
.......................................................
∑ E ij = ∑ Fij = D i
(b).
i
..............................................
(3)
...........................................
(4)
i
∑∑ d ijE ij = ∑ ∑ d ijFij = T
(c).
(2)
j
i
j
i
j
Keterangan : Fij :
banyak individu yang melakukan mobilitas spasial antara tempat asal ke-i dengan tempat tujuan ke-j.
Eij :
nilai harapan (expected value) banyaknya individu yang melakukan mobilitas spasial antara tempat asal ke-i dengan tempat tujuan ke-j
dij :
jarak tempuh (rataan biaya mobilitas spasial per individu) antara tempat asal ke-i dengan tempat tujuan ke-j
Oi :
banyaknya individu yang melakukan mobilitas spasial berasal dan tempat asal ke-i.
Di :
banyaknya individu yang melakukan mobilitas spasial menuju ke tempat tujuan ke-j
T:
total jarak tempuh yang dilakukan (total biaya mobilitas spasial yang dikeluarkan) oleh keseluruhan N buah individu.
N:
keseluruhan individu yang melakukan mobilitas spasial
S(Eij) :
nilai entropi dan mobilitas spasial yang diharapkan dilakukan oleh keseluruhan N buah individu antar berbagai altematif tempat asal i (1=1,2, ..., i) dengan berbagai alternative tempat tujuan j (j=1,2, ., j)
Untuk memudahkan perhitungan maka pemaksimuman fungsi entropi pada Persamaan (1) adalah ekivalen dengan pemaksimuman nilai Ioganitma dari fungsi entropi tersebut. Dan dengan menggunakan aproksimasi Stirling maka dapat ditulis:
ln
[S (E
ij
)] =
⎡ N ! ⎢ ln ⎢ E ∏ ⎢ i, j ⎣
ij
⎤ ⎥ ⎥ = ln ⎥ ⎦
(N ! ) − ∑ ∑ i
(E
...... (5)
ij
ln
E
ij
− E
ij
)
j
Dengan demikian yang dimaksud dengan Model Entropi Interaksi Spasial adalah pemaksimuman
fungsi
logaritma
memperhatikan
kendala-kendala
entropi pada
pada
Persarnaan
Persamaan
(2)
(5)
dengan
sampai
dengan
Persamaan (4). Secara umum Model Entropi Interaksi Spasial dikategorikan kedalam 4 jenis, yaitu:
39
1) Model Entropi Interaksi Spasial Tanpa Kendala (Unconstrained Entropy Model), yakni pemaksimuman fungsi logaritma entropi pada persamaan (5) dengan hanya memperhatikan fungsi kendala (c) pada persamaan (4). 2) Model Entropi Interaksi Spasial dengan Kendala Produksi (ProductionConstrained Entropy Model), yakni pemaksimuman fungsi logaritma entropi pada persamaan (5) dengan hanya memperhatikan fungsi kendala (a) pada persamaan (2) dan fungsi kendala (c) pada persamaan (4). 3) Model Entropi Interaksi Spasial dengan Kendala Tarikan (AttractionConstrained Entropy Model), yakni pemaksimuman fungsi logaritma entropi pada persamaan (5) dengan hanya memperhatikan fungsi kendala (b) pada persamaan (3) dan fungsi kendala (c) pada persamaan (4). 4) Model Entropi Interaksi Spasial dengan Kendala Ganda (Doubly Constrained Entropy Model). yakni pemaksimuman fungsi logaritma entropi pada persamaan (5) dengan memperhatikan fungsi kendala (a) pada persamaan (2), fungsi kendala (b) pada persamaan (3) dan fungsi kendala (c) pada persamaan (4). Berpijak pada model-model interaksi spasial tersebut di atas, Edward Ullman (1995) yang diacu Rustiadi et al. (2004), menyatakan bahwa terdapat tiga hal yang mendasari adanya interaksi , yaitu (1) Hubungan komplemeter antara dua tempat (hubungan supply-demand) yang saling melengkapi antara dua tempat; (2)
adanya
penghalang
kesempatan
(intervieving
opporttunities),
yang
menyebabkan adanya interaksi antara dua tempat yang komplementer sehingga diperlukan sumber alternatif supply dari tempat lain; dan (3) Adanya biaya pergerakan (transferability
cost) yang berlebihan dapat mengurangi interaksi
meskipun hubungan antara dua tempat bersifat komplementer dan tidak ada penghalang, hal ini menyiratkan lebih dari sekedar jarak. Transferability merujuk kepada biaya transportase yang karakteristik setiap produknya berbeda. g. Teori Resource Endowment Teori resource endowment dari suatu wilayah menyatakan bahwa pengembangan ekonomi wilayah bergantung pada sumberdaya alam yang dimiliki dan permintaan terhadap komoditas yang dihasilkan dari sumberdaya itu (Perloff and Wingo 1961). Dalam jangka pendek, sumberdaya yang dimiliki
40
suatu wilayah merupakan suatu aset untuk memproduksi barang dan jasa yang dibutuhkan. Nilai dari suatu sumberdaya merupakan nilai turunan dan permintaan terhadapnya merupakan permintaan turunan. Suatu sumberdaya menjadi berharga jika dapat dimanfaatkan dalam bentuk-bentuk produksi. Tingkat dan distribusi pendapatan, pola perdagangan, dan struktur produksi merupakan variabel-variabel yang mempengaruhi tingkat permintaan (permintaan menengah dan permintaan akhir) terhadap sumberdaya wilayah. Variabelvariabel itu dapat mengubah keuntungan relatif wilayah dalam memberikan masukan yang dibutuhkan perekonomian regional dan nasional. Teori resource endowment secara implisit mengasumsikan bahwa dalam perkembangannya, sumberdaya yang dimiliki suatu wilayah akan digunakan untuk memproduksi barang dan jasa yang berbeda bila terjadi perubahan permintaan (Tamenggung 1997). Selain itu Ghalib (2005) juga menyatakan bahwa Perubahan wilayah kepada kondisi yang lebih makmur tergantung kepada usaha-usaha di wilayah tersebut, dalam menghasilkan barang-barang dan jasa-jasa, serta usaha-usaha pembangunan yang diperlukan. h.Teori Export Base Teori
export
base
atau
teori
economic
base,
pertama
kali
dikembangkan oleh North (1955). Menurut North, pertumbuhan wilayah jangka panjang bergantung pada kegiatan industri ekspornya. Kekuatan utama dalam pertumbuhan wilayah adalah permintaan eksternal akan barang dan jasa, yang dihasilkan dan diekspor oleh wilayah itu. Permintaan eksternal ini mempengaruhi penggunaan modal, tenaga kerja, dan teknologi untuk menghasilkan komoditas ekspor. Dengan kata lain, permintaan komoditas ekspor akan membentuk keterkaitan ekonomi, baik ke belakang (kegiatan produksi) maupun ke depan (sektor pelayanan). Suatu wilayah memiliki sektor ekspor karena sektor itu menghasilkan keuntungan dalam memproduksi barang dan jasa, mempunyai sumberdaya yang unik untuk memproduksi barang dan jasa, mempunyai lokasi pemasaran yang unik, dan mempunyai beberapa tipe keuntungan transportasi. Dalam perkembangannya, perekonomian wilayah cenderung membentuk kegiatan pendukung yang dapat menguatkan posisi yang menguntungkan dalam sektor ekspor di wilayah itu. Penekanan teori ini ialah pentingnya keterbukaan wilayah yang dapat meningkatkan aliran modal dan teknologi yang dibutuhkan untuk kelanjutan pembangunan wilayah.
41
Teori export base mengandung daya tarik i n t u i t i f dan kesederhanaan, seperti halnya dianggap sebagai dasar teori, berdasarkan konsep beberapa sektor ekonomi lokal mengantarkan kekuatan ekonomi eksternal ke dalam wilayah
untuk
menstimulasikan
perubahan
secara
cepat.
Perubahan
pendapatan wilayah bergantung pada perubahan permintaan ekspor. Ekspor meningkat jika permintaan bergeser ke kanan atau terjadi peningkatan posisi menguntungkan dalam wilayah, sedangkan ekspor menurun pada saat permintaan bergeser ke kiri atau kehilangan posisi menguntungkan. Sasaran pertama teori export base sebagai teori umum pembangunan ekonomi wilayah adalah
sebagai
teori economic base yang
lebih tepat diperuntukkan bagi
wilayah-wilayah yang kecil dengan ekonomi sederhana dan untuk penelitian jangka pendek tentang pengembangan ekonomi wilayah. Dalam kasus yang lebih besar, semakin kompleks perekonomian dan semakin panjang analisis pertumbuhan wilayahnya, variabel-variabel lain dapat berperan penting seperti ekspor. Sasaran kedua, teori economic base gagal menjelaskan bagaimana pengembangan wilayah dapat terjadi walaupun terjadi penurunan ekspor, sedangkan di lain pihak sektor nonekspor lainnya dapat tumbuh untuk mengimbangi penurunan itu (Tibout, 1956; Richardson, 1973 yang diacu Tamenggung 1997). Menurut Bendavid (1991), bahwa fondasi analisis ekonomi dasar adalah teori ekonomi dasar. Jantung atau Inti dari teori ekonomi dasar merupakan masalah pertumbuhan ekonomi wilayah yang pada akhirnya tergantung pada permintaan keluar tehadap produknya, Dan berbicara tentang economi dasar berarti berbicara tentang ”industri export yang menjadi ekonomi dasar
atau
sektor basis wilayah”. Apakah suatu daerah tumbuh atau merosot dan apa nilainya ditentukan oleh bagaimana memainkan wilayahnya sebagai suatu eksportir kepada dunia lainnya, dalam wujud barang-barang dan jasa-jasa, termasuk tenaga kerja, yang mengalir keluar daerah ke para pembeli, atau dalam wujud pembelian di dalam daerah oleh para pembeli yang biasanya berada atau bertempat tinggal di tempat lain. Jika permintaan terhadap ekspor wilayah meningkat, maka ada ekspansi sektor basis, yang pada gilirannya, menghasilkan suatu aktivitas pendukung bagi ekspansi sektor non basis. Merujuk pada pendapat Bendavid diatas, Ghalib (2005) menyatakan bahwa ditinjau dari segi akademis aktivitas ekonomi wilayah dapat dibedakan atas dua jenis
sektor aktivitas, yakni sektor aktivitas basis (basic sector) dan sektor
42
aktivitas bukan basis (non-basic sector). Aktivitas basis merupakan kegiatan yang mengeksport barang-barang dan pelayanan ke luar wilayah ekonominya atau memasarkan barang-barang dan pelayanan untuk keperluan penduduk yang tinggal di wilayah ekonomi sendiri. Sedangkan aktivitas bukan basis tidak mengeksport barang atau pelayanan ke luar wilayah. Ghalib (2005) menegaskan pula bahwa meningkatnya jumlah aktivitas ekonomi basis disuatu wilayah akan membentuk arus pendapatan ke wilayah tersebut. Dengan meningkatnya arus pendapatan tersebut akan meningkat pula permintaan akan barang-barang dan jasa-jasa di wilayah tersebut yang dihasilkan oleh sektor bukan basis. Sebaliknya menurunya aktivitas sektor basis di suatu wilayah akan mengakibatkan berkurangnya pendapatan yang mengalir ke wilayah tersebut, dan akan mengurangi permintaan akan sektor bukan basis. Oleh karena itu aktivitas sektor basis sewajarnya berperan sebagai penggerak utama bagi setiap perubahan dan berpengaruh ganda (multiplier) terhadap wilayah tersebut. Sektor basis akan memperluas kesempatan kerja, baik di sektor basis sendiri maupun sektor bukan basis sebagai pengaruh aktivitasnya. Seberapa besar perluasan kesempatan kerja yang diciptakan dapat dihitung sebagai angka pengganda pemanfaatan tenaga kerja seperti formula berikut : Total tenaga kerja Pengganda basis = ------------------------------------Tenaga kerja sektor basis
(1)
Total tenaga kerja = Tenaga kerja sektor basis x Pengganda basis Apabila memiliki data sektor basis dan prospeknya dimasa yang akan datang, serta angka pengganda pemanfaatan tenaga kerja perekonomian di wilayah tersebut dapat diperkirakan jumlah tenaga kerja yang akan diserap di masa yang akan datang maka perlu dilakukan modifikasi formula (1) sebagai berikut : Perubahan pada total tenaga kerja Pengganda basis = -------------------------------------------------------- (2) Perubahan pada tenaga kerja sektor basis Menurut Glasson (1990), yang diacu
Ghalib (2005) bahwa teori basis
tersebut memiliki kelemahan terutama adanya kesulitan dalam menilai sektor basis dan bukan basis di lapangan, misalnya kasus sebuah produk industri (tambang) yang dijual terlebih dahulu kepada perusahaan dalam wilayah, kemudian sebagian menyalurkannya ke pabrik-pabrik didalam wilayah dan sebagian lain mengekspor ke luar wilayah. Hasil perhitungan angka pengganda
43
industri pertambangan jelas menjadi bukan sektor basis, yang basis adalah sektor perdagangan. Kelemahan ini kemudian dapat di atasi dengan analisis Location Quotient (LQ). i. Teori keunggulan komparatif dan kompetitif. Teori keunggulan komparatif dan kompetitif tidak dapat terlepas dari teori resouces endowment dan
exsport base atau economic base yang telah
diuraikan di atas, karena teori keunggulan komparatif dan kompettif, menyatakan konsentrasi sektor atau komoditi
pada suatu wilayah (memiliki
keunggulan komparatif), dimana nilai strategis dari sektor atau komoditi tersebut menjadi pendorong utama (prime mover) pertumbuhan wilayah, dalam arti bahwa sektor tersebut memberikan keuntungan ganda dalam menciptakan barang dan jasa sebagai sektor basis yang memiliki daya saing dengan pergeseran pertumbuhan yang cepat (memiliki keunggulan kompetitif). Sehubungan dengan itu menurut Samuelson (1955) yang diacu Setiawan (2006), bahwa setiap wilayah perlu mengetahui sektor atau komoditi apa yang memiliki potensi besar (comparative advantage) dan dapat dikembangkan dengan cepat, baik karena potensi alam maupun karena sektor itu memiliki keunggulan kompetitif (Competitif advantage) untuk dikembangkan, artinya dengan kebutuhan modal yang sama sektor tersebut dapat memberikan nilai tambah (value added) yang lebih besar, dapat berproduksi dalam waktu relatif singkat dan sumbangan untuk perekonomian wilayah menjadi cukup besar. Produk tersebut
bisa menjamin pasar untuk dieksport
keluar daerah atau
keluar negeri dan selanjutnya bisa mendorong sektor lain untuk turut berkembang sehingga perekonomian wilayah secara keseluruhan dapat bertumbuh karena ada saling keterkaitan antar sektor yang memberikan multiplier effect. Menurut Rustiadi at al. (2004) bahwa untuk mengetahui potensi aktivitas ekonomi yang merupakan basis atau bukan basis
dan atau sektor/komoditi
mana yang terkonsentrasi atau tersebar dapat digunakan metode Location Quotient (LQ). Hal tersebut sejalan dengan Bendavid (1991) bahwa Location Quotient (LQ) adalah suatu indeks untuk mengukur tingkat spesialisasi (relatif) suatu sektor atau sub sektor ekonomi suatu wilayah tertentu. Pengertian relatif disini diartikan sebagai tingkat perbandingan suatu wilayah dengan wilayah yang lebih luas (wilayah referensinya), dimana wilayah yang diamati merupakan bagian dari wilayah yang lebih luas. Lebih lanjut dikatakan bahwa LQ dapat
44
dinyatakan dalam beragam ukuran, namun yang sering digunakan adalah ukuran kesempatan kerja (employment) sektor atau sub sektor dan ukuran nilai tambah produk (value added). Selain itu menurut Blakely (1994), yang diacu Saefulhakim (2003), manyatakan bahwa LQ merupakan suatu teknis analisis yang digunakan untuk melengkapi analisis lain yaitu Shift Share Analisis (SSA). Namun secara umum, metode analisis ini digunakan untuk mengetahui keunggulan komparatif suatu wilayah yakni mengetahui
kapasitas eksport suatu wilayah serta tingkat
kecukupan barang/jasa dari produk lokal suatu wilayah. Secara opersional, LQ didefinisikan sebagai ratio presentase dari total aktivitas dari sub wilayah ke-i terhadap prosentase aktivitas terhadap wilayah yang diamati. Asumsi yang digunakan dalam analisis ini adalah bahwa (1) kondisi geografis relatif seragam, (2) pola-pola aktivitas bersifat seragam dan (3) setiap aktivitas menghasilkan produk yang sama. Selanjutnya mengalami
untuk mengukur
aktivitas ekonomi suatu wilayah apakah
pergeseran struktur aktivitas yang cepat atau lamban dan atau
memiliki kemampuan berkompetisi yang memberikan gambaran kinerja aktivitas ekonomi suatu wilayah, dapat digunakan Shift share analysis (Rustiadi et al. 2004). Shift share analysis (SSA) merupakan salah satu dari sekian banyak teknik analisis untuk memahami pergerseran struktur aktivitas di suatu lokasi tertentu, dibandingkan dengan suatu referensi (dengan cakupan wilayah lebih luas) dalam dua titik waktu. Pemahaman struktur aktivitas dari hasil analisis Shift share juga menjelaskan kemampuan berkompetisi (competitiveness) aktifitas tertentu di suatu wilayah secara dinamis atau perubahan aktivitas dalam cakupan wilayah lebih luas. Hasil analisis shift share menjelaskan kinerja (performance) suatu aktivitas di suatu sub wilayah dan membandingkannya dengan kinerjanya di dalam wilayah total. Analisis Shift share mampu memberikan gambaran sebab-sebab terjadinya pertumbuhan suatu aktivitas di suatu wilayah. Sebab-sebab yang dimaksud dibagi menjadi tiga bagian yaitu sebab yang berasal dari dinamika lokal (sub wilayah), sebab dari dinamika aktivitas/sektor (total wilayah) dan sebab dari dinamika wilayah secara umum. Dari hasil analisis shift share akan diperoleh gambaran kinerja aktivitas suatu wilayah. Gambaran kinerja tersebut akan dapat dijelaskan dari tiga
45
komponen hasil analisis, yaitu (a) Komponen laju pertumbuhan total (komponen share). Komponen ini menyatakan pertumbuhan total wilayah pada dua titik waktu yang menunjukkan dinamika total wilayah; (b) Komponen pergeseran proporsional
(komponen
proportional
shift).
Komponen
ini
menyatakan
pertumbuhan total aktivitas tertentu secara relatif, dibandingkan dengan pertumbuhan secara umum dalam total wilayah yang menunjukkan dinamika sektor/aktivitas total dalam wilayah; dan (c) Komponen pergeseran diferensial (Komponen differential shift). Ukuran ini menjelaskan bagaimana tingkat kompitisi (competitiveness) suatu aktivitas tertentu dibandingkan dengan pertumbuhan total sektor/aktivitas tersebut dalam wilayah. Komponen ini menggambarkan
dinamika
keunggulan
dan
ketidak
unggulan
suatu
sektor/aktivitas tertentu di sub wilayah tertentu terhadap aktivitas tersebut di sub wilayah lain. j. Teori Multiplier effect (Dampak pengganda). Pengganda (multiplier) adalah pengukuran suatu respon atau merupakan dampak dari stimulus ekonomi. Pengganda juga didefinisikan sebagai koefisien yang menyatakan kelipatan dampak langsung dari meningkatnya permintaan akhir suatu sektor sebesar satu unit terhadap produksi total semua sektor di suatu daerah (Miller and Blair, 1985, Rustiadi et al. 2004). Stimulus ekonomi yang dimaksud dapat berupa output, pendapatan dan atau kesempatan kerja, dimana masing-masing pengganda tersebut dikategori atas dua tipe yaitu Tipe I dan Tipe II. Masing-masing pengganda dapat diuraikan sebagai berikut:: (1) Pengganda Output (output multiplier ). Untuk Pengganda output tipe I bertujuan untuk mengestimasi berapa besar pengaruh kenaikan permintaan akhir suatu sektor didalam perekonomian suatu wilayah terhadap output sektor lain, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sedangkan tipe II bertujuan untuk mengestimasi berapa besar pengaruh kenaikan permintaan akhir suatu sektor didalam perekonomian suatu wilayah terhadap output sektor lain, baik secara langsung, tidak langsung maupun induksi (dampak dari peningkatan pendapatan rumah tangga terhadap perubahan-perubahan konsumsi rumah tangga). (2) Pengganda pendapatan (income multiplier). Untuk pengganda pendapatan tipe I menyatakan besarnya peningkatan pendapatan pada sektor perekonomian sebagai dampak dari meningkatnya permintaan akhir output suatu sektor sebesar satu unit.
Apabila permintaan terhadap output sektor tertentu
meningkat sebesar satu Dollar atau Rupiah, maka akan meningkatkan
46
pendapatan rumah tangga yang bekerja pada seluruh sektor perekonomian sebesar nilai pengganda pendapatan sektor yang bersangkutan. Sedangkan untuk pengganda pendapatan tipe II selain menghitung pengaruh langsung dan tidak langsung juga menghitung pengaruh induksi (induce effects). (3) Pengganda tenaga kerja (employment multiplier). Untuk pengganda tenaga kerja tipe I menunjukkan kesempatan kerja yang tersedia pada sektor tersebut dan sektor lainnya akibat penambahan permintaan akhir dari suatu sektor sebesar satu satuan secara langsung dan tidak langsung. Sedangkan pengganda tenaga kerja tipe II, dapat memperhitungkan pula pengaruh induksi (induce effects). (4) Pengganda Pajak (Tax multiplier) yaitu dampak meningkatnya permintaan akhir terhadap peningkatan pajak tak langsung netto. (5) Pengganda PDRB (Total value edded) multiplier ) adalah dampak meningkatnya permintaan akhir sesuatu sektor terhadap peningkatan PDRB. (6) Pengganda penggunaan tanah (Land use multiplier) dampak meningkatnya permintaan akhir sesuatu sektor terhadap perluasan tanah. Menurut
Kuncoro (2003), Perilaku perusahan-perusahan dalam suatu
Agroindustri tidak pernah lepas dari struktur industri dan pasar yang dihadapi oleh masing-masing perusahaan. Prilaku yang ditempu oleh perusahaan, yang didasarkan pada struktur industri yang ada, akan berpengaruh terhadap kinerja perusahan dan industri yang bersangkutan. Untuk menganalisis prilaku sub sektor industri, digunakan alat analisis ”efek multiplier ” type I dan II untuk output, pendapatan dan tenaga kerja dari tiap-tiap sektor agroindustri. Untuk menghitung ratio multiplier type I dan II, Kuncoro membangun formula sebagai berikut : direct+indirect effect Ratio type I = -----------------------------initial effect direct, indirect and induced effect Rati type II = ---------------------------------------------Initial effect Lebih lanjut dikatakan bahwa efek total multiplier pada dasarnya merupakan penjumlahan dari empat macam elemen efek yang saling berkaitan, yaitu efek peningkatan output sektor yang bersangkutan (initial effect), efek pembelian langsung (direct effect), efek tidak langsung (indirect effect) dan efek peningkatan konsumsi (consumption induced). Initial effect merupakan besarnya perubahan output pada sektor yang bersangkutan akibat adanya
47
perubahan permintaan akhir di sektor itu sendiri. Efek pembelian langsung (direct effect) adalah besarnya nilai transaksi yang akan terjadi secara langsung antar industri jika terjadi peningkatan permintaan akhir sebesar satu mata uang. Efek tidak langsung (indirect effect) merupakan dampak peningkatan pembelian dari suatu sektor kepada sektor lain dalam perekonomian akibat terjadi peningkatan permintaan akhir
dalam sektor yang bersangkutan. Efek
pendapatan rumah tangga adalah (induced effect) adalah efek peningkatan pembelian input sector yang bersangkutan terhadap sector rumah tangga, yang diwujudkan dalam peningkatan permintaan tenaga kerja,pada gilirannya berdampak pada peningkatan pendapatan rumah tangga. Berdasarkan hasil perhitungan multiplier output terhadap Agroindustri Indonesia Tahun 1980,1985 dan 1990, menunjukkan adanya kecenderungan positif,
yakni
semakin
meningkatnya
keterkaitan
antar
sektor
dalam
agroindustri. Peningkatan keterkaitan yang diiringi dengan peningkatan nilai multiplier effect akan berakibat pada peningkatan kinerja sektor-sektor ekonomi dalam perekonomian secara simultan. Peningkatan volume produksi suatu sektor akibat peningkatan permintaan pasar akan berdampak posotif dan luas terhadap sektor ekonomi lain. Gejala yang muncul adalah bahwa sektor-sektor yang memiliki nilai multiplier output tinggi umumnya adalah industri pengolahan output yang menghasilkan produk pertanian primer dan atau dengan kata lain multiplier output terkecil adalah sektor pertanian penghasil output primer. Selain itu dampak yang ditimbulkan dari hasil perhitungan multiplier income dan employment menunjukkan kecenderungan yang sama, walaupun terdapat perbedaan kecil dalam nilai nominal total effect dan initial effect. Apabila suatu sektor memiliki multiplier tenaga kerja permintaan akhir
tinggi, maka berarti peningkatan
pada sektor tersebut akan menyebabkan peningkatan
permintaan terhadap tenaga kerja dalam jumlah yang relative lebih besar. Peningkatan penyerapan tenaga kerja pada akhirnya akan meningkatkan permintaan terhadap tenaga kerja dan dampak yang terjadi kemudian adalah peningkatan nilai upah nominal dan peningkatan jumlah pekerja. Pada tahap selanjutnya efek tersebut berakibat pada peningkatan pendapatan rumah tangga. Sektor rumah tangga akan mengalami peningkatan pendapatan sejalan dengan peningkatan upah dan kesempatan kerja yang terbuka di sektor produktif.
48
k.Teori Kemiskinan dan Indeks kemiskinan manusia Secara hakiki, kemiskinan didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana tingkat pendapatan seseorang menyebabkan dirinya tidak dapat mengikuti tata nilai dan norma – norma yang berlaku di masyarakat. Sesuatu tingkat kemiskinan
tertentu
menyebabkan
sekelompok
masyarakat
tidak
berkesempatan pergi ke mesjid atau gereja karena harus berjuang mengejar ”sesuap nasi”. Jika suatu kelompok masyarakat juga tidak mempunyai kemampan membeli pakaian yang layak bagaimana anggota masyarakat yang memiliki tata nilai kesopanan dalam berpakaian , maka kelompok tersebut dikatakan miskin (Rustiadi et al. 2004). Lebih lanjut dikatakan bahwa berbagai upaya menetapkan tolok ukur kemiskinan telah bayak dilakukan oleh banyak pakar. Beberapa tolok ukur yang telah banyak dikenal selama ini adalah : (1) Rasio barang dan jasa yang dikonsumsi (Good service ratio.=GSR). Konsep ini bertolak dari fakta yang menunjukkan bahwa semakin tinggi kesejahteraan seseorang semakin besar prosentase pendapatan (income) yang digunakan untuk konsumsi jasa. Dengan demikian semakin kecil nilai rasio barang dan jasa yang dikonsumsi, makin tinggi kesejahteraan seseorang. Tetapi konsep ini memiliki kelemahan selama tidak ada kejelasan perbedaan antara barang dan jasa. Dilain pihak sering diperhadapkan dengan ketidak jelasan dalam membedakan antara konsumsi dengan biaya. (2) Persentase/rasio pendapatan yang digunakan untuk konsumsi makanan. Sebagai kebutuhan pokok yang paling hakiki, konsumsi terhadap makanan akan selalu menjadi prioritas utama dalam pola konsumsi manusia. Konsep ini bertolak dari pemikiran bahwa seseorang akan terlebih dahulu memenuhi kebutuhan konsumsi makanannya sebelum mengkonsumsi komoditi-komoditi lainnya. Seseoarang akan mengkonsumsi komoditi lainnya setelah terlebih dahulu memenuhi konsumsi makanannya. Semakin tinggi pendapatan seseorang, semakin tinggi kesempatan mengkonsumsi komoditi selain makanan. Dengan demikian berdasarkan tolok ukur ini semakin rendah persentase pengeluaran untuk makanan terhadap total pendapatan seseorang, semakin tinggi tingkat kesejahteraannya.
49
(3) Pendapatan setara harga beras. Profesor Sayogyo dari IPB telah membuat ambang batas kemiskinan berdasarkan harga setara beras. Dengan didasarkan
pada
kebutuhan
kalori
sebesar
120
kkal/kapita/tahun,
ditentukan ambang kemiskinan di desa dan di kota masing-masing jika pendapatannya
kurang
dari
240
kg/kapita/tahun.
Dengan
adanya
perkembangan, aspirasi masyarakat telah meningkat, sehingga ukuran relatif dari ambang kemiskinan tersebut menurut Profesor Teken perlu ditingkatkan menjadi 360 kg/kapita/tahun untuk perkotaan. Namun konsep ini juga mempunyai beberapa kelemahan karena (a) tidak semua masyarakat dan golongan masyarakat di Indonesia memilih beras sebagai makanan pokoknya, (b) terjadinya diferensiasi harga yang terlalu besar terutama di perdesaan dan (c) harga komoditi beras yang ada tergantung pada harga komoditi yang disubsidi atau kredit dari pemerintah (pupuk, pestisida dan sebagainya). (4) Kebutuhan pokok. Pengukuran kesejahteraan berdasarkan kebutuhan sembilan bahan pokok ini dikembangkan oleh Direktorat Jendral
Tata
Guna Tanah atas prakarsa Prof.I. Made Sandy, dengan menetapkan kebutuhan baku minimal, kemudian kebutuhan bahan baku minimal tersebut dikalikan dengan harga dan ditotalkan sembilan kebutuhan pokok tersebut. Tingkat pengeluaran tiap keluarga dihitung dalam rupiah, kemudian baru disusun suatu kriteria perbandingan antara total pendapatan dengan indeks kebutuhan sembilan bahan pokok. Hasil yang diperoleh kurang dari 75 % tergolong sangat miskin, 75-100 persen hampir sangat miskin, 100-125 miskin dan lebih dari 125 % tidak miskin. Konsep inipun memiliki beberapa kelemahan diantaranya adalah (a) kesulitan dalam menentukan satuan fisik kebutuhan minimal karena kebutuhan tiap wilayah beragam, (b) sebagian dari sembilan bahan pokok tersebut disubsidi pemerintah dan sebagian lainnya tidak sehingga kurang homogen. Disamping itu penggunaan istilah miskin dan tidak miskin selama ini sering meresahkan beberapa kalangan akibat penggolongan daerah miskin, sangat miskin dan seterusnya dalam kehidupan sehari-hari seringkali berkonotasi merendahkan. Pada prinsipnya ketiga kriteria tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut (a) semakin besar persentase pendapatan yang dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan akan barang-barang dibandingkan terhadap jasa maka seseorang
50
dikategori semakin miskin. (b) Semakin besar persentase pendapatan yang dikeluarkan untuk pemenuhan kebutuhan akan bahan pangan dari pada non pangan maka seseorang dikategorikan semakin miskin, dan (c) Semakin besar kemampuan seseorang untuk memenuhi sembilan bahan pokok maka seseorang dikategori semakin kaya. Mencermati beberapa indikator kemiskinan dari para pakar yang di ulas di atas, pada prinsipnya ukuran kemiskinan atau angka kemiskinan yang diperoleh, menggunakan pendekatan pendapatan. Ukuran kemiskinan dengan pendekatan penduduk
pendapatan
(angka
kemiskinan)
yang
mengukur
proporsi
yang hidup di bawah garis kemiskinan, yakni ukuran yang
menggunakan derivasi pada standar kehidupan yang dicapai, nampaknya mempunyai sudut pandang yang berbeda menurut ukuran Indeks Kemiskinan Manusia (IKM) atau Human Poverty Index (HPI) yang dikembangkan United Nation Development Programme (UNDP) dalam Laporan Pembangunan Manusia (Human development report=HDR), namun kedua ukuran tersebut (IKM dan Angka kemiskinan) akan memberikan gambaran yang menarik jika digabungkan (HDR, 2004). Indeks pembangunan manusia dapat dihitung dengan menggunakan indikator deprivasi yang paling mendasar yaitu berumur pendek, ketidak tersediaan pendidikan dasar serta ketidak tersediaan akses terhadap pelayanan dasar (sumber daya publik dan sumber daya privat). Masing-masing indikator diwakili oleh persentase penduduk yang diperkirakan tidak mencapai usia 40 tahun, persentase penduduk dewasa yang buta huruf, persentase penduduk yang tidak memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan dan air bersih dan persentase anak berumur lima tahun ke bawah dengan berat badan rendah. Ukuran indikator IKM tersebut dapat diformulasikan dalam rumus sebagai berikut : IKM = [1/3 (P13 + P23 + P33 (1/3 (P31 +P32+P33)]1/3 Dimana : IKM = Indeks Kemiskinan manusia, P1 = Persentase penduduk wilayah ke-i yang tidak mencapai usia 40 tahun. P2 = Angka buta huruf penduduk umur dewasa (15 tahun ke atas) P3 = Keterbatasan akses terhadap pelayanan dasar. P31 = Persentase penduduk tanpa akses terhadap air bersih (Persentase rumah tangga yang tidak menggunakan air
51
P32
PAM, air pompa atau air sumur yang letaknya lebih dari 10 meter dari septik –tank) = Persentase penduduk yang tidak memiliki akses sarana kesehatan (prosentase penduduk yang tinggal di tempat yang jaraknya 5 km atau lebih dari sarana kesehatan)
P33 = Persentase anak berumur kurang dari lima tahun (Balita) dengan status gizi kurang ( prosentase balita yang tergolong dalam golongan status gizi rendah dan menengah). Untuk mengatasi kesenjangan kemiskinan, Kuncoro (2003) menyimpulkan beberapa
alternatif solusi
dari beberapa pakar ekonomi berdasarkan
pengalaman di negara-negara Asia yang menunjukkan adanya berbagai model mobilasai perekonomian perdesaan untuk memerangi kemiskinan, yaitu Pertama
mendasarkan pada mobilisasi tenaga kerja yang masih belum
didayagunakan dalam rumah tangga petani gurem agar terjadi pembentukan modal di perdesaan (Nurkse, 1951); Kedua menitik beratkan pada transfer sumber daya dari pertanian ke industri melalui mekanisme pasar (Lewis, 1954, Fei dan Ranis, 1964); Ketiga menyoroti potensi pesatnya pertumbuhan dalam sektor pertanian yang dibuka dengan kemajuan teknologi dan kemungkinan sektor pertanian menjadi sektor yang memimpin (Schultz,1963; Mellor, 1976). l. Teori Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indeks Pembangunan Manusia (IPM) menurut PBB adalah nilai yang menunjukkan tingkat kemiskinan, kemampuan baca tulis, pendidikan, harapan hidup, dan faktor-faktor lainnya pada negara-negara di seluruh dunia. Indeks ini dikembangkan pada tahun 1990 oleh ekonom Pakistan Mahbub ul Haq, dan telah digunakan sejak tahun 1993 oleh UNDP pada laporan tahunannya (http://id.wikipedia.org/wiki/PBB). Nilai IPM menunjukkan pencapaian rata-rata pada sebuah negara dalam tiga dimensi dasar pembangunan manusia, yakni: Usia yang panjang dan sehat, yang diukur dengan angka harapan hidup Pendidikan,
yang diukur dengan dengan tingkat baca tulis dengan
pembobotan dua per tiga; serta angka partisipasi kasar dengan pembobotan satu per tiga Standar hidup yang layak, yang diukur dengan produk domestik bruto (PDB)
per kapita pada paritas daya beli dalam mata uang Dollar AS. Dalam laporan pembangunan manusia yang di publikasi United Nations Development
Programme
(UNDP)
Tahun
1990,
menyatakan
bahwa
52
pembangunan manusia adalah suatu proses untuk memperbanyak pilihan-pilihan yang dimiliki manusia. Diantara berbagai pilihan tersebut, pilihan yang terpenting adalah untuk berumur panjang dan sehat, untuk berilmu pengetahuan dan untuk mempunyai akses terhadap sumber daya yang dibutuhkan agar dapat hidup secara layak. Diantara pilihan lain yang tak kalah pentingnya adalah kebebasan politik, jaminan atas hak asasi dan harga diri. Hal ini berarti konsep pembangunan manusia mempunyai cakupan yang lebih luas dari teori konvensional pembangunan ekonomi. Model pembangunan ekonomi konvensional lebih menekankan pada peningkatan Produk Nasional Bruto (PNB) dari pada memperbaiki kualitas hidup manusia. Pembangunan sumber daya manusia cenderung untuk memperlakukan manusia sebagai input proses produksi, yakni sebagai alat, bukannya sebagai tujuan akhir. Pendekatan kesejahteraan melihat manusia sebagai penerima dan bukan sebagai agen dari perubahan dalam proses pembangunan. Adapun pendekatan ”kebutuhan dasar” terfokus pada penyediaan barang-barang dan jasa-jasa untuk kelompok masyarakat tertinggal, bukannya memperluas pilihan yang dimiliki manusia di segala bidang. Sedangkan pendekatan pembangunan manusia menggabungkan aspek produksi dan distribusi komoditas, serta peningkatan pemanfaatan kemampuan manusia. Pembangunan manusia melihat secara bersamaan semua isu dalam masyarakat, yakni pertumbuhan ekonomi, perdagangan, ketenagakerjaan, kebebasan politik ataupun nilai-nilai kultural dari sudut pandang manusia. Dengan demikian pembangunan manusia tidak hanya memperhatikan sektor sosial, tetapi merupakan pendekatan yang komprehensif dari semua sektor. Pembangunan manusia mempunyai empat elemen utama (HDR, 1995 yang diacu HDR 2004), yakni : Produktivitas. Masyarakat harus dapat meningkatkan produktivitas mereka dan berpartisipasi secara penuh dalam proses memperoleh penghasilan dan pekerjaan berupah. Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi adalah salah satu jenis pembangunan manusia. Ekuitas. Masyarakat harus punya akses untuk memperoleh kesempatan yang adil. Semua hambatan terhadap peluang ekonomi dan politik harus dihapus agar masyarakat dapat berpartisipasi didalam dan memperoleh manfaat dari kesempatan-kesempatan ini.
53
Kesinambungan. Akses untuk memperoleh kesempatan harus dipastikan tidak hanya untuk generasi sekarang tapi juga generasi yang akan datang. Segala bentuk permodalan fisik, manusia, lingkungan hidup harus dilengkapi. Pemberdayaan. Pembangunan harus dilakukan oleh masyarakat, dan bukan hanya untuk mereka. Masyarakat harus berpartisipasi penuh dalam mengambil keputusan dan proses-proses yang mempengaruhi kehidupan mereka. Indeks pembangunan manusia merupakan angka agregat yang dapat diartikan sebagai jarak yang harus ditempu ” shortfall ” suatu wilayah untuk mencapai nilai maksimum 100. Bagi suatu wilayah angka IPM yang diperoleh menggambarkan kemajuan pembangunan manusia di daerah tersebut dan merupakan tantangan yang harus dihadapi, dan upaya apa yang harus dilakukan untuk mengurangi jarak yang harus ditempu. Dengan demikian IPM mengukur pencapaian keseluruhan dari suatu negara atau wilayah dalam tiga dimensi dasar pembangunan manusia, yaitu lamanya hidup, yang diukur dari harapan hidup sejak lahir, pengetahuan / tingkat pendidikan, diukur dengan kombinasi antara angka melek huruf pada penduduk dewasa (dengan bobot dua per tiga) dan rata-rata lama sekolah (dengan bobot satu per tiga) dan suatu standar hidup yang layak, diukur dengan pengeluaran perkapita dalam Dollar atau Rupiah. Ukuran IPM tersebut dapat diformulasikan dalam Rumus sebagai berikut : IPM = 1/3 (indeks X1 + Indeks X2 + Indeks X3) Dimana : X1 = lama hidup (angka harapan hidup), X2 = Tingkat pendidikan (angka melek huruf/rerata lama sekolah) X3 = Tingkat kehidupan (Pengeluaran per kapita) Kemudian Indeks X1, Indeks X2 dan Indeks X3 dihitung dengan formula : Indeks X (i,j) = (X(i,j) – X (i-min)) / (X(i-max) – X(i-min) ) Dimana : X (i,j)
= Indikator ke-i dari daerah j (i=1,2,3 j=1,2...n)
X (i-min) = Nilai minimum dari Xi X(i-max) = Nilai maksimum dari Xi Mencermati sejumlah kerangka teori yang diulas di atas maka untuk menganalisis kesenjangan pembangunan antar sektor dan antar wilayah pembangunan biasanya didekati dengan beberapa
metode antara lain: (1)
metode analisis I-O untuk melihat keterkaitan dan kerekaan antar sektor; (2) Indeks Williamson untuk melihat kesenjangan pertumbuhan PDRB, Pendapatan perkapita, penyebaran tenaga kerja
dan aprosimaksinya; entropy interaksi
54
spasial
untuk
melihat
kuat
lemahnya
interaksi
spasial
antar
wilayah
pembangunan; (3) Indeks skalogram untuk melihat perkembangan kemajuan suatu wilayah melalui penyediaan sarana dan prasarana ekonomi dan sosial, (4) berbagai indikator kesejahteraan masyarakat seperti IPM,IKM; (5) Metode Location quotient (LQ), Shift share analysis (SSA), dan Margin Tataniaga untuk melihat sektor basis atau komoditi unggulan setiap daerah
dengan tingkat
pergeseran dan daya kompetetif yang didukung dengan tingkat kelembagaan pemasaran yang efisien ( Rustiadi et al. 2004). 2.2. Deskripsi Hasil Penelitian Terdahulu Salah satu alat analisis ekonomi yang digunakan untuk melihat kesenjangan pembangunan antar negara atau wilayah
adalah Indeks williamson. Indeks
Williamson lazim digunakan untuk melihat Kesenjangan PDRB antar wilayah. Semakin tinggi indeks williamson maka proses kesenjangan antar daerah semakin besar. Suatu penelitian yang dilakukan oleh Budiharsono (1996) untuk menganalisis Trasformasi struktural dan pertumbuhan ekonomi antar Daerah di Indonesia Tahun 1969 sampai dengan 1987, dengan menggunakan Indeks Williamson menunjukkan bahwa Indeks williamson di Indonesia pada kurun waktu 1969 sampai 1987 berkisar antara 0,8864 sampai 0,9199 sedangkan apabila tanpa minyak, Indeks Williamson berkisar antara 0,340 sampai 0,5240 . Sedangkan Indeks Williamson untuk KBI berkisar 0,8569 sampai 0,9015 dan untuk KTI berkisar antara 0,8121 sampai 0,8461. Hal ini menunjukkan bahwa kesenjangan pendapatan (PDRB) antar daerah lebih tinggi untuk seluruh Indonesia dibandingkan dengan di KBI dan KTI. Demikian juga kesenjangan pandapatan (PDRB) antar daerah di KBI lebih tinggi dari pada di KTI. Fenomena ini menunjukkan bahwa Pendapatan Daerah (PDRB) di KTI relatif lebih seragam jika dibandingkan dengan Indonesia maupun KBI, tetapi pada tingkat pendapatan yang rendah. Relatif tingginya kesenjangan pendapatan (PDRB) antar daerah di KBI jika dibandingkan dengan di KTI disebabkan karena beberapa provinsi pertumbuhannya cepat sedangkan provinsi lainnya pertumbuhannya lambat. Pertumbuhan PDRB KBI yang cepat karena berkembangnya sektor (primer, sekunder dan tersier) berkembang lebih cepat dibanding KTI. Begitupula pendapatan perkapita penduduk KTI lebih rendah dibanding KBI. Kondisi ini kurang mendorong pertumbuhan sektor-sektor riil yang mendorong pertumbuhan PDRB.
55
Selain itu hasil penelitian yang dilakukan Nurzaman (2002) terhadap perkembangan struktur ekonomi di Indonesia untuk membandingkan dampak krisis tahun 1997 terhadap kesenjangan sektor di Indonesia 1975-1998 dengan menggunakan Indeks Williamson (Vw), memperlihatkan bahwa sektor yang secara relatif merata dan terkonsentrasi di seluruh Indonesia adalah sektor pertanian. Dimana sub sektor yang mempunyai peranan besar terhadap meratanya sektor pertanian adalah sub sektor bahan makanan (0,3077) dan peternakan (0,5598). Akan tetapi hal ini bisa dimengerti karena kedua sub sektor tersebut merupakan kebutuhan dasar yang sudah mengakar kuat di setiap wilayah. Sektor Industri hampir mempunyai penyebaran yang sama dengan sektor ekonomi Indonesia secara keseluruhan, akan tetapi dirinci berdasarkan industri migas dan migas, terlihat bahwa industri nonmigas lebih merata. Selain dari dua kasus di atas masih banyak kasus kesenjangan wilayah yang diduga
dengan
Indeks
Williamson,
namun
pada
umumnya
penelitian
kesenjangan pembangunan dengan indeks williamson belum banyak diterapkan pada struktur wilayah yang terbawa, baru pada tingkat nasional dan provinsi. Sedangkan kesenjangan pembangunan lebih terasa adalah wilayah-wilayah level bawah yang membutuhkan keadilan dan derajat hidup yang perlu diperbaiki, kondisi ini juga berlaku untuk indeks entropy (IE), entropy interaksi spasial, SSA dan LQ lebih memperlihatkan kondisi makro secara agregat dibanding mikro ditingkat perdesaan dan kecamatan sebagai wilayah kerja pembangunan masih sangat kurang untuk mendapat perhatian .
56
III. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran. Kesenjangan pembangunan antar sektor dan antar wilayah memang merupakan fenomena semua negara di dunia, apakah negara maju maupun negara berkembang. Sehingga merupakan suatu kewajaran apabila dalam suatu negara terdapat daerah terbelakang dibanding daerah lainnya karena ada faktorfaktor yang menyebabkan hal tersebut, antara lain faktor struktur sosial ekonomi dan distribusi spasial dari sumberdaya bawaan yang mencakup faktor geografi, sejarah, polotik, kebijakan pemerintah, administrasi, sosial budaya, dan ekonomi (Budiharsono 1996; Murty 2000; Rustiadi et al. 2003). Namun demikian pada negara-negara maju kondisi itu bisa dieliminir sekicil mungkin, dengan kebijakan pemerintah yang optimal dalam proses pembangunan, bila dibandingkan dengan negara-negara berkembang tingkat kesenjangannya sangat tajam. Proses pembangunan
yang dilakukan pada negara-negara berkembang selama ini
belum banyak mereduksi ketajaman kesenjangan pembangunan antar sektor dan antar wilayah karena faktor kekakuan sosial ekonomi (sosio-economic regidities) dan imobilitas faktor (factor immobilities). Di Indonesia, kebijakan pemerintah dalam proses pembangunan nasional yang dilaksanakan selama ini ternyata disisi lain telah menimbulkan masalah pembangunan yang cukup melebar dan kompleks. Proses pembangunan yang dilakukan dengan pendekatan sektoral secara tersentralisasi dari pemerintah pusat dalam berbagai kebijakan investasi serta pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya bagi pencapaian
sasaran utama pertumbuhan makro ekonomi
yang tinggi, tetapi tanpa diimbangi dengan distribusi secara proporsional, telah memicu kesenjangan pertumbuhan yang amat melebar antar wilayah/daerah di Indonesia. Daerah-daerah di pulau Jawa relatif mengalami perkembangan ekonomi yang lebih baik bila dibandingkan dengan daerah-daerah di luar pulau Jawa. Kawasan Barat Indonesia (KBI) relatif lebih maju di bandingkan dengan Kawasan Timur Indonesia (KTI). Daerah kota berkembang lebih cepat dibanding daerah perdesaan. Trickle
down
effect
yang
diharapkan
dari sasaran
perencanaan
pembangunan masa lalu ternyata pergerakannya sangat lamban. Di lain sisi sumberdaya di beberapa daerah semakin terkuras tidak terkendali mengalir ke pusat, sehingga terjadi apa yang di sebut sebagai backwash effect, sementara daerah-daerah
yang
sumberdayanya
dianggap
terbatas
dan
terisolasi
57
dimarjinalkan, distribusi alokasi sumberdaya amat di bawah proporsional. Akibatnya, wilayah seperti itu tidak mampu membangun struktur wilayah yang mendorong kemampuan endowment atau sumberdaya domestik wilayah untuk berkembang, sehingga yang diharapkan bahwa pusat pertumbuhan dengan daerah
belakang (hinterland) dapat berkembang bersama-sama
berimbang
kurang
diwujudkan
dalam
implementasinya
secara
bahkan
hanya
merupakan suatu retorika perencanaan. Sedangkan pembangunan yang sebenarnya, harus menghasilkan otonomi yang
lebih
besar
bagi
masyarakat
secara
internal
maupun
eksternal
(Goenarsyah 2004), lebih lanjut menyatakan bahwa kesenjangan pembangunan antara KBI dan KTI, bukan saja lebih disebabkan karena kesenjangan dalam redistribusi pendapatan, tetapi kesenjangan yang terjadi adalah bagaimana membangun struktur/hirarki pertumbuhan wilayah yang mendorong iklim investasi ke wilayah KTI. Kesenjangan tersebut apabila tidak dieliminir secara hati-hati dalam kebijaksanaan proses pembangunan saat ini dan kedepan menimbulkan permasalahan yang lebih kompleks dan
bisa saja
akan
dalam konteks makro
sangat merugikan proses pembangunan yang ingin di capai
sebagai suatu
bangsa yang utuh. Kenyataan emperik menunjukkan bahwa cukup banyak wilayah wilayah di KTI yang tergolong sebagai wilayah-wilayah marjinal yang memerlukan proses pembangunan yang spesifik. Proses pembangunan itu hanya bisa terjadi jika ada memberikan
investasi
yang
kemauan politik pemerintah pusat dengan proporsional
serta
pemberian
perdagangan internasional dan mendorong peningkatan
kesempatan
investasi swasta
(Budiharsono 1996; Hadi 2001). Sebagai wilayah marjinal, bukan berarti tidak ada proses pembangunan sama sekali, akan tetapi pendekatan pembangunan yang sektoral dengan alokasi sumberdaya yang sangat tidak proporsional tak akan mungkin membangun
suatu
struktur
wilayah
yang
simetrik.
Berbagai
program
pembangunan telah digalakan pemerintah baik yang berbasis kawasan ekonomi maupun yang berbasis perdesaan. Program pembangunan yang berbasis kawasan ekonomi seperti
Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu
(KAPET), Program Pengembangan Wilayah Strategis/Wilayah Perbatasan, Program Pengembangan Kawasan Terpadu (PKT), Program Pengembangan Kawasan sentra produksi (KSP) dan sebagainya. Sedangkan program yang
58
berbasis pada pengembangan desa Tertinggal seperti Inpres Desa Tertinggal (IDT), Inpres Sekolah Dasar, Inpres Sarana Kesehatan, Program Pembangunan Prasarana Desa Tertinggal (P3DT), Program Pengembangan Kecamatan (PPK) dan lain sebagainya tetapi belum banyak mereduksi kesenjangan pembangunan antar sektor dan antar wilayah. Hal ini berarti kesenjangan yang terjadi bukan saja karena alokasi sumber dana yang terbatas, tetapi yang terpenting adalah bagaimana memanfaatkan alokasi sumber dana terbatas yang ada, dalam suatu keterpaduan antar sektor dan antar wilayah secara dinamis dalam kerangka pengembangan wilayah belum mendapat peran sebagaimana mestinya. Sehubungan dengan diberlakukannya Undang–Undang Nomor 22 Tahun 1999 (sudah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang–Undang Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, yang sekarang sudah diperbaharui pula dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004), secara langsung maupun tidak langsung akan berimplikasi luas dalam sistem perencanaan pembangunan di daerah. Pemerintah daerah sudah diberikan kewenangan yang lebih besar didalam merencanakan arah pembangunannya. Pada sisi lain, pemerintah daerah juga ditantang kemandiriannya didalam memecahkan permasalahan-permasalahan di daerahnya. Otonomi daerah juga mengisyaratkan pengembangan pendekatan
semakin pentingnya pendekatan pembangunan berbasis wilayah
sektoral.
dibanding
pendekatan
pembangunan
dengan
Pembangunan
berbasis
pengembangan
wilayah
memandang pentingnya keterpaduan sektoral, spasial serta keterpaduan antar pelaku-pelaku pembangunan di dalam dan antar wilayah (Rustiadi et al. 2003). Salah satu aspek pembangunan berbasis wilayah yang harus diperhatikan adalah aspek “penataan ruang” karena penataan ruang merupakan bagian dari proses
menciptakan
pembangunan
yang
keseimbangan berkeadilan
antar atau
wilayah
sebagai
berimbang.
wujud
Dengan
dari
demikian
implementasi otonomi daerah akan kurang efektif, apabila suatu wilayah otonom kurang memperhatikan aspek penataan ruang sebagai pedoman dalam berbagai kegiatan pembangunan sektor ekonomi wilayah oleh karena hakekat penataan ruang adalah bagaimana membangun struktur keterkaitan pembangunan antar sektor dan antar wilayah yang seimbang dan berkeadilan, mencegah terjadinya kesenjangan pembangunan yang rawan menimbulkan berbagai konflik dan atau mengurangi kesenjangan tingkat pertumbuhan antar wilayah.
59
Menurut Rustiadi et al. (2003) bahwa ruang merupakan bagian dari alam yang dapat pula menimbulkan suatu pertentangan jika tidak diatur dan direncanakan dengan baik dalam penggunaan dan pengendaliannya. Oleh karena itu penyusunan suatu perencanaan “tata ruang” wilayah yang lebih komprehensif dan akomodatif
terhadap semua kepentingan yang berspektif
efisien, adil dan keberlanjutan, akan menjadi landasan dalam membangun keterpaduan antar sektor dan antar spasial yang lebih optimal. Oleh karenanya penyusunan Tata Ruang Wilayah Kabupten yang lebih komprehensif dan akomodatif, berdasarkan paradigma otonomi yang melibatkan semua pihak sebagai pelaku pembangunan di daerah sudah seharusnya menjadi kebutuhan yang tak pelu ditunggu lagi. Keterpaduan sektoral menuntut adanya keterkaitan fungsional dan sinergis antar sektor-sektor pembangunan, sehingga setiap program pembangunan di dalam
kelembagaan
sektoral
hendaknya
dilakukan
dalam
kerangka
pembangunan wilayah. Keterpaduan tersebut tidak hanya mencakup hubungan antar lembaga pemerintah tetapi juga antar pelaku-pelaku ekonomi secara luas dengan latar sektor yang berbeda. Dimana pada perencanaan pembangunan masa lalu hal ini kurang mendapat tempat, sehingga ego sektor lebih dominan ketimbang keterkaitan
sektor sehingga kesenjangan antar sektor semakin
melebar dan berimplikasi pada struktur ekonomi wilayah yang rapuh. Sedangkan menurut Rustiadi et al. (2004) bahwa wilayah yang berkembang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan antara sektor ekonomi wilayah, dalam arti terjadi transfer input dan output barang dan jasa antar sektor yang sangat dinamis. Demikianpula keterpaduan spasial membutuhkan adanya interaksi spasial yang optimal antar berbagai wilayah pembangunan baik intra
maupun inter
wilayah dengan maksud terjadi struktur keterkaitan antar wilayah yang dinamis. Keterpaduan spasial ini dibutuhkan karena didasari pada suatu kenyataan bahwa sumberdaya alam serta aktivitas sosial ekonomi di suatu wilayah tak akan mungkin tersebar secara merata dan seragam, sehingga diperlukan adanya mekanisme interaksi didalam dan keluar wilayah secara optimal. Di lain sisi keterpaduan spasial juga diperlukan agar pusat-pusat aktivitas sosial ekonomi yang sudah diruangkan dapat dimanfaatkan secara berimbang dalam menjawab tantangan kesejahteraan masyarakat terhadap sarana dan prasarana yang dibutuhkan.
Penyediaan sarana dan prasarana wilayah yang optimal antar
60
wilayah akan mendorong intensitas interaksi spasial yang optimal dan saling memperkuat. Disadari
bahwa
dalam
suatu
proses
perencanaan,
keterbatasan
sumberdaya selalu menjadi constraint, maka pemahaman bersama dalam menentukan skala prioritas pembangunan amat diperlukan. Dari sudut dimensi sektor pembangunan, suatu skala perioritas didasarkan pada pemahaman bahwa: (1) setiap sektor memiliki sumbangan langsung dan tidak langsung yang berbeda
terhadap
pencapaian
sasaran–sasaran
pembangunan
seperti
penyerapan tenaga kerja, pendapatan regional, pendapatan perkapita regional dan masyarakat); (2) setiap sektor memiliki keterkaitan dengan sektor-sektor lainnya dengan karakteristik yang berbeda-beda; dan (3) aktivitas sektoral tersebar secara tidak merata dan spesifik, beberapa sektor cenderung memiliki aktivitas yang terpusat dan terkait dengan sebaran sumberdaya alam, sumberdaya buatan (infrastruktur) dan sumberdaya sosial yang ada (Rustiadi et al. 2004). Berpijak pada pemikiran di atas, dapat dipahami bahwa di setiap wilayah selalu terdapat sektor-sektor yang bersifat strategis akibat besarnya sumbangan yang diberikan dalam perekonomian wilayah serta keterkaitan sektoral dan spasialnya. Perkembangan sektor strategis tersebut memiliki dampak langsung dan tidak langsung yang signifikan. Dampak tidak langsung terwujud akibat perkebangan sektor tersebut berdampak berkembangnya sektor-sektor lainnya, dan secara spasial berdampak secara luas di seluruh wilayah sasaran. Karakteristik struktur ekonomi wilayah yang ditunjukkan dengan distribusi sumbangan sektoral, serta keterkaitan sektoral dan regional perekonomian wilayah, secara teknis dapat dijelaskan dengan menggunakan Analisis InputOutput (Analisis I-O) walaupun dengan keterbatasan-keterbatasan tertentu. Selain Analisis I-O keterkaitan aktivitas ekonomi wilayah biasanya didekati pula dengan model entropy interaksi spasial. Namun demikian akumulasi nilai yang dihasilkan dari keterkaitan sektor antar wilayah sering tidak berimbang. Kesenjangan nilai tambah yang dicerminkan dalam PDRB perkapita atau indikator indikator lain yang bisa menggambarkan nilai pendapatan dari semua unit lapangan usaha antar wilayah.
Kesenjangan seperti ini
lazim diduga
dengan Indeks Williamson, sekalipun memiliki kelemahan yaitu tidak mampu menjelaskan adanya keterkaitan dan interaksi antar wilayah. Dilain sisi keterkaitan sektor dan interaksi antar wilayah akan optimal apabila hirarki-pusat-
61
pusat aktivitas sosial ekonomi wilayah didukung dengan fasilitas ekonomi dan pelayanan yang berimbang dan memadai antar wilayah maka diperlukan analisis indeks skalogram untuk mengestimasi perkembangan hirarki wilayah. Suatu wilayah akan memiliki keterkaitan kuat apabila wilayah tersebut memiliki sumberdaya domestik yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif dalam arti memiliki komoditi unggulan yang didukung dengan
kelembagaan
pemasaran yang efisien, maka dibutuhkan analisis Location Quontient (LQ) untuk mengestimasi sektor basis atau komoditi unggulan pada setiap wilayah pembangunan, dan bagaimana perkembangan pergeseran dan daya saingnya diperlukan analisis Shift share. Berpijak pada pemahaman tersebut di atas, maka dalam kerangka otonomi yang sedang bergulir ini, urgensi keterpaduan antar sektor dan antar wilayah dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya domestik wilayah
yang
mendasari pada Rencana Tata Ruang wilayah sebagai pedoman perwujudan keterpaduan antar sektor dan antar wilayah dalam menciptakan pembangunan wilayah yang berimbang
sudah semestinya menjadi juru kunci
efektifnya
pelaksanaan otonomi daerah. Atas dasar pemahaman tersebut dibangun kerangka pemikiran dasar seperti yang dilukiskan pada Gambar 3. 3.2 Hipotesis. Berdasarkan Latarbelakang permasalahan dan kerangka-kerangka teori serta kerangka pemikiran dasar yang dipaparkan di atas, dapat ditarik hipotesis penelitian sebagai berikut : 1. Diduga
kesenjangan
pembangunan
pengembangan (SWP), yang diduga
antar
satuan
wilayah
dari aspek kesenjangan:
penerimaan pendapatan, ketersediaan infrastruktur wilayah (sarana dan prasarana wilayah), penyebaran alokasi APBD Pembangunan dan intensitas interaksi spasial (arus barang, orang dan informasi) antar hirarki/pusat aktivitas SWP menunjukkan SWP C lebih senjang dan atau keterkaitan dan interaksi yang lebih lemah bila dibandingkan SWP A dan SWP B. Dimana SWP B diduga lebih berkembang dan atau keterkaitan dan interaksi lebih kuat sehingga berdampak pada pendapatan per kapita dan kesejahteraan masyarakat lebih baik atau lebih tinggi dibanding SWP A dan C. 2. Diduga satuan wilayah pengembangan (SWP) B lebih banyak atau lebih cepat mengelola dan memanfaatkan aneka potensi komoditas unggulan
62
wilayah, menjadi sektor /komoditi basis yang memperkuat struktur ekonomi wilayah dan pendapatan masyarakat dibanding SWP A dan SWP C. Dimana SWP C diduga lebih lamban.
Gambar 3 Bagan Kerangka Pemikiran Analisis Kesenjangan Pembangunan Antar Wilayah Pembangunan di Kabupaten Alor.
63
3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini telah
dilaksanakan di Kabupaten Alor Propinsi Nusa Tenggara
Timur, dengan waktu pengumpulan data berlangsung kurang lebih 3 bulan terhitung bulan Agustus sampai dengan bulan Oktober 2005. Sedangkan proses analisis data sampai finalisasi penulisan Tesis dilakukan terhitung bulan Nopember 2005 sampai dengan akhir Desember 2006. 3.4. Sumber dan Jenis Data Jenis data yang dihimpun dalam penelitian ini mencakup : a.
Data Primer. Data primer yang dimaksudkan disini adalah data yang diperoleh di tingkat lapangan yang ada relavansi dengan tujuan penelitian ini, yakni untuk memperoleh sumber dan jenis data yang berada di Ibu kota kecamatan dan desa/kelurahan yang diarahkan sebagai pusat-pusat aktivitas ekonomi dalam RUTRW Kabupaten (46 kota hiarki) yang tersebar pada 3 satuan wilayah pengembangan (SWP), yakni SWP A (13 lokasi), SWP B (18 lokasi) dan SWP C (15 lokasi). Data primer yang dibutuhkan terutama yang terkait dengan jaringan interaksi spasial antar kota-kota hirarki melalui jaringan informasi SSB yang berada di Kantor Kecamatan dan orientasi interaksi spasial (bepergian) penduduk dalam aktivitas memenuhi kebutuhan dan kegiatan usaha sekaligus mereview perkembangan wilayah pembangunan berdasarkan data sekunder yang diperoleh dari BPS dan Dinas/ Instansi Daerah yang ada relevansinya dengan tujuan penelitian ini.
b. Data Sekunder. Data sekunder yang dimaksudkan disini adalah data yang telah diperoleh dari BPS dan instansi-instansi terkait di
Kabupaten Alor yang relevan
dengan tujuan penelitian ini. 3.5 Metode Pengumpulan Data. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pengambilan sampel non-probabilitas/non acak, yakni dengan teknik “quota sampling”. Teknik “quota sampling” ini digunakan dengan pertimbangan bahwa responden yang dapat dipilih adalah orang-orang yang terkait secara fungsional dapat menjawab atau dapat memberikan informasi yang relevan dengan tujuan penelitian dan dapat mewakili populasi yang ada. Namun jumlah responden yang terpilih sebanyak 20 persen dari populasi (jumlah rumah tangga penduduk Tahun 2003) pada masing-masing lokasi
64
sebagai kota hirarki /pusat aktivitas pelayanan dalam RUTRW Kabupaten Alor Tahun 1991, dengan menggunakan Model Sloven dan Gay yang diacu Umar ( 2005). Model Sloven sebagai berikut : n =
N 1+ N e
2
Di mana : n = ukuran sampel N = ukuran populasi e = persen kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan sampel yang masih dapat ditolerir atau diinginkan ( 20 % ). Menurut Gay yang diacu Umar (2005), bahwa ukuran minimum sampel yang dapat diterima berdasarkan pada desain penelitian yang digunakan untuk metode deskriptif, minimal 10 %, namun untuk populasi yang relatif kecil minimum 20 % dari populasi. Dengan demikian data yang dikumpulkan dalam penelitian ini telah semaksimal menggunakan data sekunder yang tersedia di Kantor BPS dan atau diberbagai Lembaga atau intansi yang terkait, dengan cara wawancara secara semi struktural dengan informan-informan kunci, yakni dengan pihak Pemerintah Daerah, Bappeda Kabupaten, Dispenda, Kantor SSB
dan
Dinas/Instansi terkait yang ada di
Kabupaten serta beberapa Stakeholder selain lingkup pemerintah daerah, yakni LSM, Direktur perusahaan daerah, Perguruan Tinggi setempat, swasta, dan beberapa organisasi sosial politik dan masyarakat. Kemudian dilanjutkan dengan review dan pengumpulan data di tingkat lapangan dengan metode wawancara dengan sumber-sumber informan kunci di Tingkat Kecamatan dan beberapa desa/kelurahan sebagai lokasi
pusat-pusat
aktivitas sosial ekonomi yang diarahkan dalam RUTRW Kabupaten dengan berpedoman pada Daftar koesioner.
Informan kunci ditingkat
diwawancarai sebanyak 20-25 responden atau 20 persen
lapangan yang
dari populasi (lihat
Lampiran 11) untuk setiap lokasi yang meliputi unsur-unsur antara lain Camat, Kepala desa/Lurah, Petugas/operator SSB, Petugas UPTD Kecamatan dan desa, Pengelola Pasar, Ketua Kontak Tani, Penyuluh lapangan, para kader desa dan Institusi lain ditingkat kecamatan dan desa sebagai lokasi hirarki/pusat aktivitas. 3.6. Metode Analisis 3.6.1. Analisis Kesenjangan Pembangunan Antar Wilayah 1) Analisis kesenjangan pendapatan berdasarkan Indeks Williamson. Salah satu alat analisis kuantitatif yang lazim digunakan untuk menganalisis kesenjangan pembangunan antar wilayah adalah dengan menggunakan Williamson index
(Williamson 1965). Indeks ini umumnya membandingkan
kesenjangan pembangunan antar wilayah yang dicerminkan oleh nilai tambah
65
aktivitas ekonomi dari suatu wilayah seperti pendapatan perkapita, proporsi penyerapan tenaga kerja sektor suatu wilayah dalam Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Namun demikian data PDRB kecamatan jarang dipublikasi, maka salah satu parameter yang akan dipakai dalam analisis kesenjangan pembangunan antar wilayah kecamatan dalam penelitian ini adalah data Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) karena dengan asumsi bahwa PBB merupakan salah satu representasi penerimaan pendapatan seluruh penduduk dari berbagai lapangan usaha di suatu wilayah Pembangunan. Indeks Williamson dihitung dengan menggunakan formula:
=
Vw
_ ⎞ ⎛ ∑ ⎜ yi − y ⎟ ⎝ ⎠ y __
2
fi n , 0 < Vw
< 1
Dimana: = =
indeks Williamson penerimaan PBB wilayah Pengembangan i
y
=
total penerimaan PBB Kabupaten
fi n
= =
jumlah wajib PBB Pengembangan i jumlah wajib PBB Kabupaten
Vw yi __
Semakin tinggi
Indeks Williamson, maka proses kesenjangan antar daerah
semakin besar. Namun kelemahan dari indeks williamson adalah bahwa pertumbuhan suatu wilayah tidak ada keterkaitan satu wilayah dengan wilayah lain. 2) Analisis kesenjangan perkembangan infrastruktur berdasarkan Indeks Skalogram. Indeks Skalogram merupakan salah satu alat analisis untuk mengukur tingkat kesenjangan
perkembangan suatu wilayah pengembangan sebagai hirarki
pusat-pusat aktivitas sosial ekonomi . Metoda ini digunakan untuk menghitung jumlah sarana dan jumlah jenis sarana dan prasarana pelayanan yang ada pada suatu pusat aktivitas sosial ekonomi. Sarana dan prasarana yang akan di hitung dalam penelitian ini mencakup fasilitas perekonomian, fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan, fasilitas penerangan, fasilitas informasi dan fasilitas ibadah keagamaan, yang tersebar pada 9 Kecamatan. Dimana jumlah sarana dan jumlah jenis sarana tersebut selalu berkorelasi dengan jumlah penduduk. Pendekatan dengan metode analisis
skalogram
didasarkan pada suatu
asumsi bahwa semakin banyak/tinggi tingkat penyediaan fasilitas pada suatu lokasi, maka wilayah itu semakin berkembang sebaliknya semakin sedikit jumlah
66
sarana dan jenis sarana prasarana pelayanan maka wilayah tersebut dikategori terbelakang. Secara
statistik
metoda
analisis
skalogram
dapat
diformulasikan
berdasarkan formula yang dibangun Rustiadi et al. (2003 ) sebagai berikut:
IP
i
n
∑
=
( J ' ik
j
J ' ik =
n . ) fk
J ik − J k min SD k
Dimana : =
Iik I’ik
=
Ik min SDk
= =
IPi
=
indeks perkembangan ke-k di wilayah i nilai indeks perkembangan ke-k yang terkoreksi (terstandarisasi) wilayah ke-i nilai indeks perkembangan ke-k terkecil (minimum) standar deviasi perkembangan ke –k indeks perkembangan wilayah ke –i
Untuk keperluan analisis tersebut di atas, terlebih dahulu semua nama pusat wilayah, jumlah penduduk, jumlah jenis dan sarana pelayanan dicatat terlebih dahulu dalam format matriks seperti pada Tabel 7. Tabel 7 Matriks Analisis skalogram No
WPi
1 2 . . i . . n
W1 W2
JPi
Wi . . Wn Jumlah WP memiliki fasilitas Ratio WP memiliki fasilitas Bobot fasilitas (Fk)
J1 J11 J12 . . Ji1 . . Jn1 f1
... ...
F(j) Jk J1k J2k . . Jik . . Jn2 fk
fi/n
...
n/f1
...
... ...
...
... ...
... ...
Jm J1m J2m . . Jim . . Jnm fm
n/fm
...
fm/m
n/fk
...
n/fm
...
JJF F1 F2 . . Fi . . Fn
JF
RJF
PI(i)
R(i)
F1/m F2/m . . Fi /m . . Fn /m
SDk Keterangan:
WP(i)= Wilayah Pengembangan, JP(i) = Jumlah penduduk, F(j) = Fasilitas, JJF= Jumlah jenis fasilitas, JF= Jumlah fasilitas, RJF= Rasio jenis fasilitas, Ipi= Indeks perkembangan, R= Ranking, SDk=Standar deviasi .
3) Analisis kesenjangan penyebaran proporsi APBD Pembangunan berdasarkan Indeks Entropy (IE) Perkembangan suatu
wilayah dapat ditunjukkan dari semakin meningkatnya
komponen wilayah yang antara lain ditunjukkan dengan semakin luasnya hubungan
67
yang dapat dijalin antara sub wilayah - sub wilayah dalam sistem tersebut maupun sistem sekitarnya.
Perluasan jumlah komponen aktivitas tersebut
diduga dengan
indeks entropi penyebaran. Pemanfaatan konsep entropy ini dapat digunakan untuk banyak hal. Dalam penelitian ini Konsep entropy penyebaran ini digunakan untuk menganalisis Penyebaran alokasi APBD Pembangunan (SWP), dimana alokasi
Pembangunan antar Satuan Wilayah APBD pembangunan dalam suatu SWP
merupakan akumulasi alokasi APBD pada Sub-Sub wilayah Kecamatan sebagai Unit Daerah Kerja Pembangunan (UDKP). Bagaimana perkembangan SWP yang ditunjukkan dengan jumlah komponen aktivitas alokasi APBD Pembangunan antar sub-sub wilayah, digunakan analisis Entropy penyebaran dengan formula yang dibangun Saefulhakim , (2003) sebagai berikut : IE
=
−
n
∑ P
i
i = 1
ln
P
i
Dimana : IE : Indeks Entropi Pi : Xi /Σxi Xi : Alokasi APBD SWP ke-i (Rp)
Untuk menjustifikasi tingkat perkembangan, maka ada ketentuan bahwa jika Indeks entropy (IE) semakin tinggi maka tingkat perkembangan semakin tinggi atau semakin merata 4) Analisis kesenjangan interaksi spasial (arus informasi pelayanan pemerintah) berdasarkan model entropi interaksi spasial tanpa kendala (unconstrained entropy model ). Untuk menganalisis kesenjangan interaksi spasial (arus informasi pelayanan pemerintah ) antar wilayah pembangunan berdasarkan hirarki aktivitas sosial ekonomi dari kota Ordo utama ke kota ordo II, III, IV dan sebaliknya dapat diduga dengan model entropi interaksi spasial tanpa kendala
(Unconstrained Entropy
Model) yang
dikembangkan oleh Wilson (1967, 1970) yang diacu Saefulhakim (2003 ). Secara matematis diformulasikan sebagai berikut :
F
ij
= Exp
(k
+ β .d
ij
+
ε ) ij
atau
ln F
ij
= k + β .d
ij
+ε
ij
Dimana:
F
=
ij
d
ij
=
Banyaknya intensitas interaksi spasial antara tempat asal ke-i dengan tempat tujuan ke- j kendala yang berkaitan dengan tempat asal ke-i dengan tempat tujuan ke –j
68
k
=
β
=
ε
=
ij
Parameter konstanta yang besarnya diduga dengan model dari data Parameter hambatan mobilitas spasial, yang besarnya diduga dengan model dari data Parameter Galat yaitu besarnya kesalahan pendugaan model terhadap banyaknya interaksi spasial dari tempat asal ke -i dengan tempat tujuan ke-j.
Model analisis interaksi spasial ini dimaksudkan untuk menganalisis hubungan timbal balik antara pusat-pusat kegiatan sosial ekonomi dalam suatu wilayah pembangunan yang difokuskan pada aliran informasi aktivitas pelayanan pemerintah melalui alat komunikasi pemerintah daerah yang tersedia antar hirarki wilayah pembangunan. Model analisis interaksi spasial ini digunakan untuk melihat kuat lemahnya intensitas interaksi spasial antar hirarki wilayah dalam kaitannya dengan aktivitas pelayanan pemerintah. Selain
analisis entropi
interaksi spasial tanpa kendala (uncostrained
entropy model), untuk menganalisis arus informasi pelayanan pemerintah, juga digunakan analisis “ Deskriptif “ untuk melihat pola interaksi spasial (arus distribusi barang (komoditi) dan orang antar hirarki/pusat aktivitas sosial ekonomi antar SWP. 3.6.2.Analisis Sektor Basis/Komoditi Unggulan Antar Wilayah Pembangunan Sektor basis/komoditi unggulan adalah sektor/komoditi yang memiliki keunggulan dalam memenuhi permintaan eksternal akan barang dan jasa, yang dihasilkan dan diekspor dari wilayah tersebut, dan memiliki kekuatan utama dalam
memenuhi
pertumbuhan
wilayah.
Dengan
kata
lain
sebagai
sektor/komoditas eksport yang membentuk keterkaitan ekonomi, baik ke belakang (kegiatan produksi) maupun ke depan (sektor pelayanan). Metode analisis yang umum dipakai dalam pembangunan ekonomi wilayah, terutama untuk mengetahui sektor basis atau komoditi unggulan suatu wilayah adalah: 1) Metode Location Quotient (LQ) Secara matematik, perhitungan LQ dilakukan dengan menggunakan formulasi sebagai berikut:
LQ
ij
=
p P
ij j
p P
i* *
69
Dimana: LQij pij
= =
pi.*
=
P* Pj
= =
i j
= =
Nilai LQ untuk aktifitas ke-j di wilayah Pengembangan ke-i produksi/aktifitas sektor/komoditi ke-j pada wilayah pengembangan ke-i produksi/ aktifitas sektor/komoditi total pada wilayah pengembangan ke-i Produksi/ aktifitas sektor/komoditi total wilayah Kabupaten Produksi/aktifitas sektor/komoditi ke-j pada total wilayah Kabupaten Wilayah pengembangan yang diteliti Aktifitas ekonomi yang dilakukan
Interpretasi hasil analisis LQ adalah sebagai berikut: a. Apabila nilai LQij > 1, menunjukan bahwa sektor/komoditi tersebut merupakan sektor basis/komoditi unggul/andalan, mempunyai pangsa relatif yang lebih besar dibanding sektor lainya b. Apabila nilai LQij = 1, menunjukan bahwa sektor/komoditi tersebut setara dengan sektor daerah atau mempunyai pangsa aktifitas setara dengan pangsa total. c. Apabila nilai LQij < 1, menunjukan bahwa sektor tersebut tergolong sektor/komoditi non basis, yang mempunyai pangsa relatif yang lebih kecil dan hanya memenuhi konsumsi lokal. 2) Shift Share Analysis (SSA) Merupakan salah satu teknik analisis untuk memahami pergeseran struktur aktivitas di suatu wilayah tertentu dibandingkan dengan cakupan wilayah yang lebih luas pada dua titik waktu. Secara matematik dapat diformulasikan sebagai berikut :
⎡ X ..(t1) ⎤ ⎡ X i (t1) − X ..(t1) ⎤ + ⎡ X ij (t1) − X i (t1) ⎤ ⎥ ⎢ ⎥ SSA = ⎢ −1⎥ + ⎢ X X X X i to to ( ) ..( ) ij ( to ) i ( to ) ⎣ ⎦ ⎣ ⎦ ⎣ X ..(to ) ⎦ b c a
Dimana: SSA = a = b = c = X = Xi
=
Xij
=
t1 t0
= =
komponen shift share komponen share komponen proportional shift komponen diferential shift nilai total produksi komoditas/aktivitas dalam total wilayah (kabupaten) nilai total jenis komoditas/aktivitas tertentu dalam total wilayah kabupaten nilai jenis komoditas/aktivitas tertentu dalam wilayah Pengembangan (WP) titik tahun terakhir (2003) titik tahun awal (1998)
70
Intepretasi hasil analisis SSA sebagai berikut: a. Apabila nilai SSA > 0, menunjukan bahwa sektor/komoditi tersebut memiliki keunggulan kompetitif dan pergeseran yang cepat. b. Apabila nilai SSA = 0, menunjukan bahwa sektor/komoditi tersebut dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi sektor/komoditi basis c. Apabila nilai SSA < 0, menunjukan bahwa sektor /komoditi tersebut tidak memiliki keunggulan kompetitif dan pergeseran pertumbuhannya lamban. Secara singkat rangkuman kegiatan pengumpulan jenis dan sumber data dan pendekatan metode analisis serta output yang akan di hasilkan diperlihatkan pada Tabel 8 berikut : Tabel 8 Matriks rangkuman kerangka penelitian analisis kesenjangan pembangunan antar wilayah pembangunan di Kabupaten Alor Tujuan
Metode analisis
1. Menganalisis kesenjangan pembangunan antar wilayah pembangunan : (1) Kesenjangan pendapatan
♦ Indeks Williamson
(2) Kesenjangan perkembangan
♦ Indeks Skalogram
infrastruktur Sosial-ekonomi
Jenis dan sumber data
♦ Data Penerimaan PBB Kecamatan Tahun 1999-2004 (Rp) ♦ Sumber : Dispenda Kab. Alor ♦ Data fasilitas ekonomi (pasar, Bank, took/kios, perusahaan,Koperasi obyek wisata, dan pertamina ♦ Data fasilitas Perhubungan (darat, laut dan udara) ♦ Data fasilitas pendidikan (SD,SLTP,SLTA dan PT) ♦ Data fasilitas Kesehatan (Rumah sakit,Puskesmas, Pustu,Polindes dan Balai Pengobatan) ♦ Data fasilitas informasi dan Telekomunikasi ♦ Data fasilitas Penerangan ♦ Data fasilitas penyediaan air bersih ♦ Data fasilitas Peribadatan ♦ Data fasilitas Publik dan swasta. ♦ Sumber : BPS Kab.Alor Dengan unit data: desa/kelurahan.
Output yang diharapkan
♦ Mengetahui kesenjangan pendapatan antar SWP
♦ Mengetahui kesenjangan perkembangan hirarki/ pusat aktivitas Social ekonomi antar SWP
71
Sambungan Tabel 8. ♦ Indeks (3) Kesenjangan Entropy (IE) penyebaran alokasi APBD pembangunan wilayah
♦ Data alokasi RAPBD ♦ Mengetahui kesenKab.Alor TA: 1997/1998 jangan proporsi - 2003 per Kecamatan aloksi APBD dalam unit (Rp) pembangunan ♦Sumber : Bappeda Kab.Alor (4) Kesenjangan ♦ Entropy inte♦ Data arus informasi ♦ Mengetahui keseninteraksi spasial raksi spasial pelayanan pemerintah jangan interaksi antar hirarki/ tanpa kendala melalui saluran SSB pelayanan pemepusat aktivitas (unconstrained (informasi pasar, bencana rintah antar hirarki/ wilayah Entropy model) alam, kegiatan program/ pusat aktivitas pembangunan Proyek, kunjungan kerja) wilayah pembaTahun 2003 per kecamatan ngunan ♦ Deskriptif ♦ Data aliran orang ♦ Mengetahui pola antar SWP Tahun 2004 interaksi spasial ♦Data aliran orang, barang antar hirarki/pusat dan angkutan antar -inter aktivitas wilayah regional Tahun 2002 pembangunan dan 2003 antar regional ♦ Data IPM,IKM,Tahun 1999♦ Mengetahui derajat dan 2002 per Kabupaten kesejahteraan ♦ Data kemiskinan,Tahun masyarakat 2000-2004 per kecamatan ♦ Penyebaran penduduk, Per desa Tahun 2003 ♦ Data perkembangan kesehatan dan pendidikan Per kecamatan (2003) ♦ Data pendapatan Perkapita Kabupaten Tahun 2000-2003 ♦ Data RUTRW 1991 ♦ Sumber : Kantor SSB Kab.Alor, BPS Pusat dan Alor, Syahbandar Alor, Koperasi TKBM dan data Primer (orientasi interaksi Spasial antar SWP) 2.Menganalisis ♦ Location seberapa besar Quotient sektor/komoditi (LQ) unggulan/strategis antar wilayah pembangunan dan pendapatan masyarakat ang memperkuat ♦ Shift Share struktur ekonomi Analysis dan pendapatan (SSA) masyarakat
♦ Data produksi dan harga ♦ Mengetahui jumlah komoditas unggulan/ dan jenis komoditas Strategis Tahun 2003 unggulan/ strategis antar SWP (yang memiliki keunggulan komparatif/ sentra) ♦ Data produksi dan harga ♦ Mengetahui pergekonstan komoditas ungseran pertumbuhan gulan/strategis dengan dan kemampuan tahun awal 1998 dan takompetitif komodihun akhir 2003 tas unggulan/stra♦ Sumber : BPS Kab.Alor, gis antar SWP Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab.Alor
72
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Profil Umum Kabupaten Alor. 4.1.1. Keadaan Fisik 4.1.1.1. Letak geografis dan Administrasi wilayah Kabupaten Alor sebagai salah satu Kabupaten dari 16 Kabupaten/Kota di Propinsi Nusa Tenggara Timur, secara geografis terletak antara 8o – 6o Lintang Selatan arah Utara, 8o – 36o Lintang Selatan arah Selatan dan 1250 – 8o Bujur Timur arah Timur dan 123o – 48o Bujur Timur arah Barat. Sedangkan secara Administratif wilayah, batas Kabupaten Alor adalah sebagai berikut : •
Di sebelah Utara : berbatasan dengan Laut Flores (Propinsi Sulawesi Selatan).
•
Di sebelah Selatan : berbatasan dengan Selat Ombay (Negara Timor Leste, dan Timor Barat ).
•
Di sebelah Barat : berbatasan dengan Selat Lomblen (Kabupaten Lembata)
•
Di sebelah Timur : berbatasan dengan Pulau-Pulau Maluku Tenggara.
Kabupaten
Alor mempunyai luas wilayah daratan 2.864,64 Km2 atau
286.464 Ha. Merupakan Kabupaten kepulauan yang mencakup 17 buah gugusan pulau dengan luas wilayah perairan laut seluas 10.973, 62 km2. Dari 17 buah gugusan pulau – pulau tersebut, hanya 9 pulau yang dihuni penduduk sedangkan 8 pulau diantaranya merupakan pulau-pulau kecil yang masih merupakan potensi pengembangan kedepan. Dari kesembilan pulau yang dihuni penduduk, hanya terdapat dua pulau yang relatif lebih besar yaitu pulau Alor (210.476 Ha) dan pulau Pantar (68.652 Ha). Kemudian diikuti pulau Pura ( 2.753 Ha), pulau Kangge (1.368 Ha ), Sedangkan pulau-pulau berpenghuni
lain seperti pulau
Treweng, pulau Ternate, pulau Buaya, pulau Kepa, dan pulau Kura memiliki luas dibawah 400 Ha. Delapan pulau – pulau kecil yang tidak berpenghuni adalah pulau Rusa, pulau Kambing, pulau Lapang, pulau Batang, pulau Sika, pulau Kapas, pulau Tikus dan pulau Nuba ( BPS, 2002). Kabupaten Alor yang dibentuk dari 17 buah gugusan pulau, pada awal Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Alor Tahun 1991, wilayah administratif Pemerintahan hanya terdiri dari 6 Kecamatan, 3 Kecamatan Pembantu dan 58 desa. Dalam kurun waktu tahun 1990 – tahun 2004 wilayah administrasi pemerintahan mengalami 2 tahap pemekaran, sehingga sampai keadaan tahun 2004 wilayah administratif pemerintahan terdiri dari 9 Kecamatan
73
dan 175 Desa/Kelurahan (301,72 %) dari tahun 1990. Dari 175 desa /Kelurahan tersebut, 62,86 persen (110 desa/kelurahan) merupakan desa/kelurahan pesisir. Perkembangan wilayah administratif yang meningkat drastis tersebut, lebih mempertimbangkan kemudahan jangkauan pelayanan pemerintah, karena faktor keterisolasian dan permukiman yang tersebar. Dari 9 Kecamatan tersebut dimekarkan lagi menjadi 17 Kecamatan pada Tahun 2005 berdasarkan PERDA Kabupaten Alor Nomor 15 Tahun 2005 Tentang Pembentukan Kecamatan di Kabupaten Alor. 4.1.1.2. Topografi, Iklim,Sumberdaya air dan Penggunaan lahan. Kabupaten Alor secara geofisik, sebagian besar luas wilayah daratan merupakan gunung dan berbukit-bukit yang dibatasi lembah dan jurang dalam, dengan kemiringan di atas 40 derajat seluas 184.053,12 Ha (64,25 %); Kemiringan 15 - 40 derajat seluas 67.691,44 Ha (23,61 %); kemiringan 00-15 derajat seluas 34.776,72 Ha (12,14 %). Dengan kondisi geomorfologi yang demikian juga memberikan iklim yang variatif bagi pengembangan aneka komoditi, namun dalam upaya
pengembangannya, memerlukan penerapan
tekhnologi konservasi yang intensif. Kabupaten Alor, termasuk dalam daerah dengan keadaan iklim subtropis (semiarid) dengan rata – rata temperatur 27,41 derajat celcius atau rata - rata berkisar antara (23,15 - 31,73
o
C). Rata-rata penyinaran matahari 80,5 persen
dan kelembaban nisbih (79,58 %). Musim hujan (3-4 bulan) berlangsung pada bulan Nopember/Desember sampai dengan Maret/April dan Musim panas (8-9 bulan) berlangsung bulan April/Mei sampai dengan Oktober/Nopember. Sumber daya air di Kabupaten Alor, pada umumnya didominasi oleh tipe sungai kering ( 64,88 %) dari jumlah sungai di Kabupaten Alor (168 sungai) dan air tanah dalam. Dari 59 (32.12 % ) sungai berair, dimana 18 sungai ( 30.51 % ) berada di SWP A, 26 sungai (40.07 %) berada di SWP B dan 15 sungai (25.42 %) berada di SWP C (Alor Dalam Angka 2002). Sungai-Sungai berair di SWP A pada umumnya memiliki debet air yang sangat kecil, sehingga wilayah ini lebih krisis dalam penyediaan sumber daya air. Sistem pertanian hanya mengandalkan pada pertanian lahan kering. Sedangkan pada SWP B dan SWP C, sumber daya air sungai yang sudah diarahkan untuk irigasi pertanian setengah tekhnis 227 Ha dan pengairan sederhana 1 684,25 Ha dari luas potensi lahan sawah (3354,50 Ha ) di Kabupaten Alor. Dimana 93,16 persen Irigasi pertanian tersebut berada di SWP C.
74
Penggunaan lahan di Kabupaten Alor keadaan Tahun 2003 dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Penggunaan lahan berdasarkan luas wilayah daratan Tahun 2003. NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Uraian penggunaan lahan Lahan sawah Lahan kering (tegalan+Ladang) Lahan perkebunan Hutan lindung Hutan produksi Hutan konversi Hutan cagar alam Padang rumput Lahan pekarangan/pemukiman Kolam/empang Lahan tidak diusahakan/kritis Lainya Jumlah
SWPA 0.00 12598.97 16061.03 1580.76 17433.14 0.00 6151.05 3599.07 1292.00 1000.00 15580.00 0.00 75296.02
Luas lahan (Ha) SWP B SWP C Kabupaten 287.00 3067.50 3354.50 13160.88 14377.03 40136.88 17079.76 19918.43 53059.22 19218.90 30994.29 51793.95 2360.69 0.00 19793.83 6675.41 16184.66 22860.07 0.00 2600.00 8751.05 5781.91 9180.52 18561.50 6120.00 1888.00 9300.00 325.00 14662.00 15987.00 16622.00 10661.00 42863.00 3.00 0.00 3.00 87634.55 123533.43 286464.00
Sumber : BPS, 2003 (Alor Dalam Angka ,2003). Dinas Kehutanan dan Perkebunan, 2004 (Laporan Tahunan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Alor Tahun 2003).
Penggunaan lahan sebagaimana pada Tabel 9, pada umumnya didominasi potensi lahan kering (99,88 %) luas wilayah Kabupaten Alor. Lahan yang bisa diarahkan untuk pengembangan sawah hanya 1,17 persen dan tersebar pada 16 daerah irigasi di Kabupaten Alor. Luas lahan sawah tersebut yang sudah dimanfaatkan menjadi irigasi setengah tekhnis dan irgasi sederhana seluas 1911,25 Ha (56.98 %), dan 43,02 persen masih merupakan potensi. Sedangkan penggunaan lahan kering untuk pertanian (tegalan, ladang dan perkebunan), produktivitas penggunaannya baru mencapai 17 210 Ha (18.47 %) dari luas potensi 93 196,10 Ha (32.53 % ) luas daratan Kabupaten Alor. Pengarahan penggunaan lahan untuk pertanian tersebut, sedikit mengalami pergeseran (bertambah ) 10, 63 persen dari Tahun 1990 (83 289,50 Ha ) sebagai tahun awal penyusunan RUTRW Kabupaten Alor Tahun 1991. Penggunaan lahan untuk hutan (Lindung, produksi, konversi dan cagar alam) seluas 103 198,90 Ha (36,03 %) luas daratan Kabupaten Alor. Luas hutan juga mengalami perkembangan seluas 33 498,90 Ha (32,46 %) dari Tahun 1990 (69 700,00 Ha). Demikian juga Padang rumput (padang penggembalaan) mengalami perluasan dari 7149,00 Ha menjadi 18561.50 Ha atau bertambah 61.48 persen pada tahun 2003 dan telah di investigasi pada lima kawasan (Lawalu, et al. 2003).
75
Sedangkan danau/kolam/empang/ mengalami pergeseran dari 197 Ha tahun 1990 menjadi 15 987.00 Ha pada tahun 2003, karena ada penggunaan lahan, untuk pembangunan embung-embung bagi kegiatan konservasi dan irigasi lahan pertanian. Selain itu arahan penggunaan lahan yang mengalami pengurangan adalah lahan yang sementara tidak diusahakan/kritis, pada tahun 1990 seluas 62 709,50 mengalami penurunan menjadi 42 863.00 Ha pada tahun 2003 atau menurun 31,65 persen. 4.1.1.3. Sumberdaya fisik Laut. Kabupaten Alor secara geografis seperti uraian di atas, merupakan wilayah kepulauan, dengan luas laut 10.973,62 Km2 atau kurang lebih 4 kali (383,07 persen) luas daratan Kabupaten Alor. Panjang garis pantai mencapai 669,64 Km2. Dari garis pantai seluas 669,64 Km2 tersebut, dikelilingi hutan bakau (mangrove) seluas 1 665,71 Ha. Perairan laut cukup kaya dengan keaneragaman biota laut, karena fungsi natural bawah laut masih tersinyalir alamih dan sangat unik dan belum tersentuh ulah tangan manusia. Maka oleh beberapa petualangan atau penggemar wisata bahari mancanegara antara lain Karl Muller seorang dave master asal Australia, Cedrik Lechat seorang warga Perancis dan Prof.Dr.John Steward seorang ahli kelautan berkebangsaan Kanada yang melakukan observasi bawah laut di perairan laut Alor, menyatakan bahwa diving di selat Pantar (Gambar 4) sangat unik dan mengasyikan, dan mereka mengkategorikan Taman laut selat Pantar sebagai “Taman laut berkelas dunia” yang memiliki luas 19 584 hektar dengan 26 titik diving (Bentara Wisata, 2006). Hasil pengamatan mereka terhadap jenis flora dan fauna yang hidup diperairan laut Alor, jarang ditemukan di perairan lainya yang mempunyai ekosistem sejenis. Adanya gua-gua dan kontur dasar perairan lebih dari 60 – 90 derajat yang ditumbuhi terumbu karang yang khas, sehingga memiliki keunikan tersendiri. Prosentase keunikan untuk flora (70 %) dan fauna (66 %) di banding dengan yang mereka temukan di Taman laut Maldavic di laut Karabia, Great Barier Rief di Australia, Bunaken di Manado, Padaido di Biak dan Seram di perairan Maluku. Adanya keunikan alam bawah laut Alor, telah mengikat seorang petualang diving dunia asal Perancis “Cedrik Lechat sekeluarga “ untuk menetap di Alor (pulau Kepa) sejak 1997 sampai sekarang. Disamping itu Potensi lestari sumber daya perikanan Kabupaten Alor diperkirakan 164 604 ton pertahun dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan
76
sebear 131 683, 44 ton pertahun. Total Produksi perikanan di Kabupaten Alor Tahun 2004 baru mencapai 19 701 ton (14,96 %) dari jumlah potensi penangkapan yang diperbolehkan. Hal ini berarti peluang untuk potensi penangkapan masih sangat besar yakni 111 982 ton pertahun ( 85,04 % ).
Gambar 4. Peta Lokasi Penyelaman di Taman laut Selat Pantar. Keterangan : 26 titik penyelaman (1. Kal's Dream - 2. The Bullet - 3. Tri-Top - 4. School's Out - 5. Sharks Galore - 6. Clown Valley - 7. Slab City - 8. The Boardroom - 9. Smart's Lament - 10. Coconut Grove - 11. The Arch - 12. Babylon - 13. Coral Cliffs - 14. The Edge - 15. Cave Point - 16. Crocodile Rock - 17. Peter's Prize - 18. Half Moon Bay - 19. Fault Line - 20. The Patch - 21. Nite Delight - 22. The Mini Wall - 23. No Man's Land - 24. The Cathedral - 25. Sea Apple Slopes - 26. Batu Pantar)
Disamping Sumber daya perikanan, perairan laut Alor (selat ombai) juga tersimpan sumber daya tambang migas. Hasil investigasi Dinas Pertambangan Propinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2003, menemukan adanya dua titik rembesan minyak bumi, yakni di Sifala Alor Barat Daya dan di Beang Pantar Barat. Selain itu Galian C berupa Batu hias (batu hitam), sudah dieksploitasi sebagai salah satu komoditi eksport di Kabupaten Alor. 4.1.2. Perkembangan kependudukan dan sosial - ekonomi 4.1.2.1. Kependudukan Jumlah penduduk Kabupaten Alor pada tahun 2003, mencapai 168 965 orang atau naik
16,83 persen dari tahun 1990 (144 629 orang). Penduduk
perempuan berjumlah 86 382 orang (51.12 %) dan laki-laki 82 583 orang (48.88 %). Sedangkan rumah tangga penduduk
sebanyak 36 333 rumah tangga,
dengan rata–rata kepadatan penduduk 59 orang/Km2. Perkembangan tingkat pertumbuhan penduduk Kabupaten Alor tahun 1990-2003, diperlihatkan pada Gambar 5 dan 6.
77
175000
Perkembangan Jumlah Penduduk Alor Tahun 1990-2003
Jumlah Penduduk (Jiwa)
170000
168277
165000
168965 168921
164042
160000
Perkembangan Jumlah Penduduk Alor Tahun 1990-2003
158188 155836 154360 152880 153564
155000 150000
147646 148938 145827 146383 144629
145000 140000 1985
1990
1995
Tahun 2005
2000
Gambar 5 Perkembangan Penduduk Kabupaten Alor Tahun 1990-2003
4.50
Prosentase pertumbuhan penduduk Alor Tahun 1990-2003
4.00
3.93
3.70
% p e rtu m b u h a n
3.50 3.00 2.65
2.50
Prosentase pertumbuhan penduduk Alor Tahun 19902003
2.58
2.00 1.51
1.50 1.00
0.86 0.88
0.83
0.50
0.38
0.96 0.45 0.52
0.38 0.03
0.00 1988
1990
1992
1994
1996
1998
2000
2002
Tahun 2004
Gambar 6 Prosentase pertumbuhan penduduk Kabupaten Alor Tahun 1990-2003.
Perkembangan
tingkat
pertumbuhan
dari
tahun
ke
tahun
nampak
berfluktuasi, hal ini dipengaruhi oleh tiga faktor yakni kelahiran, kematian dan migrasi. Jumlah angkatan kerja penduduk sebanyak 80 432 orang (62,61%), yang bekerja 74 533 orang (92,67%) dan yang masih mencari kerja 5 899 orang (7.33 %). Sedangkan yang dikategori sebagai bukan angkatan kerja sebanyak 48 038 orang (37,39%). Dari 92,67 persen angkatan kerja penduduk yang bekerja, pada umumnya mengguluti pada mata pencaharian sebagai Petani (78,40%). Secara rinci penyebaran jumlah dan kepadatan penduduk serta mata pencaharian penduduk antar satuan wilayah pengembangan (SWP) diperlihatkan pada Tabel 10.
78
Tabel 10 Penyebaran jumlah penduduk dan mata pencaharian penduduk antar SWP di Kabupaten Alor Tahun 2003. No
1
Jumlah SWP A penduduk dan Orang % mata pencahaian
SWP B Orang
SWP C %
Orang
%
Kabupaten Orang
%
7750
21.33
22315
61.42
6268
17.25
36333
100.00
2
Rumah Tangga (RT) Penduduk
37631
22.27
103708
61.38
27626
16.35
168965
100.00
3
Laki-laki
18329
48.71
50570
48.76
13684
49.53
82583
48.88
4
Perempuan
19302
51.29
53138
51.24
13942
50.47
86382
51.12
5
Kepadatan
50
22.27
105
61.38
24
16.35
59
100.00
6
Petani
27331
91.63
20415
62.78
10688
87.72
58434
78.40
7
Peternak
664
2.23
631
1.94
365
3.00
1660
2.23
8
Nelayan
551
1.85
955
2.94
103
0.85
1609
2.16
9
Penambang
25
0.08
54
0.17
45
0.37
124
0.17
10
Pedagang
194
0.65
2390
7.35
86
0.71
2670
3.58
11
Industri kerajinan PNS/TNI/POLRI/ Pensiunan lainya
245
0.82
788
2.42
16
0.13
1049
1.41
457
1.53
6541
20.11
511
4.19
7509
10.07
332
1.11
746
2.29
310
2.56
1478
1.98
12 13
Sumber : BPS, 2003 (Alor Dalam Angka 2003, Kecamatan Dalam Angka 2003, Podes dan Profil desa 2003).
Secara agregat jumlah angkatan kerja yang bekerja menurut lapangan usaha utama yakni disektor pertanian sebanyak 61 703 orang (82,79%), pertambangan dan penggalian sebanyak 124 orang (0,17% ), industri pengolahan sebanyak 1 049 orang (1,41 %), perdagangan sebanyak 2 670 orang (3,58%), jasa sebanyak 7 509 orang (10,07 %), angkutan sebanyak 663 orang (0,89 %) dan lainnya sebanyak 815 orang (1,09 %). 4.1.2.2. Sosial budaya Perkembangan sosial budaya di kabupaten Alor keadaan Tahun 2003, yang diperlihatkan dari beberapa indikator pembangunan wilayah sebagai berikut : a. Aspek pendidikan. Produktivitas suatu wilayah sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia, khususnya aspek tingkatan pendidikan yang dicapai dari berbagai displin ilmu. Berdasarkan hasil Susenas tahun 2003, tercatat 5 192 orang (4,04%) penduduk Alor berumur 10 tahun keatas, yang tidak atau belum pernah sekolah (tidak berijazah). Yang tidak atau belum tamat SD/MI (23,58 %) dan diantaranya sebanyak 6 262 orang (4,87%) adalah tidak mengenal huruf (tidak bisa baca dan tulis),
tamat SD/MI (39,91%), tamat SMTP (18,59 %), tamat
SMTA (11,9 %) dan yang tamat perguruan tinggi hanya
(1,98 %).
Perkembangan tingkatan pendidikan tersebut mengindikasikan bahwa kualitas
79
sumber daya pembangun wilayah di Alor masih sangat riskan. Secara rinci perkembangan penduduk berumur 10 tahun ke atas berdasarkan tingkatan Ijazah pendidikan yang dimiliki, terlihat pada Tabel 11 berikut: Tabel 11 Perkembangan penduduk Alor berumur 10 tahun ke atas, berdasarkan tingkatan Ijazah pendidikan yang dimiliki Tahun 2003. No
Status pendidikan
Jumlah penduduk (orang)
1 Tidak/belum sekolah
Prosentase (%)
5 192
4.04
2 Tidak/belum tamat SD/MI
30 289
23.58
3 SD/MI
51 273
39.91
4 SMTP sederajat
23 888
18.59
5 SMU Sederajat
11 338
8.83
6 SMK sederajad
3 947
3.07
7 Diploma I-II
955
0.74
8 Diploma III
538
0.42
9 Universitas (S1+ S2) Total Alor
1 050
0.82
128 470
100.00
Sumber : BPS, 2003 (Alor Dalam Angka, 2003)
Selain dari perkembangan penduduk berdasarkan tingkatan pendidikan yang dicapai, maka dapat ditunjukkan pula perkembangan jumlah murid, Guru dan rasio murid terhadap Guru antar tingkatan sekolah di Kabupaten Alor Tahun 2003, seperti pada Tabel 12. Tabel 12 Perkembangan jumlah murid, Guru dan rasio murid terhadap Guru menurut tingkatan sekolah di Kabupaten Alor Tahun 2003. No
Tingkatan pendidikan
I
Taman kanak –kanak (TK)
SWP A
SWP B
SWPC
Kabupaten
1
Murid
151
987
144
1 282
2
Guru
11
97
17
125
3
Rasio
13.73
1
Murid
7 957
18 564
5 185
31 706
2
Guru
365
1086
319
1 770
II
10.18
8.47
10.26
Sekolah Dasar
3 III
Rasio
21.80
17.09
16.25
17.91
Sekolah Menengah Tingkat Pertama (SMTP) 1
Murid
2 3 1
Murid
472
4 530
0
5 002
2
Guru
23
230
0
253
3
Rasio
20.52
IV
1 667
6 273
Guru
97
379
Rasio
17.19
16.55
792
8 732
61
537
12.98
16.26
Sekolah Menengah Tingkat Atas (SMTA)
Sumber : BPS, 2003 (Alor Dalam Angka ,2003).
19.70
0.00
19.77
80
b.Aspek kesehatan. Aspek kesehatan merupakan salah satu indikator pembangunan wilayah yang mencerminkan
tinggi rendahnya indeks pembangunan manusia (IPM)
secara dinamik sebagaimana aspek pendidikan. Oleh karena produktivitas pembangunan wilayah yang selalu berkembang secara dinamik sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia yang sehat. Pada umumnya perkembangan pembangunan kesehatan yang ingin dicapai, ditentukan oleh beberapa indikator pembangunan kesehatan seperti yang tertera pada Tabel 13. Tabel 13 Perkembangan beberapa indikator pembangunan kesehatan antar Satuan wilayah pengembangan di Kabupaten Alor Tahun 2003. Wilayah Pembangunan
Indikator Pembangunan Kesehatan SWP A 1.Angka harapan hidup (%)
SWP B
SWP C
Kabupaten
66.70
67.46
65.40
66.52
2.Angka Kelahiran Bayi/1000 kelahiran (%)
5.10
12.80
6.10
21.60
3.Angka Kematian Bayi/1000 kehamilan (%) 4.Angka kematian Ibu hamil/melahirkan/ 1000 ibu hamil (%)
3.00
6.60
6.20
15.80
3.20
5.70
5.40
25.40
5.Gizi buruk/KEP Nyata (%)
4.00
6. Jumlah Dokter (orang)
2
13
7
22
7.Jumlah paramedis (orang)
17
62
19
98
8.Jumlah Bidan Desa (orang)
30
49
35
114
9. Pekarya (Orang)
12
36
14
62
10.Posyandu (Buah)
92
183
104
379
322
6255
570
7147
11.Aksektor KB Aktif (orang)
3.10
2.60
3.23
12.Cakupan air bersih/rumah tangga (%) 2.36 52.27 3.37 57.99 Sumber : Dinas Kesehatan , 2003 (Laporan Tahunan Dinas Kesehatan Kabupaten Alor Tahun 2003).
Tabel 13 menunjukkan bahwa rata-rata angka harapan hidup (AHH) masyarakat Kabupaten Alor berada dibawah 70 tahun, sementara angka kematian per seribu kehamilan ibu/kelahiran bayi mencapai 15.80 persen, sedangkan angka kematian ibu hamil per seribu ibu hamil mencapai 25.40 persen. Sedangkan Status gizi buruk (kronik energi protein/KEP nyata) rata-rata 3.2 persen, nilai KEP ini lebih baik dibanding Tahun 2002 mencapai 10 persen. Demikian pula cakupan air minum bersih rata-rata mencapai 57.99 persen dari total rumah tangga penduduk Alor (36 333 RT). Demikian pula penyediaan tenaga
Dokter,
Paramedis,
dan
Bidan
masih
sangat
terbatas,
belum
mengimbangi jumlah fasilitas kesehatan yang telah dibangun. Sejumlah fasilitas kesehatan yang sudah dibangun seperti PUSTU dan Polindes banyak yang mubazir karena keterbatasan tenaga medis/bidan untuk ditempatkan disana.
81
c. Aspek Agama (Religion). Pada umumnya terdapat lima (5) agama yang dianut penduduk Kabupaten Alor, yakni Islam, Kristen Khatolik, Kristen Protestan dan Hindu/Budha. Perkembangan masing-masing jumlah penganut agama antar satuan wilayah pengembangan di Kabupaten Alor, diperlihatkan pada Tabel 14. Tabel 14 Perkembangan jumlah penganut agama antar satuan wilayah pengembangan di Kabupaten Alor Tahun 2003. Jumlah Penganut Agama (orang) SWP A B C
Islam
K.Khatolik
12202 24435 36
661 4591 1087
K.Protestan
Hindu/Budha
Total antar SWP
24765 74523 26494
3 155 9
37631 103704 27626
Kabupaten 36673 6339 125782 Sumber : BPS, 2003 ( Alor Dalam Angka, 2003).
167
168961
Tabel 14, memperlihatkan bahwa perkembangan jumlah penganut Agama di Kabupaten Alor, didominasi agama Kristen Protestan (74.44%), diikuti agama Islam (21.71%), agama Kristen Khatolik (3.75%) dan agama Hindu/Budha (0.10 %). Dalam hubungannya dengan kerukunan hidup antar agama di Kabupaten Alor, kerukunannya masih sangat harmonis, belum ada intimidasi dari pihak agama manapun yang
mencedrai kebebasan umat
beragama untuk
menjalankan ibadahnya masing-masing. Kekentalan hubungan kekeluargaan dalam menjalani silahturahmi antar umat beragama, baik pada peringatan harihari raya keagamaan, pembangunan tempat ibadah, MTQ, hubungan kawin– mawin, khitanan dan hubungan kekerabatan lainya merupakan potensi sosial yang masih sangat dihargai sampai saat ini. Namun demikian seiring dengan perkembangan global dan stabilitas politik Dalam Negeri yang labil, tidak menutup kemungkinan adanya infiltrasi kepentingan dan teroris, untuk mencedrai kerukunan kehidupan beragama di Kabupaten Alor yang selama ini terpelihara, bisa saja dapat terjadi, maka perlu diwaspadai, dengan upaya meningkatkan intensitas dialog antar umat beragama yang dinamik, merupakan solusi yang lebih humanis, dalam menjamin ketahanan wilayah yang lebih kondusif terhadap penyusupan konflik horisontal yang berdampak SARA. d. Aspek keragaman ethnis, budaya dan kekerabatan sosial.
82
Penduduk Kabupaten Alor memiliki keragaman suku asli (50 suku asli) dan kelompok suku pendatang dari luar Kabupaten Alor antara lain suku Cina, Bugis Makasar, Buton, Batak, Ambon, Padang, Jawa, Manado, Dayak, Bali, Bima , Flores, Sumba, Timor, Rote, Sabu, dll. Dalam hubungannya dengan interaksi sosial baik antar suku asli maupun suku pendatang, masih sangat harmonis karena ada keterikatan budaya dan fungsional yang mutualisme. Dalam kaitannya dengan keterkaitan budaya, penduduk Alor sejak lama dalam menjalani kekerabatan sosial antar suku-suku asli maupun suku –suku tetangga di luar pulau Alor telah tertanam nilai-nilai kekerabatan sosial yang dikenal dengan
“ hubungan bela “ dan “hubungan egalatarian” . Kedua nilai
kekerabatan sosial tersebut, masih dijunjung tinggi sampai saat ini, sebagai salah satu modal sosial yang memiliki kekuatan dalam mempersatukan perbedaan suku, agama, adat-istiadat dalam kehidupan sosial kemasyarakatan di Alor. Kemudian keterkaitan fungsional antara suku asli dan suku pendatang, yang masih terpelihara keharmonisan, karena suku asli memandang suku pendatang sebagai pembawa inovasi dan pasar input dan pasar output produk suku asli, yang masih berorientasi produk
tradisional. Namun demikian
kesenjangan pendapatan antar suku asli dan suku pendatang serta kebocoran wilayah yang tak terkendali, merupakan dilema yang perlu diwaspadai saat ini dan kedepan, sehingga selalu dalam keseimbangan. Dampak negatif lain yang sering timbul dari hubungan bela dan egalatarian yang tak terkendali adalah mengurasnya ekonomi penduduk (pemborosan) demi suatu prestise sosial merupakan salah satu lingkaran setan kemiskinan di Alor. Kabupaten Alor yang terdiri atas keragaman suku asli, tidak terlepas dari keragaman ethnolinguistik (56 bahasa ibu) yang dikelompokan dalam 13 rumpun bahasa, yang satu sama lain sangat berbeda untuk dimengerti, sehingga dalam interaksi sosial antar penduduk di Kabupaten Alor selalu menggunakan bahasa Indonesia sebagai satu-satunya bahasa komunikasi antar suku-suku di Alor. Selain keragaman ethnolinguistik, juga memiliki keragaman budaya, kurang lebih terdapat 37 jenis peninggalan benda-benda cagar budaya atau megalitik termasuk “Al’quran kuno” bertuliskan tangan yang masih dilestarikan dan sedang tersimpan dalam museum daerah. Disamping itu terdapat tari-tarian dan syair budaya, yang intinya sebagai media dalam menjamin kekerabatan atau interaksi sosial dalam keberagaman. Diantaranya tarian “lego-lego” dan untaian syair pemersatu “ Taramiti Tominuku (bersehati kita teguh, bersama kita bisa)”,
83
“Webuk wangkape (yang jauh/ berbeda diikat menjadi dekat/satu)”. Nilai-nilai budaya ini masih dihormati dalam kelembagaan adat, dan jauh lebih ampuh sebagai alat penyelesaian konflik konflik horisontal dan atau berbagai aspek pembangunan lainnya. Seharusnya dalam kerangka otonomi daerah, nilai-nilai budaya ini haruslah mendapat tempat yang lebih strategis, untuk menjawab tantangan pembangunan wilayah, namun nilai – nilai budaya dan peran kelembagaan adat dan lembaga non formal lainnya belum diintigrasikan secara optimal dalam pengambilan kebijakan pembangunan wilayah. Seharusnya diperlukan suatu “regulasi “ yang mengintegrasikan peran kelembagaan adat dan nilai – nilai budaya sebagai suatu modal sosial yang menggerakan dan memberdayakan ekonomi penduduk dan aspek pembangunan lainnya untuk berkembang maju adalah suatu prestise sosial yang lebih humanis dan dinamis. 4.1.2.3. Ekonomi wilayah. Perkembangan ekonomi wilayah dapat ditunjukkan oleh beberapa indikator pembangunan sebagai berikut : a.Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Perkembangan pertumbuhan ekonomi wilayah yang ditunjukkan dengan nilai PDRB sebagaimana pada Tabel 2, pada tahun 1998 menunjukkan minus 2,50 persen dan tahun 1999 (0,44%), namun mulai berangsur membaik menjadi 5,63 persen pada Tahun 2003, namun dari sisi prosentase kontribusi PDRB Kabupaten Alor tehadap PDB Nasional pada tahun 2000-2003 masih sangat rendah rata-rata 0,03 persen. Sedangkan kontribusinya terhadap PDRB Propinsi NTT pada tahun 2000 sebesar 3,97 persen, tahun 2001 (3,96 %), tahun 2002 (3,91%) dan tahun 2003 (3,92 %) b.Pendapatan Perkapita. Perkembangan pendapatan perkapita yang ditunjukkan oleh PDRB perkapita, memperlihatkan peningkatan yang cukup signifikan. Namun demikian bagaimana rasio perkembangan PDRB perkapita Kabupaten Alor terhadap PDB Nasional dan Provisi NTT dapat ditunjukkan pada Tabel 15 Tabel 15 memperlihatkan bahwa rasio perkembangan PDRB perkapita Kabupaten Alor terhadap PDB Nasional masih rendah yakni pada tahun 2000 dan 2001 hanya mencapai 0,11 %, sedangkan tahun 2002 dan 2003 sedikit bergeser menjadi 0,12 %. Sedangkan
rasio pertumbuhan PDRB per kapita
Kabupaten Alor terhadap PDRB Provinsi NTT cukup tinggi, pada tahun 2000
84
mencapai 88,17 persen, dan sedikit menurun tahun 2001 (87,62%), kemudian meningkat menjadi 90,35 persen pada tahun 2002 dan tahun 2003 (94,94%). Tabel 15 Ratio Pertumbuhan PDRB Perkapita Kabupaten Alor terhadap PDRB Per kapita Provinsi NTT dan PDB Per kapita Indonesia Tahun 2000-2003 Tahun
Kabupaten Alor PDRB Per kapita (Rp)
Provinsi NTT PDRB Ratio PDRB Alor Per kapita terhadap Per (Rp) kapita NTT (%)
Indonesia Ratio PDRB Alor terhadap Per kapita Indonesia (%)
PDB Per kapita (Rp)
2000
1443624
1637322
88.17
1264918748
0.11
2001
1667071
1902590
87.62
1467654835
0.11
2002
1954572
2163295
90.35
1610564951
0.12
2003 2177729 2293762 94.94 1786690919 0.12 Sumber : BPS, 2003 ( PDRB Kabupaten Alor Tahun 2003 dan PDB Indonesia Tahun 2003).
Hal ini menunjukkan bahwa kontribusi PDRB Kabupaten Alor terhadap rata-rata PDRB Perkapita NTT cukup signifikan, namun terhadap PDB Nasional amat lemah. C. Struktur ekonomi. Struktur ekonomi wilayah, sebagaimana pada Tabel 3 masih didominasi pada sektor pertanian (primer), walaupun prosentase proporsi sektor primer dari tahun 1998-2003 menunjukkan pergeseran yang menurun. Pada Tahun 1998 prosentase proporsi Sektor pertanian terhadap PDRB sebesar 42,2 persen menurun menjadi 34,58 persen, bila dibanding tahun 1988 sebagai tahun dasar penyusunan RUTRW Kabupaten Alor, proporsi PDRB mencapai
Sektor
pertanian
56,9 persen. Pertambangan dan penggalian
terhadap
tahun 1998
sebesar 1,38 persen, tahun 2003 menurun menjadi 1,2 persen , sedangkan tahun 1988 (0,6 %). Kemudian sektor industri (sekunder) perkembangannya masih tidak menentu (berfluktuatif), tahun 1988 sebesar 0,8 persen meningkat 2,17 persen pada tahun 1998, namun menurun drastis menjadi 1,91 persen pada tahun 2003. Namun ada peningkatan sektor sekunder pada sektor bangunan dan konstruksi, pada tahun 1988 sebesar 0,4 persen, meningkat menjadi 5,47 persen pada tahun 1998 dan 5,76 persen tahun 2003. Sedangkan Sektor tersier (perdagangan , komunikasi dan jasa) mengalami peningkatan yang berfluktuatif kecuali sektor sektor angkutan dan
jasa-jasa, mengalami perkembangan yang cukup
signifikan. Sektor perdagangan, rumah makan dan hotel pada tahun 1988 memberikan kontribusi terhadap PDRB sebesar 10,7 persen, tahun 1998 12,81 persen dan sedikit menurun menjadi 12,7 persen tahun 2003. Pengangkutan dan
85
komunikasi tahun 1988 sebesar 5,4 persen, tahun 1998 sebesar 5.72 persen dan tahun 2003 6.57 persen.
Sektor jasa keuangan , persewahan dan jasa
perusahaan, tahun 1988 sebesar 3.3 persen, tahun 1998 sebesar 4.67 persen dan tahun 2003 sedikit menurun menjadi 4.12 persen. Sedangkan jasa pemerintahan umum, listrik dan air minum serta jasa swasta pada tahun 1988 sebesar 16,8 persen, meningkat menjadi 25,58 persen tahun 1998 dan 35,15 persen pada tahun 2003. Secara Grafik prosentase perkembangan Struktur ekonomi Kabupaten Alor tahun 1998 – 2003 dapat dilihat pada Gambar 7. % 60
Tah
56.9
1988
50 1998
42.2 39.34 38.34 37.08 35.21
40 30
34.58 1.39
20
2.17 2.15 2.1 2.04 1.97 1.91 0.8
1.38 1.35 1.3
10
1.24 1.2 0.6
0 0
1
2
5.1 0.61 0.61 0.59 0.57 0.55 0.55
3
5.98 5.76 5.74 5.69 5.59 5.47 0.4
4
14.47 13.45 13.01 12.81 12.7 12.7 10.7
5
6
1999
32.6 31.85 29.76 27.57 24.97
6.68 6.57 6.1 6.09
4.67 4.52 4.6 4.41 4.22 4.12 3.3
5.86 5.72 5.4
7
8
2000
25.89 16.8
2001 2002
9
10
2003
Sektor
-10
Gambar 7 Prosentase Perkembangan Struktur ekonomi Kabupaten Alor Tahun 1988 dan Tahun 1998-203.
Secara
parsial
Tabel
3
dan
Gambar
7
menunjukkan
keterkaitan
perkembangan struktur ekonomi wilayah yang lemah, pergeseran sektor pertanian yang menurun tidak diimbangi dengan laju pertumbuhan sektor industri yang signifikan. Hal ini bisa dilihat dari prosentase proporsi
sektor
industri terhadap PDRB Kabupaten Alor yang semakin menurun. Perkembangan industri masih terbatas pada industri kecil dan rumah tangga. Sedangkan keterkaitan antara sektor primer (pertanian) dengan sektor tersier menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan, walaupun pada beberapa komoditi menunjukkan fluktuatif. Hal ini bisa dilihat dari data perdagangan komoditi antar pulau di Kabupaten Alor Tahun 2002 – 2004 pada Tabel 16. Penerimaan jasa sumbangan Pihak ketiga (SP3), sebagaimana pada Tabel 16 adalah jasa perizinan perdagangan komoditi antar pulau sebagai salah satu Pos penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Namun dalam realitasnya
86
Tabel 16 Perkembangan perdagangan komoditi Antar pulau/eksport dan Penerimaan sumbangan Pihak ketiga (SP3) di Kabupaten Alor periode 2002-2004 2002 No
Jenis komoditi
Jumlah komoditi (Kg/Liter/P)
2003 SP3 (Rp)
Jumlah komoditi (Kg/Liter/P)
2004 SP3 (Rp)
Jumlah komoditi (Kg/Liter/P)
SP3 (Rp)
Kemiri 2074102 534572008 819285 157079975 2387397 4,559,931,341 Kopra 102455 6813805 36456 3624500 28701 1808100 Biji 3 Mente 369501 66769600 263005 43088250 717959 113669440 64120 10777000 30175 5270249 148909 29005800 4 Serlack 816418 49875957 358787 18178850 446495 24323975 5 Asam 2900 2925000 530 99000 11337 5818375 6 Cengkeh 59667 18834997 51063 4151175 91812 4560985 7 Pinang 5155 4161450 375 168750 1600 759500 8 Kenari 2761 17949425 15 0 0 0 9 Vanili 35817 7772537 18150 1471050 38250 3059200 10 Kunyit 217 283075 160 156000 1240 620000 11 Madu Ubur12 ubur 25000 3250000 438.006 0 15.426 0 Anakan 13 Mutiara 10000 1000000 0 0 0 0 Agar-agar/ 14 R.laut 3200 351000 0 0 0 0 Batu 15 hitam 3810780 342970200 3268640 309518250 3550980 355098000 Batu 16 puyu 0 0 190350 10895625 88380 4419000 Total 7382093 1068306054 5037429.006 55370167 7513075.426 5103073716 Sumber : Dispenda 2005 (Laporan Bulanan Penerimaan SP3 Komoditi Antar Pulau di Kabupaten Alor Tahun 2002-2004). 1 2
terdapat indikasi kebocoran wilayah (penyulundupan) yang tidak terkendali karena regulasinya yang masih lemah. Jumlah komoditi yang
diantarpulaukan
selalu melampoui izin yang diberikan, rata-rata 23.50 persen/tahun dan atau menimbulkan
kerugian daerah sebesar
Rp 2 803 934 615
(Dua Milyart
Delapan ratus tiga juta Sembilan ratus tiga puluh empat ribu enam ratus lima belas rupiah) /tahun. Selisih perhitungan ini diperoleh dari jasa perizinan perdagangan komoditi yang di keluarkan oleh Dinas pendapatan Kabupaten Alor Tahun 2002-2004 sebagaimana pada Tabel 16, dibandingkan dengan data perdagangan komoditi pada tahun yang sama, pada Koperasi Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM) Pelabuhan Kalabahi. Data TKBM dianggap cukup konsisten, karena upah tenaga kerja pelabuhan dibayar berdasarkan berat barang yang diangkut setiap bongkar muat
Kapal. Kondisi ini apabila tidak
segera dieleminir dengan suatu Peraturan Daerah yang mengatur tugas dan fungsi serta mekanisme pengelolaan SP3 komoditi antar pulau, maka kebocoran
87
wilayah akan lebih besar dan juga tidak menutup kemungkinan adanya indikasi “rent seekers “ yang turut mengkerdilkan struktur ekonomi wilayah. 4.1. 3. Perkembangan infrastruktur/fasilitas sosial dan ekonomi. Perkembangan suatu wilayah, umumnya ditentukan oleh jumlah dan kualitas infrastruktur sosial ekonomi yang dibangun pada suatu wilayah pembangunan. Secara parsial perkembangan fasilitas sosial ekonomi tersebut dapat diuraikan sebagai berikut : 4.1.3.1. Fasilitas sosial. Pembangunan fasilitas sosial, penting untuk dibangun dalam rangka memaksimalkan interaksi sosial, pelayanan publik dan memudahkan system aliran informasi dan sumber daya antar pusat atau antar sub wilayah pengembangan yang diharapkan berimbang (simetrik). Beberapa indikator pembagunan fasilitas sosial yang dimaksukan antara lain fasilitas pendidikan, kesehatan, air bersih, olahraga dan seni budaya, keagamaan, penerangan dan telekomunikasi serta fasilitas pelayanan publik dan swasta. Perkembangan masing-masing infrastruktur/fasilitas sosial dimaksud antar satuan wilayah pengembangan (SWP) dapat ditunjukkan pada Tabel 17. Secara parsial perkembangan infrastruktur sosial sebagaimana pada Tabel 17, menunjukkan adanya kesenjangan antar wilayah, kecuali fasilitas pelayanan publik setempat (Kantor desa/Lurah) sudah dimiliki oleh seluruh desa/kelurahan di Kabupaten Alor. Setelah itu fasilitas pendidikan dasar (SD) sudah cukup tersebar (93,14 %), dari jumlah desa/kelurahan di Kabupaten Alor, tetapi belum diimbangi dengan penempatan guru yang merata. Pembangunan fasilitas Pendidikan Menengah Tingkat Pertama, untuk ketiga wilayah pengembangan, cukup tersedia namun masih kekurangan guru, untuk beberapa mata pelajaran Sains dan Bahasa Inggris dan fasilitas Laboratorium. Demikian pula fasilitas pendidikan
SLTA,
selain
kekurangan
guru
dan
fasilitas
Laboratorium
sebagaimana pada tingkat SLTP, masih ada kesenjangan pada SWP C yang belum ada fasilitas pendidikan SLTA. Para lulusan SLTP pada SWP C harus melanjutkan pendidikan SLTA ke kota (SWP B), dengan jarak tempuh 31-85 Km untuk jalan darat dan 66 -130 Km dengan pelayaran laut. Dari aspek fasilitas kesehatan, untuk ketiga pengembangan wilayah, khusunya penyediaan Puskesmas, Pustu dan Polindes hampir berimbang antar wilayah, namun belum diimbangi dengan ketersediaan Medis dan Paramedis, serta fasilitas rawat dan obat-obatan yang tersedia secara kontinue.
88
Selain itu terdapat Pustu dan Polindes yang sudah dibangun tetapi mubazir, karena keterbatasan tenaga medis dan paramedis, serta penyebaran Bidan desa yang belum merata, sementara ratio ketersediaan Bidan desa dan ketersediaan polindes 1,46. Seharusnya 144 Bidan desa yang ada, minimal seorang Bidan desa sudah harus ditempatkan pada 98 Polindes yang tersebar pada 98 desa. Sedangkan 46 Bidan desa lainnya bisa melengkapi tenaga paramedis pada Rumah sakit, Puskesmas dan Pustu. Tetapi pada kenyataanya
80 persen
Polindes di Alor belum berfungsi sebagaimana mestinya. Tabel 17 Perkembangan pembangunan infrastruktur sosial antar SWP di Kabupaten Alor Tahun 2003. No
Jenis Infrastruktur/ fasilitas sosek
A 1 2 3 4 5 B 1 2 3 4 5 6 C 1 2 3 D
Pendidikan Taman Kanak (TK) 8 Sekolah Dasar (SD) 56 SMTP 7 SMTA 3 Perguruan Tinggi 0 Kesehatan Rumah sakit 0 Puskesmas 4 Pustu 9 Balai pengobatan 0 Polindes 22 Air bersi (Leding) 17 Keagamaan Mesjid/Mushola 31 Gereja 70 Puri 0 Olahraga dan seni budaya stadiun olah raga 0 Sanggar seni budaya 0 Musem 0 Penerangan dan Telekomunikasi PLN 115 Listrik Non PLN 20 Listrik Tenaga Surya 395 Pemancar Telekom 2 Pemancar Televisi 0 Telephon umum/ Sellular 0 Telp. Satelit T.Surya 1 Saluran SSB 5 Pelayanan publik dan swasta (Perkantoran) Pemerintahpusat/ Cabang/Kabupaten 21 Pemerintah setempat 46 Kerjasama Luar Negari 0 Kantor Swasta 0
1 2 3 E 1 2 3 4 5 6 7 8 F 1 2 3 4
Penyebaran jumlah jenis fasilitas pada desa antar SWP SWP A SWP B SWP C Kabupaten unit Desa/ unit Desa/ unit desa/ Unit Desa/ Lurah Lurah Lurah Lurah 8 41 5 3 0
27 110 20 8 2
21 84 17 6 1
6 46 5 0 0
4 38 5 0 0
41 212 32 11 2
33 163 27 9 1
0 4 9 0 22 14
1 7 19 2 43 7738
1 7 19 2 43 47
0 6 13 1 33 787
0 6 13 1 33 13
1 17 41 3 98 8542
1 17 41 3 98 74
21 34 0
61 249 1
48 80 1
0 165 0
0 38 0
92 484 1
69 152 1
0 0 0
2 3 1
2 2 1
0 1 0
0 1 0
0 4 0
0 3 0
13 8 7 2 0
7517 802 403 1 1
50 39 9 1 1
282 54 454 1 0
2 5 6 1 0
7914 876 1252 4 1
65 52 22 4 1
0 1 5
623 2 6
19 2 3
0 4 9
0 4 9
623 7 20
19 7 17
4 46
75 91
10 91
22 38
3 38
118 175
17 175
0 0
2 59
1 14
0 2
0 2
2 61
1 16
Sumber : BPS, 2003 ( Alor Dalam Angka, 2003, Potensi dan Profil Desa 2003).
89
Dari aspek Penerangan, menunjukkan bahwa dari 175 desa/ kelurahan di Kabupaten Alor memperlihatkan 65 desa/kelurahan (37,14%) yang mendapat fasilitas penerangan dari Perusahaan Listrik Negara (PLN), Non PLN 52 desa (29,71 %) yakni listrik tenaga disel yang diperoleh dari swadaya masyarakat desa dan Program Pengembangan Kecamatan (PPK). Sedangkan perusahaan listrik tenaga surya (PLTS) mencakup 22 desa (12,57 %). Dengan demikian masih terdapat 36 desa/kelurahan (20,57 %) yang sama sekali belum terjamah oleh penerangan listrik. Dari aspek infrastruktur telekomunikasi, menunjukkan bahwa, saluran telephon/sellular masih terbatas pada sub wilayah pengembangan B (kota hirarki utama). Komunikasi antar SWP lebih banyak menggunakan Saluran SSB (channel single Band) yang sudah terpasang pada 17 desa/kelurahan pada tiga SWP.
Namun 87 persen penggunaannya didominasi oleh informasi aktivitas
pemerintah dalam rangka pelayanan masyarakat antar SWP. 4.1.3.2. Infrastuktur ekonomi. Pembangunan infrastruktur ekonomi suatu wilayah amat penting, untuk mendorong aliran sumber daya (informasi, barang dan jasa) yang efisien, meningkatkan produktivitas dan interaksi spasial yang saling memperkuat. Pembangunan infrastruktur ekonomi yang dimaksudkan adalah fasilitas pasar, tokoh, perusahaan, jaringan perhubungan dan obyek wisata yang mendorong interaksi dan keterkaitan ekonomi antar SWP dan antar regional. Perkembangan infrastruktur ekonomi antar SWP tersebut, dilihat pada Tabel 18. Perkembangan infrastruktur ekonomi wilayah sebagaimana pada Tabel 18, menunjukkan bahwa terdapat 53 pasar yang telah dibangun di Kabupaten Alor, dan tersebar pada 52 desa/ Kelurahan. Dalam opersionalnya hanya 2 pasar yang beroperasi secara kontinue 7 hari, sedangkan pasar lainnya masih bersifat pasar mingguan yang beroperasi rata – rata 3 hari dalam seminggu, kecuali tokoh/kios rata-rata dibuka secara kontinue dalam seminggu; namun diantara 175 desa/kelurahan masih dijumpai 24 (13,71 %) desa yang belum ada toko atau kios yang menyediakan sembako bagi pemenuhan kebutuhan dasar. Desa-desa tersebut tergolong yang paling terisolasi. Perkembangan pembangunan fasilitas Bank di Kabupaten Alor, mencakup 3 unit Bank (BNI 1946, BRI dan Bank Pembangunan Daerah NTT). Dari ketiga unit Bank tersebut, hanya Bank BRI yang sudah membuka tiga unit Cabang, 2 unit cabang berada di SWP B dan 1 unit cabang berada di SWP A. Dengan demikian
90
terdapat 6 unit Bank di Kabupaten Alor, yang memperkuat Struktur ekonomi wilayah. Demikian juga Lembaga keuangan lainnya (Nir Bank) terdiri dari 6 unit. Selain Bank dan Nir Bank, Koperasi sebagai salah satu Lembaga ekonomi masyarakat, yang
berperan untuk memperkuat basis ekonomi masyarakat
perdesaan, juga telah berkembang sebanyak 66 unit pada 47 desa/kelurahan, Tabel 18 Perkembangan pembangunan infrastruktur Ekonomi antar SWP di Kabupaten Alor Tahun 2003. No A B C D E F G H I J K 1 2 3 4 L 1 2 3 4 5 6 7 8 9 M 1 2 3
Jenis Infrastruktur/ fasilitas sosek
Penyebaran jumlah jenis fasilitas antar SWP SWP A SWP B SWP C unit desa unit desa unit desa 13 13 24 24 16 15 1 1 5 3 0 0 1 1 5 4 0 0 88 29 764 86 74 36 4 4 59 40 3 3 0 0 11 6 0 0 1 1 38 6 0 0 1 1 5 4 0 0 0 0 7 6 2 1 0 0 2 2 0 0
Pasar Bank Nir Bank Tokoh/Kios Koperasi/KUD Perusahan/Pabrik Restoran/R.makan Hotel/Wisma Obyek Wisata Depot pertamina Perhubungan darat Jalan aspal 32 32 57 57 15 Kend.roda 4 penumpang 1 1 275 23 3 K.roda 4 non penumpang 6 6 56 10 25 Kendaraan roda dua 125 19 1520 55 35 Perhubungan laut Pel. niaga/Pangkalan AL 0 0 1 1 1 Pelabuhan ferri (ASDP) 0 0 1 1 0 Pel. Tengker Pertamina 0 0 1 1 0 Pel. Pelayaran rakyat 2 2 0 0 1 Kapal niaga 0 0 4 4 0 Kapal Perintis 0 0 3 3 0 Kapal ferri 2 1 4 4 0 Perahu motor 89 30 137 36 13 Speadbood 0 0 4 2 0 Perhubungan Udara Bandara 0 0 1 1 0 Pesawat F 27 0 0 1 1 0 Pesawat cassa 0 0 1 1 0 Sumber : BPS, 2003 ( Alor Dalam Angka, 2003, Potensi dan Profil
Kabupaten unit Desa 53 52 6 4 6 5 926 151 66 47 11 6 39 7 6 5 9 7 2 2
15 2 12 13
104 279 87 1680
104 26 28 87
1 0 0 1 0 0 0 4 0
2 1 1 0 4 3 4 239 4
2 1 1 0 4 3 4 70 2
0 0 0
1 1 1
1 1 1
Desa 2003).
kendatipun 89,40 persen masih berada di kota (Sub wilayah B). Dari 66 unit Koperasi tersebut, 18 unit diantaranya merupakan fasilitas pembangunan tempat pelayanan koperasi (TPK) unit desa dari 9 Koperasi Unit Desa di Kabupaten Alor. Akan tetapi dari 18 TPK unit desa yang tersedia, yang berfungsi hanya 55,56 persen, sedangkan 44,44 persen
tidak berfungsi. Hal ini disebabkan oleh
kendala organisasi dan manajemen. Perkembangan suatu wilayah tidak bisa terlepas dari pembangunan fasilitas perusahaan/pabrik, restoran/rumah makan dan hotel/wisma, yang memperkuat keterkaitan struktur ekonomi wilayah. Terdapat 11 unit perusahaan/pabrik berskala mikro dan menengah di Kabupaten Alor, 39 unit Rumah makan/restoran
91
dan 6 unit Hotel/Wisma, dimana 97,44 persen ketiga pembangunan fasilitas tersebut masih terpusat di kota (Sub SWP B). Khusus perkembangan fasilitas hotel, rata-rata masih pada kelas melati, jumlah kamar tidur yang tersedia masih terbatas (87 unit) dengan rata–rata kunjungan tamu 166 orang perbulan pada tahun 2003.
Dari rata-rata kunjungan tamu tersebut 8,35 persen merupakan
tamu mancanegara, dan bila dibanding tahun 2002, jumlah kunjungan mancanegara meningkat 14,18 persen dari tahun 2002 sebanyak 134 pengunjung. Sedangkan pengunjung nusantara mengalami penurunan 0,76 persen pada tahun 2003 dari jumlah pengunjung nusantara
tahun 2002
sebanyak 1 847 orang. Perkembangan jumlah pengunjung baik mancanegara maupun nusantara, terkait dengan daya tarik wilayah, antara lain potensi parawisata daerah. Terdapat 19 obyek parawisata daerah (wisata bahari, senibudaya dan panorama alam), namun belum didukung dengan infrastruktur yang memadai. Pengelolaan obyek Parawisata daerah yang sudah dibangun fasilitas sederhana, baru mencapai 47,37 persen
dari 19 obyek potensi wisata yang
teridentifikasi. Untuk melaksanakan semua aktivitas sosial ekonomi suatu wilayah, harus diimbangi dengan pasokan sumber energi yang cukup dan
kontinue, maka
fasilitas energi yang sudah dibangun berupa sebuah pelabuhan tengker pertamina dan sebuah Depot
distribusi.
Namun demikian Depot distribusi
pertamina yang hanya satu, sering mnyebabkan kemacetan lalulintas setiap hari, pada saat
antrian distribusi energi
pada kendaraan dan tempayan untuk
konsumsi rumah tangga penduduk. Selain pembangunan infrastruktur ekonomi dan sosial sebagaimana pada Tabel 17 dan Tabel 18 yang diuraikan di atas, maka pembangunan infrastruktur perhubungan atau transportasi merupakan bagian pembangunan fasilitas pembangunan wilayah yang sangat vital dalam rangka membangun jaringan keterkaitan dan interaksi sosial ekonomi antar dan inter wilayah pembangunan. Perkembangan
infrastruktur
jaringan
transportasi
di
Kabupaten
Alor
sebagaimana pada Tabel 18, pada umumnya menunjukkan perkembangan yang masih jauh dari optimal untuk membangun jaringan keterkaitan dan interaksi spasial yang kuat. Pembangunan jalan aspal yang menghubungkan kota hirarki utama dan kota-kota hinterland (kota kecamatan) baru menjangkau 59,43 persen dari 175 desa/kelurahan di Kabupaten Alor. Dari 59, 43 persen desa/kelurahan yang telah dijangkau jalan aspal tersebut, 33,40 persen dari 463,18 Km panjang
92
jalan beraspal di Kabupaten Alor adalah berkualitas jelek (rusak). Rata-rata klasifikasi jalan di Kabupaten Alor adalah jalan kelas III, dengan rincian: panjang jalan negara 95,20 Km dari total panjang jalan di Kabupaten Alor (1 432,33 Km), jalan propinsi 172 Km dan jalan kabupaten 1 164,93 Km (Gambar 8 Peta penyebaran jalan di Kabupaten Alor). Selain itu penyediaan kendaraan roda 4 dan roda 2 juga masih sangat terbatas antar satuan wilayah pengembangan. RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN ALOR
DATA DASAR
P E T A
JARINGAN JALAN DI KABUPATEN ALOR
Ibukota Kabupaten Ibukota Kecamatan Jalan Negara Jalan Propinsi Jalan Kabupaten Jalan Desa
U B
T S 1 : 856.000 0
8.56 17.12
25.68 34.24 Km
PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN ALOR BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH
“BAPPEDA“
Jl. El Tari No. 19 Telepon (0386) 21378
Gambar 8. Peta penyebaran jalan di Kabupaten Alor
Kabupaten
Alor
sebagai
salah
satu
Kabupaten
kepulauan,
maka
pembangunan infrastruktur transportasi laut dan udara, memiliki peran strategis dalam membangun keterkaitan dan interaksi spasial antar regional dan inter wilayah Pembangunan. Untuk antar regional Kabupaten Alor sudah memiliki 2 Pelabuhan niaga, dengan lokasi Kalabahi dan Maritaing (berperan pula sebagai pangkalan Angkatan Laut) untuk menjaga teritorial wilayah NKRI dengan negara Timor Leste, dan satu unit pelabuhan ferri di Kalabahi. Sedangkan antar inter wilayah pembangunan di Kabupaten Alor sudah di bangun 3 unit pelabuhan pelayaran rakyat (PELRA) yakni 1 unit pada SWP C di Marataing dan 2 unit pada SWP A masing-masing di Bakalang dan Baranusa dan sejumlah pembangunan tambatan perahu pada pulau-pulau kecil dan jalur selatan pulau Alor. Dari 3 unit PELRA tersebut, yang sudah secara kontinue disinggahi Kapal niaga dan kapal
93
ferri
adalah pelabuhan Baranusa (untuk kapal ferri 2 kali seminggu sebagai
pelabuhan transit jalur Kalabahi – Leoleba-Larantuka Flores PP). Sedangkan pelabuhan Bakalang dan Marataing masih insedentil, untuk disinggahi kapal ferri maupun niaga. Jumlah kapal yang secara kontinue menyinggahi Pelabuhan Kalabahi, terdiri dari 4 unit Kapal ferri, dengan jalur pelayaran sebagai berikut : 2 unit jalur Kupang – Kalabahi- Baa Rote PP) dan 2 unit jalur Kalabahi-BaranusaLeoleba-Larantuka PP dan Kalabahi–Atapupu Kabupaten Belu, PP). 3 Kapal perintis yakni Awu, Serimau dan Tatamaulau yang menyinggahi pelabuhan Kalabahi 2 minggu sekali secara kontinue serta 4 kapal niaga yang masuk pelabuhan Kalabahi seminggu sekali secara bergantian. Selain Pelabuhan laut, Kabupaten Alor juga sudah miliki 1 unit Bandara dengan panjang landasan 1 450 M, yang sudah disinggahi 1 unit Pesawat Cassa dan 1 unit Pesawat sejenis Foker 27 secara kontinue dalam seminggu dengan jalur penerbangan Kupang-Kalabahi PP dan Kupang–Maumere–Kalabahi PP, dan Kalabahi–Kupang-Denpasar ( 2 X seminggu). 4.2. Analisis Kesenjangan Pembangunan Antar Satuan Wilayah Pengembangan (SWP). 4.2.1. Kesenjangan Pendapatan Antar SWP berdasarkan Indeks Williamson Salah satu parameter yang digunakan dalam analisis kesenjangan pembangunan (kesenjangan pendapatan) antar satuan wilayah pengembangan adalah data Penerimanaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang sebagaimana diasumsikan bahwa PBB merupakan salah satu representasi penerimaan pendapatan seluruh penduduk dari berbagai lapangan usaha di suatu wilayah pembangunan; dilain sisi Penerimaan PBB merupakan kontribusi Penerimaan Pendapatan Daerah dari setiap SWP yang dapat direlokasi dalam RAPBD bagi kegiatan pemerintahan dan pembangunan di daerah setiap tahun anggaran. Dari hasil perhitungan dengan menggunakan Indeks williamson, dapat diketahui kesenjangan antar satuan wilayah Pengembangan (SWP) A, B dan C di Kabupaten Alor pada kurun waktu 1999 – 2004. Hasil perhitungan Indeks Williamson tersebut diperlihatkan pada Tabel 19 dan secara grafik ditunjukkan pada Gambar 9
94
Tabel 19 Indeks Williamson untuk SWP A, SWP B dan SWP C Di Kabupaten Alor pada kurun waktu 1999-2004. Tahun
SWP A
SWP B
SWP C
Kabupaten
1999
0.5449
0.2801
0.5365
0.9264
2000
0.5118
0.2639
0.5046
0.8721
2001
0.3918
0.1723
0.3393
0.5940
2002
0.3723
0.1118
0.5494
0.5643
2003
0.2734
0.1290
0.2601
0.4392
2004
0.2690
0.1113
0.2294
0.3935
Sumber : Hasil analisis Data Penerimaan PBB Tahun 1999-2004 Kesenjangan Pembangunan antar-inter SWP Periode 1999-2004 1.0000 0.9000
0.9264
SWP A
0.8721
Indeks Williamson
0.8000 0.7000 0.6000 0.5000
0.5449 0.5365
0.5940 0.5118 0.5046
0.4000 0.3000
0.2801
0.2639
0.5494 0.3918
0.3723
0.3393
0.4392 0.3935 0.2734
0.1723
0.2000
SWP B
0.5643
0.1118
0.2601 0.1290
0.1000 0.0000 1998
1999
2000
2001
2002
2003
SWP C
0.2690 0.2294 0.1113
2004
Kabupaten
2005
Tahun
Gambar 9 Kesenjangan Pembangunan antar-inter SWP A,B dan C di Kabupaten Alor Kurun waktu 1999-2004.
Dari Tabel 19 dan Gambar 9, dapat memberikan gambaran bahwa Indeks Williamson pada kurun waktu 1999 – 2004 untuk tingkat Kabupaten berkisar antara 0,3935 – 0,9264. Sedangkan masing-masing SWP terlihat bahwa pada SWP A Indeks Williamson berkisar antara 0,2690 – 0,5449; SWP C berkisar antara 0,2294 – 0,5494 dan SWP B berkisar antara 0,1113 – 0,2801. Hasil tersebut memperlihatkan bahwa rata-rata Indeks Williamson tingkat Kabupaten jauh lebih tinggi dari ketiga SWP, dimana Indeks williamson tertinggi mencapai 0,9264 dan indeks terendah berada pada nilai 0,3935. Sedangkan diantara ketiga SWP terlihat bahwa rata-rata Indeks Williamson SWP B lebih rendah dibanding SWP A dan SWP C. Antara SWP A dan SWP C menunjukkan Indeks Williamson yang tidak jauh berbeda. Indeks Williamson tertinggi pada SWP A mencapai 0,5449 sedangkan SWP C mencapai 0,5494, sedangkan
Indeks
terendah untuk SWP A berada pada nilai 0,2690 dan SWP C berada pada nilai
95
0,2294; Sedangkan pada SWP B nilai Indeks tertinggi mencapai 0,2801 dan terendah berada pada angka 0,1113. Dari Indeks Williamson tersebut memberikan indikasi bahwa Kesenjangan pendapatan pada
kurun waktu 1999 – 2004
menunjukkan bahwa rata-rata
kesenjangan pendapatan tingkat Kabupaten jauh lebih tinggi dari pada rata-rata kesenjangan pendapatan antara ketiga SWP. Hal ini disebabkan oleh variasi didalam pemerataan penerimaan pendapatan (PBB) antar SWP. Sedangkan rata-rata kesenjangan pendapatan antar SWP terlihat bahwa rata-rata
SWP B
lebih rendah dibanding SWP A dan SWP C. Sedangkan antara SWP A dan SWP C, rata-rata kesenjangan pendapatan relatif tidak jauh berbeda walaupun Indeks tertinggi berada pada SWP C. Kesenjangan tersebut pemerataan pembangunan pada SWP B jauh
mengindikasikan bahwa
lebih baik karena SWP B
merupakan pusat aktivitas ekonomi wilayah, sehingga sebahagian wilayah wilayah yang berada dalam SWP B akses aktivitas sosial ekonominya lebih berkembang dibanding SWP A dan SWP C. Namun demikian
rata-rata kesenjangan
pendapatan dari ketiga Satuan
Wilayah Pengembangan pada kurun waktu Tahun 1999 – 2004 semakin mengarah kepada perbaikan, kecuali pada SWP C
nilai Indeks Williamson
meningkat tajam pada Tahun 2002, yang mencapai 0,5494. Hal ini disebabkan oleh pemerataan pendapatan antar wilayah dalam SWP C yang tidak sama karena pada wilayah tertentu mayoritas penduduk yang tergantung pada komoditi pertanian yang monokultur mengalami kegagalan panen, disamping faktor-faktor eksternal lain yang tidak bisa dihindari dapat mempengaruhinya. Rata-rata kesenjangan pendapatan dari ketiga SWP yang cenderung mengarah pada perbaikan sangat berpengaruh terhadap kesenjangan pendapatan Daerah (Kabupaten) yang juga mengarah kepada perbaikan, yakni pada tahun 1999 kesenjangan pendapatan mencapai 0,9264 menurun menjadi 0,3935 pada tahun 2004. Berdasarkan hasil review terhadap 46 sampel Juru pungut desa pada 46 desa/keluarahan menyatakan bahwa secara umum kesenjangan pendapatan (penerimaan PBB) dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni faktor pendapatan masyarakat (wajib pajak) yang berfluktuatif/rendah (60 %), faktor akses pasar uang nominal yang rendah (22.50 %), sehingga penerimaan PBB
sering
dilakukan secara barter yang tentunya nilai barangnya lebih tinggi dari nilai nominal penerimaan PBB, hal ini sangat merugikan masyarakat, tetapi secara
96
terpaksa dilakukan Juru pungut desa sebagai suatu kewajiban. Sedangkan 12,50 persen dipengaruhi faktor sosial politik sebagai suatu bentuk protes kepada pemerintah terhadap kebijaksanaan pembangunan wilayah yang tidak berimbang dan 5 persen lainnya dipengaruhi oleh faktor kelalean wajib pajak. 4.2.2. Kesenjangan Perkembangan wilayah berdasarkan Indeks Skalogram. Hasil perhitungan Indeks skalogram terhadap perkembangan wilayah yang dicirikan oleh penyediaan jumlah sarana dan jumlah jenis sarana dan prasarana yang tersedia pada desa-desa antar satuan wilayah pengembangan, dapat tertera pada Tabel 20 dan Gambar 10. Peta Cluster desa hirarki Tahun 2003. Tabel 20 Perkembangan desa hirarki Antar SWP berdasarkan Indeks Skalogram Tahun 2003. Cluster/Hirarki
SWP
Prosentase Nilai Indeks Jumlah Perkembangan Antara desa (%) hirarki I A 0 0.00 > 0.370 B 8 4,57 0.372-0.378 C 0 0.00 > 0.370 Jumlah 8 4,57 II A 14 8,00 0.272-0.369 21,14 B 37 0.266-0.370 C 11 6,29 0.274-0.365 Jumlah 62 35,43 III A 5 2,86 0.016-0.265 B 21 12,00 0.003-0.263 1,71 C 3 0.052-0.092 Jumlah 29 16,57 IV A 27 15,43 (-0.459)-(-0.001) B 25 14,28 (-0.459)-(-0.003) C 24 13,71 (-0.459)-(-0.021) Jumlah 76 43,43 Total 175 100 Sumber : Hasil analisis data infrastruktur pada desa/kelurahan Tahun 2003
P
P. NUBU
P. BUAYA P. LAPANG
P. TERNATE
Kabir
Bakalang
Mor u
uk B
lan P. RUSA
P. KAMBING
P. PURA
Te l
P. MARICA
Baranusa
R P.PANTAR TA N PA T A L KEC. PANTAR BARAT SE
T
A
g lan enle
Keterangan :
KEC . ALOR T EN GAH U TAR A Mebung
KEC . ALOR T IM U R LAU T Bukapiting
Ib u ko ta Ka b u p a te n
K E C . A L OR T I M U R
Ib u ko ta Ke ca m a ta n Ba ta s Ka b u p a te n
P. KEPA
gm
KEC. PANTAR
E
PERKEMBANGAN HIRARKI WILAYAH ATAS DASAR INDEKS SKALOGRAM TAHUN 2003
P. SIKA
KEC. TELUK luk B MUTIARA Te
Kalabahi
P. BATANG
er an g
Kokar
KEC. ALOR BARAT LAUT
Jlh Hirarki Dalam RUTRW 0 1 0 1 1 2 2 5 4 7 2 13 8 8 11 27 46
KEC. ALOR BARAT DAYA
Apui
Ba ta s Ke ca m a ta n Maritaing
Ja la n Asp a l
P. A L O R
Ja la n Ba tu Su n g a i
K E C. A LO R S E LATA N
Ba ta s W P
Hirarki I Tg. Margeta
Hirarki II
P. TREWENG
Hirarki III Tg. Delaki
Hirarki IV U B
T S
SUMBER;HASILPENELITIANPWD, 2005
0
6.7
13.4
20.1
26.8 Km
SEKOLAH PASCASARJANA I P B - BOGOR . P e tperkembangan a p e r k e m b a nhirarki g a n wilayah h i r a r k i di w Kabupaten i l a y a h d i KAlor a b uatas p a t dasar e n A lo r Gambar: 610. 3 Peta indeks a t a s d a s a r in d e k s s k a lo g r a m T a h u n 2 0 0 3 . skalogram Tahun 2003
G a m b r
97
Pada Tabel 20 dan Gambar 10, memperlihatkan penyediaan sarana dan prasarana sosial ekonomi yang senjang atau timpang antar SWP, desa-desa hirarki yang di kategori memiliki indeks perkembangan sedikit tinggi (> 0.370) hanya tersebar pada 8 (4.57 %) kota hirarki desa/kelurahan pada SWP B. Kedelapan desa tersebut merupakan pengembangan dari kota Kalabahi sebagai Ibu Kota Kabupaten yang berperan sebagai kota hirarki utama yang memobilisasi segala aktivitas pemerintahan dan sosial ekonomi di Kabupaten Alor. Sementara desa/Kelurahan hirarki pada SWPA dan SWP C, berada pada cluster II,III dan IV. Pada Tabel 20, tersebut terlihat bahwa desa/Kelurahan hirarki yang dicluster sebagai Indeks perkembangan sedang ( 0.270 – 0.370 ), terdapat 62 (35,43 % ) dari 175 desa/Kelurahan di Kabupaten Alor. Dari 62 desa/kelurahan tersebut 59,68 persen terdapat pada SWP B, 22,58 persen pada SWP A dan 17,74 persen pada SWP C. Sedangkan Pada cluster III dengan indeks perkembangan kurang (0.001-0.269)
sebanyak 29 desa/kelurahan (16,57%) dari 175
desa/kelurahan. Dari 29 desa dengan indeks perkembangan kurang tersebut 75.86 persen berada pada SWP B, 17.24 persen berada pada SWP A dan 10.34 persen berada pada SWP C. Kemudian pada Cluster IV dengan kategori indeks perkembangan sangat kurang (<0.001) jauh lebih banyak dibanding cluster I,II dan III. Terdapat 76 (43,43 %) desa/kelurahan yang dikategori sangat kurang indeks perkembangan hirarkinya dari 175 desa/kelurahan. Dari 76 desa dimaksud 35,53 persen berada di SWP A.
Sedangkan pada SWP B 32,89
persen
Perkembangan
dan
SWP
C
31,58
persen.
masing-masing
desa/kelurahan hirarki antar Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) tersebut di atas dapat dilihat pada Lampiran 2. Dari potret perkembangan wilayah berdasarkan indeks Skalogram seperti yang ditunjukkan pada Tabel 20, menunjukkan pula bahwa kota-kota hirarki yang ditetapkan berdasarkan Rencana Umum Tata Ruang Wilayah (RUTRW) Kabupaten Alor Tahun 1991 antar SWP hingga tahun 2003 menunjukkan perkembangan yang tidak signifikan, bahkan pada beberapa hirarki yang berperan sebagai pusat aktivitas Pemerintahan Kecamatan menunjukkan indeks perkembangan kurang sampai sangat kurang, antara lain Marataing sebagai Ibu kota Kecamatan Alor Timur dalam RUTRW tergolong hirarki II, namun indeks skalogram menunjukkan minus 0,021 atau berada pada hirarki IV. Sedangkan Apui sebagai Ibu kota Kecamatan Alor Selatan dalam RUTRW tergolong hirarki II, namun indeks skalogram menunjukkan perkembangan kurang (0.052) atau
98
berada pada kategori hirarki III, demikian pula Baranusa sebagai Ibu kota Kecamatan
Pantar
Barat
dalam
RUTRW
tergolong
hirarki
II,
indeks
perkembangan menunjukkan hirarki III (0,265). Dilain sisi beberapa kota hirarki dalam RUTRW Kabupaten dikategori dalam hirarki III dan IV, namun indeks perkembangan menunjukkan berada pada hirarki II. Kota – Kota dimaksud antara lain, Moru Ibu kota Kecamatan Alor Barat Daya, dalam RUTRW tergolong hirarki IV, indeks perkembangan menunjukkan hirarki II (0.348), Kokar Ibu kota Kecamatan Alor Barat Laut dan Mebung Ibu kota Kecamatan Alor Tengah Utara, dalam RUTRW keduanya tergolong hirarki III, namun indeks perkembangan menunjukkan hirarki II masing-masing untuk Kokar (0.358) dan Mebung (0.359). Ketiga
kota
ini
adalah
satu
kesatuan
dalam
SWP
B
yang
ideks
perkembangannya jauh lebih baik dibanding kota-kota hirarki lain pada SWP A dan SWP C
karena ketiga kota ini lebih dekat dengan Kota hirarki Utama
sehingga spreat effect untuk mendorong perkembangan wilayah lebih nyata. Namun demikian pada Kota Kabir Ibu kota Kecamatan Pantar pada SWP A dan kota Bukapiting Ibu kota Kecamatan Alor Timur Laut pada SWP C, keduanya dalam RUTRW Kabupaten ditetapkan pada
hirarki III, tetapi indeks
perkembangan berada pada hirarki II, masing-masing untuk Kabir (0.369 ) dan Bukapiting (0.365). Beberapa kota hirarki selain Ibu kota Kecamatan, yang ditetapkan dalam RUTRW Kabupaten Alor Tahun 1991, dalam kategori hirarki II, III dan IV, ternyata dalam perkembangannya, beberapa kota diantaranya menunjukan indeks perkembangan yang signifikan tetapi ada sebahagian yang masih belum berkembang. Beberapa kota diantaranya sudah dibahas DPRD Kabupaten dan ditetapkan menjadi PERDA Kabupaten Alor Tahun 2005 sebagai pusat aktivitas Ibu Kota Kecamatan Pemekaran seperti diperlihatkan pada Tabel 21 Kota – kota dimaksud pada Tabel 21, antara lain pada SWP A adalah Kota Bakalang. Dalam RUTRW, Kota Bakalang dikategori dalam hirarki III, namun hasil perhitungan skalogram menunjukkan indeks perkembangan menjadi hirarki II (0.274) dan menjadi pusat aktivitas pemerintahan dan sosial ekonomi Kecamatan Pantar Timur (Hasil Pemekaran Kecamatan Pantar Tahun 2005). Kemudian Kota Marica dan Kota Maliang dalam RUTRW tergolong hirarki IV, tetapi hasil perhitungan skalogram menunjukkan indeks perkembangan menjadi hirarki II (0.272) untuk Marica dan hirarki III (0.087) untuk Maliang. Kota Marica
99
dan Kota Maliang menjadi Ibu kota Kecamatan Pantar Barat Laut dan Kecamatan Pantar Tengah (Hasil Pemekaran dari Kecamatan Pantar Barat). Pada SWP B Kota Kopidil dalam RUTRW tergolong hirarki IV, kini menjadi pusat aktivitas Kecamatan Kabola, dengan indeks perkembangan dalam kategori hirarki II (0,369). Kota Kalunan dalam RUTRW tergolong hirarki III, kini menjadi pusat aktivitas pemerintahan dan sosial ekonomi Kecamatan Mataru, dengan indeks perkembangan masih tetap pada hirarki III (0,005). Kota Alemba desa Lembur Timur dalam RUTRW dalam kategori hirarki II, kini sebagai pusat aktivitas pemerintahan dan sosial ekonomi Kecamatan Lembur dengan indeks perkembangan tetap pada hirarki II ( 0,336 ). Selain itu Kota Limarahing dalam RUTRW tidak dalam kategori kota hirarki, kini menjadi pusat aktivitas pemerintahan Kecamatan Pura, dengan indeks perkembangan dalam kategori hiraki II (0,327 ). Tabel 21 Indeks Perkembangan hirarki Ibu Kota Kecamatan Tahun 2003. SWP A
B
Nama Kota 1.Baranusa
Hirarki Dalam RUTRW II
Indeks Perkembangan 0.265
Hirarki III
2.Kabir
III
0.369
II
3.Bakalang
III
0,274
II
4.Maliang
IV
0,087
III
5.Marica
IV
0,272
II
6.Kalabahi
I
0.378
I
7.Kokar
III
0.358
II
8.Mebung
III
0.359
II
9.Moru
IV
0.348
II
10.Kopidil
IV
0,369
II
11.Alemba
II
0.336
II
12.Kalunan
III
0.005
III
Non hirarki
0.327
II
14.Apui
II
0.052
III
15.Bukapiting
III
0.365
II
16.Marataing
II
-0.021
IV
17.Peitoko
IV
-0.034
IV
13.Limarahing (Bolamelang ) C
Keterangan : © Ibu kota Kecamatan pemekaran Tahun 2005. Sumber : PERDA Kabupaten Alor No.15 Tahun Pembentukan Kecamatan di Kabupaten Alor
2005
Tentang
Kemudian pada SWP C, terlihat bahwa kota Peitoko dalam RUTRW Kabupaten berada pada kategori hirarki IV, kini menjadi pusat aktivitas
100
pemerintahan dan sosial ekonomi Kecamatan Puraiman, dengan perkembangan masih tetap pada hirarki IV (-0.034 ). Dari hasil indeks perkembangan hirarki wilayah, sebagaimana ulasan di atas memberikan indikasi bahwa 1) Perkembangan hirarki wilayah yang mendorong proses pertumbuhan ekonomi wilayah terutama pada SWP A dan C serta sebagian wilayah – wilayah pada SWP B terutama Alor Barat Daya bagian Selatan dan Alor Tengah Utara Bagian Selatan, indeks perkembangan hirarki wilayah masih sangat rendah (belum banyak berkembang); 2) Adanya inkonsistensi dalam pengarahan alokasi sumber daya yang mendorong proses pertumbuhan hirarki wilayah sesuai arahan RUTRW, sehingga RUTRW disusun lebih berprentensi pada ” Masterplan syndrome ”
3) Beberapa kota hirarki
memang sudah ditetapkan sebagai Pusat Aktivitas Pemerintahan dan sosial ekonomi wilayah, berdasarkan hasil pemekaran Kecamatan Baru Tahun 2005. Namun demikian berdasarkan hasil analisis hirarki wilayah seharusnya belum pada waktunya; karena beberapa Ibu kota kecamatan sebagai kota hirarki II dan III, yang dibangun dalam suatu kurun waktu yang panjang, belum menunjukkan suatu hirarki yang efektif dalam mendorong pertumbuhan wilayah belakangnya. Asumsi Penambahan Pusat aktivitas Pemerintahan yang baru, mungkin lebih berpretensi pada pertimbangan politis dan geofisik wilayah untuk memperpendek jangkauan pelayanan pemerintah dan pemerataan alokasi sumber daya pembangunan, namun asumsi tersebut tanpa mempertimbangkan kemampuan alokasi sumber daya pembangunan daerah (kemampuan investasi pembangunan Wilayah) akan lebih menambah wilayah karena inefisiensi
dalam alokasi
kelambanan pertumbuhan
sumber daya pembangunan yang
mendorong pertumbuhan wilayah secara cepat dan proporsional; karena proporsi APBD Pembangunan akan cenderung menurun sebab ada kecenderungan peningkatan alokasi APBD bagi belanja Apratur 4) Penetapan hirarki wilayah, yang sudah dilaksanakan selama ini lebih bersifat parsial dengan pertimbangan politis dan geografis. 4.2.3. Kesenjangan proporsi Alokasi APBD Pembangunan antar SWP berdasarkan Model Indeks Entroyp (IE). Perkembangan/pertumbuhan
suatu wilayah, tidak akan mungkin terlepas
dari kegiatan investasi, baik investasi pemerintah maupun investasi swasta pada suatu wilayah. Untuk itu pada wilayah – wilayah marginal seperti Kabupaten Alor, yang perkembangan infrastruktur wilayahnya belum mendukung investasi swasta, maka investasi pemerintah dalam bentuk APBD Pembangunan sangat
101
menentukan pertumbuhan suatu wilayah. Namun demikian dalam alokasi APBD Pembangunan tersebut
apakah secara spasial, penyebarannya sudah
proporsional antar satuan wilayah pengembangan (SWP), maka untuk menghitungnya digunakan Indeks Entropy (IE), dengan pertimbangan bahwa alokasi APBD Pembangunan dalam suatu SWP merupakan akumulasi alokasi APBD pada sub-sub wilayah sebagai Unit Daerah Kerja Pembangunan (UDKP). Dengan demikian hasil perhitungan indeks Entropy untuk menduga proporsi penyebaran APBD Pembangunan Antar SWP di Kabupaten Alor pada Tahun Anggaran 1997/1998 – 2003
dapat diperlihatkan pada Tabel 22 dan secara
grafis diperlihatkan pada Gambar 11 Tabel 22 Nilai Entropy Alokasi APBD Pembangunan Antar SWP di Kabupaten Alor TA.1997/1998-2003. No
Tahun Anggaran
Indeks Entropy Alokasi APBD Pembangunan Antar SWP SWP A
SWP B
SWP C
Kabupaten
1
1997/1998
0.69
1.33
1.08
3.10
2
1998/1999
0.69
1.33
1.09
3.11
3
2000
0.67
1.34
1.09
3.09
4
2001
0.64
1.36
1.09
3.08
5
2002
0.69
1.35
1.09
3.13
6
2003
0.69
1.35
1.09
3.13
Sumber : Hasil analisis Data alokasi APBD Kabupaten Alor TA.1997/1998-2003. Indeks pemerataan Alokasi APBD Kab.Alor TA.1997/1998-2003 3.50 3.11
3.10
3.00
3.09
3.13
3.13
3.08
SWP A
Nilai entropy
2.50 SWP B
2.00 1.50 1.00
1.33 1.08 0.69
1.33 1.09 0.69
1.34
1.09
0.67
1.36
1.35 1.09
0.64
1.09
0.69
1.35
1.09
SWP C
0.69
0.50
Kabupaten
0.00 1997/1998 1998/1999
2000
2001
2002
2003
Tahun Anggaran
Gambar 11 Nilai Entropy Alokasi APBD Pembangunan antar SWP di Kab.Alor TA.1997/1998-2003
Dari Tabel 22 dan Gambar 11, menggambarkan bahwa Pertumbuhan proporsi
Alokasi
APBD
Pembangunan antar SWP menunjukkan indikasi
kesenjangan, yakni pada SWP A terlihat lebih senjang dibanding SWP B dan
102
SWP C. Hasil perhitungan indeks entropy menunjukkan SWP B mendapat proporsi alokasi APBD Pembangunan yang lebih merata dan berkembang sedikit dinamis. Sedangkan antara SWP A dan SWP C, terlihat SWP C lebih merata proporsinya tetapi alokasi setiap tahun menunjukkan proporsi yang cenderung statis,
sedangkan
SWP
A
mengalami
kecenderungan
perkembangan
pemerataan yang fluktuatif menurun. Kesenjangan alokasi APBD pembangunan tersebut, dapat terjadi bukan lebih disebabkan oleh besar kecilnya prosentase alokasi APBD Pembangunan antar SWP, tetapi kesenjangan terjadi karena alokasi APBD Pembangunan yang tidak proporsional antar sub-sub wilayah dan atau sub wilayah cakupannya yang terbatas. Hal ini bisa dilihat pada SWP A yang hanya memiliki dua sub wilayah Kecamatan (lihat Lampiran 7), dimana sub wilayah yang memperoleh prosentasi alokasi APBD yang lebih besar ternyata menunjukkan indeks entropy yang lebih kecil
dari
sub
Pembangunan
wilayah yang
lebih
yang
memperoleh
kecil.
Selain
itu
prosentase
alokasi
APBD
prosentase
alokasi
APBD
Pembangunan antara SWP A dan SWP C, menunjukkan SWP A lebih besar dibanding SWP C, misalnya pada TA. 1997/1998,2000 dan 2001 seperti terlihat pada Gambar 12, tetapi indeks entropy menunjukkan SWP C lebih besar, dan karena SWP C mencakup 3 sub wilayah Kecamatan dan SWP B mencakup 4 sub wilayah Kecamatan (yang lazim sebagai unit daerah kerja pembangunan =UDKP). Prosentase Alokasi APBD Pembangunan antar SWP TA.1997/1998 - 2003
% Alokasi APBD
120
100
100
100
100
100
100
100 80 60 40 20
30
SWP B
55
50 20
22
SWP A
23
26
53
45
51 23
30
25
22
53 25
22
25
SWP C Kabupaten
0 1997/1998 1998/1999
2000
2001
2002
2003
Tahun Anggaran
Gambar 12 Prosentase alokasi APBD Pembangunan antar SWP TA.1997/1998-2003
Pada umumnya perkembangan nilai entropy, pada SWP B dan C yang mencakup lebih dari dua sub wilayah sebagaimana pada Lampiran 7, untuk masing-masing sub wilayah didapati perkembangan nilai entropy sejalan dengan proporsi alokasi APBD Pembangunan, berbeda dengan SWP A, dimana Sub
103
wilayah yang memperoleh proporsi alokasi APBD Pembangunan lebih besar justru menunjukkan indeks pemerataan yang kecil. Hal ini sejalan dengan prinsip indeks entropy bahwa semakin luas jangkauan spasial (cakupan sub wilayah lebih
banyak),
maka
semakin
tinggi
entropy
(pemerataan)
wilayah
(Saefulhakim,2003). Terkait dengan trend perkembangan nilai entropy setiap tahun yang cenderung statis, ada kaitannya dengan prosentase proporsi alokasi APBD Pembangunan pada beberapa sub wilayah yang cenderung statis atau bahkan menurun sebagaimana pada Gambar 12 dan Lampiran 7. Kecenderungan proporsi alokasi APBD yang statis dan fluktuatif, terkait dengan proporsi alokasi APBD Pembangunan yang terbatas, disertai penentuan alokasi Anggaran yang cenderung pada skala proporsi sektor atau proporsi unit kerja daerah dan proporsi wilayah kecamatan, ketimbang skala prioritas kegiatan pembangunan yang berbasis wilayah terutama yang berbasis wilayah perdesaan secara proporsional. Hal ini sangat terkait dengan masih lemahnya kualitas sumber daya pengelola
APBD,
baik
Eksekutif
maupun
Legislatif
dalam
membangun
pemahaman yang rasional. 4.2.4. Analisis Interaksi Spasial Antar hirarki/pusat aktivitas wilayah pembangunan. Salah satu indikator pertumbuhan suatu wilayah, tidak dapat terlepas dari meningkatnya mobilitas spasial antar wilayah, baik dalam wujud jumlah orang, jumlah barang, jumlah transportasi maupun jumlah informasi. Namun demikian secara parsial jaringan interaksi spasial antar wilayah belum menunjukkan jaringan interaksi yang “network”.
Pola interaksi antar wilayah pembangunan
yang ada adalah pola “dendretik”, yakni jaringan interaksi masih terbatas pada interaksi vertikal dari hirarki utama ke hirarki II (ibu kota kecamatan) dan sebaliknya. Salah satu indikator jaringan interaksi spasial yang menunjukkan network adalah “arus informasi”. Oleh karena itu dalam konteks penelitian ini, fokus pendugaan analisis kuantitatif interaksi spasial diarahkan pada “ arus informasi pengiriman dan penerimaan
berita melalui saluran SSB/ Channel
Single Band (SSB) Pemerintah Kabupaten Alor “. Sedangkan interkasi spasial dalam wujud jumlah orang, barang dan transportasi dapat dianalisis secara deskriptif.
104
a. Analisis interaksi spasial (Aliran informasi pelayanan pemerintah) antar hirarki/pusat aktivitas wilayah pengembangan. Sebagaimana uraian di atas bahwa salah satu alat informasi pelayan pemerintah antar hirarki/pusat aktivitas wilayah pengembangan adalah
alat
komunikasi satu arah (SSB), yang sudah dioperasikan di Kabupaten Alor, sejak Tahun 1975 dan pengadaan pada saat itu digunakan sebagai alat informasi pelaksanaan PEMILU Tahun 1975. Fokus penelitian dengan menggunakan data arus informasi melalui SSB dengan pertimbangan bahwa alat tersebut dalam perkembangannya masih eksis sampai sekarang untuk digunakan sebagai alat komunikasi utama antar wilayah hirarki yang masih sangat
tertinggal pembangunan infrastruktur. Sedangkan
dilain pihak arus informasi melalui sarana telekomunikasi yang lebih modern seperti Telephon maupun Telephon Sellular, hingga kini masih terbatas pada Kota hirarki utama (Kota Kalabahi sebagai Ibu kota Kabupaten). Dengan demikian hampir semua aktivitas pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kemasyarakatan antar hirarki wilayah diinformasikan melalui SSB sebagai alat komunikasi utama Pemerintah Daerah. Selain itu aktivitas sosial dan ekonomi antar masyarakat dengan masyarakat maupun masyarakat dengan pemerintah antar hirarki wilayah diinformasikan melalui SSB sebagai satu-satunya alat komunikasi yang bisa dijangkau masyarakat pedesaan secara cepat dengan biaya murah dan konstan (tanpa dipengaruhi limit waktu dan jarak). Karena itu, gangguan/hambatan yang berpengaruh dalam melakukan interaksi komunikasi tentu berbeda antar hirarki wilayah, yang turut berpengaruh terhadap intensitas interaksi (kelambanan informasi ). Dilain sisi penggunaan alat komunikasi ini, hampir 87 persen didominasi oleh aktivitas pemerintah, sehingga intensitas pelayanan pemerintah antar satuan wilayah pengembangan melalui saluran SSB secara nyata bisa diduga, hirarki wilayah mana yang intensitas pelayanan pemerintah lebih tinggi dan mana yang lebih rendah dan bagaimana dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat antar hirarki wilayah. Maka diperlukan suatu pendugaan alat analisis interaksi spasial, dan dalam penelitian ini telah digunakan
“Model Entropi Interaksi spasial
Tanpa Kendala
(Unconstrained Entropy Model )” dengan bantuan “software Minitab”. Hasil Analisis Entropy Interaksi Spasial Tanpa Kendala (Unconstrained Entropy Model ) dalam wujud interaksi informasi (terutama informasi harga, bencana alam, program/proyek dan kunjungan kerja) melalui saluran SSB antar
105
hirarki wilayah Tahun 2004, dapat diperlihatkan pada Tabel 23 dan secara Grafik diperlihatkan pada Gambar 13 dan 14 Tabel. 23 Hasil Analisis Entropy Interaksi spasial (Pengiriman dan Penerimaan Berita melalui Saluran SSB ) di Kabupaten Alor Tahun 2004. A.Hasil Analisis Entropy Pengiriman Berita (Berita Keluar ) NO KOTA KOTA TUJUAN ASAL ln Fij Kabir ln Fij Baranusa 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9
Kabir Baranusa Kalabahi Kokar Mebung Moru Apui Bukapiting Maritaing Maritaing
0.000 4.680 5.011 6.636 4.634 5.076 2.860 4.134 4.332 4.332
6.406 0.000 5.001 6.496 5.408 5.176 3.292 4.962 4.564 4.564
ln Fij Kalabahi 6.434 6.082 0.000 6.002 4.840 5.422 5.374 5.748 5.456 5.456
ln Fij Kokar 6.022 5.188 5.207 0.000 5.292 5.494 5.170 4.722 4.536 4.536
Lanjutan A. ln Fij Mebung
ln Fij ln Fij Apui ln Fij Moru Bukapiting 4.992 5.950 5.688 5.430 4.794 4.296 5.024 4.492 5.217 5.227 5.023 5.061 6.088 6.886 5.606 5.698 0.000 6.366 5.962 5.796 5.972 0.000 5.182 4.928 4.678 3.724 0.000 5.260 5.670 5.146 6.448 0.000 4.908 4.988 5.562 5.184 4.908 4.988 5.562 5.184 B. Hasil Analisis Entropy Penerimaan Berita (Berita Masuk ) NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9
KOTA ASAL Kabir Baranusa Kalabahi Kokar Mebung Moru Apui Bukapiting Maritaing
ln Fij Kabir 0.00 6.29 7.47 5.06 4.70 5.21 5.21 4.97 5.13
KOTA TUJUAN ln Fij ln Fij Kalabahi Baranusa 4.540 4.755 0.000 5.347 7.470 0.000 4.746 4.959 4.930 4.871 4.372 4.993 5.092 4.373 4.694 4.560 5.174 4.959
ln FijMarataing 5.192 4.754 5.033 6.592 5.894 5.006 4.920 6.572 0.000 0.000
ln Fij Kokar 5.93 6.40 7.45 0.00 5.42 5.93 5.15 5.15 6.33
Lanjutan B ln Fij ln Fij Moru ln Fij Apui ln Fij Bukapiting ln FijMebung Marataing 4.716 4.993 4.270 4.298 4.368 5.024 5.616 4.944 5.342 5.068 7.426 7.483 7.403 7.293 7.376 4.936 5.236 5.210 4.438 4.368 0.000 5.757 5.200 5.230 4.920 5.908 0.000 4.642 4.784 4.864 5.042 5.122 0.000 5.568 5.364 5.415 5.259 5.662 0.000 5.038 5.798 5.310 5.540 6.064 0.000 Sumber : Diolah dari Laporan Bulanan Operasi SSB pada Kantor SSB dan Kecamatan Tahun 2004.
106
Entropy interaksi spasial ( Berita keluar melalui SSB)Tahun 2004 8.000
Kabir
7.000
6.000
Baranusa Nilai entropy
5.000
4.000
Kalabahi
3.000
Kokar
2.000
1.000
Mebung
0.000
ln Fij Kabir
ln Fij Baranusa
ln Fij Kalabahi
ln Fij Kokar
ln Fij Mebung
ln Fij Moru
ln Fij Apui
ln Fij Bukapiting
ln FijMarataing
Kabir
0.000
6.406
6.434
6.022
4.992
5.950
5.688
5.430
5.192
Baranusa
4.680
0.000
6.082
5.188
4.794
4.296
5.024
4.492
4.754
Kalabahi
5.011
5.001
0.000
5.207
5.217
5.227
5.023
5.061
5.033
Kokar
6.636
6.496
6.002
0.000
6.088
6.886
5.606
5.698
6.592
Mebung
4.634
5.408
4.840
5.292
0.000
6.366
5.962
5.796
5.894
Moru
5.076
5.176
5.422
5.494
5.972
0.000
5.182
4.928
5.006
Apui
2.860
3.292
5.374
5.170
4.678
3.724
0.000
5.260
4.920
Bukapiting
4.134
4.962
5.748
4.722
5.670
5.146
6.448
0.000
6.572
Maritaing
4.332
4.564
5.456
4.536
4.908
4.988
5.562
5.184
0.000
Moru
Apui
Bukapiting
Maritaing
Kota Tujuan
Gambar 13 Entropi Interaksi Spasial (pengiriman berita melalui SSB) Antar hirarki wilayah di Kabupaten Alor Tahun 2004
Entropy interaksi spasial (Berita masuk melalui SSB) Tahun 2004 8.00 Kabir
7.00 6.00
Baranusa
Nilai entropy
5.00 4.00
Kalabahi
3.00 2.00
Kokar
1.00 Mebung
0.00 ln Fij Kabir
ln Fij Baranusa
ln Fij Kalabahi
ln Fij Kokar
ln Fij Mebung
ln Fij Moru
ln Fij Apui
ln Fij Bukapiting
ln FijMarataing
Kabir
0.00
4.540
4.755
5.93
4.716
4.993
4.270
4.298
4.368
Baranusa
6.29
0.000
5.400
6.40
5.024
5.616
4.944
5.342
5.068
Kalabahi
7.47
7.470
0.000
7.45
7.426
7.483
7.403
7.293
7.376
Kokar
5.06
4.746
4.959
0.00
4.936
5.236
5.210
4.438
4.368
Mebung
4.70
4.930
4.871
5.42
0.000
5.757
5.200
5.230
4.920
Moru
5.21
4.372
4.993
5.93
5.908
0.000
4.642
4.784
4.864
Apui
5.21
5.092
4.373
5.15
5.042
5.122
0.000
5.568
5.364
Bukapiting
4.97
4.694
4.560
5.15
5.415
5.259
5.662
0.000
5.038
Maritaing
5.13
5.174
4.959
6.33
5.798
5.310
5.540
6.064
0.000
Kota tujuan
Gambar 14 Entropi Interaksi Spasial (Penerimaan Berita Melalui SSB ) Antar Hirarki Wilayah di Kabupaten Alor Tahun 2004
Moru
Apui
Bukapiting
Maritaing
107
Pada Tabel 23 dan Gambar 13 dan 14, memperlihatkan intensitas interaksi spasial (banyaknya berita yang dikirim dan diterima ) melalui saluran SSB antar hirarki wilayah, yakni terdapat 9 hirarki/pusat aktivitas wilayah yang tersebar pada tiga Satuan
Wilayah Pengembangan (SWP), yakni Kota Kabir dan
Baranusa mewakili SWP A, Kota Kalabahi, Kokar, Mebung dan Moru mewakili SWP B dan Kota Apui, Bukapiting dan Marataing mewakili SWP C. Kesembilan wilayah hirarki ini masing – masing melakukan interaksi sebagai Kota Asal dan Kota Tujuan. Dari Hasil Analisis Entropi Spasial Tanpa Kendala (Unconstrained Entropy Model ) dapat diuraikan secara berurut dari intensitas interaksi (Fij) pengiriman dan penerimaan berita melalui saluran SSB mulai dari Fij tertinggi sampai Fij terendah antar hirarki wilayah adalah sebagai berikut : A. Intensitas Interaksi (Fij) Pengiriman Berita (Berita Keluar). Dari
kota asal Kabir
ke kota tujuan secara berurutan berdasarkan
intensitas interaksi pengiriman berita adalah Kalabahi, Baranusa, Kokar, Moru, Apui, Bukapiting,Marataing dan Mebung. Koefisien hambatan (β) yang mempengaruhi intensitas pengiriman berita antar hirarki wilayah sebesar (-0,163) dengan nilai R2 (72,20%) dan Pvalue (0,008),sedangkan parameter konstanta sebesar (7,11). Varibel-variabel hambatan (R2) yang mempengaruhi intensitas interaksi pengiriman berita disini adalah “gangguan teknis alat komunikasi dan gangguan modulasi yang dipicu oleh jarak dan cuaca”. Kedua variabel gangguan tersebut berlaku untuk semua hirarki wilayah. Nilai P (0,008) menunjukkan signifikansi penggunaan model sebesar 99,992 persen. Sedangkan parameter konstanta sebesar 7,11 menunjukkan jumlah berita yang keluar dari Kabir menuju kota-kota hirarki lainnya untuk setiap jam operasi SSB dengan asumsi tidak terjadi gangguan teknis dan modulasi. Dari kota asal Baranusa menuju kota tujuan secara berurutan berdasarkan intensitas interaksi adalah Kalabahi, Kokar, Apui , Mebung , Marataing, Kabir, Bukapiting dan Moru. Koefisien hambatan (β) yang mempengaruhi intensitas pengiriman berita antar hirarki wilayah sebesar (-0,179) dengan nilai variabel hambatan (R2) sebesar (62,70%) dan Pvalue (0,019) dalam arti signifikansi penggunaan model sebesar 99.981 persen. Sedangkan parameter konstanta yang menunjukkan jumlah berita yang keluar dari Baranusa menuju Kota-kota hirarki lainnya untuk setiap jam operasi SSB sebesar 7,03.
108
Dari kota asal Kalabahi menuju kota tujuan secara berurutan berdasarkan intensitas interaksi adalah Moru, Mebung, Kokar, Bukapiting, Marataing, Apui, Kabir dan Baranusa . Koefisien hambatan (β) yang mempengaruhi intensitas pengiriman berita antar hirarki wilayah sebesar (-0,0541) dengan nilai variabel hambatan (R2) sebesar (59,20 %) dan Pvalue (0,026) dalam arti signifikansi penggunaan model sebesar 99.974 persen. Sedangkan parameter konstanta yang menunjukkan jumlah berita yang keluar dari Kalabahi menuju Kota-kota hirarki lainnya untuk setiap jam operasi SSB sebesar 6,18. Dari kota asal Kokar menuju kota tujuan secara berurutan berdasarkan intensitas interaksi adalah Moru, Kabir, Marataing, Baranusa, Mebung, Kalabahi,
Bukapiting,
dan
Apui.
Koefisien
hambatan
(β)
yang
mempengaruhi intensitas pengiriman berita antar hirarki wilayah sebesar (-0,187) dengan nilai variabel hambatan (R2) sebesar (74,40 %) dan Pvalue (0,006) dalam arti signifikansi penggunaan model sebesar 99.994 persen. Sedangkan parameter konstanta yang menunjukkan berita yang keluar dari Kokar menuju Kota-kota hirarki lainnya
untuk setiap jam
operasi SSB sebesar 7,20. Dari kota asal Mebung menuju kota tujuan secara berurutan berdasarkan intensitas interaksi adalah Moru, Apui, Marataing, Bukapiting, Kokar, Baranusa,
Kalabahi,
dan
Kabir.
Koefisien
hambatan
(β)
yang
mempengaruhi intensitas pengiriman berita antar hirarki wilayah sebesar (-0,166) dengan nilai variabel hambatan (R2) sebesar (70,50 %) dan Pvalue (0,009) dalam arti signifikansi penggunaan model sebesar 99.991 persen. Sedangkan parameter konstanta yang menunjukkan berita yang keluar dari Mebung menuju Kota-kota hirarki lainnya untuk setiap jam operasi SSB sebesar 6,87. Dari kota asal Moru menuju kota tujuan secara berurutan berdasarkan intensitas interaksi adalah Mebung, Kokar, Kalabahi, Kabir, Marataing dan
Apui, Baranusa,
Bukapiting. Koefisien hambatan (β) yang
mempengaruhi intensitas pengiriman berita antar hirarki wilayah sebesar (-0,127) dengan nilai variabel hambatan (R2) sebesar (51,90 %) dan Pvalue (0,044) dalam arti signifikansi penggunaan model sebesar 99.56 persen. Sedangkan parameter konstanta yang menunjukkan berita yang
109
keluar dari Moru menuju Kota-kota hirarki lainnya
untuk setiap jam
operasi SSB sebesar 6,47. Dari kota asal Apui menuju kota tujuan secara berurutan berdasarkan intensitas interaksi adalah Kalabahi, Bukapiting, Kokar, Marataing, Mebung, Moru, Baranusa dan Kabir.
Koefisien hambatan (β) yang
mempengaruhi intensitas pengiriman berita antar hirarki wilayah sebesar (-0,256) dengan nilai variabel hambatan (R2) sebesar (62,00 %) dan Pvalue (0,020) dalam arti signifikansi penggunaan model sebesar 99.98 persen. Sedangkan parameter konstanta yang menunjukkan berita yang keluar dari Apui menuju Kota-kota hirarki lainnya
untuk setiap jam
operasi SSB sebesar 7,61. Dari kota asal Bukapiting menuju kota tujuan secara berurutan berdasarkan intensitas interaksi adalah Marataing, Apui (6,448), Kalabahi Mebung, Moru, Kokar, Baranusa, dan Kabir.
Koefisien hambatan (β)
yang mempengaruhi intensitas pengiriman berita antar hirarki wilayah sebesar (-0,212) dengan nilai variabel hambatan (R2) sebesar (65,50 %) dan Pvalue (0,015) dalam arti signifikansi penggunaan model sebesar 99.985 persen. Sedangkan parameter konstanta yang menunjukkan berita yang keluar dari Bukapiting menuju Kota-kota hirarki lainnya untuk setiap jam operasi SSB sebesar 7,50. Dari kota asal Marataing menuju kota tujuan secara berurutan berdasarkan intensitas interaksi adalah Apui, Kalabahi, Bukapiting, Moru, Mebung, Baranusa, Kokar,
dan Kabir.
Koefisien hambatan (β) yang
mempengaruhi intensitas pengiriman berita antar hirarki wilayah sebesar (-0,151) dengan nilai variabel hambatan (R2) sebesar (53.10 %) dan Pvalue (0,040) dalam arti signifikansi penggunaan model sebesar 99.60 persen. Sedangkan parameter konstanta yang menunjukkan berita yang keluar dari Marataing menuju Kota-kota hirarki lainnya untuk setiap jam operasi SSB sebesar 6,71 B. Intensitas Interaksi (Fij) Penerimaan Berita (Berita Masuk). Intensitas interaksi berita yang diterima Kabir dari kota asal secara berurutan berdasarkan intensitas interaksi penerimaan berita masuk adalah Kalabahi, Baranusa, Moru, Apui. Marataing, dan Mebung.
Kokar , Bukapiting,
Koefisien hambatan (β) yang mempengaruhi intensitas
penerimaan berita antar hirarki wilayah sebesar (-0,139) dengan nilai R2
110
(62,20 %) dan Pvalue (0,020), sedangkan parameter konstanta sebesar (6,56). Varibel-variabel hambatan (R2) yang mempengaruhi intensitas interaksi penerimaan berita sama halnya dengan variabel pengiriman berita yakni “gangguan teknis alat komunikasi dan gangguan modulasi “. Kedua variabel gangguan tersebut berlaku untuk interaksi penerimaan berita pada semua hirarki wilayah. Nilai P (0,020 ) menunjukkan signifikansi penggunaan model sebesar 99,98 persen. Sedangkan parameter konstanta sebesar 6,56 menunjukkan jumlah berita yang masuk (diterima) Kabir dari kota-kota hirarki lainnya untuk setiap jam operasi SSB dengan asumsi tidak terjadi gangguan teknis dan modulasi. Intensitas interaksi berita yang diterima Baranusa dari kota asal secara berurutan berdasarkan intensitas interaksi penerimaan berita masuk adalah Kalabahi Marataing, Apui, Mebung. Kokar, Bukapiting, Kabir dan Moru. Koefisien hambatan (β) yang mempengaruhi intensitas penerimaan berita antar hirarki wilayah sebesar (-0,147) dengan nilai variabel hambatan (R2) sebesar (60,30 %) dan Pvalue (0,023) atau signifikansi penggunaan model sebesar 99,997 persen. Sedangkan parameter konstanta yang diperoleh dari penggunaan model sebesar 6,91. Nilai ini menunjukkan berita yang masuk atau diterimai Baranusa dari Kota-kota hirarki lainnya untuk setiap jam operasi SSB, dengan asumsi tidak terjadi gangguan teknis dan modulasi. Intensitas interaksi berita yang diterima Kalabahi dari kota asal secara berurutan berdasarkan intensitas interaksi penerimaan berita masuk adalah Baranusa, Moru. Kokar, Marataing, Mebung. Kabir, Bukapiting dan Apui, Koefisien hambatan (β) yang mempengaruhi intensitas penerimaan berita antar hirarki wilayah sebesar (-0,0367) dengan nilai variabel hambatan (R2) sebesar (62,20 %) dan Pvalue (0,020) atau signifikansi penggunaan model sebesar 99,98 persen. Sedangkan parameter konstanta yang diperoleh dari penggunaan model sebesar 6,87. Intensitas interaksi berita yang diterima
Kokar dari kota asal
secara
berurutan berdasarkan intensitas interaksi penerimaan berita masuk adalah Kalabahi, Baranusa, Marataing, Moru, Kabir, Mebung, Bukapiting dan Apui. Koefisien hambatan (β) yang mempengaruhi intensitas penerimaan berita antar hirarki wilayah sebesar (-0,128) dengan nilai
111
variabel hambatan (R2) sebesar (50,60 %) dan Pvalue (0,048) atau signifikansi penggunaan model sebesar 99,952 persen. Sedangkan parameter konstanta yang diperoleh dari penggunaan model sebesar 6,35. Intensitas interaksi berita yang diterima Mebung dari kota asal secara berurutan berdasarkan intensitas interaksi penerimaan berita masuk adalah Kalabahi, Moru, Marataing, Bukapiting, dan Kabir.
Apui, Baranusa, Kokar
Koefisien hambatan (β) yang mempengaruhi intensitas
penerimaan berita antar hirarki wilayah sebesar (-0,105) dengan nilai variabel hambatan (R2) sebesar (54,30 %) dan Pvalue (0,037) atau signifikansi penggunaan model sebesar 99,963 persen. Sedangkan parameter konstanta yang diperoleh dari penggunaan model sebesar 6,21. Intensitas interaksi berita yang diterima
Moru dari kota asal
secara
berurutan berdasarkan intensitas interaksi penerimaan berita masuk adalah Kalabahi, Mebung, Baranusa, Marataing, Bukapiting, Kokar, Apui dan Kabir. Koefisien hambatan (β) yang mempengaruhi intensitas penerimaan berita antar hirarki wilayah sebesar (-0,123) dengan nilai variabel hambatan (R2) sebesar (71.50 %) dan Pvalue (0,008) atau signifikansi penggunaan model sebesar 99,963 persen. Sedangkan parameter konstanta yang diperoleh dari penggunaan model sebesar 6,34. Intensitas interaksi berita yang diterima
Apui dari kota asal
secara
berurutan berdasarkan intensitas interaksi penerimaan berita masuk adalah Kalabahi, Bukapiting, Marataing, Kokar, Mebung, Baranusa , Moru dan Kabir.
Koefisien hambatan (β) yang mempengaruhi intensitas
penerimaan berita antar hirarki wilayah sebesar (-0,112) dengan nilai variabel hambatan (R2) sebesar (61.50 %) dan Pvalue (0,021) atau signifikansi penggunaan model sebesar 99,979 persen. Sedangkan parameter konstanta yang diperoleh dari penggunaan model sebesar 6,26. Intensitas interaksi berita yang diterima Bukapiting dari kota asal secara berurutan berdasarkan intensitas interaksi penerimaan berita masuk adalah Kalabahi, Marataing, Apui, Baranusa, Mebung, Moru, Kokar dan Kabir. Koefisien hambatan (β) yang mempengaruhi intensitas penerimaan
112
berita antar hirarki wilayah sebesar (-0,089) dengan nilai variabel hambatan (R2) sebesar (50.70 %) dan Pvalue (0,047) atau signifikansi penggunaan model sebesar 99,953 persen. Sedangkan parameter konstanta yang diperoleh dari penggunaan model sebesar 6,14. Intensitas interaksi berita yang diterima Marataing dari kota asal secara berurutan berdasarkan intensitas interaksi penerimaan berita masuk adalah Kalabahi, Apui, Baranusa, Bukapiting, Mebung, Moru, Kokar , dan Kabir. Koefisien hambatan (β) yang mempengaruhi intensitas penerimaan berita antar hirarki wilayah sebesar (-0,134) dengan nilai variabel hambatan (R2) sebesar (77,90 %) dan Pvalue (0,004) atau signifikansi penggunaan model sebesar 99,996 persen. Sedangkan parameter konstanta yang diperoleh dari penggunaan model sebesar 6,70. Secara umum
Tabel 23 dan Gambar 13 dan 14 juga memperlihatkan
bahwa: Rata –rata intensitas interaksi spasial yang masuk ke kota hirarki utama (Kalabahi) dari kota – kota hirarki bawahnya jauh lebih tinggi, rata - rata di atas
7 berita perjam operasi SSB bila dibanding dengan intensitas
interaksi sebaliknya, dari hirarki utama ke hirarki bawahnya. Hal ini ada hubungannya dengan Kalabahi sebagai pusat kebijakan aktivitas pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kemasyarakatan yang dilaksanakan oleh seluruh Kelembagaan Pemerintah Daerah kepada masyarakat, hampir seluruhnya diinformasikan melalui saluran SSB. Rata-rata intensitas interaksi antara kota hirarki utama dengan kota –kota hirarki dalam satu SWP (SWP B) sedikit lebih kuat dibanding antar kotakota hirarki pada SWP A dan C. Intensitas interaksi spasial yang terkait dengan penyampaian informasi pelayanan pemerintah berupa informasi pasar, bencana alam, informasi kegiatan program/proyek dan kunjungan kerja dalam rangka supervisi dan sosialisai kepada masyarakat menunjukkan pemerintah
yang
tidak
simetrik
antar
hirarki
intensitas pelayanan wilayah.
Hal
ini
memperlihatkan signifikansi kesenjangan pertumbuhan antar wilayah. b. Analisis deskriptif pola interaksi spasial antar hirarki/pusat aktivitas inter wilayah pengembangan dan antar dan inter regional. Analisis entropi interaksi spasial tanpa kendala (unconstrained entropy model) untuk menduga arus informasi pelayanan pemerintah pada masyarakat melalui saluran SSB pemerintah daerah, sebenarnya sudah memberikan sinyal
113
adanya asimetrik interaksi spasial antar wilayah, akan tetapi hasil pendugaan tersebut belum merepresentasikan perkembangan jaringan interaksi spasial yang komprehensif, oleh karena itu perlu juga analisis deskriptif untuk melihat pola interaksi spasial berdasarkan jaringan interaksi yang diarahkan dalam RUTRW Kabupaten Alor Tahun 1991.
Hal ini
didasari
pada asumsi bahwa suatu
wilayah memiliki potensi sumber daya dan karakteristik yang berbeda baik dari aspek resource endowment maupun aspek artificial resources berupa teknologi dan hasil interaksi sosial-ekonomi antar wilayah lainnya.
Perbedaan sumber
daya (supply side) serta disisi lainnya perbedaan kebutuhan (demand side) menyebabkan terjadinya transaksi dan interaksi sosial maupun ekonomi wilayah. Mobilisasi sumber daya dan pemenuhan kebutuhan masing-masing wilayah sehingga terjadinya hubungan/interaksi wilayah dapat berwujud arus atau pergerakan
orang, kendaraan atau barang serta komponen wilayah lainnya
(seperti teknologi, modal dan informasi) melalui jalan dan transportasi, system atau kelembagaan yang melaksanakannya dan tingkat dan sifat interaksi akan menentukan perkembangan suatu wilayah. Sifat pergerakan penduduk sendiri secara garis besar terbagi dua karakteristik. Yang pertama adalah pergerakan yang bersifat sementara (commuting), yakni perjalanan atau bepergian untuk memenuhi kebutuhan hidup dan atau usahanya kemudian selanjutnya akan kembali lagi ketempat asalnya. Sedangkan yang kedua adalah pergerakan yang bersifat tetap, yakni perpindahan penduduk dari suatu tempat ketempat lain dengan tujuan untuk menetap secara permanent. Namun dalam konteks penelitian ini hanya difokuskan pada karakteristik yang pertama. Pergerakan penduduk yang bersifat sementara (commuting), tergambar dari orientasi perjalanan/bepergian penduduk pada masing-masing SWP dapat dilihat pada Tabel 24 dan secara Grafik dapat terlihat pada Gambar 15, 16 dan 17. Pada Tabel 24, dan Gambar 15,16 dan 17, menggambarkan bahwa ratarata orientasi penduduk untuk memenuhi kebutuhan dan usaha untuk masingmasing SWP menunjukkan bahwa rata-rata orientasi ke kota Kabupaten lebih besar walaupun ada perbedaan proporsi antar ketiga SWP, dimana SWP A (54,05 %), SWP B (56,01 %) dan SWP C (65,94 %). Orientasi interaksi spasial penduduk lebih besar kedua, adalah orientasi Luar Kabupaten, untuk SWP A (20,02 %), SWP B (14,80%) dan SWP C (10,32%), Kemudian orientasi bepergian dalam Kota Kecamatan, untuk SWP A (9,22 %), SWP B (10,13 %) dan
114
Tabel 24 Orientasi Perjalanan/Bepergian Penduduk Pada SWP A, B dan C. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Keperluan SWP A Membeli sembako Membeli Pakaian Membeli bahan rumah Membeli elektronik Membeli alat dan mesin Membeli saprotan Membeli kendaraan Menjual hasil usaha Urusan adat/keluarga Rekreasi/traveling Rata-rata SWP B Membeli sembako Membeli Pakaian Membeli bahan rumah Membeli elektronik Membeli alat dan mesin Membeli saprotan Membeli kendaraan Menjual hasil usaha Urusan adat/keluarga Rekreasi/traveling Rata-rata SWP C Membeli sembako Membeli Pakaian Membeli bahan rumah Membeli elektronik Membeli alat dan mesin Membeli saprotan Membeli kendaraan Menjual hasil usaha Urusan adat/keluarga Rekreasi/traveling Rata-rata
DD/K DDL
DKK
DKK L1-SWP
DKKL L-SWP
DKKab.
LKab
15.42 0.05
12.32 1.02
30.04 4.26
6.05 3.22
0.00 0.00
31.57 4.60 100 66.15 25.30 100
1.20 0.00
1.50 0.00
10.36 0.00
0.08 0.00
0.00 0.00
82.65 4.21 100 84.35 15.65 100
0.00 0.00
0.00 0.00
0.00 1.24
0.00 2.60
0.00 0.00
80.75 19.25 100 55.48 40.68 100
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
64.30 35.70 100
6.30
7.64
10.20
5.40
4.60
30.40 35.46 100
30.20 0.00 5.32
22.20 5.20 4.99
7.50 28.60 9.22
7.30 16.30 4.10
12.40 6.20 2.32
15.20 5.20 100 29.60 14.10 100 54.05 20.02 100
20.40 0.80
14.20 1.30
24.30 6.70
0.00 0.00
8.30 1.20
25.40 7.40 100 69.40 20.60 100
2.40 1.20
3.50 1.50
12.36 4.50
0.00 0.00
2.40 1.30
72.14 7.20 100 79.30 12.20 100
0.50 1.40
0.30 1.50
3.20 4.80
0.00 0.00
2.40 3.60
78.35 15.25 100 62.02 26.68 100
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
84.30 15.70 100
8.30
9.60
12.20
0.00
8.60
46.26 15.04 100
24.00 1.60 6.06
18.20 15.50 6.56
12.60 20.64 10.13
9.40 10.20 1.96
10.20 6.80 4.48
18.20 7.40 100 24.76 20.50 100 56.01 14.80 100
12.36 0.00
9.60 0.00
22.30 1.20
4.20 1.20
0.00 0.00
51.54 91.80
1.20 0.00
4.60 0.00
10.05 0.00
0.50 0.00
0.00 0.00
83.65 0.00 100 89.35 10.65 100
0.00 0.00
0.00 0.00
0.00 0.90
0.00 0.90
0.00 0.00
89.35 10.65 100 68.06 30.14 100
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
70.30 29.70 100
7.80
10.60
20.35
2.40
0.00
58.85
36.24 0.00 5.76
27.20 6.40 5.84
8.31 20.60 8.37
6.30 12.36 2.79
5.60 4.20 0.98
12.15 4.20 100 44.34 12.10 100 65.94 10.32 100
Sumber : Hasil analisis data primer Keteranagn : DD/K = Dalam desa/kelurahan DDL = Dalam desa lain DKK = Dalam kota kecamatan DKKL1-SWP = Dalam kota kecamatan lain dalam satu SWP DKKLL-SWP = Dalam kota kecamatan lain luar SWP DK-Kab. = Dalam kota Kabupaten L-Kab. = Luar Kabupaten
Jlh
0.00 100 5.80 100
0.00 100
115
Rataan orientasi keperluan bepergian pada SWP A Tahun 2004
4.99 9.22
5.32
20.02
DD/K
4.10 2.32
DDL DKK DKKL1-SWP DKKLL-SWP DK-Kab.
54.05
L-Kab
Gambar 15 Rataan orientasi bepergian penduduk pada SWP A. Rataan orientasi keperluan bepergian pada SWP B Tahun 2004
14.80
6.06
6.56
DD/K 10.13 1.96
DDL DKK DKKL1-SWP
4.48
DKKLL-SWP DK-Kab. L-Kab
56.01
Gambar 16 Rataan orientasi bepergian penduduk pada SWP B Rataan orientasi keperluan bepergian pada SWP C Tahun 2004
10.32
5.76
5.84
8.37 2.79 0.98
DD/K DDL DKK DKKL1-SWP DKKLL-SWP DK-Kab.
65.94
Gambar 17 Rataan orientasi bepergian penduduk pada SWP C
L-Kab
116
SWP C (8,37%). Orientasi bepergian didalam desa/kelurahan sendiri, untuk SWP A (5,32 %), SWP B (6,06 %) dan SWP C (5,76 %). Orientasi kedesa lain, untuk SWP A (4,99 %), SWP B (6,56 %) dan SWP C (5,84%). Sedangkan orientasi ke kota Kecamatan dalam satu SWP menunjukkan proporsi untuk SWP A ( 4,10 %), SWP B (1,96 %) dan SWP C (2,79 %). Kemudian orientasi ke kota Kecamatan diluar SWP, dimana SWP A (2,32 %), SWP B (4,48 %) dan SWP C (0,98 %). Pada Gambar 15 menunjukkan bahwa prosentase orientasi bepergian penduduk untuk memenuhi kebutuhan dan kegiatan usaha keluar Kabupaten pada SWP A menunjukkan proporsi lebih besar, hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain
(1) kedekatan wilayah secara geografis dengan
wilayah Flores mendorong interaksi yang lebih kuat (2) sebagai
wilayah
pelabuhan transit jalur 2 unit kapal feri Kalabahi – Leoleba – Larantuka PP, mendorong akses ekonomi dan sosial yang lebih terbuka dan kuat (3) perbedaan harga komoditi yang sangat menyolok rata-rata 12 persen lebih tinggi dari harga yang berlaku di kota asal, sehingga orientasi pemenuhan kebutuhan dan usaha penduduk SWP A antar interregional ke wilayah Flores
lebih terbuka dan
dianggap memberikan nilai tambah (value added) yang lebih signifikan. Perbedaan harga komoditi yang menyolok terutama jambu mente, asam dan beberapa hasil laut, dilain sisi memberikan nilai tambah yang signifikan bagi penduduk SWP A dan keterkaitan ekonomi interregional dengan wilayah Flores, namun disisi yang lain menunjukkan indikasi kebocoran wilayah (penyulundupan) mencapai 16, 74 persen, karena lemahnya keterkaitan antar sektor dan wilayah dalam hal menjaring informasi pasar (market information) yang kompetitif dan aturan main (regulation) pengelolaan dan pengendalian perdagangan komoditi antar pulau yang terkait dengan sistem perizinan dan sistem insentif (allow and allowance system) yang lemah. Pada Tabel 24 dan Gambar 15,16 dan 17, menunjukkan pula bahwa ketersediaan 10 indikator keperluan untuk melakukan interaksi spasial, rata-rata memperlihatkan bahwa (1) hanya keperluan sembako, menjual hasil usaha dan urusan keluarga yang sedikitnya dapat terpenuhi di dalam desa, atau di desa sekitar dan ibu kota kecamatan, sedangkan kebutuhan lainnya masih terpusat di Kota Kabupaten dan luar Kabupaten. (2) ketersedian kebutuhan baik sembako dan kebutuhan lainnya antar kota kecamatan dalam satu SWP maupun antar kota kecamatan
luar SWP menujukkan karakteristik
interaksi spasial yang
berbeda, dimana pada SWP A dan C, interaksi spasial untuk memenuhi
117
kebutuhan dan usaha sedikit diperoleh pada kota kecamatan dalam satu SWP ketimbang luar SWP dan sebaliknya SWP B memenuhi kebutuhan dan usaha pada kota kecamatan luar SWP ketimbang satu SWP, Kedua hal tersebut mengindikasikan bahwa
jaringan keterkaitan spasial
antar hirarki/pusat aktivitas antar hirarki utama dan hirarki bawah maupun antar hirarki bawah masih sangat lemah atau belum berkembang, sehingga distribusi bahan dan barang kebutuhan dari kota kabupaten ke kota kecamatan dan desa/kelurahan yang ditetapkan sebagai hirarki/pusat aktivitas sosial – ekonomi wilayah sesuai arahan RUTRW Kabupaten masih sangat terbatas dan asimetrik antar hirarki. Penyediaan bahan / barang kebutuhan dan usaha penduduk yang masih sangat terbatas dan asimetrik antar hirarki wilayah tersebut, sangat tergantung pada infrastruktur jaringan keterkaitan dan interaksi sosial ekonomi antar dan inter wilayah pembangunan sebagaimana pada ulasan Tabel 18. Dalam kaitannya dengan interaksi spasial inter dan antar wilayah regional, dilakukan melalui dua jalur interaksi yakni jalur laut dan jalur udara. Banyaknya pelabuhan dan jumlah kapal yang secara kontinue atau berkala menyinggahi Pelabuhan Kalabahi dan atau jumlah dan jenis pesawat yang masuk di Bandara udara Mali Kalabahi , dilihat pada Tabel 18. a. Interaksi spasial /pergerakan bongkar/muat penumpang dan barang antar dan interregional melalui Pelabuhan Kalabahi. Pelabuhan Kalabahi merupakan salah satu Pelabuhan nasional, yang berpusat di kota Kabupaten. Perkembangan jumlah dan Prosentase pergerakan penumpang, barang dan hewan
periode 1998-2003 yang menyinggahi
pelabuhan Kalabahi diperlihatkan pada Gambar 18 dan 19. Gambar 18 dan 19 menunjukkan
bahwa jumlah dan prosentase
perkembangan interakasi spasial atau pergerakan arus kunjungan kapal ( KJG KPL), arus penumpang turun (PNPG-T), arus penumpang naik (PNPG-N), arus barang yang dibongkar (BRG-BKR), arus barang yang dimuat (BRG-MT), arus hewan yang dibongkar (HWN-BKR) dan arus hewan yang dimuat (HWN-MT), pada umumnya memperlihatkan trend perkembangan yang fluktuatif Jumlah kunjungan kapal mengalami penurunan tajam pada tahun 1999 dan 2000, tetapi mulai menunjukkan perkembangan intensitas kunjungan pada tahun 2001 mencapai 13,41 persen, meningkat menjadi 18,43 persen pada tahun 2002 dan menurun lagi menjadi 8,99 persen. Fluktuasi intensitas interaksi kunjungan Kapal dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain, penangguhan pelayaran
118
80000 70000
KJG KPL (KALI)
60000 50000
PNPG-T (ORG)
40000 30000
PNPG-N (ORG)
20000 10000 0
1998
1999
2000
2001
2002
KJG KPL (KALI)
2255
1630
1201
1362
1613
1758
PNPG-T (ORG)
60691
63702
57398
52829
55889
45075
PNPG-N (ORG)
59948
72645
49018
51092
61148
65655
BRG-BKR (TON)
32098
44399.7
58415
47237
72346
59324.1
BRG-MT
13055
15708.1
19418
32475
(TON)
HWN-BKR (EKOR) HWN-MT
(EKOR)
2003
25423.9 15182.8
46
26
37
195
126
275
1079
545
198
254
35
20
BRG-BKR (TON) BRG-MT (TON) HWN-BKR (EKOR) HWN-MT (EKOR)
Gambar 18 Perkembangan jumlah interaksi spasial /pergerakan arus penumpang, barang dan hewan yang menyinggahi Pelabuhan Kalabahi antar dan inter regional Periode 1998-2003. 500.00 400.00 300.00 200.00 100.00 0.00 -100.00 -200.00
1999
2000 KJG KPL (Kali)
PNPGT (Org)
PNPGN (Org)
BRGBKR
BRGMT
HW NBKR
HW NMT
2001
2002
-27.72
4.96
21.18
38.33
20.32
-43.48
-49.49
2000
-26.32
-9.90
-53.21
31.57
23.62
42.31
-63.67
2001
13.41
-7.96
4.23
-19.14
67.24
427.03
28.28
2002
18.43
5.79
19.68
53.16
-21.71
-35.38
-86.22
2003
8.99
-19.35
7.37
-18.00
-40.28
118.25 -42.86
1999
2003
Gambar 19 Prosentase perkembangan interaksi spasial /pergerakan arus penumpang, orang dan hewan yang menyinggahi pelabuhan Kalabahi antar dan inter regional Periode 1998-2003
karena gangguan tekhnis pada Kapal, perubahan trayek serta daya tarik dan daya dorong pasar. Selain itu prosentase arus penumpang turun, jauh lebih lemah dari arus penumpang naik. Namun ada pengecualian pada tahun 2000 intensitas penumpang yang naik atau keluar wilayah mengalami penurunan, yakni minus 53,21 persen pada tahun 2000, setelah itu meningkat ke level posotif 4,23 persen tahun 2001, dan meningkat tajam menjadi 19,68 persen tahun 2002 dan menurun lagi menjadi 7,37 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa daya tarik wilayah sendiri yang mendorong arus orang di wilayah lain untuk masuk di wilayah sendiri masih lemah, dilain sisi daya tarik wilayah lain yang mendorong orang dari wilayah sendiri untuk keluar ke wilayah lain lebih tinggi. Hal ini juga memberikan indikasi bahwa daya dorong wilayah untuk memenuhi kebutuhan dan kegiatan usaha di wilayahnya sendiri masih sangat lemah.
119
Demikian pula intensitas pergerakan barang dan hewan, prosentase perkembangan yang dibongkar atau yang didatangkan dari wilayah lain masuk ke wilayah sendiri masih jauh lebih tinggi dari yang keluar dari wilayah sendiri. Hal ini mengindikasikan bahwa daya dorong wilayah sendiri untuk mensuplai sumber daya wilayah menjadi barang dan jasa yang menjadi daya tarik wilayah untuk memperkuat intensitas interaksi membuat
masih sangat lemah. Hal ini akan
struktur ekonomi wilayah semakin melemah karena kebocoran
wilayah sulit ditekan, karena tingkat permintaan (demand) wilayah sendiri akan kebutuhan jauh lebih tinggi dari kegiatan usaha yang ditawarkan ke wilayah lain. Sehubungan dengan itu jenis barang yang menjadi daya tarik dan daya dorong pergerakan spasial antar dan inter regional pada dua tahun terakhir (Tahun 2002-2003 ) dapat ditujukkan pada Gambar 20, 21, 22 dan 23 berikut . 14000.0 12000.0
11573.5
10874.0 10697.2
10000.0
10028.7
6000.0
2000.0
Tahun 2002
7893.8
8000.0
4000.0
10073.7
2494.1 787.9 341.5 1139.6 848.1 1456.7 893.1 512.3 946.9 856.4
2545.0 2120.0 1678.8 159.1
3960.0 5298.0
So la r M .ta na h As B. pa C am l pu ra n
en ba lo k Pr em iu m
Se m
Be si
Zi nk
ar am G
Tahun 2003
71.8 303.0
0.0 Be ra s G us ir Te rig u
4180.0 3410.0
Gambar 20 Perkembangan interaksi spasial /pergerakan jenis barang yang di bongkar/masuk melalui pelabuhan Kalabahi 30.0 25.0 20.0
25.4
23.9 21.6
20.2
20.3
15.0
10.7 8.7 2.3 3.2
2.1 1.8
5.0 0.8
1.6 1.9
1.9 1.0
3.4 0.3
en
ba lo k Pr em iu m
Se m
Be si
Zi nk
ar am G
G us ir Te rig u
Be ra s
0.0
5.1 4.7
9.2 6.9
Tahun 2003
0.1 0.7
So la r M .ta na h As pa B. C am l pu ra n
10.0 5.0
Tahun 2002
17.3
Gambar 21 Prosentase perkembangan interaksi spasial /pergerakan jenis barang yang di bongkar/masuk melalui pelabuhan Kalabahi
120
4500 4000
3810.78
3500 3000 2500
3919.48
2002
2222.341 1995.03
2000
44.305
B iji m en te
se rla ck
K op ra
B at u
K em iri
0
A sa m
500
33.59 11.46
343.644 0 0 10.9
C en gk eh U bu rub ur
58.575
hi ta m
694.561 277.222 338.113 327.679 190.9 164.074
1000
2003
P in an g
1500
Gambar 22 Perkembangan interaksi spasial /pergerakan jenis barang yang Di muat/keluar melalui pelabuhan Kalabahi 60.00
53.99 53.08
50.00
Tahun 2002
40.00 28.26 30.10
Tahun 2003 0.16 0.45
h ita m
A sa m
K op ra B iji m en te
K em iri
2.32 2.59
B at u
0.63 0.79
0.00
9.84 4.58
4.64 3.75
se rla ck
10.00
0.00 4.65
0.15 0.00
P in an g
20.00
C e ng ke h U b ur -u bu r
30.00
Gambar 23 Prosentase perkembangan interaksi spasial /pergerakan jenis barang yang di muat/keluar melalui pelabuhan Kalabahi
Gambar 20 dan 21, menunjukkan bahwa pergerakan jenis barang yang di bongkar atau
masuk
ke pelabuhan Kalabahi adalah hampir semua produk
manufacture.
Prosentase jenis produk manufaktur yang terbanyak adalah
barang campuran mencapai 25,4 persen tahun 2002 dan 20,3 persen tahun 2003 dari jumlah jenis barang yang masuk/di bongkar di pelabuhan Kalabahi. Kemudian Bahan bangunan rumah dan aspal, dimana Permintaan semen menduduki prosentase tertinggi mencapai 20,2 persen tahun 2003 dibanding tahun 2002 (17,3 %). Bahan energi
(premium,solar dan minyak tanah),
permintaan solar mencapai 10,7 persen tahun 2003 dibanding tahun 2002 (8,7 %), minyak tanah (9,2 %) tahun 2002 menurun menjadi 6,9 persen tahun 2003 sedangkan premium (5,1 %) tahun 2003 dibanding tahun 2002 (4,7 %). Selain bahan campuran, bahan bangunan dan bahan energi, permintaan terhadap sembako antara lain beras, gula pasir, terigu dan garam
cukup besar,
permintaan beras mencapai 23, 9 persen tahun 2002 dan sedikit menurun menjadi
21,6
persen
tahun
2003
dari
jumlah
jenis
barang
yang
121
dibongkar/masuk, garam mencapai 5,0 persen tahun 2002 dibanding tahun 2003 (0,8 %). Gula pasir 3,2 persen tahun 2002 menurun menjadi 2,3 persen tahun 2003, sedangkan terigu 2,1 persen tahun 2002 menurun menjadi 1,8 persen tahun 2003. Gambar 22 dan 23, menunjukkan bahwa
jenis barang/komoditi
yang
dimuat /keluar wilayah masih tergantung pada sektor primer (sektor pertanian), namun jumlah yang dimuat masih jauh dibawah dari jumlah yang dibongkar, sebagaimana pada ulasan di atas. Hal ini mengindikasikan produktivitas wilayah dalam mensuplai sumber daya wilayah masih lemah. Prosentase jenis komoditi yang paling besar dimuat/keluar wilayah melalui pelabuhan kalabahi adalah batu hitam mencapai 53,99 persen tahun 2002 dan menurun menjadi 53,08 persen tahun 2003, kemudian diikuti kemiri (28,26%) tahun 2002, meningkat menjadi 30,10 persen tahun 2003. Setelah itu diikuti komoditi
asam, ,jambu mente,
sirlak, pinang, kopra, cengkeh dan ubur-ubur. Pada umumnya sebagai jalur wilayah tujuan dan wilayah interaksi spasial terutama pergerakan jenis barang/komoditi antar dan inter regional yang masuk (di bongkar/di import) dan yang keluar (di muat /di eksport) melalui pelabuhan Kalabahi tahun 2003
dapat terlihat pada Gambar 24.
Apabila mencermati
Gambar 24, memperlihatkan bahwa secara parsial jalur interaksi spasial antar regional dalam aktivitas eksport dan import komoditi atau barang melalui jalur Surabaya (Pelabuhan Tanjung Perak) terlihat
lebih kuat, kemudian diikuti
melalui Jalur Pelabuhan Makassar (Ujung Pandang), setelah itu Denpasar (Pelabuhan Benoa) dan Bima (Pelabuhan Lembar). Sedangkan jalur interaksi spasial interregional, melalui jalur Kupang terlihat lebih kuat setelah itu Atapupu. Tabel 24 juga, menunjukkan adanya indikasi kebocoran wilayah (regional leakages) yang
cukup lebar, karena semua produk yang mengalir
keluar
wilayah (di eksport) semua masih dalam wujud bahan primer, sehingga tidak ada nilai tambah dari proses bahan primer dalam wilayah dan nilai tambah yang akan diproses dari bahan primer selalu mengalir ke wilayah lain, keadaan ini dapat dikatakan sebagai
fenomena backwash yang memperlemah produktivitas
wilayah. Selain fenomena backwash, kebocoran wilayah yang tak terkendali karena penyulundupan komoditi yang mengalir keluar daerah, rata-rata mencapai 23,50 persen/tahun seperti penjelasan pada Tabel 16.
122
123
b. Interaksi spasial /pergerakan bongkar/muat penumpang dan barang antar dan interregional melalui Bandara Mali Kalabahi. Salah satu jalur interaksi spasial antar dan inter regional adalah melalui jalur lintas udara. Jumlah jenis Pesawat yang masuk dan keluar pada Bandara Mali Kalabahi dapat terlihat pada ulasan Tabel 18. Pada bagian ini dapat digambarkan jumlah dan proporsi pergerakan bongkar/muat penumpang dan barang yang masuk dan keluar melalui Bandara Mali Kalabahi keadaan tahun 2003, dapat di lihat pada Gambar 25 dan 26 berikut :
981
Tahun 2003
222
1 Pesaw at masuk/datang (kali) 2 Pesaw at keluar/berangkat (kali)
222 2561
866
3 Penumpang masuk/datang (orang) 4 Peumpang keluar/berangkat (orang) 5 Bongkar barang/bagasi (kg)
2535 25677.6 31634.5
6 Muat barang/bagasi (kg) 7 Bongkar barang paket Pos (kg) 8 Muat barang paket pos (kg)
Gambar 25 Jumlah frekwensi pesawat dan bongkar/muat penumpang dan barang melalui Bandara Mali Tahun 2003 Tahun 2003 13.28
1.03 1.02
-11.72
23.2
1 Proporsi penumpang datang (+/-%) 2 Proporsi penumpang berangkat (+/-%) 3 Proporsi bongkar barang/bagasi (+/-%) 4 Proporsi muat barang/bagasi (+/-%) 5 Proporsi bongkar barang paket Pos (+/-%) 6 Proporsi muat barang paket Pos (+/-%)
-18.83
Gambar 26 Proporsi penumpang dan barang yang dibongkar dan di muat melalui Bandara Mali Tahun 2003.
Gambar 25 dan 26, memperlihatkan bahwa frekwensi jumlah pesawat yang datang/landas (leanding) dan berangkat (take off) pada tahun 2003 sebanyak 222 kali dan jika dibanding tahun 2002 frekwensinya meningkat 20,63 persen. Proporsi penumpang yang datang sedikit lebih besar (1,03 %) dibanding proporsi penumpang
yang
berangkat
(1,02%).
Proporsi
barang
bagasi
yang
datang/dibongkar jauh lebih besar (23,2 %) sedangkan proporsi barang bagasi yang dimuat/berangkat mencapai minus 18,83 %. Kemudian proporsi
paket
124
barang Pos datang (bongkar) jauh dibawah minus 11,72 persen dibanding proporsi paket barang berangkat (muat) sebesar 13,28 persen. Jalur interaksi penerbangan pesawat yang datang dan berangkat dari Bandara Mali sampai dengan keadaan 2003 masih bersifat linier dari Kota Kupang (Kota Popinsi NTT – Kalabahi PP (Kota Kabupaten). Kesenjangan pertumbuhan atau perkembangan antar wilayah, baik dilihat dari sisi pertumbuhan sektor/komoditi wilayah, Penerimaan pendapatan, penyediaan sarana dan prasarana wilayah, penyebaran proporsi APBD Pembangunan dan interaksi spasial seperti yang diulas di atas,
sepertinya
menunjukkan signifikansi terhadap kesenjangan dalam tingkat kesejahteraan masyarakat antar SWP. Salah satu indikator kesejahteraan masyarakat yang semestinya menjadi tolak ukur kinerja pembangunan wilayah adalah menurunkan kesenjangan tingkat kemiskinan penduduk antar wilayah yang cenderung meningkat. Hal ini secara parsial bisa dilihat dari prosentase penyebaran penduduk miskin berdasarkan Indikator Keluarga prasejahtera dan Sejahtera 1 yang cendrung melebar antar SWP, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 25 Tabel 25 Prosentase Kemiskinan Penduduk Antar SWP Di Kabupaten Alor Tahun 2000 – 2004 No
Tahun
Rumah Tangga Penduduk Miskin SWP A Jlh KK
% Miskin
SWP B
SWP C
Jlh KK
% Miskin Jlh KK % Miskin
Kabupaten Jlh KK
% Miskin
1
2000
7921
82.86
22342
71.12
5931
88.20
36194
76.49
2
2001
8475
76.11
22646
67.83
6251
84.00
37372
72.41
3
2002
8475
79.87
22759
68.90
6481
85.91
37715
74.29
4
2003
8843
76.55
23524
66.66
6804
81.83
39171
71.52
5
2004
9316
81.13
24026
71.45
6916
92.97
40258
77.39
Sumber : Diolah dari Laporan Kantor BKKBN Kabupaten Alor Tahun 2005.
Pada Tabel 25 memperlihatkan bahwa rata-rata penduduk miskin di Kabupaten Alor keadaan Tahun 2000 - 2004 berada pada trend di atas 70 persen, kendatipun antar SWP sedikit bervariatif. Misalnya pada SWP B terlihat sedikit berada di bawah 70 persen antara tahun 2001-2003. Sedangkan pada SWP A dan C rata-rata di atas 70 persen. Namun yang paling menyolok terlihat pada SWP C, rata-rata penduduk miskin berada di atas 80 persen bahkan hampir mencapai 93 persen pada Tahun 2004. Perkembangan penduduk miskin yang fluktuatif meningkat dan melebar antar wilayah, mengindikasikan adanya
125
kesenjangan dalam kinerja pembangunan wilayah, disamping faktor lain seperti bencana alam. 4.3. Analisis Sektor Basis/Komoditi Unggulan Antar Satuan Wilayah Pengembangan (SWP). Pertumbuhan suatu wilayah Pengembangan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang sangat bergantung pada sumberdaya alam yang dimiliki dan permintaan terhadap komoditas yang dihasilkan dari sumberdaya itu dan atau tergantung pada permintaan eksternal akan barang dan jasa, yang dihasilkan dan diekspor oleh wilayah itu (North, 1955; Perloff dan Wingo, 1961). Oleh karena itu pengenalan terhadap komoditas eksport suatu wilayah pengembangan adalah penting, untuk mengetahui komoditas atau sektor yang memiliki kekuatan utama
dalam memenuhi pertumbuhan suatu wilayah
pengembangan. Sektor atau komoditi mana yang secara spasial memiliki kekuatan utama membentuk keterkaitan ekonomi, baik kebelakang (kegiatan produksi) maupun kedepan (sektor pelayanan). Dimana sektor/komoditi tersebut secara spasial, dapat dikategori sebagai sektor/komoditi basis dan non basis , yang memiliki keunggulan kompetitif dengan pergeseran cepat atau lamban, dalam penelitian ini diduga dengan analisis Location Quotient (LQ) dan Shift share Analysis (SSA). 4.3.1. Analisis Location Quotient (LQ). Hasil analisis LQ terhadap 17 komoditi yang tersebar pada tiga Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) di Kabupaten Alor keadaan Tahun 2003, dapat terlihat pada Tabel 26 Pada SWP A terdapat Sembilan (9) Komoditi yang tergolong sebagai komoditi Basis/sentra (Nilai LQ > 1) , atau komoditi yang memiliki pangsa relatif yang lebih besar dibanding komoditi lainnya. Kesembilan
Komoditi basis
tersebut, diurut berdasarkan Nilai LQ adalah kelapa (kopra), jagung, ikan, kacang hijau, padi, ternak kambing, sirlack (sejenis lendir serangga pada kusambi sebagai bahan baku vernis), asam dan jambu mente.
Sedangkan delapan
komoditi lainnya tergolong sebagai Komoditi Non Basis/Non sentra yakni dengan (Nilai LQ < 1 ). Kedelapan komoditi ini memiliki pangsa relatif yang lebih kecil, dimana kapasitas produksinya masih sebatas dalam memenuhi konsumsi lokal. Salah satu dari kedelapan komoditi non basis tersebut yakni ternak babi dengan nilai LQ hampir mendekati 1 (0.9) bisa dikembangkan lebih lanjut
menjadi
komoditi unggulan daerah, karena daya dukung wilayah masih memungkinkan
126
untuk pengembangan lebih lanjut. Peluang komoditi Ternak Babi untuk dikembangkan lebih lanjut menjadi sektor/komoditi basis atau komoditi unggulan daerah ditunjukkan juga dengan nilai SSA pada Tabel 27. Tabel 26 Hasil Analisis LQ Komoditi Unggulan Antar Satuan Wilayah Pengembangan di Kabupaten Alor Keadaan Tahun 2003. No
Jenis Komoditi
SWP A @
SWP B @
SWP C @
Nilai LQ
Nilai LQ
Nilai LQ
1
Padi
1.6
1.5
2
Jagung
1.8
1.4
0.3
3
Kacang hijau
1.7
0.8
0.7
4
Jambu Mente
1.0
0.8
1.1
5
Kemiri
0.7
2.1
0.7
6
Kelapa(Kopra)
2.1
0.2
0.7
7
Kopi
0.2
2.9
0.5
8
Cengkeh
0.1
4.1
0.1
9
vanili basah
0.0
0.0
2.1
0.2
0.5 0.0
0.5
1.2
1.1
0.9
1.7
1.9
0.1
0.4
2.2
0.8
1.4
2.1
0.2
0.9
2.4
0.4
0.3 1.0
0.7 1.5
1.5 0.7
10
Pinang
11
Asam
12
Sirlack
13
Ikan laut
14
Sapi
15
Kambing
16
Babi
17
Batu hitam
1.1
Rataan Sumber
0.4
0.5
: Hasil analisis data produksi Komoditi Tahun 2003
Keterangan : @ = Komoditi Basis/Sentra pada SWP A @ = Komoditi Basis/Sentra pada SWP B @ = Komoditi Basis/sentra pada SWP C.
Pada SWP B terdapat 10 komoditi yang tergolong sebagai komoditi basis/sentra (Nilai LQ > 1 ). Urutan Nilai LQ dari kesepuluh komoditi basis/sentra tersebut adalah cengkeh, kopi, ternak babi, ternak sapi, kemiri, ternak kambing, ikan, padi, jagung dan
sirlack . Sedangkan tujuh komoditi lainnya tergolong
Komoditi Non Basis/Non Sentra (LQ < 1), atau komoditi-komoditi tersebut memiliki pangsa relatif yang lebih kecil, dimana rata-rata kapasitas produksinya masih sebatas dalam memenuhi konsumsi lokal. Akan tetapi dari ketujuh komoditi non basis tersebut, terdapat dua komoditi yakni kacang hijau dengan nilai LQ (0.847) dan jambu mente (0.8) dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi
127
komoditi
basis
karena
daya
dukung
lahan
masih
tersedia.
Peluang
pengembangan kedua komoditi dimaksud menjdi komoditi basis atau komoditi unggulan daerah, diperlihatkan juga dengan nilai SSA pada Tabel 27 Pada SWP C, hanya terdapat tiga komoditi yang tergolong sebagai komoditi basis/sentra (Nilai LQ >1). Ketiga komoditi tersebut adalah Vanili, batu hitam dan jambu mente. Akan tetapi dari ketiga komoditi tersebut, batu hitam merupakan sumber daya yang dipakai karena batu hitam merupakan salah satu sumber daya alam yang non renewable. Sedangkan empat belas komoditi lainnya tergolong komoditi non basis/non sentra (Nilai LQ <1). Namun dari empat belas komoditi yang tergolong non basis, beberapa komoditi diantaranya bisa dikembangkan lebih lanjut, menjadi komoditi basis karena daya dukung lahan baik kesesuain komoditas maupun luas areal masih sangat memungkinkan untuk dikembangkan, antara lain sirlack
dengan nilai LQ (0,9), ternak sapi (0,8),
kelapa/kopra (0,7), kemiri (0,7), kacang hijau (0,7) dan kopi (0,5). Jika dicermati secara parsial berdasarkan daya dukung wilayah seharusnya SWP C, merupakan wilayah sentra berbagai jenis komoditi Perkebunan dan sentra Pangan, karena memiliki areal pertanian yang lebih luas, dibanding SWP A dan SWP B. Sebagai sentra pangan SWP C memiliki areal persawahan seluas 91,44 persen dari 3 354,50 Ha luas areal sawah di Kabupaten Alor. Demikian juga sentra perkebunan, pada SWP C memiliki potensi seluas 35,82 persen dari 136 237,88 Ha luas lahan perkebunan di Kabupaten Alor, tetapi hasil analisis LQ menunjukkan hanya tiga komoditi yang tergolong komoditi Basis/Sentra. Kondisi
tersebut
ada
hubungannya
dengan
kesenjangan
alokasi
pembangunan yang cenderung statis dalam membangun struktur wilayah dan sumber daya manusia
yang mendukung peningkatan produktivitas wilayah.
Desa-desa sentra produksi pada SWP C, masih dililit keterisolasian, sehingga produktivitas ekonomi wilayah masih lebih bersifat konsumtif ketimbang dalam skala ekonomik. Secara parsial hal ini bila dilihat dari sisi daya dukung lahan, SWP C memiliki luas lahan basah mencapai 91,44 persen namun yang sudah produktif baru mencapai 0,55 persen dari 183 Ha luas panen lahan sawah di Kabupaten Alor, hal ini berarti sebagian besar lahan basah masih merupakan potensi. Hal yang sama juga diperlihatkan pada lahan perkebunan, dimana 35,82 persen potensi lahan perkebunan pada SWP C, yang sudah diproduktifkan baru mencapai 17.21 persen, hal ini berarti sebagian besar lahan kering masih merupakan potensi pengembangan.
128
Dari sisi infrastruktur wilayah khususnya transportasi jalan yang memperkuat mobilitas spasial dalam akses pasar terlihat bahwa hanya 18,15 persen jalan beraspal dan 5,39 persen pengerasan (telefort), dan 42.90% persen masih jalan tanah. Dari sisi kualitas SDM rata-rata masyarakat pada SWP C memiliki pengetahuan dan ketrampilan usaha tani rendah, karena hampir 80 persen masyarakat hanya menamatkan pendidikan Sekolah Dasar (SD), bahkan masih ada tingkat putus SD mencapai 2,98 persen. 4.3.2. Analisis Shift Share ( SSA ). Untuk menjastifikasi pertumbuhan komoditas unggulan antar SWP yang mengisyaratkan kapasitas
ekonomi suatu
wilayah dapat bertumbuh dengan
cepat atau lamban dan komoditi tersebut apakah memiliki keunggulan kompetitif untuk dikembangkan menjadi sektor basis, maka telah menggunakan Analisis Shift Share (SSA) terhadap 17 jenis komoditi pada tiga Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) di Kabupaten Alor dengan menggunakan dua titik waktu yakni Tahun 1998 dan Tahun 2003, dimana gambaran tentang pergeseran pertumbuhan
komoditas
unggulan
sebagai
basis
pertumbuhan
wilayah
berdasarkan SSA tersebut, dapat diperlihatkan pada Tabel 27 dan secara Grafik ditunjukkan pada Gambar 27. Dari Tabel 27 dan Gambar 27, memperlihatkan bahwa hampir 17 Komoditi yang diduga dengan analisis shift share (SSA) pada
ketiga SWP memiliki
keunggulan kompetitif (SSA > 0), kecuali komoditi Vanili pada SWP A dan SWP B memperlihatkan nilai SSA = 0 artinya komoditi tersebut masih bisa dikembangkan lebih lanjut menjadi komoditi Basis. Hal ini ada hubungannya dengan pengembangan vanili pada SWP A dan SWP B, merupakan komoditi baru yang di introduksi dari SWP C, yang masih dalam areal dan produksi yang terbatas. Sedangkan dari sisi pergeseran pertumbuhan komoditi antar SWP memperlihatkan nilai SSA yang bervariatif. Pada SWP A terlihat bahwa komoditi unggulan yang memiliki pergeseran cepat (SSA > 0) secara berurutan adalah jambu mente, ternak babi, kelapa (kopra), jagung, kacang hijau, ikan, padi, sirlack, cengkeh, ternak kambing, batu hitam , asam, ternak sapi, kemiri, pinang dan kopi.
129
Tabel 27 Pergeseran Pertumbuhan komoditi unggulan antar Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) di Kabupaten Alor Tahun 1998 dan Tahun 2003 No
Jenis sektor/Komoditi unggulan
Komponen Shift share ( SSA ) SWP A @
SWP B @
SWP C @
1
Padi
2.7
0.9
0.6
2
Jagung
6.2
0.7
0.8
3
Kacang hijau
5.5
0.4
1.0
4
Jambu Mente
213.4
8562.2
33641.9
5
Kemiri
0.3
0.6
1.3
6
Kelapa(Kopra)
6.6
0.1
0.2
7
Kopi
0.1
0.3
0.1
8
Cengkeh
1.7
3.3
1.2
9
vanili basah
0.0
0.0
125.0
10
Pinang
0.2
0.3
0.4
11
Asam
1.1
1.0
1.0
12
Sirlack
2.6
2.0
2.0
13
Ikan laut
5.0
3.2
4.1
14
Sapi
0.8
0.2
0.4
15
Kambing
1.4
4.9
1.3
16
Babi
12.2
3.3
1.2
17
Batu hitam
1.3
0.9
1.0
Sumber : Data analisis produksi komoditi Tahun 1998 dan 2003. Keterangan : @= Komoditi pada SWP A yang memiliki keunggulan kompetitif dan pergeseran pertumbuhan yang cepat. @= Komoditi pada SWP B yang memiliki keunggulan kompetitif dan pergeseran pertumbuhan yang cepat. @= Komoditi pada SWP C yang memiliki keunggulan kompetitif dan pergeseran pertumbuhan yang cepat.
Pergeseran Pertumbuhan Komoditi Antar SWP Tahun 1998 dan Tahun 2003 1.9 3364
0.0 3500
Jenis komoditi
Gambar 27
Pergeseran Pertumbuhan Komoditi Unggulan Antar SWP di Kabupaten Alor Tahun 1998 dan Tahun 2003.
Babi
B. hit am
Sapi
Kam bing
Ikan
Asam
Sirla ck
vanil i
Pina ng
0.1 0.3 0.1 1.7 3.3 1.2 0.0 0.0 125.0 0.2 0.3 0.4 1.1 1.0 1.0 2.6 2.0 2.0 5.0 3.2 4.1 0.8 0.2 0.4 1.4 4.9 1.3 12.2 3.3 1.2 1.3 0.9 1.0
Cen gkeh
0.0
6.6 0.1 0.2
.0
SWP C
Kop i
0.0
Kela pa
1000
85 62 .2
0.0
5.5 0.4 1.0 21 3. 4
1500
SWP B
J. M ente
0.0
K. h ijau
2000
2.7 0.9 0.6 6.2 0.7 0.8
0.0
Padi
2500
5000
SWP A
0
Jagu ng
Nilai SSA
0. 3000
130
Kendatipun nilai SSA menunjukkan 16 komoditi dari 17 komoditi yang diduga menunjukkan pergeseran yang cepat untuk dikembangkan lebih lanjut menjadi Komoditi basis, namun pada kenyataannya hanya beberapa komoditi yang memiliki pangsa pasar yang lebih luas dan dapat bertahan atau cocok terhadap kondisi agroklimat
wilayah secara dinamik. SWP A
lebih didominasi lahan
kering dan beriklim panas dengan sumber daya air yang sangat terbatas, sehingga hanya beberapa komoditi yang dianggap bertahan atau cocok terhadap kondisi agroklimat wilayah dan memiliki pangsa pasar yang relatif lebih luas (komoditi eksport/antar pulau) untuk seperlunya
mendapat insentif
pengembangan lebih lanjut sebagai sektor Basis adalah terutama jambu mente, sirlack, asam dan penangkapan ikan, kemudian sebagai komoditi ikutan adalah kelapa, ternak kambing dan ternak babi. Sedangkan padi, jagung dan kacang hijau nilai LQ dan SSA menunjukkan sebagai sektor basis dengan pergeseran yang cukup cepat, yang tentu juga mendapat insentif untuk dikembangkan lebih lanjut bagi ketahanan pangan daerah, tetapi kapasitas produksi sering berfluktuasi
seiring dengan perubahan iklim dan kerapkali terancam bahaya
elnino. Pada SWP B terlihat bahwa komoditi unggulan yang memiliki pergeseran cepat (SSA >0), secara berurutan adalah jambu mente, ternak kambing, cengkeh, ternak babi, ikan, serlack, asam, batu hitam, padi, jagung, kemiri, kacang hijau, pinang, kopi, ternak sapi, dan kelapa (kopra). Keenam belas komoditi ini memiliki keunggulan kompetitif untuk dikembangkan lebih lanjut menjadi sektor basis. Untuk insentif pengembangan bagi sektor/komoditi yang memiliki
pangsa pasar yang lebih luas (komoditi eksport/antar pulau), maka
diperlukan efisiensi berdasarkan daya dukung wilayah yang dilihat dari aspek luas potensi pengembangan, variasi agroklimat maupun aspek sosial dan ekonomi, bahwa sektor/komoditi tersebut dapat bertumbuh secara dinamis. Beberapa komoditi/sektor yang dianggap memiliki pangsa pasar yang luas dan bertumbuh secara dinamik antara lain Tanaman Perkebunan dan Kehutanan (cengkeh,kopi,kemiri,sirlack, kopra dan jambu mente), ternak ( kambing, babi dan sapi), penangkapan ikan dan batu hitam. Batu hitam merupakan sumber daya alam yang akan habis terpakai jika eksploitasinya tidak mempertimbangkan kelestariannya. Sedangkan padi, jagung dan kacang hijau, kendatipun nilai LQ dan Nilai SSA menunjukkan keunggulan komparatif dan kompetitif, namun
131
insentif pengembangan selama ini masih mengarah pada ketahanan pangan daerah. Pada SWP C terlihat bahwa dari 17 komoditi yang diduga dengan SSA, ternyata semuanya memiliki keunggulan kompetitif (SSA > 0) dengan pergeseran pertumbuhan secara berturut adalah jambu mente, vanili, ikan, sirlack, kemiri, ternak kambing, ternak babi, cengkeh, kacang hijau, asam, batu hitam, jagung, padi, ternak sapi, pinang, kelapa (kopra) dan kopi. Pada Tabel 27 dan Gambar 27, memperlihatkan pula bahwa pergeseran pertumbuhan komoditi jambu mente jauh lebih pesat untuk ketiga wilayah pengembangan. Hal ini disebabkan karena peningkatan luas areal penanaman dan kapasitas produksi yang sangat signifikan dari tahun 1998 ke tahun 2003. Pada SWP A kapasitas produksi pada tahun 1998 sebesar 718 Ton, dengan luas areal lahan 26 Ha menjadi 153192 Ton pada tahun 2003, dengan luas areal lahan 3 497 Ha. Pada SWP B kapasitas produksi pada tahun 1998 sebesar 10 950 Ton, dengan luas areal 1 678,8 Ha menjadi 93 756 Ton pada tahun 2003, dengan luas areal lahan 3 282 Ha. Sedangkan pada SWP C kapasitas produksi pada tahun 1998 sebesar 8 350 Ton,
dengan luas areal lahan 405,50 Ha
menjadi 280 910 Ton dengan luas areal 1 678 Ha pada Tahun 2003. Demikian pula beberapa komoditi lain pada tiga SWP juga memperlihatkan peningkatan kapasitas produksi yang signifikan dari tahun 1998 ke tahun 2003. Pergeseran pertumbuhan beberapa komoditi yang begitu cepat (SSA >1) dalam kurun waktu antara tahun 1998 dan 2003, ada hubungannya dengan Strategi Kebijakan Pembangunan Daerah yang dikenal dengan nama: “ Gerakan Kembali ke Desa dan Pertanian (GERBADESTAN )” yang dideklarasikan pada 1 April 1999 sampai sekarang. GERBADESTAN selain menjadi acuan program pemerintah daerah, juga telah dijelmakan sebagai gerakan swadaya masyarakat dan acuan dalam menjaring kemitraan. Secara opersional Gerbadestan mencakup empat program pokok yaitu (1) pemberdayaan ekonomi rakyat, (2) peningkatan kualitas sumber daya manusia, (3) pembangunan sarana dan prasarana dan (4) penguatan kelembagaan. Salah satu kegiatan operasional dari program pemberdayaan ekonomi rakyat adalah ‘Gerakan pengembangan tanaman perdagangan, perikanan dan kelautan serta keamanan pangan masyarakat dan daerah “. Dalam Gerakan ini Pemerintah daerah memberikan subsidi berupa bibit, pupuk dan alsintan untuk pengembangan beberapa komoditi unggulan pada
132
setiap SWP. Sedangkan bagi nelayan Pemerintah daerah memberikan subsidi berupa perahu motor dan alat penangkapan lainya kepada setiap kelompok nelayan. Begitu pula bantuan ternak. Selain itu sebagai gerakan swadaya masyarakat,
Pemerintah
daerah
memberikan
penghargaan
kepada
petani/nelayan dan peternak. Misalnya petani diberikan perhargaan jika dapat mengembangkan tanaman perdagangan di atas 100 pohon dalam satu tahun secara swadaya. Penghargaan
tersebut diberikan dalam wujud sertifikat
penghargaan dan modal usaha minimal Rp 1000.000 per orang, melalui suatu proses penilaian yang disebut Penilaian Lomba GERBADESTAN. Insentif yang diberikan untuk menghargai swadaya masyarakat semenjak tahun 1999 sampai sekarang,
nampaknya
cukup
signifikan
untuk
mendorong
kreatifitas
petani/nelayan dan peternak dalam mengembangkan kapasitas produksinya, sehingga pergeseran pertumbuhan beberapa komoditi menjadi lebih cepat. Akan tetapi terdapat pula beberapa komoditi yang mengalami penurunan kapasitas produksi, yakni pada SWP A, ditemukan pada komoditi pinang dan ternak sapi. Pada tahun 1998 kapasitas produksi untuk pinang 11,16 Ton dan ternak sapi dengan produksi 27,440 Ton daging menurun menjadi 2 Ton untuk komoditi pinang dan 22,960 Ton untuk daging Sapi pada Tahun 2003. Penurunan produksi komoditi pinang, ada kaitannya dengan agroklimat wilayah sentra yang terbatas untuk pengembangan komoditi pinang karena SWP A termasuk wilayah dengan tingkat kekeringan yang sangat tinggi, sumber daya air terbatas dan termasuk wilayah rawan elnino. Sedangkan penurunan produksi ternak sapi ada hubungannya dengan produktivitas usaha yang masih rendah. Demikian juga pada SWP B dan SWP C, ditemukan beberapa komoditi dengan kapasitas produksi
yang cenderung menurun atau pergeseran pertumbuhan
sedikit lamban (Nilai SSA antara 0,00 - 0,9426). Hal ini disebabkan oleh produktivitas yang masih rendah, bencana alam (hama,elnino dan lanina) dan deposit bahan galian batu hitam yang mulai berkurang (devisit). Rendahnya produktivitas usaha ada kaitannya dengan kualitas sumber daya manusia yang rendah disertai struktur wilayah yang belum mendorong akses pasar yang memberikan ekspektasi yang lebih dinamik dalam skala ekonomik. Hasil analisis LQ dan SSA terhadap 17 jenis komoditi unggulan daerah sebagaimana uraian di atas dapat dijustifikasi seperti pada Tabel 28.
kedalam matriks kombinasi
133
Tabel 28 Matriks kombinasi hasil analisis LQ dengan SSA terhadap 17 jenis komoditi unggulan daerah di Kabupaten Alor . SWP
LQ
SSA >1 I
A
>0
6.Asam 7.Sirlack 8.Ikan laut 9.Kambing
1.Padi 2.Jagung 3.K. hijau 4.J. mente 5.Kelapa
1.Kemiri 2. Cengkeh 3.Sapi
III
IV 1.Pinang 2.Kopi
≤1 B
>0
≤1 II 4. Babi 5. Batu hitam
I 1.Padi 2.Jagung 3.Kemiri 4.Kopi 5.Cengkeh
3.Vanili II
6.Sirlack 7.Ikan laut 8. Sapi 9. Kambing 10. Babi
4.Asam 5. Batu hitam
1.K. hijau 2.J. mente 3. Pinang
III
IV 1.Kelapa
2.Vanilii
≤1 I C
>0
II 8.Pinang 9.Asam 10.Sirlack 11.Ikan laut 12. Sapi 13. Kambing 14. Babi
1.Padi 2.Jagung 3.K. hijau 4.Kemiri 5.Kopi 6.Kelapa 7.Cengkeh
1.J. mente 2.Vanilii 3. Batu hitam
III
IV
≤1 Sumber : Hasil analisis LQ dan SSA Komoditi unggulan daerah Tahun 1998 dan 2003.
Tabel 28 menunjukkan bahwa Komoditi
yang berada pada Kwadran I,
merupakan komoditi yang memiliki keunggulan komparatif dan juga keunggulan kompetitif untuk dikembangkan sebagai komoditi unggulan pada masing-masing SWP. Pada kwadran II, merupakan komoditi yang tidak memiliki keunggulan komparatif tetapi memiliki keunggulan kompetitif. Jenis komoditi tersebut pada masing-masing SWP dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi komoditi basis. Pada Kwadran III, merupakan kategori komoditi yang memiliki keunggulan komparatif tetapi tidak memiliki keunggulan kompetitif dan dalam hasil analisis tidak
ditemukan komoditi yang demikian. Sedangkan pada kwadran IV,
merupakan kategori komoditi yang tidak memiliki keunggulan komparatif maupun keunggulan kompetitif. Kategori jenis komoditi tersebut hanya ditemukan pada SWP A dan SWP B, Jenis komoditi tersebut dikategori sebagai jenis komoditi non basis pada SWP tersebut.
134
4.4. Sintesa dan alternatif rencana strategis pembangunan berimbang.
wilayah
Mencermati hasil analisis kesenjangan pembangunan antar satuan wilayah pengembangan (SWP), yang ditinjau dari aspek pendapatan antar SWP, perkembangan infrastruktur (sarana dan prasarana) antar SWP, perkembangan proporsi alokasi APBD pembangunan dan interaksi spasial antar SWP dan antar dan interregional, serta analisis sektor/komoditi basis antar SWP menunjukkan satu kesatauan yang saling terkait atau saling mempengaruhi satu sama lain yang menunjukkan indikasi ”lemahnya keterkaitan dan keterpaduan sektoral dan spasial” dalam kinerja pembangunan wilayah. Hal tersebut dapat dijelaskan dalam bentuk bagan keterkaitan pada Gambar 28 berikut :
Gambar 28 Bagan Keterkaitan hasil analisis kesenjangan pembangunan antar satuan wilayah pengembangan (SWP) di Kabupaten Alor.
135
Gambar 28, menunjukkan bahwa lemahnya keterkaitan dan keterpaduan antar sektor dan spasial dalam kinerja pembangunan wilayah, mengakibatkan adanya kesenjangan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat antar SWP. Hal ini disebabkan oleh adanya kesenjangan investasi/ alokasi APBD Pembangunan antar SWP yang proporsional dalam membangun infrastruktur
wilayah
dan
potensi wilayah (dalam wujud modal kerja dan introduksi teknologi dan sumber daya manusia). Alokasi APBD Pembangunan
antar SWP yang tidak
proporsional menunjukkan adanya kesenjangan pembangunan infrastruktur antar SWP, demikian pula kesenjangan dalam pengelolaan dan pemanfaatan potensi ekonomi wilayah seperti yang ditunjukkan pada analisis LQ dan SSA. Adanya kesenjangan pembangunan infrastruktur antar SWP, menyebabkan lemahnya interaksi spasial antar SWP maupun antar dan interregional. Lemahnya interaksi spasial antar SWP, menghambat aliran modal, teknologi dan sumber daya manusia
yang
tidak
berimbang
antar
wilayah
dalam
mengelola
dan
memanfaatkan potensi ekonomi yang tersedia secara optimal, adil dan berkelanjutan. Dilain sisi kesenjangan
dalam pengelolaan dan pemanfaatan
potensi ekonomi secara optimal berdampak pada kesenjangan pendapatan, juga berdampak pada daya tarik wilayah (Bargaining position) yang lemah dalam melakukan interaksi spasial antar dan interregional. Interaksi spasial yang lemah juga berdampak pada kesejahteraan masyarakat (Kemiskinan tinggi dan SDM rendah). Kemiskinan tinggi dan SDM yang rendah berdampak pada produktivitas kerja yang rendah dalam pengelolaan dan pemanfaatan potensi ekonomi secara optimal, untuk meningkatkan pendapatan perkapita. Kemudian pendapatan perkapita yang rendah, menyebabkan kemiskinan
dan
SDM yang rendah
karena akses terhadap pendidikan dan kesehatan melemah. Dari hasil sintesa kesenjangan pembangunan antar SWP, sebagaimana uraian di atas, maka untuk mereduksi
kesenjangan pembangunan tersebut
maka memerlukan suatu “ Rencana strategis pembangunan wilayah berimbang”. Maka untuk menyusun suatu rencana pembangunan wilayah berimbang, aspek “keterkaitan dan keterpaduan “ merupakan tolok ukur kinerja pembangunan wilayah berimbang. Dengan demikian mengawali penyusunan rencana strategis pembangunan wilayah berimbang harus dibangun suatu model keterkaitan/ keterpaduan yang menjadi acuan dalam proses pembangunan wilayah berimbang.
136
Mengingat Kabupaten Alor sebagai salah satu wilayah perbatasan maritim dengan negara Timor Leste, maka model keterkaitan/keterpaduan yang tergambar pada Gambar 29 di bawah ini merupakan penjabaran dari Model keterkaitan/keterpaduan di dalam wilayah
perbatasan yang dibangun ,
Pandiadi,et al. (2005) sebagai berikut :
Gambar 29 Model keterkaitan/keterpaduan didalam Rencana Strategis Pembangunan wilayah berimbang di Kabupaten Alor.
Model keterkaitan/keterpaduan sebagaimana pada Gambar 29 di atas, dapat dijelaskan bahwa dalam menyusun model rencana strategis pembangunan wilayah berimbang, harus memilah unsur-unsur yang termasuk sebagai input, process, output, outcome dan Impact. Yang termasuk dalam kategori input antara lain (1) Kebijaksanaan spasial dan sektoral pada tingkat nasional, tingkat propinsi dan tingkat Kabupaten (Jak Nas, Jak Prop, dan Jak Kab.) dan (2) Potensi /sumber daya wilayah, yakni sumber daya alam (SDA), sumber daya manusia (SDM), sumber daya sosial (SDS), sumber daya buatan (SDB) dan sumber daya investasi (SDI). Masukan (input) merupakan unsur-unsur yang akan
137
diproses melalui mekanisme keterkaitan dan keterpaduan untuk menghasilkan output atau outcome yang berimbang. Output yang harus dicapai dalam proses keterkaitan/ keterpaduan adalah menguatnya institusi (dalam wujud kapasitas dan hirarki pelayanan) dan interaksi spasial secara dinamis serta optimalisasi pengelolaan dan pemanfaatan potensi/sumber daya yang adil/berimbang dan sustainable antar wilayah pembangunan (SWP). Hasil (output) dari proses keterkaitan pembangunan spasial, institusi, sektor ekonomi dan rentang/sistem usaha hulu-hilir tersebut, menghasilkan outcome dalam wujud : (1) Peningkatan kesejahteraan masyarakat yang ditunjukkan oleh tingginya/meningkatnya sumber daya
manusia
(SDM)
dan
Indeks
kemiskinan
manusia
(IKM)
yang
rendah/menurun; (2) Peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita wilayah dan masyarakat yang dinamis; dan (3) Keamanan dan ketertiban wilayah yang terkendali sehingga terasa aman, tertib dan nyaman, sebagai dampak dari kesejahteraan masyarakat yang terpenuhi. Apabila ada keberimbangan outcome berarti ada implikasi kinerja pembangunan antar wilayah berimbang sebagai dampak terakhir (impact) dari suatu proses keterkaitan/keterpaduan pembangunan wilayah yang mendasari RUTRW dalam kerangka otonomi daerah yang efektif. Sehubungan dengan itu, setelah unsur-unsur input teridentifikasi, maka dilanjutkan dengan proses klasifikasi
aspek – sapek keterkaitan/keterpaduan
(aspek spasial, aspek institusi, aspek sektor ekonomi dan aspek rentang/sistem usaha ekonomi hulu-hilir ). Ke empat aspek keterkaitan /keterpaduan dalam proses pembangunan wilayah tersebut, masing-masing dipilah lagi atas proses keterkaiatan/keterpaduan sebagai berikut : a.Aspek spasial diklasifikasikan atas keterkaitan /keterpaduan sebagai
(1)
Wilayah perbatasan negara (Wilayah perbatasan maritim) dengan negara Timor Leste; (2) Wilayah perbatasan tetangga (wilayah perbatasan maritim dengan Kabupaten Lembata, Flores Timur, Kupang, Timor Tengah Utara, Belu dan Propinsi Maluku Tenggara ); (3) Wilayah lain diluar perbatasan dalam satu kesatuan nusantara (posisi strategis antara KTI dan KIB) dan (4) Satuan Wilayah Pengembangan(SWP)/Kota-desa dalam wilayah sendiri. b. Aspek Institiusi mencakup proses keterkaitan/keterpaduan antara (1) Institusi Pemerintah (Pusat,Propinsi, Kabupaten, Kecamatan dan desa/kelurahan); (2) Institusi swasta (Besar, Menengah dan Kecil) dan (3) Institusi masyarakat (Formal maupun Non formal ).
138
c. Aspek sektor ekonomi diklasifikasikan atas keterkaitan/keterpaduan antar (1) Sektor primer (pertanian dan pertambangan tertentu); (2) Sektor sekunder (industri dan konstruksi); dan (3) Sektor Tersier (sektor perdagangan dan jasajasa). d. Aspek rentang / sistem, yakni proses keterkaitan/keterpaduan antara sistem usaha ekonomi hulu dan hilir, terutama kegiatan Agroindustri. Proses keterkaitan /keterpaduan dalam kegiatan Agroindustri harus menjadi kegiatan ”basis ” yang harus didorong sebagai wilayah agraris, yang mayoritas penduduknya
menggantungkan hidupnya pada sektor primer (pertanian).
Dengan demikian keterkaitan antara sektor pertanian sebagai hulu dan sektor industri dan sektor perdagangan dan jasa sebagai hilir dalam proses produksi dan pemasaran yang saling memperkuat baik kedepan (forward linkages ) dan kebelakang (backward linkages) harus menjadi prioritas untuk didorong, dalam rangka optimalisasi pengelolaan dan pemanfaatan potensi wilayah secara adil/berimbang dan sustainable. Mengacu pada ulasan model keterkaitan/ keterpaduan rencana strategis pembangunan wilayah berimbang di atas, maka hasil sintesa
kesenjangan
pembangunan wilayah sebagaimana pada Gambar 28, merupakan input yang dapat diproses dalam kerangka keterkaitan/keterpaduan untuk mencapai outcome yang berdampak pada kinerja pembangunan wilayah berimbang. Sehubungan dengan itu untuk membangunan keterkaitan /keterpaduan dalam mereduksi atau mengurangi kesenjangan wilayah yang diuraikan di atas, memerlukan sumber daya investasi (SDI) yang proporsional (Rustiadi et al. 2004), namun demikian investasi sumber daya yang diperlukan harus diikuti dengan perbaikan kualitas kinerja Pengelola pembangunan wilayah termasuk Pengelola anggaran daerah secara dinamis, baik Eksekutif maupun Legislatif. Berdasarkan hasil sintesa kesenjangan pembangunan wilayah yang di ulas di atas, maka disarankan lima alternatif strategi pengembangan pembangunan wilayah berimbang (Rustiadi et al. 2006, 2007), yakni : 1 Peningkatan Supply and demand side strategy. ¾ Supply side strategy, diarahkan pada upaya investasi modal untuk meningkatkan
penawaran
(Supply)
dari
kegiatan
produksi
yang
berorientasi keluar (Global dan antar dan interregional). Strategi ini diprioritaskan pada komoditi unggulan wilayah yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif, terutama yang tertera pada Tabel 28. Upaya
139
peningkatan penawaran (supply) akan meningkatkan ekspor wilayah yang akhirnya akan meningkatkan
pendapatan lokal. Hal ini akan menarik
kegiatan-kegiatan lain untuk masuk ke wilayah pengembangan. ¾ Demand side strategy, diarahkan pada upaya peningkatan taraf hidup penduduk, dengan upaya peningkatan permintaan terhadap barangbarang non pertanian (industri dan jasa-jasa) yang dapat mendorong produktivitas wilayah pengembangan. Sebagai wilayah kepulauan dengan karakteristik penduduk yang menyebar dengan pola produksi yang pada umumnya
masih subsisten, maka upaya pemusatan penduduk pada
kawasan-kawasan pengembangan termasuk pulau – pulau kecil belum berpenghuni harus menjadi sasaran pengembangan ke depan. Stadia pengembangan wilayah melalui demand side strategy yang dibangun Rustiadi et al .(2007) sebagaimana pada Gambar 30, dianggap relevan untuk diterapkan di tingkat daerah.
140
2 Peningkatan kapasitas dan hirarki pelayanan. ¾ Strategy ini diarahkan pada pengembangan pusat-pusat
pelayanan,
antara lain selain ibu kota kecamatan (kota menengah), perlu dilakukan pengembangan kota-kota kecil yang diklaster dari beberapa desa yang secara geografis sulit dibangun jaringan interaksi yang network antar wilayah desa, termasuk pulau-pulau kecil yang belum berpenghuni untuk dilakukan desain Tata ruangnya. Selain itu klaster desa-desa dalam satu pusat pelayanan sebagai kota-kota kecil juga dapat disesuaikan berdasarkan homogenitas potensi wilayah. Penentuan klaster pusat-pusat pelayanan harus ditentukan secara partisipatif oleh desa-desa yang terlibat dengan mempertimbangkan kajian ketersediaan infrastruktur (sarana-prasarana) berdasarkan indeks skalogram (Lampiran 2). Dengan demikian hukum nodal (keterkaitan pusat dan hinterland dapat lebih menguat) dan dampak backwash yang dapat memperlebar kebocoran wilayah (regional leakages) dapat ditekan. 3. Perluasan pengembangan Pertanian. ¾ Strategi pengembangan pertanian harus diarahkan pada agribisnis dan agroindustri serta agrowisata dan bahari dalam rangka peningkatan produktivitas usaha dan daya saing pasar. ¾
Sebagai wilayah agraris dengan mayoritas masyarakat yang adalah masyarakat
petani lahan kering dan kehutanan, peternak dan nelayan,
maka pengembangan pertanian berbasis agribisnis dan agroindustri, serta agrowisata merupakan strategi yang paling tepat dalam mengurangi kemiskinan masyarakat antar wilayah. ¾
Sebagai wilayah perbatasan negara maritim, dan juga secara geofisik wilayah administratif, yang dibentuk dari gugusan pulau-pulau sedang dan kecil, maka strategi perluasan pengembangan pertanian terutama yang berbasis pada sumber daya kelautan dan pesisir secara efisien,adil/berimbang dan sustainable, harus diawali dengan suatu kajian spesifik dan penyusunan penataan ruang wilayah kelautan dan pesisir yang belum pernah ada.
4. Peningkatan Kapasitas SDM dan Social Capital Masyarakat lokal Strategi peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan sosial kapital masyarakat lokal diarahkan pada : ¾
Pemberdayaan masyarakat lokal baik dari sisi pengembangan sumber daya manusia maupun kelembagaan (social capital)
141
Pengembangan fasilitas pendukung pendidikan dan kesehatan serta
¾
peningkatan dan distribusi tenaga pendidikan dan kesehatan yang proporsional dan berkualitas. Hak akses terhadap sumberdaya utama lokal harus diperkuat antara lain
¾
akses terhadap lahan, pendidikan, kesehatan, air minum, energi, komunikasi dan penerangan dan sebagainya. Pengembangan kapasitas (capacity building) institusi lokal harus dipenuhi
¾
melalui peningkatan investasi dan penguatan social capital. 5 . Pengembangan infrastruktur Strategi pengembangan infastruktur diarahkan pada : Pengembangan infrastruktur yang menjamin akses pada air bersih,
¾
energi, komunikasi , informasi, layanan pendididkan, kesehatan dan interaksi sosial-ekonomi. Namun demikian dalam jangka menengah pengembangan
infrastruktur
transportasi
darat
dan
laut
yang
menghubungkan kota utama dan kota – kota menengah (kota kecamatan) dan beberapa kota – kota kecil yang diarahkan pada RUTRW, harus menjadi prioritas, untuk mendukung supply and demand side strategy. Dalam
¾
jangka
panjang
strategi
pengembangan
struktur
jaringan
transportasi/komunikasi harus diatur untuk meminimalkan pola dendritik dan memaksimalkan pola network (minimal jaringan antar klaster wilayah sudah harus dbangun). Kelima strategi pengembangan wilayah berimbang sebagaimana uraian di atas masih memerlukan kajian yang spesifik, namun secara parsial cukup relevan untuk dilaksanakan sebagai solusi untuk mengurangi atau mereduksi kesenjangan wilayah karena bisa disinergikan dan dioperasionalkan dalam rencana strategis pembangunan daerah Kabupaten Alor Tahun 2005-2009, yang dikenal
dengan
nama
”
Gerakan
Kembali
ke
Desa
dan
Pertanian
(GERBADESTAN), yang terdiri dari 4 pilar strategi, yang substansinya saling terkait dan relevan dengan lima strategi di atas, dimana strategi 1 dan 3 relevan dengan strategi 1 Gerbadestan, strategi 2 dan 5 relevan dengan strategi 3 Gerbadestan dan strategi 4 relevan dengan strategi 2 dan 4 Gerbadestan. Keempat
pilar GERBADESTAN sebagai
rencana strategi operasional
Pembangunan di Kabupaten Alor tersebut, ditunjukkan pada Gambar 31
142
Gambar 31 GERBADESTAN sebagai strategi opersional rencana Strategis pembangunan Kabupaten Alor Tahun 2005-2009.
Berdasarkan hasil sintesa analisis kesenjangan pembangunan wilayah dan alternatif rencana strategis pembangunan wilayah berimbang, sebagaimana uraian di atas dapat dibangun bagan keterkaitan seperti pada Gambar 32 berikut:
143
V. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan. Berpijak pada permasalahan, tujuan dan hipotesa serta uraian hasil dan pembahasan diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Pembangunan wilayah berdasarkan
acuan
yang sudah dilaksanakan di Kabupaten Alor
Rencana
Umum
Tataruang
Wilayah
(RUTRW)
Kabupaten, menunjukkan adanya kesenjangan antar Satuan Wilayah Pengembangan (SWP). Hal ini mengacu pada hasil analisis beberapa indikator pembangunan wilayah menunjukkan bahwa SWP- B berkembang lebih baik dibanding SWP A dan SWP - C. Sedangkan antara SWP- A dan SWP- C menunjukkan bahwa SWP- A lebih berkembang dibanding SWP- C. 2. Hakekat pembangunan wilayah antara lain menciptakan keberimbangan pembangunan wilayah secara dinamis. Namun hasil analisis indikator
pembangunan
wilayah,
menunjukkan
adanya
beberapa
kesenjangan
pembangunan antar SWP dan atau antar hirarki wilayah, sebagai berikut : Kesenjangan pembangunan wilayah yang terkait dengan kesenjangan pendapatan menunjukkan bahwa kesenjangan pendapatan Tingkat Kabupaten nampak lebih tinggi dibanding kesenjangan pendapatan pada ketiga
SWP.
Sedangkan
kesenjangan
pendapatan
antar
SWP
menunjukkan bahwa kesenjangan pendapatan pada SWP- B jauh lebih rendah atau lebih baik dibanding SWP-A dan SWP-C. Namun demikian rata-rata kesenjangan pendapatan antara Tahun 1999-2004 mulai berangsur membaik. Kesenjangan perkembangan wilayah yang terkait dengan kesenjangan pembangunan infrastruktur (sarana dan prasarana) wilayah, menunjukkan bahwa kota-kota hirarki yang berada pada sub wilayah utama pada SWPB menunjukkan perkembangan yang lebih baik dibanding kota-kota hirarki pada SWP- A dan SWP- C serta sebagian kota hiraki dari Sub wilayah hinterland pada SWP- B, yakni sub wilayah Bagian Selatan Alor Barat Daya dan Alor Tengah Utara. Kesenjangan pembangunan wilayah yang terkait dengan kesenjangan alokasi
APBD
Pembangunan
menunjukkan
bahwa
SWP-
B
memperlihatkan proporsi aloakasi APBD Pembangunan yang lebih merata dan berkembang cenderung dinamis bila dibanding SWP- A dan
144
SWP- C yang cenderung fluktuatif dan statis. Namun demikian SWP A lebih senjang (tidak merata) dibanding SWP C. 3. Salah satu ciri perkembangan atau pertumbuhan suatu wilayah ditunjukkan oleh kuat atau lemahnya intensitas interaksi spasial antar wilayah melalui saluran informsi yang tersedia pada suatu wilayah. Salah satu media informasi untuk melakukan aktivitas interaksi spasial antar kota-kota hirarki di Kabupaten Alor
adalah
interaksi spasial melalui saluran SSB (channel
Single Band ) Pemerintah Kabupaten Alor, yang menunjukkan bahwa : Intensitas interaksi spasial antar kota – kota hirarki dalam satu kesatuan Wilayah pengembangan relatif terlihat lebih kuat bila dibanding dengan intensitas interaksi spasial antar kota-kota hirarki pada satuan wilayah pengembangan lainnya. Intensitas interaksi spasial antar Kota hirarki utama dengan kota –kota hirarki bawahnya (hinterland) yang mencerminkan intensitas pelayanan pemerintah, nampak tidak simetrik antar wilayah. Dalam hal ini kota – kota hirarki pada SWP- B lebih kuat dibanding SWP- A dan SWP- C. Namun interaksi yang paling lemah terdapat pada kota-kota hirarki pada SWP-C. Hal ini memperlihatkan signifikansi kesenjangan pertumbuhan antar wilayah. 4. Kesenjangan Pembangunan wilayah, yang diperlihatkan oleh masingmasing indikator kesenjangan pembangunan wilayah seperti pergeseran pertumbuhan sektor/komoditi wilayah yang tidak berimbang, Penerimaan pendapatan yang tidak berimbang, penyediaan sarana dan prasarana wilayah yang tidak berimbang, penyebaran proporsi APBD Pembangunan yang tidak berimbang dan intensitas interaksi spasial yang lemah antar hirarki wilayah pengembangan, menunjukkan signifikansi terhadap kesenjangan dalam tingkat kesejahteraan masyarakat, yang ditunjukkan dengan tingkat kesenjangan kemiskinan penduduk yang cendrung meningkat/melebar
antar
satuan
wilayah
pengembangan.
Dimana
kesenjangan yang lebih signifikan ditemukan pada SWP C. 5. Spesifikasi sektor basis/komoditi unggulan antar SWP merupakan salah satu wujud pembangunan wilayah untuk memperkuat struktur ekonomi wilayah dan
pendapatan
masyarakat,
hasil
pertumbuhan
analisis antar
menunjukkan SWP.
Pada
adanya
kesenjangan
pergeseran
SWP-
A
menunjukkan
sembilan komoditi yang bertumbuh menjadi komoditi basis
145
yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif. Pada SWP- B menunjukkan sepuluh komoditi yang bertumbuh menjadi komoditi basis. Sedangkan pada SWP- C hanya tiga komoditi basis. Dilain sisi SWP- C memiliki potensi yang lebih luas dengan beberapa keragaman komoditi yang kompetitif, tetapi pergeseran pertumbuhannya masih enggan untuk didorong segera menjadi komoditi basis. 6. Mencermati
kesenjangan
pembangunan
antar
satuan
wilayah
pengembangan yang cenderung melebar, mengindikasikan masih lemahnya keterkaitan dan keterpaduan dalam kinerja pembangunan wilayah yang berbasis pada Rencana Umum Tata Ruang Wilayah secara konsisten dan simetrik. B. Saran. Mengacu pada beberapa penggarisan kesimpulan hasil penelitian di atas, maka disarankan beberapa hal sebagai berikut : 1. Dalam rangka mereduksi atau mengurangi kesenjangan pembangunan antar wilayah pembangunan, maka “keterkaitan dan keterpaduan antar sektor, dan spasial” yang dinamis, harus menjadi tolok ukur penentuan prioritas kebijaksanaan perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan wilayah dalam konteks implementasi Rencana Tata ruang Wilayah yang konsisten dan simetrik. 2. Model atau strategi keterkaitan/keterpaduan sektoral dan spasial yang dinamis dalam mengelola dan mendistribusikan sumber daya investasi (SDI) yang terbatas secara proporsional antar wilayah pembangunan, terutama yang berbasis perdesaan harus menjadi solusi pembangunan wilayah berimbang. 3. Dalam rangka efisiensi alokasi sumber daya pembangunan wilayah untuk mendorong pergeseran pertumbuhan sektor basis/ komoditi unggulan wilayah, maka spesifikasi perwilayahan sektor basis/komoditi unggulan, harus menjadi perhatian dalam Rencana Tata ruang wilayah. 4. Dalam rangka memperkuat struktur ekonomi wilayah dan perbaikan pendapatan masyarakat, serta menekan kebocoran wilayah (regional leakages) maka keterkaitan antar sektor dan antar wilayah pembangunan yang berorientasi pada industri skala mikro dan atau menengah yang berbasis pada sumber daya lokal (resource endowment) di tingkat daerah harus mendapat prioritas kebijakan pembangunan wilayah kedepan.
146
5. Dalam rangka posisi Kabupaten Alor sebagai wilayah perbatasan maritim dengan negara Timor Leste, maka keterkaitan dan keterpaduan pemerintah pusat dan daerah harus diperkuat dengan kemauan politik terutama pemerintah pusat untuk investasi pembangunan wilayah perbatasan yang konsisten dan simetrik. Jika ini tidak dilakukan, kesenjangan pembangunan wilayah akan lebih melebar dan bisa berimplikasi luas bagi ketahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) kedepan. 6. Penelitian yang sudah dilaksanakan ini, masih merupakan penelitian tahap awal, sehingga diperlukan penelitian lanjutan untuk mengungkap secara rinci antara lain faktor-faktor penyebab kesenjangan pembangunan wilayah, keterkaitan antar sektor pembentuk struktur ekonomi wilayah, programprogram strategis yang lebih spesifik
dan indikator lainnya yang masih
relevan dengan pembangunan wilayah baik lokal maupun regional.
147
DAFTAR PUSTAKA Alonso, W. 1979 . Ketidakseimbangan Kota dan Daerah Dalam Perkembangan Ekonomi. Jakarta. Ekonomi Komunikasi Indonesia Vol XX VII No 3. Bendavid, A. 1991. Regional and Local Economic Analysis Practitioners.London.Praeger Wesport Connecticut. Fourth edition.
for
Budiharsono, S. 1996. Transformasi Struktural dan Pertumbuhan Ekonomi Antar Daerah di Indonesia, 1969-1987. Disertasi. Bogor. Program Pasca Sarjana IPB. Bappenas, 1999. Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta. Menata Ke Depan Perekonomian Nasional. Bappenas, 2002. Laporan Infrastruktur, Jakarta. Deputi Bidang Sarana dan Prasarana, Bappenas, Oktober 2002. Badan Pusat Statistik, 2002 Alor Dalam Angka Tahun 2002 Kalabahi. BPS Kabupaten Alor Badan Pusat Statistik, 2003. Alor Dalam Angka Tahun 2003. Kalabahi. BPS Kabupaten Alor. __________________, 2003. PDB Indonesia Tahun 2003. Jakarta. BPS Indoenesia. __________________, 2003. PDRB Kabupaten Alor Tahun 2003. Kalabahi. BPS Kabupaten Alor. __________________, 2003. Kecamatan Dalam Angka Tahun 2003. Kalabahi. BPS Kabupaten Alor. __________________, 2003. Potensi Desa Tahun 2003. Kalabahi. BPS Kabupaten Alor. __________________, 2003. Profil desa Tahun 2003. Kalabahi. Kerjasama Publikasi BPS dan BPMD Kabupaten Alor . BKKBN, 2005. Laporan Perkembangan Keluarga Sejahtera di Kabupaten Alor Tahun 2000-2004. Kalabahi. Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Kabupaten Alor. Tidak Publikasi. Bappeda 1991. Rencana Umum Tata Ruang Daerah (RUTRD) Kabupaten Alor Tahun 1991. Kalabahi. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Alor. Tidak Publikasi. Bappeda 2005. Rencana Strategis Pembangunan (Renstra) Kabupaten Alor Tahun 2005-2009. Kalabahi. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Alor. Tidak Publikasi. Bentara Wisata, 2006. Eksotisme Alor. Jakarta. Buletin Wisata vol.01 Edisi 01 Clark , C . 1951. The Conditions of Economic Progress . London. MacMillan,and Co.Ltd. Dispenda, 2004. Laporan Bulanan Realisasi Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kabupaten Alor Tahun 1999-2003. Kalabahi. Dinas Pendapatan (Dispenda) Kabupaten Alor. Tidak Publikasi.
148
Dispenda,2005. Laporan Bulanan Realisasi Penerimaan Sumbangan Pihak Ketiga (SP3) Komoditi Antar Pulau di Kabupaten Alor Tahun 2002-2004. Kalabahi. Dinas Pendapatan (Dispenda) Kabupaten Alor. Tidak Publikasi. Dinas Kesehatan, 2003. Laporan Tahunan Perkembangan Pembangunan Kesehatan di Kabupaten Alor Tahun 2003. Kalabahi. Dinas Kesehatan Kabupaten Alor.Tidak Publikasi. Dinas Kehutanan dan Perkebunan, 2004. Laporan Tahunan Perkembangan Pembangunan Kehutanan dan Perkebunan di Kabupaten Alor Tahun 2003. Kalabahi. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Alor. Tidak dipublikasi. Chaniago,N.A, Sugirati, E dan Pangiribuan, T, 2000. Kamus Sinonim-Antonim Bahasa Indonesia. Bandung. CV. Pustaka Setia.Edisi Mei 2000. Dixon, R dan Thirwall 1975. A Model Of Regional Growth Rate Differences on Kaldorians Lines, Oxford Economic Papers. Fisher, A .G.B. 1935. Economic Implication of Material Progress. International Labour Review , July 1935. Gerschenkron, A . 1962. Economic Backwardness in Historical Perspectives. Cambridge, Massachusetts: Harward University Press. Goenarsyah, I. 2004. Ketimpangan dan Pemerataan Pembangunan. Materi Kuliah Ekonomi Pembangunan. Program Studi Ilmu Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan, Bogor. Institut Pertanian Bogor. Tidak di publikasi. Ghalib, R . 2005. Ekonomi Regional. Bandung. Penerbit Pustaka Ramadan. Hanafiah, T. 1985. Pendekatan Wilayah Terhadap Masalah Pembangunan Desa. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial ekonomi Pertanian, Bogor. Fakultas Pertanian IPB. Hanafiah, T. 1988. Pengembangan Pusat Pertumbuhan dan Pelayanan Kecil dalam Rangka Pembangunan Wilayah Pedesaan. Bogor. Jurusan IlmuIlmu Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian IPB. Hirchman A,O. 1958. The Strategy of Economic Development. New Heven: Yale University Press. Hadi, S 2001. Studi Dampak Kebijaksanaan Pembangunan Terhadap Disparitas Ekonomi Antar Wilayah. Disertasi. Bogor. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Hoover, E.M. 1985. An Introduction To Regional Economics. Distinguished service Professor of Economics, New York. Emeritus University of Pittsburgh. Kaldor, N. 1970. The case for Regional Policies, scttish Journal of polotical economy. Kuncoro,
M. 2003. Ekonomi Pembangunan.Teori, masalah kebijakan.Jogjakarta. Penerbit AMP YKPM. Edisi ketiga
dan
Lawalu,H et al. 2003. Laporan Survai dan Investigasi Padang Penggembalaan Ternak di Kabupaten Alor. Kupang. Kerjasama Pemerintah Kabupaten Alor dan Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana Kupang.
149
Laporan Pembangunan Manusia (Human Development Report =HDR), 2004. Ekonomi dari Demokrasi membiayai Pembangunan Manusia di Indonesia. Jakarta. Kerjasama Publikasi BPS-BAPPENAS dan UNDP. Myrdal, G. 1975. Economic Theory and Underdeveloped Regions. Duckwoth. Miller,R.E dan Blair, P.D, 1985. Input-Output Analysis : Foundations and Extensions. New Yersey.Prentice-Hall,Inc, Englewood Cliffts.University of Pensylvania. Martin, W and P.G.Warr. 1993. Explaining the relative Decline of Agriculture: A Supply Side Analysis for Indonesia. The World Bank Economic Review. Murty, S, 2000 Regional Disparities : Need and Measurs for Balanced Development, dalam Regional Planning and Sustainable Development, New Delhi. Kanishka Publisher. North,D.C 1955.Location Theory and Regional Economic Growth", Journal of Political Economy, LXIII (June, 1955), Nurzaman, S.S, 2002.Perencanaan Wilayah di Indonesia pada masa sekitar krisis. Bandung. Penerbit ITB. Perloff H dan Wingo, L Jr.,1961. "Natural Resources Endowment and Regional Economic Growth", Natural Resources and Economic Growth, ed. Joseph. Spengler Washington D.C.: Resouces for the Future, Pradhan, P.K , 2003. Manual For Urban Rural Linkage and Rural Development Analysis Pandiadi,et al 2005. Pengembangan Model Transmigrasi Terpadu di Wilayah Perbatasan. Jakarta. Pusat Litbang Ketransmigrasian.Badan Litbang dan Informasi Departemen Tenaga kerja dan Transmigrasi. Perda No.15, 2005. Pembentukan Kecamatan di Kabupaten Alor. Kalabahi. Tidak Publikasi. Rangrajan,C. 1982. Agricultural Growth and Industrial Performance In India. Washington. International Food Policy Research Institute. Riyadi dan Bratakusumah, D.S. 2003. Prencanaan Pembangunan Daerah, Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama . Rustiadi,
E; Saifulhakim, S dan Panuju,D.R, 2003, Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Bogor. Materi Kuliah Program Studi PWD Pasca Sarjana IPB. Tidak di publikasi.
Rustiadi,
E; Saifulhakim, S dan Panuju,D.R, 2004, Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Bogor. Materi Kuliah Program Studi PWD Pasca Sarjana IPB. Edisi Tambahan. Tidak di publikasi.
Rustiadi, E, Pribadi, D.O. 2006. Mempercepat Pertumbuhan Pembangunan Wilayah Perbatasan. Jakarta. Makalah disampaikan pada Workshop Pengembangan Wilayah Perbatasan : Sinergitas Kebijakan dalam mewujudkan Wilayah Perbatasan sebagai Halaman Depan Negara. Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah. Departemen Dalam Negeri. Jakarta 18-20 September 2006. Rustiadi, E, Damai, A.A, 2007. Perencanaan Pembangunan dan Penataan Ruang Pulau-Pulau Kecil. Bali. Makalah disajikan pada : Semiloka Strategi Pemanfaatan dan Pengendalian Tata Ruang Pulau-Pulau Kecil.
150
Dirjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Departemen Kelautan dan Perikanan. Bali, 28 April 2007. Soegijoko, S, 1997. Percepatan Pembangunan Daerah Perbatasan. Bunga Rampai Perencanaan Pembangunan di Indonesia. Jakarta. Crasindo PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Saifulhakim, S. 2003. Prinsip-Prinsip Ekonomi Regional dan Perdesaan. Bogor. Program Studi Ilmu-Ilmu Prencanaan Pembangunan Wilayah Institut Pertanian Bogor. Tidak di Publikasi. Sipayung, T.2000. Pengaruh Kebijakan Makroekonomi Terhadap Sektor Pertanian Dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia. Tesis. Bogor. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Setiawan, I D.M.D, 2006. Peranan Sektor Unggulan terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah. Pendekatan Input-Output Multi Regional, Jawa Timur, Bali dan Nusa Tenggara Barat. Disertasi. Bogor. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Tamenggung S.A, 1997. Paradigma Ekonomi Wilayah : Tinjauan Teori dan Praksis Ekonomi Wilayah dan Implikasi Kebijaksanaan Pembangunan. Bunga Rampai Perencanaan Pembangunan di Indonesia. Jakarta Crasindo PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Todaro, M.P. 1978. Economic Development in the Tird World. New York. Longman Inc. Tarigan, R. 2004. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Jakarta. Bumi Aksara, Umar,H, 2005. Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis Bisnis. Jakarta.Devisi Buku Perguruan Tinggi. PT Raja Grafindo Persada. Undang-Undang Nomor 24, 1992. Penataan Ruang. Jakarta. Lembaran Negara Republik Indonesia. Williamson, J. 1965. Regional Inequality and the Process of National Development : A Description of the Paterns. Reprinted Economic Development and Cultural Change, Voll 13, no,4 pt,2 with permission of the author and the University of Chicago Press. Wiranto,
T. 1997.Model Keterkaitan Desa-Kota Sebagai Pendekatan Pengembangan Perdesaan. Bunga Rampai Perencanaan Pembangunan di Indonesia. Jakarta. Crasindo PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.
151
Lampiran 1 Analisis Kesenjangan Pendapatan ( Penerimaan PBB) Antar Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) Periode 1999 - 2004.(Model Indeks Williamson). Jumlah wajib PBB (fi)
Jumlah penerimaan PBB (yi)
No
Tahun
1
2
1
1999
10285
30112
2
2000
10227
30140
9780
50147
24542582
164580564
19990172
3
2001
14135
30291
10426
54852
53515937
217487034
36021430
4
2002
14135
30291
10426
54852
56787179
227810481
38554758
5
2003
14023
34598
12485
61106
45103795
317192543
52905248
6
2004
16890
32059
12084
61033
52370569
344292666
66805116
Rataan/∑
13283
31249
9288
47458
36564806
202350170
34628759
SWP A SWP B 3
Jumlah wajib PBB Kabupaten (n)
SWP C
4
5
SWP A
SWP B
7
8
9
23633571
145087896
28124579
6
9810
50207
SWP C
Lanjutan Lampiran 1
Total penerimaan PBB Kabupaten (Ŷ )
fi/n
SWP A 10 196846046 209113318 307024401 323152418 415201586 463468351 273543733
SWP B
11 0.2049 0.2039 0.2577 0.2577 0.2295 0.2767 0.2799
12 0.5998 0.6010 0.5522 0.5522 0.5662 0.5253 0.6585
(yi-Ŷ )
SWP C
Kabupaten
SWP A
14
15 -173212475 -184570736 -253508464 -266365239 -370097791 -411097782 -236978927.14
13 0.1954 0.1950 0.1901 0.1901 0.2043 0.1980 0.1957
1 1 1 1 1 1 1
SWP B 16 -51758150 -44532754 -89537367 -95341937 -98009043 -119175685 -71193562.57
Lanjutan Lampiran 1
(yi-Ŷ ) SWP C 17
(yi-Ŷ )² Kabupaten
SWP A
SWP B
18
19
20
-168721467
-131230697
30002561495625600
2678906091422500
-189123146
-139408879
34066356587581700
1983166178824520
-271002971
-204682934
64266541319639300
8016940089292690
-284597660
-215434945
70950440547527100
9090084950911970
-362296338
-276801057
136972374903080000
9605772509775850
-396663235
-308978901
169001386365320000
14202843895219200
-238914974
-182362488
56159011909779600
5068523351611910
152
Lanjutan Lampiran 1
(yi-Ŷ )²
∑(yi-Ŷ )².fi/n
SWP C
Kabupaten
SWP A
21
22
23
SWP B 24
28466933426632100
17221495922592900
11504281026392400
3039882390179420
35767564352937300
19434835451097400
11453092204943800
3046349608502660
73442610290826800
41895103470848400
14471808381549200
2798998046446370
80995828077475600
46412215670776300
14471808381549200
1306125165445830
131258636528210000
76618825340851300
12887733185134700
2869779905722340
157341722000665000
95467961057181900
15541194290894700
2662359545316900
57080364801420700
33256076994814400
15717872896516700
3337375832457610
Lanjutan Lampiran 1
∑(yi-Ŷ )².fi/n
√∑(yi-Ŷ )².fi/n
SWP C
Kabupaten
SWP A
SWP B
25
26
27
28
11152994178141200
33256076994814400
107258011.4788
55135128.4589
11132190714457400
33256076994814400
107019120.7446
55193746.0996
10849556687442800
33256076994814400
120298829.5103
52905557.8030
31521573145916900
33256076994814400
120298829.5103
36140353.6984
11662493937514100
33256076994814400
113524152.4308
53570326.7278
11301412813729700
33256076994814400
124664326.4567
51598057.5731
11171292847834500
33256076994814400
125370941.1966
57770025.3804
Lanjutan Lampiran 1
√∑(yi-Ŷ )².fi/n
Vw = (√(∑(yi-Ŷ )².fi/n)/Ŷ)
SWP C
Kabupaten
SWP A
SWP B
SWP C
Kabupaten
29
30
31
32
33
34
105607737.3024
182362487.9048
0.5449
0.2801
0.5365
0.9264
105509197.2979
182362487.9048
0.5118
0.2639
0.5046
0.8721
104161205.2899
182362487.9048
0.3918
0.1723
0.3393
0.5940
177543158.5444
182362487.9048
0.3723
0.1118
0.5494
0.5643
107993027.2634
182362487.9048
0.2734
0.1290
0.2601
0.4392
106308103.2364
182362487.9048
0.2690
0.1113
0.2294
0.3935
105694336.8768
182362487.9048
0.4583
0.2112
0.3864
0.6667
Sumber : Diolah dari Data Laporan Tahunan Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) pada Kantor Dinas Pendapatan Kabupaten Alor Tahun 1999-2003.
153
Lampiran 2
Rekapitulasi Analisis Skalogram Perkembangan Kota/desa hirarki Antar Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) di Kabupaten Alor Tahun 2003
No
Desa/Kel Antar SWP
Ibu kota
Jumlah Penduduk
1
2
3
4
Jumlah Jenis Fasilitas (Jjfi) 5
Jumlah Fasilitas (Jfi)
Indeks Hirarki Perkem- AlterBangan natif (IP)
Hirarki Dalam RUTRW (1991)
6
7
9
8
SWP A 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
36 37 38 39 40 41 42
Baranusa Kabir Kaleb Batu Muriabang Beangonong Mauta Bungabali Nule Bandar Baraler Kayang Tude Helangdohi Madar Blangmerang Kalondama Tengah Leer Tamakh Munaseli Kalondama Tubbe Allumang Bukit Mas Marisa Ombay Ekajaya Bagang Merdeka Lekom Illu Aramaba Mawar Baolang Kalondama Barat Kaera Pandai Wailawar Delaki Treweng Bana Bouweli
43 44 45 46 Jlh
Piringsina Lamma Lalafang Toang 46
47
Kalabahi Kota Mutiara
18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
Baranusa Kabir Tamalabang Bakalang Maliang Beangonong Kakamauta Abangiwang Nuhawala Bolangada Baraler Marica Puntaru Helangdohi Padang Blangmerang Boloang
902 1939 1637 1530 1015 710 1834 941 1157 513 751 619 989 650 419 1249 413
22 17 14 14 14 11 11 10 10 9 9 9 9 8 8 8 8
147 630 192 101 39 60 21 73 21 83 72 64 15 125 86 66 57
0.265 0.369 0.330 0.274 0.087 0.236 -0.054 0.276 -0.013 0.016 0.286 0.272 -0.119 0.338 0.313 0.289 0.273
3 2 2 2 3 3 4 2 4 3 2 2 4 2 2 2 2
Sebarang Tamakh Lamalu Latuna Air panas Wolu Panea Kengge Kolijahi Kappas Bagang Bukalabang Lebang Illu Airmama Manatang Baolang Mobobaa
1051 1231 1237 687 523 377 591 879 779 585 466 1280 629 510 1234 1065 335 384
8 8 8 8 8 8 7 7 7 7 7 6 6 6 6 6 6 5
30 12 11 11 9 11 104 13 9 8 8 108 53 13 9 6 6 69
0.165 -0.176 -0.227 -0.227 -0.365 -0.227 0.335 -0.066 -0.270 -0.353 -0.353 0.345 0.296 -0.001 -0.176 -0.459 -0.459 0.331
3 4 4 4 4 4 2 4 4 4 4 2 2 4 4 4 4 2
Padangsul Pandai Lawar Alimakke Tereweng Bana Karang Indah Pulau Kura Nadda Tonte Toang 46
1035 687 463 747 760 585 548
5 5 5 5 5 5 5
8 8 7 6 5 5 5
-0.140 -0.140 -0.216 -0.318 -0.459 -0.459 -0.459
4 4 4 4 4 4 4
467 348 546 334 37631
5 5 3 3 366
5 5 4 3 2403
-0.459 -0.459 -0.247 -0.459
4 4 4 4
Kalabahi
2991
28
1623
0.378
1
Padang Tekukur Tongbang
2906
25
1050
0.372
1
3738
24
1132
0.374
1
4275 2063 1939
22 21 21
1203 943 405
0.377 0.373 0.348
1 1 2
II III IV IV IV II
IV IV
IV
SWP B 48 49 50 51 52
Kalabahi Tengah Kalabahi Timur Kadelang Wetabua Wetabua Moru Moru
I
IV
154
53 Nusa Kenari Nusa kenari Sambungan Lampiran 2 54 Air Kenari Air kenari 55 Binongko Binongko 56 Alim Mebung Mebung 57 Lendola Hombul 58 Kabola Buyunta 59 Alor kecil Alor Kecil 60 Adang Kokar 61 Welai Timur Watatuku 62 Pailelang Pailelang 63 Wolwal Faaming 64 Motongbang Motongbang 65 Adang Buom Buono 66 Kalabahi Kenarilang Barat 67 Dulolong Dulolong 68 Alor besar Albes 69 Pintu Mas Maiwal 70 Petleng Petleng 71 Aimoli Sei'eng 72 Probur Mataraben 73 Morba Morba 74 Fungafeng Mabu 75 O'Amate Ihingdon 76 Tribur Buraga 77 Wolwal Barat Matap 78 Probur Utara Habolat 79 Welai Barat Welai Barat 80 Teluk Kenari Afengmale 81 Lembur Lembur Timur 82 Ampera Ampera 83 Moramam Moramam 84 Alaang Alaang 85 Kopidil Kopidil 86 Lefokisu Alukae 87 Fanating Fanating 88 Otvai Pitungbang 89 Lewalu Lewalu 90 Pura Limarahing 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116
Tuleng Lembur Barat Alila Pura Timur Wolwal Tengah Dulolong Barat Lawahing Mataru Selatan Wakapsir Nurbenlelang Pante Deere Manatang Likuwatang Pura Barat Hulnani Fuisama Maru Alila Selatan Alila Timur Pura Utara Mataru Utara Mataru Timur Luba Pulau Buaya Ternate Halerman
2602
20
1134
0.377
1
1468 2964 1476 2804 2795 1257 2069 1649 911 866 2208 1230 3093
19 18 18 17 17 16 15 15 14 14 13 13 13
714 961 466 981 62 348 376 371 94 20 941 625 357
0.370 0.376 0.359 0.003 0.159 0.353 0.358 0.358 0.265 -0.204 0.381 0.375 0.361
2 1 2 4 3 2 2 2 3 4 2 1 2
1322 954 1599 1380 921 1756 950 481 796 1749 313 1017 2081 716 806
13 13 13 12 12 12 12 12 12 12 12 12 11 11 11
207 181 28 280 101 91 80 80 71 30 27 25 320 219 167
0.339 0.331 -0.003 0.356 0.291 0.280 0.265 0.265 0.248 0.052 0.014 -0.017 0.363 0.349 0.336
2 2 4 2 2 2 3 3 3 3 3 4 2 2 2
537 1278 941 818 792 1478 1054 492 1172
11 11 11 10 10 10 10 10 10
146 125 122 369 267 228 169 151 131
0.328 0.317 0.315 0.369 0.360 0.355 0.342 0.336 0.327
2 2 2 2 2 2 2 2 2
Tuleng Takalelang
581 1198
10 10
93 88
0.301 0.295
2 2
Bota Harilolong Waluom
641 548 807
10 10 10
76 66 60
0.280 0.263 0.250
2 3 3
Papajahi
588
10
47
0.211
3
Tabolang Kalunan
1418 699
10 10
26 22
0.065 0.005
3 3
Sifala Benlelang Pante Deere Manatang Likuwatang Dolabang Hulnani Fuisama Apuri Alaindonu Batu putih Abila Bunggeta Bagalbui Luba Pulau Buaya Umapura Arakblub
645 789 626 575 706 781 333 302 848 1099 579 744 1077 504 578 1299 951 1062
10 9 9 9 9 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 7 7 7
9 53 33 17 14 143 94 58 54 22 19 18 14 12 9 62 27 18
-0.554 0.248 0.160 -0.059 -0.155 0.345 0.320 0.275 0.266 0.083 0.034 0.014 -0.094 -0.176 -0.365 0.296 0.171 0.061
4 3 3 4 4 2 2 2 2 3 3 3 4 4 4 2 3 3
III III III
IV
II III
II
IV
Non Hirarki
III
IV
155
117 Kamaifui Kamaifui Sambungan Lampiran 2. 118 Waimi Waimi 119 Manetwati Manetwati 120 Lembur Atengmelang Tengah 121 Lakatuli Tukbur 122 Pura Selatan Reta 123 Bampalola Bampalola 124 Wolwal Watakika Selatan 125 Taman Legiman Mataru 126 Ternate Biatabang Selatan 127 Kuifana Kuifana 128 Kafakbeka Kafakbeka 129 Dapitau Dapitau 130 Margeta Tranter 131 Lakwati Lakwati 132 Tasi Tasi 133 Wakapsir Bomara Timur 134 Kafelulang Kafelulang 135 Talwai Talwai 136 Mataru Barat Lelmang 137 Orgen Orgen JlH 91 91
543
7
11
-0.150
4
587 504 1032
6 6 6
110 58 12
0.346 0.304 -0.034
2 2 4
733 1030 579 408
6 6 6 6
10 9 8 6
-0.119 -0.176 -0.247 -0.459
4 4 4 4
662
5
44
0.295
2
815
5
27
0.235
2
684 348 314 356 516 413 524
5 5 5 5 5 5 4
19 8 8 6 6 5 11
0.168 -0.140 -0.140 -0.318 -0.318 -0.459 0.083
3 4 4 4 4 4 3
810 661 936 568 103708
4 4 4 4 972
8 6 5 4 18956
-0.034 -0.176 -0.289 -0.459
4 4 4 4
SWP C 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152 153 154 155 156 157 158 159 160 161 162 163 164 165 166 167
Waisika Kelaisi Timur Maritaing Nailang Tanglapui Welai Selatan Taramana Kolana Selatan Langkuru Kamot Kelaisi Barat Air Mancur Silaipui Kenarimbala Pido Kiraman Padang Panjang Kolana Utara Padang Alang Tamanapui Purnama Maukuru Malaipea Elok Kuneman Langkuru Utara Manmas Kailesa Mausamang Subo
Bukapiting Apui
2350 932
19 18
593 45
0.365 0.052
2 4
III II
Marataing Pumai Lantoka Mainang
724 1368 896 684
16 12 12 11
33 222 17 17
-0.021 0.346 -0.209 -0.159
4 2 4 4
II
Taramana Naumang
825 901
10 10
135 15
0.329 -0.176
2 4
IV
Mademang Kilakawa Masape Tipiting Weisak Alata Pumi Kiraman
780 714 605 674 594 718 1037 563
10 9 9 9 9 8 8 8
12 94 91 86 65 169 126 16
-0.318 0.311 0.303 0.303 0.274 0.352 0.338 -0.034
4 2 2 2 2 2 2 4
III
Padang Panjang Kolana
760
8
13
-0.132
4
1022
8
11
-0.227
4
Padang Alang
1019
8
10
-0.289
4
Tamanapui Peitoko Maukuru Malaipea Sawarana Aukalpui Langkuru
495 816 405 583 599 863 948
7 7 7 6 6 6 6
13 14 11 125 57 17 14
-0.066 -0.034 -0.150 0.351 0.303 0.092 0.027
4 4 4 2 2 3 4
Manmas Mazmu Kiralela Tungma
404 686 382 546
6 6 6 6
10 9 9 8
-0.119 -0.176 -0.176 -0.247
4 4 4 4
IV IV
IV
IV
IV
IV
IV IV
156
168 Kelaisi Tengah Kabailu Sambungan Lampiran 2. 169 Maikang Maikang 170 Tanglapui Kobra Timur 171 Lella Lella 172 Tominuku Tominuku 173 Belemana Bangkalela 174 Lipang Pido 175 Sidabui Silonang Jlh 38 38
730
6
7
-0.338
4
523 419
6 6
6 6
-0.459 -0.459
4 4
347 377 355 570 412 27626
5 5 5 4 4 312
7 6 5 7 6 2107
-0.216 -0.318 -0.459 -0.094 -0.176
4 4 4 4 4
IV
Sumber : Data olah /analisis dari data Podes, Profil Desa dan Kecamatan Dalam Angka Tahun 2003.
Lampiran 3 Analisis Entropy Penyebaran ( IE) Alokasi APBD Pembangunan Antar Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) Di Kabupaten Alor Periode 1997/1998 -2003. No
SWP
1997/1998 Alokasi APBD (Rp) 1,617,958,300
Xi (%)
Pi
Ln Pi
-Pi Ln Pi
14
0.47
-0.76
0.36
1,849,095,200
16
0.53
-0.63
0.34
A
3,467,053,500
30
1.00
-1.39
0.69
Teluk Mutiara
2,080,232,100
18
0.36
-1.02
0.37
1,733,526,750
15
0.30
-1.20
0.36
1
Pantar
2
Pantar Barat
3 4
Alor Barat Laut
5
Alor Tengah Utara
808,979,150
7
0.14
-1.97
0.28
6
Alor Barat Daya
1,155,684,500
10
0.20
-1.61
0.32
B
5,778,422,500
50
1.00
-5.80
1.33
7
Alor Selatan
577,842,250
5
0.25
-1.39
0.35
8
Alor Timur Laut
924,547,600
8
0.40
-0.92
0.37
9
Alor Timur
808,979,150
7
0.35
-1.05
0.37
C Jumlah
2,311,369,000
20
1.00
-3.35
1.08
11,556,845,000
100
3.00
-10.54
3.10
Pi
Ln Pi
Lanjutan Lampiran 3. No
SWP
1998/1999 Alokasi APBD (Rp) 813,139,950
Xi (%)
-Pi Ln Pi
10
0.45
-0.79
0.36
975,767,940
12
0.55
-0.61
0.33
A
1,788,907,890
22
1.00
-1.39
0.69
Teluk Mutiara
1,626,279,900
20
0.36
-1.01
0.37
1,301,023,920
16
0.29
-1.23
0.36
731,825,955
9
0.16
-1.81
0.30
1
Pantar
2
Pantar Barat
3 4
Alor Barat Laut
5
Alor Tengah Utara
6
Alor Barat Daya B
813,139,950
10
0.18
-1.70
0.31
4,472,269,725
55
1.00
-5.76
1.33
7
Alor Selatan
487,883,970
6
0.26
-1.34
0.35
8
Alor Timur Laut
731,825,955
9
0.39
-0.94
0.37
9
Alor Timur C
Jumlah
650,511,960
8
0.35
-1.06
0.37
1,870,221,885
23
1.00
-3.34
1.09
8,131,399,500
100
3.00
-10.49
3.11
157
Lanjutan Lampiran 3 No
SWP
2000 Alokasi APBD (Rp)
Xi (%)
Pi
Ln Pi
-Pi Ln Pi
1
Pantar
1,589,733,075
10
0.38
-0.96
0.37
2
Pantar Barat
2,543,572,920
16
0.62
-0.49
0.30
A
4,133,305,995
26
1.00
-1.35
0.67
3
Teluk Mutiara
2,861,519,535
18
0.35
-1.04
0.37
4
Alor Barat Laut
1,589,733,075
10
0.20
-1.63
0.32
5
Alor Tengah Utara
1,271,786,460
8
0.16
-1.85
0.29
6
Alor Barat Daya
2,384,599,613
15
0.29
-1.22
0.36
B
8,107,638,683
51
1.00
-5.75
1.34
7
Alor Selatan
953,839,845
6
0.26
-1.34
0.35
8
Alor Timur Laut
1,271,786,460
8
0.35
-1.06
0.37
9
Alor Timur
1,430,759,768
9
0.39
-0.94
0.37
C
3,656,386,073
23
1.00
-3.34
1.09
15,897,330,751
100
3.00
-10.43
3.09
Jumlah
Lanjutan Lampiran 3 No
SWP
2001 Alokasi APBD (Rp) 1,469,934,819
Xi (%)
Pi
Ln Pi
-Pi Ln Pi
1
Pantar
10
0.33
-1.10
0.37
2
Pantar Barat
2,939,669,637
20
0.67
-0.41
0.27
SWP A
4,409,604,456
30
1.00
-1.50
0.64
3
Teluk Mutiara
2,057,768,746
14
0.31
-1.17
0.36
4
Alor Barat Laut
1,322,851,337
9
0.20
-1.61
0.32
5
Alor Tengah Utara
1,175,867,855
8
0.18
-1.73
0.31
6
Alor Barat Daya
2,057,768,745
14
0.31
-1.17
0.36
SWP B
6,614,256,683
45
1.00
-5.67
1.36
7
Alor Selatan
1,028,884,373
7
0.28
-1.27
0.36
8
Alor Timur Laut
1,175,867,855
8
0.32
-1.14
0.36
9
Alor Timur
1,469,834,819
10
0.40
-0.92
0.37
SWP C Jumlah
3,674,587,047
25
1.00
-1.39
1.09
14,698,448,186
100
3.00
-8.56
3.08
Lanjutan Lampiran 3 No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 Jumlah
SWP
Pantar Pantar Barat SWP A Teluk Mutiara Alor Barat Laut Alor Tengah Utara Alor Barat Daya SWP B Alor Selatan Alor Timur Laut Alor Timur SWP C
Alokasi APBD (Rp) 4,232,715,151 3,527,262,626 7,759,977,777 6,349,072,727 3,527,262,626 3,527,262,626 5,290,893,939 18,694,491,918 2,469,083,838 2,821,810,101 3,527,262,626 8,818,156,565 35,272,626,260
2002 Xi (%) 12 10 22 18 10 10 15 53 7 8 10 25 100
Pi 0.55 0.45 1.00 0.34 0.19 0.19 0.28 1.00 0.28 0.32 0.40 1.00 3.00
Ln Pi -0.61 -0.79 -1.39 -1.08 -1.67 -1.67 -1.26 -0.63 -1.27 -1.14 -0.92 -1.39 -3.42
-Pi Ln Pi 0.33 0.36 0.69 0.37 0.31 0.31 0.36 1.35 0.36 0.36 0.37 1.09 3.13
158
Lanjutan Lampiran 3 No
1 2
SWP
Pantar Pantar Barat SWP A Teluk Mutiara Alor Barat Laut Alor Tengah Utara Alor Barat Daya SWP B Alor Selatan Alor Timur Laut Alor Timur SWP C
3 4 5 6 7 8 9 Jumlah
Sumber
Alokasi APBD (Rp) 5,580,757,096 4,650,630,913 10,231,388,009 8,371,135,644 4,650,630,913 4,650,630,913 6,975,946,370 24,648,343,840 3,255,441,639 3,720,504,732 4,650,630,913 11,626,577,284 46,506,309,133
2003 Xi (%) 12 10 22 18 10 10 15 53 7 8 10 25 100
Pi
Ln Pi
0.55 0.45 1.00 0.34 0.19 0.19 0.28 1.00 0.28 0.32 0.40 1.00 3.00
-0.61 -0.79 -1.39 -1.08 -1.67 -1.67 -1.26 -5.68 -1.27 -1.14 -0.92 -3.33 -10.40
-Pi Ln Pi 0.33 0.36 0.69 0.37 0.31 0.31 0.36 1.35 0.36 0.36 0.37 1.09 3.13
: Diolah dari Buku APBD Kabupaten Alor Tahun Anggaran 1997/1998 – 2003 pada Kantor Bappeda Kabupaten Alor.
Keterangan : Xi = Alokasi APBD Pembangunan Antar SWP ke-i Pi = Xi/Σxi IE = - Σ Pi Ln Pi
Lampiran 4 Data Interaksi Spasial (Arus Informasi Berita) Melalui SSB Pemerintah Kabupaten Alor Tahun 2004. A. DATA PENGAMATAN No Kota hirarki Asal Kabir Rata-rata Jam Berita/tahun (Fij) 0 1 Kabir (H 3 ) 2 Baranusa ( H2) 132 3 Kalabahi (H1) 339 4 Kokar (H3) 267 5 Mebung (H3) 147 6 Moru (H3) 150 7 Apui (H2) 102 8 Bukapiting (H3) 252 9 Maritaing (H2) 120
Kota hirarki Tujuan Baranusa Gangguan Jam Rata-rata Jam Berita/tahun Berita/tahun (dij) (Fij) 0
330 9 6 8 13 10 12 10 13
Gangguan Jam Berita/tahun (dij) 10
0 342 285 144 165 114 279 150
0 6 9 12 13 12 11 12
Lanjutan Lampiran 4. A. Kalabahi Rata-rata Gangguan Jam Jam Berita/tahun Berita/tahun (Fij) (dij) 810 6 820 6 0 0 826 4 820 4 815 4 720 7 775 6 710 7
Kota hiraki Tujuan Kokar Rata-rata Jam Gangguan Berita/tahun Jam (Fij) Berita/tahun (dij) 249 6 288 6 324 7 0 0 204 8 195 6 108 12 303 8 180 7
Rata-rata Jam Berita/tahun (Fij) 120 108 264 234 0 156 120 276 180
Mebung Gangguan Jam Berita/tahun (dij) 13 14 10 9 0 7 12 7 9
159
Lanjutan Lampiran 4. A. Kota hirarki Tujuan Moru Rata-rata Jam Berita/tahun (Fij)
Gangguan Jam Berita/tahun (dij)
159 144 312 174 180 0 111 111 171 Lanjutan Lampiran 4. A.
Rata-rata Jam Berita/tahun (Fij) 138 141 351 180 162 180 174 0 234
Rata-rata Jam Berita/tahun (Fij)
Apui Gangguan Jam Berita/tahun (dij)
108 117 315 138 135 126 0 126 177
11 11 7 9 7 0 12 13 11
Kota hirarki Tujuan Bukapiting Gangguan Jam Berita/tahun Rata-rata Jam (dij) Berita/tahun (Fij) 14 129 12 138 8 348 12 192 10 180 11 165 8 171 0 336 0 7
15 14 8 10 11 13 0 10 10
Marataing Gangguan Jam Berita/tahun (dij) 14 13 8 12 11 11 9 7 0
Lanjutan Lampiran 4 B. DATA KONVERSI LOGARITMA (ENTROPY). No
Kota Asal
Kota Tujuan ln Fij Kabir 0.00
dijKabir 0
ln Fij Baranusa 5.80
dijBaranusa 10
lnFij Kalabahi 6.70
dijKalabahi
1
Kabir
2
Baranusa
4.88
9
0.00
0.00
6.71
6
3
Kalabahi
5.83
6
5.83
6
0.00
4
Kokar
5.59
8
5.65
9
6.72
4
5
Mebung
4.99
13
4.97
12
6.71
4
6
Moru
5.01
10
5.11
13
6.70
4
7
Apui
4.62
12
4.74
12
6.58
7
8
Bukapiting
5.53
10
5.63
11
6.65
6
9
Maritaing
4.79
13
5.01
12
6.57
7
6 0.00
Lanjutan Lampiran 4 B Kota Tujuan lnFij Kokar 5.52
dijKokar 6
lnFij Mebung 4.79
dijMebung 13
ln Fij Moru 5.07
dijMoru
5.66
6
4.68
14
4.97
5.78
7
5.58
10
5.74
7
0.00
0
5.46
9
5.16
9 7
11 11
5.32
8
0.00
0
5.19
5.27
6
5.05
7
0.00
0
4.68
12
4.79
12
4.71
12
5.71
8
5.62
7
4.71
13
5.19
7
5.19
9
5.14
11
160
Lanjutan Lampiran 4 B Kota Tujuan ln Fij Apui 4.68
dijApui
lnFij Bukapiting
dij-Bukapiting
lnFij-Marataing
15
4.93
14
4.86
dij Marataing 14
4.76
14
4.95
12
4.93
13
5.75
8
5.86
8
5.85
7
4.93
10
5.19
12
5.26
12
4.91
11
5.09
10
5.19
11
4.84
13
5.19
11
5.11
11
0.00
0
5.16
8
5.14
9
4.84
10
0.00
0
5.82
8
5.18
10
5.46
7
0.00
0
Lampiran 5 Rekapitulasi Hasil Analisis Entropy Interaksi Spasial (Pengiriman Dan Penerimaan Berita Melalui Saluran SSB ) Di Kabupaten Alor Tahun 2004
No
A. Hasil Analisis Entropy Pengiriman Berita (Berita Keluar). Kota Tujuan Kota Asal Kabir
1 1 2 3 4 5 6 7 8 9
k 3
2 Kabir Baranusa Kalabahi Kokar Mebung Moru Apui Bukapiting Maritaing
Lanjutan Lampiran 5 A. Kabir No P Fij D= k+β.dij 7 8 0.000 1 2 0.019 3 0.026 4 0.006 5 0.009 6 0.044 7 0.020 8 0.015 9 0.040
β 4 0.00 7.03 6.18 7.20 6.87 6.47 7.61 7.50 6.71
0.00 5.24 5.86 6.08 4.71 5.07 3.77 4.53 4.60
Fij P 9 0.00 5.8 6.7 5.52 4.79 5.07 4.68 4.93 4.86
Lanjutan Lampiran 5 A. Baranusa. No Kota Asal k 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kabir Baranusa Kalabahi Kokar Mebung Moru Apui Bukapiting Maritaing
7.11 0.00 6.18 7.20 6.87 6.47 7.61 7.50 6.71
dij 5 0.000 -0.179 -0.0541 -0.187 -0.166 -0.127 -0.256 -0.212 -0.151
R² 6 0 10 6 6 13 11 15 14 14
Kota Tujuan εij = FijD - FijP 10
0.00 % 62.70% 59.20% 74.40% 70.50% 51.90% 62.00% 65.50% 53.10%
ln Fij=k+β.dij+ εij 11
0.00 -0.56 -0.84 0.56 -0.08 0.00 -0.91 -0.40 -0.26 Kota Tujuan Baranusa β dij 13 14 0.0000 0.0000 -0.0541 -0.187 -0.166 -0.127 -0.256 -0.212 -0.151
0.000 4.680 5.011 6.636 4.634 5.076 2.860 4.134 4.332
R² 15 9 0 6 6 11 11 14 12 13
0.722 % 0.00% 59.20% 74.40% 70.50% 51.90% 62.00% 65.50% 53.10%
161
Lanjutan Lampiran 5 A Baranusa P 16
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Fij D= k+β.dij 17
Fij P 18
0.008 0.000 0.026 0.006 0.009 0.044 0.020 0.015 0.040
5.643 0.00 5.86 6.08 5.04 5.07 4.03 4.96 4.75
Kota Tujuan εij = FijD - FijP 19
4.88 0.00 6.71 5.66 4.68 4.97 4.76 4.95 4.93
0.763 0.00 -0.85 0.42 0.36 0.10 -0.73 0.01 -0.18
Lanjutan Lampiran 5 A. Kalabahi No Kota Asal
Kabir Baranusa Kalabahi Kokar Mebung Moru Apui Bukapiting Maritaing
β 22 7.11 7.03 0.00 7.20 6.87 6.47 7.61 7.50 6.71
R² 24 6 6 0 7 10 7 8 8 7
72.20% 62.70% 0.00% 74.40% 70.50% 51.90% 62.00% 65.50% 53.10%
Kota Tujuan
Fij D= k+β.dij 25
dij 23 -0.163 -0.179 0.000 -0.187 -0.166 -0.127 -0.256 -0.212 -0.151
Lanjutan Lampiran 5 A. Kalabahi No P
6.406 0.000 5.001 6.496 5.408 5.176 3.292 4.962 4.564
Kota Tujuan Kalabahi k 21
1 2 3 4 5 6 7 8 9
ln Fij=k+β.dij+ εij 20
Fij P
26
εij = FijD - FijP
27
ln Fij=k+β.dij+ εij
28
29
1
0.008
6.132
5.83
0.302
6.434
2
0.019
5.956
5.83
0.126
6.082
3
0.000
0.000
0.00
0.000
0.000
4
0.006
5.891
5.78
0.111
6.002
5
0.009
5.21
5.58
-0.37
4.84
6
0.044
5.581
5.74
-0.159
5.422
7
0.02
5.562
5.75
-0.188
5.374
8
0.015
5.804
5.86
-0.056
5.748
9
0.04
5.653
5.85
-0.197
5.456
No
l Lanjutan Lampiran 5 A. Kokar Kota Asal
Kota Tujuan Kokar k
β
dij
R²
30
31
32
33
1
Kabir
7.11
-0.163
8
72.20%
2
Baranusa
7.03
-0.179
9
62.70%
3
Kalabahi
6.18
0.000
4
0.592
4
Kokar
0.00
0.000
0
0.00%
5
Mebung
6.87
-0.166
9
70.50%
6
Moru
6.47
-0.127
9
51.90%
7
Apui
7.61
-0.256
10
62.00%
8
Bukapiting
7.50
-0.212
12
65.50%
9
Maritaing
6.71
-0.151
12
53.10%
162
Lanjutan Lampiran 5 A. Kokar No P 1
34 0.008
2 3
Kota Tujuan
Fij D= k+β.dij
Fij P
35
εij = FijD -FijP
36
ln Fij=k+β.dij+ εij
37
38
5.806
5.59
0.216
6.022
0.019
5.419
5.65
-0.231
5.188
0.026
5.9636
6.72
-0.7564
5.2072
4
0.000
0.000
0.00
0.000
0.000
5
0.009
5.376
5.46
-0.084
5.292
6
0.044
5.327
5.16
0.167
5.494
7
0.02
5.05
4.93
0.12
5.17
8
0.015
4.956
5.19
-0.234
4.722
9
0.04
4.898
5.26
-0.362
4.536
Lanjutan Lampiran 5 A. Mebung No
Kota Asal
Kota Tujuan Mebung k
β
39 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kabir Baranusa Kalabahi Kokar Mebung Moru Apui Bukapiting Maritaing
40 7.11 7.03 6.18 7.20 0.00 6.47 7.61 7.50 6.71
Lanjutan Lampiran 5 A. Mebung No P
R²
41
-0.163 -0.179 -0.0541 -0.187 0.000 -0.127 -0.256 -0.212 -0.151
42 72.20% 62.70% 59.20% 74.40% 0.00 51.90% 62.00% 65.50% 53.10%
13 12 4 8 0 7 11 10 11
Kota Tujuan
Fij D= k+β.dij 43
dij
Fij P
44
45
εij = FijD - FijP
ln Fij=k+β.dij+ εij
46
47
1
0.008
4.9910
4.99
0.0010
4.9920
2
0.019
4.8820
4.97
-0.0880
4.7940
3
0.026
5.9636
6.71
-0.7464
5.2172
4
0.006
5.7040
5.32
0.3840
6.0880
5
0.000
0.0000
0.00
0.0000
0.0000
6
0.044
5.5810
5.19
0.3910
5.9720
7
0.020
4.7940
4.91
-0.1160
4.6780
8
0.015
5.3800
5.09
0.2900
5.6700
9
0.040
5.0490
5.19
-0.1410
4.908
Lanjutan Lampiran 5 A.Moru No Kota Asal 1 1 2 3 4 5 6 7 8 9
2 Kabir Baranusa Kalabahi Kokar Mebung Moru Apui Bukapiting Maritaing
k 48 7.11 7.03 6.18 7.20 6.87 0.00 7.61 7.50 6.71
Kota Tujuan Moru β dij 49 50 -0.1630 -0.1790 -0.0541 -0.1870 0.0000 0.0000 -0.2560 -0.2120 -0.1510
R² 51 10 13 4 6 7 0 13 11 11
72.20% 62.70% 59.20% 74.40% 0.71% 0.00% 62.00% 65.50% 53.10%
163
Lanjutan Lampiran 5 A.Moru No
Kota Tujuan
P
Fij D= k+β.dij
Fij P
εij = FijD - FijP
ln Fij=k+β.dij+ εij
52
53
54
55
56
1
0.008
5.4800
5.01
0.4700
5.9500
2
0.019
4.7030
5.11
-0.4070
4.2960
3
0.026
5.9636
6.70
-0.7364
5.2272
4
0.006
6.0780
5.27
0.8080
6.8860
5
0.009
5.7080
5.05
0.6580
6.3660
6
0.000
0.0000
0.00
0.0000
0.0000
7
0.020
4.2820
4.84
-0.5580
3.7240
8
0.015
5.1680
5.19
-0.0220
5.1460
9
0.040
5.0490
5.11
-0.0610
4.9880
Lanjutan Lampiran 5 A.Apui No
Kota Asal
Kota Tujuan Apui k
β
dij
R²
57
58
59
60
1
2
1
Kabir
7.11
-0.1630
12
72.20%
2
Baranusa
7.03
-0.1790
12
62.70%
3
Kalabahi
6.18
-0.0541
7
59.20%
4
Kokar
7.20
-0.1870
11
74.40%
5
Mebung
6.87
-0.1660
9
70.50%
6
Moru
6.47
-0.1270
12
51.90%
7
Apui
0.00
0.0000
0
0.00
8
Bukapiting
7.50
-0.2120
8
65.50%
9
Maritaing
6.71
-0.1510
9
53.10%
0.5340 0.1420 -0.7787 0.4630 0.5860 0.2360 0.0000 0.6440 0.2110
ln Fij=k+β.dij+ εij 65 5.6880 5.0240 5.0226 5.6060 5.9620 5.1820 0.0000 6.4480 5.5620
Lanjutan Lampiran 5 A.Apui No P Fij D= k+β.dij 61 62 1 0.008 2 0.019 3 0.026 4 0.006 5 0.009 6 0.044 0.000 7 8 0.015 9 0.040
5.1540 4.8820 5.8013 5.1430 5.3760 4.9460 0.0000 5.8040 5.3510
Kota Tujuan Fij P εij = FijD - FijP 63 64 4.62 4.74 6.58 4.68 4.79 4.71 0.00 5.16 5.14
Lanjutan Lampiran 5 A.Bukapiting No Kota Asal
Kota Tujuan Bukapiting k 66
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kabir Baranusa Kalabahi Kokar Mebung Moru Apui Bukapiting Maritaing
7.11 7.03 6.18 7.20 6.87 6.47 7.61 0.00 6.71
β 67 -0.1630 -0.1790 -0.0541 -0.1870 -0.1660 -0.1270 0.0000 0.0000 -0.1510
dij 68
R² 69 10 11 6 8 7 13 10 0 8
72.20% 62.70% 59.20% 74.40% 70.50% 51.90% 0.62 0.00% 53.10%
164
Lanjutan Lampiran 5 A.Bukapiting No P Fij D= k+β.dij 70 71 1 0.008 5.4800 2 0.019 5.0610 3 0.026 5.8554 4 0.006 5.7040 5 0.009 5.7080 6 0.044 4.8190 7 0.020 5.0500 0.000 0.0000 8 9 0.040 5.5020
Kota Tujuan Fij P εij = FijD - FijP 72 73 5.53 -0.0500 5.63 -0.5690 6.65 -0.7946 5.71 -0.0060 5.62 0.0880 4.71 0.1090 4.84 0.2100 0.00 0.0000 5.82 -0.3180
Lanjutan Lampiran 5 A.Marataing No Kota Asal
Kota Tujuan Marataing k 75
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kabir Baranusa Kalabahi Kokar Mebung Moru Apui Bukapiting Maritaing
dij 77
R² 78 13 12 7 7 8 11 10 7 0
0.722 0.627 0.592 0.744 0.705 0.519 0.620 0.655 0.00
Kota Tujuan
Fij D= k+β.dij 79
β 76 -0.1630 -0.1790 -0.0541 -0.1870 -0.1660 -0.1270 -0.2560 -0.2120 0.0000
7.11 7.03 6.18 7.20 6.87 6.47 7.61 7.50 0.00
Lanjutan Lampiran 5 A.Marataing No P
ln Fij=k+β.dij+ εij 74 5.4300 4.4920 5.0608 5.6980 5.7960 4.9280 5.2600 0.0000 5.1840
Fij P
80
εij = FijD - FijP
81
ln Fij=k+β.dij+ εij
82
83
1
0.008
4.9910
4.79
0.2010
5.192
2
0.019
4.8820
5.01
-0.1280
4.754
3
0.026
5.8013
6.57
-0.7687
5.033
4
0.006
5.8910
5.19
0.7010
6.592
5
0.009
5.5420
5.19
0.3520
5.894
6
0.044
5.0730
5.14
-0.0670
5.006
7
0.02
5.0500
5.18
-0.1300
4.920
8
0.015
6.0160
5.46
0.5560
6.572
9
0.000
0.0000
0.00
0.0000
0.000
Lampiran 5 B. Hasil Analisis Entropy Berita Masuk. No
Kota Asal
1
2
k 1 2 3 4 5
Kabir Baranusa Kalabahi Kokar Mebung
6
Moru
7 8 9
Apui Bukapiting Maritaing
Kota Tujuan Kabir dij 5
β 3 0.00 6.91 6.87 6.35 6.21
4
R² 6
0.000 -0.147 -0.037 -0.128 -0.105
0 9 6 8 13
0.00 60.30% 62.20% 50.60% 54.30%
6.34
-0.123
10
71.50%
6.26 6.14 6.70
-0.112 -0.089 -0.134
12 10 13
61.50% 50.70% 77.90%
165
Lanjutan Lampiran 5 B. Kabir.
No
P
Fij D= k+β.dij
Fij P
εij = FijD - FijP
ln Fij=k+β.dij+Eij
7
8
9
10
11
1
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
2
0.023
5.59
4.88
0.71
6.29
3
0.020
6.65
5.83
0.82
7.47
4
0.048
5.33
5.59
-0.26
5.06
5
0.037
4.85
4.99
-0.15
4.70
6
0.008
5.11
5.01
0.10
5.21
7
0.021
4.92
4.62
0.30
5.21
8
0.047
5.25
5.53
-0.28
4.97
9
0.004
4.96
4.79
0.17
5.13
Keterangan : Fij D = Fij Dugaan; Fij P = Fij Pengamatan.
Lanjutan Lampiran 5 B. Baranusa No Kota Asal
Kota Tujuan Baranusa k
β
dij
R²
12
13
14
15
1
Kabir
6.56
-0.139
10
2
Baranusa
3
Kalabahi
4 5
0.00
0.000
0
6.87
-0.037
6
62.20%
Kokar
6.35
-0.128
9
50.60%
Mebung
6.21
-0.105
12
54.30%
6
Moru
6.34
-0.123
13
71.50%
7
Apui
6.26
-0.112
12
61.50%
8
Bukapiting
6.14
-0.089
11
50.70%
9
Maritaing
6.70
-0.134
12
77.90%
Lanjutan Lampiran 5 B. Kalabahi No Kota Asal
62.20% 0.00
Kota Tujuan Kalabahi k
β
21 1
Kabir
2
Baranusa
3
Kalabahi
4
Kokar
5
Mebung
6
Moru
7
Apui
8
Bukapiting
9
Maritaing
dij
22
R²
23
6.56
-0.139
6.91 0.00
24 6
62.20%
-0.147
6
60.30%
0.000
0
0.00
6.35
-0.128
4
50.60%
6.21
-0.105
4
54.30%
6.34
-0.123
4
71.50%
6.26
-0.112
7
61.50%
6.14
-0.089
6
50.70%
6.70
-0.134
7
77.90%
166
Lanjutan Lampiran 5 B. Kalabahi No
Kota Tujuan P
Fij D= k+β.dij
Fij P
εij = FijD - FijP
ln Fij=k+β.dij+Eij
25
26
27
28
29
1 2 3
0.020 0.023 0.000.00
5.726 6.028 0.000
6.70 6.71 0.00
-0.97 -0.68 0.00
4.755 5.347 0.000
4 5 6
0.048 0.037 0.008
5.838 5.790 5.848
6.72 6.71 6.70
-0.88 -0.92 -0.86
4.959 4.871 4.993
7 8
0.021
5.476
6.58
-1.10
4.373
0.047 0.004
5.607 5.762
6.65 6.57
-1.05 -0.80
4.560 4.959
9
Lanjutan Lampiran 5 B. Kokar No Kota Asal
Kota Tujuan Kokar
1
Kabir
2
Baranusa
3
Kalabahi
4
Kokar
5
Mebung
6
Moru
7
Apui
8
Bukapiting
9
Maritaing
k
β
dij
R²
30
31
32
33
6.56
-0.139
6
62.20%
6.91
-0.147
6
60.30%
6.87
-0.037
7
62.20%
0.00
0.000
0
0.00
6.21
-0.105
8
54.30%
6.34
-0.123
6
71.50%
6.26
-0.112
12
61.50%
6.14
-0.089
8
50.70%
6.70
-0.134
7
77.90%
Lanjutan Lampiran 5 B. Kokar No
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kota Tujuan
P
Fij D= k+β.dij
Fij P
εij = FijD - FijP
ln Fij=k+β.dij+Eij
34
35
36
37
38
0.020
5.7260
5.52
0.21
5.93
0.023
6.0280
5.66
0.37
6.40
0.020
6.6131
5.78
0.83
7.45
0.000
0.0000
0.00
0.00
0.00
0.037
5.3700
5.32
0.05
5.42
0.008
5.6020
5.27
0.33
5.93
0.021
4.9160
4.68
0.24
5.15
0.047
5.4288
5.71
-0.28
5.15
0.004
5.7620
5.19
0.57
6.33
167
Lanjutan Lampiran 5 B. Mebung No
Kota Asal
Kota Tujuan k
β
dij
R²
39
40
41
42
1
Kabir
6.56
-0.139
13
62.20%
2
Baranusa
6.91
-0.147
14
60.30%
3
Kalabahi
6.87
-0.037
10
62.20%
4
Kokar
6.35
-0.128
9
50.60%
5
Mebung
0.00
0.000
0
0.00
6
Moru
6.34
-0.123
7
71.50%
7
Apui
6.26
-0.112
12
61.50%
8
Bukapiting
6.14
-0.089
7
50.70%
9
Maritaing
6.70
-0.134
9
77.90%
Lanjutan Lampiran 5 B. Mebung No
Kota Tujuan P
Fij D= k+β.dij
Fij P
εij = FijD - FijP
ln Fij=k+β.dij+Eij
43
44
45
46
47
1
0.020
4.753
4.79
-0.04
4.716
2
0.023
4.852
4.68
0.17
5.024
3
0.020
6.503
5.58
0.92
7.426
4
0.048
5.198
5.46
-0.26
4.936
5
0
0
0.00
0.00
0.000
6
0.008
5.479
5.05
0.43
5.908
7
0.021
4.916
4.79
0.13
5.042
8
0.047
5.5177
5.62
-0.10
5.415
9
0.004
5.494
5.19
0.30
5.798
Lanjutan Lampiran 5 B. Moru No
Kota Asal
Kota Tujuan k
β
dij
R²
48
49
50
51
1
Kabir
6.56
-0.139
11
62.20%
2
Baranusa
6.91
-0.147
11
60.30%
3
Kalabahi
6.87
-0.037
7
62.20%
4
Kokar
6.35
-0.128
9
50.60%
5
Mebung
6.21
-0.105
7
54.30%
6
Moru
0.00
0.000
0
0.00
7
Apui
6.26
-0.112
12
61.50%
8
Bukapiting
6.14
-0.089
13
50.70%
9
Maritaing
6.70
-0.134
11
77.90%
168
Lanjutan Lampiran 5 B. Moru No
Kota Tujuan P
Fij D= k+β.dij
Fij P
εij = FijD - FijP
ln Fij=k+β.dij+Eij
52
53
54
55
56
1
0.020
5.0310
5.07
-0.04
4.99
2
0.023
5.2930
4.97
0.32
5.62
3
0.020
6.6131
5.74
0.87
7.48
4
0.048
5.1980
5.16
0.04
5.24
5
0.037
5.4750
5.19
0.28
5.76
6
0.000
0.0000
0.00
0.00
0.00
7
0.021
4.9160
4.71
0.21
5.12
8
0.047
4.9843
4.71
0.27
5.26
9
0.004
5.2260
5.14
0.08
5.31
Lanjutan Lampiran 5 B. Apui No Kota Asal
Kota Tujuan k
β
dij
R²
57
58
59
60
1
Kabir
6.56
-0.139
15
62.20%
2
Baranusa
6.91
-0.147
14
60.30%
3
Kalabahi
6.87
-0.037
8
62.20%
4
Kokar
6.35
-0.128
10
50.60%
5
Mebung
6.21
-0.105
11
54.30%
6
Moru
6.34
-0.123
13
71.50%
7
Apui
0.00
0.000
0
0.00
8
Bukapiting
6.14
-0.089
10
50.70%
9
Maritaing
6.70
-0.134
10
77.90%
Lanjutan Lampiran 5 B. Apui No
Kota Tujuan P
Fij D= k+β.dij
Fij P
εij = FijD - FijP
ln Fij=k+β.dij+Eij
61
62
63
64
65
1
0.020
4.4750
4.68
-0.21
4.27
2
0.023
4.8520
4.76
0.09
4.94
3
0.020
6.5764
5.75
0.83
7.40
4
0.048
5.0700
4.93
0.14
5.21
5
0.037
5.0550
4.91
0.15
5.20
6
0.008
4.7410
4.84
-0.10
4.64
7
0.000
0.0000
0.00
0.00
0.00
8
0.047
5.2510
4.84
0.41
5.66
9
0.004
5.3600
5.18
0.18
5.54
169
Lanjutan Lampiran 5 B. Bukapiting No
Kota Asal k 66
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kota Tujuan dij
β 67
Kabir Baranusa Kalabahi Kokar Mebung Moru Apui Bukapiting Maritaing
R²
68
6.56 6.91 6.87 6.35 6.21 6.34 6.26 0.00 6.70
69
-0.139 -0.147 -0.037 -0.128 -0.105 -0.123 -0.112 0.000 -0.134
14 12 8 12 10 11 8 0 7
62.20% 60.30% 62.20% 50.60% 54.30% 71.50% 61.50% 0.00 77.90%
Lanjutan Lampiran 5 B. Bukapiting No
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kota Tujuan P
Fij D= k+β.dij
Fij P
εij = FijD - FijP
ln Fij=k+β.dij+Eij
70
71
72
73
74
0.020 0.023 0.020 0.048 0.037 0.008 0.021 0.000 0.004
4.614 5.146 6.576 4.814 5.160 4.987 5.364 0.000 5.762
4.93 4.95 5.86 5.19 5.09 5.19 5.16 0.00 5.46
-0.316 0.196 0.716 -0.376 0.070 -0.203 0.204 0.000 0.302
4.298 5.342 7.293 4.438 5.230 4.784 5.568 0.000 6.064
Lanjutan Lampiran 5 B. Marataing No
Kota Asal
Kota Tujuan k 75
β 76
dij 77
1 2 3 4 5 6 7
Kabir Baranusa Kalabahi Kokar Mebung Moru Apui
6.56 6.91 6.87 6.35 6.21 6.34 6.26
-0.139 -0.147 -0.037 -0.128 -0.105 -0.123 -0.112
14 13 7 12 11 11 9
R² 78 62.20% 60.30% 62.20% 50.60% 54.30% 71.50% 61.50%
8 9
Bukapiting Maritaing
6.14 0.00
-0.089 0.000
8 0
50.70% 0.00%
Lanjutan Lampiran 5 B. Marataing No
Kota Tujuan P
1 2 3 4 5 6 7 8 9
79 0.020 0.023 0.020 0.048 0.037 0.008 0.021 0.047 0.000
Fij D= k+β.dij 80 4.6140 4.9990 6.6131 4.8140 5.0550 4.9870 5.2502 5.4288 0.0000
Fij P 81 4.86 4.93 5.85 5.26 5.19 5.11 5.14 5.82 0.00
εij = FijD FijP 82 -0.25 0.07 0.76 -0.45 -0.14 -0.12 0.11 -0.39 0.00
ln Fij=k+β.dij+Eij 83 4.37 5.07 7.38 4.37 4.92 4.86 5.36 5.04 0.00
170
LAMPIRAN 6 ANALISIS ENTROPY INTERAKSI SPASIAL (PENGIRIMAN DAN PENERIMAAN BERITA ) MELALUI SALURAN SSB ANTAR KOTA HIRARKI DI KABUPATEN ALOR TAHUN 2004. ————— 11/1/2006 2:47:55 AM ————————————————————
1. ENTROPY BERITA KELUAR. Regression Analysis: ln Fij Kabir Keluar versus dij Kabir Keluar The regression equation is ln Fij Kabir Keluar = 7.11 - 0.163 dij Kabir Keluar Predictor Coef SE Coef Constant 7.1118 0.4804 dij Kabi -0.16342 0.04137 S = 0.3900
R-Sq = 72.2%
T P 14.80 0.000 -3.95 0.008 R-Sq(adj) = 67.6%
Analysis of Variance Source DF SS Regression 1 2.3734 Residual Error 6 0.9125 Total 7 3.2860 Unusual Observations Obs dij Kabi ln Fij K Fit 3 6.0 5.520 6.131
MS F P 2.3734 15.61 0.008 0.1521
SE Fit 0.253
Residual -0.611
St Resid -2.06R
R denotes an observation with a large standardized residual Regression Analysis: ln Fij Barnusa Keluar versus dij Barnusa Keluar The regression equation is ln Fij Barnusa Keluar = 7.03 - 0.179 dij Barnusa Keluar Predictor Coef SE Coef Constant 7.0270 0.5995 dij Barn -0.17898 0.05640 S = 0.4494
R-Sq = 62.7%
T P 11.72 0.000 -3.17 0.019 R-Sq(adj) = 56.4%
Analysis of Variance Source DF SS Regression 1 2.0341 Residual Error 6 1.2119 Total 7 3.2459 Unusual Observations Obs dij Barn ln Fij B Fit 2 6.0 6.710 5.953
MS F P 2.0341 10.07 0.019 0.2020
SE Fit 0.288
Residual 0.757
St Resid 2.19R
R denotes an observation with a large standardized residual Regression Analysis: ln Fij Kalabahi keluar versus dij Kalabahi keluar The regression equation is ln Fij Kalabahi keluar = 6.18 - 0.0541 dij Kalabahi keluar Predictor Coef SE Coef Constant 6.1765 0.1372 dij Kala -0.05411 0.01835 S = 0.06323
R-Sq = 59.2%
T P 45.03 0.000 -2.95 0.026 R-Sq(adj) = 52.4%
Analysis of Variance Source DF SS MS F Regression 1 0.034763 0.034763 Residual Error 6 0.023987 0.003998 Total 7 0.058750
P 8.70
0.026
171
Unusual Observations Obs dij Kala ln Fij K Fit 7 8.0 5.8600 5.7437
SE Fit Residual St Resid 0.0251 0.1163 2.00R
R denotes an observation with a large standardized residual Regression Analysis: ln Fij Kokar keluar versus dij Kokar keluar The regression equation is ln Fij Kokar keluar = 7.20 - 0.187 dij Kokar keluar Predictor Coef SE Coef Constant 7.2041 0.4223 dij Koka -0.18730 0.04480 S = 0.3001
R-Sq = 74.4%
T 17.06 -4.18
P 0.000 0.006
R-Sq(adj) = 70.2%
Analysis of Variance Source DF SS Regression 1 1.5742 Residual Error 6 0.5404 Total 7 2.1146
MS F P 1.5742 17.48 0.006 0.0901
Regression Analysis: ln Fij Mebung keluar versus dij Mebung keluar The regression equation is ln Fij Mebung keluar = 6.87 - 0.166 dij Mebung keluar Predictor Constant dij Mebu S = 0.3442
Coef SE Coef 6.8706 0.4328 -0.16573 0.04372
T P 15.88 0.000 -3.79 0.009
R-Sq = 70.5%
R-Sq(adj) = 65.6%
Analysis of Variance Source DF SS Regression 1 1.7028 Residual Error 6 0.7110 Total 7 2.4138 Unusual Observations Obs dij Mebu ln Fij M Fit 3 4.0 6.710 6.208
MS F P 1.7028 14.37 0.009 0.1185
SE Fit 0.269
Residual St Resid 0.502 2.35R
R denotes an observation with a large standardized residual Regression Analysis: ln Fij Moru Keluar versus dij-Moru keluar The regression equation is ln Fij Moru Keluar = 6.47 - 0.127 dij-Moru keluar Predictor Constant dij-Moru S = 0.4386
Coef SE Coef 6.4714 0.4911 -0.12655 0.04971 R-Sq = 51.9%
T 13.18 -2.55
P 0.000 0.044
R-Sq(adj) = 43.9%
Analysis of Variance Source DF SS Regression 1 1.2471 Residual Error 6 1.1545 Total 7 2.4016 Unusual Observations Obs dij-Moru ln Fij M Fit 3 4.0 6.700 5.965
MS F P 1.2471 6.48 0.044 0.1924
SE Fit 0.309
Residual 0.735
St Resid 2.36R
R denotes an observation with a large standardized residual
172
Regression Analysis: ln Fij Apui keluar versus dij Apui keluar The regression equation is ln Fij Apui keluar = 7.61 - 0.256 dij Apui keluar Predictor Coef SE Coef Constant 7.6132 0.8329 dij Apui -0.25607 0.08187 S = 0.4332
R-Sq = 62.0%
T 9.14 -3.13
P 0.000 0.020
R-Sq(adj) = 55.6%
Analysis of Variance Source DF SS Regression 1 1.8360 Residual Error 6 1.1261 Total 7 2.9622 Unusual Observations Obs dij Apui ln Fij A Fit 3 7.0 6.580 5.821
MS F P 1.8360 9.78 0.020 0.1877
SE Fit 0.289
Residual 0.759
St Resid 2.36R
R denotes an observation with a large standardized residual Regression Analysis: ln Fij Bukapitin versus dij Bukapiting keluar The regression equation is ln Fij Bukapiting keluar = 7.50 - 0.212 dij Bukapiting keluar Predictor Coef SE Coef Constant 7.4973 0.5887 dij Buka -0.21190 0.06280 S = 0.3814
R-Sq = 65.5%
T 12.73 -3.37
P 0.000 0.015
R-Sq(adj) = 59.7%
Analysis of Variance Source DF SS Regression 1 1.6557 Residual Error 6 0.8727 Total 7 2.5284
MS F P 1.6557 11.38 0.015 0.1454
Regression Analysis: ln Fij Marataing keluar versus dij Marataing keluar The regression equation is ln Fij Marataing keluar = 6.71 - 0.151 dij Marataing keluar Predictor Coef SE Coef Constant 6.7149 0.5548 dij Mara -0.15121 0.05800 S = 0.3997
R-Sq = 53.1%
T 12.10 -2.61
P 0.000 0.040
R-Sq(adj) = 45.3%
Analysis of Variance Source DF SS Regression 1 1.0861 Residual Error 6 0.9587 Total 7 2.0448 Unusual Observations Obs dij Mara ln Fij M Fit 3 6.0 6.570 5.808
MS F P 1.0861 6.80 0.040 0.1598
SE Fit 0.236
Residual 0.762
St Resid 2.36R
R denotes an observation with a large standardized residual
173
2. ENTROPY BERITA MASUK. Results for: Worksheet 2 Regression Analysis: ln Fij Kabir masuk versus dij Kabir masuk The regression equation is ln Fij Kabir masuk = 6.56 - 0.139 dij Kabir masuk Predictor Coef SE Coef Constant 6.5613 0.4587 dij Kabi -0.13889 0.04416 S = 0.2892
R-Sq = 62.2%
T P 14.30 0.000 -3.15 0.020 R-Sq(adj) = 56.0%
Analysis of Variance Source DF SS Regression 1 0.82710 Residual Error 6 0.50170 Total 7 1.32880
MS F P 0.82710 9.89 0.020 0.08362
Regression Analysis: ln Fij Baranusa masuk versus dij Baranusa masuk The regression equation is ln Fij Barnusa masuk = 6.91 - 0.147 dij Barnusa masuk Predictor Coef SE Coef Constant 6.9070 0.5288 dij Barn -0.14725 0.04881 S = 0.2923
R-Sq = 60.3%
T P 13.06 0.000 -3.02 0.023 R-Sq(adj) = 53.7%
Analysis of Variance Source DF SS Regression 1 0.77783 Residual Error 6 0.51272 Total 7 1.29055
MS F P 0.77783 9.10 0.023 0.08545
Regression Analysis: ln Fij Kalabahi masuk versus dij Kalabahi masuk The regression equation is ln Fij Kalabahi masuk = 6.87 - 0.0367 dij Kalabahi masuk Predictor Coef SE Coef Constant 6.86917 0.06579 dij Kala -0.03667 0.01168 S = 0.04045
R-Sq = 62.2%
T P 104.40 0.000 -3.14 0.020 R-Sq(adj) = 55.9%
Analysis of Variance Source DF SS MS F Regression 1 0.016133 0.016133 Residual Error 6 0.009817 0.001636 Total 7 0.025950
P 9.86
0.020
Regression Analysis: ln Fij Kokar masuk versus dij Kokar masuk The regression equation is ln Fij Kokar masuk = 6.35 - 0.128 dij Kokar masuk Predictor Coef SE Coef Constant 6.3515 0.3995 dij Koka -0.12804 0.05168 S = 0.2735
R-Sq = 50.6%
Analysis of Variance
T 15.90 -2.48
P 0.000 0.048
R-Sq(adj) = 42.3%
174
Source DF SS Regression 1 0.45901 Residual Error 6 0.44868 Total 7 0.90769 Unusual Observations Obs dij Koka ln Fij 6 12.0 4.6800
MS F P 0.45901 6.14 0.048 0.07478
Fit SE Fit Residual St Resid 4.8151 0.2519 -0.1351 -1.27 X
X denotes an observation whose X value gives it large influence. Regression Analysis: ln Fij Mebung masuk versus dij Mebung masuk The regression equation is ln Fij Mebung masuk = 6.21 - 0.105 dij Mebung masuk Predictor Constant dij Mebu S = 0.2750
Coef SE Coef 6.2088 0.4100 -0.10506 0.03934
T P 15.14 0.000 -2.67 0.037
R-Sq = 54.3%
R-Sq(adj) = 46.7%
Analysis of Variance Source DF SS Regression 1 0.53950 Residual Error 6 0.45390 Total 7 0.99340
MS F P 0.53950 7.13 0.037 0.07565
Regression Analysis: ln Fij Moru masuk versus dij Moru masuk The regression equation is ln Fij Moru masuk = 6.34 - 0.123 dij Moru masuk Predictor Coef SE Coef Constant 6.3365 0.3288 dij Moru -0.12348 0.03180 S = 0.1878
R-Sq = 71.5%
T 19.27 -3.88
P 0.000 0.008
R-Sq(adj) = 66.8%
Analysis of Variance Source DF SS Regression 1 0.53172 Residual Error 6 0.21167 Total 7 0.74339
MS F P 0.53172 15.07 0.008 0.03528
Regression Analysis: ln Fij Apui masuk versus dij Apui masuk The regression equation is ln Fij Apui masuk = 6.26 - 0.112 dij Apui masuk Predictor Coef SE Coef Constant 6.2639 0.4203 dij Apui -0.11232 0.03626 S = 0.2290
R-Sq = 61.5%
T P 14.90 0.000 -3.10 0.021 R-Sq(adj) = 55.1%
Analysis of Variance Source DF SS Regression 1 0.50305 Residual Error 6 0.31454 Total 7 0.81759 Unusual Observations Obs dij Apui ln Fij A Fit 3 8.0 5.7500 5.3653
MS F P 0.50305 9.60 0.021 0.05242
SE Fit Residual St Resid 0.1467 0.3847 2.19R
R denotes an observation with a large standardized residual Regression Analysis: ln Fij Bukapiting masuk versus dij Bukapiting masuk
175
The regression equation is ln Fij Bukapiting masuk = 6.14 - 0.0889 dij Bukapiting masuk Predictor Coef SE Coef Constant 6.1395 0.3754 dij Buka -0.08886 0.03575 S = 0.2303
R-Sq = 50.7%
T 16.36 -2.49
P 0.000 0.047
R-Sq(adj) = 42.5%
Analysis of Variance Source DF SS Regression 1 0.32765 Residual Error 6 0.31823 Total 7 0.64589 Unusual Observations Obs dij Buka ln Fij B Fit 3 8.0 5.8600 5.4287
MS F P 0.32765 6.18 0.047 0.05304
SE Fit Residual St Resid 0.1145 0.4313 2.16R
R denotes an observation with a large standardized residual Regression Analysis: ln Fij Marataing masuk versus dij Marataing masuk The regression equation is ln Fij Marataing masuk = 6.70 - 0.134 dij Marataing masuk Predictor Coef SE Coef Constant 6.6985 0.3177 dij Mara -0.13445 0.02923 S = 0.1891
R-Sq = 77.9%
T 21.09 -4.60
P 0.000 0.004
R-Sq(adj) = 74.2%
Analysis of Variance Source DF SS Regression 1 0.75694 Residual Error 6 0.21466 Total 7 0.97160 Unusual Observations Obs dij Mara ln Fij M Fit 7 9.0 5.1400 5.4885
MS F P 0.75694 21.16 0.004 0.03578
SE Fit Residual 0.0820 -0.3485
St Resid -2.04R
R denotes an observation with a large standardized residual
176
Lampiran 7 Analisis Location Quoentient (LQ) Sektor/Komoditi Unggulan Antar Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) Di Kabupaten Alor Tahun 2003 No
Jenis sektor/ Komoditi unggulan
Jumlah produksi persatuan komoditi pada SWP (pij) A B C (Rp 000)
1
2
(Rp 000)
3
( Rp 000)
4
Jumlah Produksi persatuan komoditi pada Kabupaten (Pj) (Rp 000)
5
6
pij/pi*(∑pij) SWPA ( 3/∑3) 7
1
Padi
13811000
10599050
6223700
30,633,750
0.01181
2
Jagung
18532400
11866400
5057400
35456200
0.01585
3
Kacang hijau
399000
166,500
276000
841500
0.00034
4
Jambu Mente
612,768,000
375024000
1123640000
2111432000
0.52401
5
Kemiri
1208000
3146000
2008000
6362000
0.00103
6
Kelapa(Kopra)
634187.5
45625
376525
1056337.5
0.00054
7
Kopi
9000
100000
37000
146000
0.00001
8
Cengkeh
4,000
170000
4500
178500
0.00000
9
vanili basah
0
0
3975000
3975000
0.00000
10
Pinang
10000
118000
42500
170500
0.00001
11
Asam
126686840
195620550
89792610
412100000
0.10834
12
Sirlack
333,634,000
253827000
414099000
1,001,560,000
0.28531
13
Ikan laut
6,567,920
6011600
833720
13413240
0.00562
14
Sapi
492000
2310000
1728000
4530000
0.00042
15
Kambing
6347000
7650500
1571500
15569000
0.00543
16
Babi
8899000
19381000
6705500
34985500
0.00761
17
Batu hitam Total (pi*/P*)
39375000
78356250
337464750
455196000
0.03367
1169377348
964392475
1993835705
4,127,605,528
0.05882
(pi*/P*) (pi*/P*) (pi*/P*) Lanjutan Lampiran 7. pij/pi*(∑pij) pij/pi*(∑pij) Pj/P*(∑Pj) Location Quotient (LQij)= pij/pi* / Pj/P* Jenis sektor/ Komoditi SWPB SWPC Kabupaten unggulan SWP A SWPB SWPC ( 4/∑4) ( 5/∑5) (6/∑6) (7/10) ( 8/10) (9/10) 8 9 Padi 0.01099 0.00312 Jagung 0.01230 0.00254 Kacang hijau 0.00017 0.00014 Jambu Mente 0.38887 0.56356 Kemiri 0.00326 0.00101 Kelapa(Kopra) 0.00005 0.00019 Kopi 0.00010 0.00002 Cengkeh 0.00018 0.00000 vanili basah 0.00000 0.00199 Pinang 0.00002 0.00002 Asam 0.04504 0.04504 Sirlack 0.26320 0.20769 Ikan laut 0.00623 0.00042 Sapi 0.00240 0.00087 Kambing 0.00793 0.00079 Batu hitam 0.08125 0.16925 Total (pi*/P*) 0.04953 0.05882 sumber : Diolah dari data BPS Kab.Alor Tahun 2003
10 0.00742 0.00859 0.00020 0.51154 0.00154 0.00026 0.00004 0.00004 0.00096 0.00004 0.09984 0.24265 0.00325 0.00110 0.00377 0.11028 0.05882
11 1.591 1.845 1.674 1.024 0.670 2.119 0.218 0.079 0.000 0.207 1.085 1.176 1.728 0.383 1.439 0.305 0.967
12 1.481 1.432 0.847 0.760 2.116 0.185 2.932 4.076 0.000 0.516 0.042 1.085 1.918 2.183 2.103 0.737 1.458
13 0.421 0.295 0.679 1.102 0.653 0.738 0.525 0.052 2.070 0.516 0.451 0.856 0.129 0.790 0.209 1.535 0.672
177
Lampiran 8 Analisis Shift Share Sektor/Komoditi Unggulan Antar Satuan WilayahPengembangan (SWP) Di Kabupaten Alor Tahun 1998 Dan Tahun 2003. Jenis Sektor/ Komoditi Unggulan
Nilai Produksi Persatuan Komoditi Pada SWP (Xij) A B C 1998 (to) 2003 (t1) 1998 (to) 2003 (t1) 1998 (to) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp)
2003 (t1) (Rp)
1
2
3
8
1 2 3 4
Padi Jagung Kacang hijau Jambu Mente
3648750 2235600 50750 2154000
9865000 13899300 279300 459576000
8428250 12799200 317450 32850
7570750 8899800 116550 281268000
7643500 4669706 189098 25050
5 6 7 8 9 10 11
Kemiri Kelapa(Kopra) Kopi Cengkeh vanili basah Pinang Asam
1359000 253675 8438 6000 0 17000 190030260
Sirlack
214479000
6021000 355000 318375 76950 15625 638350 28678058 6 81394142
3539250 18250 93750 255000 0 200600 293430825
12
5013000 38500 135000 3600 0 94860 17505094 4 81902597
163174500
13 14 15 16 17
Ikan laut Sapi Kambing Babi Batu hitam
1296300 960400
6481500 803600
1855125 10388000
5932500 3773000
1679625 76650 264000 5850 15000 179775 13265523 5 13125568 5 200250 6541500
No
Total/Rataan
4
6
7
4445500 3793050 193200 84273000 0 2259000 150610 34688 6750 1875000 72250 13468891 5 26620650 0 822750 2822400
3236400
4569840
1116000
5508360
874800
1131480
1155135
14149410
9303885
30815790
8999400
10661745
10500000
13500000
28500000
26865000
340036650
1072420473
Lanjutan Lampiran 8 Nilai total jenis komoditas dalam total Kabupaten (Xi) 1998 (to) 2003 (t1) (Rp) (Rp) 9
5
10
538638652
1087323025
Xij(t1) / Xij(to)
11623380 11570220 0 0 488306973 1468960913
X..(t1) / X..(to)
SWPA (4/3)
SWPB (6/5)
SWP C (8/7)
11
12
13
(10/9) 14
Komponen Share ( a ) X..(t1)/X..(to)-1 (∑10/∑9) -1 15
19720500
21881250
2.7037
0.8983
0.5816
1.1096
0
19704506
26592150
6.2173
0.6953
0.8123
1.3495
0
557298
589050
5.5034
0.3671
1.0217
1.0570
0
2211900
1583574000
213.3593
8562.1918
33641.9162
715.9338
0
12713625
7157250
0.2711
0.5878
1.3449
0.5630
0
470150
422535
6.5890
0.0514
1.9649
0.8987
0
717375
136875
0.0625
0.2945
0.1314
0.1908
0
86400
267750
1.6667
3.3138
1.1538
3.0990
0
30625
1875000
0.0000
0.0000
125.0000
61.2245
0
912985
289850
0.1792
0.3142
0.4019
0.3175
0
594486764
618150000
1.0856
1.0232
1.0153
1.0398
0
294552423
643860000
2.6187
2.0047
2.0282
2.1859
0
3351675
13236750
5.0000
3.1979
4.1086
3.9493
0
17889900
7399000
0.8367
0.3632
0.4315
0.4136
0
178
5227200
11209680
1.4120
4.9358
1.2934
2.1445
0 0
19458420
55626945
12.2491
3.3121
1.1847
2.8588
155233800
156067200
1.2857
0.9426
0.9954
1.0054
0
1147325545
3148335285
3.1538
2.0187
3.0083
2.7441
1.7441
Sambungan Lampiran 8 Komponen differential shift ( c ) Komponen proportional Shift (b) SWP A SWP C SWP B (14-15) ( 11(13-14) (12-14) 14)
Komponen Shift share ( SSA ) SWP A (15+16+17)
SWP B (15+16+18)
SWP C (15+16+19)
16 -0.6345
17 1.5941
18 -0.2113
19 -0.5280
20 2.7037
21 0.8983
22 0.5816
-0.3945
4.8677
-0.6542
-0.5373
6.2173
0.6953
0.8123
-0.6871
4.4465
-0.6898
-0.0353
5.5034
0.3671
1.0217
714.1897
-502.5745
7846.2580
32925.9824
213.3593
8562.1918
33641.9162
-1.1811
-0.2919
0.0249
0.7820
0.2711
0.5878
1.3449
-0.8453
5.6902
-0.8473
1.0662
6.5890
0.0514
0.2208
-1.5533
-0.1283
0.1037
-0.0594
0.0625
0.2945
0.1314
1.3549
-1.4323
0.2149
-1.9451
1.6667
3.3138
1.1538
59.4804
-61.2245
-61.2245
63.7755
0.0000
0.0000
125.0000
-1.4266
-0.1383
-0.0032
0.0844
0.1792
0.3142
0.4019
-0.7043
0.0458
-0.0166
-0.0245
1.0856
1.0232
1.0153
0.4418
0.4328
-0.1811
-0.1577
2.6187
2.0047
2.0282
2.2052
1.0507
-0.7514
0.1593
5.0000
3.1979
4.1086
-1.3305
0.4231
-0.1811
0.0179
0.8367
0.2324
0.4315
0.4004
-0.7325
2.7913
-0.8511
1.4120
4.9358
1.2934
1.1147
9.3904
0.4534
-1.6740
12.2491
3.3121
1.1847
-0.7387
0.2803
-0.0627
-0.0099
1.2857
0.9426
0.9954
1.0000
0.4098
-0.9896
0.2642
3.1538
1.7544
3.0083
Sumber : Diolah dari data BPS Kabupaten Alor Tahun 1998 dan 2003.
179
Lampiran 9 Penyebaran kota hirarki/pusat aktivitas antar SWP ) menurut RUTRW Kabupaten Alor Tahun 1991* SWP Kota hirarki/ Jumlah Rumah Jumlah pusat aktivitas Tangga Pendudk Penduduk Tahun 2003 (N) Tahun 2003 1.Baranusa 176 903 2.Kabir 708 2 939 3.Bakalang 288 1530 4.Beangonong 149 710 5.Mauta 381 2 834 6.Pandai 125 688 7.Tamalabang 351 2 637 A 8.Nuhawala 197 2 157 9.Maliang 204 2 015 10.Marica 115 619 11.Puntaru 215 989 12.Latuna 150 687 13.Sebarang 203 1 051 Jlh A 13 Kota 3262 6126 14.Kalabahi 596 2991 15.Alemba 189 806 16.Buraga 374 645 17.Buyunta 653 2795 18. Kokar 496 2069 19.Alor kecil 271 1257 20.Mebung 323 1476 21.Moru 374 1756 22.Faaming 132 575 B 23 Kalunan 152 699 24.Pitungbang 268 1054 25.Tabolang 306 1418 26.Mainang 155 684 27.Mataraben 374 1756 28.Manatang 132 575 29.Tranter 77 356 30. Sifala 165 645 31. Bomara 107 524 Jlh B 18 Kota 5144 22081 32.Apui 214 932 33.Maritaing 193 724 34.Bukapiting 514 2 350 35.Mademang 193 780 36.Taramana 181 825 37.Lantoka 192 896 38.Kolana 242 1022 39.Peitoko 175 816 C 40.Mazmur 170 686 41.Aukalpui 201 863 42.Kiraman 132 563 43.Padang Alang 209 1019 159 594 44.Weisak 80 412 45. Silonang 46.Manmas 70 404 Jlh C 15 Kota 2925 10536 Total Kab. 46 Kota 11331 38743
Jumlah Responden (n) 22 24 23 21 23 21 23 22 22 21 22 21 22 289 24 22 23 24 24 23 23 23 21 21 23 23 22 23 21 19 22 20 402 22 22 24 22 22 22 23 22 22 22 21 22 22 19 18 326 1017
Sistem hirarki II III III III III IV IV IV IV IV IV IV IV I II II III III III III III III III IV IV IV IV IV IV IV IV II II III III IV IV IV IV IV IV IV IV IV IV IV