ANALISIS KELAYAKAN USAHA PEMBENIHAN KERAPU KECAMATAN GEROKGAK, KABUPATEN BULELENG, BALI
Oleh: NI WAYAN NARITA SUGAMA A14104079
PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN NI WAYAN NARITA SUGAMA. Analisis Kelayakan Usaha Pembenihan Kerapu Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali. (Di bawah bimbingan ANITA RISTIANINGRUM) Permintaan ikan dunia dari tahun ke tahun cenderung meningkat sebagai akibat meningkatnya jumlah penduduk dan kualitas hidup yang diikuti perubahan pola konsumsi masyarakat. Makanan sehat dicirikan dari rendahnya kandungan kolesterol dan tingginya kandungan protein. Salah satu alternatif terbaik untuk mengantisipasi peningkatan permintaan ikan adalah dengan mengembangkan budidaya ikan. Ikan kerapu (Family Serranidae) merupakan jenis ikan laut yang paling populer dan bernilai tinggi diantara jenis ikan karang di daerah Asia Pasifik karena memiliki rasa yang lezat, tekstur daging yang lembut, dan memiliki kandungan gizi berupa omega-3 yang cukup tinggi. Harga ekspor ikan kerapu per kilogram berkisar Rp 80.000,- sampai Rp 450.000,-. Salah satu kendala dari budidaya ikan kerapu adalah pasokan benih yang biasanya berasal dari tangkapan alam sehingga dari segi jumlah, kualitas dan waktu yang tidak tepat dengan kebutuhan menjadi faktor penghambat dari perkembangan budidaya. Padahal permintaan ikan kerapu untuk pasar Hong Kong saja mencapai 30 ton setiap bulannya, tetapi Indonesia baru dapat memenuhi permintaan tersebut sebanyak 40% Daerah Bali tepatnya di Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng merupakan cikal bakal adanya sebuah Hatchery Skala Rumah Tangga (HSRT). Pembenihan yang berhasil dikembangkan secara masal baru dimulai pada tahun 1999 oleh Balai Besar Riset Perikanan Budidya Laut (BBRPBL). Jenis ikan kerapu yang menjadi prioritas utama untuk diusahakan dalam Hatchery Skala Rumah Tangga adalah kerapu bebek (Cromileptes altivelis), kerapu macan (Epinephelus fuscogutatus) dan kerapu sunu (Plectropomus leopardus). Rendahnya tingkat keberhasilan pembenihan atau survival rate (SR) merupakan masalah yang dihadapi dalam usaha pembenihan ikan kerapu dalam Hatchery Skala Rumah Tangga di Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng. Selama ini usaha pembenihan ikan kerapu dalam HSRT satu siklusnya hanya dibenihkan satu jenis ikan kerapu saja. Padahal, menurut riset yang dilakukan oleh BBRPBL tehnik pembenihan antara kerapu yang satu dengan yang lain sama sehingga pembenihan dapat dilakukan bersama-sama untuk ketiga jenis ikan kerapu. Penggabungan pembenihan ketiga jenis ikan kerapu akan memenuhi permintaan pasar. Pembenihan yang dilakukan secara masing-masing akan menurunkan harga benih itu sendiri karena karakteristik pemilik HSRT di daerah tersebut adalah selalu membenihkan jenis kerapu yang sama pada saat musim pembenihan sehingga pada musim panen penawaran benih ikan kerapu jenis tertentu akan meningkat. Berdasarkan gambaran kondisi usaha di atas, maka perlu dilakukan analisis kelayakan usaha untuk mengetahui apakah usaha pembenihan kerapu pada Hatchery Skala Rumah Tangga layak atau tidak jika dilakukan pembenihan secara masing-masing atau gabungan dilihat dari aspek non finansial dan aspek financial kemudian dilihat usaha mana yang paling menguntungkan. Tujuan penelitian ini adalah (1) Mengkaji Keragaan usaha pembenihan ikan kerapu dalam Hatchery Skala rumah Tangga serta menganalisis kelayakan
usaha pembenihan ikan kerapu dalam Hatchery Skala Rumah Tangga dilihat dari aspek pasar, teknis, manajemen dan sosial; (2) Menganalisis kelayakan finansial usaha pembenihan ikan kerapu macan, kerapu bebek dan kerapu sunu dalam Hatchery Skala Rumah Tangga, baik dilakukan pembenihan masing-masing atau penggabungan ketiganya; (3) Menganalisis sensitivitas kelayakan usaha pembenihan ikan kerapu jika terjadi perubahan variabel tingkat keberhasilan pembenihan atau survival rate (SR), harga jual benih, dan harga beli telur ikan kerapu. Data yang digunakan dalam penelitan ini berupa data primer dan data sekunder. Data Primer diperoleh dengan melakukan pengamatan langsung ke lapangan dan wawancara dengan pemilik usaha pembenihan ikan kerapu dalam hatchery skala rumah tangga menggunakan daftar pertanyaan yang telah disiapkan. Pengambilan contoh pemilik usaha dilakukan dengan teknik penarikan contoh acak sederhana (simple random sampling) dengan jumlah responden sebanyak 30 orang pemilik dari 224 pemilik HSRT yang tersebar di wilayah Kecamatan Gerokgak. Data sekunder diperoleh dari Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol, Pusat Riset Kelautan dan Perikanan Jakarta. Dinas Perikanan Propinsi Bali dan Pusat Pelayanan Informasi Departemen Kelautan dan Perikanan Jakarta. Data yang didapat kemudian diolah dan dianalisis bersifat kualitatif yang mengkaji aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen dan aspek sosial dan kuantitatif yang mengkaji aspek finansial usaha pembenihan ikan kerapu dengan menggunakan kriteria kelayakan investasi yaitu NPV, IRR, Net B/C dan PBP. Selain itu, dilakukan analisis sensitivitas terhadap perubahan harga benih, SR dan harga telur ikan kerapu terhadap kelayakan pembenihan ikan kerapu. Tahapan pembenihan ikan kerapu dimulai dari penanganan induk. Biasanya ikan kerapu memijah saat bulan mati pada pukul 22.00-24.00. Telur yang telah dipanen dipindahkan ke dalam tangki yang sudah lengkap dengan peralatan aerasi dan sirkulasi air, kemudian kotoran yang tersisa pada telur dibersihkan. Tahapan selanjutnya adalah penanganan larva. Telur yang sudah siap untuk dibiakkan ditebar dalam bak larva dengan kepadatan 10 butir per liter, jadi untuk ukuran bak larva 10 ton ditebar 100.000 butir telur. Pada hari ke-3 larva mulai diberikan pakan. Pergantian air dan penyiponan dasar bak perlu dilakukan. Benih yang siap dipanen dari bak larva sebelum dijual sebaiknya dipindahkan ke dalam bak grading. Biasanya pada tahap ini benih rentan terhadap serangan (Viral Nervous Necrosis) VNN. Hasil analisis aspek pasar menunjukkan bahwa usaha pembenihan ikan kerapu layak untuk dilaksanakan karena permintaan akan benih ikan kerapu macan, bebek, ataupun sunu masih sangat tinggi di pasaran mengingat kandungan gizi yang tinggi dari ikan kerapu dan sistem pemasaran usaha ini sudah cukup baik. Hasil analisis aspek teknis menunjukkan usaha pembenihan kerapu layak untuk dilaksanakan karena lokasi dan tehnik-tehnik pembenihan yang dipergunakan sangat sesuai untuk menunjang kebutuhan usaha pembenihan ditambah lagi dengan adanya Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol sebagai lembaga pemerintahan yang berperan dalam mengembangkan tehnik budidaya guna meningkatkan hasil pembenihan. Hasil analisis aspek manajemen juga menunjukkan usaha ini layak untuk dilakukan. Struktur organisasi usaha yang sangat sederhana karena pemilik turut ikut terjun langsung kelapangan dan
hanya dibantu oleh satu sampai dua orang pekerja dengan sistem pembagian kerja yang jelas. Hasil analisis aspek sosial menunjukkan usaha pembenihan kerapu layak untuk dilaksanakan karena akan memperluas lapangan kerja baru bagi masyarakat di Kecamatan Gerokgak. Berdasarkan hasil analisis finansial diperoleh nilai NPV usaha pembenihan ikan kerapu macan, kerapu bebek, kerapu sunu, dan gabungan ketiganya berturutturut sebesar Rp 330.405.688,-; Rp 448.428.815,-; Rp 206.600.377,-; Rp 505.215.763,- yang menunjukkan keuntungan yang diperoleh selama 10 tahun. Nilai IRR secara berturut sebesar 72 persen, 96 persen, 46 persen, dan 98 persen. Nilai Net B/C berturut-turut sebesar 3,179; 4,867; 2,431 dan 4,971 yang artinya setiap Rp 1,- yang dikeluarkan menghasilkan manfaat bersih sebesar nilai tersebut. Kemudian Payback Period berturut- turut selama 3 tahun, 2 tahun 2,9 bulan, 3 tahun 3,36 bulan dan 2 tahun 0,1 bulan. Berdasarkan nilai-nilai tersebut maka usaha pembenihan ikan kerapu secara masing-masing dan gabungan layak untuk dilaksanakan. Dari hasil di atas dapat disimpulkan bahwa usaha pembenihan secara gabungan merupakan usaha yang paling layak,diikuti usaha pembenihan kerapu bebek, pembenihan kerapu macan, dan pembenihan kerapu sunu. Berdasarkan hasil analisis sensitivitas, diperoleh bahwa usaha pembenihan ikan kerapu macan paling sensitif dan tidak layak dijalankan jika terjadi penurunan harga benih, dikuti dengan pembenihan gabungan, pembenihan kerapu bebek, dan pembenihan kerapu sunu tetapi usaha masih layak untuk dijalankan. Jika terjadi penurunan SR, usaha pembenihan kerapu sunu dan kerapu macan merupakan usaha yang paling sensitif dan tidak layak untuk dijalankan diikuti pembenihan kerapu gabungan dan kerapu bebek tetapi masih layak untuk dijalankan. Jika terjadi kenaikan harga telur, usaha pembenihan kerapu sunu merupakan usaha yang paling sensitif diikuti pembenihan kerapu macan, pembenihan kerapu bebek, pembenihan gabungan tetapi usaha masih tetap layak untuk dijalankan. Dari hasil di atas maka usaha pembenihan ikan kerapu macan dapat dikatakan usaha yang paling sensitif, diikuti dengan usaha pembenihan gabungan, usaha pembenihan kerapu sunu, dan pembenihan ikan kerapu bebek.
ANALISIS KELAYAKAN USAHA PEMBENIHAN KERAPU KECAMATAN GEROKGAK, KABUPATEN BULELENG, BALI
Oleh : NI WAYAN NARITA SUGAMA A14104079
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
Judul
: Analisis Kelayakan Usaha Pembenihan Kerapu Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali Nama : Ni Wayan Narita Sugama NRP : A14104079
Menyetujui, Dosen Pembimbing Skripsi
Ir. Anita Ristianingrum, M.Si NIP. 132 046 437
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019
Tanggal Lulus :
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL ”ANALISIS KELAYAKAN USAHA PEMBENIHAN KERAPU KECAMATAN GEROKGAK,
KABUPATEN
BULELENG,
BALI”
ADALAH
KARYA
SENDIRI DAN BELUM DIAJUKAN DALAM BENTUK APAPUN KEPADA PERGURUAN TINGGI MANAPUN. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK
LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN
RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, Agustus 2008
Ni Wayan Narita Sugama A14104079
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 27 Maret 1986 sebagai anak pertama dari pasangan Prof. Dr. Ir. Ketut Sugama, MS.c dan Dra. Isti Koesharyani. Penulis menyelesaikan sekolah dasar selama 6 tahun di SD LAB STKIP Singaraja, Bali. Pada tahun 1998 penulis melanjutkan sekolah di SLTP Negeri 1 Singaraja, Bali. Tiga tahun setelah itu, penulis diterima sebagai siswa di SMU Negeri 28 Jakarta dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun yang sama, penulis diterima di Program Studi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor melalui Undangan Seleksi Masuk IPB. Selama kuliah, penulis aktif dalam keorganisasian mahasiswa, yaitu menjadi anggota himpunan mahasiswa peminat ilmu-ilmu sosial ekonomi pertanian sebagai staf PSDM pada kepengurusan 2006/2007 dan sebagai staf Hublu pada kepengurusan 2007/2008. kemudian penulis juga menjadi anggota Perkumpulan Mahasiswa Hindu (KMHD) IPB. Keanggotaan di organisasi ekstra kampus yang pernah diikuti penulis diantaranya adalah OMDA BALI.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Semoga setiap langkah selalu dihaturkan untuk senantiasa beribadah kepada-Nya. Skripsi yang berjudul “Analisis Kelayakan Usaha Pembenihan Kerapu Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali” bertujuan untuk menganalisis kelayakan finansial usaha pembenihan ikan kerapu dalam Hatchery Skala Rumah Tangga dilihat dari aspek finansial dan non finansial. Skripsi ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi semua pihak yang membutuhkannya. Penulis telah mencoba menyusun skripsi ini dengan sebaik mungkin. Namun penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat diharapkan untuk kesempurnaan skripsi ini.
Bogor, Agustus 2008
Ni Wayan Narita Sugama A14104079
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Penulisan Analisis Kelayakan Usaha Pembenihan Kerapu Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali ini tidak terlepas dari bantuan seluruh pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1. Ir. Anita Ristianingrum, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah memberi bimbingan dan arahan kepada penulis selama penelitian dan penyelesaian skripsi ini. 2. Ir. Joko Purwono, MS selaku dosen penguji utama atas masukan yang diberikan. 3. Tintin Sarianti, SP selaku dosen penguji komdik atas arahan yang diberikan. 4. Papa, Mama, dan adikku Ryoko tercinta atas doa, dukungan, kasih sayang dan dorongan sebesar-besarnya kepada penulis hingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. 5. Seluruh staf dan pengajar Departemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, atas bimbingan dan bantuannya selama 4 tahun ini. 6. Tante Mami, Tante Yanti, Om Ujud, terima kasih telah bersedia menjadi sumber informasi selama penelitian. 7. Seluruf Staf dan Peneliti di Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol, Singaraja, Bali. 8. Keluarga Besar Wayan Sudana, atas dukungannya kepada penulis
9. Putu Eka Sudaryatma atas doa, kasih sayang, perhatian, waktu, dan kesabaran kepada penulis. 10. Adisti, Fandy, Remmy, Tifa, Wanti, Yulita atas tawa dan tangis yang pernah dilalui bersama penulis. Semoga persahabatan kita tetap abadi untuk selamanya. 11. Okky, Ika, Bagas, Esti atas semua masukan yang senantiasa mendewasakan penulis. 12. Teman-teman seperjuangan: Wanti, Dika, Chika, Aries, Triyadi atas dorongan dan semangatnya. 13. Cahyo, Mamieq, Nunik, Aliy, Yoga dan seluruh teman-teman AGB’41 lainnya, AGB’40 dan pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ...................................................................................
xiv
DAFTAR GAMBAR ...............................................................................
xvi
DAFTAR LAMPIRAN ...........................................................................
xvii
I
II
III
IV
V
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .......................................................................... 1.2 Perumusan Masalah .................................................................. 1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................... 1.4 Manfaat Penelitian ....................................................................
1 8 14 15
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum Ikan Kerapu ............................................... .. 2.2 Biologi Ikan Kerapu ................................................................. 2.2.1 Taksonomi ....................................................................... 2.2.2 Ciri-Ciri Morfologi Ikan Kerapu ..................................... 2.3 Tahapan Pembenihan Ikan Kerapu ........................................... 2.4 Kiat-Kiat dalam Pembenihan Kerapu ....................................... 2.5 Penelitian Terdahulu .................................................................
16 19 19 20 21 22 25
KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Analisis Kelayakan Proyek ....................................................... 3.2 Teori Biaya Dan Manfaat ......................................................... 3.3 Proyeksi Cashflow .................................................................... 3.4 Analisis Finansial ..................................................................... 3.5 Analisis Sensitivitas.................................................................. 3.6 Kerangka Pemikiran Konseptual ..............................................
29 32 33 33 34 35
METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................... 4.2 Jenis dan Sumber Data ............................................................. 4.3 Pengolahan Data....................................................................... 4.4 Analisis Kelayakan Finansial ................................................... 4.4.1 Net Present Value.......................................................... 4.4.2 Internal Rate Of Return................................................. 4.2.3 Net Benefit Cost Ratio ................................................... 4.4.4 Payback Period ............................................................. 4.5 Analisis Sensitivitas .................................................................
39 39 40 40 40 42 42 43 44
GAMBARAN UMUM LOKASI 5.1 Karakteristik Wilayah Penelitian ............................................ 5.2 Karakteristik Penduduk Kecamatan Gerokgak ....................... 5.3 Karakteristik Responden ......................................................... 5.4 Keragaan Pembenihan Ikan kerapu pada Hatchery Skala
46 47 47
Rumah Tangga di Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali .......................................................................................... 5.4.1 Sistem Pemeliharaan Larva ........................................... 5.4.2 Pergantian Air dan Penyiponan Dasar Bak ................... 5.4.3 Pemeliharaan Juvenil .................................................... 5.4.4 Pemasaran ..................................................................... VI
VII
ANALISIS ASPEK NON FINANSIAL 6.1 Aspek Pasar .............................................................................. 6.1.1 Permintaan dan Penawaran ........................................... 6.1.2 Pemasaran ..................................................................... 6.2 Aspek Teknis ............................................................................ 6.2.1 Lokasi Usaha ................................................................. 6.2.2 Sarana dan Prasarana Pembenihan ................................ 6.2.3 Teknis Kultur Pakan Alami ........................................... 6.3 Aspek Manajemen ................................................................... 6.4 Aspek Sosial ............................................................................ ANALISIS ASPEK FINANSIAL 7.1 Identifikasi Biaya dan Manfaat ................................................ 7.1.1 Biaya .............................................................................. 7.1.2 Manfaat .......................................................................... 7.2 Analisis Kelayakan Finansial ................................................... 7.3 Analisis Sensitivitas ................................................................ 7.3.1 Sensitivitas Pembenihan Ikan Kerapu Macan ................ 7.3.2 Sensitivitas Pembenihan Ikan Kerapu Bebek ................ 7.3.3 Sensitivitas Pembenihan Ikan Kerapu Sunu .................. 7.3.4 Sensitivitas Pembenihan Gabungan Ikan Kerapu Macan, Kerapu Bebek, dan Kerapu Sunu ..................................
49 49 51 52 52
54 54 57 59 60 63 66 72 73
81 81 84 85 88 89 93 97 101
VIII KESIMPULAN DAN SARAN 8.1 Kesimpulan ............................................................................. 8.2 Saran .........................................................................................
107 109
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................
110
LAMPIRAN .............................................................................................
113
DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1
Perkembangan Produksi Perikanan Menurut Jenis Budidaya Tahun 2001-2005 .........................................................................................
2
2
Potensi Lahan Budidaya Laut ...........................................................
4
3
Komoditas Ikan Laut Utama Yang Dibudidayakan Di Asia .............
5
4
Kandungan Omega-3 pada Beberapa Jenis Ikan ...............................
6
5
Kebutuhan Benih Ikan Kerapu di Indonesia .....................................
9
6
Daftar Harga Benih ...........................................................................
12
7
Komposisi Penduduk Kecamatan Gerokgak Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin Tahun 2005 ................................................................
47
8
Karakteristik Responden Berdasarkan Kelompok Umur ..................
48
9
Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan ..............
49
10
Karakteristik Responden Berdasarkan Lamanya Menggeluti Usaha Pembenihan Ikan Kerapu .................................................................
49
11
Pola Pemberian Pakan Pada Pemeliharaan Larva Kerapu ................
51
12
Benih Ikan Kerapu Yang Dikirim Melalui Bandara Ngurah Rai (dalam ekor) ......................................................................................
56
13
Biaya Investasi Usaha Pembenihan Ikan Kerapu..............................
82
14
Rincian Biaya Variabel Usaha Pembenihan Ikan Kerapu.................
84
15
Hasil Analisis Kelayakan Finansial Usaha Pembenihan Kerapu Macan, Kerapu Bebek, Kerapu Sunu dan Gabungan ketiganya .......
86
16
Hasil Perhitungan Analisis Sensitivitas Terhadap Penurunan Harga Benih Kerapu Macan Sebesar 40 % .................................................. 89
17
Hasil Perhitungan Analisis Sensitivitas Terhadap Penurunan Tingkat Keberhasilan Pembenihan Kerapu macan Sebesar 5% .....................
90
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
Hasil Perhitungan Sensitivitas Terhadap Peningkatan Harga Telur Kerapu Macan Sebesar 100% ...........................................................
92
Perbandingan Hasil Perhitungan Sensitivitas Pembenihan Kerapu Macan ................................................................................................
93
Hasil Perhitungan Analisis Sensitivitas Terhadap Penurunan Harga Benih Kerapu Bebek Sebesar 30% ...................................................
93
Hasil Perhitungan Analisis Sensitivitas Terhadap Penurunan Tingkat Keberhasilan Pembenihan Kerapu Bebek Menjadi Sebesar 3% .......
94
Hasil Perhitungan Sensitivitas Terhadap Peningkatan Harga Telur Kerapu Bebek Sebesar 75% ..............................................................
95
Perbandingan Hasil Perhitungan Sensitivitas Pembenihan Kerapu Bebek.................................................................................................
96
Hasil Perhitungan Analisis Sensitivitas Terhadap Penurunan Harga Benih Kerapu Sunu Sebesar 15% .....................................................
97
Hasil Perhitungan Analisis Sensitivitas Terhadap Penurunan Tingkat Keberhasilan Pembenihan Kerapu Sunu Menjadi Sebesar 1% .........
98
Hasil Perhitungan Sensitivitas Terhadap Peningkatan Harga Telur Kerapu Sunu Sebesar 100% ..............................................................
99
Perbandingan Hasil Perhitungan Sensitivitas Pembenihan Kerapu Sunu ..................................................................................................
100
Hasil Analisis Sensitivitas Penurunan Harga Benih Ikan Kerapu Macan, Kerapu Bebek, dan Kerapu Sunu .........................................
101
Hasil Analisis Sensitivitas Penurunan SR Pada Usaha Pembenihan Gabungan Ikan Kerapu Macan, Kerapu Bebek, dan Kerapu Sunu ...
102
Hasil Analisis Sensitivitas Kenaikan Harga Telur Pada Usaha Pembenihan Gabungan Ikan Kerapu Macan, Kerapu Bebek, dan Kerapu Sunu ...............................................................................
104
Perbandingan Hasil Perhitungan Sensitivitas Pembenihan Gabungan Ikan Kerapu Macan, Kerapu Bebek, dan Kerapu Sunu ....................
105
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1
Kerangka Pemikiran Konseptual.......................................................
38
2
Alur Pemasaran Benih Kerapu ..........................................................
58
3
Struktur Organisasi HSRT ................................................................
73
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1
Rencana Pembenihan ........................................................................
113
2
Estimasi Penerimaan .........................................................................
114
3
Nilai Sisa ...........................................................................................
115
4
Rincian Biaya Operasional Kerapu Macan .......................................
116
5
Rincian Biaya Operasional Kerapu Bebek ........................................
117
6
Rincian Biaya Operasional Kerapu Sunu ..........................................
118
7
Rincian Biaya Operasional Pembenihan Gabungan .........................
119
8
Cash Flow Usaha Pembenihan Kerapu Macan .................................
121
9
Cash Flow Usaha Pembenihan Kerapu Bebek..................................
122
10
Cash Flow Usaha Pembenihan Kerapu Sunu....................................
123
11
Cash Flow Usaha Pembenihan Gabungan ........................................
124
12
Laporan Laba Rugi Usaha Pembenihan Kerapu Macan ...................
125
13
Laporan Laba Rugi Usaha Pembenihan Kerapu Bebek ....................
126
14
Laporan Laba Rugi Usaha Pembenihan Kerapu Sunu ......................
127
15
Laporan Laba Rugi Usaha Pembenihan Gabungan ..........................
128
16
Cash Flow Sensitivitas Penurunan Harga Benih Kerapu Macan 40 persen ...............................................................................
129
Cash Flow Sensitivitas Penurunan Survival Rate Kerapu Macan Menjadi 5 persen ...............................................................................
130
Cash Flow Sensitivitas Kenaikan Harga Telur Kerapu Macan 100 persen .............................................................................
131
Cash Flow Sensitivitas Penurunan Harga Benih Kerapu Bebek 30 persen ................................................................................
132
Cash Flow Sensitivitas Penurunan Survival Rate Pembenihan Kerapu Bebek Menjadi 3 persen .......................................................
133
17
18
19
20
21
Cash Flow Sensitivitas Kenaikan Harga Telur Kerapu
22
23
24
25
26
27
28
Bebek 75 persen ................................................................................
134
Cash Flow Sensitivitas Penurunan Harga Benih Kerapu Sunu 15 persen ..................................................................................
135
Cash Flow Sensitivitas Penurunan Survival Rate Kerapu Sunu Menjadi 1 persen ...............................................................................
136
Cash Flow Sensitivitas Kenaikan Harga Telur Kerapu Sunu 100 persen ................................................................................
137
Cash Flow Sensitivitas Penurunan Harga Benih Pembenihan Gabungan ..........................................................................................
138
Cash Flow Sensitivitas Penurunan Survival Rate Pembenihan Gabungan ..........................................................................................
139
Cash Flow Sensitivitas Kenaikan Harga Telur Pembenihan Gabungan ..........................................................................................
140
Foto-Foto Penelitian ..........................................................................
141
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki 17.508 pulau dan laut sekitar 5,8 juta km2 dengan bentangan pantai sepanjang 81.000 km. Beragam jenis ikan yang memiliki nilai ekonomis tinggi seperti udang, tuna atau cakalang, ubur-ubur, kepiting, ikan hias, kerang-kerangan, termasuk mutiara, dan rumput laut sangat mudah didapat. Karena kondisi perairan yang beriklim tropis, kegiatan budidaya ikan di Indonesia dapat dilakukan sepanjang tahun (Direktorat Jendral Perikanan 1999). Perikanan mempunyai peranan yang penting dan strategis dalam pembangunan perekonomian nasional. Peranan tersebut terutama dalam meningkatkan perluasan kesempatan
kerja,
pemerataan pendapatan dan
peningkatan taraf hidup pada umumnya nelayan kecil, pembudidaya ikan dan pihak-pihak pelaku usaha di bidang perikanan dengan tetap memelihara lingkungan, kelestarian dan ketersediaan sumberdaya ikan. Permintaan ikan dunia dari tahun ke tahun cenderung meningkat sebagai akibat meningkatnya jumlah penduduk dan kualitas hidup yang diikuti perubahan pola konsumsi masyarakat. Peningkatan kualitas hidup tersebut menyebabkan bergesernya pola konsumsi makanan ke jenis makanan sehat. Makanan sehat dicirikan dari rendahnya kandungan kolesterol dan tingginya kandungan protein salah satunya adalah ikan (Akbar 2002). Lonjakan permintaan ikan tersebut tidak akan dapat terpenuhi kalau hanya mengandalkan hasil tangkapan alam. Salah satu alternatif terbaik untuk mengantisipasi peningkatan permintaan ikan adalah dengan mengembangkan budidaya ikan.
Tabel 1 Perkembangan Produksi Perikanan Menurut Jenis Budidaya Tahun 2001-2005 Jenis Budidaya Budidaya Laut Budidaya Tambak Budidaya Kolam Budidaya Keramba Budidaya Jaring Apung Budidaya Sawah Jumlah
2005
Kenaikan / Tahun (%)
2001
2002
2003
2004
221.010
234.859
249.242
420.919
890.074
48,18
454.710
473.128
501.977
559.612
643.975
9,18
222.790
254.625
281.262
286.182
331.962
10,62
39.340
40.742
40.304
53.694
67.889
15,54
40.710
47.172
57.628
62.371
109.421
30,43
98.190
86.627
93.779
85.832
120.353
7,06
1.076.750
1.137.153
1.224.192
1.468.610
2.163.674
20,14
Sumber: Departemen Kelautan dan Perikanan, Direktorat Jendral Perikanan Budidaya Jakarta Tahun 2006.
Budidaya perikanan merupakan pilihan pengembangan sumberdaya perikanan sebagai pendukung untuk memenuhi kebutuhan konsumsi maupun non konsumsi masyarakat. Kegiatan budidaya perikanan dapat dibedakan menurut jenis budidaya yang dilakukan. Jenis kegiatan budidaya perikanan adalah budidaya laut, budidaya tambak, budidaya kolam, budidaya keramba, budidaya jaring apung, dan budidaya sawah. Perkembangan produksi perikanan menurut jenis budidaya mulai dari tahun 2001 sampai tahun 2005 mengalami peningkatan sebesar 20,14 persen per tahun. Budidaya laut mengalami peningkatan produksi yang cukup tinggi sebesar 48,18 persen per tahun. Hal ini didukung oleh luas perairan Indonesia yang mencapai 5,8 juta Km2 (Direktorat Jendral Perikanan 2006). Kemudian diikuti oleh budidaya jaring apung, budidaya keramba, budidaya kolam, budidaya tambak, dan budidaya sawah. Perkembangan produksi perikanan Indonesia menurut jenis budidaya tahun 2001 sampai tahun 2005 dapat dilihat pada Tabel 1.
Indonesia mempunyai potensi untuk pengembangan budidaya laut yang cukup besar, walau tidak seragam dan tidak merata di seluruh propinsi. Kawasan barat perairan pantai Indonesia memiliki curah hujan tinggi dan banyak terdapat muara sungai besar yang berpotensi membawa muatan suspensi, sehingga substrat dasar perairan menjadi berlumpur, serta dasar laut yang landai berupa paparan, mempunyai potensi untuk pengembangan budidaya kerapu, kakap putih dan kekerangan. Pada kawasan perairan timur Indonesia, terutama Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua banyak terumbu karang dengan perairan yang jernih, sehingga potensial untuk pengembangan budidaya rumput laut, abalone, ikan karang, dan kerang mutiara. Kawasan perairan di daerah Sulawesi, Nusa Tenggara, Papua dan Maluku, dimana lahan perairannya bersubstrat pasir dan berlumpur, serta tidak ada muara sungai besar, sangat potensial untuk budidaya rumput laut dan teripang. Berdasarkan hasil survey Direktorat Jendral Perikanan Budidaya Tahun 2004, Indonesia diperkirakan mempunyai potensi indikatif sebesar 8,4 juta ha perairan laut, dimana 3,8 juta ha merupakan potensi efektif yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan kawasan budidaya laut, yang terdiri dari 775 ribu ha untuk pengembangan keramba jaring apung (KJA) ikan, lobster atau abalone, 37,2 ribu ha untuk pengembangan keramba tancap ikan, 769,5 ribu ha untuk pengembangan budidaya rumput laut, 4,7 juta ha untuk pengembangan budidaya kekerangan, 174,6 ribu ha untuk pengembangan budidaya teripang dan 1,9 juta ha untuk pengembangan budidaya tiram mutiara. Potensi lahan budidaya laut dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Potensi Lahan Budidaya Laut 2004 No 1 2 3 4 5
Komoditas Ikan Rumput Laut Kerang-kerangan Teripang Mutiara Total
Potensi (ha) Indikatif 812.000 770.000 4.720.000 175.000 1.890.000 8.367.000
Efektif 8.000 385.000 2.350.000 88.000 945.000 3.776.000
Sumber: Master Plan Budidaya Laut, Departemen Kelautan dan Perikanan, 2004
Indonesia sebagai negara maritim mempunyai potensi hasil perikanan laut yang besar. Perhatian pemerintah dalam sektor perikanan laut semakin besar dengan dibentuknya Departemen Kelautan dan Perikanan. Hal ini dilakukan dalam rangka pemanfaatan dan pemeliharaan potensi perikanan laut semaksimal mungkin sehingga dapat memenuhi kebutuhan gizi masyarakat Indonesia dan dapat mempertinggi pemasukan devisa negara. Salah satu strategi pemanfaatan dan pelestarian potensi sumberdaya laut adalah pembenihan dan budidaya ikan kerapu (Darwisito, 2002). Ikan kerapu (Family Serranidae) merupakan jenis ikan yang paling populer dan bernilai tinggi diantara jenis ikan karang di daerah Asia Pasifik. Ikan kerapu umumnya tumbuh cepat, kuat, dan cocok untuk budidaya intensif dan mempunyai kekhasan dalam pasca panen serta penyajiannya dalam konsumsi. Permintaan jenis ikan kerapu yang cukup tinggi disebabkan mempunyai keunikan dalam cara memasak dan menyajikannya serta sediaan di alam sangat langka. Biasanya ikan kerapu hidup pada kedalaman 20-80 m di bawah permukaan laut (SEAFDEC 2001). Kerapu merupakan salah satu prioritas komoditas laut yang diunggulkan. Menurut data perikanan FAO (2004) menunjukkan bahwa terdapat 13 komoditas
ikan laut utama yang dibudidayakan di Asia, ikan kerapu termasuk di dalamnya. Dalam kurun waktu 20 tahun yaitu dari tahun 1985 hingga 2004, produksi ikan kerapu meningkat sebanyak 3 persen. Jika dibandingkan dengan ikan bandeng dan ikan makarel yang pada tahun 1985 produksinya berturut-turut adalah 53,5 persen dan 30,8 persen pada tahun 2004 menurun menjadi 31,9 persen dan 10,5 persen. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Komoditas Ikan Laut Utama yang Dibudidayakan di Asia 1985 Spesies
Jumlah
2004 Persentase (%)
(Kg)
Jumlah (Kg)
Persentase (%)
Kerapu
1.320
0,3
57.995
3,6
Kakap putih
1.971
0,4
134.874
8,4
Kakap merah
29.173
5,7
164.898
10,2
Kakap
34
0,0
4.343
0,3
Tilapia
16.682
3,3
45.469
2,8
Bandeng
274.451
53,5
514.656
31,9
Belanak
4.284
0,8
16. 574
1,0
Makarel
157.781
30,8
168.738
10,5
Salmon
6.990
1,4
11.257
0,7
Pipih
1.572
0,3
102.700
6,4
Buntal
750
0,1
19.190
1,2
Cobia
0
0,0
20.461
1,3
17.859
3,5
351.179
21,8
512. 867
100
1.612.294
100
Lain-lain Jumlah
Sumber: FAO (2004)
Ikan kerapu sangat penting karena nilai ekonomis ikan kerapu yang tinggi. Harga ekspor per kilogram pada bulan februari 2008 untuk jenis kerapu bebek
(Cromileptes altivelis) berkisar Rp 300.000,- sampai Rp 450.000,-, kerapu sunu (Plectropomus leopardus) berkisar Rp 180.000,- sampai Rp 250.000,-, dan kerapu macan (Epinephelus fuscogutatus) berkisar antara Rp 80.000,- sampai Rp 130.000,-. Selain harga ikan kerapu yang tinggi di pasaran, ikan kerapu juga memiliki rasa yang lezat, tekstur daging yang lembut, dan memiliki kandungan gizi berupa omega 3 yang cukup tinggi (Tabel 4).1
Tabel 4 Kandungan Omega-3 pada Beberapa Jenis Ikan Ikan
Kandungan Omega-3 (Gram per 100 gram ikan)
Inggris
Indonesia
Sardines
Lemuru, Tembang,
3,90
Mackerel
Japuh
3,60
Grouper
Kerapu
3,00
Rabbit fish
Baronang
2,50
Red Snapper
Kakap merah
2,50
Sea Bass
Kakap hitam
0,55
Milk fish
Bandeng
0,55
Tuna
Tuna
0,20
Sumber: Departemen Kelautan dan Perikanan, 2008
Berdasarkan data hasil survey Direktorat Jendral Perikanan terdapat 20 jenis kerapu dan hanya 12 diantaranya yang memiliki nilai komersial. Ikan kerapu yang hidup dan berkembang di perairan Indonesia sangat terbatas, diantaranya adalah kerapu bebek, kerapu macan, kerapu sunu, kerapu lumpur, kerapu batu dan lain-lain. Selain untuk mendukung keberhasilan Protekan (Program Peningkatan 1
Wawancara dengan Kepala Pusat Riset Perikanan Budidaya, Departemen Kelautan Dan Perikanan
Ekspor Hasil Perikanan) yang telah dicanangkan pemerintah, budidaya kerapu sekaligus merupakan salah satu upaya pelestarian lingkungan dengan menghindari pengerusakan terumbu karang sebagai habitat hidup ikan kerapu. Hancurnya terumbu karang di Indonesia antara lain disebabkan oleh penangkapan ikan kerapu dan ikan karang lainnya dengan cara menggunakan sianida dan bahan peledak. Salah satu kendala dari budidaya kerapu adalah pasokan benih yang biasanya berasal dari tangkapan alam sehingga dari segi jumlah, kualitas dan waktu yang tidak tepat dengan kebutuhan menjadi faktor penghambat dari perkembangan budidaya. Tetapi saat ini hal tersebut sudah dapat diatasi karena benih kerapu telah dapat
dipasok dari hasil pembenihan yang telah banyak
dilakukan oleh petani Hatchery Skala Rumah Tangga (HSRT) yang banyak terdapat di sekitar Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut (BBRPBL) – Gondol, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali (Sugama et.al 2001; Sutarmat et al 2002; 2003). Daerah tersebut ditunjuk pemerintah melalui BBRPBL - Gondol sebagai sentra budidaya ikan laut yang salah satunya adalah ikan kerapu. Di Balai Besar Riset
Perikanan Budidaya Laut (BBRPBL)-Gondol
pembenihan kerapu telah dirintis sejak tahun 1994, kegiatan ini mulai diaplikasikan kepada masyarakat khususnya HRST di sekitar Gondol pada tahun 1999. Sebelumnya masyarakat di daerah tersebut memproduksi benih bandeng, tetapi seiring berjalannya waktu dan kemudahan memproduksi benih bandeng mengakibatkan harga benih turun hingga 75 persen. Harga benih bandeng pernah mencapai Rp 18,- per ekornya (Ismi, 2005). Sejak saat itu petani tidak hanya
memproduksi benih bandeng namun juga dapat memproduksi benih kerapu sehingga pasokan benih dalam jumlah yang cukup dengan ukuran yang seragam sudah mulai dapat terpenuhi. Dari HSRT
pasokan benih dapat dilakukan
sepanjang tahun tanpa tergantung musim sehingga kebutuhan benih yang selama ini menjadi kendala bagi budidaya karamba jaring apung dapat ditanggulangi. Pemasaran benih kerapu hampir ke seluruh wilayah Indonesia bahkan sebagian diekspor ke Malaysia, Singapura, Taiwan, Vietnam, Philipina, Hongkong, dan Cina. Pemasaran dalam negeri meliputi wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, DKI Jakarta, Jawa Barat, Lampung, Bengkulu, Riau, Bangka, Banjarmasin, Balikpapan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Irian Jaya, NTB, NTT. Harga lokal benih di Bali tergantung musim dan jenis dimana harganya
berfluktuasi antara Rp 300,-hingga Rp1.500,- per cm dari
panjang total ikan. Seluruh tehnik yang dikembangkan oleh Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut (BBRPBL)-Gondol telah ditransfer kepada pembenih kerapu dalam HSRT dalam memberikan kontribusi untuk mendapat keuntungan, memperluas kesempatan kerja dan kesempatan untuk diekspor sehingga usaha ini memiliki potensi untuk terus dikembangkan. Untuk itu perlu dilakukan suatu studi kelayakan dari usaha budidaya pembenihan ikan kerapu dalam HSRT agar para pembenih dapat meningkatkan kualitas dan performa HSRT sesuai dengan aspekaspek non finansial dan finansial yang telah dikembangkan oleh BBRPBL Gondol.
1.2 Perumusan Masalah
Ikan kerapu pada umumnya mempunyai nilai ekonomis yang cukup tinggi karena memiliki rasa yang enak dan kandungan gizi yang baik untuk tubuh. Kerapu juga mempunyai pasar yang baik terutama di negara Asean, Hongkong, Taiwan. Untuk Hongkong saja permintaan akan ikan kerapu hidup setiap bulan dari Indonesia mencapai 30 ton, sementara kemampuan Indonesia untuk mengeksport ikan kerapu sekitar 40 persen (Dinas Kelautan dan Perikanan pulau Bintan). Permintaan kerapu yang cukup tinggi dan tidak dapat dipenuhi dengan penangkapan dari alam, maka petani di beberapa daerah perairan di Indonesia mulai memelihara dalam karamba jaring apung dan tambak. Salah satu kendala dari budidaya kerapu adalah pasokan benih yang biasanya berasal dari tangkapan alam sehingga dari segi jumlah, kualitas dan waktu yang tidak tepat dengan kebutuhan menjadi faktor penghambat dari perkembangan budidaya. Pada Tabel 5 dapat dilihat permintaan ikan kerapu untuk pasar lokal dan ekspor. Kebutuhan benih pada tahun 2005 mencai 18.460.000 benih dan baru terpenuhi 10.800.000 benih sehingga belum dapat memenuhi permintaan pasar ikan kerapu. Begitu juga untuk permintaan benih pada tahun 2006 masih kurang sekitar 8. 510.000 benih dan pada tahun 2007 kurang sekitar 10.220.000 benih.
Tabel 5 Kebutuhan Benih Ikan Kerapu di Indonesia Parameter Permintaan ikan kerapu (ton) - Lokal - Ekspor Kebutuhan benih (x1000 ekor) Ketersediaan benih (x1000 ekor)
Tahun 2006
2005
2007
7.200
8.000
9.600
2.880 4.320
3.200 4.800
3.360 6.340
18.460
20.510
24.620
10.800
12.000
14.400
Sumber: Departemen Kelautan dan Perikanan, 2005
Bali tepatnya di Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng merupakan cikal bakal adanya sebuah Hatchery Skala Rumah Tangga. Pembenihan yang berhasil dikembangkan secara masal baru dimulai pada tahun 1999 oleh Balai Besar Riset Perikanan Budidya Laut (BBRPBL) Gondol yang bekerjasama dengan Japan International Coorporation Agency (JICA). Jenis ikan kerapu yang menjadi prioritas utama untuk diusahakan dalam Hatchery Skala Rumah Tangga adalah kerapu bebek (Cromileptes altivelis), kerapu macan (Epinephelus fuscogutatus) dan kerapu sunu (Plectropomus leopardus). Penduduk di daerah tersebut mulai mencoba untuk mengusahakan pembenihan ikan kerapu melihat tingginya permintaan akan benih ikan kerapu untuk dibudidayakan guna memenuhi pasar lokal dan ekspor. Hatchery Skala Rumah Tangga (HRST) adalah pembenihan yang diusahakan secara sederhana dan biasanya dalam skala kecil dimana pada pengusahaannya tidak menyertakan pemeliharaan induk, jadi hanya memperoleh telur secukupnya sesuai kebutuhan yang dibeli dari Hatchery lengkap yang memelihara induk. Sebaiknya Hatchery skala rumah tangga diusahakan dekat dengan Hatchery lengkap sebagai sumber telur atau telur masih bisa diusahakan dari lain daerah asal transportasi tidak menjadi kendala. Untuk memudahkan pelaksanaan operasional, lokasi Hatchery yang dipilih adalah lahan di dekat laut atau lahan yang masih terjangkau suplai air langsung dari laut karena pembenihan ikan laut memerlukan air dalam jumlah yang banyak dan terus menerus (Slamet, 2003). Budidaya ikan kerapu sunu masih mengandalkan pasok benih dari alam, padahal keberadaannya tergantung musim. Kerapu sunu belum banyak
dikembangkan karena memiliki banyak kelemahan yaitu tingkat keberhasilan benih yang sangat minim yaitu sebesar 2% jika dibandingkan dengan kerapu macan sebesar 10% dan kerapu bebek sebesar 5%. Adopsi teknik budidaya pembenihan kerapu bebek dan kerapu macan merupakan pengembangan teknologi, hal ini sedang dikembangkan pada pembenihan kerapu sunu. Sintasan yang rendah pada larva kerapu merupakan satu kelemahan yang mendasar yang menjadikan harga benih kerapu sunu menjadi mahal. Masalah yang dihadapi dalam usaha pembenihan ikan kerapu dalam Hatchery Skala Rumah Tangga di Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng adalah perbedaan karakteristik berupa tingkat keberhasilan atau survival rate (SR) yang dimiliki oleh ketiga spesies kerapu tersebut. Faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya SR diantaranya adalah buruknya kualitas larva yang baru menetas, larva mati terapung pada permukaan air, larva mati di dasar bak, kekurangan nutrisi, duri sirip yang memanjang, dan serangan virus VNN (Viral Nervous Necrosis). Selama ini usaha pembenihan ikan kerapu dalam HSRT satu siklusnya hanya dibenihkan satu jenis ikan kerapu saja. Padahal, menurut Balai Besar Budidaya laut Gondol tehnik pembenihan antara kerapu yang satu dengan yang lain sama sehingga pembenihan dapat dilakukan bersama-sama untuk ketiga jenis ikan kerapu. Penggabungan yang dimaksud adalah dalam satu siklus pembenihan di dalam sebuah HSRT dibenihkan ketiga jenis kerapu secara bersamaan tetapi dilakukan dalam bak terpisah. Penggabungan pembenihan ketiga jenis ikan kerapu akan memenuhi permintaan pasar. Pembenihan yang dilakukan secara masingmasing akan menurunkan harga benih itu sendiri karena karakteristik pemilik
HSRT di daerah tersebut adalah selalu membenihkan jenis kerapu yang sama pada saat musim pembenihan sehingga pada musim panen penawaran benih ikan kerapu jenis tertentu akan meningkat. Harga jual benih tertinggi dan terendah untuk ketiga jenis kerapu dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Daftar Harga Benih Ikan Kerapu di Kecamatan Gerokgak Tahun 2006 Spesies Kerapu Macan Kerapu Bebek Kerapu Sunu Sumber: Ismi (2006)
Ukuran (cm) 2,7-3 cm 2,7-3 cm 2,7-3 cm
Harga (Rp) 600 - 1.000 1.800 - 2.700 3.750 - 4.500
Selain itu, pengusahaan pembenihan ikan kerapu membutuhkan investasi yang tidak sedikit. Diperlukan biaya yang cukup besar terutama biaya pembuatan bak untuk mempersiapkan dan melaksanakan usaha ini. Meskipun benih ikan kerapu memiliki harga jual yang tinggi, tetapi tingkat keberhasilan ikan kerapu sangat minim karena tergolong ikan yang sulit dibudidayakan sehingga besarnya biaya yang dikeluarkan harus diperhitungkan dengan hasil yang akan diperoleh. Besar kecilnya investasi yang dikeluarkan disesuaikan dengan skala usaha yang dilakukan dan tingkat pendapatan atau keuntungan yang ingin diperoleh. Usaha pembenihan ikan kerapu dalam HSRT adalah usaha kecil yang sudah berkembang sejak tahun 1999 di daerah Gerokgak, tetapi sampai saat ini belum dianalisis kelayakannya, baik secara finansial maupun non finansial, padahal usaha tersebut memiliki potensi yang besar karena ikan kerapu memiliki kesempatan ekspor yang besar ditambah lagi tingginya kandungan gizi berupa omega-3 yang dimiliki oleh ikan kerapu kelayakan.
sehingga untuk pengembangan perlu dilakukan analisis
Berdasarkan gambaran kondisi usaha di atas, maka perlu dilakukan analisis kelayakan usaha untuk mengetahui apakah usaha pembenihan kerapu pada Hatchery Skala Rumah Tangga layak jika pembenihan dilakukan secara gabungan atau masing-masing dilihat dari aspek non finansial dan aspek finansial. Untuk mengetahui informasi kelayakan usaha dari masing-masing atau penggabungan pembenihan tiga jenis kerapu tersebut diperlukan analisis berbagai aspek seperti aspek pasar, teknis, manajemen dan sosial. Tingkat keberhasilan atau survival rate (SR) benih yang berfluktuasi dan merupakan masalah mendasar, harga jual benih yang tidak stabil karena karakteristik pemilik HSRT yang membenihkan jenis ikan kerapu yang sama di musim yang sama sehingga penawaran benih ikan kerapu meningkat yang menyebabkan turunnya harga benih ikan kerapu di daerah tersebut, dan harga telur yang cenderung meningkat karena kelangkaan persediaan telur sebagai bahan baku pembenihan. Untuk itu, maka perlu dilakukan analisis sensitivitas terhadap penurunan tingkat keberhasilan atau survival rate (SR), penurunan harga benih dan peningkatan harga telur ikan kerapu. Untuk melakukan analisis finansial diperlukan perhitungan tentang manfaat dan biaya. Dari perhitungan manfaat dan biaya ini dapat diketahui apakah usaha pembenihan tiga jenis kerapu, baik pembenihan yang dilakukan secara masing-masing ataupun gabungan tersebut layak untuk terus dikembangkan atau tidak, kemudian dipilih usaha mana yang lebih menguntungkan. Selain itu, dapat pula diketahui berapa waktu yang diperlukan untuk pengembalian investasi (payback period).
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah tersebut, maka beberapa masalah yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana tehnik budidaya pembenihan ikan kerapu dalam Hatchery Skala Rumah Tangga? 2. Bagaimana kelayakan usaha pembenihan ikan kerapu dalam Hatchery Skala Rumah Tangga bila dilakukan pembenihan masing-masing jenis kerapu dan jika digabungkan ketiganya? 3. Bagaimana tingkat kepekaan (sensitivitas) dari usaha pembenihan ikan kerapu apabila terjadi perubahan harga benih, perubahan tingkat survival rate dan perubahan harga telur?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah dikemukakan, maka penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengkaji Keragaan usaha pembenihan ikan kerapu dalam Hatchery Skala rumah Tangga serta menganalisis kelayakan usaha pembenihan ikan kerapu dalam Hatchery Skala Rumah Tangga dilihat dari aspek pasar, teknis, manajemen dan sosial. 2. Menganalisis kelayakan finansial usaha pembenihan ikan kerapu macan, kerapu bebek dan kerapu sunu dalam Hatchery Skala Rumah Tangga, baik dilakukan pembenihan masing-masing atau penggabungan ketiganya. 3. Menganalisis sensitivitas kelayakan usaha pembenihan ikan kerapu jika terjadi perubahan variabel tingkat keberhasilan pembenihan atau survival rate (SR), harga jual benih, dan harga beli telur ikan kerapu.
1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi: 1. Para petani yang mengusahakan pembenihan kerapu dalam Hatchery Skala Rumah Tangga, sebagai bahan pertimbangan dalam perluasan usaha selanjutnya 2. Pemerintah, sebagai masukan untuk lebih mengembangkan tehnik budidaya pembenihan ikan kerapu guna meningkatka tingkat keberhasilan pembenihan atau survival rate (SR). 3. Calon investor, sebagai informasi dan pertimbangan sebelum menanamkan modal pada usaha budidaya ikan kerapu. 4. Penelitian kelayakan usaha ikan kerapu berikutnya, khususnya mengenai budidaya pembesaran ikan kerapu.
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Gambaran Umum Ikan Kerapu Keberadaan ikan kerapu sangat luas di dunia meliputi Perairan Jepang,
Pulau, Guam, New Caledonia, Queensland, Australia dan lautan India Timur dari Nicobar hingga Broome, Australia Barat (Heemstra dan Randall 1993, dalam Sutarmat et al. 2003). Di Indonesia kerapu dapat dijumpai di Perairan Teluk Banten, Ujung Kulon, Kepulauan Riau, Pulau Seribu, Kepaluan Karimun Jawa, Madura, Kalimantan dan Nusa Tenggara (Evalawati et al. 2001, dalam Sutarmat et al. 2003 ). Kerapu dapat berkembang biak pada terumbu karang hidup maupun yang mati atau perairan karang berdebu dan tide pools (Heemstra dan Randall 1993, dalam Sutarmat et al. 2003). Ikan kerapu muda dapat ditemukan pada kedalaman antara 0,5 sampai 3 meter dan yang dewasa pada kedalaman 40 sampai 60 meter. Induk ikan kerapu didapat dari penangkapan di alam (kerapu sunu) dan dibeli dari pengumpul ikan hidup untuk ekspor (kerapu macan dan kerapu bebek). Ikan yang diperoleh dari pengumpul biasanya jarang yang matang gonad, sehingga agak sulit untuk menentukan jenis kelamin. Untuk itu disarankan agar membeli ikan yang berukuran lebih dari satu kilogram (Sugama et al. 2001). Kerapu macan dan kerapu lumpur yang digunakan untuk induk sudah dapat dilakukan pembenihan sendiri setelah tahun 2002, akan tetapi kerapu sunu belum dapat dilakukan kegiatan pembenihan karena keterbatasan penyediaan induk di alam, sedangkan permintaan di pasar tinggi.
Ikan kerapu memiliki 15 genera yang terdiri atas 159 spesies. Effendi (2002) menyatakan bahwa ikan kerapu merupakan jenis ikan bertipe hermaprodit protogini, dimana proses diferensiasi gonadnya berjalan dari fase betina ke fase jantan atau ikan kerapu ini memulai siklus hidupnya sebagai ikan betina kemudian berubah menjadi ikan jantan. Fenomena perubahan jenis kelamin ini sangat erat hubungannya dengan aktivitas pemijahan, umur, indeks kelamin dan ukuran. Selain itu juga aktivitas pemijahan ikan kerapu dipengaruhi oleh peredaran bulan atau umur bulan (bulan gelap) hubungannya dengan faktor lingkungan, dimana puncak aktivitas pemijahan terjadi pada malam hari tepat bulan baru (bulan mati). Ikan kerapu biasanya dipelihara dalam keramba jaring apung (KJA) dan jadi tambak, namun KJA lebih umum diterapkan di negara-negara Asia Tenggara. Budidaya ikan kerapu di tambak bekas budidaya udang intensif menjadi sangat menarik terutama setelah tambak udang intensif menemui masalah produksi. KJA harus ditempatkan di lokasi yang perairannya tenang (teluk terlindung atau antara pulau-pulau) dengan arus air yang memadai. Lokasi KJA juga harus mempunyai pertukaran air (arus ) yang baik, tidak terjadi pengadukan air pada kedalaman tertentu (SEAFDEC 2001). Ikan kerapu termasuk karnivora, sebagai pemakan ikan kecil, cumi-cumi dan crustacea. Ukuran panjang ikan kerapu bisa mencapai 70 cm dan berat mencapai 4,8 Kg. Menurut Lau dan Li (2000) matang gonad ikan kerapu pada ukuran panjang rata-rata 39 cm untuk betina dan 50 cm untuk jantan. Ikan jantan mudah diketahui dengan cara memijat bagian perutnya maka akan keluar cairan putih susu atau sperma dan ikan betina dicirikan dengan membesarnya bagian abdomen yang apabila disedot dengan kanul akan didapat butiran telur.
Pengecekan ini biasanya dilakukan menjelang bulan mati. Ikan kerapu termasuk ikan yang protogynus hermaprodit, artinya pada saat berukuran kecil (berukuran kurang dari 1 kg) berkelamin betina dan setelah dewasa ukuran tertentu (di atas 2 kg) jenis kelamin akan berubah menjadi jantan hingga akhir hidupnya. Akan tetapi di BBRPBL Gondol ditemukan ikan kerapu berukuran di atas 3 kg tetap berkelamin betina (tidak berubah) dikarenakan pemeliharaan ikan di dalam bak. Pertumbuhan ikan kerapu sangat lambat, untuk mencapai ukuran panjang 33 cm memerlukan waktu 2 tahun, sedangkan di BBRPBL Gondol menemukan pertumbuhan ikan kerapu dari 10 gr sampai 500 gr membutuhkan waktu 14 bulan. Hal ini dikarenakan perbedaan kondisi lingkungan pemeliharaan (Sugama et al. 2001). Kondisi yang tidak memungkinkan dapat menurunkan daya tahan tubuh ikan sebab itu penyakit mudah masuk dan menyerang ikan kerapu. Penyakit kerapu disebabkan oleh beberapa sebab (komplikasi), baik dari lingkungan dan agen penyakit maupun dari sesama agen penyakit yaitu virus, jamur dan parasit (SEAFDEC 2001). Kondisi lingkungan dapat disebabkan oleh kepadatan yang tinggi, adanya racun dari lingkungan, mutu pakan yang buruk dan perubahan kadar garam dari air laut. Dampak yang ditimbulkan oleh penyakit meliputi pertumbuhan yang lambat, SR yang rendah, perubahan warna dan waktu yang lama dalam pemeliharaan. Penyakit dapat ditularkan melalui penyebaran horizontal melalui pakan, air untuk budidaya dan pengangkutan, binatang pembawa penyakit dalam budidaya dan atau penyebaran secara vertikal melalui telur dan sperma. Kontrol yang sigap dan tepat dalam mengambil tindakan preventif pencegahan penyakit sangat diperlukan.
2.2 Biologi Ikan Kerapu 2.2.1 Taksonomi Ikan kerapu memiliki 15 genera yang terdiri atas 159 spesies. Satu diantaranya adalah Cromileoptes altivelis yang selain sebagai ikan konsumsi juga juvenilnya juga sebagai ikan hias. Ikan kerapu termasuk famili Serranidae, Subfamili Epinephelinea, yang umumnya dikenal dengan nama groupers, rockcods, hinds, dan seabasses. Ikan kerapu ditemukan di perairan pantai IndoPasifik sebanyak 110 spesies dan di perairan Filipina dan Indonesia sebanyak 46 spesies yang tercakup ke dalam 7 genera Aethaloperca, Anyperodon, Cephalopholis,
Cromileptes,
Epinephelus,
Plectropomus,
(Marsambuana dan Utojo, 2001). Ikan Kerapu diklasifikasikan sebagai berikut: Klas
: Pisces
Sub klas : Teleostei Ordo : Percomorphi Sub ordo : Percoidea Devisi : Perciformis Famili : Serranidea Sub famili : Epinephelinea Genus : Epinephelus Spesies : Epinephelus sp.
dan
Variola
2.2.2 Ciri-Ciri Morfologi Ikan Kerapu Ciri-ciri morfologi ikan kerapu adalah sebagai berikut (Wardana, 1994): 1. Bentuk tubuh pipih, yaitu lebar tubuh lebih kecil daripada panjang dan tinggi tubuh. 2. Rahang atas dan bawah dilengkapi dengan gigi yang lancip dan kuat. 3. Mulut lebar, serong ke atas dengan bibir bawah yang sedikit menonjol melebihi bibir atas. 4. Sirip ekor berbentuk bundar, sirip punggung tunggal dan memanjang dimana bagian yang berjari-jari keras kurang lebih sama dengan yang berjari-jari lunak. 5. Posisi sirip perut berada di bawah sirip dada. 6. Badan ditutupi sirip kecil yang bersisik stenoid. Pada ikan kerapu genus Aethaloperca merupakan monotipik, terdiri atas satu spesies, warna coklat gelap, tubuh melebar, sirip dada tidak simetris, sirip punggung terdiri atas 9 jari-jari keras, sirip ekor tegak. Ikan kerapu genus Anyperodon merupakan monotipik, warna abu-abu sampai abu-abu kecoklatan, bintik coklat pada kepala, tidak ada gigi pada langit-langit, kepala dan tubuh panjang 3-4 kali dari panjang kepala serta sirip bundar, tebal badan 11-15 persen dari panjang standar,. Ikan kerapu genus Cephalopholis terdiri atas warna gelap, yaitu coklat kemerahan sampai coklat tua dan warna terang, yaitu merah kecoklatan sampai merah atau kuning atau jingga, panjang standard 2,2 – 3,1 kali dari panjang kepala, rahang pada ikan dewasa dilengkapi dengan bonggol, sirip ekor berbentuk bundar. Ikan kerapu genus Epinephelus tubuh ditutupi oleh bintik-bintik berwarna
cokelat atau kuning, merah atau putih, tinggi badan pada sirip punggung pertama biasanya lebih tinggi dari pada sirip dubur, sirip ekor berbentuk bundar. Ikan kerapu genus Plectropomus warna gelap bergaris (menyerupai pita) dan yang tidak bergaris, warna tubuh agak putihan, sirip berwarna kuning, tulang sirip dubur lemah, panjang standard 2,8 – 3,1 kali dari panjang kepala, sirip ekor umumnya tegak, dan yang terakhir ikan kerapu dari genus Variola warna tubuh ditutupi oleh bintik merah, sirip ekor berwarna putih tipis pada bagian pinggir, panjang standard 2,5 – 2,8 kali dari panjang kepala, sirip ekor berbentuk sabit.
2.3
Tahapan Pembenihan Ikan Kerapu Tahapan pembenihan ikan kerapu dimulai dari penanganan induk. Biasanya
ikan kerapu memijah saat bulan mati pada pukul 22.00-24.00. Telur yang sudah dibuahi akan mengapung di permukaan air dan terbawa arus sirkulasi air. Telur akan tersaring dan terkumpul di luar bak pemijahan. Panen telur dilakukan pada pukul 06.00-07.00 saat telur sudah dalam stadia embrio. Telur yang telah dipanen dipindahkan ke dalam tangki yang sudah lengkap dengan peralatan aerasi dan sirkulasi air, kemudian kotoran yang tersisa pada telur dibersihkan. Tahapan selanjutnya adalah penanganan larva. Telur yang sudah siap untuk dibiakkan ditebar dalam bak larva dengan kepadatan 10 butir per liter, jadi untuk ukuran bak larva 10 ton ditebar 100.000 butir telur. Pada hari kedua bak larva ditambahkan Chlorella (plankton) sebagai green water. Kemudian pada hari ketiga larva mulai diberi makan berupa pakan alami yaitu rotifer. Pemberian rotifer sampai larva berumur 25 hari. Pada hari ke-12 larva mulai diberikan pakan buatan berupa pelet. Pelet diberikan sampai larva berbentuk benih dan siap untuk
dipanen. Ukuran pelet yang diberikan sesuai dengan ukuran larva. Artemia diberikan pada saat larva berumur 17 hari. Banyaknya pemberian disesuaikan dengan perkiraan jumlah larva. Artemia diberikan sampai larva berumur 35-40 hari. Pergantian air dan penyiponan dasar bak perlu dilakukan. Pada hari ke-9 sampai hari ke-12 pergantian air mulai dilakukan. Pergantian air dilakukan dengan sistem air mengalir sedikit demi sedikit. Penyiponan dasar bak dilakukan pada hari ke-9 atau hari ke-11 secara perlahan. Penyiponan dilakukan setiap hari setelah diberi pakan buatan. Benih yang siap dipanen dari bak larva sebelum dijual sebaiknya dipindahkan ke dalam bak grading. Pakan buatan tetap diberikan pada tahap ini. Biasanya pada tahap ini benih rentan terhadap serangan (Viral Nervous Necrosis) VNN. Kematian dapat mencapai 100 persen karena virus tersebut mengakibatkan kelemahan tubuh ikan. Dengan memberikan pakan buatan akan mempercepat kekeruhan bak, sehingga pergantian air harus ditingkatkan dengan suhu 27-28◦ C dan salinitas 34-35 ppt, karena hal ini dapat mencegah berkembangnya VNN.
2.4 Kiat-Kiat dalam Pembenihan Ikan Kerapu Dalam perkembangan larva kerapu dari fase larva hingga juvenil banyak mengalami perubahan bentuk tubuh. Sebelum metamorfosis, larva sangat rentan terhadap perubahan lingkungan. Oleh karena itu selama pemeliharaan perlu manajemen yang baik. Pemeliharaan larva pada suhu air 28-30◦ C memerlukan waktu sekitar 45 hari untuk metamorfosis.
Tingkat keberhasilan atau Survival Rate (SR) dalam pemeliharaan larva kerapu sangat bergantung pada kemampuan untuk menghindarkan terjangkitnya penyakit yang disebabkan oleh virus ” Viral Nervous Necrosis” (VNN). Sekali terjadi serangan VNN maka akan terjadi kematian yang cukup tinggi dan terkadang larva mati total dalam beberapa hari. Pencegahan berjangkitnya VNN harus selalu diupayakan dengan cara membuat lingkungan pemeliharaan larva yang nyaman, tidak terjadi perubahan lingkungan atau kekurangan pakan yang dapat menimbulkan stress. Larva dalam kondisi lemah dan stress sangat mudah diserang VNN, karena VNN kemungkinan besar ada di setiap perairan. Kanibalisme adalah bukan faktor utama penyebab rendahnya SR pembenihan ikan kerapu. Berikut ini adalah beberapa faktor penyebab terjadinya kematian larva selama pemeliharaan dan pencegahannya. 1. Mati terapung pada permukaan air Larva berumur antara 0-5 hari setelah menetas (HSM) sangat mudah terperangkap pada tegangan permukaan air. Sekali larva terperangkap tidak dapat bergerak lagi, lalu mati. Sebelum mati, larva menjadi stress dan selama stress banyak mengeluarkan lendir dan lendir tersebut mempercepat terperangkapnya larva lain sehingga menyebabkan kematian yang tinggi pada awal pemeliharaan. Untuk menghindari kematian tersebut maka pelu dilakukan pengaturan letak dan kekuatan aerasi, memberi minyak ikan pada permukaan air, dan pertahankan warna air. 2. Mati di dasar bak Beberapa kejadian yang menunjukkan bahwa larva berumur 2 HSM cenderung berada di dasar bak dan tidak menyebar. Keadaan ini dapat
menyebabkan kematian yang tinggi. Penyebab kematian belum diketahui dengan pasti apakah dari kualitas telur dan larva yang menetas kurang baik atau larva yang berada di dasar bak mengalami stress lalu memproduksi lendir dan lengket satu sama lain, dan akhirnya mati. Untuk menghindari hal tersebut maka perlu dilakukan penguraangan kepadatan telur dalam bak dan beri aerasi yang kuat. 3. Duri sirip memanjang Mulai 10 HSM larva mempunyai satu sirip punggung dan dua sirip dada yang berduri dan memanjang bersamaan dengan bertambahnya umur larva. Adanya pertumbuhan duri yang panjang menjadikan masalah dalam pembesaran larva, apabila larva dipelihara dalam kepadatan tinggi, duri sirip tersebut akan saling mengkait satu sama lain, terutama apabila larva bergerombol di satu tempat akibat adanya perbedaan intensitas cahaya dalam bak larva. Larva ikan kerapu termasuk jenis yang berfototaksis positif yaitu cenderung mencari cahaya. Apabila duri sirip tersebut saling mengkait dan jumlah larva yang bergerombol cukup banyak, maka kematian yang tinggi sering terjadi terutama pada larva berumur antara 10-25 HSM. Usaha yang dapat dilakukan untuk menghindari hal tersebut adalah pengaturan cahaya di atas bak, tambah jumlah aerasi, letakkan batu aerasi didekat dinding bak, dan pertahankan warna air bak hijau. 4. Kekurangan nutrisi Kematian sedikit demi sedikit dan terus-menerus terjadi setelah larva berumur 25 HSM. Kematian ini diduga disebabkan oleh kekurangan nutrisi dalam pakan. Untuk menghindari kejadian kematian seperti ini, sebaiknya larva diberi pakan buatan sedini mungkin, karena pakan buatan mengandung cukup nutrisi yang dibutuhkan larva. Usaha yang perlu dilakukan untuk menghindari hal
tersebut adalah dengan memberikan pakan buatan sedini mungkin, pakan buatan diberikan sebelum mulai pemberian artemia, dan pakan berupa artemia harus segera habis dimakan sehingga pemberian artemia harus sesuai dengan kebutuhan. 2.5 Penelitian Terdahulu Penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2006), meneliti tentang kelayakan usaha pembenihan dan penggelondongan ikan kerapu macan pada BBL Pulau semak daun. Pada penelitian tersebut dikatakan bahwa usaha layak dari semua aspek kecuali aspek finansial. Usaha tersebut dikatakan tidak layak pada tingkat harga jual Rp 10.000,- per ekor benih. Usaha tersebut akan menjadi layak jika mengikuti harga jual pasaran yaitu Rp 15.000,- per ekor benih. Usaha tersebut dikatakan relatif sensitif terhadap perubahan survival rate dan biaya variabel, namun dapat dikatakan layak untuk diusahakan. Reni (2006) melakukan penelitian komoditas perikanan, yaitu Analisis Kelayakan Finansial Pembenihan dan Pendederan Ikan Nila Wanayasa pada Kelompok Pembudidaya Mekarsari, Desa Tanjungsari, Kecamatan Pondoksalam, Kabupaten Purwakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran umum usaha pembenihan dan pendederan ikan nila Wanayasa yang dilakukan oleh anggota kelompok pembudidaya Mekarsari di
Desa Tanjungsari,
menganalisis keuntungan usaha, menganalisis keuntungan investasi yang ditanamkan dan menganalisis sensitivitas usaha terhadap perubahan harga faktor produksi, dalam hal ini pakan. Kelayakan usaha dan sensitivitas dinilai berdasarkan kriteria investasi yang terdiri atas NPV, Net B/C, dan IRR.
Hasil
analisis
yang
diperoleh
menyatakan
bahwa
nilai
NPV
Rp 225.116.401,83; Net B/C 19,38 dan IRR 707 persen. Hasil analisis sensitivitas dengan metoda switching value diperoleh bahwa usaha masih layak dijalankan dengan adanya peningkatan harga pakan sampai batas kenaikan 800,917 persen, karena nilai NPV sama dengan nol, Net B/C sama dengan 1, dan IRR sama dengan tingkat suku bunga. Permasalahan yang dihadapi oleh pembudidayaan ikan nila Wanayasa di Desa Tanjungsari adalah kurangnya peran serta pemerintah dalam
memberikan
kemudahan-kemudahan
kepada
pembudidaya
untuk
mengembangkan usahanya serta dalam meningkatkan motivasi pembudidaya ikan nila Wanayasa untuk meningkatkan usahanya dalam memperbaiki manajemen usahanya. Hasil penelitian Firdaus (2006), Analisis Kelayakan Finansial Usaha Budidaya Udang Windu di PT. Kuala Laras Sentana, Kecamatan Medang Deras, Kabupaten Asahan, Provinsi Sumatra Utara. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran umum usaha budidaya udang windu PT. Kuala Laras Sentana, menganalisis keuntungan usaha, menganalisis kelayakan investasi yang ditanamkan dan menganalisis sensitivitas usaha terhadap perubahan faktor produksi, dalam hal ini harga udang dan harga pakan. Hasil perhitungan analisis usaha yang dilakukan selama satu tahun usaha tersebut memperoleh keuntungan sebesar Rp 636.489.237,83. Hasil perhitungan analisis usaha budidaya udang Windu menguntungkan dilihat dari hasil perhitungan R/C>1 yaitu 1,47. Hasil analisis kelayakan investasi melalui 3 kriteria investasi terhadap usaha budidaya udang windu PT. Kuala Laras Sentana diperoleh nilai NPV sebesar Rp 1.281.908.706,51; Net B/C sebesar 3,02 dan IRR sebesar 57,90 persen
yang menunjukkan bahwa usaha budidaya Udang Windu di PT Kuala Selaras Sentana layak untuk dikembangkan selama umur proyek yaitu 8 tahun. Hasil analisis sensitivitas pada usaha budidaya udang windu apabila terjadi kenaikan harga pakan sebesar 18,75 persen diperoleh nilai NPV sebesar Rp945.794.043,43, Net B/C sebesar 2,49 dan IRR sebesar 51,90 persen yang menunjukkan usaha budidaya udang windu di PT. Kuala Laras Sentana masih layak untuk dikembangkan selama umur proyek. Demikian pula apabila terjadi penurunan harga jual udang sebesar 14,55 persen diperoleh nilai NPV sebesar Rp23.474.030,45; Net B/C sebesar 1,04 dan IRR sebesar 19,71 persen yang menunjukkan bahwa usaha budidaya udang windu di PT. Kuala Laras Sentana masih layak untuk dikembangkan selama umur proyek. Pada penelitian ini, pembahasan difokuskan pada analisis kelayakan finansial usaha pembenihan ikan kerapu dalam Hatchery Skala Rumah Tangga di Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng. Penelitian ini juga tidak hanya membahas satu jenis ikan kerapu saja, tetapi membahas tiga jenis ikan kerapu yaitu kerapu macan, kerapu bebek dan kerapu sunu. Skenario yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menganalisis kelayakan dari masing-masing jenis ikan kerapu tersebut dan penggabungan ketiganya. Kemudian usaha tersebut dibandingkan dan dipilih usaha yang paling layak. Analisis kelayakan yang dibahas dalam penelitian ini adalah analisis kelayakan non finansial dan analisis kelayakan finansial. Analisis kelayakan non finansial yaitu analisis yang dilakukan berdasarkan aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen dan aspek sosial kemudian analisis kelayakan finansial dilakukan dengan menghitung kriteria investasi seperti NPV, IRR, Net B/C dan PBP. Analisis sensitivitas juga
dilakukan untuk menghitung sampai sejauh mana pengaruh perubahan faktorfaktor yang sangat sensitif mempengaruhi kriteria kelayakan investasi. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah komoditas perikanan yang diteliti. Pada penelitian ini membahas pembenihan ikan kerapu kemudian daerah tempat melakukan penelitian adalah di Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali. Pembahasan juga difokuskan pada usaha pembenihan saja tidak sampai pembesaran ikan kerapu.
III KERANGKA PEMIKIRAN
3.1 Analisis Kelayakan Proyek Usaha atau proyek merupakan suatu kegiatan investasi, yang menggunakan sumberdaya (biaya) untuk memperoleh keuntungan atau manfaat dalam periode waktu tertentu. Studi kelayakan proyek adalah penelitian tentang dapat tidaknya suatu proyek (biasanya merupakan proyek investasi) dilaksanakan dengan berhasil. Menurut Gray (1993) tujuan dilaksanakannya analisis kelayakan proyek adalah 1) Mengetahui tingkat benefit yang dicapai dalam suatu proyek, 2) Menghindari pemborosan sumberdaya, 3) Memilih alternatif proyek yang menguntungkan, 4) Menentukan prioritas investasi. Dalam menganalisa suatu proyek yang efektif harus mempertimbangkan aspek-aspek yang saling berkaitan yang secara bersama-sama menentukan bagaimana keuntungan yang diperoleh dari suatu penanaman investasi tertentu dan mempertimbangkan seluruh aspek tersebut pada setiap tahap dalam perencanaan proyek dan siklus pelaksanaannya (Gittinger 1986). Aspek-aspek tersebut antara lain adalah : 1. Aspek Pasar Aspek pasar meliputi permintaan, baik secara total ataupun diperinci menurut daerah, jenis konsumen, perusahaan, dan proyeksi permintaan. Kemudian penawaran, baik berasal dari dalam negeri maupun impor. Kemudian harga, program pemasaran dan perkiraan penjualan. Kelayakan aspek pasar akan sangat berkaitan besarnya penerimaan yang akan diperoleh dalam usaha, karena aspek ini
akan menentukan besarnya penekanan biaya pemasaran dan peningkatan nilai jual output yang dapat diupayakan 2. Aspek Teknis Aspek teknis merupakan suatu aspek yang berkenaan dengan proses pembangunan proyek secara teknis dan pengoperasiannya setelah proyek tersebut selesai dibangun. Menilai aspek kelayakan teknis merupakan langkah awal yang harus dilakukan sebelum memutuskan untuk memulai atau mengembangkan suatu usaha. Aspek-aspek lain dalam analisis proyek akan berjalan jika analisis secara teknis dapat dilakukan. Analisis aspek teknis akan menguji hubungan-hubungan teknis yang mungkin dalam suatu proyek yang diusulkan. Hubungan-hubungan tersebut seperti potensi bagi pembangunan, ketersediaan air, salinitas air, suhu udara dan pengadaan input produksi. Dalam suatu usaha, hubungan aspek-aspek teknis sangat menentukan keberhasilan usaha terutama keberhasilan proses produksi. Masing-masing komponen dalam aspek teknis ini saling terkait satu sama lain dan ketidaklayakan salah satu komponen akan mengganggu proses produksi secara keseluruhan. Selain fasilitas produksi, kelayakan teknis fasilitas pemasaran juga harus dipenuhi karena akan menentukan keberhasilan pemasaran output, khususnya dalam upaya menekan biaya pemasaran dan mempertahankan kualitas output yang dihasilkan untuk mencapai nilai jual yang paling tinggi. Produk perikanan termasuk barang yang mudah rusak sehingga membutuhkan fasilitas dan penanganan yang baik dalam upaya pemasarannya.
3. Aspek Finansial dan Ekonomi Dalam menganalisis kelayakan suatu proyek, ada dua macam analisis yang dapat dilakukan yaitu analisis finansial dan analisis ekonomi. Analisis kelayakan finansial melihat suatu proyek dari sudut pandang individu atau lembaga yang mempunyai kepentingan langsung dalam proyek atau yang menginvestasikan modalnya dalam proyek, sedangkan analisis kelayakan ekonomi melihat suatu proyek
dari
sudut
pandang
perekonomian
secara
keseluruhan,
yang
memperhatikan hasil total, produktifitas atau keuntungan yang didapat dari semua yang dipakai dalam proyek untuk masyarakat atau perekonomian secara keseluruhan. Pada penelitian ini bertujuan untuk melihat tingkat kelayakan suatu proyek dari sisi finansial. 4. Aspek Manajemen Menurut Husnan dan Suwarsono (1994), yang dipelajari dari aspek manajemen adalah bentuk organisasi usaha yang dipilih, struktur organisasi, deskripsi jabatan, spesifikasi jabatan, dan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan. Evaluasi aspek manajemen meliputi jumlah dan persyaratan tenaga manajemen, anggaran balas jasa karyawan yang diperlukan, berapa macam tugas operasi proyek yang memerlukan keahlian khusus, jenis tugas apa yang membutuhkan pendidikan tambahan, dalam bidang apa, dimana diperoleh, dan untuk berapa lama. 5. Aspek Lingkungan Negara-negara di seluruh dunia sekarang semakin menyadari adanya pengaruh bagi lingkungan akibat pelaksanaan proyek dan para pengambil keputusan
ingin
memastikan
bahwa
para
pelaksana
proyek
telah
mempertimbangkan masalah lingkungan yang setiap kerugian ekologinya sudah diusahakan
sekecil-kecilnya.
Menurut
Umar
(1997),
pertumbuhan
dan
perkembangan perusahaan tidak dapat dilepaskan dari lingkungan sekitarnya. Lingkungan dapat berpengaruh positif maupun negatif pada suatu usaha, sehingga aspek ini perlu dianalisis juga.
3.2 Teori Biaya dan Manfaat Biaya adalah segala sesuatu yang mengurangi suatu tujuan, sedangkan manfaat adalah segala sesuatu yang membantu suatu tujuan. Biaya-biaya yang digunakan dalam analisis proyek agribisnis adalah biaya-biaya langsung seperti biaya investasi, biaya operasional, dan biaya lain-lain. Menurut Kadariah (1999), manfaat dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu: 1. Manfaat langsung (direct benefit) yang diperoleh dari adanya kenaikan nilai output, fisik, dan atau dari penurunan biaya. 2. Manfaat tidak langsung (indirect benefit) yang disebabkan adanya proyek tersebut dan biasanya dirasakan oleh orang tertentu dan masyarakat berupa adanya efek multiplier, skala ekonomi yang lebih besar dan adanya dinamic secondary effect, misalnya perubahan dalam produktifitas tenaga kerja yang disebabkan oleh keahlian. 3. Manfaat yang tidak dapat dilihat dan sulit dinilai dengan uang (intangible effect), misalnya perbaikan lingkungan hidup, perbaikan distribusi pendapatan, dan lainnya.
3.3 Proyeksi Cash flow Dalam analisis finansial, selain analisis rugi laba diperlukan juga proyeksi aliran kas (cash flow). Kegunaan proyeksi ini adalah dengan kas investor dapat melakukan investasi dan membayar kewajiban finansial (terutama bila proyek dibiayai dengan modal pinjaman). Arti penting proyeksi cash flow ini sangat terkait dengan nilai waktu dari uang saat ini lebih berharga daripada nanti. Untuk proyek pembenihan dan penggelondongan ikan kerapu dimana investasi dilakukan pada saat sekarang (awal tahun), sedangkan hasilnya baru diterima setelah tahun berikutnya. Dalam penelitian ini aliran kas yang berhubungan dengan proyek budidaya pembenihan ikan kerapu dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu: aliran kas permulaan, aliran kas operasional dan aliran kas terminal. Aliran kas permulaan (Initial Cash Flow) merupakan pengeluaran investasi untuk periode awal, sedangkan kas operasional (Operasional Cash Flow) merupakan aliran kas yang timbul selama operasi proyek dan aliran kas teminal (Terminal Cash Flow) merupakan aliran kas yang timbul waktu proyek berakhir.
3.4 Analisis Finansial Dalam mencari ukuran menyeluruh tentang baik tidaknya suatu proyek diperlukan pengukuran menggunakan beberapa kriteria. Kriteria ini tergantung dari kebutuhan akan keadaan masing-masing proyek. Setiap kriteria memiliki kebaikan serta kelemahan masing-masing, sehingga dalam penilaian kelayakan suatu proyek hendaknya digunakan beberapa metode sekaligus. Hal ini bertujuan
untuk memberikan hasil yang lebih sempurna. Menurut Kadariah (1999) kriteria yang biasa digunakan antara lain : 1. Nilai Bersih Sekarang (Net Present Value) Net Present Value (NPV) merupakan nilai sekarang dari selisih antara manfaat (benefit) dengan biaya (cost) pada tingkat suku bunga tertentu. 2. Tingkat Pengembalian Investasi (Internal Rate of Return) Internal Rate of Return (IRR) merupakan discount rate yang dapat membuat arus penerimaan bersih sekarang dari suatu proyek (NPV) sama dengan nol. 3. Rasio Manfaat-Biaya bersih (Net Benefit-Cost Ratio) Net Benefit-Cost Ratio (Net B/C) merupakan angka perbandingan antara jumlah net present value (NPV) yang positif dengan jumlah net present value (NPV) yang negatif. 4. Pengembalian Investasi (Payback Period) Payback Period (PBP) merupakan suatu periode yang diperlukan untuk menutup kembali pengeluaran investasi yang didanai dengan aliran kas.
3.5 Analisis Sensitivitas Suatu proyek pada dasarnya menghadapi ketidakpastian karena dipengaruhi perubahan-perubahan, baik dari sisi penerimaan maupun dari sisi pengeluaran. Perubahan-perubahan tersebut akhirnya akan mempengaruhi tingkat kelayakan suatu proyek, oleh karena itu dilakukan analisis sensitivitas. Analisis kepekaan (Sensitivity Analisis) dilakukan untuk meneliti kembali suatu kepekaan proyek/usaha, agar dapat melihat pengaruh yang akan terjadi akibat keadaan yang berubah-ubah atau ada suatu kesalahan dalam dasar-dasar
perhitungan biaya-manfaat. Analisis sensitivitas dilakukan dengan mengubah suatu unsur atau mengkombinasikan perubahan beberapa unsur dan menentukan pengaruh dari perubahan pada hasil semula. Dalam analisis sensitivitas, semua kemungkinan (yang mempengaruhi komponen manfaat dan biaya) harus dicoba. Menurut Kadariah (1999) hal-hal yang harus diperhatikan adalah 1.
Adanya Cost Over Run (kenaikan dalam biaya konstruksi). Biasanya untuk biaya input seperti biaya untuk benih, pakan, dan peralatan.
2.
Perubahan dalam perbandingan harga terhadap tingkat harga umum (penurunan harga hasil produksi).
3.
Adanya implementasi waktu. Biasanya disebabkan oleh keterlambatan pemesanan dan penerimaan alat baru, masalah administrasi yang tak terhindarkan, dan adanya teknik yang baru sehingga membutuhkan waktu untuk beradaptasi dalam penggunaan teknik baru tersebut.
4.
Kesalahan dalam memperkirakan hasil produksi .
3.6 Kerangka Pemikiran Konseptual Ikan kerapu merupakan salah satu prioritas komoditas laut yang diunggulkan, maka usaha budidaya ikan kerapu merupakan salah satu alternatif usaha yang perlu dikembangkan, disamping memiliki peluang pasar yang masih sangat terbuka, khususnya di pasar Internasional. Salah satu kendala dari budidaya kerapu adalah pasokan benih, tetapi saat ini benih kerapu telah dapat dipasok dari hasil pembenihan yang telah banyak dilakukan oleh petani Hatchery Skala Rumah Tangga (HSRT) yang banyak terdapat di Bali, jenis kerapu tersebut adalah kerapu macan (Epinephelus Fuscoguttatus), kerapu bebek (Cromileptes altivelis), dan
kerapu sunu (Plectropomus leopardus).
Kegiatan HSRT hanya
melakukan
pemeliharaan larva hingga menjadi benih ukuran 3 cm, dengan kelangsungan hidup masih bervariasi. Kecamatan Gerokgak merupakan cikal bakal adanya sebuah Hatchery Skala Rumah Tangga. Masalah yang dihadapi dalam usaha pembenihan ikan kerapu dalam Hatchery Skala Rumah Tangga di daerah tersebut adalah perbedaan karakteristik berupa tingkat keberhasilan pembenihan atau survival rate (SR) yang dimiliki oleh masing-masing jenis ikan kerapu yang diusahakan sehingga benih yang dihasilkan tidak kontinu. Kendala lain yang dihadapi adalah penyakit yang disebabkan oleh viral nervous necrosis (VNN). Virus tersebut dapat menyebabkan kematian hampir 100 persen pada calon benih sehingga harus dicegah. Usaha pembenihan ini memberikan kontribusi untuk mendapatkan keuntungan, menambah kesempatan kerja, dan mempunyai kesempatan untuk diekspor. Usaha ini sangat berprospek mengingat permintaan akan benih kerapu dan harga jual yang tinggi. Untuk itu maka perlu dilakukan penilaian kelayakan usaha untuk mengetahui apakah usaha pembenihan kerapu pada Hatchery Skala Rumah Tangga layak atau tidak. Kriteria kelayakan dapat dilihat dari aspek non finansial dan aspek finansial. Aspek non finansial meliputi aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen dan aspek sosial. Aspek pasar membahas tentang permintaan dan penawaran ikan kerapu di pasar kemudian aliran pemasaran benih ikan kerapu. Aspek teknis membahas tentang lokasi usaha, sarana dan prasarana pembenihan ikan kerapu, dan teknis kultur pakan alami. Untuk aspek manajemen membahas tentang
struktur organisasi dan deskripsi pekerjaan. Aspek sosial membahas usaha-usaha penunjang yang akan timbul dari usaha ini. Aspek finansial meliputi analisis finansial dan analisis sensitivitas. Analisis finansial akan mengukur kelayakan investasi pembenihan ikan kerapu berdasarkan beberapa kriteria, yaitu NPV yang merupakan selisih antara nilai sekarang dari manfaat dan dari biaya usaha pembenihan ikan kerapu pada tingkat suku bunga tertentu, IRR sebagai persentase tingkat pengembalian investasi usaha pembenihan ikan kerapu yang didapat selama umur proyek, Net B/C yang merupakan besarnya tingkat tambahan manfaat dari setiap tambahan biaya sebesar satu rupiah, dan PBP lamanya periode yang diperlukan untuk menutup kembali pengeluaran investasi dengan menggunakan aliran kas. Analisis sensitivitas diperlukan untuk menghitung sampai sejauh mana pengaruh perubahan seperti perubahan harga benih, perubahan tingkat keberhasilan atau Survival Rate (SR), dan perubahan harga telur terhadap kelayakan finansial tersebut. Perubahan harga benih dapat diakibatkan karena karakteristik pemilik HSRT yang membenihkan jenis ikan kerapu yang sama di musim yang sama sehingga penawaran benih ikan kerapu meningkat yang menyebabkan turunnya harga benih ikan kerapu di daerah tersebut, sedangkan perubahan SR dipengaruhi oleh buruknya kualitas larva yang baru menetas, tingkat kanibalisme yang tinggi, dan serangan virus VNN (Viral Nervous Necrosis) dan perubahan harga telur diakibatkan karena ketersediaan telur yang minim. Kerangka pemikiran konseptual yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 1.
Peningkatan kualitas hidup yang dicirikan untuk mengkonsumsi makanan rendah kolesterol Tingginya permintaan ikan kerapu baik di pasar nasional & internasional Potensi Indonesia di bidang perikanan Ikan kerapu masih banyak diambil dari alam Karakteristik tingkat keberhasilan atau survival rate (SR) yang rendah dan berbeda antara masing-masing jenis kerapu
Budidaya pembenihan ikan kerapu pada Hatchery Skala Rumah Tangga
Kerapu Sunu
Kerapu Bebek
Kerapu Macan
Analisis Kelayakan Finansial
Analisis Kelayakan Non Finansial
Aspek Pasar Permintaan dan penawaran Pemasaran
Aspek Teknis Lokasi usaha Sarana dan prasarana pembenihan
Gabungan (Macan, Bebek, Sunu)
Aspek Manajemen Struktur organisasi Pembagian tugas
Aspek sosial Penyerapan lapangan kerja
Layak
Analisis Finansial Net Present Value (NPV) Internal Rate of Return (IRR) Payback Period (PBP) Net Benefit Cost Ratio (Net B/C)
Analisis Sensitivitas Penurunan harga benih Penurunan Survival rate Kenaikan harga telur
Tidak layak
Usaha terus dilanjutkan dan dapat menjadi bahan masukan bagi pemilik HSRT dalam pemilihan jenis ikan kerapu yang dibenihkan
Gambar 1 Kerangka Pemikiran Konseptual
Dilakukan perbaikan dan pengembangan usaha
IV METODE PENELITIAN
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali. Lokasi penelitian ini ditetapkan dengan sengaja (purpossive) dengan pertimbangan bahwa daerah ini ditunjuk oleh pemerintah melalui Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut sebagai tempat pengembangan budidaya ikan kerapu dalam hatchery skala rumah tangga (HSRT) karena daerah tersebut memiliki potensi alam yang menunjang usaha pembenihan ikan kerapu. Usaha budidaya tersebut juga merupakan mata pencaharian utama dari penduduk di daerah tersebut. Penelitan di lapangan berlangsung pada bulan Februari 2008.
4.2. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitan ini berupa data primer dan data sekunder. Data Primer diperoleh dengan melakukan pengamatan langsung ke lapangan dan wawancara dengan pemilik usaha pembenihan ikan kerapu dalam hatchery skala rumah tangga menggunakan daftar pertanyaan yang telah disiapkan. Pengambilan contoh pemilik usaha dilakukan dengan teknik penarikan contoh acak sederhana (simple random sampling) dengan jumlah responden sebanyak 30 orang pemilik dari 224 pemilik HSRT yang tersebar di wilayah Kecamatan Gerokgak. Data sekunder diperoleh dari Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol, Pusat Riset Kelautan dan Perikanan Jakarta. Dinas Perikanan Propinsi Bali dan Pusat Pelayanan Informasi Departemen Kelautan dan Perikanan Jakarta.
47
4.3 Pengolahan Data Data yang diolah dan dianalisis pada penelitian ini bersifat kualitatif dan kuantitatif. Data yang bersifat kualitatif dianalisis untuk mengkaji beberapa aspek, yaitu aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen dan aspek sosial. Sedangkan analisis data secara kuantitatif dilakukan untuk menganalisis kelayakan finansial usaha pembenihan ikan kerapu. Metode analisis kuantitatif yang digunakan adalah analisis kelayakan finansial berdasarkan kriteria kelayakan investasi, yaitu NPV, IRR, Net B/C dan PBP dengan menggunakan Microsoft Excel dan kalkulator. Selain itu, dilakukan pula analisis sensitivitas untuk melihat sampai berapa besar perubahan dari harga benih, SR dan harga telur ikan kerapu yang masih dapat ditoleransi.
4.4 Analisis Kelayakan Finansial Analisis kelayakan finansial dilakukan dengan menggunakan kriteria investasi, yaitu NPV, IRR, Net B/C dan payback periods. Analisis kelayakan finansial bertujuan untuk menilai apakah investasi ini layak atau tidak untuk dijalankan dilihat dari aspek keuangan.
4.4.1 Net Present Value Net Present Value (NPV) usaha pembenihan ikan kerapu adalah selisih present value (PV) arus benefit dengan PV arus cost. NPV menunjukkan manfaat bersih yang diterima usaha pembenihan ikan kerapu selama umur proyek dan tingkat discount rate tertentu. NPV secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut:
48
n
NPV= t 1
Bt - Ct 1 i
t
Dimana: Bt
= penerimaan (benefit) bruto pembenihan ikan kerapu pada tahun ke-t,
merupakan perkalian antara harga benih ikan kerapu dengan jumlah benih yang dipanen untuk satu siklus telur yang dibenihkan. Ct
= biaya (cost) bruto pembenihan ikan kerapu pada tahun ke-t, meliputi biaya
n
investasi berupa bak, instalasi listrik, alat bantu pembenihan; biaya
tetap
berupa biaya perijinan dan pemeliharaan; dan biaya operasional
berupa
biaya bahan baku produksi, biaya tenaga kerja, dan sewa lahan.
= umur ekonomis pembenihan ikan kerapu (tahun). Umur ekonomis ditetapkan 10 tahun didasarkan pada umur ekonomis barang investasi berupa bak.
i
= discount rate (persen). Discount rate yang digunakan berdasarkan suku bunga kredit rata- rata bank di Indonesia selama tahun 2007 yaitu sebesar 13,65%
Dalam metoda NPV terdapat tiga kriteria kelayakan investasi yaitu: 1. NPV>0, artinya usaha pembenihan ikan kerapu dinyatakan layak untuk dilaksanakan. 2. NPV= 0, artinya usaha pembenihan ikan mampu mengembalikan persis sebesar social opportunity cost factor produksi modal. 3. NPV< 0, artinya usaha pembenihan ikan kerapu tidak layak dilaksanakan.
49
4.4.2 Internal Rate of Return Internal Rate of Return (IRR) adalah nilai discount rate yang membuat NPV usaha pembenihan ikan kerapu bernilai nol. IRR adalah tingkat rata-rata keuntungan intern tahunan bagi perusahaan yang melakukan investasi dan dinyatakan dalam satuan persen. IRR secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut: IRR=i1
NPV1 (i2 i1 ) NPV1 NPV2
Dimana: i1
= Discount rate yang menghasilkan NPV positif
i2
= Discount rate yang menghasikan NPV negatif
NPV1= NPV yang bernilai positif NPV2= NPV yang bernilai negatif Dalam metoda IRR terdapat tiga kriteria kelayakan investasi yaitu: 1. Jika IRR> tingkat discount rate, maka usaha pembenihan ikan kerapu layak 2. Jika IRR= tingkat discount rate, maka usaha pembenihan ikan kerapu tidak menguntungkan dan tidak merugikan 3. Jika IRR< tingkat discount rate, maka usaha pembenihan ikan kerapu tidak layak
4.4.3 Net Benefit Cost Ratio Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) merupakan angka perbandingan antara jumlah present value yang positif (sebagai pembilang) dengan jumlah present value yang negatif (sebagai penyebut). Secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut:
50
n
Bt - Ct t
Net B/C =
t 1 n
t 1
1 i untuk Bt - Ct Bt - Ct untuk Bt - Ct t 1 i
0 0
Dalam metoda Net B/C terdapat tiga kriteria kelayakan investasi yaitu: 1. Jika Net B/C =1, maka NPV= 0, usaha pembenihan ikan kerapu dikatakan layak, tetapi keuntungan yang diperoleh hanya sebesar opportunity costnya. 2. Jika Net B/C > 1, maka NPV=0, usaha pembenihan ikan kerapu dikatakan layak. 3. Jika Net B/C < 1, maka NPV=0, usaha pembenihan ikan kerapu dikatakan tidak layak.
4.4.4 Payback Periods Payback Period (PBP) adalah suatu periode yang diperlukan untuk menutup kembali pengeluaran investasi dengan menggunakan aliran kas. Metode Payback Period ini merupakan teknik penilaian terhadap jangka waktu (periode) pengembalian investasi suatu usaha. Perhitungan ini dapat dilihat dari perhitungan benefit bersih yang diperoleh setiap tahun. Semakin cepat waktu pengembalian, semakin baik untuk diusahakan. Secara matematis dirumuskan :
Payback period
I Ab
Dimana: I
= Besarnya biaya investasi usaha pembenihan ikan kerapu yang diperlukan
Ab = Benefit bersih yang dapat diperoleh usaha pembenihan ikan kerapu pada setiap tahunnya
51
Kriteria penilaiannya yaitu jika payback period lebih pendek dari maksimum payback period-nya, maka usaha pembenihan ikan kerapu dapat diterima. Namun jika payback period lebih lama dari maksimum paybak period-nya, maka proyek ditolak
4.5 Analisis Sensitivitas Analisis sensitivitas perlu dilakukan karena dalam analisis kegiatan investasi, perhitungan didasarkan pada proyek-proyek yang mengandung ketidakpastian tentang apa yang terjadi di waktu yang akan datang. Analisis sensitivitas digunakan untuk melihat dampak dari suatu keadaan yang berubahubah terhadap hasil suatu analisis. Dalam analisis sensitivitas pembudidayaan pembenihan ikan kerapu dapat dilakukan pada parameter terhadap adanya kenaikan harga benih, penurunan tingkat keberhasilan pembenihan atau survival rate (SR) dan kenaikan harga telur. Parameter perubahan ini yang diperkirakan mempengaruhi tingkat kelayakan dan keuntungan para pemilik HSRT, sedangkan parameter yang lain diasumsikan tidak mempengaruhi. Perubahan-perubahan parameter tersebut antara lain: 1. Perubahan harga benih dapat diakibatkan karena terjadi over produksi benih ikan kerapu. Penurunan harga jual benih kerapu macan sebesar 40 persen, kerapu bebek
mengalami penurunan sebesar 30 persen dan kerapu sunu
mengalami penurunan harga jual benih sebesar 15 persen. Besar perubahan harga benih tersebut berdasarkan harga terendah yang pernah terjadi dalam kurun waktu lima tahun. 2. Perubahan tingkat keberhasilan pembenihan atau survival rate (SR) dipengaruhi oleh karakteristik fisiologi ikan kerapu yang rentan terkena
52
penyakit. Untuk kerapu macan SR turun dari 10 persen menjadi 5 persen, untuk kerapu bebek SR turun dari 5 persen menjadi 3 persen dan untuk kerapu sunu SR turun dari 2 persen menjadi 1 persen. Besar penurunan tersebut berdasarkan rata-rata penurunan hasil produksi benih pada hatchery sakala rumah tangga di Kecamatan Gerokgak. 3. Perubahan harga telur diakibatkan karena ketersediaan telur yang minim. Kenaikan harga telur kerapu macan dan kerapu sunu sebesar 100 persen kemudian kenaikan harga telur kerapu bebek sebesar 75 persen. Kenaikan tersebut diperoleh dari hasil wawancara dengan pemilik HSRT.
53
V GAMBARAN UMUM LOKASI
5.1 Karakteristik Wilayah Penelitian Kecamatan Gerokgak merupakan salah satu kecamatan yang terdapat di Kabupaten Buleleng, terletak di dataran rendah dengan ketinggian antara 0-500 mdpl. Secara geografis, Kecamatan Gerokgak terletak pada 8◦ 07’ 17” - 8◦ 15’ 31” lintang selatan dan 114◦ 25’ 53” - 114◦ 46’ 28” bujur timur. Batas wilayah administratif Kecamatan Gerokgak adalah sebagai berikut: 1. sebelah utara berbatasan dengan Laut Bali 2. sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Seririt 3. sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Jembrana 4. sebelah barat berbatasan dengan Selat Bali Kecamatan Gerokgak terdiri dari 14 desa yaitu Desa Sumber Klampok, Desa Pejarakan, Desa Sumber Kima, Desa Pemuteran, Desa Banyupoh, Desa Penyabangan, Desa Musi, Desa Sanggalangit, Desa Gerokgak, Desa Patas, Desa Pengulon, Desa Tinga-Tinga, Desa Celukanbawang, dan Desa Tukad Sumaga. Luas Kecamatan Gerokgak adalah 356,57 km2 terdiri dari 5.871 ha tanah tegal/ladang, 512 ha tanah pekarangan, 477 ha sawah, 1.073 ha perkebunan, 16,39 ha kuburan, 251 ha kolam/tambak, 27.135 ha hutan negara dan 321,61 ha lainnya. Potensi sumber daya pesisir meliputi berbagai jenis ikan konsumsi, ikan hias dan terumbu karang yang telah dimanfaatkan oleh masyarakat nelayan sejak dulu. Disamping itu juga wilayah pesisir digunakan untuk pengembangan budidaya bandeng dan kerapu. Pengembangan budidaya bandeng dan kerapu tidak lepas dari keberadaan Balai Besar Riset Perikanan Budi Daya Laut (BBRPBL) yang merupakan pusat riset yang paling unggul di Asia Tenggara dalam hal
54
perikanan dan telah terbukti berhasil mengembangkan pembudidayaan kakap merah, ikan tuna, kerapu dan ikan tropis lainnya.
5.2 Karakteristik Penduduk Kecamatan Gerokgak Jumlah penduduk di Kecamatan Gerokgak adalah 73.798 orang. Komposisi penduduk berdasarkan umur dan jenis kelamin di Kecamatan Gerokgak dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Komposisi Penduduk Kecamatan Gerokgak Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin Tahun 2005 No 1 2 3 4 5 6
Umur (Tahun) 0-9 10-19 20-29 30-39 40-49 50 keatas Jumlah
Laki-laki 6.106 6.906 6.298 5.614 4.229 7.849 37.002
Jenis Kelamin (%) Perempuan 16,51 6.061 18,66 6.563 17,02 6.329 15,17 5.502 11,43 4.209 21,21 8.132 100 36.796
(%) 16,47 17,84 17,2 14,95 11,44 22,1 100
Jumlah 12.167 13.469 12.627 11.116 8.438 15.981 73.798
(%) 16,49 18,25 17,11 15,06 11,44 21,65 100
Sumber: Kecamatan Gerokgak dalam angka 2006
Dari segi lapangan usaha, pada tahun 2005 penduduk Kecamatan Gerokgak sebagian besar bergerak di bidang pertanian, kehutanan, perkebunan, perikanan, dan peternakan (50,4%), diikuti bidang jasa kemasyarakatan (20,4%), bidang perdagangan besar, eceran, rumah makan, dan hotel (13%), industri pengolahan (3,5%), angkutan,penggudangan, dan komunikasi (2%), dan lain-lain (10,7%).
5.3 Karasteristik Responden Usaha pembenihan ikan kerapu merupakan usaha yang berpotensi digeluti oleh masyarakat di Kecamatan Gerokgak. Hal tersebut ditunjang dengan
55
keberadaan Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut (BBRPBL) Gondol di Kecamatan Gerokgak. Usaha pembenihan ikan kerapu sebagian besar digeluti oleh masyarakat sebagai mata pencaharian pokok. Masyarakat mulai menggeluti usaha pembenihan ikan kerapu ini sejak tahun 1999 tetapi sebelumnya mereka menggeluti usaha pembenihan ikan bandeng. Peran BBRPBL Gondol dalam memberikan pelatihan kepada para pemilik dan pekerja di HSRT. Responden dilakukan kepada pemilik Hatchery Skala Rumah Tangga (HSRT). Pemilihan responden dilakukan secara acak. Berdasarkan hasil wawancara dengan 30 pemilik HSRT, diperoleh data yang menunjukkan sebaran umur pemilik HSRT yang menjadi respoden yaitu antara 25-50 tahun. Persentase jumlah pemilik HSRT terbanyak didominasi pada kelompok usia 36- 45 tahun yaitu sebanyak 40 persen. Sebaran umur responden dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8 Karakteristik Responden Berdasarkan Kelompok Umur No
1. 2. 3.
Golongan Umur (Tahun) 25-35 36-45 46-50 Jumlah
Jumlah Responden (Orang) 11 12 7 30
Persentase (%) 37 40 23 100
Tingkat pendidikan yang dimiliki oleh responden hanya berkisar lulusan sekolah Menengah Atas (SMA) atau yang sederajat sebanyak 33,33 persen, sarjana S1 sebanyak 56,67 persen dan sarjana S2 sebanyak 10 persen. Tingkat pendidikan yang dimiliki oleh responden dapat dilihat pada Tabel 9.
56
Tabel 9 Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan No 1. 2. 3.
Tingkat Pendidikan SMA Sarjana S1 Sarjana S2 Jumlah
Jumlah responden 10 17 3 30
Persentase (%) 33,33 56,67 10,00 100
Berdasarkan lamanya responden menggeluti usaha pembenihan ikan kerapu diperoleh bahwa responden paling banyak menggeluti usaha pembenihan ikan kerapu selama 3 sampai 6 tahun yaitu sebesar 43,33 persen. Lamanya responden menggeluti usaha pembenihan ikan kerapu dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10 Karakteristik Responden Berdasarkan Lamanya Menggeluti Usaha Pembenihan Ikan Kerapu No 1. 2. 3.
Lama Usaha (Tahun) <3 3-6 7-9 Jumlah
Jumlah responden 10 13 7 30
Persentase (%) 33,33 43,33 23,33 100
5.4 Keragaan Pembenihan Ikan Kerapu pada Hatchery Skala Rumah Tangga di Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali
5.4.1 Sistem Pemeliharaan Larva Hatchery Skala Rumah Tangga (HSRT) kerapu
di daerah Gerokgak
sebagian besar hanya melakukan pemeliharaan larva yang telurnya dibeli dari hatchery lengkap. Pemeliharaan larva dilakukan secara indoor, bak larva berbentuk persegi empat dengan sudut yang dilengkungkan dengan ukuran sekitar 3 x 3 x 1,25 meter, volume air diisi sekitar 10 ton. Bak pemeliharaan larva harus diberi atap untuk menghindari hujan dan penyinaran matahari langsung (Ismi,
57
2004). Untuk menghindari adanya fluktuasi suhu, disarankan di dalam atap diberi plastik transparan, yang dibuka pada siang hari dan ditutup pada malam hari. Padat penebaran telur 10 btr/l, jadi untuk 10 ton ditebar 100.000 butir telur. Larva diberi makan setelah buka mulut yaitu pada hari ke- 3, pakan yang diberikan adalah pakan alami dari jenis zooplankton yaitu rotifer dengan kepadatan awal 5-6 ind/ml. Biasanya pakan rotifer diberikan setelah hari ke 3 dan dikontrol setiap hari, jika rotifer berkurang dari jumlah tersebut perlu ditambahkan hingga mencukupi. Setelah umur larva 8 hari hingga umur 25 hari pemberian rotifer ditingkatkan menjadi 10 - 15 ind/ml. Pada saat larva hari ke 2 sampai hari ke 25 pada tangki pemeliharaan ditambahkan Chlorella sebagai green water disamping sebagai pakan rotifer. Rotifer biasanya diberikan dua kali sehari pagi dan sore tergantung jumlah sisa di dalam tangki pemeliharaan Pada umur larva 12 hari mulai diberi pakan buatan yang berupa mikro pelet, ukuran pellet untuk selanjutnya disesuaikan dengan ukuran larva. Pelet diberikan 4-6 kali sehari, pakan buatan yang dipergunakan pakan untuk ikan yang dapat dibeli di pasaran. Artemia diberikan saat larva berumur 15 hari hingga 35-40 hari, banyaknya pemberian disesuaikan dengan perkiraan jumlah larva dan hanya diberikan 2 kali sehari pagi dan sore, pemberian artemia ini harus termakan habis oleh larva selama 1-2 jam setelah diberikan. Untuk lebih jelasnya pola pemberian pakan dapat dilihat pada Tabel 11.
58
Tabel 11 Pola Pemberian Pakan Pada Pemeliharaan Larva Kerapu Hari setelah menetas
Pakan
2
Chlorella
3
8
15
20
25
30
35
40
45
50 …
----------------------------------------
Rotifer
------------------------------
Artemia Pakan buatan
------------------------------------------------------------------------------------------- - - - - -
Mysid/jambret
---------------------------
5.4.2 Pergantian Air dan Penyiponan Dasar Bak Air yang digunakan disaring dengan saringan pasir (sand filter), pada saat awal penebaran pada tangki bervolume 10 ton hanya diisi air sekitar 7 ton, hingga hari ke tujuh tidak ada pergantian air hanya penambahan plankton Chlorella dengan kepadatan 300-500 ribu sel/ml yang dipakai sebagai green water dan pakan rotifer di dalam tangki pemeliharaan larva. Pada hari ke 9-12 air dalam tangki telah mencapai sekitar 9 ton, pergantian air mulai dilakukan sebanyak 1020%, selanjutnya prosentase pergantian ditingkatkan dengan sistem air mengalir sedikit demi sedikit. Setelah larva aktif makan pakan buatan setelah hari ke 12 pergantian air ditingkatkan hingga 50 persen dengan sistem air mengalir, selanjutnya sedikit-demi sedikit pada umur 20 hari ditingkatkan hingga 100 persen pada umur 30 hari. Pembersihan dasar bak yang dilakukan dengan cara penyiponan pertama dilakukan pada hari ke 9 atau 11 secara pelan-pelan sebagian demi sebagian, setelah diberi pakan buatan penyiponan dilakukan setiap hari tergantung dari kondisi dasar bak jika sisa pakan tidak terlalu banyak bisa dilakukan 2 hari sekali.
59
5.4.3 Pemeliharaan Juvenil Setelah larva berumur sekitar 35 hari kerapu macan dan sunu sebagian mulai berubah menjadi juvenil ditandai dengan telah tidak adanya duri dan berubah menjadi sirip. Pada saat ini kanibal mulai terjadi dan saat ini sifat kanibalnya sangat keras walaupun telah diberi pakan (artemia dan buatan) dengan cukup, karena itu jika untuk selanjutnya pada budidaya tidak menggunakan pellet sebagai pakan maka untuk menekan kanibal diberi pakan jambret dalam kondisi hidup. Dengan adanya jambret dalam jumlah yang cukup, juvenile kerapu macan disibukkan dengan memakan jambret sehingga pemangsaan terhadap ikan yang ukuran lebih kecil (sesamanya) berkurang. Pemberian jambret pagi dan sore diatur jangan sampai habis hingga matahari tenggelam dan jambret harus telah tersedia saat matahari terbit (terang). Pada saat ukuran tersebut biasanya jika pakan jambret tidak mencukupi kematian ikan banyak terjadi (Ismi, 2004). Untuk kerapu bebek umur juvenile hampir sama dengan kerapu macan, namun pada kerapu bebek kanibal tidak begitu keras dan mudah untuk pemberian pelet hingga ukuran yang diinginkan, sedangkan untuk kerapu sunu hampir seperti macan namun hingga saat ini kelangsungan hidup masih rendah. 5.4.4 Pemasaran Pada umumnya untuk HSRT di daerah Bali penjualan ikan dilakukan saat berukuran umur 40 -60 hari yaitu dengan ukuran sekitar 2,75 – 3,0 cm dengan . harga per ekor masing-masing jenis kerapu berlainan dan harga berfluktuasi tergantung dengan jenis, musim, stok ikan dan permintaan. Untuk harga kerapu macan
dan lumpur Rp 600,- sampai Rp1000,-/ ekor benih, kerapu bebek
Rp 1.800,- sampai Rp 3000,-/ ekor benih dan kerapu sunu Rp 3.750,- sampai
60
Rp 4.500,- /ekor benih. Biasanya pada ukuran tersebut dari HSRT cukup dijual pada brooker atau pengumpul untuk didederkan hingga ukuran tertentu sesuai dengan permintaan pasar. Pertimbangan HSRT menjual ikan dengan ukuran kecil, karena mereka berharap modal usaha mereka dapat berputar dengan cepat, karena jika dapat terjual pada ukuran tersebut mereka akan dapat cepat menebar kembali sehingga bak pemeliharaan tidak lama terpakai untuk stok ikan.
61
VI ANALISIS ASPEK NON FINANSIAL
6.1 Aspek Pasar Analisis terhadap aspek pasar usaha budidaya pembenihan ikan kerapu dapat dilihat melalui permintaan dan penawaran ikan kerapu di pasaran. Selain itu dapat pula dianalisis bagaimana strategi pemasaran yang dilakukan dalam rangka memasarkan benih ikan kerapu.
6.1.1 Permintaan dan Penawaran Aspek pasar merupakan aspek yang paling penting dalam memutuskan untuk membuka suatu usaha, karena usaha tersebut sangat bergantung dari keberhasilan dalam memasarkan suatu produk yang dihasilkan dalam usaha tersebut, salah satunya kekuatan suatu pasar dalam menyerap produk yang dihasilkan. Ikan kerapu merupakan salah satu jenis ikan yang mulai diminati oleh pembudidaya, karena konsumsi Indonesia dan dunia masih didominasi oleh jenis ikan laut. Untuk itu pasar ikan kerapu masih sangat terbuka lebar. Jenis ikan kerapu sulit didapat di alam karena harus menangkap di laut lepas dan populasinya semakin berkurang karena peningkatan jumlah nelayan yang menangkap ikan dan umur ikan yang masih kecil sudah ditangkap untuk dikonsumsi. Untuk mengurangi persaingan dalam melestarikan populasi ikan kerapu di alam maka masyarakat pesisir pantai Bali Utara membudidayakan ikan kerapu. Salah satu siklus penting dalam pembudidayaan ikan kerapu agar dapat memenuhi permintaan pasar adalah pembenihan, karena siklus ini masih sangat
62
sulit karena tingkat keberhasilan pembenihan (Survival Rate) yang rendah, membutuhkan modal yang cukup besar dan pasar yang sangat luas. Seiring dengan pertumbuhan populasi dan trend masyarakat dunia untuk mengkonsumsi ikan kerapu maka pembudidaya ikan kerapu sangat membutuhkan benih untuk pembesaran. Negara-negara Asia Timur seperti Jepang, Korea, Taiwan, Cina dan Hong Kong masyarakatnya cenderung untuk mengkonsumsi protein hewani dari ikan dibanding dari daging hewan ternak, karena potensi penyakit zoonosis dari hewan ternak yang tinggi dan potensi daerah yang kurang mendukung untuk usaha peternakan di negara maju dan luas lahan yang tidak mendukung. Di Bali Utara
khususnya di Kabupaten Gerokgak, benih ikan pada
umumnya dihasilkan dari pembenihan yang berkelanjutan dari HSRT. Pembenihan ikan kerapu saat ini dapat memenuhi permintaan ekspor. Untuk setiap bulannya rata-rata pembenih di daerah ini mengirim 650.000 ekor benih melalui Bandara International Ngurah Rai Denpasar ke dalam negeri seperti Aceh, Medan, Situbondo, dan Banyuwangi, kemudian ke luar negeri seperti Malaysia, Vietnam, Cina, dan Hongkong. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 12. Ikan kerapu yang sering dibudidayakan adalah kerapu macan, karena memiliki tingkat keberhasilan atau survival rate (SR) yang tinggi (10%) diantara kerapu bebek (5%) dan kerapu sunu (2%). Hal tersebut dipengaruhi juga oleh musim, keadaan fisiologis tubuh ikan dan ketersediaan telur. Para pembenih mendapatkan pasokan telur dari hatchery lengkap di sekitar tempat pembenihan ataupun dari luar daerah bali seperti Situbondo dan Lombok. Ketersediaan telur terkadang menjadi faktor penghambat bagi pemilik HSRT di daerah tersebut. Jika
63
persediaan telur minim maka harganya pun akan melonjak tinggi. Permintaan yang sangat besar terletak pada ikan kerapu sunu, karena ketersediaan benih yang dihasilkan masih dalam jumlah sedikit. Oleh karena itu harga benih ikan kerapu sunu tinggi dan masih sangat dibutuhkan. Faktor tersebut masih dipersulit dengan SR yang rendah.
Tabel 12 Benih Ikan Kerapu yang Dikirim Melalui Bandara Ngurah Rai .....(dalam ekor) Bulan
Ekspor
Lokal
Jan 2006
148.330
295.520
Feb 2006
148.420
672.326
Mar 2006
423.740
383.925
Apr 2006
215.800
492.350
Mei 2006
212.200
457.850
Jun 2006
581.860
487.130
Jul 2006
227.500
2.683.250
Aug 2006
167.000
126.011
Sep 2006
64.111
71.815
Okt 2006
56.330
317.586
Nov 2006
164.755
384.550
Des 2006
340.050
318.280
Jan 2007
415.280
321.100
Feb 2007
311.240
279.400
Mar 2007
862.605
807.705
Apr 2007
605.850
194.170
Sumber: Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol
Untuk memenuhi permintaan yang besar perlu didukung adanya ketersediaan benih dan berkelanjutan. Untuk memenuhinya perlu adanya perbaikan usaha yang akan dilakukan oleh petani ikan di Bali Utara dengan membuat suatu pembenihan ikan kerapu dengan penggabungan ketiga jenis ikan
64
kerapu, yaitu ikan kerapu macan, ikan kerapu bebek dan ikan kerapu sunu. Perbaikan yang dibutuhkan pasar saat ini adalah bagaimana tersedianya benih ikan kerapu sunu secara kontinyu. Harga benih ikan kerapu macan yang dibeli oleh broker sebesar Rp 1.000,- per ekor , benih ikan kerapu bebek Rp 3.000,- per ekor dan ikan kerapu sunu Rp 4.500,- per ekor dengan ukuran yang sama 2,7-3 cm. Untuk menanggulangi tidak terjualnya benih ikan kerapu, maka petani harus memiliki bak cadangan untuk digunakan sebagai usaha pendederan sebelum dijual sebagai bibit ikan ke petani Keramba Jaring Apung (KJA). Dari gambaran di atas peluang usaha pembenihan ikan kerapu macan, bebek dan sunu masih terbuka lebar dan pasar masih sangat luas.
6.1.2 Pemasaran Pada umumnya untuk HSRT kerapu di Kecamatan Gerokgak jika ikan sudah siap dipanen cukup dijual pada brooker atau pengumpul. Untuk ikan kerapu ada yang dijual langsung atau didederkan hingga ukuran tertentu sesuai dengan permintaan pasar. Pertimbangan HSRT menjual benih kerapu dengan ukuran kecil, karena mereka berharap modal usaha mereka dapat berputar dengan cepat, karena jika dapat terjual pada ukuran tersebut mereka akan dapat cepat menebar kembali sehingga bak pemeliharaan tidak lama terpakai untuk stok ikan. Aliran pemasaran benih ikan kerapu dapat dilihat dalam Gambar 2.
65
Pembenihan
Broker
Tidak terjual
Pendeder
Tambak
Keluarga
Keramba Jaring Apung
Bak
Lokal Bali
Ekspor
Gambar 2 Alur Pemasaran Benih Kerapu Daerah pemasaran ikan seperti kerapu adalah
daerah sentra-sentra
budidaya pembesaran kerapu di wilayah Indonesia yaitu Jawa : Situbondo, Madura, Karimunjawa, Banten dan Kepulauan Seribu; Bali : Singaraja; Lombok : Sepi, Batu Nampar, Ekas; Sumbawa : Teluk saleh; Flores : Labuan Bajo; Sumatra: Lampung, Padang, Bengkulu, Bangka Belitung,Sibolga,Deli Serdang, Aceh, Batam,Tanjung Pinang, Natuna ; Kalimantan : Balikpapan, Bontang, Samarinda, Pontianak; Sulawesi: Barru, Kendari, Menado, Gorontalo; Irian Jaya: Manokwari, Biak (Ismi, 2005). Untuk pemasaran luar negeri yang terbanyak untuk kerapu ke Malaysia; Singapura; Taiwan dan Philipina. Berdasarkan gambaran mengenai permintaan dan penawaran ikan kerapu macan, bebek dan sunu secara domestik dan ekspor dapat disimpulkan peluang usaha untuk budidaya ikan kerapu masih layak dan masih terbuka lebar,
66
khususnya untuk kerapu sunu, hal ini dapat dilihat dari pasar yang masih luas dan ketersediaan yang masih langka. Dilihat dari segi produk, ikan kerapu macan memiliki harga yang sangat rendah dibanding dengan kerapu bebek dan sunu. Hal ini disebabkan karena ketersediaannya dilihat dari tingkat SR yang tinggi dari kerapu macan daripada kerapu bebek dan kerapu sunu. Keadaan ini yang dimanfaatkan oleh pemilik HSRT untuk meningkatkan harga kerapu bebek dan sunu, karena tingginya permintaan terhadap kedua jenis kerapu ini. Dengan pemasaran yang dilakukan dari broker yang sekaligus sebagai pendeder (orang yang melakukan usaha pembesaran ikan) atau dijual kepada pendeder lain, aliran penjualan benih semakin cepat sehingga produksi benih dapat berkelanjutan. Selain itu strategi pendederan yang dilakukan tidak hanya dilakukan sendiri tetapi diberikan kepada kelompok-kelompok keluarga di daerah Bali Utara yang memiliki keterbatasan bak, selain untuk meningkatkan hasil panen juga dapat menumbuhkan perekonomian masyarakat lokal. Untuk dapat meningkatkan harga dan devisa negara bibit ikan kerapu juga dijual ke luar negeri. Dari analisis yang dilakukan dari aspek pasar maka dapat disimpulkan bahwa usaha masing- masing maupun gabungan dari pembenihan ikan kerapu macan, kerapu bebek dan kerapu sunu sangat layak dilaksanakan.
6.2 Aspek Teknis Menilai aspek kelayakan teknis merupakan langkah awal yang harus dilakukan sebelum memutuskan untuk memulai atau mengembangkan suatu usaha. Analisis aspek teknis akan menguji hubungan-hubungan teknis yang mungkin dalam suatu proyek yang diusulkan. Faktor teknis merupakan segala
67
persyaratan teknis yang harus dipenuhi dalam kegiatan pembenihan, seperti lokasi, sumber air (laut dan tawar) dan dasar perairan, kualitas tanah, kemiringan tanah serta ketinggian tanah. Hubungan-hubungan tersebut seperti potensi bagi pembangunan, ketersediaan air, salinitas air, suhu udara, pengadaan input produksi, dan lainnya.
6.2.1 Lokasi Usaha Pemilihan lokasi merupakan faktor terpenting dan sangat menentukan keberhasilan suatu kegiatan usaha pembenihan ikan. Kesalahan dalam menentukan lokasi dapat berakibat fatal dan berpengaruh terhadap keberhasilan usaha. Secara umum pemilihan lokasi dapat dipertimbangkan dengan melihat faktor teknis dan non teknis serta pertimbangan umum lainnya. Usaha pembenihan akan berhasil bila faktor-faktor pembatasnya dibuat sekecil mungkin. Lokasi merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan usaha pembenihan yang mengandung faktor pendukung dan faktor pembatas. Beberapa faktor pendukung yang terdapat di Kecamatan Gerokgak: 1. Kemudahan pencapaian, karena terletak di sepanjang jalur transportasi lintas negara bagian utara Propinsi Bali. 2. Kemudahan mendapat sumber energi (PLN), karena seluruh desa sudah terpenuhi kebutuhan listrik dan setiap pembenihan dapat menggunakan daya 3.500 W. 3. Kedekatan dengan lokasi budidaya dan pasar benih, karena daerah pantai utara Bali dan pantai utara Sidoarjo merupakan pusat pembudidayaan ikan Kerapu
68
4. Kemudahan memperoleh kebutuhan sehari-hari, karena terletak 37 km dari pusat kota Singaraja dan transportasi umum tersedia 24 jam. Lokasi yang memenuhi syarat akan memperkecil biaya operasional dan menjamin kelangsungan usaha. Faktor pembatas yang sering digunakan sebagai keuntungan Kecamatan Gerokgak untuk pembenihan antara lain: 1. Kualitas air laut: -
Suhu : 28-29oC
-
Salinitas : 34-35%
-
Oksigen terlarut (DO) : 5-6 mg/L
-
pH air pasang 8,37-8,5; air surut 8,25-8,34
-
PO4 air pasang 0,073-0,395; air surut 0,018-0,056
-
NH3 air pasang0,221-0,292; air surut 0,008-0,053
-
NO2 air pasang 0,011-0,896; air surut 0,004-0,19
-
NO3 air pasang 0,276-0,352; air surut 0,013-0,288
2. Ketersediaan air tawar setiap hari dan sepanjang tahun, karena berasal dari mata air pegunungan Sanggalangit Singaraja. 3. Status lahan dan keamanan yang kondusif, karena terdapat kantor polisi terdekat Polsek Gerokgak yang berjarak 5 km dan status kepemilikan tanah pribadi dari masyarakat Kecamatan Gerokgak. Kualitas dan kuantitas sumber air sangat menentukan keberhasilan pembenihan, tidak terkecuali sumber air tawar yang juga merupakan kebutuhan pokok. Air tawar diperlukan untuk membersihkan peralatan kerja dan untuk kebutuhan sehari-hari. Dilihat dari segi kualitas sumber air laut harus jernih dan
69
bersih sepanjang tahun. Daerah perairan pantai dengan dasar perairan berpasir atau berkarang umumnya jernih. Daerah inilah yang merupakan lokasi pengambilan air laut yang baik, sementara pada jenis pantai berlumpur airnya biasanya keruh dan cenderung bersifat asam sehingga harus dihindari. Kejernihan suatu perairan belum tentu memberikan jaminan kualitas air, namun kejernihan setidaknya cukup untuk menduga kondisi air tersebut baik atau tidak. Untuk memastikan kualitas air perlu dilakukan pemeriksaan parameter kimia, fisika dan biologi dari suatu sumber air (Ismail dan Wardoyo, 1999). Beberapa parameter kimia air meliputi oksigen terlarut (DO), salinitas, derajat keasaman (pH), BOD (biological oxygen demand/ konsumsi oksigen yang diukur secara biologi), COD (chemical oxygen demand/ konsumsi oksigen yang diukur secara kimia), amoniak, nitrit, nitrat, logam berat, serta bahan-bahan polutan. Beberapa parameter fisika air antara lain : kecerahan, kekeruhan, suhu, warna, bau, dan padatan tersuspensi. Sedangkan parameter biologi air antara lain : kesuburan perairan (kelimpahan dan keragaman fitoplankton dan zooplankton) serta keberadaan mikroorganisme patogen dan biota lain di perairan. Standar mutu air laut untuk biota laut (budidaya perikanan) menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2004). Pada dasarnya ada beberapa dari parameter fisika, kimia maupun biologi air laut yang menjadi prioritas diantaranya adalah: kecerahan, salinitas, logam berat, pH, suhu, BOD, NO2, amoniak, oksigen terlarut, bahan organik dan sumber polutan (pencemaran).
70
Kualitas tanah juga menentukan keberhasilan usaha pembenihan. Sifat partikel tanah harus diperhatikan jika akan mendirikan suatu bangunan, sifat partikel tanah yang paling penting dalam pembentukan karakter tanah adalah hubungan antar pertikel. Struktur tanah lepas (pasir) dan remah serta kemampuan drainase merupakan unsur pokok yang perlu diperhitungkan dalam menganalisis keadaan fisik tanah. Struktur tanah lepas lebih mudah tererosi dibanding struktur tanah remah maupun liat, sehingga jika di atas tanah berpasir didirikan bangunan terutama barbahan berat (beton atau besi), lama-kelamaan bangunan akan retak jika konstruksinya tidak memenuhi syarat sesuai dengan sifat tanah tersebut. Oleh karena itu, lokasi yang banyak digunakan pada sistem pembenihan di Kecamatan Gerokgak merupakan tanah lepas yang menggunakan konstruksi bak beton, agar umur bangunan dapat bertahan hingga 10 tahun. Lokasi pantai pembenihan sebaiknya landai dan tidak terlalu terjal. Lokasi yang terjal selain menyulitkan operasional juga membutuhkan modal yang cukup besar. Lokasi pembenihan di Kecamatan Gerokgak terletak di ketinggian sekitar 0,5 meter di atas air pasang tertinggi.
6.2.2 Sarana dan Prasarana Pembenihan Untuk keberhasilan suatu kegiatan pembenihan kelengkapan sarana dan prasarana mutlak diperlukan, antara lain bangunan bak kultur pakan alami, bak pemeliharaan larva, bak pendederan, filter air, aerasi, listrik, transportasi, dan sarana penunjang yang lain. 1. Bangunan Bangunan Hatchery Skala Rumah Tangga (HRST) terdiri dari :
71
- Bangunan di dalam ruangan untuk larva menggunakan 10 bak, 6 bak pendederan, 3 bak kultur artemia. - Bangunan di luar ruangan untuk bak kultur pakan alami secara massal. Untuk kultur Plankton dan Rotifera masing-masing menggunakan 10 dan 5 bak. Konstruksi bak adalah semen pada umumnya terbuat dari pasangan bata merah/batako yang diperkuat dengan beberapa kolom beton, bahan ini diperoleh karena konstruksi cukup kuat dan murah, bahan fiberglass juga bisa dipakai untuk bak tetapi pembuatan fiberglass memerlukan bahan yang lebih mahal dan keahlian khusus juga bahan hanya tersedia di tempat tertentu dibanding dengan bak semen. Pada umumnya bentuk bak persegi atau persegi panjang dengan sudut dilengkungkan untuk memudahkan pembersihan bak dari sisa kotoran. 2. Bak Larva Ukuran yang disarankan untuk pembesaran larva adalah 10 m3 dengan bentuk persegi empat dengan sudut yang dilengkungkan agar mudah untuk mengatur pencahayaan, aerasi dan pengelolaan air. Bak pemeliharaan larva harus diberi atap untuk menghindari hujan dan penyinaran matahari langsung. Untuk menghindari adanya fluktuasi suhu, di dalam atap diberi plastik transparan, yang dibuka siang hari dan ditutup pada malam hari. 3. Bak Pendederan Juvenil (Bak Grading) Bak pendederan berbentuk persegi empat atau persegi panjang dengan ukuran sesuai kebutuhan dan disesuaikan dengan luas lahan, bentuk dan kapasitas yang dianjurkan seperti bak pemeliharaan larva berada di dalam ruangan tetapi tanpa tutup plastik yang rapat. Bak yang dilakukan untuk grading berjumlah 6
72
bak, yang difungsikan untuk menampung benih yang tidak terjual dan untuk pemakaian sendiri jika usaha digabung dengan pembudidayaan. Bak pendederan dilengkapi dengan aerasi dan pemipaan, air mengalir secara terus menerus selama 24 jam. 4. Bak Kultur Pakan Alami Secara Massal Bak kultur pakan alami dibedakan menjadi dua yaitu bak untuk kultur phytoplankton biasanya untuk ikan laut (Chlorella sp, Tetraselmis sp.) dan untuk kultur zooplankton rotifer (Brachionus sp); Artemia Sp.. Kedua bak dibangun secara terpisah untuk menghindari adanya kontaminasi yaitu habisnya phytoplakton karena dimakan oleh zooplankton terutama oleh rotifer. Bak untuk kultur pakan alami 4 kali volume bak pemeliharaan larva. Intensitas cahaya yang cukup diperlukan untuk kultur pakan alami karena bak kultur pakan alami (plankton) yang ditempatkan pada ruangan terbuka, agar cukup mendapatkan sinar matahari, kedalaman bak sekitar 1,5 m. 5. Bak Filter Air Saringan pasir digunakan untuk menyaring air dari laut sebelum masuk ke tangki-tangki pendederan untuk menyaring kotoran berupa partikel kecil, dan pasir dari laut. Bahan yang digunakan adalah pasir yang mempunyai partikel agak kasar dan bersih dari tanah/lumpur, koral /batu kerikil, batu agak besar di dasar bak untuk mengalirkan air dipasang pipa yang telah diberi lobang dan saringan. Untuk mensuplai air laut dari filter biasanya menggunakan gaya grafitasi. 6. Sistem Aerasi Sistem aerasi dibutuhkan beberapa peralatan antara lain : blower besarnya sesuai dengan kebutuhan, pipa PVC untuk distribusi dari blower ke bak-bak
73
pemeliharaan yang dilengkapi dengan selang aerasi dan batu aerasi dengan jumlah sesuai dengan kebutuhan. 7. Pompa Air Pompa air sangat diperlukan untuk mengambil air dari laut dan mendistribusikan air ke bak-bak sesuai kebutuhan, selain itu juga untuk pendistribusian plankton dan air tawar, besarnya pompa sesuai dengan kebutuhan. 8. Tenaga Listrik Tenaga listrik merupakan kebutuhan pokok dalam suatu usaha pembenihan, terutama untuk mengoperasikan : pompa air, blower alat-alat lain dan penerangan. Tenaga listrik yang digunakan untuk pembenihan berasal dari PLN sebesar 3500 watt dan mutlak diperlukan 24 jam, jika tenaga listrik dari PLN tidak ada bisa menggunakan tenaga generator, besarnya listrik disesuaikan dengan kebutuhan. 9. Transportasi Sarana transportasi yang utama adalah jalan utara Lintas Propinsi Bali untuk memudahkan semua kegiatan yaitu mulai dari penyediaan sarana dan prasarana hingga penjualan produksi.
6.2.3 Teknis Kultur Pakan Alami Pakan alami mutlak dibutuhkan untuk pembenihan ikan, plankton dibagi menjadi dua yaitu pytoplankton dan zooplankton. Phytoplankton adalah sejenis tumbuhan bersel tunggal yang mempunyai ukuran sangat kecil, beberapa jenis phyltoplanton untuk pembenihan ikan yaitu Chlorella sp., Tetraselmis sp., Dunaliella sp.
74
Untuk mendapatkan plankton secara berkesinambungan dan memenuhi syarat kualitas maupun kuantitas diperlukan perencanaan produksi sesuai dengan jenis plankton yang dipelihara. Syarat-syarat agar plankton bisa dijadikan sebagai pakan alami menurut Subyakto dan Cahyaningsih, 2003 adalah : -
Bentuk dan ukuran plankton sesuai dengan lebar bukaan mulut larva.
-
Mudah diproduksi secara masal atau mudah dibudidayakan
-
Kandungan nutrisinya tinggi.
-
Isi sel padat dan mempunyai dinding sel tipis sehingga mudah dicerna.
-
Cepat berkembang biak dan memiliki toleransi tinggi terhadap perubahan lingkungan.
-
Tidak mengeluarkan senyawa beracun.
-
Gerakannya menarik bagi larva ikan tetapi tidak terlalu aktif sehingga mudah ditangkap.
1. Kultur Phytoplankton Untuk memenuhi kebutuhan pakan Chlorella sp. dikultur secara masal yang dilakukan di luar tanpa atap dengan volume disesuaikan dengan kebutuhan. Biasanya tangki yang dipergunakan adalah terbuat dari semen yang dilengkapi dengan aerasi. Bibit pertama kultur diambil dari laboratorium atau langsung diambil dari kultur masal dengan syarat bibit yang diambil masih mempunyai kondisi yang bagus, baik sel maupun kepadatannya mencukupi (Redjeki dan Basyari, 1989; Martosudarmo dan Wulani, 1990). Bila bibit diambil dari laboratorium karena volumenya kecil, cara kultur harus dilakukan secara bertahap :1l→
25 l →
100-200 l →
seterusnya (Ismi 1996).
1 ton →
4-5 ton →
15-20 ton dan
75
a. Cara Kultur Masal Chlorella Air dari laut bisa lewat filter pasir kemudian sebelum masuk bak plankton disaring menggunakan filter bag atau bila kondisi perairan memungkinkan tanpa saringan pasir langsung dari laut disaring dengan filter bag. Setelah air dimasukkan ke dalam tangki jika kondisi air kurang bagus untuk mencegah cepat terjadinya kontaminasi dengan protozoa atau kutu air maka air perlu disterilisasi dengan Sodium Hypochlorit 100 ppm selama 24 jam, kemudian untuk menetralisasi diberi Sodium Thiosulfat 50 ppm. Untuk memperkaya unsur hara, pupuk yang dipergunakan adalah pupuk pertanian yaitu : -
ZA = 50 ppm
-
TSP = 30 ppm
-
Urea = 10 ppm
-
EDTA = 5 ppm
-
FeCL3 = 2,5 ppm
Dalam melakukan kultur masal chlorella, langkah-langkah yang harus dilakukan adalah sebagai berikut: -
Untuk mempercepat larut sebaiknya TSP direndam dahulu sebelum diberikan
-
Perbandingan dosis pupuk dapat disesuaikan dengan kondisi kesuburan perairan. Setelah air dipupuk maka bibit plankton dimasukkan, banyaknya bibit
disesuaikan dengan volume kultur (dengan perbandingan 1 bibit dibanding 4 sampai 5 air kultur ). Perbandingan bibit juga disesuaikan dengan kepadatan dan
76
intensitas sinar matahari. Jika matahari terik dan kepadatan bibit tinggi maka plankton akan cepat berkembang. Untuk kultur masal kepadatan awal biasanya 23 juta sel/ml, jika kondisi normal akan berkembang dan siap dipergunakan setelah 4-5 hari, dengan kepadatan 12-15 juta sel/ml (Fulks and Main 1991). b. Cara Panen Chlorella Pada umumnya Chlorella sp. dipanen pada saat sebelum puncak pertumbuhan (stationary). Untuk panen Chlorella sp. dengan cara
langsung
memindahkan atau mengalirkan dengan pompa ke tempat tujuan (untuk bibit; pakan rotifer; larva). Sisa Chlorella sp. dalam tangki ditambah air dan pupuk, cara ini bisa dilakukan beberapa kali (3-4), kemudian Chlorella sp. di dalam tangki dipanen total dan tangki dibersihkan untuk persiapan kultur berikutnya. Biasanya untuk suatu unit pembenihan mempunyai beberapa tangki untuk kultur phytoplankton agar bisa dipanen bergantian setiap hari. 2. Kultur Zooplankton Zooplankton yang digunakan adalah rotifera dari spesies Brachionus sp. Type rotifera sesuai dengan ukuran panjang lorica dan bentuk badannya, ada tiga macam yaitu SS (super small) dengan ukuran 100-140 mikron dengan bentuk badan di bawah corona mempunyai lekukan tajam dan membesar di bawah, S (small) ukuran 140-200 mikron dengan bentuk badan di bawah corona lekukan tidak begitu tajam dan L (large) ukuran 180-260 mikron dengan bentuk badan di bawah corona tidak terlihat lekukan.
77
a. Cara Kultur Rotifera Untuk pembenihan ikan phytoplankton yang dipergunakan sebagai pakan rotifer adalah Chlorella sp. Untuk penyediaan pakan larva harus tersedia beberapa tangki untuk kultur rotifera, karena dengan kepadatan awal rotifera 20 ind/ml dalam keadaan pakan yang cukup akan menjadi 100 ind/ml selama 3 hari. Untuk mengontrol tersediaanya Chlorella sp. di dalam kultur rotifera dihitung setiap hari (secara visual jika pakan Chlorella sp. telah habis kultur rotifera berwarna bening) dalam kondisi ini harus segera ditambah pakan. Cara menambah pakan dengan menambah langsung Chlorella sp. ke tangki rotifera atau memanen rotifera terlebih dahulu dan mengembalikan hasil panen ke tangki, hal ini dilakukan jika rotifera masih belum padat, jika rotifera sudah cukup padat dengan cara mengurangi volume dalam jumlah tertentu dan menambahnya dengan Chlorella sp. sebagai pakan.
b. Cara Panen Rotifer Rotifera dipanen dengan cara disaring dengan plankton net (ukuran disesuaikan dengan jenis rotifera). Untuk rotifera type SS disaring dengan plankton net 30-40 mikron dan untuk Type S disaring dengan plankton net 60-70 mikron. Panen rotifera bisa dilakukan dengan beberapa cara yaitu : Panen secara bertahap : memanen sebagian volume rotifera kemudian sisa kultur ditambah air dan plankton sesuai dengan jumlah rotifera yang tersisa. Cara ini dilakukan beberapa kali, bila kondisi tangki kultur rotifera sudah kotor maka harus segera dipanen semua, sebab kotoran di dalam tangki pemeliharaan akan menghambat perkembangan rotifera.
78
Panen secara total : semua rotifera di dalam tangki dipanen total setiap hari, hasil panen dikultur kembali atau dipakai untuk makanan larva. Cara ini dilakukan bila rotifera mempunyai kepadatan awal yang tinggi. Untuk memudahkan pelaksanaan kedua cara tersebut bisa dipadukan tergantung kebutuhan pakan dan sebagai bibit rotifera untuk kultur kembali. 3. Kultur Artemia Untuk zooplankton untuk pembenihan ikan diperlukan artemia, yang telah ada di pasaran, untuk memperoleh nauplii artemia kista artemia yang berupa telur perlu ditetaskan dengan cara ditempatkan pada tangki yang berisi air laut dengan salinitas 20-34 ppt. Selama penetasan tangki dilengkapi dengan aerasi yang cukup, setelah 18-24 jam artemia menetas kemudian dipanen dengan cara memisahkan nauplii dengan cangkangnya. 4. Pakan Tambahan yang lain Pakan tambahan yang dipergunakan adalah pakan buatan dan pakan hidup. Pakan buatan yang dipakai adalah pakan komersial yang telah ada di pasaran, dengan beberapa ukuran pakan yang dapat disesuaikan dengan bukaan mulut jenis ikan masing-masing. Yang dimaksud pakan hidup adalah copepoda dan jambret yaitu udang-udang kecil yang diberikan dalam keadaan hidup untuk menekan kanibalisme pada ikan setelah juvenile, pakan ini biasanya diberikan sebelum diberi pakan rucah. Copepoda dan jambret diperoleh dari alam yaitu tambak. HSRT di Kecamatan Gerokgak biasanya hanya menggunakan jambret sebagai pakan hidup. Dari analisa aspek teknis, dapat dinilai bahwa lokasi pembenihan yang akan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pasar sangat layak jika ditinjau dari
79
aspek-aspek teknis yang telah dibahas sebelumnya. Adapun kriteria yang digunakan sebagai faktor penentu kelayakan suatu usaha pembenihan ini antara lain; daerah dengan jalur transportasi utama di propinsi Bali, didukung dengan keberadaan air tawar yang bersih, ketersediaan listrik yang mencukupi untuk pembenihan, dekat dengan pasar yang selalu menyerap hasil produksi benih dan keamanan yang selalu terjamin karena didukung oleh keadaan masyarakat yang memiliki tanah pribadi untuk dijadikan lahan usaha, lokasi tanah yang berada 0,5 m di atas permukaan laut pasang, sehingga untuk memenuhi keadaan alam yang bertekstur tanah lepas (pasir) harus menggunakan konstruksi rangka beton dan baja. Dari segi pembudidayaan usaha memakai teknik yang layak dan sesuai dengan pembenihan ikan kerapu, hal
ini
dilihat dengan kemampuan
menggabungkan antara pembenihan ikan kerapu macan, bebek dan sunu. Berdasarkan informasi yang diperoleh dengan tenaga kerja bahwa usaha yang akan dilakukan memiliki metode yang sama untuk setiap jenisnya, hanya waktu panen yang berbeda dan bisa ditanggulangi sistem pembenihan pakan alami yang berkala.
6.3 Aspek Manajemen Pengkajian aspek manajemen pada dasarnya menilai para pengelola proyek dan struktur organisasi yang ada. Struktur organisasi yang dipilih harus sesuai dengan bentuk dan tujuan proyek, serta kebutuhan tenaga kerja harus terinci dengan baik.
80
Secara ringkas struktur organisasi HSRT di Kecamatan Gerokgak dapat dilihat pada gambar berikut:
Pemilik
Tenaga kerja 1
Tenaga kerja 2
Gambar 3 Struktur Organisasi HSRT
Struktur organisasi HSRT di daerah tersebut sangat sederhana yaitu hanya terdiri dari pemilik dan dua orang pekerja. Pemilik usaha bertindak sebagai pengawas dan para pekerja bertugas teknis di lapangan yaitu menangani telur saat pertama kali mulai akan dibenihkan hingga panen. Berdasarkan analisis aspek manajemen, usaha ini dapat dikatakan layak untuk dijalankan meskipun dengan struktur organisasi dan pembagian tugas yang sederhana.
6.4 Aspek Sosial Usaha pembenihan Hatchery Skala Rumah Tangga ikan di daerah Bali Utara bermula dari pembenihan bandeng yang telurnya mengambil dari sisa telur penelitian pembenihan bandeng yang saat itu telah berhasil dipijahkan secara kontinue di Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol. Dengan bimbingan teknologi salah satu petani berhasil mengadaptasi pemeliharaan larva bandeng hingga menjadi benih dan dapat dijual, akhirnya banyak masyarakat
81
mengikuti usaha pembenihan tersebut. Demikian juga dengan pembenihan kerapu tetapi ada yang melakukan usaha ini dengan memperluas usaha pembenihan ikan bandeng atupun mengganti usaha pembenihan ikan bendeng dengan ikan kerapu dan ada juga yang baru membangun usaha ini. Dengan tumbuhnya usaha HRST maka membuka peluang bagi tenaga kerja baru dan tumbuh usaha penunjang yang lain diantaranya : 1. Peluang Tenaga Kerja Dengan adanya HRST anak-anak remaja sekitar Bali Utara mempunyai peluang untuk bekerja. Untuk tenaga kerja laki-laki mengerjakan pembenihan yaitu pemeliharaan larva, kultur pakan alami, pembersihan bak dan lain-lain pekerjaan yang ada kaitannya dengan pembenihan. Sistem gaji pada umumnya berdasarkan persentase yaitu 20% dari hasil bersih, hal ini untuk memacu kerja mereka karena dengan sistem persentase maka tenaga kerja merasa ikut memiliki bila hasil nanti. Untuk tenaga kerja perempuan juga bekerja sebagai tenaga hitung saat panen benih. 2. Sewa tanah Untuk masyarakat yang mempunyai tanah di dekat laut/pantai mereka pada umumnya menyewakan tanah kepada orang lain untuk usaha pembenihan. Sistem pembayaran dengan bagi hasil yaitu 10% dari hasil bersih panen. Pada umumnya pengusaha HRST hanya menyewa tanah untuk usahanya, sedangkan untuk fasilitas pembenihan para pemilik HSRT membangun sendiri. Lama dan perjanjian sewa tanah tergantung masing-masing pemilik dan penyewa.
82
3. Usaha Saprodi Usaha ini berbentuk pertokoan yang berkembang di sekitar HRST menjual kebutuhan peralatan seperti pompa air, blower, pipa, selang air, kayu dan alat bantu pembenihan seperti selang aerasi, kran aerasi, batu aerasi, filter bag, plankton net, alat pengepakan untuk pengiriman ikan (plastik, karet, koran, es, oksigen, karton dan sterofoam) dan lainnya. Kebutuhan pakan meliputi pakan buatan untuk ikan, baik untuk larva dan juvenile, pupuk untuk kultur plankton seperti Urea, TSP, ZA, EDTA, FeCL3 dan obat-obatan ikan lainnya, terus berkembang sesuai kebutuhan. 4. Usaha Pakan Alami Pakan alami merupakan pakan utama
pembenihan ikan diantaranya
artemia dijual di toko-toko dengan saprodi yang lain, tetapi untuk pakan alami yaitu chlorella sp. dan rotifer biasanya petani memproduksi untuk dijual ke HRST yang membutuhkan, selain itu pakan alami yang lain adalah copepoda dan tiram yang biasanya ada orang tertentu yang mengirim sesuai dengan pesanan dari HRST.
5. Usaha Pakan untuk Pendederan. Pakan pendederan selain pelet untuk kerapu biasanya untuk menekan kanibal terutama kerapu macan setelah larva menjadi juvenil diberi pakan udang– udang kecil yang biasa disebut rebon/jambret ( Ismi, 2005). Pakan ini dijual dalam bentuk hidup, cara penjualan dikemas dalam kantong-kantong plastik dengan diberi oksigen. Rebon biasanya diambil dari tambak-tambak budidaya udang atau diusahakan di tambak secara khusus, untuk mensuplai HSRT di Kecamatan
83
Gerokgak, selain dari tambak daerah sekitar juga dari daerah Banyuwangi dan Negara. Benih kerapu setelah mencapai ukuran 4 cm secara pelan-pelan dilatih untuk makan pakan rucah yaitu ikan segar seperti teri , tamban, lemuru, dan tongkol dipotong sesuai dengan lebar mulut, untuk ikan rucah ini diberikan hingga ukuran konsumsi jika budidaya tidak menggunakan pelet. Dengan kebutuhan ikan segar untuk pendederan kerapu ini maka timbul usaha untuk menjual/memasok ke HRST, pakan ikan segar ini diperoleh dari daerah Bali atau Jawa. Penjual biasanya mengantar pakan ikan segar hingga sampai ke tempat HRST sesuai jenis dan volume pemesanan. 6. Usaha Pendederan Usaha timbul karena petani HRST biasanya hanya memelihara kerapu hingga ikan bisa dipanen yaitu setelah menjadi juvenil yang biasanya sekitar umur 60 hari yaitu ukura 2,5-3,0 cm. Pertimbangan HSRT menjual ikan dengan ukuran kecil, karena mereka berharap modal usaha mereka dapat berputar dengan cepat, karena jika dapat terjual pada ukuran tersebut mereka akan dapat cepat menebar kembali sehingga bak pemeliharaan tidak lama terpakai untuk stok ikan. Oleh usaha pendederan ikan kerapu dipelihara hingga ukuran tertentu sesuai dengan permintaan pasar. Dari usaha pendederan ini muncul juga usaha perantara yang usahanya hanya mencari ikan/calo untuk dijual ke pendeder. 7. Usaha Pengiriman Ikan atau Pedagang Benih Ikan Usaha ini biasanya dikerjakan oleh orang-orang yang mempunyai pesanan benih ikan kerapu. Ikan yang dikirim diperoleh dari pembenihan atau pendederan sendiri dan biasanya jika dari usahanya sendiri produksi tidak ada atau tidak
84
mencukupi yang sesuai dengan permintaan, baik jenis, ukuran atau jumlahnya maka ikan dibeli dari HRST atau usaha pendeder lainnya. Biasanya mereka sudah punya jaringan dari tempat pengambilan ikan hingga penjualan ikan. Untuk perdagangan benih, pedagang yang sudah mempunyai pesanan dalam jumlah banyak dan terus-menerus tidak bisa memperoleh benih dari hasil sendiri, karena itu biasanya mereka mempunyai tenaga untuk memanen ikan dari HRST yang lain yang akan dibeli, tenaga yang demikian biasa disebut penyotek yang diupah berdasarkan hasil perolehan benih yang dibawa. Tidak menutup kemungkinan agar jumlah order tercapai pedagang juga mengambil benih dari calo/perantara dengan harga sesuai dengan kesepakatan. 8. Penyewaan Mobil Pengiriman ikan biasa dilakukan dengan transportasi secara terbuka yaitu dengan tanpa pengepakan (menggunakan live tank) dan tertutup (pengepakan) (Ismi, 2005) dimana kedua cara tersebut memerlukan mobil sebagai sarananya. Dengan adanya usaha pengiriman ikan yang berkembang memerlukan transportasi terutama menggunakan mobil untuk ke tempat tujuan jika bisa ditempuh jalan darat, jika dengan udara/pesawat maka mobil diperlukan untuk mengantar hingga Bandara. Untuk keperluan tersebut banyak pemilik-pemilik mobil menyewakan mobil untuk pengiriman ikan. Dengan adanya pembenihan ikan kerapu dengan sistem penggabungan antara kerapu macan, kerapu bebek dan kerapu sunu maka potensi daerah semakin meningkat. Hal ini karena para remaja desa yang tidak bekerja (pengangguran) mendapatkan pekerjaan tetap sebagai tenaga kerja Hatchery. Selain tenaga kerja pria, pekerja tambak dapat juga menggunakan tenaga kerja wanita sebagai
85
penghitung benih yang akan dijual. Besarnya gaji yang diberikan sudah di atas upah minimal pendapatan pekerja daerah Kabupaten Buleleng dan dapat meningkat jika hasil dari panen melebihi target yang diinginkan. Selain mengurangi pengangguran, masyarakat akan terstimulasi dengan melakukan usaha saprodi (sarana produksi) pembenihan ikan kerapu seperti pembuatan pakan benih, penyewaan mobil sebagai sarana transportasi jual beli ikan kerapu macan. Sewa lahan akan meningkatkan harga jual tanah daerah setempat karena sebagai tempat produksi ikan kerapu dan lahan kosong dapat dimanfaatkan sebagai lahan produktif. Usaha pembenihan akan menstimulasi adanya usaha pendederan dan pembesaran ikan kerapu, karena usaha ini saling berkaitan. Dari segi analisa aspek sosial dengan tingkat gaji (upah) yang di atas upah minimal pendapatan pekerja daerah dan pemberdayaan masyarakat setempat, maka usaha pembenihan ikan kerapu macan, kerapu bebek dan kerapu sunu layak untuk dilaksanakan, baik dilakukan secara terpisah maupun gabungan.
86
VII ANALISIS ASPEK FINANSIAL
Analisis finansial dilakukan dengan menggunakan kriteria-kriteria penilaian investasi yaitu Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) dan Payback Period (PBP). Analisis ini diperlukan untuk mencegah resiko dan ketidakpastian usaha yang dapat mendatangkan kerugian di masa yang akan datang. Untuk menganalisis finansial usaha pembenihan ikan kerapu dalam Hatchery Skala Rumah Tangga (HSRT) maka digunakan arus kas (Cash Flow). Arus kas berfungsi untuk mengetahui besarnya manfaat yang diterima dan biaya yang dikeluarkan untuk usaha pembenihan tersebut. Aspek finansial antara pembenihan ikan kerapu macan, kerapu bebek, kerapu sunu dan penggabungan ketiganya berbeda. Hal tersebut dikarenakan perbedaan tingkat keberhasilan pembenihan dan kebutuhan pakan dari masing-masing jenis ikan kerapu. Adapun asumsi dasar yang mendasari analisis finansial usaha pembenihan kerapu dalam HSRT adalah: 1. Penentuan umur ekonomis proyek adalah berdasarkan umur investasi terlama berupa bak. Hal ini dilakukan karena asumsi bahwa selama investasi masih ada dan dapat digunakan maka usaha akan tetap dapat berjalan. Dalam penelitian ini umur ekonomis proyek adalah 10 tahun. 2. Penentuan Diskon Rate yang digunakan berdasarkan suku bunga kredit rata-rata bank di Indonesia selama tahun 2007, yaitu sebesar 13,65 persen. Penentuan penggunaan suku bunga kredit karena usaha ini memerlukan
87
modal yang besar sehingga pemilik usaha HSRT ini meminjam modal di bank. 3. Biaya investasi diasumsikan dikeluarkan pada tahun ke satu karena persiapan usaha hanya membutuhkan waktu dua bulan 4. Pembenihan ikan kerapu macan dalam satu siklus memerlukan waktu 2 bulan dengan jeda 1 bulan sehingga dalam satu tahun dapat dilakukan pembenihan sebanyak 4 kali. Pembenihan kerapu bebek dan sunu dalam satu siklus memerlukan waktu 3 bulan dengan jeda 1 bulan sehingga dalam satu tahun dapat dilakukan pembenihan sebanyak 3 kali. Gambaran rencana pembenihan dapat dilihat pada Lampiran 1. 5. Tingkat keberhasilan atau survival rate (SR) diasumsikan sebesar 10 persen untuk kerapu macan, 5 persen untuk kerapu bebek dan 2 persen untuk kerapu sunu. Hal tersebut berdasarkan hasil wawancara dengan pemilik HSRT. 6. Dalam satu siklus, jumlah telur yang ditebar adalah 600.000 telur untuk masing-masing jenis ikan kerapu dalam satu HSRT dan dalam pembenihan penggabungan telur yang ditebar untuk kerapu macan, bebek dan sunu masing-masing sebesar 200.000 telur. Banyaknya bak larva yang digunakan adalah 6 bak, masing-masing bak berisi 100.000 telur. Hal tersebut berdasarkan rata-rata jumlah bak yang dimiliki oleh responden. 7. Pajak tidak dikenakan dalam usaha pembenihan ini karena usaha ini merupakan usaha skala rumah tangga yang masih dalam binaan Dinas Kelautan dan Perikanan.
88
7.1 Identifikasi Biaya dan Manfaat Biaya adalah segala sesuatu yang mengurangi suatu tujuan dan manfaat adalah segala sesuatu yang membantu tujuan. Berikut ini diidentifikasi komponen-komponen yang merupakan biaya dan manfaat dalam usaha budidaya pembenihan ikan kerapu dalam hatchery skala rumah tangga (HSRT).
7.1.1 Biaya Pada usaha pembenihan ikan kerapu ini, komponen biaya dapat digolongkan menjadi dua jenis yaitu biaya investasi dan biaya operasional. Biaya investasi berupa biaya yang dikeluarkan pada saat awal proyek. Selain itu, terdapat biaya reinvestasi yaitu biaya investasi yang dikeluarkan kembali karena umur ekonomis barang tersebut habis sebelum umur proyek berakhir. Biaya operasional berupa biaya yang dikeluarkan agar proses produksi tetap berlangsung.
1. Biaya Investasi Biaya investasi yang dikeluarkan untuk usaha pembenihan ikan kerapu macan, kerapu bebek, dan kerapu sunu adalah sama. Biaya investasi dikeluarkan pada tahun ke satu karena untuk pembangunan HSRT ini hanya membutuhkan waktu dua bulan. Biaya investasi usaha ini meliputi biaya pembangunan bak, pembelian mesin pompa air, pembelian blower, pembelian genset, instalasi listrik, pemipaan, kendaraan dan alat bantu pembenihan. Semua investasi tersebut memiliki nilai ekonomis masing-masing. Apabila umur ekonomis investasi telah
89
habis maka dapat dilakukan re-investasi. Biaya-biaya investasi usaha pembenihan ikan kerapu dalam HSRT dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13 Biaya Investasi Usaha Pembenihan Ikan Kerapu
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
14
Uraian Bak Larva 3x3x1,25 m Bak Grading 3x3x1,25 m Bak Plankton 4x4x1,5 m Bak Rotifer 3x3x1,25 Bak Artemia Bak Filter 4x4x1,5 m Pompa Celup Pompa Air Laut Blower Genset Pemipaan Instalasi Listrik Alat Bantu Pembenihan Selang aerasi Kran aerasi Filter Bag Plankton Net Batu Aerasi Saringan Artemia Serok Ember+Baskom Kendaraan Jumlah Investasi
Jumlah Satuan
Harga Satuan (Rp)
Jumlah Biaya (Rp)
Umur Ekonomis (Tahun) 10 10 10 10 3 10 3 3 5 5 2 2 1
10 6 10 5 3 1 2 2 2 1 1 1
Buah Buah Buah Buah Buah Buah Buah Buah Buah Buah Paket Paket
4.000.000 4.000.000 6.400.000 4.000.000 500.000 8.000.000 900.000 3.000.000 3.500.000 3.500.000
40.000.000 24.000.000 64.000.000 20.000.000 1.500.000 8.000.000 1.800.000 6.000.000 7.000.000 3.500.000 10.000.000 3.500.000
4 4 4 2 4 2 10 10 2
Rol Box Buah m2 Box Buah Buah Paket
350.000 250.000 200.000 250.000 250.000 150.000 10.000 100.000 12.000.000
1.400.000 1.000.000 800.000 500.000 1.000.000 300.000 100.000 1.000.000 24.000.000 219.400.000
10
2. Biaya Operasional Biaya operasional terdiri dari biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap adalah biaya yang besarnya tidak dipengaruhi oleh perubahan volume produksi dan dalam analisis ini diasumsikan tetap setiap tahunnya. Biaya tetap pembenihan ikan kerapu macan, kerapu bebek, kerapu sunu, dan penggabungan ketiganya berupa biaya perijinan usaha adalah sama sebesar Rp 500.000,- per tahun. Biaya pemeliharaan yang dikeluarkan juga sama besar yaitu Rp 6.000.000,- per tahun.
90
Pada dasarnya biaya variabel untuk pembenihan ikan kerapu adalah sama. Biaya tersebut berupa biaya telur, biaya pupuk, biaya pakan tambahan, biaya artemia, biaya bahan bakar, biaya listrik, biaya tenaga kerja, dan biaya sewa lahan. Kuantitas dan jenis pakan yang digunakan saja yang membedakan biaya variabel antara pembenihan kerapu macan, kerapu bebek, kerapu sunu, dan penggabungan ketiganya. Pada Tabel 14 dapat dilihat perbandingan biaya variabel yang digunakan dalam usaha pembenihan ikan kerapu. Biaya telur yang digunakan berbeda berdasarkan harga telur masing-masing jenis ikan kerapu. Untuk harga telur kerapu macan Rp 2,- per butir, kerapu bebek Rp 4,- per butir, dan untuk kerapu sunu Rp 1,- per butir. Pupuk digunakan untuk membuat pakan alami, sehingga jumlahnya berdasarkan lamanya waktu pembenihan yang dilakukan. Jumlah artemia yang diberikan berbeda-beda sesuai dengan jumlah tingkat keberhasilan atau survival rate (SR) dari masing-masing jenis ikan kerapu. Semakin tinggi tingkat SR, semakin tinggi pula artemia yang digunakan. Jamred atau udang kecil hanya diberikan pada kerapu macan saja karena tingkat kanibalisme jenis kerapu tersebut sangat tinggi. Bahan bakar yang digunakan berdasarkan lamanya waktu pembenihan. Bahan bakar tersebut berupa bensin untuk kendaraan dan solar untuk menghidupkan
genset.
Biaya
listrik
yang
digunakan
adalah
sebesar
Rp 8.400.000,-. Tenaga kerja paruh waktu yang digunakan adalah sebanyak tiga orang. Tenaga kerja tersebut digunakan saat musim panen. Untuk biaya tenaga kerja tetap dan biaya sewa lahan digunakan sistem bagi hasil masing-masing sebesar 20 persen dan 10 persen dari keuntungan kotor satu siklus, yaitu hasil penjualan satu siklus dikurangi biaya variabel di luar biaya listrik. Rincian biaya
91
operasional pembenihan ikan kerapu macan, kerapu bebek, kerapu sunu, dan penggabungan ketiganya berturut-turut dapat dilihat pada Lampiran 4, Lampiran 5, Lampiran 6, dan Lampiran 7.
Tabel 14 Rincian Biaya Variabel Usaha Pembenihan Ikan Kerapu
No 1 2 3 4 5 6 7 8
9
Uraian Telur Pupuk Pakan Artemia Jamred Bahan baker Biaya Listrik Biaya tenaga kerja Paruh waktu (3 Orang) Tetap Biaya Sewa Lahan
Biaya/ Siklus (Rp) Kerapu Kerapu Macan Kerapu Bebek Sunu Gabungan 1.200.000 2.400.000 600.000 1.400.000 412.500 690.000 690.000 625.833 3.000.000 1.450.000 805.000 1.751.666 5.000.000 2.500.000 1.000.000 2.833.333 4.000.000 0 0 1.333.333 309.000 463.500 463.500 412.000 8.400.000 8.400.000 8.400.000 8.400.000
270.000 270.000 270.000 270.000 20 persenx (Hasil Penjualan 1 siklus-biaya variabel kotor) 10 persen x (Hasil penjualan 1 siklus-biaya variabel kotor)
7.1.2 Manfaat Arus manfaat pada usaha pembenihan ikan kerapu dalam HSRT adalah penerimaan dari hasil penjualan benih. Berdasarkan hasil wawancara dan observasi di lokasi penelitian, diketahui bahwa tingkat keberhasilan pembenihan atau survival rate (SR) kerapu macan 10 persen, kerapu bebek 5 persen, dan kerapu sunu sekitar 2 persen. Benih yang siap dijual adalah benih yang telah memiliki ukuran 2,7 cm- 3 cm. Harga benih kerapu macan Rp 1.000,- kerapu bebek Rp 2.700,- dan kerapu sunu Rp 4.500,-. Penerimaan dari hasil penjualan benih dapat diperoleh dengan mengalikan jumlah benih yang dipanen dengan harga masing-masing jenis ikan kerapu.
92
Untuk estimasi penerimaan dari pembenihan kerapu macan pada tahun pertama berbeda dengan tahun berikutnya. Hal tersebut dikarenakan pada tahun pertama terjadi proses pembangunan HSRT. Waktu yang dibutuhkan adalah sekitar dua bulan, sehingga untuk kerapu macan pada tahun pertama hanya dapat berproduksi sebanyak tiga siklus dan untuk tahun-tahun berikutnya dapat berproduksi sebanyak empat siklus. Begitu juga untuk kerapu bebek dan kerapu sunu, tetapi karena masa produksi kerapu bebek dan sunu lebih lama maka pada tahun pertama hanya dapat berproduksi sebanyak dua siklus dan pada tahun berikutnya hingga tahun ke-sepuluh dapat berproduksi sebanyak tiga siklus. Estimasi penerimaan dapat dilihat pada Lampiran 2. Dalam usaha pembenihan ini terdapat nilai sisa atau salvage value. Salvage value atau nilai sisa adalah sisa dari biaya investasi yang tidak habis terpakai selama umur ekonomis proyek. Salvage value terjadi pada akhir umur proyek sehingga nilai sisa diperhitungkan sebagai tambahan manfaat proyek. Nilai sisa pada usaha pembenihan ini diperoleh dari komponen biaya yang tidak habis terpakai. Nilai sisa yang dihasilkan pada proyek ini adalah nilai sisa berupa bak artemia, pompa, genset, pemipaan, instalasi listrik, alat bantu pembenihan serta kendaraan. Rincian nilai sisa dapat dilihat pada Lampiran 3.
7.2 Analisis Kelayakan Finansial Analisis kelayakan finansial usaha pembenihan ikan kerapu menggunakan prinsip nilai uang sekarang tidak sama dengan nilai yang akan datang. Dalam analisis ini digunakan tingkat suku bunga kredit rata-rata bank di Indonesia
93
selama tahun 2007 sebesar 13,65 persen. Analisis kelayakan finansial dilakukan pada masing-masing jenis ikan kerapu serta penggabungan ketiganya. Tabel 15 Hasil Analisis Kelayakan Finansial Usaha Pembenihan Ikan Kerapu Macan, Kerapu Bebek, Kerapu Sunu, dan Gabungan Ketiganya No 1 2 3 4
Jenis Pembenihan Kerapu Macan Kerapu Bebek Kerapu Sunu Gabungan
NPV
Rp 330.405.688,Rp 448.428.815,Rp 206.600.377,Rp 505.215.763,-
Kriteria Investasi IRR Net B/C 72% 3,719 96% 4,867 46% 2,431 98% 4,971
Payback Period 3 Tahun 2 Tahun 2,9 Bulan 3 Tahun 3,36 Bulan 2 Tahun 0,1 Bulan
Usaha pembenihan ikan kerapu macan ini dapat terlihat bahwa nilai NPV yang diperoleh dari hasil kumulatif manfaat bersih setelah didiskontokan selama umur proyek bernilai positif yaitu sebesar Rp 330.405.688,-. Nilai tersebut menunjukkan bahwa keuntungan yang diperoleh pada kegiatan usaha pembenihan kerapu macan dengan menebar 600.000 butir telur dan tingkat keberhasilan atau survival rate 10 persen sebesar Rp 330.405.688,- selama 10 tahun. Begitu juga pembenihan ikan kerapu bebek dengan survival rate 5 persen sebesar Rp 448.428.815,-, kerapu sunu dengan survival rate 2 persen sebesar Rp 206.600.377,-, dan untuk pembenihan gabungan
dengan survival rate
berturut-turut untuk kerapu macan, kerapu bebek, dan kerapu sunu 10 persen, 5 persen, dan 2 persen sebesar Rp 505.215.763,Nilai IRR yang diperoleh untuk pembenihan ikan kerapu macan adalah 72 persen. Nilai tersebut menunjukkan bahwa pada saat tingkat diskonto 72 persen maka nilai NPV proyek sama dengan nol. Begitu juga untuk pembenihan kerapu bebek sebesar 96 persen, kerapu sunu 46 persen, dan gabungan ketiganya sebesar 98 persen. Nilai IRR tersebut lebih besar dari suku bunga diskonto yang
94
digunakan. Dengan demikian, berdasarkan kriteria IRR usaha-usaha tersebut dapat dikatakan layak untuk dilaksanakan. Nilai Net B/C yang dihasilkan untuk pembenihan kerapu macan adalah 3,719 artinya setiap Rp 1,- yang dikeluarkan akan menghasilkan manfaat bersih sebesar Rp 3,719. Begitu juga dengan pembenihan kerapu bebek sebesar 4,867, kerapu sunu sebesar 2,431 dan untuk pembenihan gabungan sebesar 4,971. Nilai Net B/C yang diperoleh menunjukkan bahwa usaha-usaha tersebut layak untuk dilaksanakan karena bernilai lebih dari satu. Payback Period yang diperoleh dari usaha pembenihan kerapu macan 3 tahun, kerapu bebek 2 tahun 2,9 bulan, kerapu sunu 3 tahun 3,36 bulan dan untuk pembenihan gabungan 2 tahun 0,1 bulan. Nilai PBP tersebut lebih singkat dibandingkan umur proyek, maka usaha-usaha tersebut layak untuk dilaksanakan. Berdasarkan ke-empat skenario di atas dapat disimpulkan bahwa ke-empat usaha tersebut semuanya layak untuk dilaksanakan. Berdasarkan nilai NPV, IRR, Net B/C dan PBP, usaha yang paling layak dilaksanakan adalah usaha pembenihan kerapu secara gabungan karena dengan dilakukan pembenihan gabungan maka kelemahan antara kerapu yang satu dengan yang lain dapat tertutupi dilihat dari tingkat SR dan harga, kemudian diikuti oleh pembenihan kerapu bebek karena memiliki harga yang cukup tinggi walaupun SR masih rendah, selanjutnya adalah pembenihan kerapu macan karena walaupun harganya paling rendah tetapi SR yang dimiliki paling tinggi dan yang terakhir adalah usaha pembenihan kerapu sunu karena walau harganya paling tinggi tetapi SR sangat rendah sekali. Perbandingan nilai-nilai kriteria investasi antara pembenihan kerapu macan, kerapu bebek, kerapu sunu serta penggabungan ketiganya dapat
95
dilihat pada Tabel 15 dan rincian cashflow dapat dilihat pada Lampiran 12, 13, 14 dan 15.
7.3 Analisis Sensitivitas Analisis sensitivitas digunakan untuk melihat pengaruh perubahan elemen proyek yang terjadi terhadap manfaat pada proyek. Analisis ini bertujuan untuk melihat apa yang terjadi dengan hasil analisis proyek apabila ada suatu kesalahan atau perubahan dalam dasar-dasar perhitungan biaya atau benefit. Dalam penelitian ini analisis sensitivitas dilakukan terhadap perubahan-perubahan harga benih, tingkat keberhasilan pembenihan (Survival Rate), dan kenaikan harga telur. Penurunan harga jual benih dipengaruhi oleh jumlah benih yang tersedia, semakin banyak jumlah benih yang tersedia maka harga benih semakin rendah. Untuk kerapu macan terjadi penurunan harga jual benih sebesar 40 persen, kerapu bebek terjadi penurunan harga jual benih sebesar 30 persen, dan untuk kerapu sunu terjadi penurunan harga jual benih sebesar 15 persen. Perubahan harga benih tersebut berdasarkan harga terendah yang pernah terjadi dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Penurunan tingkat keberhasilan pembenihan (Survival Rate) untuk kerapu macan menjadi 5 persen, kerapu bebek menjadi 3 persen, dan untuk kerapu sunu menjadi 1 persen. Penurunan tingkat keberhasilan pembenihan berdasarkan ratarata penurunan hasil produksi benih pada hatchery skala rumah tangga di daerah Gerokgak. Kenaikan harga telur dipengaruhi oleh persediaan jumlah telur yang ada. Telur hanya tersedia pada hatchery lengkap karena pada hatchery lengkap tersedia induk kerapu yang dapat menghasilkan telur. Jumlah hatchery lengkap di daerah
96
Bali Utara sangat sedikit sehingga terkadang telur harus didatangkan dari luar daerah Bali dan harganya pun relatif mahal. Berdasarkan keadaan di lapangan, didapatkan bahwa telur dari kerapu macan pernah mencapai harga Rp 4,- per butir. Untuk kerapu bebek persediaan telur tidak semudah kerapu macan, sehingga harga telur dari indukan kerapu bebek berfluktuasi. Harga telur kerapu bebek termahal pernah mencapai Rp 7,-. Begitu juga untuk kerapu sunu. Persediaan telur yang tidak kontinyu menyebabkan kenaikan harga telur. Kenaikan harga tertinggi yang pernah terjadi di daerah Gerokgak adalah Rp 2,- untuk kerapu sunu. 7.3.1 Sensitivitas Pembenihan Kerapu Macan a. Penurunan Harga Benih Sebesar 40 persen Penurunan harga benih berdampak pada penurunan pendapatan dari pengusaha HSRT. Pendapatan penjualan yang diperoleh pada tahun pertama dan kedua berturut turun menjadi Rp 108.000.000,- dan Rp 144.000.000,- dari Rp 180.000.000,- dan Rp 240.000.000,-. Harga jual benih ikan kerapu turun dari Rp 1.000,- menjadi Rp 600,- juga berdampak pada penurunan pendapatan tenaga kerja dan penyewa lahan. Rincian perhitungan cash flow dapat dilihat pada Lampiran 16.
Tabel 16 Hasil Perhitungan Analisis Sensitivitas terhadap Penurunan Harga Benih Kerapu Macan Sebesar 40 persen Kriteria NPV IRR Net B/C PBP
Kondisi awal Rp 330.405.688,72 persen 3,719 3 Tahun
Besar Perubahan Rp -340.581.714,-60 persen -2,78 4 Tahun 8,4 Bulan
Kondisi setelah perubahan Rp-10.176.026,12 persen 0,939 7 Tahun 8,4 Bulan
Berdasarkan Tabel 16 dapat dilihat bahwa apabila terjadi penurunan harga benih sebesar 40 persen, maka nilai NPV turun sebesar Rp 340.581.714,- menjadi
97
Rp -10.176.026,-. Berarti usaha ini dapat dikatakan kurang layak dilakukan karena keuntungan yang didapat selama umur proyek bernilai negatif. Nilai IRR turun sebesar 60 persen menjadi 12 persen. Nilai IRR tersebut menunjukkan bahwa pada saat tingkat diskonto 12 persen, maka nilai NPV sama dengan nol. Nilai Net B/C yang diperoleh juga turun sebesar 2,78 menjadi 0,939. Nilai tersebut menunjukkan bahwa setiap Rp 1,- biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan manfaat bersih sebesar Rp 0,939. Payback Period yang diperoleh meningkat 4 tahun 8,4 bulan sehingga menjadi 7 tahun 8,4 bulan. Nilai-nilai tersebut belum memenuhi syarat kelayakan, sehingga jika terjadi penurunan harga benih kerapu macan sebesar 40 persen, maka usaha pembenihan kerapu macan masih tidak layak untuk dilaksanakan. b. Penurunan Tingkat Keberhasilan Pembenihan (Survival Rate) menjadi 5 Persen Penurunan Survival Rate (SR) dari 10 persen menjadi 5 persen berdampak pada penurunan pendapatan dari pengusaha HSRT.
Pada satu siklus HSRT
mampu panen sebanyak 180.000 ekor kemudian turun menjadi 90.000 ekor. Hal ini juga berdampak pada penurunan pendapatan yang diperoleh tenaga kerja dan penyewa lahan. Rincian perhitungan cash flow dapat dilihat pada Lampiran 17.
Tabel 17 Hasil Perhitungan Analisis Sensitivitas terhadap Penurunan ……Tingkat Keberhasilan Pembenihan Kerapu Macan Sebesar 5 ........persen Kriteria NPV IRR Net B/C PBP
Kondisi awal Rp 330.405.688,72 persen 3,719 3 Tahun
Besar Perubahan Rp -425.727.143,-72,389 persen -3,258 10 Tahun 4,8 Bulan
Kondisi setelah Perubahan Rp-95.321.455 -0.389 persen 0,461 13 Tahun 4,8 Bulan
98
Berdasarkan Tabel 17 dapat dilihat bahwa apabila SR kerapu macan turun menjadi 5 persen maka nilai NPV yang diperoleh mengalami penurunan sebesar Rp 425.727.143,- menjadi Rp -95.321.455,- yang berarti usaha ini memperoleh kerugian sebesar Rp -95.321.455,-. Nilai IRR yang diperoleh sebesar -0,389 persen, yaitu turun sebesar 72,389 persen dari 72 persen. Nilai tersebut menunjukkan bahwa pada tingkat diskonto -0,389 persen, maka nilai NPV sama dengan nol. Nilai Net B/C yang diperoleh turun sebesar 3,258 menjadi 0,461. Nilai tersebut menunjukkan bahwa setiap satu satuan rupiah yang dikeluarkan akan menghasilkan manfaat bersih sebesar Rp 0,461. Berdasarkan nilai-nilai tersebut maka dapat dinyatakan usaha ini tidak layak dilakukan jika SR yang diperoleh turun sebesar 5 persen dan dapat disimpulkan bahwa usaha pembenihan ini memiliki resiko tinggi. c. Kenaikan Harga Telur 100 Persen Kenaikan harga telur kerapu macan sebanyak 100 persen mengakibatkan penurunan pendapatan pengusaha HSRT. Harga telur kerapu sunu dari Rp 2,menjadi Rp 4,- meningkatkan biaya produksi berupa telur. Pada tahun pertama biaya
produksi
berupa
telur
meningkat
dari
Rp
3.600.000,-
menjadi
Rp 7.200.000,- Kemudian pada tahun ke-2 hingga tahun ke-10 biaya produksi berupa telur meningkat dari Rp 4.800.000,- menjadi Rp 9.600.000,- kenaikan biaya produksi juga berpengaruh pada penurunan pendapatan tenaga kerja dan penyewa lahan. Rincian perhitungan cash flow dapat dilihat pada Lampiran 18.
99
Tabel 18 Hasil Perhitungan Sensitivitas terhadap Peningkatan Harga Telur Kerapu Macan Sebesar 100 persen Kriteria NPV IRR Net B/C PBP
Kondisi Awal Rp 330.405.688,72 persen 3,719 3 Tahun
Besar Perubahan Rp-17.029.086,-4 persen -0.186 1,2 Bulan
Kondisi setelah Perubahan Rp 313.376.602,68 persen 3,533 3 Tahun 1,2 Bulan
Berdasarkan Tabel 18 dapat dilihat bahwa apabila terjadi kenaikan harga telur sebesar 100 persen, maka nilai NPV turun sebesar Rp 17.029.086,- menjadi Rp 313.376.602,-. Berarti usaha ini masih layak dilakukan tetapi keuntungan yang diperoleh berkurang sebesar Rp 17.029.086,-. Nilai IRR turun sebesar 4 persen menjadi 68 persen. Nilai IRR tersebut menunjukkan bahwa pada saat tingkat diskonto 68 persen, maka nilai NPV sama dengan nol. Nilai Net B/C yang diperoleh juga turun sebesar 0,186 menjadi 3,533. Nilai tersebut menunjukkan bahwa setiap Rp 1,- biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan manfaat bersih sebesar Rp 3,533. Selain itu, PBP yng diperoleh meningkat 1,2 bulan menjadi 3 tahun 1,2 bulan. Nilai-nilai tersebut masih memenuhi syarat kelayakan, sehingga jika terjadi kenaikan harga telur sebesar 100 persen, maka usaha pembenihan kerapu macan masih tetap layak untuk dilaksanakan. Berdasarkan hasil perhitungan di atas dapat disimpulkan bahwa usaha pembenihan ikan kerapu macan sangat sensitif terhadap penurunan harga benih ikan kerapu macan sebesar 40 persen dan penurunan tingkat keberhasilan atau survival rate (SR) dari 10 persen menjadi 5 persen. Hal tersebut dapat terlihat dari hasil perhitungan kriteria kelayakan usaha yang tidak memenuhi syarat kelayakan. Perbandingan nilai kriteria kelayakan usaha pembenihan ikan kerapu macan jika terjadi perubahan harga benih, SR, dan harga telur dapat dilihat pada Tabel 19.
100
Tabel 19 Perbandingan Hasil Perhitungan Sensitivitas Pembenihan Kerapu Macan Kriteria NPV IRR Net B/C PBP
Kondisi Awal Rp 330.405.688,72 persen 3,719 3 Tahun
Kondisi setelah Perubahan Harga Benih SR Harga Telur (turun 40 persen) (turun 5 persen) (naik 100 persen) Rp-10.176.026,Rp-95.321.455 Rp 313.376.602,12 persen -0.389 persen 68 persen 0,939 0,461 3,533 7 Tahun 8,4 Bulan 13 Tahun 4,8 Bulan 3 Tahun 1,2 Bulan
7.3.2 Sensitivitas Pembenihan Kerapu Bebek a. Penurunan Harga benih Sebesar 30 persen Penurunan harga benih berdampak pada penurunan pendapatan dari pengusaha HSRT. Pendapatan penjualan yang diperoleh pada tahun pertama dan kedua berturut turun menjadi Rp 108.000.000,- dan Rp 162.000.000,- dari Rp 162.000.000,- dan Rp 243.000.000,-. Harga jual benih ikan kerapu turun dari Rp 2.700,- menjadi Rp 1.800,- juga berdampak pada penurunan pendapatan tenaga kerja dan penyewa lahan. Rincian perhitungan cash flow dapat dilihat pada Lampiran 19.
Tabel 20 Hasil Perhitungan Analisis Sensitivitas terhadap Penurunan Harga Benih Kerapu Bebek Sebesar 30 persen Kriteria NPV IRR Net B/C PBP
Kondisi awal Rp 448.428.815,96 persen 4,867 2 Tahun 2,9 Bulan
Besar Perubahan Rp -283.208.320,-57 persen -2,76 1 Tahun 5,7 Bulan
Kondisi setelah perubahan Rp 165.220.495,39 persen 2,107 3 Tahun 8,6 Bulan
Berdasarkan Tabel 20 dapat dilihat bahwa apabila terjadi penurunan harga benih sebesar 30 persen, maka nilai NPV turun sebesar Rp 283.208.320,- menjadi Rp 165.220.495,-. Berarti usaha ini masih layak dilakukan tetapi keuntungan yang diperoleh berkurang sebesar Rp 283.208.320,-. Nilai IRR turun sebesar 57 persen
101
menjadi 39 persen. Nilai IRR tersebut menunjukkan bahwa pada saat tingkat diskonto 39 persen, maka nilai NPV sama dengan nol. Nilai Net B/C yang diperoleh juga turun sebesar 2,76 menjadi 2,107. Nilai tersebut menunjukkan bahwa setiap Rp 1,- biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan manfaat bersih sebesar Rp 2,107. Selain itu, PBP yng diperoleh meningkat 1 tahun 5,7 bulan menjadi 3 tahun 8,6 bulan. Nilai-nilai tersebut masih memenuhi syarat kelayakan, sehingga jika terjadi penurunan harga benih kerapu bebek sebesar 30 persen, maka usaha pembenihan kerapu bebek masih tetap layak untuk dilaksanakan. b. Penurunan Tingkat Keberhasilan Pembenihan (Survival Rate) Menjadi 3 persen Penurunan survival rate (SR) dari 5 persen menjadi 3 persen berdampak pada penurunan pendapatan dari pengusaha HSRT. Pada tahun pertama HSRT mampu
panen sebanyak 60.000 ekor kemudian turun menjadi 36.000 ekor.
Kemudian pada tahun ke-2 hingga tahun ke-10 hasil panen turun dari 90.000 ekor kemudian turun menjadi 54.000 ekor Hal ini juga berdampak pada penurunan pendapatan yang diperoleh tenaga kerja dan penyewa lahan. Rincian perhitungan cash flow dapat dilihat pada Lampiran 20.
Tabel 21 Hasil Perhitungan Analisis Sensitivitas terhadap Penurunan .......Tingkat Keberhasilan Pembenihan Kerapu Bebek Menjadi .......Sebesar 3 persen Kriteria NPV IRR Net B/C PBP
Kondisi Awal Rp 448.428.815,96 persen 4,867 2 Tahun 2,9 Bulan
Besar Perubahan Rp -339.849.984,-66 persen -3,17 2 Tahun 0,7 Bulan
Kondisi setelah Perubahan Rp 108.578.831,30 persen 1,697 4 Tahun 3,6 Bulan
Berdasarkan Tabel 21, dapat dilihat bahwa apabila SR kerapu bebek turun menjadi 3 persen maka nilai NPV yang diperoleh mengalami penurunan sebesar
102
Rp 339.849.984,- menjadi Rp 108.578.831,-. Nilai tersebut berarti usaha ini memperoleh keuntungan sebesar Rp 108.578.831,-. Nilai IRR yang diperoleh sebesar 30 persen, yaitu turun sebesar 66 persen dari 96 persen. Nilai tersebut menunjukkan bahwa pada tingkat diskonto 30 persen, maka nilai NPV sama dengan nol. Nilai Net B/C yang diperoleh turun sebesar 3,17 menjadi 1,697. Nilai tersebut menunjukkan bahwa setiap satu satuan rupiah yang dikeluarkan akan menghasilkan manfaat bersih sebesar Rp 1,697. Kemudian, PBP meningkat dari 2 tahun 0,7 bulan menjadi 4 tahun 3,6 bulan. Berdasarkan nilai-nilai tersebut maka dapat dinyatakan usaha ini tetap layak dilakukan jika SR yang diperoleh turun menjadi sebesar 3 persen. c. Kenaikan Harga Telur 75 persen Kenaikan harga telur kerapu bebek sebanyak 75 persen mengakibatkan penurunan pendapatan pengusaha HSRT. Harga telur kerapu bebek dari Rp 4,menjadi Rp 7,- meningkatkan biaya produksi berupa telur. Pada tahun pertama biaya produksi telur meningkat dari Rp 4.800.000,- menjadi Rp 8.400.000,-. Kemudian pada tahun ke-2 hingga tahun ke-10 biaya produksi berupa telur meningkat dari Rp 7.200.000,- menjadi Rp 12.600.000,-. Kenaikan biaya produksi juga berpengaruh pada penurunan pendapatan tenaga kerja dan penyewa lahan. Rincian perhitungan cash flow dapat dilihat pada Lampiran 21.
Tabel 22 Hasil Perhitungan Sensitivitas terhadap Peningkatan Harga Telur Kerapu Bebek Sebesar 75 persen Kriteria NPV IRR Net B/C PBP
Kondisi Awal Rp 448.428.815,96 persen 4,867 2 Tahun 2,9 Bulan
Besar Perubahan Rp -18.880.554,-5 persen -0,232 0,9 Bulan
Kondisi setelah Perubahan Rp 429.548.261,91 persen 4,635 2 Tahun 3,8 Bulan
103
Berdasarkan Tabel 22 dapat dilihat bahwa apabila terjadi kenaikan harga telur sebesar 75 persen, maka nilai NPV turun sebesar Rp 18.880.554,-menjadi Rp 429.548.261,-. Berarti usaha ini masih layak dilakukan tetapi keuntungan yang diperoleh berkurang sebesar Rp 18.880.554,-. Nilai IRR turun sebesar 5 persen menjadi 91 persen. Nilai IRR tersebut menunjukkan bahwa pada saat tingkat diskonto 91 persen, maka nilai NPV sama dengan nol. Nilai Net B/C yang diperoleh juga turun sebesar 0,232 menjadi 4,635. Nilai tersebut menunjukkan bahwa setiap Rp 1,- biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan manfaat bersih sebesar Rp 4,635. Selain itu, PBP yng diperoleh meningkat 0,9 bulan menjadi 2 tahun 3,8 bulan. Nilai-nilai tersebut masih memenuhi syarat kelayakan, sehingga jika terjadi kenaikan harga telur sebesar 75 persen, maka usaha pembenihan kerapu bebek masih tetap layak untuk dilaksanakan. Berdasarkan hasil perhitungan di atas dapat disimpulkan bahwa usaha pembenihan ikan kerapu bebek jika terjadi penurunan harga benih sebesar 30 persen, penurunan SR dari 5 persen menjadi 3 persen, dan penurunan harga telur sebesar 75 persen masih tetap layak dilaksanakan. Perbandingan nilai kriteria kelayakan usaha pembenihan ikan kerapu bebek jika terjadi perubahan harga benih, SR, dan harga telur dapat dilihat pada Tabel 23.
Tabel 23 Perbandingan Hasil Perhitungan Sensitivitas Pembenihan Kerapu Bebek Kriteria NPV IRR Net B/C PBP
Kondisi Awal Rp 448.428.815,96 persen 4,867 2 Tahun 2,9 Bulan
Kondisi Setelah Perubahan Harga Benih SR Harga Telur (turun 30 persen) (turun 2 persen) (naik 75 persen) Rp 165.220.495,Rp 108.578.831,Rp 429.548.261,39 persen 30 persen 91 persen 2,107 1,697 4,635 3 Tahun 8,6 Bulan 4 Tahun 3,6 Bulan 2 Tahun 3,8 Bulan
104
7.3.3 Sensitivitas Pembenihan Kerapu Sunu a. Penurunan Harga benih Sebesar 15 persen Penurunan harga benih berdampak pada penurunan pendapatan dari pengusaha HSRT. Pendapatan penjualan yang diperoleh pada tahun pertama dan kedua berturut turun menjadi Rp 90.000.000,- dan Rp 135.000.000,- dari Rp 108.000.000,- dan Rp 162.000.000,-. Harga jual benih ikan kerapu turun dari Rp 4.500,- menjadi Rp 3.750,- juga berdampak pada penurunan pendapatan tenaga kerja dan penyewa lahan. Rincian perhitungan cash flow dapat dilihat pada Lampiran 22.
Tabel 24 Hasil Perhitungan Analisis Sensitivitas terhadap Penurunan Harga Benih Kerapu Sunu Sebesar 15 persen Kriteria NPV IRR Net B/C
Kondisi awal Rp 206.600.377,46 persen 2,431
Besar Perubahan Rp -94.402.773,-16 persen -0,709
Kondisi setelah Perubahan Rp 112.197.604,30 persen 1,722
PBP
3 Tahun 3,36 Bulan
1 Tahun 2,6 Bulan
4 Tahun 6 Bulan
Berdasarkan Tabel 24 dapat dilihat bahwa apabila terjadi penurunan harga benih sebesar 15 persen, maka nilai NPV turun sebesar Rp 94.402.773,- menjadi Rp 112.197.604,-. Berarti usaha ini masih layak dilakukan tetapi keuntungan yang diperoleh berkurang sebesar Rp 94.402.773,-. Nilai IRR turun sebesar 16 persen menjadi 30 persen. Nilai IRR tersebut menunjukkan bahwa pada saat tingkat diskonto 30 persen, maka nilai NPV sama dengan nol. Nilai Net B/C yang diperoleh juga turun sebesar 0,709 menjadi 1,722. Nilai tersebut menunjukkan bahwa setiap Rp 1,- biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan manfaat bersih sebesar Rp 1,722. Selain itu, PBP yng diperoleh meningkat 1 tahun 2,6 bulan menjadi 4 tahun 6 bulan. Nilai-nilai tersebut masih memenuhi syarat kelayakan,
105
sehingga jika terjadi penurunan harga benih kerapu sunu sebesar 15 persen, maka usaha pembenihan kerapu sunu masih tetap layak untuk dilaksanakan. b. Penurunan Tingkat Keberhasilan Pembenihan (Survival Rate) menjadi 1 persen Penurunan survival rate (SR) dari 2 persen menjadi 1 persen berdampak pada penurunan pendapatan dari pengusaha HSRT. Pada tahun pertama HSRT mampu
panen sebanyak 24.000 ekor kemudian turun menjadi 12.000 ekor.
Kemudian pada tahun ke-2 hingga tahun ke-10 hasil panen turun dari 36.000 ekor kemudian turun menjadi 18.000 ekor Hal ini juga berdampak pada penurunan pendapatan yang diperoleh tenaga kerja dan penyewa lahan. Rincian perhitungan cash flow dapat dilihat pada Lampiran 23.
Tabel 25 Hasil Perhitungan Analisis Sensitivitas terhadap Penurunan ……Tingkat Keberhasilan Pembenihan Kerapu Sunu Menjadi …….Sebesar 1 persen Kriteria NPV IRR Net B/C PBP
Kondisi Awal Rp 206.600.377,46 persen 2,431 3 Tahun 3,36 Bulan
Besar Perubahan Rp-283.208.321,-43 persen -1,862 6 Tahun 6,24 Bulan
Kondisi setelah Perubahan Rp-76.607.944,3 persen 0,569 9 Tahun 9,6 Bulan
Berdasarkan Tabel 25, dapat dilihat bahwa apabila SR kerapu sunu turun menjadi 1 persen maka nilai NPV yang diperoleh mengalami penurunan sebesar Rp 283.208.321,- menjadi Rp-76.607.944,-. Nilai tersebut berarti usaha ini memperoleh keuntungan sebesar Rp-76.607.944,-. Nilai IRR yang diperoleh sebesar 3 persen, yaitu turun sebesar 43 persen dari 46 persen. Nilai tersebut menunjukkan bahwa pada tingkat diskonto 3 persen, maka nilai NPV sama dengan nol. Nilai Net B/C yang diperoleh turun sebesar 1,862 menjadi 0,529. Nilai tersebut menunjukkan bahwa setiap satu satuan rupiah yang dikeluarkan
106
akan menghasilkan manfaat bersih sebesar Rp 0,529. Kemudian, PBP meningkat dari 3 tahun 3,36 bulan menjadi 9 tahun 9,6 bulan. Berdasarkan nilai-nilai tersebut maka dapat dinyatakan usaha ini tidak layak dilakukan jika SR yang diperoleh turun menjadi 1 persen dan dapat dikatakan cukup beresiko karena perubahan yang terjadi sangat signifikan.
c. Kenaikan Harga Telur 100 persen Kenaikan harga telur kerapu sunu sebanyak 100 persen mengakibatkan penurunan pendapatan pengusaha HSRT. Harga telur kerapu sunu dari Rp 2,menjadi Rp 1,- meningkatkan biaya produksi berupa telur. Pada tahun pertama biaya produksi meningkat dari Rp 1.200.000,- menjadi Rp 2.400.000,-. Kemudian pada tahun ke-2 hingga tahun ke-10 biaya produksi berupa telur meningkat dari Rp 1.800.000,- menjadi Rp 3.600.000,-. Kenaikan biaya produksi juga berpengaruh pada penurunan pendapatan tenaga kerja dan penyewa lahan. Rincian perhitungan analisis sensitivitas kenaikan harga telur kerapu bebek dapat dilihat pada Lampiran 24.
Tabel 26 Hasil Perhitungan Sensitivitas terhadap Peningkatan Harga Telur Kerapu Sunu Sebesar 100 persen Kriteria NPV IRR Net B/C PBP
Kondisi Awal Rp 206.600.377,46 persen 2,431 3 Tahun 3,36 Bulan
Besar Perubahan Rp-6.293.518,-1 persen -0,05 0,6 Bulan
Kondisi setelah Perubahan Rp200.306.859,45 persen 2,381 3 Tahun 4 Bulan
Berdasarkan Tabel 26 dapat dilihat bahwa apabila terjadi kenaikan harga telur sebesar 100 persen, maka nilai NPV turun sebesar Rp 6.293.518,- menjadi Rp 200.306.859,-. Berarti usaha ini masih layak dilakukan tetapi keuntungan yang
107
diperoleh berkurang sebesar Rp 6.293.518,-. Nilai IRR turun sebesar 1 persen menjadi 45 persen. Nilai IRR tersebut menunjukkan bahwa pada saat tingkat diskonto 45 persen, maka nilai NPV sama dengan nol. Nilai Net B/C yang diperoleh juga turun sebesar 0,05 menjadi 2,381. Nilai tersebut menunjukkan bahwa setiap Rp 1,- biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan manfaat bersih sebesar Rp 2,381. Selain itu, PBP yng diperoleh meningkat 0,6 bulan menjadi 3 tahun 4 bulan. Nilai-nilai tersebut masih memenuhi syarat kelayakan, sehingga jika terjadi kenaikan harga benih sebesar 100 persen, maka usaha pembenihan kerapu sunu masih tetap layak untuk dilaksanakan. Berdasarkan hasil perhitungan diatas dapat disimpulkan bahwa usaha pembenihan ikan kerapu sunu jika terjadi penurunan harga benih sebesar 15 persen dan penurunan harga telur sebesar 100 persen masih tetap layak dilaksanakan. Jika terjadi penurunan tingkat keberhasilan (SR) dari 2 persen menjadi 1 persen usaha tersebut tidak layak dilaksanakan. Perbandingan nilai kriteria kelayakan usaha pembenihan ikan kerapu sunu jika terjadi perubahan harga benih, SR, dan harga telur dapat dilihat pada Tabel 27.
Tabel 27 Perbandingan Hasil Perhitungan Sensitivitas Pembenihan Kerapu Sunu Kriteria NPV IRR Net B/C PBP
Kondisi Awal Rp 206.600.377,46 persen 2,431 3 Tahun 3,36 Bulan
Kondisi Setelah Perubahan Harga Benih SR Harga Telur (turun 15 persen) (turun 1 persen) (naik 100 persen) Rp 112.197.604,Rp-76.607.944,Rp200.306.859,30 persen 3 persen 45 persen 1,722 0,569 2,381 4 Tahun 6 Bulan 9 Tahun 9,6 Bulan 3 Tahun 4 Bulan
108
7.3.2 Sensitivitas Pembenihan Kerapu Macan, Kerapu Bebek, dan Kerapu Sunu a. Penurunan Harga benih Kerapu Penurunan harga benih ikan kerapu macan, kerapu bebek, dan kerapu sunu masing-masing sebesar 40 persen, 30 persen, dan 15 persen. Penurunan harga benih ikan kerapu tersebut mengakibatkan penurunan pendapatan HSRT. Pada tahun pertama pendapatan dari hasil penjualan benih yang diperoleh dari Rp 150.000.000,- turun menjadi Rp 102.000.000,- Kemudian pada tahun ke-2 hingga tahun ke-10 pendapatan dari hasil penjualan turun dari Rp 255.000.000,- menjadi 147.000.000,-. Penurunan harga benih ini juga berdampak pada penurunan pendapatan pegawai tetap dan penyewa lahan. Rincian perhitungan cash flow dapat dilihat pada Lampiran 25.
Tabel 28 Hasil Analisis Sensitivitas Penurunan Harga Benih Ikan Kerapu Macan, Kerapu Bebek, dan Kerapu Sunu Kriteria NPV IRR Net B/C PBP
Kondisi awal Rp 505.215.763,98 persen 4,971 2 Tahun 0,1 Bulan
Besar Perubahan Rp-416.537.148,-71 persen -3,406 2 Tahun 9,5 Bulan
Kondisi setelah perubahan Rp 88.678.615,27 persen 1,565 4 Tahun 9,6 Bulan
Berdasarkan Tabel 28 dapat dilihat bahwa apabila terjadi penurunan harga benih pada kerapu macan, kerapu bebek, dan kerapu sunu, maka nilai NPV turun sebesar Rp 416.537.148,- menjadi Rp 88.678.615,-. Berarti usaha ini masih layak dilakukan tetapi keuntungan yang diperoleh berkurang sebesar Rp 416.537.148,-. Nilai IRR turun sebesar 71 persen menjadi 27 persen. Nilai IRR tersebut menunjukkan bahwa pada saat tingkat diskonto 27 persen, maka nilai NPV sama dengan nol. Nilai Net B/C yang diperoleh juga turun sebesar 3,406 menjadi 1,565. Nilai tersebut menunjukkan bahwa setiap Rp 1,- biaya yang dikeluarkan akan
109
menghasilkan manfaat bersih sebesar Rp 1,565. Selain itu, PBP yng diperoleh meningkat 2 tahun 9,5 bulan menjadi 4 tahun 9,6 bulan. Nilai-nilai tersebut masih memenuhi syarat kelayakan, sehingga jika terjadi penurunan harga benih, maka usaha penggabungan pembenihan ikan kerapu masih tetap layak untuk dilaksanakan. b. Penurunan Tingkat Keberhasilan Pembenihan (Survival Rate) Penurunan SR dalam usaha pembenihan gabungan antara kerapu macan, kerapu bebek, dan kerapu sunu masing-masing menjadi 5 persen, 3 persen, dan 1 persen. Penurunan SR tersebut mengakibatkan penurunan hasil panen benih kerapu macan, kerapu bebek, dan kerapu sunu pada tahun pertama masing-masing sebesar 60.000 ekor, 20.000 ekor, dan 8000 ekor turun menjadi 30.000 ekor, 12.000 ekor, dan 4.000 ekor. Kemudian pada tahun ke-2 hingga tahun ke-10 masing-masing sebesar 80.000 ekor, 30.000 ekor, dan 12.000 ekor turun menjadi 40.000 ekor, 18.000 ekor, dan 6.000 ekor. Penurunan SR ini mengakibatkan penurunan penghasilan yang diperoleh pekerja tetap dan penyewa lahan. Rincian penghitungan cash flow dapat dilihat pada Lampiran 26.
Tabel 29 Hasil Analisis Sensitivitas Penurunan SR Pada Usaha Pembenihan Gabungan Ikan Kerapu Macan, Kerapu Bebek, dan Kerapu Sunu Kriteria NPV IRR Net B/C PBP
Kondisi Awal Rp 505.215.763,98 persen 4,971 2 Tahun 0,1 Bulan
Besar Perubahan Rp-409.533.195,-104 persen -4,539 15 Tahun 4,7 Bulan
Kondisi setelah Perubahan Rp-95.682.568,-6 persen 0,438 17 Tahun 4,8 Bulan
Berdasarkan Tabel 29 dapat dilihat bahwa apabila SR usaha pembenihan gabungan ikan kerapu macan, kerapu bebek, dan kerapu sunu turun masingmasing menjadi 5 persen,3 persen, dan 1 persen, maka nilai NPV yang diperoleh
110
mengalami penurunan sebesar Rp 409.533.195,- menjadi Rp -95.682.568,-. Nilai NPV tersebut berarti usaha ini memperoleh kerugian sebesar Rp 409.533.195,-. Nilai IRR yang diperoleh sebesar -6 persen, yaitu turun sebesar 104 persen dari 98 persen. Nilai tersebut menunjukkan bahwa pada tingkat diskonto -6 persen, maka nilai NPV sama dengan nol. Nilai Net B/C yang diperoleh turun sebesar 4,539 menjadi 0,438. Nilai tersebut menunjukkan bahwa setiap satu satuan rupiah yang dikeluarkan akan menghasilkan manfaat bersih sebesar Rp 0,438. Kemudian, PBP meningkat dari 15 tahun 4,7 bulan menjadi 17 tahun 4,8 bulan. Berdasarkan nilainilai tersebut maka dapat dinyatakan usaha ini tidak layak dilakukan jika terjadi penurunan SR sebesar yang telah ditentukan. c. Kenaikan Harga Telur Kenaikan harga telur pada usaha penggabungan pembenihan ikan kerapu macan, kerapu bebek, dan kerapu sunu berdampak pada peningkatan biaya produksi berupa biaya telur. Kenaikan harga telur pada kerapu macan, kerapu bebek dan kerapu sunu berturut-turut sebesar 100 persen, 75 persen, dan 100 persen. Biaya pembelian bahan baku berupa telur pada tahun pertama sebesar Rp 3.200.000,- meningkat menjadi Rp 6.000.000,-. Kemudian pada tahun ke-2 hingga tahun ke-10 sebesar Rp. 4.600.000,- meningkat menjadi Rp 8.600.000,-. Kenaikan harga telur ini pun berdampak pada penurunan penghasilan yang diperoleh pekerja tetap serta penerimaan yang diperoleh oleh pemilik yang menyewakan tanahnya. Rincian perhitungan cash flow dapat dilihat pada Lampiran 31.
111
Tabel 30 Hasil Analisis Sensitivitas Kenaikan Harga Telur pada Usaha …..Pembenihan Gabungan Ikan Kerapu Macan, Kerapu Bebek, dan …..Kerapu Sunu Kriteria NPV IRR Net B/C PBP
Kondisi Awal Rp 505.215.763,98 persen 4,971 2 Tahun 0,1 Bulan
Besar Perubahan Rp-14.876.886,-3 persen -0,171 0,9 Bulan
Kondisi setelah Perubahan Rp 490.338.877,95 persen 4,8 2 Tahun 0,8 Bulan
Berdasarkan Tabel 30 dapat dilihat bahwa apabila terjadi kenaikan harga telur pada ikan kerapu macan, kerapu bebek, dan kerapu sunu masing-masing sebesar 100 persen, 75 persen, dan 100 persen, maka nilai NPV turun sebesar Rp 14.876.886,-menjadi Rp 490.338.877,-. Berarti usaha ini masih layak dilakukan tetapi keuntungan yang diperoleh berkurang sebesar Rp 14.876.886,-. Nilai IRR turun sebesar 3 persen menjadi 95 persen. Nilai IRR tersebut menunjukkan bahwa pada saat tingkat diskonto 95 persen, maka nilai NPV sama dengan nol. Nilai Net B/C yang diperoleh juga turun sebesar 0,171 menjadi 4,8. Nilai tersebut menunjukkan bahwa setiap Rp 1,- biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan manfaat bersih sebesar Rp 4,80. Selain itu, PBP yang diperoleh lebih lama 0,9 bulan yaitu menjadi 2 tahun 0,8 bulan. Nilai-nilai tersebut masih memenuhi syarat kelayakan, sehingga jika terjadi kenaikan harga benih, maka usaha pembenihan gabungan ini masih tetap layak untuk dilaksanakan. Dapat disimpulkan pula bahwa kenaikan harga telur tidak berpengaruh signifikan terhadap arus kas. Berdasarkan hasil perhitungan di atas dapat disimpulkan bahwa usaha pembenihan gabungan ikan kerapu macan, kerapu bebek, dan kerapu sunu jika terjadi penurunan harga benih berturut-turut sebesar 40 persen, 30 persen, dan 15 persen dan penurunan harga telur berturut-turut sebesar 100 persen, 75 persen, dan 100 persen masih tetap layak dilaksanakan. Jika terjadi penurunan tingkat
112
keberhasilan pembenihan (SR) berturut-turut dari 10 persen, 5 persen, dan 2 persen menjadi 5 persen, 3 persen, dan 1 persen usaha tersebut tidak layak dilaksanakan. Perbandingan nilai kriteria kelayakan usaha pembenihan ikan kerapu sunu jika terjadi perubahan harga benih, SR, dan harga telur dapat dilihat pada Tabel 31.
Tabel 31 Perbandingan Hasil Perhitungan Sensitivitas Pembenihan ……..Gabungan Kriteria NPV IRR Net B/C PBP
Kondisi Awal Rp 505.215.763,98 persen 4,971 2 Tahun 0,1 Bulan
Kondisi Setelah Perubahan Harga Benih SR Harga Telur Rp 88.678.615,Rp-95.682.568,Rp 490.338.877,27 persen -6 persen 95 persen 1,565 0,438 4,8 4 Tahun 9,6 Bulan 17 Tahun 4,8 Bulan 2 Tahun 0,8 Bulan
Berdasarkan hasil analisis sensitivitas, diperoleh bahwa usaha pembenihan ikan kerapu macan paling sensitif dan tidak layak dijalankan jika terjadi penurunan harga benih, dikuti dengan pembenihan gabungan, pembenihan kerapu bebek, dan pembenihan kerapu sunu tetapi usaha masih layak untuk dijalankan. Jika terjadi penurunan SR, usaha pembenihan kerapu sunu dan kerapu macan merupakan usaha yang paling sensitif dan tidak layak untuk dijalankan diikuti pembenihan kerapu gabungan dan kerapu bebek tetapi masih layak untuk dijalankan. Jika terjadi kenaikan harga telur, usaha pembenihan kerapu macan merupakan usaha yang paling sensitif diikuti pembenihan kerapu bebek, pembenihan kerapu sunu tetapi usaha masih tetap layak untuk dijalankan. Dari uraian di atas maka usaha pembenihan ikan kerapu macan dapat dikatakan usaha yang paling sensitif dikarenakan ada dua variabel yang paling sensitif yaitu penurunan harga benih dan penurunan SR, kemudian diikuti oleh pembenihan kerapu gabungan karena penurunan SR mengakibatkan keuntungan bernilai
113
negatif, setelah itu diikuti dengan usaha pembenihan kerapu sunu karena sama dengan pembenihan secara gabungan yaitu jika terjadi penurunan SR maka keuntungan yang diperoleh bernilai negatif tetapi nilainya lebih kecil jika dibandingkan dengan usaha pembenihan gabungan. Usaha pembenihan ikan kerapu bebek merupakan usaha yang tidak sensitif jika terjadi penurunan harga benih, penurunan SR, dan kenaikan harga telur.
114
VIII KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis kelayakan usaha pembenihan ikan kerapu diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Hatchery Skala Rumah Tangga (HSRT) kerapu
di daerah Gerokgak
sebagian besar hanya melakukan pemeliharaan larva yang telurnya dibeli dari hatchery lengkap. Telur yang sudah siap untuk dibiakkan ditebar dalam bak larva dengan kepadatan 10 butir per liter, jadi untuk ukuran bak larva 10 ton ditebar 100.000 butir telur. Pada hari ke-3 larva mulai diberikan pakan. Pergantian air dan penyiponan dasar bak perlu dilakukan. Benih yang siap dipanen dari bak larva sebelum dijual sebaiknya dipindahkan ke dalam bak grading. Biasanya pada tahap ini benih rentan terhadap serangan (Viral Nervous Necrosis) VNN. Hasil analisis aspek pasar menunjukkan bahwa usaha pembenihan ikan kerapu layak untuk dilaksanakan karena permintaan akan benih ikan kerapu macan, bebek, ataupun sunu masih sangat tinggi di pasaran mengingat kandungan gizi yang tinggi dari ikan kerapu dan sistem pemasaran usaha ini sudah cukup baik. Hasil analisis aspek teknis menunjukkan usaha pembenihan kerapu layak untuk dilaksanakan karena lokasi dan tehnik-tehnik pembenihan yang dipergunakan sangat sesuai untuk menunjang kebutuhan usaha pembenihan ditambah lagi dengan adanya Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol sebagai lembaga pemerintahan yang berperan dalam mengembangkan tehnik budidaya guna meningkatkan hasil
115
pembenihan. Hasil analisis aspek manajemen juga menunjukkan usaha ini layak untuk dilakukan. Struktur organisasi usaha yang sangat sederhana karena pemilik turut ikut terjun langsung ke lapangan dan hanya dibantu oleh satu sampai dua orang pekerja dengan sistem pembagian kerja yang jelas. Hasil analisis aspek sosial menunjukkan usaha pembenihan kerapu layak untuk dilaksanakan karena akan membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat di Kecamatan Gerokgak. 2. Hasil analisis kelayakan finansial menunjukkan usaha pembenihan ikan kerapu layak untuk dilaksanakan baik kerapu macan, kerapu bebek, kerapu sunu, maupun penggabungan pembenihan ketiganya. Usaha pembenihan gabungan antara ikan kerapu macan, kerapu bebek, dan kerapu sunu adalah usaha yang paling menguntungkan kemudian diikuti oleh pembenihan ikan kerapu bebek, kerapu macan, dan kerapu sunu. 3. Hasil analisis sensitivitas menunjukkan bahwa usaha pembenihan ikan kerapu, baik ikan kerapu macan, kerapu bebek, kerapu sunu serta penggabungan ketiganya paling sensitif terhadap perubahan tingkat keberhasilan pembenihan atau survival rate. Usaha pembenihan kerapu macan merupakan usaha yang paling sensitif jika terjadi perubahan variabel harga benih dan tingkat keberhasilan atau survival rate (SR) kemudian diikuti usaha pembenihan gabungan, pembenihan ikan kerapu sunu dan yang paling tidak sensitif atau beresiko rendah adalah usaha pembenihan ikan kerapu bebek..
116
6.2 Saran Berdasarkan hasil analisis usaha pembenihan ikan kerapu, maka beberapa saran yang diharapkan dapat menjadi masukan bagi berbagai pihak dalam menjalankan usaha ini, antara lain: 1. Bagi pemilik usaha pembenihan ikan kerapu dapat memilih pola usaha pembenihan gabungan karena keuntungan yang diperoleh paling besar. Hal tersebut dikarenakan tehnik budidaya kerapu yang satu dengan yang lain adalah sama dan keuntungan yang diperoleh juga lebih besar. Selain itu juga, usaha pembenihan kerapu secara gabungan ini dapat memenuhi permintaan pasar
dari ketiga jenis kerapu yang diusahakan didukung
dengan kecilnya resiko. 2. Pemerintah melalui Departemen Kelautan dan Perikanan sebaiknya mengadakan riset lebih lanjut untuk mendapatkan tehnik-tehnik baru pembenihan ikan kerapu agar tingkat keberhasilan atau survival rate (SR) meningkat yang nantinya akan meningkatkan hasil penen.
117
DAFTAR PUSTAKA . Akbar
S, Sudaryanto. 2002. Pembenihan Penebar Swadaya. Jakarta.
Pembesaran
Kerapu
Bebek.
Biro Pusat Statistik. 2006. Kecamatan Gerokgak Dalam Angka. Biro Pusat Statistik. Jakarta Chou and Lee .1998. Commercial marine fish farming in Singapore. Aquaculture Research 10: 767-777. Darwisito, Suria. 2002. Strategi Reproduksi Pada Ikan Kerapu. Makalah Pengantar Falsafah Sains. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Departemen Kelautan dan Perikanan. 2004. Kumpulan Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir dan Laut. Deputi Bidang Peningkatan Konservasi Sumberdaya Alam dan Pengendalian kerusakan Lingkungan Kementrian Negara Lingkungan Hidup. hal31 Departemen Kelautan dan Perikanan. 2005. Revitalisasi Perikanan Budidaya 2006-2009. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Effendie IM.2002. Biologi perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara.Jakarta. Evalawati, Meiyana M, Aditya TW 2001. Biologi Kerapu: Pembesaran Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) dan Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis) di Karamba Jaring Apung. Balai Budidaya Laut Lampung, Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. FAO. 2004. FISHSTAT Plus- Version2.3. UN Food Agricultural Organization, Fisheries Departement. http:/www.fao.org/fi/statist/fishpft/fishplus.asp.[6 Jan 2008] Fulk W, KL Main. 1991. The design and operation of commercial scale live feed production systems in rotifer and microalgae system . The Oceanic Institute Makapuu Point. Honolulu Hawai. P3-52. Ginting, Firdaus. 2006. Analisis Kelayakan Finansial Usaha Budidaya Udang Windu di PT. Kuala Laras Sentana, Kecamatan Medang Deras, Kabupaten Asahan, Provinsi Sumatra Utara. Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Gittinger,JP.1986. Analisis Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. Edisi kedua. Universitas Indonesia-press. Jakarta.
118
Gray, C. 1993. Pengantar Evaluasi Proyek. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Herlina, Dewi. 2006. Kajian Kelayakan Usaha Pendederan dan Penggelondongan Ikan Kerapu Macan di Balai Budidaya Laut (BBL) Pulau Semak Daun, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta. Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Heemstra, P.C. and J. E.Randoll. 1993. FAO species catalogue. Vol. 16: Grouper of the world (Family Serranidae, Sub Family Epinephelinae). FAO Fish. Synops. No.125, Vol. 16. pp. 382. Rome. Husnan, Suad, dan Suwarsono.1999. Studi Kelayakan Proyek. Edisi ketiga. UPP AMP YKPN. Yogyakarta. Iriani, Reny. 2006. Analisis Kelayakan Finansial Pembenihan dan Pendederan Ikan Nila Wanayasa pada Kelompok Pembudidaya Mekarsari, Desa Tanjung Sari, Kecamatan Pondok Salam, Kabupaten Purwakarta. Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Ismail W, Wardoyo SE.1998. Lokasi Potensial bagi Panti Benih Terapung ikan karang di Selatan P. Bintang dan Karimun Jawa. Puslitbang Perikanan. Jur. Pen. Perik. No.4:18-1999. Ismi S. 2005. Transportasi Benih Kerapu. Warta Penelitian Perikanan Indonesia. 11(6):13-16. Ismi, S. 2006. Pembenihan Beberapa Jenis Kerapu Pada Hatchery Skala Rumah Tangga Sebagai Alternatif Usaha. Jurnal Penelitian Perikanan. Fak. Perikanan Univ. Brawijaya Malang. Lau PPF, Jones RP. 1999. The Hong Kong Trade in Live Reef Fish for Food. TRAFFIC East Asia. WWF for Nature. Hong Kong. Lau PPF, LWH Li. 2000. Identifcation Guide to Fishes in The Live Seafood Trade of The Asia–Pacific Region. WWF Hong Kong and Agricultural, Fisheries and Conservation Departement. Hong Kong Kadariah. 1980. Evaluasi Proyek; Analisa Ekonomi. Lembaga Penerbit FE-UI. Jakarta. Kawahara S, S Ismi. 2003. Statistik Produksi Benih Ikan Kerapu Indonesia 1999 – 2002. Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol bekerjasama dengan Balai Budidaya Laut Lampung dan Balai Budidaya Air Payau Situbondo. Departement Kelautan dan Perikanan.16 p.
119
Marsambuan AP, Utojo. 2001. Identifikasi Spesies Ikan Kerapu Hasil Tangkapan Yang Didaratkan Diperairan Laut Sekitar Sulawesi Selatan. Teknologi budidaya laut dan pengembangan sea farming di Indonesia. DKP kerjasama JICA. Martosudarmo B, I Wulani. 1990. Petunjuk Pemeliharaan Kultur Murni dan Masal Mikroalga. Proyek Pengembangan Budidaya Udang. United Nations Development programe Food and Agriculture Organization of The United Nations. Jakarta. Redjeki S, A. Basyari. 1989. Kultur Jasad Pakan Untuk Menunjang Perkembangan Budidaya Laut. Sub Balai Penelitian Budidaya Pantai Bojonegara-Serang. [SEAFDEC] Southest Asian Fisheries Development Center. 2001. Pembudidayaan dan Manajemen Kesehatan Ikan Kerapu. Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Gondol-Bali, penerjemah. Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan. Terjemahan dari: Husbandary and Health Management of Grouper Slamet B, Trijoko, S. Ismi. 2003. Produksi benih ikan kerapu di hatchery skala rumah tangga di Bali. Diseminasi dan Lokakarya, Praktek Praktek Terbaik Kegiatan Pembangunan Sub Sektor Perikanan Se-Sulawesi. Makasar, 1719 Februari 2003. 9p. Subyakto S, S Cahyaningsih. 2003. Kiat Mengatasi Permasalahan Praktis Pembenihan Kerapu Bebek Skala Rumah Tangga. Agromedia Pustaka.Jakarta. Sugama K, dkk.2001. Petunjuk Teknis Produksi Benih Ikan Kerapu Bebek, Cromileptes altivelis. Balai Riset Budidaya Laut Gondol, Pusat Riset dan Pengembangan Eksplorasi Laut dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Sutarmat. T, A. Hanafi dan Kawahara. 2002. Leaflet Budidaya Kerapu bebek (Chromileptes altivelis) di Keramba Jaring Apung. Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol bekerja sama dengan Japan International Cooperation Agency). Bali. Sutarmat T, dkk. 2003. Petunjuk Teknis Budidaya Kerapu Bebek (Cromileptes Altivelis) di Keramba Jaring Apung. Balai Riset Budidaya Laut Gondol, Pusat Riset dan Perikanan Budidaya. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Wardana IP. 1994. Pembesaran Penebar Swadaya. Jakarta.
Kerapu
Dengan Keramba Jaring Apung.