55
ANALISIS KEGIATAN PANGLIMA LAÔT DALAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT NELAYAN Macam-Macam Peran Kelembagaan Panglima Laôt
Panglima Laôt adalah seorang pemimpin nelayan yang secara hukum adat Laôt bertugas mengkoordinasi satu atau lebih wilayah operasional nelayan dan minimal satu pemukiman. Tugas Panglima Laôt di antaranya “ mengawasi dan memelihara pelaksanaan hukum adat laut, mengatur tata cara penangkapan ikan di laut, menyelesaikan berbagai pertikaian sehubungan penangkapan ikan dan menyelenggarakan adat laut, dan lain sebagainya. Daerah-daerah penangkapan di laut dibagi atas beberapa wilayah. Wilayah tersebut lhôk, yang berarti teluk atau tempat yang dalam, dengan pemimpin wilayah Panglima Laôt. Pembagian
wilayah
perlu
diadakan
“
Untuk
menentukan
batas-batas
penangkapan ikan oleh nelayan, juga menentukan batas wilayah bagi seorang Panglima Laôt “ (Zainuddin, 1961). Kini mengalami pergeseran wilayah penangkapan ikan, karena nelayan bebas menangkap ikan diseluruh perairan Aceh. Apabila terjadi pelanggaran dan perselisihan pada saat penangkapan ikan, maka orang yang berwenang untuk menyelesaikan masalah adalah Panglima Laôt di wilayah terjadi sengketa tersebut. Sebagai pemimpim masyarakat nelayan Aceh, peran kelembagaan Panglima Laôt dewasa ini tidak sama dengan masa lalu. Peran Panglima Laôt sebagai lembaga adat yang mendapat dukungan masyarakat nelayan Aceh, menuntut peran lebih besar. Panglima Laôt, pada hakekatnya paling tidak memiliki empat peran; pertama, kekuasaan mengatur wilayah penangkapan ikan dan alat tangkap yang digunakan. Kedua, kekuasaan yang berhubungan dengan melaksanakan pelaksanaan adat laôt. Ketiga, kekuasaan yang berkaitan dengan masalah administrasi kapal ikan, Keempat peran dalam masalah sosial. Pada saat ini di antara peran kelembagaan Panglima Laôt (pasca revitalisasi) di Gampong Telaga Tujuh adalah; mengembangkan usaha masyarakat nelayan tradisional dalam usaha menangkap ikan di laut. Nelayan tradisional yang dibantu dalam usahanya memiliki ciri khusus yaitu; pertama dalam operasional penangkapan ikan sendiri atau berdua. Kedua, menggunakan mesin tempel atau mengandalkan tenaga manusia. Ketiga, perahu dan
56
perlengkapan alat tangkap seperti jaring, pancing, dan peralatan lainnya sangat sederhana.
Keempat,
tidak
memiliki
modal/biaya
dalam
operasional
penangkapan ikan di laut. Kelima, tidak terikat dengan toke bangku. Keenam, nelayan tradisional dalam kegiatan penangkapan ikan di laut.
Jalur
penangkapan ikan menurut SK Menteri Pertanian Nomor: 607/KPTS/UM/9/1976, seperti dalam Tabel 6: Tabel 6. Jalur Penangkapan Ikan. NO
JALUR
JAUH
DARI
PERUNTUKAN
1.
I
4 mil
Dihitung dari pantai
Nelayan tradisional
2.
II
4 – 12
Dihitung dari jalur I
Bermesin Kecil
3.
III
12 mil keatas
Dihitung dari jalur II
Bermesin sedang dan besar
Sumber : Dinas Pertanian, Kehutanan, Perkebunan, Peternakan dan Perikanan Kelautan Pemerintah Kota Langsa Tahun 2007. Pada
Tahun
2005
bantuan
modal
usaha
yang
diberikan
oleh
kelembagaan Panglima Laôt untuk nelayan tradisional sebesar Rp. 100.000, sampai dengan Rp. 3.000.000, yang dimaksudkan untuk biaya operasional penangkapan dan alat tangkap. Modal usaha yang diterima oleh nelayan tradisional di Gampong Telaga Tujuh bukan hibah, tetapi pinjaman tampa bunga. Hasil tangkapan nelayan tradisional ditampung oleh Panglima Laôt untuk dijual kepasar ikan Kota Langsa atau dijual ke Medan (Propinsi Sumatera Utara). Harga ikan yang dibeli kelembagaan Panglima Laôt sesuai dengan harga ikan dipasar Kota Langsa, sehingga nelayan tradisional tidak merasa tertekan harga pembelian hasil tangkapan mereka. Modal lembaga
usaha
Panglima
tersebut,
Laôt
sesuai
dikembalikan dengan
secara
keinginan
cicilan
nelayan
kepada
tradisional.
Modal usaha yang dikelola oleh Sekretaris Panglima Laôt bersumber dari donatur lokal. Dengan demikian kelembagaan Panglima Laôt secara tidak langsung telah membantu nelayan tradisional untuk membebaskan dari pedagang perantara (toke bangku). Pemberian modal untuk usaha nelayan tradisional oleh lembaga Panglima Laôt tidak dapat melebihi dari anggaran yang telah ditentukan oleh Panglima Laôt. Hingga saat kajian, nelayan tradisional yang telah dibantu oleh kelembagaan Panglima Laôt, sebanyak 35 orang menggunakan perahu tampa
57
motor dan 10 orang yang menggunakan motor tempel. Dana yang disalurkan kepada nelayan tradisional bervariasi sesuai dengan kebutuhan. Dengan melakukan kegiatan tersebut, kelembagaan Panglima Laôt dapat mengawasi atau mengkoordinir setiap usaha penangkapan ikan nelayan Gampong Telaga Tujuh. Panglima Laôt dengan mudah dapat menginformasikan kepada nelayan bila ada hal yang penting, dan begitu juga dengan nelayan dapat menginformasikan kejadian-kejadian yang terjadi di wilayah penangkapan ikan. Kegiatan peran yang dilakukan oleh kelembagaan Panglima Laôt di Gampong Telaga Tujuh dalam mengayom masyarakat sangat di dukung oleh seluruh warga masyarakat Gampong Telaga Tujuh. Kelembagaan Panglima Laôt dapat berperan kembali setelah dilakukan penandatangan perjanjian nota kesepahaman “Memorandum of Understanding Between The Government of The Republic of Indonesia and The Free Aceh Movement”, (Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka), pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia.
Dalam suasana damai
operasional personil Panglima Laôt di tengah-tengan masyarakat nelayan tidak merasa terancam.
1. Peran Panglima Laôt Memelihara dan Mengawasi Ketentuan-ketentuan Hukum Adat dan Istiadat. Hukum adat laôt yang dibahas dalam kajian ini merupakan bahagian dari hukum adat Aceh. Sebagai bahagian dari Hukum Adat Aceh, maka hukum adat laôt tidak terlepas pengaruhnya dari ajaran Islam, hal ini ditandai dengan pantangan menangkap ikan pada hari Jum'at sebagai menghormati Shalat Jum'at, dan upacara kanduri laôt, peresmian perahu/boat, dan sebagainya yang senantiasa dilakukan dengan membaca doa menurut Agama Islam. Keadaan ini tercermin dalam ungkapan " hukom ngon adat lagee zat ngon sifeut ”,8 yang artinya hukum (Islam) dengan hukum adat seperti zat dengan sifat. Untuk berjalannya peraturan-peraturan dalam hukum adat laôt dibutuhkan seseorang yang mengawasi ketentuan-ketentuan adat. Kesediaan masyarakat memberikan legitimasi dan pengakuan terhadap kepemimpinan Panglimat Laôt, bukan disebabkan unsur paksaan, tetapi lebih bersifat sukarela dan hasrat
58
bahkan dapat dikatakan sesuatu yang wajar. Panglimat Laôt menjadi pemimpin atas pilihan dari masyarakat nelayan di Gampong Telaga Tujuh. Dalam menjalankan peran Panglimat Laôt sebagai memelihara dan mengawasi hukum adat laôt di Gampong Telaga Tujuh tidak menjadi suatu pekerjaan yang berat, karena hukum adat dan istiadat merupakan hukum yang harus ditaati (the living law) oleh masyarakat khususnya di lingkungan bidang penangkapan di laut. Sebagai hukum yang hidup dan berorientasi pada keadaan yang nyata pada masyarakat nelayan maka keberadaan Hukum adat laôt sangat diperlukan oleh para nelayan dalam melakukan aktifitasnya menangkap ikan dilaut, dan masalah lain yang berhubungan dengan kepentingan-kepentingan para nelayan itu sendiri maupun masalah sosial lainnya. Para nelayan Gampong Telaga Tujuh pada umumnya mentaati ketentuan-ketentuan adat/hukum adat sebagai suatu kewajiban. Demikian pula halnya dalam menjalankan peran Panglimat Laôt untuk mengambil keputusan jarang dijumpai para pihak yang dijatuhi sanksi adat menolak untuk menjalankan putusan tersebut. Kondisi seperti ini disebabkan masyarakat Aceh pada umumnya menghormati dan mentaati hukum adat. Menghormati hukum adat berarti: 1. Demi kepentingan diri sendiri 2. Sudah terbiasa dari kecil. 3. Pergaulan hidup dalam masyarakat yang senang tiasa diingatkan pada adat. 4. Dalam kehidupan keluarga nelayan yang terbiasa diajarkan oleh orang tua mereka. Dalam pergaulan hidup sehari-hari, orang tidak merasa tersinggung kalau disebut bodoh, tolol, tetapi seseorang akan sangat tersinggung kalau dikatakan tidak tahu adat, karena sejak kecil orang sudah diajar adat dan proses ini disebut process of socialization. proses ini berjalan seumur hidup, sejak dari dalam kandungan
seseorang
sudah
diperkenalkan
budaya
orang
tuanya
melalui upacara tertentu seperti acara tujuh bulanan dengan pengantar makanan/buah-buahan, dan sampai pada saat seseorang sudah lahir dilakukan juga upacara adat seperti cukur rambut, pijak tanah dan sebagainya.
8
Muhammad Husen, Adat Aceh, Dinas P dan K Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh 1970.
59
2. Peran Panglima Laôt Mengkoordinir Setiap Usaha Penangkapan Ikan di Laut Dalam usaha penangkapan ikan dilaut oleh nelayan tradisional, nelayan pancing dan nelayan jaring di Gampong Telaga Tujuh selalu ada koordinasi dengan lembaga Panglima Laôt, Telaga
Tujuh
diwajibkan
tetapi bukan semua nelayan di gampong
berkoordinasi
dengan
Panglima
Laôt
dalam
melaksanakan operasi penangkapan ikan, hanya kesadaran nelayan sendiri untuk menyampaikan informasinya pada Panglima Laôt. Mengkoordinasi setiap usaha penangkapan ikan dilaut oleh Panglima Laôt bukan berarti Panglima Laôt harus melaut setiap hari. Bila ada hal yang terjadi dalam usaha penangkapan ikan dilaut seperti ada nelayan menggunakan alat tangkap trawl (pukat harimau) maka nelayan tersebut akan melaporkan kepada Panglima Laôt. Laporan nelayan tersebut akan ditindak lanjut oleh Panglima Laôt
kepihak keamanan dan Dinas Kelautan dan Perikanan untuk
diambil tindakan/sanksi adat dan hukum Negara. Dalam konteks ke Acehan, keberadaan trawl menjadi masalah besar sekaligus tantangan terhadap pelaksanaan hukum adat laut di daerah ini. Hukôm adat laôt sendiri merupakan aturan lokal yang dijamin oleh hukum nasional di negara Indonesia. Apalagi, hukum nasional sendiri juga melarang alat tangkap tersebut. Jelas dari gambaran di atas tentang adat laôt' bahwa hukôm adat laôt dan hukum nasional masih terkendala dalam pelaksanaannya. Padahal
telah
jelas
dalam
SK
Menteri
Pertanian
Nomor;
503/KPTS/7/1997, tentang jenis jaring trawl. Spesifikasi jaring trawl tersebut; berbentuk
kantong
yang
ditarik
oleh
sebuah
kapal
bermotor
dengan
menggunakan alat pembuka mulut jaring (gawang). Sepasang alat pembuka (ofter board) dan jaring yang ditarik dua kapal bermotor. Jenis pukat trawl yang disebutkan dalam SK tersebut di atas, jelas pula dilarang dalam Pasal 8 Keppres Nomor 39 Tahun 1980 tentang penghapusan jaring trawl di perairan Indonesia. Ada dua implikasi yang ditimbulkan dari penggunaan alat tangkap trawl diantaranya; pertama, penggunaan alat tangkap trawl akan menyebabkan ekosistem laut terancam kehancuran. Penggunaan alat tangkap trawl akan menguras segala jenis ikan dengan berbagai ukuran, dan juga menghancurkan terumbu karang di dasar laut. Kedua, penggunaan alat tangkap trawl dengan
60
sendirinya akan menurunkan pendapatan nelayan tradisional yang berlabuh dalam jarak 1-4 mil laut, Hal ini dikarenakan alat tangkap trawl, menyapu segala jenis ikan di pinggir pantai. Aksi tersebut, banyak dilakukan nelayan asing yang berbendera Indonesia. Potensi yang begitu luas laut Indonesia terancam punah. Belum terlihat usaha keras ke arah perbaikan ekosistem laut yang mengalami kerusakan, maka tidak mengherankan bila nelayan hidup miskin di tengah potensi laut Indonesia yang luas, Jelas saja, mereka kalah dengan sistem penangkapan ikan menggunakan alat tangkap trawl yang tidak ramah dengan lingkungan laut.
3. Peran Panglima Laôt Menyelesaikan Perselisihan/Sengketaan yang Terjadi di Antara Sesama Anggota Nelayan atau Kelompoknya. Peran Panglima Laôt dalam menyelesai perselisihan antar sesama nelayan atau kelompok nelayan, baik itu perselisihan dalam kepemilikan rumpon, sengketa dalam penangkapan ikan di laut dan lain-lainya. Untuk mengambil tindakan menyelesaian perkara peselisihan/sengketa tesebut, Panglima Laôt berpedoman sesuai dengan hukôm adat laôt, sehingga keseimbangan yang telah terganggu tadi dapat baik kembali. Sengketa yang sering terjadi di nelayan Gampong Telaga Tujuh yaitu sengketa dalam usaha penangkapan ikan dilaut, terutama dalam merebut gerombolan ikan (fishing ground) di laut. Untuk menyelesaikan perkara perselisihan dalam hukôm adat laôt. Lembaga Panglima Laôt akan menetapkan hari sidang pada hari Jum’at. Hari sindang tersebut dinamakan persidangan hukôm adat laôt. Dalam pengambilan keputusan lembaga Panglima Laôt memanggil kedua belah pihak yang bersengketa untuk hadir dengan menyertai saksi-saksi. Saksi ini yang akan memberik keterangan dalam persidangan tersebut. Sebelum memberikan keterangan para saksi-saksi jika dirasa perlu mengangkat sumpah terlebih dahulu menurut ajaran agama Islam. Demikian dalam setiap hukôm adat laôt akan diselesaikan oleh Panglima Laôt, baik perselisihan antara sesama aneuk pukat9, muge10 dengan muge,
9
aneuk pukat artinya anak buah kapal ikan Muge maksudnya pedagang ikan keliling
10
61
maupun sengketa perdata adat dan pidana adat, dan lain-lainya. Terhadap putusan Panglima Laôt, jika menurut salah satu pihak belum memenuhi rasa keadilan, maka oleh pihak yang bersangkutan dapat menyerahkan keputusan itu kepada Pengadilan Negeri. Umumnya keputusan Panglima Laôt diterima oleh kedua belah pihak yang bersengketa sebagai suatu keputusan yang final dan ditaati oleh kedua belah pihak. Tidak dijumpai kasus yang telah diputuskan oleh Panglima Laôt muncul
ke
Pengadilan
Negeri
Kota
Langsa.
Bahkan
dijumpai
kasus
persengketaan penangkapan ikan yang menjadi rebutan yang diselesaikan langsung oleh para nelayan secara damai, tampa melalui Panglima Laôt Lhôk/Kota.
4. Peran Panglima Laôt Memutuskan dan Menyelenggarakan Upacara Adat Laôt. Dalam
melaksanakan
upacara
adat
laôt
seperti
khanduri
laôt11
sebelumnya di adakan musyawarah oleh lembaga Panglima Laôt bersama tokoh masyarakat, aparat gampong, dan seluruh masyarakat nelayan di Gampong Telaga Tujuh. Hasil dari keputusan musyawarah tentang khanduri laôt, akan dilaksanakan oleh lembaga Panglima Laôt. Upacara khanduri laôt dipimpin oleh Panglima Laôt setempat. Khanduri Laôt termasuk upacara pokok bagi masyarakat nelayan. Menurut Panglima Laôt “upacara khanduri laôt sudah menjadi kebiasaan bagi masyarakat nelayan Gampong Telaga Tujuh untuk memperingatinya, hanya dulu dan sekarang telah mengalami pergeseran waktu dan tata urut dalam pelaksanaannya. Pada masa dahulu pelaksanaan upacara khanduri laôt setiap satu Tahun sekali, tetapi sekarang dilaksanakan tiga Tahun sekali. Dahulu tata laksana dominan dipengaruhi oleh unsur-unsur kepercayaan yang mengacu kepada animisme, sekarang telah mengarah kepada ajaran agama Islam, walaupun
masih
juga
terdapat
sebagaian
masyarakat
nelayan
dalam
melaksanakan upacara khanduri laôt masih percaya kepada kebiasaan lama. Tiga hari sebelum acara khanduri laôt ini diiaksanakan, nelayan tidak dibenarkan mencari ikan kelaut. Biaya untuk pelaksanaan upacara khanduri laôt 11
khanduri Laot artinya kanduri laut
62
diperoleh dari sumbangan nelayan. Peran Panglima Laôt, sebagai koordinator dalam pelaksanaan upacara khanduri laôt yang dibantu oleh tokoh-tokoh pemuka (tuha pakat) dan
seluruh masyarakat nelayan di Gampong Telaga Tujuh.
Upacara khanduri laôt, merupakan bagian yang telah menyatu dalam kehidupan masyarakat nelayan. ]
5. Peran Panglima Laôt Menjaga/Mengawasi Agar Pohon-pohon di Tepi Pantai Jangan Ditebang. Peran Panglima Laôt menjaga/mengawasi pohon-pohon ditepi laut diantaranya mengawasi hutan mangrove jangan ditebang oleh masyarakat. Hutan mangrove adalah suatu komunitas tumbuhan atau suatu individu jenis tumbuhan yang membentuk komunitas tumbuhan di daerah pasang surut. Hutan mangrove adalah tipe hutan yang secara alami dipengaruhi oleh pasang surut air laut, tergenang pada saat pasang naik dan bebas dari genangan pada saat pasang rendah. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas lingkungan biotik dan abiotik yang saling berinteraksi di dalam suatu habitat mangrove (Subing 1995). Penebangan hutan baik hutan darat maupun hutan mangrove secara berlebihan tidak hanya mengakibatkan berkurangnnya daerah resapan air, abrasi, dan bencana alam seperti erosi dan banjir tetapi juga mengakibatkan hilangnya pusat sirkulasi dan pembentukan gas karbon dioksida (CO2) dan oksigen O2 yang diperlukan manusia untuk kelangsungan hidupnya (Subing 1995). Fungsi dan peran ekosistem hutan mangrove sangat penting sebagai tempat untuk memijah, mengasuh anak, berlindung serta mencari makan bagi berbagai jenis ikan. Oleh karena itu, kelestariannya harus dijaga. Penurunan kualitas dan kuantitas ekosistem hutan mangrove akan mengancam kelestarian habitat tersebut dan selanjutnya akan mengancam kehidupan fauna. Panglima Laôt dalam mengawasi/menjaga pohon mangrove dan pohon lainnya, untuk jangan di tebang oleh masyarakat di wilayah pesisir Gampong Telaga Tujuh mendapatan hambatan. Hambatan tersebut, karena faktor ekonomi masyarakat nelayan yang tidak setabil dalam usaha penangkapan ikan di laut. Dalam hal ini, Panglima Laôt tidak dapat berbuat banyak untuk menjegah
63
masyarakat nelayan Gampong Telaga Tujuh untuk jangan menebang pohonpohon tersebut. Pohon-pohon yang ditebang oleh masyarakat nelayan di Gampong Telaga Tujuh di pergunakan untuk membuat rumah, sehingga masyarakat nelayan tidak membeli semua kebutuhan untuk pembuatan rumah mereka. Pohon-pohon yang ditembang oleh masyarakat nelayan yaitu pohon mangrove. Masyarakat nelayan di Gampong Telaga Tujuh tidak semua memanfatkan pohon-pohon mangrove untuk pembuatan rumah mereka, hanya sebagian saja yang memanfaatkannya.
Penebangan hutan mangrove oleh
nelayan dengan sistem tebang pilih, tidak sembarangan ditebang sesuai dengan petunjuk Panglima Laôt. Pengambilan hutan mangrove oleh masyarakat nelayan yang kurang mampu hanya sebatas kebutuhan untuk rumah, biasanya hanya untuk tiang rumah. 6. Peran Panglima Laôt Merupakan Badan Penghubung Antara Nelayan dengan Pemerintah dan Pawang Laôt dengan Pawang Laôt Lainnya. Peran Panglima Laôt sebagai penghubung antara masyarakat nelayan dengan berbagai pihak, baik itu pemerintah, pawang laôt dan lain-lainya, guna untuk pengembangan sumberdaya masyarakat nelayan. Hubungan tersebut, dari tingkat aparat gampong hingga Pemerintah Kota Langsa. Panglima Laôt menjadi sebagai mitra Kepala Gampong12. Kemitraan ini mendapat legelitas adat, sehingga dalam hal kenelayanan khususnya dalam usaha penangkapan ikan dilaut mutlak dibawah kendali Panglima Laôt. Sedangkan Kepala Gampong Telaga Tujuh bertanggung jawab masalah administrasi Pemerintahan seperti pembuatan KTP, surat tanah, dan lain-lainya. Sebagai mitra kerja Kepala Gampong, Panglima Laôt ikut serta secara langsung memberikan pendapat guna untuk meningkatkan sumberdaya nelayan. Sehingga dalam pertemuan pada tingkat pemerintahan Gampong yang menyangkut
dengan
pengembangan
sumberdaya
masyarakat
nelayan
senantiasa turut serta dalam pertemuan tersebut. Sebagai pengayom masyarakat nelayan Gampong Telaga Tujuh Panglima Laôt sebagai badan penghubung dengan pemerintah, diantaranya 12
Kepala Gampong maknanya Kepala Desa
64
dalam pembuatan surat izin berlayar, surat izin penangkapan ikan, dan lainlainnya. Panglima Laôt telah menginformasikan kepada kantor pemerintahan yang terkait, jumlah armada penangkapan ikan beserta alat tangkap yang digunakan di Gampong Telaga Tujuh untuk dapat dikeluarkan surat izin yang dibutuhkan oleh masyarakat nelayan Gampong Telaga Tujuh. Panglima Laôt juga penghubung antara Pawang Laôt dengan Pawang Laôt lainnya seperti, informasi tetang daerah penangkapan ikan (fishing ground) dilaut. Pawang laôt dalam melakukan pencarian gerombolan ikan di laut dapat langsung ke daerah tujuan penangkapan yang telah di informasikan sebelumnya oleh Pawang Laôt lainya melalui Panglima Laôt, sehingga Pawang Laôt tersebut dalam mencarik gerombolah ikan dengan mudah didapatkan.
Lembaga Pelaksana Peran Panglima Laôt Lembaga atau organisasi pelaksanaan peran Panglima Laôt di Gampong Telaga Tujuh di antaranya Pawang pukat, Pawang jhareng (jaring), Pawang kawee (pancing). Ketiga Pawang tersebut mempunyai keahlian dibidang kearifan lokal dalam usaha operasional penangkapan ikan di laut. Pengetahuan kearifan lokal yang dimiliki oleh ketiga pawang tersebut antara lain; 1.
Mengetahui tanda-tanda alam seperti awan gelap disebelah Barat menandakan angin kencang akan bertiup, apabila disebelah utara menandakan hujan akan turun. Bintang pari berfungsi sebagai penunjuk arah, bintang Timur berfungsi sebagai penunjuk waktu.
2.
Gunung dan bukit merupakan tanda-tanda alam yang berfungsi sebagai penunjuk arah pergi dan pulang bagi nelayan dalam melaksanakan operasi penangkapan ikan di laut.
3.
Keadaan permukaan air riak-riak kecil merupakan tanda-tanda untuk mengetahui jenis dan besar kawanan ikan. Dalam kegiatan usaha penangkapan ikan di laut ketiga Pawang tersebut
sebagai pemimpin pada kapal ikan, berhasil atau tidak dalam usaha penangkapan ikan tergantung keahlian Pawang. Apabila dalam melaksanakan operasi penangkapan ikan di laut terjadi perselisihan antara sesama nelayan akan diselesaikan oleh Pawang tersebut, bila perselisihan tidak dapat terselesaikan oleh Pawang pukat, Pawang jhareng, Pawang kawe maka persoalan diserahkan kepada Panglima Laôt.
65
Pawang pukat, pawang jhareng, pawang kawe di Gampong Telaga Tujuh secara tidak langsung dalam melaksanakan kegiatan di laut merupakan sebagai perpanjangan peran Panglima Laôt. Peran Panglima Laôt yang dijalankan oleh ketiga pawang tersebut di antaranya : 1.
Mengkoordinir setiap usaha penangkapan ikan di laut, seperti kapal ikan yang melakukan usaha penangkapan ikan di laut menggunakan alat tangkap trawl (melanggar Pasal 8 Keppres 39 Tahun 1980) yang merusak ekosisteam dan menghilangkan regenerasi ikan untuk selanjutnya. Hal ini bila diketemukan diperairan Aceh oleh Pawang Laôt akan melaporkan atau menginformasikan segera ke Panglima Laôt. Panglima Laôt bekerjasama dengan Airut, Kamla, Dinas Perikanan dan Kelautan menindak langsung sesuai hukum dan peraturan adat yang telah ditetapkan oleh lembaga Panglima Laôt.
2.
Menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara sesama anggota nelayan atau kelompoknya, seperti perselisihan tentang sengketa rumpon (tempat berkumpul ikan) antara nelayan. Perselisihan
yang terjadi tersebut
diselesaikan oleh Pawang pukat, jika perselisihan tidak dapat diselesaikan diserahkan kepada Panglima Laôt untuk menyelesaikan perselisihan tersebut. Performa Kelembagaan Panglima Laôt 1. Norma-Norma Tradisi yang Mengkultur Hukum adat
dan Adat laôt sudah menjadi norma-norma tradisi yang
mengkultur pada Panglima Laôt dalam menjalankan peran kelembagaan, dan dapat diuaraikan sebagai berikut . a. Hukum Adat laôt Di wilayah Aceh dikenal beberapa hari pantang melaut, yakni sebagai berikut : 1. Kenduri adat laôt dilaksanakan selambat-lambatnya tiga Tahun sekali atau ketergantungan
kesempatan
dan
kesanggupan
nelayan
setempat,
dinyatakan tiga hari pantangan melaut pada acara kanduri tersebut, dihitung sejak keluar matahari pada hari kenduri hingga tenggelam matahari pada hari ketiga.
66
2. Hari Jum’at dilarang melaut selama satu hari sejak tenggelam matahari pada hari kamis hingga terbenam matahari pada hari Jum’at. 3. Hari Raya Aidul Fitri, dilarang melaut selama dua hari dihitung sejak tenggelam matahari pada hari megang hingga terbenam matahari pada kedua hari raya. 4. Hari Raya Aidul Adha, dilarang melaut selama dua hari dihitung sejak tenggelam matahari pada hari megang hingga terbenam matahari pada hari raya. 5. Hari Kemerdekaan 17 Agustus dilarang melaut selama satu hari, terhitung mulai tenggelam matahari pada tanggal 16 Agustus sampai dengan terbenam matahari pada 17 Agustus. 6. Tanggal 26 Desember merupakan hari pantang laôt baru yang disepakati dalam Rapat Dewan Meusapat Panglima Laôt Se-Aceh di Banda Aceh pada tanggal 9-12 Desember 2005, untuk mengenang bencana gempa dan gelombang tsunami yang terjadi pada hari minggu tanggal 26 Desember 2004. Pantang laôt tanggal 26 Desember dimulai sejak terbitnya matahari hingga terbenamnya matahari tanggal 26 Desember . b. Sanksi Bagi nelayan yang melanggar ketentuan tersebut pada butir 1.a di tas, dikenakan sanksi sebagai berikut: 1. Seluruh hasil tangkapan disita. 2. Dilarang melaut minimal tiga hari dan maksimal tujuh hari. c. Adat sosial. Adat sosial dalam operasi penangkapan ikan di laut dan kehidupan nelayan sebagai berikut: 1. Pada saat terjadinya kerusakan kapal/boat atau alat penangkapan ikan di laut mereka memberi suatu tanda yaitu menaikkan bendera sebagai meminta bantuan (SOS), bagi boat yang melihat aba-aba tersebut langsung datang memberikan pertolongan. 2. Jika terjadi musibah tenggelam nelayan di laut, seluruh boat yang mendapat mayat di laut, boat tersebut berkewajiban mengambil dan membawa mayat tersebut kedaratan. d. Adat pemeliharaan lingkungan: Adat untuk menjaga atau memelihara lingkungan di wilayah pesisir sebagai berikut:
67
1.
Dilarang melakukan pemboman, meracun, pembiusan, penglistrikan, pengambilan terumbu karang dan bahan-bahan lain yang dapat merusak lingkungan hidup ikan dan biota lainnya.
2.
Dilarang menebang/merusak pohon-pohon kayu dipesisir pantai laut seperti, pohon arun/cemara, pandan, ketapang, bakau (manggrove), dan pohon lainnya, yang hidup dipantai.
3.
Dilarang menangkap ikan/biota laut lainnya, yang dilindungi (lumbalumba, penyu, dan lain-lain).
e. Kenduri Laôt Adat kanduri Laôt masing-masing Daerah Tinggkat Il dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, mempunyai ciri khas tersendiri dan bervariasi satu dengan yang lainnya, menurut keadaan masing-masing daerah, dan tetap memperhatikan nilai-nilai yang islami. f. Barang hanyut. Setiap barang (perahu, boat panglong dan lain-lain) yang hanyut di laut dan diketemukan oleh seorang/nelayan, harus diserahkan kepada Panglima Laôt setempat untuk kepengurusan selanjutnya. 2. Lain-lainnya 1. Sistem pelaporan a. Jika seorang nelayan atau anggota masyarakat lainnya mengcurigai ada kapal/boat/perahu yang memasuki wilayah perairan Provinsi Aceh Darussalam untuk melakukan penangkapan ikan dan sejenisnya, maka hal tersebut harus segera dilaporkan kepada Panglima Laôt dan selanjutnya dilaporkan kepada pihak berwajib. b. Jika seorang nelayan atau anggota masyarakat lainnya, melihat adanya oknum yang melanggar hukum tentang lingkungan hidup dalam Provinsi Aceh, maka pelanggaran tersebut harus dilaporkan kepada Panglima Laôt dan atau pihak yang berwajib. c. Apabila dalam penangkpan ikan di laut ditemukan ikan yang mempunyai tanda tertentu (tagging) wajib dilaporkan dan diserahkan kepada Dinas Perikanan dan Kelautan setempat untuk diteliti lebih lanjut.
68
[
2. Aturan peralihan d. Ketentuan-ketentuan hukum adat dan adat laôt tidak boleh bertantangan dengan Peraturan Pemerintah dan Agama Islam. e. Peraturan adat bila sangat dibutuhkan, dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi daerah bersangkutan.
3. Personil Lembaga Dalam suatu wilayah lhôk yaitu tempat nelayan berpangkalan dan masyarakat nelayan berdomisili, dipimpin oleh Panglima Laôt. Wilayah lhôk yang dimaksud adalah suatu wilayah dipesisir pantai atau nelayan bertempat tinggal dan mata pencaharian menangkap ikan. Wilayah tersebut dapat berorientasi kepada satu gampong pantai, beberapa gampong (satu kemukiman), kecamatan atau satu kepulauan. Mengenai pemilihan Panglima Laôt dan peraturan lainnya, diwilayah lhôk Gampong Telaga Tujuh Kecamatan Langsa Timur, berpedoman menurut Keputusan Pertemuan/Musyawarah Panglima Laôt Se-Provinsi Daerah Istimewa Aceh Tanggal 6 – 7 Juni 2000 di Banda Aceh, sebagai berikut: 1. 3 orang penasehat 2. 1 orang ketua (Panglima Laôt) 3. 1 orang wakil ketua 4. 1 orang sekretaris. 5. 1 orang bendahara 4. Proses pemilihan Panglima Laôt di lhôk Sesuai dengan ketentuan yang berlaku, Panglima Laôt lhôk dipilih untuk masa waktu selama 8 Tahun. Menurut ketentuan yang berlaku secara umum, tata cara pemilihan sebagai berikut: 1. Calon minimal 5 orang dengan syarat; taat agama, pernah menjadi Pawang, bisa membaca dan menulis, berdomisili diwilayah lhôk tersebut. 2. Pemilih dilakukan secara musyawarah dan mufakat. 3. Calon dipilih oleh pawang-pawang yang ada dalam wilayah lhôk yang bersangkutan. 4. Forum dianggap sah bila dihadirin oleh minimal 2/3 dari jumlah pawangpawang yang ada didaerah yang bersangkutan, disaksikan oleh pembina (Dinas Perikanan dan Camat).
69
5. Calon yang memperoleh suara terbanyak Ke-I langsung menjadi Panglima Laôt, suara terbanyak ke-II menjadi wakil, suara terbanyak ke-III menjadi sekretaris, suara terbanyak ke-IV menjadi bendahara, suara terbanyak ke-V menjadi wakil bendahara. 5. Visi Panglima Laot Visi kelembagaan Panglima Laôt sebagai berikut : Lembaga Hukôm Adat Laôt/Panglima Laôt sebagai lembaga menegakan hukôm adat Laôt yang independen dalam memperjuangkan kesejahteraan masyarakat nelayan/pesisir Aceh. 6. Misi Panglima Laôt Misi kelembagaan Panglima Laôt adalah sebagai berikut : 1. Mengaktualisasikan dan melestarikan hukôm adat laôt (menegakan hukôm adat laôt, revitalisasi hukôm adat laôt di Aceh. 2. Melakukan pemberdayaan lembaga Panglima Laôt dari lhôk, Kabupaten dan Provinsi. 3. Mengembangkan kualitas hidup masyarakat nelayan (ekonomi, pendidikan, kesehatan, sarana dan prasarana, dan kenyamanan hidup).
7. Perda No. 2 Tahun 1990. Dengan adanya revitalisasi Perda Istimewa Aceh No. 2 Tahun 1990 kelembagaan Panglima Laôt menjadi lembaga adat di masyarakat nelayan Nanggroe Aceh Darussalam yang secara resmi keberadaannya diakui oleh Negara, namun demikian lembaga Panglima Laôt bukanlah lembaga negara. Lembaga Panglima Laôt tidak termasuk dalam struktur pemerintahan seperti; Pemerintah Gampong, Kecamatan, Kabupaten/Kota, Provinsi, tetapi keberadaan kelembaga Panglima Laôt diluar struktur pemerintahan. Lembaga Panglima Laôt merupakan lembaga adat yang telah mengtradisi dimasyarakat nelayan di wilayah pesisir Aceh. Perda No. 2 Tahun 1990 membuat keberadaan kelembagaan Panglima Laôt dalam melaksanakan perannya di wilayah pesisir Aceh dilindungan oleh hukum Negara. Hal ini sesuai dengan Pasal 13 No. 2 Tahun 1990 yaitu : -
Panglima Laôt pemimpin wilayah kelautan.
-
Panglima Laôt pemimpin persoalan sosial nelayan.
70
-
Panglima Laôt pemimpin penyelesaian perselisihan di laut.
- Panglima Laôt pemimpin pelestarian lingkungan. Kelembagaan Panglima Laôt bukan kelembagaan yang di atur oleh Pemerintah dalam melaksakan perannya di masyarakat wilayah pesisir, melainkan
lembaga
adat
yang
berperan
membantu
pemerintah
dalam
melaksanakan pembangunan di masyarat pesisir Aceh, sesuai dalam Pasal 6 Perda No. 2 Tahun 1990, yaitu: 1. Membantu Pemerintah dalam memperlancarkan pelaksanaan pembangunan. 2. Melestarikan hukum adat, adat istiadat, dan kebiasaan masyarakat. 3. Memberi kedudukan hukum menurut adat terhadap hal-hal yang menyangkut keperdataan adat. 4. Menyelenggarakan pembinaan dan pengembangan nilai-nilai adat. Berdasarkan Perda No. 2 Tahun 1990, sebagai acuan pedoman Panglima Laôt untuk membuat keputusan tentang tata cara/peraturan penangkapan ikan di laut dalam pertemuan/musyawarah Panglima Laôt Se-Daerah Istimewa Aceh di Banda Aceh Tahun 2000, sehingga peraturan yang dikeluarkan hasil pertemuan tersebut tidak melanggar dari hukum Negara (lampiran 2).
Hubungan dengan Masyarakat Nelayan Hubungan masyarakat nelayan Gampong Telaga Tujuh dalam aktifitas sehari-hari bergaul sesama warga gampong terjalin cukup akrab. Keakraban bergaul tersebut timbul atas kesadaran bersama-sama warga. Tampak yang lebih mengikat sesama warga adalah ajaran agama
Islam. Selain itu, ciri
masyarakat gampong adalah jiwa gotong royong. Gotong royong inilah merupakan impuls dari dalam yang dapat untuk saling membantu dalam senang maupun susah. Dalam berbagai aktifitas gampong atau sekitar lingkungan rumah akan
selalu
mendapat
perhatian
warga.
Dalam
aktifitas
mengerjakan
kepentingan umum, seperti membersihkan rumah ibadah, membersihkan selokan, dan lain-lain, biasanya melibatkan seluruh warga gampong. Bagi nelayan yang sedang melakukan penangkapan ikan di laut pada saat warga bergotong royong, bukanlah satu pelanggaran yang berakibatkan mendapat sanksi dari sesama warga. Dalam hal musyawarah gampong dan aktifitas di Mesjid ditinggalkan atau tidak hadir, ini akan mendapat perhatian dari warga lain.
71
Dalam kegiatan sekitar lingkungan rumah, kerja sama antara individu terlihat
berlangsung
baik.
Hal
tersebut
dapat
diamati
pada
pekerjaan
pembangunan atau perbaikan rumah, jiwa gotong royong demikian melekat antar warga gampong, diminta atau tidak mereka saling bahu-membahu dalam melakukan kegiatan gotong royong tersebut. Dalam operasi penangkapan ikan di laut, tantangan dari alam yang dihadapi oleh nelayan beraneka ragam seperti, ganasnya gelombang, derasnya air, kencangannya hembusan angin, hujan yang lebat dan teriknya sengat matahari, sehingga kedisiplinan yang teruji, merupakan keharusan yang dimiliki oleh setiap nelayan. Situasi yang penuh tantangan menjadi suatu ikatan yang emosional antara nelayan yang lebih mempersatukan jiwa mereka. Rasa kebersamaan sebagai nelayan menjadi perekat, saling mengerti, memahami satu dengan lainnya. Ikatan ini menjadi rasa persaudaraan yang erat, saling asah, asih, dan asuh antar nelayan. Alam menempa jiwanya sehingga antar nelayan tidak ada jarak, seolah-olah mereka satu dalam komunitas yang sulit untuk dipisahkan. Hubungan nelayan dengan Panglima Laôt
terjalin cukup baik. Hal ini
disebabkan oleh adanya rasa tanggung jawab yang besar dari Panglima Laôt yang langsung dirasakan oleh nelayan. Tanggung jawab tersebut, tidak hanya dalam hubungan dengan pekerjaan nelayan, lebih dari itu sampai dengan masalah keluarga nelayan. Tanggung jawab Panglima Laôt terhadap keperluan nelayan dalam kaitan pengadaan perlengkapan peralatan menangkap ikan, memang tidak dapat dipenuhi, namun nelayan dapat memahami keterbatasan yang dimiliki oleh Panglima Laôt. Hal itu tidak mengurangi rasa hormat dan kepatuhan nelayan terhadap Panglima Laôt. Bila ada warga masyarakat nelayan yang melanggar peraturan hukôm adat/adat laôt yang telah ditetapkan digampong Telaga Tujuh, dalam menyelesaikan masalah lebih bersifat kepada pendekatan keagamaan, lebih menonjolkan usaha untuk memdamaikan dari pada memutuskan. Dukungan Stakeholders Untuk mendukung peran lembaga Panglima Laôt di Gampong Telaga Tujuh telah dibangun hubungan kemitraan yang baik dengan stakeholders di antaranya; tokoh masyarakat, Dinas Perikanan dan Kelautan, Syahbandar, Polisi Air, Keamanan Laut (Kamla) dan donor. Hubungan kemitraan Panglima Laôt dan
72
didukung oleh stakeholders dalam menjalan peran Panglima Laôt yang berlandasan persamaan hak dan kewajiban dalam mengayomi masyarakat nelayan, baik itu pengelolaan hasil laut, aturan yang adil, mengawasi ekosistem, menyelesaikan sengketa nelayan, dangan tujuannya untuk meningkatkan kesejahteran masyarakat nelayan diwilayah pesisir. Dukungan stakeholders dalam hukum adat ini di ataranya pengeluaran ijin penangkapan ikan, baik yang diberikan oleh Panglima Laôt Lhôk maupun oleh pihak yang telah mempunyai hak penangkapan ikan terlebih dahulu di wilayah
lhôk.
Akan
tetapi,
perijinan
yang
dikeluarkan
terlebih
dahulu
dimusyawarahkan dengan pawang pukat dan geuchik (kepala Gampong) agar tidak merugikan pihak-pihak lain yang berkepentingan di dalamnya. Selanjutnya dalam kerangka hukum nasional, setiap nelayan harus mengajukan ijin resmi berlayar dan menangkap ikan yang dikeluarkan oleh Syahbandar (Harbourmaster) dan Dinas Perikanan dan Kelautan (Surat izin usaha penangkapan ikan dan surat izin penangkapan ikan ) setempat dengan rekomendasi dari Panglima Laôt. Walupun telah mengantongi surat izin tersebut, nelayan yang ingin bersandar atau menangkap ikan di dalam wilayah lhôk harus mengikuti aturan-aturan hukum adat Laôt yang menaungi wilayah tersebut.