ANALISIS KEBIJAKAN PEREKONOMIAN INDONESIA
Kebijakan Pembangunan Masa Lalu
Pada awalnya, struktur perekonomian Indonesia seperti di kebanyakan negara berkembang masih terbilang sederhana, dengan sektor pertanian tradisional (subsisten) menjadi sektor dominan dan memberi corak pada sebagian besar perekonomian masyarakat. Ketika kebijakan pembangunan orde baru dimulai (1968), sumbangan sektor ini pada pembentukan produk domestik bmto (PDB) mencapai lebih dari 50 persen (Tabel 4) dengan penyerapan tenaga kerja sekitar 60 persen dari lapangan keja yang tersedia. Dominasi sektor pertanian pada waktu itu tidak otomatis mencerminkan bahwa sektor ini sudah cukup kuat dan maju, melainkan lebih disebabkan karena sektor-sektor modem seperti industri, perdagangan dan jasa belum tumbuh berkembang. Sektor industri pada awalnya hanya menyumbang 8,5 persen pada PDB, itupun lebih banyak diberikan oleh industri manufaktur tradisional (dalam konteks industri tekstil misalnya, lebih banyak dilakukan oleh alat tenun bukan mesin-ATBM). Sementara itu, sektor pertambangan baru menyurnbang 4,2 persen, terutama diberikan oleh minyak dan gas bumi (migas). Narnun terjadinya krisis ekonomi dunia pasca perang Irak-Iran yang membuat harga minyak melambung dari US$ 14 per bare1 menjadi US$ 30 membuat peranan sektor ini pada PDB melonjak menjadi 17,6 persen pada tahun 1978, termasuk lonjakannya pada struktur penerimaan APBN.
Krisis ekonomi dunia yang kedua pada tahun 1986 yang ditandai ole11 anjloknya harga minyak hingga dibawah US$ 10, telah menyadarkan para ekonom dan pembuat kebijakan makro bahwa perekonomian Indonesia tidak bisa lagi terus bersandar pada sumber daya alam (SDA) yang dimiliki. Apalagi tekanan dunia intemasional terhadap masalah lingkungan hidup terkait dengan pemborosan penggunaan SDA terus mengedepan dan semakin kuat. Untuk itu kemudian muncul kebijakan pembangunan yang lebih berorientasi pada percepatan pertumbuhan ekonomi (growth-based development) serta penguatan stmktur ekonomi (economic structure stability), antara lain : (a) SDA sejauh mungkin dapat diolah sendiri agar nilai tambah tidak lari keluar, (b) mengundang sebanyak mungkin teknologi luar walaupun hams rnenggunakan bahan baku impor yang lebih besar, (c) memperluas penanaman modal asing (PMA) dan dalam negeri (PMDN) melalui berbagai insentif yang diberikan, dan (d) rnencari dan meningkatkan pinjaman luar negeri untuk membiayai proyek-proyek besar yang bersifat growth center. Berbagai kebijakan diatas telah
memberi stimulus luar biasa
pada
perkembangan industri dalam negeri. Sektor ini tumbuh meyakinkan, diatas 10 persen hingga tahun 1996 walaupun mulai melambat pada tahun 1997. Kontribusinya pada PDB dengan cepat meningkat dari 4,2 persen pada tahun 1968 menjadi 26,79 persen pada tahun 1997. Prestasi industri ini juga dipacu oleh adanya pergeseran orientasi dari substitusi impor (inward looking) kepada perluasan ekspor (outward looking).
Tabel 4 : Perubahan Struktur Perekonomian Indonesia Tiga Dekade Terakhir
-
Lapangan Usaha
1968
1978
1988
1997
1998
1999
2000
(1)
(2)
13)
(i,
15)
(6)
0)
(8)
51,OO
30,53-T4T2
16,09
18,08
19,54
16,92
1. Pertanian
,
2.Pertambangan
4,15
17.61
12,08
8.85
12,59
9,91
12,91
3.lndustri
8,52
9.95
18,47
26.79
25,OO
25,92
26,04
4.Llstrik, Gas dan Air
0,43
0.53
0,61
1.25
1,18
1,21
1,17
5.Konstruksi
2,13
5.65
5,05
7,44
6,46
6,71
7,14
16,99
15,71
17,16
15,86
15,35
15,92
15,19
7. Pengangkutan
2,74
4,46
5,73
6,14
5,43
4,97
5,OO
8. Keuangan
2,51
4,85
6,37
8,66
7,31
6,36
6,20
9. Jasa-Jasa
11,53
10.71
10,41
8,92
8,59
9,46
9,43
6. Perdagangan
Produk Domestik Total PDB (Triliun
100,OO 100,OO 100,OO 100,OO 100,OO 100,OO 100,OO 2,1
22,O
142,l
627,7
955,s 1 110,O 1290,7
Surrzber: BPS, Statrsrrk Pendapafan Nasronal, bcrbagar serr penerbitan Angka 2000 nter~ipakanangka sementara.
Sementara itu, pembangunan pertanian terkesan ditinggalkan karena pada dasamya kebijakan makro yang dikembangkan tidak berbasis pada kekuatan sektor ini. Akibatnya, walaupun terjadi peningkatan absolut pada PDB pertanian, kontribusinya menurun tajam dari 5 1,O persen tahun 1968 menjadi hanya 16,l persen tahun 1997. Pertumbuhan pertanian walaupun positif antara 2-3 persen per tahun lebih bersifat pertumbuhan alami. Kebijakan makro seperti diuraikan di atas terkesan memberi arah yang benar pada prestasi ekonomi dari sisi luamya, namun sesungguhnya menyimpan persoalan struktural yang menyerupai bom waktu. Kritik terhadap kebijakan dan implementasi pembangunan yang salah arah muncul kemudian, tetapi sayangnya disadari ketika
krisis ekonomi mulai menjerat selumh instrumen ekonomi. Infra-stmktur ekonomi yang telah dibangun susah payah selama 30 tahun seakan-akan tidak berdaya menghadapi gelombang krisis yang tems mendera dan meluas nlenjadi persoalan multi-dimensional yang membutuhkan waktu lama untuk mengatasinya.
Kritik Terhadap Kebijakan Pembangunan Orde Baru
a. Pembangunan cenderung menciptakan gro~vtlrbias
Percepatan pertumbuhan yang dilakukan melalui industrialisasi total dan terfokus di daerah perkotaan (urban bias) telah meninggalkan dan mengabaikan basis kekuatan ekonomi yang sesungguhnya. Kombinasi strategi industri yang bersifat
broad-based dan hi-tech industry telah menjauhkan pengembangan industri pada pemanfaatan hasil pertanian lokal dan sumber daya domestik, sebaliknya justru menciptakan ketergantungan yang tinggi pada teknoiogi dan bahan baku impor'. Akibatnya muncul industri-industri yang bercorak foot-loose industry seperti otomotif, elektronika, tekstiltproduk tekstil, kimia, bahkan pesawat terbang. Dari sekian banyak industri semacam ini, hanya elektronika dan produk tekstil yang menjadi andalan ekspor, sedikit memiliki keunggulan komparatif dan selebihnya lebih untuk memuaskan kebutuhan konsumen dalam negeri.
'
Kebijakan industri yang diambil terdorong oleh keinginan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara industri barn (NIC), namun yang terjadi justru memperlemah posisi Indonesia dalam perdagangan internasional karena ketergantungan impor yang tinggi.
59
b.
Kekuasaan sentralistik
Di zaman orde baru, kekuasaan pemerintah pusat sangat sentralistik. Perencanaan dan implementasi pembangunan sampai kepada-pemberian izinlkonsesi dan pengelolaan aset negara yang strategis hampir selumhnya dikuasai Pusat. Sementara Daerah tidak memiliki kewenangan memadai bahkan untuk mengums I rumah tangganya sendiri. Daerah tidak memiliki prakarsa apapun untuk memajukan daerahnya dan lebih memposisikan dirinya sebagai abdi dan pelayan pusat kekuasaan daripada abdi masyarakat. Dalam banyak kasus, kebijakan pusat yang jelas-jelas bertentangan dengan keinginan dan aspirasi masyarakat tetap dipaksakan untuk dilaksanakan walaupun hams berhadapan dengan masyarakatnya sendiri, demi memuaskan penguasa di pusat. Bahkan banyak penguasa daerah justru mengambil kesempatan memperoleh keuntungan material dari pemaksaan kebijakan ini. Sebenarnya isu desentralisasi telah ada sejak zaman Orba yang ditunjukkan dengan diselenggarakannya uji coba otonomi daerah di sejumlah daerah tingkat 11. Namun ternyata yang dilakukan hanyalah lips-service belaka dan dilakukan dengan setengah hati, sehingga sampai mntuhnya kekuasaan orde bam sistem sentralistik tetap kokoh bertaban.
c. Perilaku KKN penyebab Higlt-Cost Economy
Perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) sangat kental mewarnai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di masa orde baru. Pemerintahan
Yang sentralistik telah menjadi ajang berkembangnya penyakit KKN ditingkat penguasa nasional dan para kroninya, yang kemudian diikuti oleh birokrasl di tingkat yang lebih rendah di pusat dan daerah. Jadilah KKN sebagai budaya nasional yang menyebar di sebagian besar masyarakat Indonesia. Banyak lembaga pe-rating internasional yang selalu menempatkan Indonesia pada papan atas negara yang paling korup. Pada dasamya praktek KKN berkembang dengan ciri-ciri sebagai berikut : (1) terjadi kong-kalikong atau perselingkuhan haram antara penguasalbirokrat dengan pengusaha (baca: konglomerat) yang kemudian melahirkan moral-hazard dalam menguras uang negara, (2) pembobolan bank milik sendiri untuk membiayai bisnis dalam grup sendiri dengan melanggar azas legal pengelolaan bank dengan harapan memperoleh bantuan lunak Bank Indonesia (BLBI) bila bank bersangkutan kesulitan likuiditas dan nyaris b a n g h t , (3) berkembangnya praktek mark-up untuk proyekproyek besar pemerintah dan BUMN, yang disepakati bersama antara oknurn pemerintah dan kontraktomya. Penyakit KKN telah menjadi kanker bagi kehidupan dan tatanan sosial dan ekonomi masyarakat yang memberi dampak negatif pada (1) terjadinya ekonomi biaya tinggi, (2) kegiatan produksi dan pengelolaan negara menjadi tidak efisien dan kompetitif, (3) produktivitas masyarakat rendah, dan (4) masyarakat luas kurang dilibatkan pada setiap proses pengambilan keputusan. Dari sini kemudian muncul tuntutan untuk terwujudnya good governance di semua tingkatan.
d.
Pinjaman luar negeri yang berlebihan
Pinjaman luar negeri baik yang diperoleh secara bilateral maupun multilateral melalui lembaga-lembaga keuangan intemasional, yang pada awalnya dipercaya dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi Indonesia (baca: industrialisasi), pada kenyataannya telah menjadi bumerang bagi Indonesia sendiri. Awalnya pinjaman luar negeri begitu mudah diperoleh karena kepercayaan berlebihan mereka terhadap kesungguhan Indonesia untuk membangun ekonominya, disamping juga dana berlebih yang mereka miliki. Namun penyirnpangan penggunaan dana, kontrol yang kurang ketat serta sasaran investasi yang rnelenceng, rnenjadikan pinjaman ini tidak efektif dalam menciptakan return, bahkan sebaliknya jumlah pinjaman menjadi membengkak dari waktu ke waktu. Jumlah pinjaman luar negeri Indonesia hingga Oktober 2001 mencapai US$ 137 milyar, yang dengan menggunakan kurs dollar rata-rata tahun 2000 sebesar Rp 8500 jumlahnya setara dengan seluruh PDB tahun 2000 sebesar Rp 1 290,7 triliun. Dari jumlah pinjaman ini, sekitar 60 persen adalah pinjaman pemerintah dan sisanya pinjaman swasta. Masalahnya adalah Indonesia tidak memiliki cadangan devisa yang cukup kuat untuk membayar utang pokok yang jatuh tempo dan bunganya, sehingga pinjaman luar negeri ini akhirnya lebih mirip bom waktu bagi perekonomian. Perekonomian Indonesia benar-benar terperangkap pada loan-based economy yang sangat rentan terhadap dinamika pembahan politik dan kebijakan ekonomi negara pendonor.
Kebijakan industrialisasi di masa lalu juga kurang memberi kemanfaatan optimal dari adanya pinjaman dollar. Hal ini terjadi karena : (1) nilai tukar rupiah dibuat secara artiJicially over-valued exchange rate, agar impor bahan baku, tenaga ahli dan teknologi asing terkesan murah dalam mata uang rupiah, (2) untuk menutup defisit anggaran dan neraca pembayaran karena impor barang dan jasa yang terus melonjak, ditempuh kebijakan suku bunga tinggi agar dapat menarik capital inflow sebanyak mungkin, dan (3) untuk meredam buruh yang upahnya murah ditempuh kebijakan pangan murah dengan memberi subsidi pangan pada komoditas beras dan gula, sekaligus intervensi harga domestik, walaupun harus mengorbankan sektor pertanian sebagai representasi lebih dari separuh penduduk Indonesia yang miskin dan tidak berdaya.
Krisis Ekonomi Sebagai Buah Kebijakan Ekonomi Yang Keliru
Kekeliruan kebijakan ekonomi masa lalu telah memberi dampak negatif luar biasa pada perekonomian Indonesia secara keseluruhan: (1) kebijakan pembangunan yang growth bias telah menyebabkan rentannya strukt~rperekonomian Indonesia karena kurang berakar pada potensi sumber daya sendiri serta menciptakan kesenjangan yang makin tajam antar berbagai golongan dalam masyarakat, (2) sistem kekuasaan yang sentralistik telah menyebabkan hilangnya kemandirian daerah dalam mengantisipasi setiap perubahan lingkungan yang terjadi, sehingga memperlemah ketahanan nasional, (3) praktek KKN yang mewabah di setiap tingkatan telah menyebabkan biaya ekonomi tinggi dan hilangnya kemampuan bersaing dari produk
dalam negeri di pasar dunia, dan (4) pinjaman luar negeri yang berlebihan telah menyebabkan perekonomian terperangkap dan menjadi bulan-bulanan negara-negara donor. Kekeliruan kebijakan pembangunan masa lalu telah membuahkan malapetaka berupa krisis ekonomi yang tidak pernah diduga sebelumnya. Krisis ekonomi yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997 ditandai dengan merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika dari Rp 2.450 menjadi sekitar Rp 10.000 dengan fluktuasi yang tajam. Dalam waktu yang singkat, krisis ekonomi tersebut masuk ke dalam setiap sendi kehidupan masyarakat dan mengakibatkan perekonomian Indonesia berada pada jurang kebangkrutan. Dengan model perekonomian yang loan-based economy, merosotnya rupiah ini memberi dampak yang lebih buruk dibanding negara-negara tetangga yang sama-sama mengalami krisis2. Ternyata kebijakan ekonomi masa lalu tidak mampu menciptakan fundamental ekonomi yang kokoh yang dapat menjadi tameng menghadapi gelombang krisis yang berkepanjangan. Seperti dapat dilihat pada Tabel 5, laju pertumbuhan ekonomi yang sebelurnnya mencapai rata-rata 7 persen per tahun mulai mengalami perlambatan pada tahun 1997 menjadi 4,70 persen, dan pertumbuhan negatif pada pnncak krisis tahun 1998 sebesar minus 13,13 persen3. Laju pertumbuhan ekonomi mulai positif kembali pada tah'un
-
2
Pada awalnya krisis ekonomi merupakan krisis Asia, dimulai dari Korea Selatan, kemudian ke Thailand, Malaysia, Singapura dan Indonesia. Seperti efek domino, dari Indonesia herlanjut ke Filipina dan Hongkong. Indonesia, Korea Selatan dan Thailand tercatat sebagai ncgara yang mengalami krisis paling serius, namun tatkala Korea Selatan dan Thailand mulai memasuki masamasa pemulihan, Indonesia masih belum keluar dari krisis. Semua negara yang mengalami krisis mempunyai ciri yang sama yaitu sama-sama mengalami depresiasi drastis pada mata uangnya terhadap dolar Amerika. Laju pettumbuhan ekonomi dihitung berdasarkan kenaikan PDB Indonesia atas dasar harga konstan 1993.
1999 dalam bilangan yang kecil sebesar 0,85 persen dan tahun 2000 sebesar 4,77 persen. Walaupun pertumbuhan ekonomi mulai positif kembali, tetapi sesungguhnya belum mampu mengembalikan kondisi awal sebelum krisis. GNP per kapita, misalnya, yang pada tahun 1996 telah mencapai US$ 1145 menurun menjadi US$
1072 pada tahun 1997 dan mencapai titik terendah pada tahun 1998 sebesar US$456 yang menempatkan kembali Indonesia pada kelompok negara-negara miskin (negara dengan penghasilan di bawah US$ 500 per kapita). Walaupun GNP per kapita mulai meningkat pada tahun 1999 dan 2000 sebesar US$ 654 dan US$ 704 tetapi belum menyamai kondisi sebelum krisis.
Tabel 5 : Perkembangan Beberapa Indikator Makro Indonesia, Sebelum dan Selama Krisis Ekonomi Lapangan Usaha
1996
1997
1998
1999
2000
(1)
(2)
(3)
(4)
(5,
(4)
7,82
4,70
-13,13.
0,85
4,77
1 145
1 072
456
654
704
3. Indeks Gini
0,36
0,37
0,32
0,34
0,35
4. Persentase Penduduk Miskin
17,7
18,O
24,2
18,2
18,V
5. Tingkat Pengangguran Terbuka (%)
4,89
4,68
5,46
6,36
6,08
6. Tingkat inflasi (%)
6,47
11,05
77,63
2,Ol
9,35
7. Rata-rata nilai tukar
2343
2902
9 958
7970
8 393
8. Pertumbuhan ekspor
9,68
7,28
-8,60
-0,37
27,66
-
1. Pertumbuhan ekonomi (%) 2. GNP per kapita (US$)
Sumber: BPS, berbagaisumberpenerbitan.
Laju pertumbuhan ekonomi yang melemah pada masa krisis telah berpengaruh pada tingkat pengangguran terbuka yang cenderung terus meningkat dari 4,68 persen tahun 1997 menjadi 5,46 persen tahun 1998 dan meningkat lagi menjadi 6,36 dan
6,0S persen tahun 1999 dan 2000~. Keadaan ini diikuti pula oleh bertambdmya penduduk miskin baik jumlah maupun persentasenya, dari 17,7 persen tahun 1996, mencapai puncaltnya pada tahun 1998 menjadi 24,2 persen, kemudian turun kembali pada tahun 2000 menjadi 18,l persen, seiring dengan upaya pemerintah menolong kelompok ini melalui Jaring Pengaman ~osial'. Sementara itu, kondisi distribusi pendapatan (dengan menggunakan Indeks Gini) tidak banyak mengalami perubahan, karena semua golongan pendapatan mengalanli penurunan pendapatan6. Namun khusus untuk tahun 1998 (puncak krisis), distribusi pendapatan masyarakat relatif lebih baik dengan indeks Gini sebesar 0,32, semata-mata terjadi karena penurunan pendapatan golongan menengah-atas lebih tajam dibanding golongan bawah. Ekspor Indonesia yang diharapkan dapat meningkat karena adanya dorongan apresiasi dolar, temyata juga tidak menunjukkan kinerja yang lebih baik. Secara teoritis, meningkatnya dolar akan menjadikan produk dalam negeri akan lebih muah dan lebih mampu bersaing di pasar dunia, karena komponen-komponen dalam negeri yang digunakannya akan jauh lebih murah dibanding harga ekspor dalam rupiah. Pada puncak krisis tahun 1998, ekspor malah menurun 8,60 persen, kemudian tabun 1999 juga menurun tipis 0,37 persen. Peningkatan tajam dari ekspor Indonesia tejadi pada tahun 2000 yang mencapai 27,66 persen'. 4
'
Tingkat pengangguran terbuka dihitung dengan membagi jumlah pencari kerja yang benar-benar tidak bekerja terhadap jumlah angkatan kerja. BPS menetapkan bahwa jumlah penduduk miskin adalah mereka yang berada di bawah garis kemiskinan (poverty line), yang diukur berdasarkan pengeluaran konsumsi makanan setara 2100 kalori ditambah pengeluaran minimum untuk non-makanan. Dalam nilai rupiah, garis kemiskinan untuk tahun 1999 ditetapkan sebesar Rp 89 845 per orangbulan untuk kota dan Rp 69 420 untuk desa. Indeks Gini merupakan ukuran ketidakmerataan pendapatan absolut yang bergerak antara 0 dan 1. Gini mendekati angka 0 berarti pendapatan merata sempurna dan mendekati I tidak merata sempuma. Mengenai kinerja ekspor Indonesia, l e b i jauh akan dibahas pada subbabbab berikutnya
Pendapatan masyarakat yang secara nominal telah menurun, diperburuk lagi oleh terjadinya inflasi yang meroket (hyper-infation), yang pada masa krisis tahun 1998 mencapai 77,63 persen, walaupun kemudian dapat diredam hingga 2,01 persen dan 9,35 persen pada tahun 1999 dan 2000. Ini berarti secara riil pendapatan masyarakat sangat merosot dan kehilangan sebagian besar daya belinya. Pemicu inflasi seperti telah disinggung sebelumnya adalah melemahnya rupiah terhadap dolar yang mendorong harga barang dan jasa meningkat temtama yang berasal dari impor atau berbahan baku impor (cost-pushinfation). Dari uraian di atas, memang sulit membayangkan bahwa krisis ekonomi dalam waktu singkat telah mampu memporakporandakan perekonomian Indonesia yang telah dibangun puluhan tahun dengan pengorbanan sebagian besar masyaraliat.
-
Temyata fundamental ekonomi yang sebelumnya dikatakan sangat kuat tidak mampu melawan badai krisis ini, karena sesungguhnya perekonomian Indonesia hanya dikuasai oleh segelintir orang saja yang mempakan kombinasi para penguasa dan pengusaha. Ketika beban keterpurukan ekonomi harus ditanggung oleh selumh bangsa ini, muncullah ketidakpuasan dan keberanian melawan "kezaliman" ini. Kedepan, paradigma pembangunan sudah seharusnya melibatkan semua potensi masyarakat, mulai dari menentukan dan merencanakan prioritas pembangunan, implementasinya, sampai kepada pengawasannya. Dari sini diharapkan akan terwujud
good governance yang memang menjadi harapan masyarakat.
Indonesia Dalam Perspektif Perdagangan Global Sampai berakhirnya Putaran Umguay pada Desember 1993 yang membahas negosiasi perdagangan antar negara (multilateral), kebanyakan negara berkembang
masih memposisikan diri sebagai pengamat (observer) dalam melihat pola perdagangan dunia. Sebagian dari negara berkembang tersebut justru memanfaatkan peluang yang ada untuk menggenjot ekspomya ditengah negosiasi sengit antar negara-negara maju mengenai pengurangan drastis hambatan perdagangan. Negaranegara berkembang yang jeli telah berlaku sebagaifp.ee riders dengan memanfaatkan perlakuan special dan dgerential (S & D), baik melalui Sistem Preferensi Umum (Generalized System of Preferences-GSP) maupun melalui pengecualian pembatasan
quota dan proteksi8.
*
Dalam masa dimana Putaran Uruguay sedang dinegosiasikan dan setelah itu
ditemskan dalam World Trade Organization (WTO), negara-negara berkembang secara bersamaan mulai meliberalisasi sistem perdagangannya masing-masing. Ini ditunjukkan dengan mulai meningkatnya kontribusi sektor perdagangan dalam GDP mereka. Strategi pembangunan juga bergeser pada kepercayaan total kekuatan pasar intemasional, lebih-lebih bagi negara yang menerapkan kebijakannya pada "export oriented development strategy". Di antara negara-negara di Asia yang sukses dalam
memanfaatkan peluang terjadinya pembahan pola perdagangan dunia kearah perdagangan global dan bebas, adalah Singapura dan Korea Selatan. Kedua negara ini dapat mencapai income per kapita yang tinggi dalam waktu singkat setelah berhasil menjadi eksportir utama produk-produk manufaktur berteknologi dan net importir untuk jumlah besar produk pertanian. Pola yang sama juga diterapkan oleh Malaysia dan Thailand dengan sedikit dilengkapi oleh keunggulan komparatifnya pada produk pertanian dan perkebunan. China mulai merubah pola produksi dan perdagangannya
Uraian lebih lengkap dapat dilihat Anne 0. Krueger, the Developing Countries and the Next Round of Multilateral Trade Negotiations, A Report to the World Bank, 1997.
dari produk manufaktur yang padat tenaga kerja tidak terampil (unskilled labor-
intensive industry) kepada produk-produk berteknologi yang dikerjakan tenagatenaga terampil. Dua negara di Amerika Tengah yaitu Bahama dan Panama adalah contoh lain, yang tetap mengandalkan produk pertanian tropis sebagai keunggulan komparatifnya. Bagaimana dengan Indonesia sendiri. Indonesia sebenarnya berada di persimpangan jalan. Pada awal pembangunan, dengan pertimbangan jumlah penduduk yang relatif besar dan kebutuhan dasar yang belum mencukupi, dikembangkan strategi substitusi impor (import-substitution oriented strategy). Pada waktu itu migas masih menjadi andalan ekspor dan perekonomian negara. Ketika harga minyak dunia jatuh di bawah US$ 10 per bare1 (tahun 1986), barulah muncul kesadaran untuk memperkuat ekspor non-migas, dengan strategi baru pada perluasan ekspor. Sayangnya yang dikembangkan adalah industri-industri yang tidak berbasis pada kemampuan sumber daya lokal, melainkan industri berteknologi dan berbahan baku impor. Ini menyebabkan posisi Indonesia dalam arena perdagangan internasional menjadi lemah. Di samping itu, apresiasi terhadap keungguran komparatif yang dimiliki sejumlah produk pertanian dan agro-industri kurang dikembangkandalam memperluas perdagangan internasional. Pertumbuhan ekspor Indonesia walaupun cukup mengesankan dalam 10 tahun terakhir, tetapi sesungguhnya masih jauh lebih rendah dari pertumbuhan ekspor negara-negara utarna di Asia, terutama Singapura, Malaysia, Thailand, China dan Korea Selatan, bahkan beberapa komoditi ekspor Indonesia saat ini sedang dalam trend yang menurun. Ada empat ha1 yang tercatat sebagai kerugian Indonesia dalam memanfaatkan peluang dan momentum perdagangan global : (1) orientasi perluasan
ekspor sedikit terlambat dan kurang optimal karena penguasaan informasi perdagangan dunia masih sangat lemah, (2) komoditi ekspor Indonesia sebagian tidak memilikiltidak didukung oleh basis produksi yang kuat, (3) citra (image) terhadap produk Indonesia di luar negeri (bahkan sebenarnya oleh bangsa Indonesia sendiri) masih kurang baik dan ini terkait dengan pengalaman selama ini tentang ketidakpuasan
konsumen
luar
negeri
dalam
ha1 ketepatan
penyarnpaian
barangldelivery, kualitas produk yang tidak sesuai, jumlah yang tidak bisa dipenuhi, belum lagi bila dikaitkan juga dengan isu-isu HAM, lingkungan, hak-hak buruh, dan
(4) kondisi sosial-politik dalam negeri yang tidak stabil ikut menambah ketidakpercayaan luar negeri terhadap kemampuan Indonesia. Dalam konteks perdagangan bebas dunia yang semakin meluas, patut dipertanyakan apakah Indonesia sudah siap menghadapinya. Pertanyaan ini dalam jangka pendek dapat dialamatkan pada kesiapan menghadapi perdagangan bebas ASEAN (AFTA) yang sudah akan dimulai tahun 2003, dan ini akan menjadi suatu
test-case bagi Indonesia dalam babak prakualifikasi di pasar ASEAN. Antara pemerintah dan dunia usaha maupun antar dunia usaha itu sendiri, belum ada satu suara mengenai kesiapan ini. Pemerintah sebenarnya merasa belum siap, tetapi harus tetap memenuhi komitmennya untuk memulai pasar bebas ASEAN ini. Di pihak dunia usaha, pandangan terbagi menjadi dua, ada sebagian yang merasa sudah siap terutama produsenleksportir yang selama ini terkait dengan produk-produk andalan ekspor, namun sebagian lagi (mungkin merupakan jurnlah terbesar) merasa belum siap bersaing karena faktor-faktor internal serta iklim usaha yang belum kondusif. Peluang, ancaman dan langkah-langkah strategis dalam menghadapi persaingan bebas yang semakin menguat, rupanya belum tersosialisasi secara intensif. Banyak
dunia usaha, apalagi masyarakat luas yang belum mengetahui agenda perdagangan bebas ini. Persoalan-persoalan dalam negeri yang terus mencuat sejak krisis ekonomi tahun 1998 rupanya telah mengalilkan fokus pertlatian para petinggi negara, elit politik dan dunia usaha dari perubahan cepat dalanl perdagangan internasional. Sementara itu, negara-negara ASEAN seperti Singapura, Malaysia dan Thailand ternyata lebih sigap menghadapi persaingan global ini, bahkan bila diumpamakan peserta lomba lari, negara-negara ini sudah mencuri start sejak beberapa tahun lalu. Kalau beluln pada arah yang benar dan penuh dengan uncertainly, tidak n~ustal~il Indonesia akan menjadi pecundang dalam percaturan perdagangan internasional ke depan.