ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTAMBAKAN DI KAWASAN DELTA MAHAKAM KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA Analysis of Shrimp Brackish Water Pond Development Policy in Mahakam Delta Area of Kutai Kartanegara Regency Edy Santoso1), Djuhriansyah2) dan Bambang Indratno Gunawan2) Abstract. Research problem that needed to be addressed in this study is to overview general features of Mahakam Delta’s exploitation for shrimp brackish water pond enterprise up to present and how the institutions play their function and authorities that relevant to Mahakam Delta management and also to find out to what extent implementation nowadays and which factors should be take into account for shrimp brackish water pond developed by local people. The objectives of this study were to describe the utilization of Mahakam Delta in terms of shrimp brackish water pond occupation, to analyse the functions and authorities of certain institutions which relevant to shrimp brackish water pond management and to analyse main factors affecting shrimp brackish water pond management by local farmer. The results showed that management functions including permit issuance, planning, implementation of shrimp brackish water pond enterprises was satisfied. In monitoring and evaluation stage however, there was not sufficient yet for adequate institution to take place. According to PCA model to analyse shrimp brackish water pond enterprises variance at studied locations showed that there were three main factors, i.e. the first factor were shrimp brackish water pond area, production level, revenue level and years of farmers experience variables, the second factor were number of working hours and number of pond worker variables, and finally the third factor were cost of shrimp brackish water pond business and initial cost variables. Determination of such main factors were derived by loading factor process using criterion of more than 0.7. Kata kunci: perkembangan pertambakan, analisis kebijakan, delta mahakam, model PCA.
Keunggulan komparatif untuk kegiatan budidaya pertambakan udang di wilayah pesisir Kalimantan Timur disebabkan antara lain karena adanya faktor-faktor seperti ketersediaan lahan mangrove yang dapat dikonversi menjadi tambak, adanya suplai air dari sungai-sungai dengan kualitas yang mendukung untuk budidaya tambak dan ketersediaan benur atau nener alami. Keunggulan tersebut ___________________________________________________________________ 1) Bappeda Kabupaten Kutai Kartanegara Tenggarong 2) Fakultas Perikanan dan Kelautan Unmul, Samarinda
115
2
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 3 (2), OKTOBER 2007
116
selanjutnya mendorong tumbuh dan berkembangnya balai benih udang (hatchery) dan industri eksportir udang. Perusahaan pengekspor udang beku di Kalimantan Timur ada 16 buah yang terdapat pada empat kabupaten/kota. Produksi udang beku Kaltim tahun 2004 tercatat sebesar 1.645.839 ton dengan nilai US$14.248.699,21 dan tujuan ekspor adalah negara Jepang, Hongkong, Thailand, Cina, Korea, Australia, Amerika dan Belgia (Anonim, 2004b). Kawasan yang selama ini telah memberikan sumbangan yang penting untuk produksi pertambakan di provinsi ini adalah Delta Mahakam. Kawasan Delta Mahakam diketahui memiliki hutan mangrove yang pada awalnya seluas 150.000 ha dengan didominasi nipah (Nypa fruticans), laju deforestasi mangrove menjadi tambak udang di wilayah ini sudah mencapai sekitar 80 % dari luas total mangrove (Dutrieux, 2001). Delta Mahakam merupakan wilayah yang mensuplai udang ekspor terbesar di Indonesia. Produksi udang Delta Mahakam pada tahun 2000 mencapai setengah dari total ekspor Kalimantan Timur yakni sekitar 5.000-6.000 ton ekspor udang atau 60 %nya berasal dari usaha tambak (Bourgeois dkk., 2002). Laju konversi tataguna lahan untuk pertambakan di kawasan Delta Mahakam sangat meningkat tajam sejak tahun 1992. Berdasarkan laporan yang diterbitkan oleh Bappeda Kutai Kartanegara dan LAPI ITB tahun 2003, bahwa luas tambak di Delta Mahakam pada tahun 2001 adalah 69.354.37 ha. Luas wilayah yang dikonversi menjadi tambak sejak tahun 1992 sampai tahun 2001 di delta meningkat sebesar 201,26 % per tahun. Besarnya konversi lahan tambak pada kurun waktu 1992-1996 sebesar 74,77 % per tahun dan selama 1996-2001 sebesar 75,79 % per tahun. Laju perubahan konversi mangrove menjadi usaha pertambakan di kawasan Delta Mahakam yang sangat tinggi tersebut disebabkan beberapa faktor utama. Faktor-faktor yang diperkirakan mendorong konversi hutan mangrove menjadi tambak udang di wilayah delta adalah: (1) peranan pasar global yaitu ekspor udang merupakan peluang ekspor yang harus dikembangkan karena meningkatkan devisa negara; (2) kepemilikan hutan mangrove yang bersifat quasi open access yang mempermudah usaha konversi lahan mangrove menjadi tambak udang; (3) keuntungan ekonomi jangka pendek dan pola produksi tambak masyarakat yang bersifat tradisional dan ekstensif; (4) lemahnya kebijakan pemerintah dalam pengaturan dan pengendalian deforestasi hutan mangrove; (5) dukungan kelembagaan lokal dengan sistem patron-klien selama bertahun-tahun yang memberikan akses terhadap aliran produk udang sejak dari tambak sampai ke industri cold storage (Bourgeois dkk., 2002; Rachmawati dkk, 2003; Gunawan, 2005). METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan selama 3 bulan sejak September sampai dengan Desember 2006 dengan memfokuskan pada kebijakan pengelolaan pertambakan di kawasan Delta Mahakam. Populasi yang diambil untuk sampel adalah pemegang kebijakan pengelolaan kawasan dan pembangunan pertambakan di lokasi studi. Responden yang menjadi objek dalam penelitian adalah badan/dinas dan lembaga
3
117
Santoso dkk. (2007). Analisis Kebijakan Pembangunan
pemerintah yang terkait dalam kebijakan pengelolaan pertambakan di Delta Mahakam meliputi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Kutai Kartanegara, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Kutai Kartanegara dan Resort Kecamatan, Dinas Kehutanan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Kutai Kartanegara, Badan Pengelola Kawasan Delta Mahakam, ponggawa dan petambak di wilayah Delta Mahakam. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data primer dan sekunder. Data primer dikumpulkan dengan cara pengamatan langsung di lapangan dan melalui wawancara langsung dengan responden berdasarkan daftar pertanyaan (kuisioner) yang telah disiapkan sebelumnya yang disusun sesuai dengan tujuan penelitian. Data sekunder diperoleh dari laporan-laporan dari instansi/lembaga pemerintah yang terkait. Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif, kuantitatif dan kualitatif. Analisis deskriptif dan kualitatif digunakan untuk mengetahui gambaran pemanfaatan kawasan Delta Mahakam untuk usaha pertambakan selama ini. Penelitian ini juga mengamati sebaran spasial wilayah pertambakan di Delta Mahakam. Matriks analisis fungsi dan kewenangan digunakan untuk mengkaji fungsi dan kewenangan serta peran dari setiap instansi/lembaga dengan pengelolaan pertambakan di Delta Mahakam (Sorensen dkk., 1990 dalam Tomboelu dkk., 2000). Analisis komponen utama (principal component analysis) digunakan untuk menganalisis faktor-faktor utama yang berperan dalam usaha pertambakan di Delta Mahakam. Metode analisis komponen utama memungkinkan suatu representasi yang lebih mudah dibaca atau diinterpretaskan pada struktur dalam matriks data dengan hanya menarik informasi essensial (Bengen, 2000). Rumus dasar untuk analisis komponen utama dengan rotasi Varimax yang digunakan adalah persamaan eigen (eigen equation) sebagai berikut (Saefulhakim, 1997): 1 Q' Q ; L ; S Q
Q : matriks Q yang telah distandarisasikan sehingga ragam untuk setiap kolom menjadi sama dengan satu, dengan nilai tengah masing-masing sama dengan nol Q’ : transpose matriks Q u : vektor ciri (eigen vector); uα: vektor ciri untuk komponen utama ke-α λ : akar ciri (eigen value); λα : akar ciri untuk komponen utama ke-α Lα : vektor pembobot komponen utama (principal component loadings) ke-α; setiap elemen vektor ini merupakan korelasi antara komponen utama ke-α dengan variabel asal Sα : vektor skor komponen utama (principal component loadings) ke-α; setiap elemen vektor ini merupakan skor untuk sampel ke-i berdasarkan komponen utama yang ke-α Persamaan eigen di atas diselesaikan dengan menggunakan metode Jacobi. Selanjutnya komponen utama diambil didasarkan atas:
4
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 3 (2), OKTOBER 2007
118
a. Kriteria Kaisser (λα ≥ 1), yakni paling tidak komponen utama tersebut setara dengan satu variabel asal b. Komponen utama tersebut paling tidak berkorelasi nyata dengan satu variabel asal dan diuji dengan t-student test. Variabel-variabel yang dikaji dalam analisis PCA adalah tingkat produksi (kg/tahun), luas tambak (ha), total biaya usaha (Rp/ha), penerimaan usaha (Rp/ha), jumlah jam kerja (HOK), jumlah tenaga kerja (orang), biaya modal (Rp/ha), biaya input produksi (Rp/ha), pengalaman usaha (tahun), pengalaman pendidikan (tahun) (Shang, 1991). HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Kawasan Delta Mahakam a. Letak dan luas wilayah Kawasan Delta Mahakam secara geografis terletak pada posisi 00015’01000’ LS dan 117015’117045’ BT, berada di pantai timur Propinsi Kalimantan Timur dengan luas diperkirakan sebesar 1.500 km2. Adapun batas-batas wilayahnya adalah sebagai berikut: sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Marangkayu, sebelah timur berbatasan dengan Selat Makasar, sebelah selatan berbatasan dengan Kota Balikpapan, sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Tenggarong, Tenggarong Seberang, Loa Kulu dan Loa Janan. Delta Mahakam secara administratif berada pada wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara yang meliputi 5 kecamatan, yaitu Kecamatan Muara Jawa, Samboja, Muara Badak, Sanga-sanga dan Anggana. Kawasan Delta Mahakam berjarak lebih kurang 25 km dari Samarinda, ibukota Propinsi Kalimantan Timur. b. Geomorfologi Delta Mahakam terbagi atas tiga lingkungan geofisik utama, yaitu dataran delta (delta plain) yang terbagi atas bagian hulu dan hilir, paparan delta (delta front) dan prodelta. Delta Mahakam adalah suatu kawasan yang berbentuk kipas, dengan pinggiran luarnya berbentuk hampir setengah lingkaran (fan-shaped lobate), yang terbentuk oleh proses sedimentasi sejak 5000 tahun yang lalu, di bagian muara Sungai Mahakam, di kawasan pantai timur Propinsi Kalimantan Timur. Kawasan delta ini berupa kawasan dataran berlumpur (delta plain), yang hampir keseluruhannya berawa-rawa, dengan alur-alur sungai dan anak-anak sungai yang memotong bagian datarnya, kawasan pasang surut berpasir/paparan delta (delta front) dan kawasan yang tersusun dari batu lempung menunjam ke arah laut terbuka dan selalu tergenang oleh air laut (prodelta). Alur-alur sungai yang berada di dalam kawasan delta adalah cabang-cabang Sungai Mahakam, berupa kanal-kanal sedalam 517 m, yang terbentuk secara radial dan men-‘jari’, dengan lebar antara 300600 m. Kanal-kanal tersebut di industri perminyakan dikenal sebagai distributary chanel, yang berada di kawasan Delta Mahakam ini panjangnya mencapai 42,0 km. Anak sungai-anak sungai yang dimaksud adalah anak sungai yang terbentuk akibat aliran air laut pada waktu
5
119
Santoso dkk. (2007). Analisis Kebijakan Pembangunan
naik dan pasang surut, memotong bagian-bagian kawasan pinggiran delta muka dan kawasan pinggiran kanal-kanal sungai (distributary channel). Anak-anak sungai dimaksud tersebut interdistributary channel. Pembentukan kawasan delta ini sangat dipengaruhi oleh deras-lemahnya air Sungai Mahakam dan deras-lemahnya, besar-kecilnya dan tinggi-rendahnya air laut pada waktu pasang naik. Proses pembentukan yang demikian ini menghasilkan bentuk dan rupa dataran delta seperti ‘kumpulan pulau-pulau’. c. Keadaan penduduk Jumlah penduduk di kawasan Delta Mahakam sebanyak 52.199 jiwa dan wilayah yang paling banyak penduduknya adalah Desa Muara Badak Ilir sebanyak 13.013 jiwa. Kepadatan penduduk rata-rata di Delta Mahakam adalah 26,34 jiwa/km2 terpadat berada pada Desa Muara Jawa Ulu sebanyak 352,19 jiwa/km2. Jumlah dan kepadatan penduduk di kawasan Delta Mahakam dikemukakan pada Tabel 1 berikut ini. Tabel 1. Jumlah dan Kepadatan Penduduk di Kawasan Delta Mahakam Tahun 2004 (Diolah dari BPS Kabupaten Kutai Kartanegara Tahun 2004) Kecamatan Muara Badak
Anggana
Sanga-sanga
Muara Jawa
Samboja Jumlah
Desa/Kelurahan Saliki dan Salopalai Muara Badak Ulu Muara Badak Ilir Jumlah Tani Baru, Muara Pantuan Sepatin Handil Terusan Kutai Lama Anggana dan S. Meriam Jumlah Sanga-sanga Muara & Pendingin Jumlah M. Kembang, Tama Pole dan Dondang Muara Jawa Ilir Muara Jawa Tengah Muara Jawa Ulu Jumlah M. Sembilang Jumlah
2
Luas (km ) 375,34 133,31 134,30 642,95 316,52 624,87 36,50 308,95 97,12 1.067,44
Jumlah penduduk (jiwa) 1.272 3.543 13.013 17.828 2.204 1.557 2.964 2.564 1.936 11.464
Kepadatan penduduk 2 (jiwa/km ) 3,39 26,58 96,90 27,73 6,96 2,49 81,21 8,30 19,93 10,74
55,42 55,42
5.559 5.559
100,31 100,31
10,71 23,79 62,45 29,74 126,69 89,13 89,13 1.981,63
993 1.775 2.911 10.474 16.153 1.195 1.195 52.199
92,72 74,61 46,61 352,19 127,50 13,41 13,41 26,34
d. Penggunaan lahan Bentuk penggunaan lahan di kawasan Delta Mahakam terbagi atas hutan mangrove air asin, hutan mangrove air payau, kawasan pemukiman dan pertambakan. Jumlah penggunaan lahan di delta pada tahun 1992 seluas 109.702,02 ha dan yang terbesar penggunaan lahannya adalah hutan mangrove air
6
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 3 (2), OKTOBER 2007
120
payau sebesar 77.427,47 ha sementara pertambakan meliputi lahan seluas 3.628,60 ha. Perubahan luas penggunaan lahan pada tahun 1996 dan luas penggunaan lahan untuk pertambakan meningkat menjadi 14.480.54 ha. Pertambakan di Delta Mahakam pada tahun 2001 meningkat menjadi 69.354.37 ha. Perubahan penggunaan lahan di kawasan Delta Mahakam dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini. Tabel 2. Perubahan Penggunaan Lahan di Kawasan Delta Mahakam Tahun 1992-2001
Tata guna lahan
Perubahan tata guna lahan per tahun (%) Tahun 1992 Tahun 1996 Tahun 2001 19921996 19962001 19922001 Luas lahan (ha)
Hutan mangrove air asin 28.572,21 Hutan mangrove air payau 77.427,47 Pemukiman 73,74 Tambak 3.628,60 Jumlah 109.702,02 Sumber: Anonim (2003)
28.315,11
18.271,09
-0,22
-7,09
-4,01
66.781,24 125,13 14.480,54 109.702,02
21.947,56 129,00 69.354,37 109.702,02
-3,45 17,42 74,77
-13,43 0,62 75,79
-7,96 8,33 201,26
e. Perkembangan pertambakan di Delta Mahakam Perkembangan pertambakan secara historis di kawasan Delta Mahakam secara lengkap dapat dilihat pada laporan Bourgeois dkk. (2002) yang menyatakan bahwa pada tahun 1950-an vegetasi awal di kawasan Delta Mahakam utamanya terdiri dari hutan mangrove. Luas keseluruhan wilayah delta pada awalnya dalam kurun waktu tersebut sekitar 106.000 ha. Nipah merupakan spesies yang dominan dan mencakup sebesar 55 % dari total wilayah diikuti oleh hutan mangrove air tawar (17 %) dan vegetasi api-api (Avicennia). Delta Mahakam adalah kawasan dengan luas nipah terbesar di dunia. Beberapa perubahan telah terjadi pada tahun 1996, meskipun tumbuhan nipah masih mendominasi sebesar 48 % dari wilayah delta namun mulai menurun persentasenya. Hutan mangrove air tawar masih terbesar kedua dan masih hampir tidak terkonversi. Perubahan yang utama adalah tambak menempati penggunaan lahan sebesar 14 % dari luas delta dan merupakan terbesar ketiga dalam penutupan lahan delta menggantikan nipah (5.000 ha), nipah dan api-api (2.000 ha), api-api (1.600 ha) dan hutan terdegradasi (1.500 ha). Tambak-tambak ditemukan di beberapa tempat, namun masih terdapat pola yang jelas yakni berada di wilayah depan, di mana hutan mangrove dikonversi mengarah kepada wilayah pemukiman. Peta pada tahun 1999 menunjukkan, bahwa telah terjadi perubahan dramatis atas mangrove nipah. Sekitar 36.000 ha nipah telah dikonversi menjadi tambak atau dipersiapkan untuk pembukaan tambak selama 3 tahun, selanjutnya terjadi konversi vegetasi api-api sebesar 3.700 ha, diikuti konversi 4.000 nipah campuran dan api-api. Informasi lainnya adalah terjadinya konversi 5.500 ha hutan mangrove air tawar menjadi tambak-tambak baru. Pertambakan merupakan tipe penggunaan lahan delta yang utama sebesar 63 % dari luas delta yang terdiri dari 34 % tambak produktif dan 29 % tambak baru.
7
121
Santoso dkk. (2007). Analisis Kebijakan Pembangunan
Peta tahun 2001 tidak memungkinkan cakupan yang penuh atas Delta Mahakam. Hasil analisis menunjukkan bahwa wilayah pertambakan sekitar 75 % dari luas kawasan delta. Tambak-tambak produktif diperkirakan seluas 50.000 ha dan 31.000 ha dalam persiapan tambak baru. Selanjutnya sekitar 7.000 ha nipah telah dikonversi dan wilayah untuk vegetasi nipah ini diperkirakan hanya sebesar 8 % dan hutan mangrove air tawar sebesar 11 % masing-masing terhadap luas delta. Analisis Kebijakan Pengelolaan Delta Kawasan Delta Mahakam berdasarkan penunjukan kawasan hutan Propinsi Kalimantan Timur berdasarkan SK Menhut no. 79/Kpts-II/2001 tanggal 16 Maret 2001 termasuk pada kawasan hutan produksi tetap. Kenyataan ini sudah sangat tidak relevan lagi dengan kondisi aktual kawasan delta, di mana diperkirakan sebesar 85 % dari luas kawasan delta telah dikonversi menjadi pertambakan. Perbedaan penafsiran pada saat yang sama terjadi terhadap kelembagaan yang bertanggung jawab atas kawasan delta ini. Pengelolaan kawasan Delta Mahakam seharusnya merupakan tanggung jawab Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara, sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan UU no. 32/2004. Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara lebih jauh untuk menjawab hal tersebut membentuk Badan Pengelola Kawasan Delta Mahakam Terpadu dan Berkelanjutan berdasarkan SK Bupati Kutai no. 180.188/HK-458/2001 tanggal 27 November 2001 yang bertujuan untuk menyelaraskan upaya-upaya terpadu dari semua pemangku kepentingan, baik pemerintah daerah, perusahaan migas, perusahaan industri perikanan, perguruan tinggi dan komponen masyarakat yang mengarah kepada pengelolaan kawasan delta yang berkelanjutan. Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara telah membuat Rencana Detail Tata Ruang Kawasan Delta Mahakam kerja sama Bappeda Kabupaten Kutai Timur dan LAPI Institut Teknologi Bandung pada tahun 2003. Bappeda saat ini juga tengah melakukan Revisi RDTR Kawasan Delta Mahakam yang masih dilakukan sosialisasinya. Pemangku kepentingan (stakeholders) utama pemanfaatan delta dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian, yaitu kelompok yang langsung dan yang tidak langsung melakukan eksploitasi delta. Stakeholders utama yang langsung berkaitan dengan kegiatan eksploitasi adalah pengusaha tambak yang sekaligus sebagai pedagang pengumpul udang (punggawa) dan petambak serta perusahaan migas. Punggawa mempunyai peran yang sangat signifikan, keterlibatan mereka sangat dominan dalam perkembangan usaha tambak di Delta Mahakam. Mereka menguasai dan atau memiliki tambak yang sangat luas sampai ribuan hektar. Punggawa juga mempunyai kontrol yang sangat kuat, dengan modal dan akses yang dimiliki, punggawa dapat meningkatkan lahan tambaknya seluas mungkin dan mengatur usaha tambak dan hasil tambak 'anak buah'nya yaitu petambak yang mendapatkan fasilitas modal dari punggawa. Peran perusahaan migas, seperti TotalFinaElf Indonesie (TFI) dan VICO, lebih kecil dibandingkan dengan punggawa. Peran perusahaan migas terbatas pada lokasi migas dan peraturanperaturan yang tertuang dalam kesepakatan kontrak kerja dengan pihak pemerintah.
8
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 3 (2), OKTOBER 2007
122
Stakeholders yang langsung melakukan eksploitasi delta, dominasi stakeholders juga dapat dilakukan secara tidak langsung. Stakeholders kelompok ini yang utama adalah (1) perusahaan cold storage yang beroperasi di sekitar delta, Balikpapan dan Samarinda, dan (2) pengusaha dan konsumen udang tingkat internasional. Seperti punggawa, perusahaan cold storage mempunyai peran yang sangat signifikan dalam kegiatan eksploitasi hutan mangrove di Delta Mahakam. Dalam menjamin ketersediaan udang di perusahaan, cold storage memberikan akses modal dan fasilitas kepada punggawa dan petambak untuk mengembangkan usaha tambak di wilayah delta. Udang kemudian diproses menjadi udang beku dan diekspor ke mancanegara, terutama Jepang, diikuti oleh Hongkong, Cina, Amerika dan beberapa negara Eropa. Peran pengusaha dan konsumen udang internasional sangat menentukan perkembangan tambak di delta. Tingginya permintaan konsumen dan harga udang di pasar internasional telah memotivasi pengusaha tambak dan petambak untuk memperluas tambak udang di Delta Mahakam. Stakeholders pemerintah, khususnya instansi yang berwenang seperti Dinas Kehutanan, Dinas Perikanan dan Kelautan serta Bapedalda, mempunyai peran yang tidak langsung dalam pengelolaan Delta Mahakam. Peran pemerintah masih terbatas baik pada tingkat Kabupaten Kukar maupun Propinsi Kaltim. Pihak pemerintah daerah sudah mulai tumbuh kesadaran akan pentingnya pelestarian Delta Mahakam, tetapi kesadaran ini belum diikuti dengan kepedulian yang nyata dan kemauan keras untuk mengatasi permasalahan delta yang sudah sangat serius. Kurangnya kepedulian ini dicerminkan dari masih terbatasnya program aksi yang harus segera dilakukan oleh Pemda, Dinas Kehutanan, Perikanan dan Kelautan dan Bappedalda, baik di tingkat Propinsi Kaltim maupun Kabupaten Kukar. Hal ini berkaitan dengan anggaran yang sangat terbatas untuk kegiatan pengelolaan Delta Mahakam, khususnya untuk rehabilitasi hutan mangrove dan pengembangan tambak ramah lingkungan. Walaupun Propinsi Kaltim dan Kabupaten Kukar termasuk ke dalam propinsi dan kabupaten yang kaya di Indonesia, tetapi anggaran untuk pengelolaan delta masih sangat minim. Kebijakan pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara dalam pengelolaan delta dapat dibedakan menjadi kebijakan yang menyangkut aspek hukum dan kelembagaan serta aspek mengenai biofisik lingkungan kawasan delta. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Kebijakan Pemerintah Kutai Kartanegara dalam Pengelolaan Delta Mahakam Aspek kebijakan Uraian kebijakan Hukum dan 1. Pembentukan Tim Pengelola Delta Mahakam Terpadu dan Berkelanjutan kelembagaan melalui SK Bupati no. 180.188/HK-458/2001 tanggal 27 November 2001. 2. Menyusun program kerja Tim Pengelola Delta Mahakam Terpadu dan Berkelanjutan sebagai tindak lanjut hasil Lokakarya Delta Mahakam di Hotel Horizon Jakarta pada tanggal 45 April 2001. 3. Larangan terhadap pembukaan tambak dan pemakaian alat berat tanpa izin di Delta Mahakam melalui Surat Edaran Bupati Kab. Kukar no. 100/175/Pem.A/IV/2003, tanggal 14 April 2003.
9
123
Santoso dkk. (2007). Analisis Kebijakan Pembangunan
Tabel 3 (lanjutan) Aspek kebijakan Hukum dan kelembagaan
Uraian kebijakan 4. Penyusunan Perda tentang Rencana Detail Tata Ruang Kawasan Delta Mahakam kerja sama Pemkab Kukar dengan Total E & P Indonesie yang saat ini telah disampaikan dan dalam proses pembahasan DPRD Kabupaten Kutai Kartanegara. 5. Konsultasi publik kepada seluruh stakeholder yang ada di Delta Mahakam untuk mendapatkan masukan dalam penyusunan RDTR dan draft Perda RDTR Delta Mahakam. 6. Pembentukan Tim Kerja Rehabilitasi dan Konservasi Delta Mahakam di Kabupaten Kutai Kartanegara (Kutai Kartanegara Task Force for Rehabilitation and Conservation of Mahakam Delta) melalui SK Bupati Kutai Kartanegara no. 180.188/HK-250/2005 tanggal 31 Desember 2005. Biofisik lingkungan 1. Pengembangan tambak percontohan wanamina (silvofishery) melalui APBN (proyek P3BL tahun 2001, 2002, 2004 dan 2005); APBD Kabupaten Kukar (tahun anggaran 2001, 2002 dan 2003); kerja sama dengan Total E & P Indonesie (tahun 2002 dan 2003). 2. Penanaman bakau oleh dinas terkait (Kehutanan dan Bapedalda) dan Total E & P Indonesie, lebih 1.000.000 pohon di kawasan Delta Mahakam. 3. Sosialisi dan pelatihan tambak berwawasan lingkungan (silvofishery) bagi kelompok pembudidaya/nelayan dan masyarakat bekerja sama dengan Total E&P Indonesie pada tingkat kabupaten, kecamatan dan desa di kawasan Delta Mahakam bersama instansi terkait (pemerintah daerah/assisten pemerintahan dan hukum, Dinas Perikanan dan Kelautan, Dinas Kehutanan, Bapedalda, Universitas Mulawarman dan BKSDA). 4. Sosialisasi melalui media cetak (surat kabar, leaflet, brosur, poster dan sticker) tentang manfaat, fungsi dan kelestarian mangrove bagi lingkungan dan usaha perikanan.
Dasar Hukum Pengelolaan Kawasan Delta Mahakam Dasar hukum bagi kewenangan atau aspek legalitas pengelolaan kawasan delta ini merupakan landasan penting sebelum pembangunan dilaksanakan dan berfungsi sebagai kebijaksanaan pokok pemantauan ruang kawasan. Beberapa dasar hukum atau peraturan perundangan lain dalam pelaksanaannya juga dimanfaatkan sebagai rujukan atau pedoman pendukung dalam pengendalian dan pemantauan pemanfaatan ruang kawasan, di antaranya: 1) Undang-undang RI no. 5 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria. 2) Undang-undang RI no. 11 tahun 1974 tentang Pengairan. 3) Undang-undang RI no. 13 tahun 1983 tentang Jalan. 4) Undang-undang RI no. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. 5) Undang-undang RI no. 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. 6) Undang-undang RI no. 5 tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman. 7) Undang-undang RI no. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang. 8) Undang-undang RI no. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. 9) Undang-undang RI no. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. 10) Undang-undang RI no. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintahan Pusat dan Daerah. 11) Undang-undang RI no. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.
10
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 3 (2), OKTOBER 2007
124
12) Undang-undang RI no. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. 13) Undang-undang RI no. 31 tahun 2004 tentang Perikanan. 14) Peraturan Pemerintah no. 14 tahun 1987 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintah di Bidang Pekerjaan Umum Kepada Daerah. 15) Peraturan Pemerintah no. 27 tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. 16) Keputusan Presiden no. 57 tahun 1989 tentang Tim Tata Ruang berkaitan dengan Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang di Daerah. 17) Keputusan Presiden no. 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. 18) Peraturan Menteri Dalam Negeri no. 9 tahun 1982 tentang Pedoman Penyusunan dan Pengendalian Pembangunan Daerah. 19) Peraturan Menteri Dalam Negeri no. 2 tahun 1987 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kota. 20) Keputusan Menteri Pekerjaan Umum no. 640/KPTS/1986 tentang Perencanaan Tata Ruang Kota. 21) Peraturan Daerah (PERDA) Propinsi Kalimantan Timur yang berlaku dan berkaitan dengan Pembangunan, Penataan Ruang Wilayah dan Tata Ruang Kota. 22) Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) Kalimantan Timur dan Revisinya. 23) Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Kutai Kartanegara yang berlaku dan berkaitan dengan Pembangunan, Penataan Ruang Wilayah dan Tata Ruang Kota. 24) Pedoman penyusunan RDTR Kawasan sebagai penjabaran dari RTRW Kabupaten Kutai Kartanegara. Berdasarkan matriks analisis fungsi dan kewenangan kelembagaan kegiatan pembangunan di kawasan Delta Mahakam, maka pada umumnya fungsi-fungsi manajemen meliputi pemberian izin, perencanaan, pelaksanaan untuk usaha pertambakan di kawasan Delta Mahakam telah terpenuhi. Namun pada fungsi pemantauan dan evaluasi belum tercukupinya kelembagaan yang menanganinya. Hasil Analisis Komponen Utama Usaha Pertambakan Berdasarkan hasil analisis komponen utama atau PCA terhadap sepuluh variabel utama telah disimpulkan menjadi 3 faktor atau komponen utama. Hasil pengelompokan tersebut diketahui bahwa faktor ke-1 terdiri dari variabel luas tambak, tingkat produksi, tingkat penerimaan usaha dan pengalaman usaha bertambak responden, faktor ke-2 terdiri dari variabel jumlah jam kerja dan variabel jumlah tenaga kerja, faktor ke-3 meliputi vriabel biaya usaha tambak dan biaya modal. Penentuan variabel-variabel utama tersebut adalah berdasarkan faktor loading yang signifikan dengan kriteria >0,7. Hasil analisis komponen utama dapat dilihat pada Tabel 4.
11
125
Santoso dkk. (2007). Analisis Kebijakan Pembangunan
Tabel 4. Ringkasan Hasil Analisis Komponen Utama Variabel Faktor ke-1 Faktor ke-2 Faktor ke-3 Luas 0,876646* 0,113124 0,308160 Produksi 0,900025* 0,102653 0,286283 Bidang usaha 0,186920 0,064819 0,870360* Penerimaan 0,900025* 0,102653 0,286283 Jam kerja 0,099685 0,975020* 0,006118 Jumlah tenaga kerja 0,099685 0,975020* 0,006118 Biaya modal 0,207005 0,039777 0,869725* Biaya input produksi 0,298479 -0,309884 0,647194 Pengalaman usaha 0,796018* 0,076206 -0,106775 Pengalaman pendidikan -0,623451 0,046908 0,209674 Explained Variation 3,597688 2,045021 2,247126 Proporsi total 0,359769 0,204502 0,224713 Ragam yang diterangkan 4,284174 2,080195 1,525466 Proporsi dari total ragam (%) 42,84174 20,80195 15,25466 Proporsi kumulatif dari total r (%) 42,84174 63,64369 78,89835 Keterangan: tanda bintang (*) menunjukkan factor loading yang nyata (kriteria >0,7)
Faktor ke-1 merupakan faktor utama dengan kontribusi terbesar yang mempengaruhi keragaman usaha pertambakan di lokasi studi. Besarnya ragam yang dapat diterangkan pada faktor ke-1 adalah sebesar 4,284174, sementara itu untuk faktor ke-2 dan ke-3 masing-masing sebesar 2,080195 dan 1,525466. Ketiga faktor utama tersebut secara keseluruhan dapat menerangkan keragaman usaha pertambakan sebesar 79 %. Berdasarkan proporsinya maka faktor ke-1 menyumbang sebesar 43 %, faktor ke-2 sebesar 21 % dan faktor ke-3 menerangkan sebesar 15 % dan sisanya sebesar 21 % tidak dapat diterangkan oleh model. Ketimpangan peran stakeholders dalam pengelolaan kawasan Delta Mahakam terutama untuk usaha pertambakan berkaitan erat dengan tiga faktor, yaitu faktor internal stakeholder, eksternal dan struktural. Uraian mengenai faktor-faktor yang diperkirakan berpengaruh terhadap pengelolaan di kawasan Delta Mahakam dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel. 5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebijakan Pengelolaan Kawasan Delta Mahakam, Desember, 2006 Faktor Internal
Uraian dampak a. Masih rendahnya kesadaran dan kepedulian pemangku kepentingan (stakeholders) b. Rasa memiliki kawasan Delta Mahakam masih rendah c. Masih minimnya kesadaran pelestarian lingkungan di kawasan delta Eksternal a. Kondisi ekonomi makro Indonesia masih dalam krisis b. Tingkat keuntungan usaha pertambakan sangat menjanjikan mendorong meningkatnya imigrasi terutama dari Sulawesi Struktural a. Masih belum jelas lembaga yang berwenang dalam pengelolaan delta antara pemerintah pusat dan daerah b. Instansi yang bertanggung jawab di level kabupaten juga belum jelas
Faktor internal stakeholder yang mencolok adalah perilaku stakeholders yang merusak sumberdaya delta. Kesadaran dan kepedulian sebagian besar stakeholders
12
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 3 (2), OKTOBER 2007
126
di berbagai tingkatan akan pentingnya pelestarian delta masih sangat terbatas. Rasa memiliki atau sense of belonging stakeholders utama delta, terutama punggawa dan cold storage, sangat minim. Hal ini berkaitan dengan masih terbatasnya pengetahuan dan pemahaman tentang ekosistem mangrove dan pentingnya pelestarian sumberdaya delta tersebut. Hanya beberapa punggawa dan sebagian kecil petambak yang mulai menyadari pentingnya pelestarian delta. Mereka mulai melakukan upaya untuk menyelamatkan delta dengan menanam pohon-pohon bakau di tambak mereka. Upaya ini perlu terus ditumbuhkembangkan dengan melibatkan lebih banyak punggawa dan petambak lainnya. Faktor eksternal yang berpengaruh dalam pengelolaan Delta Mahakam adalah faktor ekonomi dan sosial. Faktor ekonomi erat kaitannya dengan kondisi ekonomi Indonesia yang mengalami krisis yang berimplikasi pada menurunnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika. Kondisi ini memberikan dampak positif bagi para punggawa dan petambak udang karena udang yang menjadi komoditi ekspor mengalarni lonjakan harga yang sangat tinggi dan memberikan keuntungan ekonomi yang sangat besar. Hal ini ditunjang oleh tingginya permintaan terhadap udang dari pasar internasional, terutama Jepang. Faktor sosial merupakan hasil dari faktor ekonomi. Keuntungan yang sangat menjanjikan dari usaha tambak di wilayah delta telah memacu banyak pendatang, terutama dari Sulawesi Selatan, untuk mencoba keberuntungan di wilayah delta sebagai upaya mengatasi kesulitan ekonomi yang terjadi di daerah asal mereka. Faktor struktural yang berpengaruh berkaitan erat dengan kewenangan, sistem dan aspek legal pengelolaan delta. Kewenangan dalam pengelolaan Delta Mahakam selama ini belum jelas, di tingkat Propinsi Kaltim atau Kabupaten Kukar. Propinsi Kaltim masih mengklaim Delta Mahakam menjadi kewenangan propinsi sebagai bagian dari Cabang Dinas Kehutanan (CDK) Mahakam Ilir, sementara klaim dari Kabupaten Kukar menggunakan instrumen UU otonomi daerah. Instansi yang bertanggung jawab juga belum jelas, Dinas Kehutanan atau Dinas Perikanan dan Kelautan atau Bappedalda. Permasalahan kewenangan ini perlu segera diatasi, utamanya untuk menyelesaikan ancaman terhadap delta dan agar pengelolaan delta dapat optimal. Kewenangan pengelolaan ini secara tidak langsung menggambarkan belum tersedianya sistem pengelolaan Delta Mahakam secara khusus. Delta Mahakam berkembang secara alamiah tanpa perencanaan yang jelas. Absennya kebijakan dan program serta aturan pengelolaan delta telah mendorong kegiatan eksploitasi delta secara ekstensif dan intensif, bahkan aturan umum yang berlaku di wilayah ini terdapat penyalahgunaan, sehingga menimbulkan kontradiksi dalam pelaksanaannya. Menurut Dinas Kehutanan, hutan mangrove di Delta Mahakam termasuk ke dalam kawasan budidaya kehutanan (KBK). Aturan ini tidak diindahkan, pengusaha tambak dan petambak mengkonversi hutan untuk tambak. Menurut mereka usaha yang dilakukan ini sesuai dengan SK Gubernur Kaltim no. 31 tahun 1995 yang memberikan izin penguasaan dan pemilikan tanah/hutan negara kepada perorangan untuk ditanami atau didirikan bangunan. SK ini juga sudah disalahgunakan dan dimanfaatkan secara berlebihan, yaitu dengan membuka tambak seluas-luasnya, akibatnya eksploitasi dan kerusakan delta masih terus berlangsung.
13
127
Santoso dkk. (2007). Analisis Kebijakan Pembangunan
Berdasarkan hasil analisis komponen utama diketahui bahwa keragaman usaha pertambakan di lokasi studi dapat diterangkan secara sangat memadai (komunalitas = 1,0) oleh 3 pola utama sebagai berikut: 1) Pola utama ke-1 yang diterangkan dengan informasi pada faktor ke-1: Sebesar 42,8 % dari keragaman menerangkan pola usaha pertambakan berdasarkan keragaman dalam hal luas tambak, tingkat produksi, jumlah penerimaan usaha dan pengalaman usaha bertambak responden. 2) Pola utama ke-2 yang diterangkan dengan informasi pada faktor ke-2: Sebesar 20,8 % dari keragaman menerangkan pola usaha pertambakan berdasarkan keragaman dalam hal jumlah jam kerja dan jumlah tenaga kerja. 3) Pola utama ke-3 yang diterangkan dengan informasi pada faktor ke-3: Sebesar 15,25 % dari keragaman menerangkan pola usaha pertambakan berdasarkan keragaman dalam hal biaya usaha dan biaya modal. Berdasarkan urutan besarnya proporsi keragaman yang dapat diterangkan oleh masing-masing dari ketiga faktor utama tersebut di atas, maka Pola Utama ke-1 (faktor ke-1) ini merupakan permasalahan yang paling mendasar dalam kaitannya dengan sistem pertambakan yakni faktor skala ekonomis (economics of scale). KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Kawasan Delta Mahakam terbagi atas hutan mangrove air asin, hutan mangrove air payau, kawasan pemukiman dan pertambakan. Total penggunaan lahan di delta pada tahun 1992 seluas 109.702,02 ha dan yang terbesar penggunaan lahannya adalah hutan mangrove air payau sebesar 77.427,47 ha sementara pertambakan meliputi lahan seluas 3.628,60 ha. Perubahan luas penggunaan lahan terjadi pada tahun 1996 dan luas penggunaan lahan untuk pertambakan meningkat menjadi 14.480.54 ha. Sementara itu pertambakan di Delta Mahakam pada tahun 2001 meningkat menjadi 69.354.37 ha. Berdasarkan matriks analisis fungsi dan kewenangan kelembagaan kegiatan pembangunan di kawasan Delta Mahakam, maka pada umumnya fungsi-fungsi manajemen meliputi pemberian izin, perencanaan, pelaksanaan untuk usaha pertambakan telah terpenuhi. Namun pada fungsi pemantauan dan evaluasi belum tercukupinya kelembagaan yang menanganinya. Tumpang tindih pengelolaan kawasan Delta Mahakam masih terdapat antara Pemerintah Pusat diwakili oleh Departemen Kehutanan dan Pemerintah Daerah. Namun upaya Pemerintah Daerah dalam pengelolaan dapat ditunjukkan dengan terbentuknya Tim Pengelola Delta Mahakam Terpadu dan Berkelanjutan melalui SK Bupati no. 180.188/HK458/2001 tanggal 27 November 2001 walaupun masih berjalan belum efektif dan masih perlu diberdayakan. Hasil analisis komponen utama (PCA) terhadap keragaman usaha pertambakan di lokasi studi menunjukkan bahwa terdapat 3 faktor utama yang dapat menerangkan keragaman tersebut. Faktor ke-1 terdiri dari variabel luas tambak, tingkat produksi, tingkat penerimaan usaha dan pengalaman usaha bertambak responden. Faktor ke-2 terdiri dari variabel jumlah jam kerja dan variabel jumlah
14
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 3 (2), OKTOBER 2007
128
tenaga kerja. Faktor ke-3 meliputi vriabel biaya usaha tambak dan biaya modal. Penentuan variabel-variabel utama tersebut adalah berdasarkan faktor loading yang signifikan dengan kriteria >0,7. Saran Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa fungsi pemantauan dan evaluasi dalam pengelolaan pertambakan di kawasan Delta Mahakam belum ada instansi yang berwenang. Perlu dibuat kebijakan berupa peraturan perundangan yang memberikan landasan hukum bagi instansi mana yang bertanggung jawab atas fungsi tersebut. Adanya lembaga tersebut diharapkan dengan tingkat degradasi mangrove dan pembangunan pertambakan dapat dikontrol sesuai dengan daya dukung kawasan. Perlu adanya kejelasan secara hukum mengenai kewenangan dalam pengelolaan kawasan Delta Mahakam yang selama ini masih tumpang tindih antara pemerintah pusat dan daerah. Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara dapat diberikan kewenangan penuh untuk pengelolaannya sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah. Tim Pengelola Delta Mahakam Terpadu dan Berkelanjutan di tingkat Kabupaten Kutai Kartanegara dapat ditingkatkan statusnya menjadi Badan Pengelola Kawasan Delta Mahakam untuk lebih mengefektifkan kelembagaan yang menangani pengelolaan kawasan Delta Mahakam. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2003. Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) Kawasan Delta Mahakam Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Kerja Sama Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Kutai Kartanegara dengan Lembaga Afiliasi dan Penerapan Industri. Institut Teknologi Bandung, Tenggarong. Anonim. 2004b. Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Propinsi Kaltim, 2004. Buku Tahunan Perikanan Budidaya Tahun 2003. Samarinda, Kalimantan Timur. Bengen, D.G. 2000. Sinopsis Teknik Pengambilan Contoh dan Analisis Data Biofisik Sumberdaya Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut. Institut Pertanian Bogor, Bogor. 86 h. Bourgeois, R.; A. Gougon; F. Je’sus; P. Lenang; W. Langeraan; F. Rahmadani; E. Sudono and B. Sulistiadi. 2002. A Socioeconomic and Institutional Analysis of Mahakam Delta Stakeholders. Report to Total FinaElf, Balikpapan. Dutrieux, E. 2001. The Mahakam Delta Environment, from the 80’s Up to Now: A Synthesis of A 15-Year Investigation. Dalam: Proceeding of International Workshop on Optimizing Development and Environmental Issues at Coastal Area: Problems and Solutions for Sustainable of Mahakam Delta (eds. Kusumastanto dkk.). Jakarta, 4–5 April 2001. Gunawan, B.I. 2005. Pembangunan Budidaya Pertambakan Udang di Wilayah Pesisir dengan Referensi pada Wilayah Delta Mahakam, Kalimantan Timur Indonesia. Makalah Disajikan pada Konferensi Antar Universiti di Borneo-Kalimantan Ke-1 pada Tanggal 2930 Agustus 2005 di Universiti Malaysia Serawak, Malaysia. 11 h.
15
129
Santoso dkk. (2007). Analisis Kebijakan Pembangunan
Rachmawati, L.; Fitranita; D. Harfina; L. Nagib; D. Hidayati; B. Nawawi dan Nugroho. 2003. Nilai Ekonomi Mangrove dan Kepedulian Masyarakat terhadap Mangrove di Delta Mahakam. Pusat Penelitian Kependudukan. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta. 101 h. Saefulhakim, R.S. 1997. Tata Ruang dan Perkembangan Wilayah. Kawasan Pengembangan Lahan Gambut Satu Juta Hektar Kalimantan Tengah. Laboratorium Perencanaan Pengembangan Sumberdaya Lahan. Jurusan Tanah Fakultas Pertanian IPB, Bogor. 64 h. Shang, Y.C. 1991. Aquaculture Economics. An Introduction. Advances in Aquaculture. The World Aquaculture Society, USA. Tomboelu, N.; D.G. Bengen; V.P.H. Nikijuluw dan I. Idris. 2000. Analisis Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Terumbu Karang di Kawasan Bunaken dan Sekitarnya, Sulawesi Utara. Jurnal Pesisir dan Lautan 3 (1): 5167.