DISERTASI PONGGAWA DAN PATRONASE PERTAMBAKAN DI DELTA MAHAKAM: Teori Pembentukan Ekonomi Lokal
Oleh: P. SETIA LENGGONO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul “Ponggawa dan Patronase Pertambakan di Delta Mahakam: Teori Pembentukan Ekonomi Lokal” merupakan karya saya sendiri yang belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir penulisan disertasi ini.
Bogor, 03 Oktober 2011
P. Setia Lenggono NRP A162050061
ABSTRACT P. SETIA LENGGONO. Ponggawa and Fishpond Patronage in Mahakam Delta: A Theory On The Formation Of Local Economic. Under direction of ARYA HADI DHARMAWAN, ENDRIATMO SOETARTO and DIDIN S DAMANHURI. The failure of forest management systems in the Third World has led to deterioration of forests and creates poverty enclaves in the villages surroiusly the forest. In this regard, the activities of aquaculture in the Mahakam Delta, which converts “Kawasan Budidaya Kehutanan”, is very interesting to observe because it is likely transform in to aquaculture capitalism. This research aims to reveal historically and contextually, the control of the mangrove forest by Bugis migrants and its effects on the process of a local economic in the Mahakam Delta. This study will use qualitative approach for data collection analysis consist of firstly, an analysis of data from participant observation, in-depth interviews and life history studies. Secondly, analysis of historical data and texts about past event or related to contemporary social phenomena under study. Description of the results of this study, indicates that the formation of local economic occurred as a result of the operation of the fishing industry exports in 1974, which opened the space for the presence of middlemen trader in remove areas that are not able to be handled directly. Among the succeesful local economic are the ponggawa followers, who managed to make extensive efforts to take advantage of the momentum of "excellence at the first opportunity to start", after the trawling banning in 1983. Although the impact on local ecology landscape changes, due to "omission of the state" on Kawasan Budidaya Kehutanan, which become a means of conversion of private aquaculture area. Next they do the "exploitation" through the creation of a monopolistic market structure or monopsonistic,resulting in a pricing mechanism and the provision of goods unilaterally. However, the pattern of aquaculture relationship still leaves reciprocity space inherent in the tradition of “passe’ “, so to reduce the pattern of relationships which ekploitatatif trend. The pattern of patron-client relationship is adaptive as is then able to support the sustainability of capitalism ponds that are full of competition and uncertainty. Keywords: ponggawa, fishpond patronage, social formation, local economic, capitalism
RINGKASAN P. SETIA LENGGONO. Ponggawa dan Patronase Pertambakan di Delta Mahakam: Teori Pembentukan Ekonomi Lokal. (Dibawah bimbingan ARYA HADI DHARMAWAN sebagai Ketua, ENDRIATMO SOETARTO dan DIDIN S. DAMANHURI sebagai Anggota). Terbentuknya ekonomi lokal dalam masyarakat Bugis perantauan di Delta Mahakam ditandai oleh kemunculan golongan sosial pengusaha perikanan lokal (ponggawa) yang keberadaannya dapat dirunut berikut ini. Pertama, berdasarkan asalusul sosialnya, dapat disimpulkan bahwa golongan pengusaha perikanan dalam masyarakat Bugis perantauan di Delta Mahakam umumnya berasal dari kelompok non elit/ kelas bawah/ masyarakat ekonomi marginal, terutama dari kalangan orang kebanyakan (to-maradeka) dalam struktur feodal Bugis. Kedua, terkait dengan mekanisme kemunculannya, dapat disimpulkan bahwa golongan pengusaha perikanan (ponggawa) dalam masyarakat Bugis migran di Delta Mahakam, merupakan hasil dari beroperasinya kebijakan pembangunan yang membuka “ruang” bagi terciptanya “berkah terselubung”, akibat absennya negara dalam mengelola hutan negara. Kelangsungan sosial golongan pengusaha lokal mencakup dua dimensi sekaligus. Pertama, berdasarkan dimensi status/ peranan sosial golongan pengusaha lokal di Delta Mahakam, dapat disimpulkan bahwa golongan pengusaha lokal tersebut hadir dan berkembang dalam konteks dan sebagai pendukung ekonomi lokal, dengan ciri-ciri formasi sosial kapitalis yang khas (hybrid). Penelitian ini menunjukkan bahwa para pengusaha lokal mampu bangkit dan berkembang (survive) tanpa campur-tangan negara, mereka bahkan tumbuh secara progresif, melakukan take over atas perusahaan asing (PMA) dan ikut menopang kertepurukan ekonomi bangsa ketika tertimpa krisis ekonomi 1997/ 1998. Mereka tidak hanya menyumbang terhadap perkembangan pembangunan ekonomi lokal, namun juga menjadi penggerak transformasi sosialekonomi masyarakat Delta Mahakam dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri. Berkenaan dengan status perkembangan sosialnya dapat disimpulkan bahwa golongan pengusaha perikanan lokal dalam masyarakat Bugis migran di Delta Mahakam saat ini sedang mengalami kebangkitan. Gejala kebangkitan tersebut merupakan gejala “konsolidasi ekonomi lokal” yang berpangkal pada dua hal. Pertama, terjadinya reproduksi kultural yang berhasil dikonstruksi oleh para ponggawa dengan menggariskan nilai dasar “bekerja adalah ibadah”. Kedua, adalah terbangunnya “medan interaksi” yang menjadi wadah bagi terjadinya transformasi, legitimasi dan habitualisasi, sehingga menghasilkan wacana rasionalitas spiritual baru. Kebangkitan golongan pengusaha perikanan (ponggawa) di Delta Mahakam, sekaligus merupakan bagian dari keberhasilan golongan tersebut memainkan perannya, “meleburkan diri” dalam dinamika formasi sosial kapitalis yang begitu mendominasi. Pertama, keberhasilan para ponggawa dalam memanfaatkan momentum “keunggulan pada kesempatan pertama untuk memulai” atas penguasaan tanah-tanah negara, hingga terjadinya akumulasi alat produksi pada sejumlah ponggawa. Kedua, terjadinya konsentrasi raw material hanya pada satu orang ponggawa besar, sementara ponggawa yang lebih kecil hanya menjadi kepanjangan-tangan dan penopang ponggawa yang berada diatasnya. Gejala kebangkitan ekonomi lokal tersebut merupakan hasil dari beroperasinya keunggulan komparatif dan kompetitif produk yang diproduksi kapitalis lokal. Pertama, adanya kecendrungan peningkatan permintaan produk udang windu di pasaran regional-global yang tidak mampu diproduksi oleh produsen lain yang telah beralih hanya memproduksi udang vanamei secara massal. Kondisi ini juga tidak terlapas dari gaya konsumsi masyarakat negara maju yang cenderung lebih menyukai produk udang organik yang sebagian besar produksinya disumbang oleh usaha pertambakan tradisional. Kedua, para kapitalis lokal memiliki keunggulan kompetitif atas kebutuhan
pasar yang sedikit demi sedikit dikumpulkan dari mitral lokal, akses khusus pada kelembagaan lokal (patronase) dan keluwesan berproduksi yang merupakan hasil negosiasi dalam jaringan yang tidak membutuhkan biaya tinggi. Ketiga, kuatnya posisi tawar pengusaha lokal atas produk spesifik, seperti udang windu telah menempatkan mereka “tidak tunduk” terhadap tekanan kapitalis pusat. Hasil penelitian ini mencatat, bahwa proses pembentukan ekonomi lokal, terjadi sebagai akibat dari beroperasinya kegiatan industri perikanan ekspor pada 1974 yang membuka ruang bagi kehadiran pedagang perantara pada area-area yang tidak mampu ditangani langsung oleh eksportir. Berdasarkan kemunculannya, para pengusaha lokal tersebut, dapat dikelompokkan sebagai 1) ponggawa perintis; 2) ponggawa pengikut; dan 3) ponggawa penerus. Para ponggawa yang mampu bertahan dan berhasil mengembangan usahahanya adalah mereka yang tidak hanya berhasil melakukan hegemoni secara ekonomi dan sosio-kultural, namun juga adaptif dan visioner dalam melihat perubahan. Banyak diataranya adalah para ponggawa pengikut yang berhasil melakukan ekstensifikasi usaha, dengan memanfaatkan momentum “keunggulan pada kesempatan pertama untuk memulai”, pasca pelarangan trawl pada 1983. Meskipun berdampak pada perubahan lanscape ekologi lokal, akibat “ketidakhadiran negara” di atas Kawasan Budidaya Kehutanan, yang menjadi ajang konversi. Kekuatan feodelisme yang dipertahankan dalam hubungan patron-klien menyebabkan pola eksploitasi yang dilakukan pengusaha lokal menjadi ”terselubung”. Pengusaha lokal (ponggawa) menciptakan ketergantungan secara ekonomi maupun sosio-kultural terhadap kelompok migan yang lebih lemah dengan membangun mekanisme hutang (lunak namun mengikat), serta mengembangkan jalur perdagangan berlapis, bahkan melakukan eksploitasi dengan penciptaan struktur pasar yang monopolistis dan monopsonistis, sehingga terjadi mekanisme penentuan harga dan penyediaan barang secara sepihak. Meskipun demikian, pola hubungannya masih menyisakan ruang resiprositas yang melekat pada tradisi passe’, sehingga mereduksi pola hubungan pertambakan yang cenderung ekploitatatif. Pola hubungan patron-klien yang adaptif inilah yang mampu menopang keberlangsungan ekonomi lokal berbasis pertambakan yang sarat persaingan dan ketidakpastian.
@ Hak Cipta Milik IPB Tahun 2011 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
… kesadaran adalah matahari, kesabaran adalah bumi, keberanian menjadi cakrawala dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata (Kantata-Takwa) “Karya tulis sederhana ini, didedikasikan pada ketulusan mereka yang telah mengorbankan waktu, tenaga, pikiran dan meteri, bahkan jiwanya untuk bahu-membahu membebaskan harkat-martabat kemanusiaan kaum miskin-tertindas yang terpedaya”
PONGGAWA DAN PATRONASE PERTAMBAKAN DI DELTA MAHAKAM: Teori Pembentukan Ekonomi Lokal
P. SETIA LENGGONO
Disertasi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Doktor Pada Program Sosiologi Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
Penguji Ujian Tertutup
: 1. Lala M. Kolopaking, Ph.D 2. Prof. Dr. Sjafri Mangkuprawira
Penguji Ujian Terbuka
: 1. Dr. Titik Sumarti, MS 2. Francisia SSE. Seda, Ph.D
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Disertasi
Nama NRP Program Studi
: Ponggawa dan Patronase Pertambakan di Delta Mahakam: Teori Pembentukan Ekonomi Lokal : P. Setia Lenggono : A.162050061 : Sosiologi Pedesaan (SPD)
Menyetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Arya H, Dharmawan, MSc.Agr Ketua
Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA Anggota
Prof. Dr. Didin S. Damanhuri, SE. MS. DEA Anggota
Mengetahui, Kordinator Program Studi Mayor Sosiologi Pedesaan
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Ir. Arya H, Dharmawan, MSc.Agr
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Agr
Tanggal Ujian: 03 Oktober 2011
Tanggal Lulus:
PRAKATA Alhamdulillah Ya Robbil Allamin, puji syukur penulis panjatkan pada Alloh SWT yang Maha Berpengetahuan atas segala nikmat ilmu yang telah dikaruniakanNya dalam penyelesaian penulisan disertasi ini. Pertama-tama ucapan terima kasih dan penghargaan setulusnya saya sampaikan kepada Komisi Pembimbing yang telah menghantarkan penyelesaian disertasi ini, yaitu Dr. Arya Hadi Dharmawan, MSc.Agr (selaku Ketua), Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA dan Prof. Dr. Didin S. Damanhuri, MS. DEA (Selaku Anggota). Sungguh, saya sangat beruntung bisa dibimbing Dr. Arya yang tidak pernah bosan menyemangati “ditengah kegamangan” dan mengingatkan bahwa penyelesaian studi S3 harus menjadi skala prioritas utama. Demikian Prof. Endriatmo yang selalu bisa menyentak kesadaran kritis saya dalam setiap diskusi terkait perkembangan disertasi ini. Begitupun koreksi detail dan sentuhan heterodox Prof. Didin yang memberikan warna tersendiri bagi disertasi ini. Mereka bukan sekedar pembimbing yang menjadi ponggawa dibidang keilmuannya, mereka adalah “patron” yang memiliki komitmen untuk berbagi, tidak hanya pengetahuan tapi juga pengalaman hidup. Atas kesempatan emas menikmati indahnya panorama dari “pundak mereka” yang kokoh dan mulia, izinkan sekali lagi saya mengucapkan terima kasih pada para maha guru tersebut. Secara khusus dalam kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih kepada Bpk. Lala M. Kolopaking, Ph.D dan Prof. Dr. Sjafri Mangkuprawira atas kesediaan dan komitmennya sebagai Penguji Luar Komisi dalam Ujian Tertutup yang telah saya lalui. Juga kepada Dr. Titik Sumarti, MS dan Francisia SSE. Seda, Ph.D atas kesediaan dan komitmennya sebagai Penguji Luar Komisi dalam Ujian Terbuka yang telah saya lalui. Saya juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Pimpinan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan Pimpinan Fakultas Ekologi Manusia, khususnya Program Studi Sosiologi Pedesaan (SPD) dan segenap Staf Pengajar atas kesempatan belajar dan proses belajar yang telah diberikan. Secara pribadi, saya perlu mengucapkan penghargaan yang tinggi pada Dr. MT. Felix Sitorus, MS yang pernah menjadi Ketua Komisi Pembimbing pada masa-masa awal penulisan disertasi ini, atas pencerahan “melampaui positivis”. Ucapan terima kasih perlu disampaikan kepada H. Ismed Baraqbah, SE, MM selaku Rektor Universitas Widya Gama Samarinda yang begitu bersemangat mendukung studi ini. Ucapan yang sama juga perlu dihaturkan kepada “orang tua angkat sekaligus mentor saya”, (Alm.) Drs. Norsyamsu Agang, MS, atas gemblengan mental “pantang-menyerah” dan sikap kritisnya yang tertinggal dalam diri saya. Penghargaan yang tulus pun perlu saya haturkan pada Prof. Dr. M. Amien Rais, MA,
yang tidak hanya membuka cakrawala untuk merengkuh pendidikan tertinggi dengan menuliskan rekomendasi yang penuh optimisme, namun juga memberikan dukungan moral dan materil selama menempuh pendidikan S2 hingga S3. Selanjutnya ucapan terima kasih dan penghargaan setulusnya juga ingin saya sampaikan pada Istri saya, Restu Padmasari SPi yang dengan ikhlas dan tabah menyemangati dan selalu disisi saya menghadapi masa-masa sulit dalam studi yang sangat melelahkan ini. Juga Samudra Fashih Allisan (Andra), anak laki-laki kami yang menjadi inspirasi sekaligus sumber kekuatan bagi saya untuk bisa tegar menghadapi deraan cobaan dan berani mewujudkan mimpi-mimpi kami. Yang tidak kalah pentingnya adalah do‟a dari ibunda saya, W. Iin Mariana yang tidak bosan mengiringi setiap langka ini, karenanya dengan segenap jiwa saya ingin mencium telapak kakinya. Dalam kesempatan ini, saya juga mengucapkan terima kasih pada kawankawan SPD 2005, yang telah melewati masa-masa pendakian bersama yang panjang dan melelahkan, sekaligus menjadi teman diskusi yang tangguh. “Dalam ilmu pengetahuan memang tidak ada jalan raya dan hanya mereka yang tak gentar akan pandakian curam yang melelahkan itu yang mempunyai harapan untuk mencapai puncak-puncak pencerahan (Marx)”. Mereka adalah Dr (Kandidat) Bob Alfiandy, MSi (Unand), Dr (Kandidat) Ivannovic Agusta, MSi (IPB), Dr. Tyas Retno Wulan, MSi (Unsoed), Dr. Abdul Malik, MSi (IAIN Jambi), Dr. Maihasni, MSi (Unand) dan Dr. Hartoyo, MSi (Unila). Juga rekan-rekan senior, sekaligus seperjuangan saya di SPD, seperti Dr. Yety Rochwulaningsih, MSi (Undip), Dr. Hidayat, MSi (UN Medan), Dr. Taufik Hidayat, MSi (Unlam), Dr (Kandidat) Zahri Nasution, MSi (KKP) dan Dr (Kandidat) Saifuddin, MSi (UN Makassar), terima kasih telah “berbagi asa”. Penghargaan yang tinggi juga perlu disampaikan pada kawan-senior saya di PKA-IPB, Dr. Satyawan Sunito, Dr. Rillus Kinseng, MA., Martua Sihaloho, MSi, Heru Purwandari, MSi dan Bayu Eka Yulian, SP atas kesempatan diskusi dan berbagai masukan yang konstruktif bagi perbaikan disertasi ini. Kapada saudara-saudaraku di Fisip Unmul „90, ucapan terima kasih mungkin tidak cukup untuk menunjukkan betapa besarnya perhatian dan dukungan mereka atas penyelesaian studi ini, tapi saya yakin Alloh SWT mempunyai cara sendiri untuk membalas kebaikan mereka. Selanjutnya saya ingin memberikan tempat tersendiri dalam kata pengantar ini, untuk mengenang seorang sahabat (Alm.) Wahyudi Brata, SP yang tidak hanya dengan tulus menemani saya dan turut “berjibaku” selama beberapa waktu di lapangan sebelum “dipanggil” Sang Khalik, namun juga meninggalkan kenangan mendalam sebagai salah satu informan kunci bagi disertasi ini. Ketulusan akan abadi … ketulusan adalah budi, karenanya tiada keabadian tanpa budi.
Ucapan terima kasih yang tulus pun perlu saya sampaikan kepada para responden dan informan saya yang berdomisili di desa-kelurahan sekitar Kawasan Delta Mahakam (Muara Jawa, Anggana, Muara Badak), Tenggarong dan Samarinda. Disertasi ini tidak akan pernah terwujud tanpa dukungan dan kerjasama mereka, karenanya saya ingin mempersembahkan karya ilmiah ini untuk mereka. Sebagai “orang luar” Bugis, saya sangat beruntung bisa berkesempatan mendokumentasikan (hampir 10 tahun) petualangan menantang ini dan saya berharap bisa mengulangnya. Terakhir tapi terpenting adalah ucapan terima kasih saya kepada banyak pihak yang tidak mungkin saya sebutkan satu persatu (sebagian ada yang saya kenal dan sebagian lagi tidak), yang telah dan mungkin akan memberikan komentar berguna bagi perbaikan disertasi ini ke depan.
RIWAYAT HIDUP P. Setia Lenggono, “numpang lahir” di Surabaya pada 22 April 1971, dari pasangan orang tua W. Iin Mariana dan (Alm.) D. Soetikno. Dibesarkan dengan kebanggaan mendalam sebagai warga Samarinda dan dibentuk oleh imajinasi kebangsaan sebagai warga Indonesia yang multikultural. Memperoleh pendidikan dasar di SDN 016 Samarinda, pendidikan menengah pertama di SMPN 2 Samarinda dan pendidikan menengah atas SMAN 2 Samarinda. Selanjutnya menyelesaikan pendidikan S1 di Program Studi Sosiatri, Jurusan Sosiologi – Fisip, Univ. Mulawarman pada 1995. Merampungkan pendidikan S2 di Program Magister Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Kelautan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanan Bogor diawal 2004 dan melanjutkan Program Doktoral pada 2005 di Program Studi Sosiologi Pedesaan di tempat yang sama. Sejak 1993 terlibat aktif dalam berbagai kegiatan advokasi dan pendampingan masyarakat lokal bersama sejumlah NGO, hingga “tersesat” menjadi seorang pegawai swasta rendahan dan partisan di awal reformasi, sebelum memutuskan kembali menjadi aktivis NGO, sekaligus pengajar di Universitas Widya Gama Samarinda menjelang tahun 2000. Di tengah kesibukan menjadi mahasiswa S3, penulis juga sering terlibat dalam berbagai kegiatan penelitian yang dilakukan lembaga intra kampus, selain sebagai praktisi profesional. Sejumlah artikel di berbagai media dan penulisan buku; “Dekonstruksi Kebijakan Hak Ulayat Laut” dalam buku Menggugat Kebijakan Agraria (2005); “Paradigma Penelitian Konstruktivisme” dalam buku Metodologi Penelitian Sosiologi Pedesaan (2005); dan “Kedaulan Lokal: Pengalaman Empiris Melaksanakan Pilkada Langsung Pertama di Indonesia” (2006), berhasil diselesaikan pada masa-masa awal studi. Pada tahun 2006, penulis menikah dengan Restu Padmasari, SPi dan dikarunia seorang putra, Samudra Fashih Allisan (5 Tahun).
DAFTAR ISI Halaman I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian 1.2 “Pintu Lain” Pembentukan Kapital Lokal 1.3 Signifikansi Studi 1.4 Penelitian Terdahulu 1.5 Rumusan Permasalahan dan Batasan Konsepsional 1.6 Pertanyaan Penelitian 1.7 Tujuan Penelitian 1.8 Organisasi Penulisan
1 4 7 10 15 19 20 21
II. TINJAUAN TEORITIS 2.1 Sistem Kapitalisme 2.2 Kebudayaan dan Kekuasaan 2.1.1 Penguasaan Sumberdaya Alam 2.1.2 Karakter Sosio-Kultural Orang Bugis 2.2.2.1 Sistem Religi 2.2.2.2 Norma Yang Dianut 2.2.2.3 Etika-Moral Kemasyarakatan 2.2.2.4 Etika-Moral Ekonomi Ponggawa 2.2.2.5 Jaringan Modal 2.1.3 Hubungan Patron-Clients dalam Jaringan Sosial Pertambakan 2.3 Pembentukan Kapital Lokal 2.3.1 Perubahan Struktur Agraria 2.2.1.1 Perubahan Pola Penguasaan, Pemilikan dan Pemanfaatan Lahan 2.2.1.2 Fenomena “Tragedy of The Common” 2.3.1 Perubahan Sistem Sosial dan Ekologi Lokal 2.4 Booms Udang dan Pembentukan Ekonomi Lokal 2.4.1 Menelisik Ekonomi Lokal 2.4.2 Ekonomi Kolaboratif
23 23 28 30 33 33 34 37 38 40
III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Hipotesa Pengarah 3.2 Paradigma Penelitian 3.3 Metode Penelitian 3.4 Teknik Pengumpulan dan Analisis Data 3.5 Lokasi Penelitian 3.6 Jadwal dan Tahapan Penelitian
69 70 73 76 78 84 87
IV. BERADU KUASA DI SELA PADANG NIPAH: DIMANA BATIS BEPIJAK DISITU PATOK BETAJAK 4.1 Delta Mahakam: Tanah Timbul Kaya Sumberdaya Alam 4.2 Sejarah Peradaban Kawasan Delta Mahakam 4.3 Penguasaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Agraria 4.3.1 Pra Kemerdekaan: Kesejahteraan Bagi Kaum Aristokrat Lokal dan Kolonial 4.3.2 Pasca Kemerdekaan: Totalitas ”Hak Menguasai Negara” 4.3.3 Kondisi Mutakhir: Pelarangan Trawl, Illegal Fishing, hingga Pertambakan Ilegal
43 46 47 49 52 53 56 56 65
91 85 87 107 109 114 125
V. PENDEPAKAN NEGARA: YANG TERCERABUT DAN TERAKUMULASI 5.1 Fase Industri Perikanan Tangkap 5.1.1 Ekspansi Industri Perikanan Jepang 5.1.2 Booming Produksi Perikanan Tangkap 5.1.3 Penetrasi Lembaga Kapitalis dalam Kebijakan Perikanan 5.1.4 Mensiasati Over Fishing 5.2 Fase Industri Perikanan Budidaya 5.2.1 Reproduksi Kebijakan Penguasaan Sumberdaya Agraria 5.2.2 Pola “Pendudukan” Tanah-Tanah Negara 5.2.3 Konflik Penguasaan Sumberdaya Agraria 5.2.4 Booms Udang dan Krisis Ekologi 5.2.5 Pengelolaan “Pertambakan Ilegal” 5.3 Fase Konsolidasi Ekonomi Lokal
131 131 131 136 141 143 146 146 152 156 162 166 174
VI. RASIONALITAS PENGUSAHA LOKAL: (BEKERJA x IBADAH) + JARINGAN SOLIDARITAS = MODAL KUASA 179 6.1 Basis Nilai Moralitas 181 6.2 Budaya Bisnis Bugis 187 6.2.1 Basis Modal Sosial 200 6.2.2 Bentuk Aliansi Strategis Keluar 206 6.2.3 Bentuk Aliansi Strategis dalam Komunitas 209 6.2.3.1 Membangun Identitas “ke-Bugis-an” 209 6.2.3.2 Tradisi Islam Lokal 212 6.2.4 Strategi Bisnis Yang Terbangun 220 6.3 Pola Pencaplokan Kapital 222 6.3.1 Pola Ekspansi Kapital 225 6.3.2 Pola Jejaring Bisnis Kapital 226 6.3.3 Pola Transaksi Bisnis 231 6.3.4 Ideologi Kapitalisasi Sumberdaya Alam 232 6.4 Habitualisasi: Tambak Yang Mendisiplinkan 236 6.5 Ikhtisar 242 VII. TEORITISASI PEMBENTUKAN EKONOMI DAN PENGUSAHA LOKAL 7.1 Pembentukan Lapisan Atas Masyarakat Bugis di Delta Mahakam 7.1.1 Asal Usul Sosial Pengusaha Pertambakan 7.1.1 Implikasi Ekologis: Perubahan Evolusioner Land Use di Delta Mahakam 7.1.1.1 Fenomane “Absennya Negara” 7.1.1.2 Ketidakpastian Regulasi 7.1.1.3 Oportunisme dan Pragmatisme Orang Bugis 7.1.1.4 Akresi Kapital:Korban Penimbunan Kapital 7.2 Pembentukan Masyarakat Ekonomi Lokal 7.2.1 Wujud Kapitalisasi Pertambakan 7.2.2 Reproduksi Ekonomi Pengusaha Lokal 7.2.3 Keberlanjutan Ekonomi Lokal: Mensiasati Kelangkaan Sumberdaya, Memperkuat Jaringan Patronase 7.2.4 Sistem Sosial Yang Terbentuk
245 245 245 258 258 259 261 266 269 269 275 284 294
VIII.KESIMPULAN: KEBANGKITAN KAPITAL LOKAL 8.1 Ikhtisar Hasil Penelitian 8.1.1 Pembentukan Ekonomi Lokal 8.1.2 Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi Lokal Terhadap Perubahan Landscape Ekologi 8.1.3 Proses Reproduksi Ekonomi Lokal 8.1.4 Pertumbuhan Ekonomi Lokal dalam Kelangkaan SDA 8.1.5 Sistem Sosial Ekonomi Lokal 8.2 Epilog: Ekonomi Lokal Konstitusional 8.2.1 Implikasi Teoritis 8.2.2 Implikasi Kebijakan 8.2.3 Catatan Kritis
299 299 299 303 304 306 307 308 316 317 318
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN KEMUNCULAN PENGUSAHA Ponggawa pertambakan
LOKAL:
Studi
Riwayat
Hidup
Tiga
DAFTAR TABEL Nomor 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25.
Teks
Halaman
Kajian Sosial Tentan Pembentukan Pengusaha di Indonesia Nilai Ekonomi Pemanfaatan Mangrove di Delta Mahakam Jumlah Desa/Kelurahan di Zona I Kawasan Delta Mahakam Sejarah Migrasi dan Penguasaan Kawasan Delta Mahakam Kronologis Kebijakan Penghapusan Jaring Trawl Jumlah Cold Storage di Kalimantan Timur sampai dengan Tahun 1990 Periode Kepemimpinan PT. Misaja Mitra di Sungai Meriam, Kutai Kartanegara Nama-Nama Perusahaan Eksportir di Kalimantan Timur yang Telah Kolaps Daerah Sebaran dan Potensi Sumberdaya Udang Tahun 1991 Praktek Kegiatan Pengelolaan Migas Pihak yang Berkuasa Terhadap Lokasi Pertambakan di Desa Muara Pantuan Perbandingan Tambak Tradisional dengan Tambak Semi Intensif dan Intensif Konsolidasi Kerjasama Internasional dalam Pembinaan Mutu Produk Pengelompokan Pengusaha Lokal Berdasarkan Volume Produksi Pertambakan Perbandingan Kelompok Etnik Terbesar Berdasarkan Sensus Penduduk Tahun 1930 dan 2000 Nama-Nama Perusahaan Eksportir Aktif, Lokasi dan Status Kepemilikannya Peradaban Yang Berhasil Dibangun Migran Bugis di Indonesia Komposisi Sebaran Etnik Bugis di Nusantara Pengkategorian Islam di Indonesia Perusahaan Eksportir yang Dipasok Produk Udang dari Kawasan Delta Mahakam 2003 – 2009 Orientasi Ekonomi dalam Penguasaan Tanah Berdasarkan Penggolongan Penduduk Pengelompokan dan Asal-Usul Keberadan Pengusaha Lokal Ekonomi Lokal Diantara Tiga Sistem Ekonomi Posisi Relatif Etika Moral Kapitalis Struktur Sosial Masyarakat Bugis di Kawasan Delta Mahakam dari Masa ke Masa
12 52 84 100 123 133 134 139 140 150 154 171 177 179 188 188 191 194 213 229 249 256 283 297
DAFTAR GAMBAR Nomor
Teks
Halaman
1. Sejarah Pertambakan di Delta Mahakam 2. Peta Tutupan Hutan Mangrove di Delta Mahakam dari Sebelum Dikonversi, 1992, 1996, 1999, hingga 2001 3. Peta Lokasi Penelitian 4. Peta Pemanfaatan Lahan Kawasan Delta Mahakam 5. Pembagian Konsesi Minyak Bumi pada 1971 menurut The Time 1971 6. Peta Sebaran Konsesi Migas di Kawasan Delta Mahakam dan Sekitarnya 7. Perbandingan Jumlah RTP Laut dengan Produksi Perikanan Laut Propinsi Kalimantan Timur 8. Nilai Produksi Perikanan Laut Propinsi Kalimantan Timur 9. Perbandingan Jumlah RTP Laut dengan Produksi Perikanan Laut Kabupaten Kutai Kartanegara 10. Skema Konflik dalam Kegiatan Pertambakan 11. Volume dan Nilai Ekspor Udang Beku dan Segar Kalimantan Timur 12. Volume dan Nilai Ekspor Udang Beku dari Kawasan Delta Mahakam 13. Perbandingan RTP dan Luas Tambak dengan Produksi Perikanan Budidaya Delta Mahakam 14. Lay-Out Pertambakan Tradisional Satu Pintu Air di Delta Mahakam 15. Volume dan Nilai Produksi Perusahaan Eksportir Kalimantan Timur 2009 16. Etika Moral Ponggawa Bugis di Kawasan Delta Mahakam 17. Peta Negara-Negara Utama di Nusantara pada Abad-17 18. Hubungan Para Aktor Yang Terlibat dalam Perdagangan Udang 19. Empat Kuadran Tipe Norma 20. Jejaring Usaha Pertambakan 21. Perbandingan RTP dan Luas Area Tambak dengan Produksi dan Nilai Perikanan Budidaya Kaltim 22. Siklus Reproduksi Habitus 23. Proses Sejarah Pembentukan Ekonomi Lokal 24. Pelapisan Sosial Masyarakat Bugis Bone dan Wajo‟ Feodal 25. Pelapisan Masyarakat Bugis Kontemporer dalam Kegiatan Pertambakan di Delta Mahakam 26. Piramida Interaksi Sosial Orang Bugis 27. Kebangkitan Kapital Lokal Via New-Tragedy of The Commons 28. Posisi Relatif Etika Moral Kapitalis 29. Perimbangan Pertukaran dalam Tata Hubungan Patronase
51 54 86 93 120 121 125 136 137 159 163 164 165 173 175 183 190 202 205 228 234 238 222 245 257 264 267 283 291
GLOSSARY Buruh Tambak:
Ekonomi Lokal:
Empang:
Gila-Gila: Kapital Lokal:
KBK:
KBNK: Konda:
Sebutan bagi mereka yang menjual tenaganya untuk membangun atau merehabilitasi tambak-tambak secara manual. Sebagian besar diantaranya berasal dari pantai utara Jawa Timur, khususnya Lamongan. Banyak diantara mereka bekerja secara berkelompok dikordinir oleh seorang mandor. Berbeda dengan rumusan pemerintah yang mendefinisikan Ekonomi Lokal sebagai “Usaha mengoptimalkan sumberdaya lokal yang melibatkan pemerintah, dunia usaha, masyarakat lokal dan organisasi masyarakat madani untuk mengembangkan ekonomi pada suatu wilayah”. Ekonomi lokal yang ditemukan dalam penelitian ini ialah “Suatu bangunan ekonomi hybrid yang mampu menopang keberlangsungan perekonomian sebuah masyarakat pada suatu wilayah dengan memanfaatkan sistem sosio-kultural yang berkarakteristik khas, berikut semua komponen sumberdaya lokal secara efesien”. Sebutan tambak bagi orang Bugis, merupakan kolam buatan yang dibangun diatas rawa payau, berisi campuran air laut dan air tawar untuk membudidayakan ikan atau udang. Empang dibagi menjadi petak-petak yang dibatasi pematang dan parit – mirip sawah, di kawasan Delta Mahakam luasan empang bisa mencapai 2 – 100 Ha/ petak dengan hanya menggunakan satu pintu air. Sebutan masyarakat setempat untuk menandai masa dimana posisi air yang akan masuk ke dalam tambak tidak stabil atau cepat berubah. Atau local capital merupakan sebuah terminology baru yang dengan sengaja ditawarkan dalam penelitian ini untuk menghindari peran negara maupun privatisasi di dalam konsepsinya, sehingga tidak terjebak dengan konsepsi social capital yang begitu mendominasi berbagai kajian dan wacana pembangunan pedesaan di negara Dunia Ketiga dewasa ini. Yang diasumsikan memiliki kemungkinan untuk mendorong bangkitnya etno-sentrisme. Kependekan dari Kawasan Budidaya Kehutanan, yang dalam wacana otoritas kehutanan dianggap sebagai kawasan terlarang untuk kegiatan apapun di luar aktivitas kehutanan. Aktivitas di dalam kawasan tersebut hanya boleh dilakukan jika telah mengantongi izin dari Menteri Kehutanan, jika tidak dapat dikategorikan sebagai kegiatan illegal/ perambah hutan. Kependekan dari Kawasan Budidaya Non Kehutanan. Sebutan masyarakat setempat untuk menandai turunnya air muka laut (surut terendah), yang juga berlangsung setiap dua minggu sekali. Pada masa inilah biasanya petambak/ “penjaga empang” bisa lebih santai dan berani meninggalkan tambaktambak yang dijaganya untuk pergi ke kota, sekedar menambah stok kebutuhan bahan pokok atau mengunjungi keluarga.
Nyorong:
Padang Nipah:
Panngaderreng:
Pappalele:
Pappanngaja:
Passe’:
Paseng: Pembiaran Negara:
Sebutan masyarakat setempat untuk menandai naiknya air muka laut (pasang tertinggi), berpedoman pada posisi bulan terhadap bumi dan matahari yang diperhitungkan dengan penanggalan bulan Hijriyah, biasanya berlangsung setiap dua minggu sekali. Berbeda dengan pola pengelolaan tambak di daerah lain, hampir semua tambak di kawasan Delta Mahakam, selalu dipanen dua kali dalam satu bulan (setiap kali nyorong), untuk mengambil udang bintik yang masuk ke tambak ketika pintunya dibuka pada saat air pasang tertinggi. Sedangkan udang windu akan dipanen ketika usianya telah mencapai empat bulan (panen raya), meskipun ada pula yang dipanen sebelum memasuki bulan keempat. Sebutan awal masyarakat setempat atas pulau-pulau yang terbentuk dari hasil sedimentasi Sungai Mahakam dan banyak ditumbuhi pohon nipah ini. Istilah Delta Mahakam tampaknya baru mulai dikenal masyarakat setempat pada tiga dasawarsa terakhir. Merupakan aturan adat-istiadat yang terdiri atas serangkaian norma yang berkaitan satu sama lainnya, yang terdiri dari ade’ (adat), bicara (norma hukum), rapang (norma keteladanan dalam kehidupan bermasyarakat), wari’ (norma yang mengatur stratifikasi masyarakat) dan sara’ (syariat Islam). Sebutan bagi pemilik modal dan peralatan tangkap dalam kegiatan perikanan tangkap di Sulawesi Selatan dan sebagian kawasan timur Indonesia. Dalam kegiatan pertambakan di pantai timur Kalimantan istilah pappalele tidak diadopsi oleh migran Bugis, peran dan posisi mereka diperankan oleh ponggawa yang di dalam kegiatan perikanan tangkap berlaku sebagai pemimpin dalam operasi penangkapan. Sesuatu yang dinasehatkan orang tua pada anak-cucu atau orang yang lebih mudah, guru pada muridnya ataupun ajjoareng pada joa’-nya, kadang-kadang merupakan ungkapan berupa kata-kata hikmah dan adakalanya melalui sebuah cerita yang dibumbui kalimat-kalimat khiasan. Berarti ikut merasakan penderitaan orang lain dalam perut sendiri, mengindikasikan perasaan haru (empati) yang mendalam terhadap kerabat, tetangga atau sesama anggota kelompok sosial. Melambangkan solidaritas, tidak hanya pada seseorang yang telah dipermalukan, namun juga bagi siapa saja dalam kelompok sosial yang sedang dalam keadaan serba kekurangan, berduka, mengalami musibah atau menderita sakit. Wasiat yang dipertaruhkan, menekankan adanya keharusan dan pantangan yang harus dipegang teguh oleh penerima wasiat. Setara dengan absennya Negara atas kekuasaan dan kewenangan yang dimilikinya dalam mengatur alokasi sumbersumber agraria. Akibatnya eksistensi hak-hak rakyat atas sumberdaya agraria dan kebijaksanaan alokasi sumberdaya alam menjadi sangat tergantung pada suasana politik-hukum dan kepentingan Negara (kekuasaan).
Penjaga Empang:
Petambak Bebas:
Petambak Terikat:
Patronase:
Ponggawa:
Sawi:
Siri’ Sulapa’ eppa’:
Sebutan bagi anak buah tambak dalam kegiatan pertambakan di pantai timur Kalimantan. Pada awalnya sebagian besar diantara mereka adalah famili atau karabat dekat dari pemilik tambak, namun seiring dengan semakin luasnya hamparan tambak yang terbangun dan semakin sulitnya mendapatkan tenaga operasional untuk menjaga empang dari jalur keluarga, telah membuka peluang bagi migran non-Bugis untuk bekerja sebagai ”penjaga empang”. Penghasilan mereka tergantung pada kesepakatan dengan pemilik tambak, biasanya berdasarkan prosentase bagi hasil produksi tambak (panen) yang telah dikurangi biaya produksi. Petambak pemilik yang mampu melakukan operasi pengelolaan tambak secara mandiri tanpa bantuan dari pihak manapun dan dapat menjual hasil produksinya pada pihak manapun untuk memperoleh harga tertinggi. Banyak diantara mereka yang memiliki hamparan tambak luas, harus mempekerjakan ”penjaga-penjaga empang”. Petambak pemlik atau petambak penggarap yang terikat hutang pada seorang ponggawa yang telah memberikan bantuan materil atau fasilitas usaha pertambakan dengan kompensasi menyerahkan hasil produksinya pada ponggawa yang telah menjadi patron mereka. Istilah petambak penyakap atau penyewa sepertinya tidak dijumpai dalam kegiatan pertambakan di kawasan Delta Mahakam. Hubungan produksi yang diikat oleh semangat resiprositas dan sukarela untuk mendapatkan sumberdaya dari keseimbangan proses pertukaran yang dianggap kedua belah pihak bisa diterima. Dimana seorang patron bertindak tidak hanya sebagai orang tua yang selalu membantu dan mencukupi kebutuhan hidup anaknya, namun juga bisa bertindak sebagai pemodal yang memaksa klien untuk menyerahkan seluruh produksi dan kesetiaan padanya, sehingga menjamin kepastian pasokan material raw dan keberlanjutan jaringan usahanya. Sebutan masyarakat Bugis di pantai timur Kalimantan, bagi seorang pemilik modal yang mengumpulkan dan membeli hasil produksi perikanan (hasil tangkapan maupun budidaya tambak), selain memberikan pinjaman saprotam serta modal usaha dalam bentuk fasilitas atau materil bagi klien mereka. Menurut Pelras (2006), istilah ponggawa berasal dari bahasa Sansekerta yang banyak digunakan pada abad-19, berarti komandan militer atau kapten kapal, sedangkan klien disebut sawi yang berarti awak kapal. Sebutan bagi anak buah kapal dalam operasi penangkapan. Dalam kegiatan pertambakan di pantai timur Kalimantan istilah sawi tidak diadopsi oleh migran Bugis, peran dan posisi mereka diperankan oleh ”penjaga empang”. Pandangan hidup untuk mempertahankan harkat, martabat dan harga diri pribadi, kelompok/ orang lain. Empat sifat utama yang harus dimiliki seorang pemimpin, selain berasal dari keturunan yang tepat, juga harus memiliki keutamaan dalam hal; keberanian (warani), kecerdasan (macca), kekayaan (sugi’) dan kesalehan (panrita).
Udang Bintik:
Udang Windu: We’re’:
Istilah masyarakat setempat untuk menyebut berbagai jenis udang alam non udang tiger/ windu, seperti udang pink, banana, white (Penaeus Indicus), loreng (Penaeus Endeavour), jerbung (Penaeus Merguensis), dst, yang tidak dibudidayakan dengan sengaja. Biasanya juga disebut udang tiger (Penaeus Monodon), merupakan komoditas utama yang dibudidayakan para petambak di kawasan Delta Mahakam. Kepercayaan pada diri sendiri yang teguh, sehingga mendorong upaya keras dengan semangat pantang menyerah dalam mencapai tujuan, yang sering disalah pahami sebagai bentuk melawan takdir.
I. PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Penelitian Diantara ekosistem pesisir yang mengalami tekanan hebat akibat pertumbuhan
penduduk dan beragam kegiatan eksploitasi terhadap sumberdaya alamnya adalah ekosistem delta. Salah satu ekosistem delta yang memiliki vegetasi mangrove yang unik, dengan tutupan nipah sangat luas adalah Delta Mahakam. Ekosistem mangrove yang memiliki sebaran zona nypa fruticans ini, membentuk formasi murni dengan luasan 50 persen dari seluruh tutupan Delta Mahakam, yang menurut MacKinnon (2000) merupakan formasi nipah terluas di dunia. Ironisnya luasannya diduga hanya tersisa 11.000 Ha. Konversi hutan mangrove yang semakin intensif terjadi seiring dengan berdirinya beberapa perusahaan eksportir perikanan di sekitar kawasan Delta Mahakam sejak 1974. Besarnya permintaan pasar global terhadap hasil perikanan (khususnya udang windu), telah memicu terjadinya pengalihfungsian common property menjadi area pertambakan pribadi, sehingga terjadi degradasi kualitas lingkungan secara signifikan dalam waktu singkat dan mencapai puncaknya ketika terjadi booms udang pada 2008. Peluso (2006) menilai bahwa krisis hutan tropis sekarang ini bersumber pada kelembagaan yang tidak pas, khususnya lembaga-lembaga yang membawahi sistem akses dan penguasaan sumberdaya. Tidak ada satu sumber tunggal pun yang dapat dipersalahkan dalam hal musnah dan merosotnya hutan; kerusakan aneka sumberdaya berbasis tanah adalah puncak interaksi rumit dan meluas antara berbagai kepentingan yang selalu bergeser. Mustahil ada solusi lingkungan terhadap kemerosotan, jika itu dipisahkan dari orang-orang dan masyarakat yang memanfaatkan lingkungan itu secara legal maupun ilegal; kemerosotan itu sendiri – degradation – adalah istilah yang sarat nilai dan kepentingan (Dove,1984; Blaikie, 1985; dan Peluso, 2006). Karena itu seharusnya analisis kelestarian harus mencakup kelestarian lingkungan secara sosial dan politis. Menurut Blaikie (1985), kebanyakan sistem pengelolaan hutan di Dunia Ketiga telah gagal mengatasi kemerosotan hutan maupun kemiskinan pedesaan. Beberapa sistem pengelolaan hutan negara bahkan memperparah kemerosotan hutan karena makin memperparah kemiskinan penduduk desa yang tinggal di pinggiran hutan. Artinya keberadaan hutan negara telah menciptakan enclaves kemiskinan pada desa-desa di pinggir hutan. Seperti disinyalir Awang (2004) yang mengungkapkan “pada 1994 sekitar 46 persen desa-desa miskin di Jawa berada di sekitar kawasan hutan negara”. Selaras dengan hasil penelitian Purwanto, dkk (2003) yang menemukan fenomena masyarakat desa miskin dan tertinggal di sekitar kawasan hutan Taman Nasional. Tidak berlebihan jika kemudian Ishak (2003), menyebut peranan kehutanan untuk menggerakkan
2
ekonomi nasional masih belum berhasil mengangkat ekonomi mikro, terutama ekonomi rakyat, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin di sekitar hutan dan kemampuan ekonomi daerah, serta kemampuan pelestarian hutan untuk terus mendorong perekonomian nasional. Namun demikian, menurut Hall, et all (2011) berbagai kebijakan dalam sistem pengelolaan hutan tersebut, ternyata setiap harinya tidak hanya menyebabkan tercerabutnya hak masyarakat (dispossession) atas klaim terhadap kawasan hutan yang telah mereka tradisikan, namun juga mendorong terjadinya akumulasi alat produksi dan kapital pada sejumlah pihak yang diuntungkan dengan beroperasinya kebijakan tersebut. Setidaknya menurut catatan World Bank, berbagai dilema kebijakan kehutanan di Indonesia mulai terjadi sejak rezim Orde Baru berkuasa. Ketika penguasa saat itu melakukan klaim atas kawasan hutan yang mencakup sekitar tiga perempat luas negara, mengambil alih hak-hak masyarakat tradisional atas hutan-hutan mereka. Dengan melakukan perencanaan penetapan wilayah berskala besar untuk menjelaskan daerah-daerah perlindungan, pengelolaan hutan dan alih fungsi, yang seringkali diabaikan atau bahkan dimanipulasi (Chomitz, 2007). Hak-hak masyarakat atas hutanpertanian yang ditradisikan diabaikan dan berbagai perencanaan yang telah menjadi kebijakan tidak mampu mencegah berlangsungnya penggundulan hutan di daerahdaerah yang dilindungi. Akibatnya menurut Chomitz, 40 juta orang Indonesia hidup di daerah yang ditetapkan sebagai wilayah hutan tetapi kekurangan pohon (hutan tanpa pohon), di daerah dengan larangan pertanian (termasuk perikanan), tanpa adanya jaminan hak penguasaan lahan. Menariknya, hingga saat ini, tidak banyak riset empiris atau motivasi teoritis untuk mencermati pola migrasi yang dilakukan secara berbeda yang mempengaruhi institusi common pool resource di dalam sebuah bioekoregion delta. Mengingat interaksi manusia di kawasan Delta Mahakam telah meningkat dalam 40 tahun terakhir, maka pemahaman bagaimana mobilitas etnik dilakukan, apa yang memotivasi dan seperti apa pola penguasaan common pool resources, saling berhubungan dan mempengaruhi lingkungan dalam ekosistem yang lebih luas menjadi penting untuk diungkapkan. Kajian ini semakin penting artinya, jika dikaitkan dengan minimnya literatur yang mengulas keberadaan masyarakat lokal di sekitar hutan negara dalam perspektif yang berbeda (tidak hanya dilihat sebagai pendorong terjadinya enclaves kemiskinan). Bagaimana sebuah entitas pendatang mampu mensiasati dan memanfaatkan sumberdaya yang ada ditempat baru untuk kepentingan sosio-ekonomi dan eksistensi dirinya, sehingga berhasil memicu akumulasi kekayaan, hingga proses kapitalisme pertambakan. Dalam konteks tersebut kegiatan pertambakan di kawasan Delta Mahakam tidak hanya akan dipandang sebagai penyebab dari terjadinya degradasi hutan mangrove yang begitu
3
massive, namun juga akan dipahami sebagai ekspektasi dari tindakan ekonomi di dalam kebudayaan Bugis yang sarat nilai dan kepentingan. Khususnya pada diri para ponggawa yang menduduki hierarki puncak dalam kegiatan pertambakan. Orang Bugis memiliki sistem hirarkis yang sangat rumit dan kaku, namun pada sisi lain prestise dan hasrat berkompetisi untuk mencapai kedudukan sosial tinggi, baik melalui jabatan maupun kekayaan, tampaknya tetap menjadi faktor pendorong utama yang menggerakkan roda kehidupan sosio-kemasyarakatan mereka (Pelras, 2006). Kemampuan mereka untuk berubah dan menyesuaikan diri merupakan modal terbesar yang memungkinkan mereka dapat bertahan dimanapun selama berabad-abad. Orang Bugis tidak hanya sekedar mengadaptasikan diri terhadap lingkungan, mereka bahkan mampu memberi warna tersendiri terhadap lingkungan yang baru. Lebih lanjut Pelras menyebut, “kecendrungan mereka yang tampaknya saling berlawanan (berpandangan hierarkis sekaligus egalitarian, dorongan untuk berkompetisi sekaligus berkompromi, menjunjung tinggi kehormatan diri tetapi juga solider terhadap sesama orang Bugis) dipadukan dengan nilai-nilai yang diutamakan seperti keberanian, ketaatan terhadap ajaran agama dan kelihaian berbisnis merupakan unsur-unsur penggerak utama dalam perkembangan kehidupan sosio-ekonomi dan politik mereka selama ini”. Karakteristik orang Bugis seperti itulah yang telah menjadi motor penggerak pertumbuhan kapitalisasi di Delta Mahakam dewasa ini. Dimana sistem budaya ketergantungan yang umumnya disebut patron-klien (ponggawa-petambak/ penjaga empang) menjadi inti dari berfungsinya proses kapitalisme pertambakan. Dimana hutan mangrove sebagai lokasi kegiatan pertambakan yang berlimpah, namun tidak memiliki nilai intrinsik dalam aturan perundangan saat itu, menjadi „aset kunci‟ yang dikuasai dan didistribusikan para ponggawa dalam jaringan patronase-nya. Yang pada gilirannya menjadi sarana strategis dalam mengakumulasi kekayaan, serta meraih kekuasaaan ataupun meningkatkan status sosial. Di dalam Kawasan Budidaya Kehutanan (baca: KBK) yang luasnya lebih dari 90 persen dari total luasan Delta Mahakam inilah, proses kapitalisasi pertambakan yang dikategorikan otoritas kehutanan sebagai “kegiatan usaha ilegal” tersebut berlangsung. Menurut perhitungan Dutrieux (2001) yang diacu otoritas kehutanan, luasan kawasan Delta Mahakam diperkirakan mencapai 150.000 Ha, sementara menurut Dinas Kelautan dan Perikanan Kukar (2008), luasnya ditaksir sekitar 108.251,31 Ha. Menariknya kegiatan “pertambakan ilegal” tersebut, berlangsung hingga saat ini tanpa pernah ada penertiban dari pihak berwenang. “Pertambakan ilegal” tersebut, bahkan telah memicu kemunculan pengusaha lokal. Mereka adalah para ponggawa pertambakan, yang berhasil melakukan akumulasi penguasaan alat produksi hingga terjadi pengkonsentrasian penguasaan area pertambakan. Kondisi ini selanjutnya
4
mendorong dilakukannya diversifikasi usaha yang ikut menopang kegiatan pertambakan yang semakin meluas dengan skala produksi yang juga terus meningkat, seperti pendirian pabrik es, hatchery, cold storage, hingga pembangunan industri pengolahan hasil perikanan skala ekspor dan seterusnya. Puncaknya terjadi
pada 2007, ketika seorang ponggawa besar di Delta
Mahakam, berhasil melakukan take over atas perusahaan industri perikanan international dari Jepang yang merupakan pioneer industri perikanan ekspor di Indonesia, sekaligus perusahaan eksportir perikanan terbesar di pantai timur Kalimantan. Tidak hanya sampai disitu, para ponggawa juga berhasil melakukan ekspansi kegiatan bisnis di sektor lain, seperti toko-toko klontongan – swalayan yang menyediakan kebutuhan pokok
para klien dan
masyarakat sekitar. Bahkan,
mengembangkan kegiatan usaha diluar sektor perikanan, seperti distributor produk pertanian, jasa transportasi, kontraktor proyek pembangunan, pengembang property, stasiun pengisian BBM, eksploitasi pertambangan, perkebunan kelapa sawit, hingga berkecimpung dalam organisasi sosial-politik.
1.2
“Pintu Lain” Pembentukan Kapital Lokal Fenomena yang tergambar diatas, tentu sangat menarik untuk dicermati, ketika
bangsa ini tidak bisa terlalu berharap banyak atas kehadiran kaum borjuasi sejati, yang seperti disinyalir Kunio (1990) tidak terbentuk di Asia Tenggara. Yang ada hanyalah kapitalisme ersatz (pengganti yang lebih inferior) sebagai akibat dari campur tangan pemerintah yang terlalu berlebihan sehingga mengganggu prinsip-prinsip persaingan bebas yang membuat kapitalisme tidak berjalan dinamis. Selain kemunculan para pengusaha yang tidak didasarkan pada perkembangan teknologi yang memadai, sehingga industrialisasi yang mandiri tidak mewujud. Kondisi inilah yang menurut Kunio berakibat pada tidak terjadinya kemajuan ekonomi dan teknologi yang luar biasa seperti yang menggejala di Barat. Yang ada, kaum borjuasinya takut melakukan persaingan bebas dan selalu meminta perlindungan dari pemerintah, sehingga dalam banyak studi tentang kemunculan pengusaha/ kelas menengah di Indonesia, umumnya menyimpulkan bahwa kapitalisme Indonesia ditandai dengan dominasi kapitalisme negara, kapitalisme borokrasi dan kapitalisme klien, yang sangat bergantung pada penguasa untuk dapat melakukan kegiatan bisnis atau peran ekonominya (Robinson, 1986; dan Muhaimin 1990). Seperti juga digaris-bawahi Antlov (2003), yang menyebut elit pedesaan bukanlan semata-mata kelas kapitalis murni, tetapi lebih merupakan anak emas dari negara yang kesempatannya untuk mengumpulkan kekayaan dan memimpin tergantung pada hubungan mereka dengan pemerintah. Berbagai temuan kontemporer
5
tersebut seakan mengukuhkan temuan Weber yang dikonsepsikan dalam The Sosiology of Relegion, maupun konsepsi Marx dalam Asiatic Mode of Production yang tidak berhasil menemukan etos yang mampu mendorong munculnya kapitalisme rasional pada masyarakat Islam/ Asia lebih dari 100 tahun yang lalu. Sebagai manifestasi kuatnya bentuk-bentuk kelembagaan patrimonial yang berkombinasi dengan monopoli kekuatan militer/ politik kekuasaan (Weber) ataupun monopoli kekuatan ekonomi oleh birokrasi negara (Marx). Jika mendasarkan pada diagnosa tersebut, layak-kah jika kapitalisme yang menggejala di Indonesia dikategorikan sebagai kapitalisme ersatz? Mungkin-kah dalam masyarakat Indonesia yang patrimonial seperti diklaim Liddle (1993) dan Mackie (1993) akan dapat mewujud kapitalisme rasional? Selanjutnya pertanyaan Arief Budiman (1990) menjadi relavan untuk dikemukakan; layak-kah para pengusaha lokal, disebut sebagai mitra dagang yang tidak mandiri dan lebih inferior, jika struktur ekonomi global „memaksa‟ mereka untuk mengekspor bahan-bahan mentah yang tidak dihasilkan negara-negara industri maju? Dapatkah pengusaha lokal dikatakan menjadi ersatz atau kapitalis pengganti yang lebih inferior dari kapitalis tulen (Barat), hanya karena mereka tidak melakukan inovasi usaha dengan mengembangkan industri berteknologi tinggi, akibat „keterlambatan‟ dalam melakukan industrialisasi, sehingga tidak mampu bersaing dengan para industrialis di negara-negara maju? Bagaimanapun stereo type sebagai masyarakat dengan sistem sosial asli (prakapitalis) yang harus berhadapan dengan masyarakat dengan sistem sosial impor (kapitalisme tinggi) seperti dinyatakan Boeke dalam “teori ekonomi ganda”-nya, tampaknya masih begitu mendalam pengaruhnya dalam berbagai kajian tentang pertumbuhan golongan pengusaha/ kelas menengah di Indonesia. Akibatnya menurut Haryanto (1990), timbul aliran pemikiran yang menganggap proses sejarah di negaranegara Asia Tenggara telah gagal menumbuhkan kelas menengah “dalam arti sesungguhnya”. Meskipun umum diketahui, kapitalisme berkembang secara berbedabeda disepanjang sejarahnya, karena persoalan yang dihadapinya berbeda-beda. Yang sama hanyalah bentuk dasarnya, yaitu pemilikan pribadi alat-alat produksi, sistem pasar sebagai sistem dasar pertukaran barang dan jasa, serta tenaga kerja menjadi komoditi yang diperjualbelikan. Karenanya menjadi penting secara teoritis, menemukenali kembali kemunculan pengusaha lokal di Indonesia, melihat dengan lebih jernih proses pembentukan ekonomi lokal yang menggejala di Indonesia saat ini, sehingga secara konseptual menjadi kontekstual dan historis. Mengingat selama ini, secara konseptual dihadapkan pada pemasalahan pelik menyangkut pandangan paradigmatik yang mempertentangkan pendekatan struktural dan nilai-nilai (etika moral) dalam meneropong permasalahan
6
tersebut. Pada tingkat formal sepertinya sulit untuk mendamaikan pemikiaran dialektik Marx dengan sosiologi verstehend-nya Weber, dimana sosiologi Weber bersifat agnostic (personal Weber) dan menghakimi sementara sosiologi Marx bersifat ateis (impersonal Marx) dan kritis terhadap agama (lihat Turner, 1984). Namun demikian, Turner (1984) berhasil mempertautkan konsepsi Weber yang lebih menekankan pada monopoli kekuasaan politik patrimonial bangsa Asia, ketika memperlakukan peranan nilai sebagai sesuatu yang sekunder dan bergantung pada kondisi sosial setempat/ Islam. Dengan konsepsi Marx yang memandang hapusnya kepemilikan hak milik perorangan atas tanah di Asia, akibat monopoli kekuasaan ekonomi oleh birokrasi negara, sebagai penghambat munculnya prakondisi kapitalisme. Tampaknya terdapat “pintu lain” untuk mensiasati pertentangan paradigmatik dalam menelusuri fenomena ekonomi lokal di Indonesia. Sekalipun Marx menekankan pentingnya monopoli kekuasaan ekonomi dan Weber menekankan monopoli kekuasaan politik, namun menurut Turner pada dasarnya asumsi-asumsi dan implikasi-implikasi pandangan mereka tentang perbedaan AsiaEropa sangatlah mirip. Hal ini sampai derajat tertentu sejalan dengan pernyataan Castles (1982), yang mengingatkan untuk tidak tergiring ke lorong buta teoritis, dalam menjelaskan fenomena keunggulan kelompok masyarakat tertentu dalam kegiatan usaha ekonomi dengan sepenuhnya melalui jalur Gertzian atau Weberian, karena sangat problematik. Akan sangat berbahaya mengikuti godaan untuk melihat analogi Etika Protestan dalam agama-agama bangsa Asia, karena motif-motif asketik tidak memiliki kaitan penting dengan kapitalisme dan asketisme secara pasti bukan merupakan aspek motivasi global (Turner, 1984). Berdasarkan pengamatannya, Higgins (1989) bahkan menyimpulkan, bahwa ketika sebuah perekonomian berkembang dan banyak terbuka peluang-peluang ekonomi, bakat-bakat kewirausahaan tampaknya bermunculan betapapun sistem nilai yang tersedia tidak menjanjikan. Berbagai perkembangan tersebut, tampaknya lebih dapat dijelaskan jika ditinjau dengan cara-cara yang saling mempengaruhi diantara nilainilai yang berlaku dan faktor-faktor struktural dan situasional, seperti yang direkomendasikan Castles (1982) ataupun Mackie (1999). Meskipun berimplikasi, mempertanyakan kembali model teoritis Weber yang muncul dari pasar dan tumbuh tanpa dukungan negara (Raillon, 2001). Memang ada kemudahan yang tidak bisa diingkari dalam bekerja menggunakan tradisi pemikiran yang mapan, namun adanya keberagaman pendekatan yang berkembang saat ini bisa digunakan siapapun yang berada diluar tradisi tunggal manapun (Gidden, 2004). Maka untuk itu, pendekatan eklektis teoritis yang mampu menggambarkan berbagai teori dimana ia bersuaian tanpa mengekang satu diantaranya, menjadi lebih memadai untuk menjawab permasalahan.
7
1.3
Signifikansi Studi Tidaklah mudah bagi peneliti untuk bisa membebaskan diri dari bias-bias
Indologi (politik keilmuan kolonial) yang selalu berusaha mengawetkan struktur kekuasaan tradisional dan melembagakan dualisme dalam berbagai sektor, dengan konsepsi-konsepsi yang begitu hegemonik dalam pengetahuan sosiologi kontemporer di Indonesia. Jebakan pendekatan dikotomis tampaknya akan sulit untuk dielakkan, seperti dual economy, dual society, inner island vs outer island, ekonomi (kapitalisme modern) dan budaya (Islam), pribumi dan non pribumi ataupun yang lokal dan yang global. Padahal menurut Irwan (1999), pendekatan dikotomis selalu bersifat a-historis. Kerancuan berpikir mengenai one-sided embeddedness banyak disebabkan oleh pola pikir dikotomis yang masih sangat umum dianut sampai sekarang, bahwa ada yang lokal dan global dan seterusnya. Padahal secara historis tidak bisa dibedakan lagi mana yang global dan mana yang lokal. Keberadaan Timur (Indonesia) sebagai tanah jajahan merupakan proses kolosal sejarah yang ikut membentuk kapitalisme yang tampak seperti sekarang. Namun sampai sekarang hubungan-hubungan sosial lokal (Timur) tidak dipandang sebagai embedded dalam kapitalisme, kapitalisme tetap dipandang sebagai roh yang karakternya tidak diwarnai dan dibentuk oleh hubungan-hubungan sosial lokal (Timur). Pada
gilirannya
ketimpangan
historis
ini
kemudian
diadopsi
menjadi
ketimpangan konseptual dan yang lokal (Timur) didudukkan sebagai “mitra yang lebih muda” dalam konsep pemahaman gejala sosial (Hefner, 1999). Hingga muncul ungkapan “Etika Protestannya” Islam sebagai “second hand”, sementara tokoh-tokoh penting pembaharuan Islam adalah mereka yang terdidik di Eropa ataupun mereka yang setidaknya menerima tradisi analisis Eropa (Turner, 1984). Penekanan Islam pada ikhtiar dan akan sebagian besar penemuan pun dianggap diimpor dan dikembangkan dari konsep-konsep Eropa pada akhir abad 19. Padahal seperti diketahui, konsep umran-nya Ibn Khaldun secara bertahap telah berubah menjadi konsep “peradaban”nya Guizot. Konsep maslahah-nya ahli fiqih Maliki dan Ibn Taymiyah berubah menjadi konsep “utility”-nya John Stuart Mill dan ijma’ fiqih Islam menjadi “pendapat masyarakat” Barat tentang konsep teori demokrasi (Turner, 1984). Perlakuan Weber terhadap asketisme Barat dan Mistisisme Timur yang dibuat dengan sangat rinci pun tampaknya berkaitan erat dengan kepercayaan khas dan spesifik abad 19, bahwa masyarakat timur bersifat spiritualistik dan sebaliknya Barat bersifat materialistik, sehingga menurut Weber (1978), Islam tidak mengandung etos yang
mendorong
munculnya
kapitalisme
rasional.
Masyarakat
Islam
gagal
mengembangkan institusi-institusi yang otonom yang dipandang Weber sebagai karakteristik dari masyarakat Eropa, dimana Islam telah gagal mengembangkan hukum
8
yang formal dan rasional, karena hukum suci yang ideal (syari’ah) telah tunduk pada negara dan kelicikan politik. Disini Weber tampaknya memaksakan pengertiannya sendiri tentang alasan-alasan kesetiaan kaum Muslim dengan mengabaikan pengertian ataupun alasan dari kaum Muslim sendiri. Weber memperlakukan etika asli sebagai bersifat mantap dan terus ada tanpa tergantung pada modifikasi-modifikasi yang mungkin terjadi dalam kondisi-kondisi sosial yang berbeda. Sementara Marx tidak menganggap penting agama, dengan menyebut agama sebagai sesuatu yang sejati tetapi nihil, karena ia mencerminkan sebuah dunia kepalsuan. Karenanya bagi Marx tugas yang sesungguhnya difokuskan pada perbaikan kaidah-kaidah materialisme dari tatanan sosial yang dapat mendorong kesadaran palsu. Dengan pendekatan bias pengetahuan Barat seperti itu, menjadi tidak mengherankan jika Weber maupun Marx tidak menemukan adanya proses sosial apapun dari feodalisme ke kapitalisme di Asia, sehingga mereka merasa yakin masyarakat Asia hanya dapat ditransformasikan oleh kekuatan-kekuatan luar yakni kapitalisme Eropa. Di dalam konteks tersebut, peneliti menyadari sepenuhnya bahwa penelitian ini dirasakan cukup problematik, karena mencoba mengusung suatu “ikhtiar akademik transisi” dengan mencoba mereduksi konsepsi-konsepsi yang begitu hegemonik dan bias pengetahuan Barat, namun studi ini pun memaksa peneliti untuk “berdiri di atas pundak-pundak raksasa” intektual Barat yang konsepsinya belum tergantikan tersebut. Namun demikian, dengan semangat ingin membebaskan diri dari bias-bias Indologi, penelitian ini ingin mengajukan suatu wacana pendekatan yang disebut Bryant (1998) dan Escobar (1999) sebagai hibriditas atau yang disebut Sajogyo (2006) sebagai “hibrida” (“lintas batas”). Yang dalam penelitian ini peneliti sebut sebagai pengetahuan kolaboratif dalam perspektif struktur-kultural, yaitu upaya untuk menggabungkan hal terbaik dari pengetahuan lokal dan pengetahuan ilmiah dari dunia Barat. Dimana hubungan-hubungan sosial lokal/ Timur dipandang sebagai
embedded dalam
kapitalisme/ Barat, begitupun sebaliknya, sehingga menolak konsepsi Boeke yang menyebut prinsip-prinsip dasar ekonomi Barat tidak cocok dengan masyarakat Timur yang sistem sosial budayanya berbeda. Selanjutnya dengan melakukan penolakan untuk hanya mengamati nilai-nilai budaya dalam hubungannya dengan kewirausahaan, penelitian ini setidaknya telah menghindari diri dari jebakan esensi dan dikotomi. Membuka kesempatan untuk menjelaskan bagaimana secara historis nilai-nilai sosial tersebut berkembang dan kepentingan-kepentingan apa yang ada dibelakangnya, memungkinkan pamahaman tradisi budaya Bugis betul-betul dalam kepluralannya. Pendekatan ini diharapkan mampu memberikan ruang bagi masuknya kekayaan campuran pluralitas nilai dan hubungan sosial, meskipun konsekuensinya jatuh pada ketidakjelasan. Seperti
9
dinyatakan Irwan (1999), salah satu indikator pendekatan bersifat historis adalah semakin tingginnya tingkat ketidakpastian dan semakin terungkapnya kepentingankepentingan yang ada dibalik berbagai simbol-simbol budaya dan nilai sosial. Melalui pendekatan seperti itu, menjadi relavan kemudian untuk mempertanyakan kembali mengapa ekonomi lokal berbasis perikanan budidaya di kawasan Delta Mahakam yang sebagian besar pendukungnya adalah migran Bugis dari lapisan to-maradeka, bisa begitu kuat menghadapi krisis ekonomi. Studi ini pada akhirnya akan memberikan kemungkinan pilihan-pilihan untuk penerapan sistem ekonomi alternatif. Bagaimana teori pembentukan ekonomi lokal yang digagas dalam tesis ini dapat ditransformasikan menjadi suatu pilihan praxis baru yang mampu memberi sumbangan pemecahan atas berbagai permasalahan. Bahwa di luar sistem kapitalisme terdapat model-model lain yang kompatibel dengan sistem sosial budaya setempat, yang mendasarkan pembangunan ekonomi pada nilai budaya sambil mengintegrasikannya dengan teknologi modern. Seperti The New Traditional Economy (NTE) ataupun Community Currency System (CSS) yang digagas Blikololong (2010), ketika menemukan fenomena Du-Hupe yang mampu bertahan di tengah gempuran ekonomi uang di Lamalera, NTT. Fakta barter yang tak dapat digusur oleh uang menunjukkan adanya sistem ekonomi alternatif, meskipun berskala lokal. Fenomena ekonomi lokal tersebut seharusnya dapat diintegrasikan ke dalam pembangunan berkelanjutan yang membutuhkan nilai-nilai intrinsik (yakni nilai non-ekonomi, yang dijunjung tanpa memperhitungkan manfaat atau biayanya, misalnya kehormatan ataupun patriotisme), bukan sekedar nilai-nilai instrumental (yakni nilai yang secara langsung bermanfaat bagi seseorang). Justru karena bersifat non-ekonomi, nilai-nilai itu tidak akan tergerus kesuksesan ekonomi dan karena sifatnya yang pro-ekonomi, nilainilai itu tidak akan berhenti mendorong proses akumulasi. Konkretnya, fenomena kebangkitan ekonomi lokal, seperti yang dijumpai dalam penelitian
ini,
seharusnya
dapat
disinegikan
ke
dalam
program
prestisius
Pengembangan Ekonomi Lokal (Baca: PEL) yang saat ini tengah digagas pemerintah melalui Bappenas. PEL didefinisikan secara resmi oleh pemerintah sebagai usaha mengoptimalkan sumberdaya lokal dengan melibatkan pemerintah, dunia usaha, masyarakat lokal dan organisasi masyarakat madani untuk mengembangkan ekonomi pada suatu wilayah (Hariyoga, 2007). Meskipun, pengembangan ekonomi lokal merupakan upaya pemberdayaan masyarakat ekonomi dalam suatu wilayah dengan bertumpukan kepada kekuatan lokal, baik itu kekuatan nilai lokasi, sumber daya alam, sumber daya manusia, teknologi, kemampuan manajemen kelembagaan (capacity of institutions) maupun asset pengalaman (Haeruman, 2001). Namun ironisnya, gagasan PEL yang telah diterapkan tampaknya masih sangat bias pengetahuan Barat,
10
setidaknya sampai sejauh ini konsepsi-konsepsi yang diadopsi dari World Bank (2001) dan Blakely (1994) secara kontekstual tidaklah khas lokal, sehingga operasionalisasinya masih dipertanyakan. Penetrasi cara-berpikir (yang serba pertumbuhan, serba investasi asing, serba akumulasi ekonomi dan serba ekspansi-kapital) itulah yang kemudian menurut Dharmawan (2007) menghasilkan dominasi-dominasi budaya dalam cara berpikir
yang
melanggengkan
dominasi
kekuasaan-kekuasan
politik
lokal
ala
kelembagaan kapitalistik Barat (pada tatanan pengaturan lokal). Hal ini menandakan pentingnya kita menata kembali kehidupan di pedesaan dalam konteks keadilan spasial. Secara konsepsional melalui studi ini tersedia peluang yang bisa membuka celah-celah untuk menggeser struktur kekuasaan tradisional pro status-quo yang sudah berurat-berakar dan mengendap dalam kebudayaan lokal dengan suatu perspektif baru, sehingga ikut mereduksi permasalahan kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan sosial. Signifikansi studi ini, setidaknya berhasil menunjukkan bahwa kebangkitan ekonomi lokal mampu digerakkan oleh masyarakat migran Bugis dari golongan tomaradeka
(masyarakat
kebanyakan)
secara
mandiri
(nyaris
tanpa
sokongan
pemerintah) dengan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia disekitar mereka. Para pengusaha lokal tidak hanya mampu survive ditengah gempuran pasar global, mereka bahkan berhasil memainkan peran penting dalam menopang pondasi ekonomi bangsa, ketika hampir semua suprastruktur ekonomi mengalami “kebangkrutan” pasca krisis 2007/ 2008. Kebangkitan ekonomi lokal tampaknya akan dapat diharapkan menjadi tulang punggung ekonomi bangsa, jika bisa dikawal oleh sistem kepemimpinan nasional yang tangguh dan berpihak pada keberdayaan-ketahanan ekonomi lokal. 1.4
Penelitian Terdahulu Meskipun sampai sejauh ini, kajian sosial tentang pembentukan golongan
pengusaha/ kelas menengah di Indonesia telah menunjukkan keseimbangan diantara studi-studi politik-ekonomi aras makro dan mikro (Lihat Gambar. 1). Namun studi-studi yang dilakukan masih banyak disumbang oleh para sarjana Barat (dari luar Indonesia). Studi aras makro dengan menggunakan pendekatan kultural setidaknya mulai dirintis Boeke (1953); yang kemudian diteruskan Sievers (1974); dan Peacock (1978). Sedangan Sutter (1959); Emmerson (1983); Muhaimin (1990); Hil (1990); dan Kunio (1990) melakukan studi makro dengan pendekatan struktural, sementara studi makro dengan pendekatan ketergantungan dilakukan Mortimer (1973); Palmer (1978); dan Robinson (1982). Selanjutnya Geertz boleh dianggap sebagai perintis dilakukannya studi aras mikro dengan menggunakan pendekatan kultural, yang kemudian dilanjutkan Hefner (1990/ terjemahan 1999); Dobbin (1991); Wolf (1992); Abdullah (1994); Dwipayana
11
(2004); Ahmadin (2008); Malik (2010) dan Wianti (2011). Sedangkan Alexander (1987); Husken (1988) dan Wasino (2008); melakukan studi mikro dengan menggunakan pendekatan struktural, sementara Kahn (1974); dan Sitorus (1999) melakukan studi mikro dengan pendekatan ketergantungan, hanya Castles (1982) yang telah mencoba melakukan kajian mikro dengan pendekatan eklektik. Meskipun Sitorus (1999) tidak secara eksplisit menyatakan menggunakan pendekatan eklektik, namun dalam analisisnya ia sebenarnya telah mencoba menggabungkan pendekatan struktural dan kultural. Secara keseluruhan, kajian yang lebih memusatkan perhatian pada aspek ”pengusaha migran lokal” khususnya dalam sektor perikanan dengan menggunakan pendekatan eklektik masih belum pernah dilakukan. Demikian pula, penelitian sosiologis mengenai keberadaan industri perikanan di pantai timur Kalimantan, khususnya di kawasan Delta Mahakam, masih jarang dilakukan. Penelitian tentang kegiatan perikanan di kawasan Delta Mahakam, sampai dengan tahun 2000 masih terbatas pada kajian dengan topik-topik isu pengelolaan suberdaya-lingkungan, kebijakan-perencanaan pembangunan, ekosistem perairan dan mangrove, teknologi penangkapan-pengolahan dan budidaya perairan, serta GIS dan pemodelan. Sementara tulisan tentang aspek sosio-kultural, ekonomi kelembagaan dan legal-politik masih sangat terbatas. Baru setelah publikasi Bourgeois et all (2002) yang melakukan kajian tentang kondisi sosio-ekonomi dan kelembagaan parapihak di Delta Mahakam, mulai ada yang melakukan beberapa penelitian ilmiah tentang masyarakat Bugis di Delta Mahakam. Diantaranya yang paling menonjol adalah studi Levang (2002) tentang sejarah perkembangan masyarakat (khususnya ponggawa) di Delta Mahakam; Rachmawati (2003), tentang hubungan nilai ekonomi mangrove dan kepedulian masyarakat; Lenggono (2004), tentang modal sosial pada masyarakat petambak; Hidayati at all (2005), tentang konflik parapihak di Delta Mahakam; Simarmata (2008), tentang pembentukan pengaturan tenurial pada kegiatan kehutanan, migas dan pertambakan; dan Timmer (2009) tentang keadilan akses dalam kegiatan kapitalisme pertambakan dan migas. Namun, secara keseluruhan, masih belum pernah dilakukan kajian sosiologis yang serius dan mendalam.
12
Gambar 1. Kajian Sosial Tentang Pembentukan Pengusaha di Indonesia Thn
1953
1959
1963
1967
1973
1974
1974
1978
1978
1983
Peneliti
Judul Penelitian Kajian Aras Kajian Aras Makro Mikro
Boeke
Economics and Economics Policy in Dual Society
Sutter
Indonesianisasi: A Historical Survey of The Role of Politics in The Institution of A Changing Economi (19401955)
Mortimer
Indonesia: Growth or Development
Sievers
The Mistical World of Indonesia: Culture and Ecomonic
Emmerson
1986
Robinson
1987
Alexander
Eklektik
Kemerdekaan politik mengubah lingkungan bisnis modal Barat yang sebagian besar di nasionalisasi dan berlakuknya program Benteng mengurangi arti relatif penting perusahaan-2 asing Munculnya kaum pedagang Muslim modernis dan pengusaha bangsawan yang potensial bagi keberadaan sebuah kelas pengusahapribumi Kemunculan dan kegagalan pengusaha rokok kretek muslim, pertumbuhan ekonomi meningkatkan kelas menengah Islam, namun sebagian besar muslim tetaplah miskin Tumbuhnya kelas kapitalis birokratik dengan ciri peranan kaum komprador sebagai “junior patner” bagi modal asing Mistisisme sebagai hambatan krusial bagi pembangunan ekonomi Economic Integration and The Peasant Economy: The Minangkabau
Kahn
Peacock
Ketergantungan
Tingkah Laku Agama, Politik dan Ekonomi di Jawa: Industri Rokok Kudus (Terjemahan, 1982)
Castles
Palmer
Struktural
Terjadinya pertarungan antara sistem sosial impor dengan sistem sosial asli
Peddlers and Princes: Social Development and Economic Change in Two Indonesian Towns
Geertz
Pendekatan Penelitian Kultural/ Nilai
Terjadinya gejala atomisasi usaha pandai besi di pedesaan Kerusakan industri domistik disebabkan banjirnya barangbarang impor dari luar dan modal asing
The Indonesia Economic Since 1965 Purifying The Faith: The Mohammadijah Movement in Indonesian Islam Understanding the New Order: Bureaucratic Pluralism in Indonesia
Kegagalan gerakan Islam Modern menumbuhkan etos ekonomi produktif Gagalnya kemunculan kelas menengah mandiri akibat patrimonialisme dan kepolitikan birokratik Mundurnya borjuasi pedagang Islam akibat berlakunya suatu tipe kapitalisme yang didasarkan modal asing
Indonesia: The Rise of Capital Trade, Trader and Trading in Rural Java
Memahami pasar barang dagangan dgn didasarkan pd konseptualisasi sebagai
13
1988
Masyarakat Desa dalam Perubahan Zaman: Sejarah Diferensiasi Sosial di Jawa 1830-1980 (Terjemahan, 1998)
Husken
1990
Muhaimin
Bisnis dan Politik: Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 19501980
1990
Hill
Investasi Asing dan Industrialisasi di Indonesia
1990
Kunio
1990
1991
1992
1994
sitem dagang, pedagang dan perdagangan Komersialisasi dan diferensiasi sosial telah berjalan sejak 1850, dimana masyarakat terbagi dalam 3 kelas; 1) Segolongan besar tuna-kisma; 2) Golongan petani kelas menengah atau “orang kuat desa”; dan 3) Kelas atas yang terdiri atas aparat desa Pengusaha yang muncul tergantung pada penguasa untuk dapat melakukan kegiatan bisnis atau peran ekonominya. Indonesia lamban mengambil peluang dari keuntungan manufaktur padat karya, keputusan dirancang untuk mendorong produksi manufaktur berorientasi ekspor & memperbaiki kemerosotan pendapatan dr minyak Tidak terbentukanya kapitalisme sejati yg perkembangannya semata-mata bergantung pada perekonomian pasar dan pemerintah
Kapitalisme Semu Asia Tenggara
Hefner
The Political Ekonomi of Mountain Java: An Interpretative History (Terjemahan 1999)
Dobbin
The importance of Minority Characteristics in The Formation Of Business Elite in Java: The Baweanese
Wolf
Factory Daughter: Gender, Household Dynamic and Rural Industrialization in Java
Abdullah
The Muslim Businessmentn of Jatinom: Relegious Reforms and Economic Modernization in a Central
Tidak terjadinya peneguhan keyakinan dari berbagai kalangan bahwa cara merubah ekonomi yang efektif adalah melalui campur tangan atasbawah yang bersifat patronal Kepedulian menabung dengan maksud menunaikan haji dan sikap hemat sehari-hari adalah faktor penyumbang penting pada keberhasilan usaha dagang Tangggung-jawab rumah tangga tidak menghalangi karier dagang wanita Jawa , berbagai pekerjaan pertanian dilakukan jalinmenjalin dengan waktu yang dibutuhkan utk berdagang Muhammadiyah berperan mereformasi sosial-budaya dan ekonomi menjadi lebih rasional dan prduktif
14
1999
2004
2008
2008
2010
2011
Javaness Town Pembentukan Golongan Pengusaha Lokal di Indonesia: Pengusaha Tenun dalam Masyarakat Batak Toba
Sitorus
Bangsawan dan Kuasa: Kembalinya Para Ningrat di Dua Kota
Dwipayana
Wasino
Kapitalisme Bumi Putra: Perubahan Masyarakat Mangkunegaran
Ahmadin
Kapitalisme Bugis: Aspek Sosio-Kultural dalam Etika Bisnis Orang Wajo
Malik M.L
Etos Kerja, Pasar dan Masjid: Studi Sosiologi Mobilitas Perdagangan Orang GuLakudo di Sulawesi Tenggara
Wianti
Kapitalisme Lokal Suku Bajo (Studi Kasus Nelayan Bajo Mola dan Mantigola, Kabupaten Wakatobi)
Sumber: Disarikan dari Berbagai Sumber
Kemunculan golongan pengusaha industri tenun merupakan hasil rekayasa pemerintah terhadap elit sosialekonomi lokal, yang ditopang prakondisi produksi kapitalis Kelas menengah baru meminjam atribut yang biasa digunakan bangsawan, mengubah orientasi akumulatif dari memperoleh keuntungan dalam kompetisi pasar dengan meraih rente sebesarbesarnya dari monopoli Industri gula di Mangkunegara mendorong munculnya kapitalisme “priayi”, ditandai keuntungan tidak hanya untuk pengembangan modal tapi juga untuk semua kebutuhan trah & rakyat Pengembangan semangat kapitalisme memanfaatkan jaringan kerjasama yang terjalin melalui ikatan se-etnis Perubahan orientasi keagamaan orang Gu-Lakudo, sinkretis-mistik Islam dengan agama tradisi leluhur pada konsepsi Islam modern-rasional menumbuhkan etos ekonomi kompetitif bersumber pd nilai ajaran Islam dlm perdagangan Perubahan masyarakat Bajo kea rah kapitalisme disebabkan intensitas pertukaran ekonomi dan penetrasi nilai-nilai „orang luar‟ yang memberikan pengaruh berbeda atas etika yang terbentuk
15
1.5
Rumusan Permasalahan dan Batasan Konsepsional Sebelum membuat batasan sejumlah konsep sosiologis berkenaan dengan
masalah penelitian, terlebih dahulu akan dirumuskan permasalahaan yang mendasari penelitian ini. Berdasarkan pijakan empiris dan teoritis seperti telah dikemukan diatas, penelitian ini akan mencoba merekonstruksi pertumbuhan ekonomi lokal, yang dalam konteks empirisnya dipicu oleh masalah struktur lingkungan – perkembangan historis yang melingkunginya. Karenanya keberhasilan banyak migran Bugis di kawasan Delta Mahakam yang awalnya miskin dan berasal dari golongan lapisan terbawah masyarakat feodal Bugis yang sepertinya kurang tunduk (exposure) pada doktrin-tradisi “Islam Puritan”, tampaknya sukar untuk dijelaskan sepenuhnya menurut pola nilai-nilai atau perilaku mereka, karena mereka sendiri tidak sepenuhnya berbeda dari orang Bugis lainnya yang berhasil di kampung halaman mereka. Yang ada, nilai-nilai yang kemudian ikut menopang keberhasilan mereka sebagai seorang pengusaha lokal, sehingga menumbuhkan semangat kerja keras, hemat, pantang menyerah dan disiplin seperti yang mewujud dalam diri para ponggawa saat ini, merupakan hasil konstruksi dari beroperasinya sistem ekonomi lokal yang terbangun. Dalam konteks messo-makro, kebangkitan golongan pengusaha perikanan (ponggawa) di Delta Mahakam, merupakan keberhasilan golongan tersebut memainkan perannya, “meleburkan diri” dalam dinamika formasi sosial kapitalis yang begitu mendominasi kegiatan perikanan di pantai timur Kalimantan. Memanfaatkan momentum “keunggulan pada kesempatan pertama untuk memulai” atas penguasaan tanah-tanah negara, hingga terjadi akumulasi alat produksi dan terkonsentrasinya raw material. Yang diikuti keberhasilan mereka dalam melakukan perekrutan tenaga terampil yang menggerakkan industri perikanan lokal dan terjadinya alih teknologi dan adopsi manajemen profesional. Gejala kebangkitan ekonomi lokal juga tidak terlepas dari beroperasinya keunggulan komparatif dan kompetitif produk yang diproduksi kapitalis lokal. Selain tidak bisa dilepaskan dari gaya konsumsi masyarakat negara maju yang cenderung lebih menyukai produk udang organik yang sebagian besar produksinya disumbang oleh usaha pertambakan tradisional, sehingga menciptakan posisi tawar yang cukup kuat bagi para pengusaha lokal. Fenomena
tersebut
mulai
berlangsung
sejak
beroperasinya
beberapa
perusahaan perikanan skala ekspor di sekitar kawasan Delta Mahakam dipenghujung 1974. Yang kemudian mendorong kemunculan para ponggawa yang sebagian diantaranya
mampu
memanfaatkan
momentum
(menggunakan
istilah
Mackie)
“keunggulan pada kesempatan pertama untuk memulai”, ketika negara “mengabaikan” tanah-tanah yang berada di dalam otoritas penguasaannya. Peluang inilah yang kemudian dimanfaatkan secara optimal oleh para ponggawa dengan melakukan
16
penetrasi kapital secara masif, bahkan cenderung spekulatif untuk membangun basis kekuatan produksi dengan bantuan perusahaan-perusahaan eksportir dan otoritas lokal. Secara historis para pengusaha pertambakan lahir dari sebuah lingkungan yang khas, sebagian terbesar tumbuh dari kegiatan ekonomi di KBK yang “terlarang” bagi kegiatan diluar sektor kehutanan, mengakumulasi kekayaan melalui monopoli produksi raw material. Meskipun pada gilirannya, aktivitas ekonomi tersebut harus dibayar mahal dengan terjadinya degradasi kualitas lingkungan (akibat konversi hutan mangrove yang tidak sustainable) yang dampaknya harus ditanggung semua pihak. Para pengusaha lokal mampu bertahan dan berhasil mengembangkan usaha bisnisnya, bahkan membangun industri perikanan skala ekspor dengan melakukan eksploitasi melalui penciptaan struktur pasar monopolistis (penjual tunggal) atau monopsonistis (pembeli tunggal), dengan penekanan melalui mekanisme penentuan harga dan penyediaan barang secara sepihak. Meskipun demikian, pola hubungannya masih menyisakan ruang resiprositas yang melekat pada tradisi siri’ dan passe’, sehingga mampu mereduksi pola hubungan pertambakan yang cenderung ekploitatif. Pola
hubungan
patron-klien
yang
adaptif
inilah
yang
kemudian
menopang
keberlangsungan operasi ekonomi lokal yang sarat persaingan dan ketidakpastian. Semangat kapitalisme seperti yang dinyatakan Wallerstein (1988) bahwa setiap kapitalis ingin mengubah laba menjadi rente, dan tidak menginginkan persaingan tapi monopoli, dimana mereka bukan ingin menjadi borjuis, tapi bangsawan, tampaknya menemukan relevansinya dalam kultur kewiraswastaan ponggawa Bugis. Meskipun hampir semua keuntungan digunakan kembali untuk kegiatan produksi yang dapat menyerap banyak tenaga kerja. Mereka memiliki semangat kewirausahaan yang tinggi dan adaptif, sehingga dalam keadaan sulit sekalipun berhasil melakukan akumulasi kekayaan, bahkan ketika terjadi krisis ekonomi 1997/ 1998, kegiatan usaha mereka menjadi salah satu pilar yang ikut menopang keterpurukan ekonomi bangsa. Tidak hanya menyumbang dalam penyerapan tenaga kerja, namun juga memberikan sumbangan terhadap pendapatan asli daerah, hingga menciptakan berbagai peluang usaha ikutan dan memperbesar “perputaran uang” di aras lokal. Sebagai “golongan sosial strategis” meminjam istilah Sitorus (1999), para ponggawa merupakan kekuatan sosial potensil dalam rangka transformasi sosial tidak hanya bagi migran Bugis tapi juga masyarakat lainnya di kawasan Delta Mahakam, dari masyarakat perikanan tradisional menuju masyarakat industri (perikanan). Kebangkitan ekonomi lokal di kawasan Delta Mahakam yang ditandai dengan terjadinya proses industrialisasi perikanan dan berkembangnya berbagai kegiatan penopangnya, menunjukkan kecenderungan semakin menguat. Mengapa dan bagaimana pembentukan ekonomi lokal di kawasan Delta Mahakam,
17
menjadi pertanyaan mendasar penelitian ini, karenanya perlu dirumuskan batasan sejumlah konsep sosiologis berkenaan dengan masalah yang akan diteliti. Sebagai suatu konsepsi sosiologis, “pembentukan golongan pengusaha” menunjuk pada suatu gejala sosial yang bersifat menyeluruh yaitu “keberadaan sosial” suatu golongan pengusaha (ponggawa) di dalam suatu sistem sosial kemasyarakatan. Yang menurut Sitorus (1999), mencakup dua aspek prosesual yang bersifat pokok, yaitu kemunculan dan kelangsungan sosial golongan pengusaha (ponggawa). Sementara proses kemunculan sosial menunjuk pada dua aspek sekaligus, pertama, asal-usul sosial golongan ponggawa dan kedua, kekuatan-kekuatan sosial yang memungkinkan golongan ponggawa mewujudkan/ peran
sosialnya
sebagai
pengusaha lokal.
Sedangkan proses kelangsungan sosial menunjuk pada perkembangan status/ peranan sosial golongan ponggawa, berikut keterkaitannya dengan beragam kekuatan sosial. Konsep ponggawa disini merujuk pada sebutan masyarakat Bugis di pantai timur Kalimantan, pada seorang pemilik modal yang mengumpulkan dan membeli hasil produksi perikanan (hasil tangkapan maupun budidaya tambak), selain memberikan pinjaman saprotam serta modal usaha dalam bentuk fasilitas/ materi bagi klien mereka. Namun demikian, menurut Mappawata (1986), di dalam kegiatan perikanan tangkap (nelayan) di Sulawesi Selatan, sebutan pinggawa/ ponggawa melekat pada mereka yang menjadi pemimpin operasi penangkapan, dimana posisi strukturalnya berada dibawah pappalele sebagai pemilik modal dan peralatan tangkap dan diatas sawi yang dalam operasi penangkapan bertindak sebagai anak buah kapal. Sementara hasil kajian Salman dan Taryoto (1992) pada masyarakat pertambakan di Sulawesi Selatan juga menunjukkan terjadinya gejala pelapisan sosial, yang sama, terdiri dari lapisan atas (petambak pemilik), lapisan menengah (petambak penyewa/ penyakap dan petambak penggarap) serta lapisan bawah (sawi tambak). Berbeda dengan kegiatan perikanan budidaya/ pertambakan, masyarakat di sekitar di pantai timur Kalimantan memberikan predikat ponggawa pada mereka yang berhasil menjadi pengusaha pengumpul dan pembeli hasil produksi pertambakan, yang biasanya juga seorang pemodal dan pemilik asset produksi (menguasai tambak yang luas dan sarana produksi). Meskipun demikian tidak semua pengusaha pertambakan menyukai disebut sebagai ponggawa, hal ini mungkin karena konotasi ponggawa dirasakan lebih tepat untuk predikat kelas operator lapangan, bukan kelas pemilik/ penguasa, sehingga memunculkan sebutan lain, seperti ”bos” ataupun ”puang haji”. Menariknya, predikat sawi tambak yang seharusnya melekat pada mereka yang bertindak sebagai anak buah dalam kegiatan pertambakan tidak muncul, yang ada hanyalah sebutan ”petambak terikat” dan penjaga empang. Kondisi ini terjadi akibat pengembangan pertambakan di masa-masa awal yang hanya mengandalkan tenaga
18
kerja dari jalur keluarga inti yang juga bertindak sebagai pemilik tambak (”petambak bebas”). Selain karena semua warga setempat memiliki kesempatan yang sama untuk memiliki tambak sendiri. Baru dalam dua dasawarsa terakhir muncul kebutuhan untuk merekrut tenaga dari luar jalur keluarga (penjaga empang dan ”petambak terikat”), akibat semakin meluasnya area pertambakan, yang tidak mampu dikelola sendiri hanya dengan mengandalkan tenaga dari jalur keluarga. Artinya proses sejarah yang telah berlangsung tidak memberikan ruang bagi munculnya istilah sawi tambak dalam struktur sosial pertambakan setempat, meskipun makna penjaga empang dan ”petambak terikat” sepadan dengan sawi tambak. ”Petambak terikat” adalah petambak pemilik yang mengelola ”tambaknya sendiri”, namun terikat dengan seorang ponggawa karena terjadinya transaksi hutang-piutang (sangkutan bisa terjadi karena berbagai hal, seperti; terlibat hutang, gadai tambak dan membeli tambak dengan cara mengangsur, dst), pola hubungan yang terjalin seringkali disalah-artikan sebagai bentuk penyakapan. Sedangkan penjaga empang adalah para pekerja tambak yang mengelola tambak milik orang lain (bisa ponggawa ataupun petambak) dengan cara bagi hasil. Keduanya menjadi klien ”terikat” yang harus menyerahkan semua hasil produksinya pada patron yang ”menghidupinya”. Status, fungsi dan peran dari setiap individu inilah yang menurut Purnamasari (2002) menjadi dasar bagi terbentuknya pelapisan sosial pada masyarakat petambak, yang terdiri dari kelompok ponggawa dan kelompok petambak – penjaga empang. Yang selanjutnya menjadi dasar bagi berlakunya ikatan kerjasama yang cukup kuat dan mapan di pantai timur Kalimantan (Sidik Dkk, 2000). Predikat sebagai ponggawa atau dalam konteks tertentu juga disebut ”bos” ataupun ”puang haji” sepadan dengan predikat ”pengusaha mandiri” yang menurut Sitorus sekurangnya memiliki tiga fungsi pokok yaitu sebagai; manajer (administrasi), pemanfaat peluang (menanggung ataupun menekan resiko) dan pembaharu/ inovator. Dan yang lebih mengagumkan, mereka juga memiliki fungsi sebagai stabilisatordinamisator sosial, yang ikut ”menghidupi” – membantu kesulitan para klien, sehingga dalam batas-batas tertentu ikut meredam ketegangan dan eksploisifitas hubungan patronase yang berlangsung. Sedangkan, dengan menyebut “lokal”, hendak ditekankan bahwa lingkup perhatian penelitan ini adalah gejala sosial yang terbatas pada suatu wilayah geografis tertentu dan berlangsung terbatas dilingkungan masyarakat migran Bugis di kawasan Delta Mahakam. Lokal mengacu pada penggunaan ruang untuk menyediakan latar-latar interaksi, yang pada gilirannya sangat penting untuk menentukan kontekstualnya (Gidden, 2003). Biasanya ada kemungkinan untuk menetapkan lokal berdasarkan ciri fisiknya, baik sebagai sifat dunia material atau yang lazim sebagai kombinasi ciri-ciri itu
19
dengan artefak-artefaknya. Lokal lanjut Gidden bisa berkisar dari ruangan di dalam rumah, pojok jalanan, lantai toko di suatu pabrik, kota kecil, kota besar, sampai pada demarkasi
teritorial
yang
dihuni
negara-bangsa.
Namun
lokal
secara
khas
diregionalisasikan secara internal dan bagian-bagian di dalamnya sangat penting untuk menyusun konteks-konteks interaksi. Bagi Gidden (2003) “locale” adalah untuk memberikan batasan bila kita ingin mengembangkan sosiologi spasial, disini wilayah fisik akan melibatkan seperangkat interaksi antar manusia (dimension spatial structuring) satu dengan lainnya. Individu berinteraksi menggunakan aturan dan sumberdaya untuk memberi tanda batasan geografis dari interaksi, hubungannya dengan penggunaan ruang untuk memperluas pola institusional, partisi ruang dimana interaksi tersebut terjadi dan diputuskan berdasarkan periode waktu antar ruang yang akan dipergunakan. Namun demikian, tidak berarti keterkaitan antara gejala sosial di aras mikro (lokal) dengan gejala sosial diaras messo (nasional) dan makro (internasional), hendak diabaikan. Hanya saja merujuk Sitorus (1999) yang mengutip Dirlik (1998), arti penting satuan ”tempat” hendak ditekankan disini karena suatu gejala sosial selalu berlangsung di suatu ”tempat” tertentu yaitu suatu ajang kehidupan tertentu. Selain secara teortis, untuk membedakannya dengan penelitian-penelitian terdahulu, khususnya mainstream a-historis yang cenderung menganggap pembentukan dan pertumbuhan ekonomi lokal sebagai sesuatu yang sama (linier) seperti yang menggejala di Barat.
1.6
Pertanyaan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah diatas, penelitian ini akan mengkaji “mengapa
dan bagaimana” penguasaan hutan mangrove oleh ponggawa Bugis berpengaruh terhadap
pembentukan
ekonomi
lokal.
Mengapa
dan
bagaimana
semangat
entrepreneur yang outward looking, adaptif dan egaliter dalam diri ponggawa Bugis, semakin menguat seiring keberhasilan mereka mengembangkan kegiatan usaha bisnis pertambakan, menjadi pertanyaan mendasar penelitian ini. Penelitian ini akan berusaha memberikan tinjauan secara historis dan kontekstual terhadap diaspora etnik Bugis. Selanjutnya fokus penelitian ini akan mengkaji bagaimana sistem dan wujud etika moral para migran bugis? Seperti apa wujud moda produksi pertambakan yang ada di Delta Mahakam? Bagaimana proses-proses adaptasi ekologi dan ekonomi lokal terjadi? Seperti apakah krisis agraria yang mewujud? Dan bagaimana ekspansi ekonomi lokal dan pelapukan modal sosial terjadi, hingga terbentuknya poros kekuasaan ekonomi baru? Tentu dengan memperhitungkan masalah-masalah struktur lingkungan dan hegemoni kultural yang melingkupi, berserta perkembangan historisnya, dimana aspek kewilayahan, baik iklim di dalam negeri maupun dunia internasional juga akan
20
memberikan pengaruh signifikan. Berbagai pertanyaan tersebut diarahkan untuk mengkonstruksi proses terbentuknya ekonomi lokal. Selanjutnya sejumlah petanyaan akan diajukan untuk menjawab permasalahan, dengan menyusun pertanyaan berikut: 1. Bagaimana terbentuknya ekonomi lokal pada masyarakat Bugis perantauan di Delta Mahakam? 2. Bagaimana ekonomi lokal yang terbentuk memberikan pengaruh terhadap perubahan landscape ekologi lokal (hutan mangrove)? 3. Bagaimanakah wujud kapitalisasi pertambakan yang mampu mendorong terjadinya pembentukan ekonomi lokal dan bagaimana proses ini mengalami reproduksi berulang? 4. Akankah proses kapitalisasi kegiatan pertambakan tetap berlanjut dalam kondisi alam yang mengalami kelangkaan sumberdaya? 5. Sistem sosial seperti apakah yang terbentuk, seiring dengan perkembangan ekonomi lokal di sekitar kawasan Delta Mahakam?
1.7
Tujuan Penelitian Sejalan dengan pertanyaan penelitian yang diajukan diatas, maka tujuan
penelitian ini dapat dirumuskan berikut ini: 1. Mengungkapkan secara historis dan kontekstual terjadinya penguasaan hutan mangrove dan pengaruhnya terhadap proses kapitalisasi pertambakan di kawasan Delta Mahakam, yang diasumsikan peneliti sebagai sebuah fenomena pembentukan ekonomi lokal. Tentu saja hal tersebut akan dikaitkan dengan penetrasi kapitalisme global dalam menghegemoni kegiatan perikanan lokal. Kajian ini pun mencakup proses kemunculan dan kelangsungan sosial golongan ponggawa dalam kegiatan pertambakan (konteks sosialnya). 2. Mengulas keberadaan masyarakat lokal di sekitar hutan negara dalam perspektif yang berbeda, tidak hanya dilihat sebagai pendorong terjadinya enclaves kemiskinan. Juga mencermati kemunculan golongan wirausahawan lokal (ponggawa) dalam mensiasati dan memanfaatkan sumberdaya yang ada di tempat baru untuk kepentingan sosio-ekonomi dan eksistensi dirinya, sehingga berhasil mendorong terjadinya akumulasi kapital – asset produksi, bagi proses pembentukan ekonomi lokal. 3. Dan pada akhirnya, kajian sosiologis ini dimaksudkan untuk merekonstruksi realitas gejala pembentukan ekonomi lokal dalam kegiatan pertambakan, sehingga dapat memberikan sumbangan teoritis terhadap proses pembentukan teori ekonomi lokal. Selanjutnya, hasil penelitian ini diharapkan dapat mendukung pengembangan studi sosiologi-ekonomi dan politik-ekologi.
21
1.8
Organisasi Penulisan Bab I, Pendahuluan; berisi uraian Latar Belakang Penelitian, alternatif lain untuk
menelaah Pembentukan Kapital Lokal, Signikansi Studi, state of the art Penelitian Terdahulu, Rumusan Permasalahan dan Batasan Konsepsional, Pertanyaan Penelitian, Tujuan Penelitian dan Organisasi Penulisan. Bab II, Tinjauan Teoritis; akan mengulas berbagai konsep tantang Sistem Kapitalisme, Kebudayaan dan Kekuasaan yang di dalamnya berisi konsepsi tentang Penguasaan Sumberdaya Alam, Karakter Sosio-Budaya Orang Bugis (seperti; Sistem Religi, Norma Yang Dianut, Etika-Moral Kemasyarakatan, Etika-Moral Ekonomi Ponggawa dan Jaringan Modal), serta konsepsi Hubungan Patron-Klien Dalam Jaringan Sosial Pertambakan. Selanjutnya diketengahkan konsep tentang Pembentukan Kapital Lokal, yang berisi konsepsi tentang Perubahan Struktur Agraria (seperti; Perubahan Pola Penguasaan, Pemilikan dan Pemanfaatan Lahan dan Fenomena Tragedy of The Common), serta konsepsi tentang Perubahan Sistem Sosial dan Ekologi Lokal. Pada bagian akhir bab akan diulas konsep tentang Booms Udang dan Pembentukan Ekonomi Lokal, yang berisi konsepsi Ekonomi Lokal dan Ekonomi Kolaboratif. Bab III, Metodologi Penelitian; akan menguraikan Hipotesa Pengarah, Paradigma Penelitian, Metode Penelitian yang akan digunakan, juga Tekhnik Pengumpulan dan Analisis Data, Pemilihan Lokasi Penelitian, serta Jadwal dan Tahapan Penelitian. Bab IV, Beradu Kuasa di Sela Padang Nipah: Dimana Batis Bepijak Disitu Patok Betajak, akan memberikan ulasan komprehensif tentang gambaran umum kawasan Delta Mahakam yang merupakan Tanah Timbul Kaya Sumberdaya Alam, juga akan diberikan tinjauan Sejarah Peradaban Kawasan Delta Mahakam, dilanjutkan dengan tinjuan dari masa ke masa Penguasaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Agraria, sejak dari Pra Kemerdekaan: Kesejahteraan Bagi Kaum Aristokrat Lokal dan Kolonial, Pasca Kemerdekaan: Totalitas “Hak Menguasai Negara”, dan pada Kondisi Mutakhir: Pelarangan Trawl, Illegal Fishing hingga “Pertambakan Illegal”. Bab V, Pendepakan Negara: Yang Tercerabut dan Terakumulasi, merupakan proses historis dari perkembangan kegiatan industri perikanan di kawasan Delta Mahakam yang dapat di pilah ke dalam tiga fase penting, yakni; Fase Industri Perikanan Tangkap yang ditandai dengan terjadinya Ekspansi Industri Perikanan Jepang, Booming Produksi Perikanan Tangkap, Penetrasi Lembaga Kapitalis dan Kebijakan Perikanan dan Mensiasati Over Fishing. Selanjutnya Fase Industri Perikanan Budidaya, yang ditandai dengan terjadinya Reproduksi Kebijakan Penguasaan Sumberdaya Agraria, Pola Pendudukan Tanah-Tanah Negara, Konflik Penguasaan Sumberdaya Agraria,
22
Booms Udang dan Krisis Ekologi, serta Pengelolaan “Pertambakan Ilegal”. Dan fase ketiga, Fase Konsolidasi Ekonomi Lokal. Bab VI, Rasionalitas Pengusaha Lokal: (Bekerja x Ibadah) + Jaringan Solidaritas = Modal Kuasa, yang menggambarkan secara komprehensif berbagai komponen yang mendasari operasi rasionalitas pengusaha lokal, meliputi; Basis Nilai Moralitas, Budaya Bisnis Bugis yang meliputi Basis Modal Sosial, Bentuk Aliansi Strategis Keluar, Bentuk Aliansi Strategis dalam Komunitas (seperti; Membangun Identitas “ke-Bugis-an” dan Tradisi Islam Lokal), serta Strategi Bisnis Yang Terbangun. Selanjutnya dijelaskan pula Pola Pencaplokan Kapital yang berlangsung, meliputi Pola Ekspansi Kapital, Pola Jejaring Bisnis Kapital, Pola Transaksi Bisnis juga Idiologi Kapitalisasi Sumberdaya Alam. Juga Habitualisasi: Tambak Yang Mendisiplinkan, yang dalam pemahaman penelitian ini memberikan pengaruh signifikan bagi proses pembentukan “mental pengusaha” pada diri ponggawa, dan bagian terakhir bab ini akan diberikan Ikhtisar singkat. Bab VII, Teoritisasi Pembentukan Ekonomi dan Pengusaha Lokal, akan melakukan analisis Pembentukan Lapisan Atas Masyarakat Bugis di Delta Mahakam, meliputi Asal-Usul Sosial Pengusaha Pertambakan, Perubahan Evolusioner Land Use di Delta Mahakam yang terkait dengan Fenomena Absennya Negara, Ketidakpastian Regulasi, Oportunisme dan Pragmatisme Orang Bugis, serta Akresi Kapital: Korban Penimbunan Kapital. Selanjutnya dianalisis pula Pembentukan Masyarakat Ekonomi Lokal,
meliputi
Wujud
Ekonomi
Pertambakan,
Patronase
Sebagai
Penopang
Kebangkitan Ekonomi Lokal dan Reproduksi Ekonomi Lokal. Bab VIII, Kebangkitan Kapital Lokal, merupakan Kesimpulan dari disertasi ini, di dalamnya terdiri atas Ikhtisar Hasil Penelitian yang meliputi; Pembentukan Ekonomi Lokal, Pengaruh Ekonomi Lokal Terhadap Perubahan Landscape Ekologi, Proses Reproduksi
Ekonomi
Lokal,
Pertumbuhan
Ekonomi
Lokal
dalam
Kelangkaan
Sumberdaya Alam dan Sistem Sosial Ekonomi Lokal. Diakhiri dengan Epilog yang mengambil tema Ekonomi Lokal Konstitusional, diikuti dengan Implikasi Teoritis, Implikasi Kebijakan dan sebuah Catatan Kritis.
II. TINJAUAN TEORITIS Sebelum membangun landasan
teoritis dan empiris
untuk melakukan
perumusan hipotesis pengarah dalam pembentukan ekonomi lokal di Delta Mahakam, perlu dilakukan suatu tinjauan literatur terhadap teori dan fakta empiris tentang pembentukan golongan pengusaha, dalam hal ini ponggawa pertambakan. Tinjauan teoritis dilakukan guna menelusuri konsep – teori yang relevan sebagai acuan, sebagai upaya untuk memperoleh pemahaman yang memadai tentang gejala pembentukan golongan pengusaha di dalam suatu masyarakat. Pada gilirannya pemahaman tersebut digunakan untuk merekonstruksi pembentukan ekonomi lokal, pada masyarakat pertambakan di Indonesia.
2.1
Sistem Kapitalisme Kapitalisme adalah suatu sistem ekonomi yang memungkinkan beberapa
individu meraih keuntungan maksimal, Marx menyebut individu itu sebagai kaum borjuasi. Kaum borjuasi memperkerjakan sekelompok orang yang disebut Marx sebegai proletar, golongan inilah yang memproduksi barang-barang yang dihasilkan. Dalam keyakinan Marx, kapitalis tidak tumbuh hanya melalui proses penjualan barang semata, tetapi akibat keuntungan yang berasal dari proses yang dilakukan oleh golongan proletar. Penjualan barang hanya merupakan upaya merealisasikan keuntungan tersebut, yang telah ada dalam penciptaan produk oleh buruh (proletar). Salah satu ciri penting kapitalisme setelah abad XV ialah mulai masuknya fase kapitalisme industri, yang sering diistilahkan dengan kapitalisme monopoli. Di bawah kapitalisme monopoli ciri persaingan kapitalisme menjadi sangat berkurang seiring dengan terjadinya pertumbuhan persekutuan kapitalis dalam ukuran dan pemusatan modal. Persekutuan ini mulai mendominasi pasar dan menggusur para produsen kecil dengan menjatuhkan mereka secara ekonomi. Konsentrasi dan sentralisasi kapital di dalam proses akumulasi, menimbulkan akibat pemisahan antara pemilikan secara ekonomi (kontrol terhadap arus investasi ke dalam produksi) dan penguasaan ekonomi (kontrol terhadap proses produksi). Deferensiasi kepemilikan ekonomi dan penguasaan terjadi karena, pertama; tekanan-tekanan kompetisi selanjutnya akan cenderung mendorong para kapitalis mempekerjakan menejer profesional untuk menangani aspekaspek khusus dari dan akhirnya membantu mengkordinasi proses produksi secara keseluruhan.
Kedua,
terdapat
kecendrungan
kepitalisme
monopoli
untuk
mengkonsentrasikan dan mensentralisasikan pemilikan ekonomi dengan lebih cepat dibandingkan dengan konsentrasi penguasaan.
24
Weber dalam hal yang sama, nampaknya mempunyai pemikiran yang sama dengan kaum Marxian, terutama ketika melihat faktor ekonomi sebagai salah satu dimensi yang dapat menentukan kedudukan relatif seseorang diantara yang lain. Namun dalam bagian yang lain Weber tidak mengakui determinasi ekonomi Marx, sebab baginya kedudukan relatif seseorang juga dapat ditentukan oleh faktor sosial atau kehormatan dan kelas politik. Selanjutnya Weber membuat perbedaan antara nilai sosial tradisional dengan yang rasional ketika membandingkan ciri-ciri sosialisme dengan kapitalisme. Menurut Weber tradisionalisme dalam tingkah laku perekonomian berarti “penetapan atas standar pilihan yang konkrit” yakni dengan cara-cara yang sudah mapan untuk mencapainya. Sedangkan rasionalitas melibatkan pertimbangan yang terus-menerus atas pilihan-pilihan atau keutamaan dari segi dana yang relatif untuk mencapainya menurut kreteria efisiensi (Long, 1992). Di dalam kajiannya mengenai kapitalisme Eropa “Etika Protestan dan Spirit Kapitalime”, Weber (2006) mencoba menganalisa asal mula rasionalitas ekonomi baru dalam etika keagamaan yang dijalankan oleh golongan tertentu penganut agama Kristen Protestan. Tesis Weber menekankan nilai religius yang diciptakan oleh reformasi Protestan dalam mendorong perkembangan kapitalisme di Barat dan melihat kekosongan transformasi religius di Timur sebagai penghalang perkembangan kapitalisme. Namun tesis ini dibantah oleh Samuelsson yang berpendapat bahwa Protestanisme dan kapitalisme memang berkembang secara historis, tidak berarti menunjukkan bahwa protestan berdampak pada kapitalisme. Hubungan keduanya, menurut Samuelsson bisa berarti sebaliknya, kapitalisme lah yang memberikan perubahan pada protestanisme, sehingga
agama
lebih
mampu
melayani
kebutuhan-kebutujan
kelompok
perekonomiannya dominan. Namun demikian menurut Collin, negara adalah faktor yang diberikan perhatian besar oleh Weber, merupakan kunci bagi struktur kapitalisme nasional yang melembaga. Hanya Baratlah yang mengembangkan negara birokratis, berdasarkan spesialisasi administrasi profesional dan hukum yang dibuat dan diterapkan oleh juri-juri profesional terhadap masyarakat. Birokrasi negara legal inilah yang menyebabkan keruntuhan feodalisme dan patrimonialisme, serta membebaskan buruh dan tanah bagi pasar kapitalis. Negara yang memberikan ketentraman pada wilayahnya, mengeliminasi hambatan internal pasar, menstandarisasikan pajak dan mata uang. Juga negaralah yang menyediakan dasar bagi sistem perbaikan yang bisa diandalkan, penanaman modal, properti dan kontak-kontak melalui sistem hukum yang berlaku universal dan dapat diperhitungkan secara rasional. Menurut Wright, tidak semua posisi ekonomi dalam masyarakat kapitalistik modern merupakan pola produksi kapitalisme murni. Beberapa diantaranya merupakan
25
pola produksi komoditi sederhana, di dalamnya keuntungan berasal dari
usaha
produksi yang dilakukan individu sendiri. Keuntungan-keuntungan tersebut terlalu kecil sehingga tidak bisa terakumulasi. Di dalam pola produksi komoditi sederhana ini terdapat sebuah kelas selain kelas borjuasi dan proletar, yaitu kelas borjuasi kecil. Kelas borjuasi kecil beranggotakan para pengusaha kecil dan pengrajin yang tidak mempunyai karyawan, tidak mengeksploitasi tenaga kerja dan tidak mendominasi apapun dalam hierarki kewenangan. Sementara menurut Poulantzas, beberapa cara produksi terdapat bersama-sama dalam formasi kapitalis, kerena artikulasi tingkattingkat perkembangan historis setiap tingkat mempunyai urutan-urutan waktunya sendiri, maka dominasi suatu cara produksi kapitalis tertentu dan formasi kapitalis terhadap cara produksi kapitalis yang lain tidak diwujudkan dalam suatu perkembangan sederhana. Dalam suatu formasi sosial, kita mungkin menekankan suatu tingkat yang di dominasi oleh kapitalisme monopoli dan campur tangan negara sebelum di dominasi oleh kapitalisme peseorangan dan negara liberal. Artinya kelas dominan dalam masyarakat kapitalis bisa berubah sesuai dengan tata produksi dominan. Asumsi yang sering mendasari pembahasan tentang transformasi kelas baru di negara berkembang adalah runtuhnya tata produksi feodal agraris sebagai akibat tata produksi dominan. Tentunya hal tersebut akan menyebabkan kelas aristokrat feodal kehilangan legitimasinya yang tergantikan oleh kelas borjuasi sebagai kelas dominan dalam tata produksi kapitalis. Atau terbentuk formasi kelas baru dimana kaum tuan tanah merupakan wakil feodalisme di pedesaan, sedangkan kaum borjuasi industri merupakan hasil hubungan produksi kapitalis di perkotaan. Namun menurut Roxborough, bukti-bukti empiris meragukan pendapat adanya dua kelas yang berbeda, sering kelompok-kelompok keluarga industrialis dan produsen bahan pertanian benarbenar saling tumpang tindih, sehingga anggotanya memiliki kepentingan baik dibidang industri maupun pertanian. Ini memperlihatkan adanya transformasi kelas, dari kelas aristokrasi feodal ke kelas borjuasi industri. Hal ini tidak terlepas dari kepentingan yang sama untuk tetap mendominasi dalam struktur sosio-ekonomi yang baru, sehingga terjadi
proses
“aristokratisasi
borjuasi”,
dimana
kaum
aristokrat feodal
akan
mendapatkan legitimasi baru. Bertolak dari pandangan Weber, beberapa kajian yang telah dilakukan di negara-negara non Barat untuk membandingkan dan mengetahui ada tidaknya wujud pertalian yang diangkat dari kepercayaan-kepercayaan agama dirangkum Long (1992). Dalam analisanya mengenai doktrin agama orang Sikh di India, Pieris (1969) mengatakan bahwa Sikhisme (seperti juga purutanisme), mempunyai pengaruh langsung atas kehidupan sehari-hari orang Sikh. Ia menekankan pada nilai usaha gigih, yang disertai dorongan terhadap kehidupan berhemat. Kehidupan orang Sikh
26
memperlihatkan titik-titik pertemuan antara “dunia yang satu dengan dunia lain” yang diperlihatkan dengan jelas sekali melalui sikap positif mereka terhadap kewirausahaan, serta kesediaan mereka untuk menjalankan jenis-jenis pekerjaan baru. Kelompokkelompok lain yang terisolasi memperlihatkan rasionalitas aktivitas ekonomi yang sama dengan orang-orang Sikh, terdapat pada orang Parsi (Kennedy, 1962). Nevaskar (1971), menunjukkan adanya persamaan penting dalam etika agama yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari pada orang Jain dan Quaker. Persamaan itu ialah, cinta perdamaian, pertapaan, kejujuran dan keadilan. Mereka lebih memilih pekerjaan-pekerjaan di kota pada bidang industri, khususnya yang berkaitan dengan perdagangan eceran yang nampaknya sesuai benar dengan sikap keagamaan mereka. Terdapat larangan-larangan keagamaan yang tegas berkaitan dengan pengeluaran uang untuk menunjukkan kemewahan atau bentuk-bentuk lain untuk menonjolkan diri. Kekayaan seharusnya digunakan untuk menginvestasikan kembali dalam bisnis dan untuk bersedekah bukan untuk ditonjolkan. Berbagai contoh dari India ini menunjukkan bahwa walaupun India secara umum digambarkan sebagai konservatif dari segi kepercayaan, disertai sistem kasta yang tidak membenarkan mobilitas sosial, namun terdapat juga kelompok-kelompok pengusaha yang dirangsang oleh agama yang menjalankan etik yang hampir menyerupai etik kelompok Protestan. Hubungan antara esketisme dengan pengusaha di luar tradisi agama Kristen, juga dianalisis oleh Geertz (1992), terhadap para pedagang Muslim di Mojokuto. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa peranan penting dalam perubahan “ekonomi pasar” yang dicirikan oleh perdagangan kecil-kecilan dan bersifat perseorangan menjadi “ekonomi tetap” dimainkan oleh segolongan orang Islam yang terlibat dengan gerak pembaharuan yang mengamalkan etik keagamaan yang asketik (hampir sama dengan etika protestan).
Analisisnya
mengenai
pembangunan
ekonomi
di
Tabanan
juga
menunjukkan hal tersebut. Berbeda dengan Mojokuto, kelompok pengusaha Tabanan terdiri atas para aristokrat setempat yang tidak menitikberatkan pada penataan kembali perekonomian pasar tetapi berusaha untuk menyesuaikan kembali dengan perekonomia pertanian. Para pengusaha yang terdiri dari golongan aristokrat Hindu, mengambil fungsi dari ikatan-ikatan politik mereka dengan kaum petani serta penguasaan mereka atas sumber-sumber kolektif di wilayah itu. Kondisi ini kemudian memungkinkan mereka memobilisasi buruh dan sumberdaya lain untuk mewujudkan usaha ekonomi modern. Sementara kesimpulan dari kajian Long (1968; 1992), atas hubungan antara pembaharuan sosio-ekonomi dengan penghayatan keagamaan di kalangan kaum tani dan pedagang-pedagang kecil di kawasan pedesaan Zambia menunjukkan pentingnya afiliasi keagamaan dilihat dari segi organisasi serta sumber non personal yang terlibat, tidak semata dari segi dimensi ideologinya saja. Bagaimana suatu etika keagamaan
27
digunakan untuk mengikuti situasi, apakah disesuaikan untuk mengesahkan pola tingkah laku sosio-ekonomi baru atau untuk meningkatkan pola-pola tradisional. Karenanya Gerschenkron (1962) dalam Long (1992), menyatakan bahwa kita seharusnya berhati-hati agar tidak memberi status prasyarat secara logika kepada fakta-fakta sejarah (misalnya peran Calvinisme), karena hal ini akan melahirkan pandangan sebagai keharusan suatu sejarah, meskipun sebenarnya tidak dapat dipertahankan. Banyak sistem nilai yang berbeda dalam masyarakat berkembang menjadi lebih modern dan tidak terdapat suatu alasan untuk mengatakan bahwa hanya satu jenis sistem nilai yang paling berkesan (utama) dari berbagai jenis lainnya. Sebagaimana dikemukakan Weiner (1966), bahwa agama Katholik yang biasanya bersifat konservatif, ternyata tidak menghambat kadar pertumbuhan ekonomi yang pesat di beberapa negara Amerika Latin (Meksiko, Brasil dan Peru) pada tahun 1950-an dan awal tahun 1960-an. Bellah (1957), menunjukkan bahwa industrialisasi di Barat merupakan hasil proses penimbunan secara bertahap, sedangkan industrialisasi di Timur di kontrol dan disponsori oleh pemerintah, sebab hanya pemerintah yang dapat menyediakan modal yang dibutuhkan dan karenanya ia mendapati bahwa nilai-nilai agama di Jepang tidak berkorelasi secara positif dengan pertumbuhan kapitalisme. Hasil analisisnya menunjukkan bahwa “Agama Tokugawa” mengandung berbagai unsur yang sesuai untuk suatu ideologi di zaman Meiji, mampu mengukuhkan usaha-usaha pemerintah untuk memulai perubahan ekonomi yang terencana. Meskipun yang mendahului ekonomi baru ini ialah kelas Samurai yang bersifat aristokratis, bukan para pedagang, sehingga terdapat korelasi antara agama dengan birokrasi di dalam sejarah Jepang. Mengapa para anggota kelompok seperti itu berada dalam posisi yang lebih baik dari yang lainnya dalam usaha memobilisasi sumberdaya dan berhasil dalam menciptakan peluang-peluang ekonomi baru. Hal ini tidak dapat diuraikan hanya dengan menganalisa ajaran-ajaran moral dan agama, karena ini menimbulkan masalahmasalah yang berkaitan dengan organisasi sosial dan pengorganisasian sumberdaya (Long, 1992). Masalah ini membutuhkan penelitian yang akurat, karena bukti menunjukkan bahwa bentuk-bentuk agama yang asketik seringkali terlibat dengan masalah pelik dalam kehidupan sehari-hari dan bersifat doctrinaire di dalam pendekatannya. Kesulitan yang sama juga akan timbul ketika kita mempertimbangkan faktor-faktor pendorong lainnya (misalnya, sistem penguasaan, kepemilikan dan pengarapan tanah, struktur keluarga dan pola-pola stratifikasi).
28
2.2
Kebudayaan dan Kekuasaan Di dalam “Primitive Culture” E.B. Taylor mendefinisikan kebudayaan sebagai
kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, adat istiadat, kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan bukan sesuatu yang “given”, sesuatu yang dengan sendirinya terjadi dan menjadi faktor penyebab tunggal yang sangat menentukan. Kebudayaan mendapatkan sosoknya (yang sementara) dari hasil silang pengaruh dari berbagai sistem, seperti sistem kekuasaan, sistem pendidikan, sistem kepercayaan, sistem masyarakat, sistem ekonomi dan berbagai sistem lainnya. Dengan demikian, pola budaya kita merupakan sesuatu yang jamak atau “distribunal” (Hefner, 1999). Bourdieu menduga kebudayaan bukanlah “properti masyarakat yang tidak terbagi-bagi, tetapi sebaliknya sebagai suatu subjek bagi persaingan dan penafsiran yang berbeda. Akibatnya selain tidak menjadi homogen, pola-pola pemahaman budaya cenderung berbeda-beda di kalangan masyarakat dalam berbagai cara menarik (Schwartz, 1978; Bloch, 1989; Lambek, 1993 dalam Hefner, 1999). Pandangan yang menganggap agama atau kebudayaan umum dapat dimanipulasi demi keuntungan politis kelas dominan dapat dirunut kembali pada karya Marx dan Engels, The German Idiologi. Agumen mendasarnya adalah bahwa di kebanyakan masyarkat berkelas terdapat seperangkat keyakinan yang mendarah daging dan secara luas melayani kepentingan kelas dominan. Ideologi dominan ini kemudian diadopsi oleh kelas yang ditundukkan dan dengan demikian tercegah dari pembentukan oposisi yang efektif. Menurut Marx dan Engels, struktur ekonomi masyarakat merupakan fondasi nyata yang menentukan suprastruktur politik dan hukum. Artinya setiap cara produksi mempunyai sebuah kelas dominan yang menyebabkan suatu ideologi (budaya) dominan, dimana kelas dominan melaksanakan fungsi kapital dan kelas yang ditundukkan melaksanakan fungsi tenaga kerja. Menurut Bell hegemoni budaya terbentuk apabila term budaya kelompok dominan telah menjadi acuan nilai-nilai kebudayaan yang mapan dalam masyarakat secara keseluruhan. Term budaya kelas dominan tentunya merefleksikan kepentingan kelasnya, untuk dapat memonopoli sumberdaya dan mengeksploitasi kelas yang didominasi. Dengan diterimanya term budaya kelas dominan menjadi acuan nilai-nilai kebudayaan dalam masyarakat, maka akan mempunyai dampak pada kekuasaan kelas dominan. Dalam tatanan seperti itu, pemerataan makna kultural ditempuh melalui proses standarisasi “taste of culture” kelompok dominan. Prestise sosial dan status sosial lebih ditentukan oleh penerapan kriteria term budaya pemegang dominasi dalam masyarakat.
29
Di dalam teori kekuasaan hegemoni, Gramsci menaruh perhatian besar pada peran ideologi, dimana terdapat suatu ”blok historis” dari faksi kelas penguasa yang menerapkan ”otoritas sosial” dan ”kepemimpinan” terhadap kelas-kelas subordinat dengan cara merebut persetujuan. Dalam hegemoni terjadi proses-proses penciptaan makna yang digunakan untuk melahirkan dan mempertahankan representasi dan praktik-praktik yang dominan atau otoritatif (Barker, 2005). Dalam analisis Gramscian, ideologi dipahami sebagai gagasan, makna dan praktik-praktik yang meski tampak seperti kebenaran-kebenaran universal, sebenarnya merupakan peta-peta makna yang menyokong kekuasaan kelompok-kelompok sosial tertentu. Disini ideologi bukanlah sesuatu yang terpisah dari aktifitas-aktifitas praktis kehidupan, melainkan fenomena material yang memiliki akar dalam kondisi sehari-hari. Suatu blok hegemonis tidak pernah hanya terdiri dari satu kategori sosialekonomi yang tunggal, melainkan selalu terbentuk melalui serangkaian aliansi di mana ada satu kelompok yang kemudian mengambil posisi sebagai pemimpin. Ideologi memainkan peran penting dalam menyediakan kesempatan pada aliansi ini, untuk mengatasi kepentingan ekonomi perusahaan yang sempit dan memilih suatu dominasi yang ”populer-nasional”. Hingga tercapainya ”suatu kesatuan sosiokultural” yang melalui kesatuan tersebut, berbagai kehendak yang berbeda, dengan tujuan yang bermacammacam dirangkai menjadi satu tujuan tunggal yang berfungsi sebagai landasan bagi sebuah konsepsi yang adil dan umum tentang dunia. Akal sehat menjadi tempat pertempuran ideologis paling penting, karena merupakan tempat bercokolnya hal-hal yang sudah diterima sebagai kewajaran (taken for granted), tempat bersemayamnya kesadaran praktis yang membimbing tindakan sehari-hari. Gagasan-gagasan filosofis yang lebih koheren dikontestasikan untuk kemudian ditransformasi di wilayah akal sehat. Kekuasaan hegemoni atau persetujuan untuk memerintah dari mayoritas rakyat juga diperoleh oleh kelas aristokrat feodal melalui pendidikan ideologi oleh aparatur ideologis negara. Menurut Dwipayana (2001), dalam perkembangan feodalisme di Srilangka misalnya, lembaga keagamaan dan golongan rohaniawan merupakan aparatur ideologis yang paling penting. Lewat golongan rohaniawan inilah dimanipulasi dan disosialisasi ideologi yang memberikan kekuasaan bagi kelas dominan untuk memerintah. Teori teokrasi Teno Heika yang berkembang di Jepang lewat agama Shinto dan di Eropa lewat gereja merupakan bentuk pranata yang memberikan kekuasaan bagi kaum aristokrasi untuk memerintah. Dalam pemahaman tentang kekuasaan hegemonik inilah ponggawa yang “berkuasa” di kawasan Delta Mahakam dapat dilihat sebagai hegemoni ideologi (kultural) yang direproduksi dan dimanipulasi, sehingga memberikan legitimasi bagi kelas dominan untuk berkuasa.
30
2.2.1
Penguasaan Sumberdaya Alam Negara merupakan organisasi politis yang mengklaim dan memegang monopoli
atas penggunaan yang absah dalam teritori fisik-geografis tertentu. Kedaulatan teritorial ini mendefinisikan identitas politik orang sebagai warganegara dan merupakan basis bagi negara untuk mengklaim orang dan sumber daya alam yang di dalam teritorial tersebut ada dalam kedaulatannya (Vandergeest and Peluso 1995). Konseptualisasi negara seperti ini disertai dengan kategori lainnya yang disebut sebagai rezim yang mengacu pada seperangkat pola dalam negara yang menentukan bentuk dan strategi akses pada proses pembuatan keputusan, aktor-aktor yang diizinkan dan yang tidak diizinkan dalam setiap akses, dan peraturan yang menentukan bagaimana keputusan dibuat secara absah. Kemudian pemerintah (government) terdiri dari aktor-aktor (politikus partai, administratur publik, administratur militer) yang menduduki posisi penting/ dominan dalam rezim tersebut pada satu masa tertentu. Beberapa
studi
mengenai
praktik
pengelolaan
sumber
daya
alam
memperlihatkan bahwa negara lebih berpihak pada bisnis (private sectors) dari pada terhadap warganegara kebanyakan, dimana negara lebih bertindak sebagai pemungut rente (Brown 1999). Dalam kasus Indonesia, rente yang terkumpul di tangan negara tersebut digunakan untuk menggerakan proses kapitalisasi (pembangunan) dengan mengembangkan sektor lain baik bagi industri ekstraksi sumber daya alam lainnya maupun sektor infrastruktur, pertanian, dan pendidikan (Seda 2001). Dengan cara seperti ini diharapkan terjadi trickle down effect. Namun dalam kenyataannya, orang atau kelompok orang yang memperoleh “kepercayaan” dari negara untuk mengelola modal (rente) dalam kas negara tersebut membangun satu pola relasi kekuasaan dan kelembagaan yang menghalangi orang atau kelompok lain terhadap akses yang sama. Rezim kekuasaan pada zaman modern mengamankan legitimasinya bukan melalui
partisipasi
warga
negara
tapi
dengan
mengklaim
sebagai
penyedia
kesejahteraan populasi dalam model gagasan analisis biaya dan laba (Chatterjee 2004). Dalam konteks pengelolaan hutan di Indonesia, pendekatan dan penanganan pemanfaatan dan penguasaan hutan oleh masyarakat abai terhadap sisi normatif negara. Seolah hanya warganegara yang memiliki kewajiban menjalankan fungsinya untuk patuh pada peraturan perundang-undangan. Negara, melalui Departemen Kehutanan misalnya, membuat regulasi mengenai Kawasan Budidaya Kehutanan (KBK) dan Kawasan Budidaya Non Kehutanan (KBNK) tanpa memandang keberadaan masyarakat lokal yang telah mendiami dan memanfaatkan kawasan hutan jauh sebelum kebijakan tersebut dibuat. Rezim penguasaan tersebut terkait dengan adanya kekuasaan atas teritori tertentu sebagai indikasi sebuah negara, namun konsepsi mengenai teritori tersebut
31
dilihat sebagai sesuatu yang taken for granted, seperti sebuah peta yang memang sudah ada tanpa perlu diperbantahkan lagi. Padahal bagi warganegara, teritorial tersebut tidak saja menyangkut areal jelajah, tapi juga menyangkut relasi kuasa yang menentukan akses sumber daya dalam teritori tersebut. Dengan kata lain, peta yang ditetapkan oleh negara bukan soal gambar dan garis areal tertentu yang diberi nama saja, tapi juga menyangkut siapa yang memiliki kuasa untuk menentukan siapa boleh mengakses sumber daya yang ada di areal tertentu. Dalam pengertian inilah peta suatu teritori tertentu memiliki unsur politik kekuasaan atas sumber daya alam di dalamnya. Teritorialisasi merupakan proses yang dilakukan negara dengan membuat garis batas pada suatu wilayah geografis tertentu dengan mengeluarkan kategori individual terhadap wilayah ini yang kemudian secara spesifik menetapkan dan membuat aturan mengenai aktivitas tertentu yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam areal ini. Bentuk yang paling banyak dikenal dalam persoalan teritorial ini adalah tarikan garis pembagian wilayah dalam peta. Garis yang tergambar dalam peta tersebut merupakan konsep yang abstrak (Vandergeest and Peluso 1995). Garis pada peta ini kemudian membagi negara modern ke dalam teritori yang kompleks dan tumpang-tindih antara zona ekonomi dan politik. Orang dan sumber daya kemudian dirancang ulang ke dalam pembagian ini, dan melalui regulasi diatur dan ditetapkan bagaimana dan oleh siapa wilayah teritori ini digunakan. Tarikan garis di atas kertas peta tersebut kemudian mengakibatkan hilangnya akses orang terhadap sumber daya alam yang secara tradisi sudah mereka lakukan jauh sebelum negara ada (Peluso 2006). Jauh sebelum negara-bangsa berdiri orang telah melakukan teritorialisasi sebagai individu maupun sebagai kelompok melalu sistem dan penandanya sendiri seperti areal perkebunan dan perladangan, kuburan, tanaman tertentu, atau pancang sebagai penanda areal kelola dan kekuasaannya yang memberi tanda pada orang lain untuk tidak mengakses sumber daya atau melakukan aktivitas di dalam teritori tersebut. Teritorialisasi baik oleh negara maupun oleh orang/ kelompok orang, melahirkan konflik dan negosiasi antara negara dengan warganegara, antara warganegara/ kelompok dengan warganegara/ kelompok yang lainnya. Yang menarik adalah ketika ada konflik dan negosiasi antara warganegara dengan negara, regulasi teritorial yang dibuat oleh negara tersebut tidak secara telak mengeksklusi orang yang ada di dalamnya. Regulasi tersebut ditafsir, ditawar dan dimanfaatkan untuk mempertahankan kepentingan aksesnya terhadap lahan dan sumber daya alam di dalamnya (Wadley 2003). Di dalam kegiatan illegal logging, Tsing (2005) dengan sangat menarik menggambarkannya sebagai frontiers; jalan logging yang menghubungkan antara legal dan illegal dari pekerja lokal dan pendatang dengan kebutuhan kayu dunia. Di jalan itu korporasi besar melegalkan kayu-kayu yang illegal. Frontiers merupakan pemudaran
32
peraturan (deregulated) yang dilakukan oleh mitra yang absah bersama dengan yang tidak absah. Pada gilirannya akan menyebabkan perubahan pada peraturan-peraturan yang memungkinkan mereka memperoleh laba ekonomi yang baru secara berlebihan. Semua ini berlangsung dalam ruang antara (interstitial space) dua kutub biner seperti legal dan tidak legal, privat dan publik, hukum dan pelanggaran. Di dalam ruang antara dua kutub inilah kemudian kebudayaan (culture) menjadi maju dan berkembang, diproduksi
dan
direproduksi,
gagasan
mengenai
kapitalisme,
globalisasi
dan
imperialisme berkembang dan ditanamkan – termasuk perlawanan (encountering) atasnya. Pilihan arahnya ditentukan melalui proses tawar-menawar, negosiasi dan renegosiasi antar dua kutub biner tersebut. Negara – pengusaha, warganegara – negara, pengusaha – warganegara, yang berlangsung dalam proses-proses yang sangat kreatif. Kapitalisme dalam artian frontiers seperti ini menurut Adri (2007), selalu berusaha mencari ruang kosong diantara dua ruang yang saling berlawanan ini, sehingga legalitas atau illegalitas bukan persoalan utama sepanjang dia mendatangkan laba dan akumulasi modal. Seperti yang terjadi di kawasan Delta Mahakam, kegiatan “pertambakan ilegal” pun berlangsung di dalam ruang antara yang memungkinkan terjadinya proses kapitalisme oleh para Punggawa. Menggerakkan proses diversifikasi usaha pertambakan yang semakin meluas, serta munculnya cold storage, hatchery, pabrik es, mini market, industri pengolahan/ekspor udang dan seterusnya. Dimana tanah (hutan mangrove) sebagai lokasi kegiatan pertambakan yang berlimpah dan tidak memiliki nilai intrinsik dalam aturan perundangan saat itu, menjadi aset produksi kunci yang dikuasai dan disistribusikan para elit lokal (khususnya ponggawa), sebagai alat untuk meraih kekuasaaan, kekayaan dan status. Di dalam struktur sosio-ekonomi masyarakat agraris seperti itu, secara tipikal terjadi pemberlakukan pola penguasaan yang terkonsentrasi pada orang-orang tertentu dan cenderung tidak adil. Tanah dimiliki dan dikuasai oleh sekelompok tuan tanah, atau aparat pemerintah yang kuat yang berfungsi untuk kepentingan tuan tanah. Aristokrat tuan tanah memiliki kekuasaan yang sangat besar terhadap kaum buruh (klien) yang memanfaatkan tanah dan memberi beban berat kepada mereka dalam mengelola tanah-tanah tersebut. Pola distribusinya memperlihatkan hubungan yang sangat tidak seimbang dan eksploitatif antara tuan tanah dengan kaum buruh (klien). Aristokrat tuan tanah mengeruk keuntungan melalui rente, pajak, pelayanan berupa tenaga tanpa upah dan berbagai mekanisme yang lain.
33
2.2.2
Karakter Sosio-Kultural Orang Bugis Orang Bugis adalah salah satu etnik yang paling represif terhadap hal baru,
terutama terhadap unsur luar yang mereka anggap bermanfaat. Meskipun pada aspekaspek tertentu, jelas terlihat adanya unsur-unsur yang berkesinambungan selama berabad-abad. Hal ini mengindikasikan mereka sebagai suatu masyarakat yang lentur dan mampu menjalani proses perubahan terus-menerus sesuai kebutuhan zaman. Banyak unsur luar yang telah diserap ke dalam hampir seluruh aspek kehidupan orang Bugis yang memperkaya hukum adat, tatanan sosial politik, adat-istiadat, ritual dan kepercayaan, tingkah laku, teknologi, pengetahuan, hingga sastra dan pekerjaan seharihari. Akan tetapi, unsur-unsur serapan tersebut diolah dengan begitu apik, sehingga baik orang luar maupun orang Bugis sendiri menganggapnya sebagai suatu entitas budaya yang menyatu atau merupakan tradisi yang utuh dan padu. Tidaklah mudah, memberikan gambaran yang komprehensif tentang motivasi dan espektasi dari tindakan ekonomi di dalam “kebudayaan” orang Bugis, yang sarat nilai dan kepentingan. Keberadaan mereka, tidak hanya perlu dilihat dalam konteks realitas sosial (dimana mereka berada), namun juga perlu dipahami sebagai sebuah pribadi yang memiliki latar belakang budaya Bugis dan tidak bisa begitu saja melepaskan
ikatan
tersebut.
Karenanya
untuk
mendapatkan
gambaran
yang
komprehensif tentang motivasi dan espektasi keberadaan orang Bugis di kawasan Delta Mahakam, kiranya perlu diungkapkan sistem budaya yang melingkupinya. 2.2.2.1 Sistem Religi Sejak awal abad-17, setelah agama Islam mulai dianut orang Bugis, mereka menjadikan agama Islam sebagai bagian integral dan esensial dari adat istiadat, serta budaya mereka. Dan, pada saat bersamaan, berbagai kepercayaan peninggalan praIslam pun tetap mereka pertahankan hingga saat ini. Dasar sistem religi Bugis pra-Islam sebenarnya bersifat pribumi, meski juga ditemukan adanya persamaan dengan konsep religi
India, baik Hindu
maupun
Budha. Proses
pengislaman
yang
mampu
menghubungkan dogma teologis–ajaran Tauhid dengan kepercayaan Bugis tentang Sawerigading, menurut Pelras (2006) merupakan kunci keberhasilan penyebaran Islam pada orang Bugis. Para ulama penyebar agama Islam pertama di Sulawesi Selatan, dengan sengaja memilih sinkretisme sebagai satu-satunya pilihan yang memungkinkan agama Islam diterima oleh penguasa Bugis (Pelras, 2006). Aspek-aspek syariat Islam kemudian diintegrasikan ke dalam rangkaian hukum dan norma adat, meskipun ajaran Islam hanya sekedar ditempelkan ke dalam berbagai praktik tradisional mereka. Setelah mengalami
resistensi
hebat,
ternyata
pemberlakuan
syariat
Islam,
menjadikannya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan Bugis.
mampu
34
Meski demikian, sejumlah konsep dan norma pra-Islam tampaknya masih tetap dijadikan prinsip. Menurut aturan tak tertulis, jika orang terpaksa mengambil jalan kekerasan misalnya, orang Bugis disarankan untuk memilih lawan yang sebanding agar tidak kehilangan siri’ atau dengan mengusahakan memiliki kekuatan gaib yang dapat digunakannya untuk melawan. Apabila lawan ternyata lebih kuat, orang boleh menyerang dari belakang atau menipunya. Hal yang sama bisa dilakukan jika ternyata pihak musuh lebih kaya atau lebih berkuasa. Disini keadilan bukanlah masalah etika sebagaimana konsep pemikiran Islam atau Barat. Artinya terdapat perbedaan pemahaman rasionalitas yang mendasar, dimana bagi orang Bugis keadilan dipandang sebagai masalah ditegakkannya fair play (Pelras, 2006). 2.2.2.2 Norma Yang Dianut Wujud kebudayaan yang selain mencakup pengertian sistem norma dan aturanaturan adat, serta tata-tertib, juga mengandung unsur-unsur yang meliputi seluruh kegiatan hidup manusia dalam bertingkah-laku dan mengatur prasarana kehidupan (berupa peralatan materiil dan non materill) orang Bugis, disebut panngaderreng (Mattulada, 1985). Konsep panngaderreng (adat istiadat) merupakan serangkaian norma yang berkaitan satu sama lainnya, yang terdiri dari ade’ (adat), bicara (norma hukum), rapang (norma keteladanan dalam kehidupan bermasyarakat), wari’ (norma yang mengatur stratifikasi masyarakat) dan sara’ (syariat Islam). Panngaderreng selain meliputi aspek-aspek dalam sistem norma dan aturan-aturan adat, sebagai hal-hal ideal yang mengandung nilai-nilai normatif. Juga meliputi berbagai hal dimana seseorang dalam tingkah-lakunya, serta dalam memperlakukan dirinya di dalam kegiatan sosial, bukan saja merasa “harus” melakukannya, bahkan lebih jauh dari itu, karena terdapat semacam “larutan perasaan” bahwa ia adalah bagian integral dari panggaderreng. Berbagai unsur tersebut selanjutnya melebur ke dalam mentalitas orang Bugis yang dinamis dan didominasi oleh empat sifat utama (sulapa’ eppa’) yang harus dimiliki setiap pemimpin. Menurut Pelras (2006), selain berasal dari keturunan yang tepat, orang yang ingin menjadi pemimpin harus memiliki keutamaan dalam hal; keberanian (warani), kecerdasan (macca), kekayaan (sugi’) dan kesalehan (panrita). Di dalamnya Islam menyumbangkan warna baru terhadap prototipe orang Bugis modern, dengan memperkuat aspek-aspek etika serta membedakan secara tegas to-panrita dengan gambaran ambigu tentang to-warani, to-acca dan to-sugi yang berlaku dewasa ini. Prototipe utama to-warani (orang berani) bisa kita lihat pada diri Sawerigading dan La Galigo sebagai dua sisi dari sekeping mata uang yang mewakili bangsawan Bugis masa lampau. Pada suatu ketika, mereka berperang demi kehormatan diri untuk menegakkan keadilan atau guna melindungi para pengikutnya. Di lain waktu, mereka mengobarkan perang hanya karena mereka memang gemar berperang atau untuk
35
memuaskan ambisi, ketamakan dan pamrih pribadi. Tradisi lisan to-warani versi modern pun mengikuti tradisi yang sama. Kualitas keberanian tidak hanya dilihat dari segi kejiwaan atau tingkah laku, tetapi juga dikaitkan dengan kepemilikan kelebihan khusus. Salah satu diantaranya adalah memiliki ilmu gaib yang disebut pakeang woroane’ (pakaian laki-laki), yang membuat orang menjadi kebal (kebbeng) dan agresif. Juga memiliki senjata berkekuatan gaib. Tokoh cerita dalam tradisi lisan modern tidak memiliki alasan bertarung selain untuk membuktikan keunggulan atas “juara lain”. Adapun to-acca (orang pintar) dapat pula diartikan sebagai seorang yang “ahli atau “cerdik”. Dalam tradisi bercerita orang Bugis, unsur “tokoh penipu” dalam cerita epos tidak begitu menonjol dibandingkan dengan yang terdapat dalam cerita-cerita lisan. Prototipe tokoh penipu dan pendusta dalam sastra semacam itu adalah tokoh lapong Pulando (si kancil/pelanduk cerdik), yang diadopsi dari cerita tradisional Melayu. Pulando kemudian diintegrasikan ke dalam tradisi lokal sedemikian rupa sehingga menghasilkan istilah ma’pulando’ (berkelakuan seperti kancil) yang suka menipu. Tokoh to acca lainnya termasuk tokoh fiktif yang dikaitkan dengan kerajaan tertentu, seperti La Pudaka di Wajo, La Mellong di Bone dan La Sallomo di Sidenreng yang terispirasi oleh tokoh-tokoh sejarah Bugis nyata. Cara penggarapan tingkah laku tokoh-tokoh cerita yang mencapai kekuasaan dan kekayaan dengan cara-cara tidak jujur, menipu, berbohong dan curang, dibuat sedemikian rupa sehingga mereka tanpil sangat simpatik (seperti Robinhood dalam cerita lisan Barat). Sama halnya dengan konsep keberanian, konsep kepandaian juga bersisi ganda. Sebagaimana keberanian, kepandaian pun bisa digunakan untuk kebaikan bersama dan dapat pula dijadikan alat pemuas hasrat pribadi, namun dalam kedua kasus tersebut, kepandaian tetap dipandang sebagai alat untuk menegakkan siri’. Keutamaan ketiga yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin yang baik adalah harta kekayaan. Dalam siklus La Galigo, kekayaan yang hanya satu tingkat di bawah kekayaan dewata merupakan ciri khas semua tokoh utama, sesuai dengan status mereka sebagai pemimpin keturunan dewa. Kekayaan tersebut berwujud emas yang melimpah, serta aneka ragam barang impor berharga seperti kain patola sutra, parfum, porselen dan cermin yang dibawa oleh pedagang “Marangkabo” dari wilayah barat yang tidak dikenal yang mereka sebut Jawa dan Kelling. Orang Bugis agaknya tidak pernah melupakan kenangan akan zaman “keemasan” itu secara harfiah. Hal tersebut terwujud dalam keinginan untuk memperkaya diri yang menjadi motivasi paling kuat dan menjadi pendorong utama usaha perdagangan dan pelayaran, hingga ekspansi ke seberang lautan untuk mengeksploitasi sumberdaya yang bernilai ekonomis oleh sebagian besar dari mereka. Bahkan, banyak ulama yang menganggap usaha memperkaya diri sebagai
36
suatu kewajiban, sepanjang dilakukan secara jujur dan halal (sappa’ dalle’ hallala’), karena memungkinkan seseorang membantu sesama yang kurang beruntung. Di Wajo misalnya, sejak lama seorang laki-laki kaya dapat mengawini perempuan yang lebih tinggi derajat kebangsawanannya (walaupun melanggar norma yang melarang hubungan semacam itu). Namun dengan syarat harus membayar “uang darah” (pang’elli dara), yang harganya sangat mahal dan ditetapkan sepihak oleh keluarga mempelai wanita, seorang laki-laki biasa namun kaya dapat mengawini perempuan “berdarah biru”. Sistem hierarki orang Bugis, meskipun membedakan orang berdasarkan asal-usul keturunannya, pada saat yang sama, juga memberi peluang yang sama kepada orang-orang dari status yang sederajat. Walaupun garis batas antara orang-orang dari status berbeda terus dipertahankan, tetapi persaingan dikalangan orang-orang berstatus sederajat untuk memperoleh jabatan, pengaruh, maupun kekayaan tetap terbuka lebar. Jadi, persamaan hak dalam suatu sistem hierarki pada orang Bugis sekaligus merupakan bibit instabilitas, bahkan kadang-kadang merupakan benih konflik. Tidak mengherankan jika upaya mencari peruntungan untuk mengubah nasib, mendorong banyak orang Bugis berspekulasi dengan cara merantau keseberang lautan. Seorang perantau akan merasa malu bila dia tidak bisa pulang untuk memperlihatkan bukti keberhasilannya di rantau, kadangkala sampai bertahuntahun tidak mudik hanya
untuk “mengejar” kekayaan. Di dalam konteks mencari
kekayaan ini pun siri’ juga dipertaruhkan. Berbeda dengan ketiga unsur sebelumnya yang bersifat ambigu, unsur topanrita sebaliknya hanya dapat dipandang dari satu sisi saja. To-panrita merupakan orang yang menguasai seluk beluk agama, bijaksana, saleh dan jujur. Prototipe topanrita pra-Islam adalah We Tenriabeng, saudara kembar (perempuan) Sawerigading yang merupakan seorang bissu, menikah dengan mahluk halus dan naik ke langit untuk tinggal bersama suaminya. Menarik disimak bahwa dalam tradisi lisan to-panrita sebagian besar adalah perempuan, hanya sedikit laki-laki. Bila to-panrita tersebut lakilaki, biasanya mereka digambarkan sebagai seorang yang lanjut usai, orang yang telah meninggalkan semua perbuatan buruk yang mungkin mereka lakukan di masa muda. Kronik Wajo menggambarkan bagaimana La Taddampare’, yang kelak dikenal sebagai Puang ri Ma’galatung, Arung Matoa Wajo yang harus meninggalkan tanah Bone akibat perilaku buruknya. Dalam konteks Islam dewasa ini, perubahan tau llao sala (orang lontang-lantung tanpa tujuan) menjadi to-panrita mungkin ditandai dengan keputusan menunaikan ibadah haji ke Mekkah sambil memperdalam pengetahuan agama. Dengan demikian, Islam telah menyumbangkan warna baru terhadap prototipe yang ada dengan memperkuat aspek-aspek etika serta membedakan secara tegas to-panrita dengan gambaran ambigu tentang to-warani, to-acca dan to-sugi.
37
2.2.2.3 Etika-Moral Kemasyarakatan Sebagai salah satu etnik yang represif terhadap hal baru, tentu saja dalam kurun waktu yang panjang tidak sedikit terjadi pergeseran nilai-nilai yang dianut masyarakat Bugis, yang kemudian terakumulasi sebagai etika moral yang diadopsi bersama. Sebagaimana digambarkan Faried (1999), bagaimana mungkin prilaku orang Bugis dewasa ini (yang bersaing dengan kasar, tidak adil, curang, membeda-bedakan orang di depan hukum), begitu jauh berbeda dengan ajaran leluhur mereka, yakni perilaku yang dibangun di atas semangat demokrasi, cinta keadilan, perlindungan atas kaum lemah dan rasa setia kawan. Menurut Faried kondisi ini merupakan akumulasi dari memudarnya nilai-nilai budaya orang Bugis akibat peperangan internal maupun eksternal (penaklukan oleh penguasa kolonial, penjajahan, pendudukan Jepang, perang kemerdekaan, pemberontakan Westerling dan Kahar Muzakar atau TKR dan DI), serta akibat kemiskinan yang disebabkan oleh ketidakstabilan ekonomi. Kontradiksi semacam itu sebenarnya telah tampak dalam nilai-nilai ideal masyarakat Bugis, sebagaimana terlihat dalam tarik-menarik antara siri’ dan passe’, persaingan dan solidaritas, juga sistem hirarki dan persamaan hak. Interaksi orang Bugis pada dasarnya terdiri atas beberapa lapis kelompok yang saling terkait (keluarga, wilayah
kekuasaan
dan
patron-klien)
yang
berwujud
suatu
piramida
saling
berhubungan, sebagaimana halnya interaksi antar individu dalam persaingan atau solidaritas. Hubungan antara keluarga yang satu dengan lainnya, wilayah yang satu dengan lainnya, serta kelompok patron-klien yang satu dengan lainnya, pada dasarnya adalah hubungan antara individu yang satu dengan individu lainnya. Setiap individu sekaligus merupakan anggota dari berbagai lapisan kelompok tersebut. Oleh karena itu interaksi antar kelompok, dengan sendirinya juga merupakan interaksi antar individu, tidak terlalu diatur oleh suatu standar moral universal, akan tetapi lebih banyak ditentukan oleh semacam aturan main atau lebih tepatnya oleh suatu aturan yang menyerupai pola interaksi antar negara (dimana kepentingan nasional/lebih besar, lebih dipentingkan dari tuntutan moral). Di dalam konteks seperti ini, tujuan utama seorang individu adalah mencapai prestasi pribadi, sekaligus ikut memberi kontribusi terhadap keberhasilan kelompok di mana ia menjadi anggota. Hal tersebut dapat diwujudkan dengan mengikuti aturan main yang membuka peluang terjadinya persaingan ketat, tanpa harus tergelincir kedalam anarki atau tanpa harus membahayakan kehidupan masyarakat secara luas. Dalam kerangka seperti itu, sifat baik seseorang bukan lagi menjadi suatu hal yang mutlak ada, akan tetapi sekedar sebagai alat untuk mencapai tujuan yang dikendaki. Demikianlah, orang Bugis memiliki sistem hirarkis yang sangat rumit dan kaku, namun pada sisi lain prestise dan hasrat berkompetisi untuk mencapai kedudukan
38
sosial tinggi, baik melalui jabatan maupun kekayaan, tampaknya tetap menjadi faktor pendorong utama yang menggerakkan roda kehidupan sosial-kemasyarakatan mereka. Ciri khas yang berlawanan (ambigu) itulah yang membuat orang Bugis memiliki mobilitas sangat tinggi serta memungkinkan mereka menjadi perantau ulung. Kemampuan mereka untuk berubah dan menyesuaikan diri merupakan modal terbesar yang memungkinkan mereka dapat bertahan dimanapun selama berabad-abad. Bahkan, ketika mereka harus terus menyesuaikan diri dengan keadaan sekitarnya, orang Bugis ternyata mampu mempertahankan identitas “kebugisan” mereka. Orang Bugis tidak hanya sekedar mengadaptasikan diri terhadap lingkungan, mereka bahkan mampu memberi warna tersendiri terhadap lingkungan yang baru. Sementara, kecendrungan mereka yang tampaknya saling berlawanan (berpandangan hierarkis sekaligus egalitarian, dorongan untuk berkompetisi sekaligus berkompromi, menjunjung tinggi kehormatan diri tetapi juga solider terhadap sesama orang Bugis) dipadukan dengan nilai-nilai yang diutamakan seperti keberanian, ketaatan terhadap ajaran agama dan kelihaian berbisnis merupakan unsur-unsur penggerak utama dalam perkembangan kehidupan sosio-ekonomi dan politik mereka selama ini. 2.2.2.4 Etika-Moral Ekonomi Ponggawa Jika memperhatikan dengan cermat kegiatan pertambakan tradisional yang saat ini berlangsung di kawasan Delta Mahakam, dengan segala aspek biofisik dan lingkungannya yang rawan (streesed eco-system), tentu kita tidak akan mengatakan kehidupan
menjadi
seorang
petambak
adalah
pekerjaan
yang
mudah
dan
“menjanjikan”. Di dalam kegiatan pertambakan, seorang petambak tidak hanya dituntut memiliki semangat pantang menyerah, kondisi fisik yang prima, namun juga harus siap menerima kenyataan pahit, yaitu kegagalan! Mengubah hutan mangrove menjadi sebuah hamparan tambak yang produktif bukanlah pekerjaan mudah, karena menuntut pengorbanan dan kerja-keras. Di satu sisi mereka harus pula memiliki kepasrahan, karena keberhasilan panen yang lebih banyak ditentukan oleh kemurahan alam. Kenyataan seperti inilah yang selalu dihadapi oleh para petambak di Delta Mahakam. Artinya, tidaklah mudah bagi seorang petambak untuk meningkatkan kehidupan sosioekonominya, apalagi bisa “naik kelas” menjadi seorang ponggawa. Keberhasilan usaha pertambakan di kawasan Delta Mahakam, tidak serta-merta membuat semua petambak sontak menjadi kaya mendadak, hanya mereka yang memiliki modal kuat dan lahan tambak yang luas lah, yang pada saatnya berhasil “naik kelas” menjadi ponggawa. Kondisi ini selain menciptakan jurang kesenjangan diantara para petambak, juga menyebabkan seorang petambak yang telah berhasil menjadi ponggawa mulai berani melakukan ekspansi perluasan area tambak dengan cara meminjamkan modal usaha pada patronnya untuk membuka hutan mangrove yang
39
dikuasainya. Hal inilah yang melanggengkan pola hubungan pemimpin-pengikut (patron-clients) yang masih dipertahankan oleh sebagian wiraswasta Bugis dalam kegiatan sosio-ekonomi pertambakan. Kondisi ini diduga dapat terpelihara karena dalam pranata adat Bugis, dikenal istilah siri’ yang masih berlaku dalam konteks yang lebih lunak, meskipun semakin memudar dalam kehidupan bermasyarakat pada komunitas Bugis di Kawasan Delta Mahakam. Penelitian mutakhir yang dilakukan Lineton (1975); Walinono (1979), tentang etnik Bugis dan Makassar membuktikan bahwa sistem patron-klien ternyata mampu bertahan di bawah kondisi politik dan historis yang relatif berbeda. Pranata adat siri’ ini sangat menekankan adanya sikap ksatria dari warga etnik Bugis untuk tetap menjaga konsistensi perkataan dan sikap sehingga menimbulkan rasa kepercayaan yang tinggi seseorang kepada orang lain. Pranata adat siri’ ini juga berlaku dalam sistem permodalan pengelolaan tambak yang dilakukan dari ponggawa kepada petambak/ penjaga empangnya. ”Dalam kehidupan manusia Bugis-Makassar, Siri merupakan unsur yang sangat prinsipil dalam diri mereka. Tidak ada satu nilai pun yang paling berharga untuk dibela dan dipertahankan di muka bumi ini selain dari pada Siri. Bagi manusia Bugis-Makassar, Siri adalah jiwa mereka, harga diri mereka dan martabat mereka. Sebab itu, untuk menegakkan dan membela Siri yang dianggap tercemar atau dicemarkan
oleh
orang
lain,
maka
manusia
Bugis-Makassar
akan
bersedia
mengorbankan apa saja, termasuk jiwanya yang paling berharga demi tegaknya Siri dalam kehidupan mereka” (Hamid Abdullah 1985). Selanjutnya menurut Pelras (2006), Siri bukan semata-mata persoalan pribadi yang muncul secara sepontan. Siri lebih sebagai sesuatu yang dirasakan bersama dan merupakan bentuk solidaritas sosial, hal ini dapat menjadi motif penggerak penting kehidupan sosial dan pendorong tercapainya suatu prestasi sosial masyarakat Bugis. Biasanya Siri akan berlaku secara beriringan dengan Passe atau lengkapnya Passe Babua, yang berarti ikut merasakan penderitaan orang lain dalam perut sendiri. Mengindikasikan perasaan haru (empati) yang mendalam terhadap kerabat, tetangga atau sesama anggota kelompok sosial. Melambangkan solidaritas, tidak hanya pada seseorang yang telah dipermalukan, namun juga bagi siapa saja dalam kelompok sosial yang sedang dalam keadaan serba kekurangan, berduka, mengalami musibah atau menderita sakit keras. Passe bersama merupakan pengikat para anggota kelompok sosial, sehingga berhubungan erat dengan identitas, diantara sesama orang Bugis, terutama para pelaut atau perantau yang sedang berada di negeri orang, passe menjadi dasar rasa memiliki identitas ”ke-Bugis-an”. Selain kehormatan dan kekuasaan sebagai aspek yang mendasari hubungan patron-klien, faktor ekonomi juga tidak kalah pentingnya. Juga keterkaitan antara
40
kekuatan politik dan kekuasaan atas lahan. Jelasnya solidaritas kelompok atau passe’ yang juga melekat dalam sistem patron-klien menjamin terjalinnya kohesi internal dalam suatu keluarga atau kelompok sosial. Etnik Bugis selama berabad-abad juga mengenal sebuah sistem yang mendukung terjadinya mobilitas sosial, persaingan diantara mereka yang sederajat, kerjasama antar strata sosial dan integrasi dalam berbagai kelompok yang biasanya tak memperhitungkan batas wilayah (Pelras, 2006). Suatu persaingan, bahkan dapat terjadi antar anggota keluarga atau suatu kelompok pengikut, jika seorang lelaki dalam suatu keluarga berhasil meraih prestasi, biasanya, saudara laki-lakinya akan berusaha mencapai sesuatu yang lebih baik, demi siri’-nya sendiri. Persaingan seperti itu memiliki arti penting sebagai pendorong dilakukannya suatu usaha atau pergi merantau dalam rangka mencapai keberhasilan di bidang ekonomi. 2.2.2.5 Jaringan Modal Hubungan patron-klien merupakan ikatan yang sangat penting di dalam masyarakat Asia Tenggara pada umumnya (Scott dan Kerkvliet, 1977), sebagai unsur kunci dalam masyarakat Bugis dan Makassar pada khususnya (Acciaioli, 1989). Dengan pengertian bahwa ikatan-ikatan tersebut ditujukan “untuk memastikan bahwa mereka yang hidup dibawah akan dipenuhi kebutuhan dasarnya, termasuk akses untuk mendapatkan tanah, sambil menawarkan kepada yang diatas akan ketersediaan pengikut yang diperlukan sebagai modal material (seperti; petambak atau penjaga empang), yang dimanfaatkan untuk ketahanan ekonomi maupun sebagai modal simbolik (sebagai pengikut) yang dipamerkan pada kesempatan khusus atau upacaraupacara perayaan” (Acciaioli, 1989). Menurut Vayda dan Sahur (1996), masyarakat Bugis menggunakan hubungan pemimpin-pengikut (patron-clients), bertindak tidak sebagai majikan yang berhadapan dengan para pegawai yang digaji seperti dijabarkan dalam sistem kapitalis. Karena mereka lebih bersikap sebagai kepala keluarga tradisional yang terus menolong menutupi kebutuhan para pekerja, seperti membayar biaya keperluan darurat dan beberapa biaya lain untuk memenuhi kewajiban upacara adat. Namun demikian, hubungan patron-clients yang terjadi dalam kegiatan pertambakan di Kawasan Delta Mahakam, secara fungsional telah mengalami pergeseran. Para ponggawa tidak hanya memposisikan dirinya sebagai kepala keluarga tradisional seperti dituturkan Vayda dan Sahur, tapi juga sebagai produsen yang “memaksa” petambak-petambak yang terikat padanya serta para penjaga empang miliknya untuk dapat memberikan kepastian pasokan udang yang dibutuhkan pasar (Lenggono, 2004). Hal ini dilakukan untuk menjaga eksistensi kegiatan usahanya, yang selalu menghadapi persaingan dengan ponggawa lain, selain untuk menjaga keseimbangan perputaran dana segar – berupa
41
hutang dari pihak perusahaan eksportir atau bank – dengan pinjaman pada para petambak/ penjaga empang yang menjadi kliennya. Bagi sebagian besar petambak, hampir tidak ada pilihan yang lebih baik, selain meminjam modal pada ponggawa yang telah mereka kenal untuk menutupi besarnya biaya yang harus dikeluarkan serta resiko yang harus ditanggung dalam pembuatan tambak baru. Seorang petambak pemula yang kurang siap secara financial maupun skill, akan lebih memilih untuk mendapatkan pinjaman modal yang prosesnya tidak rumit dengan pola pengembalian yang tidak membebani dalam menggarap tambak miliknya. Pilihan tersebut juga akan ditentukan oleh banyaknya referensi dan hubungan baik yang dimilikinya dengan sang pemilik modal yaitu ponggawa, yang selanjutnya akan menjadi patron bagi kehidupan sosio-ekonomi keluarganya. Dalam sistem pengusahaan tambak seorang ponggawa akan membiayai kegiatan operasional tambak client-nya, berupa modal pembukaan dan perawatan, berikut suplai benur, pupuk dan racun yang diberikan sampai panen berhasil. Sebagai imbalannya, petambak (client) harus menjual hasil panen tambaknya kepada ponggawa yang telah memberikan modal usaha dalam pembukaan lahan tambak tersebut. Ponggawa juga akan berperan sebagai “pelindung” bagi keamanan dan permodalan usaha tambak dari petambak yang menjadi bawahannya. Sementara petambak akan berperan sebagai “pelayan” yang akan menyediakan suplai udang kepada ponggawa yang memodalinya (PKSPL-IPB, 2002). Sebagian besar komunitas petambak di Kawasan Delta Mahakam memiliki pola yang hampir seragam dalam memasarkan hasil perikanannya, yaitu langsung dijual pada ponggawa yang menjadi patron-nya masing-masing. Namun ada juga petambak atau nelayan yang memasarkan hasil tambaknya langsung pada perusahaan eksportir karena tidak terikat hutang dengan ponggawa ataupun di jual ke pasar lokal melalui penyambang, meskipun prosentasi mereka relatif sedikit. Perusahaan eksportir sering memberikan komisi berupa pemberian es batu untuk penyegar produk perikanan secara cuma-cuma, bahkan kemudahan bantuan modal pada ponggawa dan petambak yang telah menjual langsung dalam jumlah besar hasil tambaknya pada mereka. Meskipun tidak ada sanksi tertulis namun ada sanksi moral yang telah menjadi kesepakatan bersama, yakni; bagi petambak atau nelayan yang terikat hutang pada seorang ponggawa tapi menjual hasil tambaknya langsung pada perusahaan eksportir atau ponggawa lainnya akan dikenakan sanksi pemutusan hubungan kerja sama dengan kewajiban melunasi hutangnya sekaligus dan tidak akan pernah mendapatkan bantuan lagi, bahkan dikucilkan dari kelompok ponggawa bersangkutan. Dalam konteks tersebut sering siri’ dan passe’ yang melekat dalam budaya Bugis berlaku mengikat
42
para anggota kelompok sosial (patron-client), sebagai bentuk solidaritas sosial yang mampu menjadi motif penggerak kehidupan sosial dan ketahanan ekonomi. Seorang petambak atau penjaga empang juga dapat meminjam uang kepada ponggawa-nya bila mereka mempunyai kebutuhan lain yang mendesak, pinjaman tersebut akan diberikan tanpa agunan dan bunga maupun prosedur formal lainnya. Berbagai kemudahan yang diperoleh semakin melanggengkan kekuasaan ponggawa atas petambak-petambak di Delta Mahakam, yang semakin tergantung pada mekanisme kredit sangat lunak tapi mengikat tersebut. Meskipun terdapat beberapa pilihan untuk mendapatkan pinjaman modal dalam pembuatan dan pengelolaan tambak yang dimilikinya, seorang petambak akan bersikap lebih realistis bahkan ekstra hati-hati dalam memanfaatkan beragam pilihan yang ada. Kalupun ada petambak yang berhasil mendapatkan pinjaman dari bank atau perusahanan eksportir untuk memenuhi kebutuhan modal dalam mengelola tambak, sangatlah sedikit jumlahnya. Mereka biasanya petambak yang telah lepas dari cengkraman hutang para ponggawa atau petambak yang memiliki relationships, skill dan barang agunan yang memadai, karena rumitnya prosedur birokrasi peminjaman modal usaha di bank serta sulitnya mengakses fasilitas yang disediakan oleh perusahaan eksportir. Kondisi ini menyebabkan kemudahan yang ditawarkan oleh bank ataupun perusahaan eksportir lebih sering di manfaatkan oleh para ponggawa besar. Hubungan kerja pada komunitas petambak biasanya berlaku sistem bagi hasil 3:1, artinya tiga bagian hasil panen untuk pemilik tambak dan 1 (satu) bagian untuk penjaga empang setelah dikurangi biaya produksi. Namun ada pula yang menggunakan sistem bagi hasil 75% untuk pemilik tambak dan 25% untuk penjaga empang yang memenuhi sendiri kebutuhan hidupnya, itupun setelah dipotong biaya produksi atau 80% untuk pemilik tambak dan 20% untuk penjaga empang yang kebutuhan hidupnya dipenuhi oleh pemilik tambak, setelah dipotong biaya produksi. Pemenuhan kebutuhan hidup penjaga empang biasanya dicukupi oleh pemilik tambak, sedangkan kebutuhan modal operasional akan dipenuhi oleh ponggawa yang menjadi patronnya, selanjutnya untuk sebuah kebutuhan yang tidak sanggup dipenuhinya; seorang ponggawa akan meminta bantuan pada ponggawa yang lebih besar atau pada perusahaan eksportir dengan sebuah kesepakatan yang berujung pada penyerahan sepenuhnya hasil tambak kepada pemberi pinjaman modal (Lenggono, 2004). Dalam banyak kasus; seorang petambak yang memiliki hubungan baik dengan perusahaan eksportir, dapat langsung memperoleh bantuan modal bagi kegiatan usahanya dan mendapat selisih keuntungan yang lebih baik karena menjual hasil produksi tambaknya langsung pada perusahaan tersebut dibandingkan melalui perantaraan ponggawa.
43
2.2.3
Hubungan Patron-Clients dalam Jaringan Sosial Pertambakan Mitchell (1969) mengemukakan, bahwa jaringan sosial merupakan seperangkat
hubungan khusus atau spesifik yang terbentuk diantara sekelompok orang, karakteristik hubungan tersebut dapat digunakan sebagai alat untuk meinterpretasikan motif-motif perilaku sosial dari orang-orang yang terlibat di dalamnya. Setiap individu dapat memasuki berbagai kelompok sosial yang tersedia di masyarakat dan menjalin ikatanikatan sosial berdasarkan unsur kekerabatan, ketetanggaan, dan pertemanan. Ikatan sosial tersebut dapat berlangsung diantara mereka yang memiliki status sosial-ekonomi yang sepadan atau tidak dan ikatan tersebut merupakan unsur pembentuk sistem kelas (Barnes, 1969). Setiap individu akan melihat dirinya sebagai pusat dari jaringan yang dimilikinya, ikatan sosial yang terbentuk merupakan sarana yang dapat menjembatani hubungan diantara anggota jaringan tersebut. Di dalam jaringan yang terbentuk tersebut, hubungan sosial dan keanggotaannya dapat melampaui betas teritorial (borderless) dan keberadaan masyarakat yang bersangkutan (Kusnadi, 2000). Jika individu mempunyai mobilitas diri yang tinggi untuk melakukan hubungan sosial yang lebih luas, maka peluang memiliki sejumlah jaringan pun semakin besar, ini berarti individu tersebut akan memasuki sejumlah pengelompokan dan kesatuan sosial sesuai dengan ruang, waktu, situasi, dan kebutuhan atau tujuan yang hendak dicapainya. Keanggotaan individu dalam suatu jaringan bersifat fleksibel dan dinamis, karena pada dasarnya setiap individu sebagai makhluk sosial akan selalu terkait dengan jaringan sosial yang kompleks. Bila seorang individu memasuki sejumlah jaringan sosial yang berbeda-beda sesuai dengan konteks khusus atau fungsinya, ia akan merefeksikan struktur sosial yang berbeda pula. Struktur sosial bukan hanya pencerminan adanya keteraturan hubungan dalam suatu jaringan sosial, melainkan juga menjadi sarana untuk memahami batas-batas status dan peran, serta hak dan kewajiban individu yang terlibat di dalam hubungan sosial tersebut. Berdasarkan status sosial-ekonomi individu yang terlibat dalam suatu jaringan, terdapat dua jenis hubungan sosial, yaitu hubungan sosial yang bersifat horizontal dan vertikal. Hubungan sosial yang bersifat horizontal terjadi jika individu yang terlibat di dalamnya memiliki status sosial-ekonomi yang relatif sama, dengan kewajiban dan sumberdaya yang dipertukarkan relatif sama. Sebaliknya, di dalam hubungan sosial yang bersifat vertikal, individu-individu yang terlibat di dalamnya tidak memiliki status sosial-ekonomi yang sepadan, baik kewajiban maupun jenis sumberdaya yang dipertukarkan (Foster, 1967 dan Wolf, 1973). Hubungan sosial yang bersifat horizontal di dalam kehidupan sosial akan terwujud dalam bentuk hubungan tolong-menolong dan gotong-royong, sedangkan hubungan sosial yang bersifat vertikal biasanya terwujud dalam bentuk hubungan patron-clients.
44
Menurut Scott (1994), hubungan patron-clients merupakan kasus khusus hubungan antara dua orang yang sebagian besar melibatkan persahabatan instrumental, dimana seseorang yang kedudukan sosialnya (patron) lebih tinggi menggunakan pengaruh dan sumberdaya yang dimilikinya untuk memberikan perlindungan atau keuntungan, atau kedua-duanya kepada orang yang kedudukannya (clients) lebih rendah. Selanjutnya menurut Putra (1988), clients akan membalas pemberian tersebut dengan memberikan dukungan yang umum dan bantuan, termasuk jasa-jasa pribadi kepada patron. Mengenai kepemilikan sumberdaya, Scott (1994) membedakan paling sedikit tiga jenis sumberdaya yang dimiliki oleh patron berdasarkan pengusaannya terhadap sejumlah client, yaitu; pertama, pengetahuan dan keahlian; kedua, kepemilikan yang langsung dibawah pengawasannya; ketiga, kekuasaan orang lain yang dikontrolnya secara tidak langsung. Pada dasarnya, hubungan patron-clients tersebut berkenaan dengan : 1. Hubungan diantara para pelaku atau perangkat para pelaku yang menguasai sumberdaya yang tidak sama, 2. Hubungan yang bersifat khusus (particularistic), hubungan pribadi yang sedikit banyak mengandung kemesraan (affectivity), 3. Hubungan yang berdasarkan asas saling menguntungkan serta saling memberi dan menerima (take and give). Tujuan utama kedua belah pihak menjalani hubungan patron-clients apapun status mereka adalah untuk mendapatkan keuntungan berupa barang, jasa, atau sumberdaya lain yang tidak dapat diperoleh melalui cara lain atas pengorbanan yang telah mereka berikan. Konsekuensinya, syarat timbal-balik (pertukaran) dalam hubungan tersebut tidak harus bermakna seimbang, melainkan sekedar keseimbangan dalam arti satu sama lain saling mengharapkan (Legg, 1983). Selanjutnya Scott (1994) membedakan pertukaran sosial atas bentuk pertukaran sepadan yang memenuhi norma resiprositas dan bentuk pertukaran tidak sepadan yang cenderung mengarah ke bentuk eksploitasi dan sub-ordinasi. Ide moral yang terkandung pada resiprositas adalah bahwa orang harus membalas bantuan orang yang membantunya paling tidak jangan sampai merugikannya. Secara khusus terkandung prinsip satu jasa yang diterima, menciptakan satu kewajiban timbal-balik bagi penerima untuk membalas dengan jasa atau sebuah nilai yang setidak-tidaknya sebanding dikemudian hari. Inti dari pengertian eksploitasi adalah bahwa ada sementara individu, kelompok atau kelas yang secara tidak adil atau tidak wajar menarik keuntungan kerja atas kerugian orang lain. Setidaknya terdapat dua ciri eksploitasi yang dapat dilihat, yaitu; pertama, eksploitasi sebagai tata hubungan antara perorangan, kelompok atau lembaga; kedua, eksploitasi merupakan distribusi tidak wajar dari usaha dan hasilnya.
45
Dalam prakteknya, masalah sosial-ekonomi sebagai akibat negatif dari proses modernisasi nampaknya masih dapat diatasi oleh keberadaan lembaga patron-clients tersebut, yang berlaku sesuai adat atau kebiasaan masyarakat pesisir setempat (Mubyarto, Soetrisno, Dove, 1984). Ada perasaaan wajib bagi yang kaya untuk memberi pekerjaan atau bantuan kepada yang lebih miskin, semangat sosial dan tolong menolong yang masih sangat menonjol inilah yang kemungkinan mampu meredam sifat “eksplosif”, masyarakat miskin di kawasan pesisir akibat kehidupan yang tidak menentu. Meskipun perbedaan sosial diantara keluarga kaya dan keluarga biasa terlihat jelas, namun jurang sosial diantara mereka tidak terbentang luas dan dalam, karena umumnya nelayan (juga petambak) memiliki sikap yang egaliter dibandingkan dengan kaum petani (Juwono, 1998). Hasil kajian Salman dan Taryoto (1992) di desa Manakku (Sulawesi Selatan) menunjukkan bahwa, pada kelompok petambak terdapat pelapisan sosial, yang terdiri dari; lapisan atas (petambak pemilik), lapisan menengah (petambak penyewa dan petambak penggarap) serta lapisan bawah (sawi tambak). Sedangkan jaringan relasi sosial yang berlangsung berporos pada penyerahan hak garap tambak dari pemiliknya kepada orang lain, melalui; hubungan persewaaan berdasarkan kontrak yang bersifat formal, hubungan persakapan/penggarapan yang berdasarkan perjanjian bagi hasil dan hubungan berpola patron-clients yang lebih informal tidak semata-mata hubungan ekonomi tetapi meluas kearah hubungan sosial. Pola hubungan yang terjadi antara petambak pemilik dengan petambak penyewa walaupun lebih mirip transaksi jual beli namun secara tidak langsung mengandung unsur hubungan bantu-membantu. Antara petambak pemilik dengan penyakap walaupun tersamar potensi sub-ordinasi eksploitasi namun masih terdapat mekanisme bantu-membantu, sementara antara petambak pemilik dengan sawi tambak terbentuk pola hubungan patron-client yang selain merupakan hubungan kerja secara ekonomis juga terjadi hubungan sosial lebih luas. Hasil penelitian Sidik, dkk (2000)
yang dilakukan di wilayah pertambakan
Balikpapan, Kutai dan Pasir, secara umum juga menunjukkan adanya ikatan kerjasama antara ponggawa dan petambak yang cukup kuat dan mapan. Sebagai suatu bentuk kelembagaan non formal yang berakar dari budaya masyarakat dan berlangsung sejak lama, pada banyak kasus hubungan ponggawa-petambak merupakan pilihan sebagian besar petambak. Interaksi antara ponggawa dan petambak merupakan fenomena umum yang terjadi di banyak desa-desa pesisir, mereka mengadakan hubungan dalam kegiatan kerja dan pemasaran hasil produksi pertambakan. Walaupun hubungan ini dianggap cenderung mengeksploitasi petambak, namun tampaknya telah melembaga dan sukar tergantikan dengan kelembagaan lain bentukan pemerintah.
46
2.3
Pembentukan Kapital Lokal Knight (1982), menganggap daerah pedesaan telah menjadi bagian integral dari
sistem produksi kapitalisme – suatu penilaian yang juga digarisbawahi oleh Geertz – dimana produksi pertanian di abad-19 dan ke-20 sudah ditandai oleh bentuk bagi hasil, sewa tanah dan hubungan kerja upahan antara pemilik tanah dan petani yang tidak mempunyai tanah dan itu jauh dari penggambaran menghilangnya struktur prakalitalis, malah memperlihatkan pertumbuhan hubungan kapitalis yang merembes ke semua jurusan dan segala reaksinya (Husken, 1998). Interpretasi Collier menyebut diferensiasi pertanian dan kapitalisme di Jawa berjalan secara bersamaan. Menurutnya modernisasi pertanian dibawah rezim Orde Baru telah mengakibatkan masyarakat pedesaan di Jawa terbagi menjadi dua golongan, golongan pemilik tanah komersial dan golongan massa pekerja penerima upah, sehingga dengan begitu terbentuklah hubungan produksi yang bersifat kapitalisme. Senada dengan itu Gordon (1978), atas dasar perubahan yang begitu cepat dipedesaan, dimana upah kerja dominan berlaku dan terbentuknya lapisan proletariat desa yang sama sekali tidak terikat pada tanah, menyimpulkan “kapitalisme pedesaan telah berkembang dalam waktu yang sangat cepat dan ini tidak pernah terjadi dalam sejarah Indonesia”. Namun hal tersebut dibantah oleh Khan (1982), yang menganggap kesimpulan itu bersifat teleologi yang ditarik dengan terburu-buru, “dideduksi dari kecenderungan duniawi yang timbul dimana-mana (seperti deferensiasi) atau dari prasyarat fungsional reproduksi kapitalisme”. Interpretasi Marxisme klasik – terutama yang dirumuskan Lenin, bertolak dari pemisahan yang berjalan secara berlanjut dan polarisasi di kalangan petani, yang akhirnya sampai pada hilangnya golongan petani produsen kecil yang mandiri ..... suatu proses yang khas bagi ekonomi kapitalis dan akhirnya menghapuskan golongan petani menengah dan memperkuat posisi golongan ekstrem yaitu golongan borjuasi pedesaan dan petani miskin – suatu proses kearah de-peasantisation. Sementara, kaum populis (Chayanov dan Kerblay) yang mengkritik Lenin menekankan ciri khusus ekonomi masyarakat petani (pada hakekatnya adalah ekonomi keluarga) yang tidak begitu ditandai oleh diferensiasi sosial maupun demografis. Menurut mereka, kaum tani akan bisa mengatasi perkembangan kapitalisme dan perkembangan produksi barang dagangan, karena mereka – yang bekerja berdasarkan ekonomi keluarga untuk mencukupi keperluan rumah tangga sendiri dan tidak bermotif mencari laba – bisa memproduksi barang lebih murah daripada para produsen yang beroperasi sebagai kapitalisme murni dengan perhitungan untung rugi. Dari sini menjadi jelas bahwa kapitalisme pertanian tidak hanya timbul sebagai akibat dari proses diferensiasi sosial yang terjadi dalam masyarakat petani, serta pada upah kerja dan produksi komoditi (Smith, 1984). Sebaliknya, juga menjadi jelas bahwa
47
bentuk produksi yang menghasilkan surplus (seperti bagi hasil, upeti untuk majikan, pajak tanah) ternyata bisa disatukan dengan produksi kapitalisme untuk pasar (Meillassoux,1972; Roseberry, 1976; Deere & Janvry, 1979). Di dalam penelitiannya tentang komersialisasi dan diferensiasi di sebuah desa pesisir Jawa, Husken (1998) menemukan bahwa proses komersialisasi dan diferensiasi sosial (kapitalisme) telah berjalan sejak lama. Selain telah mengenal upah kerja dan sistem bagi-hasil, masyarakat Desa Gondosari, sejak 1850 juga telah terbagi ke dalam tiga kelas; pertama, segolongan besar para tuna-kisma yang hidupnya tergantung dan terikat pada keluarga-keluarga petani pengusaha tanah. Kedua, golongan petani kelas menengah atau “orang kuat desa” yang mendapat pembagian tanah desa, tetapi dibebani bermacam kerja rodi, serta kerja pancen; dan ketiga kelas atas yang terdiri dari para anggota pemerintahan desa yang selain memiliki tanah sendiri dan mendapat tanah bengkok cukup luas, juga berkuasa mengerahkan tenaga pancen untuk mengerjakan tanah-tanah mereka. 2.3.1
Perubahan Struktur Agraria Orde
Baru
mendirikan
totalitas
bangunan
ekonomi
agrarianya
tanpa
penghancuran soal-soal agraria warisan kolonial, bahkan menurut Fauzi (1999), bangunan agraria yang baru tersebut berdiri atas dasar warisan kolonial. Seperti yang pernah dikemukakan Arief (1978), “Kebijakan ekonomi Indonesia dan proses ekonomi yang mengikutinya telah berjalan di atas suatu struktur ekonomi warisan kolonial ... dulu dikembangkan dan diperkuat untuk melayani negara-negara asal pihak penjajah dan sektor massa agraris merupakan daerah yang diabaikan dan sumber kuli murahan ... diatas struktur inilah kebijakan ekonomi Indonesia selama ini telah dijalankan, sehingga pada hakekatnya sadar atau tidak sadar, kita telah memperkuat dan mengembangkan struktur warisan kolonial”. Lebih jauh Fauzi (1999), menggambarkan bangunan ekonomi agraria Orde Baru sebagai berikut; pertama, tetap dipraktekkannya “semacam” Domein Verklaring, bahwa “... semua tanah yang tidak terbukti bahwa atas tanah itu ada hak milik mutlak (eigendom) adalah milik negara”. Secara de jure, Domein Verklaring memang telah dihapuskan oleh UUPA 1960. Namun masih banyak tanah garapan petani/ petambak – yang sudah turun-temurun – hanya merupakan “tanah negara bebas”, karena hanya bisa dibuktikan dengan girik atau leter C sebagai tanda bukti pembayaran pajak tanah ataupun Surat Ijin Garap dari otoritas lokal. Artinya status hukum tanah-tanah tersebut tetap sebagai tanah negara yang disewa/ dikelola oleh petani/ petambak. Apabila negara membutuhkan, dengan mudah petani/ petambak penggarap dapat diusir dari tanah tersebut.
48
Kedua, dengan UU No. 1 tahun 1967 dan UU No. 8 tahun 1968 rezim Orde Baru, telah mengundang secara besar-besaran penanaman modal besar, baik modal dalam negeri maupun asing, di pedesaan. Mulai dari bentuk-bentuk penguasaan hutan dan industri pertanian/ perikanan hingga agroindustri, seperti pengolahan hasil-hasil perikanan. Dalam prakteknya, para pemodal asing dibidang HPH (Hak Pengusahaan Hutan) misalnya, akan mengajak pemodal pribumi untuk membagi beban dengan cara membentuk perusahaan joint venture. Persetujuan PMDN di sektor pertanian saat itu, meliputi tanaman pangan dengan investasi sebesar Rp. 3,63 trilyun, untuk 156 proyek, perkebunan Rp. 17,2 trilyun untuk 455 proyek, peternakan Rp. 1,7 trilyun untuk 76 proyek dan perikanan Rp. 3,2 trilyun untuk 337 proyek. Sehingga dapat dimaklumi jika Fauzi (1999), menyebut jalan bagi pembangunan kapitalisme adalah reformasi hukum, karena bersifat instrumental terhadap ekonomi. Upaya kerjasama dengan cara seperti ini pun, dilakukan dalam kegiatan pengusahaan perikanan ekspor di sekitar kawasan Delta Mahakam menjelang tahun 1980, sehingga mendorong munculnya beberapa perusahaan cold storege yang melakukan kegiatan ekspor hasil perikanan. Kondisi tersebut, ternyata semakin memarginalkan posisi masyarakat lokal di dalam ikut menikmati perolehan rezeki dari hasil pemanfaatan sumberdaya alam di sekitar mereka. Seirimg terbitnya keputusan Menteri Pertanian bernomor 24/ Kpts /Um /1983, yang secara sepihak menetapkan sebagian besar kawasan Delta Mahakam sebagai kawasan hutan produksi. Yang berakibat tercerabutnya hubungan penggarap dengan tanahnya. Pada kantong-kantong industri perikanan, masyarakat lokal yang terpinggirkan/ para pendatang, perlahanlahan menjadi buruh. Sementara keuntungan yang diperoleh dari hasil bumi pedesaan, melalui penanaman modal besar mengalir deras kepada para pemodal besar. Ketiga, pemerintahan Orde Baru lebih condong pada peningkatan produksi melalui pengembangan bibit unggul, teknologi pertanian/perikanan, pupuk, pestisida dan organisasi kredit, KUD dan seterusnya, tanpa ada keinginan untuk melakukan land reform. Komitmen pada peningkatan produksi berarti mendahulukan kepentingan industri (kota) dibanding pertanian/ perikanan (desa). Hal ini terlihat dari kebijakan pemerintah yang cenderung melakukan “pembiaran” atas terjadinya perluasan area pertambakan secara ilegal, meskipun harus mengorbankan eksistensi hutan mangrove di kawasan Delta Mahakam. Disatu sisi, mungkin hal tersebut dilakukan untuk mendongkrak program perluasan tambak (ekstensifikasi) oleh pemerintah, yang ingin mengamankan Program Udang Nasional dengan meningkatkan produksi perikanan budidaya. Namun pada sisi lainnya, hal ini juga bisa berarti proses “mengelola hutan”, sebagai antisipasi munculnya gejolak dalam masyarakat.
49
Keempat, komposisi penggunaan tanah belum beranjak seperti yang terjadi di zaman kolonial (Sajogyo, 1981). Dimana kekuasaan atas tanah, yang merupakan basis kekuasaan ekonomi dan politik, bertumpuk pada bentuk pengusahaan hutan yang dimiliki oleh pemerintah dan pihak swasta, termasuk di dalamnya kelompok pemodal asing. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa politik agraria kapitalis Orde Baru telah menguatkan posisi pemilik modal swasta – termasuk swasta milik asing – dan pemerintah sebagai kekuatan ekonomi politik yang dominan. Secara dinamis, dominasi tersebut juga mengkondisikan munculnya konflik agaria yang cukup laten diantara masyarakat lokal. Dan menariknya, dapat dengan mudah menjadi konflik manifes jika melibatkan perusahaan migas yang beroperasi disekitar kawasan Delta Mahakam. 2.3.1.1 Perubahan Pola Penguasaan, Pemilikan dan Pemanfaatan Lahan Kegiatan pertambakan di kawasan Delta Mahakam secara besar-besaran sebenarnya baru dimulai sejak awal tahun 1990-an, dan mencapai puncaknya ketika terjadi krisis ekonomi pada 1997-1998, dipicu oleh tingginya nilai tukar dolar terhadap rupiah sehingga terjadi “boom udang”. Yang selanjutnya diikuti dengan terjadinya “ledakan penduduk” akibat mobilitas etnik Bugis dalam membuka area tambak baru dikawasan tersebut. Hal ini tidak bisa dipisahkan dari keberadaan beberapa perusahaan perikanan global yang telah beroperasi di sekitar kawasan Delta Mahakam jauh sebelum terjadinya “boom udang”. Tentu saja ini sebagai reaksi para pemilik modal atas besarnya permintaan pasar global terhadap hasil perikanan (khususnya udang windu). Sebelum tahun 1980, kawasan hutan mangrove di Delta Mahakam nyaris masih belum terjamah oleh kegiatan eksploitasi pengembangan pertambakan. Meskipun pada 1974 telah berdiri cold storage, namun produksi perikanan multinasional tersebut masih mengandalkan hasil tangkapan nelayan-nelayan tradisional di kawasan tersebut. Besarnya permintaan pasar perikanan internasional, setidaknya telah memicu dilakukannya modernisasi dalam kegiatan perikanan tangkap, dengan introduksi penggunaan alat tangkap trawl (pukat harimau). Beriringan dengan kebijakan Orde Baru yang menekankan peningkatan produktifitas di berbagai sektor usaha. Meskipu keadaan tersebut mampu mendorong munculnya kelas entrepreneur lokal dalam sektor perikanan tangkap yaitu; ponggawa, namun keberadaan mereka masih sebatas sebagai suplayer, kepanjangan tangan dari eksportir. Munculnya Inpres No. 11/ 1982, yang melarang penggunaan pukat harimau di seluruh Indonesia sejak 1Januari 1983, telah memicu diberlakukannya kebijakan lokal yang memberikan
kompensasi pembukaan hutan mangrove untuk kegiatan
pertambakan pada para nelayan lokal dan masyarakat di sekitar kawasan Delta Mahakam. Di satu sisi kebijakan tersebut, dimaksudkan untuk mengantisipasi gejolak dalam
masyarakat,
pasca
pelarangan
trawl. Sementara
disisi
lainnya
untuk
50
“mengamankan” kebijakan Pemerintah Pusat, sekaligus mendukung Program Udang Nasional. Kondisi tersebut mendukung pernyataan Mac Andrew (1986), yang menyebut kebijakan pertanahan di Indonesia sejak tahun 1980-an lebih ditujukan untuk memecahkan persoalan pertanahan yang menghambat pelaksanaan pembangunan. Meskipun kebijakan pelarangan trawl yang diterapkan pemerintah, ternyata juga tidak dapat dilaksanakan secara efektif karena operasi kapal trawl masih tetap berjalan hingga saat ini, bersaing dengan nelayan-nelayan tangkap tradisional (kecil), akibat lemahnya pengawasan dari pihak-pihak terkait. Kondisi ini pada gilirannya akan semakin mempercepat pengurasan sumberdaya perikanan (over fishing) di sekitar kawasan Delta Mahakam, yang selanjutnya akan memaksa nelayan-nelayan lokal yang tidak mampu bersaing dengan nelayan-nelayan yang lebih modern untuk beralih profesi sebagai petambak atau setidaknya berprofesi rangkap sebagai petambak sekaligus nelayan tradisional untuk bisa tetap survive. Sebagian diantara mereka berhasil membudidayakan bibit udang yang diperoleh dari alam di dalam empang yang dibuat dengan sangat sederhana, sehingga menarik minat migran Bugis lainnya untuk ikut mencoba peruntungan. Sementara perusahaan cold storage melalui para ponggawa yang sangat membutuhkan pasokan hasil perikanan yang berkelanjutan dan lebih banyak, mulai mengucurkan bantuan finansial pada para petambak tersebut untuk menjamin pasokan bahan baku udang segar. Pentingnya nilai ekonomis hutan mangrove bagi peningkatan produksi perikanan perusahaan-perusahaan cold storage, telah menempatkan para ponggawa memiliki nilai strategis dalam hubungan kerjasama yang terjalin, karena memiliki akses langsung dalam penguasaan sumberdaya agraria. Kepentingan yang sama, telah menjadikan para ponggawa yang memiliki kedekatan dengan penguasa lokal, sekaligus dengan perusahaan eksportir, mampu mendapatkan dana segar untuk melakukan kegiatan ekspansi bagi perluasan tambak-tambak mereka. Sebagian ponggawa tersebut bahkan dengan mudah mendapatkan konsensi atas sejumlah area hutan mangrove yang sangat luas, yang pada saatnya akan didistribusikan pada para klien mereka untuk menjamin pasokan produksi. Dengan menggunakan hegemoni budaya dan sumberdaya yang dimilikinya para ponggawa semakin memperkokoh posisinya sebagai patron yang mampu mengontrol hasil produksi tambak yang sangat luas. Kelak akumulasi penguasaan alat produksi (lahan tambak) ini akan menjadi penjelas, mengapa perusahaan eksportir tidak mampu bersaing dengan para punggawa lokal. Sejak 1990-an, para ponggawa bahkan mulai menggunakan excavator, menggantikan tenaga manual dalam pembukaan tambak. Pembukaan hutan mangrove secara besar-besaran untuk kegiatan pertambakan mencapai puncaknya ketika terjadi krisis ekonomi regional pada 1997-1998, dipicu oleh tingginya nilai tukar dolar terhadap
51
rupiah sehingga terjadi “boom udang”. Kondisi ini memicu terjadinya “ledakan penduduk” di kawasan Delta Mahakam oleh para pendatang yang ingin mencoba peruntungan di sektor perikanan budidaya. Akibatnya konversi hutan mangrove untuk kegiatan pertambakan mulai tidak terkendali, sementara semakin minimnya hutan mangrove yang dapat dikonversi menjadi tambak-tambak baru telah menyebabkan banyak area perkebunan kelapa dan pertanian produktif yang kemudian dialih-fungsikan manjadi area pertambakan.
Gambar 2. Sejarah Pertambakan di Delta Mahakam Sumber: Bourgeois et al, 2002 Gambar 1. Sejarah Pertambakan di Kawasan Delta Mahakam Sumber: Bourgeois et al, 2002 Dari Gambar 1. diatas, dapat dilihat bahwa sejarah kegiatan pertambakan di kawasan Delta Mahakam ternyata mengalami pertumbuhan yang berfluktuasi, namun secara aktual dapat dipastikan bahwa pertumbuhan kegiatan pertambakan akan selalu mengalami lonjakan ketika terjadi momentum penting terkait dengan faktor eksternal. Momentum penting pertama adalah terjadinya pelarangan trawl pada 1981, yang membuka peluang bagi terjadinya pembukaan area pertambakan oleh para nelayan di sekitar kawasan Delta Mahakam. Momentum kedua adalah mulai dilakukannya mekanisasi dalam pembuatan hamparan tambak-tambak baru menjelang tahun 1990, dengan memanfaatkan excavator. Dan ketiga, merupakan momentum terpenting atas terjadinya degradasi hutan mangrove di kawasan Delta Mahakam, ketika masyarakat pendatang dari berbagai kalangan membuka tambak-tambak baru secara massal dan massive, akibat “terprovokasi” harga udang yang melesat naik saat terjadi krisis moneter pada 1997/ 1998. Secara keseluruhan dapat dilihat bahwa tempo pembukaan hutan mangrove untuk kegiatan pertambakan pun, cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
52
2.3.1.2 Fenomena “Tragedy of The Common” Sumberdaya yang ada di Delta Mahakam sangat beragam. Sumberdaya tersebut berupa sumberdaya alam yang dapat diperbaharui maupun yang tak dapat diperbaharui. Sumberdaya alam yang dapat diperbaharui meliputi sumberdaya non migas seperti, perikanan tangkap, perikanan budidaya, penangkapan benur, hingga beragam industri pengolahan perikanan tradisional, serta pembuatan atap nipah, pertanian, perkebunan kelapa dan kelapa sawit, sedangkan yang tidak dapat diperbaharui yakni migas dan batu bara. Tidak hanya itu, Delta Mahakam juga telah menjadi kawasan pemukiman yang cukup padat dan manjadi “urat nadi’ transportasi sungai di Kalimantan Timur. Besarnya potensi sumberdaya alam yang dimiliki dan begitu beragamnya stakeholder yang memanfaatkan sumberdaya Delta Mahakam, telah menjadikan kawasan ini rentan terhadap perusakan dan konflik kepentingan. Hasil penelitian Rachmawati Dkk (2003) mengungkapkan, bahwa pemanfaatan nipah, penangkapan benur dan perikanan tangkap di Kecamatan Anggana dan Muara Jawa saja, setidaknya memiliki nilai ekonomi sebesar 37.111.526.045 (US$ 4,123,503). Tingginya nilai ekonomi mangrove di kawasan Delta Mahakam inilah yang kemudian memicu terjadinya “pengurasan sumberdaya”, akibat pemanfaatan sumberdaya yang tidak berkelanjutan. Tabel 2. Nilai Ekonomi Pemanfaatan Mangrove di Kawasan Delta Mahakam Pemanfaatan Mangrove Atap Nipah (1) Penangkapan benur (2) Perikanan Tangkap (3) Tambak (4) Total (1+2+3) Total (1+2+3+4)
Pendapatan 7.114.021.953 6.759.235.000 80.464.643.372 95.647.103.353
Biaya (Rp) 6.118.058.880 1.641.524.118 49.466.791.282 75.032.387.823
Net Benefit (Rp)
995.963.073 5.117.710.882 30.997.852.090 20.614.715.530 37.111.526.045 16.496.810.515
Net Benefit (US$)
110,663 568,635 3,444,206 2,290,524 4,123,503 1,832,979
Sumber: Rachmawati Dkk, 2003 Catatan: Lokasi Kecamatan Anggana dan Muara Jawa Kerusakan lingkungan hidup akibat aktifitas manusia ataupun perusahaan disekitar kawasan Delta Mahakam terjadi sepanjang pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam yang beragam tersebut dilakukan secara eksploitatif tanpa memperhitungkan ambang batas daya dukung (carrying capacity). Tekanan ekologis yang begitu hebat telah menyebabkan kawasan yang dulunya memiliki tegakan hutan mangrove yang sangat lebat dan luas ini, menjadi terdegradasi dengan cepat. Tingginya angka deforestasi mangrove berimplikasi pada permasalahan fisik, ekologi dan lingkungan, seperti kerusakan tekstur, dan struktur tanah, erosi, abrasi, sedimentasi, dan pencemaran air serta penurunan keanekaragaman hayati. Perlakuan eksploitatif tersebut, menariknya cenderung terjadi dalam pengelolaan atau pemanfaatan sumberdaya alam yang termasuk kategori “milik bersama” (common property
53
resources), seperti laut lepas, danau, rawa-rawa, sungai, padang pengembalaan, hutan belantara, bahkan hutan mangrove disekitar kawasan pesisir; seperti yang terjadi di kawasan Delta Mahakam. Tindakan eksploitatif tersebut menurut Hardin (1968), akan melahirkan suatu situasi yang disebutnya tragedy of the commons. Menurut Korten (1987; 1993), tindakan eksploitasi terhadap sumberdaya sesungguhnya berpangkal dari paradigma yang sangat materialistik, dimana prinsip maksimasi (maximization) dijadikan patokan dasar dalam memandang dan menentukan mode pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam yang semata-mata direduksi untuk mencapai pertumbuhan ekonomi. Akibat jangka panjang adalah terjadinya degradasi ekologi, marjinalisasi peran komunitas lokal bahkan pengingkaran terhadap kompetensi mereka dalam mengelola sumberdaya secara lestari. Degradasi ekosistem mangrove yang terjadi di kawasan Delta Mahakam, selanjutnya membawa dampak atas terjadinya penurunan produktifitas tambak, munculnya berbagai wabah penyakit yang menyerang udang, semakin sulitnya bibit udang alam diperoleh, terjadinya abrasi pantai dan sedimentasi yang semakin meluas, serta hilangnya sumber-sumber mata air bersih. Akumulasi keadaan di atas disatu sisi telah menyebabkan perusahaan-perusahaan eksportir kesulitan memperoleh pasokan bahan baku (udang segar), sehingga terjadi pelumpuhan produksi, hingga memaksa mereka untuk “meninggalkan” kawasan Delta Mahakam karena kolaps, sehingga membuka peluang
terjadinya take over atas perusahaan-perusahaan tersebut oleh
ponggawa yang sebelumnya menjadi klien mereka. Sementera di sisi yang lain, keadaan tersebut juga berimbas pada kualitas dan kuantitas produksi udang yang cenderung menurun, sehingga menyebabkan banyak area pertambakan terlantar, karena tidak dikelola secara baik, bahkan ditinggalkan oleh pemiliknya. 2.3.2. Perubahan Sistem Sosial dan Ekologi Lokal Proses kapitalisasi dalam kegiatan pertambakan telah memicu terjadinya arus migrasi dari etnik Bugis, Makassar dan Jawa ke desa-desa yang berada di pulau-pulau dalam Kawasan Delta Mahakam, dipekerjakan oleh para petambak ataupun ponggawa untuk menjaga empang-empang yang yang tidak lagi bisa mereka kelola sendiri karena luasnya tambak yang mereka miliki. Selain membuka kesempatan kerja bagi buruh tambak, untuk membangun tambak-tambak baru ataupun memperbaiki konstruksi tambak secara tradisional. Pemusatan penguasaan area pertambakan, selain menciptakan jurang kesenjangan diantara para
penjaga empang – petambak –
ponggawa, juga mendorong dilakukannnya ekspansi perluasan area tambak dengan cara meminjamkan modal usaha pada patron-nya masing-maisng untuk membuka hutan mangrove yang mereka kuasai. Hal inilah yang melanggengkan pola hubungan
54
pemimpin-pengikut
(patron-clients),
yang
masih
dipertahankan
oleh
sebagian
wiraswasta Bugis dalam kegiatan sosio-ekonomi pertambakan. Ironisnya sebagian besar ponggawa yang berhasil tersebut adalah para migran yang datang belakangan, kondisi ini secara tidak langsung telah menciptakan disparitas ekonomi, sekaligus kecemburuan sosial diantara masyarakat setempat.
Sebelum
1992
1996
1999
2001 Gambar 2. Peta Tutupan Hutan Mangrove dari Sebelum Dikonversi, 1992, 1996, 1999, hingga 2001. Sumber: Bourgeois et al, 2002
55
Data Bourgeois et all (2002) dan Interpretasi citra Lansat tahun 2003 menunjukkan bahwa rusaknya hutan mangrove di wilayah Delta Mahakam adalah akibat pembukaan lahan tambak yang tidak terkendali (seperti ditunjukkan Gambar 2). Pada tahun 1980-an, belum banyak petambak yang tertarik untuk bertambak di Delta Mahakam, namun pada 1992 menjadi awal dibukanya kawasan ini untuk budidaya pertambakan, selanjutnya mengalami pembukaan secara besar-besaran sejak 1996 dan mencapai puncaknya pada tahun 2001. Pada tahun 2003, luas Delta Mahakam diinterpretasi sekitar 108.152,5 hektar dengan komposisi luas mangrove 60.818,4 hektar, tambak 45.297,4 hektar dan calon tambak seluas 2.036 hektar. Secara umum model pertambakan yang berkembang di Delta Mahakam termasuk tambak ekstensif (1,5-30 ha) dengan model sangat sederhana (tradisional), apabila dilihat dari ketentuan standar model tambak yang ada baik yang berada pada lingkungan salinitas 0-10 ‰, 10-20 ‰, ataupun di wilayah salinitas 20-30 ‰. Produktivitas tambak di Delta Mahakam berada di bawah standar dari produktivitas tambak tradisional (secara nasional) yaitu sebesar 600-1000 kg/ ha (PKSPL-IPB, 2002). Kisaran produktivitas udang windu di tambak Delta Mahakam dari ketiga kondisi lingkungan salinitas adalah 41,48 – 47,86 kg/ ha/ tahun dengan produktivitas rata-rata sebesar 45,19 kg/ ha/ tahun. Ikan bandeng yang dihasilkan berkisar antara 4,51-15,86 kg/ ha/ tahun dan kepiting berkisar 2,07-15,42 kg/ ha/ tahun. Sementara udang bintik sekitar 38,22-59,60 kg/ ha/ tahun. Rendahnya produktivas tambak-tambak di kawasan Delta Mahakam, telah memaksa petambak untuk mencoba mengembangan strategi dengan membangun hamparan tambak yang lebih luas, dengan asumsi akan dapat mempermudah pengelolaan dan meningkatkan produksi. Namun kenyataannya produksi tambak mereka tetap saja tidak meningkat, praktis mereka hanya mengandalkan hasil panen dari udang bintik yang terperangkap masuk ke dalam tambak-tambak mereka, ketika pintu air tambak dibuka bersamaan dengan air pasang. Kondisi ini mendorong sebagian petambak untuk kembali beralih profesi sebagai nelayan, serta mereka yang memiliki cukup modal dan tidak terikat hutang pada para ponggawa untuk melakukan ekspansi dibidang usaha lain seperti kegiatan perkebunan kelapa sawit dan perdagangan atau mencoba peruntungan di dunia politik. Masyarakat lokal selanjutnya cenderung menjadi lebih apatis, individualis dan materialistik, sehingga menguatkan motivasi oknum petambak/ponggawa untuk melakukan “spekulasi’ dalam pengembangan area tambak dengan harapan mendapatkan ganti rugi pembebasan lahan oleh perusahaan migas jika terjadi pencemaran atau eksplorasi.
56
2.4
Booms Udang dan Pembentukan Ekonomi Lokal
2.4.1
Menelisik Ekonomi Lokal Crouch (1993) mencoba mengemukakan empat pendekatan untuk menelusuri
fenomena keberadaan kaum borjuis sejati atau yang disebutnya “independent bourgeoisie”, dalam proses kapitalisme yang terjadi pada masyarakat Indonesia. Pertama, Pendekatan Kultural-Psikologis; dimana budaya tradisional dianggap telah menghambat pembangunan ekonomi modern. Di dalam masyarakat tradisional orang menjadi pasif, tidak memiliki ambisi dan cenderung menerima nasibnya sebagai sesuatu yang ditentukan oleh kekuatan-kekuatan adikodrati yang diluar pengendaliannya. Secara khusus Hagen, menuntut munculnya suatu kelas pengusaha baru yang diilhami versi modern dari etika Protestan. Sementara Boeke (1953), menganggap “mentalitas masyarakat pribumi pada awalnya memang sudah demikian dan bahwa mereka tidak mampu merespon insentif-insentif ekonomi yang merangsang pertumbuhan ekonomi seperti di Barat”. Geertz (1992), yang meneliti kaum pedagang Muslim di Pare – sebuah kota kecil di Jatim dan para pengusaha bangsawan di Bali, melihat mereka sebagai perintis yang potensial bagi munculnya kelas pengusaha industri yang sedikit jumlahnya. Demikian halnya Castle (1982), membuat kesimpulan yang sama mengenai para pengusaha rokok kretek Muslim di Kudus. Kedua, Pendekatan Struktural-Domestik; dimana tekanannya terletak pada cara bagaimana masyarakat diorganisir. Disini konsep patrimonialisme Weber digunakan untuk menggambarkan terjadinya modernisasi pada negara-negara dunia ketiga, dimana para pengusaha memperoleh kekuasaan melalui suatu kombinasi distribusi patronase politik dalam elit dan represi terhadap pihak oposisi yang berada diluarnya. Anderson (1972), mencatat ciri-ciri patrimonial dalam sistem politik di masa Demokrasi Terpimpin, dimana otoritas Soekarno tidak hanya berasal dari kharismanya secara pribadi, tapi juga dari usaha yang hati-hati untuk menyeimbangkan kekuatan-kekuatan politik yang bersaing melalui insentif-insentif dan ganjaran material dalam bentuk patronase yang menghasilkan legitimasi. Bertentangan dengan Soekarno yang distribusi patronasenya merentangkan suatu spektrum politik dan ideologi yang luas, maka alokasi peluang dan usaha Soeharto secara luas terbatas pada pihak militer (ABRI), sementara oposisi diluar militer ditekan secara represif (Crouch, 1993). Sedangkan konsep kepolitikan birokratik, yang dikembangkan oleh Jackson (1978) dan Emmerson (1983) melihat sasaran perjuangan politik adalah untuk menduduki jabatan-jabatan politik dan lembaga-lembaga negara yang memungkinkan para pejabatnya menambah kekayaannya dan kepentingan pendukungnya. Dalam prakteknya, para pengusaha Cina ditekan untuk mengakui para birokrat pribumi sebagai mitra. Orang-orang Cina menyediakan keterampilan dan modal usaha, sementara para
57
birokrat memberikan berbagai fasilitas pemerintah. Kelas kapitalis birokrat semasa Demokrasi Terpimpin, dimaksudkan bukan untuk menumbuhkan kelas pengusaha nasional, tapi memperkuat basis strategis untuk memperoleh dukungan dari masyarakat. Sedangkan ciri yang paling menonjol dari kapitalis birokratik semasa kepemimpinan Soeharto adalah kaum komprador yang memainkan peranan sebagai “junior partner” bagi modal asing (Mortimer, 1973). Namun, pendekatan ini dianggap gagal memberikan perhatian yang tepat pada peran modal asing. Ketiga, Pendekatan Ketergantungan; menurut teori yang dikembangkan oleh Paul Baran dan Andre Gunder Frank ini, keterbelakangan merupakan hasil dari imperialisme Barat. Imperialisme barat menyerahkan koloni-koloninya pada para eksportir produk barang-barang tambang dan perkebunan milik Barat, sementara pasaran domistik terbuka bagi importir manufaktur Barat. Keuntungan dari perkebunan dan pertambangan dikirim kembali pada negara metropolis, sementara arus barangbarang manufaktur yang murah dari metropilis yang lebih maju secara teknologi membinasakan barang-barang manufaktur tradisional, sehingga tidak memungkinkan bagi industri domestik yang baru tumbuh untuk berkembang. Sementara elit-elit politik di dunia ketiga yang telah memproleh banyak kekayaan selama masa kolonial, terus berhubungan dengan pemilik modal asing dengan peranan sebagai komprador sesudah kemerdekaan. Oleh karena itu, baik pengusaha asing maupun elit-elit nasional, memiliki kepentingan bersama dalam melindungi dan melanjutkan kehadirian kapitalis asing. Mortimer (1973), mencatat bahwa investasi asing secara luas berkaitan dengan suatu ciri neo-kolonial klasik, yang menyusup ke dalam industri ekstaktif seperti migas, pertambangan dan perkayuan. Sementara industri manufaktur yang bersifat padat modal mempunyai jangkauan yang terbatas untuk mengatasi pengangguran, pemberian pekerjaan dan tidak jarang bersaing dengan industri domistik yang tidak efisien. Demikian pula Palmer (1978), yang menganggap kerusakan yang dialami industri domistik karena banjirnya barang-barang impor dari luar dan modal asing. Sedangkan Payer (1974), menyebut strategi pembangunan Indonesia dewasa ini hanya mengharapkan bantuan luar negeri, yang menjadi jebakan utang yang tidak pernah akan terbayar. Selanjutnya Robinson mencatat kemunduran borjuasi pedagang Islam sebagai akibat langsung dari suatu tipe kapitalisme yang dipaksakan berlaku di Indonesia. Perkembangan kapitalisme di Indonesia telah menghasilkan tiga tipe borjuasi, yaitu; kapitalisme negara, kapitalisme borokrat, serta kapitalisme klien dan bahwa berbagai konflik untuk merebut kekuasaan mencerminkan kepentingakepentingan yang saling bersaing dari tiga kelomok borjuasi tersebut. Kempat, Pendekatan Pembangunan Yang Tergantung; Selama tahun 1970-an, nampaknya sejumlah teori ketergantungan sudah tidak sesuai lagi dengan apa yang
58
sedang terjadi di negara-negara yang tergantung. Dalam bentuknya yang asli, teori ketergantungan melihat dunia ketiga berada di bawah kontrol kelas komprador yang hanya melayani modal asing dan industrialisasi, sehingga sangat membatasi kesempatan pengusaha nasional. Meskipun sejumlah negara dunia ketiga kondisinya kurang lebih sesuai dengan gambaran tersebut, namun ada pula yang memiliki pengecualian khusus.
Robinson (1986), menolak kerangka ketergantungan dalam
menelusuri perkembangan kapitalisme di Indonesia. Jika sebelumnya persepsi pokoknya adalah hubungan neo-patrimonial antara negara dan kapital dalam keseluruhan konteks dominasi modal asing yang telah berlangsung di awal Orde Baru, maka pada tahap selanjutnya Robinson mengidentifikasi secara kritis perubahanperubahan yang terjadi selama dekade 1970-an. Menurutnya investasi modal asing, bantuan luar negeri, boom minyak telah membantu mengubah sektor ekonomi modern Indonesia, yang di dalam prosesnya pemerintahan melanjutkan kebijakan untuk memperkuat negara maupun kelas kapitalis domistik. Dimana “sejumlah besar keuntungan yang di dapat dari pemerasan kemudian ditanamkan kembali untuk mengubah akumulator primitif menjadi kapitalis (Robinson, 1986). Meskipun para konglomerat lokal yang bangkit di tahun 1970-an diuntungkan oleh model usaha patronese seperti itu, namun mereka telah mendekati suatu titik dimana tanpa itu mereka tetap mampu untuk survive. Yakin pada kemampuan untuk bersaing dalam pasar bebas, perusahaan milik kelas kapitalis baru ini, mulai menolak gaya patrimonial yang secara ekonomis lemah dalam persaingan dan kuatir gaya patrimonial sudah tidak layak. Dalam tesisnya Robinson menganggap bahwa dalam jangka panjang keuntungan kelompok ini akan tetap aman dan terjamin melalui proses yang normal dan akumulasi kapital daripada perlindungan patron dan diharapkan borjuasi industri nasional dapat berkembang melalui regulasi dari aparatur negara dan penegakan “rule of law”. Jadi sejumlah perusahaan kapitalis yang kuat dapat berkembang, sementara perimbangan kekuasaan antara negara dan kapital dapat dianggap berubah dengan nyata, sehingga kelas kapitalis secara signifikan dapat menjadi kelas yang berkuasa. Meskipun tujuan utama dari kaum borjuis pribumi bukanlah untuk mendominasi, akan tetapi mengamankan posisinya di antara faksi-faksi konglomerat kapitalistis yang beroperasi di Indonesia. Artinya, gambaran hubungan antara pemerintah dan bisnis dalam bentuk patrimonial dan kepolitikan birokratik untuk sementara masih cukup handal dalam menggambarkan “naik daunnya” sejumlah konglomerat dan implikasinya di masa mendatang. Buku “Indonesia; The Rise of Capital” karya Robinson (1986), bisa disebut sebagai salah satu usaha besar ke arah analisis kapitalisme kontemporer di Indonesia. Robinson memberikan gambaran mengenai kehadiran komponen-komponen kapitalis
59
domistik Indonesia, sehingga merasa perlu membedakan kelas kapitalis dengan kelompok-kelompok campuran yang untuk sementara disebut sebagai kelas menengah. Dimana Robinson cenderung menempatkan kelas menengah sebagai fungsionaris politik, ekonomi, sosial, serta aparat-aparat ideologi kapitalisme. Kelemahan analisis Robinson mungkin terletak dalam melihat masyarakat Indonesia yang hanya terdiri dari satu tata produksi yakni kapitalisme dan hubungan sosial yang berada diantara dua kelas utama yakni kapitalis (majikan) dengan pekerja (buruh), sehingga terjadi kesulitan dalam menentukan kelas menengah. Berbeda dengan padangan Keane (1988), yang mengungkapkan bahwa rezim Oede Baru berada pada suatu formasi sosial yang mengartikulasi tata produksi kapitalisme, tata produksi komoditi kecil dan tata produksi subsisten. Dimana tata produksi kapitalisme lebih dominan dan dalam reproduksinya ditunjang oleh dua tata produksi yang lain. Menurut Lev (1993), Orde Baru telah memberikan peluang-peluang ekonomi bagi kelas menengah profesional untuk semakin “diborjuasikan” dan membangun suatu basis ekonomi yang kokoh, sehingga semakin memiliki makna. Optimisme Lev, yang meletakkan kelas menengah sebagai pembawa ide-ide demokrasi dan pembatasan kekuasaan negara, dibantah oleh Liddle dan Mackie, karena rezim Orde baru mempunyai derajat legitimasi yang tinggi, akibat adanya “ideologi pembangunan”. Developmentalisme merupakan serangkaian ide dan aplikasi oleh pemerintah yang telah menghasilkan berbagai hasil dalam bentuk pertumbuhan ekonomi, infrastuktur sosial peningkatan kesejahteraan individu. Hal inilah yang akan mempengaruhi hubungan antara kelas menengah dan negara, dimana kelas menengah akan cenderung mengakui keberhasilan itu. Sementara Jamie Mackie melihat ciri mengagumkan dari situasi Indonesia, yakni sesudah dua puluh tahun perkembangan pesat ke arah masyarakat Orde Baru yang sepenuhnya kapitalistik, komersialisasi dan berorientasi pasar, kekuasaan negara masih sangat kuat vis-a-vis pemilik dan pengendali kepemilikan (property). Artinya, Mackie masih melihat kuatnya posisi negara dibandingkan dengan borjuasi dan kelas menengah baru. Penyebabnya menurut Mackie harus dicari dalam domain politik dan ideologi kultural ketimbang pada sisi ekonomi atau struktural. Prospek akan bangkitnya kelas borjuasi Indonesia yang kuat dari corak kapitalisme konvensional menuru Mackie tidak menjanjikan. Hal ini disebabkan, pertama; karakter rezim yang secara esensial patrimonialistik. Kedua, belum diterimanya ideologi kapitalisme secara luas, secara absah dan memadai dalam masyarakat Indonesia. Adanya nilai keserakahan dan kepentingan pribadi yang dipandang secara luas sebagai kausalitas kapitalisme dicela dalam sistem nilai tradisional dan belum terlebur dalam ideologi nasional sebagai hal yang dibutuhkan untuk mencapai keberhasilan pembangunan.
60
Bagi Kunio (1990), kapitalisme yang berkembang di Asia Tenggara, juga Indonesia adalah kapitalisme ersatz yang berarti “substitusi” atau “pengganti yang lebih inferior”. Dengan demikian, kapitalisme substitusi ersatz berarti bukan kapitalisme yang tulen atau sejati, namun merupakan kapitalisme substitusi yang lebih inferior. Menurut Kunio kapitalisme sejati adalah kapitalisme yang dinamis yang menggejala di Eropa pada abad-19 dan berhasil membawa kawasan ini keluar dari sistem feodal dan masuk ke sistem kapitalisme industri sehingga melahirkan kemajuan teknologi dan ekonomi yang luar biasa. Secara singkat Yoshihara Kunio berpendapat bahwa kapitalisme di Asia Tenggara menjadi ersatz karena dua hal. Pertama, di Asia Tenggara campur tangan pemerintah terlalu banyak sehingga mengganggu prinsip persaingan bebas dan membuat kapitalisme menjadi tidak dinamis. Ini juga yang menimbulkan tumbuhnya pencarian
rente
di
kalangan
birokrat
pemerintah,
sehingga
wiraswastawan
sesungguhnya tidak dapat berkembang. Kedua, kapitalisme di Asia Tenggara tidak didasarkan
perkembangan
teknologi
yang
memadai.
Akibatnya,
tidak
terjadi
industrialisasi yang mandiri. Padahal menurut Kunio, industrialisasi merupakan sesuatu yang sangat penting untuk sebuah pembangunan ekonomi yang mandiri. Kapitalisme di Asia Tenggara kebanyakan hanya bergerak di bidang jasa. Kalaupun bergerak di bidang industri, hanya berperan sebagai “kapitalisme komprador” (bertindak sebagai agen industri manufaktur asing di negeri sendiri). Hal ini disebabkan tingkat perkembangan teknologi yang masih rendah tersebut. Fenomena diatas oleh Tornquist (1990), disebutnya sebagai “kapitalisme rente” (rent capitalism) atau oleh beberapa akademisi yang lain disebut sebagai “kapitalisme perkoncoan” (crony capitalism). Kalau ditelusuri lebih jauh lagi, maka kesemua bentuk kapitalisme “ala Indonesia” tersebut menurut Nasikun (1998), merupakan bentuk perkawinan antara dua watak paling dasar dari dua sistem ekonomi; yakni, kapitalisme dan feodalisme. Yang pertama, meliputi beberapa ciri umum dari kapitalisme; yakni kecendrungan untuk terus melakukan eksploitasi, akumulasi dan ekspansi kapital di atas kesenjangan bangunan struktur pemilikan alat-alat produksi dan distribusi pendapatan. Sementara watak feodalisme yang diwarisi berupa kecendrungan untuk mengungkapkan dirinya dan melakukan semua itu dalam kerangka suatu sistem ekonomi yang bekerja melalui koalisi antara kekuatan kapital dan kekuasaan politik yang di dalamnya terkandung karakter dasarnya yang bersifat feodalistik. Menurut Budiman (1990), di banyak negara Dunia Ketiga, karena terjadinya polarisasi-polarisasi dalam kehidupan masyarakat, maka timbul kecendrungan yang besar untuk menegakkan pemerintahan yang kuat, demi mencegah masyarakatnya terbawa ke dalam persengketaan yang terus-menerus. Apalagi banyak negara nasional
61
merupakan kelanjutan dari sebuah bekas negara kolonial, yang memang ditata untuk menguasai masyarakat sipil dan memerintah secara otoriter. Dalam keadaan seperti ini, tampaknya merupakan sikap yang tepat bagi kaum borjuasi di negara-negara Dunia Ketiga untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan yang ada. Akhirnya muncul anggapan kuat bahwa borjuasi tulen yang selalu ingin melakukan persaingan bebas untuk membuktikan keunggulan dirinya yang diharapkan dapat menjadi motor penggerak kehidupan politik yang demokratis tidak pernah ada. Kaum borjuasi yang muncul kemudian adalah borjuasi palsu atau ersatz yang takut bersaing dan selalu meminta perlindungan pemerintah. Kondisi ini menurut Haryanto (1993) menimbulkan aliran pemikiran kuat yang menyatakan bahwa proses sejarah di negara Dunia Ketiga gagal menumbuhkan kelas menengah “dalam arti yang sesungguhnya”, seperti yang menggejala di Inggris dan Eropa Barat pada umumnya. Bebeda dengan pendapat yang umum, Wallerstein (1988) menunjukkan bahwa konsep kaum borjuasi yang ideal seperti yang terjadi di Inggris merupakan sebuah mitos. Borjuasi yang ada di Inggris pada pertengahan abad-19 merupakan produk dari lingkungan yang khas. Kecendrungan kaum kapitalis dimanapun juga, adalah meraih keuntungan. Kalau bisa dengan sesedikit mungkin bekerja. Hal ini dapat dicapai dengan mendapatkan rente, mendapatkan “sewa” tanpa bekerja, baik dari modal kekayaan yang dimilikinya ataupun dari kekuasaan politik yang ada ditangannya. Selanjutnya Wallerstein membuat pernyataan bahwa “Setiap kapitalis ingin mengubah laba menjadi rente. Yang kemudian bisa diterjemahkan menjadi: tujuan utama setiap borjuis adalah menjadi bangsawan”. Dimana “Kapitalis tidak menginginkan persaingan, tapi monopoli. Mereka mencari kekayaan bukan melalui keuntungan tapi melalui rente. Mereka tidak ingin menjadi borjuis, tapi bangsawan”. Inilah yang disebut sebagai proses aristokratisasi dari kaum borjuasi. Dengan menggunakan konsepsi Wallerstein, menurut Budiman (1990) akan memungkinkan kita menjelaskan gejala kaum borjuasi yang ada di negara Dunia Ketiga, tanpa harus meratapi ketidak-hadiran kaum borjuasi yang sesungguhnya. Dengan demikian semakin jelas bahwa seorang kapitalis menjadi borjuis yang ideal karena “terpaksa”, dipaksa lingkungannya, yang menjadikan kensep tersebut lebih kontekstual dan historis. Dengan melihat lingkungan yang ada, di dalam negeri maupun di dunia internasional, kita dapat mengatakan bahwa kaum borjuasi di negara-negara Dunia Ketiga adalah orang-orang yang tinggi kewiraswastaannya, sehingga dalam keadaan sesulit apapun mereka tetap berhasil melakukan akumulasi kekayaan. Dalam keadaan yang serba membatasi, mereka tetap tidak mau menyerah dan segala kecerdasan yang ada mereka menggunakan segala macam daya dan upaya untuk mengembangkan usahanya. Karenanya Arief Budiman mempertanyakan, apakah mereka patut disebut
62
sebagai substitusi kapitalis yang lebih inferior? Barangkali seorang kapitalis “tulen” sekalipun, akan menyerah dan usahanya akan kandas ditengah jalan, seandainya dilemparkan ke dalam lingkungan seperti itu. Jika demikian, kapitalis mana yang memiliki kadar kewiraswastaan yang lebih tinggi? Dengan pendekatan seperti itu, akan menjadi menarik untuk menemukenali terbentuknya kelas pengusaha di Indonesia (yang sering di klaim sebagai ersatz) khususnya dalam kegiatan pertambakan, dengan memahami kondisi lingkungan dan kultural dimana entitas tersebut berada. Mengingat kegiatan pertambakan tradisional yang dilakukan telah memicu munculnya gejala kapitalisasi oleh para Punggawa, yang mendorong terjadinya proses diversifikasi usaha pertambakan yang semakin meluas, serta
munculnya
cold
storage,
hatchery,
pabrik
es,
mini
market,
industri
pengolahan/ekspor udang dan seterusnya. Bahkan, mampu bersaing dan mengambil alih semua aset perusahaan perikanan multinasional. Karenanya mengungkap seperti apa para kapitalis lokal yang terbentuk berkembang di dalamnya, sehingga dapat memberikan
gambaran
yang
konstruktif
atas
proses
terciptanya
kapitalisme
kontemporer khas Indonesia menjadi menantang untuk dilakukan. Hambatan-hambatan apa yang ada dan bagaimana proses hambatan-hambatan itu muncul, tentu dengan memperhitungkan masalah-masalah struktur lingkungan dan hegemoni kultural yang melingkupi, berserta perkembangan historisnya. Dimana aspek kewilayahan, baik iklim di dalam negeri maupun dunia internasional juga akan memberikan pengaruh signifikan. Melalui sejumlah penelitian yang lama dan intensif di Mojokuto dan Tabanan, Geertz menyimpulkan bahwa meskipun masyarakat di kedua kota kecil tersebut melalui proses sejarah pertumbuhan yang berbeda, namun telah menghasilkan segolongan kaum enterpreneurs yang memiliki sikap dan tingkah laku yang ekonomi yang serupa. Menurut Kuntjoro-Jakti (1989), di Mojokuto golongan ini muncul dari kaum santri yang berpikiran maju, yang memasuki sektor perdagangan – umumnya sektor perdagangan kecil, bersamaan dengan pertumbuhan ekonomi yang terjadi di daerah sekelilingnya. Di Tabanan, golongan ini muncul sesudah revolusi fisik, ketika kemerdekaan mulai menimbulkan ancaman-ancaman langsung atas kehidupan para ningrat penguasa, yang kemudian menimbulkan desakan pada golongan ningat ini untuk melakukan perubahan-perubahan fundamental dalam sikap hidup dan tingkah lakunya. Berlainan dengan di Mojokuto, di Tabanan golongan enterpreneurs itu berasal dari kaum ningrat penguasa – priyayi pamong praja Bali. Perbedaan latar belakang dan sejarah asal ini tampaknya tidak berpengaruh atas persamaan-persamaan yang kemudian muncul, ketika kedua golongan masyarakat tersebut muncul sebagai enterpreneurs di daerahnya masing-masing. Fakta-fakta tersebut terlihat dalam persamaan berikut; pertama, pada kedua masyarakat terjadi perubahan-perubahan yang memungkinkan
63
munculnya economic rationality dan kemudian digunakan dalam kehidupan sehari-hari; Kedua, pada kedua masyarakat timbul suatu proses pertumbuhan dari nilai-nilai baru – semacam economic ethic – yang memberikan keleluasaan pada economic rationality untuk memainkan perannya dalam kehidupan masyarakat. Dengan caranya masing-masing – yang banyak ditentukan oleh perbedaanperbedaan kebudayaan dan struktur sosial di kedua masyarakat – kedua proses perubahan diatas ternyata telah diabsorsi oleh kedua masyarakat tersebut. Namun demikian, perbedaan tersebut juga turut menentukan faktor-faktor penghambat dari pertumbuhan golongan enterpreneurs dimaksud. Geertz menyebut kekuasaan pluralistic collectivism pada masyarakat Bali sebagai kemungkinan penghambat, sedangkan di Jawa hambatan itu mungkin akan timbul dari kelemahan organisatoris pedagangpedagang kecil tersebut. Dengan memperhitungkan persamaan dan perbedaan yang ada Geertz kemudian membuat enam proposisi atas kemunculan enterpreneurs (kapitalis) lokal. 1. Golongan enterpreneurs umumnya muncul di dalam lingkungan golongan masyarakat yang homogen dan mempunyai ciri-ciri khas yang membedakannya dari golongan-golongan lain di dalam masyarakat. 2. Golongan ini umumnya merupakan hasil kristalisasi dari golongan masyarakat yang lebih besar, yang memiliki sejarah panjang sebagai golongan “luar” yang memiliki orientasi pada daerah yang lebih luas. 3. Golongan masyarakat yang lebih besar itu sendiri umumnya sedang terlibat dalam suatu proses perubahan yang drastis dalam hubungannya dengan masyarakat dimana mereka berada. 4. Pada tingkatan ideologis golongan ini memandang dirinya sebagai wadah sempurna dari nilai-nilai agama dan moral yang agung di tengah masyarakat luas yang mereka anggap sesat, kolot atau bersikap masa bodoh. 5. Sukses pembaharuan dan masalah pembaharuan yang dihadapi oleh golongan ini umumnya bersifat organisatoris dan bukan teknis. 6. Tugas utama dari para enterpreneurs tersebut di dalam masyarakat transisi dan yang berada pada tahapan pra-lepas landas, adalah mempergunakan cara-cara tradisional untuk mencapai sasaran-sasaran baru. Sementara Husken (1998), dalam penelitiannya tentang sejarah komersialisasi dan diferensiasi sosial (kapitalisme lokal) di sebuah desa di pesisir utara Kabupaten Pati, setidaknya mencatat beberapa ciri-ciri kapitalisme pertanian (pedesaan). Pertama, besarnya produksi untuk pasar (komersialisasi/produksi barang); kedua, tumbuhnya suatu kelas yang permanen, yaitu kelas pemilik alat-alat produksi yang utama, khususnya tanah (diferensiasi); ketiga, besarnya surplus yang diperoleh pemilik modal
64
dan tanah, serta berapa besar dari surplus itu mereka investasikan kembali untuk memproduktifkan kegiatan pertanian. Dengan kata lain apakah modal tetap beredar di lingkungan sirkulasi ataukah juga meluas sampai pada produksi dengan menerapkan teknologi baru, meningkatkan produktivitas dan surplus atau “faktor-faktor produksi”? Keempat, munculnya suatu kelas yang tidak mempunyai tanah, yang bekerja di bidang pertanian sebagai “buruh bebas” berdasarkan upah kerja; dan kelima, mengenai ciri hubungan kerja dalam sektor pertanian. Apakah upah kerja hanyalah suatu mekanisme dari sistem kapitalisme untuk mendapatkan surplus atau bentuk bagi-hasil dari ketergantungan perorangan itu dapat dipersatukan dengan kapitalisme pertanian?. Dari
hasil
penelitiannya,
Husken
(1998)
menemukan
bahwa
proses
komersialisasi dan diferensiasi sosial (kapitalisme) telah berjalan sejak lama di Desa Gondosari. Masyarakat desa tersebut, sejak 1850 telah terbagi ke dalam tiga kelas; pertama, segolongan besar para tuna-kisma yang hidupnya tergantung dan terikat pada keluarga-keluarga petani pengusaha tanah. Kedua, golongan petani kelas menengah atau “orang kuat desa” yang mendapat pembagian tanah desa, tetapi dibebani bermacam-macam kerja rodi, serta kerja pancen; dan ketiga kelas atas yang terdiri dari para anggota pemerintahan desa yang selain memiliki tanah sendiri dan mendapat tanah bengkok yang cukup luas juga berkuasa mengerahkan tenaga kerja pancen untuk mengerjakan tanah-tanah mereka. Penduduk desa ini sejak abad-19 juga telah mengenal upah kerja dan sistem bagi-hasil. Sedangkan penelitian mutakhir yang dilakukan Wasino (2008), tentang Sejarah Kapitalisme Bumi Putra di kawasan perkebunan tebu di sekitar wilayah Mangkunegaran, menyebut kapitalisme yang berkembang saat itu, sebagai kapitalisme priayi karena pemilik dan pelaku usahanya berasal dari kalangan aristokrat. Di dalam penelitian tersebut terungkap ciri-ciri khas sistem kapitalisme lokal, yang terlihat pada; pertama, kapitalisme priayi dilakukan secara profesional, menggunakan manajemen modern seperti halnya pada perkebunan tebu milik swasta Barat yang memercayakan pengelolaan usahanya pada kalangan profesional. Kedua, hubungan antara pemilik dan produsen secara formal terpisah, tetapi diciptakan mekanisme kontrol dari pemilik terhadap produsen, sehingga produsen masih dapat dikendalikan oleh pemilik usaha. Ketiga, reproduksi modal digunakan untuk meningkatkan pengembangan modal yang lebih besar, namun sebagian dari keuntungan juga digunakan untuk kepentingan pemenuhan konsumsi pemilik perkebunan. Selain itu, sebagian keuntungan dari usaha kapitalisme juga digunakan untuk kepentingan kesejahteraan sosial bagi masyarakat di tempat beroperasinya kapitalisme tersebut. Di dalam kesimpulan penelitiannya Wasino menolak jika kapitalisme lokal yang muncul dalam bentuk industri gula Mangkunegaran dikatakan sebagai kapitalisme tiruan
65
(erstz capitalism) atau kapitalisme birokratis (bureaucratic capitalism) atau kapitalisme pinggiran (peripheral capitalism). Kapitalisme priayi menurut Wasino tidak sekedar sebagai rent seekers yang memiliki horizon waktu yang pendek kemudian pergi setelah memperoleh keuntungan seperti ersatz capitalism. Kapitalisme perkebunan tebu Mangkunegaran bertahan hampir selama satu abad, dengan dinamika yang ditandai resiko untung rugi. Selain itu, kapitalisme yang berlangsung juga tidak tergantung pada kegiatan-kegiatan ekonomi negara dalam memperoleh keuntungan sebagaimana kapitalisme birokrasi. 2.4.2
Ekonomi Kolaboratif Pertama-tama perlu dikemukanan bahwa Sombart adalah orang yang paling
berjasa melepaskan kapitalisme dari konotasi etis yang negatif dan menjadikannya istilah yang netral – sebagai konsep fundamental dari suatu sistem pemikiran ekonomi. Menurutnya Sombart sebagai sistem pemikiran, kapitalisme ditandai oleh tiga semangat, yaitu; pemilikan, persaingan dan rasionalitas, karenanya Sombart melihat esensi kapitalisme pada unsur kapital. Sedangkan Braudel dan Wallerstein lebih melihat pada unsur pasar, sementara Marx melihatnya pada moda (cara) produksi yang berintikan konsep pemilikan produksi dan hubungan sosial yang dihasilkan dalam proses produksi, sebagai locus dari esensi kapitalisme (Rahardjo, 1987). Dengan melihat berbagai pendapat tersebut, Abercombrie, Dkk (1984) merumuskan ciri-ciri kapitalisme dalam bentuknya yang murni berikut ini; pertama, Pemilikan dan kontrol atas instrumen produksi, khususnya kapital oleh swasta. Kedua, Pengarahan kegiatan ekonomi ke arah pembentukan laba; ketiga, Adanya kerangka pasar yang mengatur semua kegiatan; keempat, Apropriasi laba oleh pemilik modal (yang terkena pajak negara); dan kelima, Penyediaan tenaga kerja oleh buruh yang bertindak sebagai agen bebas. Sedangkan Berger (1986), menganggap kapitalisme tulen dibesarkan; oleh 1) Kebebasan Pasar; 2) Kalkulasi Rasional; 3) Alat Produksi Sebagai Milik Pribadi; 4) Adanya Sistem Hukum Yang Rasional; 5) Pengembangan Teknologi Yang Rasional; 6 Komersialisasi Ekonomi; dan 7) Adanya Buruh Bebas. Jika Meghnad Desai, mengkalim revolusi industri dan peranan negara dalam mengatur ekonomi, merupakan faktor penting dalam pembentukan sistem kapitalisme. Maka Weber (2006), dalam kajiannya mengenai kapitalisme Eropa “Etika Protestan dan Spirit Kapitalime”, mencoba menganalisa asal mula rasionalitas ekonomi baru dalam etika keagamaan yang dijalankan oleh golongan tertentu penganut agama Kristen Protestan. Agama Protestan ternyata berhasil memajukan kebangkitan kapitalisme modern dengan cara memperingan atau menghapus aspek-aspek agama Roma yang telah menghadang atau merintangi kegiatan ekonomi yang bebas, seperti; pelarangan
66
riba, juga bukan dengan mendorong, apalagi menciptakan pengejaran kekayaan, melainkan dengan menetapkan dan mendukung pemberlakuan sebuah etika perilaku harian yang mendatangkan kesuksesan ekonomi. Doktrin ini akhirnya dirubah menjadi sebuah kode perilaku sekular; kerja keras, jujur, keseriusan, hemat uang dan waktu (Landes, 2006). Agama Protestan Calvinis, pada awalnya menerapkan hal tersebut dengan menguatkan doktrin mengenai takdir; seseorang tidak akan memperoleh keselamatan dengan keyakinan atau amal; bahwa nasib telah ditetapkan bagi semua orang sejak awal waktu dan tidak ada yang dapat mengubahnya. Namun tesis ini dibantah Samuelsson yang berpendapat bahwa Protestan dan kapitalisme memang berkembang secara historis, tetapi tidak berarti Protestan berdampak pada kapitalisme. Hubungan keduanya, menurut Samuelsson bisa berarti sebaliknya, kapitalisme lah yang memberikan perubahan pada protestanisme, sehingga agama lebih mampu melayani kebutuhan-kebutujan kelompok perekonomian dominan. Karenanya Gerschenkron (1962) dalam Long (1992), mengingatkan untuk berhati-hati agar tidak memberi status prasyarat secara logika kepada fakta-fakta sejarah (misalnya peran Calvinisme), karena hal ini akan melahirkan pandangan sebagai keharusan suatu sejarah, meskipun sebenarnya tidak dapat dipertahankan. Banyak sistem nilai yang berbeda dalam masyarakat berkembang menjadi lebih modern dan tidak terdapat suatu alasan untuk mengatakan bahwa hanya satu jenis sistem nilai yang paling utama dari berbagai jenis lainnya. Mengapa para anggota kelompok seperti minoritas ekspatriat – Cina di Asia Timur dan Asia Tenggara, India di Afrika Timur, Libanon di Afrika Barat, Yahudi dan Calvinis di sepanjang Eropa, berada dalam posisi yang lebih baik dari yang lainnya dalam usaha memobilisasi sumberdaya dan berhasil dalam menciptakan peluangpeluang ekonomi baru? Hal ini tidak dapat diuraikan hanya dengan menganalisa ajaranajaran moral dan agama, karena akan menimbulkan masalah-masalah yang berkaitan dengan organisasi sosial dan pengorganisasian sumberdaya (Long, 1992). Meskipun budaya begitu berpengaruh, namun ia tidak berjalan secara konsisten, sebagaimana budaya Cina yang begitu lama tidak produktif di dalam negeri tetapi berjaya di luar negeri. Karenanya menjadi jelas, budaya dan nilai-nilai itu sendiri tidak dapat dipilih sebagai satu-satunya variabel menentukan. Berdasarkan pengamatannya, Higgins (1989) menyimpulkan, bahwa ketika sebuah perekonomian berkembang dan banyak terbuka peluang-peluang ekonomi, bakat-bakat kewirausahaan tampaknya bermunculan betapapun tidak menjanjikannya sistem nilai yang tersedia. Banyak penelitian gagal pada 1950 – 1960-an, yang dilakukan melalui jalur neo-Weberian ke dalam prakondisi budaya dan motivasi ekonomi atau dorongan kewirausahaan (Mackie, 1999). Spekulasi Weber tentang hubungan-
67
hubungan antara etika Protestan dan bangkitnya kapitalisme Eropa mempengaruhi riset bersifat penjelasan dari Geertz pada kemungkinan serupa dalam beberapa hal di Indonesia, antara Islam reformis dan kelas kewirausahaan yang telah bangkit. Meskipun gagasan-gagasan Geertz besar sekali pengaruhnya, tetapi menurut Castles (1982) menggiring ke lorong buta teoritis. Karenanya untuk menjelaskan keunggulan orang Bugis dalam kegiatan usaha pertambakan udang di kawasan Delta Mahakam dengan sepenuhnya melalui jalur-jalur Gertzian atau Weberian, sangatlah problematik. Keberhasilan banyak migran Bugis yang awalnya miskin dan berasal dari golongan lapisan terbawah masyarakat feodal Bugis seperti tergambar pada bab-bab awal penelitian ini, tampaknya sukar untuk dijelaskan sepenuhnya menurut pola nilainilai atau perilaku mereka, karena mereka tidak sepenuhnya berbeda dari orang Bugis lainnya yang berhasil di kampung halaman mereka. Berbagai perkembangan, tampaknya lebih dapat dijelaskan jika ditinjau dengan cara-cara yang saling mempengaruhi diantara nilai-nilai tersebut dan faktor-faktor struktural dan situasional, seperti yang direkomendasikan Mackie (1999). Maka untuk itu, pendekatan eklektis teoritis yang mampu menggambarkan berbagai teori dimana ia bersuaian tanpa mengekang salah satu diantaranya, menjadi lebih memadai untuk menjawab permasalahan tersebut. Mengikuti Sombart, dalam penelitian tentang “Ponggawa dan Patronase Pertambakan di Delta Mahakam: Teori Pembentukan Ekonomi Lokal” peneliti mencoba melepaskan kapitalisme dari konotasi etis yang negatif dan menjadikannya istilah yang netral – sebagai konsep fundamental dari suatu sistem pemikiran ekonomi. Perlu ditegaskan disini bahwa definisi ekonomi lokal yang digunakan dalam penelitian ini merujuk pada konsep dari Bappenas yang menyebut Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL) sebagai, “usaha mengoptimalkan sumberdaya lokal yang melibatkan pemerintah, dunia usaha, masyarakat lokal dan organisasi masyarakat madani untuk mengembangkan ekonomi pada suatu wilayah (Hariyoga, 2007). Adapun batasan PEL sendiri adalah: 1) Pengertian lokal yang terdapat dalam definisi PEL tidak merujuk pada batasan wilayah administratif tetapi lebih pada peningkatan kandungan komponen lokal maupun optimalisasi pemanfaatan sumberdaya lokal. 2) PEL sebagai inisiatif daerah yang dilakukan secara partisipatif. 3) PEL menekankan pada pendekatan pengembangan bisnis, bukan pada pendekatan bantuan sosial yang bersifat karikatif. 4) PEL bukan merupakan upaya penanggulangan kemiskinan secara langsung. 5) PEL diarahkan untuk mengisi dan mengoptimalkan kegiatan ekonomi yang dilakukan berdasarkan pengembangan wilayah, pewilayahan komoditas, tata-ruang, atau regionalisasi ekonomi. Selanjutnya dibuat batas-batas analisis, dimana gejala pembentukan ekonomi lokal akan dikaitkan dengan keberadaan ponggawa dan patronase pertambakan, yang
68
dipandang sebagai suatu gejala sosiologis yang berlangsung dalam konteks struktur sosial tertentu, dalam hal ini struktur sosial masyarakat Bugis di Delta Mahakam. Struktur sosial tersebut diterangkan dengan konsep formasi sosial, yaitu artikulasi beragam cara produksi yang hadir secara berdampiingan dan saling terkait dalam suatu masyarakat, dimana salah satu cara produksi tampil dominan atas cara lainnya. Sedangkan gejala pembentukan ekonomi lokal pertambakan oleh para ponggawa yang selanjutnya menggerakkan kapitalisasi yang semakin meluas, tidak akan dimaknai sebagai gejala sosial mikro/ lokal yang terisolir, melainkan terkait dengan sistem perkekonomian di aras nasional, namun juga diaras dunia/ global. Dengan demikian analisnya akan memperhitungkan keterkaitan dengan sistem perekonomian di aras aras lokal, nasional dan dunia/ global. Sebelumnya perlu dikemukakan, bahwa peneliti membagi sistem perekonomian ke dalam tiga sektor berdasarkan klasifikasi Fernand Braudel (1981) dalam Kunio (1990); pertama, perekonomian subsisten, dimana barang-barang diproduksi untuk konsumsi si produsen. Kedua, perekonomian pasar dan ketiga, kapitalisme, dimana kegiatan ekonomi dilakukan untuk pasar, tetapi pada perekonomian pasar kegiatannya berskala kecil dan hanya memakai modal dalam jumlah kecil, sedangkan kapitalisme sejumlah besar modal dipakai dan skala operasinya besar. Kapitalisme, dengan demikian merupakan sektor yang di dalamnya peranan kapital (modal) adalah nyata. Jika ekonomi lokal dapat dianggap sebagai sektor perekonomian yang mencakup bisnis-bisnis besar, maka lembaga-lembaga ekonomi lokal adalah badan-badan usaha ekonomi individual yang masuk kesektor ini dan kaum pengusaha adalah orang-orang yang mengepalai perusahaan-perusahaan semacam itu. Akhirnya pilihan teori sosial untuk acuan kerja dalam penelitian ini akan menggunakan Multilevel Teori Analysis, artinya beragam teori yang dianggap dapat menjelaskan fenomena penelitian akan digunakan secara ketat dan kolaboratif. Bagi peneliti tidak ada kebenaran absolud tunggal yang diakui, penelitian ini mencoba menolak segala jenis argumen deterministik, termasuk determinisme ekonomi atau determinisme kelas seperti dalam tradisi Marxian klasik, ataupun determinisme kultural seperti dalam tradisi Weberian, karena masyarakat adalah totalitas yang saling mempengaruhi, proses sosial dan alam yang bersifat mempengaruhi satu sama lain dalam suatu totalitas. Dimana perubahan sosial merupakan hasil dari interaksi seluruh aspek masyarakat ketimbang merupakan konsekuensi dari satu sebab atau aspek “esensial”.
III. METODOLOGI PENELITIAN Berdasarkan tinjauan teoritis dan empiris yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya,
serta
akumulasi
pengetahuan
yang
dimiliki
peneliti,
selanjutnya
dirumuskan sejumlah pernyataan spesifik berkenaan dengan gejala pembentukan ekonomi lokal yang terjadi dalam proses penguasan hutan mangrove yang berpengaruh terhadap perkembangan kapitalisasi pertambakan di kawasan Delta Mahakam. Rangkaian pertanyaan inilah yang kemudian berfungsi sebagai hipotesa pengarah yang akan menuntun peneliti dalam bekerja. Namun demikian, sebelumnya perlu diungkapkan landasan filosofis dan ideologi yang dipilih peneliti di dalam menemukenali permasalahan yang selanjutnya menggiring keseluruhan proses baik pada tataran ontologi maupun metodologi. Pertama-tama perlu dikemukakan disini bahwa penulisan disertasi ini muncul dari kegelisahan peneliti atas terjadinya penafikan atas keberadaan institusi ekonomi lokal sebagai kekayaan lokal yang hampir tidak pernah mendapat perhatian dan tersentuh proses pembangunan. Meskipun keberadaannya sangat fungsional di dalam ikut memberdayakan masyarakat lokal hingga mereduksi kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan sosial, bahkan konflik vertikal, keberadaan Ponggawa, Papalele, Pangamba’ ataupun Tengkulak sebagai kekuatan yang menopang keberadaan budaya ekonomi lokal tidak mendapatkan tempat yang memadai dalam mainstream ekonomi nasional. Yang ada mereka dipahami dengan penuh negative streo type, sebagai orang yang mengeksploitasi masyarakat disekitarnya yang lebih lemah. Kegelisahan peneliti semakin tak terbendung ketika perilaku ekonomi modern selalu
mendominasi
proses-proses
penguatan
kapasitas
masyarakat
dalam
mengembangkan berbagai teknik dan strategi usaha di tataran lokal yang juga mengabaikannya. Seperti wacana yang dikembangkan pemerintah bersama lembagalembaga asing yang mencoba memutus mata-rantai hubungan patronase dengan membentuk berbagai lembaga ekonomi baru (KUD ataupun Bank Desa), meskipun pada akhirnya gagal ditengah jalan (lihat Mappawata, 1986, Nugroho, 2001 dan Kusnadi, 2001). Juga masih sangat biasnya pengetahuan Barat dalam berbagai kebijakan pemerintah, seperti program PEL yang tidak mendasarkan konsepsinya secara kontekstual dalam bingkai keadilan spasial. Padahal pengamatan yang dilakukan peneliti selama hampir 10 tahun (sejak 2002 s/d sekarang) terhadap kegiatan usaha perikanan semisal di sekitar kawasan Delta Mahakam, menunjukkan terjadinya fenomena “Kebangkitan Ekonomi Lokal”, yang diperankan ponggawa-ponggawa pertambakan yang berasal dari migran Bugis golongan non-elit (to-maradeka). Mereka tidak hanya mampu melakukan take over atas
70
perusahaan eksportir asal Jepang (yang merupakan pioner ekosportir udang terbesar di Indonesia), namun juga berhasil mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi lokal. Dari aktivitas usahanya mereka mampu memberikan warna tersendiri, sebagai fenomena lama yang mampu menjaga identitas kelokalannya. Meskipun terus digerus oleh praktek-praktek ekonomi kapitalistik yang mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan dan hubungan-hubungan antar manusia. Dimana kekuatan kapitalisme telah mengusai sendi-sendi kehidupan masyarakat, memberikan dampak, serta turut mempengaruhi perilaku dan pola hubungan antar masyarakat. Nyatanya, kelembagaan ekonomi lokal yang
mendasarkan
kekuatannya
pada
sistem
budaya
setempat
masih
bisa
menunjukkan eksistensinya, bahkan mampu mereduksi “kebringasan kapitalisme” dengan wajah yang khas dan lebih manusiawi. Karenanya bangsa ini masih bisa berharap pada kemunculan pengusaha-pengusaha lokal dari lapisan non-elit yang keberadaannya dinihilkan oleh banyak kalangan.
3.1
Hipotesa Pengarah Meskipun penelitian ini tidak dimaksudkan untuk melakukan verifikasi atas suatu
teori maupun hipotesa pengarah yang dapat berfungsi sebagai guide kemungkinan arah penelitian dan sama sekali tidak mengikat. Hipotesa pengarah yang dirumuskan bersifat fleksibel, longgar dan terbuka untuk
dilakukan
perubahan-perubahan
bahkan
penggantian sesuai dengan kenyataan yang ditemukan di lapangan. Karena hipotesa pengarah tidak terlepas dari pertanyaan-pertanyaan penelitian, maka hipotesa pengarah dalam penelitian ini merupakan penjabaran dari pertanyaan penelitian. 1. Terbentuknya Ekonomi Lokal pada Masyarakat Bugis di Delta Mahakam Secara laten, diduga masyarakat di kawasan Delta Mahakam meskipun didominasi etnis Bugis, namun diantara mereka membedakan penduduk lokal (asli) sebagai keturunan Bugis ataupun Kutai, Tidung, Bajo, Banjar dan Jawa yang lahir di kawasan tersebut dengan penduduk pendatang yang berasal dari luar kawasan Delta Mahakam. Berbeda dengan kawasan mainland Kalimantan yang cenderung heterogen, penduduk di pulau-pulau dalam kawasan Delta Mahakam cenderung lebih homogen dengan mayoritas beretnis Bugis. Struktur sosial masyarakat Bugis di Delta Mahakam secara keseluruhan, diduga pada awalnya hanya mencakup dua golongan sosial yang dapat diidentifikasi sebagai elit dan non-elit sosial tradisional. Elit sosial tradisional lokal (asli) yang menetap di kawasan Delta Mahakam, diduga selain memiliki akses yang lebih kuat dalam bidang politik, juga memiliki akses yang luas terhadap sumberdaya agraria. Sedangkan non elit cenderung hanya memiliki akses terbatas terhadap sumberdaya agraria untuk kegiatan perkebunan dan perladangan berpindah.
71
Hal ini diduga berbeda dengan non elit dari penduduk lokal (asli) maupun pendatang yang berdomisili di pulau-pulau dalam kawasan Delta Mahakam, mereka memiliki akses yang sama dengan elit sosial tradisional lokal (asli) dalam penguasaan sumberdaya agraria, dikarenakan minimnya jumlah penduduk, keterisoliran dan kurang suburnya lahan garapan untuk kegiatan pertanian. Peluang inilah yang diduga dimanfaatkan pendatang Bugis dari golongan non elit untuk menguasai hamparan hutan mangrove yang akan dikonversi menjadi area pertambakan pasca pelarangan trawl pada 1983. Besar dugaan, para petambak inilah yang kelak berhasil melakukan mobilitas vertikal menjadi ponggawa-ponggawa pertambakan yang sukses (elit ekonomi lokal), sehingga terbentuk kelas menengah baru. Diduga dengan kemampuan penetrasi kapital, hegemoni dalam jaringan patronase dan didukung kedekatan emosional dengan otoritas lokal, mereka bahkan mampu menguasai hamparan tambak yang luas untuk menggerakkan kegiatan ekonomi lokal. Beriringan dengan beroperasinya industri perikanan skala ekspor yang mereka bangun. 2. Pengaruh Ekonomi Lokal terhadap Perubahan Landscape Ekologi Lokal Konversi hutan mangrove secara besar-besaran untuk kegiatan pertambakan diduga dipicu oleh tingginya nilai tukar dolar terhadap rupiah pasca krisis ekonomi 1997/ 1998, sehingga mendorong terjadinya “boom udang”. Kondisi tersebut, diduga kuat tidak hanya memicu terjadinya “ledakan penduduk” di kawasan Delta Mahakam oleh para pendatang peruntungan
di
sektor
perikanan
budidaya.
yang ingin mencoba
Namun
juga
mendorong
berlangsungnya kapitalisasi di sektor pertambakan, akibat terjadinya akumulasi penguasaan alat produksi dan kapital oleh para ponggawa. Sementara konversi hutan mangrove yang semakin tidak terkendali diduga keras telah merubah landscape
ekologi
lokal,
seiring
dengan
“ketidakhadiran
negara”
atas
pendistribusian dan penguasaan hutan mangrove pada pihak-pihak tertentu oleh otoritas lokal. 3. Wujud Kapitalisasi Pertambakan yang Mampu Mendorong Pembentukan Ekonomi Lokal dan Bagaimana Proses Ini Mengalami Reproduksi Berulang Kemunculan golongan pengusaha lokal dalam kegiatan pertambakan yang mampu mendorong terbentuknya ekonomi lokal di kawasan Delta Mahakam, diduga bukan merupakan hasil rekayasa sosial pemerintahan yang berkuasa. Diduga kuat pemerintah tidak memiliki kebijakan yang stretegis dan konkret dalam mengembangkan kegiatan pertambakan yang mampu menopang beroperasinya memberikan
industri perikanan insentif
dengan
di kawasan Delta
melakukan
perbaikan
Mahakam, seperti infrastruktur
dan
72
mengembangkan research development terkait peningkatan daya saing produksi, berikut nilai tambahnya. Kondisi ini diduga tidak hanya terkait dengan tidak normalnya fungsi regulasi pertanahan di gray area (KBK-KBNK), ketika regulasi pertanahan yang sampai pada aparatur pemerintahan di aras lokal mengalami transformasi subjektif, sehingga ditafsirkan secara berbeda-beda sesuai dengan pengetahuan dan persepsi parapihak yang terbungkus kepentingan pragmatis. Namun juga dikarenakan tidak adanya political will, keberpihakan pemerintah atas pertumbuhan pengusaha lokal. Kuat dugaan, “absennya negara” memberikan keleluasaan bagi para ponggawa untuk lebih ekspansif dalam mengembangkan usaha pertambakannya. Dan pada akhirnya pemahaman seperti itu diduga terus direproduksi secara berulang, sepanjang dianggap “aman dan menguntungkan” mereka yang bertransaksi, sebagai bentuk pensiasatan ketidakpastian penyelenggaraan hukum atas tanah-tanah negara yang sangat potensial ini. 4. Keberlanjutan Proses Kapitalisasi Pertambakan dalam Kelangkaan Sumberdaya Kelangkaan sumberdaya alam dan resiko dari kegiatan pertambakan yang dibangun diatas tanah-tanah negara diduga telah memaksa para ponggawa untuk
bersikap
protektif
terhadap
segala
kemungkinan
yang
dapat
“mengganggu” kepentingan usahnya. Pilihan yang dianggap strategis diduga adalah dengan melakukan koalisi dengan “kekuasaan” yang dianggap mampu memberikan jaminan bagi keberlanjutan kegiatan usahanya atau dengan membangun citra sebagai pengusaha “merakyat” dengan banyak pengikut, sehingga diperoleh “proteksi” dari sistem keamanan sosial yang terbangun. Jika tidak, diduga mereka harus menyiapkan diri untuk melakukan ekstensifikasi usaha diluar kegiatan pertambakan, selain melakukan ekspansi kegiatan usaha diluar sektor perikanan, mengembangkan usaha pertambakan di luar kawasan Delta Mahakam atau terlibat dalam dunia politik praktis. 5. Sistem Sosial Yang Terbentuk, Seiring Berkembangnya Ekonomi Lokal Formasi
sosial
di kawasan
Delta Mahakam
yang
berlangsung
sejak
berkembangnya industri perikanan diduga adalah formasi sosial kapitalis, meskipun juga memiliki kesesuaian dengan formasi komersialis/ ekonomi pasar, sehingga formasi sosial yang mewujud, menunjukkan ciri-ciri sistem ekonomi hibrid yaitu sistem ekonomi khas lokal. Para pengusaha perikanan lokal (ponggawa) diduga melanggengkan hubungan patron-klien sebagai salah satu strategi “social security” atas keberlangsungan moda produksi dalam kegiatan pertambakan yang menggerakan pertumbuhan ekonomi lokal. Diduga dengan penguasaan alat produksi dan kapital yang kuat, pengusaha lokal (ponggawa)
73
memiliki posisi tawar yang lebih tinggi terhadap kekuasaan, sehingga golongan ini tidak hanya tampil sebagai kelas menengah tersendiri di antara kelas penguasa dan kelas kapitalis lokal lainnya, mereka bahkan ada yang mampu tampil setara dengan penguasa dan kelas kapitalis utama di aras regional. Meskipun pemerintah diduga memainkan peranan yang kurang menentukan dalam proses kemunculan sosial golongan pengusaha perikanan (ponggawa), namun dalam kelangsungannya sebagai kelas yang mandiri, eksistensi usaha mereka turut ditentukan dukungan pemerintah.
3.2
Paradigma Penelitian Menurut Ritzer (1980) paradigma adalah pandangan yang mendasar dari
ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang mestinya dipelajari oleh suatu cabang ilmu pengetahuan. Paradigma dapat diartikan sebagai, a) a set of assumption, dan b) beliefs concerning yaitu asumsi yang “dianggap” benar. Karenanya paradigma membawa implikasi pada pilihan metodologi dan teori yang akan diambil dalam sebuah penelitian. Di dalam penelitian sosiologi dikenal lima jenis aliran paradigma, yaitu positivisme, post-positivisme, teori kritis, konstruktivis dan partisipatoris (Denzin and Lincoln, 2000). Secara paradigmatik penelitian ini akan menggunakan paradigma konstruktivisme, mengingat adanya konstruksi sosial yang perlu dipahami dari persepsi dan perspektif etika/ moral dari komunitas lokal. Meskipun keberlakuannya tidak bersifat mutlak, sehingga membuka kesempatan bagi paradigma lain yang bersesuaian untuk digunakan secara selektif dalam penelitian ini, khususnya paradigma teori kritis. Ontologi, paradigma konstruktivis bersifat relatifis, artinya realitas yang dipahami bersifat plural (multiple realitas). Realitas tidak dapat dinyatakan secara jelas dan pasti (intangible), konstruksi mental didasarkan atas pengalaman bersifat sosial-budaya, lokal dan spesifik, sehingga konstruksi ilmu pengetahuan tidak bersifat obyektif-universal. Sedangkan secara epistimologi, paradigma konstruktivis bersifat transaksional dan subyektif, dimana antara peneliti dengan tineliti saling terkait dan interaktif. Sementara dari segi metodologi, paradigma konstruktivis, muncul dengan metodologi hermeneutik dan dialektis. Dengan menggunakan paradigma konstruktivis peneliti dapat memotret realitas sosial, tidak hanya realitas objektif yang berada di luar diri orang yang diteliti (tineliti), tetapi juga realitas subjektif yang berada di dalam diri orang yang diteliti (tineliti) yang menyangkut kehendak dan kesadarannya (Hardiman, 2003). Karena diantara kedua realitas ini memiliki hubungan timbal-balik yang saling mempengaruhi. Selanjutnya realitas yang ditemukan dalam bentuk objektif, berupa data-data, harus dicari
74
penjelasannya, kaitan sebab akibatnya, sehingga ada harapan peneliti dapat menembus gejala dan menemukan realitas subjektif. Untuk mencapai tahapan tersebut peneliti harus; Pertama, berjumpa dengan pribadi tineliti, bertanya dan mendapatkan jawaban. Kedua, dengan sungguh-sungguh mau memahami (verstehen) realitas tersebut. Bagi Weber verstehen (interpretative understanding) adalah upaya atau pendekatan untuk memahami makna perilaku sosial (social behavior), tidak hanya sekedar mencari hubungan sebab-akibat semata dari sebuah realitas sosial (Turner, 1998). Jika kedua langkah tersebut dilakukan, barulah seorang peneliti dinamakan “mempersoalkan realitas” atau mempersoalkan kewajaran. Dengan demikian untuk melihat realitas, peneliti meneropongnya dari „luar‟ dan dari „dalam‟ (peneliti perlu mengambil bagian di dalam realitas tersebut). Artinya disini peneliti ikut berbagi harapan, perasaan, perjuangan, cita-cita, kekecewaan dan seterusnya. Meneropong dari „luar‟ merupakan sebuah refleksi tahap awal, untuk mendapatkan perbandingan, mencari kaitan/sebab-akibat, menelusuri sejarahnya dan sebagainya. Dengan demikian peneliti akan menemukan struktur yang membuat individu atau masyarakat seperti itu. Dari sini akan didapat sebuah analisis empiris tentang realitas. Barulah kemudian dilakukan upaya meneropong dari „dalam‟ untuk menemukan kompleksitas perasaan, keinginan, pikiran-pikiran yang berkaitan dengan persoalan yang kita sorot. Inilah yang dinamakan memahami dari „dalam‟, menyelami realitas bathin. Peneliti akan menemukan bahwa suatu masalah bukan hanya soal material yang objektif, melainkan juga menembus penghayatan bathin dan kesadaran individu yang bersangkutan. Namun demikian, mempersoalkan realitas bukanlah sebuah persoalan yang gampang dan gamblang, karena ada kaitannya dengan realitas yang sangat partikular ke bagian yang paling total atau holistik dan menuju kesadaran yang paling subjektif sampai ideologi yang paling objektif (Hardiman, 2003). Sehingga harus dipahami bahwa realitas tidak selalu mirip dengan potret sebelumnya karena sifatnya yang dinamis, bergerak, mengalir dalam proses „menjadi‟ menurut penafsiran ilmu pengetahuan yang diyakini. Karenanya dinamika permasalahan yang ditemui dilapangan pun tidak mungkin diprediksi hanya berdasarkan asumsi teoritik yang ketat. Atas dasar perkembangan hasil temuan di lapangan yang ternyata sarat dengan berbagai permasalahan struktural, paradigma konstruktivis dianggap peneliti belum cukup untuk menjawab pertanyaan penelitian. Artinya, meskipun telah berupaya memperoleh pemahaman intersubyektive terhadap subyek penelitian, paradigma konstruktivis ternyata tidak mampu menjawab pertanyaan penelitian yang berdimensi strukturalis, karena hanya berada dalam tataran memahami subyek penelitian tanpa upaya untuk melakukan perubahan. Upaya untuk mencapai tujuan tersebut tampaknya
75
bisa dilakukan secara kritis dengan melakukan “negosiasi” atau “kesepakatan” dengan mencapai suatu kebenaran obyektif melalui peningkatan posisi tawar tineliti (lapisan terbawah). Diharapkan jenis ilmu critical social yang termasuk ke dalam paradigma teori kritis yang digunakan secara bergantian dengan paradigma konstruktivis, akan dapat menghasilkan analisa yang membebaskan (mengemansipasi) kesadaran manusia dari kungkungan kekuasaan atau struktural. Kepentingan dalam jenis ilmu seperti ini adalah merevolusi kesadaran yang sudah malas (non-reflektif), yang kondusif bagi munculnya hubungan-hubungan ketergantungan, melalui cara refleksi diri (self reflection). Tidak berbeda dengan konstruktivis, teori kritis pun secara epistemologi menerima intersubyektivitas sebagai jalan menuju suatu “kesepakatan” yang kemudian disebut sebagai “kebenaran”. Setidaknya metodologi paradigma konstruktivisme pun memiliki kesamaan dengan teori kritis, bersifat hermeneutical dan dialektical, dimana teori muncul berdasarkan data yang ada dan difokuskan pada konstruksi, rekonstruksi dan elaborasi suatu proses sosial (Salim, 2001). Teori kritis dan konstruktivis, menempatkan nilai, etika dan pilihan moral dalam posisi yang sama, dimana peneliti berperan sebagai passiorate participant, fasilitator yang menjembatani subjektivitas pelaku sosial, karenanya faham ini memiliki tujuan penelitian untuk merekonstruksi realitas sosial secara dialektik antara peneliti dengan tineliti. Sebelumnya, perlu ditegaskan disini bahwa pilihan untuk menggunakan pendekatan konstruktivis dan teori kritis sekaligus dalam penelitian ini bersifat situasional, didasarkan pada perkembangan hasil temuan di lapangan. Penelitian kolaboratif seperti ini merujuk pada prinsip-prinsip triangulasi, baik berupa triangulasi teori maupun metode. Dan yang lebih penting menurut Agusta (2006) adalah triangulasi antara peneliti dan tineliti, ketika istilah responden atau informan sudah melebur bersama peneliti, hingga secara keseluruhan berperan sebagai co-peneliti. Triangulasi yang muncul kemudian, merupakan proses kolaborasi antar peneliti dan tineliti. Di sini konsep paradigma Kuhn (2002), tidak sekedar digunakan dalam arti perkembangan revolusioner ilmu-ilmu sosial, melainkan juga dalam arti perbedaan cara pandang terhadap suatu realitas sosial. Meskipun menurut Agusta (2005), hal tersebut akan berimplikasi kepada penerimaan paradigma holistik dalam metode (meta-metode), sehingga meta-analisis menjadi tidak bermakna, karena tidak ada lagi perbedaan paradigma teori (meta-teori) yang tidak-bisa-saling-ukur (incommensurebility), begitu pula meta-metode tidak lagi bermakna. Namun demikian, menurut pemahaman peneliti, pilihan kolaboratif dengan alasan metodologis seperti ini masih termasuk ke dalam paradigma berbasis subyektifis dan mikro, seperti digagas Agusta.
76
3.3
Metode Penelitian Penentuan paradigma penelitian konstruktivis sekaligus teori kritis, mengandung
konsekuensi
penggunaan
metode
kualitatif-subyektif.
Sesuai
asumsi
ontologis
pendekatan kualitatif bahwa realitas bersifat subyektif dan multiple oleh para partisipan, serta asumsi epistemologis tentang interaksi antara peneliti dan tineliti (Creswell 1994), maka studi ini mengharuskan fieldwork, di mana peneliti hadir secara fisik di antara orang-orang, setting, lokasi dan institusi untuk mengobservasi dan mencatat segalanya secara langsung. Dalam pendekatan kualitatif peneliti merupakan instrumen utama. Validitas metode kualitatif sebagian besar bergantung pada keterampilan, kompetensi dan ketelitian dari orang yang melakukan fieldwork. Menjadi suatu kebenaran jamak, jika pendekatan yang digunakan dalam meneropong kondisi situasional dilapangan, hasil akhirnya akan banyak dipengaruhi perspektif subyektif peneliti. Di dalam penelitian kualitatif, ada dua hal yang perlu dipahami yaitu peneliti dan penelitian kualitatif itu sendiri. Denzin and Lincoln (2000) dengan mengutip beberapa pendapat memaknai peneliti kualitatif sebagai bricoleur dan penelitian kualitatif sebagai bricolage. Sebagai bricoleur, ia adalah seorang yang dipandang sanggup melakukan berbagai pekerjaan atau ia adalah seorang professional yang mampu melaksanakan sendiri pekerjaannya. Hasil kerja dari bricoleur adalah bricolage, yaitu sekumpulan hasil kerja terus menerus yang merupakan solusi persoalan dalam situasi kongkrit. Solusi tersebut merupakan kemunculan suatu konstruksi yang mengubah dan membentuk berbagai alat, metode, dan teknik-teknik untuk memecahkan teka-teki persoalan. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini, adalah penggabungan metode etnografi dan metode partisipatif. Metode Etnografi, merupakan salah satu metode kualitatif yang paling direkomendasikan dalam melakukan sebuah penelitian yang menggunakan paradigma konstruktivisme. Studi etnografi sebagaimana dikenal dalam antropologi dikenal juga dalam batas-batas tertentu sebagai studi kasus. Menurut Yin (1996), studi kasus merupakan strategi yang paling tepat digunakan jika bentuk pertanyaan penelitian adalah “mengapa” (deskriptif) dan “bagaimana” (eksplanasi). Mengingat penguasaan hutan mangrove dan kaitannya terhadap kapitalisasi pertambakan (di kawasan Delta Mahakam), mengadung dimensi-dimensi struktural (sosiologis) dan prosesual (historis) sekaligus, maka agar kedua dimensi itu terungkap – pilihan strategi studi kasus yang akan dilakukan harus memadukan kedua pendekatan yaitu sosiologi sejarah (sejarah struktural) dan sejarah sosiologis (sejarah prosesual). Menurut Kartodirdjo (1992), pendekatan pertama akan menjelaskan “mengapa terjadi sesuatu” (konteks sosial kejadian), sedangkan yang kedua menjelaskan “bagaimana proses terjadinya sesuatu itu” (urutan kejadian).
77
Dengan memadukan kedua pendekatan tersebut, menurut Sitorus (1999) penelitian ini tidak lagi semata-mata sebagai studi sosiologi sejarah (historical sociology) yang bersifat statis, tetapi lebih dari itu telah menjadi studi sosiologi tentang sejarah sosial dengan tema utama dinamika perubahan sosial, termasuk ekonomi politik. Secara implisit pendekatan tersebut mengandaikan suatu kajian yang bersifat multidisiplin, melibatkan disiplin ilmu sosiologi, sejarah, antropologi dan ekonomi, bahkan ekologi. Syarat utama dalam melakukan studi Etnografi, peneliti harus hidup diantara objek dan subjek yang ditelitinya untuk jangka waktu yang relatif cukup bagi peneliti untuk dapat hidup terintegrasi dengan masyarakat yang ditelitinya. Keberadaan (keterlibatan) peneliti sangat dibutuhkan agar dapat mengembangkan kepekaan dalam berpikir, merasakan dan menginterpretasikan hasil-hasil pengamatannya dengan menggunakan konsep-konsep yang ada dalam pemikiran, perasaan dan nilai-nilai dari yang diteliti (Suparlan, 1997). Menggunakan suatu metode yang disebut Geertz (1975) sebagai deskripsi tebal (thick description) di dalam membuka dan menangkap kompleksitas jaringan-jaringan budaya. Metode ini berupaya “menarik kesimpulan yang luas dari hal yang kecil, tapi yang tersusun dari fakta-fakta yang padat“. Penekanan metode ini adalah suatu interpretasi dengan fokus etnografis dalam peristiwa-peristiwa kecil dan waktu riil daripada terobsesi untuk menemukan lautan makna dan merencanakan landscape yang abstrak. Dengan menggunakan thick description, seorang peneliti dituntut untuk berusaha menangkap irama dan cara berpikir pola kerja sistem budaya. Ia ditarik untuk mengkaji banyak detail dan menempatkan dirinya dalam pengertian “hadir disana” (being there), baik secara intelektual maupun emosional. Selain itu juga dibutuhkan “imaginasi sosiologis” untuk bisa melihat patronase pertambakan sebagai bagian dari suatu keseluruhan yang lebih luas, yang berfungsi sangat mendasar bagi pertumbuhan kegiatan industri perikanan berbasis perikanan budidaya. Karenanya peneliti tidak sekedar dituntut memahami relung-relung kehidupan rohani dan realitas kehidupan tineliti, melibatkan diri ke dalam segala aktivitas sehari-hari terkait ritual keagamaan dan aktivitas pertambakan yang menjadi konteks sosial budaya dari fenomena kebertahanan patronase. Namun juga harus mampu membayangkan irasionalitas dari kehidupan rohani yang mempengaruhi realitas kehidupan, bahkan mempengaruhi ekspektasi tindakan ekonomi rasional orang Bugis. Penelitian ini juga menggunakan Metode Partisipatif, yang meletakkan masyarakat bukan sebagai obyek, melainkan aktif mempengaruhi proses perolehan dan penjelasan pengetahuan. Metode partisipatif menggunakan analisis komperehesif, kontekstual dan multi level analisis yang bisa dilakukan melalui penempatan diri sebagai aktivis/ partisipan dalam proses tranformasi sosial. Satu hal mendasar dari metodologi
78
partisipatif adalah upaya kritisnya untuk tidak menempatkan pihak yang diteliti sebagai obyek (seperti yang terjadi dalam metodologi positivistik), namun memposiskan mereka sebagai subyek yang secara bersama-sama dengan peneliti menciptakan pengetahuan melalui proses refleksi diri. Masyarakat harus mampu melihat masalah mereka sendiri sebagai orang yang terlibat sehingga dari segi ontologis dan historis menjadi lebih manusiawi (Fernandes dan Tando, 1993). Dimana menumbuhkan kesadaran diri sendiri (self reflection) dan aksi (action) merupakan hal penting, karena dengan begitu masyarakat tidak keliru ketika berupaya memisahkan antara nilai-nilai kemanusiaan dan bentuk sejarah. Oleh karena itu, pusat perhatian
kritik
sosial
adalah
mengembangkan
pengertian
hubungan
antara
pengetahuan (knowledge) dan aksi (action). Pokok pikirannya berangkat dari satu kerangka pemikiran emansipatoris (pembebasan manusia). Bertumpu pada konsep refleksi diri, kritik sosial berusaha menghindarkan diri dan tidak berkutat dengan prinsip umum (teori), tapi lebih memberikan perhatian pada kesadaran untuk membebaskan manusia dan masyarakat dari belenggu pemikiran irrasional. Berupaya untuk senantiasa mengkritisi terus-menerus sistem pengaturan masyarakat dan perbagai sistem pengetahuan yang dianggap mapan. Dalam realisasi kerjanya, kritik diabdikan sebagai sarana untuk menghadirkan analisis yang akurat tentang sifat masyarakat demi terjaminnya kebebasan dari ketertindasan.
3.4
Teknik Pengumpulan dan Analisis Data Pengumpulan data primer dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik
pengamatan berperan serta (participant-observation), Focus Group Discussion (FGD) dan wawancara mendalam secara langsung pada tineliti – studi riwayat hidup. Dengan menekankan pada atribut-atribut elit ekonomi lokal (ponggawa) yang diasumsikan sebagai motor penggerak beroperasinya ekonomi lokal, peneliti tidak bermaksud untuk mengabaikan hubungan warga lokal biasa dalam proses pertumbuhan ekonomi lokal. Hal ini, lebih dikarenakan mereka (ponggawa) adalah kunci utama dari beroperasinya industri perikanan, yang juga menjadi simpul beroperasinya ekonomi lokal, sekaligus penghubung antara warga lokal biasa, klien, buyer dan pemerintah dalam kegiatan perikanan budidaya (udang). Studi riwayat hidup tineliti, dalam penelitian ini mencakup sebelas orang ponggawa yang berdomisili di sekitar kawasan Delta Mahakam yang dapat dikelompokkan sebagai berikut. 1) Satu orang ponggawa besar/ eksportir, yaitu Haji Mangkana 2) Empat orang ponggawa menengah, yaitu Haji Aco, Haji M. Ali, H. Hatta S dan Haji Alimuddin
79
3) Enam orang ponggawa kecil, yaitu Haji Samir Bin Saleng, Haji Sukri, Haji Sultan, Haji Alwi, Djumadi dan Haji Dahlan. Wawancara mendalam – studi riwayat hidup yang dilakukan pada tiga kelompok aktor pengusaha lokal (ponggawa), juga meliputi ponggawa berbeda generasi (perintis, pengikut dan penerus), untuk dapat memberikan gambaran komprehensif tentang dinamika keberadaan pengusaha lokal dari masa ke masa. Meskipun peneliti telah berulangkali melakukan pengamatan berperan serta dengan waktu yang cukup panjang di sekitar kawasan Delta Mahakam, namun harus diakui bahwa melakukan wawancara mendalam secara langsung pada tineliti – studi riwayat hidup bukanlah perkara mudah. Dalam berbagai kesempatan, peneliti sering mendapatkan penolakan, mulai dari penolakan halus hingga yang kasar dari sejumlah ponggawa bahkan dari para klien yang menjadi target wawancara. Dalam sebuah kesempatan observasi di Desa Muara Pantuan misalnya, peneliti harus mendapatkan penolakan kasar (jika tidak ingin disebut pengusiran) dari seorang ponggawa yang sejak awal ditetapkan sebagai target wawancara mendalam. Menurut informan kunci (peduduk lokal) yang juga menjadi pemandu dalam kunjungan itu, sepertinya ponggawa tersebut mencurigai peneliti sebagai “aparat” yang ingin mengorek infromasi tentang keterlibatan yang bersangkutan bersama sejumlah kliennya dalam berbagai kasus kekerasan di desa itu. Sementara sejumlah ponggawa lainnya melakukan penolakan secara halus, menjawab sejumlah pertanyaan seperlunya dan tidak
antusias
menerima
kehadiran
peneliti,
sehingga
tidak
memadai
untuk
dilakukannya penyusunan studi riwayat hidup yang komprehensif. Berbagai kondisi tersebut setidaknya telah memaksa peneliti melakukan sejumlah langkah pendekatan yang tidak terencana dan mengadaptasi situasi dan kondisi di lapangan, bahkan seringkali harus rela “menunggu” untuk mendapatkan momentum yang tepat. Untuk mendapatkan kesempatan mewawancarai ponggawa besar Delta Mahakam (seperti Haji Mangkana) yang merupakan aktor kunci dalam penelitian ini misalnya, peneliti harus menunggu hampir satu tahun lamanya. Berbagai jalur dan cara telah ditempuh peneliti untuk bisa mendapatkan akses bertemu Haji Mangkana, namun hasilnya tetap saja nihil. Tidak hanya surat resmi “pengatar penelitian” dari Pascasarjana IPB yang tidak berhasil memperantarai peneliti untuk bisa mewawancarai Haji Mangkana. Jalur formal melalui bantuan pendekatan dari aparat penyuluh lapangan (kantor perikanan kecamatan) hingga Dinas Perikanan Kabupaten, bahkan aparatur kecamantan pun gagal total. Demikian pula pendekatan jalur informal melalui para ponggawa menengah/ kecil yang menjadi supplier PT. Syamsurya Mandiri milik Haji Mangkana, juga melalui salah seorang karabat Haji Mangkana (yang kebetulan adalah teman lama peneliti), semuanya tidak membuahkan hasil. Hal ini tentu saja semakin
80
membuat peneliti penasaran, karena informasi menyangkut diri Haji Mangkana tidak sesuai dengan kenyataan. Sejumlah informan menyebut Haji Mangkana bukanlah tipe orang yang suka mempersulit orang lain dan sukar untuk ditemui, dia adalah seorang yang low profile tanpa batasan-batasan tertentu yang bisa ditemui siapapun dan dimanapun, meskipun cenderung tertutup. Namun, kenyataan menunjukkan hal lain. Titik terang baru terlihat, ketika Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Kalimantan Timur bersedia memfasilitasi peneliti, menghubungkan dengan Haji Mangkana melalui PT. Syamsurya Mandiri. Dengan “bersurat dinas” pada PT. Syamsurya Mandiri – selanjutnya didampingi salah seorang staf senior Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Kalimantan Timur, akhirnya peneliti berhasil menembus “ilusi barikade” yang melingkupi Haji Mangkana. Keberhasilan pendekatan jalur formal “tingkat atas” tersebut, tidak terlepas dari “campur-tangan” otoritas pemerintahan yang memiliki pengaruh terhadap kepentingan PT. Syamsurya Mandiri. Perlu diketahui, bahwa Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Kalimantan Timur selain menjadi regulator kebijakan perikanan, juga memiliki Laboratorium Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (LPPMHP) yang bertugas melakukan berbagai pengujian produk perikanan (penentu kelayakan produk yang akan di ekspor). Dengan fungsi melekat seperti itu, tentu saja Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Kalimantan Timur, memiliki kemampuan untuk melakukan “intervensi” terhadap stakeholder yang terikat ketentuan ekspor perikanan. Intervensi dari otoritas yang memiliki pengaruh secara langsung terhadap kepentingan diri Orang Bugis seperti inilah yang menurut hemat penulis sangat efektif dalam membuka “ruang transformatif” bagi terjadinya peluruhan kecurigaan dan sikap apatis, sehingga akan sangat fungsional dalam ikut mentransformasikan ide-ide baru. Hal ini sekaligus menjadi penjelas bahwa pengusaha Bugis tidak hanya penuh kecurigaan terhadap hal baru, namun juga sangat pragmatis dalam menyikapi berbagai hal. Artinya, ketika dihadapkan pada kenyataan harus menerima hal baru, mereka akan cenderung mengkalkulasi kepentingan yang dipertaruhkan dan kekuatan seperti apa yang dihadapi. Selain faktor oportunisme dalam melihat realitas tersebut, sehingga tidak semata-mata karena alasan karakter pribadinya (misalnya; cenderung tertutup, low profile, suka mempersulit orang lain atau tidak). Meskipun pada awalnya peneliti hanya ditemui Wakil Direktur PT. Syamsurya Mandiri (yang juga adik Haji Mangkana) di dalam kantornya yang megah, didampingi Manejer Produksinya. Melalui sebuah diskusi ringan yang cukup hangat, kedua orang kepercayaan Haji Mangkana tersebut tidak hanya bersedia berbagi informasi terkait dengan riwayat serta seluk-beluk perusahaan, namun juga berhasil diyakinkan untuk bisa mengatur waktu bagi peneliti untuk mewawancarai Haji Mangkana secara
81
langsung. Akhirnya pada keesokan harinya peneliti berkesempatan mewawancarai “sang fenomenal” secara mendalam, di rumah pribadinya yang besar dan asri. Sebuah tahapan penelitian yang tidak hanya menguras energi, tapi juga membutuhkan kesabaran yang tak terkira. Selain melakukan wawancara mendalam – studi riwayat hidup dengan kesebelas orang ponggawa, peneliti juga melakukan wawancara mendalam dan FGD dengan sejumlah informan yang memiliki hubungan dekat dengan para ponggawa diatas, ada yang masih terikat hubungan keluarga, teman (sesama ponggawa dan teman sebaya), petambak bebas, klien (petambak terikat/ penjaga empang), pekerja/ buruh dan mantan pekerja/ buruh, tetangga dekat. FGD tidak dilakukan dengan tehnik yang ketat, namun disesuikan dengan situasi dan kondisi dilapangan, terkadang dilakukan di warung, di masjid setelah sholat ataupun di rumah-rumah penduduk, bahkan terkadang di pondok empang dengan sejumlah informan lokal tanpa direncanakan sebelumnya. Selain itu peneliti juga melakukan wawancara mendalam dengan sejumlah informan kunci dan tokoh pemerintahan di tingkat propinsi, kabupaten, kecamatan dan desa/ kelurahan yang memiliki informasi luas dan kredibel terkait dengan keberadaan kegiatan usaha pertambakan di kawasan Delta Mahakam, berikut aktivitas para ponggawa-nya. Di dalam melakukan wawancara mendalam yang tidak terencana, peneliti seringkali harus “mengkondisikan” terbentuknya kelompok-kelompok sharing yang terdiri dari beberapa orang warga (3 – 7 orang) dengan berbagai profesi dan latarbelakang non ponggawa. Topik diskusi seringkali tidak terfokus pada satu hal, kadang topiknya menyangkut budaya dan kemasyarakatan, terkadang juga tentang sejarah dan kehidupan pribadi ponggawa yang menjadi patron mereka, selain praktek patronase yang mereka tradisikan. Sedangkan observasi partisipasif dilakukan dengan mengikuti kegiatan jual-beli udang (hasil panen tambak) yang merupakan manifestasi praktek patronase di kawasan Delta Mahakam. Peneliti juga mengunjungi sejumlah pos pembelian milik beberapa orang ponggawa yang menjadi ujung tombak beroperasinya usaha patronase pertambakan, selain mengunjungi Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di Samarinda, dimana sejumlah hasil produksi tambak yang tidak memenuhi standar ekspor dilempar. Beberapa temuan menarik pun berhasil terungkap dari kegiatan observasi pada pos-pos pembelian milik sejumlah ponggawa, seperti keberadaan sejumlah “ponggawa keturunan Cina” di Sungai Meriam, Muara Jawa dan Sanga-Sanga yang berhasil beradaptasi dan diterima oleh komunitas petambak Bugis di kawasan Delta Mahakam. Meskipun dengan menerapkan konsep patronase yang berbeda dengan para ponggawa Bugis. Juga keberadaan sejumlah ponggawa etnik non Bugis (Jawa dan Banjar) yang
82
berhasil eksis berkat kemampuan mereka beradaptasi dan berasimilasi melalui proses perkawinan. Dengan mengamati begitu banyak transaksi jual-beli di pos-pos pembelian milik para ponggawa, penulis berusaha mendapatkan konsepsi umum yang mendasari operasi patronase pertambakan, sehingga dapat membantu peneliti dalam merumuskan kekhasan patronase di kawasan Delta Mahakam. Sedangkan pengumpulan data sekunder diperoleh dari berbagai instansi terkait serta studi pustaka baik dari hasil-hasil penelitian terdahulu maupun tulisan-tulisan lain yang berkaitan dengan penelitian dan dokumen sejarah. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode analisis data kualitatif yang terdiri dari dua bagian. Pertama analisis data kualitatif yang merupakan
hasil
penelusuran
terhadap
pernyataan-pernyataan
umum
tentang
hubungan antara berbagai ketegori data untuk membangun pemahaman konseptual tentang realitas berdasarkan temuan data empirik. Meliputi analisis terhadap data yang dihasilkan dari pengamatan langsung secara berpartisipasi, FGD dan wawancara mendalam saat penelitian – studi riwayat hidup. Juga analisis terhadap data yang merupakan data sejarah dan teks-teks tentang kejadian masa lampau maupun kontemporer berkaitan dengan gejala sosial yang diteliti. Selanjutnya bagian kedua, merupakan pengkategorian data yang dilakukan sesuai dengan rumusan pertanyaan yang diajukan untuk mempermudah interpretasi, seleksi dan penjelasan dalam bentuk deskripsi analisis. Meskipun demikian, data-data dalam studi ini tidak semuanya terkait langsung dengan pertanyaan penelitian, sebagai data merupakan bagian dari upaya peneliti untuk memberikan perspektif historis dari diaspora etnik Bugis berikut tradisi patronasenya dalam konteks sosio-ekonomi lokal. Studi ini berusaha mengeksplorasi praktik patronase migran Bugis hingga jauh ke masa lampau, sehingga dinamika dan kebertahanan patronase yang berdimensi luas dalam perjalanan sejarah bangsa ini dapat tergambar dengan lebih utuh. Karenanya penelitian ini bukan hanya sekedar mencatat kondisi patronase saat ini, tetapi juga mencoba merekonstruksi peradaban yang berhasil dibangun migran Bugis diberbagai belahan nusantara. Bahkan, jauh sebelum bangsa Eropa berhasil menemukan pusat rempah-rempah dunia, hingga mampu membangun hegemoni kapitalismenya menjelang 1870. Para saudagar dan pelaut Bugis tampaknya telah melakukan kegiatan ekonomi yang berjangkauan luas, menghubungan hampir seluruh wilayah pesisir nusantara dengan aktifitas perdagangan antar pulau yang menguntungkan. Mengingat penelitian ini dilakukan dengan pendekatan subyektif, maka dibutuhkan mekanisme pertanggungjawaban keabsahan data, sejauh mana validitas internal atau kredibilitasnya. Sejauh mana temuan-temuan penelitian dapat dipercaya
83
sebagai “kebenaran” tentang gejala kebangkitan pembentukan ekonomi lokal pada masyarakat Bugis migran di kawasan Delta Mahakam. Upaya untuk mencapai kredibilitas menjadi penting untuk dicapai, mengingat peneliti adalah “orang luar” Bugis yang tidak berasal dari kebudayaan yang sama dengan tineliti. Beruntung, peneliti cukup familiar dengan kawasan Delta Mahakam, yang sejak 2002 telah menjadi “medan penelitian” bagi sejumlah penelitian profesional dan penulisan tesis S2 peneliti. Berbagai penelitian yang pernah diikuti peneliti di kawasan ini (dalam kurun waktu yang cukup lama), setidaknya telah menyediakan “ruang akses” yang cukup solid dari sejumlah informan kunci, sehingga mempermudah terbentuknya “lumbung informasi”. Selain, menjadi modal dasar bagi peneliti untuk melakukan observasi awal yang sistematis, terkait dengan perencanaan stategis dalam pengupulan data lapangan. Dalam kaitan tersebut peneliti juga menempuh sejumlah langkah yang telah digunakan Sitorus (1999) untuk lebih meningkatkan kredibilitas penelitian, melalui: a) Pengamatan berperan serta dan Interaksi berulang: Peneliti setidaknya telah melakukan aktivitas penelitian, advokasi dan pendampingan pada masyarakat di sekitar kawasan Delta Mahakam secara temporer sejak 2002 hingga 2005. Prapenelitian tentang Ponggawa dan Patronase Pertambakan di Kawasan Delta Mahakam: Teori Pembentukan Kapitalisme Lokal telah dilakukan sejak bulan Maret 2007 hingga bulan Agustus 2008, untuk mendapatkan gambaran aktual dan komprehensif, serta menghimpun sejumlah data up to date yang terkait dengan
rencana
penelitian.
Pra-penelitian
tersebut,
dilakukan
dengan
mengunjungi sejumlah desa di kawasan Delta Mahakam secara bertahap, pada bulan Maret, Mei dan Agustus 2007, serta pada bulan Agustus 2008, dengan waktu kunjungan lapang yang bervariasi. Dengan menggunakan data prapenelitian tersebut, berhasil disusun sejumlah isu permasalahan, serta profil sosial budaya dan sumberdaya Delta Mahakam yang sangat mendukung penyusunan proposal penelitian, hingga pelaksanaan penelitian lanjutan. Penelitiannya lanjutan mulai dilakukan secara intersif pada bulan Maret s/d Juli 2009, selanjutnya dilakukan kunjungan ulang pada November 2009 s/d Maret 2010, Mei 2010 dan Agustus 2011. b) Triangulasi: Dilakukan dengan mengklarifikasi data dan informasi yang berasal dari sumber informasi dan cara pengumpulan data yang berbeda. Selain dari hasil wawancara mendalam yang dilakukan secara intensif terhadap sebelas orang ponggawa pertambakan dan sejumlah informan kunci melalui diskusi atau FGD, data juga diperoleh dari wawancara bebas dengan aparat pemerintahan dan informan yang ditemui secara sengaja atau secara kebetulan. Selain
84
sumber primer, peneliti juga memanfaatkan data dari sumber-sumber sekunder dari berbagai instansi dan arsip, laporan serta buku yang terkait penelitian. c) Masukan Tineliti dan Informan Kunci: Hasil penelitian (disertasi) dan laporan project kegiatan yang diikuti peneliti (seperti telah disinggung pada bagian sebelumnya, peneliti juga terlibat secara intensif dalam berbagai penelitian di kawasan Delta Mahakam dengan sejumlah lembaga riset profesional pada saat melakukan penelitian disertasi). Hasilnya secara berkala dipresentasikan dan didiskusikan pada sejumlah forum formal maupun informal yang kadang dihadiri tineliti, informan dan aparat pemerintahan (yang pernah diwawancarai) untuk mendapatkan masukan dan kritikan.
3.5
Lokasi Penelitian Lokasi yang dipilih dalam penelitian ini adalah kawasan Delta Mahakam yang
terletak di Kabupaten Kutai Kartanegara, Propinsi Kalimantan Timur. Menurut Rencana Detail Tata Ruang (RDTR), Kawasan Delta Mahakam melingkupi lima kecamatan yang terbagi menjadi dua Zona. 1. Zona I, untuk pengembangan konservasi/ ekologis. Zona I ini meliputi, 3 Kecamatan Muara Badak, Anggana dan Muara Jawa yang terdiri dari 7 desa dan 4 kelurahan dengan luas 107.974,13 ha. Tabel 3. Jumlah Desa/ Kelurahan di Zona I Kawasan Delta Mahakam No
Kecamatan 1
Muara Jawa
2
Jumlah Anggana
3
Jumlah Muara Badak
Desa/Kelurahan Muara Jawa Tengah Muara Jawa Ulu Muara Kembang Anggana Sepatin Muara Pantuan Tani Baru Kutai Lama Handil Terusan Muara Badak Ulu Saliki
Jumlah Luas Total
Luas Wilayah (Ha) 3246,45 1724,02 9158,43 14.128,90 184,95 38885,46 14619,56 17032,13 4598,6 7501,41 82.822,11 976,71 10046,41 11.023,12 107.974,13
Sumber: Bappeda Kabupaten Kutai Kartanegara (2007) 2. Zona II, untuk pengembangan budidaya kawasan perkotaan. Zona II ini memiliki luas 216.909,82 ha, meliputi 5 Kecamatan Muara Badak, Anggana, Sanga-Sanga, Muara Jawa dan Samboja.
85
Meskipun menggunakan batasan admisnistratif sebagai dasar penyusunan lokasi penelitian. Dan hanya memusatkan penelitian di kawasan Delta Mahakam yang yang menurut Bappeda Kabupaten Kutai Kartanegara (2007), memiliki Zona I dengan sebelas desa, yakni; Desa Muara Jawa Tengah (Muara Jawa Pesisir), Muara Jawa Ulu dan Muara Kembang di Kecamatan Muara Jawa, Desa Anggana, Sepatin, Muara Pantuan, Tani Baru, Kutai Lama dan Handil Terusan di Kecamatan Anggana serta Desa Muara Badak Ulu dan Saliki di Kecamatan Muara Badak. Juga Zona II yang terdiri atas Desa Tama Pole, Dondang dan Muara Jawa Ilir di Kecamatan Muara Jawa, Desa Sungai Meriam di Kecamatan Anggana, serta Muara Badak Ilir dan Salopalai di Kecamatan Muara Badak, ditambah Desa Muara Sembilang di Kecamatan Samboja dan Desa Sanga-Sanga Dalam, Pendingin di Kecamatan Sanga-Sanga. Namun penelitian ini tidak secara ketat, terpaku mengobservasi dan menggali informasi di sekitar lokasi peneltian yang telah ditentukan. Mengingat banyaknya ponggawa dan informan kunci yang berdomisili di luar lokasi tersebut, khususnya di ibukota kecamatan ataupun di Kota Samarinda yang hanya berjarak sekitar 25 menit perjalanan mobil/ motor dari Sungai Meriam (Ibukota Kecamatan Anggana), selain di Kota Tenggarong. Keberadaan industri perikanan yang menampung hasil produksi pertambakan pun dibangun di luar pulau-pulau dalam kawasan Delta Mahakam yang miskin sumber air bersih dan infrastruktur, serta relatif terisolir. Sungai Meriam menjadi base camp yang amat penting dalam kegiatan penelitian, mengingat letaknya yang sangat strategis menghubungkan Zona I/ II dan Kota Samarinda/ Tenggarong dengan Zona Inti kawasan Delta Mahakam (untuk menyebut Desa Sepatin, Muara Pantuan dan Tani Baru). Keberadaaan ibukota Kecamatan Anggana ini semakin penting artinya jika dikaitkan dengan pasokan produksi pertambakan dari kawasan Delta Mahakam yang sebagian besar (80% - 90%) mengalir ke Sungai Meriam melalui pos-pos pembelian yang berjumlah puluhan unit, untuk disalurkan pada PT. Syamsurya Mandiri. Juga karena besarnya populasi ponggawa Delta Mahakam yang berdomisili di desa ini. Peneliti seringkali memanfaatkan jasa angkutan sungai-laut (speedboat ataupun perahu motor) yang banyak mangkal di pelabuhan Sungai Meriam untuk memasuki Zona Inti. Dari Sungai Meriam ke Desa Muara Pantuan yang berjarak sekitar 41 Km misalnya, tersedia speedboat berpenumpang 4/5 orang yang dapat dicarter dengan biaya Rp. 500.000,- s/d Rp. 700.000,- atau dengan menggunakan perahu motor yang bertarif lebih murah. Setidaknya dibutuhkan waktu selama 2 – 4 jam perjalanan kearah timur dari pelabuhan Sungai Meriam untuk sampai ke Desa Muara Pantuan. Sedangkan dari Anggana ke Samarinda – Tenggarong banyak tersedia anggkutan umum, sementara untuk menjangkau Muara Badak ataupun Muara Jawa bisa dengan
86
mencarter speedboat dari Sungai Meriam atau menggunakan jalur darat via Samarinda, karena rusaknya jalur pintas yang menghubungkan Sungai Meriam – Muara Badak.
Gambar 3. Peta Lokasi Penelitian Sumber: Bappeda (2007) Mengingat luasnya wilayah penelitian, peneliti memilih untuk lebih memfokuskan diri memotret realitas dan melakukan penggalian data di Desa Muara Pantuan dan Sepatin (Zona I sekaligus Zona Inti), serta di Desa Sungai Meriam (Zona II). Meskipun demikian peneliti tetap melakukan observasi di sebelas desa yang termasuk dalam Zona I lainnya, selain mengunjungi desa-desa di dalam Zona II. Desa Muara Pantuan
87
dan Sepatin, dipilih karena memiliki area pertambakan dan jumlah populasi petambak terbesar, serta dapat merepresentasikan karakteristik Delta Mahakam secara keseluruhan (bagaimana dan mengapa praktik pertambakan tradisonal secara massive diterapkan migran Bugis). Selain karena peneliti lebih familiar dengan “kondisi lapangan” dan masyarakat di kedua desa tersebut. Sementara Desa Sungai Meriam, dianggap sebagai simpul utama dari beroperasinya industri perikanan di kawasan Delta Mahakam
yang
menggerakkan
pertumbuhan
ekonomi
lokal,
sehingga
harus
mendapatkan porsi perhatian khusus. Kunjungan berulang ke beberapa pos pembelian milik para ponggawa yang tersebar di kawasan Delta Mahakam juga selalu dilakukan peneliti untuk mendapatkan gambaran komprehensif atas beroperasinya jaringan produksi dan patronase pertambakan.
3.6
Jadwal dan Tahapan Penelitian Pra-penelitian telah dilakukan sejak bulan Maret 2007 hingga bulan Agustus
2008, guna mendapatkan gambaran aktual dan komprehensif, serta menghimpun sejumlah data up to date yang terkait dengan rencana penelitian. Pra-penelitian tersebut, dilakukan dengan mengunjungi sejumlah desa di kawasan Delta Mahakam secara bertahap, pada bulan Maret, Mei dan Agustus 2007, serta pada bulan Agustus 2008, dengan waktu kunjungan lapang yang bervariasi. Menggunakan fasilitas dari project kegiatan yang peneliti ikuti, peneliti berhasil mengunjungi sebelas desa di Zona I dalam kurun Maret 2007 s/d Agustus 2008. Dengan menggunakan data pra-penelitian tersebut, berhasil disusun sejumlah isu permasalahan, serta profil sosial budaya dan sumberdaya Delta Mahakam yang sangat mendukung penyusunan proposal penelitian, hingga pelaksanaan penelitian lanjutan. Meskipun demikian data yang diperoleh sebagian terbesar adalah data kegiatan pertambakan yang dikumpulkan ditingkat komunitas dan kawasan, sehingga belum mencerminkan realitas di tingkat individu, khususnya para ponggawa. Pasca konsultasi perbaikan proposal selama Maret 2009, peneliti berhasil memperoleh bentuk draft panduan pertanyaan sistematis dan “ideal”, yang dianggap akan dapat dioperasionalkan selama dilapangan. Penelitian lanjutan yang lebih intensif, akhirnya mulai dilakukan pada April s/d Agustus 2009. Selama hampir lima bulan kunjungan dilapangan di beberapa desa Zona Inti kawasan Delta Mahakam (Desa Sepatin, Muara Pantuan dan Tani Baru), peneliti berhasil mendapatkan gambaran yang lebih up to date tentang berbagai permasalahan terkait dengan penelitian, hingga terhimpunnya sejumah data sekunder dari berbagai instansi dan perorangan yang dapat mendukung kegiatan penelitian. Juga terkumpul beragam detail penelitian dari catatan harian selama di lapangan, yang akan sangat penting dalam membuat interpretasi data
88
hingga pendalaman analisa. Selain tergalinya latar belakang historis kemunculan dan kelangsungan sosio-kultural dan ekonomi golongan ponggawa dengan cukup mendalam dan akurat. Juga sejarah penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya agraria, khususnya hutan mangrove (Kawasan Budidaya Kehutanan) yang kelak dikonversi menjadi area pertambakan. Meskipun demikian, harus diakui bahwa dinamika dilapangan seringkali “memaksa” peneliti untuk tidak menggunakan draft panduan pertanyaan yang secara akdemis telah dianggap “ideal”, karena terkesan formal, “kurang mengalir” dan tidak membuat nyaman tineliti. Seringkali, peneliti juga mendapatkan hambatan bahasa dalam melakukan wawancara, karena tidak semua tineliti mampu berkomunikasi secara lancar menggunakan bahasa Indonesia. Sebagai “orang luar” Bugis yang dibesarkan di Samarinda dan terbiasa berinteraksi dengan orang Bugis (sebagai salah satu etnis mayoritas di Kota Samarinda), peneliti merasa beruntung karena “dapat sedikit” menangkap makna bahasa tubuh dan beberapa kalimat sederhana yang mereka katakan dalam bahasa Bugis. Sedangkan untuk mendalami kosa kata yang tidak dapat dipahami, peneliti harus berkonsultasi pada sejumlah “kolega/ teman Bugis”, sehingga mendapatkan pemahaman memadai. Meskipun harus diakui, jika seringkali makna yang terungkap menjadi bias karena kehilangan konteksnya. Dibimbing oleh keadaan di lapangan, peneliti juga mulai memahami, mengapa pada
saat
nyorong
wawancara
menjadi
tidak
mungkin
dilakukan
disekitar
perkampungan, karena hampir semua petambak dan ponggawa berada di empangempang mereka. Tidak cukup hanya dengan memahami, disini peneliti dituntut untuk bisa adaptif dan tidak mudah “patah arang”, bergegas mengatur strategi wawancara ataupun diskusi dengan informan kunci ataupun tineliti langsung di tambak ataupun di tempat-tempat tertentu yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Hasilnya pun kadang tidak terduga, bisa mendapat penolakan atau diterima dengan baik plus berkesempatan “menangkap realitas” nyorong, sebuah prosesi “panen
kecil” untuk
memanen udang bintik dan berbagai jenis ikan (tidak dibudidayakan dengan sengaja) yang biasanya berlangsung setiap dua minggu sekali. Berbagai realitas empirik tidak terduga seperti inilah yang seringkali memberikan warna berbeda bagi penelitian mikro seperti ini. Proses analisis awal terhadap hasil pengamatan berperan serta dan hasil dokumentasi, FGD, wawancara mendalam secara langsung mulai dilakukan disaat senggang, ketika mengisi waktu luang selama dilapangan. Sedangkan analisis awal terhadap hasil studi pustaka, terhadap teks-teks akademis yang memiliki pengaruh signifikan terhadap penelitian dan mempertautkannya dengan hasil analisis data primer, hingga manjadi draft sederhana, mulai dilakukan sejak September s/d November 2009.
89
Berharap menemukan realitas subjektif, peneliti kembali melakukan kunjungan ulang ke lapangan di akhir November 2009 s/d Maret 2010. Sekedar melakukan pengamatan berperan serta dan mendapatkan data riwayat hidup dari tokoh kunci dalam penelitian ini, yakni ponggawa besar Delta Mahakam (Haji Mangkana). Berdasar pada pemahaman bahwa hampir semua ponggawa di kawasan Delta Mahakam memiliki lebih dari satu rumah, selain di desa-desa dalam kawasan Delta Mahakam (biasanya berupa rumah yang sekaligus menjadi pos pembelian), juga memiliki rumah di ibukota kecamatan atau bahkan di Kota Samarinda. Peneliti dalam kesempatan ini lebih banyak berfokus di luar kawasan pulau-pulau di Delta Mahakam, khususnya di ibukota Kecamatan Anggana (Sungai Meriam), Muara Badak dan Muara Jawa, tempat dimana banyak ponggawa besar-menengah Delta Mahakam menetap. Sementara selama di Kota Tenggarong dan Samarinda peneliti lebih banyak melakukan diskusi dengan sejumlah informan kunci yang memiliki pengalaman dan pengetahuan mendalam tentang kegiatan pertambakan dan sejarah industri perikanan di kawasan Delta Mahakam, selain mengunjungi beberapa lembaga sektoral ditingkat Kabupaten dan Propinsi yang berkepentingan terhadap kawasan ini. Meskipun demikian, dalam beberapa kesempatan peneliti juga melakukan kunjungan pada sejumlah pos pembelian milik ponggawa yang terletak di pulau-pulau dalam kawasan Delta Mahakam untuk memotret realitas, serta memperdalam unit analisa dan akurasi data. Seringkali peneliti harus “nebeng” menggunakan kapal milik petambak atau ponggawa, bahkan kapal milik Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Kutai Kartanegara untuk menjangkau pos-pos pembelian milik para ponggawa, karena kapal-kapal angkutan umum tidak melayani rute tersebut. Alhasil, lebih dari yang diharapkan, kunjungan lapang selama hampir empat bulan tersebut, tidak hanya berhasil mempertemukan peneliti dengan beberapa orang informan kunci baru yang memiliki banyak informasi, bahkan menyimpan sejumlah data historis terkait dengan keberadaan industri perikanan di Sungai Meriam (yang kelak memberi warna tersendiri bagi keragaman data dalam disertasi). Namun juga memberikan kesempatan bagi peneliti untuk mengakses sejumlah data time-series terkait kegiatan industri perikanan (berikut nilai produksinya), bahkan data historis perusahaan-perusahaan perikanan di pantai timur Kalimantan yang telah collapse dari institusi terkait dan para pelaku sejarah. Tentunya selain, mendapatkan kesempatan bertemu dan mewawancarai langsung tokoh kunci dari kegiatan pertambakan di kawasan Delta Mahakam (Haji Mangkana), sekaligus mewawancarai ulang sejumlah ponggawa kecil – menengah. Dari berbagai diskusi dengan informan kunci dan wawancara mendalam dengan tokoh kunci ini, peneliti berusaha memahami etika moral yang terkandung dalam siri’ passe’ dan were’. Juga ekspektasi tindakan sosio-ekonomi
90
orang Bugis, dengan “berkaca” pada sejumlah pappanngaja dan paseng yang masih hidup dalam masyarakat. Selanjutnya pada pertengahan Mei 2010, penulis berkesempatan kembali melakukan kunjungan lapangan dan FGD di Desa Salo Palai, Kecamatan Muara Badak dan Desa Sungai Meriam di Kecamatan Anggana yang terletak di Zona II (selama dua minggu
difasilitasi
sebuah
project
penelitian).
Kunjungan
tersebut,
sekaligus
dimanfaatkan peneliti untuk melakukan pemutakhiran data primer dan sekunder. Selama kurun waktu Mei 2010 s/d pertengahan Juli 2011, peneliti berusaha melakukan proses analisis data kualitatif berdasarkan temuan empirik dan pengkategorian data yang dilakukan sesuai dengan rumusan pertanyaan penelitian. Hasil penelusuran terhadap pernyataan-pernyataan umum tentang hubungan antara berbagai ketegori data tersebut, digunakan untuk membangun pemahaman konseptual tentang realitas, sehingga mempermudah interpretasi, seleksi dan penjelasan dalam bentuk deskripsi analisis. Meskipun harus diakui, bahwa tidak mudah bagi peneliti untuk bisa melakukan “kontemplasi akademis” secara total di tengah “jadwal ketat” menyelesaikan laporan project kegiatan yang peneliti ikuti. Konsekuensi “pilihan sulit” yang harus peneliti ambil inilah yang kemudian sedikit-banyak telah mengorbankan waktu penulisan draft disertasi hingga layak uji. Meskipun terseok-seok, akhirnya draft disertasi yang masih jauh dari sempurna ini berhasil di seminarkan pada 23 Juni 2011 dan di uji secara tertutup pada 16 Juli 2011. Sebelum draft disertasi di uji secara terbuka pada 03 Oktober 2011, peneliti kembali berkesempatan melakukan pemutakhiran data primer. Ketika selama dua minggu di awal Agustus 2011 (difasilitasi sebuah project penelitian yang lain), peneliti mengunjungi Kelurahan Muara Kembang di Kecamatan Muara Jawa dan Desa Kutai Lama di Kecamatan Anggana yang terletak di Zona I, serta Kelurahan Pendingin di Kecamatan Sanga-Sanga yang terletak di Zona II. Demikianlah, berbagai aspek yang coba diungkap penelitian ini tidak hanya menuntut ketekunan dan kerelaan dalam “menikmati kerasnya petualangan akademis” selama di lapangan yang sangat menantang dan terkesan tidak beraturan. Namun juga kepekaan akademis untuk mengamati berbagai artefak sejarah semisal; makam tua, cerita tutur dan sejumlah pappanngaja dan paseng. Selain membutuhkan konsentrasi akademik untuk membaca ulang naskah-naskah lama seperti; epos La Galigo, Latoa dan sejumlah hasil penelitian tentang orang Bugis. Penelitian ini pun membawa peneliti mengunjungi sejumlah “tempat keramat” yang terkait dengan peradaban kawasan Delta Mahakam, yaitu; Tanjung Una/ Arwana, Sungai Tempurung (Hulu Dusun), Sungai Kelambu, Sungai Tiram, Pamangkaran dan makam tua di Tanjung Tengah.
IV. BERADU KUASA DI SELA PADANG NIPAH: DIMANA BATIS BEPIJAK DISITU PATOK BETAJAK 1 “Suatu ketika, diadakan perlombaan lari marathon dari Tenggarong ke Kota Samarinda. Pesertanya terdiri atas lima orang warga lokal yang berbeda etnis, si A beretnis Kutai, si B beretnis Dayak, si C Beretnis Bugis, si D beretnis Minang dan si E beretnis Jawa. Ketika perlombaan telah berlangsung hampir dua jam, panitia telah bersiap di garis finish, sementara penonton bersorak sorai karena seorang peserta telah nampak mendekati garis finis. Peserta yang sampai garis finish pertama ternyata adalah si B, menurut penonton hal itu wajar karena si B adalah seorang yang terbiasa lari jauh dalam setiap melakukan perburuan pelanduk/ babi rusa. Pelari kedua yang sampai digaris finish ternyata adalah si A, menurut penonton hal itu bisa dipahami karena si A sudah sangat mengenal kondisi geografis/ alam di daerah tersebut. Selanjutnya si E pun menyusul sebagai pelari ketiga yang sampai ke garis finish, menurut penonton itu karena si E tidak berani ambil resiko berlari sekencang-kencangnya karena kurang mengenal medan, „alon-alon asal kelakon‟ yang penting sampai garis finish. Setelahnya, panitia maupun penonton bingung dan resah, karena setelah ditunggu lebih dari lima jam si C dan D tidak kunjung sampai garis finish. Akhirnya panitia dan penonton memutuskan untuk mencari tahu, apa yang telah membuat kedua peserta tidak sampai garis finis, dengan „berjalan mundur‟ menelusuri rute lari marathon. Sungguh terkejut panitia dan penonton setelah berjalan 10 Km dari garis finish, menemukan si D sedang membangun warung makan ditempat strategis, tidak jauh dari simpang empat jalan rute lari marathon. Sedangkan si C baru ditemukan tidak jauh dari garis start. Dengan bersimbah peluh si C mematoki sebidang tanah kosong tak bertuan, karena menggarap tanah dianggapnya lebih menguntungkan dibandingkan melanjutkan lari marathon hingga ke garis finish. Demikianlah, penonton tidak mampu memahami perilaku kedua peserta, sementara panitia hanya bisa mendiskualifikasi mereka”. (Anekdot ini memberikan gambaran secara karikatif bahwa setiap etnis memiliki etika moral yang bersumber pada kultur masing-masing, memandu tindakan rasional pewarisnya, meskipun hal itu tidak pula terpisahkan dari konteks struktural yang melingkupinya)
4.1
Delta Mahakam: Tanah Timbul Kaya Sumberdaya Alam Secara administrasi kawasan Delta Mahakam berada dalam kewenangan
Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur, terletak pada posisi geografis 117015‟ – 117040‟ BT dan 0019‟ LS - 0055‟ LS.
Delta Mahakam didominasi oleh
ekosistem Mangrove yang terbentuk dari proses sedimentasi yang cukup lama dari Sungai Mahakam yang panjangnya 770 km dengan debit aliran air 1.500 m/ detik dan konsentrasi muatan padatan tersuspensi mencapai 80 mg/l. Menurut Surachmat (1999), Delta Mahakam terbentuk oleh proses sedimentasi sejak 5.000 tahun yang lalu. Merupakan suatu kawasan yang berbentuk kipas, dengan pinggiran luarnya berbentuk hampir setengah lingkaran „fan-shaped lobate‟, berupa kawasan dataran berlumpur „delta plain‟, yang hampir keseluruhannya berawa-rawa 1
Judul bab diatas merupakan ungkapan khiasan yang diberikan oleh masyarakat asli Kalimantan (Kutai ataupun Banjar) terhadap perilaku orang Bugis yang cenderung sangat ekspansif dalam penguasaan sumberdaya milik bersama/ negara, seperti hutan mengrove.
92
dengan banyak alur sungai yang memotong bagian daratannya. Bagian dari delta yang berupa dataran berlumpur dan berawa-rawa tersebut, luasnya kurang lebih 1.500 km², yang merupakan daratan dan perairan, sedangkan luasan daratannya sekitar 1.000 km². Sebagian besar kawasan tersebut ditumbuhi hutan nipah (Nypa fruticans Sp.), sebagian kecil merupakan hutan Bakau (Rhizopora Sp.) dan Api-api (Avicenia Sp.). Kawasan hutan mangrove inilah yang kemudian dimanfaatkan dan dialihfungsikan oleh para migran Bugis menjadi area pertambakan tradisional. Kawasan ini juga merupakan habitat potensial bagi berkembangnya benih alam khususnya benur udang (paneus monodon), kawasan ini diperkirakan mampu menghasilkan sekitar 18-20 juta ekor benur udang per musim (Djamali dkk, 2000 dan Rachmawati Dkk, 2003). Di samping potensi hutan mangrove, kawasan Delta Mahakam juga memiliki sumberdaya non-hayati yaitu minyak dan gas alam (Migas). Kawasan ini menjadi begitu penting secara ekonomis sejak ditemukannya minyak menjelang tahun 1897, ketika JH. Menten memulai dengan pengeboran percobaan di sekitar daerah tersebut dengan hasil yang luar biasa. Menjelang tahun 1902, Shell dengan konsesi yang di peroleh dari JH. Menten, maupun Royal Dutch telah menghasilkan minyak dari ladang-ladang di delta sungai Mahakam (Lindblad, 1988 dalam MacKinnon, 2000). Ekspolorasi yang dilakukan Bataafsche Petroleum Maatschapij (BPM) pada 1909, juga berhasil menemukan ladang minyak Samboja. Potensi minyak di wilayah Delta Mahakam saat ini dikelola oleh Pertamina, sedangkan operasionalnya dikontrakan dengan sistem bagi hasil pada perusahaan migas internasional, diantaranya; Total FinaElf Indonesie, VICO, UNOCAL dan Exspan (habis masa kontraknya pada 2009). Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas di sebagian besar wilayah delta dilakukan oleh Total FinaElf Indonesie, dengan tiga pusat produksi yaitu dibagian daratan, lepas pantai bagian tenggara dan lepas pantai bagian timur delta. Keberadaan dan pengelolaan sumberdaya migas di dalam kawasan Delta Mahakam telah menempatkan kawasan ini pada posisi strategis secara ekonomi, sosial, keamanan, maupun arti strategis dalam konteks pembangunan lokal, nasional serta regional dan internasional. Kawasan ini menjadi semakin strategis posisinya karena berada dalam kawasan selat Makassar, yang merupakan jalur pelayaran domestik dan internasional yang sangat ramai. Delta Mahakam diapit oleh 3 (tiga) kota besar di Kalimantan Timur, yakni; Samarinda (25 km ke arah barat), Balikpapan (115 km ke arah selatan) serta Bontang (+100 km ke arah utara).
93
#
k
Tg . P a n jilat a n k
Tg . P a ri
k k
KETERANGAN :
k
Jaringan Pipa
k k
Tg . B a ru ka n g
k
k
Fishing Ground
k
KOTA SAMARINDA
KETERANGAN : Jaringan Pipa
B arukang
P. C o o k
k
Yg . K a e li
Kawasan Pertambangan M
Kec. Muara Badak k
k
P. M a n g ko k
[ % k
Fishing Ground Yg. K aeli
k
Kawasan Pertambangan Migas
Rencana Penggunaan Lahan Hutan Mangrove
P. T u n u
k
k
Kilang M inyak Permukim an Nelayan
k
k
#
Kawasan Perlindungan S e Budidaya Perikanan/Tam b
Tg . S isi
k
#
P. T e ra n ta n g k
k
Kilang Minyak Permukiman Nelayan
k
#
k
k
k
nu
Kec. Sangasanga
k
k
A
Tg . Tim b an g lu n g u n
Kec. Anggana
#
S
Rencana Penggunaan Lahan Hutan Mangrove
R
k
k
k
P. K a y u m a ja ra n g
A
P. M angkok
k
Tg , Tim b an g p a s ir
Kawasan Perlindungan Setempat Budidaya Perikanan/Tambak
k k k
K
P. N u b i Tg . B u n ta l
k
k
Tg . B a yu r
k k
ang
A
. S isi
k
M
k k
#
k k
k
k
# Tg . S u ke y an k k
k
P. D a tu
k
k
T
Kec. Muara Jawa
k
P. R in d in g
k
L A
k
k
R
P. B a ru k
P. B u k u a n
k
A
k
k
P. M u a ra ulu
k
E
P. ja w a
Tg . P a m a ru n g
k
P. P e ra n g a ta n Tg . L a ya n g a n Tg . P a ra ng a t a n
S
k
S
k
k
m banglungun
Tg . B a ru ka n g
N
A
ng
Kec.# Samboja #
K
r
k
E S
M
A
Tg. B ayur
W
#
Gambar 4. Peta Pemanfaatan Lahan Kawasan Delta Mahakam Sumber: Bappeda Kutai Kartanegara, 2007
L A
T
y an
Kota Bontang sebagai penghasil LNG terbesar di dunia yang basis ekonominya
E
banyak digerakkan oleh industri pengolahan LNG (mulai berproduksi awal 1980-an),
S
berikut produk industri terkait lainnya, seperti; pupuk urea, amoniak, methanol, metilen, olefin, dst, sangat bergantung dari pasokan gas yang sebagian besar berasal dari kawasan Delta Mahakam. Begitu pula dengan Kota Balikpapan yang basis ekonominya
N
banyak digerakkan oleh industri pengolahan minyak mentah (mulai beroperasi sejak
W
E S
1950), berikut produk industri ikutannya, juga memiliki ketergantungan yang tidak kecil terhadap keberlangsungan eksploitasi minyak di kawasan Delta Mahakam. Sementara Kota Samarinda mendapatkan pasokan hasil perikanan yang sangat melimpah dari kawasan ini. Begitu pula Kabupaten Kutai Kartanegara sebagai pemilik otoritas administratif mendapatkan banyak keuntungan dalam bentuk PAD maupun dana perimbangan. Sedangkan Pemerintah Pusat memperoleh pemasukan devisa yang fantastis atas keberadaan berbagai kegiatan industri (khususnya migas) di kawasan tersebut.
94
Seperti ditunjukkan Gambar 4. kegiatan ekonomi besar berbasis migas yang sekarang ini berlangsung di Kawasan Delta Mahakam terpusat terutama pada garis pantai timur Kalimantan, mulai dari selatan di Balikpapan, kemudian Handil (Muara Jawa) di ujung selatan Delta Mahakam, Sanga-Sanga dan Tambora di mulut Sungai Mahakam, dan Muara Badak di ujung utara Delta Mahakam. Satu jalur pipa terpasang sejajar dengan garis pantai timur Kalimantan di bagian daratan utama dari Lapangan Handil ke arah utara menuju kilang minyak Bontang. Selain itu jalur pipa yang lain terpasang di zona pipa tengah, sejak dari Lapangan Tunu berbelok melengkung ke utara Muara Badak terus menuju kilang minyak Bontang. Kawasan ini juga dilalui distributary Sungai Muara Jawa yang ramai digunakan untuk transportasi air di selatan, dan distributary Muara Berau – Muara Badak Utara. Pada kawasan ini berkembang pula kota Kecamatan Sanga-Sanga dan Sungai Meriam (ibukota Kecamatan Anggana) yang tepat berada di mulut Sungai Mahakam, dengan penduduk yang penghasilannya sangat bergantung pada ikutan industri migas dan kegiatan industri pertambakan, selain dari aktivitas pertambangan batu bara dan perkebunan kelapa sawit Berbagai potensi yang dimiliki kawasan Delta Mahakam telah menempatkan kawasan ini tidak hanya sebagai kawasan yang sangat strategis secara sosio-ekonomi dan keamanan, namun juga memiliki potensi konflik laten yang sangat kompleks dan akut, akibat bertumpang-tindihnya berbagai kepentingan stakeholders. Akumulasi berbagai potensi, juga permasalahan, serta begitu banyaknya kepentingan itulah yang kemudian menjadikan kawasan ini memiliki stigma “sulit diatur”, jika tidak ingin disebut sengaja dibiarkan tidak tertib oleh otoritas yang berwenang (akan dijelaskan pada bagian berikutnya). Akibatnya “jalan pintas” yang terkesan illegal lah yang selanjutnya menjadi pilihan rasional dari para stakeholders yang merasa sulit bersaing secara legal dalam memperebutkan sumberdaya alam yang dimiliki Delta Mahakam. Begitu banyaknya kepentingan yang “bermain” di kawasan ini setidaknya terlihat dari begitu beragamnya sudut pandang dalam “menterjemahkan” kawasan Delta Mahakam, yang tentu saja akan mempengaruhi kebijakan ataupun konsepsi atas eksistensi kawasan ini. Untuk deliniasi kawasan saja, setidaknya terdapat beberapa sudut pandang. Menurut Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Kutai Kartanegara (2008), total keseluruhan kawasan Delta Mahakam adalah 108.251, 31 Ha, dengan luasan hutan mangrove mencapai 79 persen dari keseluruhan kawasan dan sekitar 60 persennya saat ini telah dibuka menjadi areal pertambakan. Sementara menurut catatan Dutrieux (2001), pada tahun 1992 luas lahan yang terbuka akibat kegiatan pengkonversian lahan mangrove untuk budidaya perikanan adalah sekitar 3.700 ha dan terus meluas menjadi 15.000 ha pada tahun 1996 dan pada tahun 1999 luasan tersebut telah mencapai 67.000 ha. Bahkan menurutnya pada tahun 2001 luas areal mangrove
95
yang telah dikonversi telah mencapai sekitar 85.000 ha dari luas Delta Mahakam yang mencapai 1500 km² atau sekitar 150.000 ha. Menurut Syahrani (2004), Delta Mahakam juga sering diasosiasikan dengan 46 buah pulau kecil di muara Sungai Mahakam. Sedangkan menurut Rencana Detail Tata Ruang Kawasan Delta Mahakam yang disusun Bapedda Kabupaten Kutai Kartanegara (2006), kawasan ini setidaknya memiliki luasan total 324.883,95 Ha, dengan perincian luasan Zona I (kawasan dalam pulau-pulau di luar daratan Pulau Kalimantan) mencapai 107.974,13 Ha dan Zona II (kawasan daratan Pulau Kalimantan di sekeliling pulau-pulau di kawasan Delta Mahakam) mencapai 216.909,82 Ha. Sementara PKSPL-IPB (2002), menggunakan pendekatan administratif untuk mendeliniasi kawasan Delta Mahakam yang melingkupi tiga kecamatan dan tujuh desa, yaitu; desa Saliki di Kecamatan Muara Badak, desa Sepatin, Tani Baru dan Muara Pantuan di Kecamatan Anggana serta desa Muara Kembang, Muara Jawa Tengah dan Muara Jawa Ulu di Kecamatan Muara Jawa. Sedangkan LAPI-ITB (2003), mendeliniasi kawasan Delta Mahakam secara fungsional dan geografis sebagai wilayah perencanaan yang meliputi 20 desa/ Kelurahan dalam wilayah administratif Kecamatan Muara Badak, Anggana, Sanga-Sanga, Muara Jawa dan Samboja. Delineasi kawasan dengan menggunakan pendekatan administratif juga digunakan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan (2007) maupun Program PMD Mahakam yang diseponsori Depdagri dan UNDP, yang memanfaatkan RDTR kawasan Delta Mahakam yang disusun Bapedda Kabupaten Kutai Kartanegara tahun 2006. Meskipun
dalam
prakteknya
dimodifikasi
sesuai
dengan
kebutuhan
institusi
bersangkutan, misalnya hanya mendeliniasi wilayah administratif Zona I dari RDTR Delta Mahakam sebagai “kawasan Delta Mahakam”. Namun demikian, seiring dengan banyaknya pemekaran wilayah yang terjadi di desa-desa dalam kawasan Delta Mahakam, deliniasi kawasan dengan menggunakan pendekatan administratif pun menghadapi konsekuensi labilitas perkembangan sebuah kawasan. Setidaknya hingga saat ini telah terjadi pemekaran pada beberapa kawasan administratif, seperti Muara Jawa pesisir yang telah dimekarkan dari Kelurahan Muara Jawa Pesisir dan Desa Gas Alam Badak Satu yang telah di mekarkan dari Desa Muara Badak Ulu.
4.2
Peradaban Kawasan Delta Mahakam Keberadaan permukiman di sekitar Kawasan Delta Mahakam, diduga telah ada
jauh sebelum pemerintahan Kolonial Hindia Belanda menaklukkan Kerajaan Kutai Kartanegara, pasca Penandatanganan perjanjian 11 Oktober 1844. Hal tersebut dapat ditelusuri dari sejarah keberadaan Kerajaan Kutai Kartanegara yang pada awalnya berpusat di Muara Sungai Mahakam, tepatnya di Kampung Jahitan Layar.
96
Kerajaan Kutai Kartanegara diperkirakan didirikan pada 1300-an oleh Aji Bhatara Agung Dewa Sakti, karabat dekat Kerajaan Singosari (Raja Kartanegara) yang menjadi salah seorang pemimpin ekspedisi Pamalayu. Ia beserta sebagian armada laut yang dipimpinnya terpisah dengan armada besar Singosari lainnya, karena kerusakan layar kapal dalam perjalanan. Rombongan tersebut akhirnya singgah di Muara Sungai Mahakam untuk memperbaiki kerusakan layar kapal yang mereka tumpangi, namun dalam perjalannya sebagian di antara mereka ada yang memilih menetap bersama Aji Bhatara Agung Dewa Sakti di tempat yang kemudian diberi nama Jaitan Layar. Karenanya Enci Muhammad Tayib (sejarahwan setempat), menyebut Jaitan Layar sebagai kolonisasi orang-orang Jawa, berbeda dengan tiga perkampungan lainnya di sekitar Muara Sungai Mahakam (Hulu Dusun, Binalu dan Sambaran) yang didiami suku pribumi. Aji Bhatara Agung Dewa Sakti kemudian menikahi Putri Karang Melenu anak dari Kepala Kampung Hulu Dusun yang menurut cerita masyarakat Kutai lahir dari buih air Sungai Mahakam (Adham, 1979). Secara de jure pertumbuhan Kerajaan Kutai Kartanegara selalu berada di bawah kekuasaan kerajaan lain, untuk pertama kalinya kerajaan ini di bawah pengaruh Kerajaan Majapahit sampai dengan mundurnya kekuasaan negara itu pada akhir abad15 (Amin, 1975). Kekuasaan Imperium Majapahit atas Kerajaan Kutai Kartanegara selanjutnya berangsur berakhir seiring keberhasilan pemberontakan yang dilakukan kerajaan-kerajaan pesisir secara sporadis pasca masuknya Islam di Nusantara. Penguasaan atas Kerajaan Kutai Kartanegara kemudian jatuh pada Kerajaan Banjar di bawah Pangeran Samudra. Dengan bala bantuan tentara Kerajaan Demak yang telah mengislamkan Kerajaan Banjar, diduga Pangeran Samudra yang berganti nama menjadi Sultan Suriansyah (1595–1620) berhasil menaklukkan Kerajaan Kutai Kartanegara (Adham, 1979). Namun menurut Amin (1975) penguasaan Kerajaan Banjar atas Kerajaan Kutai Kartanegara hanya secara de jure, karena Kerajaan Banjar tidak pernah menempatkan petugas-petugasnya yang secara langsung mengontrol Kerajaan Kutai Kartanegara seperti halnya Kerajaan Majapahit. Pengaruh Kerajaan Kutai Kartanegara baru mulai terasa lebih dinamis, ketika Pangeran Sinum Panji Mendapa berhasil menaklukkan Maharaja Dharma Setia, raja terakhir Kerajaan Kutai Martapura pada tahun 1636. Dengan jatuhnya Kerajaan Hindu tertua di Indonesia ini, maka wilayah kekuasaan Kerajaan Kutai Kartanegara bertambah luas, Kerajaan Pasir, Berau dan kerajaan kecil/ kelompok-kelompok suku dayak pedalaman yang tadinya tunduk pada Kerajaan Kutai Martapura secara tidak langsung telah menjadi wilayah kekuasaannya. Pasca penaklukkan atas Kerajaan Kutai Martapura, pusat pemerintahan Kerajaan Kutai Kartanegara sempat dipindahkan dari Jahitan Layar ke Tepian Batu (kini
97
berganti nama menjadi Desa Kutai Lama). Sebelum dipindahkan lagi oleh Aji Dipati Tua pada 1636-an ke Pemarangan (Jembayan) sebelah hulu Sungai Mahakam, untuk menghindari serangan bajak laut dari Philipina Selatan. Namun pada masa pemerintahan Aji Muhammad Muslihuddin, ibukota Kesultanan dipindahkan lagi ke “Tangga Arung” (Tenggarong), karena pusat pemerintahan sebelumnya dianggap sudah tidak “bertuah”, akibat pengkhianatan yang dilakukan Aji Muhammad Aliyeddin karena “merebut paksa” tahta kesultanan. Pasca pemindahan pusat Kerajaan Kutai Kartanegara dari Tepian Batu (Kutai Lama) ke Pemarangan (Jembayan), pemukimanpemukiman di sekitar Kawasan Delta Mahakam yang terletak di pesisir mainland Pulau Kalimantan di duga masih sedikit jumlahnya. Sedangkan kawasan pulau-pulau di Delta Mahakam yang terletak diluar mainland Pulau Kalimantan hanyalah menjadi tempat persinggahan sementara bagi kapal-kapal dagang/ bajak laut. Banyaknya kerajaan-kerajaan di pantai timur Kalimantan sampai pertengahan abad-19, menurut Magenda (1991) rentan terhadap kegiatan eksploitasi dan pembajakan yang umumnya terjadi di Selat Makassar selama periode itu. Kondisi ini dapat berlangsung lama, sebagai akibat watak kerajaan Mulawarman dan Kesultanan Kutai, yang lebih menyerupai sebagai organisasi ekonomi ketimbang organisasi politik, sehingga memungkinkan komunitas pembajak dan perampok bisa leluasa merajalela. Sampai pada pemisahan pendudukan antara Inggris dan Belanda di Kalimantan pada tahun 1892 dan kesepakatan antara Inggris dan Spanyol pada tahun 1878, berkenaan dengan pendudukan atas pulau-pulau di Sulu dan bagian utara Kalimantan. Jalur selat Makassar masih dipenuhi bajak-bajak laut, tausuk dari Jolo dan Sulu yang mendominasi jalur tersebut sampai Spanyol dapat memberantasnya. Menurut Magenda situasinya mirip dengan selat Malaka sebelum pendudukan Inggris di Singapura. Seorang pedagang Singapura bernama Dalton, mengisahkan saat dirinya pada 1827 berlayar dari Singapura ke Samarinda bersama satu armada Melayu Kutai dan perahu Bugis, bahwa “Bahaya besar muncul dari banyaknya perompak yang bermarkas di berbagai pulau di sekitar sini .... khususnya di Pulau Lingga .... yang menjadikan perahu Bugis dan Melayu sebagai sasaran kegemaran mereka” (Pelras, 2006). Sementara Zwager yang ditugaskan Pemerintah Hindia Belanda untuk menyelidiki Kesultanan Kutai dan pesisir timur Kalimantan pada 1853 juga mencatat bahwa “Perahu-perahu dagang hanya dapat sampai ke pedalaman (Sungai Mahakam) dengan agak aman, kalau dilengkapi dengan peralatan perang. Tanpa perlengkapan itu, mereka hanya akan menjadi mangsa perampokan dan perampasan yang tidak hanya dilakukan oleh suku-suku Dayak, tetapi juga oleh orang-orang Kutai yang secara sembunyisembunyi dihasut oleh tetua-tetuanya untuk melakukan kejahatan tersebut”. Zweger setidaknya mencatat, kekuatan bajak laut yang beroperasi di sekitar perairan Tanjung
98
Silat hingga Sungai Mahakam mencapai 40 – 50 perahu yang ditempatkan di beberapa tempat strategis. Kondisi demikian, menurut Zweger terus berlanjut, akibat “ketidakmampuan Kesultanan Kutai untuk menghentikan kekacauan dalam pemerintahan, mengamankan kepentingan umum dan menjalankan ketentuan-ketentuan politik kontrak dengan lebih baik; karena mereka tidak dapat mempergunakan kekuatan militer, alat perlindungan lainnya pun bahkan tidak mereka miliki”. Selain karena minimnya alat kekuasaan Pemerintahan Hindia Belanda yang ditempatkan di pantai timur Kalimantan. Menariknya, aktifitas perompakan dan penjarahan yang marak dilakukan di sepanjang pantai timur Kalimantan oleh bajak laut dari Jolo dan Sulu, ternyata juga dipraktekkan oleh orang Dayak dan Kutai di sepanjang Sungai Mahakam. Yang dalam sejarahnya, praktek tersebut ingin dihindari oleh Aji Dipati Tua, dengan memindahkan pusat pemerintahan Kerajaan Kutai dari Kutai Lama ke Jembayan. Baru ketika, tausok dari Jolo dan Sulu secara berangsur-angsur menarik armadanya dari selat Makassar bagian selatan, orang-orang Bugis mulai mengisi kekosongan tersebut, terutama dipertengahan abad-19. Meskipun taosug dari Jolo dan Sulu tetap melanjutkan dominasinya dibagian utara jalur selat Makassar, orang-orang Bugis memperluas cakupan pengaruhnya di Selatan. Mereka mengontrol titik-titik masuk di Sungai Mahakam sampai tingkatan tertentu, hingga penandatanganan perjanjian
dengan
pemerintah
kolonial
Belanda,
dimana
perjanjian
tersebut
memperkenankan Kesultanan Kutai mendapatkan kembali kekuasaan sebagai penguasa syahbandar pelabuhan Samarinda dari kelompok ponggawa-ponggawa Bugis. Penguasa di Samarinda saat itu adalah Aru Panekki dari Wajo, yang setelah penetapan penggantinya Pua Adu sebagai Syahbandar Samarinda kembali ke Wajo untuk mengatur persekutuan dengan Goa dalam menghadapi Kerajaan Bone. Jika mengacu pada laporan diatas, maka diduga komunitas Bugis telah menetap dikawasan pulau-pulau di Delta Mahakam, menjelang pertengahan abad-19, sesaat sebelum pemerintah Hindia Belanda menaklukkan kerajaan Kutai Kartanegara pada 1844. Dugaan tersebut diperkuat dengan peristiwa penyerangan dua kapal milik petualang Inggris, James Erskine Murray yang kemudian tertembak mati, serta penghancuran sebuah kapal dagang Belgia yang terdampar di muara Sungai Mahakam oleh pasukan sepangan Kerajaan Kutai, dibantu oleh orang-orang Bugis dalam peristiwa “Perang Tembak Maris”. Peristiwa inilah yang kemudian dijadikan alasan oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk menghancurkan Kerajaan Kutai Kartanegara dengan mengirimkan pasukan penaklukkan dibawah komando Letnan Laut D‟Hooft pada 1844, yang mengakibatkan Sultan Muhammad Salehuddin menandatangani surat perjanjian takluk pada kolonialis Belanda.
99
Dalam laporannya, Zweger bahkan menulis “Saudagar George Peacock King sudah mendirikan sebuah gudang barang di Muara Bayur (terletak di Muara Sungai Mahakam); dari gudang-gudang itu banyak kapal yang langsung mengambil muatan tanpa perlu memudiki sungai sampai Samarinda, sehingga aktivitas perdagangan dapat diperlancar dan dipercepat”. Artinya kawasan Delta Mahakam yang menjadi satusatunya pintu pelayaran dari Samarinda dan daerah-daerah pedalaman Kutai menuju ke daerah lain di Nusantara, sejak lama memiliki fungsi strategis dalam kegiatan perdagangan, sehingga mustahil tidak perpenghuni. Setidaknya kampung Pamangkaran yang banyak disebut dalam tradisi lisan masyarakat setempat sebagai kampung pertama yang berhasil dibangun migran Bugis, bisa menjadi salah satu rujukan untuk mendiskripsikan secara lebih mendasar berbagai laporan tersebut, karena menurut perkiraan kampung tua yang kini masuk ke dalam wilayah Desa Sepatin ini, telah berdiri pada kurun waktu tersebut. Sesuai dengan temuan Lenggono (2004), yang berhasil menelusuri keberadaan sebuah nisan bertahun 1939 di area pekuburan yang masih relatif baru di belakang masjid Al-Anshor Desa Muara Pantuan. Padahal di kawasan yang dulunya merupakan area perkebunan milik penduduk Pemangkaran tersebut, juga terdapat area pekuburan yang lebih tua di Tanjung Tengah yang belum teridentifikasi karena sudah tidak terurus. Peta rupa bumi terbitan tahun 1934 buatan Pemerintah Hindia Belanda-pun telah mencantumkan nama Pamangkaran dan Muara Pantuan sebagai salah satu area pemukiman yang ada di kawasan Delta Mahakam. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif tentang sejarah pemukiman di Kawasan Delta Mahakam, berikut ini akan disajikan hasil temuan Bourgeois (2002) dan Lenggono (2004), beserta hasil studi empiris yang telah dilakukan.
100
Tabel 4. Sejarah Migrasi dan Penguasaan Kawasan Delta Mahakam Periode 1300-an – 1844
Kondisi Delta Mahakam Kawasan belum tersentuh
Konstelasi Kekuasaan Atas Hutan Mangrove (Sejarah Penguasaan Agraria)
1845 – 1900
Munculnya pemukiman pertama
1901 – 1945
Munculnya pemukimanpemukiman baru di sekitar kawasan Delta Mahakam
1946 – 1950
Kekacauan akibat perang dan revolusi fisik
1951 – 1965
Krisis ekonomi dan pemberontakan militer
Kerajaan Kutai Kartanegara berdiri disekitar kawasan Delta Mahakam (jahitan layar dan Tepian Batu/Kutai Lama) pada awal 1300-an Raja Kutai Kartanegara yang berkuasa dikawasan ini, tidak menganggap diri mereka memiliki kekuasaan atas tanah (hutan mangrove) secara absolud, mengingat luasnya wilayah kerajaan ini dan sangat minimnya jumlah penduduk, sehingga tanah (hutan mangrove) bukan menjadi sesuatu yang sangat berharga dan berarti sebagai unsur pembobot bagi sebuah kekuasaan Di masa pemerintahan Pangeran Dipati Tua, pusat pemerintahan Karajaan Kutai Kartanegara dipindahkan ke Pemarangan (Jembayan) sebelah hulu Sungai Mahakam, hal ini dilakukan untuk menghindari serangan bajak laut dari Philipina Selatan. Namun pada masa pemerintahan Aji Muhammad Muslihuddin, ibukota Kesultanan dipindahkan lagi ke Tenggarong. Pada 11 Oktober 1844 pemerintahan kolonial Hindia Belanda menaklukkan Kerajaan Kutai Kartanegara. Kawasan ini menjadi begitu penting secara ekonomis bagi pemerintah kolonial sejak ditemukannya minyak menjelang tahun 1897, ketika JH. Menten memulai dengan pengeboran percobaan di sekitar Sanga-Sanga dengan hasil yang luar biasa Pemukiman tertua yang tercatat adalah pemukiman nelayan Bugis di Pamangkaran yang telah dihuni sejak akhir atau bahkan menjelang pertengahan abad-19. Pasca “Perjanjian Bongaja” pada 1667, sebagian orang Bugis Wajo pro Kerajaan Gowa yang tidak mau tunduk pada pendudukan Aru Palakka tetap melakukan perlawanan terhadap Belanda. Banyak diantara mereka yang bermigrasi ke pantai timur Kalimantan (di sekitar Pulau laut, Kalsel dan Taleke, Pasir). Generasi kedua/ketiga migran Bugis dari Taleke inilah yang di duga menetap pertama kali di Pamangkaran, karena pendudukan Belanda atas Paser dan ingin meningkatkan status sosial di tempat baru Mereka selajutnya berinteraksi dengan pedagang Bugis dari Pangkajene dan suku Bajo yang sebelumnya telah menguasai titik-titik perdagangan di Selat Makassar. Aktifitas ekonomi utama masyarakat sebagian besar bersandar pada kegiatan perikanan tangkap dan hanya sebagian kecil kawasan mangrove yang dialih fungsikan untuk kegiatan perkebunan kelapa. Di duga kawasan ini memiliki sumber-sumber mata air (payau) yang bisa dikonsumsi, sehingga menjadi salah satu daya tarik bagi para migran yang dingin menetap. Menjelang tahun 1902, Shell dengan konsesi yang di peroleh dari JH. Menten, maupun Royal Dutch telah menghasilkan minyak dari ladang-ladang di Delta Mahakam Bataafsche Petroleum Maatschapij (BPM) pada 1909 juga berhasil menemukan ladang minyak Samboja Muara Badak baru mulai terdapat pemukiman sekitar tahun 1917 Muara Pantuan dan Sungai Patin (Sepatin) mulai didiami sebelum Perang Dunia II, masyarakatnya mengolah ikan asin dan udang ebi untuk di jual ke Samarinda atau dibarter dengan beras, gula dan kebutuhan lainnya. Setelah tahun 1925, Salo Palai mulai didiami imigran dari Sulawesi, sedangkan Saliki mulai didiami imigran Banjar dan Bugis. Handil 1 dibuka oleh petani Bugis dan Banjar pada 1934 – 1935 setelah dibukanya Handil 1 dan 2, sedangkan Handil 4 sampai 7 dibuka setelah itu, sementara Handil 8 sepenuhnya dibuka oleh migran Banjar. Pemukiman kecil juga mulai muncul di Tanjung Adjoe pada 1940-an (wilayah desa Tani Baru) Sungai Tiram adalah perkampungan tua yang dihuni etnik Bugis di Kecamatan Muara Jawa, sedangkan etnik Banjar dan Jawa baru bermukim di kawasan ini setelah kemeredekaan. Di awal abad-20 Handil 2 yang pada awalnya bernama Teluk Ladang merupakan wilayah pemukiman nelayan Bajo dan Bugis. Setelah Perang Dunia II Muara Jawa, Muara Pantuan dan Muara Badak menjadi lautan api. Satu tahun setelah kemerdekaan masih sedikit populasi dan ponggawa masih belum beraktifitas di Delta Mahakam. Nelayan menjual hasil tangkapannya langsung ke Samarinda dengan akses yang sulit dan hanya dapat menggunakan perahu. Seperti orang-orang Bugis lainnya yang berpindah ke daerah lain pada periode yang sama, di Sumatra bagian selatan, di pinggiran kota Samarinda (disekitar Bukit Soeharto), serta di sekitar kota Bontang. Mereka yang bermigrasi ke kawasan Delta Mahakam memiliki alasan sama, yaitu menyelamatkan diri dari kekacauan ekonomi dan militer akibat pemberontakan Kahar Muzakkar serta mentaati nasehat yang diterima dari sanak saudara atau teman-teman yang memberitakan adanya lokasi lain dimana kawasan hutannya bisa diubah menjadi lahan pertanian/perkebunan yang menguntungkan. Masuknya migran baru dari Sulawesi (yang berlatar etnik dan daerah asal yang beragam) masih belum menimbulkan persaingan dalam penguasaan sumberdaya. Kedatangan para migran baru tersebut, bahkan dianggap sebagai berkah, karena diharapkan mampu “mendorong” peningkatan perekonomian kawasan. Aktifitas ekonomi utama masyarakat sebagian besar masih sebagai nelayan tangkap dan hanya sebagian kecil kawasan mangrove yang dialih fungsikan untuk kegiatan perkebunan kelapa dan pertanian. Sumber-sumber mata air (payau) masih bisa dikonsumsi.
101
1966 – 1970
Penyelundupan – pembalakan dan penangkapan ikan
1971 – 1975
1976 – 1980
Eksplorasi dan produksi minyak bumi Gelombang migrasi baru dari Sulawesi Dibukanya fasilitas cold storage pertama di Kaltim
Berkembangnya kelompokkelompok punggawa
1981 – 1990
Tahun-tahun maraknya kegiatan pertambakan
1991 – 2002
Eksploitasi yang semakin cepat dan tidak terkendali
Penguasaan hutan mangrove berada di tangan para petinggi (kepala kampung), yang memiliki otoritas dalam mendistribusikan pemanfaatan dan penguasaannya. Mengingat jauhnya letak kawasan ini dengan pusat kekuasaan dan luasnya kawasan hutan mangrove yang ada, serta minimnya jumlah penduduk, keberadaan hutan mangrove masih belum menjadi sesuatu yang berharga dan berarti. Sejak awal kemerdekaan Delta Mahakam menjadi pusat dari penyelundupan internasional. Sejak 1967 sebagian pemilik perahu Bugis, tidak hanya melakukan kegiatan disektor perikanan tangkap, namun juga menyelundupkan berbagai bahan makanan dari dan ke Malaysia Timur. Pada 1970-an mulai diimplementasikan sistem konsesi dalam kegiatan kehutanan di bagian atas dari Kawasan Delta Mahakam Meskipun pada 1970-an populasi di Kawasan Delta Mahakam masih sangat kecil, namun kondisi ini mulai berubah sejak mulai beroperasinya kegiatan eksplorasi dan produksi minyak bumi. Banyak kebutuhan tenaga kerja dan mulai terjadi gelombang migrasi dari Sulawesi, akumulasi kejadian tersebut menciptakan pasar baru untuk produk lokal, khususnya hasil perikanan dan makanan laut. Muncul kebijakan yang mengedepankan pertumbuhan ekonomi dengan ditopang investasi modal asing melalui industrialisasi. Di sektor perikanan muncul industri ekspor udang beku multi nasional di kawasan Delta Mahakam, sebagai akibat besarnya permintaan produk perikanan di pasar global. Pada 1974, mulai dibuka fasilitas cold storage yang memiliki akses ke pasar internasional, disusul dengan pembukaan cold storage lainnya di tahun-tahun berikutnya. Kondisi ini memberikan dampak yang sangat mendasar bagi ekonomi lokal, sekaligus mulai memicu modernisasi dalam kegaitan perikanan di Delta Mahakam. Migran Bugis yang menguasai tehknik pertambakan, mulai mengembangkan milkfish pond pada 1974 – 1975 di Anggana dan Muara Jawa. Kehadiran cold storage ternyata mampu mendorong munculnya kelas entrepreneur yang kuat dalam sektor perikanan di Delta Mahakam yaitu, Ponggawa. Migran Bugis yang baru datang memulai terjadinya gelombang penggunaan trawl untuk menangkap ikan pada 1975, namun kegiatan ini dihentikan pemerintah dengan melarang penggunaan trawl dalam kegiatan perikanan pada 1982. Selanjutnya muncul kebijakan pertanahan yang ditujukan untuk memecahkan persoalan pertanahan yang menghambat pelaksanaan pembangunan, misalnya kompensasi pembukaan hutan mangrove untuk kegiatan pertambakan pasca pelarangan trawl bagi para nelayan lokal di sekitar kawasan Delta Mahakam. Ponggawa kaya dengan pengikutnya (client) serta para migran baru dari Sulawesi sejak akhir tahun 1980-an hingga awal 1990-an menjadikan kawasan daratan Delta Mahakam sebagai areal pengembangan pertambakan. Sejak dilarangnya trawl dalam kegiatan penangkapan ikan dan semakin besarnya kebutuhan akan udang dari pasar internasional telah memicu dibukanya areal tambak secara massal. Mereka kemudian mencoba membudidayakan bibit udang yang diperoleh dari alam dan mulai berhasil di awal 1980-an, yang kemudian banyak diikuti oleh migran Bugis lainnya. Ponggawa bekerjasama dengan perusahaan cold storage kemudian banyak memberikan bantuan finansial di awal kegiatan pertambakan. Mulai muncul kelas borjuis yang memiliki kedekatan dengan penguasa lokal dan perusahaan eksportir. Para ponggawa tersebut dengan mudah mendapatkan konsensi atas sejumlah area hutan mangrove yang sangat luas dan mampu mengakses modal dari para pengusaha eksportir perikanan. Dengan menggunakan hegemoni budaya dan sumberdaya yang dimilikinya para ponggawa semakin memperkokoh posisinya sebagai patron yang mampu mengontrol hasil produksi tambak yang sangat luas Pendistribusian dan penguasaan hutan mangrove pada para ponggawa besar oleh Petinggi Kampung, menjadikan para ponggawa sebagai “pusat regulasi” pertanahan di aras lokal. Para ponggawa selanjutnya mendistribusikan tanah-tanah tersebut pada para petambak yang menjadi kliennya masing-masing dengan sejumlah persyaratan yang bervariasi. Aktifitas ekonomi utama masyarakat sebagian besar masih sebagai nelayan tangkap, namun sebagian mulai bergeser menjadi petambak tradisional. Konversi hutan mangrove untuk kegiatan pertambakan mulai marak dilakukan Sumber-sumber mata air (payau) mulai tidak layak dikonsumsi Sejak 1990-an excavator mulai menggantikan tenaga manual dalam pembukaan tambak Kegiatan perkebunan kelapa dan penangkapan ikan yang semakin menurun produksinya, memicu pengembangan tambak-tambak baru Tambak pertama di Tani Baru mulai di buka pada 1992 – 1993, pada tahun 1995 para migran mulai membuka tambak tanpa kendali Pembukaan hutan mangrove secara besar-besaran untuk kegiatan pertambakan mencapai puncaknya ketika terjadi krisis ekonomi regional pada 1997-1998, dipicu oleh tingginya nilai tukar dolar terhadap rupiah sehingga terjadi “boom udang”. Kondisi ini memicu terjadinya “ledakan penduduk” di kawasan Delta Mahakam oleh para pendatang yang ingin mencoba peruntungan di sektor perikanan budidaya Terjadi proses aristokratisasi pertambakan yang menggerakkan kapitalisme lokal dalam bentuk diversifikasi usaha yang semakin meluas (munculnya cold storage, hatchery, pabrik es, mini market, industri pengolahan/ eksportir, dst) Ironisnya sebagian besar punggawa yang berhasil adalah para migran yang datang belakangan, kondisi ini secara tidak langsung menciptakan disparitas dan marjinalisasi pada petambak kecil
102
2003 – Skrang
”Tragedi Mangrove”: degradasi sumberdaya hingga konflik laten
Aktifitas ekonomi utama masyarakat bergeser sebagai petambak tradisional dan penjaga empang. Konversi hutan mangrove untuk kegiatan pertambakan mulai tidak terkendali, bahkan banyak area perkebunan kelapa dan pertanian juga dikonversi manjadi hamparan tambak Tambak-tambak yang ada kecendrungannya dibangun dengan hamparan yang sangat luas, dengan asumsi akan mempermudah pengelolaan dan meningkatkan produksi Meskipun sebagian terbesar tambak di Delta Mahakam berstatus ilegal karena dibangun diatas area KBK, namun ironisnya pemerintah (Dephut) sebagai penguasa kawasan tidak mampu berbuat apaapa Ketidakpastian hukum ini, menyebabkan para petambak tidak memiliki legalitas penguasaan, hanya mereka yang memiliki modal (punggawa) yang kemudian mampu mensertfikasi tambak-tambaknya Degradasi ekosistem mangrove, sehingga vegetasi mangrove hanya dapat dijumpai disepanjang 1 – 10 meter dari bantaran sungai Produktifitas tambak cenderung menurun Munculnya berbagai wabah penyakit yang menyerang udang Bibit alam semakin sulit diperoleh Banyak tambak menjadi terlantar Abrasi pantai dan sedimentasi semakin meluas Pencemaran oleh perusahaan pertambangan, aktifitas masyarakat dan kegiatan pertambakan Terjadi krisis air bersih, akibat hilangnya sumber-sumber mata air payau Akumulasi keadaan diatas menyebabkan perusahaan eksportir kesulitan memperoleh pasokan hasil perikanan, sehingga terjadi pelumpuhan produksi yang memaksa mereka merelakan terjadinya take over atas perusahaan tersebut oleh punggawa yang sebelumnya mendapatkan modal usaha darinya Masyarakat lokal menjadi lebih apatis, individualis dan materialistik Kondisi diatas menguatkan motivasi/harapan oknum petambak/punggawa untuk mendapatkan ganti rugi lahan oleh perusahaan migas Penguasaan lahan semakin tidak jelas Konflik laten menjadi semakin terbuka
Sumber: Data Primer Diolah, 2011; Lenggono, 2004; dan Bourgeois et al, 2002
Mekipun kawasan di sekitar Delta Mahakam telah memiliki peradaban, jauh sebelum orang Bugis bermigrasi ke kawasan ini, namun orang Bugis-lah yang pertama kali mengekspansi kawasan ini hingga ke pulau-pulau di dalam kawasan delta. Kampung Pemangkaran menjadi bukti keberadaan peradaban bugis paling awal di kawasan Delta Mahakam. Pemukim awal tersebut adalah migran Bugis Wajo‟ generasi kedua atau ketiga yang sebelumnya menetap di sekitar Talake – Pasir (Kaltim). Pada permulaan abad-18, seorang pangeran Wajo‟ bernama La Ma‟dukelleng yang tidak mau tunduk pada pendudukan Arung Palakka yang disokong Belanda (pasca perjanjian Cappaya ri Bongaya, yang telah disepakati pada 18 November 1667), meninggalkan Sulawesi Selatan bersama sekitar 3000 orang pengikutnya menuju Talake – Paser (Kalimantan Timur). Sebuah tempat komunitas kecil pedagang Bugis Wajo‟ bemukim. Dalam kajian kontemporer, kepindahan orang Bugis Wajo ternyata juga disebabkan oleh penistaan dan penindasan yang dilakukan orang Bugis Bone atas mereka (yang membekas sebagai “dendam budaya”) dan ketidakmampuan mereka membayar ganti rugi peperangan sebesar 52.000 rijksdaalder (Andaya, 2004). Sambil berdagang, La Ma‟dukelleng tinggal di pantai timur Kalimantan hingga 1737 dan kembali ke Wajo‟ sebagai Arung Matoa yang baru terpilih untuk melanjutkan peperangan melawan Bone dan Belanda. Hebatnya, sebelum kembali ke tanah Wajo‟, La Ma‟dukelleng ternyata sempat membina hubungan politik dengan penguasa setempat melalui pernikahan salah seorang putranya dengan putri Sultan Paser, pasangan ini memiliki anak perempuan
103
yang kelak menikah dengan penguasa Kutai, Sultan Idris. Sementara putranya yang lain ia nikahkan dengan putri bungsu penguasa otonom wilayah Samarinda yang bergelar Pua‟ Ado. Ini berarti La Ma‟dukelleng tidak hanya meninggalkan pengaruhnya di tanah Kalimantan, namun juga meninggalkan sejumlah besar pengikutnya di Talake. Keturunan mereka inilah yang kemudian melakukan migrasi kearah utara menuju Pamangkaran di sekitar kawasan Delta Mahakam yang strategis. Migrasi keturunan Bugis Talake diperkirakan berlangsung secara bergelombang sejak terjadinya kemelut pemerintahan di Kerajaan Paser, pasca campur tangan Belanda dalam pengangkatan Sultan Muhammad Ali Alamsyah sebagai Sultan Paser pada 7 Juli 1885. Hingga menyulut terjadinya konflik antara Sultan terdahulu (Sultan Abdurachman Alamsyah) dengan Sultan Muhammad Ali Alamsyah yang didukung Belanda. Penguasaan Belanda atas kerajaan Paser, telah memaksa sebagian migran Bugis Wajo‟ yang tidak ingin tunduk pada penjajahan Belanda, selain tidak ingin mengkhianati komitmen para pendahulu mereka, untuk hijrah ke tempat lain. Gelombang migrasi tersebut mencapai puncaknya, ketika seorang saudagar kaya keturunan Bugis Wajo‟ bernama La Maraja yang memiliki hubungan dekat dengan Kerajaan Paser melakukan manuver politik, merencanakan “perebutan kekuasaan” dengan dukungan Belanda. Akhirnya pada 8 Juli 1900 ia berhasil menjadikan keponakannya Aji Meja bin Lataddaga sebagai Sultan Paser dengan gelar Sultan Ibrahim Khalihudin. Keadaan ini banyak memancing ketegangan di lingkungan kerajaan, banyak kaum bangsawan, kaum adat, serta ulama yang tidak menyetujui pengangkatan sultan, sehingga mempengaruhi rakyat untuk tidak membayar pajak, hingga terjadi pembangkangan yang digerakkan oleh para bangsawan. Pergolakan internal kerajaan tersebut mencapai titik nadir, ketika Kerajaan Paser di jual kepada Belanda seharga F. 327.267 melalui kontrak perjanjian pada 20 Juli 1906 (Pemprop Kaltim, 1992). Pada masa itulah terjadi gelombang migrasi besar-besaran keturunan Bugis yang telah menetap di Kerajaan Paser, karena merasa siri‟ dengan keadaan tersebut, mereka kemudian memutuskan hijrah ke tempat lain. Banyak diantara mereka yang memilih bermigrasi kearah utara pantai timur Kalimantan, salah satu tempat yang menjadi favorit mereka adalah kawasan disekitar Delta Mahakam, karena lokasinya sangat strategis, memiliki banyak lahan yang bisa digarap menjadi area pertanian/ perkebunan kelapa, serta memiliki potensi perikanan yang melimpah. Secara bertahap, akhirnya para migran Bugis tersebut berhasil membangun peradaban pertama di kawasan Delta Mahakam yang kemudian mereka namakan Pemangkaran. Gelombang migrasi tersebut, terjadi hampir bersamaan dengan berkuasanya pemerintahan kolonial Belanda secara total atas seluruh wilayah Sulawesi Selatan pada 1906, yang memicu terjadinya migrasi orang Bugis secara besar-besaran ke seluruh Nusantara.
104
Sebagai daerah pertanian lahan kering, dulunya kawasan pesisir ini masih banyak dijumpai sumber-sumber air payau yang dapat digunakan untuk pengairan lahan pertanian bahkan dikonsumsi oleh komunitas setempat. Para migran Bugis pioner tersebut, mencoba mencari peruntungan dan bertahan hidup dengan cara berdagang, menjadi nelayan dan berkebun kelapa. Sebagian besar diantaranya membuka sebagian kecil hutan mangrove di pulau-pulau di sekitar Delta Mahakam yang relatif “terlindung” dan masih terjangkau dengan menggunakan perahu/ kapal kecil, menjadi area pertanian palawija/ perkebunan kelapa. Diduga, sebagian diantaranya ada pula yang berprofesi ganda, terlibat dalam kegiatan perompakan dan penyelundup, dengan memanfaatkan kawasan Delta Mahakam yang terlindung sebagai tempat penyergapan, sekaligus persembunyian strategis. Menurut catatan yang berhasil dihimpun, setidaknya hingga menjelang 1970-an aktivitas perompakan dan penyelundupan di kawasan ini masih sering terjadi. Kegiatan seperti itu menurut Acciaioli (1989) tampaknya sangat cocok dengan watak migran Bugis yang menggunakan kekuatan untuk membuka tanah yang secara khusus dilakukan untuk mendapatkan status yang lebih tinggi di wilayah lain. Sehingga tidak mengherankan bila saat itu banyak kaum ningrat Bugis yang membawa serta para pengikutnya, pergi dari tanah kelahirannya akibat keterbatasan lahan dan sumberdaya dengan mencari kemungkinan hidup yang lebih baik di daerah baru. Lanjut Acciaioli, sejak abad-16 orang-orang Bugis telah memiliki jiwa kewirausahaan yang kuat serta keberanian untuk berperang di luar daerah. Bahkan jauh sebelum pemerintahan kolonial Belanda, orang-orang Bugis telah melakukan aktifitas mengarungi samudera dan bergabung dalam perdagangan dan kelompok-kelompok tani yang seringkali tidak permanen. Di dalam penelitiannya, Lenggono (2004) juga mengungkapkan, “banyaknya komunitas asli Desa Muara Pantuan (sebuah tempat pemukiman baru yang dibangun komunitas Bugis Pamangkaran) yang memiliki hubungan kekerabatan dengan masyarakat Talake di Kabupaten Pasir, namun mereka tidak lagi memiliki hubungan kekarabatan (missing link) dengan orang-orang di tanah leluhurnya Sulawesi Selatan”. Mereka kemudian membaur dengan suku Bajo yang selalu berpindah-pindah dan migran Bugis dari Pangkajene yang diduga bermigrasi hampir bersamaan dengan kedatangan mereka ke Muara Pantuan menjelang abad-20. Kelak keturunan mereka inilah yang mengklaim sebagai penduduk pribumi Delta Mahakam, untuk membedakan mereka dengan migran Bugis yang datang belakangan. Baru pada masa revolusi fisik pasca kemerdekaan (1950 – 1965), mulai muncul lagi gelombang besar migrasi langsung dari Sulawesi ke kawasan Delta Mahakam. Motivasi kedatangan mereka ke Delta Mahakam adalah ingin menyelamatkan diri dari
105
kekacauan ekonomi dan militer akibat pemberontakan Kahar Muzakkar serta mentaati nasehat yang diterima dari sanak saudara atau teman yang memberitakan adanya lokasi lain dimana kawasan hutannya bisa diubah menjadi lahan pertanian/ perkebunan yang menguntungkan. Seorang Petambak yang juga narasumber bagi penelitian ini, mengakui bahwa orang tuanya dan beberapa orang koleganya yang saat ini menetap di Muara Pantuan adalah mantan anggota “gerombolan” Kahar Muzakkar, yang melarikan diri ke Kawasan hutan mangrove Delta Mahakam yang relatif terisolir untuk menyembunyikan diri, sekaligus mencari peruntungan akibat pembersihan “gerombolan pemberontak” di Selawesi Selatan oleh TNI. Alasan tersebut hampir sama dengan apa yang dikemukakan para migran Bugis yang berpindah ke Sumatera bagian selatan, seperti tersebut dalam Lineton (1975), juga di pinggiran kota Samarinda (disekitar Bukit Soeharto), seperti dijelaskan Vayda dan Sahur (1996) serta di sekitar kota Bontang. Kondisi ini menurut Matullada (1985; 1991), telah menyebabkan rendahnya angka pertambahan penduduk Sulawesi Selatan akibat besarnya jumlah penduduk yang berpindah ke daerah lain, baik pada masa-masa kekacauan (1950 – 1965) maupun oleh tabiat penduduk yang memiliki sifat suka merantua dan lain-lain. Meskipun sama-sama dari Sulawesi Selatan, namun para migran yang kemudian menetap di kawasan Delta Mahakam ternyata memiliki latar belakang etnik dan daerah asal yang beragam. Mereka menggunakan ikatan emosional etnik (sebagai sesama orang Bugis) dengan para migran Bugis yang telah menetap jauh sebelumnya, sehingga mendapatkan kemudahan dalam mengakses sumberdaya yang ada. Para Petinggi Kampung (pemilik otoritas di aras lokal saat itu), dengan mudah memberikan izin bagi para migran baru tersebut untuk memanfaatkan kawasan hutan mangrove yang masih belum terjamah, dengan harapan mampu “mendorong” peningkatan aktifitas perekonomian kawasan yang masih sangat terisolir dan terbelakang. Namun demikian, tidak sedikit dari mereka yang menetap di kawasan Delta Mahakam melakukannya tanpa sepengetahuan otoritas setempat, karena alasan keamanan/ mencari aman. Menurut sejumlah informasi, saat itu perebutan sumberdaya (konflik) masih belum banyak terjadi, mengingat luasnya hutan mangrove yang masih bisa dimanfaatkan untuk kegiatan perkebunan kelapa dan pertanian, serta masih melimpahnya stok sumberdaya perikanan di kawasan tersebut. Gelombang besar migrasi selanjutnya terjadi di awal tahun 1970-an hingga menjelang 1990, dilakukan tidak hanya oleh migran etnik Bugis dan Makassar yang berasal dari Sulawesi saja, namun juga melibatkan migran etnik Bugis dan Makassar yang telah menetap di Samarinda dan kota-kota lain di sekitar Delta Mahakam (pantai timur Kalimantan). Para migran tersebut berdatangan ke kawasan di sekitar Delta Mahakam, seiring perkembangan kawasan ini akibat aktifitas eksplorasi dan eksploitasi
106
kegiatan
migas,
serta
beroperasinya
beberapa
industri
perikanan
ekspor.
Perkembangan tersebut, ditunjang oleh program pembangunan hingga kepelosok daerah yang dicanangkan pemerintah Orde Baru, yang berusaha menyelesaikan berbagai hambatan pembangunan yang ada dengan berbagai strategi. Salah satu strategi yang dilakukan di kawasan pantai timur Kalimantan (Delta Mahakam) adalah dengan memberikan kompensasi pembukaan area hutan mangrove untuk kegiatan pertambakan pasca penghapusan trawl bagi para nelayan lokal, serta pemberian sejumlah bantuan lunak untuk konversi dari kegiatan perikanan trawl ke dalam kegiatan perikanan non trawl seiring terbitnya Kepres No. 39/ 1980 dan Inpres No. 11/ 1982. Laju migrasi di kawasan Delta Mahakam mencapai puncaknya pasca terjadinya “booms udang”, yang memicu kenaikan harga udang secara fantastis pada 1987/ 1998 dan diikuti dengan terjadinya ledakan penduduk di dalam kawasan Delta Mahakam. Kondisi ini juga diperumit dengan adanya fenomena “migrasi instan” oleh penduduk dari Pulau Sulawesi, Pulau Jawa, Samarinda Seberang dan desa-desa lain disekitar delta Mahakam yang membuka/menjaga tambak-tambak baru dan berdomisili di dua tempat yang berbeda dengan memegang KTP ganda. Dari perbandingan data sekunder dan primer Lenggono (2004) berhasil menunjukkan terjadinya fenomena ”ledakan penduduk” di Desa Muara Pantuan, yang mengalami pertumbuhan sebesar 122 %. Dan yang lebih mengejutkan adalah hasil temuan lapang di salah satu RT yang mengalami pertumbuhan hingga 831 % hanya dalam 8 bulan, dari 39 KK berkembang-biak menjadi 363 KK. Dapat dibayangkan laju konversi hutan mangrove untuk area pertambakan dikawasan tersebut, bila semua Kepala Keluarga di RT tersebut adalah migran petambak yang setidaknya memiliki/ menjaga tambak seluas 2 – 10 Ha. Hanya dalam tempo delapan bulan disebuah RT terjadi konversi hutan mangrove menjadi area pertambakan seluas 648 – 3.240 ha. Para migran tersebut, tidak hanya berasal dari etnik Bugis dan Makassar di sekitar pantai timur Kalimantan dan Sulawesi, tapi juga etnik lain dari Sulawesi (Mandar dan Kaili), Timor, Flores, Madura serta Jawa (khususnya Lamongan) dan berbagai etnik lokal di pesisir pantai timur Kalimantan (Kutai, Tidung dan Banjar). Banyak diantara mereka
berorientasi
menjadi
petambak, namun
banyak
juga
yang berharap
mendapatkan pekerjaan sebagai penjaga empang atau kuli tambak dan pekerjaan lainnya yang mendukung kegiatan pertambakan. Akibatnya bisa diduga, konversi hutan mangrove untuk kegiatan pertambakan semakin meluas dan tak terkendali, bahkan banyak area perkebunan kelapa dan pertanian produktif yang kemudian dikorbankan manjadi hamparan tambak-tambak baru.
107
4.3
Penguasaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Agraria Berbicara tentang sejarah penguasaan dan pemilikan tanah di Kabupaten Kutai
Kartanegara, khususnya di kawasan Delta Mahakam, tidaklah mungkin memisahkannya dengan keberadaan Kerajaan Kutai Kartanegara, yang ketika berkuasa teritorinya hampir meliputi semua wilayah administratif Kabupaten Kutai Kartanegara, Kutai Barat, Kutai Timur, Kota Bontang, Samarinda, Balikpapan dan sebagian wilayah Kabupaten Paser dan Kabupaten Penajam Paser Utara. Pada masa lalu sebelum diberlakukannya UUD Panji Selaten, diduga hak kuasa kampung atas tanah diatur oleh Petinggi Kampung yang bertindak atas nama dirinya sendiri selaku tokoh persekutuan hidup untuk mengatur rumah tangga persekutuannya secara otonom termasuk dalam pengaturan peruntukan tanah. Namun sejak diberlakukannya UUD Panji Selaten, Petinggi Kampung bertindak atas nama kerajaan selaku tokoh masyarakat yang mendapatkan legitimasi kerajaan untuk mengatur peruntukan tanah di wilayah teritorinya. Artinya sejak saat itu pengertian hak kuasa kampung mengalami perubahan yang cukup drastis, karena hanya Sultan-lah yang memiliki tampuk kekuasaan mutlak atas tanah di wilayah Kerajaan Kutai Kartanegara. Meskipun hingga kini masih terjadi kontroversi, sejak kapan UUD Panji Salaten dan UU Beraja Nanti mulai diterapkan di wilayah Kesultanan Kutai, karena ada pendapat yang menyebut UUD tersebut mulai diterapkan sejak 1635 ketika Pangeran Sinum Panji Mendapa berkuasa (Amin, 1975; dan Adham, 1979). Sementara laporan Zwager pada 1853 yang diterjemahkan Prof. Taufik Abdullah (1985),
mencatat
“hundang-ngundang” yang disusun dalam bahasa Melayu, bercampur dengan kata-kata Kutai dan Dayak tersebut, baru diperkenalkan pada masa pemeintahan Sultan Anum Aji Muhammad Muslihuddin (1782-1816). Namun yang pasti, UUD Panji Salaten yang terdiri atas 39 pasal, serta UU Beraja Nanti yang mengatur pelaksanaannya (terdiri atas 164 pasal) menjadikan Kerajaan Kutai Kartanegara ing Martadipura sebagai kerajaan yang berkonstitusi, jauh sebelum Belanda menaklukkan Kesultanan Kutai pada 1844. Di dalamnya diatur hak kuasa atas tanah diwilayah Kerajaan Kutai Kartanegara, sekaligus menegaskan secara legal formal bahwa Kerajaan Kutai Kartanegara sebagai penguasa tunggal atas “dusun, kampung, negeri dan teluk rantau”, dimana raja dikukuhkan sebagai penguasa di seluruh teritorial kerajaan. Hal ini sekaligus menjadi pembenar apa yang dikemukakan Tauchid (1952), bahwa sejak jaman raja-raja di Nusantara berkuasa, hampir semua hukum tanah berdasar sistem feodal, dimana segala isi negeri (terutama tanah) adalah milik mutlak sang raja. “Tanah dikuasai raja dan rakyat yang mengerjakan dengan kewajiban menyerahkan hasilnya”, akibatnya rakyat menjadi alat untuk kekuasaan dan kehormatan sang raja. “Perbudakan” model ini memposisikan raja sebagai wakil Tuhan
108
di dunia, yang memberikan perlindungan dan rakyat diharuskan mengabdi pada raja sebagai bentuk pengabdiannya pada Tuhan dengan menyerahkan “bakti”. Raja mempunyai hak monopoli atas seluruh wilayah Kerajaan Kutai Kartanegara, dalam hal ini termasuk monopoli atas semua gua sarang burung, penggalian emas dan intan, serta pengambilan hasil-hasil hutan (Amin, 1979). Setidaknya pada masa berlakunya UUD Panji Selaten dan UU Beraja Nanti, status tanah di Kerajaan Kutai Kartanegara dapat di bagi dalam lima kategori (Sosronegoro, 1945 dalam Rachim, 1995). 1) Tanah Pengempoean, yaitu tanah milik sultan yang dipusakai secara turun temurun. 2) Tanah Limpah Kemoerahan, yaitu; a). Tanah yang dihadiahkan dengan surat raja (cap kuning) pada suku bangsa tertentu sebagai balas budi atas jasa-jasa yang mereka berikan pada kerajaan. b). Tanah yang dihadiahkan pada seseorang secara pribadi karena jasanya, dimana tanah tersebut dapat diwariskan. 3) Tanah Tajaran, yaitu tanah untuk perkebunan atau ladang yang menjadi milik kerajaan, jika diatasnya tidak terdapat ‟tajar‟ bahwa tanah tersebut sudah digarap seseorang. 4) Tanah Hoema, yaitu tanah perladangan yang dikerjakan penduduk kampung, jika selama tiga musim tanaman padi di tanah tersebut tidak dikerjakan, maka ia menjadi milik kerajaan dan boleh diserahkan pada penduduk kampung lain yang meminta izin untuk mengerjakannya. 5) Tanah Diam, yaitu tanah tempat tinggal untuk mendirikan rumah/ pondok, tanah tersebut menjadi milik perorangan yang mendirikan. Namun demikian, raja-raja Kutai Kartanegara saat itu tidak menganggap diri mereka memiliki kekuasaan atas tanah secara absolud, mengingat luasnya wilayah kerajaan dan minimnya jumlah penduduk. Sehingga tanah bukan menjadi sesuatu yang sangat berharga dan berarti sebagai unsur pembobot bagi sebuah kekuasaan. Mengingat Kesultanan Kutai termasuk kategori yang disebut Van Leur sebagai kerajaan maritim, yang secara struktural berbeda dari kerajaan agraris (Abdullah, 1985). Di wilayah Kerajaan Kutai, menurut catatan Zweger bahkan tidak ditemukan tanah desa atau ulayat yang setiap tahun dibagikan pada berbagai golongan penduduk yang berhak untuk dikerjakan; peraturan-peraturan yang mengikat kepentingan bersama kepada desanya dan hubungan yang mengutamakan kepentingan masyarakat umum, yang di Pulau Jawa sangat dikagumi. Meskipun demikian masyarakat setempat mengenal istilah “rodi”, untuk kerja wajib bagi setiap penduduk yang memiliki tanah; istilah itu menjadi penjelas hak “yang dipertuan” atas sebagian dari semua hasil tanah yang dikerjakan, sebagai ganti rugi atas “kedaulatan raja” atau pajak atas tanah. Yang berhasil ditemukan Zweger di daerah ini hanyalah penerapan zakat (sesuai hukum Islam) dan hak perorangan yang melekat pada setiap orang yang pertama kali membuka tanah hutan.
109
Umumnya sistem kepemilikan tanah di dalam wilayah kedaulatan Kerajaan Kutai Kartanegara pada masa lalu dilakukan dengan cara, meminta izin pada penguasa kerajaan (Sultan) melalui Petinggi Kampung dimana tanah tersebut berada, untuk mendapatkan hak membuka tanah, dengan jalan pewarisan dan memindah tangankan menurut hukum adat. Pada dasarnya setiap penduduk yang berdiam di dalam wilayah Kerajaan ini berhak untuk memiliki tanah perorangan. Tanah yang akan dimiliki tersebut syaratnya haruslah “tanah bebas”, artinya belum dimiliki oleh orang lain atau telah berpindah tangan karena dijual/ diberikan. Tanah kerajaan yang diberikan sebagai tanah hak milik perorangan, adalah tanah kosong atau telah ditinggalkan oleh penggarapnya sampai berpuluh-puluh tahun hingga sudah menjadi hutan rimba kembali. 4.3.1
Pra Kemerdekaan: Kesejahteraan Bagi Kaum Aristokrat Lokal dan Kolonial Pasca penaklukkan Kerajaan Kutai Kartanegara oleh Pemerintah Kolonial
Hindia Belanda pada 11 Oktober 1844 M, kebijakan atas pertanahan yang muncul kemudian merupakan produk campur tangan pemerintahan kolonial. Satu tahun setelah penaklukkan, Sultan Sulaiman mengeluarkan maklumat yang berbunyi: ”Segala tanah dan isinya seperti hasil hutan, pedulangan atau segala hasil dalam tanah dan di atas tanah yang ada dalam watas Kerajaan Kutai atau barang-barang yang menjadi peninggalan orang dahulu, yang terdapat dalam tanah yang disebut khazanah, semuanya seperti yang tersebut menjadi milik Kerajaan Kutai Kartanegara ing Martapura beserta rajanya”. Artinya tidak seorangpun yang boleh mengambilnya, jika tidak dengan perkenan atau titah sultan yang memerintah Kerajaan Kutai Kartanegara ing Martapura (Amin, 1975). Kebijakan ini menjadi dasar pijakan bagi Pemerintahan Kolonial Belanda sebagai yang dipertuan oleh Kerajaan Kutai Kartanegara untuk melakukan hegemoni penguasaan pertanahan atas daerah jajahan. Hal tersebut dilakukan pemerintah kolonial untuk menjamin kelancaran investasi modal-modal partikelir, khususnya dari Belanda dan sekaligus untuk membenarkan tindakan mereka dalam menguasai seluruh tanah di wilayah jajahan. Kondisi ini diperkuat dengan ditanda-tanganinya Lange contract antara penguasa Kerajaan Kutai, Sultan Sulaiman dan Everard Christian Frederick Happe, residen Kalimantan yang mewakili Pemerintah Hindia Belanda pada 17 Juli 1863. Sekaligus menandai dimulainya pemerintahan swapraja di daerah ini, yang kemudian dikenal dengan sebutan Landschap Kutai. Pemerintah Hindia Belanda kemudian membuat suatu dasar hukum, yang terkenal dengan istilah ”domeinler” yang tercantum pada Pasal 1 Agrarisch Besluit (1870), sehingga terbukalah kesempatan bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk menguasai tanah-tanah, diluar yang sungguh-sungguh dipakai oleh rakyat.
110
Jelasnya, dengan dicantumkannya ”domeinler” di dalam Agrarisch Besluit itu pemerintah kolonial menjadikan dirinya sebagai pemilik mutlak atas tanah jajahan. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi pemberlakuan politik pintu terbuka, yang banyak memasukkan modal asing, termasuk modal dari Belanda di tanah jajahan. Namun demikian, Agrarische Wet belum diberlakukan di luar pulau Jawa dan Madura, sehingga sejumlah perusahaan tambang yang beroperasi di wilayah Kesultanan Kutai Kartanegara pada masa itu, harus meminta izin atau konsesi dari Sultan. Akibatnya di wilayah Kerajaan Kutai Kartanegara, hukum tanah bersifat dualistis, yaitu; terdapat wilayah-wilayah yang status tanahnya dikuasai hukum Eropa dan hukum adat (kesultanan). Hak atas tanah bagi modal partikelir di daerah pemerintahan tidak langsung dinamakan concessie dan untuk daerah pemerintahan langsung disebut erfpacht. Hak concessie pernah diberikan Aji Sultan Muhammad Sulaiman pada 1882 untuk kegiatan penambangan batu bara yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda selama 75 tahun. Juga diberikan pada J.H. Menten pada 1889 untuk kegiatan eksploitasi minyak SangaSanga dan Mathilda Balikpapan. Pada tahun 1902, Sultan juga memberikan konsesi penambangan minyak kepada Koetei Exploratie Maatscappij (KEM). Pemberian konsesi penambangan minyak masih berlangsung terus hingga tahun 1922. Seiring dengan masuknya modal-modal partikelir yang membutuhkan hamparan tanah luas, pemerintah kerajaan mulai memungut pajak upeti pada rakyat serta daerah yang menjadi wilayah kekuasaannya. Padahal sebelumnya pihak kerajaan hanya memungut pajak dan cukai “puluhan” dari pada pedagang, dengan memungut sepersepuluh
persen
dari
barang-barang
yang
dibawanya.
Namun
dalam
perkembangannya pajak yang dipungut kerajaan ternyata juga meliputi; uang kepala, sewa tanah, pajak perahu, serta pajak penghasilan (intan/ emas). Meskipun saat itu penghasilan yang diperoleh kerajaan sudah sangat besar, berupa; gaji dari landschap Kutai, cukai dari hasil tanah milik pribadi sultan yang sangat luas, hasil penjualan sarang burung milik sultan, ganti rugi penguasaan Mahakam Hulu dan Vierkante-Pall Samarinda oleh Pemerintah Hindia Belanda, juga cukai hasil hutan, pungutan barangbarang perdagangan, serta cukai tambang batu bara dan royalti minyak BPM (Bataafsche Petroleum Maatschappij). Dari berbagai aktifitas pertambangan, kerajaan memperoleh keuntungan finansial yang luar biasa besarnya, sampai dengan tahun 1899 Sultan Kutai Kartanegara secara pribadi menerima penghasilan bagi hasil sebesar f. 2.000.000,-, belum termasuk hasil dari pungutan pajak (Magenda, 1994). Kondisi tersebut terjadi seiring ditemukannya minyak di Sanga-Sanga (kawasan Delta Mahakam) dan lapangan Mathilda Balikpapan oleh J.H. Menten yang mendapatkan konsesi pada 1889 dari
111
Sultan Aji Muhammad Sulaiman. Sejak saat itu keberadaan kawasan Delta Mahakam mulai dirasakan nilai manfaatnya oleh elit penguasa lokal saat itu. Situasi sejahtera tersebut, menurut Megenda (1994) memungkinkan para aristokrat Kutai Kertanegara memiliki standar kehidupan yang lebih tinggi dari aristokrataristokrat manapun di Nusantara bahkan dari orang-orang Eropa sekalipun. Dengan cara demikian Kesultanan Kutai Kertanegara memperoleh legitimasi dimata kerajaankerajaan yang telah ada sebelumnya, serta aristokrat-aristokrat di Jawa dan daerah lainnya di Nusantara. Namun ironisnya penghasilan yang diperoleh kerajaan tersebut menurut Amin (1975), sepenuhnya hanya dipergunakan untuk kesejahteraan pribadi raja beserta keluarganya. Hal ini dapat dilihat dari pembangunan istana yang indah dan modern di Kota Tenggarong, diadakannya perayaan erau setiap tahun untuk menyanjung-nyanjung kemegahan keluarga raja, serta melakukan „pesta‟ bersama pejabat-pejabat Pemerintah kolonial Hindia Belanda. Kelak berbagai realita tersebut akan menjadi salah satu penyebab ”ketidaksenangan” rakyat yang mengkristal menjadi sebuah penolakan atas kembalinya model pemerintahan Swaparaja (feodal) di Kutai. Ironisnya pemerintahan yang berlangsung saat itu tidak disokong lapisan aparatus yang menyebar dan dapat menjangkau seluruh lapisan wilayah beserta unitunit sosialnya, akibat orientasi para penguasa Kutai Kartanegara yang lebih didasarkan pada pertimbangan ekonomi. Kondisi ini menyebabkan Sultan sulit mengontrol secara langsung pemanfaatan dan penguasaan sumberdaya agraria dalam teritorinya, meskipun sultan telah mengangkat sejumlah Demang untuk mewakilinya. Seperti dilaporkan Levang (2002), sejumlah orang Banjar yang datang dan bermukim di Teluk Ladang (di sekitar kawasan Delta Mahakam) pada tahun 1930-an merasa perlu meminta izin dari Demang Sungai Tiram sebelum menetap di kawasan tersebut. Namun luasnya wilayah teritori kerajaan, menyebabkan banyak imigran, bahkan kegiatan usaha asing yang menetap/ beroperasi dikawasan yang tidak “tersentuh” aparatur pemerintahan tidak melaporkan keberadaan mereka. Seperti dialami sejumlah migran Bugis yang menetap di sekitar kawasan Delta Mahakam sejak akhir abad-19. Meskipun menjelang kemerdekaan, para petinggi kampung Muara Pantuan dilaporkan selalu menghadap Sultan Kutai Kartanegara setiap tahunnya dengan membawa sejumlah setoran pajak uang kepala/ belasting. Sebuah perusahaan Jepang dilaporkan juga membuka usaha penebangan kayu secara ilegal, karena merasa leluasa beroperasi tanpa meminta izin konsesi, sehingga terpaksa ditutup dan oleh pemerintah diberikan konsesi di Sangkulirang pada 1932. Sejak saat itu di wilayah Kerajaan Kutai Kartanegara setidaknya beroperasi dua perusahaan perkayuan milik Jepang, Nanyo Ringyo Kabushiki Kaisa di Sangkulirang dan Yamaka di dekat Delta Mahakam, selain keberadaan penggergajian uap pertama di Samarinda yang dibangun oleh Gray pada
112
1895 dan konsesi penebangan yang diberikan pada NV. Seliman Hout et Landbouw Maatschappij pada 1914 (Departemen Kehutanan, 1986). Pungutan pajak
“warga swapraja” di seluruh wilayah Kerajaan Kutai
Kartanegara secara efektif mulai dilakukan sejak Sultan Aji Muhammad Alimuddin (1899–1910) berkuasa. Ketika pemerintah kerajaan memberlakukan UU tahun 1904 yang mengatur kegiatan pengumpulan pajak, dimana pasal pertamanya berbunyi; ” Mulai dari tahun ini yaitu 1321 H, Kepala Negeri musti menerima uang kepala dari orang-orang yang kena bayaran itu menurut buku yang sudah ditetapkan oleh Sri Paduka tuan Sultan tersebut. Jikalau sudah menerima habis uang kepala itu maka Kepala Negeri atau suruhannya musti mengantar itu uang kepala ke Tenggarong. Buat kesusahan dari memungut uang kepala maka Kepala Negeri akan dapat pembayaran dari kerajaan”. Pada 16 September 1931, Sultan Aji Muhammad Parikesit juga memberlakukan Rondschrijven No: 1677/ 3-ZB, yang mengatur ketentuan hak-hak tanah untuk perkebunan tanaman keras. Selain peraturan mengenai tata cara penguasaan dan pemanfaatan tanah di wilayah Kerajaan Kutai Kartanegara yang dikeluarkan enam tahun sebelumnya (Rachim, 1985). 1. Barang siapa hendak membikin kebun tanaman yang bertahun, wajib memberitahukan terlebih dahulu kepada Penjawat (Camat) dimana tempat tanah yang diminta. 2. Tanah yang diminta itu musti diterangkan satu persatu dengan sebenarnya dan disebutkan juga luas tanah tersebut. 3. Segala tanah yang diminta untuk dijadikan kebun harus diselidiki dengan seksama, apabila luasnya tidak sebanding dengan kesanggupan si pemohon atau dipandang tidak cukup mengerjakan dengan segera maka tanah yang diminta itu harus dikurangi dan ditentukan berapa luasnya tanah yang telah diusahakan. 4. Dari tanah-tanah yang diminta itu terlebih dahulu yang bermohon memeriksa bersama-sama ”Petinggi Kapung” supaya jangan sampai terambil hak orang lain, seperti tanah bekas huma (ladang) yang masih akan dikerjakan atau dibuat keperluan lainnya. 5. Tanah yang belum diperiksa oleh Kepala ”Penjawat” (Camat) tidak boleh dikejakan, sedangkan tanah yang telah diperiksa akan dibuktikan dengan sehelai surat keterangan. Manakala seseorang telah mendapatkan izin untuk menggarap sebidang tanah dan diatasnya terdapat kuburan, maka orang tersebut tidak boleh mencabut tanda-tanda yang ada, serta wajib menjaganya jangan sampai terbakar. Demikian pula jika di tempat tersebut terdapat pohon buah-buahan yang telah ditanam oleh orang yang terdahulu, dibawah pohon tersebut tidak boleh ditanam tanaman keras (tahunan). 6. Manakala seseorang telah mendapatkan izin untuk menggarap sebidang tanah, maka ia harus segera mengerjakannya. Bila tanah tersebut belum dikerjakan dalam jangka satu tahun maka izin tersebut dicabut kembali dan kerajaan boleh memberi izin pada orang lain untuk mengerjakannya, sedangkan biaya yang sudah dikeluarkan tidak akan diganti. 7. Tanah belukar bekas perladangan yang tidak dikerjakan semala lima tahun berturut-turut izinnya akan dicabut dan akan diberikan pada orang lain untuk mengerjakannya, terkecuali ada tanda-tanda bekas dikerjakan oleh orang yang terdahulu.
113
8. Si pemilik kebun rotan atau kebun buah tidak mempunyai hak atas perwatasan di luar areal kebun tersebut. 9. Seseorang tidak berhak lagi atas tanah pusaka dari nenek moyangnya walaupun telah ada landasan hukumnya yang dikeluarkan oleh pemerintah kerajaan yang terdahulu, karena pemerintah Kerajaan Kutai telah mencabut kembali hak tersebut dari orang-orang yang pernah dikaruniai tanah (hak apanage). Ini berarti tanah jabatan telah ditiadakan dan kembali menjadi hak kerajaan. 10. Pengecualian dari hal tersebut di atas adalah mereka yang telah memperoleh hak erfacht di dalam tanag konsesi akan memperoleh hak milik atas tanah yang disyahkan oleh kerajaan. 11. Mereka yang belum memperoleh surat keterangan resmi dari Kepala Penjawat dilarang memasang tanda-tanda pemilikan atas tanah, sedangkan bagi mereka yang belum mengerjakan ladangnya lebih dari enam bulan setelah peraturan ini dikeluarkan, izin akan ditarik kembali oleh kerajaan. 12. Jika seseorang hendak menjual kebun, maka harus diperiksa lebih dahulu, supaya jangan terjual tanah kosong yang tidak ada tanamannya. 13. Mengenai tanah pekarangan rumah yang berada di ibu kota kecamatan dan yang diperoleh karena warisan atau pembelian, hak milik atas tanah tersebut diakui oleh pemerintah Kerajaan Kutai. Pada zaman pendudukan Jepang umumnya kebijakan pertanahan di Wilayah Kerajaan Kutai Kartanegara dan khususnya kawasan Delta Mahakam tidak mengalami perubahan yang berarti, yang ada adalah pemanfaatan tanah untuk peningkatan pangan bagi kepentingan ekonomi dan pasukan pendudukan Jepang. Untuk mendukung program tersebut, pemerintah militer Jepang tetap mempertahankan status Swapraja Kerajaan Kutai, sultan tetap diperkenankan menduduki tahtahnya dan dinobatkan sebagai Koo. Artinya Sultan Kutai dianggap sebagai keluarga Raja Jepang yang diharapkan dapat mempergunakan pengaruhnya untuk mendukung ekspansi militer Jepang. Meskipun Swapraja Kutai tetap diakui dipimpin oleh seorang sultan, namun keberadaannya berada dibawah pemerintahan Militer Samarinda Ken dengan kontrol langsung dari Seibu Kutai Bunken. Untuk
kepentingan
ekspansi
militernya,
pemerintah
militer
Jepang
menganjurkan rakyat membuka tanah-tanah hutan untuk perladangan dan persawahan seluas mungkin sesuai dengan kemampuan tenaga kerja yang tersedia, namun pemerintah militer Jepang, tidak memperdulikan status hukum tanah yang digarap oleh rakyat. Namun kebijakan pemerintah pendudukan Jepang, tidak dapat berlaku efektif di kawasan Delta Mahakam, akibat taktik “bumi hangus” Pemerintah Kolonial Hindia Belanda,
yang
membakar
dan
menghancurkan
sarana-prasarana
produksi
pertambangan minyak dikawasan ini, dengan maksud tidak dapat digunakan musuh. Juga serangan Jepang ketika menduduki kota Balikpapan dan Samarinda, yang mengakibatkan kerusakan sejumlah rumah dan perahu-perahu penduduk di sekitar kawasan Delta Mahakam yang menjadi pintu masuk bagi penaklukan kedua kota
114
tersebut. Akibatnya suasana perkampungan menjadi sepi karena penghuninya memilih mengungsi ke daratan Kalimantan yang lebih aman. Setelah tentara pendudukan Jepang berkuasa sepenuhnya di Indonesia, ditetapkanlah UU No. 1 tentang “Menjalankan Pemerintahan Balatentara”. Di dalamnya diatur ketentuan, bahwa balatentara Jepang untuk sementara waktu menjalankan pemerintahan militer di daerah-daerah yang didudukinya, dimana wilayah Kalimantan Timur di kendalikan oleh Pemerintah Militer Angkatan Laut (Armada Selatan ke-2) yang berkedudukan di Makassar. Namun demikian, semua badan pemerintah dengan kekuasaannya, serta hukum dan perundang-undangan produk Pemerintah Hindia Belanda untuk sementara waktu tetap diakui sah, selama tidak bertentangan dengan peraturan Pemerintah Militer Jepang. Pada prinsipnya Pemerintah Pendudukan Jepang menjalankan politik “mengabdi pada kepentingan perang”, termasuk di dalam melaksanakan kebijakan pertanahan di daerah pendudukan. 4.3.2
Pasca Kemerdekaan: Totalitas ”Hak Menguasai Negara” Setelah diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945,
daerah-daerah Swapraja warisan pemerintah kolonial Hindia Belanda dan pemerintah pendudukan Jepang, masih mendapatkan tempat di dalam UUD 1945. Di dalam Bab IV, Pasal 18 disebutkan bahwa; ”Pembagian daerah Indonesia atas dasar besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-Undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dan sistem pemerintahan negara dan hak-hak asal-usul dalam daerah yang bersifat istimewa”. Berdasarkan ketentuan tersebut, semua daerah Swapraja yang belum/ tidak dihapuskan oleh pemerintah pendudukan Jepang, dianggap tetap berlangsung berikut peraturannya. Pemerintah kolonial Belanda dalam usahanya untuk mengembalikan sistem penjajahannya di Indonesia, melakukan berbagai macam upaya, baik dengan aksi-aksi militer maupun politik memecah belah. Van Mook melalui konfrensi Malino (Juli 1946), Pangkal Pinang (Oktober 1946) dan Denpasar (Desember 1946), berhasil membentuk negara-negara boneka, termasuk Negara Federasi Kalimantan Timur (FKT) melalui wadah Dewan Gabungan Kesultanan Kalimantan Timur (DGKKT). Dewan ini terdiri dari Swapraja Kutai, Bulungan, Sambaliung, Gunung Tabur dan Neo Swapraja Pasir, dengan Aji Muhammad Parikesit (Sultan Kutai Kartanegara) sebagai ketua eksekutifnya. Sedangkan pelaksana pemerintahan harian dibentuk Bestuurcollege yang diketuai Aji Raden Afloes. Negara Federasi Kalimantan Timur ini kemudian diresmikan oleh Letnan Gubernur Jenderal Van Mook pada September 1947. Sampai dengan pengakuaan kedaulatan bangsa Indonesia oleh Belanda, sebagian besar masyarakat Kalimantan Timur yang berjiwa “Republiken”, tidak pernah
115
mendukung berdirinya Federasi Kalimantan Timur yang dianggap menghianati proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Pemerintahan Belanda di Kalimantan Timur sendiri mulai berakhir setelah Hollestelle (residen Kalimantan Timur terakhir) menyerahkan kekuasaannya pada Aji Raden Afloes sebagai wakil Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 27 Desember 1949. Meskipun demikian secara de facto Federasi Kalimantan Timur, masih tetap eksis menguasai pemerintahan Kalimantan Timur. Pada masa-masa transisi tersebut, Kerajaan Kutai Kartanegara kembali turut ambil bagian dalam usaha pembentukan Negara Kalimantan, sebagai usaha untuk memperpanjang usia keswaprajaan mereka (panitia pembentukannya diketuai A.P. Kartanegara, adik Sultan Kutai Kartanegara). Kondisi ini menyulut ”kemarahan” dari sejumlah organisasi kemasyarakatan Kalimantan Timur yang menuntut dihapusnya swapraja dan digabungkannya Federasi Kalimantan Timur menjadi bagian dari wilayah Republik Indonesia. Tuntutan tersebut berhasil memaksa Dewan Gabungan Kesultanan Kalimantan Timur (DGKKT), untuk menyetujui penggabungan daerah Kalimantan Timur ke dalam NKRI, hingga dikeluarkannya Keppres RIS No. 127 tahun 1950 pada 24 Maret 1950 yang menandai penghapusan Federasi Kalimantan Timur. Meskipun demikian, penguasa tradisional di wilayah ini yang terdiri atas empat kesultanan masih tetap diakui, sesuai Surat Keputusan Mendagri No. 186/ OPB/ 92/ 14 tertanggal 29 Juni 1950, tentang pembentukan Daerah Istimewa/ Swapraja Kutai, Bulungan dan Berau (meliputi Kesultanan Sambaliung dan Gunung Tabur). Sejak saat itu, Sultan Kutai menjadi Kepala Daerah Istimewa Kutai (setingkat daerah kabupaten), semantara ibukotanya dipindahkan dari Tenggarong ke Samarinda, sebelum kembali dipindahkan ke Tenggarong melalui sebuah resolusi yang dikeluarkan DPRD Peralihan pada 1957. Di dalam status keswaprajaannya, pada 1 Oktober 1953 pemerintah Daerah Istimewa Kutai masih sempat mengeluarkan peraturan mengenai tata cara pinjam sewa tanah di dalam wilayah Swapraja Kutai. Pada periode ini, juga ditandai dengan maraknya kegiatan penyelundupan oleh kapal-kapal Bugis dari Tawau (Malaysia) ke kota-kota di pantai timur Kalimantan (khususnya ke Tarakan dan Samarinda) dengan menggunakan jalur perairan kawasan Delta Mahakam yang terlindung. Para penyelundup membawa peralatan rumah tangga, pecah-belah, pakaian, barang-barang elektronik, makanan kaleng hingga bawang putih. Sementara dari kawasan ini mereka mengangkut lada, karet, kelapa, produk hutan dan perikanan. Sejak masa perang revolusi, Delta Mahakam juga menjadi salah satu tempat persembunyian para pejuang kemerdekaan (Levang 2002). Kawasan ini pun dilaporkan pernah menjadi basis perompakan kapal-kapal dagang yang keluar-masuk Sungai Mahakam. Praktis sejak 1950, kawasan Delta Mahakam yang termasuk dalam Daerah Istimewa Kutai seolah-olah kembali ke masa kesultanan, karena diperintah secara
116
tunggal. Sampai diundangkannya UU No. 27 Tahun 1959, ketika Daerah Istimewa Kutai dipecah menjadi tiga Daerah Swatantra Biasa, yaitu Daerah Tingkat II Kutai, Kotapraja Samarinda dan Balikpapan. UU ini sekaligus menghapus keberadaan tiga Daerah Istimewa/ Kesultanan yang ada di Kalimantan Timur, mengingat tidak disebutnya status Daerah Istimewa Kutai, Bulungan dan Berau di dalamnya. Realisasi penghapusan Daerah Swapraja/ Istimewa Kutai secara formal, dilakukan pada 20 Januari 1960, ketika Kepala Daerah Tingkat II Kutai pertama dilantik di Samarinda oleh Gubernur Kepala Daerah Kalimantan Timur. Peristiwa tersebut menjadi penutup sejarah pemerintahan Kerajaan Kutai Kartanegara yang telah berusia + 660 tahun. Sekaligus membawa konsekuensi beralihnya kewenangan memungut royalti kegiatan pertambangan dan pajak kegiatan ekonomi ke tangan Pemerintah Pusat. Sejak saat itu, hukum pertanahan di Kutai Kartanegara mengacu kembali pada rumusan Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945, bahwa; ”Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Konsepsi inilah yang kemudian disebut sebagai Hak Menguasai Negara, yang menjadi dasar perumusan UUPA 1960. Di dalam kebijakan pertanahan, “Hak Menguasai Tanah” menjadi hak tertinggi yang dikenakan terhadap tanah melebihi hak apapun, termasuk hak milik. UUPA memberi kewenangan yang kuat dan sangat luas pada Negara melalui ”Hak Menguasai Negara”, seperti dinyatakan UUPA. Meskipun telah menghapuskan asas domein, UUPA masih memberikan kekuasaan yang besar dan wewenang yang sangat luas bagi Negara untuk mengatur alokasi atas sumber-sumber agraria. Akibatnya eksistensi hak-hak rakyat atas sumberdaya agraria dan kebijaksanaan alokasi sumberdaya alam menjadi sangat tergantung pada suasana politik-hukum dan kepentingan Negara (kekuasaan). Panasnya situasi politik pada dasawarsa 1960-an di Indonesia, ternyata juga mengimbas pada kehidupan politik dan pemerintahan di Kalimantan timur. Panglima Komando Daerah Militer IX/ Mulawarman, sebagai pemilik otoritas tertinggi pada masa darurat perang di Propinsi Kalimantan Timur, melakukan banyak intervensi terhadap kegiatan pemerintahan daerah. Pada masa itu banyak pejabat daerah yang berseberangan dengan kebijakan Penguasa Perang Daerah (Peperda) dijebloskan ke rumah tahanan, diantaranya adalah Bupati Kutai pertama, Aji Raden Padmo beserta keluarganya yang dituduh bekerjasama dengan subversif asing. Sikap Suhardjo sebagai Panglima Komando Daerah Militer IX/ Mulawarman yang anti feodalisme tersebut, dimanfaatkan oleh Front Nasionalis yang berhasil mengorganisir massa untuk melakukan penghancuran terhadap Keraton Kutai di Tenggarong. Akibatnya sebagian besar patung-lambang kesultanan, gambar-gambar sultan beserta pakaian-pakaian kebesarannya dibakar, tiang bendera kerajaan yang tingginya 30 meter ikut dirobohkan
117
(Soetoen, 1975). Peristiwa pengganyangan terhadap feodalisme ini, berlangsung berbarengan dengan aksi konfrontasi dengan Malaysia. Masyarakat melalui penguasa-penguasa setempat seperti camat dan petinggi/ kepala
kampung
pun
diwajibkan
mengerahkan
funds
and
forces-nya,
untuk
mensukseskan jalannya revolusi. Seperti menyediakan alat-alat pengangkutan, tenaga, serta kesediaan untuk selalu menghadiri rapat-rapat raksasa/ akbar, ceramahceramah/indoktrinisasi dan seterusnya. Di bidang administrasi kedaerahan banyak ditunjuk pemimpin-pemimpin yang lebih banyak menonjolkan kekerasan dan kekuasaan daripada kebijakan yang berdasarkan hukum, kebijakan pertanahan pun mengalami couptasi. Menurut Soetoen (1975), “pada masa itu seorang bupati dapat diperintah oleh seorang sersan, demikian juga seorang camat yang tidak mampu melaksanakan tugas revolusi dapat diganti begitu saja”. Baru pada 1967 ketika rezim Orde Baru berkuasa, kondisi pemerintahan di Kabupaten Kutai mulai berjalan lebih kondusif. Pada masa tersebut muncul gagasan pemekaran wilayah, untuk mengantasipasi sulitnya pelaksanaan pembangunan, serta pengawasan dan pembinaan daerah, akibat luasnya wilayah Kebupaten Kutai. Berdasarkan resolusi DPRGR bernomor 5/ Res/ DPRGR/ KK/ 1967, Kabupaten Kutai pernah diwacanakan dibagi menjadi tiga, Kabupaten Kutai (induk) dengan ibukota Tenggarong, Kabupaten Ulu Mahakam dengan ibukota Barong Tongkok dan Kabupaten Pantai yang wilayahnya meliputi kawasan Delta Mahakam dengan ibukota Samboja. Meskipun gagasan tersebut dimentahkan Gubernur Kalimantan Timur yang waktu itu baru dijabat A. Wahab Syahranie, yang lebih memilih mengoptimalkan peranan daerah Kotamadya Samarinda dan Balikpapan, sehingga dapat melaksanakan otonomi seluasluasnya sesuai Tap MPRS No. XXI/ MPRS/ 1966. Namun ide tersebut hingga saat ini masih terus ”berkobar”, mewujud dalam tuntutan pemekaran Kabupaten Kutai Pantai yang wilayahnya juga meliputi sebagian besar kawasan Delta Mahakam. Atas dasar pengoptimalan peranan daerah Kotamadya Samarinda dan Balikpapan, dikeluarkanlah SK Gubernur Kalimantan Timur No. 55/ TH-Pem/ SK/ 1969, tentang Penyempurnaan dan Penegasan SK Gubernur Kalimantan Timur No. 18/ THPem/ SK/ 1969, mengenai penetapan batas dan luas daerah Kotamadya Samarinda dan Balikpapan. Sejak saat itu wilayah Kabupaten Kutai seluas 2.947 Km², yang meliputi; Kecamatan Palaran, Kecamatan Sanga-Sanga dan sebagian Kecamatan Samboja, serta Kecamatan Muara Jawa yang wilayahnya melingkupi sebagian kawasan Delta Mahakam, diserahkan pada Pemerintah Kotamadya Samarinda. Artinya, kawasan Delta Mahakam secara administratif pernah berada di bawah dua otoritas pemerintahan, yaitu Kabupaten Kutai dan Kotamadya Samarinda, sebelum dikembalikan lagi ke Kabupaten Kutai pada 1987, sesuai PP No. 21 tahun 1987.
118
Sementara di level pusat, pemerintahan Orde Baru “dipusingkan” oleh tingkat inflasi yang sangat tinggi dan hutang luar negeri yang amat besar. Keadaan ini sangat menghambat pelaksaanaan Tap MPRS No. XXIII/ MPRS/ 1966, yang mengamanatkan pembaharuan landasan ekonomi, keuangan dan pembangunan, akibat keterbatasan dana, pengalaman dan penguasaan teknologi untuk menggali dan mengolah sumbersumber ekonomi potensial yang dimiliki negara. Salah satu tindakan pertama pemerintahan Orde Baru adalah membuka lebar-lebar semua pintu ke dunia Barat, tidak hanya ke negara-negara Eropa tetapi juga ke Amerika dan Jepang. Pemerintah menempuh cara pemanfaatan modal, teknologi dan pengalaman luar negeri, dengan menetapkan UU No. 1 tahun 1967, tentang Penanaman Modal Asing. Untuk lebih menarik penanam modal asing undang-undang ini juga memuat ketentuan tentang pembebasan lahan, serta kelonggaran perpajakan dan fasilitas lainnya, yang diharapkan mampu mengundang secara besar-besaran penanaman modal besar, baik modal asing maupun dalam negeri. Selanjutnya melalui instrumen UU No. 5 Tahun 1967, tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan, penguasaan dan prosedur pengelolaan hutan pun diatur secara tegas oleh negara. Unifikasi hukum nasional ini memliki arti strategis dalam mengamankan kepentingan negara dan para pemodal besar, seperti diamanatkan UU No. 1 tahun 1967, karena akan menggantikan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan, yang sebagian besar berasal dari zaman kolonialisme Belanda dan feodalisme lokal yang beranekaragam coraknya. Hasilnya seperti yang diharapkan pemerintah, sebuah konsorsium internasional (baca: IGGI) menyetujui penangguhan pembayaran hutang dan nilai rupiah dapat distabilkan dengan mengaitkannya dengan dollar AS. Sebagai gantinya, sebagian besar milik asing yang disita pada 1957 sedikit demi sedikit dikembalikan kepada pemiliknya dan konsesi-konsesi baru diberikan, khususnya konsesi minyak bumi dan kehutanan (Lombard, 2005). Yang datang mengalir tidak hanya modal, tetapi juga para ahli yang kini bersifat “internasional”. Sementara konfrontasi dengan Malaysia segera dihentikan dan Indonesia menjadi anggota ASEAN, pengelompokan negara-negara pro-Barat. Berbagai prakondisi „pembangunanisme‟ ekonomi politik Orde Baru tersebut menurut Damanhuri (2009), dilatarbelakangi oleh beberapa tesis berikut; pertama, memberikan prioritas utama untuk pencapaian target pertumbuhan ekonomi tinggi, yang dalam penafsiran dan implementasinya diserahkan pada beberapa tim khusus ekonomi (Tim Widjojo, Tim CSIS, Tim Sumarlin dan Tim Habibie), yang secara teknokratis menempatkan aliran modal Barat dan Jepang dalam rangka industrialisasi subtitusi import (ISI) maupun promosi ekspor (IPE). Kedua, membangun setting politik yang menempatkan presiden, ABRI, birokrasi dan Golkar, sebagai pencipta stabilitas politik yang monolitik untuk mendukung at-all-cost suksesnya program-program ekonomi.
119
Ketiga, menempatkan target spesifik swasembada beras dengan memanfaatkan gelombang “revolusi hijau”, sebagai penyangga dasar terciptanya stabilitas ekonomi politik. Keempat, memberikan fasilitas dan perlindungan tarif maupun non tarif kepada kelompok
big-businnes
(konglomerasi)
yang
diasumsikan
sebagai
lokomotif
pertumbuhan ekonomi. Dan kelima, memilih langka represi politik dan militer dalam menghadapi setiap halangan, gangguan dan ancaman terhadap semua instrumen ekonomi dan politik yang tercipta. Di dalam prakteknya keberadaan UU No. 5 Tahun 1967, telah menyebabkan pemerintah daerah di Kalimantan Timur menikmati desentralisasi kewenangan pengelolaan hutan. Kala itu peraturan perundangan membolehkan Gubernur dan Bupati menerbitkan konsesi kayu dengan luas tidak melebihi 5.000 Ha. Sementara pemerintah pusat berwenang menerbitkan konsesi dengan luas 5.000 Ha s/d 10.000 Ha. Karena prosedur untuk mendapatkan konsesi hutan dari pemerintah pusat lebih sulit daripada yang diberikan oleh Gubernur atau Bupati, dalam prakteknya kegiatan penebangan kayu lebih banyak yang menggunakan izin dari pemerintah daerah (Simarmata, 2008). Besarnya skala penebangan kayu melalui skema ini tidak lepas dari banyaknya penyimpangan dalam prakteknya. Konsesi lebih banyak diberikan kepada keluarga dekat para Gubernur dan Bupati. Namun demikian, sejumlah penduduk lokal yang tinggal di sekitar dan dalam hutan, walau hanya mendapatkan izin dari Camat, sudah berani menebang kayu di hutan (Magenda 1991). Kebijakan Dirjen kehutanan yang didasarkan atas pertimbangan, “pengusaha besar maupun kecil harus diberikan kesempatan yang sama, sesuai dengan kekuatannya masing-masing”, setidaknya ikut memperparah terjadinya penyimpangan yang terjadi. Ketika luasan area hutan yang dieksploitasi di setiap propinsi, 70 – 80 persen diberikan kepada pengusaha besar sebagai konsesi dan
20 – 30 persen
diberikan pada pengusaha kecil, dengan izin tebang dan persil tebangan (Dephut, 1986). Setidaknya menjelang tahun 1970 di Kabupaten Kutai telah beroperasi 272 unit perusahaan (kappersil) dengan luas area penguasahaan mencapai 368.650 Ha, belum termasuk izin pengusahaan hutan seluas 497.600 Ha yang dikeluarkan Gubernur Kalimantan Timur (Soetoen, 1975). Kondisi inilah yang kemudian memicu munculnya fenomena penebangan kayu secara massal dan dapat dilakukan oleh siapapun dengan moda produksi tradisional, yang oleh masyarakat Kalimantan Timur dikenang sebagai masa banjirkap. Dimana penduduk menebangi kayu di dalam hutan, lalu menumpuknya di tepi sungai pada musim kemarau dan menghanyutkan kayu-kayu bundar tersebut ke log pond yang berada di sepanjang Sungai Mahakam ketika musim penghujan datang, sebelum dikapalkan ke Jawa/ luar negeri. Peristiwa pembabatan hutan secara kolosal tersebut,
120
terjadi menjelang tahun 1970 hingga awal 1980-an. Menariknya seluruh konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang diberikan baik semasa banjirkap maupun setelah pemberlakuan PP No. 21/ 1970, tidak satupun yang berlokasi di delta Mahakam (Simarmata, 2008). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh minimnya potensi tegakan kayu di kawasan Delta Mahakam yang dianggap ekonomis untuk diperdagangkan, selain faktor pemberian izin pemanfaatan hasil hutan yang dikuatirkan bertumpangtindih dengan kegiatan pertambangan yang dianggap lebih menguntungkan. Keberadaan konsesi pertambangan di kawasan Delta Mahakam juga tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan UU No.11 tahun 1967, tentang Ketentuan Pokok Pertambangan. UU ini dimaksudkan untuk menjaring “para pemain asing” disektor pertambangan yang padat modal. Salah satu kawasan yang ditawarkan adalah pemberian konsesi kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas di Blok Mahakam, yang pada 1970 dimenangkan oleh Total E&P Indonesie bersama Japex atau Inpex Coorporation. Setelah melakukan eksplorasi selama 2 tahun, pada tahun 1972, Total yang berkantor pusat di Paris dan mulai membuka kantornya di Jakarta pada 1968 ini, akhirnya menemukan ladang minyak Bekapai pada 1972 dan Handil pada 1974, di lepas pantai Delta Mahakam. Kedua lapangan minyak ini berproduksi pada 1974 dan 1975, puncak produksinya terjadi pada 1977 yang mencapai 230.000 barel minyak per hari. Setidaknya pada 1971, di pantai timur Kalimantan telah beroperasi 8 buah perusahaan internasional, diantaranya Total (Prancis), British Petroleum (Inggris), Shell (Inggris-Belanda), Roy Huffington (USA), Union Oil (USA), Kyusu (Jepang), Continental (USA) dan perusahaan minyak negara Pertamina (lihat Gambar 5.)
Gambar 5. Pembagian Konsesi Minyak Bumi pada 1971 menurut The Time 1971 Sumber: Lombard (2005)
121
Pada tahap selanjutnya Total E&P Indonesie yang pada 1999 berganti nama menjadi Total Finaelf Indonesie ini (hasil merger Compagnie Francaise de Petroles yang didirikan pada 1924 dengan PetroFina yang berdiri pada 1920), menemukan potensi Hidrokrabon yang sangat besar di lapangan gas alam Tambora, Tunu, Sisi, Nubi dan Peciko. Produksi hidrokarbon dari Blok Mahakam yang dikelola Total Finalelf Indonesie, puncak produksinya terjadi pada Maret 2004, mencapai 566.500 boepd termasuk 2.725 MMscfd gas. Sampai dengan tahun 2009, telah 1000 sumur yang di bor di blok Mahakam oleh Total FinaElf Indonesie, dengan total produksi 13 CTF gas dan lebih dari 1 juta barel minyak dengan investasi senilai US $ 13 Milyar. Setidaknya mempekerjakan 4.000 karyawan dan secara tidak langsung menghasilkan pekerjaan bagi 20.000 orang. Pada 2009, Total FinaElf Indonesie menargetkan produksinya sebesar 92.400 barel minyak dan 2.600 MMSCFD gas perhari (Kaltim Post, 2009). Setelah beroperasi selama 20 tahun, pada 1991 Total Finaelf Indonesie kembali mendapatkan perpanjangan kontrak keduanya sampai dengan 2017 dari pemerintah pusat.
Gambar 6. Peta Sebaran Konsesi Migas di Kawasan Delta Mahakam dan sekitarnya Sumber: PKSPL-IPB, 2002
122
Sementara itu besaran potensi perikanan di kawasan Delta Mahakam dan sekitarnya, ternyata juga menarik sejumlah PMA dan PMDN yang bergerak di sektor industri perikanan ekspor untuk menanamkan modalnya di wilayah ini. Di dalam prakteknya para pemodal asing biasanya mengajak pemodal nasional untuk “berbagi beban” dengan cara membentuk perusahaan joint venture. Setidaknya pada 1974 telah berdiri sebuah perusahaan industri perikanan ekspor (PMA) dari Jepang, Misaya Mitra di Sungai Meriam dan Samarinda Cendana Cold Storage (PMDN) yang mulai beroperasi empat tahun setelahnya. Perusahaan-perusahaan eksportir perikanan tersebut melakukan hubungan simbiosis mutualisme, bekerjasama dengan para nelayan lokal yang membutuhkan sokongan dana besar dalam kegiatan perikanan tangkap, mengeksploitasi hasil perikanan disekitar Kawasan Delta Mahakam dan Selat Makassar yang sangat melimpah. Upaya kerjasama dalam kegiatan pengusahaan perikanan ekspor dilakukan dalam bentuk yang khas. Perusahaan industri perikanan ekspor memberikan berbagai bantuan modal (sarana dan prasarana produksi) pada para nelayan setempat, sebagai imbalan pihak perusahaan akan menerima keseluruhan hasil produksi perikanan dari para nelayan tersebut, berikut pengembalian modal produksi secara bertahap hingga lunas. Meskipun para nelayan lokal mendapatkan berbagai kemudahan dan keuntungan dalam pola hubungan produksi seperti itu, namun keuntungan yang diperoleh melalui penanaman modal besar tersebut, tetaplah mengalir deras kepada para pemodal besar (perusahaan eksportir). Artinya para nelayan kecil atau buruh nelayan dan para buruh pabrik, selalu saja menjadi “alas struktur sosial” bagi kemakmuran lapisan sosial lainnya, yakni para pemodal besar (perusahaan eksportir). Akibatnya peningkatan produksi di sektor perikanan berjalan seiring dengan terjadinya ketimpangan kaya-miskin yang cenderung melebar, sementara keuntungan terdistribusi secara tidak adil, keluar dari kawasan Delta Mahakam.
123
Tabel 5. Kronologis Kebijakan Penghapusan Jaring Trawl Keputusan Pemerintah SK. Mentan No. 01/ Kpts/ UM/ 1/ 1975
Dasar Kebijakan Pembinaan kelestarian kekayaan laut yang terdapat dalam sumber perikanan Indonesia
SK. Mentan No. 02/ Kpts/ Um/ 1/ 1975
Pembinaan kelestarian kekayaan yang terdapat dalam sumber perikanan di perairan laut Irian Jaya
SK. Mentan No. 03/ Kpts/ Um/ 1/ 1975
Ketentuan lebar mata jaring purse seine untuk penengkapan ikan kembung, selar, lemuru dan ikan pelagis sejenisnya Pengendalian daerah penangkapan di Laut Jawa dan Selat Madura Jalur-jalur penangkapan ikan
SK Mentan No. 317/ Kpts/ Um/ 7/ 1975 SK Mentan No. 607/ Kpts/ Um/ 9/ 1976 SK. Mentan No. 608/ Kpts/ Um/ 9/ 1976 SK. Mentan No. 609/ Kpts/ Um/ 9/ 1976
Keppres No. 39 Tahun 1980 SK. Mentan. No. 503/ Kpts/ Um/ 7/ 1980 SKB Mentan, Mendagri dan Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 596/ Kpts/ Um/ 8/ 1980, No. 183/ 1980 dan No. 345/ Kab/ VIII/ 1980 Tgl 28-08-1980 SK. Mentan No. 633/ Kpts/ Um/ 9/ 1980 SK. Mentan No. 694/ Kpts/ Um/ 9/ 1980 SK. Mentan No. 542/ Kpts/ Um/ 6/ 1981 Inpres No. 11 Tahun 1982 SK. Mentan No. 545/ Kpts/ Um/ 8/ 1982 Kepres No. 85. Tahun 1982
Penetapan jalur penangkapan bagi kapal-kapal milik perusahaan perikanan negara Daerah penangkapan kapal trawl dasar
Penghapusan Jaring Trawl Langkah-langkah pelaksanaan penghapusan jaring Trawl Petunjuk pelaksanaan pengalihan kapal perikanan bekas trawl
Petunjuk pelaksanaan Keppres No. 39/ 1980 Pembatasan daerah penangkapan ikan bagi usahausaha perikanan yang menggunakan jaring trawl Penetapan jumlah kapal trawl di Daerah Tingkat I di luar Jawa, Bali dan Sumatera Melarang penggunaan jaring trawl di seluruh wilayah perairan Indonseia Pelaksanaan Inpres No. 11 Tahun 1982 tentang penghapusan jaring trawl Pemberian izin penangkapan udang dengan pukat udang sebagai pengganti jaring trawl
Sumber: Disarikan dari Berbagai Sumber
Aspek Pengaturan Penutupan daerah/ musim penangkapan diperairan tertentu bagi salah satu, beberapa atau semua jenis kegiatan penangkapan, serta pengendalian kegiatan penangkapan yang meliputi penentuan jenis, ukuran dan jumlah kapal yang akan dioperasikan, penentuan lebar mata jaring dan jenis peralatan penangkapan lainnya dan penentuan kuota hasil penangkapan. Mengatur daerah perairan lajur pantai dihadapan daratan Irian Jaya dan disekitar pulau yang berada di lingkungan perairan Irian Jaya yang dibatasi oleh isobat 10 meter, dinyatakan tertutup bagi semua kegiatan penangkapan dengan jaring trawl; serta melarang penggunaan kapal jenis pair trawl dengan lebar mata jaring kurang dari tiga cm dibagian kantongnya bagi semua kegiatan penangkapan udang/ ikan diperiaran Irian Jaya. Melarang semua kegiatan penangkapan jenis ikan dimaksud dengan menggunakan purse seine bermata jaring kurang dari dua inci di bagian sayapnya dan kurang dari satu inci di bagian kantongnya. Mengatur operasi kapal motor berukuran 35 PK atau lebih hanya diizinkan beroperasi di luar jarak 10 Mil dari garis pantai. Membagi beberapa beberapa perairan pantai di Indonesia menjadi empat jalur penangkapan dan mengatur ukuran mata jaring yang boleh dipakai. Pentunjuk operasi di jalur penangkapan II yang termaksud dalam SK Mentan No. 607/ Kpts/ UM/ 9/ 1976. Membagi wilayah perikana demersal di lingkungan perairan wilayah Indonesia menjadi empat; Daerah penangkapan A, meliputi perairan samudra Hindia dari Sumatera hingga Timor Daerah penangkapan B, meliputi sebagian Samudera Hindia, Selat Malaka dan bagian selatan Laut Cina Selatan Daerah penangkapan C, meliputi Selat Karimata, Laut Jawa dan Selat Makassar Daerah penengkapan D, meliputi perairan wilayah timur Indonseia Penghapusan dilakukan secara bertahap, dimulai dari daerah perairan laut yang padat nelayan di Pulau Jawa dan Bali. -
-
Terhitung sejak 1 Januari 1983 (tahap kedua), dikawasan timur Indonesia tidak boleh ada lagi kapal trawl. Khusus untuk daerah Kei, Tanimbar, Aru, Irian Jaya dan Arafura, dengan justifikasi perizinan diusahakan secara optimal oleh nelayan tradisional.
124
Meskipun demikian, kehadiran perusahaan-perusahaan cold storage yang memerlukan pasokan hasil perikanan dalam jumlah besar dan menawarkan harga yang lebih menarik tersebut, memiliki arti penting bagi perkembangan kegiatan perikanan tangkap di kawasan Delta Mahakam. Keberadaan industri perikanan skala ekspor tersebut, setidaknya mampu membangkitkan gairah usaha perikanan tangkap lokal, yang selalu di bawah bayang-banyak sektor pertambangan migas. Produksi perikanan di pantai timur Kalimantan melangalami peningkatan pesat. Sampai dengan tahun 1979, satu tahun sebelum diberlakukannya PP No. 39/1980, yang melarang penggunaan jaring trawl, produksi perikanan tangkap Kalimantan Timur telah mencapai 37.433 ton. Penghapusan jaring trawl tersebut, diberlakukan pemerintah menyusul terjadinya beragam konflik antara nelayan tradisional dengan nelayan jaring trawl yang beroperasi di Jalur Penangkapan I. Padahal sesuai SK Mentan No. 607/ KPTS/ UN/ 9/ 1976, tentang Jalur-Jalur Penangkapan Ikan, pukat harimau/ jaring trawl dilarang digunakan pada Jalur Penangkapan I (seperti ditunjukkan Tabel 5.). Pada 1999, Jalur Penangkapan I direvisi menjadi enam mil dari pantai berdasarkan SK Mentan No. 392 tahun 1999. Penghapusan jaring trawl tersebut dilakukan secara bertahap, dimulai dari daerah perairan laut yang padat nelayan di Pulau Jawa dan Bali, selanjutnya diterapkan di seluruh wilayah Indonesia. Penghapusan jaring trawl di kawasan timur Indonesia, seperti; Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara Barat dan Timur, serta Irian Jaya yang pada tahap kedua masih terdapat sekitar 1000 unit kapal jaring trawl, baru secara efektif terlarang penggunaannya sejak 1 Januari 1983 (Soewito, 2011). Dalam penerapan peraturan tersebut, pemerintah sepertinya menghadapi berbagai kendala dilapangan akibat lemahnya low enforcement, serta minimnya fasilitas dan aparat yang mampu diterjunkan untuk melakukan penertiban atas berbagai pelanggaran di laut. Mengingat luasnya perairan laut nusantara dan semakin canggihnya modus operandi yang dipraktekkan nelayan Indonesia ataupun kapal asing dalam mensiasati penerapan Keppres No. 39/ 1980. Di kawasan Delta Mahakam misalnya, meskipun penggunaan trawl telah ditindak dengan sangat tegas, namun tetap saja ada nelayan yang menggunakan alat tangkap trawl secara “sembunyi-sembunyi” sehingga tidak terlacak aparat. Menariknya pasca reformasi, alat tangkap trawl tidak lagi digunakan secara sembunyi-sembunyi, para nelayan di kawasan Delta Mahakam secara terang-terangan menggunakan “peralatan terlarang” ini secara massal tanpa kuatir untuk ditindak aparat, karena bagi mereka trawl telah menjadi salah satu solusi untuk mendapatkan hasil tangkapan yang lebih baik ditengah lesunya produksi perikanan tangkap.
125
4.3.3
Kondisi Mutakhir: Pelarangan Trawl, Illegal Fishing, hingga Pertambakan Ilegal Penghapusan jaring trawl secara total yang pelaksanaannya mulai dlterapkan
secara ketat menjelang tahun 1983, ternyata tidak berimbas pada penurunan produksi perikanan di pantai timur Kalimantan. Hal ini terlihat dari data statistik perikanan laut Propinsi Kalimantan Timur yang tetap menunjukkan kecenderungan peningkatan dari tahun ke tahun dan baru mengalami penurunan dan menunjukkan fluktuasi produksi menjelang tahun 1997 (lihat Gambar 7.). Data tersebut, sekaligus membantah kesimpulan berbagai penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa larangan penggunaan jaring trawl sejak 1983 telah memukul usaha penangkapan ikan di pantai timur Kalimantan. Yang ada, larangan penggunaan jaring trawl hanyalah memukul industri perikanan ekspor, yang sebagian besar produksinya ditopang oleh hasil tangkapan dari kapal-kapal pukat harimau bertonase besar milik mereka sendiri, maupun milik nelayan-nelayan modern yang menjadi klien mereka. Setidaknya sejak tahun 1980 hingga 1986, sebagian industri perikanan ekspor mengalami penurunan produksi dan baru mengalami peningkatan ketika perusahaan-perusahaan industri perikanan ekspor tersebut berhasil mendorong dilakukannya modernisasi armada perikanan tangkap milik nelayan lokal menjelang tahun 1986. Sementara jumlah RTP laut menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Jumlah RTP (KK)
Produksi (Ton)
120,000
100,000
80,000
60,000
40,000
20,000
19 80 19 81 19 83 19 84 19 85 19 86 19 87 19 88 19 89 19 90 19 91 19 92 19 93 19 94 19 95 19 96 19 97 19 98 19 99 20 00 20 01 20 02 20 03 20 04 20 05 20 06 20 08
0
Tahun
Gambar 7. Perbandingan Jumlah RTP Laut dengan Produksi Perikanan Laut Propinsi Kalimantan Timur Sumber: Data Primer Diolah dari Laporan Tahunan Dinas Perikanan Kalimantan Timur 1979 – 2009 Keterangan:- Luas area perairan laut Kalimantan Timur mencapai 44.893 Km² - RTP adalah Rumah Tangga Perikanan
126
Hanya sebagian nelayan tradisional yang merasa terpukul dengan pelarangan penggunaan jaring trawl, karena banyak diantara mereka yang sebelumnya tidak menggunakan jaring trawl, bahkan sebagian besar masyarakat di sekitar Delta Mahakam, seperti Sepatin dan Muara Pantuan diketahui sebagai nelayan-nelayan yang anti terhadap kapal trawl. Pelarangan trawl hanyalah sebuah momentum bagi masyarakat
setempat
untuk
membangun
strategi
adaptasi
baru
dalam
“mempertahankan diri”, ketika peningkatan taraf kehidupan tidak berhasil mereka capai. Setidaknya terdapat beberapa pilihan strategi yang mereka kembangkan; pertama, bertahan sebagai nelayan non trawl atau tetap menjadi nelayan trawl yang beroperasi secara “sembunyi-sembunyi” untuk menghindari resiko penangkapan oleh aparat. Menariknya hingga saat ini, setelah 30 tahun PP No. 39/1980 diterapkan, penggunaan jaring trawl yang dapat dikategorikan “illegal fishing” tersebut, masih tetap ramai dipraktekkan nelayan setempat, tanpa mampu ditertibkan aparat penegak hukum. Pilihan kedua, keluar dari kegiatan usaha perikanan, dengan beralih profesi menjadi petani atau pekebun kelapa, menggeluti kegiatan pelayaran tradisional atau perdagangan antar pulau, bahkan ada yang mengaku menjalani profesi sebagai penyelundup di kawasan perbatasan. Ketiga, beralih profesi sebagai petambak, membuka hutan mangrove menjadi area pertambakan dengan bantuan kucuran dana kredit pengalihan kegiatan ekonomi non trawl, serta pembinaan dan penyuluhan intensif yang berhasil dilakukan pemerintah, selain terpengaruh informasi adanya beberapa orang penduduk setempat yang telah sukses menjadi petambak. Meskipun cukup menarik, beralih profesi sebagai petambak dianggap nelayan setempat membutuhkan modal besar dan rawan kegagalan, sementara harga udang masih belum menjanjikan. Karenanya pilihan strategi yang dianggap adaptif adalah beralih profesi menjadi petambak, namun tetap tidak meninggalkan profesi sebelumnya sebagai nelayan atau petani kelapa, seperti yang dilakukan Haji Alimuddin yang kini telah berhasil menjadi seorang ponggawa yang sukses. Menurut pengakuannya, “kebun kelapa yang selama ini menopang hidupnya tetap dipertahankan untuk memenuhi kebutuhan hidup seharihari, baru setelah tambak-tambak yang dibangun mulai mendapatkan hasil panen memadai, kebun kelapa yang masih tersisa dibukanya menjadi area tambak baru”. Hal ini dilakukan mereka untuk bisa tetap survive sampai tambak-tambak tersebut berhasil panen dan mampu menjamin kehidupan keluarga mereka. Karenanya pada masa-masa awal tambak di bangun oleh masyarakat setempat, banyak diantara mereka yang berprofesi ganda sebagai petambak sekaligus nelayan. Pengembangan kegiatan pertambakan dengan mengkonversi hutan mengrove di kawasan Delta Mahakam, dalam prakteknya nyaris tidak mengalami hambatan hukum-birokrasi yang berarti, karena dilakukan dengan dukungan dari Pemerintah
127
Pusat hingga Pemerintah Daerah. Melalui berbagai kebijakan yang pada hakekatnya ditujukan untuk “mengamankan” Program Udang Nasional. Pemerintah bahkan, menyiapkan kucuran dana kredit untuk pengalihan kegiatan ekonomi non-trawl (khususnya dalam kegiatan pertambakan), selain menyiapkan bantuan kredit Intam, serta RCP, yang diikuti dengan pembinaan dan penyuluhan kegiatan pertambakan secara intensif. Pemerintah juga mulai mengembangkan infrastruktur yang diperlukan, baik melalui anggaran nasional ataupun bantuan asing. Sementara besarnya luasan hutan mangrove yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pertambakan, namun tidak memiliki
nilai intrinsik, menjadikan “transaksi penguasaan” atas kawasan Delta
Mahakam semakin leluasa dilakukan. Meskipun area-area pertambakan tersebut dibangun diatas Kawasan Budidaya Kehutanan (KBK) yang mencapai lebih dari 90 persen dari luasan kawasan Delta Mahakam. Pasca pelarangan jaring trawl secara total pada tanggal 1 Januari 1983, terjadilah “kontraksi kebijakan”, ketika pada 15 Januari 1983, Menteri Pertanian mengeluarkan sebuah keputusan bernomor 24/ Kpts /Um /1983. Surat ini menentukan pembagian wilayah Kalimantan Timur berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) seluas 21.144.000 Ha, dimana kawasan Delta Mahakam hampir seluruhnya ditetapkan sebagai kawasan hutan produksi. Status ini terus dipertahankan sampai tahun 1992, saat Departemen Kehutanan merampungkan peta TGHK kawasan hutan untuk Kalimantan Timur (Simarmata, 2008). Hal itu tidak terlepas dari pandangan penguasa yang menganggap kawasan hutan mangrove Delta Mahakam memiliki potensi sumberdaya alam yang menyimpan deposit migas, budidaya tambak, potensi kayu komersil dan perikanan pesisir. Karenanya kawasan hutan mangrove Delta Mahakam yang sebagian besar telah tereksploitasi, perlu dipertahankan kelestariannya sebagai kawasan hutan produksi terbatas, sesuai dengan amanat Undang-Undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Di dalam UU No. 24 Tahun 1992, tentang Penataan Ruang, selanjutnya penamaan dan klasifikasi status hutan ditetapkan menjadi tiga ketegori besar, yaitu; 1) Kawasan Lindung; 2) Kawasan Budidaya Kehutanan; dan 3) Kawasan Budidaya Non Kehutanan. Anehnya sekalipun secara faktual pada tahun 2001 hampir 85.000 Ha dari 150.000 Ha luasan hutan mangrove di delta Mahakam telah berubah fungsi menjadi tambak. Namun melalui SK Menhut No. 79/ Kpts-II/ 2001, Departemen Kehutanan justru menetapkan kawasan hutan dan perairan wilayah Provinsi Kaltim, dengan peta lampiran yang tetap mempertahankan status hutan mangrove di Delta Mahakam sebagai hutan produksi. Artinya status kawasan hutan produksi (KBK) Delta Mahakam juga melingkupi area pemukiman dan area aktivitas ekonomi penduduk (perkebunan kelapa dan pertambakan tradisional), yang telah dikelola masyarakat secara turun-temurun. Di
128
dalam kebijakan tersebut nampak sekali peran pemerintah yang dominan dalam mendefinisikan suatu wilayah/ kawasan hutan. Tarikan garis di atas kertas peta oleh negara, secara mutlak telah mengakibatkan hilangnya akses masyarakat lokal terhadap sumberdaya alam yang secara tradisi sudah mereka lakukan jauh sebelum negara ada. Meskipun sejak 1983 pemanfaatan di atas hutan mangrove Delta Mahakam harus melalui hak pengusahaan atau pemungutan hasil hutan, yang dimohonkan kepada Menteri Kehutanan secara perorangan, menggunakan badan hukum atau koperasi. Bahkan, SK Bersama Mentan dan Menhut Nomor KB. 550 /246 /Kpts /4 /1984, telah melarang kegiatan budidaya perikanan di kawasan hutan pantai (mangrove) yang terletak di pulau yang luasnya kurang dari 10 Km². Selain memuat ketentuan lain yang menyatakan bahwa budidaya perikanan hanya dapat dilakukan pada kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi. Namun, pembukaan hutan mangrove untuk kegiatan pertambakan tetap saja belangsung tanpa ada penertiban dari otoritas yang berwenang. Bukan hanya melanggar peraturan formal, yang melarang budidaya perikanan di kawasan hutan mangrove, sebagian petambak juga tidak memiliki izin garap, izin pembukaan lahan atau izin usaha perikanan. Kebijakan tersebut tentu akan terasa janggal, jika dipandang secara sektoral hanya sebagai buah kepentingan Departemen Kehutanan semata, tanpa menyentuh aspek historis menyangkut esensi kemanfaatan (maksimasi keuntungan materil) dan utility bagi negara. Karenanya untuk mengurainya, kebijakan yang ada perlu ditelisik kebelakang,
ketika
Total
E&P
Indonesie
pada
1970,
mendapatkan
konsesi
pertambangan atas Blok Mahakam yang melingkupi sebagian besar kawasan Delta Mahakam oleh negara. Yang kemudian diikuti oleh kehadiran beberapa investor padat modal lainnya di kawasan Delta Mahakam yang kaya migas. Dari sini akan diperoleh kejelasan mengenai siapa sebenarnya subyek yang berhak mengeksploitasi kawasan Delta Mahakam menurut pandangan pemerintah. Sehingga dapat dipahami jika kemudian pemerintah melalui Departemen Kehutanan sebagai pemilik otoritas, menetapkan status hutan mangrove di Delta Mahakam sebagai hutan produksi hingga saat ini, meskipun sebagian besar kawasan hutannya telah beralih fungsi menjadi area pertambakan. Hal itu jelas terkait dengan keberlanjutan konsesi yang telah ada, sekaligus pengamanan kepentingan investor migas bermodal besar yang telah memberikan pemasukan dana bagi hasil yang luar biasa besarnya bagi devisa negara. Tentunya jika dibandingkan dengan memberikan konsesi HPH pada perusahaan kehutanan atau memberikan hak legalitas atas penguasaan “tanah-tanah negara” yang telah dikelola masyarakat setempat secara turun-temurun. Penetapan Delta Mahakam sebagai kawasan hutan produksi terbatas, merupakan bentuk “kamuflase kebijakan” oleh pemerintah untuk mengurangi efek sosio-
129
politis atas beroperasinya kegiatan pertambangan migas di kawasan Delta Mahakam. Sekalipun ditunjuk sebagai kawasan lindung pun, “kamuflase kebijakan” untuk mengamankan operasi pertambangan migas di negara ini akan tetap berjalan, karena pemerintah telah menyiapkan PP No 51/ 1993 sebagai antisipasinya. Kebijakan tersebut kembali menegaskan bahwa, “dalam hal terdapat deposit mineral/ kekayaan alam lainnya yang bila diusahakan dinilai amat berharga bagi negara, maka kegiatan budidaya di kawasan lindung dapat diijinkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku”. Namun, karena penetapan status sebagai hutan produksi terbatas efeknya jauh “lebih aman” dibandingkan menetapkan kawasan hutan mangrove yang terletak di pulau-pulau dengan luasan kurang dari 10 Km² tersebut, sebagai kawasan konservasi atau kawasan budidaya non kehutanan. Maka kebijakan tersebut dirasakan belum perlu dijadikan tameng atas berlakunya konsesi Blok Mahakam. Selain karena menguatnya kampanye di aras lokal maupun internasional yang menolak aktivitas pertambangan, apalagi di dalam kawasan konservasi. Ironisnya, meskipun telah menetapkan kawasan Delta Mahakam sebagai KBK yang terlarang bagi kegiatan lain diluar sektor kehutanan, namun pemerintah tidak pernah berniat menertibkan kegiatan pertambakan yang dalam perspektif kehutanan dikategorikan
sebagai
ilegal.
Pembangunan
tambak-tambak
baru
yang
terus
berlangsung dan ketidak-pedulian masyarakat atas berlakunya hukum formal, semakin menguatkan indikasi absennya negara sebagai pemilik otoritas tertinggi atas tanahtanah negara, sehingga terjadinya praktek-praktek penguasaan sumberdaya agraria secara ilegal. Absennya negara atas permasalahan agraria yang terjadi di kawasan Delta Mahakam bisa disejajarkan dengan absennya negara dalam perbagai permasalahan konflik yang terjadi di seantero negeri dewasa ini. Hal ini juga bisa berarti proses “mengelola hutan”, sekedar sebagai antisipasi munculnya gejolak dalam masyarakat. Kondisi tersebut mengingatkan pernyataan Barber (1989) yang melihat hutan di Jawa hanya memberikan “bagian yang sangat kecil dari pendapatan nasional yang berasal dari hutan”, makanya kemudian tujuan utama dari kegiatan pemerintah dalam mengelola hutan adalah mengontrol penduduk yang tinggal di daerah pedalaman/ disekitar hutan dan bukan untuk mencari pemasukan uang atau keuntungan (Li, 2002). Alasan ini sangat relevan untuk menjelaskan keberadaan mega proyek industri migas yang perlu mendapatkan proteksi dan pengamanan optimal dari berbagai kepentingan yang ada disekitarnya, dengan menetapkan kawasan hutan Delta Mahakam yang telah kolaps sebagai kawasan hutan produksi. Ironisnya, konstruksi sosial tentang problem dan krisis lingkungan yang diwujudkan dalam produk kebijakan yang tidak mungkin dilepaskan dengan kepentingan dan kontrol aktor yang berkuasa dalam pemerintahan tersebut, tidak dibarengi dengan
130
kehadiran otoritas negara dalam pelaksanaannya, baik yang mewujud dalam kewenangan pemprov, maupun pemkab. Akibatnya bentuk pengaturan tenurial yang faktual menurut Simarmata (2008), menjadi ditentutan oleh otoritas yang lebih rendah, dalam hal ini camat dan kepala desa beserta perangkat-perangkatnya. Dengan segala keterbatasan pengetahuan, informasi, sarana pendukung serta balutan kepentingan, camat dan aparat desa mengembangkan tafsir yang karakternya membenarkan tindakan pembukaan tambak dan memberi kemudahan untuk mendapatkan legalitasnya. Bagi aparatur di aras lokal keberadaan kegiatan usaha pertambakan akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat, dengan asumsi pemberian izin garap oleh otoritas lokal bukan sebagai bentuk pelanggaran hukum karena tidak memberikan hak kepemilikan pada penggarap. Selain alasan pragmatis, melanjutkan kebijakan yang telah ada sebelumnya. Dalam konteks tersebut pernyataan Dharmawan (2005) menjadi sangat relevan untuk menjelaskan fenomena yang terjadi di kawasan Delta Mahakam sebagai “ketimpangan pertukaran energi, materi dan informasi dalam suatu ekosistem yang tidak berkeadilan”, akibat tidak memadainya semangat pemihakan pada lingkungan yang terkandung dalam setiap keputusan politik tentang pengelolaan sumberdaya alam yang dihasilkan dan dijalankan oleh otoritas kebijakan lokal. Sementara persepsi masyarakat setempat yang menganggap tanah-tanah yang mereka garap secara turun temurun sebagai tanah milik, akibat minimnya pengetahuan atas status lahan yang mereka kuasai dan manfaatkan, menjadikan pembukaan tambak-tambak baru di dalam kawasan hutan produksi tanpa izin terus berlangsung. Pembukaan hutan mangrove secara besar-besaran untuk kegiatan pertambakan tersebut, mencapai puncaknya pasca terjadinya krisis ekonomi regional pada 19971998, dipicu oleh tingginya nilai tukar dolar terhadap rupiah sehingga terjadi “booms harga udang”. Berdasarkan data statistik perikanan Kalimantan Timur, peningkatan luasan tambak mencapai puncaknya pada 2001 seluas 36.634 Ha dan kembali mengalami peningkatan secara fantastik hingga mencapai 120.763 Ha pada 2006. Kondisi ini secara tidak langsung telah memicu terjadinya “ledakan penduduk” di kawasan Delta Mahakam oleh para pendatang yang ingin mencoba peruntungan di sektor perikanan budidaya, membuka hutan mangrove yang tersisa dengan cara merintis lahan tanpa melapor atau dengan meminta izin garap dari otoritas lokal atas “lokasi” hutan mangrove yang bisa dirintis menjadi area pertambakan baru. Kisah sukses petambak yang mampu meraup keuntungan besar, sehingga sebagian diantaranya mampu menjadi ponggawa beromset milyaran rupiah perbulan, juga memberikan pengaruh yang tidak kalah pentingnya dalam memotivasi perkembangan usaha pertambakan.
V. PENDEPAKAN NEGARA: YANG TERCERABUT DAN TERAKUMULASI Pada bab ini peneliti akan menjelaskan proses kemunculan pengusaha pertambakan udang yang pada masyarakat setempat disebut ponggawa, sebagai kekuatan ekonomi lokal. Selanjutnya akan dijelaskan fenomena kemunculan para pengusaha lokal dengan menggunakan tinjauan struktural, mengingat “intervensi” kebijakan
negaralah
yang
telah
mendorong
mereka
memanfaatkan
peluang
ketersediaan sumberdaya alam yang melimpah. Bagaimana kebijakan dalam sistem pengelolaan hutan di Dunia Ketiga bekerja, seperti disinyalir Hall, et all (2011) setiap harinya tidak hanya menyebabkan tercerabutnya hak masyarakat (dispossession) atas klaim terhadap kawasan hutan yang telah mereka tradisikan, namun juga mendorong terjadinya akumulasi alat produksi dan kapital pada sejumlah pihak yang diuntungkan dengan beroperasinya kebijakan tersebut. Seperti telah dijelaskan pada bab sebelumnya, para ponggawa tersebut merupakan migran dari etnik Bugis yang datang secara bergelombang ke pantai timur Kalimantan dengan alasan yang beragam. Keberhasilan mereka beradaptasi dan memanfaatkan potensi sumberdaya yang ada, menjadikan mereka tidak hanya bisa survive, namun juga berhasil menjadi kekuatan sosio-ekonomi baru di daerah tersebut. Karenanya asal-usul dan mekanisme kemunculan golongan pengusaha pertambakan udang, berikut implikasi keberadaan mereka menjadi penting untuk dijelaskan dalam penelitian ini. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif, peneliti akan melakukan rekonstruksi latar belakang historis keberadaan industri perikanan lokal di kawasan Delta Mahakam yang tidak mungkin dipisahkan dari sejarah perikanan Indonesia. Untuk lebih mudahnya peneliti membagi gambaran tersebut kedalam tiga fase penting kemunculan pengusaha lokal di kawasan Delta Mahakam, yaitu; 1) Fase Industri Perikanan Tangkap; 2) Fase Industri Perikanan Budidaya; dan 3) Fase Konsolidasi Ekonomi Lokal.
5.1
Fase Industri Perikanan Tangkap
5.1.1
Ekspansi Industri Perikanan Jepang Seperti telah disinggung pada bagian sebelumnya, Misaja Mitra (PMA) yang
didirikan pada 1974 di Anggana dan mulai berproduksi satu tahun setelahnya, merupakan perusahaan eksportir udang beku yang mempelopori dilakukannya modernisasi armada perikanan tangkap yang digunakan oleh para nelayan lokal. Perusahaan hasil joint venture antara anak perusahaan Mitsui Bussan, yaitu Toho Bussan Kaisha dari Jepang dengan perusahaan Pelindo Raya (milik pensiunan
132
Angkatan Laut) ini, sebelumnya hanya beroperasi di Kota Baru, Pulau Laut - Kalsel. Setelah berhasil membangun pabrik perikanan (cold storage) terbesar di Asia Tenggara pada 1971 di Kotabaru, mereka selanjutnya melakukan ekspansi ke Sungai Meriam Kutai Kartanegara, hingga ke Tarakan dan Pasir, bahkan pada 1987 berhasil membangun pabrik pengolahan hasil perikanan modern berskala internasional di Pati – Jateng. Mitsui Bussan didirikan pada 1876 oleh keluarga Mitsui dan saat ini merupakan salah satu perusahaan dagang terbesar di Jepang. Keberadaan
perusahaan-perusahaan
perikanan
Jepang
di
Indonesia
merupakan salah satu momentum terpenting dalam perbaikan hubungan IndonesiaJepang pasca penjajahan, sebagai bagian dari komitmen pemerintah Jepang yang telah menandatangani “Perjanjian Damai dan Ekspansi Industri Perikanan” pada 20 Januari 1958 – Traktat Perdamaian San Francisco. Dimana Pemerintah Jepang bersedia menghapuskan hak atas aset-aset mereka di kawasan Asia Tenggara. Meskipun bantuan dan investasi Jepang ke Indonesia mulai berlangsung sejak Orde Lama, namun jumlahnya mulai meningkat pesat ketika Jepang mendapatkan tempat terbaik sejak awal kepemimpinan Orde Baru di tahun 1966. Bahkan, untuk menarik minat investasi Jepang, tidak hanya dilakukan melalui jalur formal, tetapi juga lobi-lobi informal, hasilnya aliran dana ODA (Official Development Assistance) dan investasi Jepang mengalir ke tanah air dan terus menguat, bahkan kemudian menjadi cukup dominan dalam perekonomian Orde Baru. Selanjutnya sektor pertambangan, khususnya
migas,
kehutanan
dan
perikanan
menjadi
sektor
unggulan
yang
dikembangkan dalam kerangka kerjasama pemanfaatan sumberdaya alam. Khusus untuk sektor perikanan, di awal rejim Orde Baru total investasi asing dalam sektor ini mencapai angka US$ 11,5 juta dari total komitmen investasi sekitar US$ 324 juta di bulan Oktober 1968 (Suadi,2008). Pada tahun 1968 investasi Jepang dipusatkan pada industri penangkapan udang dan ikan, khususnya di wilayah Sumatra dan Kalimantan. Beberapa perusahaan perikanan Jepang yang diberi izin untuk mengadakan survei penangkapan udang dengan jaring trawl, selain PT. Misaya Mitra adalah PT. Tofico dengan modal sepenuhnya dari Toyomenka Kaisha dan PT. Serio Kawai San. Perusahaan-perusahan tersebut, tentu saja mampu mengeksploitasi sumberdaya perikanan dengan hasil lebih baik, khususnya untuk komoditi udang yang menjadi komoditi ekspor utama, karena kemampuan teknologi yang dimilikinya. Sebagai hasilnya, ekspor hasil perikanan Indonesia meningkat fantastis, dari US$ 229 ribu pada tahun 1962, menjadi US$ 17,5 juta pada tahun 1971 (84 persen diantara ekspor ke Jepang), dan US$ 211,1 juta tahun 1980 dengan pangsa ekspor Jepang mencapai 77,6 persen dari total nilai.
133
Sampai dengan 1995, jumlah perusahaan yang menanamkan modalnya di bidang perikanan tercatat sebanyak 289 buah, dengan rincian 28 perusahaan PMA, 121 perusahaan PMDN dan 134 perusahaan swasta nasional, serta 6 BUMN perikanan. Nilai investasinya mencapai US $ 93,5 Juta untuk PMA, Rp. 328.603,2 Juta untuk PMDN dan Rp. 865.240,0 Juta untuk Swasta Nasional, serta Rp. 19.650,0 Juta untuk BUMN perikanan (Soewito, Dkk., 2011). Dimana sebagian besar PMA berasal dari Jepang. Dari sisi ekonomi, periode antara 1970-an sampai menjelang pertengahan 1990-an dapat dikatakan sebagai periode emas hubungan ekonomi Indonesia-Jepang dalam bidang perikanan. Ekspor perikanan Indonesia terutama udang mencapai puncaknya dalam periode ini, salah satu diantara perusahaan yang berhasil menikmati manisnya
keuntungan
usaha
disektor
ini
adalah
Misaja
Mitra,
yang
mulai
mengeksploitasi pantai timur Kalimantan sejak awal 1970-an. Setidaknya menjelang tahun 1990, di Propinsi Kalimantan Timur telah berdiri sepuluh buah perusahaan eksportir perikanan (lhat Tabel 6.). Tabel 6. Jumlah Cold Storage di Kalimantan Timur sampai dengan Tahun 1990 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Perusahaan Eksportir PT. Misaja Mitra PT. Misaja Mitra PT. Misaja Mitra PT. Samarinda Cendana PT. Samarinda Cendana PT. Malindo Kencana Utama PT. Nelayan Abadi Kalimantan PT. Sumber Kalimantan Abadi FA. Dardjat & Sons PT. Palaran Cold Storage
Lokasi Sungai Meriam, Kutai Tj Juata, Tarakan Muara Pasir Sungai Meriam, Kutai Tarakan Tarakan Tarakan Tarakan Samarinda Palaran
Kapasitas/ Hari 50 ton 200 ton 10 ton 150 ton 60 ton 150 ton 200 ton 200 ton 25 ton 150 ton
Komoditi Ekspor Udang Udang Udang Udang/ Ikan Udang Udang Udang Udang Udang Belum berproduksi
Sumber: Laporan Tahunan Dinas Perikanan Propinsi Kalimantan Timur, 1991 Keberhasilan Misaja Mitra dalam melakukan kegiatan eksploitasi perikanan tangkap, hingga ekspor produk udang beku dan olahan, menurut Untung Martono, mantan pimpinan Misaja Mitra di Sungai Meriam, tidak terlepas dari keberhasilan perusahaan dalam mengembangkan strategi usaha “saling topang”, dengan pola hubungan produksi yang diadopsi dari pranata lokal milik komunitas setempat. Pengembangan strategi usaha “saling topang” dilakukan dengan menerapkan manajemen subsidi silang, artinya kelebihan produksi cold storage di satu tempat akan mensubsidi cold storage yang produksinya rendah di tempat lainnya. Hal ini dilakukan sebagai antisipasi hasil tangkapan yang tidak bisa diprediksi. Dengan mekanisme seperti inilah, perusahaan Misaja Mitra mampu bertahan hampir 40 tahun beroperasi di wilayah Indonesia, meskipun beberapa cold storage-nya ada pula yang collaps, seperti cold storage Pasir dan Sungai Meriam yang dijual pada 2008. Strategi usaha lainnya yang tidak kalah cemerlangnya adalah kemampuan perusahaan dalam “merangkul”
134
komunitas setempat, dengan mengadopsi pranata lokal mereka, sebagai pola dasar dalam hubungan produksi, khususnya dengan etnik Bugis sebagai mayoritas pelaku perikanan tangkap di pantai timur Kalimantan. Mekanisme hubungan produksi perikanan tangkap yang karakteristiknya hampir menyerupai pola dasar hubungan kontemporer dalam masyarakat Bugis yang cenderung hierarkis dengan pola patron-client (pemimpin-pengikut) seperti inilah, yang kemudian mampu mendapatkan tempat secara kultural dalam komunitas nelayan setempat. Sebagai unsur kunci, pola hubungan patron-clients, bahkan dapat menumbuhkan kesetiaan yang lebih tinggi dari mereka yang terikat dalam hubungan ini. Pada masa jayanya, jarang ditemui nelayan “binaan” Misaja Mitra yang berpindah menjadi klien perusahaan lain, meskipun hal tersebut dimungkinkan. Karena terdapat kesepakatan tak tertulis “jika seorang nelayan tidak lagi memiliki sangkutan dengan pihak perusahaan, ia boleh menjual hasil tangkapannya pada perusahaan lain yang mampu memberikan harga lebih menguntungkan”. Di
dalam
prakteknya,
pola
hubungan
produksi
pemimpin-pengikut
dikembangkan dengan cara; “pihak perusahaan akan bertindak sebagai pemimpin yang memberikan berbagai kemudahan dan bantuan, mulai dari perbaikan kerusakan hingga peremajaan/ modernisasi armada, alat tangkap (trawl), biaya operasional ke laut, bahkan pinjaman finansial kepada para nelayan “binaan”, sebagai pengikut yang wajib menyetorkan semua hasil tangkapan mereka pada pihak perusahaan”. Tidak cukup sampai disitu, perusahaan juga memanjakan para nelayan dengan memberikan bonus es balok sebagai media pembekuan hasil tangkapan, dengan ketentuan setiap 100 Kg X 5 udang yang masuk ke cold storage akan memperoleh ½ Ton es balok, sementara untuk fishing ground yang jauh tempatnya berlaku ketentuan setiap 100 Kg X 3 udang yang masuk mendapatkan ½ Ton es balok secara cuma-cuma. Berbagai kebijakan tersebut, dapat terus dipertahankan dengan memanfaatkan sebagian kecil dari selisih keuntungan harga penjualan udang beku di tingkat nelayan dengan harga jual udang beku di tingkat buyers di Jepang yang selisihnya bisa mencapai 100%. Tabel 7. Periode Kepemimpinan PT. Misaja Mitra di Sungai Meriam, Kutai Kartanegara No 1 2 3
Nama Direktur Ir. Maswir Mahyudin, M.Sc Suprapto, SH Aminullah Said, MBA
Masa Jabatan 1975 – 1978 1978 – 1983 1983 – 2000
4
Untung Martono & Reuji Minei
2000 – 2004
5
Ismaryoko & Y. Aragoni
2004 – 2007
Keterangan Direktur pertama perusahaan Mantan Hakim Militer Direktur paling lama memimpin perusahaan Untung Martono merupakan Factory Manager Sungai Meriam yang dipercaya memimpin perusahaan, didampingi Reuji Minei (Vice Presiden Director) Ismaryoko merupakan Factory Manager di Pati yang dipromosikan memimpin perusahaan di Sungai Meriam, didampingi Y. Aragoni (Vice Presiden Director)
Sumber: Wawancara Mendalam dengan Untung Martono
135
Kejayaan Misaja Mitra pada masanya, tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan beberapa orang jendral pensiunan Angkatan Laut yang memiliki ideologi Marhaenisme di dalam pucuk manajemen perusahaan. Pada masa awal pendiriannya, struktur komisaris perusahaan ini banyak diisi para mantan petinggi Angkatan Laut, diantaranya Laksamana Yatijan, Tetet Sajimin dan Farid Ali (mantan kapten kapal Tampomas). Mereka memberikan pengaruh signifikan dalam pengembangan pola hubungan produksi yang berkonsep “bapak angkat – anak asuh” dalam kegiatan operasional perusahaan, sehingga aktivitas usahanya terkesan populis dan lebih “membumi”. Selain melakukan ekspor udang beku, Misaya Mitra Sungai Meriam juga memproduksi udang olahan berupa surimie, nobashi ebi dan pangko ebi (berupa tepung roti yang jika digoreng menjadi tempura). Hampir semua produk ekspor udang beku dan udang olahan Misaja Mitra masuk ke pasar Jepang, khususnya pada salah satu buyer tradisonal mereka, Maninaka. Bagi Misaja Mitra, hubungan kerjasama yang telah terjalin lama merupakan aset yang harus dijaga dan mendapatkan skala prioritas utama, sehingga hampir semua permintaan pasokan produksi dari buyers tradisional selalu mereka penuhi dengan tepat waktu, sehingga terkesan fanatik pada pasar tradisonal mereka. Sebuah sumber terpercaya menyebutkan, bahwa hal tersebut dilakukan tidak hanya karena menjaga hubungan baik dengan buyers tradisonal mereka, namun juga karena proses pembayaran buyers Jepang yang lebih tepat waktu (dibayar begitu barang dikapalkan). Berbeda dengan buyers Eropa (khususnya Belgia/ Belanda) yang cenderung memberikan tempo pembayaran yang lebih lama. Strategi lainnya yang digunakan oleh Misaja Mitra dalam meningkatkan nilai tambah produknya, adalah dengan melakukan kebijakan memasok bahan baku dari Indonesia ke anak perusahaan Mitsui Bussan di penjuru dunia. Salah satunya, memasok pabrik pengolahan perikanan milik Mitsui Bussan di Cina untuk diolah menjadi produk modifikasi yang disesuaikan dengan “cita rasa tertentu”, sehingga mendapatkan tempat dipasar dunia (khususnya Jepang). Keberhasilan modus operandi Misaja Mitra dalam meningkatkan nilai tambah produknya, berbanding lurus dengan keberhasilan mereka dalam “menaklukkan hati” nelayan lokal, yang menjadi pemasok utama bahan baku. Kondisi seperti inilah yang selalu dipertahankan oleh manajemen perusahaan, sehingga bisa survive hingga saat ini. Tidak berlebihan jika kemudian keberhasilan Misaja Mitra juga mengilhami beberapa perusahaan eksportir produk perikanan (cold storage) lain, yang mulai beroperasi belakangan. Beberapa perusahaan, seperti Samarinda Cendana Cold Storage yang mulai beroperasi pada 1978 di Sungai Meriam pun mencoba mengadopsi strategi Misaja Mitra. Perusahaan cold storage yang dibangun melalui joint venture
136
pemodal nasional dan lokal ini didirikan oleh seorang keturunan Cina Hongkong, Taipak, serta dua orang keturunan Cina Samarinda, Kwang Ling dan Khaerudin. Tidak seperti Misaja Mitra yang produknya lebih bertumpu pada ekspor udang beku dan olehan, produk ekspor Samarinda Cendana lebih bervariasi, karena tidak hanya melakukan ekspor udang beku (laut), namun juga udang galah (sungai), ikan betutu, ikan bawal dan sejumlah ikan segar lainnya ke Hongkong, Malaysia dan Jepang. Mereka juga melakukan ekspansi dengan membangun cold storage di Jakarta, Banjarmasin, Semarang dan Tarakan, serta pos pembelian di Balikpapan, Bontang dan Berau, bahkan hingga ke Muara Muntai di hulu Sungai Mahakam. Pada masa jayanya Samarinda Cendana selain memiliki “binaan” armada tangkap milik nelayan lokal, juga memiliki 12 kapal trawl yang mampu memberikan jaminan pasokan bahan baku. 5.1.2
Booming Produksi Perikanan Tangkap Booming produksi perikanan tangkap yang terjadi sejak akhir 1970-an s/d awal
1990-an, telah membuat perusahaan-perusahaan eksportir perikanan di pantai timur Kalimantan mengalami pertumbuhan yang sangat fantastis, sehingga mempu mendapatkan keuntungan yang sangat besar. Hal ini terlihat dari program ekspansi perusahaan-perusahaan tersebut dalam membangun cold storage dan pabrik pengolahan hasil perikanan di berbagai tempat di Indonesia, yang dilakukan pada periode tersebut. Hal ini tercermin dari nilai produksi perikanan laut (tangkap) Kaltim yang cenderung mengalami peningkatan, meskipun terjadi pelarangan penggunaan alat tangkap trawl secara total menjelang tahun 1983 (Lihat Gambar 8.).
Gambar 8. Nilai Produksi Perikanan Laut Propinsi Kalimantan Timur Sumber: Data Primer Diolah dari Laporan Tahunan Dinas Perikanan Kalimantan Timur 1979 – 2009
137
Senada dengan data statistik produksi dan nilai perikanan laut Propinsi Kalimantan Timur yang cenderung fluktuatif sejak memasuki tahun 2000, data produksi perikanan Kabupaten Kutai Kartanegara pun menunjukkan kecenderungan yang sama. Kondisi ini diikuti dengan terjadinya fluktuasi pada jumlah RTP laut Kebupaten Kutai Kartanegara, yang jumlah totalnya mencapai 28 persen dari total RTP laut Propinsi Kalimantan Timur. Seperti ditunjukkan pada Gambar 9., dimana penurunan produksi perikanan laut (tangkap) pada 2002 – 2004, ternyata berkorelasi dengan jumlah RTP laut yang juga mengalami penurunan. Hal ini terjadi, sebagai bentuk strategi survival nelayan tradisional dalam menghadapi “titik jenuh produksi perikanan tangkap”, dengan cara vakum semetara dan mengalihkan aktifitas usaha dibidang lain. Baru pada 2005, kembali terjadi peningkatan jumlah RTP laut di Kabupaten Kutai Kartanegara, ketika tekanan hidup “memaksa” mereka, untuk kembali menggunankan alat tangkap trawl secara massal yang dianggap lebih efisien dan efektif.
Jumlah RTP (KK)
Produksi (Ton)
30,000
25,000
20,000
15,000
10,000
5,000
0 2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Tahun
Gambar 9. Perbandingan Jumlah RTP Laut dgn Produksi Perikanan Laut Kabupaten Kutai Kartanegara Sumber: Data Primer Diolah dari Laporan Tahunan Statistik DPK Kutai Kartanegara 2001 – 2008 Hal ini berbeda dengan kondisi produksi udang nasional, yang mencapai puncaknya pada 1979, satu tahun sebelum diberlakukannya larangan penangkapan dengan trawl. Setelah 1979 produksi udang nasional berfluktuasi, dimana pada 1980 turun sebesar 10,27 persen menjadi 148.109 MT, lalu terjadi peningkatan hingga 151.609 MT pada 1981 dan menurun lagi sebesar 6,07 persen, kemudian meningkat lagi sebesar 5,21 persen di tahun 1983. Selanjutnya turun lagi pada 1984 sebesar 3,26 persen dan meningkat lagi pada 1985 sebesar 8,51 persen, baru ada kecenderungan
138
meningkat dengan stabil pada 1986. Fluktuasi produksi ini menurut Lusi Fauzia, dkk (1993), berhubungan erat dengan fluktuasi produksi udang laut/ tangkap, sehingga peningkatan produksi pada 1986,1987 dan selanjutnya, lebih disebabkan skala usaha intensifikasi pertambakan udang di Indonesia yang semakin meluas. Sampai dengan tahun 1990, sebenarnya telah ada sebuah perusahaan lokal yang ikut meramaikan pasar ekspor udang beku di kawasan Delta Mahakam, yaitu FA. Dardjat & Sons yang berkedudukan di Samarinda. Meskipun demikian perusahaan cold storage milik seorang “tuan tanah” pribumi ini, ternyata belum mampu bersaing dengan perusahaan cold storage milik pemodal besar yang lebih banyak menumpuk keuntungan usaha di sektor perikanan laut (tangkap). Perusahaan perikanan lokal ini, akhirnya kolaps pada pertengahan 1990-an, seiring tumbuh pesatnya industri perikanan berskala global di kawasan Delta Mahakam. Menurut informasi terpercaya, kolapsnya FA. Daedjat & Sons, tidak dapat dipisahkan dari keberhasilan lobi yang dilakukan Misaya Mitra dan Samarinda Cendana yang meminta Dirjen Perikanan untuk tidak mengeluarkan Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP) bagi FA. Daedjat & Sons karena dianggap belum layak menjadi eksportir. Setidaknya sebelum munculnya konflik kepentingan antara “pemain lama” dengan “pemain baru”, di kawasan Delta Mahakam saat itu, telah berdiri tiga perusahaan industri perikanan ekspor, yaitu; PT. Misaja Mitra dan PT. Samarinda Cendana Cold Storage, serta cold storage yang lebih kecil FA. Dardjat & Sons. Keberadaan perusahaan-perusahaan tersebut di kawasan ini, tidak terlepas dari besarnya potensi perikanan tangkap yang dimiliki daerah estuari seperti Delta Mahakam. Seperti dinyatakan
Ayodhyoa (1981), daerah penangkapan yang cocok
untuk operasi penangkapan udang ideal dengan trawl adalah perairan yang mempunyai dasar laut datar atau rata, tidak terdapat karang atau tonggak-tonggak, bersubstrat lumpur atau lumpur bercampur pasir, kecepatan arus pasang pada midwater tidak besar dan perairan mempunyai daya produktivitas yang besar, sehingga menjadi tempat berkumpulnya ikan atau udang.
139
Tabel 8. Nama-Nama Perusahaan Eksportir di Kalimantan Timur Yang Telah Kolaps No 1
Nama Perusahaan PT. Misaja Mitra
Lokasi Samarinda
2
PT. Samarinda Cendana
Samarinda
3
PT. Misaja Mitra
4
PT. Samarinda Cendana
Tarakan
5
PT. Nelayan Abadi Kalimantan
Tarakan
6
PT. Minanusa Ekatama
Tarakan
7
FA. Dardjat & Sons
8
PT. Berautir Cold Storage
9
PT. Sumber Laut Kalimantan
Nunukan
10
PT. Citra Bahtera Indonesia
Tarakan
11
PT. Mina Kencana Eka
Tarakan
12
Cv. New Pacific
13
Cv. Camar Bahagia
Tarakan
14
PT. Palaran Cold Storage
Palaran
15
PT. Manggar Bina Persada
Balikpapan
16
PT. Nusantara Aquatik Prima
Paser
Samarinda Berau
Tenggarong
Tarakan
Status Kepemilikan PMA dengan saham utama dimiliki pengusaha Jepang PMDN dengan saham utama dimiliki pengusaha Hongkong dan keturunan Tionghoa Indonesia PMA dengan saham utama dimiliki pengusaha Jepang PMDN dengan saham utama dimiliki pengusaha Hongkong dan keturunan Tionghoa Indonesia PMDN dengan saham utama dimiliki pengusaha keturunan Tionghoa PMDN dengan saham utama dimiliki pengusaha keturunan Tionghoa PMDN dengan saham utama dimiliki pengusaha Banjar lokal PMDN dengan saham utama dimiliki pengusaha keturunan Tionghoa, baru dalam tahap permohon izin membangun cold storage tapi tidak beroperasi PMDN dengan saham utama dimiliki pengusaha keturunan Tionghoa, baru dalam tahap permohon izin membangun cold storage tapi tidak beroperasi PMDN dengan saham utama dimiliki pengusaha keturunan Tionghoa, baru dalam tahap permohon izin membangun cold storage tapi tidak beroperasi PMDN dengan saham utama dimiliki pengusaha keturunan Tionghoa, baru dalam tahap permohon izin membangun cold storage tapi tidak beroperasi PMDN dengan saham utama dimiliki pengusaha keturunan Tionghoa, baru dalam tahap permohon izin membangun cold storage tapi tidak beroperasi PMDN dengan saham utama dimiliki pengusaha keturunan Tionghoa, baru dalam tahap permohon izin membangun cold storage tapi tidak beroperasi PMDN dengan saham utama dimiliki pengusaha keturunan Tionghoa PMDN dengan saham utama dimiliki pengusaha keturunan Tionghoa PMDN dengan saham utama dimiliki pengusaha keturunan Tionghoa
Masa Operasi 1974 – 2007 1978 – 2008 1980 – 2003 1980 – 2003 1983 – 2005 1987 – 2003 1987 – 1990-an 1990-an
1990-an
1990-an
1990-an
1990-an
1990-an 1990 – 1990-an 2003 – 2006 2004 – 2006
Sumber: Wawancara Mendalam dengan Daulat A. Manalu (Staf Senior Diskanlut Kaltim), 2011 Sementara di sisi lain terdapat kecendrungan peningkatan permintaan produk perikanan (khususnya udang) di pasar internasional. Pada tahun 1990-an, pasar ekspor utama udang Indonesia adalah negara Jepang, diikuti Amerika Serikat dan Hongkong. Ekspor ke Jepang tahun 1990 - 1994 meningkat 2,51 persen, ke USA meningkat 8,46 persen dan ke Hongkong meningkat 17,11 persen (Direktorat Jenderal Perikanan, 1995). Perkembangan volume impor udang oleh Jepang, sejak 1972 sampai 1990 menunjukkan peningkatan, dengan laju pertumbuhan rata-rata 9,19 persen pertahun. Volume impor udang Indonesia pada 1972 tercatat 13.824 MT dan pada 1990 telah mencapai 53,371 MT. Sementara volume impor udang Jepang total keseluruhan mencapai 58.120 MT pada 1972 dan meningkat menjadi 304.201 MT pada 1990, sehingga menjadikan Indonesia sebagai pemasok utama udang beku dan segar ke Jepang. Optimisme pemerintah juga ditunjukkan dengan stock assesment pada 1973-
140
1974 yang memperkirakan potensi sumberdaya perikanan Indonesia mencapai 4.500.000 ton/ tahun, selanjutnya juga dilakukan revisi estimasi potensi lestari sumberdaya udang pada 1983 yang diperkirakan mencapai 69.000 ton/ tahun, menjadi 100.700 ton/ tahun pada 1991 (lhat Tabel 9.). Tabel 9. Daerah Sebaran dan Potensi Sumberdaya Udang Tahun 1991 Daerah Perairan Barat Sumatera Selatan Jawa Selat Malaka Timur Sumatera Utara Jawa Bali/ Nusa Tenggara Selatan/ Kalimantan Barat Timur Kalimantan Sulawesi Selatan Utara Sulawesi Maluku dan Irian Jaya (Papua) Jumlah
Sumberdaya (Ton/ Tahun)
Potensi (Ton/ Tahun)
4.200 11.000 45.800 9.400 24.000 1.000 28.000 25.200 16.200 600 36.000 201.400
2.100 5.500 22.900 4.700 12.000 500 14.000 12.600 8.100 300 18.000 100.700
Sumber: Soewito, Dkk., 2011 Kondisi inilah yang kemudian merangsang perusahaan-perusahaan cold storage, berikut industri pengolahannya mensponsori dilakukannya modernisasi armada perikanan tangkap milik sejumlah nelayan lokal, selain mengoperasikan sejumlah armada penangkapan trawl modern bertonase besar milik mereka sendiri. Setidaknya di akhir tahun 1970-an, kegiatan eksploitasi perikanan tangkap (khususnya udang) dengan menggunakan armada trawl modern semakin intensif dilakukan di pantai timur Kalimantan. Sampai dengan tahun 1990, jumlah armada perikanan laut di Propinsi Kalimantan Timur telah mencapai 9.609 unit (Dinas Perikanan Propinsi Kalimantan Timur, 1991). Sebagian besar armada perikanan tangkap tersebut tidak dilengkapi dengan Izin Usaha Perikanan (IUP) sesuai Perda No. 3 tahun 1974 dan PP No. 15 tahun 1990. Pada periode ini juga ditandai dengan lahirnya ponggawa pengikut, sebagai konsekuensi logis atas semakin meningkatnya kegiatan usaha perikanan tangkap berikut jumlah produksinya, sehingga membuka peluang bagi kehadiran pedagang perantara baru pada area-area yang tidak mampu ditangani langsung oleh perusahaan eksportir, maupun para ponggawa perintis. Meskipun
demikian,
modernisasi
armada
perikanan
tangkap
dengan
menggunakan trawl tersebut, pada awalnya ternyata menghadapi resistensi dari masyarakat di sekitar Delta Mahakam (khususnya masyarakat Muara Pantuan dan Sepatin), karena dianggap sangat eksploitatif sehingga cenderung merusak ekosistem kawasan dan keseimbangan sumberdaya perikanan. Artinya jauh sebelum pemerintah melakukan pelarangan penggunaan trawl dengan menerbitkan Keppres No. 39 Thn 1980, masyarakat lokal sebenarnya telah memiliki “kesadaran ekologis” untuk tidak
141
menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan dan sustainable. Namun, penolakan tersebut tidak bertahan lama, sebagai konsekuensi terjadinya kesepahaman antara
pihak
perusahaan
dengan
elit
masyarakat
setempat
yang
menuntut
pengoperasian trawl jauh dari pinggiran pantai/ muara-muara sungai di sekitar kawasan Delta Mahakam dan pelarangan pengoperasian trawl di malam hari. Sejak saat itulah, nelayan setempat yang tadinya anti trawl mulai bergeser ikut memanfaatkan alat tangkap trawl yang lebih efektif dan efisien dalam menangkap udang/ ikan, beberapa petinggi kampung setempat, bahkan ada yang kemudian berprofesi ganda sebagai nelayan trawl. 5.1.3
Penetrasi Lembaga Kapitalis dalam Kebijakan Perikanan Meskipun pelarangan trawl tidak secara langsung menyebabkan penurunan
jumlah produksi perikanan tangkap di pantai timur Kalimantan (seperti terlihat pada tabel diatas), namun produksi udang hasil tangkapan nelayan tradisional dilaporkan cenderung menurun. Pelarangan trawl juga menyebabkan pengalihan kegiatan ekonomi nelayan lokal secara sepihak. Padahal pertimbangan penghapusan jaring trawl menurut Keppres No. 39 Thn 1980, adalah untuk mendorong peningkatan produksi yang dihasilkan oleh nelayan tradisional. Kebijakan kontra-produktif tersebut, dalam pelaksanaannya
dilakukan
dengan
penertiban
secara
keras,
bahkan
diikuti
penangkapan terhadap nelayan-nelayan trawl lokal oleh aparat Kodim. Menurut seorang saksi, mereka yang tertangkap tidak hanya diberikan sanksi badan, namun juga diikuti dengan penyitaan, bahkan pembakaran terhadap peralatan tangkap yang digunakan. Kondisi
ini
menurut
Pembangunan”
yang
Soetarto
(2006),
diintrodusir
tidak
pemerintahan
terlepas Orde
dari Baru,
semangat yang
“Trilogi
cenderung
mengedepankan kepentingan unsur „stabilitas politik‟ dengan kuat, namun dengan aksen yang bias kendali negara (state nationalism). Menariknya, penghapusan jaring trawl yang sudah diperkirakan akan berakibat pada penurunan produksi udang nasional tersebut, “disisipi harapan” dari pihak pemerintah untuk mengamankan kebijakan “Program Udang Nasional”, seperti tertuang dalam Pasal 7, Keppres No. 39 Thn 1980. Menurut mantan Menteri Perikanan dan Kelautan, Rohmin Dahuri (2009), “Program Udang Nasional” yang mulai dicanangkan pada 1982, merupakan upaya pemerintah untuk meningkatkan produksi udang nasional yang sempat anjlok akibat pelarangan penggunaan pukat harimau (trawlers) pada 1980. Kebijakan “turunan“ inilah, yang kemudian secara tidak langsung ikut menggiring para nelayan tangkap untuk beralih profesi sebagai pembudidaya udang. Setidaknya pada 1990, sebanyak 551 orang nelayan trawl di Propinsi Kalimantan Timur telah mendapatkan realisasi kucuran dana kredit sebesar Rp. 924.938.175,- untuk pengalihan
142
kegiatan ekonomi non-trawl dari pemerintah pusat. Dana bantuan itu, belum termasuk realisasi kredit Intam yang mencapai Rp. 150.000.000,- dan realisasi kredit RCP sebesar Rp. 156.379.400,- pada tahun anggaran 1990/ 1991 (Dinas Perikanan Propinsi Kaltim, 1991). Kebijakan tersebut, diiringi dengan pembinaan dan penyuluhan kegiatan pertambakan yang dilakukan secara intensif oleh berbagai instansi terkait, setidaknya hingga tahun 1988 telah dibina sebanyak 250 orang tenaga terlatih dalam bidang pertambakan. Berbagai kebijakan tersebut merupakan manifestasi dari obsesi pemerintahan Orde Baru, yang berupaya meningkatkan ekspor non-minyak, melalui kegiatan ekstraksi sumberdaya alam yang berkelanjutan dari sektor perikanan. Rintisan awalnya dimulai pada 1971 melalui proyek pembangunan perikanan yang didukung bantuan dari FAO selama dua tahun. Setelah itu disusul dengan proyek Brackishwater Shrimp and Milkfish Culture Research and Training di Jepara selama sembilan tahun (1972-1981), yang berhasil melakukan pelatihan regional dan nasional melalui pembangunan Balai Pengembangan Budidaya Air Payau. Selanjutnya juga diterapkan teknologi polikultur (udang dan bandeng) dalam pengembangan budidaya udang di Jawa Timur. Keberadaan proyek itu mendapatkan dukungan fasilitas kredit dari Bank Dunia dan IBRD sejak 1975, dilanjutkan pada 1979 dengan pemberian fasilitas kredit proyek pedesaan Bank Dunia. Setelah itu, berdasarkan Keppres No. 39 Tahun 1980, kredit yang tersedia untuk kegiatan budidaya tambak diterapkan melalui program INTAM. Dengan dukungan dari berbagai fasilitas kredit, beberapa petambak mulai dilatih melakukan kegiatan budidaya monokultur udang. Setidaknya pada 1988, sekitar 4.668 hektar tambak telah digunakan untuk budidaya udang secara monokultur maupun polikultur dengan ikan bandeng melalui program INTAM Swadana, yang berarti 74% dari 6.323 ha yang diproyeksikan (Dinas Perikanan Jatim dalam Shrimp Culture Development Project UNDP-FAO, 1990). Dalam rangka mendukung pengembangan tambak udang, pasca pemberlakuan Keppres No. 39 Tahun 1980, pemerintah kemudian mulai mengembangkan infrastruktur yang diperlukan, baik melalui anggaran nasional ataupun bantuan asing. Bantuan asing tersebut berasal dari Bank Pembangunan Asia (ADB) melalui Brackishwater Aquaculture Development Project (BADP) dan Bank Dunia melalui Fisheries Support Services Project (FSSP). Tahap I dari BADP dimulai pada 1983/1984 dan berakhir tahun 1989/1990. Kegiatan utama proyek ini adalah; 1) pembangunan/ rehabilitasi saluran pasokan air pertambakan untuk 12.140 hektar tambak di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur; 2) pengembangan lima unit pembenihan udang masingmasing dengan kapasitas 40 juta nener per tahun di Jawa Barat (satu unit), Jawa Timur (dua unit), Aceh (satu unit) dan Sulawesi Selatan (satu unit); 3) perluasan; dan 4) kredit.
143
Sedangkan Bank Dunia melalui FSSP mulai bekerja pada 1987/1988 dan berakhir pada 1994/1995. Proyek ini mencakup 1) intensifikasi tambak udang seluas 18.000 Ha (Aceh 5.000 Ha, Sulawesi Selatan 11.000 Ha dan Sulawesi Tenggara 2.000 Ha). Sementara tahap II bantuan ADB melalui BADP berkaitan dengan ekstensifikasi tambak di Aceh, Sumatera Utara, Riau, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur dan Nusa Tenggara Barat. Kegiatan proyek ini akan melibatkan sektor swasta sebagai inti dan petani tambak sebagai plasma menggunakan konsep Tambak Inti Rakyat (Untung Wahyono dalam Shrimp Culture Development Project UNDP-FAO, 1990). Kontribusi utang luar negeri dari sektor ini diperkirakan mencapai Rp. 39,5 miliar per tahun, sejak 1983 hingga 2013 mendatang (Aliansi Manado, 2009). Meskipun dalam kenyataannya, program kompensasi pengalihan kegiatan ekonomi non-trawl yang telah dialokasikan, banyak mengalami hambatan teknis dilapangan, akibat keterbatasan dana kredit pengalihan usaha dan “ketidaktersediaan” lahan konversi untuk kegiatan perikanan budidaya yang akan dilakukan (lihat penuturan Haji Samir dalam kasus ponggawa perintis) . Jika mencermati latar belakang sejarah penerbitan Keppres No. 39 Tahun 1980, hingga poses pelaksanaannya di lapangan, sulit untuk tidak mengatakan “penerbitan Keppres No. 39 Tahun 1980 sarat dengan berbagai kepentingan”. Tentunya kolaborasi kepentingan penguasa saat itu, serta pemodal disektor perikanan nasional dan asing, melalui penetrasi kapital lembaga keuangan internasional. Kelak, kebijakan ini tidak hanya berdampak pada konversi hutan negara (mangrove) secara massive untuk kegiatan pertambakan, namun juga mendorong kemunculan pengusaha-pengusaha pribumi
yang
berhasil
memanfaatkan
momentum
tersebut,
sehingga
mampu
mengembangkan pertumbuhan kapitalisme lokal yang berbasis perikanan budidaya. 5.1.4
Mensiasati Over Fishing Penggunaan alat negara dalam proses penghapusan trawl dilapangan, tidak
dapat dipungkiri berhasil mengalihkan kegiatan ekonomi sebagian besar masyarakat setempat menjadi nelayan non trawl. Bahkan, cukup efektif dalam menggiring para nelayan tangkap untuk beralih profesi sebagai pembudidaya udang, yang diharapkan mampu mengamankan “Program Udang Nasional”. Namun demikian, tidak sedikit nelayan trawl yang tetap melaut meskipun harus “kucing-kucingan” dan menghadapi resiko penangkapan oleh aparat, sebagian kecil diantara mereka mengalihkan kegiatan ekonominya dalam pelayaran tradisonal/ perdagangan antar pulau, karena minimnya dana kompensasi yang tersalur dan stigma kegiatan perikanan budidaya yang kurang prospektif. Salah seorang yang berani mengambil resiko dan sukses menjadi milyarder di sektor pelayaran tradisonal/ perdagangan antar pulau tersebut, adalah Haji Saraping
144
yang sebelumnya merupakan nelayan trawl yang beroperasi di sekitar Delta Mahakam – Tarakan. Meskipun terlihat menjanjikan, namun kegiatan penangkapan udang di sekitar perairan Delta Mahakam dan sekitarnya, sejak akhir 1990-an diduga telah mengalami degradasi stok udang, hal ini “diamini” oleh hampir semua nelayan yang mengeluhkan minimnya hasil tangkapan mereka. Menurut Juliani (2004), potensi lestari perairan Delta Mahakam dan sekitarnya (pada kedalaman < 20 meter) mencapai 9.300 ton/ tahun, dengan upaya penangkapan optimum lestari 38.875 trip/ tahun. Kawasan pada kedalaman tersebut, menurut Yuliani telah mengalami kelebihan tangkap (over fishing), karena kondisi aktual menggambarkan upaya penangkapan optimal telah dicapai, begitu juga kecendrungan produksi yang menurun, bahkan telah melampaui tingkat keseimbangan akses terbuka (open acces). Temuan tersebut senada dengan analisa Dahuri (2009), yang menyatakan total produksi perikanan tangkap dari laut Indonesia pada 1999, telah mencapai 3,7 juta ton atau 58% dari MSY (Maximum Sustainable Yield). Kondisi inilah yang kemudian menjadi alasan “survival” nelayan setempat, sehingga kembali beramai-ramai memanfaatkan alat tangkap trawl yang telah dilarang, karena dianggap lebih efektif dan efisien dalam menangkap udang. Meskipun diyakini nelayan tradisional setempat, stok perikanan di sekitar perairan Delta Mahakam saat ini telah terdegradasi, sehingga berimbas pada hasil tangkapan mereka yang semakin minim, namun data statistik (seperti terlihat pada Tabel diatas), menunjukkan bahwa produksi perikanan tangkap cenderung meningkat meskipun peningkatannya fluktuatif. Hal ini mengindikasikan, peningkatan produksi perikanan tangkap lebih banyak ditopang dari hasil tangkapan nelayan-nelayan/ armada perusahaan-perusahaan eksportir yang memiliki kapal dengan tonase besar dan modern, sehingga mampu beroperasi efektif meskipun jauh dari pantai. Degradasi stok udang yang terjadi di perairan Delta Mahakam dan sekitarnya, tentu tidak hanya diakibatkan maraknya kegiatan illegal fishing karena penggunaan alat tangkap trawl oleh nelayan setempat, bersaing dengan kapal-kapal berukuran > 30 GT dan moderen dari luar Kalimantan Timur yang juga melakukan eksploitasi udang di kawasan yang sama. Namun, lebih disebabkan ketiadaan regulasi yang dapat diaplikasikan dalam mengatur jalur penangkapan, berikut pembagian zonasi sesuai ukuran kapal, penentuan dimensi kapal dan alat tangkap, daerah konservasi udang dan aturan pendukung lainnya. Akibatnya persaingan dengan “hukum rimba” dalam kegiatan penangkapan udang tidak terhindarkan, hanya nelayan yang memiliki teknologi dan efisiensi usaha tingkat tinggi yang akan tetap survive dan memperoleh keuntungan optimal. Padahal, untuk menghasilkan satu kilogram udang membutuhkan biaya rata-
145
rata sebesar Rp. 12.068, sehingga menurut Juliani (2004) usaha penangkapan udang di kawasan Delta Mahakam tergolong tidak efisien. Sementara kiriman air tawar pada musim hujan, dari daerah hulu Sungai Mahakam yang kondisi hutannya juga terdegradasi ke arah muara sungai, menyebabkan “terhambatnya” migrasi udang ke perairan dangkal, karena “terdorong” menjauhi muara sungai/ pantai ke perairan yang lebih dalam. Selain itu selektifitas alat tangkap, penggunaan bahan peledak dan beracun dalam perikanan tangkap juga menyebabkan kerusakan ekosistem yang menimbulkan dampak lanjutan berkurangnya stok udang dan ikan. Sedangkan konversi hutan mangrove menjadi area pertambakan yang massive turut menghancurkan habitat alami yang menjadi spawning ground dan nurshery ground bagi perkembangbiakan udang. Hasil pengujian menunjukkan bahwa ada interaksi positif antara keberadaan hutan mangrove dengan produksi perikanan tangkap, khususnya udang dan pelagis kecil, sebesar 27,21%, artinya 27,21% produksi udang dan pelagis kecil dikontribusikan oleh adanya ekosistem mangrove (Indra, 2007). Hasil penelitian lainnya yang dirangkum Indra (2007) dari Paw and Chua (1989) juga menyimpulkan bahwa ada hubungan positif antara luas area mangrove dengan penangkapan udang penaeidae di Philipina. Begitupun temuan Martusobroto (1978) dan Naamin (1984), juga menyatakan adanya hubungan positif antara hasil tangkapan udang tahunan dan luas mangrove di seluruh Indonesia. Hal yang sama ditemukan Ng (1985) dalam Supriharyono (2000) di Malaysia, di daerah semenanjung sebelah barat dengan tutupan mengrove sekitar 96% menghasilkan 433.988 ton produksi „ikan‟ (termasuk udang dan kerang-kerangan), dibandingkan 133.226 ton produksi „ikan‟ di semenanjung sebelah timur yang hampir tidak ada mangrovenya. Akibatnya bisa diduga, nelayan-nelayan tradisional yang hanya mampu mengoperasikan kapal < 5 GT, sulit bersaing dengan kapal-kapal > 30 GT yang mampu melakukan operasi penangkapan maksimal pada kedalaman > 20 meter (sekitar > 6 mil dari pantai), yang berbiaya besar. Padahal pada kedalaman tersebut, densitas udang belum optimal dieksploitasi, potensi udang yang tereksploitasi baru mencapai 6,5 ton/ bulan dari potensi keseluruhan yang mencapai 77,3 ton/ bulan (Juliani, 2005). Ukuran udang pada kedalaman 20 – 50 meter, umumnya juga lebih besar dan memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan udang di tempat dangkal, sehingga lebih menguntungkan dan mampu mendukung kelangsungan usaha di sektor penangkapan udang.
146
5.2
Fase Industri Perikanan Budidaya
5.2.1
Reproduksi Kebijakan Penguasaan Sumberdaya Agraria Sampai
dengan
tahun
1980-an,
sebenarnya
aktifitas
ekonomi
utama
masyarakat setempat sebagian besar masih ditopang oleh kegiatan perikanan tangkap (nelayan), sementara aktifitas pertambakan baru diintrodusir oleh sebagian kecil masyarakat di kawasan Delta Mahakam dari para migran Bugis yang datang belakangan.
Seperti
terungkap
dalam
penelitian
Lenggono
(2004),
“kegiatan
pertambakan di Kawasan Delta Mahakam sebenarnya baru dimulai sekitar tahun 1978, ketika beberapa orang pendatang dari Sulawesi menyampaikan informasi tentang tata cara pembuatan tambak secara tradisional. Diantara warga setempat yang berminat mencoba mempraktekkan informasi tersebut adalah Haji Beddu di Tani Makmur dan Haji Lamat di Muara Pantuan”. Lebih lanjut, Haji Lamat menuturkan bahwa ia memulai kegiatan usaha pertambakan dengan “membuka” 2½ Ha lahan mangrove yang ada di samping rumahnya, untuk membangun empang sedalam ½ M dengan peralatan seadanya. Karena keterbatasan tenaga ia hanya mampu memperdalam empang itu beberapa meter dari tanggul, sehingga menyisakan tanah timbul di tengah empang. Selanjutnya empang tersebut diisi dengan air dari laut yang kebetulan berhadapan dengan empang yang dibangunnya, tanpa proses penaburan benih, ia melakukan perawatan seperlunya. Sekitar 3 bulan setelahnya, ia mencoba mengeringkan empang yang belum jadi tersebut, dari panen pertamanya, Haji Lamat mengaku berhasil memanen udang windu seberat ½ ton dengan harga sekitar Rp. 3.500/Kg. Sejak saat itu kegiatan pertambakan tradisional, mulai menarik minat banyak pemilik kebun kelapa dan nelayan di sekitar kawasan Delta Mahakam untuk mencoba peruntungan dengan membuka tambaktambak baru. Kegiatan pertambakan dengan konversi hutan mengrove, semakin marak dilakukan pasca pemberlakukan Kepres No. 39 Thn 1980 dan Inpres No. 11 Thn 1982. Pekembangan kegiatan pertambakan di aras lokal tersebut, tidak terlepas dari “dukungan” Pemerintah Daerah setempat, melalui berbagai kebijakan yang ditujukan untuk “mengamankan” kepentingan Pemerintah Pusat, khususnya dalam Program Udang Nasional. Dimulai dengan penerbitan SK Gubernur Kaltim No. 66 Thn 1987, tentang Rencana dan Ketentuan-Ketentuan Pokok Usaha Intensifikasi Tambak Udang dan Bandeng Tahun 1988/1989; SK Gubernur Kaltim No. 83/590-IX/Um-38/1987, tentang; Pencadangan Areal Tanah Seluas ± 600 Ha di Pulau Letung Daerah Kecamatan Muara Badak Kabupaten Kutai untuk Pengembangan Budidaya Udang dengan Pola Tambak Inti Rakyat (TIR); SK Walikotamadya/ Ketua Satuan Pelaksana Bimas Kotamadya Samarinda No. 84 Thn 1987, tentang Intensifikasi Tambak dalam
147
Kotamadya Samarinda; dst. Secara keseluruhan berbagai kebijakan yang diambil pemerintah saat itu, telah ikut memicu terjadinya konversi hutan mangrove di kawasan Delta Mahakam menjadi area pertambakan secara massal dan massive pada masa selanjutnya. Sementara, peningkatan permintaan pasar internasional akan produk perikanan (khususnya udang windu), secara tidak langsung juga telah “memaksa” para pemilik modal, khususnya perusahaan-perusahaan eksportir, semakin banyak mengucurkan modal usahanya untuk mendorong pembukaan tambak-tambak baru di sekitar kawasan Delta Mahakam. Seiring dengan semakin menurunnya hasil tangkapan udang nelayan setempat, pasca pelarangan alat tangkap trawl. Besarnya luasan hutan mangrove yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pertambakan, namun tidak memiliki nilai intrinsik, menjadikan “transaksi penguasaan” atas kawasan Delta Mahakam semakin leluasa dilakukan. Seketika kawasan common property, dirubah peruntukannya menjadi areaarea pertambakan pribadi. Di dalam Kawasan Budidaya Kehutanan (KBK) yang diperkirakan mencapai 90 persen dari luasan kawasan Delta Mahakam yang mencapai 108.251,31 Hektar inilah, kegiatan pertambakan “ilegal” berlangsung. Klaim
“Ilegal”
mengacu
pada
perpektif
Departeman
Kehutanan
yang
mengkategorikan KBK sebagai kawasan “terlarang” bagi aktivitas apapun diluar kegiatan budidaya kehutanan, pemanfaatan kawasan hutan tanpa izin dari instansi yang berwenang bahkan dapat dikategorikan sebagai “perambah hutan”. Istilah-istilah “mengelola hutan” seperti ini, tampaknya selalu disesuaikan dengan kebutuhan kekuasaan dan ironisnya tidak pernah memperhitungkan kebutuhan masyarakat lokal. Secara legal formal keberadaan pemukiman di dalam KBK sekalipun, akan dikategorikan illegal oleh pemerintah, meskipun secara historis kawasan pemukiman tersebut telah berdiri jauh sebelum kebijakan tersebut ditetapkan. Sebagai konsekuensi logis atas penerbitan keputusan Menteri Pertanian bernomor 24/ Kpts /Um /1983, yang secara sepihak menetapkan sebagian besar kawasan Delta Mahakam sebagai kawasan hutan
produksi.
Reproduksi
pengetahuan
yang
berimplikasi
pada
reproduksi
penguasaan atas sumberdaya alam menurut Bryant (1998), tercipta karena adanya konflik politik ekologi antara dua lapisan sosial masyarakat. Pertama, elit politik dan ekonomi yang memiliki kekuasaan untuk menjustifikasi kebijakan yang “dianggap jauh lebih baik” dan kedua, adalah kelompok subordinat (masyarakat lokal dan kelompok marjinal) yang berusaha melawan kelompok elit melalui
“budaya resisten”. Proses
produksi pengetahuan tersebut seringkali memperkuat ketidakadilan ekonomi dan sosial terhadap masyarakat tersubordinat. Sebagai akibatnya, rumah-rumah penduduk yang didirikan diatas tanah berstatus KBK tidak mungkin disertifikatkan, seperti yang terjadi pada sebagian besar
148
kawasan pemukiman di Desa Muara Pantuan, Sepatin dan Tani Baru. Demikian halnya dengan keberadaan tambak-tambak yang dibangun dengan memanfaatkan KBK di sekitar kawasan Delta Mahakam pun “dicap” ilegal oleh otoritas kehutanan. Namun anehnya, pemerintah (otoritas kehutanan) sebagai penguasa kawasan, ternyata tidak mampu berbuat apa-apa untuk mengatasi kegiatan “ilegal” yang terus berlangsung di atas tanah-tanah negara tersebut. Begitu pula dengan keberadaan pemukiman di dalam KBK, tidak pernah sekalipun ditertibkan secara tegas oleh otoritas yang berwenang. Absennya
negara
sebagai
pihak
yang
berkompeten
dalam
menyelesaikan
permasalahan yang muncul atas penetapan Delta Mahakam sebagai kawasan hutan produksi, telah menjadi preseden buruk bagi terciptanya kesadaran kolektif dalam tubuh masyarakat yang patuh hukum. Akibatnya bisa diduga, tidak hanya kawasan pemukiman yang bertambah meluas, namun juga pembangunan tambak-tambak baru pun semakin tak terkendali, seiring dengan lemahnya penerapan low enforcement. Pada gilirannya permasalahan agraria di kawasan Delta Mahakam menjadi semakin kompleks dan sulit diurai. Pola relasi antara tanah dan kehidupan petambak tersebut sepertinya sesuai dengan gambaran Redfield (1985) “sebagai suatu dunia yang dipenuhi sikap hidup tipikal”. Artinya tanah (lokasi hutan mengrove untuk area pertambakan) merupakan sumber penghidupan utama bagi para petambak, walaupun bukan berarti kepemilikan tanah kemudian menjadi sesuatu yang secara khusus menjadi tuntutan. Mereka merasa bisa hidup tanpa memiliki tanah, karena bagi petambak di Delta Mahakam yang lebih penting adalah penguasaan tanah dimana mereka bisa tetap berproduksi (dengan menjalankan aktivitas pertambakan), sehingga mampu melanjutkan kehidupannya. Realitas tersebut sekaligus menjawab logika berpikir para petambak di kawasan Delta Mahakam yang sebagian besar tidak terlalu ambil pusing dengan status legal formal atas keberadaan tanah-tanah yang mereka kuasai. Perlu dicatat disini, sebenarnya melalui Proyek Operasi Nasional Agraria (Prona) yang dimulai sejak 1981/ 1982, sejumlah tanah perkebunan kelapa milik penduduk di sekitar Delta Mahakam ada yang berhasil disertifikatkan. Menariknya kegiatan pensertifikatan secara massal, mudah, murah dan cepat tersebut terus berlangsung pasca penetapan Delta Mahakam sebagai kawasan hutan produksi. Menurut catatan Pemerintah Kotamadya Samarinda yang pada saat itu wilayah administratifnya meliputi sebagian kawasan Delta Mahakam, setidaknya pada tahun anggaran 1981/ 1982 s/d 1985/ 1986 sebanyak 15.353 sertifikat berhasil diselesaikan melalui program Prona. Sejumlah warga Sungai Perangat, Desa Sepatin dilaporkan juga berhasil mensertifikatkan lahan perkebunan kelapa mereka melalui program Prona di tahun yang sama. Menurut Haji Alimuddin, sertifikat tersebut diterbitkan dalam luasan
149
maksimal dua hektar, sehingga bagi mereka yang memiliki kebun kelapa lebih dari dua hektar, terpaksa harus “memecah tanahnya” dalam beberapa sertifikat. Meskipun kawasan Delta Mahakam hingga saat ini masih berstatatus hutan produksi, menariknya sejumlah ponggawa dan petambak setempat juga mengaku berhasil mensertifikatkan tambak-tambak mereka pada kurun 1990-an. Salah seorang kepala desa di kawasan Delta Mahakam, bahkan mengaku mendapatkan uang yang cukup besar setelah mengagunkan sertifat tambaknya pada sebuah bank negara. Fakta bahwa kegiatan pertambakan sudah sedemikian meluas dan melibatkan ribuan penduduk, telah pula mempengaruhi cara pandang aparatur pemerintah daerah. Menurut Simarmata (2008), umumnya aparat pemerintahan setempat menyadari bahwa secara hukum, tambak-tambak di kawasan hutan adalah illegal, namun secara faktual jumlah mereka yang sedemikian banyak dan sangat menggantungkan hidupnya pada usaha pertambakan, menjadikan pengusiran mereka dari kawasan Delta Mahakam muskil dilakukan. Tidak berlebihan jika sikap pragmatis yang kerap mendasari penyelesaian berbagai permasalahan secara instan pun menjadi pilihan yang dianggap paling realistis. Pemerintah daerah dengan fungsi mediatornya, cenderung bersikap ambigu ketika dihadapkan pada penyelesaian sengketa agraria antara masyarakat setempat (petambak/ ponggawa) dengan pihak perusahaan migas. Prinsipnya berbagai kepentingan
masyarakat
yang
bersinggungan
langsung
dengan
kepentingan
perusahaan migas akan diakomodasi, sebagai upaya meredam munculnya gejolak yang lebih besar dalam masyarakat. Entah melalui kesepakatan ganti-rugi atau pemberian kompensasi dalam bentuk materil atas dampak negatif aktivitas perusahaan migas. Lazimnya kegiatan industri migas, selalu dimulai dari kegiatan sektor hulu berupa tahapan kegiatan eksplorasi dengan melakukan penyelidikan dan pencarian, yang dilanjutkan dengan kegiatan eksploitasi dan pengembangan lapangan-lapangan migas (diantaranya berupa kegiatan survey dan pengeboran), hingga kegiatan sektor menengah sampai hilir, yang umumnya berupa pengolahan dan pendistribusian minyak ke kilang-kilang minyak dan gas dengan menggunakan pipa. Namun demikian, kegiatan usaha hulu industri migas tetap harus tunduk pada Pasal 33, UU No. 22/ 2001 yang menyatakan bahwa “hak atas Wilayah Kerja tidak meliputi hak atas tanah permukaan bumi dan tidak pada tempat-tempat tertentu”. Di atas tanah permukaan inilah benturan kepentingan antara kegiatan usaha hulu migas dengan kegiatan usaha perikanan budidaya/ tangkap sering terjadi. Hal ini dikarenakan zona potensial penghasil migas meskipun berbeda “ruang” namun berada pada “area permukaan” yang sama dengan kegiatan perikanan, dimana kandungan migas berada di “ruang” bawah (dalam perut bumi), sedangkan potensi sumberdaya perikanan tangkap/ budidaya berada di ruang atas dari permukaan tanah. Demikian panjang dan kompleksnya praktek kegiatan
150
pengelolaan migas (lihat Tabel 10.), telah menempatkan sektor strategis ini beresiko berbenturan
dengan
kepentingan
berbagai
stakeholder
(khususnya
kegiatan
pertambakan). Tabel 10. Praktek Kegiatan Pengelolaan Migas Tahapan Kegiatan Desk Studi Survey Eksplorasi
Delineasi
Pengembangan
Produksi
Hubungan masyarakat
Keselamatan dan keamanan instalasi sarana dan prasarana produksi Tenaga kerja
Target Operasi Mengetahui potensi, prospek serta kandungan dan keberadaan sumberdaya migas di suatu kawasan 1. Pembebasan lahan dan land clearing; 2. Seismic; 3. Pemboran eksplorasi; 4. Penentuan cadangan, luasan struktur kawasan, lokasi sumur bor, logistik, sarana dan prasarana; 5. Pengelolaan dan pemantauan lingkungan (UKL-UPL); 6. Decommissioning termasuk rehabilitasi dan reklamasi 1. Pemboran sumur delineasi; 2. Pembuatan burn pit; 3. Pengerukan lahan, pengangkutan pasir + tanah dari ke lokasi pemboran, serta pengerukan dan pemampatan tanah dasar pondasi pemboran; 4. Seismic detail; 5. Penghitungan cadangan terukur, terindikasi dan tereka; 6. Pembebasan lahan; 7. Land clearing; 8. Pengangkutan dan pengoperasian alat berat; 9. Pengangkutan bahan; 10. Uji coba produksi; 11. Pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan lingkungan; 12. Penyuluhan pada masyarakat 1. Pemboran sumur; 2. Pembangunan fasilitas produksi; 3. Penyambungan jaringan pipa; 4. Pembangunan sarana pengelolaan air; 5. Pembangunan sarana dan sarana penunjang produksi; 6. Pemboran air tawar; 7. Transportasi dan mobilisasi; 8. Pembangunan sarana mengatasi keadaan darurat 1. Pembangunan sarana fisik; 2. Pembangunan jaringan pipa; 3. Mengalirkan minyak mentah dan gas dari sumur produksi; 4. Pengolahan air dan limbah (B3); 5. Pengelolaan lingkungan dan pemantauan lingkungan (AMDAL); 6. Studi geologi, reservoir dan production engineering, serta disiplin ilmu terkait kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas Sebagai upaya terjalinnya kerjasama yang saling menguntungkan antara kegiatan industri migas dan masyarakat, sehingga berbagai aktivitas dapat berjalan secara berdampingan (melalui program community development) Melakukan upaya pengamanan yang ketat dan terintegrasi pada tempattempat strategis, bagi terjaminnya keselamatan kegiatan operasi migas Terbukanya peluang kerja dengan keahlian tertentu
Sumber: Disarikan dari berbagai sumber
151
Pada tahap eksploitasi, kegiatan pertambangan migas yang terkonsentrasi pada usaha-usaha produksi migas, pengolahan lapangan, distribusi melalui pipa di lapangan, membutuhkan alokasi ruang permukaan yang besar. Di dalam ketentuannya, lokasilokasi yang akan digunakan untuk kegiatan tersebut haruslah mengantongi hak pakai sesuai dengan persyaratan keamanan instalasi migas dan harus bebas dari kepentingan atau pemakaian/ pengunaan pihak lain pada jarak-jarak tertentu dari masing-masing jenis instalasi. Hal tersebut juga diatur dalam UU No. 22/ 2001 Pasal 36 ayat (1), “Dalam hal Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap telah diberikan Wilayah Kerja, maka terhadap bidang-bidang tanah yang dipergunakan langsung untuk kegiatan usaha minyak dan gas bumi dan area pengamanannya, diberikan hak pakai sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan wajib memelihara serta menjaga bidang tanah tersebut”. Dimana pihak perusahaan migas diwajibkan mendapatkan pelepasan hak pakai atas kawasan hutan produksi yang akan mereka manfaatkan dari pemilik otoritas yaitu Departemen Kehutanan. Jika mendasarkan pada ketentuan normatif, perusahaan migas yang telah mengantongi izin hak pakai dari otoritas yang berwenang, sebenarnya tidak diwajibkan mengganti dalam bentuk apapun dan pada siapapun, atas aktivitas yang dilakukan dalam wilayah konsesi mereka, karena kawasan tersebut secara hukum formal berada di atas tanah negara. Namun menurut Simarmata (2008), perusahaan migas dan BP Migas lebih memilih menggunakan logika common sense, karena petambak dan nelayan dianggap telah mengeluarkan sejumlah uang untuk membuka tambak atau membuat dan memasang alat tangkap. Pihak perusahaan migas dan BP Migas bisa menerima tuntutan ganti rugi selama penggugat mampu menunjukkan surat legalitas kepemilikan lahan, seperti SPPT (Surat Pernyataan Penggarapan Tanah/ Surat Pernyataan Penguasaan Tanah) yang ditandatangani ketua RT, kepala desa dan camat, tanpa keharusan menunjukan izin yang dikeluarkan oleh instansi kehutanan sebagai pemilik otoritas. Hal ini kemungkinan merupakan “jalan tengah” yang dianggap paling mudah dan murah dalam membebaskan lahan-lahan yang telah dikelola dan dimanfaatkan masyarakat, dibandingkan harus menggunakan “kekuatan negara” yang belum tentu mampu menghalau “pendudukan” atas tanah-tanah negara tersebut. Sekaligus menjadi penjelas bahwa penerapan mekanisme ganti rugi/ kompensasi, telah ikut membenarkan tindakan “pendudukan” yang selama ini berlangsung. Perusahaan migas cenderung berlaku permisif, karena tidak berkepentingan mengendalikan pembukaan kawasan hutan sepanjang tidak mengganggu jalur pipa dan kompleks platform produksi migas. Karenanya sistem pengamanan tingkat tinggi yang diberlakukan mereka pun, tidak ditujukan untuk ikut mendukung pengamanan kawasan hutan produksi dimana area konsesi mereka berada, namun hanya diperuntukkan bagi
152
pengamanan area-area produksi migas berikut instalasi penunjangnya. Tidak peduli dengan apapun yang terjadi diluar wilayah operasi mereka. Apabila suatu saat tidak mampu mengamankan sendiri wilayah konsesinya, barulah mereka meminta bantuan pada aparat keamanan negara atau jika memerlukan lahan-lahan baru untuk kegiatan produksi, cukup dengan meminta bantuan BP Migas berunding dengan masyarakat pemilik lahan/ tambak melalui pemkab/ pemprop sebagai mediator. Pragmatisme yang ditunjukkan perusahaan migas juga terlihat dari mekanisme kompensasi/ ganti-rugi materil yang lebih mereka sukai dalam berhubungan dengan masyarakat setempat, prinsipnya “lebih baik membagi sedikit untuk mendapatkan bagian yang lebih besar, dibandingkan menegakkan aturan yang membutuhkan bagian yang tidak kecil”. Sementara pemerintah daerah yang sejak awal tidak mampu memberikan kepastian hukum atas tanah-tanah negara tersebut, cenderung bersepakat dengan model kebijakan ganti-rugi/ kompensasi yang diterapkan perusahaan migas dan BP Migas, sekalipun tanah-tanah negara yang akan diganti-rugi tersebut, secara formil tidak memiliki keabsahan. 5.2.2
Pola Pendudukan Tanah-Tanah Negara Tanah-tanah negara di kawasan Delta Mahakam dikuasai dengan berbagai
cara, seperti pewarisan dari orang tua, proses jual-beli, serta usaha merintis dengan mendapat izin garap dari otoritas setempat, namun tidak sedikit yang melakukannya tanpa izin garap. Umumnya masyarakat setempat mengaku bahwa tanah-tanah yang mereka kuasai pada awalnya diperoleh dari proses pembagian oleh RT/ Kepala Desa. Mekanisme pembagiannya didasarkan pada jumlah KK dalam kelompok-kelompok komunitas petambak, dimana setiap KK akan mendapatkan lokasi seluas dua hektar. Tidak hanya usaha merintis hutan mangrove menjadi area pertambakan yang bisa dilakukan tanpa sepengetahuan otoritas setempat, transaksi jual-beli pun banyak yang dilakukan tanpa sepengetahuan kepala desa dan camat. Transaksi jual-beli yang berusaha menghindari keterlibatan kepala desa ataupun camat tidak hanya didorong motif untuk terbebas dari kewajiban membayar biaya pengurusan yang besarnya mencapai Rp. 350.000/ dua Ha, seperti temuan Hidayati et all (2005) dan Simarmata (2008), namun juga akumulasi faktor psikologis-geografis akibat rendahnya pendidikan mereka yang melakukan transaksi, selain keterisoliran kawasan pertambakan di Delta Mahakam dari pusat pemerintahan. Akibatnya mereka yang bertransaksi cenderung menganggap urusan administrasi pertanahan sebagai sesuatu yang sulit dilakukan, sehingga terkesan menganggap remeh. Di dalam prakteknya pemilik/ penggarap cenderung baru akan mengurus Surat Pernyataan Penggarapan Tanah (SPPT) setelah terjadi konflik atau bila akan
153
berlangsung jual beli dan pemberian ganti rugi oleh perusahaan migas. Maksimal luasan tanah untuk satu bidang yang bisa mendapatkan Surat Pernyataan Penggarapan Tanah ini adalah dua hektar. Hanya saja tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai batasan maksimal lembar SPPT yang bisa dimiliki oleh seseorang, begitu pun dengan jangka waktu keberlakukan surat tersebut (Simarmata, 2008). Hal ini telah menciptakan peluang terjadinya penyalahgunaan atas penguasaan tanah-tanah negara, akibat ketidakpastian regulasi pertanahan di aras lokal. Pembatasan kepemilikan, kemudian ditafsirkan sedemikian rupa, oleh mereka yang bertransaksi, sebagai jalan tengah yang bisa “menguntungkan” kedua belah pihak, sehingga yang dimaksud dua hektar bukan lagi untuk setiap keluarga melainkan untuk setiap kepala atau setiap orang dalam satu keluarga (Maifiansyah 2005; Simarmata, 2008). Sehingga muncul istilah “banyak anak banyak lokasi”, karena berapapun jumlah kepala dalam keluarga akan bisa dihargai dua hektar. Ketidakpastian regulasi pertanahan memungkinkan seorang penggarap memiliki belasan bahkan puluhan hektar lahan hutan, hanya dengan meng-SPPT-kan tanahtanah yang dikuasainya per-dua hektar, menggunakan nama-nama berbeda dalam keluarga, bahkan dengan menggandakan nama mereka sendiri. Kemungkinan tersebut menemukan momentumnya, ketika regulasi pertanahan yang sampai pada aparatur pemerintahan di aras lokal mengalami transformasi subjektif, sehingga ditafsirkan secara berbeda-beda sesuai dengan pengetahuan dan persepsi mereka yang terbungkus kepentingan pragmatis. Pemahaman seperti itu terus direproduksi secara berulang, sepanjang dianggap “aman dan menguntungkan” mereka yang bertransaksi, sebagai bentuk pensiasatan atas ketidakpastian penyelenggaraan hukum atas tanahtanah negara yang sangat potensial ini. Meskipun menurut peraturan perundangan, pemanfaatan kawasan hutan tanpa izin dari instansi yang berwenang dapat dikategorikan sebagai perambah hutan. Hasil penelitian Lenggono (2004), bahkan mengungkap terjadinya koalisi kepentingan antara aparatur pemerintahan di aras lokal dengan para ponggawa yang memiliki pengaruh sosial-ekonomi kuat dalam penguasaan tanah-tanah negara di Desa Muara Pantuan. Peristiwa pelepasan tanah-tanah negara secara massal oleh kepala desa dalam kurun waktu 1991 – 1999 ini, telah menyebabkan terjadinya akumulasi penguasaan tanah-tanah negara pada pihak-pihak tertentu yang memiliki modal dan pengaruh kuat (khususnya pada para ponggawa). Kebijakan lokal tersebut, muncul seiring dengan semakin besarnya kebutuhan lokasi-lokasi baru bagi perluasan tambak, sehingga memaksa otoritas lokal mensiasatinya dengan membuat “regulasi instan” atas penguasaan area hutan mangrove yang saat itu masih belum memiliki nilai intrinsik. Salah satunya dengan memberikan “konsesi” penguasaan sejumlah pulau dalam
154
kawasan Delta Mahakam pada pihak-pihak tertentu dengan sejumlah kompensasi. Para pemilik
“konsesi”,
selanjutnya
memiliki
hak
prerogatif
dalam
mengatur
dan
mengendalikan pulau/ kawasan tertentu, bahkan memiliki otoritas dalam pelepasan hak penguasaan lokasi untuk area pertambakan pada orang lain (lihat Tabel 11.). Tabel 11. Pihak Yang Berkuasa Terhadap Lokasi Pertambakan di Desa Muara Pantuan No Pihak Penentu Latar Belakang Pekerjaan Lokasi Kuasa 1. H. Halim Ponggawa Daerah Timbang Pasir, P. Kala, P. Nobi dan Kayu Majarang 2. H. Maming Ponggawa Daerah Palong dan Tambolo 3. H. Uton Kepala Desa Daerah Lagenting, Timbang Lumut, Muara Kembang dan Muara Pantuan Sumber: Lenggono, 2004 (Wawancara Mendalam dengan Mantan Kades Muara Pantuan) Pembagian kuasa secara sepihak oleh oknum kepala desa, tidak hanya menyebabkan terjadinya akumulasi penguasaan area hutan mangrove untuk lokasi pertambakan pada pihak-pihak tertentu, namun secara tidak langsung telah ikut mengokohkan posisi para ponggawa sebagai “tuan tanah”. Kemampuan penetrasi kapital mereka, bahkan mampu mengakuisisi lokasi-lokasi baru diluar “konsesinya”, sehingga beberapa diantaranya menguasai hamparan tambak hingga ribuan hektar. Haji Maming dan Haji Halim adalah beberapa ponggawa senior yang paling diuntungkan dengan kebijakan tersebut, Haji Maming dikenal sebagai ponggawa yang menguasasi hamparan tambak paling luas di Muara Pantuan hingga saat ini. Begitu pun Haji Halim yang juga orang tua angkat Haji Mangkana (eksportir terbesar di kawasan Delta Mahakam), tidak hanya memilik hamparan tambak luas di Muara Pantuan namun juga di Sepatin. Berbeda dengan (alm.) Haji Uton yang mendapatkan “konsesi” karena jabatannya sebagai kepala desa, saat ini ia hanya bisa meninggalkan beberapa petakan tambak yang diwariskan pada anak-anaknya. Pendistribusian penguasaan hutan mangrove juga telah menjadikan para ponggawa sebagai “agen regulasi” pertanahan di aras lokal, selain para kepala desa. Para ponggawa dan sejumlah tokoh kunci dalam masyarakat inilah yang selanjutnya berperan mendistribusikan tanah-tanah yang berada dibawah konsesinya pada para petambak yang menjadi kliennya dengan sejumlah ketentuan yang mengikat. Tanahtanah negara yang dikuasai secara tidak prosedural inilah yang kelak menjadi aset produksi kunci yang dimanfaatkan dan didistribusikan para ponggawa sebagai alat untuk meraih kekuasaaan, kekayaan dan status sosial. Namun demikian, penguasaan hutan yang tidak prosedural ini kelak juga menjadi cikal-bakal terjadinya banyak kasus tumpang tindih penguasaan lokasi pertambakan. Seperti, kasus perebutan hak
155
penguasaan atas lokasi pertambakan yang melibatkan dua ponggawa besar di Muara Pantuan antara Haji Maming dengan Haji Onggeng pada pertengahan tahun 2003. Penyerahan “konsesi” penguasaan lokasi hutan bisa pula dilberikan pada kelompok-kelompok komunitas melalui tokoh masyarakat setempat, seperti terungkap dalam wawancara dengan Haji Baharuddin, seorang petambak Bugis dari Handil Terusan. Ia menuturkan bahwa izin merintis lokasi untuk membuka tambak pada 1999 (hanyalah berupa tulisan tangan di secarik kertas), didapatnya dari Kepala Desa Tani Baru. Ia mengaku, mendapatkan izin garap hingga 1000 Hektar di Sungai Banjar (Tanjung Pimping) tanpa biaya satu sen pun, setelah mengajukan permohonan izin merintis lokasi hutan untuk kegiatan pertambakan pada sang kades yang secara pribadi ia kenal. Tanah-tanah itu, kemudian dibagikannya secara cuma-cuma pada sekitar 300 orang warga lokal dan pendatang Bugis, seluas 2 – 20 Hektar/ KK, dengan harapan kawasan disekitar tambaknya menjadi semakin ramai. Ia tidak merasa menyesal telah membagi-bagikan “konsesinya” pada sejumlah orang, meskipun saat ini ia hanya bisa menguasai 20 Hektar tambak yang telah di SPPT-kannya dengan biaya Rp 250.000/ 2 Hektar pada 2002. Sementara di Kelurahan Muara Kembang penyerahan “konsesi” penguasaan lokasi hutan, dilakukan otoritas lokal bersama LKMD yang mendistribusikan hutan nipah ex. konsesi PT. Nira Kertabuana pada masyarakat. Berdasarkan pengakuan Haji Yusuf yang juga merupakan pelaku sejarah dituturkan, bahwa pada 1990/ 1991 terjadi kesepakatan antara Perusahaan Gula Indonesia dan Pemda Propinsi Kalimantan Timur untuk mendirikan pabrik gula PT. Nira Kertabuana. Perusahaan ini diharapkan dapat mengeksloitasi hutan nipah di kawasan Delta Mahakam menjadi gula nira dengan memanfaatkan tenaga transmigran (penyadap) yang akan didatangkan dari Jawa dan lokal. Setidaknya saat itu ororitas berwenang telah mengalokasikan lahan hutan nipah di pulau-pulau dalam kawasan Delta Mahakam seluas 25 Ribu Hektar, sebagai area operasi perusahaan. Namun sayangnya, karena berbagai alasan program pemerintah tersebut akhirnya harus terhenti ditengah jalan dan menyisakan masalah “lahan tidur”. Atas inisiatif sejumlah tokoh masyarakat dan pemerintahan desa, tanah seluas 25 Ribu Hektar yang seharusnya kembali menjadi hutan negara tersebut, akhirnya dibagibagikan pada warga Muara Kembang dan sekitarnya. Pemerintah Desa dan LKMD, memberikan ijin garap pada setiap keluarga seluas 5 Hektar, bahkan tidak sedikit yang mendapatkan ijin garap lebih dari 5 Hektar. Menariknya, menurut Haji Yusuf kesempatan untuk menadapatkan ijin garap lahan ex. konsesi PT. Nira Kertabuana tersebut, malah lebih banyak dimanfaatkan “orang luar” Muara Kembang.
156
5.2.3
Konflik Penguasaan Sumberdaya Agraria Berbeda dalam menangani konflik agraria yang melibatkan perusahaan migas,
dimana pemerintah daerah cenderung berlaku proaktif, namun dalam penanganan konflik horizontal terkait masalah agraria, antara petambak dengan petambak ataupun ponggawa dengan ponggawa, pemerintah daerah terkesan kurang peduli, jika tidak ingin disebut “membiarkan”. Di dalam sebuah konflik horizontal pada pertengahan 2003 yang melibatkan ponggawa kuat, Haji Onggeng dengan Haji Maming misalnya, pemerintah daerah tidak pernah terlibat secara aktif atas penyelesaian konflik tumpang tindih dalam penguasaan “lokasi” pertambakan ini. Lokasi adalah sebutan masyarakat setempat terhadap area hutan/ tanah kosong yang dapat dirintis untuk dikembangkan menjadi petakan tambak-tambak baru, namun berada dalam penguasaan seseorang. Konflik tersebut, bermula dari protes Haji Maming yang merasa hak penguasaannya atas sebidang “lokasi” yang luasnya mencapai ratusan hektar di Lagenting (Muara Pantuan), dikuasai secara sepihak oleh Haji Onggeng yang tanpa sepengetahuannya merintis dan menggarap “lokasi” tersebut. Dengan alasan “lokasi” tersebut tidak ada yang mengelola sehingga tidak terurus, Haji Onggeng akhirnya membangun tambak-tambak baru, diatas “lokasi” yang menurutnya tak bertuan tersebut, hingga berhasi mendapatkan SPPT. Konflik agraria tanpa kehadiran penengah dari pihak pemerintah ini, akhirnya semakin meruncing ketika kedua belah pihak tidak menemukan kata sepakat. Akibatnya kedua belah pihak menggunakan semua sumberdaya yang dimilikinya, dengan segala cara untuk memenangi konflik. Meskipun menurut sejumlah sumber, mereka masih terikat hubungan kekarabatan, karena Haji Onggeng pernah “diasuh” oleh Haji Maming, namun ikatan historis tersebut tidak mampu merubah keadaan. Dengan menggunakan kekuatan massa klien yang berada dibawa pengaruhnya, Haji Maming akhirnya berhasil menguasai area pertambakan yang disengketakan, sementara Haji Onggeng dengan kekuatan modal dan lobby, berhasil mendatangkan pasukan arteleri Angkatan Darat ke lokasi sengketa untuk mengamankan aset-aset yang ada dan menjaga kemungkinan konflik yang lebih luas. Hingga terjadi kesepahaman diantara kedua belah pihak untuk tidak melanjutkan konflik fisik, namun disepakati dilanjutkan ke pengadilan. Penyelesaian pertikaian (resolusi konflik) yang cenderung dilakukan dengan pendekatan formal tersebut, terjadi karena norma-norma sosial yang menyediakan sebuah bentuk kontrol sosial informal yang mengelakkan seseorang dari sanksi hukum terorganisir dan lebih formal sudah tidak mampu lagi menjembatani penyelesaian konflik yang „memuaskan‟ semua pihak. Kondisi ini selanjutnya memaksa warga komunitas setempat untuk bersikap rasional dalam meyelesaikan pertikaian yang terjadi diantara mereka melalui jalur kelembagaan formal, yang didasarkan pada norma-norma yang
157
universal dan bersifat terbuka. Sehingga menempatkan jalur kekeluargaan sebagai pilihan terakhir dalam penyelesaian pertikaian. Ironisnya, lembaga kepolisian relatif tidak banyak menjadi pilihan, mengingat keberadaan mereka yang “tidak jelas” dalam komunitas serta persepsi warga petambak yang sudah terlanjur memvonis “berurusan dengan pihak berwajib harus menyiapkan biaya besar dan rumit”. Kecenderungan untuk menyelesaikan pertikaian dengan pendekatan formal tanpa didukung dengan keberadaan aparat penegak hukum atau kepolisian ini, telah menyeret warga komunitas untuk melakukan tindakan anarkis bila resolusi konflik yang dilakukan tidak bisa memuaskan pihak-pihak yang bertikai. Setelah melalui proses hukum yang cukup panjang, akhirnya pihak pengadilan tinggi menetapkan Haji Onggeng sebagai pemenangnya. Yang menarik dari proses hukum tersebut, kemenangan Haji Onggeng di dalam pengadilan lebih dikarenakan ia memiliki SPPT, sebagai bukti legalitas atas penguasaan/ penggarapan tanah-tanah tersebut. Pihak pengadilan secara tidak langsung, telah me-syahkan tanah-tanah yang telah memiliki SPPT sebagai bukti legalitas atas penguasaan/ penggarapan tanah-tanah secara perorangan, meskipun tanah-tanah tersebut berstatus sebagai tanah negara yang dikuasai/ digarap tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Hal ini tentu bisa menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum dan penertiban penguasaan tanah-tanah negara yang tidak prosedural di kawasan Delta Mahakam. Di dalam catatan peneliti, konflik vertikal relatif jarang atau boleh dikatakan belum pernah terjadi secara terbuka, hal ini merupakan keunikan proses produksi dalam kegiatan pertambakan di kawasan Delta Mahakam, sehingga menghasilkan pola hubungan sosial khas berbalut ikatan patron-klien. Meskipun kegiatan pertambakan di kawasan ini memiliki sumberdaya yang bersifat tetap (walau lokasi pertambakannya berada diatas tanah-tanah negara) dan relatif dibawah kontrol para petambak, layaknya kegiatan pertanian pada umumnya, namun pola hubungan produksi yang terbangun hampir menyerupai pola produksi pada kegiatan perikanan tangkap. Dimana penghasilan yang diperoleh sangat fluktuatif dan penuh ketidakpastian, akibat komoditi yang diproduksi yaitu udang sangat dipengaruhi kondisi lingkungan sekitar, bahkan banyak ditentukan oleh “kemurahan” alam. Akibatnya, mereka yang terlibat dalam kegiatan pertambakan tradisional, secara vertikal cenderung saling menggantungkan diri antara satu dan lainnya untuk mensiasati ketidakpastian, selama hal itu dianggap menguntungkan kedua-belah pihak. Seorang petambak akan menggantungkan dirinya pada ponggawa yang menjadi patronnya untuk mendapatkan berbagai bantuan “lunak” bagi kegiatan pertambakan yang penuh dengan resiko dan ketidakpastian, bahkan batuan lain diluar kegiatan pertambakan, seperti biaya berobat, perkawinan ataupun hajatan keluarga,
158
serta untuk kebutuhan rumah-tangga, dst. Begitupun sebaliknya seorang ponggawa sangat menggantungkan harapannya pada kesetiaan dan loyalitas petambak yang menjadi kliennya untuk bisa mendapatkan kepastian pasokan udang. Hal serupa pun dirasakan oleh para penjaga empang yang menjadi klien dari para petambak ataupun ponggawa, sehingga dalam kegiatan pertambakan tradisional selalu diwarnai oleh hubungan yang bersifat personal, dengan komunikasi yang cenderung interpersonal dan tatap muka. Layaknya hubungan produksi pada kegiatan perikanan tangkap, dimana hubungan diantara nelayan pemilik dan buruh nelayan tidak didominasi oleh pola hubungan yang semata-mata bersifat bisnis dan impersonal, seperti pada hubungan buruh dan majikan di dunia industri (Kinseng, 2007). Selain faktor kultural, yang masih dipertahankan oleh sebagian wiraswasta Bugis dalam proses produksi pertambakan tradisional, yang cenderung menggunakan jalur hubungan kekerabatan (faktor kekeluargaan ataupun etnisitas) sebagai sumber utama dalam perekrutan tenaga kerja. Pilihan untuk mempekerjakan saudara sendiri sesuai dengan peribahasa Bugis, “apabila kamu mempekerjakan seorang saudara dari keluargamu, maka kamu hanya buta satu mata, tetapi dengan mempekerjakan orang yang bukan saudara kamu, maka butalah kedua matamu” (Lineton, 1975). Lebih jauh Acciaioli (1989), menyebut “tali kekeluargaan merupakan jalur primer, meskipun bukan satu-satunya dari struktur pengumpulan tenaga kerja dengan cara kerjasama dan melalui ketergantungan, juga untuk menumbuhkan kesetiaan yang lebih tinggi dari mereka yang terikat dalam hubungan ini”. Hal inilah yang melanggengkan pola hubungan pemimpin-pengikut (patron-clients), sehingga dapat tumbuh subur dalam kegiatan
pertambakan
di
kawasan
Delta
Mahakam.
Meskipun
fenomena
mempekerjakan tenaga kerja dari luar daerah dan berbeda etnik sebagai penjaga empang, saat ini telah dianggap sebagai sesuatu yang wajar, akibat semakin sulitnya mendapatkan tenaga kerja yang jujur dan setia dari jalur primer. Dapat dipahami jika kemudian konflik manifes yang muncul dan selalu berulang adalah konflik horizontal, sementara konflik vertikal hanya terjadi secara laten seperti ditunjukkan Gambar 10.
159
Eksportir
Eksportir Lokal/ Ponggawa Besar
Industri Migas
Pengusaha besar
Ponggawa Menengah dan Ponggawa Kecil
Ponggawa Menengah dan Ponggawa Kecil
Pengumpul/ Penyambang Mandiri
Petambak berlahan kecil tanpa pengikut Petambak berlahan luas dan memiliki pengikut
Petambak berlahan Petambak berlahan luas kecil tanpa dan memilikipengikut pengikut
Pengusaha Menengah-Kecil
Penjaga Empang dan Kuli Tambak
Penjaga Empang, Kuli Tambak dan Buruh Industri Perikanan
Penjaga Empang Kuli Tambak dan Buruh Pabrik
Petambak berlahan kecil tanpa pengikut
Petambak berlahan kecil tanpa pengikut Petambak Mandiri
eoisie dan Penyambang Pekerja Profesional yang dipekerjakan ponggawa Klik 1
Penyambang dan Pekerja Profesional Industri Perikanan yang dipekerjakan eksportir
dan Pekerja Profesi
Klik 2
Gambar 10. Skema Konflik dan Hubungan Produksi dalam Usaha Pertambakan Sumber: Diolah dari Data Primer, 2011 Keterangan: = Menunjukkan Konflik Manifes = Menunjukkan Konflik Laten Posisi kelas petambak mandiri/ pekerja profesional diletakkan dibawah untuk menunjukkan bahwa mereka adalah kelas otonom yang hanya terikat secara instrumental oleh kelas diatasnya dan tidak berarti posisi mereka lebih rendah dibandingkan penjaga empang/ kuli tambak dan buruh pabrik (seperti ditunjukkan garis hubungan produksi dan konflik) Skema tersebut selain menunjukkan pola konflik dalam kegiatan pertambakan tradisional di kawasan Delta Mahakam, sekaligus juga menggambarkan moda-produksi kapitalis yang telah menempatkan struktur kelas pengusaha (ponggawa) menjadi
160
penguasa atas moda-produksi yang lain. Kondisi ini menghasilkan dua kelompok kelas sosial yang berkuasa (atas) dan yang dikuasai (bawah), dimana kelas atasnya diisi oleh kelompok kapitalis dan kelas bawahnya diisi oleh kelompok proletar/ buruh. Namun demikian, peneliti melihat adanya polarisasi kelas yang terbentuk akibat distribusi kepemilikan alat produksi ataupun keahlian yang tidak merata, sehingga membentuk kelas petty bourgeoise (untuk menyebut pemilik alat produksi ataupun bidang keahlian tertentu yang hanya mampu mencukupi dirinya sendiri tapi tidak bisa membayar buruh). Meskipun penyambang dan pekerja profesional dengan keahliannya lebih mandiri dan obyektif dibandingkan petambak berlahan kecil tanpa pengikut yang cenderung terikat secara emosional di dalam sebuah klik ponggawa, namun keberadaan mereka tetaplah sama, menjadi perangkat ideologis bagi perkembangan moda-produksi kapitalisme pertambakan. Selain terbentuk kelas atas dari moda-produksi yang dominan (kapitalis besar), juga terdapat kelas atas dari moda-produksi yang tidak dominan (kapitalis kecil). Menurut Wright, tidak semua posisi ekonomi dalam masyarakat kapitalistik modern merupakan pola produksi kapitalisme murni. Beberapa diantaranya merupakan pola produksi komoditi sederhana, di dalamnya keuntungan berasal dari
usaha
produksi yang dilakukan individu sendiri. Keuntungan-keuntungan tersebut terlalu kecil sehingga tidak bisa terakumulasi. Di dalam pola produksi komoditi sederhana ini terdapat sebuah kelas selain kelas borjuasi dan proletar, yaitu kelas borjuasi kecil. Kelas borjuasi kecil beranggotakan para pengusaha kecil dan pengrajin yang tidak mempunyai karyawan, tidak mengeksploitasi tenaga kerja dan tidak mendominasi apapun dalam hierarki kewenangan. Sementara menurut Poulantzas, beberapa cara produksi terdapat bersama-sama dalam formasi kapitalis, kerena artikulasi tingkattingkat perkembangan historis setiap tingkat mempunyai urutan-urutan waktunya sendiri, maka dominasi suatu cara produksi kapitalis tertentu dan formasi kapitalis terhadap cara produksi kapitalis yang lain tidak diwujudkan dalam suatu perkembangan sederhana. Dalam suatu formasi sosial, kita mungkin menekankan suatu tingkat yang di dominasi oleh kapitalisme monopoli dan campur tangan negara sebelum di dominasi oleh kapitalisme peseorangan dan negara liberal. Artinya kelas dominan dalam masyarakat kapitalis bisa berubah sesuai dengan tata produksi dominan. Asumsi yang sering mendasari pembahasan tentang transformasi kelas baru di negara berkembang adalah runtuhnya tata produksi feodal agraris sebagai akibat tata produksi dominan. Tentunya hal tersebut akan menyebabkan kelas aristokrat feodal kehilangan legitimasinya yang tergantikan oleh kelas borjuasi sebagai kelas dominan dalam tata produksi kapitalis. Atau terbentuk formasi kelas baru dimana kaum tuan tanah merupakan wakil feodalisme di pedesaan, sedangkan kaum borjuasi industri merupakan hasil hubungan produksi kapitalis di perkotaan. Namun menurut
161
Roxborough, bukti-bukti empiris meragukan pendapat adanya dua kelas yang berbeda, sering kelompok-kelompok keluarga industrialis dan produsen bahan pertanian benarbenar saling tumpang tindih, sehingga anggotanya memiliki kepentingan baik dibidang industri maupun pertanian. Ini memperlihatkan adanya transformasi kelas, dari kelas aristokrasi feodal ke kelas borjuasi industri. Hal ini tidak terlepas dari kepentingan yang sama untuk tetap mendominasi dalam struktur sosio-ekonomi yang baru, sehingga terjadi
proses
“aristokratisasi
borjuasi”,
dimana
kaum
aristokrat feodal
akan
mendapatkan legitimasi baru. Dengan pola hubungan patron-klien seperti seperti terlihat dalam gambar diatas, dapatlah dipahami jika konflik yang mewujud tidak selalu bersifat antagonistik. Di dalam kegiatan pertambakan di kawasan Delta Mahakam, sejauh ini belum pernah terjadi konflik manifes antara kelas pemilik (ponggawa/ petambak) dan buruh/ penjaga empang. Konflik vertikal yang terjadi sering bersifat laten dan personal yang tidak mengarah pada pertentangan kolektif antara kelas pemilik dengan buruh pabrik. Kondisi ini mengingatkan hasil penelitian Mather di Tangerang yang menyebut nilai-nilai patriarkal yang berasal dari Islam sebagai variabel kunci dalam menjelaskan tidak adanya militansi buruh. Dimana pola-pola dominasi patiarkal dalam keluarga direproduksi atau setidaknya diperkuat di pabrik-pabrik, status perempuan yang dianggap rendah dalam Islam sebagai sumber utama dari nilai-nilai tersebut, padahal seperti diketahui mereka mendominasi pekerjaan sebagai buruh pabrik. Kaum perempuan berpindah secara tidak kritis dari satu lingkungan subordinasi ke lingkungan subordinasi lainnya; pertama dalam keluarga, kemudian ke pabrik dimana figur otoritas laki-laki mengawasi pekerjaan mereka (Mather, 1983 dalam Hadiz, 2005). Begitupun konflik yang terjadi antara ponggawa besar dengan ponggawa menengah/ kecil ataupun antara ponggawa dengan para petambak dan penyambang/ pekerja profesional yang mereka pekerjakan cenderung tidak manifes. Konflik manifes cenderung potensial terjadi pada mereka yang berbeda klik dan memiliki sumberdaya yang sepadan, seperti yang terjadi antara ponggawa Haji Maming dan Haji Onggeng yang telah kami kemukakan diatas. Dimana konflik horizontal tersebut, dapat berlangsung dengan melibatkan seluruh komponen di dalam klik ponggawa bersangkutan. Menariknya, meskipun diakui oleh sejumlah kalangan hubungan dalam usaha pertambakan telah terjadi kesenjangan sosial-ekonomi dan eksploitasi secara “terselubung”,
namun
hampir
tidak
pernah
terjadi
perlawanan
oleh
para
petambak/penjaga empang atas “ketidakadilan” yang terus berlangsung. Menurut Thompson (1975) dan Crummey (1986), mungkin saja petani kaya atau petani kelas menengah mengambil alih ideologi perlawanan dan menjuruskan ketegangan antar
162
kelas yang disebabkan oleh kesenjangan distribusi sumberdaya lokal ke arah perlawanan terhadap negara sebagai “musuh” bersama yang lebih besar. Seperti pernyataan White (1983) yang menyebut solidaritas dan moral ekonomi dapat ditumpangkan pada masyarakat desa yang dinamis dan terdiferensiasi. Tidak aneh jika kemudian konflik manifes yang sering terjadi di kawasan Delta Mahakam adalah konflik antara masyarakat lokal (petambak) dengan perusahaan migas dan antar kelompok ponggawa yang tidak memiliki kedekatan kultural dan emosional. Peneliti pun melihat adanya kecenderungan konflik manifes yang antagonistik, jika terjadi konflik vertikal yang melibatkan beberapa kelompok ponggawa dengan perusahaan eksportir yang secara primordial tidak memiliki kedekatan kultural dan emosional. Seperti diungkapkan Haji Sukri, seorang ponggawa dari Muara Jawa, yang secara kolektif (bersama para ponggawa lain) pernah melakukan tindakan keras terhadap sebuah perusahaan eksportir yang melanggar “aturan main”. Perusahaan PMDN milik seorang keturunan Cina ini, akhirnya “gulung tikar” karena di blokade oleh para ponggawa, dengan cara tidak memberikan suplai udang, setelah diketahui melakukan “transaksi ilegal” membeli udang secara langsung dari para petambak melalui penyambang-penyambang yang mereka sebar di lapangan. Para penyambang tersebut, bahkan mendapatkan intimidasi secara fisik. Gejala konflik serupa pun, dapat terjadi dalam hubungan produksi antara pengumpul/ penyambang mandiri (peran ini tidak hanya dimainkan para “pedagang bebas” Bugis tapi juga pedagang keturunan Cina) yang kedapatan melakukan transaksi pembelian udang ilegal dengan penjaga empang milik para ponggawa ataupun petambak berlahan luas. Menariknya konflik manifes yang antagonistik, akan cenderung mewujud pada hampir semua kelas ketika terjadi konflik dengan perusahaan migas. 5.2.4
Booms Udang dan Krisis Ekologi Udang menempati urutan pertama pada perolehan nilai ekspor perikanan
Indonesia tahun 1995, dengan nilai ekspor mencapai US$ 1.137.540 atau dengan volume ekspor sebesar 110.070 ton. Dari total volume dan nilai eskpor tersebut dalam bentuk udang beku volumenya sebanyak 92,28 persen dengan nilai 95,89 persen dari total nilai ekspor udang (Gappindo, 1996). Pasca krisis tahun 1998 – 2001, kontribusi ekspor udang dalam perolehan devisa Indonesia tergolong cukup besar, khususnya dari kelompok sektor non-migas, bahkan terbesar bila dibandingkan dengan kelompok komoditas ekspor sektor pertanian, seperti; kopi, teh, rempah-rempah, tembakau dan biji coklat. Dalam kurun waktu tersebut, ekspor udang memberikan kontribusi sebesar 22,03-48,9 persen dari total ekspor kelompok pertanian (Tajerin dan Muhammad, 2004).
163
Seperti ditunjukkan Gambar 11. volume dan nilai ekspor udang beku dan segar dari Kalimantan Timur pun, terlihat meningkat dari tahun ke tahun. Puncak kenaikan volume dan nilai ekspor udang beku dan segar dari Kalimantan Timur terjadi booms udang akibat terjadinya krisis moneter pada 1998/ 1999, ketika volume produksinya mencapai 10.080 Ton dengan nilai mencapai US $ 69.369.73. Meskipun mengalami penurunan pada 1999, namun sejak 2001 volume maupun nilainya cenderung mengalami peningkatan, puncaknya terjadi pada 2007, ketika volume produksinya mencapai 16.685 Ton, dengan nilai mencapai US $ 141.715.251. Peningkatan volume produksi udang Kalimantan Timur tersebut, banyak disumbang oleh produksi udang tambak, yang luasannya telah mencapai 138.179 Ha. Akibatnya bisa diduga jika luasan hutan mangrove Kalimantan Timur pun mengalami penyusutan. Setidaknya pada 2006, lebih dari 833.379 Ha luas kawasan mangrove yang ada di provinsi Kalimantan Timur, hanya 511.722 Ha yang masih berupa hutan (BP DAS Mahakam Berau 2006).
Volume Ekpor Udang (Ton)
Nilai (US.0000 $)
19 8 19 0 8 19 1 8 19 3 8 19 4 8 19 5 8 19 6 8 19 7 8 19 8 8 19 9 9 19 0 9 19 1 9 19 2 1993 9 19 4 9 19 5 9 19 6 9 19 7 9 19 8 9 20 9 0 20 0 0 20 1 0 20 2 0 20 3 0 20 4 0 20 5 2006 0 20 7 08
20,000 18,000 16,000 14,000 12,000 10,000 8,000 6,000 4,000 2,000 0
Tahun
Gambar 11. Volume dan Nilai Ekspor Udang Beku dan Segar Kalimantan Timur Sumber: Data Primer Diolah dari Laporan Tahunan Dinas Perikanan Kalimantan Timur 1980 – 2009 Menurut catatan Dutrieux (2001), kegiatan konversi lahan mangrove untuk budidaya perikanan terus meluas, meskipun pada 1992 luas lahan yang terbuka hanya sekitar 3.700 ha. Namun luasnya meningkat menjadi 15.000 ha pada 1996 dan pada 1999 luasan tersebut telah mencapai 67.000 ha. Bahkan pada 2001 luas areal mangrove yang telah dikonversi telah mencapai sekitar 85.000 ha dari luas Delta Mahakam yang mencapai sekitar 150.000 ha. Rendahnya pemahaman komunitas petambak dalam mengelola tambak yang lestari dan ramah lingkungan, telah menyebabkan orientasi ekonomi lebih mengemuka dalam kegiatan pengelolaan tambak. Menurut Lenggono (2004), tingkat produksi tambak yang relatif rendah,
164
cenderung memicu prilaku petambak menjadi lebih agresif dalam mengeksploitasi hutan mangrove untuk dikonversi menjadi area tambak baru, dengan harapan dapat lebih meningkatkan hasil produksi. Meskipun pada kenyataanya volume dan nilai ekspor udang beku Kabupaten Kutai Kartanegara, yang sebagian besar berasal dari kegiatan pertambakan udang di kawasan Delta Mahakam telah mengalami penurunan sejak 2007 (lihat Gambar 12.). Akibatnya, gejala tersebut menjurus pada perilaku yang destruktif terhadap lingkungan dan represif dalam kehidupan sosial. Tambak-tambak baru cenderung dibangun dengan hamparan yang sangat luas, dengan asumsi akan mempermudah
pengelolaan
dan
meningkatkan
hasil
produksi.
Mendorong
digunakannya peralatan berat (seperti excavator) dalam pembukaan tambak-tambak baru tersebut, hingga terjadi pond encroachment.
Volume Ekpor Udang (Ton)
Nilai (Rp. 00000000)
5,000 4,500 4,000 3,500 3,000 2,500 2,000 1,500 1,000 500 0 2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Tahun
Gambar 12. Volume dan Nilai Ekspor Udang Beku dari Kawasan Delta Mahakam Sumber: Data Primer Diolah dari Laporan Tahunan Statistik DPK Kutai Kartanegara 2001 – 2008 Selanjutnya, konversi hutan mangrove untuk kegiatan pertambakan mulai tidak terkendali, bahkan banyak area perkebunan kelapa dan pertanian produktif yang kemudian dikonversi manjadi tambak. Namun demikian, kecendrungan peningkatan luasan area pertambakan secara fantastik di kawasan Delta Mahakam, ternyata tidak sebanding dengan peningkatan volume produksinya yang cenderung mengalami stagnasi (seperti ditunjukkan Tabel 13). Pembukaan
hutan
mangrove
secara
besar-besaran
untuk
kegiatan
pertambakan mencapai puncaknya ketika terjadi krisis ekonomi pada 1997-1998, dipicu
165
oleh tingginya nilai tukar US Dolar terhadap Rupiah sehingga terjadi “boom udang”. Kondisi ini selanjutnya memicu terjadinya “ledakan penduduk” di kawasan Delta Mahakam oleh para migran pendatang yang ingin mencoba peruntungan di sektor perikanan budidaya, dengan membuka hutan mangrove yang tersisa. Para migran tersebut tidak hanya berasal dari etnik Bugis dan Makassar dari Sulawesi, tapi juga etnik lain dari Sulawesi, serta berbagai etnik di pesisir pantai timur Kalimantan dan Pantura Jatim. Jika migran Bugis banyak dipekerjakan oleh para petambak ataupun ponggawa untuk menjaga empang-empang yang tidak lagi bisa mereka kelola sendiri karena luasnya tambak yang mereka miliki. Maka pendatang dari pesisir utara Jawa Timur sebagian besar menyediakan tenaga sebagai buruh tambak untuk membangun tambak-tambak baru ataupun memperbaiki konstruksi tambak secara tradisional. Para migran dari Jawa ini pada awalnya didatangkan oleh para ponggawa, karena upahnya lebih murah dan berpengalaman dibidang rekonstruksi tambak.
Jumlah RTP (KK)
Luas Area Tambak (Ha)
Produksi (Ton)
55,000 50,000 45,000 40,000 35,000 30,000 25,000 20,000 15,000 10,000 5,000 0 2001
2002
2003
2004
2005
2007
2008
Tahun
Gambar 13. Perbandingan RTP dan Luas Tambak dengan Produksi Perikanan Budidaya Delta Mahakam Sumber: Data Primer Diolah dari Laporan Tahunan Statistik DPK Kutai Kartanegara 2001 – 2008 Menariknya, meskipun banyak tambak di Delta Mahakam berstatus ilegal karena dibangun diatas area Kawasan Budidaya Kehutanan (KBK), namun ironisnya pemerintah (Dephut) sebagai pemilik otoritas tidak mampu berbuat apa-apa. Ketidakpastian hukum, tidak hanya menyebabkan petambak/ ponggawa tidak memiliki legalitas penguasaan atas lahan-lahan tambak yang mereka garap. Tarikan garis di atas kertas peta oleh negara tersebut, bahkan telah mengakibatkan hilangnya akses
166
masyarakat lokal terhadap sumberdaya alam yang telah mereka tradisikan, bahkan jauh sebelum negara ada. Dalam kesimpulan studinya, Peluso (2006) mengingatkan, bahwa berbagai kebijakan penguasaan dan pengendalian negara semakin menjauhkan penduduk desa di sekitar hutan dari negara dan menjuruskan mereka pada alternatifalternatif “ilegal” menurut definisi negara dalam pemanfaatan tanah hutan. Masa depan dibayangi dengan naiknya biaya ekonomis, sosial dan politis di pihak perhutani (Dephut), sulitnya upaya-upaya lain untuk “membangun” perekonomian desa hutan dan berlanjutnya perusakan serta kemerosotan hutan. Hal serupa dapat diduga akan muncul pula di kawasan-kawasan lain di dunia, ketika kuasa dan kendali negara atas hutan atau tanah hutan gagal membenahi kemerosotan hutan dan memperparah kemiskinan rakyat yang menggantungkan hidup pada hutan. Kerusakan lingkungan hidup akibat aktifitas manusia ataupun kegiatan berbagai industri disekitar kawasan Delta Mahakam menjadi semakin riskan, jika pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam yang beragam tersebut dilakukan secara eksploitatif tanpa memperhitungkan ambang batas daya dukung (carrying capacity). Seperti disinyalir Peluso (1990) dalam “Networking in the Commons: A Tragedy for Rattans?”, bahwa eksploitasi sumberdaya hasil hutan alam non kayu (rotan) telah berdampak terhadap “ledakan penduduk” yang terlibat dalam jaringan perdagangan rotan di desa-desa sepanjang hulu sungai Mahakam, sehingga berpotensi menimbulkan “tragedy of the common”. Berdasarkan perhitungan PKSPL-IPB, dampak konversi hutan mangrove (land clearing) seluas 85.000 Ha untuk pembangunan tambak di Delta Mahakam, dengan asumsi luas vegetasi nipah yang telah ditebang diperkirakan mencapai 47.000 Ha dan vegetasi non nipah (api-api, bakau dan tancang/ tumu) seluas 38.000 Ha, maka kerugian langsung yang ditimbulkan adalah sebesar Rp. 922.920.000.000,-. Angka tersebut belum termasuk manfaat langsung lainnya dari keberadaan tegakan mengrove, seperti nilai satwa liar (burung dan mamalia) dan nilainilai tak langsung dari keberadaan ekosistem hutan mangrove, seperti jasa-jasa lingkungan dari ekosistem mengrove di Delta Mahakam. 5.2.5
Pengelolaan “Pertambakan Ilegal” Menurut PKSPL-IPB (2002) pembukaan lahan pada hutan mangrove untuk
pertambakan tradisional di kawasan Delta Mahakam biasanya dimulai dengan penebangan pohon, terutama di sepanjang tempat yang akan dibangun tanggul tambak, selanjutnya dilakukan proses pemusnahan dengan mematikan pohon yang berada dalam tiap petak. Saat ini pembukaan lahan tersebut telah menggunakan teknologi alat berat seperti excavator, penggunaan alat ini menyebabkan laju konversi lahan hutan mangrove menjadi areal tambak meningkat dengan cepat. Umumnya para
167
petambak menyadari bahwa tanah yang mewadahi air tambak di dalam kawasan rawarawa umumnya bersifat asam, karenanya mereka sering menaburkan bubuk kapur ke dalam
petak-petak
tambak
tersebut.
Prosedur
pengisian
tambak
biasanya
mempertimbangkan salinitas, keasaman, suhu dan kandungan mikroorganisme air tambak yang ada dalam air laut yang akan dimasukkan ke dalam tambak. Kawasan Delta Mahakam umumnya memiliki salinitas rendah, terutama di 2/3 kawasan sebelah hulu karena kuatnya pengaruh air tawar DAS Mahakam. Hanya 1/3 kawasan di sebelah hilir (muara-muara sungai) yang memiliki salinitas memenuhi syarat (15-25 ppt). Lahan yang cocok untuk tambak adalah lahan pasang surut yang memiliki salinitas moderat (15-25 ppt) yaitu zona atau daerah yang terdapat kira-kira setengah bagian dari delta mulai dari arah muara ke hulu delta. Oleh karena batas salinitas minimum setengah dari hulu delta ini, maka hanya sebesar 15 ppt yang merupakan batas maksimum pengembangan lahan usaha tambak. Untuk daerah bagian hulu delta dengan salinitas di bawah 15 ppt tidak layak dikembangkan sebagai lahan budidaya tambak karena merupakan zona vegetasi fresh water mangrove dan hutan rawa air tawar yang umumnya dipadati dengan zona vegetasi nipah. Namun demikian, seiring dengan semakin langkanya “lokasi” yang bisa dikonversi menjadi area tambak-tambak baru, telah memaksa sejumlah ponggawa dan petambak mengkonversi kawasan bagian hulu delta yang secara profesional tidak layak untuk kegiatan pertambakan udang. Selain itu, parameter utama yang perlu diperhatikan dalam pengembangan tambak adalah kualitas tanah dan air. Parameter kualitas tanah yang utama adalah pH dan asam pirit, pH tanah yang terlalu rendah (<7) ataupun terlalu tinggi (>8), akan menghasilkan kondisi tidak nyaman bagi udang, karena terlalu asam sehingga bisa berdampak pada kematian udang secara massal. Petambak umumnya menyadari bahwa tanah yang mewadahi air tambak di kawasan Delta Mahakam umumnya bersifat asam, karenanya mereka akan menaburkan bubuk kapur ke dalam petak-petak tambak setelah melalui proses pengeringan tanah dasar tambak/ sebelum dialiri air. Hal ini dimaksudkan tidak sekedar untuk menetralisir pH tanah, tapi juga untuk merangsang pertumbuhan pakan alami bagi udang. Selanjutnya masa pemeliharaan mulai dilakukan pasca petak tambak terisi air, penaburan benih hingga udang siap panen. Adapun tahapan kegiatan pertambakan tradisional yang diterapkan, meliputi. 1. Tahap Prakonstruksi, meliputi; a. Pemilihan lokasi pembuatan tambak, pada prinsipnya pembudidaya tidak tidak menerapkan syarat yang ketat dalam pemilihan lokasi untuk calon lokasi pembuatan tambaknya. Mereka hanya berprinsip bahwa selama lahan yang akan dibangun tambak tersebut masih dapat menerima pasokan air melalui
168
Sungai Mahakam atau percabangannya (anak sungai), mereka menyetakan bahwa lokasi tersebut layak untuk dijadikan tambak, b. Perijinan, ijin untuk memiliki hak garap tambak dilakukan melalui aparat pemerintah setempat yaitu persetujuan RT, Kepala Desa dan Camat. Hak garap juga diberikan oleh aparat setempat kepada warga komunitas Delta Mahakam dengan pemberian hak garap maksimal 2 ha/kepala. Namun juga ditemui lokasi tambak yang tidak memiliki hak garap, sehingga berpotensi menimbulkan konflik pemanfaatan ruang dikemudian hari, c. Pemilikan lahan, untuk memiliki lahan dilakukan dengan cara pembelian lahan terhadap masyarakat/milik perorangan maupun dengan aparat setempat yang dilakukan dengan perjanjian jual beli antara pemilik lahan maupun aparat pemerintah desa dengan calon pemilik tambak, d. Mobilisasi peralatan, material dan tenaga kerja, untuk membangun tambaktambak tersebut diperlukan beberapa alat dan bahan serta tenaga kerja yang di datangkan ke lokasi yang akan dibangun. Beberapa pemilik yang memiliki modal besar serta hamparan lahan yang luas, mampu mendatangkan alat berat berupa excavator maupun dozer untuk mempercepat kegiatan fisik tambak. Sedangkan para pemilik yang memiliki modal kecil/ tradisional hanya mampu mengerahkan tenaga kerja manusia untuk kegiatan fisik tambak yang direkrut dari masyarakat lokal maupun dari luar. 2. Tahap Konstruksi, meliputi; a. Pembukaan lahan (land clearing), merupakan kegiatan pembersihan areal pembangunan dari pohon, tanaman dan material lainnya yang diperkirakan dapat
menggangu
kelancaran
pembangunan
tambak
dan
bangunan
pendukung lainnya. b. Pembangunan fisik tambak, dilakukan penggalian (cut) dan penimbunan (fill) tanah dari lahan yang dibersihkan. Pemilik tambak bermodal besar akan menggunakan excavator untuk mempercepat penggalian dan penimbunan tanah dalam membangun pematang tambak, sedangkan penggunaan dozer akan mempercepat perataan tambak. Pada petambak tradisional kegiatan cut and fill dengan tanpa perataan tanah tambak memerlukan waktu yang relatif lebih lama. Masyarakat lokal umumnya belum mengetahui cara membuat tambak yang baik, kolam-kolam yang dibangun umumnya berukuran besar minimal 3 ha/petak. Ukuran lebar parit bervariasi antara 5 – 10 m, sedangkan ke dalamannya berkisar antara 1,0 – 1,5 m, tanah hasil galian tersebut ditimbun di pinggiran dan berfungsi sebagai tanggul. Tanggul umumnya berukuran kecil, lebar atas berkisar antara 0,5 – 1 m dan lebar bawah antara
169
2 – 4 m dengan ketinggian antara 1,0 – 1,5 m diukur dari permukaan tanah aslinya. c. Penerimaan tenaga kerja, tenaga kerja yang akan dikerahkan antara lain pada saat pencetakan tambak, pembangunan saluran air dan pembuatan pintu air serta mengangkut bahan-bahan yang diperlukan pada saat pembangunan tambak. Kebutuhan tenaga kerja dalam pembangunan tambak adalah 20 orang pekerja/ lahan yang dikerjakan, sedangkan pada tahap operasional, kebutuhan tenaga kerja adalah 1 orang/ petak lahan. 3. Tahap Operasi, meliputi; a. Kegiatan
budidaya,
pemeliharaan
dan
pembesaran,
umumnya
yang
dibudidayakan adalah udang meski sebagian ada yang membudidayakan bandeng. Pembudidaya udang tradisional juga mengharapkan masuknya benih udang alam yang umumnya di sebut udang bintik, yang dibiarkan masuk bersama kegiatan pemasukan air. Berikut ini dijelaskan kegiatan budidaya udang yang dilakukan di Delta Mahakam;
Pengeringan tanah dasar, walaupun merupakan prasyarat penting dalam persiapan lahan untuk budidaya udang, namun pembudidaya udang di Delta Mahakam tidak melakukan prosedur ini. Dengan harapan semakin mempersingkat siklus pemeliharaan setelah panen, kolam yang telah dipanen tanpa memperhitungkan baik buruknya hasil panen, langsung diisi kembali dengan air,
Pemupukan, sebagian besar pembudidaya udang di Delta Mahakam menggunakan pupuk organik, berupa kotoran ayam atau kotoran ternak lainnya. Selain harganya murah, para pembudidaya udang merasakan bahwa pemakaian pupuk kandang ini dapat mempercepat
dan
menyuburkan pertumbuhan pakan alami udang.
Pergantian air, pergantian air tambak dilakukan dengan mengandalkan pasang surut air laut, pengisisan air ini dilakukan pada sore hari saat air sedang pasang, dengan cara membuka pintu air yang tanpa dipasang penyaring. Pada saat air dimasukkan ke tambak, maka biasanya ikut terbawa masuk udang bintik, ikan dan kepiting yang akan menjadi hasil sampingan saat panen, walaupun berpotensi membawa bibit penyakit,
b. Pemeliharaan dan pembesaran, berikut ini akan dijelaskan kegiatan pemeliharaan dan pembesaran udang yang dilakukan di Delta Mahakam;
Penebaran benur, dilakukan sangat sederhana dengan padat penebaran sangat rendah yaitu sekitar 10.000 – 16.000 PL/ha, benur yang ditebar
170
berkisar pada stadia PL12 – PL15, selanjutnya penebaran benur biasanya dilakukan pada pagi atau malam hari,
Pemberian pakan, selama pemeliharaan udang mendapat pakan alami, tidak diberi pakan tambahan, berupa organisme air yang kecil berbentuk plankton (fito dan zooplankton) pembuatannya dilakukan melalui pemupukan organik,
Pengolahan air, untuk menjaga air dalam kondisi segar, maka dilakukan penggantian air di dalam tambak yang disesuaikan dengan masa pemeliharaan.Dalam pembuangan dan pemasukan air dikakukan pada pintua air yang sama, pergantian air tersebut dilakukan sesekali saja bilamana air sedang pasang,
Pemanenan, dilakukan 2 kali dalam setahun, dimana panen sebagian dilakukan pada saat udang berumur 4 bulan dan panen total dilakukan 2 bulan setelahnya, pada umur-umur tersebut udang biasanya berukuran 30 – 40 ekor/kg. Panen hanya dilakukan jika ukuran udang telah mencapai diatas size 50, berdasarkan permintaan pasar lokal dan pasar luar negeri,
c. Produktivitas, pemeliharaan udang umumnya dilakukan hingga udang mencapai ukuran 25 – 30 ekor/kg, ukuran tersebut dapat dicapai pada umur 100 – 110 hari pemeliharaan dari saat tebar PL12 – PL15, ini dimungkinkan karena padat tebar yang sangat rendah yaitu 10.000 – 16.000 PL/ha atau hanya 1 – 1,6 PL/m². Produksi yang dicapai berkisar antara 50 – 75 kg/ha atau dengan kelangsungan hidup sekitar 20%. Rata-rata biaya yang harus dikeluarkan untuk pembuatan satu petak tambak seluas 5 Ha menurut PKSPL IPB (2002) adalah, sebesar Rp. 48,8 – 69,8 Juta, sehingga rata-rata biaya pembuatan tambak per-hektar berkisar antara Rp. 9,76 – 13,98 Juta. Apabila nilai jual udang mencapai Rp. 100.000,-/ Kg berarti dapat menghasilkan sekitar Rp. 75.000.000/ panen. Karena tidak melibatkan dana tambahan lainnya seperti biaya pakan dan solar seperti halnya budidaya udang intensif, keuntungannya menjadi cukup besar dan hal inilah yang merangsang banyak migran Bugis untuk membuka hamparan tambak secara besar-besaran. Meskipun tidak sedikit dari para petambak yang mengalami kegagalan, akibat udang yang dipeliharanya mati secara mendadak, hingga gagal panen.
171
Tabel 12. Perbandingan Tambak Tradisional dengan Tambak Semi Intensif dan Intensif Uraian A. Kondisi Fisik Luas petak Bentuk petak Pematang Dasar tambak Sistem irigasi Pintu air Kedalaman air Luas caren terhadap pelataran Kedalaman caren Pompa air Kincir air Peralatan analisis air dan tanah B. Pengolahan 1. Metoda pemeliharaan a. Persiapan Pengeringan Pengolahan Pengapuran Pemberantasan hama Saponin Derris Pemupukan Urea TSP Organik b. Penebaran benur ukuran kepadatan c. Pemeliharaan Pengelolaan air Tinggi air Penggantian air < 2 bulan – 3 bulan – 4 bulan Pemantauan mutu air Warna dan kecerahan Oksigen, pH dan salinitas Aerasi d. Pakan Jenis Frekwensi pemberian Jumlah Berat 0,3 – 3 gr Berat 3 – 10 gr Berat 10 – 20 gr > 20 gr 2. Pemanenan Umur panen Survival rate Ukuran Produktivitas
Sumber: PKSPL – IPB, 2002
Tradisional
Kreteria Tambak Semi Intensif
Intensif
1 – 4 ha seadanya tanah ada caren pasang surut 1 buah/ha 70 cm > 60 % 30 – 40 cm tidak perlu tidak perlu tidak perlu
0,5 – 1 ha segi panjang tanah dilapisi plastik ada/tanpa caren pasang surut + pompa 1 – 2 buah/ha 100 cm 10 – 60 % 30 – 40 cm perlu 2 – 4 buah/ha perlu
0,1 – 1 ha bujur sangkar tanah/beton tanpa caren pompa 2 buah/ha > 120 cm haris ada 4 – 10 buah/ha harus
Sampai retak-retak 500 – 2.000 kg/ha
Sampai retak-retak Pembalikan 1.000 – 2.000 kg/ha
Sampai retak-retak Pembalikan 1.000 – 2.000 kg/ha
10 – 15 ppm 6 – 10 kg/ha
10 – 15 ppm 6 – 10 kg/ha
10 – 15 ppm 6 – 10 kg/ha
75 kg/ha 50 kg/ha
75 kg/ha 25 kg/ha
1.000 kg/ha PL 12 – 18 20.000 – ekor/ha
PL 12 – 18 60.000 – 150.000 ekor/ha
PL 12 – 18 150.000–500.000 ekor/ha
120 cm
120 – 170 cm
5 – 10 %/hari 10 – 15 %/hari > 20 %/hari
5 – 10 %/hari 10 – 15 %/hari > 20 %/hari
perlu perlu 12 – 15 jam/hari
harus harus 12 – 15 jam/hari
alami + buatan 3 – 5 kali/hari
alami + buatan 3 – 6 kali/hari
10 – 20 % berat/hari 5 – 10 % berat/hari 3 – 5 % berat/hari 2 – 3 % berat /hari
10 – 20 % berat/hari 6 – 10 % berat/hari 3 – 6 % berat/hari 2,5 – 3 % berat /hari
120 hari 50 – 70 % 40 – 50 ekor/kg 700 – 2.500 kg/ha
120 hari 50 – 70 % 40 – 50 ekor/kg > 2.500 kg/ha
60.000
100 cm di atas caren 5 – 10 %/hari 10 – 15 %/hari tidak tidak tidak alami + buatan 1 – 3 kali/hari 3 – 5 % berat/hari 2 – 3 % berat/hari 120 – 150 hari 50 – 70 % 30 – 40 ekor/kg 250 – 600 kg/ha
172
Ketika alat berat (excavator) belum digunakan dalam kegiatan pertambakan, pembukaan lahan dilakukan dengan menebang pohon bakau ataupun nipah menggunakan peralatan sederhana, seperti kapak, parang, cangkul dan kong. Kong adalah alat gali tanah tradisional yang terbuat dari plat besi selebar + 30 Cm, setinggi lengan orang dewasa, dengan ujung tajam di sisi bawah dan pada sisi atas tersedia lubang yang bisa dimasukkan kayu (biasanya jenis ulin) sebagai pegangan. Pembukaan lahan pada hutan mangrove dimulai dengan menebang pokok pohon, terutama di sepanjang tempat yang akan digunakan untuk tanggul tambak. Selanjutnya dilakukan proses pemusnahan dengan mematikan pohon yang berada dalam tiap petak tambak dengan peneresan pangkal batang pohon hingga pohon tersebut mati. Selanjutnya konversi mulai dilakukan dengan penebangan batang pohon, pembakaran dan pembersihan/ tebas ulang, serta pembakaran lagi hingga pencabutan akar-akar pohon yang masih tersisa. Sekat-sekat yang berfungsi sebagai pematang/ tanggul kemudian dibangun sesuai dengan kebutuhan, sehingga berbentuk petak-petak persegi yang tidak beraturan. Umumnya pematang/
tanggul dibiarkan tidak ditumbuhi tanaman, hanya
pada kanal sungai yang memisahkan pematang/ tanggul tambak dengan sungai, dibiarkan pepohonan tumbuh dengan kerapatan rendah, sehingga tanah pinggiran pematang/ tanggul tersebut mudah longsor. Baru pada pertengahan 1990-an, pembukaan lahan mulai melibatkan penggunaan teknologi alat berat, seperti excavator. Penggunaan alat yang sangat efektif ini menyebabkan laju konversi lahan menjadi meningkat dengan cepat. Haji Samir misalnya, mengakui
bahwa kemampuannya
sebagai
ponggawa
dalam
mengembangkan usaha, tidak terlepas dari keberhasilannya memanfaatkan tiga unit excavator yang dibelinya secara patungan dengan tiga orang anaknya pasca boom harga udang pada 1997/ 1998. Sejak itu mereka berhasil mengembangkan hamparan tambak dalam jumlah yang sangat luas, tidak hanya untuk memberikan kepastian pasokan produksi (udang) yang melimpah bagi eksistensi usaha mereka sebagai ponggawa, namun juga untuk memperbesar klien dalam jaringan mereka.
173
Sungai Kecil
Kanal
Sungai Mahakam
Pelataran Pelataran TAMBAK 3
Tanggul
Caren Caren
Mangrove-Nypa
Caren
Pelataran
Pelataran
TAMBAK 1
TAMBAK 2
Sungai Mahakam
Mangrove-Nypa Sungai Kecil Selat Makassar
Keterangan:
= Aliran Air Payau = Mangrove-Nypa Pelataran = Tanah belum tergali ditengah tambak (berupa akar-batang mangrove-nypa) Caren = Galian saluran air tambak yg juga berfungsi untuk media budidaya Tanggul = Tanah gundukan yg ditinggikan untuk pembatas tambak, sekaligus pematang Kanal = Saluran air buatan yg menghubungkan Sungai Mahakam/ kecil dgn tambak Gambar 14. Lay-Out Pertambakan Tradisional Satu Pintu Air di Delta Mahakam Sumber: Data Primer Diolah, 2011
Menariknya hampir semua tambak yang dibangun hanya menggunakan satu pintu sirkulasi air (lihat Gambar 14.). Hal ini sepertinya dilakukan atas dasar pertimbangan
mengehemat
biaya
pembangunan
tambak
dan
mempermudah
pengelolaannya. Ketika penelitian dilakukan, biaya pembuatan satu unit pintu air untuk
174
satu petak tambak diperkirakan mencapai Rp. 20.000.000,-. Pintu air tambak biasanya terbuat dari kayu ulin karena lebih kuat, tahan air dan cuaca ekstrem. Namun seiring dengan semakin langka dan ketatnya perdagangan kayu ulin yang saat ini harus didatangkan dari luar kawasan Delta Mahakam, menyebabkan harga per-unit pintu air tambak menjadi sangat mahal dan sulit diperoleh. Realitas inilah yang kemudian disiasati para petambak dengan hanya membangun satu pintu air pada setiap petak tambak seberapapun luasnya. Bahkan, banyak tambak yang baru dibangun pun digabung menjadi satu dengan tambak lama yang hanya memiliki satu pintu. Kondisi inilah yang menjadi salah satu sebab mengapa petakan tambak di kawasan Delta Mahakam berukuran sangat luas. Di Muara Pantuan misalnya, penulis menjumpai sepetak tambak yang luasnya mencapai 100 Ha, sehingga seperti sebuah danau. Selain untuk menghemat biaya, penggunaan satu pintu tambak sepertinya juga dimaksudkan agar setiap petak tambak yang ada menjadi mudah dikelola, karena sirkulasi air sebagai komponen terpenting dalam pengelolaan tambak cukup dilakukan di satu tempat (pintu air).
5.3
Fase Konsolidasi Ekonomi Lokal Fase integrasi ekonomi lokal ditandai terakumulasinya alat produksi hingga
terkonsentrasinya raw material pada kelompok-kelompok ponggawa. Ketidaktersediaan raw material inilah yang kemudian menyebabkan colapse-nya industri perikanan ekspor, tidak terkecuali PMA Jepang, yang kemudian di take over oleh salah seorang ponggawa besar di Delta Mahakam. Tahun 2007 merupakan masa-masa kebangkrutan perusahaan eksportir perikanan pioner di kawasan Delta Mahakam, Misaya Mitra (PMA) dan Cendana Cold Storage (PMDN), yang secara pasti tereliminasi oleh kehadiran perusahaan eksportir lokal (Syam Surya Mandiri). Setidaknya hingga akhir tahun 2009, seperti ditunjukkan Gambar 15., Tujuh (44%) dari enam belas perusahaan industri pengolahan udang ekspor yang masih aktif beroperasi di Kalimantan Timur dimiliki orang Bugis, yang tidak hanya mampu bersaing dengan pengusaha keturunan Cina (mencapai 31%) dan “pemain” asing lainnya (mencapai 25%), namun juga memiliki keunggulan komparatif, karena didukung jaringan patronase pertambakan yang kokoh dan penguasaan sumberdaya yang memberikan jaminan pasokan material raw secara berkelanjutan. Fase ini pun ditandai dengan terintegrasinya ekonomi lokal yang disokong oleh kegiatan perikanan budidaya ke dalam tatanan perekonomian kapitalisme global. Gejala kebangkitan ekonomi lokal, setidaknya merupakan hasil dari beroperasinya keunggulan komparatif dan kompetitif produk yang diproduksi pengusaha lokal di pasar global. Hal ini ditandia dengan pertama, adanya kecendrungan peningkatan permintaan produk
175
udang windu di pasaran regional-global yang tidak mampu diproduksi oleh produsen lain yang telah beralih hanya memproduksi udang vanamei secara massal. Kondisi ini juga tidak terlapas dari gaya konsumsi masyarakat negara maju yang cenderung lebih menyukai produk udang organik yang sebagian besar produksinya disumbang oleh usaha pertambakan tradisional seperti di kawasan Delta Mahakam. Selain itu tidak banyak produsen di negara lain yang bisa memproduksi udang windu yang hanya hidup di daerah tropis. Kedua, para pengusaha lokal memiliki keunggulan kompetitif atas kebutuhan pasar yang sedikit demi sedikit dikumpulkan dari mitral lokal, akses khusus pada kelembagaan lokal (patronase) dan keluwesan berproduksi yang merupakan hasil negosiasi dalam jaringan yang tidak membutuhkan biaya tinggi. Ketiga, kuatnya posisi tawar pengusaha lokal atas produk spesifik, seperti udang windu telah menempatkan mereka “tidak tunduk” secara absolud terhadap tekanan kapitalis pusat.
Nilai (000 US $)
30531
Volume(Ton) 35000 30000
16466
345 1014
52 147
10 890
274 1006
1653
11417 610 754
731
397 2943
1119
1,820
3246
479 2204
1926
5000
38.7 171
1898
10000
1363
7644
15000
11726
11366
15147
20000
16821
25000
M Ka an l im B di ul ri an un ta ga PT n n Ab ,M Le ad us st i ti k ar iM a PT M a ,S in nd an um i ri us be a rK Au PT al ro im ra ,T an un t an a s PT Ab N ,M el ad ay al i an in do M an Ke di nc ri an a PT U P t am ,S T, ab M a is in a d PT ja o M R ,S ay i tr ab a a in G do em PT R i l an ay ,B g a on G I an em za i la Pr ng at II am PT ,N a A el ba ay di an Ba ro PT ka ,K h ot a M ar in e U D ,P U er D ik ,H an ar i ap an M aj u PT ,
S
um be r
ah ro m
PT ,
A PT ,
PT ,
S
ya m
N
S
ur ya
el ay an
M an di ri
0
Gambar 15. Volume dan Nilai Produksi Perusahaan Eksportir Kalimantan Timur 2009 Sumber: Data Primer Diolah (2011) Disini perlu dinyatakan, meskipun kawasan Delta Mahakam sebagai suatu komunitas lokal, namun keberadaannya bukanlah suatu entitas sosial yang murni terisolir, melainkan terintegrasi ke dalam sistem sosial yang lebih luas yaitu sistem nasional dan global. Jika merujuk pada gagasan Wallerstein tentang struktur “pusat – semi-pinggiran – pinggiran, maka sistem ekonomi kapitalisme di Indonesia adalah negara pinggiran, sedangkan negara-negara industri maju seperti Eropa Barat, Amerika Utara, Australia dan Jepang adalah negara yang memiliki status pusat dan diantara
176
keduanya tampil negara-negara industri baru, seperti Korea Selatan, Taiwan dan Singapura sebagai semi-pinggiran. Teori ini beranggapan bahwa dalam konteks sistem kapitalis dunia, negara miskin dapat disamakan dengan orang miskin yang tidak memiliki alat-alat produksi, sehingga betapapun mereka bekerja keras, struktur ekonomi dunia tidak memungkinkan mereka berkembang beriring dengan negara maju (Budiman, 2006). Di dalamnya perkembangan ekonomi Indonesia tidak dapat dipisahkan dari perkembangan ekonomi negara-negara semi-pinggiran dan pusat yang telah lebih dulu maju, sebagai konsekuensi terintegrasinya ekonomi nasional ke dalam sistem kapitalisme global. Dimana penguasaannya, menurut Budiman (1996) tidak harus dalam bentuk pengendalian secara ketat, tetapi cukup dengan sistem upeti sebagai tanda takluk dan ataupun sejauh mana negara pusat (“kerajaan dunia”) tersebut bisa menguasai secara politis negara dimaksud. Meskipun demikian, secara riil berbeda dengan kelangsungan industri tekstil di Indonesia yang diasumsikan Sitorus (1999) terkait dengan kelangsungan industri tekstil di negara-negara semi-pinggiran dan pusat, industri perikanan di Indonesia praktis tidak terkait secara langsung dan total dengan kelangsungan industri perikanan di negara semi-pinggiran dan pusat. Hal tersebut diatas tidak terlepas dari adanya kepastian pasokan material raw berupa produk udang windu yang tidak membutuhkan pengolahan dengan teknologi tingkat tinggi, karena sebagian besar hanya diolah sebagai udang beku. Selain tidak banyak produsen di negara lain (semi-pinggiran ataupun pusat) yang bisa memproduksi udang windu yang hanya hidup di daerah tropis. Realitas tersebut, sekaligus ingin menegaskan bahwa pola konsumsi terhadap produk tertentu, seperti udang segar organik yang dianggap memiliki nilai protein tinggi dan menyehatkan tubuh, merupakan faktor penting di dalam mengubah nilai dan tatanan simbolis dari pembentukan gaya hidup yang pada gilirannya akan ikut menentukan tingkat permintaan produk tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sub-sektor industri perikanan di Indonesia bukanlah merupakan sub-ordinat dari sub-sektor industri perikanan negara-negara semi-pinggiran
ataupun
pusat.
Tidak
seperti
sub-sektor
industri
tekstil
yang
menunjukkan gejala ketergantungan, khususnya dalam hal bahan baku terutama serat kapas (juga sintetis) dan benang seperti disinyalir Sitorus (1999). Meskipun harus diakui bahwa industri perikanan lokal yang saat ini mampu melakukan take over atas perusahaan perikanan internasional pada 2007 dan manjadi salah satu perusaahan eksportir perikanan terbesar di pantai timur Kalimantan ini, pada awalnya dibangun melalui sebuah kerjasama dengan perusahaan perikanan dari negara semi-pinggiran (Taiwan).
177
Namun demikian, kenyataan bahwa struktur ekonomi dunia merupakan struktur dominasi, yang menjadikan Indonesia sebagai sub-ordinat dari negara-negara semipinggiran dan pusat, telah menyebabkan industri perikanan di Indonesia pun harus mengakomodir kaidah-kaidah yang diterapkan secara sepihak oleh negara-negara maju. Kondisi tersebut ditandai dengan terjadinya berbagai kesepahaman dan kerjasama internasional yang melibatkan para pengusaha lokal (produsen) dalam pembinaan mutu produksi, yang dalam sektor perikanan telah berlangsung sejak 1975 (lihat Tabel 13.). Tabel 13. Konsolidasi Kerjasama Internasional dalam Pembinaan Mutu Produk Lembaga/ Negara Donor FAO/ WHO
Tahun
Konsolidasi Produk
Sejak 1975 s/d sekarang
ASEANKanada
Tahap I 19821987
Proyek bantuan pelatihan di Indonesia maupun di luar negeri, serta untuk mengikuti sidang Codex/ Standarisasi komoditas pangan, khususnya perikanan Pelatihan di Kanada dalam pengawasan mutu dan pengujian laboratorium. Hasil kegiatan tahap I diformulasikan dalam penyusunan proyek kerjasama ASEAN-Canada Fishery Post Harvest Teknology Project Phase II (AFPHTP-Phase II), meliputi pelatihan, pengembangan sistem manajemen mutu dan penyediaan bantuan konsultasi teknis untuk negara ASEAN. Indonesia terpilih sebagai Regional Center for Fish Inspection and Quality Control, karena sistem pembinaan mutu yang dikembangkan sesuai dengan sistem internasional yang berdasarkan konsep Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP). Pemerintah yang tergabung dalam Negara Benelux memberlakukan ketentuan bahwa perusahaan yang boleh melakukan ekspor udang adalah negara yang termasuk Approved Packer yang diusulkan Direktorat Jendral Perikanan. Ketentuan itu diantaranya; Udang tidak boleh diawetkan dan jika tidak berbentuk makanan olahan, harus mengandung minimal udang 10% Mutu udang harus sesuai dengan pesyaratan yang berlaku di Benelux Unit pengolahan dan cara penanganan udang harus memenuhi ketentuan Recommended International Code of Practice of Shrimp or Prawns Setiap ekspor udang disertai Certificate of Healt versi Benelux Pengusulan Approved Packer di jadwalkan dua kali setahun Pelanggaran peraturan akan mendapatkan peringatan dan sanksi Tahun 1988, jumlah eksportir Indonesia yang disetujui sebagai Approved Packer sebanyak 38 buah, sedangkan Healt Certificate produk udang ke Benelux hanya dapat dikeluarkan LPPMHP yang formatnya telah ditentukan Benelux. Setelah Desember 1993 Tim Uni Eropa dan ATTANI Brussel melakukan inspeksi terhadap kelayakan ke berbagai instansi (competent authority), unit pengolahan dan laboratorium penguji di seluruh Indonesia. Pada 19 Mei 1994, Uni Eropa mengeluarkan Commission Decision No 94/ 324/ EEC berisi penetapan Indonesia sebagai negara yang mempunyai kesamaan sistem pembinaan dan pengawasan mutu hasil perikanan dengan Uni Eropa. Pemantapan Laboratorium Pembinaan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (LPPMHP), sebagai penunjang penerapan HACCP dengan pelatihan laboratory improvement di USA
Benelux/ Uni Eropa
Tahap II dimulai pada 1992 Sejak 1987
Sejak 1993
USA
Sejak 1991
Sumber: Disarikan dari Soewito Dkk (2011)
178
Seperti diketahui kegiatan pembinaan dan pengawasan mutu hasil perikanan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan badan internasional dan Negara yang menjadi mitra dagang Indonesia. Sejak tahun 1975 hingga saat ini, kerjasama telah dilakukan antara lain dengan FAO/ WHO, ASEAN, Australia, Kanada, Amerika Serikat, Eropa dan Jepang. Program kerjasama dengan FAO/ WHO diwujudkan dalam Proyek Bantuan untuk mengikuti sidang Codex/ Standarisasi Komoditas Pangan termasuk perikanan. Sedangkan program kerjasama dengan negara-negara ASEAN dan Australia, antara lain diwujudkan dalam bentuk Proyek Penanganan ikan di TPI dengan Penanganan ikan di TPI dengan fish tray oleh nelayan di TPI dan bantuan sarana angkutan untuk fish tray oleh nelayan di TPI dan bantuan sarana angkutan untuk uji coba penanganan pengangkutan ikan hidup. Hingga akhirnya setelah melalui tahapan yang panjang pada 19 Mei 1994, Uni Eropa mengeluarkan Commision Decision No. 94/ 324/ EEC berisi penetapan Indonesia sebagai Negara yang mempunyai kesamaan sistem pembinaan dan pengawasan mutu hasil perikanan dengan Uni Eropa (Soewito Dkk, 2011). Ketentuan tersebut tentu saja sangat penting artinya bagi keberlanjutan, bahkan penciptaan peluang ekspor bagi produk udang lokal, mengingat selama ini Uni Eropa merupakan salah satu pangsa pasar yang sangat potensial bagi produk udang lokal. Selain karena kebijakan Uni Eropa yang sering dijadikan rujukan bagi negaranegara lain yang melakukan impor produk perikanan dari negara-negara eksportir perikanan. Secara sistematis, berbagai mekanisme global yang telah berlangsung pada tataran lokal tersebut, tidak sekedar menyebabkan tereliminasinya pengusaha lokal (ponggawa) yang
tidak siap menghadapi
era
globalisasi perdagangan
yang
mensyaratkan ketentuan-ketentuan kualifikasi produk dengan sangat ketat, sehingga tidak mampu bersaing di pasar bebas. Namun juga menyebabkan terjadinya konsolidasi kekuatan ekonomi lokal pada sejumlah kecil pengusaha lokal (ponggawa besar), yang digerakkan
industri
perikanan
budidaya
dengan
pasokan
material
raw
yang
berkelanjutan. Dan yang terpenting, mekanisme seperti ini pun sangat fungsional dalam memberikan “tekanan” pada sejumlah pihak (khususnya elit ekonomi lokal) untuk dapat lebih ramah lingkungan dalam berproduksi. Mengingat, sampai sejauh ini para pelaku usaha pertambakan (khususnya ponggawa) masih “tersandera” oleh berbagai isu global terkait dengan udang yang diproduksi pada area hutan produksi dan klaim udang organik
yang
dikelola
tanpa mengindahkan kaidah-kaidah ekologis, sehingga
mengorbankan eksistensi lingkungan.
VI. RASIONALITAS PENGUSAHA LOKAL: (BEKERJA x IBADAH) + JARINGAN SOLIDARITAS = MODAL KUASA Pada bab VI, peneliti akan membahas dan menganalisis karakteristik aktor pengusaha lokal dalam proses pembentukan ekonomi lokal di Kawasan Delta Mahakam. Para aktor pengusaha lokal yang mencakup 11 kasus ponggawa dalam kegiatan pertambakan, akan dikelompokkan berdasarkan akumulasi kapital – rata-rata produksi dan penguasaan alat-alat produksi, sehingga mempermudah dilakukannya analisis (saling-membanding) – tentu dalam hal-hal yang relevan
dengan tujuan
penelitian. Tabel 14. Pengelompokan Pengusaha Lokal Berdasarkan Volume Produksi Pertambakan Kelompok Aktor Pengusaha Lokal Ponggawa Ponggawa Ponggawa Besar Menengah Kecil H. Mangkana
H. Aco H. M. Ali H. Hatta. S H. Alimuddin H. Samir bin Saleng H. Sukri H. Sultan H. Alwi Djumadi/ H. Alang Chiko H. Dahlan
Volume Produksi Satu-satunya eksportir lokal yang memonopoli produksi udang di Delta Mahakam. Memiliki cold storage – pabrik pengolahan udang & berbagai kegiatan usaha yang menopang industri utamanya (ekspor udang beku). “Mengendalikan” secara langsung lebih dari 5000-an Ha tambak dan secara tidak langsung ratusan orang suplier (ponggawa), dengan volume ekspor udang beku mencapai 158.195,74 Kg (158 Ton)/ Bulan (tidak termasuk produk udang olahan, serta segar yang diantar pulaukan dan untuk konsumsi lokal). Mengumpulkan udang dari hasil tambak sendiri dan hasil tambak klien, selanjutnya di salurkan pada perusahaan eksportir. “Mengendalikan” secara tidak langsung lebih dari 50 orang petambak (belum termasuk penjaga empang yang menjaga dan mengelola tambak milik sendiri), dengan produksi udang rata-rata diatas 5 Ton/ Bulan. Sama seperti ponggawa menengah, yang membedakannya hanyalah nilai produksinya lebih kecil. “Mengendalikan” secara tidak langsung kurang dari 50 orang petambak (belum termasuk penjaga empang yang menjaga dan mengelola tambak milik sendiri), dengan produksi udang rata-rata dibawah 5 Ton/ Bulan.
Sumber: Data Primer Diolah, 2011 Meskipun aktor ekonomi lokal dapat dikelompokkan berdasarkan rataan volume produksinya per-bulan (seperti dapat dilihat dalam tabel diatas), namun perlu dicatat disini bahwa (kecuali kelompok ponggawa besar yang mengendalikan hamparan tambak yang sangat luas), kelompok ponggawa menengah dan kecil, volume produksinya sangat fluktuatif tergantung dari “nasib baik” tambak yang dikelola mereka/ kliennya, seperti ditunjukkan Gambar 14. Hal ini tidak terlepas dari produksi tambak di kawasan Delta Mahakam yang lebih banyak didominasi oleh udang bintik. Udang bintik adalah istilah masyarakat setempat untuk menyebut berbagai jenis udang alam non udang tiger/ windu (Penaeus Monodon), seperti udang pink, banana, white (Penaeus
180
Indicus), loreng (Penaeus Endeavour), jerbung (Penaeus Merguensis), dst, yang tidak dibudidayakan dengan sengaja. Udang alam tersebut masuk ke dalam tambak, bersamaan dengan dimasukkannya air payau segar dari luar tambak mengganti air tambak yang sudah tidak layak. Meskipun nilainya lebih rendah dari udang tiger (windu), udang bintik juga memiliki pangsa ekspor potensial. Berbeda dengan pola pengelolaan tambak di daerah lain, hampir semua tambak di kawasan Delta Mahakam, selalu dipanen dua kali dalam satu bulan (setiap kali nyorong), untuk mengambil udang bintik yang masuk ke tambak ketika pintunya dibuka pada saat air pasang. Sedangkan udang windu akan dipanen ketika usianya telah mencapai empat bulan (panen raya), meskipun ada pula yang dipanen sebelum memasuki bulan keempat. Pola pemanenan seperti inilah yang menyebabkan hasil produksi udang windu di kawasan ini tidak optimal, karena banyak udang windu yang belum waktunya dipanen ikut terjaring bersama udang bintik ketika nyorong. Pola pemanenan seperti itu, dilakukan para petambak sebagai salah satu bentuk adaptasi atas ketidakpastian hasil panen tambak yang dilakukan setiap empat bulan sekali (panen raya). Mereka kemudian melakukan “self defence” atas ketidakpastian tersebut, hasil panen udang bintik yang dilakukan setiap nyorong diharapkan masih bisa menutupi kerugian akibat hasil panen raya yang sering mengalami kegagalan, atau setidaknya mampu “menghidupi” para penjaga empang sehingga tambak-tambak mereka pun masih bisa survive. Kondisi tersebut tidak terlepas dari pola pengelolaan tambak yang masih sangat tradisional dan tidak inovatif (hanya mengikuti pola tertentu yang telah mapan), menggunakan satu pintu tambak dengan petakan yang sangat luas sehingga pengelolaan efisien sulit dilakukan. Sementara kondisi alam (tanah) yang sangat asam dengan PH air tinggi, serta pengetahuan yang minim dalam menanggulangi wabah penyakit yang mematikan, seperti; Mododon Baculo Virus (MBV); White Spot Syndrome Virus (WSSV); Infection Hypodermal Hematopoietic Necrosis Virus (IHHNV); dan Yellow Head; juga bakteri Vebrio serta beberapa parasit dari jenis protozoa, seolah menjadi penjelas bahwa produktifitas tambak di kawasan ini benar-benar hanya bersandar pada “kemurahan alam”. Seorang ponggawa kecil misalnya, produksinya terkadang sangat tinggi, jauh melampaui ponggawa menengah karena hasil panen udang bintik miliknya atau kliennya sangat melimpah pada satu periode nyorong, namun pada periode nyorong lainnya ia bisa saja tidak mendapatkan hasil panen. Hal seperti ini dialami oleh hampir semua ponggawa/ petambak, akibatnya, produksi sebuah tambak di kawasan Delta Mahakam menjadi sulit untuk diprediksi. Belum lagi adanya fenomena “market glut, yakni harga ikan/ udang tinggi pada saat musim paceklik, lalu mendadak turun drastis ketika musim panen”, yang juga harus dihadapi para petambak. Kondisi ini
181
“diperkeruh” oleh sistem manajemen usaha yang masih sangat tradisional dan tertutup, dimana data produksi tidak terdokumentasi dengan baik dan diantara para ponggawa terdapat persaingan terselubung, sehingga cenderung tidak ingin manajemen usahanya diketahui oleh pihak lain. Karena alasan sulitnya mendapatkan data produksi secara akurat dan fluktuasi volume produksi yang tidak menentu tersebut, penggunaan instrumen volume produksi dirasakan tidak memadai untuk menjadi satu-satunya acuan dalam pengelompokkan aktor kapitalis lokal. Karenanya peneliti menambahkan hasil pengamatan subjektif (selama di lapang) dalam mendukung pengelompokan aktor kapitalis lokal, seperti; kepemilikan material (rumah, mobil, pendidikan anak, dst) dan penguasaan aset produksi (luasan tambak yang dikuasai dan jumlah klien, dst).
6.1
Basis Nilai Moralitas Orang Bugis merupakan salah satu etnik yang paling represif terhadap hal baru,
terutama terhadap unsur luar yang mereka anggap bermanfaat. Meskipun pada aspekaspek tertentu, jelas terlihat adanya unsur-unsur yang berkesinambungan selama berabad-abad. Banyak unsur luar yang telah diserap ke dalam oleh hampir seluruh aspek kehidupan orang Bugis yang memperkaya hukum adat, tatanan sosial politik, adat-istiadat, ritual dan kepercayaan, tingkah laku, teknologi, pengetahuan, hingga sastra dan pekerjaan sehari-hari. Akan tetapi, unsur-unsur serapan tersebut diolah dengan begitu apik, sehingga baik orang luar maupun orang Bugis sendiri menganggapnya sebagai suatu entitas budaya yang menyatu atau merupakan tradisi yang utuh dan padu (Pelras, 2006). Wujud kebudayaan yang selain mencakup pengertian sistem norma dan aturanaturan adat, serta tata-tertib, juga mengandung unsur-unsur yang meliputi seluruh kegiatan hidup manusia dalam bertingkah-laku dan mengatur prasarana kehidupan manusia Bugis disebut panngaderreng (Mattulada, 1985). Konsep panngaderreng (falsafah hidup) tersebut merupakan serangkaian norma yang berkaitan satu sama lainnya, yang terdiri dari; pertama, adalah Ade’ (adat yang mengatur hal ihwal perkawinan serta hubungan kekerabatan dan norma bernegara dan memerintah). Kedua, adalah Bicara (norma hukum yang bersangkut paut dengan peradilan); ketiga, adalah Rapang (pandangan hidup ideal yang dapat memberikan keteladanan dalam kehidupan bermasyarakat); sedangkan yang keempat adalah Wari’ (norma yang mengatur stratifikasi dalam masyarakat); dan yang kelima adalah sara’ (syariat yang mengandung pranata-pranata dan hukum Islam). Unsur-unsur tersebut terjalin sebagai satu kesatuan organis dalam alam pikiran orang Bugis yang mendasari sentimen kewargaan masyarakat dan identitas sosial, serta martabat dan harga diri yang
182
kesemuanya terkandung dalam konsepsi siri’. Empat dari yang pertama, secara tradisional dipegang oleh pampawa ade’ (penguasa/ raja dan para pembantunya) yang bertugas mengatur roda pemerintahan. Sedangkan yang terakhir dipegang oleh parewa sara’ (ulama/ kadi dan para pengurus masjid) yang bertugas menangani hal-hal yang berhubungan dengan fikih Islam. Meskipun umara dan ulama memiliki kedudukan dan fungsi yang sama dalam tradisi Bugis, namun terdapat dikotomi dalam pembagian tugasnya. Di dalam praktiknya, terkadang keduanya dapat saling mengisi, namun juga dapat jalan beriringan bagai tak saling mengenal atau seringkali adat tunduk pada ajaran Islam, begitupun sebaliknya parewa sara’ bertoleransi pada adat (Rahman, 2009). Begitu fleksibelnya pola pelaksanaan konsep panngaderreng tersebut, menjadikan konsep ini mudah dimodifikasi sedemikian rupa oleh “penganutnya” sehingga sering bertumpangtindih dalam praktiknya. Pada masyarakat Bugis perantauan, seperti di kawasan Delta Mahakam, konsep ini meskipun tidak sepenuhnya terinternalisasi pada sendi-sendi kehidupan masyarakat setempat, namun masih dipraktekan secara longgar. Kondisi ini diduga sebagai bentuk adaptasi kultural atas berbagai perubahan sosial dan mobilitas sosial yang terus berlangsung, mengingat sebagian besar dari mereka berasal dari golongan strata bawah dalam stratifikasi sosial masyarakat Bugis feodal. Berdasarkan kajian atas perilaku para tokoh epos La Galigo, Pelras (2006) berhasil memotret mentalitas manusia Bugis yang didominasi oleh empat sifat keutamaan, yang jika dimiliki seseorang akan dapat menghantarkannya menjadi “penguasa baru”. Selain berasal dari keturunan yang tepat, seseorang yang ingin menjadi “penguasa baru” (pemimpin) haruslah memiliki keutamaan dalam hal; keberanian (warani), keahlian/ kecerdikan (acca), kekayaan (sugi’) dan kesalehan (panrita). Meskipun dalam karya monumentalnya “Latoa”, Mattulada berbeda dengan Pelras dalam menyebut salah satu dari empat sifat sulapa’ eppa’, namun penulisan to sulasena (berkeahlian khusus) yang gunakan Mattulada memiliki makna yang hampir sama dengan to acca (ahli/ cerdik) yang digunakan Pelras, sehingga tidak perlu dipertentangkan. Konsep sulapa’ eppa’ dari kedua ahli tersebut digunakan “secara bergantian” dalam penelitian ini, tanpa mengurangi maknanya. 1) To Warani yaitu mereka yang berasal dari lapisan Anakarung maupun Maradeka yang memiliki keberanian, meskipun terkadang reputasi itu diperoleh dari tindakan yang keliru. Pada suatu ketika, mereka bisa berperang demi kehormatan diri dan untuk menegakkan keadilan, di lain waktu mereka dapat mengobarkan perang hanya karena mereka memang gemar berperang/ untuk memuaskan ambisi, ketamakan dan pamrih pribadi.
183
2) To Acca, yaitu mereka yang berasal dari lapisan Anakarung maupun Maradeka yang memiliki keahlian/ kecerdikan, yang dapat digunakan untuk kebaikan bersama dan dapat pula dijadikan pemuas hasrat pribadi. 3) To Sugi’, yaitu mereka yang berasal dari lapisan Anakarung maupun Maradeka yang memiliki harta kekayaan melimpah, sebagai wujud motivasi paling kuat untuk meningkatkan status, sekaligus menjadi pendorong utama usaha perdagangan. 4) To Panrita, yaitu mereka yang berasal dari lapisan Anakarung maupun Maradeka yang menguasai seluk beluk agama Islam, bijaksana, saleh dan jujur. Sepadan dengan ulama yang tidak pernah berbuat salah dan tidak mementingkan diri sendiri. Dalam konsteks sekarang, menjadi to panrita mungkin
ditandai
dengan
keputusan
menunaikan
ibadah
haji
(sambil
memperdalam pengetahuan agama).
Manusia Utama (Berkuasa)
Bekerja x Ibadah = Kesalehan Sosial Orang Bugis
Siri’ dan Passe’
1. 2. 3. 4.
Nasib (We’re’)
Sifat Sulapa’ Eppa’; Keberanian (To-Warani) Kecerdasan (To-Acca) Kekayaan (To-Sugi) Kesalehan (To-Panrita)
Pangaderreng
Adat (Ade) Norma Hukum (Bicara) Norma Keteladanan (Rapang) Norma Stratifikasi (Wari’)
Syariat Islam (Sara’)
Manusia Bugis Gambar 16. Etika Moral Ponggawa Bugis di Kawasan Delta Mahakam Sumber: Data Primer Diolah, 2011 dan Hasil Penelusuran Berbagai Kepustakaan
184
Berbeda dengan ketiga unsur sulapa’ eppe’ yang bersifat mendua, unsur to panrita sebaliknya, hanya dapat dipandang dari satu sisi. Dimana Islam menyumbang warna baru terhadap prototipe yang ada dengan memperkuat aspek-aspek etika moral serta membedakan secara tegas to-panrita dengan gambaran mendua tentang to sugi’, to warani dan to acca (lihat Gambar 16.). Meski demikian, sejumlah konsep dan norma pra-Islam tampaknya masih tetap dijadikan prinsip. Seperti aturan tak tertulis yang mengajarkan; “jika seseorang terpaksa mengambil jalan kekerasan, maka pilihlah lawan yang sebanding agar tidak kehilangan siri’ atau bila perlu dengan berusaha memiliki kekuatan gaib untuk melawan”. Apabila lawan ternyata lebih kuat, seseorang boleh menyerang dari belakang atau menipunya, hal yang sama bisa dilakukan jika ternyata pihak musuh lebih kaya atau lebih berkuasa. Disini, keadilan bukanlah masalah etika sebagaimana konsep pemikiran Barat. Terdapat perbedaan pemahaman rasionalitas yang mendasar, dimana bagi orang Bugis keadilan dipandang sebagai masalah ditegakkannya fair play (Pelras, 2006). Sejak masuknya Islam di Sulawesi Selatan, yang memandang semua manusia sama, telah menarik minat semakin banyak orang Bugis, khususnya masyarakat biasa (To Maradeka) dan para pedagang. Paling tidak sejak abad 17, banyak diantara mereka karena berbagai alasan merasa tidak senang dengan masyarakat tradisional Bugis mencari jalan keluar dengan merantau. Sementara persaingan terbuka dengan para bangsawan lapisan tertinggi untuk menjadi “penguasa baru” yang begitu sulit dimenangkan dalam memperebutkan jabatan, pengaruh, maupun kekayaan di tanah asal, menjadikan lapisan To Maradeka dan sebagian kecil bangsawan golongan rendah yang tersingkir, akhirnya memutuskan untuk merantau keluar dari tanah kelahirannya. Menurut catatan Pelras (2006), sebagian besar orang Bugis yang merantau antara 1910 – 1930, terutama adalah kaum bangsawan rendah atau tau deceng yang menolak sistem kerja paksa yang diterapkan pemerintah kolonial, karena dianggap merendahkan harga diri mereka. Dalam kehidupan sosial diperantauan, mereka bisa saja mengaku berasal dari status lebih tinggi dari yang sebenarnya, atau tidak peduli lagi dengan prinsip-prinsip hirarki dalam tradisi Bugis dan mencoba memperoleh status terhormat dalam bentuk lain – terutama melalui pengumpulan harta kekayaan. Hal itu diakui Haji Saleng (seorang ponggawa dari generasi perintis), sebagai salah satu faktor utama yang menuntunnya untuk merantau ke daerah lain.
Ia
menuturkan bahwa rombongan yang terdiri atas beberapa keluarga dekatnya, meninggalkan kampung Lamurukung – Bone menuju Muara Badak pada tahun 1973. Dengan pertimbangan ingin memperbaiki kehidupan ekonomi keluarga, Haji Samir kemudian menuruti nasehat seorang karabat yang menyarankannya menjadi nelayan bagang ke pantai Timur Kalimantan yang potensi perikanannya belum tereksploitasi.
185
Kecendrungan yang luar biasa untuk selalu mencari peluang ekonomi yang lebih baik dimanapun dan kapanpun tampaknya menjadi ciri khas yang tetap melekat dalam diri mereka. Seperti halnya dituturkan Djumadi, seorang ponggawa muda di Muara Pantuan yang mengaku meninggalkan kampung halamannya di Mamuju dengan hanya berbekal baju dibadan. Pria yang mengaku bekerja sebagai buruh tani serabutan ini memutuskan berangkat ke Sungai Meriam setelah berkenalan dengan dengan Haji Rustam (adik Haji Mangkana) di Mamuju. Beratnya kehidupan dikampung halaman, setidaknya telah memaksa dirinya “nekat” menumpang sebuah kapal dagang Bugis yang akan mengantar muatan ke Samarinda di tahun 1983. Bagi orang seperti Djumadi “lebih berharga mati dengan berdarah, daripada mati kelaparan” (lebbimui mate maddarae dari mate tammanre). Selama enam tahun lamanya, ia harus “numpang makan” dan bekerja di rumah Haji Rustam, hingga menjadi nelayan trawl pada 1984 – 1986. Ia mulai dipercaya Haji Mangkana menjadi penyambang di sekitar Pulau Nubi pada 1986 – 1998 dan akhirnya mendapatkan kesempatan untuk mengelola tambak sendiri, setelah di tahun 1998 “dibuatkan” tambak seluas 5 Haktar oleh Haji Mangkana. Tambak yang seluruh produksinya disetorkan pada pos pembelian milik Haji Mangkana tersebut, saat ini telah bertambah luas hingga mencapai 20 Hektar. Ketekunan dan semangat untuk bisa hidup lebih baik telah menghantarkannya menjadi seorang petambak, sekaligus ponggawa yang cukup berhasil di Muara Pantuan. Begitu kuatnya motif ekonomi dalam setiap mobilitas yang dilakukan orang Bugis, memberikan kesan bahwa peranan uang atau hartalah yang banyak menentukan nasib dan status seseorang. Sangat banyak ulama yang menganggap usaha memperkaya diri sebagai suatu kewajiban, sepanjang dilakukan secara jujur dan halal (sappa’ dalle’ hallala’), karena memungkinkan seseorang mampu membantu sesama yang kurang beruntung (Pelras, 2006). Orang Bugis, bahkan mempertaruhkan siri’-nya ketika merantau, mereka “merasa malu bila tidak bisa pulang untuk memperlihatkan bukti keberhasilannya di rantau”. Setelah meninggalkan tanah kelahirannya, kadangkala hingga bertahun-tahun mereka tidak kembali, hanya untuk mencari kekayaan hingga berhasil. Menjadi orang yang berharta, setidaknya juga menutup kemungkinan terjerumus menjadi Ata dan kehilangan siri’. Termasuk berusaha adalah dengan menjadi panga atau perampok, karena menjadi seorang panga masih lebih mulia dari Ata (Muklis, 1975 dalam Mappawata, 1986). Dalam sejarahnya, nasib seorang Ata bahkan dapat dirubah seketika menjadi To Maradeka hanya dengan membayar sejumlah uang denda/ tebusan. Bagi orang Bugis tidak ada siri’ yang lebih memalukan dibandingkan terjerumus menjadi Ata (Budak/ Sahaya). Meskipun Ata telah dihapuskan pemerintah Kolonial Hindia Belanda pasca penaklukkan semua kerajaan di Sulawesi Selatan pada 1906,
186
hingga saat ini Ata masih dipandang sebagai salah satu aspek sugestif dari panngaderreng yang dapat memperteguh pertahanan siri’ pada setiap pribadi orang Bugis. Untuk mencegah hal tersebut, setidaknya mereka dituntut oleh siri’nya untuk; 1) Tidak menerima atau menyerah pada nasib tanpa melakukan usaha. Orang Bugis harus berusaha keras untuk tidak menjadi miskin, karena kemiskinan mendekatkan sesorang pada kemungkinan menjadi Ata. Menjadi Ata berarti kehilangan siri’ dan; 2) Tidak melanggar panngaderreng, karena jika melanggarnya berarti menjerumuskan diri pada kehinaan dalam pandangan masyarakat dan dikucilkan dalam pergaulan. Dahulu hukuman bagi pelanggar panngaderreng adalah majjallo hingga mati atau hidup dengan bersedia menjadi Ata dan kehilangan siri’ (Mattulada, 1985). Siri’ bukanlah semata-mata persoalan pribadi yang muncul secara spontan, siri’ lebih sebagai sesuatu yang dirasakan bersama dan merupakan bentuk solidaritas sosial. Hal ini dapat menjadi motif penggerak penting kehidupan sosial dan pendorong tercapainya suatu prestasi sosial masyarakat Bugis, meskipun tidak sedikit terjadi penerapan siri’ yang salah sasaran, seperti pada banyak kasus balas dendam. Secara gamblang Hamid Abdullah (1985), menyatakan bahwa “tidak ada satu nilai pun yang paling berharga untuk dibela dan dipertahankan di muka bumi selain dari pada siri’”. Bagi manusia Bugis (Makassar), siri’ adalah jiwa mereka, harga diri mereka dan martabat mereka. Sebab itu untuk menegakkan dan membela siri’ yang dianggap tercemar
oleh
orang
lain, maka
manusia
Bugis
(Makassar)
akan
bersedia
mengorbankan apa saja, termasuk jiwanya yang berharga demi tegaknya siri’ dalam kehidupan mereka. Biasanya siri’ seiring sejalan dengan passe’ yang berarti “ikut merasakan penderitaan orang lain dalam perut sendiri”, mengindikasikan perasaan empati yang mendalam terhadap tetangga, kerabat atau sesama anggota kelompok sosial. Passe’ berhubungan erat dengan identitas, merupakan pengikat para anggota kelompok sosial, seperti pada sesama perantau yang berada di negeri orang/ di suatu tempat di luar daerah Sulawesi Selatan, yang kerap mendasari rasa memiliki identitas “ke-Bugis-an” mereka. Karenanya konsep siri’ dan passe’, dapat digunakan sebagai kunci utama untuk memahami berbagai aspek perilaku sosial orang Bugis, khususnya dua perilaku mereka yang tampak saling berlawanan (ambigu), yaitu; 1) persaingan yang dapat dipahami melalui konsep siri’ dan; 2) kesetiakawanan yang dapat dipahami melalui konsep passe’ (Pelras, 2006). Passe’ menjamin terjadinya kohesi internal dalam suatu keluarga atau kelompok sosial, dalam suatu pesta pernikahan misalnya, seluruh anggota keluarga akan berusaha untuk ikut mempersembahkan yang terbaik demi menegakkan gengsi keluarga dimata keluarga lain yang sederajat. Namun, persaingan juga dapat terjadi
187
antar anggota keluarga atau suatu kelompok pengikut. Jika seorang lelaki dalam suatu keluarga berhasil meraih suatu prestasi misalnya, maka saudara laki-lakinya akan berusaha mencapi sesuatu yang lebih baik, demi siri’-nya sendiri. Persaingan seperti inilah yang menurut Hamid Abdullah (1985), memiliki arti penting sebagai pendorong dilakukannya suatu usaha atau pergi merantau dalam rangka mencapai keberhasilan dibidang ekonomi. Sementara, kecendrungan mereka yang tampaknya saling berlawanan (berpandangan hierarkis sekaligus egalitarian, dorongan untuk berkompetisi sekaligus berkompromi, menjunjung tinggi kehormatan diri tetapi juga solider terhadap sesama orang Bugis) dipadukan dengan nilai-nilai keutamaan, seperti keberanian, ketaatan terhadap ajaran agama dan kelihaian berbisnis merupakan unsur-unsur penggerak utama dalam perkembangan kehidupan sosio-ekonomi dan politik mereka selama ini. Di dalam bukunya “After Virtue”, MacIntyre mengkritik keras filsafat Pencerahan dalam memberikan suatu dasar rasional kepada moralitas, karena Pencerahan atas nama rasionalitas justru membuang apa yang menjadi dasar rasionalitas setiap ajaran moral, yaitu pandangan teleologis tentang manusia. Menurut MacIntyre, rasionalitas sebuah moralitas akan dijawab oleh fungsinya dalam cakrawala makna komunitas yang bersangkutan. Ajaran-ajaran moral milik komunitasnya akan menunjukkan jalan bagaimana ia dapat menjadi seorang “manusia utama”, yaitu kemampuan untuk menjadi semakin utuh dan sempurna. Disini MacIntyre mengarahkan fokus etika yang sejak Immanuel Khan ke hal kewajiban, kembali ke hal keutamaan (Magnis-Suseno, 2006). Bukanlah “saya wajib melakukan apa?”, melainkan “saya harus menjadi manusia macam apa?”. Tentu jawaban yang abstrak-universal tidak mungkin diberikan, sehingga jawabannya secara hakiki tergantung dari pandangan dunia, keyakinan-keyakinan dan nilai-nilai komunitas bersangkutan. Meskipun demikian, ketertanaman keyakinankeyakinan moral dalam masing-masing pribadi tidak harus berarti bahwa suatu konsensus moral universal tidak mungkin; karena orang dari tradisi berbeda pada kenyataannya juga dapat saling mengerti dalam keprihatinan moral.
6.2
Budaya Bisnis Bugis Orang Bugis merupakan satu dari beragam etnik yang ada di Indonesia,
populasi mereka menurut Sensus 2000, mencapai 5.010.421 jiwa (2,49 persen) dari jumlah keseluruhan warga (etnik) negara Indonesia yang mencapai 201.092.238 jiwa. Sekitar 34,81 persen penutur bahasa Bugis berada di luar Sulawesi, sehingga bahasa Bugis merupakan salah satu bahasa paling luas tersebar setelah bahasa nasional dan bahasa Jawa. Meskipun urutan etnis Bugis menurun dari posisi ke lima pada 1930 menjadi ke delapan pada 2000, namun jumlah mereka meningkat 1,69 persen pertahun.
188
Tabel 15. Perbandingan Kelompok Etnik Terbesar Berdasarkan Sensus Penduduk Tahun 1930 dan 2000 Tahun 1930 Kelompok Etnik Jumlah (Jiwa) 1 Jawa 27.808.623 2 Sunda 8.594.834 3 Madura 4.305.862 4 Minangkabau 1.988.648 5 Bugis 1.533.035 6 Batak 1.207.514 7 Bali 1.111.658 8 Betawi 980.863 Sumber: Suryadinata Dkk (2003) No
Persentase 47,02 14,53 7,28 3,36 2,59 2,04 1,88 1,66
Kelompok Etnik Jawa Sunda Melayu Madura Batak Minangkabau Betawi Bugis
Tahun 2000 Jumlah (Jiwa) 83.865.724 30.978.404 6.948.040 6.771.727 6.076.440 5.475.145 5.041.688 5.010.421
Persentase 41,71 15,41 3,45 3,37 3,02 2,72 2,51 2,49
Dewasa ini aktivitas para elit ekonomi Bugis tidak hanya terbatas pada usaha tradisional, mereka juga terjun ke dalam industri dan bisnis modern. Munurut catatan Pelras (2006), pada tahun 1985 – 1986 (25 tahun yang lalu) setidaknya 3 persen dari 213 pengusaha besar yang ada di Indonesia adalah orang Bugis. Meskipun tampaknya sedikit, namun bila dibandingkan dengan angka rata-rata menurut asal atau suku pengusaha yang lain, maka 3 persen itu adalah dua kali lipat prosentase orang Bugis di Indonesia pada masa itu. Tentu prosentasenya menurut perkiraan peneliti, bisa lebih dari itu pada masa sekarang. Di Kalimantan Timur misalnya, tujuh (44%) dari enam belas perusahaan eksportir perikanan yang saat ini masih aktif beroperasi dimiliki oleh orang Bugis. Usaha bisnis migran Bugis tidak hanya mampu bersaing dengan pengusaha keturunan Cina WNI (yang mencapai 31%) dan “pemain” asing lainnya (yang mencapai 25%), namun juga memiliki keunggulan komparatif, karena didukung jaringan kultural dan penguasaan sumberdaya yang memberikan jaminan pasokan raw material secara berkelanjutan. Tabel 16. Nama-Nama Perusahaan Eksportir Aktif, Lokasi dan Status Kepemilikannya No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Nama Perusahaan PT. Syam Surya Mandiri PT. Aromah Nelayan Mandiri PT. Sumber Kalimantan Abadi PT. Bulungan Lestari Mandiri PT. Mustika Minanusa Aurora PT. Sumber Kalimantan Abadi PT. Tunas Nelayan Mandiri PT. Malindo Kencana Utama PT. Misaja Mitra PT. Sabindo Raya Gemilang I PT. Sabindo Raya Gemilang II PT. Bonanza Pratama Abadi PT. Nelayan Barokah PT. Kota Marine UD.Perikani UD. Harapan Maju
Lokasi
Status Kepemilikan
Anggana Balikpapan Balikpapam Tj. Selor Tarakan Tarakan Tarakan Tarakan Tarakan Tarakan Tarakan Tarakan Tarakan Tarakan Tarakan Tarakan
PMDN dengan saham utama dimiliki pengusaha Bugis lokal PMDN dengan saham utama dimiliki pengusaha Bugis lokal PMDN dengan saham utama dimiliki pengusaha keturunan Tionghoa PMDN dengan saham utama dimiliki pengusaha Bugis Sulawesi PMDN dengan saham utama dimiliki pengusaha keturunan Tionghoa PMDN dengan saham utama dimiliki pengusaha keturunan Tionghoa PMDN dengan saham utama dimiliki pengusaha Bugis lokal PMA dengan saham utama dimiliki pengusaha Tionghoa Malaysia PMA dengan saham utama dimiliki pengusaha Jepang PMDN dengan saham utama dimiliki pengusaha keturunan Tionghoa PMDN dengan saham utama dimiliki pengusaha keturunan Tionghoa PMA dengan saham utama dimiliki pengusaha Tionghoa Malaysia PMDN dengan saham utama dimiliki pengusaha Bugis lokal PMA dengan saham utama dimiliki pengusaha Korea PMDN dengan saham utama dimiliki pengusaha Bugis lokal PMDN dengan saham utama dimiliki pengusaha Bugis lokal
Sumber: Hasil Wawancara Mendalam dengan Daulat A. Manalu (Staf Senior Diskanlut Kaltim) dan Data Primer Diolah, 2011
189
Budaya bisnis orang Bugis di Kalimantan Timur dapat mulai ditelusuri, dari keberadaan komunitas Bugis pertama yang telah menetap di Talake – Paser, sebelum kedatangan 3.000 orang migran Bugis Wajo yang dipimpin seorang pangeran Wajo‟ bernama La Ma‟dukelleng pada permulaan abad-18. Komunitas migran Bugis pertama ini hidup dari kegiatan perkebunan kelapa dan pergadangan. Keturunan mereka inilah yang kelak merintis didirikannya Kota Samarinda, hingga memonopoli ekspor hasil alam dari pedalaman Kalimantan setelah diberi hak oleh Sultan Kutai, seperti serbuk emas, kemenyan, kapur barus, damar, kayu gaharu, rotan, sarang burung, madu batu mustika dan tanduk badak, serta produk laut seperti sisik, dan telur penyu, agar-agar dan teripang (Pelras, 2006). Sampai dengan pertengahan abad-19, sebenarnya wilayah jalur Selat Makassar ditandai dengan ketidakstabilan dan kompetisi politik yang keras antara Taosug dan Bugis (Magenda, 1991). Kondisi tersebut juga “diperkeruh” oleh munculnya fenomena “spekulator-speklulator orang Inggris” yang melakukan ekspansi kegiatan bisnis hingga ke kawasan pedalaman Kalimantan. Mereka adalah para pedagang yang mampu membujuk sultan-sultan lokal agar memberikan tanah pada mereka dan memperoleh hak-hak monopoli atas kegiatan perdagangan dan pertambangan, hingga mendapatkan gelar sebagai “raja-raja kulit putih”. Seperti Sir James Broke di Serawak, William Lingard si “raja laut Berau” dan George Peacock King di wilayah Samarinda dan Kutai. Ketidakmampuan Belanda untuk mengatasi aktivitas perdagangan orang-orang Inggris, yang berhasil memanfaatkan jaringan perdagangan orang-orang Arab dan Bugis tersebut, telah memaksa pemerintah Hindia Belanda mengunakan kekuatan armada perangnya untuk memastikan bahwa Lingard atau orang Inggris lainnya tidak akan menjadi James Broke kedua di wilayah taklukan mereka. Sejak saat itu kegiatan-kegiatan pedagang Inggris di kepulauan Indonesia praktis telah berkurang dan rute perdagangan terkenal antara Singapura – Banjarmasin – Lombok – Makassar – Kaltim (Samarinda/ Balikpapan/ Tarakan) semakin melemah. Jika merujuk pada peta yang digambarkan Vleke (2008), maka bisa dipastikan bahwa Selat Makassar sejak abad-17 telah berkembang menjadi kawasan perdagangan utama di Nusantara dengan Makassar sebagai pusat pertumbuhannya. Hal ini ditandai dengan keberhasilan para pedagang Bugis dalam merajut jaringan perdagangan di kota-kota sepanjang pesisir barat Sulawesi – pesisir timur Kalimantan – pulau-pulau di Nusa Tenggara dimana komunitas Bugis banyak menetap. Bagi bangsa-bangsa asing, posisi strategis „jaringan perdagangan Selat Makassar” memiliki nilai potensial secara ekonomi, sehingga pos perdagangan yang didirikan pada 1615 di kota Makassar menjadi salah satu pos perdagangan pertama yang didirikan bangsa Asing di Nusantara setelah pos perdagangan Banten dan Ternate.
190
Seperti ditunjukkan Gambar 17. “jaringan perdagangan Selat Makassar” terus tumbuh menjadi kawasan perdagangan penting di Nusantara, hingga pemerintah kolonial Hindia Belanda secara keras memaksakan perjanjian-perjanjian sepihak, dengan maksud membagi-bagi kawasan tersebut sehingga mudah dikontrol menjelang akhir abad-19. Sepeninggal pedagang-pedagang Inggris, praktis sejak 1870-an sampai dengan ditemukannya minyak pada 1902, terjadi kekosongan kegiatan perdagangan di pantai timur Kalimantan. Meskipun demikian, kondisi tersebut mampu disiasati para pedagang
Bugis,
dengan
tetap
menjalankan
kegiatan-kegiatan
perdagangan
tradisionalnya, memanfaatkan perahu-perahu rakyat di dalam jaringan perdagangan Bugis yang telah lama terbangun.
Gambar 17. Peta Negara-Negara Utama di Nusantara pada Abad-17 Sumber: Vlekke (2008) Orang Bugis Samarinda, dilaporkan juga memonopoli impor beras, garam, rempah-rempah, kopi, tembakau, opium, porselen, kain, besi, senjata api, bubuk mesiu dan budak. Orang Bugis Samarinda, kemudian juga memperoleh hak untuk menguasai perdagangan di hulu Sungai Mahakam, salah seorang diantara mereka bahkan ditunjuk sebagai Syahbandar Samarinda. Mekipun dahulu hasil bea ekspor-impor merupakan sumber penghasilan penting bagi Sultan, namun menurut laporan Zweger yang ditulis pada 1853, saat itu Syahbandar memiliki otoritas penuh atas pengoperasian pelabuhan Samarinda, bahkan dalam menentukan tambahan bea keluar-masuk barang, yang sebagian besar hasilnya masuk kantong pribadi. Tidak hanya itu, Syahbandar juga mendapatkan hak monopoli garam, sebagai insentif atas upayanya dalam memungut pajak bea ekspor-impor.
191
Menurut Peluso (1996), kemampuan orang Bugis memonopoli dan menguasai daerah-daerah di hulu Mahakam, berhubungan dengan akses dan kendali yang mereka pegang atas barang-barang lainnya. Pedagang Bugis juga memasok persenjataan dan amunisi untuk bala tentara kerajaan, mereka dilaporkan bisa kapan saja menghentikan pasokannya, sehingga memiliki posisi tawar yang sangat baik dengan pihak penguasa lokal. Tidak berlebihan jika dalam laporannya, Zwager menyebut “Demikianlah Samarinda, kampung orang Bugis yang penting itu, kian lama kian merupakan suatu kerajaan tersendiri, walaupun masih berdekatan dengan istana Sultan Kutai”. Ramainya aktifitas perdagangan di pelabuhan Samarinda di lukiskan Zweger, berikut ini; “Di Kutai setidaknya terdapat empat puluh buah perahu besar (berukuran hingga 500 ton), yang sebagian besar berasal dari Sulawesi dan biasanya berpangkalan di Samarinda”. Perahu-perahu tersebut langsung berhubungan dagang dengan Pasir, Berau, Sulu, Mindanao, Sulawesi, Singapura, Bali, serta Jawa dan daerah-daerah disekitarnya. Sebaliknya dari daerah-daerah ini berdatangan pula perahu-perahu rakyat yang melakukan pergadangan di wilayah Kutai (Samarinda). Dalam catatan Zweger nilai ekspor perdagangan selama tahun 1835 mencapai f. 259.500,- dengan nilai impor mencapai f. 226.700,-, sehingga nilai surplus perdagangan melalui pelabuhan Samarinda mencapai f. 32.800,-. Tabel 17. Peradaban Yang Berhasil Dibangun Migran Bugis di Indonesia Daerah Tujuan Tanah Melayu – Sumatra – Batavia
Periode Migrasi Awal Abad-17 s/d Abad18
Kepulauan Riau – Singapura
Pantai Timur Kalimantan
Orientasi
Strategi
Budaya Bisnis Yang Terbangun
Perdagangan Budak
Menjual tawanan yang ditangkap dari Nusa Tenggara, Buton, Mindanao, Sulu dan timur laut Kalimantan untuk dijadikan buruh perkebunan dan sebagai pekerja kasar, khususnya pada VOC
Awal Abad-18
Perdagangan
Mambangun pelabuhan penting “entrepot”, yang lokasinya tidak terjangkau oleh campur tangan asing – pindah ke Singapura dari “entrepot” (Kepulauan Riau) untuk menghindari pungutan pajak yang dikenakan Belanda, selain ingin memperoleh ruang gerak untuk melakukan operasi perdagangan maritim dengan leluasa.
Awal Abad-18
Perdagangan dan Perkebunan Kelapa
Komunitas Bugis pertama di Kalimantan Timur yang bermigrasi karena tidak ingin tunduk pada Belanda dan Kepemimpinan Aru Palaka ini, hidup dari kegiatan perkebunan kelapa dan perdagangan. Dipimpin seorang pangeran Wajo’ bernama La Ma’dukelleng, keturunan dari 3000 orang Bugis Wajo ini kemudian
Meskipun secara teoritis praktik perbudakan telah dihapuskan Belanda di wilayah jajahan sejak 1818, orang Bugis mensiasatinya dengan mengalihkan perdagangan budak dari Makassar yang dikuasai Belanda ke Bone, Palopo dan Pare-Pare yang secara de facto masih merdeka. Mengembangkan kegiatan bisnis “bebas bagi semua pendatang” yang dengan mudah mampu menyaingi Belanda di Malaka. Setelah orang Bugis pindah ke Singapura, Raffles mencoba melanjutkan kebijakan perdagangan orang Bugis yang telah diterapkan di Kepulauan Riau, dengan membangun pusat perdagangan yang berlawanan dengan sistem monopoli perdagangan yang diterapkan Belanda. Membina hubungan politik dengan Penguasa setempat lewat perkawinan dan memperoleh hak dari penguasa setempat untuk memonopoli ekspor hasil alam dari pedalaman. Penguasaan akses dan kendali atas jaringan perdagangan dari produsen menjadi kunci kekuatan bisnis yang dikembangkan
192
tersebar ke Samarinda, Kutai, Bulungan dan Berau. Setelah membuka hutan, mengeringkan lahan, menanam bibit kelapa, orang Bugis di Johor membatasi aktivitas mereka dengan hanya memetik kelapa dan membuat kopra
Daerah pantai Johor
18701929
Perkebunan Kelapa dan Perdagangan Kopra
Tanah Melayu – Sumatra
18851920
Perkebunan Tanaman Keras
Bermigrasi secara berkelompok yang masing-masing dipimpin seorang bangsawan menengah atau pedagang atau gabungan keduanya. Para pemimpin tersebut menanggung modal awal untuk membeli peralatan, perlengkapan, bibit dan penyemaiaan serta memberi makan para pengikutnya sepanjang dibutuhkan.
Lindu Sulteng
19571970-an
Nelayan – Pedagang
Bermigrasi karena lari dari kekecauan militer, serta keterbatasan dan ketidaksuburan tanah asal. Para migran datang secara berkelompok bersama karabatnya dengan mencoba peruntungan sebagai nelayan, sementara yang lainnya membuka kioskios dipasar atau menjadi pialang tanah/ pedagang beras.
Delta Mahakam
19502000-an
Perkebunan Kelapa dan Perikanan Tangkap – Budidaya
Kedatangan mereka ke Delta Mahakam adalah ingin menyelamatkan diri dari kekacauan ekonomi dan militer akibat pemberontakan Kahar Muzakkar. Juga mentaati nasehat yang diterima dari sanak saudara atau teman yang memberitakan adanya lokasi lain dimana kawasan hutannya yang luas bisa diubah menjadi lahan pertanian/ perkebunan dan kawasan perairannya memiliki potensi perikanan yang menguntungkan untuk digarap.
Konsistensi dalam kegiatan perkebunan kelapa – pembuatan kopra menjadikan perkebunan kelapa di Johor berkembang dengan relatif stabil dibandingkan ditempat lain karena terjadinya efisiensi biaya transportasi (dekat dengan pusat niaga kopra, Singaputa) Perantau Bugis di Tanah Melayu – Sumatra bukan sekedar petani tradisional, akan tetapi pengusaha berorientasi ekonomi. Jika memperoleh uang yang cukup besar, para migran Bugis akan menginvestasikan kembali uang itu dalam bidang perniagaan atau menyewakan lahan mereka pada petani lain dan selanjutnya mencari tempattempat yang lebih menguntungkan. Merantau bagi mereka bukan sekedar mengejar keuntungan ... tetapi juga sebagai upaya untuk mencari pengetahuan sekaligus kekayaan, yang mencakup pula upaya memperbaiki nasib. Suatu cara menangani nasib diri sendiri, yang mencerminkan padangan yang rumit mengenai hubungan antara tabiat pribadi dan takdir, sekaligus mencerminkan pandangan hidup orang biasa yang berbeda dengan sikap bangsawan. Sebagian besar migran Bugis yang berhasil (ponggawa), tidak berasal dari elit tradisional. Mereka cenderung easy going dan tidak akan merasa kehilangan apapun seandainya kegiatan usahanya kolaps, karena mereka mengaku datang ke Delta Mahakam hanya dengan baju di badan. Dengan segala keterbatasannya mereka berusaha untuk adaptif dan mampu melihat perubahan disekitarnya, sehingga bisa bertahan dalam kegiatan usaha yang penuh dengan persaingan dan ketidakpastian.
Sumber: Pelras, 2006; dan Data Primer Diolah, 2011 Mengutip penelitian Denys Lombard (2005) dan Anthony Reid (1999), Hefner (1999), berhasil memotret dengan jernih, bagaimana peran ekonomi masyarakat nusantara dalam kegiatan perdagangan di Asia Tenggara. Dimana sejak menjelang abad-15 jaringan perdagangan global di kawasan maritim nusantara telah tumbuh dengan luar biasa dan mencapai puncaknya di akhir abad- 17. Masyarakat Asia Tenggara, termasuk orang Bugis telah bekerjasama dalam bidang perdagangan, mempertukarkan dan meningkatkan teknologi kelautan, sehingga menciptakan salah satu wilayah perdagangan paling makmur di dunia (lihat Tabel 17.). Seorang Portugis, bernama Pinto melaporkan bahwa beras yang diekspor dari Sulawesi Selatan sejak
193
1511 dapat memenuhi seluruh kebutuhan orang-orang Portugis di Malaka. Aktifitas perdagangan telah mengkoneksikan wilayah Sulawesi Selatan ke dalam jaringan sistem moneter internasional dengan menggunakan uang logam (perak atau kuningan), dengan real Portugis sebagai salah satu mata uang standar (Pelras, 2006). Pada awal abad-16, perdagangan kelapa, ternak, kain tenun dan hasil tambang (emas, besi dan tembaga), serta budak (biasanya tawanan perang) mulai marak dilakukan pedagang Bugis. Selain barang-barang yang dikumpulkan dari pulau-pulau sekitar untuk di ekspor, seperti kayu cendana, gaharu, damar, mutiara dan cangkang kura-kura. Pertumbuhan penduduk wilayah ini tidak lagi berorientasi hanya pada pencarian nafkah, tetapi secara aktif berproduksi untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dunia. Meskipun pada akhirnya, ledakan pedagangan ini dikendalikan oleh usahausaha kombinasi kaum kolonial Eropa dan para penguasa pribumi yang absolud. Merasa terancam oleh kekuatan pedagang independen (banyak diantaranya adalah pedagang-pedagang dari Bugis), para penguasa lokal mengadakan kesepakatan dimana orang-orang Eropa meraih hak-hak monopoli atas barang-barang dagang yang menguntungkan sebagai imbalan untuk dukungan istana dan militer kepada raja. Meskipun terdapat faktor-faktor lain yang turut menyumbang bagi kemerosotan perdagangan di nusantara, namun kenyataan yang paling mendasar adalah bahwa menjelang abad-18, bagian-bagian yang menguntungkan dari perdagangan antar pulau berada di tangan orang-orang Eropa. Sementara kelas pedagang yang pernah memusatkan
diri
di
pelabuhan-pelabuhan
nusantara
di
hancurkan,
sehingga
menyebabkan jumlah penduduk kota merosot. Menurut Hefner (1999), kebangkitan kembali kelas pedagang pribumi di wilayah Asia Tenggara baru dimulai lagi pada akhir abad-20. Namun dalam catatan peneliti, aktivitas perdagangan orang Bugis ternyata masih terus berlanjut pasca “penghancuran” pelabuhan-pelabuhan nusantara oleh koalisi kaum kolonial Eropa dan penguasa absolut. Meskipun kondisi tersebut memukul aktivitas perdagangan mereka, tetapi keadaannya dapat diantisipasi dengan melakukan perubahan strategi, selain karena luasnya jaringan perdagangan bebas Bugis. Di awal abad-18 misalnya, mereka berhasil membangun pelabuhan penting “entrepot”, yang lokasinya tidak terjangkau oleh campur tangan asing – dengan memindahkan “entrepot” Kepulauan Riau ke Singapura untuk menghindari pungutan pajak yang dikenakan Belanda, selain ingin memperoleh ruang gerak untuk melakukan operasi perdagangan maritim dengan leluasa (Pelras, 2006). Lebih jauh Meilink Roelofsz, melihat perdagangan di Asia bukan semata perdagangan yang dilakukan penjaja seperti dilukiskan JC. Van Leur, sebagai “terbentang mulai Mediterranean hingga Jepang, tersusun sebagai jaringan perdagangan penjaja yang mendorong terbentuknya kota-kota dagang seperti Malaka, Aceh, Banten, Ternate dan
194
Makassar”, tetapi merupakan padagang yang bebas seperti para pribumi yang memiliki kapal (Asba, 2007). Berkembangnya perdagangan laut serta tersebarnya bebagai pemukiman Bugis di luar daerah asal pada abad-19, memungkinkan banyak orang Bugis dari kalangan bawah – disamping sejumlah bangsawan yang mengasingkan diri – untuk berperan dalam bidang perekonomian. Hal ini memberi peluang besar bagi orang dari kalangan bawah untuk turut menentukan perkembangan kehidupan sosial ekonomi, sehingga melahirkan kelas menengah yang terdiri atas para saudagar kaya dan nahkoda, baik yang berasal dari kalangan bangsawan rendah-menengah maupun rakyat biasa. Banyak dari mereka yang kemudian berusaha mengangkat status sosial dengan menikahi keluarga bangsawan tinggi, yang ingin meningkatkan kekayaan mereka. Pernikahan tersebut, bisa jadi memiliki tujuan strategis, yakni memperluas dan memperkuat jaringan perdagangan. Sejak itu terciptalah suatu kelas elit baru yang memiliki latar belakang sosial, peran, kepantingan dan menganut nilai berbeda dengan golongan bangsawan tinggi tradisional Bugis. Sepanjang abad-19, ditandai oleh semakin banyaknya orang Bugis yang bermigrasi keluar daerah untuk melepaskan diri dari penguasa pendudukan dukungan negeri kolonial atau karena berbagai alasan merasa tidak senang dengan masyarakat feodal Bugis yang hirarkis, terutama sejak masuknya Islam. Sementara yang lainnya merasa sulit untuk mengembangkan diri, akibat persaingan terbuka dengan para bangsawan lapisan atas dalam memperebutkan jabatan, pengaruh, maupun kekayaan di tanah asal. Karenanya Pelras (2006), menyebut kegiatan perantauan ke daerah lain di luar daerah, merupakan salah satu faktor yang ikut menjaga stabilitas sosial di Sulawesi Selatan, karena orang-orang ambisius yang tidak mendapatkan tempat di kampung sendiri, yang bisa frustasi dan meresahkan masyarakat akhirnya menemukan jalan keluar di tempat lain. Tabel 18. Komposisi Sebaran Etnik Bugis di Nusantara Daerah Sebaran Celebes Borneo Manado Timor Sumatra Sumbawa British Malaya Java & Madura Bali & Lombok Maluku
Jumlah Jiwa
Sumber: Volkstelling 1930 dalam Kesuma (2004)
1.380.334 95.048 27.477 11.652 10.170 8.232 4.961 4.593 2.468 1.293
195
Berdasarkan Sensus Penduduk pada 1930 (Sensus pertama di Indonesia) yang pernah dilakukan pemerintah Hindia Belanda, seperti ditunjukkan Tabel 18. terlihat bahwa pesisir pantai Kalimantan, khususnya pantai Timur menjadi salah satu tempat tujuan utama dari para migran Bugis. Artinya, keberadaan kawasan kolonisasi migran Bugis di banyak tempat di pantai timur Kalimantan saat ini (termasuk kawasan Delta Mahakam), tidak hanya disebabkan faktor kedekatan geografis, tapi juga dekat secara emosional karena dibentuk oleh proses sejarah yang panjang. Berbeda dengan migran Bugis generasi sebelumnya yang lebih berorientasi pada kegiatan perdagangan dengan mengumpulkan barang-barang perdagangan yang bernilai ekonomis untuk dijual di pasar domistik ataupun internasional, generasi migran berikutnya tidak hanya berorientasi pada kegiatan perdagangan semata, namun juga mulai menjajaki pengembangan kegiatan budidaya tanaman keras, khususnya kelapa (kopra). Hal ini bisa dibuktikan dengan keberadaan perkebunan kelapa yang sangat luas di kawasan Delta Mahakam, sebelum dikonversi menjadi area pertambakan. Para pedagang Bugis dan migran Bugis berorientasi budidaya pertanian, tampaknya selalu berorintasi pada dinamika pasar dan terus-menerus memantau komoditas pasar yang paling menguntungkan. Pelras (2006), mencatat bahwa kopra merupakan bahan mentah dari kelapa yang banyak dicari dan sejak 1870 perkebunan kelapa yang baru dibuka di Hindia Belanda merupakan sumber pendapatan penting. Pada masa tersebut, orang Bugis membuktikan diri sebagai orang yang jeli menangkap peluang usaha baru. Mereka segera mencari lokasi yang cocok untuk ditanami kelapa, yaitu di sekitar pantai. Hal itu mula-mula mereka temukan di sejumlah wilayah Sulawesi Tengah dan Tenggara di mana perkebunan kelapa sudah lama ada, kemudian di wilayah kerajaan Pontianak, Sambas dan Mempawah – yang juga merupakan tempat perantauan orang Bugis dan secara kebetulan posisinya menguntungkan karena lebih dekat ke Batavia dan Singapura yang merupakan pasar kopra paling penting di kawasan Asia Tenggara. Pada penghujung abad-19, para perantau Bugis bahkan menemukan lahan perkebunan kelapa yang sangat sesuai – dan memilikinya hampir tanpa mengeluarkan biaya apapun – dibagian barat daya kesultanan Johor yang berbatasan dengan Singapura. Setelah membuka hutan,mengeringkan lahan, menanam bibit pohon kelapa, orang Bugis di Johor itu selanjutnya membatasi aktivitas mereka dengan hanya memetik kelapa dan membuat kopra. Artinya, para migran Bugis berorientasi tanaman keras hanya memfokuskan diri dalam kegiatan produksi, selanjutnya kegiatan pemasarannya akan diambil alih oleh para pedagang Bugis yang bisanya juga pemilik kapal. Meskipun orang Bugis datang belakangan setelah pendatang asal Jawa (yang sebelumnya menjadi kuli kontrak di perkebunan besar di sekitar Johor) menanam pohon
196
karet agak ke pedalaman, orang Bugis justru membuka hutan dan rawa bakau di sepanjang pantai, dengan pertimbangan kawasan itu lebih cocok ditanami kelapa. Mereka lebih senang menanam kelapa daripada karet karena lebih cepat membawa hasil dan setelah ditanam tidak butuh perawatan lagi, selain komoditas kelapa (kopra) yang mereka anggap lebih menguntungkan di pasaran. Banyak diantara migran Bugis tersebut yang telah berpengalaman menanam kelapa dan berdagang kopra di Pontianak. Umumnya migran Bugis Johor berasal dari sekitar Danau Tempe-Wajo, sebagian berasal dari Sidenreng atau Soppeng. Mereka berlayar ke tanah Melayu dalam berbagai kelompok yang masing-masing dipimpin seorang bangsawan menengah atau pedagang ataupun gabungan keduanya. Para pemimpin tersebut menanggung modal awal untuk membeli peralatan, perlengkapan, bibit dan biaya penyemaian serta memberi makan pengikutnya sepanjang dibutuhkan. Menurut Lineton (1975), mereka juga dapat memberi pinjaman uang dengan bunga ringan kepada pengikut yang ingin membuka lahan perkebunan sendiri. Pada saat permulaan usaha, mereka dapat mengerahkan tenaga kerja dari kerabat yang lebih miskin atau pengikut mereka, bahkan budak untuk membangun tempat tinggal, membuka hutan dan menanam kebutuhan pokok yang diperlukan hingga usaha perkebunan mereka mulai membuahkan hasil. Sementara pekerjaan awal lainnya, seperti menggali parit-parit untuk mengeringkan tanah dengan menampung kelebihan air, diupahkan pada orang Jawa yang memiliki keterampilan khusus untuk itu. Begitu tanaman perkebunan siap petik dan membuahkan hasil, biasanya tanaman pokok untuk kebutuhan sehari-hari tidak ditanam lagi. Oleh karena itu, jumlah beras yang harus diimpor semakin meningkat, terutama dari Sumatra. Pada saat harga kelapa merosot selama Perang Dunia I, sementara harga beras naik, sejumlah orang Bugis menyebrang ke Sumatra untuk membuka sawah disekitar Delta Indragiri yang sebelumnya diincar oleh orang Jawa dan Banjar. Para migran Bugis banyak belajar dari pengalaman pendatang pertama, yang sejak lama telah menerapkan teknik “persawahan pasang surut” secara luas di Kalimantan Selatan. Selama Perang Dunia II, ketika bahan makanan kembali sulit diperoleh dan sangat mahal harganya di Tanah Melayu, akibat pelarangan perdagangan beras menyebrangi Selat Malaka oleh pemerintah pendudukan Jepang, sejumlah orang Bugis yang telah menetap di Tanah Melayu pindah lagi ke Jambi untuk membuka lahan pertanian padi, sebagian lainnya menjadi penyelundup beras dan sebagian kecil kembali ke Sulawesi Selatan. Dipicu situasi ekonomi yang semakin memburuk pasca kemeredekaan, ditambah situasi keamanan di Sulawesi Selatan yang tidak terkendali akibat pemberontakan Kahar Muzakar, memicu banyak orang Bugis kembali meninggalkan
197
daerah asal menuju pantai timur Kalimantan, Riau dan Jambi pada kurun waktu 1950 – 1965. Sementara tingkat inflasi yang tinggi di Indonesia dan produksi kopra yang tidak lagi menguntungkan, telah memaksa banyak pemilik perkebunan kelapa beralih menjadi petani sawah pasang surut, sebagian kecil diantaranya tetap bertahan dengan menyelundupkan kopra ke Singapura. Begitu harga kelapa di Indonesia meningkat pada 1970-an, orang Bugis di bagian timur Sumatra kembali melakukan investasi besarbesaran untuk membuka lahan luas hingga ke pedalaman untuk menanam kepala dan berdagang kopra. Belakangan, muncul industri pengalengan nanas, membuat orang Bugis lainnya membuka perkebunan nanas yang tampaknya jauh lebih menguntungkan ditanam di atas lahan gambut yang baru dibuka. Sangat beralasan jika kemudian Pelras (2006), menyebut para perantauan Bugis bukan sekedar petani tradisional, akan tetapi mereka adalah pengusaha berorientasi ekonomi. Berbeda dengan orang Jawa di sekitar mereka yang memiliki konsep keberhasilan yang diukur berdasarkan kemampuan untuk semakin memperluas sawah atau kebun guna mengintensifkan dan meningkatkan produk pertanian di kawasan tersebut, para petani Bugis justru memiliki pemikiran jauh kedepan. Menurut Tanaka (1986), jika petani Bugis memperoleh uang yang cukup besar, mereka berencana menginvestasikan kembali uang itu dalam bidang lain, seperti transportasi, perniagaan atau menyewakan lahan kepada petani Jawa atau orang Bugis yang baru tiba dan selanjutnya mereka akan mencari tempat-tempat yang lebih menguntungkan. Pragmatisme usaha yang ditunjukkan migran Bugis, juga terlihat dalam kegiatan budidaya tanaman coklat yang mengalami booming pada 1980-an. Penanaman coklat sepenuhnya bermula dari inisiatif spontan petani kecil yang termotivasi informasi mengenai besarnya keuntungan coklat dari hubungan perdagangan langsung ke Sabah Malaysia. Artinya, melimpahnya produksi coklat terjadi tanpa campur tangan pemerintah. Sebagian besar dari perkebunan coklat dimiliki dan dikelola oleh orang Bugis yang pindah dari tanah Bugis hanya untuk menanam coklat. Banyak diantara mereka yang berasal dari Soppeng setelah berakhirnya boom tembakau. Menurut Ruf (1991), peran utama yang berhasil dimainkan orang Bugis dalam boom coklat karena mereka memiliki jaringan informasi penanaman dan perdagangan coklat, sehingga mampu menangani sendiri seluruh tahapan pemasaran produk mereka. Fenomena seperti itu pun dijumpai dalam kegiatan pertambakan di kawasan Delta Mahakam, sikap oportunis dan pragmatis ditunjukkan oleh para migran Bugis yang datang dari berbagai daerah di Sulawesi Selatan maupun mereka yang telah menetap di sepanjang pantai timur Kalimantan. Mereka berbondong-bondong datang ke kawasan Delta Mahakam pasca pelarangan trawl – pemberian “kompensasi” pembukaan area hutan mangrove untuk kegiatan pertambakan. Keberadaan hutan
198
mangrove yang potensial untuk kegiatan budidaya perikanan, mereka peroleh informasinya dari saudara, karabat ataupun tetangga yang mengabarkan keberadaan beberapa petambak yang sukses menjadi jutawan setelah mengembangkan kegiatan usaha di sektor pertambakan. Banyak diantara mereka yang harus merelakan harta bendanya dijual untuk sekedar berinvestasi dalam kegiatan pertambakan, tidak sedikit diantaranya yang datang dari Sulawesi dengan menjual kebun coklat ataupun sawahnya hanya untuk berspekulasi dalam kegiatan pertambakan yang secara teknis belum pernah mereka geluti. Umumnya mereka berasal dari Wajo, Bone, Pangkep, Soppeng dan Makassar, tidak sedekit diantara mereka adalah migran Bugis yang sebelumnya telah menetap di pantai timur Kalimantan, seperti Samarinda, Talake-Paser, Balikpapan, Samboja, Muara Jawa, Anggana, Muara Badak, Marang Kayu dan Bontang. Mereka datang ke Delta Mahakam dalam berbagai kelompok keluarga/ kekarabatan dengan dipimpin seseorang yang
dituakan/
dianggap
mampu
dan
berpengalaman.
Meskipun
diawal
perkembangannya, migrasi keluar dari tanah Bugis dilakukan secara berkelompok dengan dipimpin seorang bangsawan yang tersisih dari pusaran kekuasaan. Namun dalam perkembangan selanjutnya, migrasi lebih banyak dilakukan atas prakarsa elit menengah yang baru muncul, merekalah yang kemudian membentuk jaringan perdagangan multi-pusat yang menjangkau seluruh nusantara. Para elit menengah ini mampu berkembang dengan pesat, karena para bangsawan Bugis lebih memilih memusatkan diri di Sulawesi Selatan dimana posisi mereka diakui sepenuhnya. Menariknya dalam dasawarsa terakhir, migrasi keluar dari tanah Bugis ataupun perpindahan orang Bugis dari satu pemukiman ke pemukiman lainnya untuk mencari penghidupan yang lebih baik, banyak dilakukan dalam kelompok-kelompok keluarga/ kekarabatan. Biasanya diawali oleh kepala rumah tangga/ kaum pria dengan dipimpin seseorang yang dituakan dalam kemompok. Seperti yang dilakukan banyak migran Bugis yang datang ke kawasan Delta Mahakam dalam tiga dasawarsa terakhir, meskipun ada pula migran yang datang secara perorangan. Baru setelah para migran pioner tersebut berhasil atau setidaknya menemukan peluang usaha yang bisa membuat mereka survive, keluarga dikampung halaman diboyong ke tempat baru. Strategi migrasi seperti ini setidaknya, menjauhkan keluarga migran dari kemungkinan buruk selama dalam perantuan, tidak sedikit diantara mereka yang harus pulang kampung, karena mengalami “masalah” di tempat baru. Tidak seperti pada masa sebelumnya, dimana para pemimpin kelompok biasanya adalah mereka yang memiliki status sosial tinggi dan memiliki kemampuan finansial,
karena
akan
menanggung
modal
awal
untuk
membeli
peralatan,
perlengkapan, bibit dan biaya penyemaian hingga masa panen, serta memberi makan
199
pengikut. Para pemimpin kontemporer migran Bugis, tampaknya lebih bertindak sebagai “orang tua” yang memberikan arahan dan nasehat selama di perjalanan – masa perantauan, sementara aspek finansial akan ditanggulangi oleh tiap anggota kelompok secara mandiri. Meskipun adapula diantara pemimpin yang memberikan pinjaman uang kepada pengikut yang ingin membuka lahan pertambakan sendiri atau setidaknya memberi jaminan makan setiap pengikut hingga mereka mampu mandiri secara finansial. Tidak sedikit dari kelompok-kelompok migran tersebut/ secara perorangan yang langsung menemui para ponggawa yang mereka kenal, untuk melakukan kerjasama dalam kegiatan pertambakan sebagai klien, sehingga mendapatkan jaminan kebutuhan hidup dan biaya peroduksi hingga berhasil panen. Pada saat permulaan usaha, mereka akan mengerahkan tenaga kerja dari lingkungan keluarga (istri dan anak – saudara) ataupun kerabat yang lebih miskin, untuk mendirikan tempat tinggal, membuka hutan, membangun tambak dan mengelolanya hingga usaha pertambakan mereka mulai membuahkan hasil. Walaupun ada pula poggawa yang menyiapkan tambak siap kelola hingga biaya produksinya untuk klien yang dianggap mereka loyal dan dapat dipercaya. Banyak dantara para petambak tersebut, yang pada awalnya harus bertahan hidup dari hasil sampingan tambak, seperti menangkap kepiting, udang bintik dan berbagai jenis ikan yang terperangkap dalam tambak-tambak yang mereka kelola. Sementara pekerjaan awal lainnya, seperti memperdalam tambak ataupun meninggikan tanggul tambak, serta menggali parit-parit untuk mengalirkan air ke tambak, diupahkan pada orang Jawa Timur (khususnya Lamongan) yang memiliki keterampilan khusus untuk itu. Berbeda dengan migran Bugis berorientasi perdagangan yang cenderung tidak terlibat secara langsung dengan komoditas yang mereka perdagangkan, migran Bugis berorintasi tanaman keras (kopra) – pertanian (beras) mulai berbagi peran, sejumlah migran mulai mengkhususkan diri untuk melakukan kegiatan usaha budidaya tanaman keras/ pertanian sawah dan selanjutnya membatasi aktivitas mereka dengan hanya memetik kelapa dan membuat kopra/ bertani padi sawah dan memproduksi beras. Sementara sejumlah migran lainnya yang berpengalaman dalam kegiatan perdagangan (biasanya pemilik kapal) bertindak sebagai agen penyalur ataupun pemasaran kopra/ beras. Menariknya, dalam empat – tiga dasawarsa terakhir, terjadi perubahan orientasi migran Bugis dalam mengembangkan usahanya. Hal ini bisa dilihat dari peran yang dimainkan orang Bugis dalam boom coklat di Indonesia yang memanfaatkan jaringan informasi penanaman dan perdagangan coklat, sehingga mampu menangani sendiri seluruh tahapan pemasaran produk mereka. Fenomena tersebut, tampaknya juga diperankan dengan sangat baik oleh migran Bugis dalam kegiatan usaha pertambakan udang di kawasan Delta Mahakam,
200
hingga terjadinya boom udang di tahun 1998/ 1999. Mereka mampu memanfaatkan jaringan informal produksi pertambakan udang lokal dan perdagangan udang di tingkat internasional, sehingga kegiatan usahanya dapat berkembang dengan pesat, bahkan mampu
bersaing
dengan
“pemain
luar”.
Hingga
akhirnya,
mereka
mampu
“menaklukkan” sektor industri hilir (handling and processing) sampai dengan distribusi pemasarannya. Itu berarti, keberhasilan Ponggawa Bugis dalam kegiatan usaha pertambakan, tidak dapat dipisahkan dengan kemampuan mereka dalam mengelola komoditas yang diperdagangkan secara berkelanjutan, sekaligus kelihaian mereka di dalam memproduksi sendiri dan memperdagangkan komoditas yang berorintasi pada dinamika pasar dan menguntungkan. 6.2.1
Basis Modal Sosial Masih relatif terjaganya tingkat kepercayaan diantara warga petambak, ternyata
tidak dapat dipisahkan dari pengaruh hubungan patron-client yang telah begitu melembaga dalam kegiatan pertambakan, dimana kepercayaan menjadi salah satu pilarnya. Pengaruh positif dari hubungan ponggawa-petambak yang cukup mapan tersebut berimbas pada relatif kuatnya tingkat kepercayaan diantara para klien terhadap patron di dalam sebuah kelompok klik ponggawa yang telah terjalin lama. Menariknya, tingkat kepercayaan itu menjadi begitu rapuh ketika dihubungkan dengan mereka yang berada di dalam ataupun di luar kelompok, yang secara kebetulan memiliki sumberdaya yang relatif seimbang untuk dipertukarkan. Begitu besar pengaruh patron, sehingga tidak terlalu sulit bagi seorang ponggawa yang memiliki sumberdaya melimpah, untuk mengumpulkan massa hanya dengan informasi dari mulut ke mulut, khususnya dalam memobilisir clients-nya untuk melakukan sebuah aksi tertentu. Loyalitas para petambak/ penjaga empang terhadap patron-nya masing-masing merupakan salah satu manifestasi dari modal sosial pada komunitas, yang ditandai terjadinya transaksi resiprokal yang dilandasi oleh norma timbal-balik (norms of reciprocity). Transaksi itu sendiri tidak hanya menyangkut uang atau bentuk materi lainnya, tetapi juga hal-hal yang bersifat non materi (social intangible), yang kadang sulit untuk dipahami. Seperti kesediaan untuk berperilaku tidak sesuai dengan nilai-nilai moralitas dalam masyarakat, bahkan kerelaan untuk mengorbankan jiwa hanya untuk kepentingan ponggawa yang menjadi patronnya. Seperti pernyataan seorang petambak di Muara Pantuan yang mengaku siap mengorbankan apapun, jika perlu nyawanya bagi ponggawa yang selama ini telah banyak memberikan bantuan bagi keberlangsungan hidup keluarganya. Namun demikian, tidak sedikit petambak yang merasa sangat terbebani dengan pola hubungan mengikat dan cenderung “eksploitatif” yang dikembangkan para ponggawa. Seorang perangkat desa yang juga clien dari seorang
201
ponggawa di Sepatin misalnya, mengaku merasa dirugikan dengan mekanisme pembelian yang dilakukan patronnya, yang selalu mengambil selisih keuntungan dalam jumlah besar atas hasil tambak yang dipanennya. Kondisi inilah yang dianggap Portes (1998), sebagai konsekuensi negatif dari konsep modal sosial, yaitu; pembatasan peluang bagi pihak lain (eksklusifitas), pembatasan kebebasan individu, klaim berlebihan atas keanggotaan kelompok dan menyamaratakan norma pada semua anggota (konformitas). Dimana kerekatan sosial internal terbentuk
dengan mengorbankan orang atau kelompok diluarnya, yang
terkadang dilakukan dengan penuh kebencian serta prasangka buruk. Kelompok „klik ponggawa‟ juga mampu menyebarkan semangat solidaritas dan kebersamaan pada anggota kelompoknya. Kebersamaan, berhubungan dengan pembentukan suatu „lumbung‟ sumberdaya komunitas yang tidak dimiliki oleh seorang individu dan digunakan bagi semua anggota komunitas. Meskipun demikian, tingkat kepadatan hubungan yang sangat tinggi, sebagai hasil dari hubungan diadik bersifat vertikal yang dikembangkan dalam kelembagaan patron-clients, tidak bisa memberi peluang bagi munculnya kerjasama yang saling menguntungkan dan adil. Lenggono (2004) bahkan mensinyalir adanya gejala peluruhan modal sosial pada komunitas petambak di kawasan Delta Mahakam, akibat distrust, hilangnya togetherness, reciprocity dan solidaritas yang tergantikan oleh hubungan ketergantungan
dan indiviual. Yang
pada
gilirannya
menyebabkan
peningkatan biaya operasional dan tidak efisiennya pengelolaan tambak-tambak mereka. Akibatnya nilai rata-rata output produksi tambak hanya mencapai Rp. 5.987.837,-/ ha/ 4 bulan, dengan nilai rata-rata input produksi Rp. 1.780.405,-/ ha/ bulan, sehingga tingkat produktifitas bersih tambak yang dikelola menjadi relatif rendah, hanya mencapai Rp. 4.207.432,-/ Ha/ 4 bulan. Kondisi ini pada gilirannya memicu perilaku agresif dari komunitas petambak dalam mengkonversi hutan mangrove untuk memperluas hamparan tambak yang dimiliki seluas-luasnya, dengan harapan dapat meningkatkan produktifitas tambak-tambak mereka. Gejala tersebut kemudian menjurus pada perilaku-perilaku destruktif terhadap lingkungan dan represif dalam kehidupan sosial. Pola pengelolaan tambak seperti ini, menjadi penjelas mengapa modal sosial yang dimiliki komunitas petambak di Kawasan Delta Mahakam relatif rendah. Padahal, jika terdapat semangat rasa percaya yang kuat, hubungan saling menguntungkan dan sanksi-sanksi sosial informal yang efektif untuk mencegah „freerider‟, maka kebersamaan dapat dikelola secara tak terbatas dan berfungsi bagi keuntungan semua anggota komunitas (Bullen dan Onyx, 1998). Meskipun demikian, modal sosial tidak berarti terjadinya pertukaran langsung secara formal dan cepat, seperti dalam suatu kontrak bisnis atau hukum, tetapi lebih merupakan suatu kombinasi
202
dari sifat untuk mengutamakan orang lain (untuk jangka pendek) dan kepentingan sendiri (dalam jangka panjang). Seseorang menyediakan pelayanan pada orang lain atas pengorbanan diri sendiri, dengan tetap menaruh harapan bahwa suatu saat kebaikan itu dapat diterimanya kembali pada suatu waktu tertentu bila diperlukan. Ironisnya rasa percaya dalam komunitas tidak tersebar secara merata, tingkat kepercayaan menjadi begitu „rapuh‟ ketika dihubungkan dengan mereka yang berada di dalam ataupun di luar kelompok, yang secara kebetulan memiliki sumberdaya yang relatif seimbang untuk dipertukarkan. Sebagai akibat dari pola hubungan patron-klien yang tidak bisa memberi peluang interdedependency yang kondusif bagi munculnya kerjasama yang saling menguntungkan dan adil.
Petambak
Pengumpul
Pasar Lokal/ Tradisional
Ponggawa III & III
Pedagang Kecil
Penyambang
Ponggawa I/ Cold Storage
Konsumen Lokal/ Domestik
Antar Pulau
Free Rider
Ekspor
Gambar 18. Hubungan Para Aktor Yang Terlibat dalam Kegiatan Perdagangan Udang Sumber: Data Primer Diolah (2011) Sikap saling percaya atau trust merupakan suatu harapan yang tumbuh di dalam masyarakat melalui adanya perilaku yang kooperatif, jujur, dan konsisten, yang didasarkan pada norma-norma yang dimiliki bersama oleh seluruh warga atau bagian suatu masyarakat. Meskipun menurut Popkin (1986), norma-norma itu dapat diubahubah bentuknya, dinegosiasikan kembali dan dipindahkan-pindahkan sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan interaksi kekuasaan dan strategi diantara individu-individu. Sikap saling percaya ini akan menjadi perekat aturan main dari apa yang mereka sepakati (dimensi ideasional), dengan perilaku individual (dimensi perilaku). Bahkan
menurut
pendapat
Fukuyama
(1996),
kemungkinan
untuk
mencapai
kemakmuran, lebih besar peluangnya terjadi pada masyarakat yang rasa saling percaya diantara sesama anggotanya lebih kuat (high trust society) dibandingkan dengan masyarakat yang rendah tingkat kepercayaannya. Dalam konsepsi Fukuyama, keberlangsungan usaha pada dasarnya tidak hanya ditentukan modal ekonomi (economic capital) seperti; uang, tanah, rumah, teknologi/ alat produksi dan seterusnya, yang besarnya tentu akan berpengaruh pada besaran/ skala usaha, tetapi juga terkait dengan apa yang dikenal sebagai modal sosial (social capital), yakni ikatan sosial yang didasarkan pada rasa saling percaya (trust). Tindakan ekonomi aktor dan hubungan
Konsumen Glonal
203
sosial yang dikembangkannya sangat terkait dengan ekspektasi kolektivitasnya. Atas dasar ini Fukuyama menyadari pentingnya modal sosial dalam memahami tindakan/ aktifitas ekonomi. Rasa percaya memerlukan suatu kerelaan untuk menerima segala resiko (dalam konteks sosial) berdasarkan pada keyakinan diri bahwa orang lain akan memberi reaksi seperti yang diharapkan dan akan bertindak dengan cara yang saling menguntungkan atau setidaknya orang lain tidak akan berniat jahat pada dirinya. Konsepsi tersebut tampaknya sangat relevan untuk menjelaskan fenomena orang Bugis-Wajo yang dalam tradisi orang Bugis dibanggakan sebagai wirausahawan ulung. Menurut catatan Mattulada (1985), berkat keunggulan orang Wajo, sampai sekarang tak seorang pun pedagang Cina yang dapat berhasil di Kota Sengkang (Ibukota Wajo), orang Cina praktis belum pernah berhasil menguasai usaha-usaha perdagangan, membuka toko-toko seperti di kota-kota lainnya di Sulawesi Selatan. Para pengusaha/ pedagang di Kota Sengkang dapat mempertahankan keadaan itu, berkat suatu kebiasaan atau sikap hidup orang Wajo yang setia berbelanja kebutuhan hidupnya pada pedagang/ toko milik orang Wajo sendiri. Sampai akhir tahun 1950, wirausahawan Bugis Wajo yang bergerak dalam kegiatan usaha hasil bumi dengan organisasi niaga tradisional, masih menguasai jaringan-jaringan perdagangan dan dapat mengakumulasi modal yang memadai untuk menghadapi persaingan niaga dengan orang Cina. Fenomena tersebut ternyata tidak hanya berkembang di daerah asal, semangat berusaha dan keuletan orang Bugis Wajo juga berkembang pada berbagai bidang pekerjaan dan diberbagai tempat di Indonesia, bahkan hingga ke negeri lain di Singapura, Malaysia dan Timor Leste. Dari penelusuran yang berhasil dilakukan peneliti pun menunjukkan, bahwa banyak ponggawa yang berhasil dalam kegiatan perikanan di kawasan Delta Mahakam adalah orang-orang Bugis yang berasal dari Wajo. Realitas tersebut, menurut peneliti dapat berlangsung karena keberhasilan orang Bugis Wajo dalam menginternalisasikan budaya trust dalam kehidupan mereka, sehingga passe’ mewujud dengan sangat kuat dalam sikap hidup setia berbelanja pada para pedagang/ toko milik orang Wajo sendiri. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari konteks kesejarahan Kerajaan Wajo yang dilaporkan oleh banyak peneliti asing sebagai “kerajaan aristokratis demokratis” (Pelras, 2006). Jika dibandingkan dengan kerajaankerajaan lainnya di Sulawesi Selatan, kekuasaan di Wajo tidak diterapkan secara semena-mena dan pemerintahannya memberikan penghargaan pada seluruh warganya sebagai orang merdeka. Seperti dikutip Pelras (2006) dari Brooke yang tercatat dalam “Narrative of Events” yang ditulis pada 1848, “meskipun diperintah oleh raja yang feodal dan sering berubah-ubah; meskipun lamban, berbelit-belit dan memihak dalam penegakan hukum yang melibatkan orang perorang – Wajo tetap patut diberi penghargaan karena memiliki persamaan yang menakjubkan dengan pemerintahan
204
zaman feodal Eropa ... kritik atas kekurangannya bukanlah kecaman, jika kita menyadari bahwa di antara semua negara di Timur ... hanya orang Bugis yang telah sampai pada tingkat pengakuan hak-hak warga negara dan satu-satunya yang telah membebaskan diri dari belenggu kelaliman”. Lebih lanjut Broke mencatat, “Ada dewan perwakilan rakyat, yang terdiri atas para tetua kampung dan orang biasa yang dihormati warga, yang bersidang dalam keadaan luar biasa, mengemukakan pendapat dan mendiskusikan masalah-masalah penting, walau mereka tidak berhak memutuskan”. Merujuk pada kondisi masa lalu, berikut budaya yang masih ditradisikan orang Bugis Wajo tersebut, adalah sangat beralasan jika kemudian budaya demokrasi yang telah terinternalisasi dalam diri mereka, mampu mendorong munculnya lembagalembaga kerjasama informal yang efektif dengan didukung kemampuan dan kepercayaan antar-pribadi. Selanjutnya modal sosial yang terakumulasi akan tersebar luas dalam berbagai aktivitas usaha yang mereka kembangkan. Seperti pernah dilaporkan Putnam (1993), struktur masyarakat Italia utara yang lebih horizontal, egaliter dan kompetitif ternyata mampu menciptakan jajaran luas lembaga-lembaga yang relatif otonom dalam budaya politik, dengan nilai-nilai yang sesuai dengan masyarakat yang pluralis. Lebih jauh Putnam mengatakan bahwa “norma-norma dan jaringan-jaringan keterikatan sipil akan menyumbang pada kemakmuran dan pada gilirannya juga akan diperkuat oleh kemakmuran tersebut”. Modal sosial merupakan serangkaian nilai atau norma informal pemberi teladan kebajikan yang digunakan bersama diantara anggota-anggota sebuah kelompok yang memungkinkan mereka saling bekerja sama. Di dalamnya komunitas berfungsi seperti pelumas yang membuat setiap kelompok atau organisasi berjalan lebih efisien. Modal sosial bukanlah sebuah kekayaan budaya langka yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, yang jika hilang tidak dapat diperoleh lagi, Modal sosisl menurut Fukuyama, diciptakan secara spontan setiap waktu, tidak hanya tercipta dalam masyarakat tradisional, namun juga dimunculkan setiap hari oleh individu-individu dan perkumpulan-perkumpulan di dalam tatanan masyarakat kapitalis modern. Tatanan sosial dapat muncul dari sebuah spektrum sumber-sumber yang terentang dari tipe kekuasaan hirarkis dan terpusat sampai interaksi individual yang sepenuhnya tidak terpusat dan spontan. Norma-norma yang diciptakan secara spontan, cenderung informal – artinya, norma-norma itu tidak ditulis dan diumumkan. Sedangkan normanorma dan nilai-nilai yang diciptakan oleh sumber kekuasaan hirarkis cenderung berbentuk hukum tertulis, undang-undang, peraturan, teks-teks suci atau grafik organisasi yang birokratis, meskipun batasannya sangat kabur.
205 Rasional “Rekayasa Sosial” Konstitusionalisme
Pasar
Hukum Formal
Hukum Adat
Muncul Hirarkis
Muncul Spontan Tradisi Sejarah
Agama Terbuka
Agama Rakyat
Tabu Inses Norma-Norma Yang Terikat Secara Biologis
Tidak Rasional
Gambar 19. Empat Kuadran Tipe Norma Sumber: Francis Fukuyama, 1999 Fukuyama menyusun norma-norma sosial yang muncul hirarkis sampai yang muncul spontan, dan menumpukkan rangkaian kesatuan norma-norma yang merupakan hasil dari pilihan rasional dan yang diwarisi secara sosial, namun awalnya tidak rasional. Dengan menggabungkan kedua poros diperoleh matriks empat kuadran dari kemungkinan tipe-tipe norma (Lihat Gambar 19.). Pemikiran rasional ternyata dapat membawa pilihan-pilihan buruk yang tidak memperlihatkan kepentingan sebenarnya dari orang-orang yang membuatnya, sedangkan norma yang tidak rasional malah dapat berfungsi baik, seperti kepercayaan agama yang mampu mendukung tatanan sosial atau pertumbuhan ekonomi. Hukum formal yang diberlakukan oleh negara diktator atau demokratis termasuk dalam kuadran hirarki rasional, begitupun undang-undang, rekayasa sosial dan semua usaha untuk memandu komunitas dari atas. Sedangkan hukum adat berada disisi lain diturunkan secara spontan dan rasional. Agama yang diorganisir secara terbuka biasanya datang dari sumber hirarkis terbesar, Tuhan – aturan-aturan yang didektekan
206
tanpa debat yang rasional. Sementara sejumlah agama rakyat, seperti Tao dan Shinto, di Indonesia Aliran Kepercayaan dan beberapa ajaran sinkritisme, serta praktik-praktik budaya yang berbau agama mungkin telah berkembang dalam cara yang tidak rasional dan tak berpusat. Karenanya bentuk dari norma-normanya masuk dalam kuadran kiri bawah. Akhirnya, norma-norma tertentu seperti; tabu inses, dimasukkan ke dalam kategori biologis dalam kuadran yang diturunkan secara spontan dan tidak rasional. Dalam masyarakat kontemporer, setiap kuadran akan berisi serangkaian kasus yang tidak sepele dan bahwa empat sumber modal sosial kesemuanya saling berinteraksi dalam cara-cara yang kompleks. Jika mengacu pada kuadran diatas, tampaknya saat masyarakat menjadi modern dan semakin kapitalis, norma-norma sepertinya cenderung kurang diciptakan dikuadran yang lebih rendah dari pada dikuadran yang lebih tinggi dan khususnya dikuadran kiri atas. Istilah-istilah yang sering diasosiasikan dengan modernisasi dan kapitalisme yang mengisyaratkan wewenang resmi yang rasional dan formal yang diberikan negara telah menjadi sumber utama dari aturan dalam masyarakat modern dan kapitalis. Namun dalam kasus kapitalisme di kawasan Delta Mahakam, tampaknya hukum formal tidak memainkan peran penting dalam membentuk norma-norma informal, sedangkan norma-norma informal tampaknya telah membuat penciptaan jenis institusi tertentu (patronase) yang sangat berpengaruh. Mekipun tingkat modal sosial komunitas setempat rendah, namun norma-norma informal telah mampu mengurangi “biaya-biaya transaksi” – biaya pengawasan, pembuatan kontrak, pengesahan dan pemberlakuan kesepakatan resmi. Menariknya agama sepertinya tetap menjadi sumber penting bagi aturan-aturan budaya dan pada saat yang sama agama telah menjadi subjek bagi evolusi spontan ketika aturan-aturan itu berinteraksi dengan lingkungan historis. 6.2.2
Bentuk Aliansi Strategis Keluar Di dalam sejarahnya, para migran Bugis yang datang ke Kalimantan Timur,
pada awalnya selalu berusaha menjalin hubungan politik dengan penguasa setempat untuk bisa survive dan mampu mengembangkan diri di daerah baru (lihat Bab IV). Rombongan migran Bugis yang dipimpin oleh seorang bangsawan (anakarung) tersebut, biasanya membina hubungan politik melalui pernikahan ataupun sumpah setia pada penguasa lokal (keluarga Sultan), sebagai pemilik otoritas. Baru setelah komunitas migran Bugis tersebut berkembang dan pemimpinnya mendapatkan pengakuan dari penguasa lokal, para migran yang datang belakangan (bermigrasi secara berkelompok dipimpin oleh seorang bangsawan rendah-menengah/ seorang saudagar yang sering juga merupakan pemilik kapal dagang). Biasanya mereka akan melaporkan kedatangannya dan meminta izin menetap pada pemimpin komunitas migran Bugis
207
terdahulu. Meskipun sejumlah migran Bugis yang datang belakangan dilaporkan juga ada yang meminta izin menetap pada penguasa lokal (Sultan) ataupun yang mewakilinya (Demang/ Petinggi). Kecendrungan tersebut, tampaknya tetap bertahan dalam pola migrasi etnik Bugis dewasa ini. Mereka bermigrasi dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari sejumlah karabat dekat dan anggota keluarga inti, dipimpin oleh seseorang yang memiliki pengalaman luas/ dituakan dalam kelompok (to maradeka). Sesampai di daerah tujuan mereka kemudian meminta izin pada otoritas setempat (pasca kemerdekaan fungsi Kesultanan di level lokal diambil alih oleh RT/ Kepala Desa), yang biasanya adalah migran Bugis yang telah menetap sebelumnya. Meskipun saat ini juga dijumpai adanya migrasi sporadis yang dilakukan secara perorangan, dengan berbekal komitmen dari pihak penampung migran (ponggawa – petambak) yang membutuhkan tenaga mereka. Dalam kegiatan pertambakan, aliansi strategis keluar yang berhasil dilakukan migran Bugis di kawasan Delta Mahakam diawali dengan kemampuan mereka dalam “menaklukkan” birokrasi lokal yang memiliki otoritas di sekitar kawasan hutan negara. Berbekal latar belakang etnis yang sama dan kemampuan penetrasi kapital, para ponggawa berhasil melakukan koalisi dengan otoritas lokal dalam penguasaan tanahtanah negara. Selanjutnya mereka menguatkan aliansi dengan pemilik kapital (perusahaan-perusahaan industri perikanan/ eksportir) untuk mendapatkan kemudahan fasilitas aliran kapital yang sangat dibutuhkan dalam mengembangkan kegiatan usaha pertambakan yang membutuhkan modal besar. Meskipun hingga saat ini pembangunan tambak-tambak tradisional masih banyak yang dilakukan secara manual dengan menggunakan tenaga manusia, namun keterbatasan tenaga manusia di dalam mengembangkan area pertambakan secara kolosal telah mendorong para ponggawa melakukan mekanisasi dengan penggunaan alat berat seperti excavator yang berharga sangat mahal. Selain untuk melakuan ekstensifikasi, para ponggawa juga membutuhkan sumberdaya yang tidak kecil untuk bisa me-maintenance kebutuhan kliennya. Berbagai kebutuhan biaya operasional yang begitu besar, ditambah dengan resiko dari kegiatan pertambakan yang dibangun diatas tanah-tanah negara, telah memaksa para ponggawa untuk bersikap protektif terhadap segala kemungkinan yang dapat “mengganggu” kepentingan bisnisnya. Salah satu pilihan yang dianggap strategis adalah dengan melakukan koalisi dengan kekuasaan yang dianggap mampu memberikan jaminan bagi keberlanjutan kegiatan usahanya atau dengan membangun citra sebagai pengusaha yang “merakyat” dengan banyak pengikut, sehingga diperoleh “proteksi” dari sistem keamanan sosial yang terbangun. Jika tidak mereka harus menyiapkan diri untuk melakukan ekstensifikasi usaha diluar kegiatan pertambakan
208
yang penuh dengan resiko. Pilihan-pilihan tersebut tampaknya disadari sepenuhnya oleh para aktor, sebagai konsekuensi logis atas operasi bisnis yang mereka kembangkan. Haji Abu misalnya, selain melakukan ekspansi kegiatan usaha diluar sektor perikanan, juga mendorong anaknya untuk terlibat secara aktif di dunia politik praktis sebagai salah satu fungsionaris partai terbesar di level Kabupaten. Anak Haji Abu, Haji Ruli bahkan telah berhasil menjadi anggota legislatif mewakili daerahnya selama dua periode berturut-turut. Sementara Haji M. Ali, lebih memilih untuk memulai merintis pengembangan usaha perdagangan retail di Kota Samarinda sebagai salah satu bentuk antisipasi kemungkinan terburuk, jika kegiatan pertambakan tidak lagi menjanjikan. Begitu pula dengan Haji Maming yang lebih memilih berkonsentrasi di sektor
perkebunan
kelapa
sawit,
setelah
menyerahkan
pengelolaan
usaha
pertambakannya pada anak dan menantunya. Berbeda dengan Haji Mangkana yang tetap fokus dalam kegiatan bisnis perikanan, ia mulai memantapkan citranya sebagai Ketua Asosiasi Pengusaha Cold Storage Indonesia – Kalimantan Timur. Sedangkan adiknya Haji Rustam yang juga Direktur Syam Surya Mandiri merupakan Ketua Forum Petambak Delta Mahakam. Meskipun Haji Mangkana terkesan apolitis dan cenderung bersikap netral dalam masalah politik praktis, namun menurut sejumlah sumber, eksistensi politik Haji Mangkana banyak “diperankan” oleh Haji Rustam. Disini pandangan Foucaultian yang menganggap semakin tersamar suatu dominasi semakin efektif daya kerjanya menemukan bentuknya pada pribadi Haji Mangkana. Dalam pemilihan Gubernur Kalimantan Timur misalnya, sikap politik Haji Mangkana tercermin dari peran Haji Rustam yang turut memfasilitasi salah satu calon yang dianggap akan dapat memberikan
rasa
aman
bagi
keberlangsungan
usahanya,
ditengah sentimen
kedaerahan/ kesukuan yang begitu memanas dewasa ini. Seperti juga terlihat dalam Pilkadal Kabupaten Kukar 2010, yang memunculkan propaganda bermuatan politiketnis terkait dengan pendirian Kabupaten Kutai Pantai. Salah satu kelompok kontra pemekaran, bahkan mengusung spanduk dengan slogan “Pendirian Kabupaten Kutai Pantai Akan Berhadapan dengan Dayak”. Sentimen politik-etnis tersebut telah memposisikan vis-a-vis migran Bugis sebagai penduduk mayoritas di “kawasan pantai” dengan masyarakat Dayak sebagai penduduk asli yang secara kebetulan banyak berdomisili di kawasan pedalaman. Mungkin Pelras benar, ketika menyatakan bahwa perantau Bugis berorientasi perdagangan cenderung memiliki implikasi politik dibandingkan perantauan berorientasi tanaman keras yang tidak memiliki implikasi politik. Namun peneliti melihat, bahwa para ponggawa pertambakan yang mampu membangun kekuatan sosio-ekonominya secara mapan, ternyata juga cenderung berimplikasi politik seiring perkembangan usaha
209
bisnisnya yang membutuhkan sokongan kebijakan dari kekuasaan, walaupun secara praktis mereka tidak memerankannya secara langsung. Sebagai perusahaan eksportir terbesar di kawasan Delta Mahakam, Syam Surya Mandiri misalnya, telibat secara aktif dalam berbagai forum nasional dan internasional yang membahas tentang udang. Salah satu forum internasional yang memiliki pengaruh luas dalam kegiatan budidaya udang adalah „Shrimp Aquaculture Dialogue‟ (ShAD), yang berusaha melakukan sertifikasi produk udang dengan standar internasional. Bagi pelaku usaha pertambakan, kegiatan tersebut diharapkan memberikan keuntungan dan kepastian usaha, sehingga dapat membangkitkan kepercayaan diri bagi pelaku usaha dalam mengembangkan usahanya secara produkif tanpa merusak lingkungan, sekaligus bermanfaat bagi kehidupan sosial. Selain meyakinkan konsumen yang peduli terhadap kelestarian lingkungan untuk lebih memilih mengkonsumsi udang yang diproduksi secara ekologis. Kegiatan yang dilakukan secara marathon sejak 2007 di beberapa negara Asia, Afrika dan Amerika Latin ini, mencoba membuat standarisasi kualitas produk udang, keamanan makanan, lingkungan dan sosial secara internasional, dengan memberikan nilai tambah bagi produk makanan dari udang yang ramah lingkungan di pasar internasional. Namun demikian, kegiatan ini disinyalir memiliki kepentingan tertentu atas produk udang yang memiliki nilai sangat ekonomis dan secara kebetulan banyak diproduksi negara-negara selatan/ berkembang, sehingga dapat bersinergi dengan agenda perdagangan bebas. 6.2.3
Bentuk Aliansi Strategis dalam Komunitas
6.2.3.1 Membangun Identitas “Ke-Bugis-an” Selain membangun aliansi strategis keluar, para ponggawa juga membangun aliansi strategis di dalam komunitasnya untuk mendapatkan legitimasi sosial dalam rangka mengembangkan modal yang dikuasainya. Seperti diketahui, identitas “keBugis-an” yang terlekat dalam pranata passe’ dapat menjadi pengikat anggota kelompok sosial yang sangat strategis di antara sesama perantau Bugis. Passe’ yang berarti “ikut merasakan penderitaan orang lain dalam perut sendiri”, mengindikasikan perasaan empati yang mendalam terhadap tetangga, kerabat atau sesama anggota kelompok sosial. Dalam suatu pesta pernikahan misalnya, seluruh anggota keluarga akan mempersembahkan sesuatu yang terbaik untuk menegakkan gengsi keluarga dimata keluarga lain yang sederajat (Pelras, 2006). Dengan basis nilai seperti itu, menjadikan hubungan aliansi strategis dalam komunitas pada awalnya akan lebih terfokus pada kelompok sosial terkecil yang hanya berisi anggota keluarga dan kerabat dekat, berpusat pada seorang patron, biasanya adalah orang yang dianggap mampu secara finansial dan memiliki kharisma memimpin dalam keluarga.
210
Sistem kekarabatan orang Bugis menganut garis keturunan bilateral, yaitu menganut garis keturunan ayah dan ibu secara bersama-sama. Dalam sistem bilateral, dimana baik garis keturunan ibu maupun ayah diperhitungkan, konsep terpenting bukanlah marga/ klan, tetapi “percabangan” dari kedua sisi. Dengan kata lain, setiap individu memiliki dua garis nenek moyang, yakni dari ayah dan ibu. Dari kedua garis keturunan tersebut akan terbentuk jaringan sepupu dari kedua belah pihak yang memiliki dua pasang kakek, yakni orang tua ayah dan ibu – begitu seterusnya, hingga kekerabatan jauh yang berasal dari lima lapis nenek moyang yang menurunkan berbagai lapis sepupu. Jauh dekatnya hubungan kekerabatan ditentukan oleh lapisan leluhur keberapa yang menghubungkan mereka, sehingga menyatukan mereka dalam suatu sistem kekerabatan yang biasanya disebut dengan istilah a’seajingeng (memiliki asal-usul sama) – sekaligus memisahkan dengan orang lain (tau laeng). Masyarakat Bugis tidak memiliki suatu kelompok kekerabatan bilateral yang mengutamakan salah satu pasangan nenek moyang, yang terpenting bagi mereka adalah dicapainya derajat tinggi dalam sistem stratifikasi sosial. Pola kekerabatan seperti inilah yang menjadi struktur dasar pembentukan suatu tatanan masyarakat, sehingga sangat fungsional dalam pengembangan hubungan aliansi strategis dalam komunitas, bahkan sering menjadi dasar perekat jaringan patronase pada masyarakat Bugis. Hubungan aliansi strategis dalam komunitas akan semakin membesar dengan melibatkan tetangga dan masyarakat sekitar yang memiliki identitas sama, seiring terjadinya penguatan kapital pada diri sang patron. Pada tahapan selanjutnya, seorang patron yang kuat secara kapital dan memiliki kewibawaan, cenderung akan memiliki kharisma tersendiri bagi anggota komunitas lainnya, serta klien dari ponggawa lain untuk bergabung padanya. Meskipun terkadang kharisma seorang patron diperoleh dari proses sosialisasi yang panjang dengan melebih-lebihkan kemampuan pribadinya. Terkadang seorang patron bahkan memiliki pengaruh tidak hanya dalam komunitas, namun juga diluar komunitasnya, sehingga aliansi strategis yang terbangun menjadi lebih kompleks. Namun demikian, peneliti menjumpai adanya fenomena pengelompokan jaringan patronase berdasarkan daerah asal, dimana seorang klien, migran Bugis Bone akan cenderung berpatron pada ponggawa yang juga berasal dari Bone. Demikian pula dengan seorang klien migran Bugis Wajo akan cenderung berpatron pada ponggawa yang juga berasal dari Wajo, meskipun demikian jaringan patronase migran Bugis Wajo tampaknya lebih terbuka bagi etnik lainnya termasuk mereka yang berasal dari Bone. “Dendam sejarah” kemungkinan menjadi alasan mendasar dari terjadinya fenomena sosial tersebut (lihat Andaya, 2004). Pengelompokan pemukiman migran Bugis Bone di Desa Muara Pantuan atau di sekitar kawasan Hutan Raya Bukit Soeharto pun
211
menunjukkan pola kecendrungan yang sama, dimana migran Bugis Bone membangun pemukiman yang relatif terpisah dari area pemukiman migran Bugis Wajo.
Seperti
pernah dilaporkan Lineton (1975) yang menyebut orang Bugis di manapun mereka bermukim, cenderung membentuk kelompok berdasarkan daerah asal masing-masing (yang sering kali saling berhubungan), tetapi orang Bugis Wajo dan Bugis Bone sangat jarang berbaur satu sama lain. Aliansi strategis dalam komunitas, bagi para ponggawa merupakan suatu bentuk investasi yang didasarkan pada semangat solidaritas dan resiprokal yang dilandasi oleh norma timbal-balik, serta saling percaya. Dalam jangka pendek ponggawa bisa berharap mendapatkan pasokan udang secara berkelanjutan dari para klien, sehingga terbebas dari krisis produksi, sedangkan dalam jangka panjang ia akan merasa tenang dan aman karena memiliki cadangan sumberdaya yang dapat digunakan untuk menopang – mengembangkan keluarga dan jaringan bisnisnya. Haji Mangkana misalnya, berusaha membangun kepercayaan di dalam perusahaannya, dengan menanamkan nilai-nilai kebersamaan dan solidaritas pada seluruh karyawan dan semua orang yang kepentingannya bersinggungan secara langsung maupun tidak langsung dengannya. Dengan mengusung slogan, “perusahaan ini adalah perusahaan anda, kemajuan perusahaan adalah kemajuan masyarakat”, ia berhasil menumbuhkan loyalitas dan semangat saling menjaga didalam maupun diluar perusahaan. Dengan menggunakan sentimen keagamaan, Haji Mangkana bahkan, mampu membangun citranya sebagai seorang patron yang religius dan “merakyat”, dengan menyalurkan dua setengah persen dari penghasilan bersihnya secara door to door pada mereka yang membutuhkan sesuai dengan ajaran Islam. Begitu pun Haji Abu, yang dilaporkan setiap tahunnya memberangkatkan sekitar 15 anggota keluarga dan pekerja yang dianggap berjasa dalam ikut membangun kegaiatan bisnisnya untuk menunaikan ibadah haji secara cuma-cuma. Para ponggawa berusaha membangun citranya dengan berbagai cara, terutama berlaku sebaga seorang patron yang dermawan dan ringan tangan, bahkan tidak sedikit yang suka “mempertontonkan” keungulan kapitalnya pada khalayak. Dengan menggelar pesta atau perayaan yang menghabiskan dana besar, hanya untuk membangun image dan prestise sosial, sehingga dapat menjadi kebanggaan bagi klien dan anggota masyarakat disekitarnya. Seperti yang dilakukan Haji Onggeng, yang dilaporkan pernah membelikan hadiah ulang tahun, sebuah mobil mewah dan mendatangkan artis ibukota hanya untuk memeriahkan acara ulang tahun anak perempuannya. Meskipun pada awalnya hubungan diadik yang terbangun dalam aliansi strategis dalam komunitas, berproses secara hierarkis seiring dengan penguatan kapital sang patron, namun hubungan diadik yang terbangun tidaklah ada dengan sendirinya,
212
melainkan sebagai keberhasilan ponggawa dalam mengindividukan hubungan yang terjalin, sehingga menghambat kekuatan tawar-menawar kolektif. Artinya hubungan diadik berbungkus kepentingan tersebut dengan sengaja dibangun untuk kepentingan strategis berjangkauan luas. Seperti diungkapkan Popkin (1986), bahwa sumberdayasumberdaya yang akan diinvestasikan oleh patron bukan hanya untuk memperbaiki keamanan dan tingkat subsistensi klien, tapi juga untuk menjaga agar hubunganhubungan itu tetap diadik, serta menghambat klien mendapatkan keterampilan/ kemampuan yang bisa merubah keseimbangan kekuatan. 6.2.3.2 Tradisi Islam Lokal Penulis mencatat, meskipun hampir semua orang Bugis yang bermigrasi ke daerah-daerah di nusantara, termasuk di kawasan Delta Mahakam adalah muslim yang fanatik, namun sebagian besar diantara mereka berasal dari kelas-kelas sosial yang sepertinya kurang tunduk (exposure) pada doktrin-tradisi “Islam Puritan”. Islam Puritan menerapkan kemurnian ajaran yang dasar, serta sumbernya mutlak dan abadi dengan meletakkan hukum syariah dan kekuasaan Tuhan sebagai prinsipnya. Pemurnian berarti memberantas kemusyrikan, tahyul, khurafat dan pengeramatan ulama (Mulkhan, 2000), juga bid‟ah atau ibadah yang tidak dicontohkan Nabi. Jika mengunakan pengkategorian Islam di Indonesia, maka peneliti lebih melihat Islam yang dipraktikkan oleh migran Bugis di Kawasan Delta Mahakam mendekati kategori Islam Kolaboratif/ “Islam Konstruktif” (Lihat Tabel 19.). Artinya migran Bugis di kawasan Delta Mahakam bukanlah para penganut Islam Puritan yang mempraktekkan syariah Islam secara murni. Sekalipun demikian mereka juga tidak bisa disebut Islam Sinkretik (seperti di jumpai Geertz pada masyarakat feodal Islam di Jawa) karena praktik keagamaan mereka cenderung tidak bertentangan dengan ajaran Islam umumnya, bahkan unsurunsur lokal yang mereka bawa dari proses pewarisan budaya atau proses belajar budaya tampaknya semakin menguatkan ajaran Islam yang dipraktikan. Menurut Mulder (1999), sinkretisme adalah upaya untuk menenggelamkan berbagai perbedaan dan menghasilkan kesatuan diantara berbagai sekte atau aliran filsafat, sehingga dapat digunakan untuk menggambarkan upaya memadukan berbagai unsur yang terdapat di dalam bermacam pembicaraan sehubungan dengan masalah keagamaan, tanpa memecahkan berbagai perbedaan dasar dari prinsip-prinsip yang ada di dalamnya. Meskipun menolak konsepsi Geertz tentang sinkretisme, yang dianggapnya kurang relevan untuk melihat Islam di Jawa, Mulder justru menggunakan konsep lokalitas. Seperti gagasan Wolters (1982) dalam Mulder (1999), yang mengklaim unsur-unsur asing (Islam) dipastikan perlu menemukan akar-akar lokal atau cabang asli daerah tersebut, dimana unsur-unsur asing (Islam) dapat dicangkokkan, baru kemudian melalui peresapan oleh getah budaya asli, cangkokan itu akan dapat berkembang dan
213
berbuah. Dalam lokalitas, ada unsur yang selalu menyesuaikan, dimana Islam yang datang belakangan akan menyesuaikan dengan unsur lokal yang cocok, sehingga inti sesungguhnya adalah unsur lokalnya bukan Islam. Jadi konsepsi yang ditawarkan Mulder sebenarnya tidak berbeda dengan konsepsi Geertz. Tabel 19. Pengkategorian Islam di Indonesia Kategori Asumsi Teoritik
Pendukung Teoritis
Islam Murni/ Islam Puritan Ajaran revolusioner yang menerapkan kemurnian ajaran Islam, yang dasar sumbernya mutlak dan abadi dengan meletakkan hukum syariah dan kekuasaan Tuhan sebagai prinsipnya. Pemurnian berarti memberantas kemusyrikan, tahyul, khurafat dan pengeramatan ulama, juga bid’ah atau ibadah yang tidak dicontohkan Nabi. Dasar moralnya ialah ketertindasan rakyat akibat sikap feodalis, keasyikan mistik dan tasauf tanpa disinari Islam murni.
Islam Sinkretisme
Islam Akulturatif
Terdapat pemaduan di antara dua atau lebih budaya. Agama yang kelihatannya dari luar Islam, tetapi ketika dilihat secara mendalam, sebenarnya adalah agama sinkretis. Konsep sinkretisme mengandung kelemahan karena mengabaikan adanya dialog yang terjadi antara Islam dengan budaya lokal. Hal itu memberikan legitimasi bahwa Islam hanyalah nominal saja, aspek luar, sebab inti dari semuanya adalah budaya lokal. Islam tidak mampu menyentuh kedalaman budaya lokal yang adiluhung dan mendalam, sehingga ketika berhadapan dengan budaya lokal, Islam harus tetap berada “diluar”.
Islam dan budaya lokal merupakan sesuatu yang akulturatif sesuai dengan prosesnya masing-masing, sehingga antara Islam dan budaya lokal bukanlah sesuatu yang antonim tetapi compatible. Ada proses mengambil dan menerima (tidak dalam bentuk saling mengalahkan dan mendominasi), sehingga terjadilah Islam tersebut sebagai agama yang bercorak khas. Di dalam praktiknya Islam bersifat akulturatif dengan budaya lokal, justru Islam sebagai “tradisi besar dunia” yang dimasukkan dari luar menjadi inti, ketika berada ditengah budaya lokal yang bersentuhan dengannya.
Nakamura (1983); dan Abdul Munir Mulkhan (2000)
Clifford Geertz (1983); Mattulada (1985); Andrew Beatty (1994); Niel Mulder (1999); Noerid Haloei Radam (2001); Erni Budiwanti (2001); Saripan S. Hutomo (2001); dan Christian Pelras (2006).
Mark Woodward (1988); Muhaimin (2001); dan John Ryan Bartolomew (2001).
Islam Kolaboratif/ “Islam Konstruktif” Hubungan antara Islam dan budaya lokal dianggap bercorak akulturatif- sinkretik sebagai hasil konstruksi bersama antara agen (elitelit lokal) dengan masyarakatnya dalam sebuah proses dialektik yang terjadi secara terus menerus. Ciri-ciri Islam kolaboratif/ konstruktif adalah bangunan Islam yang bercorak khas, mengadopsi unsur lokal yang tidak bertentangan dengan Islam dan menguatkan ajaran Islam melalui proses transformasi secara terus menerus dengan melegitimasinya berdasarkan teks-teks Islam yang dipahami atas dasar interpretasi elit-elit lokal, sehingga menghasilkan konstruksi sosial tentang Islam lokal. Nur Syam (2005); dan Nurhayati Rahman (2009).
Sumber: Disarikan dari Berbagai Sumber Di dalam Islam sinkretisme, yang terjadi adalah proses saling “mendominasi” atau saling mengalahkan. Dalam hubungan antara Islam dan budaya lokal di Jawa misalnya Geertz memandang Islam Jawa merupakan perpaduan antara ajaran Islam, Hindu, Budha dan agama lokal (animisme) dan yang dominan adalah budaya Jawanya dan Islam hanyalah kulit luarnya. Sementara konsepsi Islam Kolaboratif memandang hubungan Islam dan budaya lokal bercorak akulturatif-sinkretik sebagai hasil konstruksi bersama antara agen (elit-elit lokal) dengan masyarakatnya dalam sebuah proses dialektika yang terjadi secara terus-menerus (Syam, 2005). Meskipun sesungguhnya
214
masih berada di dalam kategori Islam Akulturatif – mengikuti pandangan Mark Woodward., dkk dan Islam Sinkretik sebagaimana pandangan Clifford Geertz., dkk, Islam Kolaboratif yang selanjutnya peneliti sebut sebagai “Islam Konstruktif”, menawarkan konsep bangunan Islam yang bercorak khas, mengadopsi unsur lokal yang tidak bertentangan dengan Islam dan menguatkan ajaran Islam melalui proses transformasi secara terus menerus dengan melegitimasinya berdasarkan teks-teks Islam yang dipahami atas dasar interpretasi elit-elit lokal, sehingga menghasilkan konstruksi sosial tentang Islam lokal. Tradisi Islam lokal hasil konstruksi sosial masyarakat perantauan Bugis di kawasan Delta Mahakam, meskipun memiliki keunikan dan membentuk tradisi Islam yang khas, tetap saja tidak berbeda dengan apa yang telah dipraktikan leluhur mereka di Sulawesi Selatan. Kedatangan Islam bukan menggantikan sistem nilai dan tatanan yang telah ada, tapi mengakomodasi semua tatanan dan nilai itu ke dalam Islam. Berbagai ajaran Islam dan Bugis yang mengandung spirit dan unsur-unsur yang sama diadaptasikan
dan
didialogkan,
yang
selanjutnya
memunculkan
warna-warni
kebudayaan Islam dengan pakaian budaya Bugis atau budaya Bugis muncul dengan pakaian Islam (Rahman, 2009). Temuan ini sekaligus mengoreksi tesis Pelras dan Mattulada yang menyatakan bahwa sinkretisme sebagai satu-satunya pilihan yang memungkinkan agama Islam diterima oleh penguasa Bugis. Dimana aspek-aspek syariat Islam diintegrasikan ke dalam rangkaian hukum dan norma adat, ajaran Islam hanya sekedar ditempelkan ke dalam berbagai praktik tradisional mereka. Hal ini jelas menafikkan adanya dialog yang terjadi antara Islam dengan budaya lokal, sehingga Islam sebagai budaya yang dimasukkan dari luar tidak mampu menyentuh kedalaman budaya lokal yang adiluhung dan mendalam. Padahal seperti diketahui Islam merupakan “tradisi besar dunia” yang bisa saja mendominasi dan menjadi inti, ketika berada ditengah budaya lokal yang bersentuhan dengannya. Karenanya peneliti hanya bisa menerima tesis Islam sinkretisme dalam tradisi masyarakat Bugis pada masa awal perkembangan Islam di Sulawesi Selatan dan selanjutnya Islam sinkretisme-akulturatif muncul secara bergantian – menyatu dalam tradisi masyarakat Bugis, sebagai gagasan yang disambut secara selektif dan disesuaikan dengan pandangan hidup mereka. Hasil dari persinggungan kebudayaan Islam dan tradisi Bugis (sinkretisme, Hindu, Budha dan animisme) yang disebut peneliti sebagai “Islam lokal” inilah, yang dalam praktiknya banyak dilakukan oleh migran Bugis di Kawasan Delta Mahakam. Di dalam tradisi Islam lokal inilah migran Bugis di kawasan Delta Mahakam membangun “medan interaksi” yang berporos pada agen (“orang yang dianggap saleh”) dan simbol-simbol “peruntukan fitrah”, melalui pembangunan masjid, menunaikan
215
ibadah haji serta berkurban dan menyantuni fakir-miskin, sebagai wadah untuk terjadinya transformasi, legitimasi dan habitualisasi. Seperti temuan Syam (2005), yang menyebut “pada masyarakat Jawa yang sedang bergerak ke arah rasionalisasi ternyata justru mengembangkan corak baru dalam aura spiritualitasnya, yaitu melakukan rasionalisasi
spiritualitas”.
Demikian
dengan
masyarakat
Bugis,
yang
mulai
bertransformasi dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri, ternyata tidak dijumpai terjadinya pemutusan dunia spiritual dengan dunia rasional. Melalui proses pergumulan diantara para elit lokal (khususnya ponggawa) dalam berbagai konfigurasi sosio-religiositasnya dengan masyarakat yang juga memiliki konfigurasinya sendiri, tidak hanya menghasilkan wacana rasionalitas spiritual baru, tapi juga tindakan-tindakan keagamaan yang khas. Dengan demikian, konsepsi Weber tentang the disenchantment of the world, yang berasumsi “semakin rasional tindakan manusia akan semakin terputus dari dunia spiritualitasnya”, ternyata kurang relevan dalam melihat migran Bugis yang rasionalisasinya sebagai masyarakat industri sedang tumbuh. Artinya, orang Bugis pergi menunaikan ibadah haji, membangun masjid, serta berkurban dan menyantuni fakir-miskin ternyata tidak hanya untuk menunaikan kewajiban yang diperintahkan agama Islam, tapi juga karena motif-motif tertentu untuk memperoleh “ridho” dari kewajiban yang telah ditunaikannya, sehingga dapat “memperbaiki” nasib/ we’re’-nya. We’re’ adalah nasib, yang mengajarkan pada orang Bugis untuk tidak tunduk pada nasib tidak baik/ tidak menguntungkan, karena bagi orang Bugis, nasib seseorang tidak akan menjadi lebih baik, jika tidak ada keinginan dari yang bersangkutan untuk memperbaikinya. Prinsipnya, tidak cukup hanya dengan menyandarkan diri pada berkah Allah SWT, tetapi harus diupayakan dengan mendahulukan memperbaiki nasib tidak baik/ tidak menguntungkan untuk merubah keadaan. Seperti diajarkan agama Islam “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan/ nasib suatu kaum, hingga kaum itu sendiri berusaha mengubah apa-apa yang terdapat pada bangsa itu sendiri/ nasibnya” seperti digariskan dalam Al Ra‟ad: 11. Di dalam memahami nasib, orang Bugis tidak mengenal istilah menerima ketentuan seperti dalam budaya Jawa yang mengenal narimo ing pandum (Anshoriy, 2009). Dalam kesadaran itu terkandung bahwa hidup orang Jawa sejak semula dari segi titik-tolak, kemungkinan-kemungkinan perealisasian diri dan pengakhirannya sudah ditetapkan dan tidak ada yang bisa mengelakkan ketetapan itu. “Melawan nasib tidak ada gunanya: meskipun membanting tulang sampai capai tak akan ada hasilnya dan biarpun berusaha sekuat tenaga namun apa yang memang telah ditakdirkan tidak akan diperoleh” (Magnis-Suseno, 2003). Lebih jauh dikatakan Magnis-Suseno, menentang nasib hanya akan mengacaukan kosmos dan kekacauan itu hanya bisa dinetralisasikan dengan macam-macam pengalaman yang kurang enak bagi semua (konflik dan ketidak-
216
tentraman batin yang menyumbang pada ketidak-tenangan dan ketidak-tentraman dalam masyarakat dan kosmos). Hal itu, bertolak-belakang dengan konsep we’re’ yang menganjurkan dilakukannya upaya untuk memperbaiki nasib tidak baik/ tidak menguntungkan, hingga “dek na laleng ri ola” atau segala usaha telah dilakukan secara maksimal namun gagal, barulah mereka “menyerah” pada totok (takdir) dengan ungkapan “Aga guna masarae tenrelesangenna pura makkuae. Rilesangeng manemmua pura ri putotok e tenri lesangi” (Apa gunanya bersusah hari, tak terhindarkan suratan takdir. Semua dapat dihindari kecuali takdir tak terelakkan). Disini, We’re’ tidak saja mensyaratkan kerja keras dengan semangat pantang menyerah, namun juga kesabaran, ketekunan dan ketidakbosanan. Karenanya menurut Farid (2005), bagi orang Bagis nasib buruk atau baik pertama-tama ditentukan oleh We’re’, yaitu perbuatan manusia sendiri, seperti ungkapan “Aja muappesona buruk … Ajak mulete riwannang silampak e” (Janganlah berpasrah tanpa perhitungan … janganlah meniti di benang selembar). Ungkapan tua yang sangat berpengaruh lainnya, terkait dengan semangat untuk memperbaiki nasib bisa dijumpai dalam pernyataan seorang Raja Wajo‟, La Tadampare‟ Puang ri Ma‟galatung (1441-1521) yang berbunyi: “Re’sopa na tinulu’na temmangingngi’ nale’ te’i pammase’ De’wata Se’uaE’” (hanya mereka yang berjuang/ bekerja tanpa kenal lelah dan tidak bosan memperoleh ridho Tuhan yang akan sukses mencapai cita-citanya). Jadi orang Bugis menunaikan ibadah haji, membangun masjid, serta berkurban dan menyantuni fakir-miskin pada hakekatnya disebabkan oleh kekuatan sakral dibalik penunaian kewajiban yang diperintahkan agama tersebut, sehingga menimbulkan tindakan-tindakan ritual yang diyakini dapat menjadi sarana untuk memperoleh “ridho Allah” dalam memperbaiki we’re’-nya. “Medan interaksi” yang terbangun kemudian menjadi wadah untuk terjadinya transformasi, legitimasi dan habitualisasi, sehingga menghasilkan wacana rasionalitas spiritual. Ibadah haji ke tanah suci misalnya, tidak hanya bermakna menunaikan kewajiban rukun Islam yang kelima, tapi juga untuk lebih meningkatkan
status
sosial-ekonomi
dimata
kolega
dan
kliennya,
sekaligus
mendapatkan legitimasi sebagai “orang yang dianggap saleh”, sehingga secara sosioreligiositas layak dikategorikan sebagai pemimpin. Yang tak kalah pentingnya adalah untuk mendapatkan “ridho Allah” yang paling afdhol, karena dilakukan langsung dari “Mekkah”, sehingga we’re’-nya memiliki kesempatan besar untuk bertambah lebih baik. Dalam sebuah diskusi, Haji Aco dengan sangat lugas mengakui bahwa “ia pergi berhaji sebagai ungkapan syukur atas keberhasilan usahanya dan ia merasa rezekinya semakin meningkat setelah berhaji”. Lebih lanjut Haji Aco menyebut “gelar hajinya merupakan status sosial yang akan dibawa sampai mati”.”
217
Sementara Haji M. Ali yang telah tiga kali menunaikan ibadah Haji menuturkan bahwa “dengan pergi haji kita akan mendapatkan gelar baru, bagi kami yang tidak berpendidikan, gelar haji akan tetap menempel di depan nama, hingga kelak tertulis diatas batu nisan”. Menariknya, Haji M. Ali yang telah berkali-kali pergi haji masih tetap berkeinginan menunaikannya lagi, hal ini dilakukannya tidak sekedar untuk menunaikan kewajiban, tapi juga memotivasi para petambak yang menjadi kliennya untuk bekerja lebih keras lagi, memiliki tambak luas dengan hasil panen melimpah, sehingga bisa mengikuti jejaknya menunaikan ibadah haji berkali-kali. Realitas tersebut sekaligus menunjukkan bahwa ibadah haji tidak sekedar mendorong munculnya rasionalitas spiritual baru, sebagai hasil dari proses transformasi, legitimasi dan habitualisasi yang terus berlangsung dalam masyarakat, tapi juga menjadi salah satu motif penting dibalik bergeraknya proses kapitalisme lokal. Timbulnya suatu proses pertumbuhan dari nilainilai baru – semacam economic ethic – yang memberikan keleluasaan pada economic rationality untuk memainkan perannya dalam kehidupan masyarakat. Hasil kajian Geertz (1992) menunjukkan bahwa peranan penting dalam proses tersebut dimainkan oleh segolongan orang Islam yang terlibat dengan gerak pembaharuan yang mengamalkan etik keagamaan yang asetik. Gerakan pembaharuan Islam yang tersebar luas di kalangan golongan pedagang di pusat-pusat perdagangan di Jawa antara 1912 – 1920, menekankan usaha ke arah membersihkan Islam dari unsur-unsur Hindu
dan animisme, serta memfokuskan kepada
hal-hal
yang
berhubungan dengan dogma dan moralitas, sehingga menimbulkan minat yang besar terhadap kesucian ajaran-ajaran tradisi Islam, yang diperoleh melalui ketergantungan yang tinggi terhadap pusat Dunia Islam. Hal itu membutuhkan pengumpulan uang, sehingga memungkinkan mereka naik haji dan menjadikan mereka mengamalkan nilai gemi (sifat hemat). Pendukung gerakan ini merasa bangga bila dapat berusaha untuk lebih sederhana dalam soal makanan, pakaian dan menghindari pengeluaran dana besar untuk upacara-upacara dan menjunjung tinggi usaha-usaha perseorangan. Seperti diketahui berhaji hanya diwajibkan bagi orang Islam yang telah memenuhi sejumlah persyaratan tertentu, seperti memiliki kemampuan finansial memadai, sehat jasmani dan rohani, serta berniat menjalankan ritual tersebut. Apabila persyaratan itu telah terpenuhi, maka menunaikan ibadah haji menjadi suatu kewajiban. Hasil studi yang dilakukan Thohir (2006), menyimpulkan bahwa “ada perasaan kuatir bagi mereka yang tidak memenuhi “panggilan” berhaji akan mati fasik (keluar dari agama), jika sampai yang bersangkutan meninggal dunia”. Secara sosial-ekonomi pun, orang-orang yang mampu menunaikan ibadah haji oleh lingkungan sosialnya dikategorikan sebagai orang kaya. Ukuran materi, yaitu kaya atau miskin secara umum sering digunakan untuk menandai keberhasilan seseorang dalam kehidupan di dunia,
218
sedangkan ketaatan beragama digunakan untuk mengukur “keberhasilan” akhirat. Kecendrungan demikian menjadi penanda bahwa menjadi orang kaya itu penting, karena menjadi tolak ukur kehormatan sosial yang dapat memenuhi kepuasan duniawi, sedangkan bertingkah laku yang mengarah pada simbol-simbol agama secara sosial dianggap “taat beragama”, karena dapat memenuhi kepuasan ukhrawi. Pada gilirannya melakukan kegiatan ekonomi akan tertuju pada dua kepentingan sekaligus, yaitu pemenuhan kebutuhan duniawi dan ukhrowi, yang masing-masing dari keduanya bisa saling beriringan atau saling berlawanan. Mereka yang memiliki kemampuan finansial dapat dengan mudah menikmati fasilitas berhaji yang lebih eksklusif dengan membayar lebih, sehingga pencapaian kepuasan ukhrawi yang mengarah
pada
simbol-simbol
keagamaan
dapat
dilakukan
dengan
berbagai
kemudahan duniawi, jika seseorang memiliki materi berlebih. Proses reproduksi kegiatan ibadah haji yang telah diinternalisasi masyarakat lokal tersebut, selanjutnya semakin mengokohkan kapitalisasi ibadah haji yang juga dilembagakan pemerintah. Ibadah haji tidak hanya menjadi motif penting bagi berlangsungnya kapitalisme lokal, namun penetrasi kapitalisme juga turut mempengaruhi masyarakat lokal dalam memaknai ibadah haji itu sendiri. Berhaji juga berarti mendapatkan legitimasi sebagai “orang yang dianggap saleh”, sehingga secara sosio-religiositas layak dikategorikan sebagai pemimpin, seperti yang pernah dilakukan raja-raja di Nusantara yang berlomba-lomba mengirimkan utusan ke Makkah agar kerajaan mereka memperoleh pengakuan dan penguasanya menerima gelar Sultan. Akibatnya, transformasi kehidupan keagamaan yang lebih berporos pada agen (“orang yang dianggap saleh”) menjadi penting dalam “medan interaksi” yang dikembangkan masyarakat setempat. Kartodirjo
(1984)
mencatat,
bahwa ibadah Haji merupakan kekuatan sosial dari revitalisasi kehidupan keagamaan, sekalipun tampak paradoksal, haji juga memainkan peranan besar dalam proses tradisionalisasi Islam, sehubungan dengan penyebaran tarekat Sufi. Artinya, meskipun terjadi proses industrialisasi, sehingga masyarakat tampaknya menjadi lebih modern, namun dalam kehidupan keagamaannya tetap dalam proses tradisionalisasi Islam. Andaya (2004), menyebut “aliran terbatas sufisme dapat diterima di Sulawesi Selatan, karena mempunyai kesamaan dengan struktur kepercayaan pra-Islam”. Berhaji kemudian menjadi „jalan pintas‟ untuk mendapatkan pengakuan sebagai “orang yang dianggap saleh”, yang dalam ajaran Sufisme diberikan tempat khusus sebagai “penghubung” antara pengikut yang merasa kurang saleh dengan yang saleh, sehingga memperoleh “ridho” dari Allah yang dipercaya menjadi kunci nasib di dunia dan akhirat. Bellah (2000), mencatat bahwa “Kebangkitan sufisme adalah sumbangan besar dari Islam dalam memenuhi kebutuhan keagamaan dan kesadaran masyarakat ... hal itu,
219
karena sufisme memuaskan dan bersifat lokal yang berkaitan dengan kekeramatan lokal, pemujaan lokal dan orang-orang suci/ saleh lokal”. Salah satu ajaran Sufi yang dikenal luas oleh masyarakat Bugis adalah tarekat Khalwatiyya yang disebarluaskan oleh ulama besar Bugis, Syekh Yusuf. Setidaknya Mattulada mencatat pada 1975/ 1976, pengikut tarekat Khalwatiyya di Sulawesi Selatan berjumlah 157.417 orang. Menurut Geertz, dalam tradisi sinkretik, “penghubung” itu diperankan dukun (Bugis: bissu) yang dipercaya memiliki kedekatan dengan sumber kekuatan supernatural dan dalam tradisi Islam sinkretik melalui kyai (ustadz) yang dipercaya dekat dengan Tuhan, sehingga mampu menjadi “penghubung” umat dengan Tuhan agar nasibnya menjadi lebih baik. Peran “orang saleh” semakin penting setelah peran dukun (Bugis; bissu) dan kyai sebagai “penghubung” masyarakat tradisional dengan kekuatan supernatural dihancurkan. Dalam tradisi lisan Bugis, prototipe to-panrita praIslam adalah We Tenriabeng, saudara kembar (perempuan) Sawerigading yang merupakan seorang bissu, menikah dengan mahluk halus dan naik ke langit untuk tinggal bersama suaminya. To-panrita merupakan orang yang menguasai seluk beluk agama, bijaksana, saleh dan jujur. Dalam tradisi lisan Bugis to-panrita sebagian besar adalah perempuan, jika to-panrita tersebut laki-laki, biasanya mereka digambarkan sebagai seorang yang lanjut usai, orang yang telah meninggalkan semua perbuatan buruk yang mungkin mereka lakukan di masa muda. Dalam konteks Islam dewasa ini, perubahan tau llao sala (orang lontang-lantung tanpa tujuan) menjadi to-panrita mungkin ditandai dengan keputusan menunaikan ibadah haji ke Mekkah sambil memperdalam pengetahuan agama. Meskipun peran sebagai “penghubung” dalam tradisi Sufisme masih banyak diperankan oleh tokoh-tokoh agama lokal (imam masjid/ penghulu/ ulama), namun dewasa ini terdapat kecenderungan peran tersebut juga mulai diperankan oleh tokohtokoh masyarakat dengan kemapanan ekonomi tertentu (seperti; ponggawa). Hal ini, mungkin bisa menjelaskan fenomena “keselehan yang muncul dari praktik-praktik ekonomi, seperti disinyalir Alexander (1999), mayoritas jemaah haji relatif kaya adalah benar menurut definisi, tetapi hal ini tidak dengan sendirinya berarti “ketaatan mendahului kekayaan”. Dalam perkembangannya muncul fungsi serupa dalam kepemimpinan dan berbagai kegiatan sosial keagamaan yang diperankan oleh “orang saleh” (Mulkhan, 2000). Haji Mangkana yang kaya secara materi misalnya, berkat wawasan dan pengetahuan agamanya yang luas telah dianggap pengikutnya sebagai pembimbing spiritual dan orang bijak tempat bertanya, sehingga ketika ia mengadakan hajatan/ pengajian, rumahnya selalu dibanjiri para pengikutnya. Tentu pengakuan sebagai “orang yang dianggap saleh” atau to-panrita tersebut, secara sosio-religiositas juga
dimaksudkan
untuk
memperoleh
dukungan
atas
keberlangsungan
220
kepemimpinannya. Dengan demikian, transformasi kehidupan keagamaan yang berporos pada agen, semakin memperkuat pola hubungan vertikal dalam budaya patronase pada masyarakat Bugis. Seperti tergaris dalam Latoa, “Orang kaya ialah orang yang tidak kehabisan usaha, tak berkekurangan alasan untuk berbuat dan perbuatan itu adalah perbuatan yang baik. Ia mahir akan seluk beluk pekerjannya dan tak kekurangan pengetahuan dalam semua lapangan pekerjaan lain yang bersangkutpaut dengan pekerjannya” (Mattulada, 1985). 6.2.4
Strategi Bisnis Yang Terbangun Pelras (2006) dengan sangat antusias mencatat, bahwa sepanjang sejarah
sosio-kultural orang Bugis, sejumlah ciri khas tertentu dengan sangat menakjubkan tetap melekat dalam diri mereka. Diantaranya adalah kecenderungan yang luar biasa untuk selalu mencari peluang ekonomi yang lebih baik dimanapun dan kapanpun. Selain
itu
daya
adaptasi
mereka
terhadap
keadaan
yang
dihadapi
sangat
mengagumkan, dimana kaki berpijak disitu langit dijunjung. Orang Bugis tidak hanya sekedar mengadaptasikan dirinya terhadap lingkungan mereka, bahkan memberi warna tersendiri terhadap lingkungannya yang baru. Sementara kecenderungan mereka yang tampak saling berlawanan – berpandangan hirarkis sekaligus egalitarian, dorongan untuk berkompetisi sekaligus berkompromi, menjunjung tinggi kehormatan diri tetapi juga solider terhadap sesama orang Bugis – dipadukan dengan nilai-nilai yang diutamakan seperti, keberanian, kecerdasan, ketaatan terhadap ajaran agama dan kelihaian berbisnis, merupakan unsur-unsur penggerak utama dalam perkembangan hidup mereka selama ini. Sebuah kualifikasi yang sangat baik untuk menjadi entrepreneur yang berhasil. Namun demikian, ada keragu-raguan bagaimana sebagian orang
Bugis
Delta
Mahakam
dikaruniai
kualitas
kondusif
bagi
keberhasilan
kewirausahaan, sementara sebagian yang lainnya tidak beruntung, sehingga tetap dalam kondisi tidak berdaya dan miskin. Orang Bugis Delta Mahakam, meskipun memiliki persamaan bahasa dan budaya yang mengikat mereka sebagai orang Bugis, namun mereka tidaklah homogen. Karena para migran Bugis yang datang ke kawasan Delta Mahakam tidak hanya berasal dari satu daerah tertentu di Sulawesi Selatan, seperti telah diungkapkan pada Sub Bab 6.2. Selain itu selama beberapa generasi menetap di Kawasan Delta Mahakam, mereka tampaknya juga telah menarik batas perbedaan antara penduduk asli (keturunan Bugis generasi pertama) dan migran pendatang (keturunan Bugis dari sekitar pantai timur Kalimantan), maupun migran Bugis yang baru datang belakangan dari Sulawesi, serta orang Bugis yang terasimilasi atau terintegrasi dengan etnik lain. Juga fenomena pengelompokan orang Bugis yang cenderung membentuk kelompok
221
berdasarkan daerah asal masing-masing (yang sering kali saling berhubungan), dimana orang Bugis Wajo sangat jarang berbaur satu sama lain dengan orang Bugis Bone. Sebuah alasan penting bagi bertahannya keberhasilan kegiatan industri perikan orang Bugis di pantai Timur Kalimantan tampaknya berkaitan dengan pemanfaatan waktu (timing). Setelah mendapatkan kesempatan pengembangan usaha disektor perikanan budidaya pasca pelarangan trawl di awal 1980-an, para nelayan imigran Bugis
menjadi
komunitas
yang
mendapatkan
kesempatan
pertama
dalam
pengembangan pertambakan di sekitar kawasan Delta Mahakam dan kelak merambah hingga pulau-pulau dalam kawasan Delta Mahakam. Menariknya, setelah program pertambakan yang pada awalnya didukung pemerintah tersebut berkembang pesat, pada periode selanjutnya kegiatan pertambakan di kawasan kaya migas tersebut dianggap otoritas berwenang sebagai kegiatan ilegal (lihat Sub Bab 4.3). Namun demikian, orang-orang Bugis sepertinya sukar digeser meskipun telah dihalau dari dalam kawasan budidaya kehutanan, dengan penerapan berbagai peraturan-peraturan yang sifatnya menekan. Dengan menggunakan istilah Jamie Mackie “keunggulan pada kesempatan pertama untuk memulai”, peneliti mencoba memberikan gambaran atas pemanfaatan momentum penting tersebut oleh migran Bugis. Pertama, yang berhasil dimainkan orang Bugis atas momentum tersebut adalah, menguasai
“tanah-tanah
negara”
sebagai
alat
produksi
yang
menjadi
kunci
beroperasinya kegiatan usaha disektor pertambakan. Kedua, dengan bantuan perusahaan-perusahaan perikanan ekspor yang beroperasi disekitar kawasan Delta Mahakam, sebagian dari petambak yang telah berhasil “naik kelas” menjadi ponggawa mendapatkan kesempatan untuk “bermitra”, melakukan akumulasi kapital dan penguasaan atas “tanah-tanah negara” yang masih tersisa, sekaligus membangun industri dalam kesempatan pertama. Ketiga, dengan penguasaan atas sumberdaya yang sangat strategis tersebut, para ponggawa memanfaatkan komponen budaya lokal (patronase) untuk dapat menggerakkan kegiatan usaha disektor pertambakan dengan lebih efisien. Keempat, berhasil mengembangkan jaringan perdagangan dan terkoneksi dengan pasar regional dan internasional. Lontara yang isinya masih relevan dengan kondisi sekarang, sehingga dipercaya sebagai salah satu sumber pengetahuan bagi orang Bugis, setidaknya mengajarkan pada para pengusaha atau peniaga Bugis untuk; 1) jujur, karena menimbulkan kepercayaan; 2) bergaul, karena akan dapat mengembangkan usaha; 3) menambah ilmu pengetahuan, karena akan memperbaiki manajemen usaha; dan memupuk modal, karena dapat menggerakkan usaha. Selain tradisi lisan Bugis yang masih relevan, seperti syair Bugis Mandar yang dicuplik Lopa (1982) untuk memberikan apresiasi terhadap nilai usaha, “dipameang pai dalle, dileteangngi pai, andiang dalle, napole mettiroma, diang dalle mulolongan, da mugula
222
gulai, andiang dalle, nasadia-dianna” (rezeki itu harus dicari, titian harus dibuat karena rezeki tidak akan pernah datang menyongsong kita, apabila rezeki telah terjangkau, janganlah hidup boros sebab rezeki yang ada itu suatu saat akan tiada). Sementara hirarki menjadi tulang punggung dan sokoguru dari tata moral kegiatan usaha orang Bugis. Inti sari hirarki sosial adalah perbedaan relatif diantara yang lebih dan yang kurang atas (ketidaksamaan) prinsipil diantara masing-masing orang. Dimana mereka yang lebih atas harus memimpin, mengajar, melindungi dan bertanggungjawab; yang lebih bawah mengikut, menerima dan bertanggungjawab, berterima kasih dan hormat, sementara kesadaran akan jenjang-jenjang kedudukan mereka itu diungkapkan dengan perilaku dan bahasa tertentu (Mulder, 1999). Berbagai komponen kultural yang selalu diaktualisasikan dengan situasi dan kondisi masa lokal itulah yang pada akhirnya akan mempengaruhi strategis bisnis yang akan terbangun.
6.3
Pola Pencaplokan Kapital Hasil pencatatan sejauh ini, menunjukkan bahwa golongan ponggawa sangat
mendominasi penguasaan atas lokasi-lokasi pertambakan yang menjadi aset kunci bagi perkembangan kapitalisme di kawasan Delta Mahakam. Akumulasi penguasaan lokasi hutan mangrove yang kemudian dialihfungsi menjadi kawasan pertambakan, sebagian besar diperoleh para ponggawa dari proses pembelian/ pengalihtanganan dari penduduk lokal yang sebelumnya telah menguasai tanah-tanah negara tersebut dengan berbagai cara. Umumnya tanah-tanah tersebut di peroleh dari proses pembagian oleh RT/ Kepala Desa, melalui pewarisan dari orang tua, proses jual-beli, serta usaha merintis dengan mendapat izin garap dari otoritas setempat ataupun tidak (seperti telah dijelaskan pada bab V). Dari hasil identifikasi, setidaknya ditemui beberapa alasan mengapa tanah-tanah tersebut dialihtangankan, diantaranya karena membutuhkan dana cepat untuk kebutuhan rumah tangga – kebutuhan darurut (sakit/ tertimpa musibah – hajatan), pindah ke tempat lain, tanah tidak produktif dan membayar hutang. Namun demikian, peristiwa pelepasan tanah-tanah negara secara massal oleh kepala desa dalam kurun waktu 1991 – 1999, diduga menjadi faktor mendasar atas terjadinya akumulasi penguasaan tanah-tanah negara pada pihak-pihak tertentu yang memiliki modal dan pengaruh kuat (khususnya para ponggawa). Salah satunya adalah peristiwa pemberian “konsesi” penguasaan sejumlah pulau dalam kawasan Delta Mahakam. Para pemilik “konsesi”, selanjutnya memiliki hak prerogatif dalam mengatur dan mengendalikan pulau/ kawasan tertentu, bahkan memiliki otoritas dalam pelepasan hak penguasaan lokasi untuk area pertambakan pada orang lain. Pembagian kuasa secara sepihak oleh oknum kepala desa, tidak hanya menyebabkan terjadinya akumulasi penguasaan area hutan mangrove untuk lokasi
223
pertambakan pada pihak-pihak tertentu, namun secara tidak langsung telah ikut mengokohkan posisi para ponggawa sebagai “tuan tanah”. Kemampuan penetrasi kapital mereka dalam mengakuisisi lokasi-lokasi baru diluar “konsesinya”, setidaknya telah menjadikan beberapa diantara mereka menguasai hamparan tambak hingga ribuan hektar. Kondisi ini terjadi akibat tidak adanya kepastian regulasi pertanahan. Regulasi pertanahan yang sampai pada aparatur pemerintahan di aras lokal mengalami transformasi subjektif, sehingga ditafsirkan secara berbeda-beda sesuai dengan pengetahuan dan persepsi mereka yang terbungkus kepentingan pragmatis. Dengan penguasaan atas area pertambakan yang luas, seorang ponggawa akan memiliki daya tahan dalam persaingan usaha. Penguasaan lahan tambak yang luas akan dapat memberikan jaminan pasokan udang, sehingga kegiatan usahanya akan bisa tetap berlangsung dan berkembang. Seperti diyakini mantan Direktur Misaya Mitra, “Perusahaan perikanan yang akan bisa tetap hidup adalah perusahaan yang menguasai bahan mentah (raw material)”. Lebih lanjut, ia bahkan memprediksi “Perusahaan lokal/ pribumi lah yang pada masa-masa mendatang mampu bertahan di kawasan Delta Mahakam, karena perusahaan-perusahan multinasional/ asing akan kesulitan dalam mengakses sumberdaya untuk area pertambakan”. Fenomena pengambilalihan Misaya Mitra oleh Haji Mangkana (Syam Surya Mandiri) setidaknya dapat menjelaskan kecendrungan tersebut. Seperti telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, Misaya Mitra adalah perusahaan industri perikanan pioner dan terbesar di pantai Timur Kalimantan pada masanya. Perusahaan PMA dari Jepang ini, terpaksa harus „angkat kaki‟ dari kawasan Delta Mahakam karena tidak mampu beroperasi sesuai dengan kapasitasnya, akibat minimmya pasokan raw material. Kondisi ini terjadi sebagai akibat menurunnya hasil tangkapan udang yang berhasil diperoleh armada perikanan tangkap milik perusahaan dan armada nelayan setempat yang menjadi klien mereka. Sementara kegiatan perikanan budidaya yang tidak sepenuhnya dapat “digarap secara langsung”, tidak mampu memberikan kepastian pasokan udang dalam jumlah yang sesuai dengan kapasitas produksi mereka. Seperti diketahui, sebagai kawasan budidaya non kehutanan, kawasan Delta Mahakam tidak diperuntukkan untuk kegiatan perikanan budidaya, sehingga tidak bisa di-HGU-kan atas nama perusahaan perikanan tertentu. Dalam konteks historis, hal ini merupakan konsekuensi logis atas pemberian konsesi kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas Blok Mahakam oleh pemerintah pusat. Pada gilirannya, perusahaan-perusahaan perikanan menghadapi “jalan buntu” dalam usahanya mengakses sumberdaya agraria untuk mengembangkan kegiatan budidaya pertambakan. Meskipun menurut sebuah sumber terpercaya, Misaya Mitra pernah menguasai secara tidak langsung sebelas petak tambak dengan luasan mencapai 10 –
224
20 Ha/ petak. Praktek pertambakan ilegal oleh perusahaan asing tersebut, dapat terus berlangsung karena pengelolaannya tidak dilakukan secara langsung oleh perusahaan. Bisa
dipahami,
jika
kemudian
perusahaan-perusahaan
perikanan
yang
beroperasi disekitar kawasan Delta Mahakam mensiasatinya dengan membangun kemitraan dengan para ponggawa, yang secara kultural dianggap mampu melakukan hegemoni atas sejumlah kelompok petambak Bugis, sekaligus “berani menerjang” hambatan legal formal atas penguasaan sumberdaya agraria milik negara tersebut. Para petambak dan khususnya para ponggawa yang telah berhasil merintis kegiatan usaha pertambakannya, selanjutnya diberikan berbagai bantuan lunak dan fasilitas kredit untuk mengembangkan usahanya, sehingga terjadi hubungan simbiosis mutualisme yang menguntungkan kedua belah pihak. Dimana perusahaan menerima pasokan udang dari hasil produksi para petambak, sedangkan para petambak mendapatkan kemudahan bantuan dan fasiltas kredit dari perusahaan. Namun ikatan hubungan bisnis tersebut dapat dengan mudah dihentikan, ketika petambak tidak lagi terikat hutang/ telah melunasi hutangnya pada pihak perusahaan. Hubungan bisnis juga bisa terhenti dengan pelunasan hutang, ketika terjadi pelanggaran kerjasama, akibat petambak/ ponggawa tidak menjual semua hasil panennya pada pihak perusahaan. Meskipun bentuk pelanggaran kerjasama seperti ini sering terjadi, namun pihak perusahaan menghadapi kesulitan untuk memberikan tindakan tegas akibat minimnya bukti dilapangan. Jikapun sanksi tegas dengan pemutusan hubungan kerjasama diberikan, klien bisanya akan berusaha mengelak dari tanggungjawab pengembalian hutang, sehingga masalah tersebut menjadi begitu dilematis. Ketidakberhasilan
perusahan-perusahaan
perikanan
di
kawasan
Delta
Mahakam dalam melakukan ekstensifikasi kegiatan usaha perikanan budidaya inilah yang menjadikan mereka kesulitan dalam mendapatkan kapastian pasokan udang yang dibutuhkan industri perikanan mereka. Sementara persaingan sengit diantara perusahaan-perusahaan perikanan yang beroperasi di kawasan Delta Mahakam dalam memperebutkan material raw dengan berbagai cara, menjadikan para petambak dan ponggawa semakin oportunis dengan berupaya mendapatkan harga tertinggi bagi hasil panennya. Kekurangan pasokan material raw inilah yang kemudian semakin melemahkan posisi perusahaan-perusahaan perikanan yang tidak memiliki area pertambakan sendiri – hingga akhirnya harus kolaps, seperti Misaya Mitra dan Samarinda Cendana. Namun kondisi tersebut tidak berlaku bagi perusahaan perikanan yang memiliki area pertambakan yang luas, seperti Syam Surya Mandiri. Perusahaan milik Haji Mangkana ini malah berhasi bangkit dan mampu “menyerap energi” yang ditinggalkan pesaingnya, hingga akhirnya mampu men-take over kepemilikan Misaya Mitra Anggana menjadi bagian dari kelompok bisnisnya.
225
Belajar dari kegagalan Misaya Mitra, Samarinda Cendana dan seniornya (alm.) Haji Muhiddin yang pernah merintis dan berjaya menghantarkan Tunas Nelayan Mandiri (Tarakan) dan Aromah Nelayan Mandiri (Balikpapan) menjadi perusahaan perikanan yang sangat disegani di Pantai Timur Kalimantan meskipun saat ini mulai “goyah” (lihat Bab VII). Haji Mangkana, tampaknya berusaha belajar untuk fokus dalam menjalankan bisnisnya. Ia tdak tertarik untuk mengembangkan bisnis lain diluar sektor perikanan (dalam arti luas), ia pun berusaha menolak berbagai ajakan untuk mengembangkan usaha perikanan keluar dari pantai timur Kalimantan dan khususnya kawasan Delta Mahakam. Bagi Haji Mangkana “kehidupannya akan selalu berada di dalam kegiatan perikanan”, karena menurutnya “jika ditekuni dengan total, usaha apapun akan memberikan hasil optimal”. 6.3.1
Pola Ekspansi Kapital Pola ekspansi kapital yang dilakukan sebagian besar ponggawa di kawasan
Delta Mahakam, sangat ditentukan oleh adanya kesempatan dan peluang yang dikalkulasi dapat menghasilkan keuntungan. Kondisi ini menghasilkan berbagai pola ekspansi
usaha, seperti
intensifikasi usaha pertambakan, dengan melakukan
modernisasi kegiatan pertambakan dan pengembangan tambak-tambak semi – intensif. Hal ini setidaknya mulai dilakukan oleh beberapa ponggawa di beberapa kawasan di sekitar Delta Mahakam, seperti intensifikasi tambak yang akan dilakukan Haji Mangkana di Timbang Lumut atau yang telah dilakukan Haji Abu di Muara Jawa – Samboja. Menurut sejumlah sumber, setelah menjadi ponggawa sukses, Haji Abu tertarik ajakan seorang pengusaha dari Sulawesi Selatan untuk melakukan modernisasi tambak-tambak tradisional yang dikelolanya, karena tergoda hasil berlipat yang akan diterimanya seperti yang berhasil dilakukan koleganya dari Sulawesi Selatan tersebut. Tidak hanya berbagai peralatan modern yang coba diterapkan, Haji Abu juga memperkerjakan puluhan tenaga profesional untuk menjamin keberhasilan intensifikasi usaha pertambakan yang dilakukannya. Namun pengembangan tambak-tambak intensif tersebut mengalami kendala, karena ketidak-sesuaian lahan. Akibatnya produksi tambak-tambak intensif tersebut tidak maksimal dan intensifikasi usaha dengan modernisasi pertambakan mengalami kegagalan. Meskipun cukup terpukul dengan kegagalan yang dialaminya, Haji Abu mampu tetap bertahan karena memiliki dan “mengontrol” hamparan tambak tradisional dalam jumlah yang sangat luas. Ia bahkan, berhasil bangkit kembali dengan melakukan terobosan usaha kebidang lain yang tidak kalah prospektifnya, menjadi kontraktor di segala bidang, mengakuisisi sebuah perusahaan batu bara, menjadi pengusaha bahan galian C, membangun sejumlah SPBU, serta mengendalikan sejumlah ruko komersial di Balikpapan dan Samarinda.
226
Sementara berkurangnya stok lokasi (hutan mangrove) untuk pengembangan area pertambakan di kawasan Delta Mahakam, disiasati oleh sebagian besar ponggawa dengan melakukan ekstensifikasi usaha pertambakan. Diantaranya, adalah yang dilakukan Haji Hatta yang mencoba menjajaki pembangunan tambak-tambak baru keluar dari kawasan Delta Mahakam. Beberapa kawasan potensial yang telah di jajakinya adalah kawasan pesisir Sangkulirang dan beberapa tempat di pesisir Kalimantan Selatan. Hal ini pun dilakukan Haji Sukri, yang telah melakukan kerjasama dengan sejumlah pihak untuk membangun tambak-tambak baru di Penajam Paser Utara. Meskipun kegiatan kerjasama yang telah berjalan tersebut, akhirnya harus terhenti untuk sementara, karena munculnya ketidaksepahaman diantara para pelakunya yang berbuntut perusakan dua unit excavator milik Haji Sukri (lihat Bab VII). Beberapa ponggawa bahkan dilaporkan, berhasil memanen tambak-tambak yang dibangunnya di Muara Sungai Berau dan Bulungan. Sementara Haji Maming lebih tertarik untuk mengembangkan kegiatan perkebunan kelapa sawit dan hanya melakukan kontrol atas usaha pertambakan yang dimilikinya melalui anak dan menantunya. 6.3.2
Pola Jejaring Bisnis-Kapital Pada awalnya jaringan bisnis pertambakan di kawasan Delta Mahakam lebih
bertumpu pada kekuatan sosio-kultural. Dimana proses produksi pertambakan tradisional yang dikembangkan cenderung menggunakan jalur hubungan kekerabatan (faktor kekeluargaan ataupun etnisitas) sebagai sumber utama dalam perekrutan tenaga kerja. Seperti dinyatakan Legg (1983), orang akan meminta bantuan kepada sanak keluarganya, baik yang dekat maupun yang jauh tatkala menghadapi ketidakamanan dan kelangkaan sumberdaya yang diperlukannya. Cara ini merupakan cara alami untuk mengatasi hal-hal yang bersifat darurat dan tidak pasti, dalam masyarakat petambak tradisional kebutuhan-kebutuhan tertentu yang hendak dicapai seseorang tampaknya tidak hanya bisa dipenuhi melalui jalur kekeluargaan. Hubungan pertemanan yang bersifat instrumental merupakan salah satu cara untuk mencapai akses terhadap sumberdaya yang tersedia, selain melalui jaringan kelompok “klik ponggawa‟. Umumnya seorang petambak akan menggantungkan dirinya pada seorang ponggawa, yang menjadi patronnya untuk mendapatkan berbagai bantuan “lunak” bagi kegiatan pertambakan yang penuh dengan resiko dan ketidakpastian, bahkan batuan lain diluar kegiatan pertambakan, seperti biaya berobat, perkawinan ataupun hajatan keluarga, serta untuk kebutuhan rumah-tangga, dst. Begitupun sebaliknya seorang ponggawa sangat menggantungkan harapannya pada kesetiaan dan loyalitas petambak yang menjadi kliennya untuk bisa mendapatkan kepastian pasokan udang. Hal serupa
227
pun dirasakan oleh para penjaga empang yang menjadi klien dari para petambak ataupun ponggawa, sehingga dalam kegiatan pertambakan tradisional selalu diwarnai oleh hubungan yang bersifat personal. Meskipun demikian, fenomena mempekerjakan tenaga kerja dari luar daerah dan berbeda etnik sebagai penjaga empang, saat ini telah dianggap sebagai sesuatu yang wajar, akibat semakin sulitnya mendapatkan tenaga kerja yang jujur dan setia dari jalur primer. Bagi sebagian besar petambak di Kawasan Delta Mahakam, hampir tidak ada pilihan yang lebih baik, selain meminjam modal pada ponggawa yang telah mereka kenal untuk menutupi besarnya biaya yang harus dikeluarkan serta resiko yang harus ditanggung dalam pembuatan tambak baru. Seorang petambak pemula yang kurang siap secara financial maupun skill, akan lebih memilih untuk mendapatkan pinjaman modal yang prosesnya tidak rumit dengan pola pengembalian yang tidak membebani dalam menggarap tambak miliknya. Dalam sistem pengusahaan tambak seorang ponggawa akan membiayai kegiatan operasional tambak client-nya, berupa modal pembukaan dan perawatan, berikut suplai benur, pupuk dan racun yang diberikan sampai panen berhasil. Sebagai imbalannya, petambak (client) harus menjual hasil panen tambaknya kepada ponggawa yang telah memberikan modal usaha dalam pembukaan lahan tambak tersebut. Tidak sulit bagi seorang ponggawa menerima anggota baru ke dalam jaringan patronase yang dipimpinnya, selama calon klien (petambak/ penjaga empang) tersebut tidak memiliki sangkutan (hutang) dan masalah pidana dengan patron sebelumnya. Meskipun ada pula ponggawa yang hanya tertarik merekrut saudara/ karabat dekatnya atau setidaknya orang yang telah dikenalnya. Hubungan kerja dalam kegiatan pertambakan biasanya berlaku sistem bagi hasil 3:1, artinya tiga bagian hasil panen untuk pemilik tambak dan 1 (satu) bagian untuk penjaga ”empang” setelah dikurangi biaya produksi. Namun ada pula yang menggunakan sistem bagi hasil 75% untuk pemilik tambak dan 25% untuk penjaga ”empang” yang memenuhi sendiri kebutuhan hidupnya, itupun setelah dipotong biaya produksi atau 80% untuk pemilik tambak dan 20% untuk penjaga ”empang” yang kebutuhan hidupnya dipenuhi oleh pemilik tambak, setelah dipotong biaya produksi. Pemenuhan kebutuhan hidup penjaga ”empang” biasanya dicukupi oleh pemilik tambak, sedangkan kebutuhan modal operasional akan dipenuhi oleh ponggawa yang menjadi patronnya. Sementara untuk sebuah kebutuhan yang tidak sanggup dipenuhinya; seorang petambak/ ponggawa akan meminta bantuan pada ponggawa yang lebih besar atau pada perusahaan eksportir dengan sebuah kesepakatan yang berujung pada penyerahan sepenuhnya hasil tambaknya kepada pemberi pinjaman modal (Lenggono, 2003). Dalam banyak kasus; seorang petambak bebas/ ponggawa bebas yang memiliki hubungan baik dengan perusahaan eksportir, dapat langsung memperoleh bantuan
228
modal bagi kegiatan usahanya dan mendapat selisih keuntungan yang lebih baik, karena menjual hasil produksi tambaknya langsung pada perusahaan eksportir dibandingkan melalui perantaraan ponggawa/ pengumpul. Berdasarkan status sosial-ekonomi individu yang terlibat dalam jaringan bisnis pertambakan, terdapat dua jenis hubungan sosial, yaitu hubungan sosial yang bersifat horizontal dan vertikal. Hubungan sosial yang bersifat horizontal terjadi jika individu yang terlibat di dalamnya memiliki status sosial-ekonomi yang relatif sama, dengan kewajiban dan sumberdaya yang dipertukarkan relatif sama. Sebaliknya, di dalam hubungan sosial yang bersifat vertikal, individu-individu yang terlibat di dalamnya tidak memiliki status sosial-ekonomi yang sepadan, baik kewajiban maupun jenis sumberdaya yang dipertukarkan (Foster, 1967 dan Wolf, 1973). Hubungan sosial yang bersifat horizontal di dalam kehidupan sosial akan terwujud dalam bentuk hubungan tolong-menolong dan gotong-royong, sedangkan hubungan sosial yang bersifat vertikal biasanya terwujud dalam bentuk hubungan patron-clients.
Ponggawa I/ Eksportir Lokal
Ponggawa II
Cold Sorage/ Eksportir Asing/ Nasional
Pengumpul Bebas
Ponggawa III
Penyambang
Petambak Terikat
Petambak Terikat
Petambak Terikat
Petambak Bebas
Penjaga Empang
Penjaga Empang
Penjaga Empang
Penjaga Empang
Ponggawa II
Ponggawa II
Petambak Bebas
Petambak Terikat
Petambak Terikat
Penjaga Empang
Penjaga Empang
Penjaga Empang
Penyambang
Gambar 20. Jejaring Usaha Pertambakan Sumber: Data Primer Diolah (2011) Jalinan hubungan yang berkembang dalam kegiatan pertambakan adalah hubungan yang bersifat vertikal antara penjaga empang dan petambak – ponggawa, dimana ponggawa yang memiliki status sosial ekonomi jauh lebih mapan begitu mendominasi hubungan yang berlangsung. Perasaaan wajib bagi para ponggawa untuk memberikan pekerjaan/ bantuan kepada para penjaga empang/ petambak yang membutuhkan, keinginan menolong yang masih cukup menonjol ini tidak hanya didorong oleh semangat passe’ dan siri’, namun juga didorong oleh keinginan untuk memperkuat posisi hegemonis dalam menopang bisnis pertambakan yang sangat kompetitif. Hal ini, selain mampu meredam sifat “eksplosif” dari komunitas petambak –
229
penjaga empang, yang memiliki beban kehidupan yang relatif berat akibat kemiskinan relatif – kesenjangan ekonomi dan hasil panen yang tidak menentu. Juga mampu menertibkan para anggota dalam klik ponggawa untuk bisa tetap patuh menyerahkan hasil panennya, sekaligus loyal terhadap posisi hegemonis para patron. Meskipun pola hubungan kerja dalam pengelolaan tambak di kawasan ini tidak selalu sama seperti terlihat dalam Gambar 20., namun bisa dipastikan bahwa pola hubungan kerja yang ada hampir menyerupai “gurita”. Pola hubungan bisnis yang “mengurita” tersebut telah memposisikan perusahaan eksportir/ ponggawa I sebagai penguasa pertambakan sebenarnya di Delta Mahakam. Sebagian besar komunitas petambak di Kawasan Delta Mahakam memiliki pola yang hampir seragam dalam memasarkan hasil panennya, yaitu langsung dijual pada ponggawa yang menjadi patron-nya masing-masing. Namun demikian, ada pula petambak yang memasarkan hasil tambaknya langsung pada perusahaan eksportir karena tidak terikat hutang dengan ponggawa, ataupun di jual ke pasar lokal melalui penyambang, meskipun prosentasi mereka relatif kecil. Perusahaan eksportir – ponggawa sering memberikan komisi berupa pemberian es batu untuk mengawetkan hasil panen secara cuma-cuma, bahkan kemudahan tambahan bantuan modal pada petambak yang telah menjual langsung dalam jumlah besar hasil tambaknya pada mereka. Meskipun tidak ada sanksi tertulis namun ada sanksi moral yang telah menjadi kesepakatan bersama; bagi petambak yang terikat hutang pada seorang ponggawa tapi menjual hasil tambaknya langsung pada perusahaan eksportir atau ponggawa lainnya akan dikenakan sanksi pemutusan hubungan kerjasama dengan kewajiban melunasi hutangnya sekaligus dan tidak akan pernah mendapatkan bantuan – dikucilkan dari kelompok ponggawa bersangkutan. Tabel 20. Perusahaan Eksportir yang Dipasok Produk Udang dari Kawasan Delta Mahakam 2003 – 2009 Nama Perusa -haan SSM MM SC SKA ANM MBP
2003 Vol. Nilai
2004 Vol. Nilai
Ekspor Tahunan (Volume dlm Ton & Nilai dlm 000 US $) 2005 2006 2007 Vol. Nilai Vol. Nilai Vol. Nilai
Vol.
499 654 1.200 1.728 717 68
1.086 770 962 1.371 571 57
1.156 688 955 2.107 983 -
1.834 119 2.474 143 -
4.444 2.993 10.341 9.722 5.251 504
6.073 2.977 8.486 8.590 4.705 197
7.584 2.181 9.057 15.500 4.959 -
1.182 148 775 2.055 148 -
7.229 791 7.895 15.888 791 -
1.161 228 615 2.290 228 -
7.165 1.153 6.213 15.481 1.153 -
2008 Nilai 10.394 1.093 18.507 527 -
Vol. 1.898 1.926 39 -
Sumber: Data Primer Diolah, 2011 Keterangan:
- SSM - MM - SC - SKA - ANM - MBP
= Syam Surya Mandiei = Misaja Mitra = Samarinda Cendana = Sumber Kalimantan Abadi = Aromah Nelayan Mandiri = Manggar Bina Persada
Dari kecenderungan pola pemasaran hasil perikanan yang dilakukan oleh stakeholders yang terlibat dalam proses tersebut, akan terlihat betapa rumitnya rantai
2009 Nilai 11.366 15.315 171 -
230
perdagangan produksi hasil perikanan di Delta Mahakam. Di dalam kasus Desa Muara Pantuan misalnya, petambak sebagai produsen utama hasil perikanan akan menjual sebagian besar hasil tambaknya kepada ponggawa-ponggawa yang menjadi patronnya masing-masing, namun sebagian kecil ada yang menjual udangnya langsung kepada eksportir dan pengumpul/ penyambang. Selanjutnya oleh para ponggawa dan pengumpul/ penyambang hasil pengumpulan produk tambak akan dibawa kepada ponggawa I atau perusahaan eksportir. Sebagian kecil udang yang tidak masuk kualifikasi ekspor akan dilempar ke pasar lokal (Lenggono, 2004). Udang yang dipanen oleh para petambak, baik udang hasil budidaya maupun udang alam yang masuk ke dalam tambak akan dijual pada para ponggawa dan perusahaan eksportir, sebagian kecil lainnya dijual pada pengumpul/ penyambang. Sementara
hasil panen ikutan lainnya berupa kepiting dan ikan akan dijual pada
penyambang. Sebagian besar udang dijual dalam bentuk headless atau tanpa kepala, dengan harga jual yang berbeda tergantung dari status petambak. Perbedaan harga jual berkisar antara Rp. 5.000,- s/d Rp. 10.000,-/Kg udang, lebih rendah untuk petambak yang memiliki ikatan dengan ponggawa. Setelah memiliki stok yang cukup para ponggawa atau pengumpul/ penyambang akan membawa udang tersebut kepada perusahaan eksportir/ ponggawa I yang ada di Kecamatan Anggana dan Balikpapan. Frekuensi pengiriman berkisar antara 1 – 3 hari tergantung dari besaran panen setiap nyorong, dengan volume pengiriman berkisar antara 300 – 1.500 Kg. Meskipun tingkat kepadatan keanggotaan petambak – penjaga empang dalam organisasi-organisasi „klik ponggawa‟ memiliki tingkat kepadatan hubungan yang sangat tinggi, sehingga dapat mempermudah mobilisasi sumberdaya diantara anggota jaringannya, seperti dinyatakan Wellman (1982). Namun peneliti tidak melihatnya, akan bisa menjamin munculnya prinsip-prinsip kesetaraan dan keadilan di dalam kegiatan pertambakan. Hal ini terjadi, akibat proses pertukaran sosial yang berlangsung cenderung tidak sepadan dan menjurus pada bentuk hubungan eksploitasi, sebagai hasil dari hubungan diadik bersifat vertikal yang dikembangkan dalam kelembagaan patron-clients. Hierarki vertikal yang dikembangkan dalam hubungan ponggawa – petambak dan penjaga empang tidak bisa memberi peluang interdedependency yang kondusif bagi munculnya kerjasama yang saling menguntungkan dan adil. Meskipun demikian para petambak mengaku tidak merasa keberatan dengan pola hubungan seperti itu, selama keluarga mereka bisa tetap terjamin keberlangsungan hidupnya, mengingat kegiatan pertambakan yang penuh dengan resiko dan ketidakpastian produksi. Menurut Popkin (1986), perhatian besar terhadap subsistensi dan keamanan ini dinamakan prinsip “dahulukan selamat” (safety first); para petani (petambak) enggan
231
mengambil resiko (averse to risk) dan lebih memusatkan diri pada usaha menghindari jatuhnya produksi, bukan pada usaha memaksimumkan keuntungan-keuntungan harapan. Meskipun demikian, peneliti melihat adanya sifat spekulatif dalam diri petambak – penjaga empang dalam mendapatkan keuntungan pribadi, meskipun konsekuensinya bisa dikucilkan dan diabaikan oleh kelompoknya. Praktek-praktek seperti melakukan penjualan hasil produksi secara ilegal pada mereka yang bukan patronnya atau hasil usaha sampingan dari panen non udang setiap nyorong yang tidak dilaporkan pada patronnya, mencerminkan usaha-usaha spekulatif untuk mendapatkan keuntungan sepihak. 6.3.3
Pola Transaksi Bisnis Seperti orang Cina yang digambarkan Barton (1983), pendekatan orang Bugis
ke dalam bisnis tampaknya juga didasarkan pada hubungan pribadi dan kesepakatan lisan yang didukung oleh sanksi-sanksi kelompok informal yang dikaitkan dengan reputasi seseorang dalam jaringan tempatnya bergabung. Meskipun demikian, dalam tradisi Bugis praktik tersebut didorong oleh ikatan ke-Bugis-an passe’, yang terlekat dalam hubungan patronase, sedangkan dalam tradisi Cina di dorong oleh semangat guanxi setara dengan passe’ yang berarti solidaritas kelompok. Berbeda dengan passe’ yang selalu berpasangan dengan siri’ yang berati harga diri, guanxi selalu berpasangan dengan xinyong yang berarti kepercayaan. Konsekuensi penting dari ketergantungan pada
guanxi dan xinyong dimana kepercayaan, solidaritas sosial dan sebuah
masyarakat yang relatif tanpa kelas dan bebas telah bergabung di kalangan orang Cina, adalah terbangunnya nilai-nilai kebaikan sipil yang kondusif bagi penanganan bisnis yang berhasil dikalangan mereka sendiri (Mackie, 1999). Sementara konsekuensi ketergantungan orang Bugis pada siri’ dan passe’ adalah berbagai aspek perilaku sosial yang tampaknya saling berlawanan, yaitu persaingan dan kesetiakawanan (Pelras, 2006). Selanjutnya siri’ dan passe’ akan beroperasi dalam sistem hirarki (wari’) dalam masyarakat Bugis yang membeda-bedakan orang berdasarkan keturunannya, namun pada saat yang sama memberi peluang yang sama kepada orang-orang dari status sederajat, sehingga sangat kontradiktif. Akibatnya pola transaksi bisnis yang dibangun orang Bugis akan menunjukkan ciri-ciri spekulatif. Kegiatan pertambakan di kawasan Delta Mahakam yang penuh dengan resiko, tampaknya sangat sesuai dengan watak migran Bugis yang selalu berani menanggung resiko, selama resiko yang akan ditanggungnya sebanding dengan hasil yang diperolehnya. Pelras (2006), mencatat bahwa keinginan untuk memperkaya diri tampaknya merupakan motivasi paling kuat untuk dan menjadi pendorong utama usaha perdagangan sebagian besar dari mereka. Lebih lanjut menurut Pelras, gambaran
232
dalam banyak cerita Bugis setidaknya membenarkan tujuan seseorang yang ingin menghalalkan segala cara. Karenanya bagi orang Bugis transaksi bisnis yang dipraktikkan dapat diwujudkan dengan mengikuti aturan main yang membuka peluang terjadinya persaingan yang ketat, tanpa harus tergelincir ke dalam anarki yang dapat membahayakan tatanan kehidupan masyarakat secara luas. Dengan kerangka seperti itu, sifat baik seseorang bukan hal yang mutlak ada, akan tetapi sekedar sebagai alat untuk mencapai tujuan yang dikehendaki. Tidak heran jika mereka tidak akan merasa gentar dengan kegiatan usaha yang “menyerempet”
bahaya.
Termasuk
dalam
mengembangkan
kegiatan
usaha
pertambakan yang dikategorikan ilegal oleh otoritas berwenang, karena menguasai dan memanfatkan tanah-tanah negara tanpa izin. Selain itu, juga muncul kecenderungan lain dalam pembangunan tambak-tambak baru, yaitu harapan mendapatkan ganti rugi dari operasi migas di sekitar tambak yang mereka kuasai. Besarnya biaya ganti rugi yang disediakan oleh perusahaan-perusahaan migas atas dampak operasi yang mereka lakukan, setidaknya telah mendorong munculnya “spekulan-spekulan” yang berusaha memburu informasi keberadaan lokasi-lokasi eksplorasi dan pengembangan jaringan (pipa) distribus migas di sekitar kawasan tambak. Tidak sedikit diantara para spekulan tersebut, adalah mereka yang tergabung di dalam sebuah jaringan klik ponggawa tertentu. Bahkan, tidak sedikit diantara mereka yang terlibat di dalam kegiatan kejahatan dan kriminal, akibat ketiadaan peluang untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik pada bidang pekerjaan yang legal. Dengan berprofesi sebagai penyelundup dikawasan perbatasan, pencurian hasil tambak ataupun aktivitas perdagangan ilegal lainnya. 6.3.4
Ideologi Kapitalisasi Sumberdaya Alam Resiko yang semakin tinggi telah mengumpan balik pada pengetahuan
mengenai dampak dari usaha budidaya yang mereka lakukan, namun ironisnya pola strategi pengelolaan sumberdaya pesisir (pertambakan) tidak mengalami perubahan. Praktek-praktek yang dapat merusak lingkungan pesisir tetap bertahan, karena dalam proses pembentukan skema yang memotivasi praktek tersebut, pengetahuan tentang kerusakan lingkungan tidak diaktifkan oleh rangsangan yang mereka terima. Ini tidak berarti ponggawa tidak mempunyai pengetahuan sama sekali tentang kerusakan lingkungan yang terjadi, hanya saja mereka belum mampu “belajar” mekombinasikan pengetahuan tersebut bersama dengan pengetahuan lain yang membentuk skema alternatif. Praktik yang ditradisikan selama ini kurang mendukung proses belajar yang mendorong terbentuknya skema alternatif, seringkali hanya mendorong terbentuknya asosiasi-asosiasi pengetahuan lain yang kurang mendukung pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan.
233
Padahal pengetahuan terbentuk dan dimodifikasi dalam praktek keseharian yang bisa melibatkan berbagai pihak diluar masyarakat yang bersangkutan, walau prosesnya tidak akan selalu sama untuk masing-masing individu. Menurut Winarto dan Choesin (2000), interpretasi individu terhadap suatu gejala merupakan hasil interaksi antara dua jenis struktur yang berbeda hakekatnya, yaitu struktur-struktur impersonal yang bersifat mental dan struktur-struktur intrapersonal yang berupa kejadian-kejadian nyata yang relatif stabil disekitar individu. Kerangka pemikiran akan menjelaskan tindakan dengan memperhatikan apa yang menjadi pengetahuan individual, sekaligus mendasarkan pada keteraturan-keteraturan dalam kehidupan sosial. Bisa dipahami jika kemudian, hampir semua ponggawa terobsesi untuk mengembangkan hamparan tambak seluas-luasnya, dengan pertimbangan ingin meningkatkan kapasitas produksi sehingga bisa tetap survive di tengah ketatnya persaingan dan ketidakpastian produksi. Selain karena tindakan mengkonversi hutan mangrove dalam realitas sosial dianggap lumrah dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai setempat. Sementara tingginya harga udang di pasar internasional dan ketidakpastian regulasi juga menjadi faktor luar yang ikut menentukan skema kapitalisasi sumberdaya yang
dikembangkan
masyarakat
lokal.
Artinya
tindakan
eksploitasi
terhadap
sumberdaya sesungguhnya berpangkal dari paradigma yang sangat materialistik, dimana prinsip maksimasi (maximization) dijadikan patokan dasar dalam memandang dan menentukan mode pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam yang sematamata direduksi untuk mencapai pertumbuhan ekonomi (Korten,1987; 1993). Akibat jangka panjang adalah terjadinya degradasi ekologi, marjinalisasi peran komunitas lokal bahkan pengingkaran terhadap kompetensi mereka dalam mengelola sumberdaya secara lestari. Menurut Strauss dan Quinn (1997), selama individu-individu mengalami kejadian-kejadian yang mengikuti pola-pola yang kurang lebih sama, maka mereka akan belajar untuk membentuk skema-skema yang sama dalam menginterpretasi situasisituasi yang mereka hadapi. Skema itu sendiri berupa kombinasi berbagai unsur ilmu pengetahuan dan perasaaan individual yang dipakai untuk memperoleh informasi, sehingga bisa dipahami bagaimana pengetahuan yang sama bisa membuahkan skema berbeda dari satu individu ke individu yang lain, maupun dari situasi ke situasi. Sekaligus menjelaskan daya sentripetal dan sentrifugal dalam kehidupan sosial. Daya sentripetal menyangkut masalah bagaimana kebudayaan bertahan dan direproduksi, baik selama kehidupan individu maupun antar generasi. Sebaliknya, daya sentrifugal menyangkut kecendrungan-kecenderungan timbulnya variasi antar individu atau perubahan antar waktu. Mengapa ada individu atau kelompok yang secara konsisten
234
mempraktekkan hal-hal tertentu dalam kondisi sosial dan fisik yang berubah, bahkan kadang merugikan mereka? Mengapa ada individu atau kelompok lain yang berubah? Dalam telaahnya atas penggundulan hutan mangrove akibat keberadaan tambak udang di Thailand, Barbier dan Cox (2004) mengungkapkan bahwa kenaikan 10 persen harga udang akan mendorong terjadinya penggundulan hutan sebesar 1,6 persen. Situasi seperti itu, tampaknya juga tengah berlangsung dalam kegiatan pertambakan udang di kawasan Delta Mahakam. Seperti ditunjukkan Gambar 21. dimana peningkatan konversi hutan mangrove untuk kegiatan usaha pertambakan setidaknya juga disebabkan oleh peningkatan nilai satuan produksinya/ udang (bandingkan dengan Gambar 11.), namun akibatnya sangat fatal bagi eksistensi hutan mangrove karena semakin lama peningkatan nilai produksinya tidak sebanding dengan terjadinya pembukaan kawasan hutan mangrove yang berjalan dengan sangat intensif.
Ganbar 21. Perbandingan RTP dan Luas Area Tambak dgn Produksi dan Nilai Perikanan Budidaya Kaltim Sumber: Data Primer Diolah dari Laporan Tahunan Dinas Perikanan Kalimantan Timur 1979 - 2009 Keterangan: RTP adalah Rumah Tangga Perikanan Luas hutan mangrove Kalimantan Timur diperkirakan mencapai 447.000 Hektar Kegiatan usaha pertambakan yang penuh ketidakpastian dengan nilai satuan produksi yang juga cenderung berfluktuasi, ternyata tetap menjadi daya tarik tersendiri pagi para ponggawa untuk menginvestasikan hasil keuntungan usahanya dengan cara mengakumulasi alat produksi (tambak). Menurut Haji Sukri, hal ini disebabkan nilai harga tambak yang tidak akan mengalami penyusutan, bahkan nilainya cenderung
235
meningkat dari waktu ke waktu. Sekalipun hasil produksi tambak tidak menentu, Haji Sukri percaya bahwa “kegiatan usaha budidaya tambak, memiliki siklus kehidupan seperti layaknya mahluk hidup; ada masa kelahiran – masa pertumbuhan – masa produksi – masa tua/ kematian – kembali lagi pada masa kelahiran, begitu seterusnya”. Boleh saja sepetak tambak memasuki „masa senja‟ sehingga produksinya menurun, tapi suatu ketika tambak tersebut dipercaya akan “kembali dilahirkan” untuk berproduksi optimal. Karenanya bagi para ponggawa menginvestasikan keuntungan usaha dengan mengakumulasi tambak seluas-luasnya adalah sebuah pilihan rasional yang telah melalui serangkaian trial and error. Harus diakui bahwa pengelolaan dan pelestarian sumberdaya mangrove merupakan suatu usaha yang sangat kompleks untuk dilaksanakan, karena kegiatan tersebut membutuhkan sifat akomodatif dari segenap pihak yang terkait, baik yang berada di sekitar kawasan maupun di luar kawasan. Pada dasarnya kegiatan tersebut hanya bisa dilakukan jika mampu memenuhi kebutuhan dari berbagai kepentingan, namun demikian sifat akomodatif tersebut akan lebih dirasakan manfaatnya bilamana keberpihakan kepada masyarakat diberikan porsi yang lebih besar. Dengan demikian yang perlu diperhatikan adalah strategi untuk menjadikan masyarakat sebagai komponen utama penggerak pengelolaan dan pelestarian sumberdaya (mangrove), sehingga persepsi masyarakat dapat diarahkan pada cara pandang akan pentingnya keberadaan sumberdaya mangrove bagi kepentingan mereka. Pengembangan pengetahuan lokal dan keberadaan pranata sosial (jaringan patronase) tampaknya sangat relevan bagi upaya-upaya pengelolaan lingkungan alam berikut sumberdayanya, sebagai faktor yang berperan penting dalam menunjang keberlanjutan dan ketangguhan ekosistem pesisir (mangrove). Tapi ironisnya keduanya justru terabaikan dalam upayaupaya eksploitasi sumberdaya alam, akibat terpinggirkan oleh domain pengetahuan ilmiah, serta pranata-pranata sosial hasil reka-cipta agen-agen pembangunan. Meskipun saat ini semakin disadari bahwa pemerintah bukanlah sebuah institusi dengan aparatur solid yang mampu menanggulangi berbagai masalah lingkungan hidup yang semakin beragam dan dinamis. Namun harus diakui, bahwa pemerintah memiliki kemampuan yang sangat fungsional di dalam melakukan penetrasi kebijakan terkait dengan berbagai hal menyangkut sumberdaya milik negara di dalam KBK (hutan mengrove) dan aktivitas perdagangan produk pertambakan (udang). Yang sudah barang tentu, akan sangat menentukan dalam proses ”pendisiplinan” perilaku para pemanfaat sumberdaya sebagai strategi dasar. Harus dipahami jika melalui perilakulah, manusia berinteraksi dengan manusia lain dan lingkungan sekitarnya, dimana banyak perilaku manusia dapat mempengaruhi kelestarian lingkungan dan sumberdaya alam disekitarnya. Yang perlu dilakukan adalah mendorong terwujudnya kebijakan insentif
236
dan disinsentif bagi para stakeholder, sehingga secara perlahan mampu merubah perilakunya menjadi lebih ramah terhadap lingkungan. Di dalam praktiknya, dapat dikembangkan metode-metode sosial-budaya lokal yang ramah terhadap lingkungan, dengan pemberian pemahaman-pemahaman dan membangkitkan kepedulian masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya pesisir (mangrove). Mengingat arti penting ponggawa berikut jaringan patronasenya, maka pengembangan metode pengelolaan yang direncanakan dapat dimulai dengan menyentuh langsung kepentingan pragmatis dari para ponggawa, misalnya dengan melakukan ”propaganda” penolakan produk udang yang tidak ramah lingkungan (area tambak di dalam kawasan hutan) oleh buyer. Bisa juga dengan intervensi kekuasaan, tidak memberikan izin kelayakan ekspor. Meskipun terkesan elitis, pola pendekatan ini pada akhirnya ditujukan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dan keterbukaan dalam perencanaan pembangunan kawasan (ekonomi lokal) secara keseluruhan, khususnya
yang
berkaitan
dengan
ekosistem
pesisir
(mangrove),
dengan
memanfaatkan kekuatan struktur budaya lokal sebagai salah satu fokus prioritas.
6.4
Habitualisasi: Tambak Yang Mendisiplinkan Begitu luwesnya sistem mobilitas sosial pada masyarakat Bugis dewasa ini,
menjadikan lapisan “penguasa baru” tidak hanya dapat diisi oleh lapisan Anakarung saja, namun juga dapat diisi oleh orang-orang yang berasal dari lapisan rakyat kebanyakan (To Maradeka), yang telah menunjukkan prestasi sosial tertentu. Kesempatan untuk melakukan mobilitas sebagai “penguasa baru” sedikit-banyak membentuk karakter orang Bugis sebagai migran yang tangguh menemukan bentuknya seperti sekarang. Sistem hirarki orang Bugis, meskipun membedakan orang berdasarkan asal-usul keturunannya, pada saat yang sama juga memberi peluang yang sama kepada orang-orang dari status berbeda. Dari dahulu peluang tersebut diberikan baik pada kalangan kecil bangsawan lapisan tertinggi untuk menduduki jabatan penting kerajaan, maupun bagi kalangan orang biasa yang merupakan bagian terbesar masyarakat. Walaupun garis batas antara orang-orang berstatus berbeda terus dipertahankan, namun persaingan di kalangan orang-orang berstatus berbeda ataupun sederajat untuk memperoleh jabatan, pengaruh, maupun kekayaan tetap terbuka lebar. Kecendrungan yang luar biasa untuk selalu mencari peluang ekonomi yang lebih baik tampaknya menjadi ciri khas yang melekat dalam diri orang Bugis yang berasal dari lapisan rakyat kebanyakan. Mereka berusaha bekerja keras dengan sepenuh hati untuk bisa melakukan mobilitas vertikal, meningkatkan taraf ekonomi keluarganya, karena hanya dengan cara seperti itulah seorang yang tidak memiliki apapun bisa memperbaiki kondisi hidupnya. Hal ini diakui Haji Mangkana sebagai salah
237
satu kunci keberhasilannya menjadi eksportir lokal terbesar di kawasan Delta Mahakam. Menurutnya keberhasilan tersebut mampu dicapainya, berkat kesabarannya dalam menghadapi kegagalan dan belajar dari kegagalan tersebut. Bagi Haji Mangkana “bekerja itu berkeringat”, “bekerja adalah ibadah”, sehingga apapun hasilnya adalah pahala. Dengan keyakinan seperti itu, ia telah menempatkan dirinya dalam posisi tidak pernah merasa rugi dengan apa yang telah ia kerjakan meskipun hasilnya nihil, baginya hasil dari pekerjaan di dunia ini hanyalah bonus dari pahala di akhirat. Konsepsi inilah yang kemudian melahirkan karakter pekerja keras yang pantang menyerah sekaligus iklas menerima apapun hasil dari jerih payahnya. Karakter sebagai pekerja keras yang melekat pada diri para petambak ini, mendapatkan semangatnya dari proses pendisiplinan diri yang terjadi secara terus-menerus dalam kegiatan pertambakan. Hampir semua ponggawa yang saat ini tetap eksis, memulai merintis usahanya sebagai seorang petambak dan ketika menjadi petambak inilah para ponggawa mendapatkan proses pembelajaran dan penggemblengan untuk mendisiplinan diri. Mengapa hal ini perlu diungkap? Karena menurut hemat peneliti, pada masa inilah mereka melalui sebuah tahapan alamiah yang akan menentukan wujud karakter usaha pertambakan yang akan dikembangkan. Meskipun tidak menunjukkan keseragaman, peneliti melihat tahapan pengelolaan tambak yang akan dilalui oleh petambak hingga masa panen memiliki kesamaan, meskipun diantara mereka memberikan perlakuan yang berbeda terhadap tambaknya. Ciri khas dari pengelolaan tambak-tambak tradisional di kawasan Delta Mahakam, adalah tingkat ketergantungan yang sangat tinggi terhadap alam. Karenanya setiap petambak harus patuh pada ketantuan alam, jika ingin mendapatkan hasil produksi yang maksimal atau setiidaknya jika ingin bisa tetap survive. Secara alamiah, para petambak akan terdidik untuk mengikuti ketentuan alam, proses pembelajaran dan penggemblengan secara terus-menerus tersebut, pada akhirnya akan menuntun naluri mereka untuk bisa mendisiplinkan diri. Kelak kebiasaan untuk selalu mendisiplinkan diri dalam kegiatan pertambakan ini akan terbawa dalam kehidupan sosial, sehingga tanpa disadari menjadi “habitus” yang kokoh bagi keberlangsungan kegiatan usaha dibidang lainnya. Banyak dari para ponggawa sukses yang pada awalnya berprofesi sebagai petambak, ternyata tetap membawa dan terpengaruh secara nyata oleh “habitus-nya” (lihat Gambar 22.), sehingga dengan mudah mampu mendisiplinkan dirinya untuk berprestasi secara ekonomi.
Aktivitas
pertambakan,
telah
melakukan
pengaturan
secara
total,
menempatkan petambak dalam posisi melakukan “penjagaan” secara tetap – disiplin, sehingga tanpa disadari telah mendidik dan mengubah mereka menjadi seperti apa yang dituntut oleh alam, yaitu menjadi patuh, jinak, produktif, mampu bekerja keras, bisa mengatur diri sendiri, hingga mampu mengendalikan diri.
238
Kesuksesan Ekonomi
Habitus
Modal Budaya Proses Borjuasi
Modal Budaya
Kegagalan Ekonomi
Habitus
Gambar 22. Siklus Reproduksi Habitus Sumber: Harker Richard, Cheelen Mahar dan Chris Wilkes, 2008 Interpretasi individu terhadap suatu gejala merupakan hasil interaksi antara dua jenis struktur yang berbeda hakekatnya, yaitu struktur-struktur impersonal yang bersifat mental dan struktur-struktur intrapersonal yang berupa kejadian-kejadian nyata yang relatif stabil disekitar individu (Strauss dan Quinn, 1997 dalam Winarto dan Choesin, 2000).
Kerangka
pemikiran
mereka
menjelaskan
tindakan
manusia
dengan
memperhatikan apa yang menjadi pengetahuan individual, sekaligus dengan melihat keteraturan-keteraturan yang ada dalam kehidupan sosial. Mengikuti apa yang dinyatakan Bourdieu tentang habitus, maka Strauss dan Quinn (1997) dalam Winarto dan Choesin (2000), melihat bahwa selama individuindividu mengalami kejadian-kejadian yang mengikuti pola-pola yang kurang lebih sama, maka mereka akan belajar untuk membentuk skema-skema yang sama dalam menginterpretasi situasi-situasi yang mereka hadapi. Skema itu sendiri berupa kombinasi berbagai unsur ilmu pengetahuan dan perasaaan individual yang dipakai untuk memperoleh informasi, sehingga kita bisa memahami bagaimana pengetahuan yang sama bisa membuahkan skema-skema yang berbeda dari satu individu ke individu yang lain, maupun dari situasi ke situasi. Teori skema yang diajukan oleh Strauss dan Quinn ini akan membantu dalam menjelaskan daya-daya sentripetal dan sentrifugal, dalam kehidupan sosial. Daya sentripetal menyangkut masalah bagaimana kebudayaan bertahan dan direproduksi, baik selama kehidupan individu maupun antar generasi. Sebaliknya, daya sentrifugal menyangkut kecendrungan-kecendrungan timbulnya variasi antar individu atau antar waktu (perubahan). Mengapa terdapat individu-individu atau kelompok yang secara konsisten mempraktekkan hal-hal tertentu dalam kondisikondisi sosial dan fisik yang berubah dan kadangkala merugikan mereka? Mengapa ada individu atau kelompok lain yang berubah?
239
Menurut Pierre Bourdieu, habitus merupakan struktur subjektif yang terbentuk dari pengalaman individu berhubungan dengan individu lain dalam jaringan struktur objektif yang ada dalam ruang sosial. Habitus adalah produk sejarah yang terbentuk setelah manusia lahir dan berinteraksi dengan masyarakat dalam ruang dan waktu tertentu. Dalam perjalanan hidupnya manusia memiliki sekumpulan skema yang terinternalisasi dan melalui skema-skema itu, mereka mempersepsi, memahami, menghargai dan mengevaluasi relitas sosial. Jelasnya habitus merupakan hasil pembelajaran lewat pengalaman, aktivitas bermain dan juga pendidikan masyarakat dalam arti luas. Pembelajaran itu terjadi secara halus, tak disadari dan tampil sebagai hal wajar, sehingga seolah-olah sebagai sesuatu yang alamiah, seakan-akan terberi oleh alam atau “sudah dari sananya” (Takwin, 2008). Habitus mendasari ranah yang hadir terpisah dari kesadaran individual, ranah merupakan metafora yang digunakan Bourdieu, menggambarkan kondisi masyarakat yang terstruktur dan dinamis dengan daya-daya yang dikandungnya. Dalam konteks penelitian ini, ranah merupakan jaringan relasi antar posisi-posisi objektif dalam suatu tatanan sosial pertambakan, yang terdiri dari beragam tatanan sosial pertambakan dan memiliki sejumlah hubungan terhadap satu sama lainnya, serta sejumlah titik kontak. Ranah mengisi ruang sosial yang analog dengan realitas sosial. Ruang sosial individu dikaitkan melalui waktu dengan serangkaian ranah tempat orang-orang berebut berbagai bentuk modal, khususnya akses atas sumberdaya agraria/ hutan mangrove yang dapat dikonversi menjadi area pertambakan. Di dalam suatu ranah ada pertaruhan, kekuatan-kekuatan serta orang yang memiliki banyak modal dan orang yang tidak memiliki modal. Setiap ranah menuntut individu untuk memiliki modal-modal khusus agar dapat hidup secara baik dan bertahan di dalamnya. Dalam ruang sosial inilah, individu dengan habitus-nya berhubungan dengan individu lain dan berbagai realitas sosial yang menghasilkan tindakan-tindakan yang sesuai dengan ranah dan modal yang dimilikinya, sehingga dapat menghasilkan praktik yang diharapkan. Praktik merupakan suatu produk dari relasi antara habitus dan ranah sebagai produk sejarah, yang juga merupakan produk dari medan daya-daya yang ada dalam masyarakat. Karenanya dengan habitus, pemahaman terhadap ranah dan
penguasaan
modal,
individu
dapat
mempertanyakan
struktur,
bahkan
mengubahnya sesuai dengan keinginan. Seperti diketahui, kehidupan menjadi petambak bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah, kegiatan tersebut merupakan sebuah “ritual” yang menuntut totalitas diri petambak (tidak hanya secara fisik namun juga bathin) untuk bisa menyatu dengan "roh semesta” (tambak-tambak) yang akan dikelolanya. Ada dimensi spiritual yang ikut menggerakkan kegiatan usaha pertambakan udang. Menurut Haji Rustam yang juga
240
Wakil Direktur Syam Surya Mandiri, “kegiatan usaha pertambakan udang berbeda dengan kegiatan usaha lain seperti perkebunan kelapa sawit, dimana seorang pengusaha bermodal besar dari luar daerah/ asing, dapat dengan mudah berhasil mengembangkan usaha perkebunan kelapa sawitnya tanpa keterlibatan langsung dari sang pemodal. Di dalam kegiatan budidaya tambak di kawasan Delta Mahakam, hampir semua petambak yang kemudian kedudukannya berkembang menjadi ponggawa hingga eksportir yang berhasil, adalah mereka yang membangun tambak-tambaknya dari nol”. Tidak ada satupun dari mereka berangkat dari latar belakang pengusaha sukses yang memiliki modal besar. Mereka semua “merangkak” dari bawah, hanya mereka yang sabar, tekun dan mampu mendisiplinkan diri untuk secara total bekerja dan mendedikasikan dirinya dalam mengelola budidaya tambak udang miliknya yang akan berhasil menjadi “pemenang” dalam persaingan dan ketidakpastian produksi. Jika dideskripsikan, proses kegiatan pertambakan di Delta Mahakam, setidaknya akan melalui tahapan berikut; pertama, pengeringan tanah dasar, merupakan prasyarat penting dalam persiapan lahan untuk budidaya udang, namun pembudidaya udang di Delta Mahakam tidak melakukan prosedur ini, untuk mempersingkat siklus pemeliharaan setelah panen. Kolam yang telah dipanen biasanya tanpa memperhitungkan baik buruknya hasil panen, langsung diisi kembali dengan air. Tahapan kedua, pemupukan, sebagian besar pembudidaya udang di Delta Mahakam menggunakan pupuk organik, berupa kotoran ayam atau kotoran ternak lainnya. Selain harganya murah, para pembudidaya udang merasakan bahwa pemakaian pupuk kandang ini dapat mempercepat pertumbuhan kelekap dan pembentukan plankton yang menjadi pakan alami udang, karena selama pemeliharaan udang hanya mendapatkan pakan alami, tanpa diberi pakan tambahan. Sikap pragmatis yang ditunjukkan para patambak dalam tahapan pertama, merupakan bentuk adaptasi terhadap tingginya tingkat keasaman tanah di kawasan Delta Mahakam yang sulit untuk diatasi. Sementara pengetahuan yang terbentuk telah mengumpan balik atas keberlangsungan tahapan kedua yang khas. Tahapan ketiga, pergantian air tambak, dilakukan dengan mengandalkan pasang surut air laut, pengisisan air dilakukan pada sore hari saat air sedang pasang, dengan cara membuka pintu air yang terpasang tanpa penyaring. Pada saat air dimasukkan ke tambak, biasanya udang bintik, ikan dan kepiting ikut terbawa masuk, yang akan menjadi hasil sampingan saat nyorong (panen per-dua minggu). Pengolahan air, untuk menjaga air dalam kondisi segar, merupakan kunci keberhasilan usaha pertambakan di kawasan Delta Mahakam, mengingat air sebagai media utama bagi udang yang akan dibudidayakan di dalam tambak. Seperti dinyatakan Dahuri, Dkk (2001) yang mengingatkan arti penting pengendalian pengaruh lingkungan yang masuk
241
ke dalam tambak melalui aliran air, karena volume dan kualitas air serta hama sangat berpengaruh terhadap keberhasilan/ produktivitas tambak. Sementara menurut informan kunci yang juga seorang praktisi pertambakan setempat, setidaknya terdapat dua tehknik pengolahan air yang sangat bergantung pada “tanda-tanda alam” dan harus dipahami oleh para petambak. 1) Penguasaan tehknik pasang surut, dengan mencermati pasang surut air untuk menjaga kestabilan kehidupan udang. Jika air laut pasang pintu air harus dibuka, sehingga sejajar dengan air diluar, namun begitu konda (surut) air harus dirembeskan beberapa sentimeter dari atas pintu air. Pada saat konda tersebut air di dalam tambak pun harus tetap dijaga, dengan mengeluarkan air di dalam tambak bagian bawah. Penguasan tehknik pasang surut ini, sangat menentukan sedikit banyaknya udang bintik/ ikan yang masuk ke dalam tambak dan dapat di panen pada saat nyorong. 2) Penguasaan tehknik pengolahan air hujan, dengan membuka pintu air bagian atas/ satu keping kayu, hal ini perlu dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya perubahan suhu, tingkat keasaman dan salinitas air yang dapat berakibat fatal bagi kehidupan udang. Senada dengan pandangan Adiwibowo (1983), yang mendapati empat faktor lingkungan biofisik yang menentukan pola adaptasi sistem sosial tambak, yaitu ; 1) Pasang surut air laut; 2) Curah hujan; 3) Bahan bawaan air laut dan sungai; 4) Kondisi elevasi. Keempat faktor inilah yang menurutnya dimanipulasi sistem sosial dalam upaya “membentuk” suatu lingkungan ekologi baru: ekosistem tambak. Suatu ekosistem yang hanya dapat melangsungkan aktivitasnya karena di dalamnya terlibat faktor tata-nilai, norma-norma, aturan-aturan dan alat-alat yang bergerak dalam lingkup pengelolaan sumberdaya. Dimana pengelolaan yang harmonis dengan lingkungan disekitarnya, akan memberikan masyarakat setempat jaminan kelangsungan hidup, bagi sistem sosialnya. Selanjutnya menurut Adiwibowo (1983), kedua sistem ini dari waktu ke waktu akan berinteraksi secara dinamis dan lambat-laun merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, yakni sistem sosial-ekologi tambak. Dari sini dapat dipahami, jika pengolahan tambak (media air payau) akan menentukan keberhasilan kegiatan pertambakan udang dan mendapatkan skala prioritas utama dari para petambak. Padahal, seperti kita ketahui pasang-surut air laut adalah aktitas alamiah yang selalu berulang tiap hari – proses pergantian air tambak juga berpotensi menyebarkan penyakit bagi udang yang dibudidayakan, sementara turunnya hujan sangat bergantung dari keadaan cuaca. Kondisi inilah yang kemudian, menuntut setiap petambak untuk selalu waspada dan mendisiplinkan diri dalam mengelola air tambak. Mereka harus “pandai membaca” tanda-tanda alam, jka ingin produksi tambaknya berhasil, dengan mendisiplinkan diri untuk selalu waspada dan sigap terhadap perubahan lingkungan disekelilingnya. Meskipun demikian, tidak sedikit
242
diantara mereka yang tidak peduli dan bersikap pasrah, menyerahkan sepenuhnya hasil produksi tambaknya pada kemurahan alam semata. Bisanya mereka, hanya menyambangi tambaknya menjelang nyorong, berharap bisa memanen udang bintik yang masuk bersama air pasang (segar) yang sengaja dimasukkan ke dalam tambak. Proses pendisiplinan diri tersebut, pada gilirannya mampu menyeret mereka yang telah “terformat”, untuk melakukan pendisiplinan diri dalam banyak hal diluar kegiatan pertambakan. Banyak diantara petambak yang kini telah berhasil menjadi ponggawa, bahkan eksportir yang berhasil, tampaknya telah dibentuk oleh keadaan tersebut, oleh ritual pertambakan yang menuntut pendisiplinan diri, disiplin pada waktu dan sigap terhadap perubahan. Hal ini tentu saja akan menjadi modal dasar penting bagi yang bersangkutan, dalam menjalankan kegiatan bisnis perikanan yang sangat kompetitif dan penuh ketidakpastian.
6.5
Ikhtisar Setelah melakukan tinjauan historis pada Bab IV, dilanjutkan dengan tinjauan
struktural pembentukan kapitalisme Lokal pada Bab V dan tinjuan etika moral migran Bugis pada Bab VI, maka dalam Sub Bab ini akan diberikan tinjauan komprehensif atas ketiga Bab yang telah dipaparkan. Secara historis masyarakat di kawasan Delta Mahakam telah lama terkoneksi dengan aktivitas kapitalisme global, setidaknya sejak akhir abad-19 ketika kawasan ini mulai dimanfaatkan migran Bugis dari Talake untuk melakukan kegiatan perkebunan kelapa dan perdagangan kopra, serta aktivitas perompakan, hingga ditemukannya minyak bumi menjelang abad-20 di Sanga-Sanga. Proses persentuhan dengan golombang kapitalisme global terus berlangsung beriring dengan adaptasi etika moral, hingga “terbukanya” peluang besar untuk terlibat secara aktif dalam kegiatan perikanan tangkap sejak 1974, ketika beberapa perusahaan nasional – internasional skala ekspor mulai mengekspansi kawasan Delta Mahakam. Sejak itulah muncul ponggawa-ponggawa penerus yang lebih ekspansif dan visioner dibandingkan pendahulunya ponggawa perintis. Para kapitalis lokal yang dilahirkan oleh proses industrialisasi perikanan inilah yang kemudian memanfaatkan momentum “keunggulan pada kesempatan pertama untuk memulai” pasca pelarangan trawl secara total pada 1983. Sebagian besar mereka berhasil mengkonversi hutan mangrove yang saat itu tidak memiliki nilai intrinsik untuk dirubah menjadi area-area pertambakan yang sangat luas. Fenomena inilah yang kelak mendorong terjadinya mobilitas vertikal secara “fantastis” pada banyak ponggawa menjelang akhir abad-20, sehingga menyebabkan terjadinya kapitalisasi pertambakan.
Gambar 23. Proses Sejarah Pembentukan Ekonomi Lokal
244
Setidaknya dalam dimensi struktural material terjadi beberapa fase sebelum terjadinya kebangkitan ekonomi lokal pertambakan di Delta Mahakam (seperti ditunjukkan
Gambar
23.)
Pertama,
Fase
Perikanan
Tangkap,
dimulai
sejak
beroperasinya industri perikanan Jepang di kawasan Delta Mahakam pada 1974.
Kedua,
Fase
Perikanan
Budidaya,
terjadi
pasca
pelarangan
trawl
yang
menyebabkan terjadinya pengalihan kegiatan ekonomi nelayan lokal secara menjadi petambak. Ketiga, Fase Konsolidasi yang ditandai dengan terakumulasinya alat produksi
hingga
terkonsentrasinya
raw
material
pada
kelompok-kelompok
ponggawa yang menyebabkan colapse-nya industri perikanan ekspor hingga terintegrasinya ekonomi lokal pertambakan ke dalam ekonomi kapitalisme global. Sementara dalam dimensi etika moral – rasionalistik, terjadi perubahan mendasar pada diri pelaku usaha pertambakan. Pertama, terjadinya reproduksi kultural yang berhasil dikonstruksi oleh para ponggawa dengan menggariskan nilai dasar “bekerja adalah ibadah”, sehingga apapun hasilnya adalah pahala. Konsepsi inilah yang kemudian melahirkan karakter pekerja keras yang pantang menyerah sekaligus iklas menerima apapun hasil dari jerih payahnya. Kedua, adalah terbangunnya “medan interaksi” yang menjadi wadah bagi terjadinya transformasi, legitimasi dan habitualisasi, sehingga menghasilkan wacana rasionalitas spiritual baru. Kunci sukses, meskipun dipercaya merupakan kehendak Tuhan, namun kehendak Tuhan dapat dicapai melalui upaya memperbaiki we’re’ (nasib) tidak baik/ tidak menguntungkan, dengan bekerja keras, sehingga dapat membangun simbol-simbol “peruntukan fitrah”. Akibatnya, transformasi kehidupan keagamaan yang lebih berporos pada agen (“orang yang dianggap saleh”) menjadi penting dalam “medan interaksi” yang dikembangkan masyarakat setempat. Kecendrungan tersebut kemudian menjadi penanda bahwa menjadi orang kaya itu penting, karena menjadi tolak ukur kehormatan sosial yang dapat memenuhi kepuasan duniawi, sedangkan bertingkah laku yang mengarah pada simbol-simbol agama secara sosial dianggap “taat beragama”, karena dapat memenuhi kepuasan ukhrawi.
Pada
gilirannya
transformasi
kehidupan
keagamaan yang berporos pada agen, semakin memperkokoh pola hubungan vertikal dalam budaya patronase pada masyarakat Bugis perantauan di Delta Mahakam.
VII. TEORITISASI PEMBENTUKAN PENGUSAHA DAN EKONOMI LOKAL 7.1
Pembentukan Lapisan Atas Masyarakat Bugis di Delta Mahakam
7.1.1
Asal-Usul Sosial Pengusaha Pertambakan Jika menggunakan pelapisan masyarakat Bugis yang pernah digambarkan
Friedericy pada 1933, menurut Mattulada (1985) kita setidaknya dapat melihat adanya dua varian pelapisan sosial pada masyarakat Bugis feodal. Friedericy sebenarnya juga menggambarkan stratifikasi masyarakat Gowa (etnik Makassar) yang tidak jauh berbeda dengan stratifikasi masyarakat Bugis, namun peneliti tidak membahasnya disini. Dari Gambar 24., diperoleh gambaran stratifikasi pada masyarakat Bugis yang dapat disederhanakan ke dalam tiga lapisan. 1) Anakarung (lapisan raja beserta keluarganya; kaum bangsawan dan lapisan Ana’Mattola pada masyarakat Bugis Wajo‟ termasuk dalam kelompok ini) 2) Maradeka (lapisan rakyat jelata atau orang kebanyakan dan lapisan Tau Deceng pada masyarakat Bugis Wajo‟ termasuk dalam kelompok ini) 3) Ata (budak atau hamba sahaya) Masyarakat Bugis Bone Golongan
Lapisan
Status
Lapisan
I Anakarung To-Bone
1. Anakarung Matase’ a. Anakarung Mattola b. Anakarung Matase’ 2. Ana’arung a. Anakarung ri bolang b. Anakarung si puE c. AnakCera
Bangsawan bisa bergelar; Arung, Arumpone, Puang, Petta, Puatta, Daeng (Andi’ Bau/ Andi digunakan sejak 1920-an)
I Ana’Mattola
II ToMaradeka
1. To-Deceng 2. To-Sama
Orang Merdeka Bisa bergelar; Tau Deceng
II Anakarung
1. Ata-Mana’ 2. Ata-Mabuang
Budak/ Sahaya
III Ata
III Tau Deceng IV Tau Maradeka V Ata
Masyarakat Bugis Wajo’ Golongan 1. Ana’Mattola 2. Ana’Sangaji 3. Ana’Rajeng a. Ana’Rajeng Lebbi b. Ana’Rajeng (Biasa) 4. Ana’Cera a. Ana’Cera Sawi b. Ana’Cera Pua’ c. Ana’Cera Ampulajeng d. Ana’Cera Latang Dapureng Anakarung 1. Tau Deceng 2. Tau Deceng Karaja
Status Anak Raja bisa bergelar; Arung, Datu, Puang (Andi’ Bau/ Andi digunakan sejak 1920-an) Anak Bangsawan Andi/ Daeng Orang Baik Bisa bergelar; Tau Deceng
1. Tau Maradeka Mannengnungeng 2. Tau Maradeka Sampengi
Warga Merdeka
1. Ata-Mana’ 2. Ata-Mabuang
Budak/ Sahaya
Gambar 24. Pelapisan Sosial Masyarakat Bugis Bone dan Wajo’ Feodal Sumber: Friedericy (1933); Matullada (1985) Friedericy selanjutnya menyimpulkan bahwa pada hakekatnya masyarakat Bugis hanya terdiri dari dua lapisan pokok, yaitu lapisan anakarung dan maradeka. Sedangkan Ata menurut Friedericy hanya merupakan lapisan sekunder, yang muncul mengikuti pertumbuhan kehidupan di Sulawesi Selatan (Mattulada, 1985). Prinsip hirarki tradisonal Bugis yang cukup sederhana tersebut, menurut Pelras (2006) didasarkan
246
pada epos La Galigo dan mitos tentang nenek moyang orang Bugis yang pada awalnya diyakini hanya terdapat dua jenis manusia, yaitu; mereka yang “berdarah putih” dari keturunan dewata; serta mereka yang “berdarah merah” yang tergolong orang biasa, rakyat jelata atau budak. Pemerintah kolonial, setidaknya ikut memperkokoh sistem hierarki yang ada, dengan mengubah sistem hierarki menjadi struktur birokratis, serta membuat daftar dan silsilah bangsawan yang digunakan sebagai patokan untuk menentukan siapa yang akan bebas atau kena pajak/ kerja paksa, sekaligus sebagai patokan untuk menentukan jabatan berdasarkan status mereka. Atas pengaruh Belanda pada 1920-an, kalangan bangsawan lapisan atas bahkan mulai menambahkan gelar Andi’ Bau/ Andi’ di depan nama mereka untuk membedakan diri dengan bangsawan berderajat lebih rendah. Stratifikasi masyarakat Bugis tampaknya tidak menganut sistem yang kaku, watak suka merantau misalnya, bisa menjadi jalan meningkatkan status. Bangsawan rendah yang memimpin sekelompok kecil pengikutnya pindah ke wilayah lain – dimana tidak akan terjadi pemeriksaan silang leluhur – terkadang cenderung mengaku memiliki silsilah lebih tinggi dari yang sebenarnya. Para pengikutnya pun akan mendukung sikap patronnya, karena hal tersebut juga akan mengangkat derajat semua kelompok. Menurut Lineton (1975), keberhasilan ekonomi juga bisa mendongkrak derajat seseorang. Orang yang memiliki kekayaaan melimpah, mengasai tanah luas, punya rumah besar dan indah, dengan mudah akan dianggap berdarah bangsawan. Di kalangan masyarakat Bugis Wajo‟, laki-laki dari keluarga kaya bahkan acapkali diizinkan mengawini perempuan berstatus lebih tinggi, setelah melalui proses mang’elli dara atau “membeli darah”, yaitu membeli derajat kebangsawanan, yang nilainya mahal dan ditentukan pihak perempuan (Pelras, 2006). Dari penelusuran yang dilakukan, dapat dipastikan jika hampir semua migran Bugis yang datang secara bergelombang ke kawasan Delta Mahakam (seperti telah dijelaskan pada Bab IV), adalah mereka yang berasal dari lapisan to maradeka, yang ingin menyelamatkan diri dari kekacauan militer dan kesulitan ekonomi. Meskipun ada pula diantara mereka yang berasal dari golongan bangsawan. Menariknya, banyak diantara ponggawa-ponggawa sukses yang ternyata berasal dari lapisan to maradeka, “Haji Mangkana misalnya, mengaku berasal dari keluarga sederhana yang jauh dari berkecukupan” tepatnya dari strata bawah dalam sebuah masyarakat desa (lihat lampiran: “Kemunculan Pengusaha Lokal”). Struktur sosial masyarakat migran Bugis di kawasan Delta Mahakam sepertinya tidak hanya membuka peluang bagi golongan elit tradisional Bugis (Anakarung) tapi juga memberikan kesempatan yang luas bagi golongan to-maradeka untuk memasuki bidang kegiatan ekonomi perikanan (khususnya pertambakan).
247
Status tanah negara di daerah tujuan, khususnya pulau-pulau di dalam kawasan Delta Mahakam yang luas namun tidak memiliki nilai intrinsik dan absennya negara di dalam pengaturan kawasan coastal frontiers ini, menjadi salah satu alasan penting mengapa migran Bugis dari golongan to-maradeka dalam strata masyarakat Bugis feodal lebih berpeluang memasuki kegiatan industri perikanan berbasis budidaya. Tentunya jika dibandingkan dengan golongan migran dari elit tradisional atapun masyarakat asli setempat (Kutai dan Tidung ataupun Banjar, Jawa dan Bugis kelahiran Delta Mahakam). Kegiatan industri perikanan berbasis budidaya, jelas memerlukan bidang tanah yang sangat luas untuk dapat dibangun dan dikembangkan menjadi area pertambakan yang dapat memasok raw material bagi keberlangsungan industri perikanan skala ekspor. Di masa-masa awal kedatangannya, anggota elit tradisional migran Bugis sepertinya kurang tertarik terhadap kawasan Delta Mahakam yang tanah rawapayaunya relatif sulit diolah dan dirubah menjadi kawasan pertanian/ perkebunan yang potensial selain tidak memiliki sumber mata air memadai. Para migran dari elit tradisional yang biasanya membawa serta para pengikutnya tersebut, lebih cenderung membuka daerah-daerah baru (disekitar hutan yang masih satu-kesatuan dengan mainland Pulau Kalimantan), dimana tanahnya lebih subur dan sangat potensial untuk dikembangkan menjadi kawasan pertanian (sawah/ palawija) atau perkebunan (lada, kelapa dan buah-buahan), serta memiliki sumber mata air melimpah. Pertimbangan tersebut juga didasarkan kepentingan pragmatis untuk dapat segera mendapatkan hasil produksi yang memadai, sehingga dapat mempertahankan stabilitas ekonomi yang akan digunakan untuk menghidupi keluarga besar mereka, berikut keberlangsungan klientisme yang masih mereka pertahankan. Sementara masyarakat asli setempat yang dapat digolongankan sebagai masyarakat asli Kalimantan Timur yakni Kutai dan Tidung, serta keturunan dari migran Banjar, Jawa dan Bugis yang dilahirkan di sekitar kawasan Delta Mahakam (kelak mengklaim dirinya sebagai masyarakat asli Delta Mahakam), relatif tidak tertarik untuk menggarap tanah-tanah di sekitar pulau-pulau dalam Kawasan Delta Mahakam, karena tidak memiliki pengetahuan yang memadai untuk mengembangkan dan mengubah tanah rawa-payau tersebut menjadi usaha ekonomi alternatif. Klaim sebagai masyarakat asli Delta Mahakam oleh keturunan Bugis yang lahir di kawasan Delta Mahakam, tampaknya hanya sekedar ungkapan kekecewaan mereka sebagai “penduduk asli” yang semakin marjinal dalam meningkatkan taraf hidupnya, sekaligus kecemburuan sosial pada para migran Bugis yang datang belakangan yang ternyata lebih sukses secara ekonomi. Hanya sebagian kecil dari keturunan migran Bugis ini yang kemudian berhasil membuka kawasan hutan mangrove tersebut menjadi area perkebunan kelapa
248
berskala kecil. Sementara sebagian besar dari mereka lebih suka memilih tetap melanjutkan pekerjaan orang tuanya sebagai nelayan tradisional atau bertani tadah hujan dibandingkan harus membuka hutan mengrove yang membutuhkan pengorbanan tenaga, waktu dan materi yang tidak kecil. Beberapa diantaranya yang memiliki kemampuan finansial memadai, mencoba menjadi pengumpul hasil perikanan tangkap, untuk kemudian di jual secara berkala ke Samarinda/ Balikpapan dalam bentuk ikan asin – ebi olahan. Mereka inilah yang digolongkan peneliti sebagai ponggawa perintis, beberapa orang diantaranya adalah migran dari golongan elit tradisional Bugis (Anakarung) yang memiliki beberapa unit armada kapal/ perahu tangkap sendiri. Haji Andi Basri (Alm.), seorang ponggawa perintis yang berasal dari golongan elit tradisional Bugis, bisa disebut sebagai salah satu pengumpul hasil perikanan sukses yang pada masa jayanya pernah menguasai produksi perikanan di sekitar Muara Badak. Sementara yang lainnya berasal dari golongan to-maradeka, menariknya ponggawa perintis yang berasal dari golongan elit tradisional (Anakarung) cenderung berdomisili di daerah yang masih satu-kesatuan dengan mainland Pulau Kalimantan, sementara domisili ponggawa perintis yang berasal dari golongan to-maradeka cenderung tersebar hingga ke pulau-pulau dalam kawasan Delta Mahakam. Di dalam kondisi seperti inilah para migran Bugis dari golongan to-maradeka yang datang secara berkelompok sejak awal tahun 1970-an mulai berbondong-bondong datang ke kawasan Delta Mahakam. Dengan meminta ijin tinggal-garap pada para petinggi, secara berkelompok mereka kemudian mulai meninggali tempat-tempat strategis di sekitar muara anak Sungai Mahakam yang jumlahnya ratusan buah di dalam kawasan Delta Mahakam atau menetap di sekitar perkampungan. Meskipun tidak sedikit diantara mereka yang langsung menetap disuatu tempat tanpa meminta ijin dan baru melaporkan keberadaannya pada aparat desa/ kampung yang berwenang jika menghadapi konflik atau masalah administratif. Tidak berbeda dengan saudara Bugisnya yang telah menetap sebelumnya, mereka juga memulai aktivitas ekonominya dari kegiatan perikanan tangkap, dengan menjadi nelayan tradisional. Beratnya kehidupan di daerah coastal frontiers yang jauh dari layak dan nyaman untuk ditinggali, dimana mereka harus beradaptasi di daerah-daerah baru yang belum terjamah (dikuasai oleh orang lain) dan relatif terisolir. Tampaknya bisa menjadi penjelas bahwa para migran dari golongan to-maradeka tersebut membawa nilai we’re’ (untuk tidak tunduk pada nasib), sehingga mereka bisa bertahan dalam himpitan hidup, dengan segala keterbatasan yang ada. Selain tidak adanya pilihan yang lebih baik disaat itu. Haji Mangkana setidaknya mengakui bahwa masa-masa awal tinggal di Tanjung Barukang (dalam kawasan pulau-pulau di Delta Mahakam) merupakan masa
249
paling sulit di dalam kehidupannya. Disiplin keras dan kehidupan prihatin yang diterapkan ayah angkatnya Haji Halim di dalam mendidik dirinya dan adik-adiknya, tidak lantas menyurutkan hasrat Haji Mangkana untuk bisa memperbaiki keadaan ekonomi keluarganya, sehingga tidak selalu terpuruk dalam kemiskinan. Bagi Mangkana muda, peristiwa pahit yang selalu dialami keluarganya telah melecut motivasinya untuk selalu bekerja keras, meningkatkan taraf kehidupan ekonomi keluarganya (lihat lampiran, Kemunculan Pengusaha Lokal: Studi Riwayat Hidup Tiga Ponggawa Pertambakan). Dengan kata lain, akses terhadap tanah hanya menjadi salah satu saja dari sejumlah
faktor
internal
yang
memungkinkan
seseorang
menjadi
pengusaha
pertambakan (ponggawa). Labih dari itu, menurut Sitorus (1999) latar belakang sosial individu tersebut menjadi faktor yang sangat menentukan, mengingat fakta bahwa hanya individu-individu dari golongan to-maradeka tertentu saja yang berhasil menjadi pengusaha pertambakan. Pada bagian selanjutnya akan ditunjukkan bahwa mereka yang berhasil menjadi pengusaha pertambakan umumnya adalah kelompok non-elit ekonomi tradisional dari golongan to-maradeka dalam struktur feodal Bugis, sehingga berbeda dengan temuan Sitorus (1999). Meskipun sejumlah ponggawa diketahui adalah mantan petambak dan atau pernah menjadi klien dari ponggawa yang lebih besar. Tabel 21. Orientasi Ekonomi dalam Penguasaan Tanah Berdasarkan Penggolongan Penduduk Penggolongan Penduduk
Akses Terhadap Tanah
Warga Asli Kalimantan (Kutai dan Tidung), serta Keturunan Banjar, Bajo, Jawa dan Makassar yang Lahir disekitar kawasan Delta Mahakam Warga Setempat Warga Keturunan Bugis yang Lahir disekitar kawasan Delta Mahakam
Penguasaan tanah-tanah untuk kegiatan pertanian-perkebunan di sekitar kawasan mainland Pulau Kalimantan
Golongan Elit Tradisional
Penguasaan tanah-tanah yang luas untuk didistribusikan pada “mereka yang membutuhkan”-tidak digarap hanya sekedar investasi
Golongan Masyarakat Kebanyakan
Penguasaan tanah-tanah untuk kegiatan pertanian-perkebunan kelapa atau tidak digarap hanya sekedar investasi
Migran Bugis dari Golongan Elit Tradisional (Anakarung)
Penguasaan tanah-tanah untuk kegiatan pertanian-perkebunanpertambakan di sekitar kawasan mainland Pulau Kalimantan
Migran Bugis dari Golongan Kebanyakan (to-maradeka)
Penguasaan tanah-tanah untuk kegiatan perkebunan-pertambakan di pulau-pulau dalam kawasan Delta Mahakam
Sumber: Data Primer Diolah, 2011
Orientasi Ekonomi Dimanfaatkan untuk pengembangan kegiatan ekonomi produktif dan dijual atau untuk mendapatkan ganti rugi dari perusahaan migas, tambang batu bara dan perkebunan sawit Di jual untuk kegiatan pertambakan atau ganti rugi tanah untuk eksplorasi-eksploitasi migas. Hanya sebagian kecil yang dimanfaatkan untuk kegiatan pertambakan. Di jual untuk kegiatan pertambakan atau ganti rugi tanah untuk eksplorasi-eksploitasi migas Dimanfaatkan untuk pengembangan kegiatan pertambakan/ ekonomi produktif lainnya dan dijual/ untuk mendapatkan ganti rugi dari perusahaan migas, tambang batu bara dan perkebunan sawit Untuk pengembangan kegiatan pertambakan, sebagian diantaranya bahkan mengakumulasi tanah untuk pengembangan kegiatan pertambakan lebih lanjut
250
Keberadaan industri perikanan ekspor di daaerah Anggana (sekitar + 40 Km ke arah hulu/ barat dari kawasan Delta Mahakam) yang mulai beroperasi menjelang tahun 1975, setidaknya menjadi alasan penting lainnya dari semakin banyaknya migran Bugis yang menetap di sekitar muara anak Sungai Mahakam. Selanjutnya proses pembentukan
ekonomi
lokal,
semakin
berkembang
seiring
dengan
pesatnya
pertumbuhan industri perikanan ekspor dan meningkatnya produksi perikanan tangkap di pantai timur Kalimantan, yang kemudian membuka ruang bagi kehadiran pedagang perantara pada area-area yang tidak mampu ditangani langsung oleh perusahaanperusahaan eksportir. Setidaknya menjelang tahun 1980 mulai muncul kehadiran ponggawa-ponggawa pengikut yang berhasil memanfaatkan momentum tersebut. Sebagian besar diantara ponggawa penerus tersebut adalah para nelayan, merangkap pengumpul hasil perikanan yang “menyambangi” nelayan tangkap di tengah laut untuk kemudian menyetorkan hasil tangkapan (udang ataupun ikan), pada perusahaan eskportir yang menjadi induk semang mereka. Banyak diantara mereka, pada awalnya hanyalah bermodalkan tekat dan kepercayaan, menjadi penjual perantara dari hasil tangkapan para nelayan yang mereka kenal (bisa keluarga, tetangga ataupun kolega dekat) tanpa harus memberikan uang muka atau membeli secara tunai. Baru setelah hasil tangkapan yang dikumpulkan dari beberapa orang nelayan tersebut terjual pada perusahaan eksportir, hasilnya diserahkan pada yang bersangkutan, tentu dengan mengambil sebagian kecil dari hasil penjualan sebagai kompensasi. Bagi para nelayan kecil, aktifitas yang dilakukan nelayan-pengumpul tersebut, tentu saja sangat membantu operasi penangkapan yang mereka lakukan, karena mereka tidak perlu merasa kuatir hasil tangkapannya akan membusuk ditengah laut, jika tidak secepatnya dikirim pada perusahaan eksportir yang berada jauh dari lokasi penangkapan. Selain itu, para nelayan kecil juga menjadi lebih leluasa beroperasi disepanjang waktu, ketika hasil tangkapan sedang banyakbanyaknya. Proses hubungan segitiga inilah yang kemudian menjadikan posisi para ponggawa pengikut menjadi strategis, karena secara emosional memiliki kedekatan personal dengan para nelayan yang telah mempercayakan pengumpulan hasil tangkapan pada sang ponggawa. Kelak hubungan tersebut akan sangat penting dalam mendukung perkembangan jaringan patronase dari para ponggawa pengikut yang sebagian besar diantaranya terfokus pada kegiatan perikanan budidaya. Sementara disisi lain para ponggawa pengikut juga memiliki kedekatan secara historis dengan perusahaan eksportir yang kelak sangat fungsional dalam memberikan bantuan finansial bagi pengembangan usaha mereka kedepan. Tentu saja sokongan finansial yang diberikan perusahaan-perusahaan eksportir tersebut, diberikan pada para
251
ponggawa
dengan
harapan
dapat
menjamin
pasokan
raw
material
bagi
keberlangsungan jaringan industri perikanan berskala besar yang mereka kembangkan. Perlu ditunjukkan disini bahwa perusahaan eksportir berikut industri perikanan yang beroperasi di pantai timur Kalimantan, hampir semuanya memiliki jaringan produksi yang tersebar di seluruh Indonesia. Misaya Mitra misalnya, pada masa jayanya memiliki 4 unit industri pengolahan perikanan hanya untuk pantai timur Kalimantan, yaitu di Kota Baru, Sungai Meriam (Anggana), Tarakan dan Paser (lihat Bab V). Masa peralihan dari fase ekonomi perikanan tangkap menjadi fase ekonomi perikanan budidaya merupakan masa paling menentukan di dalam perkembangan kegiatan usaha perikanan di kawasan Delta Mahakam, khususnya bagi para ponggawa pengikut. Masa peralihan ini ditandai dengan munculnya kebijakan pemerintah yang melarang penggunaan alat tangkap trawl bagi kegiatan perikanan tangkap di seluruh wilayah perairan Indonesia sejak 1 Januari 2003. Menariknya kebijakan pelarangan trawl tersebut, ternyata kontra-produktif bagi pengembangan “Program Udang Nasional” yang mulai dicanangkan pada 1982, ditandai dengan terjadinya menurunnya produksi udang secara nasional. Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu pendorong munculnya kebijakan lokal, memberikan kompensasi pada para nelayan trawl untuk mengalihkan kegiatan usahanya ke dalam kegiatan ekonomi non-trawl, dengan ijin konversi hutan mangrove di sekitar kawasan Delta Mahakam. Kegiatan budidaya tambak tersebut, kemudian diikuti dengan pemberian sejumlah kompensasi, seperti pengucuran kredit Intam dan realisasi kredit RCP. Kebijakan tersebut, juga diiringi dengan pembinaan dan penyuluhan kegiatan pertambakan yang dilakukan secara intensif oleh berbagai instansi terkait. Secara keseluruhan kebijakan ini merupakan upaya pemerintah untuk meningkatkan produksi udang secara nasional. Momentum inilah yang kemudian berhasil dimanfaatkan secara optimal oleh kelompok sosial ponggawa pengikut yang cenderung lebih progresif dibandingkan senior mereka dari kelompok ponggawa perintis. Banyak ponggawa perintis yang relatif lebih konvensional cara berpikirnya, cenderung tetap berorientasi pada kegiatan perikanan tangkap, karena kegiatan perikanan budidaya dianggap lebih beresiko untuk gagal. Haji Saraping, seorang mantan nelayan trawl yang kemudian beralih profesi sebagai pedagang antar pulau dan berhasil menjadi pengusaha perkapalan sukses di Samarinda, mengungkap bahwa alasan sejumlah nelayan trawl tidak berminat beralih profesi sebagai petambak, dikarenakan kegiatan perikanan budiday terlalu beresiko, membutuhkan pengorbanan tenaga, waktu dan materi yang besar namun hasilnya tidak pasti. Selain menurutnya kadar ph dan salinitas di sebagaian besar kawasan Delta Mahakam tidak layak untuk kegiatan budidaya udang.
252
Sebagian besar kelompok ponggawa pengikut ternyata berhasil memanfaatkan momentum “keunggulan pada kesempatan pertama untuk memulai” dengan mencoba mengembangkan kegiatan pertambakan udang di kawasan hutan mangrove di sekitar Delta Mahakam. Ketika produksi kegiatan pertambakan udang mulai menunjukkan kecenderungan meningkat, mereka mulai bergegas untuk lebih banyak membuka areaarea tambak baru. Tentu saja “lokasi” hutan mangrove seketika itu menjadi begitu berharga dalam mainset yang terbangun. Artinya, ketika banyak pihak belum tergerak untuk memanfaatkan hutan mangrove yang saat itu “belum terjamah” karena tidak memiliki nilai intrinsik, para ponggawa pengikut telah dipandu oleh pengalaman langsung bahwa kegiatan pertambakan yang menguntungkan harus didukung ketersediaan lokasi hutan mangrove yang bisa dibuka menjadi area tambak baru. Selanjutnya dengan modal yang berhasil mereka kumpulkan sendiri dan bantuan dari perusahaan eksportir perikanan yang menjadi induk semangnya, mereka secara bertahap mulai membuka hamparan tambak-tambak baru dengan cara membuka lokasi hutan mangrove yang dibagi-bagikan pada keluarga mereka ataupun dengan cara membeli lokasi-lokasi yang dikuasai warga desa. Meskipun demikian, tidak sedikit diantara ponggawa pengikut tersebut yang pada awalnya tidak memiliki pengalaman memadai dalam kegiatan usaha perikanan. Mereka datang ke kawasan Delta Mahakam setelah mendapatkan informasi dari keluarga/ karabat tentang keberhasilan migran Bugis dalam kegiatan usaha pertambakan. Dengan modal yang cukup dari hasil penjualan tanah/ sawah/ kebun/ ternak/ rumah di daerah asal, mereka mencoba mengikuti jejak-jejak migran Bugis terdahulu dengan menginvestasikan modal yang dimilikinya untuk membuka/ membeli area pertambakan. Sebagian diantaranya, bahkan dengan kekuatan modal yang dimilikinya berusaha menjadi pengumpul/ pedagang perantara (“ponggawa tanpa klien”) dengan membeli hasil perikanan tangkap ataupun perikanan budidaya dari hasil produksi nelayan dan petambak bebas. Menariknya fenomena keberadaan ponggawa bebas tersebut, saat ini juga mulai menarik minat sejumlah pengusaha keturunan Cina untuk “terjun” dalam kegiatan bisnis perikanan di sejumlah kota kecil di sekitar Kawasan Delta Mahakam (Muara Jawa dan Anggana). Menurut pengakuan salah seorang diantara mereka, Fendy yang juga pemilik CV. Camar Bahagia, menyatakan bahwa mekanisme hubungan produksi yang mereka kembangkan dengan nelayan dan petambak bebas Bugis tidaklah seperti yang dilembagakan para ponggawa Bugis. Mereka tidak mendasarkan hubungan produksi dalam tradisi patron-klien, tapi atas dasar kepercayaan dan service profesional. Artinya setiap produsen akan dilayani dengan sebaik-baiknya untuk menumbuhkan sikap saling percaya, misalnya dengan tetap menjaga keseimbangan berat timbangan, sehingga
253
tidak merugikan kedua belah pihak, memberikan harga pembelian yang wajar/ tidak memanipulasi harga dan memberikan insentif berupa es batu bagi produsen yang akan panen sesuai dengan kebutuhan. Meskipun fasilitas yang diberikan para ponggawa Bugis masih jauh lebih banyak dibandingkan dengan apa yang diberikan “ponggawa tanpa klien” tersebut, namun nyatanya tidak sedikit dari nelayan ataupun petambak bebas yang mempercayakan hasil produksinya pada mereka. Realitas ini sekaligus menjelaskan bahwa trust yang ditumbuhkan dalam semangat hubungan horizontal ternyata juga mampu melokalisir nilai lebih yang ditawarkan oleh hubungan diadik bersifat vertikal, sehingga bisa memberi peluang bagi munculnya kerjasama yang saling menguntungkan dan adil. Selanjutnya perlu dijelaskan disini bahwa kompensasi pembagian lokasi hutan mangrove seluas dua hektar meskipun pada awalnya hanya diperuntukkan bagi nelayan trawl yang mengalihkan kegiatannya menjadi usaha non trawl, namun pada pelaksanaannya kepala desa melalui RT juga membagi-bagikan lokasi-lokasi hutan mengrove tersebut pada seluruh warga desa. Artinya “setiap kepala” warga desa (tidak peduli masih bayi sekalipun) yang berdomisili disekitar kawasan Delta Mahakam, khususnya di Desa Sepatin, Muara Pantuan dan Tani Baru, akan mendapatkan jatah pembagian lokasi hutan mangrove yang dapat dikonversi menjadi area pertambakan. Realitas inilah yang peneliti sebut sebagai “banyak anak banyak lokasi”. Menariknya, banyak kepala keluarga yang merasa tidak memiliki jumlah keluarga yang banyak mensiasatinya dengan “membiakkan” nama anggota keluarga, semisal bapak A menjadi bapak A1, A2, A3 dan seterusnya, dengan harapan mendapatkan jatah lokasi yang lebih banyak. Meskipun menyalahi aturan, tampaknya pihak otoritas lokal tidak terlalu menganggap hal tersebut sebagai masalah prinsip, karena selain dapat meningkatkan pendapatan desa, juga dapat mendukung pengembangan ekonomi alternatif. Meskipun dalam sejumlah FGD diakui warga bahwa dana-dana administratif terkait dengan penerbitan surat legalitas atas kepemilikan “lokasi-lokasi” tersebut, seperti SPPT (Surat Pernyataan Izin Penggarapan Tanah/ Surat Pernyataan Penguasaan Tanah), yang masuk ke kas desa tidak jelas peruntukannya dan diduga hanya dimanfaatkan oleh aparat desa. Pragmatisme aparat otoritas lokal inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh para ponggawa pengikut untuk mendapatkan akses seluas-luasnya dalam mendapatkan lokasi-lokasi baru bagi pengembangan kegiatan usaha pertambakan mereka. Berbekal penguasaan modal finansial yang memadai karena didukung bantuan perusahaanperusahaan eksportir dan kedekatan emosional (passe’), sebagai sesama orang Bugis mereka berhasil mendapatkan “konsesi” atas sejumlah lokasi hutan mangrove yang luas dari otoritas lokal. Bahkan banyak diantara mereka yang menguasai sejumlah pulau-
254
pulau di dalam kawasan Delta Mahakam (lihat Bab V). Perlu dijelaskan disini bahwa masa peralihan dari fase industri perikanan tangkap menjadi fase industri perikanan budidaya, tidak secara langsung dapat dimanfaatkan oleh perusahaan-perusahaan eksportir karena keterbatasan mereka di dalam mengakses penguasaan lokasi hutan mengrove untuk kegiatan pertambakan. Mengingat status mereka sebagai perusahaan PMA ataupun PMDN yang harus mendapatkan izin resmi dari pemerintah sebelum dapat mengembangakan kegiatan perikanan budidaya, selain karena kawasan Delta Mahakam telah ditetapkan sebagai kawasan hutan negara, berdasarkan SK. Mentan No. 24/ Kpts /Um /1983, sehingga sangat sulit untuk bisa diprivatisasi secara formal sebagai area pertambakan. Kesadaran perusahaan-perusahaan eksportir perikanan di sekitar kawasan pantai timur Kalimantan akan arti penting keberadaan kegiatan usaha perikanan budadaya pada masa-masa mendatang dalam menopang keberlanjutan bisnis mereka, telah memaksa perusahaan-perusaaan eksportir, untuk tidak hanya berkonsentrasi pada kegiatan perikanan tangkap yang cenderung mengalami kelesuan, akibat over fishing dan pelarangan trawl. Perusahaan-perusahaan eksportir mencoba berkoalisi dengan para ponggawa khususnya ponggawa pengikut yang memiliki kemampuan hegemonik di dalam menaklukkan ruang-ruang sosio-kultural untuk melakukan penguasaan produksi pertambakan secara tidak langsung. Mereka tidak segan menggelontorkan dana dalam jumlah besar untuk memasok kebutuhan para ponggawa di dalam mengakumulasi lokasi-lokasi hutan mangrove yang akan digunakan untuk area pertambakan. Berharap raw material dari produksi pertambakan di kawasan Delta Mahakam bisa tetap memberikan pasokan bagi industri perikanan berskala besar milik mereka. Tidak sampai disitu perusahaan-perusahaan industri perikanan PMA dan PMDN ini dilaporkan juga memiliki sejumlah area pertambakan yang sangat luas dengan cara sembunyi-sembunyi, menggunakan nama-nama perseorangan (sebagian besar diketahui sebagai karyawan perusahaan). Pada masa peralihan hingga terjadinya “booms udang” di tahun 1997/ 1998 inilah diketahui terjadi proses eliminasi secara besar-besaran atas keberadaaan para ponggawa di sekitar kawasan Delta Mahakam yang kelak akan mempengaruhi pelapisan dalam kelompok ponggawa. Banyak dari para ponggawa perintis yang harus tersisih dan akhirnya kolaps, karena tidak mampu beradaptasi dan bersikap konvensional di dalam memaknai perubahan disekitarnya. Berdasarkan catatan peneliti, hanya sedikit ponggawa perintis yang melibatkan dirinya dalam pengembangan kegiatan perikanan budidaya pada masa-masa transisi, itupun dengan tetap mempertahankan kegiatan perikanan tangkap yang menjadi ciri utama usaha mereka. Meskipun pada akhirnya mereka hanya bisa bertahan sebagai ponggawa kecil. Tidak
255
berbeda dengan para ponggawa pengikut, tidak sedikit diantara mereka yang kemudian harus tereliminasi pada masa-masa transisi tersebut, tidak mampu mengembangkan usahanya akibat seringnya terjadi gagal panen, selain semakin sengitnya persaingan diantara para ponggawa. Banyak diantara mereka yang harus kolaps dan kembali menjadi petambak, meskipun ada pula yang mampu bertahan menjadi ponggawa kecil ataupun menengah. Pada masa-masa ini juga ditandai oleh terjadinya suksesi dalam artian pewarisan usaha dari ponggawa perintis dan ponggawa pengikut pada ponggawa penerus, meskipun sebenarnya proses suksesi tersebut terus berlangsung hingga saat ini. Setidaknya proses suksesi dalam kegiatan usaha seorang ponggawa dapat terjadi akibat; 1) Jika ponggawa tersebut meninggal dunia, sehingga usahanya diteruskan oleh anak/ menantunya; 2) Jika seorang ponggawa sudah merasa harus “pensiun”, sehingga usahanya diwariskan pada anak/ menantunya; dan 3) Jika seorang ponggawa merasa usahanya sedemikian berkembangnya, sehingga perlu membuka “cabang usaha” di suatu tempat baru dengan menjadikan anak/ menantunya sebagai ponggawa penerus, dengan tetap berada dibawah kendalinya. Berdasarkan catatan peneliti, menjelang tahun 2000, pasca “booms udang”, di kawasan Delta Mahakam hanya terdapat empat orang ponggawa besar yang beroperasi di sekitar kawasan Delta Mahakam, dengan status sebagai supplier perusahaan eksportir perikanan PMA ataupun PMDN. Mereka adalah Haji Abu, Haji Onggeng, Haji Maming dan Haji Mangkana. Menariknya pada 2006, Haji Mangkana telah berhasil meninggalkan
para pesaingnya tersebut, menjadi
satu-satunya
pengusaha lokal yang berhasil menjadi eksportir perikanan di kawasan Delta Mahakam, sekaligus mengukuhkan dirinya sebagai ponggawa terbesar di kawasan Delta Mahakam. Tidak sampai disitu, Haji Mangkana dengan menggunakan Syam Surya Mandiri (perusahaan yang berhasil didirikannya pada awal 2000-an), bahkan berhasil melakukan take over atas perusahaan eksportir perikanan (PMA) asal Jepang, Misaya Mitra yang tidak lain adalah induk semangnya. Dengan mengeliminasi para pesaingnya, saat ini Haji Mangkana telah memposisikan dirinya diatas puncak hieraki dalam jaringan patronase pertambakan di Kawasan Delta Mahakam.
256
Tabel 22. Pengelompokan dan Asal-Usul Keberadan Pengusaha Lokal Jenis Ponggawa Kelompok Sosial Ponggawa Perintis
Asal-Usul Menjadi ponggawa sebelum adanya kegiatan industri perikanan
Kelompok Sosial Ponggawa Pengikut
Menjadi ponggawa setelah adanya kegiatan industri perikanan
Kelompok Sosial Ponggawa Penerus
Menjadi ponggawa karena faktor keturunan/ pewarisan usaha
Keterangan Banyak diantara mereka adalah migran yang datang pada periode 1950 – 1965. Mereka adalah nelayan yang merangkap menjadi pedagang perantara, meskipun ada diantara mereka yang berasal dari golongan bangsawan Bugis. Hasil produksi yang berhasil dikumpulkan dari kegiatan perikanan tangkap tersebut selanjutnya dijual pada para pedagang besar di kota Samarinda/ Balikpapan/ Tarakan. Namun banyak diantara mereka yang tidak mampu survive karena kurang adaptif dan visioner dalam melihat perubahan disekitar mereka. Meskipun mampu melakukan mobilitas vertikal, namun para ponggawa perintis ini tidak mampu mengembangkan diri menjadi entrepreneur lokal yang sanggup membangun industri perikanan yang kokoh. Dari lapisan ponggawa inilah banyak di jumpai adanya bibit-bibit entrepreneur lokal yang diharapkan mampu bersaing dalam biasnis perikanan. Kemunculan mereka tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan industri perikanan ekspor yang telah ada sejak awal 1974-an, karena perusahaan-perusahaan eksportir inilah yang telah mendorong kemunculan mereka. Keberadaan ponggawa-ponggawa lokal tersebut, sepertinya tidak disadari oleh perusahaanperusahaan eksportir yang telah eksis sebelumnya, bakal mampu menjadi pesaing yang handal bagi usaha bisnis mereka. Dengan menggunakan keunggulannya dalam melakukan hegemoni secara ekonomi dan sosio-kultural entrepreneur lokal ini, bahkan mampu membangun usaha industri perikanan yang kokoh. Lapisan ponggawa penerus ini cenderung konsumtif dan pragmatis dalam mengelola bisnis yang diwariskan oleh orang tua mereka. Banyak diantara mereka yang tidak hanya menekuni usaha disektor perikanan, namun juga tertarik untuk menggeluti bisnis lain, seperti sebagai kontraktor, usaha pertambangan, perkebunan kelapa sawit serta perdagangan kebutuhan pokok. Meskipun demikian, tidak sedikit diantara mereka yang mengalami kebangkrutan dan beralih profesi di tempat lain, akibat kesalahan dalam mengelola keuangannya.
Sumber: Data Primer Diolah, 2011 Berdasarkan kemunculannya para pengusaha lokal tersebut, peneliti setidaknya dapat memilah para ponggawa di Delta Mahakam ke dalam tiga kelompok (lihat Tabel 22.), yaitu; 1) Kelompok ponggawa perintis; mereka yang menjadi ponggawa sebelum adanya kegiatan industri perikanan; 2) Kelompok ponggawa pengikut; mereka yang menjadi ponggawa setelah adanya kegiatan industri perikanan; dan 3) Kelompok ponggawa penerus; mereka yang menjadi ponggawa karena faktor keturunan/ pewarisan usaha. Para ponggawa yang mampu bertahan dan berhasil mengembangan usahahanya adalah mereka yang tidak hanya berhasil melakukan hegemoni secara ekonomi dan sosio-kultural, namun juga adaptif dan visioner dalam melihat perubahan. Banyak diataranya adalah para ponggawa pengikut yang berhasil melakukan ekstensifikasi usaha, dengan memanfaatkan momentum “keunggulan pada kesempatan pertama untuk memulai”, pasca pelarangan trawl pada 1983. Ponggawa-ponggawa dengan karakteristik seperti inilah yang memiliki potensi menjadi seorang entrepreneur lokal yang sukses dan mampu mengembangkan kegiatan bisnis usahanya. Meskipun
257
berdampak pada perubahan lanscape ekologi lokal, akibat “absennya negara” atas Kawasan Budidaya Kehutanan, yang menjadi ajang konversi area pertambakan pribadi. Jika keberadaan para pengusaha lokal (ponggawa) yang juga merupakan elit sosio-ekonomi dalam masyarakat Bugis perantauan di Delta Mahakam tersebut diletakkan dalam konteks sejarah sosialnya, maka pelapisan pada masyarakat Bugis kontemporer di kawasan Delta Mahakam akan mewujud seperti pada Gambar 25. Dimana secara garis besar hanya terdapat dua lapisan dalam masyarakat Bugis kontemporer, yaitu Ajjoareng (pemimpin) dan Joa’ (pengikut), selanjutnya kedua lapisan dipisahkan oleh statusnya. Lapisan I Ajjoareng (Pemimpin/ Patron) II Joa’ (Pengikut/ Klien)
1. 2. 3. 4. 1. 2. 3.
Golongan Ponggawa Besar Ponggawa Menengah dan Ponggawa Kecil Pengumpul/ Penyambang Mandiri Petambak berlahan luas dan memiliki penjaga empang Petambak berlahan kecil tanpa penjaga empang Pengumpul/ Penyambang yang dipekerjakan ponggawa/ eksportir Penjaga Empang dan Buruh Industri Perikanan Ekspor
o o o o o o o
Status Eksportir Ponggawa Pengumpul Mandiri Petambak Besar Petambak Kecil Penyambang Penjaga Empang/ Buruh
Gambar 25. Pelapisan Masyarakat Bugis Kontemporer dalam Kegiatan Pertambakan di Delta Mahakam Sumber: Data Primer Diolah, 2011 Pemisahan status, dapat dilihat dari penguasaan kapital (ekonomi) dan alat produksi, sehingga muncul empat status dalam lapisan Ajjoareng, yaitu; eksportir atau ponggawa besar, ponggawa atau ponggawa menengah – kecil, pengumpul mandiri dan petambak besar yang memiliki tambak luas dengan mempekerjakan penjaga empang. Sedangkan pada lapisan Joa’, terdapat tiga status, yaitu; petambak kecil yang berlahan sempit bekerja sendiri, penyambang/ pengumpul yang dipekerjakan ponggawa/ eksportir, dan penjaga empang/ buruh industri perikanan. Meskipun demikian, status dalam setiap lapisan tidak selalu menunjukkan hegemoni lapisan ajjoareng atas lapisan joa’, karena ada kalanya seorang petambak kecil berlahan sempit bekerja sendiri yang “bebas”/ tidak terikat pada seorang ponggawa yang tidak bisa diklasifikasikan sebagai Joa’ (pengikut) karena ia seorang pekerja mandiri. Namun ada kalanya seorang petambak besar atau bahkan ponggawa, dapat diklasifikasikan sebagai Joa’ (pengikut) jika kegiatan usahanya “terikat” pada seorang ponggawa/ eksportir lokal. Para ponggawa yang telah berhasil secara ekonomi tersebut, dikalangan migran Bugis setempat, kemudian mendapatkan “sapaan penghormatan” dengan sebutan Puang atau Puang Haji dari para kolega dan kliennya. Meskipun arti dan perbedaan antara lapisan Anakarung dan To Maradeka, kini mengalami degradasi dalam kehidupan masyarakat, bahkan artinya seringkali direndahkan dengan sengaja, namun simbol-simbol feodal seperti itu tetaplah memiliki makna penting dalam menunjukkan status seseorang, yang akan mempengaruhi orang lain (khususnya para klien) dalam
258
menentukan cara berprilaku terhadapnya. Kondisi ini menguatkan tesis Mattulada (1985), yang menyatakan latar belakang pelapisan masyarakat Bugis (Makassar) tidaklah bersumber pada latar belakang mitologi/ religius yang mendalam, namun hanya dilatarbelakangi oleh keadaan pragmatis. 7.1.2
Implikasi Ekologis: Perubahan Evolusioner Land Use di Delta Mahakam
7.1.2.1 Fenomena “Absennya Negara” Seperti telah dijelaskan pada Bab IV, pengembangan kegiatan pertambakan dengan mengkonversi hutan mengrove di kawasan Delta Mahakam, dalam prakteknya nyaris tidak mengalami hambatan hukum-birokrasi yang berarti, karena dilakukan dengan dukungan dari Pemerintah Pusat hingga Pemerintah Daerah. Melalui berbagai kebijakan yang pada hakekatnya ditujukan untuk “mengamankan” Program Udang Nasional. Kebijakan pertanahan yang lebih dititikberatkan pada upaya mendukung pertumbuhan ekonomi yang cepat tersebut, selanjutnya ditujukan bagi pemenuhan kepentingan dan kebutuhan pembangunan sektoral. Akibatnya fokus kebijakan pertanahan
lebih
ditujukan
untuk
memecahkan
persoalan
pertanahan
yang
menghambat pelaksanaan pembangunan, karena pemerintah memandang peningkatan pertumbuhan ekonomi jauh lebih penting dibandingkan pelaksanaan keadilan agraria (landreform). Hingga munculnya ketidakpastian hukum pasca berlakunya SK Mentan bernomor 24/ Kpts /Um /1983, yang membagi wilayah Kalimantan Timur berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK), dimana kawasan Delta Mahakam hampir seluruhnya ditetapkan sebagai kawasan hutan produksi. Di dalam ketidakpastian hukum inilah
sejumlah
petambak
lokal
menemukan
momentum
untuk
bangkit
dan
mengembangkan diri sebagai penguasaha perikanan yang tangguh. Meskipun ketidakpastian hukum atas area pertambakan yang dikelola masyarakat, dilain sisi juga telah menyebabkan para petambak tidak memiliki legalitas penguasaan atas lahanlahan tambak yang digarapnya. Ketidakpastian status kawasan hutan negara seperti itulah yang menurut Kartodiharjo dan Jhamtani (2006) menjadi salah satu penyebab kerusakan hutan alam dan kegagalan pembangunan. Bahkan, seringkali permasalahan agraria yang muncul kemudian, juga memicu munculnya konflik kepentingan, akibat ketidakpastian hak-hak atas tanah yang dimanfaatkan. Meskipun telah menetapkan kawasan Delta Mahakam sebagai KBK yang terlarang bagi kegiatan lain diluar sektor kehutanan, ironisnya pemerintah tidak pernah “berniat” menertibkan kegiatan pertambakan yang dalam perspektif kehutanan dikategorikan
sebagai
ilegal.
Pembangunan
tambak-tambak
baru
yang
terus
berlangsung dan ketidak-pedulian masyarakat atas berlakunya hukum formal, semakin
259
menguatkan indikasi negara sebagai pemilik otoritas tertinggi atas tanah-tanah negara, telah “absen” atas terjadinya praktek-praktek penguasaan sumberdaya agraria secara ilegal. Konstruksi “absennya” negara atas permasalahan agraria yang terjadi di kawasan Delta Mahakam bisa disejajarkan dengan “pembiaran” negara dalam perbagai permasalahan konflik yang terjadi di seantero negeri dewasa ini. “Pembiaran” bahkan telah menjadi kebijakan resmi pemerintah, terkait opsi penyelesaian berbagai permasalahan yang dihadapi rakyat! Hal ini juga bisa berarti proses “mengelola hutan”, sekedar sebagai antisipasi munculnya gejolak dalam masyarakat. Kondisi tersebut mengingatkan pernyataan Barber (1989) yang melihat hutan di Jawa hanya memberikan “bagian yang sangat kecil dari pendapatan nasional yang berasal dari hutan”, akibatnya tujuan utama dari kegiatan pemerintah dalam mengelola hutan adalah mengontrol penduduk yang tinggal di daerah pedalaman/ di sekitar hutan dan bukan untuk mencari pemasukan uang atau keuntungan (Li, 2002). Alasan ini sangat relevan untuk menjelaskan keberadaan mega proyek industri migas yang perlu mendapatkan proteksi dan pengamanan optimal dari berbagai kepentingan yang ada disekitarnya, dengan menetapkan kawasan hutan Delta Mahakam yang telah kolaps sebagai hutan produksi. Pada gilirannya seperti disinyalir Sajogyo (1981), komposisi penggunaan tanah belum beranjak seperti yang terjadi di zaman kolonial. Dimana kekuasaan atas tanah, yang merupakan basis kekuatan ekonomi dan politik, bertumpuk pada bentuk pengusahaan tanah yang dimiliki oleh pemerintah dan pihak swasta, termasuk di dalamnya kelompok pemodal asing. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa politik agraria kapitalis masa kini, telah menguatkan posisi pemilik modal swasta – termasuk swasta milik asing – dan pemerintah sebagai kekuatan ekonomi politik yang dominan. Secara dinamis, dominasi tersebut juga mengkondisikan munculnya konflik agaria yang cukup laten diantara masyarakat lokal/ juga dengan pihak swasta. Menariknya, konflik tersebut dapat dengan mudah menjadi konflik manifes jika melibatkan perusahaan migas yang beroperasi disekitar kawasan Delta Mahakam. 7.1.2.2 Ketidakpastian Regulasi Seperti telah disinggung sebelumnya ketidakpastian regulasi, terjadi pasca pelarangan jaring trawl secara total pada tanggal 1 Januari 1983. Ketika Menteri Pertanian mengeluarkan sebuah keputusan bernomor 24/ Kpts /Um /1983, yang menentukan pembagian wilayah Kalimantan Timur berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) seluas 21.144.000 Ha, dimana kawasan Delta Mahakam hampir seluruhnya ditetapkan sebagai kawasan hutan produksi. Status ini terus dipertahankan sampai tahun 1992, saat Departemen Kehutanan merampungkan peta TGHK kawasan hutan untuk Kalimantan Timur (Simarmata, 2009). Kebijakan inilah yang menyebabkan
260
bertumpang tindihnya kepentingan, antara kepentingan “program udang nasional” yang mengalokasikan sejumlah kawasan hutan mangrove di pesisir Delta Mahakam sebagai kawasan budidaya udang (sebagai salah satu bentuk “kompensasi” pelarangan trawl), dengan kepentingan sektoral kehutanan yang ingin mempertahankan kawasan Delta Mahakam sebagai Kawasan Budidaya Kehutanan (KBK). Merujuk pada data-data historis, penetapan Delta Mahakam sebagai kawasan hutan produksi terbatas, sebenarnya bisa disebut sebagai bentuk “kamuflase kebijakan” oleh pemerintah untuk mengurangi efek sosio-politis atas beroperasinya kegiatan pertambangan migas di Delta Mahakam (lihat Bab V). Sekalipun secara faktual pada tahun 2001 hampir 85.000 Ha dari 150.000 Ha luasan hutan mangrove di delta Mahakam telah berubah fungsi menjadi tambak. Namun melalui SK Menhut No. 79/ Kpts-II/ 2001, Departemen Kehutanan justru menetapkan kawasan hutan dan perairan wilayah Provinsi Kaltim, dengan peta lampiran yang tetap mempertahankan status hutan mangrove di Delta Mahakam sebagai hutan produksi. Di dalam kebijakan tersebut nampak sekali peran pemerintah yang dominan dalam mendefinisikan suatu wilayah/ kawasan hutan. Tarikan garis di atas kertas peta oleh negara, secara mutlak telah mengakibatkan hilangnya akses masyarakat lokal terhadap sumberdaya alam yang secara tradisi sudah mereka lakukan jauh sebelum negara ini ada. SK Bersama Mentan dan Menhut Nomor KB. 550 /246 /Kpts /4 /1984, bahkan telah melarang kegiatan budidaya perikanan di kawasan hutan pantai (mangrove) yang terletak di pulau yang luasnya kurang dari 10 Km². Selain memuat ketentuan lain yang menyatakan bahwa budidaya perikanan hanya dapat dilakukan pada kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi. Namun, pembukaan hutan mangrove untuk kegiatan pertambakan tetap saja belangsung tanpa ada penertiban dari otoritas yang berwenang. Bukan hanya melanggar peraturan formal, yang melarang budidaya perikanan di kawasan hutan mangrove, sebagian petambak juga tidak memiliki izin garap, izin pembukaan lahan ataupun izin usaha perikanan. Ironisnya, konstruksi sosial tentang problem dan krisis lingkungan yang diwujudkan dalam produk kebijakan yang tidak mungkin dilepaskan dengan kepentingan dan kontrol aktor yang berkuasa dalam pemerintahan tersebut, tidak dibarengi dengan kehadiran otoritas negara dalam pelaksanaannya, baik yang mewujud dalam kewenangan pemerintah daerah (pemprov ataupun pemkab). Akibatnya bentuk pengaturan tenurial yang faktual menurut Simarmata (2009), menjadi ditentutan oleh otoritas yang lebih rendah, dalam hal ini camat dan kepala desa beserta perangkatperangkatnya. Dengan segala keterbatasan pengetahuan, informasi, sarana pendukung serta balutan kepentingan, camat dan aparat desa mengembangkan tafsir yang karakternya membenarkan tindakan pembukaan tambak dan memberi kemudahan
261
untuk mendapatkan legalitasnya. Bagi apartur di aras lokal keberadaan kegiatan usaha pertambakan dianggap dapat meningkatkan pendapatan masyarakat, dengan asumsi pemberian izin garap oleh otoritas lokal bukan sebagai bentuk pelanggaran hukum karena tidak memberikan hak kepemilikan pada penggarap. Selain alasan klasik, melanjutkan kebijakan yang telah ada sebelumnya. Sementara persepsi masyarakat setempat yang menganggap tanah-tanah yang mereka garap secara turun temurun sebagai tanah milik, akibat minimnya pengetahuan atas status lahan yang mereka kuasai dan manfaatkan, menjadikan pembukaan tambak-tambak baru di dalam kawasan hutan produksi tanpa izin terus berlangsung. Pembukaan hutan mangrove secara besar-besaran untuk kegiatan pertambakan tersebut, mencapai puncaknya pasca terjadinya krisis ekonomi regional pada 19971998, dipicu oleh tingginya nilai tukar dolar terhadap rupiah sehingga terjadi “boom harga udang”. Berdasarkan data statistik perikanan Kalimantan Timur, peningkatan luasan tambak mencapai puncaknya pada 2001 seluas 36.634 Ha dan kembali mengalami peningkatan secara fantastik hingga mencapai 120.763 Ha pada 2006. Kondisi ini secara tidak langsung telah memicu terjadinya “ledakan penduduk” di kawasan Delta Mahakam oleh para pendatang yang ingin mencoba peruntungan di sektor perikanan budidaya. Membuka hutan mangrove yang tersisa dengan cara merintis lahan tanpa melapor atau dengan meminta izin garap dari otoritas lokal atas “lokasi” hutan mangrove yang dianggap masih bisa dirintis menjadi area pertambakan baru. Kisah sukses petambak yang mampu meraup keuntungan besar, sehingga sebagian diantaranya mampu menjadi ponggawa beromset milyaran rupiah perbulan, juga
memberikan
pengaruh
yang
tidak
kalah
pentingnya
dalam
memotivasi
perkembangan usaha pertambakan. 7.1.2.3 Oportunisme dan Pragmatisme Orang Bugis Kecendrungan yang luar biasa untuk selalu mencari peluang ekonomi yang lebih baik dimanapun dan kapanpun tampaknya menjadi ciri khas yang tetap melekat dalam diri orang Bugis. Begitu kuatnya motif ekonomi dalam setiap mobilitas yang dilakukan orang Bugis, memberikan kesan bahwa peranan uang atau hartalah yang banyak menentukan nasib dan status seseorang. Sangat banyak ulama yang menganggap usaha memperkaya diri sebagai suatu kewajiban, sepanjang dilakukan secara jujur dan halal (sappa’ dalle’ hallala’), karena memungkinkan seseorang mampu membantu sesama yang kurang beruntung (Pelras, 2006). Orang Bugis, bahkan mempertaruhkan siri’-nya ketika merantau, mereka “merasa malu bila tidak bisa pulang untuk memperlihatkan bukti keberhasilannya di rantau”. Setelah meninggalkan tanah kelahirannya, kadangkala hingga bertahun-tahun mereka tidak kembali, hanya untuk mencari kekayaan hingga berhasil. Menjadi orang yang berharta, setidaknya juga
262
menutup kemungkinan terjerumus menjadi Ata dan kehilangan siri’. Dalam sejarahnya, nasib seorang Ata bahkan dapat dirubah seketika menjadi To Maradeka hanya dengan membayar sejumlah uang denda/ tebusan. Lebih jauh, Pelras (2006) bahkan menyebut para perantauan Bugis bukan sekedar petani tradisional, akan tetapi mereka adalah pengusaha berorientasi ekonomi. Berbeda dengan orang Jawa yang memiliki konsep keberhasilan yang diukur berdasarkan kemampuan untuk semakin memperluas sawah atau kebun guna mengintensifkan dan meningkatkan produk pertanian, para petani Bugis justru memiliki pemikiran jauh kedepan. Menurut Tanaka (1986), jika petani Bugis memperoleh uang yang cukup besar, mereka berencana menginvestasikan kembali uang itu dalam bidang lain, seperti transportasi, perniagaan atau menyewakan lahan kepada petani Jawa atau orang Bugis yang baru tiba dan selanjutnya mereka akan mencari tempat-tempat yang lebih menguntungkan. Bagi migran Bugis, sepertinya ikatan mereka dengan tanah yang dikuasainya hanyalah sebentuk “ikatan instrumental”, jika mereka menganggap tanahtanah yang dikuasainya tidak lagi “menguntungkan”, mereka akan segera menyewakan ataupun jika dikalkulasi tidak rugi akan dijualnya dengan harga layak. Meskipun demikian, sejumlah migran Bugis diketahui enggan menjual tanah miliknya yang dianggap memiliki nilai historis tertentu. Selanjutnya
mereka
akan
berusaha
mencari
tanah-tanah
yang
lebih
“menguntungkan” dan seringkali mengikuti jejak keberhasilan orang lain (meskipun berbeda etnis). Hal ini bisa dilihat dari kemampuan adaptasi para migran Bugis di Kelurahan Muara Kembang dan Pendingin yang mampu mengadopsi kegiatan pertanian padi dengan sistem handil yang dikembangkan migran Banjar ataupun sistem perladangan berpindah yang dipraktekkan penduduk asli setempat (Kutai). Tidak berlebihan jika kelak, kegiatan perkebunan kelapa untuk kopra yang memiliki harga menarik dipasaran ataupun perikanan tangkap (bagang) yang baru diintrodusir dari luar pun dengan sangat antusiasnya mampu dikembangkan migran Bugis di sekitar kawasan Delta Mahakam. Selama usaha baru tersebut dianggap mampu memberikan keuntungan lebih baik. Pragmatisme usaha yang ditunjukkan migran Bugis, juga terlihat dalam kegiatan budidaya tanaman coklat di Sulawesi Selatan (Mamuju, Polewali dan Luwu‟) yang mengalami booming pada 1980-an. Menariknya banyak diantara mereka ternyata berasal dari Soppeng setelah berakhirnya boom tembakau. Penanaman coklat sepenuhnya bermula dari inisiatif spontan petani kecil yang termotivasi informasi mengenai besarnya keuntungan coklat dari hubungan perdagangan langsung ke Sabah Malaysia. Menurut Ruf (1991), peran utama yang berhasil dimainkan orang Bugis dalam boom coklat karena mereka memiliki jaringan informasi penanaman dan perdagangan coklat, sehingga mampu menangani sendiri seluruh tahapan pemasaran produksi.
263
Fenomena seperti itu pun dijumpai dalam kegiatan pertambakan di kawasan Delta Mahakam, sikap oportunis dan pragmatis ditunjukkan oleh para migran Bugis yang datang dari berbagai daerah di Sulawesi Selatan maupun mereka yang telah menetap di sepanjang pantai timur Kalimantan. Mereka berbondong-bondong datang ke kawasan Delta Mahakam pasca pelarangan trawl – pemberian “kompensasi” pembukaan area hutan mangrove untuk kegiatan pertambakan. Umumnya mereka berasal dari Wajo, Bone, Pangkep dan Makassar, tidak sedekit diantara mereka adalah migran Bugis yang sebelumnya telah menetap di pantai timur Kalimantan, seperti Samarinda, Talake-Paser, Balikpapan, Samboja, Muara Jawa, Anggana, Muara Badak, Marang Kayu dan Bontang. Menariknya dalam dasawarsa terakhir, migrasi keluar dari tanah Bugis ataupun perpindahan orang Bugis dari satu pemukiman ke pemukiman lainnya untuk mencari penghidupan yang lebih baik, banyak dilakukan dalam kelompokkelompok keluarga/ kekarabatan dengan dipimpin seseorang yang dituakan. Seperti yang dilakukan banyak migran Bugis yang datang di kawasan Delta Mahakam dalam tiga dasawarsa terakhir, meskipun ada pula migran yang datang secara perorangan. Berbeda dengan migran Bugis berorientasi perdagangan yang cenderung tidak terlibat secara langsung dengan komoditas yang mereka perdagangkan, migran Bugis berorintasi tanaman keras (kopra) – pertanian (beras) mulai berbagi peran, sejumlah migran mulai mengkhususkan diri untuk melakukan kegiatan usaha budidaya tanaman keras/ pertanian sawah dan selanjutnya membatasi aktivitas mereka dengan hanya memetik kelapa dan membuat kopra/ bertani padi sawah dan memproduksi beras. Sementara sejumlah migran lainnya yang berpengalaman dalam kegiatan perdagangan (biasanya pemilik kapal) bertindak sebagai agen penyalur ataupun pemasaran kopra/ beras. Menariknya, dalam empat – tiga dasawarsa terakhir, terjadi perubahan orientasi migran Bugis dalam mengembangkan usahanya. Hal ini bisa dilihat dari peran yang dimainkan orang Bugis dalam boom coklat di Indonesia yang memanfaatkan jaringan informasi penanaman dan perdagangan coklat, sehingga mampu menangani sendiri seluruh tahapan pemasaran produk mereka. Fenomena tersebut, tampaknya juga diperankan dengan sangat baik oleh migran Bugis dalam kegiatan usaha pertambakan udang di kawasan Delta Mahakam, hingga terjadinya boom udang di tahun 1998. Mereka mampu memanfaatkan momentum melemahnya mata uang nasional atas US Dollar, pasca krisis ekonomi yang melanda Asia pada 2007/ 2008 dengan “memainkan” jaringan informal produksi pertambakan udang lokal dan perdagangan udang di tingkat internasional, sehingga usahanya berkembang dengan pesat, bahkan mampu bersaing dengan “pemain luar”. Itu berarti, keberhasilan ponggawa Bugis dalam kegiatan usaha pertambakan, juga tidak dapat dipisahkan dengan kemampuan mereka dalam mengelola komoditas yang
264
diperdagangkan
secara
berkelanjutan,
sekaligus
kelihaian
mereka
dalam
memperdagangkan komoditas berorintasi pada dinamika pasar dan menguntungkan Pragmatisme dan opurtunisme orang Bugis tidak bisa dipisahkan dengan sistem hierarki yang mereka tradisikan, meskipun membedakan orang berdasarkan asal-usul keturunannya, pada saat yang sama, juga memberi peluang yang sama kepada orangorang dari status yang sederajat. Walaupun garis batas antara orang-orang dari status berbeda terus dipertahankan, tetapi persaingan dikalangan orang-orang berstatus sederajat untuk memperoleh jabatan, pengaruh, maupun kekayaan tetap terbuka lebar. Jadi, persamaan hak dalam suatu sistem hierarki pada orang Bugis sekaligus merupakan bibit instabilitas, bahkan kadang-kadang merupakan benih konflik.
Interaksi Individu
Interaksi Individu
Persaingan Keluarga/ Klpk. Patronase
Persaingan
Solidaritas
Interaksi Kelompok
Solidaritas
Keluarga/ Klpk. Patronase
Persaingan
Solidaritas
Gambar 26. Piramida Interaksi Sosial Orang Bugis Sumber: Pelras (2006) Kontradiksi semacam itu sebenarnya telah tampak dalam nilai-nilai ideal masyarakat Bugis, sebagaimana terlihat dalam tarik-menarik antara siri’ dan passe’, persaingan dan solidaritas, juga sistem hirarki dan persamaan hak. Interaksi orang Bugis pada dasarnya terdiri atas beberapa lapis kelompok yang saling terkait (keluarga, wilayah
kekuasaan
dan
patron-klien)
yang
berwujud
suatu
piramida
saling
berhubungan, sebagaimana halnya interaksi antar individu dalam persaingan atau solidaritas. Hubungan antara keluarga yang satu dengan lainnya, wilayah yang satu dengan lainnya, serta kelompok patron-klien yang satu dengan lainnya, pada dasarnya adalah hubungan antara individu yang satu dengan individu lainnya. Setiap individu sekaligus merupakan anggota dari berbagai lapisan kelompok tersebut. Oleh karena itu interaksi antar kelompok, dengan sendirinya juga merupakan interaksi antar individu, tidak terlalu diatur oleh suatu standar moral universal, akan tetapi lebih banyak ditentukan oleh semacam aturan main atau lebih tepatnya oleh suatu aturan yang menyerupai pola interaksi antar negara (dimana kepentingan nasional/lebih besar, lebih dipentingkan dari tuntutan moral).
265
Di dalam konteks seperti ini, tujuan utama seorang individu adalah mencapai prestasi pribadi, sekaligus ikut memberi kontribusi terhadap keberhasilan kelompok di mana ia menjadi anggota. Hal tersebut dapat diwujudkan dengan mengikuti aturan main yang membuka peluang terjadinya persaingan ketat, tanpa harus tergelincir kedalam anarki atau tanpa harus membahayakan kehidupan masyarakat secara luas. Dalam kerangka seperti itu, sifat baik seseorang bukan lagi menjadi suatu hal yang mutlak ada, akan tetapi sekedar sebagai alat untuk mencapai tujuan yang dikendaki. Karenanya menurut Mattulada (1985), watak dagang dan wirausaha pada diri orang Bugis yang potensial baru dapat berkembang semestinya, jika disertai dengan pengembangan prinsip-prinsip usaha yang bebas, dengan pengorganisasian usaha melalui bimbingan dan perlindungan penguasa. Jika tidak, watak niaga/ “usaha bebas” yang ada pada diri orang Bugis
dapat
tersalur melalui
jalan-jalan
lain,
seperti
kegiatan
usaha
penyelundupan dan usaha-usaha semacamnya yang cenderung negatif. Berdasarkan sejumlah wawancara, peneliti menemui sejumlah motif yang mendasari tindakan sejumlah nelayan di pantai timur Kalimantan yang berani mengambil resiko melakukan kegiatan illegal dengan menjadi penyelundup di kawasan perbatasan. Sebelum pada akhirnya berubah haluan menjadi wirausahawan disektor perikanan, diantaranya yang sangat fenomenal adalah (alm.) Haji Muhiddin dan Haji Saraping. Latar belakang motifnya ternyata tidak dapat dipisahkan dengan kebijakan pelarangan trawl yang dilakukan tanpa memperhitungkan solusi alternatif bagi mereka yang tidak terserap dalam kegiatan usaha non-trawl yang digagas pemerintah. Banyak diantara pelaku “tindakan ilegal” tersebut, merasa kecewa dengan kebijakan sepihak yang mematikan usaha mereka, sementara usaha alternatif yang ditawarkan dianggap belum mampu memberikan keuntungan yang lebih baik dibandingkan usaha sebelumnya. Akibatnya motif-motif instan yang dapat memberikan keuntungan lebih besar atau setidaknya setara dengan keuntungan usaha sebelumnya, meskipun oleh pemerintah dikategorikan ilegal menjadi pilihan yang dianggap pantas. Menurut Berger (1991), konsepsi tentang motif yang disebutnya sebagai pragmatic motive, terjadi ketika pengetahuan manusia ditentukan oleh kepentingan pragmatis individu setiap hari. Manusia melakukan tindakan berdasarkan atas pengetahuannya ada atau tidaknya kepentingan. Jadi semakin besar kepentingan dibalik tindakan, maka akan semakin besar pula usaha untuk melakukan tindakan tersebut. Motif pragmatis inilah yang sesungguhnya memicu berbagai benturan di antara individu. Namun demikian, karena realitas keseharian hakikatnya adalah terbagi dengan yang lain, maka manusia mengembangkan pengetahuan untuk berbagi dengan yang lain. Manusia mengembangkan pengetahuan, kesadaran dan pengalaman untuk berbagi dengan yang lain, melalui proses transformasi dan sosialisasi. Melalui
266
pengetahuan seperti itulah, terjadi keteraturan dan keseimbangan dalam dinamika hubungan sosial, melalui proses pelembagaan dan institusionalisasi sebagai tindakan sehari-hari. 7.1.2.4 “Akresi Kapital”: Korban Penimbunan Kapital Terkonsentrasinya alat produksi, ditambah kemampuan ponggawa dalam “menaklukkan” ruang kultural, dengan hegemoni kultural sebagai strategi adaptasinya, menjadikan monopoli dalam kegiatan pertambakan mampu mendorong terjadinya proses kapitalisasi pertambakan. Yaitu proses akumulasi kapital yang dicapai dengan mendapatkan rente atau pasokan material raw secara tetap tanpa harus mengeluarkan banyak “energi” ataupun biaya melalui monopoli. Mengakumuasi kekayaan bukan sekedar melalui keuntungan tapi melalui rente dari jaringan yang dibangunnya. Artinya sebagai pemasok khusus (udang windu), kebutuhan pasar tersebut sedikit demi sedikit dikumpulkan dari mitral lokal, dengan akses khusus pada teknologi dan pengetahuan dari kelembagaan lokal atau keluwesan berproduksi yang merupakan hasil negosiasi dalam jaringan yang tidak membutuhkan biaya tinggi. Begitupun dengan dampak ekologis dari berlangsungnya mekanisme tersebut, disumbang secara kolektif, sedikit demi sedikit oleh jejaring usaha pertambakan yang menopangnya. Peneliti menyebut proses tersebut sebagai “akresi kapital”, sebuah proses pengendapan kapital pada pengusaha lokal pertambakan (ponggawa) yang menduduki puncak hierarki. Hal ini berlangsung seiring dengan terjadinya abrasi, yang dalam istilah geologi berarti proses pengikisan daratan akibat hempasan gelombang, sehingga menjadi tenggelam/ sejajar dengan permukaan air yang mengikisnya. Proses abrasi tersebut terjadi; pertama, pada ruang ekologi dengan semakin menipisnya tegakan hutan mengrove dan terdegradasinya kualitas lingkungan; kedua, pada ruang ekonomi dengan semakin senjangnya pendapatan dan tergantungnya kelangsungan hidup para petambak/ penjaga empang; ketiga, pada ruang sosio-kultural dengan terjadinya peluruhan modal sosial dan tidak terbangunnya “perjuangan” counter hegemoni (seperti ditunjukkan Gambar 27.). Dari hasil penggerusan pada “ketiga ruang” inilah terjadi pengendapan kapital setelah melalui serangkaian proses “akresi kapital”.
Pasompe: Ekspansi Evolusi moral ekonomi dalam jaringan-patronase, dan Kolonisasi nilai siri” – passe’ serta we’re’ hingga watak Migran Bugis spekulatif dan oportunis – pragmatis Ruang Sosio-Kultural Abrasi ruang sosio-kultural; pelumpuhan modal sosial – tidak terjadinya Eksploitasi Hutan Penguasaan counter hegemoni Mangrove hutan mangrove Delta Mahakam; utk pertambakan Minyak dan Gas Abrasi ruang ekologi; ”Ilegal” – Perikanan Tangkap degradasi kualitas konsentrasi Pertambakan (budidaya) Lingkungan hingga alat produksi Perkebunan kelangkaan sumberdaya & Pemukiman, dst oleh ponggawa keberingasan ekologis yang memicu Ruang Ekologi “tragedi mangrove” Kebijakan ”Pembangunan” tanpa diiringi Land Reform & Law Enforcement – Tumpang Tindih Regulasi; UU 1/1967; UU 8/1968; Keppres 39 Thn 1980, Prog. “Udang Nasional” Inpres 11/1982; SK Mentan 24/ Kpts /Um Ruang Ekonomi-Politik Penetrasi Kapital World Bank - IBRD, ADB dan FAO, hingga TNC dan Agen Kapitalisme Glokal
Reproduksi Strategi Adaptasi & Proses Habitualisasi
Akresi Kapital: proses akumulasi dan penumpukan kapital, sebagai hasil abrasi ruang sosio-kultural, ekologi dan ekonomi-politik
Abrasi ruang ekonomi-politik; ketergantungan, kesenjangan, ”pemiskinan” & konflik kepentingan – pembiaran negara” dalam ”mengelola hutan” Perubahan pola konsumsi dan gaya hidup, hingga peningkatan permintaan produk perikanan pasar glokal
Gambar 27. Kebangkitan Kapital Lokal Via New-Tragedy of The Commons Sumber: Data Primer Diolah, 2011
Kebangkitan ekonomi pertambakan sebagai hasil monopoli & akumulasi rente oleh ”bangsawan pertambakan” yang memiliki kemampuan hegemoni kultural, penguasaan alat produksi & material raw yang menjadi motor penggerak proses kapitalisme lokal
Sistem Produksi Kapitalis
268
Bentukan akumulasi sumberdaya ekonomi inilah yang kemudian menggerakkan proses penumpukan kapital lokal, serupa dengan proses pembentukan Delta Mahaham yang merupakan hasil pengendapan lumpur abrasi dari hulu sungai Mahakam. Menariknya, ketiga ruang (ekologi, ekonomi dan sosio-kultural) saling mengiris di dalam ruang ekologis, hal ini sekaligus menjadi penanda bahwa penguasaan mangrove untuk kegiatan “pertambakan ilegal” hingga terkonsentrasinya alat produksi pada para ponggawa menjadi titik simpul yang paling krusial atas berlangsungnya proses “akresi capital” yang kemudian mendorong pembentukan ekonomi lokal. Meskipun proses pembentukan ekonomi lokal berbasis perikanan budidaya tidak bisa dipungkiri menyisakan “residu” khususnya dalam ruang ekologis (seiring dengan terjadinya degradasi kualitas lingkungan akibat konversi hutan mangrove secara massive). Namun kondisi tersebut juga tidak dapat dipisahkan dari komitmen otoritas berwenang yang belum mampu “menyentuh kepentingan” para aktor kunci dalam kegiatan pertambakan, sehingga dapat menginput pada reproduksi strategi dan proses habitualisasi alternatif. Gejala kapitalisasi pertambakan mulai terlihat sejak aktifitas ekonomi utama masyarakat setempat mulai bergeser dari kegiatan pertambakan skala kecil menjadi kegiatan pertambakan berskala luas, yang kemudian mendorong munculnya profesi baru dalam kegiatan pertambakan yaitu, penjaga empang dan buruh tambak. Kondisi ini terjadi ketika para petambak (ponggawa) yang tidak lagi sanggup mengelola tambaknya, mulai mendatangkan penjaga-penjaga empang, serta buruh tambak dari Sulawesi dan Pantura Jawa Timur. Sejak itulah, mulai terjadi pergeseran makna dalam hubungan patronase dalam kegiatan pertambakan, dimana para Ponggawa tidak lagi hanya memposisikan dirinya sebagai kepala keluarga tradisional yang terus menolong menutupi kebutuhan para pekerja, seperti membayar biaya keperluan darurat dan beberapa biaya lain untuk memenuhi kewajiban upacara adat seperti temuan Vayda dan Sahur (1996). Namun mereka juga telah memposisikan dirinya sebagai produsen yang “memaksa” petambak-petambak yang terikat padanya serta para penjaga empang miliknya untuk dapat memberikan kepastian pasokan udang yang dibutuhkan pasar (Lenggono, 2004). Meskipun demikian, banyak petambak yang terikat secara permanen dengan para ponggawa, menganggap mereka layaknya “dewa penyelamat” yang wajib untuk dihormati dan dibela dalam kondisi apapun. Penghayatan terhadap realitas sosial seperti inilah yang semakin melanggengkan hubungan diadik vertikal antara ponggawa – petambak – penjaga empang. Kemapanan ekonomi keluarga-keluarga ponggawa, selanjutnya membuka akses ke berbagai bidang kegiatan lain, mulai dari industri pengolahan udang berikut unit-unit
pendukungnya,
kepengurusan
organisasi
petambak
–
ponggawa,
pemerintahan lokal hingga ke jenjang politik. Selanjutnya gejala kapitalisasi oleh para
269
ponggawa ini menggerakkan proses kapitalisasi pertambakan di Kawasan Delta Mahakam dalam bentuk diversifikasi usaha pertambakan yang semakin meluas dengan berkembangnya pembangunan cold storage, hatchery, pabrik es, mini market, industri pengolahan/ ekspor udang dan seterusnya. Kondisi ini telah mengubah struktur sosial masyarakat secara mendasar, perubahan struktur tersebut ditandai oleh semakin meningkatnya kebutuhan spesialisasi pekerjaan dan tumbuhnya pekerjaan-pekerjaan baru di sekitar kawasan. Akibatnya struktur masyarakat menjadi lebih kompleks seiring dengan munculnya organisasi-organisasi sosial baru yang memiliki beragam tujuan dan kepentingan. Perubahan ini menjadi sumber munculnya konflik-konflik baru dalam hubungan produksi, yang melibatkan perubahan pada hampir seluruh aspek tingkah laku sosial, termasuk di dalamnya industrialisasi, urbanisasi, diferensiasi dan sekulerisasi. Pada gilirannya mendorong terjadinya proses kapitalisasii pertambakan yang menggerakkan ekonomi lokal dalam bentuk diversifikasi usaha yang semakin meluas hingga terjadinya take over atas perusahaan perikanan internasional oleh ponggawa yang sebelumnya memberikan modal usaha baginya.
7.2
Pembentukan Masyarakat Ekonomi Lokal
7.2.1
Wujud Kapitalisasi Pertambakan
Sejak jaman dahulu, tampaknya perekonomian orang Bugis tidak pernah bersifat tertutup, karena tidak hanya ditujukan untuk mencukupi kebutuhan sendiri dari sektor pertanian – perikanan. Sistem perekonomian orang Bugis menurut Pelras (2006), sebagian diantaranya selalu didasarkan atas tukar-menukar barang dengan jaringan perdagangan luar yang kemungkinan dikendalikan oleh golongan masyarakat tertentu. Golongan atas sepertinya memperoleh penghasilan, bahkan kemakmuran dari ekspor produk tertentu, baik yang diproduksi sendiri maupun melalui perdagangan dengan para produsen di daerah pedalaman atau terisolir. Mereka sama-sama mendapatkan keuntungan dari pendapatan yang diperoleh dari kegiatan ekonomi masing-masing. Kalangan atas memperoleh keuntungan melalui pungutan, persembahan atau pemberian dari kalangan bawah, sebaliknya kalangan bawah menerima keuntungan dari pendistribusian kembali pendapatan kalangan atas kepada kalangan bawah. Berdasarkan catatan yang berhasil dihimpun, para migran Bugis pioner dari Talake-Paser yang datang ke kawasan Delta Mahakam menjelang tahun 1900-an, dilaporkan juga melakukan kegiatan perdagangan, khususnya kelapa yang akan diolah menjadi kopra, selain melakukan tukar-menukar hasil perikanan tangkap dengan barang kebutuhan pokok yang mereka butuhkan dengan para pedagang
270
perantara dari Pangkajene. Para pemimpin komunitas Bugis di Pamangkaran (kampung tertua di kawasan Delta Mahakam) sepertinya tidak terlalu banyak mendapatkan keuntungan dari kegiatan perdagangan hasil produksi pertanian – perikanan tersebut. Karenanya tidak sedikit dari para migran Bugis tersebut yang kemudian terlibat dalam kegiatan ilegal dengan bergabung menjadi perompak di perairan pantai timur Kalimantan. Sebagaimana dilaporkan Zwager yang mencatat kekuatan bajak laut yang beroperasi di sekitar perairan Tanjung Silat hingga Sungai Mahakam mencapai 40 – 50 perahu (Lihat Sub Bab 4.2). Menjelang kemerdekaan, di dalam kawasan Delta Mahakam telah tumbuh perkampungan-perkampungan baru, seperti Sungai Patin (Sepatin), Muara Pantuan dan Tanjung Adjoe (Tani Baru) yang dibangun oleh migran Bugis yang sebagian diantaranya berasal dari Pamangkaran. Hasil identifikasi dilapangan menunjukkan bahwa banyak lokasi-lokasi pertanian – perkebunan di kawasan tersebut yang dulunya merupakan areal jelajah pertanian – perkebunan dari warga Pamangkaran. Pada masa tersebut warga di ketiga perkampungan tersebut, diketahui telah melakukan hubungan perdagangan dengan melakukan transaksi jual beli ikan asin dan udang ebi olahan atau barter dengan beras, gula, rokok, dst, melalui pedagang-pedagang di Samarinda. Namun sulitnya medan yang harus ditempuh dan minimnya akses yang bisa digunakan nelayan-nelayan di dalam kawasan Delta Mahakam (mereka hanya mampu menggunakan perahu-perahu dayung untuk sampai ke Samarinda), serta dampak krisis ekonomi akibat revolusi fisik telah memaksa sebagian dari mereka masuk dalam kegiatan jaringan penyelundupan internasional. Tidak sedikit diantara mereka adalah para migran yang baru masuk ke kawasan Delta Mahakam pada masa-masa kekacauan/ pemberontakan militer di Sulawesi Selatan, yang dengan terpaksa ikut terlibat dalam kegiatan penyelundupan bersama nelayan-nelayan yang sebelumnya telah menetap di kawasan Delta Mahakam. Banyak pemilik perahu Bugis tidak hanya melakukan kegiatan di sektor perikanan tangkap, namun juga berperan serta dalam kegiatan penyelundupan berbagai bahan makanan dari dan ke Malaysia Timur (Bourgeois et al, 2002). Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas di awal 1970-an dan pembukaan cold storage di sekitar kawasan Delta Mahakam pada 1974, setidaknya telah mendorong kembali terjadinya arus migrasi ke kawasan Delta Mahakam dari Sulawesi. Banyaknya migran Bugis yang baru datang dan selanjutnya melakukan kegiatan usaha disektor perikanan tangkap telah mendorong terjadinya gelombang penggunaan alat tangkap trawl secara besar-besaran di pantai timur Kalimantan. Kondisi ini telah memberikan dampak mendasar bagi pertumbuhan ekonomi lokal, sekaligus memicu modernisasi khususnya dalam kegiatan perikanan tangkap di kawasan Delta Mahakam.
271
Keberadaan industri perikanan skala ekspor di kawasan Delta Mahakam, ternyata juga memberikan ruang bagi sejumlah nelayan di kawasan Delta Mahakam untuk melakukan mobilitas vertikal dengan menjadi ponggawa atau pedagang perantara di wilayah-wilayah yang tidak mampu dijangkau oleh perusahaan. Begitu fungsionalnya keberadaan mereka bagi perusahaan eksportir, beberapa diantara para ponggawa pengikut tersebut ada yang mampu memanfaatkan peluang, mendapatkan bantuan finansial bagi pengembangan kegiatan usahanya. Meskipun sebelum cold storage beroperasi di sekitar kawasan Delta Mahakam telah ada sejumlah ponggawa perintis, yang melakukan usaha pengumpulan hasil produksi kegiatan perikanan tangkap (baik yang masih segar ataupun telah diolah menjadi ikan asin/ ebi) untuk selanjutnya dijual pada para pedagang besar di kota Samarinda/ Balikpapan/ Tarakan. Namun banyak diantara ponggawa perintis ini yang tidak mampu bertahan, karena harus bersaing dengan para ponggawa pengikut yang lebih agresif, adaptif dan visioner dalam melihat perubahan zaman. Momentum penting yang menjadi titik tolak keberhasilan para ponggawa pengikut adalah kemampuan mereka mensiasati kebijakan pengalihan kegiatan ekonomi sebagian besar masyarakat lokal menjadi nelayan non trawl pasca penghapusan alat tangkap trawl secara total sejak awal 1983. Salah satunya dengan memanfaatkan kompensasi konversi hutan mangrove di kawasan Delta Mahakam menjadi area pertambakan yang difasilitasi pemerintah. Meskipun teknik pertambakan sebenarnya mulai dintroduksi dari pantai utara Jawa Timur melalui migran Bugis asal Sulawesi Selatan menjelang tahun 1975-an, namun kegiatan pertambakan masih belum dimanfaatkan secara optimal untuk pengembangan produksi perikanan. Baru menjelang akhir 1990-an kegiatan pertambakan mulai dilakukan secara massal dan massive sejak dilakukannya
mekanisasi
dalam
pembangunan
tambak-tambak
baru
dengan
menggunakan mesin excavator. Banyak diantara ponggawa pengikut ini yang kemudian berhasil melakukan akumulasi alat produksi berupa area pertambakan dengan sokongan dana dari pihak perusahaan eksportir yang menjadi induk semang mereka. Selanjutnya dengan pendekatan
kultural,
mereka
melakukan
koalisi
dengan
otoritas
lokal
untuk
mendapatkan konsesi atas sejumlah pulau/ lokasi hutan mangrove di dalam kawasan Delta Mahakam yang saat itu tidak memiliki nilai intrinsik. Penetrasi dalam kegiatan budidaya perikanan yang membutuhkan alat produksi yang luas dan legal tentu saja menjadi hambatan utama bagi perusahaan-perusahaan eksportir besar yang beroperasi di sekitar kawasan Delta Mahakam untuk melakukan pengembangan usaha budidaya perikanan tangkap. Karenanya mereka membutuhkan partnership lokal untuk bisa mengakses sumberdaya yang dibutuhkan bagi pengembangan kegiatan perikanan
272
budidaya yang sangat prospektif ke depan, seiring dengan terjadinya pengurasan stok sumberdaya ikan/ udang di laut. Tentu dengan sejumlah spesifikasi seperti itu, menjadi sulit bagi para migran yang datang belakangan untuk bisa mengakses alat-alat produksi yang menjadi prasarat mutlak bagi keberlanjutan sebuah usaha perikanan. Mengingat semakin minimnya hasil tangkapan di pantai Timur Kalimantan pasca pelarangan trawl dan akibat over fishing di sebagian perairan. Sementara sumberdaya hutan mangrove yang dapat dikonversi menjadi area-area pertambakan baru semakin sulit diperoleh, akibat telah terdistribusi pada sejumlah kalangan dan telah dikonversi menjadi tambak, selain semakin ketatnya regulasi atas penguasaan dan pemanfaatan lahan di kawasan Delta Mahakam yang sebagian besar dikategorikan sebagai KBK. Akibatnya bisa diduga, hanya mereka yang berhasil memanfaakan momentum “keunggulan pada kesempatan pertama untuk memulai” yang akan memiliki kemungkinan lebih baik menjadi pengusaha perikanan besar di kawasan Delta Mahakam. Yaitu, yang pertama menguasai “tanah-tanah negara” sebagai alat produksi yg menjadi kunci beroperasinya ekonomi lokal pertambakan. Kedua, yang pertama mendapat bantuan perusahaan perikanan ekspor dan berkoalisi dengan otoritas lokal sehingga menjadi ponggawa yang dapat melakukan akumulasi modal untuk penguasaan alat produksi, sekaligus membangun industri dalam kesempatan yang pertama. Ketiga, yang pertama memanfaatkan komponen budaya lokal (patronase) untuk menggerakkan kegiatan pertambakan dengan lebih efisien. Dan keempat, yang pertama mengembangkan jaringan dan terkoneksi dengan pasar regional dan internasional. Untuk mendapatkan kejelasan sistem ekonomi yang pernah berlaku dalam masyarakat Delta Mahakam, peneliti akan membicarakan formasi sosial Delta Mahakam dalam rentang waktu sejak migran Bugis mulai mendiami kawasan Delta Mahakam menjelang abad 19 hingga saat ini. Dalam konteks suatu formasi sosial, ketiga sistem ekonomi yang terpetakan dibawah ini dipahami tidak akan saling terpisah, melainkan terintegrasi satu sama lain (lihat Tabel 23.). Formasi sosial disini menunjuk pada sinkronitas keberadaan sejumlah cara produksi yang saling berbeda dalam konteks struktur dominasi.
273
Tabel 23. Ekonomi Lokal Diantara Tiga Sistem Ekonomi Sistem Ekonomi Pasar/ Komersialis Ekonomi Lokal
Sistem Ekonomi Kapitalis
Aspek
Sistem Ekonomi Subsisten Pemuasan kebutuhan dasar dimana kebutuhan sosial individu lebih penting dari kebutuhan ekonominya
Ekspansionis Profit oriented Utilitarianism Persaingan bebas
Ekspansionis Persaingan Patronase Solidaritas
Bekerja demi kesejahteraan bersama/ Tanggung jawab atasan, Disiplin ketat, Kolektivitas
Institusi Alokasi Sumberdaya
Pasar
Pasar
Komune/ Negara
Komunalisme
Organisasi Produksi
Swasta
Basis Etika-Moral
Perseorangan/ keluarga - Swasta Okupasi Kooptasi Pencaplokan Merger Patronase yang hegemonik
Koperasi/ Negara
Kekeluargaan
Kebersamaan, Solidaritas, Orientasi vertikal dengan ketentuan terpusat
Gotong royong Kebersamaan Solidaritas
Modal
Modal dan Tanah
Tanah/ Non tanah
Tanah/ Non Tanah
Peusahaan
Perusahaan - individu
Individu/ Keluarga
Keluarga inti
Buruh upahan
Buruh upahan dan klien
Individu dan anggota keluarga
Anggota keluarga inti/ kerabat dekat
Batas sosial hubungan produksi
Perusahaan
Perusahaan dan kelompok patronase
Keluarga (domistik)
Keluarga inti (domestik)
Struktur hubungan produksi
Hierarkis (antar majikan/ pemilik modal dan buruh)
Hierarkis (antar pemilik modal/ patron dan buruh/ klien
Egaliter/ pseudohirarkis (antar anggota keluarga inti/ luas)
Egaliter (antar anggota keluarga inti)
Okupasi Kooptasi Pencaplokan Merger
Networking
Kekuatan Produksi
Alat produksi Unit produksi Tenaga kerja
Hubungan Produksi
Sifat hubungan produksi
Eksploitatif (surplus diserap pemilik modal (majikan) berorientasi pasar
Eksploitatif namun menyisakan ruang resiprositas yang melekat pada tradisi passe’
Cenderung Eksploitatif (surplus diserap pemilik usaha) dengan orientasi pada pasar
Non eksploitatif (surplus diserap keluarga inti) dengan orientasi usaha subsisten
Sumber: Diolah Dari Berbagai Sumber Sistem Ekonomi Subsisten. Seperti diketahui masyarakat migran Bugis yang mendiami kawasan Delta Mahakam menjelang abad 19 adalah petani/ nelayan dan sebagian kecil merupakan pedagang. Keadaan seperti bahkan masih bertahan sampai sekarang. Adapun alat produksi utamanya adalah tanah dan non tanah (kawasan perairan sungai dan laut). Sistem penguasaan tanah lebih didasarkan pada penguasaan tradisional yang longgar, tanah hutan dapat dikuasai oleh siapapun dengan ataupun tanpa meminta ijin pada otoritas lokal. Unit produksi pada sistem produksi subsisten
274
adalah keluarga inti, yang sekaligus merupakan unit konsumsi utama. Sementara hubungan produksi masih bersifat egaliter, meskipun di luar unit produksi keluarga struktur hirarkis dalam juga telah ada. Sistem Ekonomi Pasar/ Komersialis. Sistem produksinya telah berkembang berorientasi komersil (pasar). Adapun alat produksi utamanya adalah tanah dan non tanah (kawasan perairan sungai dan laut). Sistem penguasaan tanah lebih didasarkan pada penguasaan tradisional yang ketat, tanah hutan dapat dikuasai oleh siapapun dengan seijin otoritas lokal. Sebagian unit-unit usaha produksi komersialis tidak selalu memiliki dasar hukum operasional, sedangkan tenaga kerja yang terlibat dalam kegiatan produksi komersialis terutama adalah individu-individu anggota keluarga inti atau setidaknya direkrut dari mereka yang masih tergolong karabat. Ikatan kekerabatan ini menjadi sangat penting karena diperlukan sebagai basis kepercayaan dalam hubungan sosial kerja dalam produksi komersialis yang tidak didasarkan pada suatu ikatan kerja formal. Sistem Ekonomi Kapitalis. Produksi kapitalis sepenuhnya berorientasi pada pasar, dengan alat utamanya adalah modal uang yang digunakan untuk membeli lahan dan biaya produksi lainnya, seperti untuk membeli mesin-mesin dan membangun pabrik. Unit produksi pada produksi kapitalis adalah perusahan dengan atau tanpa status badan hukum. Tenaga kerja utama atau buruh pada perusahaan-perusahaan kapitalis ini sebagian besar direkrut dari luar lingkungan keluarga atau masyarakat luas. Pertimbangan rekrutmen tenaga kerja, terutama bukan karena hubungan kekarabatan, melainkan kesusuian antara kebutuhan (permintaan) dan ketersediaan (penawaran) tenaga kerja. Dimana hubungan produksi diantara antara majikan dan buruh diikat oleh suatu perjanjian kontrak kerja, meskipun demikian hubungan produksi antara ponggawa dan petambak terikat/ penjaga empang dalam kegiatan tidak didasarkan perjanjian kontrak kerja, melainkan perjanjian informal yang berbasis pada nilai-nilai kepercayaan. Jika mendasarkan pada ketiga sistem ekonomi tersebut, para ponggawa (pengusaha perikanan) di kawasan Delta Mahakam, tampaknya kegiatan usahanya dapat digolongan ke dalam sistem ekonomi kapitalis, meskipun juga memiliki kesamaan dengan sejumlah sistem ekonomi pasar/ komersialis, sehingga sistem ekonomi lokal menunjukkan ciri-ciri sebagai sistem ekonomi hybrid.
275
7.2.2
Reproduksi Ekonomi Pengusaha Lokal Mobilitas telah menjadi faktor penting dalam pembentukan dan perubahan
peradaban umat manusia karena perbedaan tempat dalam kehidupan manusia telah menciptakan definisi-definisi baru, tidak hanya tentang lingkungan kebudayaan dimana seseorang tinggal tetapi juga tentang dirinya sendiri. Keberadaan seseorang dalam lingkungannya, tentu di satu pihak mengharuskan penyesuaian diri yang terus-menerus untuk dapat menjadi bagian dari sistem yang lebih luas. Di lain pihak, identitas asal yang telah menjadi bagian sejarah kehidupan seseorang tidak dapat ditinggalkan begitu saja, bahkan kebudayaan asal cenderung menjadi pedoman dalam kehidupan di dalam kehidupan di tempat baru. Proses reproduksi kebudayaan merupakan proses aktif yang menegaskan keberadaannya dalam kehidupan sosial sehingga mengharuskan adanya adaptasi bagi kelompok yang memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda. Proses adaptasi ini berkaitan dengan dua aspek, yakni ekspresi kebudayaan dan pemberian makna tindakan-tindakan individual. Hal ini menyangkut dengan cara apa sekelompok orang dapat mempertahankan indentitasnya sebagai suatu etnis di dalam lingkungan sosial budaya yang berbeda. Mobilitas dengan demikian telah mendorong proses rekonstruksi indentitas sekelompok orang. Sejalan dengan hal tersebut, Abdullah (2006) melihat dua proses yang kemungkinan berlangsung, yaitu pertama terjadinya adaptasi kultural para pendatang dengan kebudayaan di tempat mereka bermukim, menyangkut adaptasi nilai dan praktik kehidupan secara umum. Kebudayaan lokal dalam hal ini telah menjadi kekuatan baru yang memperkenalkan nilai-nilainya kepada pendatang, meskipun ia tidak sepenuhnya memiliki daya paksa. Namun demikian, proses reproduksi kebudayaan lokal, tempat setiap kebudayaan melakukan penegasan-penegasan, keberadaannya, sebagai pusat orientasi nilai suatu masyararakat tentu saja mempengaruhi mode ekspresi diri setiap orang. Kedua, terjadi proses pembentukan identitas individual yang dapat saja mengacu kepada nilai-nilai kebudayaan asalnya, bahkan dalam konteks ini seseorang dapat saja ikut memproduksi kebudayaan asalnya di tempat yang baru. Kebudayaan dalam hal ini kemudian berfungsi sebagai apa yang dikatakan Anderson (1991) sebagai imagined value, yang berfungsi dalam pikiran setiap orang yang menjadi pendukung dan yang mempertahankan kebudayaan tersebut, meskipun ia berada di luar lingkungan kebudayaannya. Dimana kehidupan sehari-hari yang menjadi basis di dalam pembentukan image telah didikte oleh pasar dan isntitusi terkait (seperti media publik, iklan dan ruang konsumsi). Kelak kebudayaan yang mewujud, bisa menjadi standar ukuran dalam menilai dan mewujudkan tingkah laku dalam suatu kelompok tertentu. Nilai baik dan buruk kemudian diukur berdasarkan ukuran yang berlaku karena disepakati dan dijaga.
276
Proses seperti inilah yang melahirkan proses eksklusi sosial, dimana suatu kelompok masyarakat cenderung membangun wilayah simboliknya sendiri, membedakan diri mereka dengan orang lain. Seringkali dalam proses pembentukan identitas, kelompok migran cenderung terperangkap ke dalam kerinduan pada masa lalu. Meskipun ekspresi mereka berbeda, dasar reproduksi kebudayaan menurut Abdullah (2006) lebih disebabkan oleh usaha menghadirkan masa lalu ke dalam kehidupan masa kini. Hal ini tidak terlepas dari beban sejarah yang dipikul oleh setiap kelompok yang meninggalkan wilayah kebudayaannya, yakni untuk mewujudkan cita-cita, sekaligus menegaskan identitasnya. Misalnya ikatan passe’ sebagai sesama migran Bugis yang tetap dipertahankan di tempat baru, ataupun semangat we’re’ dalam membangun optimisme berusaha. Kebangkitan ekonomi lokal yang digerakkan oleh kegiatan perikanan budidaya dikawasan Delta Mahakam, yang didorong oleh berbagai upaya untuk memperbaiki we’re’, setidaknya bisa menjelaskan fenomena tersebut. Aktivitas pertambakan yang dilakukan kelompok non-elit (migran to-maradeka pada lapisan feodal Bugis) di atas tanah-tanah negara tersebut, jelas merupakan hasil proses adaptasi yang tidak berdiri sendiri. Proses tersebut melibatkan seperangkat nilai bawah sadar melawan nasib “tidak ingin terus menderita dan hidup melarat”, semacam imagined value yang mendorong dilakukannya berbagai upaya untuk memperbaiki we’re’. Ditopang momentum “keunggulan pada kesempatan pertama untuk memulai”, ketika terjadi pengalihan kegiatan usaha perikanan non trawl menjadi kegiatan perikanan budidaya dengan mengkonversi hutan mangrove. Hingga sebagian dari migran Bugis yang mampu memanfaatkan momentum tersebut berhasil melakukan mobilitas vertikal menjadi ponggawa yang berhasil. Seperti telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, para para migran Bugis yang bermigrasi ke daerah-daerah di nusantara, termasuk di kawasan Delta Mahakam adalah muslim yang fanatik, namun sebagian besar diantara mereka berasal dari kelas-kelas sosial yang sepertinya kurang tunduk (exposure) pada doktrin-tradisi “Islam Puritan”. Hampir semua migran Bugis di Delta Mahakam yang kemudian menjadi pengusaha lokal, pada awalnya adalah dari golongan masyarakat Bugis kebanyakan dari kalangan to-maradeka, yang mencari peruntungan untuk menanggalkan kemiskinan yang selama ini menggelayuti mereka. Dan yang lebih penting lagi, tidak seperti pengusaha Barat yang menurut kaum Weberian pada awalnya mendapatkan panduan “jalan menuju surga” melalui institusi gereja, para kapitalis lokal nyaris tidak pernah memiliki institusi yang memandu secara sistematis untuk berperilaku seperti saudaranya di Barat, selain kemauan diri untuk tidak miskin dan sejumlah nasehat dari orang-orang tua yang mereka anggap bisa diteladani. Karenanya sangat naif, untuk menyebut etika moral
277
sebagai satu-satunya alasan mengapa migran Bugis mampu berubah seratus derajat dari proletar yang miskin menjadi kapitalis kaya raya. Keberhasilan ekonomi yang mereka kembangkan terjadi berkat kemampuan mereka melakukan reproduksi kultural. Beberapa ponggawa besar tampaknya berhasil mengkonstruksi nilai-nilai fundamental dengan menggariskan nilai “bekerja adalah ibadah”, sehingga apapun hasilnya adalah pahala. Dengan keyakinan seperti itu, siapapun akan menempatkan dirinya dalam posisi tidak pernah merasa rugi dengan apa yang telah ia kerjakan sekalipun hasilnya nihil, kareana hasil dari pekerjaan di dunia ini hanyalah bonus dari pahala di akhirat. Konsepsi inilah yang kemudian melahirkan karakter pekerja keras yang pantang menyerah sekaligus iklas menerima apapun hasil dari jerih payahnya. Nothing to lose, karena tidak ada yang harus mereka korbankan. Bagi mereka, bekal datang ke kawasan Delta Mahakam hanyalah tekat dan baju di badan, seandainya Allah Ta’Allah menghendaki, mereka tidak merasa rugi apalagi menyesal atas hasil dari jerih-upayanya, meskipun harus menanggung kehilangan harta dunia. Konsepsi seperti ini tampaknya mirip dengan konsepsi Islam tentang hakekat keberadaan seorang manusia di muka bumi ini, “lahir tanpa materi dan busana dan mati pun tanpa membawa materi dan busana”. Dengan mandiri mereka selanjutnya mampu melakukan akumulasi kapital hingga
kemudian
membimbing
berhasil
masyarakatnya
mengawal yang
berlangsungnya
agraris
menuju
transformasi masyarakat
sosial, industri.
Seiring keberhasilan mereka membangun industri perikanan skala ekspor – melakukan take over PMA dr Jepang, berkat kemampuannya melakukan hegemoni kultural melalui jaringan patronase, sehingga berhasil memonopoli raw material. Para pengusaha lokal yang tidak berasal dari golongan lapisan atas atau elit tradisional ini telah membuktikan bahwa mereka adalah kelas menengah mandiri yang mampu tumbuh dan berkembang tanpa campur tangan negara. Temuan ini sekaligus mengoreksi pernyataan Ahmadin (2008) yang menyebut kiprah orang Bugis dengan beragam kesuksesan yang diraihnya, secara sosio-kultural tidak dapat dipisahkan dengan pola adaptasi dan strategi membaurkan diri berdasarkan “tellu cappa” (tiga ujung). Ujung pertama, yakni “ujung lidah” yang terkait dengan kemampuan berkomunikasi dan berinteraksi dengan penduduk setempat. Ujung kedua, yakni
“ujung
badik”
(senjata)
terutama
jika
perundingan
tidak
membuahkan
kesepakatan. Dan ujung ketiga, yakni “ujung kemaluan” (cappa laso) yang berarti meraih kejayaan melalui cara perkawinan dengan keturunan penguasa setempat. Konsep “tiga ujung” yang juga diamini oleh banyak pihak dari dalam lingkungan orang Bugis sendiri ini (lihat Moeing MG, 1994 dan Fahmid, 2011), dianggap sebagai “bekal” merantau ataupun usaha yang sangat penting dalam merengkuh kejayaan. Padahal
278
menurut hemat peneliti, pandangan seperti itu sungguh sangat bias kepentingan dan melecehkan martabat orang Bugis sebagai masyarakat pekerja keras yang pantang menyerah seperti tergambar dalam penelitian ini. Konsep “tiga ujung” tampaknya lebih tepat disematkan pada golongan ajjoareng yang biasanya berasal dari golongan bangsawan/ elit tradisional masa lalu, memimpin sekelompok migran Bugis yang merantau sebelum dan beberapa saat setelah berkecamuknya revolusi fisik 1946 – 1950-an. Sementara banyak migran Bugis kontemporer yang kemudian menetap di sekitar kawasan Delta Mahakam dan menjadi pengusaha sukses, ternyata berasal dari golongan to maradeka yang cenderung tidak menggunakan strategi “tiga ujung” dalam melakukan mobilitas vertikal. Adapun alasannya, pertama, “ujung lidah” sepertinya tidak efektif digunakan migran golongan to maradeka yang sebagian besar cenderung tertutup, low profile dan berpendidikan rendah atau bahkan buta huruf, berbeda dengan golongan elit/ ajjoareng yang selalu ingin menunjukkan kelasnya dengan kepiawaiannya berkomunikasi dan berinteraksi dengan pihak lain. Kedua, “ujung badik” tampaknya juga tidak sepenuhnya dimanfaatkan migran golongan to maradeka dalam menekan ataupun menaklukkan pihak lain, berbeda dengan golongan elit/ ajjoareng yang selalu berkepentingan menunjukkan ekspresi kekuasannya. Dan ketiga “ujung kemaluan” pun tampaknya tidak bisa menjadi pilihan strategis bagi migran golongan to maradeka yang tidak berkelimpahan harta, berbeda dengan golongan elit/ ajjoareng yang diwarisi meteri melimpah, bisa menikahi perempuan dari golongan manapun. Yang
menarik
sebenarnya,
justru
kemampuan
mobilitas vertikal
yang
ditunjukkan kaum proletar tersebut, ternyata dilakukan dengan mereproduksi kultur kaum aristokrat, sehingga mengingatkan pernyataan Nietzsche (2001) "manusia lebih menyukai ketiadaan daripada tidak menghendaki sama sekali". Artinya manusia lebih suka memaknai hidupnya yang kosong nilai-nilai aristokrat dari pada hidup tanpa makna sama sekali. Bagi Gramsci proses hegemoni akan terjadi apabila cara hidup, cara berpikir dan pandangan pemikiran masyarakat bawah terutama kaum proletar telah meniru dan menerima cara berpikir dan gaya hidup nimetik (penjiplakan total) dari kelompok elit yang mendominasi dan mengeksploitasi mereka (Simon, 2004). Disini proses hegemoni justru menyangkut perebutan pengaruh konsep realitas, dari pandangan mereka yang mendominasi berhasil diambil alih oleh mereka yang didominasi. Selanjutnya proses hegemoni akan sangat mempengaruhi kehidupan sosial dan pribadi mereka yang kemudian berbalik menghegemoni, sehingga berpengaruh pada cita rasa, moralitas, prinsip keagamaan dan intektual mereka. Dengan pemahaman seperti itu adalah wajar jika kemudian para migran non-elit yang telah berhasil melakukan mobilitas vertikal menjadi ponggawa merasa perlu
279
melakukan reproduksi kultural bagi terbangunnya “medan interaksi” yang menjadi wadah bagi terjadinya transformasi, legitimasi dan habitualisasi, sehingga menghasilkan wacana rasionalitas spiritual baru. Secara keseluruhan proses reproduksi kultural yang mewujud dilakukan untuk dapat tetap menopang keberlanjutan proses hegemoni yang sangat penting dalam memperebutkan realitas ekonomi. Kunci sukses misalnya, meskipun dipercaya merupakan kehendak Tuhan, namun kehendak Tuhan dapat dicapai melalui upaya memperbaiki we’re’ (nasib) tidak baik/ tidak menguntungkan, dengan bekerja keras, sehingga dapat membangun simbol-simbol “peruntukan fitrah”. Diantaranya, melalui pembangunan masjid yang dimengerti sebagai “rumah Allah”, menunaikan ibadah haji untuk memenuhi panggilan suci sebagai “tamu Allah”, serta berkurban dan menyantuni fakir-miskin yang dipahami sebagai media untuk mensucikan diri dari dosa. Tidak berlebihan jika aktivitas usaha illegal yang dalam sejarahnya selalu bersentuhan dengan kehidupan migran Bugis Delta Mahakam, secara sosio-religio dapat saja “disucikan” dengan membangun simbol-simbol peruntukan fitrah. Seperti telah diuraikan pada Bab VI, hasil penelitian ini mengungkapkan, bahwa meskipun hampir semua orang Bugis yang bermigrasi ke daerah-daerah di nusantara, termasuk di kawasan Delta Mahakam adalah muslim yang fanatik, namun sebagian besar diantara mereka berasal dari kelas-kelas sosial yang sepertinya kurang tunduk (exposure) pada doktrin-tradisi “Islam Puritan”. Asketisme dalam “Islam lokal” yang terkait dengan ide kesalehan tampaknya kurang mendorong sikap rasional terhadap berbagai aspek kehidupan duniawi. Hal ini disebabkan ketergantungan sistematis kehidupan “duniawi” atas “agama” yang sakral, dimana yang “duniawi” tidak bernilai kecuali terhubung dengan “agama” (Mulkhan, 2000). Haji Mangkana setidaknya meyakini bahwa “harta adalah titipan yang bisa menjadi obat sekaligus racun, kita terlahir tanpa memiliki apapun dan ketika mati tidak akan membawa apapun”. Haji Mangkana begitu meresapinya, karena dalam sejarah hidupnya ia pun datang ke Kalimantan
Timur
hanya
dengan
“baju
dibadan”.
Dari
sinilah
lahir
niatan
mengembangkan usaha, “semakin banyak mulut yang mampu diberinya makan semakin baik bagi kualitas kehidupan rohaninya”. Komitmen tersebut ditindaklanjuti Haji Mangkana dengan menginvestasikan kembali hampir semua profit yang mampu diraupnya ke dalam kegiatan usaha di sektor riil, sehingga mampu memberikan pekerjaan pada banyak orang. Ia tidak tertarik sedikitpun untuk menginvestasikan uangnya dalam bentuk tabungan/ deposito dan barang bergerak ataupun tidak. Kontradiksi dorongan kerja keras dan sikap hemat, serta tumbuhnya etos produktif, bisa dijelaskan dengan sistem “urusan duniawi” dan “agama” yang mempengaruhi pola hubungan sosial yang relatif tertutup, subjektif dan patrimonialistik. Kunci sukses, meskipun dipercaya merupakan kehendak Tuhan, namun kehendak
280
Tuhan dapat dicapai melalui upaya memperbaiki nasib tidak baik/ tidak menguntungkan, dengan bekerja keras, sehingga dapat membangun simbol-simbol “peruntukan fitrah”. Misalnya, melalui pembangunan masjid yang dimengerti sebagai “rumah Allah”, menunaikan ibadah haji untuk memenuhi panggilan suci sebagai “tamu Allah”, serta berkurban dan menyantuni fakir-miskin yang dipahami sebagai media untuk mensucikan diri dari dosa. “Medan interaksi” yang terbangun kemudian menjadi wadah untuk terjadinya transformasi, legitimasi dan habitualisasi, sehingga menghasilkan wacana rasionalitas spiritual baru. Akhirnya, kecendrungan demikian menjadi penanda bahwa menjadi orang kaya itu penting, karena menjadi tolak ukur kehormatan sosial yang dapat memenuhi kepuasan duniawi, sedangkan bertingkah laku yang mengarah pada simbol-simbol agama secara sosial dianggap “taat beragama”, karena dapat memenuhi kepuasan ukhrawi. Pada gilirannya melakukan kegiatan ekonomi akan tertuju pada dua kepentingan sekaligus, yaitu pemenuhan kebutuhan duniawi dan ukhrowi, yang masingmasing dari keduanya bisa saling beriringan atau saling berlawanan. Berger (1991), melukiskan hubungan dialektik agama dan dinamika sosial berlangsung dalam tiga tahap; eksternalisasi, ketika agama sebagai ekspresi duniawi, objektivasi, ketika agama menjadi fakta atau referensi tindakan dan internalisasi, ketika agama diberi makna oleh penganutnya. Artinyanya, inovasi peruntukan amal yang terjadi dalam “medan interaksi” tersebut, dapat juga dilakukan untuk melakukan proses tawar-menawar “pensucian uang” atas hasil kerja-kerja ilegal. Sudah menjadi rahasia umum, jika banyak migran Bugis yang motivasi usahanya tidak tersalurkan dalam jalur legal cenderung lebih berani mengambil pilihan untuk melakukan kegiatan usaha yang dalam perspektif pemerintah dianggap melawan hukum, dengan menjadi penyelundup ataupun kegiatan usaha ilegal lainnya (pada masa lalu sebagai perompak). Namun menariknya, banyak diantara mereka yang berhasil secara ekonomi, mampu mengubah citranya yang kelam dengan menjadi seorang dermawan sholeh yang royal memakmurkan masjid dan ringan tangan dalam menyantuni fakir-miskin. Disini, membangun masjid, menunaikan ibadah haji, serta berkurban dan menyantuni fakir-miskin juga berarti mendapatkan legitimasi sebagai “orang yang dianggap saleh”, sehingga secara sosio-religiositas layak dikategorikan sebagai pemimpin. Akibatnya, transformasi kehidupan keagamaan yang lebih berporos pada agen (“orang yang dianggap saleh”) menjadi penting dalam “medan interaksi” yang dikembangkan masyarakat setempat, tanpa harus terjebak dengan masa lalu sang agen. “Orang saleh” yang saat ini tidak hanya bisa diperankan tokoh-tokoh agama lokal (imam masjid/ penghulu/ ulama), namun juga tokoh-tokon masyarakat dan orang-orang kaya lokal (ponggawa) ini, memainkan peran strategis sebagai “penghubung” dalam
281
hubungan pemeluk Islam yang kurang saleh dengan Tuhan. Ketika tidak semua orang mengetahui syariah, peran “orang saleh” menjadi penting sebagai pembimbing dalam memperoleh “berkah” Tuhan untuk memperbaiki we’re’-nya. Untuk itu, diperlukan “pembimbing” dan berbagai bantuan atau pengikatan diri pada “orang saleh” dalam suatu hubungan diadik tukar-menukar umat dan elite yang memiliki “kesalehan” lebih dari umumnya warga komunitas (Jakson, 1990). Tentu pengakuan sebagai “orang yang dianggap saleh” tersebut, secara sosioreligiositas juga dimaksudkan untuk memperoleh dukungan atas keberlangsungan kepemimpinannya. Dengan demikian, transformasi kehidupan keagamaan yang berporos pada agen, semakin memperkuat pola hubungan vertikal dalam budaya patronase pada masyarakat Bugis. Temuan ini sekaligus menolak konsepsi Mappawata (1986), yang menyebut kehidupan keagamaan tidak memberikan pengaruh terhadap kuatnya hubungan patron-klien. Peran elite secara personal yang meluas ke dalam organisasi bahkan bisa menjadi eksploisif, ketika dasarnya ialah konsep hubungan sosial sebagai ibadah (seperti hubungan dengan Tuhan) yang dilembagakan. Jakson (1990) mencatat, bahwa melalui hubungan diadik, organisasi sosial Islam bisa menggerakkan massa pengikut untuk pemeberontakan yang hanya dimengerti elite bersangkutan. Dengan menempatkan “orang saleh” sebagai pusat keagamaan dan dinamika sosial, sesuai tradisinya, migran Bugis di Delta Mahakam yang mempraktikan Islam lokal, sekaligus juga telah mengintegrasikan Islam modernis dan tradisional, syariah dan sufisme, bahkan sinkretisme dengan Islam murni. Karenanya Abdullah (1994) benar ketika menyimpulkan reformasi ekonomi tidak terjadi secara signifikan dengan meluasnya Islam Murni, seperti yang diperjuangkan Muhammadiyah di Jatinom. Meskipun secara meyakinkan hasil kajian Abdullah berhasil menolak kesimpulan Peacock (1978) yang menyebut Islam modernis gagal dalam menumbuhkan etos produktif. Namun etos ekonomi lebih produktif yang menurut Abdullah (1994); dan Mulkan (2000), justru diperlihatkan oleh pengikut yang cenderung sinkretik dan abangan ternyata tidak dijumpai secara signifikan dalam penelitian ini, banyak
dari
ponggawa yang
sukses secara ekonomi
adalah mereka
yang
mempraktikkan “Islam lokal” sebagai gagasan sosio-religiositas yang disambut secara selektif dan disesuaikan dengan pandangan hidup mereka. Penelitian ini sekaligus mengoreksi tesis rasionalisasi Weber, the disenchantment of the world dan kegagalan tumbuhnya sistem sosial ekonomi dan politik rasional di dalam komunitas muslim yang patrimonialistik dari Turner (1984). Penyimpangan juga terjadi terhadap tesis rasionalisasi Weber, yang tampaknya hanya cocok bagi pengikut puritan. Jikapun pengikut puritan ada diantara diantara pemeluk Islam setempat, rasionalitas tindakan
282
sosial-ekonominya cenderung tetap diletakkan pada nilai-nilai transendental, dimana kehendak Tuhan sebagai pusat orientasinya. Meskipun hasil kajian ini tidak seperti temuan Geertz (1992) di Mojokoto, yang melihat adanya hubungan antara asketisme dengan para pedagang Muslim. Dimana peranan penting dalam perubahan “ekonomi pasar” yang dicirikan oleh perdagangan kecil-kecilan dan bersifat perseorangan menjadi “ekonomi tetap” dimainkan oleh segolongan orang Islam yang terlibat dengan gerak pembaharuan yang mengamalkan etik keagamaan yang asketik (mirip dengan etika protestan). Namun, fenomena suka kerja keras, bukan untuk hasil duniawi tapi untuk pencapaian “ridho” Tuhan yang serba gaib, tampaknya serupa dengan temuan penelitian ini, yang mengungkap adanya penunaian kewajiban yang diperintahkan agama, meskipun digerakkan oleh motif-motif tertentu untuk memperoleh “ridho Tuhan” dari kewajiban yang telah ditunaikannya, sehingga dapat “memperbaiki” nasib/ we’re’-nya. Disinilah terletak persamaan mendasar antara etika entrepreneur Jawa dan Bugis yang cenderung melihat orientasi duniawi tidak terletak pada kerja rasional dan sistematis, tapi “ridho Tuhan” yang abstrak dan misterius. Sikap hemat dari hasil kerja keras, bukan untuk tujuan pemupukan kapital yang dapat membangun kekuatan ekonomi. Hasil kerja keras dilakukan untuk tujuan spiritual tidak untuk berperan lebih besar dalam dunia, tetapi bagi tujuan spiritual (ibadah) itu sendiri, yaitu mendekatkan diri pada Tuhan. Meskipun sama dalam memandang kerja sebagai kewajiban, namun etika entrepreneur Jawa lebih fatalistik, karena gagal atau sukses dalam kehidupan duniawi dipercaya sebagai cara Tuhan membagi rezeki dan nasib sesuai kehendaknya. Seperti dilukiskan Mulkan (2000), “bagi petani Jawa, panen dipercaya sebagai pertanda „ridho Tuhan‟ yang mutlak sesuai kehendakNya”. Sementara etika entrepreneur Bugis, cenderung tidak tunduk pada pertanda-pertanda nasib tidak baik atau tidak menguntungkan, dengan melakukan “manipulasi” ke dalam “medan interaksi”, sehingga ditransformasi dapat memperbaiki we’re’-nya (Lihat Gambar 24). Setara dengan budaya Cina yang juga menekankan pentingnya “nasib baik”, yang kemungkinan dapat ditingkatkan dengan tindakan ritual yang tepat. Meskipun demikian, penekanan terhadap nasib baik ini, tidak menghasilkan pendekatan fatal pada kehidupan, jika keadaan tetap memburuk itu hanyalah kesialan yang diharapkan dapat berubah.
283
Tabel 24. Posisi Relatif Etika Moral Kapitalis Etika-Moral Kapitalis
Kapitalis Barat Dengan Nilai Protestan Puritan
Kapitalis Cina Dengan Nilai Konfusius
Rasionalitas
The disenchantment of the world
Akumulasi Kapital
Menginvestasikan profit untuk kegiatan usaha produktif yang memiliki keuntungan tinggi
Semakin rasioal tindakan manusia tidak terputus dari dunia spiritualitasnya Cenderung menyimpan profit jika lebih menguntungkan dan akan mengembangkan usaha produktif jika dianggap kondusif Kurang menghargai pengerahan tenaga fisik dan kerja keras, namun menjunjung tinggi peningkatan diri dan sangat menghargai pencapaian Xinyong (kepercayaan hanya pada orang terdekat Guanxi (sistem hubungan horizontal menyamping/ lateral dan timbal-balik
Mentalitas berusaha melawan nasib Kerja Keras
Kepercayaan
High trust Otonom/ Mandiri
Ketergantungan
Kapitalis Bugis Delta Mahakam dengan Nilai Islam Lokal Semakin rasioal tindakan manusia tidak terputus dari dunia spiritualitasnya Menginvestasikan profit untuk kegiatan usaha produktif yang memiliki manfaat sosial We’re’ dilakukan untuk tujuan spiritual tidak untuk berperan lebih besar dalam dunia material, tapi bagi tujuan spiritual dan siri’nya sendiri Low Trust Passe’ yang melekat dalam hubungan patronase/ vertikal
Sumber: Data Primer Diolah, 2011 Sekalipun mencemooh pengerahan tenaga fisik dan kerja keras, ajaran Khonghucu menjunjung tinggi pentingnya peningkatan diri dan karena itu sangat menghargai motivasi pencapaian (Pye, 2006). Namun paradoksalnya menurut Pye, budaya Cina juga menekankan penghargaan terhadap ketergantungan, orientasi psikologis yang berlawanan dengan ajaran individu yang mandiri/ otonom. Kombinasi paradoksal pencapian dan ketergantungan sifatnya pokok bagi praktik sosialisasi Cina tradisional, yag mengajarkan; ketertiban dalam menyesuaikan diri dengan keinginan yang lain adalah jalan terbaik mendapatkan keamanan dan menjadi “berbeda” itu berbahaya. Hasilnya adalah sebuah penerimaan positif ketergantungan, yang berupaya memecahkan kebutuhan pencapaian dengan secara tekun menjalankan peran yang diberikan dalam keluarga. Untuk hal ini, tampaknya norma keluarga Cina dan Bugis berbeda secara signifikan. Keluarga Bugis tampaknya mirip dengan keluarga Jepang, dimana ujian pencapaian, masuk dalam wilayah persaingan melawan pihak dari kekuatan luar. Namun, memberikan kesempatan seluas-luasnya pada semua anggota keluarga untuk mengembangkan kapasitasnya, dimana seorang saudara lelaki yang lebih muda dapat “mencetak” nama sendiri. Jika seorang laki-laki dalam suatu keluarga berhasil meraih prestasi misalnya, maka saudara laki-lakinya akan berusaha mencapai sesuatu yang lebih baik, demi siri’-nya sendiri (Pelras, 2006). Persaingan seperti itulah yang menurut Abdullah (1985), memiliki arti penting sebagai pendorong dilakukannya suatu usaha atau pergi merantau dalam rangka mencari keberhasilan ekonomi. Dalam budaya Cina, ikatan keluarga meluas melampaui klan dan kemudian menjadi ikatan yang lebih umum dan guanxi atau hubungan pribadi yang didasarkan
284
pada identitas bersama. Dasar-dasar ikatan guanxi adalah pertimbangan objektif yang bisa dikenali orang lain sebagai sentimen dan tidak musti subjektif dari pihak-pihak yang terlibat. Jaringan di jantung kehidupan bisnis orang Cina, menurut Hamilton (1999) terdiri dari dua tipe pokok, diantaranya dicirikan oleh norma-norma dan ambivalensinya sendiri-sendiri. Pertama, hubungan keluarga yang hirarkis, baik berbentuk keluarga inti, maupun berupa garis keturunan ayah (patrilineal) yang melebar. Yang kedua adalah sistem hubungan menyamping (lateral) dan timbal-balik yang dikenal dengan guanxi. Karenanya Hefner (1999), menyebut kapitalisme Cina sebagai kapitalisme Jaringan, bukan berpegang pada kontrak-kontrak hukum dan otoritas pengawasan dari negara tetapi pada hubungan kepercayaan yang bersifat pribadi. Menurut Unger (1998), praktik jaringan Cina perantauan memberi mereka sebuah bentuk “modal sosial” yang bukan merupakan dasar bagi demokrasi seperti halnya modal sosial Putnam, tetapi lebih merupakan sebuah bentuk modal sosial yang dapat memberikan dasar bagi pembangunan ekonomi. Perbandingannya adalah ikatan ke-Bugis-an passe’ atau ikatan Jepang kankei, yang jauh lebih subjektif dan didasarkan pada perasan mendalam karena kewajiban. Mekipun memiliki persamaan, ikatan ke-Bugis-an passe’, yang bisanya terlekat dalam hubungan patronase memiliki sifat vertikal, sehingga kurang memberikan kesempatan pada mereka yang memliki sumberdaya terbatas untuk dapat melakukan mobilitas vertikal mengimbangi ataupun menyaingi posisi patron. Akibatnya seseorang yang telah memiliki sumberdaya yang cukup dan ingin bisa maju dan berkembang lebih jauh, cenderung keluar dari klik patronase yang menaunginya dan membangun klik patronase-nya sendiri. Berbeda dengan ikatan Cina Guanxi yang cenderung bersifat horizontal, sehingga tidak hanya memperkuat kelompok jaringan, tapi juga memberi kesempatan sama pada mereka yang terlibat dalam jaringan untuk maju dan berkembang. Seperti diungkapkan Mackie (1999), karakteristik masyarakat Cina Asia yang lebih mengalir dan kompetitif, yang memiliki hubungan horizontal yang kuat dan kehidupan berkelompok yang tangguh, membantu mengembangkan hubungan kepercayaan pribadi (xinyong) yang vital bagi perekat transaksi perdagangan di begitu banyak bagian dunia. 7.2.3
Keberlanjutan Ekonomi Lokal: Mensiasati Kelangkaan Sumberdaya, Memperkuat Jaringan Patronase Pertumbuhan penduduk yang pesat dan terjadinya kapitalisasi kegiatan
pertambakan, telah meningkatkan persaingan dalam memperebutkan sumberdaya (hutan mengrove) yang semakin langka, serta kesempatan kerja yang semakin terbatas seiring terjadinya mekanisasi dan “pengetatan” biaya produksi pertambakan, akibatnya
285
diferensiasi menjadi menguat. Ponggawa dan petambak kaya semakin berusaha menguasai lebih banyak lokasi-lokasi hutan mangrove untuk pertambakan, “berkolusi dengan kekuasaan” mengambil-alih lahan-lahan milik negara (KBK) yang menjadi alat produksi kunci dalam kegiatan pertambakan. Sementara petambak terikat dan penjaga empang akan semakin kesulitan untuk melepaskan diri dari ketergantungan dan “eksploitasi terselubung” dari sang patron. Ketimpangan dalam struktur sosial dan proses ekonomi ini pada gilirannya, mendorong kesenjangan pendapatan antar golongan masyarakat dan memicu terjadinya proletarisasi kaum miskin berbasis hutan, seperti disinyalir Peluso (2006). Menariknya, meskipun telah terjadi kesenjangan sosial-ekonomi dan eksploitasi secara “terselubung”, namun hampir bisa dipastikan tidak pernah terjadi perlawanan manifes oleh para petambak/ penjaga empang atas “ketidakadilan” yang berlangsung. Menurut Thompson (1975) dan Crummey (1986), mungkin saja “petani kaya atau petani kelas menengah” mengambil alih ideologi perlawanan dan menjuruskan ketegangan antar kelas yang disebabkan oleh kesenjangan distribusi sumberdaya lokal ke arah perlawanan terhadap negara sebagai “musuh” bersama yang lebih besar. Seperti pernyataan White (1983) yang menyebut solidaritas dan moral ekonomi dapat ditumpangkan pada masyarakat desa yang dinamis dan terdiferensiasi. Tidak aneh jika kemudian konflik manifes yang sering terjadi di kawasan Delta Mahakam adalah konflik antara masyarakat lokal (ponggawa-petambak) dengan perusahaan migas dan pemerintah daerah. Jikapun muncul konflik antara ponggawa dengan petambak ataupun penjaga empang dengan petambak/ ponggawa, biasanya cenderung bersifat laten dan terlokalisir, sehingga nyaris tidak mampu menyulut kesadaran kolektif atas sentimen ketidakadilan. Meskipun kondisi tersebut semakin “mempermudah” jalannya kapitalisme pedesaan yang telah menggejala di kawasan Delta mahakam. Namun fenomena konflik agraria yang mewujud, sepertinya relatif berbeda dengan pendapat Scott (1994) ataupun Sunendar dan Winarni (1998), yang menganggap kekuasaan negara serta semakin merasuknya kapitalisme dan komersialisasi sebagai ancaman terhadap pola subsistensi petani, akan dapat mendorong timbulnya perlawanan kaum tani. Besarnya potensi konflik kepentingan dalam penguasaan sumberdaya agraria yang dipicu oleh peningkatan permintaan pasar disatu sisi dan semakin terbatasnya potensi sumberdaya hutan mangrove untuk pengembangan area pertambakan disisi lain yang berakibat pada persaingan sengit untuk mengaksesnya, ternyata tidak sampai menimbulkan konflik manifes secara massal. Realitas ini sekaligus menolak pandangan para penganut ekonomi moral yang menganggap pemberontakan petani/ petambak sebagai usaha yang tumbuh dari
286
keputusan untuk mengembalikan hak-hak tradisional mereka yang telah dihancurkan kapitalisme. Yang terjadi, justru kemunculan kapitalisme yang merasuk ke dalam sendisendi kehidupan masyarakat diakomodasi sedemikian rupa sebagai bentuk kemajuan bersama. Dalam konteks tersebut, praduga Hayami dan Kikuchi (1987) yang mensinyalir organisasi komunitas yang terpadu berdasarkan interaksi sosial dan prinsipprinsip moral, cenderung akan mengalah jika ekonomi pasar atau sistem kapitalis menembus ke dalam ekonomi petani/ petambak yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan pokok tampaknya menemukan kebenarannya. Mula-mula menurut Budiman (2006) yang mengadopsi teori “tunnel image” dari Albert Hirchman, keadaan tersebut ditenggang oleh orang-orang miskin dan lemah (klien), karena mereka melihat bahwa orang-orang disekelilingnya menjadi bertambah kaya dan mereka berpikir, pada suatu saat akan tiba pula gilirannya untuk menjadi kaya. Bayangannya seperti berada dalam suatu terowongan dimana semua mobil bergerak ke jurusan yang sama, pada saat lalu-lintas macet tidak ada yang bisa bergerak maju. Setelah lama menunggu terlihat kendaraan di sebelah maju, kita bergembira, karena percaya pada suatu saat kita juga akan dapat giliran untuk bergerak maju.Tapi setelah sekian lama, ternyata orang-orang miskin tidak memiliki kesempatan untuk maju, sementara orang-orang kaya terus maju, maka mulailah timbul ketidaksabaran. Selanjutnya timbul kecurigaan, barangkali mobil-mobil disebelah memberikan “pungli” terhadap polisi lalu-lintas di ujung terowongan, sehingga timbul keinginan untuk menyerobot masuk ke jalur sebelah, meskipun itu berarti melanggar hukum yang berlaku. Resiko inilah yang dipilih oleh para petambak generasi awal (migran dari golongan to-maradeka) untuk melakukan mobilitas vertikal dengan menguasai hamparan hutan mangrove (tanah negara) seluas-luasnya untuk dialih-fungsikan menjadi area pertambakan. Namun, bagi migran generasi berikutnya tidak ada pilihan lain yang lebih baik, selain menjadi klien dari petambak ataupun ponggawa yang lebih awal menguasai alat produksi. Konkretnya, bagi penghuni struktur bawah dari sistem kapitalisme lokal yang terbentuk, selama mereka tidak dijauhkan dengan tanah (area pertambakan) yang menjadi faktor kunci produksi bagi keberlangsungan kehidupan keluarganya, sepertinya mereka tidak akan melakukan penolakan secara frontal dan terbuka. Hal ini tidak dapat dipisahkan dengan beroperasinya semangat passe’ dalam jaringan patronase pertambakan, yang tidak hanya berdayaguna dalam memberikan jaminan hak atas subsistensi, namun juga mampu memberikan kepastian kelangsungan hidup/ keamanan bagi keluarganya ketika mengalami gagal panen, meskipun konsekuensi “eksploitasi terselubung” tidak terelakkan bagi mereka. Selain karena faktor kemiskinan yang menghimpit para penghuni lapisan bawah, sehingga tidak berkesempatan untuk
287
memiliki dan mengoperasikan kegiatan usaha pertambakan secara mandiri yang berbiaya besar. Seperti diketahui, pemilikan alat dan modal produksi dalam kegiatan usaha pertambakan di kawasan Delta Mahakam, hampir seluruhnya berada ditangan para ponggawa. Akibatnya sistem bagi hasil selalu lebih menguntungkan ponggawa, sementara resiko ketidakberhasilan kegiatan budidaya pertambakan hampir bisa dipastikan menjadi beban dari para klein, meskipun ponggawa akan memberikan kompensasi bantuan (hutang) lagi setelahnya. Pada gilirannya, sumberdaya ekonomi pertambakan akan semakin terakumulasi pada penghuni struktur atas (ponggawa) yang jumlahnya relatif kecil. Sementara pembagian pendapatan di kalangan petambak dan penjaga empang yang terbagi secara tidak merata tidak memungkinkan terjadinya pembentukan modal yang sangat dibutuhkan dalam melakukan mobilitas vertikal. Merujuk pada temuan Mappawata (1986) dalam kasus hubungan patron-klien di kalangan nelayan di Sulawesi Selatan, yang menyatakan bahwa “pendapatan yang relatif kecil dan tidak terdapatnya sifat hemat dalam diri pinggawa dan sawi, dalam artian berapa pun pendapatan yang diperolehnya akan dikonsumsi habis pada saat itu”, sepertinya dijumpai pula dalam diri petambak dan penjaga empang di kawasan Delta Mahakam. Kondisi ini terus berlangsung seiring dengan terjadinya perubahan orientasi dari para penghuni struktur atas yang dalam perkembangannya justru lebih cenderung bersandar pada sarana-sarana luar yang legal untuk melindungi diri dan harta benda mereka, sehingga prinsip-prinsip moral untuk menjamin keperluan pokok bagi anggotaanggota dalam jaringannya mulai tergeser oleh pertimbangan kalkulasi ekonomi. Pada gilirannya hal ini akan semakin mengalienasi penghuni struktur bawah dalam mengakses sumberdaya. Menurut Scott (1994), hubungan seperti itu biasanya merupakan suatu kasus khusus dalam ikatan (dyadic) dua pihak yang menyangkut suatu persahabatan, dimana seorang individu dengan status sosial-ekonomi yang lebih tinggi (patron) menggunakan pengaruh dan sumber-sumber yang dimilikinya untuk memberikan perlindungan dan atau keuntungan bagi seseorang yang statusnya lebih rendah (klien), yang sebaliknya membalas dengan memberikan dukungan dan bantuan secara umum, termasuk pelayanan pribadi pada sang patron. Meskipun menurut Scott hubungan pertukaran yang mewujud merupakan jalinan rumit yang berkelanjutan dan baru terhapus dalam jangka panjang, namun dalam tradisi patronase pada masyarakat Bugis di Delta Mahakam hubungan tersebut ternyata dapat dihentikan setiap saat, selama klien tidak memiliki sangkutan pada sang ponggawa. Ini berarti, meskipun patron memiliki posisi yang lebih hegemonik dalam hubungan diadik yang berlangsung, namun setiap klien pun memiliki otonomi untuk memutuskan hubungan tersebut, jika tidak lagi terikat
288
hutang-piutang. Bisa pula dengan jalan memindahkan hutangnya pada ponggawa-nya yang baru, dengan asumsi kepindahan tersebut dikehendaki ponggawa bersangkutan. Bahkan, jika seorang klien telah merasa cukup kuat untuk dapat berdiri sendiri tanpa pelindung, ia bisa saja menjadi patron mandiri bagi orang lain yang lebih lemah dan miskin ataupun menjadi patron sekaligus klien bagi orang lain yang lebih tinggi kedudukannya. Disini terdapat kemungkinan struktur patronase yang bertingkat (lihat Gambar 23.). Begitupun dengan patron, ia pun bisa memutuskan hubungan secara sepihak dengan sanksi penggantian semua hutang, jika klien dalam jaringan patronasenya terbukti berlaku tidak patuh pada patron dan curang ataupun tidak jujur dalam setiap transaksi, misalnya tertangkap basah menjual sebagian atau seluruh hasil panennya pada ponggawa lain. Jika pemutusan hubungan kerja seperti ini terjadi, maka tamatlah riwayat klien dimaksud, karena sekali ia di black list oleh ponggawa yang menaunginya, maka ponggawa lainnya akan enggan untuk menerimanya menjadi anggota. Meskipun demikian, ada pula patron yang dengan terpaksa memutuskan hubungan kerja hanya karena kondisi keuangannya yang terpuruk, sehingga tidak lagi mampu membantu biaya operasional usaha para kliennya. Sebuah hubungan patronase akan dapat tetap berlanjut secara lestari jika perimbangan pertukaran yang terjadi dianggap oleh kedua belah pihak bisa diterima, karena secara rasional masih dalam batas toleransi perimbangan. Disini perimbangan tidak berarti harus adil, karena kedua belah pihak telah saling mengetahui bahwa sumberdaya yang mereka miliki untuk dipertukarkan tidaklah setara. Disini berlaku ungkapan
Bugis
terkenal
“Pontudanngi
tudammu,
puonroi
onromu”
(duduki
kedudukanmu, tempati tempatmu). Umumnya patron selalu memiliki sumberdaya yang langka, dalam arti sumberdaya yang mereka miliki sukar dicari penggantinya, karenanya sumberdaya tersebut dinilai tinggi oleh kedua belah pihak. Sementara klien hanyalah memiliki sumberdaya yang nilainya berada di bawah, dalam arti sumberdaya tersebut dimiliki oleh kebanyakan orang, sehingga dengan mudah dapat tergantikan orang lain (khususnya tenaga yang dipertukarkan sumberdaya lain). Meskipun demikian, menurut Eisenstadt (1984) tidak satupun sumberdaya dapat dipertukarkan secara terpisah, karena pertukaran yang terjadi merupakan kombinasi dari berbagai sumberdaya. Hubungan yang terjadi diantara keduanya pastilah bersifat vertikal, dimana ponggawa berkedudukan superior dan kuat, sedangan petambak dan penjaga empang menempati kedudukan inferior dan lemah. Namun kedua beleh pihak merasa mendapatkan keuntungan-keuntungan dalam hubungan tersebut. Ponggawa merasa beruntung, karena selain mendapatkan keuntungan materi yang berlimpah, juga menjadi orang yang berkuasa dan dihormati di dalam masyarakatnya atau setidaknya dikalangan anggota jaringannya. Sedangkan petambak dan
penjaga empang
289
mendapatkan keuntungan berupa pendapatan dari bagi hasil kegiatan usaha pertambakan ataupun kepastian berproduksi, serta terbukanya kesempatan untuk mendapatkan pinjaman usaha tanpa bunga dan jaminan, kapan saja jika ia membutuhkan dengan tempo pengembalian tanpa batas. Bahkan fasilitas bantuan lainnya dalam menghadapi berbagai kesulitan dan yang tidak kalah pentingnya adalah jaminan keamanan subsistensi bagi keluarganya. Meskipun untuk dapat memaintenance kebutuhan para klien pada masa paceklik (gagal penen), sejumlah ponggawa mengaku harus menggadaikan ataupun menjual barang-barang berharga (perhiasan emas, kendaraan/ kapal) milik keluarganya. Menariknya komitmen atas hubungan yang terjalin dilakukan dengan semangat resiprositas dan sukarela, tanpa suatu ikatan perjanjian/ kontrak tertulis, sehingga tidak ada kekuatan hukum formal yang bisa memaksa kedua belah pihak untuk bisa tetap bertahan di dalamnya. Proses transaksi peminjaman dan pelunasan biasanya hanya diketahui kedua belah pihak tanpa disaksikan pihak lain dan lisan, atau setidaknya bagi ponggawa yang tidak buta huruf hanya akan menuliskan transaksi pinjaman pada hari itu di dalam buku catatannya untuk sekedar mengantisipasi terjadinya kesalahpahaman. Hubungan produksi yang sifatnya sukarela dan tanpa perjanjian tertulis inilah yang menyebabkan kedua belah pihak merasa harus saling menjaga “perasaan” dan kepercayaan yang telah terbentuk, dengan melaksanakan tugas dan kewajiban masingmasing. Meskipun kecurangan ataupun ketidak-jujuran dapat berakibat fatal (pemutusan hubungan kerja), namun diakui sejumlah ponggawa, selama pelanggaran tersebut tidak melebihi batas kewajaran biasanya hanya akan didiamkan saja, untuk menjaga perasaan klien bersangkutan. Hal ini dilakukan tidak semata-mata untuk mengantisipasi hengkangnya klien, khususnya para “penjaga empang” berpengalaman yang semakin sulit diperoleh, namun juga untuk menjaga perasaan klien. Demikian halnya dengan sejumlah petambak ataupun penjaga empang yang berhasil diwawancarai, sepertinya berusaha menjaga perasaan dengan menyatakan “ketidakberanianya” ataupun kesungkanannya untuk menceritakan dan mengomentari kehidupan ponggawa mereka. Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan seorang ponggawa terhadap petambak ataupun “penjaga empang”, mengandung resiko berupa hilangnya uang/ materi yang pernah dipinjamkannya pada klien bersangkutan. Juga hilangnya “lumbung budi baik” yang telah tertanam dalam hubungan tersebut. Karenanya dalam kasuskasus tertentu, sejumlah ponggawa cenderung memilih “mendiamkan” atau “tidak melayani secara halus” permintaan para klien yang telah membuat kesalahan, hingga muncul kesadaran dalam diri mereka untuk mencari patron lain yang lebih peduli pada nasib mereka. Dengan harapan patron yang baru bersedia melunasi hutang klien dimaksud pada ponggawa sebelumnya. Juga dimaksudkan untuk menghindari konflik
290
yang mungkin terjadi, kedua belah pihak biasanya berusaha saling memaafkan pihak lain apabila terjadi kesalahan ataupun pelanggaran kecil yang masih dalam batas toleransi. Perlu dikemukakan disini bahwa orang Bugis relatif tidak menyukai teguran langsung pada saat ia sedang melakukan kesalahan. Menurut Mappawata (1986), hal tersebut bisa menyebabkan yang bersangkutan merasa dipermalukan, sehingga bisa menimbulkan tindakan nekat dari yang bersangkutan (majjallo) dan berakibat fatal (seperti pembunuhan). Karenanya teguran, biasanya akan lebih mudah diterima mereka setelah beberapa lama berselang, dengan cara kekeluargaan atau dalam bentuk kelakar/ canda. Hal ini sekaligus menegaskan, walaupun kedua belah pihak terlibat dalam suatu hubungan dengan titik berat ekonomi, namun unsur perasaan tampaknya masih tetap memainkan peran mendasar. Terjadinya paradox, antara tujuan ekonomi disatu sisi dengan tenggang-rasa disisi lainnya, merupakan manifestasi berlangsungnya proses adaptasi kultural yang kemudian membentuk rasionalitas ekonomi yang khas. Dimana nilai-nilai yang terkandung dalam siri’ dan passe’ memberikan pengaruh yang tidak kecil. Siri’ beroperasi dengan cara memanusiakan orang lain yang kehidupan ekonominya sedang terpuruk, sehingga tidak harus kehilangan martabatnya, sementara passe’ beroperasi melalui rasa empati dan belas-kasih untuk bisa saling berbagi (tolongmenolong), sehingga solidaritas dan sikap saling percaya dalam kelompok dapat tetap terpelihara. Rasionalitas ekonomi yang mewujud, tidak berarti sebagai suatu hambatan menuju suatu tata-cara pengelolaan perekonomian modern yang menuntut rasionalitas ekonomi yang tinggi seperti disinyalir Mappawata (1986). Yang patut di garis-bawahi disini, “hutang (entah materi ataupun non materi) berbalut kejujuran” tampaknya menjadi alat pengikat bagi mereka yang terlibat dalam hubungan patronase. Dalam bahasa Bugis, jujur disebut lempu’ yang berarti lurus, sebagai lawan dari bengkok. Adakalanya juga berarti iklas, benar, baik atau adil, yang berlawanan dengan culas, curang, dusta, khianat, menyeleweng, buruk, tipu-muslihat, aniaya dan semacamnya (Rahim, 1992). Lanjut Rahim, “jujur berarti perbuatan baik, pikiran benar, tingkah-laku sopan lagi takut pada Tuhan” (Aja nasalaiko acca sibawa lempu’, naia riasengeng acca, de’gaga masussa napogau’ de’to ada masusaa nabali ada madeceng malem mae, mateppei ripadanna tau. Naia riasennge lempu’ makessingi gau’na, patujui nawanawanna, madeceng ampena, nama tau’ ri Dewatae). Ini berarti orang Bugis sangat menghargai kejujuran sebagai sumber untuk mendapatkan kepercayaan, yang memiliki arti penting dalam melakukan kegiatan usaha dengan pihak lain. Dalam ungkapan cendikiawan Bugis Kareaengta ri Ujungtana dinyatakan bahwa, “kejujuran itu laksana sebatang bambu yang terapung di air, ditekan pokoknya maka timbul ujungnya, ditekan ujungnya maka timbul pokoknya”. Artinya, meskipun kejujuran dapat diatasi oleh
291
kecurangan namun akhirnya yang menentukan adalah kejujuran, seseorang bisa “tenggelam” dan mengalami penderitaan dalam menegakkan nilai-nilai kejujuran, tapi pastilah ia akan “timbul” juga. Selanjutnya ungkapan terkenal dari Bugis-Makassar yang memberikan sumbangan penting bagi tegaknya nilai-nilai kejujuran adalah “olo oloka otere’na nitaggala’, tau kananna nitaggala” (bagi binatang talinya yang dipegang, bagi manusia kata-katanya yang dipegang). Prinsipnya, jika kejujuran tidak dimiliki seseorang, maka orang lain tidak akan menghargainya, bahkan keluarga dekat dan sanak familinya. Disini siri’ sebagai milik bersama dalam keluarga dan lingkungannya akan ikut terbawa-bawa. Seseorang bisa saja memiliki kesempatan untuk berlaku curang, namun pihak keluarga dekatlah yang pertama-tama menentangnya atas nama siri’ keluarga, jika mereka mengetahui kecurangan tersebut. Disini keluarga dapat berfungsi sebagai alat kontrol sosial atas penyalahgunaan kepercayaan oleh anggotanya yang menciderai nilai-nilai kejujuran dalam masyarakat. Sadar akan bahaya yang setiap saat dapat menimpa, apabila salah satu pihak tidak mempercayai pihak lainnya, telah menyebabkan kedua belah pihak berusaha untuk membina hubungan kerjasama berlandaskan kepercayaan dalam jangka panjang. Tentunya dengan menjunjung tinggi kejujuran serta menghargai tugas dan kewajiban masing-masing, sehingga tetap dalam batas toleransi perimbangan. Keadaan tersebut pada Gambar 30., ditunjukkan dengan adanya batas toleransi perimbangan yang berada di bawah garis imajiner kualitas/ stabilitas hubungan kelas. Jika garis “pendulum” tata hubungan patronase masih berada diantara “ruang” batas toleransi perimbangan, maka bisa dipastikan bahwa transaksi pertukaran akan dapat tetap berlanjut dengan lestari. Namun jika garis “pendulum” tata hubungan patronase telah menyentuh batas bawah toleransi perimbangan, maka transaksi pertukaran yang berlangsung cenderung akan berdasarkan paksaan atau eksploitatif. Jika sebaliknya maka hubungan patronase cenderung akan menghasilkan transaksi pertukaran yang lebih sepadan. Seringkali pertukaran terkesan menjadi lebih eksploitatif, ketika seorang klien yang tidak mampu membayar hutang-piutangnya secara teratur (akibat ketidakpastian hasil penen ataupun untuk menutupi biaya kebutuhan darurat dalam rumah tangga), malah menambah pinjamannya pada sang patron, sehingga hutangnya tidak pernah bisa dilunasi. Keadaan ini tidak hanya mengkondisikan petambak ataupun penjaga empang terikat hutang seumur hidup pada ponggawanya, bahkan dapat memaksa anak keturunannya mewarisi hutang-piutang tersebut. Hutang semacam ini biasanya tidak hapus, walaupun yang berhutang sendiri telah meninggal, kecuali ada kebijaksanaan dari sang patron. Dalam kondisi seperti inilah seringkali seorang klien tidak berdaya menghadapai “eksploitasi” yang dilakukan patronnya, misalnya dengan mewajibkan
292
menyerahkan semua hasil panen udangnya pada pos pembelian milik sang patron dengan harga dibawah standar. Seringkali juga dengan memberikan potongan yang lebih besar dalam setiap transaksi penjualan hasil panen sebagai kompensasi pembayaran hutang, belum termasuk potongan untuk komisi penjualan sang patron yang besarnya bisa mencapai 10%. Patron Patron memberikan perlindungan sosial dan ekonomi
Kadar resiprositas tinggi Unsur patronase menguat Status patron diberikan dengan lebih iklas Klien memberikan sikap hormatnya
Tata Hubungan Patronase
Pertukaran Cenderung Sepadan Garis Imajiner Kualitas/ Stabilitas Hubungan Kelas Sebagai Titik Keseimbangan
Batas Toleransi Perimbangan
Pertukaran Cenderung Berdasarkan Paksaan/ Eksploitatif
Kadar resiprositas berkurang Unsur patronase melemah Unsur paksaan bertambah kuat Status tergantikan kekuasaan Sikap hormat berganti sikap tunduk
Klien
Klien menyerahkan dukungan tenaga, hasil produksi dan kesetiaan
Klien Gambar 30. Perimbangan Pertukaran dalam Tata Hubungan Patronase
Meskipun sejumlah ponggawa mengeluhkan besarnya biaya maintenance jaringannya, namun para ponggawa biasanya tidak kuasa untuk menolak permintaan bantuan dari anggotanya. Seorang ponggawa yang berhasil diwawancari mengaku harus mengalokasikan dana lebih dari 100 juta setiap bulannya hanya untuk membantu biaya berbagai keperluan hidup anggotanya yang tidak lebih dari 50 orang. Alokasi dana yang harus disediakan akan berlipat jika ada anggotanya yang gagal panen atau tambaknya mengalami kerusakan atau karena desakan klien yang berharap mendapatkan bantuan untuk membangun area tambak baru. Akomodasi bantuan yang diberikan, sepertinya tidak hanya dilakukan untuk menarik simpati anggotanya,
293
sehingga semakin menghormati dan mematuhinya, namun juga untuk menjaga sikap ketergantungan dalam hubungan yang terjalin, sehingga memberikan jaminan kepastian pasokan raw material. Seorang ponggawa biasanya akan merasa malu bila anggotanya berpindah pada ponggawa lain, hanya karena ia tidak mampu menolong kebutuhan anggotanya yang sedang mengalami kesulitan, karena hal itu dianggapnya dapat menurunkan prestige dan nama baiknya di mata anggota jaringannya dan ponggawa yang lain. Kekuatan feodelisme seperti inilah yang dipertahankan dalam hubungan patronklien, sehingga pola-pola eksploitasi yang dilakukan para kapitalis lokal menjadi lebih ”terselubung”. Kapitalis lokal menciptakan ketergantungan secara ekonomi maupun sosio-kultural terhadap kelompok (migan) yang lebih lemah dengan membangun mekanisme hutang (meskipun lunak namun sangat mengikat) serta mengembangkan jalur perdagangan berlapis dengan menjadi pemasok kebutuhan pokok sehari-hari bagi kelompok petambak penggarap dan penjaga empang. Bahkan, para kapitalis besar mampu melakukan eksploitasi melalui penciptaan struktur pasar yang monopolistis (penjual tunggal) atau monopsonistis (pembeli tunggal), sehingga terjadi penekanan melalui mekanisme penentuan harga dan penyediaan barang secara sepihak. Mekanisme “eksploitasi terselubung” dapat terus berlangsung berkat “terjadinya kombinasi yang ganjil dari ketidaksamaan dan asimetris dalam kekuatan, dengan saling percaya dan solidaritas dalam hubungan pribadi, perasaan-perasaan pribadi dan kewajiban-kewajiban … kombinasi dari kekuatan paksaan dan eksploitasi dalam hubungan sukarela dan saling tolong-menolong” (Eisenstadt, 1984). Selain karena adanya ketidakpastian dan minimnya informasi tentang pasar diluar daerah/ kawasan operasi, transaksi yang diatur dan dipercaya, serta diikat oleh hubungan perseorangan “clientelization”, sehingga menjadikan pertukaran seperti itu jauh lebih disukai daripada pertukaran dengan orang-orang asing di pasar. Dalam beberapa hal, menurut Hayami dan Kikuchi (1987), preferensi seperti inilah yang kemudian mempermudah munculnya monopoli perdagangan oleh pedagang perantara besar yang mengeksploitasi petanipetambak miskin. Para ponggawa tersebut, selanjutnya akan berusaha membangun hegemoni kulturalnya melalui jaringan patronase yang dimilikinya untuk menopang kegiatan usaha pertambakan yang sarat dengan persaingan dan ketidakpastian. Para ponggawa berusaha membangun citranya dengan berbagai cara, terutama berlaku sebagai seorang patron yang dermawan dan ringan tangan, bahkan tidak sedikit yang suka “mempertontonkan” keungulan kapitalnya pada khalayak. Dalam perkembangannya muncul fungsi serupa dalam kepemimpinan dan berbagai kegiatan sosial keagamaan yang diperankan oleh “orang saleh” yang saat ini tidak hanya bisa diperankan oleh
294
tokoh-tokoh agama lokal (imam masjid/ penghulu/ ulama), namun peran tersebut juga mulai diperankan oleh tokoh-tokoh masyarakat dengan kemapanan ekonomi tertentu (seperti; ponggawa). Tentu pengakuan sebagai “orang saleh” secara sosio-religiositas juga dimaksudkan untuk memperoleh dukungan atas keberlangsungan kepemimpinan seorang ponggawa. Dengan demikian, transformasi kehidupan keagamaan yang berporos pada agen, semakin memperkuat pola hubungan vertikal dalam budaya patronase pada masyarakat Bugis di Kawasan Delta Mahakam. Pola hubungan patron-klien yang adaptif seperti inilah yang kemudian mampu menopang keberadaan para ponggawa dalam kegiatan pertambakan di Delta Mahakam yang penuh dangan persaingan dan ketidakpastian. Berdasarkan data historis yang berhasil dikumpulkan, ponggawa-ponggawa yang mampu bertahan dan berhasil mengembangan usahahanya adalah mereka yang tidak hanya mampu melakukan hegemoni secara ekonomi dan sosio-kultural, namun juga adaptif dan visioner dalam melihat perubahan disekitar mereka. Banyak diatara mereka yang survive dan mampu mengembangkan usahanya adalah para ponggawa pengikut yang berhasil melakukan ekstensifikasi usaha secara massive. 7.2.4
Sistem Sosial Yang Terbentuk Perkembangan yang diiringi oleh beragam “substitusi” alokasi sumberdaya,
modal, dan dampak yang diakibatkannya menjadikan sistem produksi Delta Mahakam memiliki substitusi yang tinggi antara land dan non-land intensive atau good dan bad environment. Kuatnya dorongan faktor ekonomi telah memberikan implikasi yang mendasar terhadap “subtitusi” perilaku dan interaksi warga masyarakatnya dalam memandang faktor-faktor sosial dan ekologi. Sementara modernisasi di sekitar kawasan Delta Mahakam melalui kapitalisasi (peningkatan arus modal dan teknologi) maupun industrialisasi diberbagai sektor telah mengubah struktur sosial masyarakat sedemikian mendasar. Perubahan struktur tersebut ditandai oleh semakin meningkatnya kebutuhan spesialisasi pekerjaan atau tumbuhnya pekerjaan-pekerjaan baru di sekitar kawasan serta semakin meningkatnya konversi lahan untuk berbagai kegiatan usaha. Akibatnya struktur masyarakat menjadi lebih kompleks seiring dengan munculnya organisasiorganisasi sosial baru yang memiliki beragam tujuan dan kepentingan. Modernisasi juga akan melibatkan perubahan pada hampir seluruh aspek tingkah laku sosial, termasuk didalamnya industrialisasi, urbanisasi, diferensiasi dan sekulerisasi. Munculnya fenomena kapitalisasi pertambakan ditandai oleh beberapa hal berikut. Pertama, beralihnya penguasaan aset produksi. Dimana penguasaan tanahtanah negara di kawasan Delta Mahakam, justru didorong untuk mendukung sukses pembangunan di sektor perikanan budidaya tanpa terlebih dahulu menata struktur
295
agraria dan langsung mengejar tingkat produksi tertentu untuk mengamankan “Program Udang Nasional”. Akibatnya, pola pengelolaan sumberdaya hutan mengrove (tanah negara) yang sejak awal tidak memiliki kejelasan, jatuh pada otoritas lokal untuk kemudian diserahkan secara sporadis dan massal pada mereka yang berminat mengelola usaha pertambakan. Meskipun perekonomian mampu tumbuh dengan cepat, proses
pengkonsentrasian
penguasaan
tambak-tambak
tersebut,
kelak
akan
menciptakan kesenjangan penguasaan alat produksi yang menganga lebar, sehingga mendorong terjadinya pemiskinan relatif, sekaligus memendam bibit konflik. Sementara satuan rumah tangga menjadi tidak otonom dan terjerat dalam hubungan patron-klien yang tidak memungkinkan munculnya kemandirian. Menariknya, hegemoni kultural yang “dipinjam” dari tradisi elit tradisional ataupun dari para patron oleh elit ekonomi lokal (ponggawa) yang berasal dari golongan to-maradeka
tersebut,
ternyata
digunakan
untuk
mempertahankan
kekuasaan
hegemonik yang sebelumnya secara “terselubung” pernah “mengeksploitasinya”. Melalui
jaringan
patronase
yang
dibangunnya,
mereka
berhasil
menciptakan
ketergantungan pada para klien untuk bisa memberikan kepastian pasokan material raw. Meskipun demikian, pola hubungan patronase tampaknya masih menyisakan ruang resiprositas yang melekat pada tradisi passe’, sehingga mereduksi pola hubungan pertambakan yang cenderung ekploitatatif. Pola hubungan patron-klien yang adaptif, ternyata juga mampu menopang keberlangsungan ekonomi lokal berbasis pertambakan yang sarat persaingan dan ketidakpastian. Menjadikan biaya produksi tidak membutuhkan biaya tinggi, padahal produk yang ditawarkan (udang windu) adalah khas dan tidak banyak diproduksi oleh produsen lain, sehingga menjadikan produsen lokal memiliki posisi tawar yang cukup baik di pasar. Kedua, munculnya monopoli di sektor agraria. Komitmen yang kuat terhadap pertumbuhan dan absennya negara dalam mengelola tanah-tanah negara telah menyebabkan munculnya monopoli di sektor agaria, melalui pemilik modal lokal yang berhasil mengambil keuntungan dari absennya negara dan “keunggulan pada kesempatan pertama untuk memulai”. Meskipun fenomena tersebut kelak mampu mendorong terjadinya kebangkitan ekonomi lokal, namun “ketidakhadiran negara” dalam ikut mendorong munculnya berbagai regulasi yang mampu mengakomodasi kepentingan berbagai pihak atas keberlanjutan perkembangan ekonomi masyarakat di aras lokal ini, telah menyebabkan terjadinya monopoli kegiatan usaha pertambakan dan tetap terpeliharanya hubungan produksi melalui “eksploitasi terselubung”. Kenyataan ini juga mengakibatkan tidak berlangsungnya mekanisme insentif dan disinsentif secara adil yang sangat penting artinya dalam merangsang pertumbuhan aktivitas ekonomi lokal. Seperti pengenaan pajak atau restribusi dalam kegiatan usaha pertambakan
296
untuk
meningkatkan
pelayanan
perbaikan
atau
pengadaan
infrastruktur
dan
merangsang pengembangan research development. Selain mendorong hilirisasi industri perikanan yang bernilai tambah tinggi, serta penggunaan teknologi modern dan ramah lingkungan, misalnya mekanisasi dalam pensortiran size udang atau pengembangan produk ramah lingkungan dengan teknologi tinggi, yang saat ini menjadi pilihan utama konsumen negara maju. Ketiga, hilangnya hak-hak tradisional. Di dalam masyarakat tradisional, umumnya penguasaan tanah lebih bersifat komunal, serta cenderung menggunakan hukum-hukum lokal dan mengabaikan persyaratan legalitas formal seperti sertifikat. Hak-hak komunal lokal tersebut, dewasa ini tergilas oleh hukum nasional yang mensyaratkan adanya legalitas formal dan berarti kurang diakuinya hak-hak masyarakat lokal yang pernah ditradisikan. Jika merujuk pada realitas yang ada, keberadaan area pertambakan di kawasan Delta Mahakam yang sebagian besar berada diatas tanahtanah negara (KBK), sepatutnya ditertibkan pemerintah dengan “hadir” bersama masyarakat. Membawa agenda reforma agraria yang konkrit dan berpihak pada kepentingan ekologis tanpa mengabaikan keberlanjutan pertumbuhan ekonomi lokal. Disini, otoritas berwenang dituntut untuk duduk bersama dengan stakeholders guna merumuskan tata ruang pemanfaatan KBK yang sebagian besar telah beralih fungsi menjadi area pertambakan pribadi. Pastinya, solusinya tidak dengan memberikan legalitas kepemilikan area pertambakan melalui penerbitan Sertifikat Hak Milik. Namun dengan semangat memberikan legalitas kepastian berusaha, yang diupayakan melalui penerbitan HGU (Hak Guna Usaha) dengan batas waktu dan luasan penguasaan tertentu. Dan atau dengan mengusulkan sejumlah kawasan di Delta Mahakam pada Menteri Kehutanan via Dinas Kehutanan Kabupaten untuk ditetapkan sebagai kawasan Hutan Desa atau Hutan Kemasyarakatan sesuai Keputusan Pemerintah No. 6/ 2007, tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan. Dimana Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (IUPHHBK) yang telah diterbitkan dapat diusahakan secara komunal (berkelompok) sebagai area hutan (mangrove) dengan pemanfaatan silvofishery selama 35 Tahun dan dapat diperpanjang setelahnya. Selanjutnya melalui RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) partisipatif, kawasan Delta Mahakam dibagi sesuai zonasi peruntukannya, ditunjang dengan keberadaan peraturan yang ketat dan disepakati semua pihak. Pada waktu bersamaan upaya rehabilitasi pun dilakukan pada zona konservasi dan area pertambakan yang ditelantarkan. Hasil penelitian ini, menunjukkan bahwa proses pembentukan ekonomi lokal, terjadi sebagai akibat dari beroperasinya kegiatan industri perikanan ekspor pada 1974 yang membuka ruang bagi kehadiran pedagang perantara pada area-area yang tidak
297
mampu ditangani langsung oleh eksportir. Sementara berdasarkan kemunculannya, para pengusaha lokal tersebut, dapat dikelompokkan sebagai; pertama, kelompok ponggawa perintis; mereka yang menjadi ponggawa sebelum adanya kegiatan industri perikanan. Kedua, kelompok ponggawa pengikut, mereka yang menjadi ponggawa setelah adanya kegiatan industri perikanan; dan ketiga, kelompok ponggawa penerus, mereka yang menjadi ponggawa karena faktor keturunan/ pewarisan usaha. Banyak diataranya adalah para ponggawa pengikut yang berhasil melakukan ekstensifikasi usaha, dengan mengembangkan kegiatan usaha pertambakan, pasca pelarangan trawl pada 1983. Meskipun kelak berdampak pada perubahan lanscape ekologi lokal, akibat “absennya negara” di atas Kawasan Budidaya Kehutanan, yang menjadi ajang konversi area pertambakan pribadi. Tabel 25. Sruktur Sosial Masyarakat Bugis di Kawasan Delta Mahakam dari Masa ke Masa Kelas Pra-Kolonial Kolonial Pasca-Kolonial Kontemporer * Kelas Penguasa
Pengusaha (Elit Ekonomi)
Petinggi Keturunan bangsawan Lokal
Petinggi Keturunan bangsawan Lokal
Demang Petinggi/ Kepala Kampung
Keturunan bangsawan Bugis
Pedagang perantara Pemilik kapal layar besar Pemilik perkebunan kelapa Keturunan bangsawan Bugis
Pedagang perantara Pemilik kapal motor besar Pemilik perkebunan kelapa, Ponggawa
Perompak
Kepala padang Perompak
Politisi lokal Alim ulama Intektual (guru) Staf desa/ PNS Kepala padang Penyelundup
Budak Petani Kecil Nelayan Kecil
Budak Petani kecil Nelayan kecil Sawi/ ABK Pekerja kebun kelapa
Petani kecil Nelayan kecil Sawi/ ABK Penjaja panganansandang Pekerja kebun kelapa
Kelas Menengah Non Pengusaha (Elit Sosial)
Kelas Bawah
Kepala Desa/ Lurah Camat Eksportir Ponggawa Petambak bebas Nelayan besar Pengusahaprofesional, Pemilik toko kelontongan/ Warung Politisi lokal/ Pemimpin ormas, Alim ulama Intektual (guru) Staf desa/ PNS Pekerja tambang Pemilik kapal motor/ speedboad, Profesional (bidan, mandor buruh dan staf pabrik) Petambak terikat Penjaga empang Sawi/ ABK Nelayan kecil Petani kecil Buruh pabrik Buruh tambak Motoris kapal Penjaja panganansandang
Catatan: * Setelah Beroperasinya Industri Perikanan Skala Ekspor
Struktur sosial pada masyarakat Bugis di kawasan Delta Mahakam dari masa ke masa, seperti terlihat pada Tabel 25., kelas penguasanya nyaris tidak mengalami perubahan yang berarti. Namun pada kelas bawah dan menengah tampaknya terjadi polarisasi profesi pekerjaan, hal ini sekaligus menunjukkan terjadinya perkembangan
298
pada struktur masyarakat di kedua kelas, sehingga menjadi lebih kompleks seiring dengan munculnya beragam organisasi sosial baru di kawasan Delta Mahakam. Jika pada masa pra-kolonial tampil kelas menengah dari keturunan bangsawan Bugis yang tidak memegang kekuasaan, namun memiliki pengaruh kuat atas sejumlah pengikut, yang dengan kelihaian dan pengaruhnya berhasil menjadi golongan elit ekonomi. Juga tampil golongan elit sosial yang berasal dari keturunan bangsawan Bugis yang dengan pengaruh dan keberaniannya (memiliki armada dagang yang dapat berfungsi sebagai armada perompak) mengontrol titik-titik perdagangan strategis di sekitar muara Sungai Mahakam. Maka pada masa kolonial, mulai tampil sejumlah profesi baru yang berhasil menjadi kelas menengah (elit ekonomi dan sosial) di luar keturunan bangsawan Bugis dan perompak. Sementara pada masa pasca-kolonial hingga masa kontemporer, semakin terbuka kesempatan bagi profesi lain untuk tampil sebagai kelas menengah baru. Salah satunya adalah aktivitas usaha sebagai ponggawa yang pada awal kemunculannya, sumber kekuatan utamanya bertumpu pada penguasaan atas modal ekonomi yaitu alat produksi berupa kapal dan peralatan tangkap, yang saat ini bergeser, lebih bertumpu pada penguasaan alat produksi berupa area pertambakan. Menariknya, profesi sebagai ponggawa ternyata tidak semata-mata memposisikan mereka hanya sebagai elit ekonomi tapi sekaligus sebagai elit sosial. Selanjutnya perkembangan kapitalisme lokal di Delta Mahakam menunjukkan gejala seperti yang disimpulkan Marx, bahwa kapitalis-kapitalis kecil (yang kemudian menjadi besar) sebagian besar datang dari kalangan buruh upahan (kalangan kelas bawah), bukan dari kelas elit-penguasa yang terikat tradisi. Cukup konsisten dengan tesis Weber yang telah diuji oleh Long (1992), yang menyatakan mayoritas pengusaha mandiri diilhami sebuah etika tertentu dan berasal dari keluarga kelas pekerja atau lapis bawah yang kurang terikat tradisi, bukan dari kelas aristokrat yang terikat tradisi. Hal ini berbeda dengan temuan Boeke (1953); Castles (1982); van Neil (1984); Geertz (1992); Wertheim (1999); sebagian temuan Sitorus (1999); dan Wasito (2008). Penelitian ini juga menolak konsepsi Kunio (1990) yang menyebut industrialisasi mandiri tidak mewujud di Asia Tenggara akibat kemunculan para pengusaha yang tidak didasarkan pada perkembangan teknologi memadai dan besarnya campur tangan pemerintah. Dengan perkataan lain, ketergantungan sektor swasta pada pejabat pemerintah masih terlalu besar, sehingga dalam asumsi Budiman (2006) sulit bagi pengusaha pribumi yang ada sekarang untuk menjadi mandiri dan dapat memperjuangkan kepentingan dirinya melalui kegiatan politik. Sekaligus mengkritik tesis Robinson (1986) dan Muhaimin (1990) yang hanya menandai pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan dominasi kapitalisme negara, kapitalisme borokrasi dan kapitalisme klien, yang sangat bergantung penguasa untuk dapat melakukan kegiatan bisnis atau peran ekonominya.
VIII. KESIMPULAN: KEBANGKITAN KAPITAL LOKAL
8.1
Ikhtisar Hasil Penelitian
8.1.1
Pembentukan Ekonomi Lokal Bagaimana terbentuknya ekonomi lokal dalam masyarakat Bugis perantauan di
Delta Mahakam yang ditandai oleh kemunculan golongan sosial pengusaha perikanan lokal (ponggawa) dapat dirumuskan dalam dua pokok kesimpulan berikut. Pertama, mengenai asal-usul sosialnya, dapat disimpulkan bahwa golongan pengusaha perikanan dalam masyarakat Bugis perantauan di Delta Mahakam umumnya berasal dari kelompok non elit/ kelas bawah/ masyarakat ekonomi marginal, terutama dari kalangan orang kebanyakan (to-maradeka) dalam struktur feodal Bugis. Banyak diantara mereka sebelumnya adalah adalah petani kelapa (perkebunan) – nelayan tradisional yang dalam perjalannya berhasil tampil sebagai elit ekonomi lokal dengan basis usaha perdagangan/ jasa pengumpul produk perikanan – eksportir. Karena itu suatu kesimpulan yang lebih umum atau penteorian tentang asal-usul sosial golongan pengusaha lokal dapat dirumuskan secara berbeda dengan teori yang telah dibangun sebelumnya, berikut ini: “Golongan pengusaha kapitalis lokal terutama berasal dari golongan non elit atau masyarakat kelas bawah dalam struktur sosial-ekonomi tradisional yang terdapat dalam komunitas lokal bersangkutan”. Kedua, terkait dengan mekanisme kemunculannya, dapat disimpulkan bahwa golongan pengusaha perikanan (ponggawa) dalam masyarakat Bugis migran di Delta Mahakam, merupakan hasil dari beroperasinya kebijakan pembangunan yang membuka “ruang” bagi terciptanya “berkah terselubung”, akibat proses pembiaran negara dalam mengelola
pembangunan
(hutan
negara).
Meskipun
pemerintah
memberikan
kompensasi pembukaan area hutan mangrove untuk kegiatan pertambakan, serta berbagai bantuan dalam pengalihan kegiatan usaha perikanan trawl menjadi non-trawl, pasca pelarangan trawl secara total pada 1983. Namun pemerintah tidak pernah melakukan rekayasa sosial dalam bentuk (teknis dan permodalan), khususnya terhadap golongan pengusaha (ponggawa) yang kemudian berhasil tampil sebagai elit ekonomi lokal. Yang ada, terjadi kontraksi kebijakan, sehingga pemerintah malah terkesan melakukan “pembiaran” atas penguasaan tanah-tanah negara oleh para petambak – akumulasi penguasaan alat produksi pada sejumlah ponggawa. Proses penguasaan alat produksi meskipun “ilegal” menurut perspektif otoritas berwenang, namun dapat memberikan hasil nyata dalam proses pembentukan dan pertumbuhan ekonomi lokal, mengingat dalam masyarakat Bugis perantauan di Delta Mahakam sendiri telah terdapat prakondisi kapitalis. Pertama, unsur pembentukan modal uang oleh golongan patron (ponggawa perintis, pengikut dan penerus) melalui
300
usaha perikanan khususnya budidaya udang yang bersifat komersial. Kedua, unsur pembentukan golongan klien yang secara potensial muncul dalam hubungan produksi patronase pada kegiatan perikanan tangkap dan selanjutnya diadopsi dalam kegiatan pertambakan, ditandai dengan munculnya golongan penjaga empang dan petambak terikat. Pada awalnya, pembentukan golongan klien berasal dari jalur keluarga, namun seiring dengan semakin meluasnya hamparan tambak yang dimiliki seorang ponggawa, telah mendorong perekrutan tenaga “buruh upahan” dari luar jalur keluarga. Ketiga, secara nyata unsur pembentukan modal uang dan unsur pembentukan golongan buruh upahan muncul dari sektor industri perikanan yang mulai beroperasi sejak 1974 hingga saat ini. Berdasarkan temuan empiris tersebut, kesimpulan yang lebih umum tentang mekanisme sosial kemunculan golongan pengusaha lokal dapat dirumuskan berikut. “Kemunculan golongan pengusaha kapitalis lokal yang menggerakan pembentukan ekonomi lokal merupakan hasil dari beroperasinya, pertama terpenuhinya prakondisi produksi kapitalis berupa pembentukan modal uang pada golongan patron (elit ekonomi lokal) dan pembentukan golongan klien (buruh upahan) dalam komunitas lokal yang bersangkutan. Kedua, adanya „berkah terselubung‟ atas pembiaran negara dalam proses mengelola pembangunan, yang berhasil digunakan elit ekonomi lokal untuk mengambil manfaat dari „keunggulan pada kesempatan pertama untuk memulai”. Kelangsungan sosial golongan pengusaha lokal mencakup dua dimensi sekaligus. Pertama, berdasarkan dimensi status/ peranan sosial golongan pengusaha lokal di Delta Mahakam, yang dapat disimpulkan bahwa golongan pengusaha lokal tersebut hadir dan berkembang dalam konteks dan sebagai pendukung ekonomi lokal, dengan ciri-ciri formasi sosial kapitalis yang khas. Dalam konteks tersebut, golongan pengusaha perikanan lokal mendapatkan statusnya sebagai kelas menengah, suatu kelas “menengah baru” dalam struktur sosial Bugis yang aslinya hanya mengenal kelas Anakarung dan To-Maradeka. Penelitian ini menunjukkan bahwa para pengusaha lokal mampu bangkit dan berkembang (survive) tanpa campur-tangan negara, mereka bahkan tumbuh secara progresif melakukan take over atas perusahaan asing (PMA) dan ikut menopang kertepurukan ekonomi bangsa ketika tertimpa krisis ekonomi 1997/ 1998. Mereka tidak hanya menyumbang terhadap perkembangan pembangunan ekonomi lokal, namun juga menjadi penggerak transformasi sosial-ekonomi masyarakat Delta Mahakam dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri. Berdasarkan hal tersebut, status/ peranan golongan pengusaha lokal dapat dirumuskan berikut ini. “Golongan pengusaha kapitalis lokal adalah kelas menengah mandiri yang mampu berperan sebagai perintis dan penggerak transformasi sosial dalam komunitas lokal bersangkutan yang kelangsungannya tidak bergantung pada pemerintah secara mutlak”.
301
Kedua, berkenaan dengan status perkembangan sosialnya dapat disimpulkan bahwa golongan pengusaha perikanan lokal dalam masyarakat Bugis migran di Delta Mahakam saat ini sedang mengalami kebangkitan. Analisis aras mikro menunjukkan bahwa gejala kebangkitan tersebut merupakan gejala “konsolidasi ekonomi lokal” yang berpangkal pada dua hal. Pertama, terjadinya reproduksi kultural yang berhasil dikonstruksi oleh para ponggawa dengan menggariskan nilai dasar “bekerja adalah ibadah”, sehingga apapun hasilnya adalah pahala. Dengan keyakinan seperti itu, seorang ponggawa terbesar di Delta Mahakam misalnya menempatkan dirinya dalam posisi tidak pernah merasa rugi dengan apa yang telah ia kerjakan meskipun hasilnya nihil, baginya hasil dari pekerjaan di dunia ini hanyalah bonus dari pahala di akhirat. Konsepsi inilah yang kemudian melahirkan karakter pekerja keras yang pantang menyerah sekaligus iklas menerima apapun hasil dari jerih payahnya. Dari sinilah lahir niatan mengembangkan usaha, “semakin banyak mulut yang mampu diberinya makan semakin baik bagi kualitas kehidupan rohaninya”. Komitmen tersebut ditindaklanjuti dengan menginvestasikan kembali hampir semua profit yang mampu diraupnya ke dalam kegiatan usaha di sektor riil, sehingga mampu memberikan pekerjaan pada banyak orang. Kedua, adalah terbangunnya “medan interaksi” yang menjadi wadah bagi terjadinya transformasi, legitimasi dan habitualisasi, sehingga menghasilkan wacana rasionalitas spiritual baru. Kunci sukses, meskipun dipercaya merupakan kehendak Tuhan, namun kehendak Tuhan dapat dicapai melalui upaya memperbaiki we‟re‟ (nasib) tidak baik/ tidak menguntungkan, dengan bekerja keras, sehingga dapat membangun simbol-simbol “peruntukan fitrah”. Diantaranya, melalui pembangunan masjid yang dimengerti sebagai “rumah Allah”, menunaikan ibadah haji untuk memenuhi panggilan suci sebagai “tamu Allah”, serta berkurban dan menyantuni fakir-miskin yang dipahami sebagai media untuk mensucikan diri dari dosa. Secara keseluruhan, membangun simbol-simbol peruntukan fitrah juga berarti mendapatkan legitimasi sebagai “orang yang dianggap saleh”, sehingga secara sosio-religiositas layak dikategorikan sebagai pemimpin. Akibatnya, transformasi kehidupan keagamaan yang lebih berporos pada agen (“orang yang dianggap saleh”) menjadi penting dalam “medan interaksi” yang dikembangkan masyarakat setempat. Kecendrungan tersebut kemudian menjadi penanda bahwa menjadi orang kaya itu penting, karena menjadi tolak ukur kehormatan sosial yang dapat memenuhi kepuasan duniawi, sedangkan bertingkah laku yang mengarah pada simbol-simbol agama secara sosial dianggap “taat beragama”, karena dapat memenuhi kepuasan ukhrawi.
Pada
gilirannya
transformasi
kehidupan
keagamaan yang berporos pada agen, semakin memperkokoh pola hubungan vertikal dalam budaya patronase pada masyarakat Bugis perantauan di Delta Mahakam.
302
Analisis aras messo menunjukkan bahwa kebangkitan golongan pengusaha perikanan (ponggawa) di Delta Mahakam, merupakan bagian dari keberhasilan golongan tersebut memainkan perannya, “meleburkan diri” dalam dinamika formasi sosial kapitalis yang begitu mendominasi. Pertama, keberhasilan para ponggawa dalam memanfaatkan momentum “keunggulan pada kesempatan pertama untuk memulai” atas penguasaan tanah-tanah negara, hingga terjadinya akumulasi alat produksi pada sejumlah ponggawa. Kedua, terjadinya konsentrasi raw material hanya pada satu orang ponggawa besar, sementara ponggawa yang lebih kecil hanya menjadi kepanjangantangan dan penopang ponggawa yang berada diatasnya. Proses selektif yang terjadi kemungkinan akan menjadi salah satu sebab, tidak munculnya lebih dari satu puncak hierarki dalam rantai produksi pertambakan di Delta Mahakam. Hal ini ditandai dengan kolapsnya dua perusahaan industri perikanan pioner (Nasional – Internasional) di Delta Mahakam, tergantikan oleh keberadaan perusahaan industri perikanan lokal. Ketiga, keberhasilan golongan pengusaha lokal melakukan perekrutan tenaga terampil yang akan menggerakkan industri perikanan yang telah terbangun dan terjadinya alih teknologi dan adopsi manajemen profesional, berkat keberhailan kerjasama dengan pihak asing dalam mengembangkan industri di ranah lokal. Analisis aras makro menunjukkan bahwa terintegrasinya sistem perekonomian lokal ke dalam sistem perekonomian nasional dan dunia dengan formasi sosial yang kapitalistik tidak dengan sendirinya menyebabkan gejala marginalisasi kapitalis lokal, seperti temuan Kahn, Castle dan Sitorus, sebaliknya menunjukkan gejala kebangkitan ekonomi lokal. Gejala kebangkitan ekonomi lokal tersebut merupakan hasil dari beroperasinya keunggulan komparatif dan kompetitif produk yang diproduksi kapitalis lokal. Pertama, adanya kecendrungan peningkatan permintaan produk udang windu di pasaran regional-global yang tidak mampu diproduksi oleh produsen lain yang telah beralih hanya memproduksi udang vanamei secara massal. Kondisi ini juga tidak terlapas dari gaya konsumsi masyarakat negara maju yang cenderung lebih menyukai produk udang organik yang sebagian besar produksinya disumbang oleh usaha pertambakan tradisional seperti di Delta Mahakam. Selain itu tidak banyak produsen di negara lain yang bisa memproduksi udang windu yang hanya hidup di daerah tropis. Kedua, para kapitalis lokal memiliki keunggulan kompetitif atas kebutuhan pasar yang sedikit demi sedikit dikumpulkan dari mitral lokal, akses khusus pada kelembagaan lokal (patronase) dan keluwesan berproduksi yang merupakan hasil negosiasi dalam jaringan yang tidak membutuhkan biaya tinggi. Ketiga, kuatnya posisi tawar pengusaha lokal atas produk spesifik, seperti udang windu telah menempatkan mereka “tidak tunduk” terhadap tekanan kapitalis pusat. Berdasarkan hal tersebut, dapat dirumuskan kesimpulan berikut. “Keberlangsungan sosial golongan pengusaha kapitalis lokal yang
303
mengalami
kebangkitan
merupakan
keberhasilan
reproduksi
kultural
yang
menggariskan nilai tertentu, terbangunnya „medan interaksi‟ yang menghasilkan wacana rasionalitas spiritual baru, keberhasilan memanfaatkan momentum „keunggulan pada kesempatan pertama untuk memulai‟, terjadinya konsentrasi raw material, keberhasilan perekrutan tenaga terampil, alih teknologi dan adopsi manajemen professional, peningkatan permintaan produk spesifik di pasaran regional-global, keunggulan kompetitif produksi dengan biaya murah dan kuatnya posisi tawar pengusaha lokal di pasar global”. 8.1.2
Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi Lokal Terhadap Perubahan Landscape Ekologi Pembentukan ekonomi lokal di kawasan Delta Mahakam yang digerakkan oleh
kegiatan usaha pertambakan telah memberikan pengaruh secara signifikan terhadap perubahan landscape ekologi lokal. Hal ini dapat ditelusuri dari beberapa momentum penting berikut ini; pertama, proses kapitalisasi dalam kegiatan pertambakan telah memicu terjadinya arus migrasi dari etnik Bugis, Makassar, Jawa dan etnik lainnya ke desa-desa yang berada di pulau-pulau dalam Kawasan Delta Mahakam, dipekerjakan oleh para petambak ataupun ponggawa untuk menjaga empang-empang yang yang tidak lagi bisa mereka kelola sendiri karena luasnya hamparan tambak yang mereka miliki. Selain membuka kesempatan kerja bagi buruh tambak, untuk membangun tambak-tambak baru ataupun memperbaiki konstruksi tambak secara tradisional. Pemusatan penguasaan area pertambakan, selain menciptakan jurang kesenjangan diantara para
penjaga empang – petambak – ponggawa, juga mendorong
dilakukannnya
ekspansi perluasan area tambak dengan cara meminjamkan modal
usaha pada patron-nya masing-masing untuk membuka hutan mangrove yang mereka kuasai. Kedua, rendahnya produktivas tambak-tambak di kawasan Delta Mahakam, telah memaksa petambak untuk mencoba mengembangan strategi dengan membangun hamparan tambak yang lebih luas, dengan asumsi akan dapat mempermudah pengelolaan dan meningkatkan produksi. Dalam kenyataannya produksi tambak mereka tetap saja tidak meningkat, praktis mereka hanya mengandalkan hasil panen dari udang bintik yang terperangkap masuk ke dalam tambak-tambak mereka. Kondisi ini mendorong sebagian petambak untuk kembali beralih profesi sebagai nelayan, serta mereka yang memiliki cukup modal dan tidak terikat hutang pada para ponggawa untuk melakukan ekspansi dibidang usaha lain seperti kegiatan perkebunan kelapa sawit dan perdagangan atau mencoba peruntungan di dunia politik. Masyarakat lokal selanjutnya cenderung menjadi lebih apatis, individualis dan materialistik, sehingga menguatkan motivasi
oknum
petambak/
ponggawa
untuk
melakukan
“spekulasi’
dalam
304
pengembangan area tambak dengan harapan mendapatkan ganti rugi pembebasan lahan oleh perusahaan migas jika terjadi pencemaran atau eksplorasi. Ketiga, tekanan ekologis yang begitu hebat telah menyebabkan kawasan yang dulunya memiliki tegakan hutan mangrove yang sangat lebat dan luas ini, menjadi terdegradasi dengan cepat. Tingginya angka deforestasi mangrove berimplikasi pada permasalahan fisik, ekologi dan lingkungan, seperti kerusakan tekstur, dan struktur tanah,
erosi,
abrasi,
sedimentasi,
dan
pencemaran
air
serta
penurunan
keanekaragaman hayati. Degradasi ekosistem mangrove yang terjadi, selanjutnya membawa dampak atas terjadinya penurunan produktifitas tambak, munculnya berbagai wabah penyakit yang menyerang udang, semakin sulitnya bibit udang alam diperoleh, terjadinya abrasi pantai dan sedimentasi yang semakin meluas, serta hilangnya sumbersumber mata air bersih. Akumulasi keadaan di atas disatu sisi telah menyebabkan perusahaan-perusahaan eksportir kesulitan memperoleh pasokan bahan baku (udang segar), sehingga terjadi pelumpuhan produksi, hingga memaksa mereka untuk “meninggalkan” kawasan Delta Mahakam karena kolaps, sehingga membuka peluang terjadinya take over atas perusahaan-perusahaan tersebut oleh ponggawa yang sebelumnya menjadi klien mereka. Sementera di sisi yang lain, keadaan tersebut juga berimbas pada kualitas dan kuantitas produksi yang cenderung menurun, sehingga menyebabkan banyak area pertambakan terlantar, karena tidak dikelola secara baik dan ditinggalkan pemiliknya. 8.1.3
Proses Reproduksi Ekonomi Lokal Proses reproduksi pembentukan ekonomi lokal, yang terjadi secara eksternal
tidak dapat dipisahkan dari proses akumulasi penguasaan alat produksi (dalam hal ini hutan mangove yang dikonversi menjadi area pertambakan pribadi). Kondisi tersebut terjadi sebagai akibat dari; pertama, terjadinya kontraksi kebijakan pasca pelarangan trawl pada 1983 hingga pengabaian negara atas tanah-tanah negara yang berada dibawah otoritasnya. Akibatnya terjadi ketidakpastian regulasi pertanahan yang memungkinkan seorang penggarap memiliki belasan bahkan puluhan hektar lahan hutan negara, kemungkinan tersebut menemukan momentumnya, ketika regulasi pertanahan yang sampai pada aparatur pemerintahan di aras lokal mengalami transformasi subjektif, sehingga ditafsirkan secara berbeda-beda sesuai dengan pengetahuan dan persepsi parapihak yang terbungkus kepentingan pragmatis. Pemahaman seperti itu terus direproduksi secara berulang, sepanjang dianggap “aman dan menguntungkan” mereka yang bertransaksi, sebagai bentuk pensiasatan ketidakpastian penyelenggaraan hukum atas tanah-tanah negara yang sangat potensial.
305
Kedua, terjalinnya koalisi kepentingan antara aparatur pemerintahan di aras lokal dengan para ponggawa yang memiliki pengaruh sosial-ekonomi kuat dalam penguasaan tanah-tanah negara, dengan dukungan kapital dari perusahaan eksportir perikanan. Peristiwa pelepasan tanah-tanah negara secara massal oleh kepala desa dalam kurun waktu 1991 – 1999 ini, telah menyebabkan terjadinya akumulasi penguasaan tanah-tanah negara pada pihak-pihak tertentu yang memiliki modal dan pengaruh kuat (khususnya pada para ponggawa). Kebijakan lokal tersebut, muncul seiring dengan semakin besarnya kebutuhan lokasi-lokasi baru bagi perluasan tambak, sehingga memaksa otoritas lokal mensiasatinya dengan membuat “regulasi instan” atas penguasaan area hutan mangrove yang saat itu masih belum memiliki nilai intrinsik. Salah satunya dengan memberikan “konsesi” penguasaan sejumlah pulau dalam kawasan Delta Mahakam pada pihak-pihak tertentu dengan sejumlah kompensasi. Para pemilik
“konsesi”,
selanjutnya
memiliki
hak
prerogatif
dalam
mengatur
dan
mengendalikan pulau/ kawasan tertentu, bahkan memiliki otoritas dalam pelepasan hak penguasaan “lokasi” untuk area pertambakan pada orang lain. Kemampuan penetrasi kapital mereka, bahkan mampu mengakuisisi lokasi-lokasi baru diluar “konsesinya”, sehingga beberapa diantaranya menguasai hamparan tambak hingga ribuan hektar. Sementara proses reproduksi pembentukan ekonomi lokal yang terjadi secara internal, sepertinya berlangsung tanpa disadari para pelakunya. Seperti diketahui, hampir semua pengusaha lokal (ponggawa) yang berhasil di Delta Mahakam memulai kehidupannya dari kegiatan usaha pertambakan. Kehidupan menjadi petambak bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah, kegiatan tersebut merupakan sebuah “ritual” yang menuntut totalitas diri petambak (tidak hanya secara fisik namun juga bathin) untuk bisa menyatu dengan "roh semesta” (tambak-tambak) yang akan dikelolanya. Ada dimensi spiritual yang ikut menggerakkan kegiatan usaha pertambakan udang, dalam perspektif masyarakat lokal “kegiatan usaha pertambakan udang berbeda dengan kegiatan usaha lain seperti perkebunan kelapa sawit, dimana seorang pengusaha bermodal besar dari luar daerah/ asing, dapat dengan mudah berhasil mengembangkan usaha perkebunan kelapa sawitnya tanpa keterlibatan langsung dari sang pemodal. Di dalam kegiatan budidaya tambak di kawasan Delta Mahakam, hampir semua petambak yang kemudian kedudukannya berkembang menjadi ponggawa hingga eksportir yang berhasil, adalah mereka yang membangun tambak-tambaknya dari nol. Tidak ada satupun dari mereka berangkat dari latar belakang pengusaha sukses yang memiliki modal besar. Mereka semua “merangkak” dari bawah, hanya mereka yang sabar, tekun dan mampu mendisiplinkan diri untuk secara total bekerja dan mendedikasikan dirinya dalam mengelola budidaya tambak udang miliknya yang akan berhasil menjadi “pemenang” dalam persaingan dan ketidakpastian produksi.
306
Kondisi inilah yang kemudian, menuntut setiap petambak untuk selalu waspada dan mendisiplinkan diri dalam mengelola tambaknya. Mereka harus “pandai membaca” tanda-tanda alam, jka ingin produksi tambaknya berhasil, dengan mendisiplinkan diri untuk selalu waspada dan sigap terhadap perubahan lingkungan disekelilingnya. Proses pendisiplinan diri tersebut, pada gilirannya mampu menyeret mereka yang telah “terformat”, untuk melakukan pendisiplinan diri dalam banyak hal diluar kegiatan pertambakan. Banyak diantara petambak yang kini telah berhasil menjadi ponggawa, bahkan eksportir yang berhasil, tampaknya telah dibentuk oleh keadaan tersebut, oleh ritual pertambakan yang menuntut pendisiplinan diri, disiplin pada waktu dan sigap terhadap perubahan. Hal ini tentu saja akan menjadi modal penting bagi yang bersangkutan, dalam menjalankan kegiatan bisnis perikanan yang sangat kompetitif dan penuh ketidakpastian. Proses reproduksi inilah yang menjadi struktur dasar dari pembentukan ekonomi lokal di Delta Mahakam, tidak hanya berdayaguna dalam mengoperasionalkan kegiatan bisnis di sektor perikanan semata, namun juga di sektor ekonomi lainnya. 8.1.4
Pertumbuhan Ekonomi Lokal dalam Kelangkaan Sumberdaya Alam Kelangkaan sumberdaya alam dan resiko dari kegiatan pertambakan yang
dibangun diatas tanah-tanah negara telah memaksa para ponggawa untuk bersikap protektif terhadap segala kemungkinan yang dapat “mengganggu” kepentingan usaha yang membutuhkan biaya operasional sangat besar tersebut. Salah satu pilihan yang dianggap strategis adalah dengan melakukan koalisi dengan kekuasaan yang dianggap mampu memberikan jaminan bagi keberlanjutan kegiatan usahanya atau dengan membangun citra sebagai pengusaha yang “merakyat” dengan banyak pengikut, sehingga diperoleh “proteksi” dari sistem keamanan sosial yang terbangun. Jika tidak mereka harus menyiapkan diri untuk melakukan ekstensifikasi usaha diluar kegiatan pertambakan yang penuh dengan resiko. Pilihan-pilihan tersebut tampaknya disadari sepenuhnya oleh para aktor, sebagai konsekuensi logis atas operasi bisnis yang mereka kembangkan. Selain melakukan ekspansi kegiatan usaha diluar sektor perikanan, mengembangkan usaha pertambakan di luar kawasan Delta Mahakam juga menjadi pilihan stategis, selain terlibat dalam dunia politik praktis. Menariknya intensifikasi pertambakan tidak menjadi pilihan utama dalam pengembangan usaha pertambakan di Delta Mahakam yang telah mengalami kelangkaan sumberdaya alam, kondisi ini tidak terlepas dari pengalaman yang dialami beberapa ponggawa yang gagal melakukan intensifikasi pertambakan yang berbiaya mahal. Meskipun demikian, tidak sedikit diantara para ponggawa yang tetap fokus menggeluti kegiatan bisnis perikanan, dengan memantapkan citranya sebagai Ketua
307
Organisasi yang terkait dengan kegiatan usahanya, seperti yang dilakukan ponggawa terbesar di Delta Mahakam. Tidak sedikit diantara mereka yang ikut bermanuver dalam masalah politik praktis, selain ingin menunjukkan eksistensi politiknya juga untuk mendapatkan sokongan dan proteksi dari penguasa yang berhasil diusung, sehingga memberikan
rasa
aman
bagi
keberlangsungan
usahanya,
ditengah sentimen
kedaerahan/ kesukuan yang begitu memanas dewasa ini. Mungkin Pelras benar, ketika menyatakan bahwa perantau Bugis berorientasi perdagangan cenderung memiliki implikasi politik dibandingkan perantauan berorientasi tanaman keras yang tidak memiliki implikasi politik. Namun peneliti melihat, bahwa para ponggawa pertambakan yang mampu membangun kekuatan sosio-ekonominya secara mapan, ternyata juga cenderung
berimplikasi
politik,
seiring
perkembangan
usaha
bisnisnya
yang
membutuhkan sokongan kebijakan dari kekuasaan, walaupun secara praktis mereka tidak memerankannya secara langsung. 8.1.5
Sistem Sosial Ekonomi Lokal Perkembangan ekonomi lokal, telah memposisikan para ponggawa sebagai elit
ekonomi di kawasan Delta Mahakam, mereka menciptakan ketergantungan secara ekonomi maupun sosio-kultural terhadap kelompok (migan) yang lebih lemah dengan membangun mekanisme hutang (meskipun lunak namun sangat mengikat) serta mengembangkan jalur perdagangan berlapis dengan menjadi pemasok kebutuhan pokok sehari-hari bagi kelompok petambak penggarap dan penjaga empang. Bahkan, para pengusaha besarnya mampu melakukan eksploitasi terselubung melalui penciptaan struktur pasar yang monopolistis (penjual tunggal) atau monopsonistis (pembeli tunggal), sehingga terjadi penekanan melalui mekanisme penentuan harga dan penyediaan barang secara sepihak. Meskipun demikian, pola hubungannya masih menyisakan ruang resiprositas yang melekat pada tradisi passe‟, sehingga mereduksi pola hubungan pertambakan yang cenderung ekploitatatif. Pola hubungan patron-klien yang adaptif inilah yang mampu menopang keberlangsungan ekonomi lokal berbasis pertambakan yang sarat persaingan dan ketidakpastian. Hal inilah yang menjadikan biaya produksi tidak membutuhkan biaya tinggi, padahal produk yang ditawarkan (udang windu) adalah khas dan tidak banyak diproduksi oleh produsen lain, sehingga menjadikan produsen lokal memiliki posisi tawar yang cukup baik di pasar. Hasil penelitian ini, menunjukkan bahwa proses pembentukan ekonomi lokal, terjadi sebagai akibat dari beroperasinya kegiatan industri perikanan ekspor pada 1974 yang membuka ruang bagi kehadiran pedagang perantara pada area-area yang tidak mampu ditangani langsung oleh eksportir. Jika mendasarkan pada sistem ekonomi yang dikembang, tampaknya kegiatan usaha mereka dapat digolongan ke dalam sistem
308
ekonomi kapitalis, meskipun juga memiliki kesamaan dengan sejumlah sistem ekonomi pasar/ komersialis, sehingga menunjukkan ciri-ciri sistem ekonomi hibrid (ekonomi lokal yang khas). Sementara berdasarkan kemunculannya, para pengusaha lokal tersebut, dapat dikelompokkan sebagai; pertama, kelompok ponggawa perintis; mereka yang menjadi ponggawa sebelum adanya kegiatan industri perikanan. Kedua, kelompok ponggawa pengikut, mereka yang menjadi ponggawa setelah adanya kegiatan industri perikanan; dan ketiga, kelompok ponggawa penerus, mereka yang menjadi ponggawa karena faktor keturunan/ pewarisan usaha. Para ponggawa yang mampu bertahan dan berhasil mengembangan usahanya adalah mereka yang tidak hanya berhasil melakukan hegemoni secara ekonomi dan sosio-kultural, namun juga adaptif dan visioner dalam melihat perubahan. Banyak diataranya adalah para ponggawa pengikut yang berhasil melakukan ekstensifikasi usaha, dengan mengembangkan kegiatan usaha pertambakan, pasca pelarangan trawl pada 1983. Meskipun berdampak pada perubahan lanscape ekologi lokal, akibat “pembiaran negara” atas Kawasan Budidaya Kehutanan, yang menjadi ajang konversi area pertambakan pribadi.
8.2
Epilog: Ekonomi Lokal Konstitusional Kapitalisme tampaknya berkembang secara berbeda-beda sepanjang sejarah,
karena persoalan yang dihadapinya juga sangat berbeda. Derajat modernisasi masyarakat yang satu dengan yang lain pun bisa berbeda, karenanya rasionalisasi berlangsung secara dialektik sebagai learning processes. Nilai-nilai yang sama, bahkan dapat menghasilkan konsekuensi berbeda dalam keadaan yang berbeda. Kerakteristik orang Bugis dalam berbagai bentuknya yang sekarang sebetulnya merupakan bentukan kapitalisme dan yang disebut kapitalisme lokal ternyata juga dibentuk oleh orang Bugis. Artinya kapitalisme global adalah embedded di dalam yang lokal, begitupun sebaliknya kapitalisme lokal adalah embedded di dalam yang global. Banyak ponggawa yang tetap eksis dalam ketidakpastian produksi dan tingkat persaingan yang sangat sengit, hingga ada yang mampu melakukan take over atas perusahaan multinasional, namun tidak sedikit pula ponggawa yang harus kolaps karena berbagai faktor. Demikianlah, dalam ekonomi global sekarang ini hal-hal lokal lah yang semakin penting dan pasti dalam menentukan mengapa sebuah perusahaan tertentu lebih kompetitif dan produktif dibandingkan yang berbasis di tempat lain. Artinya, sumber keunggulan kompetitif yang masih tersisa semakin lokal sifatnya, termasuk di dalamnya sebagai pemasok khusus (udang windu), kebutuhan pasar tersebut sedikit demi sedikit dikumpulkan dari mitral lokal, dengan akses khusus pada teknologi dan pengetahuan dari kelembagaan lokal atau keluwesan berproduksi yang merupakan hasil negosiasi dalam jaringan yang tidak membutuhkan biaya tinggi. Tidak heran jika kemudian banyak
309
perusahaan-perusahaan eksportir udang asing, tidak mampu bertahan mengahadapi persaingan dengan perusahaan-perusahaan eksportir lokal yang memiliki “keunggulan komparatif” berupa jaringan patronase. Bentuk hubungan patronase yang banyak seginya dan mampu bertahan lama ini tampaknya lebih unggul dalam mengumpulkan keterangan tentang mutu dan jumlah produksi (udang), karena pelaksanaan transaksi-transaksi di masa lampau ternyata mengandung
seperangkat
data
yang
dapat
dipercaya
guna
meramalkan
pelaksanaannya di masa mendatang. Terlebih, kesempatan untuk melakukan transaksitransaksi tidak jujur akan berkurang, karena biaya yang diperkirakan untuk melaksanakan tindakan tidak jujur akan bereriko besar, jika diketahui oleh pihak lain akan membahayakan keseluruhan perangkat transaksi yang telah terjalin. Kelembagaan yang menguasai kekuatan ekonomi lokal yang lebih merupakan kebiasaan dan prinsipprinsip moral daripada peraturan dan perjanjian resmi tersebut, bahkan dapat menjadi sarana yang sangat fungsional dan efektif dalam menyelesaikan konflik, dibandingkan dengan ketetapan-ketetapan dalam undang-undang/ peraturan resmi. Demikianlah, ekonomi lokal merupakan hasil adaptasi dari beroperasinya sistem kapitalisme diaras lokal dengan wajah solidaritas, dimana nilai-nilai solidaritas yang dihayati oleh para pelaku dalam sistem ekonomi lokal, jelas berbeda dengan sistem ekonomi
kapitalisme.
Sebuah
sistem
ekonomi
dengan
etika
solidaritas
dan
kebersamaan dengan basis hubungan produksi patronase yang mampu mendorong kesadaran kolektif bagi terbentuknya lumbung kesetiakawasan sosial. Dan sepertinya dapat menjembatani cita-cita ekonomi kolektif Weber yang tidak pernah mampu diwujudkan di era kapitalisme global. Meskipun demikian temuan ini tidak ingin menyatakan bahwa sistem ini akan dapat menggantikan sistem ekonomi Indonesia mainstream. Setidaknya sistem ekonomi yang berkembang di kawasan Delta Mahakam dapat menjadi sebuah alternatif, ketika semangat kewirausahaan di negeri multikultural ini menjadi barang yang langka. Model ekonomi lokal yang terbangun di atas basis budaya sepertinya dapat diharapkan menjadi “pintu lain” untuk mencapai kesejahteraan sosial-ekonomi seperti diamanatkan pasal 33 UUD 1945. Disini ingin dikatakan, sebagai ekonomi konstitisional yang berakar pada kekuatan sosio-kultural bangsa, ekonomi lokal pada dasarnya merupakan “suatu bangunan ekonomi hybrid yang mampu menopang keberlangsungan perekonomian sebuah masyarakat pada suatu wilayah dengan memanfaatkan sistem sosio-kultural yang berkarakteristik khas, berikut semua komponen sumberdaya lokal secara efesien”. Dengan kata lain, yang dibutuhkan bangsa ini untuk mewujudkan cita-cita ekonomi konstitusinya bukanlah sekedar universalisasi model ekonomi, tetapi partikularisasi atau indigenisasi model ekonomi. Sekaligus mengkoreksi definisi yang digunakan Bappenas,
310
yang masih terkesan mendasarkan konsepnya pada pertumbuhan dan mengeneralisir Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL) sekedar sebagai “usaha mengoptimalkan sumberdaya lokal yang melibatkan pemerintah, dunia usaha, masyarakat lokal dan organisasi masyarakat madani untuk mengembangkan ekonomi pada suatu wilayah. Padahal seperti diketahui, pada hampir semua perkembangan ekonomi lokal di penjuru nusantara menunjukkan gejala yang berbeda-beda, khas dan bersandar pada kekuatan budaya lokal. Bahkan, dalam kasus Delta Mahakam, dapat dikatakan perkembangan ekonomi lokal tidaklah berangkat dari insiatif pemerintah (karena “pemerintah absen“ dalam prosesnya), namun merupakan sebuah proses adaptasi yang panjang dari beroperasinya sistem ekonomi khas yang berbalut etika solidaritas dan mandiri. Konsepsi ekonomi lokal tampaknya dapat disetarakan dengan konsepsi The New Traditional Economy (NTE), yang menggabungkan unsur-unsur sosial budaya dan teknologi modern dalam mengantisipasi penetrasi ekonomi mainstream. Di dalam buku The Great Transformation (2003), Polanyi menyebut ekonomi tradisional (traditional economy) sebagai ekonomi di mana dasar pengambilan keputusannya melekat (embedded) dalam suatu struktur atau sistem sosio-kultural yang lebih luas, pandangan yang juga diterima oleh ekonomi institusional. Mengacu pada konsep Polanyi, NTE dikembangkan dengan pengambilan keputusan ekonomi yang melekat dalam suatu kerangka sosio-kultural lebih luas, dengan berusaha menggunakan teknologi modern untuk menjadi sebuah ekonomi modern yang maju. Basis bagi keterlekatan (embeddedness) tersebut biasanya adalah agama tradisional. Munculnya NTE diasosiasikan dengan suatu agama tradisional pada ekonomi modern oleh suatu gerakan sosial-politik berbasis agama. Gerakan paling menonjol, yang sudah memiliki konsep sempurna tentang perilaku dan aturan main ekonomi tersebut diantaranya adalah Islam, di samping Konfusianisme (Rosser et. al.,1999). Di tengah persaingan antara kapitalisme pasar dan sosialisme komando, NTE sepertinya dapat menjadi “Jalan Ketiga” yang menawarkan solusi alternatif dengan menggabungkan unsur lama dan baru, individual dan kolektif, etis dan praktis. Patronase pertambakan yang menjadi penopang beroperasinya ekonomi lokal di kawasan Delta Mahakam tampaknya mengikuti pola NTE dalam perkembangannya, karena
mendasarkan
ekonomi
pada
ajaran
Islam
dengan
tetap
mengikuti
perkembangan zaman, diantaranya melakukan penerapan teknologi modern dalam kegiatan industri perikanan lokal yang dikembangkan. Tidak hanya embededness pada agama, namun juga mendasarkan operasinya pada adat atau kebiasaan yang hidup dalam masyarakat atau kelompok masyarakat tertentu. Didasarkan pada kekurangan dari ekonomi pasar yang kapitalistik dengan cita-cita “the creation of wealth”, tetapi pada saat bersamaan membuat sebagian besar umat manusia termarginalisasi, karenanya
311
Blikololong (2010) mengusulkan apa yang dinamakan “ekonomi lokal” yang lebih menjamin keadilan. Setidaknya dapat menjadi “katalisator” bagi beroperasinya Ekonomi yang
“macet”,
seperti
mengembangkan
ekonomi
kerakyatan
Pancasila
digagas
Mubyarto
dengan
(1997)
mendasarkan
yang
berusaha
konsepnya
pada
pemerataan dan keadilan ekonomi, sekaligus menentang tekanan pertumbuhan yang dianut ekonomi neoklasik. Disini, negara dituntut untuk berperan lebih besar di level makro, dengan “mengamankan” perkembangan ekonomi lokal yang tengah bangkit, tidak sekedar tunduk pada keinginan pasar yang dalam jangka panjang dapat merugikan keberlanjutan ekonomi lokal. Keberpihakan berbagai regulasi yang memberikan proteksi dan insentif pada keberadaan pengusaha lokal, tampaknya masih sangat dibutuhkan dalam memperebutkan akses yang lebih luas dan adil. Dalam perdagangan komoditas udang ekspor misalnya, kelihaian Singapura yang tidak memiliki potensi sumberdaya, namun berhasil mendapatkan keuntungan besar dalam perdagangan udang ekspor, karena posisinya yang strategis (meskipun hanya sebagai “pelabuhan transit”), serta mendapatkan kepercayaan berbagai lisensi dari negara-negara buyer patut diwaspadai. Juga berbagai keharusan standar mutu tertentu dari negara-negara konsumen yang sering merugikan produk udang lokal, selain sejumlah produk udang dari negara lain yang membanjiri pasar-pasar domestik dan lokal perlu mendapatkan perhatian serius, hingga proteksi lebih baik. Sedangkan dalam tataran messo dan mikro, peran negara tampaknya harus didudukkan pada wilayah yang berbeda, mengingat kemampuan pengusaha lokal dengan “kearifan ekonomi lokalnya” yang terbukti mampu berdiri tegak di tengah persaingan dengan kapitalis global dan nasional, tampaknya perlu diberikan kesempatan luas untuk bisa lebih berkembang secara adil. Artinya, meskipun negara di satu sisi dituntut untuk “hadir” ditengah ketidakpastian regulasi atas tanah-tanah negara (hutan mangrove) yang telah dialih-fungsikan menjadi area pertambakan pribadi, sehingga status tanah yang dikuasai masyarakat lokal menjadi lebih jelas. Tentunya dengan menetapkan Rencana Detail Tata-Ruang (RDTR) Kawasan Delta Mahakam yang peruntukannya lebih berpihak pada kepentingan ekologis, dengan tanpa mengorbankan pertumbuhan ekonomi lokal. Diiringi dengan penerapan low enforcement secara ketat, serta penempatan aparatur yang memadai dan tangguh. Sementara di sisi lain, negara tidak harus berperan secara dominan dalam “ruang inisiatif lokal” dengan membuat berbagai regulasi yang malah akan kontraproduktif bagi perkembangan ekonomi lokal yang telah berhasil berkembang secara mandiri. Secara bertahap negara dengan performa partisipatifnya, tampil dengan kebijakan button up dalam mengatasi “residu” dari beroperasinya sistem ekonomi lokal,
312
yang sejak awal kemunculannya berhasil mandiri tanpa campur tanpa negara. Disini, pemerintah dituntut untuk mengawal keberlanjutan ekonomi lokal dengan mendorong berlangsungnya mekanisme insentif dan disinsentif secara adil yang sangat penting artinya bagi perkembangan aktivitas ekonomi lokal. Seperti
pengenaan pajak atau
restribusi dalam kegiatan usaha pertambakan bagi peningkatkan pelayanan perbaikan atau pengadaan infrastruktur dan merangsang pengembangan research development. Selain mendorong hilirisasi industri perikanan yang bernilai tambah tinggi, serta penggunaan teknologi modern dan ramah lingkungan, misalnya mekanisasi dalam pensortiran size udang atau pengembangan produk ramah lingkungan dengan teknologi tinggi, yang saat ini menjadi pilihan utama konsumen negara maju. Ramah lingkungan juga berarti kemampuan memenuhi kebutuhan dari berbagai kepentingan, sehingga mendorong keinginan baik dari segenap pihak yang terkait dengan aktivitas produksi pertambakan untuk melakukan perubahan secara gradual bagi
kelestarian
lingkungan
yang
menopang
keberlanjutan
kegiatan
usaha
pertambakan. Seperti juga diamanatkan Pasal 28H Ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan bathin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”1. Dengan diakomodirnya persoalan hak atas lingkungan sebagai hak asasi manusia dan diadopsinya prinsip “pembangunan berkelanjutan” dan “berwawasan lingkungan”, maka dasar negara kita menurut Asshiddiqie (2009) dewasa ini telah bernuansa “green constitution”. Di dalamnya negara dituntut untuk bisa memberikan jaminan atas ancaman krisis daya dukung ekosistem dan lingkungan hidup yang dihadapi warganya, sehingga kerusakan ekogis tidak mematikan kebangkitan ekonomi lokal yang menyisakan harapan untuk mewujudkan “ekonomi kesejahteraan”. Pilihan untuk melakukan perbaikan secara parsial perlu dikemukakan disini, mengingat kebangkitan ekonomi lokal yang berkembang di kawasan Delta Mahakam menunjukkan gejala sebagai sebuah sistem ekonomi hybrid (seperti ditunjukkan Tabel 23), dimana dominasi ciri-ciri sistem ekonomi kapitalis diperagakan secara bersamaan dengan sejumlah ciri dari sistem ekonomi pasar/ komersialis. Artinya, sistem ekonomi lokal merupakan sebuah ekonomi adaptasi dari sistem ekonomi pasar/ komersialis yang masih dibawakan oleh struktur sosio-kultural bangsa ini, ditengah penetrasi ekonomi kapitalisme yang dengan begitu hegemoniknya menyusup dalam sendi-sendi kehidupan bangsa ini. Sesuai dengan amanat konstitusi, dimana sistem ekonomi kesejahteraan yang ingin digapai mendasarkan konsepnya pada ekonomi kerakyatan yang berlandaskan pemerataan dan keadilan sosio-ekonomi. Sebagai “sistem ekonomi kapitalisme khas” harus diakui disini bahwa ekonomi lokal tampaknya merupakan 1
Merupakan hasil perubahan keduaUUD 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 2000
313
manifestasi dari salah satu kekuatan sistem kapitalisme yang sanggup memperbaiki dirinya sendiri dari dalam, ketika berjumpa dengan kekuatan struktur sosio-budaya lokal. Bukan berarti memperbaiki diri secara total, karena hal itu menurut Budiman (2006) mengubah dirinya, melainkan secara parsial. Mengingat menghilangkan kontradiksi yang ada pada sistem kapitalis tidak mungkin dilakukan oleh sistem kapitalis itu sendiri, karena perkembangan sistem kapitalisme didasarkan pada kontradiksi semacam itu. Menariknya, yang ditugaskan untuk melakukan perbaikan parsial untuk mengurangi akibat-akibat negatif dari kontradiksi tersebut supaya revolusi yang diramalkan Marx tidak kunjung terjadi ternyata tidak hanya negara, seperti dikemukakan Budiman (2006), namun juga “perkawinannya” dengan struktur sosio-budaya lokal (seperti dijelaskan pada bagian awal sub-bab ini). Negara menurut Weber, selain merupakan sebuah institusi yang memiliki monopoli untuk menggunakan kekerasan, dengan penekanan pada aspek militer atau polisional, misalnya dalam menegakkan low enforcement atas tanah negara di Delta Mahakam. Negara juga memiliki fungsi ekonomi dan ideologi. Di bidang ekonomi, negara dapat memajaki orang kaya (elit ekonomi lokal berikut unit usahanya) dan memberikan sumbangan pada mereka yang masih miskin untuk menghapuskan kontradiksi mendasar yang masih ada. Meskipun eksploitasi atas nama kompetisi bebas (meski berat sebelah) masih dihalalkan negara. Sementara pada bidang ideologi, negara dapat menyebarkan kepercayaan melalui sekolah-sekolah, partai-partai politik dan lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya, termasuk lembaga keagamaan, bahwa kebebasan individu (termasuk kebebasan menumpuk kekayaan pribadi) lebih baik daripada keadilan sosial. Selama ideologi ini masih bekerja secara efektif, maka negara akan bisa memilkul resiko dari berlangsungnya sebuah sistem demokrasi. Siapapun boleh berseberangan, melakukan protes, melakukan demonstrasi, tapi mereka tidak boleh mengutak-atik kesucian sistem kompetisi pasar bebas, beserta kebebasan individu untuk memiliki dan menumpuk kekayaan. Biasanya pemerintah akan memberikan kompensasi perbaikan kondisi hidup warga miskin yang berseberangan, untuk mengurangi kontradiksi. Namun, jika ideologi yang telah menciptakan struktur yang timpang tersebut tetap ingin dirubah secara total, maka negara akan menggunakan kekerasan untuk menghancurkan mereka. Kenyataan yang pernah muncul di Cile pada masa Allende, di Filipina pada masa Marcos, hingga yang mutahir di Mesir pada masa Mubaraq, membuktikan bahwa demokrasi bukanlah sesuatu yang prinsipil bagi kapitalisme, tapi hanya sekedar alat politik untuk membuat wajah mereka tampak a politis. Menurut Budiman (2006), sangatlah sukar kalau tidak mau dikatakan tidak mungkin, bagi negara dengan sistem ekonomi kapitalisme untuk melaksanakan
314
kebijakan yang bertentangan dengan sistem tersebut tanpa melukai kalau tidak membunuh dirinya sendiri. Karenanya menjadi menarik, ketika sistem ekonomi kapitalisme yang begitu hegemonik mampu melakukan perbaikan parsial ketika bersentuhan dengan struktur sosio-kultural lokal yang diperankan dengan sangat akomodatif oleh institusi patronase pada sistem ekonomi lokal. Dimana sistem ekonomi kapitalisme tidak harus melukai ataupun membunuh dirinya sendiri, ketika harus melaksanakan kebijakan yang bertentangan dengan sistem tersebut (meskipun hanya berlangsung pada tataran lokal). Seperti terjadinya paradox, antara tujuan ekonomi disatu sisi dengan tenggang-rasa disisi lainnya, sebagai manifestasi berlangsungnya proses adaptasi kultural yang kemudian membentuk rasionalitas ekonomi yang khas, tanpa harus menjadi suatu hambatan menuju suatu tata-cara pengelolaan perekonomian modern yang menuntut rasionalitas ekonomi tingkat tinggi. Ataupun mekanisme patronase yang menawarkan hubungan produksi yang lebih humanis, dimana komitmen atas hubungan yang terjalin dilakukan dengan semangat resiprositas dan sukarela, tanpa suatu ikatan perjanjian/ kontrak tertulis, walaupun kedua belah pihak terlibat dalam suatu hubungan dengan titik berat ekonomi, namun unsur perasaan tetap memainkan peran mendasar. Realitas ini sekaligus mengoreksi eksperimen Allende di Cile yang ingin mengubah masyarakat Cile dari sistem kapitalisme kepada sistem sosialisme, dengan melaksanakan kebijakan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kapitalisme, namun Cile malah mengalami krisis ekonomi hebat yang pada akhirnya harus dibayar mahal dengan hancurnya kaum revolusioner. Meskipun membutuhkan kesabaran untuk menyatukan keping-keping “ekonomi lokal” yang berserakan diseantero nusantara dan waktu yang tidak terbilang, pilihan untuk melakukan perubahan secara parsial atas hegemoni sistem ekonomi kapitalisme tampaknya menjadi lebih realistis, karena sesuai dengan amanat konstitusi. Seperti termaktub pada Pasal 33 Ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi-berkeadilan, berkelanjutan berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”2. Apalagi jika dikaitkan pada kenyataan sebagai archipelago state, Indonesia juga tidak memiliki preseden yang layak untuk dirujuk, sehingga sistem ekonomi lokal yang juga merupakan wujud dari ekonomi maritim dapat diharapkan menjadi salah satu pilihan realistis dan konstekstual. Jika mampu diadaptasi dengan bijak, perkembangan ekonomi lokal bahkan akan bisa diharapkan mampu turut mengatasi krisis ekonomi di negara-negara Dunia Ketiga, yang selalu multidimensi dan kompleks. Seperti yang melanda Indonesia pada 2
Merupakan hasil perubahan ke empat UUD 1945 yang disahkan pada 10 Agustus 2002.
315
1997/ 1998 ataupun krisis 2008, bukan saja masalah kesenjangan antara kaya dan miskin, namun juga berbagai benturan agama dan rasial. Selain masalah hutang yang semakin membengkak, kesulitan ekonomi akibat angka kemiskinan dan pengangguran yang tinggi, serta kegagalan untuk berperan secara berarti dalam persaingan ekonomi di pasar global. Mengapa ekonomi lokal bisa menjadi alternatif pilihan? Jawabannya (seperti dijelaskan pada bagian sebelumnya) terletak pada kelenturan dan daya adaptasi dari sistem ekonomi lokal yang telah terbukti mampu bertahan ditengah gempuran sistem ekonomi kapitalisme global, melalui mekanisme hubungan produksi yang lebih humanis dan efisien, dengan menawarkan semangat resiprositas dan sukarela (kesetiakawanan sosial), meskipun berskala lokal. Termasuk adanya mekanisme korektif atas karakteristik pengusaha lokal yang cenderung tidak ingin disaingi siapapun, hingga mendapatkan solusi komprehensif “maju untuk unggul bersama” Tidak sampai disini, konsepsi ekonomi lokal tampaknya juga bisa menjadi tawaran solutif atas perdebatan “kontra produktif” atas pilihan terhadap otonomi daerah, yang mengandung banyak permasalahan krusial, karena dianggap tidak mampu memberikan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Hal ini terkait sistem demokrasi di era otonomi daerah, yang mendasarkan penyaluran frustasinya pada konflik-konflik politik yang semakin lama bertambah runcing dalam kelokalitasan daerah masing-masing. Konflik-konflik tersebut memberikan akibat pada kelangsungan ekonomi masyarakat bersangkutan, karena sistem demokrasi yang ada membebaskan terjadinya unjuk rasa, demonstrasi, bahkan pemogokan massal yang dapat menciptakan ketidakstabilan keamanan dan menggangu sistem produksi. Tapi nyatanya pada wilayah dengan penopang ekonomi lokal yang cukup mapan, masyarakatnya tidak hanya mampu survive dalam “ketidakpastian” otonomi daerah, tapi bahkan berhasil menggerakkan “pembangunan ekonomi wilayahnya” tanpa tergantung pada peran pemerintah. Kosmopolitnya sosio-kulturalnya multi etnis yang menghuni kawasan pesisir, seperti migran Bugis di kawasan Delta Mahakam yang mampu keluar dengan wajah lokalnya yang khas, setelah melalui proses “pengeleminiran perdebatan identitas etnis” di dalam “ruang ekonomi lokal” (semacam ruang publiknya Habermas), tampaknya cukup menjanjikan untuk di coba. Local capital akan menjadi berbeda jika dikapitalisasi, karena dapat diajukan sebagai terminologi baru, sebagai proses mengalir yang hendak menghindari peran negara maupun privatisasi di dalam konsepsinya. Dengan keyakinan yang masih perlu diuji, kosepsi kebangkitan local capital dengan sengaja ditawarkan peneliti untuk digunakan, sehingga tidak terjebak dengan konsepsi social capital yang begitu mendominasi berbagai kajian dan wacana pembangunan pedesaan di negara Dunia
316
Ketiga dewasa ini. Yang diasumsikan peneliti memiliki kemungkinan untuk mendorong bangkitnya etno-sentrisme. Meskipun diakui Ostorm (1992), social capital merupakan prasyarat bagi keberhasilan suatu proyek pembangunan di Dunia Ketiga. Dimana konsep tersebut meletakkan kelembagaan tradisional menjadi sangat fungsional, sehingga menjadi sarana yang sangat efektif dalam membantu keberhasilan pelaksanaan pembangunan ekonomi negara-negara berkembang (Woolcock dan Narayan, 2000). Namun dalam kenyataannya konsep social capital juga menyisakan konsekuensi negatif dengan adanya pembatasan peluang bagi pihak lain (eksklusifitas), pembatasan kebebasan individu, klaim berlebihan atas keanggotaan kelompok dan menyamaratakan norma pada semua anggota (konformitas). Social capital juga disebarkan pada masyarakat diluarnya dalam bentuk negatif, seperti ajaran untuk mencapai suatu kerekatan sosial internal dengan mengorbankan orang atau kelompok diluarnya, yang dilakukan dengan penuh kebencian serta prasangka buruk, sehingga terkesan sektarian, eksklusif dan kedaerahan/ kesukuan. Padahal umum diketahui, economic capital selalu bias dalam pengalokasiannya pada physical capital, man-made capital dan human capital tanpa melihat pentingnya struktur sosial dan budaya yang melekat (embedded) pada social capital dan natural capital. Dilihat dari dimensi temporal, kecendrungan demikian akan jauh dari kaidah yang dikehendaki dalam pembangunan berkelanjutan, karena proporsi social capital dan natural capital seharusnya senantiasa meningkat seiring dengan waktu (Seregeldin, 1996). Merujuk pada realitas tersebut, konsepsi local capital tampaknya bisa mengisi kekosongan berbagai konsekuensi negatif dari berlangsungnya pembangunan kawasan pedesaan di negara Dunia Ketiga yang cenderung etno-sentris dan mendasarkan pada konsepsi-konsepsi tertentu. Local capital diharapkan tidak hanya menjadi wadah alternatif, bagi pengejawantahan konsep social capital yang lebih mensejahterakan masyarakat sehingga mereduksi ketidakpastian, lebih dari itu bahkan meminimalisir peluang konflik karena persaingan ekonomi (Noor, 2000). Namun di harapkan juga fungsional dalam mendorong kosepsi lainnya (economic capital, physical capital, manmade capital, human capital dan natural capital) dalam ikut membangun peradaban yang lebih adil dan manusiawi. 8.2.1
Implikasi Teoretis Hasil temuan studi ini menunjukkan bahwa setiap sistem sosial serta sistem
ekonomi pada dasarnya bersifat kontekstual, termasuk kapitalisme dengan sistem ekonomi kapitalismenya. Ekonomi lokal yang digagas dalam penelitian ini merupakan upaya akademis ke arah kontekstualisasi atau indigenisasi sistem perekonomian Indonesia yang sangat kapitalistik dan plural. Di dalam konteks tersebut peneliti
317
menyadari sepenuhnya bahwa penelitian ini dirasakan cukup problematik, karena mencoba mengusung suatu “ikhtiar akademik transisi” dengan mencoba mereduksi konsepsi-konsepsi yang begitu hegemonik dan bias pengetahuan Barat, namun studi ini pun memaksa peneliti untuk “berdiri di atas pundak-pundak raksasa” intektual Barat yang konsepsinya belum tergantikan tersebut. Namun demikian, dengan semangat ingin membebaskan diri dari bias-bias Indologi, penelitian ini ingin mengajukan suatu wacana pendekatan yang peneliti sebut sebagai pengetahuan kolaboratif dalam perspektif struktur-kultural, yaitu upaya untuk menggabungkan hal terbaik dari pengetahuan lokal dan pengetahuan ilmiah dari dunia Barat. Dimana hubungan-hubungan sosial lokal/ Timur dipandang sebagai embedded dalam kapitalisme/ Barat, begitupun sebaliknya, sehingga menolak konsepsi yang menyebut prinsip-prinsip dasar ekonomi Barat tidak cocok dengan masyarakat Timur yang sistem sosial budayanya berbeda. Hasil dari studi ini berhasil memberikan kemungkinan pilihan-pilihan untuk penerapan sistem ekonomi alternatif. Bagaimana teori pembentukan ekonomi lokal yang digagas dalam tesis ini dapat ditransformasikan menjadi suatu pilihan praxis baru yang mampu memberi sumbangan pemecahan atas berbagai permasalahan. Bahwa di luar sistem kapitalisme terdapat model-model lain yang kompatibel dengan sistem sosial budaya setempat, yang mendasarkan pembangunan ekonomi pada nilai budaya sambil mengintegrasikannya dengan teknologi modern. Fenomena “kebangkitan ekonomi lokal” yang ditopang oleh institusi patronase pertambakan, seharusnya dapat diintegrasikan ke dalam pembangunan berkelanjutan yang membutuhkan nilai-nilai intrinsik (yakni nilai non-ekonomi, yang dijunjung tanpa memperhitungkan manfaat atau biayanya, misalnya kehormatan ataupun patriotisme), bukan sekedar nilai-nilai instrumental (yakni nilai yang secara langsung bermanfaat bagi seseorang). Justru karena bersifat non-ekonomi, nilainilai itu tidak akan tergerus kesuksesan ekonomi dan karena sifatnya yang pro-ekonomi, nilai-nilai itu tidak akan berhenti mendorong proses akumulasi. 8.2.2
Implikasi Kebijakan Fenomena kebangkitan ekonomi lokal, seperti yang dijumpai dalam penelitian
ini, seharusnya dapat disinegikan ke dalam program prestisius Pengembangan Ekonomi Lokal (Baca: PEL) yang saat ini tengah digagas pemerintah melalui Bappenas. Mengingat gagasan PEL yang telah diterapkan tampaknya masih sangat bias pengetahuan Barat, setidaknya sampai sejauh ini konsepsi-konsepsi yang diadopsi secara
kontekstual
tidaklah
khas
lokal,
sehingga
operasionalisasinya
masih
dipertanyakan. Penetrasi cara-berpikir (yang serba pertumbuhan, serba investasi asing, serba akumulasi ekonomi dan serba ekspansi-kapital) itulah yang kemudian menghasilkan dominasi-dominasi budaya dalam cara berpikir yang melanggengkan
318
dominasi kekuasaan-kekuasan politik lokal ala kelembagaan kapitalistik Barat (pada tatanan pengaturan lokal). Hal ini menandakan pentingnya kita menata kembali kehidupan di pedesaan dalam konteks keadilan spasial. Secara konsepsional melalui studi ini tersedia peluang yang bisa membuka celah-celah untuk menggeser struktur kekuasaan tradisional pro status-quo yang sudah berurat-berakar dan mengendap dalam kebudayaan lokal dengan suatu perspektif baru, sehingga ikut mereduksi permasalahan kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan sosial. Signifikansi studi ini, setidaknya berhasil menunjukkan bahwa kebangkitan ekonomi lokal mampu digerakkan oleh masyarakat migran Bugis dari golongan tomaradeka
(masyarakat
kebanyakan)
secara
mandiri
(nyaris
tanpa
sokongan
pemerintah) dengan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia disekitar mereka. Para pengusaha lokal tidak hanya mampu survive ditengah gempuran pasar global, mereka bahkan berhasil memainkan peran penting dalam menopang pondasi ekonomi bangsa, ketika hampir semua suprastruktur ekonomi mengalami “kebangkrutan” pasca krisis 2007/ 2008. Kebangkitan ekonomi lokal tampaknya akan dapat diharapkan menjadi tulang punggung ekonomi bangsa, jika bisa dikawal oleh sistem kepemimpinan nasional yang tangguh dan berpihak pada keberdayaan ketahanan ekonomi lokal. 8.2.3
Catatan Kritis Kemampuan mobilitas vertikal yang ditunjukkan kaum proletar seperti pada
fenomena
“kebangkitan
kapital
lokal”
dalam
kegiatan
pertambakan
di
Delta
Mahakam, ironisnya justru dilakukan dengan mereproduksi kultur kaum aristokrat, sehingga mengingatkan pernyataan Nietzsche bahwa "manusia lebih menyukai ketiadaan daripada tidak menghendaki sama sekali". Artinya manusia lebih suka memaknai hidupnya yang kosong nilai-nilai aristokrat dari pada hidup tanpa makna sama sekali. Proses hegemoni akan terjadi apabila cara hidup, cara berpikir dan pandangan pemikiran masyarakat bawah terutama kaum proletar telah meniru dan menerima cara berpikir dan gaya hidup nimetik (penjiplakan total) dari kelompok elit yang mendominasi dan mengeksploitasi mereka. Disini, proses fetishisme (peniruan yang menjadi false consiousness) justru direproduksi secara berulang oleh para ponggawa yang asal-usalnya dari golongan masyarakat to-maradeka (proletar), mereka secara tidak langsung telah menyebabkan ketergantungan dan ketidakmandirian secara permananen bagi para klien yang berada dalam jaringan patronasenya. Kegiatan pertambakan di kawasan Delta Mahakam pun hingga saat ini masih menyisakan permasalahan pelik menyangkut status kepemilikan lahan. Meskipun kawasan hutan mangrove yang masih berstatus KBK tersebut telah beralih fungsi menjadi area pertambakan pribadi, namun hingga saat ini area pertambakan yang
319
berada diatas tanah-tanah negara dan mampu menggerakkan pertumbuhan ekonomi lokal tersebut masih diklaim sebagai “kegiatan ekonomi illegal” oleh otoritas kehutanan. Akibatnya masyarakat lokal tidak memiliki hak atas tanah-tanah yang dikelolanya (walaupun dalam kenyataannya sejumlah tambak diketahui memiliki sertifikat), sementara pemerintah pun tidak memiliki kekuatan untuk mendapatkan kontribusi PAD dari sektor pertambakan yang diklaim ilegal tersebut. Hal ini setidaknya relevan dengan pernyataan Hernando de Soto yang mengungkapkan “negara-negara selain Barat tampaknya gagal mengambil manfaat sebesar-besarnya dari kapitalisme dikarenakan ketidakmampuan negara itu untuk menciptakan kapital”. Tentu tidak sekedar kehadiran negara yang mampu memberikan energi positif bagi pembentukan ekonomi lokal dan mendorong proses emansipatif, jika realitas historis telah menunjukkan bahwa ketidakhadiran negara-lah yang justru menjadi pemicu pertumbuhan ekonomi lokal.***
DAFTAR PUSTAKA Abdullah Irwan, 1994. The Muslim Businessmen of Jatinom: Religious Reform and Economic Modernization in a Central Javanese Town, Universiteit Van Amsterdam. Abdullah Irwan, 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Abdullah Hamid, 1985. Manusia Bugis-Makassar – Manusia Bugis-Makassar: Suatu Tinjuan Historis Terhadap Pola Tingkah Laku dan Pandangan Hidup Manusia Bugis-Makassar, Jakarta: Inti Dayu. Abdullah Hamid, 1990. Reaktualisasi Etos Budaya Bugis, Solo: CV Rahmadhani. Abdullah Taufik (Ed), 1985. Sejarah Lokal di Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada Universitas Press. Abbercombrie N et al, 1984. The Dictionary of Sociology. Penguin. Acciaioli, GL, 1989. Searching for Good Fortune: The Making of a Bugis Shore Community at Lake Lindu, Central Sulawesi. Unpublished Ph.D. Dissertation, Australian National University. Adham D, 1979. Silsilah Kutai. Tenggarong: Bagian Kehumasan dan Keprotokolan, Kabupaten Kutai Kartanegara. Adiwibowo Soeryo, 1983. Sistem Sosial Ekologi Tambak dan Sawah di Wilayah Pesisir Kabupaten Karawang. Bogor: SPs-IPB (Tesis). Adri, 2007. Politik Identitas dalam Fenomena Ilegal Loging di Perbatasan Indonesia – Malaysia: Studi di Kecamatan Badau dan Lanjak, Kabupaten Kapuas Hulu, Propinsi Kalimantan Barat. Depok: Tesis Program Pascasarjana Sosiologi Fisip UI. Agusta Ivanovich, 2005. “Paradigma Teori dan Penelitian Sosiologi”, Paper Mata Kuliah Metode Penelitian Sosiologi pada Program Studi Sosiologi Pedesaan, PPs-IPB. (Tidak Dipublikasikan). Agusta Ivanovich, 2006. “Memikirkan Kembali Ide-Ide Sajogyo (Re-Thinking Sajogyo Ideas, Re-Sa-Id), Paper Mata Kuliah Metode Penelitian Sosiologi pada Program Studi Sosiologi Pedesaan, PPs-IPB (Tidak Dipublikasikan). Ahmadin, 2008. Kapitalisme Bugis: Aspek Sosio-Kultural dalam Etika Bisnis Orang Wajo, Makassar: Pustaka Refleksi. Alexander Jennifer, 1987. Trade, Traders and Trading in Rural Java, Singapore: Oxford University Press. Alexander Jennifer, 1999. “Wanita Pengusaha di Pasar-Pasar Jawa: Etnisitas, Gender dan Semangat Kewirausahaan” dalam Robert W Hefner, Budaya Pasar: Masyarakat: Masyarakat dan Moralitas dalam Kapitalisme Baru. Jakarta: LP3ES. Aliansi Manado, 2009. “Utang, ADB dan WOC-CTI”. Source: www.jatam.org Amin Asli Mohammad, 1975. “Kerajaan Kutai Kertanegara Ing Martapura” dalam Dari Swapraja Ke Kabupaten Kutai; Kutai Masa Lampau, Kini dan Esok. Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah. Andaya Leonard Y, 2004. Warisan Arung Palakka: Sejarah Sulawesi Selatan Abad ke17, Makassar: Ininnawa. Anderson Ben, 1991. Imagined Communities. London: Verso. Anonim, 1992. Sejarah Pemerintahan Kalimantan Timur dari Masa Ke Masa, Samarinda: Pemprop Dati I Kaltim. Ansyhory Nasruddin, 2009. Anregurutta Ambo Dalle: Maha Guru dari Bumi Bugis, Yogyakarta: Tiara Kencana. Antlov Hans, 2003. Negara Dalam Desa: Patronase Kepemimpinan Lokal, Yogyakarta: Lappera Pustaka Utama. Arief Sritua, 1978. Indonesia: Pertumbuhan Ekonomi, Disparitas Pendapatan dan Kemiskinan Massal. Jakarta: LSP.
Arief Sritua dan Adi Sasono, 1984. Ketergantungan dan Keterbelakangan, Sebuah Studi Kasus, Jakarta: Penerbit Sinar Harapan. Ariel Heryanto, 1990. Kelas Menengah Indonesia, Sebuah Tinjauan Kepustakaan, Jakarta: Prisma No. 4. Ariel Heryanto, 1996. ”Memperjelas Sosok Yang Samar: Sebuah Pengantar” dalam Tanter Richard dan Young Kenneth, Politik Kelas Menengah Indonesia, Jakarta: LP3ES. Asba Rasyid, 2007. Kopra Makassar, Perebutan Pusat dan Daerah: Kajian Sejarah Ekonomi Politik Regional di Indonesia, Jakarta: Obor. Asshiddiqie Jimly, 2009. Gren Constitution: Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Radjawali Pers. Awang Afri San, 2004. Dekonstruksi Sosial Forestri: Reposisi Masyarakat dan Keadilan Lingkungan. Yogyakarta: Bigraf Publishing. Ayodhya AU, 1981. Metode Penangkapan Ikan. Bogor: Yayasan Dewi Sri. Barbier E B dan Cox Marx, 2004. ”An Economic Analysis of Shrimp Farm Expansion and Mangrove Conversion in Thailand”. Land Economics 80 (3): 389 – 407. Bapedda Kabupaten Kutai Kartanegara, 2006. Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kawasan Delta Mahakam (Laporan Akhir) Bartholomew John Ryan, 2001. Alif Lam Mim: Kearifan Masyarakat Sasak. Yogyakarta: Tiara Wacana. Barber Charles, 1989. The State, The Environment and Development: The Genesis and Transformation of Social Forestry Policy in New Order Indonesia. California: Disertasi Ph.D, University of California, Berkeley. Berger Peter L, 1991. Langit Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial. Jakarta: LP3ES. Barnes JA, 1969. “Network and Political Prosess” dalam J. Clyde Mitchel (eds.), Social Network in Urban Situasions, Analysis of Personal Relationships in Central African Towns. Manchester University Press. Beatty Andrew, 1994. “Adam and Eve and Vishnu: Syncretism in the Javanese Slametan” dalam The Journal of the Royal Antropological Institute 2. Benedict Anderson, 1972. “The Idea of Power in Javanese Culture” in Claire Hold (Ed) Culture and Politics in Indonesia, Ithaca. Bellah Robert, 1992. Religi Tokugawa, Akar-Akar Budaya Jepang. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Bellah Robert, 2000. Beyond Belief: Esai-Esai Tentang Agama di Dunia Modern. Jakarta: Paramadina. Billah MM Dkk, 1993. Kelas Menegah Digugat, Jakarta: Fikahati Aneska. Blakely Edward J, 1994. Planning Local Economic Development. Theory and Practice. Second Edition. Sage Publications, Inc. Blakie Piers, 1985. The Political Economy of Soil Erosion in Developing Countryes. Londong: Longman. Blikololong Jacobus Belida, 2010. Du-Hope di Tengah Krisis Penetrasi Ekonomi Uang: Sebuah Kajian Sosiologis Terhadap Sistem Barter di Lamalera, Nusa Tenggara Timur. Depok: Disertasi Program PPs Sosiologi Fisip UI. Boeke JH, 1953. Economics and Economic Policy of Dual Societies, Haarleem: H.D. Tjeen Willink. Bourgeois Robin et al, 2002. A Socio Economic And Institutional Analysis Of Mahakam Delta Stakeholders, Final Report To TotalFinaElf Briant, R. L, 1998. Power, Knowledge and Political Ecology in the Third World: A Review. Progress in Physical Geography, Vol. 22/1, pp. 79-94 Brown David W, 1999. Ketagihan Rente: Distribusi Korporasi dan Spasial Sumberdaya Hutan Indonesia: Implikasinya Bagi Kelestarian Hutan dan Kebijakan Pemerintah. Jakarta: Kantor Kehutanan Kerajaan Inggris – Indonesia Budiman Arief, 1990. dalam Kata Pengantar Yoshihara Kunio, “Kapitalisme Semu Asia Tenggara, Jakarta: LP3ES.
Budiman Arief, 1996. Teori Pengbangunan Dunia Ketiga, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Budiman Arief, 2006. Kebebasan, Negara, Pembangunan: Kumpulan Tulisan 19652005. Jakarta: Freedom Institute. Budiwanti Erni, 2000. Islam Sasak. Yogyakarta: LKiS. Bullen Paul and Onyx Jenny, 1998. “Measuring Social Capital in Five Communities in NSW: Overvew of a Study”, Neighbourhood and Community Centres. Castles Lance, 1982. Tingkah Laku Agama, Politik dan Ekonomi di Jawa: Industri Rokok Kudus, Jakarta: Penerbit Sinar Harapan. Chabot Hendrik T, 1996. Kinship – Kinship, Status and Gender in South Celebes, Leiden: VKI seri terjemahan (25). Chambers, R, 1996, PRA, Participatory Rural Appraisal: Memahami Desa Secara Partisipatif. Yogyakarta: Kanisius Chatterjee Partha, 2004. The Politics of The Governed: Reflection on Popular Politics in Most of the World. New York: Colombia University Press. Chomitz Kenneth M, 2007. Dalam Sengketa? Perluasan Pertanian, Pengentasan Kemiskinan dan Lingkungan Hidup di Hutan Tropis, Jakarta: Salemba Empat. Creswell, John W. (1994). Research Design, Qualitative & Quantitative Approaches. London: Sage Publications. Crouch Harold, 1993. “Sejumlah Pendekatan Untuk Memahami Hilangnya Kelas Menengah Indonesia Masa Orde Baru” dalam Kelas Menengah Digugat, Jakarta: Fikahati Aneska. Dahuri Rohkmin, Jacub Rais, Sapta Putra Ginting dan M.J. Sitepi, 2001. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, Jakarta: Pradnya Paramita. Dahuri Rohkmin, 2009. Pembangunan Perikanan Untuk Kesejahteraan Bangsa. Seputar Indonesia, 10 Oktober 2009 Damanhuri S Didin, 2009. Indonesia: Negara, Civil Society dan Pasar dalam Kemelut Globalisasi. Jakarta: Lembaga Penerbit FEUI Dawam Rahardjo, 1987. Kapitalisme: Dulu dan Sekarang. Jakarta: LP3ES. Denzin, N K & Lincoln, Yvonna S, 2000. Handbook of Qualitative Research (second edition), Thousand Oaks, sage Publication, Inc. Departemen Kehutanan, 1986. Sejarah Kehutanan Indonesia: Periode Pra Sejarah Kehutanan Indonesia: Periode Pra Sejarah – Tahun 1942, Departemen Kehutanan. Departemen Kelautan dan Perikanan, 2007. Penyusunan Profil, Identifikasi dan Analisis Isu Prioritas Perencanaan dan Pengembangan Terpadu Kawasan Delta Mahakam (Laporan Akhir). Dinas Perikanan Jatim, 1990. “Shrimp Industry Development in East Java” in UNDPFAO, Proceedings. Shrimp Culture Industry Workshop. Jepara (Indonesia):. 25-28 September 1990. Dinas Perikanan Kaltim, 1991. Laporan Tahunan 1990. Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Kutai Kartanegara, 2008. Pemetaan Detail Areal Tambak di Kawasan Delta Mahakam Menggunakan Citra Satelit dan Sistem Informasi Geografis. Direktorat Jenderal Perikanan, 1995. Daftar Unit Pengolahan Ikan Beku/Segar. Daftar Perusahaan yang Mendapatkan Aproval Number. Jakarta. Dirlik Arif, 1998. Globalism and The Politics of Place, Journal Development. London: Sage Press. Dharmawan H. Arya, 2005. Analisis Politik Ekologi Sistem Tata-Pemerintahan Sumberdaya Alam: Common Pool Resources Daerah Aliran Sungai Citanduy, dalam PSP dan UNDP, “Pembaharuan Tata-Pemerintahan Lingkungan”, Bogor: PSP-LPPM IPB.
Dharmawan H. Arya, 2007. “Otoritas Lokal dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam: Menatap Otonomi Desa dalam Perspektif Sosiologi Pembangunan dan Ekologi Politik”, Makalah Pemicu Diskusi, disampaikan pada “Seminar dan Lokakarya Menuju Desa 2030” diselenggarakan oleh PKSPL, PSP3IPB dan P4W LPPM IPB, dilaksanakan di Kampus IPB Gunung Gede, Bogor 9-10 Mei 2007 Dobbin Christine, 1991. The importance of Minority Characteristics in The Formation Of Business Elite in Java: The Baweanese Example 1970-1940, Archipel 40. Dove Michael R, 1984. Government Versus Peasant Beliefs Concerning Imperata and Eupatorium: A Structural Analysis of Knowledge, Myth, and Agriculture Ecology in Indonesia. Working Paper, Environment and Policy Institute, East-West Center, Honolulu, Hawaii. Dutrieux E, 2001. The Mahakam Delta Environment, From the 80’s up to now: a synthesis of a 15 year investigation. Paper presented to the International Workshop on Optimizing Development and Environmental Issuess at Coastal Area. Dwipayana Ari AAGN, 2001, Kelas dan Kasta, Yogyakarta: Lapera Purtaka Utama. Dwipayana Ari AAGN, 2004. Bangsawan dan Kuasa: Kembalinya Para Ningrat di Dua Kota. Yogyakarta: IRE. Eisenstadt S.N, 1984. Patron, Client and Friends: Interpersonal Relations and The Structure of Trust in Society. London: Cambridge University Press. Emmersons D.K, 1983. Understanding the New Order: Bureaucratic Pluralism in Indonesia, Asian Survey. Escobar Arturo, 1999. After Nature: Steps to Antiessentialist Political Ecology. In: Current Anthropology Th. 40 No. 1. Fahmid Imam Mujahiddin, 2011. Pembentukan Elit Politik di dalam Etnis Bugis dan Makassar Menuju Hibriditas Budaya Politik. Bogor: SPs-IPB (Disertasi). Fajar News, 2010. Kisah Sukses Saudagar Bugis Makassar: H. Mangkana dan Lukman Ladjoni: Bermodal Rp. 50 Ribu, Kini Berpenghasilan Rp. 30 M. (17 Sept 2010). Farid Andi Zaenal Abidin, 1999. Kebudayaan Sulawesi Selatan – Capita Selecta Kebudayaan Sulawesi Selatan, Ujung Pandang: Unhas. Farid Andi Zaenal Abidin, 2005. “Siri’, Passe’ dan Were’: Pandangan Hidup Orang Bugis” dalam Abu Hamid Dkk, 2005. Siri’ dan Passe’: Harga Diri Manusia Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja. Makassar: Pustaka Refleksi. Fauziah Lusi, Fahrudin A Wahyudi dan Nina Sri Sutami, 1993. Produksi Udang Indonesia dalam Buletin Ekonomi Perikanan No. 1 Tahun 1993. Fauzi Nur, 1999. Petani dan Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan KPA. Fauzi Nur, 2003. Bersaksi untuk Pembaruan Agaria: Dari Tuntutan Lokal Hingga Kecendrungan Global, Yogyakarta: 2003. Fernandes, Walter dan Tandon Rajesh, 1993. Riset Partisipatoris, Riset Pembebasan, Gramedia Jakarta Foster GM, 1967. “The Dynamic Contract: A Model for The Social Structure of a Mexican Peasant Village” dalam Jack Potter, May Diaz dan George Foster. Peasant Society: a Reader Boston: Litle, Brown and Company. Foucauld Michel, 2002. Kegilaan dan Peradaban, Yogyakarta: Ikon. Fukuyama Francis,1996. Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity, New York: The Free Press. Fukuyama Francis, 1999. The Great Disruption: Human Nature and the Reconstitution of Sosial New Order. New York: Free Press. Gappindo, 1996. Peluang dan Permasalahan Pengembangan Agribisnis Indonesia. Disampaikan pada : Promosi Investai Agribisnis Hortikulturaa dan Perikanan (Makalah Seminar). Jakarta. Geertz Clifford, 1975. Interpretation of Culture, London: Hutchinson & Co. Geertz Clifford, 1983. Abangan Santri Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya.
Geertz Clifford, 1992. Penjaja dan Raja: Perubahan Sosial dan Modernisasi Ekonomi diDua Kota Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Giddens Anthony, 1986. Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu Analisis KaryaTulis Marx, Durkheim dan Weber, Jakarta: UIP Giddens Anthony (2003), The Constitution of Society: Teori Strukturasi Untuk Analisis Sosial. Pasuruan: Pedati Guba, Egon G & Yvonna S Lincoln, 2000. Competing Paradigms in Qualitative Research, Dalam Denzin (Eds), Handbook of Qualitative Research, Sage Publication Thousand Oaks, London. Gordon A, 1978. Some Problem in Analyzing Class Relations in Indonesia. Hadiz Vedi R, 2005. Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto. Jakarta: LP3ES. Haeruman Herman, 2001. “Pengembangan Ekonomi Lokal Melalui Pengembangan Lembaga Kemitraan Pemerintah, Swasta, dan Masyarakat”. Makalah dalam Sosialisasi Nasional Program Kemitraan Bagi Pengembangan Ekonomi Lokal. Hotel Indonesia, 2001. Hagen Everett, 1966. How Economics Growth Bigins: A Theory of Social Change, New York. Hall Derek., Hirsck Philip and Li Tania Murray, 2011. Power of Exclusion: Land Dilemmas in Southeast Asia, Singapore: NUS Press. Hamid Abdullah, 1985. Manusia Bugis-Makassar – Manusia Bugis-Makassar: Suatu Tinjauan Historis Terhadap Pola Tingkah Laku dan Pandangan Hidup Manusia Bugis-Makassar, Jakarta: Inti Dayu. Hamid Abu, 1996. Sistem Pendidikan Madrasah dan Pesantren di Sulawesi Selatan dalam Abdullah Taufik (Ed), “Agama dan Perubahan Sosial”, Jakarta: RajaGrafindo Persada. Hamid Abu, Zainal Abidin Farid, Matullada, Baharuddin Lopa dan C Salombe, 2005. Siri’ & Passe’: Harga Diri Manusia Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja, Makassar: Pustaka Refleksi. Hardiman Fransisco Budi., 2003. Melampaui Batas Positivisme dan Modernitas. Yogyakarta: Kanisius Hardiman Fransisco Budi, 2004. Kritik Ideologi: Menyingkap Kepentingan Pengetahuan Bersama Jurgen Habermas, Yogyakarta: Buku Baik. Hariyoga Himawan, 2007. “Kebijakan Revitalisasi Pengembangan Ekonomi Lokal”, Makalah disampaikan dalam Workshop Nasional dan Pameran Cluster Unggulan Jawa Tengah. Semarang: Gedung Grhadhika Bakti Praja, 25-26 April 2007. Harrison Lawrence E dan Samuel P Huntington (Ed), 2006. Kebangkitan Peran Budaya: Bagaimana Nilai-Nilai Membentuk Kemajuan Manusia, Jakarta: LP3ES. Harker Richard, Cheelen Mahar dan Chris Wilkes, 2008. (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik: Pengantar Paling Komprehensif Kepada Pemikiran Pierre Bourdieu, Yogyakarta: Jalasutra. Hayami Yujiro dan Kikuchi Masao, 1987. Dilema Ekonomi Desa: Suatu Pendekatan Ekonomi Terhadap Perubahan Kelembagaan di Asia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hefner Robert W, 1990. The Political Ekonomi of Mountain Java: An Interpretative History, Berkley: University of California Press. Hefner Robert W, 1999. Geger Tengger: Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik (Terjemahan), Yogyakarta: Lkis. Hefner Robert W, 1999. Budaya Pasar: Masyarakat dan Moralitas dalam Kapitalisme Asia Baru. Jakarta: LP3ES. Hefner Robert W, 2001. Civil Islam: Islam dan Demokratisasi di Indonesia, Yogyakarta: LkiS. Heryanto Ariel, 1990. Kelas Menengah Indonesia, Sebuah Tinjauan Kepustakaan, Prisma, No. 4, 1990.
Heryanto Ariel, 1993. “Memperjelas Sosok Yang Samar Sebuah Pengatar” dalam Tanter Richard dan Young Kenneth, Politik Kelas Menengah Indonesia. Jakarta: LP3ES. Hidayati Denny Dkk, 2005. Manajemen Konflik Stakeholders Delta Mahakam. Jakarta: LIPI Higgins Benjamin, 1989. The Road Less Travelled, Canberra: National Centre for Development Studies, ANU. Hill Hall, 1990. Investasi Asing dan Industrialisasi di Indonesia, Jakarta: LP3ES. Hopley D, 1999. Assesment of the Environmental Status and Prospect of Aquaculture in the Mahakam Delta. Balikpapan: Total Indonesie. Husken Frans, 1998. Masyarakat Desa dalam Perubahan Zaman: Sejarah Diferensiasi Sosial di Jawa 1930 – 1980. Jakarta: Grasindo. Hutomo Saripan Sadi, 2001. Sinkritisme Jawa Islam. Yogyakarta: Bentang Budaya. Indra, 2007. Interaksi Mangrove dan Sumberdaya Ikan. Koalisi untuk Advokasi Laut Aceh: www.kuala.or.id. Irwan Alexander, 1999. “Mencari Pendekatan Yang Lebih Historis” dalam Pengantar “Budaya Pasar: Masyarakat dan Moralitas dalam Kapitalisme Asia” Baru, Editor Robert W Hefner. Jakarta: LP3ES. Ishak Awang Faroek, 2003. Paradigma Hutan Lestari dan Pemberdayaan Masyarakat Lokal, Jakarta: Indomedia. Jackson Karl D, 1990. Kewibawaan Tradisional, Islam dan Pemberontakan: Kasus Darul Islam Jawa Barat. Jakarta: Grafiti. Jamie Mackie, 1988. ”Uang dan Kelas Menengah” dalam Tanter Richard dan Young Kenneth, Politik Kelas Menengah Indonesia. Jakarta: LP3ES. Jimie Mackie, 1999. “Keberhasilan Bisnis di Kalangan Orang Cina Asia Tenggara” dalam Hefner Robert, Budaya Pasar: Masyarakat dan Moralitas dalam Kapitalisme Asia Baru, Jakarta: LP3ES. Juliani, 2004. Optimasi Upaya Penangkapan Udang di Perairan Delta Mahakam dan Sekitarnya, Bogor: SPs-IPB (Tesis). Juwono Pujo Semedi, 1998. Ketika Nelayan Harus Sandar Dayung: Studi Nelayan Miskin di Desa Kirdowono, Jakarta: KONPHALINDO. Kahn Joel S, 1974. Economic Integration and the Peasant Economy: The Minangkabau (Indonesia) Blacksmith, London: University of London (London School of Economics). Kahn Joel S, 1982. From Peasants to Petty Commodity Producers in Southeast Asia. Kaltim Post, 1 Juli 2009. Kartodihardjo Hariadi dan Jhamtani Hira, 2006. Politik Lingkungan dan Kekuasaan di Indonesia. Jakarta: Equinox Publishing Indonesia. Kartodirdjo Sartono, 1984. Pemberontakan Petani Banten 1988. Jakarta: Pustaka Jaya. Kartodirdjo Sartono, 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Keane Joel, 1988. Civil Society and the State. London: Vieser. Kennedy R.F, 1962. The Protestant Ethic and the Parsis. American Journal of Sociology 68. Kinseng Rillus A, 2007. Kelas dan Konflik Kelas Pada Kaum Nelayan di Indonesia: Studi Kasus di Balikpapan, Kalimantan Timur, Depok: Disertasi Sosiologi UI Knight G.R, 1982. “Capitalism and Commodity Production in Java”, in Alavi H et al (Eds) Capitalism and Colonial Production. London: Croom Helm. Koro Nasaruddin, 2006. Ayam Jantan Tanah Daeng, Jakarta: Ajuara. Korten David, 1987. Community Management, Asian Experiences and Perspectives. Kumarian Press, Connecticut. Korten David, 1993. Menuju Abad 21: Kelompok Sukarela dan Agenda Global. Sinar Harapan dan Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Kuhn, Thomas S, (2002), The Structure of Scientific Revolution: Peran Paradigma dalam Revolusi Sains. Bandung: Remaja Rosdakarya
Kuntjoro-Jakti Dorodjatun, “Pengusaha Pribumi dan Proses Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tanggapan Atas Hipotesa-Hipotesa Geertz” kata pengantar dalam buku Penjaja dan Raja. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Kunio Yoshihara, 1990. Kapitalisme Semu Asia Tenggara, Jakarta: LP3ES. Kusnadi, 2000. Nelayan Strategi Adaptasi dan Jaringan Sosial. Bandung: Humaniora Utama Press. Kusnadi, 2001. Pengamba’, Kaum Perempuan Fenomenal: Pelopor dan Penggerak Perekonomian Masyarakat Nelayan. Bandung: Humaniora Utama Press. Kusuma Andi Irma, 2004. Migrasi dan Orang Bugis: Penelusuran Kehadiran Opu Daeng Rilakka Pada Abad XVIII di Johor, Yogyakarta: Penerbit Ombak. LAPI-ITB dan Bappeda Kabupaten Kutai Kertanegara, 2003. Rencana Detail Tata Ruang Kawasan Delta Mahakam. Legg KR, 1983. Tuan, Hamba dan Politisi, Jakarta: Sinar Harapan. Lenggono PS, 2003. Modal Sosial dalam Pengelolaan Tambak (Studi Kasus Pada Komunitas Petambak di Desa Muara Pantuan Kecamatan Anggana Kabupaten Kutai Kartanegara). Bogor: SPs-IPB (Tesis). Levang Patrice, 2002. Mangroves, Shrimps and Punggawa A Historical Analysis of the Development of The Mahakam Delta (PT. Win). Lev Daniel, 1993, “Kelompok Tengah dan Perubahan di Indonesia” dalam Tanter Richard dan Young Kenneth, Politik Kelas Menengah Indonesia, Jakarta: LP3ES. Liddle R William, 1993. “Kelas Menengah dan Legitimasi Orde Baru” dalam Tanter Richard dan Young Kenneth, Politik Kelas Menengah Indonesia. Jakarta: LP3ES. Li Murray Tania, 2002. Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Lineton, J, 1975. An Indonesian Society and Its Universe: A Study of the Bugis of South Sulawesi (Celebes) and Their Role within a Wider Social and Economic System, University of London: Ph.D. Disertation, Scholl of Oriental and African Studies. Lombard Dennys, 2005. Nusa Jawa: Silang Budaya, Jilid 1 (Batas-Batas Pembaratan), Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Long Norman, 1992. Sosiologi Pembangunan Pedesaan, Jakarta: Bumi Aksara. Lubis Akhyar., 2004. “Metode Hermeneutika dan Penerapannya pada Ilmu Sosial, Budaya dan Humaniora”, Jakarta: makalah PPS UI. MacAndrew Colin, 1986. Land Policy in Modern Indonesia. MacKinnon Kathy., Dkk, 2000. Ekologi Kalimantan. Prenhallindo; Jakarta. Mackie Jimmie, 1993. “Uang dan Kelas Menengah” dalam Tanter Richard dan Young Kenneth, Politik Kelas Menengah Indonesia. Jakarta: LP3ES. Mackie Jimmie, 1999. “Keberhasilan Bisnis di Kalangan Orang Cina Asia Tenggara”, dalam Robert Hefner, Budaya Pasar: Masyarakat dan Moralitas dalam Kapitalisme Asia Baru, Jakarta: LP3ES. Magenda, Burhan, 1991. East Kalimantan: The Decline of a Commercial Aristocracy, Ithaca NY: Cornell Modern Indonesian Project. Martosubroto P, 1978. Musim Pemijahan dan Pertumbuhan Udang Jerbung dan Udang Dogol di Perairan Tanjung Karawang. Jakarta: Prosiding Seminar ke II Perikanan Udang, 15-18 Maret 1977. Maifiansyah, Muhammad, 2005. „Studi Tentang Kerusakan Hutan Mangrove dan Identifikasi Penyebab Kerusakan Untuk Kepentingan Pelestarian Hutan Mangrove di Delta Mahakam‟, thesis pada Program Pascasarjana Universitas Mulawarman. Magnis-Suseno Franz, 2006. Etika Abad Kedua Puluh. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Maliki Zainuddin, 1999. Penaklukan Negara Atas Rakyat: Studi Resistensi Petani Berbasis Religio Politik Santri Terhadap Negaranisasi, Yogyakarta: Gadja Mada University Press.
Malik M Luthfi, 2010. Etos Kerja, Pasar dan Masjid: Studi Sosiologi Mobilitas Perdagangan Orang Gu-Lakudo di Sulawesi Tenggara. Depok: Disertasi PPs Sosiologi Fisip UI. Mappawata Tjatjong, 1986. Hubungan Patron Klien Dikalangan Nelayan: Studi Kasus Desa Tamalate, Kecamatan Galesong Utara, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Tesis, Fakultas Pascasarjana, UI. Marx Karl, 2004. Kapital (Buku 1), Jakarta: Hasta MItra Matullada, 1985. Latoa: Suatu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi Orang Bugis, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Matullada, 1991. Manusia dan Kebudayaan Bugis-Makassar dan Kaili di Sulawesi. Fisip UI Fisip UI: Antropologi Indonesia, No. 48, Th XV. Mauss M, 1992. Pemberian Bentuk dan Fungsi Pertukaran di Masyarakat Kuno. Yayasan Obor, Jakarta. Mitchell JC, 1969. “The Concept and Use of Social Network” dalam J. Clyde Mitchel (eds.), Social Network in Urban Situasions, Analysis of Personal Relationships in Central African Towns. Manchester University Press. Moein MG .A, 1994. Menggali Nilai-Nilai Bugis-Makassar: Kualleangnga Tallanga NaToalia, Sirik Na Pacce, Ujung Pandang: Yayasan Makassar Press. Mortimer Rex, 1973. Indonesia: Growth or Development. Sidney. Mubyarto, Soetrisno Lukman, Dove Michael, 1984. Nelayan dan Kemiskinan: Studi Ekonomi Antropologi di Dua Desa Pantai, Jakarta: Rajawali. Mubyarto, 1994. Politik Pertanian dan Pembangunan Pedesaan, Jakarta: Sinar Harapan. Mubyarto, 1997. Ekonomi Rakyat, Program IDT & Demokrasi Ekonomi Indonesia. Yogyakarta: Aditya Media. Muhaimin Yahya, 1990. Bisnis dan Politik: Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 19501980, Jakarta: LP3ES Muhaimin A.G, 2001. Islam dalam Bingkai Budaya Lokal, Potret dari Cirebon. Jakarta: Iogor. Mulder Niel, 1999. Agama, Hidup Sehari-Hari dan Perubahan Budaya: Jawa, Muangthai dan Filipina, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Mulkhan Abdul Munir, 2000. Islam Murni dalam Masyarakat Petani, Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya. Mustain, 2007. Petani Vs Negara, Jogjakarta: Ar-Ruzz. Naamin N, 1984. Dinamika Populasi Udang Jerbung di Perairan Arafura dan Alternatif Pengelolaannya. SPs-IPB (Disertasi). Nakamura Mitsuo, 1984. Bulan Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin. Ygyakarta: Gadjah Mada University Press. Nevaskar B, 1971. Capitalist without Capitalism: The Jains of India and the Quakers of the West, Contributions to Sociology No.6 Westport, Connecticut: Greenwood Publishing Corporation. Nietzsche Friedrich, 2001. Genealogi Moral. Yogyakarta: Jalasutra. Noor Ida Ruwaida, 2000. Ekonomi Rakyat dan Modal Sosial, Jurnal Sosiologi Masyarakat, Edisi No. 8, Lab. Sosiologi Fisip UI. Nugroho Heru, 2001. Uang, Rentenir dan Hutang Piutang di Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Nugroho Heru, 2002. Rasionalisasi dan Pemudaran Pesona Dunia, Kata Pengatar dalam Schroder Ralph, “Max Weber: Tentang Hegemoni Sistem Kepercayaan”, Yogyakarta: Kanisius. Ostorm Elinor, 1992. Crafting Institution, Self-Governing Irrigation System, San Fransisco: ICS Press. Palmer Inggrid, 1978. The Indonesia Economic Since 1965. London. Payer C, 1974. The Debt Trap: IMF and the Third World, London: Harmondsworth. Peacock James, 1978. Purifying The Faith: The Muhammadiyah Movement in Indonesia Islam. California: Cumming Publishing Company.
Peluso Nancy Lee, 1990. Networking in the Commons: A Tragedy for Rattan Indonesia,, Indonesia No.25. Peluso, et al, 1996. Borneo People and Forest in Transition: An Introduction dalam Borneo in Transition; People, Forest, Conservation and Development. Oxford: Oxford University Press. Pelluso Nancy Lee, 2006. Hutan Kaya Rakyat Melarat: Penguasaan Sumberdaya dan Perlawanan di Jawa, Jakarta: Konphalindo. Pelras Christian, 2006. Manusia Bugis, Jakarta: Nalar Pemprop Kalimantan Timur, 1992. Sejarah Pemerintahan di Kalimantan Timur dari Masa ke Masa. Pieris R, 1969. Studies in the Sociology of Development, Rotterdam University Press. PKSPL IPB, 2002. Kajian Kegiatan Tambak Dalam Hubungannya Dengan Kegiatan Migas dan Lingkungan Hidup di Delta Mahakam (Laporan Akhir). Polanyi Karl, 2003. Transformasi Besar: Asal Usul Poliitik dan Ekonomi Zaman Sekarang, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Popkin Samuel L, 1986. Petani Rasional. Jakarta: Lembaga Penerbit Yayasan Padamu Negeri. Portes Alejandro, 1998. “Social Capital: Its Origins and Applications in Modern Sociology”, Annual Review of Sociology, Vol. 24. Purnamasari Elly, 2002. Pola Hubungan Produksi Ponggawa – Petambak: Suatu Bentuk Ikatan Patron – Klien (Kasus Masyarakat Petambak di Desa Babulu Laut, Kecamatan Babulu, Kabupaten Pasir, Kalimantan Timur). Bogor: SPs-IPB (Tesis). Purwanto Aji Semiarto dkk, 2003. Mencari Alternatif Ekonomi Lokal: Kasus Masyarakat Desa Sekitar Taman Nasional Tanjung Puting Kalimantan Tengah. Depok: Lab. Antropologi Fisip UI. Putnam Robert D, 1993. Making Democracy Work: Civic Traditions in Modern Italia, Princeton University Press. Putra HSA, 1988. Minawang: Hubungan Patron-Klien di Sulawesi Selatan. Gadja Mada University Press, Yogyakarta. Pye Lucian W, 2006. “Nilai-Nilai Asia: Dari Domino ke Domino?” dalam Lawrence E Harrison dan Samuel P Huntington, Kebangkitan Peran Budaya: Bagaimana Nilai-Nilai Membentuk Kemajuan Manusia. Jakarta: LP3ES. Rachim AB. Abdul, 1995. “Hak Atas Tanah di Wilayah Kutai Kartanegara Sejak Zaman Kerajaan Sampai Dengan Zaman Republik Indonesia”, dipresentasikan dalam Temu Wicara Antara Pejabat Pemerintah dengan Kepala-Kepala Adat dan Para Pemuka Masyarakat Kalimantan Timur di Samarinda: 19 Januari 1995. Rachmawati L, Fitranita, D. Harfina, L. Nagib, D. Hidayati, Nawawi dan B. Nugroho. 2003. Nilai Ekonomi Mangrove dan Kepedulian Masyarakat Terhadap Mangrove di Delta Mahakam. Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. Radam Noerid Haloei, 2001. Religi Orang Bukit. Yogyakarta: Semesta. Rahman Nurhayati, 2009. “Kata Pengatar: Memahami Anregurutta Haji Abdurrahman Ambo Dalle dari Sudut Pandang Budaya Bugis” dalam Nasruddin Anshoriy Ch, Anregurutta Ambo Dalle, Maha Guru dari Bumi Bugis. Yogyakarta: Penerbit Tiara Wacana. Rahim Rahman, 1992. Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis, Ujung Pandang: Hasanuddin University Press. Raillon Francois, 2001. “Dapatkah Orang Jawa Menjalankan Bisnis?: Bangkitnya Kapitalis Pribumi Indonesia” dalam Hans Antlov dan Sven Cederroth, 2001. Kepemimpinan Jawa: Perintah Halus, Pemerintahan Otoriter, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Redfield Robert, 1985. Masyarakat Petani dan Kebudayaan. Jakarta: Radjawali. Reid Anthony, 1999. Dari Ekspansi Hingga Krisis: Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara 1450-1680. Jakarta: Yayasan Obor.
Reid Anthony, 2004. Sejarah Modern Awal Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES. Raffles Thomas Stamford, 2008. The History Of Java. Yogyakata: Narasi Rahardjo Dawam, 1987. Kapitalisme: Dulu dan Sekarang. Jakarta: LP3ES. Ritzer, George, (1985), Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda (penyadur Alimandan), Rajawali Press Jakarta Robinson Richard, 1986. Indonesia, The Rice of Capital, Sydney: Allen and Unwin. Rosser, J. Barkley, Jr., Kramer, Kirby L, Jr., and Rosser, Marina V. (1999). The New Traditional Economy: A New Perspective for Comparative Economics? International Journal of Social Economics, Vol. 26 No.6, 763-778. Ruf Francois, 1991. Cocoa Boom, “Smallholders Cocoa in Indonesia: Why a Cocoa Boom in Sulawesi?”, International Cocoa Conference, Challenges in the Nineties, Kuala Lumpur, 25-8 September 1991 Salim Agus., 2001. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya. Safitri Myrna A, 2004. “Menegaskan Penguasaan Masyarakat Lokal pada Kawasan Hutan, Sebuah Arena Bagi Pluralisme Hukum: Analisis Kebijakan Pasca Reformasi”, Makalah disampaikan pada Konfrensi Internasional tentang “Penguasaan Tanah dan Kekayaan Alam Indonesia yang Sedang Berubah: Mempertanyakan Kembali Berbagai Jawaban”. Jakarta 4 Oktober. Sajogyo, 1981. “Agricultural and Economic Policies”, makalah pada Seminar Rural Development and Human Right in South-East Asia. Penang: ICJ/CAP. Sajogyo, 1982. Bunga Rampai Perekonomian Desa, Jakarta: Yayasan Obor. Sajogyo, 2006, Ekososiologi: Deideologisasi Teori, Restrukturisasi Aksi (Petani dan Perdesaan sebagai Kasus Uji). Yogyakarta: Cindelaras. Salman D dan Taryoto AH, 1992. Petukaran Sosial pada Masyarakat Petambak: Kajian Struktur Sosial Sebuah Desa Kawasan Pertambakan di Sulsel, Jurnal Agro Ekonomi 11. Schroder Ralph, 2002. Max Weber: Tentang Hegemoni Sistem Kepercayaan, Yogyakarta: Kanisius. Scott JC dan Kerkvliet BJ, 1977. “How Traditional Rural Patron Lose Legitimacy: A Theory with Special Reference to Southeast Asia” In: SW Schmidt, L Guasti, C Lande, JC Scoot, eds., Friends, Followers and Factions: A Reader in Political Clientism. University of California Press, Berkeley. Scott JC, 1994. Moral Ekonomi Petani. Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. Jakarta; LP3ES. Seda Francisia S.S.E, 2001. Petrolium Paradox: Natural Resources and Development in Indonesia 1967 – 1999. A Dissertation at The University of Wisconsin – Madison Seregeldin Ismail, 1996. Sustainability and the Wealth of Nations, First Steps in an Ongoing Journey, Environmentally Sustainable Development (EDS) Studies and Monographs Series, No. 5. Sidik MS, dkk, 2000. Pengakajian Kelembagaan Organisasi Ekonomi Tengkulak di Wilayah Samarinda, Balikpapan, Kutai, dan Pasir dalam rangka Meningkatkan Perekonomian Masyarakat Pedesaan. Kerjasama Bapedda Kalimantan Timur dengan Universitas Mulawarman Samarinda. Sievers AM, 1974. The Mistical World of Indonesia: Culture and Ecomonic Development. Baltimore. Simarmata Ricardo, 2008. ”Hutan, Migas dan Udang: Proses Pembentukan Pengaturan Tenurial di Delta Mahakam”. Makalah dalam Konferensi Antar Universitas SeBorneo Kalimantan Ke-4, bertema „Transformasi Sosial Masyarakat Pedesaan dan Pesisir Borneo-Kalimantan: Menangani Isu-Isunya‟, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Mulawarman, bekerjasama dengan Universiti Malaysia Serawak, Universitas Tanjungpura dan Universitas Lambung Mangkurat, 24-25 Juni 2008. Simon Roger, 2004. Gagasan-Gagasan Politik Gramsci. Yogyakarta: Penerbit Insist dan Pustaka Pelajar.
Sitorus Felix MT, 1999. Pembentukan Golongan Pengusaha Lokal di Indonesia: Pengusaha Tenun dalam Masyarakat Batak Toba. Bogor: SPs-IPB (Disertasi). Soetarto Endriatmo, 2006. Elite Versus Rakyat: Dialog Kritis dalam Keputusan Politik di Desa. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama. Soetoen Anwar, 1979. “Pertumbuhan Pemerintahan Daerah Kabupaten Kutai dan Beberapa Faktor Yang Mempengaruhinya”, dalam Dari Swapraja ke Kabupaten Kutai, Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah. Soewito Dkk., 2011. Perikanan Indonesia: Masa Lalu, Kini dan Masa Depan. Jakarta: Yasamina Suadi 2008. Refleksi 50 Tahun Hubungan Ekonomi Indonesia-Jepang dalam Sektor Perikanan. Jakarta: Inovasi Vol. 11/ XX/ Juli 2008. Suhendar Endang dan Winarni Budi Yohana, 1998. Petani dan Konflik Agraria. Bandung: Yayasan Akatiga. Sulistiyono Singgih Tri, 2003. The Java See Network: Patern In The Development Of Interregional Shipping and Trade in The Process of National Ekonomic Integration in Indonesia, 1980s-1970s. Universiteit Leiden:Disertasi Doktor Suparlan Parsudi, 1995. “Kemiskinan di Perkotaan”, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Suparlan Parsudi, 1997. Paradigma Naturalistik dalam Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kualitatif dan Penggunaannya, Majalah Antropologi IndonesiaFisip UI, No. 53 Vol. 21. Supriharyono, 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah Pesisir. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Surachmat, 1999. “Salinity of the Modern Mahakam Delta, East Kalimantan” dalam Berita Sedimentology No. 12. Suryadinata Leo, Evi Nurvidya Arifin dan Aris Ananta, 2003. Penduduk Indonesia: Etnis dan Agama dalam Era Perubahan Politik. Jakarta: LP3ES. Sutter John O, 1959. Indonesianisasi: A Historical Survey of The Role of Politics in The Institution of A Changing Economi from Second World War to the Eve of the General Election (1940-1955), Ithaca: Cornell University. Sutrisno Dewayani, 2005. Dampak Kenaikan Muka Laut Pada Pengelolaan Delta: Studi Kasus Penggunaan Lahan Tambak di Pulau Muara Ulu Delta Mahakam. Bogor: SPs-IPB (Disertasi) Suwarsono dan So Y Alvin, 2000. Perubahan Sosial dan Pembangunan, Jakarta: LP3ES. Syam Nur, 2005. Islam Pesisir, Yogyakarta: Lkis. Syahrani D, 2004. Mengenal Kawasan Delta/Pulau di Muara Mahakam dan Permasalahannya. Syaukani HR, 2002. Kerajaan Kutai Kartanegara, Tenggarong: Lembaga Kepustakaan dan Penerbitan Pustaka Pulau Kumala. Takwin Bagus, 2008. Proyek Intelektual Perre Bourdieu: Melacak Asal Usul Masyarakat, Melampaui Oposisi Biner dalam Ilmu Sosial (Kata Pengantar) dalam Harker Richard, Cheelen Mahar dan Chris Wilkes, (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik: Pengantar Paling Komprehensif Kepada Pemikiran Pierre Bourdieu, Yogyakarta: Jalasutra. Tajerin dan Muhammad Noor, 2004. “Daya Saing Udang Indonesia di Pasar Internasional” dalam Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 9 No. 2 Desember 2004 Tanaka Koji, 1986. “Bugis and Javanese Peasants in the Coastal Lowland of the Province of Riau” dalam Tsuyoshi Kato, Muchtar Lutfi and Narifumi Maeda (eds.), Environment, Agriculture and Sosciety in the Malay World. Coseas, Kyoto University. Tanter Richard dan Young Kenneth, 1993. Politik Kelas Menengah Indonesia, Jakarta: LP3ES.
Tauchid Mochammad, 1952. Masalah Agraria: Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakjat Indonesia. Djakarta: Penerbit Tjakrawala. The World Bank Urban Development Unit, 2001. Local Economic Development, LED Quick Reference Guide. October 2001. Thohir Mudjahirin, 2006. Orang Islam Jawa Pesisiran, Semarang: Fasindo Press. Timmer Jaap, 2009. Access to Justice in a Capitalist Aquaculture and Oil and Gas Frontier of the Mahakam Delta, East Kalimantan. Tsing Anna Lownhaupt, 2005. Friction: An Etnography of Global Connection. New Jersey: Princeton University Press. Tornquist O, 1990. “Rent Capitalism, State and Demokrasi: A Theoretical Proposition” dalam Arief Budiman (Ed.) The State and Civil Society in Contemporary Indonesia. Melbourne: Centre of South East Asian Studies Monash University. Turner Bryan, 1984. Sosiologi Islam: Suatu Telaah Analitis Atas Tesa Sosiologi Weber, Jakarta: Rajawali. Turner JH., 1998. The Structure of Sociological Theory (six edition), Belmont: CA Wadsworth publishing Company. UNDP-FAO, 1990. Proceedings. Shrimp Culture Industry Workshop. Jepara (Indonesia):. 25-28 September 1990. Van Niel Robert, 1984. Munculnya Elit Modern Indonesia, Jakarta: Pustaka Jaya. Vandergeest Peter and Nancy Lee Peluso, 1995. Territorialization and State Power in Thailand. Theory and Society 24 Vayda, Andrew P dan Sahur Ahmad, 1996. Pemukim Suku Bugis di Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur: Dahulu, Sekarang dan Beberapa Kemungkinan untuk Masa Depan Mereka, CIFOR Bogor: Rutgers University (New Brunswick, NJ) dan Universitas Hasanuddin. Vlekke Bernard HM, 2008. Nusatara: Sejarah Indonesia, Jakarta: KPG. Wahyono Untung, 1990. “Status of Shrimp Production in Indonesia” in UNDP-FAO, Proceedings. Shrimp Culture Industry Workshop. Jepara (Indonesia):25-28 September 1990. Wahyudi dan Budiharta, 2010. Strategi Bersaing Perusahaan Udang Beku. Jakarta: Agrimedia Oktober 2010. Walinono Hasan, 1979. Tanete: Suatu Studi Sosiologi Politik, Ujung Pandang: Unhas. Wallace Walter L, 1994. Metoda Logika Ilmu Sosial. Jakarta: Bumi Aksara. Wallerstein, 1988. The Bourgeois (ie) as Concept and Reality, New Left Review. Wasino, 2008. Kapitalisme Bumi Putra: Perubahan Masyarakat Mangkunegaran, Yogyakarta: LkiS. Weber Max, 2006. Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Weber Max, 1978. Economy and Society: An Outline of Interpretative Sociology. California: University of California Press. Weiner M, 1966. Modernization: The Dynamics of Growth. New York and London: Basic Books, Inc. Wellman B, 1982. “Studying Personal Communities” dalam Peter Marsden dan Nan Lin (eds.), Social Structure and Network Analysis. Baverly Hills: Sage. Wertheim W. F, 1999. Masyarakat Indonesia dalam Masa Transisi: Kajian Perubahan Sosial, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. Wianti Nur Isiyana, 2011. Kapitalisme Lokal Suku Bajo (Studi Kasus Nelayan Bajo Mola dan Mantigola, Kabupaten Wakatobi, Propinsi Sulawesi Tenggara). Bogor: SPsIPB (Tesis). Widyaningrum Dkk, 2003. Pola-Pola Eksploitasi Terhadap Usaha Kecil. Bandung: Akatiga Winarno Yunita dan Choesin Ezra, 2000. Pengayaan Pengetahuan Lokal, Pembangunan Pranata Sosial: Pengelolaan Sumberdaya Alam dalam Kemitraan. Makalah dalam Simposium Internasional Jurnal Antropologi Indonesia I, Univ. Hasanuddin, Makassar, 1-4 Agustus.
Wertheim W.F, 1999. Masyarakat Indonesia dalam Transisi: Studi Perubahan Sosial, Yogyakarta: Tiara Wacana. Wolf Diane, 1992. Factory Daughter: Gender, Household Dynamic and Rural Industrialization in Java, Berkeley: University of California Press. Wolf ER, 1973. “Khinship, Friendship and Patron-Clients Relations in Complex Societies” dalam Michael Banton (eds.) The Social Anthropology of Complex Societies, London: Tavistock. Woodward Mark R, 1988. Islam in Java: Normative Piety and Mysticisme in Sultanate of Yogyakarta. An Arbor: UMI. Woolcock Michael dan Narayan Deepa, 2000. “Social Capital Implications for Development Theory, Research and Policy”, The World Bank Research Observer, Vol. 15, No. 2. Yin Robert K, 1996. Studi Kasus: Desain dan Metoda, Jakarta: Rajawali Pers. Zulkifli, 2002. Sufi Jawa: Relasi Tasawuf-Pesantren, Yogyakarta: Pustaka Sufi. Zwager J, 1853. “Kerajaan Kutai di Pesisir Timur Kalimantan dan Hal Ihwalnya di Tahun 1853”, dalam Taufik Abdullah (Ed), 1985. Sejarah Lokal di Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada Universitas Press.
LAMPIRAN
KEMUNCULAN PENGUSAHA LOKAL: STUDI RIWAYAT HIDUP TIGA PONGGAWA PERTAMBAKAN I.
Lapisan Sosial Ponggawa Perintis Mereka adalah para ponggawa pioner yang memulai menjadi ponggawa
sebelum kegiatan industri perikanan berkembang di kawasan Delta Mahakam, diantaranya adalah Haji Arpani di Sepatin, (alm) Haji Abdullah di Muara Pantuan, (alm) Haji Andi Basri dan Haji Samir bin Haji Saleng di Muara Badak. Banyak diantara mereka adalah migran yang datang pada periode 1950 – 1965. Mereka adalah nelayan yang merangkap menjadi pedagang perantara, beberapa diantara mereka ada yang berasal dari golongan bangsawan Bugis. Hasil produksi yang berhasil dikumpulkan dari kegiatan perikanan tangkap tersebut selanjutnya dijual pada para pedagang besar di kota Samarinda/ Balikpapan/ Tarakan. Namun banyak diantara mereka yang tidak mampu survive karena kurang adaptif dan visioner dalam melihat perubahan disekitar mereka. Meskipun mampu melakukan mobilitas vertikal, namun para ponggawa perintis ini tidak mampu mengembangkan diri menjadi entrepreneur lokal yang sanggup membangun industri perikanan yang kokoh. Kasus Ponggawa Perintis; Haji Samir Yang Hanya Bermodal Tekad Profil Haji Samir bin Haji Saleng mungkin bisa menggambarkan dengan jelas wujud manusia Bugis yang gemar merantau dan lekat dengan kehidupan laut. Sejak usia 17 tahun, sebagai nelayan bagang, Haji Samir sudah melakukan perjalanan jauh hingga ke Muara Karang (Jakarta) – Indramayu. Setelah menikah di tanah asalnya, ia kemudian memutuskan terlibat dalam kegiatan perdagangan kopra pada sebuah kapal pelayaran tradisional dari Makassar ke Surabaya. Pekerjaan tersebut ditekuninya hingga tahun 1973, ketika perdagangan kopra dirasakannya semakin “lesu” dan tidak menjanjikan. Meskipun kopra dianggap pemerintah Orde Baru sebagai komoditi strategis,
namun
sebenarnya
perdagangan
komoditi
kopra
telah
mengalami
kebangkrutan sejak 1950 – 1958, yang ditandai oleh semakin merosotnya Makassar sebagai jalur perdagangan utama komoditi kopra, akibat fluktuasi harga pasar/ inflasi dan kuatnya campur tangan pemerintah pusat (lihat Rasyid Asba, 2007, dalam “Kopra Makassar Perebutan Pusat dan Daerah”). Dengan pertimbangan ingin memperbaiki kehidupan ekonomi keluarga, Haji Samir (hanya mengenyam pendidikan hingga kelas lima SR), kemudian menuruti nasehat seorang karabat yang menyarankannya kembali menekuni profesi sebagai nelayan bagang ke pantai Timur Kalimantan yang potensi perikanannya belum tereksploitasi. Akhirnya, pria dari golongan keluarga kebanyakan (to maradeka) kelahiran Lamurukung – Bone, Sulawesi Selatan pada 1942 ini, berhasil mendarat
ii
bersama rombongan di daerah Muara Jawa pada pertengahan 1973. Di dalam rombongan tersebut, ia tidak hanya membawa serta istri dan ketiga anaknya yang masih kecil, namun juga adiknya Haji Tamin yang berpendidikan Sekolah Guru Bantu (setingkat SMP), ia kelak berhasil menjadi ponggawa sukses di Samboja. Selain itu, ikut bersama rombongan seorang sepupunya yang masih berusia belasan tahun bernama Haji Abu yang kelak menjadi salah satu ponggawa terbesar di kawasan Delta Mahakam, meskipun pendidikannya hanya sampai kelas dua SD Tidak berbeda dengan Haji Tamim dan Haji Abu, Haji Samir pun memulai merintis pekerjaan di sektor perikanan sebagai nelayan bagang. Pada awalnya mereka melakukan aktifitas sebagai nelayan bagang secara bersama-sama, jika musim utara mereka membangun bagang di sekitar Muara Jawa, sedangkan pada musim selatan mereka memindahkan bagang-nya ke wilayah Muara Badak. Metode yang kurang efisien tersebut, akhirnya dirubah pasca hancurnya bagang yang mereka bangun di Muara Badak, akibat diterjang gelombang pasang. Mereka kemudian bersepakat untuk membagi zona tangkapan, dimana Haji Tamim dan Haji Abu akan lebih berorientasi di sekitar Muara Jawa, sementara Haji Samir beserta keluarganya di Muara Badak. Sejak itulah, tanpa disadari keluarga kecil ini mulai terpisah secara geografis dan administratif. Setelah menetap di Muara Badak pada 1974, Haji Samir memutuskan untuk melakukan kegiatan usaha sampingan sebagai pengumpul hasil perikanan dari para nelayan trawl dan nelayan bagang, hasilnya ia jual ke Samarinda atau di pasar lokal. Berbekal pengalaman dan sedikit modal yang dimilikinya, ia mencoba merintis usaha tersebut, tanpa mengabaikan pekerjaan utamanya sebagai nelayan bagang. Bersama (Alm) Andi Basri, Haji Samir merupakan generasi ponggawa pertama di Muara Badak. Aktifitas sebagai nelayan bagang tetap dijalani Haji Samir hingga tahun 1975, ketika pemerintah setempat melarang dan mencabut izin penggunaan bagang di sepanjang pesisir karena dianggap menghancurkan kehidupan ikan-ikan kecil. Kondisi ini kemudian disiasati Haji Samir dengan menjadi nelayan trawl, hingga mereka ditertibkan kembali oleh pemerintah setempat pasca terbitnya Kepres No. 39 Thn 1980. Penertiban yang diikuti penangkapan terhadap nelayan-nelayan lokal oleh aparat Kodim tersebut, tidak hanya memberikan sanksi badan, namun juga diikuti dengan penyitaan peralatan tangkap. Hal ini diakui Haji Samir, berakibat pada semakin tersisihnya nelayan-nelayan tradisional dalam “memperebutkan” akses sumbedaya. Pasca penghapusan trawl, pemerintah setempat sebenarnya memberikan sejumlah kompensasi pada nelayan lokal untuk mengalihkan kegiatan ekonominya menjadi nelayan non trawl. Berbagai bantuan “dana lunak” dikucurkan pada para nelayan trawl untuk bisa beralih menjadi nalayan non trawl, salah satu alternatif yang menarik bagi nelayan setempat adalah mengalihkan kegiatan usaha mereka ke dalam
iii
kegiatan usaha perikanan budidaya. Meskipun demikian, tidak sedikit nelayan trawl yang tetap melaut “kucing-kucingan” dengan aparat, juga ada sebagian kecil yang kemudian lebih memiliih kegiatan pelayaran tradisonal/ perdagangan antar pulau sebagai profesi barunya. Pada
kenyataannya
program
kompensasi
tersebut,
banyak
mengalami
hambatan, akibat keterbatasan dana kredit pengalihan usaha dan “ketidaktersediaan” lahan konversi untuk kegiatan perikanan budidaya yang akan dilakukan. Di dalam kasus kelompok tani-tambak “Inti Karya”, yang dibentuk pada 1983 di Muara Badak Ulu misalnya, keinginan kelompok ini untuk menggarap tambak di Pulau Letung yang telah ditinjau oleh Gubernur ketika berkunjung ke lokasi bersama Bupati, ternyata tidak pernah bisa diwujudkan. Baru setelah terbitnya Surat Keputusan Gubernur Kaltim No: 83/ 590-IX/Um-38/ 1987, tentang “Pencadangan area tanah seluas + 600 Ha di Pulau Letung untuk pengembangan budidaya udang dengan pola Tambak Inti Rakyat (TIR) – trans bantuan Bank Pembangunan Asia/ ADB”, kembali tampak komitmen untuk mewujudkan pembangunan area pertambakan di Pulau Letung tersebut. Namun, ditengah perjalannnya, pengembangan kegiatan pertambakan yang telah ditunggutunggu realisasinya selama empat tahun terakhir oleh masyarakat ini, akhirnya kembali mandek, ketika pihak Pertamina/ VICO mengultimatum pelaksanaan kegiatan tersebut, dengan
“tidak
melarang,
namun
juga
tidak mengijinkan
pembangunan
area
pertambakan di Pulau Letung”. Kebijakan pihak Pertamina/ VICO tersebut, jelas terkait dengan “pembersihan” area konsesi mereka dari kegiatan apapun, meskipun kawasan tersebut pada saat itu belum direncanakan untuk diekplorasi dan dieksploitasi lebih lanjut. Realisasi pembangunan area pertambakan yang tidak pernah bisa diwujudkan inilah yang kemudian memicu kenekatan masyarakat setempat, untuk tetap melanjutkan pembangunan area pertambakan, dengan swadaya maupun dengan dana pinjaman dari ponggawa secara sporadis. Selain Surat Keputusan Gubernur Kaltim No: 83/ 590IX/Um-38/ 1987, mereka juga menjadikan Surat Keterangan Kades Muara Badak Ulu No: Um. 151/ MBU/ III/ 183, yang ditindak-lanjuti penerbitan ijin pembukaan lahan dari pihak Kecamatan No: Agr-309/ 1983, serta dukungan Komcat Golkar Muara Badak No: 043/ Komcat/ MB/ D-1986, sebagai legalitas atas apa yang mereka lakukan di Pulau Letung. Sejak itulah masyarakat atas nama kelompok-kelompok tani-tambak, mulai berbondong-bondong menggarap kawasan hutan mangrove, bahkan hingga diluar Pulau Letung. Tidak terkecuali Haji Samir dengan kelompok “Tiram”-nya, kelompok yang beranggotakan nelayan trawl, nelayan bagang dan nelayan tradisional lainnya ini, juga mulai menjajaki pembangunan area pertambakan. Karena anggota kelompok tersebut tidak ada yang memiliki latar belakang sebagai petambak, akhirnya mereka
iv
memutuskan mendatangkan sepuluh orang tenaga upahan (kuli) dari Palopo untuk membantu membangun petakan tambak milik mereka. Meskipun tambak-tambak yang dibangun Haji Samir dan kelompoknya, mulai berproduksi pertengahan 1980-an, namun baru di awal tahun 1990-an tambak-tambak tradisional tersebut, mulai memberikan kontribusi berarti bagi peningkatan penghasilan mereka. Selama beberapa tahun lamanya Haji Samir mengaku hidup prihatin, karena hasil tambak mereka belum berproduksi optimal, bahkan banyak udang/ ikan yang mereka budidayakan mati, karena tingkat keasaman air tambak yang tinggi di awal pembukaan tambak baru, akibat pembusukan batang mangrove dan nypa yang telah mati. Hanya tekat untuk merubah nasib yang membuat mereka tetap bertahan sebagai petambak. Pada 1994, Haji Samir juga pernah mencoba mengembangkan tambak semi intensif seluas satu hektar di dekat rumahnya. Dari panen perdana tambak tersebut, ia mampu mengumpulkan tiga Ton udang, yang kemudian memicu dilakukannya pengembangan tambak-tambak semi intensif. Namun dalam perkembangannya, hasil produksi tambak semi intensif, ternyata cenderung menurun dari tahun ke tahun dan praktis pada 1999, tidak ada lagi yang menerapkan pola semi intensif. Kondisi ini menurut Haji Samir, merupakan akibat dari pola pengelolaan dan penggunaan berbagai produk pestisida yang kurang tepat, serta munculnya sejumlah penyakit yang mematikan, seperti white spot
yang menyerang udang di dalam tambak-tambak
tersebut. Diakui oleh Haji Samir bahwa masa keemasan produksi udang di kawasan Muara Badak terjadi pada kurun waktu 1994 – awal 2000-an, hal ini ditandai oleh semakin banyaknya petambak yang mampu menunaikan ibadah haji. Produksi perikanan yang berhasil dikumpulkan Haji Samir sebagai seorang ponggawa pun mulai didominasi hasil produksi perikanan budidaya dibandingkan hasil tangkapan nelayan. Setidaknya ia memiliki seratus orang klien petambak yang menjadi pemasok utama bagi keberlangsungan usahanya, tidak termasuk pasokan dari tambak yang ia miliki. Di tahun 1994 itu pula Haji Samir mulai mengajak anak-anaknya untuk terjun secara total dalam kegiatan usaha pertambakan. Dua orang anak dan seorang menantunya, saat ini bahkan telah berhasil menjadi ponggawa yang cukup disegani dan memiliki pengaruh kuat di Muara Badak. Anak tertuanya Haji Abdul Halim dan anak laki-lakinya yang terakhir Haji Hatta, saat ini memiliki hamparan tambak yang luasnya mencapai ratusan hektar, serta ratusan orang klien petambak. Sedangkan Haji Murtani, anak menantu yang dipercaya Haji Samir meneruskan usahanya, memiliki klien petambak lebih dari lima puluh orang. Meskipun sebagian tambaknya telah didistribusikan pada anak-anaknya, di usianya yang telah
v
menginjak 68 tahun, Haji Samir masih saja aktif mengelola tambaknya sendiri, yang luasnya kini hanya tersisa 30 hektar. Keberhasilan anak-anak Haji Samir mengembangkan usahanya, diakui sebagai akibat boom harga udang pada 1997/ 1998, sehingga memberikan keuntungan berlipat. Hasil keuntungan tersebut, kemudian digunakan untuk membeli tiga unit excavator secara patungan, sehingga mempermudah pembangunan petakan-petakan tambak baru dengan lebih efisien. Sejak saat itulah, hamparan tambak yang mereka bangun untuk klien maupun bagi mereka sendiri, luasannya semakin bertambah, sehingga mampu memberikan pasokan udang yang melimpah bagi eksistensi usaha mereka sebagai ponggawa. Namun demikian, Haji Samir tetap saja memiliki andil yang sangat besar bagi kesuksesan mereka, dengan menyediakan akses jaringan patronase, serta fasilitas usaha yang siap untuk dimanfaatkan. Meskipun hanya mengenyam pendidikan hingga kelas tiga Sekolah Dasar, Haji Hatta misalnya, mampu mengembangkan usahanya, sehingga tidak hanya memiliki ratusan hektar tambak dengan produksi rata-rata per-nyorong tiga sampai empat ton udang, namun juga hatchery yang mampu menghasilkan sepuluh juta bibit udang, pabrik es dengan kapasitas 200 – 300 balok es. Ia pun memiliki dua buah rumah mewah (di Muara Badak dan Samarinda), satu unit pos pembelian, serta beberapa unit kendaraan roda empat (mulai dari truck hingga mobil double cabin). Haji Hatta juga berhasil melakukan ekspansi usaha dengan membangun lima puluh hektar perkebunan kepala sawit, mendirikan dua buah perusahaan kontraktor, ia bahkan berencana membangun cold storage, serta tambak-tambak baru di Sangkulirang dan Kalimantan Selatan. Kesuksesan yang direngkuhnya, tidak terlepas dari komitmen Haji Hatta untuk selalu “merawat” hubungan baiknya dengan seluruh klien khususnya para petambak, serta strategi pembelian dengan pola “jemput bola” oleh penyambang. Untuk mengantisipasi kesibukannya yang semakin padat, Haji Hatta telah menyerahkan sepenuhnya manajemen bisnis usaha pertambakan pada istrinya, sementara ia berkonsentrasi di sektor usaha non pertambakan. Berbeda dengan ponggawa generasi perintis,
seperti
Haji
Samir
yang
menganjurkan
anak-anaknya
untuk
total
mengembangkan usahanya di sektor pertambakan, ponggawa generasi penerus, seperti Haji Hatta malah menganjurkan anak-anaknya untuk belajar dan mencoba mengembangkan usaha dibidang lain, tidak hanya terpaku di sektor pertambakan. Keinginan tersebut tampak jelas pada komitmen Haji Hatta dalam memberikan pendidikan setinggi-tingginya, dimanapun dan dibidang apapun pada anak-anaknya. Meskipun ia juga tetap berharap, salah satu dari ketiga anaknya ada yang bersedia meneruskan kegiatan usaha pertambakan yang telah dikembangkannya.
vi
II.
Lapisan Sosial Ponggawa Pengikut Sebagian besar diantara mereka adalah para petambak yang berhasil “naik
kelas” menjadi ponggawa akibat pesatnya perkembangan kegiatan industri perikanan ekspor di kawasan Delta Mahakam. Meskipun ada pula diantara mereka yang sebelumnya hanyalah pedagang/ pemilik modal yang berhasil memanfaatkan momentum perkembangan kegiatan industri perikanan ekspor di kawasan Delta Mahakam, Dari golongan ponggawa inilah banyak di jumpai adanya bibit-bibit entrepreneur lokal yang diharapkan mampu bersaing dalam biasnis perikanan. Kemunculan mereka tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan industri perikanan ekspor yang telah ada sejak awal 1974-an, karena perusahaan-perusahaan eksportir inilah yang telah mendorong kemunculan mereka. Keberadaan ponggawa-ponggawa lokal tersebut, sepertinya tidak disadari oleh perusahaan-perusahaan eksportir yang telah eksis sebelumnya, bakal mampu menjadi pesaing yang handal bagi usaha bisnis mereka. Dengan menggunakan keunggulannya dalam melakukan hegemoni secara ekonomi dan sosio-kultural entrepreneur lokal ini, bahkan mampu membangun usaha industri perikanan yang kokoh. Kasus Ponggawa Pengikut; Haji Mangkana Sang Fenomenal Haji Mangkana lahir pada 13 Nopember 1957, di tepi Danau Tempe, tepatnya di Desa Barua Laut, Kecamatan Tempe, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan. Ia terlahir dari sebuah keluarga sederhana yang jauh dari berkecukupan. Ayahnya, Haji Barake adalah seorang pelaut yang jarang pulang dan berkumpul dengan keluarga, tuntutan pekerjaan telah memaksanya untuk selalu siap berlayar meninggalkan keluarga. Sedangkan ibunya, Siti adalah seorang perempuan desa sederhana yang sangat penyabar dan menyayangi keluarganya. Dari hasil pernikahannya, mereka dikaruniai tiga orang anak; yang pertama Haji Mangkana (53 thn); kedua Haji Made (47 thn); dan ketiga Haji Rustam Kani (44 thn). Di akhir tahun 1960-an, keluarga sederhana ini harus mengalami cobaan berat, Haji Barake yang selama ini menjadi tulang punggung keluarga tidak pernah kembali ke rumah dan memberikan nafkah, ia dikabarkan telah menikah lagi di Jambi. Kehidupan prihatin dan sulit pun harus mereka jalani di kampung halaman yang tidak lagi bisa memberikan harapan, karena keterbelakangan dan kemiskinan yang dihadapi daerah tersebut. Himpitan ekonomi pula yang memaksa mereka tidak bisa menyelesaikan pendidikan dasar, karena harus ikut menopang beban ekonomi keluarga. Akibatnya Haji Mangkana hanya mampu mengenyam pendidikan hingga kelas tiga sekolah dasar, adik bungsunya Haji Rustam Kani hanya sampai kelas satu sekolah dasar, sementara Haji Made bahkan hingga saat ini masih buta huruf. Demikianlah, anak-anak kampung tersebut
tumbuh
dengan
segala
keterbatasannya.
Sampai
kemudian
mereka
vii
mendapatkan tawaran dari Haji Halim (saudara dari ibu yang telah menetap di Samarinda Seberang) untuk merantau ke Kalimantan Timur yang sedang mengalami masa banjirkap. Akumulasi permasalahan inilah yang kemudian menjadi alasan utama keluarga sederhana ini merantau meninggalkan kampung halaman mereka di awal 1970-an. Dan bagi Mangkana muda, peristiwa pahit yang dialami keluarganya ini telah melecut motivasinya untuk selalu bekerja keras dalam meningkatkan taraf kehidupan ekonomi keluarganya. Pekerjaan pertama yang dilakukan tiga bersaudara ini sesampainya di Samarinda Seberang adalah menjual air bersih (dipikul) pada pagi hari dari rumah ke rumah, siangnya mereka mencari kayu limbah yang hanyut di Sungai Mahakam untuk diolah menjadi kayu bakar, sedangkan menjadi pedagang rokok asongan/ jagung rebus mereka lakukan pada malam harinya. Rutinitas pekerjaan seperti itu terus berlanjut hingga akhir 1972, ketika Haji Halim memutuskan untuk hijrah ke Tanjung Barukang, Desa Sepatin. Di sini mereka membantu kegiatan Haji Halim, berkebun kelapa dan mencari ikan di muara sungai/ sepanjang pantai dengan perahu dayung. Haji Halim mendidik anak-anak dan ketiga anak angkatnya dengan “keras” dan penuh keprihatinan, mereka “diharuskan bekerja jika ingin makan dan baru dapat makan jika sudah bekerja”, meskipun terkadang hanya bisa makan satu kali sehari. Aktifitas tersebut mereka tekuni hingga 1980-an. Berkat dukungan ketiga anak angkatnya, pada 1978, Haji Halim bisa membeli sebidang tanah di Sungai Meriam yang hingga saat ini menjadi pos pembelian hasil perikanan utama dari perusahaan yang kelak mereka dirikan. Pos pembelian di pinggir Sungai Mahakam tersebut, menurut sejumlah informan kunci, memiliki nilai historis penting bagi Haji Mangkana, karena sejak peristiwa “tertabraknya pos pembelian tersebut oleh sebuah kapal Jepang pada pertengahan 1990-an, yang berujung pemberian sejumlah kompensasi, usaha Haji Mangkana mulai mengalami kemajuan yang sangat pesat”. Dalam kurun waktu 1973 – 1978 inilah, Haji Mangkana mendapatkan proses “penggemblengan mental”, sebagai enterpreneur yang disegani. Haji Mangkana sebagai anak tertua setidaknya terlibat dalam berbagai kegiatan usaha, mulai dari perdagangan hasil bumi (khususnya kacang kedelai) dari Mamuju ke Samarinda yang tidak berjalan mulus pada 1975, hingga mencoba memasarkan udang ebi ke Cirebon yang menangguk kerugian pada 1978. Berbagai pengalaman pahit yang berangkat dari sebuah tanggungjawab untuk memperbaiki nasib keluarga tersebut, dijadikannya sebagai pelajaran berharga. “Berbuat salah itu wajar, tak perlu gengsi untuk bertanya” katanya suatu ketika. Hal inilah yang membuat dirinya semakin kuat, tidak mudah menyerah dan berhenti bangkit dari keterpurukan. Pada tahun 1978 itu pula, Haji Mangkana mengakhiri masa lajangnya dengan menikahi Hajah Rusmini.
viii
Tahun 1982, merupakan tahun harapan, ketika mereka mampu membeli kapal tangkap trawl cukup besar yang tidak hanya dapat digunakan untuk menangkap ikan/ udang, namun juga bisa menjadi sarana (moda produksi) untuk menjadi pengumpul ikan/ udang. Dengan metode “jemput bola”, yaitu mengambil hasil tangkapan/ panen dari nelayan/ petambak dilokasi untuk dikumpulkan dan selanjutnya di jual pada perusahaan eksportir. Proses pengumpulan hasil tangkapan/ panen nelayan/petambak tersebut pada awalnya tidak dilakukan dengan pembayaran langsung ditempat, namun hanya berdasarkan kepercayaan dan kejujuran, karena baru dibayar tunai setelah hasil tangkapan/ panen yang berhasil dikumpulkan terbeli oleh pihak cold storage/ perusahaan eksportir. Keuntungan diperoleh pengumpul dengan mengambil sebagian kecil harga yang diberikan pihak pembeli. “Jangan pernah berjanji jika tak sanggup memenuhinya dan jika jujur tidak akan mati kelaparan”, petuah Haji Halim tersebut seolah menjadi penyemangat dalam mengembangkan kegiatan usaha yang baru mereka rintis tersebut. Sejak 1983 anak angkat tertua Haji Halim ini, telah mampu memposisikan dirinya sebagai “pengumpul” hasil perikanan yang cukup handal. Tanpa disadari Haji Mangkana telah meletakkan dasar dalam membangun jaringan hubungan produksi yang kelak sangat strategis dalam menopang pekembangan kegiatan bisnis perikanan yang mereka tekuni. Disamping hubungannya yang semakin intensif sebagai pemasok produk hasil perikanan (khususnya udang) bagi pihak perusahaan eksportir, Misaya Mitra. Begitu kuatnya pengaruh direktur Misaya Mitra saat itu terhadap perkembangan diri Haji Mangkana, kelak Haji Aminullah Said bahkan dianggap Haji Mangkana sebagai orang tuanya sendiri (tentunya selain Haji Halim). Haji Aminullah Said inilah yang banyak membimbing dan memberikan dukungan moral bagi Haji Mangkana untuk bisa menjadi seorang pengusaha profesional. Keberhasilannya sebagai pengumpul hasil perikanan tangkap, selanjutnya memicu dilakukannya aktifitas lain yang ikut menopang kegiatan usaha utamanya sebagai pengumpul. Atas berbagai pertimbangan Haji Halim yang anti meminjam modal pada orang lain dan selalu menganjurkan “jangan beli barang yang tidak untung”, mereka bersepakat untuk mengembangkan usaha perdagangan eceran kecil-kecilan, sebagai menjual bahan-bahan kebutuhan pokok, solar, udang ebi, kulit udang untuk pupuk, hingga jual-beli tanah. Baru pada 1985, Haji Mangkana mulai menaruh minat dalam pengembangan usaha perikanan budidaya (khususnya udang windu) dengan membangun tambak pertamanya di Tanjung Barukang. Terinspirasi keberhasilan saudara sepupunya, Haji Basri yang mampu memanen cukup banyak udang di tambak yang baru mereka bangun. Sejak itu, secara bertahap Haji Mangkana mulai mengembangkan petak-petak tambak dengan mengkonversi hutan mengrove yang dikuasainya secara manual
ix
(menggunakan tenaga buruh). Menariknya, setelah dilakukannya mekanisasi dalam pembangunan tambak pada 1990-an, Haji Mangkana tidak hanya mengembangkan petak-petak tambak untuk dirinya sendiri, namun juga membangun petak-petak tambak bagi keluarga dan koleganya, bahkan orang lain yang dipercayainya. Pengelolaan tambak-tambak tersebut menyerupai pola TIR (tambak inti rakyat), dimana Haji Mangkana (ponggawa) sebagai inti, tidak hanya memiliki tambak yang dikelola sendiri dengan mempekerjakan sejumlah penjaga empang, namun juga menyediakan sarana produksi berupa tambak dan modal kerja bagi para petambak (klien) yang akan menyerahkan sepenuhnya hasil panen pada ponggawa yang memodali. Terdapat beberapa mekanisme dalam pembangunan tambak yang biasanya dilakukan untuk seorang klien; pertama, seorang klien terima bersih sepetak tambak tanpa mengeluarkan biaya sedikitpun, ia bahkan mendapatkan uang pinjaman untuk memulai kegiatan usaha budidaya. Kedua, seorang klien pemilik sebidang tanah (lokasi) dibantu oleh ponggawa membangun tambaknya hingga “siap tanam” di tanah miliknya, plus biaya operasional; dan ketiga, seorang klien pemilik tambak yang meminta bantuan ponggawa
untuk
memperbaiki
tambak,
berikut
biaya
operasionalnya
hingga
berproduksi. Dari mekanisme yang ada, keseluruhannya berakhir pada penyerahan total hasil produksi tambak-tambak tersebut pada seorang ponggawa yang “memodali”, dengan memotong hasil panen hingga hutang kliennya lunas. Strategi inilah yang kelak sangat penting dalam mendukung keberlanjutan usahanya, karena ketersedian material raw yang tidak hanya dipasok dari hasil produksi tambak milik sendiri namun juga dari tambak-tambak milik jaringan klien. Pembangunan
tambak-tambak
yang
dilakukan
Haji
Mangkana
terus
berkembang seiring dengan semakin meningkatnya hasil produksi udang yang ia kumpulkan sebagai ponggawa. Potensi Haji Mangkana sebagai ponggawa, ternyata menarik minat Haji Muhiddin (seorang ponggawa Bugis yang berhasil menjadi ekportir udang lokal pertama di Kalimantan Timur) untuk mengajaknya bergabung mendirikan sebuah perusahaan industri perikanan berskala ekspor. Di dalam sejarah industri perikanan Kalimantan Timur, Haji Muhiddin bisa dikatakan sebagai seorang pioner yang mampu menembus hegemoni kegiatan industri perikanan ekspor yang selama ini dikuasai oleh pemodal nasional keturunan Tionghoa dan pemodal asing (Jepang, China-Hongkong dan Malaysia). Haji Muhiddin mampu mendirikan PT. Tunas Nelayan Mandiri pada 1990 di Tarakan, setelah bermitra dengan PT Malindo Kencana Utama, perusahaan industri perikanan ekspor asal Malaysia. Melihat begitu besarnya potensi perikanan pantai timur Kalimantan yang belum tergarap optimal dan berharap ingin menyatukan jaringan yang dimiliki beberapa orang ponggawa Bugis, untuk “mengimbangi” keberadaan perusahaan-perusahaan eksportir
x
perikanan non lokal, akhirnya pada 1992 atas inisiatif Haji Muhiddin, berdirilah PT. Aromah Nelayan Mandiri di Balikpapan. Aromah merupakan simbol konsolidasi ponggawa-ponggawa bugis yang berpengaruh di tempatnya masing-masing, sekaligus kependekan nama dari para pendiri perusahaan, yakni; 1) Haji Abu yang memiliki akses kuat di Muara Jawa, Samboja dan sekitarnya; 2) Haji Ronta yang memiliki akses kuat di Balikpapan hingga Paser; 3) Haji Mangkana yang memiliki akses kuat di Anggana, Muara Badak dan sekitarnya; serta 4) Haji Muhiddin yang memiliki akses kuat di Tarakan hingga Berau. Menurut sejumlah sumber, Haji Mangkana setidaknya menanam saham hingga dua puluh persen dari dua belas Milyar modal pendirian perusahaan, yang diangsur secara bertahap pada Haji Muhiddin yang ditunjuk sebagai direktur utama. Praktis pasca pendirian PT. Aromah Nelayan Mandiri, ia tidak hanya menjadi pemasok udang bagi PT. Misaya Mitra yang telah membesarkannya, namun juga pada perusahaan yang ia dirikan tersebut. Tragisnya, perusahaan yang mulai menggeliat menjadi perusahaan eksportir perikanan yang disegani di pantai timur Kalimantan ini, pada 1996 harus kehilangan inspirator yang memiliki ide-ide konstruktif dan ekspansif. Haji Muhiddin yang sedang melakukan negosiasi untuk melakukan pembelian sebagian saham perusahaan pertambakan udang terbesar di Indonesia Dipasena – Lampung, meninggal di Jakarta dalam usia 39 tahun. Pasca meninggalnya Haji Muhiddin, keberadaan PT. Aromah Nelayan Mandiri agak goyah, kondisi ini diikuti oleh hengkangnya Haji Mangkana akibat ketidakcocokan dengan pemilik yang lain. Sejak manajemen perusahaan diserahkan pada anak Haji Muhiddin, nilai produksi PT. Aromah Nelayan Mandiri cenderung semakin merosot, bahkan kini mulai “goyah”. Meskipun hanya sebentar terlibat dalam pengelolaan perusahaan besar secara profesional, bahkan mengalami kerugian finansial, Haji Mangkana mengaku mendapatkan pelajaran berharga dari “kegagalan” tersebut. Selain beberapa orang karabat dekat yang ia “susupkan” untuk bekerja, sekaligus melakukan transfer pengetahuan dari PT. Aromah Nelayan Mandiri. Berbekal pengalaman itulah Haji Mangkana mulai merintis pembangunan perusahaannya sendiri. Secara perlahan namun pasti, pasca boom harga udang tahun 1997/ 1998, ia telah berhasil menempatkan dirinya sebagai salah satu ponggawa yang paling berpengaruh di kawasan Delta Mahakam, sekelas dengan Haji Abu, Haji Maming dan Haji Onggeng. Keberhasilan itu mampu dicapainya, berkat kesabaran dalam menghadapi kegagalan dan belajar dari kegagalan tersebut. Bagi Haji Mangkana “bekerja itu berkeringat”, “bekerja adalah ibadah”, sehingga apapun hasilnya adalah pahala. Dengan keyakinan seperti itu, ia telah menempatkan dirinya dalam posisi tidak pernah merasa rugi dengan apa yang telah ia kerjakan meskipun hasilnya nihil, baginya hasil dari pekerjaan di dunia ini hanyalah bonus dari pahala di akhirat. Haji Mangkana
xi
mengibaratkan “bekerja seperti menjalankan sholat lima waktu, tujuannya hanya mengharapkan pahala dari Allah Ta‟Allah dan Allah Ta‟Allah akan memberikan „penghargaan‟ atas kerja keras yang kita lakukan, seperti halnya ibadah yang telah kita lakukan”. Konsepsi inilah yang kemudian melahirkan karakter pekerja keras yang pantang menyerah sekaligus iklas menerima apapun hasil dari jerih payahnya. Berbekal pengalaman dan keinginan kuat untuk mengembangkan bisnis yang mampu mengangkat harkat hidup keluarga, pada 1999/ 2000 Haji Mangkana berhasil mendirikan perusahaan yang diberi nama Syam Surya Mandiri. Dengan perspektif ingin “meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan komunitas perikanan, sehingga mampu menciptakan keunggulan dan kemandirian industri perikanan”, ia mulai merintis usaha profesionalnya. Dengan prinsip “bekerja baru berpikir” (dengan bekerja kita akan menemukan jawaban atas berbagai permasalahan yang kita pikirkan), Haji Mangkana mengawali usahanya dengan membangun pabrik es, hingga kemudian berkembang menjadi sebuah rencana besar, yaitu membangun cold storage. Prinsip tersebut seperti sebuah
ungkapan
Bugis,
“taroi
sia
massangka
wawa
telleppi
salomponna
nariattangngari” (muatilah hingga sarat sampai tenggelam gantungan kemudi, barulah dipikirkan). Sejak itu “cara pandang” bisnis usahanya pun mulai menerawang jauh ke depan, ia mulai menjajaki usaha kemitraan dengan beberapa perusahaan di Surabaya/ Gresik maupun di Makassar guna meningkatkan nilai tambah bagi produk udangnya. Hal ini dilakukan sebagai antisipasi atas peningkatan produksi udang miliknya, yang secara keseluruhannya tidak bisa ditampung Misaya Mitra. Untuk mensiasati kemampuannya yang masih minim dalam membangun sebuah perusahaan industri perikanan slaka besar, yang secara mandiri mampu melakukan aktifitas ekspor, Haji Mangkana kemudian menggandeng seorang pengusaha Taiwan untuk bekerjasama, sekaligus “mencuri” ilmu manajemen bisnisnya. Akhirnya pada 2002, mereka bersepakat membangun sebuah pabrik perikanan modern di Anggana, yang kemudian dikelola secara profesional oleh Golden Great Wall Indonesia yang berpusat di Gresik. Pabrik perikanan modern ini mulai berproduksi pada April 2003, dengan kesepakatan menggunakan nama dagang Syam Surya Mandiri, namun sebagian produksinya dilempar ke Surabaya/ Gresik sebelum di ekspor ke Jepang oleh Golden Great Wall Indonesia. Perusahaan ini mampu berkembang pesat, sehingga tidak hanya memiliki pangsa pasar di Jepang, namun juga mulai merambah Eropa hingga Canada. Menurut salah seorang informan kunci yang juga mantan karyawan Syam Surya Mandiri, tujuan utama kerjasama dengan Golden Great Wall Indonesia pada hakekatnya adalah transfer pengetahuan, sekaligus “menangkap” buyer.
xii
Manajeman Golden Great Wall Indonesia ternyata hanya mampu bertahan hingga 2005 di Anggana, setelah tidak terjadi kesepakatan pembagian keuntungan dengan pihak Syam Surya Mandiri, padahal rencana awalnya kerjasama akan dilakukan selama sepuluh tahun. Hengkangnya Golden Great Wall Indonesia, membuat Syam Surya Mandiri menjadi limbung, kondisi ini ditandai dengan semakin menurunnya nilai produk ekspor udang beku Syam Surya Mandiri pada rentang waktu 2006 – 2007. Kondisi ini disiasati Haji Mangkana dengan melakukan kunjungan muhibah ke Jepang, menjajaki pasar bagi ekspor udang beku produksinya. Meskipun tidak memiliki pengalaman ke luar negeri sebelumnya, bahkan menurut pengakuannya “berbahasa Indonesia saja kurang fashih, apalagi berbahasa Inggris atau Jepang”, ia tetap nekat berupaya mendapatkan buyer tetap di Jepang. Dengan dibantu seorang penerjemah sekaligus pelobi pengusaha Jepang, akhirnya upayanya membuahkan hasil, udang beku produksinya dapat diterima oleh salah satu importir udang beku di Jepang. Keberanian Haji Mangkana melakukan tindakan spekulatif tersebut, tentu dengan mempertimbangkan semua infrastruktur yang dimilikinya, karena elemen-elemen penting untuk menggerakan industri perikanan miliknya, berikut sumberdaya manusia yang terampil telah ia kuasai. Haji Mangkana berhasil “membujuk” beberapa staf kunci Golden Great Wall Indonesia yang sebagian besar berasal dari Jawa untuk bekerja padanya, ia bahkan menikahkan anak tertuanya dengan salah seorang diantara mereka. Berkat kemampuannya di dalam “mengelola tekanan permasalahan”, praktis sejak 2008 nilai ekspor udang beku Syam Surya Mandiri kembali mengalami peningkatan secara signifikan. Sejak saat itu Haji Mangkana telah memposisikan dirinya sebagai ponggawa terbesar di kawasan Delta mahakam, sekaligus eksportir udang beku yang patut diperhitungkan di pantai timur Kalimantan, jauh meninggalkan koleganya, seperti; Haji Abu, Haji Maming dan Haji Onggeng. Keinginan untuk selalu maju dengan menambah wawasan dan pengetahuan menjadikan ia seorang bijak tempat bertanya, sehingga sebagian orang yang mengenalnya, menganggap Haji Mangkana memiliki indra keenam atau kekuatan ghaib. Di dalam tradisi masyarakat Bugis, setiap orang yang dipandang dapat melaksanakan pemerintahan dan berkuasa adalah mereka yang menyimpan, menjaga, mengurus dan memegang gaukang dan kalompowang. Dia merupakan khalifah (wakil) gaukang dan atau kalompowang, yang karena itu sangat menentukan terpeliharanya harmoni keteraturan dalam kehidupan masyarakat. Istilah gaukang lebih menunjuk pada benda serta hasil perbuatan, sedangkan kata kalompowang lebih berhubungan dengan jabatan tertentu, dimana benda-benda tersebut dianggap menjadi penanda yang perlu bagi jabatan tersebut (Putra, 2007). Tidak mengherankan jika beredar spekulasi ditengah masyarakat yang menyebut
xiii
keberhasilan Haji Mangkana tidak bisa dipisahkan dari kekuatan ghaib/ kemampuan supranatural yang dimilikinya. Kemampuan tersebut semakin terpatri kuat dalam memori masyarakat setempat, ketika Haji Mangkana yang “buta aksara” mampu melakukan take over atas perusahaan perikanan multinasional (Misaya Mitra) pada 2008, yang selama ini menjadi pesaing, sekaligus mantan “induk semangnya”. Haji Mangkana pun, sebenarnya berkeinginan melakukan take over atas Samarinda Cendana Cold Storage yang juga mengalami kebangkrutan bersamaan dengan kolapsnya Misaya Mitra pada 2007/ 2008. Namun keinginan tersebut, urung dilakukan karena berbagai permasalahan internal Samarinda Cendana Cold Storage yang tidak mampu diatasi pemiliknya. Keberhasilan tersebut juga tidak bisa dilepaskan, dengan kemampuan Haji Mangkana dalam meyakinkan buyer-buyer besar di China, Singapura, Amerika Serikat dan Eropa, serta Jepang, khususnya NICHIREI (sebuah perusahaan importir udang beku terbesar di Jepang) untuk melakukan kerjasama jangka panjang atas pembelian udang beku produksinya. Tentunya disertai kesuksesan Haji Mangkana dalam mengembangkan manajeman dengan sistem terintegrasi, sehingga mutu produksinya tetap terjamin, sejak dari pembangunan tambak, pembibitan, pembudidayaan hingga pengolahan hasil dan penjualan. Terlepas dari itu semua, Haji Mangkana ternyata berhasil membangun kepercayaan di dalam perusahaan, ia mampu menanamkan nilai-nilai kebersamaan dan solidaritas
pada
seluruh
karyawan
dan
semua
orang
yang
kepentingannya
bersinggungan secara langsung maupun tidak langsung dengannya. Dengan mengusung slogan, “perusahaan ini adalah perusahaan anda, kemajuan perusahaan adalah kemajuan masyarakat”, ia ingin menumbuhkan loyalitas dan semangat saling menjaga didalam maupun diluar perusahaan. Komitmen tersebut ditindaklanjuti dengan menginvestasikan kembali hampir semua profit yang mampu diraupnya ke dalam kegiatan usaha di sektor riil, sehingga mampu memberikan pekerjaan pada banyak orang. Ia tidak tertarik sedikitpun untuk menginvestasikan uangnya dalam bentuk tabungan/ deposito dan barang bergerak ataupun tidak. Hal ini didasari oleh keyakinan mendalam, bahwa “harta adalah titipan yang bisa menjadi obat sekaligus racun, kita terlahir tanpa memiliki apapun dan ketika mati tidak akan membawa apapun”. Haji Mangkana begitu meresapinya, karena dalam sejarah hidupnya ia pun datang ke Kalimantan Timur hanya dengan “baju dibadan”.
Dari sinilah lahir niatan
mengembangkan usaha, “semakin banyak mulut yang mampu diberinya makan semakin baik bagi kualitas kehidupan rohaninya”. Meskipun holding company milik Haji Mangkana, Syam Surya Halim Grup (dinamai sesuai dengan nama orang tua angkatnya Haji Halim), saat ini telah
xiv
merambah kegiatan usaha lain, namun jalur bisnis utamanya tetap dipertahankan di sektor perikanan. Holding company tersebut, setidaknya membawahi Syam Surya Mandiri yang bergerak dibidang cold storage, pengolahan hasil perikanan dan pabrik es di Kampung Kajang; Syam Surya Mandiri II (ex. Misaya Mitra) yang bergerak dibidang pengolahan hasil perikanan dan pabrik es di Sungai Meriam; Syam Surya Pembelian yang kusus menangani pembelian udang segar di Sungai Meriam; perusahaan hatchery di Samboja; usaha pengelolaan tambak-tambak udang di kawasan Delta Mahakam; usaha air minum dan pendistribusiannya di Kutai Lama; pabrik es di Kariangau; outletoutlet Borneo Delight (produk udang olahan); usaha kolam pemancingan di Kampung Kajang; serta perusahaan suplyer kacang kedelai di Samarinda, dst. Usaha bisnis tersebut, belum termasuk kegiatan usaha joinventure yang dijalankan oleh saudara atau karabat Haji Mangkana, yang bergerak dipelbagai sektor. Selain juga membina banyak anggota keluarganya dalam mengembangkan usaha sebagai ponggawa. Tidak sedikit tawaran kerjasama yang pernah diterimanya dari para kolega, untuk mengembangkan usaha di sektor lain yang menjanjikan keuntungan berlipat, seperti kegiatan usaha pertambangan batubara, perkebunan kelapa sawit atau kontraktor fisik, namun ia tidak bergeming. Haji Mangkana menganggap “kehidupannya akan selalu berada di dalam kegiatan perikanan”, baginya “jika ditekuni dengan total, usaha apapun akan memberikan hasil optimal”. Haji Mangkana pun mengaku pernah diberikan tawaran oleh Fadel Muhammad (Gubernur Gorontalo saat itu), untuk menggarap area pertambakan yang telah disiapkan Pemda Gorontalo, berikut hatchery, pabrik es dan berbagai kemudahan lainnya, namun ia menolak tawaran menarik tersebut, karena ingin berkonsentrasi mengembangkan perusahaan miliknya. Dengan alasan yang sama, ia menolak tawaran kerjasama dari salah satu anak perusahaan Bosowa (milik Yusuf Kalla) yang sedang membangun perusahaan cold storage udang beku di Bulungan. Menurut informan kunci, lebih dari delapan puluh persen produksi tambak udang di kawasan Delta Mahakam diserap oleh Syam Surya Pembelian. Harga udang segar di Syam Surya Pembelian terkadang bisa jauh lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan eksportir lain di Balikpapan, padahal Haji Mangkana tidak hanya menggunakan material raw-nya bagi pabriknya sendiri, terkadang juga untuk dipasok pada perusahaan eksportir tersebut. Hal ini menunjukkan betapa kuatnya posisi perusahaan milik Haji Mangkana di pantai timur Kalimantan, sehingga mampu “mempermainkan” pasokan udang segar sekaligus harganya di tingkat eksportir. Begitu strategisnya posisi Syam Surya Pembelian, Haji Mangkana bahkan mengakui bahwa kegiatan usaha tradisionalnya di Syam Surya Pembelian lebih menguntungkan dibandingkan Syam Surya Mandiri yang modern. Artinya seandainya perusahaan Syam
xv
Surya Mandiri bangkrut pun, ia masih bisa survive hanya dengan mengandalkan Syam Surya Pembelian. Hal ini sekaligus menjelaskan, bahwa spekulasi Haji Mangkana membangun industri perikanan modern miliknya, ternyata juga dibarengi dengan memperhitungkan segala kemungkinan terburuk yang bakal terjadi seandainya rencana besar tersebut gagal. Di dalam sebuah acara “Pertemuan Saudagar Bugis – Makassar ke IV” di Makassar pada 16 September 2010, Haji Mangkana mengaku mampu mengekspor udang black tiger, black tin dan white hingga 200 Ton/ bulan, belum termasuk omset udang olahan yang juga diproduksi pabrik pengolahan hasil perikanan miliknya, serta beberapa usaha lain yang dimilikinya. Ia setidaknya mempekerjakan 1000 orang karyawan dan membina lebih dari 3000 orang petambak. Penghasilan kotornya diperkirakan mencapai USD Tiga Juta perbulan atau setara Dua Puluh Tujuh Milyar Rupiah perbulan (Fajar News, 17 Sepetember 2010). Meskipun demikian, Haji Rustam mengakui bahwa Syam Surya Mandiri masih memiliki pinjaman di sebuah bank BUMN senilai Enam Belas Milyar Rupiah, namun perusahaan yang dikelolanya adalah debitur “sehat” yang tidak pernah menunggak. Haji Mangkana bahkan, tetap menyalurkan dua setengah persen dari penghasilan bersihnya secara door to door pada mereka yang membutuhkan sesuai dengan ajaran Islam. Berbagai bantuan seringkali diberikan Haji Mangkana, tidak hanya pada orang-orang dilingkungan terdekatnya, namun juga pada mereka yang tidak dikenalnya. Menurut pengakuan Haji Rustam, proses penyalurannya terkadang juga terjadi secara tak terduga, “suatu ketika dalam sebuah perjalanan, Haji Mangkana bertemu seorang tua-papa yang taat beribadah, secara spontan ia menawarkan bantuan biaya menunaikan ibadah haji pada orang tersebut”. Berkat keberhasilan usahanya, Haji Mangkana mampu memberikan pendidikan terbaik bagi anak-anaknya, putri keduanya Siswati adalah jebolan S1 manajemen dari universitas terkemuka di Australia, sedangkan putra ketiganya Dedi Setiawan merupakan alumni S1 Sastra Inggris dari New Zealand, sementara putri keempat dan kelimanya, Nirmala Dewi dan Desi saat ini masih menempuh pendidikan di dua universitas terkemuka di Surabaya. Hanya putri pertamanya, Siti Wardhania yang saat ini memimpin Holding Company berpedidikan Sekolah Dasar. Menariknya alasan Haji Mangkana memberikan pendidikan yang terbaik bagi putra-putrinya karena “ia tidak akan mewariskan harta yang bisa habis kapan saja pada anak-anaknya, tapi memberikan pendidikan karena ilmu dapat menjadi bekal hidup yang tidak akan ada habisnya, bahkan setelah mati”. Alasan ini ternyata ikut mempengaruhi pola pikir adik Haji Mangkana yang lain, sebut saja Haji Made yang berhasil memasukkan dua orang anaknya di universitas terkemuka di Canada dan Australia.
xvi
Dengan segala kesuksesan yang berhasil direngkuhnya, Haji Mangkana tidak hanya bisa setiap saat menikmati materinya yang berlimpah, namun juga menerima kehormatan dan sanjungan dari masyarakatnya. Dikalangan migran Bugis setempat, Haji Mangkana mendapatkan “sapaan penghormatan” dengan sebutan Puang atau Puang Haji sebagai bentuk penghargaan atas kemampuannya. Apa yang telah terjadi pada diri Haji Mangkana telah membuktikan bahwa dewasa ini lapisan “penguasa baru” pada masyarakat Bugis tidak hanya dapat diisi oleh lapisan Anakarung saja, namun juga bisa diisi oleh orang-orang yang berasal dari lapisan rakyat kebanyakan (To Maradeka), yang telah menunjukkan prestasi sosial tertentu. Meskipun demikian Haji Mangkana tetaplah seorang sederhana dan rendah hati, yang pada saat nyorong tetap saja ikut mengangkat keranjang-keranjang berisi udang segar yang akan ditimbang di pos pembelian, Syam Surya Pembelian. Di waktu yang lain ia bisa datang sejak subuh ke Syam Surya Mandiri yang begitu megah, hanya untuk mencabuti rumput di depan pabrik pengolahan udang miliknya. Dalam kesehariannya, ia mencoba untuk tidak membuat
sekat
dengan
siapapun,
termasuk
karyawan
maupun
masyarakat
disekitarnya. Dengan sikap egaliternya, ia bahkan mengingatkan “jika kita memiliki pemimpin yang tidak pernah merasa puas dengan kehidupan duniawi yang ia miliki sebaiknya kita pergi meninggalkannya”.
III.
Lapisan Sosial Ponggawa Penerus Mereka menyandang predikat sebagai ponggawa karena faktor keturunan
ataupun pewarisan usaha. Golongan ponggawa penerus ini cenderung konsumtif dan pragmatis dalam mengelola bisnis yang diwariskan oleh orang tua mereka. Banyak diantara mereka yang tidak hanya menekuni usaha disektor perikanan, namun juga tertarik untuk menggeluti bisnis lain, seperti sebagai kontraktor, usaha pertambangan, perkebunan kelapa sawit serta perdagangan kebutuhan pokok. Meskipun demikian, tidak sedikit diantara mereka yang mengalami kebangkrutan dan beralih profesi di tempat lain, akibat kesalahan dalam mengelola keuangannya. Kasus Ponggawa Penerus; Haji Sukri Yang Pragmatis Haji Sukri di lahirkan pada tahun 1969 di Muara Kembang, ia merupakan generasi kedua petambak-ponggawa Bugis di kawasan Delta Mahakam. Ibunya bernama Hajah Siti Jaenab, seorang ibu rumah tangga biasa. Sedangkan ayahnya, Haji Makkah adalah seorang mantan gerilyawan kemerdekaan yang memutuskan bermigrasi dari tanah Bone ke Kalimantan Timur pada 1960-an. Pada awalnya Haji Makkah mencoba peruntungan dengan menjadi tengkulak kelapa yang dibawa dari Muara Kembang ke Samarinda – sampai kemudian mencoba mengembangkan usaha jasa angkutan laut ke Toli-Toli dan Tarakan. Namun usaha tersebut dirasanya kurang bisa
xvii
berkembang, hingga ia mulai “banting stir” menetap di Muara Jawa di awal 1970-an dengan menjadi seorang penjulu (pencari ikan). Hingga awal 1975-an, hasil tangkapannya hanya bisa ia jual dipasar lokal, bahkan kadang hanya bisa dibarter dengan singkong/ beras dan hasil pertanian lainnya. Tahun 1978 adalah saat pertama kali Haji Makkah mencoba membuka sepetak tambak di Handil VIII, saat itulah ia mulai bisa menjual udang tiger hasil panen tambaknya ke Misaya Mitra/ Cendana. Masa-masa sulit diawal pembukaan tambak baru, dilaluinya dengan bertahan hidup dari menjual hasil samping tambaknya saat nyorong, berupa udang bintik (yang saat itu belum memiliki nilai ekspor) dan berbagai jenis ikan lainnya. Dari hasil tambak itulah Haji Makkah mampu menyekolahkan anakanaknya, bahkan anak tertuanya Haji Sukri mampu mendapatkan gelar sarjana perikanan dari universitas Mulawarman Samarinda pada 1995. Tidak mau berpangkutangan melihat orang tuanya yang selalu “berkubang lumpur”, Haji Sukri pun memutuskan
kembali
ke
kampung
halamannya,
membantu
orang
tuanya
mengembangkan usaha pertambakan yang saat itu masih lesu. Berbekal pendidikan yang cukup baik, meski bermodal cekak dari orang tua, Haji Sukri kemudian memberanikan diri menekuni usaha sebagai pengumpul kepiting dan udang, pasca boom harga udang di tahun 1997/ 1998. Kegiatan usaha yang juga pernah ditekuni orang tuannya ini, berhasil menghantarkannya menjadi seorang ponggawa yang cukup sukses. Pada saat Haji Makkah meninggal di tahun 2006, ia setidaknya meninggalkan 60 Ha tambak yang cukup produktif, yang kemudian dikelola sesuai dengan pengetahuan Haji Sukri yang cukup mumpuni dibidang perikanan. Hasilnya, Haji Sukri berhasil meningkatkan hasil tambaknya, ia bahkan mampu mempekerjakan sekitar 50 orang penjaga empang dan 5 orang penyambang, serta beberapa orang yang membantunya di pos pembelian. Meskipun demikian, Haji Sukri mengakui bahwa sejarah hidup oang tuanya yang berliku dan penuh perjuangan, telah menjadi penuntun berharga dalam pengembangan usahanya, sehingga melahirkan prinsip usaha; “jeli melihat peluang, bekerja keras dan berani mengambil resiko”. Begitu kuatnya keinginan untuk mengoptimalkan produktifitas tambaknya, ia mengaku “bisa bekerja di dalam tambak dari pagi sampai sore tanpa makan sedikitpun”. Berkat kerja keras yang dilakukannya, saat ini Haji Sukri telah mampu mengembangkan hamparan tambaknya menjadi lebih dari 500 Ha. Di rumahnya yang megah di Handil VIII, bertengger sebuah mobil double cabin keluaran terbaru, sebuah excavator dan beberapa unit perahu motor, serta berbagai fasilitas pribadi yang serba canggih mulai dari hp 3G sampai laptop terbaru. Namun anehnya, tidak satupun peralatan yang serba mahal dan modern tersebut mampu ia kuasai/ pergunakan sendiri,
xviii
kecuali mengemudikan perahu motor. Ia pun mengaku memiliki sebuah rumah dan tanah pertanian yang cukup luas di tempat asal orang tuanya di Sulawesi Selatan, untuk investasi hari tua. Sementara investasi dalam bentuk lain yang mampu ia rengkuh ialah menghantarkan anak tertuanya memasuki perguruan tinggi negeri yang juga merupakan almamaternya. Harapannya, ketiga anaknya yang lain pun dapat mengikuti jejak kakaknya
mendapatkan
pendidikan
yang
memadai,
sehingga
salah
seorang
diantaranya kelak ada yang mampu meneruskan usaha pertambakan yang telah dibangunnya dengan lebih profesional. Ia pun memiliki lebih dari sepuluh anak angkat yang dipeliharanya hingga berumah tangga. Kesemuanya merupakan bagian dari peningkatan prestise dan statusnya di mata klien dan ponggawa lain. Setiap ponggawa cenderung menerapkan pola bagi hasil yang berbeda-beda dalam pengelolaan tambaknya, tergantung dari tingkat produktifitas tambak yang akan dikelola oleh seorang penjaga empang. Semakin produktif sebuah tambak maka semakin rendah pola bagi hasilnya, pola bagi hasil panen udang tiger dan udang bintik bisanya diberlakukan secara berbeda. Empang adalah istilah masyarakat lokal dalam menyebut sebuah petakan tambak. Penjaga empang adalah seorang yang bekerja sebagai pengelola dan penjaga tambak milik ponggawa atau petambak, tugasnya tidak hanya menjaga tambak dari “pencurian”, memanennya pada setiap periode nyorong dan panen raya, tapi juga memperhatikan kondisi udang agar tetap sehat, dengan selalu memperhatikan kualitas dan sirkulasi air tambak sehingga tetap fresh. Empang yang di jaga dan dikelola seorang penjaga empang biasanya bervariasi tergantung kemampuan yang berangkutan dan kepercayaan sang pemilik tambak, biasanya berkisar 2 – 20 Ha. Dulunya setiap penjaga empang yang dipekerjakan cenderung berasal dari keluaga/ kerabat yang dikenal dan dipercaya oleh pemilik tambak, banyak diantara mereka yang didatangkan langsung dari Sulawesi Selatan. Namun, seiring dengan semakin sulit dan mahalnya mendatangkan tenaga penjaga empang, saat ini banyak ponggawa maupun petambak yang lebih tertarik merekrut “pendatang baru” yang menawarkan tenaganya langsung pada mereka, karena tidak perlu menanggung biaya besar untuk mendatangkannya. Mereka, tidak hanya berasal dari Sulawesi Selatan, tapi juga dari Jawa Timur dan NTT. Sedangkan penyambang biasanya digaji dengan sistem fee. Penyambang adalah seseorang yang dipekerjakan oleh seorang ponggawa untuk melakukan operasi “jemput bola” ke lokasi-lokasi tambak yang sedang dipanen, ia tidak hanya bertugas membeli hasil panen petambak yang “terikat” pada ponggawa yang menggajinya, namun juga harus bisa membujuk dan meyakinkan petambak yang “tidak terikat/ bebas” untuk menjual hasil panen kepadanya. Dalam setiap operasinya, seorang ponggawa akan menyediakan prasarana penunjang berupa perahu motor berikut bahan bakarnya,
xix
seorang penyambang berhak mendapatkan fee dari selisih harga udang yang dibelinya, biasanya
berkisar
Rp.
1000/
Kg.
Dalam
banyak
kasus,
setiap
ponggawa
memperlakukan penyambangnya secara berbeda-beda, biasanya terkait dengan loyalitas dan hubungan kekerabatan. Semua produk udang yang berhasil dikumpulkannya sebagai seorang ponggawa, ternyata tidak selalu dijual pada satu perusahaan eksportir. Ini dilakukannya sebagai salah satu bentuk strategi untuk mendapatkan harga tertinggi. Bahkan, tidak menutup kemungkinan untuk menjualnya pada sesama ponggawa yang mampu memberinya harga tinggi. Dalam beberapa kesempatan, Haji Sukri juga melakukan transaksi penjualan produk udangnya pada pengumpul udang keturunan Tionghoa di Muara Jawa. Ia merasa nyaman bertransaksi dengan mereka, karena lebih profesional dan ada jaminan harga yang cukup adil, meskipun tanpa kompensasi bantuan apapun. Bagi pengumpul keturunan Tionghoa yang mulai melakukan ekspansi usaha di Muara Jawa pada 1990-an ini, yang terpenting adalah service yang memuaskan “ada barang ada uang, ada uang ada barang”. Meskipun memiliki karakter yang cukup progresif dan profesional dalam melakukan transaksi bisnis di sektor perikanan, sehingga bisa menjadi ancaman serius bagi eksistensi ponggawa Bugis. Namun para pengumpul keturunan Tionghoa ini, memiliki sebuah kelemahan yang sangat fundamental, yaitu tidak memiliki aset produksi (tambak) yang memadai untuk menjamin pasokan udang. Hal ini menjadi penjelas mengapa banyak pengumpul keturunan Tionghoa, meskipun telah memiliki coldstorage tapi tidak berani berspekulasi menjadi eksportir. Sikap independen yang ditunjukkan Haji Sukri diatas merupakan wujud komitmen pribadinya untuk “tidak berada di bawah bayang-bayang orang lain”. Ia pun mengakui, jika hasil produksi udangnya sering pula dijualnya pada perusahaanperusahaan eksportir (cold storage) dari dalam maupun luar Kalimantan Timur yang sedang menghadapi kesulitan memenuhi kuota ekspornya. Konsekuensi claim dan pinalti dari pihak buyer di luar negeri, karena tidak bisa memenuhi MoU, biasanya memaksa perusahaan eksportir tersebut (kadang melalui agen-agen brokers), berani membeli udang yang size-nya sesuai dengan kebutuhan mereka dengan harga mahal, meskipun dengan cara “terselubung”. Strategi lain untuk meningkatkan kuantitas produksi adalah dengan tidak menjual langsung udang yang baru dipanen, setidaknya udang tersebut dimasukkan dulu ke dalam cool box berisi balok es selama dua hari, sehingga beratnya bertambah sekitar 10 persen, baru kemudian dipasok pada perusahaan eksportir. Atau dengan mengoplos size udang, dimana udang berukuran kecil dicampur dengan udang berukuran lebih besar yang memiliki harga lebih tinggi.
xx
Hal lain yang pernah dilakukan secara kolektif oleh para ponggawa untuk meningkatkan posisi tawar mereka, adalah dengan melakukan aksi boikot terhadap perusahaan eksportir yang melanggar “aturan main”. Manggar Bina Persada, merupakan salah satu perusahaan eksportir yang menjadi korban aksi tersebut. Perusahaan PMDN milik seorang keturunan Tionghoa ini, terpaksa “gulung tikar” karena di blokade oleh para ponggawa, dengan cara tidak memberikan suplai udang, setelah diketahui melakukan “transaksi ilegal” membeli udang secara langsung dari para petambak melalui penyambang-penyambang yang mereka sebar di lapangan. Hampir dua tahun terakhir, Haji Sukri mengaku mulai vakum menjadi pengumpul hasil tambak, sehingga pos pembeliannya pun hanya menjadi tempat mengumpulkan hasil panen tambak miliknya sendiri. Meskipun demikian, setidaknya setiap periode nyorong, ia masih bisa mengumpulkan sekitar 200 – 300 Kg udang tiger dan bintik, padahal pada tahun-tahun sebelumnya, Haji Sukri bisa mengumpulkan 2 Ton udang tiger dan bintik setiap nyorong, hanya dari 300 Ha tambak produktif miliknya. Itu artinya, dengan menelantarkan tambak produktif miliknya ia telah melewatkan begitu saja penghasilan sekitar Rp. 50 – 100 Juta/ nyorong. Kondisi ini diakui Haji Sukri, sebagai akibat dari kegagalannya membangun 200 Ha tambak “sistem bagi empang” di daerah Penajam Pasir Utara, akibat konflik kepemilikan yang berujung kehancuran dua excavator miliknya. Selain itu, ia juga merasa kesulitan mengontrol tambak-tambak yang dimilikinya, sehingga banyak penjaga empang miliknya yang berlaku semaunya sendiri dan tidak jujur, dengan menjual hasil panennya pada ponggawa lain yang memberikan harga lebih menguntungkan, atau tidak menjual/ melaporkan hasil panen sebagaimana mestinya. Sementara manajemen usahanya yang masih bersifat kekeluargaan, ia serahkan sepenuhnya pada beberapa “anggota” yang ternyata belum mampu mengembangkan manajemen yang lebih profesional. Tekanan menjadi ponggawa juga dirasakan Haji Sukri dalam hubungan hutangpiutang dengan para kliennya, akibat tidak adanya batasan waktu pengembalian hutang, sehingga nilai “uang lepas” tersebut, menjadi rendah (apalagi jika menggunakan hitungan bunga bank) dan tidak dapat digunakan seketika dibutuhkan. Sementara untuk bisa terus eksis menjadi ponggawa, mereka harus selalu siap menyalurkan sejumlah “uang lepas” ketika klien membutuhkan bantuan. Belum lagi bantuan sosial yang sifatnya insidentil, seperti; bantuan pada klien yang mendapatkan musibah ataupun yang sedang melakukan hajatan. Meskipun bantuan yang diberikan para ponggawa tersebut, sebenarnya juga berasal dari perputaran uang hasil keuntungan pembelian hasil tambak milik para petambak yang menjadi kliennya tersebut. Ditaksir keuntungan yang diperoleh ponggawa sebagai mediator dalam proses transaksi penjualan dari petambak pada pihak eksportir adalah sekitar 25 persen dari nilai pembelian.
xxi
Keuntungan tidak langsung lainnya ialah, proteksi harga dari pihak eksportir resmi yang memberikan harga lebih rendah pada petambak yang melakukan penjualan secara perorangan. Selisih harganya bisa mencapai Rp. 500 – 1000/ Kg, sehingga harga udang jauh lebih tinggi jika dijual melalui ponggawa. Meski sangat menguntungkan, seorang ponggawa juga memiliki resiko atas; 1) kerusakan udang dalam perjalanan karena kurangnya pasokan balok es/ kerusakan mesin perahu; dan 2) harga udang dari pihak eksportir yang dapat berubah setiap saat. Karenanya teknik pengawetan dan pengangkutan menjadi prioritas utama, disamping mensiasati penyerahan nota pembelian berikut pembayaran tunainya setelah udang terjual pada pihak eksportir. Sementara disisi lain, berbagai bidang usaha dirasakannya begitu menggiurkan, untuk diterjuni, sehingga mulai menarik minatnya untuk beralih perofesi, dengan perhitungan
mendapatkan
keuntungan
berlipat
dibandingkan
usaha
budidaya
perikanan. Karenanya paska kevakumannya menjadi ponggawa, Haji Sukri mulai menjajaki
pengembangan
menjanjikan,
diantaranya;
berbagai usaha
kegiatan
usaha
penggemukan
yang
kambing
menurutnya dan
kepiting,
cukup serta
membangun sebuah perusahaan kontraktor yang dinamainya PT. Idi Sipatuo. Perusahaan ini bergerak dibidang kontruksi dan pengadaan umum, yang meliputi; pekerjaan pengupasan dan persiapan lahan, irigasi dan perawatan, pembangunan gedung dan perumahan, serta pembangunan jalan. Ekstensifikasi usaha ke bidang lain ini dilakukannya, sebagai bentuk antisipasi atas semakin merosotnya hasil produksi budidaya tambak miliknya. Namun demikian, Haji Sukri percaya jika “kegiatan usaha budidaya udang di tambak, memiliki siklus kehidupan seperti layaknya mahluk yang memiliki nyawa; ada masa kelahiran – masa pertumbuhan – masa produksi – masa tua/ kematian – kembali lagi pada masa kelahiran, begitu seterusnya”. Saat ini tambak-tambaknya sedang memasuki masa tua, tapi ia yakin bahwa suatu ketika usaha budidaya tambaknya akan kembali berproduksi optimal lagi seperti dulu, karenanya ia tidak akan meninggalkan kegiatan usaha yang telah “membesarkannya” tersebut. Itu artinya, berbagai kegiatan usaha lain yang sedang dirintisnya pun menghadapi tantangan yang sama, yakni pragmatisme usaha yang membuat Haji Sukri tidak mungkin fokus hanya pada satu bidang usaha yang digelutinya. Kondisi inilah yang diakui Haji Sukri menjadi salah satu penyebab kegagalan pengembangan tambak “sistem bagi lahan” di Penajam Pasir Utara. Meski demikian ia tetap tegar dengan pendiriannya, “jika usaha sampingan tersebut berhasil, maka keuntungan berlipat akan ia dapatkan, namun jika gagal, ia masih bisa tetap bertahan sebagai petambak dengan aset tambak yang jumlahnya tidak berkurang sedikitpun”.
xxii
Berkat keuletan dan motivasi untuk tidak pernah menyerah pada kegagalan, menjadikan PT. Idi Sipatuo miliknya, di tahun 2009 telah mengantongi sertifikat dari Balai Pembenihan Tanaman Hutan di Banjarbaru, sebagai salah satu perusahaan di Kalimantan yang memiliki kualifikasi sebagai pemasok sumber benih mangrove yang, dengan total produksi mencapai 2.750.000 benih/ tahun. Saat ini perusaahaan ini pun sedang menjajaki kemungkinan mendapatkan tender senilai 15 Milyar dari PT. Total FinaElf untuk kegiatan penanaman mangrove di kawasan Delta Mahakam. Melalui “Silvofishery
Rintisan”
kelompok
tambak
yang
dibentuknya,
Haji
Sukri
juga
mentargetkan mendapatkan sertifikasi karbon (4 Ton O²/ Tahun/ Ha tanaman mangrove di dalam tambak), dari Masyarakat Ekonomi Eropa, dengan harapan udang-udang produksi tambaknya dapat langsung diekspor ke Eropa.