ANALISIS VEGETASI KAWASAN HUTAN MANGROVE DI TELUK PANGEMPANG KECAMATAN MUARA BADAK KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA Imanuddin1 dan B.D.A.S. Simarangkir2 1
2
Program Studi Ilmu Kelautan Stiper, Sangatta. Laboratorium Silvikultur Fahutan Unmul, Samarinda
ABSTRACT. The research was conducted in September until December 2010 at Teluk Pangempang coastal of Muara Badak District of Kutai Kartanegara Regency. This study aimed to obtain the description of mangrove forest condition, composition, structure, stands potential and natural regeneration potential at Teluk Pangempang coastal. Quadrant/plot and transect sampling were applied as the survey method in this research. The analysis was qualitative and quantitative description that presented in tables and graphs. The results described that the mangrove community in the research location were composed by species of Avicennia alba, Rhizophora apiculata, Sonneratia alba, Bruguiera cylindrica, Ceriops tagal and Nypa fruticans. At this location was dominated by the mature trees, while the potential volume was dominated by S. alba. The mangrove vegetation was dominated by R. apiculata. The high rate of dominance ratio of the R. apiculata of seedling phase indicated that this species depended on the mother trees development. Kata kunci: analisis vegetasi, mangrove, Teluk Pangempang
Kalimantan Timur dengan panjang garis pantai kurang lebih 81.000 km memiliki hutan mangrove kurang lebih 950.000 ha atau 21,9% dari luas mangrove Indonesia dan merupakan wilayah pesisir yang subur serta potensial dimanfaatkan bagi banyak kepentingan, baik di bidang kehutanan, perikanan, pertambakan dan lainnya (Anonim, 2011). Luas hutan mangrove di Kaltim mencapai 883,379 ha. Dari luas itu, sejumlah 685,277 ha mengalami kerusakan, dengan rincian 329,579 ha rusak berat dan 328,695 ha rusak sedang. Sementara mangrove dengan kondisi baik hanya sekitar 225.105 ha atau hanya terdapat 25,48% yang masih terjaga kelestariannya, sementara hampir 75% rusak yang sebagian besar akibat ulah manusia. Khusus di Delta Mahakam diperkirakan terdapat hutan mangrove seluas 150.000 ha dari total luas hutan mangrove di Kaltim (Anonim, 2011). Ekosistem hutan mangrove di Delta Mahakam dikenal sebagai salah satu ekosistem penting dalam satu siklus kehidupan bagi manusia dan lingkungannya. Kerusakan maupun degradasi mangrove yang terjadi di Delta Mahakam di antaranya disebabkan pembangunan jalan pipa oleh perusahaan minyak dan untuk pembuatan tambak udang serta eksploitasi kayu untuk berbagai kepentingan (Anonim, 2011). Kawasan Muara Badak terutama di kawasan Teluk Pangempang tepatnya di Dusun Pantai Mutiara Indah, Kecamatan Tanjung Limau merupakan salah satu kawasan yang banyak ditumbuhi hutan mangrove. Di kawasan ini belum diketahui jenis-jenis apa saja yang tumbuh menyebar di sepanjang teluk, karena belum adanya 15
16
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 5 (1), APRIL 2012
penelitian-penelitian tentang vegetasi di kawasan ini. Seperti juga mangrove di tempat lain, keberadaan hutan mangrove di daerah ini juga terancam oleh bertambahnya penduduk yang membutuhkan lahan dan sumberdaya alam. Berdasarkan alasan tersebut di atas, maka peneliti mencoba mengadakan penelitian mengenai keanekaragaman jenis vegetasi di kawasan tersebut, baik komposisi, struktur, potensi tegakan berupa kerapatan, frekuensi, dominasi, luas bidang dasar, nilai penting jenis, indeks keanekaragaman jenis, kemerataan, kekayaan jenis, volume serta permudaan alamnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran tentang keanekaragaman jenis vegetasi hutan mangrove di Teluk Pangempang; mendapatkan komposisi dan struktur, potensi tegakan berupa kerapatan, frekuensi, dominasi, luas bidang dasar, nilai penting jenis, indeks keanekaragaman jenis, kemerataan, kekayaan jenis, volume, serta permudaan alamnya. METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di kawasan Teluk Pangempang Kecamatan Muara Badak, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, tepatnya di Dusun Pantai Mutiara Indah. Kawasan ini terletak di muara Teluk Pangempang berjarak satu kilometer dari pemukiman penduduk dan hanya bisa ditempuh dengan angkutan kapal motor sekitar 10 menit dari pelabuhan. Waktu yang diperlukan dalam penelitian ini adalah 4 bulan efektif sejak bulan September sampai Desember 2010. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode analisis deskripsi kuantitatif dan kualitatif. Dilakukan dalam tiga tahap penelitian yaitu: penelitian lapangan, pustaka dan analisis data. Analisis data secara deskripsi kualitatif yaitu penjelasan dari data-data yang bersifat kuantitatif dalam bentuk tabel dan grafik. Analisis data vegetasi yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis untuk mengetahui Nilai Penting Jenis (NPJ), Indeks Keanekaragaman Jenis, Indeks Kemerataan dan Indeks Kekayaan Jenis. Nilai Penting Jenis diperoleh dari hasil penjumlahan antara Kerapatan Relatif (KR%), Frekuensi Relatif (FR%) dan Dominasi Relatif (DR%) dari masing-masing jenis yang berkisar antara 0 sampai 300%. Perhitungan ini dilakukan dengan rumus yang dikemukakan oleh Mueller-Dombois dan Ellenberg (1974) yang dikutip Bratawinata (1998). Kemudian untuk mengetahui nilai dominasi vegetasi kecil (semai) atau SDRn (Summed of Dominance Ratio/Nilai Dominasi Vegetasi Kecil) diperoleh dengan menggunakan rumus Numata dkk. (1958) dalam Bratawinata (1998). HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Menurut Rudy (2009), monografi Kelurahan Tanjung Limau Kecamatan Muara Badak tahun 2010 menerangkan bahwa Dusun Pulau Indah Teluk Pangempang merupakan salah satu pemukiman pesisir yang barada di Kalimantan Timur dengan
Imanudddin dan Simarangkir (2012). Analisis Vegetasi Kawasan Hutan Mangrove
17
luas daratan ±8,4 km2 dan luas perairan ±30 km2. Kawasan Teluk Pangempang terletak antara 00o13’34,5” LS dan 117o25’25,7” BT. Secara administratif Teluk Pangempang termasuk Desa Tanjung Limau yang terletak di Kelurahan Tanjung Limau Kecamatan Muara Badak Kabupaten Kutai Kartanegara dan secara astronomi terletak antara 0o13’30,11’’ LS dan 117o25’18,0” BT. Secara geografis Teluk Pangempang memiliki batas-batas sebagai berikut, sebelah utara berbatasan dengan Desa Citra, sebelah timur berbatasan dengan Selat Makassar, sebelah selatan berbatasan dengan Sambera dan sebelah barat berbatasan dengan desa (Rudy, 2009). Kelurahan Tanjung Limau mempunyai beberapa sumberdaya alam yang sangat potensial antara lain ekosistem mangrove yang tumbuh hampir merata di sepanjang garis pantai (share line) dan memberikan manfaat yang sangat berguna bagi lingkungan sekitarnya. Komposisi Jenis Dari hasil penelitian vegetasi mangrove di lokasi penelitian pada daerah kawasan Teluk Pangempang terdapat 6 jenis, meliputi Avicennia alba, Rhizophora apiculata, Sonneratia alba, Bruguiera cylindrica, Ceriops tagal dan Nypa fruticans. Pada Tabel 1 ditampilkan data komposisi vegetasi mangrove dari tingkat semai, pancang dan pohon di lokasi penelitian sebagai berikut. Tabel 1. Komposisi Vegetasi Mangrove Tingkat Semai Sampai Pohon Spesies Avicennia alba Rhizophora apiculata Sonneratia alba Bruguiera cylindrica Ceriops tagal Nypa fruticans Jumlah
Zona 1 (batang/ha) 96 59 42 17 214
Zona 2 (batang/ha) 56 95 33 14 16 214
Zona 3 (batang/ha) 19 47 32 37 16 151
Keseluruhan (batang/ha) 174 201 107 51 33 16 582
Pada Tabel 1 tampak bahwa jenis A. alba, R. apiculata, S. alba hadir di setiap zona penelitian, sedangkan jenis lain tumbuh sesuai dengan karakteristik tempat tumbuh jenis itu sendiri. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi masing-masing lokasi penelitian berbeda dan memiliki beberapa keragaman jenis vegetasi mangrove yang tinggi. Pada zona 1 yang merupakan daerah depan yang dekat dengan laut ditumbuhi oleh jenis A. alba, R. apiculata, S. alba dan C. tagal, sedangkan pada zona 2 lokasi penelitian yang merupakan daerah tengah ditumbuhi oleh jenis A. alba, R. apiculata, S. alba, C. tagal dan B. cylindrica. Sementara itu pada zona 3 yang merupakan daerah dekat dengan pertemuan air tawar dan laut atau estuaria ditumbuhi oleh jenis A. alba, R. apiculata, S. alba, B. cylindrica dan N. fruticans. Tipe mangrove yang ideal menurut Bengen (2001) pada daerah yang paling dekat dengan laut sering ditumbuhi oleh Avicennia spp. dan berasosiasi dengan
18
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 5 (1), APRIL 2012
Sonneratia spp dengan tipe tanah berpasir atau bercampur lumpur. Pada daerah pertengahan didominasi oleh jenis Rhizophora spp. juga ada jenis Bruguiera spp. dan Xylocarpus spp. Selanjutnya pada tapak transisi mangrove dengan hutan dataran rendah dihuni oleh jenis Nypa spp. Pada jenis A. alba, R. apiculata, S. alba selalu hadir pada seluruh titik lokasi penelitian yang berarti memiliki penyebaran yang banyak dan merata. Pada zona 1 lokasi penelitian jenis A. alba lebih mendominasi pertumbuhan, hal ini sesuai karena daerah ini berada di dekat laut dan bersalinitas tinggi, kemudian berturut-turut diikuti oleh R. apiculata, S. alba dan C. tagal. Menurut Irwanto (2006), formasi hutan mangrove yang terbentuk di kawasan mangrove biasanya didahului oleh jenis pohon pedada (Sonneratia spp.) dan api-api (Avicennia spp.) sebagai pionir yang memagari daratan dari kondisi laut dan angin. Jenis-jenis ini mampu hidup di tempat yang biasa terendam air waktu pasang karena mempunyai akar nafas. Pada zona 2 lokasi penelitian yang merupakan daerah tengah antara tepi pantai dan daerah estuari yang memiliki substrat berupa lempung dengan fraksi tekstur yaitu liat berdebu didominasi oleh jenis R. apiculata. Pada zona 2 ini juga ditemukan jenis A. alba, S. alba, B. cylindrica serta C. tagal. Pada zona 3 lokasi penelitian yang merupakan daerah belakang masih ditumbuhi oleh jenis A. alba, R. apiculata, S. alba dan B. cylindrica, tapi pada zona ini terdapat penambahan jenis yaitu N. fruticans. Dari hasil penelitian secara keseluruhan dapat dilihat bahwa pada seluruh lokasi yang menjadi titik pengambilan sampel pada kawasan Teluk Pangempang didominasi oleh jenis Rhizophora apiculata, Avicennia alba, Sonneratia alba, Bruguiera cylindrica, Ceriops tagal dan Nypa fruticans. Kerapatan Individu, Luas Bidang Dasar (LBD) dan Nilai Penting Jenis (NPJ) Tingkat Pohon Seluruh Zona Penelitian Pada keseluruhan lokasi untuk tingkat pohon ditemukan bahwa jenis R. apiculata memiliki NPJ sebesar 75,11%, disusul jenis A. alba 63,33%, S. alba 60,56%, B. cylindrica 48,13%, N. fruticans 30,61% dan C. tagal 22,26% (Tabel 2). Tabel 2. Kerapatan Individu, Luas Bidang Dasar dan NPJ (%) Tingkat Pohon di Seluruh Zona Penelitian Jenis Rhizophora apiculata Avicennia alba Sonneratia alba Bruguiera cylindrica Nypa fruticans Ceriops tagal
Kerapatan (batang/ha) 358,33 233,33 161,11 97,22 30,56 52,78
% kerapatan 38 25 17 11 6 3
LBD (m2/ha) 2,15 2,09 1,64 1,58 0,47 0,35
NPJ (%) 75,11 63,33 60,56 48,13 30,61 22,26
Pada Tabel 2 juga dapat dilihat bahwa tingkat pohon jenis R. apiculata sebesar 38% mendominasi jumlah individu dari ke-6 jenis yang hadir di kawasan Teluk Pangempang, karena jenis ini selalu hadir pada tiap plot di 3 zona penelitian,
Imanuddin dan Simarangkir (2012). Analisis Vegetasi Kawasan Hutan Mangrove
19
kemudian disusul A. alba 25% dan S. alba sebanyak 17%, yang mana kedua jenis terakhir ini juga hampir selalu hadir di tiap zona penelitian. B. cylindrica, C. tagal dan jenis N. fruticans pada daerah lokasi penelitian kurang mendominasi, hal ini disebabkan karena ketiga jenis ini tumbuh tidak merata, misal jenis N. fruticans hanya memiliki 3% tingkat kerapatan individu dibanding jenis lain, karena Nypa fruticans hanya berada di salah satu plot pengambilan sampel pada zona 3 zona penelitian. Pada tingkat pancang R. apiculata mendominasi seluruh zona penelitian dengan nilai Summed of Dominance Ratio (SDR3) sebesar 96,84%, diikuti oleh jenis A. alba dengan SDR3 sebesar 86,67%. Jenis S. alba, B. cylindrica, C. tagal serta N. fruticans menyusul secara berurutan (Tabel 3). Tabel 3. Kerapatan Individu dan Summed of Dominance Ratio (SDR3) Tingkat Pancang pada Seluruh Zona Penelitian Jenis Rhizophora apiculata Avicennia alba Sonneratia alba Bruguiera cylindrica Ceriops tagal Nypa fruticans
Kerapatan (batang/ha) 125,00 102,78 75,00 25,00 22,22 11,11
% kerapatan 35 28 21 7 6 3
SDR3 (%) 96,84 86,67 74,50 48,37 44,84 33,38
Pada tingkat pancang, jenis R. apiculata mendominasi kawasan mangrove di Teluk Pangempang karena jenis ini selalu hadir di semua zona, yang mana tingkat kerapatannya mencapai 35% dari seluruh jumlah individu ke-6 jenis mangrove yang ada di Teluk Pangempang atau sebesar 125 batang/ha. Jenis A. alba dan S. alba juga mendominasi semua zona penelitian di Teluk Pangempang yaitu sebesar 102,78 batang/ha atau sekitar 28% dan 75 batang/ha atau 21% dari seluruh individu tingkat pancang, sedangkan jenis B. cylindrica, C. tagal dan N. fruticans memiliki kerapatan yang rendah, karena ketiga jenis ini tumbuh tidak pada semua lokasi yang diteliti. Tingkat semai jenis A. alba mendominasi seluruh lokasi penelitian, dengan nilai SDR3 sebesar 92,51%, diikuti oleh R. apiculata dengan SDR3 sebesar 90,84%. Jenis Sonneratia, Bruguiera, Ceriops dan N. fruticans menyusul secara berurutan (Tabel 4). Tabel 4. Kerapatan Individu dan Summed of Dominance Ratio (SDR3) Tingkat Semai pada Seluruh Zona Penelitian Jenis Avicennia alba Rhizophora apiculata Sonneratia alba Bruguiera cylindrica Ceriops tagal Nypa fruticans
Kerapatan (batang/ha) 138,89 102,78 61,11 19,44 16,67 2,78
% kerapatan 40 30 18 6 5 1
SDR3 (%) 92,51 90,84 77,63 48,19 36,32 36,79
20
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 5 (1), APRIL 2012
Tingkat semai di seluruh zona penelitian didominasi oleh jenis A. alba sebesar 138,89 batang/ha (40%) dari seluruh jumlah semai yang hadir pada ke-3 zona. Hal ini disebabkan karena tingkat pohon dari jenis ini juga sebagian besar mendominasi semua zona. Maka bisa dipastikan semakin banyak pohon dari jenis tertentu maka tingkat semai yang hadir juga semakin banyak. Sama juga halnya dengan jenis R. apiculata yang pada tingkat semai turut mendominasi semua zona penelitian. Jenis ini memiliki tingkat kerapatan sebesar 102,78 batang/ha (30%) dari seluruh jumlah semai yang hadir di kawasan mangrove Teluk Pangempang, kemudian disusul oleh jenis S. alba, B. cylindrica, C. tagal dan jenis N. fruticans. Nugraheni (2002) menyatakan, bahwa NPJ menunjukkan besarnya peranan dari jenis tersebut dalam suatu kawasan hutan serta menggambarkan nilai sosiologis paling tinggi dan menunjukkan tingkat kekuasaan dalam komunitasnya yang paling besar atau disebut dominan. Sehubungan dengan jenis R. apiculata yang dominan menunjukkan bahwa semakin besar jumlah individu pohon suatu jenis tertentu maka akan diikuti oleh semai dengan jenis yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa hutan mangrove bergantung pada pohon induk untuk regenerasi. Jenis pohon lebih mendominasi daripada jenis pancang dan semai. Keadaan ini dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain pasang air laut yang terjadi 1-2 kali sehari, salinitas yang tinggi dan hempasan ombak. Hal yang sama dijelaskan oleh Arief (2003) bahwa terjadinya pasang surut yang tinggi menyebabkan banyak buah yang telah jatuh terbawa arus laut sehingga kerapatan pohon rendah, selain itu terjadinya pembasahan dan pengeringan tanah menjadikan sifat mekanis tanah berpengaruh buruk terhadap perakaran pohon serta mengganggu pertukaran gas atau udara dalam tanah. Indeks Keanekaragaman, Kekayaan Dan Kemerataan Jenis Menurut Indriyanto (2005), keanekaragaman spesies merupakan ciri tingkatan komunitas berdasarkan organisasi biologinya. Indeks keanekaragaman jenis dapat digunakan untuk menyatakan struktur komunitas, juga dapat digunakan untuk mengukur stabilitas komunitas, yaitu kemampuan suatu komunitas untuk menjaga dirinya tetap stabil meskipun ada gangguan terhadap komponen-komponennya. Suatu komunitas dikatakan memiliki keanekaragaman spesies yang tinggi jika komunitas itu disusun oleh banyak spesies. Menurut Shannon-Wiener (1963) yang dikutip Harjadi dan Hermawan (2010), indeks keanekaragaman dibagi dalam 3 klasifikasi yaitu jika >3 maka keanekaragaman tinggi, jumlah individu tiap spesies tinggi dan kestabilan komunitas tinggi, jika indeks keanekaragaman 1-3 maka keanekaragaman sedang, jumlah individu tiap spesies sedang dan kstabilan tiap komunitas sedang dan jika <1 maka indeks keanekaragaman rendah, jumlah individu tiap spesies rendah dan kstabilan tiap komunitas rendah. Keanekaragaman jenis ini dapat ditentukan oleh adanya kekayaan jenis, yaitu jumlah jenis yang hadir dan jumlah individu seluruhnya, juga dapat ditentukan dengan kemerataan yang merupakan distribusi individu-individu yang merata di antara jenis-jenis yang ada dalam plot penelitian.
Imanuddin dan Simarangkir (2012). Analisis Vegetasi Kawasan Hutan Mangrove
21
Hasil analisis terhadap indeks keanekaragaman jenis, kekayaan jenis serta kemerataan jenis dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Jumlah Individu, Indeks Keanekaragaman (H’), Kekayaan (R) dan Kemerataan Jenis (e) No 1 2 3 4 5 6
Spesies Avicennia alba Rhizophora apiculata Sonneratia alba Bruguiera cylindrica Ceriops tagal Nypa fruticans Jumlah individu Indeks keanekaragaman (H')% Indeks kemerataan (e)% Kekayaan jenis (R)%
Pohon 84 129 58 35 19 11 336 1,53 1,97 0,86
Pancang 37 45 27 9 8 4 130 1,51 1,94 1,03
Semai 50 37 22 7 6 1 123 1,38 1,77 1,04
Indeks keanekaragaman jenis vegetasi mangrove berkisar antara 1,381,53%, yang mana nilai terendah adalah tingkat semai yaitu 1,53% sedangkan yang tertinggi adalah tingkat pohon dengan nilai 1,53% disusul tingkat pancang sebesar 1,51%. Indeks kemerataan jenis tingkat pohon adalah sebesar 1,97%, tingkat pancang 1,94% dan pada tingkat semai sebesar 1,77%. Indeks kekayaan jenis tingkat pohon sebesar 0,86%, tingkat pancang 1,03% dan tingkat semai sebesar 1,04%. Indeks keanekaragam dari tingkat pohon sampai semai berkisar antara 1,531,38%. Menurut klasifikasi indeks keanekaragaman Shannon-Wiener bahwa hutan mangrove di Teluk Pangempang dalam kondisi sedang, di mana jika kisaran indeks keanekaragaman 13%, maka keadaan tersebut dinyatakan dalam keadaan sedang. Hal ini diduga karena kaeadaan kawasan hutan mangrove pada kondisi green beltnya hanya memiliki ketebalan 1520 m. Jika lebih besar dari 3 maka keanekaragam dinyatakan dalam kondisi baik dan jika dalam kisaran lebih kecil dari 1 maka kondisinya rusak. Pada tahun 1984, Menteri Pertanian dan Menteri Kehutanan mengeluarkan Surat Keputusan Bersama No. KB 550/246/ KPTS/1984 dan No. 082/KPTS-II/1984, yang menghimbau pelestarian jalur hijau selebar 200 m sepanjang pantai, melarang penebangan mangrove di Jawa, serta melestarikan seluruh mangrove yang tumbuh pada pulau-pulau kecil (kurang dari 1.000 ha) (Anonim, 2008). Kondisi tersebut tidak sesuai dengan keadaan yang ada di lokasi penelitian, tetapi hal tersebut bukan diakibatkan oleh kerusakan, baik itu dari manusia maupun dari alam itu sendiri, tetapi kondisi tersebut memang alami adanya, jadi kawasan Teluk Pangempang bukan hanya ditumbuhi oleh mangrove saja, tetapi juga banyak ditumbuhi oleh jenis tumbuhan pantai, karena kawasan ini merupakan daerah yang berbentuk tanjung (bagian daratan yang menjorok ke luar atau laut). Perakaran pada Lokasi Penelitian Sistem perakaran di Teluk Pangempang pada umumnya sama dengan sistem perakaran di tempat lainnya, yaitu akar cakar ayam pada jenis A. alba dan S. alba,
22
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 5 (1), APRIL 2012
akar tongkat pada R. apiculata, akar papan pada jenis C. tagal dan akar lutut pada jenis B. cylindrica. Akar nafas pada R. apiculata sangat membantu dalam pembentukan endapan sedimen yang pada gilirannya akan menjadi substrat mangrove, perakaran yang rapat akan menghambat masuknya partikel-partikel debu yang dibawa oleh arus balik pada saat surut. Menurut Nontji (2005), akar-akarnya yang kokoh dapat meredam pengaruh gelombang, menahan lumpur, hingga lahan mangrove bisa semakin luas tumbuh keluar mempercepat timbulnya “tanah tumbuh”. Akar nafas pada jenis A. alba merupakan ciri khas perakaran pada zona terdepan yang dapat bertahan pada lingkungan yang sangat ekstrem, baik akibat dari pengaruh pasang surut air laut, hempasan ombak, maupun salinitas yang tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nontji (2005), bahwa karena sifat lingkungannya yang keras seperti genangan pasang surut air laut, perubahan salinitas yang besar, perairan yang berlumpur tebal dan anaerobik sehingga Avicennia spp. bertahan dengan akar nafas. Menurut Tomlison (1986) dalam Onrizal (2005), pada dasarnya sistem perakaran tumbuhan mangrove terdiri dari 3 komponen, yaitu: komponen aerasi, yaitu bagian akar yang mencuat ke atas dari sistem perakaran dan berfungsi sebagai pertukaran gas; komponen penyerapan dan penjangkaran berfungsi untuk membentuk basis penjangkaran pada seluruh sistem dan untuk melakukan penyerapan zat hara; komponen jaringan yaitu bagian horizontal yang meluas dan berfungsi menyatu dengan penyerapan dan penjangkaran dari sistem perakaran. Daerah depan (pantai) merupakan daerah yang langsung berbatasan dengan laut dengan jenis tanahnya adalah lempung berpasir, di mana ombak, arus air laut maupun pasang surut telah membentuk tipe substrat ini. Menurut Anna dkk. (2000) dalam Budiarsa (2005), tekstur substrat lempung adalah jenis tanah bertekstur agak kasar, sedang dan agak halus dan mencakup kelas-kelas tekstur yang sangat luas. Tanah berlempung memiliki sifat yang lebih baik daripada pasir, debu dan liat. Tanah ini bersifat tidak terlalu lepas, atau tidak terlalu lekat serta tidak terlalu padat. Kemampuan menyimpan air dan udara pada tanah ini baik, serta mengandung cukup fraksi liat untuk menyimpan air dan hara tumbuhan untuk pertumbuhannya yang optimum. Menurut Bengen (2001), jenis mangrove yang tumbuh pada substrat seperti ini adalah jenis mangrove yang memiliki tipe akar cakar ayam. Pada daerah tengah banyak ditumbuhi jenis Rhizophora spp. karena tipe substratnya berlumpur. Menurut Bengen (2001), yang menempati substrat berlumpur adalah jenis mangrove yang memiliki tipe akar penyangga atau tongkat yang memiliki lentisel. Menurut Noor dkk. (1999) jenis mangrove yang tumbuh pada substrat ini adalah dari jenis Rhizophora spp. dan Lumnitzera spp. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Indeks keanekaragaman kawasan hutan mangrove di Teluk Pangempang masuk dalam klasifikasi sedang yang berkisar antara 1,58%-1,38%. Hal ini diduga karena ketebalan hutan mangrove yang merupakan green belt kawasan hutan mangrove
Imanuddin dan Simarangkir (2012). Analisis Vegetasi Kawasan Hutan Mangrove
23
hanya seluas ±20m2. Luas ini diakibatkan karena kondisi alam Teluk Pangempang yang berbentuk tanjung. Jenis penyusun komunitas mangrove di Teluk Pangempang terdiri dari A. alba R. apiculata, S. alba, B. cylindrica, C. tagal dan N. fruticans, yang mana jenis R. apiculata mendominasi kawasan ini. Komposisi vegetasi pada lokasi penelitian didominasi oleh tingkat pohon dengan 850 batang/ha, disusul tingkat pancang sebesar 317 batang/ha serta tingkat semai 175 batang/ha. Volume pohon pada lokasi penelitian didominasi oleh jenis R. apiculata dengan potensi volume 35,00 m3/ha. Nilai frekuensi dari jenis R. apiculata dan S. alba lebih besar dibandingkan jenis lain yaitu 1,00/plot. Nilai Penting Jenis dari spesies R. apiculata lebih besar dibandingkan jenis lain yaitu sebesar 75,11%. Saran Perlu adanya peran serta pemerintah dan juga masyarakat setempat dalam pelestarian hutan mangrove yang ada di Teluk Pangempang. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk melihat dinamika tegakan serta keterkaitan beberapa faktor lingkungan lain secara mendalam sehingga diharapkan dapat memberikan informasi mengenai hubungan faktor-faktor tersebut dengan perubahan pola vegetasi yang terjadi, serta tentang pengaruh sosial kegiatan manusia terhadap kelangsungan hutan mangrove yang ada di Teluk Pangempang. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2008. Kebijakan Jalur Hijau dan Rencana Tata Ruang. Kasematjurnal.htm. Diakses Sabtu 28 April 2012. Jam 13.20 Wita. Anonim. 2011. Gawat 75% Hutan Mangrove Kaltim Rusak. http/Geografikuntukmu.blogspot.com/ 2 h. Diakses 12 Februari 2012. Jam 14.50 Wita Arief, A. 2003. Hutan Mangrove, Fungsi dan Manfaatnya. Kanisius, Yogyakarta. Bengen, D.G. 2001. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Petanian Bogor, Bogor. Bratawinata, A.A. 1998. Ekologi Hutan Hujan Tropis dan Metode Analisis Hutan. Laboratorium Ekologi dan Dendrologi Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda. Budiarsa, A.A. 2005 Ekotipologi Fungsional Komunitas Mangrove di Wilayah Perairan Pesisir Muara Badak Kabupaten Kutai Kartanegara. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Mulawarman, Samarinda. Harjadi dan A. Hemawan. 2010. Artikel Faktor Lingkungan Hutan Mangrove. Scrib.com. 12 Februari 2012. Jam 14.00 Wita. Indriyanto. 2005. Ekologi Hutan. Bumi Aksara, Jakarta. Irwanto. 2006. Keanekaragaman Fauna pada Habitat Mangrove. http://irwantomangrove. webs.com/fauna_mangrove.pdf.1. 2 h. Diakses 12 Februari 2012. Jam 20.00 wita. Nontji, A. 2005. Laut Nusantara. Djambatan, Jakarta. Noor, Y.R.; M. Khazali dan I.N.N.S. Putra. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove Indonesia. PKA/WI-IP, Bogor. Nugraheni. 2002. Studi Tentang Komunitas Vegetasi Mangrove dan Keanekaragaman Jenis Makrozoobenthos pada Perairan Pantai Bontang Kalimantan Timur. Tesis Magister Program Studi Ilmu Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda.
24
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 5 (1), APRIL 2012
Onrizal. 2005. Adaptasi Tumbuhan Mangrove pada Lingkungan Salin dan Jenuh Air. Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Rudy. 2009. Kajian Potensi Kawasan Wisata Bahari di Dusun Pantai Indah Teluk Pangempang Kecamatan Muara Badak Kabupaten Kutai Kartanegara. Skripsi Sarjana Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Mulawarman, Samarinda.