Analisis Kebijakan Luar Negeri Indonesia Studi Kasus: Keluar dari Keanggotaan PBB tahun 1965
KARYA ILMIAH Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh Gelar Sarjana Strata 1
Oleh :
Amelia Noor Satwika (210000066) Julang Aryowiloto (210000156)
FAKULTAS FALSAFAH DAN PERADABAN UNIVERSITAS PARAMADINA JAKARTA 2014
I.
Latar Belakang Pada tanggal 17 Agustus 1945 setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya ke hadapan dunia internasional, hal yang kemudian menjadi fokus utama adalah mencari dukungan atas pengakuan Indonesia sebagai suatu negara yang merdeka dan berhak menentukan nasibnya sendiri, tanpa ada intervensi sama sekali dari pihak manapun termasuk penjajah. Sebagai upaya mendapatkan pengakuan internasional sebagai suatu negara yang merdeka, bergabung dengan organisasi internasional merupakan salah satu langkah yang tepat dan strategis. Sebagai bentuk upaya aktualisasi Indonesia dalam mencari pengakuan internasional dengan bergabung ke dalam salah satu organisasi internasional telah dilakukan tepatnya pada tanggal 28 September 1950. Lima tahun setelah merengguh kemerdekaan, Indonesia secara formal menyatakan diri bergabung dengan PBB untuk pertama kalinya.1 Bergabung dan bersinergi dengan PBB selama kurang lebih 15 tahun, Indonesia yang masih berada di bawah komando kekuasaan Presiden Soekarno secara mengejutkan menyatakan keluar dari keanggotaan PBB melalui pidato Soekarno pada rapat umum Anti Pangkalan Militer Asing pada tanggal 7 Januari 1965 di Jakarta.2 Sebagai sebuah negara yang masih baru dan belum lama terlepas dari cengkeraman kolonialisme, Indonesia oleh negara-negara lain anggota PBB dinilai telah mengambil suatu langkah berani dan ceroboh. Kebijakan luar negeri Indonesia dengan keluar dari keanggotaan PBB ini kemudian membawa Indonesia pada posisi yang sulit karena dikucilkan dalam pergaulan internasional. Namun hal ini tidak sama sekali merubah keputusan Soekarno sebagai “decision-maker” pada saat itu untuk Indonesia. Indonesia menyatakan keluar dari keanggotaan PBB merupakan suatu kebijakan luar negeri yang menurut penulis sangat menarik untuk dikaji dan
1
http://www.un.org/News/Press/docs/2006/org1469.doc.htm diakses pada Senin 27 Januari 2014 pukul 13.04 WIB. 2 http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=8902&type=99#.UupNfBY29SU diakses pada Senin 27 Januari 2014 pukul 13.27 WIB.
dianalisis lebih mendalam dengan memperhatikan beberapa fakta seperti Indonesia merupakan negara yang baru merdeka, memiliki pemimpin yang mempunyai kharisma secara internasional, kondisi politik domestik yang belum terlalu stabil untuk ukuran suatu negara yang baru merdeka, serta Indonesia masih dalam tahap mencari dukungan internasional untuk memperkuat posisi sebagai suatu negara merdeka. Sungguh suatu kebijakan luar negeri yang sangat berani yang diambil oleh Soekarno sebagai presiden pertama Indonesia, yang sangat mempertaruhkan tidak hanya harga diri bangsa tetapi juga eksistensi dan perjuangan panjang dan berdarah rakyat Indonesia demi mencapai suatu era di mana Indonesia berhak menentukan nasib sendiri, merdeka.
II.
Kerangka Analisis Dalam menganalisis kebijakan luar negeri pemerintah Indonesia di bawah komando Presiden Soekarno yang menyatakan keluar dari keanggotaan PBB pada 7 Januari 1965, penulis akan menggunakan kerangka analisis PreTheory yang ditawarkan oleh James N. Rosenau.
3
Pre-theory yang
ditawarkan Rosenau sebenarnya adalah sebuah hasil riset pribadinya yang mengungkap bagaimana, proses atau metode yang dilalui dalam pengambilan suatu keputusan atau kebijakan luar negeri bagi suatu negara. Analisa terhadap kebijakan luar negeri oleh Rosenau dimaksudkan untuk memahami perilaku negara di lingkungan internasional atau yang disebut oleh Rosenau sebagai external behavior. Perilaku negara di ranah internasional ini merupakan manifestasi dari kebijakan luar negeri yang dicanangkan dalam konstitusi. Rosenau menyebutkan bahwa perilaku negara yang kemudian bermuara pada kebijakan luar negeri ini dipengaruhi oleh berbagai faktor atau yang disebutkan Rosenau sebagai variabel. Adapun variabel yang mempengaruhi perilaku negara terdiri dari berbagai macam ragamnya. Hanya saja Rosenau menekankan lebih kepada
3
James N. Rosenau (ed.) Beverley Hills. (1974). Theories, Findings, and Methods. New York: Sage Publications distributed by John Wiley & Sons. Hal. 442.
isu dan kondisi tertentu pada saat kebijakan dibuat, ada satu variabel yang lebih mendominasi variabel lain dalam mempengaruhi pola pengambilan kebijakan luar negeri suatu negara yang disebut oleh Rosenau sebagai relative potencies. Dalam pre-theory Rosenau, variabel yang mempengaruhi pengambilan kebijakan luar negeri suatu negara diklasifikasikan menjadi lima variabel berbeda sebagai berikut: -
Individual: berkaitan dengan nilai-nilai, pemahaman, dan bakat yang dimiliki seorang individu dalam mengambil kebijakan (dalam hal ini kebijakan luar negeri).
-
Role: berkaitan dengan peran kelompok-kelompok atau koalisi yang ada di tatanan pemerintahan dalam pengambilan kebijakan luar negeri.
-
Governmental:
berkaitan
dengan
hubungan
antar
poros
pemerintahan, misalnya antara eksekutif dan legislatif, apakah saling dukung atau justru saling menghambat dalam pembuatan kebijakan luar negeri. -
Societal: berkaitan dengan pengaruh dan atau aspirasi dari rakyat suatu pemerintahan terkait kebijakan luar negeri yang diambil.
-
Systemic: berkaitan dengan adanya aspek non-human seperti ideologi, geografi, kondisi perekonomian, dan sebagainya.
Kelima variabel tersebut di atas yang menurut Rosenau dapat mempengaruhi pengambilan kebijakan luar negeri suatu negara. Kelimanya pasti berpengaruh dalam suatu pengambilan kebijakan luar negeri secara bersamaan, hanya saja intensitas variabel yang mempengaruhi suatu pengambilan kebijakan luar negeri dapat berubah-ubah tergantung pada isu dan kondisi tertentu. Ada suatu kondisi di mana variabel individual lebih berpengaruh daripada variabel governmental misalnya, atau sebaliknya dan seterusnya dengan variabel-variabel lain. Secara lebih spesifik dan mendalam, Rosenau bahkan telah jauh membuat sebuah kerangka analisis yang cukup akurat terhadap pengambilan kebijakan
luar negeri suatu negara dengan mengklasifikasikan karakter tiap-tiap negara yang ada di dunia dengan menggunakan berbagai parameter seperti kondisi geografis, luas wilayah secara fisik, kondisi perekonomian, serta sistem politik yang dianut oleh pemerintahan suatu negara. Lebih jelas mengenai formulasi analisis terhadap kebijakan luar negeri suatu negara oleh Rosenau dapat disimak pada tabel sebagai berikut: 4
4
Ibid. Hal 448.
Dari tabel formulasi, dapat terlihat variabel-variabel mana saja yang dominan dalam pengambilan kebijakan luar negeri suatu negara berdasarkan karakteristiknya. Intensitas variabel yang mempengaruhi pengambilan kebijakan luar negeri berbeda-beda pada tiap-tiap negara berdasarkan kondisi negara masing-masing. Jika negara yang secara teritori luas dan tergolong pada negara maju dengan sistem politik yang terbuka misalnya, maka variabel yang dominan terhadap pengambilan kebijakan luar negeri adalah role, yang kemudian diikuti oleh societal, governmental, systemic, barulah individual. Selain menggunakan kerangka analisis pre-theory milik Rosenau, untuk memperdalam dan mempertajam analisa penulis juga menggunakan kerangka analisis terhadap pembuatan kebijakan luar negeri yang disumbangkan oleh seorang ahli M.G. Hermann. Hermann dalam pembuatan kebijakan luar negeri suatu negara berpendapat bahwa ada tiga macam unit utama dalam pembuatan kebijakan luar negeri yakni Predominant Leader, Single Group, dan Multiple Autonomous Actors. 5 Namun dalam analisis kali ini, penulis hanya menggunakan unit Predominant Leader untuk disinkronisasikan dengan kerangka analisis model Rosenau. Adapun definisi Predominant Leader sendiri adalah merupakan salah satu unit pengambil keputusan utama yang mengarah pada pemimpin suatu negara yang cenderung sifatnya dominan. Jika pemimpin tersebut memiliki pandangan yang kuat maka dia hanya mencari informasi untuk mengkonfirmasi keputusannya dan kurang sensitif terhadap nasehat ataupun informasi lain.6 Selain menggunakan kedua teori di atas, penulis akan menganalisa lebih lanjut mengenai teori kepemimpinan serta gaya kepemimpinan menurut kajian ilmu psikologi. Teori pertama yang dipakai adalah kepemimpinan situasional, yaitu suatu gaya kepemimpinan dimana segala keputusan dan 5
M.G. Hermann. (1980). Explaining Foreign Policy Behavior Using the Personal Characteristics of Political Leaders. International Studies Quarterly. Hal. 7-46. 6 Abu Bakar Eby Hara. (2011). Analisis Politik Luar Negeri: Dari realisme sampai Konstruktivisme. Hal. 112.
kebijakan dipengaruhi oleh situasi. Karakter individu dan situasi dapat mempengaruhi keefektifan suatu kepemimpinan.
7
Situasi yang terjadi
mempengaruhi bagaimana pemimpin memilih gaya dalam pemerintah dan berbagai keputusan yang diambil. Terdapat tiga gaya kepemimpinan menurut George, yaitu gaya kognitif, kepemimpinan dengan self efficacy, dan orientasi terhadap konflik politik. Berikut adalah penjelasan mengenai tiga gaya kepemimpinan, di antaranya: 8
-
Gaya kognitif : presiden mengumpulkan dan memproses informasi dari lingkungannya. Presiden menunjuk beberapa penasihat untuk mengumpulkan informasi dalam mengambil keputusan.
-
Kepemimpinan dengan self efficacy : presiden menyusun agenda-agenda pemerintahan sesuai dengan area yang dianggap lebih nyaman dan masalah yang dianggap dapat untuk diatasi. Presiden lebih mengutamakan penyelesaian masalah yang dianggap lebih bisa diatasi daripada menyelesaikan permasalahan yang menurutnya sulit. Presiden akan merasa percaya diri apabila ia dapat melakukan kebijakan sesuai dengan keahliannya.
-
Orientasi terhadap konflik politik : presiden lebih memilih untuk bekerja di area yang dianggapnya tidak nyaman. Presiden lebih menginginkan untuk membuat suatu sistem dengan menekankan pada kerja tim. Namun, presiden memiliki kontrol atas kebijakan yang diambilnya dan menuntut loyalitas dari para tim dari suatu pemeritahan. Pada gaya kepemimpinan ini, presiden
lebih
memilih
untuk
mengatasi
konflik
dan
meminimalkan permasalahan dalam suatu negara. Berdasarkan penjelasan di atas, pemimpin yang lebih menekankan situasi 7
Ashar Sunyoto Munandar. (2008). Psikologi Industri dan Organisasi. Depok: Universitas Indonesia. Hal. 190. 8 Martha L. Gottam, dkk. (2012). Pengantar Psikologi Politik. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hal. 172.
dalam mengambil kebijakan dan gaya kepemimpinan, akan mempengaruhi pengambilan
keputusan
dalam
pemerintahan.
Teori
mengenai
gaya
kepemimpinan seperti dijelaskan sebelumnya lebih menekankan pada bagaimana cara presiden suatu negara dalam mengambil keputusan ataupun kebijakan, baik terkait urusan dalam negeri maupun urusan luar negeri. Gaya kepemimpinan akan memperlihatkan bagaimana sosok presiden dalam suatu pemerintahan, dalam mengambil keputusan dilihat dari situasi dalam negara yang dipimpin. Gaya kepemimpinan ini juga menjadi indikator ke arah mana negara yang dipimpin akan dibawa serta berdampak baik secara nasional maupun internasional. III.
Tesis Klaim awal penulis terkait analisis terhadap kebijakan luar negeri Indonesia di bawah komando Presiden Soekarno yang menyatakan keluar dari keanggotaan PBB pada 7 Januari 1965 adalah bahwa ada variabel seperti yang disebutkan Rosenau yang berpengaruh terhadap kebijakan Indonesia tersebut. Variabel yang kemudian menjadi dominan pada keputusan pengambilan kebijakan luar negeri Indonesia yang menyatakan diri keluar dari keanggotaan PBB adalah variabel Individual. Nilai-nilai dan pemahaman yang dimiliki seorang Soekarno adalah jelas seorang yang terkenal berkharisma, berani, tegas, dan lantang dalam melawan kolonialisme dan imperialisme. Ketika kebijakan keluar dari PBB diambil, Soekarno berpandangan bahwa PBB sudah tidak lagi merupakan suatu organisasi internasional yang berjalan sebagaimana fungsi seharusnya, melainkan PBB sudah ditunggangi kepentingan barat yang menurutnya kapitalis dan imperialis. Kebijakan Indonesia yang keluar dari keanggotaan PBB sendiri merupakan kebijakan sepihak dan semata hanya berangkat dari pandangan Soekarno mengenai PBB yang tidak sesuai dengan tugas pokok dan fungsi sebagai mana mestinya.
IV.
Analisis
Keputusan Presiden Soekarno yang menyatakan Indonesia keluar dari keanggotaan PBB pada 7 Januari 1965 merupakan suatu keputusan yang cukup menggemparkan dunia internasional. Indonesia sebagai negara yang baru berdiri dan belum genap dua dekade tersebut sudah berani mengambil suatu kebijakan luar negeri yang pada saat itu dinilai sangat bisa membahayakan posisi Indonesia yang sedang mencari dukungan atas status sebagai suatu negara merdeka.
Terkucilkan dari pergaulan dunia
internasional merupakan salah satu konsekuensi yang bakal harus diterima Indonesia kala itu. Berangkat dari perspektif model Rosenau dalam menganalisis kebijakan luar negeri, penulis mencoba melakukan suatu analisa mendalam terkait kebijakan Indonesia yang menyatakan diri keluar dari keanggotaan PBB pada tahun 1965. Rosenau melalui pemaparannya yang dikenal dengan sebutan pre-theory mengasumsikan bahwa dalam pembuatan ataupun pengambilan suatu kebijakan luar negeri, negara akan dipengaruhi oleh lima variabel berbeda
yang
oleh
Rosenau
variabelnya
adalah
individual,
role,
governmental, societal, dan systemic. Kelima variabel yang disebutkan Rosenau jelas berpengaruh terhadap kebijakan luar negeri Indonesia yang menyatakan diri keluar dari keanggotaan PBB pada 1965 walaupun intensitasnya berbeda-beda antara satu variabel dengan variabel lain. Ada variabel yang dominan dan ada variabel yang resesif. Untuk mengetahui variabel mana yang dominan dan variabel mana yang resesif, atau tingkat intensitas variabel mana yang paling tinggi dalam kebijakan luar negeri Indonesia yang keluar dari keanggotaan PBB dapat dianalisa melalui tabel formulasi yang dipetakan oleh Rosenau sebagai berikut: Analisa dapat dilakukan dengan menentukan terlebih dahulu karakter negara Indonesia secara umum berdasarkan pada parameter yang telah ditentukan dalam tabel oleh Rosenau. Identifikasi karakter Indonesia sebagai suatu negara dengan parameter ala Rosenau adalah sabagai berikut: -
secara geografis dan fisik, Indonesia tergolong ke dalam negara
besar karena wilayah teritorinya yang luas sekitar 1,9 juta kilometer persegi, dengan jumlah penduduk sekitar 97,1 juta jiwa pada tahun 1965 (berdasarkan data sensus tahun 1961)9 -
secara ekonomi, pada tahun 1965 Indonesia masuk dalam kategori non negara maju atau dalam bahasa lain disebut dengan istilah negara berkembang karena kemampuan ekonomi yang belum begitu stabil dan kuat10
-
secara politik ataupun pemerintahan, Indonesia tergolong ke dalam negara dengan sistem pemerintahan yang terbuka karena
-
menganut paham demokrasi11
Berdasarkan karakteristik Indonesia yang seperti tersebut di atas, maka sesuai dengan tabel formulasi Rosenau, intensitas atau peringkat variabel yang mempengaruhi pengambilan kebijakan luar negeri Soekarno yang menyatakan Indonesia keluar dari keanggotaan PBB pada tahun 1965, Indonesia diasumsikan sebagai suatu negara yang secara geografis dan fisik besar, dengan kemampuan ekonomi yang berada pada koridor negara berkembang, dan sistem pemerintahan yang terbuka karena demokrasi, maka peringkat variabel yang mempengaruhi pengambilan kebijakan luar negeri Indonesia keluar dari keanggotaan PBB pada tahun 1965 adalah individual sebagai variabel paling menentukan, kemudian diikuti oleh variabel role, lalu ada variabel societal, dan selanjutnya variabel systemic, hingga pada variabel dengan peringkat paling rendah atau bisa diasumsikan sebagai variabel dengan pengaruh paling minim governmental.
9
http://www.kemsos.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=15452 diakses pada Senin 27 Januari 2014 pukul 15.01 WIB. 10 T. K. Tan. (1966). The Australian Quarterly. Vol. 38, No. 2. Hal. 9-28. 11 http://sistempemerintahanindonesia.com diakses pada Sabtu 25 Januari 2014 pukul 19.37 WIB.
Berikut penulis menyajikan analisis yang mengaitkan antara variabel yang mempengaruhi pengambilan kebijakan luar negeri dengan studi kasus kebijakan luar negeri Indonesia yang menyatakan diri keluar dari status keanggotaan PBB pada tahun 1965. Selain itu, penulis akan membahas lebih lanjut dengan teori kepemimpinan dan gaya keemimpinan dari kajian psikologi. Dalam hal ini, penulis akan mengaitkan variabel dengan konteks faktual kebijakan luar negeri Indonesia namun dari peringkat variabel yang paling kecil. Berikut uraian: Governmental Melihat dari sudut pandang variabel governmental, kebijakan Indonesia keluar dari keanggotaan PBB pada tahun 1965, relasi antara pihak eksekutif dan legislatif pada waktu itu tidak saling mendukung karena pada tahun 1965 sistem politik Indonesia adalah demokrasi terpimpin yang mana sentralisasi kekuasaan secara sepenuhnya ada pada tangan Soekarno. Sentralitas kekuasaan ini yang kemudian mengakibatkan pembuatan kebijakan luar negeri hanya bersumber dari pemimpin secara utuh dalam hal ini Soekarno. 12 Apabila ditinjau dari teori gaya kepemimpinan, Soekarno memilih untuk berorientasi terhadap konflik politik. Artinya, Soekarno memilih untuk mengambil suatu kebijakan yang dianggap beresiko. Soekarno mengambil menuntut pemerintahan untuk memiliki satu pemikiran yang sama dengannya. Gaya kepemimpinan Soekarno ini, dipengaruhi dengan situasi dimana ia menjadi tokoh sentral dalam pemerintahan Indonesia. Systemic Secara sistemik, keputusan kebijakan luar negeri Indonesia yang menyatakan keluar dari keanggotaan PBB pada tahun 1965 dengan menitikberatkan pada poin sebelumnya terkait sentralitas kekuasaan yang berada pada porosnya yakni Soekarno, dapat terbaca bahwa Soekarno 12
http://www.pustakasekolah.com/sejarah-orde-lama-demokrasi-terpimpin.html diakses pada Kamis 9 Januari 2014 pukul 10.31 WIB.
merupakan orang yang sangat anti dengan ideologi liberal yang menurutnya biang kolonialisme dan imperialisme.
13
Indonesia sendiri secara negara
merupakan negara yang baru merdeka pada saat itu dan masih sangat traumatik dengan kolonialisme dan imperialism, sementara pelaku kolonialisme dan imperialisme adalah pihak Barat, yang mana memegang posisi-posisi teratas pada struktural organisasi PBB. Oleh karena itu, ketika Indonesia kehilangan kepercayaan sedikitpun pada PBB maka akan susah untuk dikembalikan terlebih Indonesia saat itu adalah rezim Soekarno yang terbilang anti barat.
Societal Masyarakat Indonesia era tahun 1965an adalah masyarakat Indonesia yang masih belum terlepas dari bayang-bayang kolonialisme Belanda. 15 tahun bukan waktu yang cukup untuk melupakan begitu saja luka peninggalan kolonial. Keputusan Soekarno yang menyatakan Indonesia keluar dari keanggotaan PBB pada tahun 1965 selain sebagai bentuk akumulasi kekecewaan dan kemarahan terhadap PBB yang menerima Malaysia sebagai dewan keamanan tidak tetap PBB padahal di sisi lain Malaysia sedang bersitegang dengan Indonesia. Terkait konfrontasi Indonesia dengan Malaysia, rakyat Indonesia sendiri sangat sensitif terhadap isu-isu seperti ini sehingga kebijakan luar negeri Indonesia yang dimanifestasikan oleh Soekarno dengan keluar dari keanggotaan PBB mendapatkan respon yang cukup baik dan hangat dari rakyat Indonesia. Hal inilah yang dijadikan spirit tersendiri bagi Soekarno dalam memutuskan kebijakan Indonesia keluar dari keanggotaan PBB. Pada waktu itu Soekarno berkata:
14
“PBB dalam susunannya yang sekarang tidak mungkin
dipertahankan lagi. Dengan menguntungkan Taiwan dan merugikan RRC (waktu itu Cina diwakili oleh Taiwan), menguntungkan Israel dan 13
http://www.post-institute.org/index.php/indeks/item/116-soekarno-dan-nasakom-sinkretisme-ideologi diakses pada Kamis 9 Januari 2014 pukul 11.11 WIB. 14 http://www.majalengkanews.com/News/indonesia-keluar-dari-pbb diakses pada Kamis 9 Januari 2014 pukul 11.59 WIB.
merugikan
negara-negara
Arab,
PBB
nyata-nyata
menguntungkan
imperialisme dan merugikan kemerdekaan bangsa-bangsa.” Role Posisi Soekarno sebagai pemimpin bangsa pada era demokrasi terpimpin adalah mutlak dan kuat dengan koalisinya di tatanan pemerintahan terutama eksekutif, selain itu legislatif juga berada di bawah kontrol eksekutif. Sentralitas kekuasaan seperti ini menjadi faktor pendukung paling utama dalam hal kelancaran produksi kebijakan luar negeri yang langsung dapat dijalankan oleh Soekarno selaku Presiden pada saat itu. 15 Dengan demikian tidak ada hambatan berarti bagi Soekarno selaku representasi Indonesia pada saat itu untuk mewujudkan apapun keinginannya demi bangsa Indonesia dalam perwujudan kebijakan luar negeri, termasuk memutuskan Indonesia keluar dari keanggotaan PBB pada tahun 1965. Kokohnya
koalisi
yang
dibangun
Soekarno
dalam
pemerintahan
membuatnya menjadi seorang dengan kekuatan yang luar biasa yang pernah ada dalam memimpin Indonesia ke arah manapun yang dianggapnya pantas tanpa mendapatkan hambatan berarti, termasuk di dalamnya penentuan kebijakan luar negeri yang terbilang cukup personal dan tidak terlalu banyak melibatkan pihak lain dalam tatanan kenegaraan. Individual Berangkat dari hasil analisis kebijakan luar negeri Indonesia yang menyatakan diri keluar dari keanggotaan PBB pada 7 Januari 1965, dengan menggunakan model analisis yang ditawarkan James N. Rosenau, Indonesia sebagai negara besar secara geografis dan teritori dengan kemampuan ekonomi berada pada level negara berkembang dan tergolong negara dengan sistem pemerintahan demokrasi yang berarti terbuka, maka variabel yang paling menentukan dalam pengambilan kebijakan luar negeri adalah variabel individual. Individual di sini berarti mengarah pada sosok seseorang yang 15
http://www.pustakasekolah.com/periode-demokrasi-di-indonesia.html diakses pada Senin 27 Januari 2014 pukul 20.20 WIB.
dalam suatu negara diasumsikan sebagai orang yang mempunyai pengaruh besar dan kuat secara domestik tentunya, dan bisa juga secara internasional. Sosok seperti ini biasanya disimulasikan ke dalam sosok seseorang yang memimpin negara dan dipercaya membawa negara ke arah yang lebih baik bagi seluruh rakyatnya. Sosok individual yang berada di balik kebijakan luar negeri Indonesia yang terbilang berani dengan menyatakan diri keluar dari keanggotaan PBB pada tahun 1965 tak lain adalah Soekarno, presiden pertama republik ini yang terkenal kharismatik, berani, tegas, dan lantang dalam melawan kolonialisme dan imperialisme. Fortikasi kepemimpinan Soekarno atas Indonesia terbentuk secara natural dengan berbagai gagasannya sebelum kemerdekaan Indonesia. Kepingan-kepingan yang dirintis Soekarno yang kemudian membawanya pada pucuk kepemimpinan NKRI. Karakter Soekarno yang lebih mengarahkan kebijakan luar negeri Indonesia pada era itu, termasuk kebijakan terkait keluarnya Indonesia dari keanggotaan PBB pada 1965. Secara personal, proses pengambilan kebijakan luar negeri tersebut lebih diarahkan pada konsideran-konsideran Soekarno akan berbagai konstelasi yang terjadi sesuai dengan nilai-nilai, pemahaman, serta kemampuan yang dimilikinya dalam menganalisis situasi pada saat itu. Soekarno pada waktu itu memutuskan bahwa Indonesia lebih baik keluar dari status keanggotaan PBB karena secara personal dengan kemampuannya dan nilai-nilai yang dianut mengasumsikan bahwa PBB sudah tidak berjalan sebagaimana tugas pokok dan fungsinya, sudah terlalu diintervensi oleh negara-negara barat dengan berbagai kepentingan mereka terhadap negaranegara yang baru melepaskan diri dari cengkeraman kolonialisme mereka. Pandangan Soekarno semakin diperkuat dengan diterimanya Malaysia yang dianggap sebagai negara boneka bentukan Inggris sebagai dewan keamanan tidak tetap PBB sementara di sisi lain Malaysia sedang berkonfrontasi dengan Indonesia.16 Ditinjau dari teori kepemimpinan, situasi saat Malaysia bersitegang 16
http://ppia-vic.org/blogppia/negara-tetangga/ diakses pada Selasa 28 Januari 2014 pukul 02.47 WIB.
dengan Indonesia mempengaruhi pengambilan keputusan Soekarno untuk keluar dari PBB. Suasana yang tidak nyaman bagi Indonesia, membuat Soekarno mengambil resiko untuk keluar dari PBB dan direspon baik oleh masyarakat Indonesia. Situasi dari tidak baiknya hubungan antara Malaysia dan Indonesia dan dukungan rakyat Indonesia, membuat Soekarno menjadi lebih percaya diri untuk segera keluar dari PBB. Selain itu, peran Soekarno yang menjadi tokoh sentral mempengaruhi ia dalam mengambil kebijakan. Soekarno berusaha untuk keluar dari situasi yang tidak menyenangkan bagi bangsa Indonesia dan mengambil resiko atas keputusannya. Dari berbagai pandangan Soekarno yang demikian kemudian bermuara pada suatu kebijakan luar negeri Indonesia yakni keluar dari keanggotaan PBB dengan alasan paling kuat yang dikemukakan Soekarno bahwa PBB sudah tidak bisa menjamin keselamatan dan kedaulatan negara-negara anggotanya, terutama negara yang baru memperoleh kemerdekaan dari kaum kolonialis. Demi dan untuk keutuhan serta eksistensi Indonesia di masa depan maka keputusan keluarnya Indonesia dari keanggotaan PBB adalah merupakan yang terbaik pada saat itu. Dari hasil analisis pengambilan kebijakan luar negeri Indonesia dengan menggunakan model Rosenau, didapatkan hasil bahwa variabel yang paling berpengaruh terhadap pengambilan kebijakan adalah individual dalam hal ini Soekarno. Analisis mengenai variabel individual dalam model Rosenau ini akan dipertajam dengan menggunakan analisis unit utama dalam pembuatan kebijakanluar negeri yang ditawarkan M.G. Hermann. Menurut Hermann, ada tiga macam unit utama dalam pembuatan kebijakan luar negeri yakni Predominant Leader, Single Group, dan Multiple Autonomous Actors. Tabel Ilustrasi Rosenau-Hermann
Model Rosenau
Individual -
Role Societal Systemic Governmental
Model Hermann - Predominant Predominant Leader Leader - Single Group - Multiple Autonomous Actors
Dari tabel ilustrasi di atas terlihat bagaimana sinkronisasi antara variabel individual pada model Rosenau sebagai variabel paling berpengaruh dalam pengambilan kebijakan luar negeri di Indonesia dengan unit predominant leader pada model Hermann. Analisis pengambilan kebijakan luar negeri Indonesia keluar dari keanggotaan PBB lebih dipengaruhi oleh variabel individual, yakni Soekarno. Soekarno sendiri dapat dianalisis lebih lanjut sebagai unit predominant leader dalam model Hermann terkait pembuatan kebijakan luar negeri Indonesia. Jadi, unit predominant leader pada model Hermann menjadi level analisis lanjutan dari variabel individual pada model Rosenau Soekarno menjadi aktor yang dominan dalam pengambilan kebijakan luar negeri Indonesia yang keluar dari keanggotaan PBB. Dominasi Soekarno dapat terlihat kekuatan dari gaya kepemimpinannya yang disegani berbagai tokoh nasional bahkan internasional pada saat itu. Soekarno seakan seorang diri menyetir Indonesia untuk dibawa ke arah yang secara subjektif olehnya dianggap lebih baik dan dapat memajukan Indonesia. Era kepemimpinan Soekarno (demokrasi terpimpin) pada masa pembuatan kebijakan luar negeri Indonesia yang keluar dari keanggotaan PBB juga tidak begitu mendapat bantahan dan hambatan yang berarti. Soekarno dianggap sebagai bapak bangsa yang memang pantas untuk menentukan nasib Indonesia pada saat itu, untuk menyelamatkan Indonesia dan untuk membuat Indonesia tidak masuk lagi ke dalam jurang kolonialisme dan imperialism. Sesuai dengan asumsi pre dominant leader yang dibentuk oleh Hermann, bahwa pengambil keputusan utama mengarah kepada pemimpin suatu negara yang sifatnya cenderung dominan dan cenderung hanya mencari informasi untuk mengkonfirmasi keputusannya serta kurang sensitif terhadap informasi lain yang tidak dapat mengkonfirmasi keputusannya. Soekarno adalah sosok pemimpin yang sangat amat dominan pada waktu ketika kebijakan luar negeri Indonesia keluar dari keanggotaan PBB dibuat. Terkait pledoi Soekarno atas keputusannya membawa Indonesia keluar dari keanggotaan
PBB dapat terlihat dari pidatonya yang menyatakan: 17 "Saudara saudara, musuh kita yang terbesar yang selalu merusakan keselamatan dan kesejahteraan Asia dan Indonesia ialah Amerika dan Inggris. Oleh karena itu, didalam peperangan Asia Timur Raya ini, Maka segenap kita punya tenaga, punya kemauan, punya tekad harus kita tunjukan kepada hancur leburnya Amerika dan Inggris itu. Selama kekuasaan dan kekuatan Amerika dan Inggris belum hancur lebur, maka Asia dan Indonesia tidak bisa selamat. Oleh karena itu, semboyan kita sekarang ini ialah hancurkan kekuasaan Amerika dan hancurkan kekuasaan Inggris. Amerika kita setrika! Inggris kita Linggis! Go to hell with your aid!" Demikian analisis terkait kebijakan luar negeri Indonesia yang keluar dari keanggotaan PBB pada tahun 1965 dengan menggunakan pisau analisa pretheory dengan lima variabel yang ditawarkan James N. Rosenau dan predominant leader yang merupakan bagian dari tiga unit utama dalam pengambilan kebijakan luar negeri yang ditawarkan M.G. Hermann. Analisis juga diperkuat dengan menggunakan pendekatan gaya kepemimpinan dari sudut pandang psikologi politik.
V.
Kesimpulan Kebijakan luar negeri merupakan suatu bentuk manifestasi dari apa yang hendak dicapai suatu negara terutama dalam pergaulan internasional. Dalam perumusan kebijakan luar negeri suatu negara, tentu akan dipengaruhi oleh berbagai macam faktor yang beragam. Dalam kasus kebijakan luar negeri Indonesia, yang menyatakan diri keluar dari keanggotaan PBB terdapat beberapa
faktor
yang
mempengaruhi.
Namun,
poin
utama
dalam
pengambilan kebijakan luar negeri Indonesia tersebut adalah sosok pemimpin Indonesia saat itu, presiden Soekarno. Dari hasil analisis menggunakan model Rosenau, sosok pemimpin dalam hal ini Soekarno merupakan faktor 17
Pidato Bung Karno dari Jawa News , No. 2 April 1943, dikutip dari artikel Aiko Kurosawa http://indonesiacyber.net/?pilih=lihat&id=29 diakses pada Minggu 20 Januari 2014 pukul 03.15 WIB.
utama pendorong terbentuknya kebijakan luar negeri Indonesia yang keluar dari keanggotaan PBB pada tahun 1965. Dengan menggunakan pisau analisis lebih mendalam yang ditawarkan Hermann, ditemui fakta-fakta bahwa Soekarno memiliki sentiment tersendiri terhadap PBB sebagai suatu organisasi internasional yang menaungi berbagai negara yang ada di dunia. Soekarno dengan nilai-nilai yang dianut serta naluri subjektifnya menyimpulkan bahwa PBB sudah tidak murni menjalankan misi sebagaimana mestinya. PBB sudah ditunggangi oleh banyak kepentingan negara barat yang merupakan simbol kolonialisme dan imperialisme. Sentimen yang terbangun dalam diri Soekarno saat itu terhadap Malaysia juga yang menjadi stimulus bagi pelaksanaan kebijakan luar negeri Indonesia keluar dari keanggotaan PBB. Baginya, Malaysia adalah sebuah negara boneka yang dibangun Inggris untuk mencoba menacapkan kembali cakar kolonialisme dan imperialismenya di bumi timur. Selain itu, situasi bangsa Indonesia terhadap Malaysia yang tidak baik ternyata mempengaruhi gaya kepemimpinan pada Soekarno. Sebagai presiden, ia lebih memilih untuk mengambil resiko besar dan keluar dari situasi yang tidak menyenangkan bagi negaranya. Gaya kepemimpinan dari Soekarno terhadap kebjikannya untuk keluar dari PBB, menuntut ia untuk segara mengatasi konflik yang terjadi.
DAFTAR PUSTAKA Buku : Gottam, Martha L., dkk. (2012). Pengantar Psikologi Politik. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hal. 172. Hara, Abu Bakar Eby. (2011). Analisis Politik Luar Negeri: Dari realisme sampai Konstruktivisme. Hal. 112. Hermann, M.G. (1980). Explaining Foreign Policy Behavior Using the Personal Characteristics of Political Leaders. International Studies Quarterly. Hal. 7-46. Munandar, Ashar Sunyoto. (2008). Psikologi Industri dan Organisasi. Depok: Universitas Indonesia. Hal. 190. Rosenau, James N (ed.) Beverley Hills. (1974). Theories, Findings, and Methods. New York: Sage Publications distributed by John Wiley & Sons. Hal. 442.
Jurnal : T. K. Tan. (1966). The Australian Quarterly. Vol. 38, No. 2. Hal. 9-28.
Halaman Web : http://www.un.org/News/Press/docs/2006/org1469.doc.htm diakses pada Senin 27 Januari 2014 pukul 13.04 WIB.
http://www.theglobal review.com/content_detail.php?lang=id&id=8902&type=99#.UupNfBY29SU
diakses
pada Senin 27 Januari 2014 pukul 13.27 WIB.
http://www.kemsos.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=15452
diakses
pada Senin 27 Januari 2014 pukul 15.01 WIB.
http://sistempemerintahanindonesia.com diakses pada Sabtu 25 Januari 2014 pukul 19.37 WIB.
http://www.pustakasekolah.com/sejarah-orde-lama-demokrasi-terpimpin.html
diakses
pada Kamis 9 Januari 2014 pukul 10.31 WIB.
http://www.post-institute.org/index.php/indeks/item/116-soekarno-dan-nasakomsinkretisme-ideologi diakses pada Kamis 9 Januari 2014 pukul 11.11 WIB.
http://www.majalengkanews.com/News/indonesia-keluar-dari-pbb diakses pada Kamis 9 Januari 2014 pukul 11.59 WIB.
http://www.pustakasekolah.com/periode-demokrasi-di-indonesia.html
diakses
pada
Senin 27 Januari 2014 pukul 20.20 WIB.
http://ppia-vic.org/blogppia/negara-tetangga/ diakses pada Selasa 28 Januari 2014 pukul 02.47 WIB.
Sumber lain : Pidato Bung Karno dari Jawa News , No. 2 April 1943, dikutip dari artikel Aiko Kurosawa http://indonesiacyber.net/?pilih=lihat&id=29 diakses pada Minggu 20 Januari 2014 pukul 03.15 WIB.