Analisis, Juni 2014, Vol.3 No.1 : 29 – 36
ISSN 2252-7230
KEGIATAN BANK TANAH SEBAGAI BENTUK PENYEDIAAN TANAH UNTUK PERMUKIMAN RAKYAT Land Bank Activity as Land Supply Form for People’s Settelement Herni Amir, Aminuddin Salle, Sri Susyanti Nur Bagian Hukum Keperdataan, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin (E-mail:
[email protected]) ABSTRAK Kepemilikan rumah laiak menjadi hak konstitusional setiap warga yang dijamin oleh regulasi dalam berbagai tingkatan mulai Amandemen UUD 1945, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman maupun dalam Perda RT RW Makassar Nomor 6 Tahun 2006 tentang Rencana Tata Ruang ilayah Kota Makassar Tahun 2005-2015, namun dalam kenyataannya angka backlog masih sangat tinggi akibat terbatasnya ketersediaan lahan untuk perumahan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan kegiatan bank tanah sebagai bentuk penyediaan tanah di bidang permukiman rakyat di Kota Makassar dan mengetahui hal yang diperlukan dalam pendirian lembaga bank tanah. Penelitian ini berbentuk sosio-yuridis yakni penelitian lapangan yang diperkuat dengan penelitian kepustakaan. Data yang diperoleh adalah data primer dan sekunder. Data primer didapatkan melalui penelitian lapangan dengan cara wawancara dan penyebaran angket kepada responden. Sementara data sekunder diperoleh dari bahan-bahan hukum primer dan sekunder yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan, kegiatan bank tanah di bidang permukiman rakyat sudah dilaksanakan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Makassar. Hal ini terlihat dalam penataan kawasan kumuh dengan pembangunan rumah susun sederhana di Kecamatan Mariso dengan system sewa yang tidak bisa ditingkatkan menjadi hak milik. Untuk bisa memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat, Pemkot Makassar sudah harus memiliki rencana strategis dengan mendirikan lembaga bank tanah dengan menyiapkan beberapa hal mulai dari anggaran, kemudian pendataan lahan yang berpotensi menjadi objek bank tanah serta regulasi dalam bentuk Peraturan Daerah. Disimpulkan bahwa Pemkot Makassar berkewajiban melakukan penyelenggaraan perumahan yang laiak dan terjangkau yang nantinya bisa menjadi hak milik bagi masyarakat guna memenuhi kebutuhan papan yang merupakan hak dasar masyarakat. Kata Kunci: Bank Tanah, Permukiman Rakyat
ABSTRACT The feasible house ownership becomes every citizen’s constitutional right guaranteed by the regulation in various levels starting from the amendment 0f 1945 Constitution, Acts Number 1 regulation Year 2011 concerning Housing and Settlement Area the Regional of RSP Makassar Number 6 concerning the Regional Spatial Planning of Makassar City Years 2005-2015, however, in reality, the backing figures are still high as the result of the lack of land availability for housing. The research aimed to find out the implementation of the land bank activity as the land supply form in the field of the people’s settlement in Makassar City, and to investigate the things needed in the establishment of land bank institution. This was a socio-juridical research, i e a field research strengthened by the library research. Data obtained were the primary and secondary data. The primary data were obtained thorough the field research by the interview technique and questionnaire distribution to the respondance while the secondary data were obtained the primary secondary legal material obtained thorough the library research. The data were analysed by the qualitative descriptive method. The research result indicates that the land bank activity in the field of the people settlement has been carried out by the City Government of Makassar. This can be see in the structuring of dirty areas by development of Rented Simple flates (Rusunawa) at Mariso district with the renting system
29
Herni Amir
ISSN 2252-7230
which can not be improved to be the proprietary rights. To be able to fulfill house necessity for the community members, Makassar City Government must have the strategic plans by establishing the land bank institution by preparing several th8ing starting from the budget, the land data collection having the potential to become the land bank object, and the regulations in the form of the regional regulation. It is concluded that Makassar City Government has the obligation to provide the houses being visible and can be reached which in turn can be possessed by the community members in order to fulfill the housing necessity representing the community’s basic right. Keywords: Land Bank, People’s Settlement
Sirajuddin mengatakan dengan pesatnya pembnagunan kota Makassar maka harga tanah tidak terkontrol dengan baik. Misalnya kenaikan harga tanah dalam kurun 10 tahun di pettarani yang mencapai 500 persen (Hardiansyah, 2013). Mahalnya harga tanah, menyebkan program Fasilitas Likuiditas Perumahan Rakyat (FLPP) dari Kementrian Perumahan Rakyat (Kemenpera) yang meyediakan perumahan murah untuk MBR tidak berjalan optimal. Dari target 7000 untuk tahun 2012, hanya terealisasi 10 persen di empat kabupaten yakni kabupaten Gowa, Sinjai, Sidrap, dan Barru (Hardiansyah, 2012). Mengingat kompleksitas persoalan ketersediaan lahan untuk pembangunan bagi perumahan dan kawasan permukiman bagi MBR, maka pemerintah daerah perlu mempertimbangkan pembentukan bank tanah (land banking), dimana secara umum bank tanah dimaksudkan sebagai setiap kegiatan pemerintah untuk menyediakan tanah, yang akan dialokasikan penggunaannya di kemudian hari (Nur, 2010). Selain berfungsi sebagai master plan dan detail plan perencanaan kota, bank tanah juga mencegah permainan harga tidak terperangkap spekulan tanah serta melindungi MBR yang merupakan konsumen sesungguhnya dalam penyediaan tanah perumahan. Apalagi pendirian bank tanah sejalan dengan regulasi yang telah ada. Kegiatan penataagunaan tanah menjadi salah satu wewenang Negara dalam Hak Menguasai Negara sebagai pelimpahan dari Bangsa Indonesia berdasar pada Pasal 33 ayat (3) UUD
PENDAHULUAN Perumahan dan permukiman merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya terus diupayakan agar semakin besar lapisan masyarakat dapat menempati rumah dengan lingkungan permukiman yang layak, sehat, aman dan serasi. Apalagi dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945) dan Pasal 28 H diamanahkan, bahwa rumah adalah salah satu hak dasar rakyat dan oleh karena itu, setiap warga Negara berhak untuk bertempat tinggal dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat. Seperti yang diamanatkan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), bahwa Negara bertanggung jawab atas penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman yang pembinaannya dilaksanakan oleh pemerintah. Dimana pemerintah dalam melaksanakan pembinaan (Pasal 13) mempunyai tugas mengalokasikan dana dan/atau biaya pembangunan untuk mendukung terwujudnya perumahan bagi Masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), serta memfasilitasi penyediaan perumahan dan permukiman bagi masyarakat, terutama bagi MBR. Untuk dapat merealisasikan amanat diatas, pemerintah masih dihadapkan pada realita tingginya backlog atau kekurangan pasokan perumahan di Indonesia. Menurut data BPS pada 2010 backlog mencapai 13.6 juta. Diperkirakan pada 2014 mencapai 15 juta (Budianto, 2013). Salah satu penyebab tingginya backlog adalah tanah yang mahal. Walikota Makassar Ilham Arief 30
Bank Tanah, Permukiman Rakyat
ISSN 2252-7230
1945, kemudian ditegaskan pada ketentuan Pasal 2 ayat (3) UUPA, yang memberikan kewenangan pada negara untuk membuat suatu rencana umum mengenai penggunaan bumi, termasuk tanah, air, ruang angkasa untuk berbagai macam kepentingan yang bersifat politis, ekonomi dan social serta keagamaan (Pasal 14) (Salle, dkk, 2010). Selanjutnya, dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA yang mengatur hak menguasai Negara memungkinkan pembentukan bank tanah. Hal ini dipertegas dengan Pasal 2 ayat (4) UUPA bahwa hak menguasai dari Negara, pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah (Sukanti, 2008). Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui pelaksanaan kegiatan bank tanah sebagai bentuk penyediaan tanah di bidang permukiman rakyat di Kota Makassar dan mengetahui hal apa saja yang diperlukan dalam pendirian lembaga bank tanah.
Sampel sebanyak 35 orang terdiri dari 30 orang responden yaitu masyarakat dan 5 orang narasumber yang terdiri dari aparat pemerintah, pengembang dan pengamat tata ruang.. Metode penetapan sampel adalah secara Purposive Sampling yaitu sampel yang secara sengaja dipilih dengan menggunakan kriteria-kriteria yang ditetapkan Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah a. Wawancara dengan mendatangi narasumber dan responden, dan melakukan tanya jawab langsung, tipe pertanyaannya teratur dan terstruktur. b. Dokumentasi dengan mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan penelitian ini. Analisis Data Data primer dan data sekunder, dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan landasan teori dalam menjelaskan fenomena yang ada, atau data dan informasi yang diperoleh disajikan secara deskriptif yaitu menguraikan, menggambarkan, dan menjelaskan sesuai dengan permasalahan yang erat kaitannya dengan penelitian.
BAHAN DAN METODE Lokasi dan rancangan penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, dengan pertimbangan bahwa Kota Makassar memiliki pertumbuhan pesat di bidang permukiman serta memiliki laju pertumbuhan penduduk tinggi. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian sosioyuridis, selain mengkaji hukum secara teoritis atau normatif, juga akan mengkaji hukum dalam pelaksanaannya.
HASIL Kegiatan bank tanah yang dilakukan Pemkot Makassar dapat dilihat dari pembangunan rumah susun sederhana Sewa (Rusunawa) Lette di kecamatan Mariso. Kegiatan ini sebagai bentuk penataan permukiman kumuh, dimana kawasan kumuh masih menempati luas cukup besar di Kota Makassar yakni 398 hektare yang tersebar di 23 kelurahan. Tabel 1 tentang persebaran permukiman kumuh yang terdapat di 10 kecamatan di Kota Makassar terlihat bahwa Kecamatan Mariso termasuk ke dalam kawasan kumuh berat dengan luas 32,40 hektare. Sementara total luas kawasan kumuh mencapai 398,48 hektare.
Populasi dan sampel Populasi dalam penelitian ini adalah aparat Pemerintah Kota Makassar, Walikota Makassar, Bagian Hukum Sekretariat Kota Makassar, Kepala UPTD Rusunawa Dinas PU Makassar, Pengamat tata ruang Makassar, pengem-bang, dan masyarakat berpenghasilan rendah.
31
Herni Amir
ISSN 2252-7230
Tabel 1. Luas Wilayah Persebaran permukiman Kumuh di Kota Makassar Tahun 2012 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kecamatan
Luas Daerah Kumuh (Ha) 32,40 56,55 64,72 46,81 101,48 58,00 32,00 6,25 5,20 4,08 398,49
Mariso Tamalate Rappocini Ujung Tanah Tallo Tamalanrea Bontoala Makassar Ujung Pandang Biring Kanayya Jumlah Sumber: Dinas PU Kota Makassar
Berdasarkan tabel 1 di atas, penataan kawasan Mariso sudah sesuai dengan RT RW Kota Makassar. Berdasarkan Perda Nomor 6 Tahun 2006 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Makassar Tahun 2005-2015 pada Pasal 12 tentang strategi pengembangan tata ruang. Pada poin 1 angka 3 tertulis mengembangkan program peremajaan kawasan kumuh berat terutama pada konsentrasi kawasan kumuh Mariso, kawasan kumuh sekitar jalan Abubakar Lambogo dan kawasan kumuh Baraya dengan peremajaan terbatas untuk pembangunan rumah susun murah; dan pada Pasal 17 angka 6 poin 1 yakni mengembangkan pola perbaikan lingkungan pada kawasan permukiman kumuh berat dan sedang (Lette, Baraya dan Abu Bakar Lambogo) termasuk kawasan permukiman yang berada di sepanjang bantaran kanal Kota. Adapun bentuk kegiatan bank tanah pada pembangunan Rusunaa Lette yang merupakan program sharing antara pemerintah pusat dan Pemkot Makassar sebagai berikut:
bangunan gedung. Pemkot Makassar memanfaatkan ketersediaan lahan seluas 1,2 hektare untuk 288 unit satuan rumah suusn (sarusun) bahi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Lahan tersebut merupakan asset Pemkot Makassar. Menurut Pasal 17 Undang-Undang No 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (Rusun), Rusun dapat dibangun diatas tanah Hak Milik (HM), Hak Guna Bangunan (HGB) atau hak pakai (HP) di atas tanah Negara; dan HGB atau HP di atas tanah hak pengelolaan (HPL). Selain dibangun di atas tanah sebagaimana dimaksud di atas, rumah susun umum dan/atau rumah susun khusus dapat dibangun dengan: pemanfaatan barang milik negara/daerah berupa tanah; atau pendayagunaan tanah wakaf. Selain merupakan asset daerah, tanah/lahan tersebut telah memenuhi tingkat kelaikan lokasi pembangunan dengan terpenuhinya berbagai syarat. Pertama, syarat administrasi yakni dengan terbitnya sertifikat atas nama Pemkot Makassar dari Kantor Badan Pertanahan (BPN) Makassar serta sesuai dengan Perda RTRW Kota Makassar. Syarat selanjutnya, memenuhi persyaratan fisik yakni tidak rawan bahaya dan bencana permanen periodik, memenuhi
Penyediaan tanah Dalam pembangunan Rusunawa Lette, Pemkot Makassar sebagai penyedia tanah/lahan, sementara pemerintah pusat penyedia anggaran untuk pem-
32
Bank Tanah, Permukiman Rakyat
ISSN 2252-7230
Tabel 2. Tingkat Pendapatan Masyarakat Penghuni Rusunawa Pekerjaan
Jumlah (orang)
Pendapatan perbulan
Security
5
Rp 1.850.000
Serabutan (Nelayan+Kuli)
5
Rp 800.000-Rp900.000
Kuli Bangunan
10
Rp 1.200.000
Tukang Batu Sumber: Penghuni Sarusun Mariso
10
Rp1.920.000
persyaratan ekologi yang mencakup keserasian dan keseimbangan fungsi lingkungan. dan tidak berdampak sosial negative atau menimbulkan protes yang berkepanjangan dari masyarakat yang merasa memiliki hak di atas lokasi pembangunan.
Setelah tanah dinyatakan siap, Pemkot Makassar melakukan pematangan lahan yakni dengan penimbunan lahan menggunakan anggaran Rp2 miliar yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Makassar. Selain itu dilakukan pembangunan sarana dan prasarana yang mendukung terbentuknya. Dalam : Batako + Plester + Aci + Cat, Lantai Hunian: Keramik 30 X 30 Cm, Kamar Mandi: Lantai :Keramik 20 X 20 Cm, Dinding : Keramik 20 X 25 Cm, Dapur: Kitchen Zink + Keramik, Kusen: Alumunium, Pintu : Alumunium + Calsiboard, Plafond: Beton Ekspose S/D Lantai 4. Penghuni diberikan kesempatan menyewa maksimal 9 tahun. Untuk tiap unit sarusun disewakan dengan harga berbeda sesuai letak sarusun. Semakin ke atas harga yang ditaarkan semakin murah. Lantai 1 disewakan seharga Rp150.000, lantai 2 Rp125.000, lantai 3 Rp100.000 dan lantai 4 Rp 75.000. Harga ini diluar pemakaian air dan listrik. Sementara lantai dasar dijadikan lahan parkir oleh penghuni maupun tamu. Dengan harga sewa yang rendah diharapkan Rusunawa menjadi masa transisi bagi masyarakat mengumpulkan uang untuk membeli tempat tinggal dengan hak milik.
Pematangan lahan Sebuah kawasan permukiman yang laiak seperti pembangunan drainase, paving blok, prasarana air limbah, jaringan listrik sampai pagar kawasan yang merupakan sharing APBD dan Anggaran pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Jika melihat jangka waktu pematangan yang dilakukan yakni tiga tahun, maka dimasukkan dalam kategori jangka menengah. Distribusi Distribusi mulai dilaksanakan tahun 2009 kepada MBR di Kecamatan Mariso yakni mereka yang berpenghasilan Rp2 juta ke bawah . Rusunawa Lette terdiri atas empat lantai, Setiap lantai dihuni 72 keluarga Tabel 2. Tabel 2 menunjukkan bahwa peng-huni Sarusun saat ini telah memenuhi kriteria MBR yang disyaratkan. Penghasilan mereka bervariasi antara Rp800.000-Rp1.920.000 dengan latar belakang pekerjajaan yang beragam, seperti kuli bangunan ataupun tukang batu. Adapun spesifikasi setiap sarusun, luasan unit 24 m2 dilengkapi dengan pantry dan kamar mandi. Adapun spesifikasi bangunan dinding Luar: Batako + Plester + Aci + Cat , dinding
PEMBAHASAN Dalam penelitian ini menunjukkan bahwa, kegiatan bank tanah yang dilakukan Pemkot Makassar untuk MBR masih terbatas pada permukiman secara vertikal dengan sistem sewa. Padahal 33
Herni Amir
ISSN 2252-7230
tingginya laju pertumbuhan penduduk berdampak pada meningkatnya kebutuhan rumah di Kota Makassar. Dalam rancangan Umum Tata Ruang Wilayah (RUTRW) bahwa pada tahun 2010/2011 dengan jumlah penduduk 1.473.725 jiwa Kota Makassar akan membutuhkan penambahan kebutuhan rumah sekitar 72.207 unit (Irsyadi,2012). Sehingga jika berdasarkan data Badan Pusat Statistik Sulawesi Selatan, jumlah penduduk Makassar pada tahun 2012 mencapai 1.366.063 jiwa, maka jumlah kebutuhan rumah mencapai sekira 66.934. Berdasarkan, pada pasal 105 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) menyebutkan, “Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya bertang-gung jawab atas ketersediaan tanah untuk pembangunan perumahan dan kawasan permukiman”. Tidak hanya itu, dalam Perda RT R Makassar Pasal 17 ayat (2) menyebutkan bahwa Pengembangan permukiman secara bertahap diarahkan untuk mencapai norma 1 (satu) unit rumah yang layak untuk setiap keluarga. Kenyataan tingginya angka kekurangan rumah dan pertumbuhan permukiman kumuh menandakan bukan hanya kebutuhan kekurangan rumah yang harus dipenuhi akan tetapi tingkat perbaikan kualitas hunian juga masih sangat tinggi. Hanya saja, masalah tanah di kawasan perkotaan berubah menjadi komoditas pasar yang semakin sulit dikendalikan. Sementara saat ini belum ada strategi dan program yang efektif untuk mengembalikan kebijakan tanah untuk perumahan rakyat (Sumardjono, 2011). Padahal di Negara yang rakyatnya berhasrat melaksanakan di negara yang rakyatnya berhasrat melaksanakan demokrasi yang berkeadilan social, pemanfaatan tanah untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat merupakan suatu conditio sine qua non. (syarat mutlak) Oleh Karena itu, diperlukan pengaturan penatagunaan tanah, dimana
pengaturan penatagunaan tanah tersebut ditujukan untuk menyediakan tanah bagi semua golongan masyarakat dan menjaga agar manfaat pengembangan dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat (Harsono, 2005). Di dalam konteks inilah diperlukan bank tanah sebagai salah satu instrumen yang harus dimainkan pemerintah. Untuk mendukung hadirnya bank tanah di Makassar, maka penulis mencoba mengklasifikasikan hal-hal yang diperlukan untuk menghadirkan lembaga tersebut. Dari segi penganggaran misalnya dengan memanfaatkan sebagian dari pemasukan pajak yang berkaitan dengan tanah yang termasuk pajak daerah. Misalnya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang peralihannya akan mulai dilakukan per 1 Januari 2014 dan pajak bea perolehan hak tanah dan bangunan (BPHTB) yang mulai 1 Januari 2011 telah beralih kepada pemerintah daerah kabupaten/kota. Dimana realisasi PBB Kota Makassar sampai September 2013 cukup besar mencapai Rp 80 milliar. Sementara BPHTB sudah mencapai Rp139 miliar (Ucu, 2013). Dana dari APBD bisa berupa dana khusus atau dana yang berasal dari dana Sisa lebih penggunaan anggaran (Silpa). Apalagi Silpa Kota Makassar tidak pernah di bawah Rp100 miliar. Langkah selanjutnya dilakukan pendataan tanah yang berfungsi untuk kesesuaian dengan tat ruang. Menurut Pasal 17 angka 6 point 2 Perda RTRW Makassar, pengembangan kawasan permukiman ditargetkan menempati wilayah perencanaan seluas 1.151,80 ha dengan mengembangkan kawasan permukiman baru terutama di wilayah bagian timur kota (antara jalan lingkar tengah dan luar) dan mendorong pengembangan kawasan permukiman KDB rendah beserta fasilitasnya di dearah pengembangan permukiman Panakkukang Mas. Menurut Pasal 9 point 2 kawasan permukiman terpadu yang berada pada bagian tengah pusat dan timur kota mencakup wilayah 34
Bank Tanah, Permukiman Rakyat
ISSN 2252-7230
kecamatan Manggala, Panakkukang, Rappocini dan Tamalate. Berdasarkan data BPS Sulsel tentang penggunaan lahan di Kota Makassar, lahan terbangun menempati 42,24 % atau 7.425 ha. Sementara sisa lahan tidak terbangun 57,76 % persen yang terdiri atas beberapa bagian seperti raa yang tidak ditanami menempati 0,55 persen atau 96 hektare, tegal. kebun 5,78 persen atau 1.016 ha, tanah terlantar 194 ha atau 1,10 persen, tambak 1360 ha atau 7,74 persen, lahan saah 15 persen atau 2.636 ha dan lahan lainnya sebesar 27,59 persen atau 4.850 ha (BPS, 2013). Selain itu, objek bank tanah tidak menggerus potensi lahan pertanian yang ada di kota Makassar. Berdasarkan Pasal 44 ayat (1) UU Nomor 41 Tahun 2009 menyebutkan larangan pengalihfungsian sebagai berikut: “Lahan yang sudah ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan dilindungi dan dilarang dialihfungsikan”. Karena itu, dengan pendataan, maka dapat dilakukan upaya membatasi konversi lahan sawah (Pradana, dkk 2012). Pendataan lahan juga dimaksudkan apakah tanah yang akan dijadikan objek bank tanah sudah bersertifikat atau belum. Sehingga jika belum, maka diselenggarakan kegiatan pendaftaran tanah. Dari berbagai indikator di atas, maka menurut penulis, sudah dapat diidentifikasi tanah-tanah yang dapat digunakan sebagai objek bank tanah, yakni pemanfaatan lahan tidak terbangun di luar lahan pertanian yang sesuai dengan RT RW Kota Makassar. Lahan-lahan tersebut yakni, di kecamatan Manggala 73 hektare dengan pemanfaatan rawa yang tidak dimanfaatkan. Kemudian Panakkukang 14 hektare juga dengan memanfaatkan rawa, dan Tamalate 109 hektare dengan objek tanah yang ditelantarkan. Karena di dalam Perda RT RW juga membuka pembangunan pusat permukiman di kawasan lain untuk mendukung kawasan tersebut, maka pemanfaatan tanah kosong yang tidak menyalahi aturan juga dapat dilakukan. Misalnya untuk kawasan
pendidikan di Tamalanrea. Di kawasan ini, Pemerintah Kota Makassar bisa memanfaatkan 50 hektare tanah terlantar dan 9 hektare rawa-rawa atau total 59 hektare. Kemudian pengembangan permukiman di pusat industri di Kecamatan Biringkanayya sebesar 35 hektare. Sehingga total tanah yang dapat digu-nakan sebagai kawasan permukiman 280 hektare. Kemudian pembuatan regulasi dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda). Program penyediaan tanah dapat berlangsung secara bersinambung. Dalam regulasi tersebut pula akan mengatur secara tegas intervensi dan insentif yang diberikan oleh pemerintah. Melalui regulasi, bentuk bank tanah daerah dapat ditetapkan berupa Badan Umum Milik Daerah (BUMD). Jika niat awal pendirian BUMD tersebut lebih ke pemanfaatan umum, maka BUMD sebaiknya berbadan hukum Perusahaan Daerah (Perusda) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962. Dalam bentuk Perusda juga dibuka kemungkinan untuk melakukan kerjasama dengan berbagai perusahaan. Seperti yang diatur dalam Pasal 6 bahwa dalam melaksanakan tujuannya untuk turut serta melaksanakan pembangunan daerah menuju masyarakat yang adil dan makmur, Perusda dapat berkerjasama dengan Perusahaan Negara, koperasai, dan swasta. KESIMPULAN DAN SARAN Kegiatan bank tanah di bidang permukiman rakyat sebagai cikal bakal berdirinya lembaga bank tanah sudah dilaksanakan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Makassar. Hal ini terlihat dalam peremajaan kawasan kumuh di Kecamatan Mariso dengan menggunakan tanah seluas 1,2 hektare yang merupakan aset Pemkot Makassar. Untuk merealisasikan terwujudnya lembaga bank tanah dalam rangka penyediaan tanah di bidang permukiman rakyat, ada beberapa hal yang perlu disiapkan yakni ketersediaan anggaran, pendataan lahan dan regulasi sehingga manajemen 35
Herni Amir
ISSN 2252-7230
kelembagaan akan lebih terarah dalam menjalankan tugas, fungsi dan kewenangan masing-masing. Pemerintah Kota (Pemkot) Makassar ke depan juga harus bisa menyediaan tanah untuk pembangunan hunian yang laik dan terjangkau yang nantinya bisa menjadi hak milik bagi masyarakat, baik berbentuk rumah susun milik ataupun hunian tapak . Pemerintah Kota (Pemkot) Makassar harus menyiapkan regulasi bank tanah dalam rangka penyediaan permukiman rakyat. APBD harus memberikan porsi khusus untuk penyediaan tanah untuk kebutuhan papan sebab ini merupakan pemenuhan hak dasar yang telah diatur dalam berbagai tingkatan regulasi baik dalam Pasal 28 H Amandemen UUD 1945, UU PKP Pasal 105, maupun dalam Perda RT RW Makassar.
Harsono Boedi. (2005). Hukum Agraria Indonesia sejarah pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Penjelasannya. Jakarta: Penerbit Djambatan. Irsyadi. (2012) Konsepsi Pengembangan Permukiman Makassar. Makalah. Nur Susyanti Sri. (2010). Bank Tanah Alternatif Penyelesaian Masalah Penyediaan Tanah Untuk Pembangunan Kota Berkelanjutan. Makassar: AS Publishing. Pradana Widya, Pamungkas Adjie. (2013). Pengendalian Konversi Lahan Pertanian Pangan Menjadi Non Pertanian Berdasarkan Preferensi Petani di Kecamatan Wongsorejo, Kabupaten Bayuwangi. Jurnal Online Institut Teknologi Sepuluh Nopember. ejurnal.its.ac.id, diunduh 20 September 2013. Salle Aminuddin, dkk. (2010). Bahan Ajar Hukum Agraria. Makassar: Penerbit AS Publishing Sukanti Arie, dkk (2008). Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan. Jakarta: Penerbit Rajawali Pers PT Rajagrafindo Persada. Sumardjono Maria. (2011). Tanah dalam Perspektif Ekonomi Social dan Budaya. Jakarta: Penerbit Gramedia Ucu. (2013). Dispenda Warning Pengusaha Bayar Pajak. Harian Berita Kota Makassar, 26 Oktober 2013.
DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistic Sulsel. (2013). Makassar Dalam Angka 2013. Budianto Arif. (2013). Kebutuhan Rumah Capai 800 Ribu Unit Pertahun. Sindonews.com, 17 April 2013. Hardiansyah Ancha. (2013). Harga Rumah Makassar tertinggi di Indonesia. Koran SINDO 28 Februari 2013. Hardiansyah Rahmat. (2012). Program Rumah Murah di Makassar Belum Optimal. Harian Seputar Indonesia. 10 Mei 2012.
36