Analisis, Juni 2014, Vol.3 No.1 : 82 – 89
ISSN 2252-7230
PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TENTANG KEADILAN RESTORATIF DI KEPOLISIAN RESORT BANGGAI The Settlement of Criminal Cases in Outside of Court the Restoratif Justice in the Police Resort of Banggai Endang Mustikowati, Syukri Akub, Syamsuddin Muchtar Bagian Hukum Pidana, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin (E-mail:
[email protected]) ABSTRAK Restorative justice merupakan suatu reaksi terhadap praktek penyelenggaraan peradilan yang tidak memperhatikan justice kepada si korban. Penelitian ini bertujuan mengetahui penerapan restorative justice di Kepolisian Resort Banggai dan faktor-faktor yang menjadi kendala dalam penerapan restorative justice di Kepolisian Resort Banggai. Penelitian ini dilaksanakan di Kantor Polres Banggai. Data primer dan data sekunder diperoleh melalui studi dan wawancara dengan berbagai pihak yang terkait dan diperoleh melalui dokumen, buku, serta peraturan perundang-undangan yang berkaitan erat dengan objek penelitian. Hasil penelitian menunjukan bahwa penerapan restorative justice di Kepolisian Resort Banggai adalah pembuatan regulasi yang mengakomodir semua ketentuan tentang penanganan tindak pidana melalui pendekatan keadilan restorative, sosialisasi ke semua aparat penegak hukum dan masyarakat, dan mengubah paradigma aparat penegak hukum dari pendekatan keadilan retributive dan keadilan restitutive menjadi keadilan restorative. Dan faktorfaktor yang menjadi kendala penerapan keadilan restorative di Kepolisian Resort Banggai adalah substansi hukum yang belum mengakomodir pelaksanaan keadilan restorative secara lengkap, penegak hukum yang belum melaksanakan secara optimal peraturan yang sudah ada dan masih bersikap kaku, dan kultur hukum/partisipasi masyarakat yang belum maksimal. Kata Kunci: Keadilan Restoratif, Pendekatan Hukum
ABSTRACT Restorative justice is a reaction to the practice of the administration of justice is no justice to the victim's attention. This study aims to determine application of restorative justice In the Police Resort of Banggai and the factors that constraint of the application of restorative In the Police Resort of Banggai. The research was carried In the Police Resort of Banggai. Primary data and secondary data obtained through the study and interviews with various stakeholders and obtained through the documents, books, and legislation that is closely related to the object of research. The results showed that application of restorative justice In the Police Resort of Banggai is the implementation of restorative justice In the Police Resort of Banggai is running optimally the creation of regulations that accommodate all the provisions on the handling restorative justice approach, dissemination to all law enforcement agencies and the community, and change the paradigm of law enforcement officers from retributive and restitutive justice approach to restorative justice. And the factors that constraint of the application of restorative In the Police Resort of Banggai is a legal substance that has not accommodate the full implementation of restorative justice, law enforcement officer who have optimally implement the laws that already exist and are still being stiff, and legal culture/community participation is not maximized. Keywords: Restorative Justice, Legal Approach
82
Keadilan Restoratif, Pendekatan Hukum
ISSN 2252-7230
Restorative justice sebagai salah usaha untuk mencari penyelesaian konflik secara damai di luar pengadilan masih sulit diterapkan, (Mudzakkir, 2007). Di Indonesia banyak hukum adat yang bisa menjadi restorative justice, namun keberadaannya tidak diakui negara atau tidak dikodifikasikan dalam hukum nasional. Hukum adat bisa menyelesaikan konflik yang muncul di masyarakat dan memberikan kepuasan pada pihak yang berkonflik. Munculnya ide restorative justice sebagai kritik atas penerapan sistem peradilan pidana dengan pemenjaraan yang dianggap tidak efektif menyelesaikan konflik sosial. Penyebabnya, pihak yang terlibat dalam konflik tersebut tidak dilibatkan dalam penyelesaian konflik. Korban tetap saja menjadi korban, pelaku yang dipenjara juga memunculkan persoalan baru bagi keluarga dan sebagainya. Ciri yang menonjol dari restorative justice, kejahatan ditempatkan sebagai gejala yang menjadi bagian tindakan sosial dan bukan sekadar pelanggaran hukum pidana. Kejahatan dipandang sebagai tindakan yang merugikan orang dan merusak hubungan sosial. Berbeda dengan hukum pidana yang telah menarik kejahatan sebagai masalah negara. Hanya negara yang berhak menghukum, meskipun sebenarnya komunitas adat bisa saja memberikan sanksi. Sistem pemenjaraan sebagai pelampiasan kebencian masyarakat yang diterima dan dijalankan negara. Munculnya ide restorative justice karena proses pidana belum memberikan keadilan pada korban. Usaha ke arah restorative justice sebenarnya sudah ada di lembaga pemasyarakatan, meskipun masih belum menonjol. Penerapan itu misalnya, menempatkan masa pembinaan sebagai ajang menyetarakan kembali hubungan narapidana dan korban. Selain pemenjaraan yang membawa akibat bagi keluarga napi, sistem yang berlaku sekarang dinilai tidak melegakan atau menyembuhkan korban, (Ridwan, 2010). Apalagi, proses hukumnya memakan
PENDAHULUAN Restorative justice merupakan suatu reaksi terhadap praktek penyelenggaraan peradilan yang tidak memperhatikan justice kepada si korban. Dalam praktiknya, keadilan lebih “memihak” kepada pelaku tindak pidana, hal ini dapat dilihat dari hak-haknya sejak awal proses penyidikan di tingkat Kepolisian hingga putusan pengadilan. Hal tersebut dipandang sebagai sesuatu yang tidak adil bagi korban tindak pidana. Meskipun pelaku tindak pidana itu dihukum seberat-beratnya, hukuman itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan faktual empirik terhadap penderitaan bagi korban ataupun keluarganya. Penderitaan seseorang tidak serta merta digantikan begitu saja dengan dihukumnya pelaku kejahatan. Penegakan hukum model seperti ini ditentang, dikarenakan keadilan harusnya diberikan kepada orang yang dirugikan. Hukum Islam sebenarnya memiliki muatan prinsip restorative justice. Sebagai contoh pelaksanaan qishas atau pun saling memaafkan,kedua hal ini dipandang sebagai upaya yangdapat merestore keadaan menjadi seperti semula. Penerapan prinsip restorative justice itu tergantung pada sistem hukum apa yang dianut oleh suatu negara. Jika dalam sistem hukum itu tidak menghendaki, maka tidak bisa dipaksakan penerapan restorative justice tersebut. Sehingga dapat disimpulkan bahwa prinsip restorative justice merupakan pilihan dalam mendesain sistem hukum suatu negara. Di Indonesia sendiri tidak menganut prinsip restorative justice akan tetapi ada beberapa undang-undang yang bernuansakan prinsip restorative justice seperti di dalam Undang-Undang Nomor. 11 Tahun 2012, tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Biarpun suatu negara tidak menganutnya, akan tetapi tidak menutup kemungkinan untuk diterapkan prinsip restorative justice tersebut guna memberikan keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum. 83
Endang Mustikowati
ISSN 2252-7230
waktu lama. Sebaliknya, pemidanaan restoratif melibatkan korban, keluarga dan pihak-pihak lain dalam menyelesaikan masalah. Disamping itu, menjadikan pelaku tindak pidana bertanggung jawab untuk memperbaiki kerugian yang ditimbulkan perbuatannya. Pada korban, penekanannya adalah pemulihan kerugian aset, derita fisik, keamanan, harkat dan kepuasan atau rasa keadilan. Bagi pelaku dan masyarakat, tujuannya adalah pemberian malu agar pelaku tidak mengulangi lagi perbuatannya, dan masyarakat pun menerimanya. Dengan model restoratif, pelaku tidak perlu masuk penjara kalau kepentingan dan kerugian korban sudah direstorasi, korban dan masyarakat pun sudah memaafkan, sementara pelaku sudah menyatakan penyesalannya. Proses restorative justice pada dasarnya dilakukan melalui diskresi (kebijaksanaan) dan diversi ini, merupakan upaya pengalihan dari proses peradilan pidana ke luar proses formal untuk diselesaikan secara musyawarah. Penyelesaian melalui musyawarah sebetulnya bukan hal baru bagi bangsa Indonesia. Sebelum pendudukan Belanda, bangsa kita sudah memiliki hukum sendiri, yaitu hukum adat. Hukum adat tidak membedakan penyelesaian perkara pidana dengan perkara perdata, semua perkara dapat diselesaikan secara musyawarah dengan tujuan untuk mendapatkan keseimbangan atau pemulihan keadaan. Penelitian ini bertujuan Untuk mengetahui penerapan restorative justice pada tahap penyidikan oleh Kepolisian Resort Banggai.
data sekunder tentang deversi jelas dapat ditemukan pada instansi tersebut. Teknik pengumpulan data Untuk memperoleh data yang sesuai dan akurat dalam penelitian ini, maka peneliti melakukan teknik pengumpulan data, yaitu Quisioner (Daftar Pertanyaan), Wawancara, Studi Dokumentasi. Jenis dan sumber data Jenis dan sumber data yang digunakan sebagai bahan penelitian adalah Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari penelitian yang terkait melalui teknik Quisioner, wawancara dan studi dokumentasi. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari penelusuran literatur karya ilmiah dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan objek penelitian. Analisis data Setelah data yang dibutuhkan baik data primer maupun data sekunder, akan diolah lebih dahulu dan kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif yaitu uraian menurut mutu yang berlaku dalam kenyataan sebagai gejala data primer yang dihubungkan dengan teori-teori dalam data sekunder yang berkaitan dengan penulisan tesis ini. HASIL Proses penyelesaian perkara restorative justice tidak lagi menggunakan caracara konvensional yang selama ini digunakan dalam sistem peradilan pidana, yang hanya berfokus pada mencari siapa yang benar dan siapa yang salah, serta mencari hukuman apa yang pantas diberikan kepada pihak yang bersalah tersebut. Sementara dalam penyelesaian perkara melalui restorative justice bukan lagi kedua hal tersebut, yang diinginkan oleh restorative justice adalah sebuah pemulihan terhadap pelaku agar ia tidak lagi melakukan kejahatan, pemulihan turut pula ditujukan kepada korban sebagai pihak yang dirugikan
BAHAN DAN METODE Lokasi penelitian Dalam pelaksanaan penelitian ini ditetapkan lokasi penelitian yaitu di Kantor kepolisian Resort Banggai dengan pertimbangan bahwa penerapan keadilan restorative dilaksanakan pada tingkat penyelidikan dan penyidikan sehingga
84
Keadilan Restoratif, Pendekatan Hukum
ISSN 2252-7230
serta hubungan antar korban, pelaku serta masyarakat agar jalannya kehidupan dapat kembali seperti semula. Restorative justice, melibatkan kedua pihak yaitu korban dan pelaku dan berfokus pada kebutuhan pribadi mereka. Selain itu, juga memberikan suatu bentuk bantuan bagi pelaku untuk menghindari pelanggaran di masa depan. Pada prinsipnya restorative justice diterapkan pada seluruh proses penegakan hukum dan tidak hanya pada satu proses saja, misalkan hanya pada penyidikan atau penuntutan atau peradilan saja. Hal ini dikarenakan prinsip restorative justice masuk pada suatu sistem hukum sehingga penerapannya ada pada setiap prosesnya dan juga tiap penegak hukum mempunyai kewenangan untuk menerapkannya. Penegakan hukum seharusnya bertujuan untuk mengakomodir kepentingan korban. Kemudian jika terjadi penyalahgunaan wewenang oleh aparat penegak hukum akibat adanya suap dari pelaku tindak pidana,maka siapa yang dapat mengakomodir kepentingan korban? Ketika permasalahan ini terjadi, perlu diketahui bahwa penyalahgunaan kewenangan itu tidak bisa dihubungkan dengan sistem hukumnya. Penyalahgunaan wewenang sendiri termasuk pelanggaran hukum, sehingga tidak dapat dihubungkan antara pelanggaran hukum yang terjadi di dalam proses penegakan hukum. Dalam UULLAJ membagi kriteria kecelakaan menjadi tiga yaitu kecelakaan ringan, kecelakaan sedang dan kecelakaan berat. Dari tiga kriteria tersebut semuanya dapat didamaikan pada level manapun pada tingkat kepolisian, saat penuntutan maupun saat di pengadilan, namun tidak secara “asal-asalan”melainkan harus mengikuti prosedur tata cara hukum dan aturan yang berlaku. Pada kecelakaan kriteria ringan, dengan ciri-ciri korban luka hanya menderita lecet-lecet atau memar-memar saja bisa langsung didamaikan asalkan kedua belah pihak setuju. Pada kecelakaan kriteria sedang,
dengan ciri-ciri korban menderita patah tulang atau yang dapat menimbulkan cacat pada tubuh. Sedangkan pada kecelakaan kriteria berat korban sampai mengalami kematian atau kehilangan nyawa. Pada kriteria kecelakaan sedang dan berat harus ada proses hukumnya, hal ini bertujuan sebagai pertangungjawaban terhadap hukum, moral dan publik. Sedangkan jika ingin berdamai tetap diperbolehkan tetapi harus ditentukan terlebih dahulu siapa yang salah, karena hal tersebut akan berhubungan dengan ganti rugi. Penerapan prinsip restorative justice itu tergantung pada sistem hukum apa yang dianut oleh suatu negara. Jika dalam sistem hukum itu tidak menghendaki, maka tidak bisa dipaksakan penerapan restorative justice tersebut. Sehingga dapat disimpulkan bahwa prinsip restorative justice merupakan pilihan dalam mendesain sistem hukum suatu negara. Di Indonesia sendiri tidak menganut prinsip restorative justice akan tetapi ada beberapa undang-undang yang ber’nuansa’kan prinsip restorative justice seperti di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012. Biarpun suatu negara tidak menganutnya, akan tetapi tidak menutup kemungkinan untuk diterapkan prinsip restorative justice tersebut guna memberikan keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum. Pendekatan restorative justice dalam hukum pidana bukan bertujuan untuk mengabolisi hukum pidana, atau melebur hukum pidana dan hukum perdata, karena pendekatan restorative justice yang mengutamakan jalur mediasi antara korban dan pelaku. Pendekatan restorative justice justru mengembalikan fungsi hukum pidana pada jalurnya semula yaitu pada fungsi ultimum remidium, suatu senjata pamungkas bilamana upaya hukum lain sudah tidak dapat lagi digunakan dalam menghadapi suatu tindak pidana dalam masyarakat. Dalam tataran praktis penanganan dan penyelesaian perkara pidana dengan menggunakan pendekatan 85
Endang Mustikowati
ISSN 2252-7230
restorative justice menawarkan alternatif jawaban atas sejumlah masalah yang dihadapi dalam sistem peradilan pidana, misalnya proses administrasi peradilan yang sulit, lama, dan mahal, penumpukan perkara atau putusan pengadilan yang tidak menampung kepentingan korban.” Penerapan Restorative Justice Di Kepolisian Resort Banggai, yaitu dilakukan sebagai upaya agar dapat berjalan optimal adalah Regulasi, Sosialisasi, dan Perubahan Paradigma
partisipasi bersama antara pelaku, korban, dan kelompok masyarakat menyelesaikan suatu peristiwa atau tindak pidana. Menempatkan pelaku, korban, dan masyarakat sebagai ”stakeholders” yang bekerja bersama dan langsung berusaha menemukan penyelesaian yang dipandang adil bagi semua pihak (win-win solutions)”. Konsep keadilan restoratif telah muncul lebih dari 20 tahun yang lalu sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana dengan pelaku anak. Kelompok Kerja Peradilan Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendefinisikan keadilan restoratif sebagai suatu proses semua pihak yang berhubungan dengan tindak pidana tertentu duduk bersama-sama untuk memecahkan masalah dan memikirkan bagaimana mengatasi akibat di masa yang akan dating, (Sasmita, 2009). Keadilan restoratif adalah suatu proses pengalihan dari proses pidana formal ke informal sebagai alternatif terbaik penanganan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dengan cara semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama memecahkan perbuatan anak di masa yang akan datang. Menurut Eva Achjani Zulfa (Dewi dkk, 2011), Keadilan restoratif adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini. Di pihak lain, keadilan restoratif juga merupakan suatu kerangka berfikir yang baru yang dapat digunakan dalam merespon suatu tindak pidana bagi penegak dan pekerja hukum. Sebab, gagasan keadilan restoratif merupakan suatu filosofi pemidanaan tradisional yang dapat dipakai sebagai pendekatan dalam penanganan dan penyelesaian perkara pidana yang terjadi dalam masyarakat.
PEMBAHASAN Pada penelitian ini terlihat bahwa Restorative justice (keadilan restoratif) adalah suatu penyelesaian secara adil yang melibatkan pelaku, korban, keluarga mereka dan pihak lain yang terkait dalam suatu tindak pidana secara bersama-sama mencari penyelesaian terhadap tindak pidana tersebut dan implikasinya dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Bersama antara Ketua Mahkamah Agung RI, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Menteri Hukum Dan Ham Republik Indonesia, Menteri Sosial Republik Indonesia dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia. Restorative justice adalah konsep pemidanaan, tetapi sebagai konsep pemidanaan tidak hanya terbatas pada ketentuan hukum pidana (formal dan materil). Restorative justice harus juga diamati dari segi kriminologi dan sistem pemasyarakatan. Manan, (2008). Dari kenyataan yang ada, sistem pemidanaan yang berlaku belum sepenuhnya menjamin keadilan terpadu (integrated justice), yaitu keadilan bagi pelaku, keadilan bagi korban, dan keadilan bagi masyarakat. Hal inilah yang mendorong kedepan konsep ”restorative justice”. Kemudian Manan, (2008), dalam tulisannya juga, menguraikan tentang substansi ”restorative justice” berisi prinsip-prinsip, antara lain: ”Membangun 86
Keadilan Restoratif, Pendekatan Hukum
ISSN 2252-7230
Proses keadilan restoratif pada dasarnya merupakan upaya pengalihan dari proses peradilan pidana menuju penyelesaian secara musyawarah, yang pada dasarnya merupakan jiwa dari bangsa permasalahan dengan cara kekeluargaan untuk mencapai mufakat, (Mustofa, 2004). Penyelesaian melalui musyawarah sebetulnya bukan hal baru bagi bangsa Indonesia. Sebelum pendudukan Belanda, bangsa kita sudah memiliki hukum sendiri, yaitu hukum adat, Hukum adat tidak membedakan penyelesaian perkara pidana dengan perkara perdata, semua perkara dapat diselesaikan secara musyawarah dengan tujuan untuk mendapatkan keseimbangan atau pemulihan keadaan. Selain dalam hukum adat, musyawarah dalam penyelesaian perkara pidana juga dikenal dalam hukum Islam, bahkan dalam perkara berat dan dilakukan orang dewasa sekalipun, seperti pembunuhan, yaitu apabila keluarga korban memaafkan pelaku kejahatan dan biasanya pelaku membayar diat (uang pengganti) kepada keluarga korban. Adapun sebagai mediator dalam musyawarah dapat diambil dari tokoh masyarakat yang terpercaya dan bila kejadiannya di sekolah dapat dilakukan kepala sekolah atau guru. Syarat utama dari penyelesaian melalui musyawarah pemulihan adalah adanya pengakuan dari pelaku serta adanya persetujuan dari pelaku beserta keluarganya dan korban untuk menyelesaiakan perkara melalui musyawarah. Jadi, musyawarah tidak boleh didasarkan atas paksaan. Apabila pihak-pihak tidak menghendaki penyelesaian melalui musyawarah, maka proses peradilan baru berjalan. Dalam konsep restoratif ini, proses peradilan sebagai ultimum remedium, apabila pintu diskresi tidak ditemukan, Proses peradilan yang diharapkan adalah proses yang dapat memulihkan, artinya perkara betul-betul ditangani aparat penegak hukum yang mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak, dan telah
mengikuti pelatihan keadilan restoratif, serta penahanan dilakukan sebagai pilihan terakhir dengaan mengindahkan prinsip-prinsip dasar dari konvensi hakhak anak yang telah diadopsi ke dalam Undang-Undang Perlindungan Anak, (Mudzakkir 2001). Apabila anak terpaksa harus ditahan, penahanan tersebut harus di rutan khusus anak, dan apabila terpaksa harus dihukum penjara, anak harus ditempatkan di Lapas Anak, baik dirutan maupun di Lapas, anak tetap harus bersekolah dan mendapatkan hak azasinya sesuai dengan The Beijing Rules (Peraturan Minimum Standar PBB mengenai Administrasi Peradilan Bagi Anak) agar mereka dapat menyongsong masa depan yang cerah, karena pengabaian terhadap hak-hak anak adalah juga pengabaian terhadap masa depan bangsa dan Negara (Friedrich, 2004). Keadilan restoratif dilandasi oleh beberapa prinsip, yaitu Membangun partisipasi bersama antara pelaku, korban, daan kelompok masyarakat dalam menyelesaikan suatu peristiwa atau tindak pidana. Mendorong pelaku/anak bertanggungjawab terhadap korban atas peristiwa atau tindak pidana yang telah menimbulkan cedera atau kerugian para korban, Menempatkan peristiwa atau tindak pidana tidak terutama sebagai suatu bentuk pelanggaran antar individu yaitu hukum, melainkan sebagai pelanggaran oleh seseorang (kelompok orang) terhadap orang (sekelompok orang), Mendorong menyelesaikan suatu peristiwa atau tindak pidana dengan cara-cara yang lebih informal dan personal daripada penyelesaian dengan cara-cara beracara yang formal di pengadilan dan inpersonal, (Meliala, 2004). Syarat penerapan keadilan restorative dalam konteks peradilan anak di Indonesia sekarang ini, ada beberapa faktor yang menjadi pertimbangan dalam memutuskan apakah sebuah penanganan kasus ABH memerlukan pendekatan restoratif atau tidak. Syarat-syarat 87
Endang Mustikowati
ISSN 2252-7230
penerapan keadilan restoratif adalah Usia anak, Ancaman hukumam (maksimum 7 tahun), Pelaku mengakui kesalahan dan menyesali perbuatannya, Persetujuan korban dan keluarga, Tingkat seringnya pelaku melakukan pidana (residivis) (Ali, 2009). Anak yang berusia antara 8 tahun dengan 12 tahun dapat diproses hukum atas suatu kondisi tertentu, tetapi tidak bisa dikenakan penahanan atau pemenjaraan. Untuk anak usia di bawah 12 tahun, keadilan restoratif hendaknya harus selalu menjai pertimbangan pertama dan bukan untuk proses pidana. Polisi harus selalu mempertanyakan, apa manfaat dari sebuah proses pidana bagi anak. Anak di atas usia 12 tahun dapat diproses pidana bagi anak, tetapi keadilan restoratif harus tetap menjadi pertimbangan pertama untuk memutuskan apakah sebuah pelanggaran hukum dapat diatasi dengan baik tanpa penuntutan.
bukan melalui jalur damai. Kepada aparat Kepolisian agar dalam menangani masalah anak, Delik aduan dan KDRT hendaknya mengutamakan pendekatan restorative justice bukan pendekatan retributive justice atau proses hukum formal. DAFTAR PUSTAKA Ali Achmad, (2009). Menguak Teori Hukum Dan Teori Peradilan, Prenada Media Group, Jakarta. Dewi DS. dan Syukur Fatahillah, (2011), Merdiasi Penal: Penerapan Restorative Justice di Pengadilan Anak Di Indonesia, Indie Publishing. Depok. Friedrich Carl Joachim, (2004), Filsafat Hukum Perspektif Historis, Nuansa dan Nusamedia, Bandung. Manan Bagir, (2008), Retorative Justice (Suatu Perkenalan),dalam Refleksi Dinamika Hukum Rangkaian Pemikiran Dalam Dekade Terakhir, Perum Percetakan Negara RI, Jakarta. Meliala Adrianus, (2004), Disampaikan dalam Lokakarya Menghukum Tanpa Memenjarakan: Mengaktualisasikan Gagasan "Restorative Justice" di Indonesia, di Depok, Diskusi yang diselenggarakan Departemen Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI dan Australia Agency for International Development. Mudzakkir, (2007), Alternative Dispute Resolution (ADR): Penyelesaian Perkara Pidana Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Makalah Workshop, Jakarta Mudzakkir (2001), Posisi Hukum Korban Kejahatan dalam Sistem Peradilan Pidana, Disertasi, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Jakarta Mustofa Muhammad, (2004), Disampaikan dalam Lokakarya Menghukum Tanpa Memenjarakan: Mengaktualisasikan Gagasan "Restorative Justice" di Indonesia, di Depok, dalam Diskusi yang
KESIMPULAN DAN SARAN Penerapan restorative justice pada tahap penyidikan di Kepolisian Resort Banggai didasarkan adanya regulasi melalui Surat Keputusan Bersama Ketua MARI, Jaksa Aguing RI, Kepala Kepolisian Negara RI, Menteri Hukum dan HAM RI, Menteri Sosial RI, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI Tentang Penanganan Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum, dan belum mengatur terhadap tindak pidana lain seperti Kecelakaan Lalu Lintas, KDRT, Delik aduan, dll., sehingga kewenangan Kepolisian dalam melakukan pendekatan restorative justice masih dibatasi dengan belum adanya suatu aturan yang mengatur tentang restorative justice; Sosialisasi dilakukan dilakukan terhadap seluruh komponen masyarakat dan institusi penegak hukum, guna memperoleh kesamaan pandangan mengenai restorative justice; dan paradigma berpikir sebagian masyarakat di Kabupaten Banggai masih bersifat negative positivism, yang menganggap bahwa setiap kejahatan harus dihukum, 88
Keadilan Restoratif, Pendekatan Hukum
ISSN 2252-7230
diselenggarakan Departemen Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI dan Australia Agency for International Development.
Ridwan Mansyur. (2010). Mediasi Penal Terhadap Perkara KDRT, Yayasan Gema Yustisia Indonesia. Jakarta. Sasmita Dian, (2009), Anak-anak Dibalik Terali Besi, Artikel, Jakarta.
89