No.1 ‐ Tahun 2014
Analisis
INFID
PAJAK SUPER KEPADA SUPERKAYA DI PERANCIS DAN PEMILU INDONESIA 2014 RINGKASAN
Mahkamah Konstitusi Perancis baru–baru ini menyetujui kebijakan pemerintah Perancis untuk memberlakukan pajak super kepada kelompok Superkaya (milyarder), dengan tarif 75%. Tarif pajak super ini jauh di atas rata–rata tarif pajak tertinggi di dalam zona Eropa yang sebesar 43%. Pendapatan tambahan dari pajak, bukan utang baru, dibutuhkan pemerintah Perancis untuk memacu ekonomi sekaligus menghindari pemotongan besar–besaran belanja pemerintah dan belanja sosial bagi warganegaranya (austerity). Di Indonesia, isu pajak belum pernah menjadi topik perdebatan, setidaknya dalam dua Pemilihan Umum (Pemilu) era demokrasi 2004, 2009. Isu kebijakan pajak sudah saatnya patut menjadi agenda perdebatan dan agenda kerja para Calon Legislatif (Caleg) dan Calon Presiden (Capres). Para Caleg dan Capres Indonesia perlu memiliki sikap dan rencana perihal kebijakan pajak. Indonesia memiliki potensi dan wajib menaikkan perolehan pajak, dari level 13–15% menjadi 19–24% dalam kurun waktu lima tahun. Potensi perolehan pajak ini dapat berasal dari 1.000 Milyarder Indonesia yang meraup pendapatan antara Rp. 5–20 miliar per tahun. Potensi lainnya juga terdapat pada pelarian dana pajak sebesar 100 Triliun setiap tahun ke luar negeri. Perolehan pajak Indonesia saat ini masih berada di bawah potensi dan jauh di bawah rerata negara–negara sebaya. Perubahan dan penguatan integritas dan sikap anti–korupsi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menjadi bagian wajib dari peningkatan pajak. Peningkatan kinerja dan akuntabilitas DJP menjadi bagian tak terpisahkan untuk mengejar kenaikan penerimaan pajak. Hasil kenaikan penerimaan pajak antara 2–5% Product Domestic Bruto (PDB) dapat digunakan untuk pendanaan infrastruktur, penurunan angka kematian ibu, perluasan Jaminan Sosial, peningkatan kualitas sumber daya manusia dan penguatan sektor pertanian serta usaha–usaha ekonomi–industri kecil, perbaikan administrasi layanan publik, hingga kegiatan–kegiatan yang dapat mempercepat pemerintahan terbuka, melindungi Hak Asasi Manusia (HAM) serta memperluas aksi–aksi anti korupsi seperti penguatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Nasional (Komnas) HAM, Komnas Perempuan dan Komnas Anak.
ANALISIS INFID disusun sebagai bahan masukan kepada para calon legislative, calon presiden Indonesia yang akan berkampanye dan dipilih oleh rakyat Indonesia dalam pemilu 2014 ini serta pengambil kebijakan. Bahan–bahan penulisan berdasarkan sumber–sumber media dan yang dapat dipercaya. Kesimpulan dan rekomendasinya diupayakan dapat diuji dan diperdebatkan. Tujuannya untuk menyuarakan suara dan usulan–usulan kelompok masyarakat sipil Indonesia dan warga negara yang memimpikan politik yang cerdas dan berbasis program dan menginginkan pembangunan yang lebih Inklusif, untuk semua dan melindungi hak asasi manusia. Tim penyusun: Sugeng Bahagijo, Mickael B Hoelman, J. Prastowo, Setyo Budiantoro dan Hamong Santono ** Diperkenankan untuk mengutip dengan menyebut judul dokumen dan nama penyusun.
www.infid.org
PAJAK SUPER BAGI SI SUPERKAYA DI PERANCIS Tidak semua beban harus menjadi beban semua warga. Atau, beban sebaiknya ditanggung secara bersama–sama oleh semua warga negara, sesuai dengan kemampuan masing–masing, baik yang mampu dan tidak mampu, yang Kaya maupun yang Superkaya. Mungkin demikian kata Perdana Menteri Perancis, Francois Hollande. Baru–baru ini, Mahkamah Konstitusi (MK) Perancis telah menyetujui kebijakan pemerintah yang memberlakukan Pajak Penghasilan sebesar 75% bagi kelompok Superkaya (mega–rich). Pajak ini sering disebut juga sebagai “Pajak Miliarwan”. Hal ini cukup mengejutkan kalangan elite dan Superkaya Perancis. Bahkan sejumlah orang Kaya dan Superkaya sudah bersiap–siap untuk berpindah kewarganegaraan. Sebagai perbandingan, rerata pajak bagi kelompok Superkaya di zona Euro adalah 43 persen. MK Perancis menyatakan bahwa; (a) perusahaan akan membayar 50% pajak bagi eksekutif atau karyawan yang bergaji tinggi di atas 1 juta euro per tahun; (b) maksimum pembayaran pajak oleh perusahaan dipatok tidak boleh melebihi dari 5% pendapatan kotor perusahaan. Kebijakan pajak baru ini diperkirakan akan menghasilkan pendapatan 200 juta euro per tahun kepada anggaran pendapatan dan belanja Perancis. Pajak ini akan berdampak terhadap 450 perusahaan termasuk sejumlah klub–klub sepakbola kaya, seperti Paris Saint Germain (PSG). Mengapa Perancis sedemikian agresif dalam mengumpulkan pajak dari kelompok Superkaya? Sudah menjadi rahasia umum bahwa di tengah ekonomi yang masih lesu, pemerintah harus bertindak lebih aktif dalam menggerakkan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja. Pemerintah sosialis pimpinan Francois Hollande percaya bahwa peran pemerintah harus lebih aktif, ketimbang hanya menjadi “penjaga malam”. Pemerintah Perancis mematok akan menggerakkan pertumbuhan hingga 4,5 persen, dan mengurangi defisit hingga 3% PDB dalam anggaran tahunan. Pemerintah juga harus memecahkan soal pengangguran yang mencapai level 10 persen yang merupakan angka tertinggi dalam kurun waktu 16 tahun terakhir, sembari melindungi jaminan sosial yang dalam kurun waktu 10 tahun terus menerus dikurangi dan merosot. Masalahnya kemudian, dari mana sumber dana mesti diperoleh. Biasanya pemerintah memiliki dua sumber dana, yaitu pajak dan utang. Menoleh kepada sumber utang sebagai alternatif, seperti yang biasanya dilakukan nampaknya tidak bisa dilakukan secara terus–menerus, apalagi dengan beban utang negara yang telah melambung tinggi hingga mencapai angka 90% PDB dibandingkan dengan rata–rata selama periode 80 dan 90an yang hanya mencapai 50.1% PDB. Maka pajak menjadi andalan untuk memperoleh dana. Alasannya pajak memiliki keberlanjutan (sustainability) yang baik karena tumbuh seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan kinerja pemerintah. Selain itu, pajak juga membawa instrument keadilan distribusi sumber daya diantara warga negara. Pajak ini dikenakan kepada mereka yang berpendapatan di atas 1 juta euro per tahun. Di Indonesia, jumlah ini kira–kira setara dengan pendapatan di atas 16 milyar rupiah per tahun. Petisi Superkaya dan Warren Buffet Kebijakan Pajak Super ini bukanlah kebijakan tiba–tiba, asal–asalan dan tanpa pendukung. Karena didera oleh krisis keuangan tahun 2008, sebagian besar negara maju termasuk Perancis melakukan berbagai kebijakan pemotongan anggaran dan pengetatan ikat pinggang (austerity), termasuk pemotongan berbagai jaminan sosial. Namun demikian, PM Hollande dalam kampanyenya telah berjanji untuk tidak hanya membebankan krisis ekonomi kepada warganegara saja. Perubahan kebijakan pajak menjadi pilihannya.
www.infid.org 2
Sebelumnya pada tahun 2011, ketika PM Sarkozy masih menjabat, sebuah petisi telah disiarkan oleh tokoh–tokoh Superkaya Perancis dan menganjurkan agar pemerintah mengenakan pajak yang lebih tinggi kepada mereka guna membantu Perancis keluar dari krisis keuangan. Petisi itu ditandatangani oleh pemimpin dan tokoh–tokoh bisnis puncak di Perancis, diantaranya: pemilik industri komestik raksasa L’Oreal, bos perusahaan minyak raksasa Total SA, bos perusahaan periklanan Pubcis Group SA, pimpinan dari industri bank Sciete Generale, dan juga President dari Air France KLM SA. (Globe and Mail, 13/8/11). Tindakan mulia oleh Superkaya ini di Perancis juga tidak serta–merta. Apa yang terjadi di seberang Atlantik yakni di Amerika Serikat (AS) rupanya ikut mempengaruhi Perancis. Sebelumnya di AS, pada tahun yang sama, Warren Buffet, salah seorang Superkaya AS, pernah menyatakan dalam sebuah Opini di surat kabar New York Times agar pemerintah mengenakan pajak yang lebih tinggi kepada kelompok superkaya termasuk dirinya untuk membantu pemerintah menurunkan defisit anggaran. Buffet juga menyatakan bahwa pajak lebih tinggi tidak akan menurunkan minat seorang investor (Stop Coddling The Rich, NYT, 14/8/11). Ia bahkan menyarankan Kongres AS untuk segera menerbitkan Pajak Minimum bagi Superkaya (A Minimum Tax for the Wealthy, NYT, 25/11/12). Buffet juga menulis bahwa pada tahun 2010, dia telah membayar pajak sebesar lebih dari 6 juta dolar, sepertinya angka yang besar, akan tetapi angka itu hanya 17 persen dari pendapatan kena pajak. Jauh di bawah beban para karyawan di kantornya yang menanggung beban 30 hingga 40 persen. Bukan rahasia lagi, sistem perpajakan yang dominan di dunia sekarang mengarah ke schedular system – yang memisahkan penghasilan berdasarkan sumbernya dan umumnya aktif dan passive income. Inilah penyebab tarif pajak sektor finansial menjadi terlalu rendah. Secara teori, global system lebih adil karena menjumlahkan seluruh penghasilan yang diperoleh dan dikenai tarif yang sama. Hal ini terjadi karena pendapatan dari sektor finansial termasuk saham, transaksi derivatif, dan dividen (pemilik perusahaan dan pemegang saham) hanya dikenakan tarif rendah sementara pendapatan gaji (karyawan) mendapatkan tarif yang lebih tinggi. Seorang investor, pemilik saham dan pemilik perusahaan “justru” meraup dana besar bukan dari gajinya, melainkan dari imbal hasil saham, dividen dan sebagainya. Relevansinya bagi Indonesia Di Indonesia, kebijakan pajak seperti ini kiranya layak dipertimbangkan untuk diperdebatkan dan menjadi agenda caleg dan capres menjelang Pemilu Tahun 2014. Isu kebijakan pajak juga layak menjadi salah satu prioritas utama pembangunan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Indonesia 2015–2019. Setidaknya ada tiga alasan mengapa capres dan caleg tidak boleh lepas tangan atau diam atas kebijakan Pajak; (a) Pajak telah menjadi sumber dominan dan utama dalam APBN Indonesia, ketimbang Utang maupun Hibah Luar Negeri; (b) Indonesia perlu menghimpun dana untuk mendanai jaminan sosial, memperbaiki infrastruktur dan pertanian yang selama ini tertinggal; (c) Indonesia memerlukan dana yang cukup untuk mendanai rencana dan kebijakan para caleg dan capres. Beberapa pertanyaan layak dijawab oleh para caleg dan capres Indonesia: (i) Bagaimana kebijakan pajak mereka, apakah mereka akan memfokuskan pada kebijakan atau administrasi perpajakan, atau keduanya? (ii) Bagaimana strategi mereka untuk menutup–menghapus–meminalisasi penghindaran– pengelakan pajak sebagaimana dilansir oleh KPK dan Global Financial Integrity? Bagaimana strategi mereka untuk memperkuat kinerja DJP dan mengurangi korupsi ala Gayus? (iii) Apa strategi mereka dalam mengagregasi partisipasi warga menjadi wajib pajak yang patuh dan merancang arsitektur anggaran yang lebih menjamin redistribusi uang pajak secara adil dan merata? Mengapa pajak urgen menjadi perhatian Caleg dan Capres? Pajak telah menjadi isu kebijakan utama di dunia internasional. Tidak mungkin seorang Presiden dan Wapres terpilih serta para menterinya tidak
www.infid.org 3
memiliki posisi terhadap isu pajak di berbagai sidang dan forum internasional. Selain itu pula karena adanya kebutuhan untuk menemukan berbagai sumber dana dan memperluas potensi penggalangan dana pembangunan untuk mengatasi kemiskinan. Dalam dokumen kesepakatan panel pembangunan yang dibentuk Sekjen PBB untuk Rencana Pembangunan Paska‐2015 (High Level Panel on Post2015), dimana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi anggotanya bersama PM Inggris dan President Liberia, pajak telah disebut sebagai target, yakni perlunya penyelesaian masalah pelarian pajak illegal ke luar negeri yang dialami negara berkembang dan negara–negara maju. Indonesia sendiri telah menderita kerugian sebesar 10 milyar per tahunnya atau lebih dari 100 triliiun. Dalam forum G20 dimana Indonesia menjadi anggotanya, para pemimpin dunia juga telah mengagendakan penyelesaian sistem pajak dunia. Atas perintah pimpinan G20, lembaga OECD berbasis di Paris telah menyelesaikan kajiannya. Hasil kajian OECD menemukan kelemahan dan pelanggaran (abuse) skala besar yang berakibat hilangnya dana–dana pajak melalui profit shifting dan transfer pricing (Addressing Base Erosion and Profits shifting, OECD, 2012). Dalam wawancara dengan Buletin KPMG Internasional (2013) seorang pejabat pajak OECD, Saint– Amants, menjelaskan mengapa Pajak telah menjadi agenda politik Internasional dan bukan hanya urusan birokrat di dalam negeri : “Perhatian Politik kepada Isu Pajak telah tumbuh karena susah dipahami mengapa sejumlah perusahaan yang mencetak laba hanya membayar pajak dalam jumlah yang kecil sementara pajak perorangan dan perusahaan skala kecil dan menengah semakin meningkat secara drastis dimana‐mana. Misalnya pajak PPN telah meningkat di 25 negara diantara 33 negara anggota OECD”.
Pajak juga merupakan alternatif yang baik karena pilihan lain yaitu; (i) meski rasio utang dan PDB masih rendah di bawah 30% PDB, namun demikian menambah beban kepada beban yang sudah ada berupa pembayaran Utang luar negeri atau Utang dalam negeri kiranya tidak lagi feasible. Beban yang paling berat adalah beban warisan utang masa lalu. Bila kita simak beban pembayaran utang dalam dan luar negeri, angkanya bahkan telah mencapai Rp. 200 Trilun per tahun sebagai akibat pinjaman masa kririsis tahun 1997/ 1998 yang digunakan untuk menalangi (bailout) bank–bank Indonesia 60 miliar USD. Batas maksimum pembayaran utang dalam dan luar negeri yang telah mencapai 2% PDB saat ini telah cukup menyulitkan bagi APBN Indonesia. Selain pinjaman, maka pemerintah juga dapat melakukan (ii) penghematan. Di Perancis, penghematan dilakukan dengan melakukan pemotongan anggaran kesejahteraan warga seperti jaminan sosial. Namun yang membedakan Perancis dengan Indonesia adalah karena belanja sosial Indonesia yang masih sangat minim sehingga tidak mungkin untuk dihemat lagi. Yang layak dipangkas justru belanja‐belanja birokrasi (sistem pensiun bagi pejabat politik, besaran uang perjalanan dinas (perdiem) pejabat yang keluar negeri, jumlah perjalanan dinas, dll). Selain itu, subsidi energi/ bahan bakar minyak (BBM) yang besar dapat direalokasikan untuk belanja sosial lain seperti belanja jaminan sosial dan lain sebagainya. Pada tingkat nasional, memecahkan masalah pajak sangat menguntungkan Indonesia. Setidaknya ada beberapa manfaat yang dapat segera dipetik jika pajak menjadi lebih baik dan lebih adil; (a) Jika pajak disusun secara lebih adil, maka tingkat ketimpangan pendapatan di Indonesia akan dapat ditekan dan dijinakkan hingga minimal. (b) Jika korupsi pajak dapat ditekan, maka kepercayaan kepada parpol dan demokrasi akan semakin meningkat. Penelitian Ahmed Riahi–Belkaoui (2008) menunjukkan korelasi positif tingkat kepatuhan pajak dengan rendahnya korupsi dan debirokratisasi, sementara itu Benno Torgler (2007) turut menyatakan kepatuhan pajak berbanding lurus dengan timbal balik layanan publik yang baik.
www.infid.org 4
Jika masalah pajak dapat diatasi, maka manfaatnya sangat jelas dan nyata, yakni: akan ada tambahan dana hingga 200–400 triliun per tahun bagi APBN Indonesia. Sebuah jumlah yang raksasa dan fantastis bagi Indonesia. Darimanakah angka ini? Angka ini merupakan angka estimasi konservatif dari jumlah berbagai dana pajak yang lari ke luar negeri, korupsi pajak serta upaya‐upaya penghindaran pajak yang telah bertahun–tahun terjadi. Masalah pajak hingga kini sudah sering dilansir oleh media massa, sayangnya hal ini kurang mendorong perubahan dan perbaikan kebijakan. Mungkin masa pemilu dapat menjadi peluang. Beberapa masalah utama pajak yang menonjol misalnya adalah; (a) 60 persen perusahaan pertambangan tidak membayar pajak, sebagaimana dilansir oleh ketua KPK, Abraham Samad dan kontribusi pembayaran pajak sektor pertambangan yang terus mengalami penurunan; (b) Indonesia telah menderita pelarian pajak/ penghindaran pajak oleh MNC dan perusahaan dalam negeri sebesar 10 milar dolar per tahun atau 100 milar dolar hanya dalam kurun waktu 3 tahun, sebagaimana ditemukan oleh laporan Global Financial Integrity yang berbasis di AS. (c) Korupsi pajak oleh pegawai Pajak, sebagaimana dimuat oleh berbagai media, serta rawannya praktik kolusi antara wajib pajak dan Fiskus akibat sistem pengawasan yang belum optimal. (d) SDM pajak Indonesia masih jauh dari kebutuhan. Ditengarai bahwa Dirjen Pajak memerlukan sekitar 13 ribu petugas pajak. Namun hingga hari ini baru dipenuhi sekitar 3000 ribu tenaga. Pajak dan Agenda Capres Nasib Indonesia akan sangat ditentukan oleh kebijakan Pajak. Dan kebijakan pajak akan sangat bergantung kepada apa yang akan dilakukan oleh capres dan presiden terpilih nanti. Hal ini kiranya tidak berlebihan. Perolehan pajak Indonesia selama ini sangat jauh dari potensinya. sebagai negara menengah, rerata Indonesia semestinya telah mencapai 19–24 persen PDB. Namun selama ini Indonesia hanya berkuat di angka sekitar 13–15 persen. Salah satu yang sering dijadikan alasan adalah karena tarif pajak tertinggi di Indonesia hanya 30 persen, bagi pendapatan di atas Rp 500 juta per tahun. Artinya, kebijakan pajak Indonesia tidak membedakan antara Si Kaya dan Si Superkaya, antara mereka yang berpendapatan Rp 500 juta dengan mereka yang meraup pendapatan di atas 3 milyar atau 10 milyar per tahun, bahkan lebih dari itu. Padahal, terdapat potensi besar yang terus dilupakan oleh publik dan elite politik. Dari berbagai dana yang hilang dan potensi yang ada, Prastowo dan Budiantoro (2012) telah menyebut angka potensi 500 Triliun per tahun (lihat Lampiran 1). IMF menyebut potensi perolehan pajak Indonesia adalah 21% PDB. Selama 10 tahun terakhir Indonesia dengan berbagai kemudahan dan fasilitas bagi pengusaha dan sektor kroporasi telah menghasilkan dan mencetak lebih dari 100–200 orang Superkaya, sebagaimana didata oleh majalah Globe dan Forbes. Mereka ini disebut Si Superkaya atau High Networth Individual karena pendapatan mereka melampaui 10 milyar per tahun. Mereka telah diangkat dan menjadi pemenang berkat panen komoditas Batubara, Sawit dan Properti serta Perdagangan selama 10 tahun ini (lihat Lampiran, 150 Superkaya Indonesia). Data ini masih konservatif karena belum memasukkan data para pimpinan dan bos–bos BUMN, perusahaan plat merah. Data Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan bahwa terdapat 147 perusahaan plat merah, salah satunya adalah BRI yang pada tahun 2009 saja sudah memberi gaji dan bonus per bulan hingga 600 juta atau sekitar 8 milyar per tahun. Kiranya bisa disimpulkan dari data ICW tersebut bahwa sedikitnya masih terdapat 140 lebih Superkaya Indonesia yang belum termasuk ke dalam daftar tersebut. (ICW, http://www.antikorupsi.org/id/content/gaji–bos–bos–bumn–tertinggi–rp–167– juta–bulan).
www.infid.org 5
Pertimbangan lain, Indonesia belum menerapkan pembagian beban pembangunan secara lebih adil, sehingga sumbangan kelompok Superkaya kiranya telah saatnya dipatok lebih tinggi, setidaknya mencapai 40–45 persen sebagaimana diberlakukan di zona euro. Perubahan kebijakan ini memerlukan perubahan tarif pajak. Tarif kepada yang Kaya dan Superkaya mestilah berbeda. Karena itu, patokan besaran pendapatan kena pajak antara Kaya dan Superkaya sebaiknya segera ditetapkan. Salah satunya dengan membedakan antara batas 1 miliar rupiah per tahun dengan 3 atau 5 milar rupiah per tahun, atau antara 1 miliar rupiah dengan pendapatan di atas 10 miliar rupiah per tahun. Tarif 30% masih bisa berlaku untuk maksimum 1 miliar rupiah per tahun sementara tarif 40 atau 45 persen untuk mereka yang meraup di atas 5 miliar rupiah per tahun. Sasarannya adalah 250–350 penduduk Superkaya Indonesia. Termasuk pimpinan dan bos–bos serta pemilik dan pemegang saham perusahaan di bidang (i) pertambangan, (ii) perbankan, (iii) telekomunikasi dan (iv) perkebunan besar dan (v) perdagangan besar serta manufaktur (otomotif), serta (vi) pasar modal dan pasar uang. Kebijakan ini hendaknya turut dilengkapi dengan kebijakan pembatasan maksimum pembayaran pajak oleh perusahaan yang dipatok tidak boleh melebihi dari 5 persen pendapatan kotor perusahaan. Kebijakan komplementer ini diperlukan mengingat maraknya upaya pengalihan pendapatan perorangan sebagai bagian dari biaya‐biaya perusahaan. Praktik‐praktik ini dilakukan baik secara legal (tax avoidance) maupun illegal (tax evasion) guna meminimalkan jumlah pajak yang semestinya dibayar. Beberapa usul perubahan kebijakan pajak lainnya telah mengemuka, baik yang bersifat kelembagaan maupun yang menyangkut sisi akuntabilitas atau integritasnya namun yang langsung berpengaruh terhadap kinerja perpajakan Indonesia. Misalnya, kini tengah mengemuka usulan untuk memperbaiki dan meningkatkan kinerja DJP antara lain: (i) Memisahkan DJP dengan Kemenkeu, agar kinerja dan akuntabilitasnya lebih mudah diukur dan diawasi; (ii) Menambah tenaga pemeriksa Pajak guna memastikan kecukupan tenaga pajak terhadap target dan kinerja yang harus dicapai; (iii) Optimalisasi peran Komisi Pengawas Pajak, untuk memastikan integritas DJP; hingga (iv) Pelaksanaan imperatif Pasal 35A UU KUP yang mewajibkan institusi, asosiasi, dan pihak–pihak terkait memberikan data atau informasi perpajakan kepada Dirjen Pajak. Secara ringkas berikut ini target pilihan–pilihan kebijakan pajak yang perlu dan penting: Target perolehan pajak 5 tahun ke depan (tax ratio) Target Nominal Perolehan Pajak LANGKAH KEBIJAKAN Kebijakan Pajak
Naik dari 13–15% PDB menjadi 18–20% PDB Target total APBN: naik dari 18–19% menjadi 23–25% PDB per tahun 200 hingga 400 T per tahun
Kelembagaan DJP
=>Perubahan Tarif dari 30% menjadi 45% bagi pendapatan Tertinggi (Superkaya); pendapatan di atas 10 miliar per tahun =>Perubahan Tarif 30% menjadi 37,5% bagi Pendapatan Kedua Tertinggi (Kaya): pendapatan 1– 10 miliar per tahun =>Pembatasan maksimum
=>DJP dipisahkan dari Kemenkeu; Langsung bertanggungjawab kepada Presiden, tetapi secara fungsional berkoordinasi dg. Kemenkeu =>Pembentukan Unit/Kantor baru Khusus untuk perusahaan MNC dan Superkaya (Pelayanan dan GugusTugas Illicit Flows yang disupervisi KPK. =>Memastikan semua perusahaan pertambangan membayar pajak
Akuntabilitas DJP =>Optimalisasi peran Komisi Perpajakan dengan perluasan kewenangan. =>Penataan Metode Seleksi tenaga DJP mengadopsi metode seleksi KPK untuk mencari calon staff DJP berintegritas tinggi =>Keterbukaan DJP, termasuk membuka laporan tahunan kinerja DJP berbasis penerimaan sektoral dan regional
www.infid.org 6
pembayaran pajak oleh perusahaan tidak boleh melebihi dari 5 persen pendapatan kotor perusahaan =>Menyelamatkan (recover) 100 triliun akibat pelarian pajak ke LN (illicits flows) => Integrasi Data Nasional yang berpusat di Ditjen Pajak sebagai pelaksanaan Pasal 35A UU KUP yang mengikat seluruh institusi pemerintah dan asosiasi terkait.
=> Memastikan semua perusahaan Sawit dan otomotif membayar pajak => Percepatan pembentukan sistem administrasi terpadu yang menyatukan semua koridor/portal kementerian/lembaga negara dan pelembagaan gugus tugas khusus KPK. BI, OJK. PPATK, Polri dan Kejaksaan Agung untuk menangkal pengelakan pajak
=>Keterbukaan DJP, membuka kekayaan setingkat direktur dan pejabat DJP =>
Alhasil, jika para Caleg dan Capres mengagendakan perubahan kebijakan Pajak, maka Indonesia dapat memiliki harapan akan meningkatnya perolehan pajaknya baik karena perluasan potensi pajak maupun efektivitas pemungutan pajak. Dalam waktu 5 tahun ke depan, Indonesia akan meraih tambahan dana 3– 5 persen PDB. Secara nominal, tambahan nominal yang akan diperoleh adalah sekitar 300–400 triliun tiap tahun. Tambahan dana sebesar ini akan membuat Indonesia memiliki dana untuk memacu investasi sosial dan pembangunan. Dana Pajak itu tentu akan sangat penting guna melaksanakan berbagai agenda pembangunan yang selama ini tertunda atau diabaikan hanya karena alasan kekurangan dana. Pertama, belanja sosial seperti untuk jaminan sosial (Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), Program Keluarga Harapan (PKH), beasiswa dan subsidi untuk pendidikan kedokteran dan tambahan tenaga Pendidikan). Terutama yang mendesak adalah menurunkan Angka Kematian Ibu. Artinya, perlu investasi sosial yang cukup untuk memperluas sarana dan prasana kesehatan termasuk mengatasi kekuarangan tenaga dokter, bidan dan perawat di berbagai pelosok Indonesia. Pendidikan kedokteran, kebidanan dan perawat perlu mendapat dukungan penuh pemerintah agar Indonesia memiliki kesiapan menjalankan JKN di semua wilayah Indonesia. Kedua, belanja infrastruktur (air minum, energi, jalan, kereta api) dan penataan perkotaan di kota–kota Indonesia. Peranan pemerintah harus lebih aktif dalam penyediaan energi untuk menekan beban harga energi yang semakin tahun semakin melambung. Misalnya saja, pemerintah perlu melaksanakan dukungan pendanaan untuk penyediaan energi yang lebih terjangkau bagi konsumen agar Indonesia tidak terlalu bergantung kepada impor. Ketiga, belanja untuk penguatan sektor pertanian dan penguatan Usaha Kecil Menengah (UKM). Dukungan kepada sektor pertanian dan peternakan membutuhkan penataan ulang agar kebutuhan sembako dan pangan Indonesia tidak bergantung 100% kepada Impor. Peranan pendanaan pemerintah menjadi sangat penting di sini. Keempat, penguatan kebijakan dan kelembagaan anti‐korupsi dan hak asasi manusia. Korupsi yang luas memerlukan tenaga dan kelembagaan yang kuat. KPK perlu diperkuat untuk dapat menjangkau semua
www.infid.org 7
wilayah Indonesia. Demikian halnya dengan peranan masyarakat dalam pencegahan korupsi seperti yang telah dilakukan oleh ICW, Fitra dan lembaga‐lembaga swadaya masyarakat lainnya. Dalam bidang hak asasi manusia, pelanggaran HAM baik hak ekonomi, sosial dan budaya (ekosob) maupun dan hak‐hak sipil dan politik (sipol) semakin banyak terjadi dan masih saja minim dipecahkan. Sehingga menjadi kendala bagi semangat gotong–royong dan kohesi sosial di Indonesia. Untuk itu, Komnas HAM, Komnas Perempuan dan Komnas Anak perlu didukung secara penuh, baik dari segi dana maupun prasarana. Dukungan negara dan pemerintah juga dapat disalurkan ke berbagai lembaga swadaya masyarakat yang bekerja memperkuat suara kaum perempuan, kelompok miskin, penyandang disabilitas dan rentan. Berikut ilustrasi dari belanja pembangunan yang mendesak dan memerlukan tambahan dana: Jenis Belanja 1. Perbaikan dan perluasan infrastruktur, terutama energi, air minum dan jalan dan kereta api serta penataan perkotaan (banjir, transportasi, sampah) 2. Perlindungan sosial: jaminan sosial dan tunjangan pendapatan dasara, penguatan Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia: penguatan pelayanan kesehatan dan pendidikan 3. Penguatan pertanian dan industri kecil 4. Penguatan kelembagaan anti‐korupsi dan pemulihan hak–hak asasi manusia korban pelanggaran hak (tanah, lingkungan, properti dan lain–lain)
Estimasi dana Rp200–400 T Rp.100–200 T Rp.50–100 T Rp. 25–50 T
Bagaimana dengan prospek pelaksanaan kebijakan pajak? Di sinilah barangkali tantangan bagi Indonesia. Namun, dengan pajak sebagai agenda perdebatan dan akhirnya menjadi program dan agenda Capres, maka diharapkan masalah Pajak akan dapat dipecahkan. Masalah Pajak menjadi menahun (acute) karena belum pernah diangkat menjadi agenda dalam Pemilihan Umum. Lainnya, karena sadar atau tidak sadar, para elite Indonesia telah bertahun–tahun dan terbiasa membagi beban lebih kepada warganya atau golongan karyawan ketimbang golongan penduduk yang lebih kaya, pemegang saham dan pemilik perusahaan. Pada akhirnya, para Caleg dan Capres juga harus memiliki kemandirian dan mampu menolak titipan kebijakan pajak yang hanya menguntungkan golongan Superkaya. Sebagaimana terlihat dalam daftar Superkaya Indonesia, terdapat nama–nama yang sudah tidak asing menjadi bagian dan atau keluarga dari tokoh‐tokoh parpol. Mereka memiliki pengaruh yang sukar ditolak oleh Caleg dan Capres. Terhadap suara dan lobby kaum Superkaya yang tidak patriotis tersebut, para Caleg dan Capres akan diuji sejauh mana konsistennya terhadap agenda‐agenda politik mereka. Di sisi lain, kita terus berharap di Indonesia akan tumbuh dan lahir Superkaya yang patrotis seperti Warren Buffet di Amerika atau sejumlah Superkaya di Perancis, yang memahami kebutuhan bangsanya. Buffet dan kawan–kawannya justru menganjurkan kepada pemerintahnya agar golongan Superkaya dikenakan pajak yang lebih besar ketimbang kelompok karyawan. Mereka memahami bahwa Pajak yang tinggi bukan rintangan dan kendala untuk mencetak laba, dan karenanya mendukung pemerintah untuk bisa memecahkan masalah anggaran pembangunan. Orang– orang dan keluarga Superkaya seperti ini adalah mereka yang memiliki empati terhadap nasib warganya dan bersedia membagi beban sesuai dengan kemampuannya. END
www.infid.org 8
Lampiran 1:
Sejumlah Kajian Pajak Indonesia PENULIS/ LEMBAGA
TAHUN
TEMUAN UTAMA/ REKOMENDASI
Prakarsa (2013) http://theprakarsa.org/new/in/new s/detail/300/PRESS–RELEASE– Evaluasi–Realisasi–Penerimaan– Pajak–2013–Tidak–Memenuhi– Target–Terendah–Sejak–2011
2013
Tony Prasetiantono (UGM)
2013
Perolehan Pajak Indonesia idealnya menjadi 20% PDB atau setidaknya 17% PDB
2012
perdebatan tentang cakupan Tax Rasio: (i) penerimaan Pajak Pusat, (ii) Pajak Daerah; dan (iii) Penerimaan dari SDA Jika Tax Rasio hanya memasukkan Pajak Pusat, tax rasio hanya 11.76% PDB (2011) Jika Memasukkan Pajak Pusat dan Pajak Daerah, tax rasio 12.56% (th 2011) Jika memasukkan ketiga penerimaan: Pajak Daerah dan Penerimaan SDA, tax rasio Indonesia 15% (2011).
http://www.pajak.go.id/content/ton y–prasetiantono–indonesia–harus– tingkatkan–tax–ratio Wiyoso Hadi (DJP) http://www.pajak.go.id/content/arti cle/berapa–sih–sebenarnya–tax– ratio–indonesia
2012
Prastowo J dan Budiantoro S. (2012)
Rasio Pajak Rendah, Utang Makin Menumpukhttp://theprakarsa.org/n ew/ck_uploads/files/Prakarsa%20P olicy_Maret_10.pdf
Arnold, J. (2012), “Improving the Tax System in Indonesia”,
2012
OECD Economics Department Working Papers, No. 998,
IMF (2011a), “Revenue Mobilization in Developing Countries”,
2011
Capaian Prolehan Pajak Tidak memenuhi Target tahun 2013 Praktik penghindaran, pengelakan pajak serta Korupsi Pajak ikut berperan dalam rendahnya penerimaan Pajak 5 sektor rawan penghindaran dan pengelakan perpajakan
Perolehan Pajak Indonesia lebih rendah ketimbang Negara Miskin dan juga negara Kaya Potensinya penerimaan Pajak lebih dari 500 Triliun Rasio Penerimaan Pajak perlu dinaikkna menjadi 1% tiap tahun agar sebaya dengan negara menengah lainnya Perlunya merubah tarif Pajak kepada golongan superkaya (highnetworth) dengan tarif 40% Perolehan Pajak Indonesia paling rendah diantara negara satu kawasan dan diantara negara anggota G20 Tax rasio hanya 12.6% PDB th 2011 Koleksi Pajak Pribadi (PPh) terlalu kecil dibandingkan negara ASEAN dan OECD Indonesia perlu memperbaiki administrasi perpajakan IMF memperkirakan potensi perolehan Pajak Indonesia adalah 21% PDB
www.infid.org 9
Lampiran 2:
Daftar 150 orang terkaya Indonesia versi Globe Asia (2013) : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49.
Robert Hartono & Michael Hartono, Djarum, USD 15,5 milyar Eka Tjipta Widjaja, Sinar Mas, USD 13,1 milyar Anthoni Salim, First Pacific, USD 10,1 milyar Susilo Wonowidjojo, Gudang Garam, USD 6 milyar Martua Sitorus, Wilmar International, USD 3,7 milyar Aburizal Bakrie, Bakrie Group, USD 2,45 milyar Putera Sampoerna, Sampoerna Strategic, USD 2,4 milyar Peter Sondakh, Rajawali Group, USD 2,53 milyar Mochtar Riady, Lippo Group, USD 2,15 milyar Sukanto Tanoto, Royal Golden Eagle, USD 2,1 milyar Sri Prakash Lohia, Indorama, USD 2,05 milyar Chairul Tanjung, CT Corp, USD 2,05 milyar T.P. Rachmat, Triputra & Adaro, USD 2 milyar William Katuari, Wings Group, USD 1,8 milyar Low Tuck Kwong, Bayan Resources, USD 1,7 milyar Edwin Soeryadjaja, Saratoga, USD 1,7 milyar Hary Tanoesoedibjo, MNC Group, USD 1,7 milyar Tahir, Mayapada Group, USD 1,6 milyar Sjamsul Nursalim, Gajah Tunggal Group, USD 1,6 milyar Djoko Susanto, Sumber Alfaria Trijaya, USD 1,4 milyar Suryadi Darmadi, Duta Palma Nusantara Group, USD 1,4 milyar The Nin King, Manunggal Group, USD 1,38 milyar Ciputra, Ciputra Group, USD 1,375 milyar Kartini Muljadi & Handojo Slamet Muljadi, Tempo Group, USD 1,37 milyar Trihatma K. Haliman, Agung Podomoro Group, USD 1,3 milyar Jakob Oetama, Kompas–Gramedia Group, USD 1,3 milyar Mu’min Ali Gunawan, Panin Group, USD 1,26 milyar Boenjamin Setiawan, Kalbe Farma, USD 1,2 milyar Teddy Thohir & Garibaldi Thohir, TNT Group, USD 1,2 milyar Benjamin Jiaravanon, Charoen Pokphand Indonesia, USD 1,2 milyar Hartadi & Husodo Angkosubroto, Gunung Sewu Group, USD 1,2 milyar Prajogo Pangestu, Barito Pacific Group, USD 1,15 milyar Kiki Barki, Harum Energy Group, USD 1,1 milyar Murdaya Poo & Siti Hartati Murdaya, Central Cipta Murdaya, USD 1,1 milyar Eddy Sariaatmadja & Fofo Sariaatmadja, SCTV, USD 1,1 milyar Aksa Mahmud, Bosowa, USD 1,1 milyar Hashim Djojohadikusumo, Arsari Group, USD 1,05 milyar Martias & Tjiliandra Fangiano, First Resources, USD 1,05 milyar Haryanto Adikoesoemo, AKR Corporindo, USD 1,05 milyar A.H.K. Hamami, ABM Investment, USD 1 milyar Benny Subianto, Persada Capital Group, USD 995 juta Lim Hariyanto Wijaya Sarwono, Harita Group, USD 990 juta Soetjipto Nagaria, Summarecon, USD 925 juta Rusdi Kirana, Lion Air Group, USD 920 juta Sandiaga Uno, Saratoga & Recapital, USD 900 juta Husein Djojonegoro, ABC & Orang Tua Group, USD 880 juta Sugianto Kusuma, Agung Sedayu & Bank Artha Graha, USD 860 juta Tomy Winata, Artha Graha Group, USD 820 juta Luntungan Honoris, Modern Group, USD 805 juta
www.infid.org 10
50. 51. 52. 53. 54. 55. 56. 57. 58. 59. 60. 61. 62. 63. 64. 65. 66. 67. 68. 69. 70. 71. 72. 73. 74. 75. 76. 77. 78. 79. 80. 81. 82. 83. 84. 85. 86. 87. 88. 89. 90. 91. 92. 93. 94. 95. 96. 97. 98. 99. 100. 101. 102.
Alexander Tedja, Pakuwon Group, USD 765 juta Kuncoro Wibowo, Ace Hardware, USD 728 juta H.M. Lukminto, Sritex Group, USD 720 juta Samin Tan, Borneo Lumbung Energy and Metal, USD 710 juta Gunawan Jusuf, Sugar Group Companies, USD 710 juta Osbert Lyman, Lyman Group, USD 695 juta Johan Lensa, J Resources, USD 670 juta Agus Sudwikatmono, Indika Energy, USD 665 juta Handojo Santoso, Japfa Comfeed, USD 665 juta Tan Siong Kie, Rodamas Group, USD 650 juta Purnomo Prawiro, Blue Bird Group, USD 650 juta Jan Darmadi, Jan Darmadi Group, USD 642 juta Wiwoho B. Tjokronegoro, Indika Energy, USD 635 juta Eka Tjandranegara, Mulia Group, USD 635 juta George Tahija & Sjakon Tahija, Austindo Nusantara Jaya, USD 585 juta Paulus Tumewu, Ramayana Group, USD 575 juta Bachtiar Karim, Musim Mas, USD 575 juta Rudolph Merukh & Lucky Merukh, Merukh Enterprises, USD 565 juta Hendro Gondokusumo, Intiland, USD 555 juta Hutomo Mandala Putra, Humpuss, USD 550 juta Jusuf Kalla, Kalla Group, USD 550 juta Amirsjah Risjad, Risjadson Group, USD 520 juta Harjo Sutanto, Wings Group, USD 515 juta Surjadinata Sumantri, Renaissance Capital, USD 510 juta Arifin Panigoro & Hilmi Panigoro, Medco International, USD 510 juta John Chuang, Ceres Indonesia & Petra Food, USD 505 juta Subianto Tjandra, Ateja Group, USD 500 juta Adyansyah Masrin & Jimmy Masrin, Lautan Luas Group, USD 495 juta Tan Kian, Dua Mutiara, USD 490 juta Sudhamek, Garuda Food, USD 475 juta Sofjan Wanandi, Gemala Santini, USD 470 juta Ginawan Tjondro, CNI Group, USD 465 juta Henry Pribadi, Napan Group, USD 445 juta Soegiharto Sosrodjoyo, Sosro Group, USD 445 juta K. Gowindasamy, Mitra Jaya Group, USD 440 juta Alim Markus, Maspion Group, USD 438 juta Sutanto Djuhar, First Pacific, USD 420 juta Iwan Budi Brasali & Aldo Brasali, Brasali Group, USD 420 juta Mohammad Reza, Global Energy Resources, USD 415 juta Rosan Roeslani, Recapital, USD 400 juta Yos Sutomo, Sumber Mas, USD 390 juta Surya Dharma Paloh, Media Group, USD 387 juta Hendro Setiawan, Pikko Group, USD 380 juta Dahlan Iskan, Jawa Pos Group, USD 370 juta Sukamdani Sahid & Gitosardjono, Sahid Group, USD 367 juta Jahja Santoso, Sanbe Farma, USD 360 juta Dick Galael, Fast Food Indonesia, USD 350 juta Muljadi Budiman, Honda Prospect Motor, USD 345 juta Djoenaedi Joesoef, Konimex, USD 340 juta Rudy Suliawan, Karang Mas Sejahtera, USD 335 juta Oesman Sapta Odang, OSO Group, USD 330 juta Kris Taenar Wiluan, Citra Mas Group, USD 325 juta Didi Dawis, Ling Brothers, USD 320 juta
www.infid.org 11
103. 104. 105. 106. 107. 108. 109. 110. 111. 112. 113. 114. 115. 116. 117. 118. 119. 120. 121. 122. 123. 124. 125. 126. 127. 128. 129. 130. 131. 132. 133. 134. 135. 136. 137. 138. 139. 140. 141. 142. 143. 144. 145. 146. 147. 148. 149. 150.
Tatang Hermawan, Fuju Palapa Textiles, USD 315 juta Boyke Gozali, Mitra Adi Perkasa, USD 315 juta Sugiono W. Sugialam, Trikomsel, USD 300 juta Winarko Sulistyo, Fajar Surya Wisesa, USD 290 juta Johny Widjaja, Sintesa Group, USD 290 juta Benny Suherman, Studio 21 Group, USD 285 juta Henry Onggo, Ratu Sayang Group, USD 270 juta Mardjoeki Atmadiredja, Surya Toto Indonesia, USD 270 juta Chandra Lie, Sriwijaya Air, USD 265 juta Kaharudin Ongko, Ongko Group, USD 260 juta Anton Setiawan, Tunas Group,USD 257 juta Siswono Yudohusodo, Bangun Cipta Sarana, USD 255 juta Pontjo Sutowo, Nugra Sentana Group, USD 245 juta Karmaka Surjaudaja, OCBC, USD 240 juta Johanes B. Kotjo, Apac Group, USD 240 juta Sendi Bingei, Sumatra Tobacco Trading, USD 235 juta Elizabeth Sindoro, Paramount Group, USD 235 juta Tan Tjai Kie, Gunung Garuda Steel, USD 230 juta Sri Sultan Hamengkubuwono X, USD 225 juta Ilham Habibie & Thareq Habibie, Ilthabi Rekatama, USD 225 juta Bambang Trihatmodjo, Asriland, USD 220 juta Rachmat Gobel, Gobel International, USD 208 juta Stanley S. Atmadja, Asco Automotive, USD 205 juta Widarto, Sungai Budi Group, USD 205 juta G.S. Margono, Gapura Prima, USD 205 juta Tandean Rustandy, Arwana Citramulia, USD 202 juta G. Lukman Pudjiadi, Jayakarta Group, USD 200 juta Budi Purnomo Hadisurjo, Optik Melawai, USD 185 juta Iskandar Widyadi, Bank Jasa Jakarta, USD 185 juta Anna B. Manthovani, Kirana Tanker, USD 170 juta Honggo Wendratno, Arsari Pratama, USD 155 juta A. Tong, Roda Vivatex, USD 150 juta Siti Hardijanti Rukmana, Citra Lamtoro Gung Persada, USD 150 juta Sugianto, Metro Garmin Group, USD 145 juta Rudy Unjoto, Deliatex Kusuma, USD 130 juta Batihalim Stefanus, Nojorono Tobacco, USD 125 juta Mintarjo Halim, Sandratex, USD 120 juta Soedjono, Wira Sakti Adimulya, USD 117 juta Setiawan Djody, Setdco Group, USD 117 juta Fajar Suhendra, Sumatra Growth Group, USD 115 juta Bambang Setijo, Pan Brothers, USD 110 juta Jacobus Busono, Pura Group, USD 105 juta Raam Punjabi, Multivision Plus, USD 101 juta A. Siang Rusli, Kurnia Tetap Mulia, USD 99 juta Marimutu Maniwanen, Busana Apparel Group, USD 98 juta Ishak Charlie, Kurnia Tetap Mulia, USD 97 juta Boedi Mranata, Adipurna Mranata Jaya, USD 96 juta Tjandra Mindarta Gozali, Gozco Group, USD 93 juta
www.infid.org 12
INFID adalah organisasi yang berdiri sejak tahun 1985 beranggotakan organisasi masyarakat sipil yang tersebar di seluruh Indonesia. INFID kini memiliki status sebagai lembaga yang diakui dan diakreditasi oleh Perserikatan BangsaBangsa (PBB) dengan UN Special Consultation Status with the Economic and Social Council sejak 2004. INFID juga merupakan anggota IFP (International Forum for national NGO Platform) berbasis di Paris, Prancis . IFP adalah jaringan NGO global yang mewadahi forumforum NGO nasional di seluruh dunia (http://www.ongngo.org/en) sejak 2009. INFID juga merupakan bagian dari Beyond 2015 (www.beyond2015.org). Beyond2015 merupakan jaringan CSO mutinasional yang melakukan kampanye untuk agenda pembangunan Paska 2015.
Jl. Jatipadang Raya Kav.3 No.105 Pasar Minggu Jakarta Selatan, 12540 Phone : 021 7819734, 7819735 Fax : 021 78844703 e-mail :
[email protected], Facebook : infidjakarta, Twitter: @_infid_ website : www.infid.org