ANALISIS PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK DI PENGADILAN PAJAK (PERIODE TAHUN 2012-2014) Aisyah Catur Sari, Sudarmo Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi dan Keuangan, Bina Nusantara University, Jl. Kebon Jeruk Raya No. 9, +618980087329,
[email protected]
ABSTRACT This study aims to determine the settlement of tax disputes in the Tax Court in the Period of 2012-2014. The method used is qualitative with collecting data through field research and library research. Fieldwork was conducted by collecting data related to the Decree of Appeal and the Decree of the lawsuit, interviews, as well as the Tax Court proceedings. Library research done by studying the data and supporting references. Results from this study indicate that the Tax Dispute settlement in the Tax Court has been done correctly and fairly, and in accordance with the applicable law, but there are obstacles in the process of settlement of tax disputes in the Tax Court, one of which is taxpayer does not complete the proof or not implement the tax laws, such as formal provisions. Conclusions from this research that the Tax Court had done Tax Dispute settlement properly, but there are obstacles in the form of taxpayer who does not complete the proof or not to implement tax regulations, thus causing tax dispute resolution process can not be completed in a short time. (ACS) Keywords: Tax Dispute, tax appeals, tax lawsuit
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penyelesaian Sengketa Pajak di Pengadilan Pajak pada Periode Tahun 2012-2014. Metode penelitian yang digunakan yaitu kualitatif dengan mengumpulkan data melalui penelitian lapangan dan penelitian kepustakaan. Penelitian lapangan dilakukan dengan mengumpulkan data terkait Surat Keputusan Banding dan Surat Keputusan Gugatan, wawancara, serta proses sidang Pengadilan Pajak. Penelitian kepustakaan dilakukan dengan mempelajari data dan referensi pendukung. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa penyelesaian Sengketa Pajak di Pengadilan Pajak telah dilakukan dengan benar dan adil, serta sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku, tetapi terdapat kendala dalam proses penyelesaian Sengketa Pajak di Pengadilan Pajak, salah satunya yaitu Wajib Pajak tidak melengkapi bukti atau belum melaksanakan peraturan perpajakan, seperti ketentuan formal. Simpulan dari penelitian ini yaitu Pengadilan Pajak telah melakukan penyelesaian Sengketa Pajak dengan benar, tetapi terdapat kendala berupa Wajib Pajak yang tidak melengkapi bukti atau belum melaksanakan peraturan perpajakan, sehingga menyebabkan proses penyelesaian Sengketa Pajak tidak dapat diselesaikan dengan waktu yang cepat. (ACS)
Kata kunci: Sengketa Pajak, banding pajak, gugatan pajak
PENDAHULUAN Pajak merupakan iuran wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan timbal balik secara langsung, dan digunakan untuk membiayai berbagai pengeluaran pemerintah dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat. Negara mempunyai kewajiban untuk menjaga kepentingan rakyatnya, baik dalam bidang kesejahteraan, keamanan, pertahanan, maupun kecerdasan. Sehingga negara memerlukan dana yang besar untuk dapat memenuhi kewajibannya tersebut. Dana yang digunakan negara untuk membiayai kesejahteraan rakyat didapat dari rakyat itu sendiri, melalui pemungutan yang disebut dengan Pajak. Pemungutan Pajak merupakan peralihan kekayaan dari rakyat kepada negara yang hasilnya juga akan dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk pembangunan serta pelayanan yang diberikan oleh pemerintah. Pajak merupakan pendapatan negara yang menjadi prioritas dibandingkan dengan pendapatan dari sektor lain. Hal ini disebabkan karena pajak memiliki dua fungsi, yaitu fungsi penerimaan (budgeter) dan fungsi mengatur (regulerend). Fungsi penerimaan (budgeter) yaitu pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya. Sedangkan fungsi mengatur (regulerend) yaitu pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi. Sehingga bagi negara, pajak merupakan sesuatu yang sangat penting dalam pendapatan pemerintah untuk pembangunan negara dan kemakmuran masyarakat. Arah pembangunan politik hukum di Indonesia dalam bidang perpajakan selain dimaksudkan untuk meningkatkan perekonomian negara, juga untuk menumbuhkan rasa kepercayaan masyarakat kepada negara dengan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dukungan sarana dan prasarana, termasuk proses peradilan pajak yang cepat dan murah serta adanya pengawasan yang efektif dari masyarakat. Politik hukum di bidang perpajakan untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat terlihat jelas dengan diubahnya sistem perpajakan lama dari official assessment system menjadi self assessment system. Self assessment system dibentuk untuk memberikan kepercayaan penuh kepada masyarakat untuk melakukan kewajiban perpajakannya sendiri, yaitu dengan cara menghitung pajak yang terutang sendiri, menyetorkan pajak yang terutang sendiri, dan melaporkan sendiri setoran pajak yang telah dilakukan. Meskipun Wajib Pajak telah diberikan kepercayaan penuh dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya, namun Petugas Pajak (Fiskus) masih mempunyai hak untuk melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap pelaksanaan sistem tersebut. Sesuai dengan dasar hukum Pemeriksaan Pajak Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, bahwa Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakaan, dari hasil pemeriksaan tersebut terdapat kemungkinan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang bisa berupa SKPKB (Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar), SKPKBT (Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan), SKPLB (Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar), dan SKPN (Surat Ketetapan Pajak Nihil) atau Surat Tagihan Pajak (STP). Atas penerbitan Surat Ketetapan Pajak tersebut, dapat terjadi perbedaan perhitungan atau pendapat mengenai peraturan perpajakan antara Wajib Pajak dan Fiskus sehingga terjadi Sengketa Pajak. Terdapat beberapa upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak dalam menyelesaikan Sengketa Pajak yang dihadapi, yaitu upaya hukum Keberatan, Banding, Gugatan, dan Peninjauan Kembali. Dalam penelitian terdahulu Hanggoro Pamungkas (2011) dalam penelitiannya berjudul “Penyelesaian Sengketa Pajak” menggunakan data berdasarkan tahun 2004 dan 2006. Hasil penelitiannya yaitu: Hasil analisis sampling atas tiga kasus pajak dari tiga Wajib Pajak yang berbeda di Jakarta, dapat disimpulan bahwa Wajib Pajak masih terkadang masih belum sepenuhnya melaksanakan kewajiban perpajakannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku karena masih ada akunakun yang dikoreksi oleh Fiskus saat pemeriksaan. Jika Wajib Pajak kurang memiliki ilmu yang cukup memadai dalam bidang perpajakan, khususnya dalam hal penyelesaian Sengketa Pajak, maka hasil dari penyelesaian Sengketa Pajak yang diajukan akan memungkinkan Wajib Pajak untuk membayar hutang pajak yang jauh lebih tinggi disertai dengan Sanksi Administrasi berupa denda dari hasil penolakan atas persidangan yang diputuskan oleh Badan Peradilan Pajak tersebut. Dengan banyaknya Sengketa Pajak yang terjadi antara Wajib Pajak
dengan Fiskus, hal ini memotivasi penulis untuk menganalisis mengenai penyelesaian Sengketa Pajak, terutama penyelesaian Sengketa Pajak di Pengadilan Pajak, karena penyelesaian Sengketa Pajak lebih banyak dapat dilakukan di Pengadilan Pajak, yaitu berupa upaya hukum Banding dan Gugatan, serta putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan terakhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap. Sehingga membuat penulis tertarik untuk memilih judul untuk penelitian ini, yaitu “ANALISIS PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK DI PENGADILAN PAJAK (PERIODE TAHUN 2012-2014)”. Dalam penelitian ini, penulis akan menganalisis bagaimana proses penyelesaian Sengketa Pajak yang dilakukan oleh Pengadilan Pajak, untuk mengetahui apakah keputusan yang diberikan oleh Pengadilan Pajak sudah benar atau tidak.
Landasan Teori Landasan hukum pemeriksaan pajak adalah Pasal 29, Pasal 29A juncto Pasal 31 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007. Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyatakan bahwa, Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Menurut Pasal 1 Angka 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 199/PMK.03/2007, pemeriksaan didefinisikan sebagai serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dari hasil pemeriksaan tersebut terdapat kemungkinan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang bisa berupa SKPKB (Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar), SKPKBT (Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan), SKPLB (Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar), dan SKPN (Surat Ketetapan Pajak Nihil) atau Surat Tagihan Pajak (STP). Atas penerbitan Surat Ketetapan Pajak tersebut, dapat terjadi perbedaan perhitungan atau pendapat mengenai peraturan perpajakan antara Wajib Pajak dan Fiskus sehingga terjadi Sengketa Pajak. Terdapat beberapa upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak dalam menyelesaikan Sengketa Pajak yang dihadapi, yaitu upaya hukum Keberatan, Banding, Gugatan, dan Peninjauan Kembali. Upaya hukum yang dapat dilakukan di Pengadilan Pajak yaitu berupa: Banding Dalam pelaksanaan Undang-Undang Perpajakan dimungkinkan adanya upaya hukum dengan nama Banding, apabila Wajib Pajak tetap merasa tidak puas atas keputusan Keberatan yang telah dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Artinya, terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diterbitkan akan menjadi dasar untuk diajukannya upaya hukum Banding ke Pengadilan Pajak sesuai Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Berdasarkan Undang-Undang Pasal 27 Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah beberapa kali menjadi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyatakan bahwa Banding merupakan upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak terhadap keputusan yang dapat diajukan Banding, yaitu keputusan atas Keberatan yang diajukan Wajib Pajak yaitu Surat Keputusan Keberatan. Gugatan Selain upaya Banding yang dapat diajukan ke Pengadilan Pajak, Wajib Pajak juga dapat mengajukan upaya hukum Gugatan. Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, Gugatan adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap pelaksanaan penagihan pajak atau terhadap keputusan yang dapat diajukan Gugatan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Selain Gugatan terhadap pelaksanaan penagihan pajak, Gugatan juga dapat diajukan oleh Wajib Pajak dalam hal-hal lainnya seperti diatur dalam Pasal 23 Ayat (2) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Berdasarkan Pasal 23 Ayat (2) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyatakan bahwa Gugatan Wajib Pajak kepada Badan Peradilan Pajak dapat dilakukan terhadap:
1. 2. 3. 4.
Pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan atau Pengumuman Lelang; Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 Ayat (1) dan Pasal 26; Keputusan pembetulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 yang berkaitan dengan Surat Tagihan Pajak; dan Keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 yang berkaitan dengan Surat Tagihan Pajak.
METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan objek penelitian yaitu tiga Wajib Pajak yang melakukan penyelesaian Sengketa Pajak Banding di Pengadilan Pajak pada periode tahun 2012-2014. Metode penelitian yang dilakukan yaitu kualitatif dengan menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer yang digunakan dalam penelitian ini berupa riset lapangan dengan melakukan penelitian langsung ke Pengadilan Pajak untuk mengetahui bagaimana proses penyelesaian Sengketa Pajak di Pengadilan Pajak dilakukan. Riset lapangan ini menggunakan metode pengamatan, wawancara dengan pihak yang bersangkutan di Pengadilan Pajak dan dokumentasi terhadap dokumen-dokumen yang berkaitan dengan proses penyelesaian Sengketa Pajak berupa keputusan Banding. Sedangkan data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini berupa studi pustaka dengan cara mengumpulkan dan mempelajari buku, jurnal, dan Undang-Undang perpajakan.
HASIL DAN BAHASAN Analisis Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) Pajak Penghasilan Pasal 23 Masa Pajak Januari sampai dengan Desember 2010 PT. PB PT. PB sebagai Wajib Pajak dan Pemohon Banding mengajukan Surat Permohonan Banding kepada Pengadilan Pajak terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-1291/WPJ.07/2013 tanggal 3 Juli 2013, tentang keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 Nomor 00019/203/10/052/12 tanggal 30 April Masa Pajak Januari sampai dengan Desember 2010. Permohonan Banding yang diajukan berisi keberatan/ketidaksetujuan Pemohon Banding atas Objek Pajak Penghasilan Pasal 23 yang ditetapkan oleh Terbanding. Menurut Terbanding biaya yang menjadi Objek PPh Pasal 23 adalah sebagai berikut: SPHP
Setelah Pembahasan
(Rp)
(Rp)
6110109
Commission
672.315.000
672.315.000
6110110
Warehouse expense
219.213.142
219.213.142
621203
Car expense
66.469.531
66.469.531
6210306
Recruitment expense
4.149.550
4.149.550
6210307
Training and seminar
13.412.580
13.412.580
6210316
Proffesional fee
1.352.373.628
1.352.373.628
6210321
Cleaning and security
182.452.362
182.452.362
6210322
Other permit
82.142.885
82.142.885
6110103
Trucking
10.539.855.935
2.523.207.852
6110105
Lift on/lift off
741.677.846
741.677.846
7110203
Vahicle expense
1.727.015.000
1.727.015.000
7110401
Waste water treatment
11.625.000
11.625.000
7110403
Spare part expense
5.585.259
5.585.259
7110407
Vehicle maintenance
22.228.886
22.228.886
460.327.169
460.327.169
132.430.500
132.430.500
2.228.309.159
2.228.309.159
expense 7110409
Equipment meintenance expense
7110612
Equipment rental
7110614
Cleaning and security
7110615
Professional fee
246.698.295
246.698.295
7110621
Other permit
76.960.569
76.960.569
7110690
Other
69.977.616
69.977.616
Office maintenance
21.497.850
Overtime F/light & AC
33.683.900
Document charges
483.132.236
Telepon, fax & telex
96.000.000
JUMLAH
18.855.219.912
11.472.885.815
Sedangkan menurut Pemohon Banding Objek PPh Pasal 23 milik Pemohon Banding terdiri dari: Terdaftar pada KPP PMA Satu
Rp. 6.701.118.412
Terdaftar pada KPP Pratama Cilegon
Rp. 4.327.746.317
Jumlah DPP PPh Ps. 23 cfm SPT Pemohon Banding
Rp. 11.028.864.729
Menurut Terbanding, Pemohon Banding tidak menyampaikan dokumen pendukung berupa general ledger, rekening koran, serta bukti pembayaran, invoice dan dokumen terkait dengan koreksi yang disengketakan sehingga koreksi tetap dipertahankan oleh Terbanding. Terbanding berpendapat bahwa koreksi yang Terbanding lakukan yaitu dengan dalil bahwa terdapat beberapa biaya uang yang belum dikenakan PPh Pasal 23 selama bulan Januari sampai dengan Desember 2010. Berdasarkan bukti dokumen berupa Surat Nomor S-225/III.4/WPJ.17/KP0200/2011 tanggal 22 Sepetember 2011 perihal Permintaan Peminjaman Buku, Catatan dan Dokumen, diperoleh keterangan bahwa pada proses pemeriksaan Terbanding telah melakukan peminjaman dokumen kepada Pemohon Banding untuk meminjam buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan serta bukti lain yang berhubungan dengan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Pemohon Banding. Berdasarkan bukti dokumen berupa lampiran Surat Nomor S255/III.4/WPJ.17/KP0200/2011 tanggal 22 September 2011 diperoleh keterangan bahwa buku, catatan dan dokumen yang dipinjam oleh Terbanding dapat dikelompokan berupa: I.
Dokumen umum yang terdiri dari 27 (dua puluh tujuh) item;
II.
Dokumen pembukuan yang terdiri dari 26 (dua puluh enam) item;
III.
Kertas kerja Akuntan Publik yang terdiri dari 3 (tiga) item;
IV.
Dokumen perpajakan yang terdiri dari 7 (tujuh) item Pajak Penghasilan Badan, 11 (sebelas) item Pajak Penghasilan Pasal 21, 6 (enam) item Pajak Penghasilan Pasal 23/26, 6 (enam) item Pajak Penghasilan Final Pasal 4 Ayat (2) sebagai pemberi hasil, 6 (enam) item Pajak Penghasilan Final Pasal 4 Ayat (2) sebagai penerima hasil, 13 (tiga belas) item Pajak Pertambahan Nilai/Pajak Penjualan Barang Mewah, 5 (lima) item Pajak Bumi dan Bangunan, 3 (tiga) item Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan;
V.
File Data Komputer yang terdiri dari 11 (sebelas) item.
Dari dokumen tersebut bukti bahwa dokumen terkait dengan biaya over light & AC, biaya document charges, biaya telepon, fax & telex, dan biaya office maintenance tidak tercantum sebagai dokumen yang diminta Terbanding melalui Surat Nomor S-255/III.4/WPJ.17/KP0200/2011 tanggal 22 September 2011 perihal Permintaan Peminjaman Buku, Catatan dan Dokumen. Bahwa dokumendokumen terkait koreksi atas biaya overtime for Light & AC, Biaya document charges, biaya telpon, fax & telex dan biaya office maintenance telah disampaikan Pemohon Banding pada saat pelaksanaan Uji Kebenaran Materi. Berdasarkan Pasal 12 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyatakan “Apabila Dikrektur Jenderal Pajak mendapatkan bukti jumlah pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) tidak benar, Direktur Jendral Pajak menetapkan jumlah pajak yang terutang”. Penjelasan Pasal 12 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyatakan “Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, pajak yang dihitung dan dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan yang bersangkutan tidak benar, misalnya pembebanan biaya ternyata melebihi yang sebenarnya, Direktur Jenderal Pajak menetapkan besarnya pajak yang terutang sebagaimana mestinya sesuai dengan ketentuan paraturan perundang-undangan perpajakan”. Sesuai dengan ketentuan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Majelis berpendapat bahwa koreksi yang dilakukan oleh Terbanding seharusnya berdasarkan hasil pemeriksaan atas bukti yang diperoleh Terbanding melalui proses perhitungan dan pembandingan dengan SPT yang dilaporkan oleh Pemohon Banding. Berdasarkan fakta dan data yang diperoleh dalam persidangan diketahui bahwa Terbanding belum melakukan pemeriksaan atas bukti yang mendasari pencatatan dalam buku besar terkait dengan Objek PPh Pasal 23, karena bahwa dokumen a quo tidak diminta untuk dipinjam dalam proses pemeriksaan. Dalam persidangan Terbanding menyatakan telah melihat dan meneliti bukti dokumen yang ditunjukkan oleh Pemohonan Banding dalam pelaksanaan Uji Kebenaran Materi. Majelis berpendapat bahwa bukti-bukti yang mendasari pencatatan dalam buku besar beserta buku besar itu sendiri adalah merupakan bukti yang dapat dipakai oleh Terbanding dalam melakukan pemeriksaan dan kemudian melakukan koreksi jika terjadi perbedaan dengan yang dilaporkan Permohon Banding dalam SPT. Sehingga Majelis berpendapat bahwa keterangan Pemohon Banding yang menyatakan bahwa Pemohon Banding telah memotong, menyetor, dan melaporkan PPh Final Pasal 4 Ayat (2) atas biaya overtime for light & AC, dan bahwa atas biaya-biaya lainnya berupa biaya document charge, biaya telephon, fax & telex dan biaya maintenance adalah bukan merupakan Objek PPh Pasal 23, dapat diterima oleh Majelis. Dengan demikian Majelis berkesimpulan koreksi Terbanding atas Objek PPh Pasal 23 sebesar Rp. 444.021.086 tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku sehingga tidak dapat dipertahankan dan karenanya mengabulkan seluruhnya Banding Pemohon Banding. Selanjutnya PPh Pasal 23 untuk Tahun Pajak 2010 dihitung kembali oleh Majelis menjadi sebagai berikut: DPP PPh 23 cfm Terbanding
Rp. 7.145.139.498
Koreksi tidak dapat dipertahankan
Rp.
444.021.086
DPP PPh 23 cfm Persidangan
Rp. 6.701.118.412
PPh Pasal 23 yang terutang
Rp.
134.022.366
Kredit Pajak
Rp.
134.022.366
PPh yang kurang dibayar
Rp.
0
Analisis Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Masa Pajak Oktober 2010 PT. EP PT. EP sebagai Wajib Pajak mengajukan permohonan Banding kepada Pengadilan Pajak atas Surat Ketetapan Lebih Bayar Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Masa Pajak Oktober 2010, mengenai koreksi sebesar Rp. 2.067.744.824, yang merupakan Pajak Masukan sehubungan dengan biaya eksploitasi, biaya pengerukan, dan biaya penimbunan sampai mendapatkan bijih emas dan bijih perak yang tidak dapat dikreditkan menurut Terbanding yang terdiri dari 189 Faktur Pajak Masukan. Berdasarkan fakta, data serta keterangan para pihak dalam persidagan maka Majelis berpendapat Pajak Masukan sehubungan dengan biaya eksploitasi, biaya pengerukan, dan biaya penimbunan sampai proses mendapatkan bijih emas dan bijih perak tidak bisa dikreditkan, terdiri dari 189 Faktur Pajak Masukan, sejumlah Rp. 2.067.744.824. Pemohon Banding mendasarkan dalilnya pada PMK Nomor 78/PMK.03/2010 tanggal 05 April 2010 tentang Pedoman Perhitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha yang Melakukan Penyerahan yang Terhutang Pajak dan Penyerahan yang Tidak Terhutang Pajak, disebutkan dalam lampiran bahwa Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha terpadu (integrated), misalnya Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan jagung (jagung bukan merupakan Barang Kena Pajak), dan juga mempunyai pabrik minyak jagung (minyak jagung merupakan Barang Kena Pajak). Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena pajak yang nyata-nyata hanya digunakan untuk kegiatan yang atas penyerahannya terutang PPN, dapat dikreditkan seluruhnya. Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Pajak yang nyata-nyata hanya digunakan untuk kegiatan yang atas penyerahnnya tidak terutang PPN atau mendapatkan fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN, tidak dapat dikreditkan seluruhnya. Pemohon Banding mendalilkan bahwa kegiatan usaha Pemohon Banding merupakan kegiatan usaha terpadu (intergrated) berdasarkan surat dari Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 922/32/DBM/2010 tanggal 14 Agustus 2012 yang menyatakan bahwa Pemohon Banding diharuskan mengolah biji (ore) hasil penambangan terlebih dahulu sebelum dijual dan Pemohon Banding hanya diperbolehkan menjual gold and silver granules sebagai produk aktif dengan kadar masing-masing produk sebesar 99,5%. Dalam persidangan Pemohon Banding menyatakan melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) berupa Emas Butiran (gold franules) dan Perak Kristal (silver crystal) yang terhutang PPN. Dengan dalil a quo Pemohon Banding menyatakan bahwa Pajak Masukan yang diperoleh selama proses pendapatan bijih emas/bijih perak dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran atas Barang Kena Pajak yang diserahkannya. Namun dalam persidangan diperoleh fakta, data dan keterangan bahwa emas butiran (gold granules) dan perak kristal (silver crystal) yang dijual oleh Pemohon Banding merupakan produksi dari PT. Aneka Tambang. Pasir emas dan pasir perak yang ditambang oleh Pemohon Banding diserahkan kepada PT. Aneka Tambang untuk diproses lebih lanjut menjadi emas butiran (gold granules) dan perak kristal (silver crystal). Dengan fakta, data dan keterangan a quo Majelis berpendapat bahwa kegiatan usaha Pemohon Banding bukanlah kegiatan usaha yang terpadu (integrated) karena kagiatan Pemohon Banding adalah melakukan penambangan pasir emas dan pasir perak. Sedangkan kagiatan produksi yang mengubah pasir emas dan pasir perak menjadi emas butiran (gold granules) dan perak kristal (silver crystal) dilakukan oleh pihak lain. Mengenai dalil Terbanding yang mendasarkan pada Pasal 9 Ayat (5), yaitu “Apabila dalam suatu Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sepanjang bagian penyerahan yang terutang pajak dapat diketahui dengan pasti pembukuannya, maka jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak”. Berdasarkan ketentuan ini, Terbanding hanya mengakui Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan emas butiran (gold granules) dan perak kristal (sliver crystal), dan tidak mengakui Pajak Masukan atas kegiatan untuk perolehan pasir emas dan pasir perak.
Menurut Majelis, berdasarkan fakta dalam persidangan, terbukti Pemohon Banding melakukan penyerahan Barang Kena Pajak yang terutang PPN berupa emas butiran (gold granules) dan perak kristal (silver crystal). Namun Majelis meyakini bahwa Barang Kena Pajak yang diserhakan oleh Pemohon Banding bukanlah merupakan produk Pemohon Banding sendiri. Dengan demikian Majelis berpendapat bahwa secara jelas Pasal 9 Ayat (5) tidak dapat diterapkan pada Sengketa Banding ini. Majelis berkeyakinan bahwa kegiatan usaha Pemohon Banding adalah menghasilkan pasir emas dan pasir perak yang nyata-nyata sesuai ketentuan yang berlaku bukan merupakan Barang Kena Pajak. Dalam sengketa yang diajukan Banding, terdapat Pajak Keluaran atas produksi yang diserahkan oleh Pemohon Banding berupa emas butiran (gold granules) dan perak kristal (silver crystal) karena emas butiran (gold granules) dan perak kristal (silver crystal) yang diserahkan Pemohon Banding merupakan Barang Kena Pajak. Majelis berpendapat bahwa Pajak Masukan dari unit atau kegiatan penambangan yang diserahkan ke unit atau kegiatan pengolahan tidak dapat dikreditkan sesuai dengan Pasal 4A Ayat (2) huruf a Undang-Undang Pajak Pertambaan Nilai yang menyebutkan “Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai”. Berdasarkan hasil pemeriksaan, Majelis berpendapat koreksi Terbanding atas Pajak Masukan sebesar Rp. 2.067.744.824 telah benar dan tetap dipertahankan, sehingga Majelis menolak Banding Pemohon Banding. Analisis Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) Pajak Penghasilan Pasal 26 PT. NL PT. NL mengajukan Surat Permohonan Banding kepada Pengadilan Pajak. Permohonan Banding yang diajukan Pemohon Banding pada pokoknya mengemukakan mengenai Pemohon Banding yang mengajukan Banding atas Surat Keputusan Terbanding yang Pemohon Banding terima tanggal 21 Januari 2011 tentang Keberatan Pemohon Banding atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasila Pasal 26 yang menetapkan menolak Permohonan Keberatan Pemohon Banding. Pemohon Banding tidak setuju atas koreksi Objek PPh Pasal 26 atas Commodity Swap sebesar Rp. 2.102.592.612 yang ditetapkan oleh Terbanding. Menurut Terbanding, kegiatan Cross Commodity Rate Swap dilakukan untuk mengurangi/membatasi risiko kerugian Pemohon Banding dari perubahan harga komoditas (nikel). Mizuho Corp. Bank Japan memberikan atau membuka fasilitas Cross Commodity Swap tersebut. Selisih lebih pertukaran “harga/nilai” Swap (nilai LME (London Metal Exchange) lebih besar daripada nilai yang ditetapkan Mizuho Corp. Bank Japan) yang diterima (cash flow in) oleh Pemohon Banding dari transaksi Cross Commodity Rate Swap merupakan Objek Pajak. Terhadap jumlah principal (National principal Amount) dari transaksi Cross Commodit Rate Swap yaitu harga/nilai per ton tidak terdapat konsekuensi pajak, karena tidak ada pertukaran jumlah principal dan jumah tersebut bukan merupakan angka actual melainkan hanya sebagai dasar perhitungan pembayaran “harga/nilai” Swap. Atas pembayaran “harga/nilai” Swap kepada pihak (counterpart atau bank) diluar negeri dalam hal nilai LME lebih kecil daripada nilai/harga yang ditentukan dengan Mizuho Corp. Bank Japan, wajib dipotong Pajak Penghasilan Pasal 26. Berdasarkan pemeriksaan Majelis atas Laporan Pemeriksaan Pajak (LPP) yang dibuat oleh KPP PMA Dua untuk Masa Pajak Tahun 2008 diketahui bahwa Terbanding melakukan koreksi positif atas Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Commodity Swap sebesar Rp. 2.102.592.612. Majelis telah memeriksa financial reports tertanggal 31 Desember 2007 dan 2008 diketahui terdapat loss on commodity swap sebesar Rp. 2.102.592.612. Bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan atas fakta-fakta, bukti-bukti dan penjelasan Terbanding dan Pemohon Banding dalam persidangan serta penelitian terhadap berkas Banding, yang dilakukan oleh Pemohon Banding adalah transaksi Commodity Swap. Bahwa transaksi swap yang dilakukan oleh Pemohon Banding dapat diketahui bahwa ada Obyek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Ayat (1) huruf a yaitu adanya tambahan kemampuan ekonomis. Karena secara substansi ada penghasilan yang diperoleh Mizuho dalam transaksi Commodity Swap tersebut yang termasuk dalam kategori Pasal 26 Ayat (1) huruf g, sehingga merupakan Objek Pajak PPh Pasal 26. Bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan atas fakta-fakta, bukti-bukti dan penjelasan Terbanding dan Pemohon Banding dalam persidangan serta penelitian terhadap berkas Banding selanjutnya Majelis berkesimpulan koreksi positif dasar pengenaan pajak PPh Pasal 26 atas Commodity Swap sebesar Rp. 2.102.592.612 tetap dipertahankan.
SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil analisa, pembahasan, dan evaluasi yang dilakukan oleh penulis atas beberapa Sengketa Pajak di Pengadilan Pajak Periode Tahun 2012-2014, maka penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut: 1.
Kendala yang sering muncul dalam proses penyelesaian Sengketa Pajak di Pengadilan Pajak yaitu kurangnya perhatian Wajib Pajak terhadap ketentuan atau persyaratan dalam pengajuan Banding atau Gugatan ke Pengadilan Pajak. Pada contoh Sengketa Pajak yang telah dibahas, terdapat beberapa Wajib Pajak yang tidak memenuhi ketentuan formal dalam pengajuan Gugatan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yaitu dengan melewati batas waktu yang ditentukan untuk dapat mengajukan upaya Gugatan. Sehingga upaya hukum yang diajukan Wajib Pajak tidak dilakukan pemeriksaan lebih lanjut oleh Pengadilan Pajak.
2.
Berdasarkan beberapa contoh penyelesaian Sengketa Pajak di Pengadilan Pajak Periode Tahun 2012-2014 dapat dilihat bahwa penyebab terjadinya Sengketa Pajak yaitu bukan hanya karena kesalahan Wajib Pajak dalam menetapkan Pajak Terutang, namun juga karena kesalahan Fiskus yang kurang teliti/kurang tepat dalam memberikan keputusan kepada Wajib Pajak. Seperti pada Sengketa Pajak PT. PB, pada sengketa tersebut diketahui bahwa Fiskus tidak melakukan Standar Pelaksanaan Pemeriksaan Pajak yang menyebabkan terjadinya kesalahan dalam pengambilan Keputusan sehingga terjadi Sengketa Pajak.
3.
Bahwa berdasarkan beberapa contoh penyelesaian Sengketa Pajak di Pengadilan Pajak Periode Tahun 2012-2014, keputusan yang diambil oleh Majelis sudah benar karena dalam pengambilan keputusan ada beberapa tahap yang dilakukan oleh Majelis. Pertama, Majelis memahami terlebih dahulu masalah yang menjadi pokok sengketa dengan mendengarkan pendapat dari Terbanding/Tergugat dan Pemohon Banding/Penggugat. Kedua, Majelis memeriksa dan memahami bukti-bukti dan keterangan yang diberikan oleh Terbanding/Tergugat dan Pemohon Banding/Penggugat. Ketiga, jika diperlukan Majelis juga meminta bukti dari pihak ketiga seperti KPP tempat Wajib Pajak terdaftar. Keempat, jika dibutuhkan Majelis dapat meminta Terbanding/Tergugat dan Pemohon Banding/Penggugat untuk melakukan Uji Kebenaran Materi, dan yang terakhir Majelis mengambil keputusan dengan berdasarkan bukti, keterangan, dan Undang-Undang yang berlaku.
Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan yang telah diuraikan, maka penulis memberikan saran kepada Wajib Pajak dan Fiskus sebagai berikut: 1.
Bagi Wajib Pajak yang akan mengajukan Banding atau Gugatan ke Pengadilan Pajak, dapat memperhatikan dan memenuhi persyaratan formal pengajuan Banding dan Gugatan yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak dan peraturan lainnya sehingga proses penyelesaian dapat dilakukan dengan cepat.
2.
Dalam melakukan pemeriksaan, Fiskus harus memenuhi atau mengikuti Standar Pemeriksaan yang telah ditetapkan, sehingga pemeriksaan dapat dilakukan dengan benar, dan keputusan yang diambil tidak salah dan tidak merugikan Wajib Pajak. Lebih lanjut dapat mendorong para Wajib Pajak untuk mematuhi dan memenuhi kewajiban perpajakannya.
REFERENSI Direktorat Jenderal Pajak. (2002). Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Direktorat Jenderal Pajak. (2008). Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Ilyas, Wirawan B. & Burton, Richard. (2010). Hukum Pajak. Edisi 5. Jakarta Selatan: Salemba Empat. Ismail, Tjip. (2010). Peradilan Pajak dan Kepastian Hukum di Tengah Globalisasi Ekonomi. Volume 17. Nomor 02. Edisi April 2010. ISSN: 271-294. Jakarta: Jurnal Pengadilan Pajak. Juli, Wan. (2014). Hak dan Kewajiban Wajib Pajak dalam Penyelesaian Sengketa Perpajakan di Pengadilan Pajak. Volume 19. Nomor 3. Edisi September 2014. Surabaya: Jurnal Universitas Wijaya Kusuma.
Pamungkas, Hanggoro. (2011). Penyelesaian Sengketa Pajak. Volume 02. Nomor 01. Edisi May 2011. ISSN: 2087-1228. Jakarta: Jurnal Binus Business Review. Pengadilan Pajak. (no date). Profil Pengadilan Pajak. Http://www.setpp.depkeu.go.id. Diakses tanggal 23 Januari 2015. Waluyo. (2011). Perpajakan Indonesia: Edisi 10. Jakarrta: Salemba Empat.
RIWAYAT PENULIS Aisyah Catur Sari lahir di kota Tangerang pada 24 Oktober 1992. Penulis menamatkan pendidikan S1 di Universitas Bina Nusantara dalam bidang Akuntansi pada tahun 2015.