IFES Indonesia:
Laporan Survei Nasional Pemilu 2014 di Indonesia
Laporan Survei Nasional – Pemilihan Umum Tahun 2014 di Indonesia Indonesia, Januari 2015 © IFES, 2015. Semua hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Pernyataan Izin: Tidak ada bagian dari tulisan ini dapat direproduksi atau disalin dalam bentuk apapun, secara elektronik maupun manual, termasuk difotokopi, direkam, diunduh, atau disimpan tanpa izin tertulis dari IFES. Permohonan izin penggunaan materi ini harus mencantumkan informasi berikut: • Penjelasan mengenai materi atau publikasi di mana salinan tersebut akan digunakan. • Tujuan penyalinan dan bagaimana salinan tersebut akan digunakan. • Nama, jabatan, perusahaan atau organisasi, nomor telepon, nomor fax, alamat e-mail, dan alamat pos pemohon. Mohon kirimkan seluruh permohonan izin ke: International Foundation for Electoral Systems 1850 K Street, NW, Fifth Floor Washington, DC 20006 E-mail:
[email protected] Fax: 202.350.6701 Laporan ini diselesaikan dan disusun berkat dukungan dari United States Agency for International Development (USAID), the Department of Foreign Affairs, Trade and Development, Canada and the Australian Government, Department of Foreign Affairs and Trade. Isi laporan ini adalah tanggung jawab IFES dan tidak mencerminkan pandangan atau posisi dari lembagalembaga pendukung di atas.
Daftar Isi
Daftar Isi Ringkasan Eksekutif
5
Temuan Kunci
6
Rincian Survei
11
Survei Pra Pemilu
11
Survei Pasca Pemilu Legislatif
11
Survei Pasca Pemilu Presiden
11
Pengetahuan tentang Proses Pemilu
12
Peningkatan Signifikan terkait Paparan Informasi Tentang Pemilu
untuk Pemilih antara Survei Pra Pemilu dan Pasca Pemilu 12
Peningkatan Informasi secara Signifikan dalam Aspek-Aspek Spesifik Kepemiluan
14
Sosialisasi Informasi bagi Pemilih oleh KPU Memiliki Cakupan yang Luas
15
Penggunaan Internet untuk Mendapatkan Informasi
18
Sikap terkait Lembaga Kepemiluan
20
Pengetahuan terkait KPU dan Lembaga Kepemiluan Lainnya
20
Opini terkait Kinerja KPU Selama Pemilu
20
Sikap terhadap Kinerja Lembaga Penyelenggara Pemilu selama Pemilu 2014 23
Penilaian Positif terkait Kerja Staf Pemilu dalam Hari Pemilu
24
Pandangan Masyarakat Terkait Pemilu 2014
27
Sikap terhadap Pemilu 2014
27
Pendapat Masyarakat Yang Sangat Positif Terhadap Penyelenggaraan Pemilu 2014
28
Pandangan terkait Isu-Isu Spesifik Soal Kepemiluan
32
Pandangan Masyarakat Terkait Manipulasi Hasil Pemilu
32
Pandangan Masyarakat terkait Petugas Pengawas Pemilu
34
Pengalaman dan Pandangan Pemilih Terhadap Politik Uang
34
Pandangan Terkait Kekerasan Pemilu
36
Laporan Survei Nasional – Pemilu 2014 di Indonesia
3
Ringkasan Eksekutif
Dari Oktober 2013 hingga Oktober 2014, International Foundation for Electoral Systems (IFES) mengadakan tiga survei opini publik untuk mengukur persepsi masyarakat terkait proses pemilu, mengukur kepercayaan masyarakat terkait penyelenggara pemilu, dan mengumpulkan opini masyarakat Indonesia terkait pemilu – legisatif dan presiden. Menurut data dari ketiga survei tersebut, sebagian besar masyarakat Indonesia menyatakan bahwa Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 telah berlangsung secara bebas dan adil, dan diselenggarakan secara lebih baik dibandingkan Pemilu 2009. Mayoritas pemilih juga merasa puas dengan penyelenggaraan pemilu dan mereka juga memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap para penyelenggara pemilu, khususnya Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU). Kendati demikian, para pemilih menyatakan bahwa masih ada beberapa hal yang bisa ditingkatkan oleh penyelenggara pemilu di masa yang akan datang, baik pada tahapan proses pemilu atau kegiatan penyelenggaraan pada hari pemilihan. Selain itu, ada beberapa hal yang menjadi perhatian dan kekhawatiran masyarakat pemilih diantaranya adalah proses rekapitulasi hasil pencoblosan yang memakan waktu lebih lama dan terjadinya manipulasi dan kecurangan atas hasil pemilu sebagai imbas dari persaingan ketat antar peserta pemilu 2014. Dalam tiga survei yang di selenggarakan IFES tahun 2013-2014, pemilih juga menyatakan bahwa praktek jual beli suara dan politik uang tetap merupakan kekhawatiran utama pemilih dan merupakan tantangan dalam memperkuat proses demokrasi di Indonesia. Dalam tiga survei nasional yang dilakukan IFES dalam periode 2013-2014, pemilih menganggap bahwa terjadi peningkatan prestasi yang signifikan dalam Pemilu 2014 jika dibandingkan Pemilu 2009. Partisipasi pemilih di Indonesia cenderung tetap tinggi - pada tahun 2014, sekitar 75% untuk Pileg dan 70% untuk Pilpres. Daftar pemilih, yang pada Pemilu 2009 adalah sumber sengketa, sekarang dianggap cukup dianggap bagus dan tidak menjadi target utama gugatan sengketa hasil pemilu. Responden survei tahun 2014 juga berpendapat bahwa mereka mendapatkan pendidikan pemilih yang lebih intensif, khususnya terkait pengenalan terhadap proses pemilu, penyelenggara pemilu, dan prosedur pemungutan suara. Pemilu 2014 adalah siklus pemilu terakhir di mana hari pemilihan anggota legislatif dan pemilihan presiden/ wakil presiden diselenggarakan secara terpisah. Hasil survei menunjukkan bahwa prosedur pemungutan suara dan penyelenggaraan pemilu yang rumit harus diperbaiki untuk memastikan suksesnya pileg dan pilpres serentak di masa mendatang. Pemilih secara umum merasa puas dengan proses dan prosedur pemungutan suara di Indonesia dalam kedua pemilu pada tahun 2014 lalu. Namun, mereka juga menyebutkan beberapa hal yang menjadi kekhawatiran mereka sebagai pemilih pada pemilu Legislatif; sulitnya memahami proses pemungutan suara, lamanya mendapat giliran untuk mencoblos karena antrian pemilih yang cukup panjang, dan petugas TPS kadang tidak terorganisir dengan baik. Pemilu 2014 juga unik dalam aspek terkait keterbelahan pilihan politik para pemilih. Dalam data survei IFES juga terlihat dampak kemenangan pilpres yang tidak tipis atau cukup telak (dengan angka kemenangan sekitar 6,3% perbedaan perolehan suara) dan suasana politik yang sengit dalam proses rekapitulasi hasil pemilu presiden selama dua minggu proses penghitungan suara secara nasional. Pendukung Prabowo Subianto cenderung menganggap Pilpres 2014 tidak bebas dan adil dibandingkan pendukung Joko Widodo. Pemilih yang percaya bahwa Pemilu 2014 tidak bebas dan adil kebanyakan menyebutkan bahwa proses rekapitulasi kurang dapat dipercaya karena ditengarai terdapat kecurangan. Tuduhan kecurangan disampaikan melalui televisi oleh
Laporan Survei Nasional – Pemilu 2014 di Indonesia
5
International Foundation for Electoral Systems
tim Prabowo Subianto selama tahap rekapitulasi suara kemungkinan besar telah mempengaruhi opini responden. Namun, pemilih yang percaya bahwa Pileg tidak adil dan bebas menyebutkan politik uang sebagai alasan utama. Walaupun data survei menunjukkan bahwa upaya pendidikan pemilih sebelum pemilu menunjukan keberhasilan, pemilih Indonesia mengidentifikasi beberapa bidang di mana pendidikan pemilih dapat ditingkatkan kualitasnya. Kurang dari setengah responden survei menjawab bahwa mereka puas dengan penggunaan internet dan media sosial dalam upaya pendidikan pemilih. Terkait efektivitas penggunaan internet dan media sosial dalam pendidikan pemilih, responden yang merupakan para pengguna internet saja menyatakan rasa puas dengan upaya KPU dalam memanfaatkan media tersebut dalam mensosialisasikan hal yang harus diketahui pemilih tentang pemilu. Harus dicatat bahwa televisi tetap menjadi media yang paling banyak diandalkan responden untuk mendapatkan informasi kepemiluan. Pemilih menganggap bahwa sumber lain seperti partai politik, calon anggota legislatif, media cetak, dan organisasi masyarakat sipil perannya dianggap tidak sepenting KPU. Praktek politik uang, khususnya kegiatan jual-beli suara, merupakan salah satu praktek kecurangan yang ditemukan dalam survei ini, namun hal tersebut tidak terjadi secara seragam di seluruh provinsi Indonesia. Pemilih Indonesia yakin bahwa praktek jual beli suara lebih banyak terdapat dalam Pemilu Legislatif 2014 dibandingkan Pemilu 2009. Lebih dari setengah pemilih menyatakan bahwa jika mereka ditawarkan uang atau bingkisan untuk memilih calon anggota legislatif atau partai politik tertentu, mereka tidak akan melaporkan praktek tersebut pada pihak yang berwenang. Hal ini menunjukan bahwa selain menargetkan para pelanggar aturan atau pelaku politik untuk di advokasi, perlu juga di kemudian hari untuk lebih mendorong publik untuk lebih aktif atau memprakarsai sebuah gerakan anti politik uang.
Temuan Kunci
IFES bekerjasama dengan Lembaga Survei Indonesia (LSI) dalam mengerjakan survei opini publik nasional pada saat sebelum, selama, dan setelah Pemilu Nasional 2014 dengan 2000 sampel untuk setiap surveinya. Margin of error untuk survei-survei ini adalah + 2%. Survei pertama dilaksanakan pada bulan Desember 2013, sebelum Pileg 9 April 2014. Survei kedua dilaksanakan pada bulan Mei dan Juni 2014. Survei ketiga dilaksanakan Oktober 2014, setelah Pilpres 9 Juli 2014. Ketiga survei tersebut memiliki metodologi dan jumlah sampel yang sama. Ketiga hasil survei tersebut merupakan rujukan untuk menyusun Laporan Survei Pemilu Nasional 2014. Proses wawancara untuk pengumpulan data dilaksanakan di 33 provinsi di Indonesia. Responden yang di wawancarai adalah orang-orang yang menggambarkan pemilih di Indonesia dari seluruh kelompok usia pemilih. Beberapa temuan laporan ini juga mengacu kepada data survei IFES yang sebelumnya dilakukan pada tahun 2008, 2009, dan 2010. IFES telah bekerja dengan mitra nasional untuk melaksanakan sejumlah survei tentang proses kepemiluan sejak 1999. Hasil temuan dari survei-survei tersebut adalah sumber data untuk melihat tren atas suatu. Temuan-temuan itu menjadi hal yang sangat berharga dalam melihat proses pemilu di Indonesia dan membangun konteks ketika membaca temuan survei tahun 2014. Berikut adalah ringkasan temuan kunci survei ini.
6
Integritas Pemilu
• Saat ditanya soal integritas pemilu 2014, 80% pemilih di Indonesia yakin bahwa Pileg dan Pilpres 2014 sepenuhnya atau cukup bebas dan adil. Walaupun perbedaan pendapat antara kelompok partisan tidak terlalu besar terkait integritas Pileg, perbedaan tersebut cukup signifikan terjadi ketika responden diminta menilai integritas terkait Pilpres 2014. Sembilan puluh dua persen pendukung Jokowi yakin bahwa Pilpres 2014 setidaknya cukup bebas dan adil, sementara hanya 73% pendukung Prabowo Subianto yakin bahwa Pilpres 2014 setidaknya cukup bebas dan adil. • Saat pemilih yang menyatakan yakin bahwa pemilu 2014 tersebut tidak bebas dan adil ditanyakan alasan mereka berpendapat demikian, banyak yang menyebutkan bahwa mereka kurang percaya terhadap proses rekapitulasi penghitungan suara dalam Pilpres (28%), sementara ketidak percayaan pada proses rekapitulasi dalam Pileg adalah 8%. Yang tidak menganggap bahwa pemilu 2014 bebas dan adil beralasan bawah lebih banyak menyebutkan kemungkinan terjadinya kecurangan dalam proses pilpres (23%) dibanding pileg (12%). • Di antara pemilih yang menganggap bahwa Pileg tidak bebas dan adil, terdapat banyak pemilih yang menyebutkan politik uang (48%) sebagai alasan dibandingkan yang menganggap bahwa Pilpres tidak bebas dan adil (15%).
Penyelenggaraan Pemilu
• Sebagian besar masyarakat Indonesia menganggap bahwa Pileg dan Pilpres 2014 diselenggarakan dengan baik. Untuk Pileg, 90% menyatakan bahwa pemilu tersebut diselenggarakan dengan sangat baik (7%) atau cukup baik (83%), sementara hanya 8% yang menyatakan bahwa pemilu tersebut tidak diselenggarakan dengan baik. Untuk pilpres, hampir 90% menyatakan bahwa pemilu tersebut diselenggarakan dengan sangat baik (8%) atau cukup baik (82%) dan hanya 8% yang menyatakan bahwa pemilu tersebut tidak diselenggarakan dengan baik. • Walaupun kebanyakan pemilih Indonesia puas dengan penyelenggaraan pemilu, sejumlah besar pemilih menyatakan kekhawatiran terkait penghitungan suara di TPS. Setelah Pileg, 26% pemilih menyatakan bahwa manipulasi hasil pemilu terjadi di beberapa TPS. Kebanyakan menyatakan bahwa manipulasi paling banyak terjadi di Aceh (39%), Maluku/ Papua (33%) dan Jawa Barat/Banten/Jakarta (30%). Sementara daerah dengan tingkat manipulasi lebih rendah terjadi di Sumatera (18%), Bali/NTT/NTB (18%), dan Sulawesi/ Gorontalo (17%).
Pendidikan Pemilih
• Upaya pendidikan pemilih pada bulan-bulan menjelang pemilu efeknya cukup signifikan. Terdapat 64% peningkatan antara survei pra dan pasca pemilu terkait meningkatnya pengetahuan masyarakat mengenai status pendaftaran pemilih atau bagaimana cara mendaftarkan nama sebagai pemilih, tujuh puluh dua persen (72%) peningkatan informasi terkait aspek logistik dalam pemilu misalnya informasi tentang dimana dan kapan memilih, dan 84% peningkatan terkait pengetahuan mengenai tata cara pemungutan suara dan menandai kertas suara.
Laporan Survei Nasional – Pemilu 2014 di Indonesia
7
International Foundation for Electoral Systems
• Masyarakat Indonesia cenderung mengandalkan informasi dari KPU dibandingkan informasi dari sumber lain sebagai rujukan pengetahuan mengenai pemilu. Hampir sebagian masyarakat Indonesia (47%) menyatakan bahwa sumber informasi terpenting mereka menuju Pileg adalah materi sosialisasi KPU, sementara yang lain menyatakan bahwa mereka mendapatkan informasi dari materi kampanye dari parpol dan caleg (22%), media dan berita (20%), dan materi sosialisasi dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) (3%). • Persentase masyarakat Indonesia yang puas dengan kerja KPU dalam memberikan informasi dan memberikan pendidikan kepada masyarakat meningkat dari 61% sebelum Pileg menjadi 76% setelah Pileg, dan terus meningkat hingga mencapai 79% sebelum PIlpres. • Hampir dua per tiga masyarakat pemilih Indonesia (64%) yang menggunakan internet setidaknya sekali sebulan menyatakan bahwa mereka puas terhadap kerja KPU dalam menggunakan internet dan media sosial untuk lebih merangkul pemilih dalam Pilpres 2014.
Penyelenggara Pemilu
• Pemilih memberikan tanggapan positif terkait kerja KPU dalam Pileg dan Pilpres 2014. Secara umum, 79% pemilih Indonesia puas dengan kerja KPU dalam menginformasikan dan memberikan pendidikan masyarakat terkait proses kepemiluan; 77% puas terhadap kerja KPU dalam memastikan hasil pemilu akurat dan merefleksikan suara pemilih, 74% puas terhadap kerja KPU dalam menyusun dan menetapkan daftar pemilih, dan 66% puas terhadap independensi KPU terkait tekanan politis yang banyak terjadi dalam penyelenggaraan pemilu. • Di antara tingkatan para penyelenggara pemilu, masyarakat memberikan penilaian tertinggi pada penyelenggara pemilu di tingkat lokal. Kelompok penyelenggara di tingakatan paling bawah ini merupakan kelompok yang sering berinteraksi langsung dengan pemilih dilapangan. Setelah Pileg, tanggapan terbaik terhadap kerja penyelenggara pemilu diberikan bagi KPPS (78%) dan PPS (77%). Setelah Pilpres, masyarakat Indonesia memiliki opini paling kuat terkait PPS (9% menyatakan kerja mereka sangat baik dan 72% menyatakan baik) dan KPPS (11% sangat baik dan 70% baik). • Aspek-aspek proses pemilu yang paling di inginkan pemilih untuk diperbaiki KPU setelah Pileg adalah prosedur tata cara pemungutan suara dan menandai kertas suara (24%), pendaftaran pemilih (15%), dan kejujuran dalam proses Penghitungan suara dan pengumuman hasil pemilu di TPS (9%). Kepuasan terhadap aspek-aspek ini meningkat setelah Pilpres. Kepuasan pemilih Indonesia terhadap KPU terkait prosedur pemungutan suara dan cara mengisi surat suara meningkat sebesar enam persen dari 84% menjadi 90%. Kepuasan pemilih Indonesia terkait netralitas KPU dalam melaksanakan proses penghitungan, rekapitulasi, dan pengumuman hasil di TPS meningkat dari 86% menjadi 89%, dan kepuasan terkait proses pendaftaran pemilih naik dua persen dari 87% menjadi 89%.
8
Hari Pemilu
• Sebagian kecil pemilih (9%) menyatakan bahwa mereka menemukan masalah saat mencoblos untuk Pileg 2014. • Insiden permasalahan pencoblosan Pileg paling banyak terdapat di Kalimantan (14%) dan Bali/NTT/NTB (13%) dan lebih rendah di Sumatera (5%) dan Sulawesi/Gorontalo (3%). Di antara masalah yang dihadapi oleh pemilih dalam Pileg adalah tidak memahami proses pemungutan suara (28%), antrean yang lama (21%), dan petugas pemilu yang kurang terorganisir (6%). • Sebagian kecil pemilih (5%) menyatakan bahwa mereka menemukan masalah saat mencoblos untuk Pilpres 2014. • Kesulitan dalam mencoblos paling banyak ditemukan di Maluku/Papua, di mana 21% pemilih mengalami kesulitan mencoblos. Di daerah lain, pemilih yang menyatakan kesulitan mencoblos tidak lebih dari 8%. Menurut para pemilih yang mengalami kesulitan mencoblos, terdapat beberapa hal yang menjadi kendala para pemilih tersebut, yaitu tidak memahami proses pemungutan suara (22%), tidak tercatat dalam daftar pemilih (20%), petugas pemilu kurang terorganisir (9%), dan antrIan lama (9%). • Bagi kebanyakan pemilih, keberadaan pengawas pemilu dianggap mampu meningkatkan rasa yakin mereka bahwa pemilu terselenggara secara adil. Di antara para pemilih, 72% pemilih menyatakan bahwa mereka melihat pengawas pada hari Pemilu. Keberadaannya dianggap sebagai aspek positif oleh 80% pemilih. Enam puluh tiga persen pemilih menyatakan bahwa mereka melihat keberadaan pemantau lokal pada hari pemilu, dan 82% menyatakan bahwa keberadaan pemantau lokal meningkatkan rasa yakin mereka.
Jual Beli Suara
• Praktek jual beli suara terus ditemukan namun dengan tingkat yang berbeda di berbagai provinsi. Setelah Pileg 2014, lima belas persen (15%) pemilih Indonesia melaporkan bahwa mereka pernah ditawari uang atau bingkisan sebelum Pileg untuk memilih kandidat tertentu, sementara 20% menyatakan bahwa mereka mengenal seseorang yang pernah ditawari uang atau bingkisan. Tingkat pembelian suara tertinggi ditemukan di Jawa Tengah/Yogyakarta (29%) dan Aceh (27%), dan terendah di Maluku/Papua (12%), Jawa Barat/Banten/Jakarta (12%), dan Bali/NTT/NTB (3%). • Masyarakat Indonesia percaya bahwa pembelian suara lebih banyak terdapat di Pileg 2014 dibanding 2009. Lebih dari sepertiga pemilih yakin bahwa terdapat peningkatan politik uang jumlah besar (16% responden) dan dalam jumlah kecil (18% responden) dibandingkan 2009, sementara 26% menyatakan bahwa sebarannya sama besar. • Terkait tantangan dalam mengentaskan praktek politik uang, lima puluh empat (54%) pemilih Indonesia menyatakan bahwa jika mereka ditawari uang atau bingkisan untuk memilih seorang caleg, mereka tidak akan melaporkannya karena dianggap kegiatan yang normal selama pemilu. Hanya 19% yang menyatakan bahwa mereka akan melaporkan jumlah uang/harga bingkisan yang ditawarkan.
Laporan Survei Nasional – Pemilu 2014 di Indonesia
9
International Foundation for Electoral Systems
Kekerasan Pemilu
• Walaupun periode pemilu berlangsung secara damai, sejumlah masyarakat merasa khawatir akan terjadi kekerasan pada Pilpres. Tiga puluh tujuh persen (37%) masyarakat Indonesia melaporkan bahwa mereka khawatir kekerasan dapat muncul di masyarakat jika hasil pilpres tidak diterima oleh calon yang dinyatakan kalah. • Pemilih menyatakan bahwa para calon presiden dan wakil presiden memegang peranan yang penting dalam mengurangi kekhawatiran terkait kekerasan pemilu: Joko Widodo dianggap sebagai figur paling berpengaruh untuk mengurangi kekhawatiran tersebut (73%) dan Prabowo Subianto (68%) dianggap kedua terpenting dalam hal ini.
Hasil Pemilu
• Cukup banyak masyarakat Indonesia yang menganggap lebih banyak manipulasi terjadi di TPS selama Pilpres dibanding Pileg. Lebih dari sepertiga pemilih (35%) cukup atau sangat setuju bahwa terjadi manipulasi hasil pemilu di beberapa TPS – angka tersebut meningkat 9% dibandingkan respon terhadap pertanyaan yang sama terkait Pileg. Pemilih yang berpendapat cukup atau sangat setuju lebih banyak merupakan pemilih Prabowo (44%) dibandingkan Jokowi (31%). • Sebagai refleksi tentang bagaimana ketatnya persaingan Pilpres 2014 yang lalu bisa juga di lihat dari proses persidangan penyelesaian sengketa pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK) berdasarkan gugatan tim kampanye Prabowo Subianto, 21% pemilih Indonesia menganggap bahwa terjadi manipulasi hasil Pilpres 2014 secara masif. Dari responden yang memiliki opini demikian, lebih banyak terdapat dari pemilih yang memilih Prabowo Subianto (31%) dibandingkan pemilih yang memilih Joko Widodo (16%).
10
Rincian Survei:
IFES bekerja sama dengan Lembaga Survei Indonesia (LSI) untuk melaksanakan kerja lapangan dan memproses data terkait survei-survei yang diselenggarakan pada periode 2013-2014. Data diolah berdasarkan usia, daerah, dan jenis kelamin (gender) untuk menyelaraskan sampel dengan parameter populasi Indonesia sehingga bisa mencerminkan populasi pemilih (berusia 17 tahun atau lebih) di Indonesia.
Survei Pra Pemilu
Sampel: 1.890 responden yang sudah mempunyai hal pilih (berusia 17 tahun atau lebih pada hari pemilu atau sudah/pernah menikah) Margin of error: ± 2.3% dengan tingkat keyakinan 95% Cakupan wilayah sampel: 33 provinsi di Indonesia; pembagian sample dilakukan secara proporsional di tingkat nasional dengan sampel berlebih di Aceh, Maluku, Papua, dan Papua Barat. Kerja lapangan: Desember 17 – 30, 2013
Survei Pasca Pemilu Legislatif
Sampel: 2009 responden yang sudah mempunyai hak pilih (berusia 17 tahun atau lebih pada hari pemilu atau sudah/pernah menikah) Margin of error: ± 2,2% dengan tingak keyakinan 95% Cakupan wilayah sampel: 33 provinsi di Indonesia; pembagian sample dilakukan secara proporsional di tingkat nasional dengan sampel berlebih di Aceh, Maluku, Papua, dan Papua Barat. Kerja lapangan: 1 – 10 Juni 2014
Survei Pasca Pemilu Presiden
Sampel: 2000 responden yang sudah mempunyai hak pilih (berusia 17 tahun atau lebih pada hari pemilu atau sudah/pernah menikah) Margin of error: ± 2,1% dengan tingkat keyakinan 95% Cakupan wilayah sampel: 34 provinsi di Indonesia; dengan pembagian sample dilakukan secara proporsional di tingkat nasional dengan sampel berlebih di Aceh, Maluku, Papua, dan Papua Barat. Kerja lapangan: 25 Oktober – 3 November 2015
Laporan Survei Nasional – Pemilu 2014 di Indonesia
11
International Foundation for Electoral Systems
Pengetahuan tentang Proses Pemilu
Informasi yang di terima para pemilih terkait proses pemilu dapat menjadi faktor penting dalam memastikan partisipasi pemilih Indonesia secara efektif. Survei pra pemilu, pasca Pileg, dan pasca Pilpres yang dilaksanakan oleh IFES mengumpulkan informasi dari responden terkait informasi yang mereka dapatkan menjelang proses pencoblosan. Temuan dari tiga survei tersebut mengindikasikan bahwa kurangnya informasi yang didapatkan oleh sebagian pemilih Indonesia menjelang hari pemilihan telah berhasil ditanggulangi melalui sosialisasi pesanpesan pendidikan pemilih sebelum hari pemilihan Perbandingan data informasi kepemiluan dari tiga survei tersebut mengindikasikan bahwa pemahaman mayoritas pemilih Indonesia terkait informasi kepemiluan dan pengetahuan tentang tata cara pencoblosan atau tata cara memilih telah meningkat secara signifikan selama proses menjelang hari pencoblosan. Data yang ditemukan juga mengindikasikan bahwa pesan dan materi pendidikan pemilih KPU telah berhasil merangkul jumlah pemilih yang signifikan di Indonesia.
Peningkatan Signifikan terkait Paparan Informasi Tentang Pemilu Untuk Pemilih antara Survei Pra Pemilu dan Pasca Pemilu Perbandingan data survei pra pemilu dan pasca pemilu mengindikasikan bahwa permasalahan berupa kurangnya informasi kepemiluan yang diterima para pemilih berhasil ditanggulangi oleh KPU sebelum Pileg dan Pilpres 2014. Data survei menunjukkan bahwa terdapat peningkatan yang signifikan terkait informasi pemilu Pileg dan Pilpres 2014 yang diterima oleh pemilih. Dalam survei pra pemilu di bulan Desember 2013, sebagian besar responden menyebutkan bahwa mereka masih kurang memiliki informasi terkait pemilu secara umum: 73% responden menyatakan bahwa informasi yang mereka miliki masih sedikit atau tidak memiliki informasi sama sekali (Gambar 1). Dalam survei tersebut, hanya sedikit yang menyatakan memiliki informasi: 20% memiliki informasi yang cukup banyak, sementara 3% menyatakan memiliki sangat banyak informasi.
Gambar 1: “Seberapa banyak informasi yang Ibu/Bapak miliki tentang pemilu-pemilu tersebut? (Desember 2013, n=2,248)
Kebanyakan responden di seluruh sub-kelompok besar dalam populasi pemilih menjawab bahwa mereka kurang memiliki informasi tentang Pileg atau Pilpres. Mayoritas (65%) dari pemilih yang memegang gelar sarjana menyatakan bahwa informasi terkait pemilu yang mereka miliki hanya sedikit atau tidak memiliki sama sekali. Yang lebih mengejutkan, mayoritas pemilih yang menyatakan sangat atau cukup tertarik dengan politik menilai bahwa mereka hanya memiliki sedikit atau tidak ada sama sekali informasi yang berkaitan dengan pemilu (67%). Setelah Pileg 2014, pemilih kembali ditanya terkait ketersediaan informasi kepemiluan secara kuantitas dan kualitas. Secara umum, dua per tiga (67%) pemilih Indonesia menyatakan bahwa mereka telah menerima informasi tentang Pemilu sebelum tanggal pemungutan suara (Gambar
12
2). Dari yang menjawab bahwa mereka sudah memiliki informasi, sedikit diatas setengah jumlah pemilih (53%) merasa bahwa informasi yang tersedia jumlahnya banyak dan sangat membantu mereka untuk memahami prosedur pemungutan suara, sementara 39% menyatakan bahwa informasi yang mereka miliki cukup banyak tetapi masih perlu informasi tambahan di beberapa aspek pemilu (Gambar 3). Hanya 7% yang menyatakan bahwa informasi yang mereka terima tidak cukup dan perlu informasi yang lebih banyak lagi untuk memahami tata cara memilih. Gambar 2: “Pada minggu-minggu menjelang pemilu DPR/DPRD/DPD pada 9 April 2014 lalu, apakah Ibu/Bapak melihat, mendengar, atau membaca informasi, pesan, tentang tata cara memilih dalam pemilu?” (n=2,510)
Gambar 3: “Bagaimana penilaian Ibu/ Bapak terhadap informasi tersebut? “ (n=1,657)
Pertanyaan-pertanyaan seperti yang diatas kembali ditanyakan di survei IFES pasca Pilpres. Temuan dari survei pasca Pilpres memperlihatkan bahwa mayoritas pemilih Indonesia mendapatkan informasi yang signifikan tentang proses kepemiluan. Setelah Pilpres, 75% menyatakan bahwa mereka melihat, mendengar, atau membaca informasi berkaitan dengan pemilu menjelang hari pemilihan. Hal ini memperlihatkan terjadi 8% peningkatan dari hasil survei pasca Pileg. Peningkatan ini menunjukkan bahwa KPU terus meningkatkan kualitas materi informasi bagi pemilih, khususnya tentang tata cara pemilihan (Gambar 4). Sembilan puluh empat persen (94%) responden yang terpapar materi sosialisasi tersebut menyatakan bahwa informasinya banyak dan membantu mereka dalam memahami tata cara memilih (57%) atau cukup banyak, tapi masih perlu informasi tambahan (37%) (Gambar 5). Gambar 4: “Pada minggu-minggu menjelang pemilu Presiden 9 Juli 2014 lalu, apakah Ibu/Bapak melihat, mendengar, atau membaca informasi, pesan, atau kegiatan tentang tata cara memilih dalam pemilu?” (n=2,540)
Gambar 5: “Bagaimana penilaian Ibu/ Bapak terhadap Informasi tersebut? “(n=1,918)
Laporan Survei Nasional – Pemilu 2014 di Indonesia
13
International Foundation for Electoral Systems
Perbandingan data terkait informasi tentang tata cara memilih dari survei pra pemilu dan pasca pemilu menunjukkan terjadinya peningkatan jumlah informasi yang didapatkan pemilih secara signifikan: dari situasi pra pemilu di mana hampir tiga per empat pemilih Indonesia tidak memiliki Informasi yang cukup ke situasi pasca pemilu di mana tiga per empat pemilih Indonesia memiliki informasi, kebanyakan dari mereka yang memiliki informasi tersebut menganggap bahwa informasi yang mereka dapatkan sangat berguna untuk memahami tata cara memilih. Data ketiga survei juga menunjukkan bahwa peningkatan secara signikan jumlah informasi tentang pemilu yang di miliki oleh pemilih tidak saja berdampak pada pengetahuan masyarakat tentang informasi pemilu secara umum, tetapi juga mampu menjelaskan hal-hal yang spesifik tentang proses pemilu.
Peningkatan Informasi secara Signifikan dalam Aspek-Aspek Spesifik Kepemiluan
Selain informasi umum terkait pemilu, responden survei pra pemilu juga ditanyakan apakah mereka memiliki informasi cukup atau butuh lebih banyak informasi terkait aspek-aspek spesifik dalam proses pemilu. Di tiap aspek yang ditanyakan, mayoritas responden menyatakan bahwa mereka masih membutuhkan informasi lebih banyak.
Gambar 6: “Mohon jelaskan, untuk beragam aspek dalam proses pemilu yang akan saya bacakan berikut ini, apakah Ibu/Bapak merasa telah mendapatkan informasi yang cukup atau perlu memperoleh informasi yang lebih banyak lagi? “ (Desember 2013, n=2,248)
Dalam survei pra pemilu, kebanyakan pemilih Indonesia menyatakan butuh informasi lebih banyak tentang aspek-aspek utama proses pemilu yang penting diketahui mereka ketahui sehingga bisa berpartisipasi secara sah dalam Pileg dan Pilpres. Dari 10 orang pemilih, lebih dari 7 orang di antaranya (71%) menyatakan bahwa mereka butuh lebih banyak informasi tentang kapan dan di mana pemungutan suara akan dilakukan, 69% menyebutkan bahwa mereka butuh informasi tentang cara mencoblos yang tepat, dan 67% mengaku bahwa mereka butuh lebih banyak informasi tentang pendaftaran pemilih (Gambar 6). Pemilih juga menyatakan bahwa mereka butuh lebih banyak informasi terkait aspek teknis proses pemilu seperti proses alokasi kursi ke parpol dan bagaimana seorang caleg dapat terpilih (masing-masing 72%).
14
Responden dalam survei pasca Pileg juga ditanyakan informasi terkait aspek-aspek tersebut dan hasilnya menunjukkan terjadinya peningkatan pengetahuan pemilih yang cukup signifikan menjelang hari pencoblosan. Misalnya terjadi peningkatan pengetahuan pemilih tentang pendaftaran pemilih atau bagaimana cara mendaftarkan diri sebagai pemilih sebesar 64% ketika dibandingkan data pra pemilu dan setelah pemilu (Gambar 7). Peningkatan sebesar 72% juga terjadi pada aspek aspek logistik pemilu misalnya tentang kapan dan di mana seorang pemilih bisa memberikan suara. Pengetahuan pemilih tentang tata cara pemberian suara di surat suara juga mengalami kenaikan yang cukup signifikan, yakni 84%.
Gambar 7: Peningkatan Pengetahuan Sebelum/Setelah Pemilu April
Mohon jelaskan, untuk beragam aspek dalam proses pemilu yang akan saya bacakan berikut ini, apakah Ibu/Bapak merasa telah mendapatkan informasi yang cukup atau perlu memperoleh informasi yang lebih banyak lagi terkait aspek-aspek dalam pemilu 2014 (Pemilu Legislatif, Pemilu Presiden) (Desember 2013
– n = 2,248; Juni 2014 – n = 2,510)
Sosialisasi Informasi bagi Pemilih oleh KPU Memiliki Cakupan yang Luas Upaya pendidikan pemilih oleh KPU menjelang Pileg 2014 menggunakan berbagai sumber informasi dalam mensosialisasikan informasi tentang pemilu bagi pemilih di seluruh penjuru Indonesia. Data survei pasca Pileg mengindikasikan bahwa upaya pensosialisasikan pesan-pesan pemilu oleh KPU berhasil merangkul banyak pemilih Indonesia. Namun penggunaan media jejaring sosial dan internet sebagai salah satu metode penyebaran informasi pemilu masih perlu mendapat perhatian dan ditingkatkan lagi di masa depan oleh KPU.
Gambar 8: Jumlah iklan yang sudah terlihat/terdengar disiarkan menjelang hari pemilihan (n=2,510)
Sebelum Pileg, KPU menggunakan berbagai untuk mendorong partisipasi pemilih dan untuk menginformasikan pemilih terkait isu-isu penting tentang Pemilu. Secara umum, hampir tiga per
Laporan Survei Nasional – Pemilu 2014 di Indonesia
15
International Foundation for Electoral Systems
empat (74%) pemilih Indonesia melihat atau mendengar setidaknya satu iklan yang disiarkan KPU: lebih dari setengah (57%) melihat/mendengar lebih dari satu iklan KPU, sementara seperempat (25%) melihat/mendengar keempat iklan yang disiarkan KPU (Gambar 8). Saat ditanya terkait pesan spesifik yang sering disosialisasikan KPU menjelang pemilu, iklan yang paling banyak terlihat oleh pemilih adalah iklan televisi dengan maskot kotak surat suara (dilihat oleh 58% pemilih Indonesia), kemudian poster/pamflet bertuliskan “Ayo Memilih” (46%), pesan yang mendorong pemilih untuk memilih caleg bersih bertuliskan “Pilih yang Jujur” (45%), dan pesan tentang bagaimana mencoblos bertuliskan “Pilih, Coblos, Celup!” (44%) (Gambar 9). Gambar 9: “Apakah Ibu/Bapak pernah melihat iklan berikut ini pada minggu-minggu menjelang pemilu? “ (n=2,510)
Data survei tersebut juga mengindikasikan bahwa pemilih Indonesia cenderung mengandalkan informasi dari KPU dibandingkan sumber lainnya. Hampir setengah respond en (47%) menyatakan bahwa sumber informasi yang terpenting sebelum Pileg adalah alat-alat sosialisasi KPU (spanduk, stiker, kalender, iklan TV, radio dan lainnya yang diterbitkan oleh KPU, sementara responden lainnya menyebutkan alat-alat kampanye caleg/partai (spanduk, stiker, kalender, iklan TV, radio dan lainnya (22%), berita dan media (20%), dan alat-alat sosialisasi dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) (3%) (Gambar 10). Hal yang perlu dicatat dari atas peningkatan pengetahuan masyarakat yang terjadi antara Desember 2013 dan April 2014 adalah betapa pentingnyanya peranan materi sosialisasi KPU yang sampai pada masyarakat pemilih. Gambar 10: “Menurut Ibu/Bapak, sumber informasi manakah yang paling bisa membantu memahami tata cara memilih DPR/DPRD/DPD pada 9 April 2014 lalu??” (n=2,510)
16
Dari survei pasca pemilu, ditemukan banyak masyarakat Indonesia yang mengaku bahwa mereka mendapatkan informasi dari berbagai macam bentuk alat sosialisasi yang di sebarkan oleh KPU. Hal ini juga yang menyebabkan tingginya tingkat kepuasan masyarakat terkait sosialisasi informasi pemilu dan pendidikan pemilih Dari data ketiga survei yang di selenggarakan, kepuasan terhadap kinerja KPU berkaitan sosialisasi ini cenderung meningkat dari satu periode ke periode lainnya. Sebelum Pileg April 2014, 61% pemilih Indonesia menyatakan puas dengan kerja KPU dalam memberikan informasi dan pendidikan pemilih terkait proses pemilu di Indonesia (Gambar 11). Setelah pemilu legislatif, dan dan di awal periode sosialisasi KPU sebelum pemilu presiden, 76% pemilih Indonesia menyatakan puas terhadap informasi dan pendidikan pemilih yang disosialisasikan KPU. Setelah pemilu presiden, tingkat kepuasan ini meningkat menjadi 79%. Total peningkatan kepuasan pemilih terhadap kerja KPU berkaitan dengan sosialisasi Pemilu adalah sebesar 31%. Gambar 11: “Mohon Ibu/Bapak memberikan penilaian apakah Ibu/Bapak Sangat Puas, Puas, Tidak Puas, Sangat Tidak Puas dengan dengan kinerja KPU dalam memberi informasi dan pendidikan pemilih tentang proses pemilu di Indonesia”
Berkaitan dengan tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja KPU dalam menggunakan internet dan media sosial untuk menjangkau dan menginformasikan pemilih berkaitan dengan isu-isu pemilu , data survei cenderung memperlihatkan tingkat yang stagnan. Sebelum Pileg, 43% pemilih Indonesia menyatakan puas dengan upaya KPU dalam mensosialisasikan pemilu menggunakan internet dan media social seperti facebook dan twitter. Pertanyaan yang sama ditanyakan juga setelah pemilu presiden, dan ditemukan angka kepuasan yang hampir sama yakni 44%. Namun, pada saat dilakukan analisa terhadap pemilih yang merupakan pengguna internet, setidaknya sekali dalam bulan untuk memperoleh berita dan perkembangan situasi domestik terkini, tingkat kepuasan mereka terhadap kinerja KPU cenderung meningkat 10%. Sebelum Pileg, 54% pengguna internet menyatakan puas atas upaya KPU terkait penggunaan internet dan media sosial seperti facebook dan twitter untuk menjangkau pemilih. Setelah Pilpres, angka tersebut meningkat menjadi 64% (Gambar 12). Temuan menarik lainnya dalam survei tersebut adalah masyarakat pemilih sangat puas atas upaya KPU untuk menyediakan informasi spesifik tentang pemilu yang dibutuhkan masyarakat sebelum Pileg. Sebelum Pileg, hanya 23% pemilih yang menyatakan memiliki informasi yang cukup terkait proses pendaftaran pemilih, 19% menyatakan mereka memiliki informasi yang cukup terkait kapan dan di mana harus memilih, sementara 13% menyatakan memiliki informasi yang cukup terkait
Laporan Survei Nasional – Pemilu 2014 di Indonesia
17
International Foundation for Electoral Systems
tentang tata cara pemungutan suara dan menandai kertas suara yang benar. Setelah Pilpres, hampir 90% pemilih setidaknya menyatakan puas dengan upaya sosialisasi KPU dalam aspek-aspek tersebut: 93% mengaku puas dengan informasi tentang kapan dan dimana harus memilih, 90% menyebutkan puas dengan informasi terkait tata cara pemungutan suara dan menandai kertai suara , dan 89% puas dengan informasi terkait proses pendaftaran pemilih (Gambar 13). Gambar 12: “Mohon Ibu/Bapak memberikan penilaian apakah Ibu/Bapak Sangat Puas, Puas, Tidak Puas, Sangat Tidak Puas dengan dengan kinerja KPU dalam menggunakan internet dan sosial media seperti facebook dan twitter untuk menjangkau pemilih di Indonesia? “
Gambar 13: “Apakah Ibu/Bapak merasa sangat puas, puas, tidak puas atau sangat tidak puas dengan tahapan penyelenggaraan pemilu presiden 9 Juli 2014 berikut?” (n=2,540)
7%
Penggunaan Internet untuk Mendapatkan Informasi
Dalam survei yang diselenggarakan oleh IFES menjelang Pemilu 2009, ditemukan bahwa 3% masyarakat Indonesia yang menggunakan internet setidaknya satu kali dalam sebulan. Angka ini meningkat menjadi lima kali lipatnya dalam temuan survei IFES pada tahun 2013-2014 lalu, dimana terdapat 17% masyarakat yang mengaku sebagai pengguna internet setidaknya sekali sebulan. Angka ini masih relatif rendah dibandingkan penggunaan sumber informasi lainnya oleh masyarakat untuk mendapatkan berita dan informasi. Dari data tersebut, dapat disimpulkan bahwa internet merupakan sumber informasi yang akan terus berkembang
18
diIndonesia dan kemungkinan akan tumbuh lebih signifikan dalam lima tahun ke depan. Tren demografi menunjukkan bahwa area akan berubah dalam beberapa tahun mendatang terlihat dari data temuan survei IFES tahun 2014. Dari hasil survei ini, didapatkan bahwa 54% penduduk Indonesia yang berusia di bawah 25 tahun dan merupakan pengguna internet setidaknya sekali sebulan untuk mendapatkan informasi dan berita – 35% di antaranya mengaku bahwa mereka menggunakan internet setidaknya beberapa kali dalam seminggu. Selain itu, di antara masyarakat Indonesia yang mempunyai pendidikan di perguruan tinggi atau universitas, 59% menyebutkan bahwa mereka menggunakan internet setidaknya sekali sebulan untuk mengakses berita dan informasi. Hal ini menandakan bahwa di masa depan, penggunaan internet akan lebih luas lagi di Indonesia. Pada saat yang sama, meningkatnya pengguna internet juga akan menjadi tantangan tersendiri untuk KPU dalam mengembangkan dan mempersiapkan alat-alat sosialisasi pemilu yang berbasis internet di masa yang akan datang. Namun, sebagaimana ditunjukkan dalam data di atas, tidak terjadi peningkatan terhadap tingkat kepuasan kinerja KPU dalam menggunakan internet dan media sosial untuk menyampaikan informasi pendidikan pemilih dalam proses pemilu – Pileg dan Pilpres. Selanjutnya, data survei juga menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil dari pengguna internet yang menggunakan website KPU atau website penyelenggara pemilu lainnya untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan pemilu. Di antara pengguna internet Indonesia, 20% menyatakan pernah mengakses website KPU, dengan mayoritas pengunjung menilai website tersebut memberikan kemudahan pada para pengunjung ketika mencari informasi (95%) dan informasi yang tersedia dalam website tersebut membantu pengunjung dalam meningkakan pengetahuan mereka berkaitan dengan pemilu 9 April 2014 (94%). Pengguna internet juga mengaku bahwa mereka pernah mengunjungi website lainnya untuk mendapatkan informasi tentang pemilu legislatif; Bawaslu(7%), Mahkamah Konstitusi (6%), Rumah Pemilu(4%), dan DKPP(3%). Jumlah pengunjung website tersebut jauh lebih sedikit dibandingkan dengan pengunjung website KPU. Kendati demikian, mayoritas pengunjung situssitus tersebut mengatakan bahwa website tersebut memberikan kemudahan pada mereka ketika mencari informasi dan memberikan nilai tambah untuk meningkatkan pengetahuan mereka tentang pemilu 9 April 2014. Sebagai salah satu langkah untuk mempersiapkan pemilu 2019 nanti, KPU juga harus memberikan perhatian yang lebih untuk lebih mengembangan penggunaan internet dalam memberikan informasi pendidikan pemilih.
Laporan Survei Nasional – Pemilu 2014 di Indonesia
19
International Foundation for Electoral Systems
Sikap terkait Lembaga Kepemiluan
Dalam survei IFES tahun 2013 dan 2014, mayoritas pemilih Indonesia memberikan penilaian positif terhadap penyelenggara pemilu di semua tingkatan. Data menunjukkan bahwa masyarakat yang memberikan penilaian positif umumnya mengalami peningkatan untuk setiap lembaga. Sebaliknya, persentase masyarakat yang tidak mempunyai penilaian terhadap lembaga penyelenggara pemilu cenderung terus menurun. Terjadinya penurunan masyarakat yang tidak mempunyai penilai terhadap lembaga penyelenggara pemilu menunjukkan semakin meningkatnya kedekatan masyarakat dengan lembaga-lembaga tersebut sepanjang tahun 2014. Pada saat yang sama, data menunjukan bahwa masyarakat umumnya memberikan sentiment yang positif terhadap pelaksanaan Pemilu pada tahun 2014 - pemilu legislatif dan pemilu presiden. Sentimen positif tersebut bisa diliat dari evaluasi positif yang diberikan masyarakat terhadap lembaga penyelenggara pemilu dan kinerja yang mereka lakukan untuk melaksanakan dua pemilu sepanjang tahun 2014.
Pengetahuan terkait KPU dan Lembaga Kepemiluan Lainnya
Sebelum pemilu legislatif, tingkat pengetahuan masyarakat Indonesia terkait KPU dan lembaga penyelenggara pemilu lainnya cenderung beragam. Lebih dari dua pertiga (67%) masyarakat mengaku bahwa mereka mengetahui KPU. Suatu hal yang tidak mengherankan apabila KPU merupakan lembaga yang paling banyak diketahui masyarakat karena KPU adalah komisi pemilihan nasional dan bertanggung jawab atas pelaksanaan pemilu di Indonesia. Sementara lembaga penyelenggara pemilu lainnya kurang begitu dikenal dibandingkan dengan KPU; Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) (52%), Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota (52%), Komisi Pemilihan Umum Provinsi (51%), Panitia Pengawas Pemilihan Kabupaten (Panwaslu Kabupaten) (48%), dan Badan Pengawas Pemilihan Umum Provinsi (Bawaslu Provinsi) (43%). Sedangkan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), hanya dikenal oleh seperempat dari pemilih Indonesia (25%) ). Keterkenalan sebuah lembaga akan berbanding lurus dengan tingkat kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat pada lembaga tersebut. Dari survei IFES, lebih dari tiga-perempat pemilih Indonesia yang mengenal masing-masing lembaga penyelenggara pemilu, mengaku bahwa mereka memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap kinerja lembaga terkait (Gambar 14).
Opini terkait Kinerja KPU Selama Pemilu
Perbandingan data antara survei IFES Desember 2013 dan Mei 2014 menunjukkan bahwa kepuasan terhadap kinerja KPU dalam berbagai aspek proses pemilu mengalami kenaikan secara signifikan. Tingkat kepuasan terhadap kinerja KPU ini tetap tinggi dibandingkan dengan data survei IFES pada bulan Oktober 2014 (Gambar 15). Dari data tersebut tergambar bahwa mayoritas masyarakat Indonesia setidaknya merasa cukup puas dengan kinerja KPU sebelum dimulainya tahapan pemilu 2014, dan tingkat kepuasan tersebut terus mengalami peningkatan sepanjang proses persiapan pemilu 2014. Data di gambar 15 juga menunjukan bagaimana tingkat kepuasan masyarakat secara umum terhadap pelaksanaan pemilu 2014 lalu. Sebelum Pileg April 2014, sebagian besar orang Indonesia umumnya memiliki pandangan yang positif terhadap kinerja KPU. Enam puluh tiga persen masyarakat menyatakan puas dengan
20
Gambar 14: “apakah Ibu/Bapak merasa sangat percaya, percaya, tidak percaya, sangat tidak percaya dengan lembaga pemilu berikut dalam melakukan pelaksanaan Pemilu 2014??” (Desember 2013)
kinerja KPU dalam menyusun dan menetapkan daftar pemilih tetap (DPT yang digunakan pada hari pemungutan suara, sedangkan 27% lainnya mengaku tidak puas. Selain itu, 61% masyarakat merasa puas dengan kinerja KPU dalam memastikan hasil pemilu yang akurat dan merefleksikan pilihan masyarakat Indonesia, sedangkan 30% sisanya berpendapat tidak puas. Hampir mirip dengan data diatas, 60% masyarakat pemilih Indonesia menyebutkan bahwa mereka merasa dengan kinerja KPU untuk memberikan informasi dan mendidik pemilih tentang proses pemilu di Indonesia, sementara 33% masyarakat lainnya mengaku tidak puas. Sedikit diatas setengah pemilih Indonesia (56%) yang berpartisipasi pada pemilu lalu menyatakan bahwa mereka merasa puas dengan kemampuan KPU untuk tetap netral walaupun berada di tengah tekanan politik ketika dalam menyelenggarakan pemilu, sementara 27% mengungkapkan ketidakpuasan. Kurang dari setengah penduduk Indonesia (44%) merasa puas dengan kinerja KPU dalam menggunakan internet dan media sosial untuk menjangkau pemilih, sementara 27% lainnya menyatakan tidak puas. Namun ketika dilihat hanya pemilih yang merupakan pengguna internet saja, tingkat kepuasan terhadap usaha KPU untuk menggunakan internet dan media sosial yang tercatat meningkat, dengan 64% responden merasa puas setelah pemilihan presiden. Pada gambar 15 diatas, terlihat data survei pada bulan Juni 2014 menunjukkan terjadinya peningkatan kepuasan masyarakat terhadap kinerja KPU dibandingkan dengan periode pra pemilu (Desember 2013). Dari lima aspek kinerja KPU diatas, lebih dari dua pertiga masyarakat mengaku puas terhadap empat aspek kinerja KPU tersebut. Dengan kata lain, tingkat kepuasan masyarakat sebelum dan setelah pemilu legislatif 2014 menjadi lebih luas lagi cakupannya. Secara keseluruhan, 76% masyarakat Indonesia merasa puas dengan kinerja KPU dalam
Laporan Survei Nasional – Pemilu 2014 di Indonesia
21
International Foundation for Electoral Systems
menginformasikan dan mendidik masyarakat tentang proses pemilu di Indonesia. Selain itu, 75% merasa puas dengan kinerja KPU dalam menyusun dan menetapkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang digunakan pada hari pemungutan suara, dan 74% merasa puas dengan kinerja KPU dalam memastikan bahwa hasil pemilu akurat dan betul-betul merefleksikan aspirasi masyarakat. Sedikit diatas setengah masyarakat Indonesia (66%) menyatakan puas dengan kemampuan KPU untuk tetap netral di tengah tekanan politik pada saat fase penyelenggaraan pemilu. Sementara itu, kinerja KPU yang dinilai masyarakat terendah adalah berkaitan dengan usaha KPU untuk menggunakan internet dan media sosial dalam upaya menjangkau lebih banyak pemilih di Indonesia. Salah satu penyebab kenapa rendahnya tingkat kepuasan masyarakat berkaitan dengan kinerja KPU ini adalah karena sebagian besar pemilih tidak mengetahui atau tidak mau menanggapi kerja KPU dalam menggunakan internet dan media sosial untuk menjangkau pemilih yang lebih luas lagi. Namun, pemilih yang berusia lebih muda mempunyai tingkat kepuasan sebesar 53% terhadap usaha KPU untuk menggunakan internet dan media sosial dalam menjangkau pemilih. Tingkat kepuasan kelompok ini merupakan tingkat kepuasan tertinggi dalam aspek penggunanaan internet dan media sosial oleh KPU dalam memberikan pendidikan bagi masyarakat pemilih.
Gambar 15: Tingkat Kepuasan Terkait Kinerja KPU Dalam Menjalanankan Tugas (Tren)
Setelah Pilpres 2014, tingkat kepuasan terhadap kinerja KPU tetap menunjukan penilaian yang positif dari masyarakat: mayoritas masyarakat Indonesia merasa puas terhadap empat aspek kinerja KPU dalam menjalankan tugas-tugas kepemiluan. Sedangkan aspek terakhir – penggunanaan internet dan media sosial seperti facebook dan twitter untuk menjangkau pemilih di Indonesia- masyarakat pemilih mempunyai pendapat yang terbelah ketika ditanyakan soal tingkat kepuasan mereka mengenai hal ini. Secara keseluruhan, 79% masyarakat Indonesia merasa puas dengan kinerja KPU dalam menginformasikan dan mendidik masyarakat tentang proses pemilu, 77% mangaku puas dengan kinerja KPU dalam menjamin hasil pemilu yang akurat
22
dan mencerminkan pilihan pemilih, 74% pemilih menyatakan puas dengan kinerja KPU dalam menyusun dan menetapkan Daftar Pemilih Tetap (DPT), 66% masyarakat mengungkapkan rasa puas dengan sikap KPU untuk tidak terpengaruh tekanan politik dalam proses penyelenggaraan pemilu, dan 44% pemilih Indonesia menyebutkan bahwa mereka puas dengan usaha KPU untuk menggunakan internet dan media sosial untuk merangkul lebih banyak pemilih.
Sikap terhadap Kinerja Lembaga Penyelenggara Pemilu selama Pemilu 2014
Sikap masyarakat terhadap kinerja berbagai lembaga penyelenggara pemilu pada hari pemilihan sangat positif, baik dalam survei pada bulan Mei atau setelah Pileg dan survei pada bulan Oktober - setelah Pilpres. Pemilih Indonesia umumnya menilai kinerja staf pemilu tingkat lokal secara lebih positif dibandingkan dengan lembaga penyelenggara pemilu pada tingkat kab/ kota/ propinsi atau nasional. Dalam survei pasca Pileg, penilaian kinerja tertinggi diberikan kepada penyelenggara yang langusng berinteraksi dengan para pemilih, khususnya pada hari pencoblosan yaitu KPPS (78%) dan PPS (77%) (Gambar 16). Tanggapan terhadap lembaga penyelenggara lainnya sebenarnya cukup positif namun masih lebih rendah dibanding dengan KPPS dan PPS. Hal ini disebabkan, bukan karena adanya persepsi negatif namun karena masyarakat Indonesia kurang mengenal lembaga-lembaga penyelenggara tersebut. Dalam temuan survei IFES, tercatat bahwa 59% responden menilai bahwa PPK memiliki kinerja yang baik, 51% masyarakat menyebutkan bahwa kinerja KPU Kab/Kota adalah baik, 48% masyarakat menyatakan penilaian yang baik untuk kinerja KPU Provinsi, sementara 48% masyarakat mengatakan bahwa kinerja KPU Nasional baik. Untuk setiap lembaga tersebut, 27% atau lebih masyarakat tidak memberikan jawaban atas pertanyaan tentang pandangan mereka terhadap kinerja lembaga-lembaga penyelenggara pemilu. Hal ini menunjukan menunjukkan bahwa masyarakat kurang mengenal kinerja lembagalembaga tersebut. Gambar 16: “Bagaimana pandangan Ibu/Bapak terhadap kinerja lembaga-lembaha dibahwa ini selama pelaksanaan pemilu DPR/DPRD/DPD pada 9 April 2014 lalu. Apakah kinerja lembaga-lembaga berikut sangat baik, baik, biasa saja, atau sangat buruk?” (Juni 2014)
Laporan Survei Nasional – Pemilu 2014 di Indonesia
23
International Foundation for Electoral Systems
Penilaian masyarakat juga hampir sama terhadap penyelenggara pemilu selama Pilpres yaitu memberikan penilaian positif terhadap kinerja lembaga penyelenggara pemilu. Penilaian positif itu diungkapkan dengan menyatakan tingkat kepuasan yang tinggi terhadap kinerja lembaga penyelenggara pemilu pada level paling bawah – yaitu kelompok penyelenggara yang dekat dengan pemilih, dan sebaliknya, tingkat kepuasan yang lebih rendah diberikan pada penyelenggara pada tingkat yang lebih tinggi. Dibandingkan dengan penilaian setelah Pemilu Legislatif, nilai kinerja masing-masing lembaga penyelenggara pemilu pada hari pemilihan mengalami peningkatan yang signifikan. Dalam survei pada bulan Oktober 2014, pemilih Indonesia memberikan penilaian positif tertinggi untuk kinerja PPS (9% sangat baik; 72% baik) dan KPPS (11% sangat baik; 70% baik) selama pada hari pemilihan (Gambar 17). Tujuh puluh lima persen masyarakat Indonesia menyatakan bahwa kinerja PPK sudah baik selama pelaksanaan Pilpres, sama seperti lembaga penyelenggara pemilu lainnya (69% KPU Kab/Kota; 65% KPU Provinsi). Sementara untuk KPU Pusat, enam puluh empat persen masyarakat menilai bahwa KPU sudah bekerja dengan baik selama pelaksanaan Pilpres. Data dari survei setelah pemilihan presiden menunjukkan bahwa nilai terhadap kinerja masing-masing lembaga penyelenggara cenderung mengalami peningkatan secara bertahap seiring dengan semakin dikenalnya masingmasing lembaga penyelenggara oleh para pemilih (terjadi penurunan persentase masyarakat yang memberikan jawaban “Tidah Tahu” atau “Tidak Jawab”). Gambar 17: “: “Bagaimana pandangan Ibu/Bapak terhadap kinerja lembaga-lembaha dibahwa ini selama pelaksanaan pemilu Pemilu Presiden 9 Juli 2014 lalu. Apakah kinerja lembaga-lembaga berikut sangat baik, baik, biasa saja, atau sangat buruk?” (November 2014)
Penilaian Positif terkait Kerja Staf Pemilu dalam Hari Pemilu
Tingkat kepuasan masyarakat terhadap beragam aspek dalam proses tahapan penyelenggaraan Pemilu Legislatif cenderung sangat tingggi, dimana terdapat setidaknya 84% masyarakat melaporkan bahwa mereka merasa puas dengan tahapan-tahapan penyelenggaraan pemilu legislatif (Gambar 18). Masyarakat Indonesia cenderung merasa paling puas dengan penyediaan informasi dimana dan kapan memilih (91%), perlakuan petugas KPPS yang adil kepada setiap
24
pemilih (88%), dan kinerja kepolisian/ aparat keamanan dalam menciptakan keamanan pemilu (88%). Sebaliknya, aspek penyelenggaraan pemilu yang dinilai masyarakat lebih rendah adalah kejujuran dalam proses penghitungan suara dan pengumunan hasil pemilu di TPS (86%), kemampuan petugas KPPS (85%), dan informasi tentang tata cara pemungutan suara dan menandai kertas suara(84%). Gambar 18: “Apakah Ibu/Bapak merasa sangat puas, puas, tidak puas, atau sangat tidak puas dengan tahapan-tahapan penyelengaraan pemilu DPR/DPRD/DPD pada 9 April 2014 lalu?” (Juni 2014)
Sementara itu, penilaian terhadap berbagai aspek dalam penyelenggaraan Pemilu Presiden didapatkan hasil bahwa setidaknya 89% pemilih Indonesia menyatakan kepuasan terhadap tiaptiap aspek dalam penyelenggaraan Pemilu Presiden. Hal ini menunjukan sebuah peningkatan dibandingkan dengan tingkat kepuasan terhadap Pileg (Gambar 19). Aspek penyelenggaraan Pemilu Presiden dengan tingkat kepuasan tertinggi adalah ketersediaan informasi tentang dimana dan kapan memilih (93%), kinerja Petugas Pertahanan Sipil (HANSIP) dalam mendukung kelancaran Pemilihan Umum di TPS, dan perlakuan petugas KPPS yang adil kepada setiap pemilih (92%). Tingkat kepuasan terendah ditemukan untuk proses pendaftaran pemilih (89%) dan netralitas penghitungan hasil dan rekap di TPS (89%). Dalam survei pasca pemilu legislatif, responden juga ditanyakan hal yang berkaitan dengan aspek pelaksanaan pemilihan yang mereka harapkan terjadi peningkatan kualitas dimasa yang akan datang. Dalam survei pasca pemilu legislatif, ditemukan 24% masyarakat menjawab bahwa KPU harus meningkatkan kualitas informasi tentang tata cara pemungutan suara dan menandai kertas suara, 15% responden menjawab tentang proses pendaftaran pemilih, 9% masyarakat menyatakan pentingnya netralitas dalam proses penghitungan dan pengumuman hasil pemilu di TPS. Dalam data hasil survei pada bulan Oktober 2014 atau setelah Pemilu Presiden, ditemukan bahwa terjadi peningkatan penilaian positif dari setiap aspek dalam pemilihan umum. Aspek yang mendapatkan penilaian paling tinggi adalah terkait dengan informasi tentang tata cara
Laporan Survei Nasional – Pemilu 2014 di Indonesia
25
International Foundation for Electoral Systems
pemungutan suara dan menandai kertas suara.1 Tingkat kepuasan pemilih Indonesia terhadap kinerja KPU dalam hal penyediaan informasi berkaitan dengan tata cara pemungutan suara dan menandai kertas suara meningkat sebesar enam persen dari 84% ke 90%. Kepuasan terkait netralitas KPU dalam penghitungan suara dan pengumuman hasil pemilu di TPS meningkat tiga persen dari 86% menjadi 89%, dan kepuasan terkait pendaftaran pemilih meningkat sebesar dua persen dari 87% menjadi 90%.
Gambar 19: “Jelaskan apakah Anda puas dengan aspek berikut dalam Pileg 9 April 2014?” (November 2014)
1
26
Surat suara dalam Pilpres desainnya lebih sederhana karena hanya berisi dua pasangan calon.
Pandangan Masyarakat Terkait Pemilu 2014
Hampir seluruh masyarakat Indonesia memiliki pandangan positif terkait Pemilu 2014. Mayoritas pemilih menyatakan bahwa pemilu-pemilu yang berlangsung pada tahun 2014 lalu dilaksanakan dengan jujur dan adil serta KPU berhasil menunjukan kinerja yang baik dalam menyelenggarakan pemilu 2014 – Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden. Kebanyakan pemilih Indonesia berpendapat bahwa penyelenggaraan Pemilu 2014 dilaksanakan lebih baik dibandingkan dibandingkan Pemilu 2009. Dalam analisa yang lebih mendalam dari hasil survei pasca Pemilu Presiden, ditemukan cerminan pendapat masyarakat yang terbelah tentang pelaksanaan Pemilu Presiden yang tergambar dari adanya perbedaan signifikan antara pendapat pendukung Jokowi dan pendukung Prabowo mengenai Pilpres 2014.
Sikap terhadap Pemilu 2014
Lebih dari tiga per empat masyarakat Indonesia yakin bahwa Pileg dan Pilpres 2014 lalu terlaksana dengan cukup jujur dan adil. Delapan dari 10 orang pemilih di Indonesia menilai bahwa Pileg dan Pilpres berlangsung dengan sepenuhnya atau cukup jujur dan adil. Secara terpisah, 83% masyarakat Indonesia yakin bahwa Pileg terlaksana dengan cukup jujur dan adil, sementara pendapat yang hampir sama juga diberikan terhadap pelaksanaan Pemilu Presiden yaitu 85% (Gambar 20). Gambar 20: “Menurut pendapat Ibu/BapakAnda, seberapa Jurdil (Jujur dan Adil) pelaksanaan ____ lalu?”
Ketika dilihat lebih jauh data tentang penilaian responden berkaitan integritas pelaksanaan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden dari masing-masing survei, penilaian responden yang memilih partai pada Pemilu Legislatif 2014 tidak begitu berbeda satu sama lainnya. Hal berbeda diperlihatkan oleh responden dalam survei pasca Pilres yang memperlihatkan perbedaan mencolok dari masing-masing pendukung calon presiden tentang integritas pelaksanaan Pemilu Presiden 2014. Dari data survei Pasca Pemilu Legislatif memperlihatkan 84% responden yang memilih partai pendukung Koalisi Indonesia Hebat/KIH dan 83% responden yang mengaku memilih partai yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih menyatakan bahwa Pemilu Legislatif terlaksana cukup jujur dan adil (Gambar 21). Data dari survei pasca Pemilihan Presiden memperlihatkan bahwa 92% pendukung Presiden Joko Widodo menilai bahwa Pemilu Presiden sudah terlaksana dengan cukup jujur dan adil, sedangkan pendukung Prabowo Subianto yang menilai Pemilu Presiden dilaksanakan dengan jujur dan adil hanya 73% (Gambar 22). Dalam pertanyaan pada kedua survei tersebut, responden juga ditanyakan pendapat mereka mengapa
Laporan Survei Nasional – Pemilu 2014 di Indonesia
27
International Foundation for Electoral Systems
pemilu tidak berlangsung secara jujur dan adil. Dari perbandingan jawaban responden pada kedua survei, tercatat bahwa responden merasa kurang percaya terhadap pelaksanaan Pemilu Presiden dibandingkan dengan Pemilu Legislatif (28% vs 8%). Dalam kedua survei juga terungkap bahwa alasan pemilih yang menilai pemilu tidak berlangsung secara jujur dan adil adalah akibat terjadinya kecurangan, dimana responden menilai kecurangan pada pemilu presiden – 23%- lebih tinggi dibandingkan dengan kecurangan yang terjadi pada pemilu legislatif (12%). Selain itu, diantara responden yang menilai pemilu legislatif berlangsung secara tidak jujur dan adil menyebutkan praktek politik uang atau jual beli suara sebagai alasan (48%). Sementara responden yang menilai Pemilu Presiden berlangsung secara tidak jujur dan adil akibat terjadinya praktek politik uang hanya 15%. Perbandingan data dari kedua survei diatas memperlihatkan bagaimana dinamika yang terjadi pasca pemilu dan, khusus untuk pemilu presiden, juga diikuti dengan adanya gugatan dari tim Prabowo pasca Pilres yang berfokus pada tuduhan terjadinya kesalahan dalam proses penghitungan suara dan manipulasi hasil pemilu. Gambar 21: “Menurut Ibu/Bapak, seberapa Jujur dan Adil (Jurdil) pelaksanaan pemilu DPR/ DPRD/DPD pada 9 April 2014 yang baru lalu?” Berdasarkan Koalisi Parpol yang Dipilih
Gambar 22: “Menurut pendapat Ibu/Bapak, seberapa Jujur dan adil (Jurdil) pelaksanaan Pemilu Presiden pada 9 July 2014 yang baru lalul?” Berdasarkan Pasangan Calon yang Dipilih
Pendapat Masyarakat Yang Sangat Positif Terhadap Penyelenggaraan Pemilu 2014
Selain penilaian mayoritas masyarakat yang menyatakan bahwa Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014 lalu telah berlangsung dengan jujur dan adil, sebagian besar pemilih Indonesia juga menyatakan bahwa kedua pemilihan umum sepanjang tahun 2014 telah terselenggara dengan baik. Dalam survei pasca pemilu legislatif, 90% dari pemilih mengatakan bahwa pemilu legislatif
28
diselenggarakan dengan sangat baik (7%) dan atau baik (83%), sementara hanya 8% lainnya yang mengatakan bahwa kedua pemilu tersebut terselenggara dengan buruk (Gambar 23). Pendapat yang hampir sama juga ditemukan dari penilaian pemilih terhadap Pemilu Presiden. Data survei menunjukan hampir 90% pemilih Indonesia menyatakan bahwa Pilpres terselenggara dengan sangat baik (8%) atau baik (82%), dan hanya 8% yang menyatakan bahwa pemilu tersebut terselenggara dengan buruk. Mengingat bahwa penyelenggara pemilu dianggap telah bekerja dengan baikoleh pemilih Indonesia, hasil survei tidak menemukan sub-kelompok utama responden yang secara signifikan menyatakan ketidaksukaan terkait penyelenggaraan pemilu. Gambar 23: “Bagaimana pendapat Anda tentang kualitas penyelenggaraan Pemilu _____?”
Data dari kedua survei pasca pemilu diatas juga menunjukkan bahwa lebih banyak pemilih Indonesia yang berpendapat bahwa bahwa Pileg dan Pilpres 2014 terselenggara lebih baik dibandingkan Pemilu 2009 (Gambar 24). Tiga puluh satu persen responden mengatakan bahwa pemilu legislatif 2014 terselenggara lebih baik dibandingkan dengan Pemilu Legislatif tahun 2009, sementara 52% responden mengatakan bahwa kualitas penyelenggaran kedua pemilu kurang lebih sama saja. Hanya 12% responden yang menyatakan bahwa penyelenggaraan Pemilu 2014 lebih buruk dibandingkan 2009. Dari hasil survei pasca Pemilu Presiden, 33% responden berpendapat bahwa Pilpres 2014 terselenggara lebih baik dibandingkan Pilpres 2009 lalu. Sedangjan 51% responden lainnya mengatakan bahwa kualitas penyelenggaraan kedua pemilu sama saja. Hanya 12% dari responden yang menilaibahwa penyelenggaraan Pilpres 2014 lebih buruk dibandingkan Pemilu Presiden tahun 2009. Secara lebih khusus, penilaian kualitas penyelenggaraan Pemilu Presiden bisa juga dilihat dari pendapat pendukung masing-masing calon Presiden. Pendukung Prabowo Subianto menilai bahwa penyelenggaraan Pemilu Presiden 2014 kurang begitu positif: 22% pendukung Prabowo menyebutkan bahwa penyelenggaraan Pilpres 2014 lebih buruk dibandingkan Pemilu Presiden 2009, dan hanya 24% dari pendukung Prabowo yang menyatakan penyelenggaraan Pilpres 2014 lebih baik dibandingkan dengan Pilpres sebelumnya. Sementara itu, 38% dari pendukung Joko Widodo menyatakan bahwa pemilu 2014 diselenggarakan dengan lebih baik dibandingkan Pemilu Presiden 2009 dan hanya 8% dari pendukung Jokowi yang mempunyai pendapat sebaliknya. Mengacu pada tingginya penghargaan masyarakat Indonesia terhadap integritas dan proses penyelenggaraan pemilu, tidak mengherankan apabila sebagian besar masyarakat Indonesia menyatakan rasa puas dengan proses pemungutan suara dan tahapan pelaksanaan Pileg dan PIlpres. Dalam survei pasca Pileg, 83% responden menyatakan bahwa mereka sangat puas (9%) atau cukup puas (74%) terhadap proses pemungutan suara secara keseluruhan dan prosedur pada hari pemilihan, dan hanya 15% menyatakan ketidakpuasan terhadap proses yang berlangsung pada pemilu legislatif. Survei Pasca Pemilu Presiden memperlihatkan penilaian yang cukup
Laporan Survei Nasional – Pemilu 2014 di Indonesia
29
International Foundation for Electoral Systems
berbeda, 11% responden mengatakan mereka sangat puas dan 76% mengatakan mereka cukup puas dengan proses selama pemilu presiden, sementara hanya 10% menyatakan ketidakpuasan. Gambar 24: “Jika dibandingkan dengan penyelenggaraan Pemilu ....... tahun 2009, apakah pemilu ......... tahun 2014 lebih baik, sama saja atau lebih buruk?
Sebagian besar pemilih mengaku bahwa mereka tidak mengalami masalah atau kendala pada saat memberikan suara pada pada hari pencoblosan. Dalam pemilu legislatif, hanya 9% responden yang menyatakan bahwa mereka mengalami masalah dan kendala ketika memiliha, sementara 90% menyatakan tidak (Gambar 25). Dalam pemilu legislatif, daerah yang persentase pemilihnya mengalami masalah atau kendala tertinggi adalah Kalimantan (14%) dan Bali/NTT /NTB (13%) dan persentase pemilih yang mengalami masalah atau kendala terendah adalah di Sumatera (5%) dan Sulawesi / Gorontalo (3%). Masalah dan kendala yang dialami oleh pemilih tersebut antara lain adalah tidak memahami tata cara memilih (28%), antrian panjang dan lama saat memilih (21%), dan kerja petugas pemilu yang tidak baik/rapi (6%). Gambar 25: “Apakah Ibu/Bapak mengalami masalah atau kendala saat ikut pemilu DPR/ DPRD/DPD pada 9 April 2014 lalu?”
Selain sedikitnya pemilih yang mengalami masalah dan kendala pada waktu memilih, pemilih juga mengaku tidak melihat persoalan yang berarti terjadi di TPS pada waktu mereka ada di sekitar TPS dalam Pemilu Legislatif 2014 lalu. Bagi pemilih yang melihat beberapa persoalan di sekitar TPS, masalah paling umum yang dilihat oleh 12% pemilih Indonesia adalah terlalu banyaknya pemilih berada di TPS sehingga suasananya menjadi tidak teratur. Pelanggaran lain yang juga jarang terjadi dan dilihat oleh pemilih: 3% responden mengaku melihat perwakilan caleg dan
30
perwakilan partai politik masih berkampanye di TPS, 3% responden menyebutkan bahwa petugas TPS berusaha mempengaruhi pilihan pemilih, dan 2% pemilih lainnya mengungkapkan bawa mereka melihat adanya beberapa orang pemilih yang mencoblos di tempat terbuka dan bukan ditempat tertutup. Meskipun aparat keamanan hadir di 79% TPS, namun kehadiran mereka tidak sepenuhnya mencegah terjadinya pelanggaran-pelanggaran pemilu yang disebutkan diatas. Tidak banyaknya kendala atau masalah yang dialami oleh para pemilih juga terjadi pada Pemilu Presiden. Data survei pasca Pemilu Presiden memperlihatkan bahwa hanya 5% dari pemilih yang melaporkan bahwa mereka mengalami masalah atau kendala saat saat mencoblos (Gambar 26). Daerah dengan persentase pemilih yang mengalami masalah atau kendala terbesar ketika ikut pemilu Presiden adalah Maluku/Papua, di mana 21% pemilihnya mengalami masalah/ kendalasaat mencoblos. Sementara, pemilih yang mengalami masalah pada saat mencoblos pada pemilu presiden didaerah lainnya tidak lebih dari 8% pemilih saja. Di antara masalah yang dihadapi oleh para pemilih tersebut antara lain: tidak mengerti tata cara memilih (22%), nama tidak ditemukan dalam daftar pemilih (20%), kerja petugas pemilu yang tidak baik/ rapi (9%), dan antrian panjang dan lama saat memilih (9%). Gambar 26: “Apakah Ibu/Bapak mengalami masalah atau kendala saat ikut pemilu Presiden 9 Juli 2014 lalu?”
Laporan Survei Nasional – Pemilu 2014 di Indonesia
31
International Foundation for Electoral Systems
Pandangan terkait Isu-Isu Spesifik Soal Kepemiluan
Dalam survei-survei sepanjang tahun 2014, IFES menemukan bahwa masih terdapat kekhawatiran yang relatif cukup tinggi terkait berbagai jenis pelanggaran yang terjadi dalam pelaksanaan pemilu di Indonesia. Ketika ditanyakan soal terjadinya kecurangan dalam hasil pemilu, banyak pemilih Indonesia menunjukan rasa ketidak percayaan terhadap adanya praktek-praktek untuk mencurangi hasil pemilu. Namun, setelah selesainya pemilu legislatif dan pemilu presiden, persentase masyarakat yang meyakini akan terjadinya kecurangan semakin meningkat. Tambahan lagi, keyakinan bahwa telah terjadinya kecurangan terhadap hasil pemilu semakin bertambah pasca pemilu presiden, dan angka keyakinan ini makin meningkat apabila dilihat berdasarkan pendukung dari masing-masing calon presiden. Survei ini juga menemukan bahwa terdapat jumlah significan pemilih yang ditawari untuk melakukan praktek jual beli suara (politik uang) oleh sebagian oknum partai dan calon anggota legislatif. Dalam survei ini juga ditemukan bahwa persepsi masyarakat soal praktek politik uang pada pemilu legislatif 2014 lebih buruk dibandingkan dengan pemilu legislatif 2009. Sisi positif dari temuan survei ini adalah tidak banyaknya temuan soal pengalaman pemilih terkait kekerasan dalam pemilu dan mayoritas masyarakat mempunyai kepercayaan yang tinggi terhadapal lembaga penyelenggara pemilu dan petugas keamanan dalam menjaga proses pemilu agar tetap aman.
Pandangan Masyarakat Terkait Manipulasi Hasil Pemilu
Walaupun kebanyakan penduduk Indonesia merasa puas dengan pelaksanaan dan penyelenggaraan proses Pileg dan Pilpres 2014, terdapat sebagian kecil pemilih namun dengan cukup signifikan yang menyuarakan kekhawatiran mereka tentang proses penghitungan suara di TPS. Dalam survei IFES, ditemukan bahwa kekhawatiran pemilih ini lebih banyak terjadi pada masa Pemilu Presiden dibandingkan dengan Pileg. Suara kekhawatiran akan terjadinya manipulasi hasil pemilu ini semakin jelas setelah dilakukan analisa berdasarkan dukungan terhadap calon presiden. Dalam survei pasca Pemilu Legislatif, 26% pemilih Indonesia mengaku bahwabahwa mereka yakin telah tejadi manipulasi terhadap hasil pemilulegislatifdi beberapa TPS (Gambar 27). Daerah dengan persentase pemilih yang cukup tinggi tingkat kepercayaannya bahwa telah manipulasi terhadap hasil pemilu legislatif adalah Aceh (39%), Maluku/Papua (33%), dan Jawa Barat/Banten/Jakarta (30%). Sementara daerah dengan pemilih yang kurang begitu yakin terjadi kecurangan terhadap hasil pemilu legislatif adalah Sumatera (18%), Bali/NTT/NTB (18%), dan Sulawesi/Gorontalo (17%). Persentase pemilih yang merasa yakin bahwa telah terjadi manipulasi terhadap hasil pemilu di beberapa TPS meningkat dalam survei pasca Pemilu Presiden. Dalam hasil survei tersebut, tercatat 35% pemilih Indonesia mengaku sangat setuju atau setuju bahwa terjadi kecurangan dalam pemilu di beberapa TPS. Pernyataan ini disetujui oleh 44% pendukung Prabowo Subianto (44%), sementara pendukung Jokowi yang setuju dengan pernyataan ini hanya 31%. Sementara itu, 21% masyarakat Indonesia yakin bahwa terjadi manipulasi/ ketidak jujuran secara besarbesaran (masif) terhadap hasil Pemilu Presiden 2014 lalu. Pernyataan ini disetujuil oleh 31% pendukung Prabowo Subianto (31%), sedangkan pendukung Jokowi yang setuju hanya 16% (Gambar 28).
32
Gambar 27. Pandangan Terhadap Terjadinya Manipulasi Hasil Pemilu Legislatif
Gambar 28. Pandangan terkait manipulasi hasil Pilpres 2014
Harus dicatat bahwa setelah Pileg dan Pilpres, mayoritas atau sedikit mendekati mayoritas pemilih tidak yakin bahwa manipulasi/ ketidakjujuran terhadap hasil pemilu terjadi di kedua pemilu tersebut. Dalam Pilpres, kebanyakan pemilih berpandangan bahwa hasil Pilpres tersebut telah mencerminkan aspirasi rakyat Indonesia, walaupun pendapat ini lebih banyak ditemui di pendukung Jokowi (82%) dibandingkan pendukung Prabowo (70%). Berdasarkan temuan ini, walaupun terdapat sedikit pemilih dengan persentase yang cukup signifikan beranggapan bahwa kecurangan terhadap hasil pemilu mungkin telah terjadi pada saat Pileg dan Pilpres, mereka berpendapat bahwa hasil penghitungan tersebut tetap tidak jauh berbeda dengan hasil pemilu yang sebenarnya. Kendati demikian, persepsi masyarakat bahwa hasil pemilu bisa dicurangi adalah isu penting yang harus ditangani oleh penyelenggara pemilu dimasa depan untuk mengurangi goncangan pasca pemilu seperti yang terjadi pasca Pemilu Presiden 2014.
Laporan Survei Nasional – Pemilu 2014 di Indonesia
33
International Foundation for Electoral Systems
Pandangan Masyarakat terkait Petugas Pengawas Pemilu
Pengawasan pemilu yang efektif adalah satu langkah yang dapat diambil untuk menguranhi kekhawatiran terjadinya pelanggaran dalam proses pemilu. Data survei pasca Pilpres menunjukkan bahwa mayoritas pemilih di Indonesia melihat keberadaan pengawas pemilu di TPS. Keberadaan para pengawas akan mampu memperkuat integritas penyelenggara pemilu dalam tiap tahapan yang dilalui. Dalam survei pasca Pemilu Presiden, 91% pemilih menyatakan bahwa mereka melihat setidaknya seorang wakil dari kelompok pengawas/pemantau pemilu berikut: saksi pasangan capres/cawapres, panitia pengawas lapangan (PPL), pemantau pemilu domestik, atau pemantau pemilu berkebangsaan asing. Yang paling banyak terlihat oleh responden pada hari pencoblosan adalah saksi pasangan capres/cawapres (terlihat oleh 86% pemilih). Keberadaan saksi pasangan capres/cawapres ditanggapi secara positif: 76% responden menyatakan bahwa keberadaan saksi pasangan capres/cawapres mampu meningkatkan kepercayaan pemilih bahwa pemilu akan diselenggarakan dengan jujur. Setelah itu, 72% pemilih melihat PPL pada hari pencoblosan, dan keberadaan PPL juga dipandang secara positif: 80% pemilih menyatakan bahwa keberadaan PPL memberikan cukup keyakinan bahwa pemilu tersebut diselenggarakan dengan adil. Enam puluh tiga persen pemilih melihat pemantau domestik – 82% dari kelompok ini menyatakan bahwa keberadaan pemantau domestik memberikan cukup keyakinan bahwa pemilu akan diselenggarakan dengan jujur. Terakhir, pemantau berkebangsaan asing tidak banyak ditemui oleh para pemilih: hanya 4% responden yang menyatakan melihat pemantau berkebangsaan asing. Walaupun keberadaan pemantau asing jarang terlihat, 40% pemilih menyatakan bahwa keberadaan pemantau asing mampu memberikan keyakinan bahwa pemilu akan diselenggarakan dengan jujur. Angka serupa dilaporkan untuk Pileg. Sembilan puluh persen pemilih melihat saksi partai atau pemantau pemilu saat mencoblos. Yang paling banyak ditemui adalah saksi partai (89%), diikuti oleh 59% pemilih melihat pemantau domestik, dan hanya 7% yang melihat pemantau asing. Secara umum, pemilih memandang bahwa keberadaan saksi partai (93%) dan pemantau domestik (81%) jauh lebih penting dalam memastikan kredibilitas pemilu di Indonesia dibandingkan pemantau asing yang hanya dipandang penting dalam memastikan kredibilitas pemilu oleh 31% pemilih yang melihat keberadaan mereka.
Pengalaman dan Pandangan Pemilih Terhadap Politik Uang
Praktek mengamankan suara dengan cara memberi uang atau bingkisan kepada pemilih sudah menjadi bagian yang lumrah dalam proses pemilu Indonesia. Data dari survei IFES tahun 2013 dan 2014 mengungkapkan bahwa praktek jual beli suara ini tetap merupakan kegiatan yang terus berlangsung baik dalam Pileg atau Pilpres, bahkan dalam pemilukada yang sebelumnya dilaksanakan. Dalam survei pra pemilu November 2013, sebagian besar pemilih melaporkan bahwa diri mereka sendiri atau anggota keluarga mereka pernah ditawari uang atau bingkisan untuk memilih partai atau calon tertentu (11%) atau seseorang yang mereka kenal di daerah mereka mengenal seseorang di desa atau tempat tinggalnya yang pernah ditawari hal yang sama(12%). Pola ini juga ditemukan dalam survei pasca Pileg, yakni 15% pemilih Indonesia melaporkan pernah ditawari uang atau bingkisan sebelum Pileg untuk memilih caleg tertentu, dan 5% tambahan menyatakan mengenal seseorang yang pernah ditawari (Gambar 29). Tingkat praktek jual beli suara/ politik uang pembelian suara tertinggi ditemukan di Jawa Tengah/ Yogyakarta (29%) dan Aceh (27%), dan terendah di Maluku/Papua (12%), Jawa Barat/Banten/ Jakarta (12%), dan Bali/NTT/NTB (3%).
34
Gambar 29. Pengalaman dengan Praktek Jual Bali Suara/ Politik Uang
Berdasarkan pengakuan pemilih yang ditawari sebelum Pileg, 59% menyatakan pernah ditawari oleh dua caleg/tim sukses berbeda atau lebih selama periode kampanye, dan 9% menyatakan mereka pernah ditawari oleh lima caleg/tim sukses berbeda atau lebih. Ini mengindikasikan bahwa upaya jual beli suara atau politik uang frekuensinya jauh lebih besar daripada jumlah orang yang pernah ditawari dan jumlah tim sukses caleg/partai yang melakukan upaya mendapatkan suara pemilih dengan cara yang salah. Berdasarkan pengakuan respoden, benda atau hadiah yang ditawarkan kepada pemilih adalah, antara lain, uang (83%), sembako (15%), dan baju/ pakaian (14%). Gambar 30: “Sepengetahuan Ibu/Bapak, apakah ada caleg atau partai politik yang memberikan sumbangan/bantuan disekitar tempat tinggal Ibu/Bapak?
Laporan Survei Nasional – Pemilu 2014 di Indonesia
35
International Foundation for Electoral Systems
Responden survei pasca Pileg juga ditanyakan terkait apakah caleg dan parpol pernah memberikan donasi atau sumbangan ke kampung, RT/RW, atau masyarakat tempat tinggal responden, misalnya untuk memperbaiki jalan/jembatan, membangun irigasi, memberikan sumbangan kepada masjid atau organisasi masyarakat. Dua puluh Sembilan persen responden melaporkan bahwa kegiatan-kegiatan yang disebutkan sebelunya itu memang terjadi di lingkungan tempat tinggal mereka (Gambar 30). Praktek jual beli suara dengan modus seperti diatas paling banyak terjadi di Sumatera (51%), Sulawesi/Gorontalo (45%), dan Jawa Tengah/Yogyakarta (38%), dan paling rendah di Bali/NTT/NTB (23%), Kalimantan (21%), dan Jawa Timur (16%). Kegiatan sumbangan caleg/partai yang paling sering ditemui adalah perbaikan jalan (44%), memberikan sumbangan untuk masjid, gereja, pura atau tempat ibadah lainnya (35%), bagi-bagi baju/pakaian untuk masyarakat (15%), dan menyediakan fasilitas olahraga bagi masyarakat (9%). Terdapat juga bukti dari survei pasca Pileg Gambar 31:”Dibandingkan Pemilu 2009, apakah praktek bahwa masyarakat Indonesia menganggap politik uang pada Pemilu 9 April 2014 lebih banyak, sama banyak, lebih sedikit, atau tidak ditemukan sama praktek jual beli suara/ politik uang lebih sekali?” menyebar pada Pileg 2014 dibandingkan Pemilu Legislatif 2009 (Gambar 31). Saat diminta membandingkan jumlah praktek politik uang yang terjadi selama kampanye Pileg 2014 dibandingkan pada masa kampanye pemilu legislatif 2009, lebih dari sepertiga responden menyatakan bahwa terdapat praktek politik uang pada Pemilu Legislatif 2014 jauh lebih banyak (16%) atau lebih banyak (18%) dibandingkan Pemilu Legislatif 2009, sementara 26% menyatakan bahwa praktek politik uang sama besarnya dibandingkan Pemilu Legislatif 2009. Hanya sedikit pemilih yang berpendapat bahwa jumlah praktek uang menurun: 9% responden yang menyatakan bahwa kegiatan praktek politik uang pada Pemilu Legislatif 2014 jauh lebih sedikit dan 1% yang menyatakan politik uang pada Pemilu Legislatif 2014 jauh lebih sedikit. Tantangan untuk melakukan perubahan agar masyarakat melakukan penolakan terhadap praktek politik uang mungkin akan sulit dikemudian hari karena 54% responden menyatakan tidak akan melaporkan apabila mereka ditawari uang atau bingkisan. Hal ini disebabkan karena praktek tersebut sudah dianggap kegiatan lumrah selama masa kampanye. Hanya 19% responden yang menyatakan akan melaporkan jumlah uang yang ditawarkan kepada pihak yang berkepentingan.
Pandangan Terkait Kekerasan Pemilu
Menjelang Pemilu Legislatif April 2014, hanya 1% pemilih Indonesia yang melaporkan insiden kekerasan dalam kegiatan pemilukada terakhir di daerah tempat tinggal responden, sementara 93% lainnya penyatakan bahwa tidak terjadi insiden kekerasan terkait pemilu. Sebelum Pemilukada 2010, terdapat kekhawatiran tentang terjadinya kekerasan pemilu: 19% responden survei IFES menyatakan bahwa mereka sangat (6%) atau cukup (14%) khawatir akan terjadinya kekerasan selama proses pemilukada berlangsung. Laporan tentang kekerasan kepemiluan tidak banyak ditemukan di Indonesia untuk Pemilukada; hanya pemilih Sulawesi/Gorontalo
36
(6%) dan Maluku/Papua (7%) yang menyatakan mengindikasikan bahwa kecenderungan terjadinya kekerasan pemilukada di daerah tersebut sedikit lebih tinggi dari rata-rata nasional (Gambar 32). Dari responden yang melaporkan bahwa mereka melihat terjadinya kekerasan, 23% menyebutkan bahwa kekerasan tersebut disebabkan oleh pendukung parpol atau caleg, 20% menyatakan bahwa kekerasan tersebut disebabkan oleh caleg, sementara 4% menyatakan bahwa yang menyebabkannya adalah aparat KPU. Gambar 32: “Apakah ada tindakan kekerasan yang terjadi di sekitar tempat Ibu/Bapak ketika pemilukada/pilkada berlangsung?” (Desember 2013)
Data dari survei pasca Pileg juga mengindikasikan bahwa terjadi sangat sedikit insiden kekerasan dalam Pemilu Legislatif 2014: hanya di bawah 0.5% responden yang menyatakan bahwa pemilu anggota DPR/DPRD/DPD bermasalah karena ancaman kekerasan atau terjadinya kekerasan pada proses pemungutan suara. Kendati demikian, walaupun Pileg 2014 relatif damai, jawaban responden dalam survei pasca Pilpres menunjukkan bahwa sejumlah pemilih khawatir akan terjadinya kekerasan selama Pilpres 2014, terutama karena hasilnya diperkirakan akan sangat ketat. Secara umum, 37% pemilih Indonesia melaporkan di survei pasca Pilpres bahwa mereka khawatir bahwa kekerasan akan merebak di masyarakat jika hasil resmi pilpres tidak diterima oleh pihak yang kalah. Walaupun begitu, survei pasca Pilpres juga menemukan bahwa masyarakat Indonesia secara umum yakin bahwa berbagai institusi politik dan aparat keamanan mampu memastikan proses pemilu yang aman. Saat diminta menyebutkan lembaga yang perannya terpenting dalam menanggulangi kekhawatiran kemungkinan terjadinya kekerasan akibat pemilu Presiden, responden menyebutkan institusi Kepolisian Indonesia (91%), Tentara Nasional Indonesia/ militer (90%), dan pemimpin masyarakat (85%). Pemilih juga mengakui bahwa bahwa para calon presiden dan wakil presiden juga memegang peranan yang sama pentingnya dalam mengurangi kekhawatiran masyarakat akan terjadinya kekerasan akibat pemilu presiden; Joko Widodo mendapatkan popularitas sedikit lebih tinggi soal ini (73%) dibanding Prabowo Subianto (68%). Lembaga lain dianggap sama pentingnya dalam mengurangi kekhawatiran masyarakatakan terjadinya kekerasan pasca pemilu presiden.
Laporan Survei Nasional – Pemilu 2014 di Indonesia
37