Pajak dan Pemilu 2014 Oleh Rika Sari Sjafri, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan
Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 sudah di depan mata. Pesta demokrasi lima tahunan ini selalu menghadirkan hal-hal baru yang menarik untuk dikulik. Mengesampingkan sisi politisnya, Pemilu sesungguhnya hajatan besar Negara yang tentu saja membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Maka, ada baiknya kita mencoba menilik tentang bagaimana Negara ini menghelat hajatan lima tahunannya.
Lantas, darimanakah Negara ini membiayai Pemilu? Jawabannya tentu saja Pajak. Pemilu dan pajak saling terkait, sebagai tiang penerimaan Negara, pajak merupakan sumber utama pembiayaan penyelenggaraan Pemilu. Dan karena Pemilu merupakan cikal bakal demokrasi maka berarti Pajak merupakan tiang demokrasi. Anggaran Pemilu dari Waktu ke Waktu Pajak merupakan sumber utama penerimaan dalam negeri. Lebih dari 70% penerimaan Negara bersumber dari sektor Pajak. Uang dari Pajak ini kemudian didistribusikan ke dalam pos-pos belanja Negara. Termasuk di dalamnya pos belanja untuk Pemilihan Umum (Pemilu). Gambar di bawah menunjukkan proporsi penerimaan Pajak dalam APBN 2013 :
Sumber Biro Komunikasi dan Layanan Informasi www.kemenkeu.go.id email:
[email protected]
Untuk membiayai Pemilu, dalam APBN 2013 pemerintah mengalokasikan sekitar 9,4 triliun masing-masing diberikan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) yaitu sebesar Rp8.492 milyar
dan Badan Pengawas Pemilihan Umum sebesar Rp856,6 milyar. Tabel berikut ini menyajikan data pertumbuhan belanja KPU : Belanja KPU
% pertumbuhan belanja KPU
miliar rupiah
10,000
500.00% 400.00% 300.00% 200.00% 100.00% 0.00% -100.00%
5,000 Belanja KPU
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
469
454
567
759
762
1,652
8,492
2008
2009
2010
2011
2012
2013
% pertumbuhan -3.18% 24.99% 33.84% 0.36% 116.91%413.98% belanja KPU
Sumber : Direktorat Jenderal Anggaran, http://www.anggaran.depkeu.go.id/dja/acontent/Data%20Pokok%20APBN%202013.pdf
Dari data tersebut diketahui bahwa anggaran yang disiapkan untuk Pemilu 2014 melonjak hampir dua kali lipat dibandingkan dengan alokasi anggaran untuk Pemilu 2009. Sebagai informasi, pemerintah menganggarkan Rp6,67 triliun untuk persiapan tahapan Pemilu 2009. Namun, dari total anggaran tersebut, terealisasi Rp1,9 triliun. Selanjutnya, dalam APBN 2009, Pemerintah mengalokasikan dana Rp13 triliun dan terealisasi Rp8,5 triliun.
Untuk Pemilu 2014, total anggaran yang dibutuhkan oleh KPU sebesar Rp14,4 triliun. Dari anggaran tersebut, Rp3,7 triliun untuk pengadaan dan distribusi logistik, dan Rp2,4 triliun digunakan untuk sosialisasi, fasilitas kampanye, akreditasi pemantau pemilu, updating data pemilih, pemungutan dan penghitungan suara, rekapitulasi hasil pemilu, sumpah janji anggota DPR, DPD dan DPRD serta pelaksanaan tahapan Pemilihan Presiden (Pilpres) putaran pertama dan kedua. Lebih lanjut, KPU menyatakan bahwa alokasi anggaran
terbesar
digunakan untuk gaji petugas atau Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) sebesar Rp8,3 triliun atau 57,59 persen.
Selanjutnya, dari jumlah anggaran tersebut, KPU pusat mendapat jatah sebesar 13,95 persen. Sedangkan sisanya dialokasikan ke KPU Daerah, dari tingkat provinsi hingga tingkat Kabupaten/Kota yang mencapai 86,05 persen Pajak sebagai Sarana Kampanye Pemilu Di sisi lain, Pajak bisa dijadikan sebagai alat dalam kampanye Pemilu. Isu perpajakan ini bisa diangkat dalam kampanye Pemilu. Di luar negeri, mengaitkan isu Pajak sebagai bagian
kampanye bukan hal yang asing, Amerika misalnya, tax plan Obama dan Romney pesaingnya, dijadikan intrumen dalam mengukur dukungan rakyat, masing-masing kubu memberikan struktur Pajak yang berbeda dengan asumsi dan tujuan yang berbeda. Rakyat bisa memilih, skema mana yang paling sesuai.
Bayangkan bila hal ini bisa diwujudkan di Indonesia, Pemilu sekaligus jadi ajang edukasi Pajak. Peserta Pemilu diwajibkan membuat program Pajak yang menarik. Program ini akan diuji oleh rakyat, rakyat mau tidak mau akan berdiskusi mengenai penerimaan negaranya. Rakyat bisa jadi akan memahami bahwa uang Pajak berasal dari rakyat dan akan kembali kepada rakyat. Rakyat bisa menilai struktur Pajak mana yang cocok untuk mereka dengan segala konsekuensinya. Rakyat juga memahami bahwa membayar pajak merupakan salah satu wujud bela Negara. Ketika sudah sampai ke taraf pemahaman ini, diharapkan partisipasi rakyat untuk membayar Pajak meningkat dengan pesat. Tax ratio Indonesia masih berada di bawah rata-rata tax ratio dunia, tidak pernah terjadi peningkatan signifikan, sangat in-elastis. Kesadaran masyarakat dalam membayar Pajak dinilai masih rendah. Upaya yang dilakukan pemerintah dengan memberikan ekstensifikasi dan intensifikasi perlu ditingkatkan lagi. Gambar berikut menunjukkan perkembangan penerimaan Pajak dalam lima tahun terakhir :
Sumber : The Jakarta Post http://www.thejakartapost.com/news/2013/09/16/structural-woes-spell-tax-officetrouble.html
Dari gambar jelas bahwa tax ratio Indonesia sejak tahun 2009 dan belum bisa menyentuh angka 13,3%. Sementara itu bila dibandingkan dengan negara-negara lainnya di dunia, peta berikut ini memperlihatkan kenyataan yang menarik :
Sumber : World Bank http://data.worldbank.org/indicator/GC.TAX.TOTL.GD.ZS/countries?display=map
Dalam peta di atas, Indonesia berada di bawah Negara-negara lainnya. Secara global, tax ratio Indonesia bila dibandingkan tax ratio dunia adalah sebagai berikut :
Sumber : World Bank. http://data.worldbank.org/indicator/GC.TAX.TOTL.GD.ZS/countries/1W-ID?display=graph
Indonesia berada di kisaran 2% dibawah rata-rata tax ratio dunia. Sementara itu, di sisi lain, tingkat partisipasi rakyat dalam Pemilu terus berkurang. Dikutip dari laman antaranews.com, Ketua Divisi Sosialisasi Komisi Pemilihan umum Daerah Istimewa Yogyakarta Farid Bambang Siswanto menyatakan bahwa tren angka partisipasi pemilih cenderung menurun dalam tiga kali pemilu. Pasca reformasi tahun 1999, partisipasi pemilih dalam pemilu mencapai 92 persen, mungkin saat itu masyarakat masih memiliki optimisme dan ekspektasi yang tinggi, namun pada Pemilu 2004 angka partisipasi turun menjadi 81 persen, dan pada pemilu 2009 semakin turun di angka 71 persen.
Penurunan partisipasi rakyat dalam Pemilu ini disebabkan karena rakyat tidak merasakan secara nyata bahwa Pemilu merupakan awal perubahan suatu sistem Negara. Rakyat belum sepenuhnya aktif dalam menentukan nasib bangsa. Padahal keberhasilan Pemilu dalam memperoleh pemimpin dan wakil rakyat yang kompeten tidak bisa dilepaskan dari peran aktif rakyat.
Sebaliknya, pajak pada umumnya menyentuh setiap individu. Dua hal yang tidak bisa dihindari dalam hidup ini adalah maut dan Pajak, ketika rakyat disuguhkan topik mengenai Pajak dan mereka bisa memilih paket yang disukai (melalui Pemilu), hal ini tentunya akan menyentuh langsung kepada orang per orang.
Jadi, tidak ada salahnya jika struktur Pajak dan penggunaannya dapat disisipkan dalam rangkaian kampanye atau debat calon pemimpin negeri ini. Tentunya isu ini tidak hanya sebatas jargon dan janji-janji kosong, analisis yang komprehensif dan tajam juga diperlukan agar proses demokrasi ini bisa lebih berkualitas.
Ketika Pajak dibawa ke ranah Pemilu, ketika rakyat diajak untuk mengetahui bagaimana dan untuk apa Pajak mereka, ketika rakyat diajak untuk ikut menentukan skema Pajak mana yang menurut mereka bisa mensejahterakan mereka, rakyat diajak tahu, diajak ikut ‘memiliki’ Negara ini, maka kenaikan tidak hanya terjadi di tax ratio, tapi juga di tingkat partisipasi rakyat dalam Pemilu. Kesimpulan
Ketika kita berbicara mengenai Pajak dan Pemilu, kesimpulan yang kita dapat bukan hanya mengetahui bahwa Pemilu dibiayai oleh Pajak sebagai sumber penerimaan Negara, tetapi juga memahami bahwa Pajak bisa dijadikan satu instrumen dan isu kuat dalam ajang pesta rakyat ini, sehingga dapat diibaratkan sebagai satu batu yang bisa memukul dua burung, yaitu peningkatan penerimaan Negara dan peningkatan partisipasi rakyat dalam Pemilu.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja.