ANALISIS HUBUNGAN PERILAKU WIRAUSAHA TERHADAP KINERJA USAHA PENGRAJIN TEMPE KABUPATEN GROBOGAN
M. FADHOLI
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Hubungan Perilaku Wirausaha terhadap Kinerja Usaha Pengrajin Tempe Kabupaten Grobogan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juli 2014 M. Fadholi NIM H34100125
ABSTRAK M. FADHOLI. Analisis Hubungan Perilaku Wirausaha terhadap Kinerja Usaha Pengrajin Tempe Kabupaten Grobogan. Dibimbing oleh BURHANUDDIN. Tempe merupakan salah satu produk pengembangan hasil pertanian komoditas kedelai yang ikut berperan dalam meningkatkan pendapatan masyarakat khususnya di Kabupaten Grobogan. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis hubungan perilaku wirausaha yang terdiri dari pengetahuan wirausaha, sikap wirausaha, dan keterampilan wirausaha terhadap kinerja usaha pengrajin tempe di Kabupaten Grobogan. Alat analisis yang digunakan adalah Analisis korelasi Person. Hasil analisis menunjukkan bahwa pengetahuan wirausaha, sikap wirausaha, keterampilan wirausaha berkorelasi kuat secara signifikan terhadap kinerja usaha baik dari aspek pertumbuhan usaha maupun dari penerimaan usaha. Koefisien korelasi antara variabel perilaku terhadap kinerja usaha dari aspek pertumbuhan usaha secara berturut-turut yaitu 0.453, 0.658, dan 0.590. koefisien korelasi antara perilaku usaha terhadap kinerja usaha dari aspek penerimaan usaha adalah 0.449, 0.526, dan 0.528. Hal ini berarti ketika pengetahuan wirausaha, sikap wirausaha, dan keterampilan wirausaha meningkat maka kinerja usaha akan meningkat. Kata kunci : Grobogan, kinerja usaha, korelasi, perilaku wirausaha, tempe
ABSTRACT M. FADHOLI. Correlation Analysis of Entrepreneurial Behavior and Succes of Tempeh Entrepreneur in Grobogan. Supervised by BURHANUDDIN. Tempeh is one of the products of soybean agricultural development that contributes to improving the income of the people, especially in Grobogan. This study was conducted to analyze the effect of entrepreneurial behavior which consists of knowledge entrepreneurship, entrepreneurial attitude, and entrepreneurial skills to the performance of the business in the craftsmen tempeh Grobogan. The analysis tool used is descriptive analysis and Pearson correlation analysis. The results of correlation analysis showed that knowledge of entrepreneurship, entrepreneurial attitudes, and entrepreneurial skills correlated significantly to the performance of the business. The correlation coefficient of each variable on the performance of the business aspects of business growth are 0.453, 0.658, and 0.590. correlation coefficient between the behavior of the business to business performance aspects of business receipts are 0.449, 0.526, and 0.528. This means that when knowledge of entrepreneurship, entrepreneurial attitude and entrepreneurial skills increases, the performance of the business will increase. Keywords: Business Grobogan, tempeh
performance,
correlation,
entrepreneurial
behavior,
ANALISIS HUBUNGAN PERILAKU WIRAUSAHA TERHADAP KINERJA USAHA PENGRAJIN TEMPE KABUPATEN GROBOGAN
M. FADHOLI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Judul Skripsi : Analisis Hubungan Perilaku Wirausaha terhadap Kinerja Usaha Pengrajin Tempe Kabupaten Grobogan Nama : M. Fadholi NIM : H34100125
Disetujui oleh
Dr Ir Burhanuddin, MM Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Dwi Rachmina, MSi Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2014 ini ialah kewirausahaan, dengan judul Analisis Hubungan Perilaku Wirausaha terhadap Kinerja Usaha Pengrajin Tempe Kabupaten Grobogan. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Burhanuddin, MM selaku dosen pembimbing, teman-teman Agribisnis yang telah memberikan masukan, serta seluruh keluarga besar CSS MoRA yang telah memberikan semangat kepada penulis. Disamping itu ucapan terima kasih yang tulus penulis sampaikan juga kepada keluarga besar Pondok Pesantren Mahasiswa Al Ihya Dramaga yang telah menemani serta menginspirasi penulis untuk semakin dewasa selama belajar di IPB. Kepada teman-teman Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama IPB yang ikut membantu penulis dalam menggali potensi diri. Kepada bapak Imam Syafii selaku kepala Ditpontren pengelola beasiswa PBSB dari Kementrian Agama yang telah mengusahakan beasiswa untuk penulis selama kuliah. Kepada Habib Johan Arif sekeluarga yang telah memberikan nasehatnya kepada penulis agar berusaha menjadi manusia yang lebih bermanfaat bagi yang lainnya. Kepada Bapak Yanefri dan Bu Minarti serta keluarga besar P2SDM IPB yang telah membimbing penulis untuk mengabdi selama pendampingan Posdaya. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2014 M. Fadholi
DAFTAR ISI PRAKATA
iv
DAFTAR ISI
v
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian TINJAUAN PUSTAKA KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka Pemikiran Operasional METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Rancangan Penelitian Populasi dan Sampel Instrumen Pengukuran Peubah Uji Validitas dan Reliabilitas Pengumpulan Data Metode Analisis Data GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Keadaan Geografis Keadaan Demografis Keadaan Ekonomi Keadaan Pengrajin Tempe HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Pengrajin Tempe Perilaku Wirausaha Kinerja Usaha Hubungan Perilaku Wirausaha terhadap Kinerja Usaha SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
1 1 4 5 5 5 5 7 7 13 14 14 14 15 16 17 17 18 19 19 19 20 21 22 22 26 28 30 35 35 36
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
37 40 46
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Jumlah penduduk miskin di Indonesia tahun 2009-2013 Produksi kedelai nasional tahun 2009-2013 Ciri-ciri wirausaha menurut Marbun Kisi-kisi instrumen penelitian Hasil uji reliabilitas kuesioner Interpretasi keeratan nilai r Perkembangan penduduk miskin di Kabupaten Grobogan tahun 2010-2012 Pertumbuhan PDRB Kabupaten Grobogan tahun 2010-2013 Produksi kedelai di Kabupaten Grobogan tahun 2009-2012 Distribusi pengrajin tempe berdasarkan umur Distribusi pengrajin tempe berdasarkan jenis kelamin Distribusi pengrajin tempe berdasarkan pendidikan formal Distribusi pengrajin tempe berdasarkan lama melakukan usaha Distribusi responden berdasarkan produksi per hari Distribusi responden berdasarkan daerah pemasaran Distribusi pengrajin tempe berdasarkan perilaku wirausha Distribusi pengrajin berdasarkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan wirausaha Distribusi pengrajin tempe berdasarkan tingkat pertumbuhan usaha Distribusi pengrajin tempe berdasarkan penerimaan usaha per bulan Hasil uji korelasi perilaku wirausaha terhadap kinerja usaha
1 3 8 16 17 18 20 20 21 23 23 24 24 25 26 26 28 29 30 31
DAFTAR GAMBAR 1 2
Unsur perilaku manusia Kerangka pemikiran operasional
9 15
DAFTAR LAMPIRAN 1 Hasil uji Reliabilitas Kuesioner 2 Hasil output uji korelasi pearson perilaku wirausaha terhadap kinerja usaha 3 Hasil uji kenormalan 4 Dokumentasi penelitian
41 43 44 45
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan alam melimpah baik di sektor darat maupun laut. Sebagai negara agraris, pertanian merupakan salah satu tumpuan kehidupan bagi mayoritas masyarakat Indonesia. Tanah yang subur menjadikan Indonesia berpotensi besar untuk bisa mengembangkan sektor pertanian tersebut. Melalui kekayaan tersebut seharusnya Indonesia mampu menjadikan rakyatnya lebih sejahtera. Namun yang terjadi selama ini potensi tersebut belum termanfaatkan secara maksimal. Sektor pertanian primer Indonesia belum bisa diharapkan sepenuhnya sebagai sektor pembangunan negara. Akibatnya masih banyak penduduk Indonesia yang berada dalam garis kemiskinan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk miskin Indonesia pada September tahun 2012 tercatat sebesar 11.66% atau sebanyak 28.59 juta jiwa (Tabel 1). Meskipun setiap tahun mengalami penurunan namun jumlah tersebut masih jauh dari cerminan kesejahteraan masyarakatnya. Hal ini harus segera diatasi mengingat potensi yang dimiliki begitu besar. Tabel 1 Jumlah penduduk miskin di Indonesia tahun 2009-2013 Tahun 2009 2010 2011 2012 2013
Jumlah Penduduk Miskin (Juta Orang) Kota Desa Kota+Desa
Kota
Desa
11.91 11.10 10.95 10.51 10.33
10.72 9.87 9.09 8.60 8.39
17.35 16.56 15.59 14.70 14.32
20.62 19.93 18.94 18.09 17.74
32.53 31.02 29.89 28.59 28.07
Persentase Penduduk Miskin (%) Kota+Desa 14.15 13.33 12.36 11.66 11.37
Sumber : BPS 2013
Dari data tersebut dapat diketahui bahwa pada tahun 2013 masih terdapat setidaknya 28.07 juta penduduk Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan. Dari jumlah tersebut 17.78 juta adalah penduduk desa. Selain itu tingkat pengangguran yang terjadi juga masih tinggi. Tercatat dalam BPS bahwa pada Agustus tahun 2013 terdapat setidaknya 7.39 juta orang yang masih menganggur dengan tingkat pengangguran terbuka sebesar 6.25 %. Sehingga perlu sebuah upaya untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran tersebut. Salah satu elemen yang turut berpengaruh dalam upaya pengentasan kemiskinan adalah adanya wirausahawan-wirausahawan Indonesia. Melalui usaha yang dijalankannya para wieausahawan tersebut mampu membantu pemenrintah dalam menampung tenaga kerja yang ada sehingga pengangguran dapat berkurang. Masyarakat yang bekerja pada pengusaha akan mendapatkan upah berupa gaji tiap periode yang ditentukan. Gaji tersebutlah yang pada akhirnya membawa dampak bagi penduduk untuk bisa membeli barang-barang dalam mencukupi kebutuhannya sehari-hari. Hal ini berarti para wirausahawan tersebut sekaligus mampu membantu dalam upaya pengentasan kemiskinan. Selain itu para
2 wirausahawan ini juga memiliki peran yang sangat besar terhadap kemajuan suatu bangsa karena melalui tangan merekalah perekonomian bangsa dikendalikan. Melalui kreativitas dan ide-ide inovatif mereka mampu mengubah sumberdaya yang ada menjadi produk memiliki nilai tambah yang lebih tinggi. Sehingga pendapatan negara njadi meningkat yang pada akhirnya berdampak pada kesejahteraan masyarakat. Wirausahawan ini tidak hanya mereka yang memiliki perusahaan besar, tapi masyarakat yang memiliki usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) juga memiliki peran yang besar. Sebagaimana yang pernah terjadi pada saat Indonesia mengalami krisis pada tahun 1997-1998. Banyak perusahaan besar yang tumbang terutama di sektor perbankan, properti, dan pabrik berbahan baku impor. Namun pengusaha kecil dan menengah telah mampu menyelamatkan bangsa Indonesia dari krisis tersebut. Pengusaha ini mampu bertahan karena memproduksi barang dan jasa dengan bahan baku dalam negeri dan berorientasi ekspor, tenaga kerja yang efisien, dan biaya tetap yang kecil (Suharyadi et al. 2007). Menurut Kementrian Koperasi dan UKM pada tahun 2012 jumlah UMKM di Indonesia menduduki pangsa sebesar 99.99 % atau sekitar 56.53 juta unit dari total usaha yang ada sedangkan sisanya yang 0.01 % adalah yang sering kita sebut sebagai usaha besar (UB). Dari segi penyerapan tenaga kerja UMKM juga merupakan penyerap tenaga kerja sekitar 97% dari tenaga kerja yang ada sedangkan usaha besar hanya menyerap 3% tenaga kerja yang ada. Begitu besarnya peran UMKM dalam ekonomi bangsa maka seharusnya pemerintah lebih berpihak kepada UMKM tersebut. Salah satu bentuk UMKM yang ada di Indonesia adalah pengrajin tempe. Melalui proses yang sederhana usaha ini banyak dilakukan oleh masyarakat pedesaan yang berkembang secara turun temurun (Cahyadi 2009). Tercatat dalam BPS terdapat 115 ribu unit usaha tahu dan tempe di seluruh Indonesia, yang kebanyakan tersebar di Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Yogyakarta, Lampung, Jakarta dan kota besar lainnya dengan skala produksi yang sangat bervariasi satu sama lain. Konsumsi tempe sendiri di Indonesia telah mencapai 7.0 kilogram per kapita per tahun (Rovicky 2013). Hal ini tidak lain karena tempe merupakan makanan berprotein tinggi dengan harga yang relatif lebih murah jika dibanding sumber protein hewani seperti daging, telur, dan susu sehingga permintaan di pasaran cukup tinggi. Banyaknya pengrajin tempe yang ada di Indonesia tentu memerlukan perhatian khusus agar keberlanjutan usaha dapat berjalan dengan baik. Salah satunya berkaitan dengan ketersediaan bahan baku berupa kedelai. Produksi kedelai nasional belum mampu memenuhi permintaan kedelai dalam negeri sehingga diperlukan impor untuk memenuhinya. Data BPS menyebutkan bahwa dalam setahun Indonesia hanya mampu memasok kedelai antara 780 ribu ton hingga 974 ribu ton saja (Tabel 2). Padahal berdasarkan data Kementrian Perdagangan tahun 2013 konsumsi kedelai di Indonesia dalam setahun mencapai 2.25 juta ton, padahal nasional mampu memasok kebutuhan kedelai hanya sekitar 780 ribu ton. Kekurangan pasokan sekitar 1.4 juta ton, ditutup dengan kedelai impor dari Amerika Serikat (Nugrayasa 2013).
3 Tabel 2 Produksi kedelai nasional tahun 2009-2013 Tahun 2009 2010 2011 2012 2013
Luas Panen (Ha) 722791 660823 622254 567624 550797
Produktivitas (Ku/Ha) 13.48 13.73 13.68 14.85 14.16
Produksi(Ton) 974512 907031 851286 843153 780163
Sumber : BPS 2014
Ketergantungan Indonesia terhadap impor kedelai ikut mempengaruhi pengusaha tempe dalam menjalankan usahanya. Hal ini dikarenakan dari sekian banyak konsumsi kedelai nasional tersebut sekitar 60 persen diolah menjadi tempe. Sebagaimana yang terjadi pada bulan Agustus 2013, harga kedelai impor mencapai Rp 9000 per kilogram dari harga sebelumnya yang hanya Rp 8000 dan terus naik hingga mencapai Rp 12000 per kilogram di berbagai daerah pada bulan November 2013. Permasalahan mahalnya harga kedelai tersebut membuat para pengrajin tahu dan tempe terancam menghentikan produksinya. Untuk tetap bertahan, beberapa pengrajin melakukan berbagai strategi, misalnya dengan memperkecil ukuran dan volume hingga mencapai 50% dari biasanya, menaikkan harga jual, mengurangi produksi, dan menerapkan diversifikasi produk. Kabupaten Grobogan merupakan kabupaten terluas kedua di Jawa Tengah yang sampai sekarang masih menyandang predikat sebagai penghasil kedelai. Data Litbang Jawa Tengah 2012 menunjukkan bahwa luas panen kedelai di Kabupaten Grobogan mencapai 27 170 ha dengan produktivitas 2.39 ton/ha, serta produksi total mencapai 65 755 ton. Produksi tersebut memberi kontribusi 43.15 % terhadap produksi kedelai regional Jawa Tengah, atau 7.72 % terhadap produksi kedelai nasional (BPTP Jateng 2013). Potensi besar tersebut menjadikan pengrajin tempe yang berada di Kabupaten Grobogan memiliki keunggulan komparatif berupa ketersediaan bahan baku. Dengan harga kedelai lokal yang relatif lebih murah dibanding kedelai impor menjadi kekuatan bagi para pengrajin untuk bertahan ketika harga impor terlalu tinggi serta dapat mengembangkan usahanya menjadi lebih besar dibanding pengrajin tempe daerah lain yang tidak memiliki keunggulan komparatif . Selain keunggulan komparatif banyak faktor lain yang juga mempengaruhi perkembangan suatu usaha. Salah satunya adalah adanya faktor internal berupa motivasi dan perilaku usaha dari pelaku usaha. Hal tersebut merupakan modal awal untuk mengembangkan sebuah usaha maka kajian penelitian ini diarahkan untuk mengetahui hubungan antara perilaku wirausaha terhadap kinerja usaha yang dijalankan. Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat membantu pemerintah khususnya di Kabupaten Grobogan untuk melakukan kebijakankebijakan yang sesuai untuk membantu mengembangkan usaha pengrajin tempe yang ada di daerah tersebut.
4 Perumusan Masalah Sektor pertanian merupakan sektor primer yang amat strategis bagi Kabupaten Grobogan karena memberi kontribusi 43.6% dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Grobogan setiap tahun. Dengan demikian pendapatan per kapita masyarakat Kabupaten Grobogan amat tergantung pada kinerja sektor pertanian (Dinpertan 2013). Namun peningkatan produksi dalam rangka mencapai swasembada pangan semata tentunya kurang menguntungkan, hingga akhirnya perlu diperhatikan pula pengembangan hasil produksi pertanian yang mempunyai nilai ekonomi yang lebih tinggi. Tempe yang merupakan salah satu produk pengembangan hasil pertanian komoditas kedelai memiliki andil juga dalam meningkatkan pendapatan masyarakat khususnya di Kabupaten Grobogan. usaha tempe terbukti mampu membawa dampak bagi kesejahteraan masyarakat, sehingga terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara petani biasa dengan pengrajin tempe. Perbedaan tersebut dapat terlihat jelas dari kepemilikikan investasi berupa rumah yang lebih baik dan kehidupan yang terlihat lebih sejahtera. Sehingga perlu diketahui karakteristik pengrajin tempe yang berada di Kabupaten Grobogan baik berupa karakteristik individu ataupun usaha yang dimiliki. Para pengrajin tempe yang ada di Kabupaten Grobogan tersebut termasuk dalam pelaku usaha yang masih tetap eksis melakukan usahanya meskipun harga kedelai sebagai bahan baku pembuatan tempe mengalami kenaikan. Bahkan ketika penrajin tempe didaerah lain banyak yang gulung tikar karena mahalnya kedelai justru mereka tetap mampu memenuhi permintaan konsumen dengan harga yang tetap. Beberapa pengrajin menanggapinya dengan mengubah ukuran tempe sedangkan yang lain mengubah harga tempe mereka, bahkan ada juga yang mencampurnya menggunakan bahan tambahan alternatif. Semangat yang telah dimilikinya pengrajin tempe di Kabupaten Grobogan terbukti menjadikan mereka mampu menguasai pasar sampai di kabupaten/kota sekitarnya seperti Pati, Demak, Semarang, Kudus, Blora, Sragen, dan Solo. Bahkan tempe Grobogan pernah populer di kalangan masyarakat luar kota karena rasa yang enak dan tahan lama. Hingga bermunculan di setiap produk tempe dengan merek “Tempe Bersemi Grobogan” untuk menarik konsumen. Keuletan yang dilakukan oleh pengrajin tempe di Kabupaten Grobogan merupakan salah satu ciri perilaku dari seorang wirausaha yang dalam berbagai penelitian dipengaruhi oleh karakteristik usaha dan individu pengrajin. Karakteristik yang dimiliki pengrajin tentunya ikut berperan dalam membentuk perilaku wirausahanya dan perilaku wirausaha tersebut diduga memiliki hubungan dengan kinerja usaha yang dicapai oleh para pengrajin tempe sehingga dapat bertahan dan mampu menguasai pasar di kota sekitarnya. Sehingga pada penelitian ini dititikberatkan pada : 1. Bagaimana karakteristik pengrajin tempe di Kabupaten Grobogan? 2. Bagaimana perilaku wirausaha serta kinerja usaha yang dimiliki pengrajin tempe di Kabupaten Grobogan? 3. Bagaimana hubungan antara perilaku wirausaha dengan kinerja usaha pengrajin tempe di Kabupaten Grobogan?
5 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapat gambaran tentang hubungan yang terjadi antara perilaku kewirausahaan dengan kinerja usaha. Secara lebih rinci tujuan tersebut adalah untuk : 1. Mendeskripsikan karakteristik pengrajin tempe di Kabupaten Grobogan 2. Menjelaskan perilaku wirausaha dan kinerja usaha yang dimiliki pengrajin tempe di Kabupaten Grobogan 3. Menganalisis hubungan antara perilaku wirausaha dengan kinerja usaha pengrajin tempe di Kabupaten Grobogan
Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dengan adanya penelitian ini adalah : 1. Bagi mahasiswa Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu menjadi bahan untuk menambah wawasan serta rujukan dalam mempelajari perilaku wirausaha pengrajin tempe serta pengaruhnya terhadap keberhaslan usaha. 2. Bagi masyarakat umum Hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi pelajaran dan bahan masukan bagi masyarakat yang ingin mengembangkan usahanya dengan pendekatan perilaku wirausaha. 3. Bagi pemerintah Penelitian ini diharapkan mampu menjadi bahan evaluasi terhadap segala kebijakan yang telah dibuat ataupun yang akan dibuat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya para pengrajin tempe melalui pelatihan kewirausahaan.
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dibatasi dalam cakupan analisis hubungan dari perilaku wirausaha terhadap kinerja usaha pengrajin tempe di Kabupaten Grobogan. Perilaku wirausaha yang diteliti meliputi pengetahuan wirausaha, sikap wirausaha, dan keterampilan wirausaha. Selanjutnya untuk kinerja usaha yang diteliti meliputi peningkatan jumlah pelanggan, kecenderungan loyalitas pelanggan, perluasan pangsa pasar, dan peningkatan pendapatan. Kinerja usaha yang diteliti tersebut kemudian dikelompokkan dalam dua kategori yaitu pertumbuhan usaha dan penerimaan usaha. Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis statistik deskriptif dan analisis korelasi Pearson.
TINJAUAN PUSTAKA Pembahasan mengenai kewirausahaan khususnya perilaku wirausaha telah banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Di antaranya adalah
6 penelitian yang dilakukan oleh Dirlanudin (2010) yang menyatakan bahwa kinerja pengusaha kecil industri agro dipengaruhi secara nyata oleh perilaku wirausaha dan keberdayaan. Dimana perhitungan menunjukkan perilaku wirausaha dan keberdayaan berpengaruh langsung yang bernilai positif terhadap keberhasilan usaha kecil industri agro masing-masing 0.35 dan 0.16 pada taraf nyata 0.05. Dirlanudin menambahkan bahwa para pengusaha kecil industri agro relatif memiliki sikap yang baik yaitu: (1) tanggap dalam merespon keluhan pelanggannya, (2) luwes terhadap pesaing usaha yang sejenis, (3) luwes dalam menghadapi pemasok bahan baku, (4) memilki komitmen dalam bisnis, (5) berdisiplin, (6) dapat dipercaya dalam menjalankan bisnisnya, (7) tekun dalam menjalankan usahanya, (8) punya kecenderungan untuk mengutamakan kualitas, (9) berani mengambil resiko atas usaha industri agro yang ditekuninya, (10) memiliki keyakinan akan kinerja dalam berusaha di bidang industri agro, (11) mengutamakan tambahan modal atas hasil usahanya, dan (12) tidak mau menggunakan modal usaha untuk kepentingan lain yang tidak produktif. Selain itu hasil penelitian Hardian (2011) terhadap perilaku wirausaha pedagang martabak manis kaki lima di Kota Bogor menyatakan bahwa pengetahuan sebagian besar pedagang berada dalam kategori sangat tinggi, sedangkan sikap berada pada kategori tinggi, keterampilan berada dalam kategori rendah, dan perilaku wirausaha berada dalam kategori tinggi. Unsur-unsur perilaku wirausaha yang dominan terhadap perilaku wirausaha pedagang adalah pengetahuan dan sikap wirausaha pedagang martabak itu sendiri. Karakteristik pedagang yang mempengaruhi perilaku wirausaha pedagang martabak manis adalah jumlah tanggungan keluarga dan lama berdagang. Sehingga semakin banyak tanggungan keluarga maka semakin tinggi perilaku wirausaha yang dimiliki pedagang. Demikian halnya dengan lama berdagang, semakin lama pedagang berdagang maka semakin tinggi perilaku wirausahanya. Yuliandini (2000) menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku kewirausahaan pedagang bakso sapi keliling di Kota Bogor. Faktot-faktor tersebut diantaranya pendidikan, pengalaman usaha, motivasi, dan lokasi usaha. Faktor tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku kewirausahaan dengan nilai F = 35.24 pada taraf signifikasi 0.01. Satya (2010) menyebutkan bahwa sikap dan norma subyektif bersama-sama berpengaruh terhadap peningkatan intensi untuk menjadi wirausaha sukses. Penelitian yang dilakukan oleh Warnaningsih (2011) menerangkan bahwa sikap kewirausahaan menjadi tidak berpengaruh terhadap keberhasilan usaha jika tidak diwujudkan dalam tindakan secara nyata. Dominasi pengambilan keputusan dan pengelolaan pada beberapa pihak, adanya peraturan yang mengikat, kewajiban mengutamakan kepentingan bersama, serta dukungan pemerintah membatasi anggota secara individu untuk melakukan pengembangan usaha secara mandiri dengan sikap-sikap kewirausahaan yang dimiliki. Penelitian terhadap usaha tempe sebelumnya menyebutkan bahwa permasalahan yang dihadapi pengrajin tahu dan tempe dalam mengembangkan usahanya adalah kurangnya fasilitas permodalan, keterbatasan jejaring pemasaran, rendahnya tingkat produktifitas, kualitas sumber dayapengrajin yang rendah, peran kelembagaan kurang optimal (Murhardjani 2004).
7
KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis Wirausaha Wirausaha merupakan kelompok orang istimewa karena dari merekalah sumber inovasi dan ide-ide kreatif datang. Untuk mengetahui lebih jauh tentang kewirausahaan Sudjatmoko (2009) menjelaskan bahwa secara etimologi, wirausaha berasal dari bahasa sansekerta, yaitu wira dan usaha. Wira berarti manusia unggul, teladan, berbudi luhur, berjiwa besar, berani, pahlawan kemajuan, dan memiliki keagungan watak. Usaha berarti upaya yang dilakukan untuk mendapatkan manfaat atau keuntungan. Sedangkan wiraswasta juga berasal dari bahasa sangsekerta yang terdiri dari kata wira, swa, dan sta. Wira berarti manusia unggul, teladan, berbudi luhur, berjiwa besar, berani, pahlawan kemajuan, dan memiliki keagungan watak. Swa berarti sendiri dan sta berarti berdiri. Dalam berbagai tulisan terdapat istilah yang saling bergantian antara wiraswasta dan wirausaha. Terdapat pandangan yang menyatakan bahwa wiraswasta sebagai pengganti dari entrepreneur. Ada juga pandangan istilah entrepreneur digunakan wirausaha, sedangkan untuk istilah entrepreneurship untuk kewirausahaan. Akhirnya disimpulkan bahwa wiraswasta sama dengan wirausaha. Wirausaha merupakan istilah yang berasal dari bahasa Perancis entrepreneur kemudian diterjemahan ke dalam bahasa Inggris dengan arti between taker atau go-between. Pengertian wirausaha menurut Joseph Schumpeter adalah Entrepreneur as the person who destroys the existing economic order by introducing new products and services, by creating new forms of organization, or by exploiting new raw materials (Bygrave 1994). Jadi menurut Joseph, Entrepreneur atau wirausaha adalah orang yang mendobrak sistem ekonomi yang ada dengan memperkenalkan barang dan jasa yang baru. Orang tersebut melakukan usahanya melaluiorganisasi bisnis yang baru ataupun bisnis yang sudah ada (Alma 2010). Lebih lanjut Alma juga menjelaskan bahwa terdapat perbedaan fokus antara keduanya. Wiraswasta lebih fokus pada objek, ada usaha yang mandiri, sedangkan wirausaha lebih menekankan pada jiwa, semangat, kemudian diaplikasikan dalam segala aspek kehidupan. Wirausaha pada prinsipnya memiliki makna yang khas yaitu mencerminkan karakter yang tekun dan giat dalam bekerja atau berusaha, mampu mengambil prakarsa dari peluang usaha dengan mengandalkan kemampuan orang lain, berani mengambil resiko kerugian atau kegagalan tanpa harus putus asa namun bertindak sebagai motivator dan inovator (Pambudy 1999). Secara sederhana arti wirausahawan adalah orang yang memiliki jiwa berani mengambil risiko untuk membuka usaha dalam berbagai kesempatan (Kasmir 2006). Alma (2010) menyebutkan bahwa wirausaha (entrepreneur) memiliki karakteristik sebagai berikut : 1. Memiliki disiplin tinggi 2. Selalu awas terhadap tujuan yang hendak di capai 3. Selalu mendengarkan rasa intuisinya 4. Sopan pada orang lain 5. Mau belajar apa saja yang memudahkan ia mencapai tujuan
8 6. 7. 8. 9.
Mau belajar dari kesalahan Selalu mencari peluang baru Memiliki ambisi, berpikiran positif Senang menghadapi resiko dengan membuat perhitungan yang matang sebelumnya BN. Marbun (1993) menyebutkan bahwa untuk menjadi seorang wirausahawan harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
Ciri-ciri Percaya diri
Berorientasikan dan hasil
Tabel 3 Ciri-ciri wirausaha menurut Marbun Watak 1. Kepercayaan (Keteguhan) 2. Ketidaktergantungan, kepribadian mantab 3. Optimism tugas
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Haus akan prestasi Berorientasi laba atau hasil Tekun dan tabah Tekad, kerja keras, motivasi Energik Penuh inisiatif
Pengambil resiko
1. Mampu mengambil resiko 2. Suka pada tantangan
Kepemimpinan
1. Mampu memimpin 2. Dapat bergaul dengan orang lain 3. Menanggapi saran dan kritik
Keorisinilan
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Berorientasi ke masa depan
1. Pandangan ke depan 2. Perseptif
Inovatif Kreatif Fleksibel Banyak sumber Serba bisa Mengetahui banyak
Manurung (2006) juga menjelaskan bahwa wirausaha mempunyai empat karakteristik yang meliputi hal-hal sebagai berikut: (1) menjalankan sebuah bisnis yang mempunyai kemungkinan menghasilkan keuntungan; (2) berani menanggung resiko bisnis tersebut di masa mendatang; (3) bisnis yang sedang ditekuni akan mempunyai kesempatan bertumbuh; (4) perusahaan akan membuat inovasi dan terjadi kapitalisasi bisnis tersebut. Kasmir (2006) juga menyebutkan bahwa terdapat ciri wirausha yang berhasil yaitu :
9 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Memiliki visi dan tujuan yang jelas Inisiatif dan selalu proaktif Berorientasi pada prestasi Berani mengambil resiko Kerja keras Bertanggung jawab Komitmen yang tinggi Mengembangkan dan memelihara hubungan baik dengan berbagai pihak.
Perilaku Wirausaha Kurt Lewin (1951, dalam Brigham 1991) merumuskan suatu model perilaku (B) adalah fungsi karakteristik individu (P) dan lingkungan (E). Yaitu ) B= ( Model tersebut menggambarkan bahwa prilaku dapat terbentuk karena dua unsur yaitu karakteristik individu dan lingkungannya. Karakteristik individu meliputi berbagai variabel seperti motif, nilai-nilai, sifat kepibadian, dan sifat yang saling berinteraksi satu sama lain yang kemudian berinteraksi pula dengan faktor-faktor lingkungan dalam menentukan perilaku. Faktor lingkungan lebih besar dalam menentukan perilaku, bahkan kadang lebih besar dari karakteristik individu (Azwar 2013). Rakhmat (2003) menyatakan bahwa karaktersistik yang mempengaruhi perilaku manusia dapat dibedakan menjadi tiga komponen, yaitu : komponen afektif yang merupakan aspek emosional dari faktor sosiopsikologis, komponen kognitif yang berkaitan dengan aspek intelektual manusia yaitu tentang apa yang diketahui manusia, dan kompnen konaktif yang berhubungan dengan kebiasaan dan kemauan bertindak. Lunardi (1981) juga menyebutkan bahwa perilaku seseorang dipengaruhi oleh sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang dimilikinya serta dalam hal tertentu dipengaruhi juga oleh material yang tersedia (Gambar 1).
Perilaku
Sikap
Pengetahuan
Keterampilan
Material
Gambar 1 Unsur perilaku manusia Kast dan Rosenzweig (1995) berpendapat bahwa unsur perilaku terdiri atas perilaku yang tak tampak seperti pengetahuan (cognitive) dan sikap mental (affective), serta perilaku yang tampak seperti keterampilan (psychomotoric) dan tindakan nyata (action). Gabungan dari atribut biologis, psikologis dan pola perilaku aktual menghasilkan kepribadian (character) yakni kombinasi yang kompleks dari sifat-sifat mental, nilai-nilai, sikap kepercayaan, selera, ambisi, minat, kebiasaan, dan ciri-ciri lain yang membentuk suatu diri yang unik (unique self).
10 Lebih jauh lagi Bird (1996) menjelaskan bahwa terdapat empat elemen yang membentuk perilaku wirausaha yaitu: (1) faktor individu merupakan kondisi orang-orang yang ada dalam organisasi, (2) faktor organisasi menyangkut kondisi internal, keberadaan serta daya tahan lembaga tersebut, (3) faktor lingkungan merupakan faktor yang berada di luar organisasi dan dapat mempengaruhi keberadaan organisasi, dan (4) faktor proses, sebagai aktivitas kerja yang terjadi dalam organisasi termasuk terjadinya interaksi antara individu yang satu dengan yang lainnya. Pengetahuan Wirausaha Pengetahuan adalah kemampuan seseorang untuk mengingat-ingat kembali atau mengenali kembali tentang nama, istilah, ide, gejala, rumus-rumus, dan sebagainya, tanpa mengharapkan kemampuan untuk menggunakannya (Sudijono 2006). Pengetahuan akan mendukung dalam kinerja suatu usaha terutama pengetahuan yang berkaitan dengan keadaan usaha tersebut. Setidaknya seorang wirausaha harus memiliki pengetahuan terkait diri sendiri, barang yang diproduksi, dan keadaan pasar yang dituju. Selain hal tersebut seorang wirausaha modern juga harus memiliki pengetahuan manajeral yang digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan usaha. Setidaknya terdapat empat fungsi manajemen yaitu planning (perencanaan), organizazing (mengatur organisasi) ,coordinating (koordinasi), dan controlling (pengawasan) (Alma 2008). Perencanaan diperlukan agar pengusaha dapat fokus dalam mencapai keberhasilan yang ditargetkan, organisasi diperlukan agar terjadi kerjasama yang solid antata pemilik dengan karyawannya. Koordinasi juga diperlukan agar tidak terjadi salah paham antar karyawan dan majikan selanjutnya pengawasan diperlukan untuk mengontrol setiap kinerja dari perusahaan tersebut. Sikap Wirausaha Beberapa pakar mengatakan bahwa sikap seseorang dapat diramalkan perubahannya bila seseorang telah memiliki penguasaan kognitif tingkat tinggi. Sikap merupakan respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus. Lima pengertian sikap menurut Rakhmat (2001) yaitu: Pertama, sikap adalah kecenderungan bertindak, berpersepsi, berpikir, dan merasa dalam menghadapi objek, ide, situasi, atau nilai. Objek sikap boleh berupa benda, orang, tempat, gagasan atau situasi, atau kelompok. Kedua, sikap mempunyai daya penolong atau motivasi. Sikap bukan sekedar rekaman masa lalu, tetapi juga menentukan apakah orang harus pro atau kontra terhadap sesuatu, menentukan apa yang disukai, diharapkan, dan diinginkan, dan apa yang harus dihindari. Ketiga, sikap lebih menetap. Berbagai studi menunjukkan sikap politik kelompok cenderung dipertahankan dan jarang mengalami perubahan. Keempat, sikap mengandung aspek evaluatif, artinya mengandung nilai menyenangkan atau tidak menyenangkan. Kelima, sikap timbul dari pengalaman, tidak dibawa sejak lahir, tetapi merupakan hasil belajar. Maka dari itu sikap dapat diperteguh atau diubah. Menurut Suharyadi et al (2006) seorang wirausahawan memiliki sikap yang dapat dilihat dari kegiatannya sehari-hari, yaitu sebagai berikut ; 1. Disiplin Dalam menjalankan kegiatannya seorang wirausahawan harus memiliki kedisiplinan yang tinggi. Arti kata disiplin tersebut adalah ketepatan komitmen
11 wirausahawan terhadap tugas dan pekerjaannya. Ketepatan yang dimaksud bersifat menyeluruh, yaitu ketepatan terhadap waktu kualitas, sistem kerja dan sebagainya. Ketepatan waktu dapat dibina dengan berusaha menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan waktu yang direncanakan. Ketaatan wirausaha akan kesepakatan-kesepakatan yang dibuatnya adalah contoh dari kedisiplinan kualitas pekerjaan dan sistem kerja. 2. Komitmen tinggi Komitmen adalah kesepakatan mengenai sesuatu yang telah dibuat seseorang, baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain. Komitmen terhadap dirinya sendiri dapat dibuat dengan mengidentifikasi cita-cita, harapan dan targettarget yang direncanakan dalam hidupnya. Contoh sikap komitmen wirausahawan terhadap orang lain terutama konsumennya adalah pelayanan prima yang berorientasi pada kepuasan konsumen, kualitas produk yang sesuai dengan harga produk yang ditawarkan dan sebagainya. 3. Jujur Kejujuran merupakan landasan moral yang terkadang dilupakan oleh seorang wirausahawan. Kejujuran mengenai karakteristik produk yang ditawarkan, kejujuran mengenai promosi yang dilakukan, kejujuran mengenai pelayanan purna jual yang dijanjikan, dan kejujuran mengenai segala kegiatan yang terkait dengan penjualan produk yang dilakukan oleh wirausahawan. 4. Kreatif dan inovatif Seseorang wirausahawan harus memiliki kreatifitas yang tinggi untuk memenangkan persaingan. Daya kreatifitas tersebut sebaiknya dilandasi oleh cara berfikir yang maju dan dipenuhi oleh gagasan-gagasan baru yang berbeda dengan produk yang telah ada di pasaran. 5. Mandiri Seseorang dikatakan mandiri jika orang tersebut dapat melakukan keinginan dengan baik tanpa adanya ketergantungan pada pihak lain dalam mengambil keputusan atau tindakan, termasuk mencukupi kebutuhan hidupnya tanpa adanya ketergantungan pihak lain. 6. Realistis Seseorang dikatakan realistis bila orang tersebut mampu menggunakan fakta atau realita sebagai landasan berfikir yang rasional dalam setiap pengambilan keputusan maupun tindakan atau perbuatannya. Keterampilan Wirausaha Dalam kamus besar bahasa Indonesia keterampilan diartikan sebagai kecakapan untuk menyelesaikan tugas. Dengan pengertian tersebut maka keterampilan wirausaha adalah kecakapan yang dimiliki seseorang untuk menyelesaikan tugasnya dalam menjalankan usahanya. Keterampilan berhubungan dengan kerja fisik anggota badan terutama tangan, kaki dan mulut (suara) untuk bekerja (Pambudy 1999). Dalam menganalisis keterampilan untuk mengelola sebuah usaha produksi maka secara umum keterampilan yang harus dimiliki adalah keterampilan teknis dan manajerial yang berhubungan dengan usaha tersebut. Keterampilan teknis meliputi kemampuan membuat produk, memasarkan produk dan sebagainya. Sedangkan keterampilan manajerial meliputi perencanaan usaha, keuangan,
12 mengelola SDM dan sebagainya. Sebagaimana yang disampaikan oleh Wibowo (2002) bahwa sukses tidaknya suatu usaha pada dasarnya tidak tergantung pada besar kecilnya ukuran usaha, tetapi lebih dipengaruhi oleh bagaimana mengelolanya. Kelemahan yang sering dijumpai pada usaha kecil yang gagal adalah dalam keorganisasian, keuangan, administrasi, pembukuan, dan pemasaran. Sehingga diperlukan keterampilan tersebut agar usaha dapat berjalan dengan baik. Kinerja Usaha Kinerja merupakan salah satu langkah yang digunakan untuk mengukur keberhasilan suatu usaha (Riyanti 2003). Kinerja dapat didefinisikan sebagai tingkat pencapaian hasil atau tujuan suatu perusahaan atau organisasi. Kinerja sebuah organisasi dapat diukur dengan memperhatikan tiga hal, yaitu produktivitas, yang diukur melalui perubahan output kepada perubahan disemua sektor input, perubahan ditingkat kepegawaian, dan rasio finansial. Menurut Day (1990), performance outcomes (kinerja) perusahaan meliputi: (1) satisfaction (kepuasan) artinya semakin banyak pihak-pihak yang merasa terpuaskan oleh keberadaan perusahaan itu, seperti pelanggan, pemilik saham, karyawan, pemberi pijaman, pemasok dan pemerintah; (2) loyality (loyalitas), menyangkut kesetiaan pelanggan terhadap produk yang dihasilkan oleh perusahaan sehingga mereka tidak berpindah dalam pembelian pada produk perusahaan lain; (3) market share (pangsa pasar), dalam hal ini sejauh mana perusahaan tersebut mampu untuk terus meningkatkan dan memperluas pangsa pasarnya bahkan mampu menjadi pemimpin pasar; dan (4) profitability (peningkatan pendapatan), suatu perusahaan dikatakan berhasil dalam usahanya dan menunjukkan kinerja yang baik jika secara bertahap terus memperlihatkan peningkatan profit yang signifikan. Selanjutnya Day menyebutkan bahwa performance outcomes yang menunjukkan tercapainya pertumbuhan dan keuntungan dipengaruhi oleh positions of advantage yang meliputi: nilai pelanggan yang superior dan biaya yang relatif rendah. Selain itu positions of advantage juga menentukan sources of advantage yang meliputi: keahlian yang superior, sumber-sumber yang superior dan sistem kendali yang superior. Namun demikian sources of advantage akan terwujud bila ada investasi terus-menerus yang diambil dari performance outcomes. Riyanti (2003) mengemukakan bahwa kriteria kinerja usaha kecil menunjukkan peningkatan dalam akumulasi modal, jumlah produksi, jumlah pelanggan, perluasan usaha, dan perbaikan sarana fisik. Di samping itu kepuasan kerja juga dapat menjadi salah satu tolok ukur kinerja karena kepuasan kerja merupakan prakondisi bagi tingkat produktivitas, tanggung jawab, kualitas dan customer service. Lebih lanjut perusahaan yang berkembang dan mampu merencanakan suksesi menurut Zimmerer dan Scarborough (2005) ditentukan oleh (1) kepemimpinan dalam perekonomian baru, artinya wirausahawan harus mampu mempengaruhi dan memberikan semangat pada orang lain untuk bekerja dalam mencapai tujuan perusahaan dan kemudian memberikan mereka kekuasaan dan kebebasan dalam mencapainya. Selain itu wirausahawan juga harus mampu bertindak tepat dalam menghadapi segala kemungkinan perubahan perekonomian; (2) mempekerjakan karyawan yang tepat, dalam hal ini menerima karyawan baru merupakan hal yang penting. Untuk menghindari kesalahan penerimaan
13 wirausahawan harus mengembangkan deskripsi pekerjaan dan spesifikasi yang berarti, merencanakan dan melaksanakan wawancara yang efektif dan memeriksa referensi sebelum menerima karyawan manapun; (3) membentuk budaya dan struktur organisasi secara tepat. Budaya perusahaan adalah kode pelaksanaan khusus dan tak tertulis yang mengatur tingkah laku, sikap, hubungan, dan gaya organisasi. Budaya timbul dari pencarian tatanan nilai inti yang konsisten oleh wirausahawan yang dipercaya semua orang dalam perusahaan tersebut; dan (4) mengatasi tantangan dalam memotivasi pekerja. Pengrajin Tempe Tempe merupakan makanan tradisional yang telah lama dikenal di Indonesia. Menurut Cahyadi (2009) tempe adalah makanan yang dihasilkan dari proses fermentasi kapang golongan Rhizopus. Pembuatan tempe membutuhkan bahan baku kedelai. Melalui proses fermentasi, komponen-komponen nutrisi yang kompleks pada kedelai dicerna oleh kapang dengan reaksi enzimatis dan dihasilkan senyawa-senyawa yang lebih sederhana. Pengrajin tempe merupakan orang-orang yang menjalankan usaha pembuatan tempe baik usaha tersebut milik sendiri maupun hanya sebagai buruh. Para pengrajin ini kebanyakan menjalankan usahanya hanya untuk menguasai pasar regional di tingkat desa, kecamatan dan paling besar lingkup kabupaten. Hal ini dikarenakan umur simpan tempe yang tidak begitu lama serta banyaknya pengusaha tempe yang ada di masing-masing daerah.
Kerangka Pemikiran Operasional Grobogan sebagai kabupaten yang memiliki potensi besar dalam memproduksi kedelai berdampak juga terhadap perilaku masyarakat yang ada di dalamnya. Sebagian besar penduduknya memang bermatapencaharian sebagai petani, namun ada sebagian orang yang melihat peluang besar potensi daerahnya berprofesi sebagai pengusaha. Pengusaha yang memanfaatkan kekayaan alam berupa kelimpahan kedelai ini salah satunya adalah pengrajin tempe. Dalam penelitian ini akan dikaitkan antara perilaku wirausaha pengrajin tempe di Kabupaten Grobogan dengan kinerja usaha yang dilakukannya. Perilaku manusia sebagaimana pendapat Kurt Lewin (1951, dalam Brigham, 1991) adalah fungsi dari faktor internal berupa karakteristik individu dan faktor eksternal berupa keadaan lingkungan. Berdasarkan berbagai teori dari para ahli yang telah disampaikan sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa dalam menganalisis perilaku setidaknya harus ada tiga aspek yaitu pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Selanjutnya dari setiap aspek akan dijabarkan menjadi lebih luas untuk ditanyakan kepada responden berupa pertanyaan terbuka ataupun tertutup. Pengetahuan wirausaha tempe ditanyakan kepada responden dengan mengacu pada pengetahuan tentang manajerial dan pengetahuan teknis dalam menjalankan usaha tempe. Sikap wirausaha yang menjadi bahan penelitian adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh suharyadi et al (2006) yaitu disiplin, komitmen tinggi, jujur, kreatif dan inovatif, mandiri, realistis. Sedangkan untuk mengukur keterampilan wirausaha hal yang diukur adalah keterampilan dalam
14 memproduksi tempe, keterampilan memasarkan produk, serta keterampilan dalam mengatur keuangan. Ketiga hal tersebut diperoleh setelah melakukan pengamatan lapang dan merupakan keterampilan minimal yang harus dimiliki oleh pengrajin tempe agar usahanya dapat berjalan dengan baik. Selanjutnya untuk mengetahui kinerja usaha para pengrajin tempe di Kabupaten Grobogan digunakan pendekatan dengan teori yang dijelaskan oleh Day (1990), dimana kinerja suatu perusahaan dapat dilihat dari hal-hal berikut yaitu : (1) satisfaction (kepuasan) artinya semakin banyak pihak-pihak yang merasa terpuaskan oleh keberadaan perusahaan itu. Hal ini dapat berimplikasi pada penambahan jumlah pelanggan yang akan membeli produk dari perusahaan tersebut yang dalam penelitian ini adalah pelanggan dari pengrajin tempe; (2) loyality (loyalitas), menyangkut kesetiaan pelanggan terhadap produk yang dihasilkan oleh perusahaan sehingga mereka tidak berpindah dalam pembelian pada produk perusahaan lain; (3) market share (pangsa pasar), dalam hal ini sejauh mana perusahaan tersebut mampu untuk terus meningkatkan dan memperluas pangsa pasarnya bahkan mampu menjadi pemimpin pasar; dan (4) profitability (peningkatan pendapatan). Ukuran kinerja usaha kemudian dikelompokkan dalam dua kategori yaitu peningkatan usaha dan penerimaan usaha. Secara sederhana kerangka pemikiran tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.
METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Grobogan. Pemilihan lokasi dilakukan dengan pertimbangan bahwa Kabupaten Grobogan merupakan daerah sentra penghasil kedelai sebagai bahan baku pembuatan tempe di Jawa Tengah. Pengambilan data lapang dilakukan pada bulan Februari dan Maret 2014.
Rancangan Penelitian Penelitian ini berusaha menganalisis tentang perilaku wirausaha pengrajin tempe di Kabupaten Grobogan dan hubungannya terhadap kinerja usaha yang dijalankannya. Maka dari itu, metode yang digunakan adalah deskriptif metode survei. Nazir (2003) menyebutkan bahwa metode survei adalah penyelidikan yang diadakan untuk memperoleh fakta-fakta dari gejala yang ada dan mencari keterangan secara faktual, baik tentang institusi sosial, ekonomi, atau politik dari suatu kelompok ataupun suatu daerah. Survei dilakukan dengan mendatangi langsung para pengrajin tempe ke tempat berproduksi kemudian mewawancarai pengrajin dengan kuesioner yang telah disiapkan.
15 Kabupaten Grobogan sebagai kabupaten pemasok kedelai di Jawa Tengah Pengrajin tempe mampu menguasai pesar di kabupaten/kota sekitar Perilaku Wirausaha
Pengetahuan Wirausaha 1. Pengetahuan Teknis 2. Pengetahuan manajerial
Sikap Wirausaha 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Disiplin Komitmen tinggi Jujur Kreatif dan inovatif Mandiri Realistis
Keterampilan Wirausaha 1. Berproduksi 2. Memasarkan produk 3. Mengelola keuangan
Kinerja Usaha 1. Pertumbuhan usaha 2. Penerimaan usaha
Kesejahteraan pengusaha Gambar 2 Kerangka pemikiran operasional
Populasi dan Sampel Populasi adalah jumlah keseluruhan dari unit analisis yang akan diduga. Dalam hal ini maka yang menjadi populasi penelitian adalah seluruh pengrajin tempe yang berada di Kabupaten Grobogan. Sedangkan sampel adalah bagian suatu subjek atau objek yang mewakili populasi. Pada penelitian ini jumlah sampel yang diambil sebanyak 31 orang pengrajin tempe. Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah Purposive Sampling yaitu pengambilan sampel dengan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah seluruh pengrajin tempe yang berada di Dusun Pedak Desa Menduran Kecamatan Brati. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa Dusun Pedak adalah salah satu daerah sentra
16 pengrajin tempe yang ada di Kabupaten Grobogan. Selain itu juga dipilih satu orang sampel yang memiliki usaha tempe percontohan yaitu ketua PRIMKOPTI Kabupaten Grobogan.
Instrumen Pengukuran Peubah Instrumen penelitian merupakan suatu alat yang digunakan untuk mengukur dan memperoleh data terhadap variabel penelitian yang dipermasalahkan. Dalam ilmu sosial instrumen penelitian berupa pertanyaan yang disertai jawaban alternatif atau tanpa jawaban alternatif (Tika 2006). Secara ringkas instrumen yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel 4. Tabel 4 Kisi-kisi instrumen penelitian Variabel
Sub variable
Perilaku wirausaha (X)
1. Pengetahuan
2. Sikap
3. Keterampilan
Kinerja usaha (Y)
1. Pertumbuhan usaha
2. Penerimaan usaha
Indikator
Jumlah Item
a. Pengetahuan teknis b. Pengetahuan manajerial a. Disiplin b. komitmen tinggi c. jujur d. kreatif dan inovatif e. mandiri f. realistis a. produksi b. memasarkan produk c. mengatur keuangan
10 10
a. Peningkatan pelanggan b. Loyalitas pelanggan c. Perluasan pangsa pasar d. Peningkatan keuntungan
2
a. Jumlah produksi/hari (kg) x harga per Kg
1
5 5 4 5 5 4 4 5 4
1 3 2
17
Uji Validitas dan Reliabilitas Validitas menunjukkan sejauh mana alat pengukuran yang digunakan mampu mengukur apa yang ingin diukur. Selanjutnya reliabilitas menunjukkan sejauh mana hasil pengukuran yang digunakan relatif konsisten jika pengukuran diulang beberapa kali. Uji validitas dan reliabilitas merupakan suatu yang penting dalam penelitian sosial untuk menunjukkan ketepatan dan kekonsistenan dari kuesioner yang dipakai sehingga dapat meyakinkan bagi pembacanya dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Uji validitas pada penelitian ini diukur dengan menggunakan Product momen person yang dijalankan melalui software SPSS 16.0. Instrumen dikatakan valid jika jika r hitung > 0.361 dengan responden 30 orang. Dari hasil tersebut terdapat pertanyaan yang ternyata tidak valid, sehingga beberapa pertanyaan dalam kuesioner perlu dihilangkan. Sedangkan uji reliabilitas menggunakan Cronbach’s Alpha dimana instrument dikatakan reliabel jika nilai Cronbach's Alpha > 0.6. kedua jenis pengujian tersebut dijalankan dengan menggunakan software SPSS 16.0. Hasil dari uji reliabilitas dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Hasil uji reliabilitas kuesioner Instrumen
Cronbach's Alpha
Keterangan
Sikap wirausaha Keterampilan wirausaha Kinerja usaha Keseluruhan
0.867 0.680 0.857 0.918
Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel
Pengumpulan Data Data adalah sekumpulan bukti atau fakta yang dikumpulkan dan disajikan untuk tujuan tertentu. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dengan cara menyebarkan kuesioner serta wawancara langsung kepada pengrajin tempe yang ada di Kabupaten Grobogan. Wawancara dilakukan dengan langsung menemui responden yang sedang di rumah dan membuat janji terlebih dulu dengan para responden yang sedang tidak di tempat. Wawancara dilakukan dengan berpedoman pada kuesioner yang telah dibuat sebelumnya. Pertanyaan meliputi pertanyaan terbuka dan pertanyaan tertutup. Sedangkan data sekunder diperoleh dari berbagai instansi pemerintahan Kabupaten Grobogan seperti BPS, Dinas Perdagangan dan Perindustrian, dan Primkopti Kabupaten Grobogan serta instansi lain yang diperlukan untuk data penelitian.
18 Metode Analisis Data Metode pengolahan data dilakukan dengan dua pendekatan yaitu analisis statistik deskriptif dan analisis korelasi Pearson. Analisis statistik deskriptif merupakan analisis yang digunakan untuk menjelaskan keseluruhan data yang telah diperoleh sehingga dapat lebih mudah untuk dipahami. Analisis mampu menjelaskan berbagai karakteristik data seperti rata-rata (mean), jumlah (sum) simpangan baku (standard deviation), varians (variance), rentang (range), nilai minimum dan maksimum dan sebagainya. Pada penelitian ini Analisis Deskriftif digunakan untuk menjelaskan karakteristik pengrajin tempe termasuk perilaku dan kinerja usahanya. Analisis dijalankan dengan menggunakan software Microsoft Exel 2010. Korelasi merupakan angka yang menunjukkan arah dan kuatnya hubungan antara dua peubah atau lebih, arah dinyatakan dalam bentuk hubungan positif atau negatif. Kuatnya hubungan dinyatakan dalam besarnya koefisien korelasi (Sugiyono 2007). Analisis Korelasi Person digunakan untuk melihat hubungan antara dua variabel yang kedua variabel tersebut memiliki jenis data berbentuk interval/rasio. Selain itu Nugroho juga menjelaskan bahwa jika sample data lebih dari 30 dan kondisi normal sebaiknya menggunakan korelasi person (karena memenuhi asumsi parametrik). Formula perhitungan korelasi ini ditemukan pertama kali oleh Karl Pearson dan sering disebut juga sebagai Moment Coefficient Correlation (Koefisien Korelasi Produk Moment). Teknik korelasi ini paling banyak digunakan pada penelitian sosial dengan angka korelasi yang disebut sebagai koefisien korelasi dinyatakan dalam lambang r. Model yang digunakan dalam analisis ini adalah sebagai berikut : ∑( ) √( )(( ) Hipotesis yang digunakan adalah sebagai berikut : H0 : Korelasi antara dua variabel adalah sama dengan 0 H1 : Korelasi antara dua variabel adalah tidak sama dengan 0 Menurut Nugroho (2005) hasil dari perhitungan r tersebut kemudian dapat diinterpretasikan dengan pengelompokan keeratan sebagaimana yang terdapat dalam Tabel 6 sebagai berikut: Tabel 6 Interpretasi keeratan nilai r R
Interpretasi
0.00-0.20 0.21-0.40 0.41-0.70 0.71-0.90 0.91-0.99 1
Sangat lemah Lemah Kuat Sangat kuat Sangat kuat sekali Korelasi sempurna
19
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Keadaan Geografis Kabupaten Grobogan adalah salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah dengan lahan pertanian yang luas. Ibu kota kabupaten berada di Kelurahan Purwodadi Kecamatan Purwodadi. Secara geografis, wilayah Kabupaten Grobogan terletak di antara 110o15’ BT – 111o25’ BT dan 7o LS - 7o30’ LS dengan kondisi tanah berupa daerah pegunungan kapur, perbukitan, dan dataran di bagian tengahnya. Wilayah Kabupaten Grobogan terletak di antara dua pegunungan Kendeng yang membujur dari arah barat ke timur, dan berbatasan dengan : Sebelah Barat :Kabupaten Semarang dan Demak. Sebelah Utara :Kabupaten Kudus, Pati dan Blora. Sebelah Timur :Kabupaten Blora. Sebelah Selatan :Kabupaten Ngawi, Sragen, Boyolali, dan Kabupaten Semarang. Berdasarkan hasil Evaluasi Penggunaan Tanah (EPT) tahun 1983 Kabupaten Grobogan mempunyai luas 1975.86 Ha dan merupakan kabupaten terluas nomor 2 di Jawa Tengah setelah Kabupaten Cilacap. Jarak dari utara ke selatan ± 37 km dan jarak dari barat ke timur ± 83 km. Secara administratif Kabupaten Grobogan terdiri dari 273 desa dan 7 kelurahan yang tersebar di 19 kecamatan yaitu Kedungjati, Karangrayung, Penawangan, Toroh, Geyer, Pulokulon, Kradenan, Gabus, Ngaringan, Wirosari, Tawangharjo, Grobogan, Purwodadi, Brati, Klambu, Godong, Gubug, Tegowanu, Tanggungharjo. Kecamatan terbesar adalah Kecamatan Geyer dengan luas 196.19 Km² (9.9%), sedangkan yang terkecil Kecamatan Klambu dengan luas 46.56 Km² (2.2%) dengan Ibukota kabupaten terletak di Kecamatan Purwodadi.
Keadaan Demografis Penduduk Kabupaten Grobogan pada akhir tahun 2012 menurut data dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil berjumlah 1.433.361 jiwa. Dibandingkan dengan kondisi akhir tahun 2011 (yang tercatat sebesar 1.423.261 jiwa) terdapat penambahan penduduk sebanyak 10.100 jiwa atau 0.71% (BPS 2013). Dari hasil angka registrasi diperoleh rasio jenis kelamin penduduk Kabupaten Grobogan sebesar 98.60. Hal ini menggambarkan bahwa jumlah penduduk wanita lebih banyak dari pada penduduk laki-laki. Penduduk Kabupaten Grobogan, sebagian besar tinggal di daerah pedesaan. Sesuai potensi daerah yang agraris maka mata pencaharian penduduk Kabupaten Grobogan sebagian besar bekerja di bidang pertanian, baik sebagai buruh tani atau petani penggarap. Sedangkan sebagian lainnya bekerja sebagai Pegawai, pedagang, dan lain‐lain. Adapun komposisi jenis pekerjaan penduduk Kabupaten Grobogan menurut BPS 2013 tercatat bahwa yang bekerja di bidang pertanian mencapai 52.5%, diikuti bidang perdagangan 17.4%, angkutan 8.6%, dan sisanya berada pada sector jasa, perkebunan, industry, perikanan, dan sebagainya.
20
Keadaan Ekonomi Sebagai daerah pertanian terluas ke dua di Jawa Tengah ternyata tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pendapatan penduduknya. Minimnya lapangan kerja serta kurang berpihaknya pemerintah terhadap pertanian menjadikan keadaan ekonomi masyarakat di Kabupaten Grobogan sebagian besar masih berada pada golongan menengah ke bawah. Hal ini terlihat dari jumlah penduduk miskin yang berada di Grobogan (Tabel 7). Namun tingkat kemiskinan yang terjadi di Kabupaten Grobogan setiap tahun mengalami penurunan. Pada tahun 2010 penduduk miskin sebesar 17.86 % kemudian menurun pada tahun 2012 menjadi 16.13 % dari total penduduk sebesar 1.433.361 jiwa. Hal ini disebabkan oleh pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah daerah telah berjalan dengan baik sehingga masyarakat dapat merasakan langsung dampak dari adanya program tersebut. Tabel 7 Perkembangan penduduk miskin di Kabupaten Grobogan tahun 20102012 URAIAN Penduduk Miskin (%) Penduduk Miskin (jiwa) Total Penduduk (jiwa)
2010 17.86 252.422 1.413.336
2011
2012
2013*)
17.38 247.363 1.423.261
16.13 231.201 1.433.361
Sumber : Bappeda Kabupaten Grobogan 2013
Berdasarkan pertumbuhan PDRB Kabupaten Grobogan Tahun 2010-2013 dapat dikatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Kabupaten Grobogan Tahun 2013 mengalami pertumbuhan positif. Hal ini ditunjukkan dari pertumbuhan PDRB atas dasar harga berlaku sebesar 11.04 dan atas dasar harga konstan sebesar 4.59. Hal ini ditunjukkan dari angka pertumbuhan PDRB dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2013 sebagaimana terlihat dalam Tabel 8. Tabel 8 Pertumbuhan PDRB Kabupaten Grobogan tahun 2010-2013 PDRB
Tahun 2010
Tahun 2011
Tahun 2012
Tahun 2013
Atas Dasar Harga Berlaku Atas Dasar Harga Konstan
12.75 5.05
9.88 3.59
12.66 6.16
11.04 4.59
Sumber : Grobogan.co.id (data tahun 2013 merupakan angka sementara)
Potensi Daerah Pertanian lekat dengan Kabupaten Grobogan, kabupaten ini pun dikenal sebagai lumbung padi nasional, bahkan sebagai tempat lahirnya varietas tanaman jenis baru. Sebagian besar penduduknya (±53%) menggantungkan hidupnya pada
21 bidang pertanian ini dan kontribusi terbesar terhadap PDRB Kabupaten Grobogan juga berasal dari lapangan usaha tersebut. Namun sayangnya, petani di Kabupaten cenderung terfokus pada produksi pertanian saja. Hampir seluruh hasil pertaniannya berlarian ke luar wilayah masih dalam bentuk hasil produksi. Produk unggulan adalah produk yang mempunyai keunggulan dari segi produksi, kontinuitas dan daya saing sehingga diterima oleh masyarakat dan menarik investor. Sesuai kondisi geografis/potensi wilayah yang ada, produk unggulan di Kabupaten Grobogan adalah padi, jagung, kedelai, dan batu kapur, mebel serta genteng press. Salah satu potensi yang dapat dikejar dari Grobogan adalah menjadi pemasok kedelai di Jawa Tengah. Hal ini dikarenakan produktivitas kedelai di Kabupaten Grobogan sangatlah tinggi dibanding kota/kabupaten lain di Jawa Tengah. Produksi kedelai di Kabupaten Grobogan dari tahun ke tahun dapat dilihat dalam Tabel 9 berikut. Tabel 9 Produksi kedelai di Kabupaten Grobogan tahun 2009-2012 No 1 2 3 4
Tahun
Produksi (ton)
2009 2010 2011 2012
46341 78164 14899 65114
Luas lahan (ha) 18604 32893 7350 27170
Sumber : BPS Kab. Grobogan 2013
Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa produksi kedelai di Kabupaten Grobogan berfluktuasi dari tahun ke tahun. Produksi tertinggi terjadi pada tahun 2010 yang mencapai 78.160 ton. Fluktuasi tersebut dikarenakan bebagai hal diantaranya harga yang tidak stabil dan keadaan alam berupa hama dan penyakit. Harga yang rendah membuat petani kedelai beralih ke berbagai jenis produk hortikultura lain yang memiliki harga relatif lebih konstan seperti jagung dan padi. Selain produk unggulan Kabupaten Grobogan juga memiliki produk andalan yaitu produk yang dapat diandalkan oleh suatu daerah karena banyak diusahakan oleh masyarakat setempat dan mempunyai prospek pasar yang cerah, diantaranya adalah sapi bibit, sale pisang, melon merah, kecap, paha katak, sarang burung wallet, dan kerajinan alat pertanian.
Keadaan Pengrajin Tempe Meskipun termasuk sentra penghasil kedelai, jumlah pengrajin tempe yang ada di Kabupaten Grobogan tidak terlalu banyak. Menurut data Dinas Perindustrian Kabupaten Grobogan setidaknya hanya terdapat 382 pengrajin tempe yang tersebar diberbagai Kecamatan diantaranya : Kecamatan Grobogan, Toroh, Geyer, Kradenan, Gabus, Ngaringan, Tawangharjo, Brati, Godong, Gubug, Karangrayung, Kedungjati, dan Tanggungharjo. Para pengrajin ini rata-rata termasuk ke dalam usaha kecil menengah dengan teknologi yang sederhana. Pengrajin tempe Kabupaten Grobogan telah membentuk Primer Koperasi Tahu dan Tempe Indonesia (Primkopti) sejak tahun 1983. Pembentukan Primkopti tersebut ditujukan untuk membantu para pengrajin tempe dalam mendapatkan
22 bahan baku kedelai yang sebagian besar berasal dari kedelai impor. Primkopti kemudian menjadi satu-satunya tempat penampungan kedelai impor yang selanjutnya dikirim ke berbagai daerah di Grobogan. Kendala terbesar yang dihadapi dalam pembuatan tempe menurut ketua Primkopti Grobogan adalah tenaga kerja dan pemasaran. Tenaga kerja dalam pembuatan tempe merupakan komponen yang sangat vital dalam menentukan kualitas dari tempe. Dijelaskan lebih lanjut bahwa pada saat perebusan tempe harus pas, jika terlalu lama maka hasilnya akan kurang bagus, begitu pula jika terlalu sebentar. Selain itu kebersihan dalam mencuci kedelai yang telah direbus juga ikut mempengaruhi rasa dan ketahanan dari tempe tersebut. Pemasaran menjadi suatu hal yang penting karena permintaan serta persaingan yang terjadi begitu besar. Sangat mudah bagi pelanggan untuk beralih ke pedagang yang lain jika pelayanan yang diberikan tidak memuaskan. Meskipun tempe sendiri dapat bertahan selama 3 hari dengan penyimpanan yang baik, namun harus diusahakan dalam satu hari harus sudah habis agar tidak menanggung risiko produk menjadi busuk. Penggunaan label pada plastik kemasan tempe pernah dilakukan oleh hampir seluruh pengrajin tempe dengan merek “Tempe Bersemi Grobogan”. Hal ini dilakukan karena kualitas dan rasa dari tempe produksi Grobogan sudah memiliki nama dipasar luar daerah. Namun belakangan nama tersebut dihapus oleh seluruh pengrajin lantaran terdapat oknum yang memproduksi tempe dengan hasil kurang baik.
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Pengrajin Tempe Responden pada penelitian ini adalah para pengrajin tempe yang ada di Dusun Pedak dan sekitarnya dengan pertimbangan bahwa di daerah tersebut terdapat banyak pengrajin tempe dari yang berproduksi rendah sampai tinggi serta memiliki daerah pemasaran yang cukup bervariasi. Umur Pada penelitian ini usia dibedakan menjadi 4 kategori sebagaimana yang dilakukan oleh penelitian terdahulu yaitu usia muda (17-30 tahun), uswia dewasa (31-40 tahun), tua (41-60 tahun) dan lanjut usia (>60 tahun). Dari keseluruhan responden yang dijadikan sampel sebanyak 12.90% pengrajin tempe di Kabupaten Grobogan adalah golongan muda. Para pemuda ini sebagian besar hanya melanjutkan usaha yang telah dijalankan oleh orang tua mereka. Usaha yang telah dilakukan oleh pendahulunya tetap dijalankan karena selain memiliki potensi yang baik membuat tempe juga merupakan sebuah keterampilan yang bisa diwariskan secara turun temurun. Sebanyak 9.68% pengrajin tempe yang ada di Grobogan didominasi oleh masyarakat dewasa. Para pengrajin yang memiliki usia dewasa sebagian besar adalah mereka yang menjalankan usahanya sebagai sambilan dikarenakan mereka
23 memiliki keterampilan lain dan pekerjaan sampingan lain seperti menggarap sawah, bekerja sebagai buruh bangunan serta bekerja sebagai pedagang. Usia tua adalah usia mayoritas pengrajin tempe di kabupaten ini yaitu sebanyak 70.97%. Mereka adalah masyarakat yang menjalankan usahanya mulai dari awal pendirian. Sehingga memiliki ikatan batin yang kuat untuk tetap menjalankan usaha tersebut. Hal ini juga disebabkan oleh kemampuan fisik mereka yang masih bugar serta kemampuan mereka yang semakin lihai dalam membuat tempe dengan racikan yang baik. Kelompok lanjut usia merupakan kelompok pengrajin tempe yang paling kecil atau bisa dikatakan minoritas. Hal ini disebabkan karena sebagian besar dari lansia telah mewariskan usaha yang dirintisnya kepada anak cucunya. Kelompok lansia ini di isi oleh sebanyak 6.45% dari jumlah responden. Distribusi pengrajin tempe berdasarkan umur bisa dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Distribusi pengrajin tempe berdasarkan umur Kategori
Jumlah (orang)
Muda (17-30 tahun) Dewasa (31-40 tahun) Tua (41-60 tahun) Lanjut Usia (>60 tahun)
Presentase (%)
4 3 22 2
12.90 9.68 70.97 6.45
Jenis Kelamin Dewasa ini jenis kelamin memang tidak lagi menentukan kinerja seseorang. Antara laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk sukses sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Termasuk juga dalam menjalankan usaha terlebih pengrajin tempe. Meskipun pengrajin tempe Kabupaten Grobogan didominasi oleh laki-laki yaitu 80.65%, namun umumnya setiap pengrajin lakilaki tersebut juga dibantu oleh istrinya baik dalam produksi maupun pemasaran. Sedangkan 19.35% dari pengrajin tempe Kabupaten Grobogan adalah perempuan. Kegiatan mereka tersebut tidak lain adalah untuk membantu suami mereka dalam memenuhi kebutuhan hidup. Sehingga sangat jarang usaha mereka dapat berkembang besar. Distribusi pengrajin tempe berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Distribusi pengrajin tempe berdasarkan jenis kelamin Kategori Laki-laki Perempuan
Jumlah (orang) 25 6
Presentase (%) 80.65 19.35
Tingkat Pendidikan Formal Pengrajin tempe di Kabupaten Grobogan sebagian besar menyelesaikan pendidikan formalnya sampai SD saja yaitu sebanyak 87.10%. Pengrajin tempe yang menyelesaikan pendidikanya pada tingkat SD adalah mereka yang memiliki usia tua dan lanjut usia. Hal ini disebabkan oleh faktor budaya yang ada di masyarakat ketika itu dimana sekolah masih dianggap sebagai sesuatu yang sangat mewah yang hanya bisa diraih oleh masyarakat kelas atas. Sehingga banyak
24 masyarakat jaman itu yang hanya menyelesaikan pendidikan formalnya di tingkat SD. Sedangkan 6.45% pengrajin menyelesaikan pendidikan formal pada tingkat SMP dan 6.45 % sisanya menamatkan pendidikan formal pada tingkat SMA. Pengrajin yang menyelesaikan pendidikan sampai SMP dan SMA adlah adalah pengrajin tempe muda yang meneruskan usaha miliki orang tuanya sehingga pengalaman yang dimiliki juga masih belum terlalu lama. Distribusi pengrajin tempe berdasarkan pendidikan formal yang telah ditempuh dapat dilihat pada Tabel 12 berikut. Tabel 12 Distribusi pengrajin tempe berdasarkan pendidikan formal Kategori
Jumlah (orang)
SD SMP SMA
Presentase (%) 27 2 2
87.10 6.45 6.45
Lama Menjalankan Usaha Berdasarkan lamanya menjalankan usaha, pengrajin tempe Kabupaten Grobogan pada penelitian ini dibedakan menjadi 3 kategori yaitu pengusaha pemula (1-11 tahun), sedang (12-20 tahun) dan berpengalaman (>20 tahun). Dari ketiga kategori tersebut sebaran terbesar pengrajin tempe Kabupaten Grobogan adalah pengusaha sedang yaitu sebanyak 51.6 % (Tabel 13). Hal ini karena sebagian dari mereka adalah pengrajin yang menjalankan usaha sejak sebelum terjadi krisis moneter yang menjalankan usaha karena pada saat itu kedelai masih sangat murah sehingga pendapatan mereka dari berjualan tempe cenderung besar. Tabel 13 Distribusi pengrajin tempe berdasarkan lama melakukan usaha Kategori Pemula (1-11 tahun) Sedang (12-20 tahun) Berpengalaman (>20 tahun)
jumlah orang
% 9 16 6
29.03 51.61 19.36
Pengusaha pemula menduduki peringkat kedua yaitu sebanyak 29 % pengrajin, mereka adalah orang-orang yang ikut menjalankan usaha tempe karena mengikuti dari tetangga mereka yang sukses lantaran melakukan usaha tempe. Diantara mereka juga adalah orang-orang muda yang meneruskan usaha milik orang tuanya. Sedangkan pengusaha kategori berpengalaman hanya sebanyak 19.4 % dari total responden yang ada. Mereka inilah orang-orang lanjut usia yang masih bertahan menjalankan usaha membuat tempe yang telah lama ditekuninya. Produksi Per hari Produksi tempe di Kabupaten Grobogan termasuk beragam dimana hasil penelitian menunjukkan bahwa rentang produksi antara 10-600 kg/hari. Pengrajin akan mendapatkan keuntungan bersih antara Rp 1.500,- sampai Rp 2.000,- dari satu kg kedelai yang diproduksi menjadi tempe. Jumlah keuntungan bersih akan bergantung pada saipa pelanggan yang membeli tempe tersebut. Jika yang
25 membeli semuanya dari pelanggan maka sudah barang tentu keuntungan bersih akan lebih kecil karena adanya diskon yang harus diberikan. Sedangkan keuntungan akan lebih besar jika yang membeli tempe kebanyak dari para konsumen akhir. Selain itu semakin lama produk tempe semakin murah harga jual yang ditawarkan. Dari rentang data jumlah produksi tersebut kemudian digolongkan menjadi 3 kategori yaitu yang berproduksi kurang dari 71 kg/hari, antara 71-130 kg/hari dan yang berproduksi lebih dari 130 kg/hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 64.52% pengrajin memproduksi tempenya kurang dari 71 kg/hari. Mereka adalah para pengrajin yang memiliki keterbatasan dalam hal permodalan. Selain itu tingginya persaingan juga ikut mempengaruhi jumlah produksi mereka. Sebagian besar mereka menjual tempenya di pinggiran jalan pasar tanpa memiliki lapak yang baik. Sedangkan 16.13% pengrajin memproduksi tempe dengan bahan baku 71-130 kg/hari. Kelompok ini termasuk orang-orang yang memiliki modal cukup, namun sebagian besar dari mereka terpaksa membatasi produksi karena pelanggan yang mereka miliki hanya mampu menghabiskan kedelai dengan jumlah tersebut. Ketika produksi ditambah maka dapat dipastikan hanya akan membuang-buang tenaga dan biaya. Kelompok ketiga adalah yang memproduksi tempe dengan menghabiskan bahan baku lebih 130 kg/hari yaitu sebanyak 19.35%. Para pengrajin ini adalah orang-orang yang memiliki modal besar dan memiliki pelanggan banyak serta daerah pemasaran yang luas. Para pengrajin tempe tersebut mendapatkan bahan baku dengan cara bekerjasama dengan pemasok dengan sistem pembayaran diakhir. Pemasok awal adalah Primkopti Kabupaten Grobogan, namun pada dewasa ini banyak toko-toko yang menjual kedelai sebagai bahan baku pembuatan tempe. sehingga para pengrajin beralih ke toko-toko yang letaknya lebih dekat dari tempat produksi. Sebaran produksi para pengrajin tempe dapat dilihat pada Tabel 14. Table 14 Distribusi responden berdasarkan produksi per hari produksi /hari (Kg) <71 71-130 >130
Jumlah (orang)
Presentase (%) 20 5 6
64.52 16.13 19.35
Daerah Pemasaran Tempe Pemasaran merupakan pangkal dari sebuah bisnis, dimana ketika pemasaran berjalan lancar maka lancar pula keberlangsungan proses produksi. Pemasaran yang dilakukan oleh pengrajin tempe Kabupaten Grobogan tidak hanya pada lingkup desa atau kecamatan saja tapi beberapa dari mereka ada yang melakukannya sampai di luar kota/kabupaten. Dari pengrajin tempe yang di survei sebanyak 3.23% melakukan usahanya pada lingkup satu desa, mereka adalah pengrajin kecil yang memasarkan produknya pada warung-warung sekitar desa. Selanjutnya sebanyak 19.25 % memasarkan produknya pada lingkup luar desa tapi masih satu kecamatan. Para pengusaha ini memiliki relasi yang cukup baik dan termasuk orang-orang yang awal dalam menjalankan usaha pembuatan tempe. Sedangkan 61.29% dari para pengrajin tempe Kabupaten Grobogan memasarkan produknya pada lingkup luar kecamatan tempat tinggal namun masih dalam
26 Kabupaten Grobogan. Mereka adalah para pengusaha yang memilki jaringan yang baik. Sehingga mampu mengetahui permintaan potensial yang ada di pasar tersebut. Terakhir, sebanyak 16.13% memasarkan produk tempenya ke luar kota/kabupaten. Mereka adalah orang-orang yang memiliki semangat tinggi dalam berwirausaha sehingga pasar yang jauh tidak menghalangi keinginan mereka untuk berwirausaha. Dengan semangat yang dimilikinya para pengrajin ini berani membidik pasar yang tidak diminati oleh pengrajin lain. Sehingga kemungkinan untuk menguasainya lebih besar. Sebagian dari mereka ada yang menemukan pasar tersebut dengan mencoba dari pasar satu ke pasar yang lain, sebagian ada juga yang mengikuti jejak saudaranya yang kebetulan telah lebih dahulu memasarkan produk tempenya ke luar kabupaten. Para pengrajin ini berangkat memasarkan produk mulai jam 02.00 pagi agar tidak terlambat dalam memenuhi permintaan pelanggan. Table 15 Distribusi responden berdasarkan daerah pemasaran Daerah pemasaran
Jumlah (Orang)
Dalam satu desa Luar Desa satu keamatan Luar kecamatan Luar kabupaten
Presentase % 1 6 19 5
3.23 19.35 61.29 16.13
Perilaku Wirausaha Secara umum perilaku yang dimiliki oleh pengrajin tempe Kabupaten Grobogan termasuk kategori tinggi dan sangat tinggi. Ada sebanyak 77.42% pengrajin yang berada dalam kategori tinggi. Sedangkan sisanya sebanyak 22.58 % memiliki perilaku wirausaha yang masuk kategori sangat tinggi. Perilaku wirausaha tersebut merupakan akumulasi dari pengetahuan wirausaha, sikap wirausaha dan keterampilan wirausaha yang dimiliki para pengarajin. Sebagian besar pengrajin memiliki keunggulan pada variabel pengetahuan wirausaha dan keterampilan wirausaha, namun memiliki sikap yang tidak begitu tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum kekurangan yang dimiliki oleh tiap pengrajin dalam variabel perilaku yang satu dapat dipenuhi dari variabel perilaku wirausaha yang lain. Hasil penelitian tentang perilaku wirausaha yang dimiliki oleh pengrajin tempe Kabupaten Grobogan dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16 Distribusi pengrajin tempe berdasarkan perilaku wirausha Kategori
Sangat Rendah (20-75) Rendah (76-132) Sedang (133-188) Tinggi (189-244) Sangat Tinggi (245-300)
Jumlah
Persentase (%)
24 7
0 0 0 77.42 22.58
27 Pengetahuan Wirausaha Meskipun sebagian besar pengrajin menyelesaikan pendidikan formal pada tingkatan SD, pengetahuan wirausaha yang dimiliki oleh pengrajin tempe Kabupaten Grobogan secara umum termasuk ke dalam kategori tinggi dan sangat tinggi. Sebanyak 74.19 % dari mereka memiliki pengetahuan yang sangat tinggi dan 25.81 % memiliki pengetahuan yang tinggi (Tabel 17). Pengetahuan tersebut mencakup dua aspek yaitu pengetahuan teknis dan pengetahuan menajerial. Pengetahuan teknis yang dimiliki pengrajin sangatlah tinggi karena pengetahuan teknis berkaitan dengan pengalaman usaha yang mereka jalankan yang mana sebagian besar pengrajin telah menjalankan usaha lebih dari 10 tahun . Rata-rata pengetahuan manajerial yang dimiliki para pengrajin tempe juga termasuk dalam kategori sangat tinggi meskipun pengetahuan manajerial memiliki nilai lebih kecil. Pengetahuan manajerial belum terlalu banyak diketahui oleh pengrajin yang menjalankan usaha termasuk kategori pemula. Hal ini dikarenakan ilmu tentang manajemen termasuk ilmu untuk pengusaha modern, sedangkan pengrajin tempe yang berada di Kabupaten Grobogan sebagian besar masih merupakan usaha dengan sekala usaha yang kecil dan masih tradisional. Sehingga mereka hanya mendapatkan pengetahuan tersebut dari pengalaman yang telah dilewatinya. Sikap Wirausaha Sikap wirausaha yang dimiliki oleh pengrajin tempe di Kabupaten Grobogan sebagian besar masuk dalam kategori tinggi yaitu sebesar 58.06%. Sisanya sebesar 41.94% berada dalam kategori sangat tinggi. Sebagaimana yang telah disampaikan dalam kerangka pemikiran, bahwa indikator sikap yang di ambil dalam penelitian ini meliputi sikap disiplin, komitmen tinggi, jujur, kreatif dan inovatif, mandiri dan realistis. Dari masing-masing sikap tersebut dapat dijelaskan bahwa rata-rata sikap disiplin dan komitmen pengrajin tempe termasuk dalam kategori sangat tinggi. Sikap disiplin terbentuk dengan kuat karena sikap ini merupakan sikap dasar bagi seorang pengrajin tempe. Dengan sikap isiplin tersebut pengrajin dapat memproduksi tempe secara teratur, kemudian memasarkannya dengan tepat waktu. Sikap komitmen telah ditunjukkan para pengrajin tempe dengan tetap berproduksi meskipun harga kedelai mengalami kenaikan. Hal ini dapat terbangun berdasarkan pengalaman yang mereka dapatkan. Pengalaman menunjukkan bahwa usaha tempe mampu menaikkan ekonomi mereka dari pada menjadi petani saja. Bahkan dapat dibedakan antara rumah pengrajin tempe dan rumah petani biasa, dimana rumah petani tempe sebagian besar lebih baik dari pada yang hanya mengandalkan dari pertanian saja. Sedangkan rata-rata sikap jujur, kreatif dan inovatif, mandiri dan realistis pengrajin termasuk dalam kategori tinggi. Secara umum sikap pengrajin tempe di Kabupaten Grobogan adalah pengrajin yang memiliki sikap wirausaha yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor salah satunya yaitu budaya. Faktor budaya berpengaruh karena sebagian besar masyarakat adalah penduduk yang memiliki budaya disiplin, mandiri dan kejujuran yang dijunjung tinggi. Pengalaman juga berpengaruh karena sebagaimana yang berlaku di tempat pengambilan sampel bahwa pengrajin yang tidak tepat waktu dalam membuat tempe nantinya akan mempengaruhi hasil yang didapat bahkan akan menghambat
28 penjualan. Dimana pedagang yang telat dalam memasarkan tempenya akan ditinggalkan oleh pelanggan mereka. Keterampilan Wirausaha Keterampilan usaha yang dimiliki oleh pengrajin tempe Kabupaten Grobogan hanya mengarah pada dua kategori yaitu sedang dan tinggi. Hal ini dikarenakan pengrajin tempe ini belum memiliki keahlian-keahlian yang dimiliki oleh pegusaha modern. Sebanyak 58.06% dari mereka termasuk dalam kategori sedang, dan sisanya sebanyak 41.94% berada dalam kategori yang tinggi. Keterampilan yang diukur dalam penelitian ini meliputi tiga hal pokok yaitu keterampilan produksi, memasarkan produk, dan mengatur keuangan. Dari ketiga hal pokok tersebut pengrajin yang memiliki keterampilan sedang adalah pengrajin yang masih belum memiliki kesadaran akan pentingnya pencatatan dalam memanajemen keuangan. Dalam hal pemasaran, pengrajin juga terkesan lebih pasrah dengan keadaan tanpa berusaha untuk mempromosikan produk yang dimilikinya. Selain itu hal yang membuat pengrajin memiliki keterampilan usaha dalam kategori sedang adalah sebagian besar pengrajin merasa puas dengan keahlian yang dimilikinya. Pengrajin tidak berani melakukan inovasi yang lebih serius baik terkait bahan baku alternatif, cara produksi yang lebih baik ataupun produk olahan yang bisa dikembangkan. Tabel 17 Distribusi pengrajin berdasarkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan wirausaha Unsur Perilaku Wirausaha Pengetahuan
Sikap
Keterampilan
Kategori
Jumlah (orang)
Sangat Rendah (0-20) Rendah (21-40) Sedang (41-60) Tinggi (61-80) Sangat Tinggi (81-100) Sangat Rendah (0-20) Rendah (21-40) Sedang (41-60) Tinggi (61-80) Sangat Tinggi (81-100) Sangat Rendah (0-20) Rendah (21-40) Sedang (41-60) Tinggi (61-80) Sangat Tinggi (81-100)
8 23 18 13 18 13 -
Presentase (%)
25.81 74.19
58.06 41.94
58.06 41.94
Kinerja Usaha Pertumbuhan Usaha Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan usaha yang telah diraih oleh pengrajin tempe di Kabupaten Grobogan dapat dikategorikan dalam tiga
29 kelompok, yaitu rendah, sedang dan tinggi (Tabel 18). Sebanyak 29.03 % pengrajin tempe tersebut memiliki kinerja usaha yang rendah. Kelompok ini adalah pengrajin yang tidak mampu memperluas area penjualannya dan tidak bisa meningkatkan pendapatannya. Mereka hanya memiliki kekuatan dari segi loyalitas pelanggan. Loyalitas pelanggan tersebut dapat dipertahankan dengan cara memberikan hadiah atau bonus kepada pelanggan yang setia setiap hari raya idul fitri. Melalui cara tersebut pelanggan tidak akan meninggalkan pengrajin kecuali dalam keadaan yang mendesak. Sebanyak 48.39% para pengrajin tempe yang berada di Kabupaten Grobogan memiliki tingkat pertumbuhan usaha kategori sedang. Kelompok ini terdiri dari para pengrajin tempe yang memiliki loyalitas pelanggan yang tinggi serta memiliki peningkatan jumlah pelanggan. Namun pengrajin kelompok ini tidak mampu memperluas daerah pemasaran sehingga memiliki kenaikan pendapatan dan keuntungan yang kurang signifikan. Sedangkan kelompok ketiga adalah kelompok pengrajin tempe yang memiliki pertumbuhan usaha dalam kategori tinggi. Pengrajin ini selain memiliki loyalitas pelanggan yang tinggi dan peningkatan jumlah pelanggan dalam kurun waktu satu tahun ke belakang. Mereka juga mampu memperluas daerah pemasarannya bahkan permintaan sampai ke luar kota/kabupaten. Pengrajin di Kabupaten Grobogan yang termasuk dalam kategori ini cukup banyak yaitu sebanyak 22.58%. Table 18 Distribusi pengrajin tempe berdasarkan tingkat pertumbuhan usaha Kategori Rendah (< 69) Sedang (69-81) Tinggi (> 81)
Jumlah (orang)
Presentase (%)
9 15 7
29.03 48.39 22.58
Penerimaan Usaha Penerimaan usaha merupakan salah satu tolok ukur yang digunakan dalam menganalisis kinerja usaha pengrajin tempe di Kabupaten Grobogan. hal ini dikarenakan sebagian besar pengrajin tempe memiliki penerimaan yang lebih besar dibandingkan dengan masyarakat yang menekuni pada sector pertanian primer yang banyak dijadikan sebagai mata pencaharian masyarakat Grobogan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerimaan usaha yang dimiliki oleh pengrajin tempe Kabupaten Grobogan sebagian besar dalam kategori rendah yaitu sebanyak 62.52% dari total responden. Kategori rendah ini memiliki penerimaan dari usaha tempe kurang dari Rp 27 000 000,- per bulan. Sebanyak 16.13% berada dalam kategori sedang. Para pengrajin ini memiliki penerimaan dari hasil usaha tempenya sebesar Rp 27 500 000 ,-– 51 250 000,- per bulan. Sisanya, sebanyak 19.35% pengrajin tempe memiliki penerimaan dari hasil usaha tempenya yang digolongkan dalam kategori tinggi yaitu lebih dari Rp 51 250 000,- per bulan. Penerimaan tersebut cenderung lebih besar disbanding penerimaan dari hasil pertanian primer. Itupun harus memiliki lahan untuk digarap setiap hari. Biasanya para pengrajin tempe mengalokasikan penerimaan usahanya untuk mebayar hutang dari toko kedelai. Toko tersebut biasanya telah bekerjasama denga
30 pengrajin untuk memasok kedelai dan dibayar setelah kedelai tersebut habis terjual.
Tabel 19 Distribusi pengrajin tempe berdasarkan penerimaan usaha per bulan Kategori rendah (<27 000 000) sedang (27 500 000 – 51 250 000) tinggi (>51 250 000)
jumlah (orang) 20 5 6
presentase (%) 64.52 16.13 19.35
Hubungan Perilaku Wirausaha terhadap Kinerja Usaha Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa pengetahuan wirausaha, sikap wirausaha, keterampilan wirausaha berkorelasi signifikan terhadap kinerja usaha. Baik dari aspek pertumbuhan usaha maupun dari aspek penerimaan usaha. Koefisien korelasi dari setiap variabel terhadap pertumbuhan usaha yaitu 0.453, 0.658, dan 0.590, artinya ketika pengetahuan wirausaha, sikap wirausaha, dan keterampilan wirausaha meningkat maka kinerja usaha akan meningkat. Begitu juga dengan hubungan perilaku wirausaha terhadap penerimaan usaha, hasil korelasi menunjukkan hasil yang signifikan dengan koefisien korelasi dari pengetahuan sebesar 0.449, sikap terhadap penerimaan sebesar 0.526, dan keterampilan terhadap penerimaan sebesar 0.528 (Tabel 20). Pengetahuan usaha memiliki koefisien korelasi sebesar 0.453 terhadap pertumbuhan usaha dan 0.449 terhadap penerimaaan usaha. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan memiliki hubungan yang kuat dalam kaitannya dengan kinerja usaha. Pengetahuan merupakan modal awal yang harus dimiliki oleh pengrajin ketika akan menjalankan usahanya. Sangat kecil kemungkinannya ketika pengrajin menjalankan usahanya tanpa memiliki pengetahuan yang memadai. Sikap wirausaha juga memiliki koefisien korelasi yang tinggi yaitu 0.658 terhadap pertumbuhan usaha dan 0.526 terhadap penerimaan usaha. angka ini lebih tinggi dibanding koefisien korelasi pengetahuan bahkan keterampilan. Sikap memiliki hubungan yang kuat karena dengan sikap tersebut pengrajin akan mampu membawa arah dan tujuan keberlangsungan usahanya. Melalui sikap yang baik tentunya akan memungkinkan pengrajin tempe untuk menjadi pengrajin tempe yang besar bahkan memiliki ciri khas dibanding pengrajin tempe yang lain. Keterampilan wirausaha memiliki koefisien korelasi sebesar 0.590 terhadap pertumbuhan usaha dan 0.528 terhadap penerimaan usaha. Angka tersebut lebih tinggi dibanding koefisien pengetahuan. Hal ini menunjukkan bahwa keterampilan memiliki hubungan yang lebih erat dibanding pengetahuan wirausaha. Dengan keterampilan usaha pengrajin tempe akan mampu mengimbangi bahkan menyaingi pengrajin tempe yang ada. Sedangkan pengetahuan hanya sekedar pengetahuan saja yang tidak akan memiliki arti jika pengrajin tempe tidak memiliki keterampilan usaha yang baik.
31
Tabel 20 Hasil uji korelasi perilaku wirausaha terhadap kinerja usaha Pertumbuhan usaha Penerimaan usaha Pearson Pearson Sig. (2Variabel perilaku Sig. (2-tailed) 1. Pengetahuan a. peng.teknis b. peng.manajerial 2. Sikap a. Disiplin b. Komitmen c. Jujur d. Kreatif e. Mandiri f. Realistis 3. Keterampilan a. ket.produksi b. ket.pemasaran c. ket.keuangan
Correlation 0.453* 0.327 0.431* 0.658** 0.323 0.467** 0.554** 0.551** 0.554** 0.486** 0.590** 0.109 0.572** 0.568**
0.011 0.072 0.016 0.000 0.076 0.008 0.001 0.003 0.001 0.006 0.000 0.559 0.001 0.001
Correlation 0.449* 0.301 * 0.442 0.526** 0.329 0.427* 0.366* 0.383* 0.259 0.488** ** 0.528 -0.096 0.580** 0.545**
tailed) 0.011 0.099 0.013 0.002 0.07 0.017 0.043 0.033 0.159 0.005 0.002 0.608 0.001 0.002
**Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). * Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Hubungan Pengetahuan terhadap Kinerja Usaha Pengetahuan merupakan sebuah modal awal bagi seorang wirausaha untuk menjalankan usahanya. Melalui pengetahuan yang dimiliki pengusaha akan lebih percaya diri dalam bertindak. Namun ketika dihubungkan dengan kinerja usaha maka pengetahuan saja tanpa diikuti dengan sikap dan keterampilan untuk menjalankannya tidak akan memberikan pengaruh yang signifikan. Pada penelitian ini pengetahuan wirausaha dibagi menjadi dua kategori yaitu pengetahuan teknis terkait cara berproduksi serta pengetahuan manajerial terkait pengelolaan dan kewirausahaan. Pada Tabel 20 dapat dilihat bahwa pengetahuan teknis memiliki koefisien korelasi 0.327 terhadap pertumbuhan usaha dan memiliki koefisien korelasi sebesar 0.301 terhadap penerimaan usaha. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan yang terjadi antara variabel tersebut ternasuk dalam kategori lemah. Sedangkan pengetahuan manajerial memiliki hubungan yang kuat terhadap pertumbuhan usaha dengan koefisien korelasi sebesar 0.431. Pengetahuan teknis memiliki hubungan yang lemah terhadap kinerja usaha dikarenakan pengetahuan dalam memproduksi tempe telah diketahui oleh masyarakat secara luas, bahkan mereka yang tidak berprofesi sebagai pengrajin tempe. Pengetahuan ini merupakan pengetahuan dasar untuk mendirikan usaha. Sehingga masih dibutuhkan pengetahuan yang lain dalam menentukan kinerja usaha. Pengetahuan teknis dalam memproduksi serta memasarkan produk yang baik akan menjadikan pengrajin lebih terampil dalam memproduksi tempe serta memasarkannya. Sebagaimana yang terjadi pada pasara persaingan sempurna bahwa konsumen akan sangat mudah berpindah ke produsen lain jika mendapatkan harga yang lebih murah dan kualitas yang lebih baik. Maka dengan
32 pengetahuan teknis tersebut akan menjadikan produsen lebih bisa menjadikan berhasil dari segi peningkatan jumlah pelanggan. Pengetahuan manajerial memiliki hubungan yang lebih kuat terhadap kinerja usaha dibanding pengetahuan teknis. Hal ini dikarenakan pengetahuan manajerial akan sangat membantu dalam menjalankan proses produksi. Dengan pengetahuan manajerial yang baik pengrajin akan dapat menentukann kapan ia harus berproduksi dengan jumlah yang tinggi atau rendah, bagaimana mengatur karyawan dengan baik, kapan tempe harus dipasarkan, dan sebagainya. Sehingga proses produksi akan berjalan dengan maksimal yang berujung pada kinerja usaha. Pengetahuan teknis memiliki hubungan paling tinggi dengan variabel kinerja usaha dari segi peningkatan keuntungan. Hal ini dikarenakan pengetahuan manajerial akan mempengaruhi manajemen yang dijalankan oleh pengrajin. Manajemen yang baik akan menjadikannya lebih efisien dalam menggunakan sumber keuangan dan tenaga sehingga keuntungan yang didapat bisa lebih maksimal. Hubungan Sikap terhadap Kinerja Usaha Sikap wirausaha yang digunakan dalam penelitian meliputi sikap disiplin, komitmen tinggi, jujur, kreatif dan inovatif, mandiri, realistis. Dari hasil uji korelasi Pearson diketahui bahwa masing-masing sikap memiliki korelasi yang kuat terhadap kinerja usaha kecuali sikap disiplin yang memiliki korelasi lemah. Koefisien korelasi masing-masing sikap terhadap kinerja usaha dapat dilihat pada Tabel 20. Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa sikap disiplin memiliki hubungan yang lemah terhadap kinerja usaha. Hubungan sikap disiplin termasuk dalam kategori lemah baik dari aspek pertumbuhan usaha ataupun penerimaan usaha dengan koefisien korelasi 0.323 dan 0.329. Kedisplinan merupakan sikap dasar yang harus dimiliki pengrajin tempe. Hal ini dikarenakan tempe termasuk produk yang tidak tahan lama sehingga perlu penanganan khusus dan penjualan yang segera agar tidak merugi. Meskipun sikap disiplin tidak memiliki hubungan yang kuat, bukan berarti sikap ini tidak penting bagi pengrajin tempe. Sikap disiplin justru menjadi hal yang paling penting karena sebagian besar pengrajin menjualkan kembali produk yang dibuat kepada pedagang pengecer. Terlebih bagi pengrajin yang memasarkan produknya ke luar kota. Meskipun secara umum kedisiplinan memiliki nilai koefisien paling rendah di antara sikap yang lain, namun kedisiplinan memiliki hubungan yang kuat dengan pertumbuhan usaha dari segi peningkatan jumlah pelanggan. Hal ini dikarenakan pengusaha yang disiplin tinggi akan memiliki peluang lebih besar untuk mendapatkan pelanggan baru. Sebagian besar pelanggan tempe yang ada dipasaran adalah para pengecer, sehingga perlu waktu yang tepat untuk membeli produk kemudian mengecerkan kembali pada pelanggan mereka. Hal ini menjadikan para pelanggan tersebut akan memilih membeli produk tempe dari produsen yang ada dari pada harus menunggu agar kegiatan mengecerkan barang dapat berjalan dengan lancar. Sudah menjadi kebiasaan bahwa penjual tempe yang telat akan ditinggal oleh para pelanggan mereka. Komitmen tinggi terhadap usaha yang dijalankan memiliki hubungan kuat terhadap kinerja usaha dengan koefisien korelasi sebesar 0.447 dan 0.427. Hal ini dikarenakan sikap komitmen akan mendorong pengrajin untuk fokus pada usaha
33 yang dijalankan. Dengan komitmen tersebut pengrajin akan lebih siap dalam menghadapi setiap risiko yang mungkin terjadi. Sehingga pelanggan akan lebih percaya pada pengrajin. Pernyataan tersebut dapat dilihat pada hasil korelasi dengan tiap variabel kinerja yang menunjukkan nilai koefisien tertinggi berada pada peningkatan jumlah pelanggan. Sikap komitmen memiliki hubungan yang signifikan terhadap kinerja usaha dari segi peningkatan jumlah pelanggan karena pelanggan akan lebih memilih pelanggan yang serius dalam menjalankan usahanya bukan pengrajin yang mudah keluar masuk pasar tanpa komitmen yang pasti. Jujur memiliki hubungan yang kuat terhadap kinerja usaha dari aspek pertumbuhan usaha dengan koefisien yang lebih tinggi dari sikap komitmen yaitu sebesar 0,554. Hal ini dikarenakan sikap jujur merupakan landasan moral seseorang (Suharyadi et al 2006) yang dapat membawa kepercayaan dari pelanggan sehingga pelanggan akan lebih nyaman untuk membeli produk tersebut. pembeli yang merasa nyaman terhadap produk yang dibeli biasanya akan mempromosikan produk tersebut tanpa sadar dengan menceritakan dan merekomendasikan produk pada keluarga dan teman dekatnya. Sehingga perluasan pangsa pasar akan dapat tercapai yang akhirnya berdampak pada peningkatan keuntungan. Sebaliknya ketidakjujuran pengrajin tempe akan menjadikan kepercayaan pelanggan berkurang bahkan menghilang yang berdampak pada pindahnya pelanggan ke pengrajin yang lain. Namun dari aspek penerimaan usaha, sikap jujur memiliki hubungan yang lemah dengan koefisien korelasi 0.366. sikap jujur belum mampu meningkatkan penerimaan usaha jika pengrajin tidak meningkatkan jumlah produksinya. Kreatif dan inovatif memiliki hubungan yang kuat terhadap kinerja usaha dari aspek pertumbuhan usaha dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0.511. Hal ini dikarenakan kreatif dan inovatif dalam menjalankan usaha merupakan sebuah sikap yang tidak dimiliki oleh semua orang. Kreatifitas yang dimiliki pengrajin tempe akan merangsang pengrajin untuk membuat inovasi produk baru dari tempe yang biasanya ada di pasaran. Inovasi tersebut akan menjadikan tempe yang dijual memiliki nilai tambah dibanding tempe lain . Sehingga konsumen akan lebih tertarik untuk membeli produk inovasi tersebut. namun kuatnya pertumbuhan usaha ternyata tidak menentukan kuat pula hubungan inovatif terhadap peningkatan penerimaan usaha. Sebagaimana yang disampaikan oleh Alma (2008) bahwa sikap kreatif sangat penting bagi seorang wirausaha untuk menciptakan keunggulan kompetitif dari barang yang diproduksi dan menjaga kelangsungan hidup bisnis. Sikap mandiri memiliki hubungan yang kuat terhadap kinerja usaha dengan koefisien korelasi sebesar 0.554. Hal ini menunjukkan bahwa kemandirian seorang pengusaha khususnya pengrajin tempe sangatlah penting dimiliki agar kinerja usaha meningkat. Pengrajin yang memiliki sikap mandiri adalah mereka yang tidak terlalu mengandalkan bantuan orang lain, ia selalu berusaha sekuat tenaga untuk mencapai kesuksesan. Dengan sikap tersebut pengrajin tidak akan mudah menyerah dengan keadaan, meskipun kesulitan sedang melanda. Dengan kemandirian yang dimiliki pengrajin akan bangkit dari keterpurukan kemudian berusaha mengejar kesuksesan. Sikap realistis seperti halnya sikap yang lain, ia memiliki hubungan yang kuat terhadap kinerja usaha. Sikap tersebut memiliki koefisien korelasi sebesar
34 0.486 terhadap pertumbuhan usaha dan 0.488 terhadap penerimaan usaha. Pengrajin yang memiliki sikap realistis akan mampu mengukur seberapa besar kemungkinan pengembangan yang bisa dilakukan. Sehingga pengrajin akan memfokuskan tenaga yang sesuai juga untuk mencapai hasil tersebut. Pada akhirnya tidak banyak usaha dan tenaga yang terbuang sehingga kinerja dapat lebih efektif dan efisien. Sikap realistis merupakan sikap wirausahawan sejati. Sebagimana pendapat Alma (2010) bahwa wirausaha sejati bukan spekulan, tapi seorang yang memiliki perhitungan cepat, mempertimbangkan segala fakta, informasi dan data, ia mampu memadukan apa yang ada dalam hati, pikiran dan kalkulasi bisnis. Sehingga sikap realistis sangat diperukan untuk menjadikan pengrajin tempe memiliki kemampuan yang cepat, terukur dan mampu direalisasikan kesuksesannya. Hubungan Keterampilan terhadap Kinerja Usaha Keterampilan merupakan salah satu unsur yang menentukan bagaimana seseorang berperilaku. Seseorang cenderung akan lebih suka melakukan suatu pekerjaan sesuai keterampilan yang dimiliki. Hal ini dikarenakan dengan keterampilan yang dimiliki seseorang akan lebih mudah untuk menjalankan kegiatan tersebut, dibanding seseorang yang tidak memiliki keterampilan ia tidak harus memulai pekerjaan dengan belajar dari nol. Berkaitan dengan pengrajin tempe maka keterampilan yang dimiliki oleh pengrajin tempe akan menentukan bagaimana perilaku pengrajin tersebut. Keterampilan wirausaha pada pengrajin tempe yang diteliti meliputi keterampilan berproduksi, keterampilan memasarkan produk, serta keterampilan dalam memanajemen keuangan. Hubungan yang terjadi dari masing-masing keterampilan terhadap kinerja usaha pengrajin tempe dapat dilihat pada Tabel 20. Dari Tabel 20 dapat diketahui bahwa keterampilan berproduksi memiliki hubungan sangat lemah terhadap kinerja usaha secara umum dengan koefisien korelasi 0.109 dan 0.096. Hal ini dikarenakan keterampilan memproduksi tempe telah dimiliki oleh setiap pengrajin bahkan masyarakat secara umum. Sehingga keterampilan dalam memproduksi tempe saja tidak lagi memiliki hubungan yang kuat dalam menentukan kinerja usaha. Selain itu kinerja usaha juga dapat tercapai meskipun pengrajin tersebut tidak ikut berproduksi sebagaimana yang dilakukan oleh pengrajin tempe dengan jumlah karyawan yang banyak. Dengan proses yang sama mereka menyerahkan sepenuhnya kepada karyawan yang bekerja. Namun hal ini bukan berarti keterampilan memproduksi tempe tidak memiliki hubungan sama sekali. Keterampilan memproduksi tempe juga ikut menentukan kinerja usaha dari segi loyalitas pelanggan. Ketika tempe yang diproduksi memiliki rasa lebih enak dibanding tempe lain maka sudah tentu konsumen akan lebih memilih untuk membeli tempe dari pengrajin tersebut. Karena sudah menjadi sifat konsumen akan lebih tertarik pada produk yang memiliki rasa enak serta kualitas yang baik. Keterampilan memasarkan memiliki hubungan yang kuat terhadap kinerja usaha. Sebagaiman yang terlihat dalam tabel 20 yang menunjukkan bahwa keterampilan memasarkan memiliki hubungan yang kuat terhadap kinerja dari aspek pertumbuhan usaha dengan koefisien korelasi sebesar 0.572 dan 0.580 terhadap penerimaan usaha. Hal ini dikarenakan pemasaran yang baik akan menjadikan penerimaan semakin bertambah. Bahkan dengan pemasaran yang baik
35 pelanggan akan merasa senang terhadap produk yang dibelinya sehingga menjadikannya semakin loyal terhadap produk tersebut. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Firdaus (2008) bahwa pemasaran merupakan salah satu kegiatan pokok yang harus dilakukan oleh pengusaha agar usahanya dapat terus bertahan (survival), mendapatkan laba, dan untuk berkembang. Sehingga keterampilan dalam memasarkan produk merupakan sebuah keterampilan yang harus dimiliki oleh setiap pengusaha termasuk pengrajin tempe. Melalui keterampilan memasarkan yang baik akan membuat konsumen tertarik untuk mencoba produk tempe yang diproduksi. Sehingga pelanggan yang akan membeli produk tempe meningkat. Semakin canggih strategi pemasaran yang digunakan, makin menunjang kemajuan suatu perusahaan bahkan kesuksesan suatu bisnis ditentukan oleh perjuangan di pasar (Alma 2008). Manajemen keuangan merupakan salah satu hal penting agar usaha yang dijalankan dapat berjalan dengan baik dan lancar. Arus kas yang lancar akan mempengaruhi kinerja produksi sesuai dengan rencana yang diinginkan. Keterampilan dalam memanajemen keuangan memiliki korelasi yang positif terhadap kinerja usaha dengan koefisien korelasi sebesar 0.568 terhadap pertumbuhan usaha dan 0.545 terhadap penerimaan usaha. Hal ini berarti bahwa keterampilan tersebut memiliki hubungan yang kuat terhadap kinerja usaha. Semakin baik keterampilan dalam menjalankan manajemen keuangan maka semakin besar kesempatan pengrajin untuk berhasil dalam menjalankan usahanya. Keterampilan usaha memiliki hubungan paling kuat dengan kinerja usaha dari segi perluasan pangsa pasar. Hubungan tersebut ditunjukkan oleh koefisien korelasi yang dimiliki yaitu sebesar 0.555. Keterampilan mengelola keuangan akan memudahkan pengrajin dalam mengetahui seberapa besar laba, rugi, serta kas yang dimiliki selama menjalankan usaha. Keterampilan tersebut juga berperan dalam pengambilan keputusan khususnya untuk biaya produksi. Sehingga pemborosan keuangan dapat dihindari dan pengrajin akan dapat menentukan biaya yang paling efisien untuk menjalankan usahanya. Keuangan yang baik akan menjadikan arus kas berjalan lancar sehingga penambahan modal dapat tercapai dengan lebih mudah. Modal yang besar akan menjadikan pengrajin lebih mudah untuk memperluas daerah pemasarannya.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Dari uraian hasil penelitian tentang pengaruh perilaku wirausaha terhadap kinerja usaha pengrajin tempe Kabupaten Grobogan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa : 1. Karakteristik pengrajin tempe di Kabupaten Grobogan sebagian besar termasuk dalam kategori tua yang menamatkan pendidikan formalnya ditingkat SD. Namun meskipun demikian pengrajin mampu bersaing hingga dapat memasarkan tempenya ditingkat luar kecamatan, bahkan ke luar kota. 2. Perilaku wirausaha yang dimiliki pengrajin tempe di Kabupaten Grobogan sebagian besar berada dalam kategori tinggi yang mana sikap disiplin dan
36 komitmen memiliki peran besar dalam keberlangsungan usaha mereka, bahkan menjadi budaya yang diturunkan ke generasi pengrajin tempe setelahnya. Bermodal pengetahuan teknis dan keterampilan memproduksi yang baik pengrajin dapat meningkatkan kinerja usahanya sehingga memilih tetap berproduksi meskipun keadaan bahan baku semakin mahal. Meskipun pengetahuan manajemen serta keterampilan dalam mengelola keuangan masih kurang. 3. Terdapat hubungan yang signifikan antara perilaku dan kinerja usaha pada pengrajin tempe di Kabupaten Grobogan. Perilaku wirausaha pengrajin berhubungan kuat terhadap kinerja usaha baik dari aspek pertumbuhan usaha maupun penerimaan usaha.
Saran Berdasarkan hasil penelitian perilaku wirausaha pada pengrajin tempe di Kabupaten Grobogan maka terdapat beberapa saran sebagai bahan pertimbangan baik untuk pengrajin tempe, pemerintah maupun penelitian selanjutnya: 1. Pengrajin tempe hendaknya lebih meningkatkan keterampilan yang dimiliki baik berupa keterampilan manajemen pemasaran terlebih promosi serta perbaikan dalam manajemen keuangan agar kinerja usaha dapat tercapai dengan maksimal. 2. Pemerintah dapat ikut berperan dalam meningkatkan kesejahteraan pengusaha dengan mengadakan pelatihan untuk meningkatkan sikap dan keterampilan yang dimiliki pengrajin tempe. 3. Penelitian ini hanya terbatas pada menganalisis hubungan antara perilaku wirausaha pengrajin tempe dengan kinerja usahanya dengan menggunakan analisis korelasi person. Alat analisis yang digunakan memiliki kelemahan dalam hal mengetahui pengaruh antar variabel. Sehingga untuk penelitian selanjutnya dapat menggunakan alat analisis yang lebih baik seperti SEM untuk bisa mengetahui pengaruh perilaku wirausaha terhadap kinerja usaha secara langsung.
37
DAFTAR PUSTAKA Alma B. 2008. Pengantar Bisnis. Bandung (ID): Alfabeta . 2010. Kewirausahaan. Bandung (ID): Alfabeta Ambarinanti M. 2007. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Produksi dan Ekspor Beras Indonesia [Skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor Azwar S. 2013. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta (ID): Pustaka Belajar Azzahra R. 2009. Perilaku Wirausaha Mahasiswa Institut Pertanian Bogor Peserta Program Kreativitas Mahasiswa Kewirausahaan (PKMK) dan Program Pengembangan Kewirausahaan Mahasiswa (PPKM) [Skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor [BAPPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Grobogan. 2013. Penduduk Miskin Kabupaten grobogan. http://grobogan.go.id/pendudukmiskin.html Penduduk Miskin Kabupaten Grobogan Th 2013. [diakses 4 Mei 2014] Bird M.J. 1996. Entrepreneurial Behavior. Singapore (SG): Irwin Mc Graw Hill [BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Jumlah Angkatan Kerja, Penduduk Bekerja, Pengangguran, TPAK dan TPT, 1986–2013 [internet]. [diakses 2014 Mei 28]. Tersedia pada: http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php? kat=1&tabel=1&daftar= 1&id_subyek=06¬ab=5 ________________________. 2014. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin, Garis Kemiskinan, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1), dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) Menurut Provinsi, Maret 2013 [internet]. [diakses 2014 Mei 12]. Tersedia pada: http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php? kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=23¬ab=1 [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Grobogan. 2013. Grobogan Dalam Angka. Purwodadi : PD. Purwa Aksara [BPTP] Badan Litbang Pertanian Jawa Tengah. 2013. Kepala Badan Litbang Pertanian dan Rumah Kedelai Grobogan [Internet]. [Diakses 2014 Mei 26]. Tersedia pada : http://jateng.litbang.deptan.go.id/ind/index.php? option=com_content&view=article&id=469:kepala-badan-litbang-pertaniandan-rumah-kedelai-grobogan&catid=4:info-aktual Brigham JC. 1991. Social Psychology, 2nd edition. New York (US): HarperCollins Publisher Inc. Bygrave WD. 1994. The Portable MBA in Entrepreneurship. New York (US): John Willey & Sons, Inc. Cahyadi W. 2009. Kedelai Kasiat dan Teknologi. Jakarta (ID): Bumi Aksara Day GS. 1990. Market-Driven Strategy: Processes For Creating Value. New York (US): The Free Press A. Division of McMillan Inc Dharmanthi R. 2009. Analisis Strategi Pengembangan usaha Pada Primer Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (PRIMKOPTI) Kota Bogor [Skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor
38 [Dinpertan] Dinas Pertanian (ID). 2013. Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional. http://dinpertan.grobogan.go.id/informasi/berita-terkini/170-ketahananpangan.html [diakses, 7 Februari 2014] Dirlanudin. 2010. Perilaku Wirausaha dan Keberdayaan Pengusaha Kecil Industri Agro: Kasus di Kabupaten Serang Provinsi Banten [disertasi]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor Druker FP. 1994. Inovation and entrepreneurship, Practicer and Principle. rusdi naib, penerjemah. Jakarta (ID): gelora aksara pratama. Firdaus M. 2008. Manajemen Agribisnis. Jakarta (ID): Bumi Aksara Gibson JL, Ivancevich JM, Doonelly JH. 1995. Organisasi dan Manajemen, Perilaku, Struktur dan Proses. Edisi ke empat. Dialihbahasakan oleh Djoerban Wahid. Jakarta (ID): Penerbit Erlangga Grobogan. 2011. Letak dan Luas Wilayah Kabupaten Grobogan. http://grobogan.go.id/profil-daerah/kondisi-geografi/381-letak-danluas-wilayah-kabupaten-grobogan.html [diakses, 4 Desember 2013] Hakim R. 1998. Dengan Wirausaha Menepis Krisis. Jakarta (ID): Gramedia Hardian W. 2011. Analisis Karakteristik dan Perilaku Wirausaha Pedagang Martabak Manis Kaki Lima di Kota Bogor [Skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor Hendro. 2011. Dasar-dasar Kewirausahaan. Jakarta (ID): Erlangga. Indrawijaya AI. 1986. Perilaku Organisasi. Bandung (ID): Sinar Baru Kasmir. 2006. Kewirausahaan. Jakarta (ID): PT Raja Grafindo Persada Kast FE, Rosenzweig J.E. 1995. Organisasi dan Manajemen . Dialih bahasakan oleh Hasyim Ali. Jakarta (ID): Bumi Aksara Kementrian Negara Koperasi dan UKM. 2014. Perkembangan Data Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) dan Usaha Besar (UB) Tahun 2011-2012 [Internet]. [2014 Mei 20]. Tersedia pada: http://www.depkop.go.id/index.php? option=com_phocadownload&view=section&id=17:data-umkm&Itemid=93 Lunardi AG. 1981. Pendidikan Orang Dewasa. Jakarta (ID): PT. Gramedia Mar’at. 1982. Sikap Manusia: Perubahan dan Pengukuran. Bandung (ID): Ghalia Indonesia Marbun BN. 1993. Kekuatan dan Kelemahan Pengusaha Kecil. Jakarta (ID): PT Pustaka Binaman Pressindo Meredith GG, Nelson RE, Nick PA. 1996. Kewirausahaan Teori dan Praktek. Dialihbahasakan oleh Andre Asparsayogi. Jakarta (ID): Pustaka Binaman Pressindo Murhardjani. 2004. Pemberdayaan Pengrajin Tahu Tempe (Kajian Pengrajin Tahu Tempe di Kelurahan Mojosongo, Kecamatan Jebres, Kota Surakarta [Tugas Akhir]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor Nazir M. 2003. Metode Penelitian. Jakarta (ID): Penerbit Ghalia Indonesia Nugrayasa Oktavio. 2013. Problematika Harga Kedelai di Indonesia. http://setkab.go.id/artikel-10045-.html [diakses 10 mei 2014] Nugroho BA. 2005. Strategi Jitu Memilih Metode Statistik Penelitian dengan SPSS. Yogyakarta (ID): Penerbit ANDI Pambudy R. 1999. “Perilaku Komunikasi, Perilaku Wirausaha Peternak Dan Penyuluh Dalam Sistem Agribisnis Peternakan Ayam.” Disertasi Doktor, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor (ID)
39 Perry TS. 1995. How Small Firm Innovation: Designing A Culture for Creativity. Research-Technology Management, March-April Rahadian D. 2002. Hubungan Perilaku Wirausaha Peternak dengan Produktivitas Kelompok Peternak Domba Garut [Skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor Rahayu S. 2005. Aplikasi SPSS Versi 12.00 dalam Riset Pemasaran. Bandung (ID): Alfabeta Rakhmat J. 2001. Psikologi Komunikasi Edisi Revisi. Bandung (ID): Remaja Rosda Karya. Riyanti BPD. 2003. Kewirausahaan dari Sudut Pandang Psikologi kepribadian. Jakarta (ID): Gramedia Widiasarana Indonesia Rovicky. 2013. Hari Tempe Sedunia. http://www.jurnas.com/halaman/20/201306-07/250003 [diakses 8 Maret 2014] Salkind NJ. 1985. Theories of Human Development. New York (US): John Wiley & Sons Inc. Sapar. 2006. Faktor-Faktor Yang berhubungan Dengan Perilaku Kewirausahaan Pedagang Kakilima(Kasus Pedagang Kakilima Pemakai Gerobak Usaha Makanan di Kota Bogor) [Disertasi]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor Satya LD. 2010. Pengaruh Sikap dan Norma Subyektif Terhadap Intensi Menjadi Wirausaha Sukses (Studi Kasus : Usaha Mikro Kecil Menengah Agribisnis di Kecamatan Ciampea, Bogor). [Sekripsi]. Bogor (ID): Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Sudijono A. 2006. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta (ID): PT RajaGrafindo Persada. Sudjatmoko A. 2009. Panduan Lengkap Wirausaha, Cara Cerdas Menjadi Pengusaha Hebat. Jakarta (ID): Visimedia Suharyadi dkk. 2007. Kewirausahaan : Membangun Usaha Sukses Sejak Usia Muda. Jakarta (ID): Salemba Empat Sutrisno E. 2006. Studi Profil Industri Tempe Berdasarkan Tingkat Kesuksesan (Studi Kasus Industri Tempe di Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor) [Skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor Thoha M. 1998. Perilaku Organisasi Konsep Dasar dan Aplikasinya. Jakarta (ID): RajaGrafindo Persada. Tika MP. 2006. Metode Riset Bisnis. Jakarta (ID): PT Bumi Aksara Warnaningsih MK. 2011. Analisis Modernitas Sikap Kewirausahaan dan hubungannya dengan Kinerja Unit Usaha Kecil Tahu Serasi Bandung (Studi Kasus Unit Usaha Kelmpk Wanita Tani Damai, Kecamatan Bandungan, Kabupaten semarang) [Skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor Wibowo Singgih. Dkk. 2002. Pedoman Mengelola Perusahaan Kecil. Jakarta (ID): penebar Swadaya Winardi. 2003. Entrepreneur dan Entrepreneurship. Bogor (ID): Penerbit Kencana Zimmerer TW, Norman MS. 2005. Pengantar Kewirausahaan dan Manajemen Bisnis Kecil. alih bahasa Edina Cahyaningsih Tarmidzi. Jakarta (ID): PT. Indek, Kelompok Gramedia. Terjemahan dari: Essentials of Entrepreneurship and small business management
40
LAMPIRAN
41 Lampiran 1 Hasil uji Reliabilitas Kuesioner Uji Reliabilitas Sikap Wirausaha Case Processing Summary N Cases
%
Valid a
Excluded Total
30
100.0
0
.0
30
100.0
a. Listwise deletion based on all variables in the procedure.
Reliability Statistics Cronbach's Alpha
N of Items 0.867
28
Uji Reliabilitas Keterampilan Wirausaha Case Processing Summary N Cases
%
Valid a
Excluded Total
30
100.0
0
.0
30
100.0
a. Listwise deletion based on all variables in the procedure.
Reliability Statistics Cronbach's Alpha
N of Items 0.680
13
42 Uji Reliabilitas Kinerja Usaha Case Processing Summary N Cases
%
Valid Excludeda Total
30
100.0
0
.0
30
100.0
a. Listwise deletion based on all variables in the procedure.
Reliability Statistics Cronbach's Alpha N of Items 0.857
8
Uji Reliabilitas Keseluruhan
Case Processing Summary N Cases
%
Valid a
Excluded Total
30
100.0
0
.0
30
100.0
a. Listwise deletion based on all variables in the procedure.
Reliability Statistics Cronbach's Alpha
N of Items 0.918
49
43 Lampiran 2 Hasil output uji korelasi pearson perilaku wirausaha terhadap kinerja usaha
Correlations pengetahuan Pengetahuan Pearson Correlation
1
Sig. (2-tailed) N Sikap
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
Keterampilan Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N pertum.usaha Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pener. usaha Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
Sikap
keterampilan pertum.usaha Pener. usaha
.722
**
.701
**
.454
*
.449
*
.000
.000
.010
.011
31
31
31
31
31
**
1
.722
.000 31 .701
**
.526
**
31
31
31
31
**
1
.781
31 .644
**
31
**
1
.590
31
31 .528
**
.686
**
.000 31
31
**
1
.686
.011
.002
.002
.000
31
31
31
31
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
**
31
31
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
.528
31
.000
**
**
.002
.000
.526
.590
.000
.010
*
**
.002
31
.449
.644
.000
.000
*
**
.000
.000
.454
.781
31
44 Lampiran 3 Hasil uji kenormalan Uji Kenormalan H0: residual menyebar normal H1: residual tidak menyebar normal Terima H0 jika p-value > 0.05, artinya residual menyebar normal
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Unstandardized Residual N Normal Parameters
31 a
Mean Std. Deviation
Most Extreme Differences
Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed)
.0000000 8.01773734
Absolute
.095
Positive
.063
Negative
-.095 .527 0.944
a. Test distribution is Normal.
Hasil uji statistik menunjukan p-value 0.944 > 0.05, artinya residual telah menyebar normal
45 Lampiran 4 Dokumentasi penelitian
Salah seorang pengrajin tempe
Kantor Primkopti Grobogan
Stok bahan baku tempe berupa kedelai
Peralatan pembuatan tempe yang sederhana
Tempe yang telah jadi dan siap dipasarkan
46
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bendan Karangharjo, sebuah desa yang berada di Kecamatan Pulokulon Kabupaten Grobogan Jawa Tengah pada tanggal 04 Agustus 1992. Penulis adalah anak ke lima dari 8 bersaudara yang lahir dari rahim Ibu Sutilah (Solihah) dan bapak Ahmad Solikhin. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Karang Harjo II lulus pada tahun 2004, kemudian melanjutkan Sekolah Menengah Pertamanya di MTs Al Asror Semarang dengan tinggal di pondok pesantren Al Bisyri Semarang lulus tahun 2007. Kemudian melanjutkan jenjang Menengah Atas di MA Al Asror Semarang lulus tahun 2010. Setelah lulus dari MA penulis mencoba mendaftar beasiswa ke IPB melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) Kementrian Agama tahun 2010. Setelah melalui berbagai tes yang diselenggarakan alhamdulillah berkat rahmat Yang Maha Kuasa penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB. Selama menempuh pendidikan penulis aktif dalam berbagai organisasi intra dan ekstra kampus. Berbekal pengalaman menjadi anggota dan pengurus OSIS selama di Madrasah Aliah, penulis memberanikan diri untuk terjun ke berbagai organisasi untuk menimba ilmu dan pengalaman. Berawal dari asrama TPB IPB pada tahun pertama penulis aktif dalam kepengurusan Dewan Mushola TPB IPB dan sekaligus menjadi anggota aktif di KOPMA IPB. Tahun selanjutnya yaitu pada 2011 penulis aktif dalam berbagai kegiatan di antaranya pengurus KMNU IPB sebagai staf divisi Eksternal, Kominfo Persatuan Mahasiswa Purwodadi (PERMADI) dan staf PSDM CSS MoRA IPB. Pada tahun 2012 penulis aktif sebagai Wakil Ketua CSS MoRA IPB dan merangkap sebagai Bendahara ISMA (Ikatan Santri Mahasiswa Al Ihya). Kemudian pada 2013 penulis mendapat amanah sebagai ketua ISMA dan sekaligus sebagai ketua regional barat CSS MoRA Nasional. Selanjutnya pada akhir masa perkuliahan penulis juga aktif sebagai pendamping Posdaya di bawah asuhan P2SDM IPB serta menjadi ketua kelompok program IPB Goes to Field 2014 di Kecamatan Cigombong dengan tema optimalisasi pemanfaatan lahan pekarangan.