HUBUNGAN KOMPETENSI PENGRAJIN DENGAN KINERJA INDUSTRI TEMPE: KASUS USAHA KECIL ANGGOTA KOPTI KABUPATEN CIANJUR
EKA YOSA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Hubungan Kompetensi Pengrajin Dengan Kinerja Industri Tempe: Kasus Usaha Kecil Anggota KOPTI Kabupaten Cianjur, adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2009
Eka Yosa NIM I352060101
ABSTRACT Eka Yosa. The Correlation Between of Tempe Producer Competencies to Tempe Industrial Performance: Case study of Tempe Small Industry is the Members of KOPTI in Cianjur Regency. Under direction of Ma’mun Sarma and Djoko Susanto Nowadays, tempe Industrial is facing difficulty, caused by increasing the price of soybean that reach 110%, while the selling price of tempe is hardly occurred. For the tempe producers, if they producing tempe, they will not get profit, but if they stop producing, they will loose their customers. The tempe producers who are able to continue producing tempe in such un-conducive situation ere those who have acceptable competencies. To proof it, it is necessary to carry out study on factors related to such competencies, and also the relation between the competencies and the performance of tempe industry. The aims of this research are to analyze factors which deal with competencies, and the relation between competencies and tempe industrial performance. The populations of this research are 39 persons of tempe producers who are active members of KOPTI in Cianjur Regency. Data collecting was conducted by census that designed as descriptive co-relational research. The instruments tested by constructional validation, and the reliability is tested by Spearman Brownian method. Test of Hypothesis used non parametric statistic, the measurement of relation among variables was used coefficient of rank Spearman method. The results of the research showed that: (1) Competencies of tempe producers categorized as “Good”, (2) The performance according to tempe quality and size of productivity categorized as “Good” and “Low”. The general conclusions of this research: (1) The competencies of tempe producers have positive correlation internal and external factors, and (2) The level of tempe industrial performance has significant correlation with competencies of tempe producer. Keywords: Tempe producer, Competency, Industrial Performance
RINGKASAN EKA YOSA. Hubungan Kompetensi Pengrajin dengan Kinerja Industri Tempe: Kasus Usaha Kecil Anggota KOPTI Kabupaten Cianjur. Dibimbing oleh MA’MUN SARMA, dan DJOKO SUSANTO. Pada saat terjadi krisis ekonomi tahun 1997, usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Indonesia telah membuktikan ketangguhannya. UKM telah memberikan kontribusi yang sangat besar, dimana pada saat itu perusahaan-perusahaan berskala besar berjatuhan, yang dilanjutkan dengan pemutusan hubungan kerja. Sumbangan UKM terhadap lapangan kerja nasional mencapai 99,44% (sekitar 70 juta orang). Sumbangan usaha kecil kepada GDP mencapai 41,9%. Dari angka-angka tersebut di atas sudah selayaknya UKM memperoleh perhatian, bimbingan dan dorongan dari pemerintah. Apabila UKM dapat berkembang dengan baik maka akan banyak tenaga kerja yang terserap, dengan demikian jumlah pengangguran akan berkurang, dan pertumbuhan ekonomi secara nyata akan meningkat. Kabupaten Cianjur adalah salah satu kabupaten yang berada di Provinsi Jawa Barat, memiliki banyak industri atau usaha kecil yang potensial untuk dikembangkan, salah satunya adalah industri tempe sejenis makanan yang terbuat dari kacang kedelai. Sebagian besar masyarakat Indonesia menjadikan tempe sebagai makanan sehari-hari. Tempe disukai oleh banyak orang dari berbagai lapisan masyarakat, karena rasanya yang enak, proses pengolahannya mudah, dan kandungan gizinya tinggi, serta murah harganya. Pada saat ini industri tempe sedang mengalami kesulitan, disebabkan naiknya harga kedelai yang mencapai 110%, sedangkan harga jual tempe sulit dinaikan. Bagi pengrajin tempe, tetap berproduksi tidak memberi keuntungan nyata, berhenti produksi akan kehilangan pelanggan. Dampak dari kenaikan harga kedelai, berakibat kepada berkurangnya kemampuan pengrajin tempe untuk terus berproduksi, terutama pengrajin yang memiliki modal terbatas. Di Kabupaten Cianjur, pengrajin yang menjadi anggota Koperasi Produsen Tempe-Tahu Indonesia (KOPTI) sebanyak 186 orang, yang terdiri dari 56 orang (30%) pengrajin tahu, dan 130 orang (70%) pengrajin tempe, dari sejumlah pengrajin tempe tersebut hanya tinggal 39 orang yang masih aktif, sedangkan sisanya mengalami kesulitan berproduksi. Pengrajin tempe yang masih dapat bertahan dalam kondisi usaha yang sulit diasumsikan adalah pengrajin yang memiliki kompetensi. Untuk itu menarik untuk diteliti faktor-faktor yang berhubungan dengan kompetensi pengrajin tempe, dan hubungan kompetensi dengan kinerja industri tempe. Berdasarkan kondisi pengrajin tempe tersebut dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut (1) faktor-faktor apa yang berhubungan dengan kompetensi pengrajin tempe, dan (2) bagimana hubungan faktor-faktor tersebut dengan kompetensi pengrajin tempe, dan antara kompetensi dengan kinerja industri tempe. Berdasarkan masalah penelitian yang telah dirumuskan di atas, maka ditetapkan tujuan penelitian ini adalah mengkaji dan menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan kompetensi pengrajin tempe, dan hubungan kompetensi pengrajin dengan kinerja industri tempe, dengan hipotesis penelitian sebagai berikut (1) kompetensi pengrajin tempe berhubungan nyata dengan faktor internal dan eksternal, dan (2) tingkat kinerja industri tempe berhubungan secara nyata dengan kompetensi pengrajin industri tempe. Penelitian dilakukan pada bulan September-November 2008 di Kabupaten Cianjur. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh Pemerintah Daerah
TK II. Kabupaten Cianjur sebagai bahan membuat program pengembangan usaha kecil Industri Tempe. Bagi pengrajin tempe merupakan masukan tentang hal-hal yang perlu ditingkatkan agar usaha berkembang. Populasi penelitian adalah semua pengrajin industri tempe yang menjadi anggota aktif KOPTI Kabupaten Cianjur, yang berjumlah 39 orang, berdomisili di Kabupaten Cianjur Provinsi Jawa Barat. Pengumpulan data dilakukan secara sensus, kepada 39 orang tersebut. Penelitian dirancang sebagai penelitian diskriptif korelasional dengan dua peubah bebas, yaitu faktor internal (X1) dan faktor eksternal (X2). Sebagai peubah tak bebas adalah kompetensi pengrajin tempe (Y1) dan kinerja industri tempe (Y2). Instrumen di uji dengan menggunakan validasi konstruk, dan uji reliabilitas menggunakan teknik belah dua Spearman Brown. Pengujian hipotesis menggunakan statistik non parametrik, untuk mengukur kuatnya hubungan antara peubah bebas dengan peubah tak bebas, dilakukan analisis Koefisien Rank Spearman pada pada taraf kepercayaan 0,05 dan 0,01. Pengolahan data menggunakan program SPSS 14.0 Seluruh industri tempe yang diteliti termasuk dalam kategori usaha kecil, dengan kisaran omset per tahun Rp. 7.200.000 – Rp. 820.000.000. Jumlah tenaga kerja berkisar 1-3 orang, dengan volume produksi per bulan 1.200 kg – 11.400 kg tempe. Grade mutu tempe yang diproduksi sebagian besar (69,2%) termasuk dalam kategori baik, berdasarkan kriteria kandungan kedelai 100%, dengan perebusan satu kali. Kompetensi pengrajin tempe dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal terdiri dari 5 aspek, dengan deskripsi sebagai berikut: usia 37,8 tahun, pengalaman 15.1 tahun, tingkat pendidikan formal SMP, sifat wirausaha cukup, dan motivasi tinggi. Faktor eksternal terdiri dari 5 aspek, dengan deskripsi sebagai berikut, peluang pasar, ketersedian bahan baku, kebijakan pemerintah dan modal termasuk dalam kategori cukup, serta tenaga kerja termasuk dalam kategori berkompeten. Berdasarkan tujuan dan hipotesis penelitian dapat disimpulkan bahwa kompetensi pengrajin tempe yang terdiri dari (1) pengetahuan, (2) sikap, dan (3) keterampilan, dalam bidang: membuat rencana usaha, memproduksi, memasarkan, mengevaluasi kinerja industri, dan perbaikan mutu, termasuk dalam kategori baik, dengan rincian: pengetahuan cukup, sikap dan keterampilan baik. Kinerja industri tempe yang dinilai berdasarkan mutu tempe dan omset hasil penjualan per bulan, termasuk dalam kategori baik dan rendah. Secara umum kompetensi pengrajin tempe berhubungan positif nyata dengan faktor internal dan eksternal, dan kinerja industri tempe berhubungan nyata dengan kompetensi pengrajin tempe. Kata kunci: pengrajin tempe, kompetensi , kinerja industri
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-undang. 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
HUBUNGAN KOMPETENSI PENGRAJIN DENGAN KINERJA INDUSTRI TEMPE: KASUS USAHA KECIL ANGGOTA KOPTI KABUPATEN CIANJUR
EKA YOSA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Judul Tesis
: Hubungan Kompetensi Pengrajin Dengan Kinerja Industri Tempe: Kasus Usaha Kecil Anggota KOPTI Kabupaten Cianjur
Nama
: Eka Yosa
NIM
: I 352060101
Menyetujui : Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Ma’mun Sarma, MS, M.Ec Ketua
Prof. (Ris). Dr. Ign. Djoko Susanto, SKM Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Ujian: 29 Januari 2009
Tanggal Lulus:
KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, karena atas izin Nya-lah penulis dapat menyusun tesis yang berjudul: Hubungan Kompetensi Pengrajin Dengan Kinerja Industri Tempe: Kasus Usaha Kecil Anggota KOPTI Kabupaten Cianjur. Tesis ini adalah sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi penulis untuk memperoleh gelar Magister Sains (M.Si) pada Program Studi ilmu Penyuluhan Pembangunan (PPN), Program Pascasarjana IPB. Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada yang terhormat Bapak Dr. Ir. Ma’mun Sarma, MS. M.Ec dan Bapak Prof. (Ris). Dr. Ign. Djoko Susanto, SKM. telah
selaku pembimbing yang
banyak memberi petunjuk, saran dan dorongan yang sangat berarti,
sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Penulis juga ingin menyampaikan
terimakasih kepada
staf pengajar
Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan, Sekolah Pascasarjana IPB, yang telah banyak memberi ilmu yang berharga kepada penulis dan para pengrajin industri tempe yang telah memberi data dan informasi yang berkaitan dengan usaha yang dikelolanya. Terakhir penulis berharap
tesis ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang
peduli kepada para pengrajin usaha kecil, khususnya industri tempe. Wassalam.
Bogor, Januari 2009 Eka Yosa
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan dan dibesarkan di Tanah Abang Jakarta pada tanggal 29 April 1961 dari Ayah Suhandani (Alm) dan Ibu N. Suhainingsih. Penulis merupakan anak pertama dari enam bersaudara. Penulis telah menikah dengan Erna Widjanarti dan telah dikaruniakan seorang puteri bernama Mutiara Hanifah yang kini berusia 14 tahun, dan seorang putera bernama Cahya Muhammad berusia 10 tahun. Tahun 1981 penulis lulus dari SMA Negeri 7 Jakarta, pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan strata satu (S1) di UPN “Veteran” Yogyakarta, dengan memilih Program Studi Ekonomi Pertanian. Sejak
tahun
1990
sampai
sekarang
penulis
bekerja
di
Pusat
Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pertanian (P4TK) Pertanian Cianjur, Departemen Pendidikan Nasional, dengan jabatan widyaiswara. Pada tahun 1992 penulis memperoleh kesempatan mengikuti pendidikan AKTA IV di IKIP Negeri Jakarta, sekarang Universitas Negeri Jakarta. Selanjutnya pada tahun 2006 penulis mengikuti pendidikan Pascasarjana Pembangunan.
di IPB dengan mengambil Program Studi Ilmu Penyuluhan
DAFTAR ISI Halaman I.. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang................................................................... 1.2. Masalah Penelitian............................................................. 1.3. Tujuan Penelitian................................................................ 1.4. Kegunaan Penelitian.......................................................... 1.5. Definisi Istilah.....................................................................
1 3 4 4 4
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usaha Kecil....................................................................... 2.2. Industri Tempe.................................................................. 2.3. Faktor Internal Kompetensi Pengrajin Tempe.................. 2.4. Faktor Eksternal Kompetensi Pengrajin Tempe ............... 2.5. Kompetensi ........................... ........................................... 2.6. Kinerja Industri Tempe .....................................................
6 8 8 15 20 27
III. KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS 3.1. Kerangka Berpikir................................................................. 3.2. Hipotesis ..............................................................................
29 30
IV. METODE PENELITIAN 4.1. Populasi dan Sampel ....................................................... 4.2. Rancangan Penelitian....................................................... 4.3. Data dan Instrumentasi..................................................... 4.4. Pengumpulan Data............................................................ 4.5. Analisis Data.....................................................................
31 31 31 33 34
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Gambaran Umum Daerah Penelitian ............................... 5.2. Gambaran Umum Usaha Kecil Industri Tempe................. 5.3. Identifikasi Faktor Internal Pengrajin Tempe..................... 5.4. Identifikasi Faktor Eksternal Pengrajin Tempe................. 5.5. Identifikasi Kompetensi Pengrajin Tempe ....................... 5.6. Hubungan Faktor Internal dengan Kompetensi Pengrajin Tempe ............................................................................... 5.7. Hubungan Faktor Eksternal dengan Kompetensi Pengrajin Tempe ............................................................... 5.8. Identifikasi Kinerja industri Tempe ................................... 5.9. Hubungan Kompetensi Pengrajin dengan Kinerja Industri Tempe................................................................................
35 36 40 43 47 55 59 62 63
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ....................................................................... 6.2. Saran ................................................................................
65 65
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................
66
LAMPIRAN .........................................................................................
69-92
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Ciri-ciri tempe yang baik dan buruk ...............................................
28
2.
Pembagian grade mutu tempe ......................................................
28
3.
Koefisien korelasi dan tingkat hubungan ......................................
34
4.
Mata pencaharian penduduk yang berusia di atas 10 tahun di Kabupate Cianjur ........................................................................
5.
35
Tingkat pendidikan penduduk yang berusia di atas 10 tahun di Kabupate Cianjur .......................................................................
36
6.
Jumlah industri tempe berdasarkan mutu tempe yang diproduksi
38
7.
Identifikasi faktor internal pengrajin tempe....................................
40
8.
Identifikasi faktor eksternal pengrajin tempe.................................
44
9.
Skor kompetensi dalam bentuk pengetahuan ..............................
50
10. Skor kompetensi dalam bentuk sikap ..........................................
51
11. Skor kompetensi dalam bentuk keterampilan ..............................
54
12. Skor kompetensi pengrajin tempe ................................................
55
13. Hubungan faktor internal dengan kompetensi pengrajin tempe ...
55
14. Hubungan faktor eksternal dengan kompetensi pengrajin tempe.
59
15. Skor kinerja industri tempe ..........................................................
62
16. Hubungan kompetensi pengrajin dengan kinerja industri tempe..
63
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Diagram alir proses pembuatan tempe grade I.................................
24
2. Kerangka berpikir peneliti ... ............................................................
30
3. Diagram alir proses pembuatan tempe grade I I................................
39
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Kuesioner penelitian .....................................................................
69
2. Hasil uji korelasi Rank Spearman ................................................
85
1
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada saat terjadi krisis ekonomi tahun 1997, usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Indonesia telah membuktikan ketangguhannya. UKM telah memberikan kontribusi yang sangat besar, dimana pada saat terjadi krisis ekonomi, perusahaan-perusahaan berskala besar berjatuhan, yang dilanjutkan dengan pemutusan hubungan kerja, pada saat itu UKM tetap dapat berjalan. Hasil penelitian Urata (Riyanti, 2003) diperoleh angka-angka sebagai berikut, pada tahun 1999, sumbangan UKM terhadap lapangan kerja nasional mencapai 99,44% (sekitar 70 juta orang) dan sumbangannya kepada GDP mencapai 59,36%, di mana sumbangan usaha kecil saja mencapai 41,9%, dari angka-angka tersebut di atas sudah selayaknya UKM memperoleh perhatian, bimbingan dan dorongan dari pemerintah. Berkembangnya UKM akan banyak tenaga kerja yang terserap, dengan demikian jumlah pengangguran akan berkurang, dan pertumbuhan ekonomi secara nyata akan meningkat. Perubahan yang mendasar telah terjadi di era reformasi, dimana pemerintah tidak lagi mengambil pendekatan dari atas ke bawah (top-down). Peran pemerintah pusat yang dominan, yang dicirikan dengan penggunaan pendekatan tersebut,
menjadikan kurang aspiratifnya program-program yang
bersifat menstimulasi dan memfasilitasi kegiatan ekonomi masyarakat di daerahdaerah. Saat ini pemerintah menyikapi pelaksanaan pembangunan dengan memberi peran yang lebih besar kepada daerah dan masyarakat secara luas (bottom-up). Perubahan peran dan pendekatan yang diambil pemerintah saat ini dapat dilihat pada Undang-Undang No: 32, tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, di mana pemerintah pusat memberikan dorongan kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri kepentingan masyarakatnya,
menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat, ini berarti (1) adanya tekanan yang lebih besar kepada masyarakat setempat untuk mengambil keputusan, sehingga keputusan yang diambil akan lebih sesuai dengan kebutuhan mereka, (2) meningkatkan partisipasi penduduk dalam pembangunan, yang diwujudkan melalui keterlibatan pada setiap kegiatan, mulai dari perencanaan sampai dengan pelaksanaan.
2
Kabupaten Cianjur adalah salah satu kabupaten yang berada di Provinsi Jawa Barat, memiliki banyak industri atau usaha kecil yang potensial untuk dikembangkan, seperti industri tempe tahu, manisan buah, tauco, aneka kripik, gula merah, peci haji, sangkar burung, dan lampu hias. Produk-produk ini memiliki mutu yang baik, dan mampu bersaing dengan produk-produk daerah lain. Tekad untuk memacu pertumbuhan lapangan kerja dan meningkatkan daya beli masyarakat, dapat dilakukan dengan
menghilangkan berbagai faktor
yang menghambat tumbuhnya UKM, dan mengembangkan usaha-usaha kecil yang sudah ada, sehingga usaha kecil dapat berperan sebagai asset nasional, bukan sebagai liability, apalagi bila para pengrajin diberi bantuan dan bimbingan yang tepat. Salah satu usaha kecil yang banyak terdapat di Kabupaten Cianjur adalah industri tempe, sejenis makanan yang terbuat dari kacang kedelai. Sebagian besar masyarakat Indonesia menjadikan tempe sebagai makanan sehari-hari. Tempe disukai oleh banyak orang dari berbagai lapisan masyarakat, karena rasanya yang enak, proses pengolahannya mudah, dan mempunyai nilai gizi yang cukup tinggi, serta murah harganya. Tempe adalah salah satu makanan asli Indonesia, yang sudah diterima masyarakat dunia, karena berbagai kelebihan yang dikandungnya. Masyarakat Eropa mengenal tempe melalui orang-orang Belanda yang pernah tinggal di Indonesia. Dari Eropa tempe terus berkembang sampai ke Benua Amerika. Tempe sebagai bahan makanan telah diketahui sejak lama, informasi ini diperoleh dari
sebuah manuskrip Serat Centhini seting Jawa abad ke-16
(Rayandi, 2008). Berdasarkan informasi ini dapat diduga pada awalnya tempe berasal dari Jawa, khususnya pada masyarakat Surakarta dan Yogyakarta. Seiring dengan banyaknya orang Jawa yang bertransmigrasi keseluruh penjuruh tanah air, dan banyaknya orang dari luar pulau Jawa yang datang kepulau Jawa, menjadikan tempe dikenal secara luas oleh masyarakat Indonesia. Indonesia merupakan negara produsen tempe terbesar di dunia, dan menjadi pasar kedelai terbesar di Asia. Sebanyak 50% dari konsumsi kedelai digunakan oleh industri tempe, 40% industri tahu, dan 10% industri tauco dan kecap. Konsumsi tempe di Indonesia rata-rata per orang per tahun diduga mencapai 6,45 kg (Rayandi, 2008).
3
Industri tempe saat ini sedang
mengalami kesulitan, disebabkan oleh
harga kedelai yang terus naik, sedangkan harga jual tempe sukar untuk dinaikan. Bagi pengrajin tempe, tetap berproduksi tidak memberi keuntungan nyata, berhenti produksi akan kehilangan pelanggan. Dampak dari kenaikan harga kedelai secara terus menerus,
berakibat
kepada berkurangnya kemampuan pengrajin untuk terus berproduksi, terutama pengrajin yang memiliki modal terbatas. Di Kabupaten Cianjur, pengrajin yang menjadi anggota Koperasi Produsen Tempe -Tahu Indonesia (KOPTI) sebanyak 186 orang, yang terdiri dari 56 orang (30%) pengrajin tahu, dan 130 orang (70%) pengrajin tempe, dari sejumlah pengrajin tempe tersebut hanya tinggal 39 orang yang masih aktif, sedangkan sisanya mengalami kesulitan berproduksi. Sebelum menghadapi
adanya
kenaikan
harga
kedelai,
industri
berbagai
kendala.
Hasil
penelitian
tempe
Murhardjani
sudah (2004)
menyimpulkan kendala yang dihadapi pengrajin tempe adalah (1) kurangnya fasilitas permodalan, (2) pemasaran terbatas, (3) produktivitas rendah, (4) kualitas sumber daya pengrajin rendah, dan (5) peran kelembagaan dalam mendukung pengembangan usaha belum optimal. Berdasarkan uraian di atas, diketahui bahwa sebelum harga kedelai naik para pengrajin tempe telah menghadapi berbagai kendala. Naiknya harga kedelai terus menerus, maka pengrajin menghadapi permasalahan yang lebih komplek. Pengrajin tempe yang masih dapat bertahan dalam kondisi yang tidak kondusif diasumsikan adalah pengrajin yang memiliki
kompetensi, untuk itu menarik
untuk diteliti faktor-faktor yang berhubungan dengan kompetensi pengrajin tempe, dan hubungan kompetensi dengan kinerja industri tempe.
1.2. Masalah Penelitian Berdasarkan hasil pengamatan, dapat dirumuskan bahwa masalah penelitian adalah sebagai berikut: 1) Faktor internal dan eksternal apa yang berhubungan dengan kompetensi pengrajin tempe? 2) Bagaimana
hubungan
antara
faktor
internal
dan
eksternal
dengan
kompetensi pengrajin tempe? 3) Bagaimana hubungan antara kompetensi pengrajin dengan kinerja industri tempe?
4
1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan masalah penelitian yang telah dirumuskan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Mengidentifikasi faktor internal dan eksternal pengrajin tempe 2) Menganalisis hubungan antara faktor internal dan eksternal dengan kompetensi pengrajin tempe. 3) Menganalisis hubungan antara kompetensi pengrajin dengan kinerja industri tempe.
1.4. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi pihak-pihak yang terkait dengan pembinaan usaha kecil industri tempe, dalam bentuk: 1) Masukan kepada Pemerintah Daerah TK II. Kabupaten Cianjur dalam upaya pengembangan usaha kecil, kaitannya dengan bantuan dan pembinaan yang dibutuhkan para pengrajin tempe. 2) Memberi masukan kepada para pengrajin tempe tentang hal-hal yang perlu ditingkatkan untuk dapat tumbuh dan berkembang. 3) Memberi sumbangan kepada ilmu penyuluhan mengenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
perkembangan usaha kecil, khususnya
industri
tempe.
1.5. Definisi Istilah Definisi istilah dalam kegiatan penelitian ditetapkan agar terdapat batasan yang jelas dan memudahkan pengukuran dalam pengumpulan data. Definisi dan istilah yang dipergunakan tersebut adalah sebagai berikut: 1) Kompetensi dalam penelitian ini adalah kemampuan atau kecakapan yang dimiliki pengrajin tempe dalam bentuk (1) pengetahuan, (2) sikap, dan (3) keterampilan dalam
bidang: pembuatan rencana usaha, proses produksi,
pemasaran hasil produksi, evaluasi kinerja usaha, dan perbaikan mutu. 2) Kinerja Industri Tempe, merupakan tingkat pencapaian hasil atau tingkat pencapaian tujuan organisasi, diukur berdasarkan (1) jumlah omset, dan (2) mutu tempe yang dihasilkan. Omset adalah hasil penjualan yang diterima pengrajin
dalam
satu
bulan,
sedangkan
grade
mutu
tempe
berdasarkan cara pembuatan dan persentase kandungan kedelai.
dinilai
5
3) Usaha kecil adalah usaha yang memiliki kriteria sebagai berikut: •
Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 200 juta (tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha).
•
Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 1 miliar.
•
Milik Warga Negara Indonesia.
•
Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha menengah atau usaha besar.
•
Berbentuk usaha perorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum, atau badan usaha yang berbadan hukum, termasuk koperasi.
4) Industri tempe, adalah usaha kecil yang memproduksi tempe. 5) Pengrajin tempe adalah pemilik sekaligus sebagai pekerja dan pengelola atau manajer industri tempe. 6) Usia, yaitu umur responden pada saat penelitian dilakukan, yang dinyatakan dalam tahun. 7) Pengalaman berusaha, adalah lamanya pemilik industri secara aktif mengelola usaha, yang dinyatakan dalam tahun. 8) Pendidikan formal, yaitu proses belajar
formal yang pernah ditempuh
responden, dinyatakan dalam tingkatan-tingkatan pendidikan formal, yaitu: tidak tamat SD, tamat SD, tamat SMP, dan tamat SMA. 9) Sifat wirausaha adalah sifat atau jiwa bisnis yang dimiliki pengrajin tempe, meliputi sifat: meningkatkan prestasi, keluwesan bergaul, kerja keras, percaya diri, pengambil risiko, inovatif, dan mandiri. 10) Motivasi adalah tindakan yang mendasari pengrajin melakukan sesuatu yang berhubungan dengan industri tempe. 11) Peluang pasar, adalah sejumlah permintaan tempe oleh pembeli potensial. 12) Modal, adalah sumber daya yang digunakan untuk biaya produksi dan operasional. 13) Tenaga kerja, adalah orang yang menerima gaji atas jasanya membantu pengrajin tempe dalam proses pembuatan tempe, terlibat secara langsung dan penuh.
6
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usaha Kecil Upaya memahami industri rumah tangga sebagai usaha kecil di Indonesia, tidak mudah, hal ini disebabkan banyaknya kriteria yang ada sebagai akibat dari banyaknya instansi atau lembaga yang terlibat dalam pengembangan usaha kecil. Di dunia setiap negara memiliki kriteria dalam
pengelompokan usaha
kecil. Inggris menetapkan usaha kecil bila jumlah pekerja antara 1–2000 orang, Jepang antara 1–300 orang, dan Amerika 1-500 orang, sedangkan di Francis jika kurang dari 10 orang termasuk dalam kategori usaha kecil (Partomo dan Soejoedono, 2004) Kriteria usaha kecil menurut Biro Pusat Statistik (BPS) adalah usaha yang memiliki
pekerja berjumlah 5-19 orang, jika kurang dari 5 orang, digolongkan
kedalam usaha rumah tangga (Partomo dan Soejoedono, 2004). Anderson (Partomo dan Soejoedono, 2004) membagi usaha kecil berdasarkan jumlah pekerja, yaitu usaha kecil kategori I memiliki jumlah pekerja 1–9 orang, usaha kecil kategori II memiliki jumlah pekerja 10 – 19 orang. Kriteria pengelompokan usaha kecil selain menggunakan batasan tenaga kerja, juga menggunakan nilai omset atau nilai aset, sebagaimana
Undang-
Undang RI Nomor 9 tahun 1995, pasal 5 tentang usaha kecil, adalah sebagai berikut: 1) Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 200 juta (tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha) atau 2) Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 1 miliar. 3) Milik Warga Negara Indonesia. 4) Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha menengah atau usaha besar. 5) Berbentuk usaha perorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum, atau badan usaha yang berbadan hukum, termasuk koperasi. 6) Kriteria sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan b, nilai nominalnya, dapat diubah sesuai dengan perkembangan perekonomian, yang diatur dengan peraturan pemerintah.
7
Selain usaha kecil, dikenal juga istilah usaha mikro, yang secara spesifik didefinisikan sebagai kegiatan ekonomi rakyat berskala kecil dan bersifat tradisional serta informal dalam arti belum terdaftar, belum tercatat dan berbadan hukum. hasil penjualan tahunan paling banyak Rp.100 juta dan milik Warga Negara Indonesia (Adi, 2007). Selain beberapa Kriteria di atas, UKM juga memiliki ciri-ciri umum yang menurut Partomo dan Soejoedono (2004) adalah: 1) Struktur organisasi yang sangat sederhana 2) Tanpa staf yang berlebihan 3) Pembagian kerja yang “kendur” 4) Memiliki hirarki manajerial yang pendek 5) Aktivitas sedikit yang formal, dan sedikit menggunakan proses perencanaan 6) Kurang membedakan antara aset pribadi dan aset perusahaan. Berdasarkan kriteria di atas, sedikitnya terdapat dua aspek yang dapat dijadikan kriteria usaha kecil, pertama aspek penyerapan tenaga kerja, ke dua aspek omset hasil penjualan. Berdasarkan uraian di atas, maka kriteria usaha kecil yang digunakan dalam penelitian ini adalah kriteria yang ditetapkan oleh Undang-Undang RI Nomor 9 tahun 1995. Menurut Suryana (2003), usaha kecil memiliki kekuatan dan kelemahan sendiri, beberapa kekuatan yang dimiliki adalah: 1) Kebebasan untuk bertindak. Bila ada perubahan produk, teknologi, atau alat, usaha kecil dapat melakukan penyesuaian dengan cepat. 2) Fleksibel, usaha kecil sangat luwes dapat menyesuaikan diri dengan keadaan atau kondisi setempat. 3) Tidak mudah goncang, karena sumber daya yang digunakan kebanyakan lokal, yang harganya relatif lebih murah, dan tidak banyak terpengaruh oleh nilai dolar. Sedangkan kelemahan usaha kecil dapat dibagi dua: 1) Kelemahan struktural, adalah kelemahan usaha kecil dalam bidang manajemen seperti pengendalian mutu, organisasi, teknologi, modal, dan pasar. Kelemahan struktural yang satu dengan yang lainnya saling terkait, yang kemudian membentuk lingkaran ketergantungan.
8
2) Kelemahan kultural adalah kelemahan dalam budaya perusahaan yang kurang mencerminkan perusahaan sebagai Corporate Culture. Kelemahan kultural mengakibatkan kurangnya akses informasi dan lemahnya berbagai persyaratan lain guna memperoleh akses permodalan, pemasaran dan bahan baku.
2.2. Industri Tempe Tempe adalah sejenis makanan khas Indonesia, yang dijadikan lauk-pauk pada saat makan nasi. Rasanya yang gurih, dengan kandungan gizi yang tinggi, menjadikan makanan ini digemari banyak orang. Bahkan saat ini tempe telah diterima oleh masyarakat internasional, lebih-lebih oleh kaum vegetarian. Tempe terbuat dari kacang kedelai yang difermentasi dengan kapang Rhizopus Oligosporus atau ragi tempe. Harga satu potong tempe goreng di rumah-rumah makan saat ini Rp. 500 – Rp. 1.000. Harga yang relatif murah dengan rasa yang enak, menjadikan tempe disukai banyak orang. Namun pasar yang masih cukup terbuka tidak menjadikan industri tempe dapat berkembang dengan pesat. Kedelai yang dipakai untuk membuat tempe harus memiliki mutu yang baik, kedelai jenis ini masih harus di impor dari Amerika, untuk meringankan para pengrajin tempe, pemerintah melalui KOPTI memberi subsidi, sehingga pengrajin dapat membeli dengan harga yang lebih murah. Namun ketika pemerintah mengurangi bahkan menghapus subsidi, banyak industri tempe yang mengalami kesulitan, bahkan banyak yang tidak dapat berproduksi lagi. Hal ini disebabkan terbatasnya modal pengrajin dan lemahnya daya beli masyarakat.
2.3. Faktor Internal Kompetensi Pengrajin Tempe Faktor internal adalah faktor yang ada di dalam diri seseorang, yang meliputi pembawaan dan potensi psikologis tertentu yang turut mengembangkan dirinya sendiri (Syah, 2005). Dengan demikian faktor internal adalah karateristik setiap individu yang dimiliki setiap orang. Menurut Mardikanto (1999) karateristik individu ialah sifat yang melekat pada diri seseorang, dan berhubungan dengan aspek kehidupan, seperti: usia, jenis kelamin, posisi, jabatan, status sosial, dan agama. Sedangkan menurut Slamet (1992), bahwa umur, pendidikan, status sosial ekonomi, pola hubungan
9
dan sikap, merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi proses difusi inovasi, sehingga mempengaruhi seseorang untuk berkembang. Kepribadian wirausaha juga merupakan faktor yang berada di dalam diri seseorang. Menurut Riyanti (2003) kepribadian wirausaha merupakan faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan seseorang dalam mengelola usaha kecil. Namun demikin keberhasilan seseorang sangat ditentukan oleh kemauan untuk berbuat, yang menurut Alma (2006) disebut motivasi.
2.3.1. Usia Ronstandt (Riyanti, 2003) mengatakan bahwa kebanyakan wirausaha mulai terjun ke dunia usaha pada usia 25-30 tahun. Bervariasinya usia seseorang ketika memasuki dunia usaha tidak terkait langsung dengan keberhasilan. Seperti yang dikemukakan oleh Staw (Riyanti, 2003) usia ketika seseorang memulai usaha
kurang penting, tetapi apabila telah mengikuti
pelatihan dan persiapan yang baik maka semakin awal akan semakin baik. Menurut Staw (Riyanti, 2003) usia akan mempengaruhi keberhasilan bila dihubungkan dengan lamanya seseorang menjadi wirausaha. Dengan asumsi bahwa usia kronologis seseorang sesuai dengan lamanya seseorang menjadi wirausaha.
Bertambahnya usia seseorang, akan semakin banyak dan
mendalam liku-liku usaha yang diketahui, dengan demikian
mempengaruhi
tingkat keberhasilan seorang wirausaha dalam mengelola usahanya. Menurut Hurlock (Riyanti, 2003), ciri-ciri perkembangan karier seseorang dapat dikelompokkan berdasarkan usia, sebagai berikut: 1) Usia dewasa awal (18-40 tahun) Pada periode ini seseorang sedang memilih bidang pekerjaan yang sesuai dengan bakat dan minat, serta
mencoba
untuk berkarier. Itulah sebabnya usia bisa berpengaruh terhadap tinggi rendah prestasi kerja. 2) Usia dewasa Madya (40-60 tahun) pada periode ini dicirikan dengan keberhasilan dalam pekerjaan, pada usia ini kebanyakan orang mencapai prestasi puncak. Prestasi yang dicapai merupakan hasil dari kemantapan dalam meniti karier dan yang telah dimiliki.
pengalaman
10
3) Usia dewasa akhir (usia di atas 60 tahun) Kebanyakan pada usia ini orang mulai mengurangi kegiatan kariernya. Karena pada periode ini, faktor fisik
mulai menjadi kendala untuk terus
berkarier. Berdasarkan hasil penelitian dan pendapat para ahli, dapat disimpulkan bahwa usia mempengaruhi prestasi kerja seseorang. Hal ini sesuai
dengan
pendapat Rogers dan Shoemaker (1986) yang mengatakan bahwa usia mempengaruhi sikap seseorang.
2.3.2. Pengalaman Pengalaman yang dimiliki pengrajin industri tempe dalam mengelola usaha, memberi dampak positif terhadap perkembangan usaha, karena dengan memiliki pengalaman, membuat seseorang dapat mengendalikan jalannya usaha walaupun menghadapi berbagai kendala. Oleh karena itu semakin banyak memperoleh pengalaman yang bermutu akan semakin tangguh pengrajin menjalankan usahanya. Pengalaman dalam mengelola usaha merupakan modal utama
untuk
memperoleh kesuksesan, terutama apabila usaha yang dikelolanya sekarang berkaitan
dengan
pengalaman
usaha
sebelumnya.
Wirausaha
yang
berpengalaman mengelola usaha, mampu melihat lebih banyak jalan dari pada para pengusaha baru. Menurut Meredith, dkk (2005) seorang wirausaha harus bersedia belajar dari pengalaman dan berubah dari waktu ke waktu, serta sadar akan cara-cara baru untuk meningkatkan produktivitas.
Menurut Haswell
(Riyanti, 2003) pentingnya memiliki pengalaman dalam mengelola usaha kecil, karena umumnya kegagalan usaha disebabkan
kurangnya pengalaman dan
lemahnya kemampuan manajerial. Berdasarkan pendapat para ahli, dapat disimpulkan bahwa pengalaman dalam mengelola usaha akan memberi pengaruh kepada keberhasilan usaha. Bentuk pengalaman dapat diperoleh melalui bimbingan dari orang tua atau pengalaman mengelola usaha sebelumnya. Dari sini dapat disimpulkan bahwa pengalaman dalam mengelola usaha akan diperoleh bila seseorang terlibat secara langsung dalam suatu kegiatan usaha. Artinya seseorang yang belum pernah terlibat dalam usaha tidak akan memiliki kompetensi.
11
2.3.3. Pendidikan Formal Tingkat pendidikan, sangat mempengaruhi cara berpikir dan bertindak seseorang dalam
menjalankan perannya sebagai anggota masyarakat yang
memiliki berbagai aktivitas dan tanggungjawab. Pendidikan yang pernah diperoleh seseorang akan mempengaruhi pandangan dan tindakkannya. Dillon dkk (1985) menyatakan bahwa pendidikan dapat mengubah pola pikir dan daya nalar seseorang. Slamet (1992) mengemukakan bahwa pendidikan seseorang akan mempengaruhi perilaku individu, baik dari segi pengetahuan, sikap maupun keterampilan. Kompetensi yang diperoleh pada saat mengikuti pendidikan, membekali seseorang untuk
berkembang dan
menghadapi berbagai masalah dalam
hidupnya. Staw (Riyanti, 2003) mengatakan bahwa pendidikan berperan penting, karena memberi bekal pengetahuan yang dibutuhkan, dimana setelah seseorang memutuskan terjun ke dunia usaha, maka orang yang memiliki pendidikan lebih tinggi, cenderung lebih berhasil dari pada orang yang berpendidikan lebih rendah. Diduga orang yang berpendidikan lebih tinggi, lebih memiliki berbagai pengetahuan dan sistem manajemen yang dapat membantu dalam mengelola usaha. Orang yang berpendidikan lebih tinggi lebih sadar akan realitas dunia usaha, dan menggunakan kemampuan belajarnya untuk mengelola usaha sehingga menjadi lebih baik. Menurut Riyanti (2003)
pendidikan berperan penting karena memberi
bekal pengetahuan yang dibutuhkan, lebih-lebih ketika menemui masalah di tengah jalan. Sedangkan Tilaar (1997) menjelaskan bahwa fungsi pendidikan adalah proses eksplorasi potensi individu dan cara manusia mampu mengontrol potensinya yang telah dikembangkan agar dapat bermanfaat bagi peningkatan kualitas hidupnya. Riyanti (2003) berpendapat bahwa pendidikan memainkan peranan penting pada saat wirausaha mencoba mengatasi masalah-masalah, dan mengoreksi penyimpangan dalam praktek usaha. Meskipun pendidikan formal bukan syarat untuk memulai usaha baru, pengetahuan yang diperoleh dari pendidikan formal memberi dasar yang baik apabila pendidikan formal tersebut terkait langsung dengan bidang usaha yang di kelola . Menurut para ahli tersebut, pendidikan formal yang pernah diperoleh seseorang mempengaruhi cara mengelola usaha. Namun hasil penelitian Balton (Partomo dan Soejoedono, 2004) untuk pimpinan UKM pada umumnya kurang
12
atau tidak mengenyam pendidikan formal, atau mempunyai pendapat yang lemah terhadap pentingnya pendidikan atau pelatihan. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, disimpulkan bahwa pendidikan formal dapat mempengaruhi keberhasilan usaha kecil menengah, dengan asumsi bahwa pendidikan yang baik akan mempengaruhi cara seseorang memahami dan mengelola persoalan-persoalan yang dihadapi.
2.3.4. Sifat Wirausaha Meredith, dkk (2005 ) mendefinisikan wirausaha sebagai orang-orang yang mempunyai kemampuan melihat dan menilai kesempatan-kesempatan bisnis, mengumpulkan sumber-sumber daya yang dibutuhkan guna mengambil keuntungan daripadanya, dan mengambil tindakan yang tepat, guna memastikan kesuksesan. Sedangkan Suryana (2003) mendefinisikan kewirausahaan adalah kemampuan kreatif dan inovatif yang dijadikan dasar, kiat, dan sumber daya untuk mencari peluang menuju kesuksesan. Sejalan
dengan
dua
definisi
tersebut,
Swasono
(Riyanti,
2003)
menyatakan di dalam ilmu ekonomi dikenal empat faktor produksi, yaitu tanah (land), tenaga kerja (labour), modal (capital), dan keahlian (skill). Selain empat faktor tersebut, masih ada faktor lain, yaitu kewirausahaan (entrepreneurship) yang merupakan modal sosial kultural, semacam “tenaga dalam” manusia untuk merangkum ke empat faktor produksi lainnya dalam suatu proses produksi, dengan alternaif-alternatif kombinasi baru (new combination) untuk menghasilkan berbagai economic performances yang berbeda. Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, maka dapat dinilai bahwa para pengrajin industri tempe adalah wirausahawan karena telah menyatukan berbagai sumber daya, seperti
teknologi, tenaga kerja, peralatan, ragi dan
kedelai, sehingga menghasilkan tempe, yaitu sejenis makanan yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Kadarisman (2007) berpendapat bahwa kegiatan usaha kecil yang bergerak di bidang apa pun, sesungguhnya adalah proses pembelajaran bagi pengusaha untuk memperoleh sifat dan semangat wirausaha. Pendapat ini, mengandung arti bahwa kegiatan usaha kecil dapat menumbuhkan sifat dan semangat wirausaha,
dan berpengaruh secara positif terhadap kompetensi
seseorang dalam mengelola usaha. Pentingnya sifat wirausaha dikemukakan
13
oleh Riyanti (2003) bahwa sebagian besar keberhasilan usaha khususnya usaha kecil, sangat ditentukan oleh kepribadian wirausaha yang dimiliki pengrajin. Secara
komprehensif
Meredith,
dkk
(2005)
merangkum
ciri-ciri
wirausahawan sebagai berikut (1) Percaya diri, (2) Berorientasi tugas dan hasil, (3) Pengambil risiko, (4) kepemimpinan, (5) keorisinilan, dan (6) berorientasi ke masa depan. Sedangkan Sukardi (Riyanti, 2003) menunjukkan sembilan sifat unggul yang dimiliki wirausahawan, adalah: 1) Sifat instrumental, yaitu tanggap terhadap peluang dan kesempatan berusaha yang berkaitan dengan perbaikan kerja. 2) Sifat prestatif, yaitu selalu berusaha memperbaiki prestasi, menggunakan umpan balik, menyenangi tantangan, dan berupaya agar hasil kerja selalu lebih baik dari sebelumnya. 3) Sifat keluwesan bergaul, yaitu selalu aktif bergaul dengan siapa saja, membina kenalan-kenalan baru, dan berusaha menyesuaikan diri dalam berbagai situasi. 4) Sifat kerja keras, yaitu berusaha terlibat dalam situasi kerja, tidak menyerah sebelum pekerjaan selesai. Tidak pernah memberi dirinya kesempatan untuk berpangku tangan, mencurahkan perhatian sepenuhnya kepada pekerjaan, memiliki tenaga untuk terlibat secara terus menerus dalam kerja. 5) Sifat keyakinan diri dalam segala kegiatan, penuh optimisme bahwa usahanya akan berhasil. Percaya diri dan bergairah, langsung terlibat dalam kegiatan nyata, jarang terlihat ragu-ragu. 6) Sifat mengambil risiko yang diperhitungkan, yaitu tidak khawatir akan menghadapi situasi yang serba tidak pasti, dimana usahanya belum tentu membuahkan hasil. Berani mengambil risiko kegagalan, dan selalu antisipatif terhadap
kemungkinan-kemungkinan
gagal.
Segalatindakannya
diperhitungkan secara cermat. 7) Sifat swakendali, yaitu benar-benar menentukan apa yang harus dilakukan dan bertanggungjawab pada diri sendiri. 8) Sifat inovatif, yaitu selalu bekerja keras mencari cara-cara baru untuk memperbaiki kinerjanya. Terbuka untuk gagasan, pandangan, penemuanpenemuan baru yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kinerja. Tidak terpaku pada masa lampau, berpandangan ke depan dan mencari ide-ide baru.
14
9) Sifat mandiri, yaitu apa yang dilakukan merupakan tanggungjawab pribadi. Keberhasilan dan kegagalan dikaitkan dengan tindakan-tindakan pribadi. Menyenangi kebebasan dalam mengambil keputusan untuk bertindak, dan tidak mau tergantung pada orang lain. Berdasarkan pendapat para ahli yang telah diuraikan di muka, terdapat ciri umum yang selalu terdapat dalam diri seorang wirausaha, yaitu kemampuan untuk tumbuh dan berkembang melalui usaha mengubah sesuatu menjadi lebih baik dan berharga. Menurut Kirton (Riyanti, 2003) kemampuan tersebut sebagai perilaku “kreatif” dan “inovatif” sebagai sifat yang terdapat pada seorang wirausaha. Pengrajin industri tempe dapat dikatakan memiliki sifat-sifat wirausaha, karena melalui suatu tahapan yang panjang kacang kedelai diproses menjadi tempe, sejenis makanan yang
yang memiliki nilai gizi dan ekonomi tinggi.
Berdasarkan alasan tersebut penelitian ini akan mengkaji sifat-sifat wirausaha yang melekat pada pengrajin tempe, sebagaimana yang telah diuraikan sebagai berikut: 1) Sifat meningkatkan prestasi 2) Sifat keluwesan bergaul 3) Sifat kerja keras 4) Sifat percaya diri 5) Sifat pengambil risiko
6) Sifat inovatif 7) Sifat Mandiri
2.3.5. Motivasi Kinerja perusahaan sangat dipengaruhi oleh semangat kerja pimpinan beserta para pekerjanya. Agar semangat kerja dapat ditingkatkan diperlukan suatu motivasi. Menurut Alma (2006) motivasi adalah kemauan untuk berbuat sesuatu, sedangkan motif adalah kebutuhan, keinginan, dorongan atau impuls. Motivasi seseorang tergantung kepada kekuatan motifnya. Motif dengan kekuatan yang sangat besar akan menentukan perilaku seseorang, dengan demikian motif merupakan motivator atau penggerak motivasi.
15
Herzberg (Alma, 2006) mengemukakan bahwa motivasi seseorang akan ditentukan oleh motivatornya, sedangkan yang dapat menjadi motivator
bagi
seseorang adalah: 1) Keinginan berprestasi 2) Penghargaan atau pengakuan atas pekerjaan 3) Tantangan atas pekerjaan 4) Bertambah tanggungjawab 5) Ada kesempatan untuk maju Menurut teori motivasi Maslow, hirarki kebutuhan manusia dapat dipakai untuk melukiskan dan meramalkan motivasi seseorang. Teori ini didasarkan kepada asumsi, bahwa kebutuhan seseorang tergantung dari apa yang telah dimilikinya, dan
kebutuhan merupakan hirarki dilihat dari nilai pentingnya.
Menurut Maslow (Alma, 2006) ada lima kategori kebutuhan manusia, yaitu: 1) Fisiologis (Physiological needs) 2) Keamanan (safety needs) 3) Sosial (affiliation needs) 4) Penghargaan (recognition needs) 5) Perwujudan diri (self actualization needs) Berkaitan dengan teori Maslow,
Alma (2006) berpendapat bila suatu
tingkat kebutuhan sudah terpenuhi, maka akan muncul tingkat kebutuhan yang lebih tinggi. Namun ini tidak berarti tingkat kebutuhan yang lebih rendah harus terpenuhi seratus persen atau memuaskan, baru muncul kebutuhan yang lebih tinggi lagi.
2.4. Faktor Eksternal Kompetensi Pengrajin Tempe Seperti telah diketahui bahwa usaha kecil di Indonesia memiliki berbagai keunggulan, terutama kemampuannya di dalam menyerap tenaga kerja bila dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan besar. Namun demikian menurut Kadarisman
(2007)
perusahaan
besar
UKM dan
memiliki kendala
untuk
untuk
berkembang
meningkatkan kinerjanya,
ini
menjadi
disebabkan
keterbatasan dalam hal kemampuan produksi, akses ke pasar dan permodalan. Menurut Urata (Riyanti, 2003) usaha-usaha kecil di Indonesia banyak menghadapi kendala untuk bermain aktif di pasar, karena mereka kurang
16
memiliki kemampuan manajemen dan teknologi yang memadai, juga kurang memiliki informasi pasar. Menurut Partomo dan Soejoedono (2004) UKM menghadapi kendala dalam mempertahankan atau mengembangkan usahanya, antara lain kurangnya pengetahuan dalam mengelola usaha, kekurangan modal, dan lemah di bidang pemasaran, untuk itu pembinaan UKM pertama-tama harus ditujukan kepada upaya meningkatkan kemampuan manajemen di bidang pemasaran, keuangan dan personalia. Demikian juga menurut Haswell (Riyanti, 2003) salah satu penyebab kegagalan usaha kecil adalah lemahnya kemampuan manajerial. Menurut Ravianto (1986) manajemen merupakan landasan utama bagi peningkatan produktivitas, dengan berlandaskan manajemen yang baik, akan terkondisi tenaga kerja, modal, teknologi dan bahan baku yang tepat sesuai kinerja yang diinginkan, dengan cara mengelola masukan yang terbatas untuk menghasilkan lebih banyak produk dan jasa. Di sini terjadi hubungan antara masukan berupa sumber daya dan keluaran berupa produk dan jasa.
2.4.1. Peluang Pasar Pasar adalah orang-orang yang mempunyai keinginan untuk dipuaskan, mempunyai
uang
untuk
dibelanjakan
dan
mempunyai
kemauan
untuk
membelanjakannya. Pasar juga dapat berarti sejumlah permintaan barang dan jasa oleh pembeli potensial (William, 1991). Sedangkan pemasaran menurut Meredith, dkk (2005), adalah
segala
sesuatu yang diperlukan untuk mengenal siapa yang menjadi konsumen, apa yang mereka butuhkan, serta bagaimana cara memuaskan mereka dengan memperoleh
keuntungan daripadanya. Pertanyaan (1) siapa yang menjadi
konsumen, (2) apa yang mereka butuhkan, dan (3) apa yang harus diberikan kepada konsumen, untuk menjawabnya diperlukan suatu penelitian pasar. Pemasaran mengidentifikasi keinginan dan kebutuhan pelanggan yang belum terpenuhi, dengan
mengukur besarnya permintaan, serta
cara yang
diinginkan pelanggan. Menurut Kotler (1990) untuk meningkatkan keberhasilan jual beli, seorang pengusaha harus melakukan analisis keinginan
pelanggan,
dan apa yang dapat diberikannya. Prinsip ini adalah mengetahui informasi tentang permintaan dan kondisi pasar, atau disebut penelitian pasar. Penelitian diperlukan untuk memperoleh informasi pasar tentang (1) tujuan pelanggan membeli, (2)
untuk apa
pelanggan membeli,
dan (3) apa
17
yang diinginkan pelanggan. Data yang dibutuhkan, sumber data dan cara memperolehnya merupakan hal yang harus diketahui oleh
pengrajin industri
tempe. Menurut Kartasapoetra (1992) dengan diperolehnya informasi pasar maka dapat diramalkan mutu produk yang diinginkan, strategi meningkatkan permintaan, dan cara penjualan yang efektif. Hasil penelitian pasar dapat memberi informasi kepada pengrajin ada tidaknya peluang pasar. Peluang pasar dapat diidentifikasi melalui
(1)
permintaan barang lebih besar dari yang ditawarkan, dan (2) mutu barang yang ditawarkan atau pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan harga yang harus dibayar oleh pelanggan. Menurut Zimmerer (Suryana, 2003) peluang pasar dapat terjadi apabila (1) pesaing tidak aktif, (2) pesaing tidak memiliki teknologi tepat guna, dan (3) pesaing tidak memiliki strategi pemasaran. Kondisi demikian terbuka peluang pasar bagi
pengrajin untuk memanfaatkannya, menurut
Scarborough (Suryana, 2003) ciri wirausaha adalah selalu mencari peluang.
2.4.2. Bahan baku Tempe dibuat dari kacang kedelai yang difermentasi. digunakan
Kedelai yang
untuk pembuatan tempe masih harus diimpor dari Amerika. Kedelai
jenis ini memiliki mutu lebih baik dibandingkan dengan kedelai lokal. Menurut Mustofa (2008) para pengrajin tempe lebih menyukai kedelai impor yang bungkilnya berukuran lebih besar dibandingkan kedelai lokal. Pengrajin tempe berupaya menjaga ketersediaan dan kesinambungan kedelai, hal ini dilakukan untuk menjamin kelancaran produksi. Sebagai anggota KOPTI,
pengrajin memperoleh prioritas untuk mendapatkan kedelai, namun
untuk menjamin kelancaran pasokan, pengrajin tidak bergantung hanya kepada satu pemasok. Selain
KOPTI, pengrajin membina hububungan baik dengan
pedagang kedelai yang berada di pasar. Menurut Meredith, dkk (2005) untuk menjamin bahwa operasi bisnis berjalan lancar, pengusaha harus memelihara hubungan baik dengan para pemasok, dan harus mampu membeli bahan dalam jumlah yang cukup sehingga dapat menjamin berlangsungnya produksi secara berkesinambungan dan menguntungkan. Bahan baku menentukan mutu produk, untuk itu bahan baku yang akan digunakan harus dijamin telah memenuhi persyaratan mutu, selain itu volume dan waktu harus sesuai kebutuhan. Menurut Suardi (2004)
untuk keperluan
18
tersebut,
pengusaha
harus
menilai dan
memilih
pemasok atas
dasar
kemampuannya menyediakan bahan baku yang memenuhi persyaratan mutu.
2.4.3. Modal Di dalam ilmu ekonomi, modal adalah salah satu faktor produksi. Menurut Suardi (2004) modal merupakan sumber daya industri yang harus ditetapkan dan disediakan. Penggunaan sumber daya harus direncanakan dan dipertimbangkan efisiensinya, termasuk untuk kebutuhan di masa yang akan datang. Pada umumnya permodalan usaha kecil
masih lemah, modal yang
dikelola biasanya adalah milik pribadi atau keluarga. Bagi usaha kecil untuk memperoleh tambahan modal melalui lembaga keuangan seperti bank tidak mudah. Namun tidak semua pengusaha mengharapkan bantuan modal, menurut Alma (2006) terdapat pengusaha
yang tidak mau berhutang, karena takut
hutang tersebut menjadi beban hidupnya. Sebaliknya ada yang berpendapat tanpa hutang, usaha akan sulit berkembang, karena penambahan modal sendiri melalui tabungan memerlukan waktu yang lama, sedangkan peluang usaha yang menguntungkan cepat berlalu. Menurut Dani dan Triyono (1994), masih banyak usaha kecil menghadapi kendala dalam memperoleh fasilitas modal yang disediakan lembaga perbankan, disebabkan: (1) tidak memiliki informasi yang cukup tentang fasilitas modal yang tersedia, (2) kendala pemenuhan persyaratan teknis dan administrasi yang ditetapkan lembaga keuangan terutama perbankan, dan (3) tidak dapat membuat proposal dengan benar.
2.4.4. Tenaga kerja Tenaga kerja yang memiliki kompetensi, merupakan aset utama bagi industri dan pemilik usaha. Meredith, dkk (2005) menyatakan bahwa tenaga kerja terampil merupakan sumberdaya langka yang biasanya kurang tersedia. Memiliki tenaga kerja yang mau mencurahkan kemampuannya secara total harus diciptakan dan dikondisikan oleh pemilik usaha. Menurut Suardi (2004) hal ini dapat dilakukan dengan cara memampukan dan memberi kesempatan kepada tenaga kerja untuk merencanakan, menerapkan, dan mengendalikan pekerjaan yang menjadi tanggungjawabnya. Kebebasan dan wewenang perlu
diberikan
kepada tenaga kerja
agar termotivasi untuk
melakukan pekerjaan dengan baik. Keterlibatan tenaga kerja secara menyeluruh,
19
akan menumbuhkan rasa memiliki dan tanggungjawab, serta
mendorong
keinginan meningkatkan kompetensi. Tenaga kerja yang memiliki kompetensi untuk mendapatkannya diperlukan suatu analisis berdasarkan (1) pengetahuan, (2) sikap, dan (3) keterampilan, yang dibutuhkan sesuai sifat dari
pekerjaan tersebut. Tempe adalah sejenis
makanan yang terbuat dari kedelai, yang dalam proses pembuatannya membutuhkan perhatian khusus yang berkaitan dengan ketaatan kepada ketentuan-ketentuan dalam pembuatan makanan. Jumlah tenaga kerja dan kualifikasi yang dibutuhkan oleh industri tempe harus disesuaikan dengan jam kerja dan kompetensi yang diperlukan dalam proses pembuatan tempe, sehingga seluruh proses dapat selesai tepat waktu dengan mutu tempe yang baik.
2.4.5. Kebijakan Pemerintah Menurut Astuti (2008) kenaikan harga kedelai yang mencapai 110% telah menyebabkan kelangkaan bahan baku kedelai di pasaran, dan menggoyahkan usaha kecil. Naiknya harga bahan baku kedelai disebabkan kebijakan pemerintah yang bergantung kepada kedelai impor untuk memenuhi 60% kebutuhan kedelai
dalam negeri dan tidak disertai peningkatan produksi di
dalam negeri. Menurut Mustofa (2008), 80% bahan baku tempe masih diimpor. Harga 1 kg kedelai saat ini mencapai Rp. 8.000; sedangkan harga normal Rp. 3.500-Rp. 4.000. Lonjakan kenaikan harga ini mulai terasa sejak November 2007; sehingga industri kecil yang memiliki modal terbatas yang umumnya menggunakan bahan baku kurang lebih 25 kg tidak mampu beroperasi. Harga kedelai yang berfluktuasi setiap hari dan terbatasnya modal, menambah berat beban industri tempe. Kondisi ini menjadi semakin sulit karena terbatasnya pasokan kedelai lokal yang diharapkan bisa mengganti penggunaan kedelai impor. Menurut Mulyo (2008) sejak awal tahun 1990, produksi kacang kedelai lokal terus menurun, sampai hilang dari pasar. Pada saat ini pengrajin tempe tidak hanya menghadapi kenaikan bahan baku kedelai, tetapi juga bahan bakar yang terus naik dan sukar diperoleh. Kondisi yang tidak menguntungkan ini,
membuat pengrajin tempe
berharap
kepada pemerintah pusat maupun daerah untuk dapat mengendalikan harga kedelai agar terjangkau.
20
2.5. Kompetensi 2.5.1. Aspek Kompetensi Menurut Mardikanto (Yustina dan Sudrajat, 2008) setiap manusia, sesuai kodratnya, masing-masing memiliki karakteristik perilaku (pengetahuan, sikap dan keterampilan)
serta daya nalar dan kreativitas yang tidak selalu sama
dengan orang lain. Karateristik seseorang
sangat menentukan kinerja dan
produktivitas seseorang. Kompetensi
menurut Finch dan Crunkilton (Mulyasa, 2005) adalah
penguasaan terhadap tugas, keterampilan, sikap dan apresiasi yang dibutuhkan untuk menunjang keberhasilan. Sumardjo (Yustina dan Sudrajat, 2008) mendefinisikan kompetensi sebagai kemampuan dan kewenangan yang dimiliki seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan, yang didasari oleh pengetahuan, keterampilan dan sikap yang sesuai dengan unjuk kerja yang ditetapkan. McAshan (Mulyasa, 2005), mengemukakan bahwa kompetensi adalah pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang dikuasai seseorang dan telah menjadi bagian dari dirinya, sehingga ia dapat melakukan perilaku kognitif, afektif, dan psikomotorik. Menurut Syah (2005) ketiga perilaku tersebut merupakan sifat psikologis seseorang. Kompetensi sebagaimana diuraikan di atas, merupakan tujuan yang ingin dicapai dalam program penyuluhan. Menurut Syahyuti (2006) dalam kegiatan penyuluhan ada tiga hal yang menjadi obyek untuk diubah, yaitu pengetahuan (aspek kognitif), sikap (aspek afektif) dan keterampilan (aspek psikomotorik). Perubahan perilaku adalah tujuan akhir dari seluruh rangkaian kegiatan penyuluhan, yaitu bertambahnya informasi, tumbuhnya keterampilan, serta timbulnya sikap mental dan motivasi yang lebih kuat sesuai dengan yang dikehendaki. Menurut Arikunto (1991) pemisahan antara ranah kognitif, afekif
dan
psikomotor merupakan sesuatu yang tidak semestinya, karena tindakan manusia merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan, segala tindakannya merupakan suatu kebulatan,
sehingga
kompetensi tidak dapat dipisahkan
menjadi tiga aspek. Ketiga aspek kompetensi tidak berdiri sendiri, tetapi selalu berhubungan satu sama lain, bahkan ada dalam kebersamaan. Seseorang yang berubah tingkat pengetahuannya sebenarnya dalam kadar tertentu telah berubah sikap dan perilakunya.
21
Aspek pengetahuan atau aspek kognitif dijelaskan Syah (2005) bahwa setiap perilaku mental yang berhubungan dengan pemahaman, pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, kesenjangan dan keyakinan. Menurut Gafur (1989) yang termasuk aspek pengetahuan ialah semua tingkah laku yang menggunakan kemampuan intelektual. Aspek sikap atau aspek afektif oleh Van den Ban dan Hawkins (2005) didefinisikan sebagai perasaan, pikiran, dan kecenderungan seseorang, yang kurang lebih
bersifat
permanen
mengenai aspek-aspek tertentu dalam
lingkungannya. Komponen-komponen sikap adalah perasaan-perasaan dan kecenderungan untuk bertindak. Sikap adalah kecenderungan evaluatif terhadap suatu obyek atau subyek yang memiliki konskuensi yakni bagaimana seseorang berhadap-hadapan dengan obyek sikap. Aspek afektif berkaitan dengan pandangan atau pendapat (opinion) dan sikap atau nilai (attitude, value), dinilai penting oleh Meredith, dkk (2005) dengan menegaskan bahwa prestasi total sebuah usaha terutama ditentukan oleh sikap dan tindakan dari wirausahawan. Keterampilan atau aspek
psikomotor
menurut Arikunto (1991)
menunjukkan pada hal, keadaan, dan kegiatan yang melibatkan otot-otot dengan gerakan-gerakannya. Ranah psikomotor berhubungan erat dengan kerja otot, yang menyebabkan gerak tubuh atau bagian-bagiannya. Aspek ini meliputi semua tingkah laku yang menggunakan syaraf dan otot badan, menurut Esseff (Gafur. 1989) yang termasuk di dalam aspek keterampilan adalah: (1) pendengaran (auditory), (2) penglihatan (visual), ucapan (verbal), mengubah (manipulate), menulis, dan meraba. Berdasarkan definisi kompetensi yang telah diuraikan di atas, maka dalam peneltian ini kompetensi diartikan sebagai kemampuan atau kecakapan yang dimiliki pengrajin tempe dalam bentuk (1) pengetahuan, (2) sikap dan (3) keterampilan dalam bidang: pembuatan rencana usaha, produksi, pemasaran hasil produksi, evaluasi kinerja usaha, dan perbaikan mutu. Kompetensi yang dibutuhkan pengrajin tempe, dapat diidentifikasi melalui pekerjaan atau tugas yang harus dilakukan pengrajin sebagai pemilik sekaligus sebagai pekerja dan pengelola usaha atau manajer industri tempe. Identifikasi kompetensi dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan. Menurut Hall dan Prihartoro
(Mulyasa,
2005),
sumber
mengidentifikasi kompetensi, adalah:
yang
dapat
digunakan
untuk
22
1) Analisis taksonomi (taxonomic analysis) 2) Masukan dari kalangan profesional (input from the profession) 3) Membangun teori (theoretical contructs) 4) Analisis tugas (task analysis) Semua sumber yang telah dikemukakan satu sama lain saling melengkapi, dengan demikian bila
proses pengidentifikasian menggunakan
berbagai sumber akan diperoleh hasil yang lebih baik.
2.5.2. Kompetensi Pengrajin Tempe Pengrajin tempe sebagai pemilik sekaligus pengelola usaha, akan mencapai kinerja yang tinggi bila fungsi-fungsi manajemen berproses dengan benar. Menurut
Terry dan Rue (1988) terdapat lima fungsi manajemen, yaitu:
perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), kepegawaian (staffing), pengarahan (motivating), dan pengawasan (controlling). Menurut Herjanto (2004) kegiatan manjemen memerlukan pengetahuan yang luas karena mencakup berbagai fungsi manajemen, seperti sumber daya manusia, material, modal, mesin, manajemen atau metode, enerji, dan informasi, yang diintegrasikan untuk menghasilkan barang atau jasa. Integrasi merupakan penggabungan dua atau lebih sumber daya dalam berbagai kombinasi yang terbaik. Pengrajin sebagai manajer dituntut untuk mempunyai kemampuan kerja secara efisien agar dapat mengoptimalkan penggunaan sumber daya dan memperkecil limbah. Menurut Ravianto (1986) tugas seorang manajer pada dasarnya adalah plan, do, check, dan action, yaitu merencanakan, mengimplementasikan yang telah direncanakan, melakukan evaluasi dan melakukan perbaikan. Menurut Suardi (2004) sistem manajemen mutu, menempatkan pelanggan sebagai unsur penting dengan cara meletakkan plan, do, check, dan action, sebagai metode perumusan seluruh proses operasi industri. Perencanaan (planning) menurut Ely (Gafur, 1989) adalah suatu proses dan cara berpikir yang dapat membantu menciptakan hasil yang diharapkan. Menurut Siagian (1993) perencanaan pada dasarnya merupakan pengambilan keputusan sekarang tentang hal-hal yang akan dikerjakan di masa depan. Berarti apabila fokusnya pada
perencanaan usaha industri tempe, maka langkah-
langkah atau kebijakan tertentu yang harus diambil pengrajin tempe guna
23
menjamin proses produksi berjalan sesuai tujuan yang ingin dicapai, untuk itu perencanaan memuat
hal-hal yang berkaitan dengan strategi
pengadaan
bahan baku, penggunaan peralatan, tenaga kerja, modal, tempat usaha dan pemasaran. Dalam mengelola usaha, pengrajin akan menghadapi berbagai ketidak pastian dan keterbatasan sumberdaya, untuk mencapai kinerja yang maksimal atau memperkecil risiko yang harus ditanggung pengrajin, maka membuat rencana usaha merupakan suatu kebutuhan. Menurut Gafur (1989) pentingnya suatu perencanaan adalah: (1) mengganti keberhasilan yang diperoleh secara tidak pasti, (2) sebagai alat untuk menemukan dan memecahkan masalah, dan (3) memanfaatkan sumberdaya secara efektif. Produksi (do) merupakan implementasi dari rencana yang telah dibuat. Secara umum menurut Herjanto (2004) produksi merupakan suatu kegiatan yang berhubungan dengan penciptaan/pembuatan barang, jasa, atau kombinasinya, melalui proses transformasi dari masukan sumber daya produksi (tenaga kerja, kedelai, modal, peralatan, manajemen atau metode, dan informasi) menjadi keluaran yang diinginkan (tempe yang bermutu). Evaluasi merupakan pengukuran (Check) terhadap proses yang sedang dan sudah berjalan
serta
produk yang
dihasilkan. Menurut Suardi (2004)
evaluasi kinerja harus memberikan dasar mengenai apa yang seharusnya terjadi dengan usaha pada faktor atau bidang tertentu yang harus diperbaiki efektivitas, efisiensi, dan adaptibilitasnya. Evaluasi pada industri tempe mencakup mutu tempe, omset yang diperoleh. Mutu tempe merupakan pencerminan kedelai dan proses produksi yang baik, sedangkan omset mencerminkan kinerja pemasaran. Hasil evaluasi merupakan informasi yang harus ditindaklanjuti (action). Efektivitas tindakan perbaikan merupakan tolak ukur kemauan dan komitmen pengrajin tempe terhadap mutu. Dengan mengidentifikasi pekerjaan pengrajin tempe,
dapat
diketahui
kompetensi yang harus dimiliki pengrajin tempe dalam bentuk pengetahuan, sikap dan keterampilan, sebagai pembuat sekaligus sebagai pengelola usaha industri tempe. Identifikasi dilakukan melalui pengkajian proses pembuatan tempe grade I yang dikemukakan
Rayandi (2008). Diagram alir proses
pembuatan tempe grade I disajikan pada Gambar 1.
24
Kacang Kedelai
Mensortir dan membersihkan kacang kedelai
Merebus kacang kedelai I Mengupas dan memisahkan kulit kacang kedelai
• •
Kedelai yang rusak atau busuk dibuang. Kedelai dibersihkan dari kotoran yang menempel/kerikil.
•
Kedelai direbus selama 1-2 jam. Perebusan dilakukan untuk mematangkan dan mengembangkan kedelai.
•
Kedelai ditekan-tekan menggunakan mesin memisah kulit. Kacang kedelai yang telah terlepas dari kulitnya direndam agar kulitnya mengambang. Kulit yang telah mengambang dibuang.
• •
Merendam kacang kedelai
Merebus kacang kedelai II
Meniriskan kacang kedelai
Melakukan inokulasi
•
Kedelai yang sudah bersih dari kulitnya, direndam di dalam air bersih selama 12 -15 jam.
•
Kedelai direbus selama 1-2 jam. Perebusan bertujuan menghilangkan bau dan bakteri selama perendaman.
•
Kedelai ditiriskan selama 1-2 jam, di atas tampah, dengan cara meletakkan kacang kedelai secara merata dan tipis.
•
Kacang kedelai yang sudah dingin dan kering diinokulasi dengan ragi (kapang rhizopus). Jumlah ragi yang diberikan 2% dari berat kacang kedelai.
•
Mencetak dan membungkus
•
•
Melakukan fermentasi
• • • •
Memanen dan mensortir tempe sebelum dijual
•
Tempe dicetak dan dibungkus menggunakan daun pisang/pelastik. pembungkus harus dibuat berlubanglubang agar ragi memperoleh udara selama fermentasi. Ukuran cetakan sesuai permintaan pasar. Kacang kedelai yang telah dibungkus disimpan selama 36 jam di rak-rak. Penyimpanan tidak dilakukan dengan cara ditumpuk. Selanjutnya tempe ditutup dengan karung goni yang tidak pernah dibuka selama proses fermentasi. Pada poses peragian tangan pekerja dan peralatan harus steril, terutama dari garam. Dicari tempe yang tidak jadi/rusak disisihkan, agar tidak turut terjual.
Tempe siap jual
Gambar 1: Diagram alir proses pembuatan tempe grade I
25
Berdasarkan proses pembuatan tempe yang tersaji pada Gambar I, maka seorang pengrajin tempe harus memiliki kompetensi sebagai berikut: 1) Kompetensi dalam bentuk pengetahuan: • Penggunaan peralatan • Pemilahan bahan yang digunakan (kedelai, kapang, air) • Teknis pembutan tempe • Kebersihan ruang dan lingkungan kerja • Keamanan pangan • Keselamatan kerja • Perawatan peralatan (kompor, rak fermentasi, tampah, ember, tong, garpu,
cetakan, pengaduk kayu, dandang, karung goni) Pengetahuan yang berkaitan dengan pengelolaan usaha
industi tempe
meliputi: • Perencanaan usaha • Studi pasar • Pelayanan terhadap pelanggan • Evaluasi kinerja usaha • Perbaikan mutu • Pengembangan mutu • Pengelolaan dan pembukuan keuangan • Pengadaan kedelai • Pengelolaan tenaga kerja 2) Kompetensi dalam bentuk sikap terhadap: • Kebersihan peralatan (kompor, rak fermentasi, tampah, ember, tong, garpu, cetakan, pengaduk kayu, dandang, karung goni) • Penggunaan bahan (kedelai, kapang, air) • Prosedur standar pembuatan tempe • Kebersihan ruang dan lingkungan kerja • Keamanan pangan • Keselamatan kerja • Pelayanan kepada pelanggan
26
3) Kompetensi dalam bentuk keterampilan: •
Menggunakan dan memelihara peralatan (kompor, rak fermentasi, tampah, ember, tong, garpu, cetakan, pengaduk kayu, dandang, karung goni)
•
Memilih bahan yang akan digunakan (kedelai, kapang, air)
•
Membersihkan ruang dan lingkungan kerja
•
Menjaga keselamatan kerja
•
Membuat rencana usaha
•
Membukukan keuangan
•
Melakukan evaluasi dan perbaikan mutu
•
Menerapkan sistem manajemen mutu
•
Melakukan studi pasar
•
Melayani pelanggan
•
Membuat tempe, meliputi: −
Mensortir dan membersihkan kacang kedelai
−
Merebus kedelai ke 1
−
Mengupas dan memisahkan kulit kedelai
−
Merendam kedelai
−
Merebus kedelai ke 2
−
Meniriskan kedelai
−
Melakukan inokulasi
−
Mencetak dan membungkus
−
Melakukan fermentasi
−
Memanen dan mensortir tempe sebelum dijual
Tingkat kompetensi pengrajin industri tempe, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, dipengaruhi oleh dua aspek, yaitu aspek internal dan eksternal. Aspek internal adalah faktor yang melekat pada diri pengrajin sebagai pelaku industri, sedangkan aspek eksternal adalah faktor yang berada di luar diri pengrajin. Faktor internal yang mempengaruhi kompetensi adalah: usia, pengalaman, pendidikan formal, adalah
sifat wirausaha dan motivasi. Sedangkan faktor eksternal
peluang pasar, bahan baku,
pemerintah daerah.
modal,
tenaga kerja, dan
kebijakan
27
2.6. Kinerja Industri Tempe Menurut Riyanti (2003) salah satu langkah untuk mengukur keberhasilan usaha kecil adalah melakukan penilaian kinerja. Rue dan Byars (Riyanti, 2003) mendefinisikan kinerja sebagai tingkat pencapaian hasil atau tingkat pencapaian tujuan organisasi. Menurut Ghost (Riyanti, 2003) pencapaian tujuan dari suatu industri atau usaha kecil,
dapat diukur dari
perolehan laba bersih. Laba bersih memberi
gambaran kinerja suatu perusahan, namun bagi usaha kecil angka-angka yang pasti bukan sesuatu yang mudah.
Oleh sebab itu untuk
mengukur
kinerja
industri tempe, dalam penelitian ini menggunakan omset hasil penjualan selama satu bulan. Penggunaan parameter ini
karena omset mempunyai korelasi positif
dengan laba. Omset juga mempunyai korelasi dengan
mutu produk, maka
dalam penelitian ini aspek mutu juga dijadikan alat untuk menilai kinerja industri tempe. Menurut Prawirosentono (2007) produk bermutu prima akan lebih atraktif bagi konsumen, bahkan akhirnya dapat meningkatkan volume penjualan. Lebih dari itu, produk bermutu mempunyai aspek penting lain, yakni: 1) Konsumen yang membeli produk berdasarkan mutu, umumnya mempunyai loyalitas yang besar dibandingkan dengan konsumen yang membeli produk berdasarkan orientasi harga. 2) Memproduksi produk bermutu tidak harus lebih mahal, karena bagaimana cara yang digunakan untuk meningkatkan produktivitas. 3) Menjual produk yang tidak bermutu, pengusaha akan banyak menerima keluhan, dan citra terhadap produknya tidak baik. Berdasarkan ketiga faktor tersebut di atas, memproduksi tempe bermutu lebih
menguntungkan
dibandingkan dengan
memproduksi
tempe bermutu
rendah. Industri yang dapat menghasilkan tempe bermutu akan memperoleh banyak pembeli, yang berarti meningkatnya omset. Mutu kedelai dan proses pembuatan menentukan mutu tempe yang dihasilkan. Tempe yang bermutu baik dapat dilihat dari proses pembuatan, persentase kedelai dan dipengaruhi oleh
mutu kedelai yang digunakan. Mutu tempe juga
waktu simpan sejak dipanen sampai dimasak.
Menurut
28
kalangan profesional ciri-ciri tempe yang masih baik dan sudah buruk dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Ciri-ciri tempe yang baik dan buruk Aspek Mutu
Baik
Buruk
1. Visual
• Putih merata
• Putih ada banyak bercak hitam
2. Tekstur
• Sedang
• Lembek
3. Aroma
• Khas tempe baru (seperti aroma kedelai rebus)
• Khas tempe hampir busuk (berbau amoniak)
Mutu tempe dibagi berdasarkan persentase kandungan kedelai, dan proses perebusannya. Pembagian mutu tempe disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Pembagian grade mutu tempe Mutu Tempe
Persentase Kedelai
Proses Perebusan
1. Grade I (Sangat baik/Super)
100%
2X
2. Grade I (Baik)
100%
1X
3. Grade III (Cukup baik)
± 90%
1X
4. Grade IV (Kurang baik)
± 80%
1X
29
III. KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS 3.1. Kerangka Berpikir Setelah menelaah tinjauan pustaka yang diuraikan pada Bab 2, dapat diketahui
bahwa
keberhasilan dalam
kompetensi
pengrajin
tempe
berhubungan
dengan
mengelola usaha, sedangkan kompetensi berhubungan
dengan faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi (1) usia, (2) pengalaman, (3) pendidikan formal, (4) sifat kewirausahaan, dan (5) motivasi. Sedangkan faktor eksternal meliputi (1) peluang pasar, (2) ketersedian bahan baku, (3) modal, (4) tenaga kerja, dan (5) kebijakan pemerintah. Sejauh mana keberhasilan usaha industri tempe, untuk mengetahuinya digunakan parameter kinerja yang
dicapai. Rue dan Byars (Riyanti, 2003)
mendefinisikan kinerja sebagai tingkat pencapaian hasil atau tingkat pencapaian tujuan organisasi. Berdasarkan hubungan antara kompetensi pengrajin dengan kinerja industri tempe, dapat dirancang kerangka berpikir yang terdiri dari dua peubah tak bebas yakni, kompetensi pengrajin tempe (Y1), dan kinerja industri tempe (Y2), untuk peubah bebas dibagi menjadi
dua yaitu faktor
internal (X1) dan
eksternal (X2). Kompetensi pengrajin
tempe (Y1) memuat aspek: membuat rencana
usaha, memproduksi, memasarkan hasil produksi, melakukan evaluasi kinerja usaha, dan melakukan perbaikan mutu. Sedangkan untuk kinerja industri tempe (Y2) memuat aspek: omset dan mutu tempe. Faktor internal (X1) terdiri dari, usia (X1.1), pengalaman (X1.2), pendidikan formal (X1.3), sifat wirausaha (X1.4), dan motivasi (X1.5). Faktor eksternal (X2) terdiri dari: peluang pasar (X 2.1), bahan baku (X
2.2),
modal (X
2.3),
tenaga kerja
(X 2.4), dan kebijakan pemerintah (X2.5). Berdasarkan
uraian
kerangka
berpikir
tersebut,
maka
penelitian
“Hubungan Kompetensi Pengrajin Dengan Kinerja Industri Tempe: Kasus Usaha Kecil Anggota KOPTI Kabupaten Cianjur” disajikan dalam diagram Gambar 2.
30
Faktor Eksternal (X 2)
Faktor Internal (X 1)
1. Peluang pasar (X 2.1) 2. Bahan baku (X 2.2) 3. Modal (X 2.3) 4. Tenaga kerja (X 2.4) 5. Kebijakan Pemerintah (X 2.5)
1. Usia (X 1.1) 2. Pengalaman (X 1.2) 3. Pendidikan Formal (X 1.3) 4. Sifat wirausaha (X 1.4) 5. Motivasi (X 1.5)
KOMPETENSI PENGRAJIN TEMPE (Y 1) 1. Pengetahuan
• • • • •
2. Sikap 3. Keterampilan
Membuat rencana usaha Memproduksi Memasarkan hasil produksi Melakukan evaluasi kinerja usaha Melakukan perbaikan mutu
Kinerja Industri Tempe (Y2) 1. Omset 2. Mutu tempe
Kesejahteraan Pengrajin Tempe Meningkat
Gambar 2: Kerangka berpikir peneliti
3.2. Hipotesis Sesuai dengan tujuan penelitian dan kerangka berpikir yang telah dikemukakan, maka dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut: 1) Terdapat hubungan nyata positif antara faktor internal dan eksternal dengan kompetensi pengrajin tempe 2) Terdapat hubungan nyata positif antara kompetensi pengrajin tempe dengan kinerja industri tempe
31
IV. METODE PENELITIAN 4.1. Populasi dan Sampel Populasi penelitian adalah semua pengrajin industri tempe yang menjadi anggota aktif Koperasi Produsen Tempe-Tahu Indonesia (KOPTI) Kabupaten Cianjur. Jumlah populasi
adalah 39 orang, berdomisili di Kabupaten Cianjur
Provinsi Jawa Barat. Pengumpulan data dilakukan secara sensus dari 39 orang pengrajin tempe.
4.2. Rancangan Penelitian Penelitian ini dirancang sebagai penelitian deskriptif korelasional dengan dua peubah
bebas,
yaitu
faktor internal (X1) dan
faktor eksternal (X2).
Sedangkan sebagai peubah tak bebas adalah kompetensi pengrajin tempe (Y1) dan kinerja industri tempe (Y2). Ada tidaknya hubungan antara faktor internal dan
eksternal dengan
kompetensi pengrajin tempe, serta kompetensi pengrajin dengan kinerja industri tempe, dilakukan uji statistik, dengan pendekatan kuantitatif, dan untuk menjelaskan makna hasil uji statistik digunakan data kualitatif berdasarkan data di lapangan dan teori-teori yang dapat mendukung penelitian ini.
4.3. Data dan Instrumentasi 4.3.1. Data. Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan sekunder, berbentuk kualitatif dan kuantitatif. Data-data kompetensi pengrajin industri tempe yang berkaitan dengan aspek kognitif menyangkut masalah benar/salah, yang didasarkan atas dalil, hukum, prinsip pengetahuan. Sedangkan aspek psikomotor untuk mengetahui tingkat keterampilan pengrajin (Arikunto, 1991). Aspek afektif menyangkut masalah pandangan atau pendapat, sikap atau nilai berdasarkan norma yang diakui oleh subyek yang bersangkutan menggunakan Skala Likert (Oppenheim, 1992)
4.3.2. Instrumentasi Instrumen atau alat yang dipakai adalah kuesioner, daftar pertanyaan, dan daftar pengamatan, yang digunakan untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas terhadap
peubah-peubah yang dikaji dalam penelitian ini. Daftar
32
pertanyaan untuk peubah bebas meliputi usia, pengalaman, pendidikan formal, sifat wirausaha, motivasi, peluang pasar, bahan baku, modal, tenaga kerja, dan kebijakan pemerintah. a) Uji Validitas Menurut Ancok (Singarimbun dan Effendi, 1989) validasi menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur dapat mengukur apa yang ingin diukur. Ada beberapa jenis validasi, seperti: (1) validasi konstruk, (2) validasi isi, (3) validasi prediktif, (4) validasi eksternal, (5) validasi rupa, dan (6) validasi budaya. Penelitian ini menggunakan
validasi konstruk,
kerangka dari suatu
konsep, dengan cara menguji validasi alat ukur yang digunakan, yaitu dengan cara menyusun tolak ukur operasional dari suatu kerangka konsep atau teori. Upaya yang dilakukan untuk menguji validasi adalah: 1) Mendefinisikan secara operasional konsep yang akan diukur, dengan mengacu kepada konsep-konsep yang dikemukakan para ahli yang disajikan di dalam pustaka. Atau konsultasi dengan komisi pembimbing atau para ahli, dan berbagai pihak yang dianggap menguasai materi yang terdapat di dalam kuesioner. Dapat juga dengan menyusun definisi sendiri dengan bantuan atau konsultasi dengan responden, atau melakukan uji coba daftar pertanyaan sebelum dilakukan sebagai alat pengumpul data. 2) Melakukan uji coba skala pengukuran pada sejumlah responden. 3) Menyiapkan tabel jawaban tabulasi (dummy tables) 4) Menghitung korelasi antara masing-masing pernyataan. b) Uji Reliabilitas Reliabilitas adalah suatu pengertian bahwa suatu instrumen dapat dipercaya sebagai alat ukur pengumpul data. Sejalan dengan pendapat ini, Ancok (Singarimbun dan Effendi, 1989) merumuskan bahwa reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Menurut Ancok (Singarimbun dan Effendi, 1989) cara yang dapat digunakan untuk menghitung reliabilitas, adalah: (1) teknik pengukuran ulang, (2) teknik bentuk paralel, dan (3) teknik belah dua.
Menurut Arikunto (1991)
teknik belah dua dapat dilakukan dengan cara memisahkan antara nomor
33
pertanyaan ganjil dengan nomor pertanyaan genap atau antara nomor-nomor pertanyaan awal dan nomor-nomor pertanyaan akhir. Penelitian ini menggunakan teknik belah dua berdasarkan pemisahan antara nomor- nomor pertanyaan awal dan akhir, dengan cara sebagai berikut: 1) Menyajikan alat pengukur kepada sejumlah responden, kemudian dihitung validitas pertanyaannya, yang tidak valid dibuang. 2) Pertanyaan-pertanyaan yang valid dibagi dua, berdasarkan nomor-nomor pertanyaan awal dan akhir 3) Skor untuk masing-masing belahan dijumlahkan. 4) Mengkorelasikan jumlah skor dari ke dua belahan tersebut dengan menggunakan rumus Spearman Brown sebagai berikut: 2 ( r. tt ) r. tot = 1 + r. tt Keterangan: r. tot : angka reliabilitas keseluruhan item r. tt : angka korelasi belahan pertama (pertanyaan nomor-nomor awal) dan belahan kedua (pertanyaan nomor-nomor akhir) Uji coba instrumen dilakukan di Kecamatan Muka Kabuapten Cianjur, kepada 10 orang pengrajin yang berada di luar populasi penelitian, tetapi memiliki karateristik dan kondisi yang hampir sama dengan responden. Hasil uji reliabilitas instrumen menunjukkan bahwa r 0,444 dan r
tabel
hitung
= 0,624. dengan r
tabel
(5%) =
(1%) = 0,561. Hasil ini menunjukkan bahwa instrumen yang
diujicobakan dapat dipercaya, karena r hitung > r tabel. 4.4. Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan pada Bulan September-November 2008 di Kabupaten Cianjur. Data primer dikumpulkan melalui wawancara
langsung,
pengisian angket, dan observasi (kuesioner selengkapnya dapat dilihat dalam lampiran). Pengumpulan data dilakukan oleh peneliti sendiri. Instrumen dan alat bantu pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini telah disiapkan, sekaligus sebagai pedoman bagi peneliti. Responden memberikan jawaban berdasarkan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan peneliti. Data sekunder yang
34
berkaitan dengan penelitian diperoleh dari beberapa instansi terkait, yaitu (1) KOPTI Kabupaten Cianjur, dan (2) Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kabupaten Cianjur.
4.5. Analisis Data Keseluruhan data yang telah diperoleh, ditabulasi dan dianalisis hubungan antara dua peubah atau lebih, dengan cara menghitung korelasi antara peubah. Korelasi merupakan angka yang menunjukkan arah dan kuatnya hubungan antara dua peubah atau lebih, arah dinyatakan dalam bentuk hubungan positif atau negatif, sedangkan kuatnya hubungan dinyatakan dalam besarnya koefisien korelasi (Sugiyono, 2007) Pengujian hipotesis menggunakan statistik non parametrik, untuk mengukur kuatnya hubungan antara peubah bebas dengan tak bebas, dilakukan analisis dengan menggunakan
Koefisien Rank Spearman
pada
taraf
kepercayaan 0,05 dan 0,01 (Siegel, 1990). Menurut Sugiyono (2007) untuk interprestasi koefisien korelasi digunakan matrik koefisien korelasi dan tingkat hubungan yang terdapat pada Tabel 3. Pengolahan data menggunakan program SPSS 14.0. Tabel 3 Koefisien korelasi dan tingkat hubungan Interval Koefisien
Tingkat Hubungan
0,00 – 0,199
Sangat rendah
0,20 – 0,399
Rendah
0,40 – 0,599
Sedang
0,60 – 0,799
Kuat
0,80 – 1,000
Sangat kuat
35
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Gambaran Umum Daerah Penelitian Secara geografis, Kabupaten Cianjur terletak antara 1060,42’ – 1070,25’ BT, dan 60,21’– 70,25’ LS. Berjarak 65 km dari Kota Bandung Ibu Kota Provinsi Jawa Barat, dan 120 km dari DKI Jakarta, Ibu Kota Negara RI.
Secara
administratif Kabupaten Cianjur berbatasan dengan: • Sebelah Utara: Berbatasan dengan Wilayah Kabupaten Bogor
dan
Purwakarta • Sebelah Timur: Berbatasan dengan Wilayah Kabupaten Bandung dan Garut • Sebelah Selatan: Berbatasan dengan Samudra Indonesia • Sebelah Barat: Berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi Luas wilayah Kabupaten Cianjur adalah 350.148 hektar (3.501,47 km2), terdiri dari lahan sawah 62.894 hektar dan lahan darat 287.254 hektar, dengan jumlah penduduk 2.125.023 jiwa. Sektor pertanian merupakan mata pencaharian utama, penduduk yang bekerja pada sektor ini mencapai 57,49%. Sektor industri sebanyak 4,54%.
Mata pencaharian penduduk yang berusia di atas 10 tahun
tersaji pada Tabel 4. Tabel 4 Mata pencaharian penduduk yang berusia di atas 10 tahun di Kabupaten Cianjur Uraian 1. Pertanian 2. Pertambangan / galian 3. Industri 4. Listrik, gas dan air 5. Konstruksi 6. Perdagangan 7. Traspor dan komunikasi 8. Keuangan 9. Jasa Jumlah (Sumber. BPS. Kab. Cianjur. 2006)
Jumlah
Persen (%)
503.090
57,49
4.313
0,49
39.717
4,54
1.782
0,20
44.763
5,12
153.497
17,54
63.483
7,25
9.730
1,11
54.745
6,26
875.120
100
36
Penduduk berusia di atas 10 tahun sebagian besar berpendidikan SD/MI (52,39%), yang berpendidikan sarjana mencapai 1,81%. Tingkat pendidikan penduduk berusia di atas 10 tahun secara rinci disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Tingkat pendidikan penduduk yang berusia di atas 10 tahun di Kabupaten Cianjur Uraian
Jumlah
Persen (%)
1. Tidak pernah sekolah
39.820
2.34
2. Tidak/belum tamat SD
450.995
26,46
3. SD/MI
892.987
52,39
4. SMP/MTs
174.878
10,25
5. SMA/SMK/MA
115.008
6,75
30.800
1,81
170.448.8
100
6. S1 Jumlah (Sumber. BPS. Kab. Cianjur. 2006)
5.2. Gambaran Umum Usaha Kecil Industri Tempe
5.2.1. Pengrajin Tempe Pengrajin tempe berusia rata-rata 38,8 tahun, dengan rentang 25-50 tahun, 82% berpendidikan SD dan SMP, dengan rentang tidak tamat SD-SMA. Proses belajar membuat tempe diperoleh melalui magang atau bekerja pada industri tempe milik orang tua atau orang lain. Lamanya proses belajar, dilakukan sampai mampu membuat tempe sendiri atau terbukanya kesempatan untuk mempunyai usaha sendiri, biasanya berlangsung selama 1-5 tahun. Selain sebagai pengrajin tempe sebanyak 5 orang (12,8%) memiliki pekerjaan lain yang sifatnya kerja “sampingan”. Tiga tahun terakhir, sebanyak 7 orang pengrajin (17,9%) dari seluruh responden memperoleh kesempatan mengikuti pelatihan atau penataran yang berkaitan dengan pengembangan usaha kecil, diselenggarakan oleh dinas terkait. Pelatihan yang berkaitan dengan pengembangan teknologi pembuatan tempe belum ada. Kompetensi pengrajin tempe dalam penelitian ini
adalah kemampuan
atau kecakapan yang dimiliki dalam bentuk (1) pengetahuan, (2) sikap mental, dan (3) keterampilan, dalam bidang: membuat rencana usaha, memproduksi
37
dan memasarkan hasil produksi, melakukan evaluasi kinerja usaha, dan melakukan perbaikan mutu. Kompetensi pengrajin tempe termasuk dalam kategori baik (Tabel 12) Tujuan pengrajin tempe menjadi anggota KOPTI adalah
memperoleh
kedelai dengan harga murah dibandingkan dengan harga di pasar. Dicabutnya subsidi harga kedelai oleh pemerintah menjadikan harga kedelai di KOPTI relatif sama dengan harga di pasar. Kondisi ini berdampak kepada mengendurnya hubungan pengrajin tempe dengan KOPTI, juga hubungan antar anggota. Kurangnya komunikasi antar anggota KOPTI dan sifat wirausaha yang dimiliki pengrajin tempe termasuk dalam kategori cukup (Tabel 7), serta belum adanya
penyuluhan untuk
usaha industri tempe, diduga menjadi penyebab
kurangnya kesadaran pengrajin tempe akan kebutuhan
terhadap informasi
inovasi baru. Kondisi ini dapat dilihat dari teknologi pembuatan tempe dan strategi pemasaran yang tidak mengalami perubahan nyata dan tidak adanya diversifikasi produk. Menurut Rogers dan Shoemaker (1986) jika seseorang sadar akan kebutuhannya, maka akan berusaha mencari informasi-informasi mengenai halhal baru, inovasi baru, guna memenuhi kebutuhannya, selanjutnya dengan informasi yang didapat digunakan untuk memperbaiki hal-hal yang perlu diperbaharui. Kesadaran pengrajin tempe terhadap perlunya peningkatan kualitas individu, sebagai insan yang dianugrahi Tuhan akal budi perlu didorong. Menurut Susanto (Yustina dan Sudradjat, 2008) penumbuh-kembangan akal budi dan pengendalian kehendak bebas hanya dapat terjadi dan tercapai jika individuindividu terpanggil dan terdorong secara sadar untuk senantiasa berada di dalam nuansa belajar. Selanjutnya Susanto menjelaskan pengertian ‘belajar’ tidak selalu harus diartikan sebagai menimba pengetahuan di bangku sekolah atau bangku kuliah, belajar dapat dilakukan di mana saja, kapan saja, dan belajar apa saja yang dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas hidup. Belum maksimalnya kesadaran pengrajin tempe terhadap perlunya belajar untuk meningkatkan kompetensinya, selain disebabkan belum adanya program penyuluhan juga dapat disebabkan oleh faktor individu. Menurut Susanto (Yustina dan Sudradjat, 2008) hal ini umumnya disebabkan: (1) lemahnya dorongan subyek untuk melakukan perubahan , antara lain karena subyek telah merasa puas dengan status quo-nya, walaupun mungkin kualitas sumber daya
38
manusianya tergolong rendah, dan (2) lemahnya dorongan atau minat subyek untuk melibatkan diri dalam proses ‘belajar’.
5.2.2. Industri Tempe Berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 9 tahun 1995, pasal 5, maka usaha industri tempe yang menjadi obyek penelitian ini termasuk dalam kategori usaha kecil, karena memiliki omset hasil penjualan tahunan tidak lebih 1 miliar rupiah (kisaran omset usaha industri tempe per tahun antara Rp. 7.200.000 – Rp. 820.000.000). Setiap industri tempe memiliki tenaga kerja yang jumlahnya 13 orang, dengan hasil produksi 1.200 kg – 11.400 kg/bulan. Mutu tempe yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Jumlah industri tempe berdasarkan mutu tempe yang diproduksi Mutu Tempe
Jumlah Industri
Persen (%)
1. Grade I (Sangat baik/Super)
2
5,13
2. Grade II (Baik)
27
69,23
3. Grade III (Cukup baik)
7
17,95
4. Grade IV (Kurang baik)
3
7,69
39
100
Jumlah
Sebanyak 69,23% industri tempe memproduksi tempe mutu
grade II
(baik), grade I (sangat baik/super), diproduksi oleh dua industri (5,13%). Tempe grade II adalah tempe yang kandungan kedelainya 100%, dan kedelainya direbus sebanyak satu kali, sedangkan tempe grade I, kandungan kedelainya sama dengan tempe grade II namun kedelainya direbus sebanyak dua kali. Perebusan kedelai yang dilakukan sebanyak dua kali akan menambah biaya produksi untuk bahan bakar,
sedangkan rasa
tempe grade I dengan
grade II tidak berbeda nyata. Tempe grade I dapat simpan selama 3 hari, sedangkan tempe grade II selama 2 hari, lebih dari itu tempe akan mengalami proses pembusukan. Jumlah industri tempe yang melakukan perebusan kedelai sebanyak satu kali, mencapai 94,87%. Proses produksi yang dilakukan pengrajin tempe disajikan pada Gambar 3.
39
Kacang Kedelai
Mensortir dan membersihkan kacang kedelai
Merebus kacang kedelai
• •
Kedelai yang rusak atau busuk dibuang. Kedelai dibersihkan dari kotoran yang menempel/kerikil.
•
Kedelai direbus selama 1-2 jam, dengan air bersih (seluruh air yang digunakan dalam proses pembuatan tempe tidak mengandung garam dan kaporit). Perebusan dilakukan untuk mematangkan dan mengembangkan kedelai.
•
Merendam kacang kedelai
Mengupas dan memisahkan kulit kacang kedelai
•
Kedelai yang sudah direbus direndam di dalam air bersih selama 12 -15 jam.
•
Kedelai ditekan-tekan menggunakan mesin pemisah kulit. Kedelai yang kulitnya sudah terlepas direndam dalam air agar kulitnya mengambang Kulit yang telah mengambang dibuang.
• •
Meniriskan kacang kedelai
Melakukan inokulasi
•
Kedelai ditiriskan selama 1-2 jam, di atas tampah, dengan cara meletakkan kacang kedelai secara merata dan tipis.
•
Kacang kedelai yang sudah dingin dan kering diinokulasi dengan ragi (kapang rhizopus). Jumlah ragi yang diberikan 2% dari berat kacang kedelai.
•
Mencetak dan membungkus
•
• • Melakukan fermentasi • •
Memanen dan mensortir tempe sebelum dijual
•
Tempe dicetak dan dibungkus menggunakan daun pisang/pelastik. pembungkus harus dibuat berlubanglubang agar ragi memperoleh udara selama fermentasi. Ukuran cetakan sesuai permintaan pasar. Kacang kedelai yang telah dibungkus disimpan selama 36-38 jam di rak-rak. Penyimpanan tidak dilakukan dengan cara ditumpuk. Pada poses peragian tangan pekerja dan peralatan harus steril, terutama dari garam. Dicari tempe yang tidak jadi/rusak disisihkan, agar tidak turut terjual.
Tempe siap dijual
Gambar 3. Diagram alir proses pembuatan tempe grade II.
40
Secara umum masalah yang dihadapi usaha industri tempe adalah: • Harga kedelai terus naik hingga 110% dari harga normal Rp 3.500 – Rp 4.000 menjadi Rp 8.000 per kg. Lonjakan kenaikan harga kedelai terjadi sejak bulan November 2007 (Mustofa, 2008). • Adanya persaingan yang kurang sehat antar pengrajin, yang dilakukan dengan cara menurunkan harga jual tempe. • Belum adanya program penyuluhan dari instansi terkait.
5.3. Identifikasi Faktor Internal Pengrajin Tempe Menurut Rogers dan Shoemaker (1986) karateristik individu adalah bagian dari diri pribadi dan melekat pada diri seseorang, karateristik mendasari tingkah laku seseorang dalam situasi kerja maupun situasi yang lain. Karateristik individu disini merupakan
faktor internal pengrajin tempe yang berhubungan dengan
kompetensi . Kelima faktor tersebut disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Identifikasi faktor internal pengrajin tempe No
1.
2.
3.
4.
5.
Faktor Internal Usia
Pengalaman
Pendidikan formal
Sifat wirausaha
Motivasi
Keterangan: n = 39.
Rataan
Kisaran
38,8 tahun (sedang)
25 – 50 tahun
15,1 tahun (cukup)
SMP (tamat SMP)
Skor 91,1 (cukup)
Skor 24,3 (tinggi)
5 – 30 tahun
Tidak tamat SD-SMA
Skor 82 – 107
Skor 15 – 28
Kategori
Persen * (%)
sangat muda (≤ 31 tahun)
10,3
muda (31,1- 37 tahun)
33,3
sedang (37,1 - 43 tahun)
48,7
tua (> 43 tahun)
7,7
kurang (≤ 12 tahun)
25,6
cukup (12,1 - 18 tahun)
38,2
lama (18,1 - 24 tahun)
28,5
sangat lama (>24 tahun)
7,7
tidak tamat SD
10,1
tamat SD
35,9
tamat SMP
46,1
tamat SMA
7,9
kurang (skor ≤ 89)
18,0
cukup (skor 89,1 - 95)
61,5
baik (skor 95,1 - 101)
17,9
sangat baik (skor > 101)
2,6
kurang (skor ≤ 18,3)
12,8
cukup (skor 18,4 - 21,6)
23,1
tinggi (skor 21,7 - 25,0)
56,4
sangat tinggi (skor > 25,0)
7.7
* persen dari jumlah responden
41
5.3.1. Usia Tabel 7 menunjukkan pada umumnya usia pengrajin tempe termasuk dalam kategori sedang, dengan usia rata-rata 38,8 tahun. Kisaran usia tersebut termasuk dalam kelompok usia produktif atau usia kerja. Tenaga kerja atau manpower umumnya adalah mereka yang berusia antara 15 – 65 tahun, di mana pada usia tersebut seseorang sedang memilih bidang pekerjaan yang sesuai dengan bakat dan minat, serta
mencoba untuk berkarier (Syahyuti,
2006). Aktivitas dan tujuan hidup orang-orang yang berada pada kelompok usia produktif, menjadikan usia berpengaruh terhadap tinggi rendahnya prestasi kerja (Hurlock dalam Riyanti, 2003). Pengrajin tempe yang berusia di bawah atau sama dengan 31 tahun sebanyak 10,3%, hal ini menunjukkan bahwa usaha industri tempe diduga kurang menarik bagi orang-orang yang berusia sangat muda, karena usaha ini dinilai kurang menguntungkan. Banyak
industri kecil yang menggunakan
kedelai sebagai bahan baku, tidak mampu beroperasi (Mustofa, 2008). Naiknya harga kedelai dan biaya produksi secara terus menerus, tidak dapat diimbangi dengan menaikkan harga jual tempe, hal ini disebabkan
lemahnya daya beli
masyarakat, data BPS (2004-2007) menunjukkan kenaikan harga sembako melampaui kenaikan daya beli masyarakat.
5.3.2. Pengalaman Pengalaman yang dimiliki pengrajin tempe rata-rata mencapai 15,1 tahun, dengan kisaran 5-30 tahun. Pengalaman hampir merata pada setiap kelompok dengan penyebaran kategori sebagai berikut: kurang (25,6%), cukup (38,2%), lama (28,5%) dan sangat lama (7,7%). Pengalaman mengelola usaha memberi dampak positif terhadap perkembangan usaha, karena dengan pengalaman seseorang akan dapat mengendalikan jalannya usaha Semakin
banyak
memiliki
walaupun menghadapi berbagai kendala.
pengalaman,
akan
semakin
tangguh
dalam
menjalankan usaha. Menurut Haswell (Riyanti, 2003) pentingnya memiliki pengalaman dalam mengelola usaha kecil disebabkan
umumnya kegagalan
usaha disebabkan kurangnya pengalaman, terutama pada saat menghadapi berbagai masalah.
42
5.3.3. Pendidikan Formal Pendidikan formal pengrajin tempe pada umumnya adalah tamatan SMP (46,1%), dan SD (35,9%).
Tingkat pendidikan sangat
mempengaruhi cara
berpikir dan bertindak pengrajin tempe dalam mengelola usahanya. Pendidikan yang pernah diperoleh seseorang akan mempengaruhi pandangan dan tindakannya. Dillon dan Hardaker (1985) berpendapat bahwa pendidikan dapat mengubah pola pikir dan daya nalar seseorang. Slamet (1992) mengemukakan bahwa pendidikan seseorang mempengaruhi perilaku individu, baik dari segi pengetahuan, sikap maupun keterampilan. Riyanti (2003) berpendapat bahwa pendidikan memainkan peranan penting pada saat wirausaha mencoba mengatasi masalah, dan mengoreksi penyimpangan. Meskipun pendidikan formal bukan syarat untuk dapat mengelola usaha, namun pengetahuan yang diperoleh pada saat mengikuti pendidikan formal, memberi dasar yang baik untuk mengelola usaha. Menurut Soekanto (2002) pendidikan mengajarkan kepada individu berbagai macam kemampuan. Pendidikan memberi nilai-nilai tertentu bagi manusia, terutama dalam membuka pikiran serta menerima hal-hal baru yang lebih baik dan juga bagaimana cara berpikir ilmiah Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut di atas maka pengrajin yang memiliki pendidikan lebih tinggi memiliki peluang untuk berhasil lebih besar dari pada pengrajin yang berpendidikan lebih rendah. Karena pengrajin berpendidikan lebih tinggi lebih
yang
memiliki berbagai pengetahuan yang dapat
membantunya dalam mengelola usaha, dan lebih mudah serta lebih kritis dalam memahami persoalan usaha yang dihadapi. Pengrajin yang berpendidikan lebih tinggi akan lebih mudah belajar untuk menjadi lebih baik.
5.3.4. Sifat Wirausaha Seorang wirausahawan mampu melihat dan menilai peluang-peluang usaha, serta mampu mengoptimalisasikan sumberdaya yang dikuasai, serta mengambil tindakan dan bermotivasi tinggi dalam mengambil risiko untuk mencapai tujuan usaha (Syahyuti, 2006) Sifat wirausaha yang dimiliki pengrajin tempe termasuk dalam kategori cukup, data tersebut
mununjukkan bahwa dalam mengelola usaha pengrajin
tempe belum didukung oleh sifat wirausaha yang sangat baik, yang secara nyata mempengaruhi keberhasilan dalam mengelola usaha. Menurut Riyanti (2003)
43
sebagian besar keberhasilan usaha khususnya usaha kecil, sangat ditentukan oleh kepribadian wirausaha yang dimiliki pengrajin. Kadarisman (2007) berpendapat bahwa kegiatan usaha kecil yang bergerak di bidang apapun, sesungguhnya adalah proses pembelajaran bagi pengusaha untuk memperoleh sifat dan semangat wirausaha. Pendapat ini, mengandung arti bahwa kegiatan usaha kecil dapat menumbuhkan dan mengembangkan sifat dan semangat wirausaha, serta berpengaruh secara positif terhadap kompetensi pengrajin dalam mengelola usaha industri tempe. Dengan demikian pengrajin tempe yang rata-rata telah mengelola usaha selama 15,1 tahun belum menjadikan kegiatan usahanya sebagai tempat menumbuh kembangkan sifat-sifat wirausaha.
5.3.5. Motivasi Kinerja usaha tempe sangat dipengaruhi oleh kompetensi dan semangat kerja pimpinan beserta pekerjanya. Agar semangat kerja dapat ditingkatkan diperlukan
suatu motivasi. Keberhasilan seseorang sangat ditentukan
kemauannya untuk berubah, yang menurut
oleh
Alma (2006) disebut motivasi.
Motivasi pengrajin tempe rata-rata termasuk dalam kategori tinggi, dengan skor rata-rata 24,3 pada rentang skor 15-28. Motif utama pengrajin
mendirikan
usaha industri tempe adalah (1) kebutuhan akan pekerjaan untuk mendapatkan uang, (2) pasar tempe relatif stabil dan (3) tidak memiliki pilihan profesi selain sebagai pengrajin tempe. Bila dilihat dari motif pengrajin memiliki usaha industri tempe, maka berdasarkan teori Maslow pengrajin
tempe masih berada pada kategori
pemenuhan kebutuhan fisiologis (Physiological needs) dan keamanan (safety needs). Berkaitan dengan teori Maslow, Alma (2006) berpendapat bila suatu tingkat kebutuhan sudah terpenuhi, maka akan muncul tingkat kebutuhan yang lebih tinggi, namun ini tidak berarti tingkat kebutuhan yang lebih rendah harus terpenuhi seratus persen, baru muncul kebutuhan yang lebih tinggi lagi. Berdasarkan
teori Maslow dapat diketahui bahwa motivasi seseorang sangat
dipengaruhi oleh kebutuhan-kebutuhan yang ingin dicapainya.
5.4. Identifikasi Faktor Eksternal Pengrajin Tempe Faktor eksternal pengrajin tempe yang berhubungan dengan kompetensi dalam penelitian ini adalah: (1) peluang pasar, (2) bahan
baku, (3) modal,
44
(4) tenaga kerja, dan (5) kebijakan pemerintah. Secara umum faktor eksternal termasuk dalam kategori cukup, kecuali faktor tenaga kerja termasuk dalam kategori berkompeten. Kelima faktor tersebut masing-masing memiliki karateristik yang disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Identifikasi faktor eksternal pengrajin tempe No 1.
2.
3.
4.
5.
Faktor Eksternal Peluang pasar
Bahan baku
Modal
Tenaga kerja
Kebijakan pemerintah
Rataan
Kisaran
Skor 29,3 (cukup)
Skor 21 – 41
Skor 22,0 (cukup)
Skor 6,9 (cukup)
Skor 11,0 (berkompe ten)
Skor 4,5 (kurang setuju)
Keterangan: n = 39
Skor 18 – 34
Skor 4 -12
Skor 5 - 14
Skor 2-8
Kategori
Persen * (%)
kurang (skor ≤ 25)
23,1
cukup (skor 25,1– 30)
43,6
besar (skor 30,1 – 35)
25,6
sangat besar (skor > 35)
7,7
kurang (skor ≤ 22)
23,1
cukup (skor 22,1 – 26)
48,7
tersedia (skor 26,1 – 31)
23,1
sangat tersedia (skor > 31)
5,1
kurang (skor ≤ 6)
43,7
cukup (skor 6,1 – 8)
48,6
kuat (skor 8,1 – 10)
5,1
kangat kuat ( > 10)
2,6
kurang berkompeten (skor ≤ 7,25)
7,7
cukup berkompeten (skor 7,26-9,5)
31,3
berkompeten (skor 9,6-11,75)
53,3
sangat berkompeten (skor > 11,75)
7,7
tidak setuju (skor ≤ 3,5)
2,6
kurang setuju (skor 3,6-5,0)
61,5
setuju (skor 5,1-6,5)
28,2
sangat setuju (skor > 6,5)
7,7
* persen dari jumlah responden
5.4.1. Peluang Pasar Peluang pasar
rata-rata termasuk dalam kategori cukup (43,6%),
sedangkan yang termasuk dalam kategori berpeluang besar sebanyak 25,6%. Data tersebut menunjukkan bahwa pasar tempe masih terbuka, walaupun peluangnya tidak besar. Potensi pasar
dapat ditingkatkan
dengan
memproduksi tempe mutu super atau diversifikasi produk, seperti keripik tempe dan formula tempe. Mendapatkan peluang pasar bagi pengrajin tempe tidak mudah, yang menjadi kendala adalah tidak memiliki teknologi yang dapat meningkatkan nilai
45
tambah dari produk tempe atau mengurangi biaya produksi. Harga kedelai dan bahan bakar yang terus naik, dan menurunnya daya beli masyarakat, menjadikan pengrajin tidak aktif mencari peluang pasar. Berdasarkan pendapat Zimmerer (Suryana, 2003) dapat diketahui bahwa peluang pasar tidak dapat diperoleh pengrajin tempe apabila (1) tidak aktif mencari peluang pasar, (2) tidak memiliki teknologi tepat guna yang menjadikan usaha atau hasil produksi mempunyai nilai kompetitif, dan (3) tidak mempunyai strategi dalam memasarkan tempe.
5.4.2. Bahan Baku Ketersediaan kedelai sebagai bahan baku tempe secara umum termasuk dalam kategori cukup (48,7%), berdasarkan jumlah, mutu, dan waktu sesuai kebutuhan. Dengan harga berfluktuasi setiap saat secara tajam. Kelancaran produksi dapat terjamin apabila pengrajin tempe berupaya menjaga
ketersediaan dan kesinambungan kedelai dengan cara tidak
bergantung hanya kepada satu pemasok. Selain
kepada KOPTI, pengrajin
membina hubungan baik dengan pedagang kedelai yang banyak terdapat di Pasar Induk Cianjur. Menurut Meredith, dkk (2005) untuk menjamin proses produksi berjalan lancar, pengusaha harus memelihara hubungan baik dengan para pemasok, dan harus mampu membeli bahan dalam jumlah yang cukup, sehingga proses produksi terjamin kesinambungannya.
5.4.3. Modal Pada umumnya permodalan usaha kecil
masih lemah, modal yang
dikelola biasanya adalah milik pribadi atau keluarga. Bagi pengrajin usaha kecil untuk memperoleh tambahan
modal melalui lembaga keuangan seperti bank
bukan sesuatu yang mudah. Selama ini usaha kecil dituntut untuk memenuhi kriteria layak bank (bankable), yakni mengharuskan usaha kecil memiliki kelayakan usaha sesuai kriteria perbankan. Di sisi lain tidak semua pengrajin tempe menginginkan memperoleh bantuan modal,
menurut Alma (2006)
terdapat pengusaha yang tidak mau berhutang, karena takut hutang tersebut menjadi beban hidup. Seperti
disajikan
pada Tabel 8, bahwa modal rata-rata yang dimiliki
pengrajin tempe termasuk dalam kategori cukup sebagian besar
pengrajin tempe
(48,6%), dengan demikian
tidak memiliki masalah dengan modal.
46
Tingginya persentase pengrajin tempe yang tidak mempunyai kendala dengan modal, bukan berarti pengrajin tidak membutuhkan tambahan modal, tetapi lebih pada pertimbangan: • Penambahan kapasitas produksi pada saat ini belum menguntungkan, karena harga kedelai yang terus berfluktuasi, sedangkan harga tempe sulit dinaikan. • Proses untuk memperoleh kredit masih dirasakan tidak sederhana. • Kurang tersedia informasi fasilitas perbankan yang mudah dan murah. Menurut Dani dan Triyono (1994), masih banyak usaha kecil menghadapi kendala dalam memperoleh fasilitas modal yang disediakan lembaga perbankan, disebabkan: (1) tidak memiliki informasi yang cukup tentang fasilitas modal yang tersedia, (2) kendala memenuhi persyaratan teknis dan administrasi yang ditetapkan lembaga keuangan terutama perbankan dan (3) tidak dapat membuat proposal dengan baik.
5.4.4. Tenaga Kerja Tenaga kerja merupakan partner bagi pengrajin tempe, oleh karena itu tidak boleh terjadi pertentangan kepentingan antara pekerja dengan pengrajin sebagai pemilik usaha, sebab mereka saling membantu dan membutuhkan dalam menghasilan tempe (Alma, 2006) Kompetensi rata-rata tenaga kerja pada industri tempe, termasuk dalam kategori berkompeten. Kompetensi yang dimiliki tenaga kerja dalam penelitian ini
adalah kemampuan atau kecakapan yang dimiliki dalam bentuk (1)
pengetahuan, (2) sikap, dan (3) keterampilan dalam bidang produksi. Tenaga kerja yang termasuk dalam kategori cukup dan kurang mencapai 39%; hal ini disebabkan tenaga kerja yang sudah menguasai cara membuat tempe, umumnya akan berhenti untuk mencoba membuka usaha sendiri. Dengan demikian pengrajin tempe harus mencari tenaga kerja pengganti yang tentunya harus mengajarkan kembali. Memiliki tenaga kerja yang mau mencurahkan kemampuannya secara total harus diciptakan, dikondisikan dan diajarkan oleh pemilik usaha. Kebebasan dan wewenang perlu diberikan kepada tenaga kerja agar termotivasi untuk melakukan pekerjaan dengan baik. Keterlibatan tenaga kerja secara menyeluruh, akan menumbuhkan rasa memiliki dan tanggungjawab, serta keinginan untuk meningkatkan kompetensi.
mendorong
47
Menurut Suardi (2004) proses pembelajaran dapat dilakukan dengan cara memberdayakan
dan memberi kesempatan kepada tenaga kerja untuk
merencanakan, menerapkan dan mengendalikan pekerjaan yang menjadi tanggungjawabnya. Namun demikian setiap orang mempunyai hak untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. Pengrajin sebagai pimpinan usaha tidak dapat menahan tenaga kerjanya yang ingin mandiri.
5.4.5. Kebijakan Pemerintah Kebijakan pemerintah rata-rata termasuk dalam kategori kurang setuju. Unsur-unsur yang menjadi kebijakan pemerintah adalah penghapusan subsidi harga kedelai dan ketergantungan pada kedelai impor. Kebijakan pemerintah tentang penghapusan subsidi harga kedelai di tengah naiknya harga BBM dan menurunnya daya beli masyarakat,
sulit
dipahami oleh pengrajin tempe. Penghapusan subsidi kedelai telah memicu kenaikan harga kedelai sampai 110%. Kebijakan pemerintah mengimpor kedelai untuk menutupi kebutuhan dalam negeri,
tidak disertai peningkatan produksi
kedelai lokal (Astuti, 2008). Harga kedelai yang berfluktuasi setiap hari merupakan beban berat bagi industri tempe. Kondisi ini menjadi semakin sulit karena terbatasnya pasokan kedelai lokal yang diharapkan bisa mengganti penggunaan kedelai impor. Menurut Mulyo (2008) sejak awal tahun 1990, produksi kacang kedelai lokal terus menurun sampai hilang dari pasar, hal ini disebabkan masuknya kedelai impor hingga mencapai 80%. Pada saat ini harga 1 kg kedelai mencapai Rp 8.000, sedangkan harga
normal Rp 3.500 - Rp 4.000. Tingginya kenaikan
harga kedelai menyebabkan bertambahnya
biaya produksi, sehingga pengrajin
tempe dengan modal terbatas yang pada umumnya hanya dapat membeli kedelai sekitar 25 kg, menghentikan usahanya. Menurut Mustofa (2008) lonjakan kenaikan
harga
kedelai
yang
terjadi
sejak
bulan
Nopember
2007,
mengakibatkan industri tempe yang menggunakan kedelai kurang dari 25 kg tidak mampu lagi berproduksi.
5.5. Identifikasi Kompetensi Pengrajin Tempe Kata
kompetensi
digunakan
untuk
menunjukkan
tekanan
pada
kemampuan mendemonstrasikan pengetahuan, sikap dan keterampilan yang ‘dimiliki’ (Suparno, 2001). Menurut Spencer dan Spencer (1993) kompetensi
48
merupakan karateristik mendasar seseorang, yang menentukan terhadap hasil kerja yang terbaik dan efektif, sesuai dengan kinerja yang ditentukan dalam suatu pekerjaan atau situasi tertentu. Kompetensi menentukan perilaku dan kinerja seseorang dalam situasi dan peran yang bermacam-macam. Tingkat kompetensi seseorang dapat digunakan untuk memprediksi seseorang akan kemampuannya menyelesaikan pekerjaan dengan benar. Menurut Suparno (2001) kompetensi adalah kecakapan yang memadai untuk melakukan suatu tugas dengan persyaratan yang ditentukan. Seorang pengrajin tempe dengan tugas dan fungsi sebagai pemilik, tenaga kerja
dan
pengelola usaha, melakukan perencanaan (plan) usaha, membuat dan memasarkan tempe (do), melakukan evaluasi (check), dan melakukan perbaikan mutu (action). Berdasarkan definisi kompetensi yang telah diuraikan sebelumnya, dapat dirumuskan bahwa kompetensi adalah kemampuan dan kewenangan yang dimiliki seseorang untuk melakukan sesuatu, yang didasari pada pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dikuasai dan telah menjadi bagian dari dirinya, sesuai dengan prosedur untuk menghasilkan produk yang baik. Kompetensi dalam penelitian ini adalah kemampuan atau kecakapan yang dimiliki pengrajin tempe dalam bentuk (1) pengetahuan, (2) sikap, dan (3) keterampilan, dalam bidang: perencanaan usaha, proses produksi, pemasaran, evaluasi kinerja usaha, dan perbaikan mutu.
5.5.1. Kompetensi dalam bentuk pengetahuan Pengetahuan merupakan salah satu unsur kompetensi, menurut Purwanto (2002) mutu dan jumlah pengetahuan yang dimiliki seseorang dan jenis pengetahuan yang dikuasai memegang peran penting dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Menurut Sumardjo (Yustina dan Sudrajat, 2008) pengetahuan adalah informasi yang dimiliki seseorang pada bidang tertentu. Bruner (Suparno, 2001) mengemukakan bahwa pengetahuan selalu dapat diperbaharui,
dikembangkan
lebih
lanjut
sesuai
dengan
perkembangan
intelektual individu. Pengetahuan bukan produk, melainkan suatu proses, yang menurut Bruner proses tersebut melibatkan tiga aspek, yaitu: (1) proses mendapatkan informasi baru yang sering kali merupakan pengganti yang telah diperoleh sebelumnya atau merupakan penyempurnaan informasi sebelumnya,
49
(2) proses transformasi, yaitu proses memanipulasi pengetahuan agar sesuai dengan tugas-tugas baru, (3) proses mengevaluasi cara pengolahan informasi. Pengetahuan pengrajin tempe telah berproses sesuai perjalanan waktu, dimulai sejak belajar membuat tempe sampai mengelola industri tempe milik sendiri. Pengetahuan pengrajin tempe yang diperoleh di lapangan dapat dibagi menjadi dua, yaitu (1) pengetahuan tentang
proses produksi dan (2)
pengetahuan tentang pengelolaan usaha industri tempe. 1) Pengetahuan proses produksi tempe meliputi: • Penggunaan peralatan • Pemilahan bahan yang digunakan (kedelai, kapang, air) • Teknis pembutan tempe • Perawatan peralatan (kompor, rak fermentasi, tampah, ember, tong, cetakan, pengaduk kayu, dandang, timbangan) 2) Pengetahuan pengelolaan usaha industi tempe meliputi: • Pengelolaan dan pembukuan keuangan • Pengadaan kedelai • Tenaga kerja • Pemasaran Pengetahuan
pengrajin
sebagaimana diuraikan
tempe
berdasarkan
data
yang
diperoleh,
di atas belum mencakup pengetahuan tentang
kebersihan ruang dan lingkungan kerja, keamanan pangan, keselamatan kerja, perencanaan usaha, pemasaran, evaluasi kinerja usaha, perbaikan mutu, dan pengembangan
mutu.
Kondisi
ini
disebabkan
pengrajin
tempe
masih
mengutamakan hal-hal yang berhubungan langsung dengan produksi. Kompetensi pengrajin tempe dalam bentuk pengetahuan tentang: memproduksi dan memasarkan tempe, melakukan evaluasi kinerja usaha, serta melakukan perbaikan mutu, termasuk dalam kategori cukup (Tabel 9). Hal ini disebabkan rendahnya skor perencanaan usaha, yang masuk dalam kategori kurang (skor 1,45). Ketidak tahuan pengrajin mengenai cara membuat rencana usaha, dan juga anggapan bahwa proses
produksi dan pemasaran tidak
membutuhkan perencanaan. Menurut Partomo dan Soejoedono (2004) ciri umum usaha kecil adalah sedikit menggunakan proses perencanaan.
50
Proses produksi dan pemasaran
merupakan kegiatan
rutin yang
dilakukan setiap hari, dan telah berlangsung bertahun-tahun tanpa mengalami perubahan nyata, sehingga apabila rencana usaha khususnya yang berbentuk dokumen tidak dibuat, tidak akan mengganggu jalannya usaha. Menurut Gafur (1989) meskipun membuat rencana akan memperoleh banyak keuntungan, namun banyak pengrajin menganggap perencanaan menghabiskan waktu, tenaga dan biaya. Data skor kompetensi pengrajin tempe dalam bentuk pengetahuan tersaji pada Tabel 9. Tabel 9 Skor kompetensi dalam bentuk pengetahuan No
Bidang Pengetahuan
Skor
Kategori
1.
Membuat rencana usaha
1,45
Kurang
2.
Memproduksi
3,21
Baik
3.
Memasarkan hasil produksi
2,51
Baik
4.
Melakukan evaluasi kinerja usaha
2,27
Cukup
5.
Melakukan perbaikan mutu
2,08
Cukup
2.30
Cukup
Rataan Keterangan: n = 39 skor ≤ 1,75 > 1,75 – 2,50 > 2,50 – 3,26 > 3,26
= Kurang = Cukup = Baik = Sangat baik
Tabel 9 menunjukkan memproduksi dan memasarkan termasuk dalam kategori baik,
evaluasi kinerja usaha dan perbaikan mutu, termasuk dalam
kategori cukup. Pengetahuan pengrajin
tentang cara memproduksi tempe
termasuk dalam kategori baik, hal ini disebabkan selain sebagai pemilik usaha, pengrajin juga sebagai pekerja dengan pengalaman berkisar 5 – 30 tahun (Tabel 7). Pengetahuan pengrajin tempe tentang pemasaran masuk kategori baik, hal ini disebabkan selain membuat tempe pengrajin juga berperan sebagai penjual. Pengetahuan pengrajin tempe yang berkaitan dengan evaluasi kinerja dan perbaikan mutu, termasuk dalam kategori cukup. Kurangnya pengetahuan cara membuat instrumen evaluai dan perbaikan mutu, menjadikan pengrajin tidak melakukan proses evaluasi dan perbaikan mutu secara terprogram dan terdokumentasi secara benar.
51
5.5.2. Kompetensi dalam bentuk sikap Sikap merupakan salah satu unsur kompetensi, sehingga baik buruknya sikap seseorang akan mempengaruhi kompetensi yang dimilikinya. Menurut Thomas dan Znoniechi (Ravianto, 1986) sikap adalah proses mental yang berlaku individu, yang menentukan respons-respons, baik yang nyata ataupun yang potensial, dari setiap orang yang berada dalam kehidupan sosial. Menurut Rochman (Ravianto, 1986) sikap adalah kesediaan mental individu yang mempengaruhi, mewarnai bahkan menentukan kegiatan individu yang bersangkutan dalam memberi respons terhadap obyek atau situasi yang dinyatakan dalam perbuatan ataupun perkataan. Sikap adalah kesediaan bereaksi terhadap suatu hal, senantiasa terarah terhadap suatu obyek, tidak ada sikap tanpa obyek (Garungan dalam Ravianto, 1985). Dari beberapa pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa sikap adalah suatu kesediaan psikis untuk menanggapi suatu obyek, dalam bentuk benda, orang, peristiwa dan sebagainya. Dalam penelitian ini yang menjadi obyek adalah sikap pengrajin tempe terhadap (1) rencana usaha, (2) proses produksi, (3) pemasaran tempe, (4) evaluasi kinerja usaha, dan (5) perbaikan mutu. Aspek sikap berdasarkan skor dan kategori secara rinci disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 Skor kompetensi dalam bentuk sikap No
Aspek Sikap
Skor
Kategori
1.
Membuat rencana usaha
1,53
Kurang
2.
Memproduksi
3,25
Baik
3.
Memasarkan hasil produksi
3,17
Baik
4.
Melakukan evaluasi kinerja usaha
2,81
Baik
5.
Melakukan perbaikan mutu
2,29
Cukup
2,61
Baik
Rataan Keterangan: n = 39 skor ≤ 1,75 > 1,75 – 2,50 > 2,50 – 3,26 > 3,26
= Kurang = Cukup = Baik = Sangat baik
Dari Tabel 10 dapat diketahui bahwa sikap pengrajin tempe termasuk dalam kategori baik, dengan skor rata-rata 2,61. Sikap pengrajin tempe terhadap proses produksi dan
pemasaran, termasuk dalam kategori
baik,
hal ini
52
disebabkan pandangan atau pendapat
pengrajin yang menganggap bahwa
kedua kegiatan tersebut merupakan kegiatan riil dari suatu usaha industri tempe, sehingga pengrajin memberikan perhatian khusus. Dari alokasi waktu, pengrajin lebih banyak menggunakan waktunya untuk kegiatan produksi dan pemasaran dari pada kegiatan lainnya, sehingga ke dua kegiatan ini sangat mendominasi seluruh kegiatan yang ada pada usaha industri tempe. Sikap pengrajin tempe terhadap perencanaan usaha termasuk dalam kategori kurang, hal ini disebabkan pengrajin menganggap kemampuan memproduksi dan memasarkan adalah sesuatu yang dapat dilakukan tanpa harus direncanakan
terlebih dahulu, karena proses produksi dan pemasaran
merupakan kegiatan rutin yang dilakukan setiap hari, dan sudah berlangsung bertahun-tahun tanpa
pernah mengalami perubahan yang nyata, sehingga
apabila rencana usaha khususnya rencana berbentuk dokumen tidak dibuat, tidak akan mengganggu jalannya usaha.
Selain itu pengrajin tempe juga
menganggap membuat rencana usaha tidak mudah. Menurut Gafur (1989) meskipun membuat rencana akan memperoleh banyak manfaat, namun banyak pengrajin menganggap perencanaan (1) menghabiskan waktu, tenaga, dan biaya, (2) keadaan dapat berubah disaat proses sedang berjalan. Evaluasi kinerja usaha termasuk dalam kategori baik, karena pengrajin memiliki pandangan apabila terjadi ketidaksesuaian target (kegagalan) produksi atau pemasaran, perlu dilakukan evaluasi untuk mencari penyebab kegagalan tersebut.
5.5.3. Kompetensi dalam bentuk keterampilan Aspek keterampilan merupakan salah satu unsur kompetensi, sehingga lemahnya aspek ini
dapat mengurangi
kompetensi seseorang.
menurut
Arikunto (1991) keterampilan berhubungan erat dengan kerja otot yang menyebabkan gerak tubuh. Menurut Esseff (Gafur, 1989) yang termasuk dalam aspek keterampilan adalah: (1) pendengaran (auditory), (2) penglihatan (visual), ucapan (verbal), mengubah (manipulate), menulis, dan meraba. Keterampilan adalah kegiatan yang berhubungan dengan urat-urat syaraf dan otot-otot yang lazim tampak dalam aktivitas
jasmani seperti menulis,
mengetik, olah raga dan sebagainya (Syah, 2005). Keterampilan menekankan pada kemampuan motorik dalam kawasan psikomotorik, yaitu bekerja dengan benda-benda atau aktivitas yang memerlukan koordinasi syaraf dan otot,
53
seseorang dapat dikatakan menguasai kecakapan motorik bukan saja karena dapat melakukan gerakan-gerakan yang telah ditentukan, tetapi juga dapat melakukannya dengan gerakan yang lancar, benar dan sesuai dengan waktu yang ditentukan (Suparno, 2001) Kompetensi pengrajin tempe dalam bentuk keterampilan berdasarkan data yang diperoleh dilapangan adalah: • Menggunakan dan memelihara peralatan (kompor/tungku, rak fermentasi, tampah, ember, tong, cetakan, pengaduk kayu, dandang, timbangan) • Memilih bahan yang akan digunakan (kedelai, kapang, air) • Membersihkan ruang dan lingkungan kerja • Menjaga keselamatan kerja • Melayani pelanggan • Membuat tempe, meliputi: − Mensortir dan membersihkan kacang kedelai − Merebus kedelai − Merendam kedelai − Mengupas dan memisahkan kulit kedelai − Meniriskan kedelai − Melakukan inokulasi − Mencetak dan membungkus − Melakukan fermentasi − Memanen dan mensortir tempe sebelum dijual Kompetensi dalam bentuk keterampilan yang dimiliki
pengrajin tempe
sebagaimana yang diuraikan di atas, menurut pendapat kalangan profesional terdapat sejumlah keterampilan yang belum berkembang yaitu: membuat rencana usaha, membukukan keuangan, melakukan evaluasi, menerapkan manajemen mutu dan melakukan studi pasar, hal ini dikarenakan pengrajin tempe
lebih
mengutamakan
pada
keterampilan
produksi
dari
pada
keterampilam yang bersifat manajemen. Kompetensi pengrajin tempe dalam bentuk keterampilan dan memasarkan tempe secara rinci disajikan pada Tabel 11.
memproduksi
54
Tabel 11 Skor kompetensi dalam bentuk keterampilan No
Aspek Keterampilan
Skor
Kategori
1.
Proses produksi
3,07
Terampil
2.
Memasarkan hasil produksi
2,67
Terampil
2,87
Terampil
Rataan Keterangan: n = 39 skor ≤ 1,75
> 1,75 – 2,50 > 2,50 – 3,26 > 3,26
= Kurang = Cukup = Terampil = Sangat terampil
Pengalaman pengrajin dalam proses pembuatan tempe pada umumnya telah 5 – 30 tahun, sehingga pengrajin memiliki keterampilan yang tinggi. Hal ini juga dipengaruhi oleh kurangnya
inovasi dalam proses pembuatan tempe,
sehingga cara pengrajin membuat tempe dari waktu kewaktu tidak mengalami perubahan nyata, terutama pada proses produksi dan mutu tempe. Perubahan terjadi pada cara pengupasan kulit kedelai, yang semula menggunakan kaki dengan cara diinjak-injak, saat ini menggunakan mesin pengupas kulit,
dan
pembungkus tempe lebih banyak menggunakan plastik dari pada daun pisang. Faktor lain yang turut membentuk keterampilan yang dimiliki pengrajin tempe adalah pengalaman bekerja sebagai pembuat tempe pada orang lain, yang dilakukan sebelum memiliki usaha sendiri. Keterampilan pengrajin dalam memasarkan hasil produksi termasuk dalam kategori terampil, keterampilan ini diperolehnya dari pengalaman mencari dan melayani pembeli.
5.5.4. Kompetensi Pengrajin tempe Kompetensi pengrajin tempe yang terdiri dari unsur (1) pengetahuan, (2) sikap, dan (3) keterampilan, menurut Arikunto (1991) ke tiga unsur tersebut merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisah-pisahkan, karena tindakan manusia merupakan satu kesatuan yang bulat, namun untuk keperluan pengkajian dalam penelitian ini, kompetensi pengrajin tempe dibagi ke dalam tiga
aspek
kompetensi. Secara umum kompetensi pengrajin tempe termasuk dalam kategori baik, dengan skor 2,60. demikian juga sikap dan keterampilan, kecuali pengetahuan termasuk dalam kategori cukup.
Hal ini disebabkan rendahnya pengetahuan
pengrajin tempe tentang perencanaan usaha yang harus dirumuskan dalam
55
bentuk
dokumen. Menurut Gafur (1989) membuat rencana usaha akan
memperoleh banyak manfaat, namun banyak pengrajin menganggap membuat rencana usaha hanya akan menghabiskan waktu, tenaga dan biaya. Skor dan kategori kompetensi pengrajin tempe yang secara umum terdiri dari unsur pengetahuan, sikap dan keterampilan, disajikan pada Tabel 12. Tabel 12 Skor kompetensi pengrajin tempe No
Aspek Kompetensi
Skor
Kategori
1.
Pengetahuan
2,30
Cukup
2.
Sikap
2,61
Baik
3.
Keterampilan
2,87
Baik
2,60
Baik
Rataan Keterangan: n = 39 skor ≤ 1,75 > 1,75 – 2,50 > 2,50 – 3,26 > 3,26
= Kurang = Cukup = Baik = Sangat baik
5.6. Hubungan Faktor Internal dengan Kompetensi Pengrajin Tempe Terdapat lima peubah yang digunakan untuk melihat hubungan antara faktor internal dengan kompetensi pengrajin tempe. Lima peubah tersebut adalah: umur, pengalaman, pendidikan formal, sifat wirausaha, dan motivasi. Hubungan faktor internal dengan kompetensi pengrajin tempe disajikan pada Tabel 13. Tabel 13 Hubungan faktor internal dengan kompetensi pengrajin tempe No
Faktor Internal
Kompetensi Pengrajin Tempe Pengetahuan Sikap Keterampilan Koef. p Koef. p Koef. p korelasi korelasi korelasi
1.
Usia
0,185
0,260
0,226
0,166
- 0,188
0,251
2.
Pengalaman
0,624*
0,031
0,634*
0,021
0,667*
0,019
3.
Pendidikan formal
0,487*
0,015
0,436*
0,048
0,737*
0,041
4.
Sifat wirausaha
0,419
0,301
0,283
0,617
0,398
0,227
5.
Motivasi
0,793**
0,000
0,610**
0,005
0,617**
0,007
Keterangan:
* = berhubungan nyata pada p < 0,05 ** = berhubunan sangat nyata p < 0,01
56
5.6.1. Hubungan Usia dengan Kompetensi Pada Tabel 7 terdapat 82,0% usia pengrajin tempe termasuk dalam kategori muda dan sedang, dengan usia rata-rata 38,8 tahun. Berdasarkan analisis korelasi, usia berhubungan positif sikap, serta
dengan aspek pengetahuan dan
berhubungan negatif dengan keterampilan, dengan tingkat
hubungan rendah dan negatif (koefisien korelasi -0,188). Karena pengaruhnya kecil, maka usia tidak dapat digunakan untuk menjelaskan atau memprediksi kompetensi pengrajin tempe. Rendahnya pengaruh usia terhadap kompetensi, disebabkan seluruh proses pada
industri tempe dilakukan secara sederhana, ditandai oleh
perkembangan teknologi pembuatan tempe yang tidak mengalami perubahan nyata, seluruh proses dijalankan secara tradisional dengan peralatan sederhana, menjadikan pengrajin yang berusia sangat muda maupun tua dapat mengelola usaha industri tempe. Hubungan negatif antara usia dengan keterampilan, dapat terjadi karena sebagian besar
aktivitas yang terdapat
pada industri tempe
merupakan
kegiatan fisik yang memerlukan kekuatan otot. Arikunto (1991) menjelaskan bahwa aspek keterampilan lebih menekankan
pada kegiatan-kegiatan yang
berhubungan dengan kerja otot, yang menyebabkan gerak tubuh, aspek ini meliputi semua tingkah laku yang menggunakan syaraf dan otot badan. Bertambahnya usia seseorang dapat menurunkan kemampuan fisik dan otot-otot untuk bekerja. Kondisi ini sesuai dengan pendapat Mappiare (1993) yang menyatakan bahwa puncak kekuatan/tenaga seseorang berada pada usia 20-30 tahun, dan mulai menurun pada usia 40-45 tahun, pada usia selanjutnya akan terjadi penurunan fisik yang semakin cepat.
5.6.2. Hubungan Pengalaman dengan Kompetensi Pengalaman adalah lamanya pemilik industri tempe secara aktif mengelola usahanya. Pengalaman rata-rata pengrajin tempe adalah 15,1 tahun, dengan kisaran 5 – 30 tahun. Berdasarkan analisis korelasi, pengalaman berhubungan nyata
dengan aspek pengetahuan, sikap dan keterampilan,
dengan tingkat hubungan kuat (koefisien korelasi > 0,600). Kuatnya hubungan antara pengalaman dengan kompetensi, menjadikan
pengalaman dapat
digunakan untuk menjelaskan atau memprediksi kompetensi pengrajin tempe.
57
Kuatnya hubungan ke dua peubah ini menjelaskan bahwa pengalaman yang dimiliki pengrajin tempe dalam mengelola usaha, memberi dampak positif terhadap perkembangan usaha, karena dengan memiliki pengalaman, membuat seseorang dapat mengendalikan jalannya usaha
walaupun menghadapi
berbagai kendala. Semakin banyak memperoleh pengalaman yang bermutu akan semakin tangguh pengrajin mengelola usahanya. Menurut Haswell (Riyanti, 2003) pentingnya memiliki pengalaman dalam mengelola usaha kecil, karena umumnya kegagalan usaha disebabkan kurangnya pengalaman dan lemahnya kemampuan manajerial.
5.6.3. Hubungan Pendidikan Formal dengan Kompetensi Pada umumnya
pendidikan formal pengrajin tempe adalah tamat SMP
(46,1%), dan SD (35,9%). Riyanti (2003) berpendapat pendidikan memainkan peranan penting pada saat wirausaha mencoba mengatasi masalah dan mengoreksi penyimpangan. Meskipun pendidikan formal bukan syarat untuk dapat mengelola usaha, namun pengetahuan yang diperoleh dari pendidikan formal, memberi dasar yang baik untuk mengelola usaha. Berdasarkan hasil analisis korelasi, pendidikan formal berhubungan nyata dengan aspek pengetahuan, sikap dan keterampilan. Hubungan positif antara pendidikan formal dengan kompetensi karena pendidikan sangat mempengaruhi cara berpikir dan bertindak pengrajin tempe dalam mengelola usahanya. Pendidikan yang pernah diperoleh seseorang akan mempengaruhi pandangan dan tindakannya. Dillon dan Hardaker (1985) berpendapat bahwa pendidikan dapat mengubah pola pikir dan daya nalar seseorang. Hubungan antara pendidikan formal dengan berada pada tingkat
pengetahuan dan sikap
sedang (koefisien korelasi 0,487 dan 0,436). Tingkat
hubungan dengan keterampilan berada pada tingkat kuat (koefisien korelasi 0,737). Hubungan antara pendidikan formal dengan aspek keterampilan lebih kuat dari pada dengan aspek pengetahuan dan sikap, hal ini dikarenakan pengrajin tempe lebih banyak melakukan
kegiatan produksi dan pemasaran
yang lebih menuntut kemampuan keterampilan. Hal ini sesuai dengan skor aspek keterampilan untuk proses produksi dan pemasaran, termasuk dalam kategori terampil (Tabel 11 dan 12)
58
5.6.4. Hubungan Sifat Wirausaha dengan Kompetensi Sifat wirausaha adalah sifat atau jiwa
bisnis yang dimiliki pengrajin
tempe, yang meliputi sifat: meningkatkan prestasi, keluwesan bergaul, kerja keras, percaya diri, pengambil risiko, inovatif, dan mandiri. Berdasarkan hasil analisis korelasi, sifat wirausaha berhubungan tidak nyata dengan aspek pengetahuan, sikap dan keterampilan, dengan tingkat hubungan rendah. Hubungan antara sifat wirausaha dengan aspek pengetahuan berada pada tingkat sedang (koefisien korelasi 0,419). Hubungan dengan aspek sikap dan keterampilan termasuk dalam kategori rendah (koefisien korelasi 0,283 dan 0,398). Tingkat hubungan yang rendah menjadikan sifat wirausaha tidak dapat digunakan untuk menjelaskan atau memprediksi kompetensi pengrajin tempe. Rendahnya hubungan sifat wirausaha dengan kompetensi sesuai dengan skor sifat wirausaha yang termasuk dalam kategori cukup (Tabel 7). Menurut Partomo dan Soejoedono (2004) pandangan umum bahwa semua pengrajin UKM memiliki sifat dan jiwa entrepreneurship adalah kurang tepat, karena terdapat sekelompok pengrajin UKM yang tidak memiliki sifat dan jiwa entreprenurship. Berdasarkan kriteria kepemilikan sifat entrepreneurship, UKM dapat dibagi menjadi empat kelompok sebagai berikut: • Livelihood Activities, yang masuk kategori ini pada umumnya bertujuan hanya mencari mencari nafkah, tidak memiliki sifat wirausaha. • Micro Enterprice, kelompok ini memiliki sifat pengrajin, tetapi tidak memiliki sifat wirausaha. • Small Dynamic Enterprises, kelompok ini cukup memiliki sifat wirausaha • Fast Moving Enterprises, kelompok ini memiliki sifa wirausaha.
5.6.5. Hubungan Motivasi dengan Kompetensi Motivasi adalah tindakan yang mendasari pengrajin tempe melakukan sesuatu yang berhubungan dengan industri tempe. Berdasarkan hasil analisis korelasi, motivasi berhubungan sangat nyata dengan aspek pengetahuan, sikap dan
keterampilan,
dengan
tingkat
hubungan
kuat
(koefisien
korelasi
>0,600)(Tabel 13). Hubungan yang bersifat positif menjadikan semakin tinggi motivasi, semakin tinggi kompetensi yang dimiliki pengrajin tempe. Menurut Alma (2006) keberhasilan seseorang sangat ditentukan oleh kemauan atau motivasi untuk berbuat.
59
Motif utama pengrajin mendirikan
usaha industri tempe adalah (1)
kebutuhan akan pekerjaan untuk mendapatkan uang, (2) pasar tempe relatif stabil dan (3) tidak memiliki pilihan profesi selain sebagai pengrajin tempe. Dengan demikian apabila kebutuhan uang dan pasar semakin besar maka dapat diprediksi kompetensi pengrajin tempe akan semakin meningkat. Hipotesis yang menyatakan bahwa terdapat hubungan nyata positif antara faktor internal dengan kompetensi pengrajin tempe diterima untuk faktor: pengalaman, pendidikan formal dan motivasi, serta ditolak untuk faktor: usia dan sifat wirausaha.
5.7. Hubungan Faktor Eksternal dengan Kompetensi Pengrajin Tempe Terdapat lima peubah yang digunakan untuk menilai hubungan antara faktor eksternal dengan kompetensi pengrajin tempe. Lima peubah tersebut adalah: peluang pasar, bahan baku, modal, tenaga kerja, dan kebijakan pemerintah. Hubungan faktor eksternal dengan kompetensi pengrajin tempe, disajikan pada Tabel 14. Tabel 14 Hubungan faktor eksternal dengan kompetensi pengrajin tempe No
Faktor Eksternal
Pengetahuan Koef. p korelasi
Kompetensi Pengrajin Tempe Sikap Keterampilan Koef. p Koef. p korelasi korelasi
1.
Peluang pasar
0,518**
0.001
0,459*
0.002
0,517**
0,001
2.
Bahan baku
0,544*
0,034
0,638*
0,044
0,500*
0,021
3.
Modal
0,495*
0,031
0,699*
0,025
0,535*
0,035
4.
Tenaga kerja
0,589
0,133
0,512
0,943
0,407
0,205
5.
Kebijakan pemerintah
0,240
0,141
0,274
0,654
0,268
0,681
Keterangan:
* = berhubungan nyata pada p < 0,05 ** = berhubunan sangat nyata p < 0,01
5.7.1. Hubungan Peluang Pasar dengan Kompetensi Peluang pasar, adalah sejumlah permintaan tempe oleh pembeli potensial, Berdasarkan hasil analisis korelasi, peluang pasar berhubungan sangat nyata dengan aspek pengetahuan, sikap dan keterampilan, artinya semakin tinggi peluang pasar, semakin tinggi kompetensi yang dimiliki pengrajin tempe. Tingkat hubungan antara peluang pasar dengan unsur-unsur kompetensi adalah sedang (koefisien korelasi 0,400-0,599).
60
Tabel 8 menunjukkan peluang pasar rata-rata termasuk dalam kategori cukup (43,6%), data tersebut menunjukkan bahwa peluang pasar tempe tidak cukup besar. Berdasarkan pendapat Zimmerer (Suryana, 2003) peluang pasar tidak dapat diperoleh pengrajin tempe apabila pengrajin tempe (1) tidak aktif mencari peluang pasar, (2) tidak memiliki teknologi tepat guna yang menjadikan usaha atau hasil produksi mempunyai nilai kompetitif, dan (3) tidak mempunyai strategi dalam memasarkan tempe. Berdasarkan pendapat Zimmerer maka peluang pasar dapat diperoleh apabila pengrajin tempe memiliki kompetensi, dengan demikian besar kecil peluang pasar berhubungan dengan tinggi rendahnya kompetensi.
5.7.2. Hubungan Bahan Baku dengan Kompetensi Kedelai sebagai bahan baku tempe, mempunyai hubungan nyata dengan unsur-unsur Kompetensi (pengetahuan, sikap, keterampilan), tingkat hubungan sedang dengan pengetahuan dan keterampilan, dan berhubungan kuat dengan sikap. Kedelai sebagai bahan baku tempe harganya terus naik dan berfluktuasi setiap saat, ditambah dengan
terbatasnya pasokan kedelai lokal yang
diharapkan dapat mengganti penggunaan kedelai impor. Menurut Mulyo (2008) sejak awal tahun 1990, produksi kacang kedelai lokal terus menurun, sampai hilang dari pasar. Harga kedelai yang terus naik dan keharusan menjaga ketersediaan kedelai,
menuntut
pengrajin
mampu
mencari
berbagai
solusi
untuk
mempertahankan usahanya, untuk itu pengrajin berusaha mengelola pengadaan dan penggunaan kedelai. Dengan demikian semakin baik pengrajin mengelola bahan baku akan semakin baik kompetensi yang dimiliki pengrajin.
5.7.3. Hubungan Modal dengan Kompetensi Di dalam ilmu ekonomi, modal adalah salah satu faktor produksi. Menurut Suardi (2004) modal merupakan sumber daya industri yang harus ditetapkan dan
disediakan.
Penggunaan
sumber
daya
harus
direncanakan
dan
dipertimbangkan efisiensinya, termasuk untuk kebutuhan di masa yang akan datang. Perencanaan dan penggunaan modal yang efisien membutuhkan kompetensi. Modal yang cukup dan pengelola
yang berkompeten, akan
61
meningkatkan kinerja industri tempe, oleh karena itu terdapat hubungan positif antara modal dan kompetensi pengrajin tempe. Berdasarkan hasil analisis korelasi, modal mempunyai hubungan nyata dengan aspek pengetahuan, sikap, dan keterampilan, sehingga apabila modal semakin kuat, kompetensi yang dimiliki pengrajin tempe juga akan semakin tinggi. Tingkat hubungan sedang antara modal dengan aspek pengetahuan dan keterampilan (koefisien korelasi 0,495 dan 0,535), berhubungan kuat dengan aspek sikap (koefisien korelasi 0,699). Dengan demikian modal dapat meningkatkan kompetensi dalam bentuk sikap pengrajin tempe terhadap pengelolaan usaha industri tempe.
5.7.4. Hubungan Tenaga Kerja dengan Kompetensi Tenaga kerja adalah orang yang bekerja pada industri tempe secara langsung dan penuh waktu, mereka
menerima gaji atas jasanya tersebut.
Berdasarkan hasil analisis korelasi, tenaga kerja nyata dengan aspek pengetahuan, sikap kurangnya
mempunyai hubungan tidak
dan keterampilan. Hal ini diduga
motivasi tenaga kerja karena kurang sesuainya
antara volume
pekerjaan dan gaji yang diterima. Selain itu pada industri tempe sudah menjadi tradisi dimana tenaga kerja yang sudah menguasai cara membuat
tempe,
umumnya akan berhenti untuk mencoba membuka usaha sendiri. Dengan demikian pengrajin tempe harus mencari tenaga kerja pengganti, yang tentunya belum memiliki kompetensi yang baik.
5.7.5. Hubungan Kebijakan Pemerintah dengan Kompetensi Berdasarkan hasil analisis korelasi kebijakan pemerintah hubungan tidak nyata
mempunyai
dengan aspek pengetahuan, sikap dan keterampilan.
Tingkat hubungan antara kebijakan pemerintah
dengan kompetensi adalah
rendah (koefisien korelasi 0,200-0,399). Unsur-unsur yang menjadi kebijakan pemerintah adalah penghapusan subsidi harga kedelai impor dan ketergantungan pada kedelai impor. Menurut Astuti (2008) kenaikan harga kedelai yang mencapai 110% telah menyebabkan kelangkaan kedelai di pasaran, dan menggoyahkan usaha kecil. Naiknya bahan baku kedelai disebabkan kebijakan pemerintah yang menggantungkan kedelai
62
impor untuk memenuhi 60% kebutuhan pasokan kedelai dalam negeri dan tidak disertai peningkatan produksi di dalam negeri. Hipotesis yang menyatakan bahwa terdapat hubungan nyata positif antara faktor eksternal dengan kompetensi pengrajin tempe diterima untuk faktor: peluang pasar, bahan baku dan modal, serta ditolak untuk faktor: tenaga kerja dan kebijakan pemerintah.
5.8. Identifikasi Kinerja Industri Tempe Kinerja industri
tempe dalam penelitian ini adalah tingkat pencapaian
hasil atau tingkat pencapaian tujuan organisasi, yang diukur berdasarkan (1) omset dan (2) mutu tempe yang dihasilkan. Omset adalah hasil penjualan yang diterima pengrajin dalam satu bulan, sedangkan mutu tempe dinilai berdasarkan grade mutu tempe yang ditetapkan berdasarkan
cara pembuatan dan
persentase kandungan kedelai. Tingkat kinerja industri tempe disajikan pada Tabel 15. Tabel 15 Skor kinerja industri tempe No
Aspek Kinerja
Skor
Kategori
1.
Omset
1,61
Rendah
2.
Mutu Tempe
2,85
Baik
Keterangan : n = 39 Skor: ≤ 1,75 > 1,75 – 2,50 > 2,50 – 3,26 > 3,26
= Rendah / Kurang = Cukup = Tinggi / Baik = Sangat tinggi / baik
Dari Tabel 15 diketahui bahwa kinerja industri tempe berdasarkan aspek omset termasuk dalam kategori rendah, dengan skor 1,61. Sedangkan berdasarkan aspek mutu, tempe termasuk dalam kategori baik, dengan skor 2,85 Rendahnya omset industri tempe, disebabkan pengrajin mengurangi volume produksi, hal ini disebabkan nilai modal yang dimiliki pengrajin terbatas, sehingga mengurangi kemampuan pengrajin
membeli kedelai, yang harganya
terus naik hingga 110%. Kenaikan harga kedelai yang terus menerus, tidak disertai dengan naiknya
harga jual tempe, menyebabkan
berkurangnya
kemampuan pengrajin untuk meningkatkan volume produksi. Mutu tempe termasuk dalam kategori baik, dan merupakan grade mutu yang ditetapkan pengrajin, tidak diproduksinya
tempe dengan
grade mutu
super, bertujuan untuk menekan biaya produksi, karena untuk memproduksi
63
tempe dengan mutu super, diperlukan biaya tambahan untuk perebusan, karena dalam proses pembuatannya membutuhkan perebusan dua kali.
5.9. Hubungan Kompetensi Pengrajin dengan Kinerja Industri Tempe Terdapat tiga peubah yang digunakan dalam penelitian ini untuk melihat hubungan antara kompetensi dengan kinerja industri tempe, tiga peubah yang dimaksud adalah: pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Hubungan antara faktor kompetensi dengan kinerja industri tempe, disajikan pada Tabel 16 Tabel 16 Hubungan kompetensi pengrajin dengan kinerja industri tempe No
Kompetensi
Kinerja Industri Tempe Omset Mutu Tempe Koef. p Koef. p korelasi korelasi
1.
Pengetahuan
0,420*
0,048
0,665*
0,021
2.
Sikap
0,330*
0,040
0,682*
0,016
3.
Keterampilan
0,723**
0,000
0,675**
0,008
Keterangan:
* = berhubungan nyata pada p < 0,05 ** = berhubunan sangat nyata p < 0,01
Berdasarkan hasil analisis korelasi, aspek pengetahuan berhubungan nyata dengan omset, dengan tingkat hubungan sedang (koefisien korelasi 0,420), kecilnya nilai korelasi disebabkan omset industri tempe lebih ditentukan oleh mutu tempe. Hal ini dapat dilihat dari hubungan nyata antara pengetahuan dengan mutu tempe, dengan tingkat hubungan kuat (koefisien korelasi 0,665). Hubungan positif antara pengetahuan dengan mutu tempe, karena untuk menghasilkan tempe yang bermutu, dibutuhkan pengetahuan yang baik tentang mutu kedelai, proses pembuatan tempe, sedangkan omset lebih dipengaruhi oleh mutu tempe. Aspek sikap berhubungan nyata dengan omset, dengan tingkat hubungan rendah, kecilnya tingkat hubungan ini disebabkan omset lebih ditentukan oleh mutu tempe, dimana semakin baik mutu tempe akan semakin tinggi omset yang akan diperoleh. Hal ini dapat dilihat dari tingkat hubungan kuat antara sikap dengan mutu tempe (koefisien korelasi 0,682). Aspek keterampilan berhubungan sangat nyata dengan omset dan mutu tempe, dengan tingkat hubungan kuat (koefisien korelasi 0,723 dan 0,674). Hubungan positif antara keterampilan dengan omset dan mutu tempe,
64
disebabkan keterampilan memasarkan lebih berkembang dibandingkan bidang produksi. Hal ini disebabkan pengrajin tempe setiap hari dan
secara
menerus menghadapi berbagai macam pelanggan dengan
perilaku yang
berbeda-beda,
sedangkan
pada
proses produksi
pengrajin
relatif
terus tidak
menemukan permasalahan, karena dari waktu ke waktu proses produksi tidak mengalami perkembangan yang nyata. Hipotesis yang menyatakan bahwa terdapat hubungan nyata positif antara kompetensi pengrajin tempe dengan kinerja industri tempe diterima.
65
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan 1) Pengrajin tempe rata-rata berusia 38,8 tahun
dengan tingkat pendidikan
SMP, memiliki pengalaman sebagai pengrajin tempe selama 15,1 tahun, sifat wirausaha termasuk dalam kategori cukup dengan motivasi tinggi. Pengrajin tempe memiliki modal dan bahan baku yang cukup, peluang pasar tempe cukup terbuka,
tenaga kerja umumnya termasuk dalam kategori
berkompeten. 2) Pengrajin memiliki cukup pengalaman dalam mengelola industri tempe dan memiliki motivasi yang tinggi, ke dua karateristik tersebut berhubungan nyata dengan kompetensi
yang dimiliki pengrajin guna mencapai kinerja mutu
tempe dan omset. Pemilikan bahan baku dan modal serta ketersediaan peluang pasar yang masih cukup terbuka, berhubungan nyata dengan kompetensi yang dimiliki pengrajin tempe guna mencapai kinerja mutu tempe dan omset. 3) Aspek pengetahuan, sikap dan keterampilan yang dimiliki pengrajin tempe termasuk dalam kategori berkompeten,
dan
berhubungan nyata dengan
kinerja industri tempe. 6.2. Saran 1) Pengrajin tempe perlu meningkatkan motivasi usaha yang sudah dimiliki, untuk itu disarankan kepada Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kabupaten Cianjur perlu mengembangkan sifat wirausaha pengrajin tempe melalui progam penyuluhan. 2) Pengrajin tempe perlu meningkatkan motivasi dan kompetensi yang sudah dimiliki
untuk meningkatkan omset, namun pengrajin perlu menambah
pengalaman
di
bidang
pemasaran
dan
diversifikasi
produk.
Untuk
memperluas peluang pasar, Dinas Perdagangan dan Perindustrian serta Dinas Koperasi Kabupaten Cianjur perlu mendorong pengrajin tempe melakukan diversifikasi produk. 3) Untuk meningkatkan mutu tempe dan omset, pengrajin perlu meningkatkan kompetensi yang sudah dimiliki dengan mengikuti
program-program
penyuluhan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Cianjur dan Lembaga Swadaya Masyarakat.
66
DAFTAR PUSTAKA Adi, M Kwartono. 2007. Analisis Usaha Kecil dan Menengah. Yogyakarta: Andi Offset. Alma Buchari. 2006. Kewirausahaan. Bandung: Alfabeta. Anonim. 2007. Kabupaten Cianjur Dalam Angka 2006/2007. Cianjur: Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Cianjur. Arikunto, S. 1991. Dasar Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Astuti, Mary. 2008. Petani Kedelai Sudah Lama diterlantarkan Saatnya diperhatikan. http://www.tempointeraktf.com [9 Juli 2008] Dani, Irawan, dan Triyono, JP. 1994. Tata Cara Mendapatkan Modal Bagi Usaha Kecil. Jakarta: Kamar Dagang dan Industri Indonesia dan Friedrich Ebert Stiftung. Dillon, John L. dan Hardaker, J. Brian. 1985. Ilmu Usaha Tani dan Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil. Soekarwati, Soeharjo A, Penerjemah. Jakarta : UI Press. Terjemahan dari: Farm management Research for Small Development. Gafur, M, Abd. 1989. Disain Instruksional. Solo: Tiga Serangkai. Herjanto, Eddy. 2004. Manajemen Produksi dan Operasi. Jakarta: Grasindo. Kadarisman H. 2007. Memperkuat Ekonomi Nasional Berbasis Usaha Kecil dan Menengah. Jakarta: Lembaga Humaniora. Kartasapoetra, G. 1992. Marketing Produk Pertanian dan Industri. Jakarta: Rineka Cipta. Kotler,
P. 1990. Manajemen Pemasaran: analisis, pengendalian. Jilid. 1. Ed. Ke-5. Jakarta: Erlangga.
perencanaan
dan
Mappiare, A. 1983. Psikologi Orang Dewasa. Surabaya: Usaha Nasional. Mardikanto, T. 1999. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Surakarta: Sebelas Maret University Press. Meredith, GG. Nelson, RE. Neck, PA. 2005. Kewirausahaan Teori dan Praktek. Asparsayogi Andre, penerjemah; Jakarta: PPM. Terjemahan dari: The Practice of Entrepreneurship. Mulyasa, E. 2005. Kurikulum Berbasis Kompetensi: Konsep, Karateristik, dan Implementasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Mulyo, Handoko. 2008. Produsen Tahu Tempe Protes Kenaikan Harga Kedelai. http://www.tempointeraktf.com [9 Juli 2008]
67
Murhardjani. 2004. Pemberdayaan Pengrajin Tahu Tempe : Kajian Pengrajin Tahu Tempe di Kelurahan Mojosongo Kecamatan Jebres Kota Surakarta. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Mustofa, Djamaludin. 2008. Perajin Tahu Tempe Jawa Barat Terancam Gulung Tikar. http://www.tempointeraktif.com [9 Juli 2008] Oppenheim, AN. 1992. Questionnaire Design, Interviewing and Attitude Measurement. New edition. London: Great Britain. Partomo, TS. dan Soejoedono AR. 2004. Ekonomi Skala Kecil/Menengah & Koperasi. Bogor: Ghalia Indonesia. Prawirosentono, S. 2007. Filosofi Baru tentang Manajemen Mutu Terpadu. Ed. Ke-2. Jakarta: Bumi Aksara. Purwanto, MN. 2002. Psikologi Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya. Ravianto, J. 1986. Produktivitas dan Pengukuran. Jakarta: Binaman Teknika Aksara. Ravianto, J. 1985. Produktivitas dan Tenaga Kerja Indonesia. Jakarta: Lembaga Sarana Informasi Usaha dan Produktivitas. Rayandi, DS. 2008. Panduan Wirausaha Tempe. Jakarta: Buku Kita Riyanti, BPD. 2003. Kewirausahaan dari Sudut Pandang Psikologi Kepribadian. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia. Rogers, E, M. dan Shoemaker, F. 1986. Communication of Innovation: A Coors Cultural Approach. New York: The Free Press. Siagian, Sondang P. 1993. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara Siegel, S. 1990. Statistik Non-parametri: untuk Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Singarimbun, M. dan S. Effendi. Editor. 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES. Slamet, Margono. 1992. Perspektif Ilmu Penyuluhan Pembangunan Menyongsong Era Tinggal Landas dalam Penyuluhan Pembangunan di Indonesia. Menyongsong Abad 21. Jakarta: Pustaka Pembangunan Swadaya Nusantara. Soekanto, S. 2002. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Spencer, L.M dan Spencer, S.M. 1993. Competence at Work: models for Superior Performance. New York: John Wiley & Sons, Inc. Suardi, Rudi. 2004. Sistem Manajemen Mutu ISO: Penerapannya untuk Mencapai TQM . Jakarta: PPM.
68
Sugiyono. 2007. Statistik untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta. Suparno, S. 2001. Membangun Kompetensi Belajar. Jakarta: Depdiknas Suryana. 2003. Kewirausahaan: Pedoman praktis, kiat dan proses menuju sukses.. Ed ke-1. Jakarta: Salemba Empat. Syah, M. 2005. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: Remaja Rosdakarya. Syahyuti. 2006. Tiga Puluh Konsep Penting dalam Pembangunan Pedesaan dan Pertanian. Jakarta: Bina Rena Pariwara. Terry, GR. Dan Rue, L.W. 1988. Dasar-Dasar Manajemen. Ticoalu GA, penerjemah; Jakarta: Bina Aksara. Terjemahan dari: Principles Of Management. Tilaar, HAR. 1997. Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Era Globalisasi: Visi, Misi, Program Pendidikan & Pelatihan Menuju 2020. Jakarta: Grasindo. Van den Ban. dan Hawkins. 2005, Penyuluhan Pertanian. Yogyakarta: Kanisius. William, J Stanton. 1991. Prinsip Pemasaran. Jakarta: Erlangga. Yustina, I. dan Sudradjat, A. Editor. 2008. Pemberdayaan Manusia Pembangunan yang Bermartabat. Medan: Pustaka Bangsa Press.
69
Lampiran 1 Kuesioner penelitian
KUESIONER PENELITIAN
Hubungan Kompetensi Pengrajin dengan Kinerja Industri Tempe (Kasus UKM Industri Tempe di Kabupaten Cianjur)
Identitas Responden (1) Nomor
:
..............
(2) Nama
:
....................................................
(3) Telp / HP
:
................/...................................
(4) Alamat Lengkap
:
Rt. .........
/ Rw. ....................
Kampung .................................... Desa/Kel .................................... Kecamatan..................................
BOGOR, 2008
70
PETUNJUK PENGISIAN 1) Pilihlah jawaban yang menurut saudara benar, dengan cara memberi tanda centang (√) pada hurup a, b, c, atau d. 2) Mohon diisi dengan penjelasan singkat jika terdapat titik-titik untuk tempat jawaban. 3) Mohon agar semua pertanyaan diisi sehingga tidak ada yang terlewat
IDENTITAS PERUSAHAAN
1) Jumlah tenaga kerja
:
Laki-laki.....................orang Perempuan ...............orang
2) Kebutuhan kedelai perhari
:
...............................kg
3) Hasil produksi perhari
:
................................kg
• Thn 2008
:
............................... kg
• Thn 2007
:
............................... kg
• Thn 2006
:
................................ kg
4) Harga jual tempe
:
Rp. ........................./ kg
5) Berdiri
:
Tahun ...........................
6) Tempat usaha
:
Bangunan khusus / jadi satu dengan tempat tinggal
7) Izin usaha
:
Ada / tidak ada / dalam proses pengajuan
FAKTOR INTERNAL (X1) Usia (X1.1) 1. Usia : ....................tahun
Pengalaman (X1.2) 1. Sudah berapa lama Saudara mengelola industri tempe : .................tahun
Pendidikan (X1.3) 1. Pendidikan formal terakhir :......................................(lulus thn.....................) 2. Pendidikan Non Formal a. Dalam kurun waktu 3 tahun terakhir, berapa kali Saudara mengikuti pelatihan yang berkaitan dengan usaha ...............kali
71
b. Pelatihan yang pernah Saudara ikuti : 1) Program / Nama Pelatihan :...................................................................... Penyelenggara :........................................................................th............. Lama kegiatan : .......................jam 2) Program / Nama Pelatihan :................................................................... . Penyelenggara :................................................. ......................th............ Lama kegiatan : .......................jam 3. Kapan dan dari mana Saudara belajar membuat tempe : 4. Kapan dan dari mana Saudara belajar mengelola usaha tempe :
Sifat Wirausaha (X1.4) Sifat tanggap terhadap peluang 1. Apakah Saudara berusaha mencari peluang pasar tempe ? a. berusaha secara sangat intensif b. berusaha secara intensif c. berusaha tidak secara intensif d. tidak berusaha 2. Apakah Saudara berusaha mencari kedelai yang harganya lebih murah ? a. berusaha secara sangat intensif b. berusaha secara intensif c. berusaha tidak secara intensif d. tidak berusaha 3. Apakah Saudara berusaha mencari kedelai yang mutunya lebih baik ? a. berusaha secara sangat intensif b. berusaha secara intensif c. berusaha tidak secara intensif d. tidak berusaha 4. Apakah Saudara berusaha mencari informasi untuk memperoleh tambahan modal ? a. berusaha secara sangat intensif b. berusaha secara intensif c. berusaha tidak secara intensif d. tidak berusaha
Sifat meningkatkan prestasi 5. Apakah Saudara berusaha menambah pengetahuan tentang mengelola usaha? a. sangat berusaha b. berusaha c. kadang-kadang berusaha d. tidak berusaha
72
6. Apakah Saudara melalukan evaluasi terhadap kinerja pemasaran ? a. melakukan secara terprogram b. melakukan tidak secara terprogram c. pernah melakukan d. tidak pernah melakukan 7. Apakah Saudara melalukan evaluasi terhadap mutu tempe ? a. melakukan secara terprogram b. melakukan tidak secara terprogram c. pernah melakukan d. tidak pernah melakukan 8. Apakah Saudara melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan program usaha ? a. melakukan secara terprogram b. melakukan tidak secara terprogram c. pernah melakukan d. tidak pernah melakukan 9. Apakah Saudara menindaklanjuti hasil evaluasi kinerja usaha ? a. menindaklanjuti secara terprogram b. menindaklanjuti tidak secara terprogram c. pernah menindaklanjuti d. tidak pernah menindaklanjuti 10. Apakah Saudara berusaha meningkatkan mutu tempe ? a. sangat berusaha b. berusaha c. pernah berusaha d. tidak berusaha 11. Apakah Saudara berusaha meningkatkan pelayanan kepada pelanggan ? a. sangat berusaha b. berusaha c. pernah berusaha d. tidak berusaha 12. Apakah Saudara berusaha meningkatan omset hasil penjualan ? a. sangat berusaha b. berusaha c. pernah berusaha d. tidak berusaha
Sifat keluwesan bergaul 13. Apakah Saudara menjalin hubungan baik dengan pelanggan ? a. terjalin hubungan baik dengan sangat erat b. terjalin hubungan baik dengan erat c. terjalin hubungan baik d. tidak terjalin hubungan
73
14. Apakah Saudara menjalin hubungan baik dengan para pekerja ? a. terjalin hubungan baik dengan sangat erat b. terjalin hubungan baik dengan erat c. terjalin hubungan baik d. tidak terjalin hubungan 15. Apakah Saudara menjalin hubungan baik dengan KOPTI? a. terjalin hubungan baik dengan sangat erat b. terjalin hubungan baik dengan erat c. terjalin hubungan baik d. tidak terjalin hubungan Sifat kerja keras 16. Berapa lama Saudara bekerja untuk usaha industri tempe dalam sehari ? a. lama bekerja > 8 jam b. lama bekerja > 5 sd 8 jam c. lama bekerja > 3 sd 5 jam d. lama kerja ≤ 3 jam 17. Tingkat keterlibatan Saudara dalam menyelesaikan urusan yang berkaitan dengan usaha industri tempe a. terlibat secara penuh b. banyak terlibat c. sedikit terlibat d. tidak terlibat Sifat percaya diri 18. Apakah usaha yang Saudara kelola saat ini merupakan keinginan sendiri ? a. sepenuhnya keinginan sendiri b. memperoleh sedikit dukungan dari keluarga / orang lain c. memperoleh banyak dukungan dari keluarga / orang lain d. memperoleh dukungan sepenuhnya dari keluarga / orang lain 19. Apakah Saudara optimis usaha tempe yang Saudara kelola akan berkembang dengan pesat ? a. sangat optimis b. cukup optimis c. kurang optimis d. tidak optimis 20. Apakah Saudara bergairah dalam mengelola industri tempe ? a. sangat bergairah b. bergairah c. kurang bergairah d. tidak bergairah Sifat pengambil risiko 21. Apakah Saudara siap menghadapi risiko usaha yang mungkin terjadi a. sangat siap b. siap c. kurang siap d. tidak siap
74
22. Apa yang akan Saudara lakukan apabila usaha mengalami kerugian ? a. mencari jalan keluar agar cepat kembali normal b. mencari jalan agar dapat bertahan c. keberadaan usaha dipertimbangkan kembali d. menutup usaha 23. Apa yang Saudara lakukan apabila rencana usaha sangat berisiko ? a. mencari jalan keluar untuk mengatasi atau memperkecil risiko b. mengurangi keuntungan atau kapasitas produksi c. menunda rencana usaha d. membatalkan rencana usaha Sifat inovatif 24. Apakah Saudara sudah merasa puas dengan mutu tempe yang Saudara produksi ? a. tidak puas b. belum puas c. cukup puas d. sangat puas 25. Apakah Saudara sudah merasa puas dengan proses pembuatan tempe yang Saudara lakukan sekarang ? a. tidak puas b. belum puas c. cukup puas d. sangat puas 26. Apakah Saudara melakukan percobaan untuk meningkatkan mutu tempe ? a. terus melakukan percobaan b. sering melakukan percobaan c. pernah melakukan percobaan d. tidak pernah melakukan percobaan 27. Apakah Saudara melakukan percobaan yang bertujuan meningkatkan penjualan ? a. terus melakukan percobaan b. sering melakukan percbaan c. pernah melakukan percobaan d. tidak pernah melakukan percobaan 28. Apakah Saudara dapat menerima kritik dari pelanggan ? a. menerima dengan sangat senang b. menerima dengan senang c. menerima d. tidak menerima 29. Apakah Saudara mengetahui apa yang harus dilakukan untuk mengembangkan usaha tempe ? a. sangat mengetahui b. banyak mengetahui c. sedikit mengetahui d. tidak mengetahui
75
Sifat Mandiri 30. Untuk pengembangan usaha, apakah Saudara mengharapkan bantuan dari pemerintah, keluarga, dll. ? a. tidak mengharapkan b. sedikit mengharapkan c. banyak mengharapkan d. sangat mengharapkan 31. Dalam pengambilan keputusan usaha, apakah Saudara berusaha memperoleh dukungan pihak keluarga ? a. tidak mengharapkan b. sedikit mengharapkan c. banyak mengharapkan d. sangat mengharapkan 32. Bila usaha Sudara mengalami kerugian, menurut Saudara siapa yang harus bertanggungjawab ? a. saya sebagai pemilik usaha b. saya dan keluarga sebagai pemilik usaha c. tenaga kerja d. pemerintah karena tidak mau membantu usaha tempe
76
Motivasi (X1.5) 1) Mohon bantuan dan kesedian Saudara untuk menjawab pertanyaan yang ada. 2) Berilah jawaban pernyataan dengan tanda centang (√) pada kolom yang tersedia sesuai dengan pendapat saudara. 3) Ada empat pilihan jawaban, yaitu : • Sangat setuju (SS) : 4 • Setuju (S) : 3 • Kurang setuju (KS) : 2 • Tidak setuju (TS) : 1
Pernyataan 4 1.
Saya menjadi pengrajin tempe semata-mata untuk memperoleh uang
2.
Dengan menjadi pengrajin tempe berarti saya memiliki pekerjaan
3.
Saya menjadi pengrajin tempe karena hanya usaha ini yang dapat saya lakukan
4.
Saya menjadi pengrajin tempe karena saya yakin makanan jenis ini tidak akan pernah ditinggalkan masyarakat
5.
Dengan mempekerjakan orang lain pada usaha tempe yang saya miliki berarti saya telah menjadi majikan (Boss)
6.
Saya menekuni usaha tempe karena usaha ini memberi keuntungan yang lumayan
7.
Saya menekuni usaha tempe karena risikonya kecil
8.
Saya menjadi pengrajin tempe karena meneruskan usaha keluarga
Alternatif Jawaban 3 2 1
77
FAKTOR EKSTERNAL (X2) Peluang Pasar (X2.1) 1. Apakah Saudara melakukan promosi ? a. melakukan secara terprogram b. melakukan tampa program c. pernah melakukan d. tidak pernah melakukan 2. Apakah tempe Saudara mutunya lebih baik dari tempe pesaing-pesaing Saudara ? a. lebih baik b. sama baik c. kurang baik d. sangat kurang baik 3. Apakah harga tempe Saudara lebih kompetitip dari harga tempe pesaingpesaing Saudara ? a. sangat kompetitip b. sama kompetitip c. kurang kompetitip d. sangat kurang kompetitip 4. Apakah Saudara membutuhkan (meminta) masukkan dari pelanggan ? a. Sangat membutuhkan b. membutuhkan c. kadang-kadang membutuhkan d. tidak membutuhkan 5. Apakah Saudara mengetahui keinginan pelanggan ? a. sangat mengetahui b. banyak mengetahui c. sedikit mengetahui d. tidak mengetahui 6. Apakah Saudara mengetahui permintaan pasar tempe ? a. sangat mengetahui b. banyak mengetahui c. sedikit mengetahui d. tidak mengetahui 7. Apakah Saudara berusaha memperluas pemasaran tempe ? a. sangat berusaha b. banyak berusaha c. kurang berusaha d. tidak berusaha 8. Apakah dilokasi usaha Saudara terdapat pengrajin tempe lain ? a. belum ada pengrajin lain b. sudah ada 1 pengrajin c. sudah ada 2 pengrajin d. sudah ada lebih dari 2 pengrajin
78
9. Bagaimana jumlah pelanggan Sudara dari waktu ke waktu a. bertambah banyak b. tetap c. sedikit berkurang d. banyak berkurang 10. Bagaimana jumlah tempe yang terjual dari waktu ke waktu a. bertambah banyak b. tetap c. sedikit berkurang d. banyak berkurang 11. Apakah ada produk makanan yang bahan dasarnya tempe yang laku dipasaran a. sangat banyak b. ada bayak c. ada sedikit d. tidak ada Bahan baku (X2.2) 1. Persedian kedelai yang Saudara miliki untuk menjamin kelancaran produksi a. lebih untuk 2 X produksi b. cukup untuk 2 X produksi c. cukup untuk 1 X produksi d. tidak cukup untuk 1 X produksi 2. Jumlah pemasok kedelai yang menjadi mitra usaha Saudara a. lebih dari 3 pemasok b. 3 pemasok c. 2 pemasok d. 1 pemasok 3. Apakah mutu kedelai yang ada di KOPTI sesuai dengan kebutuhan Saudara ? a. sangat sesuai b. sesuai c. kurang sesuai d. tidak sesuai 4. Apakah Saudara mudah mendapatkan kedelai ? a. sangat mudah b. mudah c. sedikit sukar d. sukar 5. Harga kedelai yang Saudara beli untuk membuat tempe a. sangat murah b. murah c. mahal d. sangat mahal
79
6. Apakah pembelian kedelai bisa dilakukan dengan cara dicicil ? a. sangat bisa b. bisa c. sedikit bisa d. tidak bisa 7. Apakah menurut Saudara harga kedelai cukup stabil ? a. sangat stabil b. stabil c. kurang stabil d. sangat tidak stabil 8. Apakah menurut Saudara mutu kedelai cukup stabil ? a. sangat stabil b. stabil c. kurang stabil d. sangat tidak stabil 9. Apakah Saudara pernah mengalami kesulitan memperoleh kedelai ? a. tidak pernah b. jarang c. sering d. sangat sering Modal (X2.3) 1. Persedian modal untuk menjalankan usaha tempe Saudara ? a. sangat cukup b. cukup c. kurang d. sangat kurang 2. Fasilitas modal yang tersedia pada lembaga keuangan seperti perbankan, koperasi dan sebaginya, apakah Saudara dapat manfaatkannya ? a. dapat dengan sangat mudah b. dapat dengan mudah c. dapat dengan sukar d. tidak dapat 3. Apakah ada perencanaan dalam penggunaan modal usaha ? a. penggunaannya sangat terencana b. penggunaannya terencana c. penggunaannya kurang terencana d. penggunaannya tidak terencana Tenaga Kerja (X2.4) 1. Pengetahuan tenaga kerja tentang proses pembuatan tempe a. sangat paham b. cukup paham c. kurang paham d. tidak paham
80
2. Pengetahuan tenaga kerja tentang bahan-bahan yang dibutuhkan untuk pembuatan tempe a. sangat paham b. cukup paham c. kurang paham d. tidak paham 3. Keterampilan tenaga kerja dalam membuat tempe a. sangat terampil b. cukup terampil c. kurang terampil d. tidak terampil 4. Keterlibatan tenaga kerja dalam pemeliharaan peralatan produksi a. sepenuhnya terlibat b. banyak terlibat c. kurang terlibat d. tidak terlibat 5. Keterlibatan tenaga kerja dalam menjaga kebersihan ruangan dan lingkungan kerja a. sepenuhnya terlibat b. banyak terlibat c. kurang terlibat d. tidak terlibat
Kebijakan Pemerintah (X2.5) 1) Mohon kesediaan Saudara untuk menjawab pertanyaan yang ada. 2) Berilah jawaban pernyataan dengan tanda centang (√) pada kolom yang tersedia sesuai dengan pendapat saudara. 3) Ada lima alternatif jawaban, yaitu : • Sangat setuju (SS) : 4 • Setuju (S) : 3 • Kurang setuju (KS) : 2 • Tidak setuju (TS) : 1
Pernyataan
Alternatif Jawaban 4
1.
Kebijakan pemerintah menghapus subsidi harga kedelai impor, dan menyerahkan harga kedelai sepenuhnya kepada mekanisme pasar.
2.
Pemerintah tidak memiliki program swasembada kedelai yang mutunya sama dengan kedelai impor
3
2
1
81
KOMPETENSI PENGRAJIN INDUSTRI TEMPE ( Y 1 ) 1) Mohon kesediaan Saudara untuk menjawab pertanyaan-petanyaan di bawah ini dengan jelas dan singkat. Aspek Pengetahuan Membuat rencanaan usaha 1. Tujuan membuat rencana usaha adalah 2. Uraikan aspek-aspek yang dijadikan bahan pertimbangan dalam menyusun rencana usaha tempe 3. Jelaskan isi (pokok-pokok) dari rencana usaha tempe yang baik Proses produksi 1. Uraikan kriteri kedelai yang baik untuk dibuat tempe 2. Uraikan tahap-tahapan proses pembuatan tempe. 3. Jelaskan cara Saudara menjaga mutu tempe 4. Dalam proses pembuatan tempe, mengapa dapat terjadi keterlambatan waktu panen 5. Jelaskan fungsi ragi pada pembuatan tempe 6. Uraikan titik kritis yang ada pada proses pembuatan tempe Memasarkan hasil produksi 1. Uraikan faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang membeli tempe kepada penjual tertentu. 2. Mengapa seorang penjual harus memperhatikan mutu pelayanan kepada pelanggannya 3. Mengapa seorang penjual harus memperhatikan mutu tempe yang dijualnya 4. Mengapa seorang penjual harus memperhatikan pesaingnya Melakukan evaluasi kinerja usaha 1. Bagaimana cara Saudara mengevaluasi hasil penjualan yang menurun 2. Bagaimana cara Saudara mengevaluasi mutu tempe 3. Mengapa hasil evaluasi harus ditidaklanjuti 4. Seberapa penting hasil suatu evaluasi harus ditindaklanjuti Melakukan perbaikan mutu 1. Uraikan kriteria mutu tempe yang baik 2. Jelaskan pentingnya bagi suatu industri tempe melakukan perbaikan mutu produknya 3. Jelaskan pentingnya bagi suatu industri tempe melakukan perbaikan pemasaran
82
Aspek Sikap 1) Mohon kesedian saudara untuk menjawab pertanyaan yang ada. 2) Berilah jawaban pernyataan dengan tanda centang (√) pada kolom yang tersedia sesuai dengan pendapat saudara. 3) Ada empat alternatif jawaban, yaitu : • Sangat setuju (SS) : 4 • Setuju (S) : 3 • Kurang setuju (KS) : 2 • Tidak setuju (TS) : 1 Pernyataan Membuat rencanaan usaha 1.
Bagi pengrajin tempe, rencana usaha sangat penting.
2.
Dalam menjalankan usaha, pengrajin harus berpegang pada rencana usaha yang telah dibuatnya.
Proses produksi 1.
Pengrajin harus menjaga kebersihan ruang, peralatan dan lingkungan produksi.
2.
Pengendalian mutu harus mendapat perhatian utama.
3.
Pada saat membuat tempe pekerja harus mentaati seluruh tatatertib yang berlaku
Memasarkan hasil produksi 1.
Pengrajin harus mau menerima keluhan pelanggan dengan baik
2.
Pengrajin harus memberi pelayanan terbaik kepada pelangganpelanggannya.
Melakukan evaluasi kinerja usaha 1.
Pengrajin harus mau melakukan evaluasi kinerja usaha secara sungguh-sunggh
2.
Pengrajin harus mau menerima hasil evaluasi kinerja usaha.
Melakukan perbaikan mutu 1.
Agar usaha dapat maju maka perbaikan mutu merupakan hal penting yang harus dilakukan
4
Alternatif Jawaban 3 2 1
83
Pernyataan
4
2.
Pengrajin harus dapat menyisihkan waktunya untuk perbaikan mutu tempe
3.
Pengrajin harus memperhatikan hasil evaluasi kinerja usaha untuk perbaikan mutu
Alternatif Jawaban 3 2 1
Aspek Keterampilan 1) Berilah jawaban pernyataan dengan tanda centang (√) pada pilihan jawaban sesuai dengan tindakkan yang dilakukan pengrajin. 2) Ada empat alternatif jawaban, yaitu : • Sangat terampil (ST) : 4 • Terampil (T) : 3 • Kurang terampil (KT) : 2 • Tidak terampil (TT) : 1 Tingkat Keterampilan
Keterampilan
4 Proses produksi 1.
Mensortir kedelai yang akan dibuat tempe
2.
Membersihkan dan merendam kedelai I
3.
Merebus kedelai I
4.
Mengupas
5.
Memisahkan kedelai dari kulit
6.
Merendam II
7.
Merebus II
8.
Meniriskan
9.
Melakukan inokulasi
10.
Mencetak dan membungkus
11.
Melakuakan fermentasi
12.
Memanen
13.
Mensortir tempe sebelum dijual
Memasarkan hasil produksi 1.
Melayani pembeli
2.
Menawarkan tempe kepada calon pembeli potensil
3
2
1
84
KINERJA INDUSTRI TEMPE ( Y2 ) 1.
Hasil produksi per hari
: .................................kg
2.
Harga jual per kg
: Rp ............................
3.
Mutu tempe : a. Sangat baik (super) b. Baik c. Kurang baik d. Tidak baik
Catatan : 1. Apakah Saudara mempunyaian usaha lain selain usaha tempe ? 2. Bila Saudara mempunyai usaha lain, berapa jam waktu Saudara gunakan untuk : a. Usaha tempe :......................jam b. Usaha diluar tempe : ......................jam
85
Lampiran 2 Hasil uji Korelasi Rank Spearman
Spearman's rho
Korelasi Hubungan antara Usia dengan Pengetahuan USIA USIA Correlation Coefficient 1.000 Sig. (2-tailed)
0.185
.
N PENGETAHUAN
PENGETAHUAN 0.260
39
39
Correlation Coefficient
0.185
1.000
Sig. (2-tailed)
0.260
.
39
39
N
Korelasi Hubungan antara Usia dengan Sikap USIA Spearman's rho
USIA
Correlation Coefficient
SIKAP
1.000
0.226
.
0.166
Sig. (2-tailed) N SIKAP
39
39
Correlation Coefficient
0.226
1.000
Sig. (2-tailed)
0.166
.
39
39
N
Spearman's rho
Korelasi Hubungan antara Usia dengan Keterampilan USIA USIA Correlation Coefficient 1.000 Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
-0.188
.
N KETERAMPILAN
KETERAMPILAN 0.251
39
39
-0.188
1.000
0.251
.
39
39
N
Korelasi Hubungan antara Pengalaman dengan Pengetahuan PENGALAMAN Spearman's rho
PENGALAMAN
Correlation Coefficient
0.624(*)
.
0.031
Sig. (2-tailed) N PENGETAHUAN
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
PENGETAHUAN
1.000 39
39
0.624(*)
1.000
0.031
.
39
39
N
Korelasi Hubungan antaraPengalaman dengan Sikap PENGALAMAN Spearman's rho
PENGALAMAN
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
SIKAP
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
SIKAP
1.000
0.634(*)
.
0.021
39
39
0.634(*)
1.000
0.021
.
39
39
86
Korelasi Hubungan antara Pengalaman dengan Keterampilan PENGALAMAN Spearman's rho
PENGALAMAN
Correlation Coefficient
1.000
0.667(*)
.
0.019
Sig. (2-tailed) N KETERAMPILAN
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
KETERAMPILAN
39
39
0.667(*)
1.000
0.019
.
39
39
N
Korelasi Hubungan antara Pendidikan dengan Pengetahuan PENDIDIKAN Spearman's rho
PENDIDIKAN
Correlation Coefficient
0.487(*)
.
0.015
Sig. (2-tailed) N PENGETAHUAN
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
PENGETAHUAN
1.000 39
39
0.487(*)
1.000
0.015
.
39
39
Korelasi Hubungan antara Pendidikan dengan Sikap PENDIDIKAN Spearman's rho
PENDIDIKAN
Correlation Coefficient
0.136
.
0.408
Sig. (2-tailed) N SIKAP
SIKAP
1.000 39
39
Correlation Coefficient
0.136
1.000
Sig. (2-tailed)
0.408
.
39
39
N
Korelasi Hubungan antara Pendidikan dengan Keterampilan PENDIDIKAN Spearman's rho
PENDIDIKAN
Correlation Coefficient
0.737(*)
.
0.041
Sig. (2-tailed) N KETERAMPILAN
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
KETERAMPILAN
1.000 39
39
0.737(*)
1.000
0.041
.
39
39
N
Korelasi Hubungan antara Pengetahuan dengan Sikap Wirausaha PENGETAHUAN Spearman's rho
PENGETAHUAN
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
SIFAT_WIRAUSAHA
SIFAT_WIRAUSAHA
1.000
0.419
.
0.301
39
39
Correlation Coefficient
0.419
1.000
Sig. (2-tailed)
0.301
.
39
39
N
87
Korelasi Hubungan antara Sifat Wirausahan dengan Sikap SIFAT_WIRAUSAHA Spearman's rho
SIFAT_WIRAUSAHA
Correlation Coefficient
1.000
0.283
.
0.617
Sig. (2-tailed) N SIKAP
SIKAP
39
39
Correlation Coefficient
0.283
1.000
Sig. (2-tailed)
0.617
.
39
39
N
Korelasi Hubungan antara Sifat Wirausaha dengan Keterampilan Spearman's rho
SIFAT_WIRAUSAHA
SIFAT_WIRAUSAHA
KETERAMPILAN
1.000
0.398
.
0.227
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
KETERAMPILAN
39
39
Correlation Coefficient
0.398
1.000
Sig. (2-tailed)
0.227
.
39
39
N
Korelasi Hubungan antara Motivasi dengan Pengetahuan PENGETAHUAN Spearman's rho
PENGETAHUAN
Correlation Coefficient
0.793(**)
.
0.000
39
39
0.793(**)
1.000
Sig. (2-tailed) N MOTIVASI
Correlation Coefficient
MOTIVASI
1.000
Sig. (2-tailed) N
0.000
.
39
39
Korelasi Hubungan antara Motivasi dengan Sikap MOTIVASI Spearman's rho
MOTIVASI
Correlation Coefficient
0.610(**)
.
0.005
39
39
0.610(**)
1.000
Sig. (2-tailed) N SIKAP
Correlation Coefficient
SIKAP
1.000
Sig. (2-tailed) N
0.005
.
39
39
Korelasi Hubungan antara Motivasi dengan Keterampilan MOTIVASI Spearman's rho
MOTIVASI
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
KETERAMPILAN
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
KETERAMPILAN
1.000
0.617(**)
.
0.007
39
39
0.617(**)
1.000
0.007
.
39
39
88
Spearman's rho
Korelasi Hubungan antara Peluang Pasar dengan Pengetahuan PELUANG_PASAR PELUANG_PASA Correlation Coefficient 1.000 R Sig. (2-tailed) . N 39 PENGETAHUAN
Correlation Coefficient
PENGETAHUAN 0.518(**) 0.001 39
0.518(**)
Sig. (2-tailed)
1.000
0.001
.
39
39
N
Korelasi Hubungan antara Peluang Pasar dengan Sikap PELUANG_PASAR Spearman's rho
PELUANG_PASAR
Correlation Coefficient
1.000
0.459(**)
.
0.002
Sig. (2-tailed) N SIKAP
Correlation Coefficient
SIKAP
39
39
0.459(**)
1.000
0.002
.
39
39
Sig. (2-tailed) N
Korelasi Hubungan antara Peluang Pasar dengan Keterampilan PELUANG_PASAR Spearman's rho
PELUANG_PASA R
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
1.000
0.517(**)
.
0.001
N KETERAMPILAN
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
KETERAMPILAN
39
39
0.517(**)
1.000
0.001
.
39
39
N
Korelasi Hubungan antara Pengetahuan dengan Bahan Baku BAHAN_BAKU Spearman's rho
BAHAN_BAKU
Correlation Coefficient
0.544(*)
.
0.034
39
39
0.544(*)
1.000
Sig. (2-tailed) N PENGETAHUAN
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
PENGETAHUAN
1.000
0.034
.
39
39
N
Korelasi Hubungan antara Bahan Baku dengan Sikap BAHAN_BAKU Spearman's rho
BAHAN_BAKU
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
SIKAP
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
SIKAP
1.000
0.638(*)
.
0.044
39
39
0.638(*)
1.000
0.044
.
39
39
89
Korelasi Hubungan antara Bahan Baku dengan Keterampilan BAHAN_BAKU Spearman's rho
BAHAN_BAKU
Correlation Coefficient
1.000
0.500(*)
.
0.021
Sig. (2-tailed) N KETERAMPILAN
Correlation Coefficient
KETERAMPILAN
39
39
0.500(*)
1.000
0.021
.
39
39
Sig. (2-tailed) N
Korelasi Hubungan antara Pengetahuan dengan Modal PENGETAHUAN Spearman's rho
PENGETAHUAN
Correlation Coefficient
0.495(*)
.
0.031
Sig. (2-tailed) N MODAL
Correlation Coefficient
MODAL
1.000 39
39
0.495(*)
1.000
Sig. (2-tailed)
0.031
.
39
39
N
Korelasi Hubungan antara Modal dengan Sikap MODAL Spearman's rho
MODAL
Correlation Coefficient
0.699(*)
.
0.025
Sig. (2-tailed) N SIKAP
Correlation Coefficient
SIKAP
1.000 39
39
0.699(*)
1.000
Sig. (2-tailed)
0.025
.
39
39
N
Korelasi Hubungan antara Modal dengan Keterampilan MODAL Spearman's rho
MODAL
Correlation Coefficient
KETERAMPILAN
1.000
0.535(*)
.
0.035
Sig. (2-tailed) N KETERAMPILAN
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
39
39
0.535(*)
1.000
0.035
.
39
39
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Korelasi Hubungan antara Tenaga Kerja dengan Pengetahuan TENAGA_KERJA Spearman's rho
TENAGA_KERJA
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
PENGETAHUAN
PENGETAHUAN
1.000
0.589
.
0.133
39
39
Correlation Coefficient
0.589
1.000
Sig. (2-tailed)
0.133
.
39
39
N
90
Spearman's rho
Korelasi Hubungan antara Tenaga Kerja dengan Sikap TENAGA_KERJA TENAGA_KERJA Correlation Coefficient 1.000 Sig. (2-tailed) N SIKAP
SIKAP 0.512
.
0.943
39
39
Correlation Coefficient
0.512
1.000
Sig. (2-tailed)
0.943
.
39
39
N
Korelasi Hubungan antara Tenaga Kerja dengan Keterampilan Spearman's rho
TENAGA_KERJA
Correlation Coefficient
TENAGA_KERJA
KETERAMPILAN
1.000
0.407
.
0.205
Sig. (2-tailed) N KETERAMPILAN
39
39
Correlation Coefficient
0.407
1.000
Sig. (2-tailed)
0.205
.
39
39
N
Korelasi Hubungan antara Kebijakan Pem dengan Pengetahuan
Spearman's rho
KEBIJAKAN_PEM
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
PENGETAHUAN
PENGETAHUAN
1.000
0.240
.
0.141
39
39
Correlation Coefficient
0.240
1.000
Sig. (2-tailed)
0.141
.
39
39
N
Spearman's rho
KEBIJAKAN_PEM
Korelasi Hubungan antara Kebijakan Pem dengan Sikap KEBIJAKAN_PEM KEBIJAKAN_PEM Correlation Coefficient 1.000 Sig. (2-tailed)
.
N SIKAP
0.274 0.654
39
39
Correlation Coefficient
0.274
1.000
Sig. (2-tailed)
0.654
.
39
39
N
Spearman's rho
SIKAP
Korelasi Hubungan antara Kebijakan Pem dengan Keterampilan KEBIJAKAN_PEM KETERAMPILAN KEBIJAKAN_PEM Correlation Coefficient 1.000 0.268 Sig. (2-tailed) . 0.681 N KETERAMPILAN
39
39
Correlation Coefficient
0.268
1.000
Sig. (2-tailed)
0.681
.
39
39
N
91
Spearman's rho
Korelasi Hubungan antara Pengetahuan dengan Omzet PENGETAHUAN PENGETAHUAN Correlation Coefficient 1.000 Sig. (2-tailed)
0.420(*)
.
N OMZET
OMZET
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
0.048
39
39
0.420(*)
1.000
0.048
.
39
39
N
Korelasi Hubungan antara Pengetahuan dengan Mutu Tempe Spearman's rho
PENGETAHUAN
PENGETAHUAN
MUTU_TEMPE
1.000
0.665(*)
.
0.021
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
MUTU_TEMPE
Correlation Coefficient
39
39
0.665(*)
1.000
0.021
.
39
39
Sig. (2-tailed) N ** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Korelasi Hubungan antara Mutu Tempe dengan Sikap MUTU_TEMPE Spearman's rho
MUTU_TEMPE
Correlation Coefficient
0.682(*)
.
0.016
Sig. (2-tailed) N SIKAP
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
SIKAP
1.000 39
39
0.682(*)
1.000
0.016
.
39
39
N * Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Korelasi Hubungan antara Sikap dengan Omzet SIKAP Spearman's rho
SIKAP
Correlation Coefficient
0.330(*)
.
0.040
Sig. (2-tailed) N OMZET
Correlation Coefficient
OMZET
1.000 39
39
0.330(*)
1.000
Sig. (2-tailed)
0.040
.
39
39
N * Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Korelasi Hubungan antara Keterampilan dengan Mutu Tempe KETERAMPILAN Spearman's rho
KETERAMPILAN
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
MUTU_TEMPE
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
MUTU_TEMPE
1.000
0.675(**)
.
0.008
39
39
0.675(**)
1.000
0.008
.
39
39
92
Korelasi Hubungan antara Keterampilan dengan Omzet KETERAMPILAN Spearman's rho
KETERAMPILAN
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
MUTU_TEMPE
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
MUTU_TEMPE
1.000
0.723(**)
.
0.000
39
39
0.723(**)
1.000
0.000
.
39
39