ANALISIS HUBUNGAN ANTARA FAKTOR INDIVIDU DAN BEBAN KERJA FISIK DENGAN STRES KERJA DI BAGIAN PRODUKSI PT. X SURABAYA Yohan Ratih F.E., Tjipto Suwandi Departemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga Email: yohanenisa@yahoo. com ABSTRACT Job stress is condition which some factors have interaction with the workers, giving affects to physiological/psychological responses. It’s better to identify job stress to decrease the risks related to workplace accidents. This study was conducted to identify the relationship between individual factors and internal work environment’s factor with job stress on the workers in Production Department PT. X Surabaya. The results could be used for control and improve about safety and health. This was an observational study with cross sectional approach. Samples size 33 people were taken by simple random sampling in all divisions at PT. X Surabaya. The correlation between the dependent and independent variables were analyzed by Spearman correlation test and Contingency Coefficient (α < 0.05). There were 5 independent variables which had a significant association with job stress, namely age (sig = 0.012), working period (sig = 0.049), education level (sig = 0.025), and physical workload (sig = 0.047). But, personality type didn’t have relationship with job stress (sig = 1.090). Based on the results, it can be concluded that older of age, longer of the working period, higher of the education’s level and heavier of physical workload will be has tendency to get job stress. To resolve the issues are by hold regular sharing to reduce the lack of good relationships between colleagues, create more comfortable work environment, conduct routine safety talk, hold job rotation/career development and measures physical workload with better tool to determine ideal break for any job. Keywords: job stress, individual factors, physical workload ABSTRAK Stres kerja adalah suatu kondisi di mana beberapa faktor berinteraksi pada pekerja, memberi berdampak pada respons fisiologis/psikologis. Respons ini baik untuk mengidentifikasi stres kerja untuk mengurangi risiko yang berkaitan dengan kecelakaan kerja. Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi hubungan antara faktor individu dan faktor lingkungan kerja internal dengan stres kerja pada pekerja di Departemen Produksi PT X Surabaya. Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan pendekatan cross sectional. Jumlah sampel 33 orang diambil dengan random sampling sederhana dalam semua divisi di PT X Surabaya. Korelasi antara variabel dependen dan independen dianalisis dengan uji korelasi Spearman dan Koefisien Kontingensi (α < 0,05). Ada 5 variabel independen yang memiliki hubungan yang signifikan dengan stres kerja, yaitu umur (sig = 0,012), masa kerja (sig = 0,049), tingkat pendidikan (sig = 0,025), dan beban kerja fisik (sig = 0,047). Tapi tipe kepribadian tidak memiliki hubungan dengan stres kerja (sig = 1,090). Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa usia lebih tua, masa kerja lebih lama, tingkat pendidikan yang lebih tinggi dan berat beban kerja fisik akan memiliki kecenderungan untuk mengalami stres kerja. Untuk menyelesaikan masalah stres kerja yaitu dengan terus meningkatkan hubungan yang baik antara rekan kerja, menciptakan lingkungan kerja yang lebih nyaman, melakukan rutinitas safety talk, rotasi/pengembangan karir kerja dan mengukur beban kerja fisik dengan alat yang lebih baik untuk menentukan waktu istirahat yang ideal pada pekerjaan apa pun. Kata kunci: stress kerja, faktor individu, beban kerja fisik
PENDAHULUAN
Sedangkan perilaku berbahaya tersebut bisa berasal dari sikap terhadap keselamatan kerja, persepsi terhadap bahaya, budaya atau iklim K3, atau sumber stres di tempat kerja. Salah satu pemicu munculnya unsafe behavior adalah stressor yang terkait jelas dengan munculnya acute reactions (anxiety, fatigue, low motivation, alcohol) diikuti dengan respons selanjutnya berupa decreased capacities (accuracy, reaction time,
Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) penting untuk diterapkan di tempat kerja karena telah banyak kecelakaan kerja yang ditimbulkan di segala jenis pekerjaan. Kecelakaan kerja dapat diakibatkan dari berbagai faktor. Mulai dari faktor manusia, mesin media, maupun manajemen (Winarsunu, 2008). Faktor utama yang ditemui adalah perilaku berbahaya (unsafe behavior) dari para pekerja.
97
98
The Indonesian Journal of Occupational Safety and Health, Vol. 2, No. 2 Jul-Des 2013: 97–105
attention, reasoning) yang pada akhirnya berimbas pada perilaku berbahaya sehingga bisa menimbulkan accident (Lawrence et al diadaptasi dari Miner (1992) dalam Munandar (2011). Stres kerja merupakan suatu tekanan yang akan mempengaruhi emosi, proses berpikir, cara kerja dan kondisi fisik seseorang, di mana tekanan itu berasal dari lingkungan kerja seseorang tersebut (Yoder dan Staudohar (1982) dalam Goetsch (2008)). Stres kerja lahir dari faktor yang bervariasi, mulai dari faktor internal dan eksternal pekerja. Berbagai fakta di lapangan seperti yang telah dijabarkan mengindikasikan bahwa sebenarnya stres kerja sebagai hal yang tidak mudah diidentifikasi menjadi hal yang sangat penting untuk diketahui kondisi psikologis pada para pekerja di suatu tempat kerja, terlebih lagi dengan paparan yang beragam dan berisiko tinggi. Selain itu, pencegahan stres kerja juga bukan hal yang mudah, namun tetap bisa dilaksanakan. Perusahaan atau institusi dapat menerapkan beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mencegah atau mengurangi kejadian stres kerja seperti manajemen stres kerja yang meliputi kerekayasaan organisasi seperti misalnya coping over workload dengan penambahan tenaga kerja. Kerekayasaan kepribadian juga berpartisipasi dalam pencegahan stres kerja yaitu dengan melalui misalnya team building. Pencegahan selanjutnya dapat juga dilakukan dengan teknik penenangan pikiran dan melalui aktivitas fisik (Munandar, 2011). Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi hubungan antara faktor individu (umur, masa kerja, tingkat pendidikan dan tipe kepribadian) serta faktor internal lingkungan kerja yaitu beban kerja fisik dengan stres kerja di Bagian Produksi PT. X Surabaya. METODE Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian observasional analitik karena peneliti tidak memberikan perlakuan atau intervensi kepada sampel yang diteliti, namun hanya mengidentifikasi hubungan antara variabel-variabel yang diteliti. Melihat dari segi waktu, termasuk dalam penelitian cross sectional yaitu dengan melakukan pengukuran variabel pada saat tertentu dan hanya satu kali pada setiap subjek yang diteliti. (Notoatmodjo, 2005). Populasi penelitian dalam penelitian ini adalah semua tenaga kerja di Bagian Produksi PT. X Surabaya sebanyak 35 tenaga kerja. Sampel yang
diambil adalah sebagian dari tenaga kerja di Bagian Produksi PT. X Surabaya. Cara pengambilan sampel dalam penelitian ini dihitung dengan menggunakan rumus simple random sampling sehingga didapatkan jumlah sampel yang akan diteliti adalah 33 tenaga kerja. Penelitian ini dilakukan di Bagian Produksi PT. X Surabaya yang beralamat di Surabaya, Jawa Timur. Sedangkan untuk waktu penelitian ini dilaksanakan mulai tanggal 16 Juni–20 Juli 2013. Teknik pengumpulan data dilaksanakan dengan mengambil data primer dan data sekunder. Data primer meliputi kuesioner terkait umur, masa kerja, pendidikan, tipe kepribadian serta pengukuran beban kerja fisik dengan menggunakan metode 10 denyut (Kilbon (1992) dalam Tarwaka (2011)). Sedangkan untuk data sekunder diperoleh untuk melengkapi data profile perusahaan Teknik analisis data yang digunakan adalah dengan uji korelasi Spearman dan Contingency coefficient dengan menggunakan perhitungan statistik dengan tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05), dengan hipotesis H0: Tidak ada hubungan antara faktor individu dan beban kerja fisik dengan stres kerja; H1: Ada hubungan antara faktor individu dan beban kerja fisik dengan stres kerja HASIL PENELITIAN PT. X Surabaya merupakan usaha swasta nasional yang bergerak dalam bidang pengecoran logam. Di dalam produksinya, PT. X Surabaya bergerak dalam pengecoran besi/ferro dengan bermacam-macam jenis, ukuran, berat, dan klas dari bahan cor sesuai kebutuhan pemesan. Di Bagian Produksi PT. X Surabaya terdapat 7 divisi, yaitu divisi pembongkaran, permodelan, percetakan, pengecoran, last oven, finishing dan maintenance. Seluruh divisi memiliki jenis pekerjaan yang berbeda sehingga beban kerja yang dimiliki juga berbeda. Dari berbagai divisi tersebut memunculkan hasil identifikasi yang beragam dari segi distribusi dan hubungan variabel faktor individu dan beban kerja fisik dengan stres kerja. Hubungan Antara Faktor Individu dengan Stres Kerja Berikut ini adalah gambaran distribusi tenaga kerja berdasarkan hubungan antara umur dengan stres kerja di Bagian Produksi PT. X Surabaya. Dari hasil yang diperoleh dan ditunjukkan tabel 2 tampah bahwa variabel umur dan stres
99
Yohan dan Tjipto, Analisis Hubungan Antara Faktor Individu…
Tabel 1 Distribusi Tenaga Kerja Berdasarkan Hubungan antara Umur dengan Stres Kerja di Bagian Produksi PT. X Surabaya Umur (tahun) Stres Kerja Ya Tidak Total
18–40
Total
41–60
> 60
n
%
n
%
n
%
5 (45,4%) 6 (54,5%) 11 (100%)
15 2 18,2 23,3
19 (86,4%) 3 (13,6%) 22 (100%)
57,6 9,1 66,7
0 0 0
0 0 0
n
%
24 9 33
72,3 37,3 100
Tabel 2 Distribusi Tenaga Kerja Berdasarkan Hubungan antara Masa Kerja dengan Stres Kerja di Bagian Produksi PT. X Surabaya Masa kerja (tahun) Stres Kerja
<6
Ya Tidak Total
Total
6–10
> 18
n
%
n
%
n
%
2 (100%) 0(0%) 2 (100%)
6,1 0,0 6,1
8 (50%) 8 (50%) 16 (100%)
24,2 24,2 48,5
14 (93,9%) 1,0 (6,7%) 15 (100%)
42,4 3,0 45,4
n
%
24 9 33
72,3 37,3 100,0
kerja menunjukkan bahwa semakin lanjut usia seseorang, semakin mengalami kecenderungan stres kerja semakin besar. Semakin muda semakin sedikit jumlah responden yang terdeteksi memiliki stres kerja. Hal ini tampak dari tingkat stres kerja sebagian besar dialami oleh tenaga kerja yang berada di kategori umur dewasa tengah yaitu dari sebanyak 22 orang (66,7%) terdapat 19 orang yang mengalami stres kerja. Analisis Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara umur dengan stres kerja
karena bisa dilihat dari nilai signifikasi yang bernilai 0,012. Tabel 3 menunjukkan bahwa sebagian besar tenaga kerja yang mengalami stres kerja berada pada masa kerja >18 yaitu 14 orang (42,4%). Hal ini menunjukkan kecenderungan semakin lama masa kerja semakin tinggi tingkat stres kerja. Analisis Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara masa kerja dengan stres kerja karena bisa dilihat dari nilai signifikasi yang bernilai 0,049.
Tabel 3 Distribusi Tenaga Kerja Berdasarkan Hubungan antara Tingkat Pendidikan dengan Stres Kerja di Bagian Produksi PT. X Surabaya
Berikut ini adalah gambaran distribusi tenaga kerja berdasarkan hubungan antara tingkat pendidikan dengan stres kerja di Bagian Produksi PT. X Surabaya. Dari hasil yang diperoleh pada tabel 3 menunjukkan bahwa semakin rendah tingkat pendidikan seseorang, kecenderungan stres kerja semakin besar. Hal ini tampak dari tingkat stres kerja sebagian besar dialami oleh seluruh tenaga kerja yang berada di kategori tingkat pendidikan SMA yaitu sebanyak 20 orang (60,6%). Analisis Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan stres kerja karena bisa dilihat dari nilai signifikasi yang bernilai 0,025.
Tingkat pendidikan Stres Kerja Ya Tidak Total
SMA
Total
PT
n
%
n
20 (83,3%) 4 (16,7%) 24 (100%)
60, 6
4 (44,4%) 5 (55,6%) 9 (100%)
12,1 72,7
n
%
12,1
24
72,7
15,2
9
27,3
27,3
33
100
%
Hubungan Antara Pendidikan dengan Stres Kerja
100
The Indonesian Journal of Occupational Safety and Health, Vol. 2, No. 2 Jul-Des 2013: 97–105
Hubungan Antara Tipe Kepribadian dengan Stres Kerja
Tabel 4 menunjukkan bahwa sebagian besar dialami oleh seluruh tenaga kerja yang berada di kategori tipe kepribadian A dan B yaitu masingmasing sebanyak 12 orang (36,4%). Analisis Contingency Coefficient menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara tipe kepribadian dengan stres kerja karena bisa dilihat dari nilai signifikasi yang bernilai 0,195 dengan besar keterkaitan yaitu 0,140 yang berarti tidak ada hubungan atau hubungannya sangat lemah. Dari hal tersebut, bisa diketahui bahwa kemungkinan untuk mengalami stres kerja yang diakibatkan oleh perbedaan tipe kepribadian sangat kecil.
Berikut ini adalah gambaran distribusi tenaga kerja berdasarkan hubungan antara tipe kepribadian dengan stres kerja di Bagian Produksi PT. X Surabaya. Tabel 4. Distribusi Tenaga Kerja Berdasarkan Hubungan antara Tipe Kepribadian dengan Stres Kerja di Bagian Produksi PT. X Surabaya Tipe Kepribadian Stres Kerja
A n
Total
B
n
Hubungan Antara Tipe Kepribadian dengan Stres Kerja
5
%
n
%
Ya
12 (66,7%)
36,4
12 (80%)
36,4
24
72,3
Tidak
6 (33,3%)
18,2
3 (20%)
9,1
9
37,3
Total
18 (100%)
54,5
15 (100%)
45,5
33
100
Beban kerja fisik di sini diukur dengan menggunakan metode denyut nadi kerja yang dinyatakan oleh Kilbon (1992) dalam Tarwaka (2011) yaitu metode 10 denyut. Di mana metode ini menghitung rata-rata denyut nadi saat bekerja. Pengukuran denyut nadi dilakukan secara palpasi di pergelangan tangan dengan rincian waktu pada jam kerja yaitu jam 08.30, 09.30, 10.30, dan 11.30
Tabel 5 Perhitungan Rata-rata Denyut Nadi Kerja dengan Menggunakan Metode 10 denyut pada Tenaga Kerja di Bagian Produksi PT . X Surabaya Responden
DNI (detik)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
8,65 8,64 8,77 8,55 8,36 8,63 8,65 8,76 8,76 8,64 8,70 8,64 8,68 8,74 8,70 8,64 8,66 8,64
DNK (detik) 1
2
3
4
7,20 7,24 7,18 7,15 7,38 7,22 7,34 7,25 7,22 7,25 7,23 7,50 7,48 7,45 7,50 7,22 7,24 7,36
6,27 6,20 6,20 6,18 6,28 6,37 6,27 6,42 6,32 6,36 6,20 6,52 6,52 6,46 6,50 6,28 6,28 6,24
5,18 5,12 5,14 5,15 5,20 5,22 5,20 5,33 5,28 5,26 5,25 5,45 5,46 5,42 5,36 5,22 5,20 5,22
5,03 5,06 5,05 5,00 5,12 5,17 5,18 5,17 5,12 5,12 5,17 5,33 5,18 5,22 5,33 5,12 5,12 5,17
Rerata DNK 5,92 5,91 5,89 5,87 5,99 5,99 5,99 6,04 5,98 5,99 5,96 6,20 6,16 6,14 6,17 5,96 5,96 5,99
101
Yohan dan Tjipto, Analisis Hubungan Antara Faktor Individu…
Responden
DNI (detik)
19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
8,74 8,68 8,64 8,50 8,55 8,36 8,70 8,88 8,34 8,68 8,39 8,35 8,42 8,77 8,68
DNK (detik) 2
3
4
7,24 7,48 7,38 7,46 7,35 7,24 7,23 7,45 7,33 7,24 7,33 7,23 7,32 7,35 7,24
6,27 6,48 6,21 6,46 6,34 6,24 6,22 6,43 6,25 6,31 6,20 6,22 6,25 6,25 6,21
5,23 5,38 5,22 5,38 5,35 5,25 5,34 5,45 5,20 5,25 5,32 5,26 5,22 5,20 5,20
5,15 5,20 5,12 5,22 5,20 5,14 5,17 5,23 5,12 5,18 5,12 5,12 5,13 5,18 5,10
agar dapat diperoleh hasil denyut nadi kerja rata-rata seperti yang tertera pada tabel 5 di bawah ini. Dari tabel tersebut, kemudian dilakukan perhitungan sesuai dengan rumus metode 10 denyut, yaitu: Denyut Nadi (Denyut/Menit) =
Rerata DNK
1
10 denyut waktu perhitungan
5,97 6,14 5,98 6,13 6,06 5,97 5,99 6,14 5,97 5,99 5,99 5,96 5,98 5,99 5,94
DNK (pengukuran 1) = 5,92 Denyut Nadi (Denyut/Menit) =
10 denyut waktu perhitungan
=
× 60
83,33
Perhitungan DN ini juga dilakukan pada hasil pengukuran ke-2, ke-3, dan ke-4 sehingga bisa dihasilkan DN rerata seperti yang terangkum dalam tabel di bawah ini.
× 60
Misalkan perhitungan untuk responden 1, maka nilai dari DN (Denyut Nadi) adalah sebagai berikut:
Tabel 6 Rekapitulasi Perhitungan Rata-rata Denyut Nadi Kerja dengan Menggunakan Metode 10 denyut pada Tenaga Kerja di Bagian Produksi PT. X Surabaya Responden DNI (detik)
DNK (detik) 1
2
3
4
Rerata DNK
1
8.65
83.33
95.69
115.83
119.28
103.54
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
8.64 8.77 8.55 8.36 8.63 8.65 8.76 8.76 8.64 8.7
82.87 83.57 83.92 81.30 83.10 81.74 82.76 83.10 82.76 82.99
96.77 96.77 97.09 95.54 94.19 95.69 93.46 94.94 94.34 96.77
117.19 116.73 116.50 115.38 114.94 115.38 112.57 113.64 114.07 114.29
118.58 118.81 120.00 117.19 116.05 115.83 116.05 117.19 117.19 116.05
103.85 103.97 104.38 102.35 102.07 102.16 101.21 102.22 102.09 102.53
102
The Indonesian Journal of Occupational Safety and Health, Vol. 2, No. 2 Jul-Des 2013: 97–105
Responden DNI (detik)
DNK (detik) 1
2
3
4
Rerata DNK
12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
8.64 8.68 8.74 8.7 8.64 8.66 8.64 8.74 8.68 8.64 8.5 8.55 8.36 8.7 8.88 8.34 8.68
80.00 80.21 80.54 80.00 83.10 82.87 81.52 82.87 80.21 81.30 80.43 81.63 82.87 82.99 80.54 81.86 82.87
92.02 92.02 92.88 92.31 95.54 95.54 96.15 95.69 92.59 96.62 92.88 94.64 96.15 96.46 93.31 96.00 95.09
110.09 109.89 110.70 111.94 114.94 115.38 114.94 114.72 111.52 114.94 111.52 112.15 114.29 112.36 110.09 115.38 114.29
112.57 115.83 114.94 112.57 117.19 117.19 116.05 116.50 115.38 117.19 114.94 115.38 116.73 116.05 114.72 117.19 115.83
98.67 99.49 99.76 99.20 102.69 102.75 102.17 102.45 99.93 102.51 99.94 100.95 102.51 101.97 99.67 102.61 102.02
29 30 31 32 33
8.39 8.35 8.42 8.77 8.68
81.86 82.99 81.97 81.63 82.87
96.77 96.46 96.00 96.00 96.62
112.78 114.07 114.94 115.38 115.38
117.19 117.19 116.96 115.83 117.65
102.15 102.68 102.47 102.21 103.13
Hasil rekapitulasi perhitungan denyut nadi dengan menggunakan metode 10 denyut tersebut diinterpretasikan kepada beberapa kategori beban kerja menurut variabel denyut nadi per menit (Suma’mur, 2009). Suma’mur (2009) mengklasifikasikan denyut nadi menjadi ringan, agak berat, berat, sangat berat, dan luar biasa berat. Denyut nadi ringan adalah antara 75–100 per menit, agak berat antara 100–125 per menit, berat antara 125–150 per menit, sangat berat antara 150–175 per menit, dan luar biasa berat >175 per menit. Hubungan Antara Faktor Individu dengan Stres Kerja Usia madya menurut Elizabeth Hurlock (1980) sama dengan usia setengah baya sebagai masa usia antara umur 40–60 tahun. Usia madya atau dewasa tengah adalah masa stres. Penyesuaian secara radikal pada pola hidup yang disertai dengan perubahan fungsi fisik dan kemampuan ingatan akan berdampak pada sulitnya penyesuaian diri
sehingga menyebabkan stres pada individu. Usia madya merupakan masa jenuh. Kategori stres pada usia madya terdiri dari stres somatik, stres budaya, stres ekonomi dan stres psikologis. Berdasarkan hasil penelitian, pada umur kisaran 41–60 tahun paling banyak mengalami stres kerja. Hasil analisis data menggunakan korelasi Spearman, diperoleh hasil bahwa terdapat hubungan antara umur dengan stres kerja (sig 0,012 < α 0,05) dengan nilai Correlation Coefficient sebesar 0,433 yang berarti hubungan antara umur dengan stres kerja bersifat sedang. Hal ini berkaitan dengan semakin tinggi umur, semakin terlihat kecenderungan mengalami stres kerja yang mungkin bisa disebabkan karena berbagai faktor seperti menurunnya kekuatan faktor fisik yang sesungguhnya tidak bisa terlepas dari proses pekerjaan seperti yang terdapat pada Bagian Produksi PT. X Surabaya. Menurut Anoraga (1998), semakin tua umur seseorang, besar kemungkinan terjadinya stres kerja, mengingat bertambahnya umur seseorang semakin kompleks persoalan yang dihadapinya. Selain
Yohan dan Tjipto, Analisis Hubungan Antara Faktor Individu…
itu, bisa terjadi penurunan tingkat adaptasi oleh seseorang di lingkungan kerja. Selain itu, semakin tua umur semakin pendek waktu tidur, sehingga keluhan mental pun lebih banyak dialami pekerja yang sudah tua daripada pekerja masih muda. Menurut Boediono (2003), bila semakin lama seseorang bekerja maka akan semakin memberikan pengaruh positif dan jika hal tersebut berkaitan dengan beban kerja yang tidak terlalu berat serta menimbulkan kejenuhan. Namun, sebaliknya jika semakin lama pekerjaan menimbulkan kejenuhan dan kelelahan, maka hal tersebut akan mendukung terjadinya stres kerja. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masa kerja 6–10 tahun paling banyak mengalami stres kerja dibanding dengan masa kerja < 6 tahun. Dan juga diikuti dengan masa kerja > 10 tahun yang hanya terpaut sedikit proporsinya dengan masa kerja 6–10 tahun. Disebutkan juga bahwa semakin lama bekerja, seseorang pasti akan mendapatkan paparan bahaya yang ditimbulkan dari lingkungan fisik kerja. Lingkungan pekerjaan memilki pengaruh yang sangat besar terhadap kesehatan pekerja karena sebagian besar waktu seseorang digunakan untuk bekerja (Munandar, 2011). Selain itu, masa jabatan yang berhubungan dengan stres kerja sangat berkaitan dengan kejenuhan dalam bekerja. Pekerja yang telah bekerja diatas 5 tahun biasanya memiliki tingkat kejenuhan yang lebih tinggi daripada pekerja yang baru bekerja. Sehingga dengan adanya tingkat kejenuhan tersebut dapat menyebabkan stres dalam bekerja. Berdasarkan uji korelasi Spearman didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan antara masa kerja dengan stres kerja (sig 0,049 < α 0,05) dengan nilai Correlation Coefficient sebesar 0,345 yang berarti hubungan antara masa kerja dengan stres kerja bersifat sedang. Pada pekerjaan dengan asa kerja yang lebih lama memiliki peluang lebih rentan terhadap penyakit dan paparan fisik lingkungan kerja sehingga mudah terjadi stres kerja. Hubungan Antara Tingkat Pendidikan dengan Stres Kerja Pendidikan bertujuan untuk mengembangkan dan memperluas pengetahuan, pengalaman, serta pengertian individu. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin mudah seseorang untuk berpikir secara luas, semakin tinggi inisiatif, dan semakin mudah pula untuk menemukan caracara yang efisien untuk menyelesaikan pekerjaan dengan baik.
103
Berdasarkan hasil uji analisis korelasi Spearman, didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan stres kerja (sig 0,025 < α 0,05). Kuatnya hubungan masa kerja dengan stres kerja dinyatakan oleh nilai Correlation Coefficient sebesar 0,389 yang berarti hubungan bersifat sedang. Hasil penelitian ini sesuai dengan pernyataan dari Wignjosoebroto (1995) yang menjelaskan bahwa sikap kerja dari seseorang karyawan yang terdidik dan terlatih dapat mengatur proses kerja dan mencegah terjadinya pemborosan sehingga memperkecil kemungkinan seseorang karyawan untuk mengalami stres kerja. Menurut Yuwono (2005), pendidikan merupakan suatu sistem terbuka, sehingga memungkinkan adanya pengaruh luar yang menentukan kebenaran atau kesalahan misalnya faktor kreativitas. Pendidikan materinya lebih luas dan tidak terkait langsung dengan pekerjaan. Penelitian Wijono (2006) menemukan bahwa subjek dengan tingkat pendidikan Sarjana mengalami stres kerja rendah, sedangkan subjek dengan tingkat pendidikan SMU/ SMK dan Diploma mengalami stres kerja sedang. Hubungan Antara Tipe Kepribadian dengan Stres Kerja Karakteristik individu dengan pola perilaku tipe A memiliki suatu dorongan besar untuk bersaing dan perasaan tentang pentingnya waktu. Individu dengan pola perilaku ini sangat ambisius dan agresif, selalu bekerja untuk mencapai sesuatu, berlomba dengan waktu dan terlibat penuh pada tugas-tugas pekerjaannya. Akibatnya, individu dengan pola perilaku tipe A selalu dalam keadaan tegang dan stres. Walaupun pekerjaan relatif bebas dari sumber-sumber stres, mereka membawa stres mereka sendiri dalam bentuk pola perilakunya. Berbeda dengan tipe B yang memiliki ciri-ciri kepribadian yang berlawanan dengan tipe kepribadian A. Hasil penelitian dari tipe kepribadian menunjukkan bahwa sebagian besar pekerja memiliki tipe kepribadian A yaitu sebanyak 18 orang, dibandingkan dengan tipe kepribadian yang berjumlah 15 orang. Namun, proporsi atau jumlah tenaga kerja yang mengalami stres kerja pada responden penelitian ini adalah sama yaitu masing-masing 12 orang dengan tingkat stres sedang. Berdasarkan uji Contingency Coefficient diperoleh bahwa tidak ada hubungan antara tipe kepribadian dengan stres kerja (sig 1,090 > α 0,05).
104
The Indonesian Journal of Occupational Safety and Health, Vol. 2, No. 2 Jul-Des 2013: 97–105
Hal ini tidak sesuai dengan pernyataan menurut Friedman dan Rosenman dalam Munandar (2011) yang menjelaskan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara tipe kepribadian A dengan timbulnya stres kerja dan kejadian penyakit jantung koroner dibandingkan dengan tipe kepribadian B. Pada penelitian kali ini tidak adanya hubungan disebabkan karena proporsi tenaga kerja yang mengalami stres kerja di antara tipe kepribadian A dan B memiliki jumlah yang sama sehingga sulit untuk menganalisis hubungan bahkan pengaruh tipe kepribadian terhadap timbulnya stres kerja. Hubungan Antara Beban Kerja Fisik dengan Stres Kerja Menurut Munandar (2011), beban kerja yang berlebih akan mengakibatkan kelelahan kerja yang juga akan menimbulkan stres kerja. Beban kerja terlalu berlebih dan terlalu sedikit dapat membangkitkan stres kerja pula. Berdasarkan hasil dari uji analisis korelasi Speaman diperoleh hasil bahwa terdapat hubungan antara beban kerja fisik dengan stres kerja. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai signifikansi (0,047) yang lebih kecil dari α (0,05) dengan nilai Correlation Coefficient sebesar 0,348 yang bermakna bahwa hubungan antara beban kerja fisik dengan stres kerja bersifat sedang. Hal ini berkaitan erat dengan teori yang menyatakan bahwa stres kerja disebabkan adanya tugas yang terlalu banyak. Banyaknya tugas tersebut tidak selalu menjadi penyebab stres kerja. Akan tetapi beban kerja berlebih akan menjadi sebuah stresor atau sumber stres. Terlebih lagi jika beban kerja yang dilakukan tidak sesuai dengan kemampuan fisik tenaga kerja. Menurut Health Safety Executive (2008) dalam Tarwaka (2011), stres kerja merupakan reaksi negatif pekerja karena adanya tekanan yang berlebihan atau beban kerja yang juga berlebihan. Namun, sebenarnya stres kerja dapat menjadi hal positif jika bisa dikendalikan dengan benar, jika sebaliknya maka akan menimbulkan berbagai gangguan kesehatan. Terlebih lagi setiap manusia pasti memiliki ketahanan masing-masing untuk menghadapi berbagai stresor yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Jumlah dan tingkat kesulitan seseorang dalam melakukan suatu pekerjaan bisa menyebabkan orang menjadi stres. Bekerja dengan beban kerja secara kuantitatif yang berlebihan telah menjadi fokus
banyak penelitian, karena dampak yang ditimbulkan tidak hanya berkaitan dengan fisiologis seseorang tetapi juga psikologinya. Hipertensi atau tekanan darah tinggi terkait dengan beban kerja yang tinggi diikuti dengan tingginya kegelisahan dan frustasi. Pekerja yang dituntut bekerja cepat dan mempunyai banyak pekerjaan yang harus diselesaikan (having too much work) mempunyai risiko mengalami tekanan kerja 4,5 kali lebih besar dibandingkan pekerja biasa. Para ahli perilaku juga menyatakan bahwa stres kerja merupakan suatu agen penyebab dari berbagai masalah fisik, masalah mental, bahkan sampai pada tahap output organisasi atau perusahaan (Iswanto (2001) dalam Irfan (2011)). Secara garis besar, stres kerja bukan hanya akan berpengaruh kepada individu yang mengalaminya, namun juga bisa berpengaruh terhadap organisasi dan industri yang terkait. KESIMPULAN Berdasarkan kecenderungan, dapat disimpulkan bahwa semakin tua umur, semakin memiliki kecenderungan mengalami stres kerja dibandingkan dengan yang memiliki umur lebih muda. Semakin lama masa kerja yang dijalani, semakin memiliki kecenderungan mengalami stres kerja dibandingkan dengan yang memiliki masa kerja lebih pendek. Dapat disimpulkan pula bahwa semakin rendah tingkat pendidikan, semakin tinggi kecenderungan mengalami stres kerja dibandingkan dengan yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi. Tipe kepribadian A dan tipe kepribadian B memiliki kecenderungan yang sama untuk mengalami stres kerja. Semakin berat beban kerja fisik yang diterima, semakin memilki kecenderungan mengalami stres kerja dibandingkan dengan yang menerima beban kerja fisik lebih rendah. Berdasarkan hubungan antara faktor individu dan beban kerja fisik dengan stres kerja, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara umur, masa kerja, tingkat pendidikan, dan beban kerja fisik dengan stres kerja. Sedangkan variabel tipe kepribadian tidak memiliki hubungan dengan stress kerja. DAFTAR PUSTAKA Anoraga, P. 1998. Psikologi Kerja. Jakarta: Rineka Cipta Boediono, B. 2003. Pelayanan Prima Perpajakan. Rineka Cipta: Jakarta
Yohan dan Tjipto, Analisis Hubungan Antara Faktor Individu…
Elizabeth, H. 1980. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga. Goetsch, D.L. 2008. Occupational Safety and Health For Technologists, Engineers, and Managers. London: Prentice Hall Irfan, M. 2011. Hubungan karakteristik Individu dan Kebisingan terhadap Timbulnya Stress Kerja pada Polisi Lalu Lintas. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Airlangga. Surabaya Munandar, A.S. 2011. Psikologi Industri dan Organisasi. Jakarta: Universitas Indonesia (UIPress) Notoatmodjo, S. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta
105
Suma’mur. 2009. Higiene Perusahaan dan Keselamatan Kerja (Hiperkes). Jakarta: Sagung Seto Tarwaka. 2011. Ergonomi Industri Dasar-dasar Pengetahuan Ergonomi dan Aplikasi di Tempat Kerja. Surakarta: Harapan Offset Yuwono, I. dkk. 2005. Psikologi Industri dan Organisasi. Surabaya: Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Wignjosoebroto, S. 1995. Ergonomi, Studi Gerak dan Waktu. Surabaya: Prima Printing. Wijono, J. 2006. Filsafat dan Etika Penelitian Sosial dan Kesehatan. Surabaya: Duta Prima Airlangga Winarsunu, T. 2008. Psikologi Keselamatan Kerja. Malang: UMM Press