ANALISIS FAKTOR PENENTU KINERJA SISTEM JUST IN TIME DENGAN METODE ANALYTIC NETWORK PROCESS (STUDI KASUS DI PT. NIPPON INDOSARI CORPINDO)
Oleh : AGUNG NUGROHO F34104071
2008 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
ANALISIS FAKTOR PENENTU KINERJA SISTEM JUST IN TIME DENGAN METODE ANALYTIC NETWORK PROCESS (STUDI KASUS DI PT. NIPPON INDOSARI CORPINDO)
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : AGUNG NUGROHO F34104071
2008
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
ANALISIS FAKTOR PENENTU KINERJA SISTEM JUST IN TIME DENGAN METODE ANALYTIC NETWORK PROCESS (STUDI KASUS DI PT. NIPPON INDOSARI CORPINDO)
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : AGUNG NUGROHO F34104071
Tanggal Lulus :
Bogor,
Agustus 2008
Agustus 2008
Disetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Machfud, MS NIP. 130682670
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Agung Nugroho yang dilahirkan di Bogor tanggal 23 Agustus 1986 dan merupakan anak pertama dari Bapak dan Ibu bernama Rohadi dan Popon Sulastri. Penulis memiliki dua orang adik bernama Dwi Rahayu Widiastuti dan Tiara Maulia Rizkiany. Latar belakang pendidikan penulis dimulai dari TK Melati pada tahun 1991-1992, SDN Cipayung 1 Bogor pada tahun 1992-1998, SMPN 1 Ciawi Bogor pada tahun 1998-2001, SMUN 3 Bogor pada tahun 20012004, dan terakhir Institut Pertanian Bogor pada tahun 2004-2008. Penulis berhasil diterima untuk menjadi mahasiswa Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama menjalankan kuliah, mahasiswa aktif mengikuti keorganisasian sebagai kepala bidang kesejahteraan mahasiswa DPM Fateta IPB, Staf Public Relation Himalogin IPB, dan terakhir menjadi kepala badan khusus Himalogin IPB. Penulis telah menjalankan praktek lapang di PT. Sugizindo dengan judul “Mempelajari Aspek Perencanaan Produksi dan Pengendalian Persediaan di PT. Sugizindo” pada tahun 2007 dan melakukan penelitian di PT. Nippon Indosari Corpindo dengan judul “Analisis Faktor Penentu Kinerja Sistem Just In Time dengan Metode Analytic Network Process (Studi Kasus di PT. Nippon Indosari Corpindo)” pada tahun 2008.
Agung Nugroho. F34104071. Analisis Faktor Penentu Kinerja Sistem Just In Time dengan Metode Analytic Network Process (Studi Kasus di PT. Nippon Indosari Corpindo). Dibawah bimbingan : Dr. Ir. Machfud, MS
RINGKASAN PT. Nippon Indosari Corpindo sebagai industri bakery dengan merek dagang Sari Roti dan Boti, telah menerapkan sistem perencanaan dan pengendalian manufakturing yaitu sistem Just In Time dengan menyediakan produk yang tepat, pada waktu yang tepat, dalam jumlah yang tepat untuk memenuhi permintaan konsumen. Penelitian dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui penerapan sistem Just In Time di PT. Nippon Indosari Corpindo yang dihubungkan dengan konsep dan teori sistem Just In Time, mengetahui kinerja perusahaan dengan penerapan sistem Just In Time, serta menganalisis faktor yang paling mempengaruhi dan seberapa besar pengaruhnya terhadap kinerja sistem Just In Time dalam peningkatan kinerja perusahaan. Penelitian ini dilakukan dengan cara pengamatan (observasi) secara langsung terhadap cara kerja produksi dan penerapan Just In Time di perusahaan. Wawancara dilakukan dengan alat bantu kuesioner tertutup berupa perbandingan berpasangan (pairwise comparison). Hasil pendapat responden dianalisis dengan metode Analytic Network Process (ANP). Pelaksanaan sistem Just In Time di PT. Nippon Indosari Corpindo memperhatikan faktor dan elemen Just In Time dengan penyesuaian. Dalam pelaksanaannya, terdapat beberapa elemen yang tidak diterapkan yaitu elemen adanya dukungan untuk peningkatan Just In Time kepada pemasok dalam faktor supplier; elemen peningkatan fleksibilitas perubahan/pergerakan peralatan dalam faktor layout; elemen penggunaan tools untuk mencegah kesalahan (poka-yoke) dan penggunaan Statistical Process Control dalam faktor quality management; elemen adanya keterlibatan pekerja dalam pemeliharaan seluruh peralatan dan mesin dalam faktor preventive maintenance; serta elemen adanya pemberian kewewenangan kepada pekerja dan sedikit klasifikasi pekerjaan dengan pengayaan pekerjaan (job enrichment) dalam faktor employee empowerment. Elemen-elemen yang tidak relevan tersebut tidak diikutsertakan dalam penyusunan kerangka Analytical Network Process (ANP) yang diperlukan untuk menganalisis bobot dan prioritas faktor dan elemen yang mempengaruhi kinerja sistem Just In Time di PT. Nippon Indosari Corpindo. Pengukuran kinerja perusahaan dengan adanya penerapan sistem Just In Time dilakukan berdasarkan aspek kualitas, tingkat persediaan, dan produktivitas. Kinerja kualitas yang belum optimal tercermin dari terjadinya peningkatan loss produksi rata-rata (pada bulan Januari dan Februari 2008) untuk roti tawar spesial sebesar 3,34% (σ = 1,16%) menjadi 4,42% (σ = 3,60%), roti sobek coklat sebesar 5,63% (σ = 2,55%) menjadi 6,83% (σ = 4,58%) dan roti tawar kupas sebesar 4,51% (σ = 9,04%) menjadi 7,25% (σ = 12,51%). Peningkatan loss produksi secara umum menunjukkan upaya untuk meminimumkan loss produksi hingga mencapai nilai serendah mungkin atau berorientasi zero defect (0%) belum terlaksana dengan baik. Tingkat persediaan rata-rata bahan baku yang termasuk ke
dalam kelas A seperti tepung terigu CKE adalah 70.560 kg (σ = 13685 kg), Palmia Shortening dan Maestro Baker Fat sebesar 5404 kg (σ = 1827 kg), gula pasir sebesar 9864 kg (σ = 3678 kg), dan filler coklat sebesar 6913 kg (σ = 2187 kg). Tingkat persediaan yang berfluktuasi dari setiap bahan baku menunjukkan pencapaian kinerja tingkat persediaan untuk selalu berada dalam keadaan minimum (berada dalam tingkat buffer stock yang ditetapkan) belum sepenuhnya tercapai. Pengukuran produktivitas tenaga kerja plant roti tawar menunjukkan nilai yang masih dibawah potensi maksimum (118,359 pcs/orang.jam), namun mengalami peningkatan setiap bulannya. Produktivitas tenaga kerja rata-rata plant roti tawar sebesar 98,608 pcs/orang.jam (σ = 10,121) di bulan Januari 2008, sebesar 102,676 pcs/orang.jam (σ = 12,530) di bulan Februari 2008, dan sebesar 103,462 pcs/orang.jam (σ = 12,941) di bulan Maret 2008. Hal tersebut menunjukkan peningkatan produktivitas tenaga kerja terus dilakukan untuk mencapai produktivitas setinggi mungkin dalam menghasilkan output yang optimum. Analisis ANP untuk faktor penentu kinerja sistem Just In Time menunujukkan hasil bahwa faktor schedulling memberikan pengaruh terhadap kinerja sistem Just In Time dengan menempati peringkat pertama (bobot 0.27590), kemudian diikuti oleh faktor employee empowerment (bobot 0.21713), faktor layout (bobot 0.17055), faktor supplier (bobot 0.14259), faktor inventory (bobot 0.09411), faktor preventive maintenance (bobot 0.05439), dan faktor quality management menempati peringkat terakhir (bobot 0.04534). Faktor-faktor tersebut terdiri atas elemen-elemen yang saling berhubungan dengan peningkatan kinerja sistem Just In Time. Dalam faktor schedullimg, jadwal campur merata menempati peringkat pertama (bobot 0.50517), jadwal terkomunikasikan kepada pemasok pada peringkat kedua (bobot 0.28219) dan pembekuan jadwal yang dekat dengan jatuh tempo menempati peringkat ketiga (bobot 0.21264). Faktor employee empowerment berpengaruh terhadap pelaksanaan sistem Just in Time dengan dilakukannya pelatihan silang (cross training) pada peringkat pertama (bobot 0.53462) dan pelatihan (training) pada peringkat kedua (bobot 0.46538). Faktor layout memiliki elemen work cell untuk produk sejenis yang berpengaruh pada peringkat pertama (bobot 0.49744), jarak antar sel yang pendek yang menjadi peringkat kedua (bobot 0.35212) dan elemen tempat kecil persediaan WIP pada peringkat ketiga (0.15044). Faktor supplier terdiri atas elemen peningkatan frekuensi pengiriman dengan jumlah yang kecil untuk setiap pengiriman (peringkat pertama, bobot 0.37427), adanya kontrak jangka panjang antara perusahaan dengan pemasok (peringkat kedua, bobot 0.35552), dan lokasi pemasok berada dekat dengan pabrik (peringkat ketiga, bobot 0.27021). Elemen-elemen dari faktor inventory yaitu tingkat persediaan minimum (peringkat pertama, bobot 0.32625), waktu set up yang singkat (peringkat kedua, bobot 0.29665), ukuran lot yang kecil (peringkat ketiga, bobot 0.19797), pengurangan variabilitas (peringkat keempat, bobot 0.11887), dan terakhir yaitu sistem tarik (pull sistem) (peringkat kelima, bobot 0.03424). Elemen utama yang menjadi titik perhatian pada faktor prevetive maintenance adalah elemen pemeliharaan rutin harian (peringkat pertama, bobot 0.58622) dan elemen lainnya yaitu jadwal pemeliharaan yang tersusun (peringkat kedua, bobot 0.41378). Elemen dalam faktor quality management yaitu pengendalian mutu
dalam setiap tahapan proses (peringkat pertama, bobot 0.75001) dan penggunaan lampu tanda (andon) dalam lini produksi (peringkat kedua, bobot 0.24999). Faktor schedulling dengan elemen jadwal campur merata perlu dikendalikan dengan lebih ketat agar kinerja sistem Just In Time dapat ditingkatkan secara berkelanjutan. Jadwal campur merata yang lebih baik dapat meningkatkan kemampuan untuk berproduksi menggunakan tingkat persediaan yang minimum sesuai dengan jumlah produk yang diminta konsumen secara tepat waktu dengan kualitas terbaik. Selain itu, faktor yang juga perlu lebih diperhatikan adalah faktor employee empowerment khususnya elemen pelatihan silang (cross training). Pelatihan silang menciptakan motivasi dan menghilangkan tingkat kejenuhan dalam bekerja sehingga produktivitas tenaga kerja dapat meningkat. Dengan implementasi elemen-elemen yang paling berpengaruh tersebut secara lebih konsisten dan berkelanjutan, diharapkan mampu meningkatkan kinerja perusahaan dalam mencapai keunggulan bersaing (competitive advantages).
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbilalamin. Segala puji penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas taufik dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi dengan judul Analisis Faktor Penentu Kinerja Sistem Just In Time dengan Metode Analytic Network Process (Studi Kasus di PT. Nippon Indosari Corpindo). Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Tersusunnya skripsi ini tidak lepas dari bimbingan dan arahan berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Dr. Ir. Machfud, MS sebagai dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan sampai tersusunnya skripsi ini. 2. Dr. Ir. Aji Hermawan, MM dan Dr. Ir. Dwi Setyaningsih, MSi sebagai dosen penguji ujian skripsi yang telah memberikan banyak masukan untuk skripsi ini. 3. Bapak Yusuf Hadi sebagai General Manager PT. Nippon Indosari Corpindo yang telah memberikan kesempatan untuk melakukan penelitian di perusahaan. 4. Bapak Leo Ginting dan Ibu Wahyuni sebagai Manager SCM dan Supervisor PPIC yang memberikan bimbingan dan arahan selama penulis melakukan penelitian di perusahaan. 5. Ibu Myriana sebagai Manager HRD & GA, Ibu Ika sebagai Supervisor HRD, Bapak Marlan sebagai Manager Produksi, Bapak Sandy sebagai Supervisor Produksi, Bapak Mardjono sebagai Supervisor Teknik, Ibu Restu sebagai Manager PDQA, Bapak Irwan sebagai Manager QA, Bapak Doni sebagai Supervisor FG Warehouse, atas wawancara, bantuan dalam pengisian kuesioner, serta bimbingan selama penulis melakukan penelitian. 6.
Ibu Ria, Bapak Sandiwan, Bapak Jarwo, Bapak Jamal, dan seluruh karyawan PT. Nippon Indosari Corpindo yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu pelaksanaan penelitian ini.
i
7. Rekan-rekan di mailist IPOMS yang sedikit banyak memberikan pencerahan mengenai topik penelitian ini. 8. Bapak, Mama, serta Uwi dan Tiara yang ku sayangi dan mendukung penulis selama penulis menyelesaikan skripsi ini hingga selesai. 9. “My Hunihun” Ade Yusriyanti
yang telah memberikan semangat,
mengarahkan, dan menemani dengan tulus hati hingga penulis memperoleh lentera yang menerangi seluruh horison di depan mata. 10. Nanang Taryana dan Dyna Puspita sebagai rekan satu bimbingan yang juga memberikan motivasi dalam pelaksanaan penelitian ini. Wahyu (TIN 42) yang memberikan saran mengenai penelitian yang dilakukan. Terima kasih banyak. 11. Rendy Drumz, Reynaldi, Om He’rnawan, Doni, Bobby, Hidea, Aang Zen, Wahyu, Farid Machfudz, Say, Alto, Anne, Mie, Otiz, Bimo, Eko, Ayu, Radit, Bayu, dan seluruh teman-teman di TIN 41 yang selama 4 tahun ini kita berada dalam kebersamaan yang tak kan pernah terlupakan. 12. Jamal (TPG 41), Indri (TPG 41), dengan keceriaan dan sapaan hangat dalam menjalani keseharian dalam gemises raya. Seluruh butir semangat telah membuahkan buah yang manis rasanya, namun masih diperlukan adanya penambahan garam dari kritik dan saran yang sifatnya membangun. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis maupun bagi semua pihak yang memerlukannya.
Bogor, Juli 2008
Penulis
ii
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR .....................................................................................
i
DAFTAR ISI.................................................................................................... iii DAFTAR TABEL............................................................................................ v DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... vi DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... vii I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ..................................................................................... 1 B. Ruang Lingkup..................................................................................... 3 C. Tujuan ............................................................................................ ....
3
D. Manfaat ............................................................................................... 3 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sistem Just In Time .............................................................................. 4 1. Faktor Supplier......................................................................... 5 2. Faktor Inventory....................................................................... 6 3. Faktor Schedulling ................................................................... 8 4. Faktor Layout ........................................................................... 9 5. Faktor Quality Management .................................................... 10 6. Faktor Preventive Maintenance................................................ 13 7. Faktor Employee Empowerment.............................................. 14 B. Kinerja Sistem Just In Time................................................................. 15 C. Proses Jejaring Analitik / Analytic Network Process (ANP)................ 16 D. Penelitian Terdahulu ........................................................................... 18 III. METODE PENELITIAN A. Kerangka Pemikiran............................................................................. 20 B. Waktu dan Lokasi Penelitian ............................................................... 21 C. Penentuan Data dan Sumber Data........................................................ 21 D. Metode Pengumpulan Data .................................................................. 22 E. Analisis Data ........................................................................................ 23
iii
IV. TINJAUAN UMUM PERUSAHAAN A. Sejarah dan Perkembangan Perusahaan ............................................... 30 B. Visi, Misi dan Kebijakan Mutu Perusahaan......................................... 31 C. Struktur Organisasi Perusahaan ........................................................... 32 D. Lokasi dan Tata Letak Pabrik .............................................................. 33 E. Ketenagakerjaan................................................................................... 33 F. Proses Produksi ................................................................................... 34 G. Distribusi Finished Goods ................................................................... 39 V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Sistem Produksi PT. Nippon Indosari Corpindo.................................. 41 B. Penerapan Just In Time di PT. Nippon Indosari Corpindo .................. 42 1. Faktor Supplier......................................................................... 42 2. Faktor Inventory....................................................................... 50 3. Faktor Schedulling ................................................................... 56 4. Faktor Layout ........................................................................... 62 5. Faktor Quality Management .................................................... 64 6. Faktor Preventive Maintenance................................................ 68 7. Faktor Employee Empowerment.............................................. 71 C. Kinerja Perusahaan dengan Penerapan Sistem Just In Time................ 74 1. Kinerja Kualitas......................................................................... 75 2. Tingkat Persediaan ..................................................................... 77 3. Produktivitas.............................................................................. 81 D. Faktor Penentu Kinerja Sistem Just In Time ....................................... 83 1. Faktor Schedulling ................................................................... 88 2. Faktor Employee Empowerment.............................................. 92 3. Faktor Layout ........................................................................... 94 4. Faktor Supplier......................................................................... 97 5. Faktor Inventory....................................................................... 100 6. Faktor Preventive Maintenance................................................ 105 7. Faktor Quality Management .................................................... 108
iv
VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan .......................................................................................... 112 B. Saran .................................................................................................... 113 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 116 LAMPIRAN
v
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Nilai dan definisi pendapat kualitatif dari skala komparasi Saaty. .... 23 Tabel 2. Nilai Random Index .......................................................................... 25 Tabel 3. Produk PT. Nippon Indosari Corpindo .............................................. 34 Tabel 4. Standar Proses Mixing Roti Tawar .................................................... 36 Tabel 5. Standar Proses Make Up Roti Tawar................................................. 37 Tabel 6. Standar Proses Pengemasan Roti Tawar............................................ 38 Tabel 7. Standar Dimensi Produk Roti Tawar ................................................. 39 Tabel 8. Finished Goods Pareto ...................................................................... 60 Tabel 9. Schedule Maintenance Berdasarkan HACCP Plan............................ 70 Tabel 10. Presentase Loss Produksi untuk Produk Pareto ............................... 76 Tabel 11. Man Power Produksi Roti Tawar Line 1 dan 2................................ 82 Tabel 12. Produktivitas tenaga kerja plant Roti Tawar (Januari-Maret 2008). 82 Tabel 13. Tabel hasil perhitungan prioritas faktor penentu kinerja JIT........... 88 Tabel 14. Tabel hasil perhitungan prioritas faktor Schedulling....................... 89 Tabel 15. Tabel hasil perhitungan prioritas faktor Employee Empowerment . 92 Tabel 16. Tabel hasil perhitungan prioritas faktor Layout............................... 95 Tabel 17. Tabel hasil perhitungan prioritas faktor Supplier ............................ 98 Tabel 18. Tabel hasil perhitungan prioritas faktor Inventory .......................... 100 Tabel 19. Tabel hasil perhitungan prioritas faktor Preventive Maintenance ... 105 Tabel 20. Tabel hasil perhitungan prioritas faktor Quality Management ........ 108
vi
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Ilustrasi jadwal campur merara (bertingkat) ................................... 9 Gambar 2. Contoh Lampu Tanda (Andon) ....................................................... 11 Gambar 3. Contoh Anti Kesalahan (Poka Yoke)............................................... 12 Gambar 4. Perbedaan Hirearki dan Jaringan (Network) ................................... 17 Gambar 5. Kerangka Pemikiran Penelitian....................................................... 21 Gambar 6. Kerangka ANP ............................................................................... 29 Gambar 7. Grafik Analisis Klasifikasi ABC untuk Bahan Baku ...................... 43 Gambar 8. Grafik Analisis Klasifikasi ABC untuk Etiket Lembar................... 44 Gambar 9. Grafik Analisis Klasifikasi ABC untuk Etiket Roll ........................ 45 Gambar 10. Grafik Tingkat Persediaan Tepung Terigu CKE........................... 78 Gambar 11. Grafik Tingkat Persediaan Palmia Shortening/Maestro Baker Fat 79 Gambar 12. Grafik Tingkat Persediaan Gula Pasir........................................... 79 Gambar 13. Grafik Tingkat Persediaan Filler Coklat DC 3624 F .................... 80 Gambar 14. Dialog Perbandingan Berpasangan Software Superdecision 1.6.0 85 Gambar 15. Hasil Sintesis Faktor Penentu Kinerja Sistem Just In Time.......... 85 Gambar 16. Prioritas Faktor dan Elemen Sistem Just In Time ......................... 86 Gambar 17. Bobot Faktor dan Elemen serta Pengaruh Antar Elemen yang Dominan........................................................................................ 87 Gambar 18. Ilustrasi Tingkat Persediaan Minimum Mengurangi Variabilitas . 104
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Kuesioner Perbandingan Berpasangan ......................................... 118 Lampiran 2. Struktur organisasi........................................................................ 132 Lampiran 3. Denah tata letak (layout) pabrik ................................................... 133 Lampiran 4. Klasifikasi ABC ........................................................................... 134 Lampiran 5. Lead time, buffer stock, frekuensi pengiriman material ............... 136 Lampiran 6. Form permintaan material ............................................................ 138 Lampiran 7. Form Order To Production (OTP) ............................................... 142 Lampiran 8. Loss produksi untuk produk pareto .............................................. 145 Lampiran 9. Unweight supermatrix .................................................................. 146 Lampiran 10. Weight supermatrix..................................................................... 148 Lampiran 11. Limiting matrix ........................................................................... 150
viii
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Dengan semakin berkembangnya industri di Indonesia dan meningkatnya persaingan secara global, perusahaan harus mampu memenuhi permintaan pasar yang menginginkan barang yang berkualitas tinggi dan pada saat yang dibutuhkan. Perkembangan yang terjadi menyangkut hal-hal antara lain : pertama, persaingan industri yang semakin kompetitif dengan banyaknya perusahaan khususnya yang berasal dari Asia bergabung dalam persaingan global. Kedua, tuntutan konsumen yang rumit dan semakin banyak serta menuntut harga yang murah, mutu tinggi untuk setiap produk yang ditawarkan, penyerahan tepat waktu dan sesuai dengan keinginan mereka. Ketiga, daur hidup produk yang sangat pendek seiring dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam lingkungan pasar. Keempat, tren perekonomian dunia yang mengalami perubahan. Kelima, tuntutan stockholders yang menuntut pengembalian yang tinggi dalam investasi dan perusahan yang ROI-nya rendah tidak dapat memperoleh modal yang cukup untuk investasi di masa depan. Terakhir, kemajuan dalam bidang teknologi informasi terjadi begitu cepat. Perusahaanperusahaan yang sukses adalah perusahaan yang mampu memenuhi kepuasan pelanggan, mengembangkan produk tepat waktu, mengeluarkan biaya yang rendah dalam bidang persediaan dan penyerahan produk, serta mengelola industri secara cermat dan fleksibel (Watanabe, 2001). Dalam menghadapi persaingan global ini, sistem mass production yang memproduksi produk dalam jumlah besar telah bergeser menjadi sistem produksi Just In Time yang memproduksi output yang diperlukan, pada waktu yang tepat, dalam jumlah sesuai kebutuhan, dengan mengurangi segala bentuk pemborosan, sehingga dapat menciptakan keuntungan bagi perusahaan. Sistem produksi Just In Time memiliki tujuan untuk dapat memproduksi produk dengan kualitas terbaik, ongkos termurah, dan pengiriman pada saat yang tepat. Dengan sistem Just In Time, perusahaan dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan kegiatan-
kegiatan yang tidak bernilai tambah (nonvalue added activities) sehingga dapat meningkatkan kinerja perusahaan. Sistem Just In Time telah diterapkan oleh perusahaan-perusahaan yang ada di dunia, seperti Toyota Motor Company di Jepang, Dell Computer, Intel, Mc. Donald, Black and Decker, Goodyear, dan lain-lain. Sistem ini tidak hanya dapat diterapkan di perusahaan manufaktur, tetapi juga dapat diterapkan di jenis perusahaan lainnya, seperti perusahaan dagang maupun jasa. Di Indonesia, terdapat beberapa perusahaan yang telah mencoba untuk menerapkan sistem Just In Time dan telah berhasil meningkatkan kualitas produknya, mengurangi biaya, dan meningkatkan partisipasi dari pekerja-pekerjanya. PT. Nippon Indosari Corpindo merupakan suatu industri pangan yang memproduksi produk dengan karakteristik umur simpan yang singkat. Dengan demikian, kecepatan dan ketepatan dalam hal pengadaan bahan baku, produksi, sampai distribusi sangatlah diperlukan. Perusahaan ini telah menerapkan Supply Chain Management yang merupakan konsep atau mekanisme dalam koordinasi, kooperasi, dan kolaborasi antar supplier, manufaktur, dan channel dari distribusi dan ritel. Menurut Watanabe (2001), konsep Just In Time merupakan konsep SCM yang paling awal. Sistem SCM merupakan kombinasi dari konsep Just In Time dengan genetic algorithm, Theory of Constraint (TOC) dan internet (Information Technology). Sistem Just In Time perlu diterapkan dengan baik sebagai bagian dari sistem SCM yang diterapkan oleh perusahaan. Menurut berbagai pustaka mengenai sistem Just In Time, diketahui bahwa untuk menjamin keberhasilan dalam penerapan sistem Just In Time terdapat beberapa faktor antara lain supplier (pemasok), layout (tata letak), inventory (persediaan), schedulling (penjadwalan), preventive maintenance (pemeliharaan pencegahan), quality management (manajemen kualitas), dan employee empowerment (pemberdayaan pekerja). Faktor-faktor tersebut terdiri atas elemen-elemen yang saling berkaitan. Faktor dan elemen sistem Just In Time yang berjalan dengan baik dapat meningkatkan kinerja perusahaan dan menciptakan keunggulan bersaing (competitive advantage) dalam menghadapi persaingan global.
2
B. Ruang Lingkup Penelitian dilakukan untuk menganalisis faktor penentu kinerja sistem Just In Time di PT. Nippon Indosari Corpindo. Ruang lingkup faktor dan elemen yang diteliti merupakan faktor dan elemen yang berkaitan dengan sistem Just In Time yang diterapkan perusahaan. Pengamatan (observasi) dan pengambilan data perusahaan hanya berkaitan dengan pelaksanaan produksi di salah satu plant produksi yaitu plant roti tawar. Pengambilan data yang berkaitan dengan persediaan bahan baku yang digunakan dibatasi hanya untuk persediaan yang termasuk dalam kelas A (prioritas pertama berdasarkan tingkat penggunaan). Selain itu, pengambilan data yang berkaitan dengan produk (finished goods) dibatasi hanya untuk produk yang termasuk kelas pareto (prioritas pertama untuk diproduksi karena memiliki tingkat permintaan yang tinggi). C. Tujuan Penelitian dilakukan dengan tujuan sebagai berikut : 1. Mengetahui penerapan sistem Just In Time di PT. Nippon Indosari Corpindo yang dihubungkan dengan konsep dan teori sistem Just In Time. 2. Mengetahui kinerja perusahaan dengan penerapan sistem Just In Time. 3. Menganalisis faktor yang paling mempengaruhi dan seberapa besar pengaruhnya terhadap kinerja sistem Just In Time dalam peningkatan kinerja perusahaan. D. Manfaat Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat : 1.
Peningkatan
kinerja
perusahaan
secara
berkelanjutan
dengan
pelaksanaan sistem Just In Time secara menyeluruh dan konsekuen. 2.
Memberikan rekomendasi kebijakan bagi perusahaan untuk lebih memperhatikan faktor yang menjadi prioritas penentu kinerja sistem Just In Time serta faktor dan elemen lain yang mempengaruhinya.
3.
Menjadi suatu informasi dan referensi bagi ilmu pengetahuan dan penelitian lainnya tentang pengaruh faktor-faktor dan elemen-elemen sistem Just In Time.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Sistem Just In Time Titik awal sistem Just In Time adalah keadaan bangsa Jepang yang kekurangan sumber daya alam, yang memaksa untuk melakukan impor termasuk bahan pangan dengan harga yang tinggi. Hal ini membuat industri di Jepang berusaha maksimal untuk menghasilkan produk yang berkualitas dan nilai tambah yang tinggi dengan biaya yang serendah mungkin dibandingkan negara lain (Sugimori, dkk, 1977). Kiichiro Toyoda, pendiri Toyota Automobile Business, menciptakan konsep Just In Time sekitar tahun 1930-an. Idenya dipengaruhi dari perjalanan studinya ke pabrik Ford di Michigan untuk melihat industri mobil dan juga melihat sistem supermarket AS yang menggantikan barang-barang di rak segera setelah pelanggan membelinya. Setelah Eiji Toyoda, chairman Toyota Motor Manufacturing, mengunjungi pabrik Ford, maka Taiichi Ohno, manager produksi pabrik, diberikan tugas untuk meningkatkan proses manufaktur Toyota sehingga diperlukan suatu penyesuaian proses manufaktur Ford untuk secara simultan mencapai kualitas yang tinggi, biaya yang rendah, lead time yang singkat, dan fleksibilitas. Dengan menerapkan prinsip Jidoka dan one-piece flow selama bertahun-tahun maka lahirlah Toyota Production System (TPS) dan mampu meningkatkan penggunaan sistem tersebut serta memberikan keuntungan yang besar terhadap perusahaan (Liker, 2006). Sistem Just In Time merupakan suatu konsep filosofi yaitu memproduksi produk yang dibutuhkan, pada saat dibutuhkan oleh pelanggan, dalam jumlah sesuai kebutuhan pelanggan, pada tingkat kualitas prima, dari setiap tahap proses dalam sistem manufakturing, dengan cara yang paling ekonomis dan efisien melalui eliminasi pemborosan (waste elimination) dan perbaikan proses terus menerus (continuous process improvement) (Gaspersz, 1998). Sistem produksi Just In Time menggunakan metode produksi yang berorientasi pada inventory minimum, waktu set up mesin dan peralatan yang pendek, penciptaan pekerja dengan keterampilan multifungsional, serta
penyelesaian pekerjaan dalam siklus waktu (cycle time) yang pendek sesuai dengan standar yang ditetapkan (Gaspersz, 1998). Gaspersz (1998) menyatakan bahwa sistem Just In Time berusaha meningkatkan
kinerja
secara
terus
menerus
tanpa
henti,
dengan
menghilangkan segala pemborosan dan segala sesuatu yang tidak memberi nilai tambah dengan menyediakan sumber daya pada tempat dan waktu yang tepat. Sistem ini akan mengakibatkan persediaan lebih sedikit, jumlah pekerja lebih sedikit, dan biaya produksi yang lebih rendah serta produk dapat diserahkan ke pelanggan tepat waktu. Sedangkan kualitas yang sangat tinggi merupakan hasil dari suatu sistem pengendalian mutu yang sangat baik. Akhirnya, dengan kombinasi dan gabungan kedua sistem tersebut akan membuat perusahaan mampu bersaing dengan perusahaan lain serta mencapai laba dan hasil atas investasi yang maksimal. Perusahaan yang menerapkan sistem Just In Time hanya akan berproduksi sesuai dengan permintaan konsumen. Tidak seperti yang dilakukan dalam sistem tradisional yang menerapkan sistem mass production. Produksi dalam jumlah yang kecil dimaksudkan untuk mengurangi biayabiaya yang tidak perlu seperti biaya gudang, biaya pemeliharaan barang, dan lain-lain (Agustina, dkk, 2007). Dari berbagai pustaka diketahui bahwa keberhasilan penerapan sistem Just In Time dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain : 1. Faktor Supplier (Pemasok) Just In Time sangat membutuhkan hubungan khusus antara pemasok dengan perusahaan pembeli. Pemasok diharapkan mampu mengirim barang dalam frekuensi yang lebih banyak dengan jumlah yang lebih kecil. Kedua belah pihak dituntut untuk dapat bekerja sama guna mencapai keberhasilan bersama di masa mendatang (Agustina, dkk, 2007). Untuk mendukung sistem Just In Time, pihak industri manufaktur harus menekankan konsep kemitraan (partnership) sejak awal dengan pemasok. Sasarannya adalah menetapkan sistem yang menyederhanakan pemasokan material dan memberikan manfaat kepada kedua belah pihak. Sistem Just In Time akan menurunkan waktu tunggu pemasok (supplier
5
lead time) sehingga pihak manufaktur dapat mengeluarkan pesanan material sesuai dengan tingkat konsumsi aktual. Hal ini akan menurunkan waktu tunggu
manufakturing
(manufacturing
lead
time)
sehingga
akan
menurunkan tingkat persediaan material (Gaspersz, 1998). Heizer dan Render (2004) menambahkan bahwa dalam Just in Time diperlukan jumlah pemasok yang sedikit, pemasok dekat dengan pabrik, peningkatan frekuensi pengiriman dalam jumlah kecil, dilakukan kontrak jangka panjang, pemasok dibantu dalam peningkatan kualitas serta penerapan Just In Time. Hal ini pun dipertegas oleh Dwiningsih (2004), bahwa pembeli dan pemasok perlu membentuk kemitraan, dan kemitraan ini mengeliminasi kegiatan yang tidak penting, persediaan dalam perjalanan, dan pemasok yang jelek.
2. Faktor Inventory (Persediaan) Inventory atau persediaan adalah stok atau barang yang disimpan yang mencakup bahan baku, bahan pembantu, kemasan, produk setengah jadi, produk jadi, suku cadang mesin, dan segala sesuatu yang berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan produksi (Machfud, 1999). Menurut Dwiningsih (2004), persediaan dalam sistem produksi dan distribusi sering diadakan untuk berjaga-jaga. Teknik persediaan yang efektif memerlukan Just In Time bukan Just In Case. Persediaan Just In Time
merupakan
persediaan
minimal
yang
diperlukan
untuk
mempertahankan operasi sistem yang sempurna yaitu jumlah yang tepat tiba pada saat yang diperlukan bukan sebelum atau sesudahnya. Perusahaan-perusahaan pabrikasi menyimpan tiga jenis persediaan yaitu bahan baku, barang dalam proses, dan barang jadi. Persediaanpersediaan ini dirancang untuk bertindak sebagai penyangga sehingga kegiatan-kegiatan perusahaan tetap dapat berjalan mulus kendatipun para pemasok terlambat melakukan pengiriman atau apabila sebuah departemen tidak mampu beroperasi selama beberapa waktu karena sesuatu atau hal lainnya. Namun penyimpanan persediaan itu memerlukan biaya yang besar.
6
Sistem Just In Time merupakan upaya untuk mengurangi atau menghilangkan persedian (Nasution, 2004). Heizer dan Render (2005) menerangkan bahwa dalam Just In Time diperlukan teknik dalam mengelola inventory antara lain : penggunaan pull system untuk pergerakan inventory, pengurangan variabilitas, pengurangan persediaan, ukuran lot yang kecil (small lot size), dan pengurangan waktu set up. Sistem tarik berarti status ideal dari sistem produksi Just In Time, memberikan pelanggan (yang mungkin merupakan langkah proses berikutnya) apa yang dia inginkan, dan dalam jumlah yang dia inginkan. Bentuk paling ideal dari sistem tarik adalah one piece flow (Liker, 2006). Dalam sistem dorong, produksi didasarkan pada rencana (jadwal) yang telah dibuat sebelumnya, yang berarti perintah produksi dan pesanan pembelian diawali dengan proyeksi permintaan pelanggan. Operasi terus membuat barang sesuai jadwal dan menciptakan pemborosan. Namun permintaan pelanggan dapat berubah dalam sekejap dan berbagai hal dapat manjadi kacau, sehingga jadwal yang dibuat tidak bermakna (Liker, 2006). Dalam pull system, proses produksi akan ditentukan oleh adanya permintaan dari konsumen. Ketika permintaan konsumen masuk, bagian akhir dari perakitan akan memberikan tanda (kanban) ke bagian sebelumnya untuk mengirimkan sejumlah bahan yang dibutuhkan pada bagian tersebut. Demikian seterusnya, bagian di belakangnya akan mengirimkan tanda ke bagian yang ada di belakangnya lagi untuk mengirimkan barang setengah jadi sesuai dengan kebutuhan (Gaspersz, 1998). Variabilitas adalah setiap penyimpangan (deviasi) dari proses optimal untuk mengantarkan produk sempurna tepat waktu setiap saat. Variabilitas disebabkan faktor-faktor seperti (a). pekerja, mesin-mesin dan pemasok memproduksi unit-unit produk yang tidak sesuai dengan standar, terlambat atau jumlah tidak sesuai. (b). engineering drawing atau spesifikasi yang tidak akurat. (c). bagian produksi mencoba memproduksi sebelum spesifikasi lengkap. (d). permintaan konsumen tidak diketahui.
7
Just In Time akan memecahkan masalah-masalah dan bottle neck yang diakibatkan variabilitas tersebut (Heizer dan Render, 2005). Engineering drawing menunjukkan toleransi, bahan baku, dan hasil akhir sebuah komponen produk. Engineering drawing akan menjadi sebuah Bill Of Materials (BOM) yang mendata komponen, penjelasan, dan kuantitas yang dibutuhkan masing-masing untuk membuat sebuah unit produk (Heizer dan Render, 2005). Set up merupakan aktivitas yang terdiri dari menyiapkan bahan, mengubah setting mesin, mempersiapkan peralatan, dan melakukan pengujian (Agustina, dkk, 2007). Pengurangan waktu set up diperlukan dalam menciptakan produksi campur merata (heijunka). Heijunka tidak mungkin terjadi jika pabrik tidak menemukan cara untuk menghilangkan waktu set up pada saat melakukan changeover. Set up pada mesin dapat dilakukan pada saat mesin masih berjalan (dinamakan set up eksternal) yang merupakan kebalikan dari set up internal, pekerjaan yang dilakukan ketika mesin berhenti. Dilakukan sebanyak mungkin kegiatan changeover saat mesin masih berjalan sampai tidak ada lagi set up dengan menghentikan mesin berjalan (Liker, 2006).
3. Faktor Schedulling (Penjadwalan) Schedulling atau penjadwalan operasi produksi merupakan penetapan waktu (timing) serta penggunaan sumber daya dalam kegiatan operasi produksi. Penetapan waktu berkaitan dengan masalah pengurutan atau sequencing, sedangkan penggunaan sumber daya berkaitan dengan masalah penugasan kerja (job assignment) atau pembebanan kerja kepada fasilitas produksi (orang atau mesin) (Machfud, 1999). Jadwal yang efektif dikomunikasikan di dalam organisasi dan kepada pemasok sangat mendukung penerapan Just In Time. Penjadwalan yang lebih baik juga meningkatkan kemampuan untuk memenuhi pesanan konsumen, menurunkan persediaan dan mengurangi barang dalam proses. Just In Time mempersyaratkan (a). mengkomunikasikan penjadwalan kepada supplier, (b). jadwal yang bertingkat, (c). menekankan bagian dari
8
jadwal paling dekat dengan jatuh tempo, (d). lot kecil, dan (e). teknik kanban (Heizer dan Render, 2004). Dalam istilah Jepang dikenal kata heijunka yaitu jadwal produksi yang bertingkat menggunakan model antrian campuran. Menurut Liker (2006), heijunka adalah meratakan produksi baik dari segi volume maupun bauran produk (sering juga disebut produksi campur merata). Membuat produk tidak berdasarkan urutan aktual dari pesanan pelanggan, yang dapat naik turun secara tajam, tetapi mengambil jumlah total pesanan dalam satu periode dan meratakannya sehingga dibuat dalam jumlah dan bauran yang sama setiap hari. Pada Gambar 1 dapat dilihat jadwal campur merata (bertingkat) dengan menggunakan ukuran lot yang kecil dibandingkan dengan jadwal produksi menggunakan ukuran lot besar. Jadwal campur merata memproduksi setiap item produk dengan jumlah dan variasi merata sepanjang hari selama periode produksi bulanan.
(Sumber : Heizer dan Render, 2004) Gambar 1. Ilustrasi jadwal campur merata (bertingkat)
Kesuksesan penerapan Just In Time tergantung pada koordinasi jadwal produksi dengan jadwal pengiriman dari pemasok dan service memuaskan dari pemasok, yang keduanya menyangkut kualitas produk dan keandalan pengiriman (Kannan, 2004).
4. Faktor Layout (Tata Letak) Tata letak (layout) merupakan susunan dari mesin-mesin dan peralatan serta semua komponen yang menunjang produksi dalam suatu pabrik. Semua fasilitas produksi baik mesin, pekerja, maupun fasilitas-
9
fasilitas lainnya harus disediakan pada tempatnya masing-masing agar dapat bekerja dengan efisien dan efektif (Agustina, dkk, 2007). Tata
letak
memungkinkan
pengurangan
pemborosan
yaitu
pergerakan, misalnya pergerakan bahan baku maupun manusia menjadi fleksibel dengan pengaturan tata letak yang baik. Just In Time mempersyaratkan: (a). sel kerja untuk produk sejenis (product family), (b). peningkatan fleksibilitas perubahan atau pergerakan peralatan, (c). jarak antar sel kerja yang pendek, (d). pengurangan kebutuhan ruang untuk persediaan, dan (e). penggunaan poka-yoke (Heizer dan Render, 2004). Dalam sistem Just In Time, mesin-mesin diatur sedemikian rupa menyerupai setengah lingkaran atau ditata dengan pola selular (cellular layout) untuk tujuan efisiensi sehingga dapat mengurangi berbagai pemborosan. Setiap sel kerja dirancang untuk memproduksi satu produk tertentu (product family) dimana produk dipindahkan dari satu mesin ke mesin lainnya dari awal hingga akhir (Agustina, dkk, 2007). Sel kerja (work cell) merupakan pengaturan mesin dan pekerja sehingga dapat memusatkan perhatian dalam membuat satu produk atau sekumpulan produk yang saling berkaitan (sejenis) (Heizer dan Render, 2005).
5. Faktor Quality Management (Manajemen Kualitas) Just In Time memiliki tiga prinsip utama dalam pengendalian kualitas, yaitu output yang bebas cacat adalah lebih penting daripada output itu sendiri, segala kesalahan dan kerusakan dapat dicegah, dan tindakan pencegahan adalah lebih murah daripada pekerjaan mengulang. Dengan demikian maka Just In Time dapat lebih menghemat biaya karena tidak ada pemborosan.
Perusahaan
akan
mampu
menciptakan
produk
yang
berkualitas tinggi sesuai permintaan pelanggan, karena telah melewati quality control yang ketat pada setiap lininya. Selain kualitas yang baik, pelanggan akan terpuaskan karena produk dapat diserahkan tepat waktu, karena telah melewati serangkaian standar waktu yang telah ditetapkan pada setiap lininya. Selain itu, tidak kalah pentingnya, kinerja perusahaan akan lebih efisien dan efektif karena tidak ada sumberdaya yang menganggur
10
serta mampu memberikan hasil yang optimal kepada pemilik perusahaan (share holder) (Gaspersz, 1998). Jidoka juga sering disebut juga autonomation, peralatan dilengkapi dengan intelegensia manusia untuk menghentikan dirinya sendiri ketika ia memiliki masalah. Kualitas dalam proses (mencegah masalah untuk dilanjutkan ke proses berikutnya jauh lebih efektif dan lebih murah daripada memeriksa dan memperbaiki masalah kualitas setelah terjadi. Ketika mesin berhenti, lampu yang biasanya disertai bunyi alarm (disebut Andon), digunakan untuk memberikan sinyal tanda bahwa bantuan diperlukan untuk memecahkan masalah kualitas (Liker, 2006).
(Sumber : http://is.ba.ttu.edu/faculty/ch15.ppt) Gambar 2. Contoh Lampu Tanda (Andon)
Heizer dan Render (2004) menambahkan bahwa diperlukan juga penggunaan Statistical Process Control dan poka-yoke dalam meningkatkan kualitas produk untuk mendukung penerapan sistem Just In Time. Menurut Liker (2006), poka yoke adalah alat anti kesalahan atau anti kebodohan yang membuat seorang operator hampir tidak mungkin membuat kesalahan. Setiap poka yoke memiliki bantuk standar masing-masing yang meringkas masalah yang diatasi, alarm darurat yang akan berbunyi, tindakan yang perlu diambil dalam keadaan darurat, metode dan frekuensi untuk memastikan metode anti kesalahan beroperasi secara benar, dan metode untuk melaksanakan pengecekan kualitas jika metode anti kesalahan macet.
11
(Sumber : http://is.ba.ttu.edu/faculty/ch15.ppt) Gambar 3. Contoh Alat Anti Kesalahan (Poka Yoke)
Menurut Heizer dan Render (2004), Total Quality Management (TQM) merujuk pada penekanan kualitas yang meliputi organisasi keseluruhan, mulai dari pemasok hingga pelanggan. TQM menekankan komitmen manajemen untuk mendapatkan arahan perusahaan yang terus menerus ingin mencapai keunggulan dalam semua aspek produk yang penting bagi pelanggan. Terdapat tujuh alat yang berguna dalam penerapan TQM antara lain : a. Lembar pengecekan (check sheet) : sebuah metode terorganisir untuk mencatat data. b. Diagram sebar (scatter diagram) : sebuah grafik nilai sebuah variabel dihadapkan dengan variabel lain. c. Diagram sebab akibat (cause and effect diagram) : sebuah alat untuk mengenali elemen proses (penyebab) yang mungkin memberikan pengaruh pada hasil. d. Diagram pareto (pareto charts) : sebuah grafik untuk mengenali dan memetakan masalah atau cacat dalam urutan frekuensi menurun. e. Diagram alir (flow charts) : sebuah diagram yang menjelaskan langkah-langkah dalam sebuah proses. f. Histogram : sebuah distribusi yang menunjukkan frekuensi kejadian sebuah variabel. g. Pengendalian proses statistik (Statistical Process Control) : sebuah diagram dengan waktu pada sumbu horizontal untuk memetakan nilai sebuah statistik.
12
Ketujuh alat TQM tersebut termasuk ke dalam tiga golongan yaitu alat untuk membangkitkan ide : lembar pengecekan, diagram sebar, dan diagram sebab akibat; alat untuk mengatur data : diagram pareto, dan diagram alir; serta alat untuk mengidentifikasi masalah : histogram dan pengendalian proses statistik. Statistical Process Control adalah sebuah tekik statistik yang digunakan secara luas untuk memastikan bahwa proses memenuhi standar. Statistical Process Control merupakan sebuah proses yang digunakan untuk mengawasi standar, membuat pengukuran, dan mengambil tindakan perbaikan saat sebuah produk sedang diproduksi (Heizer dan Render, 2005).
6. Faktor Preventive Maintenance (Pemeliharaan Pencegahan) Pemeliharaan dilakukan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan atau tindakan pencegahan. Misalnya dengan cara pemeliharaan rutin pada fasilitas yang digunakan, maupun pelatihan pekerja secara terusmenerus
agar
dapat
beradaptasi
dengan
perubahan
yang
terjadi
(Dwiningsih, 2004). Menurut Machfud (2003), diperlukan pandangan manajemen yang lebih strategis dan luas tentang maintenance, yang berimplikasi merancang produk yang dapat dengan mudah diproduksi pada mesin yang ada, merancang mesin yang operasi dan pemeliharaan yang lebih mudah, melatih dan melatih ulang pekerja, serta merancang rencana Preventive Maintenance untuk selama umur mesin. Heizer dan Render (2004), mendeskripsikan bahwa preventive maintenance merupakan semua aktivitas yang dilakukan untuk menjaga peralatan dan mesin tetap bekerja dan untuk mencegah kerusakan. JIT membutuhkan preventive mantenance yang terjadwal dan adanya pemeliharaan rutin harian. Selain itu menurut Agustina dkk (2007), diperlukan keterlibatan para pekerja dengan mampu mengoperasikan peralatan dan mesin dalam jalur produksi. Selain itu, mereka juga diharapkan mampu untuk melakukan pemeliharaan dan perbaikan kecil alat-alat yang menjadi tanggung jawabnya.
13
7. Faktor Employee Empowerment (Pemberdayaan Pekerja) Pemberdayaan
pekerja
(employee
empowerment)
berarti
melibatkan pekerja pada setiap langkah proses produksi. Pemberdayaan pekerja dengan meluaskan pekerjaan pekerja sehingga tanggung jawab dan kewewenangan tambahan dipindahkan sedapat mungkin pada tingkat terendah dalam organisasi (Heizer dan Render, 2005). Pekerja dapat terlibat dalam isu-isu operasi harian yang merupakan falsafah Just In Time. Pemberdayaan pekerja mengikuti nasehat manajemen bahwa tidak ada orang yang lebih tahu mengenai suatu pekerjaan selain pekerja pelaksana pekerjaan itu sendiri (Dwiningsih, 2004). Dalam Just In Time, pekerja memberikan pengetahuannya dan terlibat dalam keseharian operasi, dan adanya training, cross training, serta sedikit klasifikasi pekerjaan bagi para pekerja untuk pengayaan pekerjaan (job enrichment) (Heizer dan Render, 2004). Pelatihan adalah proses secara sistematis mengubah tingkah laku pekerja untuk mencapai tujuan organisasi. Pelatihan berkaitan dengan keahlian dan kemampuan pekerja untuk melakukan pekerjaan saat ini. Pelatihan memiliki orientasi saat ini dan membantu pekerja untuk mencapai keahlian dan kemampuan tertentu agar berhasil dalam melaksanakan pekerjaannya (Rivai, 2004). Pelatihan silang (cross training) memindahkan para pekerja dari tempat kerja yang satu ke tempat kerja yang lain agar pekerja mendapatkan variasi dalam bekerja. Selain itu, cross training membantu perusahaan ketika ada pekerja yang cuti, tidak hadir, perampingan, atau terjadi pengunduran diri (Rivai, 2004). Pengayaan pekerjaan (job enrichment) adalah metode yang memberikan pekerja tanggung jawab lebih yang meliputi
perencanaan
dan
pengendalian
yang
diperlukan
dalam
penyelesaian pekerjaan (Heizer dan Render, 2005).
14
B. Kinerja Sistem Just In Time Kinerja sistem Just In Time yang diterapkan perusahaan dapat terlihat dari manfaat yang diperoleh dalam peningkatan kinerja perusahaan. Liker (2006) menjelaskan bahwa sistem Just In Time yang diterapkan oleh perusahaan berusaha untuk menghilangkan kegiatan-kegiatan yang tidak bernilai tambah (nonvalue-added activity) bagi produk. Terdapat delapan macam pemborosan yang tidak menambah nilai dan harus dieliminasi dalam kegiatan produksi antara lain : produksi berlebih (overproduction), waktu menunggu, transportasi yang tidak perlu, memproses secara berlebih atau keliru, persediaan berlebih, gerakan yang tidak perlu, produk cacat, dan kreativitas pekerja yang tidak dimanfaatkan. Menurut Machfud (2003), terdapat banyak manfaat dari penerapan sistem Just In Time seperti mengurangi inventory, memperbaiki mutu, mengurangi biaya, mengurangi ruang (space), mempersingkat lead time, meningkatkan produktivitas, meningkatkan fleksibilitas, hubungan yang lebih baik
dengan
pemasok,
menyederhanakan
kegiatan
penjadwalan
dan
pengendalian, meningkatkan kapasitas, dan penggunaan SDM yang lebih baik. Selain itu menurut Gaspersz (1998), sasaran yang ingin dicapai dari sistem produksi Just In Time adalah (1) reduksi scrap dan rework, (2) meningkatkan
kualitas
proses
industri
(orientasi
zero
defect),
(3)
meningkatkan jumlah pemasok yang ikut Just In Time, (4) mengurangi inventory (orientasi zero inventory), (5) reduksi penggunaan ruangan pabrik, (6) linearitas output pabrik (berproduksi pada tingkat konstan selama waktu tertentu), dan (7) meningkatkan produktivitas. Produktivitas merupakan rasio antara output dengan input. Dilihat dari sisi masukannya, produktivitas dapat dibedakan atas dua jenis, yaitu produktivitas parsial dan produktivitas total. Produktivitas parsial merupakan rasio antara output dengan salah satu jenis input. Sedangkan produktivitas total merupakan rasio dari output dengan kumpulan seluruh input. Produktivitas total mencerminkan akibat dari gabungan input dalam rangka menghasilkan output (Manullang, 1990).
15
C. Proses Jejaring Analitik (Analytic Network Process/ANP) Analytic Network Process (ANP) adalah teori umum pengukuran relatif yang digunakan untuk menurunkan rasio prioritas komposit dari skala rasio individu yang mencerminkan pengukuran relatif dari pengaruh elemenelemen yang saling berinteraksi berkenaan dengan kriteria kontrol (Saaty, 1999). ANP menggunakan jaringan tanpa harus menetapkan level seperti pada hierarki yang digunakan dalam Analytic Hierarchy Process (AHP), yang merupakan titik awal ANP. Konsep utama dalam ANP adalah influence (pengaruh), sementara konsep utama dalam AHP adalah preference (pilihan). AHP dengan asumsi-asumsi dependensinya tentang cluster dan elemen merupakan kasus khusus ANP. ANP merupakan pendekatan baru dalam proses pengambilan keputusan yang memberikan kerangka kerja umum dalam memperlakukan keputusan-keputusan tanpa membuat asumsi-asumsi tentang independensi elemen-elemen pada level yang lebih tinggi dari elemen-elemen pada level yang lebih rendah dan tentang independensi elemen-elemen dalam suatu level (Saaty, 1999). Perbedaan antara hirearki dan jaringan (network) digambarkan pada Gambar 4. Hirearki memiliki tujuan (goal) atau titik sumber (source node) serta kriteria dan sub kriteria atau titik tumpahan (sink node). Bentuknya berupa struktur linear dari atas ke bawah tanpa adanya timbal balik (feedback) dari level terendah ke level diatasnya. Selain itu, loop hanya terjadi pada pada level terendah. Jaringan (network) menyebar dalam segala arah dan memungkinkan terjadinya pengaruh (influence) dari suatu cluster terhadap custer lainnya maupun cluster itu sendiri dan timbal balik (feedback) yang membentuk siklus (Saaty, 2004). ANP merupakan gabungan dari dua bagian. Bagian pertama terdiri dari hierarki kontrol atau jaringan dari kriteria dan subkriteria yang mengontrol interaksi. Pada kontrol ini tidak membutuhkan struktur hierarki seperti pada metode AHP. Bagian kedua adalah jaringan pengaruh-pengaruh diantara elemen dan cluster (Saaty, 1999).
16
(Sumber : Saaty, 2004) Gambar 4. Perbedaan Hirearki dan Jaringan (Network)
Bőyőkyazici dan Sucu (2003) menjelaskan bahwa model network tidak dapat digambarkan dengan struktir hirearki dan bukan merupakan bentuk linear dari level atas ke bawah. Istilah level dalam AHP digantikan dengan istilah cluster dalam ANP. Model ANP memiliki lingkaran hubungan antara elemen satu dengan yang lain serta dalam cluster itu sendiri yang disebut dengan system with feedback. Hubungan ketergantungan antar elemen pada pendekatan ANP digambarkan dengan tanda anak panah bolak-balik pada masing-masing cluster. Cluster atau komponen dalam ANP adalah kumpulan elemen-elemen yang diturunkan dari sinergi interaksi yang tidak ditemukan dalam elemen tunggal (Saaty, 2004). Perbandingan tingkat kepentingan dalam setiap elemen maupun cluster direpresentasikan dalam sebuah matriks dengan memberikan skala rasio dengan perbandingan berpasangan (pairwise comparison). Perbandingan berpasangan menggunakan rasio dominasi pasangan dengan menggunakan pengukuran aktual. Dalam hal penggunaan judgements, dalam AHP seseorang bertanya: “Mana yang lebih disukai atau lebih penting?”, sementara dalam ANP seseorang bertanya: “Mana yang mempunyai pengaruh lebih besar?”. Pertanyaan terakhir jelas memerlukan observasi dan pengetahuan untuk menghasilkan jawaban-jawaban yang valid, yang membuat pertanyaan kedua lebih obyektif dari pada pertanyaan pertama (Yamanita, 2005).
17
Saaty
(2004)
merekomendasikan
sebuah
skala
1-9
untuk
membandingkan antara dua komponen. Skala 1 menunjukkan tingkat kepentingan yang sama antara dua komponen dan skala maksimal 9 untuk menunjukkan dominasi antara komponen pada baris dan komponen pada kolom. Masing-masing skala rasio menunjukkan perbandingan kepentingan antara elemen di dalam sebuah komponen dengan elemen di luar komponen (outer dependence) atau di dalam elemen terhadap elemen itu sendiri yang berada di komponen dalam (inner dependence). Tidak setiap elemen memberikan pengaruh terhadap elemen dari komponen lain. Elemen yang tidak memberikan pengaruh pada elemen lain akan memberikan nilai nol. Matriks hasil perbandingan direpresentasikan kedalam bentuk vertikal dan horisontal dan berbentuk matriks yang bersifat stokastik yang disebut sebagai supermatriks. Supermatriks diharapkan dapat menangkap pengaruh dari elemen-elemen pada elemen-elemen lain dalam jaringan (Saaty, 2004). Matriks merupakan suatu kumpulan angka-angka (sering disebut elemen-elemen) yang disusun menurut baris dan kolom sehingga berbentuk empat persegi panjang, dimana panjang dan lebarnya ditunjukkan oleh banyaknya kolom-kolom dan baris-baris (Supranto, 1992). Supermatriks adalah dua dimensional matriks dari elemen terhadap elemen (matriks dari matriks-matriks). Supermatriks dibangun dengan menempatkan cluster dan semua elemen masing-masing cluster dalam urutan secara vertikal di sebelah kiri dan secara horisontal di sebelah atas. Vektor prioritas dari perbandingan berpasangan nampak dalam suatu kolom yang sesuai dari suatu supermatriks (Saaty, 1999).
D. Penelitian Terdahulu Sitorus (1995) melakukan penelitian mengenai penerapan pengukuran kinerja pada lingkungan manufaktur Just In Time. Pengukuran kinerja dimaksudkan untuk membantu memotivasi seluruh grup operasi untuk memperoleh hasil kerja yang positif. Sistem pengukuran kinerja tersebut dapat mengukur perkembangan-perkembangan yang terjadi ke arah Total Quality
18
Control, penurunan tingkat persediaan, lead time dan set up time yang semakin singkat, dan waktu yang tepat untuk melemparkan produk ke pasaran. Selain itu, untuk menunjukkan perbaikan dalam pengiriman yang tepat waktu, pemanfaatan tempat usaha, dan mutu yang dihasilkan. Target dari sistem pengukuran kinerja yang dipakai adalah aktivitas-aktivitas yang mempunyai nilai tambah terhadap produk yang dihasilkan oleh perusahaan. Kannan dan Tan (2004) dari Utah State University, USA, telah melakukan penelitian mengenai hubungan antara Just In Time, Total Quality Management, dan Supply Chain Management beserta dampaknya terhadap kinerja bisnis. Ditemukan indikasi bahwa komitmen terhadap kualitas dan memahami supply chain yang dinamis memberikan pengaruh terhadap kinerja bisnis. Pratiwi (2002), melakukan penelitian dengan melakukan identifikasi faktor-faktor internal manajemen material konsep Just In Time dan kesiapan penerapannya
pada
indutri
konstruksi
di
Indonesia.
Penelitiannya
mengidentifikasikan faktor-faktor internal konsep Just In Time pada industri konstruksi yaitu : (1). Perencanaan (Planning), (2). MRP, (3). Pengadaan Lead Time (Procurement), (4). Pembelian (Purchasing), (5). Ekspedisi (Expediting) dan Transportasi, serta (6). Penyimpanan (Warehousing) dan Persediaan (Inventory)
19
III. METODE PENELITIAN
A. Kerangka Pemikiran Sistem yang menghasilkan produk yang dibutuhkan, pada saat dibutuhkan, dalam jumlah sesuai kebutuhan pelanggan, dikenal dengan sistem Just In Time. Sistem ini telah diterapkan di berbagai perusahaan besar di dunia dan mampu meningkatkan kinerja perusahaan bersamaan dengan peningkatan kinerja sistem tersebut. Pelaksanaan sistem Just In Time didukung faktor-faktor beserta elemen-elemen yang berkaitan dengan sistem produksi di perusahaan. Metode Analytic Network Process (ANP) digunakan dalam penelitian ini untuk mencari pengaruh (influence) dari hubungan ketergantungan antar faktor atau elemen dengan menggunakan rasio dominasi pasangan yang memerlukan observasi dan pengetahuan dari para ahli untuk menghasilkan pendapat yang objektif dan relevan menggambarkan keadaan sebenarnya. Analisis menggunakan metode ANP dapat menghasilkan output berupa peringkat dan bobot pengaruh suatu faktor atau elemen terhadap kinerja sistem Just In Time yang diterapkan perusahaan. Sistem Just In Time yang diterapkan dapat memberikan manfaat bagi perusahaan. Oleh karena itu, perlu diketahui pencapaian kinerja perusahaan dengan adanya penerapan sistem tersebut. Kinerja perusahaan tersebut diukur dalam aspek kualitas, tingkat persediaan, dan produktivitas yang menjadi sasaran dari sistem Just In Time. Dengan diketahuinya faktor dan elemen yang paling berpengaruh, serta pencapaian kinerja perusahaan dengan penerapan sistem Just In Time, maka dapat diberikan rekomendasi kepada manajemen perusahaan untuk melakukan
perbaikan
dan
peningkatan
terus
menerus
(continuous
improvement) dengan memperhatikan faktor dan elemen paling berpengaruh dan elemen lain yang mempengaruhinya secara konsisten. Kinerja sistem Just In Time yang baik dapat mempengaruhi peningkatan kinerja perusahaan secara berkelanjutan dan menyeluruh. Kerangka pemikiran penelitian dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Kerangka Pemikiran Penelitian
B. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Maret-April 2008 di industri yang bergerak di bidang pangan yaitu PT. Nippon Indosari Corpindo yang terletak di Kawasan Industri Jababeka Cikarang Jl. Jababeka XIIA Blok W 40-41 Cikarang Bekasi.
C. Penentuan Data dan Sumber Data Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara secara langsung serta dengan alat bantu berupa kuesioner yang berisi pertanyaan tertutup untuk memberikan pendapat dengan membandingkan secara berpasangan tingkat kepentingan antara suatu faktor dengan faktor yang lain. Dalam analisis ANP, responden adalah orang-orang yang ahli di bidangnya, sehingga jumlah responden tidak menjadi prioritas. Data sekunder diperoleh dari
21
hasil laporan perusahaan, data-data perusahaan, serta hasil penelitianpenelitian sebelumnya yang memiliki hubungan dengan topik penelitian yang dilakukan.
D. Metode Pengumpulan Data Penelitian ini dilakukan dengan cara pengamatan (observasi) dan survei. Observasi meliputi segala hal yang menyangkut pengamatan aktivitas atau kondisi perilaku dan non perilaku. Sedangkan survei merupakan cara pengumpulan data dengan mengajukan pertanyaan pada orang-orang dan mencatat jawabannya untuk dianalisis. Survei terdiri atas wawancara (pribadi atau telepon) dan survei yang diisi sendiri (kuesioner) (Cooper, 1996). Pengamatan (observasi) dilakukan secara langsung terhadap pelaksanaan proses produksi dan penerapan Just In Time di perusahaan yang hasilnya menjadi dasar dalam perancangan kerangka ANP. Perancangan kerangka ANP dibuat dari masalah yang dianalisis, dilengkapi dengan semua faktor, elemen, dan hubungan-hubungannya yang relevan dengan penerapan di perusahaan. Keterkaitan antar faktor dan elemen dibangun berdasarkan teori mengenai sistem Just In Time. Hubungan ketergantungan antar faktor maupun elemen pada pendekatan ANP digambarkan dengan tanda anak panah. Hubungan saling ketergantungan pada faktor yang sama dalam sebuah analisis ditunjukkan dengan adanya sebuah loop. Keterkaitan antar faktor dan elemen menjadi sebuah kerangka ANP yang dapat dilihat pada Gambar 6. Kerangka tersebut menjadi dasar dalam pembuatan kuesioner yang diajukan kepada responden yaitu para manajer dan supervisor PT. Nippon Indosari Corpindo yang ahli dibidangnya masing-masing dan berpengaruh dalam keseluruhan sistem produksi perusahaan. Kuesioner yang diberikan berisi
pertanyaan
tertutup
untuk
memberikan
pendapat
dengan
membandingkan secara berpasangan tingkat kepentingan antara suatu faktor dengan faktor yang lain. Dalam perbandingan berpasangan tersebut, responden
diberikan
pertanyaan
“Untuk
memenuhi
persyaratan
22
(faktor/elemen) dalam tujuan meningkatkan kinerja sistem Just In Time, (faktor/elemen) manakah yang lebih penting pengaruhnya terhadap (faktor/elemen) tersebut?”. Kuesioner dapat dilihat pada Lampiran 1. Perbandingan berpasangan (pairwise comparison) merupakan penilaian pendapat dalam menentukan tingkat kepentingan (bobot) setiap elemen dengan cara membandingkan satu dengan yang lainnya secara berpasangan sehingga didapat nilai kepentingan dalam bentuk pendapat kualitatif. Untuk memperoleh nilai pendapat dalam bentuk angka (kuantitatif), perlu digunakan skala penelitian. Menurut Saaty (1996), skala 1–9 adalah skala yang terbaik dalam mengkuantifikasi pendapat berdasarkan tingkat akurasi yang ditunjukkan dengan nilai RMS (Root Mean Square) dan MAD (Median Absolute Deviation). Nilai dan definisi pendapat kualitatif dari skala komparasi Saaty dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel. 1. Nilai dan definisi pendapat kualitatif dari skala komparasi Saaty. Tingkat Definisi Kepentingan 1 Sama Penting 3 Sedikit lebih penting 5 Jelas lebih penting 7 Sangat jelas lebih penting 9 Pasti/mutlak lebih penting 2,4,6,8 Apabila ragu-ragu antara dua nilai berdekatan 1/1-1/9 Untuk pendapat kebalikannya (Saaty, 1996)
E. Analisis Data Analisis data dilakukan dengan menggunakan bantuan software Superdecisions 1.6.0 yang dikeluarkan oleh Creative Decision Foundation dan dapat di download melalui situs www.superdecisions.com. Analisa data terdiri atas perhitungan consistency ratio, penyusunan supermatriks, dan sintesis untuk memperoleh hasil akhir berupa tingkat prioritas setiap faktor. 1. Consistency Ratio (CR) Consistency Ratio merupakan parameter yang digunakan untuk memeriksa apakah perbandingan berpasangan telah dilakukan konsisten
23
atau tidak. Penentuan parameter ini dapat dilakukan dengan proses sebagai berikut. Rumus perhitungan vektor prioritas atau eigen vector (VP) adalah sebagai berikut m
m
VPi =
k =1 m
∑ i =1
dimana
Π (aij ) k m
m
Π (aij ) k
k =1
(aij) = elemen baris ke-i kolom ke-j dari matriks ke-k m = jumlah matriks pendapat individu yang memenuhi persyaratan m
Π = perkalian dari elemen k=1 sampai dengan k=m
k =1
Perhitungan Weight Sum Vector (VA), dengan mengalikan matriks pendapat hasil perbandingan berpasangan dengan eigen vector menggunakan rumus : VA = (aij) x VP dengan VA = (vai) Kemudian dihitung Consistency Vector (VB) dengan cara menentukan nilai rata-rata dari Weight Sum Vector (VA) atau dengan kata lain : VB =
VA dengan VB = (vbi) VP
Nilai rata-rata dari elemen Consistency Vector (VB) disebut nilai eigen maksimum ( λ max ) dengan rumus :
λ max =
1 n ∑ bi untuk i = 1, 2, ... , n n i =1
Nilai eigen maksimum ( λ max ) tersebut digunakan untuk menghitung Consistency Index (CI) yang dimaksudkan untuk mengetahui konsistensi jawaban yang berpengaruh terhadap keabsahan hasil. Rumus Consistency Index (CI) yaitu : CI =
λ max − n n −1
24
Untuk menghitung Consistency Ratio diperlukan nilai Random Index (RI) yaitu indeks acak yang didapat dari tabel Oak Ridge Laboratory dari matriks berorde 1 sampai 15 yang menggunakan sampel berukuran 100. Tabel RI dapat dilihat pada Tabel 2. berikut Tabel 2. Nilai Random Index Orde (n) Random Index (RI) 1 0.00 2 0.00 3 0.58 4 0.90 5 1.12 6 1.24 7 1.32 8 1.41 9 1.45 10 1.49 11 1.51 12 1.48 13 1.56 14 1.57 15 1.59 Oak Ridge Laboratory dalam Saaty (1996) Dengan diketahuinya nilai Consistency Index (CI) dan Random Index (RI) maka dapat dihitung nilai Consistency Ratio (CR) menggunakan rumus CR =
CI RI
Nilai Consistency Ratio (CR) ≤ 0.1 merupakan nilai yang mempunyai
tingkat
konsistensi
yang
baik
dan
dapat
dipertanggungjawabkan. Dengan demikian nilai CR merupakan tolak ukur bagi konsisten atau tidaknya suatu hasil perbandingan berpasangan. Menurut Marimin (2004), pada dasarnya AHP maupun ANP dapat digunakan untuk mengolah data dari satu responden ahli. Namun dalam
aplikasinya
penilaian
dilakukan
oleh
beberapa
ahli
multidisiplioner. Konsekuensinya pendapat beberapa ahli tersebut perlu dicek konsistensinya satu per satu. Pendapat yang konsisten kemudian
25
digabungkan dengan menggunakan rata-rata geometrik. Rumus rata-rata geometrik adalah sebagai berikut : m
g ij = m Π (aij ) k k =1
dimana
(aij) = elemen baris ke-i kolom ke-j dari matriks pendapat individu ke-k m = jumlah matriks pendapat individu yang memenuhi persyaratan m
Π = perkalian dari elemen k=1 sampai dengan k=m
k =1
2. Supermatriks Angka-angka yang diperoleh dari hasil kuesioner masingmasing
responden
berupa
pendapat
mengenai
interaksi
saling
ketergantungan antar elemen pada masing-masing cluster diturunkan menjadi suatu supermatriks. Jika diasumsikan suatu sistem memiliki N
cluster dimana elemen-elemen dalam tiap cluster saling berinteraksi atau memiliki pengaruh terhadap beberapa atau seluruh cluster yang ada. Jika
cluster dinotasikan dengan Ch, dimana h = 1, 2, …, N, dengan elemen sebanyak nh yang dinotasikan dengan eh1, eh2, …, ehnh. Pengaruh dari satu set elemen dalam suatu cluster pada elemen yang lain dalam suatu sistem dapat direpresentasikan melalui vektor prioritas berskala rasio yang diambil dari perbandingan berpasangan (pairwise comparison) yang membentuk matriks W yang berukuran h x h. Misalkan apabila Ci dibandingkan dengan Cj, maka aij merupakan nilai matriks pendapat berpasangan yang mencerminkan nilai tingkat kepentingan Ci terhadap
Cj. Sedangkan nilai untuk wji = 1/wij, yaitu nilai kebalikan dari nilai matriks wij. Untuk i = j menunjukkan nilai matriks wij = wji = 1, perbandingan elemen terhadap elemen itu sendiri adalah 1. Secara umum hubungan kepentingan antar elemen di dalam jaringan dengan elemen lain di dalam jaringan dapat digambarkan mengikuti supermatriks sebagai berikut:
26
Masing-masing kolom dalam Wij adalah eigen vector yang menunjukkan kepentingan dari elemen pada komponen ke-i dari jaringan pada sebuah elemen pada komponen ke-j. Beberapa masukan yang menunjukkan hubungan nol pada elemen mengartikan tidak terdapat kepentingan pada elemen tersebut. Jika hal tersebut terjadi maka elemen tersebut tidak digunakan dalam perbandingan berpasangan untuk menurunkan eigen vector. Jadi yang digunakan adalah elemen yang menghasilkan nilai kepentingan bukan nol (Saaty, 1999). Nilai eigen vector untuk setiap matriks hasil perbandingan berpasangan dalam setiap cluster dimasukkan ke dalam sebuah supermatriks dan menghasilkan sebuah kombinasi saling ketergatungan antar elemen. Supermatriks yang diperoleh adalah supermatriks yang masih belum terbobot. Oleh karena itu diperlukan perbandingan antara matriks itu sendiri untuk disesuaikan dengan pengaruhnya pada masingmasing elemen dalam supermatriks. Perbandingan ini akan meningkatkan pengaruh prioritas pada vektor turunan dari semua komponen yang dibandingkan pada supermatriks kolom sebelah kiri dengan baris sebelah atas. Masing-
27
masing vektor hasil memberikan bobot pada blok matriks yang akan berpengaruh pada komponen lain. Masukan pertama dari vektor dikalikan dengan semua elemen pada kolom blok pertama, kemudian dilanjutkan pada semua elemen kedua dan seterusnya. Cara ini akan memberikan bobot pada masing-masing kolom supermatriks. Hasil yang diperoleh disebut sebagai supermatriks terbobot (weighted supermatrix) yang kemudian dikenal sebagai matriks bersifat stokastik. Supermatriks yang diperoleh tidak harus dipengaruhi oleh elemen dari semua komponen atau tidak ada elemen dari suatu komponen yang mempengaruhi elemen pada komponen lain sehingga memberikan nilai nol pada semua prioritas vektor. Jika hal tersebut terjadi maka supermatriks terbobot harus dinormalisasi yaitu jika semua elemen dari komponen mempunyai pengaruh nol pada semua elemen dari komponen yang kedua, pengaruh prioritas dari komponen pertama itu sendiri terhadap komponen kedua harus sama dengan nol. Hal ini merupakan alasan untuk melakukan normalisasi dari beberapa kolom untuk membuat sebuah stokastik supermatriks terbobot. Nilai akhir dari bentuk saling mempengaruhi ini dapat diperoleh dengan membuat turunan prioritas yang diinginkan dengan mentransformasikan supermatriks stokastik tersebut menjadi supermatriks batas (limited supermatrix) (Saaty, 2004). Hasil akhir berupa bobot setiap faktor dan elemen digunakan sebagai dasar untuk memberikan rekomendasi kebijakan yang sesuai yaitu faktor yang paling mempengaruhi kinerja sistem Just In Time untuk lebih diperhatikan dalam peningkatan kinerja sistem tersebut sehingga dapat meningkatkan kinerja perusahaan.
28
29
Faktor-Faktor
Gambar 6. Kerangka ANP
IV. TINJAUAN UMUM PERUSAHAAN
A. Sejarah dan Perkembangan Perusahaan PT. Nippon Indosari Corpindo merupakan perusahaan yang bergerak di bidang industri makanan, yaitu produk bakery. Industri ini memiliki sasaran pemasaran utama yaitu konsumen wanita karir dan ibu rumah tangga. Peningkatan dilakukan dari industri tradisional yang menggunakan teknologi sederhana, pengemasan yang kurang menarik, tidak adanya jaminan pangan, dan terkadang kurang higienis, menjadi industri yang mengolah produk dengan teknologi tinggi, memiliki kemasan yang menarik, dan terjamin kehalalan serta kehigienisannya. Perusahaan ini didirikan berdasarkan akta No. 24 tanggal 26 Mei 1994, dibuat dihadapan Notaris Liliana Arif Gondoutomo, SH dan telah mendapatkan persetujuan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No. C2.11.525.NT.01.01.Th.94 pada tanggal 2 Agustus 1994. Perusahaan ini merupakan perusahaan patungan Indonesia-Jepang, yaitu antara PT. Sari Indoroti dengan Nissho Iwai Corporation dan Shikishima Baking Co. Ltd. dimana penanaman modal asing ini telah mendapat Surat Persetujuan Presiden atas Penanaman Modal Asing No. B-91/Pres/02/1995 tanggal 16 Februari 1995 yang tertuang dalam Lampiran Surat Pemberitahuan tentang Persetujuan Presiden No. 126/1/PMA/1995 tanggal 27 Februari 1995 yang dikeluarkan oleh Menteri Negara Penggerak Dana Investasi, Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal. Pada tanggal 8 Maret 1995 dengan akta No. 11 didirikanlah perseroan terbatas dengan nama PT. Nippon Indosari Corporation di hadapan notaris yang sama. Setelah proses konstruksi dan instalasi pabrik yang selesai pada bulan September 1996, perseroan memulai kegiatan produksinya dengan terlebih dahulu melakukan tes pasar pada bulan Oktober 1996 dimana saat itu diperkenalkan satu jenis roti tawar dan tiga jenis roti manis dalam kemasan yang masih sederhana. Setelah tiga bulan melakukan riset pasar, maka pada bulan Januari 1997 diluncurkan kemasan perdana Sari Roti dengan desain yang diharapkan dapat lebih menarik perhatian konsumen. Kemudian pada
tanggal 10 Maret 1997 dilakukan peresmian kegiatan operasional PT. Nippon Indosari Corporation oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia (pada saat itu) Prof. Dr. Sujudi. Untuk lebih meningkatkan pemasaran dan nilai jual produk, maka dikembangkan pula beberapa variasi produk yang tetap mengacu pada kualitas internasional, namun tetap tidak meninggalkan cita rasa lokal. Pada bulan Januari 2001 diluncurkan pula merek dagang Boti dengan berbagai variasinya, dengan tujuan untuk memperluas pasar, mencapai konsumen pada tingkat menengah ke bawah. Sebagai kepedulian terhadap konsumen dan jaminan atas kualitas produk yang dihasilkan, produk-produk yang dipasarkan telah terdaftar di Badan Pengawas Obat dan Makanan Departemen Kesehatan Republik Indonesia, serta telah mendapatkan sertifikat halal dari Lembaga Pengkajian Pengawasan
Obat
dan
Makanan
Majelis
Ulama
Indonesia,
No.
00100009241298 untuk produk Sari Roti dan No. 0010001560062001 untuk produk Boti. Perusahaan ini telah mengalami kemajuan yang cukup pesat dari segi penjualan. Hal ini didukung oleh peningkatan jumlah outlet pemasaran produk serta armada distribusi yang dapat memperluas jangkauan distribusi produk. Peningkatan penjualan pun diimbangi dengan tetap terjaganya kualitas produk dengan adanya pengawasan yang ketat terhadap kualitas bahan baku serta tetap terjaganya kehalalan, kesehatan, dan kehigienisan produk yang dihasilkan sebagai jaminan kepuasan pelanggan.
Dengan jangkauan
pemasaran yang luas serta promosi yang berkelanjutan, hasil survei pasar tahun 2002 menunjukkan bahwa perusahaan ini telah menjadi pemimpin pasar (market leader) di bidang industri makanan produk bakery.
B. Visi, Misi dan Kebijakan Mutu Perusahaan PT. Nippon Indosari Corpindo memiliki visi yaitu menjadi perusahaan terbesar di Indonesia di bidang bakery products dengan menghasilkan dan mendistribusikan produk-produk berkualitas tinggi dengan harga yang terjangkau bagi rakyat Indonesia.
31
Untuk mewujudkan visi tersebut, maka perusahaan memiliki misi yaitu membantu meningkatkan kualitas hidup bangsa Indonesia dengan memproduksi dan mendistribusikan makanan yang bermutu tinggi, sehat, halal, dan aman bagi pelanggan melalui penerapan GMP (Good Manufacturing Practice), SSOP (Sanitation Standard Operating Procedure), dan HACCP (Hazard Analysis and Critical Control Point). PT. Nippon Indosari Corpindo memiliki kebijakan mutu yaitu senantiasa menghasilkan produk yang bermutu tinggi, sehat, halal, dan aman untuk dikonsumsi dalam rangka pencapaian visi dan misi perusahaan sehingga dapat memberikan jaminan kepuasan kepada pelanggan. Selain itu, menggalang partisipasi aktif dan positif seluruh karyawan dalam rangka memlihara dan mengembangkan, dan meningkatkan mutu kerja secara berkelanjutan.
C. Struktur Organisasi Perusahaan Dalam pencapaian visi, misi, dan kebijakan mutu yang sudah ditetapkan, maka disusun suatu struktur organisasi yang berfungsi sebagai sistem pengaturan dan umpan balik antara atasan dan karyawan. Struktur Organisasi dapat dilihat pada Lampiran 2. Perusahaan dipimpin oleh seorang Presiden Direktur yang memimpin seorang Direktur dan Direktur tersebut memimpin General Manager. General Manager bertanggungjawab untuk memimpin seluruh Manager Departemen antara lain Assistant General Manager (AGM) Finance & Accounting, Product Development and Quality Assurance (PDQA) Manager, Sales & Marketing Manager, Supply Chain Management (SCM) Manager, Assistant General Manager (AGM) Plant, dan Human Resource Development and General Affair (HRD-GA) Manager. Setiap manager masing-masing departemen dibantu oleh beberapa orang Supervisor untuk setiap sub departemen yang dipimpinnya. Dalam menjalankan tugasnya, supervisor dibantu oleh group leader yang memimpin beberapa karyawan sebagai crew.
32
D. Lokasi dan Tata Letak Pabrik PT. Nippon Indosari Corpindo saat ini memiliki 3 buah pabrik yang berlokasi antara lain di : 1. Kawasan Industri Jababeka Cikarang Jl. Jababeka XIIA Blok W 40-41 Cikarang Bekasi 2. Kawasan Industri Jababeka Cikarang Jl. Jababeka XIIA Blok C F.45 Cikarang Bekasi 3. Kawasan PIER [Pasuruan Industri Estate Rembang] Jl. Rembang Industri Raya No.28 Pasuruan Untuk pabrik utama yaitu pabrik Jababeka Blok W memiliki luas tanah 10.277 m2 dengan bangunan yang terdiri atas area produksi roti tawar (sebelah selatan), area produksi roti manis (sebelah utara), ruangan gudang dan silo, area teknik, serta gudang finished goods. Denah tata letak pabrik dapat dilihat pada Lampiran 3.
E. Ketenagakerjaan Jumlah tenaga kerja PT. Nippon Indosari Corpindo Cikarang per Januari 2008 adalah 249 orang yaitu pria 201 orang dan wanita 48 orang. Latar belakang pendidikan tenaga kerja beragam dengan presentasi masingmasing yaitu SLTA : 50 %, D1 – D3 : 20 %, S1 : 25 %, dan S2 : 5 %. Sistem hari kerja di PT. Nippon Indosari Corpindo adalah 5-2 (5 hari kerja dan 2 hari libur) dan 6-2 (6 hari kerja dan 2 hari libur). Sistem 5-2 berlaku bagi karyawan bagian kantor (office). Sistem 6-2 berlaku bagi karyawan departemen produksi dan departemen lain yang menunjang produksi. Sistem jam kerja dibagi menjadi jam kerja office dan jam kerja shift. Jam kerja normal untuk pekerja office ditentukan sebagai berikut : SeninJumat pukul 08.00-17.00 WIB dan Sabtu-Minggu libur, serta untuk sebagian pekerja office Senin-Jumat pukul 08.00-16.00 WIB, Sabtu pukul 08.00-13.00 WIB, dan Minggu libur. Pembagian jam kerja shift sebagai berikut : Shift 1 pukul 07.00-15.00 WIB, Shift 2 pukul 15.00-23.00 WIB, dan Shift 3 pukul 23.00-07.00 WIB.
33
F. Proses Produksi PT. Nippon Indosari Corpindo memproduksi berbagai produk merek Sari Roti dan Boti antara lain roti tawar (white bread), roti manis (sweet bread) atau roti isi (filled bread), roti krim (sandroll), roti sobek (tear of bread), roti burger (bun bread), roti hot dog, dan remah roti (bread chumb). Berikut ini adalah berbagai jenis roti yang diproduksi oleh PT. Nippon Indosari Corpindo.
Tabel 3. Produk PT. Nippon Indosari Corpindo No.
Item Roti
Kode
No.
Item Roti
Kode
1
Roti Tawar Spesial
RTS
21
Roti Sobek Coklat Keju
TCC
2
Roti Tawar Premium
RTP
22
Roti Sisir Mentega
RSM
3
Roti Tawar Gandum
RTG
23
RKS
4
Roti Tawar Raisin
RTR
24
5
Roti Choco Chips
RCC
25
Roti Kasur Susu Roti Sobek Coklat Strawberry Roti Kasur Keju
6
Roti Tawar Kupas
RKU
26
Burger Bun
BUR
7
Boti Tawar Spesial
BTS
27
Hotdog Bun
HOT
8
Boti Tawar Premium
BTP
28
Boti Coklat
BCK
9
Roti Isi Coklat
ICK
29
Boti Sarikaya
BSK
10
Roti Isi Strawberry
IST
30
Boti Keju
BKJ
11
Roti Isi Sarikaya
ISK
31
Boti Nanas
BNS
12
Roti Isi Keju
IKJ
32
Boti Susu
BSU
13
Roti Isi Kelapa
IKL
33
Boti Kacang Hijau
BKH
14
Roti Isi Coklat Coklat
ICC
34
Boti Kelapa
BKL
15
Roti Isi Krim Coklat
SRC
35
Boti Sobek Coklat
BTC
16
Roti Isi Krim Mocca Roti Isi Krim Coklat Vanilla
SRM
36
Boti Krim Coklat
BSC
SCV
37
Boti Krim Mocca
BSM
Roti Isi Krim Keju
SCC
38
Boti Krim Coklat Mocca
BCM
TCS
39
Boti Krim Strawberry
BST
17 18 19 20
Roti Sobek Coklat Sarikaya Roti Sobek Coklat
TST RKJ
TOC
34
Untuk menghasilkan produk roti yang berkualitas diperlukan proses produksi yang sebelumnya telah dianalisa oleh departemen Product Development & Quality Assurance (PDQA). Dalam pembahasan berikut dijelaskan mengenai proses pembuatan produk roti tawar di PT. Nippon Indosari Corpindo yang secara garis besar terdiri atas empat bagian (section) yaitu (1) Mixing, (2) Make Up, (3) Baking, dan (4) Packing. 1. Mixing Proses pembuatan adonan roti di PT. Nippon Indosari Corpindo menggunakan sistem sponge and dough yang merupakan dua tahap berbeda. Tahap pembentukan sponge meliputi pencampuran sebagian bahan adonan yang diikuti dengan fermentasi pendahuluan. Sponge yang telah difermentasikan kemudian dijadikan satu dengan setengah bahan yang belum dimasukkan, dicampur untuk menjadi adonan dough dan dibiarkan untuk fermentasi yang kedua kalinya dalam waktu yang singkat. Penggunaan sistem sponge and dough memiliki keuntungan dan kerugian. Keuntungan menggunakan sistem ini adalah toleransi terhadap waktu fermentasi lebih baik, volume roti lebih besar, self life lebih lama, dan aroma roti lebih kuat. Kerugiannya adalah toleransi terhadap waktu pengadukan lebih pendek, peralatan lebih banyak, jumlah pekerja lebih banyak, kehilangan karena fermentasi lebih banyak dan waktu produksi lebih lama. Dalam pembuatan adonan sponge, mixer 1 digunakan untuk mencampur bahan baku yaitu tepung terigu (yang dialirkan dari Silo), air, ragi, dan softer. Pembuatan adonan ini memerlukan waktu selama 5 menit (low speed selama 3 menit dan high speed selama 2 menit). Setelah adonan sponge terbentuk maka adonan tersebut dibawa menggunakan box ke ruang fermentasi I dan difermentasikan selama 4 jam dalam suhu 27,75 o
C. Proses fermentasi pertama merupakan proses pemecahan karbohidrat
dengan bantuan mikroorganisme menghasilkan gas CO2, alkohol, dan asam. Setelah mengalami fermentasi dan adonan mulai mengembang, selanjutnya adonan melalui proses mixing kembali dengan penambahan
35
tepung terigu, air, gula, garam, shortening, kalsium propionat untuk dicampur menjadi adonan dough. Proses mixing untuk membuat adonan dough memerlukan waktu sekitar 22 menit. Dalam Tabel 4. berikut dapat dilihat standar proses mixing roti tawar. Standar dibuat berdasarkan hasil riset dari bagian Product Development departemen PDQA.
Tabel 4. Standar Proses Mixing Roti Tawar Sponge Dough Waktu % Air % Air Waktu Item Fermentasi (suhu Waktu Mixing (suhu Floor Mixing o Roti (Suhu 27 C, 23 ± (menit) 23 ± Time (menit) RH 75 %) 0,5 oC) 0,5 oC) RTS L3H2 4 jam 40 % L3H4 ↓ L4H7-8 ± 20 % 5 mnt RTP L3H2 4 jam 40 % L2H4 ↓ L3H7 ± 20 % 5 mnt RTG L3H2 4 jam 40 % L2H3 ↓ L2H5 ± 22 % 5 mnt RTR L3H2 2,5 jam 40 % L3H2 ↓ L4H6 ↓ L2 ± 11 % 5 mnt RCC L3H2 2,5 jam 40 % L3H2 ↓ L4H6 ↓ L2 ± 18 % 5 mnt RKU L3H2 4 jam 40 % L2H4 ↓ L3H8 ± 20 % 5 mnt (Sumber : Produksi PT. NIC)
2. Make Up Setelah adonan dough terbentuk dan didiamkan sejenak dalam masa floor time 5 menit, adonan tersebut dinaikkan kedalam devider yang secara bertahap membagi-bagi adonan sesuai dengan berat yang diinginkan. Devider membagi adonan dengan kecepatan tertentu (dalam satuan stroke/menit) sesuai dengan jenis roti yang diproduksi. Stroke adalah proses pemotongan/pembagian adonan menjadi ukuran sesuai yang diinginkan. Adonan tersebut selanjutnya melalui rounder yang berfungsi untuk membuat adonan berbentuk bulat dan membentuk lapisan tipis pada permukaan adonan. Adonan yang berbentuk bulat tersebut memasuki wadah-wadah pada mesin OHP sebagai proses intermediate proofing selama 17-18 menit pada suhu ruang. Proses proofing dilakukan untuk membiarkan sejenak atau proses relaksasi adonan sehingga adonan lebih mudah dibentuk pada proses selanjutnya.
36
Proses make up selanjutnya adalah sheeting yaitu proses pemipihan adonan bertujuan agar gas yang telah terbentuk terdistribusikan secara merata pada adonan sehingga produk akhir yang dihasilkan memiliki pori-pori yang halus dan seragam. Adonan yang telah melewati proses sheeting dibentuk sesuai dengan bentuk produk akhir yang diinginkan (moulding) yang kemudian diletakkan pada loyang (panning). Pada Tabel 5. dapat dilihat standar proses Make Up Roti Tawar.
Tabel 5. Standar Proses Make Up Roti Tawar Devider Speed Berat Floor Time Item Roti (stoke/menit) (gram) (Menit) RTS 17 337.5 ± 2.5 5 RTP 16 315 ± 2.5 5 RTG 16 315 ± 2.5 5 RTR 16 325 ± 2.5 5 RCC 15 313 ± 2.5 5 RKU 16 337.5 ± 2.5 5 (Sumber : Produksi PT. NIC)
Adonan yang sudah masuk kedalam loyang kemudian disusun di dalam rak dan disimpan kedalam ruangan fermentasi dengan suhu 38oC dan RH 80% selama 40-50 menit. Fermentasi kedua merupakan fermentasi akhir untuk mengembangkan adonan hingga mencapai volume yang diinginkan. Waktu fermentasi terkadang tidak stabil diakibatkan oleh karakteristik adonan yang berbeda dalam hal waktu untuk mengembang. Indikator fermentasi telah selesai adalah ketinggian adonan ± 80% dari tinggi loyang. 3. Baking Baking merupakan proses pemanggangan adonan. Adonan yang sudah mengembang dari ruang fermentasi II dimasukkan kedalam oven dengan suhu 195oC selama 33 menit 31 detik. Dalam proses baking, volume adonan bertambah selama 5-6 menit pertama (ovenspring). Dalam proses baking, aktivasi ragi dalam adonan mulai terhenti pada kisaran suhu 62,8oC. Selain itu, denaturasi protein dan gelatinisasi pati pada struktur
37
crumb terjadi pada suhu 60 – 82,2oC serta terjadinya proses karamelisasi gula. Setelah roti keluar dari oven, maka roti sudah matang dan perlu dilakukan proses pengeluaran roti dari cetakannya (depanning). 4. Packing Roti yang telah matang kemudian didinginkan dalam suhu ruang dengan cooling conveyor. Roti berputar-putar mengikuti aliran conveyor selama ± 2 jam (Line 1 : 2 jam 30 menit, Line 2 : 2 jam 10 menit) hingga roti bersuhu 33 ± 2oC. Proses cooling bertujuan untuk mempermudah proses pemotongan produk tanpa ada kerusakan serta mencegah kondensasi setelah pengemasan produk. Kehilangan kadar air produk selama pendinginan sekitar 2-3%.
Tabel 6. Standar Proses Pengemasan Roti Tawar Cooling time Temperatur Roti Item Roti Expired Date (hari) (jam) (oC) RTS 2 – 2.5 33 – 37 D+5 RTP 2 – 2.5 33 – 37 D+5 RTG 2 – 2.5 33 – 37 D+5 RTR 2 – 2.5 33 – 37 D+5 RCC 2 – 2.5 33 – 37 D+5 RKU 4–5 < 28 D+5 (Sumber : Produksi PT. NIC) Proses selanjutnya adalah slicing yaitu proses pemotongan roti tawar setelah pendinginan (suhu 33 – 37 oC). Roti yang telah terpotong sesuai dengan ukuran standar roti tawar selanjutya melalui proses pengemasan (packing). Proses pengemasan menggunakan mesin packer dengan kecepatan 45 pack/menit. Roti yang sudah berada dalam kemasan di-seal dan diikat dengan kwik lock. Pengemasan dilakukan agar roti dapat dipasarkan dengan tetap mempertahankan kadar air produk serta melindungi produk dari kontaminasi. Pengunaan kwik lock yang berwarna untuk memudahkan bagian Sales dalam membedakan expired date produk yang berada dipasaran, produk mana yang masih fresh, dan produk mana yang sudah expired dan harus ditarik. Pengunaan kwik lock berdasarkan hari produksi : Senin
38
berwarna kuning, Selasa berwarna biru, Rabu berwarna merah, Kamis berwarna hijau, Jumat berwarna orange, Sabtu berwarna coklat, dan Minggu berwarna putih. Tabel 7. menjelaskan standar proses pengemasan roti tawar.
Tabel 7. Standar Dimensi Produk Roti Tawar Target Nett Weight (gram) Item Roti Jumlah slice/pack Standard Minimum RTS RTP RTG RTR RCC RKU
10 7 10 11 10 10
370 361 366 375 275 200
359 350 355 364 267 194 (Sumber : Produksi PT. NIC)
Produk yang sudah terkemas dilewatkan ke alat Metal Detector untuk mendeteksi apabila terdapat campuran logam dalam produk. Hal ini perlu dilakukan untuk menghindari adanya logam berat yang bisa berasal dari mesin produksi, loyang, dan lain sebagainya. Produk kemudian disimpan dalam krat-krat dan siap didistribusikan ke pelanggan.
G. Distribusi Finished Goods Setiap finished goods yang telah dikemas dan disimpan di krat, maka dilakukan serah terima dari produksi kepada gudang finished goods dan dilakukan penyimpanan sementara di gudang Finished Goods untuk masingmasing jenis produk. Untuk didistribusikan ke pelanggan, harus dilakukan proses picking terlebih dahulu, yaitu memisahkan dan mengelompokkan roti sesuai dengan permintaan dari pelanggan. Proses picking untuk setiap produk akhir sesuai dengan BPPB atau estimasi yang merupakan data permintaan aktual dari pelanggan. Proses picking berdasarkan pesanan (order) dari distributor yang terdiri atas Depot, Reguler Outlet (RO), Institusi, DC (Distribution Channel) untuk Indomaret serta Alfamart, Branch, Stock Point, serta untuk sample QA. DC Alfamart terdiri atas 8 unit yaitu Cileungsi 1, Cileungsi 2, Serpong, Cirebon, Bandung, Bekasi, Cikokot, dan Lampung. DC Indomaret
39
terdiri atas 7 unit yaitu Volvo, Bekasi, Jatake, Cimanggis, Parung, Bandung, dan Lampung. Stock Point terdiri atas 10 unit yaitu Cikarang, Pasar Minggu, Jakarta Barat, Bogor, Banten, Tasik, Bandung, Tangerang kota, Purwakarta, dan Sukapura. Sedangkan RO terdiri atas 353 unit dan Agen terdiri atas 137 unit distribusi. Proses pendistribusian dilakukan dengan bantuan perusahaan transporter/ekspedisi yang diatur untuk mendistribusikan ke masing-masing wilayah distribusi. Adapun perusahaan transporter tersebut antara lain : a. PT. Bangun Putra Kerawang (BPK) untuk wilayah distribusi timur dan barat, b. PT. Adira Logistic untuk wilayah distribusi selatan, dan c. PT. Pangestu Daya Sari (PDS) untuk wilayah distribusi utara. Dalam sekali pendistribusian menggunakan truk berukuran sedang, pengiriman ke distributor dapat dilakukan hanya sekali atau beberapa transit, tergantung distributor yang dituju. Untuk DC dan Stock Point, setiap armada truk transit hanya di outlet tersebut. Untuk RO dan Institusi, setiap armada truk transit di lebih dari 8 outlet. Sedangkan untuk Agen, setiap armada truk transit di 3 atau 4 outlet. Hal ini disebabkan jumlah pesanan dari setiap outlet berbeda. Produk yang telah sampai kepada distributor, pada hari yang sama disalurkan kepada konsumen akhir. Dalam penyimpanan finished goods seringkali terdapat kelebihan stock akibat kelebihan produksi. Jumlah stock berlebih tersebut merupakan sisa produksi kemarin ditambah POC (Product Output Control) setelah dikurangi produk yang telah didistribusikan per 24 jam. Waktu penyimpanan maksimum stock adalah 2 hari dikarenakan masa kadaluarsa roti hanya 5 hari dari tanggal produksi.
40
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Sistem Produksi PT. Nippon Indosari Corpindo Sistem produksi merupakan sistem integral yang mempunyai komponen yaitu input, proses, dan output, serta adanya suatu mekanisme untuk pengendalian sistem produksi itu agar mampu meningkatkan perbaikan terus menerus (Gaspersz, 1998). Sistem produksi PT. Nippon Indosari Corpindo merupakan sistem produksi manufakturing dengan strategi Make to Demand, dimana respon terhadap pelanggan secara total adalah fleksibel. Gaspersz (1998) menjelaskan bahwa dalam strategi Make to Demand, penyerahan produk dari perusahaan berkaitan dengan kualitas dan waktu penyerahan (delivery time) secara tepat berdasarkan keinginan pelanggan. Dengan strategi tersebut, perusahaan memberikan tanggapan atau respon terhadap permintaan konsumen sesuai dengan permintaan aktual. Perusahaan akan memproduksi sesuai dengan jumlah permintaan aktual (walaupun dengan adanya penambahan estimasi loss produksi) dan pengiriman secara cepat ke tangan konsumen. Strategi desain proses manufakturing mendefinisikan bagaimana suatu produk diproses dalam suatu industri. PT. Nippon Indosari Corpindo menggunakan desain proses Small Batch Line Flow. Menurut Gaspersz (1998), Small Batch Line Flow memiliki semua karakteristik dari line flow (product flow) yaitu menyusun stasiun-stasiun kerja (work station) dalam urutan operasi yang membuat produk dimana produk mengalir mengikuti langkah urutan yang sama dalam proses produksi. Berbeda dengan Large Batch Line Flow, desain proses Small Batch Line Flow memproses beberapa jenis produk dalam ukuran batch yang kecil sehingga memerlukan set up peralatan atau mesin diantara batch yang diproses. Produksi dengan ukuran batch (lot) yang kecil dipengaruhi oleh kapasitas mesin dan jumlah produk yang ingin diproduksi. Penggunaan ukuran batch (lot) yang kecil mendukung sistem produksi campur merata (heijunka) dengan changeover (pergantian produksi item produk) yang sering dan set up yang singkat.
Strategi sistem perencanaan dan pengendalian manufakturing yang diterapkan oleh PT. Nippon Indosari Corpindo adalah sistem Just In Time. Menurut Gaspersz (1998), sistem Just In Time merupakan suatu konsep filosofi yaitu memproduksi produk yang dibutuhkan, pada saat dibutuhkan oleh pelanggan, dalam jumlah sesuai kebutuhan pelanggan, pada tingkat kualitas prima, dari setiap tahap proces dalam sistem manufakturing, dengan cara yang paling ekonomis dan efisien melalui eliminasi pemborosan (waste elimination) dan perbaikan proses terus menerus (continuous process improvement).
B. Penerapan Just In Time di PT. Nippon Indosari Corpindo Sistem Just In Time di PT. Nippon Indosari Corpindo telah dilaksanakan sejak pabrik mulai beroperasi. Perusahaan ini merupakan perusahaan patungan Indonesia-Jepang, yaitu antara PT. Sari Indoroti dengan Nissho Iwai Corporation dan Shikishima Baking Co. Ltd. Operasi produksi dilakukan dengan adanya dukungan dari perusahaan Jepang tersebut. Prinsipprinsip Just In Time secara umum telah dilaksanakan di PT. Nippon Indosari Corpindo dengan beberapa penyesuaian. Prinsip-prinsip sistem Just In Time di PT. Nippon Indosari Corpindo diterapkan melalui pelaksanaan sistem dan prosedur dalam pelaksaan operasi produksi dengan adanya Good Manufacturing Practice (GMP) dan Instruksi Kerja. Penerapan sistem Just In Time di PT. Nippon Indosari Corpindo dibahas menurut faktor-faktor Just In Time sebagai berikut. 1. Faktor Supplier Dalam memenuhi proses produksi di PT. Nippon Indosari Corpindo diperlukan komponen-komponen material seperti bahan baku, bahan pembantu, dan bahan pengemas yang jumlahnya tidak sedikit dan harus tersedia saat akan digunakan. Oleh karena itu, untuk memenuhi kepuasan pelanggan maka perlu diperhatikan integrasi pabrik dan pemasok. Untuk menunjang implementasi sistem Just In Time dalam pembelian bahan baku kepada pemasok, material yang digunakan diprioritaskan berdasarkan tingkat kepentingannya menggunakan analisis
42
klasifikasi ABC. Analisis kalsifikasi ABC merupakan klasifikasi kelompok material dalam susunan menurun yang ditetapkan berdasarkan faktor-faktor penting yang menentukan nilai material tersebut (Gaspersz. 1998). Selain itu, menurut Machfud (1999), analisis ABC merupakan alat yang sangat berguna untuk menentukan persediaan jenis barang mana yang penting untuk dikendalikan berdasarkan kriteria tertentu yang dianggap penting bagi perusahaan. PT. Nippon Indosari Corpindo melakukan pembedaan prioritas dengan klasifikasi ABC untuk menunjang pemesanan material kepada pemasok berdasarkan tingkat penggunaan per hari. Penentuan klasifikasi ABC dengan memperhitungkan presentase tingkat penggunaan suatu material dengan material lain dalam satuan yang sama (kg untuk bahan baku, lembar untuk etiket roti tawar atau roll untuk etiket roti manis). Bahan baku yang termasuk ke dalam kelas A yaitu material yang penggunaan ratarata per harinya > 3% dari jumlah total bahan baku yang digunakan (± 50.000 kg/hari). Bahan baku yang termasuk ke dalam kelas B adalah bahan baku yang tingkat penggunaan rata-rata hariannya 0,5% hingga 3%, dan sisanya termasuk ke dalam kelas C.
Presentase
Klasifikasi ABC Bahan Baku 90.00% 80.00% 70.00% 60.00% 50.00% 40.00% 30.00% 20.00% 10.00% 0.00%
86.93% 77.42%
% Kumulatif Item 6.45% A
16.13% 8.59% B
% Kumulatif Penggunaan 4.48% C
Kelas
Gambar 7. Grafik Analisis Klasifikasi ABC untuk Bahan Baku Pada Gambar 7 dapat dilihat sebanyak 6,45% bahan baku kelas A mewakili 86,93% penggunaan, sebanyak 16,13% bahan baku kelas B mewakili 8,59% penggunaan, dan sebanyak 77,42% bahan baku kelas C mewakili 4,48% penggunaan bahan baku tersebut.
43
Presentase
Klasifikasi ABC Etiket Lembar 100.00% 90.00% 80.00% 70.00% 60.00% 50.00% 40.00% 30.00% 20.00% 10.00% 0.00%
90.04%
59.38%
25.00%
A
% Kumulatif Item % Kumulatif Penggunaan 18.75% 7.09% B
2.87% C
Kelas
Gambar 8. Grafik Analisis Klasifikasi ABC untuk Bahan Kemasan (Etiket) Lembar
Bahan kemasan (etiket) roti tawar lembaran dengan penggunaan rata-rata harian > 8% dari jumlah total etiket digunakan (± 800.000 pcs/hari) termasuk ke dalam kelas A. Kelas B untuk penggunaan rata-rata harian 0,5% hingga 8%, dan sisanya kelas C. Pada Gambar 8 dapat ilihat persentase kumulatif untuk item etiket lembaran kelas A sebesar 25% yang mewakili 90,04% kumulatif tingkat penggunaan, kelas B sebesar 18,75% yang mewakili 7,09% kumulatif tingkat penggunaan, serta kelas C sebesar 59,38% yang mewakili 2,87% kumulatif tingkat penggunaan. Bahan kemasan (etiket) roti manis (dalam satuan roll) digolongkan kelas A bila penggunaan rata-rata harian > 5,55% dari total penggunaan (± 30 roll/hari). Kelas B untuk penggunaan harian 2,9% hingga 5,55%, dan sisanya tergolong ke dalam kelas C. Gambar 9 menunjukkan grafik analisis klasifikasi ABC untuk etiket roll dimana sebesar 21,43% kumulatif etiket kelas A mewakili 53,89% tingkat penggunaan, 25% kumulatif item kelas B mewakili 29,69% kumulatif penggunaan, dan 53,57% kumulatif etiket roll kelas C mewakili 16,41% kumulatif tingkat penggunaannya.
44
Klasifikasi ABC Etiket Roll 60.00%
53.89%
53.57%
Presentase
50.00% 40.00% 30.00% 21.43%
29.69% 25.00% 16.41%
20.00%
% Kumulatif Item % Kumulatif Penggunaan
10.00% 0.00% A
B
C
Kelas
Gambar 9. Grafik Analisis Klasifikasi ABC untuk Bahan Kemasan (Etiket) Roll
Bahan baku
yang termasuk ke dalam kelas A dan dijadikan
prioritas dalam hal penanganan material antara lain tepung terigu Cakra Kembar Emas (CKE), Palmia Shortening/Maestro Baker Fat, gula pasir, dan Filler coklat DC2624F. Penggunaan rata-rata per hari material tersebut berturut-turut adalah 69,99%, 3,17%, 6,99%, dan 3,65%. Pembagian kelas berdasarkan klasifikasi ABC di PT. Nippon Indosari Corpindo dapat dilihat pada Lampiran 4. Klasifikasi ABC berdasarkan tingkat penggunaan mempengaruhi frekuensi pengiriman material agar dilakukan sesering mungkin, yaitu 3 kali seminggu atau bahkan setiap hari. Frekuensi pengiriman selain dipengaruhi besarnya pemakaian juga dipengaruhi lead time dan kapasitas gudang. Dalam menerapkan sistem Just In Time, prinsip yang diperhatikan dalam faktor pemasok (supplier) antara lain : a. Jumlah pemasok yang sedikit. Pemasok bahan baku yang bekerja sama dengan PT. Nippon Indosari Corpindo antara lain Bogasari, Adyaceda, Sinar Meadow, Puncak Gunung Mas, Sumber Laut, Susanti, Nusa Inti, Salabintana Pasirputih, Halim Sakti, Anta Tirta, Astaguna Wisesa, Trisha Sejati, Alam Sumber Vita, Freyabadi, Puratos, Nirwana Lestari, Jaya Fermex, Nusa Indah, Cipta Makmur, Prambanan Kencana, Wijaya Putra, DKSH,
45
Indesso, Galic Bina Mada, Trimitra Mandiri, Jutarasa, Mulia Raya, Kraft, Johardi, Nirwana Lestari, Mane, Foodex, Realic, dan Sumber Jaya. Terdapat beberapa pemasok yang menyediakan lebih dari satu bahan baku diantaranya adalah Bogasari, Adyaceda, Sinar Meadow, Antatirta, Astaguna Wisesa, dan Freyabadi. Hal ini dapat mendukung penerapan Just In Time di PT. Nippon Indosari Corpindo sehingga membuat pemasok yang terlibat dalam sistem semakin sedikit. Dengan semakin sedikitnya pemasok yang terlibat dalam supply chain, maka kontrak kerjasama dapat ditingkatkan dan loyalitas dari pemasok pun akan meningkat. Walaupun demikian, PT. Nippon Indosari Corpindo memiliki
beberapa
pemasok
alternatif,
sehingga
upaya
untuk
meminimumkan jumlah pemasok yang terlibat dalam sistem Just In Time belum dapat dilakukan. Hal tersebut dilakukan untuk mempertahankan bargaining position serta mengurangi ketergantungan pada satu pemasok saja. Kebijakan tersebut berguna untuk mencegah adanya permainan harga dari pemasok, namun menyebabkan loyalitas dari pemasok terhadap perusahaan akan berkurang terutama untuk memasok bahan baku dengan kualitas baik, jumlah dan waktu kedatangan yang tepat saat diperlukan. Kebijakan untuk memiliki beberapa pemasok alternatif menujukkan elemen jumlah pemasok yang sedikit belum dapat diterapkan dengan baik.
b. Lokasi pemasok dekat dengan pabrik. Lokasi
geografis pemasok mempengaruhi frekuensi dan
ketepatan kedatangan bahan baku secara Just In Time. Oleh karena itu, pemasok yang terletak lebih dekat dengan pabrik lebih diutamakan untuk menjaga kelancaran pengiriman material secara Just In Time. Selain itu, pemasok dalam lokasi geografis yang berdekatan tersebut akan memudahkan kunjungan dan memberikan bantuan teknis kepada pemasok, serta menciptakan pemahaman yang lebih baik dan cepat terhadap kebutuhan kualitas (Liker, 2006).
46
Pemasok untuk bahan baku yang termasuk ke dalam kelas A (tepung terigu CKE, Palmia Shortening, gula pasir, dan Filler coklat DC 3624 F) adalah Bogasari, Adyaceda, Nusa Indah, dan Freyabadi. Lokasi geografis pemasok untuk bahan baku yang tingkat penggunaannya paling tinggi diupayakan agar berlokasi dekat dengan pabrik. Apabila bahan baku tersebut mengalami keterlambatan akan berdampak pada kelancaran produksi. Lokasi pemasok untuk bahan baku kelas A sudah tergolong dekat dengan pabrik PT. Nippon Indosari Corpindo. Pemasok tepung terigu yaitu PT Bogasari Flour Mills Tbk terletak di Kawasan Kalibaru Jl Raya Cilincing Jakarta; pemasok Palmia Shortening, PT. Adyaceda Amandelis
terletak di Jl Daan Mogot Km 13 Kav 6 Jakarta; serta
pemasok filler coklat yaitu PT. Freyabadi Indotama berlokasi di Jl. Maligi III Lot-J2A Kawasan Industri KIIC, Karawang Jawa Barat. Lokasi yang cukup dekat tersebut sudah mendukung penerapan sistem Just In Time. Terdapat bahan kemasan yang perlu diimpor dari luar negeri seperti kwik lock yang harus diimpor dari Australia. Hal ini menyebabkan pemesanan dilakukan dengan lead time yang cukup lama yaitu 3 bulan sebelum digunakan, dan frekuensi pengirimannya yaitu satu bulan sekali dengan jumlah besar. Walaupun hal tersebut menciptakan tingkat persediaan yang tinggi, ketersediaan kwik lock sangat mendukung dalam mempertahankan sistem produksi yang kontinu untuk memenuhi permintaan konsumen secara Just In Time.
c. Peningkatan frekuensi pengiriman bahan baku dalam jumlah kecil. Dalam sistem Just In Time, persediaan (inventory) merupakan pemborosan yang harus dihilangkan, sehingga tingkat persediaan di gudang harus seminimal mungkin. Oleh karena itu, pemesanan bahan baku kepada pemasok dilakukan dengan frekuensi pengiriman yang lebih sering dan dalam jumlah yang kecil. Dengan kebijakan tersebut maka bahan baku yang datang langsung digunakan sehingga tingkat persediaan
47
pun diharapkan mendekati nilai nol. Selain itu, ukuran lot yang kecil dengan frekuensi penyerahan yang lebih sering dapat mempercepat deteksi dan koreksi pada kecacatan bahan baku. Waktu pengiriman (delivery) bahan baku dari para pemasok pada umumnya dipengaruhi oleh kapasitas gudang dan kebutuhan produksi. Bahan baku utama yang termasuk kedalam kelas A dikirim setiap hari, bahan baku kelas B rata-rata 3 kali seminggu, dan bahan baku flavour yang pada umumnya masuk kelas C rata-rata 2 kali sebulan. Selain itu, pengiriman etiket rata-rata seminggu dan kwik lock pada umumnya 1 bulan untuk sekali pengiriman. Frekuensi kedatangan bahan baku ditentukan berdasarkan kontrak kerjasama yang dilakukan oleh perusahaan dengan pemasok. Kedatangan bahan baku dengan frekuensi harian telah dilakukan untuk bahan baku seperti tepung terigu Cakra Kembar Emas (CKE), Palmia Shortening/Maestro Baker Fat, gula pasir, Filler coklat D C2624 F, telur ayam, dan Fine Brand. Frekuensi kedatangan bahan baku yang tinggi dan dalam jumlah yang sesuai kebutuhan diperlukan untuk menunjang sistem Just In Time yang diterapkan oleh perusahaan. Data mengenai bahan baku beserta supplier, penggunaan/hari (usage/day), persediaan penyangga (buffer stock), lead time, dan frekuensi kedatangan (delivery frequency) dapat dilihat pada Lampiran 5.
d. Terdapat kontrak jangka panjang Kontrak jangka panjang dengan pemasok yang sama dan membangun kemitraan yang bersifat informal dapat memberikan dampak kepada pemasok untuk menyesuaikan biaya dari komitmen jangka panjang dalam memenuhi kebutuhan kualitas dan menjadi lebih peduli terhadap kebutuhan pembeli (Heizer dan Render, 2004). PT. Nippon Indosari Corpindo melakukan kontrak jangka panjang dengan pemasok yang berorientasi kepada keuntungan biaya dengan adanya perolehan diskon atau potongan harga. Kontrak jangka panjang dengan sebagian pemasok untuk menentukan jumlah pesanan
48
dalam periode tertentu seringkali dianggap tidak terlalu menguntungkan. Kontrak mengatur jumlah (quantity) pemesanan dan lead time. Dengan adanya kontrak jangka panjang jumlah pemesanan ditentukan untuk periode tahun (misalnya satu tahun). dan pengiriman pesanan harus dipenuhi sesuai jumlah yang tertera dalam kontrak tersebut. Pada akhir tahun kontrak, perusahaan harus tetap membeli bahan baku walaupun tidak memerlukannya. Fleksibilitas untuk menyesuaikan pengiriman sesuai dengan kebutuhan tiap bulan sulit dilakukan. Walaupun demikian, kontrak kerjasama diperlukan untuk mengatur aturan-aturan sistem pengiriman, lead time, frekuensi pengiriman, dan perolehan potongan harga. Kontrak jangka panjang dapat dilakukan untuk membuat kesepakatan frekuensi kedatangan bahan baku dalam jumlah yang kecil untuk setiap pengiriman. Selain itu, masalah kualitas dari tingkat pemasok dapat ditingkatkan dan kepercayaan terhadap kualitas yang diberikan pemasok dapat ditingkatkan, sehingga perusahaan dapat menghilangkan salah satu tindakan pemborosan yaitu melakukan inspeksi/pemeriksaan terhadap material yang datang (Gaspersz, 1998). Inspeksi penerimaan material yang datang dapat dikurangi atau mungkin dihilangkan apabila pemasok bertanggung jawab penuh terhadap kualitas bahan baku yang disepakati dalam kontrak jangka panjang yang tentunya lebih efektif dan efisien. Evaluasi pemasok dapat juga dilakukan berdasarkan kemampuan memberikan bahan baku berkualitas tinggi, sehingga pemasok memberikan perhatian penuh pada kualitas bahan baku yang diserahkannya. Dalam
kasus
yang
ditemui
di
lapangan
saat
terjadi
ketidaksesuaian berat, jumlah, atau kerusakan material yang datang, diperlukan waktu menunggu untuk memutuskan apakah bahan baku diterima atau tidak. Dengan adanya kontrak jangka panjang dapat diatur dan disepakati mengenai penanganan kasus tersebut, sehingga tidak terjadi waktu menunggu (delay) yang cukup lama dan terbentuk antrian dari bahan baku lain yang menunggu diturunkan dari truk.
49
e. Terdapat dukungan untuk peningkatan Just In Time pada pemasok. Perusahaan yang telah menerapkan sistem Just In Time diharapkan dapat membantu menerapkan sistem tersebut pada pabrik pemasok yang belum menerapkannya, agar tercipta sistem yang baik yang mendukung kelancaran produksi. PT. Nippon Indosari Corpindo belum melakukan dukungan agar pemasok menerapkan sistem Just In Time. PT. Nippon Indosari Corpindo melakukan kunjungan ke pabrik pemasok hanya apabila terdapat penawaran produk baru, terjadinya masalah dalam hal pengiriman bahan baku, atau masalah lead time. Sampai saat ini belum dilakukan sosialisasi ataupun ajakan kepada pemasok untuk menerapkan sistem yang sama. Para pemasok pun masih belum melakukan kunjungan pabrik (factory visit) untuk melihat sistem produksi yang diterapkan PT. Nippon Indosari Corpindo. Dukungan suatu sistem secara menyeluruh antara suatu perusahaan dengan pemasoknya jarang dilakukan. Pemasok dan pembeli pada umumnya masih menjalankan produksi secara individual. Hal yang terpenting bagi pemasok adalah mampu memasok bahan baku kepada pembeli. Hal ini menujukkan elemen terdapatnya dukungan agar pemasok menerapkan dan meningkatkan sistem Just In Time belum dapat dilakukan.
2. Faktor Inventory Penyimpanan persediaan di gudang merupakan suatu tindakan pemborosan dalam sistem Just In Time. Kelebihan persediaan menyebabkan lead time yang panjang, barang kadaluarsa, barang rusak, peningkatan biaya penyimpanan. Selain itu, persediaan yang berlebih juga menyembunyikan masalah seperti ketidakseimbangan produksi, keterlambatan pengiriman dari pemasok, produk cacat, mesin rusak, dan waktu set up yang panjang. Elemen untuk faktor persediaan (inventory) yang mendukung penerapan sistem Just In Time antara lain :
50
a. Penggunaan pull system untuk pergerakan persediaan. Sistem tarik berarti status ideal dari sistem produksi Just In Time, memberikan pelanggan (yang mungkin merupakan langkah proses berikutnya) apa yang diinginkan, dan dalam jumlah yang di inginkan (Liker, 2006). PT. Nippon Indosari Corpindo menerapkan sistem tarik (pull system) berdasarkan permintaan konsumen. Permintaan konsumen yang masuk melalui para distributor (channel) menjadi dasar pelaksanaan proses produksi. Setelah dilakukan perhitungan kebutuhan material (MRP) untuk membuat sejumlah roti yang dipesan, maka bagian produksi menjalankan proses produksi berdasarkan MRP tersebut. Menurut Gaspersz (1998), dalam sistem Just In Time, proses produksi ditentukan oleh adanya permintaan dari konsumen. Pesanan produksi (production order) dapat dikomunikasikan dengan berbagai cara, dapat menggunakan alat elektronik seperti lampu, alat transportasi seperti kontainer, atau alat paling banyak digunakan adalah suatu tanda yang disebut sebagai kanban. Kanban adalah suatu istilah dalam bahasa Jepang yang serupa artinya dengan visible record or signal. Pada umumnya alat kanban yang dipergunakan adalah kartu, sehingga sering disebut kartu kanban. Kanban dipergunakan sebagai tanda (signal) kepada stasiun pemasok bahwa stasiun pengguna sedang membutuhkan material, sehingga stasiun pemasok harus segera mengirimkan material itu sesuai dengan kebutuhan yang tertera dalam kartu kanban. Pada lantai pabrik PT. Nippon Indosari Corpindo, tidak terdapat penggunaan kanban yang berfungsi untuk memberikan tanda agar bagian sebelumnya mengirimkan material yang dibutuhkan. Meskipun demikian, peneliti menemukan suatu penggunaan form permintaan material (dapat dianggap sebagai kanban) dari bagian produksi kepada bagian gudang untuk mengirimkan material yang dibutuhkan. Penggunaan form tesebut terjadi secara insidentil yaitu pada permintaan kebutuhan Filler, Cream, Dusting, Palmia Olex, Baker Fat, Bimoli Nabati, dan Etiket dari sub departemen Produksi kepada sub
51
departemen Raw Material (RM). Hal tersebut terjadi akibat terdapat ketidaksesuaian penggunaan aktual (pada umumnya lebih sedikit) daripada yang diberikan sesuai standar PDQA. Untuk menghindari pemborosan, material-material tersebut dikirimkan dari gudang Raw Material (RM) kepada bagian Produksi sesuai dengan kebutuhan. Selain itu, ketika terjadi kerusakan mesin atau kesalahan dalam proses mixing, diperlukan material tambahan yang harus diminta kepada sub departemen RM. Form yang digunakan sebagai tanda untuk meminta material sesuai dengan kebutuhan dapat dilihat pada Lampiran 6. Walaupun dalam penerapan sistem tarik di PT. Nippon Indosari Corpindo tidak menggunakan teknik kanban, namun dapat dikatakan penerapan sistem tarik berjalan dengan baik seiring berjalannya sistem produksi yang hanya memproduksi sesuai jumlah permintaan konsumen. Setiap permintaan konsumen menarik material dari gudang bahan baku untuk diproduksi, dan tentunya menarik kebutuhan material pula dari pemasok walaupun tidak secara langsung.
b. Tingkat persediaan minimum. Just In Time berarti mengurangi sebanyak mungkin persediaan yang digunakan untuk menyangga proses operasi dalam menghadapi masalah yang mungkin muncul dalam produksi. Dengan menggunakan persediaan penyangga yang lebih kecil, berarti masalah-masalah yang tidak terlihat seperti produk cacat akan terungkap (Liker, 2006). Penyimpanan material di gudang PT. Nippon Indosari Corpindo diatur agar sesuai dengan kapasitas maksimal penyimpanan dan telah melalui proses penerimaan material dengan benar. Material di gudang disusun dengan rapi dan informatif sehingga tanggal kedatangan dan tanggal kadaluarsa terlihat dengan jelas, tujuannya agar sistem FIFO (Firts In Firts Out) dapat dijalankan. Setiap material di gudang disimpan berkelompok berdasarkan karakteristik material dalam suhu penyimpanan. Gula pasir, gandum, dan garam disimpan dalam ruang 1 dengan suhu ruang 28 – 31 oC;
52
Coklat dan susu disimpan dalam ruang 2 dengan suhu 18 – 23 oC; Ragi dan telur disimpan dalam ruang chiller 1 dengan suhu 0 – 4 oC; Keju dan filler disimpan dalam ruang chiller 2 dengan suhu 0 – 10 oC; Olex, minyak, shortening, susu bubuk, dan coklat powder disimpan dalam ruang 3 dengan suhu 28 – 35 oC; Keju dan kacang hijau untuk produk Boti disimpan dalam freezer dengan suhu (-10) – (-20) oC; Filler kelapa disimpan dalam freezer dengan suhu (-20)–(-10) oC; serta tepung terigu disimpan dalam silo dengan suhu ruang. PT. Nippon Indosari Corpindo memiliki persediaan dengan tingkat buffer stock yang beragam untuk setiap jenis material. Buffer Stock dipengaruhi oleh lead time, minimum order material yang dipesan dan kapasitas gudang. Untuk menjaga tingkat persediaan minimum, buffer stock ditentukan maksimal sebanyak 2 hari kebutuhan produksi. Peningkatan persediaan sering terjadi saat mendekati hari libur nasional yang diakibatkan pemasok tidak beroperasi pada hari libur sehingga tanggal kedatangan material dipercepat sebelum hari libur. Buffer stock digunakan untuk mengantisipasi ketidakpastian permintaan relatif terhadap ramalan yang dibuat. Walaupun demikian, cara yang terbaik dalam implementasi sistem Just In Time adalah meminimumkan stock pengaman tersebut yang tidak bernilai tambah. Persediaan yang disimpan akan menambah biaya, sehingga dipandang sebagai pemborosan yang harus dihilangkan. Menurut Liker (2006), untuk memuaskan pelanggan yang permintaannya berfluktuasi secara signifikan, direkomendasikan untuk menyimpan setidaknya sejumlah kecil persediaan barang jadi. Hal ini tampak berlawanan dengan lean thinking. Secara teoritis, pemecahan yang paling ramping adalah membuat berdasarkan pesanan dan hanya mengirimkan yang diinginkan oleh pelanggan dan jika ingin menyimpan persediaan lebih baik berupa barang jadi, bukan bahan baku. Hal ini direkomendasikan untuk tetap mempertimbangkan pentingnya jadwal campur merata (heijunka). Sedikit persediaan barang jadi
53
kadang-kadang dibutuhkan untuk melindungi jadwal produksi campur merata agar tidak terganggu oleh lonjakan permintaan secara tiba-tiba. PT. Nippon Indosari Corpindo menyimpan persediaan barang jadi dalam jumlah yang sedikit, dengan batas maksimum penyimpanan 2 hari. Hal ini disebabkan masa kadaluarsa produk roti yang dihasilkan hanya 5 hari. Setiap persediaan barang jadi pada keesokan harinya akan dikirimkan dan produk yang paling akhir dalam suatu lini menjadi persediaan selanjutnya, demikian seterusnya. Persediaan barang jadi ini bermanfaat ketika terjadi masalah kualitas saat pengiriman, produk yang rusak tidak jarang dikembalikan dan ditukar dengan yang baik.
c. Ukuran lot yang kecil (small lot size). Ukuran lot (lot size) adalah kuantitas dari item yang biasanya dipesan dari pabrik (untuk produksi) atau dari pemasok. Sering disebut juga sebagai kuantitas pesanan (order quantity) atau ukuran batch (batch size) (Gaspersz, 1998). Ukuran lot yang digunakan di lantai pabrik PT. Nippon Indosari Corpindo ditentukan berdasarkan kapasitas mesin mixer. Ukuran lot yang dibuat dalam OTP (Order To Production) antara lain 225, 200, 186, 175, 150, 125, 100, 70, 60, 50, dan 40 kg. Kapasitas mixer untuk plant Roti Tawar maksimum sebesar 225 kg dan minimum
100
kg
dalam
sekali
pengadukan
mixer.
Dengan
menggunakan ukuran lot tersebut maka proses pencampuran (mixing) menjadi optimal. Ukuran lot yang digunakan diusahakan agar selalu paling besar yang sesuai dengan kapasitas mesin yaitu 225 kg. Walaupun demikian, ukuran tersebut masih merupakan ukuran lot yang relatif kecil untuk output produk yang sangat besar sehingga memenuhi persyaratan sistem Just In Time. Penggunaan lot maksimal (225 kg) ditujukan untuk mengurangi jumlah kehilangan (loss) produksi akibat akumulasi adonan yang sedikit demi sedikit terkumpul diakhir proses dan memperolah waktu produksi yang relatif lebih singkat. Apabila terdapat rencana produksi untuk item roti tertentu yang tidak memenuhi minimum lot,
54
maka rencana produksi tersebut tidak dijalankan dikarenakan hanya akan memboroskan penggunaan sumber daya.
d. Waktu set up yang singkat (quick set up). Set up merupakan aktivitas yang terdiri dari menyiapkan bahan, mengubah setting mesin, mempersiapkan peralatan, dan melakukan pengujian (Agustina, dkk, 2007). Bahan baku dipersiapkan dan ditimbang oleh bagian Scalling berdasarkan jadwal produksi atau disebut
Order
To
Production
(OTP).
Penimbangan
dilakukan
berdasarkan formula yang dikeluarkan sub departemen P&D untuk masing-masing bahan baku. Bahan baku ditimbang sesuai dengan hasil perkalian persentase penggunaan material dengan batch size (lot size) yang akan diproduksi. Bahan baku yang sudah ditimbang dibungkus rapi dan bersih dengan plastik, untuk kemudian ditempatkan pada krat atau rak yang tersedia sebelum diserahterimakan. Scalling
(penimbangan
dan
penyiapan)
bahan
baku
memerlukan waktu ± 10 jam. Dalam satu hari terdapat dua kali serah terima bahan baku kepada Produksi. Estimasi waktu yang diperlukan untuk melakukan proses penimbangan dan penyiapan bahan baku adalah sebagai berikut : Pukul 07.00–15.00 WIB dilakukan penyiapan bahan baku, pukul 15.00–16.00 WIB (Rit 1) dilakukan serah terima bahan baku untuk produksi pukul 17.00 dan pukul 22.00–23.00 WIB (Rit 2) dilakukan serah terima bahan baku untuk produksi pukul 23.00. Proses penyiapan bahan baku memerlukan waktu yang cukup lama, namun berlainan dengan waktu set up penyiapan bahan baku dalam lini produksi sehingga tidak mempengaruhi jalannya produksi. Changeover (pergantian produksi dari satu item ke item lain) terjadi dalam sitem produksi campur merata yang menuntut waktu set up yang lebih cepat dan fleksibilitas yang tinggi. Waktu set up dalam sekali changeover merupakan waktu yang diperlukan untuk melakukan pembersihan (cleaning) mixer dan penyiapan bahan baku untuk diolah. Selain itu, apabila ada mesin yang perlu dilakukan perbaikan kecil
55
maupun pergantian parts seperti belt conveyor pada devider, atau penggantian pisau (blade) pada mesin slicer diperlukan waktu set up yang singkat pula. Set up dilakukan saat terdapat waktu jeda dalam setiap changeover dengan waktu maksimal yaitu 30 menit. Waktu jeda tersebut merupakan waktu yang diberikan untuk memberikan jarak proses pengovenan (baking) roti dengan proses penurunan suhu pada cooling conveyor. Waktu jeda tersebut tergantung pada item yang diproduksi dengan standar sebagai berikut RTS 20 menit/batch, RCC 30 menit/batch, RTR 20 menit/batch, RTG 22 menit/batch.
e. Terdapat pengurangan variabilitas Menurut sistem Just In Time, untuk menjalankan pergerakan bahan baku perlu dilakukan pengurangan variabilitas. Variabilitas adalah setiap penyimpangan (deviasi) dari proses optimal untuk mengantarkan produk sempurna tepat waktu. Variabilitas disebabkan faktor internal maupun eksternal. Persediaan menutupi variabilitas. Semakin kecil variabilitas semakin kecil pula kesia-siaan yang terjadi (Heizer dan Render, 2005). Dengan jumlah persediaan minimum yang dimiliki, PT. Nippon
Indosari
Corpindo
mampu
menciptakan
pengurangan
variabilitas dengan sedikit demi sedikit mengatasi masalah-masalah yang muncul seperti masalah keterlambatan kedatangan material, loss produksi (scrap), waktu set up dan masalah mesin, dan masalahmasalah kualitas. Berbagai perbaikan kecil yang terjadi di banyak proses dapat membawa perusahaan kepada peningkatan kualitas, penghematan biaya, dan peningkatan produktivitas.
3. Faktor Schedulling Sub departemen Production Planning and Inventory Control (PPIC) PT. Nippon Indosari Corpindo terdiri atas 2 bagian (section) yaitu bagian Production Planning dan bagian Inventory Control. Bagian
56
Production Planning bertugas untuk membuat jadwal produksi dengan memperhitungkan kebutuhan material harian yang akan digunakan untuk produksi. Jadwal produksi berdasarkan kepada permintaan (demand) aktual konsumen terhadap barang jadi (finished goods) dalam Order To Factory (OTF) H-2 (2 hari sebelum jatuh tempo). Bagian Inventory Control bertugas untuk memperhitungkan kebutuhan material bulanan dan penjadwalan untuk pengadaan bahan baku dari pemasok dengan tetap mempertahankan tingkat persediaan yang minimum. Penjadwalan pengadaan bahan baku berdasarkan kepada hasil peramalan (forecasting) 3 bulanan yang dibuat oleh departemen Sales & Marketing. Dalam penerapan sistem Just In Time, prinsip yang perlu diperhatikan dalam faktor schedulling adalah sebagai berikut. a. Jadwal terkomunikasikan kepada pemasok Master Production Schedulling (MPS) merupakan suatu pernyataan tentang produk akhir dari suatu industri manufakturing yang merencanakan untuk memproduksi output berkaitan dengan kuantitas dan periode waktu (Gaspersz, 1998). Master Production Schedulling (MPS) memerlukan lima input utama, yaitu (1) Data permintaan total, berkaitan dengan prakiraan penjualan dan pesanan-pesanan; (2) Status inventori, berkaitan dengan informasi tentang on hand inventory, stok yang dialokasikan untuk penggunaan tertentu, pesanan-pesanan produksi, dan pembelian yang dikeluarkan, serta rencana order; (3) Rencana produksi, untuk memberikan sekumpulan batasan terhadap MPS; (4) Data perencanaan, berkaitan dengan aturan-aturan tentang lot sizing yang harus digunakan, stok pengaman, dan waktu tunggu; (5) Informasi berupa kebutuhan kapasitas untuk mengimplementasikan MPS (Gaspersz, 1998). Daftar komponen-komponen yang diperlukan dalam membuat suatu produk tercantum di dalam Bills Of Materials (BOM) atau sering disebut sebagai formula. BOM menunjukkan secara detail baik komponen-komponen maupun bahan-bahan yang diperlukan untuk
57
setiap produk akhir dan setiap komponen. Kebutuhan bahan-bahan harus
disesuaikan
dengan
ketersediaan
persediaan
pengaman,
persediaan yang sedang diproduksi ataupun yang sedang dipesan. Semua hal tersebut dipadukan dalam bagian sistem yang disebut perencanaan kebutuhan bahan atau Material Requirement Planning (MRP), dimana dilakukan perhitungan rencana kebutuhan-kebutuhan bahan baku dan komponen yang diperlukan untuk memenuhi schedule produksi. Bagian Inventory Control membuat perencanaan kebutuhan bahan
baku
(Material
Requirement
Planning/MRP)
bulanan
berdasarkan Master Production Schedule atau digunakan istilah Order To Factory (OTF) yang diturunkan dari peramalan (forecasting) yang dibuat departemen Sales & Marketing. MRP mengembangkan pesananpesanan yang direncanakan untuk bahan baku, komponen-komponen yang diperlukan untuk memenuhi MPS. MRP menggunakan data persediaan dan Bills Of Material (BOM) sebagai input tambahan pada MPS. Perencanaan kebutuhan bahan baku biasanya dilakukan setiap pertengahan bulan antara tanggal 15-20 setiap bulannya dengan sebelumnya dilakukan pengecekan outstanding. Outstanding merupakan jumlah bahan baku yang belum tiba akhir bulan pembuatan MRP, kelebihan stock digudang apabila tidak digunakan untuk diproduksi saat penjualan mangalami penurunan. Perhitungan MRP memperhatikan keadaan stok (Bargaining On Hand/BOH), penggunaan per hari (usage/day), dan buffer stock (Delivery On Supply). Bargaining On Hand (BOH) merupakan jumlah stock yang ada termasuk dengan penambahan bahan baku yang datang pada hari pembuatan MRP. Sedangkan Delivery On Supply (buffer stock) merupakan pembagian dari BOH dengan usage/day. Dengan dibuatnya MRP, dapat diketahui kebutuhan bahan baku setiap bulan dan yang harus dipesan per hari. Setelah itu, Purchase Request (PR) dapat disusun untuk diserahkan kepada departemen Purchasing. Berdasarkan PR tersebut maka departemen Purchasing
58
membuat dan mengirimkan Purchase Order kepada pemasok mengenai jumlah pemesanan dan waktu pengiriman bahan baku. Komunikasi jadwal produksi ke pemasok berupa estimasi kebutuhan bahan baku untuk produksi dan disampaikan dalam bentuk Purchase Order (PO) bulanan tersebut. Jadwal pengiriman bahan baku dari pemasok direvisi maksimal 2 hari sebelum jadwal jatuh tempo (OTF H-2). Apabila terdapat pengurangan atau penambahan jumlah bahan baku serta tanggal kedatangan harus dikomunikasikan secara cepat kepada pemasok. Penjadwalan ulang seringkali mengakibatkan terjadinya deviasi antara forecasting dengan OTF H-2 yang terkadang mencapai 30% (dengan standar toleransi yang ditetapkan perusahaan sebesar 10-20%.
b. Jadwal campur merata (heijunka) Dalam penerapan sistem Just In Time, penjadwalan berbasis bulanan diubah menjadi berbasis harian yang merata, dan jenis produk yang diproduksi adalah lebih dari satu jenis dan dikenal dengan istilah penjadwalan campur merata. Menurut Gaspersz (1998), metode jadwal campur merata merupakan suatu prosedur yang dapat digunakan untuk menentukan minimum banyaknya unit yang diurutkan dalam suatu production run untuk jadwal produksi harian. Urutan produksi campur merata di PT. Nippon Indosari Corpindo dipengaruhi waktu yang diperlukan untuk memproduksi suatu item roti, kuantitas yang harus diproduksi, dan kapasitas mesin serta klasifikasi produk yaitu produk pareto dan produk non pareto. Produk pareto merupakan produk yang diutamakan untuk diproduksi karena memiliki tingkat perintaan yang tinggi. Produk non pareto merupakan produk yang tingkat permintaannya tidak terlalu tinggi dan dapat ditoleransi apabila tidak dapat dipenuhi. Pada Tabel 8 berikut dapat dilihat produk berdasarkan tingkat pareto.
59
Tabel 8. Finished Goods Pareto No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Item Roti Roti Tawar Spesial Roti Isi Coklat Roti Sobek Coklat Roti Tawar Kupas Boti Coklat Roti Sobek Coklat Keju Roti Sobek Coklat Sarikaya Roti Isi Keju Roti Isi Krim Mocca Roti Sobek Coklat Strawberry
Kode RTS ICK TOC RKU BCK TCC TCS IKJ SRM TST
Avarage Unit OTF day % Pack 66,176.00 28.11% Pcs 23,576.00 10.01% Pcs 15,704.00 6.67% Pack 14,340.00 6.09% Pcs 10,991.00 4.67% Pcs 9,651.00 4.10% Pcs 7,289.00 3.10% Pcs 6,513.00 2.77% Pcs 6,416.00 2.74% Pcs 6,315.00 2.68% Sumber : PPIC PT. NIC
Jadwal campur merata diterapkan dengan memproduksi jenis roti dengan urutan campuran disesuaikan dengan permintaan aktual finished goods yang harus dikirimkan ke konsumen. Dalam OTF ditentukan kebutuhan material jenis roti yang perlu diproduksi untuk memenuhi permintaan tersebut. Sebagai ilustrasi, pada pukul 15.00 WIB harus dikirimkan produk RTR, RKU, dan RTG maka pada produksi pukul 12.00 WIB memiliki urutan sesuai dengan permintaan tersebut yang campur merata (RTR, RKU, RTG, RTR, RKU, RTG, RTR) yang disesuaikan dengan kapasitas mesin, besarnya ukuran batch, dan jumlah produk yang akan diproduksi.
c. Pembekuan jadwal yang paling dekat dengan jatuh tempo Bagian Production Planning membuat jadwal produksi berdasarkan OTF H-2 (2 hari sebelum jatuh tempo) yang merupakan aktualisasi permintaan (demand) konsumen terhadap finished good. Pembuatan jadwal produksi tanpa berdasarkan hasil peramalan permintaan cukup baik untuk dilakukan. Menurut Imai (1997), sistem produksi di pabrik yang dibuat berdasarkan ramalan penjualan, memiliki beberapa kelemahan yaitu : i. Sangatlah sulit melakukan perkiraan terhadap permintaan konsumen secara tepat. Karena waktu tempuh produksi yang panjang, ramalan
60
penjualan perlu dilakukan jauh ke depan, namun rencana yang dibuat itu pun tak bisa diandalkan. ii. Jadwal produksi harus diubah-ubah setiap saat. Menanggapi perubahan informasi sangatlah sulit karena melibatkan perubahan rencana pada banyak proses. iii. Banyak pemborosan yang terjadi. Untuk menghindari kekurangan barang, maka cenderung memproduksi dalam batch atau lot berukuran besar. iv. Sebuah gudang diperlukan untuk menghindari kekurangan barang dalam proses, tentu saja menimbulkan biaya tambahan. Permintaan konsumen untuk pabrik di Cikarang diketahui berdasarkan permintaan dari Sales Office daerah Cikarang, Lampung, Bandung, dan Cirebon. Sales Office tersebut terdiri atas Depot, Reguler Outlet (RO), Distribution Channel (untuk Supermarket, Minimarket, Alfamart, Indomart), Agen, Stock Point, Institusi, dan sample QA. OTF H-2 dijadikan dasar untuk membuat MRP kebutuhan aktual produksi harian. Hasil perhitungan MRP dituangkan dalam Production Planning Schedule atau Order To Production (OTP) yang diserahkan kepada bagian Scalling untuk penimbangan dan penyiapan bahan serta kepada sub departemen Produksi untuk memperhitungkan kebutuhan sumber daya. Dengan ditandatanganinya OTF H-2 (2 hari sebelum jatuh tempo) menunjukkan jadwal tersebut dibekukan dan tidak terjadi perubahan lagi untuk digunakan dalam proses produksi. Order To Production (OTP) ditentukan untuk memenuhi permintaan konsumen yang harus dikirimkan sesuai jadwal pengiriman yang ditentukan. Sehingga sub departemen produksi dituntut untuk memenuhi target produksi item roti yang diminta sebelum jadwal yang sudah ditentukan yaitu pada pukul 02.00, 04.00, 09.00, 15.00, 20.00, 23.00 WIB setiap harinya. Contoh form Order To Production (OTP) dapat dilihat pada Lampiran 7. Setiap hasil MRP dimasukkan ke dalam program SAP yang sudah terintegrasi kepada semua departemen di PT.
61
Nippon Indosari Corpindo. Hal tersebut mempertegas jadwal produksi sudah dibekukan dan tidak akan terjadi perubahan.
4. Faktor Layout Tata letak (layout) merupakan susunan dari mesin-mesin dan peralatan serta semua komponen yang menunjang produksi dalam suatu pabrik. Semua fasilitas produksi baik mesin, pekerja, maupun fasilitasfasilitas lainnya harus disediakan pada tempatnya masing-masing agar dapat bekerja dengan efisien dan efektif. Dalam penerapan sistem Just In Time diperlukan penataan tata letak (layout) dengan memperhatikan elemenelemen sebagai berikut. a. Work cell untuk produk sejenis (product family). Sel kerja (work cell) merupakan pengaturan mesin dan pekerja yang berorientasi pada produk dalam fasilitas yang berorientasi proses. Dalam lingkungan manufaktur, teknologi kelompok (group technology) mengidentifikasi produk yang memiliki karakteristik sama untuk diproses dalam sel kerja tertentu (Heizer dan Render, 2005). Tata letak pabrik PT. Nippon Indosari Corpindo memiliki desain sel kerja (work cell) untuk memproduksi untuk produk yang sejenis (product family). Lantai pabrik plant roti tawar secara garis besar terdiri atas empat bagian (section) sel kerja yaitu (1) Mixing, yang terdiri atas mesin mixer dan ruang fermentasi awal, untuk membuat adonan sponge dan dough; (2) Make Up, yang terdiri atas mesin devider, rounder, OHP, moulder, dan panning, untuk menghasilkan adonan kalis yang berukuran sesuai dengan standar dan siap ditempatkan pada loyang; (3) Baking, yaitu oven dan mesin depanning, untuk melakukan memproses roti hingga matang (suhu 60-82,2oC); serta (4) Packing, mulai dari cooling conveyor, slicer, packer, metal detector, hingga kratting, sebagai proses akhir dan pengemasan produk (suhu 33±2oC). Gambar tata letak (layout) PT. Nippon Indosari Corpindo dapat dilihat pada Lampiran 3.
62
b. Peningkatan fleksibilitas perubahan/pergerakan mesin dan peralatan. Dalam sistem Just In Time, sel kerja dirancang untuk merespon perubahan volume atau desain produk. Setiap mesin dan peralatan dapat dirubah atau digerakkan sesuai dengan kebutuhan produksi. Namun fleksibilitas tersebut tidak terdapat di lantai pabrik PT. Nippon Indosari Corpindo, dimana produksi dilakukan secara kontinu dalam lini produksi masing-masing. Fleksibilitas perubahan mesin dan peralatan terdapat pada mesin packing untuk mengemas jenis roti kupas, namun bukan sistem yang terancang untuk menunjang produksi keseluruhan. Perubahan mesin pengemas ini dilakukan hanya pada saat terjadi jeda atau jarak antar produk. Roti kupas memiliki karakteristik yang berbeda dengan roti tawar, roti kupas harus mengalami waktu pendinginan selama 4 jam yang tentunya waktu menunggu tersebut lebih baik digunakan untuk memproduksi dan mengemas roti jenis lain. Waktu jeda produksi antar roti tersebut dimanfaatkan untuk mengemas roti kupas yang telah siap dikemas. Secara umum, sistem produksi di lantai pabrik tidak dapat menerapkan elemen peningkatan fleksibilitas perubahan/pergerakan mesin dan peralatan.
c. Jarak antar sel kerja yang pendek. Lot yang besar dan lini produksi yang panjang dengan mesin berfungsi tunggal perlu digantikan dengan sel kerja kecil yang fleksibel (smaller flexible cells). Tata letak dengan konsep teknologi kelompok (goup technology) mengupayakan agar jarak antar sel kerja tidak berjauhan. Menurut Liker (2006), membawa barang dalam proses (WIP) dalam jarak yang jauh, menciptakan angkutan yang tidak efisien, atau memindahkan material, komponen, atau barang jadi ke dalam atau ke luar gudang atau antar proses merupakan kegiatan yang tidak bernilai tambah dan merupakan suatu pemborosan. Peneliti menemukan terdapat kegiatan pemborosan akibat desain tata letak PT. Nippon Indosari Corpindo khususnya line 2 plant roti tawar.
63
Aktivitas membawa box adonan ke dalam ruang fermentasi yang letaknya di belakang mesin mixer mengakibatkan terjadinya aktivitas pergerakan bolak-balik. Setelah fermentasi selesai, maka box adonan tersebut dibawa ke mesin devider yang letaknya menjadi cukup jauh dari ruang fermentasi. Untuk memperbaiki tata letak mungkin bukan pekerjaan mudah, namun tetap harus diupayakan untuk menciptakan lini produksi yang kontinu tanpa terdapat gerakan bolak-balik yang merupakan pemborosan. Ruang fermentasi untuk seluruh line sebaiknya mengikuti pola line 1 yang telah berupaya tidak menciptakan gerakan bolak-balik tersebut. Desain sel kerja untuk keseluruhan lantai pabrik PT. Nippon Indosari Corpindo pada umumnya memiliki jarak antar sel kerja yang pendek, kecuali pada sel kerja mixing yang telah dijelaskan sebelumnya. Setiap barang dalam proses (WIP) tidak akan melalui perjalanan panjang yang merupakan pemborosan.
d. Tempat yang kecil untuk persediaaan WIP. Penggunaan ukuran lot
yang kecil menyebabkan tidak
diperlukannya tempat yang luas untuk persediaan Work In Process (WIP). Adonan yang telah difermentasikan dan menunggu untuk diproses di section make up merupakan persediaan WIP yang didiamkan dahulu dalam masa floor time 5 menit. Adonan berukuran kecil dimasukkan ke dalam loyang dan menjadi persediaan WIP untuk proses fermentasi kedua. Setelah proses fermentasi kedua, roti dalam loyang menjadi persediaan WIP menunggu dimasukkan ke dalam oven untuk melalui proses selanjutnya secara kontinu. Dalam setiap tahapan proses tersebut tidak diperlukan tempat persediaan WIP yang luas.
5. Faktor Quality Management Barang cacat dapat menimbulkan masalah besar dalam lingkungan Just In Time. Jika sejumlah unit produk jadi yang dihasilkan mengandung produk cacat, perusahaan tidak dapat mengirimkan sejumlah barang yang
64
diminta oleh konsumen dan perusahaan harus mengulang kembali proses produksi hanya untuk membuat pengganti produk yang cacat saja. Kondisi ini dapat menimbulkan penundaan dalam pengiriman barang kepada konsumen dan menimbulkan kekecewaan konsumen (Agustina dkk, 2007). Dalam faktor quality management diperlukan prinsip-prinsip sistem Just In Time sebagai berikut. a. Pengendalian mutu di setiap tahapan proses. Pengendalian mutu dilakukan mulai dari tingkat pemasok hingga produk dikemas dan siap dipasarkan. Pemasok dituntut untuk memberikan bahan baku dengan kualitas terbaik. Pengendalian mutu selanjutnya dilakukan saat material tiba di gudang pabrik dengan dilakukannya inspeksi terhadap material yang datang. Proses kedatangan bahan baku di PT. Nippon Indosari Corpindo tidak memerlukan birokrasi dan waktu yang lama serta aktivitas pemeriksaan pun cukup sederhana. Hal ini mendukung tindakan pengurangan aktivitas pemeriksaan yang merupakan aktivitas pemborosan. Setiap bahan baku yang datang hanya diperiksa surat jalan (No. PO dan jumlah barang), kemudian dibuat Receiving Slip sebagai tanda bukti sudah diterima. Aktivitas pemeriksaan kualitas pada bahan baku yang datang pada umumnya hanya dilakukan dengan memeriksa berat, suhu, bau, dan rasa. Dalam lini produksi, kualitas produk merupakan tanggung jawab operator yang terlibat langsung dalam pembuatan roti sehingga tidak dilakukan inspeksi secara khusus oleh departemen PDQA. Setiap pekerja dalam setiap sel kerja memisahkan bahkan membuang barang yang rusak atau cacat sehingga bagian selanjutnya tidak menerima barang yang rusak. Aktivitas pemeriksaan finished goods dilakukan dengan pengambilan sample saat produk masih berada di lini produksi berjalan atau yang sudah berada dalam krat. Pemeriksaan produk jadi (finished goods checking) merupakan pemeriksaan terhadap penyimpangan mutu fisik yaitu bentuk: tidak simetris, under proof (bentuk kurang dari standar), over proof (bentuk lebih dari standar); trimming (sisa dari pemotongan kulit roti); warna : gosong, pucat; etiket: kwik lock terlepas,
65
printing tidak tercetak, kemasan rusak; slice (potongan roti tawar): jumlah slice, slice terlipat; kotor; big hole (lubang besar pada roti); benda asing; serta caving (berbentuk huruf V ke dalam). Finished goods yang tidak dapat disimpan terlalu lama (masa kadaluarsa 5 hari) menyebabkan pemeriksaan kimia dan mikrobiologi sulit dan jarang dilakukan. Pemeriksaan laboratorium yang biasa dilakukan antara lain pemeriksaan organoleptik : aroma, rasa, tekstur dapat dilakukan setiap hari; pemeriksaan kimia : kadar air dilakukan 2 kali setahun; pemeriksaan mikrobiologi dilakukan 2 kali setahun; dan pemeriksaan campuran logam berat dilakukan optional hanya apabila diperlukan.
b. Penggunaan tools untuk mencegah kesalahan (poka-yoke). Poka yoke adalah alat anti kesalahan atau anti kebodohan yang membuat seorang operator hampir tidak mungkin membuat kesalahan. Setiap poka yoke memiliki bentuk standar masing-masing yang meringkas masalah yang diatasi, alarm darurat yang akan berbunyi, tindakan yang perlu diambil dalam keadaan darurat, metode dan frekuensi untuk memastikan metode anti kesalahan beroperasi secara benar, dan metode untuk melaksanakan pengecekan kualitas jika metode anti kesalahan macet (Liker, 2006). Alat anti kesalahan atau anti kebodohan tidak ditemukan di lantai pabrik PT. Nippon Indosari Corpindo. Material yang datang langsung masuk ke gudang setelah dilakukan pemeriksaan kualitas. Penimbangan dan penyiapan bahan baku hanya menggunakan alat bantu sendok sekop dan timbangan biasa. Sendok sekop bisa menjadi suatu poka yoke jika memiliki ukuran standar sehingga setiap penimbangan mendekati ukuran yang diinginkan, tanpa melebihi atau kurang dari standar tersebut. Pada lini produksi juga tidak ditemukan poka yoke yang dapat menghindarkan kesalahan. Pekerja melakukan pekerjaan tanpa ada alat yang membantu menghindarkan dari kesalahan bekerja.
66
Hal tersebut menujukkan elemen penggunaan alat pencegah kesalahan (poke yoke) belum diimplementasikan dengan baik.
c. Terdapat sinyal/lampu tanda apabila terjadi masalah (Andon). Jidoka juga sering disebut juga autonomation, peralatan dilengkapi dengan intelegensia manusia untuk menghentikan dirinya sendiri ketika ia memiliki masalah kualitas dalam proses. Mencegah masalah untuk dilanjutkan ke proses berikutnya jauh lebih efektif dan lebih murah daripada memeriksa dan memperbaiki masalah kualitas setelah terjadi. Ketika mesin berhenti, lampu yang biasanya bersamaan dengan bunyi alarm (disebut Andon), digunakan untuk memberikan sinyal tanda bahwa bantuan diperlukan untuk memecahkan masalah kualitas (Liker, 2006). Penggunaan lampu tanda (andon) di lantai pabrik PT. Nippon Indosari Corpindo terdapat pada mesin pembalik loyang (depanning), mesin pengemas (packer), dan pendeteksi logam (metal detector). Lampu tanda ini akan menyala disertai bunyi alarm apabila terjadi masalah. Pada mesin depanning sering terjadi masalah yaitu roti tidak terlepas dari loyang dengan baik. Lampu andon akan menyala dan meminta operator untuk melepas roti yang masih menempel di loyang secara manual sehingga lini produksi yang terhenti dapat berjalan kembali. Pada mesin packer, masalah yang sering terjadi adalah plastik pengemas (etiket) tidak mengembung oleh angin sehingga roti tidak dapat masuk ke dalam plastik tersebut. Selain itu, pada mesin metal detector, lampu tanda akan menyala beserta bunyi alarm jika terdapat kandungan logam dalam produk. Suatu masalah dapat diketahui dengan adanya lampu tanda menyala dan alarm berbunyi, namun belum dapat menghentikan lini produksi secara keseluruhan. Setiap masalah harus dengan sangat cepat diselesaikan dikarenakan lini produksi sebelumnya tetap berjalan dan menciptakan penumpukkan (bottleneck) di titik tersebut yang tidak jarang membuat roti rusak akibat saling bertabrakan.
67
d. Penggunaan Statistical Process Control. Statistical Process Control adalah sebuah teknik statistik yang digunakan secara luas untuk memastikan bahwa proses memenuhi standar. SPC merupakan sebuah proses yang digunakan untuk mengawasi standar, membuat pengukuran, dan mengambil tindakan perbaikan saat sebuah produk sedang diproduksi. Sample dari output yang dihasilkan diuji, jika berada dalam batas yang diperbolehkan, maka proses boleh dilanjutkan, jika jatuh di luar jangkauan tertentu maka proses dihentikan, dan biasanya penyebab akan diteliti dan dihilangkan (Heizer dan Render, 2005). Dalam pelaksanaan Total Quality Management (TQM), PT. Nippon Indosari Corpindo tidak sepenuhnya menggunakan tujuh alat TQM terutama Statistical Process Control yang direkomendasikan digunakan dalam sistem Just In Time. Alat TQM yang digunakan hanya berupa lembar pengecekan (check sheet), diagram sebar (scatter diagram), diagram alir (flow charts) dan untuk mengidentifikasikan masalah menggunakan histogram, sebuah distribusi yang menunjukkan frekuensi kejadian sebuah variabel. Setiap hasil identifikasi masalah disampaikan kepada departemen Produksi untuk dijadikan bahan perbaikan terus menerus (continuos improvement).
6. Faktor Preventive Maintenance Heizer dan Render (2004), mendeskripsikan bahwa pemeliharaan pencegahan (preventive maintenance) merupakan semua aktivitas yang dilakukan untuk menjaga peralatan dan mesin tetap bekerja dan untuk mencegah kerusakan. JIT membutuhkan preventive mantenance yang terjadwal dan adanya pemeliharaan rutin harian. Selain itu, diperlukan keterlibatan para pekerja dengan mampu mengoperasikan peralatan dan mesin dalam jalur produksi. Mereka juga diharapkan mampu untuk melakukan pemeliharaan dan perbaikan kecil alat-alat yang menjadi tanggung jawabnya.
68
Dalam menerapkan sistem Just In Time, prinsip yang perlu diperhatikan dalam faktor preventive maintenance antara lain : a. Pemeliharaan rutin harian. Sub departemen Teknik melakukan aktivitas maintenance yaitu cleaning (pembersihan dan pencucian), pelumasan oil and grease, dan preventive maintenance berupa perbaikan kecil untuk mencegah kerusakan. Petugas teknik melakukan pemeriksaan dan pemeliharaan mesin secara rutin terhadap mesin-mesin sebagai penunjang produksi sesuai dengan jadwal
preventive maintenance untuk setiap bagian
(section) produksi. Pemeliharaan rutin harian dilakukan dengan menggunakan alat bantu berupa checklist harian. Pemeliharaan rutin dilakukan dengan tetap mengusahakan mesin tetap berjalan selama 24 jam dalam sehari (zero down time). Aktivitas maintenance yang harus menghentikan mesin dilakukan di saat terdapat jarak dalam pergantian item roti (changeover) dengan waktu rata-rata 20-30 menit. Penggantian belt conveyor atau blade slicer tidak mungkin dilakukan dalam keadaan mesin berjalan. Menurut Liker (2006), seringkali hal yang terbaik untuk dilakukan adalah menghentikan mesin dan berhenti memproduksi. Hal ini dilakukan untuk menghindari produksi berlebih yang merupakan pemborosan utama. Walaupun demikian, pada lantai produksi PT. Nippon Indosari Corpindo tetap mengupayakan agar tidak terjadi penghentian produksi dengan tetap menjaga agar tidak terjadi kerusakan pada mesin.
b. Jadwal pemeliharaan mesin tersusun. Sub departemen Teknik memiliki jadwal maintenance yang sudah tersusun berdasarkan HACCP plan. Jadwal tersebut diperlukan agar setiap kegiatan maintenance dapat diketahui oleh para pekerja dan menjadi
standar
pemeliharaan,
mengenai
bagaimana
bagian
apa
yang
caranya,
dan
berapa
perlu
dilakukan
kali
frekuensi
pelaksanaannya.
69
Penjadwalan yang disusun dapat menghindarkan pula aktivitas maintenance yang duplo (mengulang) oleh pekerja di shift yang berlainan. Pada Tabel 9 dapat dilihat jadwal maintenance yang telah disusun untuk mendukung kinerja sub departemen Teknik. Tabel 9. Schedule Maintenance Berdasarkan HACCP Plan No Uraian Part Cara Frekuensi 1. Monitoring Pemakaian 1 x seminggu Oil & Food Grease 2. Preventive Maintenance All 1 x seminggu 3. Water meter, Strainer Cuci & sikat 1 x seminggu 4. Devider Belt Conveyor Cuci 1 x seminggu 5. Grease box Saringan, Kuras & Cuci. 1 x seminggu Selang, Ganti. 3 x sebulan Pipa Nozzle Cuci 1 x seminggu 6. Sand & Carbon Filter Backwash. 2 x seminggu Ganti. 1 x setahun Epoxi ulang. 1 x setahun 7. Kompressor Filter udara Semprot angin 1 x sehari Ganti Setelah 1500 jam 8. Mixer cream Mesin Semprot angin 1 x seminggu 9. Mixer Mesin Vacuum 1 x seminggu (Sumber : Teknik PT. NIC)
c. Terdapat keterlibatan pekerja dalam pemeliharaan peralatan dan mesin. Keterlibatan pekerja diperlukan dalam pemeliharaan seluruh peralatan dan mesin karena para pekerjalah yang setiap hari hampir berada dekat dengan mesin dan peralatan yang digunakan dalam produksi. Operator mesin harus bertanggungjawab penuh atas mesin yang dijalankan dengan mampu menjalankan mesin-mesin pada pusat kerja dan memiliki pengetahuan dasar mengenai struktur dan fungsi masing-masing mesin. Perawatan untuk pencegahan kerusakan haruslah diimplementasikan sejauh mungkin oleh pekerja di lapangan. Operator mesin harus dilatih untuk menangani kerusakan-kerusakan kecil dan dibekali catatan mengenai apa yang harus dilakukan untuk merawat suatu mesin, seberapa sering harus dirawat, dan kapan terakhir waktu dan frekuensi kerusakan.
70
Dalam penerapan sistem Just In Time, para operator mesin dan peralatan sebaiknya dilatih untuk mengatasi masalah-masalah yang sering terjadi, walaupun tanggung jawab utama tetap ditangan Teknik. Apabila operator atau pekerja diberi keleluasaan untuk mengatasi masalah-masalah yang terjadi maka sangat besar kemungkinan pekerja menghindarkan terjadinya kesalahan yang sama. Keterlibatan pekerja dalam pemeliharaan peralatan di PT. Nippon Indosari Corpindo dibatasi hanya untuk menjaga agar mesin tetap bersih dan berjalan. Apabila terjadi kerusakan baik kecil maupun kerusakan besar, pekerja diharuskan memanggil bantuan dari teknisi. Hal ini dilakukan sesuai dengan kesepakatan dengan sub departemen Teknik untuk mencegah kerusakan mesin akibat salah penanganan dan untuk menjaga keselamatan pekerja sendiri. Kebijakan tersebut menyebabkan waktu yang diperlukan untuk menghadapi kerusakan mesin menjadi bertambah lama, yang belum tentu ditangani langsung oleh teknisi. Selain itu, pekerja yang multifungsional belum sepenuhnya bisa diterapkan. Dengan demikian, elemen terdapat keterlibatan pekerja dalam pemeliharaan peralatan dan mesin belum diimplementasikan dengan baik di PT. Nippon Indosari Corpindo.
7. Faktor Employee Empowerment Pemberdayaan
pekerja
(employee
empowerment)
berarti
melibatkan pekerja pada setiap langkah proses produksi. Pemberdayaan pekerja dengan meluaskan tugas pekerja sehingga tanggung jawab dan kewewenangan tambahan dipindahkan sedapat mungkin pada tingkat terendah dalam organisasi (Heizer dan Render, 2005). Elemen-elemen dari faktor employee empowerment adalah sebagai berikut. a. Adanya pemberian kewewenangan kepada pekerja. Menurut Agustina, dkk (2007), dalam sistem Just In Time peran dari semua pihak sangat dibutuhkan baik dari manajer maupun dari pekerja atau pekerja yang bersangkutan. Pemberdayaan pekerja
71
sangat diperlukan untuk mencapai tujuan dari sistem ini yaitu peningkatan efisiensi dan produktivitas perusahaan. Pekerja memiliki peran yang penting dalam proses produksi sehingga memerlukan adanya kewenangan untuk mengambil keputusan-keputusan sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya. Dengan adanya keterlibatan pekerja, menimbulkan adanya perasaan memiliki dalam diri mereka sehingga mendorong mereka untuk bekerja dengan sebaik-baiknya guna mencapai tujuan perusahaan. Para pekerja PT. Nippon Indosari Corpindo belum sepenuhnya diberikan kewewenangan untuk memberikan pengetahuan, pendapat, dan terlibat dalam pemecahan masalah. Rapat atau breefing bersama antara pekerja dengan pihak manajemen yang lebih tinggi sangat jarang dilakukan. Pemecahan masalah oleh pihak manajemen tidak melibatkan pengetahuan dan pendapat para pekerja secara langsung. Apabila terjadi masalah seperti kerusakan mesin, para pekerja tidak dapat sepenuhnya menghentikan
proses
produksi
tanpa instruksi
dari
atasannya.
Penghentian mesin harus dikoordinasikan dengan atasannnya dan sub departemen Teknik terlebih dahulu sehingga memerlukan waktu yang relatif lama. Hal tersebut menggambarkan garis birokrasi yang kurang fleksibel dan menunjukkan bahwa elemen pemberian kewewenangan kepada para pekerja belum dilaksanakan dengan baik.
b. Terdapat pelatihan (training). Pelatihan yang diberikan kepada para pekerja pada umumnya adalah pelatihan GMP, instruksi kerja dan HACCP. Penerapan sistem Just In Time tidak disampaikan secara langsung dalam istilah Just In Time kepada para pekerja. Pekerja diberikan pelatihan tentang sistem produksi yang telah diterapkan sejak pabrik mulai beroperasi. Hal ini menyebabkan tidak semua pekerja mengetahui istilah Just In Time ketika peneliti memberikan pertanyaan mengenai hal tersebut. Istilah Just In Time hanya diketahui di tingkat manajemen. Walaupun demikian, para pekerja mengetahui bahwa sistem produksi yang diterapkan di
72
perusahaan merupakan sistem produksi yang ditujukan untuk memenuhi permintaan konsumen secara tepat waktu, sehingga pelaksanaan sistem Just In Time di PT. Nippon Indosari Corpindo dapat berjalan dengan baik. Para pekerja mampu mempraktekkan apa yang diberikan dalam pelatihan agar produksi tetap berjalan untuk memenuhi permintaan konsumen dengan jumlah yang tepat dan pada saat yang tepat serta mempertahankan kualitas baik dengan cara yang paling ekonomis dan efisien.
c. Terdapat pelatihan silang (cross training). Pelatihan silang (cross training) dilakukan dengan melibatkan seorang pekerja untuk melakukan pekerjaan yang berbeda dalam suatu organisasi. Pelatihan yang dilakukan oleh pekerja A untuk melakukan tugas pekerja B dan sebaliknya merupakan pelatihan silang agar pekerja dapat mempelajari kemampuan baru, lebih berkompetensi, menjaga motivasi, dan mampu menghilangkan kejenuhan bekerja Pelaksanaan produksi di lantai pabrik PT. Nippon Indosari Corpido terdiri atas beberapa bagian (section) dengan beberapa pekerja dalam satu section tersebut. Untuk mengurangi tingkat kejenuhan dilakukan perputaran (rotasi) pekerja dalam satu section tersebut yang secara tidak langsung merupakan pelatihan silang (cross training) antar pekerja. Menurut Heizer dan Render (2005), rotasi pekerjaan (job rotation) merupakan sebuah sistem dimana pekerja diperbolehkan untuk berpindah dari satu pekerjaan khusus ke pekerjaan yang lainnya. Setiap pekerja dalam setiap section akan melakukan pekerjaan secara bergantian yang menciptakan pelatihan silang (cross training). Cross training terjadi seperti pada section make up yang terdiri atas 5 orang pekerja dengan pekerjaan yang berbeda. Pekerjaan pada section ini antara lain mengoperasikan mesin devider (pembagi adonan menjadi berukuran kecil), menyiapkan dan mengoles loyang dengan baker fat, proses make up (pembentukan adonan untuk dimasukkan ke dalam loyang), memasukkan loyang dalam krat (kratting), dan mendorong krat
73
ke ruang fermentasi. Pekerja melakukan perkerjaan-pekerjaan tersebut secara bergantian setiap satu jam sekali.
d. Sedikit
klasifikasi pekerjaan dengan pengayaan pekerjaan (job
enrichment). Pengayaan pekerjaan (job enrichment) adalah sebuah metode yang memberikan pekerja tanggung jawab lebih yang meliputi perencanaan dan pengendalian yang diperlukan dalam penyelesaian pekerjaan (Heizer dan Render, 2005). Pelaksanaan pengayaan pekerjaan (job enrichment) di PT. Nippon Indosari Corpindo belum dilakukan dengan baik. Penambahan tugas yang berlainan jenis berupa perencanaan (seperti partisipasi dalam tim gugus mutu) dan pengendalian (seperti melakukan tugas-tugas pengujian) belum dilakukan. Hal tersebut menunjukkan elemen sedikit klasifikasi pekerjaan dengan pengayaan pekerjaan (job enrichment) belum diimplementasikan dengan baik.
C. Kinerja Perusahaan dengan Penerapan Sistem Just In Time Sistem Just In Time bertujuan untuk mengurangi dan bahkan menghapuskan segala aktivitas yang tidak memberikan nilai tambah pada produk yang dihasilkan. Aktivitas-aktivitas yang tidak memberikan nilai tambah tersebut merupakan pemborosan seperti penumpukan persediaan, penanganan bahan, penundaan-penundaan, masalah mutu dan produk-produk yang ditolak, lead time (tenggang waktu produksi), dan set up time (waktu penyetelan) yang terlalu lama. Menurut Gaspersz (1998), sasaran yang ingin dicapai dari sistem produksi Just In Time adalah (1) reduksi scrap dan rework, (2) meningkatkan kualitas proses industri (orientasi zero defect), (3) meningkatkan jumlah pemasok yang ikut Just In Time, (4) mengurangi inventory (orientasi zero inventory), (5) reduksi penggunaan ruangan pabrik, (6) linearitas output pabrik (berproduksi pada tingkat konstan selama waktu tertentu), dan (7) meningkatkan produktivitas.
74
Sasaran sistem Just In Time tersebut menjadi dasar untuk mengetahui pencapaian kinerja dari penerapan sistem Just In Time. Tujuh sasaran tersebut direduksi menjadi tiga sasaran yang relevan dengan kinerja sistem Just In Time di PT. Nippon Indosari Corpindo. Reduksi scrap dan rework serta meningkatkan kualitas proses industri (orientasi zero defect) berfokus kepada pencapaian kinerja kualitas; meningkatkan jumlah pemasok yang ikut Just In Time tidak relevan dikarenakan belum adanya upaya menuju hal tersebut; mengurangi inventory (orientasi zero inventory) menjadi dasar dalam pengukuran tingkat persediaan untuk selalu berada dalam keadaan minimum; reduksi penggunaan ruangan pabrik tidak relevan dengan tidak adanya data mengenai perubahan ruangan pabrik plant roti tawar; linearitas output pabrik (berproduksi pada tingkat konstan selama waktu tertentu) menjadi tidak relevan ketika Just In Time menuntut pabrik untuk berproduksi dalam jumlah yang
sesuai
mengikuti
permintaan
konsumen;
serta
meningkatkan
produktivitas dapat digunakan untuk mengetahui pencapaian produktivitas PT. Nippon Indosari Corpindo. Dengan demikian, kinerja sistem Just In Time di PT. Nippon Indosari Corpindo diukur berdasarkan tiga aspek yaitu kinerja kualitas, tingkat persediaan, dan produktivitas sebagai berikut : 1. Kinerja Kualitas Pencapaian kinerja kualitas tercermin dalam upaya mereduksi barang sisa yang terbuang (scrap), barang yang diproses kembali (rework), dan barang rusak (reject) dengan berorientasi kepada zero defect. Menurut Heizer dan Render (2005), peningkatan kualitas membantu perusahaan meningkatkan penjualan dan mengurangi biaya, yang keduanya akan meningkatkan keuntungan. Peningkatan penjualan sering terjadi saat perusahaan
mempercepat
respons,
merendahkan
harga
jual,
dan
memperbaiki reputasi produk yang berkualitas. Selain itu, kualitas yang diperbaiki menyebabkan biaya turun karena perusahaan meningkatkan produktivitas, menurunkan rework, bahan yang terbuang (scrap), dan biaya garansi. Kinerja kualitas dapat diukur berdasarkan kepuasan pelanggan seperti dengan pengumpulan informasi langsung atau tidak langsung
75
kepada pelanggan tentang mutu produk, jumlah keluhan dan pujian yang diterima. Namun pengukuran kinerja kualitas yang paling umum digunakan adalah dengan menghitung presentase unit produk cacat dibandingkan dengan total produk yang dihasilkan ataupun sebaliknya. Kinerja kualitas = Jumlah produk yang rusak x 100% (Ideal = 0 %) Total produk dihasilkan Pada lini produksi PT. Nippon Indosari Corpindo, seluruh jumlah produk yang rusak dan tidak masuk standar (reject) serta barang sisa yang terbuang (scrap) diakumulasikan menjadi satu dan setelah dibandingkan dengan total produk yang dihasilkan (Product Output Control/POC), maka dihasilkan nilai loss produksi untuk setiap item roti yang diproduksi. Presentase loss produksi untuk produk pareto disajikan pada Tabel 10. Data lengkap mengenai loss produksi harian produk pareto dapat dilihat pada Lampiran 8. Tabel 10. Presentase Loss Produksi untuk Produk Pareto (Januari-Februari 2008) Loss Produksi POC Januari Februari No. Item Roti Kode Rata-rata Standar Standar RataRata(pcs/hari) Deviasi Deviasi Rata Rata (σ) (σ) 1 Roti Tawar Spesial RTS 67508.55 3.34% 1.16% 4.42% 3.60% 2 Roti Isi Coklat ICK 23566.63 4.35% 2.02% 4.17% 2.64% 3 Roti Sobek Coklat TOC 16112.03 5.63% 2.55% 6.83% 4.58% 4 Roti Tawar Kupas RKU 14004.48 3.55% 3.06% 7.25% 12.51% (Sumber : PPIC PT. NIC, diolah) Loss produksi rata-rata untuk roti tawar spesial pada bulan Januari 2008 menunjukkan nilai sebesar 3,34% dengan standar deviasi sebesar 1,16% dari output (POC) rata-rata sebesar 67508,55 pcs/hari. Standar deviasi yang diperoleh merupakan selisih simpangan atau deviasi dari setiap nilai tehadap nilai rata-rata hitung. Jumlah loss produksi rata-rata ini mengalami peningkatan pada bulan Februari 2008 menjadi 4,42% dengan standar deviasi 3,60%. Pada produksi roti isi coklat bulan Januari 2008 diketahui bahwa loss produksi rata-rata sebesar 4.35% (σ = 2,02%) dari output rata-rata sebesar 23566,63 pcs/hari dan mengalami penurunan pada bulan Februari 2008 dengan nilai sebesar 4,17% (σ = 2,64%). Produksi
76
roti sobek coklat bulan Januari 2008 memiliki loss produksi rata-rata sebesar 5,63% (σ = 2,55%) dari output rata-rata sebesar 16112,03 pcs/hari dan meningkat pada bulan Februari 2008 dengan loss produksi rata-rata sebesar 6,83% (σ = 4,58%). Selain itu, produksi rata-rata roti tawar kupas bulan Januari 2008 memiliki loss produksi rata-rata sebesar 4,51% (σ = 9,04%) dari output rata-rata sebesar 14004,48 pcs/hari dengan adanya peningkatan pada bulan Februari 2008 menjadi 7,25% (σ = 12,51%). Peningkatan loss produksi yang terjadi secara umum menunjukkan upaya untuk meminimumkan loss produksi hingga mencapai nilai serendah mungkin atau berorientasi zero defect (0%) belum terlaksana dengan baik. Kehilangan dalam proses produksi (loss production) merupakan masalah
yang
tidak
bisa dihindari.
Walaupun
demikian,
untuk
menciptakan peningkatan berkelanjutan, sumber-sumber loss production harus diperhatikan dan diperbaiki agar tidak terus menerus menghasilkan kerusakan produk. Peneliti menemukan masih terdapat sumber loss produksi pada lini produksi roti tawar yang menciptakan scrap dan reject roti seperti pada mesin rounder, mesin depanning, dan mesin packer. Pada mesin rounder, terdapat jumlah scrap yang cukup banyak yang disebabkan oleh bahan adonan yang terus menerus menempel pada permukaan rounder. Hal ini bisa diatasi misalnya dengan selalu memberikan pelumas seperti minyak goreng pada permukaan rounder agar adonan roti yang menempel tidak terlalu banyak. Pada mesin depanning, produk yang tidak terlepas dari loyang dan terlambat ditangani operator akan menjadi rusak. Pada mesin packer sering terdapat produk yang terpotong oleh mesin pembentuk kemasan. Pengurangan masalah-masalah secara berkelanjutan diharapkan dapat mengurangi jumlah loss produksi untuk peningkatan kinerja kualitas. 2. Tingkat Persediaan. Pengukuran tingkat persediaan dapat dilakukan berdasarkan pada perbandingan jumlah bahan baku, barang dalam proses, dan produk akhir dengan periode sebelumnya. Berikut ini disajikan grafik tingkat persediaan untuk bahan baku yang termasuk ke dalam kelas A antara lain tepung terigu
77
CKE, Palmia Shortening/Maestro Baker Fat, gula pasir, dan Filler coklat DC2624F untuk periode Januari-Maret 2008. Tingkat Persediaan Tepung Terigu CKE (Januari - Maret 2008) 110,000.00 100,000.00 90,000.00
Total Persediaan (Kg)
80,000.00 70,000.00 60,000.00
Tepung Terigu CKE Buffer Stock
50,000.00 40,000.00 30,000.00 20,000.00 10,000.00 0.00 Jan
Feb
Mar Bulan
Gambar 10. Grafik Tingkat Persediaan Tepung Terigu CKE
Tingkat persediaan tepung terigu CKE pada periode Januari-Maret 2008 berfluktuasi dengan mengikuti pola yang acak (random) (Gambar 10). Tingkat persediaan terendah (minimum) pada periode tersebut sebesar 38.430 kg dan maksimum sebesar 100.580 kg. Rata-rata persediaan tepung terigu CKE untuk periode tersebut adalah 70.560 kg dengan standar deviasi senilai 13685 kg. Tingkat persediaan tepung terigu CKE memiliki buffer stock sebanyak ± 64946,3 kg (2 hari pengunaan). Tingkat persediaan yang terus berfluktuasi secara acak dengan standar deviasi (selisih simpangan setiap data dari nilai rata-rata) yang tinggi menunjukkan upaya untuk meminimumkan tingkat persediaan tepung terigu CKE belum maksimal. Palmia Shortening dan Maestro Baker Fat digunakan bergantian sebagai barang substitusi, sehingga tingkat persediaannya untuk suatu periode merupakan jumlah kedua persediaan tersebut. Persediaan Palmia Shortening dan Maestro Baker Fat pada periode Januari-Maret 2008, memiliki buffer stock sebanyak ± 4406.28 kg (3-4 hari dengan penggunaan. Tingkat persediaan terendah yaitu 1.350 kg dan tingkat persediaan tertinggi
78
yaitu mencapai 10.500 kg. Rata-rata tingkat persediaan Palmia Shortening dan Maestro Baker Fat sebesar 5.404 kg dengan standar deviasi senilai 1.827 kg. Tingkat persediaan Palmia Shortening dan Maestro Baker Fat memiliki kecenderungan (trend) naik.
Tingkat Persediaan Palmia Shortening/Maestro Baker Fat (Januari - Maret 2008) 12,000.00 11,000.00 10,000.00
Tingkat Persediaan (Kg)
9,000.00 8,000.00 7,000.00 6,000.00
Palmia Shortening / Maestro Baker Fat
5,000.00
Buffer Stock
4,000.00 3,000.00 2,000.00 1,000.00 0.00 Jan
Feb
Mar Bulan
Gambar 11. Grafik Tingkat Persediaan Palmia Shortening/Maestro Baker Fat Tingkat Persediaan Gula Pasir (Januari - Maret 2008) 23,000.00 22,000.00 21,000.00 20,000.00 19,000.00 18,000.00 17,000.00 16,000.00 15,000.00 14,000.00
Kg
13,000.00 12,000.00
Gula Pasir
11,000.00
Buffer Stock
10,000.00 9,000.00 8,000.00 7,000.00 6,000.00 5,000.00 4,000.00 3,000.00 2,000.00 1,000.00 0.00 Jan
Fe
Mar Bulan
Gambar 12. Grafik Tingkat Persediaan Gula Pasir
79
Tingkat persediaan gula pasir juga memiliki kecenderungan (trend) yang naik dengan model trend kuadratik (Gambar 12). Tingkat persediaan terendah mencapai 2.021,9 kg, tertinggi mencapai 21.435,1 kg, rata-rata sebesar 9.864 kg, dan standar deviasi senilai 3.678 kg. Buffer stock gula pasir sebesar ± 6490,5 kg (2 hari penggunaan). Tingkat persediaan filler coklat berfluktuasi mengikuti pola acak (random) (Gambar 13). Dengan tingkat penggunaan rata-rata harian ± 1.700 kg/hari dan tingkat buffer stock sebesar ± 5082,18 kg (3-4 hari penggunaan), persediaan filler coklat DC 3624 F memiliki tingkat persediaan terendah yaitu 2.950 kg dan tertinggi mencapai 11.649 kg. Nilai rata-rata tingkat persediaan filler coklat 6.913 kg dan standar deviasi sebesar 2.187 kg. Tingkat Persediaan Filler Coklat DC 3624 F (Januari - Maret 2008) 13,000.00 12,000.00 11,000.00 10,000.00
Tingkat Persediaan (Kg)
9,000.00 8,000.00 7,000.00
Filler Coklat DC 3624 F Buffer Stock
6,000.00 5,000.00 4,000.00 3,000.00 2,000.00 1,000.00 0.00 Jan
Feb
Mar Bulan
Gambar 13. Grafik Tingkat Persediaan Filler Coklat DC 3624 F
Tingkat persediaan yang berfluktuasi dari setiap bahan baku menunjukkan pencapaian kinerja tingkat persediaan untuk selalu berada dalam keadaan minimum belum sepenuhnya tercapai. Kondisi ideal yang diharapkan adalah tingkat persediaan selalu berada dalam tingkat buffer stock yang ditetapkan (sebagai tingkat persediaan minimum). Sebaiknya perusahaan mulai memperhatikan kinerja tingkat persediaan, sehingga dengan tingkat persediaan minimum yang berorientasi kepada zero
80
inventory dapat menjalankan prinsip Just In Time dengan baik dan mampu mengeliminasi segala bentuk pemborosan. Persediaan dengan tingkat buffer stock yang tinggi, namun tidak pernah terjadi kekurangan, dapat mulai diupayakan untuk diturunkan hingga mendekati tingkat terendah agar orientasi zero inventory dapat dilaksanakan.
3. Produktivitas Produktivitas (productivity) adalah perbandingan antara output (barang dan jasa) dibagi dengan satu atau lebih input (sumber daya, seperti tenaga kerja dan modal) (Heizer dan Render, 2005). Produktivitas dapat dibedakan atas dua jenis, yaitu produktivitas parsial dan produktivitas total. Penggunaan hanya satu sumber daya sebagai input untuk mengukur produktivitas disebut produktivitas parsial, sedangkan produktivitas total memasukkan semua input (tenaga kerja, material, energi, modal) untuk mengukur produktivitas. Pengukuran produktivitas dilakukan oleh peneliti secara parsial yaitu
produktivitas
tenaga
kerja.
Produksi
yang
tinggi
dapat
mencerminkan bahwa lebih banyak orang yang bekerja dan tingkat ketenagakerjaan tinggi (tingkat pengangguran rendah), tetapi belum tentu mencerminkan tingginya produktivitas. Pekerja merupakan input yang paling penting bagi perusahaan, sehingga tingkat produktivitas tenaga kerja sangat menentukan keberhasilan perusahaan. Pengukuran produktivitas tenaga kerja dapat dilakukan dengan beragam cara antara lain perbandingan total produk dengan jumlah jam kerja, perbandingan total produk dengan jumlah pekerja yang terlibat dalam produksi, atau kombinasi keduanya yaitu perbandingan total produk yang dihasilkan dengan jumlah pekerja dikalikan dengan jam kerja yang diperlukan. Produktivitas tenaga kerja = output yang dihasilkan jumlah pekerja x jam kerja
Tabel 11 menunjukkan jumlah pekerja yang terlibat dalam lini produksi Roti Tawar.
81
Tabel 11. Man Power Produksi Roti Tawar Section Mixer Make up
Oven Packer
Job Description
People
Line 1 Line 2 Mixing 3 orang 3 orang Devider 1 orang 1 orang Make up 1 orang 1 orang Racking 1 orang 1 orang Dorong dan Resting 2 orang 2 orang Baking 7 orang 5 orang Packing 4 orang 7 orang Total 39 orang Sumber : Spv Produksi PT. NIC
Dengan diketahuinya jumlah pekerja yang terlibat dalam proses produksi, serta jumlah jam kerja yaitu 8 jam per hari dengan 3 shift kerja maka produktivitas tenaga kerja pada masing-masing lini adalah sebagai berikut : Tabel 12. Produktivitas Tenaga Kerja Plant Roti Tawar (Januari-Maret 2008) Kapasitas Produktivitas Tenaga Kerja Output (Pcs/Orang.Jam) No. Bulan Maksimum Potensi Standar Deviasi Rata-rata (Pcs/hari) Maksimum (σ) 1 Januari 10.121 98.608 110784 2 Februari 12.530 118.359 102.676 3 Maret 12.941 103.462 (Sumber : PT. NIC, diolah)
Plant roti tawar memiliki kapasitas untuk menghasilkan output secara maksimum sebanyak 110784 pcs/hari atau 4616 pcs/jam sehingga dapat diketahui potensi produktivitas maksimum plant roti tawar sebesar 118,359 pcs/orang.jam. Output (POC) rata-rata yang dihasilkan sebesar 92297,6 pcs/hari pada bulan Januari 2008, sebesar 96105 pcs/hari pada bulan Februari 2008 dan sebesar 96840,8 pcs/hari pada bulan Maret 2008. Dengan output rata-rata tersebut maka dihasilkan produktivitas tenaga kerja rata-rata untuk plant roti tawar sebesar 98,608 pcs/orang.jam (σ = 10,121) untuk bulan Januari 2008, sebesar 102,676 pcs/orang.jam (σ = 12,530) untuk bulan Februari 2008 dan sebesar 103,462 pcs/orang.jam (σ = 12,941) untuk bulan Maret 2008. Produktivitas tenaga kerja plant roti tawar tersebut
82
menunjukkan nilai yang masih dibawah potensi maksimum, namun mengalami peningkatan setiap bulannya. Hal tersebut menunjukkan peningkatan produktivitas tenaga kerja terus dilakukan untuk mencapai produktivitas setinggi mungkin dalam menghasilkan output yang optimum. Meningkatkan
produktivitas
berarti
meningkatkan
efisiensi
(mengerjakan pekerjaan dengan baik dengan sumber daya dan waste yang minimum).
Peningkatan
produktivitas
seringkali
dilakukan
dengan
menyibukkan para pekerja untuk membuat produk secepat mungkin. Namun, bekerja lebih cepat untuk mendapatkan sebanyak mungkin hasil dari para pekerja merupakan bentuk lain dari pemborosan dan akan memperkerjakan lebih banyak tenaga kerja secara keseluruhan (inefisiensi). Peningkatan produktivitas lebih baik dilakukan dengan meningkatkan output yang disertai dengan penggunaan sumber daya serta menghasilkan pemborosan (waste) yang minimum. Penerapan sistem Just In Time di PT. Nippon Indosari Corpindo ditujukan untuk memberikan manfaat yang terukur dari kinerja kualitas, tingkat persediaan, dan produktivitas. Walaupun terjadi peningkatan produktivitas tenaga kerja di plant roti tawar, kinerja kualitas secara umum mengalami peningkatan dan tingkat persediaan sangat berfluktuasi yang menunjukkan pencapaian kinerja sistem Just In Time yang diterapkan oleh perusahaan belum optimal. Peningkatan kinerja sistem Just In Time dapat dilakukan dengan memperhatikan secara lebih ketat implementasi elemenelemen sistem tersebut terutama elemen yang paling mempengaruhi sistem Just In Time.
D. Faktor Penentu Kinerja Sistem Just In Time Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja sistem Just In Time yang diterapkan oleh PT. Nippon Indosari Corpindo tidak sepenuhnya sesuai dengan teori. Dalam pembahasan mengenai penerapan sistem Just In Time di PT. Nippon Indosari Corpindo, diketahui bahwa terdapat beberapa elemen dari beberapa faktor yang tidak relevan dengan keadaan sebenarnya, sehingga tidak diikutsertakan dalam penyusunan hubungan keterkaitan kerangka ANP.
83
Elemen-elemen yang tidak diterapkan di PT. Nippon Indosari Corpindo antara lain : 1. elemen terdapatnya dukungan untuk peningkatan Just In Time pada pemasok dalam faktor supplier; 2. elemen peningkatan fleksibilitas perubahan/pergerakan peralatan dalam faktor layout; 3. elemen penggunaan tools untuk mencegah kesalahan (poka-yoke) dan penggunaan Statistical Process Control dalam faktor quality management; 4. elemen terdapatnya keterlibatan pekerja dalam pemeliharaan seluruh peralatan dan mesin pada faktor preventive maintenance; serta 5. elemen adanya pemberian kewewenangan kepada pekerja (empowerment) dan sedikit klasifikasi pekerjaan dengan pengayaan pekerjaan (job enrichment) pada faktor employee empowerment. Kuesioner berupa pertanyaan untuk menentukan pendapat dengan perbandingan berpasangan diberikan kepada tujuh (7) orang responden ahli yang berperan penting dalam pelaksanaan produksi PT. Nippon Indosari Corpindo serta berkaitan erat dengan sistem Just In Time di perusahaan. Responden tersebut antara lain Manager SCM, Manager PDQA, Manager HRD&GA, Supervisor PPIC, Supervisor Produksi, Supervisor Teknik dan Supervisor QA. Penilaian atau pendapat dari ketujuh responden digabungkan dengan menggunakan rumus rata-rata geometrik, yang hasilnya merupakan input dari software Superdecision 1.6.0 yang digunakan sebagai alat bantu analisis ANP. Pada Gambar 14 dapat dilihat salah satu tampilan input perbandingan berpasangan Superdecision 1.6.0. Dengan diinputkannya pendapat gabungan dalam perbandingan berpasangan menggunakan software Superdecision 1.6.0 maka dihasilkan output hasil sintesis yang disajikan pada Gambar 15 dan 16.
84
Gambar 14. Tampilan Input Perbandingan Berpasangan Superdecision 1.6.0
Selain itu, pada Gambar 17 dapat dilihat gambaran bobot setiap faktor dan elemen serta pengaruh antar elemen yang dominan, baik pengaruh elemen dari faktor itu sendiri (looping) maupun pengaruh elemen dari faktor lainnya.
Gambar 15. Hasil Sintesis Faktor Penentu Kinerja Sistem Just In Time
85
Gambar 16. Prioritas Faktor dan Elemen Sistem Just In Time
86
87 Gambar 17. Bobot Faktor dan Elemen serta Pengaruh Antar Elemen yang DOminan
Tabel 13 menunjukkan bobot dan peringkat faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan sistem Just In Time di PT. Nippon Indosari Corpindo. Bobot yang didapatkan merupakan hasil dari limiting supermatrix yang dinormalisasi terhadap faktor (cluster) masing-masing sehingga jumlah setiap kolom untuk setiap faktor adalah sama dengan satu (stokastik).
Tabel 13. Tabel hasil perhitungan peringkat faktor penentu kinerja Just In Time Faktor
Bobot
Peringkat
1. Supplier
0.14259
4
2. Inventory
0.09411
5
3. Schedulling
0.27590
1
4. Layout
0.17055
3
5. Quality Management
0.04534
7
6. Preventive Maintenance
0.05439
6
7. Employee Empowerment
0.21713
2
Dari hasil sintesis ANP dapat diketahui peringkat faktor-faktor yang memberikan pengaruh terhadap pencapaian kinerja sistem Just In Time yang diterapkan oleh PT. Nippon Indosari Corpindo. Faktor Schedulling memberikan pengaruh terhadap kinerja sistem Just In Time pada peringkat pertama dengan bobot 0.27590, kemudian diikuti oleh faktor Employee Empowerment dengan bobot 0.21713, faktor Layout dengan bobot 0.17055, faktor Supplier dengan bobot 0.14259, faktor Inventory dengan bobot 0.09411, faktor Preventive Maintenance dengan bobot 0.05439, dan peringkat terakhir adalah faktor Quality Management dengan bobot 0.04534. 1. Faktor Schedulling Suatu rencana yang lebih rinci yang menguraikan rencana agregat sehingga bersifat operasional dalam kegiatan produksi disebut Jadwal Induk
Produksi
(Master
Production
Schedule).
MPS
bertujuan
menentukan kebutuhan untuk semua item untuk proses produksi dalam periode waktu yang lebih singkat (Bills Of Materials), menetapkan batas
88
akhir penyelesaian (due dates) order produksi untuk dikirimkan ke konsumen dan memberikan gambaran kebutuhan sumber daya yang lebih rinci (Machfud, 1999). Dalam faktor schedulling, terdapat elemen-elemen yang diperingkatkan dalam hubungannya dengan peningkatan kinerja sistem Just In Time. Bobot dan peringkat masing-masing elemen tersebut dapat dilihat pada Tabel 14 dibawah ini.
Tabel 14. Tabel hasil perhitungan peringkat elemen faktor Schedulling Faktor
Bobot
Peringkat
1. Jadwal terkomunikasikan ke pemasok
0.28219
2
2. Jadwal campur merata
0.50517
1
3. Pembekuan jadwal jatuh tempo
0.21264
3
a. Jadwal campur merata Jadwal campur merata menjadi peringkat pertama (bobot 0.50517) dalam faktor Schedulling untuk mendukung penerapan sistem Just In Time. Pelaksanaan produksi campur merata di PT. Nippon Indosari Corpindo mempertimbangkan waktu yang diperlukan untuk produksi, kuantitas roti yang harus diproduksi, dan kapasitas mesin yang tersedia. Urutan produksi dalam jadwal campur merata mempertimbangkan jenis produk berdasarkan data permintaan yang lalu (history), serta klasifikasi produk berdasarkan tingkat permintaan yaitu produk pareto dan produk non pareto. Dalam sistem Just In Time, permintaan total pada setiap bulan merupakan rencana produksi bulanan yang dikonversi menjadi rencana produksi harian dengan tingkat produksi yang merata sepanjang bulan itu. Perubahan tingkat produksi harian setiap bulannya dapat dicapai dengan cara menyesuaikan kapasitas untuk memenuhi permintaan total pada bulan itu. Stabilisasi produksi mampu menyesuaikan sumbersumber
daya
dengan
kebutuhannya
dan
efisiensi
dapat
dimaksimumkan.
89
Berdasarkan bobot yang dihasilkan pada supermatriks terbobot (weight supermatrix), dapat diketahui bahwa elemen jadwal campur merata (peringkat pertama pada faktor schedulling) memiliki keterkaitan dengan elemen lain. Elemen tersebut antara lain ukuran lot yang kecil (bobot pengaruh 0.05744) dan waktu set up yang singkat (bobot pengaruh 0.17233) pada faktor inventory; elemen work cell untuk produk sejenis (bobot pengaruh 0.10995) pada faktor layout; pemeliharaan rutin harian (bobot pengaruh 0.27604) pada faktor preventive maintenance; serta eleman pelatihan (bobot pengaruh 0.09493), dan pelatihan silang (bobot pengaruh 0.09493) pada faktor employee empowerment. Pengaruh terbesar dari setiap elemen tersebut digambarkan pada Gambar 17. Untuk mewujudkan penjadwalan produksi berbasis harian, ukuran lot produksi harus konstan dalam kuantitas yang lebih kecil, meningkatkan frekuensi kebutuhan bahan baku dalam kuantitas yang sedikit, waktu set up untuk changeover (pergantian produksi dari satu item ke item lain) yang lebih cepat, dan meningkatkan fleksibilitas. Selain itu, untuk menjaga produksi yang konstan diperlukan pemeliharaan rutin harian untuk mencegah mesin berhenti akibat kerusakan (machine breakdown). Untuk melaksanakan produksi campur merata yang memproduksi bermacam produk dalam lini produksi diperlukan pelatihan dan pelatihan silang agar para pekerja mengerti dan tanggap terutama pada saat changeover terjadi.
b. Jadwal terkomunikasikan kepada pemasok Jadwal terkomunikasikan kepada pemasok (peringkat kedua, bobot 0.28219) dilakukan dengan mengkomunikasikan estimasi kebutuhan bahan baku untuk produksi dan disampaikan dalam bentuk Purchase Order (PO) bulanan. Sebelumnya dilakukan pembuatan MRP yang berdasar kepada MPS atau dalam istilah Order To Factory (OTF) yang diturunkan dari hasil peramalan (forecasting) departemen Sales & Marketing.
90
Kebutuhan bahan baku setiap bulan dan yang harus dipesan per hari kepada pemasok dapat diketahui dari MRP yang dibuat. MRP memperhitungkan lead time, buffer stock yang menjadi dasar dalam pembuatan Purchase Request (PR) untuk diserahkan kepada departemen Purchasing. Berdasarkan PR tersebut maka departemen Purchasing membuat dan mengirimkan Purchase Order (PO) kepada pemasok mengenai jumlah pemesanan dan waktu pengiriman bahan baku. Pengkomunikasian jadwal produksi kepada pemasok dalam bentuk pesanan material yang diperlukan untuk proses produksi sangat diperlukan agar sistem Just In Time terlaksana dengan baik. Setiap pemesanan
dalam
bentuk
Purchase
Order
kepada
pemasok
memberikan kepastian kepada pemasok untuk mempersiapkan dan memproduksi pesanan yang harus dikirimkan tepat waktu sesuai lead time, lot size, dan frekuensi pengiriman yang telah disepakati kedua belah pihak. Semakin lancar jadwal terkomunikasikan kepada pemasok, maka semakin lancar pula kedatangan material yang diperlukan untuk menciptkan kelancaran produksi dalam memenuhi permintaan konsumen.
c. Pembekuan jadwal yang paling dekat dengan jatuh tempo Peringkat ketiga pada faktor Schedulling adalah pembekuan jadwal yang paling dekat dengan jatuh tempo (bobot 0.21264). Order To Factory (OTF) H-2 dijadikan dasar untuk membuat MRP kebutuhan produksi aktual harian. Hasil perhitungan MRP dituangkan dalam Production Planning Schedule atau Order To Production (OTP). Dengan disahkannya OTF H-2 (2 hari sebelum jatuh tempo) menunjukkan jadwal tersebut dibekukan dan tidak tejadi perubahan lagi untuk digunakan dalam proses produksi. Pembekuan jadwal yang paling dekat dengan jatuh tempo diperlukan dalam kelancaran dan kepastian penjadwalan (schedulling) produksi. Dengan terciptanya kepastian produksi yang disampaikan
91
kepada seluruh departemen dengan sistem informasi yang baik menciptakan sistem Just In Time yang semakin konsisten. Faktor Schedulling menjadi peringkat pertama dan menjadi suatu faktor yang perlu mendapatkan perhatian dari pihak manajemen maupun operator agar mampu menjalankan produksi secara baik untuk memuaskan konsumen.
2. Faktor Employee Empowerment Faktor Employee Empowerment (pemberdayaan pekerja) menjadi peringkat kedua sebagai faktor penentu kinerja sistem Just In Time di PT. Nippon Indosari Corpindo dengan bobot 0.21713. Pemberdayaan pekerja dilakukan dengan dilakukannya pelatihan silang (cross training) dan pelatihan (training). Berikut ini disajikan bobot dan peringkat berdasarkan pengaruh dari setiap elemen terhadap kinerja sistem Just In Time.
Tabel 15. Tabel hasil perhitungan peringkat elemen faktor Employee Empowerment Faktor
Bobot
Peringkat
1. Training
0.46538
2
2. Cross Training
0.53462
1
Pemberdayaan pekerja bermanfaat dalam meningkatkan kualitas lingkungan kerja sehingga para pekerja dapat bekerja dengan lebih baik. Hal ini tentunya menguntungkan pekerja dan perusahaan dan mampu memenuhi permintaan dengan tepat waktu dan tepat jumlah dengan lebih baik lagi. a. Pelatihan silang (cross training) Pelatihan silang (cross training) (peringkat pertama, bobot 0.53462) terjadi ketika pekerja A melakukan tugas pekerja B atau sebaliknya. Pelatihan silang dapat menciptakan variasi pekerjaan dan melatih para pekerja untuk lebih fleksibel ketika ditempatkan di sel kerja mana saja. Pelaksanaan produksi di lantai pabrik PT. Nippon Indosari Corpindo terdiri atas beberapa bagian sel kerja (section) dengan beberapa pekerja dalam satu section tersebut. Untuk
92
mengurangi tingkat kejenuhan dilakukan perputaran (rotasi) pekerja dalam satu section tersebut. Setiap section memiliki tugas yang berbeda sehingga cross training masih dilakukan hanya untuk pekerja dalam section yang sama. Hal tersebut disebabkan karakteristik tugas yang berbeda dari masing-masing section. Sebagai contoh, section mixer bertugas mengoperasikan mesin mixer untuk mencampurkan bahan baku, berbeda dengan pekerjaan membentuk adonan untuk dimasukkan ke dalam loyang pada section make up. Keterampilan khusus dengan karakteristik yang sama memudahkan terciptanya cross training yang baik diantara pekerja dalam setiap section. Berdasarkan
output
supermatriks
terbobot
(weight
supermatrix) dapat diketahui bahwa elemen pelatihan silang (cross training) dipengaruhi oleh beberapa elemen lain seperti pelatihan (training)
(bobot
pengaruh
0.4126)
pada
faktor
employee
empowerment; work cell untuk produk sejenis (bobot pengaruh 0.12996), dan jarak antar sel yang pendek (bobot pengaruh 0.12996) untuk faktor layout. Pengaruh antar elemen tersebut yang dominan digambarkan pada Gambar 17. Pelatihan silang tidak dapat berjalan dengan baik apabila pekerja tidak mendapatkan pelatihan secara umum mengenai sistem produksi. Pelatihan silang pun dapat berjalan dengan baik apabila pengaturan tata letak lantai pabrik telah mengatur sel kerja (work cell) untuk memproduksi produk yang sejenis dengan jarak antar selnya yang pendek. Dengan pengaturan tata letak tersebut dapat menciptakan komunikasi
antar
pekerja
dan
meningkatkan
efisiensi
dalam
pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya.
b. Pelatihan (training) Keberhasilan organisasi mencapai tujuannya serta dalam menghadapi
berbagai
tantangan
ditentukan
oleh
kemampuan
mengelola pekerja dengan baik dan tepat. Oleh karena itu, diperlukan suatu sistem yang disebut pelatihan (training) yang mengorganisir
93
antara kebutuhan organisasi dengan kondisi yang sebenarnya. Bobot sebesar 0.46538 menunjukkan bahwa pelatihan (training) dalam peningkatan kinerja sistem Just In Time memberikan pengaruh yang hampir sama dengan pelatihan silang (cross training). Just In Time menganggap faktor manusia bukan hanya sebagai faktor produksi, namun berupaya untuk mengangkat harkat pekerja sehingga tercipta rasa
memiliki sebagian dari perusahaan.
Sistem Just In Time perlu didukung oleh komitmen manajemen secara terus menerus melakukan investasi pada sumber daya manusia dan menciptakan
budaya
peningkatan
berkelanjutan
(continuous
improvement). Dengan dilakukannya pelatihan terhadap para pekerja tentang pentingnya peningkatan berkelanjutan dapat membawa perusahaan ke arah yang lebih baik dan secara langsung maupun tidak langsung dapat memuaskan konsumen. Walaupun demikian, pelatihan bukanlah suatu budaya yang rutin untuk dilakukan. Hal yang lebih penting adalah komunikasi antara pihak manajemen dengan para pekerja di lapangan dalam pelaksanaan pokok-pokok materi yang telah diberikan dalam pelatihan.
3. Faktor Layout Faktor penentu kinerja sistem Just In Time di PT. Nippon Indosari Corpindo yang menjadi peringkat ketiga adalah faktor Layout (tata letak) dengan bobot 0.17055. Faktor tata letak mendukung upaya penghilangan pemborosan dalam sistem Just In Time. Merubah desain tata letak lantai pabrik tidak mudah untuk dilakukan ketika terdapat ketidaksesuaian. Peralatan atau mesin yang terlampau besar, terlalu berat, dan biaya yang besar menjadi kendala untuk melakukan penataan kembali letak mesin dalam urutan proses yang tepat. Walaupun demikian, untuk menuju ke sistem yang baik, pengaturan mesin-mesin perlu terus diupayakan menjadi suatu integrasi dalam jalur produksi yang efisien.
94
Faktor
layout
memiliki
elemen-elemen
yang
mendukung
pelaksanaan sistem Just In Time di perusahaan. Elemen-elemen beserta bobot dan peringkatnya dapat dilihat pada Tabel 16 berikut. Tabel 16. Tabel hasil perhitungan peringkat elemen faktor Layout Faktor
Bobot
Peringkat
1. Work cell untuk produk sejenis
0.49744
1
2. Jarak antar sel yang pendek
0.35212
2
3. Tempat kecil persediaan WIP
0.15044
3
a. Work cell untuk produk sejenis Elemen work cell untuk produk sejenis berpengaruh dengan peringkat pertama (bobot 0.49744) dalam implementasi sistem Just In Time untuk faktor Layout. Tata letak pabrik PT. Nippon Indosari Corpindo memiliki desain sel kerja (work cell) yang memproduksi produk sejenis (product family). Sel kerja (work cell) dalam lantai pabrik plant roti tawar secara garis besar terdiri atas empat bagian (section) sel kerja yaitu (1) Mixing, yang terdiri atas mesin mixer dan ruang fermentasi awal, untuk membuat adonan sponge dan dough; (2) Make Up, yang terdiri atas mesin devider, rounder, OHP, moulder, dan panning, untuk menghasilkan adonan yang berukuran sesuai dengan standar dan siap ditempatkan pada loyang; (3) Baking, yaitu oven dan mesin depanning, untuk melakukan proses memanggang dan mengelurkan roti dari loyang; serta (4) Packing, mulai dari cooling conveyor, slicer, packer, metal detector, hingga kratting, sebagai proses akhir dan pengemasan produk. Berdasarkan
bobot
pengaruh
yang
didapatkan
dari
supermatriks terbobot (weight supermatrix), elemen work cell untuk produk sejenis yang menjadi peringkat pertama dalam faktor Layout berkaitan dengan beberapa elemen lain seperti sistem tarik (pull system) (bobot pengaruh 0.03945), ukuran lot kecil (bobot 0.11835), dan waktu set up yang singkat (bobot pengaruh 0.11835), yang
95
merupakan elemen dari faktor inventory; serta jadwal campur merata (bobot pengaruh 0.34365), dan elemen pembekuan jadwal jatuh tempo (bobot pengaruh 0.11455) pada faktor schedulling. Pengaruh terbesar dari setiap elemen tersebut digambarkan pada Gambar 17. Sistem tarik menuntut lini produksi untuk memproduksi produk sesuai dengan permintaan konsumen, sehingga diperlukan ukuran lot yang kecil dengan waktu set up yang singkat dalam pelaksanaan proses produksi. Hal tersebut mendukung pengaturan sel kerja (work cell) untuk memproduksi produk yang sejenis agar dapat berproduksi lebih efisien sesuai dengan jadwal yang ditentukan untuk memenuhi permintaan konsumen.
b. Jarak antar sel yang pendek Jarak antar sel yang pendek yang menjadi peringkat kedua (bobot 0.35212) dalam faktor Layout. Peralatan diorganisasikan untuk mengikuti aliran bahan baku yang sejalan dengan perubahannya menjadi produk. Proses diorganisasikan dalam bentuk huruf U, yang merupakan cara yang baik untuk gerakan orang dan bahan baku yang efisien dan komunikasi yang baik. Selain itu, dapat juga diatur membentuk garis lurus atau huruf L (Liker, 2006). Tata letak yang baik dengan jarak antar sel yang pendek dapat mereduksi transportasi yang tidak perlu. Memindahkan material, barang dalam proses (WIP), atau barang jadi dalam jarak yang jauh ke dalam atau ke luar gudang atau antar proses merupakan pemborosan yang disebabkan tata letak yang tidak sesuai. Selain itu, tata letak yang efektif juga dapat mengurangi gerakan yang tidak perlu. Setiap gerakan pekerja yang sia-sia saat melakukan pekerjaannya, seperti mencari, meraih, atau menumpuk komponen, alat, dan lain sebagainya dapat sedikit demi sedikit dihilangkan.
96
c. Tempat kecil untuk persediaan WIP. Elemen tempat kecil persediaan Work In Process (WIP) memberikan pengaruh pada peringkat ketiga (0.15044) yang dipengaruhi oleh elemen jarak sel yang pendek yang diterapkan di lantai pabrik, serta dipengaruhi oleh kebijakan penggunaan ukuran lot yang kecil untuk menjaga tingkat persediaan minimum. Dengan jarak sel yang pendek secara tidak langsung memberikan tempat yang kecil untuk persediaan WIP. Tempat yang kecil sudah mencukupi untuk persediaan WIP jika ukuran lot yang digunakan dalam produksi merupakan ukuran lot yang kecil. Hal ini mendukung implementasi tingkat persediaan minimum dalam sistem produksi secara Just In Time.
4. Faktor Supplier Suatu industri dalam memproduksi produk untuk memenuhi permintaan konsumen memerlukan dukungan dari pemasok dalam penyediaan bahan baku. Sistem produksi yang berorientasi kepada kepuasaan pelanggan perlu mengintegrasikan ketiga komponen utama, yaitu pemasok material, pabrik, dan konsumen sebagai satu sistem yang utuh. Peranan pemasok sangat diperlukan dalam kelancaran sistem Just In Time tingkat hulu yang harus mampu menyediakan material yang tepat, pada waktu yang tepat, dan dalam jumlah yang tepat pula kepada pabrik. Faktor supplier (pemasok) merupakan peringkat keempat (bobot 0.14259) dalam upaya peningkatan kinerja sistem Just In Time di PT. Nippon Indosari Corpindo. Faktor ini berkaitan dengan elemen-elemen, yaitu dilakukannya peningkatan frekuensi pengiriman dengan jumlah yang kecil untuk setiap pengiriman, adanya kontrak jangka panjang antara perusahaan dengan pemasok, dan lokasi pemasok berada dekat dengan pabrik yang memiliki bobot dan peringkat sebagai berikut.
97
Tabel 17. Tabel hasil perhitungan peringkat elemen faktor Supplier Faktor
Bobot
Peringkat
1. Lokasi pemasok dekat
0.27021
3
2 Peningkatan frekuensi pengiriman
0.37427
1
3. Kontrak jangka panjang
0.35552
2
a. Peningkatan frekuensi pengiriman bahan baku dalam jumlah kecil Frekuensi pengiriman dari pemasok diusahakan agar sesering mungkin dengan ukuran lot dalam jumlah kecil. Dengan peningkatan pengiriman bahan baku dalam jumlah kecil tersebut maka diharapkan bahan baku yang datang langsung digunakan sehingga tingkat persediaan pun diminimumkan mendekati nilai nol. Frekuensi pengiriman material dipengaruhi oleh tingkat penggunaan, kapasitas gudang dan lead time. Semakin sering frekuensi pengiriman ke gudang pabrik dalam jumlah kecil dan digunakan pada hari yang sama, dapat mempertahankan tingkat persediaan minimum yang keduanya sangat diperlukan dalam meningkatkan kinerja sistem Just In Time. Berdasarkan
output
supermatriks
terbobot
(weight
supermatrix), dapat diketahui bahwa elemen yang menjadi peringkat pertama dalam faktor supplier ini dipengaruhi oleh elemen lainnya seperti lokasi pemasok dekat dengan pabrik (bobot pengaruh 0.1018) dan kontrak jangka panjang (bobot pengaruh 0.1018) pada faktor supplier; elemen tingkat persediaan minimum (bobot pengaruh 0.12216), ukuran lot yang kecil (bobot pengaruh 0.04072), waktu set up yang singkat (bobot pengaruh 0.04072) pada faktor inventory; serta elemen jadwal terkomunikasikan pemasok (bobot pengaruh 0.34654) pada faktor schedulling. Pengaruh terbesar dari setiap elemen tersebut terhadap elemen peningkatan frekuensi pengriman digambarkan pada Gambar 17. Peningkatan frekuensi pengiriman material dapat semakin efektif apabila lokasi pemasok berada dekat dengan pabrik. Selain itu,
98
pengaturan frekuensi pengiriman material disepakati melalui kontrak jangka panjang dengan pemasok. Kebijakan untuk meminimumkan persediaan dengan menggunakan ukuran lot yang kecil mempengaruhi kebijakan untuk meningkatkan frekuensi pengiriman dari pemasok. Selain itu, jadwal yang terkomunikasikan kepada pemasok secara lancar akan memperlancar pula pengiriman material dari pemasok yang dapat mempengaruhi kinerja sistem Just In Time yang diterapkan di perusahaan.
b. Kontrak jangka panjang Elemen peningkatan frekuensi pengiriman (peringkat pertama, bobot 0.37427) memiliki bobot yang hampir sama dengan elemen kontrak jangka panjang (peringkat kedua, bobot 0.35552). Hal tersebut menunjukkan faktor-faktor tersebut memegang peranan penting dalam implementasi sistem Just In Time dalam faktor supplier. Dalam kontrak jangka panjang dilakukan kesepakatan dengan pemasok mengenai frekuensi pengiriman, lead time, ukuran lot pengiriman, harga dan diskon. Selain itu, masalah kualitas dari tingkat pemasok dapat ditingkatkan dan kepercayaan terhadap kualitas yang diberikan pemasok dapat ditingkatkan, sehingga perusahaan dapat menghilangkan salah satu tindakan pemborosan yaitu melakukan inspeksi/pemeriksaan terhadap bahan baku yang datang.
Dengan
adanya kontrak jangka panjang dan dengan dibangunnya kemitraan diharapkan dapat mewujudkan sistem Just In Time yang baik antara perusahaan dengan pemasok.
c. Lokasi pemasok dekat dengan pabrik Lokasi pemasok dekat dengan pabrik memberikan pengaruh pada peringkat ketiga (bobot 0.27021) terhadap kinerja sistem Just In Time dalam faktor supplier. Lokasi geografis pemasok memberikan pengaruh terhadap fekuensi dan ketepatan kedatangan bahan baku secara Just In Time. Oleh karena itu, pemasok yang lebih dekat dengan
99
pabrik lebih diutamakan untuk menjaga kelancaran pengiriman material secara Just In Time. Selain itu, pemasok dalam lokasi geografis yang berdekatan tersebut memudahkan kunjungan dan pemberian bantuan teknis kepada pemasok, serta menciptakan pemahaman yang lebih baik dan cepat terhadap kebutuhan kualitas.
5. Faktor Inventory Faktor peringkat kelima dengan bobot 0.09411 yaitu faktor Inventory (persediaan). Faktor ini memiliki elemen-elemen yaitu tingkat persediaan minimum, waktu set up yang singkat, ukuran lot yang kecil, pengurangan variabilitas, dan sistem tarik (pull sistem). Bobot dan peringkat untuk masing-masing elemen dapat dilihat pada Tabel 18.
Tabel 18. Tabel hasil perhitungan peringkat elemen faktor Inventory Faktor
Bobot
Peringkat
1. Pull system
0.03424
5
2. Persediaan minimum
0.32625
1
3. Ukuran lot kecil
0.19797
3
4. Waktu set up singkat
0.32268
2
5. Pengurangan variabilitas
0.11887
4
a. Tingkat persediaan minimum Elemen peringkat pertama faktor inventory yang mendukung peningkatan sistem Just In Time adalah elemen tingkat persediaan yang minimum (bobot 0.32625). Persediaan dalam sistem Just In Time merupakan salah satu pemborosan yang harus dihilangkan. Menurut Liker (2006), kelebihan bahan baku, barang dalam proses, atau barang jadi menyebabkan lead time yang panjang, barang kadaluarsa, barang rusak, peningkatan biaya pengangkutan dan penyimpanan, serta keterlambatan. Setiap perusahaan harus dapat mempertahankan sejumlah persediaan yang optimum yang dapat menjamin kebutuhan bagi
100
kelancaran kegiatan perusahaan dalam jumlah dan mutu yang tepat serta dengan biaya yang serendah-rendahnya. PT. Nippon Indosari Corpindo menyimpan persediaan dengan memperhitungkan buffer stock (persediaan penyangga). Buffer stock dipengaruhi oleh lamanya lead time material, semakin panjang lead time maka semakin tinggi jumlah buffer stock. Pengadaan buffer stock merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan terutama untuk material impor. Penentuan besarnya buffer stock merupakan suatu proses yang harus dilakukan oleh perusahaan secara cermat dan tepat. Apabila penentuan buffer stock suatu material terlalu tinggi, mengakibatkan biaya penyimpanan yang besar. Begitu pula sebaliknya, apabila buffer stock suatu bahan baku terlalu kecil, maka fungsinya sebagai persediaan pengaman tidak terealisasikan. Tingkat persediaan pada gudang PT. Nippon Indosari Corpindo juga dipengaruhi oleh kapasitas gudang yang tidak terlalu besar. Gudang yang kecil secara tidak langsung mempertahankan tingkat persediaan minimum yang diperlukan dalam implementasi sistem Just In Time. Sasaran dari sistem Just In Time adalah menstabilkan mekanisme kerja dari sistem manufakturing dengan melibatkan langsung pemasok dan konsumen dalam sistem tersebut, sehingga kebijaksanaan terhadap stok pengaman dapat diminimumkan menjadi nol (zero inventory). Tingkat persediaan berkaitan erat dan dipengaruhi elemenelemen lain dalam faktor inventory sendiri seperti ukuran lot yang kecil (bobot pengaruh 0.03262), waktu set up yang singkat (bobot pengaruh 0.07469), dan pengurangan variabilitas (bobot pengaruh 0.08546). Bobot pengaruh tersebut didapatkan dari supermatriks terbobot (weight supermatrix). Ukuran lot yang kecil mempengaruhi tingkat persediaan, terutama persediaan Work In Process (WIP). Dengan penggunaan ukuran lot yang kecil, menyebabkan persediaan WIP menjadi minimum dan menuntut agar waktu set up yang relatif singkat.
Persediaan
yang
berlebih
menyembunyikan
masalah
101
(variabilitas) seperti ketidakseimbangan produksi, keterlambatan pengiriman dari pemasok, produk cacat, mesin rusak, dan waktu set up yang panjang. Dengan tingkat persediaan yang minimum maka masalah-masalah tersebut muncul ke permukaan dan diselesaikan. Selain itu, elemen tingkat persediaan minimum dipengaruhi oleh elemen dari faktor lain seperti elemen lokasi pemasok dekat dengan pabrik (bobot pengaruh 0.04576), peningkatan frekuensi pengiriman (bobot pengaruh 0.11286), kontrak jangka panjang (bobot pengaruh 0.01855) yang merupakan elemen dari faktor supplier; elemen jadwal campur merata (bobot 0.34657) pada faktor schedulling; serta elemen work cell untuk produk sejenis (bobot pengaruh 0.02308) dan tempat kecil untuk persediaan WIP (bobot pengaruh 0.06924) pada faktor layout. Lokasi pemasok yang dekat dengan pabrik apabila memasok material dengan frekuensi tinggi dalam jumlah kecil yang diatur dalam kontrak jangka panjang dapat menjaga tingkat persediaan selalu minimum. Selain itu, jadwal campur merata dengan memproduksi produk bervariasi dalam ukuran lot kecil juga mendukung tingkat persediaan minimum untuk digunakan dalam proses produksi. Dengan pengaturan tata letak sel kerja (work cell) untuk produk sejenis dan tempat kecil untuk persediaan WIP dapat mempengaruhi kebijakan dalam meminimumkan tingkat persediaan. Pengaruh antar elemen yang dominan dari setiap faktor digambarkan pada Gambar 17.
b. Waktu set up yang singkat Elemen waktu set up yang singkat memberikan pengaruh pada peringkat kedua (bobot 0.32268) dalam pelaksanaan sistem Just In Time. Set up merupakan aktivitas yang terdiri dari menyiapkan bahan, mengubah setting mesin, mempersiapkan peralatan, dan melakukan pengujian (Agustina, dkk, 2007). Pengurangan waktu set up diperlukan dalam menciptakan produksi campur merata dalam proses produksi di PT. Nippon Indosari Corpindo. Produksi campur merata
tidak
102
mungkin
terjadi
jika
pabrik
tidak
menemukan
cara
untuk
menghilangkan waktu set up pada saat melakukan changeover. Set up pada mesin dapat dilakukan pada saat mesin masih berjalan (dinamakan set up eksternal) yang merupakan kebalikan dari set up internal, pekerjaan yang dilakukan ketika mesin berhenti. Dilakukan sebanyak mungkin kegiatan changeover saat mesin masih berjalan sampai tidak ada lagi set up dengan menghentikan mesin berjalan. Waktu set up yang singkat sangat diperlukan agar dapat tetap mempertahankan produksi yang kontinu dalam memenuhi permintaan konsumen secara Just In Time.
c. Ukuran lot yang kecil Ukuran lot (lot size) atau ukuran batch (batch size) adalah kuantitas dari item yang digunakan dalam proses produksi. Ukuran lot yang kecil (peringkat ketiga, bobot 0.19797) dapat mempersingkat lead time dimana sel kerja selanjutnya dari suatu proses produksi tidak akan
menunggu
lebih
lama
hingga
sel
kerja
sebelumnya
menyelesaikan pekerjaannya. Selain itu, ukuran lot yang kecil memudahkan pemeriksaan terhadap barang dalam proses (WIP) sehingga barang reject dan rework dapat dipisahkan dengan lebih terkontrol. Penggunaan ukuran lot yang kecil juga mendukung sistem produksi campur merata yang diterapkan perusahaan. Dengan memproduksi secara campuran akan dihasilkan produk dalam jumlah yang sesuai dengan permintaan konsumen.
d. Pengurangan variabilitas Persediaan seringkali dipandang sebagai tingkat permukaan air kolam yang menyembunyikan berbagai masalah. Bila tingkat permukaan air tinggi, tak seorang pun yang serius dan peduli terhadap berbagai masalah tersembunyi dibawahnya seperti masalah kualitas, gangguan mesin, absensi, dan sebagainya. Tingkat persediaan yang
103
rendah memberikan petunjuk penting dan terfokus bagi kita dalam merumuskan masalah yang harus ditangani (Imai, 1997).
(Sumber : www.futuresgroup.net/china/hr8_ppt16.ppt) Gambar 18. Ilustrasi Tingkat Persediaan Minimum Mengurangi Variabilitas Dengan jumlah persediaan minimum yang dimiliki PT. Nippon Indosari Corpindo, mampu menciptakan pengurangan variabilitas (peringkat keempat, bobot 0.11887) dengan sedikit demi sedikit mengatasi masalah-masalah yang muncul seperti masalah keterlambatan kedatangan material, loss produksi (scrap), waktu set up dan masalah mesin, masalah-masalah kualitas, dan lain-lain. Untuk menekan variabilitas,
manajemen
harus
menetapkan
berbagai
standar,
membangun disiplin pribadi diantara para pekerja agar mereka mematuhi standar, dan memastikan bahwa tidak ada cacat produksi yang diteruskan ke proses berikutnya.
e. Sistem tarik (pull system) Elemen sistem tarik (pull system) memberikan pengaruh terhadap kinerja sistem Just In Time dengan bobot 0.03424. Proses mengalir berarti bahwa pesanan pelanggan memicu proses untuk memperoleh bahan baku yang diperlukan hanya untuk pesanan pelanggan tersebut. Kebutuhan bahan baku tersebut kemudian segera mengalir ke pabrik pemasok, dan bahan baku segera mengalir ke pabrik, dimana para pekerja merakit pesanan tersebut, dan pesanan yang telah selesai dengan segera mengalir ke pelanggan. Keseluruhan proses hanya
104
memerlukan beberapa jam atau hari saja, bukan beberapa minggu atau bulan (Liker, 2006). Penerapan sistem tarik (pull system) yang ideal dan umumnya diterapkan perusahaan Jepang adalah sistem dengan teknik yang dibantu dengan suatu tanda atau sinyal yang menunjukkan permintaan dari suatu bagian lini produksi akhir ke bagian sebelumnya. Ketika permintaan konsumen masuk, bagian akhir dari perakitan akan memberikan tanda ke bagian sebelumnya untuk mengirimkan sejumlah bahan yang dibutuhkan pada bagian tersebut. Demikian seterusnya, bagian di belakangnya akan mengirimkan tanda ke bagian yang ada di belakangnya lagi untuk mengirimkan barang setengah jadi sesuai dengan kebutuhan, hingga akhirnya mengirimkan tanda pemesanan kepada pemasok untuk mengirimkan bahan baku yang diperlukan. Tanda tersebut sering disebut dengan istilah kanban. Walaupun penerapan sistem tarik di PT. Nippon Indosari Corpindo tidak menggunakan teknik kanban, namun tetap berdasarkan kepada permintaan aktual konsumen. Setiap produksi dijalankan untuk memproduksi jenis produk yang diminta dan sesuai jumlah yang diminta konsumen untuk segera sampai ke tangan konsumen secara Just In Time.
6. Faktor Preventive Maintenance Faktor Preventive Maintenance menempati urutan peringkat keenam sebagai faktor penentu kinerja sistem Just In Time dengan bobot 0.05439. Bobot dan peringkat elemen dari faktor tersebut disajikan pada Tabel 19.
Tabel 19. Tabel hasil perhitungan peringkat elemen faktor Preventive Maintenance Faktor
Bobot
Peringkat
1. Pemeliharaan rutin harian
0.58622
1
2. Jadwal pemeliharaan tersusun
0.41378
2
105
a. Pemeliharaan rutin Elemen utama yang menjadi titik perhatian dalam faktor Preventive Maintenance adalah elemen pemeliharaan rutin harian (peringkat pertama, bobot 0.58622). Aktivitas maintenance dilakukan oleh sub departemen Teknik yaitu cleaning (pembersihan dan pencucian), pelumasan oil and grease, dan preventive maintenance berupa perbaikan kecil untuk mencegah kerusakan. Petugas teknik melakukan pemeriksaan dan pemeliharaan mesin secara rutin terhadap mesin-mesin sebagai penunjang produksi sesuai dengan jadwal preventive maintenance untuk setiap bagian (section) produksi. Pemeliharaan rutin harian dilakukan dengan menggunakan checklist harian. Menurut Machfud (2003), diperlukan pandangan manajemen yang lebih strategis dan luas tentang maintenance, yang berimplikasi merancang produk yang dapat dengan mudah diproduksi pada mesin yang ada, merancang mesin yang operasi dan pemeliharaan yang lebih mudah, melatih dan melatih ulang pekerja, serta merancang rencana Preventive Maintenance untuk selama umur mesin. Sedikit
waktu
untuk
melakukan
tindakan
preventive
maintenance akan bermanfaat agar terhindar dari kerusakan mesin (machine breakdowns). Selain itu, masalah-masalah dari maintenance dapat diketahui dengan cepat jika pelaksanaannya dikombinasikan dengan program 5S. Menurut Liker (2006), program 5S merangkum serangkaian
aktivitas
untuk
menghilangkan
pemborosan
yang
menyebabkan kesalahan, cacat, dan kecelakaan di tempat kerja. Berikut adalah kelima S tersebut (Seiri, Seiton, Seiso, Seiketsu, dan Shitsuke), yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi 5R yaitu : 1. Ringkas (memilah). Pilahlah barang-barang dan simpan hanya yang diperlukan dan singkirkan yang tidak diperlukan. 2. Rapi (menata). Setiap barang memiliki wadah dan setiap wadah ada tempatnya.
106
3. Resik (membersihkan). Proses pembersihan seringkali berbentuk pemeriksaan yang mengungkapkan abnormalitas dan kondisi sebelum terjadinya kesalahan yang dapat berdampak buruk terhadap kualitas atau menyebabkan kerusakan pada mesin. 4. Rawat (menciptakan aturan). Kembangkan sistem dan prosedur untuk mempertahankan dan memonitor ketiga R yang pertama. 5. Rajin (mendisiplinkan diri). Menjaga tempat kerja agar tetap stabil merupakan
proses
terus
menerus
dan
peningkatan
berkesinambungan. Preventive
maintenance
merupakan
sistem
terpadu
peningkatan kualitas mesin dan peralatan yang bertujuan untuk memaksimalkan efisiensi dan memperpanjang umur peralatan.
Kerusakan
mesin
dapat
menyebabkan
mesin dan terjadinya
penumpukan persediaan pada akhir suatu pusat kerja dan berarti menghambat jalannya produksi secara keseluruhan. Preventive maintenance harus dilaksanakan secara ketat, agar kerusakan dapat dihindarkan. Jadi program pemeliharaan dalam sistem Just In Time mempunyai tujuan utama untuk mencegah terjadinya kerusakan, bukan memperbaiki saat kerusakan terjadi. Berdasarkan supermatriks terbobot (weight supermatrix), elemen pemeliharaan rutin harian berkaitan dengan elemen lain seperti jadwal pemeliharaan tersusun (bobot pengaruh 0.31499) yang juga merupakan elemen dari faktor preventive maintenance; elemen work cell untuk produk sejenis (bobot pengaruh 0.07863) dan jarak antar sel yang pendek (bobot pengaruh 0.07863) pada faktor layout; serta elemen pelatihan (bobot pengaruh 0.05984) dan pelatihan silang (bobot pengaruh 0.17954) yang merupakan elemen dari faktor employee empowerment. Pengaruh terbesar dari setiap elemen tersebut digambarkan pada Gambar 17. Pemeliharaan rutin harian perlu disinkronisasi dengan jadwal pemeliharaan yang telah disusun. Jadwal yang tersusun dengan baik dapat mempengaruhi pelaksanaan pemeliharaan rutin yang dilakukan
107
para pekerja. Penyusunan tata letak sel kerja dengan jarak antar sel yang pendek
juga
mempengaruhi
pemeliharaan
rutin
harian.
Fleksibilitas dalam melakukan pekerjaan mempermudah pemeliharaan rutin secara harian. Selain itu, pelatihan yang diberikan serta adanya pelatihan silang secara langsung maupun tidak langsung menjadi suatu pembelajaran kepada para pekerja untuk memelihara dan merawat mesin dan peralatan yang mereka gunakan.
b. Jadwal pemeliharaan yang tersusun Elemen jadwal pemeliharaan yang tersusun menjadi peringkat kedua dengan bobot 0.41378 dalam pelaksanaan sistem Just In Time di PT. Nippon Indosari Corpindo.
Sub Departemen Teknik memiliki
jadwal maintenance yang sudah tersusun berdasarkan HACCP Plan. Hal ini sangat baik dan diperlukan agar setiap kegiatan maintenance dapat diketahui oleh para pekerja mengenai bagian apa yang perlu dilakukan pemeliharaan, bagaimana caranya, dan berapa kali frekuensi pelaksanaannya. Check list maintenance yang menggunakan frekuensi kegiatan, standard time, dan jadwal preventive maintenance terpadu diperlukan agar penerapan sistem Just In Time semakin baik.
7. Faktor Quality Management Faktor yang menjadi peringkat terakhir dalam hubungannya dengan peningkatan kinerja sistem Just In Time adalah faktor Quality Management dengan bobot 0.04534. Elemen dalam faktor tersebut yaitu pengendalian mutu dalam setiap tahapan proses dan penggunaan lampu tanda (andon) dalam lini produksi. Bobot dan peringkat elemen-elemen tersebut adalah sebagai berikut.
Tabel 20. Tabel hasil perhitungan peringkat faktor elemen Quality Management Faktor
Bobot
Peringkat
1. Pengendalian mutu setiap tahap
0.75001
1
2. Penggunaan lampu tanda (Andon)
0.24999
2
108
a. Pengendalian mutu setiap tahapan proses Menurut Gaspersz (1998), perusahaan dapat meningkatkan pangsa pasar melalui pemenuhan kualitas yang bersifat customerdriven dan costumer-value. Motto yang digunakan Just In Time adalah “kerjakanlah secara benar sejak awal”. Pengendalian kualitas dalam Just In Time dilakukan sepanjang proses, mulai dari penentuan pemasok sampai barang diterima konsumen. Pengendalian mutu setiap tahap proses (peringkat pertama, bobot 0.75001) dilakukan mulai dari tingkat pemasok dimana pemasok yang telah menjadi mitra dipercaya untuk mempertahankan kualitas terbaik dari material yang dikirim. Dengan sistem tersebut, inspeksi yang dilakukan di pabrik PT. Nippon Indosari Corpindo dapat direduksi. Tingkat persediaan minimum dijaga agar masalah kualitas pun dapat diawasi dengan baik. Dalam lini produksi, pengendalian mutu dilakukan oleh para pekerja yang terlibat langsung. Pekerja dalam suatu bagian (section) tidak akan membiarkan barang cacat terus terbawa ke bagian (section) selanjutnya. Setiap barang dalam proses yang terlihat tidak memenuhi syarat, dipisahkan dan dibuang untuk menjaga kualitas produk keseluruhan. Pengendalian mutu dalam proses pengemasan merupakan tugas para pekerja dan diawasi secara langsung oleh departemen quality control. Penggunaan alat metal detector merupakan titik akhir dari pengendalian mutu dan dijadikan titik kritis dalam HACCP. Setelah pendeteksian logam, tidak ada lagi proses yang menjaga kualitas produk. Sistem Just In Time memperhatikan pemenuhan permintaan kosumen dengan kualitas terbaik. Berdasarkan supermatriks terbobot (weight supermatrix), elemen pengendalian mutu setiap tahap memiliki keterkaitan dengan elemen lain seperti peningkatan frekuensi pengiriman (bobot pengaruh 0.06353) dan kontrak jangka panjang (bobot pengaruh 0.06353) pada faktor supplier; elemen tingkat persediaan minimum (bobot pengaruh
109
0.02891), ukuran lot yang kecil (bobot pengaruh 0.02891), waktu set up yang singkat (bobot pengaruh 0.04921), dan pengurangan variabilitas (bobot pengaruh 0.03497) pada faktor inventory; elemen jadwal campur merata (bobot pengaruh 0.19309) dan pembekuan jadwal dekat jatuh tempo (bobot pengaruh 0.06436) pada faktor schedulling; elemen pemeliharaan rutin harian (bobot pengaruh 0.09171) dan jadwal pemeliharaan tersusun (bobot pengaruh 0.09171) pada faktor preventive maintenance; serta pelatihan (bobot pengaruh 0.04235), dan pelatihan silang (bobot pengaruh 0.08471) pada faktor employee empowerment. Pengaruh antar elemen yang dominan dari setiap faktor tersebut digambarkan pada Gambar 17. Peningkatan frekuensi pengiriman material yang disepakati dalam kontrak jangka panjang menuntut kualitas terbaik dari material yang dikirimkan pemasok. Pengendalian mutu perlu dilakukan mulai dari tingkat hulu yaitu pada pabrik pemasok. Kebijakan untuk meminimumkan tingkat persediaan dan penggunaan ukuran lot yang kecil serta waktu set up yang singkat mempermudah pengendalian mutu dalam setiap tahapan proses yang dilakukan oleh para pekerja di lantai pabrik. Pengurangan variabilitas dengan mengatasi masalahmasalah terutama yang berkaiatan dengan masalah kualitas merupakan salah satu tindakan pengendalian mutu pada setiap tahapan proses. Dalam penjadwalan dan tindakan preventive maintenance yang dilakukan, secara tidak langsung mendukung pengendalian mutu pada setiap tahapan proses. Selain itu, para pekerja memahami pengendalian mutu yang perlu dilakukan melalui pelatihan yang diberikan dan adanya pelatihan silang yang terjadi di lantai pabrik.
b. Penggunaan lampu tanda (andon) Jidoka juga sering disebut autonomation, peralatan dilengkapi dengan intelegensia manusia untuk menghentikan dirinya sendiri ketika ia memiliki masalah kualitas dalam proses. Mencegah masalah untuk dilanjutkan ke proses berikutnya jauh lebih efektif dan lebih
110
murah daripada memeriksa dan memperbaiki masalah kualitas setelah terjadi. Ketika mesin berhenti, lampu yang menyala bersamaan dengan bunyi alarm (disebut Andon), digunakan untuk memberikan sinyal tanda bahwa bantuan diperlukan untuk memecahkan masalah kualitas (Liker, 2006). Penggunaan lampu tanda (andon) (peringkat kedua, bobot 0.24999)
hanya
efektif
jika
pekerja
diajarkan
pentingnya
mengungkapkan masalah ke permukaan sehingga dapat diselesaikan dengan segera. Andon tidak berguna jika tidak ada seorang pun yang memberi tanggapan. Sistem andon hanya efektif jika operator mengikuti pekerjaan yang terstandarisasi, disiplin di tempat kerja dipatuhi, dan pemimpin tim merespon jika ada masalah.
Keseluruhan peringkat faktor-faktor beserta elemen-elemen yang mempengaruhi peningkatan kinerja sistem Just In Time telah diketahui secara empiris berdasarkan keadaan yang sebenarnya. Faktor dan elemen yang menjadi peringkat utama merupakan faktor dan elemen yang berperan penting dalam peningkatan kinerja perusahaan terutama dalam implementasi sistem Just In Time.
111
VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan PT. Nippon Indosari Corpindo telah menerapkan sistem Just In Time sejak pabrik mulai beroperasi dengan memproduksi produk yang tepat, pada waktu yang tepat, dalam jumlah yang tepat untuk memenuhi permintaan konsumen. Dalam pelaksanaan sistem Just In Time di PT. Nippon Indosari Corpindo terdapat beberapa elemen yang tidak diterapkan yaitu elemen terdapatnya dukungan untuk peningkatan Just In Time kepada pemasok dalam faktor supplier; elemen peningkatan fleksibilitas perubahan/pergerakan peralatan dalam faktor layout; elemen penggunaan tools untuk mencegah cacat (poka-yoke) dan penggunaan Statistical Process Control dalam faktor quality management; elemen terdapatnya keterlibatan pekerja dalam pemeliharaan seluruh peralatan dan mesin dalam faktor preventive maintenance; serta elemen adanya pemberian kewewenangan kepada pekerja dan sedikit klasifikasi pekerjaan dengan pengayaan pekerjaan (job enrichment) dalam faktor employee empowerment. Elemen-elemen yang tidak relevan tersebut tidak diikutsertakan dalam penyusunan kerangka Analytical Network Process (ANP) yang diperlukan untuk menganalisis bobot dan prioritas faktor dan elemen yang mempengaruhi kinerja sistem Just In Time di PT. Nippon Indosari Corpindo. Kinerja perusahaan dengan adanya penerapan sistem Just In Time dilihat dari aspek kualitas, tingkat persediaan, dan produktivitas. Kinerja kualitas yang belum optimal tercermin dari terjadinya peningkatan loss produksi rata-rata seperti pada roti tawar spesial (produk pareto tingkat pertama) sebesar 3,34% (σ = 1,16%) menjadi 4,42% (σ = 3,60%) dari bulan Januari hingga Februari 2008. Peningkatan loss produksi secara umum menunjukkan upaya untuk meminimumkan loss produksi hingga mencapai nilai serendah mungkin (orientasi zero defect) belum terlaksana dengan baik. Selain itu, tingkat persediaan yang berfluktuasi menunjukkan pencapaian kinerja tingkat persediaan untuk selalu berada dalam keadaan minimum (berada dalam tingkat buffer stock yang ditetapkan) belum sepenuhnya tercapai. Pengukuran produktivitas tenaga kerja plant roti tawar menunjukkan
nilai yang masih dibawah potensi maksimum (118,359 pcs/orang.jam), namun mengalami peningkatan setiap bulannya (98,608 pcs/orang.jam (Januari), 102,676 pcs/orang.jam (Februari), dan 103,462 pcs/orang.jam (Maret 2008). Hal tersebut menunjukkan peningkatan produktivitas tenaga kerja terus dilakukan
untuk
mencapai
produktivitas
setinggi
mungkin
dalam
menghasilkan output yang optimum. Analisis ANP untuk faktor penentu kinerja sistem Just In Time menunujukkan hasil bahwa faktor schedulling (bobot 0,27590) memberikan pengaruh paling besar terhadap kinerja sistem Just In Time, kemudian diikuti oleh faktor employee empowerment (bobot 0.21713), faktor layout (bobot 0.17055), faktor supplier (bobot 0.14259), faktor inventory (bobot 0.09411), faktor preventive maintenance (bobot 0.05439), dan faktor quality management menempati peringkat terakhir (bobot 0.04534). Dari hasil ANP yang diperoleh dapat diketahui elemen-elemen yang paling berpengaruh dari setiap faktor yaitu jadwal campur merata (bobot 0,50517) dalam faktor schedulling, elemen pelatihan silang (cross training) (bobot 0,5346) dalam faktor employee empowerment, elemen work cell untuk produk sejenis (bobot 0,49744) dalam faktor layout, elemen peningkatan frekuensi pengiriman dengan jumlah yang kecil untuk setiap pengiriman (bobot 0,37427) dalam faktor supplier, elemen tingkat persediaan minimum (bobot 0,32624) dalam faktor inventory, elemen pemeliharaan rutin (bobot 0,58622) pada faktor prevetive maintenance, dan elemen pengendalian mutu dalam setiap tahapan proses dalam faktor quality management (bobot 0,75001).
B. Saran Kinerja kualitas produk masih belum optimal, sehingga perlu dilakukan perbaikan terhadap sumber-sumber loss produksi di lantai pabrik seperti pada mesin rounder, depanning, dan packer yang menghasilkan scrap cukup tinggi. Selain itu, diperlukan kebijakan yang lebih tegas untuk tetap mempertahankan konsistensi tingkat persediaan sesuai jumlah buffer stock yang ditetapkan dengan berorientasi pada zero inventory.
113
Faktor schedulling dengan elemen jadwal campur merata perlu dikendalikan dengan lebih ketat agar kinerja sistem Just In Time dapat ditingkatkan secara berkelanjutan. Jadwal campur merata yang lebih baik dapat meningkatkan kemampuan untuk berproduksi menggunakan tingkat persediaan yang minimum sesuai dengan jumlah produk yang diminta konsumen secara tepat waktu dengan kualitas terbaik. Selain itu, faktor yang juga perlu lebih diperhatikan adalah faktor employee empowerment khususnya elemen pelatihan silang (cross training). Pelatihan silang menciptakan motivasi dan menghilangkan tingkat kejenuhan dalam bekerja sehingga produktivitas tenaga kerja dapat meningkat. Dengan implementasi elemenelemen yang paling berpengaruh tersebut secara lebih konsisten dan berkelanjutan, diharapkan mampu meningkatkan kinerja perusahaan dalam mencapai keunggulan bersaing. Manajemen
PT.
Nippon
Indosari
Corpindo
sudah
saatnya
memberikan dukungan agar pemasok menerapkan sistem Just In Time, serta kebijakan yang mendorong terciptanya kepercayaan dan loyalitas pemasok kepada perusahaan. Alat anti kesalahan atau anti kebodohan (poka yoke) belum digunakan dalam lantai pabrik PT. Nippon Indosari Corpindo. Sebaiknya manajemen mulai memperhatikan penggunaan alat anti kesalahan ini untuk menjaga setiap pekerjaan dilakukan dengan baik. Selain itu, diperlukan penggunaan Statistical Process Control agar setiap masalah kualitas akan diketahui apabila berada di luar batas normal dan diselesaikan dengan segera. Para operator mesin dan peralatan sebaiknya dilatih untuk mengatasi masalah-masalah yang sering terjadi, walaupun tanggung jawab utama tetap di tangan departemen Teknik. Apabila operator atau pekerja diberi keleluasaan untuk
mengatasi
masalah-masalah
yang
terjadi
maka
sangat
besar
kemungkinan pekerja menghindarkan terjadinya kesalahan yang sama. Selain itu, masalah-masalah dari maintenace dapat diketahui dengan cepat jika pelaksanaannya dikombinasikan dengan program 5S (Seiri, Seiton, Seiso, Seiketsu, dan Shitsuke), atau Ringkas (memilah), Rapi (menata), Resik (membersihkan), Rawat (menciptakan aturan), dan Rajin (mendisiplinkan
114
diri). Program tersebut ditujukan untuk menjaga dan memelihara mesin dan peralatan berfungsi dengan baik untuk mendukung kelancaran produksi. Diperlukan komunikasi dua arah antara pihak manajemen dengan para pekerja di lapangan mengenai tujuan, prinsip, serta cara yang paling tepat dari penerapan sistem Just In Time di perusahaan. Dengan komunikasi yang terjaga, kendala yang mungkin dihadapi oleh kedua belah pihak dapat segera diketahui dan diambil tindakan untuk mengatasinya.
115
DAFTAR PUSTAKA
Agustina, Yenni, dkk, 2007. Analisa Penerapan Sistem Just In Time untuk Meningkatkan Efisiensi dan Produktivitas pada Perusahaan Industri. Jurnal Akuntansi dan Keuangan, Vol. 12 No. 1, Januari 2007. Bőyőkyazici, Murat dan Sucu, Meral. 2003. The Analytic Hirearchy Process and Analytic Network Process. Hacettepe Journal of Mathematics and Statistic Volume 32 (2003), 65-73. Dwiningsih, Nurhidayati. 2004. Material Requirement Planning dan Just In Time. STEKPI, Jakarta. Gaspersz,
Vincent.1998. Production Planning and Inventory Control Berdasarkan Pendekatan Sistem Terintegrasi MRP II dan JIT menuju Manufacturing 21. Gramedia pustaka Utama, Jakarta.
Heizer, Jay dan Render, Barry. 2004. Operation Management, 7th edition. Pearson Education, New Jersey. . 2005. Operation Management.. Buku pertama. Terjemahan. Penerbit Salemba Empat, Jakarta. Imai, Masaaki. 1997. Gemba Kaizen : A Commonsense Low Cost Approach To Management. Terjemahan. Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta. Kannan, Vijay R dan Tan, Keah Choon. 2004. Just In Time, Total Quality Management, and Supply Chain Management : Understanding their linkages and Impact On Business Performance. International Journal Of Management Science. Omega 33 (2005) 153-162. Liker, Jeffrey K. 2006. The Toyota Way. Terjemahan. Penerbit Erlangga, Jakarta. Machfud. 1999. Perencanaan dan Pengendalian Produksi. Departemen Teknologi Industri Pertanian IPB, Bogor. ________. 2003. Just In Time System. Bahan Kuliah. Departemen Teknologi Industri Pertanian IPB, Bogor. Manullang, M. 1990. Manajemen Personalia. Ghalia Indonesia, Jakarta. Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Penerbit PT. Grasindo, Jakarta. Nasution, Fahmi Natigor. 2004. Just In Time dan Perkembangannya dalam Perusahaan Industri. Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.
Pratiwi, Sri Subekti. 2002. Identifikasi Faktor-faktor Internal Manajemen Material Konsep Just In Time dan Kesiapan Penerapannya pada Industri Konstruksi di Indonesia. Tesis. Program Studi Teknik Sipil Program Pasca Sarjana Bidang Ilmu Teknik UI. Rivai, Veithzal. 2004. Manajemen Sumber Daya Manusia untuk Perusahaan, dari Teori ke Praktik. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Saaty, Thomas L. 1999, Fundamentals of The Analytic Network Process. Paper presented in ISAHP 1999, Kobe, Japan, August 12-14, 1999. ______________. 2004. Fundamental of The Analytic etwork Process – Dependence and Feedback In Decision Making With A Single Network. Journal of System Science and System Enggineering. Vol 13 No.2 ppl29-157. Sitorus, Lastawaty R. 1995. Penerapan Pengukuran Kinerja pada Lingkungan Manufaktur Just In Time. Fakultas Ekonomi UI. Sugimori, Y, K. Kusunoki, F. Cho, dan S. Uchikawa. 1977. Toyota Production System and Kanban System, Materialization of Just In Time and Respect for Human System. International Journal Production Research Vol. 15 No 6, 553-584. Sugiyanto, Mawan. 2004. Rancang Bangun Sistem Penunjang Keputusan Agroindustri Jambu Mete (Studi Kasus di Kabupaten Wonogiri). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Bogor. Supranto, J. 1992. Pengantar Matrix. Penerbit FEUI, Jakarta. Watanabe, Ryoichi. 2001. Supply Chain Management Konsep Dan Teknologi. Simposium di New Delhi, 9-11 Januari 2001 dalam majalah USAHAWAN NO. 02 TH XXX Februari 2001. Yumanita, Ascarya Diana. 2005. Mencari Solusi Rendahnya Pembiayaan Bagi Hasil di Perbankan Syariah Indonesia. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan. Bank Indonesia.
117
LAMPIRAN
Lampiran 1. Kuesioner Perbandingan Berpasangan
KUESIONER JUDUL PENELITIAN : ANALISIS FAKTOR PENENTU KINERJA SISTEM JUST IN TIME DENGAN METODE ANALYTIC NETWORK PROCESS (STUDI KASUS DI PT. NIPPON INDOSARI CORPINDO)
Oleh : AGUNG NUGROHO F43104071
2008 DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
KUESIONER PENILAIAN FAKTOR PENENTU KINERJA SISTEM JUST IN TIME Kuesioner ini digunakan sebagai bahan untuk penelitian dengan judul : Analisis Faktor Penentu Kinerja Sistem Just In Time dengan Metode Analytic Network Process. Kuesiner ini bersifat rahasia dan hanya digunakan untuk kepentingan akademis. Terima kasih atas bantuan dan kerjasama Bapak/Ibu. Nama Responden Jabatan Lama Bekerja
: .............................................................................................................................. : .............................................................................................................................. : ..............................................................................................................................
Petunjuk : Anda diminta untuk memberikan penilaian terhadap setiap perbandingan berpasangan berdasarkan pengalaman, pengetahuan, dan intuisi Anda.
Petunjuk Nilai Skala Perbandingan : Tingkat Kepentingan
Definisi
Penjelasan
Kedua faktor
1
Kedua faktor mempunyai pengaruh yang sama
sama penting Faktor yang satu
3
sedikit lebih penting daripada yang lain
Penilaian salah satu faktor sedikit lebih memihak dibandingkan pasangannya
Faktor yang satu 5
lebih penting daripada yang lain
Penilaian salah satu faktor lebih kuat dibandingkan pasangannya
Faktor yang satu 7
sangat lebih penting daripada yang lain
Salah satu faktor lebih kuat dan dominasinya terlihat dibandingkan pasangannya
Faktor yang satu 9
mutlak sangat penting daripada yang lain
2,4,6,8
Nilai tengah di antara dua nilai berdekatan
Sangat jelas bahwa salah satu faktor amat sangat penting dibandingkan pasangannya Diberikan apabila terdapat keraguan diantara dua penilaian yang berdekatan
Contoh Bentuk Perbandingan Berpasangan : Faktor X
√
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Faktor Y
Skala bagian kiri digunakan jika Faktor X memiliki tingkat kepentingan di atas Faktor Y Skala bagian kanan digunakan jika Faktor Y memiliki tingkat kepentingan diatas Faktor X
Berikut ini adalah faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja sistem Just In Time di PT. Nippon Indosari Corpindo : 1. Supplier a. Lokasi pemasok dekat dengan pabrik b. Peningkatan frekuensi pengiriman dalam jumlah kecil c. Terdapat kontrak jangka panjang dan kemitraan 2. Inventory a. Penggunaan pull system untuk pergerakan persediaan b. Tingkat persediaan minimum c. Ukuran lot yang kecil (small lot size) d. Waktu set up yang singkat (quick set up) e. Terdapat pengurangan variabilitas 3. Schedulling a. Jadwal terkomunikasikan kepada pemasok b. Jadwal yang bertingkat (heijunka) c. Pembekuan jadwal yang paling dekat dengan jatuh tempo 4. Layout a. Work cell untuk produk sejenis (product family) b. Jarak antar sel kerja yang pendek c. Tempat yang kecil untuk persediaaan WIP 5. Quality a. Pengendalian mutu di setiap tahapan proses b. Terdapat sinyal/lampu tanda apabila terjadi masalah (Andon) 6. Preventive Maintenance a. Pemeliharaan rutin harian b. Jadwal pemeliharaan mesin tersusun 7. Employee Empowerment. a. Terdapat pelatihan (training) b. Terdapat pelatihan silang (cross training)
Dari faktor-faktor beserta elemennya masing-masing memiliki hubungan keterkaitan diantaranya. Anda diminta untuk membandingkan secara berpasangan mengenai pengaruhnya atau tingkat kepentingan suatu faktor atau elemen yang satu terhadap faktor atau elemen yang lainnya.
BAGIAN 1 1.1. Untuk memenuhi tujuan meningkatkan kinerja sistem Just In Time, faktor manakah yang lebih penting pengaruhnya ? Supplier
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Inventory
Supplier
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Schedulling
Supplier
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Layout
Supplier
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Quality
Supplier
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Preventive Maintenance
Supplier
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Employee Empowerment
Inventory
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Schedulling
Inventory
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Layout
Inventory
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Quality
Inventory
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Preventive Maintenance
Inventory
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Employee Empowerment
Schedulling
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Layout
Schedulling
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Quality
Schedulling
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Preventive Maintenance
Schedulling
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Employee Empowerment
Layout
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Quality
Layout
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Preventive Maintenance
Layout
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Employee Empowerment
Quality
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Preventive Maintenance
Quality
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Employee Empowerment
Preventive Maintenance
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Employee Empowerment
BAGIAN 2 2.1. Untuk memenuhi persyaratan faktor Supplier dalam tujuan meningkatkan kinerja sistem Just In Time, elemen manakah yang lebih penting pengaruhnya terhadap faktor tersebut? Lokasi pemasok dekat
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Peningkatan frekuansi pengiriman
Lokasi pemasok dekat
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kontrak jangka panjang
Peningkatan frekuensi pengiriman
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kontrak jangka panjang
2.2. Untuk memenuhi persyaratan faktor Inventory dalam tujuan meningkatkan kinerja sistem Just In Time, elemen manakah yang lebih penting pengaruhnya terhadap faktor tersebut? Pull System
9
8 7
6 5
4 3 2 1 2
3 4
5 6 7 8 9
Persediaan minimum
Pull System
9
8 7
6 5
4 3 2 1 2
3 4
5 6 7 8 9
Ukuran lot kecil
Pull System
9
8 7
6 5
4 3 2 1 2
3 4
5 6 7 8 9
Waktu set up singkat
Pull System
9
8 7
6 5
4 3 2 1 2
3 4
5 6 7 8 9
Pengurangan variabilitas
Persediaan minimum
9
8 7
6 5
4 3 2 1 2
3 4
5 6 7 8 9
Ukuran lot kecil
Persediaan minimum
9
8 7
6 5
4 3 2 1 2
3 4
5 6 7 8 9
Waktu set up singkat
Persediaan minimum
9
8 7
6 5
4 3 2 1 2
3 4
5 6 7 8 9
Pengurangan variabilitas
Ukuran lot kecil
9
8 7
6 5
4 3 2 1 2
3 4
5 6 7 8 9
Waktu set up singkat
Ukuran lot kecil
9
8 7
6 5
4 3 2 1 2
3 4
5 6 7 8 9
Pengurangan variabilitas
Waktu set up singkat
9
8 7
6 5
4 3 2 1 2
3 4
5 6 7 8 9
Pengurangan variabilitas
2.3. Untuk memenuhi persyaratan faktor Schedulling dalam tujuan meningkatkan kinerja sistem Just In Time, elemen manakah yang lebih penting pengaruhnya terhadap faktor tersebut? Komunikasi jadwal ke pemasok
9
8 7
6 5
4 3 2 1 2
3 4
5 6 7 8 9
Jadwal campur merata (heijunka)
Komunikasi jadwal ke pemasok
9
8 7
6 5
4 3 2 1 2
3 4
5 6 7 8 9
Pembekuan jadwal dekat jatuh tempo
Jadwal campur merata (heijunka)
9
8 7
6 5
4 3 2 1 2
3 4
5 6 7 8 9
Pembekuan jadwal dekat jatuh tempo
2.4. Untuk memenuhi persyaratan faktor Layout dalam tujuan meningkatkan kinerja sistem Just In Time, elemen manakah yang lebih penting pengaruhnya terhadap faktor tersebut? Work cell untuk produk sejenis
9
8 7
6 5
4 3 2 1 2
3 4
5 6 7 8 9
Jarak sel pendek
Work cell untuk produk sejenis
9
8 7
6 5
4 3 2 1 2
3 4
5 6 7 8 9
Tempat persediaan WIP kecil
Jarak sel pendek
9
8 7
6 5
4 3 2 1 2
3 4
5 6 7 8 9
Tempat persediaan WIP kecil
2.5. Untuk memenuhi persyaratan faktor Quality dalam tujuan meningkatkan kinerja sistem Just In Time, elemen manakah yang lebih penting pengaruhnya terhadap faktor tersebut? Pengendalian mutu setiap tahap proses
9
8 7
6 5
4 3 2 1 2
3 4
5 6 7 8 9
Penggunaan lampu tanda (Andon)
2.6. Untuk memenuhi persyaratan faktor Preventive Maintenance dalam tujuan meningkatkan kinerja sistem Just In Time, elemen manakah yang lebih penting pengaruhnya terhadap faktor tersebut? Pemeliharaan rutin harian
9
8 7
6 5
4 3 2 1 2
3 4
5 6 7 8 9
Jadwal pemeliharaan mesin tersusun
2.7. Untuk memenuhi persyaratan faktor Employee Empowerment dalam tujuan meningkatkan kinerja sistem Just In Time, elemen manakah yang lebih penting pengaruhnya terhadap faktor tersebut? Pelatihan (Training)
9
8 7
6 5
4 3 2 1 2
3 4
5 6 7 8 9
Pelatihan silang (Cross Training)
BAGIAN 3 Di bagian 3 ini, Anda diminta untuk membandingkan tingkat kepentingan antara dua elemen dalam kaitannya dengan elemen lain dari faktor yang lain. 3.1. Untuk memenuhi elemen Peningkatan frekuensi pengiriman, elemen faktor Supplier manakah yang lebih penting pengaruhnya? Lokasi pemasok dekat
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kontrak jangka panjang
3.2. Untuk memenuhi elemen Peningkatan frekuensi pengiriman, elemen faktor Inventory manakah yang lebih penting pengaruhnya? Persediaan minimum
9
8 7
6 5
4 3 2 1 2
3 4
5 6 7 8 9
Ukuran lot kecil
Persediaan minimum
9
8 7
6 5
4 3 2 1 2
3 4
5 6 7 8 9
Waktu set up singkat
Ukuran lot kecil
9
8 7
6 5
4 3 2 1 2
3 4
5 6 7 8 9
Waktu set up singkat
3.3. Untuk memenuhi elemen Kontrak jangka panjang, elemen faktor Supplier manakah yang lebih penting pengaruhnya? Lokasi pemasok dekat
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Peningkatan frekuensi pengiriman
3.4. Untuk memenuhi elemen Pull System, elemen faktor Supplier manakah yang lebih penting pengaruhnya? Peningkatan frekuensi pengiriman
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kontrak jangka panjang
3.5. Untuk memenuhi elemen Pull System, elemen faktor Inventory manakah yang lebih penting pengaruhnya? Persediaan minimum
9
8 7
6 5
4 3 2 1 2
3 4
5 6 7 8 9
Ukuran lot kecil
Persediaan minimum
9
8 7
6 5
4 3 2 1 2
3 4
5 6 7 8 9
Waktu set up singkat
Persediaan minimum
9
8 7
6 5
4 3 2 1 2
3 4
5 6 7 8 9
Pengurangan variabilitas
Ukuran lot kecil
9
8 7
6 5
4 3 2 1 2
3 4
5 6 7 8 9
Waktu set up singkat
Ukuran lot kecil
9
8 7
6 5
4 3 2 1 2
3 4
5 6 7 8 9
Pengurangan variabilitas
Waktu set up singkat
9
8 7
6 5
4 3 2 1 2
3 4
5 6 7 8 9
Pengurangan variabilitas
3.6. Untuk memenuhi elemen Pull System, elemen faktor Schedulling manakah yang lebih penting pengaruhnya? Jadwal bertingkat
9
8 7
6 5
4 3 2 1 2
3 4
5 6 7 8 9
Pembekuan jadwal dekat jatuh tempo
3.7. Untuk memenuhi elemen Persediaan minimum, elemen faktor Supplier manakah yang lebih penting pengaruhnya? Lokasi pemasok dekat
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Peningkatan frekuansi pengiriman
Lokasi pemasok dekat
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kontrak jangka panjang
Peningkatan frekuensi pengiriman
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kontrak jangka panjang
3.8. Untuk memenuhi elemen Persediaan minimum, elemen faktor Inventory manakah yang lebih penting pengaruhnya? Ukuran lot kecil
9
8 7
6 5
4 3 2 1 2
3 4
5 6 7 8 9
Waktu set up singkat
Ukuran lot kecil
9
8 7
6 5
4 3 2 1 2
3 4
5 6 7 8 9
Pengurangan variabilitas
Waktu set up singkat
9
8 7
6 5
4 3 2 1 2
3 4
5 6 7 8 9
Pengurangan variabilitas
3.9. Untuk memenuhi elemen Persediaan minimum, elemen faktor Layout manakah yang lebih penting pengaruhnya? Work cell untuk produk sejenis
9
8 7
6 5
4 3 2 1 2
3 4
5 6 7 8 9
Tempat persediaan WIP kecil
3.10. Untuk memenuhi elemen Ukuran lot kecil, elemen faktor Supplier manakah yang lebih penting pengaruhnya? Peningkatan frekuensi pengiriman
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kontrak jangka panjang
3.11. Untuk memenuhi elemen Ukuran lot kecil, elemen faktor Inventory manakah yang lebih penting pengaruhnya? Pull System
9
8 7
6 5
4 3 2 1 2
3 4
5 6 7 8 9
Persediaan minimum
Pull System
9
8 7
6 5
4 3 2 1 2
3 4
5 6 7 8 9
Waktu set up singkat
Persediaan minimum
9
8 7
6 5
4 3 2 1 2
3 4
5 6 7 8 9
Waktu set up singkat
3.12. Untuk memenuhi elemen Ukuran lot kecil, elemen faktor Layout manakah yang lebih penting pengaruhnya? Work cell untuk produk sejenis
9
8 7
6 5
4 3 2 1 2
3 4
5 6 7 8 9
Tempat persediaan WIP kecil
3.13. Untuk memenuhi elemen Waktu set up singkat, elemen faktor Inventory manakah yang lebih penting pengaruhnya? Persediaan minimum
9
8 7
6 5
4 3 2 1 2
3 4
5 6 7 8 9
Ukuran lot kecil
3.14. Untuk memenuhi elemen Waktu set up singkat, elemen faktor Employee Empowerment manakah yang lebih penting pengaruhnya? Pelatihan (Training)
9
8 7
6 5
4 3 2 1 2
3 4
5 6 7 8 9
Pelatihan silang (Cross Training)
3.15. Untuk memenuhi elemen Pengurangan variabilitas, elemen faktor Supplier manakah yang lebih penting pengaruhnya? Lokasi pemasok dekat
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Peningkatan frekuansi pengiriman
Lokasi pemasok dekat
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kontrak jangka panjang
Peningkatan frekuensi pengiriman
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kontrak jangka panjang
3.16. Untuk memenuhi elemen Pengurangan variabilitas, elemen faktor Inventory manakah yang lebih penting pengaruhnya? Persediaan minimum
9
8 7
6 5
4 3 2 1 2
3 4
5 6 7 8 9
Ukuran lot kecil
Persediaan minimum
9
8 7
6 5
4 3 2 1 2
3 4
5 6 7 8 9
Waktu set up singkat
Ukuran lot kecil
9
8 7
6 5
4 3 2 1 2
3 4
5 6 7 8 9
Waktu set up singkat
3.17. Untuk memenuhi elemen Pengurangan variabilitas, elemen faktor Preventive Maintenance manakah yang lebih penting pengaruhnya? Pemeliharaan rutin harian
9
8 7
6 5
4 3 2 1 2
3 4
5 6 7 8 9
Jadwal pemeliharaan mesin tersusun
3.18. Untuk memenuhi elemen Pengurangan variabilitas, elemen faktor Employee Empowerment manakah yang lebih penting pengaruhnya? Training
9
8 7
6 5
4 3 2 1 2
3 4
5 6 7 8 9
Cross Training
3.19. Untuk memenuhi elemen Jadwal terkomunikasikan ke pemasok, elemen faktor Supplier manakah yang lebih penting pengaruhnya? Lokasi pemasok dekat
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kontrak jangka panjang
3.20. Untuk memenuhi elemen Jadwal campur merata, elemen faktor Inventory manakah yang lebih penting pengaruhnya? Ukuran lot kecil
9
8 7
6 5
4 3 2 1 2
3 4
5 6 7 8 9
Waktu set up singkat
3.21. Untuk memenuhi elemen Jadwal campur merata, elemen faktor Employee Empowerment manakah yang lebih penting pengaruhnya? Pelatihan (Training)
9
8 7
6 5
4 3 2 1 2
3 4
5 6 7 8 9
Pelatihan silang (Cross Training)
3.22. Untuk memenuhi elemen Pembekuan jadwal dekat jatuh tempo, elemen faktor Inventory manakah yang lebih penting pengaruhnya? Persediaan minimum
9
8 7
6 5
4 3 2 1 2
3 4
5 6 7 8 9
Ukuran lot kecil
Persediaan minimum
9
8 7
6 5
4 3 2 1 2
3 4
5 6 7 8 9
Waktu set up singkat
Ukuran lot kecil
9
8 7
6 5
4 3 2 1 2
3 4
5 6 7 8 9
Waktu set up singkat
3.23. Untuk memenuhi elemen Work cell untuk produk sejenis, elemen faktor Inventory manakah yang lebih penting pengaruhnya? Pull System
9
8 7
6 5
4 3 2 1 2
3 4
5 6 7 8 9
Ukuran lot kecil
Pull System
9
8 7
6 5
4 3 2 1 2
3 4
5 6 7 8 9
Waktu set up singkat
Ukuran lot kecil
9
8 7
6 5
4 3 2 1 2
3 4
5 6 7 8 9
Waktu set up singkat
3.24. Untuk memenuhi elemen Work cell untuk produk sejenis, elemen faktor Schedulling manakah yang lebih penting pengaruhnya? Jadwal campur merata (heijunka)
9
8 7
6 5
4 3 2 1 2
3 4
5 6 7 8 9
Pembekuan jadwal dekat jatuh tempo
3.25. Untuk memenuhi elemen Tempat kecil persediaan WIP, elemen faktor Inventory manakah yang lebih penting pengaruhnya? Persediaan minimum
9
8 7
6 5
4 3 2 1 2
3 4
5 6 7 8 9
Ukuran lot kecil
3.26. Untuk memenuhi elemen Tempat kecil persediaan WIP, elemen faktor Layout manakah yang lebih penting pengaruhnya? Work cell untuk produk sejenis
9
8 7
6 5
4 3 2 1 2
3 4
5 6 7 8 9
Jarak sel pendek
3.27. Untuk memenuhi elemen Pengendalian mutu setiap tahap proses, elemen faktor Supplier manakah yang lebih penting pengaruhnya? Peningkatan frekuensi pengiriman
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kontrak jangka panjang
3.28. Untuk memenuhi elemen Pengendalian mutu setiap tahap proses, elemen faktor Inventory manakah yang lebih penting pengaruhnya? Persediaan minimum
9
8 7
6 5
4 3 2 1 2
3 4
5 6 7 8 9
Ukuran lot kecil
Persediaan minimum
9
8 7
6 5
4 3 2 1 2
3 4
5 6 7 8 9
Waktu set up singkat
Persediaan minimum
9
8 7
6 5
4 3 2 1 2
3 4
5 6 7 8 9
Pengurangan variabilitas
Ukuran lot kecil
9
8 7
6 5
4 3 2 1 2
3 4
5 6 7 8 9
Waktu set up singkat
Ukuran lot kecil
9
8 7
6 5
4 3 2 1 2
3 4
5 6 7 8 9
Pengurangan variabilitas
Waktu set up singkat
9
8 7
6 5
4 3 2 1 2
3 4
5 6 7 8 9
Pengurangan variabilitas
3.29. Untuk memenuhi elemen Pengendalian mutu setiap tahap proses, elemen faktor Schedulling manakah yang lebih penting pengaruhnya? Jadwal campur merata (heijunka)
9
8 7
6 5
4 3 2 1 2
3 4
5 6 7 8 9
Pembekuan jadwal dekat jatuh tempo
3.30. Untuk memenuhi elemen Pengendalian mutu setiap tahap proses, elemen faktor Preventive Maintenance manakah yang lebih penting pengaruhnya? Pemeliharaan rutin harian
9
8 7
6 5
4 3 2 1 2
3 4
5 6 7 8 9
Jadwal pemeliharaan mesin tersusun
3.31. Untuk memenuhi elemen Pengendalian mutu setiap tahap proses, elemen faktor Employee Empowerment manakah yang lebih penting pengaruhnya? Pelatihan (Training)
9
8 7
6 5
4 3 2 1 2
3 4
5 6 7 8 9
Pelatihan silang (Cross Training)
3.32. Untuk memenuhi elemen Penggunaan lampu tanda (Andon), elemen faktor Preventive Maintenance manakah yang lebih penting pengaruhnya? Pemeliharaan rutin harian
9
8 7
6 5
4 3 2 1 2
3 4
5 6 7 8 9
Jadwal pemeliharaan mesin tersusun
3.33. Untuk memenuhi elemen Penggunaan lampu tanda (Andon), elemen faktor Employee Empowerment manakah yang lebih penting pengaruhnya? Pelatihan (Training)
9
8 7
6 5
4 3 2 1 2
3 4
5 6 7 8 9
Pelatihan silang (Cross Training)
3.34. Untuk memenuhi elemen Pemeliharaan rutin harian, elemen faktor Layout manakah yang lebih penting pengaruhnya? Work cell untuk produk sejenis
9
8 7
6 5
4 3 2 1 2
3 4
5 6 7 8 9
Jarak sel pendek
3.35. Untuk memenuhi elemen Pemeliharaan rutin harian, elemen faktor Employee Empowerment manakah yang lebih penting pengaruhnya? Pelatihan (Training)
9
8 7
6 5
4 3 2 1 2
3 4
5 6 7 8 9
Pelatihan silang (Cross Training)
3.36. Untuk memenuhi elemen Jadwal pemeliharaan tersusun, elemen faktor Schedulling manakah yang lebih penting pengaruhnya? Jadwal campur merata (heijunka)
9
8 7
6 5
4 3 2 1 2
3 4
5 6 7 8 9
Pembekuan jadwal dekat jatuh tempo
3.37. Untuk memenuhi elemen Cross Training, elemen faktor Layout manakah yang lebih penting pengaruhnya? Work cell untuk produk sejenis
9
8 7
6 5
4 3 2 1 2
3 4
5 6 7 8 9
Jarak sel pendek
Lampiran 3. Denah Tata Letak (Layout) PT. Nippon Indosari Corpindo
Lampiran 4 (Lanjutan) Pengunaan rata-rata harian material dan Klasifikasi ABC No Description Size Usage/day Precentage (Average) 1 ET. Tawar Spesial Lbr 67606.45 8.22% 2 ET. Tawar Premium Lbr 1984.54 0.24% 3 ET. Tawar Spesial Boti Lbr 4800 0.58% 4 ET. Tawar Choco Chip Lbr 4741.94 0.58% 5 ET. Boti Tawar Pandan Lbr 677.42 0.08% 6 ET. TAWAR GANDUM Lbr 5690.32 0.69% 7 ET. TAWAR RAISIN Lbr 1354.84 0.16% 8 ET. TAWAR KUPAS Lbr 14499.77 1.76% 14280 1.74% 9 INNER PLASTIK TAWAR KUPAS (350 PCS)Lbr 10 INNER PLASTIK TAWAR KUPAS (420 PCS)Lbr 14280 1.74% 11 ET. BURGER BUNS Lbr 2400 0.29% 12 ET. HOT DOG Lbr 1200 0.15% 13 ET. CRUMB KHOMFOOD Lbr 285.71 0.03% 14 ET. ECONO CRUMB Lbr 0.00% 15 ET. ECONO CRUMB Lbr 0.00% 16 Coding Foil Roti Tawar 1 (305 M) m 2438.71 0.30% 17 Coding Foil Roti Tawar 2 (180 M) m 2438.71 0.30% 18 CODING FOIL ROTI MANIS (25 X 600) m 1800 0.22% 19 CODING FOIL ROTI MANIS (33 X 600) m 1800 0.22% 20 CODING FOIL ROTI MANIS (1000 X 30) m 1800 0.22% 21 Kwick Lock Merah Pcs 92000 11.19% 22 Kuning Pcs 96000 11.68% 23 Hijau Pcs 108000 13.14% 24 Biru Pcs 92000 11.19% 25 Orange Pcs 95000 11.55% 26 Tan Pcs 94000 11.43% 27 Putih Pcs 96000 11.68% 28 ET. TRAY BURGER BUNS (300 pcs) Pcs 2280 0.28% 29 ET. TRAY BURGER BUNS (420 pcs) Pcs 2200 0.27% 30 ET. BOTI KRIM COKLAT MOCCA Pcs 0.43 0.00% 31 LABEL SR Pcs 645.16 0.08% 32 HAND LABEL BAGELAN Pcs 0.00% 33 PALSTIK UNBRANDED Pcs 322.58 0.04% 822526.58 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63
ET. SARIKAYA ET. STRAWBERRY ET. CHOCOLATE ET. CHEESE ET. KELAPA ET. CREAM COKLAT ET. CREAM MOCCA ET.COKLAT VANILA CREAM ET. BOTI COKLAT ET. BOTI SARIKAYA ET. BOTI NANAS ET.BOTI KELAPA ET. SOBEK COKLAT SARIKAYA ET. SOBEK COKLAT COKLAT ET. SOBEK COKLAT KEJU ET. SOBEK COKLAT STRAWBERRY ET. SISIR MENTEGA ET. KASUR SUSU ET. KASUR KEJU ET. CREAM COKLAT BOTI ET. CREAM MOCCA BOTI ET. BOTI KEJU ET. BOTI ISI SUSU ET. BOTI KRIM STRAWBERRY ET. BOTI ISI COKLAT KEJU ET. BOTI ISI KACANG HIJAU ET. BOTI SOBEK COKLAT ET. BOTI KRIM KEJU ET. POLOS BOTI ET. POLOS SARIROTI
Roll Roll Roll Roll Roll Roll Roll Roll Roll Roll Roll Roll Roll Roll Roll Roll Roll Roll Roll Roll Roll Roll Roll Roll Roll Roll Roll Roll Roll Roll
1 0.9 4.57 1.29 0.57 1.58 1.74 1.85 2.14 0.19 0.14 0.14 2.06 4.58 2.84 1.87 0.29 0.29 0.58 0.23 0.29 0.29 0.29 0.43 1.03 0.29 0.58 1.46
Class
2.98% 2.69% 13.64% 3.85% 1.70% 4.72% 5.19% 5.52% 6.39% 0.57% 0.42% 0.42% 6.15% 13.67% 8.48% 5.58% 0.87% 0.87% 1.73% 0.69% 0.87% 0.87% 0.87% 1.28% 3.07% 0.87% 1.73% 4.36% 0.00% 0.00%
33.51 (Sumber : PPIC PT. NIC)
A C B B C B C B B B C C C C C C C C C C A A A A A A A C C C C C C
B C A B C B B B A C C C A A A A C C C C C C C C B C C B C C
Lampiran 4 Pengunaan rata-rata harian material dan Klasifikasi ABC No Description Size Usage/day Precentage (Average) 1 Tepung Cake KG 32479.15 69.96% 2 Palmia BOS (10 Kg) KG 149.96 0.32% 3 Palmia BOS (15 Kg) KG 143.36 0.31% 4 PALMIA MARGARINE KG 440.22 0.95% 5 PALMIA SHORTENING KG 1468.76 3.16% 6 MAESTRO BAKER FAT KG 1468.76 3.16% 7 PALMIA OLEX (TAMBAHAN) KG 239.14 0.52% 8 BIMOLI SPESIAL (TAMBAHAN) KG 141.61 0.31% 9 NABATI LESTARI (TAMBAHAN) KG 141.61 0.31% 10 MALINDA BAKER FAT KG 107.42 0.23% 11 LIQUID SUGAR KG 135.34 0.29% 12 GARAM HALUS KG 588.35 1.27% 13 TELUR AYAM KG 446.98 0.96% 14 EMULSIFIER KG 19.19 0.04% 15 SKIM POWDER KG 261.27 0.56% 16 FULL CREAM KG 262.45 0.57% 17 MILK REPLACER KERRYLAC F-8107 KG 8.56 0.02% 18 SUSU KENTAL MANIS KG 31.76 0.07% 19 CALCIUM TROTIONATE (20 Kg) KG 51.01 0.11% 20 FRIENDY SB KG 13.41 0.03% 21 MERRYWIP KG 35 0.08% 22 CHOCOLATE CHIP KG 110.91 0.24% 23 SOFTER SPONGE KG 77.9 0.17% 24 CHOCOLATE POWDER KG 32.62 0.07% 25 FRESH YEAST KG 814.65 1.75% 26 MALINDA MARGARINE KG 109.52 0.24% 27 GULA PASIR KG 3245.25 6.99% 28 RAISINS mariani (13.6 Kg) KG 44.68 0.10% 29 NATURAL COLOUR KG 0.02 0.00% 30 FINE BRAND KG 201.53 0.43% 31 NATURAL & ARTIVICAL BUTTER KG 1.06 0.00% 32 CONDENSED MILK KG 0.22 0.00% 33 MG UNSALTED BUTTER KG 36.34 0.08% 34 COLOURING PANDAN KG 0.04 0.00% 35 DYNA S KG 1.03 0.00% 36 CALCIUM LACTATE KG 18.17 0.04% 37 MAURIMIX KG 6.71 0.01% 38 HIDHA 25N Food Oil KG 4.17 0.01% 39 NATURAL CHEESE KG 7.43 0.02% 40 FILLER SARIKAYA KG 329.68 0.71% 41 FILLER STRAWBERRY KG 284.19 0.61% 42 FILLER CHOCOLATE DC 2624F KG 1694.09 3.65% 43 FILLER KEJU KG 320.32 0.69% 44 FILLER KELAPA KG 37.71 0.08% 45 FILLER CHOCO RICE TULIP KG 7.59 0.02% 46 FILLER WIJEN KG 2.84 0.01% 47 FILLER SARIKAYA II KG 14.29 0.03% 48 FILLER KEJU II KG 10.86 0.02% 49 PASTA SUSU KG 13.74 0.03% 50 FILLER NANAS II KG 11.49 0.02% 51 FILLER KELAPA II KG 7.43 0.02% 52 FILLER COKLAT II DC 3706 F KG 189.76 0.41% 53 FLAVOUR CHOCOLAE MANE R9901173 KG 3.58 0.01% 54 FILLER STRAWBERRY II KG 6.02 0.01% 55 KRAFT PROCESSO CHEEDAR CHEESE KG 131.34 0.28% 56 FILLER KACANG HIJAU KG 8.93 0.02% 57 FLAVOUR VANNILA 55 902 C KG 0.32 0.00% 58 COFFEE MOCCA PASTA KG 2.56 0.01% 59 FLAVOUR STRAWBERRY KG 0.14 0.00% 60 FLAVOUR COFFE KG 0.42 0.00% 61 FLAVOUR PANDAN KG 0.38 0.00% 62 CHEESE POWDER 28029 Romano KG 0 0.00% 63 CHEESE CAKE Flavour X00421 KG 0.32 0.00% 46423.56 (Sumber : PPIC PT. NIC)
Class A C C B A A B C C C C B B C B B C C C C C C C C B C A C C C C C C C C C C C C B B A B C C C C C C C C C C C C C C C C C C C C
Lampiran 8. Loss Produksi Untuk Produk Pareto (Januari-Februari 2008) RTS ICK TOC RKU Tanggal Januari Februari Januari Februari Januari Februari Januari Februari 1 3.7% 3.2% 7.7% 2.2% 1.9% 4.2% 2.8% 2.1% 2 4.4% 2.2% 6.7% 1.7% 5.5% 5.2% 2.3% 9.1% 3 2.7% 8.1% 4.7% 2.1% 3.0% 4.4% 1.5% 3.1% 4 4.6% 2.1% 4.9% 4.7% 10.6% 6.9% 2.6% 6.1% 5 2.5% 7.3% 6.1% 3.8% 3.0% 3.1% 2.6% 1.4% 6 5.9% 2.6% 11.4% 3.8% 8.4% 7.2% 1.4% 4.2% 7 2.7% 9.2% 2.8% 4.9% 3.6% 7.5% 5.6% 10.2% 8 2.1% 2.2% 3.2% 12.8% 6.1% 7.8% 1.3% -4.5% 9 3.6% 6.2% 3.3% 5.6% 7.3% 6.1% 14.5% -1.2% 10 3.3% 6.0% 5.2% 6.7% 4.8% 4.9% 6.7% 4.5% 11 3.2% 3.9% 3.7% 8.9% 3.4% 12.0% 2.1% 5.0% 12 0.8% 5.3% 3.7% 4.5% 3.1% 6.6% 9.8% 3.2% 13 2.8% 4.8% 3.7% 2.7% 6.4% 2.9% 1.5% 2.3% 14 4.8% 0.8% 4.8% 8.3% 11.0% 4.4% 6.6% 3.4% 15 3.9% 2.7% 4.4% 3.8% 6.1% 12.6% 1.5% 3.5% 16 3.5% 6.2% 2.8% 2.8% 6.3% 2.6% 2.1% 3.5% 17 1.3% 5.9% 5.0% 8.5% 8.9% 3.3% 2.1% 7.5% 18 3.7% 4.5% 4.8% 2.0% 1.8% 5.7% 1.2% 12.9% 19 2.9% 4.0% 2.9% 3.8% 4.2% 23.7% 4.1% 4.6% 20 4.9% 2.8% 3.4% 2.0% 5.4% 4.0% 1.5% 7.6% 21 2.3% 3.7% 7.2% 3.4% 3.2% 7.7% 2.0% 2.7% 22 4.1% 2.3% 3.9% 2.9% 4.8% 5.0% 6.4% 6.3% 23 3.2% 3.9% 2.1% 1.9% 11.0% 7.2% 1.7% 14.8% 24 4.4% 19.1% 2.5% 4.6% 7.4% 4.1% 1.3% 68.5% 25 2.1% 1.2% 2.5% 1.0% 3.4% 17.7% 3.3% 4.6% 26 4.6% -1.0% 3.0% 2.1% 7.7% 3.3% 1.7% 2.9% 27 4.4% 3.4% 6.4% 3.0% 7.6% 5.0% 7.0% 5.9% 28 3.9% 2.8% 3.5% 3.5% 5.8% 6.3% 1.4% 1.8% 29 1.9% 2.7% 3.6% 2.8% 4.8% 6.8% 2.2% 14.2% 30 3.5% 1.0% 4.6% 7.2% 31 1.8% 4.0% 3.5% 2.1% MIN MAX AVG SD
0.8% 5.9% 3.34% 1.16%
-1.0% 19.1% 4.42% 3.60%
1.0% 11.4% 4.35% 2.02%
1.0% 12.8% 4.17% 2.64%
1.8% 11.0% 5.63% 2.55%
2.6% 23.7% 6.83% 4.58%
1.2% 14.5% 3.55% 3.06%
-4.5% 68.5% 7.25% 12.51%
(Sumber : PPIC PT. NIC)
Lampiran 9 Unweighted Supermatrix 1. Supp~ 2. Inve~ 3. Sche~ 4. Layo~ 5. Qual~ 6. Prev~ 7. Empl~ 1. Loka~ 2. Peni~ 3. Kont~ 1. Pull~ 2. Pers~ 3. Ukur~ 1.Supp~ 0 0 0 0 0 0 0 1 0.25 0.33333 0 0 0 2. Inve~ 0 0 0 0 0 0 0 0 0.25 0 0.309 0.309 0.309 3. Sche~ 0 0 0 0 0 0 0 0 0.5 0.66667 0.58155 0.58155 0.58155 4. Layo~ 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.10945 0.10945 0.10945 5. Qual~ 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 6. Prev~ 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 7. Empl~ 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1. Loka~ 0.29696 0.29696 0.29696 0 0.29696 0 0 0 0.5 0.33333 0 0.25827 0 2. Peni~ 0.53961 0.53961 0.53961 0 0.53961 0 0 0 0 0.66667 0.5 0.637 0.75 3. Kont~ 0.16342 0.16342 0.16342 0 0.16342 0 0 0 0.5 0 0.5 0.10473 0.25 1. Pull~ 0.05195 0.05195 0.05195 0.05195 0.05373 0.05195 0.05195 0 0 0 0 0 0.22964 2. Pers~ 0.3412 0.3412 0.34122 0.34122 0.3007 0.34122 0.34122 0 0.6 0 0.5 0 0.64834 3. Ukur~ 0.10595 0.10595 0.10594 0.10594 0.10724 0.10594 0.10594 0 0.2 0 0.16667 0.1692 0 4. Wakt~ 0.27725 0.27725 0.27725 0.27725 0.27968 0.27725 0.27725 0 0.2 0 0.16667 0.38748 0.12202 5. Peng~ 0.22365 0.22365 0.22364 0.22364 0.25865 0.22364 0.22364 0 0 0 0.16667 0.44332 0 1. Jadw~ 0.25992 0.25992 0.25992 0 0 0.4126 0.4126 0 1 1 0 0 0 2. Jadw~ 0.4126 0.4126 0.4126 0 0 0.25992 0.25992 0 0 0 0.5 1 1 3. Pemb~ 0.32748 0.32748 0.32748 0 0 0.32748 0.32748 0 0 0 0.5 0 0 1. Work~ 0 0.14286 0 0.14286 0.14285 0.14286 0.14286 0 0 0 1 0.24998 0.75 2.. Jara~ 0 0.42857 0 0.42857 0.42858 0.42857 0.42857 0 0 0 0 0 0 3. Temp~ 0 0.42857 0 0.42857 0.42857 0.42857 0.42857 0 0 0 0 0.75002 0.25 1. Peng~ 0.75 0 0 0.75 0.75 0 0.75 0 0 0 0 0 0 2. Peng~ 0.25 0 0 0.25 0.25 0 0.25 0 0 0 0 0 0 1. Peme~ 0 0 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0 0 0 0 0 0 2. Jadw~ 0 0 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0 0 0 0 0 0 1.Pela~ 0 0 0 0.66667 0.66667 0.66667 0.66667 0 0 0 0 0 0 2. Pela~ 0 0 0 0.33333 0.33333 0.33333 0.33333 0 0 0 0 0 0
Lampiran 9 (Lanjutan) Unweighted Supermatrix (Lanjutan) 4. Wakt~ 5. Peng~ 1. Jadw~ 2. Jadw~ 3. Pemb~ 1. Work~ 2. Jara~ 1.Supp~ 0 0.12486 0.309 0 0 0 2. Inve~ 0.309 0.13625 0 0.19154 0.23206 0.309 3. Sche~ 0.58155 0.2817 0.58155 0.36769 0.48906 0.58155 4. Layo~ 0.10945 0.05611 0.10945 0.07816 0.08926 0.10945 5. Qual~ 0 0.12179 0 0 0.18963 0 6. Prev~ 0 0.1623 0 0.20683 0 0 7. Empl~ 0 0.11699 0 0.15578 0 0 1. Loka~ 0 0.33252 0.24998 0 0 0 2. Peni~ 0 0.52784 0 0 0 0 3. Kont~ 0 0.13965 0.75002 0 0 0 1. Pull~ 0 0 0 0 0 0.14285 2. Pers~ 0.66667 0.53961 0 0 0.4 0 3. Ukur~ 0.33333 0.16342 0 0.24998 0.2 0.42858 4. Wakt~ 0 0.29696 0 0.75002 0.4 0.42857 5. Peng~ 0 0 0 0 0 0 1. Jadw~ 0 0 0 0 0 0 2. Jadw~ 0 0 0 0 0 0.75 3. Pemb~ 0 0 0 0 0 0.25 1. Work~ 0 0 0 1 0 0 2.. Jara~ 0 0 0 0 0 0 3. Temp~ 0 0 0 0 0 0 1. Peng~ 0 0 0 0 0 0 2. Peng~ 0 0 0 0 0 0 1. Peme~ 0 0.83333 0 1 0 0 2. Jadw~ 0 0.16667 0 0 0 0 1.Pela~ 0.5 0.11111 0 0.5 0 0 2. Pela~ 0.5 0.88889 0 0.5 0 0
0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
3. Temp~ 1. Peng~ 2. Peng~ 1. Peme~ 2. Jadw~ 1. Pela~ 0 0.12457 0 0 0 0.309 0.13934 0.24627 0 0 0.58155 0.30018 0 0 0.39673 0.10945 0 0 0.14042 0.08324 0 0.13114 0.24627 0.28085 0.16126 0 0.18019 0.29788 0.33971 0.20464 0 0.12457 0.20959 0.23902 0.15413 0 0 0 0 0 0 0.5 0 0 0 0 0.5 0 0 0 0 0 0 0 0 0.5 0.2036 0 0 0 0.5 0.2036 0 0 0 0 0.34654 0 0 0 0 0.24626 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0.75 0 0 0.75 0 0.25 0 0 0.25 0.24998 0 0 0.5 0 0.75002 0 0 0.5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.5 0.5 0 1 0 0.5 0.5 1 0 0 0.33333 0.5 0.24998 0 0 0.66667 0.5 0.75002 0
2. Pela~ 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1
0 0 0 0.33333 0 0 0.66667 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.5 0.5 0 0 0 0 0 1 0
Lampiran 10 Weight Supermatrix 1. Supp~ 2. Inve~ 3. Sche~ 4. Layo~ 5. Qual~ 6. Prev~ 7. Empl~ 1. Loka~ 2. Peni~ 3. Kont~ 1. Pull~ 2. Pers~ 3. Ukur~ 1.Supp~ 0 0 0 0 0 0 0 1 0.06157 0.10307 0 0 0 2. Inve~ 0 0 0 0 0 0 0 0 0.06157 0 0.05907 0.05907 0.05907 3. Sche~ 0 0 0 0 0 0 0 0 0.12313 0.20615 0.11118 0.11118 0.11118 4. Layo~ 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.02092 0.02092 0.02092 5. Qual~ 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 6. Prev~ 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 7. Empl~ 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1. Loka~ 0.05579 0.06191 0.05259 0 0.05162 0 0 0 0.1018 0.08521 0 0.04576 0 2. Peni~ 0.10138 0.1125 0.09556 0 0.0938 0 0 0 0 0.17043 0.08859 0.11286 0.13288 3. Kont~ 0.0307 0.03407 0.02894 0 0.02841 0 0 0 0.1018 0 0.08859 0.01855 0.04429 1. Pull~ 0.01065 0.01182 0.01004 0.01193 0.01019 0.0094 0.00809 0 0 0 0 0 0.04427 2. Pers~ 0.06995 0.07762 0.06593 0.07834 0.05704 0.06171 0.05312 0 0.12216 0 0.09638 0 0.12498 3. Ukur~ 0.02172 0.0241 0.02047 0.02432 0.02034 0.01916 0.01649 0 0.04072 0 0.03213 0.03262 0 4. Wakt~ 0.05684 0.06307 0.05357 0.06365 0.05305 0.05014 0.04316 0 0.04072 0 0.03213 0.07469 0.02352 5. Peng~ 0.04585 0.05088 0.04321 0.05135 0.04906 0.04045 0.03482 0 0 0 0.03213 0.08546 0 1. Jadw~ 0.11017 0.12225 0.10384 0 0 0.15429 0.13281 0 0.34654 0.43514 0 0 0 2. Jadw~ 0.17489 0.19407 0.16484 0 0 0.09719 0.08367 0 0 0 0.17328 0.34657 0.34657 3. Pemb~ 0.13881 0.15403 0.13083 0 0 0.12245 0.10541 0 0 0 0.17328 0 0 1. Work~ 0 0.01338 0 0.01351 0.01116 0.01064 0.00916 0 0 0 0.09232 0.02308 0.06924 2.. Jara~ 0 0.04015 0 0.04052 0.03348 0.03192 0.02748 0 0 0 0 0 0 3. Temp~ 0 0.04015 0 0.04052 0.03348 0.03192 0.02748 0 0 0 0 0.06924 0.02308 1. Peng~ 0.13744 0 0 0.15392 0.12717 0 0.10438 0 0 0 0 0 0 2. Peng~ 0.04581 0 0 0.05131 0.04239 0 0.03479 0 0 0 0 0 0 1. Peme~ 0 0 0.11509 0.13674 0.11297 0.10772 0.09273 0 0 0 0 0 0 2. Jadw~ 0 0 0.11509 0.13674 0.11297 0.10772 0.09273 0 0 0 0 0 0 1.Pela~ 0 0 0 0.13143 0.10858 0.10353 0.08912 0 0 0 0 0 0 2. Pela~ 0 0 0 0.06572 0.05429 0.05177 0.04456 0 0 0 0 0 0
Lampiran 10 (Lanjutan) Weight Supermatrix 4. Wakt~ 5. Peng~ 1. Jadw~ 2. Jadw~ 3. Pemb~ 1. Work~ 2. Jara~ 1.Supp~ 0 0.02506 0.14943 0 0 0 2. Inve~ 0.10772 0.02734 0 0.03723 0.10635 0.08209 3. Sche~ 0.20273 0.05654 0.28124 0.07147 0.22412 0.15449 4. Layo~ 0.03816 0.01126 0.05293 0.01519 0.0409 0.02908 5. Qual~ 0 0.02444 0 0 0.0869 0 6. Prev~ 0 0.03257 0 0.0402 0 0 7. Empl~ 0 0.02348 0 0.03028 0 0 1. Loka~ 0 0.06184 0.12909 0 0 0 2. Peni~ 0 0.09817 0 0 0 0 3. Kont~ 0 0.02597 0.38731 0 0 0 1. Pull~ 0 0 0 0 0 0.03945 2. Pers~ 0.23433 0.10919 0 0 0.21669 0 3. Ukur~ 0.11716 0.03307 0 0.05744 0.10835 0.11835 4. Wakt~ 0 0.06009 0 0.17233 0.21669 0.11835 5. Peng~ 0 0 0 0 0 0 1. Jadw~ 0 0 0 0 0 0 2. Jadw~ 0 0 0 0 0 0.34365 3. Pemb~ 0 0 0 0 0 0.11455 1. Work~ 0 0 0 0.10995 0 0 2.. Jara~ 0 0 0 0 0 0 3. Temp~ 0 0 0 0 0 0 1. Peng~ 0 0 0 0 0 0 2. Peng~ 0 0 0 0 0 0 1. Peme~ 0 0.19859 0 0.27604 0 0 2. Jadw~ 0 0.03972 0 0 0 0 1.Pela~ 0.14996 0.01919 0 0.09493 0 0 2. Pela~ 0.14996 0.15348 0 0.09493 0 0
0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
3. Temp~ 1. Peng~ 2. Peng~ 1. Peme~ 2. Jadw~ 1. Pela~ 2. Pela~ 0 0.0203 0 0 0 0 0 0.12093 0.02271 0.06521 0 0 0 0 0.2276 0.04893 0 0 0.10241 0 0 0.04284 0 0 0.04049 0.02149 0 0.10916 0 0.02138 0.06521 0.08099 0.04163 0 0 0 0.02937 0.07888 0.09796 0.05282 0 0 0 0.0203 0.0555 0.06893 0.03979 0.44249 0.21832 0 0 0 0 0 0 0 0 0.06353 0 0 0 0 0 0 0.06353 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.20341 0.02891 0 0 0 0 0 0.20341 0.02891 0 0 0 0 0 0 0.04921 0 0 0 0 0 0 0.03497 0.23073 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.19309 0 0 0.34494 0 0 0 0.06436 0 0 0.11498 0 0 0.05045 0 0 0.07863 0 0 0.12996 0.15137 0 0 0.07863 0 0 0.12996 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.09171 0.14901 0 0.28196 0 0 0 0.09171 0.14901 0.31499 0 0 0 0 0.04235 0.10322 0.05984 0 0 0.4126 0 0.08471 0.10322 0.17954 0 0.55751 0
Lampiran 11 Limited Supermatrix 1. Supp~ 2. Inve~ 3. Sche~ 4. Layo~ 5. Qual~ 6. Prev~ 7. Empl~ 1. Loka~ 2. Peni~ 3. Kont~ 1. Pull~ 2. Pers~ 3. Ukur~ 1.Supp~ 0.03648 0.03648 0.03648 0.03648 0.03648 0.03648 0.03648 0.03648 0.03648 0.03648 0.03648 0.03648 0.03648 2. Inve~ 0.02407 0.02407 0.02407 0.02407 0.02407 0.02407 0.02407 0.02407 0.02407 0.02407 0.02407 0.02407 0.02407 3. Sche~ 0.07058 0.07058 0.07058 0.07058 0.07058 0.07058 0.07058 0.07058 0.07058 0.07058 0.07058 0.07058 0.07058 4. Layo~ 0.04363 0.04363 0.04363 0.04363 0.04363 0.04363 0.04363 0.04363 0.04363 0.04363 0.04363 0.04363 0.04363 5. Qual~ 0.0116 0.0116 0.0116 0.0116 0.0116 0.0116 0.0116 0.0116 0.0116 0.0116 0.0116 0.0116 0.0116 6. Prev~ 0.01391 0.01391 0.01391 0.01391 0.01391 0.01391 0.01391 0.01391 0.01391 0.01391 0.01391 0.01391 0.01391 7. Empl~ 0.05554 0.05554 0.05554 0.05554 0.05554 0.05554 0.05554 0.05554 0.05554 0.05554 0.05554 0.05554 0.05554 1. Loka~ 0.02328 0.02328 0.02328 0.02328 0.02328 0.02328 0.02328 0.02328 0.02328 0.02328 0.02328 0.02328 0.02328 2. Peni~ 0.03225 0.03225 0.03225 0.03225 0.03225 0.03225 0.03225 0.03225 0.03225 0.03225 0.03225 0.03225 0.03225 3. Kont~ 0.03063 0.03063 0.03063 0.03063 0.03063 0.03063 0.03063 0.03063 0.03063 0.03063 0.03063 0.03063 0.03063 1. Pull~ 0.0051 0.0051 0.0051 0.0051 0.0051 0.0051 0.0051 0.0051 0.0051 0.0051 0.0051 0.0051 0.0051 2. Pers~ 0.04856 0.04856 0.04856 0.04856 0.04856 0.04856 0.04856 0.04856 0.04856 0.04856 0.04856 0.04856 0.04856 3. Ukur~ 0.02947 0.02947 0.02947 0.02947 0.02947 0.02947 0.02947 0.02947 0.02947 0.02947 0.02947 0.02947 0.02947 4. Wakt~ 0.04803 0.04803 0.04803 0.04803 0.04803 0.04803 0.04803 0.04803 0.04803 0.04803 0.04803 0.04803 0.04803 5. Peng~ 0.01769 0.01769 0.01769 0.01769 0.01769 0.01769 0.01769 0.01769 0.01769 0.01769 0.01769 0.01769 0.01769 1. Jadw~ 0.04832 0.04832 0.04832 0.04832 0.04832 0.04832 0.04832 0.04832 0.04832 0.04832 0.04832 0.04832 0.04832 2. Jadw~ 0.0865 0.0865 0.0865 0.0865 0.0865 0.0865 0.0865 0.0865 0.0865 0.0865 0.0865 0.0865 0.0865 3. Pemb~ 0.03641 0.03641 0.03641 0.03641 0.03641 0.03641 0.03641 0.03641 0.03641 0.03641 0.03641 0.03641 0.03641 1. Work~ 0.03021 0.03021 0.03021 0.03021 0.03021 0.03021 0.03021 0.03021 0.03021 0.03021 0.03021 0.03021 0.03021 2.. Jara~ 0.02138 0.02138 0.02138 0.02138 0.02138 0.02138 0.02138 0.02138 0.02138 0.02138 0.02138 0.02138 0.02138 3. Temp~ 0.00914 0.00914 0.00914 0.00914 0.00914 0.00914 0.00914 0.00914 0.00914 0.00914 0.00914 0.00914 0.00914 1. Peng~ 0.019 0.019 0.019 0.019 0.019 0.019 0.019 0.019 0.019 0.019 0.019 0.019 0.019 2. Peng~ 0.00633 0.00633 0.00633 0.00633 0.00633 0.00633 0.00633 0.00633 0.00633 0.00633 0.00633 0.00633 0.00633 1. Peme~ 0.06508 0.06508 0.06508 0.06508 0.06508 0.06508 0.06508 0.06508 0.06508 0.06508 0.06508 0.06508 0.06508 2. Jadw~ 0.04593 0.04593 0.04593 0.04593 0.04593 0.04593 0.04593 0.04593 0.04593 0.04593 0.04593 0.04593 0.04593 1.Pela~ 0.06557 0.06557 0.06557 0.06557 0.06557 0.06557 0.06557 0.06557 0.06557 0.06557 0.06557 0.06557 0.06557 2. Pela~ 0.07532 0.07532 0.07532 0.07532 0.07532 0.07532 0.07532 0.07532 0.07532 0.07532 0.07532 0.07532 0.07532
Lampiran 11 (Lanjutan) Limited Supermatrix 4. Wakt~ 5. Peng~ 1. Jadw~ 2. Jadw~ 3. Pemb~ 1. Work~ 2. Jara~ 3. Temp~ 1. Peng~ 2. Peng~ 1. Peme~ 2. Jadw~ 1. Pela~ 2. Pela~ 1.Supp~ 0.03648 0.03648 0.03648 0.03648 0.03648 0.03648 0.03648 0.03648 0.03648 0.03648 0.03648 0.03648 0.03648 0.03648 2. Inve~ 0.02407 0.02407 0.02407 0.02407 0.02407 0.02407 0.02407 0.02407 0.02407 0.02407 0.02407 0.02407 0.02407 0.02407 3. Sche~ 0.07058 0.07058 0.07058 0.07058 0.07058 0.07058 0.07058 0.07058 0.07058 0.07058 0.07058 0.07058 0.07058 0.07058 4. Layo~ 0.04363 0.04363 0.04363 0.04363 0.04363 0.04363 0.04363 0.04363 0.04363 0.04363 0.04363 0.04363 0.04363 0.04363 5. Qual~ 0.0116 0.0116 0.0116 0.0116 0.0116 0.0116 0.0116 0.0116 0.0116 0.0116 0.0116 0.0116 0.0116 0.0116 6. Prev~ 0.01391 0.01391 0.01391 0.01391 0.01391 0.01391 0.01391 0.01391 0.01391 0.01391 0.01391 0.01391 0.01391 0.01391 7. Empl~ 0.05554 0.05554 0.05554 0.05554 0.05554 0.05554 0.05554 0.05554 0.05554 0.05554 0.05554 0.05554 0.05554 0.05554 1. Loka~ 0.02328 0.02328 0.02328 0.02328 0.02328 0.02328 0.02328 0.02328 0.02328 0.02328 0.02328 0.02328 0.02328 0.02328 2. Peni~ 0.03225 0.03225 0.03225 0.03225 0.03225 0.03225 0.03225 0.03225 0.03225 0.03225 0.03225 0.03225 0.03225 0.03225 3. Kont~ 0.03063 0.03063 0.03063 0.03063 0.03063 0.03063 0.03063 0.03063 0.03063 0.03063 0.03063 0.03063 0.03063 0.03063 1. Pull~ 0.0051 0.0051 0.0051 0.0051 0.0051 0.0051 0.0051 0.0051 0.0051 0.0051 0.0051 0.0051 0.0051 0.0051 2. Pers~ 0.04856 0.04856 0.04856 0.04856 0.04856 0.04856 0.04856 0.04856 0.04856 0.04856 0.04856 0.04856 0.04856 0.04856 3. Ukur~ 0.02947 0.02947 0.02947 0.02947 0.02947 0.02947 0.02947 0.02947 0.02947 0.02947 0.02947 0.02947 0.02947 0.02947 4. Wakt~ 0.04803 0.04803 0.04803 0.04803 0.04803 0.04803 0.04803 0.04803 0.04803 0.04803 0.04803 0.04803 0.04803 0.04803 5. Peng~ 0.01769 0.01769 0.01769 0.01769 0.01769 0.01769 0.01769 0.01769 0.01769 0.01769 0.01769 0.01769 0.01769 0.01769 1. Jadw~ 0.04832 0.04832 0.04832 0.04832 0.04832 0.04832 0.04832 0.04832 0.04832 0.04832 0.04832 0.04832 0.04832 0.04832 2. Jadw~ 0.0865 0.0865 0.0865 0.0865 0.0865 0.0865 0.0865 0.0865 0.0865 0.0865 0.0865 0.0865 0.0865 0.0865 3. Pemb~ 0.03641 0.03641 0.03641 0.03641 0.03641 0.03641 0.03641 0.03641 0.03641 0.03641 0.03641 0.03641 0.03641 0.03641 1. Work~ 0.03021 0.03021 0.03021 0.03021 0.03021 0.03021 0.03021 0.03021 0.03021 0.03021 0.03021 0.03021 0.03021 0.03021 2.. Jara~ 0.02138 0.02138 0.02138 0.02138 0.02138 0.02138 0.02138 0.02138 0.02138 0.02138 0.02138 0.02138 0.02138 0.02138 3. Temp~ 0.00914 0.00914 0.00914 0.00914 0.00914 0.00914 0.00914 0.00914 0.00914 0.00914 0.00914 0.00914 0.00914 0.00914 1. Peng~ 0.019 0.019 0.019 0.019 0.019 0.019 0.019 0.019 0.019 0.019 0.019 0.019 0.019 0.019 2. Peng~ 0.00633 0.00633 0.00633 0.00633 0.00633 0.00633 0.00633 0.00633 0.00633 0.00633 0.00633 0.00633 0.00633 0.00633 1. Peme~ 0.06508 0.06508 0.06508 0.06508 0.06508 0.06508 0.06508 0.06508 0.06508 0.06508 0.06508 0.06508 0.06508 0.06508 2. Jadw~ 0.04593 0.04593 0.04593 0.04593 0.04593 0.04593 0.04593 0.04593 0.04593 0.04593 0.04593 0.04593 0.04593 0.04593 1.Pela~ 0.06557 0.06557 0.06557 0.06557 0.06557 0.06557 0.06557 0.06557 0.06557 0.06557 0.06557 0.06557 0.06557 0.06557 2. Pela~ 0.07532 0.07532 0.07532 0.07532 0.07532 0.07532 0.07532 0.07532 0.07532 0.07532 0.07532 0.07532 0.07532 0.07532