ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENCIPTAAN KESEMPATAN KERJA DI PROVINSI SUMATERA UTARA SEBELUM DAN PADA MASA OTONOMI DAERAH (1994-2007)
Disusun Oleh : LISBETH ROTUA SIANTURI H14104020
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
2
RINGKASAN
LISBETH ROTUA SIANTURI. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penciptaan Kesempatan Kerja di Sumatera Utara (Dibimbing oleh YETI LIS PURNAMADEWI)
Otonomi Daerah merupakan suatu kelimpahan kewenangan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dengan otonomi daerah diharapkan terciptanya kemandirian daerah dalam melaksanakan pemerintahan dan pemerintah daerah diharapkan mampu menentukan sendiri kemajuan pembangunannya dengan mengoptimalkan potensi sektor-sektor perekonomiannya. Kemajuan pembangunan ekonomi di suatu negara atau daerah sangat didukung oleh faktor tenaga kerja, karena tenaga kerja merupakan faktor produksi dalam menghasilkan output suatu produksi. Selain itu dengan tersedianya kesempatan kerja, maka akan mengurangi jumlah pengangguran. Jumlah pengangguran yang semakin berkurang diharapkan akan pula mengurangi jumlah kemiskinan dan tingkat kriminalitas. Pelaksanaan otonomi daerah diharapkan akan mampu meningkatkan pertumbuhan perekonomian daerah. Pertumbuhan ekonomi ini akan mendorong penciptaan kesempatan kerja. Dengan begitu melalui otonomi daerah diharapkan kesempatan kerja akan semakin banyak tersedia dibandingkan dengan sebelum otonomi daerah. Namun kondisi kesempatan kerja di provinsi Sumatera Utara sendiri yang ikut serta dalam mengimplementasikan otonomi daerah, justru menunjukkan kecenderungan yang semakin menurun, sebelum otonomi daerah rata-rata pertumbuhan kesempatan kerja mencapai 1,70 persen sedangkan pada masa otonomi daerah pertumbuhan kesempatan kerja hanya mencapai rata-rata 1,22 persen, yang berarti pada masa berlangsungnya otonomi daerah, kesempatan kerja tidak mengalami pertumbuhan sebagaimana diharapkan. Selain itu, jika dibandingkan dengan kesempatan kerja nasional, kesempatan kerja di provinsi Sumatera Utara sebelum otonomi daerah adalah lebih tinggi, namun setelah otonomi daerah justru pertumbuhannya menjadi lebih rendah. Oleh karena tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penciptaan kesempatan kerja dengan tahun analisis sebelum dan pada masa berlakunya otonomi daerah di Provinsi Sumatera Utara. dengan demikian pelaksanaan otonomi daerah juga akan Analisis dalam penelitian ini dengan menggunakan analisis ekonometrik yaitu metode analisis OLS (Ordinary Least Square) dengan jenis panel data yang merupakan gabungan dari sembilan unit cross-section yaitu kesembilan sektor usaha di Sumatera Utara dan sepuluh data time series yaitu dari tahun 1994 hingga 2007. Pada penelitian ini, diduga terdapat enam variabel bebas yang berpengaruh positif terhadap penciptaan kesempatan kerja. Variabel-variabel tersebut adalah investasi, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), indeks pendidikan, angkatan kerja, tingkat upah riil dan otonomi daerah yang digunakan sebagai dummy variabel.
3
Berdasarkan hasil penelitian ini, model yang digunakan sudah dapat menggambarkan keragaman dalam kesempatan kerja, yang ditunjukkan oleh nilai R2 sebesar 0,99 dan signifikansi empat variabel dari enam variabel yang diduga. Adapun keempat variabel tersebut yang berpengaruh nyata terhadap penciptaan kesempatan kerja adalah investasi, PDRB, tingkat upah riil dan dummy otonomi daerah. Sedangkan variabel yang tidak berpengaruh nyata adalah angkatan kerja dan indeks pendidikan. Variabel yang berpengaruh nyata dan memberikan nilai positif adalah variabel PDRB karena dengan tumbuhnya ekonomi diperlukan tambahan input khususnya tenaga kerja dengan begitu permintaan akan tenaga kerja semakin meningkat. Variabel investasi memberikan pengaruh yang negatif karena investasi di Sumatera Utara lebih bersifat padat modal sehingga tidak mendorong penciptaan kesempatan kerja, tingkat upah riil memberikan pengaruh yang negatif karena peningkatan upah riil secara terus menerus akan menyebabkan ekonomi biaya tinggi bagi pengusaha dan variabel dummy otonomi daerah memberikan pengaruh yang negatif karena pelaksanaan otonomi daerah tidak didukung efektifitas sistem organisasi pemerintah dan sarana prasarana yang tidak memadai untuk terwujudnya pembangunan ekonomi yang akan mendorong penciptaan kesempatan kerja. Variabel angkatan kerja tidak signifikan karena kondisi angkatan kerja di Sumatera Utara selalu melebihi kesempatan kerja yang tersedia, maka peningkatan jumlah angkatan kerja tidak mampu meningkatkan penciptaan kesempatan kerja. Variabel indeks pendidikan tidak signifikan karena kualitas pendidikan angkatan kerja di Sumatera Utara masih tergolong rendah dan tidak memadai untuk dipekerjakan di sektor-sektor perekonomian. Melalui penelitian ini diharapkan pemerintah daerah provinsi Sumatera Utara agar mengoptimalkan segala potensi di sektor-sektor perekonomian sehingga dapat terus meningkatkan pertumbuhan ekonomi (PDRB), selain itu diperlukan usaha dari pemerintah daerah Sumatera Utara untuk mendorong investasi di sektor-sektor yang bersifat padat karya agar mampu menciptakan kesempatan kerja yang lebih banyak. Agar tingkat upah mampu meningkatkan penciptaan kesempatan kerja, pemerintah daerah Sumatera Utara diharapkan dapat memberi intervensi dengan menetapkan tingkat upah minimum pekerja (UMR), dengan begitu kebijakan ini akan berpihak baik kepada pengusaha maupun pekerja. Terkait dengan otonomi daerah diharapkan pemerintah lebih mengefektifkan sistem pemerintahan daerah dengan menempatkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas di pemerintahan daerah agar mampu melaksanakan tugas kepemerintahan dengan efektif. Penelitian ini menganjurkan perlunya melakukan penelitian lanjutan berkaitan dengan penciptaan kesempatan kerja untuk menganalisis faktor-faktor lain yang mempengaruhi penciptaan kesempatan kerja, misalnya faktor kenaikan harga, faktor jumlah impor, dan lain sebagainya faktor-faktor yang diduga berpengaruh sehingga dapat diketahui faktorfaktor lain di luar faktor-faktor pada penelitian ini, yang pada akhirnya menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam menanggulangi masalah ketenagakerjaan.
4
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh : Nama
: Lisbeth Rotua Sianturi
Nomor Registrasi Pokok
: H14104020
Program Studi
: Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi
: Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Kesempatan Kerja di Sumatera Utara Sebelum dan Pada Masa Otonomi Daerah (1994-2007)
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Menyetujui, Dosen Pembimbing,
Ir. Yeti Lis Purnamadewi, MSc. NIP : 131 967 243
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Rina Oktaviani, Ph, D. NIP : 131 846 872
Tanggal Kelulusan :
5
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENARBENAR
HASIL
DIGUNAKAN
KARYA
SEBAGAI
SAYA SKRIPSI
SENDIRI ATAU
YANG
BELUM
KARYA
PERNAH
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, September 2008
Lisbeth Rotua Sianturi H14104020
6
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama lengkap Lisbeth Rotua Sianturi, lahir 22 Mei 1985 di Tarutung, Tapanuli Utara, Sumatera Utara. Penulis adalah anak keempat dari lima bersaudara pasangan Mungkur Parlindungan Sianturi dan Lympe Ratna Lumban Tobing. Jenjang pendidikan dimulai pada Pendidikan Sekolah Dasar Negeri No. 173100 Tarutung pada tahun 1992. Pada tahun 1998 penulis masuk Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Negeri 2 Tarutung kemudian melanjutkan ke tingkat Sekolah Menengah Umum (SMU) Negeri 1 Tarutung pada tahun 2001 hingga lulus pada tahun 2004. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa melalui jalur USMI ( Undangan Seleksi Masuk IPB) pada Program Studi Ilmu Ekonomi, Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor Selama menjadi mahasiswa penulis aktif di organisasi kemahasiswaan khususnya Organisasi Kerohanian yaitu Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) di Komisi Kesenian. Selain itu Penulis juga aktif di organisasi eksternal kedaerahan yaitu Parsadaan Anak Rantau Tarutung (PARTARU) dan menjadi Bendahara selama masa periode jabatan.
7
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, atas kasih, berkat, hikmat dan bijaksana, kekuatan dan penyertaan-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi dengan judul ”Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penciptaan Kesempatan Kerja di Provinsi Sumatera Utara Sebelum dan Pada Masa Otonomi Daerah”, diajukan sebagai Syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada : 1. Ibu Ir. Yeti Lis Purnama Dewi, MSc selaku dosen pembimbing. Terimakasih atas doa, kesabaran dalam membimbing penulis, dukungan serta nasehat yang diberikan kepada penulis, sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. 2. Bapak M. Parulian Hutagaol, Ph.D selaku dosen penguji utama dan Ibu Widyastutik, M.Si selaku dosen penguji komisi pendidikan. Terima kasih atas masukan dan saran yang diberikan demi kebaikan skripsi ini. Tidak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada seluruh staff dosen di departemen Ilmu Ekonomi atas bimbingan yang diberikan selama penulis menjadi mahasiswi di Institut ini. 3. Kedua orangtua penulis, Bapa’ Mungkur P. Sianturi dan Mama’ Lympe R. br. Tobing. Terima kasih penulis sampaikan atas kasih sayang, perhatian, dorongan serta nasehat yang diberikan mulai dari penulis melanjutkan pendidikan di Institut ini sampai kepada penyelesaian skripsi ini. 4. Saudara-saudara penulis, Ka Susi, Ka Lenty, Abang Frengki, dan Fernando. Abang Ipar penulis, Abang Silalahi dan Abang Sianipar, serta my little daughters Olyvia, Dwi serta Mathilda, dan semua keluarga Sianturi penulis sampaikan terimakasih atas doa dan dukungannya. Semua ini dipersembahkan untuk kalian. 5. Anugrahku Lambok Trisando Cattergy Simamora (MORA). Terima kasih atas kasih sayang, perhatian dan dukungannya bagi penulis dalam menyelesaikan
8
skripsi ini. Suka dan duka yang telah dilalui bersama sangat berharga bagi penulis. 6. Instansi terkait Badan Pusat Statistik (BPS), Depnakertrans, BKPM, dan perpustakaan LSI IPB yang telah menyediakan data yang dibutuhkan dalam skripsi ini. Secara khusus penulis sampaikan terima kasih kepada Bapak Zulfiyandi dan Bapak Nurwidjaya selaku staff Depnakertrans yang telah bersedia memberikan masukan-masukan kepada penulis. 7. Saudara Marlina Siahaan, Duvi, dan Kiki yang telah membantu dalam pengolahan data dalam skripsi ini, Tuhan memberkati. 8. Kepada staff tata usaha Departemen Ilmu Ekonomi yang telah meluangkan waktunya untuk mengurus segala administrasi yang berkaitan dengan penulis dan kepada saudara-saudara Ilmu Ekonomi khususnya Angkatan 41, disampaikan ucapan terima kasih atas semangat untuk sukses bersama-sama. 9. Saudara-saudara penulis di Vilga.. Fitri, Ida, Ka Lolyta, Kathryn, Laura, Lastri, Susan, Susi, Tities, Vera, dan Yuli, terima kasih atas doa dan dukungannya. 10. Keluarga PARTARU IPB khususnya saudara-saudara angkatan 41, terima kasih untuk semangat dan doanya. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Namun penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.
Bogor, September 2008
Lisbeth Rotua Sianturi H14104020
9
DAFTAR ISI
Halaman
RIWAYAT HIDUP........................................................................................................i KATA PENGANTAR...................................................................................................ii DAFTAR ISI................................................................................................................iv DAFTAR TABEL.......................................................................................................vii DAFTAR GAMBAR.................................................................................................viii DAFTAR LAMPIRAN................................................................................................ix I.
II.
III.
PENDAHULUAN........................................................................................... 1 1.1.
Latar Belakang.......................................................................................1
1.2.
Perumusan Masalah...............................................................................4
1.3.
Tujuan Penelitian...................................................................................7
1.4.
Manfaat Penelitian.................................................................................7
1.5.
Ruang Lingkup Penelitian.....................................................................7
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN......................10 2.1.
Ketenagakerjaan....................................................................................9
2.2.
Otonomi Daerah dan Kesempatan Kerja.............................................11
2.3.
Teori Permintaan Tenaga Kerja...........................................................14
2.4.
Tingkat Penyerapan Tenaga Kerja.......................................................18
2.5.
Penelitian Terdahulu ..........................................................................22
2.6.
Kerangka Pemikiran Operasional........................................................24
METODE PENELITIAN..............................................................................27 3.1.
Jenis dan Sumber Data.........................................................................27
3.2.
Metode Analisis Data..........................................................................28
3.3.
Metode Pendugaan Model...................................................................28 3.3.1. Teknik Estimasi Model Menggunakan Data Panel..................28 3.3.1.1. Metode Pooled OLS..................................................31
10
3.3.1.2. Metode Fixed Effect..................................................31 3.3.1.3. Metode Random Effect..............................................32 3.3.2. Uji Kesesuaian Model...............................................................34 3.3.3. Perumusan Model Penelitian....................................................36 3.3.4. Hipotesis Penelitian..................................................................37 3.3.5. Uji Hipotesis.............................................................................37 3.3.5.1. Uji Statistik Model Penduga (Uji-F)..........................38 3.3.5.2. Uji Statistik untuk Masing-masing Variabel (Uji-t)..........................................................39 3.3.5.3. Koefisien Determinasi (R2).......................................41 3.3.6. Evaluasi Model.........................................................................42 3.3.6.1. Multikolinearitas.........................................................42 3.3.6.2. Autokorelasi................................................................43 3.3.6.3. Heteroskedastisitas.....................................................44 IV.
V.
GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN SUMATERA UTARA.........46 4.1.
Gambaran Umum Propinsi Sumatera Utara........................................46
4.2.
Pertumbuhan Ekonomi Propinsi Sumatera Utara................................47
4.3.
Tingkat Kemiskinan di Propinsi Sumatera Utara................................49
4.4.
Kesempatan Kerja di Propinsi Sumatera Utara...................................50
4.5.
Perkembangan Investasi di Propinsi Sumatera Utara .........................54
4.6.
Tingkat Pendidikan..............................................................................56
4.7.
Upah Riil..............................................................................................58
HASIL DAN PEMBAHASAN......................................................................60 5.1.
Transformasi Data dan Uji Kesesuaian Model....................................60 5.1.1. Transformasi Data....................................................................60 5.1.2. Uji Kesesuaian Model...............................................................60 5.1.2.1. Uji Chow Test............................................................61 5.1.2.2. Uji Hausman Test......................................................62
5.2.
Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penciptaan Kesempatan Kerja di Sumatera Utara...............................62
11
5.2.1. Hasil Estimasi Model................................................................62 5.2.2. Interpretasi Model.....................................................................65 VI.
KESIMPULAN DAN SARAN......................................................................70 6.1.
Kesimpulan..........................................................................................70
6.2.
Saran....................................................................................................71
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................74 LAMPIRAN...............................................................................................................77
12
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1.
Persentase Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas yang Bekerja Selama Seminggu yang Lalu Menurut Lapangan Pekerjaan Utama di Provinsi Sumatera Utara Tahun 1994- 2007....................................................................3
2.
Jumlah Angkatan Kerja di Provinsi Sumatera Utara(1994-2007).....................4
3.
Ketentuan Nilai Durbin Watson......................................................................43
4.
Laju Pertumbuhan Riil PDRB Sumatera Utara Menurut Lapangan Usaha Tahun 1994-2006..................................................48
5.
Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Sumatera Utara, 2001-2004......50
6.
Jumlah Penduduk 15+ di Provinsi Sumatera Utara Tahun, 2001-2005...........51
7.
Nilai Realisasi Investasi (PMA dan PMDN) Provinsi Sumatera Utara,1994-2007 (satuan Juta US$).................................................55
8.
Persentase Jumlah Penduduk Provinsi Sumatera Utara Berdasarkan Kemampuan Membaca dan Menulis(1994-2007)...........................................57
9.
Tingkat Upah Riil Provinsi Sumatera Utara 1994-2007 (Rupiah)..................58
10.
Hasil Estimasi Fungsi Kesempatan Kerja di Provinsi Sumatera Utara...........63
13
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1.
Perbandingan Jumlah Kesempatan Kerja dan Angkatan Kerjadi Sumatera Utara, 1994-2007.................................................5
2.
Perbandingan Pertumbuhan Kesempatan Kerja dan Angkatan Kerja di Sumatera Utara, 1995-2007................................................6
3.
Diagram Ketenagakerjaan...............................................................................10
4.
Permintaan Tenaga Kerja dengan Tingkat Upah Tetap...................................16
5.
Permintaan Tenaga Kerja dengan Tingkat Upah Menurun.............................18
6.
Kerangka Pemikiran........................................................................................26
7.
Persentase Pertumbuhan Kesempatan Kerja per Sektor di Sumatera Utara (1996-2005)....................................................53
8.
Tingkat Pendidikan Angkatan Kerja di Provinsi Sumatera Utara (1994-2007).........................................................56
14
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1.
Hasil Estimasi Menggunakan Model Fixed Effect..........................................77
2.
Hasil Hausman Test.........................................................................................77
3.
Data Kesempatan Kerja per Sektor 1996-2005...............................................78
4.
Data Nilai Investasi Sumatera Utara per Sektor 1994-2007............................78
5.
Data PDRB Sumatera Utara per Sektor 1994-2007........................................79
6.
Data Indeks Pendidikan Sumatera Utara per Sektor 1994-2007.....................79
7.
Data Angkatan Kerja Sumatera Utara per Sektor 1994-2007.........................80
8.
Data Tingkat Upah Riil Sumatera Utara per Sektor 1994-2007.....................80
9.
Data Variabel Dummy Otonomi Daerah per Sektor 1994-2007.....................81
15
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Sejak tahun 2001 Indonesia telah melaksanakan desentralisasi yang lebih dikenal dengan istilah otonomi daerah. Salah satu wujud perubahan fundamental dalam sistem pemerintahan di Indonesia sebagai akibat pemberlakuan otonomi daerah tersebut adalah dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, dan kemudian disusul oleh Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom. Hakekat Undang-Undang baru tersebut adalah pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah yang intinya adalah pembagian tugas dan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Adanya pelimpahan kewenangan yang sangat luas kepada daerah, dalam hal ini kota dan kabupaten untuk mengatur dan melaksanakan urusan rumah tangganya sendiri termasuk bidang ketenagakerjaan menyebabkan setiap daerah mempunyai kebebasan dan inisiatif untuk menentukan apa yang akan dicapai dan bagaimana cara untuk mencapainya (Zulfiyandi, 2006). Pelaksanaan kebijakan otonomi daerah ini bertujuan untuk menciptakan pemerataan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi sehingga dapat mengatasi masalah kemiskinan yang masih terus terjadi di wilayah-wilayah Indonesia. Bidang ini merupakan hal yang sangat penting dalam pembangunan dan pertumbuhan perekonomian.
Suatu
Negara
atau
daerah
yang
masih
tergolong
miskin
16
mengindikasikan bahwa penduduknya tidak sejahtera karena tidak memiliki kesempatan untuk memperoleh pekerjaan yang dapat meningkatkan taraf hidupnya. Dengan demikian, melalui otonomi daerah, masalah ketenagakerjaan diharapkan mampu diatasi oleh pemerintah yang telah diberi kewenangan
untuk mengatur
sendiri urusan rumah tangganya dengan lebih memperhatikan apa yang menjadi aspirasi masyarakat. Dengan kata lain, landasan filosofis tentang otonomi seharusnya menjadi dasar pemikiran bagi segenap rakyat Indonesia, karena sebagai rakyat Indonesia mereka berhak atas standar minimum ekonomi dan sosial yang sama pentingnya dengan hak politik dan kebebasan sipil. Bidang ketenagakerjaan merupakan salah satu hal yang sangat esensial dalam usaha memajukan perekonomian. Usaha yang dimaskud di bidang ini adalah penyediaan lapangan kerja yang cukup untuk dapat mengimbangi pertambahan angkatan kerja yang akan masuk ke pasar kerja, dimana pada umumnya pertumbuhan angkatan kerja selalu lebih cepat jika dibandingkan dengan pertumbuhan kesempatan kerja. Pertumbuhan kesempatan kerja yang semakin lambat ini adalah akibat dari kurang tersedianya lapangan pekerjaan di pasar kerja. Kondisi kesempatan kerja di Sumatera Utara dapat dijelaskan pada Tabel 1. Berdasarkan data tersebut bahwa sektor pertanian menyerap tenaga kerja paling banyak dengan nilai rata-rata sebesar 2.514.940 orang (53,47 persen). Kemudian diikuti dengan sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran dengan nilai rata-rata sebesar 825088,4 orang (17,43 persen). Lapangan usaha yang dalam penyerapan tenaga kerjanya sangat rendah setiap tahun adalah lapangan usaha Pertambangan dan Penggalian, Listrik, Gas dan Air Bersih serta Keuangan dan Asuransi dengan rata-rata
17
sebesar 14374,71 orang (0,18 persen). Kondisi kesempatan kerja ketersediaan lapangan kerja di Sumatera Utara. Kesempatan kerja tersebut belum mampu mengimbangi pertumbuhan angkatan kerja yang selalu meningkat.
Tabel 1. Persentase Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas yang Bekerja Selama Seminggu yang Lalu Menurut Lapangan Pekerjaan Utama di Provinsi Sumatera Utara Tahun 1994-2007 Tahun 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
KK_1 KK_2 KK_3 KK_4 KK_5 KK_6 KK_7 KK_8 KK_9 2503872 8597 298970 15215 98888 573573 182723 29244 537213 2622533 13377 308105 7924 142273 620275 157606 35645 581344 2506947 12.357 339471 7200 137526 741954 210909 23706 627096 2433625 13565 322425 15965 161085 918990 228320 38485 635005 2419737 5653 342029 23236 152773 753440 250154 19969 685806 2493113 10292 349370 11439 112344 807984 224316 34317 625642 2713756 5034 311958 0 166934 874376 238746 47155 333911 2518976 5385 349396 10704 195961 894620 188840 28128 596584 2590613 5641 333639 27845 211747 893946 245555 86636 499072 2643646 5462 328794 7907 193111 779655 198440 39953 398300 2525242 12926 389795 21612 183021 891744 297389 44041 536095 2708022 862 333850 18165 239285 722216 314468 37771 484320 2412367 11448 343956 15872 182406 933562 320845 65418 573782 2116711 10468 354061 18166 239902 1144907 327221 83064 663243 Sumber : Depnakertrans, 1994-2007 Keterangan : KK_1 : Kesempatan Kerja Sektor Pertanian KK_2 : Kesempatan Kerja Sektor Pertambangan dan Galian KK_3 : Kesempatan Kerja Sektor Industri Pengolahan KK_4 : Kesempatan Kerja Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih KK_5 : Kesempatan Kerja Sektor Bangunan KK_6 : Kesempatan Kerja Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran KK_7 : Kesempatan Kerja Sektor Pengangkutan dan Komunikasi KK_8 : Kesempatan Kerja Sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa KK_9 : Kesempatan Kerja Sektor Jasa-jasa
Otonomi daerah diharapkan akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah. Pertumbuhan ekonomi daerah yang meningkat akan memicu penciptaan kesempatan kerja. Perlunya peningkatan kesempatan kerja adalah karena adanya keterbatasan kesempatan kerja yang berakibat kepada munculnya pengangguran,
dengan semakin meningkatnya pengangguran maka akan memperbanyak angka kemiskinan. Selain itu tidak tersedianya lapangan pekerjaan akan mendorong timbulnya tindakan kriminalitas di kalangan masayarakat. Dengan demikian, perlu dianalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penciptaan kesempatan kerja, termasuk di dalamnya dianalisis sejauh mana otonomi daerah dapat meningkatkan kesempatan kerja.
1.2. Perumusan Masalah Permasalahan ketenagakerjaan di Sumatera Utara terletak pada kesempatan kerjanya, yaitu kesempatan kerja di Sumatera Utara yang masih terbatas. Jika dibandingkan dengan kesempatan kerja nasional, pada umumnya kesempatan kerja Sumatera Utara masih tergolong rendah (Gambar 1.). Pada tahun 1994-1997 kesempatan kerja di Sumatera Utara lebih tinggi dari pada kesempatan kerja nasional. Namun pada tahun 1998 lebih rendah dari pada kesempatan kerja nasional. Sebelum otonomi daerah, rata-rata pertumbuhan kesempatan kerja provinsi Sumatera Utara mencapai angka 1,70 persen lebih tinggi dibandingkan rata-rata pertumbuhan kesempatan kerja nasional yang hanya 1,33 persen. Sementara pada masa otonomi daerah, rata-rata pertumbuhan kesempatan kerja provinsi Sumatera Utara hanya mencapai nilai 1,22 persen lebih rendah dibanding rata-rata pertumbuhan kesempatan kerja nasional yang mencapai nilai 2,62 persen. Pertumbuhan kesempatan kerja di Sumatera Utara pada masa berlangsungnya otonomi daerah cenderung berfluktuasi. Pada awal berlangsungnya otonomi daerah, pertumbuhan kesempatan kerja
meningkat, namun menurun sangat drastis pada tahun 2003 sampai mencapai nilai negatif. Kemudian meningkat kembali pada tahun 2004 dan menurun kembali pada tahun 2005 sampai tahun 2007 cenderung berfluktuasi.
% Pertum buhan
10,00 5,00 0,00 -5,00 -10,00 1995 1996 1997 1998 1999 2000 Indonesia
RataRata2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 rata rata
1,76 2,52 1,58 0,72 0,31 1,11 1,33 3,12 2,92 -0,94 6,74 0,98 0,87 4,69 2,62
Sumatera Utara 5,67 2,63 3,48 -2,41 0,34 0,49 1,70 2,06 2,22 -6,12 4,67 -0,88 0,01 2,02 1,22
Sumber : Depnakertrans, 1994-2007 (Diolah). Gambar 1. Perbandingan Persentase Pertumbuhan Kesempatan Kerja Indonesia dan Sumatera Utara, 1994-2007 Perbandingan pertumbuhan kesempatan kerja dan pertumbuhan angkatan kerja Sumatera Utara dapat digambarkan pada Gambar 2. Dari gambar jelas terlihat bahwa setelah pemberlakuan otonomi daerah yaitu setelah tahun 2001, pertumbuhan angkatan kerja melebihi pertumbuhan kesempatan kerja. Rata-rata pertumbuhan angkatan kerja Sumatera Utara setelah otonomi daerah adalah 0,046 persen, sedangkan rata-rata pertumbuhan kesempatan kerja setelah otonomi daerah adalah 0,015 persen. Sementara harapan pemberlakuan otonomi daerah adalah untuk mendorong pembangunan daerah dengan mengoptimalkan segala sumber daya yang
tersedia termasuk sumber daya manusia. Dengan otonomi daerah diharapkan dapat meningkatkan penciptaan lapangan pekerjaan karena penciptaan lapangan pekerjaan akan memberi efek multiplier terhadap pengurangan jumlah pengangguran dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
10,00
% Pertumbuhan
8,00 6,00 4,00 2,00 0,00 -2,00 -4,00 -6,00 -8,00
1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
AK 7,71 0,76 3,03 2,30 -0,35 1,00 5,32 2,66 -0,19 0,97 0,05 0,06 3,19 KK 5,67 2,63 3,48 -2,41 0,34 0,49 2,06 2,22 -6,12 4,67 -0,88 0,01 2,02
Sumber : BPS, 1995-2007 (Diolah)
Gambar 2. Perbandingan Pertumbuhan Kesempatan Kerja dan Angkatan Kerja di Sumatera Utara, 1995-2007 Dari uraian di atas maka rumusan masalah yang akan dianalisis pada penelitian ini adalah faktor-faktor apa yang mempengaruhi penciptaan kesempatan kerja di Sumatera Utara yang dilihat dari permintaan tenaga kerja di sektor-sektor perekonomian di Sumatera Utara, dan menganalisis kaitannya dengan pemberlakuan otonomi daerah yang bertujuan untuk mendorong penciptaan kesempatan kerja di daerah.
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah diuraikan di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penciptaan kesempatan kerja sebelum dan pada masa otonomi daerah dan ingin menganalisis sejauh mana otonomi daerah dapat meningkatkan kesempatan kerja.
1.4. Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini adalah : 1.
Sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi pemerintah daerah Sumatera Utara, khususnya Dinas Ketenagakerjaan, terkait kebijakan-kebijakan yang menyangkut permasalahan dalam ketenagakerjaan.
2.
Sebagai bahan studi pustaka dan informasi bagi para pembaca, serta sebagai bahan referensi untuk penelitian yang berkaitan.
3.
Sebagai media untuk belajar, menambah pengalaman, dan menerapkan ilmu yang diperoleh penulis selama kuliah.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian meliputi penciptaan kesempatan kerja di provinsi Sumatera Utara sebelum dan pada masa otonomi daerah yaitu pada tahun 1994-2007. Penciptaan kesempatan kerja ini dilihat dari jumlah permintaan tenaga kerja di kesembilan sektor perekonomian yang terdapat di Sumatera Utara. Analisis dilakukan dengan analisis OLS (Ordinary Least Square) menggunakan data panel (gabungan
dari data cross-section dan time series). Cross Section pada penelitian ini adalah kesembilan sektor perekonomian di Sumatera Utara, sedangkan Time Series adalah tujuh tahun sebelum pemberlakuan otonomi daerah yaitu tahun 1994-2000 dan tujuh tahun lagi setelah dan pada masa otonomi daerah yaitu tahun 2001-2007. Otonomi daerah sebagai dummy variabel untuk melihat berapa besar pengaruh pemberlakuan otonomi daerah terhadap penciptaan kesempatan kerja. Variabel dependent yang digunakan dalam analisis adalah permintaan tenaga kerja sedangkan variabel independent diantaranya adalah realisasi investasi, PDRB, indeks pendidikan, jumlah angkatan kerja, tingkat upah riil, serta dummy otonomi daerah.
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Ketenagakerjaan Kesempatan kerja adalah suatu keadaan yang menggambarkan tersedianya lapangan kerja untuk diisi oleh pencari kerja. Tenaga kerja adalah setiap orang yang melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun masyarakat (UU RI No. 13 dalam Disnaker, 2003). Sektor tenaga kerja merupakan salah satu sektror penting bagi pembangunan ekonomi khusunya dalam upaya pemerintah menanggulangi kemiskinan. Tenaga kerja adalah modal bagi geraknya roda pembangunan, sehingga kemakmuran suatu negara atau daerah banyak tergantung kepada pemanfaatn tenaga kerja seefektif mungkin. Upaya yang dilakukan dengan menciptakan lapangan kerja baru dalam jumlah dan kualitas yang memadai, diharapkan dapat menyerap tambahan angkatan kerja yang memasuki pasar kerja setiap tahunnya. Perkembangan jumlah tenaga kerja yang tidak diimbangi dengan pertumbuhan lapangan pekerjaan akan menyebabkan tingkat kesempatan atau penyerapan tenaga kerja cenderung menurun. Sesuai dengan UU No. 25 tahun 1997 tentang ketenagakerjaan, maka telah ditetapkan batas usia kerja penduduk Indonesia menjadi 15 tahun. Oleh karena itu, pada tanggal 1 Oktober 1998 tenaga kerja didefenisikan sebagai penduduk yang berumur 15 tahun atau lebih. Tenaga kerja atau yang disebut dengan Penduduk Usia Kerja (PUK) terdiri dari Angkatan Kerja dan Bukan Angkatan Kerja. Kelompok Angkatan Kerja
mencakup penduduk yang bekerja dan penduduk yang mencari pekerjaan. Penduduk yang bekerja dibagi menjadi penduduk yang bekerja penuh dan setengah menganggur. Menurut BPS (2000), bekerja adalah kegiatan melakukan pekerjaan dengan tujuan memperoleh nafkah atau membantu memperoleh nafkah paling sedikit satu jam secara terus menerus selama seminggu yang lalu. Sementara yang dimaksud dengan mencari pekerjaan adalah upaya yang dilakukan untuk memperoleh pekerjaan. Penduduk yang mencari pekerjaan dibagi menjadi penduduk yang pernah bekerja dan penduduk yang belum pernah bekerja.
Penduduk Usia Kerja
Bukan Angkatan Kerja
Angkatan Kerja
Bekerja
Bekerja Penuh
Mengurus Rumah Tangga
Setengah Menganggur
Sekolah
Mencari Kerja
Pernah Bekerja
Lainnya
Sumber : BPS dalam Depnakertrans, 2007. Gambar 3. Diagram Ketenagakerjaan
Belum Pernah Bekerja
Untuk golongan bukan angkatan kerja adalah penduduk yang tidak aktif secara ekonomi, antara lain golongan mereka yang bersekolah, golongan yang mengurus rumah tangga yaitu mereka yang mengurus rumah tangga tanpa memperoleh upah dan golongan lainnya (Depnakertrans, 2007). Golongan yang masih bersekolah dan yang mengurus rumah tangga sewaktu-waktu dapat masuk ke pasar kerja. Oleh karena itu, kelompok ini dapat juga disebut sebagai angkatan kerja potensial. Sektor formal sendiri didefinisikan sebagai usaha yang dimiliki badan usaha dengan memiliki tenaga kerja. Sedangkan sektor informal adalah usaha yang dilakukan sendiri atau dibantu orang lain dan atau pekerja bebas serta pekerja tak dibayar. Penggolongan semua penduduk tersebut dapat dilihat pada diagram ketenagakerjaan Gambar 4.
2.2. Otonomi Daerah dan Kesempatan Kerja Menurut Peraturan Daerah No 38 Tahun 2007 Bagian I Pasal 1 ayat (4) bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan otonomi daerah ditujukan bagi perwujudan otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi dan bertanggungjawab. Selain itu, tujuan pemberian otonomi daerah adalah untuk memungkinkan daerah yang bersangkutan mengatur dan mengurus rumahtangganya sendiri untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat.
Disebutkan oleh Tambunan (2001) untuk memberikan keleluasaan pada daerah dalam wujud otonomi daerah yang luas dan bertanggungjawab, untuk mengatur dan mengurus kepentingannya sendiri, tanpa ada lagi intervensi dari pemerintah pusat, menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai kondisi dan potensi wilayahnya, maka lahirlah undang-undang yaitu UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah atau yang umum disebut sebagai UU Otonomi Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah atau yang umum disebut sebagai desentralisasi fiskal. Otonomi daerah didasarkan pada prinsip desentralisasi. Menurut UU Otonomi Daerah Pasal 1 ayat (7), desentralisasi berarti penyerahan wewenang pemerintah oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menurut Osborne dan Gaebler (1992) dalam Tambunan (2001) terdapat empat kelebihan yang dimiliki desentralisasi : 1. Lembaga yang terdesentralisasi jauh lebih fkeksibel daripada yang tersentralisasi, karena lembaga tersebut dapat memberikan jawaban dengan cepat terhadap lembaga dan kebutuhan masyarakat yang berubah. 2. Lembaga yang terdesentralisasi jauh lebih efektif daripada yang tersentralisasi, hal ini mengingat para pekerja di baris depan lebih tahu mengenai apa yang sebenarnya terjadi. jam demi jam, hari demi hari. Seringkali mereka justru dapat menciptakan solusi terbaik, jika mendapat dukungan dari pemimpin organisasi. 3. Lembaga yang terdesentralisasi jauh lebih inovatif daripada yang tersentralisasi. Sering terjadi inovasi muncul karena gagasan yang baik dan berkembang dari
karyawan yang benar-benar melaksanakan pekerjaannya dan berhubungan dengan pelanggan. 4. Lembaga yang terdesentralisasi niscaya akan menghasilkan semangat kerja yang lebih tinggi, lebih banyak komitmen, dan lebih besar produktivitasnya.
Keefektifan pelaksanaan otonomi daerah juga dipengaruhi oleh kesiapan dan kemampuan pemerintah daerah melaksanakan urusan pemerintah yang diserahkan padanya dalam rangka pelaksanaan pembangunan dan pelayanan masyarakat. Kesiapan ini menyangkut kesiapan perangkatnya di daerah yang umunya memiliki kemampuan yang relatif terbatas dibandingkan perangkat pemerintah pusat. Keterbatasan kemampuan keuangan dan perangkat daerahnya menyebabkan keterbatasan kemampuan daerah dalam pelaksanaan otonomi di daerah yang bersangkutan. Menurut Kaho (1997) ada empat faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah : 1. Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan faktor esensial dari otonomi dan sebagai subjek dan objek dalam pelaksanaan otonomi. 2. Keuangan merupakan faktor yang sangat menentukan pelaksanaan otonomi daerah karena akan menentukan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang bersumber dari retribusi daerah, pajak, hasil perusahaan daerah, dsb. 3. Peralatan yang cukup baik berupa prasarana dan sarana fisik yang memperlancar pembangunan.
4. Organisasi dan manajemen merupakan lembaga dan organisasi, pemerintah daerah yang akan menjadi aksekutif dan legislatif di daerah.
Dengan tanggung jawab perencanaan, pelaksanaan dan sumber pembiayaan dari daerah sendiri, daerah leluasa mengimplementasikan kebutuhan dan aspirasi daerahnya dalam bentuk program/proyek pembangunan, yang dikenal sebagai program/proyek regional/daerah. Dalam kaitannya dengan ketenagakerjaan, daerah diberi wewenang utuh untuk menjalankan upaya untuk meningkatkan dan memperluas kesempatan kerja, peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dan menetapkan upah minimum. Pemberlakuan otonomi daerah diharapkan dapat meningkatkan perekonomian. Peningkatan dan pertumbuhan perekonomian daerah ini juga diharapkan akan membawa pengaruh yang signifikan terhadap penciptaan kesempatan kerja. Melalui kewenangan yang dimilikinya untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya, maka pemerintah daerah akan berupaya untuk memberdayakan seluruh potensi yang dimiliki dalam mendukung kegiatan-kegiatan yang mendorong penciptaan kesempatan kerja. Dengan begitu peningkatan kesempatan kerja ini diharapkan mampu mengurangi jumlah pengangguran dan angka kemiskinan dan pada akhirnya berimplikasi kepada peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah.
2.3. Teori Permintaan Tenaga Kerja Teori permintaan tenaga kerja adalah teori yang menjelaskan seberapa banyak suatu perusahaan akan mempekerjakan tenaga kerja dengan berbagai tingkat upah
pada suatu periode tertentu. Permintaan atas tenaga kerja berlainan dengan permintaan konsumen terhadap barang dan jasa. Orang membeli barang karena barang tersebut memberikan kegunaan kepada pembeli. Akan tetapi bagi pengusaha, mempekerjakan seseorang bertujuan untuk membantu memproduksi barang dan jasa untuk dijual kepada konsumen. Dengan kata lain, pertambahan permintaan pengusaha terhadap tenaga kerja tergantung dari pertambahan permintaan masyarakat terhadap barang yang diproduksinya. Oleh karena itu, permintaan akan tenaga kerja merupakan permintaan turunan. Fungsi permintaan tenaga kerja biasanya didasarkan kepada teori neoklasik, dimana dalam ekonomi pasar diasumsikan bahwa seorang pengusaha tidak dapat mempengaruhi harga (price taker). Dalam hal memaksimalkan laba, pengusaha hanya dapat mengatur berapa jumlah karyawan yang dapat dipekerjakan. Fungsi permintaan suatu perusahaan akan tenaga kerja didasarkan kepada : (1) tambahan hasil marjinal yaitu tambahan hasil (output) yang diperoleh pengusaha dengan penambahan seoprang pekerja. Tambahan hasil tersebut dinamakan tambahan hasil marjinal atau marginal physical product dari tenaga kerja (MPPL), (2) penerimaan marjinal yaitu jumlah uang yang akan diperoleh pengusaha dengan tambahan hasil marjinal tersebut. Jumlah uang ini dinamakan penerimaan marjinal atau marginal revenue (MR). Penerimaan marjinal disini merupakan besarnya tambahan hasil marjinal dikalikan dengan harga per unit, sehingga MR = VMPPL = MPPL . P, dan (3) biaya marjinal yaitu jumlah biaya yang dikeluarkan pengusaha dengan mempekerjakan tambahan seorang karyawan, dengan kata lain upah karyawan tersebut. Ababila tambahan penerimaan marjinal lebih besar dari biaya marjinal, maka mempekerjakan orang
tersebut akan menambah keuntungan pengusaha, sehingga pengusaha akan terus menambah jumlah karyawan selama MR lebih besar dari tingkat upah.
Upah
D1
VMPP W
DL = MPPL.P L1
L*
Tenaga Kerja
Sumber : Bellante dan Jackson, 1990. Gambar 4. Permintaan Tenaga Kerja dengan Tingkat Upah Tetap Keterangan : VMPP = Value Marginal Physical Product of Labor (Nilai Pertambahan Hasil Marjinal Tenaga Kerja) P
= Harga jual barang per unit
DL
= Permintaan Tenaga Kerja
W
= Tingkat Upah
L
= Tenaga Kerja Peningkatan permintaan pengusaha terhadap tenaga kerja tergantung dari
pertambahan permintaan masyarakat terhadap barang yang dikonsumsinya. Semakin tinggi permintaan masyarakat akan barang tertentu, maka jumlah tenaga kerja yang diminta oleh suatu perusahaan akan semakin meningkat dengan asumsi tingkat upah tetap (Gambar 5.) Peningkatan jumlah tenaga kerja oleh perusahaan tidak dilakukan untuk jangka pendek, walaupun permintaan masyarakat terhadap produk yang dihasilkan
tinggi. Dalam jangka pendek, perusahaan akan lebih mengoptimalkan jumlah tenaga kerja yang ada dengan penambahan jam kerja atau penggunaan mekanisasi, sedangkan dalam jangka panjang kenaikan jumlah permintaan masyarakat akan direspon oleh perusahaan dengan menambah jumlah tenaga kerja yang dipekerjakan. Hal ini berarti terjadi peningkatan penyerapan tenaga kerja baru. Suatu perusahaan akan melakukan penyesuaian penggunaan tenaga kerja tergantung dari tingkat upahnya. Jika tingkat upah mengalami penurunan, maka perusahaan akan meningkatkan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan. Penurunan tingkat upah dapat dilihat pada Gambar 5. Pada Gambar 6. kura DL melukiskan besarnya nilai hasil marjinal tenaga kerja (VMPPL) untuk setiap penggunaan tenaga kerja. Dengan kata lain, menggambarkan hubungan antara tingkat upah (W) dan penggunaan tenaga kerja ynag ditunjukkan oleh titik L1 dan L*. Pada Gambar 6. terlihat bahwa pada kondisi awal tingkat upah berada pada W1 dan jumlah tenaga kerja yang digunakan adalah L1. Jika tingkat upah di suatu perusahaan diturunkan menjadi W*, maka jumlah tenaga kerja yang diminta meningkat menjadi L*. Upah
D1
W1 E
W*
DL = VMPPL (MPPL.P) L1
L*
Tenaga Kerja
Sumber : Bellante dan Jackson, 1990. Gambar 5. Permintaan Tenaga Kerja dengan Tingkat Upah Menurun
2.4. Tingkat Penyerapan Tenaga Kerja Penyerapan tenaga kerja didefenisikan sebagai jumlah tenaga kerja yang terserap pada suatu sektor dalam waktu tertentu. Penyerapan tenaga kerja diturunkan dari fungsi produksi suatu aktivitas ekonomi. Produksi merupakan transformasi dari input atau masukan (faktor produksi) ke dalam output atau keluaran. Jika diasumsikan bahwa suatu proses produksi hanya menggunakan dua jenis faktor produksi yaitu tenaga kerja (L) dan modal (K), maka fungsi produksinya adalah : Qt = f (Lt , Kt)
(1)
sedangkan persamaan keuntungan yang diperoleh suatu perusahaan menurut model Neoklasik adalah sebagai berikut : πt = TR – TC
(2)
dimana : TR = pt . Qt
(3)
Dalam menganalisis penentuan penyerapan tenaga kerja, diasumsikan bahwa hanya ada dua input yang digunakan, yaitu Kapital (K) dan Tenaga Kerja (L). Tenaga Kerja (L) diukur dengan tingkat upah yang diberikan kepada pekerja (W) sedangkan untuk Kapital (K) diukur dengan tingkat suku bunga (r). TC = rt Kt + Wt Lt
(4)
dengan mensubstitusi persamaan (1), (3), (4) ke persamaan (2) maka diperoleh : Wt Lt = pt . f(Lt, Kt) – rt Kt
(5)
Lt = pt . f(Lt, Kt) – rt Kt/Wt
(6)
dimana :
Lt
= Permintaan Tenaga Kerja
Wt
= Upah Tenaga Kerja
pt
= Harga jual barang per unit
Kt
= Kapital (Investasi)
rt
= Tingkat Suku Bunga
Qt
= Output (PDRB)
Berdasarkan persamaan di atas dapat diketahui bahwa permintaan tenaga kerja (Lt) merupakan fungsi dari kapital (investasi), output (pendapatan), tingkat suku bunga (r) dan tingkat upah (w). Hukum permintaan tenaga kerja pada hakekatnya adalah semakin rendah upah dari tenaga kerja maka semakin banyak permintaan dari tenaga kerja tersebut. Apabila upah yang diminta besar, maka perusahaan akan mencari tenaga kerja lain yang upahnya lebih rendah dari yang pertama. Hal ini karena dipengaruhi oleh banyak faktor, yang diantaranya adalah besarnya jumlah angkatan kerja yang masuk ke dalam pasar kerja, upah dan skiil yang dimiliki oleh tenaga kerja tersebut. Tingkat upah tenaga kerja dapat dipengaruhi oleh faktor tingkat pendidikan dan kualitasnya. Semakin baiknya kualitas pendidikan akan menciptakan sumber daya dalam hal ini tenaga kerja yang lebih tinggi kualitas pendidikannya sehingga dapat meningkatkan produktivitas tenaga kerja yang pada akhirnya akan memperbaiki kehidupan masyarakat. Produktivitas tenaga kerja yang semakin tinggi akan dibayar dengan tingkat upah yang tinggi.
Pendidikan merupakan suatu hal yang bersifat kualitatif. Sehingga untuk mengukur tingkat pendidikan tersebut dalam suatu angka yang bisa diukur dan dapat digunakan dalam perhitungan, maka dengan digunakan suatu indeks yang dikenal indeks pendidikan. Todaro dan Smith (2004) menjelaskan perhitungan indeks pendidikan didasarkan pada indeks kemampuan baca tulis orang dewasa dan indeks masa bersekolah bruto. Indeks baca tulis tenaga kerja didapat dari proporsi jumlah tenaga kerja yang memiliki kemampuan baca tulis. Misalnya, terdapat 98,3 persen tenaga kerja di Indonesia yang memiliki kemampuan baca tulis sehingga indeks baca tulis tenaga kerja tersebut yaitu : Indeks kemampuan baca tulis TK = 98,3/100 = 0,983. Indeks masa bersekolah bruto didapat dari jumlah tenaga kerja yang tamat SD, SLTP, SLTA, D1/2, D3/Universitas dari total seluruh jumlah tenaga kerja yang bekerja (Todaro dan Smith, 2004). Misalnya, terdapat 79,9 persen tenaga kerja di Indonesia tamatan SD, SLTP, SLTA, D1/2, D3/Universitas, sehingga : Indeks masa bersekolah bruto = 79,9/100 = 0,799. Dengan begitu, untuk mendapatkan indeks pendidikan yang utuh, indeks kemampuan baca tulis orang dewasa dikalikan dengan dua pertiga, dan indeks masa bersekolah bruto dikalikan dengan sepertiga, maka : Indeks pendidikan = 2/3 (0,983) + 1/3 (0,799) = 0,922. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa investasi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi permintaan tenaga kerja sehingga investasi memiliki peranan yang sangat penting dalam pembangunan nasional, khususnya untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi. Investasi merupakan salah satu komponen dari pembentukan pendapatan nasional atau PDB (Y = C + I + G +NX), sehingga pertumbuhan investasi akan berdampak pada pertumbuhan pendapatan nasional. Dengan memperhitungkan efek pengganda, maka besarnya persentase pertumbuhan ekonomi yang ditimbulkan menjadi lebih besar dari besarnya persentase pertumbuhan investasi (Mankiw, 2000). Di lain pihak investasi baik PMDN maupun PMA, juga sangat dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah suatu wilayah. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa UU otonomi daerah memberikan keleluasaan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri pemerintahannya. Pemerintah daerah dapat mengembangkan segala potensi yang dimiliki daerahnya sesuai dengan kepentingan dan aspirasi rakyatnya. Otonomi daerah secara konsep teori sepadan dengan perdagangan bebas yang dalam justifikasi ekonomi ditujukan untuk memecah konsentrasi ekonomi. Pospos (2002) menjelaskan bahwa secara linear kebijakan pengaturan otonomi daerah di atas mengurai kebuntuan rendahnya tingkat investasi ke daerah. Adanya keengganan para investor untuk berinvestasi ke Indonesia adalah karena terjadinya ekonomi biaya tinggi (higt-cost economy), termasuk birokrasi perizinan investasi yang berbelit-belit. LPEM FEUI (2005) dalam pemantauan iklim investasi di Indonesia menyimpulkan bahwa dalam rangka membangun iklim investasi, maka setidaknya terdapat beberapa indikator-indikator yang dapat digunakan mencakup elemen dasar seperti perpajakan, kepabeanan, infrastruktur, regulasi ketenagakerjaan dan perizinan yang telah dikenal sebagai kendala utama dalam melakukan bisnis di Indonesia. Hal
yang perlu disoroti dalam hal ini yaitu mengenai masalah perizinan yang menyangkut penyerapan investasi. Proses perizinan dalam kerangka otonomi daerah inilah yang seharusnya lebih dalam dikaji oleh pemerintah kita saat ini. Kondisi investasi Indonesia seperti yang diuraikan di atas, dapat pula dilihat dari hasil survei Bank Dunia mengenai jumlah hari yang diperlukan untuk pendaftaran perusahaan baru yaitu mencapai 151 hari. Kondisi itu sangat jauh dari rata-rata secara internasional yang hanya 50,5 hari. Sebelum pelaksanaan otonomi daerah, pengurusan izin usaha bagi para investor dilakukan oleh pemerintah pusat (BKPM) dan pemerintah provinsi (BKPMD). Setelah diimplementasikannya otonomi daerah, terdapat tumpang tindih dan tarik menarik antara kegiatan BKPMD provinsi dengan BKPM serta instansi daerah yang menangani investasi. Investasi membutuhkan stabilitas di bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya dan keamanan. Kepastian di bidang hukum akan memberikan kemudahan bagi perkembangan ekonomi dan membantu para pelaku usaha dalam mengambil keputusan ekonomi. Semakin besar tingkat kepastian, maka semakin memungkinkan suatu perusahaan untuk berinvestasi, baik dalam skala tinggi, menengah, maupun kecil. Begitu pula sebaliknya, kecilnya tingkat kepastian akan mengakibatkan kurangnya investasi.
2.6. Penelitian Terdahulu Ardiansyah (2004) dalam penelitiannya tentang pertumbuhan sektor-sektor perekonomian di Kota Jambi sebelum dan pada masa otonomi dengan menggunakan
analisis shift share menyimpulkan bahwa pada masa sebelum otonomi daerah seluruh sektor ekonomi di Kota Jambi pertumbuhannya meningkat. Akan tetapi setelah adanya otonomi daerah seluruh sektor ekonomi mengalami pertumbuhan yang lambat. Jambi kalah bersaing dengan kabupaten yang lain. Selain itu dampak krisis ekonomi juga secara tidak langsung masih berpengaruh terhadap perekonomian Jambi. Kesamaan penelitian ini dengan penelitian Ardiansyah adalah keduanya menganalisis dampak otonomi daerah terhadap perekonomian. Namun penelitian Ardiansyah ini tidak menganalisis dampaknya terhadap kesempatan kerja. Perbedaan juga terletak pada metode analisis. Lestari (2006) menggunakan alat analisis shift share dalam menganalisis pengaruh kebijakan otonomi daerah terhadap pertumbuhan kesempatan kerja di Propinsi DKI Jakarta pariode 1996-2004. Hasil analisis menyimpulkan bahwa pada periode 2001-2004 pertumbuhan kesempatan kerja Propinsi DKI Jakarta lebih tinggi jika dibandingkan pada periode 1996-2000, dengan begitu pelaksanaan kebijakan otonomi daerah di DKI Jakarta menunjukkan pengaruh positif terhadap pertumbuhan kesempatan kerja. Kesamaan dengan penelitian ini adalah keduanya menganalisis dampak pemberlakuan otonomi daerah terhadap pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja, dan perbedaanya terletak pada metode analisisnya. Lubis (2008) mengkaji pencapaian tujuan pokok Millenium Development Goals
dan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan kesempatan kerja di
Propinsi Banten periode 1996-2005. Hasil kajian dan analisis menunjukkan bahwa terdapat tiga hal yang mendukung pencapaian MDGs tersebut yaitu pertama, bahwa pada masa pelaksanaan otonomi daerah, laju pertumbuhan ekonomi di Propinsi
Banten cenderung meningkat terutama sektor jasa dan industri. Kedua, dari sisi pemerataan pendapatan bahwa di Provinsi Banten, distribusi pendapatan cukup merata di tiap daerah yaitu 0,20-0,35. Ketiga, dari sisi pertumbuhan kesempatan kerja adalah bahwa faktor yang signifikan mempengaruhi pertumbuhan kesempatan kerja adalah investasi (t-3), PDRB (t-1), permintaan tenaga kerja (t-1), indeks pendidikan (t-1), tingkat upah nominal (t-1) dan dummy otonomi daerah. Sektor yang paling banyak menyerap investasi adalah sektor industri. Sektor perdagangan, hotel dan restoran merupakan sektor yang mengalami penguatan selama otonomi daerah, sementara sektor pertanian merupakan sektor yang lebih padat karya. Perbedaan dengan penelitian ini adalah bahwa penelitian Lubis (2008) selain menitikberatkan kepada dampak otonomi daerah terhadap kesempatan kerja di Banten, juga mengkaji dampak otonomi daerah terhadap pencapaian MDGs yang memiliki tujuan dan hakekat yang relatif sama dengan otonomi daerah.
2.7. Kerangka Pemikiran Operasional Kebijakan
otonomi
daerah
yang
dimulai
pada
tahun
2001
telah
memperlihatkan dampak di beberapa daerah yang menjalankannya, salah satunya adalah provinsi Sumatera Utara. Dengan otonomi daerah diharapkan dapat mendukung kemajuan dan pembangunan daerahnya masing-masing dengan mengoptimalkan segala potensi daerah yang dimiliki. Kemajuan ekonomi yang dapat didukung oleh pemberlakuan otonomi daerah salah satunya adalah di bidang ketenagakerjaan.
Dengan
otonomi
diharapkan
masalah-masalah
di
bidang
ketenagakerjaan misalnya keterbatasan kesempatan kerja dapat ditangani oleh pemerintah
daerah,
sehingga
diharapkan
mampu
meningkatkan
penciptaan
kesempatan kerja. Jika melihat kondisi kesempatan kerja di Sumatera Utara setelah pemberlakuan otonomi daerah didapat bahwa kesempatan kerja cenderung mengalami penurunan jika dibandingkan dengan kesempatan kerja sebelum otonomi daerah. Selain itu, jika dibandingkan dengan kesempatan kerja nasional, kesempatan kerja di Sumatera Utara lebih rendah pada masa berlakunya otonomi daerah. Masalah tersebut perlu dikaji lebih dalam untuk mengetahui penyebab terjadinya penurunan kesempatan kerja di Sumatera Utara, sehingga melalui penelitian ini dilakukan analisis lebih lanjut kepada faktor-faktor yang berpengaruh signifikan terhadap penciptaan kesempatan kerja di provinsi Sumatera Utara. Variabel-variabel yang diduga adalah investasi, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), indeks pendidikan, angkatan kerja, tingkat upah riil dan otonomi daerah sendiri yang dijadikan sebagai dummy. Dengan hipotesis bahwa semua variabel yang diduga akan memberikan pengaruh yang positif. Teknik estimasi dilakukan dengan metode Ordinary Least Square (OLS) dengan data berupa panel data, untuk menilai tingkat signifikansi dari variabel yang diduga, kemudian diakhiri dengan interpretasi (implementasi) hasil estimasi. Adapun kerangka pemikiran operasional dalam penelitian ini adalah :
Masalah : Kesempatan Kerja di Sumatera Utara lebih rendah pada masa otonomi daerah dibandingkan sebelum otonomi daerah
Angkatan Kerja
Investasi PDRB
Analisis Permintaan Tenaga Kerja
Indeks Pendidikan
Tingkat Upah Otonomi
Analisis OLS
Implikasi Penelitian = ruang lingkup analisis Gambar 6. Kerangka Pemikiran
III. METODE PENELITIAN
3.1. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder dari variabel-variabel ekonomi yang digunakan dalam model penelitian. Data sekunder yang digunakan berupa data panel yaitu data yang dibagi menjadi dua bagian yaitu data cross section dan time series. Data time series sebanyak sepuluh tahun yaitu tahun 1994-2007, dan data cross section sebanyak sembilan yang digolongkan dalam kelompok sektor ekonomi, yaitu sektor pertanian, pertambangan dan galian, industri pengolahan, listrik, gas dan air minum, konstruksi/bangunan, perdagangan, hotel dan restoran, pengangkutan dan komunikasi, jasa keuangan dan persewaan serta sektor jasa-jasa lainnya. Sumber data diperoleh dari berbagai instansi dan media terkait dengan data yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Adapun instansi dan media yang dimaksud adalah Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Departemen Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (DEPNAKERTRANS), perpustakaan yang relevan dengan permasalahan dalam penelitian dan media internet.
3.2. Metode Analisis Data Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis secara kuantitatif yaitu dengan metode OLS (Ordinary Least Square), untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan kesempatan kerja di Provinsi Sumatera Utara. Teknik analisis dan estimasi model dengan menggunakan
data panel yang diolah dengan menggunakan software Eviews 4.1dan Microsoft Excel.
3.3. Metode Pendugaan Model
3.3.1. Teknik Estimasi Model Menggunakan Data Panel Data Panel (pooled data) atau yang disebut juga sebagai data longitudinal merupakan kombinasi antara data time-series dan cross-section. Data time-series merupakan data yang dikumpulkan berdasarkan urutan waktu, seperti setiap hari, setiap minggu, setiap bulan, setiap semester, setiap tahun, dan seterusnya. Sedangkan data cross-section merupakan data dari beberapa observasi yang dikumpulkan pada satu waktu yang sama. Metode data panel merupakan suatu metode yang dapat digunakan untuk melakukan analisis empirik yang tidak mungkin dilakukan jika hanya menggunakan data time-series maupun cross-section (Gujarati, 2003). Sebagai contoh, untuk membuat model profitabilitas sebuah perusahaan dalam sebuah industri dapat digunakan data cross-section. Namun data cross-section tidak mampu memperhitungkan terjadinya peningkatan pendapatan perusahaan yang terjadi akibat perubahan teknologi seiring berjalannya waktu. Dengan menggunakan data panel, komponen time-series dari data dapat dimasukkan untuk menggabungkan efek perubahan teknologi pada profitabilitas perusahaan dan menghilangkan masalah yang timbul pada variabel-variabelnya. Proses mengkombinasikan data cross-section dan data time-series menjadi data panel disebut pooling (Pindyck, 1998).
Banyak alasan mengapa data panel lebih baik digunakan dalam model-model regresi dibandingkan data time-series ataupun cross-section, diantaranya menurut Baltagi dalam Daryanto dan Hafizrianda (2008) adalah : 1. Bila data panel berhubungan dengan individu, perusahaan, negara, daerah, dan lain-lain pada waktu tertentu, maka data tersebut adalah heterogen. Teknik penaksiran data panel yang heterogen secara eksplisit dapat dipertimbangkan dalam perhitungan. 2. Kombinasi data time-series dan cross-section akan memberikan informasi yang lebih lengkap, lebih beragam, kurang berkorelasi antara variabel, derajat bebas lebih besar dan lebih efisien. 3. Studi data panel lebih memuaskan untuk menentukan perubahan dinamis dibandingkan studi berulang-ulang dari cross-section. 4. Data panel lebih baik mendeteksi dan mengukur efek yang secara sederhana tidak dapat diukur oleh data time-series atau cross-section, misalnya efek dari upah minimum regional. 5. Data panel membantu studi untuk menganalisis perilaku yang lebih kompleks, misalnya fenomena skala ekonomi dan perubahan teknologi. 6. Data panel dapat meminimalkan bias yang dihasilkan oleh agregasi individu atau perusahaan karena unit data lebih banyak. Terdapat tiga metode pada teknik estimasi model menggunakan data panel, yaitu pooled Ordinary Least Square (OLS), Fixed Effect dan Random Effect. Dari ketiga metode tersebut akan dipilih model yang terbaik dengan menggunakan uji Chow dan uji Hausman. Penelitian ini menggunakan metode fixed effect (efek tetap)
berdasarkan hasil pengujian terhadap ketiga model yang telah dilakukan pada saat estimasi model. Selain itu, asumsi pemilihan model fixed effect ini adalah karena jumlah data time series (14 tahun) melebihi jumlah cross section (9 unit), maka penggunaan model yang paling tepat adalah model fixed effect.
3.3.1.1 Metode Pooled OLS Metode pooled OLS merupakan suatu metode pengkombinasian sederhana antara data time series dan cross-section dan selanjutnya dilakukan estimasi model yang mendasar menggunakan kuadrat terkecil sederhana (Ordinary Least Square). Metode pooled OLS dapat dispesifikasikan ke dalam model berikut : Ŷit = α + ßXit Dimana i menunjukkan urutan individu yang diobservasi pada data cross-section, sedangkan t menunjukkan periode pada data time-series. Namun, pada metode ini asumsi yang digunakan menjadi terbatas karena model tersebut mengasumsikan bahwa intersep dan koefisien dari setiap variabel sama untuk setiap individu yang diobservasi. Hal ini menyebabkan variabel-variabel yang diabaikan akan membawa perubahan pada intersep time-series dan cross-section.
3.3.1.2. Metode Fixed Effect Masalah yang timbul pada penggunaan metode pooled OLS yaitu adanya asumsi bahwa intersep dan koefisien dari setiap variabel sama pada setiap individu yang diobservasi. Untuk memperhitungkan individualitas dari setiap unit crosssection dapat dilakukan dengan cara menjadikan intersep berbeda pada tiap individu.
Pada metode fixed effect ditambahkan variabel dummy untuk mengubah intersep, tetapi koefisien-koefisien lainnya tetap sama bagi setiap individu yang diobservasi. Metode ini dapat dispesifikasi ke dalam model berikut: Ŷit = α + ßiΧit + γ2W2t + γ3W3t +….+ γNWNt + δ2Zi2 + δ3Zi3 +….+δTZit + εit Dimana
Wit = 1 untuk individu ke-i, i = 2,…, N 0 untuk lainnya Zit = 1 untuk period eke-t, t = 2,…., T 0 untuk lainnya
Variabel dummy (N – 1) + (T – 1) ditambahkan ke dalam model dan penambahan tersebut menghasilkan kolinearitas yang sempurna di antara variabel-variabel penjelas. Koefisien dari variabel dummy akan mengukur perubahan intersep crosssection dan time-series. Terdapat beberapa masalah yang berhubungan dengan penggunaan metode fixed effect. Yang pertama yaitu bahwa penggunaan variabel dummy tidak dapat mengidentifikasi secara langsung penyebab perubahan garis regresi pada periode dan individu. Yang kedua yaitu teknik variabel dummy akan mengurangi jumlah derajat bebas (Pindyck, 1998).
3.3.1.3. Metode Random Effect Penggunaan variabel dummy pada metode fixed effect masih menghasilkan kekurangan pada informasi mengenai model. Oleh karena itu kekurangan informasi tersebut dapat digambarkan melalui komponen galat (disturbance/error term).
Pada metode random effect dimasukkan komponen galat (error term) ke dalam model untuk menjelaskan variabel prediktor (explanatory variable) yang tidak masuk ke dalam model, komponen nonlinearitas, hubungan variabel bebas dan variabel tak bebas, kesalahan ukur saat observasi dilakukan, serta kejadian yang sifatnya acak. Metode random effect dapat dispesifikasikan ke dalam model berikut : Ŷit = α + ßXit + εit εit = ui + vt + wit dimana ui ~ N(0, σu2) = komponen galat cross-section vt ~ N(0, σv2) = komponen galat time-series wt ~ N(0, σw2) = kombinasi komponen galat time-series dan cross-section. i menunjukkan urutan individu yang diobservasi pada data cross-section, sedangkan t menunjukkan periode pada data time-series. Formulasi dari metode random effect diperoleh dari model fixed effect dengan mengasumsikan bahwa efek rata-rata dari variabel-variabel time-series dan cross-section yang acak termasuk dalam intersep, dan deviasi acak dari rata-rata tersebut sama dengan komponen galat ui dan vt. Pada metode random effect diasumsikan bahwa komponen galat individual tidak berkorelasi satu sama lain dan tidak ada autokorelasi antara setiap unit cross-section dan time-series (Pindyck, 1998).
3.3.2. Uji Kesesuaian Model. Untuk memilih model mana yang paling tepat dalam pengolahan data panel, maka terdapat beberapa pengujian yang dapat dilakukan, antara lain :
1. Chow Test adalah pengujian untuk memilih apakah model yang digunakan Pooled Least Square (PLS) atau Fixed Effect (FE). Dalam pengujian ini dilakukan dengan hipotesis sebagai berikut : H0 : Model PLS (Restricted) H1 : Model FE (Unrestricted) Penolakan terhadap hipotesa nol tersebut adalah dengan menggunakan F Statistik seperti yang dirumuskan : ( RRSS
CHOW = Dimana :
− URSS
) ( N − 1)
URSS
( NT
− N − K )
RRSS = Restricted Residual Sum Square (Sum Square Residual PLS) URRS = Unrestricted Residual Sum Square (Sum Square Residual Fixed) N = Jumlah Data cross-section T = Jumlah Data time series K = Jumlah variabel penjelas Dimana pengujian ini mengikuti distribusi F statistik yaitu FN-1,NT-N-K Jika nilai Chow Statistic (F Stat) hasil pengujian lebih besar dari F tabel, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap hipotesa nol, sehingga model yang digunakan adalah model fixed effect, begitu juga sebaliknya. 2. Hausman Test adalah pengujian statistik sebagai dasar pertimbangan dalam memilih apakah menggunakan model fixed effect model (FEM) atau model random effect model (REM). Seperti yang kita ketahui bahwa penggunaan model fixed effect mengandung suatu trade off yaitu hilangnya derajat
kebebasan dengan memasukkan variabel dummy. Namun penggunaan metode random effect pun harus memperhatikan ketiadaan pelanggaran asumsi dari setiap komponen galat. Hausman Test dilakukan dengan hipotesa sebagai berikut : H0 : Random Effect Model H1 : Fixed Effect Model Sebagai dasar penolakan hipotesa nol maka digunakan statistik Hausman dan membandingkannya dengan chi square. Statistik Hausman dirumuskan dengan : m = (β-b) (M0-M1)-1 ~ X2 (K) dimana β adalah vektor untuk statistik variabel fixed effect, b adalah vektor statistik variabel random effect, (M0) adalah matriks kovarians untuk dugaan FEM dan (M1) adalah matriks kovarian untuk dugaan REM. Dalam penelitian ini digunakan Model Efek Tetap(Fixed Effect) dikarenakan beberapa alasan berikut : 1. Asumsi bahwa intersep berbeda antar individu sedangkan koefisien slope konstan. 2. Asumsi bahwa jumlah data time series lebih besar daripada jumlah data crosssection maka akan dipilih model efek tetap. 3. Berdasarkan hasil pengujian Chow Test bahwa nilai F-statistik lebih besar dari pada F-tabel, maka model yang digunakan adalah model Efek Tetap (Fixed Effect).
3.3.3. Perumusan Model Penelitian Model umum yang digunakan dalam penelitian ini adalah berdasarkan tinjauan teori terhadap fungsi ekonomi dari tingkat penyerapan tenaga kerja dan hasil studi dari Lubis (2008) yang menganalisis tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan kesempatan kerja di Banten. Adapun model dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: LogLDit = α0 + β0LogINVit + β1LogPDRBit + β2LogIPit + β3LogAKit + β4LogWit + β5DMt + ε0 Dimana : LDit
= Permintaan Tenaga Kerja sektor i tahun t
INVit = Realisasi Investasi sektor i tahun t di Provinsi Sumatera Utara PDRBit= Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Sumatera Utara atas dasar harga konstan 2000 sektor i tahun t IPit
= Indeks Pendidikan tenaga kerja di Provinsi Sumatera Utara sektor i tahun t
AKit
= Jumlah Angkatan Kerja di provinsi Sumatera Utara sektor i tahun t
Wit
= Tingkat Upah Riil provinsi Sumatera Utara sektor i tahun t
DMt
= Dummy otonomi daerah ; t = 1994-2000 ; DM = 0 ; t = 2001-2007 ; DM = 1
3.3.4. Hipotesis Penelitian Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah didasarkan pada persamaan dalam model penelitian ini yaitu koefisien variabel investasi (β0) > 0, koefisien variabel PDRB (β1) > 0, koefisien variabel indeks pendidikan (β2) > 0, koefisien
variabel angkatan kerja (β3) > 0, koefisien variabel tingkat upah riil (β4) < 0, dan kofisien variabel dummy otonomi daerah (β5) > 0. Yang artinya variabel investasi, PDRB, indeks pendidikan, angkatan kerja dan dummy otonomi daerah memberi pengaruh yang positif terhadap penciptaan kesempatan kerja, sedangkan variabel tingkat upah riil memberi pengaruh yang negatif terhadap penciptaan kesempatan kerja.
3.3.5. Uji Hipotesis Uji hipotesis berguna untuk memeriksa atau menguji apakah koefisien regresi yang didapat signifikan (berbeda nyata) atau tidak. Maksud dari signifikan ini adalah suatu nilai koefisien regresi yang secara statistik tidak sama dengan nol. Jika koefisien slope sama dengan nol, berarti dapat dikatakan bahwa tidak cukup bukti untuk menyatakan variabel bebas mempunyai pengaruh terhadap variabel terikat. Untuk kepentingan tersebut, maka semua koefisien regresi harus diuji. Ada dua jenis uji hipotesis terhadap koefisien regresi yang dapat dilakukan. Pertama disebut dengan Uji-F, yaitu digunakan untuk menguji koefisien (slope) regresi secara bersama-sama. Kedua disebut dengan Uji-t yang digunakan untuk menguji koefisien regresi termasuk intercept secara individu.
3.3.5.1. Uji Statistik Model Penduga (Uji-F) Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui apakah semua variabel independent dalam model secara bersama-sama berpengaruh terhadap variabel dependent. Pengujian dilakukan dengan menggunakan uji F yaitu perbandingan nilai kritis F
dengan nilai hasil F-hitung. Pengujian pengaruh variabel independent terhadap variabel dependent dilakukan melalui pengujian besar perubahan dari variabel dependent yang dapat dijelaskan oleh perubahan nilai semua variabel independent. Analisis pengujian tersebut adalah sebagai berikut : A. Perumusan Hipotesis H0 : β1 = β2 = β3= βk = 0 H1 : Minimal ada satu nilai β yang tidak sama dengan nol B. Menghitung nilai Fhitung dan nilai Ftabel C. Penentuan penerimaan atau penolakan H0 D. Apabila keputusan yang diperoleh adalah nilai Fhitung > Ftabel dimana koefisien regresi berada di luar daerah penerimaan H0 maka tolak H0. Artinya variabel bebas secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebasnya. Jika Fhitung < Ftabel maka terima H0 artinya variabel bebas secara bersama-sama tidak berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebasnya.
3.3.5.2. Uji Statistik untuk Masing-masing Variabel (Uji-t) Setelah melakukan uji koefisien regresi secara keseluruhan, maka langkah selanjutnya adalah menghitung koefisien regresi secara individu yaitu pengujian hipotesis dari koefisien regresi masing-masing variabel secara parsial atau terpisah. Pengujian ini dikenal dengan sebutan Uji-t. Nilai t-hitung digunakan untuk menguji apakah koefisien regresi dari masing-masing variabel bebas secara individu berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel tidak bebasnya. Adapun analisis pengujiannya sebagai berikut :
A. Perumusan Hipotesis H0 : βi = 0 H1 : βi ≠ 0 ; i = 0,1,2,......,k k = koefisien slope dari hipotesis tersebut dapat terlihat arti dari pengujian yang dilakukan yaitu berdasarkan data yang tersedia, akan dilakukan pengujian terhadap βi (koefisien regresi populasi), apakah sama dengan nol, yang berarti variabel bebas tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel terikat, atau tidak sama dengan nol yang berarti variabel bebas mempunyai pengaruh signifikan terhadap variabel terikat. B. Penentuan nilai kritis Dalam pengujian hipotesis terhadap koefisien regresi, nilai kritis dapat ditentukan
dengan
menggunakan
tabel
distribusi
normal
dan
dengan
memperhatikan tingkat signifikansi (α) dan banyaknya sampel (n) yang digunakan. t tabel = t (α / 2), (n-k-1) C. Menghitung nilai t-hitung koefisien variabel independen
t hitung =
βi Se( β i )
dengan : βi
= Nilai koefisien regresi atau parameter variabel
Se (βi) = Simpangan baku untuk βi D. Penerimaan atau penolakan H0
Jika t hitung > t tabel maka tolak H0 Jika t hitung < t tabel maka terima H0 E. Apabila keputusan yang diperoleh adalah tolak H0 maka koefisien βi tidak sama dengan nol yang menunjukkan bahwa βi nyata atau memiliki nilai yang dapat mempengaruhi nilai variabel dependent.
3.3.5.3. Koefisien Determinasi (R2)
Koefisien determinasi (Goodness of Fit), yang dinotasikan dengan R2, adalah proporsi variasi dalam Y yang dapat dijelaskan oleh variabel-variabel penjelasnya. R2 menunjukkan besarnya pengaruh semua variabel independen terhadap variabel dependent. R2 memilih range antara 0 ≤ R2 ≤ 1. Jika R2 bernilai 1 maka garis regresi menjelaskan 100 persen variasi dalam Y. Sedangkan jika R2 bernilai 0 maka garis regresi tidak menjelaskan variasi dalam Y. Koefisien determinasi dirumuskan sebagai berikut :
Dimana :
R2 = RSS TSS
RSS = Jumlah Kuadrat Regresi TSS = Jumlah Kuadrat Total Tidak tepatnya titik-titik berada pada garis regresi disebabkan karena adanya faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap variabel bebas. Bila tidak ada penyimpangan tentunya tidak akan ada error. Bila hal tersebut terjadi, maka ESS = 0, yang berarti RSS = TSS atau R2 = 1. Atau dengan kata lain, semua titik observasi
berada tepat di garis regresi. Jadi, TSS sesungguhnya adalah variasi dari data, sedangkan RSS adalah variasi dari garis regresi yang dibuat.
3.3.6. Evaluasi Model
Evaluasi model dari setiap metode estimasi dilakukan sebagai upaya untuk menghasilkan model yang efisien, fisibel dan konsisten. Evaluasi model dilakukan melalui pendeteksian terhadap pelanggaran atau gangguan asumsi model, yaitu gangguan waktu (time-related diturbance), gangguan antar individu atau antar sektor ekonomi, dan gangguan akibat keduanya. 3.3.6.1. Multikolinearitas
Multikolinearitas terjadi jika dalam suatu model regresi tak satupun variabel bebas mempunyai koefisien regresi hasil dari OLS (Ordinary Least Square) yang signifikan secara statistik, walaupun nilai koefisien determinasi ganda R2 tinggi. Indikasi multikolinearitas tercermin dengan melihat hasil t dan F statistik hasil regresi. Jika banyak koefisien parameter dari t statistik diduga tidak signifikan sementara dari hasil F hitungnya signifikan, maka patut diduga adanya multikolinearitas. Multikolineritas dapat diatasi dengan memberi perlakuan crosssection weights, sehingga t statistic maupun F hitung menjadi signifikan.
3.3.6.2. Autokorelasi
Autokorelasi atau korelasi serial adalah suatu keadaan dimana kesalahan pengganggu dalam periode tertentu berkorelasi dengan kesalahan pengganggu dari
periode lainnya. Menurut Pyndick (1991) autokorelasi dapat mempengaruhi efisiensi dari estimatornya. Untuk mendeteksi adanya autokorelasi atau korelasi serial adalah dengan melihat nilai Durbin Watson (DW) dalam Eviews. Menurut Firdaus dalam Fitri (2007) untuk melihat ada tidaknya autokorelasi dapat digunakan ketentuan sebagai berikut :
Tabel 3. Ketentuan Nilai Durbin Watson Nilai DW
Keterangan
<1,10
ada autokorelasi
1,10< DW<1,54
tidak ada kesimpulan
1,55
2,46
tidak ada autokorelasi
2,472,9
tidak ada kesimpulan
>2,91
ada autokorelasi
Sumber : Firdaus, 2004
Autokorelasi (korelasi serial) ditemukan apabila error dari periode waktu yang berbeda saling berkorelasi. Pada analisis seperti yang dilakukan pada model, jika ditemukan autokorelasi, maka model menjadi efisien meskipun tidak bias dan konsisten. Treatment untuk pelanggaran ini adalah dengan menambahkan AR(1) atau AR(2) dan seterusnya, tergantung dari banyaknya autokorelasi pada model regresi yang digunakan. 3.3.6.3. Heteroskedastisitas
Heteroskedastisitas adalah suatu keadaan dimana varian dari suatu kesalahan pengganggu tidak konstan untuk semua nilai variabel bebas, yaitu : E(Xi,εi) ≠ 0
Sehingga Var(εi) ≠ σ2
Ini merupakan pelanggaran salah satu asumsi tentang model regresi linier berdasarkan metode kuadrat terkecil. Di dalam regresi, asumsi yang digunakan adalah bahwa Var(εi) = σ2, untuk semua ε, artinya untuk semua kesalahan pengganggu variannya sama. Pada umumnya heteroskedastisitas terjadi di dalam analisis data cross-section, yaitu data yang menggambarkan keadaan pada suatu waktu tertentu.
Jika pada model dijumpai heteroskedastisitas, maka model menjadi tidak efisien meskipun tidak bias dan konsisten. Dengan kata lain, jika regresi tetap dilakukan meskipun ada masalah heteroskedastisitas maka hasil regresi akan menjadi misleading (Gujarati, 1995).
Pendeteksian terhadap pelanggaran asumsi heteroskedastisitas, dilakukan dengan uji White Heteroscedasticity yang diperoleh dalam program Eviews. Dengan uji White, dibandingkan Obs* R-Squared dengan X (Chi-Squared) tabel.
Jika
nilai
Obs* R-Squared lebih kecil daripada X (Chi-Squared) tabel, maka tidak ada Heteroskedastisitas pada model data panel dalam Eviews. Dalam pengolahan data panel dalam Eviews 4.1 yang menggunakan metode General Least Square (cross section weights), untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas, adalah dengan
membandingkan Sum Square Resid pada Weighted Statistic dengan Sum Squared Resid Unweighted Statistic. Jika Sum Square Resid Weighted Statistic<Sum Squared Resid Unweighted Statistic maka tidak terjadi heteroskedastisitas. Perlakuan untuk
pelanggaran heteroskedastisitas adalah dengan mengestimasi GLS dengan White Heteroscedasticity.
IV. GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN SUMATERA UTARA
4.1. Gambaran Umum Provinsi Sumatera Utara
Provinsi Sumatera Utara merupakan salah satu provinsi yang berada di pulau Sumatera. Secara astronomis provinsi Sumatera Utara berada di bagian barat Indonesia, terletak pada garis 1° - 4° Lintang Utara dan 98° - 100° Bujur Timur. Sebelah utara berbatasan dengan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, sebelah timur dengan Negara Malaysia di Selat Malaka, sebelah selatan berbatasan dengan Provinsi Riau dan Sumatera Barat dan di sebelah barat berbatasan dengan Samudera Hindia. Luas daratan Provinsi Sumatera Utara adalah 71.680,68 km2, sebagian besar berada di daratan Pulau Sumatera dan sebagian kecil berada di Pulau Nias. Pulau-pulau Batu serta beberapa pulau kecil, baik di bagian barat maupun bagian timur pantai Pulau Sumatera. Berdasarkan luas daerah menurut kabupaten/kota di Sumatera Utara, luas daerah terbesar adalah Kabupaten Tapanuli Selatan dengan luas 12.163,65 km2 atau 16,97% diikuti Kabupaten Labuhan Batu dengan luas 9.223,18 km2 atau 12,87% kemudian diikuti Kabupaten Mandailing Natal dengan luas 6.620,70 km2 atau sekitar 9,23%. Sedangkan luas daerah terkecil adalah Kota Sibolga dengan luas 10,77 km2 atau sekitar 0,02% dari total luas wilayah Sumatera Utara. Berdasarkan kondisi letak dan kondisi alam, Sumatera Utara dibagi dalam tiga kelompok wilayah yaitu Pantai Barat, Daratan Tinggi dan Pantai Timur.
Provinsi Sumatera Utara memiliki iklim tropis, karena terletak dekat garis khatulistiwa. Ketinggian permukaan daratan provinsi Sumatera Utara sangat bervariasi, sebagian daerahnya datar, hanya beberapa meter di atas permukaan laut, beriklim cukup panas bisa mencapai 34,2° C. sebagian daerahnya berbukit dengan kemiringan yang landai, beriklim sedang dan sebagian lagi berada pada daerah ketinggian yang suhu minimalnya bisa mencapai 13,4° C. Sebagaimana provinsi lainnya di Indonesia, provinsi Sumatera Utara mempunyai musim kemarau dan musim penghujan. Musim kemarau biasanya terjadi pada bulan Juni sampai dengan September dan musim penghujan biasanya terjadi pada bulan November sampai dengan bulan Maret, diantara kedua musim itu diselingi oleh musim pancaroba. Potensi daerah yang mendukung peningkatan ekonomi di Sumatera Utara adalah banyaknya jenis usaha karet, makanan dan minuman. Hal ini sesuai dengan potensi ekonomi daerah Sumatera Utara yang mengandalkan sektor pertanian, perkebunan, perikanan maupun kehutanan. Dengan demikian, hasil perkebunan di provinsi Sumatera Utara dikelola di wilayah sendiri.
4.2. Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Sumatera Utara
Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu ukuran dari hasil pembangunan yang dilaksanakan khususnya dalam bidang ekonomi. Pertumbuhan tersebut merupakan rangkuman laju pertumbuhan dari berbagai sekor ekonomi yang menggambarkan tingkat perubahan ekonomi yang terjadi. Keadaan ekonomi baik mengalami pertumbuhan atau tidak, akan mempengaruhi investasi. Pertumbuhan ekonomi akan mengundang investor untuk melakukan investasi yang berdampak
pada peningkatan lapangan pekerjaan sehingga terjadi peningkatan penyerapan tenaga kerja. Tabel 4. Laju Pertumbuhan Riil PDRB Sumatera Utara Menurut Lapangan Usaha Tahun 1994-2006 (Persen)
Kriteria
Sebelum Otonomi Daerah
Pada Masa Otonomi Daerah
Tahun _1 _2 _3 _4 1994 7,22 -8,96 7,74 7,95 1995 8,62 8,69 9,23 14,63 1996 8,71 0,72 9,25 13,59 1997 3,77 38,53 8,98 -37,95 1998 -1,82 -17,72 -13,81 4,26 1999 9,91 -2,76 -3,26 3,98 2000 160,19 341,99 239,50 48,32 Ratarata 28,83 40,57 36,06 18,75 2001 3,80 -12,36 4,09 10,70 2002 2,53 -0,50 5,03 7,03 2003 -1,35 4,29 5,42 2,51 2004 3,75 -10,68 5,38 3,09 2005 3,38 6,42 4,76 5,15 2006 2,32 4,17 5,47 3,08 Ratarata 3,05 -2,38 4,83 5,74 Sumber : BPS, 2001-2005 Keterangan: _1 : Pertanian _2 : Pertambangan dan Galian _3 : Industri Pengolahan _4 : Listrik, Gas dan Air Bersih _5 : Bangunan _6 : Perdagangan, Hotel dan Restoran _7 : Pengangkutan dan Komunikasi _8 : Keuangan, Persewaan dan Jasa _9 : Jasa-jasa
Ratarata _5 _6 _7 _8 _9 4,45 20,15 6,67 14,39 9,30 7,66 6,02 9,34 8,68 12,80 7,95 9,55 12,65 8,76 8,48 10,51 9,56 9,14 8,74 5,53 7,37 5,56 7,76 5,37 -32,66 -12,26 -20,48 -11,36 -19,15 -13,89 26,26 -3,20 6,80 -5,36 13,42 5,09 313,98 219,74 135,49 166,49 278,84 211,61 48,49 2,39 4,64 6,01 7,65 12,96 10,33
35,44 4,16 4,95 2,88 6,11 4,95 6,95
21,86 8,35 12,14 10,45 13,49 10,11 11,91
27,58 4,66 5,59 6,84 6,90 7,15 10,24
43,95 4,28 3,04 11,55 6,16 4,36 7,09
33,50
7,33
5,00
11,08
6,89
6,08
5,29
Laju pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara sebelum berlangsungnya otonomi daerah cenderung berfluktuasi. Pada tahun 1994-1996 mengalami peningkatan namun pada tahun 1997 turun mencapai 5,37 persen sebagai akibat dari krisis ekonomi pada
3,34 4,94 5,40 4,65 6,58 6,84
tahun tersebut, bahkan pada tahun
1998 terjadi penurunan yang sangat tajam
mencapai -13,89 persen, tetapi kembali meningkat pada tahun 1999. Akhirnya peningkatan yang sangat tajam dalm laju pertumbuhan ekonomi adalah pada tahun 2000 mencapai 211,61 persen. Kemudian pada tahun 2001 nilai kontribusi PDRB dan pertumbuhannya
mengikuti besarnya nilai kontribusi tahun 2000. Rata-rata laju
pertumbuhan riil PDRB Sumatera Utara kurun waktu 2001-2006 adalah 5,29 persen. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi provinsi Sumatera Utara selama berlangsungnya otonomi daerah semakin membaik dibanding sebelum otonomi daerah. Laju pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara dalam kurun waktu 2001-2005 mengalami fluktuasi. Sebelum otonomi daerah, penyumbang terbesar dalam pertumbuhan ekonomi adalah sektor bangunan dengan rata-rata laju pertumbuhan sebesar 48,49 persen. Sedangkan pada masa otonomi daerah, sektor yang paling banyak memberikan kontribusi dalam PDRB adalah sektor pengangkutan dan komunikasi dengan rata-rata laju pertumbuhan sebesar 11,08 persen.
4.3. Tingkat Kemiskinan di Provinsi Sumatera Utara.
Jumlah dan persentase penduduk miskin di Sumatera Utara pada periode 2001-2004 mengalami fluktuasi. Pada tahun 2001, jumlah penduduk miskin mencapai 1.972.700 orang dengan persentase 16,74 persen. Kemudian pada tahun 2002, menurun pada jumlah 1.883.890 orang dengan persentase 15,84 persen. Selanjutnya pada tahun 2003, meningkat kembali pada angka 1.889.400 orang
dengan persentase 15,89 persen, dan pada tahun 2004 menurun kembali pada angka 1.800.100 orang dengan persentase 14,93 persen. Kenaikan jumlah penduduk terjadi pada daerah pedesaan yang mengalami kenaikan hampir 200.000 orang.
Tabel 5. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Sumatera Utara, 2001-2004 Tahun
Jumlah Penduduk Miskin (Ribu) Kota Desa Kota + Desa 2001 968,40 1.004,30 1.972,70 2002 698,83 1.185,07 1.883,89 2003 689,62 1.199,77 1.889,40 2004 633,40 1.166,70 1.800,10 Sumber : BPS - Susenas, 2001-2004
Persentase Penduduk Miskin Kota Desa Kota + Desa 8,28 15,49 16,74 13,60 17,55 15,84 13,41 17,78 15,89 12,02 17,19 14,93
4.4. Kesempatan Kerja di Provinsi Sumatera Utara
Tenaga kerja merupakan modal bagi bergeraknya roda pembangunan ekonomi khususnya dalam upaya pemerintah menanggulangi kemiskinan. Kemakmuran suatu negara tergantung kepada pemanfaatan tenaga kerja seefektif mungkin. Yang menjadi fokus perhatian di bidang ketenagakerjaan adalah penduduk usia kerja yang termasuk ke dalam kelompok angkatan kerja. Oleh karena itu, perubahan dalam kelompok ini akan mempengaruhi sisi permintaan dan penawaran tenaga kerja. Keadaan angkatan kerja di provinsi Sumatera Utara dapat ditunjukkan dalam Tabel 6. Pada masa sebelum otonomi daerah, keadaaan angkatan kerja cenderung mengalami peningkatan, demikian juga pada masa berlangsungnya otonomi daerah. Setiap tahun, dalam periode tahun 1994-2007, jumlah angkatan kerja di provinsi Sumatera Utara semakin maningkat, dan seiring dengan pertambahan jumlah angkatan kerja tersebut, jumlah pengangguran juga semakin bertambah. Pada masa
setelah berlakunya otonomi daerah yaitu pada tahun 2001 jumlah pengangguran meningkat mencapai 47,31 persen, kemudian pada tahun 2002 jumlah pengangguran, menurun sampai 30,66 persen namun meningkat kembali pada tahun 2003 mencapai 134,34 persen. Pada tahun 2004 menurun kembali mencapai 70,07 persen. Namun meningkat kembali pada tahun 2005 mencapai 153,45 persen. meningkat sebanyak 2,22 persen, kemudian menurun pada tahun 2003 sebesar 6,12 persen. Peningkatan terjadi sampai tahun 2006. Jumlah penduduk yang bekerja di Sumatera Utara pada masa berlakunya otonomi daerah, cenderung mengalami penurunan.
Tabel 6. Jumlah Penduduk 15+ di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2001-2005 Kriteria
Sebelum otonomi daerah
Pada Masa Otonomi Daerah
Tahun 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000
Bekerja 4248286 4489073 4607166 4767465 4652797 4668817 4691870
Menganggur 143664 241510 159349 143364 371058 337448 364633
Jumlah Angk.Kerja 4391950 4730583 4766515 4910829 5023855 5006265 5056503
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
4788594 4894694 4595268 4501865 4458959 4459647 4257734
537153 372453 861635 257813 653446 655966 533963
5325747 5267147 5456903 5159678 5512405 5515613 5491697
Sumber : BPS, 2001-2005
Provinsi Sumatera Utara memiliki banyak potensi yang dapat dimanfaatkan untuk diolah. Pemanfaatan akan potensi dan sumber daya yang dimiliki provinsi Sumatera Utara dapat membuka kesempatan bagi sejumlah angkatan kerja yang ada,
dengan begitu hal ini akan mengurangi jumlah pengangguran yang semakin meningkat. Sektor-sektor perekonomian memiliki peran untuk mengolah seoptimal mungkin potensi yang tersedia di Sumatera Utara, dengan demikian sektor-sektor ini memberikan kontribusi terhadap perekonomian, dengan telah menyediakan kesempatan kerja bagi masyarakat, karena untuk mengolah sumber daya tersebut, akan dibutuhkan tenaga sumber daya manusia, mengingat Indonesia masih didominasi oleh sektor usaha yang padat karya. Perkembangan pertumbuhan kesempatan kerja di Provinsi Sumatera Utara per Sektor tahun 1996-2005 akan ditunjukkan pada Gambar 8. Berdasarkan gambar tersebut bahwa pertumbuhan kesempatan kerja pada tahun 1996-2000, yaitu sebelum otonomi daerah menunjukkan tingkat yang berbeda-beda pada setiap sektor ekonomi. Sektor ekonomi yang menunjukkan pertumbuhan yang sangat fluktuatif adalah sektor listrik, gas dan air bersih. Pada tahun 1997, pertumbuhan kesempatan kerja sebesar 121,74 persen. Namun pada tahun 1998, sektor ini mengalami pertumbuhan yang menurun jika dibandingkan dengan tahun 1997 yaitu sebesar 45,54 persen. Kemudian pada tahun 1999-2000, mengalami pertumbuhan yang semakin menurun bahkan mencapai pertumbuhan yang negatif, yaitu masing-masing sebesar -50,77 dan -100. Setiap sektor ekonomi menunjukkan pertumbuhan yang fluktuatif pada periode tahun tersebut. Periode setelah otonomi daerah, yaitu pada tahun 2001-2005, bahwa pertumbuhan kesempatan kerja tetap menunjukkan fluktuasi yang cukup tajam. Fluktuasi pertumbuhan ini tidak hanya pada sektor listrik, gas dan air bersih seperti pada saat sebelum otonomi daerah, namun sektor keuangan, persewaan dan jasa juga
mengalami fluktuasi pertumbuhan yang tajam. Kemudian diikuti dengan sektor pertambangan dan galian. Pada tahun 2001, pertumbuhan kesempatan kerja yang cukup tinggi berasal dari sektor listrik, gas dan air bersih. Pada tahun 2002 pada sektor keuangan, persewaan dan jasa. Namun pada tahun 2003 hampir pada setiap sektor ekonomi, pertumbuhannya bernilai negatif kecuali sektor pertanian. Kemudian pada tahun 2004, sektor listrik, gas dan air bersih kembali memimpin. Namun pada tahun 2005, sektor bangunan memiliki pertumbuhan kesempatan kerja yang tertinggi
% Pertumbuhan TK
dibanding sektor lain.
280 255 230 205 180 155 130 105 80 55 30 5 -20 -45 -70 -95 -120
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
Tahun Pertanian Industri Pengolahan Bangunan Pengangkutan dan Komunikasi Jasa-jasa
Pertambangan dan Penggalian Listrik, Gas dan Air Bersih Perdagangan, Hotel dan Restoran Keuangan, Persew aan dan Jasa
Sumber : BPS, Sumatera Utara dalam Angka 1996-2005 (diolah)
Gambar 7. Persentase Pertumbuhan Kesempatan Kerja per Sektor di Sumatera Utara (1996-2005)
Jika dilihat dari sisi penanaman modal, bahwa sektor industri pengolahan adalah sektor yang paling banyak menyerap investasi. Namun berdasarkan gambar
diatas bahwa pertumbuhan permintaan tenaga kerja di sektor ini, tidak begitu signifikan. Hal ini dapat menunjukkan bahwa sektor industri di provinsi Sumatera Utara lebih padat modal dibandingkan dengan sektor lain.
4.5. Perkembangan Investasi di Provinsi Sumatera Utara
Kebijakan otonomi daerah dapat mempengaruhi beberapa faktor dalam hal ketenagakerjaan untuk mendukung peningkatan pertumbuhan kesempatan kerja. Salah satu aspek yang dipengaruhi yaitu tingkat investasi. Investasi merupakan langkah awal kegiatan produksi. Dengan demikian, investasi berarti langkah awal kegiatan pembangunan. Untuk itu, dibutuhkan strategi kebijakan ekonomi yang dapat membuat suatu iklim yang menggairahkan bagi investor untuk melakukan penanaman modal di Provinsi Sumatera Utara. Salah satu kebijakan yang menunjukkan wujud keseriusan pemerintah dalam membangun iklim investasi yang menggairahkan adalah dengan perbaikan infrastruktur. Misalnya bandara Polonia yang sudah termasuk bandara internasional, selain itu juga pelabuhan Belawan dimana pelabuhan ini akan dijadikan sebagai jalur perdagangan baik antar pulau bahkan antar negara. Pembangunan bandara maupun pelabuhan ini tentunya akan memacu peningkatan investasi dalam jangka panjang dan sangat membantu meningkatkan perekonomian provinsi Sumatera Utara. Perkembangan investasi provinsi Sumatera Utara sebelum otonomi daerah, jika dilihat per sektor ekonomi, bahwa sektor yang paling banyak menyerap investasi adalah sektor industri pengolahan dimana pada tahun 1999, sektor ini dalam
penyerapan investasi mencapai nilai realisasi sebesar US$ 2.419.230.000. Sedangkan penurunan investasi yang cukup drastis di sektor ini terjadi pada tahun 1997 yaitu hanya dapat menyerap sebesar US$ 16.690.000, dimana penurunan ini adalah akibat terjadinya krisis berkepanjangan pada tahun tersebut. Tabel 7. Nilai Realisasi Investasi (PMA dan PMDN) Provinsi Sumatera Utara, 1994-2007 (satuan Juta US$) Tahun INV_1 INV_2 INV_3 INV_4 INV_5 INV_6 INV_7 INV_8 INV_9 Total 1994 20,01 0 173,5 0 0 7,27 6,5 0 3,2 210,48 1995 130,67 0 607,15 0 0 0 3,05 0 0 740,87 1996 179,02 0 216,36 0 0 0 21,14 50,28 3,88 470,68 1997 41,95 0 16,69 0 2,22 19,21 7,61 32,5 0 120,18 1998 157,46 14,4 213,92 0 0 44,85 4,15 0 3,46 438,24 1999 78,56 15,3 2419,23 0 0 0 114,91 3,05 0 2631,05 2000 54,49 0 50,17 0 0 6,43 0 124,5 0 235,59 2001 13,37 25,47 520,02 0 0 0 0 98 0 656,86 2002 0 0 64,45 0 0 4,98 31,23 114,5 0 215,16 2003 27,06 0 868,87 0 0,96 28,2 73,89 0 0 998,98 2004 52,91 25 582,59 5,15 0 7,03 5,33 70,42 41,96 790,39 2005 247,66 23 382,03 0 0 6,09 0,24 25,6 1,59 686,21 2006 261,13 31 342,07 0 0 6,21 4,34 0 2,49 647,24 2007 273,41 35 354,08 0 0 7,12 4,53 0 2,65 676,79 Sumber : BKPM, 1994-2007 (Diolah) Keterangan: _1 : Pertanian _2 : Pertambangan dan Galian _3 : Industri Pengolahan _4 : Listrik, Gas dan Air Bersih _5 : Bangunan _6 : Perdagangan, Hotel dan Restoran _7 : Pengangkutan dan Komunikasi _8 : Keuangan, Persewaan dan Jasa _9 : Jasa-jasa
Pada masa berjalannya otonomi daerah yaitu sejak tahun 2001, sektor industri pengolahan tetap memimpin dalam hal penyerapan investasi dibandingkan dengan sektor-sektor ekonomi lainnya, meskipun tingkatnya mengalami fluktuasi setiap tahun. Investasi tertinggi di sektor ini terjadi pada tahun 2003 sebesar US$
868.870.000, sedangkan yang terendah di sektor ini terjadi pada tahun 2002 sebesar US$ 64.450.000.
4.6. Tingkat Pendidikan.
Tingkat pendidikan angkatan kerja termasuk faktor yang mempengaruhi kondisi kesempatan kerja. Secara umum tingkat pendidikan angkatan kerja di Sumatera Utara dapat ditunjukkan pada Gambar 9. Berdasarkan data tahun 1994-2007 sebagian besar tingkat pendidikan tertinggi penduduk angkatan kerja Sumatera Utara adalah Sekolah Dasar (SD), kemudian diikuti dengan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Sedangkan angkatan kerja yang memiliki tingkat pendidikan tertinggi diploma dan sarjana hanyalah sebagian persen dari total angkatan kerja, dan masih tergolong sedikit. Hal ini mengindikasikan bahwa kualitas pendidikan angkatan kerja di Sumatera Utara masih tergolong rendah. 1800000 1600000 1400000 1200000 1000000 800000 600000 400000 200000 0 1994
1995
1996
1997
1998
1999
SD
SLTP
2000
SLTA
2001
D I/II
2002
2003
2004
2005
2006
D III/Universitas
Sumber : BPS, 1994-2007 (Diolah) Gambar 8. Tingkat Pendidikan Angkatan K di Provinsi Sumatera Utara (1994-2007)
2007
Pada sisi lain, dengan semakin meningkatnya pendidikan penduduk, efek multipliernya diharapkan dapat meningkatkan angka melek huruf atau sebaliknya menurunkan jumlah penduduk yang buta huruf. Karena hal ini merupakan salah satu indikator semakin cerdasnya penduduk. Dengan kemampuan membaca dan menulis (melek huruf) akan memperluas kesempatan menyerap pengetahuan dan informasi lebih banyak.
Tabel 8. Persentase Jumlah Penduduk Provinsi Sumatera Utara Berdasarkan Kemampuan Membaca dan Menulis, 1994-2007 (Persen) Kemampuan Membaca dan Menulis Tahun Dapat Membaca dan Menulis 1994 94,64 1995 95,29 1996 94,85 1997 95,37 1998 96,34 1999 96,37 2000 96,37 2001 96,37 2002 96,74 2003 96,60 2004 97,21 2005 96,64 2006 96,80 2007 97,00 Sumber : Susenas dalam BPS, 2001-2005.
Tidak Dapat Membaca dan Menulis 5,36 4,71 5,15 4,63 3,66 3,63 3,64 3,63 3,25 3,40 2,80 3,36 3,20 3,00
Penduduk provinsi Sumatera Utara sebagian besar memiliki kemampuan membaca dan menulis (ditunjukkan dalam Tabel 8). Namun berdasarkan pendidikan terakhir yang ditamatkan, kualitas pendidikan penduduk Sumatera Utara masih tergolong rendah. Jumlah penduduk provinsi Sumatera Utara sebelum otonomi
daerah rata-rata 95,6 persen. Sedangkan pada masa otonomi daerah jumlah penduduk Sumatera Utara yang memiliki kemampuan baca tulis semakin meningkat dengan rata-rata 96,76 persen. Untuk pemerataan kesempatan pendidikan sangat dibutuhkan ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan yang memadai, diantaranya gedung sekolah yang layak, buku-buku pelajaran, perpustakaan serta tenaga pendidik (guru).
4.7. Upah Riil
Upah merupakan salah satu indikator penting untuk melihat tingkat hidup pekerja. Upah riil merupakan tingkat upah yang menggambarkan kemampuan tingkat upah seseorang pekerja berdasarkan kebutuhannya. Berdasarkan Tabel 9. bahwa upah riil Sumatera Utara mengalami peningkatan setiap tahun.
Tabel 9. Tingkat Upah Riil Provinsi Sumatera Utara 1994-2007 (Rupiah) Tahun 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Sumber : Depnakertrans, 2001-2005.
Tingkat Upah Riil 97500 109200 138000 151000 174000 210000 254000 340500 464000 471500 483900 494100 537000 600000
Sebelum berlangsungnya otonomi daerah (1994-2000), rata-rata tingkat upah riil Sumatera Utara adalah 161.950 rupiah, sedangkan pada masa otonomi daerah (2001-2007) tingkat upah riil Sumatera Utara adalah rata-rata
484.400 rupiah.
Sehingga tingkat upah riil meningkat pada masa pemberlakuan otonomi daerah. Upah riil diperoleh berdasarkan deflasi upah nominal dengan indeks harga konsumen (IHK) yang telah memperhitungkan tingkat kebutuhan penduduk secara umum. Dengan demikian, peningkatan upah riil tersebut menggambarkan peningkatan kemampuan daya beli dari upah pekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Transformasi Data dan Uji Kesesuaian Model
5.1.1. Transformasi Data
Data yang digunakan dari setiap variabel ditransformasi. Transformasi yang dilakukan adalah dalam bentuk logaritma natural untuk memudahkan dalam interpretasi hasil pengolahan data dengan menyamakan satuan dari setiap variabel. Dalam pentransformasian data ke dalam bentuk logaritma natural, diberi perlakuan khusus terhadap data yang tidak memungkinkan untuk ditransformasi ke dalam bentuk logaritma natural. Perlakuan yang diberikan yaitu dengan menambah data sebesar 1 (satu) satuan sehingga dapat dilakukan pentransformasian ke dalam bentuk logaritma natural. Adapun data yang tidak memungkinkan untuk dilakukan transformasi adalah data investasi yang dimana sebagian datanya berniali 0. Namun semua data dari setiap variabel dilakukan pentransformasian dengan menambahkan 1 (satu) satuan kecuali data dari variabel dummy otonomi daerah. Pentransformasian tidak akan mengubah slope data, hanya menggeser data dan tidak mempengaruhi esensi data tersebut sehingga dapat dilihat bagaimana pengaruhnya terhadap variabel dependentnya
5.1.2. Uji Kesesuaian Model
Uji kesesuaian model yang dilakukan dalam penelitian ini adalah untuk memilih model yang paling tepat yang akan digunakan dalam estimasi. Uji yang
digunakan adalah uji chaw test dan uji hausman test. Adapun model yang paling tepat digunakan dalam penelitian ini adalah model fixed effect dengan pengujian sebagai berikut :
5.1.2.1. Uji Chow Test
Berdasarkan hasil uji Chow Test bahwa penelitian ini tidak melakukan estimasi dengan menggunakan metode pooled OLS. Hasil uji Chow Test adalah sebagai berikut dengan hipotesis : H0 : Model PLS (Restricted) H1 : Model Fixed Effect (Unrestricted) Chow Statistic (F stat) > F tabel, maka tolak H0 Chow Statistic (F stat) < F tabel, maka terima H0 ( RRSS
CHOW =
=
− URSS
) ( N − 1)
URSS
( NT
− N − K )
( 198,69-51,61) (9-1) 51,61 (9x10-9-6)
=
18,385 0,688
Fhit
= 26,72
Ftabel
= F(8,75) = 2,06
Hasil Chow Test dari metode pooled OLS dan metode fixed effect menghasilkan nilai F-hitung sebesar 26,72. Sedangkan nilai F-tabel yang diperoleh adalah sebesar 2,06. Oleh karena itu nilai F-hitung lebih besar dari nilai F-tabel. Sehingga dapat disimpulkan untuk menolak hipotesa nol (H0) yang berarti dibandingkan dengan metode pooled OLS, metode fixed effect lebih sesuai dijadikan sebagai metode pengestimasian model.
5.1.2.2. Uji Hausman Test
Dasar statistik kedua pemilihan model yang tepat untuk mengestimasi faktorfaktor yang mempengaruhi penciptaan kesempatan kerja adalah dengan Uji Hausman (Hausman Test). Berdasarkan Uji Hausman maka didapatkan nilai statistik hausman sebesar 27, 36467 > Х2 tabel = 12,592 dengan nilai probabilitas (P-Value) sebesar 0,000139 yang berarti tolak hipotesis untuk memilih model efek acak (random effect).
5.2. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penciptaan Kesempatan Kerja di Sumatera Utara
5.2.1. Hasil Estimasi Model
Metode fixed effect merupakan metode yang paling sesuai untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penciptaan kesempatan kerja. Hasil estimasi dengan menggunakan fixed effect model dapat dijelaskan pada Tabel 1. Berdasarkan nilai probabilitas F-statistik sebesar 0,000 pada selang kepercayaan 95 persen (taraf
nyata 5 persen) menunjukkan bahwa minimal ada satu variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap variabel terikat sehingga model penduga sudah layak untuk menduga parameter yang ada dalam fungsi. Adapun variabel-variabel yang berpengaruh nyata terhadap penciptaan kesempatan kerja di Sumatera Utara adalah investasi, Produk Domestik Regional Bruto, tingkat upah riil, dan dummy otonomi daerah. Sedangkan variabel yang tidak signifikan pada selang kepercayaan 95 persen adalah angkatan kerja dan indeks pendidikan.
Tabel 10. Hasil Estimasi Fungsi Kesempatan Kerja di Provinsi Sumatera Utara Menggunakan Model Efek Tetap dengan Pembobotan (cross segtion weigths) dan White Heteroskedasticity, α = 5 % (0,05) Variable Coefficient INV -0,010744 PDRB 0,318189 IP* 0,292285 AK* -0,244216 W -0,099209 DM -0,387740 R-squared Durbin-Watson stat F-statistic Prob(F-statistic) Sum Squared Resid Weighted Sum Squared Resid Unweighted
Std. Error 0,004521 0,046854 0,365679 0,239101 0,039656 0,076138
t-Statistic -2,376799 6,791010 -0,799292 -1,021393 2,501711 -5,092571
Prob. 0,0192 0,0000 0,4258 0,3093 0,0138 0,0000 0,998920 1,914772 7330,973 0,000000 51,61689 99,69507
Ket : * = variabel yang tidak signifikan pada taraf nyata 5 persen.
Menurut Gujarati, 1995 bahwa kesesuaian model dengan kriteria statistik dilihat dari hasil uji koefisien determinasi (R2), uji F dan uji t. Secara ekonometrik, model harus sesuai dengan asumsi klasik yang artinya harus terbebas dari gejala multikolinearitas, autokorelasi dan heteroskedastisitas. Hasil estimasi menunjukkan bahwa nilai R-Squared (R2) atau koefisien determinasi sebesar 0,99 yang
menunjukkan bahwa 99 persen keragaman permintaan tenaga kerja di provinsi Sumatera Utara dapat dijelaskan oleh variabel bebasnya sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Multikolinearitas tercermin dengan melihat hasil probabilitas t-statistik dalam regresi. Berdasarkan hasil estimasi tidak terdapat multikolinearitas, dimana terdapat empat variabel dari enam variabel penjelas yang signifikan pada taraf nyata 5 persen. Untuk ada atau tidaknya autokorelasi, berdasarkan hasil estimasi tidak ditemukan masalah autokorelasi dimana nilai Durbin Watson (DW) adalah 1,91 berkisar antara 1,55-2,46. Untuk kriteria ekonometrika yang ketiga adalah mendeteksi adanya gejala heteroskedastisitas. Setelah data panel diolah dengan memberikan perlakuan White Heteroscedasticity maka didapat nilai Sum Square Resid Weighted Statistic < Sum Square Resid Unweighted Statistic (51,61<99,69). Ini menunjukkan adanya gejala
heteroskedastisitas, namun dengan memberi perlakuan Cross Section Weights dan White Heteroscedasticity dalam mengestimasi model, maka heteroskedastisitas dapat
diabaikan. Berdasarkan Tabel 1. variabel investasi (INV), Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), tingkat upah riil (W), dan dummy otonomi daerah (DM) memiliki nilai probabilitas lebih kecil dari α (taraf nyata 5 persen). Sesuai dengan hipotesis H0 : β = 0, H1: β ≠ 0. Jika t-statistik < α maka tolak H0 yang berarti bahwa variabel tersebut memiliki β ≠ 0 atau berpengaruh nyata. Sedangkan untuk pengujian Fstatistik, hipotesa awal yang dirumuskan adalah, H0 : β1 = β2 = β3 = β4 = β5 = β6 = 0. Hasil estimasi menunjukkan bahwa nilai probabilitas F-statistik yang diperoleh yaitu 0,000, oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa untuk α = 0,005, maka tolak H0
karena F-statistik < α. Secara bersama-sama koefisien regresi tidak sama dengan nol. Dengan demikian variabel-variabel independent secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap variabel dependennya.
5.2.2. Interpretasi Model
Berdasarkan hasil estimasi model didapat bahwa tidak semua variabel bebas berpengaruh nyata terhadap penciptaan kesempatan kerja di Sumatera Utara. Adapun variabel-variabel yang berpengaruh nyata (signifikan) pada taraf nyata α = 5 persen adalah investasi (INV), Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), tingkat upah riil (W), dan dummy otonomi daerah (DM). Sedangkan variabel yang tidak signifikan adalah angkatan kerja (AK) dan indeks pendidikan (IP). Variabel investasi (INV) berpengaruh secara nyata pada taraf nyata 5 persen dengan koefisien -0,010 yang artinya jika terjadi kenaikan investasi sebesar 1 persen, maka akan mengurangi penciptaan kesempatan kerja sebesar 1 persen, Cateris paribus. Hal ini tidak sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa semakin
meningkatnya
investasi,
akan
meningkatkan
penciptaan
kesempatan
kerja.
Ketidaksesuaian yang terjadi ini diindikasikan dengan investasi di Sumatera Utara yang lebih bersifat padat modal dan untuk investasi tersebut dibutuhkan tenaga kerja yang berkualitas, sementara di lapangan menunjukkan bahwa kondisi kualitas tenaga kerja masih tergolong rendah. Dengan begitu hal ini belum mampu mendorong penciptaan kesempatan kerja di Sumatera Utara. Berkaitan dengan pelaksanaan otonomi daerah, dimana dengan otonomi daerah ini semakin banyaknya daerah di kabupaten-kabupaten di Sumatera Utara yang ingin memekarkan diri. Dengan
melihat kondisi ini, bukan suatu kondisi yang kondusif bagi investor untuk melakukan investasi di Sumatera Utara, karena menunjukkan adanya tanda-tanda ketidakstabilan sistem birokrasi pemerintahan yang akan dilalui oleh para investor jika ingin berinvestasi di Sumatera Utara. Variabel Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah signifikan pada taraf nyata 5 persen dengan koefisien 0,318 yang artinya jika terjadi kenaikan PDRB sebesar 1 persen, maka akan meningkatkan penciptaan kesempatan kerja sebesar 31 persen, Cateris paribus. Sesuai dengan teori ekonomi makro bahwa dengan tumbuhnya ekonomi diperlukan tambahan input khususnya tenaga kerja dengan begitu permintaan akan tenaga kerja semakin meningkat yang kemudian diharapkan dapat menciptakan kesempatan kerja. Variabel tingkat upah riil (W) adalah signifikan pada taraf nyata 5 persen dengan koefisien -0,099 yang artinya jika terjadi kenaikan tingkat upah riil sebesar 1 persen, maka akan mengakibatkan penurunan penciptaan kesempatan kerja sebesar 9 persen, Cateris paribus. Hal ini sesuai dengan hukum permintaan tenaga kerja yaitu semakin tinggi tingkat upah dari tenaga kerja maka semakin berkurang permintaan terhadap tenaga kerja tersebut, demikian sebaliknya. Selain faktor tersebut adalah karena peningkatan upah riil secara terus menerus akan menyebabkan ekonomi biaya tinggi bagi pengusaha untuk menggaji karyawan, dengan ekonomi biaya tinggi ini, maka pengusaha tidak akan mampu meningkatkan output dengan maksimal. Sehingga hal ini akan menyebabkan perekonomian tidak meningkat. Variabel dummy otonomi daerah berpengaruh signifikan pada taraf nyata 5 persen dengan koefisien sebesar -0,387 yang artinya pada masa berlangsungnya
otonomi daerah, kesempatan kerja justru mengalami penurunan sebesar 38 persen, Cateris paribus. Hal ini menunjukkan bahwa pelaksanaan otonomi daerah belum
mampu mendorong kreativitas daerah provinsi Sumatera Utara untuk menciptakan peluang kesempatan kerja bagi masyarakat Provinsi Sumatera Utara. Hal ini dikarenakan oleh pelaksanaan otonomi daerah di Sumatera Utara tidak didukung oleh beberapa hal, diantaranya sistem organisasi kepemerintahan yang tidak efektif dan efisien karena alokasi anggaran lebih banyak digunakan kepada kegiatan-kegiatan yang sifatnya tidak produktif, misalnya persoalan pemekaran wilayah yang merupakan isu-isu yang saat ini sangat hangat di Sumatera Utara, sehingga pemerintah daerah tidak fokus mengalokasikan anggarannya untuk memecahkan masalah-masalah lain yang sangat dibutuhan pemecahannya, termasuk masalah di bidang ketenagakerjaan yang telah lama menjadi masalah pokok di Sumatera Utara. Jika dilihat dari sisi sarana dan prasarananya, tidak mendukung tujuan pemberlakuan otonomi daerah itu sendiri untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan yang mendorong pembangunan ekonomi, sehingga pembangunan ekonomi ini tidak mampu juga mendorong terciptanya kesempatan kerja. Variabel indeks pendidikan (IP) tidak berpengaruh nyata terhadap penciptaan kesempatan kerja di Sumatera Utara. Hal ini dikarenakan kualitas pendidikan angkatan kerja di Sumatera Utara masih tergolong rendah yaitu sebagian besar berpendidikan Sekolah Dasar, karena tingkat pendidikan yang rendah cenderung tidak memiliki keterampilan yang memadai untuk dipekerjakan di sektor-sektor perekonomian.
Secara
teori
bahwa
peningkatan
jenjang
pendidikan
akan
mempengaruhi permintaan pengusaha akan tenaga kerja, karena jenjang pendidikan
seseorang yang semakin tinggi berarti menunjukkan bahwa seseorang tersebut memiliki keterampilan yang memadai untuk dipekerjakan. Kemudian kemajuan jenjang pendidikan tersebut sangat didukung oleh tersedianya fasilitas-fasilitas pendidikan. Namun di Sumatera Utara sendiri masalah ketersediaan fasilitas pendidikan merupakan suatu penghambat untuk menunjang pendidikan tersebut di atas, misalnya kekurangan tenaga pengajar. Oleh karena itu banyak penduduk Sumatera Utara yang memilih untuk mengaktualisasikan dirinya ke luar daerah dengan harapan dapat berkompetisi dan berhasil di berbagai bidang profesi dan tidak kembali lagi ke daerah asalnya. Dengan begitu jelas bahwa tingkat pendidikan belum mampu mendorong penciptaan kesempatan kerja di Sumatera Utara. Variabel angkatan kerja (AK) tidak berpengaruh nyata terhadap penciptaan kesempatan kerja. Secara teori jumlah angkatan kerja yang masuk ke dalam pasar kerja akan terserap oleh lapangan usaha yang tersedia apabila lapangan usaha yang tersedia melebihi jumlah angkatan kerja. Namun karena kondisi angkatan kerja di Sumatera Utara selalu melebihi kesempatan kerja yang tersedia, maka peningkatan jumlah angkatan kerja tidak mampu meningkatkan penciptaan kesempatan kerja. Penelitian ini mendukung hasil penelitian dari Ardiansyah (2004) dalam penelitiannya tentang penciptaan sektor-sektor perekonomian di Kota Jambi sebelum dan pada masa otonomi menyimpulkan bahwa pada masa sebelum otonomi daerah seluruh sektor ekonomi di Kota Jambi penciptaannya meningkat. Akan tetapi setelah adanya otonomi daerah seluruh sektor ekonomi mengalami penciptaan yang lambat. Jambi kalah bersaing dengan kabupaten yang lain.
Hasil penelitian ini berbeda dari hasil analisis dari beberapa peneliti terdahulu mengenai otonomi daerah, diantaranya hasil penelitian dari Lubis (2008) dengan menggunakan
metode
panel
data
untuk
menganalisis
faktor-faktor
yang
mempengaruhi penciptaan kesempatan kerja di Provinsi Banten sebelum otonomi daerah. Pada penelitian Lubis (2008) tersebut bahwa otonomi daerah mampu memberikan dampak yang positif terhadap penciptaan ekonomi provinsi Banten termasuk juga mampu meningkatkan penciptaan kesempatan kerja di Banten. Berbeda dengan penelitian ini yang menunjukkan bahwa otonomi daerah belum mampu mendorong penciptaan kesempatan kerjanya sekalipun mampu meningkatkan penciptaan ekonomi. Kesamaan hasil penelitian ini dengan hasil penelitian dari Lubis (2008) adalah bahwa faktor-faktor yang signifikan terhadap penciptaan kesempatan kerja yaitu investasi, PDRB, tingkat upah riil dan dummy otonomi daerah, namun tidak memiliki pengaruh yang sama. Berdasarkan penelitian ini, investasi, tingkat upah riil dan dummy otonomi daerah memiliki pengaruh yang negatif sementara PDRB memiliki pengaruh yang positif. Sedangkan penelitian Lubis menunjukkan bahwa faktor yang berpengaruh positif adalah investasi, PDRB, dan dummy otonomi daerah. Sementara indeks pendidikan dan tingkat upah memiliki pengaruh yang negatif. Selain itu penelitian ini berbeda juga dengan hasil penelitian dari Lestari (2006) yang meneliti dampak otonomi daerah terhadap penciptaan kesempatan kerja di Provinsi DKI Jakarta yang juga menyimpulkan bahwa otonomi daerah mempengaruhi penciptaan kesempatan kerja di Provinsi DKI Jakarta.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Secara
umum
kondisi
perekonomian
Sumatera
Utara
pada
masa
berlangsungnya otonomi daerah sudah menunjukkan perubahan yang membaik jika dibandingkan dengan sebelum pemberlakuan otonomi daerah. Hal ini dapat ditunjukkan dengan pertumbuhan ekonomi (PDRB) yang mengalami peningkatan setiap tahun. Namun jika dilihat dari sisi ketenagakerjaan, otonomi daerah belum mampu meningkatkan penciptaan kesempatan kerja. Berdasarkan hasil estimasi model diperoleh bahwa model yang digunakan sudah dapat menggambarkan keragaman dalam kesempatan kerja, yang ditunjukkan dengan nilai R2 sebesar 0,99 dan signifikansi empat variabel dari enam variabel yang diduga. Keempat variabel tersebut yang berpengaruh nyata terhadap penciptaan kesempatan kerja di provinsi Sumatera Utara adalah investasi, PDRB, tingkat upah riil dan dummy otonomi daerah, sedangkan variabel yang tidak berpengaruh nyata terhadap penciptaan kesempatan kerja adalah angkatan kerja dan indeks pendidikan. PDRB memberikan pengaruh yang positif terhadap penciptaan kesempatan kerja di Sumatera Utara, karena dengan meningkatnya PDRB akan memicu peningkatan terhadap tenaga kerja untuk
dapat terus meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Sementara investasi memberi pengaruh yang negatif terhadap penciptaan kesempatan kerja karena di Sumatera Utara investasi lebih banyak terserap oleh sektor-sektor usaha yang lebih berorientasi padat modal. Sehingga investasi tidak mendorong
permintaan terhadap tenaga kerja. Variabel tingkat upah riil memberikan pengaruh yang negatif terhadap penciptaan kesempatan kerja karena peningkatan upah riil secara terus menerus akan menyebabkan ekonomi biaya tinggi bagi pengusaha, dengan begitu peningkatan upah riil justru akan menurunkan permintaan akan tenaga kerja. Faktor dummy otonomi daerah memiliki pengaruh yang negatif, sehingga dapat disimpulkan bahwa otonomi daerah belum mampu mendorong penciptaan kesempatan kerja di Sumatera Utara, karena tidak efektifnya sistem pemerintahan dan rendahnya tingkat kualitas sumber daya manusia (SDM) aparat pemerintahan di provinsi Sumatera Utara. Variabel angkatan kerja
tidak berpengaruh nyata terhadap penciptaan
kesempatan kerja karena kondisi angkatan kerja di Sumatera Utara selalu melebihi kesempatan kerja yang tersedia. Variabel indeks pendidikan tidak berpengaruh nyata terhadap penciptaan kesempatan kerja karena kualitas pendidikan angkatan kerja di Sumatera Utara masih tergolong rendah, sementara pengusaha lebih membutuhkan tenaga kerja dengan kualitas pendidikan tinggi karena dianggap memiliki keterampilan yang cukup memadai.
6.2. Saran
Penciptaan kesempatan kerja di Sumatera Utara sangat dipengaruhi oleh tingkat pertumbuhan ekonomi dalam hal ini PDRB. Oleh karena itu pemerintah daerah provinsi Sumatera Utara perlu mengoptimalkan segala potensi di sektor-sektor perekonomian
sehingga
dapat
terus
meningkatkan
pertumbuhan
ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi ini dapat terus ditingkatkan dengan meningkatkan investasi. Berdasarkan tinjauan ekonomi bahwa kondisi investasi di Sumatera Utara adalah lebih padat modal sehingga diperlukan usaha dari pemerintah daerah Sumatera Utara untuk mendorong investasi di sektor-sektor yang bersifat padat karya, sehingga mampu menciptakan kesempatan kerja yang lebih banyak. Agar tingkat upah mampu meningkatkan penciptaan kesempatan kerja, pemerintah daerah Sumatera Utara diharapkan dapat memberi intervensi dalam hal ini, misalnya dengan menetapkan tingkat upah minimum pekerja (UMR), dengan begitu kebijakan ini akan berpihak baik kepada pengusaha maupun pekerja. Sehingga dengan tingkat upah yang mampu melindungi para pengusaha, akan mendorong permintaan pengusaha akan tenaga kerja yang berarti kesempatan kerja semakin meningkat, dan pekerja akan terlindungi dengan tingkat upah minimum yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Terkait dengan pemberlakuan otonomi daerah, diharapkan pemerintah lebih mengefektifkan sistem pemerintahan daerah dengan menempatkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas di pemerintahan daerah agar mampu melaksanakan tugas kepemerintahan dengan efektif. Selain itu diharapkan pemerintah daerah Sumatera Utara perlu meningkatkan pembangunan di bidang sarana dan prasarana, agar mampu mendukung percepatan pembanguan ekonomi. Perlunya melakukan penelitian lanjutan berkaitan dengan penciptaan kesempatan kerja untuk menganalisis faktor-faktor lain yang mempengaruhi penciptaan kesempatan kerja, misalnya faktor kenaikan harga, faktor jumlah impor, dan lain sebagainya faktor-faktor yang diduga berpengaruh sehingga dapat diketahui
faktor-faktor lain di luar faktor-faktor pada penelitian ini, yang pada akhirnya menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam menanggulangi masalah ketenagakerjaan.
DAFTAR PUSTAKA
Ardiansyah. 2004. Analisis pertumbuhan sektor-sektor perekonomian di Kota Jambi sebelum dan pada masa otonomi. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Badan Pusat Statistik, 1994-2007. Sumatera Utara Dalam Angka. Badan Pusat Statistik, Jakarta. __________. 2005. Keadaan Angkatan Kerja di Provinsi Sumatera Utara 1996-2005. Badan Pusat Statistik, Jakarta. __________. 2005. Statistik Upah Provinsi Sumatera Utara. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Bellante, D dan Jackson, M. 1990. Ekonomi Ketenagakerjaan. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Pratama Rahardja [Terjemahan]. Badan Koordinasi Penanaman Modal, 2005. Nilai Realisasi Investasi per Sektor Sumatera Utara 1996-2005. Daryanto dan Hafizrianda. 2008. Analisis Regresi Lanjutan. IPB Press, Bogor. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I, 1994-2007. Situasi Produktivitas Tenaga Kerja. Depnakertrans, Jakarta. __________. 2007. Profil Sumber Daya Manusia Indonesia. Depnakertrans, Jakarta. __________. 2007. Konsep Penanggulangan Pengangguran. Depnakertrans, Jakarta. Dumairy, M A. 1996. Perekonomian Indonesia. Edisis Kelima. Yati Sumiharti. Erlangga, Jakarta. Fatih, A A. 2004. Menyoroti Problem Ketenagakerjaan Dewasa Ini. Jurnal Ekonomi Ideologis. www.jurnal-ekonomi.org. Firdaus, M. 2004. Ekonometrika Suatu Pendekatan Aplikatif. PT. Bumi Aksara, Jakarta. Gujarati, D N. 2003. Basic Econometrics. Fourth Edition. McGraw-Hiil, New York Haris, S. 2005. Desentralisai dan Otonomi Daerah. LIPI Press, Jakarta.
Hardiyanto, G. 2003. Otonomi Daerah dan Tantangan Kelestarian Sumberdaya Alam. [Jurnal]. Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. International Labor Office. 2007. Tren Ketenagakerjaan Global. [Jurnal]. Kaho. 1997. Pembangunan Sumber Daya Manusia di Era Otonom. UIP, Jakarta. Kompas. 2005. Investasi di Sumut Hingga Triwulan Pertama Nol Persen. Edisi Sabtu 13 Agustus 2005. www.kompas.com. Lestari. 2006. Analisis pengaruh kebijakan otonomi daerah terhadap pertumbuhan kesempatan kerja di Propinsi DKI Jakarta pariode 1996-2004. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Lipsey, R G, et al. 1997a. Pengantar Makroekonomi. Jilid 2. Agus Maulana, penerjemah. Binarupa Aksara, Jakarta. Lubis, R R. 2008. Kajian Pencapaian Tujuan Pokok Millenium Development Goals dan Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Kesempatan Kerja di Provinsi Banten. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, Bogor. LPEM FEUI. 2005. Ringkasan Eksekutif Pemantauan Iklim Investasi di Indonesia. Laporan dari Survei Pertengahan Mei 2005. http:www.lpem.org/wp/Ringkasan_Eksekutif_Responden-B.Indo.pdf. Mankiw, N G. 2000. Teori Makroekonomi. Edisi Keempat. Yati Sumiharti. Erlangga, Jakarta. Nasution, B. 2006. Peran Hukum Dalam Pengembangan Daerah Otonom. [Jurnal]. Universitas Asahan ke-X, Asahan. Nicholson, W. 2002. Mikroeconomi Intermediate and Application. Edisi Kedelapan. Ign Bayu Mahendra, Abdul Azis, penerjemah. Erlangga, Jakarta. Pasaribu, H B. 2002. Puncak Krisis Ketenagakerjaan. Suara Karya. Ambon. [email protected]. Peraturan Pemerintah Nomor 38. 2007. Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, Jakarta. ___________________Nomor 19. 2005. Standar Nasional Pendidikan, Jakarta. Pindyck, R S. dan Daniel L. Rubinfeld. 1998. Econometric Models and Economic Forecasts. Fourth Edition. McGraw-Hiil, Singapore.
Pospos, P L R. 2002. Pelaksanaan Otonomi Daerah Tidak Seperti Yang Diharapkan. http:www.bp.org/wp/Pelaksanaan_Otonomi_Daerah.pdf. S, Mulyadi. 2003. Ekonomi Sumber Daya Manusia Dalam Perspektif Pembangunan. PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta. Squire, Lyn. 1978. Kebijaksanaan Kesempatan Kerja di Negeri-negeri Sedang Berkembang. Pustaka Bradjaguna dan UI-Press, Jakarta. Supriyati, Saptana dan Sumedi. 2003. Dinamika Ketenagakerjaan dan Penyerapan Tenaga Kerja di Pedesaan Jawa. [Jurnal], Bogor. Tambunan. 2001. Pelaksanaan Otonomi Daerah Sebagai Wujud Efektifitas Sistem Pemerintahan Daerah. Erlangga, Jakarta. Todaro, M P dan Smith. 2004. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Edisi Kedelapan. [Terjemahan]. Erlangga, Jakarta. Undang-Undang Nomor 25. 1997. Tentang Ketenagakerjaa, Jakarta. ______________Nomor 20. 2003. Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta.
Waspada Online. 2007. Banyak Investor Hengkang dari Sumut. Edisi Jumat 6 Juli 2007. www.waspadaonline.com. Zulfiyandi. 2006. Otonomi Daerah dan Tantangan Pembinaan Ketenagakerjaa. Warta Ketenagakerjaan. Pusat Data dan Informasi Ketenagakerjaan, Jakarta.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil Estimasi Menggunakan Model Fixed Effect.
Dependent Variable: LOG(LD?) Method: GLS (Cross Section Weights) Date: 09/13/08 Time: 16:53 Sample: 1994 2007 Included observations: 14 Number of cross-sections used: 9 Total panel (balanced) observations: 126 One-step weighting matrix White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance Variable
Coefficient
LOG(INV?) LOG(PDRB?) LOG(IP?) LOG(AK?) LOG(W?) DM? Fixed Effects _1--C _2--C _3--C _4--C _5--C _6--C _7--C _8--C _9--C
-0.010744 0.318189 -0.292285 -0.244216 0.099209 -0.387740
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Log likelihood Durbin-Watson stat
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Durbin-Watson stat
Std. Error 0.004521 0.046854 0.365679 0.239101 0.039656 0.076138
t-Statistic -2.376799 6.791010 -0.799292 -1.021393 2.501711 -5.092571
Prob. 0.0192 0.0000 0.4258 0.3093 0.0138 0.0000
12.52584 7.537490 10.56909 7.691387 10.31512 11.49830 10.52872 8.769183 11.35328 Weighted Statistics 0.998920 Mean dependent var 0.998783 S.D. dependent var 0.681922 Sum squared resid 3.639530 F-statistic 1.914772 Prob(F-statistic) Unweighted Statistics 0.824194 Mean dependent var 0.802020 S.D. dependent var 0.947710 Sum squared resid 2.200932
37.08798 19.55055 51.61689 7330.973 0.000000 11.89493 2.129929 99.69507
Lampiran 2. Hasil Hausman Test Alpha (α) Chi-Square (X2) Nilai H P-Value
0,05 12,592 27, 36467 0,000139