ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HARGA GULA DOMESTIK DAN PENGARUH KEBIJAKAN PERGULAAN NASIONAL
OLEH ANDINA OKTARIANI H14103063
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
RINGKASAN ANDINA OKTARIANI. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga Gula Domestik dan Pengaruh Kebijakan Pergulaan Nasional (dibimbing oleh IDQAN FAHMI). Industri gula merupakan salah satu agroindustri yang memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia. Hal ini ditunjukkan oleh kebutuhan terhadap gula sebagai salah satu sumber kalori terus meningkat di Indonesia dengan pertumbuhan konsumsi mencapai 2,6 persen pada tahun 2005/2006 (USDA, www. Republika.co.id, 2005). Kondisi ini tidak diiringi dengan peningkatan produksi gula domestik. Indonesia hanya mampu menyediakan kebutuhan gula sekitar 1,7 juta ton per tahun sementara kebutuhan gula mencapai sekitar 3,2 juta ton per tahun (Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan dan Lembaga Penelitian IPB, 2002). Hal inilah yang mendorong pemerintah untuk melakukan impor gula. Di satu sisi, volume impor dibutuhkan untuk menutupi kekurangan produksi dalam memenuhi konsumsi gula yang terus meningkat. Di sisi lain, volume impor ini menyebabkan kemunduran industri gula. Hal ini disebabkan karena harga impor gula yang lebih murah dibandingan harga gula domestik di tingkat eceran akibat dari adanya intervensi dari negara-negara eksportir untuk melindungi industri gulanya secara berlebihan. Kondisi ini menunjukkan bahwa industri gula nasional dihadapkan pada persaingan yang tidak adil dengan tarif impor sebesar 25 persen. Pemerintah mengatasi masalah ini dengan menetapkan kebijakan proteksi dan promosi untuk melindungi industri gula nasional. Kebijakan proteksi dan promosi yang dilakukan oleh pemerintah menimbulkan adanya disparitas harga gula domestik yang lebih tinggi dari harga impor gula. Hal ini mengindikasikan bahwa terjadi gejala penurunan daya saing gula domestik. Pernyataan ini didasarkan bahwa harga merupakan gambaran proyeksi dari daya saing gula domestik. Kondisi ini menimbulkan dugaan ketidaktepatan pada kebijakan pergulaan di Indonesia, terutama pada era proteksi dan promosi. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisa perkembangan kebijakan pergulaan nasional selama periode 1975 hingga 2005, menilai dampak kebijakan pergulaan nasional terhadap kondisi pergulaan di Indonesia, menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi harga gula domestik, dan merumuskan rekomendasi kebijakan yang dapat dipertimbangkan oleh pembuat kebijakan sehingga gula domestik mampu bersaing di tingkat pasar domestik. Penelitian ini difokuskan pada komoditas gula putih yang dikonsumsi langsung oleh rumah tangga, harga gula domestik hanya terdiri dari harga gula domestik di tingkat eceran dan harga gula di tingkat petani serta pengaruh kebijakan pergulaan nasional dalam penelitian ini hanya pada kebijakan bebas dan transisi dan kebijakan proteksi dan promosi, dimana kebijakan monopoli Bulog sebagai variabel kontrol. Namun, hasil penelitian ini hanya memaparkan pengaruh kebijakan proteksi dan promosi. Pada penelitian ini, untuk menganalisa perkembangan kebijakan pergulaan nasional dilakukan secara deskriptif, menilai dampak kebijakan pergulaan nasional
terhadap kondisi pergulaan nasional menggunakan esensi metode Regulatory Impact Assessment (RIA) dan menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi harga gula domestik digunakan metode Two-Stage Least Square (2SLS) sehingga ketiga analisis ini dapat dijadikan informasi dalam membuat rekomendasi kebijakan. Data yang digunakan adalah data sekunder dalam bentuk time series dengan periode waktu 31 tahun, yaitu dari tahun 1975 hingga 2005. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan pergulaan yang diterapkan pemerintah secara garis besar terdiri dari tiga regim yaitu, periode Bulog (19751998), periode bebas dan transisi (1999-2002) dan periode proteksi dan promosi (2003-2005). Penilaian terhadap dampak kebijakan pergulaan nasional yang digambarkan berupa sisi positif dan negatif dari masing-masing kebijakan pergulaan nasional dilakukan secara deskriptif. Penerapan kebijakan pada periode Bulog menunjukkan bahwa sisi negatif lebih banyak daripada sisi positif yaitu menimbulkan adanya fluktuasi harga gula domestik yang memberikan ketidakpastian harga baik produsen maupun konsumen. Kondisi ini digambarkan pada kebijakan yang diterapkan periode bebas dan transisi, dimana sisi negatif lebih banyak dibandingkan sisi positif dari berbagai kebijakan tersebut. Lain halnya pada periode proteksi dan promosi, sisi positif lebih besar dibandingkan sisi negatif. Sisi positif dari kebijakan yang diterapkan pada periode proteksi dan promosi adalah menyehatkan industri gula. Namun, esensi dari sisi negatif kebijakan yang diterapkan pada periode proteksi dan promosi dampaknya lebih jelas pada jangka panjang dan menimbulkan penurunan daya saing gula domestik. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa harga gula di tingkat petani, harga impor gula, harga gula domestik di tingkat eceran tahun sebelumnya dan kebijakan proteksi dan promosi berpengaruh positif sedangkan impor gula dan nilai tukar berpengaruh negatif terhadap harga gula domestik di tingkat eceran. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa harga gula domestik di tingkat eceran, rasio harga gula di tingkat petani terhadap harga dasar gabah, harga pupuk, tingkat inflasi, dan kebijakan proteksi dan promosi berpengaruh positif terhadap harga gula di tingkat petani. Namun, harga impor gula tidak berpengaruh nyata. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa kebijakan bebas dan transisi berpengaruh positif terhadap harga gula di tingkat petani. Kondisi ini tidak sesuai dengan teori dan konsep, dimana kebijakan bebas dan transisi seharusnya berpengaruh negatif terhadap harga gula di tingkat petani. Oleh karena itu, timbul ketidaktepatan pada persamaan dalam penelitian ini sehingga diperlukan re-estimasi. Ketiga analisis ini memberikan kesimpulan bahwa kebijakan proteksi dan promosi mampu menyehatkan kondisi pergulaan nasional. Namun, adanya disparitas harga gula domestik yang lebih tinggi dari harga impor menunjukkan gejala penurunan daya saing sehingga kebijakan ini belum mampu meningkatkan daya saing gula domestik. Oleh karena itu, kebijakan proteksi dan promosi harus didukung dengan kebijakan lain untuk meningkatkan daya saing gula domestik secara komperhensif dari subsistem hulu sampai hilir. Saran untuk penelitian selanjutnya adalah menganalisa sejauhmana kinerja industri gula mampu menjadi industri yang kompetitif di masa yang akan datang dan menganalisa mekanisme distribusi gula sampai tingkat eceran serta faktorfaktor yang dapat mempengaruhi penetapan harga gula domestik di tingkat pedagang antara.
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Andina Oktariani lahir pada tanggal 22 Oktober 1984 di Bogor. Penulis adalah putri ketiga dari empat bersaudara, dari pasangan Dedy Muhammad Tauhid, SH, MM dengan Mulyaningsih. Riwayat pendidikan dimulai dari pendidikan taman kanak-kanak TK Kusuma Jaya Bogor kemudian dilanjutkan pendidikan sekolah dasar SDN Panaragan 2 Bogor dan pendidikan sekolah lanjutan pertama SLTPN 2 Bogor diselesaikan pada tahun 2000 selanjutnya sekolah lanjutan atas yang diselesaikan pada tahun 2003 di SMUN 2 Bogor. Pada tahun 2003, penulis melanjutkan pendidikan ke Fakultas Ekonomi dan Manajemen Departemen Ilmu Ekonomi, Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama menjadi mahasiswa IPB, penulis memperoleh Juara 1 Lomba Karya Tulis Mahasiswa (LKTM) Bidang Pendidikan Tingkat IPB tahun 2005, Juara 2 LKTM Bidang Pendidikan Wilayah B yang diselenggarakan di Universitas Negeri Semarang (UNNES) tahun 2005, Finalis LKTM Bidang Pendidikan Tingkat Nasional dalam rangka Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) XVIII dan aktif pada organisasi Himpunan Profesi Ekonomi Studi Pembangunan (HIPOTESA) pada divisi Kajian Ilmiah Ilmu Ekonomi.
KATA PENGANTAR
Puji syukur dipanjatkan ke khadirat Allah SWT karena atas berkat dan rahmatnya, penyusunan skripsi yang berjudul “Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga Gula Domestik dan Pengaruh Kebijakan Pergulaan Nasional” dapat diselesaikan. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini, perkenankanlah penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Ir. Idqan Fahmi, M.Ec sebagai pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan baik pada waktu persiapan dan penelitian maupun penyusunan skripsi. Beliau juga sebagai pembimbing akademik yang telah memberikan pengarahan selama penulis mengikuti pendidikan. 2. Dr. Sri Mulatsih, M.Sc sebagai penguji utama sidang yang telah memberikan kritik dan saran yang bermanfaat bagi penulisan skripsi agar menjadi lebih baik. 3. Ir. Tanti Novianti, M.Si sebagai penguji komisi pendidikan atas kritik dan saran yang telah diberikan sehingga penulisan skripsi menjadi lebih baik. 4. Ir. Bambang Yoelianto, S.MP yang telah membantu, memberikan data serta informasi lainnya yang diperlukan untuk penyusunan skripsi dalam proses penelitian. 5. Pihak Departemen Pertanian, Departemen Perdagangan, Badan Pusat Statistik, PT. Pupuk Sriwijaya, Bank Indonesia, dan Perpustakaan IPB (LSI) atas kerjasamanya selama penulis melaksanakan penelitian. 6. Ayah dan Ibu atas doa, pengorbanan, kesabaran, kasih sayang, perhatian, waktu untuk berbagi suka dan duka serta dorongannya sangat besar artinya dalam proses penyelesaian skripsi ini. Semua yang telah diberikan Ibu dan Ayah tiada taranya dan tidak dapat dinilai dengan apapun, hanya Allah SWT yang dapat membalasnya. Kakakku tercinta Rizka, kang Opan dan de Ilham atas semangat dan dukungan yang telah diberikan selama ini.
7. Teuku Fajar Akbar atas kasih sayang, dukungan, pengorbanan yang telah dicurahkan selama ini. Semoga semua yang telah kita rangkai menjadikan satu untaian kasih yang diridhoi Allah SWT untuk selamanya. 8. Keluarga Teuku Darmawan atas doa dan dukungan yang telah diberikan. 9. Ibu Endun dan Ayah Burhan (almarhumah) atas doa dan dukungannya selama ini. 10. Keluarga ua Eros, mas Bayu, mas Dedi yang telah memberikan doa, dukungannya selama ini. 11. Kak Irvan atas motivasi, bimbingan dalam mengarahkan penulis mengikuti pendidikan. 12. Teman-temanku yang telah memberikan semangat dan warna-warni dalam bangku kuliah, Linda, Opie, Diyan Timor, Devi, Lea, Heni, Rendina, Dian P, Desi, Tanti, Maiva, Arie, Echa dan temanku yang setia: Atisha, Erlyn serta semua rekan-rekan IE angkatan 40. 13. Kakak-kakak kelas ku IE, kak Nova dan kak Indra Refipal yang telah memberikan pelajaran bahwa perlu perjuangan yang besar untuk meraih citacita yang diinginkan dan memberikan warna-warni dalam mencapai prestasi LKTM serta teh Yula yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi. 14. Semua pihak yang telah membantu dan tidak mungkin disebutkan satu per satu. Akhirnya, penulis menyadari bahwa skripsi ini mungkin masih banyak kekurangannya. Namun, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan berguna bagi pihak yang memerlukannya.
Bogor,
April 2007
Andina Oktariani H14103063
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HARGA GULA DOMESTIK DAN PENGARUH KEBIJAKAN PERGULAAN NASIONAL
Oleh ANDINA OKTARIANI H14103063
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENARBENAR
HASIL
DIGUNAKAN
KARYA
SEBAGAI
SAYA SKRIPSI
SENDIRI ATAU
YANG KARYA
BELUM
PERNAH
ILMIAH
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor,
April 2007
Andina Oktariani H14103063
PADA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa
: Andina Oktariani
Nomor Registrasi
: H14103063
Program Studi
: Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi
: Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga Gula Domestik dan Pengaruh Kebijakan Pergulaan Nasional
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Menyetujui, Dosen Pembimbing,
Ir. Idqan Fahmi, M.Ec NIP. 131 803 657
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Dr.Ir. Rina Oktaviani, MS NIP. 131 846 872 Tanggal Kelulusan:
x
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ......................................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................
xiii
I. PENDAHULUAN..................................................................................
1
1.1. Latar Belakang ................................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah ........................................................................
6
1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ....................................................
8
1.4. Ruang Lingkup................................................................................
9
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ................
10
2.1. Tinjauan Pustaka ............................................................................
10
2.1.1. Teori Permintaan dan Penawaran........................................
10
2.1.2. Harga ..................................................................................
13
2.1.3. Harga Gula Domestik..........................................................
14
2.1.3.1. Harga Gula Domestik di Tingkat Eceran ...............
14
2.1.3.2. Harga Gula Domestik di Tingkat Petani ................
16
2.1.4. Teori Perdagangan Internasional.........................................
18
2.1.5. Penelitian Terdahulu ...........................................................
21
2.2. Kerangka Pemikiran........................................................................
27
2.3. Hipotesis..........................................................................................
29
III. METODE PENELITIAN......................................................................
31
3.1. Jenis dan Sumber Data ...................................................................
31
3.2. Model Ekonometrika......................................................................
32
3.3. Identifikasi Model ..........................................................................
36
3.4. Metode Analisis data......................................................................
39
3.4.1. Metode Regulatory Impact Assessment (RIA)......................
40
3.4.2. Two-Stage Least Square (2SLS) ...........................................
42
3.5. Pengujian Model dan Hipotesis .....................................................
44
3.5.1. Uji Kriteria Ekonomi...........................................................
44
3.5.2. Uji Kriteria Statistik ............................................................
44
3.5.2.1. Uji Unit Root (Unit Root Test)................................
44
3.5.2.2. Uji Koefisien Determinasi (R² / R² adjusted)........
45
xi
3.5.2.3. Uji F.......................................................................
45
3.5.2.4. Uji t........................................................................
47
3.5.3. Uji Kriteria Ekonometrika...................................................
48
3.5.3.1. Multikolinearitas ...................................................
48
3.5.3.2. Autokorelasi ..........................................................
48
3.5.3.3. Heteroskedastisitas ................................................
50
IV. GAMBARAN UMUM INDUSTRI GULA NASIONAL ....................
51
4.1. Pengertian Industri Gula.................................................................
51
4.2. Perkembangan Industri Gula..........................................................
53
4.3. Kebijakan Pergulaan Negara Produsen dan Konsumen Utama Gula Dunia..........................................................................
57
V. HASIL DAN PEMBAHASAN..............................................................
62
5.1. Perkembangan Kebijakan Pergulaan Nasional................................
62
5.2. Penilaian Dampak Kebijakan Pergulaan Nasional Terhadap Kondisi Pergulaan Nasional ............................................
72
5.2.1. Periode Bulog .........................................................................
72
5.2.2. Periode Bebas dan Transisi.....................................................
75
5.2.3. Periode Proteksi dan Promosi.................................................
79
5.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga Gula Domestik..............
81
5.3.1. Uji Stasioneritas Data............................................................
81
5.3.2. Hasil Estimasi Model Struktural Harga Gula Domestik di Tingkat Eceran ............................
82
5.3.2.1. Uji Ekonometrika ...................................................
82
5.3.2.2. Hasil Estimasi Model .............................................
83
5.3.3. Hasil Estimasi Model Struktural Harga Gula di Tingkat Petani ..............................................
87
5.3.3.1. Uji Ekonometrika ..................................................
87
5.3.3.2. Hasil Estimasi Model .............................................
88
5.4. Rekomendasi Kebijakan.................................................................
96
VI. Kesimpulan dan Saran ..........................................................................
108
6.1. Kesimpulan.....................................................................................
108
6.2. Saran...............................................................................................
110
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
111
LAMPIRAN................................................................................................
115
xii
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
3.1.
Uji Order Condition........................................................................
38
3.2.
Uji The Rank Condition of Identifiability .......................................
39
4.1.
Persyaratan Teknis Gula Konsumsi Rumah Tangga.......................
52
4.2.
Perkembangan Produksi, Ekspor, Impor, Konsumsi dan Pabrik Gula Indonesia, 1930-1967 .............................................................
55
Perkembangan Luas Areal, Produktivitas Tebu, Rendemen, Produksi Gula dan Produktivitas Gula............................................
56
4.4.
Komitmen Tarif Beberapa Negara dalam GATT............................
58
5.1.
Perkembangan Kebijakan Pergulaan Periode Bulog (1975-1998)
64
5.2.
Perkembangan Kebijakan Pergulaan Periode Bebas dan Transisi (1999-2002).....................................................................................
67
Perkembangan Kebijakan Pergulaan Masa Proteksi dan Promosi (2003-2005).....................................................................................
70
Perkembangan Luas Areal, Rendemen dan Produksi Gula, 1994-1998 .......................................................................................
74
5.5.
Analisis Positif dan Negatif Periode Bulog (1975-1998) ...............
75
5.6.
Analisis Positif dan Negatif Periode Bebas dan Transisi (1999-2002).....................................................................................
78
Analisis Positif dan Negatif Periode Proteksi dan Promosi (2003-2005).....................................................................................
80
5.8.
Pengujian Akar-akar Unit (Unit Root Test) ....................................
82
5.9.
Hasil Estimasi Parameter Persamaan Harga Gula Domestik di Tingkat Eceran ............................................................................
83
5.10. Hasil Estimasi Parameter Persamaan Harga Gula di Tingkat Petani .............................................................................
88
5.11. Perubahan Hasil Estimasi Parameter Persamaan Harga Gula Domestik di Tingkat Eceran............................................................
94
5.12. Perubahan Hasil Estimasi Parameter Persamaan Harga Gula di Tingkat Petani .............................................................................
95
4.3.
5.3. 5.4.
5.7.
5.13.
Perbandingan Rata-rata Produktivitas Tebu, Rendemen dan Produktivitas Gula...........................................................................
98
xiii
DAFTAR GAMBAR Nomor 1.1.
Halaman Perkembangan Harga Gula Domestik Di Tingkat Eceran dan Harga Impor Gula (1999-2005) ......................................................
5
1.2.
Pasar Gula dengan Harga Provenue................................................
17
1.3.
Perdagangan Internasional ..............................................................
20
1.4.
Diagram Alir Kerangka Pemikiran .................................................
28
1.5.
Tahapan Metode Regulatory Impact Assessment (RIA) .................
41
1.6.
Perkembangan Harga Provenue dan Harga Gula Domestik (1981-1998).....................................................................................
73
xiv
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1.
Lama Hari Giling dan Kapasitas Giling, 2005/2006..........................
115
2.
Uji Stasioneritas Data.........................................................................
116
3.
Hasil Estimasi Untuk Mencari Persamaan Harga Gula Domestik di Tingkat Eceran ...............................................................................
118
4.
Uji Heteroskedasitas ..........................................................................
118
5.
Uji Autokorelasi .................................................................................
118
6.
Uji Multikolinearitas ..........................................................................
118
7.
Hasil Estimasi Untuk Mencari Persamaan Harga Gula di Tingkat Petani..................................................................................................
119
8.
Uji Heteroskedasitas ..........................................................................
119
9.
Uji Autokorelasi .................................................................................
119
10.
Uji Multikolinearitas ..........................................................................
119
11.
Uji Rank Condition ............................................................................
120
12.
Perubahan Hasil Estimasi Untuk Mencari Persamaan Harga Gula Domestik di Tingkat Eceran...............................................................
120
13.
Uji Heteroskedasitas ..........................................................................
121
14.
Uji Autokorelasi .................................................................................
121
15.
Perubahan Hasil Estimasi Untuk Mencari Persamaan Harga Gula di Tingkat Petani ................................................................................
121
16.
Uji Heteroskedasitas ..........................................................................
121
17.
Uji Autokorelasi .................................................................................
121
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Industri gula merupakan salah satu agroindustri yang memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia. Hal ini disebabkan karena posisinya sebagai salah satu komoditas stategis yang menjadi tulang punggung ketahanan ekonomi dengan berbasis sumber daya nasional yang memiliki struktur keterkaitan dan kedalaman yang kuat serta memiliki daya saing yang tangguh di pasar internasional (Rindayanti, 2006). Kebutuhan terhadap gula sebagai salah satu sumber kalori di dunia terus meningkat. Peningkatan ini dapat ditunjukkan dari pertumbuhan konsumsi gula dunia dengan laju 0,7 persen pada tahun 2005/2006. Konsumsi gula yang meningkat juga terjadi di Indonesia dengan pertumbuhan konsumsi mencapai 2,6 persen pada tahun 2005/2006 (USDA, www. Republika.co.id, 2006). Peningkatan konsumsi gula terutama berkaitan dengan pertambahan penduduk, peningkatan kesejahteraan dan perkembangan industri makanan dan minuman. Respon konsumsi terhadap perubahan harga gula dan PDB adalah inelastis, baik untuk jangka panjang maupun jangka pendek. Akan tetapi, konsumsi gula mempunyai hubungan elastis terhadap perubahan jumlah penduduk, baik untuk jangka panjang maupun jangka pendek (Susila, 2005). Sebagai contoh, jumlah penduduk tahun 2000 adalah 208.925 ribu orang mengkonsumsi gula sebanyak 2.507.100 ton dan pada tahun 2005 terjadi peningkatan jumlah penduduk yaitu 220.982 ribu orang dengan konsumsi gula yang meningkat sebanyak 2.651.784 ton (Sekretariat Dewan Gula Indonesia,
2
2006). Hal ini menunjukkan perubahan jumlah penduduk menyebabkan perubahan konsumsi gula dalam jumlah yang besar. Perubahan konsumsi ini terutama berkaitan dengan posisi gula yang masih merupakan kebutuhan pokok. Kondisi di atas tidak diiringi dengan peningkatan produksi gula domestik. Indonesia hanya mampu menyediakan kebutuhan gula sekitar 1,7 juta ton per tahun sementara kebutuhan gula mencapai sekitar 3,2 juta ton per tahun (Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan dan Lembaga Penelitian IPB, 2002). Ketidakseimbangan terbesar antara produksi dan konsumsi gula domestik dapat ditunjukkan pada tahun 1999, konsumsi gula adalah 2.477.000 ton sedangkan produksi gula domestik hanya mencapai 1.488.599 ton. Hal inilah yang mendorong pemerintah untuk melakukan impor gula sebesar 2.187.133 ton agar pemenuhan kebutuhan konsumsi terpenuhi (Sekretariat Dewan Gula Indonesia, 2006). Di sisi lain, volume impor justru menjadi ancaman bagi industri gula dalam negeri karena harga yang ditawarkan lebih murah daripada gula domestik. Harga gula dunia hanya mencapai US$ 200,6/ton atau setara dengan Rp 1.600/kg pada tingkat kurs Rp 8.000/dolar sedangkan harga gula domestik di tingkat eceran sebesar Rp 2.640/kg pada tahun 1999 (Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan dan Lembaga Penelitian IPB, 2002). Keadaan ini menggambarkan gula domestik memiliki daya saing yang rendah secara internasional. Harga gula dunia yang cenderung rendah disebabkan karena terjadi kelebihan produksi gula dunia dibandingkan dengan permintaan sebesar 1,1 juta ton pada tahun 1998/1999 (ISO dan Bank Dunia dalam Hafsah). Harga gula dunia yang relatif murah ini tidak terlepas dari kebijakan pergulaan di negara-negara
3
eksportir. Industri gula cenderung dilindungi oleh berbagai kebijakan proteksi dan promosi dari negara-negara produsen dan konsumen utama gula dunia antara lain, Uni Eropa, Amerika Serikat, Jepang dan Thailand. Kebijakan proteksi yang diterapkan mulai dari pengenaan tarif bea masuk yang tinggi hingga pembatasan impor. Kebijakan promosi yang dilakukan dari pemberian subsidi produksi hingga subsidi pemasaran berupa kredit ekspor. Pemberian subsidi yang cukup besar menyebabkan terjadinya surplus gula dunia sehingga harga gula di pasar internasional menjadi terus tertekan. Kebijakan pergulaan yang dilakukan negara-negara eksportir gula telah menyebabkan harga gula di pasar internasional terdistorsi. Berdasarkan hasil studi menyebutkan bahwa industri gula merupakan industri dengan tingkat distorsi tertinggi yang bersumber dari intervensi pemerintah sehingga liberalisasi perdagangan tidak berpengaruh pada perdagangan dan industri gula (Kennedy dan Groombrigde, 2001 dalam Susila). Kondisi ini menunjukkan bahwa industri gula Indonesia bersaing pada perdagangan bebas yang tidak adil. Hal ini disebabkan karena pemerintah Indonesia hanya melindungi industri gula dengan tarif impor gula sebesar 25 persen yang tertuang dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 230/MPP/Kep/6/1999. Kebijakan tarif impor ini tetap membuat harga gula domestik tertekan sehingga industri gula mengalami kemunduran. Persaingan yang tidak adil dari negara-negara produsen dan konsumen utama gula dunia merespon pemerintah untuk mengeluarkan berbagai kebijakan mulai dari ketentuan ICUMSA gula yang dapat diimpor, kejelasan waktu dan pelabuhan impor, penentuan harga di tingkat petani hingga kebijakan promosi
4
untuk menghadapi persaingan yang tidak adil dalam menyelamatkan sejumlah pabrik gula. Kebijakan proteksi yang diterapkan dalam dua tahun terakhir ini berupa tarif bea masuk atas impor gula sebesar Rp 790/kg tercantum pada Peraturan Menteri Keuangan No. 600/PMK.010/2004 tertanggal 23 Desember 2004 kemudian terjadi perubahan tarif bea masuk menjadi 530/kg tertuang pada Peraturan Menteri Keuangan No. 86/PMK.010/2005 tertanggal 30 September 2005 untuk tetap memperhatikan kepentingan konsumen. Dengan adanya kebijakan proteksi dan promosi industri gula mampu mengatasi pengaruh perdagangan global. Kebijakan proteksi dan promosi ini menyebabkan harga gula domestik di tingkat eceran cenderung meningkat dari Rp 2.640/kg tahun 1999 hingga Rp 5.490/kg tahun 2005. Kenaikan harga gula domestik di tingkat eceran mencapai laju sebesar 11,04 persen per tahun pada tahun 1999 hingga 2005. Perkembangan harga gula domestik di tingkat eceran ini berada di atas harga impor gula yang hanya mencapai laju sebesar 9,62 persen per tahun selama tahun 1999 hingga 2005. Hal ini memperlihatkan selisih harga gula domestik di tingkat eceran dan harga impor gula sebesar 1,5 persen. Harga gula dunia (London No. 5) pada tahun 1999 adalah US$ 200,6/ton dan pada tahun 2005 US$ 291,1/ton atau setara dengan Rp 1.861/kg pada tahun 1999 dengan tingkat kurs Rp 8.632/dolar dan Rp 3.802/kg pada tahun 2005 dengan kurs Rp 9.830/dolar (Sekretariat Dewan Gula Indonesia, 2006). Hal ini menunjukkan harga gula domestik berfluktuasi mengikuti dinamika harga gula internasional yang bergejolak mengikuti harga
5
musiman (Sudana et al., 2000). Perkembangan harga gula domestik di tingkat
(Rupia h/kg )
eceran dan harga impor gula dapat dilihat pada Gambar 1.1. 7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Tahun Harga Gula Putih Domestik
Harga Impor Gula Putih
Sumber : Sekretariat Dewan Gula Indonesia (2006)
Gambar 1.1. Perkembangan Harga Gula Domestik Di Tingkat Eceran dan Harga Impor Gula (1999-2005) Ketidakseimbangan antara kenaikan harga gula domestik di tingkat eceran dan harga impor gula menandakan bahwa terjadi disparitas harga gula domestik di tingkat eceran yang lebih tinggi dibandingkan harga impor gula. Kondisi ini berarti menunjukkan bahwa gula domestik cenderung mengalami gejala penurunan daya saing. Pernyataan ini didasarkan bahwa harga adalah gambaran dari proyeksi daya saing gula domestik. Hal ini disebabkan karena volume impor masih dibutuhkan untuk menutupi kekurangan produksi dalam memenuhi konsumsi gula sehingga harga impor gula akan ditransmisikan secara langsung ke pasar domestik. Kondisi di atas memperlihatkan bahwa kebijakan proteksi dan promosi yang diterapkan oleh pemerintah belum mampu meningkatkan daya saing gula domestik. Seharusnya, dengan adanya kebijakan promosi dan proteksi yang diterapkan oleh pemerintah terhadap industri gula nasional mampu menghadapi persaingan di tingkat pasar domestik dari segi harga dan kualitas. Terlebih gula
6
merupakan kebutuhan pokok yang mempunyai pengaruh langsung terhadap inflasi (Susila, 2005). Hal ini menimbulkan dugaan ketidaktepatan kebijakan pergulaan di Indonesia, terutama pada era proteksi dan promosi pada periode 2003 hingga 2005. Oleh karena itu, diperlukan suatu penelitian untuk menganalisa perkembangan kebijakan pergulaan nasional dan menilai secara sistematis terhadap dampak yang ditimbulkan dari kebijakan pergulaan nasional serta menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi harga gula domestik sehingga dapat mengetahui pengaruh kebijakan pergulaan nasional. Dengan demikian, ketiga analisis ini dapat digunakan sebagai informasi dalam membuat langkahlangkah yang dapat dipertimbangkan oleh pemerintah untuk meningkatkan daya saing gula domestik. 1.2. Perumusan Masalah Industri gula merupakan salah satu industri perkebunan tertua di Indonesia. Hal ini ditunjukkan dari sejarah dimulainya industri gula sejak abad ke 17 pada zaman pemerintahan Belanda di Indonesia (Mubyarto, 1984). Pada tahun 1930-an industri gula berhasil menjadi eksportir gula terbesar kedua di dunia sehingga dapat menguasai pasar Internasional. Pada masa sekarang kondisi industri gula mengalami perubahan yang drastis, dari negara eksportir menjadi negara importir terbesar pertama di Asia dan terbesar kedua dunia setelah Rusia. Kondisi ini berkaitan dengan konsumsi gula nasional yang terus meningkat dengan laju 1,8 persen per tahun tetapi terjadi penurunan produksi gula nasional mencapai -0,9 persen per tahun selama tahun 1993 hingga 2005. Ketidakseimbangan antara produksi dan konsumsi ini mendorong pemerintah
7
untuk melakukan impor gula yang cenderung meningkat dengan laju 5,7 persen per tahun, yaitu dari 260.791 ton pada tahun 1993 menjadi 1.149.812 ton pada tahun 2005. Impor gula terbesar dialami oleh Indonesia pada tahun 1999 yang mencapai 2.187.133 ton (Sekretariat Dewan Gula Indonesia, 2006). Namun, impor ini menjadi ancaman bagi industri gula nasional karena harga impor gula lebih murah daripada gula domestik. Hal ini disebabkan karena adanya kebijakan pergulaan internasional yang terdistori. Kondisi ini menunjukkan bahwa gula domestik dihadapkan pada persaingan bebas yang tidak adil. Industri gula hanya dilindungi oleh kebijakan tarif impor 25 persen. Perdagangan bebas yang tidak adil membuat pemerintah menerapkan kebijakan proteksi dan promosi bagi industri gula. Akan tetapi, kebijakan pemerintah ini menimbulkan adanya gejala penurunan daya saing gula domestik. Hal ini ditunjukkan oleh kenaikan harga gula domestik di tingkat eceran yang lebih tinggi dari kenaikan harga impor gula. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan masalah-masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana perkembangan kebijakan pergulaan nasional selama periode 1975 hingga 2005? 2. Bagaimana penilaian dampak kebijakan pergulaan nasional terhadap kondisi pergulaan di Indonesia? 3. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi harga gula domestik di Indonesia?
8
4. Kebijakan apa yang dapat direkomendasikan untuk pemerintah agar gula domestik mampu bersaing di pasar domestik? 1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Dengan melihat kondisi riil secara terperinci pada industri gula nasional penelitian ini bertujuan untuk : 1. Menganalisa perkembangan kebijakan pergulaan nasional selama periode 1975 hingga 2005. 2. Menilai dampak yang ditimbulkan dari kebijakan pergulaan nasional terhadap kondisi pergulaan di Indonesia. 3. Menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi harga gula domestik di Indonesia. 4. Merumuskan langkah-langkah yang dapat dipertimbangkan oleh pembuat kebijakan sehingga gula domestik mampu bersaing di tingkat pasar domestik. Adapun kegunaan penelitian ini adalah : 1. Memperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai kebijakan pergulaan nasional dan faktor-faktor yang mempengaruhi harga gula domestik. 2. Mengetahui tahapan dalam merumuskan suatu kebijakan. 3. Bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam menentukan kebijakan pergulaan nasional. 4. Informasi bagi peneliti lainnya untuk penelitian lebih lanjut. 5. Sarana pembelajaran bagi penulis dalam memahami industri gula nasional secara lebih mendalam.
9
1.4. Ruang Lingkup Penelitian ini difokuskan pada komoditas gula putih yang dikonsumsi langsung oleh rumah tangga. Analisis harga gula domestik hanya terdiri dari harga gula domestik di tingkat eceran dan harga gula di tingkat petani. Pembatasan pengaruh kebijakan pergulaan nasional dalam penelitian ini hanya pada kebijakan bebas dan transisi dan kebijakan proteksi dan promosi, dimana kebijakan monopoli Bulog sebagai variabel kontrol. Hasil penelitian ini hanya memaparkan pengaruh kebijakan proteksi dan promosi.
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Teori Permintaan dan Penawaran Permintaan adalah jumlah komoditi yang ingin dibeli oleh para pembeli dengan harga suatu komoditi yang berlaku pada saat itu. Menurut Lipsey (1993), faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan adalah: 1. Pergerakan pada kurva permintaan a. Harga komoditi yang bersangkutan Harga suatu komoditi yang bersangkutan merupakan penyebab pergerakan pada kurva permintaan. Harga suatu komoditi ini berhubungan secara negatif dengan permintaan, ceteris paribus. Jika terjadi kenaikan harga maka permintaan akan komoditi menurun. Sebaliknya, jika harga turun menyebabkan permintaan akan komoditi tersebut akan naik. 2. Pergeseran pada kurva permintaan a. Harga komoditi lain Perubahan harga suatu komoditi akan berpengaruh terhadap permintaan komoditi lain. Hal ini disebabkan karena kedua komoditi ini mempunyai hubungan sebagai komoditi substitusi atau komoditi komplementer. Jika kedua komoditi tersebut mempunyai hubungan subsitusi maka kenaikan harga suatu komoditi akan menyebabkan peningkatan pada komoditi lain. Sedangkan, jika kedua komoditi tersebut mempunyai hubungan sebagai barang komplementer maka kenaikan harga suatu komoditi mengakibatkan penurunan pada komoditi lain.
11
b. Tingkat pendapatan Perubahan tingkat pendapatan akan mempengaruhi pembelian suatu komoditi. Peningkatan pendapatan akan meningkatkan konsumsi, ceteris paribus. c. Selera Selera adalah salah satu variabel yang mempengaruhi besarkecilnya permintaan terhadap suatu komoditi. Selera dan pilihan konsumen terhadap suatu barang tidak hanya dipengaruhi oleh struktur umur konsumen, terlebih karena faktor adat dan kebiasaan setempat, tingkat pendidikan, atau lainnya. d. Jumlah penduduk Peningkatan jumlah penduduk akan menyebabkan lebih banyak komoditi yang dibeli pada setiap tingkat harga. Dengan kata lain, semakin banyak jumlah penduduk maka semakin besar pula jumlah permintaan akan komoditi tersebut. Menurut Lipsey (1993), penawaran adalah jumlah komoditi yang akan dijual oleh para produsen pada harga-harga alternatif komoditi tersebut. Perusahaan bersedia untuk memproduksi sejumlah komoditi dan menawarkan komoditi tersebut untuk dijual kepada para pembeli dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain : a. Harga komoditi itu sendiri Harga komoditi itu sendiri mempunyai hubungan positif dengan penawaran suatu komoditi, ceteris paribus. Semakin tinggi harga suatu
12
komoditi maka semakin besar jumlah komoditi yang akan ditawarkan oleh para produsen. Sebaliknya, semakin rendah harga suatu komoditi ini maka semakin kecil jumlah komoditi yang akan ditawarkan oleh produsen. b. Harga komoditi lain Pada produksi terdapat hubungan antar komoditi yang saling bersubsitusi maupun komplementer. Jika terjadi kenaikan harga komoditi subsitusi maka penawaran komoditi yang bersangkutan akan
menurun. Sebaliknya,
penurunan harga komoditi subsitusi akan meningkatkan penawaran komoditi yang bersangkutan. Jika terjadi kenaikan harga pada komoditi komplementer akan menyebabkan peningkatan penawaran komoditi yang bersangkutan. Demikian sebaliknya, penurunan harga komoditi komplementer akan menyebabkan penurunan pula penawaran komoditi yang bersangkutan. c. Teknologi Perubahan penawaran
teknologi dalam proses produksi akan mempengaruhi
suatu
komoditi.
Jika
perubahan
teknologi
menyebabkan
peningkatan produksi berarti penawaran akan suatu komoditi meningkat. d. Harga input Harga input merupakan salah satu faktor yang menentukan produsen dalam memproduksi suatu komoditi. Jika terjadi kenaikan harga input maka produsen akan mengurangi penggunaan input tersebut sehingga penawaran akan menurun. Sebaliknya, jika harga input turun maka produsen akan menambah penggunaan input sehingga penawaran suatu komoditi akan meningkat.
13
e. Jumlah produsen Jika terjadi penambahan jumlah produsen maka akan menyebabkan penawaran meningkat. f. Tujuan perusahaan Tujuan perusahaan secara ekonomi adalah memaksimumkan keuntungan. Disisi lain, terdapat juga perusahaan yang tidak berorientasi pada maksimisasi keuntungan sehingga perusahaan ini dapat meningkatkan ataupun menurunkan produksinya tanpa memperhitungkan keuntungan atau kerugian yang diperoleh perusahaan. g. Pajak dan subsidi Adanya pajak akan menyebabkan penawaran suatu komoditi dapat berkurang. Hal ini disebabkan karena pajak mengakibatkan kenaikan pada ongkos produksi sehingga mengurangi insentif untuk berproduksi. Sebaliknya, pemberian subsidi akan menyebabkan penurunan ongkos produksi sehingga penawaran akan meningkat. 2.1.2. Harga Menurut Krugman dan Obstfeld (2003), harga barang-barang yang diperdagangkan ditentukan oleh penawaran dan permintaan. Perpotongan kurva permintaan dan penawaran suatu barang dalam pasar akan membentuk harga pasar (harga keseimbangan) untuk barang tersebut. Kondisi ini menunjukkan kuantitas barang yang diminta oleh pembeli adalah sama dengan kuantitas yang ditawarkan oleh penjual. Hal ini menandakan keseimbangan harga pasar merupakan hasil interaksi antara permintaan dan penawaran barang di pasar.
14
Menurut Nicholson (1985), harga pasar mempunyai dua fungsi utama, yaitu pertama sebagai pemberi informasi tentang jumlah komoditi yang sebaiknya dipasok oleh produsen untuk memperoleh laba maksimum dan kedua sebagai penentu tingkat permintaan bagi konsumen yang menginginkan kepuasan maksimum. Kenaikan permintaan menyebabkan keseimbangan harga meningkat sehingga permintaan mempengaruhi harga secara positif, sedangkan penawaran mempengaruhi harga secara negatif, dimana jika penawaran meningkat maka harga akan cenderung turun disebabkan kuantitas barang yang ditawarkan produsen lebih besar daripada yang dibutuhkan atau yang diinginkan oleh konsumen. 2.1.3. Harga Gula Domestik 2.1.3.1. Harga Gula Domestik di Tingkat Eceran Menurut Susila (2005), Indonesia merupakan negara kecil dalam perdagangan gula dunia dengan pangsa impor sekitar 3,57 persen dari impor gula dunia sehingga Indonesia pada dasarnya bersifat sebagai price taker. Kondisi ini menunjukkan bahwa harga gula di tingkat eceran dipengaruhi oleh harga gula di pasar internasional. Dengan kata lain, ketika terjadi guncangan pada sisi permintaan dan penawaran di pasar dunia maka akan mempengaruhi kondisi harga gula di dalam negeri. Oleh karena itu, lebih baik pasar gula di tingkat domestik tidak sepenuhnya dilepaskan pada mekanisme pasar internasional. Hal ini untuk menjaga fluktuasi harga gula yang tajam di pasar domestik dengan berbagai kebijakan domestik yang dilakukan pemerintah. Namun, kebijakan ini diharapkan tidak menimbulkan distorsi dalam pasar domestik yang berlebihan seperti terlalu besarnya perbedaan harga domestik dan harga internasional. Oleh
15
karena itu, berbagai kebijakan domestik juga dapat mempengaruhi harga gula di pasar domestik. Menurut Hafsah (2002), Penetapan harga gula yang dilakukan oleh pemerintah secara teoritis terdiri dari tiga pendekatan, yaitu: 1. Hubungan antara harga input dengan harga output. Hubungan ini menunjukkan bagaimana input seharusnya dialokasikan untuk mendapatkan tingkat produksi yang memberikan keuntungan yang maksimal. Hal ini menunjukkan bahwa harga output harus lebih besar daripada biaya produksi, agar biaya produksi yang dihasilkan tidak mengalami kerugian dan petani dapat mengusahakan komoditi tersebut secara layak. 2. Hubungan antar produksi suatu komoditi tidak merugikan dibandingkan dengan mengusahakan alternatif komoditi lain. Hubungan ini mengarah agar sumberdaya yang ada harus digunakan untuk memproduksi komoditi yang memiliki keunggulan komparatif terbesar. Oleh karena itu, dengan mempengaruhi suatu harga komoditi terhadap komoditi lain maka keseimbangan produksi antar komoditi dapat dipengaruhi. 3. Hubungan antar komoditi di pasar domestik dan pasar internasional. Hubungan ini menggambarkan tingkat efisiensi dalam memproduksi komoditi di dalam negeri dan sebagai kontrol agar harga komoditi tersebut tidak mahal dibandingkan dengan harga internasional. Ada dua aspek lain yang mempengaruhi penetapan harga gula, adalah: 1. Bagaimana pengaruh harga terhadap produksi dan distribusi pendapatan. 2. Bagaimana efek dinamis yang ditimbulkan oleh kebijaksanaan harga terhadap perkembangan industri komoditi tersebut dan atau industri lainnya.
16
2.1.3.2. Harga Gula di Tingkat Petani Harga gula di tingkat petani merupakan harga gula yang diterima oleh petani, dimana harga gula di tingkat petani dapat dibagi menjadi dua berdasarkan dinamika kebijakan pemerintah, yaitu harga provenue dan harga minimal. Menurut Susila (2005), harga provenue adalah jaminan harga output untuk produsen gula sehingga harga di tingkat petani terhindar dari pengaruh fluktuasi harga gula di pasar internasional. Dengan kata lain, harga provenue gula merupakan kebijakan harga dasar gula yang diterapkan oleh pemerintah untuk melindungi petani tebu. Kebijakan harga provenue mulai diterapkan pada tahun 1975 sebagai kebijakan pendukung dalam pelaksanaan program Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) melalui Inpres No. 9 Tahun 1975. Tujuan dari adanya kebijakan harga provenue ini adalah memberikan kepastian harga output kepada petani tebu sehingga memiliki informasi yang cukup untuk dapat mengambil keputusan menanam tebu atau komoditas lainnya. Harga provenue yang ditambah keuntungan distributor dan pengecer akan terbentuk harga gula eceran untuk konsumen (Sekretariat Dewan Gula Indonesia, 2006). Kerangka teoritis harga provenue gula dapat dilihat pada Gambar 1.2. Kondisi belum diterapkan harga provenue menggambarkan bahwa harga di tingkat petani adalah sama dengan harga dunia, ceteris paribus. Pada situasi ini Indonesia memproduksi gula pada tingkat q0 dengan konsumsi sebesar q1 sehingga volume impor sebesar (q1-q0) asumsi Indonesia sebagai small country. Jika pemerintah menerapkan kebijakan harga provenue sebesar Pprov, maka petani menerima harga yang lebih tinggi dari harga sebelumnya. Hal ini menyebabkan
17
produksi gula meningkat menjadi q2 asumsi kenaikan harga provenue ini meningkatkan harga di tingkat konsumen sehingga konsumsi menurun menjadi q3. Kebijakan harga provenue mengakibatkan volume impor menurun sebesar (q3-q2). Dengan demikian, kebijakan harga provenue akan meningkatkan harga domestik, peningkatan produksi domestik, penurunan impor dan penurunan konsumen P S Pprov
a
Pw
b
d
e
T
c D q0
q2
q3
q1
q
Sumber : Susila, 2005
Gambar 1.2. Pasar Gula dengan Harga Provenue Kebijakan harga provenue bertahan hanya pada tahun 2000. Sejak tahun 2001 tidak ada penetapan harga provenue gula oleh pemerintah. Hal ini disebabkan karena tidak didukung oleh rencana tindak lanjut yang memadai seperti dana yang tidak dimiliki pemerintah untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut. Sebagai akibatnya, harga gula di tingkat petani masih tetap mengalami ketidakpastian. Oleh karena itu, sejak tahun 2001 hingga sekarang harga dasar gula tidak ditetapkan oleh pemerintah melainkan hasil kesepakatan dari pelaku bisnis gula disebut sebagai harga minimal. Menurut Sekretariat Dewan Gula Indonesia (2006), harga minimal pada dasarnya sama dengan kebijakan harga dasar gabah untuk petani padi. Namun
18
harga ini tidak diterapkan oleh pemerintah melainkan berdasarkan harga pokok produksi gula yang bersangkutan dan sudah termasuk keuntungan petani sebesar 10 persen hingga 12 persen. Selanjutnya, harga minimal ini dijadikan sebagai patokan terendah dalam mekanisme harga lelang gula. Harga lelang gula ini akan dijadikan sebagai harga jual ditingkat petani. Harga lelang gula ditambah keuntungan distributor dan pengecer akan terbentuk harga gula eceran ditingkat konsumen. Mekanisme lelang gula mulai diterapkan pada tahun 2001 sebagai tanda pelaksanaan pasar bebas di pergulaan nasional. Menurut Sekretariat Dewan Gula Indonesia (2005), ada tiga pendekatan yang digunakan untuk menentukan harga dasar, yaitu: 1. Ratio antara harga dasar gula terhadap harga dasar gabah. Harga dasar gula yang dapat menciptakan kondisi persaingan yang sehat antara tanaman tebu dan padi khususnya dilahan sawah adalah 2,4 kali. 2. Pengaruh kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) terhadap biaya produksi gula. Kenaikan harga BBM memicu kenaikan harga input dalam produksi gula. 3. Pendekatan ketiga dilakukan dengan menggunakan perspektif pasar global. Harga gula pada pasar dunia yang kompetitif akan mendekati rata-rata biaya produksi gula dunia. Pendekatan ini sangat penting agar industri gula Indonesia dapat bersaing pada pasar gula dunia yang kompetitif. 2.1.4. Teori Perdagangan Internasional Menurut Samuelson dan Nordhaus (1992), teori perdagangan dunia mempunyai konsep dasar yang mengatakan bahwa setiap negara mempunyai
19
keunggulan komparatif absolut dan relatif dalam menghasilkan suatu komoditas dibandingkan dibandingkan negara lain. Dengan keunggulan komparatif yang dimiliki negara maka suatu negara akan mengekspor komoditas yang mempunyai keunggulan komparatif yang lebih tinggi dan mengimpor komoditas yang mempunyai keunggulan komparatif yang lebih rendah. Perdagangan antar negara akan membawa dunia pada penggunaan sumberdaya langka secara lebih efisien dan setiap negara dapat melakukan perdagangan bebas yang menguntungkan dengan melakukan spesialisasi produksi sesuai dengan keunggulan komparatif yang dimiliki negara yang bersangkutan. Perkembangan teori perdagangaan internasional ditunjukkan dari adanya teori tentang keunggulan kompetitif. Keunggulaan kompetitif ini menitikberatkan bahwa harga dunia sebagai patokan pertukaran barang-barang antar negara. Dengan harga dunia ini diharapkan penggunaan sumberdaya dunia akan lebih efisien dan menciptakan kesejahteraan masyarakat yang lebih tinggi. Menurut Ball dan McCulloch (2000), perdagangan internasional terutama timbul karena adanya perbedaan-perbedaan harga relatif di antara negara. Perbedaan-perbedaan ini berasal dari perbedaan dalam biaya produksi yang diakibatkan oleh : 1. Perbedaan dalam karunia Tuhan atas faktor produksi. Tidak semua negara memiliki dan mampu menghasilkan komoditas yang diperdagangkan karena faktor-faktor alam yang tidak mendukung. 2. Kemampuan suatu negara dalam menyerap dan menerapkan teknologi untuk menghasilkan komoditas tertentu pada tingkat yang lebih efisien. 3. Perbedaan dalam efisiensi pemanfaatan faktor produksi.
20
4. Nilai tukar suatu negara terhadap negara lain. Negara 1
Pasar Internasional Px
Px
A’”
P3
P3
B Ekspor
PIS
A
E*
E
A’
B’
A*
0
x
E’
Impor
B*
Dx
D Dx
Negara 2
S
Sx P2
Px S x
x
x
Sumber: Salvatore, 1997
Gambar 1.3. Perdagangan Internasional Perdagangan internasional terjadi ketika ada interaksi antara permintaan dan penawaran dunia. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1.3, permintaan di pasar internasional akan terjadi jika harga internasional lebih rendah dari P3. Hal ini disebabkan karena harga internasional sebesar P2 akan menyebabkan negara 2 untuk membeli suatu komoditi lebih banyak sehingga kelebihan permintaan akan komoditi ini terjadi di negara 2 sebesar A’B’E’. Sedangkan, pada negara 1 akan terjadi excess supply sebesar ABE akibat dari harga di tingkat internasional sebesar P2. Kelebihan penawaran negara 1 dan kelebihan permintaan negara 2 akan menentukan harga yang terjadi di pasar internasional, yaitu P2. Kondisi ini akan merupakan dasar terjadinya perdagangan sehingga negara 1 akan mengekspor komoditi sebesar ABE dan negara 2 akan mengimpor komoditi sebesar A’B’E’. Oleh karena itu, besarnya ekspor suatu komoditi dalam perdagangan internasional akan sama dengan besarnya impor komoditi tersebut.
21
Dengan demikian, harga yang terjadi di pasar internasional adalah keseimbangan antara penawaran dan permintaan dunia. 2.1.5. Penelitian Terdahulu Penelitian yang dilakukan oleh Abidin (2000) menganalisa dampak liberalisasi perdagangan terhadap keragaan industri gula Indonesia dengan menggunakan metode Two-Stage Least Square (2SLS). Hasil penelitian menunjukkan tingkat produksi menjadi faktor utama dalam mengekspor bagi negara eksportir sedangkan harga impor dan tingkat konsumsi merupakan pertimbangan utama dalam mengimpor bagi negara importir, adanya intervensi pasar negara eksportir maupun negara importir akan mempengaruhi gula dunia, kebijakan kemandirian produksi gula domestik pada era liberalisasi perdagangan, dan faktor penentu keberhasilan dalam memperbaiki keragaan industri gula domestik adalah akses kredit, penerapan teknologi serta perluasan areal. Kajian yang dilakukan oleh Fitriadi (2000) mengenai perkembangan dan prospek gula pasir di Indonesia menunjukkan konsumsi secara agregat cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, kesejahteraan masyarakat, serta berkembangnya industri berbahan baku gula pasir. Tingkat konsumsi langsung gula per kapita secara statistik untuk wilayah pedesaan dan perkotaan
umumnya dipengaruhi peubah
kebalikan
pendapatan,
tingkat
pendapatan, harga gula pasir, harga gula merah, harga kopi, dan jumlah anggota keluarga. Jumlah gula pasir yang dibutuhkan per tahun periode 2000 hingga 2010 berada di atas 3 juta ton per tahun. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi maka jumlah gula pasir yang dibutuhkan semakin besar.
22
Gumaa (1991), meneliti tentang perkembangan jangka panjang harga gula dunia menggunakan ekonometrika. Penelitian ini menekankan pada pemisahan faktor-faktor yang kritis dalam penetapan harga yang berubah pada non-regulated market. Model ini mempertimbangkan harga gula yang tidak diatur dunia yakni harga yang ditentukan secara kompetitif oleh faktor-faktor penawaran dan permintaan, dan mengoperasikan bermacam-macam bedakala (lags) dan subyek goncangan (shocks). Adanya goncangan eksogen dari harga gula dunia menunjukkan beberapa tingkatan daya ramal yang ditentukan oleh kecenderungan penawaran dan permintaan gula. Mahardhika (2004), menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan impor gula Indonesia dengan menggunakan persamaan regresi linier berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa luas areal tanaman tebu, produktivitas hablur, dan harga riil gula domestik tahun sebelumnya memberikan pengaruh positif terhadap produksi gula nasional sedangkan impor gula Indonesia dipengaruhi oleh produksi gula domestik tahun sebelumnya, konsumsi gula nasional, harga riil gula internasional dan tarif impor. Nainggolan (2006), meneliti tentang dampak impor gula terhadap harga gula domestik dan industri gula Indonesia. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan metode Two-Stage Least Square (2SLS). Penelitian ini juga menganalisa simulasi kebijakan gula dengan indikator validasi statistik adalah Root Mean Square Error (RMSE), Root Mean Square Percent Error (RMSPE) dan Theil’s Inequality Coefficient (U). Hasil analisis menunjukkan bahwa kebijakan tataniaga impor gula tidak responsif atau bersifat inelastis terhadap
23
perubahan harga gula eceran domestik dan industri gula Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan tataniaga impor gula hanya mempunyai dampak yang kecil terhadap harga gula eceran domestik dan industri gula Indonesia. Selain itu, salah satu faktor yang mempengaruhi harga gula dalam negeri adalah harga gula impor yang mempunyai hubungan positif terhadap perubahan harga gula eceran dalam negeri. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi harga gula eceran domestik secara nyata adalah impor gula, harga provenue gula, nilai tukar dan harga gula eceran tahun sebelumnya. Sementara itu, harga gula dunia bersifat elastis terhadap perubahan harga impor gula. Dengan demikian, perubahan harga gula dunia akan diikuti oleh harga gula domestik. Siagian (1999), meneliti kemampuan industri gula Indonesia dalam menghadapi
liberalisasi
perdagangan
dan
upaya
pabrik
gula
dalam
mempertahankan eksistensinya. Penelitian ini menggunakan model translog cost function dari pendekatan multi-input multi-output dan menduga parameter menggunakan Seemingly Unrelated Regression (SUR). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa elastisitas permintaan harga sendiri dan silang adalah inelastis yang berarti bahwa diantara ketiga input tidak tetap, seperti tebu, bahan bakar dan tenaga kerja merupakan input penting dan tidak dapat disubsitusi. Skala ekonomi gula Indonesia menunjukkan kondisi Increasing return to scale, berarti bahwa industri gula nasional belum efisien. Dari segi cakupan usaha (economic of scope) industri gula Indonesia, memproduksi gula dan tetes secara bersama-sama lebih murah dibandingkan dengan hanya membiayai produksi gula atau tetes
24
(diversifikasi produk). Pabrik gula milik swasta memiliki efisiensi yang tinggi dibandingkan dengan pabrik gula milik BUMN. Suparno (2004), mengkaji dampak kebijakan tataniaga gula terhadap kesejahteraan petani tebu di Indonesia. Dampak kebijakan pra liberalisasi perdagangan melalui program ektensifikasi tanaman tebu mampu meningkatkan kesejahteraan bersih masyarakat secara umum sebesar Rp 10,48 Triliun, sedangkan dampak kebijakan pasca liberalisasi perdagangan berupa kebijakan pengahapusan tataniaga gula oleh Bulog menurunkan kesejahteraan bersih masyarakat sebesar Rp 3,44 Triliun. Susila (2005), menganalisa dan merumuskan alternatif kebijakan industri gula Indonesia dengan menggunakan metode Two-Stage Least Square (2SLS). Validasi model dilakukan dengan kriteria root mean squares percentage error (RMSPE). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kebijakan yang langsung berkaitan dengan harga output seperti harga provenue mempunyai efektivitas yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan kebijakan input dan distribusi. Kebijakan harga provenue merupakan instrumen kebijakan pemerintah yang penting untuk mempengaruhi harga gula eceran dalam negeri. Kebijakan harga provenue dan kebijakan tataniaga impor tarif mempunyai efektivitas yang memadai dalam hal peningkatan areal, produksi, dan penurunan impor. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa berbagai kombinasi kebijakan harga provenue, tarif impor, Tariff Rate Quota (TRQ) dan subsidi input merupakan instrumen kebijakan yang efektif untuk mengembangkan industri gula nasional dan
25
mengurangi impor. Tingkat tarif impor yang mengkompromikan kepentingan produsen dan konsumen diestimasi berkisar antara 49 persen hingga 56 persen. Widowati (2003), meneliti tentang pengaruh tarif impor terhadap industri gula Indonesia. Metode yang digunakan adalah metode Two-Stage Least Square (2SLS). Penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan tarif impor sebesar 25 persen memberikan pengaruh yang signifikan terhadap industri gula Indonesia kecuali terhadap konsumsi. Dengan adanya penerapan tarif impor ini meningkatkan harga gula domestik sehingga pendapatan petani meningkat dengan laju 11,6 persen dan mampu menciptakan tambahan lapangan kerja di industri gula adalah 10,97 persen. Namun, adanya kebijakan ini menurunkan surplus konsumen sebesar 15,6 persen. Widyastutik (2005), menganalisa dampak kebijakan pemerintah terhadap output (komoditas gula) dan input dengan menggunakan analisis Policy Analysis Matrix (PAM). Menurut penelitian ini, kebijakan pemerintah pada output berupa tarif impor gula dan penetapan mekanisme lelang dengan harga referensi menyebabkan harga output privat lebih besar dibandingkan harga output pada kondisi harga bayangan, dimana konsumen membayar lebih tinggi dari harga yang seharusnya dibayar. Dampak kebijakan pemerintah terhadap input menunjukkan bahwa terdapat distorsi pada pasar pupuk. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa sistem komoditi baik input maupun output terdapat proteksi yaitu kebijakan harga output berupa tarif dan harga lelang serta subsidi input yang melindungi pelaku industri gula agar tetap mau berproduksi dan distorsi pasar yang ada pada industri gula, pelaku industri gula diuntungkan karena pelaku
26
industri gula memperoleh keuntungan yang positif lebih tinggi dari seharusnya yang bernilai negatif dan adanya kebijakan pemerintah, pelaku industri gula membayar biaya produksi dengan nilai lebih rendah dari biaya imbangan berproduksinya (opportunity cost). Wiryastuti (2002), melakukan studi tentang strategi peningkatan daya saing industri gula di Jawa dengan menggunakan metode Proses Hirarki Analitik (PHA). Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor aktor utama yang berperan dalam meningkatkan daya saing industri di Jawa adalah biaya produksi sedangkan aktor utama yang berperan terhadap peningkatan daya saing industri gula di Jawa adalah manajemen perusahaan dan pemerintah pusat. Penelitian ini juga menghasilkan prioritas strategi utama yang dilakukan untuk meningkatkan daya saing industri gula di Jawa adalah peningkatan efisiensi dan menjalin kemitraan dengan mitra strategis yang menguasai bahan baku, pasar, modal, dan teknologi. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah penelitian ini menilai dampak yang ditimbulkan dari kebijakan pergulaan nasional dengan menggambarkan sisi positif dan sisi negatif dari informasi yang diberikan dalam menganalisa perkembangan kebijakan pergulaan nasional serta menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi harga gula domestik sehingga dapat mengetahui variabel-variabel yang saling berhubungan dan mengetahui pengaruh kebijakan pergulaan nasional. Dengan demikian, ketiga analisis ini dapat digunakan sebagai informasi dalam membuat rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan daya saing gula domestik.
27
2.2. Kerangka Pemikiran Industri gula merupakan industri yang memiliki kemampuan daya saing kuat di pasar internasional. Hal ini disebabkan karena posisi gula sebagai komoditas agribisnis strategis, baik dari dimensi ekonomi, sosial maupun politik. Industri gula memiliki beberapa permasalahan, diantara lain adalah adanya gejala penurunan daya saing gula di tingkat pasar domestik. Hal ini ditunjukkan oleh perkembangan harga gula domestik di tingkat eceran yang lebih tinggi dari harga impor gula. Kondisi ini mencerminkan bahwa gula domestik belum mampu bersaing dengan gula impor. Mengingat, volume impor masih dibutuhkan untuk menutupi kebutuhan nasional. Hal ini menimbulkan dugaan ketidaktepatan kebijakan pergulaan di Indonesia, terutama pada era proteksi dan promosi pada periode 2003 hingga 2005. Oleh karena itu, diperlukan suatu penelitian untuk menganalisa perkembangan kebijakan pergulaan di Indonesia selama periode 1975 hingga 2005. Analisis ini dapat dijadikan informasi untuk menilai secara sistematis terhadap dampak yang ditimbulkan dari kebijakan pergulaan nasional dengan menggunakan pendekatan esensi metode Regulatory Impact Assessment (RIA) sehingga dapat mengetahui pengaruh kebijakan pergulaan nasional secara deskriptif dan menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi harga gula domestik dengan metode Two-Stage Square (2SLS) sehingga dapat mengetahui pengaruh variabel-variabel yang saling berhubungan dan pengaruh kebijakan pergulaan nasional secara kuantitatif. Dengan demikian, ketiga analisis ini dapat digunakan sebagai informasi dalam membuat rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan daya saing gula domestik. Pengolahan data dengan menggunakan kedua metode
28
ini diharapkan memperoleh kesimpulan yang menjadi hasil penelitian. Diagram alir kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.4.
Permasalahan industri gula: Adanya gejala penurunan daya saing
Kenaikan harga gula domestik di atas kenaikan harga impor gula
Menganalisa perkembangan kebijakan pergulaan nasional pada periode 1975-2005
Penilaian dampak kebijakan pergulaan nasional terhadap kondisi pergulaan nasional
Esensi metode Regulatory Impact Assessment (RIA)
Menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi harga gula domestik
Metode Two-Stage Least Square (2SLS)
Rekomendasi kebijakan
Gambar 1.4. Diagram Alir Kerangka Pemikiran
29
2.3. Hipotesis Hipotesis yang didasarkan teori dan konsep dalam menganalisa faktorfaktor yang mempengaruhi harga gula domestik adalah: 1. Harga gula di tingkat petani : a.
Harga provenue diterapkan pada tahun 1975 hingga 2000 berhubungan positif terhadap harga gula domestik di tingkat eceran, artinya kenaikan harga provenue gula akan menyebabkan kenaikan harga gula domestik di tingkat eceran.
b.
Harga minimal gula yang diterapkan pada tahun 2001 hingga 2005 mempunyai hubungan terhadap harga gula domestik di tingkat eceran, artinya kenaikan harga minimal gula akan menyebabkan kenaikan harga gula domestik di tingkat eceran.
2. Harga impor gula mempunyai hubungan positif terhadap harga gula domestik di tingkat eceran dan harga gula di tingkat petani, artinya kenaikan harga impor gula akan menyebabkan kenaikan harga gula domestik di tingkat eceran dan harga gula di tingkat petani. 3. Impor gula mempunyai hubungan negatif terhadap harga gula domestik, artinya penurunan impor gula akan menyebabkan kenaikan harga gula domestik di tingkat eceran. 4. Nilai tukar mempunyai hubungan negatif terhadap harga gula domestik di tingkat eceran, artinya penurunan nilai tukar (dollar terapresiasi) akan menyebabkan kenaikan harga gula domestik di tingkat eceran . 5. Harga gula domestik di tingkat eceran tahun sebelumya mempunyai pengaruh positif terhadap harga gula domestik di tingkat eceran tahun tertentu, artinya
30
kenaikan harga gula domestik di tingkat eceran tahun sebelumnya akan meningkatkan harga gula domestik di tingkat eceran tahun tertentu. 6. Tingkat inflasi mempunyai hubungan positif terhadap harga gula di tingkat petani, artinya ketika terjadi inflasi maka akan menyebabkan kenaikan harga gula di tingkat petani. 7. Harga pupuk mempunyai hubungan positif terhadap harga gula di tingkat petani, artinya jika terjadi kenaikan harga pupuk maka akan menyebabkan kenaikan harga gula di tingkat petani. 8. Harga gula domestik di tingkat eceran mempunyai hubungan positif terhadap harga gula di tingkat petani, artinya kenaikan harga gula domestik di tingkat eceran akan menyebabkan kenaikan harga gula di tingkat petani. 9. Ratio antara harga gula di tingkat petani terhadap harga dasar gabah mempunyai hubungan positif terhadap harga gula di tingkat petani, artinya kenaikan ratio harga gula di tingkat petani terhadap harga dasar gabah akan menyebabkan kenaikan harga gula di tingkat petani. 10. Variabel dummy dinamika kebijakan pergulaan Indonesia (periode Bulog (1975-1998) dan periode proteksi dan promosi (2003-2005) = 0, periode bebas dan transisi (1999-2002) = 1) diduga berpengaruh negatif terhadap harga gula di tingkat petani. 11. Variabel dummy dinamika kebijakan pergulaan Indonesia (periode bulog (1975-1998) dan periode bebas dan transisi (1999-2002) = 0, periode proteksi dan promosi (2003-2005) = 1) diduga berpengaruh positif terhadap harga gula domestik di tingkat eceran dan harga gula di tingkat petani.
III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan penelitian ini adalah data sekunder dalam bentuk time series (deret waktu) dengan periode waktu 31 tahun, yaitu dari tahun 1975 hingga 2005 serta hasil wawancara informal dengan berbagai pihak yang berhubungan dengan masalah penelitian. Pengambilan data dilaksanakan mulai bulan Oktober 2006 hingga Januari 2007. Data yang dikumpulkan berupa harga gula domestik di tingkat eceran, harga provenue, harga minimal, impor gula, harga CIF, harga gula dunia, nilai tukar rupiah terhadap US dollar, kebijakan pergulaan nasional, harga dasar gabah, tingkat inflasi, harga pupuk, pemberian kredit, luas areal perkebunan tebu, produksi tebu, produktivitas tebu, produksi gula, produktivitas gula, rendemen, konsumsi gula, biaya produksi, jumlah penduduk, jumlah pabrik gula dan kapasitas giling. Data diperoleh dari instansi terkait antara lain : 1.
Sekretariat Dewan Gula Indonesia (SDGI)
2.
Asosiasi Gula Indonesia (AGI)
3.
Departemen Pertanian
4.
Departemen Perdagangan
5.
Badan Pusat Statistik (BPS)
6.
Bank Indonesia (BI)
7.
PT. Pupuk Sriwijaya
8.
Literatur dari berbagai instansi, jurnal dan internet
9.
Penelitian-penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian
32
3.2. Model Ekonometrika Model ekonometrika yang digunakan dalam penelitian ini didasarkan pada penelitian terdahulu yang pernah dilakukan oleh Susila (2005) dan Nainggolan (2006) adalah model persamaan simultan untuk meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi harga gula domestik. Susila (2005), membangun persamaan harga gula sebagai berikut. PNEt
= j0 + j1 HPROVt + j2 HRIGt + j3 D71t + j4 D81t +e1.........(3.1)
HPROVt = k0 + k1 PNEt + k2 TINt + k3 HPt + e2.........................................(3.2) dimana: PNE
=
Harga gula eceran domestik
HPROV
=
Harga provenue gula
HRIG
=
Harga impor gula
TIN
=
Tingkat inflasi kumulatif
HP
=
Harga pupuk
D71
=
Kebijakan Pengadaan dan Pemasaran (1971)
D81
=
Kebijakan Tataniaga Gula (1981)
Nainggolan (2006), membuat persamaan harga gula domestik sebagai berikut. PNEt
= l0 + l1 HPROVt + l2 HRIGt + l3 IMGt + l4 PWt + l5 ERt + l6 PNEt-1 + e3.................................................................................. (3.3)
HPROVt
= m0 + m1 PNEt + m2 IMGt + m3 HDGt + m4 PWt + m5 HPROVt-1 + e4.............................................................................(3.4)
33
dimana : PW
=
Harga gula dunia
ER
=
Nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat
HDG
=
Harga dasar gabah
IMG
=
Impor gula
PNEt-1
=
Harga gula eceran tahun sebelumnya
HPROVt-1
=
Harga provenue gula tahun sebelumnya
Penggunaan model persamaan simultan disebabkan karena variabel tak bebas (harga gula domestik di tingkat eceran dan harga gula di tingkat petani) dalam satu atau lebih persamaan juga merupakan variabel bebas di dalam beberapa persamaan lainnya sehingga sebuah variabel mempunyai dua peranan sekaligus sebagai variabel bebas dan variabel tak bebas. Model persamaan simultan dalam penelitian ini terdiri dari dua persamaan dengan 11 total variabel di dalam model. Model persamaan simultan dapat dilihat sebagai berikut. PNEt
= a0 + a1 HTPt + a2 HRIGt + a3 IMGt + a4 ERt + a5 PNEt-1 + a6 D2 + e5..................................................................(3.5)
HTPt
= b0 + b1 PNEt + b2 HRIGt + b3 RRt + b4 HPt + b5 TINt + b6 D1 + b7 D2+ e6..............................................................................(3.6)
Besarnya koefisien yang diharapkan (hipotesis) : a1>0, a2>0, a3<0, a4<0, a5>0, a6>0, b1>0, b2>0, b3>0, b4>0, b5>0, b6<0, b7>0 dimana : PNEt
= Harga gula eceran/harga gula domestik pada tahun ke-t dinyatakan dalam rupiah per kg.
34
HRIGt
= Harga impor gula pada tahun ke-t adalah harga CIF gula Indonesia dikalikan nilai tukar mata uang (rupiah per USdollar) untuk tahun 1975 hingga 1999 dan tahun 2000 sampai 2005 harga impor gula ditambahkan dengan tarif impor yang berlaku dinyatakan dalam rupiah per kg.
IMGt
= Impor gula pada tahun ke-t yang diperdagangkan di pasar domestik sebagai gula konsumsi tidak termasuk impor gula ilegal dinyatakan dalam ton
HTPt
= Harga gula di tingkat petani pada tahun ke-t, terdiri dari : a. Harga provenue diterapkan pada tahun 1975 hingga 2000 adalah kebijakan harga dasar gula yang diterapkan oleh pemerintah untuk melindungi petani tebu dinyatakan dalam rupiah per kg. b. Harga minimal gula diterapkan pada tahun 2001 hingga 2005 adalah penentuan harga gula di tingkat petani yang disepakati pelaku bisnis tidak ditetapkan oleh pemerintah dinyatakan dalam rupiah per kg.
ERt
= Nilai tukar mata uang pada tahun ke-t adalah perbandingan dari perubahan mata uang Amerika Serikat terhadap mata uang negara Indonesia dinyatakan dalan rupiah per USdollar.
PNEt-1
= Harga gula eceran sebelumnya pada tahun ke-t dinyatakan dalam rupiah per kg.
35
HPt
Harga eceran tertinggi pupuk UREA pada tahun ke-t dinyatakan dalam rupiah per kg.
TINt
= Tingkat inflasi pada tahun ke-t dinyatakan dalam persentase.
RRt
= Ratio harga gula di tingkat petani terhadap harga dasar gabah pada tahun ke-t dinyatakan dalam kali.
D1
= Dummy dinamika kebijakan pergulaan, untuk melihat dampak kebijakan terhadap harga gula domestik. a. 0 = Periode Bulog (1975-1998) dan periode era dan proteksi (2003-2005) b. 1 = Periode bebas dan transisi (1999-2002)
D2
= Dummy dinamika kebijakan pergulaan, untuk melihat dampak kebijakan terhadap harga gula domestik. a. 0 = Periode Bulog (1975-1998) dan periode bebas dan transisi (1999-2002) b. 1 = Periode proteksi dan promosi (2003-2005)
A0 , b 0
= Intersep
ai, bi
= Parameter yang diduga (i = 1,2,3,.....)
ei
= Variabel error (i = 1,2) Persamaan harga gula domestik di tingkat eceran dalam penelitian ini
tidak memasukan kebijakan bebas dan transisi hanya memasukan kebijakan proteksi dan promosi. Hal ini didasarkan pada latar belakang dari penelitian ini bahwa kebijakan proteksi dan promosi menimbulkan kenaikan harga gula domestik di tingkat eceran yang lebih tinggi dibandingkan kenaikan harga impor
36
gula. Oleh karena itu, perlu dianalisis secara kuantitatif pengaruh kebijakan proteksi dan promosi yang diterapkan oleh pemerintah. Lain halnya, persamaan harga gula di tingkat petani yang memasukan kebijakan bebas dan transisi serta kebijakan proteksi dan promosi dalam persamaan tersebut. Hal ini didasarkan pada literatur yang diperoleh bahwa penerapan kebijakan proteksi dan promosi maupun kebijakan bebas dan transisi pemerintah tetap memberlakukan penentuan harga gula di tingkat petani baik harga provenue maupun harga referensi. Oleh karena itu, perlu melihat pengaruh dari kedua kebijakan tersebut terhadap harga gula di tingkat petani. Persamaan 3.5 dan 3.6 diubah ke dalam bentuk double log (kecuali variabel yang sudah dinyatakan dalam bentuk persen) menjadi : Ln PNEt = a0 + a1 Ln HTPt + a2 Ln HRIGt + a3 Ln IMGt + a4 Ln ERt + a5 Ln PNEt-1 + a6 D2 + e7.......................................(3.7) Ln HTPt
= b0 + b1 Ln PNEt + b2 Ln HRIGt + b3 Ln RRt + b4 Ln HPt + b5 TINt + b6 D1 + b7 D2 + e8..........................................(3.8)
Bentuk logaritma menunjukkan pengaruh persentase perubahan variabel independent terhadap variabel dependent. Oleh karena itu, model ini dapat memperlihatkan pengaruh persentase perubahan dari faktor-faktor yang mempengaruhi harga gula domestik dan mempermudah analisis. 3.3. Identifikasi Model Menurut Koutsoyiannis (1977), masalah identifikasi muncul hanya untuk persamaan yang di dalamnya terdapat koefisien-koefisien yang harus diestimasi secara statistik. Masalah identifikasi berarti menentukan apakah nilai estimasi parameter persamaan struktural dapat diperoleh dari estimasi persamaan reduksi
37
(Gujarati, 1995). Menurut teori ekonometrika, terdapat dua kemungkinan situasi dalam suatu identifikasi, yaitu : 1. Persamaan Underidentified Suatu persamaan dikatakan underidentified jika nilai parameter persamaan struktural tidak dapat diperoleh sehingga tidak mungkin dilakukan pendugaan dari seluruh parameter yang ada dengan teknik ekonometrika manapun. 2. Persamaan Identified Suatu persamaan dikatakan Identified jika dapat menduga nilai parameter dari estimasi persamaan reduksi secara statistik. Persamaan Identified dapat terdiri dari
exactlyidentified
(identifikasi
tepat)
dan
overidentified
(terlalu
diidentifikasi). Persamaan exactlyidentified (identifikasi tepat) berarti hanya ada satu nilai untuk setiap koefisien parameter struktural dan metode yang sesuai untuk pendugaan ini adalah Indirect Least Square (ILS) atau metode kuadrat kecil tak langsung, sedangkan jika persamaan overidentified (terlalu diidentifikasi), jika nilai parameter persamaan struktural yang diperoleh lebih dari satu maka salah satu metode yang dapat digunakan untuk pendugaan adalah Two-Stage Least Square (2SLS). Tahap identifikasi terdiri dari dua tahapan, yaitu : 1. Order Condition (kondisi ordo) Order condition (kondisi ordo) adalah suatu kondisi yang perlu dari identifikasi yang bertujuan untuk mengetahui apakah persamaanpersamaan yang ada dapat diidentifikasi. Langkah-langkah dalam order condition, yaitu : 3. Jika (K-M) ≥ (G-1), maka persamaan tersebut dapat diidentifikasi.
38
4. Jika (K-M) < (G-1), maka persamaan tersebut underidentified. Dimana : K
= Total variabel dalam model
M
= Total variabel tak bebas dan bebas dalam persamaan yang akan diidentifikasi
G
= Total persamaan dalam model
Model persamaan simultan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua persamaan dalam model, dua variabel endogen, dan variabel predetermined, terdiri dari delapan variabel eksogen dan satu variabel lag. Tabel 3.1. Uji Order Condition Persamaan
K-M
<,=,>
G-1
Kesimpulan
(3.7)
11-7 = 4
>
2-1 = 1
Identified
(3.8)
11-8 = 3
>
2-1 = 1
Identified
Hasil dari pengujian order condition menghasilkan kesimpulan dapat diidentifikasi untuk masing-masing persamaan dalam model. 2. The Rank Condition of Identifiability (kondisi tingkat dari identifiabilitas) The Rank Condition of Identifiability (kondisi tingkat dari identifiabilitas) digunakan untuk mengidentifikasi persamaan yang setelah dilakukan uji order
condition
(kondisi
ordo)
menghasilkan
kesimpulan
dapat
diidentifikasi, yang selanjutnya dilihat apakah persamaan tersebut exactlyidentified
(identifikasi
tepat)
atau
diidentifikasikan). The Rank Condition of
overidentified
(terlalu
Identifiability menjelaskan
bahwa dalam suatu model persamaan simultan, suatu persamaan
39
diidentifikasi jika dan hanya jika sekurang-kurangnya satu penentu tidak nol dari ordo (G-1)(G-1) dapat dibentuk dari koefisien variabel (baik endogen maupun predetermined) yang tidak dimasukkan dari persamaan tertentu tetapi dimasukkan dalam persamaan lain dari model. Prinsip umum dari The Rank Condition of Identifiability, terdiri dari: 1. Jika (K-M) > (G-1) dan tingkat dari matriks A dalam (G-1), maka persamaan tersebut overidentified (terlalu diidentifikasikan). 2. Jika (K-M) = (G-1) dan tingkat dari matriks A dalam (G-1), maka persamaan tersebut exactlyidentified (identifikasi tepat). 3. Jika (K-M) < (G-1) dan tingkat dari matriks A kurang dari (G-1), maka persamaan tersebut Underidentified (tidak diidentifikasi). Tabel 3.2. Uji The Rank Condition of Identifiability Persamaan
G-1
Rank (A)
Identified
(3.7)
1
1
Overidentified
(3.8)
1
1
Overidentified
Hasil dari pengujian The Rank Condition of Identifiability menghasilkan kesimpulan overidentified untuk masing-masing persamaan dalam model. Hal ini disebabkan karena masing-masing persamaan menunjukkan tingkat matriks A adalah (G-1). Oleh karena itu, persamaan simultan tersebut diestimasi dengan metode Two-Stage Least Square (2SLS). 3.4. Metode Analisis data Analisis data yang diperoleh dilakukan baik secara deskriptif maupun secara kuantitatif. Data dianalisis secara deskriptif
untuk menganalisa
perkembangan kebijakan pergulaan di Indonesia selama periode 1975 hingga
40
2005 serta penggunaan esensi metode Regulatory Impact Assessment (RIA) untuk menilai secara sistematis terhadap dampak yang ditimbulkan dari kebijakan pergulaan nasional dari sisi positif maupun negatif dan secara kuantitatif dengan menggunakan metode Two-Stage Least Square (2SLS) dalam menganalisa faktorfaktor yang mempengaruhi harga gula domestik sehingga dapat melihat pengaruh variabel-variabel yang saling berhubungan dan pengaruh kebijakan pergulaan nasional. Pengolahan data dengan menggunakan kedua metode ini diharapkan dapat merumuskan langkah-langkah yang dapat dipertimbangkan oleh pembuat kebijakan dalam meningkatkan daya saing gula domestik. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan Microsoft Office Excel 2003 dan Software EViews 4.1. 3.4.1. Metode Regulatory Impact Assessment (RIA) Regulatory Impact Assessment (RIA) adalah metode penilaian secara sistematis terhadap dampak dari tindakan pemerintah dan mengkomunikasikan informasi kepada decision-markers dan masyarakat. Fahmi (2006), RIA adalah sebuah metode bagaimana mengukur, mengevaluasi, dan menyeimbangkan kepentingan publik dengan dampaknya dengan cara transparan dan partisipasif. Langkah-langkah yang dapat diambil dalam agar mencapai keputusan yang seimbang, yaitu, pertama pengumpulan dan analisis data, kedua analisis masalah, ketiga menetapkan data dasar (baseline), keempat memilih kriteria dan metode pengambilan keputusan, kelima konsultasi dengan berbagai stakeholder, dan keenam mengevaluasi biaya dan manfaat. Tahapan metode Regulatory Impact Assessment (RIA) dapat dilihat pada Gambar 1.5.
41
Perumusan Masalah
Alternatif Tindakan
Analisis Biaya dan Manfaat
Konsultasi Publik
Identifikasi Tujuan
Pemilihan Tindakan
Strategi Implementasi
Gambar 1.5. Tahapan Metode Regulatory Impact Assessment (RIA) Metode Regulatory Impact Assessment (RIA) merupakan prosedur analisis kebijakan untuk menghasilkan dan mentranformasikan informasi yang relevan dengan kebijakan dalam berbagai konteks. Peranan prosedur analisis kebijakan adalah untuk menghasilkan informasi mengenai masalah kebijakan, masa depan kebijakan, aksi kebijakan, hasil kebijakan dan kinerja kebijakan. Setiap tahap dari metode Regulatory Impact Assessment ini harus melibatkan publik karena kebijakan itu sendiri bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat sehingga dapat meningkatkan efisiensi pilihan atas berbagai alternatif kebijakan. Metode Regulatory Impact Assessment berarti menganalisa kebijakan dengan meneliti sebab, akibat dan kinerja dari kebijakan. RIA pada dasarnya adalah menemukan titik keseimbangan antara dampak positif dan dampak negatif dari kebijakan yang
42
diterapkan oleh pemerintah. Kebijakan dapat diterima, jika dampak negatif lebih kecil dibandingkan dampak positif yang ditimbulkan dari kebijakan tersebut atau dampak positif dan dampak negatif berada dalam titik keseimbangan. Kebijakan tidak dapat diterima, jika dampak negatif lebih besar dibandingkan dampak positif yang ditimbulkan dari kebijakan tersebut. Kebijakan yang tidak dapat diterima ini dapat dihapuskan ataupun dimodifikasi. Penelitian ini bertujuan untuk menilai kebijakan pergulaan nasional melalui informasi perkembangan kebijakan pergulaan dengan menggunakan esensi metode Regulatory Impact Assessment (RIA). 3.4.2. Two-Stage Least Square (2SLS) Menurut Gujarati (1995), Two-Stage Least Square (2SLS) merupakan suatu metode yang digunakan untuk menduga koefisien variabel independent karena persamaan-persamaan yang dimiliki overidentified (terlalu diidentifikasi) sehingga dapat mengetahui pengaruh variabel-variabel yang saling berhubungan. Dengan kata lain, Two-Stage Least Square (2SLS) digunakan untuk memperoleh nilai parameter struktural pada persamaan yang teridentifikasi berlebih. Kekhasan dari metode Two-Stage Least Square (2SLS) adalah : 1. Metode ini dapat diterapkan pada suatu persamaan individu dalam sistem tanpa memperhitungkan persamaan lain secara langsung dalam sistem. 2. Dalam kasus identifikasi berlebih, memberikan satu nilai estimasi untuk setiap parameter sedangkan Indirect Least Square (ILS) memberikan nilai estimasi majemuk dari parameter. 3. Mempunyai sifat mudah diterapkan karena hanya perlu mengetahui jumlah variabel eksogen total tanpa mengetahui jumlah variabel lain manapun dalam sistem.
43
4. Menyebabkan nilai estimasi OLS (Ordinary Least Square) dan Two-Stage Least Square (2SLS) kan menjadi sangat dekat jika R² dari regresi reduksi (regresi tahap 1) sangat tinggi. Namun jika kebaikannya, maka nilai estimasi Two-Stage Least Square (2SLS) menjadi tidak berarti. 5. Memungkinkan untuk menyatakan kesalahan standar koefisien yang diestimasi. Tahapan penyelesaian Two-Stage Least Square (2SLS) dengan cara : 1. Regresikan persamaan bentuk sederhana dari variabel yang mempunyai korelasi dengan gangguan atas semua variabel yang ditetapkan lebih dahulu dalam sistem keseluruhan. 2. Persamaaan struktural diduga dengan mengganti variabel yang mempunyai korelasi dengan gangguan dengan dugaan variabel tersebut dari tahap pertama sehingga menghasilkan nilai pendugaan parameter yang konsisten. Metode Two-Stage Least Square (2SLS) termasuk golongan metode yang ekonomis, banyak digunakan, pendugaan setiap parameternya unik dan penerapannya relatif mudah meskipun dirancang untuk menangani persamaan yang overidentified. Beberapa alasan digunakan metode Two-Stage Least Square (2SLS) ini adalah: 1. Metode ini merupakan salah satu metode yang cocok untuk digunakan dalam estimasi parameter model ekonometrika simultan selain 3SLS dan yang lainnya, terutama untuk persamaan simultan. 2. Metode ini lebih cocok digunakan jika jumlah sampel kecil dibandingkan 3SLS. 3. Metode ini menghindari estimasi yang bias dan tidak konsisten dibandingkan penggunaan OLS (Ordinary Least Square).
44
Penggunaan metode Two-Stage Least Square (2SLS) bertujuan untuk menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi harga gula domestik. Hal ini disebabkan karena harga gula domestik yang terdiri dari harga domestik di tingkat eceran dan harga gula di tingkat petani berhubungan simultan. Hal ini didasarkan pada penelitian Susila (2005) dan berbagai literatur dari instansi terkait menyatakan bahwa harga gula di tingkat petani di tambah keuntungan distributor dan pengecer akan terbentuk harga gula domestik di tingkat eceran berarti harga gula domestik di tingkat eceran dipengaruhi oleh harga gula di tingkat petani sedangkan salah satu faktor yang menentukan harga gula di tingkat petani adalah dengan melihat perspektif dari harga gula domestik di tingkat eceran berarti harga gula di tingkat petani dipengaruhi oleh harga gula domestik di tingkat eceran. 3.5. Pengujian Model dan Hipotesis 3.5.1. Uji Kriteria Ekonomi Uji kriteria ekonomi digunakan untuk melihat parameter-parameter yang diperoleh dari proses estimasi model simultan dengan melihat tanda dan besarannya, apakah sesuai dengan teori ekonomi (Juanda, 2006). 3.5.2. Uji Kriteria Statistik 3.5.2.1.Uji Unit Root (Unit Root Test) Pengujian akar-akar unit atau unit root test penting dalam analisis time series. Pengujian ini bertujuan untuk menganalisis apakah suatu variabel stasioner atau tidak. Jika stasioner maka tidak ada akar-akar unit, sebaliknya jika tidak stasioner maka ada akar-akar unit. Unit root test dapat menggunakan metode Augmented Dickey-Fuller (ADF). Kriteria uji yang digunakan adalah, jika nilai tstatistik ADF dimutlakan lebih besar dari test critical value pada tingkat tertentu
45
maka suatu variabel stasioner. Sebaliknya, jika jika nilai t-statistik ADF dimutlakan lebih kecil dari test critical value pada tingkat tertentu maka variabel tidak stasioner. 3.5.2.2.Uji Koefisien Determinasi (R² / R² adjusted) Menurut Gujarati (1995), koefisien determinasi menunjukkan proporsi variasi dalam variabel tak bebas yang dijelaskan oleh variabel yang menjelaskan sehingga memberikan suatu ukuran keseluruhan mengenai sejauh mana variasi dalam satu variabel menentukan variasi dalam variabel lain. Dengan kata lain, uji koefisien determinasi digunakan untuk melihat seberapa besar kemampuan variabel-variabel bebas dalam suatu model untuk menjelaskan variabel tak bebas. Nilai R² atau R² adjusted berkisar antara nol sampai dengan satu, semakin mendekati nilai satu maka model semakin baik. R2 =
RSS Jumlah Kuadrat Galat = TSS Jumlah Kuadrat Total
3.5.2.3.Uji F Menurut Koutsoyiannis (1977), pengujian terhadap dugaan persamaan secara keseluruhan dapat dilakukan dengan menggunakan uji F-statistik. Uji Fstatistik dapat menjelaskan kemampuan variabel eksogen secara bersama-sama dalam menjelaskan keragaman dari variabel endogen. Mekanisme uji F-statistik adalah sebagai berikut : H0 = a1 = a2 = a3 = a4 = ... = ai = 0 (tidak ada pengaruh nyata variabel-variabel dalam persamaan). H1 = a1 ≠ 0, a2 ≠ 0, a3 ≠ 0, a4 ≠ 0,..., ai ≠ 0
46
(paling sedikit ada satu variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebas). Daerah penolakan ditentukan dengan membandingkan nilai F-statistik dengan Ftabel berderajat bebas N-k, k-1 atau dengan membandingkan nilai probability Fstatistik dengan taraf nyata (α). Statistika dan kriteria uji yang digunakan dalam uji F dapat dilihat sebagai berikut: Fk −1, N − k =
Fk −1, N − k =
R2 N − k 〉 Ftabel , maka tolak H 0 1− R2 k −1
R2 N − k 〈 Ftabel , maka terima H 0 1− R2 k −1
dimana:
:
R2
= Koefisien determinasi
N
= Jumlah pengamatan
K
= Jumlah parameter atau
Probability F-statistika < taraf nyata (α), maka tolak H0 Probability F-statistika > taraf nyata (α), maka terima H0 Jika pengujian menghasilkan kesimpulan tolak H0 atau terima H1, maka minimal ada satu variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebas dan model yang digunakan dapat diterima. Sebaliknya, jika uji F menghasilkan kesimpulan terima H0 atau tolak H1, maka tidak ada variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap variabel bebas dan model tidak dapat diterima.
47
3.5.2.4.Uji t Uji t digunakan untuk melihat signifikansi variabel bebas tertentu berpengaruh terhadap variabel tak bebas atau melihat keabsahan setiap koefisien regresi. Mekanisme uji t adalah sebagai berikut : H0 = ai = 0 (perubahan suatu variabel bebas secara individu tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan variabel tak bebas ). H1 = ai ≠ 0 (uji dua arah) atau ai > 0 atau ai < 0 (uji satu arah) (perubahan suatu variabel bebas secara individu berpengaruh nyata terhadap perubahan variabel tak bebas). Daerah penolakan ditentukan dengan membandingkan t-statistika dengan nilai ttabel dengan derajat bebas N-1 atau dengan membandingkan nilai probability (pvalue) dengan critical value (α). Statistika dan kriteria uji yang digunakan dalam uji t dapat dilihat sebagai berikut. b TN −1 = i b T N −1 = i
S (bi )
〉 Ttabel , maka tolak H 0
S (bi )
〈 Ttabel , maka terima H 0
dimana: N
= Jumlah pengamatan atau
probability (p-value) < critical value (α), maka tolak H0 probability (p-value) > critical value (α), maka terima H0
48
Jika pengujian banyak menghasilkan kesimpulan tolak H0 atau terima H1, maka suatu model akan semakin baik untuk dijadikan model pendugaan persamaan simultan.
3.5.3. Uji Kriteria Ekonometrika 3.5.3.1.Multikolinearitas Menurut Gujarati (1995), multikolinearitas adalah adanya hubungan linear antara beberapa atau semua variabel yang menjelaskan dari model regresi sehingga nilai koefisien sulit untuk ditentukan. Jika dalam suatu persamaan regresi terdapat perfect multicolinearity maka nilai koefisien tidak dapat ditentukan dan nilai standar error menjadi tidak terhingga (infinite). Metode OLS (Ordinary Least Square) yang digunakan untuk menduga persamaan yang mengandung near multicolinearity akan tetap menghasilkan parameter yang tidak bias dan tetap mempunyai varians yang minimum. Salah satu cara mendeteksi adanya multikolinearitas dengan melihat Variance Inflation Factor (VIF). Jika nilai Variance Inflation Factor (VIF) < 10 maka tidak terdapat multikolinearitas. Sebaliknya, jika nilai Variance Inflation Factor (VIF) > 10 maka terdapat multikolinearitas.
3.5.3.2. Autokorelasi Menurut Pindyck (1991), autokorelasi adalah korelasi antara kesalahan (error term) tahun t dengan kesalahan tahun t-1. Asumsi klasik tentang regresi linear
E(εiεj) = 0 i ≠ j mensyaratkan tidak ada autokorelasi, sebaliknya
autokorelasi terjadi pada asumsi E(εiεj) ≠ 0 i ≠ j. Akibat adanya autokorelasi, metode OLS (Ordinary Least Square) tidak menghasilkan nilai estimasi BLUE
49
(Best Linear Unbiased Estimations). Hasil estimasi parameter masih tetap linearunbiased tetapi tidak efisien (varians under estimate). Nilai standar error hasil estimasi OLS akan lebih kecil dibandingkan dengan standar error yang sebenarnya, sehingga cenderung untuk menolak hipotesa nol. Cara mendeteksi adanya serial correlation yaitu dengan melihat nilai dari the Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test atau dengan Durbin-Watson test yang diformulasikan sebagai berikut. Probability Obs*-Square < taraf nyata (α), maka tolak H0 Probability Obs*-Square > taraf nyata (α), maka terima H0 Jika nilai Probability Obs*-Square lebih besar dari taraf nyata tertentu maka persamaan tidak mengalami autokorelasi. Sebaliknya, Jika nilai Probability Obs*-Square lebih kecil dari taraf nyata tertentu maka persamaan mengalami autokorelasi. atau t= N
dw =
∑ (e t=2
t
t= N
∑
t =1
− e t −1 )
2
e t2
Nilai dw berkisar antara 0 sampai dengan 4, dimana:
•
dw = 2 mengindikasikan tidak ada korelasi serial
•
dw > 2 mengindikasikan ada korelasi serial negatif
•
dw < 2 mengindikasikan ada korelasi serial positif
50
3.5.3.3. Heteroskedastisitas Heteroskedastisitas terjadi jika varians error tidak konstan untuk setiap observasi, dimana var(εi) = E(εi² ) = σi² (Gujarati, 1995). Akibat adanya heteroskedastisitas, estimasi dengan menggunakan OLS (Ordinary Least Square) akan tetap menghasilkan estimator yang unbiased dan konsisten tetapi tidak efisien. Hal ini disebabkan karena tidak memiliki varian yang minimum (varians over estimed) sehingga nilai t-statistik dan F-stastistik yang didapatkan terlalu kecil (tidak signifikan) dan interval dari nilai β terlalu lebar. Cara mendeteksi masalah heteroskedastisitas dapat menggunakan plot grafik, Park test, Glejser test, Spearman’s rank correlation test, Goldfeld-Quandt test, Bart-lett’s homogenity-of variance test, Breusch-Pagan test, Peak test, White’s general heteroscedasticity test. Jika masalah heteroskedastisitas dilakukan dengan menggunakan uji White Heteroscedasticity test maka ditunjukkan dengan membandingkan Probability Obs*-Square dengan taraf nyata tertentu. Kriteria uji heteroskedastisitas dapat dilihat sebagai berikut. Probability Obs*-Square < taraf nyata (α), maka tolak H0 Probability Obs*-Square > taraf nyata (α), maka terima H0 Jika hasil kesimpulan mengindikasikan tolak H0 maka persamaan mengalami masalah heteroskedastisitas. Sebaliknya, Jika hasil kesimpulan mengindikasikan terima H0 maka persamaan tidak mengalami masalah heteroskedastisitas.
IV. GAMBARAN UMUM INDUSTRI GULA NASIONAL 4.1. Pengertian Industri Gula Pada umumnya industri gula di Indonesia memproduksi gula pasir yang diekstraksi dari batang tanaman tebu (Saccharum officinarum). Gula tersebut sebagian besar dikonsumsi langsung oleh masyarakat sebagai sumber energi, pemberi citarasa, serta memperbaiki warna dan tekstur makanan, dan sebagian lagi digunakan sebagai bahan baku/bahan pembantu industri makanan dan minuman (Wiryastuti, 2002). Menurut Sutji (1996), gula pasir yang diproduksi di dalam negeri adalah gula konsumsi rumah tangga dan gula industri. Kualitas gula konsumsi rumah tangga dinyatakan dengan SHS (Superior Hough Suiker) dan terdiri dari tiga kategori, yaitu kualitas SHS 1 standar, SHS 1B, dan SHS 1A. Sedangkan gula industri terdiri dari kualitas semi refined sugar (semi rafinasi) dan refined sugar (gula rafinasi). Menurut Utami dan Sumarno (1996), gula konsumsi rumah tangga yang beredar di Indonesia dalam perdagangan internasional termasuk dalam kategori direct cane plantation white sugar yaitu gula putih yang diproduksi dengan cara ekstraksi langsung dari tanaman dan tidak mengalami pemurnian lanjut seperti refined sugar. Adapun tanaman yang digunakan sebagai sumber sukrosa adalah tebu (Saccharum officinarum). Berdasarkan Surat Keputusan Kabulog Nomor Kep 283/KA/05/1995, gula konsumsi rumah tangga yang dihasilkan oleh pabrik gula dalam negeri harus memenuhi persyaratan teknis yang dapat dilihat pada Tabel 4.1.
52
Tabel 4.1. Persyaratan Teknis Gula Konsumsi Rumah Tangga Persyaratan Teknis
SHS 1 Standar
A. Fisik/Visual 1. Nilai Remisi Direduksi 2. BJB (mm) 3. Kadar Air (%) B. Kimia 1. Polarisasi
SHS 1B
SHS 1
≥ 60 ≥0,9 <0,1
≥ 65 ≥ 0,99 <0,1
≥ 70 ≥ 0,9 <0,1
99,5
99,6
99,7
Sumber : Utami dan Sumarno (1996)
Menurut Widowati (2003), gula merupakan komoditas yang secara tradisional telah diperdagangkan di pasar internasional, termasuk Indonesia. Secara umum ada dua jenis gula yang diperdagangkan yaitu raw sugar (gula mentah) dan white sugar (gula putih). Berdasarkan sumber bahan bakunya, ada dua jenis gula yaitu gula yang berasal dari tebu dengan pangsa perdagangan sekitar 72 persen dan gula yang berasal dari tanaman beet dengan pangsa perdagangan sekitar 28 persen. Industri gula merupakan suatu proses yang mencakup dua kegiatan pokok, yaitu usaha penanaman tebu dan usaha memperoleh gula kristal dari bahan baku tebu (Balai Penyelidikan perusahaan Perkebunan Gula, 1981). Usaha penanaman tebu merupakan suatu penerapan teknologi budidaya, yaitu melakukan penanaman tebu pada lahan yang sesuai dengan memberikan input sedemikian rupa sehingga dapat diperoleh hasil tebu dengan kualitas yang cocok untuk diolah menjadi gula serta dengan kualitas yang secara ekonomis dapat bersaing dengan usaha tanaman lain pada lahan yang sama. Usaha pengolahan tebu menjadi gula merupakan penerapan teknologi maju yang cukup rumit berupa perpaduan teknologi fisikawi dan kimiawi. Keadaan ini mewujudkan industri gula sebagai suatu usaha yang padat modal dan padat karya.
53
Menurut Arianto (2003), Industri gula merupakan salah satu industri yang mempunyai keterkaitan yang besar terhadap sektor-sektor lain dalam penyediaan input, hal ini terlihat dari dominasi input antara dalam struktur input industri gula. Hal ini menunjukkan industri gula memiliki keterkaitan ke belakang yang kuat dengan sub sektor tebu. Akan tetapi, industri gula memiliki keterkaitan ke depan yang rendah karena output yang dihasilkan industri gula lebih banyak dikonsumsi langsung oleh rumah tangga daripada digunakan sebagai input antara oleh sektorsektor lain. Dari hasil analisis koefisien penyebaran dapat disimpulkan bahwa industri gula merupakan industri yang memiliki kemampuan dalam mendorong pertumbuhan sektor hulunya. Analisis kepekaan penyebaran menunjukkan bahwa industri gula tidak memiliki kemampuan untuk mendorong pertumbuhan sektor hilirnya. Hal ini sesuai dengan analisis keterkaitan, dimana keterkaitan ke belakang lebih besar daripada keterkaitan ke depan. Berdasarkan analisis multiplier industri gula memiliki nilai multiplier yang cukup tinggi baik dari segi output, pendapatan maupun tenaga kerja. Hal ini menunjukkan bahwa industri gula salah satu industri penting yang mampu meningkatkan output, pendapatan dan lapangan kerja di sektor-sektor lainnya. Hasil perbandingan nilai multiplier antara transaksi domestik dengan transaksi total menunjukkan bahwa gula impor akan mengurangi peningkatan output, pendapatan dan penyerapan tenaga kerja pada industri gula.
4.2. Perkembangan Industri Gula Perkembangan industri gula tebu tergantung kepada perkembangan perkebunan tebu. Hal ini disebabkan karena gula tebu di Indonesia merupakan
54
hasil pengolahan pabrik-pabrik gula yang ada. Dengan kata lain, industri gula merupakan usaha yang tidak dapat dipisahkan dari sektor perkebunan tebu (Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan dan Lembaga Penelitian IPB, 2002). Usaha perkebunan tebu termasuk salah satu usaha perkebunan tertua yang dikembangkan Indonesia. Hal ini ditunjukkan dari perkembangan industri gula yang telah ada sejak abad ke 17 pada zaman penjajahan Belanda. Perkebunan tebu Indonesia pernah mengalami masa kejayaan pada tahun 1930, dimana jumlah pabrik gula yang beroperasi adalah 179 pabrik gula, produktivitas berkisar 14,8 persen dan rendemen mencapai 11,0 persen hingga 13,8 persen. Era kejayaan ini juga ditandai dengan tingkat produksi sekitar 3 juta ton dan ekspor gula pernah mencapai sekitar 2,4 juta ton. Kondisi ini tercapai karena didukung oleh manajemen dan sistem bercocok tanam yang tepat serta efisiensi pabrik yang tinggi. Perkembangan usaha perkebunan tebu selanjutnya mengalami penurunan sejak masuknya penjajah Jepang sampai pemerintah Indonesia melakukan nasionalisasi perusahaan gula. Kinerja pergulaan nasional semakin menurun hingga industri gula tidak mampu mencukupi kebutuhan gula dalam negeri. Hal ini ditunjukkan dari penurunan produksi dari 2,9 juta ton pada tahun 1930 menjadi 660.000 ton pada tahun 1967 dengan jumlah pabrik gula yang beroperasi hanya 55 buah. Perkembangan industri gula dapat dilihat pada Tabel 4.2.
55
Tabel 4.2. Perkembangan Produksi, Ekspor, Impor, Konsumsi dan Pabrik Gula Indonesia, 1930-1967 Tahun
Produksi (ribu ton)
Ekspor (ribu ton)
Impor (ribu ton)
Konsumsi Domestik (ribu ton)
Pabrik gula (buah)
1930
2.900
2.222
0
678
179
1940
1.472
1.102
0
370
92
1960
652
35
0
617
53
1967
660
0
37
697
55
Sumber: Badan Pusat Statistik, 1963 dalam Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan dan Lembaga Penelitian IPB (2002)
Penurunan kinerja industri gula disebabkan oleh penyediaan lahan yang terbatas karena adanya kebijakan umum yang dilakukan pemerintah dalam penggunaan lahan untuk beras pada masa transisi dari orde lama ke orde baru. Hal inilah yang menyebabkan pemerintah melakukan impor agar pemenuhan konsumsi terpenuhi. Oleh karena itu, pada masa ini Indonesia memulai sebagai negara importir. Peningkatan produksi dan produktivitas gula domestik dilakukan oleh pemerintah melalui program Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) pada tahun 1975. Namun, adanya program TRI menyebabkan tingkat produksi nasional berfluktuasi dengan kecenderungan menurun. Hal ini dapat ditunjukkan oleh peningkatan produksi gula nasional sebesar 1,3 juta ton pada tahun 1979 menjadi 2,5 juta ton pada tahun 1990, tetapi pada tahun 1998 terjadi penurunan sebesar 1,5 juta ton. Terlebih rendemen gula menunjukkan kecenderungan terus merosot dari rata-rata 10 persen menjadi rata-rata 6 sampai 7 persen hingga saat ini. Penurunan areal tanam yang cukup besar terjadi pada tahun 1999 dengan laju sebesar -9,9 persen, yaitu dari 378.293 ha tahun 1998 menjadi 340.800 ha tahun 1999. Penurunan areal juga diikuti dengan menurunnya produktivitas tebu
56
mencapai -12,26 persen tahun 1999. Hal ini menyebabkan penurunan hasil produksi gula dari 1.488.268 ton hablur pada tahun 1998 menjadi 1.466.620 ton hablur pada tahun 1999. Rendahnya produksi ini juga terutama disebabkan karena rendahnya rendemen gula yang hanya mencapai sekitar 5 persen. Kondisi ini berbeda pada tahun 2000, produksi gula meningkat sebesar 1.685.826 ton hablur meskipun luas areal cenderung menurun sebesar 340.660 ha. Hal ini disebabkan karena tingginya rendemen gula yang mencapai 7 persen. Pada tahun 2001 hingga 2005 luas areal cenderung meningkat dengan laju rata-rata 2,12 persen per tahun jika dibandingkan tahun 1998 dan 1999. Rendemen gula juga masih tetap bertahan pada tingkat sekitar 7 persen pada tahun 2005. Kondisi ini menimbulkan dampak yang cukup signifikan dalam peningkatan produksi gula yang mencapai sekitar 2 juta ton. Akan tetapi, peningkatan produksi ini belum cukup untuk memenuhi kebutuhan gula yang cenderung meningkat sebesar 2,6 juta ton pada tahun 2005 (Sekretariat Dewan Gula Indonesia, 2006). Perkembangan ini dapat dilihat pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3.
Perkembangan Luas Areal, Produktivitas Tebu, Rendemen, Produksi Gula dan Produktivitas Gula
Tahun
Luas Areal (ha)
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
378.293 340.800 340.660 344.441 350.722 335.724 344.793 381.785
Produktivitas tebu Rendemen Produksi Gula (ton/ha) (%) (ton) 71,8 62,8 70,5 73,1 72,8 67,4 77,6 81,6
5,49 5,96 7,04 6,85 6,88 7,21 7,67 7,84
Sumber: Sekretariat Dewan Gula Indonesia, 2006
1.488.268 1.466.620 1.685.826 1.725.467 1.755.433 1.631.918 2.051.643 2.241.742
Produktivitas Gula (ton/ha) 3,75 4,38 4,96 5,01 5,01 4,86 5,95 6,04
57
Kondisi areal perkebunan dan produksi tebu secara umum masih terpusat di daerah Jawa dilihat dari penyebarannya. Hal ini sesuai dengan jumlah perusahaan gula dan pabrik-pabrik gula yang sebagian besar terletak di Jawa. Pabrik gula yang beroperasi di daerah Jawa adalah 46 buah sedangkan di luar jawa berjumlah 12 pabrik gula pada tahun 2005 (Sekretariat Dewan Gula Indonesia, 2006). Menurut Susila (2005), kondisi pabrik gula terutama di Jawa secara umum sudah tua sehingga tidak dapat mencapai efisiensi yang maksimal. Perkembangan pabrik gula nasional mengalami penurunan dari 62 pabrik gula pada tahun 1998 menjadi 58 pabrik gula pada tahun 2005. Data tahun 2005/2006 menunjukkan dari 46 pabrik gula di Jawa, 17 perusahaan memiliki total hari penggilingan di bawah standar nasional yaitu 150 hari giling per tahun. Terlebih, sebanyak 20 pabrik gula nasional tidak memenuhi standar kriteria minimum kapasitas giling 2000 ton tebu per hari. Kondisi ini berbeda dengan perusahaan swasta, perusahaan swasta memiliki rata-rata total hari penggilingan di atas 180 hari giling per tahun dan kapasitas giling di atas 2000 ton tebu per hari bahkan di atas 10.000 ton tebu per hari. Perkembangan lama hari giling dan kapasitas giling beberapa pabrik gula dapat dilihat pada Lampiran 1. Dengan demikian, perkembangan pabrik gula dari tahun ke tahun menggambarkan adanya inefisiensi di tingkat pabrik gula.
4.3. Kebijakan Pergulaan Negara Produsen dan Konsumen Utama Gula Dunia Perkembangan ekonomi yang mengarah pada liberalisasi perdagangan diimplementasikan melalui berbagai komitmen untuk mencegah proteksionisme di negara-negara maju yang dikenal sebagai Puturan Uruguay dalam Sistem
58
GATT (General Aggrement on Tariffs and Trade). Liberalisasi perdagangan di sektor pertanian melalui Puturan Uruguay Desember 1993 menghasilkan dua hal, yaitu pertama, pelaksanaan liberalisasi perdagangan dengan menerapkan aturan permainan GATT di bidang pertanian dan kedua, setiap negara menyusun besaran tarif yang akan diterapkan, serta melakukan konversi terhadap hambatan non tarif ke dalam ekivalen tarif (Malian, 2004). Komitmen tarif dari negara-negara pelaku pergulaan dunia yang telah disepakati pada forum GATT dapat dilihat pada Tabel 4.4.
Tabel 4.4. Komitmen Tarif Beberapa Negara dalam GATT Negara Indonesia Australia Brazil China Cuba EU India Jepang US Thailand
Ad valorem Basic 1 (%) Base Final 2 110 28 85 100 0 182 0 333 125 104
95 14 35 76 40 146 150 283 106 94
Sumber: Hafsah, 2002
Komitmen tarif dalam GATT di atas ternyata tidak sepenuhnya dipenuhi oleh negara-negara produsen dan konsumen utama gula dunia. Beberapa negara masih memberikan proteksi yang tinggi pada industri gula. Dengan kata lain, komitmen pada Putaran Uruguay tidak banyak berpengaruh pada tingakat distorsi perdagangan dan industri gula. Negara-negara produsen dan konsumen utama gula dunia yang menerapkan kebijakan proteksi dan promosi terhadap industri gula antara lain, Uni Eropa, Amerika Serikat, Jepang dan Thailand. Salah satu instrumen kebijakan proteksi yang dilakukan Uni Eropa yaitu pemberlakuan
59
tingkat tarif impor yang tinggi berupa penerapan binding tariff sebesar 146 persen dengan pendekatan fixed tariff. Di samping itu, Uni Eropa juga memberikan bantuan domestik berupa subsidi input dan jaminan harga. Kebijakan ini diimplementasikan dengan membagi produksi menjadi tiga kategori, yaitu kuota A, kuota B, dan kuota C. Kuota A yang menerima harga penuh pasar internal (supported internal market place), kuota B adalah produksi untuk ekspor yang menerima refund (subsidi) atas selisih harga pasar gula dunia dan intervention price dan kuota C produksi ekspor yang menerima harga gula gula dunia. Uni Eropa menjaga pasar internal dengan cara menjaga harga gula internal tetap di atas harga gula dunia melalui penetapan target price dan intervention price. Di samping itu, pemerintah Uni Eropa menetapkan minimum akses sebesar 1,3 juta ton dengan memberlakukan duty Free Tariff. Uni Eropa juga menerapkan special safeguard untuk memproteksi gula di pasar domestik. Kebijakan subsidi harga diperkirakan mencapai sekitar 41 persen dari pendapatan petani. Di sisi lain, konsumen menerima beban sekitar US$ 3,8 Milyar per tahun sebagai akibat harga gula domestik yang tinggi (Noble, 1997 dalam Susila). Kebijakan pemerintah Amerika Serikat dalam melindungi industri gula dapat dilihat dari penetapan bea masuk impor di atas 100 persen, menerapkan beberapa kebijakan seperti kebijakan bantuan domestik (price support loan), Kebijakan tariff-rate quota (TRQ) merupakan suatu kebijakan pengendalian harga domestik dengan instrumen pengendalian impor, subsidi ekspor (export subsidy), program re-ekspor(re-ekspor programs), dan kebijakan pembayaran dalam bentuk natura atau payment-in-kind. Pemerintah AS juga mengalokasikan subsidi untuk
60
sektor pertanian dalam negerinya sebesar 18 Milyar US$ setara dengan Rp 178 Triliun per tahun. Pemerintah Jepang menerapkan tarif bea impor gula sebesar Y 10/kg untuk gula kualitas rendah dan kualitas lebih tinggi adalah Y 41/kg. Jepang mengenakan pungutan berupa dana regulasi yang cukup tinggi terhadap gula impor dan menyalurkan dana hasil pungutan ini untuk menfasilitasi produsen gula, sehingga harga domestiknya mampu bersaing dengan gula impor. Pemerintah Jepang juga mengambil kebijakan dengan memberikan dana promosi produksi kepada perusahaan gula dan bantuan untuk gula produksi dalam negeri Jepang mencapai 93,6 milyar yen. Pemerintah Jepang membentuk ALIC (Agriculture and Livestocks Industries Corporation) sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang mengendalikan harga gula di pasaran Jepang. Harga gula domestik ditetapkan pada harga target pasar domestik dan seluruh gula produksi domestik dibayar oleh Agriculture and Livestocks Industries Corporation (ALIC) dan dijual kembali pada processor pada harga stabilisasi. Di samping itu, ALIC membayar semua gula impor dan menjual kembali sejumlah yang sama kepada importir pada harga target pasar domestikyang besar ditetapkan sama dengan harga impor + levy + surcharge. Jika harga impor lebih rendah dari harga target, maka levy dan surcharge menghilangkan perbedaan itu. Kebijakan ini merupakan mekanisme yang paling efektif dalam mendukung harga gula di pasar domestik Jepang. Kebijakan agribisnis gula di Thailand dijalankan oleh Cane and Sugar Board. Badan ini memiliki tugas berdasarkan Undang-Undang Gula, antara lain,
61
merumuskan kerangka kebijakan pemasaran gula domestik dan ekspor, mengatur pendapatan petani dan pabrik gula, mengawasi tingkat produksi gula dan mendorong peningkatan kualitas gula, meningkatan efisiensi usahatani tebu dan produksi gula dan membatasi penanaman tebu hanya dalam wilayah 100 km dari pabrik gula. Pemerintah memberikan subsidi suku bunga kredit usahatani bagi petani tebu dengan bunga di bawah harga pasar melalui Bank of Agricultural Cooperatives (BAAC). Besarnya kredit sesuai dengan nilai kontrak penyerahan tebu ke pabrik. Petani mendapat 70 persen pendapatan dari penjualan gula di pasar domestik dan internasional, sementara pabrik menerima 30 persen. Pemerintah menjalankan program mortgage (gadai) dimana 80 persen dari nilai produksi petani dibayar awal pada tingkat harga dasar. Pemerintah Thailand menetapkan kebijakan pemasaran gula di pasar domestik dan luar negeri berdasarkan sistem kuota. Ada tiga jenis kuota yang diterapkan, yaitu kuota A berarti penetapan kuota gula pasir yang diperuntukan bagi konsumsi domestik sekitar 1,9 juta ton per tahun, kuota B, yaitu penetapan kuota gula mentah (raw sugar) yang ditujukan untuk keperluan ekspor ditetapkan sekitar 800 ribu ton per tahun, sedangkan kuota C, yaitu kuota yang ditetapkan untuk perusahaan swasta yang akan mengekspor gula, baik primer quality of sugar maupun raw sugar, setelah pabrik gula memenuhi kewajiban melaksanakan kuota A dan kuota B. Perlindungan petani dan industri gula dalam negeri yang diterapkan oleh pemerintah Thailand adalah menerapkan kuota tarif impor sebesar 13.700 ton. Tarif impor dalam kuota ditetapkan sebesar 65 persen, sedangkan untuk diluar kuota sebesar 96 persen, baik untuk white sugar maupun raw sugar.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Perkembangan Kebijakan Pergulaan Nasional Pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan pergulaan nasional, dari kebijakan input dan produksi, distribusi, kebijakan harga hingga mengatur tataniaga gula. Menurut Sekretariat Dewan Gula Indonesia (2005), kebijakan pergulaan yang diterapkan pemerintah secara garis besar terdiri dari tiga regim yaitu, periode Bulog (1975-1998), periode bebas dan transisi (1999-2002) dan periode proteksi dan promosi (2003-2005). Periode Bulog (1975-1998) merupakan awal pemerintah memberikan wewenang sepenuhnya kepada Bulog untuk membeli langsung gula petani /produsen dengan harga yang telah ditetapkan oleh pemerintah bagi petani (harga provenue) dan diperbaharui setiap tahun. Kebijakan ini dikeluarkan bersamaan dengan program Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) melalui Instruksi Presiden No. 9, tanggal 22 April 1975. Kebijakan ini pada intinya menghapuskan sistem sewa lahan petani oleh pabrik gula menjadi sistem penanaman tebu oleh petani yang hasilnya diolah di pabrik gula dengan sistem bagi hasil. Tujuan pokok dari program Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) ada tiga, yaitu meningkatkan produksi gula dalam negeri, meningkatkan pendapatan petani, dan menghemat devisa untuk impor. Program TRI ini merupakan salah satu respon pemerintah dalam mengatasi krisis gula dunia yang terjadi pada tahun 1973 sampai 1974 dan menimbulkan permasalahan bagi perekonomian nasional. Pelaksanaan program Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) diikuti oleh beberapa kebijakan pendukung, seperti
penyediaan kredit lunak, bimbingan
63
teknis untuk petani, penetapan harga provenue, rehabilitasi pabrik-pabrik gula di Jawa, serta penetapan target areal dan produksi serta mekanisme operasional dalam pengaturan Bimas. Pemerintah memperkuat peran Bulog dalam distribusi gula dengan mengeluarkan dua kebijakan, yaitu Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 122/KP/III/81, 12 maret 1981 tentang tataniaga gula pasir dalam negeri dan Keputusan Menteri Keuangan No. 342/KMK.011/ 1982 tentang penetapan harga gula pasir produksi dalam negeri dan impor. Esensi dari kebijakan ini adalah memberi kekuatan monopoli dalam penyediaan dan distribusi gula kepada Bulog serta menempatkan gula sebagai the most regulated commodity. Pada periode Bulog (1975-1998), krisis gula dunia pernah dialami di tahun 1980 hingga 1981. Kondisi ini membuat pemerintah mempercepat program peningkatan produksi gula yang terdiri dari tiga program, yaitu penyehatan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), rehabilitasi pabrik-pabrik gula di Jawa dan pengembangan 18 pabrik gula baru di luar Jawa. Berbagai kebijakan pada periode Bulog mulai dari aspek penyediaan lahan, aspek produksi, aspek perkreditan, dan aspek pemasaran hanya bertahan sampai tahun 1998. Hal ini disebabkan karena Indonesia mengalami krisis ekonomi pada tahun 1997. Krisis ekonomi ini menimbulkan dampak pada sektor pergulaan, yaitu pemerintah tidak dapat menyediakan dana untuk program TRI dan program pergulaan lainnya sehingga menghentikan program TRI. Kondisi ini membawa pemerintah mengikutsertakan negara maju dalam mengatasi krisis ekonomi di Indonesia melalui IMF (International Monetary Fund). Dengan adanya intervensi dari IMF, pemerintah
64
harus merubah seluruh kebijakan gula, seperti menghentikan penanganan gula oleh Bulog berdasarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan perdagangan No. 25/MPP/Kep/I/1998. Esensi dari kebijakan ini adalah pelaksanaan impor dilakukan oleh Importir Umum. Perkembangan kebijakan pergulaan pada periode Bulog dapat dilihat pada Tabel 5.1.
Tabel 5.1. Perkembangan Kebijakan Pergulaan Periode Bulog (1975-1998) Kebijakan Inpres No. 9/1975, 22 April 1975 Tentang Intensifikasi Tebu Rakyat (TRI) Kepmen Perdagangan dan Koperasi No. 122/KP/III/81 12 Maret 1981 Tentang Tataniaga Gula Pasir Dalam Negeri Kepmen Keuangan No. 342/KMK.011/1982 Tentang Penetapan Harga Gula Pasir Produksi Dalam Negeri dan Impor Undang-Undang No. 12/1992 Tentang Budidaya Tanaman Inpres No. 5/1997, 29 Desember 1997 Tentang Program Pengembangan Tebu Rakyat Inpres No. 5/1998, 21 Januari 1998 Tentang Penghentian Pelaksanaan Inpres No. 5/1997 Kepmen Perindustrian dan Perdagangan No. 25/MPP/Kep/I/1998, 21 Januari 1998 Tentang Penghentian Monopoli Bulog dan Pelaksanaan Impor Oleh Importir Umum
Tujuan Peningkatan produksi gula serta kesejahteraan petani tebu Menjamin kelancaran pengadaan dan penyaluran gula pasir serta peningkatan pendapatan petani Menjamin stabilitas harga, devisa, serta kesesuaian pendapatan petani dan pabrik Memberikan kebebasan kepada petani untuk menanam komoditas sesuai dengan prospek pasar Pemberian peranan pada pelaku bisnis dalam rangka perdagangan bebas Kebebasan pada petani untuk memilih komoditas sesuai dengan UndangUndang No. 12/1992 Mendorong efisiensi industri dalam negeri dan kelancaran arus barang
Sumber: Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan dan Lembaga Penelitian IPB, 2002 dan Sekretariat Dewan Gula Indonesia (2005)
Pada periode bebas dan transisi (1999-2002), pemerintah membuka pasar impor Indonesia dan melakukan transisi kebijakan dari liberalisasi menjadi proteksionisme secara bertahap. Masa transisi ini merupakan respon pemerintah terhadap industri gula yang mengalami kemunduran saat liberalisasi perdagangan diberlakukan. Dengan kata lain, masa transisi dikatakan sebagai masa pengendalian impor. Liberalisasi perdagangan di sektor pergulaan ditandai dengan penetapan tarif impor sebesar nol persen. Hal ini disebabkan karena adanya
65
intervensi negara maju melalui International Moneter Fund (IMF) yang menuntut perdagangan pangan termasuk gula tertuang dalam persyaratan Letter of Intent (LoI). Persyaratan ini menempatkan gula sebagai komoditas yang diatur dalam tataniaga impor tertuang pada Keputusan Perindustrian dan Perdagangan No. 25/MPP/Kep/1998. Kondisi ini membuat pemerintah melakukan reformasi di bidang tataniaga gula dengan mengeluarkan Keputusan Perindustrian dan Perdagangan No. 505/10/1998 tertanggal 29 Oktober 1998 mengatur tataniaga impor gula menurut mekanisme pasar. Masa transisi ditandai dengan penetapan harga provenue gula pasir sebesar Rp 2.500/kg melalui Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 282/KPTS-IV/1999 tertanggal 7 Mei 1999. Namun, kebijakan harga provenue ini tidak dapat diwujudkan karena tidak didukung oleh rencana tindak lanjut yang memadai
seperti
dana
yang
tidak
dimiliki
pemerintah
untuk
mengimplementasikan kebijakan tersebut. Kebijakan regim transisi juga merupakan awal pemerintah menetapkan tarif impor gula sebesar 25 persen untuk gula putih yang tertuang pada Keputusan Perindustrian dan Perdagangan No. 230/MPP/Kep/6/1999. Pemerintah mengeluarkan kebijakan berupa Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 364/MPP/Kep/8/1999 yang membatasi jumlah importir dengan hanya mengijinkan importir produsen. Dengan kata lain, pada periode ini pelaksanaan impor gula berubah dari Importir Umum menjadi Importir Produsen. Berbagai kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah belum dapat mengendalikan impor gula. Padahal, pemerintah telah menaikkan harga provenue
66
gula sebesar Rp 2.600/kg yang tercantum pada Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 145/6/2000. Hal ini disebabkan karena pada tahun 2001 di masa transisi pemerintah melanjutkan penerapan konsep perdagangan bebas dengan tidak menetapkan harga gula ditingkat petani melainkan penetapan harga gula di tingkat petani disepakati oleh pelaku bisnis. Kebijakan ini berarti memberlakukan kembali
Keputusan
Menteri
Perindustrian
dan
Perdagangan
No.
717/MPP/Kep/12/1999, 28 Desember 1999. Pada tahun 2002, pemerintah mengeluarkan kebijakan kenaikan tarif bea masuk dan pengaturan tataniaga gula impor melalui pembatasan importir. Kenaikan tarif bea masuk didasarkan atas Keputusan Menteri Keuangan No. 324/KMK.01/2002 tertanggal 3 Juli 2002 untuk gula putih sebesar Rp 700/kg. Kebijakan ini didukung oleh Instruksi Dirjen Bea dan Cukai No. INS-07/BC/2002 yang menetapkan bahwa beras, terigu, dan gula masuk jalur merah untuk memperketat masuknya gula impor. Pengaturan tataniaga impor gula yang membatasi importir hanya pada Importir Terdaftar (IT) untuk impor gula putih tertuang pada Keputusan Menteri Perundustrian dan perdagangan No. 643/MPP/Kep/9/2002 tertanggal 23 september 2002. Kebijakan ini memuat syarat perusahaan yang mendapat penunjukkan IT adalah perusahaan yang menggunakan bahan bakunya 75 persen berasal dari tebu petani. Beberapa perusahaan yang memenuhi syarat tersebut adalah PTPN IX, PTPN X, PTPTN XI, PT.RNI, PT.PPI dan Perum BULOG (sebagai pengelola). Esensi lain dari kebijakan ini adalah impor gula diijinkan bila harga gula petani mencapai minimal Rp 3.100/kg. Berbagai kebijakan pada masa bebas dan transisi (1999-2002) dapat dilihat pada Tabel 5.2
67
Tabel 5.2.
Perkembangan Kebijakan Pergulaan Periode Bebas dan Transisi (1999-2002) Kebijakan
Pelaksanaan persyaratan Letter of Intent (LoI) dalam International Moneter Fund (IMF) yang membebaskan perdagangan pangan termasuk gula dengan penetapan tarif nol persen Kepmen Perindustrian dan perdagangan No. 25/MPP/Kep/1998 Tentang Komoditas yang Diatur Tataniaga Impornya Kepmen Perindustrian dan Perdagangan No. 505/MPP/Kep/10/1998 29 Oktober 1998 Tentang Tataniaga Impor Gula Menurut Mekanisme Pasar Kepmen Kehutanan dan Perkebunan No. 282/Kpts-IX/1999, 7 Mei 1999 Tentang Penetapan Harga Provenue Gula Pasir Petani Produksi sebesar Rp 2.500/kg Kepmen Perindustrian dan Perdagangan No. 230/MPP/Kep/6/1999, 4 Juni 1999 Tentang Pencabutan Kepmen Perindag No. 505/MPP/Kep/10/1998 dan Penetapan Tarif sebesar 25 persen Kepmen Perindustrian dan Perdagangan No. 364/MPP/Kep/8/1999, 5 Agustus 1999 Tentang Tataniaga Impor Gula Kepmen Perindustrian dan Perdagangan No. 717/MPP/Kep/12/1999, 28 Desember 1999 Tentang Pencabutan Tataniaga Impor Gula Kepmen Kehutanan dan Perkebunan No. 145/Kpts-VII/Kep/2000, 7 Juni 2000 Tentang Penetapan Provenue Gula Pasir Petani Produksi sebesar Rp 2.600/kg Mencabut Kepmen Kehutanan dan Perkebunan No. 145/KptsVII/Kep/2000, 7 Juni 2000, tahun 2001 Tentang Penetapan Harga Gula di tingkat Petani Disepakati oleh Pelaku Bisnis Kepmen Keuangan No. 324/KMK.01/2002, 3 Juli 2002 Tentang Perubahan Bea Masuk Gula Menjadi Tarif Spesifik sebesar Rp 700/kg untuk Gula Putih Instruksi Dirjen BC No. Ins-07/BC/2002, 17 September 2002 Tentang Beras, Gula dan Terigu Masuk Jalur Merah Untuk Memperketat Masuknya Gula Impor Kepmen Perindustrian dan Perdagangan No. 643/MPP/Kep/9/2002, 23 September 2002 Tentang Tataniaga impor gula, dimana impor gula putih hanya oleh Importir Terdaftar yang bahan bakunya lebih dari 75 persen berasal dari petani dan kerjasama dengan petani tebu setempat dan hanya dapat dilakukan bila harga di tingkat petani minimum Rp 3100/kg
Tujuan Liberalisasai perdagangan untuk peningkatan efisiensi ekonomi Mendorong efisiensi dan kelancaran arus barang Mengatur tataniaga gula serta meningkatkan kinerja distribusi gula pasir menurut mekanisme pasar Menghindari kerugian petani tebu dan mendorong peningkatan produksi Melindungi industri gula dalam negeri Menciptakan iklim perdagangan yang berorientasi pasar Impor gula hanya dapat dilaksanakan oleh pabrik gula di Jawa sebagai Impor Produsen (IP) melalui perijinan dari Dirjen Perdagangan Luar Negeri sehingga mengurangi beban anggaran pemerintah Impor gula dapat dapat dilakukan oleh Importir Umum (IU) Menghindari kerugian petani Penerapan mekanisme pasar untuk peningkatan efisiensi ekonomi Melindungi industri gula dalam negeri Untuk memperketat masuknya gula impor Kewajiban bagi Importir Terdaftar untuk menyangga harga gula di tingkat petani
Sumber: Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan dan Lembaga Penelitian IPB, 2002 dan Sekretariat Dewan Gula Indonesia (2005)
68
Masa Proteksi dan promosi didasari pada kelemahan dari kebijakan tataniaga impor gula yang tercantum dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 643/MPP/Kep/9/2002, 23 September 2002. Kelemahan dari kebijakan ini antara lain, mengenai spesifikasi mutu, waktu impor dan jaminan harga untuk petani yang tidak jelas. Adanya kelemahan ini menimbulkan ketidakpastian tataniaga impor yang berdampak buruk pada kinerja industri gula nasional. Terlebih negara-negara produsen dan konsumen utama gula dunia melakukan distorsi pada industri gulanya. Hal inilah yang menyebabkan pemerintah menerapkan kebijakan proteksi dan promosi untuk melindungi industri gula nasional dan meningkatkan kinerja dari industri gula nasional. Kebijakan promosi yang diterapkan oleh pemerintah antara lain, subsidi bunga dalam kredit KKP-TR sekitar Rp 900 Milyar, subsidi pupuk sebesar Rp 1,3 Triliun, dukungan prasarana pengairan sebesar Rp 4,5 Triliun, dukungan permodalan bagi koperasi tebu untuk pembongkaran ratoon, pembangunan kebun bibit, prasarana pengairan sederhana sebesar Rp 66,8 Milyar dan dukungan dana untuk penyehatan lembaga penelitian dan pengembangan. Kebijakan promosi yang dilakukan pemerintah dalam pendanaan kredit ketahanan pangan berupa subsidi bunga tertuang pada Salinan Keputusan Menteri Keuangan No 110/KMK.06/2004 tanggal 12 Maret 2004 tentang Perubahan Keputusan Menteri Keuangan No. 345/KMK.017/2000 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 417/KMK.017/2000. Kebijakan yang diterapkan pemerintah untuk lebih memperketat impor gula dan perdagangan gula secara illegal tercantum dalam beberapa kebijakan diantara lain, Keputusan Presiden No.
69
57 Tahun 2004 tertanggal 26 Juli 2004 tentang penetapan gula sebagai barang dalam pengawasan, Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 334/MPP/Kep/5/2004 tanggal 11 Mei 2004 tentang perubahan atas Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No 61/MPP/Kep/2/2004 tertanggal 17 Februari 2004 tentang perdagangan antar pulau, dan Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 453a/KMK.04/2004 dan No. 599/MPP/Kep/9/2004 tertanggal 23 Desember 2004 tentang penanganan gula yang diimpor secara tidak sah. Kebijakan di atas didukung oleh Kebijakan proteksi yang dilakukan mulai dari penyempurnaan kebijakan tataniaga impor gula yang tercantum pada Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 527/MPP/Kep/9/2004 jo Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 02/M/Kep/XII/2004 jo Peraturan Menteri Perdagangan No. 08/M-DAG/PER/4/2005 tentang ketentuan impor gula. Kebijakan impor ini menjelaskan ketentuan ICUMSA gula yang dapat diimpor (ketentuan ICUMSA ini membedakan antara gula kristal putih, gula rafinasi dan raw sugar), ada kejelasan waktu dan pelabuhan impor , serta kenaikan harga referensi di tingkat petani menjadi Rp 3.800/kg. Kebijakan proteksi lainnya yang dilakukan pemerintah adalah menetapkan program harmonisasi tarif bea masuk gula putih tahun 2005 hingga 2010 sebesar 40 persen melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 591/PMK.010/2004. Peraturan ini diperkuat dengan penetapan tarif bea masuk gula putih menjadi Rp 790/kg dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 600/PMK.010/2004 tertanggal 23 Desember 2004. Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah ini lebih memihak petani
70
sehingga pemerintah memberikan keringanan tarif bea masuk atas impor gula putih menjadi Rp 530/kg tertuang pada Peraturan Menteri Keuangan No. 86/PMK.010/2005 tertanggal 30 September 2005 untuk tetap memperhatikan kepentingan petani tebu dan konsumen. Perkembangan kebijakan pada masa proteksi dan promosi dapat dilihat pada Tabel 5.3.
Tabel 5.3.
Perkembangan Kebijakan Pergulaan Masa Proteksi dan Promosi (2003-2005) Kebijakan
Tujuan
Keputusan Menteri Keuangan No. 345/KMK.017/2000 jo Keputusan Menteri Keuangan No. 417/KMK.017/2000 jo Salinan Keputusan Menteri Keuangan No 110/KMK.06/2004 tanggal 12 Maret 2004 Tentang pendanaan kredit ketahanan pangan
Penyediaan kredit dengan tingkat bunga yang terjangkau
Keputusan Presiden No. 57 Tahun 2004 tertanggal 26 Juli 2004 Tentang penetapan gula sebagai barang dalam pengawasan
Peningkatan pertumbuhan perekonomian masyarakat Indonesia Menjamin pasokan dan stabilitas harga gula dan perlindungan terhadap industri gula dalam negeri, petani tebu dan konsumen
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No 61/MPP/Kep/2/2004 tertanggal 17 Februari 2004 jo Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 334/MPP/Kep/5/2004 tanggal 11 Mei 2004 Tentang Perdagangan Antar Pulau
Pokok-pokok Kebijakan -
Besarnya plafon KKP secara nasional ditetapkan oleh menteri keuangan dengan memperhatikan plafon KKP yang dapat disediakan oleh masing-masing Bank Pelaksanaan dan besarnya anggaran subsidi bunga yang dapat disediakan melalui APBN - Suku bunga KKP dibebankan kepada penerima KKP sebesar suku bunga pasar yang berlaku pada bank Pelaksana dikurangi dengan subsidi bunga yang diberikan pemerintah yang besarnya ditetapkan oleh menteri keuangan Gula ditetapkan sebagai barang dalam pengawasan
Aturan gula yang dapat diperdagangkan antar pulau antara lain jenis gula yang dapat diperdagangkan, persyaratan gula yang diperdagangkan, dan larangan gula diperdagangkan antar pulau, seperti jenis gula yang dilarang diperdagangkan
71
Lanjutan Tabel 5.3. Perkembangan Kebijakan Pergulaan Masa Proteksi dan Promosi (2003-2005) Kebijakan
Tujuan
Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 453a/KMK.04/2004 dan No. 599/MPP/Kep/9/2004 tertanggal 23 Desember 2004 Tentang Gula yang Diimpor Secara Tidak Sah
Untuk menciptakan swasembada gula dan meningkatkan pendapatan petani tebu
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 527/MPP/Kep/9/2004 jo Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 02/M/Kep/XII/2004 jo Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 08/MDAG/PER/4/2005 Tentang Ketentuan Impor Gula
Menciptakan swasembada gula dan meningkatkan daya saing serta pendapatan petani tebu dan industri gula
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 591/PMK.010/2004 Tentang Harmonisasi Tarif Bea Masuk Gula Putih Tahun 2005 hingga 2010
Meningkatkan kepastian berusaha serta meningkatkan daya saing produksi dalam negeri Untuk melaksanakan program harmonisasi tarif bea masuk gula putih tahun 2005 hingga 2010 Mendorong perkembangan industri dalam negeri
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 600/PMK.010/2004 tertanggal 23 Desember 2004 Tentang Tarif Bea Masuk
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 86/PMK.010/2005 tertanggal 30 September 2005 Tentang Keringanan Tarif Bea Masuk Atas Impor Gula
Sumber: Sekretariat Dewan Gula Indonesia, 2005
Pokok-pokok Kebijakan -
Pengertian gula yang diimpor secara tidak sah - Penanganan gula yang dimpor tidak sah dilakukan secara lelang - Pengaturan perdagangan gula lelang di dalam negeri ditentukan oleh Direktur Perdaganga Dalam Negeri Departeman Perindustrian dan Perdagangan - Ketentuan ICUMSA gula yang dapat dimpor - Mengatur klasifikasi gula berdasarkan ketentuan ICUMSA - Pengaturan waktu dan pelabuhan impor - Penentuan harga gula di tingkat petani (harga referensi) Penetapan tarif bea masuk gula putih tahun 2005 hingga 2010 sebesar 40 persen
Penetapan tarif bea masuk untuk gula putih sebesar 790/kg
Penetapan tarif bea masuk untuk gula putih sebesar 530/kg
72
5.2. Penilaian Dampak Kebijakan Pergulaan Nasional Terhadap Kondisi Pergulaan Indonesia Analisis perkembangan kebijakan pergulaan nasional yang telah diuraikan pada bab 5.1 memberikan informasi dalam menilai dampak kebijakan pergulaan nasional terhadap kondisi pergulaan Indonesia. Tujuan menilai dampak kebijakan pergulaan nasional dengan menggambarkan sisi positif dan negatif adalah memberikan penjelasan secara deskriptif pengaruh dari masing-masing kebijakan pergulaan Indonesia, khususnya periode proteksi dan promosi terhadap kondisi pergulaan nasional. Dengan demikian, adanya analisis penilaian dampak kebijakan pergulaan nasional terhadap kondisi pergulaan Indonesia ini secara tidak langsung memperlihatkan perkembangan harga gula domestik yang merupakan gambaran proyeksi dari daya saing gula domestik.
5.2.1. Periode Bulog (1975-1998) Dampak kebijakan pergulaan pada masa Bulog tahun 1975 hingga 1998 yang ditandai dengan program Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) melalui Instruksi Presiden No. 9, tanggal 22 April 1975, yaitu produksi gula nasional meningkat rata-rata 4,3 persen per tahun dalam kurun waktu 1975 sampai 1994. Produksi gula nasional sebesar 1 juta ton tahun 1975 meningkat menjadi 2,4 juta ton tahun 1994. Hal ini disebabkan karena luas areal yang cenderung meningkat sekitar 6 persen per tahun dalam periode yang sama (Sekretariat Dewan Gula Indonesia, 2006). Peningkatan produksi dan luas areal tebu ini menunjukkan bahwa program pemerintah dalam perubahan struktural organisasi industri tebu beserta kebijakan yang mendukungnya, seperti penyediaan kredit lunak, bimbingan teknis untuk petani, penetapan harga provenue, rehabilitas pabrik-pabrik gula di Jawa, penetapan target areal dan produksi serta mekanisme operasional dalam pengaturan Bimas memberikan dampak positif terhadap animo petani dalam
73
menanam tebu. Perubahan struktural organisasi industri tebu terletak pada penghapusan sistem sewa lahan petani oleh pabrik gula menjadi sistem penanaman tebu oleh petani yang hasilnya diolah pabrik gula dengan sistem bagi hasil. Kondisi ini memperlihatkan bahwa petani tebu diikutsertakan dalam peranan kegiatan sektor perkebunan tebu. Sistem TRI ini menyebabkan peningkatan pada penawaran gula yang jumlahnya besar dan tidak dapat dikontrol oleh Bulog pada tahun 1975 hingga 1998 sehingga mengakibatkan fluktuasi harga gula di pasar domestik. Fluktuasi harga gula domestik ini merespon pemerintah dalam menetapkan seluruh produksi gula dalam negeri dibeli oleh Bulog mulai tahun 1981 dan menetapkan harga gula pasir produksi dalam negeri dan impor tahun 1982. Dengan kata lain, harga gula domestik ditentukan secara sepihak oleh pemerintah. Penetapan harga ini menimbulkan adanya perbedaan yang besar antara harga provenue dan harga gula domestik dapat dilihat pada Gambar 1.6. Perbedaan antara harga provenue dan harga gula domestik seharusnya dinikmati oleh petani tebu dan pabrik gula. Namun, menurut Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan dan Lembaga Penelitian IPB (2002), perbedaan harga ini justru dinikmati oleh Bulog dan pedagang perantara. Hal ini mengindikasikan bahwa adanya kepentingan ekonomi politik negara yang berbeda dengan tujuan kebijakan pergulaan nasional di masa orde baru. Keadaan ini menunjukkan rendahnya insentif yang diterima petani sehingga animo petani untuk menanam
97 19
95 19
93 19
91 19
89 19
87 19
19
85
0 0 0 0 0 0 19
0 0 0 0 0
83
0 0 0 0 0
19
5 4 3 2 1
81
(Rp/kg)
tebu rendah.
T ahun
H arga P rovenu e
H a r g a G u la D o m e s tik
Sumber : Sekretariat Dewan Gula Indonesia (2006)
Gambar 1.6. Perkembangan Harga Provenue dan Harga Gula Domestik (1981-1998)
74
Dampak dari pelaksanaan sistem TRI mengakibatkan tidak terkontrolnya sistem produksi tebu ditandai dengan penurunan hasil tebu dengan produksi dan rendemen yang mencapai angka terendah yaitu dibawah 7 persen. Pada tahun 1994 hingga 1998 memperlihatkan bahwa produksi gula nasional cenderung menurun sekitar -9,4 persen per tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa pada periode Bulog produksi gula nasional bersifat fluktuatif. Perkembangan produksi gula nasional selama tahun 1994 hingga 1998 dilihat pada Tabel 5.4.
Tabel 5.4.
Perkembangan Luas Areal, Rendemen dan Produksi Gula, 1994-1998
Tahun
Luas Areal (ha)
Rendemen (%)
Produksi (ton)
1994
428.152
8,03
2.448.833
1995
420.630
6,97
2.096.472
1996
403.266
7,32
2.094.195
1997
385.666
7,84
2.189.967
1998
378.293
5,49
1.488.268
Sumber: Sekretariat Dewan Gula Indonesia, 2006
Pada periode Bulog juga menggambarkan adanya fluktuasi impor gula. Hal ini dapat ditunjukkan oleh impor yang cenderung meningkat rata-rata berkisar 5,7 persen per tahun selama 1984 sampai 1990 dan cenderung menurun tahun berikutnya sampai titik terendah 128.399 ton tahun 1994. Pada tahun 1995 hingga 1997, dimana impor meningkat sebesar 523.988 ton tahun 1995 dan 1.364.563 ton tahun 1997. Adanya fluktuasi impor dan perbedaan harga provenue dan harga domestik di tingkat eceran masih menggambarkan posisi petani yang lemah. Ringkasan analisis positif dan negatif periode Bulog (1975-1998) dapat dilihat pada Tabel 5.5.
75
Tabel 5.5. Analisis Positif dan Negatif Periode Bulog (1975-1998) Penerima Produsen
Konsumen
Positif
Negatif
- Adanya sistem TRI dan perubahan struktural organisasi industri gula menggambarkan bahwa peranan petani tebu diikutsertakan dalam sektor perkebunan tebu - Tingginya peranan petani tebu menimbulkan animo petani dalam menanam tebu sehingga produksi meningkat tahun 1975 hingga 1994 dan menurunkan impor gula - Kepastian harga gula ditingkat petani karena pemerintah menerapkan kebijakan yang mendukung TRI yaitu penetapan harga provenue
- Adanya sistem TRI mengakibatkan tidak terkontrolnya sistem produksi sehingga menyebabkan penurunan hasil tebu dengan produksi dan rendemen yang mencapai angka terendah yaitu dibawah 7 persen - Adanya monopoli Bulog menimbulkan adanya kepentingan ekonomi politik negara yang berbeda dengan tujuan kebijakan pergulaan nasional sehingga perbedaan antara harga provenue dan harga gula domestik hanya dinikmati oleh Bulog dan pedagang perantara - Adanya kepentingan ekonomi politik yang menyimpang mengakibatkan rendahnya insentif yang diterima petani sehingga animo petani untuk menanam tebu rendah - Rendahnya animo petani mengakibatkan produksi gula nasional turun dan impor meningkat - Adanya sistem TRI menyebabkan peningkatan penawaran gula yang jumlahnya lebih besar dan tidak dapat dikontrol sehingga terjadi fluktuasi harga gula domestik - Adanya monopoli Bulog menyebabkan harga gula domestik menjadi lebih tinggi
5.2.2. Periode Bebas dan Transisi (1999-2002) Periode bebas ditandai dengan penetapan tarif sebesar nol persen dan pelaksanaan impor dilakukan oleh Importir Umum. Dampak dari kebijakan liberalisasi perdagangan ini adalah banyaknya impor gula yang masuk di pasar domestik yaitu mencapai 2.187.133 ton Tahun 1999. Keadaan ini didukung oleh harga gula dunia yang mencapai titik terendah sepanjang sejarah berkisar US$ 200,6 per ton atau setara dengan Rp 1.861/kg pada tahun 1999 sedangkan harga gula domestik di tingkat eceran sebesar Rp 2.640/kg pada tahun yang sama. Terlebih, biaya produksi gula nasional yang relatif tinggi sebesar US$ 32,00 cent sementara biaya produksi gula dunia hanya mencapai US$ 20,00 cent tahun 1999.
76
Hal ini mengindikasikan bahwa gula domestik yang dihasilkan tidak mampu bersaing
dengan
gula
impor.
Dengan
adanya
liberalisasi
perdagangan
menunjukkan bahwa fluktuasi harga gula dunia secara langsung dapat mempengaruhi harga gula domestik sehingga penurunan harga gula dunia akan menyebabkan harga gula domestik juga ikut mengalami penurunan. Di sisi lain, petani belum siap menghadapi perdagangan bebas karena selama ini harga gula ditetapkan oleh pemerintah sehingga tidak merasakan adanya fluktuasi harga gula dunia. Keadaan ini membuat industri gula mengalami masa kemunduran dengan ditunjukkan oleh produksi gula nasional yang menurun sebesar 2 juta ton pada periode Bulog menjadi 1,4 juta ton pada periode liberalisasi. Pemerintah mengatasi masalah ketidaksiapan petani dan industri gula dalam menghadapi liberalisasi perdagangan dengan mengeluarkan kebijakan penetapan harga provenue sebesar Rp 2.500/kg. Adanya kebijakan ini berarti menandakan periode transisi telah dimulai. Namun, kebijakan ini tetap tidak memperbaiki petani dan kinerja industri gula. Hal ini disebabkan karena pemerintah tidak memiliki dana yang memadai untuk melaksanakan kebijakan penetapan harga provenue sehingga kebijakan ini menjadi tidak efektif. Situasi ini membuat pemerintah untuk membatasi importir dengan importir produsen dan penetapan tarif impor gula putih sebesar 25 persen. Dampak dari penetapan tarif ini mampu mengatasi pengaruh perdagangan global karena mampu menaikkan harga impor gula dari Rp 2.019/kg tanpa penetapan tarif menjadi Rp 2.525/kg dengan tarif 25 persen tahun 2000. Kebijakan ini berarti mampu menaikkan harga impor gula di tingkat eceran sebesar Rp 4.332/kg diatas harga eceran tertinggi gula domestik Rp 4.126/kg. Peningkatan harga provenue gula petani sebesar Rp 2.600/kg dengan menyediakan dana talangan sebesar Rp 859 milyar hanya diberikan dalam periode dua tahun. Kondisi ini menyebabkan rendemen menurun
77
dari 7 persen menjadi 6 persen sehingga nilai jual dari gula yang dihasilkan menjadi kecil. Hal ini disebabkan karena pembongkaran tanaman keprasan dilakukan lebih dari tiga kali tanpa peremajaan tanaman sesuai dengan dana yang diberikan oleh pemerintah. Kebijakan penetapan harga provenue ini berakhir menjadi penetapan harga minimal yang disepakati oleh pelaku bisnis. Konsep dari kebijakan ini adalah harga dasar sudah ditetapkan terlebih dahulu kemudian melakukan mekanisme lelang dengan pedagang. Bila harga lelang di bawah harga harga dasar maka investor membeli sebesar harga dasar dan bila di atas harga dasar kelebihannya 60 persen untuk petani dan 40 persen untuk investor. Dampak dari kebijakan ini adalah petani terlindungi dari fluktuasi harga gula domestik. Namun, pada pertengahan tahun 2002 harga gula dunia kembali menurun dari US$ 249,3/ton tahun 2001 menjadi US$ 221,5/ton Juli 2002. Harga jual gula domestik hanya Rp 2.650/kg sementara biaya produksi mencapai Rp 3.200/kg pada tahun yang sama. Hal ini mengindikasikan kebijakan tarif 25 persen tidak lagi efektif untuk meningkatkan harga impor gula. Pemerintah menetapkan tarif spesifik sebesar Rp 700/kg dan mengatur tataniaga impor gula hanya oleh Importir Terdaftar (IT) dan bahkan memasukkan gula pada jalur merah. Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk mengendalikan impor maupun mengangkat harga gula petani dari rata-rata Rp 2.600/kg tahun 2003 menjadi Rp 3.250/kg tahun 2004, yang berarti berada di atas harga dasar yang menjadi kesepakatan petani tebu dan investor sebesar Rp 3.410/kg serta di atas biaya produksi. Tataniaga gula ini tidak merubah distribusi gula dalam negeri, artinya distributor dan pedagang tetap mempunyai peran. Kelemahan dari kebijakan ini adalah belum mampu meningkatkan harga impor gula di atas harga gula domestik. Keadaan ini mengakibatkan banyak impor gula ilegal di pasar domestik. Menurut data yang diperoleh, ditemukan 710 ton gula putih impor
78
ilegal oleh petugas Bea Cukai Tanjung Balai akan diselundupkan ke daerah jambi pada Januari 2003, Menteri Perindustrian dan Perdagangan menemukan penimbunan gula sebanyak 28 ribu ton di pabrik gula Ngadirejo Jawa Timur pada Februari 2003 dan menemukan sekitar 33 ribu ton gula impor ilegal di gudang Hobros. Ditambah, masih adanya kelemahan dalam kebijakan pengendalian impor ini seperti belum jelasnya mengatur waktu importasi sehingga menyebabkan distribusi gula tidak berjalan dengan baik. Ringkasan analisis positif dan negatif periode bebas dan transisi (1999-2002) dapat dilihat pada Tabel 5.6.
Tabel 5.6.
Analisis Positif dan Negatif Periode Bebas dan Transisi (1999-2002)
Penerima
Positif
Negatif
Produsen
- Penetapan harga minimal tahun 2001 melindungi petani dari fluktusi harga gula domestik - Penetapan tarif spesifik Rp 700/kg, pengaturan tataniaga impor oleh IT, dan gula masuk dalam jalur merah mampu mengangkat harga gula di tingkat petani
Konsumen
- Adanya liberalisasi perdagangan menyebabkan konsumen dapat membeli gula dengan harga yang lebih murah
- Adanya liberalisasi perdagangan menyebabkan terjadi peningkatan impor gula dengan harga impor gula yang lebih rendah dibandingkan dengan harga gula domestik - Penurunan harga impor gula akan secara langsung menurunkan harga gula domestik sehingga memberikan dampak yang besar dalam insentif industri gula. - Adanya liberalisasi perdagangan yang menyebabkan berkurangnya insentif industri gula menggambarkan kemunduran industri gula karena animo petani untuk menanam tebu rendah - Akibat rendahnya animo petani, produksi gula nasional menurun - Penetapan tarif 25 persen untuk mengatasi kemunduran industri gula menjadi tidak efektif akibat harga gula dunia menurun drastis sehingga angka rendemen menurun dari 7 persen menjadi 6 persen - Adanya adanya kelemahan dari kebijakan pengaturan tataniaga impor yang diberlakukan tahun 2002 seperti, belum jelasnya spesifikasi mutu, waktu impor dan jaminan harga untuk petani sehingga menimbulkan ketidakpastian tataniaga impor dan tataniaga ini tidak merubah distribusi gula dalam negeri, artinya distributor dan pedagang tetap mempunyai peran - Ketidakpastian tataniaga impor ini mengakibatkan banyaknya impor gula ilegal yang masuk ke pasar domestik - Adanya pengendalian impor pada periode transisi menyebabkan konsumen membeli harga gula domestik dengan harga yang lebih mahal
79
5.2.3. Periode Proteksi dan Promosi (2003-2005) Dampak kebijakan promosi yang dikeluarkan pemerintah memberikan animo yang tinggi bagi petani dalam menanam tebu. Hal ini ditunjukkan oleh peningkatan luas areal secara signifikan pada tahun 2005 sebesar 381.785 ha dan peningkatan produksi gula nasional mencapai 2 juta ton pada tahun 2004. Impor gula cenderung menurun dari 1.571.278 ton tahun 2003 menjadi 1.149.812 ton tahun 2005. Rendemen gula juga mengalami peningkatan dari 7,21 persen tahun 2003 menjadi 7,84 persen tahun 2005. Kondisi ini mengakibatkan penurunan impor dari sekitar 1,5 juta ton menjadi sekitar 1,3 juta ton. Pengaturan impor yang dikeluarkan
pemerintah
melalui
Keputusan
Menteri
Perindustrian
dan
Perdagangan No. 527/MPP/Kep/9/2004 jo Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 02/M/Kep/XII/2004 jo Peraturan Menteri Perdagangan No. 08/M-DAG/PER/4/2005 memberikan posisi tawar menawar petani tebu menjadi semakin kuat. Hal ini terbukti dari terciptanya kreatifitas petani tebu melalui sistem jaminan harga minimal yang dijamin oleh Importir Terdaftar (IT) atau investor sehingga petani dapat cepat memperoleh dana paling lambat dua minggu setelah tanam digunakan sebagian besar untuk memelihara tanaman dan memperluas usaha. Dengan sistem ini juga pemerintah tidak perlu untuk menyediakan dana talangan. Kebijakan ini menciptakan semangat petani untuk memperbaiki dan memperluas perkebunan tebu berkat adanya kepastian harga. Hal ini berarti mempercepat proses penyehatan industri nasional. Kebijakan proteksi dan pengaturan impor ini menimbulkan adanya disparitas harga impor dengan harga dalam negeri yang tinggi hingga mencapai
80
Rp 5.000/kg sehingga kemungkinan menimbulkan penyeludupan karena adanya moral hazard dari beberapa pihak. Disparitas harga gula domestik di tingkat eceran yang lebih tinggi dari kenaikan harga impor gula dapat dilihat pada gambar 1.1. Tindakan ini yang akan menimbulkan kerugian yang besar pada negara dan kehancuran industri gula. Kebijakan ini hanya mencantumkan sanksi administratif bagi pelanggarnya sehingga pemberantasan penyeludupan menjadi kurang efektif. Oleh karena itu, kebijakan dan promosi yang ditetapkan pemerintah mampu mengatasi pengaruh perdagangan global dalam jangka pendek. Namun, pada jangka panjang diperkirakan tidak akan mampu menciptakan industri gula yang kompetitif. Ringkasan analisis positif dan negatif periode proteksi dan promosi (2003-2005) dapat dilihat pada Tabel 5.7
Tabel 5.7. Penerima Produsen
Konsumen
Analisis Positif dan Negatif (2003-2005) Positif - Kebijakan proteksi dan promosi menyebabkan harga gula domestik meningkat sehingga memberikan insentif petani tebu - Besarnya animo petani dalam menanam tebu sehingga produksi gula meningkat dan impor menurun - Rendemen gula meningkat dari 6 persen menjadi 7 persen sehingga menyebabkan besarnya animo petani. Mengingat, keuntungan petani tebu terletak pada hasil rendemennya - Kebijakan dan promosi yang ditetapkan pemerintah mampu mengatasi pengaruh perdagangan global dalam jangka pendek
Periode Proteksi dan Promosi Negatif - Pada jangka panjang diperkirakan tidak akan mampu menciptakan industri gula yang kompetitif - Disparitas harga gula domestik di tingkat eceran yang lebih tinggi dibandingkan harga impor gula menunjukkan penurunan daya saing gula domestik
- Adanya kebijakan proteksi dan promosi menyebabkan harga gula domestik di tingkat eceran lebih tinggi dibandingkan harga impor gula sehingga konsumen membeli gula domestik dengan harga yang lebih mahal sementara impor gula dikendalikan
81
5.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga Gula Domestik Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi harga gula domestik bertujuan untuk mengetahui variabel-variabel yang saling berhubungan dan menguraikan pengaruh kebijakan pergulaan nasional secara kuantitatif. Analisis ini berbeda dengan analisis sebelumnya yang menguraikan pengaruh kebijakan pergulaan nasional terhadap kondisi pergulaan Indonesia yang secara tidak langsung memperlihatkan perkembangan harga gula domestik yang merupakan gambaran proyeksi dari daya saing gula domestik secara deskriptif. Estimasi model persamaan simultan harga gula domestik yang terdiri dari harga gula domestik di tingkat eceran dan harga gula di tingkat petani dilakukan dengan menggunakan metode Two-Stage Least Square (2SLS). Hal ini disebabkan karena variabel tak bebas (harga gula domestik di tingkat eceran dan harga gula di tingkat petani) dalam satu atau lebih persamaan juga merupakan variabel bebas di dalam beberapa persamaan lainnya sehingga sebuah variabel mempunyai dua peranan sekaligus sebagai variabel bebas dan variabel tak bebas
5.3.1. Uji Stasioneritas Data Hasil pengujian stasioner data dilakukan pada pendiferensiasian pertama baik dengan intersep maupun linier trend. Hal ini disebabkan karena pengujian pada level menunjukkan bahwa semua variabel tidak stasioner. Pada diferensiasi pertama memperlihatkan bahwa nilai t-statistik Augmented Dickey-Fuller (ADF) yang dimutlakan (׀t- statistik ADF )׀lebih besar dari test critical value pada tingkat 10 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa pada semua variabel tidak memiliki akar-akar unit. Dengan kata lain, semua variabel stasioner sehingga
82
dapat digunakan dalam metode Two-Stage Least Square (2SLS). Hasil pengujian akar-akar unit dapat dilihat pada Tabel 5.8.
Tabel 5.8. Pengujian Akar-akar Unit (Unit Root Test) Variabel
t-statistik ADF
Test Critical Value (10% level)
In First Difference LnPNE -6,346109 LnHTP -4,045297 LnHRIG -5,248989 LnIMG -4,759586 LnER -4,743255 LnLagPNE -5,988304 LnHP -5,003842 LnRR -3,803544 TIN -6,747900
-3,221728 -3,238054 -3,225334 -3,221728 -3,221728 -3,225334 -3,221728 -3,233456 -3,225334
5.3.2. Hasil Estimasi Model Struktural Harga Gula Domestik di Tingkat Eceran 5.3.2.1. Uji Ekonometrika Hasil pengujian model secara keseluruhan dengan kriteria statistik menunjukkan pendugaan dan pengujian model sesuai dengan teori yang ada. Pengujian multikolinearitas dengan menggunakan Correlation Matrix pada Eviews 4.1 terjadi jika nilai korelasi antar variabel bebas lebih dari ׀0,8׀. Hasil pengujian menunjukkan bahwa nilai korelasi antar variabel bebas lebih kecil dari ׀0,8׀
(Lampiran
6).
Hal
ini
mengindikasikan
tidak
terjadi
masalah
multikolinearitas. Pengujian autokorelasi dapat dilakukan dengan melihat nilai dari Durbin Watson-statistik. Namun, pengujian dengan menggunakan nilai Durbin Watson-statistik mempunyai kelemahan, yaitu jika hasilnya berada dalam daerah keragu-raguan maka akan sulit untuk mengambil kesimpulan. Oleh karena itu, pengujian autokorelasi dengan menggunakan Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test melalui perangkat E-views 4.1. Nilai probabilitas Obs*Squared dari persamaan harga gula domestik di tingkat eceran adalah
83
0,192467 lebih besar dari taraf nyata yang digunakan sebesar 10 persen (α = 10%), artinya persamaan ini bebas autokorelasi. Pengujian heteroskedastisitas digunakan untuk melihat apakah model regresi memenuhi asumsi bahwa model memiliki gangguan yang variannya sama (homoskedastisitas). Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan White Heteroskedasticity Test. Nilai probabilitas Obs*Squared dari persamaan harga gula domestik di tingkat eceran adalah 0,213386 lebih besar dari taraf nyata yang digunakan sebesar 10 persen (α = 10%), artinya persamaan ini tidak memiliki masalah heteroskedastisitas.
5.3.2.2. Hasil Estimasi Model Hasil estimasi model dari parameter persamaan harga gula domestik di tingkat eceran dapat dilihat pada Tabel 5.9.
Tabel 5.9.
Hasil Estimasi Parameter Persamaan Harga Gula Domestik di Tingkat Eceran
Variabel Intersep LNHTP LNHRIG LNIMG LNER LNLAGPNE D2 R-squared Adjusted R-squared
Coefficient 0,656260 0,522736 0,100934 -0,074934 -0,051890 0,437467 0,041941 0,994734 0,993360
t-Statistik 3,197805 5,055291 1,780178 -1,650502 -1,579028 5,028510 1,338070 Durbin-Watson stat Prob(F-statistic)
Probabilitas 0,0040 0,0000 0,0883 0,0952 0,0992 0,0000 0,1001 2,398121 0,000000
Keterangan: Nyata pada taraf nyata 10%(α =10%)
Berdasarkan hasil pendugaan parameter pada Tabel 5.9, persamaan memiliki koefisien determinasi (R-squared) sebesar 0,994734, artinya bahwa keragaman dari variabel dependent mampu diterangkan oleh variabel-variabel
84
Independent di dalam persamaan sebesar 99,47 persen dan sisanya sebesar 0,53 persen dijelaskan oleh faktor-faktor lain di luar persamaan. Hasil uji F didapatkan bahwa variabel-variabel independent secara bersama-sama mampu menerangkan variabel dependent. Hal ini ditunjukkan oleh nilai P-Value = 0,000000 yang lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan sebesar 10 persen. Nilai ini menunjukkan bahwa persamaan telah mendukung keabsahan model. Dengan kata lain, pengaruh yang ditimbulkan oleh keseluruhan variabel independent terhadap variabel dependent adalah baik. Uji t menunjukkan bahwa semua variabel independent berpengaruh nyata atau signifikan terhadap variabel dependent (harga gula domestik di tingkat eceran), dengan taraf nyata 10 persen. Variabel-variabel independent dalam persamaan ini adalah harga gula di tingkat petani, harga impor gula, impor gula, nilai tukar, harga gula domestik di tingkat eceran tahun sebelumnya dan Dummy kebijakan proteksi dan promosi. Hasil empiris menunjukkan bahwa semua variabel independent ini sesuai dengan teori. Berdasarkan Tabel 5.9, dapat diketahui bahwa harga gula di tingkat petani yang terdiri dari harga provenue dan harga minimal berpengaruh positif terhadap harga gula domestik di tingkat eceran dengan koefisien sebesar 0,522736, artinya jika harga gula di tingkat petani meningkat sebesar satu persen maka harga gula domestik di tingkat eceran akan naik sebesar 0,522736 persen, ceteris paribus. Dengan kata lain, perubahan harga gula di tingkat petani sebesar satu persen akan menyebabkan perubahan harga gula domestik di tingkat eceran sebesar 0,522736 persen. Kondisi ini menunjukkan bahwa kenaikan harga gula di tingkat petani,
85
baik ditetapkan oleh pemerintah maupun ditetapkan oleh pelaku bisnis akan meningkatkan harga gula domestik di tingkat eceran. Menurut Sekretariat Dewan Gula Indonesia (2005), harga gula di tingkat petani dari tahun ke tahun mengalami peningkatan sehingga mendorong harga gula domestik di tingkat eceran meningkat. Harga impor gula berpengaruh positif terhadap harga gula domestik di tingkat eceran dengan koefisien sebesar 0,100934, artinya jika harga impor gula meningkat sebesar satu persen maka harga gula domestik di tingkat eceran akan naik sebesar 0,100934 persen, ceteris paribus. Dengan kata lain, perubahan harga impor gula sebesar satu persen akan menyebabkan perubahan harga gula domestik di tingkat eceran sebesar 0,100934 persen. Hal ini menunjukkan bahwa harga gula internasional mempunyai keterkaitan dengan harga gula domestik dengan koefisien transmisi harga relatif kecil yaitu sekitar 0,1 persen. Walaupun pemerintah menerapkan kebijakan baik monopoli Bulog pada tahun 1975 hingga 1997 sebagai importir tunggal maupun kebijakan proteksi dan promosi berupa bea masuk tetap harga gula internasional mempengaruhi harga gula domesik. Hal ini disebabkan karena bea masuk merupakan komponen harga impor gula. Impor gula mempunyai pengaruh negatif terhadap harga gula domestik di tingkat eceran dengan koefisien sebesar -0,074934, artinya jika impor gula menurun sebesar satu persen maka harga gula domestik di tingkat eceran akan naik sebesar 0,074934 persen, ceteris paribus. Kondisi ini sesuai dengan teori ekonomi, dimana jika impor gula menurun maka akan menyebabkan permintaan akan gula domestik meningkat sehingga akan meningkatkan harga gula domestik. Mengingat, gula impor merupakan komoditas substitusi dari gula domestik.
86
Nilai tukar (nominal exchange rate) mempunyai pengaruh negatif terhadap harga gula domestik dengan koefisien sebesar -0,051890, artinya jika nilai tukar turun atau dollar terapresiasi sebesar satu persen maka harga gula domestik di tingkat eceran akan naik sebesar 0,051890 persen, ceteris paribus. Hal ini disebabkan karena ketika dollar terapresiasi maka harga impor gula mahal sehingga impor gula menurun. Penurunan impor gula menyebabkan permintaan akan gula domestik mengalami peningkatan sehingga meningkatkan harga gula domestik. Mengingat, gula impor merupakan komoditas substitusi dari gula domestik. Menurut Sudana et al. (2000), fluktuasi harga gula domestik juga dipengaruhi oleh kebijaksanan nilai tukar yang fleksibel yang dianut Indonesia mulai tahun 1997. Kondisi ini sesuai dengan teori ekonomi makro, jika kurs nominal turun (terapresiasi) maka akan menyebabkan harga barang domestik juga naik. Harga gula domestik di tingkat eceran tahun sebelumya berpengaruh positif terhadap harga gula domestik di tingkat eceran pada tahun tertentu dengan koefisien sebesar 0,437467, artinya kenaikan harga gula domestik di tingkat eceran tahun sebelumnya sebesar satu persen akan meningkatkan harga gula domestik di tingkat eceran sebesar 0,437467 persen, ceteris paribus. Hal ini menunjukkan bahwa naik atau turunnya harga gula domestik di tingkat eceran dipengaruhi oleh harga gula domestik tahun sebelumnya. Dengan kata lain, perubahan harga gula domestik tahun sebelumnya sebesar satu persen akan menyebabkan perubahan harga gula domestik di tingkat eceran sebesar 0,437467 persen.
87
Variabel Dummy kebijakan proteksi dan promosi mempunyai pengaruh positif terhadap harga gula domestik di tingkat eceran sebesar 0,041941, artinya jika pemerintah menerapkan kebijakan proteksi dan promosi berupa tarif impor maupun pengaturan impor maka akan menaikkan harga gula domestik di tingkat eceran 0,041941 kali dibandingkan pada saat pemerintah menerapkan kebijakan monopoli Bulog, ceteris paribus. Hal ini disebabkan karena kebijakan proteksi dan promosi merupakan alat untuk mengendalikan impor, baik dalam hal kuantitas maupun penetapan harga impor gula dengan tarif sehingga akan meningkatkan harga gula domestik di tingkat eceran.
5.3.3. Hasil Estimasi Model Struktural Harga Gula di Tingkat Petani 5.3.3.1. Uji Ekonometrika Pengujian multikolinearitas dengan menggunakan Correlation Matrix pada E-views 4.1 terjadi jika nilai korelasi antar variabel bebas lebih dari ׀0,8׀. Hasil pengujian menunjukkan bahwa nilai korelasi antar variabel bebas lebih kecil dari ׀0,8( ׀Lampiran 10). Pengujian autokorelasi dilakukan dengan menggunakan Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test melalui perangkat E-views 4.1. Nilai probabilitas Obs*Squared dari persamaan harga gula di tingkat petani adalah 0,107239 lebih besar dari taraf nyata yang digunakan sebesar 10 persen (α = 10%), artinya persamaan ini bebas autokorelasi. Pengujian heteroskedastisitas dilakukan dengan menggunakan White Heteroskedasticity Test. Nilai probabilitas Obs*Squared dari persamaan harga gula di tingkat petani adalah 0,113039 lebih besar dari taraf nyata yang digunakan
88
sebesar 10 persen (α = 10%), artinya persamaan ini tidak memiliki masalah heteroskedastisitas.
5.3.3.2. Hasil Estimasi Model Hasil estimasi model dari parameter persamaan harga gula di tingkat petani dapat dilihat pada Tabel 5.10.
Tabel 5.10.
Hasil Estimasi Parameter Persamaan Harga Gula di Tingkat Petani
Variabel Intersep LNPNE LNHRIG LNRR LNHP TIN D1 D2 R-squared Adjusted R-squared
Coefficient -0,723979 0,800646 0,027012 0,541054 0,192260 0,003395 0,163989 0,144340 0,995760 0,994411
t-Statistik -4.191395 10.06613 0.478063 4.083669 1.908682 1.959557 1.918987 1.894727 Durbin-Watson stat Prob(F-statistic)
Probabilitas 0,0004 0,0000 0,6373 0,0005 0,0694 0,0628 0,0681 0,0713 1,424252 0,000000
Keterangan: Nyata pada taraf nyata 10%(α =10%)
Berdasarkan hasil pendugaan parameter pada Tabel 5.10, persamaan memiliki koefisien determinasi (R-squared) sebesar 0,995760, artinya bahwa keragaman dari variabel dependent mampu diterangkan oleh variabel-variabel independent di dalam persamaan sebesar 99,57 persen dan sisanya sebesar 0,43 persen dijelaskan oleh faktor-faktor lain di luar persamaan. Hasil uji F didapatkan bahwa variabel independent secara bersama-sama mampu menerangkan variabel dependent. Hal ini ditunjukkan oleh nilai P-Value = 0,000000 yang lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan sebesar 10 persen. Nilai ini menunjukkan bahwa persamaan telah mendukung keabsahan model. Dengan kata lain, pengaruh yang ditimbulkan oleh keseluruhan variabel independent terhadap variabel dependent adalah baik.
89
Uji t menunjukkan bahwa variabel harga impor gula tidak berpengaruh nyata atau tidak signifikan terhadap harga gula di tingkat petani dengan taraf nyata 10 persen sedangkan variabel lainnya berpengaruh nyata atau signifikan terhadap harga gula di tingkat petani dengan taraf nyata 10 persen. Variabelvariabel independent yang berpengaruh nyata dalam persamaan ini adalah harga gula domestik di tingkat eceran, rasio harga gula di tingkat petani terhadap harga dasar gabah, harga pupuk, tingkat inflasi, Dummy kebijakan bebas dan transisi dan Dummy kebijakan proteksi dan promosi. Berdasarkan Tabel 5.10, dapat diketahui bahwa harga gula domestik di tingkat eceran berpengaruh positif terhadap harga gula di tingkat petani dengan koefisien sebesar 0,800646, artinya jika harga gula domestik di tingkat eceran meningkat sebesar satu persen maka akan menyebabkan kenaikan harga gula di tingkat petani sebesar 0,800646 persen, ceteris paribus. Hal ini menunjukkan bahwa keuntungan petani tebu ditentukan oleh harga gula domestik di tingkat eceran karena setiap perubahan pada harga gula domestik di tingkat eceran sebesar satu persen akan menyebabkan perubahan harga gula di tingkat petani sebesar 0,800646 persen. Harga impor gula tidak berpengaruh nyata terhadap harga gula di tingkat petani. Kondisi ini tidak sesuai dengan teori dan konsep yang ada. Hal ini diduga disebabkan karena harga impor gula tidak termasuk dalam perhitungan dalam menentukan harga gula di tingkat petani. Walaupun secara tidak langsung salah satu penentuan harga gula di tingkat petani menggunakan perspektif pasar global. Pendekatan perspektif pasar global ini digunakan agar industri gula Indonesia
90
dapat bersaing pada pasar gula dunia yang kompetitif. Harga gula pada pasar dunia yang kompetitif akan mendekati rata-rata biaya produksi gula dunia. Rasio harga gula di tingkat petani terhadap harga dasar gabah mempunyai pengaruh positif terhadap harga gula di tingkat petani dengan koefisien sebesar 0,541054, artinya kenaikan rasio sebesar satu persen maka akan menyebabkan kenaikan harga gula di tingkat petani sebesar 0,541054 persen, ceteris paribus. Hal ini menunjukkan bahwa harga gula di tingkat petani dapat menciptakan persaingan yang sehat antara tanaman tebu dan padi khususnya di lahan sawah adalah sebesar ratio harga gula di tingkat petani terhadap harga dasar gabah misalnya, 2,4 kali, artinya ketika harga dasar gabah sekitar Rp 1.740/kg maka harga gula di tingkat petani dapat ditetapkan menjadi 2,4 kali harga dasar gabah (Sekretariat Dewan Gula Indonesia, 2006). Harga pupuk mempunyai pengaruh positif terhadap harga gula di tingkat petani dengan koefisien sebesar 0,192260, artinya kenaikan harga pupuk sebesar satu persen maka akan menyebabkan kenaikan harga gula di tingkat petani sebesar 0,192260 persen, ceteris paribus. Hal ini disebabkan karena harga pupuk merupakan salah satu komponen yang mewakili biaya produksi yang menentukan harga gula di tingkat petani. Tingkat inflasi sebagai representasi biaya produksi berpengaruh positif terhadap harga gula di tingkat petani dengan koefisien sebesar 0,003395, artinya jika terjadi kenaikan inflasi sebesar satu persen maka akan menyebabkan kenaikan harga gula di tingkat petani sebesar 0,003395 persen, ceteris paribus. Tingkat inflasi sebagai representasi biaya produksi merupakan indikator dalam
91
perhitungan harga gula di tingkat petani baik yang ditetapkan oleh pemerintah maupun disepakati oleh pelaku bisnis. Tingkat inflasi yang merupakan representasi biaya produksi mempunyai keterkaitan dengan penentuan harga gula di tingkat petani dengan nilai koefisien yang relatif kecil sebesar 0,003 persen. Hal ini disebabkan karena indikator-indikator penentuan harga gula di tingkat petani masih dikendalikan oleh pemerintah dan penyediaan bibit selama ini dilakukan oleh pabrik gula. Menurut Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan dan Lembaga Penelitian IPB (2002), dalam subsistem hulu dari sistem agribisnis gula, agroinput yang paling menentukan adalah penyediaan bibit dan pupuk. Selama ini pemberian subsidi pupuk untuk sektor pertanian telah ditetapkan sejak tahun 1969 melalui Keputusan Presiden RI No. 3 Tahun 1969 tentang kebijaksanaan pengadaaan dan penyaluran pupuk buatan dan obat-obatan pemberantas hama. Walaupun dalam pelaksanaannya terjadi distorsi pada pasar pupuk, dimana petani terikat pada perdagangan pupuk karena membeli pupuk dengan sistem pembayaran setelah panen sehingga harga yang ditetapkan pedagang pupuk lebih besar dari harga seharusnya (Widyastutik, 2005). Namun, petani tebu sendiri selama ini mendapatkan dana penyangga dari pemegang modal dengan perjanjian yang telah disepakati. Menurut wawancara informal secara langsung dengan instansi terkait, adanya dana penyangga tersebut meringankan beban yang ditanggung petani dalam menanam tebu. Terlebih, sejak pemerintah menerapkan kebijakan pupuk Desember 1998 terjadi perbaikan pada distribusi pupuk. Hal ini mengakibatkan tidak ada lagi perbedaan pupuk yang dialokasikan untuk tanaman
92
pangan ataupun tanaman perkebunan. Kondisi ini menunjukkan dibebaskan tataniaga pupuk yang mendorong persaingan lebih sehat antar pelaku bisnis pupuk dan harga pupuk lebih ditentukan oleh mekanisme pasar. Hal ini terlihat dari tersediannya pupuk dalam jumlah yang cukup di tingkat kios-kios (Lini IV) (Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan dan Lembaga Penelitian IPB, 2002). Keadaan ini menunjukkan bahwa seharusnya petani tebu tidak mengalami kesulitan dalam memperoleh pupuk bagi usahatani tebu. Selama ini penyediaan bibit dibebankan kepada pabrik gula sehingga kurangnya keterlibatan petani dalam penyediaan bibit, baik dari proses penyediaan pupuk maupun biaya yang diperlukan dalam penyediaan pupuk tersebut. Terlebih adanya fasilitas pemerintah dalam penyediaan Kredit Ketahanan Pangan (KKP) bagi petani tebu. Kebijakan bebas dan transisi mempunyai pengaruh positif terhadap harga gula di tingkat petani dengan koefisien sebesar 0,163989, artinya ketika kebijakan bebas dan transisi diterapkan maka akan menyebabkan kenaikan harga gula di tingkat petani sebesar 0,163989 kali dibandingkan pada saat penerapan kebijakan monopoli Bulog, ceteris paribus. Kondisi ini
tidak sesuai dengan teori dan
konsep, dimana penerapan periode bebas dan transisi seharusnya berpengaruh negatif terhadap harga gula di tingkat petani. Terlebih hasil analisis menunjukkan bahwa nilai koefisien penerapan kebijakan bebas dan transisi lebih besar dibandingkan koefisien penerapan kebijakan proteksi dan promosi. Hal ini diduga penerapan kebijakan bebas dilakukan dalam waktu singkat sehingga pengaruh kebijakan transisi lebih terlihat jelas pada periode 1999 hingga 2002. Ketidaktepatan pada persamaan ini memerlukan adanya re-estimasi dengan
93
periode transisi yang dimasukan dalam selang waktu yang sama dengan periode proteksi dan promosi menjadi tahun 1999 hingga 2005. Perubahan periode bebas dan transisi tahun 1999 hingga 2002 menjadi periode proteksi dan promosi pada tahun 1999 hingga 2005 menyebabkan perubahan pada dummy dinamika kebijakan pergulaan nasional untuk melihat pengaruh kebijakan terhadap harga gula domestik. Periode proteksi dan promosi tahun 1999 hingga 2005 dilambangkan dengan satu sedangkan periode Bulog tahun 1975 hingga 1998 dilambangkan dengan nol. Keterangan dummy ini dapat dilihat sebagai berikut. Dummy dinamika kebijakan pergulaan: a. 0 = Periode Bulog (1975-1998) b. 1 = Periode proteksi dan promosi (1999-2005) Dengan adanya perubahan dummy ini maka persamaan struktural harga gula domestik juga mengalami perubahan, sebagai berikut. Ln PNEt = a0 + a1 Ln HTPt + a2 Ln HRIGt + a3 Ln IMGt + a4 Ln ERt + a5 Ln PNEt-1 + a6 D1* + e7.......................................(3.9) Ln HTPt
= b0 + b1 Ln PNEt + b2 Ln HRIGt + b3 Ln RRt + b4 Ln HPt + b5 TINt + b6 D1* + e7.............................................................(3.10)
1. Hasil estimasi model struktural harga gula domestik di tingkat eceran a. Uji ekonometrika Pengujian autokorelasi menunjukkan bahwa nilai probabilitas Obs*Squared dari persamaan harga gula domestik di tingkat eceran adalah 0,135401 lebih besar dari taraf nyata yang digunakan sebesar 10 persen (α =
94
10%),
artinya
persamaan
ini
bebas
autokorelasi.
Pengujian
heteroskedastisitas memperlihatkan bahwa nilai probabilitas Obs*Squared dari persamaan harga gula domestik di tingkat eceran adalah 0,269702 lebih besar dari taraf nyata yang digunakan sebesar 10 persen (α = 10%), artinya persamaan ini tidak memiliki masalah heteroskedastisitas. b. Hasil estimasi Perubahan hasil estimasi model dari parameter persamaan harga gula domestik di tingkat eceran dapat dilihat pada Tabel 5.11.
Tabel 5.11. Perubahan Hasil Estimasi Parameter Persamaan Harga Gula Domestik di Tingkat Eceran Variabel
Coefficient
Intersep LNHTP LNHRIG LNIMG LNER LNLAGPNE D1* R-squared Adjusted R-squared
0,682382 0,560131 0,108330 -0,109345 -0,091010 0,442302 0,127799 0,995699 0,994577
t-Statistik 3,245813 6,188010 1,849700 -1,435909 -1,399047 5,471714 2,295086 Durbin-Watson stat Prob(F-statistic)
Probabilitas 0,0056 0,0000 0,0772 0,0670 0,0751 0,0000 0,0312 2,319652 0,000000
Keterangan: Nyata pada taraf nyata 10%(α =10%)
Berdasarkan Tabel 5.11, interpretasi baik pada uji kriteria statistik maupun hasil setiap variabel independent terhadap variabel dependent menunjukkan kesamaan dengan hasil estimasi persamaan harga gula domestik di tingkat eceran sebelumnya. 2. Hasil estimasi model struktural harga gula di tingkat petani a. Uji ekonometrika Pengujian autokorelasi menunjukkan bahwa nilai probabilitas Obs*Squared dari persamaan harga gula di tingkat petani adalah 0,126919
95
lebih besar dari taraf nyata yang digunakan sebesar 10 persen (α = 10%), artinya persamaan ini bebas autokorelasi. Pengujian heteroskedastisitas memperlihatkan bahwa nilai probabilitas Obs*Squared
dari persamaan
harga gula di tingkat petani adalah 0,272602 lebih besar dari taraf nyata yang digunakan sebesar 10 persen (α = 10%), artinya persamaan ini tidak memiliki masalah heteroskedastisitas. b. Hasil estimasi Perubahan hasil estimasi model dari parameter persamaan harga gula di tingkat petani dapat dilihat pada Tabel 5.12.
Tabel 5.12. Perubahan Hasil Estimasi Parameter Persamaan Harga Gula di Tingkat Petani Variabel Intersep LNPNE LNHRIG LNRR LNHP TIN D1* R-squared Adjusted R-squared
Coefficient -0,747258 0,797668 0,003973 0,572628 0,222292 0,003731 0,147078 0,995700 0,994578
t-Statistik -4,494371 11,20921 0,067034 4,814737 2,524682 2,269419 2,269419 Durbin-Watson stat Prob(F-statistic)
Probabilitas 0,0002 0,0000 0,9471 0,0001 0,0189 0,0329 0,0512 1,420142 0,000000
Keterangan: Nyata pada taraf nyata 10%(α =10%)
Berdasarkan Tabel 5.12, interpretasi baik pada uji kriteria statistik maupun hasil setiap variabel independent terhadap variabel dependent menunjukkan kesamaan dengan hasil estimasi persamaan harga gula di tingkat petani sebelumnya. Pada dummy kebijakan pergulaan nasional periode proteksi dan promosi tahun 1999 hingga 2005 menunjukkan pengaruh yang positif terhadap harga gula di tingkat petani dengan koefisien 0,147078, artinya jika pemerintah menerapkan kebijakan proteksi dan promosi maka
96
akan menaikkan harga gula di tingkat petani sebesar 0,147078 kali dibandingkan kebijakan monopoli Bulog. Interpretasi ini menimbulkan dugaan bahwa penerapan periode proteksi dan promosi telah dimulai pada periode transisi meskipun secara bertahap.
5.4. Rekomendasi Kebijakan Harga gula domestik merupakan suatu gambaran proyeksi dari daya saing gula domestik. Hal ini disebabkan karena impor gula masih dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat terhadap gula domestik yang cenderung meningkat. Harga gula domestik dijadikan juga sebagai salah satu faktor yang menentukan keuntungan petani dan pabrik gula serta memperlihatkan reward yang harus dibayar konsumen dalam mengkonsumsi gula domestik. Kondisi ini memberikan suatu pandangan bahwa harga yang berlaku di pasar domestik harus memberikan keuntungan kepada petani tebu dan pabrik gula. Mengingat, industri gula berbasis tebu merupakan salah satu sumber pendapatan petani bagi sekitar 900 ribu petani dengan jumlah tenaga kerja yang terlibat mencapai sekitar 1,3 juta orang (Susila, 2005). Di sisi lain, harga gula domestik ini tetap harus memperhatikan kepentingan konsumen gula yang menjadikan gula sebagai kebutuhan pokok. Kebijakan proteksi dan promosi yang diterapkan pemerintah memberikan konsekuensi adanya disparitas harga gula domestik yang lebih tinggi daripada harga impor gula. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan proteksi dan promosi memberikan insentif yang besar kepada petani tebu dan pabrik gula sehingga dapat menumbuhkan kembali semangat pergulaan nasional yang pernah mengalami kemunduran akibat perdagangan bebas yang diterapkan
97
oleh pemerintah pada tahun 1998. Kondisi ini memperlihatkan bahwa kebijakan proteksi dan promosi yang diberikan pemerintah terhadap industri gula telah mampu mengatasi pengaruh perdagangan global. Mengingat, perubahan respon konsumsi terhadap perubahan harga adalah inelastis. Kebijakan proteksi dan promosi memberikan dampak yang cukup besar dalam kondisi pergulaan nasional yang ditunjukkan oleh luas areal yang meningkat dari 335.724 ha tahun 2003 menjadi 381.785 ha tahun 2005, rendemen cenderung meningkat dari 7,21 persen tahun 2003 menjadi 7,84 persen tahun 2005 dan terjadi peningkatan produktivitas gula dari 4,86 ton/ha tahun 2003 menjadi 6,04 ton/ha tahun 2005. Perkembangan ini dapat dilihat pada Tabel 4.3. Kondisi di atas hanya bertahan pada jangka pendek. Hal ini ditunjukkan oleh laporan bulan September 2006 yang menyatakan bahwa luas areal yang digiling oleh pabrik-pabrik gula mencapai 339.232 ha, produksi tebu 26.614.043 ton dengan rendemen 7,59 persen, hasil hablur mencapai 2.019.802 ton, produktivitas tebu 78,5 ton/ha, dan produktivitas hablur sebesar 5,95 ton/ha (Sekretariat Dewan Gula Indonesia, 2006). Kondisi ini memperlihatkan bahwa telah terjadi penurunan rendemen dan produktivitas gula pada tahun 2006. Oleh karena itu, adanya disparitas harga gula domestik yang lebih tinggi dari harga impor gula dan peningkatan rendemen dan produktivitas yang cenderung bertahan sementara mengindikasikan bahwa kebijakan proteksi dan promosi belum mampu meningkatkan daya saing. Kebijakan proteksi dan promosi ini seharusnya dijadikan pemerintah untuk mempersiapkan industri gula dalam menghadapi persaingan bebas sehingga
98
mendorong industri gula yang kompetitif di masa depan. Jika membandingkan produktivitas tebu Indonesia dengan negara Asia lainnya seperti, Thailand, China, India, Jepang dan Philipina, posisi produktivitas tebu Indonesia masih relatif tinggi dan mendekati USA. Namun, rendemen dan produktivitas gula Indonesia masih menempati posisi terendah. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 5.11.
Tabel 5.13. Perbandingan Rata-rata Produktivitas Tebu, Rendemen dan Produktivitas Gula Negara
Rata-rata Produktivitas Tebu (Ton/ha)
Rata-rata Rendemen (%)
Rata-rata Produktivitas Gula (Ton/ha)
Jepang Thailand China India Philipina Indonesia USA
64,09 56,76 59,16 69,33 60,70 70,13 78,44
11,53 10,97 11,84 10,90 8,26 7,05 11,61
7,41 6,24 7,00 7,56 5,00 4,95 9,11
*) rata-rata dihitung dari tahun 1996/1997 sampai 2002/2003 Sumber: Sekretariat Dewan Ketahanan pangan, 2003 dalam Nainggolan (2005)
Situasi ini menggambarkan bahwa Indonesia masih memiliki peluang yang besar dalam meningkatkan efisiensi industri gula sampai perdagangan bebas diterapkan tahun 2010 dengan kebijakan proteksi dan promosi. Hal ini disebabkan karena negara-negara produsen dan konsumen utama gula dunia juga menerapkan kebijakan proteksi dan promosi yang berlebihan sehingga dapat meningkatkan rendemen dan produktivitas gula sebagai faktor utama penentu daya saing. Dengan demikian, kebijakan proteksi dan promosi yang diterapkan oleh pemerintah merupakan kebijakan yang belum tepat karena dampak positif dari kebijakan proteksi dan promosi bersifat sementara dan menimbulkan disparitas harga gula domestik yang lebih tinggi dari harga impor gula sehingga mencerminkan ketidakmampuan dalam meningkatkan daya saing gula domestik.
99
Oleh karena itu, diperlukan suatu kebijakan yang mendukung kebijakan proteksi dan promosi yang diterapkan oleh pemerintah untuk meningkatkan daya saing sehingga industri gula memiliki kemandirian dan mampu menciptakan keunggulan yang kompetitif pada jangka panjang. Langkah-langkah yang dapat dipertimbangkan oleh pemerintah untuk meningkatkan daya saing gula domestik adalah: 1. Perbaikan
teknik
budidaya
tanaman
sehingga
dapat
meningkatkan
produktivitas dan kualitas tanaman tebu (Sawit, et al., 2003). Langkah ini diterapkan karena selama ini salah satu penyebab dari rendahnya rendemen dan produktivitas gula adalah tanaman tebu yang dihasilkan dari beberapa kali keprasan tanpa melakukan peremajaan tanaman. Padahal, pemerintah memberikan batas keprasan sampai 3 kali agar tidak terjadi penurunan rendemen. Keprasan yang dilakukan petani beberapa kali disebabkan karena pembongkaran tanaman keprasan memerlukan dana yang cukup besar sementara pemerintah menyediakan dana yang terbatas untuk kegiatan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa petani tebu melakukan pembongkaran tanaman keprasan sesuai dengan dana yang disediakan pemerintah, tidak atas dasar tingkat hasil yang diperoleh. Oleh karena itu, diperlukan insentif yang besar bagi petani tebu untuk mendukung kegiatan on-farm melalui sistem perkreditan yang baik dan tepat waktu dengan memberikan akses kemudahan kepada petani atau pabrik gula untuk mendapatkan dana dari lembaga keuangan/investor
sehingga
setelah
kebijakan
proteksi
dan
promosi
dihapuskan maka petani atau pabrik gula dapat bermitra secara langsung
100
dengan lembaga keuangan tersebut. Dengan demikian, langkah ini akan meningkatkan rendemen dan produktivitas sehingga akan meningkatkan juga daya saing gula domestik. 2. Mempertahankan areal pertanaman tebu di Jawa maupun di luar Jawa (Nainggolan, 2005). Langkah ini dapat diterapkan dengan menarik investor baik domestik maupun asing dengan tidak mempersulit prosedur investasi di sektor perkebunan tebu sehingga memberikan kemudahan akses kepada petani dan pabrik gula untuk bermitra dengan investor. Implementasi dari langkah ini juga dapat diterapkan melalui dukungan dana terhadap penelitian yang ditujukan untuk memperoleh varietas tebu yang lebih unggul dan sesuai dengan keadaan lokal, seperti untuk lahan sawah atau lahan kering. Langkah ini tepat karena semakin sempit lahan sawah untuk areal tebu khususnya di Jawa karena adanya persaingan penggunaan lahan yang ketat dengan tanaman lainnya, seperti padi. Hasil penelitian Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan dan Lembaga Penelitian IPB (2002), menyatakan lahan sawah lebih menguntungkan ditanam padi dibandingkan tebu karena dalam satu tahun untuk dua kali tanam padi, petani memperoleh keuntungan sekitar Rp 6 juta sedangkan apabila menanam tebu keuntungan yang didapatnya hanya sebesar Rp 2,504 juta untuk tanaman pertama dan Rp 2,260 juta untuk tanaman ratoon. Oleh karena itu, dengan mempertahankan areal pertanaman tebu di Jawa maupun di luar Jawa akan meningkatkan ketersediaan bahan baku tebu sehingga kapasitas giling pabrik gula dapat terpenuhi yang akhirnya
101
meningkatkan kinerja industri gula. Peningkatan kinerja industri gula berarti mencerminkan peningkatan daya saing. 3. Peningkatan efisiensi pemanenan dan giling sehingga menciptakan kesesuaian antara kapasitas giling dan pasokan (Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan dan Lembaga Penelitian IPB, 2002). Langkah ini dapat dilakukan dengan menyediakan dana di tingkat pabrik gula dengan memberikan akses kemudahan dana dari lembaga keuangan/investor dan perubahan pencairan dana pinjaman (kredit) lebih awal sehingga dapat meningkatkan kepastian lahan sehingga petani mitra tidak menanami lahanya dengan tanaman padi kembali ataupun tanaman lainnya setelah panen padi musim hujan. Kondisi ini akan menciptakan rencana tanam yang tertib sesuai dengan jadwal tebang yang akan dilakukan. Langkah ini perlu karena salah satu faktor yang menentukan kinerja pabrik gula adalah ketersediaan bahan baku dan keteraturan jadwal giling. Oleh karena itu, dengan keteraturan jadwal giling akan meningkatkan kinerja pabrik gula sehingga mencerminkan peningkatan daya saing. 4. Perbaikan kinerja pabrik gula melalui perbaikan peralatan atau merehabilitasi pabrik-pabrik gula yang telah tua, profesionalisme Sumber Daya Manusia dan perluasan areal ke luar Jawa (Nainggolan, 2005). Langkah ini diterapkan melalui kebijakan investasi baik bagi para pengusaha pabrik gula maupun petani tebu dengan memberikan akses kepada petani ataupun pabrik gula bermitra dengan lembaga keuangan/investor dan keringanan pajak impor peralatan pabrik gula. Langkah ini diharapkan akan meningkatkan kinerja
102
pabrik gula sehingga dapat menciptakan efisiensi yang mencerminkan peningkatan daya saing. 5. Menciptakan hubungan kemitraan yang baik antara petani tebu dan pabrik gula melalui pengawasan oleh organisasi petani tebu dalam menjalin kerjasama antara kedua belah pihak mengenai penentuan rendemen di lapang, harga sewa yang adil dan melindungi petani dari tengkulak (Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan dan Lembaga Penelitian IPB, 2002). Mengingat, petani masih menempati posisi yang lemah. Oleh karena itu, langkah ini diharapkan menjadi salah satu cara untuk mengurangi resiko usaha, meningkatkan efisiensi dan daya saing usaha bagi pelaku yang terlibat didalamnya dan menciptakan transparansi mengenai komponen-komponen yang menjadi kesepakatan kedua belah pihak sehingga meningkatkan kepercayaan dalam bermitra. Beberapa langkah di atas diharapkan akan meningkatkan produktivitas gula domestik Indonesia sehingga akan meningkatkan efisiensi industri gula nasional. Dengan peningkatan efisiensi akan menekan biaya produksi yang akan mempengaruhi harga gula di tingkat petani sehingga dapat menjual gula domestik dengan harga yang lebih murah tetapi memberikan keuntungan yang lebih besar. Kondisi ini akan menggambarkan peningkatkan daya saing gula domestik dengan menurunkan harga gula domestik di tingkat eceran. Mengingat, hasil penelitian ini menyatakan bahwa harga gula domestik di tingkat eceran simultan dengan harga gula di tingkat petani. Namun, kemungkinan adanya distorsi pada tingkat pedagang antara yang merupakan aliran distribusi gula domestik dari petani
103
sampai menuju tingkat eceran akan menyebabkan harga gula domestik di tingkat eceran lebih tinggi. Dengan kata lain, adanya distorsi menggambarkan penentuan harga gula domestik di tingkat industri gula lebih murah dengan keuntungan yang diperoleh lebih besar karena adanya peningkatan efesiensi tetapi harga gula domestik di tingkat eceran lebih mahal sehingga tetap menurunkan daya saing gula domestik. Kondisi ini dapat diatasi dengan pengendalian oleh pemerintah di tingkat distributor dan pedagang besar yang merupakan aliran distribusi antara industri gula, yaitu petani tebu dan pabrik gula dengan konsumen. Pengendalian terhadap distributor dan pedagang besar berupa pengawasan terhadap struktur pedagang antara yang memungkinkan adanya tindakan mark-up dalam mempengaruhi harga gula domestik di tingkat eceran. Pengendalian ini diperlukan karena selama ini diduga pemerintah hanya memperhatikan hasil akhir harga gula domestik di tingkat eceran, tidak disertai dengan pengawasan harga di tingkat pedagang antara yang menetapkan harga gula domestik. Bentuk pengendalian pemerintah terhadap pedagang antara membutuhkan penelitian lebih lanjut dengan menganalisa mekanisme distribusi gula sampai ke tingkat eceran dan menganalisa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penetapan harga gula domestik di tingkat pedagang antara. Dengan demikian, adanya pengendalian terhadap distributor dan pedagang besar akan menurunkan harga gula domestik di tingkat eceran yang menggambarkan peningkatan daya saing tanpa menurunkan keuntungan di tingkat petani tebu karena adanya peningkatan produktivitas yang mencerminkan peningkatan efisiensi.
104
Langkah-langkah kebijakan di atas dapat dijadikan sebagai salah satu solusi jika kenaikan harga gula domestik di tingkat eceran lebih tinggi dibandingkan harga impor gula yang menunjukkan penurunan daya saing gula domestik. Kondisi ini tergambar pada industri gula nasional. Mengingat, hasil penelitian ini yang menyatakan bahwa harga gula domestik di tingkat eceran dipengaruhi oleh harga impor gula dan terlebih Indonesia sebagai negara pengimpor gula sehingga mempunyai hubungan keterkaitan dengan harga gula internasional meskipun dengan koefisien transmisi harga yang relatif kecil. Dengan penerapan langkah-langkah di atas diharapkan akan meningkatkan daya saing gula domestik yang diukur melalui peningkatan produktivitas sehingga kenaikan harga impor gula dengan harga domestik di tingkat eceran kurang lebih sama atau bahkan harga gula domestik di tingkat eceran lebih rendah karena adanya peningkatan efisiensi. Langkah-langkah di atas juga dapat dijadikan sebagai solusi untuk mengatasi salah satu penyebab kenaikan harga gula domestik di tingkat eceran yang mengambarkan penurunan daya saing gula domestik akibat adanya penurunan impor gula. Pernyataan ini didasarkan pada hasil penelitian yang menyatakan bahwa impor gula mempunyai pengaruh negatif terhadap harga gula domestik di tingkat eceran, artinya jika impor gula menurun maka akan menyebabkan kenaikan harga gula domestik di tingkat eceran. Di satu sisi, penurunan impor gula memberikan animo yang tinggi terhadap indutri gula, khususnya petani tebu dalam meningkatkan kinerja industri gula. Di sisi lain, kenaikan harga gula domestik di tingkat eceran menunjukkan penurunan daya
105
saing gula domestik. Oleh karena itu, dengan penerapan langkah-langkah di atas dapat meningkatkan daya saing gula domestik yang diukur melalui peningkatan produktivitas yang akhirnya akan menurunkan harga gula domestik di tingkat eceran tanpa menaikkan impor gula. Walaupun suatu saat akan terjadi peningkatan impor gula karena peningkatan konsumsi gula yang terus meningkat ataupun liberalisasi perdagangan yang akan dilaksanakan tahun 2010 tetap tidak menurunkan daya saing gula domestik karena peningkatan produktivitas dan rendemen sudah dimiliki industri gula nasional sehingga mampu bersaing dengan gula impor. Penerapan langkah-langkah di atas diharapkan dapat mengatasi kondisi jika nilai tukar turun atau dollar terapresiasi maka akan menyebabkan kenaikan harga gula domestik di tingkat eceran yang menggambarkan penurunan daya saing gula domestik. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang menyatakan bahwa nilai tukar (nominal exchange rate) mempunyai hubungan negatif terhadap harga gula domestik di tingkat eceran. Kondisi ini memperlihatkan bahwa gula domestik tidak mampu bersaing dengan gula impor akibat menurun nilai tukar. Oleh karena itu, dengan penerapan langkah-langkah di atas akan meningkatkan daya saing gula domestik melalui peningkatan produktivitas sehingga meskipun nilai tukar turun tetap gula domestik mampu bersaing dengan gula impor. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa harga gula domestik di tingkat eceran tahun sebelumnya mempunyai hubungan positif terhadap harga gula domestik di tingkat eceran tahun tertentu. Hal ini memberikan informasi bahwa penerapan langkah-langkah untuk meningkatkan daya saing gula domestik harus
106
dilakukan secara kontinu karena perubahan harga tahun sebelumnya akan menyebabkan perubahan juga terhadap tahun berikutnya. Kebijakan-kebijakan lain yang mendukung kebijakan proteksi dan promosi dalam peningkatan daya saing gula domestik adalah: 1. Perbaikan aspek distribusi gula domestik khususnya pada daerah yang tidak memiliki pabrik gula sehingga tidak terjadi distorsi dalam pasar domestik yang lebih tinggi (Pambudy, et al., 2005). Langkah ini dilakukan dengan cara pengawasan yang ketat terhadap penunjukkan Importir Terdaftar (IT) oleh pemerintah yang diharuskan untuk memasarkan gula impor ke daerah-daerah yang kekurangan gula dan pengawasan pengelolaan jaringan distribusi nasional dari daerah surplus gula ke daerah yang minus gula. 2. Mendorong instansi terkait (Departemen Pertanian) yang terbentuk dalam tim lintas sektoral yang akan mengkaji dan merumuskan konsep pengembangan industri pergulaan yang komperhensif untuk mempersiapkan industri gula yang kompetitif di masa depan. 3. Penegakan dan kepastian hukum bagi pihak-pihak tertentu yang melakukan penyelundupan dengan memberikan sanksi pidana melalui kebijakan ketentuan impor gula yang menjadi Keputusan Presiden (Sekretariat Dewan Gula Indonesia, 2005). 4. Diperlukan kerjasama secara terkoordinasi antar berbagai instansi terkait untuk melaksanakan langkah-langkah di atas sehingga industri gula menciptakan keunggulan yang kompetitif dalam meningkatkan daya saing gula domestik, misalnya penerapan perbaikan teknik budidaya tanaman harus
107
memiliki dukungan dari instansi terkait seperti, kelompok tani yang merubah pola budidaya tanaman atas dasar tingkat hasil yang diperoleh, Menteri Pertanian (dinas perkebunan) dan Menteri Keuangan menfasilitasi kebutuhan dana dengan memberikan akses kemudahan kepada petani dalam menjalin kerjasama dengan lembaga keuangan/investor, Menteri Negara BUMN (PTPN/PG) mengawasi perilaku pabrik-pabrik gula dalam meningkatkan efisiensi pabrik gula, Asosiasi Petani Tebu Rakyat (APTR) mengawasi bentuk perjanjian yang dibuat antara petani tebu dan pabrik gula sehingga menghasilkan kesepakatan yang adil di kedua belah pihak yang saling bermitra,
dan
Dewan
Gula
Indonesia
merumuskan
kebijakan
dan
mengendalikan pelaksanaan kebijakan dalam rangka mempelancar usaha dan kegiatan perbaikan perbaikan teknik budidaya tanaman.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Perkembangan kebijakan pergulaan nasional dapat dibagi dalam tiga periode, pertama periode Bulog tahun 1975 hingga 1998 yang ditandai dengan program Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) dan monopoli Bulog, kedua periode bebas dan transisi tahun 1999 hingga 2002 ditandai dengan membuka pasar impor Indonesia dan melakukan transisi kebijakan dari liberalisasi menjadi proteksionisme secara bertahap, dan ketiga periode kebijakan proteksi dan promosi tahun 2003 hingga 2005 sebagai kebijakan dalam mengatasi pengaruh perdagangan internasional. Penerapan kebijakan pada periode Bulog menunjukkan bahwa sisi negatif lebih banyak daripada sisi positif baik bagi produsen maupun konsumen. Kondisi ini juga digambarkan pada kebijakan yang diterapkan periode bebas dan transisi, dimana sisi negatif lebih banyak dibandingkan sisi positif dari berbagai kebijakan tersebut. Lain halnya dengan kebijakan yang diterapkan pada periode proteksi dan promosi, dimana sisi positif lebih besar dibandingkan sisi negatif tanpa melihat esensi dari sisi negatif kebijakan tersebut. Di satu sisi, kebijakan proteksi dan promosi mampu menyehatkan kondisi pergulaan nasional. Di sisi lain, esensi dari sisi negatif kebijakan yang diterapkan pada periode proteksi dan promosi dampaknya lebih jelas pada jangka panjang, yaitu diduga tidak mampu menciptakan industri gula yang kompetitif dan menimbulkan kenaikan harga gula domestik di tingkat eceran
109
yang
lebih
tinggi dibandingkan
kenaikan
harga
impor gula yang
mencerminkan penurunan daya saing gula domestik. Hasil analisis faktor-faktor yang mempengaruhi harga gula domestik menunjukkan bahwa harga gula domestik di tingkat eceran dipengaruhi secara positif oleh harga gula di tingkat petani, harga impor gula, harga gula di tingkat eceran tahun sebelumnya dan kebijakan proteksi dan promosi sedangkan impor gula dan nilai tukar mempunyai pengaruh negatif terhadap harga gula domestik di tingkat eceran. Hal ini menunjukkan bahwa hasil penelitian ini sesuai dengan teori dan konsep. Harga gula di tingkat petani dipengaruhi secara positif oleh harga gula domestik di tingkat eceran, rasio harga gula di tingkat petani terhadap harga dasar gabah, harga pupuk, tingkat inflasi, kebijakan proteksi dan promosi sedangkan harga impor gula tidak berpengaruh nyata. Hasil analisis ini juga menunjukkan bahwa kebijakan bebas dan transisi berpengaruh positif terhadap harga gula di tingkat petani. Hal ini tidak sesuai dengan teori dan konsep, dimana penerapan kebijakan bebas dan transisi seharusnya berpengaruh negatif terhadap harga gula di tingkat petani. Oleh karena itu, timbul ketidaktepatan pada persamaan dalam penelitian ini sehingga diperlukan re-estimasi dengan perubahan pada Dummy dinamika kebijakan pergulaan nasional, dimana periode transisi dimasukan dalam selang waktu yang sama dengan periode proteksi dan promosi menjadi 1999 hingga 2005. Ketiga analisis ini menunjukkan bahwa kebijakan proteksi dan promosi mampu menyehatkan kondisi pergulaan nasional. Namun, adanya kenaikan
110
harga gula domestik di tingkat eceran yang lebih tinggi dari harga impor gula menunjukkan gejala penurunan daya saing sehingga kebijakan ini belum mampu meningkatkan daya saing gula domestik. Oleh karena itu, kebijakan proteksi dan promosi harus didukung dengan kebijakan lain untuk meningkatkan daya saing gula.
6.2. Saran Saran yang dapat direkomendasikan kepada pihak-pihak terkait adalah peningkatan daya saing industri gula dalam mempersiapkan industri gula yang kompetitif di masa yang akan datang harus didukung dengan berbagai kebijakan yang komperhensif dari subsistem hulu sampai hilir antara lain kebijakan yang memberikan kemudahan akses kepada industri gula nasional dalam melakukan mitra dengan lembaga keuangan/investor dan menerapkan kebijakan investasi baik di subsistem hulu sampai hilir. Saran untuk penelitian selanjutnya adalah menganalisa sejauhmana kinerja industri gula mampu menjadi industri gula yang kompetitif di masa yang akan datang sehingga dapat dijadikan suatu gambaran, apakah industri gula siap menghadapi perdagangan bebas di masa yang akan datang dan menganalisa mekanisme distribusi gula sampai ke tingkat eceran serta faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penetapan harga gula domestik di tingkat pedagang antara sehingga diharapkan peningkatan efisiensi terjadi pada seluruh subsistem.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Z. 2000. Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Keragaan Industri Gula Indonesia: Suatu Analisis Kebijakan [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Arianto, M. 2003. Peranan Industri Gula Dalam Perekonomian Nasional Dengan Pendekatan Model Input-Output [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Balai
Penyelidikan Perusahaan Perkebunan Gula. 1981. Temu Karya Pembangunan Industri Gula. Lembaga Pendidikan Perkebunan, Jakarta.
Ball, D dan Wendell H. McCulloch. 2000. Bisnis Internasional. Salemba Empat, Jakarta. Direktorat Bina Pasar dan Distribusi. 2005. Statistika Harga Barang Kebutuhan Pokok Masyarakat dan Barang Kebutuhan Lainnya Di Kota 8 Kota Besar Tahun 2000-2004. Departemen Perdagangan, Jakarta. Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan dan Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor. 2002. Studi Pengembangan Sistem Industri Pergulaan Nasional. Jakarta. _________. 2002. Studi Pengembangan Agribisnis Pergulaan Nasional. Jakarta. Fahmi, I. 2006. Reformasi Regulasi Pembangunan Industri]. Bogor.
[Transparansi
Kuliah
Kebijakan
Fitriadi, H. 2000. Perkembangan dan Prospek Konsumsi Gula Pasir di Indonesia [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Gujarati, D. 1995. Ekonometrika Dasar. Zain dan Sumarno [Penerjemah]. Erlangga, Jakarta. Gumaa, Y. J. 1991. “The World Sugar Price: An Econometrics Analysis of Longterm Development”. Eastern Africa Economic Review, Vol. 7, No. 2: 51-68 Hadi, P. U dan S Nuryanti. 2005. “Dampak Kebijakan Proteksi Terhadap Ekonomi Gula Indonesia”. Jurnal Agro Ekonomi, Vol. 23, No. 1: 82-99. Hafsah, M. J. 2002. Bisnis Gula di Indonesia. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
112
Juanda, B. 2006. Penerapan Analisis Regresi Dalam Dunia Ekonomi [Transparansi Kuliah Ekonometrika]. Bogor. Koutsoyiannis. 1977. Theory of Econometrics. Harper & Row Publisher, Inc. New York. Krugman, P. R dan M Obstfeld. 2003. Ekonomi Internasional Teori dan Kebijakan. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Lipsey. 1993. Pengantar Mikroekonomi Jilid Satu Edisi Kesepuluh. Wasana, Jaka dan Kirbrandoko [Penerjemah]. Binarupa Aksara, Jakarta. Mahardhika, P. Y. 2004. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi dan Impor Gula di Indonesia [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Malian, A. H. 2004. “Kebijakan Perdagangan Internasional Komoditas Pertanian Indonesia”. Analisis Kebijakan Pertanian, Vol.2, No.2:135-154. Mubyarto. 1984. Masalah Industri Gula di Indonesia. BPFE. Yogyakarta. Nainggolan, A. T. 2006. Analisis Dampak Impor Gula Terhadap Harga Gula Domestik dan Industri Gula Indonesia [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Nainggolan, K. 2005. “Kebijakan Gula Nasional dan Persaingan Global”. Agrimedia, Vol.10, No.2:52-65. Nicholson, W. 1985. Teori Ekonomi Mikro Prinsip Dasar dan Pengembangan Edisi Kedua. Deliarnov [Penerjemah]. Erlangga, Jakarta. Pakpahan, A. 2000. Membangun Kembali Industri Gula Nasional. Direktorat Jenderal Perkebunan. Jakarta. Pambudy, R., S. Mardianto, N. Pribadi, T. E. H. Basuki dan A. Suryana. 2004. Ekonomi Gula: 11 Pemain Utama Dunia-Kajian Komparasi dan Perspektif Indonesia. Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan. Jakarta. Pambudy, R., S. Mardianto dan N. Syafa’at. 2005. “Kebijakan Proteksi dan Promosi Agribisnis Gula Dunia dan Prospek Pengembangannya di Indonesia”. Agro-Ekonomika, No. 1: 49-72. Pindyck, R. S. dan D. L. Rubinfeld. 1991. Econometric Model and Economic Forecasts. McGraw-Hill, Inc. Singapore.
113
Samuelson, P. A and W. D. Nordhaus. 1992. “Economics”. Fourteenth Edition, p398-3999, 663. McGraw Hill, Inc. New York. Salvatore, D. 1997. Ekonomi Internasional. Erlangga, Jakarta. Sawit, M. H, Erwidodo, T. Kuntohartono dan H. Siregar., Penyehatan dan Penyelamatan Industri Gula Nasional. Analisis Kebijakan Pertanian, Vol. 1, No. 3: 192-209. Sekretariat Dewan Gula Indonesia. 2005. Bunga Rampai Peraturan Pergulaan Indonesia. Departemen Pertanian, Jakarta. ________. 2005. Perkembangan Industri Gula Indonesia dan Kebijakannya. Departemen Pertanian, Jakarta. ________. 2006. Informasi Singkat Pelaku Industri Gula Indonesia. Departemen Pertanian, Jakarta. ________. 2006. Laporan Bulan September 2006. Departemen Pertanian, Jakarta. ________. 2006. Perkembangan Harga Gula Dunia London Daily Price (No. 5 FOB Europe) White Sugar US $ Per Tonne. Jakarta. Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan. 2003. Ekonomi Gula 11 Negara Pemain Utama Dunia. Departemen Pertanian, Jakarta. Siagian, V. 1999. Analisis Efisiensi Biaya Produksi Gula di Indonesia: Pendekatan Fungsi Biaya Multi-Input Multi-Output [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Sudana, W., P. Simatupang, S. Friyatno, Ch. Muslim dan T. Sulistyo. 2000. Dampak Deregulasi Industri Gula Terhadap Realokasi Sumberdaya, Produksi Pangan dan Pendapatan Petani [Laporan Hasil Penelitian]. Bogor: Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Suparno. 2004. Analisis Dampak Kebijakan Tataniaga Gula Terhadap Kesejahteraan Petani Tebu di Indonesia (Simulasi Kebijakan Beras dan Pasca Liberalisasi Perdagangan Gula) [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Susila, W. Reda. 2005. “Dinamika Impor Gula Indonesia: Sebuah Analisis Kebijakan”. Agrimedia, Vol.10, No.1:1-15. _________. 2005. Pengembangan Industri Gula Indonesia: Analisis Kebijakan dan Keterpaduan Sistem Produksi [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
114
Sutji, T. S. 1996. “Sistem Penentuan Mutu Gula Produksi Dalam Negeri”. Gula Indonesia, Vol. XXI/2:18-21. USDA. 2006. “Konsumsi, Pangsa, dan Pertumbuhan Konsumsi Gula dari Negara Konsumen Utama, 2003-2005”. www.republika.co.id. [10 Oktober 2006]. Utami, S dan Sumarno. 1996. “Peranan Bahan Baku Untuk Menghasilkan Gula Mutu Tinggi”. Gula Indonesia, Vol. XXI/2:22-25. Widowati, B. 2003. Analisis Pengaruh Tarif Impor Gula Terhadap Industri Gula Indonesia [Skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor. Widyastutik. 2005. Mungkinkah Indonesia Mencapai Swasembada Gula Secara Berkelanjutan? [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Wiryastuti. 2002. Strategi Peningkatan Daya Saing Industri Gula di Jawa. Skripsi. Jurusan Teknik Industri Pertanian [Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknik Pertanian Institut Pertanian Bogor. Wiwiek, R. 2006. Kemampuan Industri Nasional [Transparansi Kuliah Kebijakan Pembangunan]. Bogor. Yusdja, Y. 2004. “Tinjauan Teori Perdagangan Internasional dan Keunggulan Kooperatif”. Forum Penelitian Agroekonomi, Vol. 22, No.2:126-141.
115
Lampiran 1. Lama Hari Giling dan Kapasitas Giling, 2005/2006 No 1.
2.
3.
4.
3.
4.
Perusahaan Gula/Pabrik Gula Perusahaan BUMN (Jawa) PT. PG Rajawali II 1. PG Sindang Laut 2. PG Karangsuwung 3. PG Tersana baru 4. PG Jatitujuh 5. PG Subang PTP Nusantara IX (Persero) 1. PG Gondang Baru 2. PG Jatibarang 3. PG Mojo 4. PG Pangka 5. PG Rendeng 6. PG Sragi 8. PG Sumberharjo 7. PG Tasikmadu PTP Nusantara X (Persero) 1. PG Kremboong 2. PG Lestari 3. PG Merican 4. PG Tulungan PTP Nusantara XI (Persero) 1. PG Gending 2. PG Kanigoro 3. PG Olean 4. PG Pagotan 5. PG Pajarakan 6. PG Pandjie 7. PG Poerwodadi 8. PG Rejosari 9. PG Wonolangan 10.PG Wringinanom
PTP Nusantara X (Persero) 1. PG Kremboong 2. PG Lestari 3. PG Merican 4. PG Tulungan PTP Nusantara XI (Persero) 1. PG Gending 2. PG Kanigoro 3. PG Olean 4. PG Pagotan 5. PG Pajarakan 6. PG Pandjie 7. PG Poerwodadi 8. PG Rejosari 9. PG Wonolangan 10.PG Wringinanom
Lama hari Giling
Kapasitas Giling
139 128 136 139 128
1.900 1.450 di atas 2.000 di atas 2.000 di atas 2.000
119 119 119 149 148 131 di atas 150 115
1.330 1.800 di atas 2.000 1.660 di atas 2.000 di atas 2.000 1.800 di atas 2.000
di atas 150 132 133 di atas 150
1.550 di atas 2.000 di atas 2.000 1.360
di atas 150 di atas 150 di atas 150 144 di atas 150 141 di atas 150 di atas 150 di atas 150 di atas 150
1.307 1.559 874 di atas 2.000 1.160 1.588 1.850 1.796 1.261 1.022
di atas 150 132 133 di atas 150
1.550 di atas 2.000 di atas 2.000 1.360
di atas 150 di atas 150 di atas 150 144 di atas 150 141 di atas 150 di atas 150 di atas 150 di atas 150
1.307 1.559 874 di atas 2.000 1.160 1.588 1.850 1.796 1.261 1.022
116
5.
PT. PG Rajawali I 1. PG Rejogadung Perusahaan Swasta (Jawa dan Luar Jawa PT. PG Madu Baru 1. PG Madukismo PT. Kebon Agung 1. PG Kebon Agung 2. PG Trangkil PT. Gunung Madu Plantation 1. PG Gunung Madu Plantation PT Gula Putih Mataram 1. PG Gula Putih Mataram PT. Sweet Indolampung 1. PG Sweet Indolampung PT. Indolampung Perkasa 1. PG Indolampung Perkasa
1. 2.
3. 4. 5. 6.
7.
PT. PG Gorontalo 1. PG Gorontalo
139
di atas 2.000
170 184 175
5.800 3.800
173
11.800
174
10.900
183
9.000
183
9.000
174
5.000
Sumber: Sekretariat Dewan Gula Indonesia, 2006 Lampiran 2. Uji Stasioneritas Data Uji Stasioneritas Data •
In First Difference
1. LnPNE (Logaritma harga gula domestik di tingkat eceran) t-Statistic Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
-6.346109 -4.309824 -3.574244 -3.221728
2. LnHTP (Logaritma harga gula di tingkat petani) t-Statistic Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
-4.045297 -4.374307 -3.603202 -3.238054
3. LnHRIG (Logaritma harga impor gula) t-Statistic Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
-5.248989 -4.323979 -3.580623 -3.225334
117
4. LnIMG (Logaritma impor gula) t-Statistic Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
-4.759586 -4.309824 -3.574244 -3.221728
5. LnER (Logaritma nilai tukar) t-Statistic Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
-4.743255 -4.309824 -3.574244 -3.221728
6. LnLagPNE (Logaritma harga gula domestik di tingkat eceran tahun sebelumnya) t-Statistic Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
-5.988304 -4.323979 -3.580623 -3.225334
7. LnHP (Logaritma harga pupuk) t-Statistic Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
-5.003842 -4.309824 -3.574244 -3.221728
8. LnRR (Logaritma ratio antara harga gula di tingkat petani terhadap harga dasar gabah) t-Statistic Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
-3.803544 -4.356068 -3.595026 -3.233456
9. TIN (Tingkat Inflasi) t-Statistic Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
-6.747900 -4.323979 -3.580623 -3.225334
118
Lampiran 3. Hasil Estimasi Untuk Mencari Persamaan Harga Gula Domestik di Tingkat Eceran Dependent Variable: LNPNE Method: Two-Stage Least Squares Date: 02/25/07 Time: 13:22 Sample(adjusted): 1976 2005 Included observations: 30 after adjusting endpoints Instrument list: LNHTP LNHRIG LNIMG LNER LNLAGPNE D2 Variable C LNHTP LNHRIG LNIMG LNER LNLAGPNE D2 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
Coefficient
Std. Error
0.656260 0.522736 0.100934 -0.074934 -0.051890 0.437467 0.041941 0.994734 0.993360 0.077542 724.0916 0.000000
t-Statistic
0.205222 0.103404 0.062084 0.014076 0.077937 0.086997 0.057212 Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
Prob.
3.197805 5.055291 1.780178 -1.650502 -1.579028 5.028510 1.338070
0.0040 0.0000 0.0883 0.0952 0.0992 0.0000 0.1001 6.950865 0.951609 0.138294 2.398121
Lampiran 4. Uji Heteroskedasitas White Heteroskedasticity Test: F-statistic Obs*R-squared
3.780720 28.06361
Probability Probability
0.052117 0.213386
Lampiran 5. Uji Autokorelasi Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: Obs*R-squared
1.698630
Probability
0.192467
Lampiran 6. Uji Multikolinearitas C
LNHTP LNHRIG LNLAGPNE LNIMG LNER
C 0.042116 0.005614 0.003933 LNHTP 0.005614 0.010692 -0.002348 LNHRIG 0.003933 -0.002348 0.003854 LNLAGPNE -0.006854 -0.006385 0.001228 LNIMG -0.002139 -0.000112 -0.000185 LNER -0.003851 -0.002037 -0.002477 D2 0.003911 -0.000843 0.000123
-0.006854 -0.006385 0.001228 0.007569 0.000292 -0.001893 -0.000557
-0.002139 -0.000112 -0.000185 0.000292 0.000198 -6.44E-05 -0.000136
D2
-0.003851 0.003911 -0.002037 -0.000843 -0.002477 0.000123 -0.001893 -0.000557 -6.44E-05 -0.000136 0.006074 0.000792 0.000792 0.003273
119
Lampiran 7. Hasil Estimasi Untuk Mencari Persamaan Harga Gula di Tingkat Petani Dependent Variable: LNHTP Method: Two-Stage Least Squares Date: 03/04/07 Time: 20:32 Sample(adjusted): 1976 2005 Included observations: 30 after adjusting endpoints Instrument list: LNPNE LNHRIG LNHP LNRR TIN D1 D2 Variable
Coefficient Std. Error
C LNPNE LNHRIG LNRR LNHP TIN D1 D2 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
-0.723979 0.800646 0.027012 0.541054 0.192260 0.003395 0.163989 0.144340 0.995760 0.994411 0.075353 738.0450 0.000000
t-Statistic
Prob.
0.172730 -4.191395 0.079539 10.06613 0.056503 0.478063 0.132492 4.083669 0.100729 1.908682 0.001733 1.959557 0.085456 1.918987 0.076180 1.894727 Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
0.0004 0.0000 0.6373 0.0005 0.0694 0.0628 0.0681 0.0713 6.557889 1.007898 0.124919 1.424252
Lampiran 8. Uji Heteroskedasitas White Heteroskedasticity Test: F-statistic Obs*R-squared
7.821560 25.39955
Probability Probability
0.000093 0.113039
Lampiran 9. Uji Autokorelasi Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: Obs*R-squared
29.28878
Probability
0.107239
Lampiran 10. Uji Multikolinearitas C C LNPNE LNHRIG LNRR LNHP TIN D1 D2
0.029836 -0.000468 0.002739 -0.010953 -0.006745 -1.98E-05 0.007620 0.007072
LNPNE LNHRIG -0.000468 0.006326 -0.001154 -0.006374 -0.005851 6.22E-06 0.003461 0.000996
0.002739 -0.001154 0.003193 -0.002290 -0.002367 -4.05E-05 0.000480 0.000438
LNRR -0.010953 -0.006374 -0.002290 0.017554 0.010330 5.03E-05 -0.004521 -0.001239
LNHP
TIN
D1
D2
-0.006745 -1.98E-05 0.007620 0.007072 -0.005851 6.22E-06 0.003461 0.000996 -0.002367 -4.05E-05 0.000480 0.000438 0.010330 5.03E-05 -0.004521 -0.001239 0.010146 2.88E-05 -0.006038 -0.003179 2.88E-05 3.00E-06 2.04E-05 2.74E-05 -0.006038 2.04E-05 0.007303 0.004371 -0.003179 2.74E-05 0.004371 0.005803
120
Lampiran 11. Uji Rank Condition Uji Rank Condition Model Struktural Harga Gula Domestik Di Tingkat Eceran Ln Ln Ln Ln Ln Ln D1 D2 Ln PNE HTP HRIG IMG ER LagPNE RR a2 a3 a4 a5 0 a6 0 1 a1 I -1 -b2 0 0 0 -b6 -b7 -b3 -b1 II Kemungkinan matriks A yang terbentuk: A1 = [-b6]; A2 = [-b7]; A3 = [-b3]; A4 = [-b4]; A5 = [-b5]
Ln HP 0 -b4
Ln TIN 0 -b5
Uji Rank Condition Model Struktural Harga Gula Domestik Di Tingkat Petani Ln Ln Ln Ln Ln PNE HTP HRIG IMG ER -a2 -a3 -a4 -1 -a1 I 1 b2 0 0 b1 II Kemungkinan matriks A yang terbentuk: A6 = [-a3]; A7 = [-a4]; A8 = [-a5]
Ln LagPNE -a5 0
D1
D2
0 b6
-a6 b7
Ln RR 0 b3
Ln HP 0 b4
Lampiran 12. Perubahan Hasil Estimasi Untuk Mencari Persamaan Harga Gula Domestik di Tingkat Eceran Dependent Variable: LNPNE Method: Two-Stage Least Squares Date: 04/18/07 Time: 22:06 Sample(adjusted): 1976 2005 Included observations: 30 after adjusting endpoints Instrument list: LNHTP LNHRIG LNIMG LNER LNLAGPNE D1 Variable C LNHTP LNHRIG LNIMG LNER LNLAGPNE D1* R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
0.682382 0.560131 0.108330 -0.109345 -0.091010 0.442302 0.127799 0.995699 0.994577 0.070079 887.3942 0.000000
0.311582 3.245813 0.090519 6.188010 0.058566 1.849700 0.021439 -1.435909 0.072199 -1.399047 0.080834 5.471714 0.055684 2.295086 Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
0.0056 0.0000 0.0772 0.0670 0.0751 0.0000 0.0312 6.950865 0.951609 0.112954 2.319652
Ln TIN 0 b5
121
Lampiran 13. Uji Heteroskedasitas White Heteroskedasticity Test: F-statistic Obs*R-squared
68.63481 29.94965
Probability Probability
0.002464 0.269702
Lampiran 14. Uji Autokorelasi Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: Obs*R-squared
2.229460
Probability
0.135401
Lampiran 15. Perubahan Hasil Estimasi Untuk Mencari Persamaan Harga Gula di Tingkat Petani Dependent Variable: LNHTP Method: Two-Stage Least Squares Date: 04/18/07 Time: 20:49 Sample(adjusted): 1976 2005 Included observations: 30 after adjusting endpoints Instrument list: LNPNE LNHRIG LNRR LNHP TIN D1* Variable C LNPNE LNHRIG LNRR LNHP TIN D1* R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
Coefficient
Std. Error t-Statistic
-0.747258 0.797668 0.003973 0.572628 0.222292 0.003731 0.147078 0.995700 0.994578 0.074214 887.6497 0.000000
0.166265 -4.494371 0.071162 11.20921 0.059270 0.067034 0.118932 4.814737 0.088048 2.524682 0.001644 2.269419 0.071504 2.269419 Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
Prob. 0.0002 0.0000 0.9471 0.0001 0.0189 0.0329 0.0512 6.557889 1.007898 0.126676 1.420142
Lampiran 16. Uji Heteroskedasitas White Heteroskedasticity Test: F-statistic Obs*R-squared
28.79150 29.88025
Probability Probability
Lampiran 17. Uji Autokorelasi Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: Obs*R-squared
28.48522
Probability
0.126919
0.008887 0.272602