ANALISIS EFISIENSI RANTAI PASOKAN KOMODITAS BAWANG MERAH (Studi Kasus Di Kotamadya Bogor)
Oleh NOVIANTI PRIHATININGSIH F34102091
2007 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Novianti Prihatiningsih. F34102091. Analisis Efisiensi Rantai Pasokan Komoditas Bawang Merah (Studi Kasus Di Kota Bogor). Di bawah Bimbingan : Sukardi. 2007 RINGKASAN Bawang merah merupakan salah satu dari sebelas komoditas unggulan yang diprioritaskan dalam rencana pembangunan pengolahan dan pemasaran hasil pertanian periode 2005-2009. Rencana pengembangan agribisnis bawang merah salah satunya ditekankan pada penanganan pasca panen dan pengolahan bawang merah untuk meningkatkan nilai tambah. Pendirian industri berbasis komoditas bawang merah memiliki prospek yang cukup tinggi mengingat komoditas sayuran ini termasuk ke dalam kelompok rempah tidak bersubtitusi dan bersifat mudah rusak. Pemenuhan kebutuhan bawang merah di Kota Bogor tidak dapat dipenuhi secara mandiri sehingga memerlukan pasokan dari daerah lain. Pertimbangan yang cermat dari segi keefisienan pasokan diperlukan untuk mengembangkan industri berbasis bawang merah di Kota Bogor. Analisis efisiensi rantai pasokan komoditas bawang merah di Kota Bogor diharapkan dapat memberikan gambaran ketersediaan pasokan bawang merah sebagai pertimbangan pengelolaan supply chain bagi industri pengolahan bawang merah dan dapat dijadikan pertimbangan bagi pihak pengelola pasar untuk mengadakan sistem pemasokan yang lebih efisien. Penelitian ini bertujuan untuk (1) menganalisis pengelolaan rantai pasokan (Supply Chain) komoditas bawang merah yang beredar di Kota Bogor dan (2) menganalisis efisiensi rantai pasokan komoditas bawang merah di Kota Bogor. Anggota primer rantai pasokan bawang merah di Kota Bogor terdiri dari pengirim, pedagang besar, pedagang pengecer dan konsumen termasuk industri, sedangkan anggota sekundernya terdiri dari lembaga pengangkutan yang bergerak di bidang jasa transportasi, produsen kemasan, buruh angkut, dan penyedia mesin pengiris bawang. Pasokan bawang merah di Kota Bogor berasal dari beberapa daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang sangat tergantung pada musim. Daerah yang secara rutin memasok bawang merah adalah Brebes. Pasokan bawang merah diperoleh melalui dua cara, yaitu dikirim langsung oleh pengirim ke pedagang besar Kota Bogor dan dibeli langsung oleh pedagang besar Kota Bogor dari grosir di Pasar Induk Cibitung, Bekasi. Pedagang besar menjual bawang merah kepada para pedagang pengecer yang kemudian disalurkan kepada konsumen. Terdapat 16 saluran pemasaran bawang merah di Kota Bogor. Saluran pemasaran ke-1 adalah saluran yang paling efisien diantara saluran lainnya. Hal ini terjadi karena saluran pemasaran pertama memiliki marjin pemasaran yang paling rendah dibandingkan saluran pemasaran lainnya yaitu sebesar Rp 1.800,00. Saluran pemasaran 1 terdiri dari pengirim, pedagang besar di Pasar Induk Kemang dan pedagang pengecer di Pasar Baru Bogor. Model transshipment menghasilkan alokasi bawang merah yang meminimalkan biaya pasokan bawang merah ke pasar-pasar di Kota Bogor. Biaya pasokan minimal diperoleh jika pedagang besar Pasar Induk Kemang mendapat
pasokan bawang merah dari pengirim (687,5 ton), pedagang besar Pasar Baru Bogor mendapat pasokan bawang merah dari grosir Pasar Induk Cibitung (137,5 ton), pengecer Pasar Baru Bogor mendapat pasokan bawang merah dari pedagang besar Pasar Baru Bogor (104 ton). Pasar Sukasari dan Pasar Gunung Batu memperoleh pasokan bawang merah dari pedagang besar Pasar Induk Kemang dengan jumlah secara berurutan sebesar 6 ton dan 4,5 ton. Pemasokan bawang merah dengan alokasi tersebut akan lebih efisien karena akan mengurangi biaya pasokan sebesar Rp 22.357.000,00 per bulan.
Novianti Prihatiningsih. F34102091. An Analysis of Supply Chain Efficiency of Shallot Commodity (Case Study in Bogor Regency, Indonesia). Supervised by Sukardi. 2007
SUMMARY Shallot is one of the eleven main comodities that is priorited in agriculture crops processing and marketing development plan for 2005 – 2009 period. One focus of shallot agroindustry development plan is on shallot post harvest handling and processing to increase it’s added value. The development of shallot based industry has high prospect considering this vegetable commodity is included in group of insubstitute and perishable spices. Demand of shallot in Bogor is fulfilled from several regions. An accurate consideration of supply chain efficiency is needed to develop shallot based industries in Bogor. The efficiency analysis to supply chains of shallot commodity in Bogor can give some informations necessary for shallot industries. This research is expected to help the markets managers to implement more efficient supply chain. This research is intended to : (1) analyze the management of supply chain of shallot in Bogor and (2) analyze the efficiency of shallot supply chain of shallot in Bogor. The primary members of supply chain in Bogor are : supplier, wholesalers, retailers, and consumers including industries. The secondary members are : transportation service companies, the packaging producers, labours and the shallot slicer machine suppliers. Supply of shallot in Bogor comes from Central Java and East Java that’s depend on the climate. Brebes supplies shallots to Bogor regularly. Shallot are supplied to traditional markets in Bogor in two ways, which are : direct delivery by suppliers to wholesalers in Bogor and directly bought by wholesaler in Bogor from grocers at Pasar Induk Cibitung, Bekasi. The wholesalers sell the shallot to retailers who then distribute the shallots to consumers. Supply chain efficiency can be measured by the marketing efficiency approach. Specificly, marketing efficiency value could be gain by marketing margin calculation. There are 16 shallot supply channel in Bogor. Marketing channel No. 1 is the most efficient channel among the other channels, because it’s have marketing marjin is lowest to be compared to other marketing channel that is equal to Rp 1.800,00. This supply channel consist of supplier, wholesaler at Pasar Induk Kemang, and retailer from Pasar Baru Bogor. Transshipment model result is shallot allocation that minimize the shallot supply cost to traditional markets in Bogor. The calculation results that minimum cost can be obtained if the wholesalers in Pasar Induk Kemang receive delivery from supplier as much as 687,5 tons, wholesalers in Pasar baru Bogor buy shallot from grocers at Pasar Induk Cibitung as much as 137,5 tons per month, retailers in Pasar Baru Bogor buy shallot directly from wholesalers at Pasar Baru Bogor, and the retailer Pasar Sukasari and Pasar Gunung Batu buy shallot from Pasar Induk Kemang. With such allocation, the current cost can be reduced by Rp 22.357.000,00 per month.
ANALISIS EFISIENSI RANTAI PASOKAN KOMODITAS BAWANG MERAH (Studi Kasus Di Kotamadya Bogor)
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh NOVIANTI PRIHATININGSIH F34102091
2007 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
ANALISIS EFISIENSI RANTAI PASOKAN KOMODITAS BAWANG MERAH (Studi Kasus Di Kotamadya Bogor)
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : Novianti Prihatiningsih F34102091 Dilahirkan pada tanggal 22 November 1983 Di Bogor
Tanggal lulus : Disetujui, Bogor, 18 April 2007
Dr. Ir. Sukardi, MM Dosen Pembimbing
SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang berjudul “Analisis Efisiensi Rantai Pasokan Komoditas Bawang Merah (Studi Kasus Di Kotamadya Bogor)” adalah hasil karya asli saya sendiri, dengan arahan dosen pembimbing akademik, kecuali yang dengan jelas ditujukan rujukannya.
Bogor, April 2007 Yang Membuat Pernyataan,
Novianti Prihatiningsih F34102091
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 22 November 1983 dari pasangan M. Sarwanto dan Ngatidjah. Penulis adalah anak terakhir dari empat bersaudara. Pada tahun 1989 penulis masuk Taman Kanak-Kanak Perisna dan lulus pada tahun 1990, kemudian melanjutkan ke SD Negeri Telukpinang 1 Ciawi dan lulus pada tahun 1996. Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan ke SLTP Negeri 2 Ciawi dan lulus tahun 1999. Tahun 1999 penulis melanjutkan pendidikan ke SMU Negeri 3 Bogor dan lulus tahun 2002. Tahun 2002 penulis diterima di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis melaksanakan Praktek Lapangan di PT Indolakto, Sukabumi pada tahun 2005.
Sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar sarjana, penulis menyusun skripsi yang berjudul Analisis Efisiensi Rantai Pasokan Komoditas Bawang Merah (Studi Kasus Di Kotamadya Bogor).
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi yang berjudul “Analisis Efisiensi Rantai Pasokan Komoditas Bawang Merah (Studi Kasus Di Kotamadya Bogor)”. Skripsi ini adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Teknologi Industri Pertanian. Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis telah mendapatkan banyak bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segala ketulusan dan kerendahan hati penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada : 1. Dr. Ir. Sukardi, MM selaku dosen pembimbing akademik atas bimbingan dan arahan yang telah diberikan selama penulis menjadi mahasiswa S1 serta dalam penelitian. 2. Dr. Ir. Yandra Arkeman M. Eng dan Ir. Indah Yuliasih, MSi atas kesediaannya menjadi penguji serta atas arahan dan bimbingannya. 3. Pihak Kantor Kesbang-Linmas dan Dinas Perindagkop Kotamadya Bogor, para staf Unit Pengelola Teknis Dinas Pasar Baru Bogor, Pasar Warung Jambu, Pasar Kebon Kembang, Pasar Merdeka, Pasar Sukasari, Pasar Gunung Batu, Pasar Padasuka, Pasar Induk Kemang, serta para pedagang bawang merah atas kesediannya untuk membantu penulis dalam pelaksanaan penelitian. 4. Kedua orangtua, kakak-kakak, keponakan-keponakan serta keluarga besar atas doa, dorongan dan semangat yang diberikan kepada penulis selama menempuh kuliah dan menyelesaikan penelitian. 5. Sahabat-sahabat penulis (Hani, Diny, Fery, Tantri, Okie, Dodot) atas doa, dukungan dan kebersamaanya. 6. Teman-teman sebimbingan (Euis, Asep, Mbak Wati dan Mas Rio) atas bantuan dan kebersamaannya. 7. Seluruh mahasiswa TIN 39 dan semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungannya selama penulis menyelesaikan kuliah dan penulisan skripsi yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
i
Semoga Allah SWT memberikan balasan atas semua bantuan dan dorongan yang telah diberikan. Penulis sangat menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna sehingga penulis sangat terbuka terhadap saran dan kritik yang bersifat membangun. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
Bogor, April 2007 Penulis
ii
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ...................................................................................... DAFTAR TABEL ............................................................................................. DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ DAFTAR LAMPIRAN .....................................................................................
i iv v vi
PENDAHULUAN......................................................................................
1
A. Latar Belakang ...................................................................................... B. Tujuan .................................................................................................. C. Ruang Lingkup .....................................................................................
1 4 4
II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................
5
I.
A. B. C. D. E. F. G. H. I. J.
Bawang Merah ..................................................................................... Produksi, Konsumsi, Ekspor dan Impor Bawang Merah di Indonesia Rantai Pasokan/Supply Chain .............................................................. Identifikasi Anggota Rantai Pasokan ................................................... Pemasaran dan Efisiensi Pemasaran .................................................... Pengendalian Persediaan ...................................................................... Program Linier ..................................................................................... Model Transshipment .......................................................................... LINDO ................................................................................................. Hasil Penelitian Terdahulu ...................................................................
5 12 14 16 19 22 23 26 27 28
III. METODOLOGI ....................................................................................... 31 A. Kerangka Pemikiran ............................................................................. 31 B. Tata Laksana ........................................................................................ 32 IV. PEMBAHASAN ....................................................................................... 37 A. B. C. D. E. F. G. V.
Keadaan Umum Lokasi Penelitian ....................................................... Konsumsi dan Kebutuhan Bawang Merah ........................................... Identifikasi Anggota Rantai Pasokan ................................................... Konfigurasi Jaringan Logistik .............................................................. Pengendalian Persediaan ...................................................................... Marjin Pemasaran ................................................................................. Model Transshipment ..........................................................................
37 40 41 45 50 51 55
KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 66 A. Kesimpulan .......................................................................................... 66 B. Saran ..................................................................................................... 67
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 68 LAMPIRAN ...................................................................................................... 71
iii
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Syarat mutu bawang merah sesuai dengan SNI ................................
9
Tabel 2. Persyaratan mutu bawang merah sesuai dengan permintaan segmen pasar .................................................................................................
9
Tabel 3. Kandungan dan komposisi gizi dalam tiap 100 gram bawang merah ................................................................................................
11
Tabel 4. Produksi, luas panen, dan produktivitas bawang merah di Indonesia tahun 2000-2004 ..............................................................
12
Tabel 5. Volume ekspor dan impor bawang merah di Indonesia tahun 2002 – 2004 (dalam ton) ............................................................................
13
Tabel 6. Jumlah penduduk Kota Bogor tahun 2000 – 2004(dalam jiwa) .......
38
Tabel 7. Perkembangan konsumsi total bawang merah di Indonesia tahun 1995 – 2000 ......................................................................................
40
Tabel 8. Konsumsi bawang merah Kota Bogor selama tahun 2006 ..............
41
Tabel 9. Aktivitas anggota primer rantai pasokan bawang merah di Kota Bogor ................................................................................................
43
Tabel 10. Kebutuhan bawang merah industri pengolahnya di Kota Bogor .....
49
Tabel 11. Total biaya, total keuntungan dan total marjin saluran pemasaran 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7 dan 8 bawang merah (dalam Rp/kg) .........................
54
Tabel 12. Total biaya, total keuntungan dan total marjin saluran pemasaran 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15 dan 16 bawang merah (dalam Rp/kg) ...........
54
Tabel 13. Variabel keputusan ...........................................................................
57
Tabel 14. Biaya pasokan dari tiap sumber ke tiap tujuan (Cij) .........................
61
Tabel 15. Nilai optimal variabel keputusan (dalam ton) ..................................
62
Tabel 16. Batas-batas perubahan koefisien fungsi tujuan (Rp/kg)....................
64
Tabel 17. Rentang perubahan sisi kanan fungsi kendala .................................
65
iv
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Bawang merah ................................................................................
5
Gambar 2. Penampang membujur dan melintang umbi bawang merah ..........
6
Gambar 3. Rangkaian rantai pasokan (Supply Chain Stages) .......................... 18 Gambar 4. Sumber dan penyebaran pasokan bawang merah per bulan di Kota Bogor . .................................................................................... 48 Gambar 5. Saluran pasokan bawang merah di kota bogor ............................... 52 Gambar 6. Skema sumber dan pasar tujuan pasokan bawang merah .............. 56
v
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Tahapan Tata Laksana Penelitian ...............................................
72
Lampiran 2. Peta Lokasi Penelitian ................................................................
73
Lampiran 3. Sumber dan Penyebaran Pasokan Bawang Merah per Bulan di Kota Bogor ................................................................................. 74 Lampiran 4. Perhitungan Marjin Pemasaran Bawang Merah Saluran Pemasaran 1, 2, 3, 4, 5, dan 6 (per kg) .......................................
75
Lampiran 5. Perhitungan Marjin Pemasaran Bawang Merah Saluran Pemasaran 7, 8, 9, 10, 11, dan 12 (per kg) .................................
77
Lampiran 6. Perhitungan Marjin Pemasaran Bawang Merah Saluran Pemasaran 13, 14, 15, dan 16 (per kg) ........................................
79
Lampiran 7. Selisih Biaya Selama Ini dengan Biaya Pasokan Optimal (per bulan) .........................................................................................
81
Lampiran 8. Formulasi Masalah Dalam LINDO ............................................
82
Lampiran 9. Solusi Optimal Berdasarkan Perhitungan Lindo ........................
83
Lampiran 10. Analisis Sensitivitas Berdasarkan Perhitungan Lindo ...............
84
vi
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Bawang Merah bersama sebelas komoditas lain seperti beras, ketan, jagung, kelapa, kakao, temulawak, manggis, jarak pagar, ubi kayu, jeruk dan sapi merupakan komoditas unggulan yang diprioritaskan dalam rencana pembangunan pengolahan dan pemasaran hasil pertanian periode 2005-2009. Rencana pengembangan agribisnis bawang merah salah satunya diprioritaskan pada penanganan pasca panen dan pengolahan untuk meningkatkan nilai tambah.
Hal ini dilakukan karena bawang merah merupakan salah satu
sumber pendapatan petani maupun ekonomi negara.
Meskipun harga di
pasaran sering berfluktuasi tajam, usaha bawang merah tetap menjadi andalan petani (terutama di musim kemarau) dan menghasilkan keuntungan yang memadai. Permintaan bawang merah terus meningkat, tidak hanya di pasar dalam negeri, tetapi berpeluang juga untuk ekspor (Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, 2006). Bawang merah memiliki banyak manfaat, diantaranya sebagai bumbu penyedap rasa masakan.
Menurut Rahayu dan Berlian (1998), adanya
kandungan minyak atsiri yang terdapat dalam bawang merah menimbulkan aroma khas dan memberikan cita rasa yang gurih serta mengundang selera. Disamping itu, kandungan minyak atsiri juga berfungsi sebagai pengawet karena bersifat bakterisida dan fungisida untuk bakteri dan cendawan. Manfaat lain yang diperoleh dari bawang merah yaitu dapat digunakan sebagai obat tradisional. Dalam bawang merah terkandung flavon-glikosida yang berfungsi sebagai antiradang, dan pembunuh bakteri. Kandungan lain yaitu saponin, berkhasiat untuk mengencerkan dahak. Bawang merah juga memiliki khasiat menurunkan panas, menghangatkan badan, memudahkan pengeluaran angin dari perut, melancarkan pengeluaran air seni, dan mencegah penggumpalan darah.
Selain itu, tanaman ini juga mampu
menurunkan kolesterol dan kadar gula, menghambat penumpukkan trombosit, serta meningkatkan aktifitas fibrinolitik sehingga dapat memperlancar aliran darah.
Bawang merah juga mampu memobilisasi kolesterol dari tempat
penimbunannya. Adanya pengaruh semacam ini menyebabkan bawang merah mampu menekan penyakit kencing manis dan kemungkinan komplikasinya. Menurut hasil penelitian terakhir, bawang merah bisa mencegah kanker karena kandungan sulfurnya (Republika Online, 2004). Kebutuhan
bawang
merah
terus
meningkat
seiring
dengan
meningkatnya pertambahan penduduk dan daya beli. Tetapi terdapat beberapa kendala dalam usaha bawang merah.
Salah satu kendala utama adalah
terjadinya fluktuasi harga yang tidak menentu. Turun naiknya harga tidak dapat dipastikan, tergantung dari kondisi pasar.
Setiap daerah umumnya
memiliki kondisi pasar yang berbeda-beda sehingga mengakibatkan perbedaan harga antara daerah satu dengan lainnya. Salah satu sebab dari masalah ini adalah adanya ketergantungan produksi terhadap musim. Pada musim panen jumlah produksi melimpah, sedangkan pada musim paceklik terjadi sebaliknya. Jumlah produksi yang melimpah akan menyebabkan turunnya harga dipasaran karena tingkat penawaran yang lebih besar dari permintaan. Keadaan akan berubah sebaliknya jika jumlah produksi lebih rendah dari yang dibutuhkan sehingga mengakibatkan harga naik.
Melihat hal ini serta
pertimbangan bawang merah merupakan produk yang mudah rusak (perishable), maka pendirian industri berbasis komoditas bawang merah memiliki prospek yang cukup tinggi. Bawang merah dapat diolah sedemikian rupa sehingga mempunyai nilai tambah.
Hal ini sebagai upaya untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat akan bawang merah dan menghindari fluktuasi harga yang disebabkan produksi yang tidak menentu. Selain dijual dalam bentuk bawang segar, berbagai produk olahan dapat dihasilkan dari komoditas bawang.
Dalam industri makanan, umbi
bawang merah sering diolah sehingga mempunyai nilai tambah seperti irisan kering, bawang goreng, bubuk bawang merah, oleoresin, minyak bawang, acar, dan pasta. Keadaan geografis kota Bogor yang berada ditengah-tengah wilayah Kabupaten Bogor serta lokasinya yang berdekatan dengan ibukota negara, menjadikan Kota Bogor sebagai tempat yang strategis bagi perkembangan dan pertumbuhan industri. Kebutuhan bawang merah di Kota Bogor tidak dapat
2
dipenuhi secara mandiri sehingga penyediaan bawang merah harus dipasok dari daerah lain. Oleh karena itu, untuk mendirikan atau mengembangkan industri berbasis bawang merah di Kota Bogor, memerlukan pertimbangan yang cermat dari segi sistem dan ketersediaan komoditas ini. Supply Chain Management (SCM) merupakan salah satu cara baru dalam memandang mata rantai penyediaan barang, dimana masalah logistik dilihat sebagai rangkaian yang sangat panjang sejak dari bahan dasar sampai barang jadi yang dipakai konsumen akhir.
Simchi-Levi, et al. (2003)
mendefinisikan SCM sebagai serangkaian pendekatan yang diterapkan untuk mengintegrasikan pemasok, pengusaha, gudang dan tempat penyimpanan lainnya secara efisien sehingga produk dihasilkan dan didistribusikan dengan kuantitas yang tepat, lokasi dan waktu yang tepat untuk memperkecil biaya dan memuaskan kebutuhan pelanggan. Dengan demikian sistem ketersediaan produk yang didapat dari berbagai pemasok (Supplier) pada komoditas bawang merah merupakan suatu fenomena yang menarik untuk dijadikan dasar penelitian dengan menggunakan pendekatan SCM.
Pendekatan ini
ditujukan untuk pengelolaan dan pengawasan hubungan saluran distribusi secara kooperatif untuk kepentingan semua pihak yang terlibat, untuk mengefisienkan penggunaan sumberdaya dalam mencapai tujuan kepuasan konsumen rantai pasokan. Pertimbangan rancangan supply chain meliputi pengelolaan bagian hulu dan hilir rantai pasokan. Bagian hulu rantai pasokan terdiri dari prosesproses yang berlangsung antara pemasok dan pihak pabrik. Pertimbangan rancangan hulu rantai pasokan perlu memperhatikan dukungan pasokan bahan baku.
Analisis efisiensi rantai pasokan bawang meah di Kota Bogor
diharapkan dapat memberikan gambaran ketersediaan pasokan bawang merah sebagai pertimbangan pengelolaan supply chain bagi industri pengolah bawang merah. Penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan pertimbangan bagi pihak pengelola pasar untuk mengadakan sistem pemasokan yang lebih efisien.
3
B. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Menganalisis pengelolaan rantai pasokan (Supply Chain) komoditas bawang merah di Kota Bogor. 2. Menganalisis efisiensi saluran rantai pasokan bawang merah di Kota Bogor.
C. Ruang Lingkup Masalah khusus ini mempelajari dan menganalisa faktor-faktor yang berpengaruh pada mekanisme rantai pasokan komoditas bawang merah yang masuk ke Kota Bogor dengan memperhatikan pelaku-pelaku yang berperan di dalamnya seperti pedagang di pasar induk, pedagang di pasar tradisional dan instansi-instansi yang terkait. Biaya-biaya yang dianalisis adalah biaya yang terkait dengan pemasaran komoditas bawang merah guna menentukan tingkat efisiensi jaringan distribusi yaitu dengan menganalisis marjin pemasaran. Selain itu, biaya-biaya pemasaran juga digunakan untuk mencari solusi optimal yang akan menghasilkan rancangan alokasi bawang merah dengan biaya terendah di Kota Bogor.
Aktivitas anggota rantai pasokan yang
dianalisis khususnya adalah yang dilakukan oleh anggota primer. Wilayah pasar yang dianalisis adalah wilayah pemasaran di Kota Bogor. Data dan informasi yang diperoleh berasal dari pedagang di Pasar Induk Kemang, Pasar Baru Bogor, Pasar Warung Jambu, Pasar Kebon Kembang, Pasar Merdeka, Pasar Sukasari, Pasar Gunung Batu, Pasar Padasuka, pengirim bawang merah, Departemen Pertanian, Dinas Pertanian, Dirjen Tanaman Pangan dan Hortikultura, Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi Kota Bogor, Direktorat Bina Produksi Hortikultura, Biro Pusat Statistik dan studi literatur.
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Bawang Merah Tanaman bawang merah dikenal hampir di setiap daerah di wilayah tanah air. Kalangan Internasional menyebutnya shallot. Bawang merah memiliki nama latin Allium cepa var. ascalonicum atau Allium ascalonicum. Bawang merah merupakan tanaman satu marga dengan tanaman bawang daun, bawang putih dan bawang bombay yang termasuk dalam famili Liliaceae (Rukmana, 1994). Di dalam dunia tumbuhan, tanaman bawang merah diklasifikasikan kedalam Divisi Spermatophyta, Sub Divisi Angiospermae, Kelas Monocotyledonae, Ordo Liliales/Liliflorae, Keluarga Liliaceae, Genus Allium dan Spesies Allium ascalonicum atau Allium cepa var. ascalonicum (Rahayu dan Berlian, 1998).
Gambar 1. Bawang merah Bawang merah telah lama dikenal dan digunakan orang sejak beberapa ribu tahun yang lalu. Menurut Rahayu dan Berlian (1998), tanaman bawang merah diduga berasal dari daerah Asia Tengah, yaitu di deretan daerah sekitar India, Pakistan sampai Palestina. Negara-negara di Eropa Barat, Eropa Timur dan Spanyol baru mengenal bawang merah sekitar abad kedelapan. Dari sinilah kemudian bawang merah menyebar hingga ke daratan Amerika, Asia Timur dan Asia Tenggara termasuk Indonesia. Di Indonesia, daerah yang menjadi sentra produksi bawang merah yaitu Brebes, Probolinggo, Majalengka, Tegal, Nganjuk, Cirebon, Kediri, Bandung, Malang dan
Pemalang. Daerah-daerah tersebut termasuk ke dalam urutan sepuluh besar sentra produksi bawang merah di Indonesia. Bawang merah termasuk tanaman semusim yang berumbi lapis, berakar serabut serta mempunyai bentuk daun silindris. Pangkal daun bersatu membentuk batang-batang semu yang kelak berubah bentuk dan fungsi dari bentuk pangkal daun menjadi umbi lapis. Lapisan pembungkus siung umbi bawang merah tidak banyak, terbatas pada 2-3 helai dan tidak tebal. Sebaliknya lapisan-lapisan dari setiap siung ini berukuran relatif lebih tebal. Setiap siung dapat membentuk umbi baru dan sekaligus membentuk umbi samping sehingga terbentuklah rumpun yang terdiri atas 3-8 umbi baru. Bawang merah merupakan tanaman rendah yang tingginya hanya mencapai 15-60 cm. Daun bawang merah berbentuk pipa dan warnanya hijau muda. Akarnya berbentuk serabut, tidak panjang dan tidak pula dalam. Karena sifat perakaran inilah maka bawang merah tidak tahan kekeringan (Wibowo, 1999).
Gambar 2. Penampang membujur dan melintang umbi bawang merah (Rahayu dan Berlian, 1998) Bawang merah banyak dibudidayakan di dataran rendah yang beriklim kering dengan suhu yang agak panas dan cuaca cerah. Tanaman ini juga tidak menyukai tempat yang tergenang air (Rahayu dan Berlian, 1998). Bawang
6
merah dapat dibudidayakan dengan syarat pertumbuhan antara lain : tanah subur, banyak mengandung humus, tidak tergenang air, aerasi (pertukaran udara dalam tanah) baik, pH antara 5,5 – 6,5. Jika pH terlalu rendah (kurang dari 5,5) maka garam-garam Alumunium (Al) yang terlarut akan bersifat racun terhadap bawang merah yang menyebabkan tanaman tumbuh kerdil. Demikian juga dengan pH yang lebih besar dari 6,5 maka unsur mikro Mangan (Mn) tidak dapat digunakan, sehingga umbi kecil-kecil dan hasil produksi rendah. Selain itu, tanaman bawang merah dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik di dataran rendah sampai dataran tinggi yaitu pada ketinggian kurang lebih 1.100 meter diatas permukaan laut (dpl). Walaupun demikian, ketinggian tempat yang paling ideal untuk menghasilkan produk yang optimal adalah antara 0-800 meter dpl. Selain itu, untuk menghasilkan produksi bawang merah terbaik di dataran rendah harus didukung dengan keadaan iklim yang meliputi suhu udara 25oC-32oC dan beriklim kering. Tanaman ini sangat menyukai areal yang terbuka dan mendapat sinar matahari kurang lebih 70%, karena bawang merah termasuk tanaman yang memerlukan sinar matahari cukup (long day plan). Tiupan angin yang sepoi-sepoi juga akan berpengaruh baik terhadap laju proses fotosintesis, sehingga akan meningkatkan produksi umbi (Rukmana, 1994). Menurut Samadi dan Cahyono (1996) dalam Hamid (2004), tanaman bawang merah masih dapat ditanam di dataran tinggi, tetapi hasilnya tidak sebaik jika ditanam di dataran rendah. Tanaman bawang merah yang ditanam di dataran tinggi menghasilkan umbi yang kecil-kecil dan umur panennya panjang, yaitu 80 – 90 hari, sedangkan bawang merah yang ditanam di dataran rendah biasanya akan menghasilkan umbi yang besar-besar dan umur panennya sekitar 60 – 70 hari bahkan bisa kurang tergantung varietas yang digunakan. Hasil bawang merah sangat dipengaruhi oleh lamanya tanaman menerima sinar matahari. Lama penyinaran sinar matahari tergantung varietasnya, berkisar antara 11 – 16 jam. Oleh karena itu, tanaman ini paling baik ditanam pada awal musim kemarau, yaitu pada bulan Maret atau April sampai bulan Oktober.
7
Tanaman bawang merah yang sudah dipanen perlu mendapatkan penanganan yang hati-hati agar kualitasnya dapat dipertahankan dengan baik. Kerusakan bawang merah dapat disebabkan oleh penurunan kandungan air, pertumbuhan tunas, pertumbuhan akar, kebusukan, dan pelunakan umbi. Kerusakan-kerusakan tersebut akan menyebabkan penurunan mutu bawang merah baik dari nilai gizi,warna, bau, maupun rasa. Penanganan yang dapat dilakukan untuk menghindari kerusakan bawang merah setelah dipanen meliputi pembersihan, pengeringan, sortasi dan grading,
penyimpanan,
pengemasan,
pengangkutan,
dan
pengolahan.
Pembersihan umbi bawang merah dilakukan untuk menghindari terjadinya busuk umbi karena banyaknya tanah yang melekat pada saat umbi tersebut baru dipanen.
Pengeringan dilakukan agar umbi bawang merah dapat
terhindar dari kerusakan yang disebabkan oleh cendawan dan bakteri pembusuk serta penyakit lainnya.
Pengeringan dapat dilakukan dengan
beberapa cara, yaitu dengan penjemuran, pengasapan dan pengeringan dengan menggunakan alat mekanis.
Pengeringan ini berlangsung hingga didapat
bobot penyusutan umbi berkisar 15-20% dari bobot hasil panen. Kegiatan sortasi dilakukan untuk memisahkan umbi bawang merah yang baik dari yang cacat, busuk, terkena hama dan penyakit atau kerusakan lainnya. Ukuran atau kriteria yang dapat dijadikan acuan, yaitu : 1. keseragaman sifat varietas, 2. ketuaan/umur umbi, 3. tingkat kekeringan, 4. bebas hama dan penyakit, 5. bentuk umbi (bulat atau lonjong), dan 6. ukuran besar kecilnya umbi. Berdasarkan kriteria diatas, umbi bawang merah dapat dikelaskan (grading) ke dalam beberapa tingkat mutu. Berdasarkan SNI bawang merah SNI 01–3159-1992, persyaratan mutu bawang merah digolongkan dalam 2 jenis mutu yaitu Mutu I dan Mutu II. Batasan-batasan mutunya dijelaskan seperti yang tertera pada Tabel 1.
8
Tabel 1. Syarat mutu bawang merah sesuai dengan SNI Syarat
Karakteristik Verietas Ketuaan Kekerasan Diameter Kerusakan (b/b) Busuk (b/b) Kotoran (b/b) Sumber
Mutu I seragam tua keras min. 1,7 cm maks. 5 % maks. 1% tidak ada (%)
Mutu II seragam cukup tua cukup keras min. 1,3 cm maks. 8% maks. 2 % tidak ada (%)
: Departemen Pertanian (2006)
Disamping syarat mutu yang ditetapkan dalam SNI bawang merah, segmen pasar juga menetapkan persyaratan-persyaratan dan mengelompokan dalam beberapa kelas mutu. Persyaratan mutu yang ditetapkan segmen pasar bawang merah dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Persyaratan mutu bawang merah sesuai dengan permintaan segmen pasar Kriteria Ukuran umbi diameter warna umbi Kesegaran Kadar air (%) Kotoran Kekeringan/layu Hama/penyakit Sumber
Kelas Mutu Mutu I besar, diameter >2,5 cm merah ungu sampai keputihan segar 80 – 85 % bebas, tidak berakar 3% bebas serangga
Mutu II kecil, diameter 1,5 – 2,5 cm merah ungu sampai keputihan segar 75 - 80 % maks. 0.1 %, tidak berakar 3 – 5% bebas serangga
: Departemen Pertanian (2006)
Setelah pemanenan, penyimpanan terbaik adalah dengan menggantung bawang merah yang masih berdaun, karena selama penyimpanan diperoleh tingkat kerusakan, susut bobot dan kadar air rendah serta kadar total padatan terlarut dan VRS (Volatile Reduction Substance)-nya tinggi.
Menurut
percobaan yang dilakukan oleh Musaddad dan Sinaga (1994), penyimpanan bawang merah pada suhu 30o C memberikan kualitas yang baik, karena setelah delapan minggu penyimpanan diperoleh kekerasan yang masih tinggi, kerusakan rendah (5%), dan VRS-nya tinggi. Ditambahkan oleh Rahayu dan
9
Berlian (1998), suhu ruangan yang dibutuhkan untuk penyimpanan bawang merah, berkisar antara 25-30o C, kelembabannya 60-70%, dan ventilasi udaranya baik.
Dalam kondisi yang baik bawang merah dapat disimpan
selama 6 bulan. Pengemasan bawang merah terutama dilakukan untuk memudahkan pengangkutan.
Bahan pengemas yang digunakan adalah karung anyaman
plastik yang berlubang-lubang.
Pengemasan yang dilakukan harus dapat
memberikan ruang gerak yang leluasa. Selama bahan berada dalam kemasan, sirkulasi udara ke dalam dan ke luar bahan pengemas juga harus dapat berjalan dengan baik. Setelah dikemas, bawang diangkut ke beberapa tempat tujuan. Penanganan bahan selama pengangkutan harus dijaga dengan dengan baik agar terhindar dari terjadinya kerusakan terhadap umbi, seperti benturan fisik, kontaminasi kotoran, ataupun tertimpa air hujan. Varietas bawang merah yang ditanam di Indonesia cukup banyak macamnya, tetapi umumnya produksi varietas tersebut masih rendah (kurang dari 10 ton/ha). Beberapa hal yang membedakan varietas bawang merah satu dengan yang lain biasanya didasarkan pada bentuk, ukuran, warna, kekenyalan, aroma umbi, umur tanaman, ketahanan terhadap penyakit serta hujan, dan lain-lain. Varietas yang ditanam ada varietas lokal dan varietas impor. Varietas lokal yang banyak ditanam oleh petani adalah varietas bima brebes, medan, keling, maja cipanas, ampenan, sumenep, kuning dan lampung. Varietas impor yang sudah ditanam di Indonesia adalah bangkok, filipina dan australia. Varietas ini umumnya memiliki sifat-sifat yang lebih unggul dibanding varietas lokal. Menurut Rahayu dan Berlian (1998), beberapa keunggulan varietas bawang merah impor yaitu: (1) memiliki bentuk umbi yang bulat dan berukuran besar dengan warna merah memikat, (2) jumlah anakan umbi banyak, lebih dari 10 anakan, (3) hasil produksinya tinggi, rata-rata mencapai 15 ton umbi kering per hektar, (4) daya simpan lebih tinggi, serta (5) nilai penyusutan dalam pemasaran (ekspor) lebih kecil, sekitar 10% (varietas lokal mencapai 15%). Menurut Rahayu dan Berlian (1998), ditinjau dari kandungan gizinya, bawang merah bukanlah merupakan sumber karbohidrat, protein, lemak,
10
vitamin, atau mineral. Namun, komponen-komponen tersebut ada di dalam bawang merah walaupun dalam jumlah yang sedikit. Komponen lainnya, seperti minyak atsiri, juga terkandung di dalam umbi bawang merah. Komponen inilah yang sebenarnya banyak dimanfaatkan untuk penyedap rasa makanan, bakterisida, fungisida, dan berkhasiat untuk obat-obatan. Daftar kandungan dan komposisi gizi bawang merah selengkapnya disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Kandungan dan komposisi gizi dalam tiap 100 gram bawang merah Bawang Merah Biasa Komposisi Gizi a b 67,00 39,00 Kalori (ka) 1,90 1,50 Protein (gr) 0,30 0,30 Lemak (gr) 15,40 0,20 Karbohidrat (gr) 0,70 Serat (gr) 0,60 Abu (gr) 36,00 36,00 Kalsium (mg) 45,00 40,00 Fospor (mg) 0,80 0,80 Zat besi (mg) 12,00 Natrium (mg) 334,00 Kalium (mg) 0,30 Niacin (mg) 5,00 0,00 Vitamin A (SI) 0,04 0,03 Vitamin B1 (mg) 0,02 Vitamin B2 (mg) 2,00 2,00 Vitamin C (mg) 88,00 Air (gr) Keterangan : (a) Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan RI (1981) (b) Food and Nutrition Research Center, Hand Book No. I Manila (1964) Sumber : Rukmana (1994)
Di dalam umbi bawang merah terdapat juga komponen lain yang dinamakan allin. Allin merupakan suatu senyawa yang mengandung asam amino yang tidak berbau, tidak berwarna, dan tidak larut dalam air. Karena sesuatu hal, allin kemudian berubah menjadi senyawa allicin. Senyawa allicin dengan thiamin (vitamin B1) dapat membentuk ikatan kimia yang disebut allithiamin. Senyawa bentukan ini ternyata lebih mudah diserap oleh tubuh daripada vitamin B1-nya sendiri. Dengan demikian allicin dapat membuat vitamin B1 menjadi lebih efisien dimanfaatkan tubuh (Rahayu dan Berlian, 1998).
11
Bawang merah termasuk sayuran umbi mutliguna, sebagai bumbu dapur dan penyedap berbagai masakan.
Kegunaan lain sebagai obat
tradisional untuk obat nyeri perut, penyembuhan luka atau infeksi, pencegahan terhadap kolera, disetri dan diare. Khasiat umbi bawang merah sebagai obat, diduga karena mempunyai efek antiseptik dari senyawa allin dan allisin. Senyawa allin ataupun allisin oleh enzim allisin liase diubah menjadi asam piruvat, ammonia dan allisin antimikroba yang bersifat bakterisida. Keuntungan mengkonsumsi bawang merah, selain sebagai penyedia bahan pangan dan berkhasiat obat, juga sangat baik untuk kesehatan. Fungsi dalam tubuh antara lain adalah memperbaiki dan memudahkan pencernaan serta menghilangkan lendir-lendir dalam kerongkongan (Rukmana, 1994).
B. Produksi, Konsumsi, Ekspor dan Impor Bawang Merah di Indonesia Perkembangan produksi dan produktivitas bawang merah di Indonesia pada tahun 2000 – 2004 cenderung menurun. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4 yang menyajikan data bahwa produksi tertinggi bawang merah terjadi pada tahun 2001 yaitu sebesar 861.150 ton dengan luas panen 82.147 Ha sehingga produktivitasnya sebesar 10,48 ton/Ha.
Produksi bawang merah terendah
terjadi pada tahun 2004 yaitu sebesar 757.399 ton dengan luas panen 88.707 Ha sehingga produktivitasnya adalah sebesar 8,54 ton/Ha. Tabel 4. Produksi, luas panen, dan produktivitas bawang merah di Indonesia tahun 2000-2004 Produksi Luas Panen Produktivitas Tahun (ton) (Ha) (ton/Ha) 2000 772.818 84.038 9,19 2001 861.150 82.147 10,48 2002 766.572 79.867 9,59 2003 762.795 88.029 8,67 2004 757.399 88.707 8,54 Sumber : Departemen Produksi Tanaman Hortikultura Indonesia (2006)
Rendahnya produksi dan produktivitas hasil pertanian disebabkan oleh banyak hal, diantaranya adalah sempitnya penguasaan lahan pertanian per Kepala Keluarga (KK) petani Indonesia yang rata-rata hanya 0,3 hektar. Selain itu, kebanyakan petani Indonesia adalah turun-temurun, sementara
12
banyak diantara anak-anak petani yang sudah tidak mau lagi terjun dalam dunia pertanian dan menekuni bidang lain karena melihat bidang lain lebih menguntungkan (Hamid, 2004).
Rendahnya kualitas dan produktivitas
menjadi penyebab rendahnya tingkat pendapatan petani bawang merah karena harga bawang merah tergantung dari kualitas dan produktivitas bawang itu sendiri. Produsen bawang merah pada tahun 2003 masih berpusat di pulau Jawa terutama Jawa Tengah dengan produksi 231.052 ton disusul oleh Jawa Timur 213.818 ton dan Jawa Barat 120.219 ton. Daerah lain diluar pulau jawa yaitu Sumatera Utara, Sumatera Barat, Nanggroe Aceh Darussalam, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan dan daerah lain (Biro Pusat Statistik, 2004). Untuk tingkat Kabupaten, Brebes merupakan daerah penghasil terbanyak dengan jumlah 165.305 ton atau sekitar 23,37 persen dari total produksi seluruh Indonesia. Walaupun produksi cenderung meningkat tetapi Indonesia masih harus mengimpor bawang merah dari beberapa negara, seperti Filipina, Vietnam, India dan lain-lain. Volume ekspor dan impor bawang merah di Indonesia tahun 2002 – 2004 dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Volume ekspor dan impor bawang merah di Indonesia tahun 2002 – 2004 (dalam ton) Tahun Ekspor Impor 2002 1.368 12.913 2003 21 12.342 2004 62 3.137 Sumber : Biro Pusat Statistik (2005)
Dari Tabel 5 dapat dilihat bahwa Indonesia lebih banyak mengimpor daripada mengekspor bawang merah. Jumlah impor tertinggi terjadi pada tahun 2002 yaitu sebesar 12.913 ton.
Ekspor bawang merah tertinggi pun
terjadi pada tahun yang sama, yaitu sebesar 1.368 ton. Produksi bawang merah selama ini sebenarnya mampu memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri bahkan lebih.
Namun kenyataannya
Indonesia masih mengimpor bawang merah dari luar negeri dalam jumlah yang cukup besar. Menurut Hamid (2004), hal ini disebabkan oleh :
13
1. Rendahnya kualitas bawang merah yang dihasilkan oleh petani Indonesia sehingga kalah bersaing dengan bawang merah yang berasal dari luar negeri, 2. Adanya permasalahan dalam bahan baku (bibit dan saprotar) dan biayabiaya pemasaran yang cukup tinggi, 3. Bawang merah merupakan produk pertanian yang tidak tahan lama, sehingga setelah panen harus langsung dijual untuk menghindari kerusakan dan untuk penyimpanannya membutuhkan biaya yang besar 4. Adanya residu bahan kimia yang terdapat pada bawang merah, 5. Bawang merah banyak dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan restoran dan hotel yang konsumennya kebanyakan berasal dari luar negeri yang cukup selektif dalam memilih kualitas, 6. Turunnya bea masuk impor bawang merah sehingga banyak orang beranggapan bahwa lebih baik jika Indonesia mengimpor.
C. Rantai Pasokan/Supply Chain Rantai pasokan/Supply Chain (SC) didefinisikan oleh Indrajit dan Djokopranoto (2003) sebagai suatu sistem tempat organisasi menyalurkan barang produksi dan jasanya kepada para pelanggannya.
Rantai ini juga
merupakan jaringan atau jejaring dari berbagai organisasi yang saling berhubungan dan mempunyai tujuan yang sama, yaitu sebaik mungkin menyelenggarakan pengadaan dan penyaluran barang tersebut. Menurut Simchi-Levi, et al. (2003), Supply Chain Management (SCM)
merupakan
serangkaian
pendekatan
yang
diterapkan
untuk
mengintegrasikan pemasok, pengusaha, gudang dan tempat penyimpanan lainnya secara efisien sehingga produk dihasilkan dan didistribusikan dengan kuantitas yang tepat, lokasi dan waktu yang tepat untuk memperkecil biaya dan memuaskan kebutuhan pelanggan.
SCM bertujuan untuk membuat
seluruh sistem menjadi efisien dan efektif; minimasi biaya sistem total, dari transportasi dan distribusi sampai inventory bahan mentah, bahan dalam proses dan produk jadi. Melalui tujuan tersebut, penekanan SCM tidak hanya sebatas meminimalisasikan biaya transportasi atau mengurangi inventory,
14
tetapi lebih kepada melakukan pendekatan untuk SCM.
SCM bergerak
disekitar integrasi pemasok, pabrik, gudang dan toko-toko secara efisien, mencakup aktivitas-aktivitas perusahaan dari level strategis, taktis sampai operasional. Perspektif SCM hampir sama dengan saluran pemasaran yang teradministrasi
atau
terkontrak
dimana
pendekatan-pendekatan
ini
membutuhkan kerjasama sukarela ataupun kerjasama berdasarkan kontrak dari anggota-anggota saluran untuk mencapai tujuan umum. Menurut Eltram (1991), pendekatan SCM berbeda dengan perspektif saluran pemasaran tradisional dalam dua hal. Pertama, SCM mempunyai tujuan yang lebih luas yaitu mengelola inventory dan hubungan untuk mencapai pelayan konsumen tingkat tinggi daripada pencapaian tujuan-tujuan pemasaran spesifik. Kedua, pendekatan SCM mencoba untuk mengelola baik aktivitas hulu maupun aktivitas hilir dalam rantai persediaan. Saluran pemasaran cenderung untuk fokus pada aktivitas hilir. Menurut Miranda dan Tunggal (2005), SCM terdiri atas tiga elemen yang saling terkait satu sama lain, yaitu : 1. Struktur jaringan supply chain Jaringan kerja anggota dan hubungan dengan anggota supply chain lainnya. 2. Proses bisnis supply chain Aktifitas-aktifitas yang menghasilkan nilai keluaran tertentu bagi para pelanggan. 3. Komponen manajemen supply chain Variabel-variabel manajerial dimana proses bisnis disatukan dan disusun sepanjang suppy chain. Dalam SCM terdapat enam faktor kunci manajemen rantai pasokan dalam pengusahaan rantai pasokan yang optimal. Enam faktor kunci tersebut antara lain : 1. Memfokuskan pada pelanggan dan konsumen 2. Menciptakan dan membagi nilai 3. Memperoleh produk yang tepat
15
4. Memastikan proses logistik dan distribusi yang efektif 5. Memiliki strategi informasi dan komunikasi 6. Membangun hubungan yang efektif Enam prinsip kunci diatas digunakan untuk mengetahui cara pandang anggota rantai pasokan terhadap rantai pasokan yang telah berjalan sehingga dapat diidentifikasi bagian dalam rantai pasokan yang memerlukan perbaikan. Perbaikan pada salah satu anggota rantai pasokan untuk memberikan perhatian secara langsung untuk meningkatkan penampilan keseluruhan rantai pasokan. Akan tetapi, merancang dan mengimplementasikan rantai pasokan yang optimal secara global cukup sulit. Hal ini karena kedinamisannya serta terjadinya konflik tujuan antar fasilitas dan partner.
D. Identifikasi Anggota Rantai Pasokan Pelaksanaan SCM meliputi pengenalan anggota rantai pasokan dengan siapa dia berhubungan, proses apa yang perlu dihubungkan dengan tiap anggota inti dan jenis penggabungan apa yang diterapkan pada tiap proses hubungan tersebut. Tujuannya adalah untuk memaksimalkan persaingan dan keuntungan bagi perusahaan dan seluruh anggotanya, termasuk pelanggan akhir. Anggota rantai pasokan meliputi semua perusahaan dan organisasi yang berhubungan dengan perusahaan inti baik secara langsung maupun tidak langsung melalui pemasok dan pelanggannya dari point of origin hingga point consumption. Primary members (anggota primer) adalah semua perusahaan atau unit bisnis strategi yang benar-benar menjalankan aktivitas operasional dan manajerial dalam proses bisnis yang dirancang untuk menghasilkan keluaran tertentu bagi pelanggan atau pasar. Secondary members (anggota sekunder) adalah perusahaan-perusahaan yang menyediakan sumberdaya, pengetahuan, utilitas atau aset-aset bagi anggota primer. Melalui definisi anggota primer dan anggota sekunder diperoleh pengertian the point of origin dari supply chain adalah titik dimana tidak ada pemasok primernya. Semua pemasok adalah anggota sekunder, sedangkan the point consumption adalah titik dimana tidak ada pelanggan utama (Miranda dan Tunggal, 2005).
16
Beberapa pemain utama yang merupakan pelaku-pelaku yang mempunyai kepentingan yang sama, yaitu : 1. Pemasok (Suppliers) Jaringan berawal dari sini, merupakan sumber yang menyediakan bahan pertama, dimana mata rantai penyaluran barang akan dimulai. Bahan pertama ini bisa dalam bentuk bahan baku, bahan mentah, bahan penolong, bahan dagangan, subassemblies, suku cadang, dan sebagainya. Sumber pertama dinamakan pemasok, termasuk juga pemasoknya pemasok atau sub-pemasok. Jumlah pemasok dapat berjumlah banyak atau sedikit. 2. Produsen (Manufacturer) Pemasok sebagai mata rantai pertama dihubungkan dengan manufacturer atau assembler atau fabricator atau bentuk lain yang melakukan pekerjaan membuat, memfabrikasi, mengasembling, merakit, mengkonversikan, atau menyelesaikan barang (finishing).
Hubungan
dengan mata rantai pertama ini sudah mempunyai potensi untuk melakukan penghematan. Pada tahap ini terjadi penghematan sebesar 40 % - 60 % atau bahkan lebih. 3. Distributor (Distribution) Barang sudah jadi yang dihasilkan oleh manufacturer dapat mulai disalurkan kepada pelanggan.
Walaupun tersedia banyak cara untuk
penyaluran barang ke pelanggan, yang umum adalah melalui distributor dan ini biasanya ditempuh oleh sebagian besar rantai pasokan. Barang dari pabrik melalui gudangnya disalurkan ke gudang distributor atau wholesaler atau pedagang besar dalam jumlah besar, dan akhirnya pedagang besar menyalurkan dalam jumlah yang lebih kecil kepada retailers atau pengecer. 4. Pengecer (Retail outlets) Pedagang besar biasanya mempunyai fasilitas gudang sendiri atau dapat juga menyewa dari pihak lain.
Gudang ini digunakan untuk
menimbun barang sebelum disalurkan lagi ke pihak pengecer. Pada tahap ini terdapat kesempatan untuk memperoleh penghematan dalam bentuk
17
jumlah persediaan dan biaya gudang, dengan cara melakukan desain kembali pola-pola pengiriman barang baik dari gudang pengolahan maupun ke toko pengecer (retail outlet). 5. Pelanggan (Customers) Pengecer menawarkan barangnya langsung kepada para pelanggan atau pembeli atau pengguna barang tersebut.
Pihak yang termasuk
pengecer antara lain toko, warung, toko serba ada, pasar swalayan, toko koperasi, mal, clubstore, dan sebagainya di mana pembeli akhir melakukan pembelian. Walaupun secara fisik dapat dikatakan bahwa ini merupakan mata rantai yang terakhir, sebenarnya masih ada satu mata rantai lagi, yaitu pembeli (yang mendatangi toko pengecer) ke pengguna atau pembeli sesungguhnya, karena pembeli belum tentu pengguna sesungguhnya. Mata rantai pasokan baru benar-benar berhenti setelah barang yang bersangkutan tiba di pemakai sebenarnya barang atau jasa yang dimaksud. Rangkaian rantai pasokan dapat dilihat pada Gambar 3.
Pemasok
Produsen
Distributor
Pengecer
Pelanggan
Pemasok
Produsen
Distributor
Pengecer
Pelanggan
Pemasok
Produsen
Distributor
Pengecer
Pelanggan
Gambar 3. Rangkaian rantai pasokan (Chopra dan Meindl, 2001) Panjang pendek SC berbeda-beda, tergantung dari jenis barang yang disimpan. Setiap tahapan tidak harus selalu ada dalam rantai. Desain yang tepat dalam rantai akan tergantung dari tiap kebutuhan pelanggan dan pada peran setiap tahap yang terlibat dalam pemenuhan setiap kebutuhan. Setiap tahap dalam rantai pasokan akan meningkatkan kesan dari produk atau penawaran melalui perpindahan yang terjadi dari pemasok kepada pengolah, distributor, pengecer dan akhirnya kepada pelanggan secara berantai. Pada kenyataannya, tahap yang terjadi dalam rantai penyediaan dapat melibatkan
18
banyak pemasok, pengolah, distributor dan pedagang eceran, sehingga banyak rantai pasokan yang mirip jaringan kerja (Chopra dan Meindl, 2001).
E. Pemasaran dan Efisiensi Pemasaran Supply Chain merupakan salah satu konsep inti pemasaran. Sementara saluran pemasaran menghubungkan pemasar dengan pembeli sasaran, SC menggambarkan suatu saluran yang lebih panjang yang terentang dari bahan mentah, komponen-komponen, hingga produk-produk final yang disampaikan kepada pembeli akhir.
Rantai pasokan meggambarkan sistem penyerahan
nilai. Setiap perusahaan mendapat hanya persentase tertentu dari nilai total yang dihasilkan oleh rantai pasokan. Apabila sebuah perusahaan mengambil alih perusahaan pesaing atau menambah usaha kearah sumber daya atau kearah pelanggan, tujuannya adalah merebut persentase yang lebih tinggi dari rantai nilai pemasok. Menurut Kotler (2002) berdasarkan definisi sosial, pemasaran adalah suatu proses sosial yang di dalamnya individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan, dan secara bebas mempertukarkan produk yang bernilai dengan pihak lain. Berdasarkan definisi manajerial, pemasaran sering digambarkan sebagai “seni menjual produk”, sedangkan pemasaran menurut Sudiyono (2002) dianggap sebagai proses aliran barang yang terjadi dalam pasar dimana barang-barang yang mengalir dari produsen sampai kepada konsumen akhir disertai dengan penambahan guna bentuk melalui proses pengolahan, guna tempat melalui proses pengangkutan dan guna waktu melalui proses penyimpanan. Dalam menciptakan guna tempat, guna bentuk dan guna waktu diperlukan biaya pemasaran.
Biaya pemasaran ini diperlukan untuk
melakukan fungsi-fungsi pemasaran oleh lembaga-lembaga pemasaran yang terlibat dalam proses pemasaran dari produsen sampai kepada konsumen akhir. Pengukuran kinerja dari pemasaran ini memerlukan ukuran efisiensi pemasaran. Menurut Said dan Intan (2001) suatu sistem pemasaran dinyatakan bekerja secara efektif dan efisien apabila sistem tersebut mampu menyediakan
19
insentif bagi pelaku (produsen, konsumen, dan lembaga pemasaan) yang mampu mendororng pengambilan keputusan para pelaku tersebut secara tepat dan efisien. Kompleksitas sistem pemasaran bervariasi antar komoditi, pasar dan waktu yang berbeda. Kohls (1968) mendefinisikan efisiensi pemasaran sebagai usaha untuk meningkatkan rasio output-input.
Output pemasaran yaitu kepuasan atas
produk dan jasa, sedangkan input adalah berbagai macam tenaga kerja, modal, manajemen pemasaran yang digunakan dalam proses pemasaran tersebut. Berdasarkan definisi diatas semakin besar rasio output-input semakin efisien suatu saluran pemasaran.
Perubahan yang mengurangi biaya input tanpa
mengurangi tingkat output secara nyata akan memperbaiki efisiensi. Namun perubahan yang mengurangi (biaya) juga akan mengurangi output (kepuasan konsumen sehingga mengurangi efisiensi. Ada dua cara untuk meningkatkan efisiensi pemasaran yang sering dilakukan pada komoditi pertanian, yaitu : meningkatkan produktivitas dengan input tetap dan efisiensi input dengan output tetap. Sukartawi (1993), menjelaskan bahwa pasar yang tidak efisien akan terjadi apabila biaya pemasaran semakin besar dan nilai produk yang dipasarkan jumlahnya tidak terlalu besar. Untuk itu efisiensi pemasaran dapat terjadi apabila (1) biaya pemasaran dapat ditekan sehingga keuntungan pemasaran dapat lebih tinggi, (2) persentase harga yang dibayar konsumen dan produsen tidak terlalu tinggi, (3) tersedianya fasilitas fisik pemasaran, dan (4) adanya kompetisi pasar yang sehat. Salah satu cara untuk mempelajari apakah suatu sistem pemasaran telah bekerja efisien dalam suatu struktur pasar tertentu adalah dengan melakukan analisis terhadap biaya dan marjin pemasaran, serta analisis terhadap penyebaran harga dari tingkat produsen sampai ke tingkat konsumen, untuk melihat besarnya sumbangan pedagang perantara sebagai penghubung antara produsen dan konsumen. Efisiensi pemasaran dapat diukur dengan menggunakan konsep efisiensi operasional dan efisiensi penetapan harga.
Efisiensi operasional
diukur dengan membandingkan output pemasaran terhadap input pemasaran. Penetapan efisiensi operasional dilakukan dengan asumsi-asumsi bahwa sifat
20
utama output tidak mengalami perubahan atau efisiensi ini lebih berkaitan dengan teknologi. Efisiensi penetapan harga berhubungan dengan keefektifan pemasaran sehingga harga dapat digunakan untuk menilai hasil kinerja proses pemasaran dalam menyampaikan output pertanian dari daerah produsen ke daerah konsumen. Marjin pemasaran menurut Sudiyono (2002) merupakan perbedaan harga yang dibayarkan konsumen dan harga yang diterima lembaga pemasaran. Komponen marjin pemasaran ini terdiri dari : 1). Biaya-biaya yang diperlukan lembaga-lembaga pemasaran untuk melakukan fungsi-fungsi pemasaran (functional cost); dan 2). Keuntungan (profit) lembaga pemasaran. Biaya pemasaran adalah semua jenis biaya yang dikeluarkan pemasaran suatu komoditas dalam proses penyampaian barang oleh lembagalembaga yang terlibat dalam sistem distribusi mulai dari titik produsen sampai ke titik saluran distribusi tertentu yang pada dasarnya mempunyai tujuan mencari keuntungan. Keuntungan pemasaran merupakan penerimaan yang diperoleh lembaga pemasaran sebagai imbalan dari menyelenggarakan fungsifungsi pemasaran. Perbedaan rantai pemasaran dan perlakuan dari lembaga dalam sejumlah saluran pemasaran menyebabkan perbedaan harga jual dari lembaga yang satu dengan lembaga yang lainnya sampai ke tingkat konsumen akhir. Semakin banyak lembaga pemasaran yang terlibat dalam penyaluran suatu komoditas dari titik produsen sampai titik konsumen, maka akan semakin besar perbedaan harga komoditas tersebut di titik produsen dibandingkan dengan harga yang akan dibayar oleh konsumen. Penyediaan fasilitas fisik untuk pengangkutan, penyimpanan dan pengolahan dianggap dapat digunakan untuk melihat efisiensi pemasaran. Kurang tersedianya fasilitas fisik, terutama pengangkutan diidentikan dengan ketidakefisienan proses pemasaran. Intensitas persaingan pasar juga seringkali digunakan untuk menilai efisiensi pemasaran.
Struktur pasar persaingan
sempurna dianggap lebih efisien dibanding struktur pasar oligopolistik maupun monopolistik.
21
F. Pengendalian Persediaan Persediaan atau inventory menurut Handoko (1997) adalah suatu istilah umum yang menunjukkan segala sesuatu atau sumber daya organisasi yang disimpan dalam antisipasinya terhadap pemenuhan permintaan. Gaspersz (1998) berpendapat bahwa persediaan merupakan penyimpanan dari barang dan stok, termasuk persediaan bahan baku, persediaan barang dalam proses, persediaan barang jadi, dan persediaan yang berfungsi sebagai penujang dalam proses operasi atau produksi agar berjalan lancar. Pengendalian persediaan berkenaan dengan masalah adanya kebutuhan atau demand terhadap barang (bahan atau produk). Pada kasus Agroindustri yang bahan bakunya merupakan hasil pertanian yang karakteristiknya spesifik, antara lain mudah rusak dan tidak dapat disimpan lama, maka masalah persediaan menjadi lebih rumit. Disamping itu pengendaliaan persediaan juga diperlukan untuk mengingat masalah ketidakpastian pemasokan, harga, dan kebutuhan terhadap persediaan itu sendiri. Khusus untuk persediaan produk, pengendaliannya menjadi semakin penting jika dikaitkan dengan tingkat pelayanan (service factor) terhadap pemenuhan kebutuhan konsumen, on time delivery, tingkat kepercayaan konsumen, serta resiko beralihnya pelanggan kepada produk saingan karena tidak tersedianya produk. Uraian diatas memberi kesan bahwa menumpuk persediaan dalam jumlah besar lebih disukai. Tetapi permasalahannya adalah bahwa dengan jumlah persediaan yang besar, berarti terdapat sejumlah besar uang yang tertanam dalam bentuk barang (persediaan), yang ditinjau dari segi kebijakan keuangan (finansial) tidak dikehendaki.
Selain itu, dengan menumpuk
persediaan dalam jumlah besar, berarti perusahaan menanggung biaya penyimpanan persediaan dan penanganan yang besar.
Komponen biaya
persediaan ini antara lain menyangkut biaya gudang, pajak dan asuransi, kerusakan dan biaya perawatan, serta penurunan mutu.
Berdasarkan hal
tersebut, maka fungsi pengendalian persediaan adalah mencari keseimbangan antara keuntungan atau manfaat menyediakan persediaan (jumlah besar atau kecil) dengan kerugian atau biaya yang dikeluarkan.
22
G. Programa Linier Programa linier menurut Dimyati dan Dimyati (2003) adalah perencanaan aktivitas-aktivitas untuk memperoleh suatu hasil yang optimum yaitu suatu hasil yang mencapai tujuan terbaik di antara seluruh alternatif yang fisibel. Metode ini dilakukan untuk menyelesaikan persoalan pengalokasian sumber-sumber yang terbatas di antara beberapa aktivitas yang bersaing, dengan cara yang terbaik yang mungkin dilakukan.
Programa linier
menggunakan
persoalan
model
matematis
untuk
menjelaskan
yang
dihadapinya. Dalam membangun model dari formulasi persoalan digunakan karakteristik-karakterstik yang biasa digunakan dalam persoalan programa linier, yaitu : a. Variabel keputusan Variabel keputusan adalah variabel yang menguraikan secara lengkap keputusan-keputusan yang akan dibuat. b. Fungsi tujuan Fungsi tujuan merupakan fungsi dari variabel keputusan yang akan dimaksimumkan (untuk pendapatan atau keuntungan) atau diminimumkan (untuk ongkos). c. Pembatas Pembatas merupakan kendala yang dihadapi sehingga kita tidak bisa menentukan harga-harga variabel keputusan secara sembarang. Bentuk standar dari persoalan programa linier tersaji di bawah ini. Setiap situasi yang formulasi matematisnya memenuhi model ini adalah persoalan programa linier. Maksimumkan z = c1x1 + c2x2 + ... + cnxn
(fungsi tujuan)
berdasarkan pembatas : a11 x1 + a12 x2 + ... + a1nxn ≤ b1 a21 x1 + a22 x2 + ... + a2nxn ≤ b2 . . .
dan
am1 x1 + am2x2 + ... + amnxn ≤ bm x1 ≥ 0, x2 ≥ 0, ... , xn ≥ 0
23
Selain model programa linier dengan bentuk seperti yang telah disebutkan di atas, ada pula model programa linier dengan bentuk yang agak lain, seperti : 1. Fungsi tujuan bukan memaksimumkan, melainkan meminimumkan. 2. Beberapa konstrain fungsionalnya mempunyai ketidaksamaan dalam bentuk lebih besar atau sama dengan. 3. Beberapa konstrain fungsionalnya mempunyai bentuk persamaan. 4. Menghilangkan konstrain nonnegatif untuk beberapa variabel keputusan. Dalam menggunakan model programa linier, diperlukan beberapa asumsi sebagai berikut : 1. Asumsi kesebandingan (proportionality) Konstribusi setiap variabel keputusan terhadap fungsi tujuan adalah sebanding dengan nilai variabel keputusan.
Konstribusi suatu
variabel terhadap ruas kiri dari setiap pembatas juga sebanding dengan nilai variabel keputusan itu. 2. Asumsi Penambahan (additivity) Konstribusi setiap variabel keputusan terhadap fungsi tujuan bersifat tidak tergantung pada niali variabel keputusan yang lain. Konstribusi suatu variabel terhadap ruas kiri dari setiap pembatas bersifat tidak tergantung pada nilai variabel keputusan yang lain. 3. Asumsi pembagian (divisibility) Dalam persoalan programa linier, variabel keputusan boleh diasumsikan berupa bilangan pecahan. 4. Asumsi kepastian (certainty) Setiap parameter, yaitu koefisien fungsi tujuan, ruas kanan, dan koefisien teknologis, diasumsikan dapat diketahui secara pasti. Sistematika dari analisis-analisis dalam proses pengambilan keputusan yang memakai programa linier dan variasinya sebagai teknik riset operasi, pada dasarnya mempunyai lima tahap sebagai berikut : 1. Identifikasi persoalan Identifikasi persoalan terdiri dari kegiatan penentuan dan perumusan tujuan, identifikasi peubah serta pengumpulan data tentang
24
kendala-kendala yang menjadi syarat ikatan terhadap peubah-peubah dalam fungsi tujuan sistem model yang dipelajari. 2. Penyusunan model Kegiatan penyusunan model terdiri dari empat hal, yaitu : (1) memilih model yang cocok sesuai dengan permasalahannya (2) merumuskan segala macam faktor yang terkait di dalam model yang bersangkutan secara simbolik ke dalam rumusan model matematika (3) menentukan peubah-peubah beserta kaitannya satu sama lain (4) menetapkan fungsi tujuan dan kendala-kendalanya dengan nilai-nilai dan parameter yang jelas 3. Analisis model Model-model yang dipilih untuk dapat dianalisis dengan teknik programa linier dan variasinya akan menghasilkan hasil-hasil yang optimal.
Hasil-hasil analisis tersebut perlu dikaji kepekaannya guna
melihat sampai seberapa jauh hasil yang diperoleh berupa nilai-nilai dan parameter dari peubah-peubah yang ditetapkan dapat bertahan apabila terjadi perubahan pada sistem. 4. Pengesahan model Analisis pengesahan model menyangkut penilaian terhadap model dengan cara mencocokannya dengan keadaan dan data nyata. Hal ini dilakukan untuk menguji dan mengesahkan asumsi-asumsi yang membentuk model tersebut secara struktural. 5. Implementasi Hasil-hasil yang diperoleh dapat dipakai dalam perumusanperumusan rencana kegiatan (sepanjang diperlukan pemikiran demikian) yang sewaktu-waktu dapat dinilai.
Implementasi hasil ini juga
menyangkut sistem dokumentasi model dan dokumentasi hasil analisis yang baik, yang sewaktu-waktu dapat dipakai untuk penyempurnaan model dan asumsi-asumsinya.
25
H. Model Transshipment Model transshipment adalah model transportasi yang memungkinkan dilakukannya pengiriman barang (komoditas) secara tidak langsung, dimana barang dari suatu sumber dapat berada pada sumber lain atau tujuan lain sebelum mencapai tujuan akhirnya (Dimyati dan Dimyati, 2003). Menurut Russel dan Taylor (2003), metode transportasi sendiri merupakan suatu teknik kuantitatif yang digunakan untuk menentukan cara menyelenggarakan transportasi dengan biaya seminimal mungkin. Dalam model ini dibahas masalah pendistribusian suatu komoditas atau produk dari sejumlah sumber (supply) kepada sejumlah tujuan (demand), dengan tujuan meminimumkan ongkos pengangkutan yang terjadi. Ciri-ciri khusus persoalan transportasi adalah : 1. Terdapat sejumlah sumber dan sejumlah tujuan tertentu. 2. Kuantitas komoditas atau barang yang didistribusikan dari setiap sumber dan yang diminta oleh setiap tujuan, besarnya tertentu. 3. Komoditas yang dikirim atau diangkut dari suatu sumber ke suatu tujuan, besarnya sesuai dengan permintaan dan atau kapasitas sumber. 4. Ongkos pengangkutan komoditas dari suatu sumber ke suatu tujuan, besarnya tertentu. Misalkan ada m buah sumber dan n buah tujuan. Masing-masing sumber mempunyai kapasitas ai, dengan i = 1, 2, ..., m. Masing-masing tujuan membutuhkan komoditas sebanyak bj, dengan j = 1, 2, ..., n. Jumlah satuan yang dikirimkan dari sumber i ke tujuan j adalah sebanyak Xij dengan ongkos pengiriman per unit adalah Cij. Dengan demikian, maka formulasi programa liniernya adalah sebagai berikut. Meminimumkan Z =
m
n
∑∑ C i =1 j =1
ij
X ij
berdasarkan pembatas : n
∑ X ij = ai ; i = 1, 2, ..., m j =1
m
∑X i =1
ij
= b j ; i = 1, 2, ..., n
dan Xij ≥ 0 untuk seluruh i dan j.
26
Dalam model transshipment, setiap sumber maupun tujuan dipandang sebagai titik potensial bagi demand maupun supply. Oleh karena itu, untuk menjamin bahwa tiap titik potensial tersebut mampu menampung total barang di samping jumlah barang yang telah ada, pada titik tersebut, maka perlu ditambahkan kepada titik-titik itu kuantitas supply dan demand-nya masingmasing sebesar B. B ≥
m
n
∑ a = ∑b i =1
i
j =1
j
I. LINDO LINDO (Linear Interactive and Discrete Optimizer), merupakan program komputer yang digunakan untuk aplikasi programa linier. Aplikasi programa linier yaitu suatu pemodelan matematik yang digunakan untuk mengoptimalkan suatu tujuan dengan berbagai kendala yang ada. LINDO adalah suatu perangkat lunak yang digunakan untuk menyelesaikan masalah pemrograman linier, non-linier dan integer (Siswanto, 1990). LINDO disusun sedemikian rupa sehingga sangat mudah digunakan. Persoalan programa linier yang telah dinyatakan dalam fungsi tujuan dan kendala-kendala tidak perlu dipindahkan ke dalam format-format tertentu yang menyulitkan, akan tetapi secara langsung dapat dimasukkan sesuai dengan bentuk aslinya. LINDO digunakan oleh perusahaan-perusahaan untuk memaksimalkan keuntungan dan meminimumkan biaya. Selain itu, LINDO juga digunakan dalam pengambilan keputusan untuk perencanaan produksi, transportasi, keuangan, alokasi saham, pengaturan modal, penjadwalan, inventarisasi, alokasi sumber daya dan lain-lain. Untuk mendayagunakan LINDO ada beberapa tahapan yang perlu dilakukan, yaitu : 1. Merumuskan masalah dalam kerangka programa linier. 2. Menuliskan dalam persamaan matematik. 3. Merumuskan rumusan ke dalam LINDO dan mengeksekusinya. 4. Interpretasi keluaran LINDO.
27
J. Hasil Penelitian Terdahulu Susiyana (2005) melakukan analisis rantai persediaan komoditas jeruk medan dengan melakukan studi kasus di Pasar Induk Kramat jati dan Carrefour Cempaka Mas Jakarta.
Data primer pada penelitian tersebut
diperoleh dari hasil wawancara dengan 4 pedagang grosir Kramat jati, 3 pedagang pengecer grosir Cililitan, 7 pedagang pengecer serta pihak
marketing Carrefour. Data sekunder diperoleh dari BPS, Pasar Induk Kramat Jati, Dirjen Perkebunan, Departemen Pertanian, Dinas Pertanian, Dirjen Tanaman Pangan dan Hortikultura, dan instansi-instansi lain.
Penelitian
tersebut membahas struktur jaringan, aktivitas dan marjin pemasaran rantai pasokan
serta
elastisitas
transmisinya.
Elastisitas
transmisi
yaitu
perbandingan perubahan nisbi dari harga di tingkat pengecer dengan perubahan harga di tingkat petani. Anggota primer SC jeruk medan adalah pedagang antar pulau (PAP), pedagang grosir, pedagang eceran, perusahaan pemasok dan swalayan. Anggota sekunder SC ini yaitu distributor dan supermarket collector. Marjin pemasaran dihitung berdasarkan ketiga saluran pemasaran yang terjadi, yaitu : 1. Petani – PAP – Grosir Pasar Induk Kramat Jati – Pengecer 2. Petani – PAP – Grosir Cililitan – Perusahaan Pemasok – Pengecer 3. Petani – PAP – Grosir Cililitan – Perusahaan Pemasok – Swalayan Pola saluran 3 memiliki marjin pemasaran yang paling besar. Saluran pemasaran 1 memperoleh total keuntungan yang terbesar.
Pola saluran
pemasaran 1 juga yang paling efisien karena memiliki total biaya, keuntungan dan marjin pemasaran yang terendah serta rasio keuntungan dan biaya tertinggi. Pola saluran pemasaran 1 dapat memberikan nilai lebih bagi petani karena menghasilkan farmer’s share (bagian petani) yang tinggi. Korelasi harga antara pedagang pengecer dan hipermarket dengan agennya adalah positif dan nyata berdasarkan perhitungan koefisien korelasi harga dan uji statistik.
Nilai elastisitas transmisi harga yang tidak sama dengan satu
menunjukkan sistem pemasaran komoditas jeruk medan belum efisien. Ritonga (2005) melakukan analisis pemasaran komoditas kentang dengan pendekatan konsep SCM di Semarang, dimana analisis difokuskan
28
pada pola rantai pasokan serta analisis marjin pemasaran dan farmer’s share. Penelitian tersebut menggunakan data primer yang diperoleh melalui pengamatan dan wawancara langsung dengan anggota mata rantai pasokan komoditas kentang baik melalui hipermarket maupun pasar tradisional. Data sekunder yang digunakan berasal dari BPS, Deptan, Internet dan literatur lain. Anggota rantai pasokan yang terlibat dalam rantai pasokan kentang di Semarang yaitu petani, pedagang pengumpul, pedagang grosir, pemasok, pedagang pengecer termasuk hipermarket serta konsumen. Pada penelitian tersebut, terdapat tiga rantai pasokan komoditas kentang yang bersumber dari Desa Pesurenan, Kecamatan Dieng, Kabupaten Banjarnegara.
Tiga pola rantai pasokan komoditas kentang dari desa
Pesurenan, yaitu : 1. Pola rantai pasokan 1 : Petani → Pedagang pengumpul → Pedagang besar Pasar Johar Semarang → Pedagang Pengecer Pasar Tradisional → Konsumen rumah tangga. 2. Pola rantai pasokan 2 : Petani → Pedagang pengumpul → Pedagang Besar Pasar Bandungan Semarang → Pedagang Pengecer Pasar Tradisional → Konsumen rumah tangga. 3. Pola rantai pasokan 3 : Petani → Pedagang pengumpul → Pedagang besar Pasar Johar Semarang → Supplier/ pemasok →
Makro Cash and Carry → Konsumen rumah tangga. Perhitungan marjin, sebaran marjin dan farmer’s share dilakukan berdasarkan tiga kelas mutu komoditas kentang yaitu AB Super, AB dan ABC. Pola rantai pasokan 3 memiliki total marjin pemasaran yang lebih besar dibandingkan pola 1 dan pola 2. Dari segi rasio keuntungan, rantai pasokan 3 lebih menguntungkan dibandingkan pola lainnya. Penyebaran marjin belum merata di antara ketiga rantai pasokan. Pedagang grosir memperoleh marjin pemasaran terendah diantara anggota rantai pasokan lain karena sedikitnya aktivitas pedagang grosir yang membutuhkan biaya dan sedikitnya keuntungan yang diambil. Bagian petani (farmer’s share) terbesar diperoleh
29
pada pola rantai 1 karena pada pola ini harga jual komoditas di tingkat konsumen lebih rendah. Perolehan marjin tertinggi rantai pasokan kentang mutu kelas AB super pada pola 1 dan pola 2 terdapat pada tingkat pengecer, sedangkan marjin tertinggi pada rantai pasokan 3 terdapat pada tingkat pemasok. Keuntungan lebih besar kontribusinya dalam marjin-marjin tersebut daripada biaya yang dikeluarkan. Marjin total untuk komoditas kentang mutu kelas AB dan ABC pada pola 1 dan 2 cenderung rendah. Kedua komoditas tersebut dijual dengan harga murah dan terkadang pedagang tidak mengambil keuntungan karena hanya mengharapkan keuntungan yang besar dari kentang untuk mutu AB super. Persentase biaya terbesar yang dikeluarkan masing-masing anggota rantai pasokan adalah biaya penyusutan. Pada pola rantai 1, biaya pemasaran terbesar untuk setiap kelas mutu ditanggung oleh pengecer karena banyaknya aktivitas yang memerlukan biaya.
Untuk pola rantai 1 biaya pemasaran
terbesar untuk kentang kelas AB super ditanggung oleh pedagang pengumpul karena besarnya biaya angkut ke pasar grosir. Untuk kelas mutu lainnya, biaya pemasaran terbesar untuk setiap kelas mutu ditanggung oleh pengecer seperti pada pola pertama. Pada rantai pasokan ke 3, biaya pemasaran terbesar ditanggung oleh pemasok ke pasar modern karena tingginya biaya seperti biaya pengemasan, pengangkutan dan resiko kerusakan komoditas di supermarket.
30
III. METODOLOGI
A. Kerangka Pemikiran Dalam pendirian suatu industri, salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah ketersediaan bahan baku baik dari jumlah maupun dari segi kontinyuitasnya. Industri yang berbasis komoditas bawang merah di Kota Bogor, perlu mempertimbangkan dengan cermat ketersediaan komoditas ini agar dapat memenuhi kebutuhan bahan bakunya sehingga kegiatan produksi dapat berjalan lancar. Hal ini dikarenakan kebutuhan bawang merah yang tidak dapat dipenuhi secara mandiri oleh Kota Bogor sehingga perlu dipasok dari daerah lain. Penelitian tentang analisis efisiensi rantai pasokan bawang merah ini meninjau anggota, aktivitas, pengelolaan, biaya dan efisiensi rantai pasokan bawang merah di Kota Bogor. Aliran rantai pasokan bawang merah yang dimaksud adalah aliran pasokan bawang merah dari daerah pemasok atau pasar induk yang memasok bawang merah ke pasar-pasar di Kota Bogor. Rantai pasokan terdiri dari anggota-anggota rantai pasokan dengan aktivitasaktivitas yang mereka lakukan.
Analisis aktivitas anggota rantai pasokan
dilakukan khusus pada aktivitas yang dilakukan oleh anggota primer. Konfigurasi jaringan logistik bawang merah dianalisis untuk diketahui bagaimana penyebaran bawang merah di Kota Bogor, sedangkan pengelolaan persediaan dianalisis untuk diketahui bagaimana bawang merah sebagai inventori ditangani dalam rantai pasokannya. Pengelolaan rantai pasokan tidak hanya dilakukan agar seluruh bagian sistem memberikan kinerja keseluruhan sistem yang efektif, tetapi juga efisien. Analisis efisiensi rantai pasokan dibuat agar diketahui bagaimana efisiensi rantai pasokan bawang merah yang selama ini diterapkan di Kota Bogor.
Analisis marjin pemasaran dilakukan untuk mengetahui efisiensi
rantai pasokan secara spesifik dengan menghitung marjin diantara lembaga pemasaran yang terlibat dalam rantai pasokan bawang merah di Kota Bogor. Penelitian ini juga membahas alternatif upaya pengalokasian pasokan bawang merah dengan tujuan untuk meningkatkan efisiensi rantai pasokan.
31
B. Tata Laksana 1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian lapang dilakukan di beberapa pasar di Kota Bogor terhitung mulai bulan Mei-September 2006. Data pasokan bawang merah diperoleh dari kebutuhan pedagang besar dan pengecer di delapan pasar sebagai lokasi penelitian yaitu Pasar Induk Kemang, Pasar Baru Bogor, Pasar Jambu Dua, Pasar Kebon Kembang, Pasar Merdeka, Pasar Sukasari, Pasar Gunung Batu dan Pasar Padasuka. Selain itu, diperoleh juga data kebutuhan dari Industri pengolah bawang merah yang berada di Kecamatan Bogor Timur dan Bogor Utara.
2. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Jenis data yang diperoleh untuk data primer antara lain data harga pembelian dan penjualan, data jumlah pasokan harian, data jumlah dan jenis biaya yang dikeluarkan oleh masing-masing lembaga pemasaran, pola aliran pemasaran untuk tiap lembaga pemasaran, serta data lainnya yang terkait dengan penelitian. Data sekunder, diperoleh dari informasi statistik dalam bentuk data deret waktu yang dimiliki oleh Biro Pusat Statistik (BPS), Departemen Pertanian, Dinas Pertanian, Direktoral Jenderal Tanaman Pangan dan Hortikultura serta data dari Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Kotamadya Bogor. Selain itu, data sekunder tersebut juga diperoleh melalui literatur dari berbagai instansi dan penelitian-penelitian terdahulu yang terkait dalam penelitian ini. Untuk data sekunder, jenis data yang diperoleh adalah data luas lahan pertahun untuk komoditas bawang merah, data impor, data permintaan dan konsumsi bawang merah, data produksi bawang merah, serta data lainnya yang terkait dengan penelitian.
3. Metode Pengumpulan Data Data-data primer dalam penelitian ini diperoleh melalui hasil wawancara dengan berbagai level anggota primer rantai pasokan bawang
32
merah di Kota Bogor. Teknik wawancara yang dipakai yaitu wawancara berstruktur yang dilakukan berdasarkan daftar pertanyaan dengan maksud dapat mengontrol dan mengatur berbagai dimensi pertanyaan ataupun jawabannya. Akan tetapi, wawancara dengan industri pengolah bawang merah dilakukan secara tidak berstruktur yaitu tidak menggunakan daftar pertanyaan.
Wawancara yang dilakukan dengan pihak industri lebih
difokuskan untuk mengetahui kebutuhan bawang merah dari segi kuantitas dan kualitas. Identifikasi sistem pasokan bawang merah untuk tingkat Pengirim dilakukan dengan cara wawancara pada seorang Pengirim yang ditemui peneliti di Pasar Induk Kemang. Pedagang besar yang diwawancarai oleh peneliti adalah pedagang besar yang berada di Pasar Induk Kemang dan Pasar Baru Bogor, sedangkan pengecer yang diwawancarai berada di tujuh pasar yang ada di Bogor. Industri bawang merah yang terdapat di Bogor yaitu industri bawang goreng dan industri tepung bawang. Tahapan tata laksana dapat dilihat pada Lampiran 1.
4. Metode Analisis Data a. Analisis Deskriptif Analisis ini merupakan suatu metode analisis yang digunakan untuk memperoleh gambaran secara mendalam dan obyektif mengenai rantai penyediaan (supply chain) dari komoditas bawang merah. Tujuan penggunaan analisis ini adalah untuk menggambarkan sifat suatu keadaan yang sementara berjalan pada saat penelitian dilakukan, dan memeriksa sebab-sebab dari gejala tertentu. Hasil analisis ini disajikan dalam bentuk tabulasi dan statistik sederhana berdasarkan informasi yang ada untuk menggambarkan keadaan pasar dan aliran rantai pasokan bawang merah. b. Analisis Efisiensi Rantai Pasokan. Analisis efisiensi rantai pasokan bawang merah dilakukan dengan pendekatan efisiensi pemasaran komoditas ini. Indikator yang digunakan untuk mengetahui efisiensi pemasaran pada penelitian ini
33
adalah dengan menggunakan marjin pemasaran dan pengaturan alokasi pasokan bawang
merah berdasarkan perhitungan biaya yang
dikeluarkan oleh lembaga pemasaran. Marjin pemasaran merupakan selisih harga yang dibayar diantara lembaga pemasaran. Komponen marjin pemasaran terdiri dari biaya-biaya yang diperlukan lembagalembaga pemasaran untuk melakukan fungsi-fungsi pemasaran yang disebut biaya pemasaran atau biaya fungsional dan keuntungan (profit) lembaga pemasaran. Menurut Limbong dan Sitorus (1987), marjin pemasaran setiap lembaga pemasaran dapat dirumuskan sebagai berikut : Mi = Pri - Pfi Mi = Ci + π i Sehingga : Pri - Pfi = Ci + π i Dimana : Mi = marjin pemasaran pada pasar tingkat ke-i Pri = harga jual pada tingkat lembaga ke-i Pfi = harga beli pada tingkat lembaga ke-i Ci = biaya pemasaran pada tingkat lembaga ke-i
π i = keuntungan lembaga pemasaran pada tingkat ke-i Total marjin (MT) adalah penjumlahan marjin pemasaran di setiap lembaga-lembaga pemasaran yang terlibat, sehingga dirumuskan sebagai berikut : MT =
n
∑M i =1
i
Dimana : n = jumlah lembaga pemasaran Penyebaran marjin pemasaran komoditas bawang merah dapat dilihat pula berdasarkan persentase keuntungan terhadap biaya pemasaran pada masing-masing lembaga pemasaran.
Perhitungan
dapat dilakukan dengan menggunakan rumus : Rasio Keuntungan – Biaya (%) =
πi ( Pf i + C i )
x 100 %
34
Dimana : π i = keuntungan pada lembaga pemasaran ke-i (Rp/kg) Pfi = harga beli pada tingkat lembaga ke-i (Rp/kg) Ci = biaya pemasaran pada tingkat lembaga ke-i (Rp/kg) Analisis efisiensi rantai pasokan juga dilakukan pada efisiensi alokasi distribusi bawang merah dari beberapa sumber ke pasar-pasar di Kotamadya Bogor. Efisiensi diukur dengan cara membandingkan biaya total transportasi, penyusutan dan harga berdasarkan alokasi bawang merah saat ini dengan biaya total transportasi, penyusutan dan harga berdasarkan alokasi optimal. Alokasi optimal yaitu alokasi yang memberikan biaya minimal. Penentuan alokasi optimal bawang merah di Kota Bogor dilakukan dengan cara mengembangkan model transshipment dengan teknik programa linier berdasarkan data yang telah diperoleh. Dalam penelitian ini, analisis model tersebut dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut. 1. Identifikasi persoalan Identifikasi persoalan terdiri dari kegiatan penentuan dan perumusan tujuan, identifikasi peubah serta pengumpulan data tentang kendala-kendala yang menjadi syarat ikatan terhadap peubah-peubah dalam fungsi tujuan sistem model yang dipelajari. 2. Penyusunan model Kegiatan penyusunan model terdiri dari empat hal, yaitu : (1) memilih model yang cocok sesuai dengan permasalahannya (2) merumuskan segala macam faktor yang terkait di dalam model yang bersangkutan secara simbolik ke dalam rumusan model matematika (3) menentukan peubah-peubah beserta kaitannya satu sama lain (4) menetapkan fungsi tujuan dan kendala-kendalanya dengan nilai-nilai dan parameter yang jelas 3. Analisis model Model-model yang dipilih untuk dapat dianalisis dengan teknik programa linier dan variasinya akan menghasilkan hasil-
35
hasil yang optimal.
Proses perhitungan untuk memperoleh
penyelesaian model tersebut, dilakukan dengan bantuan perangkat komputer agar diperoleh penyelesaian yang cepat dan memiliki tingkat ketelitian yang tinggi. Perangkat yang digunakan adalah LINDO yang juga digunakan dalam menganalisis sensitivitas dari hasil perhitungan. Hasil-hasil perhitungan tersebut perlu dikaji kepekaannya guna melihat sampai seberapa jauh hasil yang diperoleh berupa nilai-nilai dan parameter dari peubah-peubah tersebut dapat bertahan apabila terjadi perubahan pada sistem.
36
IV. PEMBAHASAN
A. Keadaan Umum Lokasi Penelitian Kota Bogor terletak diantara 106043’30” BT – 106051’00”BT dan 30’30”LS – 6041’00”LS serta mempunyai ketinggian rata-rata minimal 190 meter, maksimal 350 meter dengan jarak dari ibukota kurang lebih 60 km. Kemiringan Kota Bogor berkisar antara 0 – 15 % dan sebagian kecil daerahnya mempunyai kemiringan antara 15 – 30 %. Jenis tanah hampir diseluruh wilayah adalah Latosol coklat kemerahan dengan kedalaman efektif tanah lebih dari 90 cm dengan tekstur tanah yang halus serta bersifat agak peka terhadap erosi. Kota Bogor mempunyai ketinggian dari permukaan laut minimal 190 meter dan maksimal 330 meter. Bogor disebut sebagai Kota Hujan dengan keadaan cuaca dan udara yang sangat sejuk dimana suhu udara rata-rata setiap bulannya adalah 26 0C dan kelembaban udaranya kurang lebih 70 %. Suhu terendah di Bogor adalah 21,8 0C, paling sering terjadi pada bulan Desember dan Januari yang dipengaruhi oleh angin muson timur. Bulan Mei sampai Maret dipengaruhi oleh angin muson barat dengan arah mata angin 6 % terhadap arah barat. Luas wilayah Kota Bogor adalah 118,50 km2. Wilayah ini terbagi dalam enam kecamatan, yaitu Kecamatan Bogor Tengah, Kecamatan Bogor Barat, Kecamatan Bogor Timur, Kecamatan Bogor Selatan, Kecamatan Bogor Utara dan Kecamatan Tanah Sareal. Kota Bogor memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut : 1. Selatan : berbatasan dengan Kecamatan Cijeruk dan Kecamatan Caringin Kabupaten Bogor 2. Timur
: berbatasan dengan Kecamatan Sukaraja dan Kecamatan Ciawi Kabupaten Bogor
3. Utara
: berbatasan dengan Kecamatan Sukaraja, Kecamatan Bojong Gede dan Kecamatan Kemang Kabupaten Bogor
4. Barat
: berbatasan
dengan
Kecamatan
Kemang
dan
Kecamatan
Dramaga Kabupaten Bogor.
37
Kedudukan geografis Kota Bogor di tengah-tengah wilayah Kabupaten Bogor serta lokasinya yang berdekatan dengan ibukota negara merupakan potensi yang strategis untuk perkembangan dan pertumbuhan kegiatan ekonomi.
Potensi strategis bagi pertumbuhan ekonomi di Kota
inipun
dikarenakan kedudukan Bogor yang berada di jalur tujuan Puncak/Cianjur. Jumlah penduduk di Kota Bogor terus meningkat setiap tahunnya. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 6 yang menyajikan pertumbuhan jumlah penduduk Kota Bogor selama tahun 2000 – 2004. Tabel 6 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Kota Bogor pada tahun 2004 adalah sebanyak 831.571 jiwa. Ini berarti terdapat kenaikan sebesar 10.864 jiwa atau 1,31 % dari tahun sebelumnya dengan kepadatan 7.017 jiwa per km2.
Kenaikan jumlah
penduduk tertinggi terjadi pada tahun 2001 dimana terjadi kenaikan penduduk sebesar 45.618 jiwa atau 5,99 % dari tahun 2000 dengan kepadatan 6.416 jiwa per km2. Tabel 6. Jumlah penduduk Kota Bogor tahun 2000 – 2004 (dalam jiwa) Kenaikan Kepadatan Tahun Laki-Laki Perempuan Total (dalam %) (jiwa/km2) 2000 360.942 353.769 714.711 6.031 2001 382.896 377.433 760.329 5,99 6.416 2002 397.820 391.603 789.423 3,68 6.662 2003 419.252 401.455 820.707 3,81 6.926 2004 424.819 406.752 831.571 1,31 7.017 Sumber : Biro Pusat Statistik Kota Bogor (2004)
Jumlah lowongan kerja yang terdaftar di Kota Bogor tersedia bagi 4.830 orang, namun lowongan kerja dalam jumlah tersebut terisi sebanyak 8.632 orang. Sektor industri yang memerlukan tenaga kerja sebanyak 463 orang baru terisi sekitar 326 tenaga kerja. Untuk sektor perdagangan pada tahun 2004 mengalami kelonjakan yang cukup mencolok dibanding tahun 2003 yaitu dari 171 lowongan kerja telah terisi 355 tenaga kerja. Jumlah lowongan kerja pada tahun 2004 meningkat seiring dengan jumlah pencari kerjanya. Dilihat dari tingkat pendidikan, jumlah pencari kerja terbanyak berada di tingkat SLTA yaitu sekitar 4.484 orang disusul berikutnya tingkat S1 yaitu sebanyak 4.318 orang dan SMK sebanyak 3.302 orang.
38
Pembangunan industri di Kota Bogor diarahkan untuk mendorong terciptanya struktur ekonomi yang seimbang dan kokoh dalam rangka menciptakan landasan perekonomian yang kuat agar tumbuh dan berkembang atas kekuatan sendiri. Pembangunan sektor industri mencakup industri besar, industri sedang, industri kecil dan industri rumah tangga. Secara umum keadaan ekonomi Kota Bogor sudah relatif stabil dengan pertumbuhannya yang cukup baik, namun tentunya memerlukan perhatian yang lebih dikarenakan struktur ekonomi Kota Bogor yang didominasi oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 31 % dan sektor industri pengolahan sebesar 28 % dimana sektor ini sangat dipengaruhi oleh jumlah penduduk dan daya beli masyarakat.
Jumlah Perusahaan Perdagangan
Nasional di Kota Bogor pada tahun 2004 adalah 6.574 buah.
Terdapat
peningkatan dibandingkan dengan tahun sebelumnya yaitu sekitar 6 %. Dari sekian jumlah Perusahaan Perdagangan Nasional yang ada masih didomiasi oleh perdagangan kecil dengan jumlah 5.434 buah. Bawang merah yang beredar di Kota Bogor umumnya adalah bawang merah lokal. Tetapi jika harga bawang merah lokal mengalami kenaikan yang sangat tinggi, maka bawang merah impor akan dipasok ke Kota Bogor. Bawang merah impor biasanya berasal dari Myanmar, Vietnam, India, Pakistan dan Thailand. Bawang merah lokal yang biasa dijual di Kota Bogor adalah bawang merah yang berasal dari Brebes. Tetapi pada saat-saat tertentu, pengirim juga memasok bawang merah dari beberapa daerah di Jawa seperti Brebes, Cirebon, Sambas, Sukomoro, Banyuwangi, Bantul dan daerah lainnya. Penelitian ini dilakukan di beberapa pasar tradisional. Berdasarkan data dari Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Kota Bogor, Kota Bogor mempunyai tujuh buah pasar tradisional, yaitu Pasar Baru, Pasar Kebon Kembang, Pasar Jambu Dua, Pasar Merdeka, Pasar Padasuka dan Pasar Sukasari. Pengelolaan pasar dilakukan oleh Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) yang berada di masing-masing pasar. Selain dari tujuh pasar tersebut, terdapat satu pasar induk yang pengelolaannya dilakukan oleh pihak swasta yaitu Pasar Induk Kemang. Pasar ini dikelola oleh PT. Galvindo Ampuh. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Lampiran 2.
39
Kegiatan pengelolaan pasar antara lain adalah pengelolaan jual beli, penyewaan kios dan gudang, pemeliharaan kebersihan dan keamanan, penarikan retribusi serta pengawasan harga bahan makanan dan komoditas pokok. Penarikan retribusi dilakukan dengan cara menjual karcis kepada para pedagang baik yang memiliki atau menyewa kios maupun para pedagang yang memiliki lapak serta wilayah pinggiran jalan pasar.
B. Konsumsi dan Kebutuhan Bawang Merah Tabel 7 memperlihatkan perkembangan konsumsi total bawang merah di Indonesia tahun 1995 – 2000. Dari tahun 1995 – 1998 konsumsi bawang merah meningkat dengan rata-rata peningkatan sebesar 1,54%. Pada tahun 1999, konsumsi bawang merah mengalami penurunan sebesar 17,17% dari tahun sebelumnya. Namun, meningkat lagi pada tahun berikutnya sebesar 1.45%. Tabel 7. Perkembangan konsumsi total bawang merah di Indonesia tahun 1995 – 2000 Konsumsi Besar Perubahan Tahun (ribu ton) (%) 1995 328,7 1996 388,8 1,59 1997 394,7 1,52 1998 400,7 1,52 1999 331,9 (17,17) 2000 336,7 1,45 Keterangan Sumber
: ( ) Penurunan : Direktorat Bina Produksi Hortikultura (2003)
Permintaan bawang merah berasal dari dalam dan luar negeri. Permintaan dalam negeri digunakan oleh rumahtangga, industri maupun instansi (hotel dan restoran). Kebutuhan masyarakat terhadap bawang merah akan terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan daya belinya.
Selain itu, peningkatan konsumsi juga disebabkan oleh
meningkatnya
ragam
masakan
yang
menggunakan
bawang
merah,
meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap nilai guna dan nilai gizi, serta peningkatan pendapatan perkapita masyarakat.
40
Berdasarkan sumber dari Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi (Disperindagkop) Kota Bogor diperoleh ramalan mengenai tingkat konsumsi rumah tangga Kota Bogor terhadap bawang merah yang disajikan pada Tabel 8. Tabel tersebut menunjukkan bahwa setiap bulannya kebutuhan bawang merah terus mengalami peningkatan. Tabel 8. Konsumsi bawang merah Kota Bogor selama tahun 2006 Bulan Konsumsi (ton) Januari 250 Februari 250 Maret 325 April 325 Mei 300 Juni 300 Juli 250 Agustus 250 September 375 Oktober 375 November 250 Desember 350 Sumber
: Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Kota Bogor (2007)
C. Identifikasi Anggota Rantai Pasokan Anggota rantai pasokan dalam pemasaran komoditas bawang merah meliputi pelaku dan organisasi yang berhubungan dengan komoditas bawang merah baik secara langsung maupun tidak langsung melalui supplier atau pelanggannya dari point of origin hingga point of consumption. C.1. Anggota Primer (Primary Members) Anggota primer adalah semua unit bisnis strategi yang benarbenar menjalankan aktivitas operasional dan manajerial dalam proses bisnis yang dirancang untuk menghasilkan keluaran tertentu bagi pelanggan atau pasar. Yang termasuk anggota primer dalam rantai pasokan komoditas bawang merah di Kota Bogor, antara lain : 1. Pengirim Pengirim merupakan lembaga pemasaran yang memiliki peranan besar dalam rantai pasokan bawang merah di Kota Bogor. Setiap harinya pengirim yang berasal dari daerah di Jawa Tengah atau
41
Jawa Timur memasok bawang merah ke Pasar Induk Kemang. Bawang merah ini biasanya didapat pengirim dari pengumpul yang berada di sentra produksi bawang merah. 2. Pedagang Besar Pedagang besar dalam rantai pasokan komoditas bawang merah adalah pedagang yang membeli bawang merah dalam jumlah besar dari pengirim untuk kemudian dijual kembali kepada pedagang pengecer. Tidak semua pedagang besar di Kota Bogor memperoleh bawang merah dari pengirim.
Ada juga pedagang besar yang
membeli komoditas ini langsung dari pedagang grosir di Pasar Induk Cibitung, Bekasi. Pedagang besar di Kota Bogor hanya terdapat di Pasar Induk Kemang dan Pasar Baru.
Dari pedagang besar ini,
bawang merah disalurkan ke pasar-pasar lokal yang ada di Kota Bogor maupun di luar Kota Bogor seperti pasar-pasar di wilayah Kabupaten Bogor, Sukabumi bahkan Jakarta. 3. Pedagang pengecer Pedagang pengecer adalah pedagang yang membeli bawang merah dari pedagang besar dalam jumlah yang relatif kecil untuk kemudian dijual kembali ke konsumen. 4. Industri pengolah bawang merah Industri pengolah bawang merah yang ada di Kota Bogor sulit diidentifikasi karena industri ini masih bersifat industri kecil yang tidak terdaftar di Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Kota Bogor.
Industri pengolahan bawang merah yang berhasil
ditemui oleh peneliti yaitu industri bawang goreng dan tepung bawang.
Industri ini umumnya memperoleh bawang merah dari
pedagang besar di Pasar Induk Kemang. C.2. Anggota Sekunder (Secondary Members) Anggota
sekunder
adalah
perusahaan-perusahaan
yang
menyediakan sumber daya, pengetahuan, utilitas atau aset-aset bagi anggota primer. Yang termasuk ke dalam anggota sekunder pada rantai pasokan bawang merah adalah lembaga pengangkutan yang bergerak di
42
bidang jasa transportasi, produsen kemasan, buruh angkut, produsen atau pedagang mesin pengiris bawang.
C.3. Aktivitas Anggota Primer Rantai Pasokan Bawang Merah Aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh anggota primer rantai pasokan bawang merah dapat dilihat pada Tabel 9.
Pengirim
memperoleh bawang merah dari pengumpul yang berada di sentra produksi komoditi ini.
Bawang merah yang diperoleh sudah dalam
keadaan kering tanpa daun dan dikemas menggunakan karung anyaman plastik berlubang (waris) dengan berat masing-masing 120 kg. Bawang merah tersebut kemudian dikirim ke beberapa daerah seperti Jakarta, Bekasi, Tanggerang, Bogor dan daerah lainnya. Bawang merah yang berasal dari pengirim masuk ke Kota Bogor melalui Pasar Induk Kemang. Aktivitas yang dilakukan oleh pengirim bawang merah ini antara lain aktivitas penjualan, pembelian, pengangkutan dan informasi pasar. Tabel 9. Aktivitas anggota primer rantai pasokan bawang merah di kota Bogor Anggota Primer Rantai Pasokan Aktivitas Pedagang Pengecer Industri Pengirim Besar Pertukaran x x x x Penjualan x x x x Pembelian Fisik x x x/x Pengangkutan x x/x/Penyimpanan x x x Pengemasan Fasilitas x x x Sortasi x/Grading x x/Pengolahan x x x x Informasi Pasar Keterangan : (x) dilakukan (-) tidak dilakukan (x/-) dilakukan oleh sebagian anggota
43
Selain memperoleh bawang merah dari pengirim, pedagang besar di Pasar Induk Kemang ada yang membeli langsung dari pedagang grosir di Pasar Induk Cibitung, Bekasi. Hal ini juga dilakukan oleh pedagang besar di Pasar Baru Bogor. Pedagang besar di kedua pasar ini langsung mendatangi pedagang grosir untuk mendapatkan bawang merah. Terdapat beberapa perbedaan aktivitas yang dilakukan antara pedagang besar yang langsung dikirim oleh pengirim dengan pedagang besar yang membeli bawang merah dari pedagang grosir. Salah satu perbedaannya yaitu pada aktivitas pengangkutan. Pedagang besar yang membeli bawang merah dari pengirim tidak melakukan aktivitas pengangkutan karena bawang merah langsung dikirim oleh pengirim ke pasar pembeli, sedangkan pedagang besar yang membeli bawang merah dari pedagang grosir melakukan aktivitas pengangkutan dari Pasar Induk Cibitung ke pasar tempat pedagang besar berjualan. Sebelum dijual ke pedagang pengecer atau industri, pedagang besar melakukan sortasi untuk memisahkan antara bawang merah yang baik mutunya dengan bawang merah yang sudah busuk.
Grading
dilakukan apabila ada permintaan dari pembeli. Bawang merah yang dijual dikemas dalam karung anyaman plastik berlubang atau menggunakan plastik biasa dengan bobot sesuai permintaan pembeli. Aktivitas penyimpanan jarang dilakukan oleh pedagang besar karena biasanya bawang merah habis terjual pada hari yang sama dengan pembeliannya.
Jika tidak habis terjual, pedagang besar menyimpan
langsung di kios tempat mereka berjualan. Pedagang pengecer dan industri yang ada di Kota Bogor membeli bawang merah dari pedagang besar.
Pedagang pengecer mendatangi
langsung pedagang besar untuk mendapatkan bawang merah, sedangkan industri biasanya melakukan pemesanan melalui telepon dan akan segera dikirim oleh pedagang besar. Aktivitas yang dilakukan oleh pedagang pengecer antara lain penjualan, pembelian, pengangkutan, pengemasan, sortasi, dan informasi pasar. Aktivitas penyimpanan dan pengolahan dilakukan pada saat-saat
44
tertentu. Sedangkan aktivitas yang dilakukan oleh industri antara lain penjualan, pembelian,
pengangkutan, penyimpanan, pengemasan,
sortasi, pengolahan, dan informasi pasar. Pada aktivitas pertukaran, harga yang ditawarkan kepada konsumen (dalam hal ini pedagang pengecer dan industri pegolahan bawang merah) oleh pedagang besar di pasar induk dapat berbeda tergantung dari volume pembelian. Harga beli bawang merah secara eceran dengan pembelian dalam skala kuintal atau ton dapat berbeda sekitar Rp 500,00 – Rp 700,00 per kg.
Hal ini tentunya dapat
mengurangi biaya bahan baku bagi industri pengolahan bawang merah.
D. Konfigurasi Jaringan Logistik D.1. Pola Aliran Rantai Pasokan Aliran komoditas bawang merah di Kota Bogor, melibatkan beberapa pihak sebagai mata rantai dari rantai pasokan. Anggota rantai pasokan yang terlibat antara lain pedagang pengumpul, pedagang besar, pengecer, industri dan konsumen rumah tangga. Aliran pasokan bawang merah di Kota Bogor dimulai dari pengirim yang berasal dari daerah-daerah di Jawa. Pasokan bawang merah yang berasal dari Cirebon, Demak, Bantul, Probolinggo, Sukomoro, Banyuwangi dan daerah lain sangat tergantung pada musim. Daerah-daerah tersebut memasok bawang merah hanya pada saat musim panen, sedangkan Brebes yang selama ini dikenal sebagai sentra produksi bawang merah dapat memasok bawang merah setiap hari.
Hal ini
disebabkan oleh produksi bawang merah di Brebes yang terjadi sepanjang tahun dan tidak tergantung pada musim. Selain itu, Brebes juga menerima pasokan dari daerah lain sehingga persediaan bawang merah di daerah tersebut selalu tersedia. Bawang merah dari daerah Bandung dan Cianjur jarang dipasarkan di Kota Bogor karena bawang merah dari daerah-daerah ini kurang diminati oleh konsumen di Bogor. Selain pasokan dari daerah-daerah di Jawa, pasokan bawang merah dapat juga berasal dari luar negeri. Bawang merah impor ini
45
masuk ke Bogor jika harga pasaran bawang merah lokal tinggi. Walaupun harga pasaran bawang merah impor lebih rendah dibandingkan bawang merah lokal, konsumen di Bogor kurang menyukai varietas impor. Hal ini antara lain disebabkan oleh aroma varietas lokal lebih tajam dibandingkan varietas impor. Pengirim mendatangi langsung pedagang besar yang ada di Pasar Induk Kemang.
Masing-masing pedagang besar umumnya telah
memiliki pemasok tetap.
Selain mendapat kiriman langsung dari
pengirim, ada juga pedagang besar yang membeli bawang merah dari Pasar Induk Cibitung, Bekasi. Pedagang besar yang membeli dari Pasar Induk Cibitung tidak hanya pedagang besar di Pasar Induk Kemang, tetapi juga pedagang besar di Pasar Baru.
Setiap pedagang besar
membeli bawang merah sekitar 2 – 5 ton per hari. Namun pada saat-saat tertentu seperti menjelang hari raya, jumlah yang dibeli oleh pedagang besar dapat mencapai dua kali lipat dari hari biasa. Bawang merah ini tidak hanya disalurkan ke wilayah Kota Bogor saja, tetapi disalurkan juga ke beberapa pasar diluar Kota Bogor. Pedagang-pedagang pengecer yang berada di wilayah Kota Bogor membeli bawang merah dari pedagang besar yang berada di Pasar Induk Kemang dan Pasar Baru.
Pedagang pengecer tidak selalu membeli
bawang merah dari pedagang besar yang sama setiap harinya, tergantung dari harga yang ditawarkan oleh masing-masing pedagang besar. Ratarata pedagang pengecer membeli bawang merah antara 6 – 60 kg per hari. Dari pedagang pengecer ini, bawang merah akhirnya sampai ke tangan konsumen. Industri yang terdapat di Kota Bogor yang berhasil ditemui peneliti, satu industri berada di Kecamatan Bogor Utara dan dua industri berada di Kecamatan Bogor Timur. Industri ini berskala kecil dan tidak memiliki merek dagang. Industri yang berada di Kecamatan Bogor Utara mengolah bawang merah menjadi bawang goreng dan tepung bawang. Sedangkan industri yang berada di Kecamatan Bogor Timur, keduanya mengolah bawang merah menjadi bawang goreng.
Dari hasil
46
wawancara, diketahui bahwa industri pengolahan bawang merah ini memperoleh pasokan dari Pasar Induk Kemang. Umumnya industri ini telah menjalin kemitraan dengan pedagang besar sehingga memiliki pemasok yang tetap. D.2. Metode Transportasi dan Penyimpanan Transportasi pada rantai pasokan bawang merah di Kota Bogor terdiri dari transportasi dari pengirim ke pedagang besar, transportasi pedagang besar di Kota Bogor yang mendatangi grosir di pasar Induk Cibitung serta transportasi pedagang pengecer dari pedagang besar. Transportasi bawang merah dari pengirim bawang merah ke pedagang besar di Kota Bogor dilakukan dengan menggunakan truk yang berkapasitas mengangkut bawang merah sebanyak 6 ton per truk. Pedagang besar yang mendatangi grosir di Pasar Induk Cibitung menggunakan mobil pick up. Kapasitas mobil pick up untuk mengangkut bawang merah sekitar 2 ton atau 17 karung besar dengan berat masingmasing 120 kg per karung.
Pengangkutan dari pedagang besar ke
pedagang pengecer ada yang menggunakan mobil pick up dan ada juga yang menggunakan angkutan umum. Biaya yang dianggarkan untuk mengangkut bawang merah berbeda-beda untuk setiap tujuan.
Biaya transfer dari pengirim
ke
pedagang besar di Pasar Induk Kemang ditanggung oleh pengirim, sedangkan biaya transfer pedagang besar di Pasar Induk Kemang dan Pasar Baru yang membeli bawang merah dari Pasar Induk Cibitung menjadi tanggungan pedagang besar itu sendiri dengan biaya transportasi berkisar antara Rp 170,00 – Rp 220,00 per kg. Biaya transportasi dari pedagang besar ke pedagang pengecer di Kota Bogor mengeluarkan biaya antara Rp 40,00 – Rp 210,00 per kg. Pedagang besar di Bogor jarang melakukan fungsi penyimpanan dikarenakan bawang merah tersebut diusahakan harus habis dalam satu hari. Namun jika tidak habis, bawang merah ini disimpan langsung di kios tempat pedagang besar berjualan karena mereka tidak memiliki gudang penyimpanan sehingga pedagang tidak perlu mengeluarkan biaya
47
penyimpanan. Jika kondisi bawang merah yang tidak habis dalam satu hari ini masih dalam kondisi baik, pedagang besar menjual dengan harga yang berlaku di pasaran. Sedangkan jika kondisi bawang merah ini tidak baik, maka harga yang ditawarkan ke konsumen akan lebih rendah dari harga pasaran yang berlaku. Biasanya harga bawang merah ini akan diturunkan 5% dari harga pasaran. Untuk menjaga agar kondisi bawang merah ini tetap kering, pedagang besar menggelar bawang merah dan mengeringkannya menggunakan kipas angin listrik. Tetapi jika cuaca mendukung, pedagang besar akan menjemurnya di bawah sinar matahari langsung. Hal yang sama pun dilakukan oleh pedagang pengecer.
Jika
bawang merah yag mereka beli tidak laku dalam waktu satu hari, mereka melakukan penyimpanan di kios. Bawang merah tersebut disimpan pada tempat terbuka yang kering agar mutunya dapat terjaga dengan baik. D.3.Penyebaran Pasokan Bawang Merah Pengirim *) 510 ton (61,82%)
Luar Kota Bogor 513,7 ton (62,27%)
Pasokan ke Kota Bogor 825 ton
Cibitung 315 ton (38,18%)
Pasar-Pasar di Kota Bogor 300 ton (36,36%)
Industri (bawang goreng & tepung bawang) 11,3 ton (1,37%)
Keterangan : *) Dari berbagai daerah, tergantung musim
Gambar 4. Sumber dan penyebaran pasokan bawang merah per bulan di Kota Bogor Seperti telah dikemukakan diawal, pasokan bawang merah yang masuk ke Kota Bogor berasal dari luar daerah Bogor. Bawang merah ini dipasok melalui dua cara yaitu langsung dikirim oleh pengirim atau
48
supplier dan ada juga yang dibeli langsung oleh pedagang besar di Bogor dari grosir yang berada di Pasar Induk Cibitung. Setiap bulannya, bawang merah yang dikirim langsung oleh pengirim ke Kota Bogor rata-rata sebanyak 510 ton atau 61,82% dari total pasokan bawang merah yang masuk ke Kota Bogor, sedangkan yang dibeli dari Pasar Induk Cibitung rata-rata sebanyak 315 ton atau 38,18%. Gambar 4 menunjukkan sumber dan penyebaran pasokan bawang merah per bulan di Kota Bogor. Bawang merah yang masuk ke Kota Bogor, tidak semuanya dijual di pasar-pasar di Kota Bogor. Lebih dari 50% bawang merah yang masuk dijual di luar Kota Bogor. Pasokan yang dijual di pasar-pasar Kota Bogor untuk dijual ke konsumen dan industri berjumlah rata-rata sebanyak 311,3 ton atau 37,73% dari jumlah bawang merah yang masuk. Dari 37,73% bawang merah yang dikonsumsi oleh Kota Bogor tersebar di seluruh pasar dan industri.
Sebanyak 300 ton per bulan
bawang merah tersebar di 7 pasar tradisional di Kota Bogor dan 11,3 ton per bulan digunakan untuk kebutuhan Industri. Industri yang berhasil penulis wawancarai mendapatkan bawang merah dari pedagang besar yang berada di Pasar Induk Kemang. Tabel 10 menunjukkan rincian kebutuhan industri pengolah bawang merah di Kota Bogor. Tabel 10. Kebutuhan bawang merah (ton per bulan) Industri Pusat Pelayanan Pengemasan (Ceremai Ujung) Pengolahan Bawang Goreng di Sindangsari I Pengolahan Bawang Goreng di Sindangsari II Jumlah
industri pengolahnya di Kota Bogor Sumber
Kebutuhan
Pasar Induk Kemang
0,8
Pasar Induk Kemang
6,0
Pasar Induk Kemang
4,5 11,3
Jumlah yang dipasok oleh setiap pasar berbeda-beda. Pasokan bawang merah terbanyak disediakan oleh pedagang pengecer di Pasar Baru yaitu sekitar 104 ton per bulan. Sedangkan pasokan bawang merah paling sedikit disediakan oleh Pasar Gunung Batu dan Pasar Padasuka dengan jumlah pasokan masing-masing sebanyak 4,5 ton per bulan.
49
E. Pengendalian Persediaan Pengelolaan persediaan yang dilakukan oleh pengirim, pedagang besar dan pedagang pengecer masih sangat sederhana. Pengiriman bawang merah oleh pengirim atau supplier ke Bogor memerlukan waktu berbeda tergantung dari daerah pengirimannya. Untuk mengirimkannya ke Kota Bogor, pengirim memilih waktu pada malam hari karena pada saat tersebut lalu-lintas tidak begitu ramai. Umumnya, pengirim tiba di tempat tujuan antara pukul 24.00 – 05.00 wib. Pengiriman ini dilakukan setiap hari. Jika bawang merah yang dikirim telah habis sebelum datang pasokan dari pengirim, pedagang besar dapat memasok atau membeli sendiri bawang merah dari daerah lain. Pedagang besar di Kota Bogor yang membeli bawang merah langsung dari grosir di Pasar Induk Cibitung juga menggunakan waktu malam hari untuk memperoleh komoditas dagangannya. Pengirim dan pedagang besar di Kota Bogor menerapkan sistem komisi dalam hubungan perdagangannya.
Pengirim menitipkan bawang
merah kepada pedagang besar yang telah dipercaya.
Pedagang besar
membayar setelah bawang merah tersebut laku terjual dengan mendapatkan komisi yang telah disepakati sebelumnya diantara kedua belah pihak. Hubungan dagang yang berlaku antara grosir di Pasar Induk Cibitung dengan pedagang besar Kota Bogor menerapkan sistem jual beli dimana pedagang besar Kota Bogor membayar secara tunai bawang merah yang dibelinya dari grosir di Pasar Induk Cibitung. Pedagang besar di Kota Bogor melakukan aktivitas penjualan pada siang hari yaitu antara pukul 14.00 – 24.00 wib. Sistem pembelian pedagang pengecer dari dalam dan luar Kota Bogor adalah dengan mendatangi langsung pedagang besar. Sistem pembayaran dilakukan secara tunai. Jumlah bawang merah yang dikonsumsi oleh setiap orang relatif sedikit tetapi diperlukan setiap hari, sehingga ketersediannya harus kontinyu. Di lain pihak, bawang merah merupakan tanaman musiman yang ketersediaanya melimpah pada musim panen dan bekurang bila musimnya telah lewat. Kondisi semacam ini seringkali menyebabkan fluktuasi harga yang tinggi dan tidak terpenuhinya kebutuhan masyarakat.
50
Pengendalian persediaan tidak terlepas dari proses penyimpanan. Penyimpanan merupakan salah satu cara yang dapat mempertahankan mutu produk yang masih hidup, memperpanjang daya guna, menghindarkan banjirnya produk ke pasar pada waktu produksinya melimpah dan menjaga kesinambungan pemasaran, sehingga dapat mengendalikan fluktuasi harga dan akhirnya diharapkan dapat meningkatkan pendapatan petani dan pedagang. Pedagang besar jarang sekali melakukan aktivitas penyimpanan sehingga tidak membutuhkan gudang penyimpanan.
Tetapi jika harus
melakukan penyimpanan dikarenakan bawang merah yang mereka jual tidak habis pada hari itu juga, mereka menyimpan di kios tempat mereka berjualan dengan menjaga kondisi bawang merah tersebut agar tetap kering. Untuk menjaga kondisi tersebut, pedagang besar menggunakan bantuan kipas angin. Tetapi jika cuaca memungkinkan, mereka akan menjemurnya di bawah sinar matahari langsung. Seperti halnya pedagang besar, pedagang pengecer menggunakan kios tempat mereka berjualan untuk menyimpan bawang merah yang tidak habis terjual. Pedagang pengecer pun menjaga agar bawang merah tetap kering sehingga tidak terjadi penurunan mutu baik warna, bau maupun rasa.
F. Marjin Pemasaran Secara spesifik, efisiensi pemasaran pada masing-masing jalur pemasaran berbeda antara jalur pemasaran yang satu dengan yang lainnya. Perbandingan efisiensi pemasaran antar jalur pemasaran bawang merah dapat dilakukan dengan cara menganalisis marjin pemasaran. Marjin pemasaran adalah perbedaan harga diantara lembaga pemasaran.
Marjin pemasaran
terdiri dari biaya pemasaran dan keuntungan pemasaran. Parameter penilaian efisiensi yang digunakan yaitu biaya pemasaran dan rasio keuntungan terhadap biaya total. Keuntungan pemasaran per kg bawang merah dihitung dengan cara mengurangi nilai marjin pemasaran bawang merah per kg dengan biaya pemasaran bawang merah per kg. Dalam penelitian ini, biaya dan keuntungan pemasokan bawang merah dihitung berdasarkan saluran pemasaran dari pedagang pengumpul sampai ke
51
pedagang pengecer. Analisis marjin pemasaran pemasokan bawang merah pada penelitian ini dapat dilihat dari jalur pasokan bawang merah ke konsumen di Kota Bogor. Secara umum, saluran pasokan bawang merah di Kota Bogor dimulai dari pengirim dan grosir Pasar Induk Cibitung yang menjual bawang merah ke pedagang besar di Kota Bogor.
Pedagang besar di Kota Bogor tersebut
kemudian menjual bawang merah ke pedagang pengecer di pasar-pasar tradisional di Kota Bogor.
Melalui perantara pedagang pengecer inilah,
bawang merah sampai ke tangan konsumen. Secara rinci, saluran pasokan bawang merah di Kota Bogor dapat dilihat pada Gambar 5.
Pengecer P. Baru Pedagang Besar PIK Pengirim
Pengecer P.Warung Jambu Pengecer P. Kebon Kembang Konsumen
Pengecer P. Merdeka Grosir PIC
Pengecer P. Sukasari Pedagang Besar P. Baru
Keterangan : PIK : Pasar Induk Kemang PIC : Pasar Induk Cibitung
Pengecer P. Gunung Batu Pengecer P. Padasuka
Gambar 5. Saluran pasokan bawang merah di Kota Bogor Dari gambar 5 dapat dilihat terdapat 16 saluran pasokan bawang merah di Kota Bogor, yaitu : Saluran Pasokan ke 1 : Pengirim – Pedagang Besar Pasar Induk Kemang Pedagang Pengecer Pasar Baru Bogor – Konsumen Saluran Pasokan ke 2 : Pengirim – Pedagang Besar Pasar Induk Kemang Pedagang Pengecer Pasar Warung Jambu Konsumen Saluran Pasokan ke 3 : Pengirim – Pedagang Besar Pasar Induk Kemang Pedagang Pengecer Pasar Kebon Kembang Konsumen
– – – – –
52
Saluran Pasokan ke 4 : Pengirim – Pedagang Besar Pasar Induk Kemang – Pedagang Pengecer Pasar Merdeka – Konsumen Saluran Pasokan ke 5 : Pengirim – Pedagang Besar Pasar Induk Kemang – Pedagang Pengecer Pasar Sukasari – Konsumen Saluran Pasokan ke 6 : Pengirim – Pedagang Besar Pasar Induk Kemang – Pedagang Pengecer Pasar Gunung Batu – Konsumen Saluran Pasokan ke 7 : Grosir Pasar Induk Cibitung – Pedagang Besar Pasar Induk Kemang – Pedagang Pengecer Pasar Baru Bogor – Konsumen Saluran Pasokan ke 8 : Grosir Pasar Induk Cibitung – Pedagang Besar Pasar Induk Kemang – Pedagang Pengecer Pasar Warung Jambu – Konsumen Saluran Pasokan ke 9 : Grosir Pasar Induk Cibitung – Pedagang Besar Pasar Induk Kemang – Pedagang Pengecer Pasar Kebon Kembang – Konsumen Saluran Pasokan ke 10 : Grosir Pasar Induk Cibitung – Pedagang Besar Pasar Induk Kemang – Pedagang Pengecer Pasar Merdeka – Konsumen Saluran Pasokan ke 11 : Grosir Pasar Induk Cibitung – Pedagang Besar Pasar Induk Kemang – Pedagang Pengecer Pasar Sukasari – Konsumen Saluran Pasokan ke 12 : Grosir Pasar Induk Cibitung – Pedagang Besar Pasar Induk Kemang – Pedagang Pengecer Pasar Gunung Batu – Konsumen Saluran Pasokan ke 13 : Grosir Pasar Induk Cibitung – Pedagang Besar Pasar Baru Bogor – Pedagang Pengecer Pasar Baru Bogor – Konsumen Saluran Pasokan ke 14 : Grosir Pasar Induk Cibitung – Pedagang Besar Pasar Baru Bogor – Pedagang Pengecer Pasar Sukasari – Konsumen Saluran Pasokan ke 15 : Grosir Pasar Induk Cibitung – Pedagang Besar Pasar Baru Bogor – Pedagang Pengecer Pasar Gunung Batu – Konsumen Saluran Pasokan ke 16 : Grosir Pasar Induk Cibitung – Pedagang Besar Pasar Baru Bogor – Pedagang Pengecer Pasar Padasuka – Konsumen Analisis marjin pemasaran pada saluran pasokan 1, 2, 3, 4, 5, dan 6 menggunakan asumsi bahwa bawang merah yang dikirim berasal dari pengirim atau supplier di Brebes. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan karena Brebes merupakan daerah sentra produksi bawang merah yang secara rutin mengirim bawang merah ke Bogor dan pada saat penelitian ini dilakukan, pasokan bawang merah yang masuk ke Kota Bogor berasal dari daerah Brebes.
53
Biaya pemasaran di setiap tingkat lembaga pemasaran berbeda-beda. Biaya pemasaran di tingkat pedagang besar meliputi biaya transportasi, biaya bongkar muat, biaya penimbangan, biaya penyusutan, biaya tenaga kerja, biaya, biaya kebersihan, biaya keamanan, biaya retribusi, biaya listrik dan biaya sewa kios. Di tingkat pedagang pengecer, biaya pemasaran meliputi biaya transportasi, biaya penyusutan, upah tenaga kerja, biaya kebersihan, biaya keamanan, biaya retribusi, biaya listrik dan biaya sewa kios. Masingmasing biaya tersebut diperhitungkan dengan cara membagi biaya total per bulannya dengan jumlah kilogram bawang merah yang dipasok setiap bulan. Tabel 11 dan 12 memperlihatkan hasil perhitungan biaya, keuntungan dan total marjin pemasaran untuk setiap saluran pemasaran.
Rincian hasil
perhitungan marjin pemasaran, biaya dan keuntungan secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 4, 5 dan 6. Tabel 11. Total biaya, total keuntungan dan total marjin saluran pemasaran 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7 dan 8 bawang merah (dalam Rp/kg) Saluran ke-
1
2
4
5
6
PS 2.000 4.000 995 1.005 2.000
PGB 2.000 4.000 985 1.015 2.000
Pengirim
Asal Pasar Tujuan Harga Beli Awal Harga Jual Akhir Jumlah Biaya Jumlah Keuntungan Total Margin
3
PBB 2.000 3.800 950 850 1.800
PWJ 2.000 4.000 985 1.015 2.000
PKK 2.000 3.900 970 930 1.900
PM 2.000 4.000 1.005 995 2.000
7 8 Pasar Induk Cibitung PBB PWJ 1.800 1.800 3.800 4.000 1.165 1.200 835 1.000 2.000 2.200
Tabel 12. Total biaya, total keuntungan dan total marjin saluran pemasaran 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, dan 16 bawang merah (dalam Rp/kg) Saluran keAsal Pasar Tujuan Harga Beli Awal Harga Jual Akhir Jumlah Biaya Jumlah Keuntungan Total Margin
9
10
PKK 1.800 3.900 1.185 915 2.100
PM 1.800 4.000 1.220 980 2.200
Keterangan : PBB : Pasar Baru Bogor PKK : Pasar Kebon Kembang PS : Pasar Sukasari PPs : Pasar Padasuka
11
12 13 14 Pasar Induk Cibitung PS PGB PBB PS 1.800 1.800 1.800 1.800 4.000 4.000 3.800 4.000 1.210 1.200 875 1.120 990 1.000 1.125 1.080 2.200 2.200 2.000 2.200
PWJ PM PGB
15
16
PGB 1.800 4.000 1.140 1.060 2.200
PPs 1.800 3.900 1.030 1.070 2.100
: Pasar Warung Jambu : Pasar Merdeka : Pasar Gunung Batu
54
Efisiensi suatu saluran pemasaran dipengaruhi oleh efisiensi operasional dan efisiensi ekonomis/harga.
Efisiensi secara operasional
berdasarkan pada nilai marjin pemasaran, dimana saluran pemasaran yang memiliki nilai marjin lebih rendah menunjukkan lebih efisien.
Marjin
pemasaran terdiri dari keuntungan yang diambil oleh lembaga pemasaran dan biaya operasional. Dari ke-16 saluran pemasaran, biaya operasional terendah terdapat pada saluran pemasaran ke-13 (Rp 875,00) sedangkan biaya operasional tertinggi terdapat pada saluran pemasaran ke-10 (Rp 1220,00). Keuntungan terendah dan tertinggi masing-masing terdapat pada saluran pemasaran ke-7 (Rp 835,00) dan saluran pemasaran ke-13 (Rp 1.125,00). Saluran pemasaran yang paling efisien secara operasional karena memiliki marjin pemasaran yang paling rendah adalah saluran pemasaran ke-1 dimana biaya operasionalnya sebesar Rp 950,00 dan keuntungan Rp 850,00 sehingga marjin pemasarannya sebesar Rp 1.800,00.
G. Model Transshipment G. 1. Identifikasi persoalan 1. Identifikasi variabel keputusan Pedagang besar di Pasar Induk Kemang memperoleh bawang merah dari pengirim yang berasal dari luar daerah dan dari grosir di Pasar Induk Cibitung.
Pedagang besar di Pasar Baru Bogor
memperoleh bawang merah hanya dari grosir di Pasar Induk Cibitung. Dari pedagang besar di Pasar Induk Kemang, bawang merah disalurkan ke pedagang pengecer di 6 pasar tradisional Kota Bogor, yaitu Pasar Baru Bogor, Pasar Warung Jambu, Pasar Kebon Kembang, Pasar Merdeka, Pasar Sukasari dan Pasar Gunung Batu. Pedagang besar yang berada di Pasar Baru Bogor selain menyalurkan bawang merah ke pedagang pengecer di Pasar Baru Bogor sendiri, juga menyalurkan ke pengecer yang berada di Pasar Sukasari, Pasar Gunung Batu dan Pasar Padasuka.
55
Variabel keputusan yaitu jumlah alokasi bawang merah dari tiap sumber pasokan bawang merah ke tiap pasar berdasarkan aliran pasokan bawang merah di Kota Bogor. Skema aliran pasokan bawang merah dapat dilihat pada Gambar 6. Pedagang pengecer di Pasar Warung Jambu, Pasar Kebon Kembang, Pasar Merdeka selama ini memperoleh bawang merah hanya dari pedagang besar di Pasar Induk Kemang sehingga alokasinya tidak diubah dan tidak termasuk ke dalam variabel keputusan.
Demikian pula dengan pedagang pengecer di Pasar
Padasuka yang memperoleh bawang merah hanya dari pedagang besar di Pasar Baru Bogor sehingga alokasinyapun tidak diubah dan tidak termasuk dalam variabel keputusan.
5
3 1
6 7 8
2 9 4 1 1 Keterangan: Tanda Lingkaran menunjukkan sumber dan pasar tujuan pasokan bawang merah. Setiap nomor menunjukkan : 1) pengirim; 2) grosir P. Induk Cibitung; 3) pedagang besar P. Induk Kemang; 4) pedagang besar P. Baru Bogor; 5) pengecer P. Baru Bogor; 6) pengecer P. Warung Jambu; 7) pengecer P. Kebon Kembang; 8) pengecer P. Merdeka; 9) pengecer P. Sukasari; 10) pengecer P. Gunung Batu; 11)
Gambar 6. Skema sumber dan pasar tujuan pasokan bawang merah Variabel keputusan yang dipilih merupakan variabel dari jumlah pasokan pada masing-masing pasar tujuan di Kota Bogor yang berasal dari sumber penyedia bawang merah sehingga dapat diketahui jumlah
56
bawang merah yang harus dipasok. Variabel keputusan yang dicari disajikan dalam Tabel 13. Tabel 13. Variabel Keputusan Simbol Variabel Keputusan Jumlah pasokan dari pengirim ke pedagang besar di P. Induk X1,3 Kemang Jumlah pasokan dari grosir P. Induk Cibitung ke pedagang X2,3 besar P. Induk Kemang Jumlah pasokan dari grosir P. Induk Cibitung ke pedagang X2,4 besar P. Baru Bogor Jumlah pasokan dari pedagang besar P. Induk Kemang ke X3,5 pengecer P. Baru Bogor Jumlah pasokan dari pedagang besar P. Induk Kemang ke X3,9 pengecer P. Sukasari Jumlah pasokan dari pedagang besar P. Induk Kemang ke X3,10 pengecer P. Gunung Batu Jumlah pasokan dari pedagang besar P. Baru Bogor ke X4,5 pengecer P. Baru Bogor Jumlah pasokan dari pedagang besar P. Baru Bogor ke X4,9 pengecer P. Sukasari Jumlah pasokan dari pedagang besar P. Baru Bogor ke X4,10 pengecer P. Gunung Batu 2. Identifikasi kendala-kendala Kendala-kendala dalam model yaitu jumlah pasokan bawang merah dari tiap sumber dan jumlah kebutuhan bawang merah di tiap pasar. Nilai-nilainya diasumsikan tetap, sesuai dengan hasil wawancara dengan para pedagang. Formulasi dari kendala-kendala tersebut adalah sebagai berikut : a. Kendala jumlah pasokan bawang merah untuk Kota Bogor X1,3 + X2,3 + X2,4 = A b. Kendala jumlah pasokan bawang merah dari grosir Pasar Induk Cibitung X2,3 + X2,4 = B c. Kendala jumlah pasokan bawang merah yang tidak terserap oleh pengecer Pasar Baru Bogor, Pasar Sukasari, Pasar Gunung Batu di Kota Bogor. X1,3 + X2,3 + X2,4 - X3,5 - X3,9 - X3,10 - X4,5 - X4,9 - X4,10 = C
57
d. Kendala jumlah pasokan bawang merah yang tidak terserap oleh pengecer Pasar Baru Bogor, Pasar Sukasari, Pasar Gunung Batu di Pasar Induk Kemang. X1,3 + X2,3 - X3,5 - X3,9 - X3,10 = D e. Kendala jumlah pasokan bawang merah yang tidak terserap oleh pengecer Pasar Baru Bogor, Pasar Sukasari, Pasar Gunung Batu dari pedagang besar di Pasar Baru Bogor. X2,4 - X4,5 - X4,9 - X4,10 = E f. Kendala kebutuhan pengecer Pasar Baru Bogor X3,5 + X4,5 = F g. Kendala kebutuhan pengecer Pasar Sukasari X3,9 + X4,9 = G h. Kendala kebutuhan pengecer Pasar Gunung Batu X3,10 + X4,10 = H i. Kendala nilai positif (jumlah pasokan/kebutuhan bawang merah > 0) Xi,j ≥ 0 Keterangan : A : jumlah pasokan bawang merah untuk Kota Bogor (kg) B : jumlah pasokan bawang merah dari grosir Pasar Induk Cibitung (kg) C : jumlah pasokan bawang merah yang tidak terserap oleh pengecer Pasar Baru Bogor, Pasar Sukasari, Pasar Gunung Batu di Kota Bogor (kg) D : jumlah pasokan bawang merah yang tidak terserap oleh pengecer Pasar Baru Bogor, Pasar Sukasari, Pasar Gunung Batu di Pasar Induk Kemang (kg) E : jumlah pasokan bawang merah yang tidak terserap oleh pengecer Pasar Baru Bogor, Pasar Sukasari, Pasar Gunung Batu dari pedagang besar di Pasar Baru Bogor (kg) F : jumlah kebutuhan pengecer Pasar Baru Bogor (kg) G : jumlah kebutuhan pengecer Pasar Sukasari (kg) H : jumlah kebutuhan pengecer Pasar Gunung Batu (kg) 3. Perumusan fungsi tujuan Tujuan pembuatan model adalah mencari alokasi optimal yang meminimumkan biaya total yang meliputi biaya transportasi, biaya penyusutan pemasokan dan harga beli bawang merah ke Kota Bogor. Model alokasi optimal diformulasikan sebagai berikut.
58
Meminimumkan biaya total (Z) = C1,3X1,3 + C2,3X2,3 + C2,4X2,4 + C3,5X3,5 + C3,9X3,9 + C3,10X3,10 + C4,5X4,5 + C4,9X4,9 + C4,10X4,10 Keterangan : Z : Total biaya Cij : Biaya per kg bawang merah dari asal i ke tujuan j G. 2. Penyusunan Model 1. Persamaan kendala a. Kendala jumlah pasokan bawang merah untuk Kota Bogor Kota Bogor memperoleh pasokan bawang merah sebanyak 825 ton per bulan dari sumber pemasok bawang merah. X1,3 + X2,3 + X2,4 = 825.000 b. Kendala jumlah pasokan bawang merah dari grosir Pasar Induk Cibitung Setiap bulannya, rata-rata grosir di Pasar Induk Cibitung memasok bawang merah ke Kota Bogor sebanyak 315 ton. X2,3 + X2,4 = 315.000 c. Kendala jumlah pasokan bawang merah yang tidak terserap oleh pengecer Pasar Baru Bogor, Pasar Sukasari, Pasar Gunung Batu di Kota Bogor. Jumlah pasokan bawang merah yang tidak terserap oleh pengecer Pasar Baru Bogor, Pasar Sukasari, Pasar Gunung Batu di Kota Bogor merupakan jumlah dari bawang merah yang diserap oleh pengecer di Pasar Warung Jambu, Pasar Kebon Kembang, Pasar Merdeka, Pasar Padasuka dan pasar-pasar yang berada di luar Kota Bogor serta jumlah pasokan bawang merah yang digunakan untuk industri-industri pengolahan bawang merah di Kota Bogor yaitu sebanyak 710,5 ton per bulan. X1,3 + X2,3 + X2,4 - X3,5 - X3,9 - X3,10 - X4,5 - X4,9 - X4,10 = 710.500 d. Kendala jumlah pasokan bawang merah yang tidak terserap oleh pengecer Pasar Baru Bogor, Pasar Sukasari, Pasar Gunung Batu di Pasar Induk Kemang.
59
Jumlah pasokan bawang merah yang tidak terserap oleh pengecer Pasar Baru Bogor, Pasar Sukasari, Pasar Gunung Batu di Pasar Induk Kemang merupakan jumlah dari bawang merah yang diserap oleh pengecer di Pasar Warung Jambu, Pasar Kebon Kembang, Pasar Merdeka dan pasar-pasar yang berada di luar Kota Bogor serta jumlah pasokan bawang merah yang digunakan untuk industri-industri pengolahan bawang merah di Kota Bogor yaitu sebanyak 677 ton per bulan. X1,3 + X2,3 - X3,5 - X3,9 - X3,10 = 677.000 e. Kendala jumlah pasokan bawang merah yang tidak terserap oleh pengecer Pasar Baru Bogor, Pasar Sukasari, Pasar Gunung Batu dari pedagang besar di Pasar Baru Bogor. Jumlah pasokan bawang merah yang tidak terserap oleh pengecer Pasar Baru Bogor, Pasar Sukasari, Pasar Gunung Batu dari pedagang besar di Pasar Baru Bogor merupakan jumlah dari bawang merah yang diserap oleh pengecer di Pasar Padasuka dan pasarpasar yang berada di luar Kota Bogor yaitu sebanyak 33,5 ton per bulan. X2,4 - X4,5 - X4,9 - X4,10 = 33.500 f. Kendala kebutuhan pengecer Pasar Baru Bogor Pedagang pengecer di Pasar Baru Bogor mendapat pasokan bawang merah sebanyak 104 ton per bulan. X3,5 + X4,5 = 104.000 g. Kendala kebutuhan pengecer Pasar Sukasari Pedagang pengecer di Pasar Sukasari mendapat pasokan bawang merah sebanyak 6 ton per bulan. X3,9 + X4,9 = 6.000 h. Kendala kebutuhan pengecer Pasar Gunung Batu Pedagang pengecer di Pasar Gunung Batu mendapat pasokan bawang merah sebanyak 4,5 ton per bulan. X3,10 + X4,10 = 4.500
60
2. Fungsi Tujuan Fungsi model yaitu untuk meminimumkan biaya pasokan total dengan pengaturan alokasi bawang merah. Biaya dari tiap sumber ke tiap tujuan dapat dilihat pada Tabel 14. Biaya ini diperoleh dengan cara menjumlahkan biaya transfer, biaya penyusutan dan harga per kg bawang merah dari tiap sumber ke tiap tujuan. Model fungsi tujuan setelah dilengkapi dengan konstanta biaya pasokan tersaji sebagai berikut. Z = 4.720,00 X1,3 + 4.690,00 X2,3 + 4.670,00 X2,4 + 5.610,00 X3,5 + 5.650,00 X3,9 + 5.640,00 X3,10 + 5.515,00 X4,5 + 5.700,00 X4,9 + 5.710,00 X4,10 Tabel 14. Biaya pasokan dari tiap sumber ke tiap tujuan (Cij) Simbol X1,3 X2,3 X2,4 X3,5 X3,9 X3,10 X4,5 X4,9 X4,10
Sumber Pengirim (i = 1) Grosir PIC (i = 2) Pedagang Besar PIK (i = 3) Pedagang Besar PBB (i = 4)
Keterangan : PIC : Pasar Induk Cibitung PBB : Pasar Baru Bogor PKK : Pasar Kebon Kembang PS : Pasar Sukasari PPs : Pasar Padasuka
Tujuan Pedagang Besar PIK (j = 3) Pedagang Besar PBB (j = 4) Pengecer PBB (j = 5) Pengecer PS (j = 9) Pengecer PGB (j = 10) Pengecer PBB (j = 5) Pengecer PS (j = 9) Pengecer PGB (j = 10) PIK PWJ PM PGB
: : : :
Cij (Rp/kg) 4.720 4.730 4.620 5.650 5.610 5.590 5.450 5.740 5.760
Pasar Induk Kemang Pasar Warung Jambu Pasar Merdeka Pasar Gunung Batu
G. 3. Analisis Model Untuk memperoleh penyelesaian model transshipment yang telah dibuat, dilakukan proses perhitungan dengan bantuan perangkat LINDO. Model fungsi tujuan dalam bentuk persamaan matematik beserta persamaan kendala dimasukkan dalam program LINDO. Hasil solving persamaan menggunakan bantuan LINDO ini menghasilkan keluaran berupa nilai optimal dari variabel keputusan yang dicari. Nilai variabel-variabel keputusan hasil optimasi tersaji pada Tabel 15. Berdasarkan hasil tersebut, biaya pasokan minimal diperoleh jika
61
setiap bulannya pedagang besar Pasar Induk Kemang mendapat pasokan bawang merah dari pengirim (510 ton) dan grosir Pasar Induk Cibitung (177,5 ton), pedagang besar Pasar Baru Bogor mendapat pasokan bawang merah dari grosir Pasar Induk Cibitung (137,5 ton), pengecer Pasar Baru Bogor mendapat seluruh pasokan bawang merah dari pedagang besar di Pasar Baru Bogor (104 ton), sedangkan pengecer Pasar Sukasari dan Pasar Gunung Batu memperoleh pasokan bawang merah dari pedagang besar di Pasar Induk Kemang dengan jumlah masing-masing 6 ton serta 4,5 ton. Tabel 15. Nilai optimal variabel keputusan (dalam kg) Simbol
Variabel Keputusan Jumlah pasokan dari pengirim ke pedagang besar di P. Induk Kemang Jumlah pasokan dari grosir P. Induk Cibitung ke pedagang besar P. Induk Kemang Jumlah pasokan dari grosir P. Induk Cibitung ke pedagang besar P. Baru Bogor Jumlah pasokan dari pedagang besar P. Induk Kemang ke pengecer P. Baru Bogor Jumlah pasokan dari pedagang besar P. Induk Kemang ke pengecer P. Sukasari Jumlah pasokan dari pedagang besar P. Induk Kemang ke pengecer P. Gunung Batu Jumlah pasokan dari pedagang besar P. Baru Bogor ke pengecer P. Baru Bogor Jumlah pasokan dari pedagang besar P. Baru Bogor ke pengecer P. Sukasari Jumlah pasokan dari pedagang besar P. Baru Bogor ke pengecer P. Gunung Batu
X1,3 X2,3 X2,4 X3,5 X3,9 X3,10 X4,5 X4,9 X4,10
Pasokan optimal 510.000 177.500 137.500 6.000 4.500 104.000 -
Alokasi optimum hasil perhitungan LINDO berbeda dengan hasil pehitungan alokasi bawang merah yang selama ini terjadi. Biaya pasokan untuk alokasi yang selama ini terjadi sebesar Rp 4.528.222.000 sementara biaya yang diperlukan untuk alokasi hasil optimasi sebesar Rp 4.507.640.000 per bulan. Perhitungan dari kedua biaya tersebut dapat dilihat pada Lampiran 7.
Dengan perubahan sesuai dengan alokasi
keluaran LINDO, diperoleh minimasi biaya sebesar Rp 20.582.000 per bulan. Dengan demikian, pemasokan bawang merah dengan alokasi sesuai hasil perhitungan LINDO akan lebih efisien karena akan mengurangi biaya pasokan.
62
Perhitungan alokasi optimal dilakukan berdasarkan asumsi-asumsi dari data yang diperoleh peneliti. Asumsi-asumsi tersebut dapat berbeda dengan kenyataan, terlebih jika melihat pada kondisi pasar yang terus mengalami perubahan. Analisis sensitivitas atau analisis kepekaan adalah analisis yang dilakukan untuk mengetahui akibat atau pengaruh dari perubahan yang terjadi pada parameter-parameter linear programming terhadap solusi optimal yang telah dicapai (Dimyati dan Dimyati, 2003). Analisis sensitivitas memiliki selang kepekaan yang dapat menunjukkan perubahan yang terjadi pada hasil optimasi. Selang kepekaan tersebut terdiri dari batas penurunan (allowable decrease) dan batas kenaikan (allowable increase). Tabel 16 dan Tabel 17 menyajikan hasil perhitungan analisis sensitivitas menggunakan perangkat LINDO. Tabel 16 menyajikan batasbatas perubahan koefisien fungsi tujuan.
Koefisien fungsi tujuan
menunjukkan biaya pasokan yang terdiri dari biaya transfer, biaya penyusutan dan harga yang dikeluarkan per kg bawang merah dari setiap sumber dan tujuan.
Hasil analisis sensitivitas tersebut menunjukkan
sejauh mana perubahan biaya per kg bawang merah dapat terjadi tanpa mengubah alokasi bawang merah yang meminimalkan biaya pasokan. Tabel 16. Batas-batas perubahan koefisien fungsi tujuan (Rp/kg) Variabel X1,3 X2,3 X2,4 X3,5 X3,9 X3,10 X4,5 X4,9 X4,10
Batas-batas perubahan Koefisien Fungsi Tujuan Current Coef Allowable Increase Allowable Decrease 4720 tidak terbatas tidak terbatas 4730 20 310 4620 310 20 5650 tidak terbatas 310 5610 20 tidak terbatas 5590 60 tidak terbatas 5450 310 tidak terbatas 5750 tidak terbatas 20 5740 tidak terbatas 60
Berdasarkan hasil perhitungan analisis sensitivitas menggunakan LINDO, Alokasi bawang merah dari pengirim ke Pasar Induk Kemang tidak akan mengalami perubahan alokasi meskipun biaya yang diperlukan untuk memasok bawang merah mengalami penurunan atau kenaikan.
63
Alokasi bawang merah untuk Pasar Induk Kemang dan Pasar Baru Bogor dari grosir di Pasar Induk Cibitung dapat mengalami perubahan jika biaya pasokannya dinaikkan atau diturunkan melebihi batas yang tersaji pada Tabel 17. Alokasi bawang merah untuk pengecer di Pasar Baru Bogor dari Pasar Induk Kemang, pengecer Pasar Sukasari dan Pasar Gunung Batu dari pedagang besar di Pasar Baru Bogor tidak akan mengalami perubahan jika biaya pasokannya dinaikkan tanpa batas, tetapi jika biaya pasokan dari pengecer di ketiga pasar tersebut diturunkan sebesar Rp 310,00 untuk Pasar Baru Bogor, Rp 20,00 untuk Pasar Sukasari dan Rp 60,00 untuk Pasar Gunung Batu, maka alokasinya dapat berubah. Alokasi bawang merah untuk pengecer di Pasar Baru Bogor dari pedagang besar di Pasar Baru Bogor, pengecer Pasar Sukasari dan Pasar Gunung Batu dari di Pasar Induk Kemang akan mengalami perubahan jika biaya pasokannya dinaikkan secara berturut-turut sebesar Rp 310,00; Rp 20,00 dan Rp 60,00; tetapi jika biaya pasokan dari pengecer di ketiga pasar tersebut diturunkan tanpa batas maka alokasinya tidak akan berubah. Analisis
sensitivitas
parameter
nilai
ruas
kanan
kendala
memberikan informasi mengenai sampai sejauh mana nilai ruas kanan tersebut dapat berubah. Ruas kanan pada persamaan-persamaan kendala pada model menunjukkan jumlah bawang merah yang tersedia dari tiap pemasok serta jumlah kebutuhan bawang merah di setiap pasar. Hasil pengolahan LINDO menunjukkan bahwa nilai-nilai variabel keputusan akan tetap menghasilkan biaya minimal jika jumlah kebutuhan tiap pasar dan jumlah pasokan bawang merah yang terserap oleh Pasar Warung Jambu, Pasar Kebon Kembang, Pasar Merdeka, Pasar Padasuka dan pasarpasar lain di luar Kota Bogor serta industri pengolahan bawang merah di Kota Bogor tidak berubah. Hal ini menjadi pengecualian untuk jumlah pasokan yang berasal dari Pasar Induk Cibitung. Biaya minimal akan tetap diperoleh jika pasokan dari Pasar Induk Cibitung tidak naik melebihi 510 ton atau turun kurang dari 177,5 ton per bulan.
Hasil analisis
sensitivitas parameter ruas kanan keluaran program LINDO dapat dilihat pada Tabel 18.
64
Tabel 17. Rentang perubahan sisi kanan fungsi kendala (kg) Persamaan Batas Perubahan Sisi Kanan Kendala ke- Current rhs Allowable Increase Allowable Decrease 2 825000 0 0 3 315000 510000 177500 4 710500 0 0 5 677000 0 0 6 33500 0 0 7 104000 0 0 8 6000 0 0 9 4500 0 0 10 0 510000 tidak terbatas 11 0 177500 tidak terbatas 12 0 137500 tidak terbatas 13 0 0 tidak terbatas 14 0 6000 tidak terbatas 15 0 4500 tidak terbatas 16 0 104000 tidak terbatas 17 0 0 tidak terbatas 18 0 0 tidak terbatas
65
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Pasokan bawang merah yang masuk ke Kota Bogor rata-rata sekitar 825 ton per bulan. Kebutuhan bawang merah untuk konsumsi dan industri sebanyak 311,3 ton per bulan atau sebesar 37,73% dari jumlah pasokan yang masuk ke Kota Bogor. Sisa pasokan bawang merah yang masuk ke Bogor sebesar 62,27% didistribusikan ke pasar-pasar yang berada di luar wilayah Kota Bogor. Dengan demikian, Kota Bogor telah dapat memenuhi kebutuhan bawang merah untuk konsumsi dan industri. Kelebihan pasokan yang masuk ke Kota Bogor memiliki potensi untuk dapat digunakan dalam industri pengolahan yang berbasis bawang merah. Dalam aliran rantai pasokan komoditas bawang merah, anggota primer yang terlibat adalah pengirim, pedagang besar, pedagang pengecer, konsumen rumah tangga dan industri. Anggota sekunder pada rantai pasokan bawang merah adalah lembaga pengangkutan yang bergerak di bidang jasa transportasi, produsen kemasan, buruh angkut dan produsen atau pedagang mesin pengiris bawang. Secara umum, pola rantai pasokan bawang merah di Kota Bogor dimulai dari pengirim dari luar daerah dan grosir di Pasar Induk Cibitung yang menyediakan bawang merah untuk kemudian disalurkan ke pedagang besar di Pasar Induk Kemang dan Pasar Baru Bogor. Pedagang pengecer yang berada di pasar-pasar tradisional di Kota Bogor membeli bawang merah dari pedagang besar dan menjual kembali ke konsumen rumah tangga.
Industri-industri pengolahan yang menggunakan bawang merah
sebagai bahan bakunya mendapatkan komoditas tersebut dari pedagang besar di Pasar Induk Kemang. Terdapat 16 saluran pasokan bawang merah di Kota Bogor yang secara umum dimulai dari pengirim luar daerah dan grosir di Pasar Induk Cibitung yang menjual bawang merah ke pedagang besar di Pasar Induk Kemang dan Pasar Baru Bogor. Pedagang besar tersebut kemudian menjual bawang merah
ke pedagang pengecer di pasar-pasar tradisional Kota Bogor hingga akhirnya bawang merah tersebut sampai ke tangan konsumen. Berdasarkan analisis marjin pemasaran, secara spesifik saluran pemasaran yang paling efisien secara operasional adalah saluran pemasaran ke-1.
Hal ini terjadi karena saluran pemasaran pertama memiliki marjin
pemasaran yang paling rendah dibandingkan saluran pemasaran lainnya dimana biaya operasionalnya sebesar Rp 950,00 dan keuntungan Rp 850,00 sehingga marjin pemasarannya sebesar Rp 1.800,00. Model transshipment menghasilkan alokasi bawang merah yang meminimalkan biaya pasokan bawang merah ke pasar-pasar di Kota Bogor. Biaya pasokan minimal diperoleh jika setiap bulannya pedagang besar Pasar Induk Kemang mendapat pasokan bawang merah dari pengirim (510 ton) dan grosir Pasar Induk Cibitung (177,5 ton), pedagang besar Pasar Baru Bogor mendapat pasokan bawang merah dari grosir Pasar Induk Cibitung (137,5 ton), pengecer Pasar Baru Bogor mendapat seluruh pasokan bawang merah dari pedagang besar Pasar Baru Bogor sebanyak 104 ton. Pasar Sukasari dan Pasar Gunung Batu memperoleh pasokan bawang merah dari pedagang besar Pasar Induk Kemang dengan jumlah secara berurutan sebesar 6 ton dan 4,5 ton. Pemasokan bawang merah dengan alokasi tersebut akan lebih efisien karena akan mengurangi biaya pasokan sebesar Rp 20.582.000,00 per bulan. B. Saran Dalam lingkup yang lebih luas, sebaiknya dilakukan mengenai pasokan bawang merah dari masing-masing sentra produksi bawang merah. Sebaiknya dilakukan penelitian lanjutan mengenai rantai pasokan komoditas bawang merah di Kota Bogor melalui pasar-pasar modern sehingga dapat diketahui tingkat keefisienan rantai pasokan yang melibatkan pasar-pasar modern.
67
DAFTAR PUSTAKA
Biro Pusat Statistik. 2004. Kota Bogor dalam Angka 2004. Jakarta. _______________. 2005. Statistika Indonesia 2005. Jakarta. Chopra, S dan P. Meindl. 2001. Supply Chain Management : Strategi, Planning and Operation. Prentice-Hall, Inc., New Jersey. Departemen Pertanian. 2006. Pembakuan Standar Mutu Produk Beberapa Segmen Pasar Di Propinsi Nusa Tenggara Barat. www.deptan.go.id/psa/doc/baku_standar_ bmerah _ntb.htm [28 Mei 2006] Departemen Produksi Tanaman Hortikultura www.BPS.go.id [2 Desember 2006]
Indonesia,
2006
dalam
Dimyati, TT dan A. Dimyati. 2003. Operations Research Model-Model Pengambilan Keputusan. Sinar Baru Algensindo, Bandung. Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Kota Bogor. 2006. Prognosa Semester 1 Periode Januari-Juni 2006. Diperindagkop, Bogor. Direktorat Bina Produksi Hortikultura. 2003. Pertumbuhan Sentra Produksi Sayuran (Cabe Merah, Bawang Merah, Bawang Putih, Kentang, Kubis dan Tomat). Dirjen Tanaman Pangan dan Hortikultura, Jakarta. Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Departemen Pertanian. 2006. Pedoman Umum Pelaksanaan Program dan Anggaran Kinerja PPHP Tahun 2006. http://agribisnis.deptan.go.id/Pustaka /Pedoman %20Umum%20Tahun%202006.pdf. [2 Desember 2006] Eltram, LM. 1991. Supply Chain Management : The Industrial Organisation Perspective. International Journal of Physical Distribution & Logistics Management Vol. 21 No. 1 pp 13-22. MCB University Press. Gaspersz, V. 1998. Production Planning and Inventory Control. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Handoko, H. 1997. Dasar-Dasar Manajemen Produksi dan Operasi. BPFE, Yogyakarta. Hamid, A. 2004. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Pendapatan Usahatani Bawang. Skripsi. Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian IPB, Bogor. Indrajit, RE dan R. Djokopranoto. 2003. Konsep Manajemen Supply Chain : Cara Baru Memandang Mata Rantai Penyediaan Barang. PT Grasindo, Jakarta.
68
Kotler, P. 2002. Manajemen Pemasaran. Prenhalindo, Jakarta. Miranda dan A.W. Tunggal. 2005. Manajemen Logistik dan Supply Chain Management. Harvarindo, Jakarta. Musaddad, D dan R.M. Sinaga. 1994. Pengaruh Suhu Penyimpanan Terhadap Mutu Bawang Merah (Allium ascalonicum L.) Buletin Penelitian Hortikultura 26 (2) : 134 – 141. Rahayu, E dan N. Berlian. 1998. Bawang Merah. Cetakan IV. Penebar Swadaya, Jakarta. Republika Online. 2004. Bawang Merah Pengompes Payudara Bengkak. http://republika.co.id/suplemen/cetak_detail.asp? [19 Februari 2006] Ritonga, OS. 2005. Analisis Pemasaran Komoditas Kentang dengan Pendekatan Konsep Supply Chain Management diKota Semarang Propinsi Jawa Tengah. Skripsi. Departemen Ilmu-ilmu Sosial Fakultas Pertanian IPB, Bogor. Rosantiningrum, R. 2004. Analisis Produksi dan Pemasaran Usahatani Bawang Merah (Studi Kasus Desa Banjaranyar, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes, Propinsi Jawa Tengah). Skripsi. Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian IPB, Bogor. Rukmana, R. 1994. Bawang Merah Budidaya dan Pengolahan Pasca Panen. Kanisius, Yogyakarta. Sa’id E. G. dan A. H. Intan. 2001. Manajemen Agribisnis. Ghalia Indonesia, Jakarta. Siagian, YM. 2005. Aplikasi Supply Chain Management Dalam Dunia Bisnis. PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta. Simchi-Levi, D. Kaminsky, P. Simchi-Levi, E. 2003. Designing, and Managing The Supply Chain : Concepts, Strategies and Case Studies. McGraw-Hill, New York. Siswanto, A. 1990. Sistem Komputer Manajemen LINDO. Elexmedia Komputindo, Jakarta. Sukartawi. 1993. Agribisnis: Teori dan Aplikasinya. Edisi I. Cetakan 2. PT Raja Grafindo, Jakarta. Sudiyono, A. 2002. Pemasaran Pertanian. Universitas Muhammadiyah malang, Malang.
69
Susiyana, AO. 2005. Analisis Rantai Persediaan (Supply Chain) Komoditas Jeruk Medan. Skripsi. Program Studi Manajemen Agribisnis Departemen Ilmuilmu Sosial fakultas Pertanian IPB, Bogor. Thierauf, R. J. dan R. J. Klekamp. 1983. Decision Making Through Operation Research. John Willey and Sons, New York. Wibowo, S. 1999. Budidaya Bawang Putih, Bawang Merah dan Bawang Bombay. Cetakan 9. Penebar Swadaya, Jakarta.
70
LAMPIRAN
Lampiran 1. Tahapan Tata Laksana Penelitian
Mulai
Studi Pustaka
Observasi Lapang
Definisi dan Identifikasi masalah Pengambilan Data Tidak
Sesuai Ya
Formulasi Masalah
Penyusunan Model Matematik Pengolahan Data
Hasil
Selesai
72
Lampiran 2. Peta Lokasi Penelitian
P. Induk Kemang P. Warung Jambu
Industri Bubuk Bawang Merah
P. Kebon Kembang P. Gunung Batu P. Baru
P. Sukasari
P. Merdeka
P. Padasuka
Industri Bawang Goreng
Keterangan : Batas Kotamadya Batas Kecamatan
73
Lampiran 3. Sumber dan Penyebaran Pasokan Bawang Merah per Bulan di Kota Bogor Pasar Baru 104 ton (12,6%) Pengirim *) 510 ton (61,82%)
Luar Kota Bogor 513,7 ton (62,27%)
Pasokan ke Kota Bogor 825 ton
Cibitung 315 ton (38,18%)
Pasar Induk Kemang 750 ton (90,9%) Pasar Baru 75 ton (9,1%)
Pasar-Pasar di Kota Bogor 300 ton (36,36%)
Industri (bawang goreng & tepung bawang) 11,3 ton (1,37%)
Pasar Kebon Kembang 90 ton (10,9%) Pasar Merdeka 9 ton (1,1%) Pasar Gunung Batu 4,5 ton (0,55%) Pasar Padasuka 4,5 ton (0,55%) Pasar Sukasari 6 ton (0,73%) Pasar Warung Jambu 82 ton (9,94%)
74
Ket : *) Dari berbagai daerah, tergantung musim
Lampiran 4. Perhitungan Marjin Pemasaran Bawang Merah Saluran Pasokan 1, 2, 3, 4, 5, dan 6 (per kg) Saluran Pasokan Asal Pasokan Komponen Marjin Pengirim Harga Jual Pedagang Besar PIK Harga Beli Biaya Pemasaran Upah Tenaga Kerja Biaya Transportasi Bongkar Muat dan Penimbangan Penyusutan Biaya Lain-Lain Total Biaya Pemasaran Keuntungan Harga Jual Pengecer Harga Beli Biaya Pemasaran Upah Tenaga Kerja Biaya Transportasi Penyusutan Biaya Lain-Lain Total Biaya Pemasaran Keuntungan Harga Jual
1 Rp
2 (%)
Rp
3 (%)
Rp
4 Pengirim (%) Rp
5 (%)
Rp
6 (%)
Rp
2000
2000
2000
2000
2000
2000
2000
2000
2000
2000
2000
2000
100
5,56
100
5,00
30 190 55 375 375 2750
1,67 10,56 3,06 20,83 20,83
30 190 55 375 375 2750
1,50 9,50 2,75 18,75 18,75
Ps. Baru 2750 95 200 200 80 575 475 3800
Ps. Warung Jambu 2750
5,28 11,11 11,11 4,44 31,94 26,39
110 200 220 80 610 640 4000
5,50 10,00 11,00 4,00 30,50 32,00
100
5,26
100
5,00
100
5,00
30 1,58 190 10,00 55 2,89 375 19,74 375 19,74 2750 Ps.Kebon Kembang 2750
30 190 55 375 375 2750
1,50 9,50 2,75 18,75 18,75
30 190 55 375 375 2750
1,50 9,50 2,75 18,75 18,75
Ps. Merdeka
Ps. Sukasari
2750
2750
100 200 210 85 595 555 3900
110 210 220 90 630 620 4000
5,26 10,53 11,05 4,47 31,32 29,21
5,50 10,50 11,00 4,50 31,50 31,00
110 200 200 110 620 630 4000
100
(%)
5,00
30 1,50 190 9,50 55 2,75 375 18,75 375 18,75 2750 Ps. Gunung Batu 2750
5,50 10,00 10,00 5,50 31,00 31,50
120 190 200 100 610 640 4000
6,00 9,50 10,00 5,00 30,50 32,00
75
Lampiran 4. Perhitungan Marjin Pemasaran Bawang Merah Saluran Pasokan 1, 2, 3, 4, 5, dan 6 (per kg). (Lanjutan) Saluran Pasokan Komponen Marjin Konsumen Harga Beli Total Biaya Keseluruhan Total Keuntungan Total Marjin Rasio Keuntungan-Biaya
1 Rp 3800 950 850 1800 0,89
Keterangan : (%) Sebaran Marjin PIK : Pasar Induk Kemang
2 (%)
52,78 47,22 100,00
Rp 4000 985 1015 2000 1,03
3 (%)
49,25 50,75 100,00
Rp 3900 970 930 1900 0,96
4 (%)
51,05 48,95 100,00
Rp 4000 1005 995 2000 0,99
5 (%)
50,25 49,75 100,00
Rp 4000 995 1005 2000 1,01
6 (%)
49,75 50,25 100,00
Rp 4000 985 1015 2000 1,03
(%)
49,25 50,75 100,00
76
Lampiran 5. Perhitungan Marjin Pemasaran Bawang Merah Saluran Pasokan 7, 8, 9, 10, 11, dan 12 (per kg) Saluran Pasokan Asal Pasokan Komponen Marjin Bandar PIC Harga Jual Pedagang Besar PIK Harga Beli Biaya Pemasaran Upah Tenaga Kerja Biaya Transportasi Bongkar Muat Penyusutan Biaya Lain-Lain Total Biaya Pemasaran Keuntungan Harga Jual Pengecer Harga Beli Biaya Pemasaran Upah Tenaga Kerja Biaya Transportasi Penyusutan Biaya Lain-Lain Total Biaya Pemasaran Keuntungan Harga Jual
7 Rp
8 (%)
Rp
9 (%)
Rp
10 Ps. Induk Cibitung (%) Rp (%)
11 Rp
12 (%)
Rp
1800
1800
1800
1800
1800
1800
1800
1800
1800
1800
1800
1800
100 4,76 175 8,33 55 2,62 200 9,52 60 2,86 590 28,10 360 17,14 2750 Ps.Kebon Kembang 2750
100 175 55 200 60 590 360 2750
Ps. Merdeka
Ps. Sukasari
2750
2750
100 200 210 85 595 555 3900
110 210 220 90 630 620 4000
100 175 55 200 60 590 360 2750
5,00 8,75 2,75 10,00 3,00 29,50 18,00
Ps. Baru 2750 95 200 200 80 575 475 3800
100 175 55 200 60 590 360 2750
4,55 7,95 2,50 9,09 2,73 26,82 16,36
Ps. Warung Jambu 2750
4,75 10,00 10,00 4,00 28,75 23,75
110 200 220 80 610 640 4000
5,00 9,09 10,00 3,64 27,73 29,09
4,76 9,52 10,00 4,05 28,33 26,43
4,55 7,95 2,50 9,09 2,73 26,82 16,36
5,00 9,55 10,00 4,09 28,64 28,18
100 175 55 200 60 590 360 2750
110 200 200 110 620 630 4000
4,55 7,95 2,50 9,09 2,73 26,82 16,36
100 175 55 200 60 590 360 2750
(%)
4,55 7,95 2,50 9,09 2,73 26,82 16,36
Ps. Gunung Batu 2750
5,00 9,09 9,09 5,00 28,18 28,64
120 190 200 100 610 640 4000
5,45 8,64 9,09 4,55 27,73 29,09
77
Lampiran 5. Perhitungan Marjin Pemasaran Bawang Merah Saluran Pasokan 7, 8, 9, 10, 11, dan 12 (per kg), (Lanjutan) Saluran Pasokan Komponen Marjin Konsumen Harga Beli Total Biaya Keseluruhan Total Keuntungan Total Marjin Rasio Keuntungan-Biaya
7 Rp 3800 1165 835 2000 0,72
Keterangan : (%) Sebaran Marjin PIK : Pasar Induk Kemang
8 (%)
58,25 41,75 100,00
Rp 4000 1200 1000 2200 0,83
9 (%)
54,55 45,45 100,00
Rp 3900 1185 915 2100 0,77
10 (%)
56,43 43,57 100,00
Rp 4000 1220 980 2200 0,80
11 (%)
55,45 44,55 100,00
Rp 4000 1210 990 2200 0,82
12 (%)
55,00 45,00 100,00
Rp 4000 1200 1000 2200 0,83
(%)
54,55 45,45 100,00
78
Lampiran 6. Perhitungan Marjin Pemasaran Bawang Merah Saluran Pasokan 13, 14, 15, dan 16 (per kg) Saluran Pasokan Asal Pasokan Komponen Marjin Bandar PIC Harga Jual Pedagang Besar Ps. Baru Harga Beli Biaya Pemasaran Upah Tenaga Kerja Biaya Transportasi Bongkar Muat Penyusutan Biaya Lain-Lain Total Biaya Pemasaran Keuntungan Harga Jual Pengecer Harga Beli Biaya Pemasaran Upah Tenaga Kerja Biaya Transportasi Penyusutan Biaya Lain-Lain Total Biaya Pemasaran Keuntungan Harga Jual
13 Rp
14 (%)
Rp
15 Pengirim (%) Rp
16 (%)
Rp
1800
1800
1800
1800
1800
1800
1800
1800
100 5,00 130 6,50 40 2,00 150 7,50 100 5,00 520 26,00 480 24,00 2800 Ps. Baru 2800
100 4,55 130 5,91 40 1,82 150 6,82 100 4,55 520 23,64 480 21,82 2800 Ps. Sukasari 2800
105 0 150 100 355 645 3800
110 180 210 100 600 600 4000
5,25 0,00 7,50 5,00 17,75 32,25
5,00 8,18 9,55 4,55 27,27 27,27
100 4,55 130 5,91 40 1,82 150 6,82 100 4,55 520 23,64 480 21,82 2800 Ps. Gunung Batu 2800 115 190 220 95 620 580 4000
5,23 8,64 10,00 4,32 28,18 26,36
(%)
100 4,76 130 6,19 40 1,90 150 7,14 100 4,76 520 24,76 480 22,86 2800 Ps. Padasuka 2800 100 120 210 80 510 590 3900
4,76 5,71 10,00 3,81 24,29 28,10
79
Lampiran 6. Perhitungan Marjin Pemasaran Bawang Merah Saluran Pasokan 13, 14, 15, dan 16 (per kg), (Lanjutan) Saluran Pasokan Komponen Marjin Konsumen Harga Beli Total Biaya Keseluruhan Total Keuntungan Total Marjin Rasio Keuntungan-Biaya
13 Rp 3800 875 1125 2000 1,29
14 (%)
43,75 56,25 100,00
Rp 4000 1120 1080 2200 0,96
15 (%)
50,91 49,09 100,00
Rp 4000 1140 1060 2200 0,93
16 (%)
51,82 48,18 100,00
Rp 3900 1030 1070 2100 1,04
(%)
49,05 50,95 100,00
Keterangan : (%) Sebaran Marjin PIC : Pasar Induk Cibitung Total biaya pemasaran = upah tenaga kerja + biaya transportasi + biaya mbongkar muat dan penimbangan + biaya penyusutan + biaya lain-lain Biaya lain-lain = biaya sewa kios + biaya listrik, air, kebersihan dan keamanan + retribusi VolumeSusut Biaya penyusutan = x Harga Beli VolumePembelian Marjin Pemasaran untuk setiap saluran pasokan ke-i = Harga jual oleh anggota rantai pasokan ke-i – biaya pemasaran anggota rantai pasokan ke-i Total Marjin = Marjin pemasaran pedagang besar + marjin pemasaran pedagang pengecer Keuntungan untuk setiap saluran pasokan ke-i = marjin pemasaran anggota rantai pasokan ke-i – harga beli oleh anggota rantai pasokan ke-i Total Keuntungan = Keuntungan pedagang besar + keuntungan pedagang pengecer biayaKegia tan Pemasaran Sebaran marjin = x 100% TotalMarjin
80
Lampiran 7. Selisih Biaya Selama Ini dengan Biaya Pasokan Optimal (per bulan)
Simbol X13 X23 X24 X35 X39 X310 X45 X49 X410 Total Selisih
Variabel Keputusan Pengirim ke pedagang besar di PIK Bandar PIC ke pedagang besar PIK Bandar PIC ke pedagang besar PBB Pedagang besar PIK ke pengecer PBB Pedagang besar PIK ke pengecer PS Pedagang besar PIK ke pengecer PGB Pedagang besar PBB ke pengecer PBB Pedagang besar PBB ke pengecer PS Pedagang besar PBB ke pengecer PGB
Keterangan : PIC PBB PKK PS PPs
: : : : :
Pasar Induk Cibitung Pasar Baru Bogor Pasar Kebon Kembang Pasar Sukasari Pasar Padasuka
Biaya (Rp per kg) 2.220 2.230 2.120 3.150 3.110 3.090 2.950 3.240 3.260
Aktual Pasokan (kg) Jumlah (Rp) 510.000 1.132.200.000 240.000 535.200.000 75.000 159.000.000 66.000 207.900.000 3.800 11.818.000 3.200 9.888.000 38.000 112.100.000 2.200 7.128.000 1.300 4.238.000 2.179.472.000
PIK PWJ PM PGB
: : : :
Hasil Perubahan Alokasi Pasokan (kg) Jumlah (Rp) 687.500 1.526.250.000 0 0 137.500 291.500.000 0 0 6.000 18.660.000 4.500 13.905.000 104.000 306.800.000 0 0 0 0 2.157.115.000 22.357.000
Pasar Induk Kemang Pasar Warung Jambu Pasar Merdeka Pasar Gunung Batu
81
Lampiran 8. Formulasi Masalah Dalam LINDO
82
Lampiran 9. Solusi Optimal Berdasarkan Perhitungan Lindo
83
Lampiran 10. Analisis Sensitivitas Berdasarkan Perhitungan Lindo
84