ANALISIS RANTAI PASOKAN BUAH KELAPA (Studi Kasus Rantai Pasokan Buah Kelapa Di Kotamadya Bogor)
Oleh HANI F34102101
2007 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
ANALISIS RANTAI PASOKAN BUAH KELAPA (Studi Kasus Rantai Pasokan Buah Kelapa Di Kotamadya Bogor)
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh HANI F34102101
2007 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
2
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN ANALISIS RANTAI PASOKAN BUAH KELAPA (Studi Kasus Rantai Pasokan Buah Kelapa Di Kotamadya Bogor)
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh HANI F34102101 Dilahirkan pada tanggal 2 November 1983 Di Kotamadya Bogor
Tanggal lulus : 26 Januari 2007 Disetujui, Bogor, Maret 2007
Dr. Ir. Sukardi, MM Pembimbing Akademik
3
Hani. F34102101. Supply Chain Analysis for Coconut (Case Study in Bogor Regency, Indonesia). Supervised by : Sukardi. SUMMARY Coconut has many benefit derived from almost of its parts which are able to be processed into various products. Coconut are available in large amount in Indonesia. Indonesia’s coconut production (copra equal) in 2004 reach the amount of 3.301.942 tons. So far Bogor is unable to fulfill its needs of coconut so that the coconut supply must be sent from other areas. Coconut for direct use and industry in Bogor supplied from traditional markets. This research is intended for the managers of the traditional markets and members of the supply chain to provide more efficient supply chain system. The research objectives are to analyze coconut supply chain management in Bogor and to analyze the efficiency of the supply chain. Coconut supply chain investigated in this research is the ripe coconut supply chain. Coconut supply chain management analysis is limited only on descriptive analysis of logistic network configuration, inventory control and supply chain integration. Supply chain efficiency analysis consist of marketing margin analysis and efficiency analysis of coconut supply allocation. Primary members of the coconut supply chain in Bogor are the interregion traders (IT), whole sellers, retailers and consumers including industries. The secondary members are transportation service company, the packaging sellers, the sellers of coconut scrapping and (milk) pressing machine, and the machinary fuel sellers. The IT that periodically supply coconut to Bogor come from three regions which are Banten, Tasikmalaya-Ciamis and Lampung. They supply coconut to the whole sellers at Pasar Baru Bogor, Pasar Kebon Kembang, Pasar Sukasari, Pasar Merdeka and Pasar Jambu Dua. Coconut transported to Bogor with trucks and pick ups. Coconut carried by IT received by the whole sellers. There are some whole sellers, who accept the coconut from IT, which sell it directly to consumer. Some other sell the coconut also to the retailer in the same market or from different market. Based on interview result during the research, total amount of coconut entering Bogor is 1.195.500 nuts per month which most are from Banten. Coconut are accepted from IT and stored in the form of coconut that almost of their fiber is husked. Whole seller store coconuts in masonry wall warehouse, wooden warehouse, or in the market kiosk. Coconut supply chain in Bogor implements the pull strategy, although not the pure one. IT only supply coconut based on the whole seller’s demand. The flexibility of the relationship between IT and whole sellers in coconut supply chain also performed by the risk sharing system. This system is about exchanging the rotten coconut from the whole seller’s storage with the new fruit carried by IT. The partnership between them can in terms of coconut payment system to the IT that can be take place after the fruits get delivered by the whole sellers. Marketing channel No. 1 is the most efficient channel among channels that involve retailer, because the functional cost is the lowest and occur more fair profit distribution to the cost that each member spent. This marketing channel consist of IT from Banten, whole seller and retailer from Pasar Kebon KembangMerdeka. For the channel that not involve retailer, marketing channel No. 5 is the
4
most efficient channel because it needs the lowest functional cost and occur more fair profit distribution to the cost that each member spent. Marketing channel No. 5 consist of IT from Tasikmalaya-Ciamis and whole seller from Pasar Baru Bogor. Transportation model result is coconut allocation that minimize the coconut transportastion cost to traditional markets in Bogor. The transportation cost is minimum if the supply of coconut in Pasar Baru Bogor received from IT from Tasikmalaya-Ciamis (165.500 nuts) and from IT from Lampung (172.000 nuts), the coconut supply for Pasar Kebon Kembang-Merdeka received from IT from Banten (499.000 nuts) and from IT from Tasikmalaya-Ciamis (179.000 nuts), and the coconut supply for Pasar Jambu Dua received from IT from Tasikmalaya-Ciamis (176.000 nuts). Coconut supply with such allocation is more efficient because its reduce transportation cost as much as Rp. 13.311.680,00 per month.
5
Hani. F34102101. Analisis Rantai Pasokan Buah Kelapa (Studi Kasus Rantai Pasokan Buah Kelapa Tua Di Kotamadya Bogor). Di bawah bimbingan : Sukardi. RINGKASAN Buah kelapa memiliki banyak manfaat di mana hampir seluruh bagian buah tersebut dapat diolah menjadi berbagai macam produk. Buah kelapa tersedia dalam jumlah yang cukup melimpah di Indonesia. Produksi kelapa Indonesia (setara kopra) mencapai 3.301.942 ton pada tahun 2004. Kota Bogor tidak mampu memenuhi kebutuhan kelapanya secara mandiri sehingga penyediaannya memerlukan pasokan dari daerah lain. Buah kelapa untuk kebutuhan penduduk dan industri di Kota Bogor diperoleh dari pasar-pasar tradisional. Penelitian ini diharapkan dapat djadikan pertimbangan oleh pihak pengelola pasar dan anggotaanggpta rantai pasokan untuk mengadakan sistem pemasokan yang lebih efisien. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengelolaan rantai pasokan buah kelapa tua di Kota Bogor serta menganalisis efisiensi rantai pasokan buah kelapa tua di Kota Bogor. Rantai pasokan buah kelapa yang diteliti pada penelitian ini adalah rantai pasokan buah kelapa tua. Analisis pengelolaan rantai pasokan kelapa terbatas pada analisis deskriptif untuk konfigurasi jaringan logistik, pengendalian inventori dan integrasi rantai pasokan. Analisis efisiensi rantai pasokan terdiri dari analisis marjin pemasaran dan analisis efisiensi alokasi pasokan kelapa. Anggota primer rantai pasokan buah kelapa tua di Kota Bogor yaitu Pedagang Antar Wilayah (PAW), pedagang besar, pedagang eceran dan konsumen termasuk industri. Anggota sekundernya yaitu lembaga jasa transportasi, pedagang kemasan, pedagang mesin pemarut dan pemerasan santan, serta penyedia bahan bakar mesin-mesin tersebut. Seluruh aliran rantai pasokan di Kota Bogor memperoleh kelapa dari PAW. PAW yang memasok buah kelapa ke Kota Bogor secara rutin berasal dari tiga wilayah yaitu Banten, TasikmalayaCiamis dan Lampung. Mereka memasok buah kelapa ke pedagang besar di Pasar Baru Bogor, Pasar Kebon Kembang, Pasar Sukasari, Pasar Merdeka dan Pasar Jambu Dua. Kelapa diangkut dari daerah-daerah penghasil kelapa ke Kota Bogor dengan menggunakan truk-truk jenis colt diesel serta kendaraan jenis pick up. Kelapa-kelapa dari PAW diterima oleh para pedagang besar. Pedagang besar tersebut ada yang langsung menjual kelapa kepada konsumen, adapula yang menjualnya lagi kepada pedagang-pedagang pengecer baik dalam satu pasar maupun berlainan pasar. Berdasarkan hasil wawancara selama penelitian, total jumlah kelapa yang masuk ke Kota Bogor berjumlah 1.195.500 butir per bulan yang sebagian besar berasal dari Banten. Kelapa diterima dari PAW dan disimpan dalam bentuk kelapa yang sebagian besar sabutnya telah dikupas. Pedagang besar menyimpan kelapa dalam gudang tembok, gudang kayu ataupun dalam kios pasar. Rantai pasokan kelapa di Kota Bogor menggunakan strategi pull. PAW hanya memasok kelapa jika diminta oleh pedagang besar. Fleksibilitas hubungan antara PAW dan pedagang besar dalam rantai pasokan kelapa ke Kota Bogor juga terwujud dalam sistem pembagian resiko antara keduanya. Sistem tersebut berupa penukaran kelapa yang busuk di tempat penyimpanan pedagang besar dengan kelapa baru yang dibawa oleh PAW. Kemitraan antara beberapa PAW dan
6
pedagang besar juga terlihat dengan adanya sistem pembayaran kelapa kepada pihak PAW dilakukan setelah kelapa tersebut telah laku terjual kepada konsumen ataupun pedagang pengecer. Saluran pemasaran ke-1 adalah saluran yang paling efisien di antara saluran yang melibatkan pedagang pengecer, karena biaya fungsionalnya paling rendah dan terjadi distribusi keuntungan yang lebih adil terhadap biaya yang dikeluarkan masing-masing anggota saluran. Saluran pemasaran tersebut terdiri dari PAW dari Banten serta pedagang besar dan pedagang pengecer dari Pasar Kebon Kembang-Merdeka. Untuk saluran yang tidak melibatkan pedagang pengecer, saluran ke-5 adalah saluran yang paling efisien karena memerlukan biaya fungsional paling rendah dan terjadi distribusi keuntungan yang lebih adil terhadap biaya yang dikeluarkan masing-masing anggota saluran. Saluran pemasaran ke-5 terdiri dari PAW dari Tasikmalaya-Ciamis serta pedagang besar dari Pasar Baru Bogor. Model transportasi menghasilkan alokasi kelapa yang meminimalkan biaya transportasi kelapa ke pasar-pasar di Kota Bogor. Biaya transportasi minimal jika Pasar Baru Bogor mendapat pasokan kelapa dari TasikmalayaCiamis (165.500 butir) dan Lampung (172.000 butir), Pasar Kebon KembangMerdeka mendapat pasokan kelapa dari Banten (499.000 butir) dan TasikmalayaCiamis (179.000 butir), serta Pasar Jambu Dua memperoleh seluruh pasokan kelapa dari Banten (176.000 butir). Pemasokan kelapa dengan alokasi tersebut lebih efisien karena mengurangi biaya transportasi sebesar Rp. 13.311.680,00 per bulan.
7
SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang berjudul “Analisis Rantai Pasokan Buah Kelapa (Studi Kasus Rantai Pasokan Buah Kelapa Di Kotamadya Bogor)” adalah hasil karya asli saya sendiri, dengan arahan dosen pembimbing akademik, kecuali yang dengan jelas ditujukan rujukannya.
Bogor, 20 Januari 2007 Yang Membuat Pernyataan
Hani F34102101
8
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kota Bogor Jawa Barat pada tanggal 2 November 1983 dari pasangan Abdul Aziz Harran dan Ratu Erna Darmiasih. Penulis adalah anak terakhir dari empat bersaudara. Pada tahun 1988 penulis masuk Taman Kanak-kanak Al Irsyad Bogor
dan
lulus pada tahun 1990, kemudian
melanjutkan ke Sekolah Dasar Al Irsyad Bogor dan lulus pada tahun 1996. Tahun 1996 penulis melanjutkan sekolah ke SLTP Negeri 1 Bogor dan lulus tahun 1999. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke SMU Negeri 1 Bogor dan lulus pada tahun 2002. Tahun 2002 penulis diterima di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru. Penulis pernah menjadi asisten praktikum MK. Penerapan Komputer Tahun 2005. Penulis melaksanakan Praktek Lapangan di PERUM BULOG pada Unit Pengolahan Gabah Beras dan Gudang BULOG BARU yang terletak di Binong, Subang. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana, penulis menyusun skripsi yang berjudul Analisis Rantai Pasokan Buah Kelapa (Studi Kasus Rantai Pasokan Kelapa Di Kotamadya Bogor).
9
KATA PENGANTAR Penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT, karena hanya dengan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi yang berjudul “Analisis Rantai Pasokan Buah Kelapa (Studi Kasus Rantai Pasokan Buah Kelapa Di Kotamadya Bogor)”. Tulisan ini adalah salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian di Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis telah mendapatkan banyak bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada : 1. Dr. Ir. Sukardi, MM selaku dosen pembimbing akademik atas petunjuk, saran dan bimbingannya selama penulis menjadi mahasiswa S1 serta dalam penelitian. 2. Ir. Muslich, MS dan Dr. Ir. Yandra Arkeman M.Eng atas kesediaannya menjadi penguji serta atas arahan dan bimbingannya. 3. Pihak Kantor Kesbang-Linmas dan Dinas Perindagkop Kotamadya Bogor, para staf Unit Pengelola Teknis Dinas Pasar Baru Bogor, Pasar Merdeka, Pasar Kebon Kembang, Pasar Jambu Dua, Pasar Sukasari, Pasar Gunung Batu, Pasar Padasuka, serta para pedagang kelapa atas kesediaanya untuk membantu penulis dalam pelaksanaan penelitian. 4. Ayahanda Abdul Aziz Harran, ibunda Ratu Erna Darmiasih serta para kerabat yang telah memberikan semangat, dorongan dan doa yang tulus bagi penulis selama menempuh kuliah dan menyelesaikan penelitian. 5. Teman dan kakak sebimbingan (Novi, Euis, Asep, Mbak Wati dan Mas Rio) atas bantuan dan kebersamaannya. 6. Seluruh mahasiswa TIN 39 dan semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungannya selama penulis menyelesaikan kuliah dan penulisan skripsi yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
i
Semoga Allah SWT memberikan balasan atas semua bantuan dan dorongan yang telah diberikan. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna sehingga penulis sangat terbuka terhadap kritik dan saran yang bersifat membangun. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
Bogor, Februari 2007 Penulis
ii
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ...................................................................................... i DAFTAR TABEL ............................................................................................ iv DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ v DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... vi PENDAHULUAN .....................................................................................
1
A. Latar Belakang ....................................................................................... B. Tujuan ..................................................................................................... C. Ruang Lingkup .......................................................................................
1 4 4
II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................
5
A. Kelapa (Cocos nucifera L.) .................................................................... B. Buah Kelapa ........................................................................................... C. Kondisi Perkelapaan Indonesia .............................................................. D. Supply Chain Management .................................................................... E. Metode Penelitian ................................................................................... F. Efisiensi Pemasaran ................................................................................ G. Programa Linier ...................................................................................... H. Model Transportasi ................................................................................ I. LINDO ................................................................................................... J. Hasil Penelitian Terdahulu .....................................................................
5 9 14 18 21 22 23 26 27 27
I.
III. METODOLOGI ........................................................................................ 31 A. Kerangka Pemikiran ............................................................................... B. Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................. C. Jenis dan Sumber Data ........................................................................... D. Metode Penelitian .................................................................................. D.1. Metode Pengumpulan Data ............................................................. D.2. Metode Analisis Data ......................................................................
31 31 31 32 33 34
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. 38 A. Keadaan Umum Lokasi Penelitian ......................................................... B. Konsumsi dan Kebutuhan Buah Kelapa ................................................. C. Identifikasi Anggota Rantai Pasokan ..................................................... D. Konfigurasi Jaringan Logistik ................................................................ E. Pengendalian Inventori ........................................................................... F. Integrasi Rantai Pasokan ........................................................................ G. Marjin Pemasaran ................................................................................... H. Model Transportasi ................................................................................
38 41 42 45 52 55 57 61
V. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 68 A. Kesimpulan ............................................................................................ 68 B. Saran ....................................................................................................... 69 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 70 LAMPIRAN ...................................................................................................... 73
iii
DAFTAR TABEL Tabel 1. Komposisi daging kelapa pada berbagai tingkat umur ....................... 10 Tabel 2. Komposisi asam amino dalam protein daging kelapa ........................ 11 Tabel 3. Komposisi kimia air buah kelapa ....................................................... 12 Tabel 4. Produk-produk pangan menurut jenis kelapa .................................... 14 Tabel 5. Luas lahan perkebunan kelapa nasional menurut status pengusahaan........................................................................................ 15 Tabel 6. Produksi perkebunan kelapa nasional menurut status pengusahaan .. 15 Tabel 7. Penggunaan domestik berbagai produk kelapa di Indonesia ............. 16 Tabel 8. Volume ekspor ekspor beberapa produk kelapa Indonesia ............... 17 Tabel 9. Impor Indonesia untuk beberapa produk kelapa ................................ 18 Tabel 10. Jumlah penduduk Kotamadya Bogor Tahun 2000-2004 ................... 39 Tabel 11. Aktivitas anggota primer rantai pasokan kelapa di Kota Bogor ........ 44 Tabel 12. Harga rata-rata buah kelapa di tingkat pedagang besar ..................... 47 Tabel 13. Biaya transportasi kelapa dari setiap daerah asal ke setiap pasar ....... 48 Tabel 14. Kebutuhan buah kelapa industri pengolahnya di Kotamadya Bogor .................................................................................................. 50 Tabel 15. Biaya, keuntungan dan marjin pemasaran ......................................... 59 Tabel 16. Rasio keuntungan terhadap biaya total .............................................. 60 Tabel 17. Variabel keputusan yang dicari ......................................................... 62 Tabel 18. Biaya transportasi dari tiap sumber ke tiap tujuan ............................ 64 Tabel 19. Matriks persoalan transportasi pasokan kelapa ................................. 65 Tabel 20. Nilai optimal variabel keputusan ....................................................... 66 Tabel 21. Batas-batas perubahan biaya transportasi ........................................... 67 Tabel 22. Batas-batas perubahan ruas kanan persamaan kendala ..................... 67
iv
DAFTAR GAMBAR Gambar 1.
Buah dan pohon kelapa dalam Tenga ...........................................
5
Gambar 2.
Buah dan pohon kelapa Malayan Red Dwarf ...............................
6
Gambar 3.
Buah dan pohon kelapa Hibrida PB-121 ......................................
7
Gambar 4.
Diagram tahapan penelitian rantai pasokan buah kelapa di Kotamadya Bogor ......................................................................... 32
Gambar 5.
Tahapan analisis model transportasi buah kelapa ke Kotamadya Bogor ............................................................................................ 37
Gambar 6.
Lokasi pasar-pasar tradisional di Kotamadya Bogor ..................... 40
Gambar 7.
Pola aliran pasokan kelapa ............................................................ 45
Gambar 8.
Sumber dan penyebaran pasokan kelapa per bulan di Kota Bogor ............................................................................................ 49
Gambar 9.
Penyebaran pasokan buah kelapa per bulan di pasar tradisional Kota Bogor ..................................................................................... 51
Gambar 10. Sumber dan pusat permintaan kelapa ........................................... 61
v
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1.
Pohon Industri Kelapa ................................................................ 73
Lampiran 2.
Deskripsi Beberapa Jenis Kelapa ............................................... 74
Lampiran 3.
Deskripsi Kelapa Hibrida PB-121 .............................................. 76
Lampiran 4.
Jumlah Pasokan Pedagang Besar Kelapa di Kota Bogor ............ 77
Lampiran 5.
Perhitungan Harga Beli Rata-rata Buah Kelapa Di Tingkat Pedagang Besar .......................................................................... 78
Lampiran 6.
Perhitungan Biaya Penyimpanan Kelapa ................................... 79
Lampiran 7.
Perhitungan Marjin Pemasaran ................................................... 80
Lampiran 8.
Model Persamaan Matematik dalam Program LINDO .............. 83
Lampiran 9.
Solusi Model Keluaran Program LINDO ................................... 84
Lampiran 10. Analisis Sensitivitas Model Keluaran Program LINDO ............ 85 Lampiran 11. Perhitungan Biaya Transportasi Alokasi Optimal dan Alokasi Selama Ini ................................................................................... 86 Lampiran 12. Daftar Pertanyaan untuk Pedagang Besar dan Pedagang Pengecer ...................................................................................... 87 Lampiran 13. Contoh Daftar Pertanyaan untuk Pedagang Besar dan Pedagang Pengecer yang Telah Diisi ........................................................... 89 Lampiran 14. Daftar Pertanyaan untuk Pedagang Antar Wilayah ..................... 91 Lampiran 15. Contoh Daftar Pertanyaan untuk Pedagang Antar Wilayah yang Telah Diisi ................................................................................... 93
vi
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seperti halnya negara-negara di Samudra Pasifik, Indonesia merupakan penghasil kelapa utama di dunia. Pertanaman kelapa di Indonesia adalah yang terluas di dunia yaitu 31,2% dari total luas areal kelapa dunia. Peringkat kedua diduduki Filipina (25,8%), disusul India (16,0%), Sri Langka (3,7%) dan Thailand (3,1%). Namun demikian, dari segi produksi ternyata Indonesia hanya menduduki posisi kedua setelah Philipina. Ragam produk dan devisa yang dihasilkan Indonesia juga di bawah India dan Sri Langka. Perolehan devisa dari produk kelapa Indonesia mencapai US$ 229 juta atau 11% dari ekspor produk kelapa dunia pada tahun 2003 (Allorerung et al., 2005). Kelapa merupakan tanaman perkebunan yang cukup besar kontribusinya terhadap perekonomian Indonesia. Perkebunan kelapa memiliki luasan kedua terbesar di Indonesia setelah perkebunan kelapa sawit. Data dari Dirjen Perkebunan menunjukkan bahwa pada tahun 2004 perkebunan ini telah mencapai luasan 3,4 juta hektar dengan produksi kopra sebesar 3,2 juta ton. Arti penting kelapa bagi masyarakat juga tercermin dari luasnya areal perkebunan rakyat yang mencapai 98% dari 3,74 juta hektar dan melibatkan lebih dari tiga juta rumah tangga petani (Allorerung et al., 2005). Sebagian besar produksi kelapa Indonesia dimanfaatkan untuk konsumsi dan industri dalam negeri. Kelapa adalah tanaman dengan banyak manfaat. Tanaman ini dapat menyediakan makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggal, juga sebagai sumber pendapatan dari produk-produk olahannya (Foale, 2003). Empat produk berikut yaitu kopra, minyak kelapa, bungkil dan gula merah adalah produk tradisional. Minyak kelapa adalah salah satu sumber minyak nabati yang juga menjadi bahan baku penting dalam industri makanan dan non makanan seperti sabun, kimia dan kosmetika (Amrizal dan Hasni, 1994). Minyak kelapa memiliki kandungan asam lemak jenuh yang lebih tinggi dari pada minyak sawit dan minyak inti sawit. Dua pertiga bagian asam lemak jenuh pada minyak kelapa dan minyak inti sawit adalah asam laurat. Oleh
1
karena minyak laurat memiliki kestabilan yang tinggi, maka jenis minyak ini banyak digunakan pada produk-produk pangan yang membutuhkan daya simpan yang lama (Barlina, 1993). Buah kelapa juga dapat diolah menjadi produk-produk lain yang bernilai ekonomis. Alternatif produk yang dapat dikembangkan antara lain virgin coconut oil (VCO), oleokimia, kelapa parut kering, coconut cream/milk, arang tempurung, karbon aktif dan serat kelapa. Pelaku
agribisnis
produk-produk
tersebut
mampu
meningkatkan
pendapatannya 5-10 kali lipat dibandingkan dengan bila hanya menjual kopra (Allorerung et al., 2005). Tersedianya buah kelapa dalam jumlah yang cukup melimpah di Indonesia membuat pendirian industri berbasis komoditas ini cukup prospektif. Apalagi jika industri tersebut menerapkan teknologi pengolahan secara terpadu sehingga dari bahan baku kelapa dapat dibuat berbagai macam produk olahan secara sekaligus. Hal demikian akan semakin memberikan nilai tambah bagi kelapa karena hampir tidak ada bagian buah kelapa yang terbuang percuma. Menurut Allorerung et al. (2005), daya saing produk kelapa pada saat ini terletak pada industri hilirnya di mana nilai tambah yang dapat tercipta pada produk hilir jauh lebih besar daripada produk primernya. Usaha produk hilir saat ini terus berkembang dan memiliki kelayakan yang baik untuk usaha kecil, menengah maupun besar. Kota Bogor tidak mampu memenuhi kebutuhan kelapanya secara mandiri sehingga penyediaannya memerlukan pasokan dari daerah lain. Karenanya, untuk mendirikan atau mengembangkan industri berbasis kelapa di Kota Bogor, diperlukan pertimbangan yang cermat dari segi sistem dan ketersediaan pasokan kelapa. Menurut Prakosa (2002), permasalahan yang dihadapi oleh agribisnis perkelapaan cukup kompleks. Peran kelapa sebagai bahan baku minyak goreng pada saat ini sudah tergeser oleh kelapa sawit yang harganya relatif lebih murah. Ketergantungan para petani selama ini pada produk utama berupa kopra sangat tidak mendukung tingkat perolehan pendapatan yang layak karena harga kopra cenderung menurun. Upaya penganekaragaman produk belum berkembang sesuai dengan harapan sehingga kurang memberi peluang untuk memperoleh tambahan pendapatan ataupun nilai tambah dari
2
hasil usaha. Keterkaitan subsistem on-farm dengan off-farm masih jauh dari keterpaduan. Akibatnya, peluang menciptakan efisiensi dan nilai tambah tidak dapat diraih secara optimal. Rantai pasokan adalah suatu sistem tempat organisasi menyalurkan barang produksi dan jasanya kepada para pelanggannya. Rantai ini merupakan jaringan dari berbagai organisasi yang mempunyai tujuan yang sama, yaitu sebaik mungkin menyelenggarakan pengadaan atau penyaluran barang tersebut (Indrajit dan Djokopranoto, 2003). Rantai pasokan berkaitan dengan siklus lengkap bahan baku dari pemasok sampai ke konsumen. Eltram (1991) mendefinisikan Supply Chain Management (SCM) sebagai pendekatan integratif dalam menangani masalah perencanaan dan pengawasan aliran material dari pemasok sampai ke pengguna akhir. Pendekatan ini ditujukan untuk pengelolaan dan pengawasan hubungan saluran distribusi secara kooperatif
untuk
kepentingan
semua
pihak
yang
terlibat,
untuk
mengefisienkan penggunaan sumberdaya dalam mencapai tujuan kepuasan konsumen rantai pasokan. Pertimbangan
rancangan
supply
chain
meliputi
rancangan
pengelolaan bagian hulu dan hilir rantai pasokan. Bagian hulu rantai pasokan terdiri dari proses-proses yang berlangsung antara pemasok dan pihak pabrik. Pertimbangan rancangan hulu rantai pasokan perlu memperhatikan dukungan pasokan bahan baku. Analisis rantai pasokan kelapa di Kota Bogor diharapkan dapat
memberikan
gambaran
ketersediaan
pasokan
kelapa
sebagai
pertimbangan pengelolaan supply chain bagi industri pengolah kelapa. Penyediaan buah kelapa di Kota Bogor baik untuk konsumen rumah tangga maupun untuk industri selama ini dilakukan di pasar-pasar tradisional. Penelitian ini juga diharapkan dapat djadikan pertimbangan oleh pihak pengelola pasar untuk mengadakan sistem pemasokan yang lebih efisien. Sehubungan dengan hal ini, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana rantai pasokan buah kelapa tua selama ini dikelola di Kota Bogor. 2. Bagaimana efisiensi rantai pasokan buah kelapa tua di Kota Bogor.
3
B. Tujuan Tujuan penelitian ini yaitu : 1. Menganalisis pengelolaan rantai pasokan buah kelapa tua di Kota Bogor. 2. Menganalisis efisiensi rantai pasokan buah kelapa tua di Kota Bogor. C. Ruang Lingkup Penelitian ini membahas rantai pasokan buah kelapa tua/matang yang masuk ke Kotamadya Bogor. Aspek rantai pasokan yang dianalisis dalam penelitian ini terbatas pada jaringan konfigurasi logistik, pengendalian inventori, integrasi rantai pasokan dan efisiensi rantai pasokan pada sebagian level anggota rantai pasokan.
4
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kelapa (Cocos nucifera L.) Kelapa adalah salah satu jenis tanaman palem yang tersebar di hampir semua negara tropis, terutama di daerah dekat pantai. Hal ini merupakan petunjuk bahwa tanaman kelapa berasal dari daerah tropis, walaupun sulit menentukan negara mana tepatnya. Kelapa dikenal sebagai tanaman serba guna karena seluruh bagian tanaman ini bermanfaat bagi kehidupan manusia (Palungkun, 1998). Pemanfaatan bagian-bagian tanaman kelapa dapat dilihat pada pohon industri kelapa di Lampiran 1. Palungkun (1998) menyatakan bahwa pada mulanya hanya ada dua varietas kelapa yang dikenal, yaitu varietas dalam (tall variety) dan varietas genjah (dwarf variety). Setiap tipe kelapa baik kelapa dalam maupun kelapa genjah terdiri atas beberapa kultivar. Kelapa dalam Mapanget, kelapa dalam Tenga, kelapa dalam Palu dan kelapa dalam Bali adalah kultivar-kultivar kelapa dalam unggul (Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, 2005). Deskripsi lebih lanjut mengenai jenis-jenis kelapa unggul terdapat pada Lampiran 2. Gambar 1 menunjukkan tampilan buah dan pohon kelapa dalam Tenga dan Gambar 2 menunjukkan tampilan buah dan pohon kelapa Malayan Red Dwarf.
Gambar 1. Buah dan pohon kelapa dalam Tenga (Batugal et al., 2005)
5
Gambar 2. Buah dan pohon kelapa Malayan Red Dwarf (Batugal et al., 2005) Kelapa varietas dalam terdapat di berbagai negara produsen kelapa. Varietas ini berbatang tinggi dan besar, tingginya mencapai tiga puluh meter atau lebih. Umurnya dapat mencapai lebih dari seratus tahun. Keunggulan varietas ini adalah (Palungkun, 1998) : produksi kopranya lebih tinggi, yaitu sekitar satu ton kopra/ha/tahun pada umur sepuluh tahun, daging buah tebal dan keras dengan kadar minyak yang tinggi, dan lebih tahan terhadap hama penyakit Kekurangan dari kelapa varietas dalam adalah : lambat berbuah (6-7 tahun setelah tanam), produksi tandan buah sedikit, yaitu sekitar 11 tandan/pohon/tahun, produktivitas sekitar 90 butir/pohon/tahun, dan habitus tanaman lebih tinggi, yaitu sekitar 20 meter pada umur 50 tahun. Tanaman kelapa varietas genjah berbatang ramping, tinggi batang mencapai 5 meter atau lebih, masa berbuah 3-4 tahun setelah tanam, dan dapat mencapai umur 50 tahun. Kelebihan kelapa varietas genjah yaitu lebih cepat berbuah, produksi tandan buah lebih banyak (sekitar 18 tandan/pohon/tahun), habitus tanaman pendek dan produktivitas sekitar 140 butir/pohon/tahun. Kekurangan dari kelapa varietas genjah yaitu produksi kopra rendah (sekitar
6
0,5 ton/ha/tahun pada umur 10 tahun), daging buah tebal, rapuh dan kandungan minyaknya rendah, serta peka terhadap gangguan hama dan penyakit (Palungkun, 1998). Kelapa genjah kultivar unggul yaitu kelapa genjah Salak dan kelapa genjah Raja (Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, 2005). Kelapa hibrida adalah hasil silangan antar dua kultivar berbeda dari kedua tipe kelapa (dalam dan genjah) atau antar tipe yang sama (Hengky, 1994). Menurut Baudouin (1999), kelapa hibrida komersial adalah hasil persilangan antara tipe genjah dan dalam yang lebih mudah diproduksi dan memungkinkan penggabungan sifat kelapa genjah yang cepat berbuah. Selain Khina-1, Khina-2, dan Khina-3, telah ditemukan 4 hibrida baru yang bisa diterima petani karena low input yaitu Genjah Raja x Dalam Mapanget, Genjah Kuning Bali x Dalam Mapanget, Genjah Kuning Nias x Dalam Tenga, dan Genjah Kuning Bali x Dalam Tenga (Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian, 2006). Salah satu jenis kelapa hibrida yang pernah ditanam di Indonesia yaitu kelapa PB-121, hasil persilangan antara kelapa Malayan Yellow Dwarf dan West African Tall (Batugal et al., 2005). Gambar 3 menunjukkan tampilan buah dan pohon kelapa PB-121. Deskripsi lebih lanjut mengenai kelapa PB-121 terdapat pada Lampiran 3.
Gambar 3. Buah dan pohon kelapa hibrida PB-121 (Batugal et al., 2005)
7
Palungkun (1998) menyatakan bahwa salah satu hasil persilangan adalah kombinasi sifat-sifat yang baik dari kedua jenis kelapa asalnya. Sifatsifat unggul yang dimiliki oleh kelapa hibrida adalah :
lebih cepat berbuah, sekitar 3-4 tahun setelah tanam,
produksi kopra tinggi, sekitar 6-7 ton/hektar/tahun, pada umur 10 tahun,
produktivitas lebih besar, sekitar 140 butir/pohon/tahun,
daging buah tebal, keras dan kandungan minyaknya tinggi,
habitus tanaman sedang,
lebih tahan terhadap gangguan hama dan penyakit. Tanaman kelapa membutuhkan lingkungan hidup yang sesuai
untuk pertumbuhan dan produksinya. Kelapa tergolong tanaman yang menyenangi sinar matahari dan pertumbuhannya akan terhambat jika kekurangan sinar matahari. Lama penyinaran yang dikehendaki adalah 2.000 jam per tahun atau minimal 120 jam per bulan. Pada bulan Mei hingga Agustus, jumlah lama penyinaran per bulan lebih tinggi dari rata-rata penyinaran pada bulan Oktober hingga Maret. Karenanya, pada bulan Mei hingga Agustus jumlah bunga betina lebih banyak dibanding pada bulan Oktober hingga Maret. Suhu rendah tidak cocok untuk pertumbuhan tanaman kelapa. Karenanya, penyebaran tanaman kelapa terbatas pada daerah tropik. Tanaman kelapa dapat tumbuh pada ketinggian 0-900 m dpl. Suhu optimum yang dibutuhkan untuk pertumbuhannya adalah 27-28°C. Bila temperatur udara rata-ratanya 15°C, maka akan mengakibatkan perubahan morfologis tanaman. Tanaman kelapa dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, namun yang terbaik untuk tanaman ini adalah tanah aluvial. Derajat kemasaman (pH) tanah yang terbaik untuk pertumbuhan kelapa adalah 6,5-7,5. Namun kelapa masih dapat tumbuh pada tanah yang mempunyai pH 5-8. Tanaman kelapa juga menyukai udara yang lembab. Namun udara yang lembab dalam waktu lama juga tidak baik untuk pertumbuhan tanaman karena akan mengurangi penguapan dan penyerapan unsur hara serta mengundang penyakit akibat cendawan. Lokasi yang cocok untuk tanaman kelapa adalah daerah yang mempunyai curah hujan rata-rata 1200-2500 mm
8
per tahun dengan penyebaran merata sepanjang tahun. Bila terjadi kekeringan selama tiga bulan, maka tanaman akan kritis. Sebaliknya jika rata-rata curah hujannya terlalu tinggi, tanaman juga sulit melakukan penyerbukan (Palungkun, 1998). B. Buah Kelapa Secara umum, buah kelapa mempunyai komposisi 35% sabut, 12% tempurung, 28% daging biji, dan 25% air kelapa. Namun komposisi ini sangat bervariasi menurut jenis kelapa. Buah kelapa umumnya dapat dipanen setelah 11-12 bulan sejak bunga betina diserbuki (Samosir, 1992). Buah kelapa yang normal terdiri dari beberapa bagian, yaitu kulit luar (epicarp), sabut (mesocarp), tempurung (endocarp), kulit daging buah (testa), daging buah (endosperm), air kelapa dan lembaga (Palungkun, 1998). a. Kulit luar Bagian buah kelapa yang paling luar ini berwarna hijau, kuning atau jingga. Permukaannya licin dan keras, tebalnya sekitar 0,14 mm. b. Sabut Sekitar 35% dari total berat buah kelapa merupakan berat sabut kelapa. Bagian yang berserabut ini merupakan kulit buah dari buah kelapa dan dapat dijadikan sebagai bahan baku aneka industri, seperti karpet, sikat, keset, bahan pengisi jok mobil, tali, dan lain-lain. Sabut kelapa juga dapat dimanfaatkan sebagai pupuk dengan cara dibakar. Sabut dari 100.000 buah kelapa akan menghasilkan sekitar 2.000 kg abu yang mengandung unsur kalium yang ekivalen dengan satu ton ZK. Abu sabut kelapa juga mengandung unsur fosfor sekitar 2% dari berat abu (Palungkun, 1998). c. Tempurung Tempurung terletak di bagian dalam kelapa setelah sabut. Tempurung merupakan lapisan yang keras dengan ketebalan 3-5 mm. Sifat kerasnya disebabkan oleh banyaknya kandungan silikat di tempurung tersebut. Berat tempurung kelapa sebesar 15-19% dari total berat buah kelapa. Tempurung kelapa dimanfaatkan untuk berbagai industri seperti
9
arang tempurung dan karbon aktif yang berfungsi untuk mengabsorpsi gas dan uap (Palungkun, 1998). d. Kulit daging buah Kulit daging buah akan terlihat setelah tempurung dikupas. Kulit tersebut berwarna cokelat dan membungkus seluruh daging buah kelapa. Kulit tipis ini biasanya dibuang ketika daging buah akan diolah. Kalau diikutkan dalam pengolahan minyak, maka akan menyebabkan minyak berwarna coklat. Namun, kulit ini dapat diolah menjadi minyak goreng kualitas nomor dua (Palungkun, 1998). e. Daging buah Daging buah adalah jaringan yang berasal dari inti lembaga yang dibuahi sel kelamin jantan dan membelah diri. Daging buah kelapa berwarna putih, lunak, dan tebalnya 8-10 mm. Daging buah ini merupakan sumber protein yang penting dan mudah dicerna. Jumlah protein terbesar terdapat pada kelapa yang setengah tua, sedangkan kandungan kalorinya mencapai maksimal ketika buah sudah tua, demikian pula kandungan lemaknya. Dengan demikian jumlah zat dan gizi kelapa tergantung pada umur buah, seperti tercantum pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi daging kelapa pada berbagai tingkat umur (per 100 gr) Buah Analisis Satuan Buah Muda Setengah Buah Tua Tua Kalori kal 68 180 359 Protein g 1 4 3,4 Lemak g 0,9 13,0 34,7 Karbohidrat g 14 10 14 Kalsium mg 17 8 21 Fosfor mg 30 35 21 Besi mg 1 1,3 2 Vitamin A IU 0,0 10,0 0,0 Thiamin mg 0,0 0,5 0,1 Asam askorbat mg 4,0 4,0 2,0 Air g 83,3 70 46,9 Sumber : Ketaren (1986) dalam Palungkun (1998)
10
Daging buah kelapa juga mengandung asam-asam amino esensial seperti tercantum pada Tabel 2. Tabel 2. Komposisi asam amino dalam protein daging kelapa Asam Amino Jumlah (%) Asam Amino Jumlah (%) Lisin 5,80 Tirosin 3,18 Methionin 1,43 Cistin 1,44 Fenilalanin 2,05 Arginin 15,92 Triptofan 1,25 Prolin 5,54 Valin 3,57 Serin 1,76 Leusin 5,9 Asam aspartat 5,12 Histidin 2,42 Asam glutamat 19,07 Sumber : Ketaren (1986) dalam Palungkun (1998) Lengkapnya kandungan zat gizi pada daging buah kelapa menyebabkan buah kelapa dapat diolah menjadi berbagai produk kebutuhan rumah tangga seperti bumbu dapur, santan, kopra, minyak kelapa dan kelapa parut kering. Minyak kelapa memiliki banyak kegunaan antara lain sebagai minyak masak dan shortening, losion rambut dan badan, untuk obat lecet dan kulit terbakar, sebagai bahan bakar, serta sebagai bahan pembuatan sabun dan deterjen. Akhir-akhir ini juga terdapat kenaikan permintaan akan virgin coconut oil sebagai bahan masakan berkualitas, sebagai makanan sehat serta untuk pengobatan (Foale, 2003). f. Air kelapa Buah kelapa yang terlalu muda belum memiliki daging buah, yang ada hanya air yang disebut air degan. Air kelapa muda ini rasanya manis, mengandung mineral 4%, gula 2%, abu dan air. Bila buah makin tua, maka kemanisan airnya semakin berkurang. Jumlah air kelapa dari jenis kelapa dalam lebih banyak daripada jenis hibrida. Air dari jenis kelapa dalam rata-rata 300 cc, sedangkan jenis hibrida rata-rata hanya 230 cc. Berat jenis air kelapa umumnya sekitar 1,02 dengan pH sekitar 5,6. Air kelapa dari buah tua mengandung asam amino bebas sebanyak 4,135 g/100g sisa alkohol tidak terlarut. Air kelapa selain diolah menjadi produk nata de coco juga dapat diolah menjadi berbagai macam produk, antara lain kecap (Palungkun, 1998). Perbandingan komposisi kimia air kelapa muda dan kelapa tua dapat dilihat pada Tabel 3.
11
Tabel 3. Komposisi kimia air buah kelapa (per 100 gr) Satuan Analisis Air Kelapa Muda Air Kelapa Tua Kalori kal 17,0 Protein g 0,2 0,14 Lemak g 1,0 1,50 Karbohidrat g 3,8 4,60 Kalsium g 15,0 Fosfor g 8,0 0,50 Besi mg 0,2 Asam askorbat mg 1,0 Air g 95,5 91,5 Sumber : Ketaren (1986) dalam Palungkun (1998) g. Lembaga Lembaga buah akan tumbuh menjadi bakal tanaman setelah buah tua. Selain lembaga juga tumbuh alat penghisap makanan yang disebut kentos. Kentos berfungsi sebagai penghubung antara tempat cadangan makanan dengan bakal tanaman. Kentos akan membesar seiring dengan pertumbuhan lembaga. Sedang daging buahnya akan semakin lunak, berair, dan akhirnya habis terserap oleh kentos. Proses penyusutan daging buah ini terjadi bersamaan dengan tumbuhnya tunas dan daun (Palungkun, 1998). Rumokoi et al. (1994) menyatakan bahwa jenis kelapa dan lama penyimpanan buah kelapa mempengaruhi kualitas produk-produk kelapa seperti kopra, minyak kelapa, santan dan kelapa parut kering. Hal tersebut di dasarkan pada hasil penelitian pengaruh perlakuan penyimpanan buah kelapa terhadap kualitas kopra, minyak kelapa, santan dan kelapa parut kering dari kelapa Dalam Tenga (DTA), kelapa Genjah Kuning Nias (GKN) dan kelapa hibrida Khina-1. Pengaruh lama penyimpanan buah dan jenis kelapa untuk setiap produk adalah sebagai berikut. a. Kopra Kadar
lemak
kopra
menurun
dengan
semakin
lama
penyimpanan buah. Kadar lemak dari buah yang disimpan lebih dari 4 minggu kurang dari 60 persen. Pada penyimpanan buah 2 minggu, kadar lemak tertinggi diperoleh dari Khina-1 (67,34%) diikuti oleh Dalam Tenga (65,14%) dan Genjah Kuning Nias (59,81%). Pada penyimpanan buah 4
12
minggu mulai terjadi penurunan kadar lemak yaitu menjadi 63,21% (Khina-1), 63,43% (Dalam Tenga) dan 58,62% (Genjah Kuning Nias). b. Minyak kelapa Bilangan asam, bilangan penyabunan dan kadar asam lemak bebas minyak dari kelapa DTA, GKN dan Khina-1 meningkat selama penyimpanan buah. Tidak terdapat perbedaan berarti pada sifat-sifat fisik dan kimia minyak kelapa antar jenis kelapa. Berdasarkan kadar asam lemak bebas, minyak kelapa yang dihasilkan dari buah yang disimpan lebih dari 4 minggu tidak memenuhi syarat untuk dikonsumsi karena kadar asam lemak bebas lebih dari 0,3%. c. Santan Kekentalan dan stabilitas emulsi santan menurun dengan makin lama penyimpanan buah. Kekentalan tertinggi diperoleh pada santan dari DTA dan GKN, dan terendah pada Khina-1. Sedangkan stabilitas emulsi santan tertinggi pada Khina-1 dan terendah GKN. d. Kelapa parut kering Lama penyimpanan buah tidak mempengaruhi kadar air kelapa parut kering untuk semua jenis kelapa tetapi mempengaruhi kadar lemak. Sesuai dengan SII bahwa kadar lemak kelapa parut kering minimal 65% maka kelapa parut kering yang memenuhi syarat adalah dari kelapa DTA dan Khina-1 pada penyimpanan buah selama 2 minggu. Kelapa dengan kadar lemak tinggi dan asam lemak bebas rendah adalah bahan baku yang baik untuk industri minyak kelapa dan kelapa parut kering. Sedangkan untuk pembuatan konsentrat protein dibutuhkan kelapa dengan kadar protein tinggi. Menurut Djatmiko (1991), rubber copra adalah kopra yang memiliki sifat elastis dan sukar dipatahkan. Semakin tinggi jumlah rubber copra, semakin tinggi tekanan yang dibutuhkan untuk mengeluarkan minyak dari bahan. Galaktomanan merupakan salah satu penyebab sifat rubbery pada kopra. Sifat ini akan menurun sejalan dengan menurunnya kadar galaktomanan.
Kadar
galaktomanan
akan
menurun
dengan
semakin
meningkatnya umur buah.
13
Kelapa dengan kadar fosfolipid yang tinggi tidak diinginkan karena berhubungan dengan warna produk olahan kelapa selama penyimpanan. Semakin tinggi kadar fosfolipid, semakin cepat terjadi perubahan warna produk dari putih menjadi kuning. Kelapa parut kering memerlukan daging kelapa yang mengandung kadar fosfolipid rendah. Prasetyanti (1991) dalam Rumokoi et al. (1994) menyatakan bahwa warna kuning atau coklat pada kelapa parut kering dapat disebabkan oleh oksidasi terhadap fosfolipid. Tabel 4 menunjukkan kesesuaian beberapa jenis kelapa untuk diolah menjadi kopra, minyak kelapa, kelapa parut kering dan konsentrat protein. Tabel 4. Produk-produk pangan menurut jenis kelapa Jenis Produk Jenis Kelapa 1. Minyak/santan DTA, Dalam Palu , Genjah Salak, Khina-1, PB121 2. Kopra tidak rubbery DTA, Khina-3 3. Kelapa parut kering Khina-2 (buah umur 12 bulan), Khina-3 (buah umur 12 bulan), DTA (buah umr 12 bulan), Khina-1, PB-121 4. Konsentrat protein DTA, GKN, Khina-2, PB-121 Sumber : Rumokoi, et al. (1994). Bahan baku kelapa yang biasa digunakan untuk pembuatan VCO biasanya kelapa dalam seperti kelapa dalam Mapanget, DMT-3283, Tenga, Bali,
Suwarna,
Palu,
dan
Riau.
Kelapa-kelapa
tersebut
umumnya
menghasilkan VCO dengan kualitas baik. Sebenarnya kelapa hibrida juga dapat digunakan sebagai bahan baku VCO. Namun, kelapa hibrida adalah hasil mutasi gen/persilangan yang membutuhkan kondisi tertentu dan penggunaan pestisida dan pupuk kimia dalam pembudidayaannya. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa pada VCO yang dihasilkan terdapat residu bahan kimia sehingga tidak benar-benar murni (Sutarmi dan Rozaline, 2006). C. Kondisi Perkelapaan Indonesia Kelapa diusahakan di seluruh propinsi di Indonesia. Bentuk dan skala usaha taninya berbeda-beda, tergantung ketersediaan sumber daya dan permintaan pasar. Selama lebih dari 25 tahun terakhir areal kelapa sudah berkembang lebih dari dua ratus persen. Di tahun 1969 luas areal kelapa hanya sebesar 1.680.536 Ha. Namun pada tahun 1997 luasnya sudah menjadi
14
3.668.233 Ha sehingga Indonesia merupakan negara dengan areal kelapa terluas di dunia. Ditinjau dari produksinya, mulai Pelita I-V tampak terus meningkat, kecuali pada Pelita III. Di Jawa dan Bali, produksi cukup tinggi pada Pelita I-III, tetapi tersaingi oleh Sumatera pada Pelita IV dan V. Ini disebabkan antara lain di Sumatera digunakan kelapa hibrida dan pesatnya perluasan areal, terutama di lahan pasang surut (Sukamto, 2001). Di Indonesia tanaman kelapa diusahakan dalam tiga bentuk pengusahaan yaitu Perkebunan Rakyat, Perkebunan Besar Negara dan Perkebunan Besar Swasta. Lebih dari 90% lahan perkebunan kelapa di Indonesia adalah perkebunan rakyat. Hasil produksi kelapa sebagian besar berasal dari perkebunan rakyat. Sejak tahun 2001 sampai tahun 2004, luas lahan perkebunan kelapa terus menurun, sedangkan hasil produksinya pada periode tersebut terus meningkat. Tabel 5 dan Tabel 6 memperlihatkan perkembangan luas lahan dan produksi kelapa selama lima tahun terakhir (2001-2005) untuk tiap bentuk pengusahaan. Data tahun 2005 masih merupakan angka sementara yang telah dihimpun oleh Direktorat Jendral Perkebunan. Tabel 5. Luas lahan perkebunan pengusahaan (hektar)
kelapa
nasional
menurut
status
Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 Perkebunan rakyat 3.818.946 3.806.032 3.785.343 3.759.736 3.786.063 Perkebunan negara 11.661 9.764 5.838 5.452 5.462 Perkebunan swasta 121.023 123.766 121.949 106.893 106.893 Total 3.951.630 3.939.562 3.913.130 3.872.081 3.898.418 Sumber : Direktorat Jendral Perkebunan (2006) Tabel 6. Produksi perkebunan kelapa nasional menurut status pengusahaan (ton kopra) Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 Perkebunan rakyat 3.068.727 3.010.894 3.136.360 3.191.126 3.176.575 Perkebunan negara 14.685 7.755 2.629 3.923 3.071 Perkebunan swasta 153.711 147.229 115.865 106.893 111.335 Total 3.237.123 3.165.878 3.254.854 3.301.942 3.290.981 Produktivitas (Ton/Ha) 0,819 0,803 0,831 0,852 0,844 Sumber : Direktorat Jendral Perkebunan (2006) Keterangan : Produktivitas total dihitung dengan cara membagi total produksi kelapa setara kopra (ton) dengan total luas areal kelapa (hektar).
15
Sebagian besar usaha perkebunan kelapa masih dilakukan secara tradisional, umumnya pada lahan pekarangan atau kebun rumah. Dari tahun 2002 sampai tahun 2004, terjadi peningkatan produktivitas kopra. Walaupun demikian, kegiatan pemeliharaan dan pembaruan tanaman kelapa tetap perlu dilakukan karena tanaman kelapa yang semakin tua akan mengalami penurunan produktivitas. Peremajaan kelapa sudah harus dimulai sejak tanaman berumur 60 tahun (Sukamto, 2001). Menurut Allorerung et al. (2005), produktivitas tanaman kelapa di Indonesia masih dapat ditingkatkan menjadi 1,5 ton kopra/hektar. Sentra produksi kelapa Indonesia antara lain Propinsi Riau, Jambi, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, serta Bali, NTB dan NTT. Secara tradisional, penggunaan produk kelapa adalah untuk konsumsi segar, dibuat kopra atau minyak kelapa. Namun seiring dengan perkembangan pasar dan teknologi, permintaan berbagai produk turunan kelapa semakin meningkat seperti dalam bentuk desiccated coconut (DC), serat sabut, arang tempurung dan arang aktif. Dalam sepuluh tahun terakhir (1993-2002), penggunaan domestik kopra dan kelapa butiran masih meningkat namun dengan laju pertumbuhan yang sangat kecil. Penggunaan DC meningkat dengan laju 2,19% per tahun. Sebaliknya penggunaan domestik minyak kelapa cenderung berkurang. Tabel 7 menunjukan penggunaan domestik berbagai produk kelapa di Indonesia. Tabel 7. Penggunaan domestik berbagai produk kelapa di Indonesia (ribu ton) Tahun Kopra CCO DC Butir CF CCL AC 1993 1.039 454 0,0 11.947 0,0 0,0 0,0 1996 973 364 0,0 13.276 0,0 0,0 0,0 1999 1.212 231 0,0 14.935 0,0 0,1 0,0 2000 1.264 163 0,1 15.114 0,1 0,0 0,0 2001 1.276 334 0,1 15.160 0,1 0,0 0,0 2002 1.202 263 0,0 15.973 0,0 0,0 0,0 Laju (%/th) 2,7 -9,1 3,1 Sumber : Allorerung et al. (2005) Keterangan : CCO : Coconut Crude Oil DC : Desiccated Coconut CF : Coconut Fiber CCL : Coconut Charcoal AC : Activated Carbon
16
Penggunaan minyak kelapa di dalam negeri yang semakin berkurang diduga terkait dengan perubahan preferensi konsumen yang lebih menyukai penggunaan minyak kelapa sawit karena harganya lebih murah. Produksi arang aktif, arang tempurung dan serat sabut selama ini lebih ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pasar luar negeri. Pada tahun 2002 penggunaan domestik kopra mencapai 1,2 juta ton, sedangkan CCO sebesar 263 ribu ton. Penggunaan domestik kelapa pada tahun yang sama mencapai 15,9 juta ton. Penggunaan tepung kelapa dan serat sabut dalam negeri justru berasal dari impor karena produksi dalam negeri seluruhnya diekspor. Selama periode tahun 1993-2002 ekspor berbagai produk kelapa Indonesia cenderung meningkat kecuali kelapa butir dan serat sabut. Produk olahan CCO, DC, dan bungkil kopra adalah produk ekspor dominan. Tujuan ekspor produk kelapa Indonesia selama ini meliputi banyak negara di Eropa, Amerika maupun Asia dan Pasifik. Perolehan ekspor produk kelapa Indonesia masih lebih rendah dibandingkan dengan perolehan negara pesaing utama (Philipina). Hal ini diperkirakan dipengaruhi oleh faktor perbedaan kualitas produk, tingginya biaya tranportasi serta kompleksitas prosedur ekspor (Allorerung et al., 2005). Tabel 8 menunjukkan volume ekspor beberapa produk kelapa Indonesia selama periode tahun 1993-2002. Tabel 8. Volume ekspor ekspor beberapa produk kelapa Indonesia (ton) Tahun Kopra CCO DC 1993 8.744 258.400 19.596 1996 0 378.800 24.150 1999 42.169 349.600 23.533 2000 34.579 734.600 31.373 2001 23.884 395.100 34.820 2002 40.045 446.300 48.550 Laju 12,11 6,29 7,76 (%/th) Sumber : Allorerung et al. (2005)
Butir 19.522 2.264 38.136 5.334 507 8.694
CF 88 866 59 102 191 191
-11,34
-10,23
CCL 12.362 15.855 17.742 26.735 23.452 29.493
AC 7.163 12.325 11.283 10.205 12.104 11.553
8,95
4,72
Volume impor produk kelapa ke Indonesia masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan volume ekspornya. Secara implisit berarti Indonesia masih menjadi pengekspor neto produk-produk kelapa. Selama periode tahun 1993-2002, volume impor kopra dan kelapa butiran berfluktuasi dengan
17
kecenderungan menurun. Impor DC baru terjadi sejak tahun 1997 hingga 2001 dengan laju kenaikan yang positif. Impor produk terbesar adalah berupa minyak kelapa (CCO) dengan volume bervariasi antara 5000-90.000 ton. Tabel 9 menunjukkan impor Indonesia untuk beberapa produk kelapa selama periode tahun 1993-2002. Tabel 9. Impor Indonesia untuk beberapa produk kelapa (ton) Tahun Kopra CCO 1993 0 33.500 1994 5 46.000 1995 1.911 26.000 1996 3.124 43.600 1997 0 20.000 1998 25 5.000 1999 90 90.000 2000 2 60.000 2001 27 35.000 2002 1.657 18.000 Laju (%/th) -3,15 1,17 Sumber : Allorerung et al. (2005)
DC 0 0 0 0 30 94 31 128 67 0 21,92
Butir 82 40 48 625 157 0 0 20 7 0 -19,44
CF 0 0 0 0 0 0 31 128 67 0 32,23
CCL -
AC -
D. Supply Chain Management Eltram (1991) mendefinisikan Supply Chain Management (SCM) sebagai pendekatan integratif dalam menangani masalah perencanaan dan pengawasan aliran material dari pemasok sampai ke pengguna akhir. Pendekatan ini ditujukan untuk pengelolaan dan pengawasan hubungan saluran distribusi secara kooperatif untuk kepentingan semua pihak yang terlibat, untuk mengefisienkan penggunaan sumberdaya dalam mencapai tujuan kepuasan konsumen rantai pasokan. Penggunaan istilah rantai dalam SCM benar-benar menunjukkan sebuah jaringan kerja perusahaan-perusahaan yang saling berinteraksi untuk mengantarkan produk/jasa ke konsumen akhir, mengaitkan aliran dari bahan mentah sampai penyampaian akhir. Perspektif teradministrasi
atau
SCM
mirip
terkontrak
di
dengan mana
saluran
pemasaran
pendekatan-pendekatan
yang ini
membutuhkan kerjasama sukarela ataupun kerjasama berdasarkan kontrak dari anggota-anggota saluran untuk mencapai tujuan umum. Pendekatan SCM berbeda dengan perspektif saluran pemasaran tradisional dalam 2 hal.
18
Pertama, SCM mempunyai tujuan yang lebih luas : mengelola inventory dan hubungan untuk mencapai pelayan konsumen tingkat tinggi daripada pencapaian tujuan-tujuan pemasaran spesifik. Kedua, pendekatan SCM mencoba untuk mengelola baik aktivitas hulu maupun aktivitas hilir dalam rantai persediaan. Saluran pemasaran cenderung untuk fokus pada aktivitas hilir (Eltram, 1991). Manajemen rantai pasokan merupakan serangkaian pendekatan yang diterapkan untuk mengintegrasikan pemasok, pengusaha, gudang dan tempat penyimpanan lainnya secara efisien sehingga produk dihasilkan dan didistribusikan dengan kuantitas yang tepat, lokasi tepat dan waktu tepat untuk memperkecil biaya dan memuaskan kebutuhan pelanggan. Merancang dan mengimplementasikan rantai pasokan yang optimal secara global cukup sulit karena kedinamisannya serta terjadinya konflik tujuan antar fasilitas dan partner (Simchi-Levi et al., 2003). Anggota rantai pasokan meliputi semua perusahaan dan organisasi yang berhubungan langsung dengan perusahaan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui pemasok atau pelanggannya dari point of origin hingga point of consumption. Anggota primer adalah semua unit bisnis strategik yang benar-benar-benar menjalankan aktivitas operasional dan manajerial dalam proses bisnis yang dirancang untuk menghasilkan keluaran tertentu bagi pelanggan atau pasar. Anggota sekunder adalah perusahaan-perusahaan yang menyediakan sumber daya, pengetahuan, utilitas atau aset-aset bagi anggota primer. Melalui definisi anggota primer dan anggota sekunder diperolah pengertian bahwa the point of origin adalah titik dimana tidak ada pemasok primernya, sedangkan point of consumption adalah titik di mana tidak ada pelanggan utama (Miranda dan Amin, 2005). Tujuan dari SCM adalah membuat seluruh sistem menjadi efisien dan efektif ; minimasi biaya sistem total, dari transportasi dan distribusi sampai inventori bahan mentah, bahan dalam proses dan produk jadi. Penekanannya tidak hanya sebatas meminimalkan biaya transportasi atau mengurangi inventori, tetapi lebih kepada melakukan pendekatan sistem untuk SCM. SCM bergerak di sekitar integrasi pemasok, pabrik, gudang dan toko-
19
toko secara efisien, mencakup aktivitas-aktivitas perusahaan dari level strategis, taktis sampai operasional (Simchi-Levi et al., 2003). Simchi-Levi et al. (2003) menyatakan bahwa strategi SC tradisonal umumnya dikategorikan sebagai sistem push atau pull. Dalam SC dengan sistem push, kebijakan produksi dan distribusi didasarkan pada peramalan jangka panjang. Biasanya, perusahaan mengambil dasar peramalan permintaan berupa data order yang diterima dari gudang-gudang ritel. Karenanya SC dengan sistem ini perlu waktu lebih lama untuk bereaksi terhadap perubahan pasar. Kondisi ini dapat mengarah kepada ketidakmampuan untuk menyesuaikan pola perubahan permintaan, keusangan inventori SC pada saat permintaan untuk produk tertentu hilang serta timbulnya efek bullwhip dimana variabilitas permintaan yang diterima dari ritel lebih besar dari variabilitas permintaan pelanggan sehingga terjadi kelebihan inventori akibat kebutuhan safety stock yang besar. Dalam SC dengan sistem pull, produksi dan distribusi digerakkan oleh permintaan sehingga sistem ini berkoordinasi sesuai dengan permintaan nyata dari pelanggan daripada ramalan permintaan. Dalam sistem pull murni, perusahaan tidak menyimpan inventori sama sekali dan hanya merespon permintaan spesifik. Hal ini dimungkinkan dengan mekanisme aliran informasi yang cepat untuk mentransfer informasi mengenai permintaan pelanggan kepada berbagai partisipan SC. Dalam rantai dengan dasar sistem pull, umumnya dilihat pengurangan inventori yang signifikan dalam sistem, peningkatan kemampuan untuk mengelola sumber daya, serta pengurangan biaya sistem saat dibandingkan dengan sistem push yang ekivalen. Di sisi lain, sistem pull seringkali sulit untuk diterapkan saat lead time sangat panjang sehingga tidak praktis untuk bereaksi atas informasi permintaan. Dalam sistem pull, seringkali sulit untuk memperoleh manfaat dari skala ekonomi dalam pabrikasi dan transportasi karena sistem tidak disiapkan untuk jangka panjang. Kelebihan dan kekurangan sistem pull maupun sistem push telah membawa perusahaan-perusahaan untuk mencari strategi SC baru yang mengambil keuntungan dari kedua sistem, yang umumnya berupa strategi push-pull. Dalam strategi ini, beberapa tahap SC, biasanya tahap awal,
20
dioperasikan secara push-based sementara tahap selanjutnya menggunakan strategi pull-based. Interface antara tahap push-based dan pull-based dikenal sebagai push-pull boundary. Postponement, atau penundaan diferensiasi dalam disain produk, adalah salah satu contoh strategi push-pull. Perusahaan mendesain produk dan proses produksi sehingga kebijakan mengenai produk spesifik yang diproduksi dapat ditunda selama mungkin. Proses pabrik dimulai dengan memproduksi produk generik yang kemudian didiferensiasikan menjadi produk akhir saat permintaan muncul. E. Metode Penelitian Menurut Nasution (2003), studi kasus adalah bentuk penelitian yang mendalam tentang suatu aspek lingkungan sosial termasuk manusia di dalamnya. Studi kasus dapat dilakukan terhadap seorang individu (misal suatu keluarga), segolongan manusia, lingkungan hidup manusia atau lembaga sosial. Studi kasus dapat mengenai perkembangan sesuatu, dapat pula memberi gambaran tentang suatu keadaan. Dalam studi kasus dapat digunakan berbagai cara pengumpulan seperti observasi, wawancara, angket, studi dokumenter dan alat pengumpulan data lainnya. Wawancara adalah suatu bentuk komunikasi verbal yang bertujuan untuk memperoleh informasi. Dengan wawancara, peneliti bertujuan untuk memperoleh data yang dapat diolah untuk memperoleh generalisasi yang menunjukkan kesamaan dengan situasi-situasi lain. Wawancara dapat berfungsi deskriptif, yaitu melukiskan kenyataan seperti dialami orang lain sehingga peneliti dapat memperoleh gambaran yang lebih obyektif tentang masalah yang diselidikinya. Wawancara dapat juga berfungsi eksploratif, yakni bila masalah yang dihadapi masih samar-samar karena belum pernah diteliti secara mendalam oleh orang lain. Secara umum, dapat dibedakan dua jenis wawancara yakni berstruktur dan tak berstruktur. Wawancara berstruktur dilakukan berdasarkan daftar pertanyaan dengan maksud dapat mengontrol dan mengatur berbagai dimensi pertanyaan ataupun jawabannnya. Wawancara tak berstruktur dilakukan secara spontan tanpa dipersiapkan daftar pertanyaan sebelumnya (Nasution, 2003).
21
F. Efisiensi Pemasaran Menurut Sudiyono (2002), pemasaran sebagai kegiatan produktif mampu meningkatkan guna tempat, guna bentuk dan guna waktu. Dalam menciptakan guna tempat, guna bentuk dan guna waktu ini diperlukan biaya pemasaran. Biaya pemasaran ini diperlukan untuk melakukan fungsi-fungsi pemasaran oleh lembaga-lembaga pemasaran yang terlibat dalam proses pemasaran dan produsen sampai kepada konsumen akhir. Pengukuran kinerja pemasaran ini memerlukan ukuran efisiensi pemasaran. Secara sederhana konsep efisiensi ini didekati dengan rasio output-input. Suatu Proses pemasaran dikatakan efisien apabila : 1). Output tetap dicapai dengan input yang lebih sedikit 2). Output meningkat sedangkan input yang digunakan tetap 3). Output dan input sama-sama mengalami kenaikan, tetapi laju kenaikan output lebih cepat daripada laju input 4). Output dan input sama-sama mengalami penurunan, tetapi laju penurunan output lebih lambat daripada laju penurunan input Output
pemasaran
ini
berupa
kepuasan
konsumen
akibat
pertambahan utiliti terhadap output-output pertanian yang dikonsumsi tersebut. Biaya pemasaran seringkali digunakan untuk mendekati input pemasaran. Penilaian efisiensi pemasaran dengan menggunakan rasio outputinput ini sulit dilakukan, terutama dalam pengukuran output pemasaran yang berupa kepuasan konsumen. Pengukuran rasio output-input dapat didekati dengan sudut pandang efisiensi operasional dan efisiensi penetapan harga. Efisiensi penetapan harga berhubungan dengan keefektifan pemasaran sehingga harga dapat digunakan untuk menilai hasil kinerja proses pemasaran dalam menyampaikan output pertanian dari daerah produsen ke daerah konsumen. Efisiensi operasional diukur dengan membandingkan output pemasaran terhadap input pemasaran. Dalam menetapkan efisiensi operasional ini diasumsikan sifat utama output tidak mengalami perubahan atau efisiensi ini lebih berkaitan dengan kegiatan fisik pemasaran dengan penekanan ditujukan pada usaha mengurangi input untuk menghasilkan output pemasaran atau menaikan rasio output-input pemasaran.
22
Indikator-indikator yang lebih jelas dan lebih mudah digunakan untuk menentukan efisiensi pemasaran adalah marjin pemasaran, tersedianya fasilitas fisik pemasaran dan intensitas persaingan pasar. Marjin pemasaran merupakan perbedaan harga yang dibayarkan konsumen dan harga yang diterima petani. Sementara ini ada anggapan bahwa semakin besar marjin pemasaran, semakin tidak efisien suatu proses pemasaran. Anggapan ini tidak selamanya benar, sebab marjin pemasaran ini pada hakekatnya terdiri dari biaya-biaya untuk melaksanakan fungsi-fungsi pemasaran dan keuntungan lembaga-lembaga pemasaran. Anggapan tersebut dapat dibenarkan jika dibutuhkan biaya yang relatif kecil untuk melakukan fungsi-fungsi pemasaran. Penyediaan fasilitas fisik untuk pengangkutan, penyimpanan dan pengolahan dianggap dapat digunakan untuk melihat efisiensi pemasaran. Kurang tersediaanya fasilitas fisik, terutama pengangkutan diidentikkan dengan ketidakefisienan proses pemasaran. Intensitas persaingan pasar juga seringkali digunakan untuk menilai efisiensi pemasaran. Struktur pasar persaingan sempurna dianggap lebih efisien dibanding struktur pasar oligopolistik maupun monopolistik. G. Programa Linier Menurut Dimyati dan Dimyati (2003), programa linier adalah suatu cara untuk menyelesaikan persoalan pengalokasian sumber-sumber yang terbatas di antara beberapa aktivitas yang bersaing, dengan cara terbaik yang mungkin dilakukan. Programa linier menggunakan model matematis untuk menjelaskan persoalan yang dihadapinya. Dalam membangun model dari formulasi
persoalan
digunakan
karakteristik-karakteristik
yang
biasa
digunakan dalam persoalan programa linier, yaitu : a. Variabel keputusan Variabel keputusan adalah variabel yang menguraikan secara lengkap keputusan-keputusan yang akan dibuat b. Fungsi tujuan Fungsi tujuan merupakan fungsi dari variabel keputusan yang akan dimaksimumkan (untuk pendapatan atau keuntungan) atau diminimumkan (untuk ongkos).
23
c. Pembatas Pembatas merupakan kendala yang dihadapi sehingga kita tidak bisa menentukan harga-harga variabel keputusan secara sembarang. Bentuk standar dari persoalan programa linier tersaji di bawah ini. Setiap situasi yang formulasi matematisnya memenuhi model ini adalah persoalan programa linier. Maksimumkan z = c1x1 + c2x2 + … + cnxn
(fungsi tujuan)
berdasarkan pembatas : a11x11 + a12x2 + … + a1nxn < b1 a21x11 + a22x2 + … + a2nxn < b2 . . . am1x11 + am2x2 + … + amnxn < bm
pembatas teknologis
dan x1 > 0, x2 > 0, …, xn > 0 Selain model programa linier dengan bentuk seperti yang telah diformulasikan di atas, ada pula model programa linier dengan bentuk yang agak lain seperti : 1. Fungsi tujuan bukan memaksimumkan, melainkan meminimumkan. 2. Beberapa pembatas fungsionalnya mempunyai ketidaksamaan dalam bentuk lebih besar atau sama dengan. 3. Beberapa pembatas fungsionalnya mempunyai bentuk persamaan. 4. Menghilangkan pembatas nonnegatif untuk beberapa variabel keputusan. Dalam menggunakan model programa linier, diperlukan beberapa asumsi sebagai berikut : 1. Asumsi kesembandingan (proportionality) Kontribusi setiap variabel keputusan terhadap fungsi tujuan adalah sebanding dengan nilai variabel keputusan. Kontribusi suatu variabel terhadap ruas kiri dari setiap pembatas juga sebanding dengan nilai variabel keputusan itu. 2. Asumsi penambahan (aditivity) Kontribusi setiap variabel keputusan terhadap fungsi tujuan bersifat tidak tergantung pada nilai variabel keputusan yang lain. Kontribusi
24
suatu variabel terhadap ruas kiri dari setiap pembatas bersifat tidak tergantung pada nilai variabel keputusan yang lain. 3. Asumsi pembagian (divisibility) Dalam persoalan programa linier, variabel keputusan boleh diasumsikan berupa bilangan pecahan. 4. Asumsi kepastian (certainty) Setiap parameter, yaitu koefisien fungsi tujuan, ruas kanan, dan koefisien teknologis, diasumsikan dapat diketahui secara pasti. Menurut Nasendi dan Anwar (1985), sistematika dari analisisanalisis dalam proses pengambilan keputusan yang memakai progam linier dan variasinya mempunyai lima tahap sebagai berikut : 1.
Identifikasi persoalan Identifikasi persoalan terdiri dari kegiatan penentuan dan perumusan tujuan, identifikasi peubah serta pengumpulan data tentang kendala-kendala yang menjadi syarat ikatan terhadap peubah-peubah dalam fungsi tujuan sistem model yang dipelajari.
2.
Penyusunan model Kegiatan penyusunan model terdiri dari empat hal, yaitu : (1) memilih model yang cocok sesuai dengan permasalahannya (2) merumuskan segala macam faktor yang terkait di dalam model yang bersangkutan secara simbolik ke dalam rumusan model matematika (3) menentukan peubah-peubah beserta kaitannya satu sama lain (4) menetapkan fungsi tujuan dan kendala-kendalanya dengan nilai-nilai dan parameter yang jelas
3.
Analisis model Model yang dipilih untuk dapat dianalisis dengan teknik program linier dan variasinya akan memberikan hasil-hasil yang optimal. Hasil analisis tersebut perlu diuji kepekaannya guna melihat sampai seberapa jauh parameter dari peubah-peubah yang ditetapkan dapat bertahan apabila terjadi perubahan pada sistem.
25
4.
Pengesahan model Analisis pengesahan model menyangkut penilaian terhadap model dengan cara mencocokkannya dengan keadaan dan data nyata.
5.
Implementasi Hasil-hasil yang diperoleh dapat dipakai dalam perumusanperumusan rencana kegiatan yang sewaktu-waktu dapat dinilai. Implementasi hasil ini juga menyangkut sistem dokumentasi model dan dokumentasi hasil analisis yang baik.
H. Model Transportasi Menurut Russel dan Taylor (2003), metode transportasi adalah suatu
teknik
kuantitatif
yang
digunakan
untuk
menentukan
cara
menyelenggarakan transportasi dengan biaya seminimal mungkin. Persoalan transportasi melibatkan pengangkutan barang dari berbagai sumber dengan jumlah penawaran tetap ke tujuan-tujuan tertentu dengan jumlah permintaan yang tetap pula dengan biaya serendah mungkin. Dimyati dan Dimyati (2003) menyatakan bahwa model transportasi merupakan salah satu bentuk khusus atau variasi dari program linier yang dikembangkan khusus untuk memecahkan masalah-masalah yang berhubungan dengan transportasi dan distribusi produk dari berbagai sumber (pusat pengadaan atau titik suplai) ke berbagai tujuan (titik permintaan). Ciri khusus dari suatu persoalan transportasi ini adalah : 1. Terdapat sejumlah sumber dan sejumlah tujuan tertentu. 2. Kuantitas komoditas atau barang yang didistribusikan dari setiap sumber dan yang diminta oleh setiap tujuan, besarnya tertentu. 3. Komoditas yang dikirim atau diangkut dari suatu sumber ke suatu tujuan besarnya sesuai dengan permintaan dan atau kapasitas sumber. 4. Ongkos pengangkutan komoditas dari suatu sumber ke suatu tujuan, besarnya tertentu. Misalkan ada m buah sumber dan n buah tujuan. Masing-masing sumber mempunyai kapasitas ai, dengan i = 1, 2, …, m. Masing-masing tujuan membutuhkan komoditas sebanyak bj, dengan j = 1, 2, …, n. Jumlah
26
satuan yang dikirimkan dari sumber i ke tujuan j adalah sebanyak Xij dengan ongkos pengiriman per unit adalah Cij. Dengan demikian, maka formulasi programa liniernya adalah sebagai berikut. m
n
Meminimumkan Z = ∑∑ C ij X ij i =1 j =1
berdasarkan pembatas : n
∑X j =1
ij
= ai ; i = 1, 2, ..., m
n
∑X i =1
ij
= b j ; j = 1, 2, ..., n
dan X ij ≥ 0 untuk seluruh i dan j. I. LINDO
LINDO (Linear Interactive and Discrete Optimizer) ialah suatu paket program interaktif programming linier, kuadratik dan integer yang dirancang agar dapat digunakan oleh berbagai kalangan pemakai. Lindo disusun sedemikian rupa sehingga sangat mudah digunakan karena persoalan Linear Programming yang telah dinyatakan dalam fungsi tujuan dan kendalakendala tidak perlu dipindahkan ke dalam format-format tertentu yang menyulitkan, akan tetapi secara langsung dapat dimasukkan sesuai dengan bentuk aslinya (Pusat Pengolahan Data dan Statistik Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian, 1985). LINDO telah digunakan pada ribuan badan usaha, perguruan tinggi, universitas dan badan pemerintahan di seluruh dunia. LINDO versi Windows menyediakan menu pull-down dan toolbar yang mudah digunakan serta editor model yang lengkap. Persoalan dapat diekspresikan dalam gaya persamaan lurus yang sederhana. LINDO juga mempunyai kapasitas untuk menyelesaikan model linier dan integer berskala besar dengan cepat. LINDO juga mempunyai semua fitur yang dibutuhkan untuk input model, editing, tampilan solusi, penyelidikan kelogisan data, penanganan file dan analisis sensitivitas (LINDO Sytems Inc, 2006). J. Hasil Penelitian Terdahulu
Ritonga (2005) melakukan analisis pemasaran komoditas kentang dengan pendekatan konsep SCM di Semarang, dimana analisis difokuskan
27
pada pola rantai pasokan serta analisis marjin pemasaran dan farmer share (bagian petani). Penelitian tersebut menggunakan data primer yang diperoleh melalui pengamatan dan wawancara langsung dengan anggota mata rantai pasokan komoditas kentang baik melalui hipermarket maupun pasar tradisional. Anggota rantai pasokan yang terlibat dalam rantai pasokan kentang di Semarang yaitu petani, pedagang pengumpul, pedagang grosir, pemasok, pedagang pengecer termasuk hipermarket serta konsumen. Petani di lokasi penelitian menjual komoditas kentang yang dipanen untuk pasar Kota Semarang melalui dua pasar induk, yaitu Pasar Johar dan Pasar Bandungan. Secara umum pola rantai pasokan komoditas kentang dari lokasi penelitian adalah dari petani kentang dijual ke pedagang pengumpul, kemudian pedagang pengumpul menjual kepada pedagang grosir yang terdapat di pasar grosir Johar dan pasar grosir Bandungan. Terdapat tiga pola rantai pasokan komoditas kentang, yaitu : 1.
Pola rantai pasokan 1 : Petani → Pedagang pengumpul → Pedagang besar Pasar Johar Semarang → Pedagang pengecer pasar tradisional → Konsumen rumah tangga
2.
Pola rantai pasokan 2 : Petani → Pedagang pengumpul → Pedagang besar Pasar
Bandungan
Semarang
→
Pedagang
pengecer pasar tradisional → Konsumen rumah tangga 3.
Pola rantai pasokan 3 : Petani → Pedagang pengumpul → Pedagang besar Pasar Johar Semarang → Pemasok → Makro Cash and Carry → Konsumen rumah tangga Perhitungan marjin, sebaran marjin dan farmer share dilakukan
berdasarkan tiga kelas mutu komoditas kentang yaitu AB Super, AB dan ABC. Pola rantai pasokan 3 memiliki total marjin pemasaran yang lebih besar dibandingkan pola 1 dan pola 2. Penyebaran marjin belum merata di antara ketiga rantai pasokan. Pedagang grosir memperoleh marjin pemasaran terendah diantara anggota rantai pasokan lain karena sedikitnya aktivitas pedagang grosir yang membutuhkan biaya dan sedikitnya keuntungan yang
28
diambil. Bagian petani (farmer’s share) adalah bagian yang diterima petani sebagai balas jasa atas kegiatan usaha tani kentang. Bagian petani terbesar diperoleh pada pola rantai 1 karena pada pola ini harga jual komoditas di tingkat konsumen lebih rendah. Perolehan marjin tertinggi rantai pasokan kentang mutu kelas AB super pada pola 1 dan pola 2 terdapat pada tingkat pengecer, sedangkan marjin tertinggi pada rantai pasokan 3 terdapat pada tingkat pemasok. Keuntungan lebih besar kontribusinya dalam marjin-marjin tersebut daripada biaya yang dikeluarkan. Marjin total untuk komoditas kentang mutu kelas AB dan ABC pada pola 1 dan 2 cenderung rendah. Kedua komoditas tersebut dijual dengan harga murah dan terkadang pedagang tidak mengambil keuntungan karena hanya mengharapkan keuntungan yang besar dari kentang untuk mutu AB super. Persentase biaya terbesar yang dikeluarkan masing-masing anggota rantai pasokan adalah biaya penyusutan. Pada pola rantai 1, biaya pemasaran terbesar untuk setiap kelas mutu ditanggung oleh pengecer karena banyaknya aktivitas yang memerlukan biaya. Untuk pola rantai 1 biaya pemasaran terbesar untuk kentang kelas AB super ditanggung oleh pedagang pengumpul karena besarnya biaya angkut ke pasar grosir. Untuk kelas mutu lainnya, biaya pemasaran terbesar untuk setiap kelas mutu ditanggung oleh pengecer seperti pada pola pertama. Pada rantai pasokan ke 3, biaya pemasaran terbesar ditanggung oleh pemasok ke pasar modern karena tingginya biaya seperti biaya pengemasan, pengangkutan dan resiko kerusakan komoditas di supermarket. Susiyana (2005) melakukan analisis rantai persediaan komoditas jeruk Medan dengan metode studi kasus di Pasar Induk Kramat Jati dan Carrefour Cempaka Mas Jakarta. Data primer penelitian ini diperoleh dari hasil wawancara dengan 7 pedagang eceran serta beberapa pedagang grosir di Cililitan dan Pasar Induk Kramat Jati (PIKJ). Data sekunder diperoleh dari BPS, Pasar Induk Kramat Jati, Departemen Pertanian dan instansi-instansi lain.
29
Anggota primer SC jeruk Medan adalah pedagang antar pulau (PAP), pedagang grosir, pedagang eceran, perusahaan pemasok dan swalayan. Anggota sekunder SC ini yaitu distributor dan supermarket collector. Marjin pemasaran dihitung berdasarkan ketiga saluran pemasaran yang terjadi yaitu : 1.
Petani - PAP - Grosir PIKJ - Pengecer
2.
Petani - PAP - Grosir Cililitan - Perusahaan Pemasok- Pengecer
3.
Petani - PAP - Grosir Cililitan - Perusahaan Pemasok- Swalayan Pola saluran 3 memiliki marjin pemasaran yang paling besar.
Saluran pemasaran 1 memperoleh total keuntungan yang terbesar. Pola saluran pemasaran 1 juga yang paling efisien karena memiliki total biaya, keuntungan dan marjin pemasaran yang terendah serta rasio keuntungan dan biaya tertinggi. Pola saluran pemasaran 1 dapat memberikan nilai lebih bagi petani karena menghasilkan farmer’s share yang tinggi.
30
III. METODOLOGI A. Kerangka Pemikiran
Penelitian tentang Analisis Rantai Pasokan Buah Kelapa ini meninjau anggota, aktivitas, pengelolaan, biaya dan efisiensi rantai pemasokan kelapa di Kota Bogor. Aliran rantai pasokan buah kelapa yang dimaksud yaitu aliran pasokan buah kelapa tua dari daerah-daerah penghasil kelapa ke pasarpasar di Kota Bogor. Rantai pasokan terdiri dari anggota-anggota rantai pasokan dengan aktivitas-aktivitas yang mereka lakukan. Menurut Simchi-Levi et al. (2003), masalah kunci dalam pengelolaan rantai pasokan terdiri dari konfigurasi jaringan distribusi, pengendalian inventori, kontrak pemasokan, strategi distribusi, integrasi rantai pasokan dan kemitraan strategis, strategi procurement dan outsourcing, desain produk, teknologi informasi dan sistem penunjang keputusan serta penilaian pelanggan. Pengelolaan rantai pasokan tidak hanya dilakukan agar seluruh bagian sistem memberikan kinerja keseluruhan sistem yang efektif, tetapi juga efisien. Analisis pengelolaan rantai pasokan kelapa pada penelitian ini terbatas pada analisis konfigurasi jaringan logistik, metode pengendalian inventori, integrasi rantai pasokan dan efisiensi rantai pasokan. B. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian lapang dilakukan terhitung mulai Mei sampai September 2006. Untuk data pasokan kelapa di Kota Bogor, diperoleh dari data kebutuhan pedagang besar dan data kebutuhan industri pengolah kelapa. Kota Bogor memiliki tujuh buah pasar yang dikelola oleh pemerintah yaitu Pasar Gunung Batu, Pasar Kebon Kembang, Pasar Baru Bogor, Pasar Jambu Dua, Pasar Merdeka, Pasar Sukasari dan Pasar Padasuka. C. Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Untuk data primer, jenis data yang diperoleh antara lain data harga pembelian dan penjualan, data jumlah pasokan harian, data biaya pemasokan serta data lainnya yang terkait dengan penelitian. Data sekunder diperoleh dari informasi statistik dari situs BPS, situs Departemen Pertanian,
31
serta data dari Direktorat Jendral Perkebunan. Data industri pengolah kelapa diperoleh dari Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Kotamadya Bogor. D. Metode Penelitian
Penelitian diawali dengan tahap eksplorasi awal rantai pasokan buah kelapa sehingga teridentifikasi anggota-anggota primer dan sekunder rantai pasokan. Selanjutnya dilakukan tahap pengumpulan dan analisis data. Gambar 4 menunjukkan tahap-tahap penelitian rantai pasokan buah kelapa di Kota Bogor. Mulai
Identifikasi anggota rantai pasokan Pembuatan daftar pertanyaan untuk pedagang Wawancara dengan pedagang dan industri
tidak
ya
Data lengkap?
Analisis konfigurasi jaringan logistik analisis deskriptif
Analisis pengendalian inventori Analisis integrasi rantai pasokan Analisis efisiensi rantai pasokan a. b.
analisis marjin pemasaran analisis efisiensi alokasi kelapa
Selesai
Gambar 4. Diagram tahapan penelitian rantai pasokan buah kelapa di Kotamadya Bogor
32
D.1. Metode Pengumpulan Data
Data-data primer dalam penelitian ini diperoleh dengan cara wawancara. Sistem pengelolaan rantai pasokan kelapa di Kota Bogor diteliti lebih lanjut dengan cara mewawancarai berbagai level anggota primer rantai pasokan. Teknik wawancara yang dipakai antara lain yaitu wawancara berstruktur yang dilakukan berdasarkan daftar pertanyaan dengan maksud dapat mengontrol dan mengatur berbagai dimensi pertanyaan ataupun jawabannya. Kecuali wawancara dengan industri pengolah kelapa yang dilakukan secara tidak berstruktur yaitu tidak menggunakan daftar pertanyan. Wawancara dengan pihak industri dilakukan untuk mengetahui jumlah kebutuhan kelapa. Identifikasi sistem pemasokan kelapa untuk tingkat pedagang besar dilakukan dengan cara sensus pedagang besar kelapa yang ada di tiap pasar di Kota Bogor. Pedagang besar yang dimaksud di sini yaitu pedagang kelapa baik grosir/bandar maupun eceran yang memperoleh pasokan kelapa langsung dari wilayah produsen kelapa. Sensus adalah cara pengumpulan data dengan mengambil elemen atau anggota populasi secara keseluruhan untuk diselidiki (Hasan, 2002). Tidak semua pasar memiliki pedagang besar. Pasar-pasar yang memilikinya yaitu Pasar Baru Bogor, Pasar Kebon Kembang, Pasar Jambu Dua, Pasar Merdeka dan Pasar Sukasari. Pasar Gunung Batu memperoleh kelapanya dari grosir di Pasar Kebon Kembang, sedangkan Pasar Padasuka memperoleh kelapanya dari Pasar Jambu Dua. Identifikasi sistem pemasokan kelapa untuk tingkat Pedagang Antar Wilayah (PAW) dan pedagang pengecer dilakukan dengan cara wawancara dengan perwakilan masing-masing level. Pedagang Antar Wilayah yaitu pihak pemasok yang membawa kelapa dari daerah sentra kelapa kepada para pedagang besar. Untuk level PAW, peneliti mewawancarai seorang PAW dari Tasikmalaya dan seorang PAW dari Lampung. Keduanya adalah PAW yang dapat ditemui peneliti di Pasar Baru Bogor. Untuk data biaya dan keuntungan PAW Banten, peneliti memperoleh informasi dari grosir kelapa Banten di wilayah Pasar
33
Kebon Kembang. Hal ini dilakukan karena PAW dari Banten berada di Kota
Bogor
hanya
pada
malam
hari
sehingga
peneliti
sulit
mewawancarainya. Identifikasi sistem pemasokan kelapa untuk tingkat pedagang pengecer diperoleh dari hasil wawancara dengan seorang pedagang pengecer yang mewakili pengecer kelapa asal Banten, Lampung dan Tasikmalaya-Ciamis sesuai aliran pasokannya masingmasing. Sebagian data biaya transportasi kelapa dari tiap sumber ke tiap pasar diperoleh dari hasil wawancara dengan pedagang besar. D.2. Metode Analisis Data D.2.1 Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif merupakan suatu metode analisis yang digunakan dengan tujuan memperoleh gambaran secara mendalam dan obyektif mengenai obyek penelitian. Tujuan penggunaan analisis ini adalah untuk menggambarkan sifat suatu keadaan yang sementara berjalan pada saat penelitian dilakukan, dan memeriksa sebab-sebab dari gejala tertentu (Ritonga, 2005). Hasil analisis ini disajikan dalam bentuk tabulasi maupun gambar-gambar sesuai kebutuhan. Data primer dan sekunder yang diperoleh dianalisis secara
deskriptif
tabulasi
dan
statistik
sederhana
untuk
menggambarkan keadaan pasar dan aliran rantai pasokan kelapa. D.2.2 Analisis Efisiensi Rantai Pasokan
Menurut Sudiyono (2002), efisiensi pemasaran dapat didekati dengan efisiensi operasional yang diukur dengan membandingkan output pemasaran terhadap input pemasaran. Dalam menetapkan efisiensi operasional ini diasumsikan sifat utama output tidak mengalami perubahan, dengan penekanan ditujukan pada usaha mengurangi input untuk menghasilkan output pemasaran atau menaikan rasio output-input pemasaran. Input pemasaran berupa biaya tenaga kerja, modal dan manajemen untuk melaksanakan fungsi-fungsi pemasaran relatif lebih mudah diukur daripada output pemasaran berupa kepuasan konsumen. Mubyarto
34
dalam Susiyana (2005) menjelaskan bahwa kegiatan pemasaran dikatakan efisien apabila : 1). Mampu menyampaikan hasil-hasil dari petani produsen kepada konsumen dengan biaya semurah-murahnya. 2). Mampu mengadakan pembagian yang adil dari keseluruhan biaya yang dibayar konsumen akhir kepada semua pihak yang ikut dalam kegiatan produksi dan pemasaran barang tersebut. Dengan demikian jika output pemasaran diasumsikan tetap, proses pemasaran dikatakan efisien jika : 1). Biaya fungsional pemasaran rendah 2). Adanya pembagian keuntungan yang adil bagi setiap lembaga pemasaran
yang
terlibat
sesuai
besarnya
biaya
yang
dikeluarkannya. Analisis efisiensi rantai pasokan untuk beberapa saluran pemasaran spesifik dilakukan dengan analisis marjin pemasaran. Marjin pemasaran terdiri dari terdiri dari biaya fungsional pemasaran dan keuntungan lembaga pemasaran. Parameter pengukuran efisiensi yang digunakan yaitu biaya fungsional pemasaran dan rasio keuntungan terhadap biaya. Marjin pemasaran secara matematis dapat ditulis sebagai berikut : Mi = Ci + πi
Mi = Pri - Pfi
dimana
Mi
: marjin pemasaran pada tingkat lembaga ke-i
Pri
: harga jual pada tingkat lembaga ke-i
Pfi
: harga beli pada tingkat lembaga ke-i
Ci
: biaya pemasaran pada tingkat lembaga ke-i
πi
: keuntungan lembaga pemasaran tingkat ke-i
Total marjin yaitu penjumlahan marjin di setiap lembaga pemasaran yang terlibat. Total marjin dirumuskan sebagai berikut : Total Marjin (MT) =
n
∑M i =1
i
dengan n jumlah lembaga pemasaran
35
Rasio keuntungan terhadap biaya dihitung dengan membagi keuntungan dengan biaya total yang dikeluarkan setiap lembaga pemasaran. Rasio keuntungan-biaya (%) = {πI / (PfI + CI)}*100% dimana Pfi
: harga beli pada tingkat lembaga ke-i
Ci
: biaya pemasaran pada tingkat lembaga ke-i
πi
: keuntungan lembaga pemasaran tingkat ke-i Analisis efisiensi rantai pasokan juga dilakukan pada
efisiensi alokasi distribusi kelapa dari berbagai daerah ke pasarpasar di Kotamadya Bogor. Efisiensi diukur dengan cara membandingkan biaya total transportasi berdasarkan alokasi kelapa saat ini dengan biaya total transportasi berdasarkan alokasi optimal. Alokasi optimal yaitu alokasi yang memberikan biaya transportasi minimal. Penentuan
alokasi
optimal
dilakukan
dengan
cara
mengembangkan model transportasi dengan teknik programa linier berdasarkan data yang telah diperoleh. Gambar 5 menunjukkan tahapan analisis model transportasi buah kelapa ke Kotamadya Bogor. Dalam penelitian ini, analisis model tersebut dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut. 1. Identifikasi persoalan Identifikasi persoalan terdiri dari kegiatan penentuan dan perumusan tujuan, identifikasi peubah serta pengumpulan data tentang kendala-kendala dalam fungsi tujuan sistem model yang dipelajari. 2. Penyusunan model Penyusunan model terdiri dari kegiatan : (1) memilih model yang cocok sesuai dengan permasalahan (2) merumuskan segala macam faktor yang terkait di dalam model yang bersangkutan secara simbolik ke dalam rumusan model matematika (3) menentukan peubah-peubah dan kaitannya satu sama lain
36
(4) menetapkan fungsi tujuan dan kendala-kendalanya dengan nilai-nilai dan parameter yang jelas 3. Analisis model Untuk
memperoleh
penyelesaian
model,
proses
perhitungan dilakukan dengan bantuan perangkat komputer agar diperoleh penyelesaian yang cepat dan memiliki ketelitian yang tinggi. Perangkat yang digunakan adalah LINDO. LINDO juga digunakan dalam analisis sensitivitas dari hasil perhitungan. Mulai Identifikasi persoalan Penyusunan model Analisis model
Bantuan perangkat LINDO
Selesai
Gambar 5. Tahapan analisis model transportasi buah kelapa ke Kotamadya Bogor
37
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Keadaan Umum Lokasi Penelitian
Kota Bogor terletak di antara 106°43’30” - 106°51’00”BT dan 30’30”LS - 6°41’00”LS serta mempunyai ketinggian rata-rata minimal 190 meter, maksimal 350 meter dengan jarak dari ibukota kurang lebih 60 Km. Jenis tanah hampir di seluruh wilayah adalah latosil coklat kemerahan dan sebagian besar mengandung tanah liat serta bahan-bahan yang berasal dari letusan gunung merapi sehingga mengandung batu-batuan dan pasir. Curah hujan rata-rata kota Bogor sebesar 310 mm dengan rata-rata 10 hari hujan per bulan. Kota Bogor terdiri dari enam kecamatan yaitu Kecamatan Bogor Tengah, Kecamatan Bogor Barat, Kecamatan Bogor Utara, Kecamatan Bogor Timur, Kecamatan Bogor Selatan dan Kecamatan Tanah Sareal. Kota ini mempunyai luas 118,50 Km2 yang memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut. 1. Selatan : berbatasan dengan Kecamatan Cijeruk dan Kecamatan Caringin Kabupaten Bogor 2. Timur : berbatasan dengan Kecamatan Sukaraja dan Kecamatan Ciawi Kabupaten Bogor 3. Utara : berbatasan dengan Kecamatan Sukaraja, Kecamatan Bojong Gede dan Kecamatan Kemang Kabupaten Bogor 4. Barat : berbatasan dengan Kecamatan Kemang dan Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor. Data BPS menunjukkan bahwa pada tahun 2004 jumlah penduduk Bogor mencapai 831.571 orang. Kepadatan penduduk Kota Bogor mencapai 7.017 jiwa per Km2. Jumlah penduduk Kota Bogor terus bertambah setiap tahunnya. Tabel 10 menunjukkan pertumbuhan jumlah penduduk Kota Bogor selama tahun 2001-2004.
38
Tabel 10. Jumlah penduduk Kotamadya Bogor Tahun 2000-2004 Jenis Kelamin
2000
2001
2002
2003
2004
Laki-laki
360.942
382.896
397.820
419.252
424.819
Perempuan
353.769
377.391
391.603
401.455
406.752
Total
714.711
760.287
789.423
820.707
831.571
Sumber : Badan Pusat Statistik (2005) Secara umum keadaan ekonomi Kota Bogor sudah relatif stabil dengan pertumbuhannya yang cukup baik, namun masih memerlukan perhatian
yang
lebih
baik
untuk
sektor-sektor
perekonomiannya.
Perekonomian Kota Bogor didominasi oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran 31% dan sektor industri pengolahan sebesar 28% dimana kedua sektor tersebut sangat dipengaruhi oleh jumlah penduduk dan daya beli masyarakat. Jumlah perusahaan perdagangan nasional di Kota Bogor pada tahun 2004 adalah 6.574 buah. Terdapat peningkatan dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar 6%. Perusahaan perdagangan nasional didominasi oleh perdagangan kecil dengan jumlah 5.434 buah. Kota Bogor mendapat pasokan buah kelapa butiran dari beberapa wilayah di luar Kota Bogor melalui pasar-pasar tradisional. Penelitian dilakukan di pasar-pasar tradisonal dimana kelapa dipasok dari daerah-daerah luar Kota Bogor. Menurut Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi (Perindagkop), Kota Bogor mempunyai tujuh buah pasar tradisonal. Pasarpasar tersebut yaitu Pasar Baru Bogor, Pasar Kebon Kembang, Pasar Jambu Dua, Pasar Merdeka, Pasar Padasuka dan Pasar Sukasari. Gambar 6 menunjukkan lokasi pasar-pasar tersebut pada tingkat kelurahan di Kotamadya Bogor. Pengelolaan pasar dilakukan oleh Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) yang ada di masing-masing pasar. Setiap pasar memiliki berbagai fasilitas seperti kios, gudang, MCK, mushola, tempat pembuangan sampah serta alat pemadam kebakaran baik berupa hydrant patok maupun tabung pemadam kebakaran.
39
MEKARWANGI KAYUMANIS KENCANA
CIBADAK CIPARAGI CURUG
SITUGEDE
SUKADAMAI
KEDUNGHALANG
SUKARESMI SEMPLAK CURUGMEKAR BALUNGBANGJAYA
KEDUNGJAYA
KEDUNGBADAK
BUBULAK CIBULUH
MARGAJAYA
KEDUNGWARINGIN CILENDEKBARAT
CILUAR
KEBONPEDES TANAHSAREAL
CILENDEKTIMUR
SINDANGBARANG
4
CIWARINGIN
MENTENG LOJI
TEGALGUNDIL
CIBOGOR KEBONKALAPA
7
3
TANAHBARU
BANTARJATI
BABAKAN SEMPUR PABATON
2
CIMAHPAR
GUNUNGBATU PASIRMULYA
TEGALEGA
PANARAGAN PASIRJAYA
PELEDANG
6
PASIRKUDA
BABAKANPASAR BARANANGSIANG
GUDANG
1
BONDONGAN
Keterangan :
EMPANG
CIKARET
BATUTULIS
Batas Kotamadya
SUKASARI
5
TAJUR
LAWANGGINTUNG
Batas Kecamatan
KATULAMPA
CIPAKU PAKUAN
1. Pasar Baru Bogor 2. Pasar Kebon Kembang 3. Pasar Merdeka 4. Pasar Jambu Dua 5. Pasar Sukasari 6. Pasar Padasuka 7. Pasar Gunung Batu
RANGGAMEKAR
MULYAHARJA
GENTENG
SINDANGRASA
MUARASARI SINDANGSARI
HARJASARI PAMOYANAN
KERTAMAYA
RANCAMAYA
BOJONGKERTA
Gambar 6. Lokasi pasar-pasar tradisional di Kotamadya Bogor (modifikasi gambar dari BPS, 2005)
Kegiatan pengelolaan pasar antara lain yaitu pengelolaan jual beli dan penyewaan kios dan gudang, pemeliharaan kebersihan, ketertiban dan keamanan, penarikan retribusi serta pengawasan harga bahan makanan dan komoditas pokok. Beberapa UPTD menyerahkan pengelolaaan sebagian wilayah pasarnya kepada pihak swasta yang tetap bertanggung jawab kepada
40
UPTD tersebut. Penarikan retribusi dilakukan dengan cara penjualan karcis kepada para pedagang baik yang menempati kios maupun para pedagang yang menempati lapak serta wilayah pinggiran jalan pasar. Jumlah pedagang khususnya yang menempati lapak/jalan bisa tidak sama setiap harinya. B. Konsumsi dan Kebutuhan Buah Kelapa
Pusat Pengembangan Konsumsi Pangan Departemen Pertanian merumuskan suatu komposisi pangan yang seimbang untuk dikonsumsi guna memenuhi kebutuhan gizi penduduk dalam bentuk Pola Pangan Harapan (PPH). PPH mencerminkan susunan konsumsi pangan anjuran untuk hidup sehat. Konsumsi buah/biji berminyak dalam bentuk daging kelapa menurut PPH Nasional yaitu sebesar 10 gr per kapita per hari, dengan satu butir kelapa diasumsikan setara dengan 252 gram daging kelapa (Pusat Pengembangan Konsumsi Pangan Departemen Pertanian, 2004). Data Badan Pusat Statistik menyatakan bahwa penduduk Indonesia pada tahun 2004 berjumlah 217.854.000 orang. Jika diperhitungkan dengan angka PPH, maka kebutuhan daging kelapa penduduk Indonesia mencapai 795.167 ton selama tahun 2004. Angka tersebut jauh dibawah angka produksi kelapa setara kopra tahun 2004. Produksi kopra pada tahun yang sama yaitu sebesar 3.301.942 ton atau setara dengan 16.509.710 ton daging buah kelapa. Hasil registrasi penduduk akhir tahun 2004 oleh Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa jumlah penduduk Kota Bogor mencapai 831.571 jiwa. Jika diperhitungkan dengan standar PPH Nasional maka diharapkan konsumsi daging kelapa penduduk Kota Bogor mencapai 8.315.710 gram per hari atau sekitar 33.000 butir kelapa per hari. Dengan demikian, untuk memenuhi kebutuhan kelapa sesuai anjuran PPH, Kota Bogor memerlukan pasokan kelapa sebanyak 990.000 butir per bulan. Kota Bogor juga memiliki beberapa industri kecil pengolah kelapa. Industri-industri tersebut yaitu empat buah industri VCO dan sebuah industri minyak kelapa. Total kebutuhan kelapa untuk kelima industri tersebut yaitu sebesar 36.600 butir per bulan.
41
C. Identifikasi Anggota Rantai Pasokan C.1. Anggota Rantai Pasokan
Anggota primer adalah semua unit bisnis strategik yang benarbenar menjalankan aktivitas operasional dan manajerial dalam proses bisnis yang dirancang untuk menghasilkan keluaran tertentu bagi pelanggan atau pasar. Yang termasuk anggota primer dalam rantai pasokan buah kelapa tua di Kota Bogor yaitu pedagang antar wilayah, pedagang besar, pedagang eceran dan konsumen. 1.
Pedagang Antar Wilayah Pedagang Antar Wilayah (PAW) adalah satu-satunya anggota rantai pasokan yang membawa kelapa butiran ke Kota Bogor. Para PAW tidak memiliki kebun kelapa sendiri, mereka membeli kelapa dari para petani dan/atau dari para pengumpul kelapa di daerah asal masing-masing. Untuk mendapatkan kelapa sesuai jumlah yang dibutuhkan,
PAW
perlu
membeli
kelapa
dari
beberapa
petani/pengumpul kelapa. 2.
Pedagang Besar Pedagang besar kelapa yaitu pedagang yang menjual kelapa kepada konsumen rumah tangga, pedagang-pedagang eceran dan industri. Pedagang besar memperoleh pasokannya dari PAW. Tidak semua pedagang besar menjual kelapa kepada konsumen rumah tangga, pedagang eceran maupun industri. Pedagang besar hanya terdapat di Pasar Baru Bogor, Pasar Kebon Kembang, Pasar Merdeka, Pasar Jambu Dua dan Pasar Sukasari.
3.
Pedagang Pengecer Pedagang pengecer yaitu pihak yang memperoleh kelapa dari pedagang besar dan hanya menjualnya kepada konsumen rumah tangga.
4.
Konsumen Konsumen rantai pasokan buah kelapa tua di Kota Bogor antara lain yaitu penduduk secara umum untuk konsumsi makanan
42
harian, serta industri pengolah buah kelapa tua yang ada di Kota Bogor yaitu industri kecil VCO dan minyak kelapa. Anggota
sekunder
adalah
perusahaan-perusahaan
yang
menyediakan sumber daya, pengetahuan, utilitas atau aset-aset bagi anggota primer. Yang termasuk ke dalam anggota sekunder adalah lembaga pengangkutan yaitu lembaga perantara pada rantai pasokan yang bergerak di bidang jasa transportasi. Pihak lain yang juga menjadi anggota sekunder rantai pasokan kelapa yaitu pedagang kemasan, pedagang mesin pemarut dan pemerasan santan, serta penyedia bahan bakar mesin-mesin tersebut. C.2. Aktivitas Anggota Primer Rantai Pasokan
PAW membeli kelapa dari petani-petani atau para pengumpul kelapa di daerahnya. Umumnya mereka membeli kelapa yang sebagian besar sabutnya telah dikupas. Sortasi dilakukan sambil kelapa-kelapa dimuat ke dalam truk oleh para pegawai petani/pengumpul kelapa. Pemuatan kelapa dilakukan sejak pagi sampai siang hari, kemudian dibawa ke Kota Bogor pada malam hari saat arus lalu lintas tidak ramai.
Grading dilakukan saat kelapa dijual/dialihkan kepada pedagang besar. Grading dilakukan berdasarkan besar-kecilnya kelapa, semakin besar kelapa semakin mahal harganya. Tingkatan grade kelapa tidak sama untuk setiap pedagang besar. Tabel 11 memperlihatkan aktivitas-aktivitas pemasokan yang dilakukan oleh anggota primer rantai pasokan. Pedagang besar membeli kelapa dari PAW masih dalam bentuk kelapa yang telah dikupas sebagian besar sabutnya, dan dijual kepada pedagang pengecer tanpa mengalami proses pengolahan. Kelapa dipindahkan dengan memakai keranjang bambu. Pedagang besar hanya mengolah kelapanya menjadi kelapa kupas tanpa tempurung, kelapa parut ataupun santan jika dijual kepada konsumen rumah tangga ataupun industri.
43
Tabel 11. Aktivitas anggota primer rantai pasokan kelapa di Kota Bogor Aktivitas
Anggota Primer Rantai Pasokan Kelapa Pedagang PAW Pengecer Industri Besar
Pertukaran √ Penjualan √ Pembelian Fisik Pengangkutan √ Pengemasan Penyimpanan Fasilitas √/ Sortasi √/ Grading Pengolahan Keterangan : (√) dilakukan (-) tidak dilakukan (√/-) dilakukan oleh sebagian anggota
√ √
√ √
√ √
√/√/√
√ √/√
√ -
√/√/√/-
√ √ √/-
√
Beberapa pedagang besar menyimpan kelapanya di gudanggudang baik di dalam atau di luar wilayah pasar. Pedagang besar lainnya menyimpan kelapanya di kios-kios tempat berjualan. Pedagang besar yang melakukan pengolahan baik pengupasan, pemarutan ataupun pemerasan santan, menjual hasil samping berupa tempurung dan air kelapanya kepada penampung. Tempurung kelapa umumnya ditampung oleh pembuat arang, sedangkan air kelapa umumnya ditampung oleh pembuat nata de coco. Adapula seorang pedagang besar yang menjual kerikan kelapanya kepada peternak unggas. Pedagang eceran minimal akan mengupas dan memisahkan daging kelapa dari tempurungnya sebelum dijual kepada konsumen. Sebagian besar pedagang eceran dapat mengolah kelapanya menjadi kelapa parut. Sebagian pedagang eceran juga menjual tempurung dan air kelapanya kepada para penampung, sebagian lain membuangnya begitu saja. Industri memperoleh kelapanya dalam bentuk butiran, parutan ataupun santan.
44
D. Konfigurasi Jaringan Logistik D.1. Pola Aliran Rantai Pasokan
Pola aliran pasokan kelapa di Kota Bogor secara umum dapat dilihat pada Gambar 7. Dengan demikian, maka terdapat 3 pola aliran pasokan kelapa di Kota Bogor, yaitu : 1. Pola I : PAW →Pedagang Besar →Pedagang Eceran →Konsumen RT 2. Pola II : PAW → Pedagang Besar → Konsumen RT 3. Pola III : PAW → Pedagang Besar → Industri Pola 1 : PAW
Pedagang Besar
Pedagang Eceran
PAW
Pedagang Besar
Konsumen RT
PAW
Pedagang Besar
Industri
Konsumen RT
Pola 2 :
Pola 3 :
Gambar 7. Pola aliran pasokan kelapa
Pemasokan kelapa di wilayah Kota Bogor dimulai dari Pedagang Antar Wilayah (PAW) karena lembaga inilah yang memasok kelapa ke pedagang besar langsung dari wilayah asal kelapa. Masingmasing pedagang besar umumnya telah memiliki pemasok tetap yang berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Beberapa pedagang besar menerima pasokan dari beberapa PAW. Jumlah kelapa yang dipasok oleh PAW disesuaikan dengan situasi pasar saat itu, sesuai perkiraan pedagang besar. Menjelang hari raya biasanya jumlah yang dipasok dapat mencapai beberapa kali lipat.
PAW yang memasok kelapa ke Kota
Bogor berasal dari tiga wilayah yaitu Banten, Tasikmalaya-Ciamis dan Lampung.
45
Pasar-pasar di Kota Bogor memperoleh pasokan kelapanya dari 18 orang pedagang besar. Jumlah pasokan kelapa ke masing-masing pedagang besar dapat dilihat pada Lampiran 4. Pedagang besar membeli kelapa dalam jumlah besar, rata-rata sebesar 66.146 butir per bulan. Pemasok untuk setiap pedagang besar berbeda-beda satu sama lain. Pemasok tersebut juga bisa lebih dari satu pemasok dari wilayah yang berbeda-beda. Tidak semua pedagang besar menduduki wilayah pasar. Beberapa pedagang besar berada di luar wilayah pasar namun lokasinya tidak jauh dari pasar. Pedagang-pedagang eceran membeli kelapa dagangannya dari pedagang besar yang berada di sekitar pasar tempat mereka berjualan ataupun dari pedagang besar dari pasar lain. Pedagang kelapa di pasar yang tidak memiliki pedagang besar seperti Pasar Padasuka dan Pasar Gunung Batu harus membeli kelapa dari pedagang besar di pasar lain. Terkadang pedagang eceran dari pasar-pasar yang memiliki pedagang besar juga terpaksa membeli kelapa dari pasar lain ketika stok kelapa di pasar asal mereka habis. Berdasarkan data dari Dinas Perindagkop, terdapat dua buah industri pengolah buah kelapa tua di Kota Bogor, dimana keduanya adalah produsen Virgin Coconut Oil. Kedua industri ini, PT. Bogor Agro Lestari dan CV. Karya Adigi, mendapat pasokan kelapa dari Pasar Kebon Kembang. PT. Bogor Agro Lestari memperoleh kelapa dalam bentuk santan dengan harga Rp. 2.500,00 per butir kelapa, sedangkan CV. Karya Adigi memperoleh bahan baku berupa kelapa kupas. Data hasil wawancara kemudian menunjukkan bahwa terdapat dua buah industri VCO lainnya serta sebuah industri kecil minyak kelapa yang memperoleh pasokan kelapa dari pasar. Industri-industri tersebut tidak memperoleh pasokannya langsung dari PAW karena kebutuhan kelapanya cukup kecil. Harga jual buah kelapa bervariasi dari setiap PAW dan daerah asal pasokan kelapa. Harga pembelian rata-rata untuk buah kelapa di tingkat pedagang besar yaitu Rp. 956 per butir untuk kelapa asal Banten,
46
Rp. 975 untuk kelapa asal Lampung serta Rp. 1.022 untuk kelapa asal Tasikmalaya-Ciamis. Tabel 12 menunjukkan harga rata-rata kelapa baik harga beli, harga jual kepada pedagang pengecer serta harga jual kepada konsumen di tingkat pedagang besar. Perhitungan harga tersebut dapat dilihat pada Lampiran 5. Tabel 12. Harga rata-rata buah kelapa di tingkat pedagang besar (rupiah) Asal Kelapa Banten Tasikmalaya-Ciamis
956
Harga Jual Kepada Pedagang Pengecer 1.086
1.022
1.186
Harga Pembelian
Harga Jual Kepada Konsumen 1.450 1.491
Lampung
975 1.075 1.200 Keterangan : Harga di tingkat konsumen adalah harga kelapa kupas tanpa tempurung. D.2. Metode Transportasi dan Penyimpanan
Transportasi pada rantai pasokan kelapa di Kota Bogor terdiri dari transportasi kelapa dari daerah asal kelapa ke pedagang besar di Kota Bogor serta transportasi kelapa dari pedagang besar kelapa di satu pasar ke pedagang pengecer di pasar lain. Transportasi kelapa dari daerah asal kelapa ke pedagang besar di Kota Bogor dilakukan dengan menggunakan truk-truk jenis colt diesel. Kendaraan ini dapat mengangkut kelapa dalam jumlah 4000-7000 butir kelapa. Ada pula yang mengirim kelapa dari Banten dengan pick up yang memasok kelapa ke pasar Sukasari. Pengangkutan kelapa antar pasar di Kota Bogor umumnya menggunakan pick up dengan kapasitas sekitar 2000 butir kelapa. Pengangkutan kelapa dari pedagang besar ke pedagang pengecer dalam satu pasar umumnya menggunakan jasa para pegawai pedagang besar. Biaya yang biasa dianggarkan untuk mentransfer kelapa dari berbagai daerah berbeda-beda untuk setiap pasar tujuan. Biaya transportasi dari Banten rata-rata sebesar Rp. 200,00 per butir kelapa, sedangkan dari daerah Lampung memerlukan biaya rata-rata sebesar Rp.
47
281,25. Biaya transfer rata-rata terendah yaitu biaya pengiriman dari Tasikmalaya-Ciamis sebesar Rp. 195,24. Biaya-biaya tersebut telah mencakup biaya bahan bakar dan oli, upah supir dan seorang pedampingnya, serta biaya tol dan retribusi selama perjalanan. Tabel 13 menunjukkan data biaya transportasi kelapa dari setiap daerah ke setiap pasar yang berhasil dihimpun oleh peneliti. Tabel 13. Biaya transportasi kelapa dari setiap daerah asal ke setiap pasar Asal
Tujuan
Sumber Data
Supriatno (pedagang besar) Abdul Latif PKKM (pedagang besar) Banten Samsudin PJD (pedagang besar) Abu PS (pedagang besar) Asep PBB (PAW) Anas PKKM (pedagang Tasikmalaya besar) -Ciamis Agus PJD (pedagang besar) PS Sahrun PBB Efendi (PAW) Anas Lampung PKKM (pedagang besar) PJD PS PBB
Jumlah kelapa Biaya Biaya Rata-rata (Rp./ Transportasi per transfer (Rp./butir) butir) (butir) (Rp.) 1.000.000
4.000 250,00
1.000.000
6.000 166,67 200,00
800.000
6.000 133,33
500.000
2.000 250,00
1.500.000
7.000 214,29
1.400.000
7.000 200,00 195,24
1.200.000 -
7.000 171,43 -
-
1.400.000
7.000 200,00
1.450.000
4.000 362,50
-
-
281,25
-
Kelapa yang diterima oleh pedagang-pedagang besar disimpan dalam gudang permanen (tembok), gudang kayu, maupun di dalam kioskios tempat mereka berjualan. Perbedaan tempat penyimpanan tersebut menyebabkan perbedaan biaya penyimpanan untuk setiap pedagang besar. Pedagang besar yang menggunakan kios sebagai tempat
48
penyimpanan mengeluarkan biaya retribusi pasar yang lebih besar dari pada retribusi untuk pedagang pengecer karena penggunaan ruang pasar yang lebih besar. Biaya penyimpanan kelapa berkisar antara Rp. 72.000 sd Rp. 540.000 per bulan. Perhitungan biaya penyimpanan tersebut dapat dilihat di Lampiran 6. D.3. Penyebaran Pasokan Kelapa
Pedagang-pedagang besar kelapa di Kota Bogor memperoleh pasokan kelapa dari Tasikmalaya-Ciamis, Lampung serta wilayah Banten. Total jumlah kelapa yang masuk ke Kota Bogor berjumlah 1.195.500 butir per bulan. Dari jumlah tersebut, yang dipasok ke pasarpasar Kota Bogor sebanyak 1.070.900 butir kelapa, dan 36.600 butir dipasok untuk industri. Dengan demikian konsumsi kelapa penduduk Kota Bogor telah melebihi konsumsi anjuran PPH untuk buah kelapa yaitu sebesar 990.000 butir kelapa per bulan. Sebagian besar pasokan kelapa yaitu sebesar 56,44% dari total jumlah pasokan berasal dari Banten. Sisanya yaitu sebesar 29,26% dan 14,30% masing-masing dipasok PAW dari Tasikmalaya-Ciamis dan Lampung. Gambar 8 menunjukkan sumber dan penyebaran pasokan kelapa per bulan di Kota Bogor yang melalui Pasar Baru Bogor, Pasar Kebon Kembang-Merdeka, Pasar Jambu Dua dan Pasar Sukasari. Banten 679.000 butir (56,80%)
Luar Kota Bogor 88.000 butir (7,36%)
Tasikmalaya-Ciamis 344.500 butir (28,82 %) Lampung 172.000 butir (14,39%)
Jumlah Pasokan Ke Kota Bogor : 1.195.500 butir kelapa
Pasar di Kota Bogor 1.070.900 butir (89,58%) Industri 36.600 butir (3,06%)
Gambar 8. Sumber dan penyebaran pasokan kelapa per bulan di Kota Bogor
Kelapa yang beredar di pasar-pasar di Kotamadya Bogor sebanyak 1.107.500 butir per bulan. Nilai tersebut terdiri dari 36.600
49
butir kelapa untuk kebutuhan industri dan 1.070.900 butir kelapa untuk kebutuhan pasar. Tabel 14 di bawah ini menunjukkan rincian kebutuhan industri pengolah buah kelapa di Kotamadya Bogor. Tabel 14. Kebutuhan buah kelapa industri pengolahnya di Kotamadya Bogor (butir per bulan). Industri Kebutuhan Sumber Buah Kelapa PT. Bogor Agro Lestari 8.800 Ilyas (pedagang besar) CV. Karya Adigi 7.800 Pasar Kebon Kembang Pabrik VCO di Cikaret 8.800 Supriatno (pedagang besar) Pabrik VCO di Kebun Raya 10.400 Ilyas (pedagang besar) Pabrik minyak kelapa 800 Pasar Sukasari Jumlah 36.600 Tidak semua kelapa yang diterima oleh pedagang besar dijual di pasar-pasar di Kota Bogor. Sebanyak 88.000 butir kelapa per bulan (7,36%) dipasok ke pasar-pasar di luar wilayah Kota Bogor, yaitu wilayah Ciawi, Darmaga dan Cibinong. Sebanyak 3,06% kelapa atau setara 36.600 butir kelapa setiap bulan dipasok ke industri pengolah kelapa yang ada di Kota Bogor yaitu industri kecil VCO dan minyak kelapa. Sisanya yaitu sebesar 89,58% dijual di pasar-pasar di Kota Bogor. Pedagang-pedagang besar yaitu pedagang yang memperoleh pasokan kelapa langsung dari PAW hanya terdapat di Pasar Baru Bogor, Pasar Jambu Dua, Pasar Sukasari serta Pasar Kebon Kembang dan Pasar Merdeka. Setiap pasar memasok buah kelapa tua dalam jumlah yang berbeda. Sebanyak 56,71% dari seluruh pasokan kelapa yang melalui ke Kota Bogor disalurkan di Pasar Kebon Kembang dan Pasar Merdeka. Jumlah pasokan ke masing-masing pasar ini sulit dipisahkan karena kedekatan lokasinya sehingga pedagang di kedua pasar mengambil pasokan kelapa dari pedagang-pedagang besar yang berada disekitar kedua pasar tersebut. Pasar Baru Bogor menyediakan 337.500 butir kelapa atau 28,23% dari total pasokan kelapa, sementara Pasar Jambu Dua menyediakan 176.000 butir perbulan atau sebesar 14,72%. Pedagang-pedagang besar kelapa di Pasar Sukasari hanya memasok kelapa sebanyak 0,33% dari total jumlah pasokan kelapa yaitu 4.000
50
butir per bulan. Hal ini selain disebabkan ukuran pasar yang relatif kecil juga karena sebagian pedagang kelapa di pasar tersebut mengambil pasokan kelapa dari pasar lain. Gambar 9 menunjukkan jumlah kelapa yang dipasok ke pedagang besar di Pasar Baru Bogor, Pasar Kebon Kembang-Merdeka, Pasar Jambu Dua dan Pasar Sukasari.
Pasar Kebon Kembang-Merdeka 591.000 butir 678.000 (49,44%) (56,71%) 4
7
Pasar Jambu Dua 176.000 butir (14,72%)
2 3
6
1
5
Pasar Baru Bogor 337.500 butir (28,23%)
Pasar Sukasari 4.000 butir (0,33%)
Gambar 9. Penyebaran pasokan buah kelapa per bulan di pasar tradisional Kota Bogor (modifikasi gambar dari BPS, 2005)
51
E. Pengendalian Inventori
Inventori muncul dalam rantai pasokan kelapa terutama dalam bentuk kelapa butiran. Inventori dalam bentuk kelapa kupas hanya sedikit, disesuaikan dengan perkiraan jumlah penjualan ke konsumen rumah tangga setiap harinya, demikian pula kelapa parut dan santan. Hal ini disebabkan karena ketiga bentuk hasil olahan kelapa tersebut tidak tahan lama sehingga akan rusak apabila tidak habis terjual pada hari itu. Pengelolaan inventori baik oleh para PAW, pedagang besar maupun pedagang pengecer dilakukan dengan cara yang masih sederhana. PAW dari daerah Lampung yang diwawancarai oleh peneliti mengumpulkan kelapa dari sekitar pukul sembilan pagi dan selesai sekitar pukul 3-4 sore. Untuk mengirimkannya ke Kota Bogor, PAW tersebut memilih berangkat sekitar pukul tujuh malam sehingga lalu lintas selama perjalanan tidak ramai. Perjalanan memakan waktu sekitar 15 jam sehingga muatan tiba di Kota Bogor pukul 9-10 pagi. Ada pula PAW yang tiba di pasar pada malam hari. Dengan demikian, jika bukan pengiriman rutin, maka pesanan kelapa memerlukan waktu minimal sekitar 24 jam jika dipesan pada pagi hari sebelum jam delapan. PAW dari Tasikmalaya-Ciamis yang memasok kelapa ke Pasar Bogor biasa mengumpulkan kelapa sejak pukul tujuh pagi sampai siang hari. PAW tersebut berangkat dari daerahnya sekitar pukul lima sore dan sampai di Kota Bogor sekitar pukul tujuh pagi. Dengan demikian perjalanan memakan waktu sekitar 15 jam. Di pasar lainnya, PAW dari Tasikmalaya-Ciamis umumnya tiba di malam hari. Serupa dengan pengiriman pesanan kelapa dari Lampung, jika bukan pengiriman rutin, maka pesanan kelapa memerlukan waktu minimal sekitar 24 jam jika dipesan pada pagi hari. Pedagang besar yang mendapat pasokan kelapa dari daerah Lampung maupun TasikmalayaCiamis umumnya memesan kelapa jika persediaan kelapa mereka diperkirakan hanya cukup untuk 1-2 hari lagi. Peneliti tidak dapat mewawancarai PAW dari daerah Banten yang biasa berada di daerah pasar di Kota Bogor pada pukul 12 sampai 3 pagi. Namun, berdasarkan informasi dari pedagang besar yang secara
52
rutin mendapat pasokan kelapa dari PAW Banten, perjalanan dari Banten ke Kota Bogor memakan waktu lima sampai enam jam. Di pasar, kelapa disimpan dalam tempat penyimpanan berupa gudang berdinding tembok, gudang berdinding kayu ataupun dalam kios-kios. Buah-buahan dan sayuran serta hasil pertanian lainnya setelah dipanen masih melakukan proses respirasi serta metabolisme lainnya sehingga terjadi perubahan-perubahan yang akhirnya menyebabkan benda-benda tersebut menjadi rusak. Apabila penanganan telah dilakukan dengan baik, maka terjadinya kerusakan dan kebusukan pada bahan dapat dihambat atau dikurangi semaksimal mungkin (Winarno dan Aman, 1981). Hal-hal yang perlu diperhatikan pada tempat penyimpanan yang berhubungan dengan keadaan bahan dalam simpanan yaitu temperatur dan kelembaban serta sirkulasi udara. Meningkatnya temperatur tempat penyimpanan dapat meningkatkan temperatur masa bahan yang berada di dalamnya. Oleh karena itu, tempat penyimpanan yang baik adalah tempat atau ruang yang keadaannya sejuk, kering dan terlindung dari pengaruh sinar matahari langsung (Imdad dan Nawangsih, 1999). Salah satu syarat penyimpanan kelapa yaitu terhindar dari pengaruh sinar matahari langsung (Anonim, 2006). Menurut beberapa pedagang, buah kelapa akan pecah jika terjemur. Hal ini mungkin disebabkan karena pada saat dijemur, kelapa mengalami perubahan temperatur yang terlalu cepat atau karena kadar air kelapa sudah sangat jauh berkurang (terlalu kering). Perubahan temperatur secara cepat sebanyak 8°C dapat menyebabkan pecahnya buah kelapa tanpa sabut. Selain itu, kelapa yang terlalu kering juga akan pecah (Paul dan Ketsa, 2007). Syarat lain dalam penyimpanan kelapa yaitu terhindar dari kebocoran dan kehujanan (Anonim, 2006). Kapang permukaan akan tumbuh pada buah kelapa yang basah (Paul dan Ketsa, 2007). Selain karena kebocoran/kehujanan, kelapa juga bisa menjadi basah karena perpindahan uap air. Pada setiap tempat penyimpanan produk pertanian, secara alamiah akan terjadi peristiwa perpindahan uap air dari atau ke dalam tempat atau ruang penyimpanan akibat perubahan temperatur di luar tempat penyimpanan.
53
Untuk menghindari perubahan udara akibat lingkungan yang tidak stabil dapat dilakukan dengan cara mengurangi timbulnya perbedaan temperatur di luar dan di dalam gudang melalui pengaturan sirkulasi udara yang baik (Imdad dan Nawangsih, 1999). Sirkulasi udara (aerasi) dapat dipandang sebagai suatu proses mendinginkan udara di dalam ruang penyimpanan sehingga keadaannya tetap stabil dan terpelihara tanpa ada kerusakan yang berarti. Temperatur dalam ruang penyimpanan juga dapat meningkat karena uap panas yang dihasilkan pada proses respirasi. Cara paling mudah untuk menghindari timbulnya uap panas masa bahan dalam simpanan adalah dengan menyimpan bahan secara hamparan atau onggokan. Tinggi tumpukan perlu dipertimbangkan, maksudnya agar udara segar dapat mengenai permukaan bahan sehingga mengusir panas yang ada (Imdad dan Nawangsih, 1999). Untuk komoditas kelapa, tinggi tumpukan sebaiknya tidak lebih dari 1 meter, dengan tumpukan berbentuk piramida dan longgar (Anonim, 2006). Tempat penyimpanan harus dilengkapi dengan jendela atau ventilasi untuk masuknya udara segar dalam ruang penyimpanan. Jika keadaan masa bahan tertutup, suhu udara dalam ruang menjadi naik dan mengakibatkan bakteri dan cendawan perusak aktif tumbuh sehingga dapat mendatangkan kerusakan. Sirkulasi udara yang jelek dapat menyebabkan buah mudah berkeringat dan menimbulkan bau busuk karena jamur (Imdad dan Nawangsih, 1999). Gudang-gudang tembok di pasar tidak memiliki ruang ventilasi, sehingga sebaiknya pintu gudang sesering mungkin dibuka, atau dibuat lubang angin untuk memperbaiki sirkulasi udara. Dalam ruang penyimpanan modern, kelembaban dan temperatur ruangan simpan dapat diatur sesuai dengan kehendak. Kondisi lingkungan yang dingin menyebabkan patogen gudang tidak dapat berkembang sehingga bahan aman dalam simpanan (Imdad dan Nawangsih, 1999). Penyimpanan pada suhu 0-1,5°C dan kelembaban relatif 75-85% dapat mempertahankan kualitas kelapa tua yang telah dikupas sabutnya selama 60 hari (Maliyar dan Marar, 1963 dalam Paul dan Ketsa, 2007).
54
Pemilihan tempat penyimpanan bahan segar tentu saja harus diperhitungkan dari segi biaya, keamanan bahan, dan manfaatnya. Pengaturan suhu dan kelembaban pada ruang penyimpanan akan membutuhkan biaya yang tinggi (Imdad dan Nawangsih, 1999). Penyimpanan pada suhu kamar dapat mempertahankan kualitas kelapa tua yang telah dikupas sabutnya selama 2 minggu tanpa menimbulkan kerusakan yang serius (Duke, 1983). Buah kelapa tua yang masih bersabut dapat disimpan pada suhu ruang selama 3-5 bulan sebelum air kelapanya menguap dan tempurungnya pecah karena kekeringan atau perkecambahan (Paul dan Ketsa, 2007). Buah kelapa tua umumnya dapat dipanen setelah 11-12 bulan sejak bunga betina diserbuki (Samosir, 1992). Selain karena dipengaruhi kondisi penyimpanan, kebusukan kelapa yang cepat terjadi juga dapat disebabkan karena umur panen buah kelapa yang terlalu muda. Beberapa pedagang menginformasikan bahwa PAW terkadang menyertakan buah-buah yang masih belum tua benar. Mereka menyatakan bahwa buah kelapa tersebutlah yang biasanya lebih cepat busuk hanya dalam 3 hari penyimpanan. Kebusukan sebagian kelapa yang terjadi dengan cepat di penyimpanan pedagang besar juga dapat disebabkan karena jangka waktu yang cukup panjang sejak kelapa dipetik sampai diterima oleh pedagang besar. Para pedagang sebenarnya dapat mendeteksi kelapa mana yang benar-benar tua. Menurut para pedagang, pada buah kelapa tua sisa sabut dekat pangkal buah berwarna hitam dan timbul suara nyaring jika kelapa diguncang-guncang/diketuk-ketuk. Kelapa tua juga memiliki bobot yang lebih ringan karena kadar air kelapanya telah berkurang. Walaupun demikian, kelapa yang kurang tua tetap diterima pedagang besar. F. Integrasi Rantai Pasokan
Strategi rantai pasokan tradisional sering dikategorikan sebagai strategi push atau pull. Dalam rantai pasokan push-based, kebijakan produksi dan distribusi didasarkan pada peramalan jangka panjang. Biasanya pengusaha pabrik membuat peramalan permintaan dengan dasar data pemesanan yang diterima dari gudang ritel. Karenanya rantai pasokan push-based memerlukan waktu yang lebih lama untuk bereaksi terhadap perubahan pasar. Dalam rantai
55
pasokan pull-based, produksi dan distribusi ditentukan oleh permintaan sehingga rantai pasokan ini lebih dikendalikan oleh permintaan konsumen nyata daripada peramalan permintaan. Dalam sistem pull murni, perusahaan tidak menyimpan inventori sedikitpun dan hanya merespon pesanan spesifik. Sistem ini dimungkinkan dengan adanya mekanisme aliran informasi yang cepat untuk mentransfer informasi tentang permintaan konsumen ke seluruh partisipan rantai pasokan (Simchi-Levi et al., 2003). Kemitraan PAW dan pedagang besar sudah cukup fleksibel, antara lain terlihat dalam strategi pemasokan yang diterapkan. Rantai pasokan kelapa di Kota Bogor menggunakan strategi pull, walaupun bukan strategi pull murni. PAW hanya memasok kelapa jika diminta oleh pedagang besar. Pedagang besar memesan kelapa saat pasokan diperkirakan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan selama beberapa hari lagi. Menurut Simci-Levi et al. (2003), dalam rantai pasokan berbasis strategi pull, dapat terlihat pengurangan level inventori, peningkatan kemampuan untuk mengelola sumber daya, dan pengurangan biaya sistem jika dibandingkan dengan sistem push yang sepadan. Namun rantai pasokan kelapa di Kota Bogor juga menggunakan strategi push dimana PAW mengirim kelapa dalam jumlah yang tetap sesuai kapasitas alat angkut untuk mengurangi biaya angkut per butir kelapa. Hal ini menyebabkan pedagang besar selalu memiliki inventori yang cukup banyak setelah menerima pasokan sehingga memerlukan ruang penyimpanan yang sesuai. Fleksibilitas hubungan antara PAW dan pedagang besar dalam rantai pasokan kelapa ke Kota Bogor juga terwujud dalam sistem pembagian resiko antara keduanya. Sistem tersebut berupa penukaran kelapa yang busuk di tempat penyimpanan pedagang besar dengan kelapa baru yang dibawa oleh PAW, jika kelapa yang busuk tersebut berasal dari PAW yang sama dan dalam jumlah yang dinilai cukup besar. Jumlah kelapa yang busuk biasanya hanya sedikit. Kelapa yang busuk tersebut biasanya kemudian dijual oleh PAW ke pabrik-pabrik minyak kelapa yang berada di daerah asalnya masing-masing dengan harga rendah.
56
Kemitraan antara beberapa PAW dan pedagang besar juga terlihat dengan adanya sistem pembayaran yang biasa disebut pedagang dengan sistem “keluar-masuk”. Sistem ini muncul karena para pedagang besar tidak selalu mempunyai modal yang cukup untuk membeli kelapa untuk dagangan mereka. Dengan sistem ini, pembayaran kelapa kepada pihak PAW dilakukan setelah kelapa tersebut telah laku terjual kepada konsumen ataupun pedagang pengecer. Karena sistem ini harus didukung dengan kepercayaan antara pihak PAW dengan pedagang besar, maka PAW hanya menerapkannya dengan pedagang besar yang sebelumnya telah berkerjasama dengan mereka dalam waktu yang cukup lama. G. Marjin Pemasaran
Secara
spesifik,
efisiensi
pemasaran
masing-masing
jalur
pemasaran berbeda-beda satu sama lainnya. Pembandingan efisiensi pemasaran jalur-jalur pemasaran kelapa dilakukan dengan cara analisis marjin pemasaran. Marjin pemasaran terdiri dari biaya pemasaran dan keuntungan pemasaran. Parameter penilaian efisiensi yang digunakan yaitu biaya fungsional dan rasio keuntungan terhadap biaya total. Untuk mempermudah pembandingan
marjin
pemasaran,
perhitungannya
dilakukan
dengan
menggunakan basis satu butir kelapa dengan grade tertinggi. Harga jual kepada konsumen adalah harga jual kelapa yang telah dikupas tempurungnya, tetapi belum diparut. Nilai marjin pemasaran terdiri dari biaya fungsional dan keuntungan pemasaran. Keuntungan pemasaran per butir kelapa dihitung dengan cara mengurangi nilai marjin pemasaran kelapa per butir dengan biaya pemasaran kelapa per butir. Dalam penelitian ini, biaya dan keuntungan pemasokan kelapa dihitung berdasarkan saluran pemasaran dari PAW sampai ke ke tingkat pedagang pengecer, dimana para pedagang pengecer berada tidak jauh dari pedagang besar tempat pembelian kelapa sehingga biaya pemasokan ke pedagang pengecer tidak diperhitungkan. Analisis marjin pemasaran pemasokan kelapa dilihat dari jalur pasokan kelapa ke Kota Bogor, yaitu :
57
1. PAW Banten - Pedagang Besar - Pedagang Pengecer - Konsumen 2. PAW Tasikmalaya-Ciamis - Pedagang Besar - Pedagang Pengecer Konsumen 3. PAW Lampung- Pedagang Besar - Pedagang Pengecer - Konsumen 4. PAW Banten - Pedagang Besar - Konsumen 5. PAW Tasikmalaya-Ciamis - Pedagang Besar - Konsumen 6. PAW Lampung - Pedagang Besar - Konsumen Analisis marjin pemasaran saluran pasokan pertama dihitung berdasarkan data aliran pasokan kelapa dari Banten kepada pedagang besar yang memasok ke wilayah Pasar Kebon Kembang dan Pasar Merdeka. Saluran pasokan ke-2 dan ke-5 diperhitungkan dari aliran pasokan kelapa Tasikmalaya-Ciamis kepada pedagang besar yang memasok kelapa ke Pasar Baru Bogor, sedangkan saluran pasokan ke-3 diperhitungkan dari aliran pasokan kelapa Lampung kepada pedagang besar yang memasok kelapa juga ke Pasar Baru Bogor. Saluran pasokan ke-4 diperhitungkan dari data aliran pasokan kelapa Banten kepada pedagang besar yang memasok kelapa ke Pasar Baru Bogor, sedangkan saluran ke-6 diperhitungkan dari data aliran pasokan kelapa Lampung ke pedagang besar di Pasar Kebon KembangMerdeka. Biaya pemasaran kelapa di tingkat PAW yaitu biaya transportasi per butir kelapa yang dihitung dengan cara membagi biaya total transportasi kelapa dengan jumlah butir kelapa yang diangkut. Biaya pemasaran di tingkat pedagang besar terdiri dari biaya sewa gudang, karcis retribusi, biaya listrik dan air, biaya kebersihan, biaya keamanan, upah karyawan dan upah bongkar muat. Sedangkan biaya pemasaran kelapa di tingkat pedagang pengecer terdiri dari biaya kebersihan dan karcis retribusi. Masing-masing biaya tersebut diperhitungkan dengan cara membagi biaya total per bulannya dengan jumlah kelapa yang dipasok setiap bulan. Tabel 15 memperlihatkan hasil perhitungan biaya, keuntungan dan total marjin pemasaran untuk setiap saluran pemasaran. Rincian hasil perhitungan marjin pemasaran, biaya dan keuntungan terurai pada Lampiran 7.
58
Tabel 15. Biaya, keuntungan dan marjin pemasaran (rupiah per butir kelapa) Saluran keHarga Beli Awal Harga Jual Akhir Jumlah Biaya Fungsional Jumlah Keuntungan Total Marjin
1 2 3 4 5 6 600.00 600.00 700.00 600.00 600.00 550.00 1,500.00 1,500.00 1,500.00 1,500.00 1,500.00 1,200.00 212.70
298.40
290.55
293.25
278.40
381.90
687.30 900.00
601.60 900.00
509.45 800.00
606.75 900.00
621.60 900.00
268.10 650.00
Keterangan : Saluran pasokan ke 1 : PAW Banten - Pedagang Besar (Pasar Kebon Kembang-Merdeka) - Pedagang Pengecer (Pasar Kebon Kembang-Merdeka) - Konsumen Saluran pasokan ke 2 : PAW Tasikmalaya-Ciamis - Pedagang Besar (Pasar Baru Bogor) - Pedagang Pengecer (Pasar Baru Bogor) - Konsumen Saluran pasokan ke 3 : PAW Lampung - Pedagang Besar (Pasar Baru Bogor) - Pedagang Pengecer (Pasar Baru Bogor) Konsumen Saluran pasokan ke 4 : PAW Banten - Pedagang Besar (Pasar Baru Bogor) Konsumen Saluran pasokan ke 5 : PAW Tasikmalaya-Ciamis - Pedagang Besar (Pasar Baru Bogor) - Konsumen Saluran pasokan ke 6 : PAW Lampung - Pedagang Besar (Pasar Kebon Kembang-Merdeka) - Konsumen Menurut Sudiyono (2002), efisiensi pemasaran dapat didekati dengan efisiensi operasional yang diukur dengan membandingkan output pemasaran terhadap input pemasaran, dengan penekanan ditujukan pada usaha mengurangi input untuk menghasilkan output pemasaran atau menaikan rasio output-input pemasaran. Mubyarto dalam Susiyana (2005) menjelaskan bahwa kegiatan pemasaran dikatakan efisien apabila : 1). Mampu menyampaikan hasil-hasil dari petani produsen kepada konsumen dengan biaya semurah-murahnya. 2). Mampu mengadakan pembagian yang adil dari keseluruhan biaya yang dibayar konsumen akhir kepada semua pihak yang ikut dalam kegiatan produksi dan pemasaran barang tersebut. Dengan demikian kriteria pertama untuk menentukan saluran pemasaran yang paling efisien adalah rendahnya biaya fungsional. Untuk saluran dengan pedagang pengecer (saluran 1-3), saluran ke-1 adalah saluran yang paling rendah biaya fungsionalnya yaitu sebesar Rp. 212,70 per butir kelapa. Di antara saluran yang tidak melibatkan pedagang pengecer (saluran
59
4-6), saluran dengan biaya fungsional terendah adalah saluran ke-5 yang memerlukan biaya fungsional sebesar Rp. 278,40 per butir kelapa. Kriteria lain dalam pengukuran efisiensi pemasaran yaitu adanya pembagian yang adil dari keseluruhan biaya yang dibayar konsumen akhir kepada semua pihak yang ikut dalam kegiatan produksi dan pemasaran barang tersebut. Penilaian kriteria ini diukur dengan cara membandingkan nilai rasio keuntungan terhadap biaya total (biaya fungsional dan harga beli kelapa) tiap anggota saluran dalam salurannya masing-masing. Tabel 16 menunjukkan hasil perhitungan rasio keuntungan terhadap biaya total masing-masing anggota saluran, dengan perhitungan seperti pada Lampiran 7. Tabel 16. Rasio keuntungan terhadap biaya total (%) Saluran ke PAW Pedagang Besar Pedagang Pengecer 1 24% 13% 34% 2 35% 3% 23% 3 11% 3% 34% 4 18% 44% 5 35% 29% 6 4% 24% Terlihat dari Tabel 16, nilai rasio keuntungan terhadap biaya total tiap anggota pada saluran ke-1 paling tidak berbeda jauh antara satu dengan yang lain diantara saluran yang melibatkan pengecer. Dengan demikian, pada saluran ini terjadi distribusi keuntungan yang lebih adil dibandingkan saluran ke-2 dan saluran ke-3, sesuai dengan biaya yang dikeluarkannya. Untuk saluran tanpa pedagang pengecer, saluran ke-5 adalah saluran dengan rasio keuntungan terhadap biaya total untuk PAW paling tidak berbeda jauh dengan rasio untuk pedagang besar. Pada saluran ini terjadi distribusi keuntungan yang lebih adil dibandingkan saluran ke-4 dan saluran ke-6, sesuai dengan biaya yang dikeluarkannya. Berdasarkan hasil tersebut, maka diantara saluran yang melibatkan pedagang pengecer, saluran ke-1 adalah saluran yang paling efisien karena biaya fungsionalnya paling rendah dan terjadi distribusi keuntungan yang lebih adil terhadap biaya yang dikeluarkan masing-masing anggota saluran. Untuk saluran yang tidak melibatkan pedagang pengecer, saluran ke-5 adalah saluran yang paling efisien karena memerlukan biaya fungsional paling
60
rendah dan distribusi keuntungan yang lebih adil terhadap biaya yang dikeluarkan masing-masing anggota saluran. Perhitungan rasio keuntungan terhadap biaya menunjukkan bahwa pada saluran-saluran yang melibatkan pedagang pengecer, pedagang besar di tiap saluran memperoleh nilai rasio keuntungan-biaya yang rendah. Hal ini disebabkan karena pedagang besar tidak mengambil keuntungan yang banyak pada saat menjual kelapanya kepada pedagang pengecer. Rasio keuntungan terhadap biaya total untuk pedagang besar pada saluran yang tidak melibatkan pengecer lebih tinggi karena pedagang besar menjual sesuai harga konsumen. H. Model Transportasi H.1. Identifikasi persoalan 1. Identifikasi variabel keputusan
Pedagang besar di Pasar Baru Bogor, Pasar Kebon KembangMerdeka, Pasar Jambu Dua dan Pasar Sukasari memperoleh kelapa dari PAW asal Banten, Tasikmalaya-Ciamis dan Lampung. Variabel keputusan yaitu jumlah alokasi kelapa dari tiap sumber pasokan kelapa ke tiap pasar berdasarkan aliran pasokan kelapa di Kota Bogor. Skema aliran pasokan kelapa dapat dilihat pada Gambar 10. 4 1 5 2 6 3
7
Keterangan : Tanda lingkaran menunjukkan daerah pusat penawaran dan permintaan kelapaa, dimana setiap nomor menunjukkan nama lokasi seperti di bawah ini. 1). Banten 2). Tasikmalaya-Ciamis 3). Lampung 4). P. Baru Bogor 5). P. Kebon Kembang-Merdeka 6). P. Jambu Dua 7). P. Sukasari
Gambar 10. Sumber dan pusat permintaan kelapa
Variabel keputusan model tersaji dalam Tabel 17. Pedagang besar di Pasar Sukasari selama ini memperoleh kelapa hanya dari Banten sehingga alokasinya tidak diubah dan tidak termasuk ke dalam
61
variabel keputusan. Pedagang besar di Pasar Jambu Dua juga selama ini hanya memperoleh pasokan dari Banten dan Tasikmalaya-Ciamis sehingga yang menjadi variabel keputusan hanya alokasi kelapa dari kedua daerah tersebut. Tabel 17. Variabel keputusan Variabel keputusan Jumlah pasokan dari Banten ke Pasar Baru Bogor Jumlah pasokan dari Banten ke Pasar Kebon KembangMerdeka Jumlah pasokan dari Banten ke Pasar Jambu Dua Jumlah pasokan dari Tasikmalaya-Ciamis ke Pasar Baru Bogor Jumlah pasokan dari Tasikmalaya-Ciamis ke Pasar Kebon Kembang-Merdeka Jumlah pasokan dari Tasikmalaya-Ciamis ke Pasar Jambu Dua Jumlah pasokan dari Lampung ke Pasar Baru Bogor Jumlah pasokan dari Lampung ke Pasar Kebon KembangMerdeka
Simbol X14 X15 X16 X24 X25 X26 X34 X35
2. Identifikasi kendala-kendala
Kendala-kendala dalam model yaitu jumlah pasokan kelapa dari tiap daerah sentra kelapa dan jumlah kebutuhan kelapa tiap pasar. Nilai-nilainya diasumsikan tetap, sesuai dengan hasil wawancara dengan para pedagang. Kendala-kendala tersebut diformulasikan sebagai berikut : a. Kendala jumlah pasokan kelapa dari Banten X14 + X15 + X16 = A b. Kendala jumlah pasokan kelapa dari Tasikmalaya-Ciamis X24 + X25 + X26 = B c. Kendala jumlah pasokan kelapa dari Lampung X34 + X35 = C d. Kendala kebutuhan Pasar Baru Bogor X14 + X24 + X34 = D e. Kendala kebutuhan Pasar Kebon Kembang-Merdeka X15 + X25 + X35 = E f. Kendala kebutuhan Pasar Jambu Dua X16 + X26 = F
62
g. Kendala nilai positif (jumlah pasokan/kebutuhan kelapa > 0) Xij > 0 Keterangan : A : jumlah pasokan kelapa dari Banten (butir) B : jumlah pasokan kelapa dari Tasikmalaya-Ciamis (butir) C : jumlah pasokan kelapa dari Lampung (butir) D : jumlah kebutuhan kelapa untuk konsumen di Pasar Baru Bogor (butir) E : jumlah kebutuhan kelapa untuk konsumen di Pasar Kebon Kembang-Merdeka (butir) F : jumlah kebutuhan kelapa untuk konsumen di Pasar Jambu Dua (butir) 3. Perumusan fungsi tujuan
Tujuan pembuatan model adalah mencari alokasi optimal yang meminimumkan biaya transportasi total pemasokan kelapa ke Kota Bogor. Model alokasi optimal diformulasikan sebagai berikut. Meminimumkan biaya transportasi total (Z) = t14 X14 + t15 X15 + t16 X16 + t24 X24 + t25 X25 + t26 X26 + t34 X34 + t35 X35 Keterangan : Z : total biaya transportasi tij : biaya transportasi per butir kelapa dari asal i ke tujuan j H.2. Penyusunan model 1. Persamaan kendala
a.
Kendala jumlah pasokan kelapa dari Banten Jumlah pasokan dari Banten setelah dikurangi jumlah pasokan ke Pasar Sukasari yaitu sebesar 675.000 butir kelapa. X14 + X15 + X16 = 675.000
b.
Kendala jumlah pasokan kelapa dari Tasikmalaya-Ciamis X24 + X25 + X26 = 344.500
c.
Kendala jumlah pasokan kelapa dari Lampung X34 + X35 = 172.000
d.
Kendala kebutuhan Pasar Baru Bogor Para pedagang besar di Pasar Baru Bogor mendapat pasokan kelapa sebanyak 337.500 butir per bulan. X14 + X24 + X34 = 337.500
63
e.
Kendala kebutuhan Pasar Kebon Kembang-Merdeka Para pedagang besar di Pasar Kebon Kembang-Merdeka mendapat pasokan kelapa sebanyak 678.000 butir per bulan. X15 + X25 + X35 = 678.000
f.
Kendala kebutuhan Pasar Jambu Dua Para pedagang besar di Pasar Jambu Dua mendapat pasokan kelapa sebanyak 176.000 butir per bulan. X16 + X26 = 176.000
2. Fungsi tujuan
Tujuan model yaitu meminimalkan biaya total transportasi dengan pengaturan alokasi kelapa. Biaya transportasi dari tiap sumber ke tiap tujuan tersaji pada Tabel 18. Biaya transportasi diperoleh dari hasil perhitungan sesuai Tabel 13 sebelumnya. Tabel 18. Biaya transportasi dari tiap sumber ke tiap tujuan (tij ) tij Asal Tujuan (Rp./butir) PBB (j=4) 250,00 Banten (i =1) PKKM (j=5) 166,67 PJD (j=6) 133,33 PBB (j=4) 214,29 Tasikmalaya (i=2) PKKM (j=5) 200,00 PJD (j=6) 171,43 PBB (j=4) 200,00 Lampung (i=3) PKKM (j=5) 362,50 Keterangan : PBB : Pasar Baru Bogor PKKM : Pasar Kebon Kembang-Merdeka PJD : Pasar Jambu Dua
Model fungsi tujuan setelah dilengkapi dengan konstanta biaya transportasi tersaji sebagai berikut. Z = 250,00 X14 + 166,67 X15 + 133,33 X16 + 214,29 X24 + 200,00 X25 + 171,43 X26 + 200,00 X34 + 362,50 X35 Dengan demikian, dapat matriks persoalan transportasi dari model tersusun seperti pada Tabel 19 di berikut ini.
64
Tabel 19. Matriks persoalan transportasi pasokan kelapa Tujuan Daerah Asal PBB PKKM PJD Banten TasikmlayaCiamis Lampung Permintaan
t14 = 250,00
X14 t24 = 214,29
X24 t34 = 200,00
t15 = 166,67
X15 t25 = 200,00
X25
t16 = 133,33
X16 t26 = 171,73
X26
t35 = 362,50
X34
X35
337.500
678.000
Suplai 675.000 344.500 172.000
176.000
1.191.500
H.3. Analisis model
Untuk memperoleh penyelesaian model transportasi yang telah dibuat, dilakukan proses perhitungan dilakukan dengan bantuan perangkat LINDO. Tampilan model persamaan matematik dalam program LINDO terdapat pada Lampiran 8. Hasil solving persamaan oleh LINDO tidak menunjukkan adanya kesalahan struktur model dan menghasilkan keluaran berupa nilai optimal dari variabel keputusan yang dicari. Tabel 20 menunjukkan nilai variabel-variabel keputusan hasil optimasi. Berdasarkan hasil tersebut, biaya transportasi minimal jika Pasar Baru Bogor mendapat pasokan kelapa dari Tasikmalaya-Ciamis (165.500 butir) dan Lampung (172.000 butir), Pasar Kebon KembangMerdeka mendapat pasokan kelapa dari Banten (499.000 butir) dan Tasikmalaya-Ciamis (179.000 butir), serta Pasar Jambu Dua memperoleh seluruh pasokan kelapa dari Banten (176.000 butir). Alokasi kelapa perhitungan LINDO berbeda dengan alokasi kelapa yang selama ini terjadi. Biaya transportasi untuk alokasi selama ini yaitu sebesar Rp. 225.611.085,00, sementara biaya yang diperlukan untuk alokasi hasil optimasi yaitu sebesar Rp. 212.299.405,00 perbulan. Perhitungannya dapat dilihat seperti pada Lampiran 11. Dengan alokasi kelapa sesuai dengan alokasi keluaran LINDO, secara keseluruhan diperoleh minimasi biaya sebesar Rp. 13.311.680,00 perbulan. Dengan
65
demikian, pemasokan kelapa dengan alokasi sesuai hasil perhitungan LINDO akan lebih efisien karena akan mengurangi biaya transportasi. Tabel 20. Nilai optimal variabel keputusan Nilai (butir kelapa)
Variabel keputusan
Simbol
Jumlah pasokan dari Banten ke Pasar Baru Bogor Jumlah pasokan dari Banten ke Pasar Kebon Kembang-Merdeka Jumlah pasokan dari Banten ke Pasar Jambu Dua Jumlah pasokan dari Tasikmalaya-Ciamis ke Pasar Baru Bogor Jumlah pasokan dari Tasikmalaya-Ciamis ke Pasar Kebon Kembang-Merdeka Jumlah pasokan dari Tasikmalaya-Ciamis ke Pasar Jambu Dua Jumlah pasokan dari Lampung ke Pasar Baru Bogor Jumlah pasokan dari Lampung ke Pasar Kebon Kembang-Merdeka
X14
0
X15
499.000
X16
176.000
X24
165.500
X25
179.000
X26
0
X34
172.000
X35
0
Perhitungan alokasi optimal dilakukan berdasarkan asumsi-asumsi peneliti berdasarkan data yang dapat diperoleh. Asumsi-asumsi tersebut bisa berbeda dengan kenyataan, terlebih pada kondisi pasar yang terus mengalami perubahan. Analisis sensitivitas merupakan suatu usaha untuk mempelajari nilai-nilai dari peubah-peubah pengambilan keputusan dalam suatu model matematika jika satu atau beberapa atau semua parameter model tersebut berubah (Nasendi, 1985). Analisis sensitivitas memiliki selang kepekaan yang dapat menunjukkan perubahan yang terjadi pada hasil optimasi. Selang kepekaan tersebut terdiri dari batas penurunan (allowable decrease) dan batas kenaikan (allowable increase). Keluaran LINDO menghasilkan selang kepekaan untuk perubahan koefisien fungsi tujuan serta untuk perubahan nilai ruas kanan dari persamaan tujuan dan kendala-kendala. Koefisien-koefisien fungsi tujuan menunjukkan biaya-biaya transportasi per butir kelapa. Selang penurunan dan kenaikan nilai biaya-biaya tersebut tersaji pada Tabel 21 di bawah ini. Hasil analisis sensitivitas tersebut menunjukkan sejauh mana perubahan total biaya per butir kelapa dapat terjadi tanpa mengubah alokasi kelapa yang meminimalkan biaya transportasi.
66
Tabel 21. Batas-batas perubahan biaya transportasi (Rp./butir) Current Allowable Variabel Allowable Increase Coeficient Decrease Tidak terbatas 69,04 t14 250,00 69,04 4,77 t15 166,67 4,76 Tidak terbatas t16 133,33 69,04 176,79 t24 214,29 4,76 69,04 t25 200,00 Tidak terbatas 4,77 t26 171,43 176,79 Tidak terbatas t34 200,00 Tidak terbatas 176,79 t35 362,50 Analisis
sensitivitas
parameter
nilai
ruas
kanan
kendala
memberikan informasi mengenai sampai sejauh mana nilai ruas kanan boleh berubah. Ruas kanan pada persamaan-persamaan kendala pada model menunjukkan jumlah kelapa yang tersedia dari tiap daerah serta jumlah kebutuhan kelapa setiap pasar. Hasil pengolahan LINDO menunjukkan bahwa nilai variabel-variabel keputusan akan tetap menghasilkan biaya minimal jika jumlah kebutuhan tiap pasar dan jumlah kelapa yang tersedia dari tiap daerah tidak berubah. Hasil analisis sensitivitas parameter ruas kanan keluaran program LINDO dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22. Batas-batas perubahan ruas kanan persamaan kendala (butir kelapa) Ruas kiri
Ruas kanan
Allowable Increase
Allowable Decrease
X14 + X15 + X16
675.000
0
0
X24 + X25 + X26
344.500
0
0
X34 + X35
172.000
0
0
X14 + X24 + X34
337.500
0
0
X15 + X25 + X35
678.000
0
0
X16 + X26
176.000
0
0
67
V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan
Anggota primer rantai pasokan buah kelapa tua di Kota Bogor yaitu pedagang antar wilayah (PAW), pedagang besar, pedagang eceran dan konsumen termasuk industri. Anggota sekundernya yaitu lembaga jasa transportasi, pedagang kemasan, pedagang mesin pemarut dan pemerasan santan, serta penyedia bahan bakar mesin-mesin tersebut. Para pedagang antar wilayah memasok kelapa ke pedagang-pedagang besar yang ada di Pasar Baru Bogor, Pasar Kebon Kembang, Pasar Sukasari, Pasar Merdeka dan Pasar Jambu Dua. Kelapa-kelapa dari PAW diterima oleh para pedagang besar. Pedagang besar tersebut ada yang langsung menjual kelapa kepada konsumen, adapula yang menjualnya lagi kepada pedagang-pedagang pengecer baik dalam satu pasar maupun berlainan pasar. Para pedagang besar kelapa di Kota Bogor memperoleh pasokan kelapa dari Tasikmalaya-Ciamis, Lampung serta wilayah Banten. Total jumlah kelapa yang masuk ke Kota Bogor berjumlah 1.195.500 butir per bulan yang sebagian besar berasal dari Banten. Kelapa diterima dari PAW dan disimpan dalam bentuk kelapa yang sebagian besar sabutnya telah dikupas. Pedagang besar menyimpan kelapa dalam gudang tembok, gudang kayu ataupun dalam kios pasar. Rantai pasokan kelapa di Kota Bogor menggunakan strategi pull. PAW hanya memasok kelapa jika diminta oleh pedagang besar. Fleksibilitas hubungan antara PAW dan pedagang besar dalam rantai pasokan kelapa ke Kota Bogor juga terwujud dalam sistem pembagian resiko antara keduanya. Sistem tersebut berupa penukaran kelapa yang busuk di tempat penyimpanan pedagang besar dengan kelapa baru yang dibawa oleh PAW. Kemitraan antara beberapa PAW dan pedagang besar juga terlihat dengan adanya sistem pembayaran kelapa kepada pihak PAW dilakukan setelah kelapa tersebut telah laku terjual kepada konsumen ataupun pedagang pengecer. Saluran pemasaran ke-1 adalah saluran yang paling efisien di antara
saluran
yang
melibatkan
pedagang
pengecer,
karena
biaya
fungsionalnya paling rendah dan terjadi distribusi keuntungan yang lebih adil
68
terhadap biaya yang dikeluarkan masing-masing anggota saluran. Saluran pemasaran ke-1 terdiri dari PAW dari Banten serta pedagang besar dan pedagang pengecer dari Pasar Kebon Kembang-Merdeka. Untuk saluran yang tidak melibatkan pedagang pengecer, saluran ke-5 adalah saluran yang paling efisien karena memerlukan biaya fungsional paling rendah dan terjadi distribusi keuntungan yang lebih adil terhadap biaya yang dikeluarkan masingmasing anggota saluran. Saluran pemasaran ke-5 terdiri dari PAW dari Tasikmalaya-Ciamis serta pedagang besar dari Pasar Baru Bogor. Model
transportasi
menghasilkan
alokasi
kelapa
yang
meminimalkan biaya transportasi kelapa ke pasar-pasar di Kota Bogor. Biaya transportasi minimal jika Pasar Baru Bogor mendapat pasokan kelapa dari Tasikmalaya-Ciamis (165.500 butir) dan Lampung (172.000 butir), Pasar Kebon Kembang-Merdeka mendapat pasokan kelapa dari Banten (499.000 butir) dan Tasikmalaya-Ciamis (179.000 butir), serta Pasar Jambu Dua memperoleh seluruh pasokan kelapa dari Banten (176.000 butir). Pemasokan kelapa dengan alokasi tersebut akan lebih efisien karena akan mengurangi biaya transportasi sebesar Rp. 13.311.680,00 per bulan. B. Saran
Untuk keperluan lingkup yang lebih luas, sebaiknya dilakukan penelitian mengenai pasokan kelapa di masing-masing daerah sentra produksi kelapa dari segi produksi, karakteristik kelapa dan kemampuan memasok dalam jangka panjang. Sebaiknya dilakukan pula penelitian tentang perilaku konsumen dalam memilih buah kelapa tua.
69
DAFTAR PUSTAKA
Allorerung, D., Z. Mahmud, A. Wahyudi, GS. Hardono, H. Novarianto, dan HT. Luntungan. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kelapa. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian, Jakarta. Amrizal, MD dan H. Hasni. 1994. Agribisnis Kelapa Rakyat : Studi Kasus Di Riau dan Sulawesi Tengah. Jurnal Penelitian Kelapa 7(1) : 37. Anonim. 2006. Kelapa. http://warintek.progressio.or.id/perkebunan/kelapa.htm. [14 Februari 2006] Baudouin, L. 1999. Genetic Improvement of Coconut Palms. J. Current Plant Science and Biotechnology in Agriculture, l35 : 46. Barlina, R. 1993. Kontroversi Isu Minyak Tropis. Buletin Balai Penelitian Kelapa 20 : 33. Batugal, P., D. Banigno dan J. Oliver. 2005. Eds. Coconut Hybrids for Small Holders. CFC Technical Paper, 42. Biro Pusat Statistik. 2005. Kotamadya Bogor dalam Angka 2004-2005. Jakarta. Direktorat Jendral Perkebunan Departemen Pertanian. 2006. Statistik Perkebunan Indonesia 2003-2005. Jakarta. Djatmiko, B. 1991. Karakteristik Daging Buah Beberapa Kultivar Kelapa. Jurnal Penelitian Kelapa 5 : 1. Duke, JA. 1983. Handbook of Energy Crops. http://newcrop.hort.purdue.edu /newcrop/duke_energy/Cocos_nucifera.html [9 Februari 2007] Eltram, LM. 1991. Supply Chain Management : The Industrial organisation Perspective. International Journal of Physical Distribution & Logistics Management 21(1) : 13-22. Foale, M. 2003. The Coconut Odyssey : The Bounteous Possibilities of The Tree of Life. Australian Centre for International Agricultural Research, Canberra. Hengky, N. 1994. Beberapa Metode Analisis Kemiripan Genetika Kelapa. Buletin Balai Penelitian Kelapa, 21 : 16. Imdad, HP. dan AA. Nawangsih. 1999. Menyimpan Bahan Pangan. Penebar Swadaya, Jakarta.
70
Indrajit, RE. dan R. Djokopranoto. 2003. Konsep Manajemen Supply Chain : Cara Baru Memandang Mata Rantai Penyediaan Barang. PT Grasindo, Jakarta. Hasan, I. 2002. Pokok-pokok Materi Statistik 1 : Statistik Deskriptif. Bumi Aksara, Jakarta. LINDO Systems Inc. 2006. LINDO 6.1. http://www.lindo.com/lindof.html. [25 September 2006] Miranda dan WT. Amin. 2005. Manajemen Logistik dan Supply Chain Management. Harvarindo, Jakarta. Nasution, S. 2003. Metode Research. Bumi Aksara, Jakarta. Nasendi, BD dan A. Anwar. 1985. Programa Linier dan Variasinya. PT Gramedia, Jakarta Paul, RE. dan S. Ketsa. 2007. Coconut. http://72.14.235.104/search?q=cache:qn lKC02yoh4J:usna.usda.gov/hb66/055coconut.pdf+%22husked+coconut %22&hl=id&ct=clnk&cd=1&gl=id. [21 Februari 2007] Palungkun, R. 1998. Aneka Produk Olahan Kelapa. Penebar Swadaya, Jakarta. Prakosa, M. 2002. Arah Kebijakan dan Strategi Pembangunan Perkelapaan Indonesia. Makalah pada Prosiding Hari Perkelapaan Keempat, 20-22 September 2002, Bandung. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. 2005. Varietas Unggul Tanaman Perkebunan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. 2006. Kelapa. http://perkebunan.litbang.deptan.go.id/index.php?option=com_ content&task=view&id=16&Itemid=3. [21 Desember 2006] Pusat Pengembangan Konsumsi Pangan Departemen Pertanian. 2004. Pedoman Umum Penyusunan Program Pengembangan Konsumsi Pangan. http://www.deptan.go.id/HomePageBBKP/PKP/pedoman_ umum.htm. [22 Juni 2006] Pusat Pengolahan Data dan Statistik Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. 1985. Buku Petunjuk Penggunaan Paket Program Lindo. Jakarta. Ritonga, OS. 2005. Analisis Pemasaran Komoditas Kentang dengan Pendekatan Konsep Supply Chain Management Di Kota Semarang Propinsi Jawa Tengah. Skripsi. Departemen Ilmu-ilmu Sosial Fakultas Pertanian IPB, Bogor.
71
Rumokoi, MMM., R. Barlina dan A. Lay. 1994. Pengolahan Kelapa untuk Bahan Pangan dan Non Pangan. Makalah pada Prosiding Simposium II Hasil Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, 21-23 November 1994, Bogor. Russel, RS dan BW. Taylor. 2003. Operations Management. Prentice Hall, New Jersey. Samosir, YMS. 1992. Asal Usul dan Botani Kelapa. Di dalam : Laporan Penelitian Kelapa. Penerbit Asosiasi Penelitian dan Pengembangan Perkebunan Indonesia. Simchi-Levi, D., P. Kaminsky dan E. Simchi-Levi. 2003. Designing, and Managing The Supply Chain : Concepts, Strategies and Case Studies. McGraw-Hill, New York. Sudiyono, A. 2002. Pemasaran Pertanian. Universitas Muhammadiyah Malang, Malang. Sukamto, ITN. 2001. Upaya Meningkatkan Produksi Kelapa. Penebar Swadaya, Jakarta. Susiyana, AO. 2005. Analisis Rantai Persediaan (Supply Chain) Komoditas Jeruk Medan. Skripsi. Program Studi Manajemen Agribisnis Departemen Ilmuilmu Sosial Fakultas Pertanian IPB, Bogor. Sutarmi dan H. Rozaline. 2006. Taklukan Penyakit dengan VCO. Penebar Swadaya, Jakarta. Winarno, FG. Dan M. Aman. 1981. Fisiologi Lepas Panen. Sastra Hudaya, Jakarta.
72
Lampiran 1. Pohon Industri Kelapa (Allorerung, 2005)
Nata Vinegar
Air
Buah
Daging
Kecap
VCO
Minuman
Desicated
Concentrate
Skim Milk
Parut
Cocomix
Skim Milk
Coco Shake
Kulit
Semi VCO Coco Cake
M. Goreng
Crude Oil
Oleokimia
Bungkil
Pakan
Kopra Kelapa
Tempurung
Tepung Arang
Tepung Aktif Berkaret
Serat Sabut
Geotextile
Cocopeat 73
Batang
Kayu
Lidi
Kerajinan
Furnitur Bangunan 73
Lampiran 2. Deskripsi Beberapa Jenis Kelapa Unggul (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Perkebunan, 2005) Kesesuaian Daerah Kultivar
Silsilah
Morfologi Tanaman
Produksi
dan Iklim, Ketahanan terhadap Hama
Hasil seleksi terhadap 100 pohon Kelapa kelapa terpilih oleh Dr P.L.M. dalam Mapanget Tammes tahun 1926 terhadap
populasi kelapa rakyat di Desa Mapanget, Sulawesi Utara. Seleksi menghasilkan 43 pohon terpilih baru yang dikenal sebagai kelapa dalam Mapanget.
Kelapa dalam Tenga
Ditemukan oleh Tim Survei FAOUNDP yang dipimpin oleh Dr. D.V. Liyanage di Desa Tenga, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara.
Kelapa dalam Palu
Ditemukan oleh Tim Survei FAOUNDP yang dipimpin oleh Dr. D.V. Liyanage di Desa Bangga, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah.
Mulai berbuah pada umur 5 tahun; panjang pada 11 berkas daun 118 cm; warna buah coklat kemerahan, merah kekuningan, hijau kekuningan; bentuk buah bulat; bentuk buah tanpa sabut bulat dasar rata.
Jumlah buah per pohon per tahun 90 butir, jumlah buah per hektar per tahun 12.870 butir, berat kopra per hektar per tahun 3,3 ton, kadar minyak 62,95%.
Sesuai ditanam pada lahan kering iklim basah (curah hujan 2.500-3500 mm/tahun). Agak toleran terhadap kemarau panjang. Tahan terhadap Phytophthora.
Mulai berbuah pada umur 5 tahun; panjang pada 11 berkas daun 109 cm; warna buah hijau, merah kekuningan, hijau kekuningan; bentuk buah hampir bulat; bentuk buah tanpa sabut bulat dasar rata. Mulai berbuah pada umur 5 tahun; panjang pada 11 berkas daun 125 cm; warna buah hijau, merah kecoklatan, hijau kekuningan; bentuk buah elips; bentuk buah tanpa sabut bulat dasar rata.
Jumlah buah per pohon per tahun 75 butir, jumlah buah per hektar per tahun 16.725 butir, berat kopra per hektar per tahun 3,0 ton, kadar minyak 69,31%.
Sesuai ditanam pada lahan kering iklim basah (curah hujan <2.500m/tahun). Tahan terhadap kekeringan sampai 3 bulan. Tahan terhadap Phytophthora. Sesuai ditanam pada lahan kering iklim basah (curah hujan <1.500mm/tahun). Agak toleran terhadap kemarau panjang. Tahan terhadap Phytophthora.
Jumlah buah per pohon per tahun 75 butir, jumlah buah per hektar per tahun 10.725 butir, berat kopra per hektar per tahun 2,8 ton, kadar minyak 69,28%.
74 74
Kelapa dalam Bali
Ditemukan oleh Tim Survei FAOUNDP yang dipimpin oleh Dr. D.V. Liyanage di Desa Celukkembawang, Bali.
Kelapa Genjah Salak
Kelapa genjah Salak adalah hasil seleksi dari populasi kelapa rakyat di Desa Pematang Panjang, Kecamatan Sungai Tabuk, Kalimantan Selatan.
Kelapa Genjah Raja
Kelapa genjah Raja ditemukan pada survei plasma nutfah kelapa tahun 1980 di Tobelo, Halmahera, Maluku.
Mulai berbuah pada umur 5 tahun; panjang pada 11 berkas daun 109 cm; warna buah hijau, merah kekuningan, hijau kekuningan; bentuk buah hampir bulat; bentuk buah tanpa sabut bulat dasar rata. Mulai berbuah pada umur 2 tahun; panjang pada 11 berkas daun 61,2 cm; warna buah hijau; bentuk buah lonjong.
Jumlah buah per pohon per tahun 75 butir, jumlah buah per hektar per tahun 10.725 butir, berat kopra per hektar per tahun 3,0 ton, kadar minyak 65,52%.
Mulai berbuah pada umur 40 bulan; panjang pada 11 berkas daun 41,4 cm; warna buah merah kecoklatan; bentuk buah bulat.
Jumlah buah per pohon per tahun 70-120 butir, jumlah buah per hektar per tahun 13.500 butir, kadar gula air buah 1,7%.
Jumlah buah per pohon per tahun 80-120 butir, jumlah buah per hektar per tahun 20.500 butir, kadar gula air buah 2,09%.
Sesuai ditanam pada lahan kering iklim basah (curah hujan <2.500m/tahun). Tahan terhadap kekeringan sampai 3 bulan. Tahan terhadap Phytophthora. Sesuai ditanam pada lahan kering iklim basah (curah hujan <2.500m/tahun). Agak tahan terhadap Phytophthora. Sesuai ditanam pada lahan kering iklim basah (curah hujan <2.500m/tahun). Tahan terhadap Phytophthora.
75 75
Lampiran 3. Deskripsi Kelapa Hibrida PB-121 (Batugal, 2005)
Kultivar
: PB-121 atau MAWA (MYD x WAT)
Female parent
: West African Tall (WAT)
Male parent
: Malayan Yellow Dwarf (MYD)
Silsilah
: Diciptakan di Côte d’Ivoire pada tahun 1962 dan telah menjadi varietas yang paling luas pemanfaatannya di dunia. Kelapa ini telah ditanam di 40 negara pada tahun 1985.
Karakteristik buah
: Ukuran buah medium, dengan bobot 900-1200 gram (rata-rata 990 gram). Bobot daging kelapa bervariasi antara 320-380 gram. Berat kopra berkisar antara 190-240 gram dengan kadar minyak sekitar 65%. Warna buah hijau kekuningan dan hijau kecoklatan. Buah umumnya berbentuk lonjong dengan bentuk kelapa tanpa sabut bulat dengan daging yang tebal.
Produksi
: Mulai menghasilkan buah pada umur 6 tahun. Pohon dewasa dapat menghasilkan 3,5-4,5 ton kopra (130-170 butir buah kelapa per pohon) per hektar per tahun pada kerapatan 160 pohon per hektar.
Adaptasi
: PB-121 dapat beradaptasi baik pada berbagai kondisi perkebunan dan relatif tahan terhadap tekanan air. Namun introduksi kelapa ini di Indonesia dan Philipina gagal karena serangan jamur Phythopthora dan petani menganggapnya buahnya terlalu kecil. PB-121 kini terus dikembangkan dan telah dihasilkan kultur yang tahan terhadap Phythopthora.
76 76
Lampiran 4. Jumlah Pasokan Pedagang Besar Kelapa di Kota Bogor (butir per bulan) Alokasi Pasokan Jumlah Luar No. Nama Lokasi Asal Pasokan Pasokan Pasar Kota Industri Kota Bogor Bogor Tasikmalaya1 Usman PBB 52.500 52.500 0 0 Ciamis 2 Badrudin PBB Lampung 140.000 130.000 0 10.000 Tasikmalaya3 Kosidin PBB 30.000 24.000 0 6.000 Ciamis Tasikmalaya4 Ugan PBB 8.000 8.000 0 0 Ciamis 5 Erik PBB Banten 75.000 75.000 0 0 6 Supriatno PBB Banten 32.000 23.200 8.800 0 Tasikmalaya7 Cecep PKKM 20.000 20.000 0 0 Ciamis 8 Dadang PKKM Banten 30.000 30.000 0 0 9 Madhari PKKM Banten 10.000 10.000 0 0 10 Aneng PKKM Banten 18.000 18.000 0 0 11 Abdul Latif PKKM Banten 180.000 135.000 0 45.000 Tasikmalaya12 Ilyas PKKM 40.000 20.800 19.200 0 Ciamis Lampung, 13 Anas PKKM Tasikmalaya116.000 101.000 0 15.000 Ciamis Banten, 14 Gozali PKKM Tasikmalaya236.000 236.000 0 0 Ciamis Tasikmalaya15 Damanhuri PKKM 28.000 28.000 0 0 Ciamis Tasikmalaya16 Agus PJD 56.000 44.000 0 12.000 Ciamis 17 Samsudin PJD Banten 120.000 120.000 0 0 18 Abu PS Banten 4.000 4.000 0 0 Total 1.195.500 1.079.500 28.000 88.000
77
Lampiran 5. Perhitungan Harga Beli Rata-rata Buah Kelapa Di Tingkat Pedagang Besar (rupiah) Banten Tasikmalaya - Ciamis Lampung Pedagang Besar HB HJP HJK HB HJP HJK HB HJP HJK Usman - 1.000,00 1.200,00 1.500,00 Badrudin - 1.000,00 1.100,00 Kosidin - 800,00 1.200,00 Ugan - 1.100,00 - 1.250,00 Erik 900,00 1.100,00 Supriatno 1.000,00 1.150,00 1.500,00 Cecep - 1.100,00 - 2.000,00 Dadang 900,00 1.000,00 1.500,00 Madhari 900,00 1.000,00 1.200,00 Aneng 800,00 - 1.500,00 A. Latif 950,00 1.100,00 Ilyas - 1.200,00 1.300,00 1.500,00 Anas - 950,00 1.050,00 1.200,00 950,00 1.050,00 1.200,00 Gozali 950,00 1.050,00 - 950,00 1.050,00 Damanhuri - 1.200,00 1.300,00 1.500,00 Agus - 900,00 1.200,00 Samsudin 1,000,00 1.200,00 1.500,00 Abu 1,200,00 - 1.500,00 Harga 955,56 1.085,71 1.450,00 1.022,22 1.185,71 1.491,67 975,00 1.075,00 1.200,00 Rata-rata
Keterangan : HB
: Harga pembelian
HJ
: Harga jual kepada pedagang besar
HK
: Harga jual kepada konsumen
78
Lampiran 6. Perhitungan Biaya Penyimpanan Kelapa
Pedagang Biaya Sewa Gudang Retribusi Kios Biaya Total Penyimpanan Besar (Rp./bulan) (Rp./bulan) (Rp./bulan) Usman 250.000,00 45.000,00 295.000,00 Badrudin 250.000,00 0,00 250.000,00 Kosidin 250.000,00 0,00 250.000,00 Ugan 0,00 45.000,00 45.000,00 Erik 180.000,00 0,00 180.000,00 Supriatno 400.000,00 0,00 400.000,00 Cecep 0,00 72.000,00 72.000,00 Dadang 240.000,00 300.000,00 540.000,00 Madhari 240.000,00 300.000,00 540.000,00 Aneng 30.000,00 90.000,00 120.000,00 Abdul Latif 583.333,33 0,00 583.333,33 Ilyas 250.000,00 60.000,00 310.000,00 Anas 70.833,33 0,00 70.833,33 Gozali 141.666,67 0,00 141.666,67 Damanhuri 250.000,00 60.000,00 310.000,00 Agus 125.000,00 1.500,00 126.500,00 Samsudin 250.000,00 3.500,00 253.500,00 Abu 0,00 300.000,00 300.000,00 Keterangan : Biaya total penyimpanan per bulan = biaya sewa gudang per bulan + biaya retribusi kios per bulan
79
Lampiran 7. Perhitungan Marjin Pemasaran (per butir kelapa)
80
Saluran keAsal Pasokan Jumlah Kelapa Sekali Memasok Harga jual dari petani/pengumpul Pedagang Antar Wilayah Harga beli (per butir) Biaya transfer Total biaya fungsional % total biaya fungsional Harga jual Keuntungan % Keuntungan Marjin pemasaran Sebaran marjin Rasio keuntungan/biaya total (%) Pedagang Besar Harga beli Biaya listrik dan air Biaya sewa gudang Karcis retribusi Biaya kebersihan Biaya keamanan Upah karyawan Upah bongkar muat
1 2 Banten Tasikmalaya-Ciamis 6.000 7.000 600,00 600,00 600,00 166,67 166,67 78,36% 950,00 183,33 26,67% 350,00 38,89% 24% Abdul Latif 950,00 0,00 3,20 0,00 0,33 0,00 12,50 10,00
600,00 214,29 214,29 71,81% 1.100,00 285,71 47,49% 500,00 55,56% 35% Usman 1.100,00 0,00 4,76 15,00 0,07 1,43 22,86 20,00
3 4 5 6 Lampung Banten Tasikmalaya-Ciamis Lampung 7.000 4.000 7.000 4.000 700,00 600,00 600,00 550,00 700,00 600,00 200,00 250,00 200,00 250,00 68,84% 85,25% 1.000,00 1.000,00 100,00 150,00 19,63% 24,72% 300,00 400,00 37,50% 44,44% 11% 18% Badrudin Supriatno 1.000,00 1.000,00 0,00 0,00 4,76 12,50 0,00 0,00 0,07 0,75 1,43 0,00 64,29 20,00 0,00 10,00
600,00 214,29 214,29 76,97% 1.100,00 285,71 45,96% 500,00 55,56% 35% Usman 1.100,00 0,00 4,76 15,00 0,07 1,43 22,86 20,00
550,00 362,50 362,50 94,92% 950,00 37,50 13,99% 400,00 61,54% 4% Anas 950,00 0,26 7,33 0,00 0,52 0,00 1,29 10,00
81
81
Saluran keAsal Pasokan Pedagang Besar Total biaya fungsional % total biaya fungsional Harga jual Keuntungan % Keuntungan Marjin pemasaran Sebaran marjin Rasio keuntungan/biaya total (%) Pedagang Pengecer Harga beli Karcis retribusi Biaya kebersihan Total biaya fungsional % total biaya fungsional Harga jual Keuntungan % Keuntungan Marjin pemasaran Sebaran marjin Rasio keuntungan/biaya total (%) Konsumen Harga Beli
1 2 Banten Tasikmalaya-Ciamis Abdul Latif Usman 26,03 64,12 12,24% 21,49% 1.100,00 1.200,00 123.97 35,88 18,04% 5,96% 150,00 100,00 16,67% 11,11% 13% 3%
3 4 5 6 Lampung Banten Tasikmalaya-Ciamis Lampung Badrudin Supriatno Usman Anas 70,55 43,25 64,12 19,40 24,28% 14,75% 23,03% 5,08% 1.100,00 1.500,00 1.500,00 1.200,00 29,45 456,75 335,88 230,60 5,78% 75,28% 54,04% 86,01% 100,00 500,00 400,00 250,00 12,50% 55,56% 44,44% 38,46% 3% 44% 29% 24%
1.100,00 15,00 5,00 20,00 9,40% 1.500,00 380,00 55,29% 400,00 44,44% 34%
1.200,00 15,00 5,00 20,00 6,70% 1.500,00 280,00 46,54% 300,00 33,33% 23%
1.100,00 15,00 5,00 20,00 6,88% 1.500,00 380,00 74,59% 400,00 50,00% 34%
1.500,00
1.500,00
1.500,00
1.500,00
1.500,00
1.200,00
82
Keterangan : ) Biaya total saluran = biaya fungsional total + harga beli kelapa oleh PAW 2 ) Rasio keuntungan total terhadap biaya total setiap saluran Total biaya fungsional untuk PAW = biaya transportasi kelapa Total biaya fungsional untuk pedagang besar = biaya listrik dan air + biaya sewa gudang + biaya karcis retribusi + biaya kebersihan + biaya keamanan + upah karyawan + upah bongkar muat 1
Total biaya fungsional untuk pedagang pengecer = biaya kebersihan + biaya karcis retribusi Total biaya fungsional saluran pasokan = biaya fungsional PAW + biaya fungsional pedagang besar + biaya fungsional pedagang pengecer Anggota ke 1 saluran rantai pasokan Anggota ke 2 saluran rantai pasokan Anggota ke 3 saluran rantai pasokan
: PAW : pedagang besar : pedagang pengecer
% biaya fungsional untuk setiap anggota saluran rantai pasokan ke i = biaya fungsional anggota ke i saluran rantai pasokan total biaya fungsional Marjin pemasaran untuk setiap anggota saluran rantai pasokan ke i (i = 1, 2, 3) = harga jual oleh anggota rantai pasokan ke i - harga beli oleh anggota rantai pasokan ke i Total marjin pemasaran = marjin pemasaran PAW + marjin pemasaran pedagang besar + marjin pemasaran pedagang pengecer % Marjin pemasaran untuk setiap anggota saluran rantai pasokan ke i = marjin pemasaran anggota ke i saluran rantai pasokan total marjin pemasaran Keuntungan untuk setiap anggota saluran rantai pasokan ke i (i = 1, 2, 3) = marjin pemasaran anggota ke i saluran rantai pasokan - biaya fungsional anggota rantai pasokan ke i Total keuntungan = keuntungan PAW + keuntungan pedagang besar + keuntungan pedagang pengecer 82
% keuntungan untuk setiap anggota saluran rantai pasokan ke i = (keuntungan anggota ke i saluran rantai pasokan) / total keuntungan
83
Lampiran 8. Model Persamaan Matematik dalam Program LINDO
83
Lampiran 9. Solusi Model Keluaran Program LINDO
84
Lampiran 10. Analisis Sensitivitas Model Keluaran Program LINDO
85
Lampiran 11. Perhitungan Biaya Transportasi Alokasi Optimal dan Alokasi Selama Ini
i
j
1
4 5 6 4 5 6 4 5
2 3
Alokasi Selama Ini Alokasi Optimal Xij tij* Xij Xij tij* Xij (butir) (Rp.) (butir) (Rp.) 250,00 107.000 26.750.000,00 0 0,00 166,67 448.000 74.668.160,00 499.000 83.168.330,00 133,33 120.000 15.999.600,00 176.000 23.466.080,00 214,29 90.500 19.393.245,00 165.500 35.464.995,00 200,00 198.000 39.600.000,00 179.000 35.800.000,00 171,43 56.000 9.600.080,00 0 0,00 200,00 140.000 28.000.000,00 172.000 34.400.000,00 362,50 32.000 11.600.000,00 0 0,00 Subtotal (Rp) 225.611.085,00 Subtotal 212.299.405,00 Selisih (Rp) 13.311.680,00
tij (Rp./butir)
86
Lampiran 12. Daftar Pertanyaan untuk Pedagang Besar dan Pedagang Pengecer Pedagang
Pasar
:
Tanggal : Nomor
:
Nama pedagang
:
Menempati )*
: Kios / Lapak / Gudang
Kebutuhan stock kelapa rata-rata per hari/per minggu : … … … butir Data Pemasok Asal Kota Pemasok
Jumlah butir kelapa/pembelian Harga beli Harga jual Sistem pemesanan (dipesan, ditawari, sudah rutin) Jika dipesan, waktu sejak pesan sd pesanan diterima (jam) : Pasokan ke luar Kota Bogor Tujuan Pasokan Jumlah Harga Jual Sistem pemasokan Biaya pemasokan Sistem pembayaran
87
Pemasokan ke industri :
Biaya yang dikeluarkan untuk 1. Bongkar muat : 2. Retribusi pasar : 3. Kebersihan : 4. Sewa kios atau lapak perbulan : 5. Sewa gudang : 6. Tenaga kerja : 7. Listrik dan air : 8. Biaya lainnya : Penanganan terhadap 1. Batok kelapa : Dijual dengan harga Rp. ………… per ……… Dalam seminggu rata-rata dapat menjual batok kelapa sebanyak ……… Dijual kepada )* : konsumen rumah tangga/ industri/lainnya……… 2. Air kelapa : Dijual dengan harga Rp. ………… per ……… Dalam seminggu rata-rata dapat menjual air kelapa sebanyak ……… Dijual kepada )* : konsumen rumah tangga/ industri/lainnya……… 3. Hasil lainnya : Dijual dengan harga Rp. ………… per ……… Dalam seminggu rata-rata dapat menjual sebanyak ……… Dijual kepada )* : konsumen rumah tangga/ industri/lainnya……… Keterangan : )* coret yang tidak perlu
88
Lampiran 13. Contoh Daftar Pertanyaan untuk Pedagang Besar dan Pedagang Pengecer yang Telah Diisi Pedagang
Pasar
: Baru Bogor
Tanggal : 3 Agustus 2006 Nomor
:5
Nama pedagang
: Supriatno
Menempati )*
: Kios / Lapak / Gudang
Kebutuhan stock kelapa rata-rata per hari/per minggu : 8.000 butir Data Pemasok Tasikmalaya
-
-
4.000 butir dua kali seminggu
-
-
Rp. 1.000, 750, 550
-
-
-
-
rutin
-
-
Sehari (di jalan 6 jam)
-
-
Asal Kota Pemasok
Jumlah butir kelapa/pembelian Harga beli (A, B, C) Harga jual (A, B, C)
1.100, 850, 650 (pedagang) parut 2.000 tdk parut 1.500 (konsumen)
Sistem pemesanan (dipesan, ditawari, sudah rutin) Jika dipesan, waktu sejak pesan sd pesanan diterima (jam) : Pasokan ke luar Kota Bogor Tujuan Pasokan
-
-
-
Jumlah Harga Jual Sistem pemasokan Biaya pemasokan Sistem pembayaran
89
Pemasokan ke industri : 400 butir ke pabrik VCO di Cikaret (22 hari sebulan) Biaya yang dikeluarkan untuk 1. Bongkar muat : Rp 10/ butir 2. Retribusi pasar : 3. Kebersihan : Rp. 6.000 per minggu 4. Sewa kios atau lapak perbulan : 5. Sewa gudang :
Rp. 400.000, 00/bulan
6. Tenaga kerja : 2 orang @Rp. 320.000,00/bulan 7. Listrik dan air : 8. Biaya lainnya : Penanganan terhadap 1. Batok kelapa : Dijual dengan harga Rp. 3.000,00 per karung (800 butir kelapa) Dalam seminggu rata-rata dapat menjual batok kelapa sebanyak Dijual kepada )* : konsumen rumah tangga/ industri/lainnya 2. Air kelapa : Dijual dengan harga Rp. 3.000,00 per jerigen (800 butir) Dalam seminggu rata-rata dapat menjual air kelapa sebanyak Dijual kepada )* : konsumen rumah tangga/ industri/lainnya3. Hasil lainnya : Dijual dengan harga Rp. 10.000,00 per karung (800-1600 butir kelapa) Dalam seminggu rata-rata dapat menjual sebanyak Dijual kepada )* : konsumen rumah tangga/ industri/lainnya Keterangan : )* coret yang tidak perlu Biaya pemasokan dari Banten Rp. 1.000.000,00
90
Lampiran 14. Daftar Pertanyaan untuk Pedagang Antar Wilayah Pemasok Pemasok dari kota :
Nama pemasok
Tanggal :
:
Mendapat kelapa dari : 1. Petani kelapa Memasok dari )* : satu petani/beberapa petani Data Petani
1
2
3
4
Nama Alamat No. Telp Harga beli Harga jual Jumlah kelapa (butir) Ambil Hari : Pukul : 2. Pengumpul kelapa Memasok dari )* : satu pengumpul/beberapa pengumpul Data Petani
1
2
3
4
Nama Alamat No. Telp Harga beli Harga jual Jumlah kelapa (butir) Ambil Hari : Pukul :
91
Biaya yang dikeluarkan untuk (selain biaya membeli kelapa) 1. Memuat kelapa : Rp. ………… per ……… 2. Biaya angkut sekali pasok -
Sewa truk :
-
Bahan bakar :
-
Sewa sopir :
-
Retribusi :
-
Lainnya :
3. Lainnya : Tujuan Pasokan Pasar / Industri tujuan pasokan di Bogor
Memasok secara (mingguan, harian, tidak tetap sesuai permintaan) Jumlah pasokan (butir) Harga jual Tenggang waktu : Mulai memuat pukul ……… sd pukul ………. Memulai perjalanan ke Bogor pukul ………., sampai di Bogor pukul ………. Membongkar muatan pukul ………, selesai pukul ………. Penyusutan :
92
Lampiran 15. Contoh Daftar Pertanyaan untuk Pedagang Antar Wilayah yang Telah Diisi Pemasok Pemasok dari kota :
Nama pemasok
Tanggal :
: Asep
Mendapat kelapa dari : 1. Petani kelapa Memasok dari )* : satu petani/beberapa petani Data Petani
1
2
3
4
Nama Alamat No. Telp Harga beli Harga jual Jumlah kelapa (butir) Ambil Hari : Pukul : 2. Pengumpul kelapa Memasok dari )* : satu pengumpul/beberapa pengumpul (5) Data Petani
1
2
3 dll
Nama
Agus
Hakim
Alamat
-
-
No. Telp
-
08522311xxxx
Harga beli
Rp. 575,00
Harga jual
Rp. 800,00
Jumlah kelapa (butir) Ambil Hari : Pukul :
4 dll
Total 7000 butir
Mulai pukul 7, sore berangkat, sampai jam 3 subuh
93
Biaya yang dikeluarkan untuk (selain biaya membeli kelapa) 1. Memuat kelapa : Rp. ………… per ……… 2. Biaya angkut sekali pasok -
Sewa truk :
-
Bahan bakar :
-
Sewa sopir :
-
Retribusi :
-
Lainnya :
Total Rp. 1.500.000,00
3. Lainnya : kalau ke Bogor hanya ke Pasar Bogor Tujuan Pasokan Pasar / Industri tujuan pasokan di Bogor
Memasok secara (mingguan, harian, tidak tetap sesuai permintaan) Jumlah pasokan (butir) Harga jual Tenggang waktu : Mulai memuat pukul 7 pagi sd pukul siang Memulai perjalanan ke Bogor pukul 5 sore, sampai di Bogor pukul 3 pagi Membongkar muatan pukul 3 pagi, selesai pukul 6 sore. Penyusutan : -
94