ANALISIS EFEKTIVITAS KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK DAN PENGARUHNYA TERHADAP PRODUKSI PADI (STUDI KASUS : KABUPATEN BOGOR)
OLEH SUHAILA MARISA H14070047
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
RINGKASAN
SUHAILA MARISA. Analisis Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk dan Pengaruhnya terhadap Produksi Padi (Studi Kasus: Kabupaten Bogor) (dibimbing oleh ALLA ASMARA) Pertanian merupakan aspek penting dalam mendukung keberlangsungan hidup suatu negara. Indonesia sebagai negara agraris, menempatkan pertanian sebagai sektor utama dalam perekonomian nasional. Selain itu, pertanian sebagai aspek pendukung ketersedian pangan di suatu negara. Oleh karena itu, terdapat berbagai kebijakan pemerintah yang mendukung produksi sektor pertanian. Salah satu kebijakan ini adalah kebijakan subsidi pupuk. Kebijakan subsidi pupuk merupakan salah satu kebijakan fiskal yang bertujuan untuk mendukung sektor pertanian dengan memberikan subsidi input berupa penetapan HET pupuk. Kebijakan ini dilaksanakan berdasarkan enam indikator keberhasilan yaitu tepat jenis, jumlah, harga, mutu, tempat, dan waktu. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efektivitas kebijakan subsidi pupuk untuk mendukung produksi padi dengan mengambil studi kasus pada Kabupaten Bogor. Metode pengambilan contoh menggunakan purposive sampling dimana pemilihan responden berdasarkan pertimbangan peneliti. Sampel penelitian ini yaitu dua kecamatan dan masing-masing kecamatan dipilih dua desa. Dari desa ini dipilih lagi masing-masing 30 responden yang diharapkan dapat mewakili populasi yang ada. Metode analisis yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif dan kuantitatif, serta metode regresi linier berganda. Metode deskriptif kualitatif dan kuantitatif digunakan untuk mengukur efektivitas kebijakan subsidi pupuk dengan menggunakan empat indikator utama yaitu tepat harga, tepat tempat, tepat waktu, dan tepat jumlah. Metode regresi linier berganda digunakan untuk mengukur respon permintaan pupuk urea terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi yaitu harga urea, harga TSP, harga padi, dan luas lahan, serta respon produksi padi terhadap faktor-faktor yang mempengaruhinya yaitu luas lahan, tenaga kerja, benih, pupuk, dummy benih, dan dummy efektivitas harga. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kebijakan subsidi pupuk masih dikategorikan belum efektif berdasarkan empat indikator utama, yaitu tepat harga, tepat tempat, tepat waktu, dan tepat jumlah. Ketidakefektifan subsidi pupuk juga berpengaruh terhadap produksi padi seperti yang ditunjukkan pada hasil regresi produksi padi. Variabel harga pupuk urea mempunyai pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap permintaan pupuk urea. Hal ini berarti bahwa jika terjadi peningkatan pada harga pupuk urea maka akan terjadi penurunan permintaan pupuk urea. Selain itu, variabel harga TSP, harga padi, dan luas lahan mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap permintaan pupuk urea. Variabel luas lahan, tenaga kerja, benih, pupuk, dummy benih, dan dummy efektivitas harga mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap produksi padi. Hal ini berarti bahwa apabila terjadi perubahan terhadap faktor-faktor tersebut maka akan berpengaruh terhadap produksi padi. Pengaruh efektivitas kebijakan subsidi pupuk terhadap produksi padi dapat dilihat dari nilai dummy efektivitas harga
pada persamaan regresi produksi padi. Dummy efektivitas harga bernilai positif dan signifikan. Hal ini berarti bahwa apabila kebijakan subsidi pupuk efektif maka dapat meningkatkan produksi padi. Oleh karena itu, pemerintah harus selalu memperbaiki penyaluran pupuk bersubsidi agar indikator-indikator efektivitas kebijakan subsidi pupuk terpenuhi sehingga penggunaan kebijakan ini dapat bermanfaat secara optimal bagi petani. Mekanisme penyaluran pupuk masih bermasalah pada Lini IV (kios resmi) yang masih berada di luar desa. Kios resmi sebaiknya berada di dalam desa sehingga petani dapat lebih mudah memperoleh pupuk bersubsidi tanpa tambahan biaya transportasi. Selain itu, sebaiknya ada perbedaan yang jelas antara kios resmi dan tidak resmi pupuk bersubsidi sehingga petani tidak kesulitan untuk memperoleh pupuk bersubsidi dengan HET yang telah ditetapkan. Pemerintah juga harus selalu mendukung ketersediaan faktorfaktor tersebut agar produksi padi optimal. Pemerintah harus meningkatkan peran PPL dalam memberikan imbauan dan anjuran tentang produksi padi terutama berkaitan dengan adanya pemupukan yang berimbang agar penggunaan pupuk bersubsidi dapat terserap dan bermanfaat optimal dalam peningkat produksi padi. Peran serta dari berbagai pihak-pihak yang terkait dan penegakan aturan-aturan juga dapat membantu peningkatan efektivitas kebijakan subsidi pupuk.
ANALISIS EFEKTIVITAS KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK DAN PENGARUHNYA TERHADAP PRODUKSI PADI (STUDI KASUS : KABUPATEN BOGOR)
Oleh: SUHAILA MARISA H14070047
Skripsi Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
Judul Skripsi
: Analisis Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk dan Pengaruhnya terhadap Produksi Padi (Studi Kasus : Kabupaten Bogor)
Nama Mahasiswa
: Suhaila Marisa
Nomor Registrasi Pokok
: H14070047
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Alla Asmara, S. Pt, M.Si NIP. 19730113 199702 1 001
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M. Ec NIP. 19641022 198903 1 003
Tanggal Kelulusan :
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, September 2011
Suhaila Marisa H14070047
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Suhaila Marisa, lahir di Rembang pada tanggal 03 mei 1989. Penulis adalah anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Kadar Yusuf dan Ibu Khayati. Penulis memulai pendidikan di TK Negeri Rembang dan lulus pada tahun 1995. Pendidikan dasar di SD Negeri Ngotet Rembang pada tahun 1995 dan lulus pada tahun 2001. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 2 Rembang dan lulus pada tahun 2004. Penulis melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 1 Rembang dan lulus pada tahun 2007. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2007. Penulis diterima sebagai mahasiswa IPB dengan mayor Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Penulis juga mendapatkan beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) pada tahun 2008-2011. Penulis aktif dalam berbagai organisasi dan kepanitiaan selama menjadi mahasiswa. Penulis aktif dalam organisasi anggota Himpunan Keluarga Rembang di Bogor (HKRB) dari tahun 2007 sampai 2011. Selain itu, penulis juga aktif dalam organisasi kampus yaitu Himpunan Profesi dan Peminat Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (HIPOTESA) pada periode tahun 2008-2009 sebagai staf divisi LABLE (divisi pendidikan dan kehidupan akademik) dan periode tahun 2009-2010 sebagai kepala divisi LABLE. Penulis juga aktif sebagai asisten dosen Ekonomi Umum untuk mahasiswa TPB pada tahun 2009-2010. Kepanitiaan yang pernah diikuti penulis, antara lain seksi Konsumsi HIPOTEX-R 2009, seksi Sponsorship dalam acara Politik Ceria (POCER) pada tahun 2009, seksi LO dalam acara Economic Contest (EC) pada tahun 2009, dan berbagai acara kepanitiaan lainnya.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir skripsi. Skripsi ini berjudul “Analisis Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk dan Pengaruhnya terhadap Produksi Padi (Studi Kasus : Kabupaten Bogor)”. Kebijakan subisidi pupuk merupakan topik yang menarik karena diharapkan dapat memberikan pengaruh positif terhadap produksi padi dan kesejahteraan petani. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan topik ini, khususnya di daerah Kabupaten Bogor. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efektivitas
kebijakan
subsidi
pupuk
berdasarkan
empat
indikator,
dan
menganalisis pengaruh efektivitas kebijakan subsidi pupuk terhadap produksi padi di Kabupaten Bogor. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1.
Bapak, ibu, dan saudara tercinta (Kadar Yusuf, Khayati, dan Muhammad Arif Dahlan) yang telah memberikan dukungan, doa, dan kasih sayang. Semoga skripsi ini menjadi persembahan yang membanggakan.
2.
Dr. Alla Asmara, S.Pt, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan, dan motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
3.
Dr. Wiwiek Rindayati selaku dosen penguji utama yang telah banyak memberikan saran dan kritik untuk perbaikan skripsi ini.
4.
Deni Lubis, MA selaku dosen penguji dari komisi pendidikan yang telah memberikan saran terkait dengan tata cara penulisan dan bahasa dalam penulisan skripsi ini.
5.
Seluruh staf Departemen Ilmu Ekonomi atas bantuan dan kerjasamanya.
6.
Seluruh pihak dari Badan Pusat Statistik, Dinas Pertanian Kabupaten Bogor, Asosiasi Produsen Pupuk Indonesia yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini.
7.
Teman satu bimbingan, Gema Setya Anggara, Ukke Hentresna Lestari, dan Farida yang telah memberikan saran, kritik, dan motivasi dalam meyelesaikan penelitian ini.
8.
Seluruh keluarga IE 44 khususnya Ida, Rani, Feri, Siska, Martha, Rini, Nindya, Riri, Yoga, Dian atas kebersamaan dan dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini.
9.
Arif dan teman-teman Pondok Ratna (Resty, Fina, Naila, Sarah, Age, Maya, Idah, Yunika, dan Lilis) yang telah memberikan bantuan, dan dukungan dalam penyusunan skripsi ini.
10. Kepada semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu atas segala dukungan, bantuan, dan kerjasama baik secara langsung maupun tidak langsung.
Bogor, September 2011
Suhaila Marisa H14070047
i
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI ...................................................................................................... i DAFTAR TABEL ............................................................................................... iii DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... iv DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... v I.
PENDAHULUAN ....................................................................................... 1 1.1. Latar Belakang ...................................................................................... 1 1.2. Perumusan Masalah .............................................................................. 6 1.3. Tujuan Penelitian .................................................................................. 9 1.4. Manfaat Penelitian ................................................................................10
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ......................11 2.1. Tinjauan Teori-teori ..............................................................................11 2.1.1. Pengertian Efektivitas .................................................................11 2.1.2. Pengertian Pupuk dan Pupuk Bersubsidi ....................................11 2.1.3. Penyaluran, Pengadaan, dan Pengawasan Pupuk Bersubsidi .....12 2.1.4. Indikator Tingkat Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk ............14 2.1.5. Teori Produksi .............................................................................15 2.1.6. Teori Permintaan .........................................................................19 2.2. Penelitian-Penelitian Terdahulu ............................................................20 2.3. Kerangka Pemikiran Konseptual ..........................................................27 III. METODE PENELITIAN.............................................................................30 3.1. Jenis dan Sumber Data ..........................................................................30 3.2. Metode Pengumpulan Contoh...............................................................30 3.3. Metode Analisis Data ............................................................................31 3.3.1. Metode Deskriptif Kuantitatif dan Kualitatif ..............................31 3.3.2. Metode Regresi Linier ...............................................................33 IV. GAMBARAN UMUM ................................................................................38 4.1. Gambaran Umum Kabupaten Bogor ...................................................38 4.2. Perkembangan Kebijakan Subsidi Pupuk .............................................42
ii
V. PEMBAHASAN ..........................................................................................46 5.1. Karakteristik Usaha Tani Responden....................................................46 5.2. Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk....................................................55 5.3. Pengaruh Subsidi Pupuk terhadap Produksi Padi .................................67 VI. KESIMPULAN DAN SARAN....................................................................80 6.1. Kesimpulan ...........................................................................................80 6.2. Saran .....................................................................................................81 DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................83 LAMPIRAN ........................................................................................................86
iii
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1.1. Rata-rata Pengeluaran per Musim Tanam per Hektar Usaha Tani Padi Sawah Menurut Jenis Pengeluaran ............................................................ 4 1.2. Banyaknya Desa di Kabupaten Bogor Menurut Sumber Penghasilan Utama Sebagian Penduduk ........................................................................ 5 1.3. Harga Eceran Tertinggi Pupuk di Indonesia Tahun 2001-2010 ................ 8 4.1. Jumlah Penduduk Kabupaten Bogor Tahun 2006-2009 ............................38 4.2. Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Bogor Tahun 2002-2005 ...........39 4.3. Data Tenaga Kerja Menurut Lapangan Usaha Utama Kabupaten Bogor Tahun 2006 ................................................................................................40 4.4. Luas Tanam, Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Padi Sawah Kabupaten Bogor Tahun 2009 ...................................................................41 5.1. Wilayah Studi Penelitian ...........................................................................46 5.2. Perbedaan Pengeluaran Pupuk Subsidi dan Non Subsidi pada Setiap Musim Tanam ............................................................................................54 5.3. Rata-rata Harga Pupuk Bersubsidi yang Diterima Responden ..................56 5.4. Persentase Tingkat Ketepatan Harga Pupuk Bersubsidi ............................57 5.5. Persentase Tingkat Ketepatan Tempat Pupuk Bersubsidi .........................60 5.6. Persentase Tingkat Ketepatan Waktu Pupuk Bersubsidi ...........................62 5.7. Persentase Tingkat Ketepatan Jumlah Pupuk Bersubsidi ..........................63 5.8. Persentase Tingkat Keefektifan Kebijakan Subsidi Pupuk .......................64 5.9. Hasil Regresi Jumlah Permintaan Pupuk Urea ..........................................68 5.10. Uji Asumsi Klasik .....................................................................................70 5.11. Hasil Estimasi Produksi Padi .....................................................................73 5.12. Uji Asumsi Klasik .....................................................................................74
iv
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1.1. Distribusi PDB Tahun 2010 Setiap Sektor Atas Harga Konstan 2000 ...... 1 1.2. Alokasi Subsidi Pupuk Tahun 2005-2010 ................................................. 2 1.3. Produksi Padi Tahun 1996-2010 ............................................................... 3 2.1. Kurva Hubungan antara Input (Pupuk) dan Output Total .........................17 2.2. Pengaruh Subsidi terhadap Kurva Penawaran dan Produksi .....................18 2.3. Kerangka Pemikiran ..................................................................................28 4.1. Mekanisme Distribusi Pupuk dengan Produsen .......................................44 4.2. Mekanisme Distribusi Subsidi Pupuk dengan Semua Produsen ...............45 5.1. Karakteristik Pendidikan Responden .........................................................47 5.2. Luas Lahan Responden ..............................................................................48 5.3. Rata-rata Produksi Padi Setiap Musim Tanam Periode 2010 ....................49 5.4. Rincian Pengeluaran Input Produksi per Musim Tanam Responden ........50 5.5. Alasan Responden tentang Perlunya Subsidi Pupuk .................................65
v
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1.
Kuisioner Responden ................................................................................... 87
2.
Hasil Regresi Jumlah Permintaan Pupuk .................................................... 98
3.
Uji Asumsi Normalitas ................................................................................ 98
4.
Uji Asumsi Heteroskedastisitas ................................................................... 99
5.
Uji Asumsi Autokorelasi.............................................................................. 99
6.
Uji Korelasi Parsial antar Peubah Bebas ..................................................... 99
7.
Hasil Estimasi Produksi Padi .......................................................................100
8.
Uji Asumsi Normalitas ................................................................................100
9.
Uji Asumsi Heteroskedastisitas ...................................................................101
10. Uji Asumsi Autokorelasi..............................................................................101 11. Uji Korelasi antar Peubah Bebas .................................................................101 12. Data Responden ...........................................................................................102
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan aspek penting dalam mendukung keberlangsungan hidup suatu negara. Indonesia sebagai negara agraris, menempatkan pertanian sebagai sektor utama dalam perekonomian nasional. Selain itu, pertanian sebagai aspek pendukung ketersedian pangan di suatu negara. Oleh karena itu, terdapat berbagai kebijakan pemerintah yang mendukung produksi sektor pertanian. Selain itu, pendapatan negara juga sebagian besar berasal dari sektor pertanian. Hal ini terlihat pada Gambar 1.1.
Distribusi PDB Tahun 2010 Setiap Sektor Atas Harga Konstan 2000 Pertanian 10%
9%
13% 8%
Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan
9% 26%
17%
Listrik, Gas, danAir Bersih Konstruksi
7%
Perdagangan, Hotel, dan Restoran 1%
Pengangkutan, dan Komunikasi Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa
Sumber : BPS, 2010
Gambar 1.1. Distribusi PDB Tahun 2010 Setiap Sektor Atas Harga Konstan 2000
2
Pada Gambar 1.1 terlihat bahwa pertanian mempunyai kontribusi yang besar terhadap PDB. Pertanian mempunyai kontribusi sebesar 13% terhadap PDB yang merupakan sektor terbesar ketiga setelah sektor industri pengolahan dan perdagangan, hotel, dan restoran. Oleh karena itu, sektor pertanian harus mendapatkan prioritas karena pertanian juga memberikan kontribusi untuk ketahanan pangan. Berbagai langkah yang ditempuh oleh pemerintah dalam melaksanakan kebijakan pangan seperti subsidi input produksi, kebijakan harga, dan pembenahan kelembagaan pangan (Amang dan Sawit, 1999). Salah satu kebijakan-kebijakan subsidi input produksi tersebut adalah kebijakan subsidi pupuk. Kebijakan subsidi
pupuk sebagai salah satu dari kebijakan fiskal
pemerintah yang ditujukan pada petani dengan tujuan meningkatkan produksi pertanian. Kebijakan ini sudah dilakukan sejak tahun 1960 dan juga pernah dihapuskan pada saat krisis moneter 1998 dan mulai diberlakukan kembali pada pertengahan tahun 2001. Perkembangan alokasi subsidi pupuk untuk sektor pertanian akan disajikan secara lengkap pada Gamber 1.2 di bawah ini.
Subsidi Pupuk (Miliar Rupiah)
Alokasi Subsidi Pupuk Tahun 2005-2010 20000
15181,5
17537
15000
11291,5
10000 5000
6260,5 2527,3
3167,7
2005
2006
0 2007
2008
2009
Tahun
Sumber : Kementrian Keuangan, 2010
Gambar 1.2. Alokasi Subsidi Pupuk Tahun 2005-2010
2010
3
Pada Gambar 1.2 terlihat bahwa alokasi subsidi pupuk setiap tahun mengalami peningkatan dari tahun 2005 sampai 2009. Namun, pada tahun 2010 alokasi subsidi pupuk mengalami penurunan dari sebesar 17.537 (miliar rupiah) pada tahun 2009, menjadi 11.291,5 (miliar rupiah) pada tahun 2010. Hal ini dikarenakan adanya anggaran negara yang digunakan untuk subsidi pupuk yang terlalu besar dan juga adanya indikasi ketidakefektivitasan penggunaan subsidi pupuk ini untuk mendukung sektor pertanian. Pengaruh adanya subsidi pupuk terhadap produksi padi akan ditunjukkan pada Gambar 1.3. berikut ini.
Produksi Padi (ton)
Produksi Padi Tahun 1996-2010 80.000.000 60.000.000 40.000.000 20.000.000 0
Tahun
Sumber : Kementrian Pertanian, 2010 Keterangan : *Mulai tahun1999 tidak termasuk Timor Timur
Gambar 1.3. Produksi Padi Tahun 1996-2010 Subsidi pupuk mulai diberlakukan sejak tahun 1960 sampai tahun 1998 yang diatur oleh pemerintah dimana pengadaan dan penyalurannya diserahkan pada PT. Pupuk Sriwijaya. Pengaruh subsidi pupuk terhadap produksi sektor pertanian khususnya padi dapat terlihat pada Gambar 1.3. pada gambar tersebut terlihat bahwa sejak 1 Desember 1998 subsidi pupuk mulai dicabut dan diberlakukan kembali mulai tanggal 13 Maret 2001. Pada saat pencabutan subsidi pupuk terjadi penurunan produksi padi dari sebesar 49.377.054 ton pada tahun
4
1997 menjadi sebesar 49.236.692 ton pada tahun 1998. Pada periode 1998 sampai 2001 produksi padi cenderung tidak stabil. Pada tahun 2002 dimana subsidi pupuk sudah mulai diberlakukan kembali dengan semua produsen pupuk diberikan kesempatan untuk pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi. Dengan adanya pemberlakuan subsidi pupuk kembali, produksi padi juga meningkat sejak tahun 2002 sampai 2009. Namun, pada tahun 2010 terjadi pengurangan anggaran subsidi pupuk dari sebesar 17.537 (miliar rupiah) pada tahun 2009 menjadi sebesar 11.291,5 (miliar rupiah) pada tahun 2010 yang dijelaskan pada Gambar 1.2. Pengurangan subsidi pupuk dengan selisih sebesar 6245,5 (miliar rupiah) tidak berpengaruh signifikan terhadap perubahan produksi padi bahkan produksi padi tetap mengalami peningkatan dari sebesar 64.398.890 pada tahun 2009 menjadi sebesar 65.980.670 pada tahun 2010. Hal ini mengindikasikan adanya pertanyaan terhadap tingkat efektivitas penyerapan subsidi pupuk terhadap sektor pertanian. Tabel 1.1. Rata-rata Pengeluaran per Musim Tanam per Hektar Usaha Tani Padi Sawah Menurut Jenis Pengeluaran Rincian Bibit/benih Pupuk Pestisida Tenaga Kerja Sewa Lahan Alat/sarana Usaha Jasa Lainnya (bunga kredit, iuran irigasi, PBB Lahan Sawah, dll) Jumlah Sumber : BPS, 2008 (diolah)
Nilai (000 Rp) 205,54 786,42 180,75 1586,01 734 463 1553
Biaya (%) 3,46 13,26 3,05 26,73 12,37 7,80 26,18
424
7,15
5932,72
100
5
Efektivitas kebijakan subsidi pupuk diukur berdasarkan enam indikator, antara lain tempat, jenis, waktu, jumlah, mutu, dan harga sehingga petani dapat menggunakan pupuk sesuai kebutuhan. Efektivitas subsidi pupuk menjadi hal yang penting dalam mendukung produksi sektor pertanian. Pada Tabel 1.1 terlihat bahwa pupuk mempunyai proporsi sebesar 13,26 persen terhadap keseluruhan biaya produksi padi per hektar pada setiap musim tanamnya. Hal ini menunjukkan bahwa pupuk mempunyai proporsi yang besar dalam biaya produksi padi sehingga pupuk menjadi hal yang harus diprioritaskan oleh pemerintah terkait dengan kebutuhan petani. Pupuk menjadi input yang perlu disubsidi pemerintah terkait dengan peranannya yang penting dalam menentukan produksi pertanian. Oleh karena itu, penelitian ini membahas tentang efektivitas kebijakan subsidi pupuk terhadap kaitannya dengan produksi padi dengan mengambil studi kasus pada kabupaten Bogor. Bogor dipilih menjadi studi kasus dalam penelitian ini berdasarkan berbagai pertimbangan seperti yang dijelaskan pada Tabel 1.2 berikut ini. Tabel 1.2. Banyaknya Desa di Kabupaten Bogor Menurut Sumber Penghasilan Utama Sebagian Penduduk Sektor Perekonomian Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Perdagangan Jasa Sumber : BPS Kabupaten Bogor, 2006 (diolah)
Banyaknya Desa 248 1 32 64 73
Pada Tabel 1.2 terlihat bahwa Bogor mempunyai proporsi yang besar pada sektor pertanian dimana terdapat sebanyak 248 desa yang penduduknya
6
begantung pada sektor pertanian sebagai sumber mata pencaharian. Sektor ini mempunyai nilai yang lebih besar dibandingkan dengan sektor-sektor lain. Oleh karena itu, Bogor dipilih menjadi sampel untuk penelitian ini yang mengangkat topik tentang “Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk terhadap Produksi Padi (Studi Kasus: Kabupaten Bogor)”.
1.2. Perumusan Masalah Pupuk mempunyai peranan penting dalam peningkatan produksi pertanian. Petani mendapatkan input yang lebih murah untuk produksi mereka sehingga hasil produksinya juga akan meningkat. Oleh karena itu, pemerintah menetapkan kebijakan subsidi pupuk. Distribusi pupuk subsidi yang berlaku saat ini mengikuti Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 07/M-Dag/Per/2/2009 tentang pasokan subsidi pupuk yang diharapkan dapat memperbaiki penyaluran subsidi pupuk yang berkaitan dengan tepat waktu. Peraturan ini menggantikan peraturan sebelumnya yaitu Permendag No.21/M-Dag/Per/6/2008 tentang sistem distribusi pupuk bersubsidi tertutup yang terbatas hanya pada petani atau kelompok tani yang sudah tercatat. Penyempurnaan peraturan-peraturan dari pemerintah terkait dengan distribusi pupuk bersubsidi yang seharusnya dapat mempermudah petani untuk mendapatkan pupuk bersubsidi. Namun, pada kenyataan karena peraturan tentang pengawasan distribusi pupuk besubsidi masih lemah dan tidak ada koordinasi pada masing-masing bagian baik pada perencanaan, pengadaan, maupun pendistribusian sehingga masih tetap banyak petani yang tidak bisa
7
mendapatkan pupuk bersubsidi dengan mudah karena pengecer resmi juga dapat dengan mudah menjual ke siapa saja. Peningkatan input produksi berupa penambahan penggunaan pupuk secara teori dapat meningkatkan produksi padi apabila penggunaannya sesuai dengan dosis yang dibutuhkan (400 kg/ha) pada setiap produksinya (Purwono dan Heni, 2009). Namun, apabila penambahan pupuk untuk produksi sudah pada batas optimum penggunaan maka apabila dilakukan penambahan lagi akan berakibat negatif pada peningkatan produksi. Seringkali petani tidak memperhatikan dosis anjuran yang tepat untuk setiap penggunaannya berkaitan dengan luas lahan yang mereka miliki sehingga berakibat pada penurunan produktivitas pada hasil produksinya (Kementerian Pertanian, 2009). Efektivitas subsidi pupuk juga berkaitan dengan harga pupuk besubsidi di lapangan. Penetapan harga pupuk bersubsidi sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian No. 32/Permentan/SR.130/4/2010 tentang kebutuhan dan harga eceran tertinggi (HET) pupuk bersubsidi untuk sektor pertanian tahun anggaran 2010. HET pupuk bersubsidi mengalami perubahan setiap tahunnya yang akan ditunjukkan pada Tabel 1.3 berikut ini. Dari Tabel 1.3 dapat dilihat bahwa penetapan harga pupuk telah diatur menggunakan HET yang dapat berubah sesuai peraturan perundangan yang ditetapkan pada tahun bersangkutan. Penetapan HET ini bertujuan untuk tetap mengendalikan harga pupuk bersubsidi di pasar sehingga tetap dapat dijangkau oleh petani (Kementerian Pertanian, 2009).
8
Tabel 1.3. Harga Eceran Tertinggi Pupuk di Indonesia Tahun 2001-2010 (Rp/Kg) Tahun
Urea
ZA
TSP/ SP36
KCl
NPK phonska
NPK pelangi
NPK kujang
(15:15:15)
(20:10:10)
(30:6:8)
Organik
2001
1.150
1.000
1.600
1.650
2002
1.150
1.000
1.600
1.650
2003**
1.150
1.000
1.500
2003***
1.150
950
1.400
2004
1.150
950
1.400
-
2005
1.150
950
1.400
-
1.600
2006
1.200
1.050
1.550
-
1.750
2007
1.200
1.050
1.550
-
1.750
1.830
1.586
1.000
2008
1.200
1.050
1.550
-
1.750
1.830
1.586
500
2009
1.200
1.050
1.550
-
1.750
1.830
1.586
500
2010
1.600
1.400
2.000
-
2.300
2.300
2.300
700
Sumber : APPI, 2011 Keterangan : **) Berlaku 1 Januari-31 Juli 2003 *** ) Berlaku 1 Agustus-31 Desember 2003
Harga eceran tertinggi pupuk bersubsidi telah ditetapkan oleh pemerintah melalui peraturan perundangan tetapi tetap ada harga yang berbeda di pasar dan merugikan petani. Sebagai contoh kasusnya yaitu pada Kabupaten Gresik dimana harga pupuk yang berlaku tidak sesuai dengan HET. Pupuk urea yang seharusnya dijual dengan harga Rp 80.000/sak, tetapi pada kenyataannya harganya sebesar Rp 87.000/sak sehingga terdapat kenaikan sebesar 8,7 persen dari harga sesungguhnya. Selain itu, kondisi ini juga terjadi pada harga pupuk jenis lain yaitu pupuk SP36 dengan HET Rp 100.000/sak dijual dengan harga Rp 108.000/sak (kenaikan harga sebesar 8 persen), sedangkan pupuk NPK Phonska dengan HET Rp 115.000/sak dijual dengan harga Rp 122.000/sak dengan kenaikan harga
9
sebesar 6,09 persen (Jurnal Berita, 2011). Salah satu hal yang menjadi alasan bagi para pelaku distribusi menaikkan harga secara tidak resmi adalah untuk mendapatkan marjin pemasaran dari upah pelaku distribusi dan biaya pemasaran karena harga pupuk bersubsidi yang kurang realistik. Kenaikan harga ini akan merugikan petani karena harga pupuk bersubsidi di pasar lebih tinggi dari HET yang ditetapkan oleh pemerintah. Dari berbagai uraian-uraian permasalahan yang telah dijelaskan maka dalam penelitian ini akan dirumuskan permasalahan menjadi lebih rinci, antara lain : 1.
Bagaimana efektivitas kebijakan subsidi pupuk berdasarkan empat indikator keberhasilan subsidi pupuk?
2.
Bagaimana pengaruh efektivitas subsidi pupuk terhadap produksi padi di Kabupaten Bogor?
1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Menganalisis efektivitas kebijakan subsidi pupuk berdasarkan empat indikator keberhasilan subsidi pupuk. 2. Menganalisis pengaruh efektivitas subsidi pupuk terhadap produksi padi di Kabupaten Bogor.
10
1.4 Manfaat Penelitian Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini adalah : 1. Memberikan gambaran efektivitas kebijakan subsidi pupuk terhadap sektor pertanian khususnya padi di Kabupaten Bogor. 2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada pemerintah untuk merumuskan mekanisme kebijakan subsidi pupuk yang paling efektif dalam mendukung sektor pertanian.
11
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Tinjauan Teori-teori 2.1.1. Pengertian Efektivitas Efektivitas adalah pencapaian target output yang diukur dengan cara membandingkan output anggaran atau seharusnya dengan output realisasi atau sesungguhnya, dikatakan efektif
jika output seharusnya lebih besar daripada
output sesungguhnya (Schemerhon John R. Jr, 1986). Menurut Hidayat (1986) efektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kuantitas, kualitas, dan waktu) telah tercapai. Semakin besar persentase yang dicapai, maka semakin tinggi efektivitasnya. Menurut Gibson (2002), efektivitas adalah sasaran yang telah disepakati atas usaha bersama. Pengertian efektivitas yang digunakan dalam penelitian mengacu pada ketiga pengertian di atas, yaitu suatu ukuran pencapaian target yang menunjukkan output realisasi yang telah tercapai dari output yang seharusnya tercapai.
2.1.2. Pengertian Pupuk dan Pupuk Bersubsidi Peraturan pupuk bersubsidi untuk kabupaten Bogor diatur dalam Peraturan Bupati Bogor Nomor 13 Tahun 2010. Peraturan ini membahas tentang penyaluran pupuk bersubsidi untuk pertanian dan perikanan di kabupaten Bogor. Selain itu, peraturan ini juga membahas tentang pengertian istilah-istilah yang terkait dengan subsidi pupuk, yaitu pengertian pupuk, pupuk anorganik, dan pupuk organik. Menurut peraturan ini, pupuk adalah bahan kimia atau organisme yang berperan dalam penyediaan unsur hara bagi keperluan tanaman secara langsung atau tidak
12
langsung. Pupuk anorganik adalah pupuk hasil proses rekayasa secara kimia, fisika dan atau biologi dan merupakan hasil industri atau pabrik pembuat pupuk. Pupuk organik adalah pupuk yang sebagian besar atau seluruhnya terdiri dari bahan organik yang berasal dari tanaman dan atau hewan yang telah melalui proses rekayasa dan dapat berbentuk padat atau cair yang digunakan untuk mensuplai bahan organik, memperbaiki sifat fisik, kimia dan atau biologi tanah. Pupuk bersubsidi menurut Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2005 adalah pupuk yang pengadaan dan penyalurannya mendapat subsidi dari pemerintah untuk kebutuhan petani yang dilaksanakan atas dasar program pemerintah di sektor pertanian. Menurut peraturan ini juga ditentukan jenis pupuk bersubsidi yaitu pupuk anorganik (urea, superphos, ZA, NPK) dan pupuk organik. Menurut Peraturan Bupati Nomor 13 Tahun 2010, pupuk bersubsidi adalah pupuk yang pengadaan dan penyalurannya ditataniagakan dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan di penyalur resmi di Lini IV. Pupuk bersubsidi diperuntukkan bagi petani, pekebun, peternak dan pembudidaya ikan atau udang yang mengusahakan lahan seluas-luasnya dua hektar setiap musim tanam per keluarga petani, kecuali pembudidaya ikan atau udang seluas-luasnya satu hektar.
2.1.3. Penyaluran, Pengadaan, dan Pengawasan Pupuk Bersubsidi Alokasi pupuk bersubsidi menurut Peraturan Bupati Bogor Nomor 13 Tahun 2010 dihitung berdasarkan rekomendasi pemupukan berimbang spesifik lokasi dan standar teknis dengan mempertimbangkan usulan kebutuhan yang
13
diajukan Pemerintah Daerah, serta alokasi anggaran subsidi pupuk tahunan. Pemupukan berimbang adalah pemberian pupuk bagi tanaman sesuai dengan status hara tanah dan kebutuhan tanaman untuk mencapai produktivitas yang optimal dan berkelanjutan sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian No. 40/Permentan/OT.140/4/2007. Pengadaan pupuk adalah proses penyediaan pupuk bersubsidi yang dilakukan oleh produsen yang berasal dari produksi dalam negeri dan atau impor (Peraturan Bupati Bogor Nomor 13 Tahun 2010). Penyaluran pupuk adalah proses pendistribusian pupuk bersubsidi dari produsen sampai dengan petani dan atau kelompok tani sebagai konsumen akhir (Peraturan Bupati Bogor Nomor 13 Tahun 2010). Pelaksanaan pengadaan dan penyaluran pupuk berubsidi sampai ke penyalur Lini IV (pengecer resmi) dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundangan-undangan. Produsen, penyalur Lini III dan penyaluran pupuk bersubsidi sesuai prinsip enam tepat (tepat jenis, jumlah, mutu, tempat, waktu, dan harga sesuai HET). Produsen wajib melaksanakan pengadaan dan penyaluran pupuk
bersubsidi
dari
Lini
I
sampai
dengan
Lini
IV
di
wilayah
tanggungjawabnya. Distributor wajib melaksanakan pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi dari Lini
III sampai dengan Lini
IV di wilayah
tanggungjawabnya. Pengecer resmi melaksanakan penyediaan dan penyaluran pupuk bersubsidi kepada petani atau kelompok tani sesuai dengan peruntukannya di Lini IV wilayah tanggungjawabnya. Pengawasan terhadap pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi dilakukan oleh produsen, penyalur Lini III (distributor), penyalur IV (pengecer
14
resmi) dan Komisi Pengawasan Pupuk dan Pestisida (KP3) daerah berdasarkan prinsip enam tepat. Produsen pupuk bersubsidi wajib melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap penyediaan dan penyaluran pupuk bersubsidi dari Lini I sampai Lini IV di wilayah tanggungjawabnya. Penyalur Lini III (distributor) wajib melaksanakan pemantauan dan pengawasan terhadap penyediaan, penyimpangan dan penyaluran pupuk bersubsidi dari Lini III sampai dengan Lini IV (pengecer resmi) setempat. Penyalur Lini IV (pengecer resmi) wajib melaksankan pemantauan dan pengawasan terhadap perkembangan dan keadaan pertanaman serta penyediaan, penyimpanan dan penyaluran pupuk bersubsidi kepada petani atau kelompok tani setempat. KP3 daerah wajib melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pengadaan, penyaluran, dan penggunaan pupuk bersubsidi di daerah serta melaporkan kepada Bupati, dengan tembusan disampaikan kepada produsen selaku penganggungjawab wilayah. Pengawasan penyaluran pupuk bersubsidi dari Lini IV ke petani atau kelompok tani dilakukan oleh KP3 di daerah bersama Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) dan Tenaga Harian Lepas-Tenaga Bantu Penyuluh Pertanian (THL-TBPP) serta Pengendali Organisme Pengganggu Tumbuhan (POPT), Tenaga Bantu Pengendali Organisme Pengganggu Tumbuhan (TB-POPT), dan Ketua Gabungan Kelompok Tani.
2.1.4. Indikator Tingkat Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk Tingkat efektivitas kebijakan subsidi pupuk diukur berdasarkan enam indikator. Menurut Peraturan Bupati Bogor Nomor 13 Tahun 2010 indikator-
15
indikator subsidi pupuk adalah tepat harga, tepat tempat, tepat waktu, tepat jumlah, tepat jenis, dan tepat mutu. Indikator yang digunakan dalam penelitian ini terfokus pada empat indikator tepat yaitu harga, tempat, waktu, dan jumlah. Pemilihan keempat indikator ini disebabkan oleh empat indikator tersebut dapat dikuantifikasikan sehingga dapat diinterpretasikan. Pengertian tepat harga adalah suatu kondisi dimana harga pembelian pupuk oleh petani secara kontan di tingkat pengecer atau kios resmi per saknya sama dengan harga eceran tertinggi (Syafa’at, et al., 2007). Pengertian tepat tempat berdasarkan sumber yang sama adalah suatu kondisi dimana pupuk tersedia di dekat atau di sekitar rumah atau lahan petani yang diindikasikan dengan pembelian pupuk oleh petani dilakukan di kios di dalam desa. Pengertian tepat waktu berdasarkan sumber yang sama adalah suatu kondisi dimana pupuk secara fisik tersedia pada saat dibutuhkan oleh petani. Pengertian tepat jumlah menurut Rahman (2009) adalah jumlah pemupukan yang dilakukan sesuai dengan dosis atau jumlah berdasarkan analisa status hara tanah dan kebutuhan tanaman. Menurut Purwono dan Heni (2009), jumlah pupuk yang tepat berdasarkan status hara dan kebutuhan tanaman yang dianjurkan adalah kombinasi antara urea 200kg/ha, TSP/SP-36 sebanyak 75-100kg/ha, dan KCL sebanyak 75-100kg/ha.
2.1.5. Teori Produksi Fungsi produksi menurut Walter Nicholson (1991) adalah suatu fungsi yang memperlihatkan sebuah barang yang dapat diproduksi dengan menggunakan kombinasi alternatif antara modal (K) dan tenaga kerja (L) atau Q= f (K,L).
16
Dalam suatu proses produksi juga terdapat adanya perubahan keluaran yang dihasilkan oleh perubahan dalam satu masukan produksi. Teori ini sering disebut dengan Marginal Physical Product (Produk Fisik Marginal) yang pengertiannya adalah keluaran tambahan yang dapat diproduksi dengan menggunakan satu unit tambahan dari masukan tersebut dengan mempertahankan semua masukan lain tetap konstan. Secara matematis dirumuskan sebagai berikut : Produk fisik marginal dari modal :
.........................................................................................................(2.1)
Produk fisik marginal dari tenaga kerja : .......................................................................................................... (2.2)
Produk fisik marginal dari sebuah masukan bergantung pada jumlah masukan tersebut yang dipergunakan. Sebagai contoh pupuk tidak dapat ditambahkan secara tidak terbatas untuk sebidang tanah tertentu (dengan mempertahakan jumlah peralatan, tenaga kerja, dan sebagainya) yang pada akhirnya akan menunjukkan penurunan produktivitas. Hal ini akan dijelaskan pada Gambar 2.1. Kurva pada Gambar 2.1 memperlihatkan produktivitas rata-rata dan produktivitas marginal untuk pupuk dapat diturunkan dari kurva produk total. Kurva TPP dalam (a) mewakili hubungan antara masukan pupuk dan keluaran, dengan asumsi bahwa semua masukan lain dipertahankan konstan. Pada (b) diperlihatkan bahwa kurva TPP merupakan produk marginal pupuk (MPP), dan kemiringan kurva yang menggabungkan titik asal dengan satu titik di kurva TPP
17
menghasilkan produk rata-rata pupuk (APP). Kurva ini menjelaskan hubungan antara jumlah masukan tertentu (pupuk) dan keluaran atau output total (TPP). Untuk jumlah pupuk yang kecil, keluaran meningkat dengan cepat kemudian pupuk ditambahkan tetapi karena semua masukan lain tetap konstan, pada akhirnya kemampuan pupuk tambahan untuk menghasilkan keluaran tambahan mulai menurun. Pada akhirnya, pada P***, keluaran mencapai tingkat maksimum dimana pada setiap pupuk yang ditambahkan akan mengurangi keluaran. jumlah per periode (Q)
P*
P** P*** Masukan pupuk per periode
(a) Produk Total Kurva Pupuk MPP APP
MPP APP P*
P** P***
Masukan pupuk per periode
(b) Kurva Produk Rata-rata dan Marginal untuk Pupuk Sumber : Nicholson (1991) Gambar 2.1. Kurva Hubungan antara Input (Pupuk) dan Output Total
18
Kurva total produk tersebut akan menggambarkan produksi atau keluaran dari penggunaan suatu input tertentu. Pada Gambar 2.2 akan dijelaskan pengaruh dari adanya subsidi. Pada kurva ini akan dilihat adanya pengaruh dari pemberian subsidi terhadap kurva penawaran pupuk dan produksi padi.
P
S S’
P P’ D
Q
Q’
Q
(a) Pengaruh Subsidi terhadap Kurva Penawaran Pupuk Output (Q) Q’ Q
Input (pupuk) (b) Pengaruh Subsidi terhadap Produksi Sumber : Widjajanta dan Widyaningsih (2007) Gambar 2.2. Pengaruh Subsidi terhadap Kurva Penawaran dan Produksi
Dari Gambar 2.2 dapat terlihat pengaruh adanya subsidi terhadap kurva penawaran dan produksi. Subsidi merupakan bantuan yang diberikan pemerintah kepada produsen terhadap produk yang dihasilkan atau dipasarkan, sehingga harga lebih rendah sesuai dengan keinginan pemerintah dan daya beli masyarakat
19
meningkat. Subsidi pupuk merupakan bantuan yang diberikan pemerintah kepada petani agar dapat memproduksi dengan biaya lebih rendah. Adanya subsidi menyebabkan penawaran pupuk bertambah dari S ke S’. Pupuk yang ditawarkan di pasar menjadi bertambah dari Q ke Q’, sedangkan harga keseimbangan pasar dengan adanya subsidi akan turun dari P ke P’ seperti terlihat pada kurva (a). Dampak dari adanya subsidi adalah biaya produksi menjadi lebih rendah yang menyebabkan kemampuan produsen untuk membeli input produksi lebih tinggi sehingga jumlah input produksi meningkat. Adanya peningkatan input produksi akan menyebabkan jumlah barang yang diproduksi menjadi naik (dari Q ke Q’) seperti terlihat pada kurva (b). Jadi, adanya subsidi dapat meningkat kemampuan produksi suatu barang.
2.1.6. Teori Permintaan Fungsi permintaan menurut Nicholson (1991) adalah hubungan antara harga dan kuantitas yang diminta konsumen per unit waktu, ceteris paribus. Harga dan kuantitas permintaan berbanding terbalik sehingga kurva permintaan berslope negatif. Pada prinsipnya, untuk mencapai utilitas maksimum pada tingkat optimal X1, X2, …, Xn (dan λ, pengali Lagrangian) sebagai fungsi dari semua harga dan pendapatan. Secara matematis fungsi permintaan dinyatakan sebagai berikut : X1* = D1 (P1, P2, …, Pn, I) ............................................................................... (2.3) X2* = D2 (P1, P2, …, Pn, I) ............................................................................... (2.4) Xn* = Dn (P1, P2, …, Pn, I)................................................................................ (2.5)
20
Notasi D menyatakan permintaan, P menyatakan harga, X menyatakan jumlah yang ingin dibeli dan I menyatakan pendapatan sehingga dapat diketahui jumlah yang akan dibeli seseorang individu untuk masing-masing barang. Proses produksi terjadi karena adanya permintaan output yang dihasilkan. Permintaan input akan muncul karena adanya suatu proses produksi. Jadi, permintaan input timbul karena adanya permintaan akan output. Hal inilah yang disebut dengan permintaan turunan (derived demand) dimana permintaan input yang muncul karena adanya permintaan output. Permintaan terhadap input merupakan permintaan turunan karena input digunakan dalam memproduksi output tertentu sehingga besarnya permintaan input tergantung dari besarnya output yang digunakan. Begitu pula dengan permintaan terhadap pupuk yang merupakan input produksi timbul karena adanya permintaan output (produk pertanian) sehingga besarnya pupuk yang diminta berdasarkan permintaan output (produk pertanian) yang dibutuhkan oleh masyarakat.
2.2. Penelitian-Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu baik berupa penelitian tentang subsidi pupuk maupun penelitian tentang efektivitas suatu kebijakan publik dijadikan rujukan dalam penelitian ini. Penelitian terdahulu tentang subsidi pupuk yang menjadi rujukan dalam penelitian ini adalah penelitian Ardi (2005) tentang Analisis Pencabutan Subsidi Pupuk terhadap Sektor Pertanian di Indonesia (Analisis Input-Output Sisi Penawaran). Dalam penelitian mengambil tujuan, antara lain menganalisis keterkaitan sektor industri pupuk terhadap sektor dalam perekonomian melalui
21
struktur input antara dan permintaan antara sektor industri pupuk, menganalisis daya penyebaran ke depan dan indeks daya penyebaran ke belakang sektor industri pupuk dan sektor pertanian, menganalisis multiplier output, pendapatan, dan tenaga kerja sektor pertanian dan industri pupuk, membandingkan hasil analisis dampak penyebaran dan multiplier sektor pertanian dengan sektor industri pupuk. Selain itu, tujuan lain yang berkaitan dengan penelitian ini adalah menganalisis dampak pencabutan subsidi pupuk di sektor industri pupuk terhadap pembentukan jumlah output, pendapatan, dan tenaga kerja sektor-sektor pertanian Indonesia. Hasil dalam penelitian Ardi (2005) adalah sektor industri pupuk sangat tergantung terhadap sektor gas, minyak, dan panas bumi. Sektor industri pupuk juga mempunyai peranan yang besar terhadap kegiatan produksi sektor pertanian. Daya penyebaran ke depan sektor industri pupuk dan sektor pertanian secara umum
lebih
besar
daripada
daya
penyebaran
ke
belakangnya
yang
mengindikasikan kedua sektor tersebut lebih mampu mempengaruhi pembentukan output sektor hilirnya. Dampak pencabutan subsidi pupuk akan mempunyai pengaruh signifikan terhadap perekonomian yang ditunjukkan oleh tingginya nilai multiplier output, pendapatan, dan tenaga kerja. Pencabutan subsidi pupuk dapat mempengaruhi output, kesempatan kerja, dan pendapatan di sektor pertanian, terutama sektor padi. Sektor industri pupuk merupakan sektor yang lebih strategis dibandingkan sektor pertanian. Dalam penelitian ini masih terdapat kekurangan karena tidak memperhitungkan elastisitas dari permintaan dan penawaran pupuk. Selain itu, penelitian ini juga belum melihat dampak pencabutan subsidi pupuk
22
secara khusus terhadap penerima sesungguhnya dari pemberian subsidi pupuk (petani, pekebun, dan peternak kecil). Penelitian lain tentang subsidi pupuk adalah penelitian Rahman (2009) tentang Kebijakan Subsidi Pupuk : Tinjauan terhadap Aspek Teknis, Manajemen, dan Regulasi. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Kesimpulan dalam penelitian ini adalah sistem distribusi pupuk belum menjamin ketersediaan di tingkat petani. Hal ini disebabkan oleh masih adanya kelemahankelemahan serta pemahaman yang beragam dalam implementasinya. Dalam peningkatan efektivitas pelaksanaan kebijakan distribusi pupuk bersubsidi perlu dilakukan perbaikan kebijakan baik pada aspek teknis, manajemen, maupun regulasi. Perbaikan aspek teknis meliputi meningkatkan sosialisasi pemupukan berimbang, dan mempercepat penggunaan pupuk organik melalui pelatihan pembuatan pupuk organik. Perbaikan kebijakan pada aspek manajemen meliputi sosialisasi sistem penyaluran pupuk bersubsidi kepada semua stakeholder, pilot project penyaluran pupuk bersubsidi menggunakan kartu kendali perlu dikaji efektivitasnya, koordinasi lintas sektor, reposisi kios (Lini IV) dengan lebih menerapkan peran pemerintah daerah dalam penyediaan dan penyaluran pupuk bersubsidi. Perbaikan aspek regulasi yang disarankan meliputi RDKK seharusnya digunakan
untuk
DAG/PER/6/2008
menghubungkan dengan
Permentan
peraturan No.
Permendag
No.
21/M-
42/Permentan/OT.140/09/2008,
Permendag No. 21/M-DAG/PER/6/2008 perlu direvisi dengan dipertegas pada
23
sanksi terhadap pelanggaran dalam penyaluran pupuk bersubsidi sesuai Peraturan Presiden No. 77 Tahun 2005. Penelitian lain terkait dengan subsidi pupuk adalah penelitian yang dilakukan oleh Yessi (2009) dengan judul Mekanisme Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi dan Pengaruhnya terhadap Pemenuhan Pupuk Petani Padi di Kecamatan Lubuk Basung Kabupaten Agam. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi pada Kabupaten Agam terkait dengan permasalahan bahwa semakin tingginya permintaan pupuk yang menyebabkan peluang dari pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab yang ikut andil dalam perdagangan pupuk tanpa menaati peraturan yang berlaku. Kesimpulan dari penelitian ini adalah pengadaan pupuk dari Lini III (distributor) dan Lini IV (pengecer) kurang efektif karena tidak berdasarkan kebutuhan petani atau kelompok tani. Penyaluran pupuk yang bersifat terbuka dan pasif menyebabkan petani sulit untuk memperoleh pupuk bersubsidi. Penyimpangan dilakukan penyalur terhadap tugas dan tanggungjawabnya menyebabkan kebutuhan petani terabaikan. Penelitian lain dilakukan oleh Darwis dan Muslim (2007) yang juga terkait dengan kebijakan subsidi pupuk. Penelitian ini berjudul Revitalisasi Kebijakan Sistem Distribusi Pupuk dalam Mendukung Ketersediaan Pupuk Bersubsidi di Tingkat Petani. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui distribusi pupuk bersubsidi dari berbagai periode program kebijakan. Kesimpulan dari penelitian ini adalah Pada era Program Bimas (1996-1979) sampai era pasar bebas (19982001) masih terdapat permasalahan seperti tidak adanya keterbatasan stok,
24
ketidakmampuan pemerintah dalam memperbaiki mekanisme penyaluran pupuk dalam negeri yang menyebabkan adanya kelangkaan pupuk dan penyimpangan yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu. Pada periode 2003 sampai sekarang masih belum adanya jaminan ketersediaan pupuk di tingkat petani karena adanya penyelundupan pupuk lewat ekspor ilegal sehingga harga pupuk naik drastis di pasar dunia. Saran dari penelitian ini adalah adanya sistem tata niaga pupuk yang berkeadilan, dan adanya ketegasan pemerintah dalam menjalankan kebijakan ini seperti penetapan sanksi yang tegas terhadap yang melakukan pelanggaran dan kecurangan. Penelitian terkait dengan subsidi pupuk lainnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Darwis dan Nurmanaf (2004). Penelitian ini berjudul Kebijakan Distribusi, Tingkat Harga, dan Penggunaan Pupuk di Tingkat Petani. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kebijakan distribusi pupuk dari berbagai periode, dan mengetahui penggunaan pupuk di tingkat petani serta harga pupuk di tingkat petani. Kesimpulan dari penelitian ini adalah berbagai pola kebijakan subsidi pupuk yang telah dilakukan pemerintah dalam rangka peningkatan produktivitas pertanian pada kenyataannya masih terjadi adanya kelanggkaan pupuk dan tingginya harga pupuk di tingkat petani. Sistem distribusi dinilai bukan merupakan penentuan kelangkaan dan fluktuasi harga pupuk, tetapi faktor eksternal seperti efektivitas pelaksanaan ekspor pupuk. Oleh karena itu, kebijakan ekspor pupuk perlu disesuaikan dengan masa kebutuhan pupuk dan harga pupuk di tingkat petani.
25
Penelitian tentang efektivitas kebijakan publik yang digunakan sebagai rujukan dalam penelitian ini adalah penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Sari (2007). Penelitian ini berjudul Analisis Efektivitas dan Efisiensi Distribusi Raskin. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui perbedaan harga patokan dengan harga aktual di tingkat rumah tangga penerima Raskin, mengetahui surplus yang diterima rumah tangga miskin dari subsidi beras miskin, mengetahui tingkat efektivitas, serta untuk mengetahui tingkat efisiensi dari penyaluran beras miskin sampai ke rumah tangga di daerah penelitian. Metode pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Metode penentuan tingkat efektivitas dari program Raskin dilakukan dengan analisis deskriptif kuantitatif dengan membandingkan antara persentase indikator yang tepat dengan yang tidak tepat. Apabila persentase tingkat ketepatan indikator sama atau lebih besar dari 80 persen maka program raskin dapat dikategorikan efektif. Kesimpulan dari penelitian ini adalah terdapat perbedaan harga Raskin di tingkat rumah tangga dengan harga patokan pemerintah sebesar Rp 400, surplus yang didapatkan oleh penerima Raskin sebesar Rp 10.692 untuk setiap kepala keluarga, tingkat keefektifan program pendistribusian Raskin sebesar 33,4 persen sehingga masih dikategorikan tidak efektif, tingkat efisiensi pendistribusian Raskin dalam kategori efisien. Penelitian lain tentang efektivitas kebijakan publik adalah penelitian yang dilakukan oleh Hutagaol dan Asmara (2008). Penelitian ini berjudul Analisis Efektivitas Kebijakan Publik Memihak Masyarakat Miskin: Studi Kasus Pelaksanaan Program Raskin di Provinsi Jawa Barat Tahun 2007. Tujuan dari
26
penelitian ini adalah menganalisis keefektifan pelaksanaan program Raskin pada tahun 2007, menelaah tanggapan masyarakat miskin terhadap kenaikan harga tebus raskin, serta merumuskan saran-saran perbaikan yang diperlukan untuk lebih mengefektifkan pelaksanaan program Raskin di masa datang. Metode pengambilan contoh dalam penelitian ini dilakukan dengan sengaja. Metode analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Kesimpulan dari penelitian ini adalah program Raskin dikategorikan tidak efektif karena harga tebusan yang lebih mahal dan jatah beras yang diterima lebih sedikit dari seharusnya, rumah tangga miskin tidak keberatan dengan kenaikan harga tebusan Raskin, saran untuk perbaikan program Raskin yaitu peningkatan jumlah Raskin yang diterima rumah tangga miskin dan harga tebusnya, serta merevitalisasi kelembagaan MUDES. Penelitian tentang Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi padi yang digunakan rujukan dalam penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Sugiarto
(2008).
Penelitian
ini
berjudul
Analisis
Faktor-faktor
yang
Mempengaruhi Tingkat Produksi Padi Sawah di Kabupaten Dharmasraya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi produksi padi di kabupaten Dharmasraya. Hasil dari penelitian ini adalah luas lahan, penggunaan bibit unggul, penggunaan pupuk, penggunaan tenaga kerja mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap jumlah produksi padi sawah di kabupaten Dharmasraya. Penelitian lain tentang faktor-faktor yang mempengaruhi produksi padi adalah penelitian yang dilakukan oleh Mahananto, Sutrisno, dan Ananda (2009).
27
Penelitian ini berjudul Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Padi dengan Studi Kasus di Kecamatan Nogosari, Boyolali, Jawa Tengah. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi peningkatan produksi padi sawah, dan menganalisis tingkat optimasi penggunaan faktor-faktor produksi pada usahatani padi sawah. Kesimpulan dari penelitian ini adalah faktor luas lahan garapan, jumlah tenaga kerja efektif, jumlah pupuk, jumlah pestisida, pengalaman petani dalam berusahatani, jarak rumah petani dengan lahan garapan, dan sistem irigasi berpengaruh sangat nyata terhadap peningkatan produksi padi sawah. Selain itu, luas lahan garapan, jumlah tenaga kerja efektif, jumlah pupuk, jumlah pestisida, jarak lahan garapan dengan rumah petani, dan sistem irigasi berpengaruh terhadap peningkatan produksi padi sawah, sedangkan pengalaman petani tidak berpengaruh (non significant) terhadap peningkatan produksi padi sawah.
2.3. Kerangka Pemikiran Konseptual Kebijakan subsidi pupuk ditetapkan adalah untuk membantu sektor pertanian terutama berkaitan dengan penghematan input produksi bagi petani. Pengadaan pupuk bersubsidi adalah dari produsen dengan sistem rayonisasi yang terdiri dari PT. Pupuk Sriwijaya, PT. Petrokimia Gresik, PT. Pupuk Kaltim, PT. Pupuk Kujang Cikampek, dan PT. Pupuk Iskandar Muda yang bertanggungjawab pada ketersediaan setiap pupuk pada masing-masing daerahnya. Penyaluran pupuk bersubsidi diatur berdasarkan mekanisme penyaluran yang telah ditetapkan pemerintah dari Lini I sampai kepada petani. Pengadaan dan penyaluran pupuk
28
bersubsidi ini juga diadakan pengawasan terutama berkaitan dengan prinsip enam tepat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan Pasal 6 ayat (3). Dari pengawasan ini akan ada suatu evaluasi tentang pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi oleh KP3 daerah. Pada penelitian ini akan membahas efektivitas kebijakan pupuk bersubsidi terutama berkaitan dengan produksi padi di Kabupaten Bogor. Kerangka pemikiran akan dijelaskan pada gambar berikut ini.
Kebijakan Subsidi Pupuk untuk Sektor Pertanian Input Produksi Pertanian (tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan hijauan makanan ternak) Input ProduksiPadi Penetapan HET Pupuk Bersubsidi Efektivitas Kebijakan Harga
Tempat
Waktu
Respon Penggunaan Pupuk terhadap Harga
Jumlah
Respon Produksi Padi terhadap Penggunaan Pupuk
- Peningkatan Efektivitas - Rekomendasi Kebijakan Keterangan :
Efektif/ tidak efektif?
= Ruang lingkup penelitian
Gambar 2.3. Kerangka Pemikiran
29
Pada Gambar 2.3 dapat ditunjukkan bahwa kebijakan subsidi pupuk untuk sektor pertanian berupa penetapan HET pada pupuk. Penetapan HET ini bertujuan untuk membantu biaya produksi pertanian. Penelitian ini fokus pada produksi padi. Faktor-faktor yang memengaruhi produksi padi adalah luas lahan, jumlah pupuk, jumlah tenaga kerja, jumlah benih atau bibit, dummy benih, dan dummy efektivitas harga. Namun, yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah pengaruh pupuk bersubsidi terhadap produksi padi dengan asumsi bahwa fakor lain dianggap tetap. Dalam mengetahui efektivitas kebijakan subsidi pupuk terhadap produksi padi diukur berdasarkan enam indikator, yaitu tepat tempat, tepat waktu, tepat jenis, tepat jumlah, tepat mutu, tepat harga. Namun, dalam penelitian ini pengujian efektivitas terhadap kebijakan subsidi pupuk hanya difokuskan dalam empat indikator, yaitu harga, tempat, waktu, dan jumlah. Masing-masing indikator mempunyai kriteria tersendiri. Pengujian empat indikator tersebut akan dilakukan dengan teknik wawancara kepada petani untuk melihat fakta di lapangan tentang subsidi pupuk dan pengaruhnya terhadap produksi padi yang akan menunjukkan efektif atau tidaknya kebijakan subsidi pupuk. Pengaruh produksi padi dilihat dari respon penggunaan pupuk terhadap harga dan respon produksi padi terhadap penggunaan pupuk. Dari kesimpulan efektif atau tidaknya subsidi pupuk akan didapatkan rekomendasi kebijakan agar kebijakan ini lebih efektif dan bermanfaat terhadap peningkatan produksi padi.
30
III. METODE PENELITIAN
3.1. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan data primer. Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari Kementerian Pertanian, Kementerian Keuangan dan Asosiasi Produsen Pupuk Indonesia (APPI), Badan Pusat Statistik (BPS) Pusat, Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Barat, Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bogor, dan Dinas Pertanian Kabupaten Bogor. Data primer dalam penelitian ini diperoleh dari wawancara kepada 120 responden di Kabupaten Bogor.
3.2. Metode Pengumpulan Contoh Data primer pada penelitian ini diperoleh dengan cara wawancara semi terbuka kepada petani di Kabupaten Bogor menggunakan instrumen kuisioner (Lampiran 1). Penentuan sampling dalam penelitian ini menggunakan teknik Purposive Sampling dimana memilih contoh berdasarkan pertimbangan tentang karakteristik yang cocok dalam penelitian ini. Hal yang menjadi pertimbangan pada penentuan sampling ini adalah berdasarkan data sasaran luas tanam padi di daerah Bogor. Dengan menggunakan teknik ini didapatkan dua kecamatan yang mewakili daerah sentra produksi padi di daerah Kabupaten Bogor, yaitu Pamijahan, dan Darmaga. Dari dua kecamatan tersebut diambil masing-masing dua desa. Setiap desa tersebut masing-masing diambil 30 responden (petani) sehingga semuanya berjumlah 120 responden.
31
3.3. Metode Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini menggunakan deskriptif kuantitaif dan kualitatif, serta regresi linear berganda. Metode deskriptif kuantitatif dan kualitatif digunakan untuk mengukur efektivitas kebijakan subsidi pupuk berdasarkan empat indikator utama yaitu tepat harga, tepat tempat, tepat waktu, dan tepat jumlah. Regresi linear digunakan untuk mengukur respon dari kebijakan subsidi pupuk terhadap produksi padi.
3.3.1. Metode Deskriptif Kuantitatif dan Kualitatif Metode deskriptif kuantitatif dan kualitatif digunakan untuk mengukur efektifitas kebijakan subsidi pupuk dilihat dari empat indikator utama. Untuk menghitung ketepatan indikator-indikator ini akan dihitung menggunakan rumus berikut ini. Ketepatan harga ΔP = Pr - Pp....................................................................................................... (3.1) Keterangan : ΔP = perbedaan harga (Rp) Pr = harga yang diterima responden (Rp) Pp = harga eceran tertinggi (HET) dari pemerintah (Rp) Ketepatan Jumlah ΔQ = Qr - Qp ..................................................................................................................................................... (3.2) Keterangan : ΔQ = perbedaan jumlah (kg/ha)
32
Qr = jumlah pupuk yang dipergunakan oleh responden (kg/ha) Qp = jumlah pupuk yang disarankan oleh pemerintah (kg/ha)
Ketepatan harga dalam indikator efektivitas subsidi pupuk diukur berdasarkan rumus (3.1). Berdasarkan rumus tersebut dilihat selisih antara harga aktual dengan HET. Setelah itu dilakukan perbandingan antara responden yang memperoleh harga aktual sama dengan HET dengan responden yang memperoleh harga aktual tidak sama dengan HET. Hasil dari perbandingan responden tersebut ditransformasi dalam bentuk persen. Apabila presentasi tepat harga sama dengan atau lebih besar dari 80 persen maka indikator tepat harga dikategorikan efektif. Ketepatan tempat dalam indikator efektivitas kebijakan subsidi pupuk diukur berdasarkan kios tempat responden membeli pupuk yaitu di dalam atau di luar desa. Selanjutnya dilakukan perbandingan antara responden yang membeli pupuk di dalam desa dengan di luar desa dalam bentuk persen. Apabila persentase yang membeli pupuk di dalam desa sama dengan atau lebih besar dari 80 persen maka dapat dikategorikan efektif pada indikator tepat tempat. Indikator selanjutnya pada kebijakan subsidi pupuk adalah indikator tepat waktu. Indikator ini diukur berdasarkan pendapat responden tentang tersedia atau tidaknya pupuk ketika dibutuhkan oleh responden atau dapat dikatakan bahwa ada atau tidaknya kelangkaan pupuk. Selanjutnya dilakukan perbandingan antara responden yang berpendapat bahwa pupuk selalu ada setiap dibutuhkan dengan responden yang berpendapat bahwa masih ada kelangkaan pupuk dalam bentuk persen. Apabila presentase tingkat ketepatan atau persentase responden yang
33
menyatakan bahwa pupuk selalu ada ketika dibutuhkan sama dengan atau lebih besar dari 80 persen maka dapat dikategorikan bahwa tepat waktu sudah efektif. Indikator terakhir dalam penentuan efektivitas kebijakan subsidi pupuk adalah indikator tepat jumlah. Pengukuran tepat jumlah ini berdasarkan selisih antara jumlah aktual dengan jumlah seharusnya yang dijelaskan pada rumus (3.2). Selanjutnya dilakukan perbandingan antara responden yang menggunakan pupuk sesuai dengan anjuran dengan responden yang menggunakan pupuk tidak sesuai anjuran dalam bentuk persen. Apabila persentase responden yang menggunakan pupuk sesuai anjuran sama dengan atau lebih besar dari 80 persen maka dapat dikategorikan efektif pada indikator tepat jumlah. Dari keseluruhan persentase indikator dibuat rata-ratanya dalam bentuk persen. Apabila rata-rata tingkat ketepatan sama dengan atau lebih dari 80 persen maka dapat dikategorikan bahwa kebijakan subsidi pupuk sudah efektif.
3.3.2. Metode Regresi Linear Model regresi linear berganda menurut Juanda (2008) adalah fungsi linear dari beberapa peubah bebas X1, X2,..., Xk dan komponen sisaan error. Analisis data menurut Kurniawan (2008) mempunyai tiga fungsi, yaitu untuk tujuan deskripsi dari fenomena data atau kasus yang sedang diteliti, untuk tujuan kontrol, dan untuk tujuan prediksi. Data untuk variabel X (independen) pada regresi linier dapat berupa data pengamatan yang telah ditetapkan sebelumnya oleh peneliti (experimental of fixed data) maupun data yang belum ditetapkan sebelumnya oleh peneliti (observational data). Perbedaan pada kedua data ini adalah jika
34
menggunaakan fixed data (data yang telah ditetapkan) maka informasi yang diperoleh lebih kuat dalam menjelaskan hubungan sebab akibat antara variabel X dan variabel Y. Namun, jika menggunakan observational data, informasi yang diperoleh belum tentu merupakan hubungan sebab akibat. Fixed data biasanya diperoleh melalui percobaan laboratorium dimana peneliti telah memilki beberapa nilai variabel X yang ingin diteliti. Pada observational data variabel X yang diamati tergantung keadaan di lapangan dimana biasanya data ini diperoleh dengan menggunakan kuisioner. Pada penelitian ini menggunakan data berupa observational data. Variabel-variabel ini akan dibentuk persamaan regresi untuk dapat merepresentasikan hubungan dari data-data yang diperoleh. Persamaan model regresi berganda secara umum adalah sebagai berikut. Yi = β1 + β2X2i + β3X3i + .... + βkXki + εi...................................................................................... (3.3) Pada penelitian ini menggunakan regresi
linear berganda
yang
menggambarkan respon penggunaan pupuk terhadap perubahan harga. Persamaan ini akan dijelaskan sebagai berikut. Persamaan regresi linear berganda respon penggunaan pupuk: LnPPKi = β0 + β1LnPUi + β2LnPTi + β3LnPHDi + β4LnLLHi + ei, ................ (3.4) Persamaan regresi linear berganda respon produksi padi terhadap perubahan variabel-variabel: LnPPi = β0 + β1LnPPKi + β2LnTTKi + β3LnLLHi + β4LnBBT + β5LnD1i + β6LnD2i + ei ..................................................................................................... (3.5) Keterangan: PPK
: Total permintaan pupuk urea pada harga ke-i
PUi
: Harga urea-i
35
PTi
: Harga TSP-i
PHDi : Harga padi-i PPi
: Total produksi padi pada penggunaan pupuk dengan jumlah-i
PPKi : Penggunaan pupuk dengan jumlah-i TTKi : Penggunaan tenaga kerja dengan jumlah-i LLHi : Penggunaan lahan dengan jumlah-i BBTi : Penggunaan bibit atau benih dengan jumlah-i D1i
: Penggunaan dummy bibit dengan jumlah-i (1=ciherang, 0=non ciherang)
D2i
: Penggunaan dummy efektivitas harga-i (1=tepat, 0=tidak tepat)
Βi
: dugaan parameter koefisien regresi (intersep)
ei
: sisaan atau simpangan atau perbedaan antara total produksi padi sesungguhnya dengan nilai dugaan untuk penggunaan pupuk dengan jumlah-i
Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan Eviews 6 untuk melakukan pengujian statistika dan ekonometrika. Pengujian statistika dilakukan untuk melihat pengaruh dari variabel-variabel independen terhadap variabel dependen dalam suatu regresi. Dalam penelitian ini terdapat dua regresi yaitu regresi yang melihat respon penggunaan pupuk terhadap perubahan harga, dan respon produksi padi terhadap perubahan faktor-faktornya meliputi luas lahan, pupuk, tenaga kerja, benih atau bibit, dummy benih, dan dummy efektivitas harga. Pada uji statistika ini dilihat nilai koefisien determinasi (R-squared), nilai probabilitas F-statisik, serta uji t yang berdasarkan nilai probabilitas masing-
36
masing variabel indenpendenya yang dibandingkan dengan taraf nyata yang digunakan yaitu 10 persen. Hipotesis awal dari persamaan regresi (3.4) adalah harga urea mempunyai tingkat elastisitas yang lebih kecil dari satu (inelastis) . Sifat yang inelastis ini berarti bahwa ketika terjadi perubahan harga ura tidak akan berpengaruh besar pada perubahan jumlah pupuk urea yang digunakan oleh petani. Faktor-faktor lain selain harga urea mempunyai pengaruh yang positif terhadap permintaan urea. Sementara itu, hipotesis awal dari persamaan regresi (3.5) adalah masing-masing variabel independen mempunyai pengaruh positif terhadap variabel dependen. Hal ini berarti apabila terjadi peningkatan pada luas lahan sebanyak satu satuan juga akan mempengaruhi peningkatan produksi padi satuan. Hal ini terjadi juga pada peningkatan variabel-variabel lainnya sebanyak satu satuan yang juga akan meningkatkan produksi padi satuan. Selain dilakukan uji statistika juga dilakukan uji ekonometrika pada model regresi. Menurut Gujarati (1978) asumsi dari model regresi linear adalah tidak ada pelanggaran asumsi klasik yang meliputi multikolinearitas, autokorelasi, dan heteroskedastisitas. Multikolinearitas adalah suatu hubungan linear yang sempurna diantara beberapa atau semua variabel yang menjelaskan dari model regresi. Indikasi dari adanya multikolinearitas adalah jika koefisien mempunyai simpangan baku yang tinggi tetapi setelah mengeluarkan satu atau lebih peubah bebas dari model menyebabkan simpangan bakunya rendah. Selain itu, multikolinearitas juga dapat terjadi jika dalam uji-F menyimpulkan bahwa minimal ada peubah bebas yang berpengaruh nyata dalam model atau R-squared
37
tinggi, tetapi dalam uji-t tidak ada koefisien yang signifikan karena simpangan baku koefisien besar (Juanda, 2008). Pelanggaran asumsi klasik yang kedua adalah adanya autokorelasi. Autokorelasi menurut Gujarati (1978) adalah korelasi antara anggota serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu (seperti dalam data deret waktu) dan ruang (seperti dalam data cross-sectional). Pengujian ada atau tidaknya autokorelasi
dilakukan
dengan
menggunakan
Breusch-Goldfrey
Serial
Correlation LM Test. Apabila nilai probabilitas yang didapatkan lebih besar dari taraf nyata yang digunakan yaitu 10 persen maka tidak terdapat pelanggaran autokorelasi atau tidak ada autokorelasi dalam model. Pelanggaran
asumsi
klasik
yang
terakhir
adalah
adanya
heteroskedastisitas. Heteroskedastisitas adalah varians setiap unsur disturbance ui, tergantung pada nilai yang dipilih dari variabel yang menjelaskan, adalah suatu angka yang tidak konstan atau berbeda (Gujarati, 1978). Pengujian ada atau tidaknya heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan menggunakan uji White maupun uji Harvey. Apabila nilai probabilitas yang diperoleh lebih besar dari taraf nyata yang digunakan yaitu 10 persen maka tidak ada heteroskedastisitas dalam model. Dari ketiga pengujian asumsi klasik, model akan baik jika tidak terdapat pelanggaran-pelanggaran pada asumsi klasik tersebut.
38
IV. GAMBARAN UMUM
4.1. Gambaran Umum Kabupaten Bogor Kabupaten Bogor merupakan suatu daerah tingkat II di Jawa Barat yang mempunyai luas wilayah sebesar 2.301,95 Km2. Batas Kabupaten Bogor sebelah utara adalah Kota Depok, batas barat dengan Kabupaten Lebak, batas barat daya dengan Kabupaten Tangerang, batas timur dengan Kabupaten Purwakarta, batas timur laut dengan Kabupaten Bekasi, batas selatan dengan Kabupaten Sukabumi, dan batas tenggara dengan Kabupaten Cianjur. Kabupaten Bogor memiliki 40 kecamatan, 427 desa/kelurahan, 3.516 RW, dan 13.603 RT berdasarkan data pada tahun 2006. Sementara itu, jumlah penduduk Kabupaten Bogor akan ditunjukkan pada tabel berikut ini. Tabel 4.1. Jumlah Penduduk Kabupaten Bogor Tahun 2006-2009 Tahun 2006 2007 2008 2009 Sumber : BPS Provinsi Jawa Barat, 2010
Jumlah Penduduk (jiwa) 4.216.186 4.316.236 4.402.026 4.453.927
Berdasarkan Tabel 4.1.dapat dilihat pertumbuhan jumlah penduduk Kabupaten Bogor dari tahun 2006 sampai 2009. Jumlah penduduk Kabupaten Bogor cenderung mengalami peningkatan pada setiap tahunnya. Jumlah penduduk pada data terakhir yaitu pada tahun 2009 sebesar 4.453.927. Pertumbuhan penduduk
yang
selalu
mengalami
peningkatan
menyebabkan
semakin
bertambahnya kebutuhan penduduk termasuk peningkatan kebutuhan pangan.
39
Bahkan jumlah penduduk Kabupaten Bogor tercatat sebagai jumlah penduduk terbesar diantara Kabupaten lain di Jawa Barat. Sementara itu, perekonomian wilayah Kabupaten Bogor dilihat berdasarkan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB). Laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bogor akan ditunjukkan pada tabel berikut ini. Tabel 4.2. Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Bogor Tahun 2002-2005 Tahun
Laju Pertumbuhan Ekonomi (%)
2002 2003 2004 2005
4,48 4,81 5,56 5,85
Sumber : BPS Kabupaten Bogor, 2005
Berdasarkan Tabel 4.2 dapat dilihat PDRB Kabupaten Bogor dari tahun 2002 sampai 2005. Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa Kabupaten Bogor memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang selalu meningkat pada periode 2002 sampai 2005. Pada Tahun 2005 laju pertumbuhan ekonomi sebesar 5,85 persen yang meningkat 0,29 persen dari tahun sebelumnya. Sektor-sektor perekonomian Kabupaten Bogor juga menentukan besarnya laju pertumbuhan ekonomi. Sektor yang menjadi penyumbang terbesar dalam penyerapan tenaga kerja akan ditunjukkan pada Tabel 4.3. Berdasarkan Tabel 4.3 dapat dilihat jumlah tenaga kerja pada masingmasing sektor di Kabupaten Bogor. Sektor yang menyerap tenaga kerja terbesar adalah sektor perdagangan sebesar 356.304. kemudian dilanjutkan oleh sektor industri yang menyerap tenaga kerja sebesar 283.831.
40
Tabel 4.3. Data Tenaga Kerja Menurut Lapangan Usaha Utama Kabupaten Bogor Tahun 2006 Lapangan Usaha Utama Pertanian Pertambangan dan Galian Industri Listrik, Gas, dan Air Minum Konstruksi Perdagangan Komunikasi Keuangan Jasa-jasa Lainnya Jumlah Sumber : Departemen Perindustrian, 2007
Jumlah 258.631 18.751 283.831 2.451 66.022 356.304 123.057 26.946 248.745 4.892 1.389.630
Berdasarkan tabel di atas juga dapat dilihat bahwa pertanian yang merupakan salah satu sektor unggulan Kabupaten Bogor yang menyerap tenaga kerja sebesar 258.631. Sektor pertanian ini merupakan sektor yang menyerap tenaga kerja terbesar ketiga setelah sektor perdagangan, dan industri. Ketiga sektor unggulan tersebut harus mendapatkan perhatian dari pemerintah agar penyerapan hasil dari ketiga sektor tersebut dalam PDRB Kabupaten Bogor dapat terserap secara optimal. Pertanian sebagai salah satu sektor unggulan Kabupaten Bogor harus mendapatkan prioritas dari pemerintah. Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan produksi pertanian juga harus diperhatikan terutama adalah luas lahan. Luas lahan dan produksi padi di Kabupaten Bogor akan ditunjukkan pada tabel berikut ini.
41
Tabel 4.4. Luas Tanam, Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Padi Sawah Kabupaten Bogor Tahun 2009 Tahun 2005 2006 2007 2008
Luas Tanam (Ha) 79.970 79.140 87.304 85.208
Luas Panen (Ha)
Produktivitas (Ku/Ha)
Produksi (Ton)
76.476 73.932 82.103 81.415
52,81 54,04 56,84 58,63
403.860 399.501 466.656 477.344
Sumber : BPS Provinsi Jawa Barat, 2010
Berdasarkan pada Tabel 4.4 dapat dilihat luas tanam, luas panen, produktivitas dan produksi padi sawah Kabupaten Bogor. Dari tabel tersebut terlihat bahwa luas tanam dan luas panen cenderung fluktuatif bahkan terjadi penurunan pada tahun 2006 dari tahun sebelumnya dengan selisih luas tanam sebesar 830 hektar dan selisih luas panen sebesar 2544 hektar. Hal demikian juga terjadi lagi pada tahun 2010 yang mengalami penurunan luas tanam sebesar 2096 dari tahun sebelumnya serta penurunan luas panen sebesar 688 hektar. Hal ini juga berpengaruh pada produksi padi yang fluktuatif bahkan menurun pada tahun 2006 sebesar 4359 ton dari tahun sebelumnya karena adanya penurunan luas tanam dan luas panen dalam jumlah yang besar. Dari Tabel 4.4 juga dapat dilihat bahwa luas panen selalu lebih kecil dari luas tanam pada setiap tahunnya. Hal ini mengindikasikan bahwa belum optimalnya produksi padi terkait dengan faktokfaktor yang mempengaruhinya seperti kebutuhan pupuk, jumlah tenaga kerja, jenis benih atau bibit yang juga berpengaruh terhadap produksi padi. Oleh karena itu, pemerintah harus lebih memperhatikan terpenuhinya kebutuhan faktor produksi di tingkat petani sehingga dapat mendukung peningkatan produksi padi
42
yang juga akan mendukung ketahanan pangan terkait dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk.
4.2. Perkembangan Kebijakan Subsidi Pupuk Kebijakan subsidi pupuk merupakan salah satu kebijakan fiskal yang bertujuan untuk meningkatkan produksi pertanian terutama tanaman pangan sehingga kebutuhan pangan penduduk terpenuhi. Kebijakan ini sudah diadakan sejak tahun 1960 dan telah mengalami berbagai perubahan pola kebijakan untuk memperbaiki efektivitas dari penyerapan subsidi pupuk ini. Kebijakan subsidi pupuk pertama dimulai sejak tahun 1960 dimana penyaluran subsidi pupuk dilakukan secara konsinyasi. Pertanggungjawaban penyediaan pupuk diserahkan pada PT. Pupuk Sriwijaya. Namun, pada periode ini tidak ada jaminan ketersediaan pupuk karena tidak ada ketentuan stok pupuk. Selain itu, hal ini dikarenakan adanya pengembalian kredit yang bermasalah dari petani dan tidak adanya dana yang cukup dari pemerintah untuk mengimpor pupuk. Kondisi ini berlangsung sampai tahun 1979 kemudian kebijakan selanjutnya juga masih menjadi tanggung jawab PT. Pupuk Sriwijaya dalam pengadaan dan penyaluran semua jenis pupuk untuk sektor pertanian. Pada periode ini ketersediaan stok pupuk sampai lini IV lebih terjamin karena adanya ketentuan stok pupuk berdasarkan enam indikator (tempat, jenis, waktu, jumlah, mutu, dan harga). Ketersediaan semua pupuk bersubsidi oleh pemerintah berlangsung sampai tahun 1993/1994. Kemudian pada tahun ini pupuk yang disubsidi hanya jenis pupuk urea. Pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi masih berada pada
43
tanggung jawab PT. Pupuk Sriwijaya. Pupuk lainnya seperti SP 36, ZA, dan KCL mulai disubsidi pada awal 1998 tetapi hanya sementara karena pada akhir Desember subsidi pupuk dicabut. Hal ini berkaitan dengan adanya krisis moneter yang melanda Indonesia yang mendorong Indonesia untuk mencabut kebijakan ini terkait dengan adanya pinjaman hutang dari IMF. Adanya pinjaman dari IMF membuat Indonesia harus mengikuti peraturan yang dibuat oleh IMF sehingga Indonesia harus mencabut kebijakan subsidi pupuk dan pupuk menjadi komoditas bebas melalui mekanisme supply dan demand. Pada periode ini terjadi kelangkaan pupuk dan mahalnya tingkat harga pupuk. Pencabutan subsidi pupuk ini berlangsung sampai tahun 2001. Pada tahun 2001 diberlakukan kembali adanya subsidi pupuk urea sesuai dengan SK Menperindag No. 93 Tahun 2001. Pada periode ini penyaluran dan pengadaan pupuk urea pada sektor pertanian dibawah tanggung jawab semua produsen pupuk, tidak hanya pada PT. Pupuk Sriwijaya. Pada tahun 2003 dikeluarkan kembali peraturan yang mengatur pengadaan dan penyaluran subsidi pupuk yaitu SK Menperindag No. 70/MPP/Kep/2003 dimana pendistribusian pupuk bersubsidi berdasarkan sistem rayonisasi. Semua produsen pupuk bertanggungjawab terhadap pengadaan pupuk pada wilayah sekitarnya apabila ada kesulitan dalam pengadaanya dapat melakukan kerjasama dengan produsen lain. Penyaluran dan pengadaan pupuk diatur dalam suatu mekanisme yang pernah mengalami dua kali perubahan. Mekanisme pertama yang diterapkan adalah pada saat penyaluran dan pengadaan subsidi pupuk di bawah tanggung
44
jawab satu produsen yaitu PT. Pupuk Sriwijaya. Mekanisme distribusi peyaluran subsidi pupuk ditunjukkan pada Gambar 4.1. PT. PUSRI LINI I
PRODUSEN LAIN (HOLDING COMPANY)
LINI II
LINI III
KUD PENYALUR LINI IV
PETANI
IMPORTIR Sumber : Ilham (1999)
Gambar 4.1. Mekanisme Distribusi Pupuk dengan Produsen PT. Pusri
Pada Gambar 4.1 ditunjukkan mekanisme distribusi pupuk pada saat pertanggungjawaban penyaluran dan pengadaan pupuk berada pada satu produsen yaitu PT. Pupuk Sriwijaya. PT. Pupuk Sriwijaya mempunyai tanggung jawab penyaluran subsidi pupuk dari Lini I sampai Lini III. Kemudian Lini IV berada pada tanggung jawab KUD penyalur yang ditunjuk oleh PT. Pusri. Apabila ada permasalahan pada penyaluran pupuk bersubsidi ini maka PT.
Pusri
bertanggungjawab untuk melakukan penyaluran sampai pada Lini IV. Mekanisme dengan satu produsen pupuk ini berlangsung sampai awal tahun 1998. Pada tahun 1998 subsidi pupuk dicabut dan mulai diberlakukan kembali pada tahun 2001. Pada tahun 2001 mekanisme distribusi subsidi pupuk tidak hanya dimonopoli oleh satu produsen saja, tetapi diserahkan pada semua produsen pupuk (PT. Pupuk
45
Sriwijaya, PT. Petrokimia Gresik, PT. Pupuk Kaltim, PT. Pupuk Kujang Cikampek, dan PT. Pupuk Iskandar Muda).
PT. PUSRI LINI I
PRODUSEN LAIN (HOLDING COMPANY)
LINI II
LINI III
DISTRIBUTOR NON PUSRI
IMPORTIR
LINI IV
PENGECER RESMI
PETANI
Sumber : Ilham (1999) Keterangan :
: Jalur utama : Jalur insidentil
Gambar 4.2. Mekanisme Distribusi Subsidi Pupuk dengan Semua Produsen
Pada Gambar 4.2 terlihat bahwa semula penyaluran pupuk harus melalui Lini IV terlebih dahulu, tetapi setelah adanya semua produsen yang ikut dalam penyaluran ini maka dari produsen pupuk dapat langsung kepada pengecer sehingga semakin memperpendek mata rantai penyaluran pupuk. Hal ini membuat lebih terjaminnya ketersediaan pupuk karena setiap produsen mempunyai tanggung jawab untuk memenuhi ketersediaan pupuk di daerah sekitarnya. Apabila terjadi kekurangan persediaan maka produsen berkewajiban untuk bekerjasama dengan produsen maupun produsen lain (holding company). Dengan adanya mekanisme ini diharapkan dapat terjaminnya ketersediaan pupuk di tingkat petani.
46
V. PEMBAHASAN
5.1. Karakteristik Usaha Tani Responden Penelitian ini dilakukan terhadap petani yang mendapatkan pupuk bersubsidi dari pemerintah. Penelitian ini memilih sampel di kabupaten Bogor. Pemilihan sample dilakukan berdasarkan produksi padi di setiap daerah di kabupaten Bogor. Kecamatan Pamijahan dipilih dengan kriteria mewakili daerah sentra produksi padi dengan luas tanam terbesar yaitu 8042 hektar, sedangkan kecamatan Darmaga dipilih dengan kriteria mewakili daerah yang rata-rata produksi padi dengan luas tanam sebesar 1400 hektar (Kementerian Pertanian, 2010). Berikut ini adalah tabel yang menunjukkan wilayah sebaran sampel. Tabel 5.1. Wilayah Studi Penelitian Kecamatan Pamijahan Darmaga
Desa/Kelurahan Ciasihan Ciasmara Cikarawang Ciherang
Dari Tabel 5.1. di atas dapat terlihat bahwa wilayah studi penelitian ini difokuskan pada empat kecamatan. Setiap kecamatan diambil 30 petani sebagai responden. Penelitian ini mengkaji tentang efektivitas kebijakan subsidi pupuk dan pengaruhnya terhadap produksi padi di Kabupaten Bogor. Karakteristik tingkat pendidikan responden akan ditunjukkan pada gambar di bawah ini.
47
Tingkat Pendidikan Responden Jumlah (%)
50
46,36
40 30
20
15,45
20
13,64
10
2,73
1,82
0 SD-MI
SMP-MTS
SMA
S1
PESANTREN
TIDAK LULUS
Pendidikan
Gambar 5.1. Karakteristik Pendidikan Responden
Pada Gambar 5.1 terlihat bahwa tingkat pendidikan mayoritas responden adalah SD-MI dengan presentase sebesar 46,36 persen. Jenjang pendidikan tertinggi responden yaitu S1 hanya mencapai presentase sebesar 2,73 persen. Hal ini menunjukkan bahwa responden yaitu petani berpendidikan tidak tinggi sehingga pengetahuan mereka terbatas. Oleh karena itu, dibutuhkan penyuluhan dari berbagai instansi khususnya dinas pertanian untuk memberikan pengetahuanpengetahuan tentang pertanian untuk dapat meningkatkan produksi pertanian mereka. Selain itu, juga diperlukan adanya kelompok tani untuk dapat melakukan berbagai pertemuan yang membahas tentang masalah-masalah pertanian mereka untuk dapat diselesaikan secara bersama. Karakteristik responden selain tingkat pendidikan adalah luas lahan yang dimiliki responden. Responden memiliki luas lahan yang berbeda-beda dimana berdasarkan Gambar 5.2 terlihat bahwa mayoritas responden memiliki luas antara 1000-4999 m2 sebesar 55 persen. Hal ini menunjukkan bahwa kebanyakan responden adalah petani kecil dengan luas lahan yang sedikit. Hal ini juga
48
didukung dengan data tersebut dimana petani dengan total luas lahan dibawah satu hektar adalah sebesar 80 persen, sedangkan petani dengan luas lahan lebih besar dari satu hektar adalah sebesar 20 persen. Dari data tersebut terlihat bahwa terdapat kecenderungan responden dengan luas lahan kurang dari satu hektar. Keadaan luas lahan tersebut yang sebagian besar dimiliki oleh petani kecil juga akan berpengaruh pada penerimaan pendapatan petani dan tingkat kesejahteraan petani. Olah karena itu, dibutuhkan berbagai kebijakan yang memihak kepada petani untuk dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani. Hal ini penting karena petani sebagai pemenuh kebutuhan pangan pokok Indonesia.
Persentase Luas Lahan Responden 55
Jumlah (%)
60 50 40 30
20
20 10
11,67 5
1,67
5,83
0
0,83
0
Luas Lahan (m2)
Gambar 5.2. Luas Lahan Responden
Luas lahan yang dimiliki petani juga berpengaruh terhadap produksi padi. Dari data luas lahan di atas dimana luas lahan mayoritas sebesar 1000-4999 m2 mempengaruhi produksi padi yang pada penelitian ini dilihat rata-rata produksi padi setiap musim tanam yang disajikan pada Gambar 5.3 Pada gambar tersebut
49
terlihat bahwa rata-rata produksi padi setiap musim tanam periode 2010 terbanyak yaitu antara 100-900 kg sebesar 42,5 persen. Produksi terbesar kedua yaitu antara 1000-1999 kg per musim tanam sebesar 37,5 persen sedangkan sisanya yaitu sebesar 20 persen terdapat pada rentang produksi lebih dari 2000 kg per musim tanam. Hal ini menunjukkan bahwa produksi padi setiap musim tanam masih rendah yang didukung dengan luas lahan yang juga masih rendah. Oleh karena itu diperlukan teknik produksi, bibit, pupuk, tenaga kerja yang lebih bagus dan terampil tentunya dengan bantuan berbagai kebijakan dari pemerintah. Adanya kebijakan-kebijakan tersebut diharapkan dapat meningkatkan produksi padi setiap tahunnya mengingat adanya keterbatasan lahan dan bahkan semakin menyempit serta dengan semakin banyaknya peningkatan jumlah penduduk yang ada yang menggeser fungsi lahan dan meningkatkan pemintaan kebutuhan pangan. Rata-rata Produksi Padi Setiap Musim Tanam Periode 2010
Jumlah (%)
50
42,5
40
37,5
30 20
7,5
10
12,5
0 100-999
1000-1999
2000-2999
>3000
Produksi Padi (kg)
Gambar 5.3. Rata-rata Produksi Padi Setiap Musim Tanam Periode 2010
Pada Gambar 5.2 dan 5.3 telah dijelaskan bahwa karakteristik luas lahan responden yang kecil dapat berpengaruh pada produksi padi responden yang rendah pada setiap musim tanamnya yang juga berdampak pada tingkat
50
pendapatan petani yang juga rendah. Padahal diketahui bahwa pengeluaran petani untuk biaya-biaya produksi semakin meningkat dengan adanya peningkatan harga serta peningkatan kebutuhan pada input-input produksinya seperti pupuk, bibit, obat-obatan, serta tenaga kerja. Berikut ini adalah gambar tentang pengeluran petani pada masing-masing input produksi.
Rincian Pengeluaran Input Produksi Per Musim Tanam 1,45%
0,13% BENIH
1,54%
0,36%
3,94% 4,83%
PUPUK TENAGAKERJA
19,14%
25,72%
SEWAALAT PERTANIAN BIAYAPENGAIRAN PEMELIHARAANALAT/SARANA
42,89%
BIAYAPENGANGKUTAN OBAT-OBATAN LAIN-LAIN
Gambar 5.4. Rincian Pengeluaran Input Produksi per Musim Tanam Responden
Dari Gambar 5.4 terlihat bahwa pengeluaran input produksi terdiri dari bibit, pupuk, tenaga kerja, sewa alat pertanian, pengairan, pemeliharaan alat/sarana, biaya pengangkutan, obat-obatan, dan lainnya (seperti pajak). Dari sembilan input produksi tersebut pengeluaran terbesar adalah biaya untuk upah tenaga kerja sebesar 42,89 persen. Biaya tenaga kerja menjadi pengeluaran petani yang terbesar karena sistem bagi hasil upah tenaga kerja dengan pemilik lahan adalah 1:5. Tenaga kerja mendapatkan bagian satu dari seluruh produksi,
51
sedangkan pemilik lahan mendapatkan bagian lima dari seluruh produksi padi. Pengeluaran bagi hasil ini belum termasuk biaya tenaga kerja setiap harinya yang mencapai 20000-30000 untuk setiap hari pada tahap-tahap produksi tertentu seperti pada saat tahap tanam, pemupukan, dan panen yang membutuhkan lebih banyak tenaga kerja. Biaya terbesar kedua yaitu pupuk sebesar 25,72 persen kemudian diikuti oleh biaya sewa alat pertanian dan bibit yang masing-masing sebesar 19,14 persen dan 4,83 persen. Pupuk menjadi biaya terbesar kedua karena kondisi responden yang masih terbiasa menggunakan pupuk kimia seperti urea, TSP/SP-36, NPK, serta KCL membuat mereka susah beralih untuk menggunakan pupuk organik sebagai pengganti pupuk kimia yang semakin meningkat harganya. Bahkan KCL yang juga dibutuhkan mereka sudah tidak disubsidi lagi oleh pemerintah. Responden tetap menggunakan pupuk kimia juga disebabkan oleh adanya anjuran dari PPL tentang pemupukan yang tepat dengan komposisi 200 kg urea, 100 kg SP-36, dan 100 kg KCL untuk setiap hektar lahan. Selain itu, organik yang menjadi alternatif pengganti pupuk kimia yang semakin mahal tidak bisa menarik petani untuk meninggalkan pupuk kimia karena adanya ketergantungan tanah yang sudah terbiasa menggunakan pupuk kimia. Alasan lain petani tidak ingin menggunakan pupuk organik adalah keterbatasan pengetahuan tentang pembuatan pupuk organik karena belum adanya pengetahuan tentang pembuatan pupuk organik. Selain itu, petani juga beranggapan bahwa menggunakan pupuk organik akan membutuhkan lebih banyak tenaga kerja dan akan mengeluarkan lebih banyak biaya.
52
Biaya terbesar ketiga adalah sewa alat pertanian sebesar 19,14 persen. Sewa alat pertanian menjadi biaya terbesar ketiga setelah pupuk karena kebanyakan petani tidak mempunyai peralatan sendiri seperti untuk keperluan membajak sawah. Responden yang sebagian besar merupakan petani kecil masih membutuhkan alat pertanian seperti kerbau dan traktor dengan cara sewa yang membutuhkan biaya cukup mahal. Biaya kerbau sekitar Rp 100.000 setiap harinya sekaligus dengan tenaga kerjanya. Pembajakan lahan dilakukan sekitar satu minggu ataupun lebih tergantung dari luas lahan masing-masing responden. Traktor membutuhkan biaya sebesar 400.000 sampai 600.000 rupiah pada setiap musim tanamnya. Pengeluaran lain setelah sewa alat pertanian adalah pengeluran untuk benih sebesar 4,83 persen yang merupakan pengeluaran terbesar keempat. Benih merupakan input penting juga selain pupuk, dan tenaga kerja karena kualitas benih menentukan kualitas dan kuantitas produksi padi petani. Benih yang sering digunakan responden adalah benih Ciherang yang harganya berkisar Rp 5000/kg. Kebijakan subsidi benih juga telah dilakukan pemerintah seperti pada tahun 2010 dilakukan subsidi benih dimana responden mendapatkan benih jenis Inpari dengan harga berkisar Rp 1000/kg. Namun, responden menyatakan gagal panen dengan menggunakan benih ini karena hampir semua padi adalah hampa atau kosong sehingga mengurangi berat padi. Kejadian ini membuat responden merasa tidak percaya lagi dengan benih subsidi dari pemerintah dan beralih menggunakan benih yang biasa mereka pergunakan seperti benih Ciherang meskipun dengan harga yang mahal sehingga membuat biaya produksi juga meningkat. Oleh karena
53
itu, diharapkan bahwa kebijakan subsidi benih dilakukan dengan memperhatikan kualitas serta dilakukan uji coba dari kualitas benih yang diberikan kepada petani sehingga petani percaya menggunakan benih subsidi dari pemeritah dan hasil produksi padi juga akan semakin meningkat. Pengeluaran lain setelah benih adalah pengeluaran untuk obat-obatan, pengairan, biaya pengangkutan, pemeliharaan alat/sarana, serta pengeluaran lainnya seperti pajak yang masing-masing sebesar 3,94 persen, 1,54 persen, 1,45 persen, 0,36 persen, serta 0,13 persen. Pengeluaran-pengeluaran tersebut juga penting untuk mendukung produksi padi terutama pengairan. Daerah di kecamtan Pamijahan cenderung memiliki kondisi irigasi pengairan yang lebih bagus dibandingkan pada daerah Darmaga. Pengairan di Pamijahan langsung dari irigasi sungai sehingga membutuhkan biaya yang lebih sedikit dibandingkan pada daerah Darmaga. Pengairan yang lancar pada daerah Pamijahan juga mendukung produksi dimana di daerah ini bisa dilakukan dua sampai tiga kali tanam pada setiap tahunnya sedangkan di kecamatan Darmaga hanya bisa satu kali musim tanam padi. Hal ini yang menyebabkan perbedaan produksi pada daerah Pamijahan dan Darmaga pada setiap tahunnya. Kebijakan subsidi pupuk berupa HET pada beberapa jenis pupuk juga memberikan sumbangan terhadap biaya pengeluaran produksi untuk setiap musim tanamnya. Pengeluaran pupuk sebesar 25,72 persen seperti telah dijelaskan pada Gambar 5.4 yang merupakan pengeluaran terbesar kedua. Adanya subsidi pupuk dapat memengaruhi pengeluaran pupuk yang akan dijelaskan pada tabel berikut ini.
54
Tabel 5.2. Perbedaan Pengeluaran Pupuk Subsidi dan Non Subsidi pada Setiap Musim Tanam Jumlah (kg)
Harga Subsidi (RP/Kg)
Urea TSP/SP-36
200 100
KCL
100
1.600 2.000 5000 (Tidak bersubsidi) 1.020.000
Jenis
Total harga (Rp) Selisih harga subsidi dan non subsidi
Harga Non Subsidi (Rp/Kg) 4.000 5.450 5.000 1.845.000
825.000
Dari Tabel 5.2 di atas terlihat bahwa terdapat perbedaan harga pupuk subsidi dan non subsidi. Perbedaan harga ini akan berpengaruh terhadap pengeluaran pupuk pada setiap musim tanamnya. Pupuk yang digunakan dalam hal ini adalah pupuk anjuran pemerintah dengan kombinasi penggunaan urea 200 kg, TSP 100 kg, dan KCL 100 kg untuk setiap satu hektar luas lahan. Dari tabel tersebut terlihat bahwa untuk pupuk subsidi pemerintah petani dapat mengeluarkan biaya pupuk sebesar Rp 1.020.000 untuk setiap musim tanamnya, sedangkan apabila petani membeli pupuk dengan jenis yang sama tetapi tidak disubsidi pemerintah maka pengeluaran terhadap pupuk sebesar Rp 1.845.000 untuk setiap musim tanamnya. Dari kedua pengeluaran tersebut terlihat bahwa terdapat perbedaan pengeluaran untuk pupuk subsidi dan non subsidi dengan selisih sebesar Rp 825.000 untuk setiap musim tanamnya. Jadi, apabila petani memperoleh pupuk bersubsidi dari pemerintah maka petani dapat menghemat biaya pengeluaran pupuk sebesar 44,72 persen dari pengeluaran pupuk yang seharusnya dikeluarkan apabila pupuk tidak disubsidi.
55
5.2. Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk Pupuk merupakan kebutuhan yang cukup penting dalam menunjang produksi padi. Seperti yang telah dijelaskan pada bagian karakteristik pertanian responden bahwa pupuk mempunyai proporsi pengeluaran terbesar setelah tenaga kerja. Oleh karena itu, diperlukan program kebijakan fiskal yang dapat membantu terpenuhinya kebutuhan pupuk petani dengan mudah dan dengan harga terjangkau agar kesejahteraan petani meningkat. Kebijakan mengatur pupuk yang saat ini diterapkan adalah kebijakan subsidi pupuk. Kebijakan subsidi pupuk yang saat ini diterapkan adalah dengan menentukan harga eceran tertinggi yang diterima petani pada setiap jenis pupuk. Kebijakan ini diharapkan dapat membantu kebutuhan pupuk di tingkat petani. Penyaluran subsidi pupuk yang saat ini diterapkan adalah sistem terbuka dimana petani langsung membeli ke pengecer resmi. Pengawasan pupuk bersubsidi untuk mengetahui efektivitas dari kebijakan ini adalah melalui prinsip enam tepat, yaitu harga, jumlah, waktu, tempat, jenis, dan mutu. Penelitian ini menggunakan empat dari enam indikator yang mengukur efektivitas kebijakan subsidi pupuk dengan studi kasus di Kabupaten Bogor. Indikator pertama adalah indikator tepat harga yang diperoleh berdasarkan selisih antara harga yang diterima responden dengan harga yang seharusnya diterima responden. Rata-rata harga pada setiap jenis pupuk bersubsidi yang diterima responden akan dijelaskan pada tabel berikut ini.
56
Tabel 5.3. Rata-rata Harga Pupuk Bersubsidi yang Diterima Responden Uraian Harga Rata-rata Pembelian (Rp/kg) Harga Eceran Tertinggi (Rp/kg) Deviasi Absolut (Rp/kg) Deviasi Relatif (%)
Urea 1900 1600 300 18,75
TSP/SP-36 2400 2000 400 20
NPK 2500 2300 200 8,70
Berdasarkan Tabel 5.3 dapat dilihat harga pupuk aktual dan harga pupuk seharusnya yang diterima responden. Jenis pupuk bersubsidi yang digunakan responden adalah urea, TSP/SP-36, dan NPK. Pupuk urea mempunyai harga eceran tertinggi yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 1600/kg. Namun, pada kenyataanya harga pupuk urea yang diperoleh responden rata-rata sebesar 1900 sehingga terdapat selisih sebesar Rp 300 dari harga sesungguhnya. Responden telah membeli pupuk urea dengan harga 18,75 persen lebih mahal untuk setiap satu kilogram pupuk daripada harga sesungguhnya. Pupuk jenis lain yang digunakan oleh responden adalah TSP atau SP-36. Harga eceran tertinggi dari pupuk jenis ini adalah sebesar Rp 2000/kg. Reponden rata-rata memperoleh pupuk bersubsidi jenis ini dengan harga sebesar Rp 2400/kg atau terdapat selisih sebesar Rp 400/kg. Dari harga yang diperoleh responden ini maka responden telah membeli pupuk TSP atau SP-36 dengan harga 20 persen lebih mahal untuk setiap satu kilogram pupuk dibandingkan dengan harga sesungguhnya. Pupuk bersubsidi selain urea dan TSP/SP-36 yang digunakan responden adalah jenis pupuk NPK. Pupuk NPK mempunyai harga eceran tertinggi sebesar Rp 2300/kg. Namun, rata-rata harga yang diterima responden sebesar Rp 2500/kg atau terdapat selisih sebesar Rp 200/kg dari harga sesungguhnya. Dari harga yang
57
diperoleh responden maka responden membeli pupuk NPK dengan harga 8,70 persen lebih tinggi daripada harga sesungguhnya. Dari ketiga jenis pupuk tersebut dapat dikategorikan bahwa ketiga jenis pupuk tersebut mempunyai harga pembelian yang lebih tinggi dari harga eceran tertinggi. Hal ini akan mempengaruhi tingkat efektivitas dari kebijakan subsidi pupuk. Jumlah responden yang memperoleh harga yang tepat dan tidak tepat dalam memperoleh subsidi pupuk akan dijelaskan pada tabel berikut ini. Tabel 5.4. Persentase Tingkat Ketepatan Harga Pupuk Bersubsidi Jenis Pupuk Urea NPK TSP/SP-36 TOTAL
Kesesuaian Harga dengan HET Tepat Tidak Tepat Tepat Tidak Tepat Tepat Tidak Tepat Tepat Tidak Tepat
Jumlah 40 74 4 38 14 78 58 190
Persentase (%) 35,00 64,91 9,52 90,48 15,22 84,78 23,39 76,61
Dari Tabel 5.4 ditunjukkan bahwa terdapat berbagai pilihan penggunaan pupuk oleh responden dimana jenis pupuk yang digunakan oleh responden adalah urea, NPK, TSP/SP-36, dan KCL. Namun, KCL mulai tahun 2003 sudah tidak disubsidi sehingga ruang lingkup penelitian hanya terfokus pada tiga jenis pupuk tersebut selain KCL. Analisis data ini dilakukan dengan melihat perbedaan harga pupuk aktual yang diterima responden dengan harga yang seharusnya diterima responden yaitu harga yang sudah ditetapkan pemerintah dalam bentuk harga eceran tertinggi (HET). Dalam hal ini dilihat jumlah responden yang memperoleh harga yang sama dengan HET dan jumlah responden yang tidak memperoleh
58
harga yang sama dengan HET. Harga eceran tertinggi untuk urea adalah Rp 1600/kg yang berlaku dari tahun 2010 dan sampai sekarang masih diberlakukan HET yang sama. Urea mempunyai HET yang lebih rendah dibandingkan dengan pupuk jenis lain. Jumlah responden yang menerima HET tepat sama dengan harga yang dibayarkan adalah 40 responden, sedangkan jumlah responden yang tidak memperoleh harga sama dengan HET adalah 74 responden. Responden menggunakan pupuk urea untuk mendukung pertumbuhan daun. Persentase dari responden yang memperoleh harga sama dengan HET dan tidak sama dengan HET masing-masing sebesar 35,09 persen dan 64,91 persen. Urea merupakan pupuk yang jumlahnya paling banyak diminta oleh responden sebesar 114 dibandingkan dengan jenis pupuk lain seperti NPK dan TSP/SP-36 yang masingmasing hanya sebesar 42 dan 92. Oleh karena itu, banyak responden yang berharap bahwa urea tidak akan dicabut atau tetap disubsidi oleh pemerintah. Hal ini juga didukung dengan adanya wacana penurunan alokasi subsidi pupuk untuk beberapa tahun ke depan, dan adanya beberapa jenis pupuk yang sudah tidak lagi disubsidi seperti KCL. Pupuk selain urea yang disubsidi yaitu NPK yang mempunyai tiga jenis yaitu NPK Phonska, NPK Pelangi, dan NPK Kujang. Kebanyakan responden menggunakan NPK dengan jenis NPK Phonska. NPK digunakan responden untuk membantu pertumbuhan buah. Ketiga jenis NPK tersebut mempunyai harga eceran tertinggi yang sama yaitu Rp 2300/kg. Responden yang mendapatkan harga sesuai dengan HET adalah 4 responden, sedangkan responden yang mendapatkan harga lebih tinggi dari HET adalah 38 responden. Persentase sebesar
59
9,52 persen dimiliki oleh responden yang memperoleh harga sama dengan HET sedangkan responden yang memperoleh harga leih tinggi dari HET sebesar 90,48 persen. NPK mempunyai kecenderungan yang sama dengan urea dimana keduanya memiliki persentase yang lebih besar dalam hal ketidaktepatan dengan HET yang berlaku bahkan NPK memiliki selisih persentase yang lebih besar dibandingkan dengan urea. Jenis pupuk ketiga yang digunakan oleh responden adalah pupuk berjenis TSP/SP-36. Pupuk ini digunakan untuk memperkuat batang tanaman dan mempercepat pertumbuhan akar semai. TSP/SP-36 mempunyai harga eceran tertinggi sebesar Rp 2000/kg. Responden yang memperoleh harga sesuai dengan HET adalah 14 responden, sedangkan responden yang tidak memperoleh harga sesuai dengan HET adalah 78 responden. Persentase responden yang mempunyai harga sama dengan HET dan yang tidak sama dengan HET masing-masing sebesar 15,22 persen dan 84,78 persen. Dari ketiga jenis pupuk bersubsidi yang digunakan oleh responden semuanya mempunyai kecenderungan yang sama dimana kebanyakan responden memperoleh harga yang lebih tinggi dari HET dengan persentase sebesar 76,61 persen dibandingkan dengan responden yang memperoleh harga sama dengan HET yang hanya sebesar 23,39 persen. Kecenderungan harga yang lebih tinggi dari HET ini terjadi karena kebanyakan responden membeli pupuk di kios yang dekat dengan desa. Kebanyakan kios resmi berada di luar desa yang membutuhkan tambahan biaya transportasi. Selain itu, kebanyakan responden juga tidak mengetahui kios resmi yang menjual pupuk
60
bersubsidi. Hal-hal tersebut yang membuat pupuk bersubsidi pada penelitian ini belum bisa dikategorikan memenuhi prinsip tepat harga. Indikator kedua yang menentukan keefektifan program kebijakan subsidi pupuk adalah indikator tepat tempat. Tepat tempat yang dimaksud adalah petani sebagai penerima subsidi pupuk dapat memperoleh pupuk di kios yang dekat dengan rumah atau lahan petani atau kios berada di dalam desa. Hasil penelitian tentang indikator tepat tempat akan dijelaskan pada tabel berikut ini. Tabel 5.5. Persentase Tingkat Ketepatan Tempat Pupuk Bersubsidi Tempat Pembelian Pupuk di dalam desa di luar desa TOTAL
Jumlah Responden 52 68 120
Persentase (%) 43,33 56,67 100
Dari Tabel 5.5 di atas dijelaskan tentang besarnya ketepatan tempat pembelian pupuk bersubsidi. Ketepatan tempat ini diukur berdasarkan seberapa banyak responden yang menyatakan tempat atau kios pembelian pupuk bersubsidi berada di dalam atau di luar desa. Dari tabel tersebut terlihat bahwa sebanyak 52 responden menyatakan bahwa mereka melakukan pembelian pupuk bersubsidi di dalam desa. Responden tersebut menyatakan bahwa terdapat kios di dalam desa walaupun dengan harga yang lebih mahal dan bukan merupakan kios resmi daripada melakukan pembelian di kios luar desa atau di pusatnya yaitu di pasar pusat pada setiap kecamatan. Namun, responden tersebut tetap memilih untuk membeli pupuk bersubsidi di kios dalam desa daripada di luar desa meskipun dengan harga yang lebih mahal dengan alasan bahwa kios luar desa terlalu jauh dan masih membutuhkan biaya transportasi.
61
Dari tabel tersebut juga dapat dilihat bahwa terdapat 68 responden yang melakukan pembelian pupuk di luar desa. Hal ini dilakukan dengan alasan bahwa tidak ada kios yang ada di dalam desa. Selain itu, harga pupuk bersubsidi di luar desa atau di kios yang terletak pada pusat kecamatan lebih murah karena merupakan kios resmi meskipun responden masih dibebani dengan biaya transportasi. Responden biasanya melakukan pembelian dalam jumlah besar agar tidak merasa dirugikan dengan adanya biaya transportasi. Namun, hal ini hanya bisa dilakukan oleh beberapa petani dengan modal yang cukup besar untuk membeli dalam jumlah yang banyak. Petani dengan modal yang terbatas dimana tidak ada kios yang berada dalam desa dan tetap melakukan pembelian pupuk di luar desa akan merasa terbebani dengan biaya transportasi karena mereka hanya membeli pupuk dengan jumlah yang tidak besar dan tidak sebanding dengan biaya transportasi yang mereka keluarkan. Persentase responden yang melakukan pembelian pupuk di dalam desa dengan responden yang melakukan pembelian pupuk di luar desa masing- masing sebesar 43,33 persen dan 56,67 persen. Dari persentase tersebut terlihat bahwa masih banyak responden yang melakukan pembelian pupuk bersubsidi di luar desa dengan berbagai alasan yang telah dijelaskan sehingga kebijakan subsidi pupuk belum dapat dikategorikan efektif dalam indikator tepat tempat. Indikator lain dalam menentukan tingkat kefektifan dari suatu kebijakan subsidi pupuk adalah indikator tepat waktu. Indikator tepat waktu yang dimaksud adalah pupuk bersubsidi yang akan selalu tersedia ketika dibutuhkan oleh petani dengan kata lain bahwa tidak terjadi kelangkaan pupuk bersubsidi ketika petani
62
akan membutuhkan pupuk tersebut. Hasil dari penelitian tepat waktu yang berdasarkan pendapat dari responden akan ditunjukkan pada tabel berikut ini. Tabel 5.6. Persentase Tingkat Ketepatan Waktu Pupuk Bersubsidi Ketepatan Waktu Pupuk selalu ada Pupuk tidak ada TOTAL
Jumlah Reponden 120 0 120
Persentase (%) 100 0 100
Tabel 5.6 di atas menunjukkan tentang ketepatan waktu dari perolehan pupuk bersubsidi. Indikator ketapatan waktu diukur dengan hasil pendapat responden yang menyatakan pupuk bersubsidi akan selalu ada atau tidak ada ketika dibutuhkan mereka. Dari tabel tersebut terlihat bahwa sebanyak 120 responden atau dapat dikatakan bahwa semua responden berpendapat bahwa pupuk bersubsidi selalu ada ketika akan dibutuhkan mereka untuk mendukung produksi. Responden berpendapat bahwa beberapa tahun terakhir termasuk tahun 2010 pupuk bersubsidi selalu ada. Kelangkaan pernah terjadi tetapi pada saat tahun-tahun yang lalu dan sekarang sudah cenderung normal. Dari persentase 100 persen responden yang menyatakan bahwa pupuk bersubsidi selalu ada ketika dibutuhkan mereka maka dikategorikan bahwa kebijakan subsidi pupuk dikatakan efektif dalam indikator tepat waktu dengan tingkat ketepatan sempurna, yaitu 100 persen. Hal ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam melakukan kebijakan subsidi pupuk terutama untuk petani. Indikator terakhir yang menjadi ruang lingkup dalam penelitian ini adalah indikator tepat jumlah. Indikator tepat jumlah yang dimaksud adalah pemupukan dilakukan sesuai dengan dosis atau jumlah berdasarkan analisa status hara tanah
63
dan kebutuhan tanaman (Rahman, 2009). Jumlah pupuk yang tepat berdasarkan status hara dan kebutuhan tanaman yang dianjurkan adalah kombinasi antara urea 200kg/ha, TSP/SP-36 sebanyak 75-100kg/ha, dan KCL sebanyak 75-100kg/ha (Purwono dan Heni, 2009). Hasil penelitian tentang ketepatan jumlah akan ditunjukkan pada tabel berikut ini. Tabel 5.7. Persentase Ketepatan Jumlah Pupuk Bersubsidi Ketepatan Jumlah Sesuai anjuran Tidak sesuai anjuran a. dibawah anjuran b. diatas anjuran TOTAL
Jumlah Responden 27 46 47 120
Persentase (%) 22,5 77,5 100
Dari Tabel 5.7 dapat ditunjukkan hasil dari ketepatan jumlah berdasarkan penggunaan pupuk oleh responden pada setiap luas lahannya. Responden dengan penggunaan pupuk sesuai dengan jumlah yang dianjurkan sebanyak 27 responden. Pemupukan dengan dosis yang tepat diperlukan untuk mendukung hasil produksi padi. Apabila terdapat kekurangan dan kelebihan jumlah pupuk pada setiap lahan akan mempengaruhi tanah dan tanaman sehingga diperlukan penggunaan yang tepat. Responden yang memberikan pupuk dengan jumlah yang tidak sesuai dengan anjuran adalah sebanyak 93 responden yang terdiri dari penggunaan dengan jumlah di bawah anjuran dan di atas anjuran yang masing-masing sebesar 46 dan 47 responden. Persentase yang didapat dari ketepatan jumlah antara responden yang menggunakan pupuk sesuai anjuran dengan yang tidak sesuai anjuran masing-masing sebesar 22,5 persen dan 77,5 persen. Dari persentase tersebut dapat terlihat bahwa persentase ketepatan jumlah hanya sebesar 22,5
64
persen yang berarti kebijakan subsidi pupuk belum dapat dikategorikan efektif dalam indikator tepat jumlah. Oleh karena itu, perlu adanya penyuluhan dari pemerintah kepada petani tentang penggunaan pupuk yang sesuai dengan anjuran agar hasil produksi padi mereka lebih maksimal karena apabila penggunaan tidak sesuai dengan anjuran baik di atas maupun di bawah anjuran akan mempengaruhi produksi padi. Indikator-indikator yang digunakan dalam penelitian ini akan dapat menentukan tingkat kefektivitasan subsidi pupuk di Kabupaten Bogor. Keefektifan kebijakan ini diukur berdasarkan presentase masing-masing indikator. Apabila presentase keselurahan indikator sama ataupun lebih dari 80% maka kebijakan subsidi pupuk dapat dikategorikan efektif. Apabila tingkat keefektifan di bawah 80% maka kebijakan subsidi pupuk belum dapat dikategorikan efektif. Hasil dari keseluruhan indikator tingkat keefektifan kebijakan subsidi pupuk akan ditunjukkan pada tabel berikut ini. Tabel 5.8. Persentase Tingkat Keefektifan Kebijakan Subsidi Pupuk No. 1 2 3 4
Indikator Tingkat Keefektifan Harga Tempat Waktu Jumlah Rata-rata
Tepat (%) 23,39 43,33 100 22,50 47,31
Tidak Tepat (%) 76,61 56,67 0 77,50 52,70
Total (%) 100 100 100 100 100
Berdasarkan Tabel 5.8 di atas dapat diketahui hasil keseluruhan dari empat indikator yang menentukan tingkat keefektifan kebijakan subsidi pupuk yang diperoleh dari 120 responden yang menjadi sampel dari penelitian ini. Rata-rata dari keempat indikator yang tepat dan tidak tepat masing-masing sebesar 47,31
65
persen dan 52,70 persen. Dari hasil persentase keseluruhan indikator dapat terlihat bahwa persentase yang menyatakan tepat lebih kecil daripada yang tidak tepat. Selain itu, persentase ketepatan juga tidak lebih besar dari 80 persen sehingga kebijakan subsidi pupuk dikatakan tidak efektif. Oleh karena itu, perlu adanya perbaikan baik dari segi penyaluran, pengawasan, maupun hal-hal lain yang mendukung terwujudnya kebijakan subsidi pupuk yang efektif. Perbaikan terutama dalam hal harga yang diterima petani seharusnya sama dengan HET yang di dapat dari kios resmi yang berada di dalam desa. Hal ini yang banyak diharapkan oleh responden. Alasan lain dari responden untuk tetap mengharapkan adanya program kebijakan subsidi pupuk akan ditunjukkan pada gambar berikut ini. Alasan Responden tentang Perlunya Keberlanjutan Program Subsidi Pupuk Harga Pupuk Non Subsidi Mahal
4,20%
Kebutuhan Pupuk Banyak
32,17%
32,17%
Modal Petani Terbatas 20,98%
Laba Produksi Sedikit 10,49% Lain-lain
Gambar 5.5. Alasan Responden tentang Perlunya Subsidi Pupuk
Berdasarkan Gambar 5.5 dapat diketahui bahwa terdapat beberapa alasan responden tetap mengharapkan adanya kebijakan subsidi pupuk. Alasan terbesar responden tetap menginginkan adanya subsidi pupuk adalah karena harga pupuk
66
non subsidi mahal dan laba produksi sedikit dengan presentase yang sama sebesar 32,17 persen. Harga pupuk non subsidi mahal seperti pada harga pupuk KCL padahal jenis pupuk ini masih banyak dibutuhkan oleh responden. Alasan laba produksi sedikit yang membuat responden tetap menginginkan adanya subsidi pupuk karena semakin tingginya harga pupuk. Harga pupuk yang tinggi karena kebijakan subsidi pupuk yang masih tidak efektif sehingga harga pupuk bersubsidi yang seharusnya sama dengan HET tetapi pada kenyataannya harga yang diperoleh responden adalah lebih tinggi dari HET. Tingginya harga pupuk juga mempengaruhi biaya produksi responden yang juga akan semakin meningkat. Hal ini juga tidak diimbangi dengan peningkatan harga pembelian gabah sehingga pendapatan yang diperoleh responden tidak sebanding dengan biaya produksi yang dikeluarkan mereka. Modal petani terbatas menjadi alasan selanjutnya yang membuat responden menginginkan adanya kebijakan subsidi pupuk yaitu sebesar 20,98 persen. Modal petani yang terbatas sehingga tidak bisa membeli pupuk pada kios resmi yang biasanya jauh dari desa dan membutuhkan biaya transportasi. Alasan selanjutnya adalah kebutuhan pupuk responden yang banyak. Kebutuhan pupuk responden yang banyak sehingga membutuhkan banyak pengeluaran untuk kebutuhan pupuk sehingga dibutuhkan subsidi pupuk untuk dapat mengurangi pengeluaran responden. Alasan terakhir responden sebesar 4,20 persen adalah alasan lain-lain seperti kualitas pupuk bersubsidi yang bagus, responden yang kebanyakan petani kecil membeli pupuk secara eceran sehingga harga lebih mahal, serta subsidi pupuk dapat menunjang taraf hidup petani.
67
Berdasarkan berbagai alasan yang dijelaskan responden tentang masih pentingnya subsidi pupuk maka pemerintah harus memberikan perhatiannya pada kebijakan subsidi pupuk ini. Selain itu, telah diketahui bahwa hasil dari penelitian ini yang masih mengkategorikan bahwa kebijakan subsidi pupuk yang belum efektif sehingga perlu adanya perbaikan dari pemerintah untuk mengefektifkan kebijakan ini. Hal ini perlu dilakukan oleh pemerintah agar produksi padi meningkat karena pupuk merupakan salah satu faktor yang menentukan tingkat produksi padi.
5.3. Pengaruh Subsidi Pupuk terhadap Produksi Padi Kebijakan subsidi pupuk merupakan salah satu dari kebijakan fiskal yang bertujuan untuk membantu terpenuhinya kebutuhan pupuk pada petani. Ruang lingkup pada penelitian ini adalah ingin melihat pengaruh adanya subsidi pupuk terhadap produksi padi petani di Kabupaten Bogor. Selain itu, juga dilihat hubungan antara harga pupuk yang diterima petani terhadap permintaan pupuk petani sehingga pada akhirnya akan diketahui seberapa penting pemenuhan kebutuhan pupuk pada petani. Pengaruh pertama dapat dilihat dari hubungan antara harga dengan jumlah atau permintaan pupuk. Seperti diketahui bahwa harga pupuk bersubsidi di tingkat petani telah ditentukan oleh pemerintah berupa harga eceran tertinggi (HET) untuk beberapa jenis pupuk, seperti urea, TSP/SP-36, ZA, NPK, dan organik. Dalam penelitian ini pupuk yang digunakan oleh responden adalah jenis pupuk urea, TSP/SP-36, NPK, dan KCL. Namun, dalam melihat pengaruh permintaan
68
kebutuhan pupuk di tingkat petani menggunakan harga pupuk urea dan TSP sebagai variabel yang mewakili harga pupuk. Pemerintah telah menetapkan HET pada masing-masing jenis pupuk meskipun demikian seringkali terjadi perbedaan harga yang diterima petani karena adanya beberapa faktor, seperti biaya transportasi, biaya pengemasan, dan rendahnya pengetahuan petani tentang kios resmi dari pemerintah yang menjual pupuk bersubsidi. Dari variasi harga yang diterima oleh petani akan dilihat respon petani terhadap permintaan pupuk. Variabel independen yang digunakan dalam pengujian ini adalah variabel harga urea, harga TSP, harga padi, dan luas lahan. Dalam model ini hanya memilih dua jenis pupuk yaitu urea dan TSP dikarenakan kedua jenis pupuk tersebut yang sering digunakan oleh responden. Pengujian ini menggunakan model regresi linear berganda dengan menggunakan Eviews 6 untuk membantu dalam pengolahan datanya. Hasil dari regresi ini akan ditunjukan sebagai berikut. Tabel 5.9. Hasil Regresi Jumlah Permintaan Pupuk Urea Variabel C LnHargaurea LnHargaTSP LnHargapadi LnLuaslahan R-squared Adjusted R-squared F-statistic Keterangan: taraf nyata 10% Sumber: Lampiran 2
Koefisien -46,88433 -0,985849 2,104178 5,039370 0,394968 0,694425 0,666000 24,42960
Probabilitas 0,0095 0,0907 0,0765 0,0004 0,0003
0,0000
Uji statistika berdasakan Tabel 5.9 diperoleh nilai koefisien determinasi (R2) yang diperoleh sebesar 0,694425 yang berarti bahwa 69,44 persen keragaman variabel dependen atau jumlah pupuk dapat dijelaskan oleh variasi-variasi
69
variabel independennya yaitu harga pupuk. Selain itu, sisanya sebesar 30,56 persen dijelaskan oleh variabel-variabel lain diluar model. Berdasarkan nilai probabilitas F-statistik yaitu sebesar 0,0000 yang lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan yaitu 0,10 (10 persen) yang berarti bahwa variabel independen berpengaruh nyata terhadap variabel dependen sehingga model penduga tersebut layak untuk menduga parameter yang ada dalam fungsi. Dari Tabel 5.9 dapat dilihat juga hasil uji t berdasarkan nilai probabilitas dari variabel independennya yaitu lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan yaitu 0,10 (10 persen). Artinya, variabel independen berpengaruh nyata dan signifikan terhadap permintaan pupuk. Dilihat dari nilai elastisitasnya, permintaan pupuk urea mempunyai pengaruh tidak responsif terhadap perubahan harga urea yang dilihat dari nilai koefisien dari harga pupuk yang bernilai -0,985849. Artinya, harga pupuk urea mempunyai kecenderungan inelastis sehingga ketika terjadi perubahan dari tingkat harga pupuk urea tidak berpengaruh besar terhadap perubahan permintaan jumlah pupuk urea oleh petani. Petani mempunyai pertimbangan untuk menggunakan jenis pupuk dengan jumlah sesuai dengan dosis atau takaran pada setiap luas lahannya walaupun harga pupuk berubah karena perubahan jumlah pupuk yang digunakan pada setiap luas lahannya akan berpengaruh terhadap jumlah produksi padi mereka. Selain dilakukan uji stastistik, dalam penelitian juga dilakukan pengujian ekonometrika dari model. Pengujian ini dilakukan untuk melihat bahwa model terbebas dari gejala autokorelasi, heteroskedastisitas, dan multikolinearitas
70
dimana model harus sesuai dengan asumsi klasik. Pengujian dari masing-masing asumsi klasik tersebut akan dijelaskan pada tabel berikut ini. Tabel 5.10. Uji Asumsi Klasik Asumsi Kriteria Normalitas Prob (0,352179)>α Heteroskedastisitas Prob (0,7518)>α Autokorelasi Prob (0,1048)>α nilai antar variabel independen < Multikolinearitas 0,8 Sumber: Lampiran 3, 4, 5, 6
Kesimpulan Model terdistribusi normal Homoskedastisitas Tidak ada autokorelasi Tidak ada multikolinearitas
Berdasarkan Tabel 5.10 ditunjukkan hasil uji asumsi klasik untuk regresi jumlah permintaan pupuk. Pengujian pertama adalah pengujian terhadap asumsi normalitas. Nilai probabilitas yang didapatkan yaitu 0,352179 yang lebih besar dari nilai taraf nyata yang digunakan yaitu 0,10 (10 persen). Dari nilai ini maka dapat ditunjukkan bahwa model terdistribusi normal. Pada Tabel 5.10 juga dapat ditunjukkan hasil pengujian terhadap asumsi heteroskedastisitas. Uji asumsi heteroskedastisitas dilakukan untuk mengetahui ragam sisaan sama atau berbeda. Hipotesisnya adalah homoskedastisitas untuk H0, sedangkan heteroskedastisitas untuk H1. Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa nilai probabilitas yang didapatkan sebesar 0,7518. Nilai probabilitas ini lebih besar dari taraf nyata yang digunakan yaitu 0,10 (10 persen) sehingga terima H0 yang artinya asumsi homoskedastisitas terpenuhi dalam model ini. Pengujian asumsi klasik selanjutnya adalah uji asumsi autokorelasi. Pengujian ini dilakukan untuk melihat sebaran dari sisaan yaitu sisaan menyebar bebas atau tidak. Uji asumsi autokorelasi dalam penelitian ini menggunakan Breusch-Goldfrey Serial Correlation LM Test. Hipotesis yang digunakan adalah
71
H0 untuk tidak adanya autokorelasi, sedangkan H1 untuk adanya autokorelasi. Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa nilai probabilitas adalah 0,1048 yang lebih besar dari taraf nyata 0,10 (10 persen) sehingga terima H0. Dari hasil ini maka dapat dikategorikan bahwa tidak ada autokorelasi dalam model tersebut sehingga tidak ada pelanggaran autokorelasi. Pengujian asumsi klasik terakhir yaitu pengujian multikolinearitas. Pengujian tersebut dilakukan dengan melihat nilai antar variabel independennya. Nilai antar variabel independennya lebih kecil dari 0,8. Dari hasil nilai ini dapat dikategorikan bahwa model tidak terdapat gejala adanya korelasi parsial antar peubah bebas. Berdasarkan ketiga pengujian asumsi klasik di atas dimana tidak ada pelanggaran asumsi klasik sehingga model regresi dapat dikategorikan baik. Oleh karena itu, didapatkan model jumlah pupuk yang dirumuskan dalam persamaan sebagai berikut. LnPermintaanurea= -46,88433 – 0,985849LnHargaurea + 2,104178LnHargaTSP + 5,039370LnHargapadi + 0,394968LnLuasLahan ....... (5.1) Berdasarkan hasil dari regresi diperoleh model hubungan antara jumlah pupuk urea dengan harga urea, harga TSP, harga padi, dan luas lahan. Dalam persamaan di atas dapat dilihat bahwa harga padi dan luas lahan mempunyai hubungan yang positif terhadap jumlah pupuk. Hal ini berarti bahwa apabila terjadi peningkatan harga padi dan luas lahan sebesar 1 persen, maka akan meningkatkan jumlah permintaan pupuk yang masing-masing sebesar 5,039370 dan 0,394968 persen (ceteris paribus). Selain itu, juga dapat dilihat hubungan antara harga TSP terhadap permintaan urea. Dari persamaan tersebut dapat dilihat bahwa harga TSP mempunyai pengaruh yang positif terhadap permintaan urea
72
sebesar 2,104178. Hal ini berarti bahwa apabila terjadi peningkatan harga TSP sebesar 1 persen maka akan terjadi peningkatan juga pada permintaan urea sebesar 2,104178 persen (ceteris paribus). Dari hasil ini dapat dilihat bahwa pupuk TSP dan urea mempunyai hubungan subtitusi dimana jika harga TSP naik maka permintaan urea akan semakin meningkat. Berdasarkan persamaan 5.1 juga dapat dilihat bahwa harga pupuk urea mempunyai sifat inelastis. Hal ini mengindikasikan bahwa apabila terdapat perubahan harga pupuk urea tidak akan berpengaruh besar terhadap perubahan permintaan pupuk atau jumlah pupuk yang diperlukan oleh petani. Namun, walaupun perubahan harga pupuk tidak akan berpengaruh besar terhadap petani dalam menggunakan pupuk, kebijakan subsidi pupuk akan berpengaruh terhadap petani dalam hal pengeluaran biaya produksinya. Dari hasil persamaan ini maka dapat disimpulkan bahwa efektivitas kebijakan subsidi pupuk mempunyai peran yang penting dalam pemenuhan kebutuhan pupuk di tingkat petani karena setiap terjadi perubahan harga di tingkat petani akan mempengaruhi pengeluaran biaya pupuk oleh petani. Pengaruh kedua adalah pengaruh subsidi pupuk terhadap produksi padi. Faktor-faktor yang digunakan dalam mempengaruhi produksi padi selain jumlah pupuk adalah luas lahan, benih, dan jumlah tenaga kerja (Sugiarto, 2008). Selain itu, juga dimasukkan dua variabel dummy, yaitu dummy benih, dan dummy efektivitas harga. Pengujian ini dilakukan untuk melihat seberapa besar dari masing-masing faktor terutama jumlah pupuk mempengaruhi produksi padi.
73
Pengujian ini dilakukan dengan model regresi berganda dengan menggunakan Eviews 6. Hasil dari penelitian ini akan ditunjukkan pada tabel berikut ini. Tabel 5.11. Hasil Estimasi Produksi Padi Variabel C LnLahan LnBenih LnBuruh LnPupuk Dummy1 Dummy2 R-squared Adjusted R-squared F-statistic Keterangan: taraf nyata 10% Sumber: Lampiran 7
Koefisien 2,500931 0,361690 0,226735 0,133148 0,080678 0,264189 0,240219 0,852096 0,844243 108,5018
Probabilitas 0,0000 0,0000 0,0027 0,0935 0,0676 0,0001 0,0077
0,0000
Berdasarkan Tabel 5.11 yang merupakan uji statistika, diperoleh nilai koefisien determinasi sebesar 0,852096 yang artinya 85,20 persen keragaman produksi padi sebagai variabel dependen dapat dijelaskan oleh variabel-variabel independennya yaitu luas lahan, benih, tenaga kerja, pupuk, dummy benih, dan dummy efektivitas harga. Sisanya yaitu sebesar 14,80 persen dijelaskan oleh variabel-variabel lain di luar model. Berdasarkan nilai probabilitas F-statistik sebesar 0,0000 yang lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan yaitu 0,10 (10 persen). Hal ini berarti bahwa variabel independen dalam model secara bersamasama berpengaruh nyata terhadap variabel dependen. Hasil lain adalah hasil dari uji t yang dapat dilihat melalui nilai probabilitas dari masing-masing variabel independennya. Variabel luas lahan, benih, tenaga kerja, pupuk, dummy benih, dan dummy efektivitas harga mempunyai nilai probabilitas lebih kecil dari taraf
74
nyata yang digunakan yaitu 0,10 (10 persen) yang berarti variabel-variabel independen tersebut berpengaruh nyata terhadap produksi padi. Selain dilakukan uji statistika juga dilakukan uji ekonometrika untuk melihat model harus sesuai dengan asumsi klasik yang terbebas dari gejala multikolinearitas, heteroskedastisitas, dan autokorelasi. Hasil dari pengujian asumsi klasik tersebut akan ditunjukkan pada tabel berikut ini. Tabel 5.12. Uji Asumsi Klasik Asumsi
Kriteria
Kesimpulan Model tidak terdistribusi normal Homoskedastisitas Tidak ada autokorelasi
Normalitas Prob (0,00098)<α Heteroskedastisitas Prob (0,2916)>α Autokorelasi Prob (0,1241)>α nilai antar variabel independen < Multikolinearitas 0,8 Sumber: Lampiran 8, 9, 10, 11
Tidak ada multikolinearitas
Berdasarkan Tabel 5.12 dapat dilihat hasil dari pengujian asumsi klasik. Pengujian normalitas dilakukan untuk melihat apakah error term terdistribusi normal atau tidak terdistribusi normal. Hipotesis yang digunakan adalah galat atau error term menyebar normal untuk H0, sedangkan H1 adalah galat tidak menyebar normal. Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa nilai probabilitas sebesar 0,0009 yang lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan yaitu 0,10 (10 persen) sehingga tolak H0. Dari nilai probabilitas ini dapat dikategorikan bahwa model tidak terdistribusi normal. Namun, hal ini dapat diabaikan karena tidak berpengaruh terhadap pendugaan koefisien, dimana koefisien tetap tidak bias dan konsisten. Pengujian heteroskedastisitas.
kedua
dalam
Model
yang
uji
asumsi
baik
klasik
adalah
jika
adalah
uji
asumsi
memenuhi
asumsi
75
homoskedastisitas dimana ragam sisaan sama atau homogen. Pengujian heteroskedastisitas dilakukan dengan menggunakan Uji Harvey. Hipotesis yang digunakan
adalah
homoskedastisitas
untuk
H 0,
sedangkan
H1
untuk
heteroskedastisitas. Hasil dari Uji Harvey tersebut adalah nilai probabilitas adalah sebesar 0,2916 yang lebih besar dari taraf nyata yang digunakan yaitu 0,10 (10 persen) sehingga terima H0. Dari nilai probabilitas ini maka dapat berarti bahwa terpenuhinya asumsi homoskedastisitas. Pengujian asumsi klasik selanjutnya adalah pengujian autokorelasi. Pengujian autokorelasi ini menggunakan Breusch-Godlfrey Serial Correlation LM Test untuk melihat sisaan menyebar bebas atau tidak menyebar bebas. Model yang baik adalah ketika model tidak ada autokorelasi dimana sisaan menyebar bebas. Hipotesis yang digunakan adalah tidak ada autokorelasi untuk H0, sedangkan ada autokorelasi untuk H1. Berdasarkan tabel tersebut didapatkan nilai probabilitas sebesar 0,1241 yang lebih besar dari nilai taraf nyata yang digunakan yaitu 0,10 (10 persen) sehingga terima H0. Hal ini berarti bahwa tidak ada autokorelasi dalam model ini. Pengujian terakhir dalam uji asumsi klasik adalah pengujian adanya korelasi parsial antar peubah bebas atau multikolinearitas. Model regresi yang baik adalah tidak adanya hubungan linear antar peubah bebas dalam model. Apabila ada hubungan linear antar peubah bebasnya maka dapat dikatakan bahwa terdapat multikolinearitas dalam model. Pengujian tersebut dilakukan dengan melihat nilai antar variabel independennya. Nilai antar variabel independennya lebih kecil dari 0,8 atau lebih kecil dari nilai koefisien determinasinya yaitu
76
0,852096. Dari hasil nilai ini dapat dikategorikan bahwa model tidak terdapat gejala adanya korelasi parsial antar peubah bebas. Berdasarkan keempat pengujian yang telah dilakukan maka model ini dapat dikategorikan sebagai model yang baik sehingga produksi padi dapat dirumuskan ke dalam persamaan regresi sebagai berikut. LnProduksi=
2,500931 + 0,361690LnLuaslahan + 0,080678LnPupuk +0,133148LnBuruh + 0,226735LnBenih + 0,264189Dummy1 +0,240219Dummy2 .................................................................. (5.2)
Dari persamaan di atas dapat dilihat bahwa luas lahan mempunyai pengaruh positif sebesar 0,361690 terhadap produksi padi. Setiap terjadi peningkatan luas lahan sebesar 1 persen maka akan meningkatkan produksi padi sebesar 0,361690 persen, dimana variabel lain dianggap tetap (ceteris paribus). Hubungan luas lahan dengan produksi padi sesuai dengan hipotesis awal bahwa peningkatan luas lahan akan meningkatkan produksi padi. Variabel jumlah pupuk mempunyai hubungan yang positif sebesar 0,080678 terhadap produksi padi. Hal ini berarti bahwa setiap terjadi peningkatan 1 persen pada jumlah pupuk maka akan meningkatkan produksi padi sebesar 0,080678 persen dimana variabel lain dianggap tetap (ceteris paribus). Hubungan antara jumlah pupuk dengan produksi padi sesuai dengan hipotesis awal bahwa ketika terjadi peningkatan jumlah pupuk akan meningkatkan produksi padi. Oleh karena itu, kebijakan subsidi pupuk penting untuk membantu terpenuhinya jumlah pupuk di tingkat petani. Seperti diketahui bahwa tingkat efektivitas kebijakan subsidi pupuk dalam penelitian ini masih dikategorikan belum memenuhi kriteria efektif sehingga juga mempengaruhi jumlah pupuk yang dipergunakan oleh
77
responden. Tingkat efektivitas kebijakan subsidi pupuk yang masih dikategorikan tidak efektif juga membuat pengaruh pupuk terhadap produksi padi lebih rendah daripada variabel-variabel lain. Selain itu, subsidi pupuk juga mempengaruhi tingkat kesejahteraan responden karena apabila harga pupuk semakin meningkat maka biaya untuk produksi padi juga semakin meningkat. Apabila hal ini tidak diikuti dengan peningkatan harga pembelian gabah maka tingkat pendapatan petani akan berkurang. Variabel lain yang mempengaruhi produksi padi adalah variabel buruh atau tenaga kerja. Variabel tenaga kerja mempunyai pengaruh positif sebesar 0,133148 terhadap produksi padi. Hal ini berarti setiap terjadi peningkatan 1 persen pada tenaga kerja akan meningkatkan 0,133148 persen produksi padi dimana variabel lain dianggap tetap (ceteris paribus). Hasil ini sesuai dengan hipotesis awal bahwa setiap terjadi peningkatan tenaga kerja akan meningkatkan produksi padi. Variabel lain yang mempengaruhi produksi padi adalah variabel jumlah benih. Hipotesis awalnya adalah semakin banyak jumlah benih yang digunakan maka akan semakin besar produksi padi dimana variabel lain dianggap tetap (ceteris paribus). Hasil dari regresi ini adalah variabel benih mempunyai pengaruh positif sebesar 0,226735 terhadap produksi padi. Hal ini berarti bahwa setiap peningkatan jumlah benih sebesar 1 persen maka akan meningkatkan produksi padi sebesar 0,226735 persen yang sesuai dengan hipotesis awalnya. Variabel dummy yang dimasukkan dalam persamaan produksi padi adalah variabel dummy dari benih. Variabel dummy benih dimasukkan untuk mengetahui
78
jenis benih yang mempunyai kualitas yang bagus untuk mempengaruhi produksi padi dan sering digunakan oleh responden. Dummy bernilai 1 untuk jenis benih ciherang, sedangkan dummy bernilai 0 untuk jenis benih selain ciherang. Pada hasil tersebut diperoleh nilai dummy benih sebesar 0,264189. Hasil nilai dummy ini berarti bahwa benih padi ciherang mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap peningkatan produksi padi dibandingkan dengan penggunaan benih padi dengan jenis selain ciherang. Jadi, apabila terdapat peningkatan penggunaan padi jenis ciherang sebesar 1 persen akan meningkatkan produksi padi sebesar 0,264189 persen. Variabel terakhir yang dimasukkan dalam persamaan produksi padi adalah variabel dummy efektivitas harga. Dummy efektivitas harga pupuk dimasukkan dalam persamaan ini untuk melihat pengaruh efektivitas subsidi pupuk terutama efektivitas harga dalam kaitannya dengan produksi padi. Efektivitas harga dipilih sebagai variabel yang mewakili efektivitas subsidi pupuk karena kebijakan subsidi pupuk erat kaitannya dengan ketepatan harga eceran tertinggi (HET) pupuk bersubsidi yang diterima responden. Hipotesis awalnya adalah ketika responden memperoleh harga yang tepat atau sama dengan HET maka responden dapat menggunakan pupuk sesuai dengan dosis yang digunakan tanpa mengganti atau mengurangi jumlah pupuk yang digunakan untuk setiap luas lahannya. Dengan adanya hal ini maka penggunaan pupuk dapat terserap optimal sehingga juga dapat meningkatkan produksi padi. Hasil dari persamaan regresi tersebut dapat terlihat bahwa dummy efektivitas harga mempunyai hubungan yang positif sebesar 0,240219 produksi padi. Hal ini berarti bahwa ketika terjadi peningkatan
79
responden yang mendapatkan pupuk dengan tepat harga sebesar 1 persen maka dapat meningkatkan produksi padi sebesar 0,240219 persen. Dengan adanya hal ini terlihat bahwa efektivitas kebijakan subsidi pupuk penting terhadap peningkatan produksi padi. Faktor-faktor yang digunakan dalam penelitian ini mempunyai hubungan yang positif dan signifikan terhadap peningkatan produksi padi. Apabila petani kesulitan dalam memperoleh faktor-faktor produksi tersebut maka akan langsung berpengaruh terhadap produksi padi. Oleh karena itu, pemerintah harus membantu terpenuhinya kebutuhan faktor-faktor produksi pada petani. Program kebijakan yang telah dilakukan pemerintah dalam mendukung produksi padi adalah kebijakan subsidi benih dan subsidi pupuk. Pada penelitian yang membahas tentang efektivitas kebijakan subsidi pupuk dimana kebijakan subsidi pupuk masih dikategorikan tidak efektif sehingga juga berpengaruh terhadap penggunaan pupuk dan produksi padi. Adanya hal ini maka diharapkan pemerintah melakukan evaluasi terhadap penyaluran subsidi pupuk di tingkat petani agar kebutuhan pupuk di tingkat petani terpenuhi sehingga produksi padi meningkat dan kesejahteraan petani juga meningkat.
80
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1.
Kebijakan subsidi pupuk diukur dalam empat indikator tepat, yaitu harga, tempat, waktu, dan jumlah. Berdasarkan keempat indikator tersebut maka kebijakan subsidi pupuk belum dapat dikategorikan efektif dikarenakan masih adanya masalah pada mekanisme distribusi pupuk pada Lini IV (kios resmi).
2.
Berdasarkan hasil regresi permintaan pupuk urea dapat diperoleh bahwa variabel harga urea berpengaruh negatif dan sifnifikan terhadap permintaan urea sehingga apabila terjadi peningkatan pada harga urea maka akan terjadi penurunan terhadap permintaan pupuk urea. Variabel harga TSP, harga padi, dan luas lahan mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap permintaan pupuk urea.
3.
Berdasarkan hasil regresi produksi padi dapat diperoleh bahwa variabel luas lahan, pupuk, tenaga kerja, benih atau bibit, dummy benih, dan dummy efektivitas harga mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap produksi padi. Pengaruh positif setiap variabel terhadap produksi padi ini berarti bahwa apabila terdapat kenaikan setiap variabel sebesar 1 persen maka akan meningkatkan produksi padi dengan persentase sebesar koefisien masing-masing variabel dalam persamaan regresi. Hal ini berarti bahwa semakin efektif kebijakan subsidi pupuk maka produksi padi juga akan semakin meningkat.
81
6.2. Saran Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh, maka saran yang dapat direkomendasikan untuk peningkatan efektivitas kebijakan subsidi pupuk adalah sebagai berikut: 1.
Pemerintah harus memperbaiki mekanisme penyaluran subsidi pupuk karena subsidi pupuk masih belum dikategorikan efektif. Perbaikan ini terutama dalam kaitannya dengan tepat harga, jumlah, dan tempat dimana sebaiknya pemberian subsidi pupuk lebih dekat kepada sasaran atau target penerima subsidi pupuk. Perbaikan mekanisme penyaluran penting terkait adanya harga yang tidak sesuai dengan HET dikarenakan masih adanya masalah pada Lini IV (kios resmi) dimana masih berada di luar desa sehingga membutuhkan biaya transportasi. Sebaiknya kios resmi berada di dalam desa sehingga mempermudah petani untuk membeli pupuk bersubsidi. Selain itu, juga diperlukan adanya pemberitahuan kepada petani tentang keberadaan kios resmi secara jelas sehingga petani bisa membedakan antara kios resmi pupuk bersubsidi dengan kios pupuk yang tidak bersubsidi.
2.
Kebijakan subsidi pupuk masih harus dilaksanakan karena berdasarkan hasil penelitian bahwa pupuk mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap produksi padi. Selain itu, adanya hubungan negatif dan signifikan antara harga pupuk dengan permintaan pupuk yang mengindikasikan bahwa masih diperlukan kebijakan subsidi pupuk dengan penentuan HET pupuk agar harga pupuk masih dapat dijangkau oleh petani. Kebijakan subsidi pupuk juga harus disertai dengan peran dinas pertanian dalam memberikan
82
pembinaan tentang pemupukan yang berimbang agar dapat meningkatkan penggunaan pupuk secara optimal. Selain itu, faktor-faktor lain seperti tenaga kerja, lahan, dan benih juga harus lebih diperhatikan kualitasnya oleh petani agar faktor-faktor tersebut dapat memberikan peningkatan terhadap produksi padi.
DAFTAR PUSTAKA
Asosiasi Produsen Pupuk Indonesia (APPI). 2011. Harga Eceran Tertinggi Pupuk di Indonesia 1988-2010. APPI, Jakarta. Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bogor. 2011. Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Bogor Tahun 2002-2005. BPS, Kabupaten Bogor. Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Barat. 2010. Jawa Barat dalam Angka 2010. BPS, Jakarta. Badan Pusat Statisitik (BPS). 2010. Nota Keuangan dan APBN 2010. BPS, Jakarta. Badan Pusat Statisitik (BPS). 2010. Kabupaten Bogor dalam Angka 2010. BPS, Jakarta. Badan Pusat Statistik (BPS). 2008. Struktur Ongkos Usaha Tani Padi 2008. BPS, Jakarta. Cholid, I. 2011. “Penyelewengan Pupuk Bersubsidi Diungkap Pattiro” [Jurnal Berita Online]. http://jurnalberita.com/201104/penyelewengan-pupukbersubsidi-diungkap-pattiro.htm [26 April 2011] Daniel, M. 2004. Pengantar Ekonomi Pertanian. Bumi Aksara, Jakarta. Darwis, V. dan A. R. Nurmanaf. 2004. Kebijakan Distribusi, Tingkat Harga dan Penggunaan Pupuk di Tingkat Petani. Forum Penelitian Agro Ekonomi, 22: 63-73. Darwis, V. dan C. Muslim. 2007. Revitalisasi Kebijakan Sistem Distribusi Pupuk dalam Mendukung Ketersediaan Pupuk Bersubsidi di Tingkat Petani. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan, 15: 141-168. Departemen Keuangan Republik Indonesia. 2010. Data Pokok APBN 2005-2010. Departemen Keuangan, Jakarta. Departemen Perindustrian Kabupaten Bogor. 2007. Laporan Akhir Kajian Pengembangan Kompetensi Inti Daerah. PT. Multi Area Conindo, Kabupaten Bogor. Departemen Pertanian. 2010. Data Perkembangan Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Padi Nasional. Departemen Pertanian, Jakarta.
84
Departemen Pertanian. 2010. Sasaran Luas Tanam Padi Sawah Kabupaten Bogor Tahun 2010. Departemen Pertanian, Jakarta. Dinas Pertanian Kabupaten Bogor. 2010. Keputusan Bupati Bogor. Dinas Pertanian, Kabupaten Bogor. Dinas Pertanian Kabupaten Bogor. 2010. Peraturan Bupati Bogor Nomor 13 Tahun 2010. Dinas Pertanian, Kabupaten Bogor. Firdaus, M., L. M. Baga, dan P. Pratiwi. 2008. Swasembada Beras dari Masa ke Masa (Telaah efektivitas Kebijakan dan Perumusan Strategi Nasional). IPB Press, Bogor. Handoko, R. dan P. Patriadi. 2005. “Evaluasi Kebijakan Subsidi NonBBM”. Kajian Ekonomi dan Keuangan, 9: 42-64. Hutagaol, P. dan A. Asmara. 2008. “Analisis Efektivitas Kebijakan Publik Memihak Masyarakat Miskin: Studi Kasus Pelaksanaan Program Raskin di Provinsi Jawa Barat pada Tahun 2007”. Jurnal Agro Ekonomi, 26: 145-165. Ilham, N. 1999. “Dampak Kebijakan Tataniaga Pupuk terhadap Peran Koperasi Unit Desa sebagai Distributor Pupuk” [Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian]. http://ejournal.ac.id/abstrak%285%-29%20soca-ilham-dampak.pdf [23 Januari 2011] Mahananto, S. S., dan C. F. Ananda. 2009. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Padi Studi Kasus di Kecamatan Nogosari, Boyolali, Jawa Tengah. Wacana, 12: 179-191. Nicholson, W. 1991. Teori Mikroekonomi. Edisi ke-5. Daniel Wirajaya [penerjemah]. Binarupa Aksara, Jakarta. Purwono dan H. Purnamawati. 2007. Budidaya 8 Jenis Tanaman Pangan Unggul. Penebar Swadaya, Depok. Rachman, B. 2009. “Kebijakan Subsidi Pupuk: Tinjauan terhadap Aspek Teknis, Manajemen, dan Regulasi”. Analisis Kebijakan Pertanian, 7: 131-146. Sari, Y. 2007. Analisis Efektivitas dan Efisiensi Distribusi Raskin [skripsi]. Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan. Sugiarto. 2008. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Produksi Padi Sawah di Kabupaten Dharmasraya [tesis]. Program Pasca Sarjana, Universitas Andalas, Padang.
85
Susila, W. R. 2010. “Kebijakan Subsidi Pupuk: Ditinjau Kembali”. Jurnal Litbang Pertanian, 29: 43-49. Syafa’at, et al. (2007). Kaji Ulang Sistem Subsidi dan Distribusi Pupuk [Makalah Seminar]. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Jakarta. Widjajanta, B. dan A. Widyaningsih. 2007. Ekonomi dan Akuntansi: Mengasah Kemampuan Ekonomi. Citra Praya, Bandung. Yessi, D. 2009. Mekanisme Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi dan Pengaruhnya terhadap Pemenuhan Kebutuhan Pupuk Petani Padi di Kecamatan Lubuk Basung Kabupaten Agam [skripsi]. Fakultas Pertanian, Universitas Andalas, Padang.
LAMPIRAN
87
Lampiran 1 KUESIONER ANALISIS EFEKTIVITAS KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK DAN PENGARUHNYA TERHADAP PRODUKSI PADI (STUDI KASUS : KABUPATEN BOGOR)
Kabupaten
:
Kecamatan
:
Desa
:
Dusun
:
RT/RW
:
Nama Responden
:
Alamat Lengkap rumah tangga
:
Bogor
Nama Pewawancara
:
Tanggal Wawancara
:
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
88
BAGIAN I : DATA RESPONDEN
1. 2. 3. 4.
Nama Responden Pekerjaan Umur Jenis Kelamin
: ………………………………………… : ………………………………………… : ………………………………………… : Laki-laki Perempuan
5. Pendidikan Formal Terakhir :
SD SMP V SMA
Lainnya (……………) V
Tanda tangan responden
(…………………………)
BAGIAN II :KARAKTERISTIK PERTANIAN RESPONDEN salah satu dengan menggunakan tanda cek 1.*Pilih Apakah bapak atau ibu sebagai pencari nafkah utama keluarga?
(Jawaban : 1=Ya, 2=Tidak) 2.
Apakah keluarga bapak atau ibu bekerja di sawah atau kebun? (Jawaban : 1=Ya, 2=Tidak)
3.
Apakah sawah atau kebun miliki bapak atau ibu sendiri? (Jawaban : 1=Ya, 2=Tidak)
4.
Jika ya, berapakah luas sawah milik bapak atau ibu? (Jawaban : ……………. ha)
89
Jika tidak, milik siapakah sawah milik bapak atau ibu? (Jawaban : 1=milik keluarga, 2=milik majikan, 3=Lainnya …………) 5.
Bagaimanakah karakteristik sawah bapak atau ibu? Jelaskan pada tabel berikut ini (selama periode satu tahun terakhir) Jenis Lahan
Sawah
Tegalan
Lainnya
(Hektar)
(Hektar)
(Hektar)
1. Milik sendiri a. Dikerjakan Sendiri b. Disewakan c. Digadaikan d. Lainnya (…………....) 2. Garapan a. Sewa b. Bagi hasil c. Lainnya (……………)
6. Apa jenis komoditas yang ditanam pada lahan bapak atau ibu? Jawaban : 1= Padi 2=Jagung 3=Umbi-umbian 4=Sayuran 5=Lainnya (…………………)
90
7. Berapakah hasil produksi yang ditanam bapak atau ibu (selama periode satu tahun terakhir)? Komoditas
Jumlah
Nilai
(Ku)
(Rp)
Padi DIJUAL DIKONSUMSI TOTAL
8. Berapakah biaya produksi bapak atau ibu (selama periode satu tahun terakhir)? Input Produksi
Jumlah
Nilai
(Ku)
(Rp)
a. Bibit b. Pupuk c. Sewa alat pertanian d. Biaya Pengairan e. Pemeliharaan alat/sarana f. Biaya pengangkutan g. Upah buruh h. Obat-obatan i. Biaya lain TOTAL
9.
Bibit padi jenis apakah yang biasa digunakan untuk produksi? Jawaban :
91
10. Bagaimanakah
pengaruh
penggunaan
bibit
jenis
tersebut
terhadap
produktivitas padi? Jawaban : 1=meningkat, 2=menurun 11. Berapakah jumlah bibit yang disebar pada setiap luas lahan yang dimilki bapak atau ibu? Jawaban : jumlah bibit ................... untuk luas lahan ..........................m2/ha menghasilkan produksi padi ............................... ton (atau satuan lain) 12. Berapakah jumlah tenaga kerja pada setiap lahan? Jawaban : Tahap Penyiapan lahan Jumlah tenaga kerja ............... (orang) Tahap Pemilihan Benih Jumlah tenaga kerja ............... (orang) Tahap Penyemaian
Jumlah tenaga kerja ............... (orang)
Tahap Penanaman
Jumlah tenaga kerja ............... (orang)
Tahap Pemupukan
Jumlah tenaga kerja ............... (orang)
Tahap Pemeliharaan
Jumlah tenaga kerja ............... (orang)
Tahap Panen
Jumlah tenaga kerja ............... (orang)
*untuk luas lahan ............ m2/ha
92
BAGIAN III : PELAKSANAAN PROGRAM SUBSIDI PUPUK Persepsi Responden (Gambaran Umum Subsidi Pupuk) 1.
Apakah bapak/ibu tahu tentang adanya program subsidi pupuk? (Jawaban : 1=ya, 2=tidak)
2.
Jika ya, darimanakah informasi ini diperoleh? Jawaban :
3.
Bapakah bapak/ibu tahu sejak kapan program subsidi pupuk ada? Jawaban : 1= tidak 2= tahu, sejak tahun .....
4.
Sejak kapan keluarga Bapak/Ibu memperoleh subsidi pupuk? (Jawaban: tahun ……….)
5.
Apakah bapak/ibu mengetahui mekanisme penyaluran dari awal sampai pupuk diterima bapak/ibu? (Jawaban : 1=ya, 2=tidak)
6.
Jika ya, bagaimanakah mekanisme penyaluran subsidi pupuk sampai pupuk diterima bapak/ibu? Jawaban :
7.
Apakah kesulitan dalam memperoleh pupuk bersubsidi (dalam hal mekanisme penyaluran, harga yang ditetapkan, aturan pembelian, dll)? Jawaban :
93
Evaluasi Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk Berdasarkan Indikatornya 8.
Coba Bapak/Ibu jelaskan hal-hal berikut mengenai penerimaan pupuk bersubsidi oleh keluarga Bapak/Ibu pada tahun 2009 s/d 2011 ini: Bulan
Jumlah diterima
Harga Pembaya ran
Jenis yang diterima
Waktu Penerimaan (2)
Tempat Pendistribusi an
(1)
(3)
Musim tanam I tahun 2010 Musim tanam II tahun 2010 Musim tanam III tahun 2010 Musim tanam I tahun 2011 Keterangan: 1) 1=urea; 2=ZA; 3=TSP/SP36, 4=NPK; 5=Organik 2) Diisi: 1 = bila diberikan pada bulan bersangkutan; dan 0 = lainnya 3) 1=kantor desa; 2=RW; 3=RT; 4=lainnya, sebutkan ………….
9.
Berapakah rata-rata jumlah pupuk bersubsidi yang diterima bapak atau ibu setiap musim tanamnya? Jawaban : ....................................... kg
10. Apakah dengan adanya pupuk bersubsidi dapat mencukupi kebutuhan pupuk untuk produksi padi bapak/ibu? Jawaban : 1 = cukup membantu kebutuhan pupuk untuk produksi 2 = kurang membantu kebutuhan pupuk untuk produksi
94
11. Jika kurang, berapakah jumlah seharusnya setiap petani mendapatkan pupuk bersubsidi setiap musim tanamnya? Jawaban : 12. Berapa jumlah pupuk bersubsidi yang dibeli setiap satu kali periode pembelian? Jawaban : Jenis pupuk: Urea
................. kg
ZA
................. kg
SP36
................. kg
NPK
.................. kg
Organik .................. kg 13. Berapakah dosis penggunaan pupuk bersubsidi setiap luas lahan? Jawaban : Jumlah .................. kg luas lahan .................. ha 14. Bagaimanakah cara pembayaran dalam pembelian pupuk bersubsidi? Jawaban : 1= tunai 2= non tunai (dalam bentuk .............. ) 15. Jika dilakukan pembayaran dengan non tunai adakah imbalan terhadap penjual (misal bunga)? Jawaban : 1= tidak 2= ada, apabila bunga sebesar ................., bentuk lainnya .............. 16. Apakah bapak/ibu mengetahui HET pupuk bersubsidi yang ditetapkan pemerintah? Jawaban : 1 = ya, 2= tidak
95
17. Jika ya, apakah harga yang ditetapkan sudah sesuai dengan yang diharapkan bapak/ibu? Jawaban : 1=sudah, 2=belum 18. Jika belum, berapakah harga seharusnya yang diperoleh bapak/ibu? Jawaban : ……………(Rp/kg) 19. Apakah
setiap
perubahan
harga
pupuk
mempengaruhi
keputusan
pembelian/penggunaan pupuk untuk produksi padi? Jawaban : 1= ya, 2= tidak Jika ya, alasan : Jika tidak, alasan : 20. Apakah jenis pupuk yang ditetapkan dalam subsidi pupuk sudah sesuai dengan jenis pupuk yang diinginkan bapak/ibu? (Jawaban : 1=sudah, 2=belum) 21. Jika belum, jenis pupuk apa yang perlu ditambahkan dalam subsidi pupuk? Jawaban : 22. Jenis pupuk apakah yang sering digunakan bapak/ibu dalam setiap produksi? Jawaban : 23. Mengapa menggunakan pupuk dengan jenis tersebut? Jawaban : 24. Apakah waktu penyerahan pupuk bersubsidi selalu ada saat dibutuhkan? Jawaban : 25. Kapan biasanya bapak/ibu membeli pupuk bersubsidi? Jawaban :
96
26. Apakah pernah terjadi adanya kelangkaan pupuk?kapan? Jawaban : 27. Dimanakah bapak/ibu biasa membeli pupuk bersubsidi (dalam/luar desa)? Jawaban : 28. Apakah tempat pembelian dirasakan dekat oleh bapak/ibu? Jawaban : 1=belum 2=sudah 29. Jika belum, dimanakah sebaiknya tempat pembelian pupuk bersubsidi? Jawaban : Persepsi Responden tentang Manfaat Program Subsidi Pupuk 30. Apakah dengan adanya pupuk bersubsidi dapat mengurangi biaya produksi padi bapak/ibu? Berapa besar margin/selisih dari sebelum memperoleh pupuk bersubsidi? Jawaban : 1=Ya, 2=Tidak Margin/selisih dari sebelumnya = ………………………………… 31. Apakah dengan adanya pupuk bersubsidi dapat meningkatkan produksi padi bapak/ibu? Jawaban : 32. Apakah bapak/ibu mengetahui anjuran-anjuran pemerintah mengenai penggunaan pupuk yang tepat (misalnya jumlah yang tepat pada setiap luas lahannya)? Jawaban :
97
33. Adakah penyuluh dari dinas pertanian yang memberikan bimbingan atau anjuran-anjuran penggunaan pupuk? Berapa kali dilakukan dalam periode satu tahun? Jawaban : 34. Apakah program subsidi pupuk masih perlu untuk dilaksanakan? Jawaban : 1= ya, 2= tidak 35. Jika ya, alasan mengapa masih perlu dilakukan subsidi? Jawaban : 1= harga pupuk non subsidi mahal 2= kebutuhan pupuk banyak 3= modal petani terbatas 4= laba produksi sedikit (harga pembelian gabah murah) 5=lainnya ................................... *berikan tanda cek pada jawaban yang dipilih (jawaban boleh lebih dari satu) 36. Apabila adanya program subsidi pupuk dikurangi atau dicabut, apakah berpengaruh terhadap produksi padi bapak/ibu? Jawaban : 37. Apakah saran bapak/ibu untuk meningkatkan efektivitas penggunaan subsidi pupuk serta kemudahan akses terhadap pupuk bersubsidi? Jawaban :
98
Lampiran 2 Hasil Regresi Jumlah Permintaan Pupuk Dependent Variable: LNPERMINTAANUREA Method: Least Squares Date: 09/13/11 Time: 05:42 Sample: 1 48 Included observations: 48 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LNP-UREA LNP-TSP LNP-PADI LNLUAS C
-0.985849 2.104178 5.039370 0.394968 -46.88433
0.981359 1.159493 1.300319 0.101529 17.26789
-1.004575 1.814739 3.875487 3.890213 -2.715116
0.0907 0.0765 0.0004 0.0003 0.0095
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.694425 0.666000 0.537321 12.41467 -35.65333 24.42960 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
3.937335 0.929737 1.693889 1.888805 1.767548 1.954273
Lampiran 3 Uji Asumsi Normalitas 8
Series: Residuals Sample 1 48 Observations 48
7 6 5 4 3 2 1 0 -0.8
-0.6
-0.4
-0.2
-0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
9.06e-15 0.037000 0.952980 -0.854252 0.513947 0.037950 1.981249
Jarque-Bera Probability
2.087231 0.352179
99
Lampiran 4 Uji Asumsi Heteroskedastisitas Heteroskedasticity Test: White F-statistic Obs*R-squared Scaled explained SS
2.729406 25.75646 10.14121
Prob. F(14,33) Prob. Chi-Square(14) Prob. Chi-Square(14)
0.0088 0.0278 0.7518
Lampiran 5 Uji Asumsi Autokorelasi Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic Obs*R-squared
2.126164 4.510524
Prob. F(2,41) Prob. Chi-Square(2)
0.1323 0.1048
Lampiran 6 Uji Korelasi Parsial antar Peubah Bebas LND-UREA LND-UREA LNP-UREA LNP-TSP LNP-PADI LNLUAS
1 -0.39206154 0.418082746 0.68127426 0.738697579
LNP-UREA LNP-TSP LNP-PADI -0.39206154 0.4180827 0.68127426 1 -0.204103 -0.33575119 -0.20410325 1 0.13438414 -0.33575119 0.1343841 1 -0.30820264 0.411477 0.53487191
LNLUAS 0.738698 -0.3082 0.411477 0.534872 1
100
Lampiran 7 Hasil Estimasi Produksi Padi Dependent Variable: PRODUKSI Method: Least Squares Date: 09/11/11 Time: 21:07 Sample: 1 120 Included observations: 120 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LNLUASLAHAN LNPUPUK LNTENAGAKERJA LNBENIH DUMMY1 DUMMY2 C
0.361690 0.080678 0.133148 0.226735 0.264189 0.240219 2.500931
0.055624 0.043721 0.097207 0.074026 0.065976 0.088508 0.304090
6.502434 1.845313 1.369739 3.062905 4.004289 2.714087 8.224320
0.0000 0.0676 0.0935 0.0027 0.0001 0.0077 0.0000
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.852096 0.844243 0.320331 11.59514 -30.05829 108.5018 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
7.031870 0.811662 0.617638 0.780242 0.683672 1.675162
Lampiran 8 Uji Asumsi Normalitas 24
Series: Residuals Sample 1 120 Observations 120
20
16
12
8
4
0 -1.0
-0.5
-0.0
0.5
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
1.72e-15 0.005056 0.853060 -1.127674 0.312151 -0.461143 4.384982
Jarque-Bera Probability
13.84393 0.000986
101
Lampiran 9 Uji Asumsi Heteroskedastisitas Heteroskedasticity Test: Harvey F-statistic Obs*R-squared Scaled explained SS
0.827023 5.047861 7.327895
Prob. F(6,113) Prob. Chi-Square(6) Prob. Chi-Square(6)
0.5513 0.5377 0.2916
Lampiran 10 Uji Asumsi Autokorelasi Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic Obs*R-squared
1.999457 4.172820
Prob. F(2,111) Prob. Chi-Square(2)
0.1403 0.1241
Lampiran 11 Uji Korelasi Parsial antar Peubah Bebas PRODUKSI
LAHAN
PUPUK
BURUH
BENIH
1
0.872969
0.683456
0.742624
LAHAN
0.8729688
1
0.64655
PUPUK
0.6834556
0.64655
BURUH
0.7426238
BENIH DUMMY1 DUMMY2
PRODUKSI
DUMMY1
DUMMY2
0.804215
0.54009
0.653886
0.780896
0.768276
0.410316
0.58084
1
0.541682
0.655486
0.354398
0.506183
0.780896
0.541682
1
0.684778
0.350684
0.489757
0.8042154
0.768276
0.655486
0.684778
1
0.413408
0.581859
0.5400903
0.410316
0.354398
0.350684
0.413408
1
0.369381
0.6538857
0.58084
0.506183
0.489757
0.581859
0.369381
1
Lampiran 12 Data Responden Luas Lahan (m2)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
10000 4000 5000 10000 4000 10000 10000 5000 4000 4000 10000 2000 5000 3000 20000 1500 3000 10000
Jenis Ciherang Ciherang Ciherang Ciherang Ciherang Ciherang Ciherang Inpari Ciherang Inpari Ciherang Inpari Inpari Inpari Ciherang Inpari Inpari Ciherang
Benih Jumlah (kg) 25 15 15 18 15 25 25 5 15 10 20 5 10 10 30 5 5 15
Pupuk (kg) 250 125 45 20 250 200 250 50 150 220 350 100 90 100 300 45 50 200
MT.1 5500 1750 2500 2450 2175 2150 1200 1250 2075 1600 4800 1260 1150 1700 8500 700 1150 2350
Produksi (kg) MT.2 MT.3 2000 4500 750 2000 1000 2500 1050 2800 875 2200 850 2100 500 1300 500 1250 875 2300 560 1200 1800 4200 420 840 450 1100 700 1800 3000 6500 250 550 400 850 850 1900
Rata-rata 4000 1500 2000 2100 1750 1700 1000 1000 1750 1120 3600 840 900 1400 6000 500 800 1700
102
No.
No.
Luas Lahan (m2)
19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36
3000 3500 4000 3000 20000 5000 5000 20000 4500 20000 10000 5000 4000 10000 4500 20000 4500 6000
Jenis Ciherang Ciherang Ciherang Ciherang Ciherang Ciherang Ciherang Ciherang Ciherang Ciherang Ciherang Ciherang Inpari Ciherang Ciherang Ciherang Ciherang Ciherang
Benih Jumlah (kg) 10 10 10 10 50 15 15 50 18 60 40 15 10 35 10 12 15 20
Pupuk (kg) 80 120 160 120 800 200 200 800 200 800 300 250 100 150 150 200 100 450
MT.1 1900 1750 2800 1700 11500 3400 2600 11750 2775 11500 7500 1600 950 6950 1700 4250 2150 1900
Produksi (kg) MT.2 MT.3 650 1300 650 1500 1000 2200 600 1300 4000 8500 1200 2600 900 1900 4250 9500 975 2100 4000 8500 3000 7500 600 1400 350 800 2450 5300 600 1300 1750 4500 700 1350 700 1600
Rata-rata 1300 1300 2000 1200 8000 2400 1800 8500 1950 8000 6000 1200 700 4900 1200 3500 1400 1400 103
No.
Luas Lahan (m2)
37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54
10000 1500 3000 3000 40000 22000 1500 12000 3000 1500 6000 12000 3000 20000 4500 3000 3000 5000
Jenis Ciherang Inpari Ciherang Ciherang Ciherang Ciherang Inpari Ciherang Ciherang Inpari Ciherang Ciherang Ciherang Ciherang Ciherang Ciherang Ciherang Ciherang
Benih Jumlah (kg) 20 10 15 10 60 70 5 20 10 7 15 40 5 50 15 10 5 10
Pupuk (kg) 150 50 75 150 1000 700 75 350 125 25 305 500 30 250 150 150 320 250
MT.1 2850 400 1500 2300 10800 8200 765 2700 1400 940 2500 6140 1200 10500 1600 1900 1400 2300
Produksi (kg) MT.2 MT.3 1050 2400 140 300 600 1500 850 2100 3700 8000 3200 7500 260 550 1100 2500 550 1200 300 650 900 2000 2300 5000 420 900 3500 10000 600 1400 700 1600 550 1200 800 1700
Rata-rata 2100 280 1200 1750 7500 6300 525 2100 1050 630 1800 4480 840 8000 1200 1400 1050 1600 104
No.
Luas Lahan (m2)
55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72
10000 6000 750 14000 10000 1000 3000 5000 2000 2000 1200 2000 2500 2000 1500 1000 1000 1500
Jenis Ciherang Ciherang Intani 2 Ciherang Intani 2 Intani 2 Intani 2 Intani 2 Intani 2 Intani 2 Intani 2 Intani 2 Intani 2 Intani 2 Intani 2 Intani 2 Intani 2 Intani 2
Benih Jumlah (kg) 20 10 5 15 15 10 10 8 15 10 15 14 15 5 5 5 5 5
Pupuk (kg) 115 150 30 150 410 50 270 30 75 100 60 55 100 100 70 55 30 100
MT.1 2850 1900 550 1900 2900 650 -
Produksi (kg) MT.2 MT.3 1050 2400 700 1600 260 450 700 1600 1100 2300 300 550 500 500 800 800 800 700 800 500 600 500 600 800
Rata-rata 2100 1400 420 1400 2100 500 500 500 800 800 800 700 800 500 600 500 600 800 105
No.
Luas Lahan (m2)
73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90
5000 1000 5000 4000 1800 500 2000 5000 2000 2000 1000 2000 1500 1800 3000 5000 1000 200
Benih Jenis Jumlah (kg) Ciherang 15 Intani 2 10 Intani 2 15 Intani 2 8 Intani 2 5 Intani 2 10 Intani 2 8 Ciherang 10 Intani 2 8 Intani 2 10 Intani 2 5 Intani 2 10 Intani 2 5 Intani 2 10 Ciherang 10 Intani 2 15 GH (Inpari 8) 5 Ciherang 5
Pupuk (kg) 150 50 200 125 180 34 590 400 20 200 125 60 20 670 35 250 40 30
MT.1 -
Produksi (kg) MT.2 MT.3 1300 800 1200 1000 400 400 800 1300 700 1000 750 800 500 600 1000 1600 500 700
Rata-rata 1300 800 1200 1000 400 400 800 1300 700 1000 750 800 500 600 1000 1600 500 700 106
No.
Luas Lahan (m2)
91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108
5000 3000 2500 5000 7000 50 3000 2000 500 2000 3000 5000 3700 15000 15000 4000 500 6000
Benih Jenis Jumlah (kg) GH (Inpari 8) 8 GH (Inpari 8) 6 GH (Inpari 8) 10 Ciherang 10 Ciherang 12 Ciherang 5 GH (Inpari 8) 10 GH (Inpari 8) 5 GH (Inpari 8) 4 GH (Inpari 8) 10 GH (Inpari 8) 15 GH (Inpari 8) 10 GH (Inpari 8) 16 GH (Inpari 8) 20 GH (Inpari 8) 18 GH (Inpari 8) 10 GH (Inpari 8) 2 GH (Inpari 8) 10
Pupuk (kg) 40 50 50 100 200 100 150 20 23 80 150 175 150 700 1000 100 30 100
MT.1 -
Produksi (kg) MT.2 MT.3 2000 750 600 1000 1500 100 1000 300 300 500 800 1100 1000 5000 4480 1000 350 1000
Rata-rata 2000 750 600 1000 1500 100 1000 300 300 500 800 1100 1000 5000 4480 1000 350 1000 107
No.
Luas Lahan (m2)
109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120
3000 5000 500 3000 5000 3000 700 1000 2000 1000 700 1000
Benih Jenis Jumlah (kg) GH (Inpari 8) 8 GH (Inpari 8) 30 GH (Inpari 8) 2 GH (Inpari 8) 30 GH (Inpari 8) 40 GH (Inpari 8) 20 Ciherang 5 GH (Inpari 8) 11 GH (Inpari 8) 11 GH (Inpari 8) 5 Ciherang 5 Ciherang 5
Pupuk (kg) 50 300 30 50 200 105 50 70 200 100 50 70
MT.1 -
Produksi (kg) MT.2 MT.3 750 1100 300 800 1500 1000 500 500 700 500 500 700
Rata-rata 750 1100 300 800 1500 1000 500 500 700 500 500 700
108