ANALISIS EFEKTIVITAS SUBSIDI PUPUK DAN FAKTORFAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI PADI (Studi Kasus Desa Hambaro, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor)
TINA RAKHMAWATI
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Efektivitas Subsidi Pupuk dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Padi (Studi Kasus Desa Hambaro, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juni 2013
Tina Rakhmawati NIM H44070083
ABSTRAK TINA RAKHMAWATI. Analisis Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Padi (Studi Kasus Desa Hambaro, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor). Dibimbing oleh ADI HADIANTO. Pertanian merupakan aspek penting dalam mendukung keberlangsungan hidup suatu negara.Indonesia sebagai negara agraris, menempatkan pertanian sebagai sektor utama dalam perekonomian nasional. Oleh karena itu, terdapat berbagai kebijakan pemerintah yang mendukung produksi sektor pertanian.Salah satu kebijakan ini adalah kebijakan subsidi pupuk. Kebijakan subsidi pupuk merupakan salah satu kebijakan fiskal yang bertujuan untuk mendukung sektor pertanian dengan memberikan subsidi input berupa penetapan HET pupuk. Kebijakan ini dilaksanakan berdasarkan enam indikator keberhasilan yaitu tepat jenis, jumlah, harga, mutu, tempat, dan waktu.Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis efektivitas kebijakan subsidi pupuk dan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi produksi padi. Pengamatan dan wawancara di lakukan di daerah penghasil padi yaitu Desa Hambaro-Bogor yang di ambil dengan metode purposive sampling. Metode analisis yang digunakan adalah metode deskriptif kuantitatif dan kualitatif, serta metode regresi linear berganda. Hasil penelitian menunjukkan untuk efektivitas kebijakan subsidi pupuk berdasarkan empat indikator, yaitu tepat tempat, tepat harga, tepat waktu, dan tepat jumlah menjelaskan kebijkan subsidi pupuk masih belum dapat dikategorikan efektif. Ketidakefektifan subsidi pupuk ternyata berpengaruh terhadap produksi padi seperti yang ditunjukkan pada hasil regresi. Variable harga pupuk urea mempunyai pengaruh negatif dan signifikan terhadap permintaan pupuk urea. Hal ini berarti jika terjadi peningkatan harga pupuk urea akan menurunkan permintaan terhadap pupuk urea. Selain itu variabel harga padi dan luas lahan mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap permintaan pupk urea. Variabel jumlah tenaga kerja, luas lahan dan dummy benih mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap produksi padi. Hal ini berarti bahwa apabila terjadi perubahan terhadap faktor-faktor tersebut maka akan berpengaruh terhadap produksi padi. Kata kunci: Kebijakan Subsidi Pupuk, Efektivitas, Regresi Linear Berganda
ABSTRACT TINA RAKHMAWATI. Analysis of the Effectiveness of the Fertilizer Subsidy Policy and the Factors that Affect the Production of Rice (Study Case: Hambaro Village, Nanggung District, Bogor Regency). Supervised by ADI HADIANTO Agriculture is an important aspect in favor fora country survival. Indonesia, as an agricultural country places the agriculture as the dominant sector in the national economy. Therefore, there are various government policies that support the production of the agricultural sector. One of those policies is the fertilizer subsidy policy. The fertilizer subsidy policy is fiscal policy which aims to support the agricultural sector by providing the input in subsidies setting HET fertilizer form. This policy is implemented based on six indicators of the success; the right type, quantity, price, quality, place, and time. The purpose of this research is to
analyse the effectiveness of the fertilizer subsidy policy and to determine the factors that affect the production of rice. Observations and interviews in the riceproducing regions had done in the Hambaro-Bogor village which were taken through purposive sampling method. Analytical method used is descriptive quantitative and qualitative methods, and multiple linear regression methods. The results show that the effectiveness of the fertilizer subsidy policy isbased on four indicators, those are names, right place, right price, and punctuality. However, the right amount of fertilizer subsidy policy approves thatit is still not categorized as effective yet. The ineffectiveness of the subsidy of fertilizer effect on rice production turns out as shown on the results of the regression. Variable rates of fertilizer urea have a negative and significant effect on the demand for urea fertilizer. It means that if the urea fertilizer prices increased,the demand for urea fertilizer would be lower. In addition, variable price of rice and land area have a positive and significant impact on the demand for urea fertilizer. Variable amount of price of urea, price of npk, labor, land area of seed and dummy has a positive and significant impact on the production of rice. In other words, the event of changes toward these factors will have an effect on the production of rice. Keywords: Fertilizer Subsidy Policy, Effectiveness, Multiple Linear Regression
ANALISIS EFEKTIVITAS SUBSIDI PUPUK DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI PADI (Studi Kasus Desa Hambaro, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor)
TINA RAKHMAWATI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Judul Skripsi : Analisis Efektivitas Subsidi Pupuk dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Padi (Studi Kasus Desa Hambaro, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor) Nama
: Tina Rakhmawati
NIM
: H44070083
Disetujui oleh
Adi Hadi nto, SP, M.Si \
Pembimbing
Tanggallulus:
2 3 AUG 2013
Judul Skripsi : Analisis Efektivitas Subsidi Pupuk dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Padi (Studi Kasus Desa Hambaro, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor) Nama
: Tina Rakhmawati
NIM
: H44070083
Disetujui oleh
Adi Hadianto, SP, M.Si Pembimbing
Diketahui oleh
Dr.Ir.Aceng Hidayat, MT Ketua Departemen
Tanggal lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah atas segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan.Bidang penelitian yang menjadi fokus penulis adalah kebijakan subsidi pupuk yang berjudul Analisis Efektivitas Subsidi Pupuk dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Padi (Studi Kasus Desa Hambaro,Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor). Penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan kepada:
Kedua orang tua tercinta yaitu Ibu Siti Hasanah dan Bapak Endang Ahdad Rahman, SPbeserta kedua saudara tercinta yaitu Dina Sari Utami dan Ari dian Nugraha yang selalu memberikan didikan, doa, kasih sayang, dan perhatiannya.
Bapak Adi Hadianto, SP, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah memberikanbimbingan serta Bapak Ir. Ujang Sehabudin dan Bapak Rizal Bahtiar, Spi, M.Si selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan masukan dalam penulisan skripsi ini.
APPI, BPS, Kelurahan, Kepala RT/RW dan Kelompok Tani yang telah membantu selama pengumpulan data.
Keluarga besar Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan FEM IPB khususnya dosen-dosen ESL dan rekan-rekan ESL 44 atas semua arahan, masukan, dan bantuannya.
Sahabat terdekat, Hera, Nasya, Devina, Erlinda, Indah, Juwita, Elis, Ali, Tania, Tesna, Titi, Erlin, Fiti, Riani, Intan dan teman-teman satu bimbingan yang selalu memberikan bantuan dan semangat. Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam penyusunan
skripsi ini, sehingga segala saran dan kritik penulis terima.Semoga skripsi ini bermanfaat bagi seluruh pihak yang terkait dan para pembaca. Bogor, Juli 2013 Tina Rakhmawati
DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK ..... ..................................................................................................
i
LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................
iv
PRAKATA........... .............................................................................................
v
DAFTAR TABEL ............................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR . .....................................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................
xi
I.
PENDAHULUAN ...................................................................................
1
1.1
Latar Belakang ................................................................................
1
1.2
Perumusan Masalah.........................................................................
3
1.3
Tujuan Penelitian.............................................................................
7
1.4
Manfaat Penelitian............................................................................
7
1.5
Ruang Lingkup Penelitian ..............................................................
7
TINJAUAN PUSTAKA .........................................................................
8
2.1
Pengertian Subsidi ...........................................................................
8
2.2
Subsidi Pupuk..................................................................................
8
2.3
Pengertian Efektivitas .....................................................................
10
2.4
Analisis Regresi...............................................................................
10
2.5
Penyaluran, Pengadaan, dan Pengawasan Pupuk Bersubsidi ..........
11
2.6
Hasil Penelitian Sebelumnya ...........................................................
13
III. KERANGKA PEMIKIRAN ..................................................................
16
II.
3.1
Kerangka Teoritis............................................................................. 16 3.1.1 Indikator Tingkat Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk.......
16
3.1.2 Teori Produksi.......................................................................
16
3.1.3 Teori Kebijakan Pemerintah dalam Perpupukan...................
19
3.1.4 Subsidi dan Elastis................................................................. 19 3.1.5 Teori Permintaan...................................................................
21
Kerangka Pemikiran Operasional....................................................
22
IV. METODE PENELITIAN.......................................................................
24
Lokasi dan Waktu Penelitian...........................................................
24
3.2
4.1
4.2
Jenis dan Sumber Data..................................................................... 24
4.3
Metode Pengambilan Contoh .......................................................... 24
4.4
Metode dan Prosedur Analisis Data ................................................ 24 4.4.1 Metode Deskriptif Kuantitatif dan Kualitatif ......................... 25 4.4.2 Metode Regresi Linear ........................................................... 27 4.4.2.1 Goodness of Fit.......................................................... 29 4.4.2.2 Uji F.......................................................................... . 29 4.4.2.3 Uji t ............................................................................ 30 4.4.2.4 Uji Kenormalan ......................................................... 30 4.4.2.5 Uji Multikolinearitas ................................................. 30 4.4.2.6 Uji Heteroskedastisitas .............................................. 31 4.4.2.7 Uji Autokorelasi ........................................................ 31
V.
GAMBARAN UMUM ............................................................................ 32 5.1
Kondisi Umum Desa Hambaro ........................................................ 32 5.1.1 Goegrafi.................................................................................. 32 5.1.2 Kependudukan ........................................................................ 33 5.1.3 Keadaan Sosial Ekonomi Masyarakat .................................... 33
5.2
Karakteristik Responden .................................................................. 34 5.2.1 Jenis Kelamin ......................................................................... 34 5.2.2 Usia ........................................................................................ 35 5.2.3 Pendidikan Formal ................................................................. 35 5.2.4 Luas Lahan ............................................................................. 36 5.2.5 Rata-Rata Produksi Padi Responden ...................................... 37 5.2.6 Pengeluaran Input produksi Padi Responden ......................... 37
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN… ........................................................... 41 6.1
Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk .............................................. 41
6.2
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Pupuk Urea .......... 50
6.3
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Padi.......................... 53
VII. SIMPULANDAN SARAN ..................................................................... 57 7.1
Simpulan .......................................................................................... 57
7.2
Saran .............................................................................................. 57
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 59
LAMPIRAN ......................................................................................................
61
RIWAYAT HIDUP ..........................................................................................
78
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1.1 Distribusi PDB Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Sektor 2005-2009 (dalam %) ...............................................................................................
2
1.2 Konsumsi pupuk Bersubsidi sektor Pertanian di Indonesia Tahun 20032009 (Ton/Tahun). ..................................................................................
4
1.3 PerkembanganAnggaranSubsidiPupuk di Indonesia Tahun 20042010..................... ...................................................................................
4
1.4 Harga Eceran Tertinggi Pupuk Bersubsidi di Indonesia Tahun 20032012.........................................................................................................
5
1.5 Luas Panen, Hasil Per Hektar, dan Produksi Padi Jawa Barat Tahun 2006–2010..............................................................................................
6
4.1 Matriks Metode Analisis Data ............................................................... 25 4.2 Tabel Kriteria Indikator Empat Tepat ................................................... 26 4.3 Uji Autokorelasi .................................................................................... 31 5.1 Luas Wilayah Desa Hambaro Menurut Penggunaan ............................. 33 5.2 Jumlah Penduduk Desa Hambaro Menurut Golongan Umur Tahun 2010 ........................................................................................................ 33 5.3 Struktur Mata Pencaharian Desa Hambaro Tahun 2011 ....................... 34 5.4 Komposisi Penduduk Desa Hambaro Menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2011.............................................................................................
34
5.5 Karakteristik Jenis Kelamin Responden Petani Padi ............................. 35 5.6 Kelompok Usia Responden Petani Padi ................................................. 35 5.7 Penggolongan Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan ................. 36 5.8 Penggolongan Responden Berdasarkan Luas Lahan .............................. 36 5.9 Penggolongan Rata – Rata Produksi Padi Musim Tanam Tahun 2011 37 6.1 Rata-Rata Harga Pupuk Bersubsidi yang Diterima Responden ............. 41 6.2 Persentasi Tingkat Ketepatan Harga Pupuk Bersubsidi ......................... 42 6.3 Persentase Tingkat Ketepatan Tempat Pupuk Bersubsidi ...................... 44 6.4 Persentase Tingkat KetepatanWaktu Pupuk Bersubsidi ......................... 46 6.5 Persentase Ketepatan Jumlah Pupuk Bersubsidi .................................... 47 6.6 Presentase Tingkat Keefektifan Kebijakan Subsidi Pupuk .................... 48
6.7 Hasil Regresi Jumlah PermintaanPupuk Urea .......................................
51
6.8 Hasil estimasi Produksi Padi ..................................................................
53
DAFTAR GAMBAR Halaman
Nomor
3.1 Kurva Hubungan antara Input (Pupuk) dan Output Total ...................... 18 3.2 Mekanisme Pembentukan Harga Pupuk Setelah Adanya Kebijakan Subsidi. ................................................................................................... 19 3.3 Pengaruh Konsumsi Bersubsidi .............................................................. 20 3.4 Pengaruh Produksi Bersubsidi ................................................................ 21 3.5 Bagan Kerangka Pemikiran Operasional ................................................ 23 5.1 Rincian Pengeluaran Input Produksi per Musim Tanam Responden ..... 38 6.1 Alasan Responden tentang Perlunya Subsidi Pupuk .............................. 48
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Peta Lokasi dan Gambar Lokasi.............................................................
61
2. Kuesioner .............................................................................................. 62 3. Model Regresi Persamaan 1 ................................................................... 72 4. Asumsi Normalitas ................................................................................. 73 5. Asumsi Autokorelasi .............................................................................. 73 6. Uji kehomogenan data ............................................................................ 74 7. Asumsi Multikolinearitas........................................................................ 74 8. Model Regresi Persamaan 2 ................................................................... 74 9. Asumsi Normalitas ................................................................................. 75 10. Asumsi Autokorelasi .............................................................................. 76 11. Asumsi Homoskedastisitas ..................................................................... 76 12. Asumsi Multikolinearitas........................................................................ 77 13. Foto-Foto Kondisi Persawahan Desa Hambaro ...................................... 77
1
I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dimana sektor pertanian memiliki peranan penting dalam pembangunan perekonomian Indonesia.Bagi negara Indonesia yang memiliki jumlah penduduk sebesar 237 juta jiwa (BPS, 2010), masalah pangan bukan hanya merupakan masalah ekonomi tetapi juga masalah stabilitas dan keamanan. Disamping itu pertanian pun memegang peranan penting dalam kesejahteraan kehidupan penduduk Indonesia. Peranan pertanian tersebut dapat dilihat dari kontribusinya terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) sebagaimana tertuang pada Tabel 1.1 di bawah ini. Tabel 1.1 Distribusi PDB Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Sektor 2005-2009 (dalam %) No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. PDB
Sektor Pertanian, Peternakan, dan Kehutanan Pertambangan dan Penggalian Industri Olahan Listrik, Gas, dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel, dan Restoran Pengankutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Jasa-Jasa
2005 13,1 11,1 27,4 1,0 7,0 15,6 6,5
2006 13,0 11,0 27,5 0,9 7,5 15,0 6,9
2007 13,7 11,2 27,1 0,9 7,7 14,9 6,7
2008 14,5 10,9 27,9 0,8 8,5 14,0 6,3
2009 15,3 10,5 26,4 0,8 9,9 13,4 6,3
8,3
8,1
7,7
7,4
7,2
10,0 10,1 10,1 9,7 10,2 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2009
Dalam Tabel 1.1 di atas, terlihat secara nyata peranan penting sektor pertanian terhadap pembangunan perekonomian Indonesia, dimana kontribusi sektor pertanian relatif masih lebih besar dari pada sektor-sektor lainnya dan terus meningkat dari tahun ke tahun. Lebih lanjut, data BPS menunjukkan bahwa pada tahun 2010 sektor pertanian masih tetap dominan dalam penyerapan tenaga kerja di Indonesia, yang mencapai 41 juta orang lebih atau sekitar 38,4% dari jumlah tenaga kerja yang bekerja mencapai 108 juta orang lebih. Jika dilihat dari data PDB tersebut maka kontribusi sektor pertanian terhadap PDB cukup besar, sehingga seharusnya dapat diartikan bahwa petani seharusnya dapat menerima pendapatan yang memadai
2 untuk dapat hidup sejahtera. Namun, kenyataannya justru bagian terbesar penduduk yang miskin adalah yang bekerja di sektor pertanian. Banyak faktor yang menyebabkan petani sulit untuk memperbaiki taraf hidup dan kesejahteraannya, antara lain: 1) rendahnya penerapan teknologi modern; 2) rendahnya tingkat pendidikan; 3) rendahnya pendapatan petani; dan 4) ketersediaan lahan garapan di bawah skala usaha tani. Cara untuk memperbaiki taraf hidup dan kesejahteraan petani berdasarkan faktor-faktor di atas adalah dengan membantu petani agar dapat meningkatkan pendapatannya dengan cara meningkatkan produktivitas dan produksi usaha taninya. Dengan mengabaikan bahwa faktor-faktor kendala dalam sektor pertanian, seperti: cuaca dan curah hujan, maka salah satu caranya adalah memperbaiki
teknologi
pertanian,
seperti
penggunaan
pupuk
sebagai
saranaproduksi. Oleh karena itu pupuk memiliki peranan strategis dalam memperbaiki kesejahteraan petani. Menurut Rachman (2009), pemerintah terus mendorong penggunaan pupuk yang efisien melalui berbagai kebijakan meliputi aspek teknis penyediaan dan distribusi maupun harga melalui subsidi. Kebijakan subsidi dan distribusi pupuk yang telah
diterapkan mulai dari tahap perencanaan kebutuhan
penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET), besaran subsidi hingga sistem distribusi ke pengguna pupuk sudah cukup komprehensif. Namun demikian, berbagai kebijakan tersebut belum mampu menjamin
ketersediaan pupuk yang
memadai dengan HET yang telah ditetapkan. Secara lebih spesifik, masih sering terjadi berbagai kasus antara lain: (a) kelangkaan pasokan pupuk yang menyebabkan harga aktual melebihi HET, dan (b) marjin pemasaran lebih tinggi dari yang telah ditetapkan pemerintah. Selain itu, kebutuhan
perencanaan alokasi
pupuk yang belum sepenuhnya tepat, pengawasan yang belum
maksimal, disparitas harga pupuk bersubsidi dan nonsubsidi yang cukup besar menyebabkan Kebocoran
penyaluran pupuk
bersubsidi
masih
belum
tepat
sasaran.
penyaluran pupuk bersubsidi ke luar petani sasaran masih sering
ditemukan, sehingga menimbulkan kelangkaan dan harga pupuk melebihi HET. Penyediaan pupuk dengan harga murah melalui pemberian subsidi yang terus
meningkat
setiap
tahun,
menyebabkan
semakin
tidak efisiensinya
3 penggunaan pupuk oleh petani dan meningkatkan ketidaktepatan sasaran subsidi pupuk yang seharusnya dinikmati oleh petani kecil tetapi dinikmati pula oleh pihak lain (World Bank,2008a; 2008b). Kebutuhan pupuk dalam negeri mengalami peningkatan sekitar 4,6 persen per tahun, seiring dengan masifnya program intensifikasi dan peningkatan produktivitas komoditas pangan yang dicanangkan pemerintah (Feryanto, 2010). Sebagaimana disebutkan diatas Bogor merupakan salah satu kabupaten di provinsi Jawa Barat yang membutuhkan pupuk subsidi tersebut karena Bogor merupakan salah satu produsen padi di Indonesia dengan jumlah produksi sebesar 538.804 ton pada tahun 2010. Salah satu produsen padi di kabupaten Bogor adalah Desa Hambaro, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor. Oleh karena itu sebagai salah satu kebijakan utama pertanian yang membutuhkan dukungan anggaran pemerintah yang amat besar sudah semestinya subsidi pupuk dievaluasi agar senantiasa efektif dan efisian. Oleh karena itu penelitian ini menjadi penting karena kebijakan subsidi pupuk yang sangat berperan dalam kesejahteraan petani. Sehingga diperlukan adanya penelitian mengenai “Analisis Efektivitas Subsidi Pupuk dan Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Produksi Padi (Studi Kasus Desa Hambaro, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor)”.
1.2 Perumusan Masalah
Sebagai salah satu negara dengan penduduk terbanyak di dunia dan dengan pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi, mengakibatkan peningkatan terus meneruspada kebutuhan pokok berupa pangan.Oleh karena itu penggunaan pupuk pun terus meningkat dari tahun ke tahun. Peningkatan konsumsiakan pupuk bersubsidi dapat dilihat pada Tabel 2 berikut.
4 Tabel 1.2. Konsumsi pupuk Bersubsidi sektor Pertanian di Indonesia Tahun 20032009 (Ton/Tahun). Tahun
Urea 3.911.255 4.210.586 3.992.689 3.962.404 4.245. 409 4.524.941 4.444.776
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Jenis Pupuk Bersubsidi SP36 ZA 704.833 462.970 762.518 597.324 797.506 643.458 711.081 600.972 764.821 701.645 582.102 751.321 688.784 847.422
NPK 108.308 189.778 262.166 399.970 636.718 939.002 1.354.961
Sumber : Deptan 2010
Berdasarkan data Tabel 1.2 dapat dilihat bahwa setiap tahunnya terjadi peningkatan konsumsi pupuk bersubsidi. Hal ini menyebabkan kebutuhan petani akan adanya subsidi pupuk yang terus meningkat. Berdasarkan Surat Keputusan Menperindag No: 70/MPP/Kep/2/2003 pasal 3 ayat 1 dijelaskan bahwa jenis pupuk yang di subsidi oleh pemerintah adalah Urea, ZA, NPK, dan SP36. Besarnya dana yang telah dikeluarkan oleh pemerintah untuk subsidi pupuk dalam negeri punyang terus meningkat dari tahun 2004 hingga tahun 2010 dpat dilihat pada Tabel 1.3. Tabel 1.3.Perkembangan Anggaran Subsidi Pupuk di Indonesia Tahun 2004-2010. Tahun
Subsidi (Rp Triliun)
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
1,59 2,59 4,18 6,79 14,1 17,3 14,8
Kenaikan/Penurunan (persen) 76,67 62,89 61,39 62,44 107,66 22,69 14,45*
Sumber : Departemen Pertanian, 2010 Keterangan : *) Penurunan Subsidi Pupuk (Persen)
Berdasarkan Tabel 1.3 dapat dilihat bahwa biaya untuk mengeluarkan subsidi pupuk semakin memberatkan pemerintah karena dana subsidi pupuk terus mengalami peningkatkan dari tahun 2004 sampai tahun 2009. Menurut Ardi (2005) pembengkakan APBN akibat subsidi pupuk dan kenaikan harga bahan baku yang memang didominasi oleh impor serta dikarenakan adanya kenaikan harga gas. Namun masalahnya masih banyak petani yang belum bisa menikmati
5 pupuk bersubsidi yang ada, dikarenakan banyak pupuk bersubsidi yang tidak sampai pada petani. Padahal pemberian subsidi pupuk di Indonesia mempunyai tujuan untuk mempertahankan harga eceran tinggi (HET) pupuk agar tidak mengalami kenaikan, sehingga harga jual pupuk di pasaran masin terjangkau oleh petani. Adapun HET untuk pupuk bersubsidi dapat dilihat pada Tabel 1.4 berikut. Tabel 1.4.Harga Eceran Tertinggi Pupuk Bersubsidi di Indonesia Tahun 20032012. Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Urea 1050 1050 1050 1050 1200 1200 1200 1200 1600 1800
Jenis Pupuk Bersubsidi SP36 ZA 1400 950 1400 950 1400 950 1400 950 1550 1050 1550 1050 1550 1050 1550 1050 2000 1400 2000 1400
NPK 1600 1600 1600 1600 1750 1750 1750 1750 2300 2300
Sumber : Deptan 2012
Dapat dilihat pada Tabel 1.4 HET untuk pupuk bersubsidi setiap tahun meningkat. Kebijakan pemerintah untuk mengontrol harga pupuk bersubsidi dapat dilihat dari kenaikan HET dari tahun ke tahun yang hanya berkisar dari Rp. 150200. Mengingat peranan subsidi pupuk, maka kebijakan penyediaan pupuk wajib memenuhi prinsip enam tepat, yaitu: tepat jenis, tepat jumlah, tepat harga, tepat tempat, tepat waktu, dan tepat mutu.1Namun mengingat keterbatasan pemerintah dalam kemampuan keuangan, maka pupuk bersubsidi hanya diperuntukkan bagi usaha pertanian yang meliputi Petani Tanaman Pangan, Peternakan, dan Perkebunan Rakyat.2Lebih lanjut subsidi pupuk diadakan dan disalurkan untuk kegiatan usaha budidaya tanaman oleh petani, pekebun, dan peternak, bukan untuk perusahaan perkebunan, perusahaan tanaman pangan, perusahaan 1
Konsideran dari Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia No. 70/MPP/Kep/2/2003 tanggal 11 Pebruari 2003 tentang Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi untu Sektor Pertanian. 2
Konsideran dari Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia No. 70/MPP/Kep/2/2003 tanggal 11 Pebruari 2003 tentang Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi untu Sektor Pertanian.
6 holtikultura. Sedangkan pupuk yang diberi subsidi hanya pupuk Urea, ZA, NPK, dan SP36 yang disediakan oleh produsen pupuk untuk pertanian yang meliputi tanaman pangan, holtikultura, perkebunan, dan hijauan pakan ternak. Jawa Barat mmerupakan salah satu produsen padi dengan produksi yang terus meningkat. Hal tersebut bisa dilihat pada tabel 1.5. Tabel 1.5. Luas Panen, Hasil Per Hektar, dan Produksi Padi Jawa Barat Tahun 2006 –2010. Tahun 2006 2007 2008 2009 2010
Luas Panen (Ha) 1.798.260 1.829.085 1.803.628 1.950.203 2.037.657
Hasil Per Hektar (Kw/Ha) 52,38 54,20 56,06 58,06 57,60
Produksi (Ton) 9.418.572 9.914.019 10.111.064 11.322.682 11.737.071
Sumber : BPS, 2010
Dilihat dari data Tabel 1.5 di atas kebutuhan petani padi di Jawa Barat akan pupuk pun terus meningkat, karena petani padi di wilayah Jawa Barat pada umumnya masih banyak menggunakan sistem pertanian anorganik. Petani padi anorganik yang masih sangat bergatung pada sarana produksi seperti penggunaan benih yang tinggi, pupuk kimia pabrik, dan pestisida kimia. Desa Hambaro, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor merupakan salah satu produsen padi yang menggunakan sistem anorganik. Dimana pada kondisi saat ini ketergantungan petani di kecamatan tersebut terhadap pupuk kimia yang bersubsidi cukup besar. Namun pada kenyataan terkadang harga pupuk tersebut tidak sesuai dengan HET yang ditentukan pemerintah. Sehubungan dengan halhal tersebut di atas, permasalahan yang akan dikaji adalah : 1. Bagaimana efektivitas kebijakan subsidi pupuk terhadap empat indikator keberhasilan subsidi pupuk? 2. Apafaktor–faktor yang mempengaruhi permintaan pupuk Urea di Desa Hambaro, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor? 3. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi produksi padi di Desa Hambaro, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor?
7 1.3 Tujuan Berdasarkan permasalahan yang dipaparkan di atas, maka tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menganalisis efektivitas kebijakan subsidi pupuk terhadap empat indikator keberhasilan subsidi pupuk. 2. Menganalisis faktor–faktor yang mempengaruhi permintaan pupuk Urea di Desa Hambaro, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor. 3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi padi di Desa Hambaro, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor?
1.4 Manfaat penelitian Penelitian ini diharapkan akan diperoleh temuan-temuan tentang informasi mengenai
kemampuan membayar HET pupuk bersubsidi , sehingga dapat
menjadi masukkan dan pertimbangan bagi pemerintah dalam menerapkan kebijkan subsidi pupuk di masa yang akan datang dalam usaha untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Penelitian ini juga berguna untuk meningkatkan wawasan penulis serta bagi akademisi diharapkan menjadi salah satu rujukan pustaka dalam membuat penulisan-penulisan ilmiah.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Hal-hal yang menjadi batasan dalam penelitian ini, antara lain : Lokasi penelitian yaitu Desa Hambaro, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor. Penelitian ini menggunakan analisis indikator keberhasilan subsidi pupuk. Data yang digunakan adalah data primer yang dilakukan dengan survey lapang.
8
II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Subsidi Subsidi adalah cadangan keuangan dan sumberdaya lainnya untuk mendukung sesuatu kegiatan usaha atau perorangan oleh pemerintah.Subsidi dapat bersifat langsung (dalam bentuk uang tunai, pinjaman bebas bunga, dan sebagainya), atau tidak langsung (pembebasan penyusutan, potongansewa dan semacamnya). Subsidi dapat bertujuan untuk: (1) subsidi produksi dimana pemerintah menutup sebagian biaya produksi untuk mendorong peningkatan output produk tertentu dan dimaksudkan untuk menekan harga dan memperluas penggunaan produk tersebut, (2) subsidi ekspor, yang diberikan pada produk ekspor yang dianggap dapat membantu neraca perdagangan Negara, (3) subsidi pekerjaan, yang diberikan untuk membayar sebagian dari beban upah perusahaan agar dapat diserap lebih banyak pekerjaan dan mengurangi pengangguran, dan (4) subsidi pendapatan, yang diberikan melalui sistem pembayaran transfer pemerintah untuk meningkatkan standar hidup minimum sebagian kelompok tertentu seperti tunjangan hari tua dan lainnya (Pass, 1997). Mengacu pada uraian diatas yang dimaksud dengan subsidi pupuk dalam penelitian ini adalah subsidi produksi yang diberikan oleh pemerintah untuk menanggung sebagian besar biaya produksi pupuk agar bisa dicapai harga jual yang diinginkan.
2.2 Subsidi Pupuk
Pupuk bersubsidi menurut Kepmen Pertanian No: 106/Kpts/SR.130/ 2/2004 merupakan pupuk yang pengadaan dan penyalurannya ditataniagakan dan ditetapkan dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) di tingkat petani. Pupuk bersubsidi di Indonesia disalurkan untuk sektor pertanian yang berkaitan dengan usaha budidaya tanaman yang meliputi: tanaman pangan, hortokultura, perkebunan dan hijauan makanan ternak. Usaha budidaya tanaman adalah semua usaha untuk membudidayakan tanaman secara terus menerus.
9 Pupuk bersubsidi diadakan dan didistribusikan untuk kegiatan usaha budidaya tanaman yang dikerjakan oleh petani pekebun dan peternak, bukan untuk perusahaan perkebunan, perusahaan tanaman pangan, perusahaan holtikultura atau perusahaan peternakan. Jenis pupuk bersubsidi yaitu, pupuk (Urea, Superphos, ZA, NPK) dan pupuk Organik. Pupuk bersubsidi ditetapkan sebagai barang dalam pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2005. Lingkup pengawasan mencakup pengadaan dan penyaluran, termasuk jenis, jumlah mutu, wilayah tanggung jawab, harga eceran tertinggi (HET) dan waktu pengadaan dan penyaluran. Pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi diatur oleh Kepmen Perindustrian dan perdagangan No: 356/Kep/5/2004, dimana pendistribusian pupk bersubsidi telah diatur mulai dari lini I sampai dengan lini IV. Adapun pengertian Lini I – Lini IV berdasarkan Keputusan Menperindag No: 70/MPP/Kep/2/2003 yaitu, Lini I adalah lokasi gudang pupuk di wilayah pabrik pupuk dalam negeri atau di wilayah pelabuhan tujuan untuk pupuk impor. Lini II adalah adalah lokasi gudang di wilayah ibukota Provinsi dan Unit Pengantoran Pupuk (UPP) atau diluar wilayah pelabuhan. Lini III adalah lokasi gudang Distributor pupuk dan atau Produsen di wilayah Kabupaten/Kotamadya yang ditunjuk/ditetapkan oleh produsen.
Sedangkan
Lini
IV
adalah
ditunjuk/ditetapkan oleh Distributor.Konsep pupuk bersubsidi
lokasi
gudang
pengawasan
pengecer
terhadap
disusun secara terpadu dan menyatu
yang
distribusi
dengan konsep
perencanaan serta konsep pengadaan dan distribusinya. Pengawasan pupuk bersubsidi
dilakukan
secara terpadu dan
terintegrasi
antara unsur
petani/kelompok tani, unsur pemerintah dan stakeholder lainnya. Dalam implementasinya, KP3, bersama-sama dengan PPNS dibantu oleh
penyuluh
pertanian di lapangan termasuk Tenaga Harian Lepas (THL), Tenaga Bantu Pengendali Organisme Pengganggu Tumbuhan, Pengamat Hama dan Penyakit (POPT-PHP).
10 2.3 Pengertian Efektivitas Efektivitas adalah pencapaian target output yang diukur dengan cara membandingkan output anggaran atau seharusnya dengan output realisasi atau sesungguhnya, dikatakan efektif jika output seharusnya lebih besar daripada sesungguhnya (Schemerhon John R. Jr, 1986). Menurut Hidayat (1986) efektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kuantitas, kualitas, dan waktu) telah tercapai.Semakin besar persentase yang dicapai, maka semakin tinggi efektivitasnya. Menurut Gibson (2002), efektivitas adalah sasaran telah disepakati atas usaha bersama. Pengertian efektivitas yang digunakan penelitian mengacu pada pengertian di atas, yaitu suatu ukuran pencapaian target yang menunjukkan output realisasi dari yang seharusnya tercapai. 2.4 Analisis Regresi Analisis regresi merupakan suatu analisis yang digunakan untuk menjelaskan hubungan sebab-akibat antara variabel bebas dan variabel tidak bebas
(Soekartawi,
2002).
Dalam
model
regresi
faktor-faktor
yang
mempengaruhivariabel tak bebasnya harus diketahui terlebih dahulu.Menurut Juanda (2009) untuk menduga parameter dari persamaan regresi digunakan metode kuadrat terkecil atau metode OLS (Ordinary Least Square). Prinsip dasar dari
terkecil adalah meminimumkan jumlah kuadrat simpangan antara data
aktual dengan data dugaannya. Terdapat beberapa asumsi dasar yang harus dipenuhi agar metode OLS dapat menghasilkan estimator yang paling baik pada model-model regresi. Pertama, model regresi linier: linier dalam parameter, terspesifikasi dengan benardan memiliki error term yang bersifat additif. Kedua, nilai rata-rata atau nilai yang diharapkan dari variabel disturbance atau error term adalah nol. Ketiga, kovarian antara variabel disturbance, Ui dengan variabel Xi adalah nol. Keempat, varian dari variabel residu, disturbance adalah sama atau homoskedastisitas. Kelima, tidak ada otokorelasi antar variabel disturbance pada pengamatan satu dengan pengamatan yang lain. Keenam, tidak ada korelasi sempurna antar variabel-variabel bebas.Ketujuh, variabel error term memiliki distribusi normal.
11 Data untuk variabel X (independen) pada regresi linier dapat berupa data pengamatan yang telah ditetapkan sebelumnya oleh peneliti (experimental of fixed data) maupun data yang belum
ditetapkan sebelumnya oleh
peneliti
(observational data). Perbedaan pada kedua data ini adalah jika menggunaakan fixed data (data yang telah ditetapkan) maka informasi yang diperoleh lebih kuat dalam menjelaskan hubungan sebab akibat antara variabel X dan variabel Y. Namun, jika menggunakan observational data, informasi yang diperoleh belum tentu merupakan hubungan sebab akibat. Fixed data biasanya diperoleh melalui percobaan laboratorium dimana peneliti telah memilki beberapa nilai variabel X yang ingin diteliti. Pada observational data variabel X yang diamati tergantung keadaan di lapangan dimana biasanya data ini diperoleh dengan menggunakan kuisioner. Pada penelitian ini menggunakan data berupa observational data. Variabel-variabel
ini
akan
dibentuk
persamaan
regresi
untuk
dapat
merepresentasikan hubungan dari data-data yang diperoleh.
2.5 Penyaluran, Pengadaan, dan Pengawasan Pupuk Bersubsidi Alokasi pupuk bersubsidi menurut Peraturan Bupati Bogor Nomor 13 Tahun 2010 dihitung berdasarkan rekomendasi pemupukan berimbang spesifik lokasi dan standar teknis dengan mempertimbangkan usulan kebutuhan yang diajukan Pemerintah Daerah, serta alokasi anggaran subsidi pupuk tahunan. Pemupukan berimbang adalah pemberian pupuk bagi tanaman sesuai dengan status hara tanah dan kebutuhan untuk mencapai produktivitas yang optimal dan berkelanjutan sebagaimana
tertuang
dalm
Peraturan
menteri
Pertanian
No:
40/Permentan/OT.140/4/2007. Pengadaan pupuk adalah proses penyediaan pupuk bersubsidi yang dilakukan oleh produsen yang berasal dari produksi dalam negeri dan atau impor (Peraturan Bupati Bogor Nomor 13 Tahun 2010). Penyaluran pupuk adalah proses pendistribusian pupuk bersubsidi dari produsen sampai dengan petani dan atau kelompok tani sebagai konsumen akhir (Peraturan Bupati Bogor Nomor 13 Tahun 2010). Pelaksana pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi sampai ke penyaluran Lini IV (pengecer resmi) dilakukan sesuai ketentuan peraturan
12 perundang-undangan.Produsen, penyalur Lini III dan penyaluran pupuk bersubsidi sesuai prinsip empat tepat (tepat jenis, jumlah, mutu, tempat, waktu, dan harga sesuai HET).Produsen wajib melaksanakan pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi
dari
Lini
I sampai
dengan
Lini
IV
di
wilayah
tanggungjawabnya.Distributor wajib melaksanakan pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi dari Lini III sampai dengan Lini IV di wilayah tanggungjawabnya.Pengecer resmi melaksanakan penyediaan dan penyaluran pupuk bersubsidi kepada petani atau kelompok tani sesuai dengan peruntukannya di Lini IV wilayah tanggungjawabnya. Pengawasan terhadap pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi dilakukan oleh produsen, penyalur Lini III (distributor), penyalur IV (pengecer resmi) dan Komisi Pengawasan Pupuk dan Pestisida (KP3) daerah berdasarkan prinsip enam tepat. Produsen pupuk bersubsidi wajib melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap penyediaan dan penyaluran pupuk bersubsidi dari Lini I sampai Lini IV di wilayah tanggungjawabnya. Penyalur Lini III (distributor) wajib melaksanakan pemantauan dan pengawasan terhadap penyediaan, penyimpangan, dan penyaluran pupuk bersubsidi dari Lini III sampai dengan Lini IV (pengecer resmi) setempat. Penyalur IV (pengecer resmi) wajib melaksanakan pemantauan dan pengawasan terhadap perkembangan dan keadaan pertanaman serta penyediaan, penyimpanan, dan penyaluran pupuk bersubsidi kepada petani atau kelompok tani setempat. KP3 daerah wajib melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pengadaan, penyaluran, dan penggunaan pupuk bersubsidi di daerah seta melaporkan kepada Bupati, dengan tembusan disampaikan kepada produsen selaku penanggungjawab wilayah. Pengawasan penyaluran pupuk bersubsidi dari Lini IV ke petani atau kelompok tani dilakukan oleh KP3 di daerah bersama Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) dan Tenaga Harian Lepas-Tenaga Bantu Penyuluh Pertanian (THL-TBPP) serta Pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan (POPT), Tenaga Bantu Pengendali Organisme Pengganggu Tumbuhan (TB-POPT), dan Ketua Gabungan Kelompok Tani.
13 2.6 Hasil Penelitian Sebelumnya Penelitian sebelummya dalampenelitian oleh Sudjono (2011) mengenai kebijakan subsidi pupuk masih merupakan kebutuhan pada tingkat petani untuk menopang
produktivitas
dan
perbaikan
kesejahteraan
petani,
sekaligus
mempertahankan stabilitas ketahanan pangan nasional. Sistem penyaluran pupuk bersubsidi telah beberapa kali mengalami perbaikan, antara lain dengan uji coba sistem Kartu Kredit dan uji coba Sistem Subsidi Pupuk Langsung ke Petani. Untuk mengembangkan penyaluran pupuk bersubsidi di masa yang akan datang, salah satu pendekatan yang dapat digunakan adalah sistem distribusi pupuk bersubsidi berbasis relationship marketing. Pendekatan ini menyarankan pembinaan hubungan jangka-panjang antara produsen dan distributor, dengan mengedepankan mata rantai distribusi dan hubungan interpersonal pada setiap titik pupuk bersubsidi. Penelitian oleh Darwis (2010) menjelaskan tentang padi merupakan bahan pangan pokok bagi penduduk Indonesia dan produktivitasnya ditentukan antara lain oleh tingkat pemakaian pupuk. Namun ironisnya kelangkaan pupuk masih sering terjadi, maka diadakannya kajian tentang penyebab kelangkaan pupuk dari sisi penggunanya. Salah satu penyebab kelangkaan ini adalah pemakaian pupuk di tingkat petani yang melebihi dosis yang dianjurkan. Sementara itu pemerintah telah mengeluarkan beberapa teknologi penentuan dosisi pupuk tepat guna spesifiklokasi yaitu dengan cara mempergunakan Bagan Warna Daun (BWD), Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS) dan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT). Agar bisa mengubah perilaku petani dalam pemakaian pupuk, maka dibutuhkan suatu kebijakan holistik dan terpadu antar berbagai stakeholders yang tercakup. Rekontruksi kebijakan tersebut diharapkan dapat mendorong rasionalisasi dan efektivitas penggunaan pupuk oleh petani, sehingga diharapkan dapat mengurangi penggunaan pupuk dan meningkatkan produktivitas pertanian. Penelitian lainnya yaitu oleh Heriyanto (2006) yang menganalisis tentang efisiensi tata niaga pupuk Urea setelah adanya kebijakan subsidi. Analisi yang dihasilkan menyebutkan bahwa sistem tata niaga pupuk Urea bersubsidi belum efisien karena harga di tingkat produsen tidak ditransmisikan secara sempurna ke tingkat distributor dan pengercer.
14 Penelitian oleh Ardi (2005) mengenaianalisis pencabutan subsidi pupuk terhadap sektor pertanian di Indonesia menyimpulkan bahwa pencabutan subsidi pupuk di sektor industri pupuk dapat mempengaruhi penurunan pembentukan output, pendapatan, dan tenaga kerja sektor pertanian secara signifikan. Sektor padi merupakan sektor penerima dampak terbesar dan ternyata subsidi pupuk lebih baik tetap diberikan melalui sektor industri pupuk. Penelitian oleh Andari (2001) secara umum menganalisis tentang dampak kebijakan penghapusan subsidi pupuk yang dikeluarkan oleh pemerintah pada Desember 1998 terhadap keragaan usahatani padi di Jawa Barat dan secara khusus menganalisis dampak kebijakan penghapusan subsidi pupuk terhadap permintaan pupuk, produksi padi, dan pendapatan petani di Jawa Barat. Kesimpulan utama dari hasil penelitian yang dilaksanakan oleh Handari (2001) adalah dampak penghapusan subsidi tidak berpengaruh nyata terhadap hasil produksi. Penelitian mengenai subsidi pupuk juga dilakukan oleh Manaf (2000). Penelitian oleh Manaf (2000) menyajikan analisis pengaruh subsidi harga pupuk dalam jangka panjang terhadap kontinuitas peningkatan produksi sektor pertanian. Penelitian di atas juga menganalisis apakah kebijakan-kebijakan yang menyangkut subsidi harga pupuk, secara tidak langsung juga mempengaruhi distribusi pendapatan. Kesimpulan yang bisa diambil dari penelitian yang dilakukan Manaf (2000) antara lain: a. Penghapusan subsidi secara langsung menyebabkan peningkatan beban ongkos produksi yang cukup besar bagi petani kecil yang merupakan produsen pangan tersebar. b. Peningkatan beban ongkos produksi tersebut pada gilirannya akan menurunkan produksi secara umum. c. Subsidi harga pupuk memiliki dampak yang mengarah (bisa) pada pengusaha menengah besar dibandingkanpada pendapatan petani dan pengusaha pertanian kecil. d. Kebijakan subsidi pupuk yang efektif, sebenarnya dapat mengurangi semakin lebarnya kesenjangan pendapatan antara rumah tangga petani dan bukan petani.
15 Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yaitu dalam penelitian ini metode analisis yang digunakan adalah metode regresi berganda, sementara penelitian terdahulu menggunakan metode analisis sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) dan metode analisis Input-Output.
16
III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Teoritis 3.1.1 Indikator Tingkat Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk Tingkat efektivitas kebijakan subsidi pupuk diukur berdasarkan enam indikator. Menurut Peraturan Bupati Nomor 13 Tahun 2010 indikator-indikator subsidi pupuk adalah tepat harga, tepat tempat, tepat waktu, tepat jumlah, tepat jenis, dan tepat mutu. Indikator yang digunakan dalam penelitianini terfokus pada empat indikator tepat yaitu harga, tempat, waktu, dan jumlah.Pemilihan empat indikator ini disebabkan oleh empat indikator tersebut dapat dikuantifikasikan sehingga dapat diinterpretasikan. Pengertian tepat harga adalah suatu kondisi dimana harga pembelian pupuk oleh petani secara kontan di tingkat pengecer atau kios resmi per saknya sama dengan harga eceran tertinggi (Syafa’at, et al 2007). Pengertian tepat tempat berdasarkan sumber yang sama adalah suatu kondisi dimana pupuk tersedia di dekat atau di sekitar rumah atau lahan petani yang diindikasikan dengan pembelian pupuk oleh petani dilakukan di kios di dalam desa. Pengertian tepat waktu berdasarkan sumber yang sama adalah suatu kondisi pupuk secara fisik tersedia pada saat dibutuhkan oleh petani. Pengertian tepat jumlah menurut Rachman (2009) adalah jumlah pemupukan yang dilakukan sesuai dengan desa atau
jumlah
berdasarkan
analisa
status
hara
tanah
dan
kebutuhan
tanaman.Menurut Purwono dan Heni (2009), jumlah pupuk yang tepat berdasarkan status hara dan kebutuhan tanaman yang dianjurkan adalah kombinasi antara urea 200 kg/ha, TSP/SP-36 sebanyak 75-100 kg/ha, dan KCL sebanyak 75100 kg/ha.
3.1.2 Teori Produksi Menurut Nicholson (1999) fungsi produksi adalah suatu fungsi yang memperlihatkan sebuah barang yang dapat diproduksi dengan menggunakan kombinasi alternatif antara modal (K) dan tenaga kerja (L) atau Q = f(K,L). Dalam suatu proses produksi juga terdapat adanya perubahan keluaran yang
17 dihasilkan oleh perubahan dalam satu masukan produksi. Teori ini sering disebut dengan Marginal Physical Product (Produk Fisik Marginal) yang pengertiannya adalah keluaran tambahan yang dapat diproduksi dengan menggunakan satu unit tambahan yang dapat di produksi dengan menggunakan satu unit tambahan dari masukan tersebut dengan mempertahankan semua masukan lain tetap konstan. Secara matematis dirumuskan sebagai berikut : Produk fisik Marginal dari modal : ............................................................................................ (3.1) Produk fisik marginal dari tenaga kerja : ...............................................................................................(3.2) Produk fisik marginal dari sebuah masukan bergantung pada jumlah masukan tersebut yang dipergunakan. Sebagai contoh pupuk tidak dapat ditambahkan secara tidak terbatas untuk sebidang tanah tertentu (dengan mempertahakan jumlah peralatan, tenaga kerja, dan sebagainya) yang pada akhirnya akan menunjukkan penurunan produktivitas. Hal ini akan dijelaskan pada Gambar 3.1. Kurva pada Gambar 3.1 memperlihatkan produktivitas rata-rata danproduktivitas marginal untuk pupuk dapat diturunkan dari kurva produk total.Kurva TPP dalam (a) mewakili hubungan antara masukan pupuk dan keluaran, dengan asumsi bahwa semua masukan lain dipertahankan konstan. Pada (b) diperlihatkan bahwa kurva TPP merupakan produk marginal pupuk (MPP), dan kemiringan kurva yang menggabungkan titik asal dengan satu titik di kurva TPPmenghasilkan produk rata-rata pupuk (APP). Kurva ini menjelaskan hubungan antara jumlah masukan tertentu (pupuk) dan keluaran atau output total (TPP). Untuk jumlah pupuk yang kecil, keluaran meningkat dengan cepat kemudian pupuk ditambahkan tetapi karena semua masukan lain tetap konstan, pada akhirnya kemampuan pupuk tambahan untuk menghasilkan keluaran tambahan mulai menurun. Pada akhirnya, pada P***, keluaran mencapai tingkat maksimum dimana pada setiap pupuk yang ditambahkan akan mengurangi keluaran.
18
Jumlah Per Periode (Q)
TPP
Masukan Pupuk Per Periode (x) P* P** P*** (a) Produk Total Kurva Pupuk MPP, APP
MPP
APP Masukan Pupuk Per Periode (x) P* P** P*** (b) Kurva Produk Rata-Rata dan Marginal untuk Pupuk Sumber : Nicholson, 2011
Gambar 3.1 Kurva Hubungan antara Input (Pupuk) dan Output Total 3.1.3Teori Kebijakan Pemerintah dalam Perpupukan Kebijakan pemerintah dalam perpupukan yaitu mengenai kebijakan harga eceran tertinggi. Menurut Manaf (2000), kebijakan ini dilatarbelakangi oleh fungsi pupuk sebagai kebutuhan yang esensial dalam meningkatkan produksi pertanian terutama tanaman bahan makanan. Oleh karena itu pemerintah merasa perlu menetapkan harga eceran tertinggi pupuk untuk melindungi petani sebagai konsumen
pupuk.
Dalam
penetapan
harga
tersebut,
pemerintah
mempertimbangkan agar harga pupuk tetap berada dalam kisaran kemampuan petani untuk membeli pupuk dalam dosis yang optimal. Mekanisme pembentukan harga pupuk setelah adanya kebijakan subsidi diperlihatkan oleh gambar berikut ini.
19
Harga (P) S
E
PE
Harga Tertinggi C
PS
D
Pupuk (Q)
0
QS
QE
QD
Sumber : Manaf (2000)
Gambar 3.2 Mekanisme Pembentukan Harga Pupuk Setelah Adanya Kebijakan Subsidi. Pada Gambar 3.2, keseimbangan awal (sebelum ada kebijakan pemerintah mengenai harga eceran tertinggi) berada pada titik E dengan tingkat harga sebesar PE dan jumlah pupuk sebesar QE. Saat pemerintah melakukan kebijakan dengan menetapkan harga tertinggi, maka harga yang efektif adalah bila ditetapkan sebesar PS, yaitu dibawah harga keseimbangan. Pada tingkat harga PS produsen hanya mau menawarkan sebesar QS, sementara yang diminta konsumen adalah sebesar QD, sehingga terjadi excess demand sebesar QSQD.Sementara itu titik C menunjukkan keadaan tingkatharga dan jumlah yang seharusnya terjadi dipasar. Campur tangan pemerintah tersebut mendorong peningkatan jumlah penawaran pupuk ke QD pada tingkat harga sebesar PS dengan membiayainya melalui pemberian subsidi kepada produsen pupuk. 3.1.4 Subsidi dan Elastisitas Subsidi akan menggeser kurva permintaan ke atas untuk konsumsi bersubsidi (subsidized consumption) atau kurva penawaran ke bawah untuk produksi bersubsidi (subsidized production). Pengaruh kedua jenis subsidi ini
20 pada kurva permintaan dan penawaran dapat dilihat pada Gambar 3.3 dan Gambar 3.4.
P
S
D’ D Q Sumber : Spencer dan Amos (1993)
Gambar 3.3 Pengaruh Konsumsi Bersubsidi Pada Gambar 3.3 konsumsi bersubsidi menggeser kurva permintaan D ke atas menjadi kurva permintaan D’. Di mana semakin banyak barang atau jasa dijual dengan harga subsidi akan semakin banyak jumlah permintaan konsumen terhadap barang atau jasa tersebut. Permintaan akan barang bersubsidi bergeser ke kanan atas karena daya beli masyarakat akan barang tersebut menjadi menguat. Harga barang tersebut menjadi lebih murah jika dibandingkan dengan harga tanpa disubsidi. Kecenderungan masyarakat untuk membeli barang tersebut juga meningkat karena harganya yang lebih terjangkau dan ketersediaan barang tersebut di masyarakat. P S
S’
D Sumber : Spencer dan Amos (1993)
Q
21 Dimana : P = Harga Q = Permintaan untuk produk tertentu S = Kurva penawaran awal S’ = Kurva penawaran akhir D = Kurva permintaan awal D’ = Kurva permintaan akhir Gambar 3.4 Pengaruh Produksi Bersubsidi Pada Gambar 3.4, produksi bersubsidi menggeser kurva penawaran S ke bawah menjadi kurva penawaran S’.Di mana semakin banyak barang atau jasa bersubsidi semakin banyak jumlah barang atau jasa tersebut yang ditawarkan. 3.1.5 Teori Permintaan Fungsi permintaan menurut Nicholson (1999) adalah hubungan antara harga dan kuantitas yang diminta konsumen per unit waktu, ceteris paribus. Harga dan kuantitas permintaan berbanding terbalik sehingga kurva permintaan berslope negatif. Pada prinsipnya, untuk mencapai utilitas maksimum pada tingkat optimal X1, X2, …, Xn (dan λ, pengali Lagrangian) sebagai fungsi dari semua harga dan pendapatan. Secara matematis fungsi permintaan dinyatakan sebagai berikut : X1* = D1 (P1, P2, …, Pn, I) .............................................................................. (3.3) X2* = D2 (P1, P2, …, Pn, I) .............................................................................. (3.4) Xn* = Dn (P1, P2, …, Pn, I)............................................................................. (3.5) Notasi D menyatakan permintaan, P menyatakan harga, X menyatakan jumlah yang ingin dibeli dan I menyatakan pendapatan sehingga dapat diketahui jumlah yang akan dibeli seseorang individu untuk masing-masing barang. Proses produksi terjadi karena adanya permintaan output yang dihasilkan. Permintaan input akan muncul karena adanya suatu proses produksi. Jadi, permintaan input timbul karena adanya permintaan akan output. Hal inilah yang disebut dengan permintaan turunan (derived demand) dimana permintaan input yang muncul karena adanya permintaan output. Permintaan terhadap input merupakan permintaan turunan karena input digunakan dalam memproduksi output tertentu sehingga besarnya permintaan input tergantung dari besarnya output yang digunakan. Begitu pula dengan permintaan terhadap pupuk yang merupakan input
22 produksi timbul karena adanya permintaan output (produk pertanian) sehingga besarnya pupuk yang diminta berdasarkan permintaan output (produk pertanian) yang dibutuhkan oleh masyarakat. 3.2 Kerangka Pemikiran Operasional Penelitian ini ingin menunjukkan apakah yang akan terjadi pada sektor pertanian khususnya untuk produktivitas petani padi dengan adanya kebijakan mengenai subsidi pupuk. Agar memudahkan pemahaman kerangka berpikir dari permasalahan yang akan dipecahkan melalui penelitian ini, dapat dilihat bagan kerangka pemikiran (Gambar 3.5). Penelitian ini melihat efektivitas kebijakan pupuk bersubsidi terutama berkaitan dengan produksi padi di Desa Hambaro, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor akan dianalisis menggunakan analisis regresi berganda dengan menggunakan bantuan Minitab.
23
Peningkatan Pertumbuhan Sektor Pertanian
Kebijakan Subsidi Pupuk
Input Produksi Padi
Penetapan HET Pupuk Bersubsidi
Efektivitas Kebijakan
Tempat
Harga
Jumlah
Respon Harga terhadap Permintaan Pupuk
Waktu
Efektif/Tidak Efektif
Respon Produksi Padi terhadap Penggunaan Pupuk
- Peningkatan Efektivitas - Rekomendasi Kebijakan
Dimana:=Ruang lingkup penelitian Gambar 3.5.Bagan Kerangka Pemikiran Operasional
24
IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Pemiihan lokasi diakukan secara sengaja (purpossive) yaitu Desa Hambaro, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat dengan pertimbangan merupakan salah satu produsen padi di Kabupaten Bogor. Penelitian ini mulai dilaksanakan pada bulan April – Juni 2012. 4.2 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan data primer. Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari Kementerian Pertanian, Kementerian Keuangan dan Asosiasi Produsen Pupuk Indonesia (APPI), Badan Pusat Statistik (BPS) Pusat, Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Barat, Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bogor, dan Dinas Pertanian Kabupaten Bogor.Data primer diperoleh dari wawancara langsung kepada petani padi di Desa Hambaro, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor dengan menggunakan kuesioner yang telah disiapkan.
4.3 Metode Pengambilan Contoh Teknik penentuan responden dalam penelitian ini dengan menggunakan metode pengambilan sampel disengaja dengan kriteria responden yang merasakan dampak (purposive sampling). Purposive sampling digunakan dalam memilih responden key person dan responden pada penentuan sampling ini berdasarkan luas tanam padi di Desa Hambaro, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor.Banyaknya sampel yang digunakan adalah 60 orang. 60 responden diambil dari 3 kelompok tani masing-masing sebanyak 20 orang. 4.4 Metode dan Prosedur Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini menggunakan deskriptif kuantitaif dan kualitatif, serta regresi linear berganda. Metode deskriptif kuantitatif dan kualitatif digunakan untuk mengukur efektivitas kebijakan subsidi pupuk berdasarkan empat indikator utama yaitu tepat harga, tepat tempat, tepat waktu, dan tepat
25 jumlah.Regresi linear digunakan untuk mengukur respon dari kebijakan subsidi pupuk terhadap produksi padi.Pengolahan data menggunakan bantuan perangkat keras komputer dan perangkat lunak Minitab. Pada tabel di bawah ini akan dijelaskan matriks metode analisis data. Tabel 4.1 Matriks Metode Analisis Data No Tujuan Penelitian 1 Menganalisis efektivitas subsidi pupuk terhadap empat indikator keberhasilan subsidi pupuk. 2 Menganalisis faktorfaktor yang mempengaruhi permintaan pupuk urea di Desa Hambaro, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor 3 Menganalisis faktorfaktor yang mempengaruhi permintaan pupuk urea di Desa Hambaro, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor
Jenis Data Data primer dan sekunder
Alat Analisis Analisis Deskriptif
Sumber Data Kuesioner wawancara dengan masyarakat yang terpilih menjadi responden
Data Primer
Analisis regresi berganda dengan software statistik
Kuesioner wawancara dengan masyarakat yang terpilih menjadi responden
Data primer
Analisis regresi berganda dengan software statistik
Kuesioner wawancara dengan masyarakat yang terpilih menjadi responden
Sumber: Penulis (2013)
4.4.1
Metode Deskriptif Kuantitatif dan Kualitatif Metode deskriptif kuantitatif dan kualitatif digunakan untuk mengukur
efektifitas kebijakan subsidi pupuk dilihat dari empat indikator utama. Untuk menghitung ketepatan indikator-indikator ini akan dihitung menggunakan rumus berikut ini. Ketepatan harga ∆P = Pr – Pp ................................................................................................. (4.1) Dimana : ΔP = Pr = Pp =
perbedaan harga (Rp) harga yang diterima responden (Rp) harga eceran tertinggi (HET) dari pemerintah (Rp)
Ketepatan Jumlah
26 ∆Q
=
Dimana : ΔQ = Qr = Qp =
Qr – Qp ....................................................................................... (4.2) perbedaan jumlah (kg/ha) jumlah pupuk yang digunakan responden (kg/ha) jumlah pupuk yang disarankan oleh pemerintah (kg/ha)
Ketepatan harga dalam indikator efektivitas subsidi pupuk diukur berdasarkan rumus (4.1). Berdasarkan rumus tersebut dilihat selisih antara harga aktual dengan HET. Setelah itu dilakukan perbandingan antara responden yang memperoleh harga aktual sama dengan HET dengan responden yang memperoleh harga aktual tidak sama dengan HET. Hasil dari perbandingan responden tersebut ditransformasi dalam bentuk persen. Adapun Tabel Indikator Empat tepat untuk mengukur efektivitas subsidi pupuk disa dilihat di bawah ini. Tabel 4.2. Tabel Kriteria Indikator Empat Tepat No 1.
Indikator Tepat Harga
2.
Tepat Jumlah
-
3.
Tepat Tempat
4.
Tepat Waktu
-
Kriteria Harus sesuai dengan Harga Eceran Tertinggi (HET). Harus sesuai dengan anjuran penggunaan pupuk oleh pemerintah. Urea sebanyak 200 kg/ha, SP36 sebanyak 75-100 kg/ha, dan KCL sebanayak 75-100 kg/ha. Responden harus membeli di tempat pengecer resmi. Pengecer resmi adalah perseorangan, kelompok tani, dan badan usaha baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang berkedudukan di Kecamatan dan/atau Desa, yang ditunjuk oleh Distributor dengan kegiatan pokok melakukan penjualan pupuk bersubsidi di wilayah tanggungjawabnya secara langsung. Selalu ada setiap petani membutuhkannya.
Sumber : Deptan 2010
Berdasarkan Tabel 4.2 dapat dilihat bahwa kriteria yang digunakan pada setiap indikator. Untuk mengukur tingakat efektivitas menurut Sari (2007) Apabila presentasi tepat harga sama dengan atau lebih besar dari 80 persen maka indikator tepat harga dikategorikan efektif. Ketepatan tempat dalam indikator efektivitas kebijakan subsidi pupuk diukur berdasarkan kios tempat responden membeli pupuk yaitu di pengecer resmi atau bukan pengecer resmi. Selanjutnya dilakukan perbandingan antara responden yang membeli pupuk di pengecer resmi dengan bukan pengecer resmi dalam bentuk persen. Apabila persentase yang
27 membeli pupuk di pengecer resmi sama dengan atau lebih besar dari 80 persen maka dapat dikategorikan efektif pada indikator tepat tempat. Indikator selanjutnya pada kebijakan subsidi pupuk adalah indikator tepat waktu. Indikator ini diukur berdasarkan pendapat responden tentang tersedia atau tidaknya pupuk ketika dibutuhkan oleh responden atau dapat dikatakan bahwa ada atau tidaknya kelangkaan pupuk. Selanjutnya dilakukan perbandingan antara responden yang berpendapat bahwa pupuk selalu ada setiap dibutuhkan dengan responden yang berpendapat bahwa masih ada kelangkaan pupuk dalam bentuk persen. Apabila presentase tingkat ketepatan atau persentase responden yang menyatakan bahwa pupuk selalu ada ketika dibutuhkan sama dengan atau lebih besar dari 80 persen maka dapat dikategorikan bahwa tepat waktu sudah efektif. Indikator terakhir dalam penentuan efektivitas kebijakan subsidi pupuk adalah indikator tepat jumlah. Pengukuran tepat jumlah ini berdasarkan selisih antara jumlah aktual dengan jumlah seharusnya yang dijelaskan pada rumus (4.2). Selanjutnya dilakukan perbandingan antara responden yang menggunakan pupuk sesuai dengan anjuran dengan responden yang menggunakan pupuk tidak sesuai anjuran dalam bentuk persen. Apabila persentase responden yang menggunakan pupuk sesuai anjuran sama dengan atau lebih besar dari 80 persen maka dapat dikategorikan efektif pada indikator tepat jumlah. Dari keseluruhan persentase indikator dibuat rata-ratanya dalam bentuk persen. Apabila rata-rata tingkat ketepatan sama dengan atau lebih dari 80 persen maka dapat dikategorikan bahwa kebijakan subsidi pupuk sudah efektif.
4.4.2
Metode Regresi Linear Model regresi linear berganda menurut Juanda (2009) adalah fungsi linear
dari beberapa peubah bebas X1, X2,..., Xk dan komponen sisaan error. Analisis data menurut Kurniawan (2008) mempunyai tiga fungsi, yaitu untuk tujuan deskripsi dari fenomena data atau kasus yang sedang diteliti, untuk tujuan kontrol, dan untuk tujuan prediksi. Analisis
regresi
digunakan untuk
menganalisis
faktor-faktor
yang
mempengaruhi harga permintaan urea dan produksi padi.Analisis ini digunakan untuk
membuat
model
pendugaan terhadap
nilai-nilai
parameter
yang
28 menjelaskan hubungan antar variabel penjelas dan variabel respon. Model regresi yang digunakan adalah regresi berganda dengan model double log. Parameter regresi diduga dengan metode pendugaan OLS (Ordinary Least Square). Adapun sifat-sifat OLS menurut Gujarati (2003), penaksiran OLS tidak bias, penaksiran OLS mempunyai varian yang minimum, konsisten, efisien dan linier. Metode double log dengan metode pendugaan OLS, dimaksudkan untuk melihat model pendugaan secara statistik. Salah satu ciri dari model double log yaitu koefisien kemiringan nilai koefisien dugaan mengukur elastisitas variabel tak bebas dengan variabel bebas. Persamaan double log untuk persamaan permintaan Urea dapat ditulis dalam bentuk sebagai berikut: LnPPUi = β0 + β1LnPUi + β2LnPNi + β3LnPHDi + β4LnLLHi + ei, ................ (4.3) Hipotesis: β1, β2, β3, dan β4 > 0 Dimana: PPUi : PUi : PNi : PHDi : LLHi :
total permintaan pupuk urea pada harga ke-i harga urea-i harga NPK-i harga gabah padi-i penggunaan lahan dengan jumlah-i
Persamaan untuk produksi padi dapat ditulis sebagai berikut: LnPPi = β0 + β1LnPPKUi + β2LnPPKNi + β3LnTTKi + β4LnLLH + β5LnBBTi +β6LnD1ei
................................................................................................................
(4.4) Hipotesis: β1, β2, β3, β4, β5 dan β6> 0
Dimana: PPi : PPKUi : PPKNi : TTKi : LLHi : BBTi : D1i :
total produksi padi pada penggunaan pupuk dengan jumlah-i harga pupuk urea-i harga pupuk NPK-i penggunaan tenaga kerja dengan jumlah-i penggunaan lahan dengan jumlah-i penggunaan bibit atau benih dengan jumlah-i penggunaan dummy bibit dengan jumlah-i (1=ciherang, 0=non
ciherang) Dalam penelitian ini terdapat dua regresi yaitu regresi yang melihat respon penggunaan pupuk terhadap perubahan harga, dan respon produksi padi terhadap perubahan faktor-faktornya meliputi luas lahan, pupuk, tenaga kerja, benih atau bibit, dandummy benih. Pada uji statistika ini dilihat nilai koefisien determinasi
29 (R-squared), nilai probabilitas F-statisik, serta uji t yang berdasarkan nilai probabilitas masing- masing variabel indenpendennya yang dibandingkan dengan taraf nyata yang digunakan yaitu 10 persen. Pengujian terhadap kriteria ekonometrika adalah berdasarkan pada pelanggaran asumsi dalam metode OLS. Penyimpangan yang terjadi terhadap asumsi BLUE (Best Linier Unbiased Estimator) akan menyebabkan estimasi terhadap nilai yang diukur menjadi tidak valid. Pada kriteria ekonometrika yang digunakan ialah dengan melihat adanya multikolinieritas dan heteroskedastisitas. Gujarati (2006) menjelaskan serangkaian evaluasi model dapat dilakukan sebagai berikut: 4.4.2.1 Goodness of Fit Besranya nilai koefisien determinasi (R2) dihitung untuk mengetahui seberapa jauh keragaman permintaan urea dan produksi padi yang dapat diterangkan oleh variabel penjelas yang telah dipilih. Jika nilai R2 semakin tinggi, maka akan semakin baik model karena semakin besar keragaman permintaan urea dan produksi padi yang dapat dijelaskan oleh variabel penjelas. Rumus koefisien determinasi dapat dituliskan sebagai berikut:
4.4.2.2 Uji F Uji F dilakukan untuk mengetahui apakah variabel-variabel bebas secara serempak berpengaruh nyata pada variabel tidak bebasnya.Fhit dalam uji F dihitung dengan menggunakan Minitab 14. Sedangkan Ftabel dihitung dengan menggunakan rumus Ftabel = Fk, n-k-i, α. Kriteria uji F adalah sebagai berikut: Tolak H0 jika Fhit> Ftabel atau p-value< α (taraf nyata). Hal ini berarti terdapat minimal satu parameter tidak nol dan berpengaruh nyata terhadap keragaman variabel tak bebas. Terima H0 jika Fhit< Ftabel atau p-value> α (taraf nyata). Hal ini berarti bahwa secara bersamaan variabel yang digunakan tidak dapat menjelaskan keragaman dari variabel tak bebas secara nyata.
30
4.2.2.3 Uji-t Uji-t dilakukan untuk mengetahui apakah variabel bebas secara parsial berpengaruh terhadap variabel terikat. Uji ini juga dilakukan untuk mengetahui keabsahan dari hipotesis dan membuktikan apakah koefisien regresi signifikan atau tidak secara statistik. Hipotesis : H0 : β = 0 H1 : β ≠ 0 Statistik uji: β Hasil thit dihitung berdasarkan ttabel (ttabel = tα/2 (n-2)) Dimana: b = koefisien regresi parsial sampel β = koefisien regresi parsial populasi Sb = simpangan baku koefisien dugaan Teknik pengambilan kesimpulan: Tolak H0 jika thit > ttabel atau p-value< α (taraf nyata). Hal ini berarti variabel bebas yang digunakan berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebasnya. Terima H0 jika thit < ttabel atau p-value> α (taraf nyata). Hal ini berarti variabel bebas yang digunakan tidak berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebasnya.
4.2.2.4 Uji Kenormalan Uji normalitas diperlukan untuk mengetahui apakah error term dari data atau observasi yang jumlahnya kurang dari 30 mendekati sebaran normal sehingga statistik t dapat dikatakan sah. Data atau observasi dalam penelitian ini jumlahnya lebih dari 30, oleh karena itu data mendekati sebaran normal sehingga diketahui bahwa statistik t dapat dikatakan sah. Namun, untuk meyakinkan data mendekati sebaran normal perlu dilakukan sebuah uji. Salah satu uji yang dapat dilakukan adalah dengan metode grafik yaitu dengan melihat penyebaran data pada sumber diagonal pada grafik probabiliy plot of residual. 4.2.2.5 Uji Multikolinearitas Salah satu asumsi dari model regresi berganda adalah bahwa tidak ada hubungan linier sempurna antar peubah bebas dalam model. Jika hubungan tersebut ada, berarti terdapat multikolonieritas. Dengan demikian dapat dikatakan
31 bahwa peubah-peubah bebas tersebut berkolinieritas ganda sempurna sehingga tidak mungkin diperoleh dugaan parameter koefisiennya. Pengujian terhadap ada tidaknya hubungan multikolinieritas dalam sebuah model dapat diketahui melalui uji Marquardt dan dapat dilihat dari nilai VIF (Varian Inflation Factor) pada masing-masing variabel bebas. Jika nilai VIF kurang dari 10 menunjukkan bahwa persamaan tersebut tidak mengalami multikolinieritas. 4.2.2.6 Uji Heteroskedastisitas Uji heteroskedastisitas dilakukan untuk melihat apakah terjadi pelanggaran terhadap asumsi homoskedastisitas atau varians yang sama. Jika varians tidak sama, maka dapat disimpulkan terdapat masalah heteroskedastisitas. Jika terjadi heteroskedastisitas akibatnya pendugaan OLS tidak efisien lagi.Uji yg digunakan yaitu dengan uji Glejser. Jika nilai p-value> alpha maka terima H0 yang artinya ragam homogen (homoskedastisitas). 4.2.2.7 Uji Autokorelasi Autokorelasi merupakan gangguan pada fungsi regresi yang berupa korelasi di antara faktor gangguan. Ada beberapa prosedur atau cara untuk mengetahui adanya maslah autokorelasi pada suatu model regresi. Tetapi uji ada tidaknya autokorelasi yang paling banyak digunakan adalah Uji Durbin-Watson (Uji D-W). Uji ini dapat digunakan bagi sampel, baik besar ataupun kecil, tetapi D-W hanya berhasil baik apabila autokorelasinya berbentuk autokorelasi linear order pertama, artinya faktor pengganggu et berpengaruh kepada faktor pengganggu et-1. Untuk itu melihat ada tidaknya autokorelasi, dapat digunakan ketentuan sebagai berikut (Firdaus, 2004). Tabel 4.3. Uji Autokorelasi D-W Kurang dari 1,10 1,10 dan 1,54 1,55 dan 2,46 2,46 dan 2,90 Lebih daro 2,91 Sumber : Firdaus 2004
Kesimpulan Ada autokorelasi Tanpa kesimpulan Tidak ada autokorelasi Tanpa kesimpulan Ada autokorelasi
32
V GAMBARAN UMUM 5.1 Kondisi Umum Desa Hambaro Gambaran umum lokasi penelitian yang dibahas pada penelitian ini meliputi letak geografis dan pembagian administrasi, kependudukan, serta sarana dan prasarana.Secara rinci penjelasan gambaran umum lokasi penelitian dapat dilihat dibawah ini. 5.1.1 Geografi Desa Hambaro adalah salah satu desa di wilayah Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor.Desa ini memiliki luas wilayah sebesar 355,778 ha, yang terdiri dari 4 Dusun, 10 Rukun Warga (RW), dan 28 Rukun Tetangga (RT). Desa ini terletak kurang lebih 5 km dari kantor Kecamatan Nanggung dan 60 km dari kantor Kabupaten Bogor.Dengan batas wilayah sebagai berikut :
Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Kalong Liud
Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Sukaluyu
Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Pangkal Jaya / Kehutanan
Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Kalong Liud dan Desa Pangkal Jaya
Secara umum Desa Hambaro Beriklim sedang dengan temperatur rata-rata 340C pada siang hari 320C pada malam hari, dengan ketinggian 400 mdl sampai dengan 700 mdl di atas permukaan laut dan curah hujan rata-rata pertahunnya adalah 300 mm sampai dengan 400 mm. Kondisi lahan di Desa Hambaro tergolong subur dengan warna tanah yang merah dan tekstur tanah lampungan, sehingga Desa Hambaro sangat cocok untuk pengembangan budidaya padi. Berdasarkan data profil Desa Hambaro (2011), lahan yang berfungsi sebagai lahan pertanian seluas 225 ha atau sebesar 63, 24 persen dari total luas lahan. Namun lahan yang ditanami padi seluas 214, 3 ha atau sebesar 60, 23 persen. Penggunaan lahan lainnya adalah untuk pemukiman seluas 44, 322 ha atau sebesar 12,46 persen dan perkebunan seluas 23.399 ha atau sebesar 6,6 persen. Secara rinci luas wilayah menurut penggunaan Desa hambaro dapat dilihat pada Tabel 5.1. Tabel 5.1. Luas Wilayah Desa Hambaro Menurut Penggunaan
33 No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Keterangan Pemukiman Persawahan Perkebunan Kuburan Pekarangan Taman Perkantoran Prasaranaumum lainnya Total
Luas Lahan (ha) 44,322 225,000 23,399 2,500 9,790 0,300 1,200 49,267 355,778
Persentase (%) 12,46 63,24 6,60 0,70 2,74 0,08 0,34 13,84 100
Sumber : Profil Desa Hambaro, 2011
5.1.2Kependudukan Jumlah penduduk di Desa Hambaro pad tahun 2011 adalah sebanyak 6730 orang yang terdiri dari 3494 orang laki-laki dan 3236 orang perempuan denganjumlah kepala keluarga sebanyak 1650 kepala keluarga. Berdasarkan golongan umur golongan terbanyak berada pada golongan 10-19 tahun sebanyak 1432 orang atau sebesar 21,26 persen dan golongan 20-29 sebanyak 1307 orang atau sebesar 19,42 persen dari penduduk total. Sedangakan untuk golongan umur paling sedikit terdapat pada golongan umur> 70 tahun yaitu sebanyak 102 orang atau sebesar 1,50 persen. Secara rinci jumlah penduduk Desa Hambaro menurut golongan umur pada tahun 2011 dapat dilihat pada Tabel 5.2. Tabel 5.2Jumlah Penduduk Desa Hambaro Menurut Golongan Umur Tahun 2010 No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Golongan Umur (tahun) 0–9 10 – 19 20 – 29 30 – 39 40 – 49 50 – 59 60 – 69 ≥ 70 Total
Jumlah (orang) 1259 1432 1307 1067 801 529 239 102 6730
Persentase (%) 18,70 21.26 19,41 15.84 11,90 7,85 3,54 1,50 100
Sumber : Sumber : Profil Desa Hambaro, 2011
5.1.3 Keadaan Sosial Ekonomi Masyarakat Pada dasarnya tingkat tingkat perkembangan perekonomian masyarakat di Desa Hambaro masih cukup rendah karena masih banyak warga masyarakat di Desa Hambaro bermatapencaharian sebagai petani yaitu sebanyak 152 oang dan buruh tani sebanyak 233 orang. Sedangkan masyarakat Desa Hambaro yang
34 berprofesi sebagai PNS dan TNI/POLRI hanya sebanyak 10 orang. Struktur Mata Pencaharian penduduk Desa Hambaro dapat dilihat pada Tabel 5.3. Tabel 5.3 Struktur Mata Pencaharian Desa Hambaro Tahun 2011 No 1. 2.
3. 4. 5. 6. 7.
Mata Pencaharian Petani Buruh (Tani, Industri, Pertambangan, Bangunan, Perkebunan) Pengrajin Pengusaha Pedagang PNS dan TNI/POLRI Jasa-jasa lainnya (Pemerintahan Umum dan Swasta) Total
Jumlah (orang) 152 369
Persentase (%) 5,37 13,04
35 196 730 10 1337
1,24 6,93 25,80 0,36 47,26
2829
100
Sumber: Profil Desa Hambaro, 2011
Tingkat pendidikan masyarakat di Desa Hambaro pun tergolong masih rendah. Hal ini dapat dilihat dari jumlah tamatan SD di Desa Hambaro sebanyak 3711 orang. Sedangkan jumlah tamatan perguruan tinggi sebanyak 7 orang. Komposisi penduduk Desa Hambaro menurut tingkat pendidikan dapat dilihat pada Tabel 5.4. Tabel 5.4. Komposisi Penduduk Desa Hambaro Menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2011 No. 1. 2. 3. 4. 5.
Tingkat Pendidikan Tamat SD Tamat SMP/sederajat Tamat SMA/sederajat Akademi ( D1 - D3 ) Perguruan Tinggi ( S1 – S2) Total
Jumlah (orang) 3711 531 199 9 7 4457
Persentase (%) 83,26 11,91 4,47 0,20 0,16 100
Sumber: Profil Desa Hambaro, 2011
5.2Karakteristik Responden Karakteristik petani responden yang dibahas pada penelitian ini meliputi jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, luas lahan, dan status pengusahaan lahan. 5.2.1
Jenis Kelamin Jumlah responden petani padi dalam penelitian ini sebanyak 60 orang. Jenis
kelamin petani padi yang menjadi responden penelitian ini memiliki perbandingan yang cukup berimbang dengan yaitu untuk jenis kelamin perempuan sebanyak 31 orang atau 52% dari jumlah responden dan untuk jenis kelamin laki-laki sebanyak
35 29 orang atau 48% dari jumlah responden. Secara rinci jenis jenis kelamin responden dapat diliat pada Tabel 5.5 di bawah ini. Tabel 5.5 Karakteristik Jenis Kelamin Responden Petani Padi No 1. 2.
Jenis Kelamin Perempuan Laki-laki Total
Jumlah (orang) 31 29 60
Persentase (%) 52 48 100
Sumber : Data Primer, 2012
5.2.2
Usia Usia petani padi yang menjadi responden pada penelitian ini berkisar antara
28 sampai 66 tahun. Rata-rata usia responden petani padi
adalah 45 tahun.
Sebagian besar usia petani padi yang menjadi responden adalah kelompok umur 40 sampai 49 tahun sebanyak 20 orang atau sebesar 33,33 persen. Kemudian disusul oleh kelompok umur 30 sampai 39 tahun sebanyak 19 orang atau sebesar 31,67 persen. Secara rinci kelompok usia responden petani padi dapat dilihat pada Tabel 5.6. Tabel 5.6 Kelompok Usia Responden Petani Padi No. 1. 2. 3. 4. 5.
Umur (tahun) < 30 30 – 39 40 – 49 50 – 59 60 - 69
Jumlah (orang) 1 19 20 14 6 60
Persentase (%) 1,67 31,67 33,33 23,33 10 100
Sumber : Data Primer, 2012
5.2.3
Pendidikan Formal Pendidikan yang diikuti oleh petani padi terdiri dari pendidikan formal dan
pendidikan non formal.Tingkat pendidikan formal petani padi organik dan anorganik adalah mulai dari SD/MI sampai SMA/Aliyah. Pendidikan terakhir petani padi sebagian besar adalah SD/MI yaitu sebanyak 43 orang atau sebesar 71,67 persen. Lainnya adalah SMP/Mts sebanyak 11 orang atau sebesar 18,33 persen. Selain itu, tingkat pendidikan terakhir yang ditempuh oleh petani padi adalah SMA/Aliyah sebanyak 5 orang atau sebesar 8,33 persen. Sedangkan pada pendidikan non formal, petani padi mengikuti berbagai jenis kegiatan untuk menambah wawasan mereka dalam mengembangkan usahatani seperti sekolah lapang dan pelatihan yang diselenggarakan oleh penyuluh pertanian.Secara rinci
36 penggolongan responden berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada Tabel 5.7. Tabel 5.7 Penggolongan Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan No. 1. 2. 3. 4.
Tingkat Pendidikan SD/MI SMP/Mts SMA/Aliyah Pesantren Total
Jumlah (orang) 43 11 5 1 60
Persentase (%) 71,67 18,33 8.33 1,67 100
Sumber : Data Primer, 2012
5.2.4 Luas Lahan Responden memiliki luas lahan yang berbeda-beda. Luas lahan padi ratarata yang diusahakan petani padi adalah seluas 4766,67 m2. Besaran pengelompokan luas lahan yang paling mayoritas dimiliki oleh responden petani adalah seluas 1000 m2 sampai 4999 m2 sebanyak 35 orang atau sebesar 58,33 persen. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden merupakan petani kecil dengan luas lahan yang sedikit. Hal ini didukung dengan data dimana petani padi dengan total di bawah satu hektar adalah sebesar 81,67 persen, sedangkan petani dengan luas lahan lebih dari satu hektar adalah sebesar 18, 33 persen. Keadaan luas lahan tersebut yang sebagian besar dimiliki oleh petani kecil juga akan berpengaruh pada penerimaan pendapatan petani dan tingkat kesejahteraan petani. Olah karena itu, dibutuhkan berbagai kebijakan yang memihak kepada petani untuk dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani Secara rinci penggolongan responden petani padi berdasarkan luas lahan dapat dilihat pada Tabel 5.8. Tabel 5.8. Penggolongan Responden Berdasarkan Luas Lahan No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Luas Lahan (m2) < 1000 1000 – 4999 5000 – 9999 10000 – 14999 15000 – 19999 20000 – 14999 25000 – 29999 30000 – 34999 Total
Sumber : Data Primer, 2012
Jumlah (orang) 3 35 11 7 2 1 0 1 60
Persentase (%) 5 58,33 18,33 11,67 3,33 1,67 0 1,67 100
37 Rata – Rata Produksi Padi Responden
5.2.5
Dari data luas lahan di atas dimana luas lahan mayoritas sebesar 1000-4999 m2 mempengaruhi produksi padi yang pada penelitian ini dilihat rata-rata produksi padi setiap musim tanam yang disajikan pada Tabel 17. Bisa dilihat bahwa rata-rata produksi padi setiap musim tanam periode 2011 terbanyak yaitu kurang dari 2000 kg sebesar 80 persen. Produksi terbesar kedua yaitu antara 60007999 kg per musim tanam sebesar 10 persen. Data lebih rinci untuk produksi padi di bawah 2000 kg adalah antara 100 – 999 kg sebanyak 33 orang atau sebesar 55 persen, sedangkan produksi antara 1000 – 1999 adalah sebanyak 15 orang atau sebesar 25 persen. Hal ini menunjukkan bahwa produksi padi setiap musim tanam masih rendah yang didukung dengan luas lahan yang juga masih rendah. Oleh karena itu diperlukan teknik produksi, bibit, pupuk, tenaga kerja yang lebih bagus dan terampil tentunya dengan bantuan berbagai kebijakan dari pemerintah. Adapun secara rinci penggolongan rata-rata produksi padi musim tanam tahun 2011 dapat dilihat pada Tabel 5.9. Tabel 5.9. Penggolongan Rata – Rata Produksi Padi Musim Tanam Tahun 2011. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Produksi (kg) < 2000 2000 – 3999 4000 – 5999 6000 – 7999 8000 – 9999 10000 – 11999 12000 – 13999 14000 – 15999 Total
Jumlah (orang) 48 1 1 6 1 0 2 1 60
Persentase (%) 80 1,67 1,67 10 1.67 0 3,32 1,67 100
Sumber : Data Primer, 2012
5.2.6 Pengeluaran Input Produksi Padi Responden Pengeluaran petani untuk biaya-biaya produksi semakin meningkat dengan adanya peningkatan harga serta peningkatan kebutuhan pada input-input produksinya seperti pupuk, bibit, obat-obatan, serta tenaga kerja. Berikut ini adalah gambar tentang pengeluran petani pada masing-masing input produksi.
38 Rincian Pengeluaran Input Per Musim Tanam (Rp/m2)
3%
5%
5%
Bibit 8%
Pupuk 26%
14%
Tenaga Kerja Sewa Alat Pertanian
39%
Biaya Pengairan Pemeliharaan Sarana/Alat
Gambar 5.1. Rincian Pengeluaran Input Produksi per Musim Tanam Responden Berdasarkan Gambar 6 diatas terlihat bahwa pengeluaran input produksi terdiri dari bibit, pupuk, tenaga kerja, sewa alat pertanian, pengairan, pemeliharaan alat/sarana, dan biaya pengangkutan. Dari tujuh input produksi tersebut dapat dilihat bahwa pengeluaran input paling besar yaitu biaya untuk upah tenaga kerja sebesar 39 persen. Biaya tenaga kerja menjadi pengeluaran petani yang terbesar karena sistem bagi hasil upah tenaga kerja dengan pemilik lahan adalah 1:5. Tenaga kerja mendapatkan bagian satu dari seluruh produksi,sedangkan pemilik lahan mendapatkan bagian lima dari seluruh produksi padi. Pengeluaran bagi hasil ini belum termasuk biaya tenaga kerja setiap harinya yang mencapai 20000-30000 untuk setiap hari pada tahap-tahap produksi tertentu seperti pada saat tahap penyiapan lahan, penanaman, dan panen yang membutuhkan lebih banyak tenaga kerja.Selain itu banyaknya masyarakat Desa Hambaro yang lebih memilih bekerja di luar pertanian membuat harga upah tinggi. Adapun besaran upah untuk buruh tani perempuan sebesar Rp 20000/hari dan untuk laki-laki sebesar Rp 30000/hari. Biaya terbesar kedua adalah pupuk yaitu sebesar 26 persen kemudian diikuti oleh biaya sewa alat pertanian sebanyak 14 persen dan biaya untuk bibit sebesar 8 persen. Pupuk menjadi biaya terbesar kedua dikarenakan petani di Desa Hambaro masih mengunakan pupuk kimia .Pupuk kimia yang masih digunakan oleh petani antara lain Urea, TSP/SP-36, dan NPK. Masih terbiasanya petani menggunakan pupuk kimia membuat petani sulit untuk beralih menggunakan
39 pupuk organik yang sebenarnya salah satu alternatif agar biaya produksi untuk pupuk menjadi berkurang. Adanya anjuran pemerintah mengenai penggunaan pupuk yang baik seperti Urea sebanyak 200 kg, TSP/SP-36 sebanyak 100 kg, dan KCL sebanyak 100 kg pun menjadi salah satu alasan mengapa petani masih menggunakan pupuk kimia. Alasan lainnya adalah masih banyaknya petani yang belum mengetahui bagaimana pembuatan pupuk organik dan mereka masih beranggapan membuat pupuk organik akan memakan banyak tenaga kerja sehingga kan meningkatkan biaya tenaga kerja. Biaya terbesar ketiga adalah sewa alat pertanian. Kebanyakan petani di Desa Hambaro tidak memiliki alat pertanian untuk membajak sawahnya sehingga sebagian besar responden yang merupakan petani kecil masih membutuhkan kerbau dan traktor. Sewa untuk kerbau dan traktor terbilang cukup mahal, untuk sewa kerbau perharinya antara 50000 – 60000 rupiah, sedangkan untuk sewa traktor sebesar Rp 500000 untuk satu musim tanam. Lamanya pembajakan sawah oleh traktor dan kerbau sangat jauh berbeda untuk kerbau biasanya bisa sampai 5 hari atau lebih sesuai dengan luas lahannya sedangkan untuk traktor biasanya hanya membutuhkan waktu 1 – 2 hari saja. Biaya untuk bibit yang merupakan biaya terbesar keempat merupakan salah satu input penting dalam produksi padi, karena kualitas bibit akan mempengaruhi kuantitas dan kualitas produksi padi. Benih yang banyak digunakan oleh responden adalah bibit jenis Ciherang yang harganya sekitar Rp 7500/kg. Namun ada jenis bibit lain yang digunakan oleh responden yaitu Inpari 16 dengan harga sekitar Rp 6500/kg. Menurut responden saat ini bibit padi sudah tidak di subdisi kembali karena pada tahun 2010 pernah ada subsidi bibit yaitu bibit Inpari 10 dengan harga sekitar Rp 1000/kg namun bibit tersebut terbilang bibit yang berkualitas buruk karena hasil panen padinya mengalami pengurangan kuantitas karena kebanyakan padinya hampa atau kosong. Oleh karena itu petani beralih kepada bibit Ciherang karena kualitas yang cukup baik, walaupun biaya produksi pun akan meningkat. Pengeluaran lain setelah bibit adalah pengairan, pemeliharaan sarana/alat pertanian, dan biaya pengangkutan yang masing masing sebesar tiga persen, lima persen, serta lima persen. Pengeluaran-pengeluaran tersebut penting dalam
40 produksi padi terutama untuk pengairan.Desa Hambaro masih tergolong memiliki pengairan irigasi yang cukup baik sehingga musim tanam untuk satu tahun berkisar dua sampai tiga musim tanam. Kebijakan subsidi pupuk berupa HET pada setiap jenis pupuk juga memberikan sumbangan yang cukup tinggi untuk pengeluaran biaya produksi setiap musim tanamnya. Seperti halnya telah dijelaskan pada Gambar 5.1 bahwa pengeluaran untuk pupuk sebesar 26 persen.
41
VI HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk Pupuk merupakan komponen yang cukup penting dalam produksi padi. Seperti halnya telah dijelaskan pada bab sebelumnya mengenai karakteristik petani responden bahwa pengeluaran terbesar kedua pada biaya produksi adalah pupuk. Sehingga program kebijakan fiskal sangat diperlukan dalam rangka agar terpenuhinya kebutuhan pupuk petani dengan harga murah dan mudah didapat sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan petani. Kebijakan pupuk yang saat ini diterapkan oleh pemerintah adalah kebijakan subsidi pupuk. Kebijakan subsidi pupuk yang diterapkan saat ini adalah Harga Eceran Tertinggi (HET) yang diterima oleh petani pada setiap jenis pupuk. Adapun penyaluran subsidi pupuk diatur oleh pemerintah yaitu dengan sistem terbuka, dimana petani dapat langsung membeli pupuk ke pengecer resmi. Pengawasan
dilakukan
untuk
mengetahui
efektivitas
kebijakan
subsidi
pupuk.Efektivitas tersebut dapat diketahui melali enam prinsip tepat yaitu harga, jumlah, waktu, tempat, jenis, dan mutu. Pada penelitian iniuntuk mengukur efektivitas kebijakan subsidi pupuk menggunakan empat dari enam indikator dengan studi kasus di Desa Hambaro, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor. Indikator pertama yang digunakan untuk mengetahui efektivitas subsidi pupuk adalah tepat harga. Indikator ini dapat diperoleh berdasarkan selisih antara harga yang diterima responden dengan harga yang seharusnya diterima responden. Secara rinci rata-rata harga pada setiap jenis pupuk yang diterima responden dapat dilihat pada Tabel 6.1. Tabel 6.1. Rata-Rata Harga Pupuk Bersubsidi yang Diterima Responden Uraian Harga rata-rata pembelian (Rp/kg) Harga eceran tertinggi (Rp/kg) Deviasi Absolut (Rp/kg) Deviasi Relatif (%)
Urea 2150 1800 350 19,44
TSP/SP-36 2450 2000 450 22,5
NPK 2600 2300 300 13,04
Sumber : Data primer, 2012 dan Deptan, 2012
Harga aktual dan harga yang harus diterima oleh responden dapat dilihat pada Tabel 6.1. Adapun jenis pupuk yang digunakan oleh responden adalah pupuk Urea, TSP/SP-36, dam NPK. Pupuk Urea memiliki Harga Eceran Tertinggi (HET)
42 yang ditetapkan oleh pemerintah yaitu sebesar Rp 1800/kg. Namun pada kenyataannya harga pupuk Urea yang diterima responden rata-rata sebesar Rp 2150/kg. Sehingga selisih antara harga aktual dan harga yang harusnya diterima responden yaitu sebesar RP 350/kg. Dengan kata lain responden telah membeli pupuk Urea dengan harga 19,44 persen lebih mahal untuk setiap satu kilogram daripada harga sesungguhnya. Jenis pupuk lain yang digunakan oleh responden adalah NPK. Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk jenis pupuk NPK adalah Rp 2300/kg.Rata-rata responden membeli pupuk ini sebesar Rp 2600/kg sehingga selisih harga aktual pupuk dengan harga yang seharusnya diterima responden adalah sebesar Rp 300/kg. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa responden membeli pupuk NPK dengan harga 13,04 persen lebih mahal untuk setiap satu kilogram dari harga sesungguhnya. Selain jenis pupuk Urea dan NPK jenis pupuk lain yang digunakan responden adalah jenis pupuk TSP atau SP-36. Harga Eceran Tertinggi untuk pupuk jenis ini adalah Rp 2000/kg.Rata-rata harga responden memperoleh pupuk tersebut adalah sebesar Rp 2450/kg sehingga selisih antara harga aktual dan harga yang seharusnya diterima responden adalah sebesar Rp 450/kg. Berdasarkan data tersebut maka responden memebeli pupuk TSP atau SP-36 sebsar 22,5 persen untuk setiap satu kilogram dari harga sesungguhnya. Dari ketiga jenis pupuk tersebut maka dapat dikategorikan bahwa harga pembelian setiap pupuk lebih tinggi dari harga eceran tertingginya. Hal ini akan mempengaruhi tingkat efektivitas dari kebijakan subsidi pupuk. Secara lebih rinci jumlah responden yang memperoleh harga yang tepat dan tidak tepat dalam memperoleh subsidi pupuk dapat dilihat pada Tabel 6.2. Tabel 6.2. Persentase Tingkat Ketepatan Harga Pupuk Bersubsidi No.
Jenis Pupuk
1.
Urea
2.
TSP/SP-36
3.
NPK Total
Sumber : Data Primer, 2012
Kesesuaian dengan HET Tepat Tidak Tepat Tepat Tidak Tepat Tepat Tidak Tepat Tepat Tidak Tepat
Jumlah 7 53 3 12 7 53 17 118
Persentase (%) 11,67 88,33 20,00 80,00 11,67 88,33 12,59 87,41
43 Berdasarkan Tabel 6.2 menunjukkan bahwa terdapat berbagai pilihan penggunaan pupuk oleh responden dimana jenis pupuk yang digunakan adalah jenis Urea, TSP atau SP-36, dan NPK. Analisis data ini dilakukan dengan melihat perbedaan harga pupuk aktual yang diterima responden dengan harga yang seharusnya diterima responden yaitu harga yang sudah ditetapkan pemerintah dalam bentuk Harga Eceran Tertinggi (HET). Dari tabel di atas dapat dilihat jumlah responden yang dapat memperoleh harga yang sama dengan HET dan jumlah responden yang tidak memperoleh harga yang sama dengan HET. Harga eceran tertinggi untuk urea adalah Rp 1800/kg yang berlaku dari tahun 2012 dan sampai sekarang masih diberlakukan HET yang sama. Urea mempunyai HET yang lebih rendah dibandingkan dengan pupuk jenis lain. Jumlah responden yang menerima HET tepat sama dengan harga yang dibayarkan adalah sebanyak tujuh responden, sedangkan jumlah responden yang tidak memperoleh harga sama dengan HET adalah 53 responden. Responden menggunakan pupuk urea untuk mendukung pertumbuhan daun. Persentase dari responden yang memperoleh harga sama dengan HET dan tidak sama dengan HET masing-masing sebesar 11,67 persen dan 88,33 persen. Pupuk selain urea yang disubsidi yaitu NPK yang mempunyai tiga jenis yaitu NPK Phonska, NPK Pelangi, dan NPK Kujang. Jenis NPK yang digunakan oleh responden adalah NPK dengan jenis NPK Phonska. NPK digunakan responden untuk membantu pertumbuhan buah. Ketiga jenis NPK tersebut mempunyai HET yang sama yaitu Rp 2300/kg. Responden yang mendapatkan harga sesuai dengan HET adalah tujuh responden, sedangkan responden yang mendapatkan harga lebih tinggi dari HET adalah 53 responden. Adapun persentase harga yang sesuai dengan HET yang diperoleh responden adalah sebesar 11,67 persen, sedangkan untuk harga yang tidak sesuai dengan HET sebesar 88,33 persen. Data ini sama dengan data jenis pupuk Urea karena responden mewajibkan menggunakan kedua jenis pupuk tersebut dalam memproduksi padi. Kedua jenis pupuk tersebut pun memiliki persentase yang lebih besar dalam hal ketidaktepatan dari HET yang berlaku. Jenis pupuk lain yang digunakan responden adalah jenis pupuk TSP atau SP-36. Pupuk ini digunakan untuk memperkuat batang tanaman dan mempercepat
44 pertumbuhan akar semai. TSP/SP-36 mempunyai HET sebesar Rp 2000/kg. Responden yang memperoleh harga sesuai dengan HET adalah tiga responden, sedangkan responden yang tidak memperoleh harga sesuai dengan HET adalah 12 responden. Persentase responden yang mempunyai harga sama dengan HET dan yang tidak sama dengan HET masing-masing sebesar 20 persen dan 80 persen. Dari ketiga jenis pupuk bersubsidi yang digunakan oleh responden semuanya mempunyai
kecenderungan
yang
sama
dimana
kebanyakan
responden
memperoleh harga yang lebih tinggi dari HET dengan persentase sebesar 87,41 persen dibandingkan dengan responden yang memperoleh harga sama dengan HET yang hanya sebesar 12,59 persen. Kecenderungan harga yang lebih tinggi dari HET ini terjadi karena kebanyakan responden membeli pupuk di kios yang dekat dengan desa. Kebanyakan kios resmi berada di luar desa yang membutuhkan tambahan biaya transportasi. Selain itu, kebanyakan responden juga tidak mengetahui kios resmi yang menjual pupuk bersubsidi. Adanya perusahaan yang mengkreditkan pupuk pun menjadi alasan mengapa harga pupuk yang diperoleh responden menjadi lebih tinggi. Hal-hal tersebut yang membuat pupuk bersubsidi pada penelitian ini belum bisa dikategorikan memenuhi prinsip tepat harga. Indikator kedua yang menentukan keefektifan program kebijakan subsidi pupuk adalah indikator tepat tempat. Tepat tempat yang dimaksud adalah petani sebagai penerima subsidi pupuk dapat memperoleh pupuk di kios resmi atau pengecer resmi. Secara rinci hasil penelitian tentang indikator tepat tempat akan dijelaskan pada Tabel 6.3 berikut ini. Tabel 6.3. Persentase Tingkat Ketepatan Tempat Pupuk Bersubsidi No. 1. 2.
Tempat Pembelian Pupuk Pengecer resmi Bukan pengecer resmi Total
Jumlah Responden 7 53 60
Persentase (%) 11,67 88,33 100
Sumber : Data Primer, 2012
Dari Tabel 6.3 di atas dijelaskan tentang besarnya ketepatan tempat pembelian pupuk bersubsidi. Ketepatan tempat ini diukur berdasarkan seberapa banyak responden yang yang membeli pupuk bersubsidi di pengecer resmi dan bukan pengecer resmi. Dari tabel tersebut terlihat bahwa sebanyak 53 responden menyatakan bahwa mereka melakukan pembelian pupuk di bukan pengecer resmi.
45 Responden tersebut menyatakan bahwa terdapat kios di dalam desa walaupun dengan harga yang lebih mahal dan bukan merupakan kios resmi. Namun, responden tersebut tetap memilih untuk membeli pupuk bersubsidi di kios dalam desa daripada di luar desa meskipun dengan harga yang lebih mahal dengan alasan bahwa kios luar desa terlalu jauh dan masih membutuhkan biaya transportasi. Dari tabel tersebut juga dapat dilihat bahwa terdapat tujuh responden yang melakukan pembelian pupuk di pengecer resmi. Hal ini dilakukan dengan alasan bahwa responden yang membeli pada pengecer resmi di luar desa memiliki permintaan terhadap pupuk yang cukup besar, sehingga responden membeli di agen resmi dengan harga yang dibayar akan jauh lebih murah daripada harus membeli di kios yang berada di dalam desa. Dengan melakukan pembelian dalam jumlah besar responden tidak merasa dirugikan dengan adanya biaya transportasi. Namun, hal ini hanya bisa dilakukan oleh beberapa petani dengan modal yang cukup besar untuk membeli dalam jumlah yang banyak. Petani dengan modal yang terbatas dimana tidak ada kios resmi yang berada dalam desa dan melakukan pembelian pupuk di luar desa akan merasa terbebani dengan biaya transportasi karena mereka hanya membeli pupuk dengan jumlah yang tidak besar dan tidak sebanding dengan biaya transportasi yang mereka keluarkan. Persentase responden yang melakukan pembelian pupuk di tempat yang bukan pengecer resmi dengan responden yang melakukan pembelian pupuk di pengecer resmi masing-masing sebesar 83,33 persen dan 16,67 persen. Dari persentase tersebut terlihat bahwa masih banyak responden yang melakukan pembelian pupuk bersubsidi di bukan pengecer resmi dengan berbagai alasan yang telah dijelaskan sehingga kebijakan subsidi pupuk belum dapat dikategorikan efektif dalam indikator tepat tempat. Indikator ketiga dalam menentukan tingkat keefektifan dari suatu kebijakan subsidi pupuk adalah indikator tepat waktu. Indikator tepat waktu yang dimaksud adalah pupuk bersubsidi yang akan selalu tersedia ketika dibutuhkan oleh petani dengan kata lain bahwa tidak terjadi kelangkaan pupuk bersubsidi ketika petaniakan membutuhkan pupuk tersebut. Secara rinci hasil dari penelitian
46 tepat waktu yang berdasarkan pendapat dari responden akan ditunjukkan pada Tabel 6.4 berikut ini. Tabel 6.4. Persentase Tingkat Ketepatan Waktu Pupuk Bersubsidi No. 1. 2.
Ketepatan Waktu Pupuk selalu ada Pupuk tidak ada Total
Jumlah Responden 60 0 60
Persentase (%) 100 0 100
Sumber : Data Primer, 2012
Tabel 6.4 di atas menunjukkan tentang ketepatan waktu dari perolehan pupuk bersubsidi. Indikator ketepatan waktu diukur dengan hasil pendapat responden yang menyatakan pupuk bersubsidi akan selalu ada atau tidak ada ketika dibutuhkan oleh responden. Dari tabel tersebut terlihat bahwa sebanyak 60 responden atau dapat dikatakan bahwa semua responden berpendapat bahwa pupuk bersubsidi selalu ada ketika akan dibutuhkan mereka untuk mendukung produksi. Responden berpendapat bahwa beberapa tahun terakhir termasuk tahun 2011 pupuk bersubsidi selalu ada. Kelangkaan pernah terjadi tetapi pada saat tahun-tahun yang lalu dan pada saat akhir tahun 2011 karena adanya penggantian warna pupuk untuk pupuk Urea yang tadinya berwarna putih sekarng menjadi berwarna merah muda. Hal ini bertujuan untuk membedakan antara pupuk Urea bersubsidi dan pupuk Urea non subsidi. Namun pada awal tahun 2012 ketersediaan pupuk sudah cenderung normal. Dari persentase 100 persen responden yang menyatakan bahwa pupuk bersubsidi selalu ada ketika dibutuhkan mereka maka dikategorikan bahwa kebijakan subsidi pupuk dikatakan efektif dalam indikator tepat waktu dengan tingkat ketepatan sempurna, yaitu 100 persen. Hal ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam melakukan kebijakan subsidi pupuk terutama untuk petani. Indikator terakhir yang menjadi ruang lingkup dalam penelitian ini adalah indikator tepat jumlah. Indikator tepat jumlah yang dimaksud adalah pemupukan dilakukan sesuai dengan dosis atau jumlah berdasarkan analisa status hara tanahdan kebutuhan tanaman (Rahman, 2009). Jumlah pupuk yang tepat berdasarkan status hara dan kebutuhan tanaman yang dianjurkan adalah kombinasi antara urea 200kg/ha, TSP/SP-36 sebanyak 75-100kg/ha, dan KCL sebanyak 75100kg/ha (Purwono dan Heni, 2009). Secara rinci hasil penelitian tentang ketepatan jumlah akan ditunjukkan pada Tabel 6.5 berikut ini.
47 Tabel 6.5. Persentase Ketepatan Jumlah Pupuk Bersubsidi No. 1. 2.
Ketepatan Jumlah Sesuai anjuran Tidak sesuai anjuran a. di bawah anjuran b. di atas anjuran Total
Jumlah Responden 10
Persentase (%) 16,66
22 28 60
36,67 46,67 100
Sumber : Data Primer, 2012
Berdasarkan Tabel 6.5 menunjukkan hasil dari ketepatan jumlah berdasarkan
penggunaan
pupuk
oleh
responden
pada
setiap
luas
lahannya.Responden dengan penggunaan pupuk sesuai dengan jumlah yang dianjurkan sebanyak 10 responden. Pemupukan dengan dosis yang tepat diperlukan untuk mendukung hasil produksi padi. Apabila terdapat kekurangan dan kelebihan jumlah pupuk pada setiap lahan akan mempengaruhi tanah dan tanaman sehingga diperlukan penggunaan yang tepat. Responden yang memberikan pupuk dengan jumlah yang tidak sesuai dengan anjuran adalah sebanyak 50 responden yang terdiri dari penggunaan dengan jumlah di bawah anjuran dan di atas anjuran yang masing-masing sebesar 22 dan 28 responden. Persentase yang didapat dari ketepatan jumlah antara responden yang menggunakan pupuk sesuai anjuran dengan yang tidak sesuai anjuran masingmasing sebesar 16,66 persen dan 83,34 persen. Dari persentase tersebut dapat terlihat bahwa persentase ketepatan jumlah hanya sebesar 16,66 persen yang berarti kebijakan subsidi pupuk belum dapat dikategorikan efektif dalam indikator tepat jumlah. Oleh karena itu, perlu adanya penyuluhan dari pemerintah kepada petani tentang penggunaan pupuk yang sesuai dengan anjuran agar hasil produksi padi mereka lebih maksimal karena apabila penggunaan tidak sesuai dengan anjuran baik di atas maupun di bawah anjuran akan mempengaruhi produksi padi. Indikator-indikator yang digunakan dalam penelitian ini akan dapat menentukan tingkat keefektivitasan subsidi pupuk di Desa Hambaro, Kecamatan nanggung, Kabupaten Bogor. Keefektifan kebijakan ini diukur berdasarkan presentase masing-masing indikator. Apabila presentase keselurahan indikator sama ataupun lebih dari 80% maka kebijakan subsidi pupuk dapat dikategorikan efektif. Apabila tingkat keefektifan di bawah 80% maka kebijakan subsidi pupuk belum dapat dikategorikan efektif. Secara rinci hasil dari keseluruhan indikator
48 tingkat keefektifan kebijakan subsidi pupuk akan ditunjukkan pada tabel berikut ini. Tabel 6.6. Presentase Tingkat Keefektifan Kebijakan Subsidi Pupuk No. 1. 2. 3. 4.
Indikator Tingkat Keefektifan Harga Tempat Waktu Jumlah Rata-rata
Tepat (%)
Tidak Tepat (%)
12,59 11,67 100 16,66 35,23
87,41 88,33 0 83,34 64,77
Sumber : Data Primer, 2012
Berdasarkan Tabel 6.6 di atas dapat diketahui hasil keseluruhan dari empat indikator yang menentukan tingkat keefektifan kebijakan subsidi pupuk yang diperoleh dari 60 responden yang menjadi sampel dari penelitian ini. Rata-rata dari keempat indikator yang tepat dan tidak tepat masing-masing sebesar 35,23 persen dan 64,77 persen. Dari hasil persentase keseluruhan indikator dapat terlihat bahwa persentase yang menyatakan tepat lebih kecil daripada yang tidak tepat.Selain itu persentase ketepatan tidak lebih besar dari 80 persen sehingga kebijakan subsidi pupuk dikatakan tidak efektif. Oleh karena itu, perlu adanya perbaikan baik dari segi penyaluran, pengawasan, maupun hal-hal lain yang mendukung terwujudnya kebijakan subsidi pupuk yang efektif. Perbaikan terutama dalam hal harga dan tempat pengecer resmi yang seharusnya ada di dalam desa. Sehingga harga pupuk bersubsidi yang diterima petani seharusnya sama dengan HET. Hal ini yang banyak diharapkan oleh responden. Alasan lain dari responden untuk tetap mengharapkan adanya program kebijakan subsidi pupuk akan ditunjukkan pada Gambar 6.1 berikut ini.
15% 30%
Harga Pupuk Non Subsidi Mahal Kebutuhan Pupuk Banyak Modal Petani Terbatas
30%
Laba Produksi Sedikit 25%
Gambar 6.1 Alasan Responden tentang Perlunya Subsidi Pupuk
49 Dari Gambar 6.1 di atas dapat dijelaskan bahwa terdapat beberapa alasan petani tentang perlunya keberlanjutan kebijakan subsidi pupuk. Alasan terbesar petani masih membutuhkan adanya subsidi pupuk adalah harga pupuk non subsidi yang cukup mahal dan modal petani yang terbatas dengan presentase yang sama yaitu sebesar 30 persen. Harga pupuk non subsidi mahal membuat para petani enggan untuk membelinya seperti halnya pupuk KCL, pupuk KCL sudah tidak disubsidi padahal petani masih membutuhkan pupuk tersebut.Alasan lainnya mengenai modal petani yang terbatas menyebabkan petani pun masih membutuhkan adanya subsidi pupuk. Modal yang terbatas membuat petani tidak bisa membeli di kios resmi yang berada jauh di luar desa karena alasan biaya transportasi. Alasan selanjutnya adalah kebutuhan pupuk responden yang banyak. Kebutuhan responden akan pupuk yang terbilang banyak membuat pengeluran akan pupuk cukup besar sehingga perlu adanya subsidi pupuk untuk mengurangi pengeluaran responden. Alasan terakhir adalah alasan laba produksi sedikit yang membuat responden tetap menginginkan adanya subsidi pupuk yang efektif karena semakin tingginya harga pupuk. Harga pupuk yang tinggi karena kebijakan subsidi pupuk yang masih tidak efektif membuat harga pupuk bersubsidi yang seharusnya sama dengan HET pada kenyataannya harga yang diperoleh responden menjadi lebih tinggi dari HET. Tingginya harga pupuk juga mempengaruhi biaya produksi responden yang juga akan semakin meningkat. Hal ini juga tidak diimbangi dengan peningkatan harga pembelian gabah sehingga pendapatan yang diperoleh responden tidak sebanding dengan biaya produksi yang dikeluarkan mereka. Namun alasan ini memiliki persentase yang kecil yaitu sebesar 15 persen karena kebanyakan responden di Desa Hambaro tidak menjual hasil panennya. Hasil panen yang mereka dapat biasanya digunakan untuk konsumsi sehari-hari. Berdasarkan berbagai alasan yang dijelaskan responden tentang masih pentingnya subsidi pupuk maka pemerintah harus memberikan perhatiannya pada kebijakan subsidi pupuk ini. Selain itu, telah diketahui bahwa hasil dari penelitian ini yang masih mengkategorikan bahwa kebijakan subsidi pupuk yang belum efektif sehingga perlu adanya perbaikan dari pemerintah untuk mengefektifkan kebijakan ini. Hal ini perlu dilakukan oleh pemerintah agar produksi padi
50 meningkat karena pupuk merupakan salah satu faktor yang menentukan tingkat produksi padi. 6.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Pupuk Urea Kebijakan subsidi pupuk merupakan salah satu dari kebijakan fiskal yang bertujuan untuk membantu terpenuhinya kebutuhan pupuk pada petani.Ruang lingkup pada penelitian ini adalah ingin melihat pengaruh adanya subsidi pupuk terhadap produksi padi petani di Desa Hambaro, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor. Selain itu, juga dilihat hubungan antara harga pupuk yang diterima petani terhadap permintaan pupuk petani sehingga pada akhirnya akan diketahui seberapa penting pemenuhan kebutuhan pupuk pada petani. Pengaruh pertama dapat dilihat dari hubungan antara harga dengan jumlah atau permintaan pupuk.Seperti diketahui bahwa harga pupuk bersubsidi di tingkat petani telah ditentukan oleh pemerintah berupa harga eceran tertinggi (HET) untuk beberapa jenis pupuk, seperti Urea, TSP/SP-36, ZA, NPK, dan organik.Dalam penelitian ini pupuk yang digunakan oleh responden adalah jenis pupuk Urea, TSP/SP-36, NPK, dan KCL.Namun, dalam melihat pengaruh permintaan kebutuhan pupuk di tingkat petani menggunakan harga pupuk urea dan NPK sebagai variabel yang mewakili harga pupuk.Pemerintah telah menetapkan HET pada masing-masing jenis pupuk meskipun demikian seringkali terjadi perbedaan harga yang diterima petani karena adanya beberapa faktor, seperti biaya transportasi, biaya pengemasan, dan rendahnya pengetahuan petani tentang kios resmi dari pemerintah yang menjual pupuk bersubsidi. Dari variasi harga yang diterima oleh petani akan dilihat respon petani terhadap permintaan pupuk. Variabel independen yang digunakan dalam pengujian ini adalah variabel harga urea, harga NPK, harga padi, dan luas lahan. Dalam model ini hanya memilih dua jenis pupuk yaitu urea dan NPK dikarenakan kedua jenis pupuk tersebut yang sering digunakan oleh responden. Pengujian ini menggunakan model regresi linear berganda dengan menggunakan Minitab untuk membantu dalam pengolahan datanya. Hasil dari regresi ini akan ditunjukan pada Tabel 6.7.
51 Tabel 6.7 HasilRegresi Jumlah Permintaan Pupuk Urea Variabel Bebas
Koefisien 53,4275 -3,0774 -4,2905 8,4284 0.7087 71,87 % 69,82 %
Constant PU PNPK PHD LLH R-Squares Adjusted R-Squares Sumber Keterangan
Sig 0,0001 0,0684* 0,1475 0,0025* 0,0000*
VIF 3,537 4,299 1,269 1,881
: Data primer (2012) :*nyata pada taraf α = 10 %
Berdasarkan Tabel 6.7, model regresi berganda yang dihasilkan adalah sebagai berikut: LnPPKi = 53, 4275 – 3,0774 LnPUi + 8.4284 LnPHDi + 0.7087 LnLLHi .............................................................................................. (6.1) Uji statistika berdasakan Tabel 6.7 diperoleh nilai koefisien determinasi (R2) yang diperoleh sebesar 0,7187 yang berarti bahwa 71,87 persen keragaman variabel dependen atau jumlah pupuk dapat dijelaskan oleh variasi-variasi variabel independennya yaitu harga pupuk. Selain itu, sisanya sebesar 28,13 persen dijelaskan oleh variabel-variabel lain diluar model. Berdasarkan nilai probabilitas F-statistik yaitu sebesar 0,0000 yang lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan yaitu 0,10 (10 persen) yang berarti bahwa variabel independen berpengaruh nyata terhadap variabel dependen sehingga model penduga tersebut layak untuk menduga parameter yang ada dalam fungsi. Analisis regresi berganda harus memenuhi empat asumsi klasik, untuk memenuhi asumsi tersebut, sebanyak 60 respoden yang bersedia menerima kompensasi digunakan dalam pengolahan data.Uji normalitas dilakukan dengan metode grafik probability plot of residual menghasilkan p-value sebesar 0,150 atau lebih besar dari taraf nyata 10 %.Hasil tersebut menunjukkan bahwa data residual menyebar normal (lihat Lampiran 4). Pemeriksaan asumsi terkait masalah multikolinieritas dilihat dari nilai VIF, pada Tabel 6.7, masing-masing variabel bebas menunjukkan nilai VIF kurang dari 10, hasil tersebut mengindikasikan tidak adanya pelanggaran multikolinieritas (dapat dilihat juga pada Lampiran 7). Asumsi selanjutnya regresi berganda adalah tidak
adanya
autokorelasi.Uji
autokorelasi
menggunakan
Uji
Durbin-
Watson.Hasil menunjukkan bahwa nilai DW sebesar 2,45 (lihat Lampiran 5).
52 Firdaus (2004) menyatakan bahwa nilai DW berada di antara 1,55 dan 2,46 menunjukkan tidak adanya autokorelasi. Karena nilai DW diantara selang tersebut, maka menunjukkan tidak ada autokorelasi. Pemeriksaan asumsi homoskedastisitas pada model regresi di atas menggunakan uji glejser hasil p-value yang diperoleh yaitu 0,659 (lihat Lampiran 6). Berarti nilai p-value (0.659) > alpha (0.10) maka terima H0 yang artinya ragam homogen (homoskedastisitas). Harga Urea (PU) memiliki nilai koefisien sebesar -3,0774 artinya apabila harga Urea naik satu satuan maka permintaan pupuk Urea akan turun sebesar 3,0774 persen (cateris paribus). Hal ini dikarenakan pemakaian pupuk pendamping yaitu NPK yang memiliki unsur N sehingga petani lebih cenderung mengurangi pemakaian pupuk urea dan tetap menggunakan pupuk NPK. Harga urea berpengaruh nyata terhadap nilai permintaan Urea pada taraf nyata 10 persen. Dalam persamaan 6.1 dapat dilihat bahwa harga gabah padi dan luas lahan mempunyai hubungan yang positif terhadap jumlah permintaan pupuk dan berpengaruh nyata pada taraf 10 persen. Hal ini berarti bahwa apabila terjadi peningkatan harga padi dan luas lahan sebesar 1 persen, maka akan meningkatkan jumlah permintaan pupuk yang masing-masing sebesar 8,4284 dan 0,7087 persen (ceteris paribus). Dari hasil ini dapat dilihat bahwa pupuk NPK tidak memiliki hubungan subtitusi karena hasil yang tidak berpengaruh nyata terhadap model. Hal ini karena jenis NPK yang merupakan pupuk majemuk (15:15:15) dimana sudah memiliki unsur N yang merupakan unsur utama pada Urea sehingga NPK tidak berpengaruh nyata terhadap permintaan pupuk Urea. Dari hasil persamaan ini maka dapat disimpulkan bahwa variabel yang paling mempengaruhi permintaan pupuk adalah harga gabah padi, sehingga dapat dijelaskan bahwa pendapatan hasil panen akan mempengaruhi pembelian pupuk unntuk musim tanam selanjutnya. Selain itu efektivitas kebijakan subsidi pupuk pun mempunyai peran yang penting dalam pemenuhan kebutuhan pupuk di tingkat petani karena setiap terjadi perubahan harga di tingkat petani akan mempengaruhi pengeluaran biaya pupuk oleh petani.
53 6.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Padi Faktor-faktor yang digunakan dalam mempengaruhi produksi padi selain pupuk adalah luas lahan, benih, dan jumlah tenaga kerja (Sugiarto, 2008). Selain itu, juga dimasukkan satu variabel dummy, yaitu dummy benih. Pengujian ini dilakukan untuk melihat seberapa besar dari masing-masing faktor terutama harga pupuk mempengaruhi produksi padi. Pengujian ini dilakukan dengan regresi berganda,dengan menggunakan Minitab. Hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 6.8 berikut ini. Tabel 6.8. Hasil Estimasi Produksi Padi Variabel Bebas
Koefisien 5,900 5,123 3,159 0,439 0,824 -0,002 0,106 92,7 % 91,9 %
Constant PPKU PPKN TTK LLH BBH D1 R-Squares Adjusted R-Squares Sumber Keterangan
Sig 0,111 0,000* 0,043* 0,010* 0,000* 0,983 0,020*
VIF 3,675 4,238 4,507 7,130 3,541 1,253
: Data primer (2013) : *nyata pada taraf α = 10 %
Berdasarkan Tabel 6.8, model regresi berganda yang dihasilkan adalah sebagai berikut: LnPP
=
5,900+5,123LnPPKU+
0,8248LnLLH
3,159
LnPPKN
+
+
0.439LnTTK+ 0,106
LnD1........................................................................ (6.2) Berdasarkan Tabel 25 yang merupakan uji statistika, diperoleh nilai koefisien determinasi sebesar 0,927 yang artinya 92,7 persen keragaman produksi padi sebagai variabel dependen dapat dijelaskan oleh variabel-variabel independennya yaitu luas lahan, benih, tenaga kerja, pupuk, dan dummy benih. Sisanya yaitu sebesar 9,35 persen dijelaskan oleh variabel-variabel lain di luar model. Berdasarkan nilai probabilitas F-statistik sebesar 0,0000 yang lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan yaitu 0,10 (10 persen). Hal ini berarti bahwa variabel independen dalam model secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap variabel dependen. Hasil lain adalah hasil dari uji t yang dapat dilihat melalui nilai probabilitas dari masing-masing variabel independennya. Variabel
54 harga pupuk Urea, harga pupuk NPK, luas lahan, tenaga kerja, dan dummy benih mempunyai nilai probabilitas lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan yaitu 0,10 (10 persen) yang berarti variabel-variabel independen tersebut berpengaruh nyata terhadap produksi padi. Sedangkan untuk variabel bibittidak berpengaruh nyata karena nilai probabilitasnya lebih besar dari taraf nyata yang digunakan yaitu 0,1 (10 persen). Analisis regresi berganda harus memenuhi empat asumsi klasik.Uji normalitas dilakukan dengan metode grafik probability plot of residual menghasilkan p-value sebesar 0,150 atau lebih besar dari taraf nyata 10 %.Hasil tersebut menunjukkan bahwa data residual menyebar normal (lihat Lampiran 9). Pemeriksaan asumsi terkait masalah multikolinieritas dilihat dari nilai VIF, pada Tabel 6.8, masing-masing variabel bebas menunjukkan nilai VIF kurang dari 10, hasil tersebut mengindikasikan tidak adanya pelanggaran multikolinieritas (dapat dilihat juga pada Lampiran 12). Asumsi selanjutnya regresi berganda adalah tidak adanya autokorelasi.Uji autokorelasi menggunakan Uji DurbinWatson. Hasil menunjukkan bahwa nilai DW sebesar 2,43 (lihat Lampiran 10). Firdaus (2004) menyatakan bahwa nilai DWberada di antara 1,55 dan 2,46 menunjukkan tidak adanya autokorelasi. Karena nilai DW diantara selang tersebut, maka menunjukkan tidak ada autokorelasi. Pemeriksaan asumsi homoskedastisitas pada model regresi di atas menggunakan uji glejserhasil p-value yang diperoleh yaitu 0,368 (lihat Lampiran 11). Berarti nilai p-value (0.368) > alpha (0.10) maka terima H0 yang artinya ragam homogen (homoskedastisitas). Dari persamaan di atas dapat dilihat harga pupuk Urea dan NPK mempunyai hubungan yang positif sebesar 5,123 dan 3,159 terhadap produksi padi. Hal ini berarti bahwa setiap terjadi peningkatan 1 persen pada harga pupuk Urea dan NPK maka akan meningkatkan produksi padi sebesar 5,123 dan 3,159 persen dimana variabel lain dianggap tetap (ceteris paribus). Hal ini dikarenakan kenaikan harga pupuk berpengaruh terhadap penggunaan pupuk yang di pakai sehingga akan berpengaruh pula pada produksi padinya. Pemakaian pupuk oleh petani di daerah penelitian rata-rata sebesar 455 kg/ha lebih dari dosis pupuk yang dianjurkan yaitu 400–450kg/ha. Pemakaian pupuk yang kurang menyebabkan
55 produktivitas padi menjadi berkurang sehingga petani diharuskan menurunkan pemakaian pupuk sampai sesuai dengan yang dianjurkan. Luas lahan mempunyai pengaruh positif sebesar 0,824 terhadap produksi padi. Setiap terjadi peningkatan luas lahan sebesar 1 persen maka akan meningkatkan produksi padi sebesar 0,824 persen, dimana variabel lain dianggap tetap (ceteris paribus). Hubungan luas lahan dengan produksi padi sesuai dengan hipotesis awal bahwa peningkatan luas lahan akan meningkatkan produksi padi. Variabel lain yang mempengaruhi produksi padi adalah variabel buruh atau tenaga kerja. Variabel tenaga kerja mempunyai pengaruh positif sebesar 0,439 terhadap produksi padi. Hal ini berarti setiap terjadi peningkatan 1 persen pada tenaga kerja akan meningkatkan 0.439persen produksi padi dimana variabel lain dianggap tetap (ceteris paribus). Hasil ini sesuai dengan hipotesis awal bahwa setiap terjadi peningkatan tenaga kerja akan meningkatkan produksi padi. Variabel dummy yang dimasukkan dalam persamaan produksi padi adalah variabel dummy dari benih. Variabel dummy benih dimasukkan untuk mengetahui jenis benih yang mempunyai kualitas yang bagus untuk mempengaruhi produksi padi dan sering digunakan oleh responden. Dummy bernilai 1 untuk jenis benih ciherang, sedangkan dummy bernilai 0 untuk jenis benih selain ciherang. Pada hasil tersebut diperoleh nilai dummy benih sebesar 0.1062. Hasil nilai dummy ini berarti bahwa benih padi ciherang mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap peningkatan produksi padi dibandingkan dengan penggunaan benih padi dengan jenis selain ciherang. Jadi, apabila terdapat peningkatan penggunaan padi jenis ciherang sebesar 1 persen akan meningkatkan produksi padi sebesar 0.1062 persen. Namun variabel lainnya tidak berpengaruh nyata dalam model yaitu variabel bibit. Hasil dari regresi ini adalah variabel benih mempunyai pengaruhnegatif sebesar 0.002 terhadap produksi padi. Hal ini berarti bahwa setiap peningkatan jumlah benih sebesar 1 persen maka akan menurunkan produksi padi sebesar 0.052993persen. Variabel jumlah bibit pun memiliki nilai probabilitas diatas nilai taraf nyatanya yaitu sebesar 0,983. Hal ini dikarenakan pemakaian bibit oleh petani rata-rata sebesar 36,71 kg/ha yang memebihi batas yang dianjurkan yaitu sebesar 25 kg/ha. Oleh karena itu seharusnya petani mengurangi jumlah bibit yang
56 digunakan agar sesuai dengan yang dianjurkan dan hasil produksi padinya pun ikut meningkat. Faktor-faktor yang digunakan dalam penelitian ini mempunyai hubungan yang positif dan signifikan terhadap peningkatan produksi padi. Apabila petani kesulitan dalam memperoleh faktor-faktor produksi tersebut yaitu harga pupuk urea yang dan pupuk NPK sesuai HET, tenaga kerja, luas lahan dan dummy bibit maka akan langsung berpengaruh terhadap produksi padi. Oleh karena itu, pemerintah harus membantu terpenuhinya kebutuhan faktor-faktor produksi para petani. Pada penelitian yang membahas tentang efektivitas kebijakan subsidi pupuk, kebijakan subsidi pupuk masih dikategorikan tidak efektif sehingga juga berpengaruh terhadap penggunaan pupuk dan produksi padi. Adanya hal ini maka diharapkan pemerintah melakukan evaluasi terhadap penyaluran subsidi pupuk di tingkat petani agar kebutuhan pupuk di tingkat petani terpenuhi sehingga produksi padi meningkat dan kesejahteraan petani juga meningkat.
57
VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian mengenai kebijakan subsidi pupuk dapat disimpulkan bahwa: 1. Berdasarkan keempat indicator tersebut maka kebijakan subsidi pupuk belum dapat dikategorikan efektif dikarenakan masih adanya masalah pada mekanisme distribusi pupuk pada Lini IV (kios resmi). Dimana tidak adanya pengecer resmi di Desa Hambaro, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor. 2. Hasil regresi permintaan pupuk urea dapat diperoleh bahwa variabel harga urea berpengaruh negatif dan sifnifikan terhadap permintaan urea sehingga apabila terjadi peningkatan pada harga urea maka akan terjadi penurunan terhadap permintaan pupuk urea. Variabel harga padi, dan luas lahan mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap permintaan pupuk urea. 3. Berdasarkan hasil regresi produksi padi dapat diperoleh bahwa variable harga pupuk urea, harga pupuk NPK, luas lahan, tenaga kerja, dummy benih mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap produksi padi. Pengaruh positif setiap variabel terhadap produksi padi ini berarti bahwa apabila terdapat kenaikan setiap variabel sebesar 1 persen maka akan meningkatkan produksi padi dengan persentase sebesar koefisien masingmasing variabel dalam persamaan regresi. Hal ini berarti bahwa semakin efektif kebijakan subsidi pupuk maka produksi padi juga akan semakin meningkat. 9.2 Saran Berdasarkan hasil penelitian, beberapa hal yang dapat menjadi saran: 1. Harus memperbaiki mekanisme penyaluran subsidi pupuk karena subsidi pupuk masih belum dikategorikan efektif. Perbaikan ini terutama dalam kaitannya dengan tepat harga, jumlah, dan tempat dimana sebaiknya pemberian subsidi pupuk lebih dekat kepada sasaran atau target penerima subsidi pupuk. Perbaikan mekanisme penyaluran penting terkait adanya harga yang tidak sesuai dengan HET dikarenakan masih adanya masalah pada Lini IV (kios resmi) dimana masih berada di luar desa sehingga membutuhkan biaya
58 transportasi. Sebaiknya kios resmi berada di dalam desa sehingga mempermudah petani untuk membeli pupuk bersubsidi. Selain itu, juga diperlukan adanya pemberitahuan kepada petani tentang keberadaan kios resmi secara jelas sehingga petani bisa membedakan antara kios resmi pupuk bersubsidi dengan kios pupuk yang tidak bersubsidi. Lemahnya pengontrolan produsen pupuk dari Lini III ke Lini IV pun menyebabkan harga pupuk di atas harga HET sehingga pengawasan pun haruslebid diperketat sehingga tidak ada lagi harga pupuk di atas HETnya. 2. Kebijakan subsidi pupuk masih harus dilaksanakan karena berdasarkan hasil penelitian bahwa pupuk mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap produksi padi. Selain itu, adanya hubungan negatif dan signifikan antara harga pupuk dengan permintaan pupuk yang mengindikasikan bahwa masih diperlukan kebijakan subsidi pupuk dengan penentuan HET pupuk agar harga pupuk masih dapat dijangkau oleh petani. Kebijakan subsidi pupuk juga harus disertai dengan peran dinas pertanian dalam memberikan pembinaan tentang pemupukan yang berimbang agar dapat meningkatkan penggunaan pupuk secara optimal.
1
59
DAFTAR PUSTAKA Andari, T. T. 2001. Dampak Penghapusan Subsidi pupuk Terhadap Permintaan Pupuk dan Produksi Padi di Jawa Barat.Tesis Program Pascasarjana.Institut Pertanian Bogor. Bogor. Ardi, Taufik. 2005. Analisis Pencabutan Subsidi Pupuk Terhadap Sektor Pertanian di Indonesian (Analisis Input-Output Sisi Penawaran). Institut Pertanian Bogor. Bogor. Badan Pusat Statistik. 2002. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik. Jakarta. ________________. 2009. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik. Jakarta. ________________. 2010. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik. Jakarta. Darwis, V. dan Saptana. 2010. Rekonstruksi Kelembagaan dan Uji Teknologi Pemupukan : Kebijakan Strategis Mengatasi Kelangkaan Pupuk. PASEKP, Bogor. Departemen Pertanian. 2010. Anggaran Subsidi Pupuk. Departemen Pertanian. Jakarta. Dinas Pertanian. 2012. Harga Eceran Tertinggi Pupuk Bersubsidi. Departemen Pertanian. Jakarta. Dinas Pertanian Kabupaten Bogor. 2010. Keputusan Bupati Bogor. Dinas Pertanian, Kabupaten Bogor. Dinas Pertanian Kabupaten Bogor. 2010. Peraturan Bupati Bogor Nomor 13 Tahun 2010. Dinas Pertanian, Kabupaten Bogor Feryanto, W.K. 2010.Pupuk dan Subsidi : Kebijakan yang Tidak Tepat Sasaran. http://feryanto.wk.staff.ipb.ac.id/2010/05/20/koperasi-dan-posisi-tawar-petani/. Diaksespadatanggal 20 Desember 2010. Firdaus M. 2004. Ekonometrika Suatu Pendekatan Aplikatif. Jakarta (ID): Bumi Aksara. Gujarati DN. 2003. Dasar-Dasar Ekonometrika Ed ke-3. Jakarta (ID): Erlangga. Terjemahan dari: Basic Economics 3rded Halcrow, H. G. 1981. Ekonomi Pertanian.Alih bahasa: Armand Surdiyono. UMM Press. Malang. Heriyanto, Dwi. 2006. Analisis efisiensi Tataniaga Pupuk Urea PT. Pupuk Sriwidjaja Setelah Adanya Kebijakan Subsidi (Studi Kasus di kabupaten ogan Komering Ilir Provinsi Sumatera selatan). Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hidayat.1986. Teori Efektivitas Dalam Kinerja karyawan.Gajah Mada University Press. Yogyakarta Juanda, Bambang. 2009. Ekonometrika Pemodelan dan Pendugaan.IPB Press. Bogor Manaf, D.R.S. 2000. Pengaruh Subsidi Harga Pupuk terhadap Pendapatan Petani : Analisis Sistem Neraca Sosial Ekonomi. Tesis.Program Pascasarjana.Institut Pertanian Bogor. Bogor. Milton H. Spencer dan Orley M. Amos. 1993. Contemporary Economics. Worth Publicer. New York Nicholson, Walter. 1999. Teori Mikroekonomi. Alih bahasa: Daniel Wirajaya, Edisike-5, Binarupa Aksara. Jakarta. Purwono dan H. Purnamawati. 2007. Budidaya 8 Jenis Tanaman Pangan Unggul. Penebar Swadaya, Depok
60 Rachman, Benny. 2009. Kebijakan Subsidi Pupuk: Tinjauan Terhadap Aspek Teknis, Manajemen dan Regulasi. Pusat Analisi Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Jakarta. Sari. 2007. Analisis Efektivitas Raskin. Universitas Sumatera Utara. Medan Schemerhon John R. Jr. 1986.Management of productivity.Australia Soekartawi. 2002. Analisis Usahatani. Universitas Indonesia, Jakarta. Sudjono, Spudnik. 2011. Sistem Subsidi Pupuk Berbasis Relationship: Kajian Penyempurnaan Penyaluran Subsidi Pupuk Kepada Petani. PASEKP, Bogor. Syafa’at, et al. 2007.Kaji Ulang Sistem Subsidi dan Distribusi Pupuk[Makalah Seminar]. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Jakarta. Timmer, C.P. 1996. Does Bulog Stabilize Rice Prices in Indonesia? Should it Try?.Bulletin of Indonesian Economics Studies, 32 (2). Canberra. World Bank.2008b. Fertilizer Subsidies in Indonesia. World Bank. 2008a. Indonesia Agriculture Public Spending And Growth
61
Lampiran 1.
Peta Lokasi dan Gambar Lokasi Desa Hambaro, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor
Sumber
: https://maps.google.com/?mid=1375154012.diakses tanggal 25 Juli 2013
62 Lampiran 2.
Kuesioner Penelitian KUISIONER
ANALISIS EFEKTIVITAS SUBSIDI PUPUK DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI PADI (STUDI KASUSDESA HAMBARO, KECAMATAN NANGGUNG, KABUPATEN BOGOR)
Kabupaten Kecamatan Desa Dusun RT/RW Nama Responden Alamat Tangga
Lengkap
Rumah
Nama Pewawancara Tanggal Wawancara
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
63 BagianI : Data Responden 1. Nama Responden 2. Pekerjaan 3. Umur 4. Jenis Kelamin 5. Pendidikan Formal Terakhir
: ............................................................... : ............................................................... : ............................................................... : Laki-Laki Perempuan : SD SMP SMA Lainnya ( .....................................) Tanda Tangan
*Pilih salah satu dengan menggunakan tanda V
(
)
BAGIAN II : KARAKTERISTIK PERTANIAN RESPONDEN 1.
Apakah bapak atau ibu sebagai pencari nafkah utama keluarga? (Jawaban : 1=Ya, 2=Tidak)
2.
Apakah keluarga bapak atau ibu bekerja di sawah atau kebun? (Jawaban : 1=Ya, 2=Tidak)
3.
Apakah sawah atau kebun miliki bapak atau ibu sendiri? (Jawaban : 1=Ya, 2=Tidak)
4. Jika ya, berapakah luas sawah milik bapak atau ibu? (Jawaban : ……………. ha) Jika tidak, milik siapakah sawah milik bapak atau ibu? (Jawaban : 1=milik keluarga, 2=milik majikan, 3=Lainnya …………) 5. Bagaimanakah karakteristik sawah bapak atau ibu? Jelaskan pada tabel berikut ini (selama periode satu tahun terakhir) Jenis Sawah
Sawah (Ha)
Tegalan (Ha)
Lainnya (Ha)
64 1. Milik Sendiri a. Dikerjakan sendiri b. Disewakan c. Digadaikan d. Lainnya (.......................) 2. Garapan a. Sewa b. Bagi Hasil c. Lainnya (........................)
6. Apa jenis komoditas yang ditanam pada lahan bapak atau ibu? Jawaban :
1= Padi 2=Jagung 3=Umbi-umbian 4=Sayuran 5=Lainnya (…………………)
7. Berapakah hasil produksi yang ditanam bapak atau ibu (selama periode satu tahun terakhir)? Komoditas
Jumlah (Ku)
Nilai (Rp)
Padi DIJUAL KONSUMSI TOTAL 8. Berapakah biaya produksi bapak atau ibu (selama periode satu tahun terakhir)?
Input Produksi a. Bibit
Jumlah (Ku)
Nilai (Rp)
65 b. Pupuk c. Sewa alat pertanian d. Biaya Pengairan e. Pemeliharaan alat/sarana f. Biaya pengangkutan g. Upah buruh h. Obat-obatan i. Biaya lain
TOTAL
9. Bibit jenis apakah yang biasa diproduksi? Jawaban: 10. Bagaimana pengaruh penggunaan jenis bibit tersebut terhadap produktivitas padi? Jawaban : 1= Meningkat 2 = Menurun 11. Berapakah jumlah bibit yang disebar pada setiap luas lahan yang dimiliki Bapak/Ibu? Jawaban : jumlah bibit ...................... untuk luas lahan........................ m2/Ha Menghasilkan produksi padi .................................. ton (atau satuan lain) 12. Berapakah jumlah tenaga kerja pada setiap lahan? Jawaban:
ga kerja ............... (orang)
66 naga kerja ............... (orang)
*untuk luas lahan ............ m2/ha BAGIAN III : PELAKSANAAN PROGRAM SUBSIDI PUPUK Persepsi Responden (Gambaran Umum Subsidi Pupuk) 1. Apakah bapak/ibu tahu tentang adanya program subsidi pupuk? (Jawaban: 1=ya, 2=tidak) 2.
Jika ya, darimanakah informasi ini diperoleh? Jawaban :
3. Bapakah bapak/ibu tahu sejak kapan program subsidi pupuk ada? Jawaban : 1= tidak 2= tahu, sejak tahun ..... 4. Sejak kapan keluarga Bapak/Ibu memperoleh subsidi pupuk? (Jawaban: tahun ……….) 5. Apakah bapak/ibu mengetahui mekanisme penyaluran dari awal sampai pupuk diterima bapak/ibu? (Jawaban: 1=ya, 2=tidak) 6.
Jika ya, bagaimanakah mekanisme penyaluran subsidi pupuk sampai pupuk diterima bapak/ibu? Jawaban :
7.
Apakah kesulitan dalam memperoleh pupuk bersubsidi (dalam hal mekanisme penyaluran, harga yang ditetapkan, aturan pembelian, dll)? Jawaban :
Evaluasi Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk Berdasarkan Indikatornya
67 8. Coba Bapak/Ibu jelaskan hal-hal berikut mengenai penerimaan pupuk bersubsidi oleh keluarga Bapak/Ibu pada tahun 2009 s/d 2011 ini:
Bulan
Jumlah Diterima
Harga Pembaya ran
Jenis yang Diterima (1)
Waktu Tempat Penerima Pendistrib an (2) usian (3)
Musim Tanam I Tahun 2o11 Musim Tanam II Tahun 2011 Musim Tanam III Tahun 2011 Musim Tanam I tahun 2012 Keterangan: 1) 1=urea; 2=ZA; 3=TSP/SP36, 4=NPK; 5=Organik 2) Diisi: 1 = bila diberikan pada bulan bersangkutan; dan 0 = lainnya 3) 1=kantor desa; 2=RW; 3=RT; 4=lainnya, sebutkan ………….
9. Berapakah rata-rata jumlah pupuk bersubsidi yang diterima bapak atau ibu setiap musim tanamnya? Jawaban : ....................................... kg 10. Apakah dengan adanya pupuk bersubsidi dapat mencukupi kebutuhan pupuk untuk produksi padi bapak/ibu? Jawaban : 1 = cukup membantu kebutuhan pupuk untuk produksi 2 = kurang membantu kebutuhan pupuk untuk produksi
11. Jika kurang, berapakah jumlah seharusnya setiap petani mendapatkan pupuk bersubsidi setiap musim tanamnya? Jawaban :
68 12. Berapa jumlah pupuk bersubsidi yang dibeli setiap satu kali periode pembelian? Jawaban : Jenis pupuk: Urea ................. kg ZA .................kg SP36 .................kg NPK .................. kg Organik .................. kg 13. Berapakah dosis penggunaan pupuk bersubsidi setiap luas lahan? Jawaban : Jumlah .................. kg luas lahan .................. ha 14. Bagaimanakah cara pembayaran dalam pembelian pupuk bersubsidi? Jawaban : 1= tunai 2= non tunai (dalam bentuk .............. ) 15. Jika dilakukan pembayaran dengan non tunai adakah imbalan terhadap penjual (misal bunga)? Jawaban : 1= tidak 2= ada, apabila bunga sebesar ................., bentuk lainnya .............. 16. Apakah bapak/ibu mengetahui HET pupuk bersubsidi yang ditetapkan pemerintah? Jawaban : 1 = ya, 2= tidak 17. Jika ya, apakah harga yang ditetapkan sudah sesuai dengan yang diharapkan bapak/ibu? Jawaban : 1=sudah, 2=belum 18. Jika belum, berapakah harga seharusnya yang diperoleh bapak/ibu? Jawaban : ……………(Rp/kg) 19. Apakah
setiap
perubahan
harga
pupuk
mempengaruhi
pembelian/penggunaan pupuk untuk produksi padi?
keputusan
69 Jawaban : 1= ya, 2= tidak Jika ya, alasan : Jika tidak, alasan : 20. Apakah jenis pupuk yang ditetapkan dalam subsidi pupuk sudah sesuai dengan jenis pupuk yang diinginkan bapak/ibu? (Jawaban : 1=sudah, 2=belum) 21. Jika belum, jenis pupuk apa yang perlu ditambahkan dalam subsidi pupuk? Jawaban : 22. Jenis pupuk apakah yang sering digunakan bapak/ibu dalam setiap produksi? Jawaban : 23. Mengapa menggunakan pupuk dengan jenis tersebut? Jawaban : 24. Apakah waktu penyerahan pupuk bersubsidi selalu ada saat dibutuhkan? Jawaban : 25. Kapan biasanya bapak/ibu membeli pupuk bersubsidi? Jawaban :
26. Apakah pernah terjadi adanya kelangkaan pupuk?kapan? Jawaban : 27. Dimanakah bapak/ibu biasa membeli pupuk bersubsidi (dalam/luar desa)? Jawaban : 28. Apakah tempat pembelian dirasakan dekat oleh bapak/ibu? Jawaban : 1=belum 2=sudah 29. Jika belum, dimanakah sebaiknya tempat pembelian pupuk bersubsidi? Jawaban : Persepsi Responden tentang Manfaat Program Subsidi Pupuk
70 30. Apakah dengan adanya pupuk bersubsidi dapat mengurangi biaya produksi padi bapak/ibu? Berapa besar margin/selisih dari sebelum memperoleh pupuk bersubsidi? Jawaban : 1=Ya, 2=Tidak Margin/selisih dari sebelumnya = ………………………………… 31. Apakah dengan adanya pupuk bersubsidi dapat meningkatkan produksi padi bapak/ibu? Jawaban : 32. Apakah bapak/ibu mengetahui anjuran-anjuran pemerintah mengenai penggunaan pupuk yang tepat (misalnya jumlah yang tepat pada setiap luas lahannya)? Jawaban :
33. Adakah penyuluh dari dinas pertanian yang memberikan bimbingan atau anjuran-anjuran penggunaan pupuk? Berapa kali dilakukan dalam periode satu tahun? Jawaban : 34. Apakah program subsidi pupuk masih perlu untuk dilaksanakan? Jawaban : 1= ya, 2= tidak 35. Jika ya, alasan mengapa masih perlu dilakukan subsidi? Jawaban : 1= harga pupuk non subsidi mahal 2= kebutuhan pupuk banyak 3= modal petani terbatas 4= laba produksi sedikit (harga pembelian gabah murah)
71 5=lainnya ................................... *berikan tanda cek pada jawaban yang dipilih (jawaban boleh lebih dari satu)
36. Apabila adanya program subsidi pupuk dikurangi atau dicabut, apakah berpengaruh terhadap produksi padi bapak/ibu? Jawaban : 37. Apakah saran bapak/ibu untuk meningkatkan efektivitas penggunaan subsidi pupuk serta kemudahan akses terhadap pupuk bersubsidi? Jawaban
72 Lampiran 3. Model Regresi Persamaan 1 Regression Analysis: PPU versus PU, PN, PHD, LLH Predictor Constant PU PN PHD LLH
Coef T P VIF 53.4275 3.72 0.000 0.000 -3.0774 -1.35 0.068 3.537 -4.2905 -1.13 0.147 4,229 8.4248 -2.94 0.002 1,269 0.70877.63 0.000 1.881
S = 0.550788
R-Sq = 771.8%
R-Sq(adj) = 69.8%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 4 55 59
SS 50.204 16.685 66.889
MS 12.551 0.303
F 41.37
P 0.000
Uji- F Hipotesis : H0
: faktor-faktor (PU, PN, PHD, LLH) tidak berpengaruh terhadap PPU
H1
: minimal ada 1 faktor yang mempengaruhi PPU
Tolak H0 jika p-value< alpha (0.10) Kesimpulan : Dari output diatas dapat dilihat bahwa p-value (0.000) < alpha (0.10) maka tolak H0 yang artinya bahwa minimal ada 1 faktor (PU, PN, PHD, LLH) yang mempengaruhi PPU pada taraf nyata 10%.
73 Lampiran 4. Asumsi Normalitas Probability Plot of RESI1 Normal
99.9
Mean StDev N KS P-Value
99 95
Percent
90
-1.97842E-14 0.5318 60 0.091 >0.150
80 70 60 50 40 30 20 10 5 1 0.1
-2
-1
0 RESI1
1
2
Hipotesis H0
: Sisaan menyebar normal
H1
: Sisaan tidak menyebar normal
Tolak H0 jika p-value< alpha (0.10) Kesimpulan : Pada grafik output tersebut terlihat nilai p-value (>0.150) > alpha (0.10) maka terima H0 yang artinya sisaan menyebar normal
Lampiran 5. Asumsi Autokorelasi Durbin-Watson statistic = 2.45 Versus Order
(response is PPU) 1.0
Residual
0.5
0.0 -0.5
-1.0
-1.5 1
5
10
15
20
25 30 35 40 Observation Order
45
50
55
60
74 Dari grafik tersebut terlihat bahwa sisaannya tidak membentuk suatu pola (pola acak) sehingga dapat dikatakan bahwa sisaan saling bebas (tidak ada autokorelasi). Lampiran 6. Asumsi Homoskedastisitas Dengan menggunakan uji glejser diperoleh hasil regresi antara peubah respon dengan nilai mutlak residual sebagai berikut : Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 1 58 59
SS 0.226 66.663 66.889
MS 0.226 1.149
F 0.20
P 0.659
Hipotesis H0
: sisaan ragam homogen (homoskedastisitas)
H1
: sisaan ragam tidak homogen (heteroskedastisitas)
Tolak H0 jika p-value< alpha (0.10) Kesimpulan : Pada output tersebut terlihat nilai p-value (0.659) > alpha (0.10) maka terima H0 yang artinya ragam homogen (homoskedastisitas) Lampiran 7. Asumsi Multikolinearitas Terjadi multikolinearitas apabila nilai VIF > 10 Kesimpulan : pada output regresi terlihat bahwa nilai VIF masing-masing variabel< 10 sehingga dapat dikatakan tidak terjadi multikolinearitas. Lampiran 8.Model Regresi Persamaan 2 Regression Analysis: PP versus PPKU, PPKN, TTK, LLH, BBT, D1 Predictor Coef SE Coef T P VIF Constant 5.900 3.637 1.62 0.111 PPKU 5.123 1.191 4.30 0.000 3.675 PPKN 3.159 1.524 2.07 0.043 4.238 TTK 0.4395 0.1648 2.67 0.010 4.507 LLH 0.8248 0.1154 7.15 0.000 7.130 BBT -0.0022 0.1064 -0.02 0.983 3.541 D1 0.10622 0.044392.39 0.020 1.253 S = 0.135828
R-Sq = 92.7%
R-Sq(adj) = 91.9%
75 Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 6 53 59
SS 12.4466 0.9778 13.4244
MS 2.0744 0.0184
F 112.44
P 0.000
Uji- F Hipotesis : H0
: faktor-faktor (PPKU, PPKNPK, TTK, LLH, BBT, D1) tidak berpengaruh
terhadap PP H1
: minimal ada 1 faktor yang mempengaruhi PP
Tolak H0 jika p-value< alpha (0.10). Kesimpulan : Dari output diatas dapat dilihat bahwa p-value (0.000) < alpha (0.10) maka tolak H0 yang artinya bahwa minimal ada 1 faktor (PPKU, PPKNPK, TTK, LLH, BBT, D1) yang mempengaruhi PP pada taraf nyata 10%. Lampiran 9. Asumsi Normalitas Probability Plot of RESI1 Normal
99.9
Mean StDev N KS P-Value
99 95
Percent
90 80 70 60 50 40 30 20 10 5 1 0.1
-0.5
-0.4
-0.3
-0.2
-0.1 0.0 RESI1
Hipotesis H0
: Sisaan menyebar normal
H1
: Sisaan tidak menyebar normal
0.1
0.2
0.3
0.4
-1.68014E-15 0.1287 60 0.088 >0.150
76 Tolak H0 jika p-value< alpha (0.10) Kesimpulan : Pada grafik output tersebut terlihat nilai p-value (>0.150) > alpha (0.10) maka terima H0 yang artinya sisaan menyebar normal. Lampiran 10. Asumsi Autokorelasi Durbin-Watson statistic = 2.43 Versus Order (response is PP)
0.4 0.3
Residual
0.2 0.1 0.0 -0.1 -0.2 -0.3 1
5
10
15
20
25 30 35 40 Observation Order
45
50
55
60
Dari grafik tersebut terlihat bahwa sisaannya tidak membentuk suatu pola (pola acak) sehingga dapat dikatakan bahwa sisaan saling bebas (tidak ada autokorelasi). Lampiran 11. Asumsi Homoskedastisitas Dengan menggunakan uji glejser diperoleh hasil regresi antara peubah respon dengan nilai mutlak residual sebagai berikut : Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 1 58 59
SS 0.1878 13.2366 13.4244
MS 0.1878 0.2282
F 0.82
Hipotesis H0
: sisaan ragam homogen (homoskedastisitas)
H1
: sisaan ragam tidak homogen (heteroskedastisitas)
Tolak H0 jika p-value< alpha (0.10)
P 0.368
77 Kesimpulan : Pada output tersebut terlihat nilai p-value (0.368) > alpha (0.10) maka terima H0 yang artinya ragam homogen (homoskedastisitas) Lampiran 12. Asumsi Multikolinearitas Terjadi multikolinearitas apabila nilai VIF > 10 Kesimpulan : pada output regresi (yang diberi lingkaran) terlihat bahwa nilai VIF masing-masing variable < 10
sehingga dapat
dikatakan tidak
terjadi
multikolinearitas. Lampiran 13. Dokumentasi
Keadaan Persawahan Desa Hambaro, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor.
78
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 07 Juni 1989. Penulis merupakan putri pertama dari tiga bersaudara pasangan Endang Ahdad Rachman, SP dan Siti Hasanah. Penulis memulai pendidikan dasar di Sekolah Dasar Negeri 3 Cibatok, lulus pada tahun 2001. Setelah itu melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Leuwiliang, lulus pada tahun 2004. Kemudian melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Leuwiliang dan lulus tahun 2007. Pada tahun yang sama, penulis tercatat sebagai mahasiswa Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam berbagai kegiatan organisasi baik di dalam kampus maupun di luar kampus. Tercatat penulis pernah menjadi anggota Himpunan Profesi (HIMPRO) Resource and Environmental Economics
Student
Association
(RESSA)
Departemen
Campus
Social
Responsibility (CSR) tahun 2009 samapai tahun 2010 dan aktif di berbagai kepanitiaan kegiatan mahasiswa dan peserta berbagai kegiatan seminar terkait bidang ilmu maupun di luar bidang ilmu penulis.