WP/1/2015
WORKING PAPER
ANALISIS DETERMINAN KENAIKAN KELAS USAHA MIKRO
Ascarya Siti Rahmawati
Agustus, 2015
Simpulan, pendapat, dan pandangan yang disampaikan oleh penulis dalam paper ini merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan penulis dan bukan merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan resmi Bank Indonesia.
ANALISIS DETERMINAN KENAIKAN KELAS USAHA MIKRO1 Ascarya dan Siti Rahmawati Abstrak Jumlah usaha mikro (UM) sebanyak 55,86 juta atau 98,9% dari total perusahaan di Indonesia dan mempekerjakan lebih dari 90% tenaga kerja. Akan tetapi, hampir semua UM tidak pernah mengalami kenaikan kelas menjadi usaha kecil (UK). Studi ini bertujuan menganalisis determinan dan merancang model dari kenaikan kelas (graduation) usaha mikro menggunakan survei lapangan, metode structural equation modeling (SEM), dan metode strategic assumption surfacing and testing (SAST). Hasil survei menunjukkan bahwa usaha mikro dan kecil (UMK) merupakan bisnis informal yang dioperasikan di rumah/toko dan bergerak di sektor produksi atau perdagangan, yang mudah keluar/masuk, dengan menggunakan teknologi sederhana; dijalankan oleh tenaga kerja yang berpendidikan rendah dan kurang berpengalaman atau oleh wirusahawan yang tidak terdidik; dibiayai dari modal sendiri; produk cukup dikenal, tetapi bermasalah dalam menguasai pasar. Ketidakstabilan kondisi makroekonomi serta kurangnya dukungan eksternal tidak menjadikan mereka tidak mampu bertahan. Mereka sangat membutuhkan berbagai jenis bantuan, khususnya bantuan manajerial, pembiayaan, bantuan teknis, pemasaran, kewirausahaan, kepemimpinan, dan perubahan pola pikir. Hasil pengujian SEM menunjukkan bahwa determinan utama kenaikan kelas UM adalah standar operating procedure (SOP) dan teknologi informasi (management know-how), pasar (karakteristik usaha), kondisi infrastruktur dan makroekonomi (eksternal), dan dukungan keluarga (support). Determinan penting lainnya adalah visioner, jiwa kewirausahawan dan pengalaman usaha (owner of business/pemilik usaha), dan sumber daya manusia terlatih (resources). Sebagian besar UMK tidak memiliki faktor kunci untuk berhasil maupun naik kelas. Karakteristik ketaatan beragama bukan merupakan faktor kunci kesuksesan dari kenaikan kelas UM. Namun, tetap saja hal tersebut merupakan faktor penting, seperti kecerdasan spiritual yang tinggi, dapat dipercaya (amanah), dan sifat jujur (siddiq). Hasil pengujian SAST menunjukkan bahwa kebijakan paling penting yang diperlukan oleh UMK adalah kestabilan harga dan infrastruktur (external), dukungan modal dan pembiayaan (support), cara mudah dan murah untuk melakukan bisnis dan
Penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak Andang Setyobudi atas saran-sarannya, Atika R. Masrifah atas bantuan teknisnya, dan Budi Suharjo dan tim atas pelaksanaan survei. 1 Kajian dipresentasikan pada “the 6th Islamic Economic System Conference”, diselenggarakan oleh Faculty of Economics and Muamalat (FEM), Universiti Sains Islam Malaysia, Krabi, Thailand, September 29–30, 2015. Email:
[email protected]; Telp: +6221.2981.7345; Fax: +6221.231.1580
1
lokasi strategis (karakteristik usaha), akses yang mudah dan murah untuk pembiayaan dan bahan baku, serta ketersediaan teknologi yang mumpuni (resource).
Key words
: Micro and Small Enterprises, Graduation, Microfinance, Islamic Entrepreneur
JEL Classification : G21, G28, O17 I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Usaha mikro (UM) di Indonesia selalu memainkan peran penting dalam perekonomian Indonesia. Setelah krisis Asia tahun 1998, khususnya di daerah perdesaan, UM dianggap sebagai katup pengaman dalam perbaikan ekonomi nasional dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi, menurunkan tingkat pengangguran, dan mengurangi kemiskinan. Jumlah UM sebanyak 98,8% (atau 55,9 juta) dari total usaha di Indonesia pada tahun 2012. Beberapa data menunjukkan signifikansi kontribusi UM terhadap produk domestik bruto (PDB), yaitu sekitar 34,7% pada tahun 2011 dan 35,8% pada tahun 2012. Angka tersebut berada di bawah kontribusi usaha besar terhadap PDB. Sektor UM mampu menyerap sekitar 96,0 juta tenaga kerja (90,8%) pada tahun 2011 dan 99,9 juta tenaga kerja (90,1%) pada tahun 2012.
Tabel 1. Statistik Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Tahun 2012 Jumlah
PDB
Tenaga Kerja
Ekspor*
Mikro
55.856.176
98,79%
35,81%
99.859.517
90,12%
1,51%
Kecil
629.418
1,11%
9,68%
4.535.970
4,09%
3,45%
Menengah
48.997
0,09%
13,59%
3.252.023
2,94%
11,48%
Besar
4.968
0,01%
40,92%
3.150.645
2,84%
83,56%
UMKM
56.534.592
99,99%
59,8% 107.657.509
97,16%
16,44%
Sumber: Kementerian Koperasi dan UKM; *data 2011
Dengan
kekhususannya—terutama
modal
yang
kecil—UM
mampu
memproduksi dalam proses yang pendek. Dengan manajemen yang sederhana dan volume unit yang besar yang tersebar di seluruh pelosok nusantara, menjadikan UM lebih tahan menghadapi gejolak siklus usaha. 2
Di balik cerita kesuksesan UM, masih tersisa masalah yang belum terpecahkan dan perlu didiskusikan lebih lanjut, yaitu UM selalu mengalami kesulitan untuk memperoleh pinjaman atau pembiayaan dari industri perbankan (baik lembaga konvensional maupun lembaga keuangan syariah) karena beberapa alasan. Menurut Ascarya (2014) terdapat beberapa model lembaga keuangan mikro (LKM), baik konvensional maupun lembaga keuangan mikro syariah, yang secara khusus melayani orang miskin dan UM.
Tabel 2. Model LKM dan Target Konsumennya Model LKM
Sangat Miskin
Miskin Aktif
Grameen
Rp0–1 M
Rp1–5 M
Coop-BMT BPR
Rp1–5 M
UM Kelas Rendah
UM Kelas Menengah
UM Kelas Tinggi
Rp5–10 M Rp5–10 M
MBU
Rp10–50 M Rp10–50 M
Rp50–100M
Baitul Maal wa Tamwil (rumah harta dan usaha) atau BMT adalah salah satu jenis lembaga keuangan mikro syariah (LKMS) yang sangat terkenal di Indonesia. Baitul Maal (bait ‘rumah’, al-maal ‘harta’) memfokuskan pada pengumpulan sumbangan wajib dan sukarela, seperti zakat, infak, sedekah (sadaqah), dan wakaf serta
mengoptimalkan
pendistribusiannya
dengan
menerapkan
berbasis syariah. Sementara itu Baitul Tamwiel (bait
manajemen
‘rumah’, at-tamwiel
‘pembiayaan/permodalan’) memfokuskan pada pengembangan usaha produktif dan investasi yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas hidup ekonomi masyarakat, terutama untuk mereka yang memiliki ekonomi skala mikro dan kecil melalui kegiatan pendanaan dan pembiayaan. BMT dapat terbagi menjadi model BMT Grameen atau model BMT Individual. Tentunya BMT memiliki keterbatasan kemampuan, terutama dalam pendanaan, untuk dapat melayani 55,9 juta UM. Jutaan UM masih belum dapat mengakses kredit atau pembiayaan dari lembaga keuangan mikro konvensional atau syariah, yang disebabkan oleh permasalahan di dalam UM atau di dalam lembaga keuangan mikro itu sendiri. Sementara itu, beberapa model pembiayaan untuk memberdayakan dan mengembangkan UM melalui BMT terus mengalami peningkatan, termasuk model komersial, model nonkomersial, dan model campuran. Model-model ini termasuk 3
model yang memiliki hubungan (linkage), baik langsung maupun tidak langsung antara bank syariah dan BMT. Beberapa model menggunakan zakat dan/atau wakaf serta menggunakan sumbangan sebagai sumber pendanaan primer/sekunder.
Gambar 1. Commercial Direct Linkages antara Bank Syariah dan BMT
Commercial direct linkages (hubungan langsung yang bersifat komersial) antara bank syariah dan BMT disebut sebagai commercial model, dapat diwujudkan dalam pola executing, channeling, atau joint financing.
Gambar 2. Commercial Indirect Linkages antara Bank Syariah dan BMT melalui Lembaga APEX
4
Commercial indirect linkages (hubungan tidak langsung yang bersifat komersial) melalui lembaga APEX, yaitu dengan menghubungkan bank syariah dan BMT sehingga bank syariah menyalurkan pembiayaan kepada lembaga APEX atau koperasi sekunder, kemudian lembaga APEX selanjutnya menyalurkan pembiayaan tesebut kepada anggota BMT-nya.
Gambar 3. Mixed Direct Linkages antara Bank Syariah dan BMT
Mixed direct linkages (hubungan langsung campuran) dengan bantuan teknis (TA= technical assistance) memanfaatkan dana sosial (zakat, infak, sedekah, dan/atau wakaf) untuk melengkapi dana komersial. Sumbangan para donotur dapat dimanfaatkan untuk TA, sedangkan dana sosial dapat dimanfaatkan untuk BT dan pendanaan BMT.
5
Gambar 4. Mixed Indirect Linkage Antara Bank Syariah dan BMT Mixed indirect linkage (hubungan tidak langsung campuran) dengan TA menggunakan dana pemerintah dan bank sentral untuk melengkapi indirect commercial fund (dana komersial tidak langsung) melalui lembaga APEX. Dana dari bank sentral dapat digunakan untuk TA, sedangkan dana pemerintah dapat digunakan untuk asuransi kredit dan membiayai BMT. Terdapat beberapa model pembiayaan nonkomersial berdasarkan pendanaan zakat, serta model pembiayaan berdasarkan pendanaan wakaf. Dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa model pembiayaan (baik dengan maupun tanpa TA) yang dikembangkan untuk menyasar konsumen miskin dan UM tertentu dengan atau tanpa dana sosial.
Tabel 3. Model Pembayaran untuk Usaha Mikro melalui Lembaga Keuangan Syariah MODEL
Nonkomersia l
Campuran
LANGSUN G
TIDAK LANGSUN G
BMT
TARGET
Pembiayaa n + BT
V
Grameen
Kaum miskin
Hanya Pembiayaa n
V
Grameen
Kaum miskin
Pembiayaa n + BT
V
Individual / Grameen
Kaum miskin/U
V
6
M kelas rendah Hanya Pembiayaa n Pembiayaa n + BT Komersial
Hanya Pembiayaa n
V
V
Individual / Grameen Kaum miskin/U M kelas rendah, menengah
Catatan: DP ‘Development Program’; TA ‘Technical Assistance’.
Persentase UM dalam jangka waktu 15 tahun terakhir tidak mengalami perubahan secara signifikan. Meskipun begitu, data menunjukkan bahwa perusahaan kecil dan perusahaan menengah dalam periode 2006–2012 trennya mengalami sedikit peningkatan.
Tabel 4. Persentase Usaha Mikro, Kecil, Menengah, dan Besar di Indonesia 1997
1998
2002
2004
99,84%
99,85%
99,78%
99,78%
Menengah
0,15%
0,14%
0,20%
Besar
0,01%
< 0,01%
UMKM
99,99%
99,99%
Mikro Kecil
2006
2008
2010
2012
98,95%
98,90%
98,85%
98,79%
0,96%
1,02%
1,07%
1,11%
0,21%
0,07%
0,08%
0,08%
0,09%
0,01%
0,01%
0,01%
0,01%
0,01%
0,01%
99,99%
99,99%
99,99%
99,99%
99,99%
99,99%
Di negara yang didominasi oleh UM yang mempekerjakan lebih dari 90% penduduk negara tersebut, sangatlah penting pemahaman terhadap determinandeterminan dari kenaikan kelas UM dan pengembangan UM ini agar memperbaiki kesejahteraan pemilik maupun pekerjanya. Namun, terdapat kesenjangan antara kemampuan lembaga keuangan syariah dan kebutuhan UM, serta kurangnya kapabilitas dan kepasitas UM untuk meningkat dan naik kelas menjadi usaha kecil (UK).
7
1.2 Tujuan Penelitian Tujuan dari studi ini adalah untuk menganalisis determinan-determinan UM untuk menjadi lebih baik secara bertahap sehingga mampu naik kelas menjadi UK. Studi ini mencakup dua kelompok UMK yang merupakan nasabah dari lembaga keuangan syariah dan konvensional. Lebih lanjut, studi ini akan merancang model kenaikan kelas UM yang sesuai bagi UM untuk berevolusi dari UM tingkat rendah hingga UM tingkat tinggi dan pada akhirnya naik kelas menjadi UK.
1.3 Metodologi Studi ini akan menggunakan berbagai metode kualitatif. Structural equation modeling (SEM) akan digunakan untuk menganalisis determinan kenaikan kelas UM. Di samping itu akan digunakan strategic assumption surfacing and testing (SAST) untuk membantu merancang model kenaikan kelas UM syariah.
II. TINJAUAN LITERATUR/PUSTAKA
2.1 Usaha Mikro dan Kecil Skala terkecil dari suatu usaha disebut dengan UM karena memiliki skala operasi mikro dan relatif memiliki sedikit pekerja atau pekerja nonpermanen. Karena tidak terdaftar secara resmi, UM ini tidak memiliki akses pada jasa/ layanan formal. Secara umum, definisi UMKM dapat diklasifikasikan berdasarkan jumlah tenaga kerja, total aset, penjualan per tahun, dan besarnya modal. Menurut Aziz dan Rusland (2009), berbagai klasifikasi dari UMKM dapat terjadi karena adanya perbedaan dalam struktur pasar, struktur produksi, kekuatan pasar, kebijakankebijakan, serta sistem hukum pada tiap-tiap negara. Kriteria UMKM sangatlah beragam, bahkan di antara lembaga multilateral, seperti Bank Dunia, European Union (EU), Multilateral Invesment Fund (MIF) – Inter-American Development Bank (AfDB), Asian Development Bank (ADB), dan United
Nations
Development
Program
(UNDP).
Secara
umum,
mereka
mendefinisikan UMKM berdasarkan jumlah tenaga kerja, total aset, dan penjualan per tahun. Bank Dunia mengklasifikasikan perusahaan dengan jumlah tenaga kerja 0–10 sebagai UM, 10–49 tenaga kerja sebagai UK, dan 50–299 tenaga kerja sebagai 8
usaha menengah. Sementara itu, negara Uni Eropa mendefinisikan UMKM berdasakan total aset dan penjualan per tahun karena UM merupakan usaha dengan aset bersih (net aset) kurang dari 2 juta euro atau usaha dengan penjualan per tahun kurang dari 2 juta euro. UK adalah usaha dengan aset bersih mulai dari 2 juta euro hingga 10 juta euro atau dengan total penjualan per tahun dari 2 juta euro hingga 10 juta euro. Menurut AfDB, usaha dengan lebih dari 50 tenaga kerja diklasifikasikan sebagai usaha besar (UB). Sementara itu, World Bank dan EU mengklasifikasi usaha dengan tenaga kerja berjumlah 299 dan 249 sebagai usaha menengah. Perbedaan itu terjadi karena adanya perbedaan tingkat ekonomi suatu kawasan ekonomi.
Tabel 5. Kriteria UMKM yang Digunakan Berbagai Lembaga Multilateral Usaha Mikro Lembaga Multilateral
Bank Dunia
Tenaga Kerja
< 11
Usaha Kecil
Total Aset/ Penjualan per Tahun TA: <$10.000 AS: <$100.000
Usaha Menengah
Tenaga Kerja
Total Aset/ Penjualan per Tahun
Tenaga Kerja
Total Aset/ Penjualan per Tahun
< 50
<$3 juta
< 300
<$15 juta TA: <€43 juta
EU
< 10
<€2 juta
< 50
<€10 juta
< 250
MIF – IADB
n/a
n/a
n/a
n/a
<100
AS: <$3 juta
AfDB
n/a
n/a
n/a
n/a
<50
n/a
<200
n/a
ADB UNDP
AS: <€50 juta
tidak resmi didefinisikan n/a
n/a
n/a
n/a
Sumber: UNDP; DCED (Donor Committee for Enterprise Development); Gibson dan Vaart (2008); dimodifikasi oleh penulis
Kriteria UMKM juga sangat bervariasi antarnegara. Di Chile UMKM didefinisikan berdasarkan penjualan total per tahun. Usaha dengan penjualan total per tahun kurang dari USD 2.400 diklasifikasikan sebaga UM, sedangkan usaha 9
kecil adalah usaha dengan total penjualan per tahun kurang dari USD 25 ribu. UMKM di India saat ini didefinisikan berdasarkan investasi modal. Untuk usaha yang bergerak di bidang pelayanan jasa, investasi UM untuk peralatan tidak melebihi RS 10 lakh atau setara USD 20 ribu, sedangkan investasi oleh UK untuk peralatan berada di atas Rs 10 lakh, tetapi kurang Rs 2 lakh atau setara dengan USD 40 juta. Beberapa negara mengklasifikasi UMKM berdasarkan jumlah tenaga kerja (Tabel 6). Di Jamaica, usaha dengan tenaga kerja kurang dari 4 diklasifikasikan sebagai UM, sedangkan tenaga kerja 4 hingga 10 diklasifikasi sebagai UK. Di Albania dan Australia perusahaan yang mempekerjakan kurang dari 5 tenaga kerja diklasifikasi sebagai UM, dan perusahaan dengan 5–19 tenaga kerja diklasifikasikan sebagai UK. UM di Oman dan Brunei memiliki kurang dari 6 tenaga kerja, sedangkan UK di Oman mempekerjakan 6 hingga 20 tenaga kerja dan di Brunei mempekerjakan 6 hingga 50 tenaga kerja. UM di Saudi Arabia mempekerjakan 0 hingga 9 tenaga kerja, sedangkan UK mempekerjakan 6 hingga 50 tenaga kerja. Federasi Rusia mengklasifikasi 1 hingga 19 tenaga kerja sebagai UM, sedangkan UK memiliki 16 hingga 100 tenaga kerja. Secara khusus, Tiongkok mengelompokkan UK berdasarkan sektor ekonomi.
Tabel 6. Kriteria UMKM Berdasarkan Jumlah Tenaga Kerja Negara
Usaha Mikro
Usaha Kecil
Usaha Menengah
Jamaica
1–3
4–10
11–49
Albania
1–4
5–19
20–79
Indonesia
1–4
5–19
20–99
Australia
1–4
5–19
20–199
Egypt
1–5
6–10
11–100
Oman
1–5
6–20
21–100
Brunei Darussalam
1–5
6–50
51–100
Brazil*
0–9
10–49
50–249
Vietnam*
0–9
10–49
50–299
Saudi Arabia*
0–9
10–59
60–199
Bangladesh
1–9
10–49
50–99
Phillippine
1–9
10–99
100–199
Pakistan
1–10
11–50
51–250
Kenya
1–10
11–50
51–100 10
Russian Federation
1–15
16–100
101–250
Turkey
1–19
20–49
50–249
Ukraine
n/a
1–49
50–249
Venezuela
n/a
1–50
51–100
n/a
<300 in indstr, <600 constr, <100 wholesale, <100 retail, <500 transp, <400 post, <400 in hotels & restaurants
<2000 indstr, <3000 constr, <200 wholesale, <500 retail, <3000 transp, <1000 post, <800 in hotels & restaurants
China
Singapore
UMKM adalah perusahaan dengan karawan kurang dari 200 orang
Note: *: 0 (pemilik dikeluarkan dari tenaga kerja) Indstr: Industri; Constr: Konstruksi; Transp: Transportasi Sumber: Kushnir et al. (2010); Bloem (2012); dimodifikasi oleh penulis
Beberapa negara menggabungkan berbagai acuan dalam mendefinisikan UMKM. Beberapa dari negara tersebut menggunakan berbagai standar untuk mendefinisikan UMKM dalam kaitannya dengan kebijakan yang diterapkan regulator di tiap-tiap negara. Peru dan Republik Dominica menggunakan jumlah tenaga kerja dan penjualan per tahun untuk menetapkan UMKM. Filipina, Kamboja, dan
Nigeria
menggabungkan
jumlah
tanaga
kerja
dan
total
aset
untuk
mengklasifikasikan UMKM. Indikator jumlah tenaga kerja, penjualan tahunan, dan total aset digunakan oleh Costa Rica dan Bolivia. Di samping itu, sektor ekonomi juga dipertimbangkan sebagai acuan dalam menentukan UMKM. Sebagai contoh, Afrika Selatan menetapkan definisi yang berbeda untuk UMKM di sektor pertambangan, listrik, manufaktur, dan konstruksi. Argentina
menggunakan
tingkat
penjualan
tahunan
yang
berbeda
untuk
mengklasifikasikan usaha di sektor industri, retail, jasa, dan pertanian. Malaysia membedakan UMKM di sektor jasa dan manufaktur berdasarkan jumlah tenaga kerja dan penjualan tahunan.
Tabel 7. Kriteria UMKM
11
Country Chile Indonesia Egypt UK Cambodia Philippine US
Employee n/a 1–4 1–5 1–9 0–9 1–9 1 – 10
Malaysia
<5
South Africa
Agri<5, Others<5; (diff. by sector)
Argentina
Indstr <5; Trade <5; Servc (4;
India
n/a
Micro Enterprises Asset Sales n/a < US$2.400 < Rp50 mil < Rp300 mil n/a < EGP5 mil n/a n/a < US$50.000 n/a < P3 mil n/a n/a < US$3.5 mil Agri & Servc
Employee n/a 5 – 19 6 – 10 10 – 49 10 – 49 10 – 99 11 – 99 Agri & Servc. <19; Mfg. <50 Agri<50, Others<50; (diff. by sector) Indstr <24; Trade <23; Servc <17; n/a
Small Enterprises Asset Sales n/a < US$25.000 < Rp500 mil < Rp2.5 bil n/a < EGP50 mil n/a <£5.6 mil < US$250.000 n/a < P15 mil n/a < US$14 mil n/a Agri & Servc
Medium Enterprises Asset Sales n/a < US$1 Mil < Rp10 bil < Rp50 bil n/a < EGP250 mil n/a n/a n/a < USS500.000 n/a n/a n/a n/a Agri & Servc Agri &
Keterangan: Agri: Pertanian; Constr: Konstruksi; Indstr: Industri; Invst: Investasi; Mfg: Manufaktur; Servc: Jasa; Mil: Juta; Bil: Miliar Sumber: Kushnir et al. (2010); Bloem (2012); dimodifikasi oleh penulis
Di Indonesia, beberapa lembaga dan perundang-undang terkait UMKM membagi klasifikasi UMKM dalam beberapa kriteria. Badan Pusat Statistik mendefinisikan UMKM menurut jumlah tenaga kerja. Usaha yang mempekerjakan kurang dari 5 tenaga kerja dikategorikan sebagai UM, UK memiliki 5 hingga 19 tenaga kerja, sedangkan usaha menengah memiliki 20 hingga 99 tenaga kerja. Klasifikasi itu didasarkan pada jumlah tenaga kerja tanpa memperhatikan aset total maupun penjualan tahunan. UU UMKM No. 28/2008 mengklasifikasi UM berdasarkan aset dan penjualan tahunan, sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 8.
Tabel 8. Kriteria UMKM di Indonesia Jenis Usaha MIKRO KECIL MENENGAH
Kriteria (UU UMKM No.20/2008) - Aset < 50 juta rupiah (tidak termasuk properti) - Penjualan tahunan < 300 juta rupiah - Aset 50 juta–500 juta rupiah (tidak termasuk properti) - Penjualan tahunan 200 juta–2,5 miliar rupiah - Aset 500 juta–10 miliar rupiah - Penjualan tahunan 2,5 miliar–10 miliar rupiah
2.2 Business Life Cycle Framework Business life cycle model (model siklus hidup usaha) menyatakan bahwa suatu usaha perlu melalui beberapa tahapan dalam perkembangannya. Setiap 12
model merepresentasikan karakteristik yang berbeda-beda dari berbagai tahapan. Tabel 9 menunjukkan taksonomi dari business life cycle berdasarkan sejumlah tahapan.
Tabel 9. Taksonomi Business Life Cycle Berdasarkan Jumlah Tahapan Jumlah Tahapan
Penulis
3
Lippitt dan Schmidt (1967); Downs (1967); Scott (1971); Katz dan Kahn (1978); Smith, Mitchell dan Summer (1985)
4
Chandler (1962); Steinmetz (1969); Lyden (1975); Kimberly (1979); Quinn dan Cameron (1983); Kazanjian dan Drazin (1989)
5
Penrose (1952); Greiner (1972); Galbraith (1982); Miller dan Friesen (1984); Scott dan Bruce (1987); Jansen dan Chandler (1993); Lester dan Parnell (1999)
6
Churchill dan Lewis (1983); Hanks dkk (1993)
8
Torbert (1974)
10
Adizes (1979)
Sumber: Quinn dan Cameron (1983: 35–37); Perényi et al. (2011: 144); Lester et al. (2003: 341); dimodifikasi oleh penulis
Banyak studi mengenai kerangka business life cycle telah dilakukan. Kerangka tersebut dapat diterapkan tidak hanya untuk organisasi, tetapi dapat pula digunakan untuk perusahaan dan korporasi publik. Tabel 10 menunjukkan taksonomi model life cycle berdasarkan unit analisis.
Tabel 10. Taksonomi Life Cycle Models Berdasarkan Unit Analisis Unit Analisis
Penulis
Umum
Chandler (1962); Downs (1967); Torbert (1974); Katz dan Kahn (1978); Galbraith (1982); Lester dan Parnell (1999)
Organisasi
Greiner (1972); Adizes (1979); Hanks, Watson, Jansen dan Chandler (1993); Kimberly (1979); Quinn dan Cameron (1983); Smith, Mitchell dan Summer (1985)
Organisasi Publik
Lyden (1975)
Firma/Perusahaan/ Lippitt dan Schmidt (1967); Miller dan Friesen (1984); Penrose (1952); Porter (1980) Industri Usaha Besar
Channon (1968); Salter (1970)
Usaha Kecil Menengah
Mahar dan Coddington (1966); Steinmetz (1969); Barnes dan Hershon (1976); Bruce (1978); Scott dan Bruce (1987); Churchill dan Lewis (1983); Kazanjian dan Drazin (1989)
Sumber: Scott dan Bruce (1987: 46); Perényi et al. (2011: 144); dimodifikasi oleh penulis
13
Banyak penulis mengajukan tahapan siklus hidup (stages of the life cycle) suatu organisasi atau perusahaan. Masing-masing mengklasifikasi tahapan siklus hidup secara berbeda-beda. Meskipun terdapat perbedaan dalam setiap model siklus hidup, terdapat persamaan dari model-model tersebut. Sebagian besar modelmodel itu mengategorikan business life cycle, mulai dari pendirian (lahir) hingga dewasa. Namun, Adizes (1979) membuat klasifikasi yang paling lengkap, yaitu mengklasifikasi business life cycle ke dalam sepuluh tahapan yang dimulai dari masa kelahiran (penciptaan awal) hingga kematian. Greiner (1972) menjelaskan lima fase pertumbuhan sebagai pertumbuhan suatu organisasi. Sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 5, model fase pertumbuhan terdiri atas penciptaan, arahan, delegasi, koordinasi, dan kolaborasi. Setiap tahapan menghadapi krisis pada akhir periode dan bagaimana organisasi menyikapi krisis tersebut akan menentukan pertumbuhan ke depannya. Untuk mengatasi
krisis
tersebut,
manajer
harus
mempertimbangkan
beberapa
rekomendasi yang berkaitan dengan fase yang pernah dilalui. Teori evolusi dan revolusi Greiner telah digunakan sebagai konsep dasar oleh penelitian lebih lanjut
Large
mengenai business life cycle.
Phase 1
Phase 2
Phase 3
Phase 5 5. Crisis of ?
4. Crisis of Red Tape
Revolution Stage
Firm Size
Phase 4
Evolution Stage
3. Crisis of Control 4. Growth Through Coordination
2. Crisis of Autonomy
5. Growth Through Collaboration
3. Growth Through Delegation
1. Crisis of Leadership
Small
2. Growth Through Direction 1. Growth Through Creativity
Young
Firm Age
Mature
Sumber: Greiner (1972)
Gambar 5. Model Greiner Mengenai Lima Tahapan Pertumbuhan
Penelitian penting lainnya mengenai business life cycle adalah Adizes (1979). Adizes menggambarkan model siklus hidup korporasi dengan mengidentifikasi sepuluh tahapan kehidupan yaitu sebagai berikut (i) pengenalan (awal penciptaan usaha); (ii) masa pertumbuhan (memulai penjualan kepada pelanggan kunci, peningkatan modal atau perekrutan key talent); (iii) go-go (penjualan tumbuh pesat dan terkadang terjadi kekacauan); (iv) masa remaja (sukses ketika perusahaan 14
berjalan baik, petaka ketika penjualan menurun ataupun infrastruktur hancur); (v) unggul
(posisi
paling
optimal
dalam siklus
kehidupan); (vi)
stabil
(tetap
menguntungkan, tetapi mulai kehilangan kekuatan); (vii) aristrokasi (sukses, tetapi ekspektasi pertumbuhan menurun dan kehilangan pangsa pasar); (viii) birokrasi awal (ancaman, permasalahan, dan ketakutan membekukan organisasi); (ix) birokrasi (dalam internal terjadi disasosiasi dan sistem yang tidak efisien); dan (x) kematian (kebangkrutan ataupun penutupan).
Stable
Prime Divorce Adolescence
Premature Aging
Aristocracy
Unfulfilled Entrepreneur
Go-Go
Early Bureaucracy
Founder Trap Bureaucracy
Infant
Infant Mortality
Courtship
Death
Affair Growing
Aging
Sumber: Adizes (1979)
Gambar 6. Model Adizes Mengenai Siklus Kehidupan Perusahaan
Setelah model Greiner dan Adizes, Churcill dan Lewis (1983) mengembangkan lebih lanjut model classic. Sebuah perusahaan dapat memiliki lima tahapan pertumbuhan, yaitu eksistensi/keberadaan, keberlangsungan hidup, sukses, tinggal landas, dan kematangan sumber daya. Dalam tahapan eksistensi, perusahaan masih dalam pembentukan dan bekerja tanpa struktur yang formal. Kedua, tahapan keberlangsungan hidup/bertahan memaksa usaha untuk tumbuh dengan menambah modal. Tujuan utama tahap itu ialah mempertahankan kebutuhan perbaikan dan penggantian sehari-hari Pada tahap ketiga kesuksesan, perusahaan mulai memperoleh keuntungan dan modal yang cukup sehingga mereka dapat berinvestasi dalam usaha lebih lanjut dengan cara membangun kerja sama tim. Pada tahap take-off, perusahaan mulai menciptakan pertumbuhan lebih lanjut, ekspansi, dan mencari peluang-peluang baru. Terakhir, ketika mencapai tahap kematangan sumber daya, perusahaan 15
menjadi semakin besar dengan memfokuskan pada pengendalian kualitas, pengendalian keuangan, dan penciptaan ceruk pasar.
Stage I
Stage II
Existence
Survival
Direct Supervision
Extent of Formal Systems Major Strategy
Management Style
Stage III(a) SuccessDisengagement
Stage III(b) SuccessGrowth
Supervised Supervision
Functional
Minimal to Nonexistent
Minimal
Existence
Survival
Stage IV
Stage V
Take-Off
Resource Maturity
Functional
Divisional
Line and Staff
Basic
Developing
Maturing
Extensive
Maintaining Profitable Status Quo
Get Resources for Growth
Growth
Return on Investment
Organization
Business and Owner* *White circle represents owner; Black circle represents business
Sumber : Churchill dan Lewis (1983)
Gambar 7. Model Curhchill dan Lewis mengenai Pertumbuhan Perusahaan
Scott dan Bruce (1987) menjelaskan model pertumbuhan usaha kecil melalui lima tahapan dengan karakteristik tersendiri (Gambar 8). Tahapan itu adalah permulaan, bertahan hidup (survival), tumbuh, ekspansi, dan dewasa. Model tersebut membantu manajer untuk merencanakan masa depan perkembangan usahanya dan mengatasi permasalahan dalam mengembangkan usaha kecil. Tabel 11 menjelaskan secara terperinci model Scott dan Bruce.
16
Evolution Stage Revolution Stage
Stage 1 Inception
Stage 2 Survival
Stage 3 Growth
Stage 4 Expansion
Stage 5 Maturity Contained Decline
Fold
Size
Contained
Fold
Fold
Young
Age of Business
Mature
Sumber: The Scott dan Bruce (1987)
Gambar 8. Model Pertumbuhan Usaha Scott dan Bruce Tabel 11. Model Lima Tahap Pertumbuhan Usaha Kecil Menurut Scott dan Bruce Tahap 1 – Permulaan
Tahap 2Kelangsungan
Tahap 3 – Pertumbuhan
Tahap 4 Ekspansi
Tahap 5Dewasa
Tahapan Industri
muncul, fragmentasi
muncul, fragmentasi
tumbuh, beberapa kompetisi besar, entri baru
tumbuh, goyah
tumbuh/ goyah atau dewasa/ menurun memperluas pengawasan dan produktivitas, konsentrasi pada pemasaran apabila industri menurun
Isu Kunci
mendapatkan pelanggan, produksi ekonomis
pendapatan dan pengeluaran
berhasil tumbuh, menjamin sumber daya
tumbuh pembiayaan, menjaga pengawasan
Peran Manajemen Puncak
pengawasan langsung
delegasi, koordinasi
desentralisasi
desentralisasi
Gaya Kepemimpinan
wirausahawan, individualistis
mengawasi dan pengawasan diawasi wirausahawan, administratif
wirausahawan, koordinasi
profesional, administratif
pengawas
Struktur Organisasi
tidak terstruktur
sederhana
fungsional, tersentral
fungsional, desentralisasi
desentralisasi fungsional/ produk
Produk dan Pasar
tidak ada
sedikit
beberapa pengembangan produk baru
Sistem dan Pengawasan
pembukuan sederhana, pengawasan melekat/ langsung
pembukuan sederhana, pengendalian langsung
sistem akutansi, laporan pengawasan sederhana
Sumber Utama Pembiayaan
pemilik, teman dan saudara, penyedia leasing
pemilik, pemasok, bank
bank, partner baru, pendapatan ditahan
inovasi produk baru, studi pasar sistem anggaran, penjualan bulanan dan laporan produksi pendapatan ditahan, partner baru, program jaminan pinjaman
inovasi produk sistem pengawasan formal, manajemen dengan objektif pendapatan ditahan, pinjaman jangka panjang
17
jangka panjang positif namun diinvestasikanke mbali
Cash Generation
negatif
negatif/ breakeven
Investasi Utama
pabrik dan peralatan
modal kerja
Produk-Pasar
satu jalur dan terbatasnya channel dan pasar
satu jalur dan pasar tapi terjadi peningkatan skala dan channel
modal kerja, perluasan pabrik diperluasnya jalur namun masih terbatas, satu pasar, beberapa channel
positif dengan sedikit dividen unit operasi baru perluasan wilayah, peningkatan pasar dan channel
cash generator,divi den yang lebih tinggi pemeliharaan pabrik dan posisi pasar menguasai jalur, banyak pasar dan channel
Sumber: Scott dan Bruce (1987)
Kazanjian and Drazin (1989) menyajikan siklus hidup organisasi melalui empat tahapan pertumbuhan secara nyata, yaitu konsep dan pengembangan, komersialisasi,
pertumbuhan,
dan
stabilitas.
Pertama,
tahap
konsep
dan
perkembangan memfokuskan pada penemuan dan pengembangan dari produk dan/atau teknologi. Kedua, tahapan komersialisasi mencoba membangun jaringan yang andal agar produk berjalan dengan baik. Ketiga, tahapan pertumbuhan merupakan periode pertumbuhan yang tinggi, baik dari sisi penjualan maupun tenaga kerja. Keempat, tahapan stabilitas terjadi ketika tingkat pertumbuhan berjalan lambat menuju ke tingkat yang sejalan dengan pertumbuhan pasar. Hal itu memaksa perusahaan untuk menciptakan produk baru dalam rangka mendorong pertumbuhan. Mereka tidak hanya mengasumsikan secara apriori mengenai eksistensi tahapan, tetapi juga menguji secara empiris mengenai kemajuan perusahaan dalam seluruh tahap perkembangan sepanjang waktu. Mereka mampu memperbaiki daya prediksi model dengan cara mengurangi jumlah tahapan dan jumlah perusahaan yang melewati (skipped) tahapan.
2.3 Determinan Kenaikan Kelas Usaha Mikro Konsep upgrading (peningkatan) dalam global value chain pada awalnya dikenalkan oleh Humprey dan Smitz (2000). Mereka memfokuskan empat tipe upgrading, yaitu upgrading produk, upgrading proses, upgrading fungsi, dan upgrading intersectional. Sementara itu, Reeg (2013) mendefinisikan upgrading sebagai pertumbuhan UKM melalui proses inovasi. Reeg mengidentifikasi lima jalur inovasi yang dapat terjadi pada produk, proses, pemasaran, fungsional, dan sektor. Pada bagian ini akan didiskusikan determinan-determinan dari suatu proses upgrading. 18
2.3.1 Upgrading UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah) Di negara berkembang, usaha mikro, kecil, menengah (UMKM) dikenal sebagai sumber utama dari pendapatan dan tenaga kerja. Mead dan Liedholm (1998: 61) melakukan baseline surveys di enam negara Afrika yang seperempat dari penduduk usia kerjanya bekerja di sektor UMKM. Karena UMKM memiliki proporsi yang tinggi di sektor industri, Reeg (2013a: 9) juga menyoroti UMKM sebagai agen ekonomi di negara berkembang. Mead dan Leadholm (1998: 64) berpendapat bahwa UMKM cenderung secara konstan mengalami kondisi yang naik-turun. Selalu ada perusahan yang baru mulai, sedangkan yang lainnya telah melalukan ekspansi, kontraksi, dan bahkan tutup. Di samping itu, beberapa studi empiris menunjukkan bahwa sebagian besar UMKM berada dalam kondisi stagnan. Beberapa usaha mikro dan kecil dapat menjadi usaha menengah melalui produktivitas, aset, dan tenaga kerja yang disebut upgraders. Proses upgrading ini terdiri atas dua elemen, yaitu elemen kuantitatif (perkembangan usaha) dan elemen kualitatif (inovasi) (Reeg, 2013a: 9). Aspek pertama (kuantitatif) mencerminkan perkembangan usaha dari kondisi stagnan (pendapatan, produktivitas, dan tenaga kerja) hingga meningkatnya pendapatan dan jumlah tenaga kerja penerima upah. Elemen yang kedua mencakup perbaikan kualitas produk, kapasitas proses, dan inovasi (Humphrey dan Schmitz, 2000: 3–4). Proses upgrading UMKM bertujuan untuk menganalisis perkembangan perusahaan dengan cara-cara yang berbeda. Pada Gambar 9 terdapat tiga jenis upgrading usaha, yaitu perkembangan usaha, tingkat inovasi perusahaan, dan formalisasi usaha (Reeg, 2013b: 8). Berbagai faktor internal dan eksternal mempengaruhi kinerja perusahaan dalam menghadapi kondisi siklus usaha yang berbeda-beda. Sebagai akibatnya, faktor internal dan eksternal ini dapat menjadi sumber yang bermanfaat dalam proses upgrading UMKM.
19
Upgrading (Peningkatan) Usaha
Inovasi tingkat usaha
Registrasi Bisnis Upgrading tipe 2
Usaha Tumbuh
Keuntungan Inovasi
Upgrading tipe 3
Upgrading tipe 1
Perbaikann Kuantitatif
Perbaikan Kualitatif
Pendapatan Produktivitas Jumlah tenaga kerja yang dibayar
Produk Proses Cara mengelola produksi Pasar Strategi Pemasaran
Sumber: Reeg (2013a: 9)
Gambar 9. Upgrading (Peningkatan) Usaha
2.3.1.1 Upgrading
Perusahaan
sebagai
Formalisasi
Usaha
(Enterprise
Upgrading as Business Formalization) Beberapa literatur mengemukakan bahwa kenaikan kelas perusahaan di negara berkembang dipandang sebagai suatu transformasi dari lembaga informal menjadi lembaga formal melalui pemenuhan aspek legal untuk sebuah perusahaan. Transformasi dari lembaga informal menjadi lembaga formal menjadi indikator yang baik untuk kenaikan kelas perusahaan agar lebih produktif, menguntungkan, dan dapat terus berkelanjutan (sustainable). Namun, perusahaan produktif informal dapat pula memperoleh keuntungan (Reeg, 2013b: 8).
2.3.1.2 Upgrading Perusahaan sebagai Pertumbuhan Perusahaan (Enterprise Upgrading as Enterprise Growth) Pertumbuhan perusahaan dikenal sebagai langkah pengembangan dari usaha yang stagnan atau menurun menjadi usaha yang tumbuh, baik dalam hal aset, produktivitas, maupun jumlah pegawai. Rasio keuangan dan pengukuran yang lebih terperinci seperti arus dana (cash flow) atau total turnover kadang kala digunakan untuk mengindikasikan suatu keuntungan dan kinerja. Namun, kemungkinan bahwa suatu perusahaan dapat tumbuh tanpa perbaikan metode penjualan yang signifikan mungkin saja terjadi dalam suatu kasus karena ada kelangkaan (scarcity), ekspansi pasar, dan proteksi yang ketat, atau karena isolasi (Reeg, 2013b: 8). 20
2.3.1.3 Upgrading (Pengembangan) Usaha sebagai Tingkat Inovasi Usaha (Enterprise Upgrading as Firm-Level Innovation) Reeg (2013b: 9) mengemukakan bahwa inovasi di negara berpendapatan rendah dan sedang didefinisikan sebagai penemuan dan adaptasi ilmu pengetahuan secara terus menerus. Dalam skala UMKM, inovasi memcerminkan bagaimana suatu perusahaan menjalankan usahanya dengan cara yang berbeda dari kompetitornya untuk memperoleh keuntungan yang lebih tinggi dari keuntungan rata-rata.
2.3.1.4 Hubungan antara Inovasi, Pertumbuhan Perusahaan, dan Formalisasi Usaha Berdasarkan uraian di atas, upgrading perusahaan didefinisikan sebagai pertumbuan usaha yang dimulai dari proses inovasi. Formalisasi usaha merupakan hasil dari proses upgrading. Pada intinya upgrading memiliki dua aspek penting. Pertama, langkah kuantitatif yang memfokuskan pada pertumbuhan usaha dari kondisi stagnan menjadi kenaikan pendapatan, produktivitas, atau tenaga kerja. Kedua, perbaikan kualitatif yang memfokuskan pada produk, proses, dan produksi (Reeg, 2013a: 18).
2.3.2 Determinan dari Upgrading UMKM Secara
umum,
kinerja
dan
pertumbuhan
usaha
dapat
ditentukan
berdasarkan kualitas internal atau eksternal dari suatu usaha. Sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 10, onion model membagi lima subtingkat dari determinan upgrading. Wirausahawan dan karakteristik usaha terkait dengan kualitas internal dari sebuah usaha. Sementara itu, lingkungan usaha, jaringan sosial, dan jaringan bisnis terkait dengan lingkungan eksternal (Reeg, 2013a: 20).
21
Sumber: Reeg (2013)
Gambar 10. Konsep Onion Layer
2.3.2.1 Karakteristik Wirausahawan Reeg (2013b: 18) menjelaskan bahwa wirausahawan memainkan peran penting di setiap keputusan perusahaan dalam memulai dan melakukan peningkatan usaha. Teori kewirausahawanan menekankan adanya pengaruh kuat dari faktor perilaku individu dalam upgrading perusahaan, seperti motivasi yang tinggi. Karakteristik individu (jenis kelamin dan umur) dan latar belakang wirausahawan (pendidikan, pelatihan, dan pengalaman) juga merupakan faktor penting dalam mengembangkan perusahaan.
2.3.2.2 Karakteristik Perusahaan Terdapat beberapa karakteristik dari perusahaan yang berhubungan dengan upgrading perusahaan meskipun tidak memiliki hubungan langsung dengan latar belakang wirausahawan. Ada lima faktor dari karakteristik perusahaan, yaitu umur usaha, lokasi, sektor bisnis dan penciptaan usaha, kapasitas penyerapan usaha, dan informalitas (Reeg, 2013: 28).
2.3.2.3 Jaringan Usaha and Sosial Jaringan interpersonal dan interusaha diperlukan perusahaan dalam penciptaan dan pertumbuhan suatu usaha. Berdasarkan tujuannya, jejaring dapat 22
memfasilitasi pembelajaran dan penyesuaian dalam arti dapat menciptakan sumber daya (resources) yang luas, seperti pembiayaan, ilmu pengetahuan, dan dukungan emosional. Melalui jejaring yang efisien dan efektif, sebuah perusahaan baru dapat mempercepat tahap permulaan, pertumbuhan, dan kapasitas berinovasi (Reeg, 2013b: 36).
2.3.2.4 Lingkungan Usaha Lingkungan usaha secara keseluruhan menjadi sangat penting untuk menstimulasi investasi bagi UMKM. Kesempatan usaha dapat diciptakan dari faktor-faktor kebijakan, hukum, dan regulasi yang menjamin dukungan persyaratan menjalankan usaha. Berkenaan dengan lingkungan usaha, Reeg (2013a) mengamati lima faktor lingkungan usaha yang dapat mempengaruhi UMKM, yaitu sebagai berikut (i) stabilitas makroekonomi dan politik; (ii) regulasi terkait lingkungan usaha; (iii) persaingan; dan (iv) akses keuangan.
2.4 Kewirausahawan dalam Pandangan Islam Kewirausahawan syariah dapat disebut sebagai kewirausahawan dalam sudut pandang Islam. Kewirausahawan konvensional dibentuk dengan tujuan memperoleh
untung,
sedangkan
kewirausahawan
syariah
secara
alami
dimungkinan dengan cara yang seimbang antara mendapatkan keuntungan dan dalam waktu bersamaan juga bertujuan mendapatkan pahala. Cendekiawan Muslim menyebutkan sejumlah sifat yang dapat dijalankan oleh wirausahawan Muslim (Faizal et al., 2013; Hoque et al., 2014; Oukil, 2013; Abdullah dan Hoetoro, 2011; Kayed, 2006; Kayed dan Hasan, 2010; Hassan dan Hippler, 2014). Penulis Islam kontemporer mengemukakan sejumlah karakteristik yang dapat dilakukan oleh wirausahawan Muslim, di antaranya adalah Faizal et al. (2013); Hoque et al. (2014); Oukil (2013); Abdullah dan Hoetoro (2011); Kayed (2006); Kayed dan Hassan (2010); Hassan dan Hippler (2014). Faizal et al. (2013) menjelaskan bahwa kerangka dasar dari seorang wirausahawan Muslim adalah takwa dan ibadah kepada Allah SWT. Berdasarkan kerangka
dasar
itu,
terdapat
elemen-elemen
lain
yang
akan
melengkapi
karakteristik wirausahawan Muslim. Takwa kepada Allah SWT dapat terus ditingkatkan dengan menjalankan ibadah wajib dan sunnah, baik yang bersifat 23
fardhu ‘ain (kewajiban individu) dan fardhu kifayah (kewajiban bersama). Termasuk di dalamnya adalah salat, puasa di bulan Ramadhan, melaksanakan haji dan umroh, melaksanakan zakat, dan beramal. Hal tersebut juga dibutuhkan untuk mendukung beberapa nilai lainnya, seperti nilai moral yang tinggi, kepercayaan, kepedulian kepada sesama, dan kepedulian lingkungan. Hoque et al. (2014) mengembangkan model kewirausahawanan berdasarkan Alquran dan Assunnah dalam dunia bisnis modern. Ciri-ciri yang menonjol ialah ilmu pengetahuan, inisiatif, pengambilan risiko, orientasi pelanggan, keterlibatan pekerja, pemikiran strategis, taat kepada Allah SWT, bekerja keras, berinovasi, memiliki keunggulan, jujur dan dapat dipercaya, moral yang baik, visioner, optimistis, kesabaran, kesejahteraan sosial, penghasilan halal, dan ekonomis. Model ini dapat digunakan untuk mengembangkan kewirausahawanan dari perspektif syariah dengan menjalankan berbagai jenis aktivitas yang berhubungan dengan fase pengembangan perusahaan.
FEEDBACK Supportive and Motivational Activities
Risk Taking
Employee Involvement
Knowledge Social Welfare Customer Orientation
Innovativeness Excellence
Islamic Entrepreneurship
Policy and Infrastructural supports Easy access to fund Tax rebate Subsidy Incubation facilities Reinforcement based on performance Availability of training Problem-solving services
FEEDBACK
Preparatory and Awareness Developing Activities Providing sufficient entrepreneurial knowledge from contemporary and Islamic perspectives in the education institutions Developing awareness by seminar, symposium, workshop, talk show, etc. Developing awareness through Imams of mosques and other social organizations
Initiative Fear in Allah
Honesty Patience
Hard Working
FEEDBACK
Sumber: Hoque et al. (2014)
Gambar 11. Model Wirausahawanan
Oukil (2013) mengemukakan bahwa segala aktivitas usaha harus patuh pada kode etik usaha syariah yang selaras dengan pedoman dasar berikut ini. Pertama, tidak ada kejahatan (fraud) atau tipu-menipu (Al-Bukhari) artinya perdagangan harus legal/sah, diinginkan dan baik secara moral, dan diterima di masyarakat. Kedua, larangan membuat terlalu banyak sumpah ketika menjual barang dagangan, 24
Nabi (SAW) bersabda bahwa dengan membuat sumpah menjadikan barang terjual, tetapi hal itu menghilangkan berkah (oleh karenanya) (Ibnu Majah: 2209). Ketiga, perlunya persetujuan bersama antarpihak ketika melakukan usaha (Al-Bukhari). Keempat, timbangan dan pengukuran yang ketat (Al-Muwatta; At-Tirmidhi). Kelima, tidak ada monopoli (Abu Dawud). Dalam perubahan lingkungan usaha yang terus berubah, permasalahan kewirausahaan sosial (social entreprenurship) memaksa wirausahawan menjadi cukup pintar dan cepat tumbuh. Mair dan Marti (2005) berpendapat bahwa perusahaan sosial (social enterprises) berbeda dengan perusahaan konvensional yang disebabkan perusahaan sosial memiliki target untuk mengoptimalkan nilainilai sosial. Namun, menurut Murphy dan Coombes (2009), kewirausahaan sosial selalu
bekerja
untuk
perbaikan
dalam
masyarakat
dibandingkan
dalam
mendapatkan keuntungan. Bahkan, dalam konteks pemberdayaan usaha kecil dan menengah, Abdullah dan Hoetoro (2011) mengusulkan kewirausahaan sosial syariah sebagai model dalam pemberdayaan UKM untuk diterapkan dalam komunitas Muslim. Pada dasarnya, model ini menggunakan sejumlah modal sosial syariah dan kerja sama antarwirausahawan Muslim yang sangat umum ditemukan dalam Alquran dan Assunnah. Tujuan utama model UKM ini diterapkan dalam kewirausahaan sosial syariah adalah untuk menghasilkan lowongan pekerjaan dan nilai kepada komunitas, bukan untuk mencari keuntungan bagi pemilik. Mekanisme dari model ini dijabarkan dalam Gambar 12 di bawah ini.
Community/Society Network of SMEs (Clustering) Muslim Entrepreneur
Islamic Social Entrepreneurship (QS. Al-Maidah: 2)
Islamic Social Capital
Sumber: Abdullah dan Hoetoro (2011)
Gambar 12. Model Kewirausahaan Sosial Syariah
25
Modal
sosial
syariah
harus
menjadi
dasar
bagi
strategi
dalam
pemberdayaaan. Kemudian, hal tersebut akan memengaruhi perilaku usahawan Muslim
dan
mempengaruhi
inisiatif
dalam
membuat
jejaring
ataupun
pengelompokan (clustering) UKM. Garis putus-putus yang mengelilingi Islamic Social Capital menunjukkan ciri khas dalam memperkukuh hubungan di antara UKM berdasarkan
semangat
Syariah.
…
Dan
tolong-menolonglah
kamu
dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.... Dalam hal mekanisme ini berjalan baik, hal tersebut akan memengaruhi perbaikan umat dan masyarakat secara umum. Untuk menyesuaikan mekanisme ini secara lebih kuat (ditunjukkan pada Gambar 12 dengan garis putusputus), kontribusi kewirausahaan sosial syariah adalah dalam strategi implementasi pengembangan UKM. Lebih
lanjut,
Kayed
(2006)
mengembangkan
kewirausahaan
syariah
berdasarkan model pengembangan. Kayed membangun model kewirausahaan syariah yang komprehensif berdasarkan model umum konseptual barat (conceptual general western model) mengingat kedua model tersebut memiliki banyak fitur dan asumsi yang sama. Kayed dan Hassan (2010) membagi dua model dalam hal definisi pengembangan dilihat dari hubungan antara agama dan budaya dan peran agama dalam pembangunan. Oleh karena itu, kedua model berbeda dalam perilaku dan pendekatannya terhadap transformasi budaya dan nilai-nilai afirmamasinya. Namun, terdapat perbedaan utama antara kedua sistem yang mungkin mendorong perbedaan pada hasil akhir kewirausahaan masing-masing (Hassan dan Hipler, 2014).
26
Islamic Entrepreneurship
Western Entrepreneurship
Motivated by needs of society and desire to satisfy religious obligation
Often motivated chiefly by individual utility (wealth) maximization
Engage in productive ventures involving the creation of real goods and services
Often secular in nature
Financed through interest-free profit-loss-sharing Speculation and excessive risk-taking is prohibited Shari’ah-compliant
Altruistic goals often secondary Debt and equity financing Speculation and risk-taking permitted
Sumber: Hassan dan Hippler (2014: 176)
Gambar 13. Aktivitas Kewirausahaan
Tujuan
model
yang
diusulkan
oleh
Kayed
(2006)
adalah
untuk
mempertimbangkan variabel-variabel yang dianggap penting bagi kewirausahaan syariah, tetapi tidak masuk ke dalam model barat atau model umum. Tujuan penting lainnya dari model tersebut adalah untuk menjelaskan perbedaan yang mencolok pandangan Islam terhadap kewirausahaan dan untuk menggarisbawahi peran vital dari etika kewirusahaan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari konsep kesejahteraan manusia yang lebih inklusif.
27
HUMAN WELL BEING (FALAH) Pre-condition for
Soc.-Ec. Justice
Spiritual Security
Social Equilibrium
*
Liberation and salvation
**
Individual Level
National Level
- Immediate economic needs - Halal income
(worship)
(Helping others)
Capital creation Innovation Competitiveness Employment Safeguard social interest
Economic Dimension
* Act of Ibadah
**
Altruism
Religious Dimension
Moral/ethical entrepreneurship
*Self interest (individualsm) ** Common welfare
Innovation/ Addaptiveness
Mobilization of (Human/ Social/Physical & Financial) Resources Risk-sharing
Alertness
External forces (i.e. Globalization)
Enterprise External forces (i.e. Expatriates)
Culture Environment
Attitudes
Culture - Mores - Values - Beliefs
- Rituals - Heroes - Symbols
- Legal - Social - Political - Economic
Attitudes
Informal Institutions
Enabling Environment
Policy making process
Muslim’s Value
Enterprise Support/Incentives
Idea
Entrepreneur
Value Affirmation
Entrepreneurship education and training (Capacity building) Enterprising individuals
Collective obligation Opportunity Recognation/ Discovery
Formal Institutions Education
Laws & Regulations
Sumber: Kayed (2006: 112)
Gambar 14. Model Kewirausahaan Syariah
Hal ini sejalan dengan Hendrawan (2009) yang menyatakan bahwa visi spiritual perusahaan adalah meningkatkan kesejahteraan internal, eksternal, dan stakeholder pada masa mendatang. Di samping itu, perusahaan bertanggung jawab dalam menjaga iman, jiwa, akal, keturunan, dan harta benda. Hal-hal yang berkontribusi meningkatkan unsur-unsur ini dibutuhkan oleh perusahaan. Perusahaan
harus
dibangun
secara
kekeluargaan
yang
memprioritaskan
persamaan, kasih saying, kebaikan, kesejahteraan masyarakat, dan keadilan sosioekonomi. Namun, setiap model kewirausahaan syariah dapat diterima sepanjang hal tersebut masih berpegang pada konsep tauhid dan menjalankan prinsip-prinsip Islam. Sejalan dengan konsep ini, wirausahawan Muslim akan memiliki tanggung jawab sosial yang tinggi. Hal itu sejalan dengan tujuan utama penciptaan manusia
28
dan alam. Tabel 12 menunjukkan rangkuman dari karakteristik kewirausahaan syariah.
Tabel 12. Karakteristik Holistik Kewirausahaan Syariah Karakteristik Perusahaan Syariah Patuh Kepada Allah (Takwa) Pendapatan halal Ekonomis Beribadah
Moral
Dipercaya dan jujur Kesejahteraan sosial
Berilmu Peduli sesama dan lingkungan
Inisiatif Mengambil Risiko Berpikir strategis Bekerja Keras Inovatif Visioner Optimis Sabar Handal
Faizal et al. (2013 hal.192-195); Takwa sebagai pondasi (Al-Saff, 61:10-11) Halal adalah prioritas utama (Al-Maidah, 5:88) Tidak boros (Al-A’raf, 7:31; HR. Muslim) Beribadah kepada Tuhan adalah prioritas (Al-Hijr, 15:67) Menjalankan nilai moral yang tinggi (Al-Baqarah: 275) Dapat dipercaya (AlTirmidhi: 1213) Memperhatikan kesejahteraan sosial (AlHajj, 22:77) Berilmu (Al-Alaq, 96:1-5) Peduli sesama dan lingkungan (Al-Qashash, 28:77; HR. Abu Dawud:2542)
Hoque et al. (2013 hal. 132138) Patuh kepada Allah (AlHujarat, 49:13) Pendapatan halal (AlBaqarah, 2:188) Ekonomis (Al-Isra, 17:26-27)
Moralitas (HR. Bukhari; AlQalam, 68:4) Kejujuran dan Kebenaran (HR. Bukhari) Kesejahteraan sosial (Ali Imran, 3: 92 & 110) Ilmu Pengetahuan (Thaahaa, 20:114) Orientasi Pelanggan (Huud, 11:85) Keterlibatan pegawai (Ibn Majah) Inisiatif (Al-Baqarah, 2:42 dan 149) Mengambil Risiko (Al-Maidah, 3:159) Berpikir strategis (Al-Anfal, 8:22) Bekerja keras (An-Najm, 53:30) Berionvasi (An-Najm, 53:39) Visi Optimis (Az-Zumar, 39:53) Sabar (Al-Qalam, 68:48) Handal (HR. Muslim)
29
2.5 Kenaikan Kelas Usaha Mikro dalam Sudut Pandang Islam Banyak studi membahas isu terkait hubungan antara agama dan usaha. Dalam studi-studi tersebut disebutkan bahwa agama mempengaruhi aktivitas kewirausahaan penganutnya dan mempengaruhi keputusan mereka untuk menjadi wirausahawan serta gaya manajemen usaha. Sementara itu, literatur tidak memberikan banyak bukti tentang pentingnya agama dalam mempengaruhi kenaikan kelas UM. Oleh karena itu, subbab ini membahas secara singkat perbedaan pengukuran kenaikan kelas UM dan determinan kenaikan kelas UM dalam perspektif konvensional dan syariah. Dalam istilah sederhana, Humphrey dan Schmitz (2000) menggunakan konsep upgrading (peningkatan) pada empat bagian, yaitu upgrading proses, upgrading produk, upgrading fungsi, dan upgrading lintas sektoral. Sementara itu, Reeg (2013) mendefinisikan kenaikan kelas UM sebagai pertumbuhan melalui pertumbuhan usaha, formalisasi bisnis, dan inovasi. Istilah itu mengandung aspek kualitatif (inovasi) sekaligus kuantitatif (pertumbuhan usaha). Dalam konteks kenaikan kelas usaha, kewirausahaan syariah harus dibedakan dengan kewirausahaan lainnya dalam aspek tujuan dan motivasinya. Target dari UM adalah sukses dalam usahanya. Dalam perspektif konvensional, cendekiawan UM mendefinisikan kesuksesan dari berbagai aspek. Indikator yang paling umum digunakan untuk menentukan keberhasilan dari suatu UK adalah melihat pertumbuhan tenaga kerja (Mead dan Liedholm, 1998), keuntungan, penjualan tahunan, aset (McPherson, 1996), dan penghasilan perseorangan (Kayed, 2006). Bagi seorang Muslim, kesuksesan ditentukan lebih dari itu. Kenaikan kelas dari UM dalam perspektif syariah tidak selalu diartikan sebagai tumbuhnya usaha, tetapi lebih pada aspek kualitas ataupun inovasi. Menurut Hoque (2014), pengertian inovasi wirausahawan dalam Alquran adalah “Kami tidak mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaannya sendiri.” (QS. Arrad, 13: 11). Sesungguhnya, tidak ada tempat bagi pemalas dan berdiam diri dalam Islam. Menurut ajaran Islam, seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya (QS Annajm, 53: 39). Dalam pandangan Islam, Siddiqi (1979: 141 dan 151) seperti dikutip dalam Kayed (2006: 112) menjelaskan tujuan dari wirausahawan Muslim adalah mendapatkan keuntungan yang halal dan memberikan pelayanan sosial kepada 30
masyarakat luas. Islam memandang bahwa motif memperoleh keuntungan adalah sah dan berkah sepanjang terbebas dari bunga (riba), keserakahan, spekulasi, dan eksploitasi serta sepanjang hal tersebut tidak dianggap sebagai tujuan utama wirausahawan tersebut. Kayed (2006) mengemukakan bahwa suatu keberhasilan mencakup, baik keberhasilan duniawi maupun keberhasilan akhirat. Dalam Minhajul ‘Abidin ‘ila Jannati Aalamin (1989: 59–353) Imam Al-Ghazali menggarisbawahi tujuh langkah untuk sukses, yaitu tahap pengetahuan (aqabah al-ilmi), tahap pertobatan (aqabah at-taubah), tahap godaan (aqabah al-awaaiq), tahap rintangan (aqabah al-awaaridh), tahap motivasi (aqabah al-bawaa’is), tahap ketidaksempurnaan (aqabah alqawaadih), serta tahap perdamaian dan bersyukur (aqabah al-hamdi wa-asysyukri). Cendikiawan Muslim, Al-Qurtubi sebagaimana dikutip dalam VargasHernandez dan Noruzi (2012: 56), mencatat beberapa faktor yang menjadi perhatian dalam meraih kesuksesan. Faktor-faktor tersebut adalah halal, yang artinya kehidupan sesuai dengan ajaran Allah SWT; qana’ah, yang artinya bahagia dan bersyukur dengan penghasilannya; taufiq, yang artinya senentiasa mengharapkan berkah dan rahmat dari Allah SWT yang sebanding dengan ekspektasinya; sa’adah, yang artinya mengacu pada kebahagiaan batin, dan jannah, yang artinya menekankan kesuksesan duniawi sebagai jembatan menuju kesuksesan paling tinggi (ultimate) di akhirat nanti. Dengan menggunakan onion model yang dikembangkan oleh Reeg (2013), uraian berikut ini memberikan gambaran singkat mengenai kerangka analisis dan faktor-faktor yang mempengaruhi kenaikan kelas UMK dalam sudut pandang Islam. Faktor-faktor
ini
dibagi
menjadi
lima
katogeri
besar,
yaitu
karakteristik
wirausahawan, karakteristik usaha, jaringan sosial, jaringan bisnis, dan lingkungan usaha (lihat onion model dalam Gambar 12). Inti dari onion model adalah karakteristik wirausahawan. Dari sudut pandang Islam, untuk mencapai kesuksesan beberapa penulis Muslim mengacu pada ketakwaan, sidik (shiddiq), dan amanah. Seorang wirausahawan Muslim harus memiliki iman dan takwa kepada Allah SWT. Tujuan dari penciptaan manusia adalah untuk menaati dan beribadah kepada Allah SWT dengan iman dan takwa sehingga manusia yang paling mulia dan sukses adalah mereka yang paling bertakwa. Allah berfirman “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian ialah orang yang paling takwa” (Quran 49: 13). Mereka berpikir bahwa setiap 31
kegiatan mereka dilihat dan dicatat oleh Allah dan setiap baik atau buruk perbuatan mereka akan diberi pahala atau ganjaran. Allah berfirman “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan sekecil atom (atau semut kecil) sekalipun, niscaya dia akan melihat (balasan)-Nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan keburukan sekecil atom (atau semut kecil) sekalipun, niscaya dia akan melihat (balasan)-Nya pula” (Quran 99: 7–8). Sidik (shiddiq) adalah nilai etika dasar dalam Islam. Allah memerintahkan seluruh kaum Muslim untuk selalu lurus dan jujur dalam ucapan maupun perbuatannya. Allah berfirman “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar.” (Quran 33:70). Menurut Muhammad et al. (2008), nilai tersebut memiliki implikasi filosofis dalam menjalankan usaha. Manajer UMKM haruslah jujur dan benar dalam menjalankan semua usahanya. Kerangka berusaha dalam syariah menyebutkan bahwa tidak ada alasan untuk melakukan kecurangan, banyak bersumpah, berbicara bohong, dan iklan palsu. Amanah merupakan nilai etika dalam Islam lainnya. Menurut Mckinght dan Chervany (1996), kepercayaan adalah kunci untuk hubungan interpersonal yang positif di berbagai keadaan disebabkan kejujuran merupakan inti manusia berinteraksi dengan yang lainnya. Muhammad et al. (2008) menjelaskan bahwa esensi dari kepercayaan adalah rasa tanggung jawab. Hal itu memberi arti mengenai perasaan atas kehadiran Allah dan setiap perbuatan akan dipertanggungjawabkan. Tentu saja, kepercayaan sangat ditekankan di dalam Alquran dan Alhadis. Nabi berkata, “Kepercayaan dan kejujuran seorang pedagang merupakan salah satu sifat nabi, orang yang budiman, dan para syuhada.” (Al-Tarmidzi buku 14: 1213). Di samping takwa, sidik (shiddiq), dan amanah, tingkatan kedua dari onion model adalah karakteristik usaha. Dalam pandangan Islam, hal itu merujuk pada pendapatan yang halal dan kehidupan ekonomis. Dengan demikian, Islam menekankan kegiatan kewirausahaan ini sebagai jalan untuk mendapatkan pengampunan di akhirat. Nabi Muhammad SAW menekankan pentingnya cara yang sah dalam mendapatkan penghasilan. Beliau bersabda, “Penghasilan yang terbaik adalah penghasilan seseorang dari jerih payahnya sendiri dan setiap jual beli yang mabrur” (Ahmad). Jelas hal itu menunjukkan bahwa seorang wirausahawan Muslim harus memiliki kesadaran yang tinggi mengenai pendapatan halal (sah). Pendapatan halal dalam kegiatan ekonomi dapat diterapkan melalui prinsipprinsip muamalah, yang melarang riba (suku bunga dalam berbagai bentuk dan 32
jumlah, baik riba nasiah maupun riba fadhl), zalim (membahayakan atau merusak orang lain), masyir (berjudi), gharar (ketidakpastian), dan haram (haram dalam hal produk, jasa, atau kegiatan operasional). Lebih lanjut, Islam mendorong manusia untuk mensyukuri hidupnya tanpa menyia-nyiakannya. Akan tetapi, Hoque et al. (2014) mengemukakan bahwa adalah wajar untuk melihat sifat kikir atau gaya hidup berfoya-foya pada diri wirausahawan. Dengan demikian, menurut hukum Islam, orang Muslim haruslah sederhana, baik dalam urusan rumah tangga maupun kehidupan berekonomi. Wirausahawan Muslim tidak bersifat kikir atau hidup berfoya-foya. Allah berfirman, “Wahai anak Adam, makan dan minumlah kamu, tapi janganlah berlebihan, sesungguhnya Allah tidak menyukai hal yang berlebihan (Quran 7: 31). Tingkat ketiga dan keempat dari onion model merujuk pada jaringan sosial dan usaha. Menurut Reeg (2013), jaringan sosial dan usaha juga berperan penting dalam penciptaan dan pertumbuhan usaha. Dalam pandangan Islam, karakteristik wirausahawan dan usaha merupakan konsep dari transparansi (tabligh) dan profesional (fathanah). Antonio (2014) menjelaskan arti dari transparansi (tabligh) yaitu visi yang jelas, memotivasi dan menginspirasi, belajar dengan memberikan contoh, komunikator yang efektif, serta misi dan tujuan bersama. Abdullah dan Hoetoro (2011) mengemukakan bahwa visi syariah adalah menyediakan panduan menyeluruh bagi para wirausahawan untuk mencapai tujuan perusahaan yang berlandaskan syariah. Dalam pandangan Islam, agar sukses menjalankan usaha, seorang wirausahawan harus memiliki pengetahuan modern dan pengetahuan syariah yang cukup. Wirausahawan Muslim harus memiliki pengetahuan yang luas, profesional, dan memiliki orientasi belajar (fathanah). Berkaitan dengan pengetahuan, selalu terdapat ruang untuk pembaharuan; Allah berfirman “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah mereka yang memiliki pengetahuan” (Quran 35:28). Lapisan luar dari onion model terdiri atas elemen di tingkat lingkungan usaha. Dalam pandangan Islam, lingkungan usaha harus mewakili kombinasi dari sumber daya yang berwujud (tangible) atau tidak berwujud (intangible), seperti modal spiritual, model sosial
syariah, ilmu pengetahuan, manajemen
know-how,
kemampuan profesional dan keahlian, hubungan pelanggan, bahan baku, teknologi, dan lain-lain. Elemen-elemen tersebut dapat digunakan untuk menciptakan nilai kewirausahaan syariah sebagai dasar kenaikan kelas UM. 33
2.6 Studi Terdahulu Banyak studi yang memfokuskan pada faktor kunci kesuksesan dari UKM. Beberapa studi itu termasuk di antaranya adalah yang dilakukan oleh Chittithaworn et al. (2010), Hassanali (2012), Philip (2010), Jasra et al. (2011), serta Elster dan Phips (2013). Faktor kunci kesuksesan UKM menurut Chittithaworn et al. (2010) adalah karakteristik UKM, manajemen know-how, produk dan jasa, pelanggan dan pasar, cara menjalankan usaha dan kerja sama, sumber daya dan pendanaan, serta strategi dan lingkungan eksternal. Sementara itu, Hassanali (2012) mengemukakan bahwa faktor kunci kesuksesan UKM adalah kerangka strategis dalam berbisnis dan beroperasi, termasuk strategi implementasi dan strategi kepemimpinan. Philip (2010) menyimpulkan bahwa faktor-faktor berikut adalah karakteristik dari UKM, yaitu manajemen know-how, produk dan jasa, cara menjalankan usaha dan kerja sama, sumber daya dan keuangan, serta lingkungan eksternal. Jasra et al. (2011) mengemukakan bahwa faktor kunci kesuksesan dari UKM adalah sumber keuangan, strategi pemasaran, teknologi, dukungan pemerintah, akses informasi, perencanaan usaha, dan keterampilan wirausahawan. Sementara itu, Elster dan Phipps (2013) menyatakan bahwa faktor pendukung utama (key enabler) dari kesuksesan UKM adalah (1) kapasitas dan kemampuan, (2) lingkungan eksternal, dan (3) visi dari pemilik usaha. Namun, hanya sedikit studi yang membahas upgrading (peningkatan) usaha mikro dan kecil. Beberapa dari studi tersebut merupakan bagian dari proyek penelitian pada tiga negara, yaitu Mesir, India, dan Filipina yang dilakukan oleh Department of Competitiveness and Social Development dari German Development Institute atau Deutsches Institut für Entwicklungspolitik (DIE). Reeg (2013) menggunakan onion model untuk mengidentifikasi faktor kesuksesan dan kendala dari upgrading UMK di India. Untuk melakukan hal itu, dilakukan studi kualitatif yang menggunakan pendekatan deskriptif dan analisis individu pada kasus kesuksesan usaha menengah dan besar pada tiga sektor ekonomi di India, yaitu sektor informasi dan teknologi komunikasi, sektor tekstil dan garment, serta sektor kulit dan alas kaki. Dengan belajar dari pengalaman individu, studi ini membandingkan kasus-kasus yang berhasil (upgraders) dengan UM saat ini (non-upgraders) dalam sektor yang sama. Reeg mengusulkan model 34
untuk upgrading (pengembangan) usaha harus memiliki lima lapisan, yaitu karakteristik wirausahawan, karakteristik usaha, jaringan sosial, jaringan usaha, dan lingkungan usaha. Pada tingkat wirausahawan terdapat empat faktor kunci, yaitu (i) motivasi untuk berinvestasi pada sumber daya berwujud (tangible) dan tidak berwujud (intangible); (ii) pendidikan dan pengalaman kerja yang berkualitas (iii) ketersediaan tabungan pribadi atau aset berwujud; dan (iv) produk dan visi pasar yang jelas. Pada tingkat usaha, dua faktor utama untuk mencapai kesuksesan adalah (i) kesejahteraan pegawai, termasuk gaji yang kompetitif dan manfaat nongaji lainnya dan (ii) studi pasar. Pada tingkat jaringan sosial, dua jenis utama dari instrumen sosial yang saling berhubungan antara yang satu dan yang lain adalah (i) keluarga, latar belakang usaha keluarga, kemelekatan sosial (embeddedness social), dan hubungan usaha strategis, serta (ii) alumni dan jaringan kerja. Pada tingkat jaringan usaha, dua faktor utama yang sangat berperan memengaruhi
peningkatan
usaha
secara
positif
adalah
(i)
akses
untuk
mendiversifikasi pasar ke pasar nasional ataupun internasional secara bersamaan dan (ii) strategi forward dan backward linkage. Pada tingkat lingkungan usaha, terdapat tiga faktor utama yang memengaruhi upgrading usaha secara positif, yaitu (i) adanya peluang pasar; (ii) dukungan insentif pemerintah dan lembaga setempat; dan (iii) kualitas lokasi dan akses tanah. Metode serupa untuk mengidentifikasi faktor keberhasilan dan hambatan dari upgrading UMK juga digunakan oleh Loewe et al. (2013) dengan mengambil contoh kasus di Mesir. Dengan menggunakan onion model untuk upgrading usaha, faktor-faktor penentu keberhasilan dapat dikelompokkan ke dalam empat lapisan, yaitu (i) karakter wirausahawan (jenis kelamin, sumber daya manusia, modal sosial, latar belakang keluarga, dan karakteristik perilaku/kualitas personal dari pemilik UKM); (ii) karakter perusahaan (usia perusahaan, ukuran, sektor, lokasi, karakter tenaga kerja, portofolio produk, strategi, dan status formal dari UKM); (iii) hubungan antarperusahaan (integrasi UKM ke dalam value chain, klaster fungsional, atau jaringan usaha, seperti asosiasi usaha); dan (iv) lingkungan usaha (makroekonomi dan stabilitas politik, regulasi, perpajakan, kebijakan perdagangan, korupsi, akses pembiayaan, layanan pengembangan usaha, dan infrastruktur usaha). Berdasarkan studi Loewe et al. (2013) terdapat paling sedikit enam faktor sebagai determinan utama dari upgrading di Mesir, yaitu (i) modal sumber daya manusia (kualitas pendidikan, pengalaman kerja, dan eksposur internasional), (ii) 35
motivasi dan kesiapan dalam mengambil risiko, (iii) investasi dalam pengembangan sumber daya manusia (HRD), (iv) studi pasar, (v) akses pembiayaan, dan (vi) kekurangan dalam aturan hukum (terutama dalam hubungan pemerintah dan usaha). Dengan menggunakan metode onion model yang serupa yang telah dikembangkan oleh Reeg (2013) dan Loewe et al. (2013), Hampel-Milagrosa (2014) lebih lanjut menggunakan dan menyesuaikan penelitian mereka untuk membangun proses upgrading UMK di Filipina. Onion model tersebut terdiri atas empat lapisan. Lapisan pertama memfokuskan wirausahawan (pendidikan, pelatihan, motivasi, dan lain-lain) sebagai kekuatan tunggal untuk mendorong terciptanya upgrading usaha. Elemen wirausahawan ini merupakan inti dari onion model. Lapisan kedua menekankan karakteristik usaha dan pegawai (umur perusahaan, lokasi, dan sektor ekonomi) sebagai motivator dalam proses upgrading. Lapisan ketiga memperlihatkan interaksi antara wirausahawan dan perusahaaan dalam jaringan personal dan profesional sebagai pemicu tumbuhnya usaha. Lapisan keempat atau juga lapisan paling luar adalah kualitas lingkungan usaha dan bagaimana perbaikan dalam lapisan ini akan membawa pengaruh pada upgrading perusahaan. Berdasarkan studi Hampel-Milagrosa (2014), kombinasi strategis dari wirausahawan antarsektor secara langsung berhubungan dengan dinamika sektoral dan lingkungan kelembagaan secara umum. Dalam sektor pengolahan pangan, upgraders (wirausahawan yang naik kelas) akan memanfatkan jaringan personal atau profesional mereka untuk menjadikan perusahaan berkembang. Pada sektor lainnya, keluarga (langsung/tidak langsung) dan koneksi bisnis sering dikaitkan untuk segala jenis dukungan (pembiayaan dan modal fisik, saran bisnis, tenaga kerja tanpa upah, dan pencicip rasa (taster)). Pada sektor bisnis alas kaki dan kulit, perusahaan harus memfokuskan pada litbang, HRD, diversifikasi produk, dan pemasaran untuk meng-upgrade usaha mereka. Pendekatan itu sejalan dengan karakteristik perusahaan tradisional dalam meng-upgrade perusahaan dengan meningkatkan jumlah pegawai dan proses produksi. Sebaliknya, wirausahawan sektor tekstil dan pakaian jadi perlu meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mereka dalam membuat desain (fashion dan aksesoris rumah tangga).
2.7 Kerangka Konseptual 36
Tujuan dari studi ini adalah untuk menganalisis determinan UM untuk secara perlahan meningkat sehingga mampu naik kelas menjadi usaha kecil. Studi ini mencakup dua kelompok usaha UMK, yang merupakan pelanggan dari lembaga keuangan syariah dan konvensional. Lebih lanjut, studi ini mendisain model kenaikan kelas UM yang sesuai agar dapat berkembang dari UM tingkat rendah menjadi UM tingkat tinggi dan pada akhirnya naik kelas menjadi UK. Structural equation modelling (SEM) digunakan untuk menganalisis determinan kenaikan kelas UM yang dibiayai oleh lembaga keuangan syariah dan konvensional. Di samping itu, strategic assumption surfacing and testing (SAST) digunakan untuk membantu dalam merancang model kenaikan kelas UM syariah. Berdasarkan ulasan literatur pada Appendix 1, kerangka pikir pada studi ini dapat dilihat pada Gambar 15. Terdapat dua variabel laten eksogen, yaitu (1) lingkungan eksternal (external) dan (2) dukungan (support), serta terdapat empat variabel endogen, yaitu (i) pemilik usaha (owner); (ii) karakteristik usaha (business); (iii) manajemen know-how (management); dan (iv) sumber pendanaan (resource). Lebih lanjut kenaikan kelas UM dapat ditunjukkan oleh peningkatan penjualan, peningkatan kekayaan modal, peningkatan jumlah pegawai, ekspansi pasar, peningkatan keuntungan, dan peningkatan batasan pembiayaan.
Determinan of ME Graduation
EXTERNAL-Env Regulation-Policy Infrastructure Macroeconomic Muslim-Majority Corruption Crime Bureaucracy Tax/Retribution
SUPPORT
OWNER-Bus
Central Government Fear of Allah Local Government Trustworthy Social Fund Truthful Technical Support Visionary Managerial Support Entrepreneurship Spiritual Uplift Leadership Family Support Business Experience Sales Increase W-Cap Increase Employee Increase
BUSINESS-Char MGT-KnowHow RESOURCES-Fin Halal Earning Product Service Market Customer Cost of Business Competition Location
ME Graduation
Transparency Professional Std. Op. Procedure Std. Op. Mgt Information Tech. Innovation Networking
Spiritual Capital Skilled H-Resorce Owned Capital Access to Finance Tech. Resource Raw Material Social Capital
Market Expansion Profit Increase Fin. Limit Increase
POLICY RECOMMENDATION
Gambar 15. Kerangka Pikir Determinan Kenaikan Kelas Usaha Mikro
37
III. METODE PENELITIAN
3.1 Data Studi ini menggunakan metode kualitatif, yaitu structural equation modeling (SEM) dan strategic assumption surfacing and testing (SAST) yang memerlukan data kualitatif. Metode SEM digunakan untuk menganalisis determinan UM untuk meningkat secara bertahap agar naik kelas menjadi UK. Lebih jauh, metode SAST digunakan untuk membantu perancangan model kenaikan kelas UM berdasarkan prinsip syariah. Data primer yang dibutuhkan dalam studi ini diperoleh dari survei lapangan, yaitu sebanyak 120 sampel dipilih dari nasabah lembaga keuangan syariah dan konvesional yang terdiri atas penerima pinjaman dari lembaga keuangan konvensional, penerima pembiayaan dari lembaga keuangan syariah, serta mereka yang tidak menerima pinjaman atau pembiayaan apa pun.
38
3.2 Structural Equation Modeling (SEM) Structural equation modeling (SEM) pertama kali dikembangkan oleh Karl Jöreskog (1973) yang dikombinasikan dengan model yang dikembangkan oleh Keesling (1973) dan Wiley (1973) yang kemudian disebut dengan model JKW atau dikenal juga dengan model linear structural relationship (LISREL). SEM dikembangkan dari persamaan simultan dalam ekonometrika (yang menggunakan variabel pengukuran (observed variable)) dengan menggunakan variabel-variabel yang tidak secara langsung diukur (juga dikenal dengan variabel laten). Software komputer yang mendukung model ini dikembangkan oleh Jöreskog dan Sörbom yang kemudian disebut dengan program LISREL (program yang interaktif dan user friendly). SEM terdiri atas dua komponen utama, yaitu (1) model struktural (structural model) yang menjelaskan hubungan struktural antara variabel-variabel laten atau variabel-variabel yang tidak dapat diukur (unobserved) atau konstruksi atau faktorfaktor (berdasarkan teori) yang diukur atau diestimasi secara tidak langsung dengan indikator masing-masing dan (2) model pengukuran (measurement model) yang menggambarkan variabel indikator atau variabel pengukur yang mencerminkan (reflecting) atau mengukur atau mengestimasi masing-masing variabel laten menggunakan konsep confirmatory factor analysis (CFA) atau exploratory factor analysis (EFA). Dengan catatan, variabel indikator tidak dapat digabungkan secara arbritari untuk membentuk variabel laten. Variabel tersebut terpilih berdasarkan teori yang melandasinya.
3.2.1 Model Struktural (Structural Model) Model struktural menunjukkan potensi hubungan sebab-akibat secara langsung antara variabel eksogen laten (lazim dilambangkan dengan ξ ‘ksi’) dan variabel laten endogen (lazim dilambangkan dengan η ‘eta’) atau antara dua variabel laten endogen yang digunakan untuk memahami fenomena sesungguhnya (riil). Variabel eksogen merupakan variabel independen tanpa adanya variabel sebabakibat (causal) sebelumnya. Variabel endogen adalah variabel perantara atau variabel dependen murni. Hubungan sebab-akibat antara variabel eksogen dan variabel endogen biasanya digambarkan dengan garis lurus dengan satu anak
39
panah yang dilambangkan dengan γ ‘gamma’, sedangkan hubungan sebab-akibat antara dua variabel endogen biasanya dilambangkan dengan β ‘beta’.
ζ1
ζ3
Eta-One (η1)
γ11
γ31
Ksi-One (ξ1)
Eta-Three (η3)
γ32
β53
β51
Eta-Five (η5)
φ21 (σξ1ξ2)
Ksi-Two (ξ2)
γ42
γ22
β52
γ41
Eta-Two (η2)
ζ4
ζ2
β54
ζ5
Eta-Four (η4)
Gambar 16. Model Struktural SEM
Lebih lanjut, korelasi antara dua variabel eksogen digambarkan dengan garis lengkung dengan dua anak panah yang dilambangkan dengan φ ‘phi’, sedangkan kesalahan
(error)
dalam
persamaan
struktural
variabel
endogen
biasanya
dilambangkan dengan ζ ‘zeta’ yang menunjukkan bagian yang tidak dapat dijelaskan. Contoh dari model struktural dapat dilihat pada Gambar 16. Persamaan struktural dari model SEM struktural di atas dapat ditulis sebagai berikut. η1 = γ11 ξ1 + ζ1
(1)
η2 = γ22 ξ2 + ζ2
(2)
η3 = γ31 ξ1 + γ32 ξ2 + ζ3
(3)
η4 = γ41 ξ1 + γ42 ξ2 + ζ4
(4)
η5 = β51 η1 + β52 η2 + β53 η3 + β54 η4 + ζ5
(5)
3.2.2 Model Pengukuran (Measurement Model) Model pengukuran menunjukkan hubungan antara variabel laten dan indikatornya atau variabel pengamatan/pengukuran yang digunakan untuk mengestimasi atau memprediksi nilai variabel laten melalui beberapa variabel pengukuran.
Variabel
pengukuran
dari
variabel
laten
eksogen
biasanya
dilambangkan dengan Xn dengan ketergantungan sebab-akibat (causal dependency) dilambangkan oleh λXn ‘lamda’ dan error pengukuran (measurement error) 40
dilambangkan dengan δn ‘delta’. Sementara itu, variabel pengukuran dari variabel laten eksogen biasanya dilambangkan dengan Yn, dengan ketergantungan sebabakibat dilambangkan dengan λYn ‘lambda’ dan error pengukuran dilambangkan dengan Ɛn ‘epsilon’. Contoh model pengukuran dari variabel laten sebelumnya dapat dilihat pada Gambar 17. δ3
X3 δ4 δ5 δ6 δ7 δ8 δ9 δ10 δ11 δ12 δ13
δ2
δ1
X2
X1
X4
Ɛ2
Ɛ1
Y1
Y2
λX11
Y4
Ɛ5
Ɛ6
Y5
Ɛ7
Y6
Y7
λY71
Ɛ16 Ɛ17 Ɛ18 Ɛ19 Ɛ20 Ɛ21 Ɛ22
Y16 Y17 Y18 Y19 Y20 Y23 Y22 λY163
λY223
Eta-Three (η3)
Eta-One (η1)
X6
Ɛ30 Ɛ31
Ksi-One (ξ1)
X7
X9
Y3
Ɛ4
λY11
X5
X8
Ɛ3
Ɛ32
λX81
Y30 Y31 Y32
Eta-Five (η5)
λX92
Ɛ33
Ksi-Two(ξ2)
X10
Ɛ34
X11
Eta-Two (η2)
X12 X13
λY305
λY82
λX152 X14 X15 δ14 δ15
Y8 Ɛ8
Eta-Four (η4) λY152
Y9 Y10 Y11 Y12 Y13 Y14 Y15 Ɛ9 Ɛ10 Ɛ11 Ɛ12 Ɛ13 Ɛ14 Ɛ15
λY234
λY294
Ɛ35
Y33 Y34 Y35 λY355
Y23 Y24 Y25 Y26 Y27 Y28 Y29 Ɛ23 Ɛ24 Ɛ25 Ɛ26 Ɛ27 Ɛ28 Ɛ29
Gambar 17. Model pengukuran SEM Persamaan pengukuran dari model pengukuran SEM di atas dapat dituliskan sebagai berikut. Eksogen laten ξ1: X1 = λx11 ξ1 + δ1;
X2 = λx21 ξ1 + δ2;
X3 = λx31 ξ1 + δ3;
(6–8)
X4 = λx41 ξ1 + δ4;
X5 = λx51 ξ1 + δ5;
X6 = λx61 ξ1 + δ6;
(9–11)
X7 = λx71 ξ1 + δ7;
X8 = λx81 ξ1 + δ8;
(12–13)
Eksogen laten ξ2: X9 = λx92 ξ2 + δ9;
X10 = λx102 ξ2 + δ10;
X11 = λx112 ξ2 + δ11; (14–16)
X12 = λx122 ξ2 + δ12;
X13 = λx132 ξ2 + δ13;
X14 = λx142 ξ2 + δ14; (17–19)
X15 = λx152 ξ2 + δ15;
(20)
Endogen laten η1: Y1 = λY11 η1 + ε1;
Y2 = λY21 η1 + ε2;
Y3 = λY31 η1 + ε3;
(21–23) 41
Y4 = λY41 η1 + ε4;
Y5 = λY51 η1 + ε5;
Y6 = λY61 η1 + ε6;
Y7 = λY71 η1 + ε7;
(24–26) (27)
Endogen laten η2: Y8 = λY82 η2 + ε8;
Y9 = λY92 η2 + ε9;
Y10 = λY102 η2 + ε10;
(28–30)
Y11 = λY112 η2 + ε11;
Y12 = λY122 η2 + ε12;
Y13 = λY132 η2 + ε13;
(31–33)
Y14 = λY142 η2 + ε14;
Y15 = λY152 η2 + ε15;
(34–35)
Endogen laten η3: Y16 = λY163 η3 + ε16;
Y17 = λY173 η3 + ε17;
Y18 = λY183 η3 + ε18;
(36–38)
Y19 = λY193 η3 + ε19;
Y20 = λY203 η3 + ε20;
Y21 = λY213 η3 + ε21;
(39–41)
Y22 = λY223 η3 + ε22;
(42)
Endogen laten η4: Y23 = λY234 η4 + ε23;
Y24 = λY244 η4 + ε24;
Y25 = λY254 η4 + ε25; (43–45)
Y26 = λY264 η4 + ε26;
Y27 = λY274 η4 + ε27;
Y28 = λY284 η4 + ε28; (46–48)
Y29 = λY294 η4 + ε29;
(49)
Endogen laten η5: Y30 = λY305 η5 + ε30; Y33 = λY335 η5 + ε33;
Y31 = λY315 η4 + ε31;
Y32 = λY325 η5 + ε32; (50–52)
Y34 = λY345 η5 + ε34;
Y35 = λY355 η5 + ε35; (53–55)
3.2.3 Model SEM yang Digunakan dalam Studi Model SEM dalam studi ini terdiri atas dua variabel eksogen laten, yaitu lingkungan eksternal (external environment) (ξ1) dan dukungan (support) (ξ2), serta lima variabel endogen laten, yaitu pemilik usaha (business owner) (η1), karakteristik bisnis (business characteristic) (η2), management know-how (η3), sumber daya finansial (η4), dan kenaikan kelas UM (η5). Persamaan struktral yang digunakan adalah persamaan 1–5. Sementara itu, indikator terperinci dari tiap-tiap variabel laten (Xn adalah indikator variabel eksogen ξ dan Yn adalah indikator variabel endogen η) dapat dilihat pada Tabel 13. Persamaan pengukuran yang digunakan adalah persamaan 6–55.
42
Tabel 13. Indikator Variabel-Variabel Laten EXTERNAL-Env (X1) X1: Regulation-Policy X2: Infrastructure X3: Macroeconomic X4: Muslim-Majority X5: Corruption X6: Crime X7: Bureaucracy X8: Tax/Retribution SUPPORT (X2) X9: Central Government X10: Local Government X11: Social Fund X12: Technical Support X13: Managerial Support X14: Spiritual Uplift X15: Family Support
Y30: Sales Increase Y31: W-Cap Increase
Y 1: Y 2: Y 3: Y 4: Y 5: Y 6: Y 7:
OWNER-Bus (Y1) Fear of Allah Trustworthy (Amanah) Truthful (Shiddiq) Visionary Entrepreneurship Leadership Business Experience
BUSINESS-Char (Y2) Y8: Halal Earnings Y9: Product Y10: Service Y11: Market Y12: Customer Y13: Cost of Business Y14: Competition Y15: Location GRADUATION (Y5) Y32: Employee Increase Y33: Market Expansion
MGT-KnowHow (Y3) Y16: Transparency (Tabligh) Y17: Professional (Fathonah) Y18: Std. Op. Procedure Y19: Std. Op. Mgt. Y20: Information Tech. Y21: Innovation Y22: Networking RESOURCES-Fin (Y4) Y23: Spiritual Capital Y24: Skilled H-Resource Y25: Owned Capital Y26: Access to Finance Y27: Tech. Resource Y28: Raw Material Y29: Social Capital
Y34: Profit Increase Y35: Fin. Limit Increase
Model SEM lengkap dalam studi ini dapat diilustrasikan pada Gambar 18. Determinan UM yang digunakan untuk meningkat secara perlahan sehingga dapat naik kelas menjadi UK adalah lingkungan eksternal (external environment), dukungan (support), pemilik usaha (owner business), karakteristik bisnis (business characteristics), management know-how, dan sumber daya finansial (resource-fin).
43
δ3
X3 δ4 δ5 δ6 δ7 δ8 δ9 δ10 δ11 δ12 δ13
δ2
δ1
X2
X1
X4
Y1
λX11
λX81
Y3
Y4
Ɛ5
Ɛ6
Y5
Ɛ7
Y6
Ɛ16 Ɛ17 Ɛ18 Ɛ19 Ɛ20 Ɛ21 Ɛ22
Y7
Y16 Y17 Y18 Y19 Y20 Y23 Y22
λY71
λY163 ζ3
γ31
X11
γ32
β51
X12
γ42
BUSINESS (η2)
ζ2 λY82
λX152 Y8
δ14 δ15
Ɛ8
β52
γ41
γ22
X14 X15
Ɛ30 Ɛ31
β53
Ɛ32
λY305 Y30 Y31 Y32
GRADUATE (η5)
SUPPORT (ξ2)
X10
λY223
MANAGEMENT (η3)
φ21 (σξ1ξ2)
λX92
X13
Ɛ4
OWNER (η1)
EXTERNAL (ξ1)
X7
Ɛ3
λY11 γ11
X6
X9
Y2
ζ1
X5
X8
Ɛ2
Ɛ1
Y9 Y10 Y11 Y12 Y13 Y14 Y15 Ɛ9 Ɛ10 Ɛ11 Ɛ12 Ɛ13 Ɛ14 Ɛ15
ζ5
RESOURCES (η4)
ζ4 λY152
β54
λY234
Ɛ33 Ɛ34 Ɛ35
λY294
Y33 Y34 Y35 λY355
Y23 Y24 Y25 Y26 Y27 Y28 Y29 Ɛ23 Ɛ24 Ɛ25 Ɛ26 Ɛ27 Ɛ28 Ɛ29
Gambar 18. SEM Model of Graduation Model 3.2.4 Prosedur SEM Prosedur SEM terdiri atas beberapa tahap, yaitu (1) spesifikasi model; (2) identifikasi model; (3) confirmatory factor analysis (CFA) untuk model pengukuran (termasuk programming, pengestimasian, pengujian dan modifikasi, serta spesifikasi ulang apabila dibutuhkan); (4) path analysis untuk model struktural (termasuk programming, pengestimasian, percobaan dan modifikasi, serta spesifikasi ulang apabila dibutuhkan), dan (5) interpretasi dan pembacaan hasil. Ringkasan dari prosedur SEM dapat dilihat pada Gambar 19.
44
MODEL SPECIFICATION Re-specification
Re-specification
Measurement; Structural; Path Diagram
Data ≥ Parameter
Data < Parameter
MODEL IDENTIFICATION
EXPECTED MODEL Over/Just Identified
LF one of MV=1; or Var. of Exogenous LV=1
LISREL PROGRAM for CFA Measurement Model
LISREL PROGRAM for PA Structural Model
ESTIMATION -Normal: ML; Abnormal: Robust ML or GLS; WLS or ADF
ESTIMATION -Normal: ML; Abnormal: Robust ML or GLS; WLS or ADF
TEST: G. of Fit (P>0.05, RMSEA≤0.08); Validity (t≥1.96); Reliability (CR≥0.7; VE≥0.5)
OK
OK
TEST -G. of Fit (P>0.05, RMSEA≤0.08); Structural (t≥1.96)
Not OK
Not OK
MODIFY LISREL PROGRAM -Use Mod. Indices; Delete MV
RESULTS
MODIFY LISREL PROGRAM -Use Mod. Indices; Trial & Error
Note: LF: Loading Factor; SLF: Standardized Loading Factor; MV: Measured Variables; LV: Latent Variables; RMSEA: Root Mean Square Error of Approximation; CR: Construct Reliability, CR = (∑SLF)2/((∑SLF)2+∑ej); VE: Variance Extracted, VE = ∑SLF2/(∑SLF2+∑ej); CFA: Confirmatory Factor Analysis; ej; measurement error for each indicator or measured variable, ej<0,75; ML: Maximum Likelihood; GLS: Generalized Least Square; WLS: Weighted Least Square; MI: Modification Index; No. of Data = (p+q)*(p+q+1)/2, p = no. of measured variables from all endogenous variables; q = no. of measured variables from all exogenous variables. No. of Parameter = β + γ + λx + λy + θδ + θε + ζ + Φ.
Gambar 19. Prosedur SEM
a. Spesifikasi Model Langkah pertama dalam melakukan analisis SEM adalah menentukan model pengukuran, model struktural, dan diagram alur. Spesifikasi model pengukuran memberikan definisi variabel laten ‘LV’ (eksogen dan endogen) dan variabel pengukuran (measured variable) ‘MV’, serta hubungan antara tiap-tiap LV dan MV masing-masing. Spesifikasi model struktural mendefinisikan hubungan sebabakibat di antara variabel-variabel laten. Terakhir, hybrid (complete) path diagram digambarkan
berdasarkan
model
pengukuran
dan
model
struktural
yang
ditentukan sebelumnya.
b. Identifikasi Model Tahap kedua adalah mengamati pengidentifikasian dari model struktural, apakah model tersebut over-identified atau just-identified (yaitu yang diharapkan), 45
atau under-identified (yaitu yang tidak diharapkan dan harus disesuaikan). Rumus untuk mengidentifikasi adalah sebagai berikut: t<s/2; t adalah angka dari parameter yang harus diestimasi. Kemudian, s adalah jumlah data yang diketahui atau nilai varian dan co-varian dari data yang observasi, yaitu sama dengan (p+q)*(p+q+1), p adalah jumlah indikator dari variabel endogen, dan q adalah jumlah indikator dari variabel eksogen. Diharapkan agar data ≥ parameter, artinya model over-identified (data>parameter) atau just-identified (data=parameter). Ketika model under-identified (data<parameter), hal ini dapat diatasi dengan membatasi model dengan cara: memasukkan loading factor LF=1 untuk salah satu variabel pengukuran MV; atau memasukkan seluruh varian dari variabel laten eksogen Φ = 1. Dalam model ini jumlah total dari parameter t adalah 111 (β = 4; γ = 6; λx = 15; λy = 35; θδ = 15; θε = 35; ζ = 5; Φ = 1), sedangkan jumlah keseluruhan data s adalah 1056 (p = 35; q = 15 sehingga (p+q)*(p+q+1) = 2.550). Dengan demikian, t<s/2 atau data>parameter, yang berarti model over-identified.
c. Estimasi Model Tahap ketiga adalah mengestimasi model (model pengukuran terlebih dahulu, selanjutnya model struktural) dalam LISREL dengan menggunakan metode estimasi yang sesuai dengan karakteristik data. -
Maximum likehood ‘ML’ digunakan apabila data bersifat normal (p-value zkurtosis dan zskewness>0,05) dengan ukuran sampel antara 100–200 dan ini akan menghasilkan estimasi parameter terbaik;
-
Robust ML atau generalized least square ‘GLS’ digunakan apabila data bersifat abnormal dengan ukuran sampel antara 200–300; atau
-
Weighted least square ‘WLS’ digunakan ketika model hanya memiliki 10–15 variabel jika data bersifat abnormal dengan ukuran sampel antara 2000–3000. Dalam model ini metode estimasi yang digunakan adalah maximum likehood
‘Ml’ karena data sebanyak 120 sampel telah memenuhi multivariate normality, yaitu data terdistribusi secara normal dan sebagian besar indikator (9 dari 50) memiliki p-value zkurtosis dan zskewness>0,05.
46
d. Pengujian Model Tahap keempat adalah pengujian kecocokan model (pengujian model pengukuran terlebih dahulu sebelum pengujian model struktural) yang mengacu pada Hair et al. (1998). Pengujian model terdiri atas tiga pengujian, yaitu sebagai berikut. 1) Kecocokan model secara keseluruhan (baik untuk model pengukuran maupun model struktural) menggunakan goodness of fit (GoF) untuk menentukan derajat kecocokan antara data dan model, yang termasuk antara lain, χ2/df ≤ 3,0, P > 0,050 dan RSMEA (root mean square error of approximation) ≤ 0,08. Model tersebut memiliki kecocokan sempurna (perfect fit) apabila χ2/df = ∞ (0,0/0), p = 1,0 dan RMSEA = 0,0. Model itu mendekati kecocokan (close fit) apabila χ2/df ≤ 3,0, P > 0,050 dan RMSEA ≤ 0,05. Model tersebut memiliki kecocokan yang baik (good fit) apabila χ2/df ≤ 3,0, P > 0,050 dan 0,05 < RMSEA ≤ 0,08. 2) Pengukuran kecocokan model menggunakan test validity dan reliability untuk mengevalusai kecocokan model pengukuran. Model itu dianggap valid apabila t ≥ 1,96 dan dapat dipercaya apabila construct reliability ‘CR’ = (∑SLF)2/((∑SLF)2+∑ej) ≥ 0,7 dan variance extracted ‘VE’ = ∑SLF2/(∑SLF2+∑ej) ≥ 0,5. Selanjutnya, setiap indikator dianggap sangat signifikan apabila nilai dari standardized loading factor ≥ 0,5. 3) Kecocokan model struktural menggunakan signifikansi t-test untuk mengevalusai setiap hubungan sebab-akibat dan koefisien determinasi ‘R2’ secara keseluruhan. Hubungan sebab-akibat antarvariabel laten dianggap signifikan apabila t ≥ 1,96.
e. Modifikasi Model Dalam hal hasil tes (model pengukuran atau struktural) kurang memuaskan, program LISREL harus dimodifikasi lebih lanjut. Dalam kasus model pengukuran, modifikasi dapat dilakukan dengan menggunakan indeks modifikasi dan/atau dengan menghilangkan variabel (indikator) pengukuran yang tidak layak. Dalam kasus model struktural, modifikasi dapat dilakukan dengan menggunakan indeks modifikasi dan/atau dengan coba-coba (trial-and-error).
3.3 Strategic Assumption Surfacing and Testing (SAST)
47
Metode strategic assumption surfacing and testing (SAST) pada awalnya dikembangkan oleh Mitroff dan Emshoff (1979) dan Mason dan Mitroff (1981) sebagai kelanjutan inquiring systems design dari Churchman (1971). Mitroff dan Emshoff (1979) mendefinisikan SAST sebagai metodologi pembentukan problem adversari (adversarial problem forming methodology) yang sesuai dalam menghadapi masalah yang tidak terstruktur (ill-structured problems). Istilah ill-structured problem merupakan perpaduan kompleks dari masalah-masalah penting yang sangat interdependen satu sama lain serta yang melibatkan lebih dari satu orang dalam perumusan
kebijakan,
solusi,
implementasi,
dan
evaluasi.
Easton
(1988)
mengemukakan SAST sebagai penggunaan asumsi dalam pembuatan kebijakan atau perencanaan untuk membantu pembuat kebijakan memiliki peta keputusan yang lebih baik. Dengan demikian, SAST dipandang sangat membantu dalam menguak asumsi-asumsi kritis dari penyusunan kebijakan, perencanaan, dan strategi-strategi. Secara terperinci terdapat empat prinsip metode SAST, yaitu (i) adversarial– alat untuk menguji asumsi melalui penggunaan asumsi kebalikan; (ii) participative– alat untuk mendistribusikan pengetahuan dan sumber daya pada sekelompok individu; (iii) integrative–alat untuk membuat satu set asumsi dan rencana aksi yang terintegrasi dari elemen-elemen adversari dan partisipatif; dan (iv) managerial mind supporting–alat untuk memperdalam pandangan (insight) manajer berdasarkan eksposur asumsi. Untuk memulai proses SAST, organisasi sangat penting mempersiapkan isu atau kebijakan serta mempersiapkan kelompok pengambil keputusan. Dengan mengadopsi beberapa literatur, prosedur SAST dapat disederhanakan menjadi empat tahap (Mitroff dan Emshoff, 1979; Easton, 1988; Córdoba-Pachón, 2010). Pertama, strategi pembentukan kelompok diterapkan untuk memisahkan kelompok besar menjadi kelompok-kelompok homogen yang berlawanan. Pembentukan kelompok-kelompok kecil homogen dipilih karena cenderung memiliki kinerja yang lebih baik dalam hal penyelesaian masalah jika dibandingkan dengan kelompokkelompok besar (Easton, 1988).
48
Literature Review
PHASE I Group Formation
Identification of the Stakeholders of the policy Policy Assumptions Surfacing (within groups) Policy Assumptions Modification (between groups) Important – Certain Survey
Respondents
PHASE III Dialectical Debate & Rating
Opposing Homogenous Groups Formation
Researcher
PHASE II Assumption Surfacing
Indepth Interview
Fundamental Premises of the Policy
PHASE IV Final Synthesis
Information Requirements Analysis of Region II Presumptions of the Policy
Gambar 20. Prosedur SAST
Kedua, tahap pemunculan asumsi melibatkan dua langkah yang berbeda. Langkah pertama adalah mengidentifikasi pihak yang berkepentingan dengan kebijakan tersebut (stakeholders). Setelah stakeholders teridentifikasi, langkah kedua adalah membuat asumsi kebijakan (policy assumption) yang dilakukan oleh tiap-tiap kelompok. Córdoba-Pachón (2010) mengartikan asumsi tersebut sebagai penegasan bagi organisasi dan stakeholders berperilaku dalam situasi sekarang dan akan datang. Ketiga, tahap perdebatan dialektikal menghasilkan evaluasi terhadap asumsiasumsi dari tiap-tiap kelompok. Tujuan dari perdebatan dialektikal adalah untuk menunjukkan alasan mengapa setiap kelompok melihat suatu situasi seperti apa adanya dan bagaimana sudut pandangnya. Perdebatan dialektikal dilakukan oleh kedua
kelompok
mempertimbangkan
yang
saling
penyesuaian
berlawanan. terhadap
Selanjutnya,
asumsi-asumsi
mereka
harus
tersebut.
Proses
memodifikasi asumsi ini harus dilanjutkan selama terjadi perkembangan. (Mitroff dan Emshoff, 1979; Córdoba-Pachón, 2010). Setelah modifikasi asumsi kebijakan, setiap kelompok harus memiliki penilaian (justifikasi) terhadap peringkat asumsi-asumsi tersebut. Langkah pemeringkatan asumsi harus diuji untuk mendapatkan tingkat kepentingan dan kepastian pada setiap asumsi. Kepentingan diartikan sebagai signifikansi asumsi atas suatu hasil dari kebijakan yang terpilih, sedangkan kepastian berarti asumsi tersebut harus sangat jelas terbukti dengan sendirinya (self-evident) dan sangat mungkin untuk menjadi kenyataan (Easton, 1988).
49
Skala
penilaian
yang
berbeda-berbeda
telah
digunakan,
termasuk
perbandingan berpasangan (pairwise) antara asumsi-asumsi dan skala ordinal sederhana. Sebagaimana ditunjukkan Gambar 21, empat kelompok asumsi adalah kuadran (i) pasti dan penting; (ii) penting dan tidak pasti; (iii) tidak pasti dan tidak penting; dan (iv) pasti dan tidak penting. Asumsi-asumsi yang berada pada kuadran I (wilayah perencanaan yang pasti) adalah penting sehingga mereka mewakili secara langsung pemikiran mendasar suatu kebijakan. Sebaliknya, asumsi-asumsi yang berada pada sisi paling kiri memiliki sedikit signifikasi pada perencanaan atau penyelesaian masalah yang efektif.
Certain
IV
I Certain Planning Region
Unimportant
Important Problematic Planning Region
III
II Uncertain
Sumber: Mitrofff and Emshoff (1979), dimodifikasi oleh peneliti
Gambar 21. Asumsi Peringkat dengan Metode SAST
Terakhir, sintesis akhir melibatkan sekumpulan asumsi umum untuk semua kelompok dan juga asumsi yang dirumuskan ulang. Asumsi-asumsi tersebut yang berada dalam kuadran II (wilayah perencanaan masalah) merupakan yang paling kritikal karena memerlukan analisis lebih lanjut (contoh: penggunaan analisis kebutuhan informasi). Asumsi akhir dari keseluruhan proses adalah dugaan (presumptions) kebijakan.
50
IV. HASIL DAN ANALISIS
4.1 Profil Responden Terdapat tiga kelompok profil responden jika dilihat dari (i) kinerja UMK yang naik kelas: UM yang tetap mikro (81 responden), UM yang telah naik kelas menjadi UK (16 responden), dan UK yang tetap kecil (23 responden); (ii) sumber pembiayaan UMK: UMK yang telah memperoleh pembiayaan dari bank konvensional (54 responden), UMK yang telah memperoleh pembiayaan dari bank syariah (24 responden), dan UMK yang tidak mendapatkan pembiayaan dari bank (42 responden), serta (iii) kinerja penjualan UMK: UMK yang penjualan sebelumnya meningkat (72 responden), UMK yang penjualan sebelumnya stagnan (25 responden), dan UMK yang penjualan sebelumnya menurun (23 responden).
Tabel 14. Pengelompokkan Profil Responden FINANCING Conventional Shariah No Financing TOTAL
ME 36 18 27 81
ME to SE 7 3 6 16
SE 11 3 9 23
TOTAL 54 24 42 120
ME ME to SE SE TOTAL
Decrease Stagnant 16 19 2 2 5 4 23 25
Increase 46 12 14 72
TOTAL 81 16 23 120
Sesuai dengan ringkasan association (chi-square) test, Tabel 15 menunjukkan bahwa UMK merupakan perusahaan yang usahanya sangat beragam, yang hampir tidak memiliki hubungan signifikan yang menunjukkan pola usahanya.
Tabel 15. Ringkasan Association (Chi-Square) Test terhadap Profil Responden Owner's Owner's Business Length of Business Gender Education Sector Business Permits Source of Financing 0.053 0.905 0.368 0.201 0.832 Grad. Performance 0.663 0.741 0.284 0.363 0.513 Sales Performance 0.975 0.782 0.142 0.476 0.419
Initiative
Motivation
0.386 0.093 0.068
0.746 0.329 0.299
No. of Employee 0.760 0.059 0.094
Skills of Place of Source of Target Marketing Source of Graduation Sales Employee Business Capital Customer Strategy Financing Performance Performance Source of Financing 0.761 0.661 0.081 0.570 0.680 0.906 0.482 Grad. Performance 0.478 0.209 0.509 0.408 0.043 0.906 0.710 Sales Performance 0.307 0.154 0.718 0.209 0.840 0.482 0.710 -
51
Kinerja UMK, baik telah naik kelas maupun kinerja penjualan, sebagian besar tidak memiliki hubungan dengan karakteristiknya atau sumber pembiayaannya. Hanya strategi pemasaran yang memiliki hubungan signifikan dengan kinerja naik kelas UMK (0,043<0,05). Lebih lanjut, beberapa karakteristik UMK memiliki asosiasi hampir signifikan, seperti (1) jenis kelamin dan sumber modal dengan sumber pembiayaan; (2) jumlah tenaga kerja dan inisiatif memulai usaha dengan kinerja naik kelas; dan (3) inisiatif memulai usaha dan jumlah tenaga kerja dengan kinerja penjualan. Gambar 22 (sisi kiri) menunjukkan bahwa pemilik UMK dibagi menjadi dua antara responden laki-laki (53%) dan perempuan (47%). Namun, UM yang naik kelas menjadi UK hampir seluruhnya adalah laki-laki (63%). Selain itu, hasil chi-square (0,663>0,05) menunjukkan bahwa sesungguhnya tidak ada hubungan antara jenis kelamin dari pemilik usaha dan kinerja UMK naik kelas.
Gambar 22. Jenis Kelamin Pemilik
Dari sudut pandang sumber pembiayaan UMK, Gambar 22 (sisi kanan) menunjukkan bahwa pemilik usaha laki-laki cenderung lebih menyukai pinjaman konvensional (63%), sedangkan pemilik usaha perempuan cenderung menyukai pembiayaan syariah (67%). Di samping itu, hasil
chi-square (0,053>0,05)
menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara sumber pembiayaan dan jenis kelamin pemilik usaha. Namun, terdapat kecenderungan yang besar bahwa pemilik perempuan terkait dengan pembiayaan syariah, sedangkan pemilik laki-laki terkait dengan pinjaman konvensional.
52
Gambar 23. Pendidikan Pemilik Usaha
Berdasarkan pendidikan pemilik usaha, Gambar 23 menunjukkan bahwa sebagian besar pemilik UMK adalah lulusan SMP (39%) dan SMA (22%), khususnya pemilik UM sebesar 42% lulusan SMP dan 25% lulusan SMA. Sementara itu, sebagian besar pemilik UM yang naik kelas adalah lulusan SMP (31%) dan S1 (31%). Lebih lanjut hasil chi-square (0,741>0,05) menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara pendidikan pemilik usaha dan kenaikan kelas UMK.
Gambar 24. Sektor Usaha
Berdasarkan sektor usaha, Gambar 24 menunjukkan bahwa sebagian besar UMK bergerak di sektor manufaktur (73%) dan hanya UM yang bergerak di sektor jasa (9%). Lebih lanjut hasil chi-square (0,284>0,05) menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara sektor usaha dan kinerja naik kelas UMK. Meskipun begitu, terdapat kecenderungan bahwa UM yang naik kelas bergerak di sektor perdagangan dan manufaktur, sedangkan UK bergerak di sektor manufaktur.
53
Gambar 25. Lamanya Usaha
Dari sudut pandang lamanya usaha, berbeda dengan persepsi mayoritas, wirausahawan UMK bukan merupakan wirausahawan hit and run yang dapat dengan mudah beralih dari satu usaha ke usaha lainnya. Gambar 25 menunjukkan bahwa sebagian besar UMK (35%) telah menjalankan usahanya lebih dari 10 tahun, terutama UK (52%). Sementara itu, sebagian besar UM yang naik kelas menjadi UK telah menjalankan usaha selama 1 hingga 3 tahun (31%). Lebih lanjut, hasi uji chisquare (0,363>0,05) menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara lamanya usaha dan kinerja naik kelas UMK. Namun, terdapat kecenderungan bahwa UM yang naik kelas telah menjalankan usahanya selama 1–3 tahun, sedangkan UM yang tetap di mikro antara 5–10 tahun dan UK yang tetap di UK telah dijalankan selama >10 tahun.
Gambar 26. Izin Usaha
Terkait dengan izin usaha, hanya sedikit UMK yang memiliki izin usaha (TDI/TDP, SIUP) dan NPWP. Sebagian besar UMK (32%) memiliki sejenis izin lokal atau tidak memiliki izin sama sekali (27%). Lebih lanjut, hasil chi-square (0,513>0,05) menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara pemegang izin usaha dan kinerja kenaikan kelas UMK. Namun, terdapat kecenderungan bahwa 54
UM tidak memiliki izin usaha, tetapi memiliki NPWP. UM yang naik kelas memiliki TDI/TDP. Gambar 27 (sisi kiri) menunjukkan bahwa sebagian besar UMK (80%) mengawali usahanya atas inisiatif sendiri, khususnya UK (96%). Sementara UM yang naik kelas memulai usaha dari inisiatif keluarga (38%). Berdasarkan kinerja penjualan masa lalu, Gambar 27 (sisi kanan) menunjukkan bahwa sebagian besar UMK mengalami peningkatan penjulan (83%), stagnan (68%), dan penurunan penjualan (83%) dalam usaha yang dimulai atas inisiatif sendiri.
Gambar 27. Inisiatif Memulai Usaha
Dari sudut pandang kinerja naik kelas, hasil chi-square (0,093>0,05) menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara siapa yang memulai inisiatif usaha dan kinerja kenaikan kelas UMK. Namun, terdapat kecenderungan kuat bahwa UM yang naik kelas berkaitan dengan inisiatif keluarga, sedangkan UM berkaitan dengan inisiatif pemilik. Lebih lanjut, dari sudut pandang kinerja penjualan, hasil dari uji chi-square (0,068>0,05), Gambar 28 (sisi kanan) menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara memulai usaha dan kinerja penjualan UMK. Namun, terdapat kecenderungan yang kuat bahwa inisiatif pemilik berkaitan dengan kenaikan penjualan.
55
Gambar 28. Motivasi Usaha
Motivasi utama responden untuk masuk ke dalam sektor UMK adalah menjadi wirausahawan. Sebagian besar UK (33%) dan UM yang naik kelas (30%) ingin menjadi wirausahawan, sedangkan sebagian besar UM (29%) karena tidak memiliki pekerjaan lainnya pada saat mereka memulai usaha. Lebih lanjut, hasil chi-square (0,329>0,05) menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara motivasi usaha dan kinerja kenaikan kelas UMK. Namun, terdapat kecenderungan bahwa UM yang naik kelas bergerak di sektor perdagangan dan manufaktur, sedangkan UK bergerak di sektor manufaktur.
Gambar 29. Tempat Usaha
Berdasarkan tempat usaha, Gambar 29 menunjukkan bahwa sebagian besar UMK memilih rumah sebagai tempat usaha (53%), terutama UM dan UK, serta toko (32%), khususnya UM yang naik kelas. Hanya sedikit sekali yang memilih online (6%), pasar tradisional (4%), lokasi industri (2%), dan pinggir jalan (1%) sebagai tempat usaha. Lebih lanjut hasil chi-sqare (0,209>0,05) menunjukkan bahwa tidak 56
terdapat hubungan antara lokasi usaha dan kinerja naik kelas UMK. Namun, terdapat kecenderungan bahwa UM yang naik kelas beroperasi di tokonya, sedangkan UM beroperasi di rumahnya.
Gambar 30. Jumlah Tenaga Kerja
Dari sudut pandang jumlah tenaga kerja, Gambar 30 menunjukkan bahwa sebagian besar UMK (83%) memiliki tenaga kerja kurang dari 10 orang, khususnya UM yang naik kelas (94%). Lebih lanjut, hasil chi-square (0,059>0,05) menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara jumlah tenaga kerja dan kinerja UMK naik kelas. Namun, terdapat kecederungan yang kuat bahwa UM dan UM yang naik kelas memiliki <10 tenaga kerja, sedangkan UK memiliki 11–25 tenaga kerja.
Gambar 31. Keterampilan Tenaga Kerja
Berdasarkan keterampilan tenaga kerja, Gambar 31 menunjukkan bahwa sebagian besar UMK (50%) memiliki tenaga kerja yang seluruhnya terampil, khususnya UM (56%). Hanya sebagian kecil UMK memilliki tenaga kerja tidak terampil (8%) yang karena sebagian besar UMK dimiliki dan dikelola secara 57
perseorangan. Lebih lanjut, hasil chi-square (0,478>0,05) menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara jumlah tenaga terampil dan kinerja UMK naik kelas. Namun, terdapat kecenderungan bahwa UM memiliki tenaga kerja yang seluruhnya terampil dan UK memiliki tenaga kerja yang sebagian besar terampil. Gambar 32 (sisi kiri) menunjukkan bahwa sebagian besar UMK (49%) memulai usahanya dari modal sendiri, khususnya UK (54%). Di samping itu, hasil chi-square (0,509>0,05) menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara sumber modal dan kinerja kenaikan kelas UMK.
Gambar 32. Sumber Permodalan
Dari
sudut
pandang
sumber
permodalan
Gambar
32
(sisi
kanan)
menunjukkan bahwa sebagian besar UMK (49%) memulai usahanya dari modal sendiri, khususnya UMK nonpembiayaan (59%). Lebih lanjut, hasil chi-square (0,081>0,05) menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara sumber permodalan dan sumber pembiayaan UMK.
Gambar 33. Target Konsumen
58
Sebagian besar UMK melakukan pemasaran langsung kepada konsumen akhir (53%), khususnya UM (59%), serta kepada pedagang eceran (30%), utamanya UK (34%) dan UM yang naik kelas (34%). Tujuan pemasaran yang paling utama UMKM adalah pasar lokal, kota kecil, kota madya, atau kota yang sama. Hanya sebagian kecil pasar mereka berorientasi ekspor (2%). Lebih lanjut, hasil chi-square (0,408>0,05) menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara target konsumen dan kinerja kenaikan kelas UMK. Namun, terdapat kecenderungan bahwa UM menjual hasil produknya ke konsumen akhir.
Gambar 34. Strategi Pemasaran
Gambar 34 menunjukkan bahwa sebagian besar UMK (26%) memfokuskan diri pada strategi produk, khususnya UM (29%), sedangkan UK (28%) memfokuskan diri pada strategi proses. Di samping itu, hasil chi-square (0,043<0,05) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara strategi pemasaran dan kinerja kenaikan kelas UMK. UM memfokuskan diri pada strategi produk, UM yang naik kelas memfokuskan diri pada orang, sedangkan UK berfokus pada proses. UM yang naik kelas lebih fokus pada strategi orang.
Gambar 35. Kinerja Penjualan 59
Jika ditinjau dari kinerja penjualan masa lalu, Gambar 35 menunjukkan bahwa sebagian besar UMK (60%) mengalami kenaikan penjualan, khususnya UM yang naik kelas (75%). Hasil chi-square (0,710>0,05) menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara kinerja penjualan masa lalu dan kinerja kenaikan kelas UMK.
Gambar 36. Sumber Pembiayaan
Berdasarkan sumber pembiayaan, Gambar 36 menunjukkan bahwa sebagian besar UMK (45%) mendapatkan pembiayaan dari bank konvensional, khususnya UK (48%) atau tanpa pembiayaan (35%), terutama UM yang telah naik kelas. Hasil uji chi-square (0,906>0,05) menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara sumber pembiayaan dan kinerja kenaikan kelas UMK. Jika dilihat dari pengalaman usaha UMK, Gambar 36 (sisi kiri) menunjukkan bahwa sebagian besar pemilik UMK (62%) secara rutin menghadiri pengajian dan beberapa dari mereka (28%) menyediakan ruangan ibadah yang nyaman. Sebagian besar pemilik UMK tidak memiliki pengalaman yang cukup dalam berbisnis. Namun, sebagian besar pemilik UMK (51%) telah mengikuti standar pencatatan laporan keuangan. Beberapa UMK memiliki pengalaman studi banding (33%), menerima pinjaman/pendanaan lunak (25%), mengikuti pelatihan perbaikan diri (24%), dan berpartisipasi dalam seminar/ekspo seminar inovasi produk (23%).
60
Gambar 37. Pengalaman Berusaha
Sementara itu, Gambar 37 (sisi kanan) menunjukkan bahwa sebagian besar pemilik UM (60%) secara rutin menghadiri pengajian dan beberapa dari mereka (22%) menyediakan ruangan ibadah yang nyaman. Namun, hampir sebagian besar pemilik UM tidak memiliki pengalaman usaha. Meskipun begitu, hampir separuh dari pemilik UM (47%) telah mengikuti penyusunan laporan keuangan yang terstandardisasi. Beberapa UM mendapat pengalaman melakukan studi banding (30%), menerima pinjaman/pendanaan lunak (27%), mengikuti pelatihan perbaikan diri (19%), dan berpartisipasi dalam seminar/ekspo inovasi produk (19%). Hasil survei menunjukkan bahwa sebagian besar dari UMK memiliki hubungan dengan bank, baik sebagai deposan, debitur, maupun keduanya, yaitu (1) deposan dan debitur (57%), (2) hanya sebagai deposan (28%), hanya sebagai debitur (8%), dan (4) nasabah nonbank (7%).
Total
UM
UM menjadi UK
UK
Gambar 38. Bank Mindedness oleh Usaha Mikro, Usaha Mikro naik kelas menjadi Usaha Kecil, dan Usaha Kecil
61
Gambar 38 menunjukkan bahwa seluruh UM yang telah naik kelas memiliki hubungan dengan bank, baik sebagai deposan dan debitur (63%), maupun hanya sebagai deposan (37%).
Gambar 39. Bank Mindedness (Usaha Mikro)
Berdasarkan aspek hubungan UM dengan bank, responden UM terdiri dari 58% deposan dan debitur, 26% hanya sebagai deposan, 9% hanya sebagai debitur, dan 7% bukan nasabah bank. Jika dilihat dari total deposan (84%), Gambar 39 (sisi kanan) menunjukkan bahwa sebagian besar dari UM hanya memiliki rekening pribadi (78%), sedangkan 6% memiliki rekening, baik rekening pribadi maupun rekening usaha. Hampir seluruh UM menggunakan jasa keuangan, terutama ATM (70%), kemudian diikuti dengan jasa transfer (59%), dan kartu debit (42%). Jika dilihat dari jumlah total debitur (67%), Gambar 39 (sisi kiri) menunjukkan bahwa sebagian besar debitur dibiayai oleh bank konvenional (44%) dan 19% dibiayai oleh bank syariah, sedangkan 33% UM sama sekali tidak dibiayai oleh bank. Sebagian besar UM mengemukakan bahwa mereka tidak menerima pinjaman atau pembiayaan apa pun karena mereka tidak membutuhkan pembiayaan (14%), bunga yang tinggi (10%), tidak memiliki jaminan untuk kredit (5%), dan prosedur yang rumit (2%).
62
Gambar 40. Bank Mindedness (Usaha Mikro naik kelas menjadi Usaha Kecil)
Berdasarkan aspek hubungan UM yang naik kelas dengan bank, responden UM yang naik kelas terdiri atas 63% sebagai deposan dan debitur serta 37% hanya sebagai deposan. Jika dilihat dari jumlah total depositor (100%), Gambar 40 (sisi kanan) menunjukkan bahwa sebagian besar UM yang telah naik kelas hanya memilki rekening pribadi (88%), sedangkan 12% memiliki rekening pribadi dan rekening usaha. Hampir seluruh UM yang telah naik kelas menggunakan jasa keuangan, terutama ATM (81%), kemudian diikuti dengan jasa transfer (69%), dan kartu debit (63%). Jika dilihat dari jumlah total debitur (63%), Gambar 40 (sisi kiri) menunjukkan bahwa sebagian dari mereka dibiayai oleh bank konvensional (44%) dan 19% oleh bank syariah, sedangkan 37% UM yang naik kelas sama sekali tidak dibiayai oleh bank. Sebagian besar dari UM yang naik kelas mengemukakan bahwa mereka tidak menerima pinjaman atau pembiayaan apa pun karena mereka tidak membutuhkan pembiayaan (13%), prosedur yang rumit, atau alasan lainnya (2%).
63
Gambar 41. Bank Mindedness (Usaha Kecil)
Berdasarkan aspek hubungan UK dengan bank, responden UK terdiri atas 52% sebagai deposan dan debitur, 30% hanya sebagai deposan, 9% hanya sebagai debitur, dan 9% bukan nasabah bank. Jika dilihat dari total deposan (82%), Gambar 41 (sisi kanan) menunjukkan bahwa sebagian besar hanya memiliki rekening pribadi (78%), sedangkan 4% memiliki rekening pribadi dan rekening usaha. Hampir seluruh UK memanfaatkan jasa keuangan, terutama ATM (74%), kemudian diikuti dengan jasa transfer (57%), dan kartu debit (43%). Jika ditinjau dari total debitur (61%), Gambar 41 (sisi kiri) menunjukkan bahwa sebagian besar dibiayai oleh bank konvensional (48%) dan 13% dibiayai oleh bank syariah, sedangkan 39% UK tidak dibiayai oleh bank. Sebagian besar UK mengemukakan bahwa mereka tidak menerima pinjaman atau pembiayaan apa pun karena suku bunga yang tinggi (13%), prosedur yang rumit, tidak memerlukan pembiayaan atau alasan lainnya (9%), serta tidak memiliki jaminan (4%).
4.2
Hasil SEM Hasil SEM yang ditampilkan dalam bagian ini adalah proses akhir dari
beberapa prosedur SEM, dimulai dari spesifikasi, identifikasi, estimasi, pengujian
64
dan hasil akhir. Hasil lengkap dari seluruh prosedur SEM dapat dimintakan ke penulis.
4.2.1 Model Pengukuran (Measurement Model) Hasil dari tujuh model pengukuran terdiri atas dua variable laten eksogen (external dan support) dan lima variabel laten endogen (owner, business, management, resources, dan graduate) akan dibahas lebih lanjut. a. Eksternal (External) Model Pengukuran dari variabel laten eksogen external memenuhi tiga persyaratan utama, yaitu χ2/df ≤ 3,0 (1,47/12), P>0,050 (0,08) dan RMSEA ≤ 0,08 (0,07). Seluruh pengukuran goodness of fit (GoF) adalah fit sehingga dapat diambil simpulan bahwa model pengukuran untuk variabel external adalah good model dengan close fit (AGFI= 0,97).
0.73
0.60
0.80
0.83
0.68
0.57
0.61
X1.1 X1.2 X1.3 X1.4 X1.5 X1.7 X1.8
0.52 (5.55) 0.64 (7.87) 0.45 (6.53) 0.41 (6.13)
EXTERNAL (ξ1)
0.57 (7.74)
X1.1 : Regulation - Policy X1.2 : Infrastructure X1.3 : Macroeconomic X1.4 : Muslim Majority X1.5 : Corruption X1.7 : Bureaucracy X1.8 : Tax-Retribution
0.66 (8.44) 0.62 (7.76)
χ2 = 19.47; df = 12; p = 0.08; RMSEA = 0.07 AGFI = 0.97; Conclusion: CLOSE FIT
Gambar 42. Model Pengukuran untuk Variabel External
Seluruh variabel terukur (X1.1–X1.8) secara signifikan menjelaskan variabel external. Bureaucracy (birokrasi, X1.7) dan infrastructure (infrastruktur, X1.2) memiliki loading factors tertinggi (0,66 dan 0,64), diikuti oleh tax-retribution (retribusi pajak, X1.8), dan corruption (korupsi, X1.5).
65
b. Dukungan (Support) Model pengukuran dari variabel laten eksogen support memenuhi tiga persyaratan utama, yaitu χ2/df ≤ 3,0 (12,13/8), P> 0,050 (0,15) dan RMSEA ≤ 0,08 (0,07). Seluruh pengukuran goodness of fit (GoF) adalah fit sehingga dapat diambil simpulan bahwa model pengukuran untuk variabel support adalah good model dengan close fit (AGFI = 0,98).
0.59
0.60
0.47
0.48
0.73
0.72
X2.1 X2.2 X2.3 X2.5 X2.6 X2.7
0.64 (8.15) 0.63 (8.01) 0.73 (9.89)
SUPPORT (ξ2)
0.72 (9.29)
X2.1 : Central Government X2.2 : Local Government X2.3 : ZISWAF/Social Funds X2.5 : Managerial-Tech. Support X2.6 : Spiritual Uplift X2.7 : Family Support
0.52 (7.81) 0.53 (7.93)
χ2 = 12.13; df = 8; p = 0.15; RMSEA = 0.07 AGFI = 0.98; Conclusion: CLOSE FIT
Gambar 43. Model Pengukuran untuk Variabel Support
Seluruh variabel pengukuran (X2.1–X2.7) secara signifikan menjelaskan variabel support. ZISWAF/social funds (X2.3) dan managerial-tech. Support (dukungan manajerial-teknologi, X2.5) memiliki loading factors tertinggi (0,73 dan 0,72) diikuti dengan central government (pemerintah pusat, X2.1) dan local government (pemerintah daerah, X2.2).
c. Pemilik (Owner) Model pengukuran variabel laten endogen owner memenuhi tiga persyaratan utama, yaitu χ2/df ≤ 3,0 (14,13/12), P> 0,050 (0,29) dan RMSEA ≤ 0,08 (0,04). Seluruh pengukuran goodness of fit (GoF) adalah fit sehingga dapat diambil simpulan bahwa model pengukuran untuk variabel owner adalah good model dengan close fit (AGFI = 0,98).
66
Gambar 44. Model Pengukuran untuk Variabel Owner
Seluruh variabel pengukuran (Y1.1–Y1.7) secara signifikan menjelaskan variabel owner (pemilik usaha). Truthful (kejujuran, Y1.3) dan visionary (visioner, Y1.4) memiliki loading factors tertinggi (0,63 dan 0,61), kemudian diikuti dengan trustworthy (kepercayaan, Y1.2), dan leadership (kepemimpinan, Y1.6).
d. Bisnis (Business) Model pengukuran dari variabel laten endogen business memenuhi tiga persyaratan utama, yaitu χ2/df ≤ 3,0 (28,16/19), P> 0,050 (0,08), dan RMSEA ≤ 0,08 (0,06). Seluruh pengukuran goodness of fit (GoF) adalah fit sehingga dapat diambil simpulan bahwa model pengukuran dari variabel bisnis adalah good model dengan close fit (AGFI = 0,95).
χ2 = 28.16; df = 19; p = 0.08; RMSEA = 0.06 AGFI = 0.95; Conclusion: CLOSE FIT
BUSINESS (η2)
0.43 (4.96)
Y2.1 0.82
0.28 (3.22)
0.54 (5.59)
Y2.2
Y2.3
0.92
0.71
0.42 (5.04)
Y2.4 0.82
0.54 (5.71)
Y2.5 0.71
0.49 (5.47)
Y2.6 0.76
0.18 (2.35)
Y2.7 0.97
0.44 (5.20)
Y2.8 0.80
Y2.1 : Halal Earnings Y2.2 : Product Y2.3 : Service Y2.4 : Market Y2.5 : Customer Y2.6 : Cost of Business Y2.7 : Competition Y2.8 : Location
Gambar 45. Model Pengukuran untuk Variabel Business 67
Seluruh variabel pengukuran (Y2.1–Y2.8) secara signifikan menjelaskan variabel business characteristics (karakteristik usaha). Customer (pelanggan) (Y2.5) dan service (jasa) (X2.3) memiliki loading factors tertinggi (0,54), kemudian diikuti oleh cost of business (biaya usaha) (Y2.6) dan location (lokasi) (Y2.8).
e. Manajemen (Management) Model pengukuran variabel endogen laten management memenuhi tiga persyaratan utama, yaitu χ2/df ≤ 3,0 (6,20/8), P> 0,050 (0,62) dan RMSEA ≤ 0,08 (0,00). Seluruh pengukuran goodness of fit (GoF) adalah fit sehingga dapat diambil simpulan bahwa model pengukuran untuk variabel management adalah good model dengan close fit (AGFI = 0,98).
0.86
0.89
Y3.1 0.37 (4.88)
Y3.2 0.33 (4.35)
0.59
0.47
Y3.4 0.64 (7.21)
0.50
Y3.5
0.90
Y3.6
0.72 (7.50)
MANAGEMENT (η3)
0.71 (7.82)
Y3.1 : Transparency Y3.2 : Professional Y3.4 : SOP-SOM Y3.5 : Information Tech. Y3.6 : Innovation Y3.7 : Networking
Y3.7 0.32 (4.46)
χ2 = 6.20; df = 8; p = 0.62; RMSEA = 0.00 AGFI = 0.98; Conclusion: CLOSE FIT
Gambar 46. Model Pengukuran untuk Variabel Management
Seluruh variabel pengukuran (Y3.1–Y3.7) secara signifikan menjelaskan variabel manajemen know-how. Information technology (teknologi informasi) (Y3.5) dan innovation (inovasi) (Y3.6) memiliki loading factors tertinggi (0,72 dan 0,71), kemudian diikuti oleh SOP-SOM (Y3.4) dan transparency (transparansi) (Y3.1).
f. Sumber Daya (Resource) Model
pengukuran
variabel
endogen
laten
resource
memenuhi
tiga
persyaratan utama, yaitu χ2/df ≤ 3,0 (18.12/14), P> 0,050 (0,20) and RMSEA ≤ 008 (0,05). Seluruh pengukuran goodness of fit (GoF) adalah fit sehingga dapat diambil
68
simpulan bahwa model pengukuran untuk variabel resource adalah good model dengan close fit (AGFI = 0,97).
χ2 = 18.12; df = 14; p = 0.20; RMSEA = 0.05 AGFI = 0.97; Conclusion: CLOSE FIT
RESOURCES (η4)
0.34 (4.87)
Y4.1 0.88
0.55 (7.06)
Y4.2 0.69
0.20 (2.89)
Y4.3 0.96
0.61 (7.57)
Y4.4 0.63
0.74 (8.23)
Y4.5 0.45
0.57 (7.00)
Y4.6 0.68
0.42 (5.72)
Y4.7 0.83
Y4.1 : Spiritual Capital Y4.2 : Skilled H. Resource Y4.3 : Owned Capital Y4.4 : Access to Finance Y4.5 : Tech. Resource Y4.6 : Raw Material Y4.7 : Social Capital
Gambar 47. Model Pengukuran untuk Resource
Seluruh variabel pengukuran (Y4.1–Y4.7) secara signifikan menjelaskan resource (sumber daya). Technology resource (sumber daya teknologi) (Y4.5) dan access to finance (akses pembiayaan) (Y4.4) memiliki loading factors tertinggi (0,74 dan 0,61), kemudian diikuti raw material (bahan baku) (Y4.6) dan skilled human resource (sumber daya manusia terampil) (Y4.2).
g. Kenaikan Kelas (Graduation) Model pengukuran variabel endogen laten graduation memenuhi tiga persyaratan utama, yaitu χ2/df ≤ 3,0 (5,66/4), P> 0,050 (0,23) dan RMSEA ≤ 0,08 (0,06). Seluruh pengukuran goodness of fit (GoF) adalah fit sehingga dapat diambil simpulan bahwa model pengukuran untuk variabel graduation adalah good model dengan close fIT (AGFI = 0,99).
69
0.76
Y5.1 : Sales Increase Y5.2 : W-Capital Increase Y5.3 : Employee Increase Y5.4 : Market Expansion Y5.5 : Profit Increase Y5.6 : Fin. Limit Increase
0.43
0.61
Y5.1 Y5.2 Y5.3
GRADUATE (η5) 0.63
0.47
χ2 = 5.66; df = 4; p = 0.23; RMSEA = 0.06 AGFI = 0.99; Conclusion: CLOSE FIT
0.59
Y5.4 Y5.5 Y5.6
0.49 (4.47) 0.76 (9.25) 0.62 (8.43)
0.61 (5.99) 0.73 (8.40) 0.64 (9.04)
Gambar 48. Model Pengukuran untuk Graduation
Seluruh variabel pengukuran (Y5.1–Y5.6) secara signifikan menjelaskan variable graduation (kenaikan kelas). Kenaikan working capital (modal kerja) (Y5.2) dan kenaikan profit (keuntungan) (Y5.5) memiliki loading factors tertinggi (0,76 dan 0,73), kemudian diikuti oleh kenaikan financing limit (batasan pembiayaan) (Y5.6) dan kenaikan employee (tenaga kerja) (Y5.3).
4.2.2 Model Struktural (Structural Model) Model struktural dari kenaikan kelas UM memenuhi tiga persyaratan utama, yaitu χ2/df ≤ 3,0 (39,88/45), P> 0,050 (0,69) dan RMSEA ≤ 0,08 (0,00). Seluruh pengukuran goodness of fit (GoF) adalah fit sehingga dapat disimpulkan bahwa model struktural dari kenaikan kelas UM adalah good model dengan close fit (AGFI = 0,93). Faktor yang mempengaruhi kenaikan kelas UM adalah owner (pemilik usaha), business characteristics (karakteristik usaha), management know-how (variabel laten endogen), dan faktor external dan support dari berbagai pihak (variabel laten eksogen).
70
Gambar 49. Model Struktural Kenaikan Kelas Usaha Mikro
Secara langsung faktor yang paling penting dalam menentukan kenaikan kelas UM adalah management know-how (0,57) dan business characteristics (karakteristik usaha) (0,17), serta faktor external dan support (secara tidak langsung). Variabel yang paling penting dalam menentukan kenaikan kelas UM adalah SOP dan teknologi informasi (management) dan pasar (bisnis), serta infrastruktur dan kondisi makroekonomi (external) dan dukungan keluarga (support). UM yang sukses harus memiliki management know-how yang baik, terutama dalam proses bisnisnya dengan memanfaatkan teknologi informasi secara optimal dan memiliki pemahaman yang baik dan kemampuan untuk memenangkan pasar. Lebih lanjut, lingkungan usaha dengan infrastruktur yang memadai dan kondisi makroekonomi yang stabil, serta dukungan secara terus-menerus dari keluarga sangat penting bagi UM dalam meraih kesuksesan. Di samping itu, faktor-faktor lainnya juga tidak bisa diabaikan karena faktor-faktor tersebut dianggap perlu (meskipun tidak cukup) bagi UM untuk menjalankan usahanya dan berhasil, terutama visi pemilik usaha, kewirausahaan, dan pengalaman berbisnis, serta sumber daya manusia yang terampil.
4.3
Hasil SAST (SAST Result) Sebagai prosedur standar dalam metode SAST, beberapa tahapan terkait isu
atau kebijakan harus diikuti, seperti pembentukan kelompok, spesifikasi asumsi,
71
pemeringkatan asumsi, dan survei penting-pasti (lihat Gambar 20). Hasil dari prosedur SAST yang lengkap dapat dimintakan pada penulis. a. Eksternal (External)
Gambar 50. Asesmen terhadap Tingkat Penting–Pasti untuk Faktor Eksternal
Hasil SAST untuk faktor external menunjukkan bahwa X131 merupakan stabilitas
harga,
terutama
kebutuhan
dasar,
bahan
baku,
dan
energi
(makroekonomi), X121 merupakan perbaikan infrastruktur, khususnya jalan, jembatan, listrik, transportasi, ketersediaan air bersih, dll. (infrastructure), dan X181 merupakan pengurangan pajak (tax-retribution) terletak pada certain planning region (region I). Sementara X111 merupakan kebijakan pemerintah, seperti keringanan pajak dan kemudahan memperoleh perizinan diarahkan pada perbaikan iklim usaha (regulation and policy), X153 merupakan penghapusan biaya tidak resmi bagi UMK (corruption), X182 merupakan keringanan pajak (tax break) untuk UMK yang berpendapatan rendah (tax-retribution), dan X171 merupakan jasa one-stop licensing yang cepat dan murah/gratis (bureaucracy) yang terletak pada kawasan problematic planning region (region II).
72
b. Dukungan (Support)
Gambar 51. Asesmen terhadap Tingkat Penting–Pasti untuk Faktor Support
Hasil SAST untuk faktor support menunjukkan bahwa X232 merupakan dukungan penyertaan modal (bebas bunga) (ZISWAF/donor), X211 merupakan pinjaman
lunak/pembiayaan
untuk
modal
kerja
(pemerintah
pusat),
X 231
merupakan program dana bergulir (ZISWAF/donor), X211 merupakan ketersediaan informasi pasar untuk produk UMK (pemerintah daerah), dan X271 merupakan dukungan motivasi kepada pemilik/pekerja dalam menjalankan usaha (dukungan keluarga) yang terletak di certain planning region (region I). Sementara X223 merupakan ketersediaan untuk mendapatkan modal tambahan (bebas bunga) bagi UMK (pemerintah daerah), X272 merupakan penanaman karakterik yang baik kepada pemilik usaha dan pekerja (dukungan keluarga), X261 merupakan pelatihan keagamaan, seperti kepemimpinan dan kewirausahaan syariah (spiritual uplift), X251 merupakan ketersediaan pelatihan manajerial dan mentoring (managerial support) yang terletak pada kawasan problematic planning region (region II).
73
c. Pemilik Usaha (Owner)
Gambar 52. Asesmen terhadap Tingkat Penting–Pasti untuk Faktor Pemilik Usaha Hasil SAST untuk faktor owner (pemilik usaha) menunjukkan bahwa tidak ada kebijakan yang terletak pada wilayah perencanaan pasti (region I). Sementara itu, Y111 yaitu menghadiri pengajian, seperti halaqah rutin (takwa kepada Allah), Y121 yaitu menghadiri pelatihan kewirausahaan syariah/spiritual (dipercaya), dan Y161 yaitu meghadiri pelatihan kepemimpinan spiritual/syariah (kepemimpinan) yang terletak pada kawasan problematic planning region (region II).
d. Bisnis (Business)
Gambar 53. Asesmen terhadap Tingkat Penting–Pasti Faktor Usaha 74
Hasil SAST untuk faktor business characteristics (karakteristik usaha) menunjukkan bahwa Y261 merupakan stabilitas harga, khususnya kebutuhan dasar, bahan baku, dan energi (cost of business), Y262 merupakan perbaikan infrastruktur, khususnya jalan, jembatan, listrik, transportasi, air bersih, dll (cost of business), Y281 merupakan lokasi usaha strategis (location), Y242 merupakan dukungan teknis untuk UMK untuk meningkatkan produknya (service), Y251 merupakan kepuasan pelanggan dan pelatihan loyalitas bagi UMK (consumer), Y222 merupakan pelatihan perbaikan kualitas produk bagi UMK (produk), Y231 merupakan dukungan teknis untuk perbaikan kualitas jasa UMK (service), Y241 merupakan kemudahan akses pasar bagi UMK untuk masuk ke minimarket, supermarket, atau pasar modern (market) dan Y252 merupakan perbaikan pelindungan konsumen UMK (customer) yang terletak pada certain planning region (region I). Sementara itu, Y211 merupakan menafikan sertifikasi produk halal UMK (pendapatan halal) dan Y271 merupakan meningkatkan pengawas pasar untuk menjamin terciptanya persaingan pasar yang adil bagi UMK (competition) yang terletak pada wilayah problematic planning region (region II).
e. Manajemen (Management)
Gambar 54. Asesmen terhadap Tingkat Penting-Pasti untuk Faktor Manajemen
Hasil SAST untuk faktor management menunjukkan bahwa Y371 merupakan program partnership antara UMK dan pedagang besar, suplier, distributor, lembaga 75
pembiayaan, atau agen terkait lainnya (jejaring) dan Y361 merupakan pelatihan rutin pengembangan produk bagi UKM (inovasi) berada pada certain planning region (region I). Sementara itu, Y321 merupakan pelatihan rutin untuk profesionalisme UMK (professional) dan Y311 merupakan pertemuan rutin dengan seluruh stakeholders (transparency) yang terletak pada wilayah problematic planning region (region II).
f. Sumber Daya (Resources)
Gambar 55. Asesmen terhadap Tingkat Penting–Pasti untuk Faktor Sumber Daya
Hasil SAST untuk faktor resources menunjukkan bahwa Y461 merupakan ketersediaan bahan baku dengan harga terjangkau (bahan baku), Y 442 merupakan ketersediaan fasilitas pinjaman/pembiayaan murah (access to finance), Y441 merupakan kemudahan akses pinjaman/pembiayaan (access to finance), Y451 merupakan ketersediaan teknologi tepat guna untuk memperbaiki kualitas produk (technology resource), dan Y471 merupakan pengembangan kebersamaan dengan masyarakat setempat (modal sosial) yang terletak pada kawasan certain planning region (region I). Sementara, Y411 merupakan perbaikan spiritualitas tenaga kerja melalui kegiatan keagamaan (modal spiritual), Y431 merupakan pelatihan perencanaan keuangan bagi UMK (modal kepemilikan), dan Y443 merupakan ketersediaan skema
76
pembiayaan yang tepat bagi UMK, seperti dana bergulir dan tanggung renteng (access to finance) yang terletak pada wilayah problematic planning region (region II).
g. Keseluruhan (Overall)
Gambar 56. Asesmen Keseluruhan terhadap Hasil Rangkuman atas Tingkat Penting–Pasti
Terakhir, hasil rangkuman SAST keseluruhan untuk kenaikan kelas UM dapat dilihat pada Gambar 56. Kebijakan terpenting yang dibutuhkan oleh UM untuk mempercepat usahanya adalah kebijakan external (eksternal), support (dukungan), business characteristics (karakteristik usaha), dan resources (sumber daya). Kebijakan eksternal terpenting yang dibutuhkan oleh UM adalah X131 merupakan kestabilan harga, khususnya kestabilan harga kebutuhan pokok, bahan baku, dan energi (makroekonomi), dan X121 merupakan perbaikan infrastruktur, khususnya jalan, jembatan, listrik, transportasi, air bersih, dll. Kebijakan support (dukungan) terpenting yang dibutuhkan oleh UM adalah X232 merupakan dukungan partisipasi modal atau bebas bunga (ZISWAF/donor); X211 merupakan pinjaman/pembiayaan lunak untuk modal kerja (pemerintah pusat); dan X231 merupakan program dana bergulir (ZISWAF/donor). Kebijakan business characteristics (karakteristik usaha) terpenting yang dibutuhkan oleh UM adalah Y261 yang merupakan kestabilan harga, terutama
77
kebutuhan dasar, bahan baku, dan energi (cost of business); Y262 merupakan perbaikan infrastruktur, terutama jalan, jembatan, listrik, transportasi, air bersih, dll. (cost of business); dan Y281 merupakan lokasi usaha yang strategis (lokasi). Kebijakan resources (sumber daya) terpenting yang dibutuhkan oleh UM adalah Y461 yang merupakan ketersediaan bahan baku dengan harga terjangkau (raw material); Y442 merupakan ketersediaan fasilitas pinjaman/pembiayaan murah (access to finance); Y441 merupakan kemudahan akses pinjaman/pembiayaan (access to finance); dan Y451 merupakan ketersediaan teknologi tepat guna untuk memperbaiki kualitas produk (technology resource).
4.4
Desain Apabila ingin mendesain kenaikan kelas UM, harus terdapat 3 (tiga) grup
komponen, yaitu sebagai berikut 1. persyaratan minimum: lingkungan internal UM, eksternal, dan dukungan; 2. faktor internal yang diperlukan (necessary): internal UM; dan 3. faktor eksternal yang diperlukan (necessary): kebijakan yang mendukung. Pertama, internal UM harus mengembangkan SOP dan TI serta memahami pasarnya, sedangkan lingkungan eksternal, seperti kondisi makroekonomi dan infrastruktur
serta
dukungan
keluarga
harus
kondusif
bagi
UM
untuk
menumbuhkan usahanya. Kedua, pemilik UM harus seorang yang visioner dan berpendidikan, memiliki jiwa kewirausahaan dan pengalaman usaha, serta ketersediaan tenaga kerja yang memiliki keterampilan (skill). Ketiga, UM harus didukung oleh kebijakan pemerintah, seperti ketersediaan pembiayaan yang murah, keringanan pajak, kestabilan harga, serta bebas/minimum biaya izin dan sertifikasi; ketersediaan bahan baku dan energi murah; serta ketersediaan teknologi tepat guna. Lebih lanjut, dukungan keuangan dari ZISWAF/dana donasi sangat dinantikan.
78
MANAGEMENT Std. Operating Procedure
MANAGEMENT Information Technology
BUSINESS Market
EXTERNAL Infrastructure
EXTERNAL Macroeconomic Cond.
SUPPPORT Family Support
OWNER Visionery
OWNER Business Experience
OWNER Entrepreneurship
RESOURCES Skilled Human Resource
SUPPORT Government-Donor
BUSINESS Affordable Cost of Bus.
BUSINESS Strategic Location
RESOURCES Easy Access to Finance
RESOURCES Cheap Raw Material
RESOURCES Appropriate Technology
Gambar 57. Desain Kenaikan Kelas UM
79
V. SIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1 Simpulan a. Karakteristik UKM UMK merupakan jenis usaha yang sangat beragam (sebagian besar bergerak di sektor manufaktur, perdagangan-restoran-hotel, dan jasa), yang tidak dapat digeneralisasi, dan yang hendaknya diperlakukan sesuai dengan kondisi masingmasing. Meskipun begitu, UMK (dalam sampel ini) memiliki beberapa fitur yang sama, seperti berikut ini. 1. Sebagian besar pemilik UMK adalah tamatan SMP (39%) dan SMA (22%), sedangkan sebagian besar pemilik UM yang naik kelas adalah tamatan SMP (31%) dan S1 (31%). 2. Sebagian besar UMK bergerak di sektor manufaktur (73%) dan hanya UM yang bergerak di sektor jasa (9%). 3. Sebagian besar UMK tidak memiliki izin usaha formal atau SIUP (85%). Mereka umumnya hanya memiliki izin setempat/lokal (32%) atau tidak memiliki izin sama sekali (27%). Lebih lanjut sebagian besar UM yang telah naik kelas memiliki TDI/TDP (23%). 4. Sebagian besar UMK memulai usahanya dari inisiatif sendiri (pemilik) (80%), terutama UK (96%). 5. Sebagian besar UMK masuk ke sektor usaha karena termotivasi oleh faktor pengangguran (25%), wirausaha (24%), dan prospek pasar (23%), sedangkan UM yang naik kelas (30%) dan UK (33%) lebih termotivasi oleh faktor kewirausahaan. 6. Sebagian besar UMK membuka usahanya di rumah (53%) atau di toko (32%), sedangkan sebagian besar UM yang naik kelas membuka usahanya di toko (56%) atau di rumah (39%). 7. Sebagian besar UMK memiliki kurang dari 10 pekerja (83%), terutama UM yang naik kelas (94%), dan mereka memiliki tenaga kerja yang seluruhnya terampil (50%), terutama UM (56%). 8. Sebagian besar UMK (49%) memulai usahanya dari modal sendiri dan hanya 25% yang dengan pinjaman/pembiayaan untuk memulai usahanya.
80
9. Sebagian besar UMK menjual produk/jasa-nya kepada konsumen akhir (53%) atau pedagang eceran (30%). 10. Sebagian besar UMK (60%) mengalami kenaikan penjualan, khususnya UM yang naik kelas (75%). 11. Sebagian besar UMK, khususnya UM, kurang memiliki pengalaman usaha. Namun, sebagian besar mereka telah mengikuti pencatatan laporan keuangan yang terstandardisasi (51%). 12. Sebagian besar UMK adalah nasabah bank (93%), baik sebagai deposan maupun debitur (57%), atau hanya sebagai deposan (28%). Lebih lanjut, jasa keuangan yang paling sering digunakan oleh UMK adalah ATM, jasa transfer, dan kartu debit. Sementara itu, UMK memiliki strategi pemasaran yang berbeda. UM memfokuskan diri pada produk, UM yang naik kelas memfokuskan diri pada orang, sedangkan UK memfokuskan diri pada proses. Satu-satunya karakteristik religius yang muncul dalam studi ini adalah sebagian besar pemilik UM secara rutin menghadiri pengajian (60%) dan sebagian dari mereka menyediakan ruang ibadah yang nyaman (22%). Di samping itu, sebagian besar pemilik UMK perempuan lebih menyukai mendapatkan pembiayaan dari lembaga keuangan syariah (67%). Secara keseluruhan UMK dalam sampel merupakan usaha informal yang beroperasi di rumah/toko, bergerak di sektor manufaktur atau perdagangan, mudah untuk masuk dan mudah untuk keluar dengan menggunakan teknologi sederhana; dijalankan oleh tenaga kerja berpendidikan rendah dan kurang berpengalaman, mudah puas dengan apa yang telah diraihnya, atau dijalanlan oleh tenaga terdidik yang memang berkeinginan menjadi wirausahawan; dibiayai dengan menggunakan modal sendiri karena mereka unbankable atau mempersepsikan utang sebagai praktik yang tidak umum digunakan; dan memiliki pengetahuan yang sangat luas (kowledgeable)
atas
produknya
tetapi
mengalami
permasalahan
dalam
mendapatkan pasar. Kondisi makroekonomi yang tidak stabil dan kurangnya dukungan eksternal tidak menghentikan mereka untuk bertahan hidup. Mereka sangat membutuhkan berbagai jenis bantuan, terutama bantuan manajerial, keuangan, teknis, pemasaran, kewirausahaan, kepemimpinan, dan perubahan pola pikir (mindset).
81
b. SEM Hasil SEM menunjukkan bahwa faktor terpenting bagi kenaikan kelas UM adalah management know-how dan business characteristics (langsung), diikuti dengan faktor-faktor external dan support (tidak langsung). Meskipun begitu, faktorfaktor lainnya, seperti kepemilikan usaha (owner of business) dan resources juga harus dipertimbangkan karena merupakan faktor yang diperlukan (necessary). Determinan utama kenaikan kelas UM adalah standard operating procedure dan teknologi informasi (management know-how), pasar (business characteristics), infrastruktur dan kondisi makroekonomi (external), dan dukungan keluarga (support).
Determinan
penting
lainnya
adalah
visionary,
kewirausahaan
(entrepreneurship) dan pengalaman usaha (owner of business) serta sumber daya manusia yang terampil (resources). Temuan ini menunjukkan bahwa sebagian besar UMK di dalam sampel tidak memiliki faktor kunci untuk berhasil dan naik kelas. Sebagian besar UMK tidak memiliki SOP (78%), khususnya UM (84%). Sebagian besar UMK tidak pernah berpartisipasi dalam pelatihan dan workshop pemasaran (83%), khususnya UM (88%). Kebanyakan dari pemilik UMK memiliki tingkat pendidikan yang rendah (73%) adalah tamatan SMA atau di bawahnya), khususnya pemilik UM (78%). Sebagian besar pemilik UM tidak ingin menjadi wirausahawan pada awalnya (76%), terutama pemilik UM (80%). Sebagian besar pemilik UKM tidak memiliki pengalaman usaha, khususnya pemilik UM. Lebih lanjut, lingkungan usaha UMK dalam sampel, seperti kondisi makroekonomi dan infrastruktur, tidak dipertimbangkan sebagai faktor-faktor yang mendukung kenaikan kelas UM. Sebagian besar UMK mengeluh atas meningkatnya harga bahan baku, energi, dan kebutuhan pokok. Infrastruktur seperti jalan, listrik, transportasi, dan air bersih yang masih kurang memadai. Karakteristik yang terkait dengan agama Islam, seperti mayoritas Muslim (external), peningkatan keagamaan (support), kepercayaan (trustworthy) ‘amanah’, dan kejujuran ‘shiddiq’ (owner), pendapatan halal (business), transparansi ‘tabligh’, dan profesional ‘fathanah” (management), serta modal spiritual dan modal sosial (resources) tidak menunjukkan sebagai faktor kunci utama kesuksesan UM naik kelas. Meskipun begitu, semuanya adalah faktor yang diperlukan (necessary) dengan loading factors (>0,50), seperti spiritual uplift (0,52), trustworthy (0.56), dan truthful (0,63). 82
c. SAST Beberapa kebijakan penting yang muncul dalam penelitian ini sejalan dengan hasil SEM, seperti X131 yang merupakan stabilitas harga, khususnya kebutuhan dasar, bahan baku, dan energi (makroekonomi); X121 yang merupakan perbaikan infrastruktur, khususnya jalan, jembatan, listrik, transportasi, air bersih, dll. (Infrastructure); serta Y241 yang merupakan kemudahan akses pasar bagi produk UMK untuk masuk ke mini market, supermarket, atau pasar modern, yang terletak di certain planning region (region 1). Sebagian besar UMK tidak menyadari akan perlunya kebijakan untuk memperbaiki manajemen know-how mereka, khususnya SOP dan TI, serta kualitas pemilik usaha (owner), khususnya dalam pendidikan, pengalaman berusaha, dan visi pasar. Dengan demikian, kebijakan paling penting yang dibutuhkan oleh UMK adalah stabilitas harga dan infrastruktur (external), dukungan modal dan pembiayaan (support), kemudahan dan biaya murah dalam melakukan usaha dan lokasi yang strategis (business characteristics), kemudahan dan biaya rendah dalam mengakses pembiayaan dan bahan baku, serta ketersediaan teknologi yang tepat (resources). Temuan ini mengemukakan bahwa sebagian besar UMK sudah puas dengan kondisi internal mereka sendiri dan tidak menyadari akan perlunya perbaikan internal dalam rangka mempercepat kenaikan kelas usahanya. Di sisi lain, sebagian besar UMK setuju bahwa kondisi eksternal perlu diperbaiki untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif dalam rangka menumbuhkan usaha mereka. Lebih lanjut, beberapa kebijakan terkait karakteristik agama Islam, seperti X261 yang merupakan pelatihan keagamaan, misalnya kepemimpinan spiritual (spiritual leadership) dan pelatihan kewirausahaan (spiritual uplift), Y111 yaitu menghadiri pengajian, seperti halaqah rutin (takwa kepada Allah), Y121 yaitu menghadiri pelatihan kewirausahaan syariah (trustworthy), Y211 yaitu menafikan sertifikasi produk halal UMK (Halal Earning), Y321 merupakan pelatihan rutin mengenai profesionalisme UMK (professionalism atau fathonah), Y311 merupakan pertemuan rutin dengan seluruh stakeholders (transparency atau tabligih), dan Y411 merupakan perbaikan spiritual pekerja melalui kegiatan keagamaan (spiritual capital) bukanlah merupakan kebijakan prioritas dan terletak di problematic planning region (region II). 83
5.2 Rekomendasi Sebagian besar UMK, khususnya UM, tidak memiliki determinan penting untuk kenaikan kelas UM yang seharusnya mereka miliki, seperti standardisasi SOP, pemanfaatan IT, dan visi pasar yang jelas. Mereka memahami produknya, tetapi tidak sepenuhnya memahami pasarnya. Tampaknya, mereka telah puas dengan apa yang telah diraih dan tidak ada kebutuhaan mendesak untuk pengembangan, perbaikan, dan perluasan usahanya. Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah serta lembaga pemerintah terkait lainnya telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi permasalahan-permasalahan itu melalui pendidikan, workshop dan training, bantuan teknis dan manajerial, standardisasi dan sertifikasi, bantuan pemasaran dan jejaring, pinjaman/pembiayaan lunak, dll. Namun, karena jumlah UM begitu besar, hampir mencapai 56 juta UM, hanya sedikit UM yang merasakan dampaknya. Sebagai contoh, Kredit Usaha Rakyat (KUR) diperkirakan mencapai tiga puluh 30 trilliun rupiah pada akhir 2015, dengan kredit limit sebesar Rp25.000.000,00 untuk tiap-tiap UMK. Hal ini berarti KUR akan dibagikan kepada 1,2 juta UMK, atau hanya sebesar 2,1% dari UMK yang akan menikmatinya. Sebagian besar UMK, khususnya UM, tidak memiliki izin usaha resmi. Oleh karena itu, pemerintah harus menyediakan kemudahan dan pelayanan izin usaha yang terintegrasi satu pintu yang bebas biaya (gratis). Izin Usaha Mikro Kecil (IUMK) atau Izin UMK telah dikeluarkan dalam rangka merespons Peraturan Presiden No. 98 Tahun 2014 sehingga UMK dapat mengajukan IUMK kepada kepala desa secara cuma-cuma dengan persyaratan minimal. Dengan IUMK tersebut, UMK dapat memperoleh berbagai manfaat, seperti kepastian atas usaha yang dijalani, akses pembiayaan, bantuan usaha, dan program pemberdayaan. Namun, sampai dengan saat ini, hanya 38 dari 510 kota atau kabupaten yang telah mengeluarkan peraturan yang diperlukan (necessary), yaitu peraturan daerah. Sehubungan dengan itu, pemerintah harus memberikan perhatian lebih (termasuk political will dan dukungan) kepada UMK, seperti mengembangkan SOP untuk berbagai bisnis UM, menyediakan pelatihan bagi UM, workshop dan pembiayaan untuk memasang TI, menyediakan berbagai marketing linkage antara UM dan industri atau pengguna. Di samping itu, yang lebih penting lagi adanya
84
dukungan secara kontinu untuk mengubah pola pikir (mindset) UMK untuk terus maju dengan inovasi dan perubahan. Lingkungan eksternal, seperti stabilitas harga dan infrastruktur, tidak memberikan keuntungan bagi UMK untuk mengembangkan usahanya. Oleh karena itu, inflasi yang stabil dan rendah serta percepatan pembangunan infrastruktur harus menjadi prioritas utama pemerintah. Sebagian besar pemilik UMK, khususnya UM, memiliki tingkat pendidikan yang rendah (SMP) dan kurang memiliki pengalaman kerja dan usaha, sementara menurut Reeg (2013), wirausahawan harus memiliki pendidikan dan pengalaman kerja yang berkualitas. Oleh karena itu, pemerintah harus mendukung perbaikan pendidikan dan pengalaman usaha bagi UMK, seperti perbaikan kualitas SMK dan sekolah politeknik, pendirian lebih banyak lagi BLK, penyediaan fasilitas bagi UM agar dapat berpartisipasi dalam expo, workshop, konferensi, studi komparatif, workshop motivasional, dll. UMK sangatlah beragam dan hampir sebagian besar tidak memiliki pola khusus. Oleh karena itu, studi lebih lanjut harus dilakukan untuk tiap subsektor usaha tertentu karena sebagian besar bisnis UMK adalah unik.
DAFTAR PUSTAKA
85
Abdullah, M.A. dan Hoetoro, A. (2011). “Social Entrepreneurship as an Instrument to Empowering Small and Medium Enterprises: An Islamic Perspective”. Dalam International Journal Management Business, Vol. 1, No. 1. Adizes, I. (1979). “Organizational Passages: Diagnosing and Treating Life Cycle Problems in Organizations”. Dalam Organizational Dynamics, Vol. 8, hal. 3– 25. Ahmad, M., dkk. (2012) “New Determination of Factors Affecting the Growth of Small And Medium Sized Enterprises In Pakistan”. Dalam International Journal of Business and Management, Vol. 4, No. 6. Al-Ghazali. (1989). Minhajul ‘Abidin ‘ila Jannati Rabbil ‘Aalamiin. Beirut: Mu’asisah Ar-Risalah. Ascarya and Yulizar, D.S. (2007). “Redefine Micro, Small, and Medium Enterprises Classification and the Potency of Baitul Maal wa Tamwiel as Intermediary Institutions in Indonesia”. Paper, presented in UBD-IRTI International Conference on Inclusive Islamic Financial Sector Development: Enhancing Islamic Financial Services for Micro and Medium Sized Enterprises (MMEs). Azis, A. dan Rusland, A.H. (2009). “Peranan Bank Indonesia di dalam Mendukung Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah”. Dalam Seri Kebanksentralan No. 21. Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK BI). Benzing, C., dkk. (2009). “Entrepreneurs in Turkey: A Factor Analysis of Motivations, Success Factors and Problems”. Dalam Journal of Small Business Management, Vol. 47. No. 1. Bigio, A.G. (2000). “Social Funds and Reaching the Poor: Experiences and Future Directions”. Dalam Proceedings from an International Workshop. The World Bank and Africatip La Red Social de América Latina y el Caribe NGO-WB Committee. Washington, D.C. BIS (2013). SMEs: “The Key Enablers of Business Success and the Economic Rationale for Government Intervention”. Dalam BIS Analysis Paper Number 2. Departement for Business Innovation & Skills. Brink, A., Michael, C., and Andre, L. (2003). “Problems Experienced by Small Businesses in South Africa”. Dalam Paper, presented in 16th Annual Conference of Small Enterprise Association of Australia and New Zealand. Australia: University of Ballarat. Chittithaworn, C., dkk. (2011). “Factors Affecting Business Success of Small & Medium Enterprises (SMEs) in Thailand”. Dalam Asian Social Science, Vol. 7, No. 5. Churchill, N.C. and Lewis. V.L. (1983). “The Five Stages of Small Business Growth”. Dalam Harvard Business Review, Vol. 61, Mei–Juni, hal.30–50. Churchman, C.W. (1971). “The Design of Inquiring Systems, Basic Books. In Mitroff, I.I, Emshoff, J.R. and Kilmann, R.H. (Eds.). Assumption Analysis: A Methodology for Strategic Problem Solving”. Dalam Management Science, Vol. 25, No. 6, hal. 583–593 Cooney, T. dkk. (2011). “Muslim Entrepreneurship in Ireland”. Dalam Report. Dublin Institute of Technology. Daily, C. M. dkk. (2002). “Governance and Strategic Leadership in Entrepreneurial Firms”. Dalam Journal of Management, Vol. 28, No. 3. 86
DCED. (2013). “The Donor Committee for Enterprise Development: Current Debates on Small Enterprises and Development Agency Support”. Dalam Private Sector Development Synthesis Note: Small Enterprises. Department Perbankan Syariah Bank Indonesia. (2006). Pilot Project, Bank Indonesia Linkage Program bagi Lembaga Keuangan Syariah. Easton, A.C. (1988). “An Experimental Investigation of Automated Versus Maual Support for Stakeholder Identification and Assumption Surfacing in Small Groups”. Dissertation, University of Arizona. Faizal, P.R.M., dkk. (2013). “The Entrepreneurs Characteristic from al-Quran and alHadis”. Dalam International Journal of Trade, Economics and Finance, Vol. 4, No. 4, hal. 191–196. Farooqi, A.H. (2006). “Islamic Social Capital and Networking”. Dalam Humanomics, Vol. 22 Issue 2. Fehlinger, G, and Tanja El-Nemr. (2010). “The European Social Fund and Entrepreneurship”. Background Report. Bernard Brunhes International. Flood, R. L. & Jackson, M. C. (1991). “Creative Problem Solving: Total Systems Intervention. In Easton, A.C. (Eds). An Experimental Investigation of Automated Versus Manual Support for Stakeholder Identification and Assumption Surfacing in Small Groups”. Dissertation, University of Arizona. Garoma, B.F. (2012). “Determinants of Microenterprise Success in the Urban Informal Sector of Addis Ababa: A Multidimensional Analysis”. Erasmus University Rotterdam. Ghosh, B.C. and Wayne, K. (1999). “An Analysis of Key Success Factors of SMEs: A Comparative Study of Singapore/Malaysia and Australia/New Zealand.” Gibson, T. and Vaart, H.J. (2008). “Defining SMEs: A Less Imperfect Way of Defining Small and Medium Enterprises in Developing Countries”. The Brookings Institute, Global Economy and Development. Greiner, L.E. (1972). “Evolution and Revolution as Organizations Grow”. Dalam Harvard Business Review, Vol.50, No.4 Juli–Agustus, hal.37–46. Hampel-Milagrosa, A. (2014). Micro and Small Enterprise Upgrading in the Philippines: The Role of the Entrepreneur, Enterprise, Networks and Business Environment. Bonn: Deutsches Institut für Entwicklungspolitik (German Development Institute). Haryadi, D., Erna, E.C., dan Maspiyati. (1998). Tahap Perkembangan Usaha Kecil: Dinamaika dan Peta Potensi Pertumbuhan. Bandung: Yayasan Akatiga. Hashemi, S.M. and Montesquiou, A. (2011). “Reaching the Poorest: Lessons from the Graduation Model”. Focus Note 69. Washington, D.C., CGAP, March. Hassan, M.K. and Hippler, W.J. (2014). Entrepreneur and Islam: An Overview. Ecom Journal Watch, Vol. 11, No. 2, hal. 170–178. Hendrawan. (2009). Spiritual Management, From Personal Enlightment Towards God Corporate Governance. Bandung: Mizan. Hoque, N,, Abdullahil, M., and Abdullah, M.A.M. (2014). “Dynamics and Traits of Entrepreneurship: An Islamic Approach”. Dalam World Journal of Entrepreneurship, Management and Sustainable Development, Vol. 10. No. 2.
87
Hoque, N., dkk. (2014). “Dynamics and Traits of Entrepreneurship: an Islamic Approach”. Dalam World Journal of Entrepreneurship, Management and Sustainable Development, Vol. 10 Iss. 2, hal. 128–142. Humphrey, J. and Schmitz, H. (2000). “Governance and Upgrading: Linking Industrial Cluster and Global Value Chain Research, Brighton, University of Sussex: Institute of Development Studies”. The Institute of Development Studies (IDS) Working Paper 120. Jasra, J.M., dkk. (2011). “Determinants Of Business Success Of Small And Medium Enterprises”. Dalam International Journal of Business and Social Science, Vol.2 No. 20. Joreskog, K. (1973). “A General Method for Estimating a Linear Structural Equation System”. In AS Goldberger & OD Duncan (Ed.), Structural Equation Models in the Social Sciences. New York: Seminar Press. Kayed, R.N. (2006). “Islamic Entrepreneurship: a Case Study of the Kingdom of Saudi Arabia”. Thesis. Masey University, New Zealand. Kayed, R.N. and Hassan, M.K. (2015). “Development of Entrepreneurship Through Islamic Finance”. 7th IFSB Public Lecture on Financial Policy and Stability. Jakarta. Kazanjian, R.K. and Drazin, R. (1989). “An Empirical Test of a Stage of Growth Progression Model”. Dalam Management Science, Vol. 35, No. 12, hal. 1489– 1503. Keesling, J. W. (1973). “Maximum Likelihood Approaches to Causal Flow Analysis”. Dissertation, University of Chicago. Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia. (2010). Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah No. 1 Tahun 2010 tentang Rencana Strategis Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, Jakarta. Khalique, M., Nick, B., and Jamal, A.N. (2015). “Intellectual Capital in Small and Medium Enterprises in Pakistan”. Dalam Journal of Intellectual Capital, Vol. 16 No. 1. Kushnir, Khrystyna. (2010). “How Do Economies Define Micro, Small and Medium Enterprises (MSMEs)?” Companion Note for the MSME Country Indicators. IFC and the World Bank. Kushnir, Khrystyna, Mirmulstein, M.L. and Ramalho, R. (2010). “Micro, Small, and Medium Enterprises around the World: How Many Are There, and What Affects the Count?” The MSME Country Indicators Note. IFC and the World Bank. Lester, D.L., dkk. (2003). “Organizational Life Cycle: A Five Stage Empirical Scale”. Dalam International Journal of Organizational Analysis, Vol. 11, No. 4, hal. 339–354. Loewe, M. dkk. (2013). Which Factors Determine the Upgrading of Small and MediumSized Enterprises (MSEs)?: The Case of Egypt. Bonn: Deutsches Institut für Entwicklungspolitik (German Development Institute). Martini, Maira. (2013). “Reducing bureaucracy and corruption affecting small and medium enterprises”. Transparancy International. McKnight, D.H. and Chervany, N.L. (1996). “The Meanings of Trust”. University of Minnesota: Carlson School of Management 88
McPherson, M.A. (1996). “Growth of Micro and Small Enterprises in Southern Africa’. Dalam Journal of Development Economics, Vol. 48, hal. 253–277. Mead, D.C. and Liedholm, C. (1998). “The Dynamaic of Micro and Small Enterproses in Developing Countries”. Dalam Development, Vol. 26, No. 1, hal. 61--74. Mitroff, I.I, and Emshoff, J.R. (1979). “On Strategic Assumption-Making: A Dialectical Approach to Policy and Planning”. Dalam The Academy of Management Review, Vol. 4, No. 1, hal. 1–12. _______. (1981). “Challenging Strategic Planning Assumptions: Theory, Cases and Techniques. In Easton, A.C. (Eds). An Experimental Investigation of Automated Versus Manual Support for Stakeholder Identification and Assumption Surfacing in Small Groups”. Dissertation, University of Arizona. _______. (1982). “Business Policy and Metaphysics: Some Philosophical Considerations”. Dalam The Academy of Management Review, Vol. 7, No. 3, hal. 361–371. Mitroff, I.I., Emshoff, J.R., and Kilmann, R.H. (1979). “Assumption Analysis: A Methodology for Strategic Problem Solving”. Dalam Management Science, Vol. 25, No. 6, hal. 583–593. Muhammad, M.Z., dkk. (2008). “An Analysis of Islamic Ethics in Small and Medium Enterprises (SMEs)”. Dalam Unitar E-Journal, Vol. 4, No. 1. Munizu, M. (2010). “Pengaruh Faktor-Faktor Eksternal dan Internal terhadap Kinerja Usaha Mikro dan Kecil (UMK) di Sulawesi Selatan”. Dalam Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan, Vol. 12, No. 1. Munizu, M. (2013). “Strategi Peningkatan Kinerja dan Peran Usaha Kecil dan Menengah (UKM) Pengolah Produk Berbasis Pangan di Kota Makassar”. Murphy, P.J. and Coombes, S.M. (2008). “A Model of Social Entrepreneurial Discovery”. Dalam Journal of Business Ethics, Vol. 87, hal. 325–336. Olawale, F. and Garwe, D. (2010). “Obstacles to the Growth of New SMEs in South Africa: A Principal Component Analysis Approach”. Dalam African Journal of Business Management, Vol. 4(5). Oukil, M.S. (2013). “Entrepreneurship and Entrepreneurs in an Islamic Context”. Dalam Journal of Islamic and Human Advanced Research, Vol. 3, Issue 3, hal. 111–131. Papzan, A. dkk. (2008). “Determining Factors Influencing Rural Entrepreneurs’ Success: A Case Study of Mahidasht Township in Kermanshah Province of Iran”. Dalam African Journal of Agricultural Research, Vol. 3. No. 9. Pereneyi, A., Selvarajah, C., and Muthaly, S. (2011). “Investigating the Firm LifeCycle Theory on Australian SMEs in the ICT Sector”. Dalam Journal of Asia Entrepreneurship and Sustainability, Vol. 7, No. 2, hal. 13–41. Pillay, M.K. (2006). The Internal and External Environtment for Small Business Growth in Pietermaritzburg. Pietermaritzburg: University of Kwazulu-Natal. Quinn. R.E., and Cameron, K. (1983). “Organizational Life Cycles and Shifting Criteria of Effectiveness: Some Preliminary Evidence”. Dalam Management Science, Vol. 29, No. 1, hal. 33–51. Rafiki, Ahmad, dkk. (2014). “Islamic Human Capital and Firm Performance: An Evidence of Small and Medium Enterprises in Bahrain”. Dalam International Journal of Business and Management, Vol. 9, No. 4. 89
Reeg, C. (2013a). Micro, Small and Medium Enterprise Upgrading in India: Learning form Success Cases. Bonn: Deutsches Institut für Entwicklungspolitik (German Development Institute). ______. (2013b). “Micro, Small and Medium Enterprise Upgrading in Low and Middle Income Countries: A Literature Review”. Discussion Paper 15/2013. Bonn: Deutsches Institut für Entwicklungspolitik (German Development Institute). Republik Indonesia. (2008) Undang-Undang No. 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Jakarta. Roomi, M.A. (2006). “Entrepreneurial Capital, Social Values and Islamic Traditions: Growth of Women-Owned Enterprises in Pakistan”. Rose, R.C., Naresh, K., and Lim L.Y. (2006). “Entrepreneurs Success Factors and Escalation of Small and Medium-sized Enterprises in Malaysia”. Dalam Journal of Social Sciences, Vol. 2, No. 3. Scott, M. and Bruce, R. (1987). “Five Stage of Growth in Small Business”. Dalam Long Range Planning, Vol. 20, No. 3, hal. 45--52. Sefiani, Y. and Robin, B. (2013). “What Influences the Success of Manufacturing SMEs? A Perspective from Tangier”. Dalam International Journal of Business and Social Science, Vol. 4 No. 7. Soini, E. and Veseli, L. (2011). Factors Influencing SMEs Growth in Kosovo. International Business Management. Kosovo: Turku University of Applied Sciences. Stefanovic, I., Sloboda, P., and Ljubodrag, R. (2010). “Motivational and Success Factors of Entrepreneurs: the Evidence from A Developing Country”. Dalam Zb. rad. Ekon. fak. Rij. Vol. 28, Sv. 2. Stefanovic, I., Damnjanovic, P. and Jasko, O. (2010). “The Analysis of Contemporary Environment Impact Upon Organizational Operations”. Dalam Serbian Journal of Management, Vol. 5, No. 1. Tahir, P.R., Mohamad, M.R., and Diya’uddeen, B.H. (2011). “A Short Review of Factors Leading to Success of Small Medium Enterprises”. Dalam Interdisciplinary Journal of Contemporary Research In Business, Vol. 2, No. 11. Temitope, A.E., dkk. (2013). “Determinants of Small and Medium Enterprises (SMEs) Performance in Ekiti State, Nigeria: A Business Survey Approach. Dalam European Journal of Humanities and Social Science. Vol. 27, No. 1. UNIDO and UNODC. (2007). Corruption Prevention to Foster Small and MediumSized Enterprise Development: Providing Anti-Corruption Assistance to Small Businesses in the Developing World, Vol. 1. Vargas-Hernandez, J.G., Noruzi, M.R. and Narges, S. (2010). “An Exploration of the Affects of Islamic Culture on Entrepreneurial Behaviors in Muslim Countries”. Dalam Asian Social Science, Vol. 6, No. 5, hal. 120–127. _______. (2012). “A Literature Review on the Effect of Islam on Entrepreneurship in Muslim Countries: Focus on Iran. Dalam Global Journal of Human Social Science, Vol. 12, Issue 2, Version I. Wiley, D. (1973). “The Identification Problem for Structural Equation Models with Unmeasured Variables”. In A. Goldberger & O. Duncan (Eds.), Structural Equation Models in the Social Sciences (hal. 69–84). New York: Seminar Press.
90
Zadjuli, S.I. (2015). “Era Syariah adalah Tuntunan Rasulallah”. Lembaga Keuangan Mikro Syariah. Diakses pada 21 April 2015. www.tamzis.com Zain, M.A. (2014). “Menyongsong Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 dengan Berhijrah pada Syariah Kaffah Menuju Terwujudnya Baldatun Thoyyibatun wa Rabbun Ghafur”.
LAMPIRAN 1
Tabel 1. Literature Summary on Determinants the Model of Micro Enterprises Graduation 91
DEFINISI
VARIABEL
REFERENSI
EKSTERNAL-ENVIRONMENT 1. RegulasiKebijakan
A legal norm intended to create enabling environment for MSMEs to thrive, supported by an enabling policies and issued by the government. Reeg (2013a p.35); Loewe (2013 p.34); Stefanovic, dkk. (2010 p.103); Olawale and Garwe (2010 p.732); Temitope (2013 p.1403); Soini and Veseli (2011 p.52); Pillay (2006 p.42);
2. Infrastruktur
Access to public infrastructure such as water, electricity, serviceable roads, telecommunication, telephones, ect. which are all crucial for business start-up, development and growth. Reeg (2013a p.34); Sefiani and Bown (2013 p.304); Olawale and Garwe (2010 p.732); Ahmad, dkk. (2012 p.521); Temitope (2013 p.1403)
3. Makroekonomi
Economic factors that influence the MSMEs, such as a stable inflation rate, stable growth and healthy public and private balance sheets. Reeg (2013a p.32); Loewe (2013 p.34); Ahmad, dkk (2012 p.520); CGAP (2011 p.11); Brink (2003 p.3);
4. MuslimMajority
Entrepreneur in Muslim-majority countries and in Muslim communities has a great propensity for thrive through a good response of Muslim communities, they often express a stronger sense of belonging than other citizens. Oukil (2013 p.2); Cooney, dkk. (2011, 6)
5. Korupsi
Spiritual or moral impurity, abuse or deviation which is conducted for his/her/their personal gain, such as bribery, embezzlement, dishonest, fraudulent conducts and for most entrepreneurs in the upgrader paying extra-money for a service at a licensing department or an import clearance office. Reeg (2013a p.171); Loewe (2013 p.36); Olawale and Garwe (2010 p.732); UNIDO and UNODC (2007 p.10); Soini and Veseli (2011 p.51); Brink (2003 p.3);
6. Kriminalitas
Actions in business environment, at both internal and external, which led to a deliberate violation of rules and regulations to gain abnormal profit, such as monopoly, hoard, fraud, theft and robbery. Olawale and Garwe (2010 p.732); UNIDO & UNODC (2007 p.10); Soini and Veseli (2011 p.51); Pillay (2006 p.42-43); Brink (2003 p.3);
7. Birokrasi
The administrative system, procedure, and measures governing large number of people and made up of many departments and divisions. Excessive bureaucracy imposes a disproportionat bureaucratic burden on small and medium
92
DEFINISI
VARIABEL
REFERENSI size enterprises, creating both incentives and opportunities for bribery and corruption. Ahmad, dkk. (2012 p.521); Papzan, dkk. (2008 p.600);
8. Pajak
A financial charge or other retribution imposed upon an taxpayer (an individual, enterprise or legal entity by a state to fund various public expenditures. Olawale and Garwe (2010 p.732); Pillay (2006 p.69);
DUKUNGAN (SUPPORT) 1. Pemerintah Pusat
Governments (at both national and local levels) can create a legal and regulatory environment that enabling the advancement for Micro and Small Enterprises Development. CGAP (2004 p.2);
2. Pemerintah Setempat
Governments (at both national and local levels) can create a legal and regulatory environment that enabling the Advancement for Small and Micro enterprises Development. CGAP (2004 p.2);
3. Bantuan Sosial
ZISWAF/social and/or donor is devoted to developing capital and providing financing for micro enterprises and it helps them make workforce and companies better equipped to face market challenges. Fehlinger and El-Nemr (2010, p.4)
4. Bantuan Teknis
Education of basic knowledge of technical to help the enterprises solve specific problems with technical problem by providing assistance to using the technology products such as computers, other electronic or mechanical goods. DPbS (2006 p.8);
5. Bantuan Manajerial
Education of basic knowledge of managerial to help the enterprises solve specific problems with managerial problem by providing training or other managerial support services. DPbS (2006 p.7); Soini and Veseli (2011 p.15)
6. Spiritual Uplift
Education of basic knowledge of spiritual by providing spiritual activities (kajian), muhasabah night (mabit), halaqah, spiritual training or other spiritual activities. DPbS (2006 p.3); Khalique, dkk. (2015 p.226); Oukil (2013 p.4);
7. Dukungan Keluarga
The support of families with another member of family by giving motivation, guidance, and assistance to provide resources in developing micro businesses, include unpaid and informal support by neighbors and friends. Roomi (2006 p.15-17); Benzing, dkk. (2009 p.61); Rose (2006 p.75) 93
DEFINISI
VARIABEL
REFERENSI
PEMILK – USAHA (OWNER-BUSINESS) 1. Kepatuhan pada A spiritual state which saves people from committing sins and Allah (Fear of considers fear of God as one of its results. God) Faizal, dkk. (2013 p.192); Hoque (2014 p.138); 2. Kepercayaan (Trustworthy amanah)
The moral responsibility of fulfilling one's obligations due to Allah. He blesses business dealings if both the buyer and the seller are true to each other. Hoque (2014 p.137); Faizal , dkk (2013 p.193); Roomi (2006 p.15-17);
3. Kejujuran (Truthful shiddiq)
The moral character such as integrity, truthfulness, and straightforwardness, including straightforwardness of conduct, along with the absence of lying, cheating, and theft. Hoque (2014 p.136); Roomi (2006 p.15-17); Faizal (2013 p.193);
4. Visionary
A dynamic open-minded person with a very keen perception, vision drives an entrepreneur to put the original idea into practice. Ghosh and Kwan (1999 p.9); BIS (2013 p.16); Hoque (2014 p.1); Olawale and Garwe (2010 p.731); Daily, dkk. (2002); Benzing, dkk (2009 p.61); Pillay (2006 p.36);
5. Kewirausahan (Entrepreneurship)
Sets of knowledge, skills, personality, responsibilities, attitudes and behavior that contribute to organize and operate a business. Jasra, dkk. (2011 p.278); Benzing, dkk. 2009 p.61); Chittithaworn, dkk. (2011 p.182); Tahir, dkk. (2011); Temitope (2013 p.1404); Soini and Veseli (2011 p.15);
6. Kepemimpinan (Leadership)
Sets of knowledge, skills, personality, responsibilities, attitudes and behavior that motivating and organizing a group of people to achieve a common goal. Stefanovic, dkk (2010b p.262);
7. Pengalaman Kerja
Any experience that a person gains while working in a specific field or occupation, then gives the specific knowledge which help in developing successful strategies leading to higher growth rates. Garoma (2012); Loewe (2013 p.24); Reeg (2013a p.21); Reeg (2013b); Rafiki (2014 p.176); Pillay (2006 p.32);
KARAKTERISTIK USAHA (BUSINESS-CHARACTERISTICS) 1. Halal Earning
A Muslim entrepreneur must be determined to earn only through halal (legitimate) means. Riba (usury or interest), gharar (excessive uncertainty), maysir (game of chance or speculation), batil (fasid, defective), dan dharar (hazard) should be prohibited in its many forms 94
DEFINISI
VARIABEL
REFERENSI Hoque (2014); Faizal, dkk. (2013 p.193); Oukil (2013 p.5);
2. Produk
Any good, merchandise, or commodities with quality, value and suitability to the market needs that can be offered to a market that might satisfy a want or need Chittithaworn, dkk. (2011 p.182); Ghosh and Kwan (1999 p.8-9); Brink (2003 p.5);
3. Jasa
Any services with quality, value and suitability to the market needs that can be offered to a market that might satisfy a want or need. Chittithaworn, dkk. (2011 p.182); Ghosh and Kwan (1999 p.8-9); Brink (2003 p.5);
4. Pasar
Overall market potential, i.e. the size of the market, consumer demand and ease to get. Ghosh and Kwan (1999 p.8-9); Olawale and Garwe (2010 p.731);
5. Konsumen
Overall customer potential, i.e.loyalty, satisfaction and good relationships Hoque (2014 p.133); Brink (2003 p.4);
6. Biaya Usaha
The cost control which are related to the operation of a business, or to the operation of a device, component, piece of equipment or facility. Olawale and Garwe (2010 p.731);
7. Daya Saing
Healthy competition among sellers trying to achieve such goals as increasing profits, market share, and sales volume. Loewe (2013 p.35); Reeg (2013a p.82); Sefiani and Bown (2013 p.305); Soini and Vaseli (2011 p.19);
8. Lokasi
The location of business must be accessible to the customer base and should be built to ensure efficient accessibility for future clients. Garoma (2012 p.114); Reeg (2013a p.92); Loewe (2013 p.69); Soini and Veseli (2011 p.19); Olawale and Garwe (2010 p.731);
MANAGEMENT-KNOW HOW 1. Transparansi (tabligh)
MSMEs should be transparent in their operations to the general public. Khalique, dkk. (2015 p.226); Zain (2014 p.63);
2. Profesionalisme MSMEs should be professional in their operations to the (fathonah) general public. Zain (2014 p.63); Khalique, dkk. (2015 p.226);
95
DEFINISI
VARIABEL 3. Std. Op. Procedure
REFERENSI A specific procedure to business operation that describes the activities necessary to complete tasks in accordance with industry regulations or even just his/her/their own standards for running the business. Zain (2014 p.72); Khalique, dkk. (2015 p.226);
4. Std. Op. Mgt.
Management system standards that describes the operating of management system in accordance with industry regulations or even just his/her/their own standards for running the business. Chittithaworn, dkk. (2011 p.182); Zain (2014 p.72);
5. Teknologi Informasi
Smart use of information technologies in the context of a business or enterprise, the application of computers and telecommunications equipment to store, retrieve, transmit data. Jasra, dkk.. (2011 p.278); Olawale and Garwe (2010 p.731); Temitope (2013 p.1404);
6. Inovasi
The process of translating an idea or invention (some improvement, development and reform of production process) into a good or service that creates value. Soini and Veseli (2011 p.17); Hoque (2014 p.134); Pillay (2006 p.37);
7. Jejaring
Creating a group of acquaintances and associates as well as keeping it active through regular communication for mutual benefit in business. Loewe (2013 p.24); Reeg (2013a p.29); Reeg (2013b p.36); Ghosh and Kwan (1999 p.9); Olawale and Garwe (2010 p.731);
SUMBER DAYA – PEMBIAYAAN (RESOURCES-FIN) 1. Modal Spiritual
The Islamic spirit and spiritual strongholds in the workplace that have a measurable impact on individuals, communities and societies behaviour. Khalique, dkk. (2015 p.226); Hendrawan (2009 p.101)
2. SDM Terdidik
An educated and skilled individuals who make up the workforce of an organization, business sector, or economy. Loewe (2013 p.134); Benzing, dkk. (2009 p.61); Ghosh and Kwan (1999 p.9);
3. Modal Sendiri
Enterprise that generates its growth capital from its own income or self funded. Garoma (2012 p.117);
4. Akses Pembiayaan
The ability of individuals or enterprises to obtain financial services, including credit, deposit, and other payment service.
96
DEFINISI
VARIABEL
REFERENSI Loewe (2013 p.154); Reeg (2013a p.37); Reeg (2013b); Sefiani and Bown (2013 p.302); Olawale and Garwe (2010 p.731); Ghosh and Kwan (1999 p.9); Ahmad, dkk.(2012); Soini and Veseli (2011 p.49); Pillay (2006 p.35);
5. Sumber Daya Teknologi
Hand tools, electronic machines, or every technological system that provide savings on energy and labor that result in better quality products at lower costs.. Ghosh and Kwan (1999 p.9); Temitope (2013 p.1404); Soini and Veseli (2011 p.17); Brink (2003 p.3);
6. Bahan Baku
Natural resources found in nature (at both renewable and nonrenewable raw materials), include water, land, trees, oil, coal, and so on. Temitope (2013 p.1404);
7. Modal Sosial
A component of community's goodwill and trust acquired by an individual or organization over the years, through its understanding and addressing of the concerns and priorities of the citizens. Garoma (2012 p.177); Loewe (2013 p.24); Farooqi (2006 p.113); Reeg (2013 a p.31); Milagrosa (2014 p.22); Loewe (2013 p.24)
NAIK KELAS (GRADUATION) 1. Kenaikaan Penjualan
Growth in enterprise's annual sales. When annual sales increase passes certain threshold, Micro Entreprise graduate to Small Enterprise. Kayed (2006); Garoma (2012 p.25); Munizu (2010 p.35); Ascarya and Sanrego (2007 p.11);
2. Kenaikan WCap
Growth in enterprise's working capital. When working capital increase passes certain threshold, Micro Entreprise graduate to Small Enterprise. Kayed (2006); Munizu (2010 p.35); Ascarya and Sanrego (2007 p.11);
3. Kenaikan Tenaga Kerja
Growth in enterprise's number of employee. When number of employee passes certain threshold, Micro Entreprise graduate to Small Enterprise. Mead and Liedholm (1998); Garoma (2012 p.25); Temitope (2013 p.1405); Munizu (2010 p.35); Soini and Veseli (2011 p.15);
4. Ekspansi Pasar Increase in enterprise’s market size. When market size increase passes certain threshold, Micro Entreprise graduate to Small Enterprise. Munizu (2010 p.35); Ascarya and Sanrego (2007 p.11); Soini and Veseli (2011 p.15);
97
VARIABEL 5. Kenaikan Keuntungan
DEFINISI REFERENSI Growth in enterprise's profit. When profit increase passes certain threshold, Micro Entreprise graduate to Small Enterprise. McPherson (1996); Garoma (2012 p.25); Temitope (2013 p.1405); Munizu (2010 p.35); Soini and Veseli (2011 p.15);
6. Kenaikan batas pembiayaan
Increase in enterprise’s credit/financing limit. When bank increases credit/financing limit of an enterprise to certain level, Micro Entreprise graduate to Small Enterprise. Bank Indonesia Regulation
98
LAMPIRAN 2 Uji Univariate Normality untuk Continuous Variables Skewness Variable Z-Score P-Value EXT1 EXT2 EXT3 EXT4 EXT5 EXT6 EXT7 EXT8 SUPP1 SUPP2 SUPP3 SUPP4 SUPP5 SUPP6 SUPP7 OWN1 OWN2 OWN3 OWN4 OWN5 OWN6 OWN7 BUSS1 BUSS2 BUSS3 BUSS4 BUSS5 BUSS6 BUSS7 BUSS8 MNG1 MNG2 MNG3 MNG4 MNG5 MNG6 MNG7 MNG8 RES1 RES2 RES3 RES4 RES5 RES6 RES7 GRA1 GRA2 GRA3 GRA4 GRA5 GRA6
-0.917 -0.922 0.063 0.820 -0.891 -0.751 -0.755 -1.267 -0.554 -0.822 0.192 -0.203 -0.744 -0.742 -1.402 0.471 2.380 5.125 1.588 0.920 0.731 2.061 -0.853 0.035 -0.387 -0.507 1.712 -0.807 -1.394 -0.100 -0.921 1.584 -0.847 -1.357 -1.211 -0.347 0.409 0.392 -0.344 -0.102 -0.369 -0.811 -0.816 -0.709 -0.726 -0.740 -0.774 -0.621 -0.334 -1.192 -1.167
0.359 0.356 0.950 0.412 0.373 0.453 0.450 0.205 0.579 0.411 0.847 0.839 0.457 0.458 0.161 0.637 0.017 0.000 0.112 0.358 0.465 0.039 0.394 0.972 0.698 0.612 0.087 0.420 0.163 0.920 0.357 0.113 0.397 0.175 0.226 0.728 0.682 0.695 0.731 0.919 0.712 0.417 0.415 0.478 0.468 0.460 0.439 0.534 0.739 0.233 0.243
Kurtosis Z-Score P-Value 0.548 1.190 -0.644 2.117 -0.558 0.833 1.295 1.625 -0.496 0.081 -0.713 -0.840 -0.106 0.580 -1.381 29.224 0.023 0.027 3.169 2.226 3.008 2.725 -0.970 -0.977 0.905 1.189 31.553 1.118 3.685 2.068 0.309 0.489 0.196 1.461 -0.661 2.207 1.631 2.373 -0.196 2.220 -0.205 0.399 2.377 0.226 3.787 0.716 1.569 -0.289 2.299 1.965 0.931
0.584 0.234 0.520 0.034 0.577 0.405 0.195 0.104 0.620 0.935 0.476 0.401 0.916 0.562 0.167 0.000 0.981 0.978 0.002 0.026 0.003 0.006 0.332 0.329 0.366 0.235 0.000 0.263 0.000 0.039 0.758 0.625 0.844 0.144 0.508 0.027 0.103 0.018 0.845 0.026 0.837 0.690 0.017 0.821 0.000 0.474 0.117 0.773 0.022 0.049 0.352
Skewness and Kurtosis Chi-Square P-Value 1.140 2.266 0.419 5.154 1.106 1.257 2.248 4.246 0.553 0.682 0.545 0.748 0.564 0.887 3.874 854.240 5.664 26.261 12.564 5.802 9.584 11.672 1.668 0.956 0.968 1.670 998.535 1.902 15.524 4.288 0.943 2.749 0.756 3.978 1.904 4.990 2.828 5.786 0.157 4.937 0.179 0.817 6.318 0.553 14.868 1.060 3.062 0.470 5.394 5.282 2.228
0.565 0.322 0.811 0.076 0.575 0.533 0.325 0.120 0.758 0.711 0.761 0.688 0.754 0.642 0.144 0.000 0.059 0.000 0.002 0.055 0.008 0.003 0.434 0.620 0.616 0.434 0.000 0.386 0.000 0.117 0.624 0.253 0.685 0.137 0.386 0.082 0.243 0.055 0.925 0.085 0.915 0.665 0.042 0.758 0.001 0.589 0.216 0.791 0.067 0.071 0.328
99
LAMPIRAN 3 Berbagai upaya yang telah dilakukan oleh Kementerian Koperasi dan UKM
PENDIDIKAN DAN PELATIHAN; BANTUAN TEKNIS DAN MANAJERIAL Realisasi Deputi Bidang Pengembangan SDM (menurut Laptah 2012 Depkop UKM hlm.126) Pendidikan dan Pelatihan Kewirausahaan
Diklat kewirausahaan bagi fasilitator
Pelatihan kewirausahaan bagi calon wirausaha
Pelatihan kewirausahaan bagi kelompok masyarakat
Pelatihan kewirausahaan bagi eks tenaga kerja
Bimbingan Teknis Tempat Praktik Keterampilan Usaha (TPKU) Realisasi Deputi Bidang Pengembangan dan Restrukturisasi Usaha (menurut Laptah 2011 Depkop UKM) Pemberdayaan Lembaga Pengembangan Bisnis (LPB)/Bisnis Development Services-Provider (BDS-P) adalah mitra pemerintah sebagai pendamping dalam mengembangkan usaha KUMKM melalui penyediaan layanan pengembangan bisnis, termasuk manajemen, keuangan, atau kelembagaan KUMKM. a. Bimbingan dan Temu Konsultasi LPB/BDS-P dengan KUKM. Telah melibatkan 100 LPB dan 200 KUMKM di 10 provinsi, yaitu Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Gorontalo, Aceh, Babel, NTB, dan Bali.
100
b. Peningkatan kerja sama kemitraan LPB/BDS-P dengan pemerintah daerah, HIPPMI, perguruan tinggi, Dewan Pengurus Nasional Asosiasi BDS Indonesia dan Asosiasi BDS Indonesia wilayah provinsi c. Bimbingan dan konsultasi peningkatan kompetensi konsultan pendamping LPD/BDS-P d. Insentif bagi konsultan pendamping LPB/BDS-P
PERBAIKAN DAYA SAING MELALUI STANDARDISASI Realisasi Deputi Bidang Pengembangan dan Restrukturisasi Usaha (menurut Laptah 2012 Depkop UKM hlm. 139) Peningkatan Daya Saing UKM melalui: a. Penerapan Sertifikasi Hak Kelayakan Intelektual (HKI) b. Penerapan Kehalalan Produk Realisasi Deputi Bidang Pengembangan dan Restrukturisasi Usaha (menurut Laptah 2011 Depkop UKM) Pendampingan Penerapan Standar Mutu KUMKM a. Pendampingan penerapan standar mutu SNI/ISO, halal dan HKI (hak cipta, merk, paten, rahasia dagang, desain produk, desain tata letak sirkuit terpadu) kepada KUMKM bertujuan meningkatkan pemahaman pentingnya penerapan standar mutu bagi UMKM b. Kegiatan pendampingan dilaksanakan berkoordinasi dengan BSN untuk SNI/ISO, dengan Ditjen HKI untuk penerapan HKI, sedangkan untuk penerapan halal dengan Kementerian Agama, LP-POM MUI, dan B-POM. c. Kegiatan tersebut dilaksanakan secara berkelanjutan setiap tahun, untuk tahun 2011 pendampingan SNI/ISO, HKI dan halal dilaksanakan bagi 500 UMKM. Sebagai tindak lanjut dari pendampingan tersebut dilaksanakan pemberian insentif untuk pendaftaran sertifikat merk dagang bagi 100 UMKM bidang makanan, minuman, dan kerajinan tangan dan insentif pendaftaran sertifikat halal bagi 130 UMKM.
PEMANFAATAN TEKNOLOGI YANG TEPAT GUNA Realisasi Deputi Bidang Produksi (menurut Laptah 2012) Pemanfaatan Teknologi Tepat Guna Dalam Rangka Meningkatkan Produktifitas UMKM Penyusunan Pedoman Teknologi Tepat guna untuk sektor pertanian, holtikultur, peternakan, dan perikanan. Realisasi Deputi Bidang Pemasaran dan Jaringan Usaha (menurut Laptah 2012 Depkop UKM hlm. 121) Pengembangan Promosi Produk UMKM
101
Trading board, salah satu infrastruktur promosi yg dibangun dan dikembangkan Kementrian KUMKM dalam rangka memberikan edukasi kepada KUMKM tentang alternatif media promosi yang efektif dan efisien. Web basis “sell offer dan buy offer” Realisasi Deputi Bidang Pengembangan dan Restrukturisasi Usaha (menurut Laptah 2011 Depkop UKM) Peningkatan Produktivitas KUMKM melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna a. Memfasilitasi bimbingan dan konsultasi penerapan teknologi tepat guna kepada 350 UMKM di 6 provinsi. b. Merealisasikan bantuan peralatan pembangunan demplot percontohan penerapan teknologi tepat guna untuk pengembangan usaha UMKM untuk pengolahan arang tempurung kelapa, sagu, jamur, garam, dan biogas ramah lingkungan Pendampingan pemanfaatan internet untuk e-commerce dan desain produk bagi KUKM sentra (telah dilakukan di Provinsi Sumatera Barat, Bali, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Selatan) Dengan kriteria: a. Pelaku usaha produktif yang memiliki produk siap jual yang berdaya saing. b. Pelaku usaha memiliki kemampuan untuk meningkatkan kemampuan transaksi bisnis UMKM kerajinan dan furnitur sehingga dapat memperluas pasarnya; c. Pelaku usaha memiliki usaha yang berkaitan dengan desain kreatif seperti, kerajinan, kayu, bambu, dan rotan serta usaha kreatif lainnya.
PEMASARAN DAN JEJARING BISNIS Realisasi Deputi Bidang Pemasaran dan Jaringan Usaha (menurut Laptah 2012 Depkop UKM hlm.105) Pengembangan Jaringan Bisnis Ritel Modern (dengan nama UKM Mart) a. Tahap 1: Penataan sarana usaha, telah diberikan bansos 108 toko ritel “UKM Mart” tahun 2011 dan 24 toko tahun 2012. b. Tahap 2: Pelatihan dan pendampingan, telah dilakukan di 7 provinsi. c. Tahap 3: Penguatan jaringan bisnis, memfasilitasi kemitraan UKM Mart dengan distributor, pabrikan, dan Bulog. d. Insentif bagi konsultan pendamping LPB/BDS-P Peningkatan Produktivitas Usaha Mikro melalui Klinik Bisnis Dengan tujuan peningkatan daya saing produk KUMKM, telah dilakukan di 4 provinsi (produk batik cap, kemasan makanan olahan, desain produk fashion dan handicraft corak batik, handicraft kulit kerang, dan makanan olahan rumput laut). Peningkatan Akses Pasar Produk Usaha Mikro melalui Pasar Rakyat
102
a. Pasar Rakyat, dalam rangka membantu ketersediaan akan kebutuhan pokok bersubsidi bagi masyarakat prasejahtera, pasar rakyat, dan pasar murah di 49 titik dalam 20 provinsi b. Pojok rakyat, dalam rangka mendukung pengembangan dan pemberdayaan UMK dengan memfasilitasi kerja sama UMKM dengan retail modern besar, yaitu PT Carrefour. Pengembangan Penataan Pedagang Kaki Lima Dalam rangka penguatan komunitas PKL dalam membangun daya saing pasar Realisasi Lembaga Layanan Pemasaran (LLP-KUKM)-(menurut Laptah 2012 Depkop UKM hlm.181) Pengembangan Produk Berdaya Saing tahun 2012 a. Promosi SME Tower melalui iklan di media massa cetak seperti majalah b. Kerjasama barter promosi c. In house promosi di UKM Gallery d. Kerja sama dengan tour and travel di Jakarta dalam rangka peningkatan kunjungan dengan diskon
RISET DAN PENGEMBANGAN Realisasi Deputi Bidang Pengkajian Sumber Daya UKM (menurut Laptah 2011 Depkop UKM) Pengembangan Komoditas Unggulan Daerah Dengan Pendekatan One Village One Product (OVOP) Jeruk kalamansi, Provinsi Bengkulu; batik tulis, Kabupaten Pacitan Provinsi Jawa Timur; nanas, Kota Prabumulih, Provinsi Sumatera Selatan; bordir, Kota Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat; kopi organik, Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung; kakao, Kota Palopo, Provinsi Sulawesi Selatan; tenun cual, Provinsi Bangka Belitung; bawang goreng, Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah Realisasi Deputi Bidang Pengkajian Sumber Daya UKMK (menurut Laptah 2011 Depkop UKM) Penelitian UKM dalam Mendukung Pengembangan Ekonomi Daerah Rintisan model pengembangan pedagang kaki lima pangan/kuliner.
103