ANALISIS DAYA SAING EKSPOR KOPI INDONESIA DAN TURUNANNYA DI KAWASAN AMERIKA, EROPA, ASIA DAN AUSTRALIA
PANDU PANJI ASHARI
DEPARTEMEN MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Daya Saing Ekspor Kopi Indonesia dan Turunannya di Kawasan Amerika, Eropa, Asia, dan Australia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada Perguruan Tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2015
Pandu Panji Ashari NIM H24110098
ABSTRAK PANDU PANJI ASHARI. Analisis Daya Saing Ekspor Kopi Indonesia dan Turunannya di Kawasan Amerika, Eropa, Asia dan Australia. Dibimbing oleh ABDUL BASITH dan M. SYAEFUDIN ANDRIANTO. Kopi adalah salah satu komoditas ekspor andalan Indonesia. Tingkat persaingan yang semakin tinggi di periode perdagangan bebas menyebabkan Indonesia harus memiliki keunggulan dalam ekspor kopinya. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis daya saing ekspor kopi Indonesia dan menganalisis kawasan ekspor kopi paling potensial bagi Indonesia. Metode yang digunakan adalah Revealed Comparative Advantage, Comparative Export Performance, Revealed Competitive Advantage, regresi linear berganda dan Porter’s Five Forces. Hasil analisis menunjukkan bahwa Indonesia relatif tidak memiliki keunggulan daya saing secara nyata, kawasan yang paling potensial bagi ekspor kopi Indonesia adalah Australia untuk Harmonized System (HS) 0901-Biji Kopi dan Asia untuk HS 2101-Turunan Kopi. Analisis regresi linear berganda menunjukkan bahwa ekspor kopi Vietnam yang paling memengaruhi harga kopi dunia. Kata kunci: daya saing, harga lelang, pasar potensial, porter’s five forces, turunan kopi. ABSTRACT PANDU PANJI ASHARI. Indonesia’s Export Competitiveness Analysis of Coffee and its Derivatives in America, Europe, Asia and Australia. Supervised by ABDUL BASITH and M. SYAEFUDIN ANDRIANTO. Coffee is one of Indonesia’s superior export commodities. A high competitiveness in the free trade period forces Indonesia to have a competitive advantage on its coffee export. The purposes of this research are to analyze Indonesia’s coffee export competitiveness and analyze its most potential regions for coffee export. The methods used are Revealed Comparative Advantage, Comparative Export Performance, Revealed Competitive Advantage, Multiple Linear Regression and Porter’s Five Forces. The results show that Indonesia doesn’t have any significant competitive advantage, the most potential regions for Indonesia’s coffee export are Australia for HS0901-Coffee and Asia for HS2101Coffee Derivatives. Regression analysis shows that Vietnam exports are the highest variable affecting the world’s coffee composite prices. Keywords: coffee derivatives, competitive, composite prices, porter’s five forces, potential market
ANALISIS DAYA SAING EKSPOR KOPI INDONESIA DAN TURUNANNYA DI KAWASAN AMERIKA EROPA ASIA DAN AUSTRALIA
PANDU PANJI ASHARI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Manajemen
DEPARTEMEN MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
>99)>(+!37#> .*#7#7> ;>"/> '7314> 23#> 02.7#> 0> 9590..<> #> :7.> ,5$'> 523> 7#>/> 9786*%> ->
> .9> .> 7!>
>
#789&9#>2* >
=> >
7#8 > >
>
>
PRAKATA Puja dan puji syukur penulis haturkan kepada Gusti Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia luar biasa-Nya. Penelitian ini merupakan mahakarya pribadi penulis, karena sejak dimulainya penelitian ini, pandangan penulis tentang kehidupan dapat dan mampu berkembang ke arah yang lebih baik. Dengan selesainya masa studi hingga penyusunan skripsi ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih setulus-tulusnya kepada: 1. Ayahanda dan ibunda tercinta, serta adik-adik tersayang, Niken, Indri dan Dhiva, terima kasih atas segala cinta dan kasih sayangnya. 2. Bapak Dr. Ir. Abdul Basith, M.S dan M. Syaefudin Andrianto, S.TP, M.Si selaku dosen pembimbing, terima kasih atas segala dorongan, motivasi dan bimbingannya selama penelitian berlangsung. Terima kasih juga kepada Prof. Dr. Ir. Musa Hubeis, MS, Dipl.Ing, DEA selaku dosen penguji. 3. Sahabat sejati, Adhi Bramawangi, Fatkhi Narpati, Vozu Narapati, Himawan Prasetiyo, Prajna Cahyaning. 4. Sahabat sejak TPB, Tiwan, Vozu, Thaariq, Deasy, Ai, Hana Maryam, Ory. 5. Manajemen IPB Angkatan 48 selaku kepingan keluarga kecil yang penulis miliki, terima kasih sudah menemani selama empat tahun terakhir ini. 6. Fatah MR Salima, terima kasih karena telah meng-handle jalannya komunitas KL selama absennya penulis karena penelitian. Semoga penelitian ini bermanfaat.
Bogor, Desember 2015
Pandu Panji Ashari
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
v
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
2
Manfaat Penelitian
3
Tujuan Penelitian
3
Ruang Lingkup Penelitian
3
METODE PENELITIAN
3
Kerangka Pemikiran
3
Lokasi dan Waktu Penelitian
5
Pengumpulan Data
5
Pengolahan dan Analisis Data
6
HASIL DAN PEMBAHASAN
8
Gambaran Umum Kopi Indonesia
8
Analisis Porter’s Five Forces
9
Analisis Daya Saing Kopi
13
Analisis Harga Dasar Kopi
28
Analisis Regresi Linear Berganda
29
Uji Penyimpangan Asumsi Klasik
30
Analisis Pengaruh Parsial
30
Implikasi Pengembangan Perdagangan Kopi Indonesia
31
Implikasi Manajerial
33
SIMPULAN DAN SARAN
34
DAFTAR PUSTAKA
35
LAMPIRAN
37
DAFTAR TABEL 1 2 3 4
Jumlah konsumsi kopi perkawasan (ribu kantung 60kg) Uji asumsi klasik Profil produksi kopi negara pengekspor utama Rekapitulasi pasar potensial
2 8 10 27
DAFTAR GAMBAR 1 Total ekspor kopi negara terpilih ke dunia 2 Kerangka pemikiran 3 Impor dunia atas susu dan kopi 4 Impor-ekspor ulang negara Uni Eropa terpilih 5 RCA HS0901 di Amerika 6 CEP HS0901 di Amerika 7 RC HS0901 di Amerika 8 RCA HS2101 di Amerika 9 CEP HS2101 di Amerika 10 RC HS2101 di Amerika 11 RCA HS0901 di Eropa 12 CEP HS0901 di Eropa 13 RC HS0901 di Eropa 14 RCA HS2101 di Eropa 15 CEP HS2101 di Eropa 16 RC HS2101 di Eropa 17 RCA HS0901 di Asia 18 CEP HS0901 di Asia 19 RC HS0901 di Asia 20 RCA HS2101 di Asia 21 CEP HS2101 di Asia 22 RC HS2101 di Asia 23 RCA HS0901 di Australia 24 CEP HS0901 di Australia 25 RC HS0901 di Australia 26 RCA HS2101 di Australia 27 CEP HS2101 di Australia 28 RC HS2101 di Australia 29 Harga Dasar Kopi Dunia 30 Struktur rantai pemasaran kopi global
1 5 11 12 13 14 14 15 16 16 17 18 18 19 19 20 21 21 22 23 23 24 24 25 25 26 26 27 29 32
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7
Uji Normalitas Uji Heteroskedastisitas Uji Autokorelasi Uji Multikolinearitas Model Summary Regresi ANOVA Model Regresi Koefisien Model Regresi
38 38 38 39 39 39 39
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Adanya pola perdagangan bebas yang semakin kompetitif menyebabkan perdagangan menjadi sektor yang berisiko tinggi namun sangat menguntungkan. Berisiko tinggi jika negara terkait kurang mampu menyesuaikan diri dengan alur serta kebijakan perdagangan internasional, namun sangat menguntungkan jika negara terkait mampu menyesuaikan diri dan mengambil peluang yang dapat dimaksimalkan secara absolut. Kopi berperan penting dalam kontribusi ekspor Indonesia, dari segi nilai, kopi berada pada urutan kelima ekspor komoditas pertanian Indonesia dengan nilai US$ 435.6 juta (Disbun, 2014). Gambar 1 menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara empat besar pengekspor kopi di dunia pada periode sepuluh tahun ke belakang, namun posisi Indonesia stagnan di posisi keempat jika dibandingkan dengan tiga negara pesaing utama, yaitu Brazil, Kolombia dan Vietnam (ICO, 2014). 10,000 8,000 6,000 4,000 2,000 0,000 2009
2010
2011
2012
2013
Gambar 1 Total ekspor kopi negara terpilih ke dunia (dalam seribu US$) Sumber: ITC, data diolah (2015)
Konsep daya saing dalam konteks ekspor kopi sangat penting bagi Indonesia, saat ini Indonesia memang menempati peringkat empat sebagai negara pengekspor kopi, namun di bawah Indonesia sudah berjejer negara-negara lain yang mengantre menjadi negara pengekspor utama kopi. Artinya, apabila Indonesia tidak bisa menerapkan konsep daya saing ekspor kopi, maka posisi Indonesia akan digeser oleh India yang menempati peringkat kelima di bawah Indonesia, atau negara-negara lain di bawah India. Menurut penelitian Purnamasari et al. (2014), Indonesia sebagai negara terbesar keempat pengekspor kopi di dunia belum memiliki keunggulan kompetitif jika dibandingkan dengan tiga negara pengekspor utama kopi lainnya. Namun hasil penelitian ini menyatakan secara general bahwa Indonesia tidak memiliki keunggulan kompetitif di pasar dunia. Artinya, Indonesia tetap
2 mempunyai kemungkinan keunggulan, baik komparatif ataupun kompetitif pada pasar-pasar yang lebih spesifik. Tabel 1 menunjukkan bahwa jumlah konsumsi kopi di Afrika merupakan yang paling rendah di antara lima kawasan lainnya, walaupun nilai CAGR (Compound annual growth rate) yang paling tinggi tersebut disebabkan adanya gebrakan konsumsi kopi bagi Afrika sebagai kawasan pengekspor sekaligus pengonsumsi, karena mayoritas negara di Afrika adalah pengekspor kopi dan pada tahun berjalan sedang ada intensifikasi konsumsi kopi domestik dari ICO pada negara pengekspor di Afrika, maka kawasan Afrika dapat disisihkan dalam tujuan ekspor kopi. Australia bernaung di dalam kawasan Asia dan Oseania, namun berkontribusi paling besar sebagai negara pengimpor kopi yang menjadi tujuan pasar. Eropa merupakan kawasan dengan pertumbuhan dan jumlah konsumsi yang paling tinggi. Amerika adalah pasar yang relatif pertumbuhan konsumsinya rendah, karena memang termasuk dalam pasar jenuh, namun memiliki kontribusi konsumsi kopi tertinggi kedua, sementara Asia adalah pasar baru untuk kopi. Sehingga kawasan-kawasan potensial yang mampu dipenetrasi lebih adalah Amerika, Eropa, Asia dan Australia. Tabel 1 Jumlah konsumsi kopi perkawasan (ribu kantung 60kg) Afrika 2011 2012 2013 2014 CAGR
9.217 10.098 10.465 10.667 5%
Asia dan Eropa Oseania 26.338 49.311 27.788 49.532 29.403 50.614 30.095 50.468 4,5% 7%
Amerika utara 30.591 30.766 31.959 32.643 2,2%
Amerika latin 23.958 24.820 24.897 25.393 2%
Sumber: ICO, data diolah (2015)
Berdasarkan uraian di atas, maka penelitan yang dilakukan adalah membandingkan daya saing ekspor kopi antara Indonesia dan tiga negara utama pengekspor kopi, Brazil, Vietnam dan Kolombia, pada empat pasar spesifik, yaitu Amerika, Eropa, Asia dan Australia. Penguatan daya saing yang berkelanjutan diharapkan mampu meningkatkan posisi Indonesia sebagai eksportir top kopi di dunia. Perumusan Masalah Rumusan masalah untuk penelitian ini adalah (1) Bagaimana daya saing ekspor kopi Indonesia dibandingkan dengan Brazil, Vietnam dan Kolombia di pasar Asia, Amerika, Eropa dan Australia? (2) Pasar potensial manakah yang sebaiknya dimaksimalkan oleh Indonesia dalam ekspor kopinya? (3) Ekspor negara manakah yang paling memengaruhi harga kopi dunia?
3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah (1) Menganalisis daya saing ekspor kopi Indonesia dibandingkan dengan Brazil, Vietnam dan Kolombia di Pasar Asia, Amerika, Eropa dan Australia, (2) Menganalisis pasar potensial yang sebaiknya dimaksimalkan Indonesia dalam ekspor kopinya dan (3) Menganalisis ekspor negara mana yang paling memengaruhi harga kopi dunia. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dan kontribusi kepada pertumbuhan perdagangan kopi Indonesia, khususnya kepada pengembangan dan pengedukasian petani-petani kecil (smallholders) yang berperan penting dalam perkembangan sistemik perdagangan kopi Indonesia di pasar dunia. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian dibatasi pada analisis persaingan antara empat negara utama pengekspor kopi, yaitu Brazil, Vietnam, Kolombia dan Indonesia dalam ekspor kopi secara general dengan kode utama HS0901 untuk biji kopi dan HS2101 untuk turunan kopi. Analisis yang dilakukan dibatasi pada pengkajian nilai dalam ekspor kopi tiap negara.
METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Komoditas kopi Indonesia saat ini masih menghadapi tantangan dalam persaingan di pasar internasional. Posisi Indonesia sebagai negara empat besar pengekspor kopi di dunia tidak banyak berubah jika dibandingkan dengan Brazil, Vietnam dan Kolombia, terutama Vietnam yang sama-sama pengekspor mayoritas kopi Robusta dengan Indonesia namun terus mendapat perhatian dari dunia akan kekayaan kopi Robusta-nya, Vietnam juga menggeser posisi Indonesia sebagai negara pengekspor kopi nomor tiga di dunia sejak tahun 1997. Tingkat konsumsi kopi perkapita dalam negeri yang tergolong rendah jika dibandingkan dengan negara pengekspor kopi lainnya, hanya 1 kg perkapita pertahun, menyebabkan Indonesia bergantung pada sektor ekspor untuk menyiasati perdagangan komoditas kopi. Di lain pihak, Indonesia sendiri tidak memiliki keunggulan kompetitif secara general di pasar dunia atas ekspor komoditas kopi. Namun hal tersebut tidak menjadikan Indonesia sebagai negara pengekspor yang tidak mempunyai keunggulan persaingan di pasar-pasar dunia secara spesifik. Oleh karenanya, Indonesia perlu mengetahui dan memaksimalkan potensi keunggulan daya saing ekspor kopinya pada pasar tertentu. Dari lima kawasan utama, yakni Asia, Amerika, Eropa, Australia dan Afrika; Afrika dikeluarkan karena jumlah konsumsi kopinya yang berada di paling bawah di antara empat
4 kawasan lainnya, selain itu karena mayoritas negara di Afrika adalah pengekspor kopi dan bukan merupakan kawasan pengimpor. Australia bernaung di dalam kawasan Asia dan Oseania, dan berkontribusi paling besar sebagai negara pengimpor kopi di kawasan terkait. Eropa merupakan kawasan dengan pertumbuhan dan jumlah konsumsi yang paling tinggi. Amerika adalah pasar yang relatif pertumbuhan konsumsinya rendah, karena memang termasuk dalam pasar jenuh, namun memiliki kontribusi konsumsi kopi tertinggi kedua, sementara Asia adalah pasar baru untuk kopi. Oleh karena itu, kawasan tujuan ekspor kopi yang potensial adalah Amerika, Eropa, Asia dan Australia. Untuk mendapatkan profitabilitas berkelanjutan jangka panjang, maka Indonesia harus menyesuaikan diri dengan kompetisi, yang artinya selalu mengawasi pesaing yang sudah ada. Dengan teori Five Forces dari Porter (2008), peta kompetisi dirincikan dalam lima kekuatan utama, yaitu persaingan antara kompetitor, ancaman atas pendatang baru, ancaman atas barang substitusi, kekuatan tawar-menawar dari konsumen dan kekuatan tawar-menawar dari pemasok. Untuk mencari tahu posisi persaingan ekspor kopi Indonesia, digunakan tools dan metode analisis daya saing: Revealed Comparative Advantage (RCA) untuk menganalisis keunggulan komparatif Indonesia dibandingkan Brazil, Vietnam dan Kolombia pada kawasan yang telah ditentukan; Penelitian terdahulu tentang topik terkait yang dilakukan Purnamasari et al. (2014) dan Rau (2014) menyatakan bahwa Indonesia memang negara empat besar pengekspor kopi, namun daya saingnya di pasar dunia sangat tidak kuat dibandingkan dengan pesaing utama lainnya. Revealed Competitive Advantage (RC) untuk menganalisis keunggulan kompetitif Indonesia pada kawasan yang telah ditentukan; Penelitian terdahulu tentang analisis daya saing ekspor telur Iran yang dilakukan oleh Mirzaei et al. (2012) menunjukkan bahwa RC Iran atas ekspor telur berfluktuasi secara negatif sampai tahun 1998 dan mulai meningkat ke arah positif seterusnya. Serta Comparative Export Performance (CEP) yang digunakan untuk mengevaluasi spesialisasi ekspor pada komoditas tertentu; Penelitian terdahulu yang juga dilakukan Purnamasari et al. (2014) menunjukkan bahwa CEP kopi Indonesia di pasar dunia selalu berada di titik negatif sejak tahun 1991. Setelah itu, dengan menganalisis hasil pada keunggulan komparatif dan kompetitif, dilakukan analisis regresi linear berganda dengan empat variabel independen, yaitu ekspor kopi Brazil, ekspor kopi Vietnam, ekspor kopi Kolombia dan ekspor kopi Indonesia, serta variabel dependen harga lelang kopi yang direpresentasikan dengan ICO Composite Price. Analisis regresi linear berganda dilakukan untuk menganalisis ekspor negara mana yang paling memengaruhi harga lelang kopi. Dengan hasil dari analisis regresi tersebut, Indonesia dapat mengetahui kondisi persaingan rantai harga kopi global dan negara mana yang memiliki kuasa dan pengaruh mayoritas terhadap harga kopi global. Setelah menganalisis kesemua aspek keunggulan daya saing ekspor kopi, disusun rekomendasi kawasan tujuan ekspor paling potensial bagi Indonesia untuk memaksimalkan ekspor kopinya.
5
Perdagangan kopi Indonesia
Kondisi persaingan ekspor kopi
Pasar Amerika, Eropa, Asia dan Australia
Nilai ekspor kopi Brazil
Nilai ekspor kopi Indonesia
RCA
CEP
Nilai ekspor kopi Vietnam
RC
Analisis keunggulan daya saing ekspor kopi Indonesia
Nilai ekspor kopi Kolombia
Regresi linear berganda
Ekspor mana yang paling memengaruhi harga kopi dunia
Porter’s Five Forces Analysis
Rekomendasi pasar paling potensial
Gambar 2 Kerangka pemikiran
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan dari bulan Februari-Juli 2015. Pengambilan data dilakukan melalui studi literatur dan jurnal yang berkorespondensi terhadap judul penelitian, berlokasi di Bogor dan Jakarta.
Pengumpulan Data Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara jarak jauh dengan pihak-pihak eksportir kopi, pakar kopi dan asosiasi-asosiasi relevan terkait dengan jalur rantai ekspor kopi Indonesia. Data sekunder diperoleh dari dokumen, literatur, jurnal ilmiah, laporan kajian terdahulu yang relevan serta dari berbagai sumber internet, seperti United
6 Nation Commodity Trade (UN Comtrade), International Coffee Organization (ICO), European Coffee Federation (ECF), Direktorat Pertanian, serta Direktorat Industri dan Perdagangan.
Pengolahan dan Analisis Data Porter’s Five Forces Analysis Rumusan Porter (2008) menyatakan bahwa tingkat persaingan dalam industri tersusun oleh lima kekuatan yang menentukan intensitas persaingan dan seberapa menariknya industri tersebut. Lima kekuatan tersebut adalah (Porter, 2008): 1. Persaingan antara kompetitor, digambarkan sebagai seberapa intensnya persaingan yang terjadi dalam industri yang akan menggambarkan seberapa kompetitifnya industri tersebut. 2. Ancaman atas pendatang baru, digambarkan sebagai perusahaan baru yang memasuki industri terkait. Dalam penelitian ini, etimologi perusahaan diubah dalam arti negara. 3. Ancaman atas barang substitusi, digambarkan sebagai kecenderungan konsumen untuk berpindah ke produk pengganti yang setipikal dengan produk yang disaingkan di industri. 4. Kekuatan tawar-menawar dari konsumen, digambarkan sebagai kemampuan konsumen untuk melaksanakan tekanan kepada perusahaan yang mengakibatkan berubahnya sensitivitas konsumen dalam perubahan harga. 5. Kekuatan tawar-menawar dari pemasok, digambarkan sebagai kemampuan pemasok yang merupakan pasar dari input untuk melaksanakan tekanan kepada perusahaan yang mengakibatkan berubahnya sensitivitas pemasok dalam perubahan biaya.
Revealed Comparative Advantage Balassa (1989) memformulasikan konsep analisis daya saing berdasarkan konsep perdagangan konvensional. RCA dihitung berdasarkan pola perdagangan yang ada dengan menghitung ekspor komoditas suatu negara dibandingkan dengan total ekspornya dan dibandingkan lagi dengan performa ekspor pada satu kelompok negara. RCA dapat dituliskan dalam rumus: RCA =
⟦
⁄ ⁄
⟧
(1)
di mana X adalah nilai ekspor, subskrip i merepresentasikan negara, j untuk komoditas, t untuk kelompok komoditas, n untuk kelompok negara (dunia). Purnamasari et al. (2014) menjelaskan bahwa indeks Balassa digunakan untuk menghitung spesialisasi dalam suatu industri yang menggunakan data perdagangan internasional. Jika suatu negara memiliki nilai RCA >1, maka negara
7 tersebut mempunyai keunggulan komparatif dan spesialisasi pada komoditas terkait.
Comparative Export Performance Bhattacharyya (2011) mengemukakan bahwa CEP adalah pengembangan dari Indeks Balassa (1989), CEP mengukur tingkat spesialisasi ekspor suatu negara atas produk tertentu dengan rumus: CEP =
⟦
⁄ ⁄
⟧
(2)
jika suatu negara memiliki nilai CEP lebih besar dari CEP negara lain, maka negara tersebut memiliki keunggulan relatif dalam ekspornya dibanding negara yang dibandingkan. Revealed Competitive Advantage Vollrath (dalam Mirzaei et al., 2012) mengembangkan index daya saing lain yang disebut RC. Kriteria RC juga mengikutsertakan impor (M) di samping ekspor (X). Rumus kriteria RC adalah: RC = ⟦
⁄ ⁄
⟧
⟦
⁄ ⁄
⟧
(3)
kriteria RC menunjukkan seberapa baik sektor ekonomi suatu negara melakukan perdagangan atas komoditas i. Nilai RC yang positif menunjukkan bahwa negara terkait memiliki keunggulan secara kompetitif dalam memproduksi dan memperdagangkan komoditas i.
Regresi Linear Berganda Pengolahan data menggunakan regresi linear berganda digunakan untuk menganalisis pengaruh variabel independen (nilai ekspor Brazil, Vietnam, Kolombia dan Indonesia) terhadap harga lelang kopi yang diwakilkan oleh ICO Composite Price, serta menganalisis ekspor mana yang paling memengaruhi harga lelang kopi. Perangkat lunak yang digunakan untuk mengolah data model regresi adalah Statistical Package for Social Science (SPSS) versi 19. Analisis regresi digunakan untuk menganalisis hubungan fungsional antara dua variabel independen atau lebih terhadap satu variabel dependen. Persamaan regresi berganda adalah generalisasi langsung dari persamaan regresi linear sederhana (Marques, 2007), yaitu: Yi = 0+1Xi1+2Xi2+ ... +p-1Xi.p-1+i
(4)
Model regresi yang baik harus memenuhi persyaratan asumsi-asumsi regresi. Oleh karena itu, dilakukan uji asumsi klasik sebelum melakukan
8 pengolahan regresi. Supranto (2009) menyebut uji asumsi klasik sebagai masalah regresi, yang meliputi uji normalitas, uji heteroskedastisitas, uji autokorelasi dan uji multikolinearitas, dan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Uji asumsi klasik Uji Kriteria Normalitas Uji untuk menilai distribusi kenormalan data dari residual yang dihasilkan oleh model regresi. Menggunakan uji KS (Kolmogorov-Smirnov) dengan kriteria residual terdistribusi normal apabila nilai signifikansi>. Heteroskedastisitas Uji untuk menilai apakah model regresi terjadi ketidaksamaan varian dari residual. Menggunakan uji glejser dengan kriteria tidak terjadi heteroskedastisitas apabila nilai signifikansi>. Autokorelasi Uji untuk menilai apakah terjadi korelasi antarvariabel yang berpengaruh menurut waktu. Menggunakan run test dengan kriteria tidak terjadi autokorelasi apabila nilai signifikansi>. Multikolinearitas Uji untuk menilai apakah terjadi korelasi yang tinggi antarvariabel independen. Menggunakan Variance Inflation Factor (VIF) dari setiap variabel independen dengan kriteria tidak terjadi multikolinearitas apabila nilai VIF<10 dan nilai tolerance>0,1.
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Kopi Indonesia Indonesia adalah negara penghasil kopi jenis Robusta dan Arabika. Dengan luas area produksi kopi seluas 1.340.000 ha, dominasi produksi sebanyak 93% ada pada kopi Robusta, sementara Arabika hanya 7% dengan kopi Arabika unggulan dari Jawa, Sumatera, Sulawesi dan Papua (Wintgens, 2012). Kopi di Indonesia didiversifikasi dalam bentuk kopi bubuk, kopi instan, kopi biji matang (roasted coffee), kopi tiruan, kopi rendah kafein (decaffeinated coffee), kopi mix, kopi celup, ekstrak kopi, kopi kapsul dan minuman kopi dalam botol. Di mana terminologi kopi terbagi menjadi tiga (Disbun, 2014), yaitu: Kopi specialty 1. Terminologi ini digunakan untuk mendeskripsikan kopi dengan mutu premium atau gourmet yang diolah secara khusus dengan pemerhatian penuh dalam segala tahapan pengolahannya. Standardisasi kopi specialty mencakup penanaman secara organik, rasio petik biji merah 95%, defek < 4%, keseragaman ukuran, nilai cupping > 80 dan konsep fair-trade pada perkebunannya. 2. Single origin Terminologi ini digunakan untuk mendeskripsikan kopi yang mempunyai karakter rasa spesifik berdasarkan indikator geografis wilayah. Penanaman kopi
9 single origin dilakukan secara monovarietas sehingga rasa hingga kultur fisik kopi seragam. 3. Kopi asalan Terminologi ini digunakan untuk mendeskripsikan kopi yang diolah secara serabutan dan serampangan tanpa memerhatikan standar protokol yang ada seperti pada kopi specialty dan kopi single origin, tanpa sortir ukuran dan cacat biji, serta penanaman secara multivarietas. Terminologi ini juga digunakan untuk kopi sisa yang tidak lolos sortasi. Dalam struktur industri pengolahan kopi di Indonesia, ketidakseimbangan pengolahan terjadi dengan hanya 20% produksi kopi diolah menjadi kopi olahan (kopi bubuk, kopi instan dan kopi mix) dan 80% dalam bentuk kopi biji kering atau coffee beans/green beans (Kemenperin, 2009). Hal ini karena 96% dari total lahan produksi merupakan lahan perkebunan rakyat yang relatif belum menggunakan bibit kopi unggul dan teknik budidaya, serta perawatan prapanen yang efisien. Di pasar internasional, efektivitas perdagangan relatif belum memuaskan karena dominasi produksi kopi Indonesia ada pada kopi Robusta (93%), sementara sekitar 70% konsumsi keseluruhan dunia ada pada kopi Arabika yang dominan dikonsumsi oleh orang-orang Eropa dan Amerika, walaupun tidak sedikit juga orang yang mengonsumsi kopi blend antara Robusta dan Arabika dengan perbandingan tertentu. Sementara itu, untuk meningkatkan produktivitas kopi Arabika di Indonesia relatif sulit karena karakteristik biji kopi Arabika yang hanya dapat tumbuh di lahan dengan ketinggian 1.000m dpl, sementara lahan dataran tinggi di Indonesia kebanyakan adalah area hutan yang tidak bisa dialihfungsikan menjadi lahan perkebunan (Disbun, 2014). Analisis Porter’s Five Forces Untuk menganalisis keadaan perdagangan komoditas kopi, baik kekuatan dan kelemahannya, akan lebih baik jika menggunakan analisis Five Forces dari Porter (2008) yang bisa melihat perspektif masa depan dari perdagangan kopi. 1. Persaingan antara kompetitor. Tingkat persaingan antara kompetitor dalam ekspor kopi dunia relatif tinggi karena industri kopi sudah memasuki tahap kedewasaan dalam puncak siklus hidup industri, sehingga para kompetitor akan terus bersaing melakukan pengembangan, baik pada komoditas kopi mentahan ataupun turunan kopi. Berdasarkan data pada Tabel 1, negara empat besar yang menguasai ekspor kopi dunia adalah Brazil, Vietnam, Kolombia dan Indonesia (ECF, 2014). Brazil sebagai negara adidaya kopi memang masif dalam perdagangan kopi, namun rerata harga kopi Brazil yang dominan arabika tergolong rendah dibandingkan biji kopi Milds dari negara lain seperti Kolombia dan juga Indonesia. Karena kurang kaya akan kopi-kopi
10 specialty yang memang relatif tidak bisa diproduksi dalam jumlah besar namun harganya tinggi. Vietnam yang merupakan pendatang baru dalam perdagangan kopi sejak 1995 mampu menangkap perhatian dunia akan kemampuannya yang spesial dalam membudidayakan kopi Robusta secara besar (ICO, 2015). Tabel 3 menunjukkan bahwa luas lahan perkebunan kopi di Vietnam adalah yang paling kecil dibandingkan dengan tiga negara lainnya, namun produktivitas kopi Vietnam sangat tinggi. Dapat dianalisis pula, dengan lahan yang kurang lebih setengah dari luas lahan perkebunan kopi Indonesia, produktivitas Vietnam mencapai enam kali lipat dari Indonesia. Tabel 3 Profil produksi kopi negara pengekspor utama Luas lahan (ha) Produksi (ribu metris/60kg) Produktivitas (metris/ha) Jenis kopi (dominan)
Brazil 2.437 45.342
VIetnam 653 27.500
Kolombia 780 12.500
Indonesia 1.238 9.000
18.605,66
42.113,32
16.025,64
7.269,79
Arabika dan Robusta
Robusta dan Arabika
Arabika
Robusta dan Arabika
Sumber: USDA FAS & ICO, data diolah (2015)
Kolombia yang hanya memproduksi kopi Arabika dengan luas lahan yang kurang lebih hanya sepertiga dari Brazil mampu menghasilkan sekitar seperempat jumlah produksi Brazil. Artinya, produktivitas Kolombia mencapai tiga perempat kali produktivitas Brazil, yang berimplikasi bahwa Kolombia memiliki potensi yang besar untuk menggeser posisi Brazil. Dari Tabel 3 juga dapat dianalisis bahwa Indonesia yang dominan memproduksi kopi Robusta dibandingkan Arabika, dengan luas lahan kurang lebih setengah dari total luas lahan perkebunan kopi Brazil hanya mampu menghasilkan sekitar seperlima dari jumlah produksi Brazil. Sehingga dapat disimpulkan bahwa produktivitas kopi Indonesia adalah sekitar dua perlima produktivitas Brazil dan seperenam produktivitas Vietnam. Artinya, posisi Indonesia tidak kuat dibandingkan dengan tiga pesaing lainnya, walaupun Indonesia memiliki luas lahan perkebunan kopi terluas kedua. 2. Ancaman atas pendatang baru Kepopuleran industri kopi memacu banyak pihak untuk ikut serta dalam bisnis ini. Begitu juga dengan negara, perdagangan kopi memang didominasi oleh empat negara utama pengekspor. Namun jika diacu ulang pada tahun 1995 di mana Vietnam mulai memasuki perdagangan kopi dunia, ada satu hal yang bisa dipelajari. Vietnam yang pada awalnya diremehkan pada masa awal kemunculannya di perdagangan kopi ternyata mampu menempati posisi empat besar pengekspor kopi dalam kurun waktu yang relatif singkat. Ancaman atas pendatang baru di perdagangan kopi tetap ada, namun ditahan oleh penghalang industri dari negara-negara besar
11 pengekspor kopi lainnya (Diaz, 2009). Artinya, apabila negara lain yang ingin memasuki perdagangan kopi tidak memiliki cara pemasaran dan keunggulan lain yang tidak dimiliki negara pengekspor lain, bukan tidak mungkin bila negara tersebut bisa mengulang sejarah Vietnam yang sekarang menjadi salah satu negara pengekspor kopi terbesar.
Millions
3. Ancaman atas barang substitusi Kopi sebagai minuman berkesan mewah dan mahal tentu selalu bisa diganti oleh minuman lain secara psikologis oleh konsumen karena mereka tidak hanya bisa minum kopi saja. Beberapa contoh minuman substitusi bagi kopi adalah minuman berkarbonasi dan teh, di mana minuman berkarbonasi adalah produk paling mengancam untuk mengganti posisi kopi sebagai minuman santai (Diaz, 2009). Susu merupakan ancaman substitusi bagi kopi, karena banyak produk turunan kopi yang merupakan campuran susu, atau menggunakan susu untuk penyajiannya. Dari Gambar 3 terlihat bahwa dari tahun 20102012, impor dunia atas susu tidak sebanyak kopi, namun mulai tahun 2013, impor dunia atas susu melebihi kopi. 40 35 30 25 20 15 10 5 0 2010
2011
2012
2013
2014
Gambar 3 Impor dunia atas susu () dan kopi () dalam juta US$ Sumber: ITC, data diolah (2015)
Hal ini dikarenakan berkembangnya tren kopi di berbagai kawasan, misalnya Jepang sebagai pasar kopi yang baru tumbuh. Tren tersebut tentu tidak hanya tentang kopi saja, namun juga minuman turunan kopi yang sebagian besar menggunakan campuran susu sebagai bahan utamanya. Konsumen bisa meminum susu tanpa kopi, namun konsumen belum tentu bisa meminum kopi tanpa susu. Artinya, kopi (terutama industri kopi kreatif) harus selalu melakukan inovasi pada kopi supaya tetap menjadi minuman yang selalu bisa dikonsumsi walau banyak produk substitusi yang lain, sehingga perdagangan kopi tetap stabil dan tidak kehilangan pasarnya. 4. Kekuatan tawar-menawar dari konsumen Konsumen adalah aspek penting dalam perdagangan kopi, karena konsumen adalah penentu akhir dari mata rantai perdagangan kopi. Dengan tren konsumsi kopi di kawasan pengimpor semakin meningkat setiap tahunnya telah menumbuhkan tren untuk “minum kopi specialty di
12 luar rumah” dengan semakin menjamurnya kedai kopi specialty di negaranegara seperti daerah skandinavia (Thu Nha, 2012). Salah satu kekuatan konsumen ditunjukkan pada Gambar 4 di mana negara pengimpor kopi juga ada yang menjadi pengekspor ulang (baik berbentuk green bean atau sudah disangrai) ke berbagai negara pengimpor lainnya. Negara pengekspor ulang didominasi oleh negara-negara di Uni Eropa seperti Jerman, Belgia dan Italia. Artinya, negara pengekspor utama tentu harus memerhatikan negara-negara pengekspor ulang ini, karena memainkan peran penting dalam keberlanjutan perdagangan kopi 25,000 20,000 15,000 10,000 5,000 0 2009
2010
2011
2012
2013
Gambar 4 Impor-ekspor ulang negara Uni Eropa terpilih (seribu US$)
Sumber: ITC, data diolah (2015)
Negara pengekspor ulang mempunyai kekuatan dalam perdagangan kopi, karena kalau sampai pasokan kopinya terhambat atau tidak sesuai, maka dampak yang dirasakan oleh negara pengimpor lain akan lebih besar, negara pengimpor tujuannya lebih memilih mengimpor dari negara pengekspor ulang. Pada Gambar 6 terlihat kurang lebih 50% dari impor Jerman diekspor ulang, 25% dari impor Italia diekspor ulang, bahkan ratarata 83% impor Belgia diekspor ulang. Hal tersebut menunjukkan bahwa negara pengimpor ulang mampu menambahkan value dalam kopi yang diekspor ulang hingga mendapatkan keuntungan lebih, sehingga pihak negara pengekspor utama harus memerhatikan lebih pasokan ekspor yang ditujukan ke negara pengeskpor ulang tersebut. 5. Kekuatan tawar-menawar dari pemasok Pemasok dalam terminologi ini adalah negara pengekspor itu sendiri, di mana rata-rata negara pengekspor adalah negara dunia ketiga (LDC), kecuali terminologi untuk negara pengekspor ulang di mana ratarata adalah negara maju. Negara berkembang rata-rata tidak mempunyai
13 pendanaan yang cukup sehingga berada dalam keadaan untuk tidak menaikkan harga (Diaz, 2009). Dalam hal ini, pemasok tidak memiliki cukup kekuatan untuk melakukan pengubahan harga, sehingga kekuatan tawar-menawarnya juga rendah, namun perlu diperhatikan bahwa pemasok tetap memiliki porsi bargaining sehingga organisasi-organisasi kopi, terutama kopi specialty, dapat melakukan kegiatan Corporate Social Responsibility dalam bentuk fasilitas petani di negara-negara pengekspor berupa peralatan penunjang pra maupun pascapanen.
Analisis Daya Saing Kopi Kawasan Amerika HS0901-Biji Kopi Kawasan Amerika adalah rumah dari Brazil dan Kolombia sebagai negara pengekspor utama kopi dari Amerika. Hasil perhitungan pada Gambar 5 di Kawasan Amerika menunjukkan bahwa RCA Indonesia paling rendah di antara ketiga negara lainnya, hal ini menunjukkan bahwa Indonesia belum memiliki keunggulan komparatif atas tiga pesaing utamanya karena penghitungan RCA dilakukan secara agregat. Menurut data dari Kementrian Perindustrian (2009), kendali rantai pada level hulu masih tergolong rendah dari sisi GMP, HACCP dan standardisasi ISO sehingga menyebabkan kontrol pascapanen tidak memadai dan mengakibatkan mutu akhir biji kopi relatif berada pada indikator tidak konsisten. 0.8 0.6 0.4 0.2 0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8 Brazil Vietnam Kolombia Indonesia
2009 -0.29 -0.1 0.63 -0.47
2010 -0.12 -0.13 0.57 -0.72
2011 -0.07 0.23 0.25 -0.67
2012 -0.31 0.36 0.18 -0.09
2013 -0.3 -0.14 0.63 -0.34
Gambar 5 RCA HS0901 di Amerika Sumber: ITC, data diolah (2015)
Sementara itu, untuk sisi keunggulan relatif atas perdagangan dalam negeri dan luar negeri dari komoditas kopi, Gambar 6 menunjukkan CEP Indonesia relatif paling rendah, maka Indonesia dinilai tidak mempunyai keunggulan relatif
14 atas ekspor kopi HS0901 dibandingkan tiga negara lainnya. Indonesia hanya bisa memasok sebagian kecil dari total kebutuhan impor kopi di Amerika yang dibandingkan dengan total ekspor kopi dunia ke Amerika, namun timpang dengan nilai impor Indonesia atas komoditas kopi yang cukup tinggi. 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0 Brazil Vietnam Kolombia Indonesia
2009 0.81 0.84 1.05 0.69
2010 0.85 0.83 1.04 0.57
2011 0.82 0.92 0.92 0.54
2012 0.7 0.91 0.84 0.75
2013 0.7 0.72 0.97 0.63
Gambar 6 CEP HS0901 di Amerika Sumber: ITC, data diolah (2015)
Kolombia yang memiliki daya saing tertinggi justru memiliki hasil yang kontradiktif di mana RC Kolombia pada Gambar 7 adalah yang paling rendah. Walau Kolombia unggul dalam ekspor kopi di kawasan Amerika, nilai impor kopinya dari kawasan Amerika sangat tinggi, sehingga tingkat persaingan kompetitif antara pasar luar dan dalam negeri tidak efisien. 5 0 -5 -10 -15 -20 -25 -30 -35 -40 -45
2009 2010 2011 2012 2013 Brazil 0.3 -0.13 -0.07 -0.32 -0.32 Vietnam -0.25 -0.15 0.19 0.09 -0.79 Kolombia -33.66 -31.61 -40.91 -32.16 -10.85 Indonesia -0.98 -1.39 -1.14 -0.53 -1.72
Gambar 7 RC HS0901 di Amerika Sumber: ITC, data diolah (2015)
15 Indonesia diikuti dengan Brazil dan Vietnam memiliki nilai RC yang cukup stabil dan dalam kondisi wajar, relatif di garis 0, RC positif. Ini menunjukkan bahwa ketiga negara tersebut memiliki keunggulan dalam perdagangan komoditas kopi baik di luar maupun di dalam negeri. Ekspor atas kopi besar, namun tidak untuk impor pada komoditas yang sama, sehingga pasar dalam negeri tidak terlalu dibanjiri oleh kopi impor. Kondisi inilah yang ideal bagi negara-negara pengekspor. HS2101-Turunan Kopi Turunan kopi berdefinisi pada produk hilir kopi berupa ekstrak kopi dan berbagai jenis kopi siap minum. Gambar 8 memperlihatkan RCA Indonesia berada di posisi paling rendah. Hal ini dikarenakan ekspor Indonesia dalam HS2101 (ekstrak dan sari kopi) ke kawasan Amerika sangat kecil jika dibandingkan dengan tiga pesaing lainnya. Ekspor dari Brazil adalah yang terbesar di kawasan Amerika, namun karena komparasi rasio dengan total ekspornya lebih kecil dari Kolombia, maka menjadikan Kolombia sebagai pesaing unggul di kawasan Amerika. 2 1 0 -1 -2 -3 -4 -5 -6 -7
2009 2010 2011 Brazil 0.1 0.1 0.24 Vietnam -1.62 -1.85 -2.18 Kolombia 0.95 1.02 0.79 Indonesia -6.08 -5.5 -4.39
2012 0.37 -1.96 0.66 -3.5
2013 0.28 -0.95 0.7 -4.03
Gambar 8 RCA HS2101 di Amerika Sumber: ITC, data diolah (2015)
Kolombia sebagai negara dengan ekspor kopi yang didominasi oleh Arabika memiliki spesialisasi paling besar dalam komoditas turunan kopi. Gambar 9 menunjukkan CEP Kolombia paling tinggi, karena rasio nilai ekspor turunan kopi Kolombia dengan total ekspornya ke Amerika lebih tinggi dibandingkan Brazil. Sementara CEP Indonesia adalah yang terendah, karena nilai ekspornya kecil dan terlalu timpang dengan tiga negara pesaing lainnya.
16 4 3 2 1 0 -1 -2 -3 -4 -5
2009 2010 2011 2012 Brazil 2.08 2.1 2.15 2.03 Vietnam 0.52 0.33 -0.03 0.01 Kolombia 2.67 2.76 2.57 2.3 Indonesia -3.91 -3.3 -2.21 -1.51
2013 2.05 1.08 2.41 -1.98
Gambar 9 CEP HS2101 di Amerika Sumber: ITC, data diolah (2015)
Dalam hal keunggulan kompetitif, Indonesia berada di posisi paling bawah. Gambar 10 menunjukkan bahwa kemerosotan daya saing Indonesia pada komoditas turunan kopi terlalu jauh hingga ke titik negatif. Artinya, keadaan pasar dalam dan luar negeri tidak mendukung, karena ekspor Indonesia kecil, namun nilai impor Indonesia atas turunan kopi dari Amerika rata-rata lebih tinggi, bahkan hingga 38 kali lipat dari ekspornya. 5 0 -5 -10 -15 -20 -25 -30 Brazil Vietnam Kolombia Indonesia
2009 2010 2011 2012 2013 0.03 0.032 0.2 0.32 0.24 -1.87 -2.03 -2.19 -2.04 -1.18 0.36 -0.39 -0.11 -0.83 -1.94 -25.01 -15.84 -22.27 -13.39 -10.61
Gambar 10 RC HS2101 di Amerika Sumber: ITC, data diolah (2015)
17
Kawasan Eropa HS0901-Biji Kopi Kawasan Eropa adalah origin dari berbagai macam minuman olahan kopi, dengan influensi paling besar ada di Italia. Gambar 11 menunjukkan bahwa di kawasan Eropa, Indonesia sama sekali tidak memiliki daya saing secara komparatif terhadap tiga pesaing lainnya. Berdasarkan kumpulan laporan European Coffee Federation (2014), Brazil adalah pemasok kopi nomor satu di Eropa, khususnya di Uni Eropa. Hal tersebut dikarenakan kopi yang diekspor oleh negara dari Amerika Latin berproporsi Arabika lebih banyak dibanding Robusta. Penelitian Morris (2013) menunjukkan bahwa preferensi konsumsi kopi di Eropa adalah espresso, di mana proporsi yang disukai di Eropa untuk espresso adalah Arabika yang lebih besar dibanding Robusta. Hal tersebut berimplikasi bahwa Eropa butuh negara dengan pasokan Arabika yang besar, tak lain adalah Brazil dan Kolombia. Sementara Vietnam adalah pemasok terbesar untuk Robusta di kawasan Eropa karena pasokan biji kopi Robusta Vietnam yang relatif stabil. 1 0.5 0 -0.5 -1 -1.5 -2
2009 2010 Brazil 0.09 0.4 Vietnam 0.03 0.02 Kolombia 0.4 0.55 Indonesia -1.03 -1.36
2011 0.53 -0.02 0.34 -1.73
2012 2013 0.25 0.17 0.2 0.2 0.22 0.38 -1.19 -0.8
Gambar 11 RCA HS0901 di Eropa Sumber: ITC, data diolah (2015)
Dari sisi keunggulan relatif, Indonesia juga tidak memiliki keunggulan. Gambar 12 menunjukkan bahwa dengan nilai CEP yang rendah, serta dengan pasar kopi espresso yang lebih digemari di Eropa, impor kopi Eropa lebih diutamakan dari Brazil-Kolombia untuk Arabika dan Vietnam untuk Robusta karena kontinuitas pasokannya. Ini adalah contoh nyata bahwa negara pengekspor yang tidak bisa melakukan kontinuitas pasokan akan kurang diminati, walaupun kopi Arabika dari Indonesia juga digemari di Eropa.
18 1.4 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0
2009 Brazil 1.16 Vietnam 1.23 Kolombia 1.25 Indonesia 0.8
2010 1.17 1.13 1.27 0.63
2011 1.17 1.09 1.2 0.38
2012 1.1 1.12 1.13 0.61
2013 1.08 1.05 1.16 0.76
Gambar 12 CEP HS0901 di Eropa Sumber: ITC, data diolah (2015)
Seperti poin pada Gambar 6, Brazil yang memiliki keunggulan komparatif dan relatif berdasarkan RCA dan CEP-nya, justru memiliki nilai RC paling kecil. Gambar 13 menunjukkan bahwa RC Brazil merosot tajam pada tahun 2011, di mana itu adalah saat negara-negara pengekspor di kawasan Amerika dilanda kekeringan. Dapat diambil kesimpulan bahwa saat kekeringan terjadi, Brazil kurang bisa mengantisipasinya dengan baik. Berdasarkan data dari ITC (2015), nilai impor Brazil atas kopi dari kawasan Eropa sangat tinggi, mencapai rata-rata 30 kali lipat nilai impor tiga pesaing lainnya. Berakibat pada besarnya peredaran kopi impor di Brazil. 2 0 -2 -4 -6 -8 -10 -12 -14
2009 Brazil -3.87 Vietnam -0.09 Kolombia 0.3 Indonesia -1.4
2010 -8.85 -0.07 0.41 -1.54
2011 -12 -0.11 0.29 -1.89
2012 -10.15 0.09 0.15 -1.36
2013 -5.42 -0.3 0.23 -1.02
Gambar 13 RC HS0901 di Eropa Sumber: ITC, data diolah (2015)
19 HS2101-Turunan Kopi Di ekspor turunan kopi Eropa, Indonesia tetap berada di posisi terendah dibandingkan dengan tiga pesaing lainnya. Gambar 14 dan 15 menunjukkan bahwa Vietnam memiliki daya saing yang relatif meningkat karena ekspor kopinya yang semakin meningkat secara signifikan tiap tahunnya. Hal ini menunjukkan pasar kopi turunan seperti kopi instan dengan jenis Robusta di Eropa telah terbuka, di mana Vietnam adalah negara yang terkenal karena kopi Robusta-nya. Ini adalah peluang, karena 93% kopi produksi Indonesia adalah Robusta. Dengan penanganan pascaolahan yang baik, tentunya Indonesia bisa memanfaatkan kesempatan di segmen kopi instan turunan Robusta. 2 1 0 -1 -2 -3 -4
2009 Brazil 0.68 Vietnam -3.34 Kolombia 1.47 Indonesia -3.19
2010 0.79 -2.38 1.47 -3.53
2011 0.72 -1.66 1.19 -3.28
2012 1.04 -1.8 0.89 -3.58
2013 0.61 -0.5 0.77 -2.63
Gambar 14 RCA HS2101 di Eropa Sumber: ITC, data diolah (2015) 4 3 2 1 0 -1 -2 Brazil Vietnam Kolombia Indonesia
2009 2.03 -1.38 3.01 -1.2
2010 2.01 -0.49 3 -1.57
2011 1.92 0.13 2.65 -1.43
2012 2.1 0.11 2.49 -1.67
2013 1.93 1.27 2.34 -0.79
Gambar 15 CEP HS2101 di Eropa Sumber: ITC, data diolah (2015)
20 Hal yang sama juga terlihat pada Gambar 16, di mana Indonesia tetap tidak memiliki keunggulan kompetitif di sektor dalam dan luar negerinya, karena jumlah impornya yang rata-rata adalah seperempat dari ekspornya. Sementara negara pesaing lainnya memiliki nilai impor yang relatif sangat kecil dibandingkan dengan ekspornya. 0.5 0 -0.5 -1 -1.5 -2 -2.5 -3 -3.5 -4 -4.5 Brazil Vietnam Kolombia Indonesia
2009 -0.35 -3.61 -1.58 -3.79
2010 -0.28 -2.72 -2.03 -3.89
2010 -0.61 -1.73 -1.17 -3.91
2011 -0.79 -1.92 -1.51 -3.84
2012 -1.45 -1.09 0.04 -3.11
Gambar 16 RC HS2101 di Eropa Sumber: ITC, data diolah (2015)
Kawasan Asia HS0901-Biji Kopi Asia adalah kawasan untuk pasar kopi yang termasuk baru, dengan pelopor Jepang sebagai negara pengonsumsi kopi nomor tiga di dunia yang menjadi trendsetter bagi negara-negara Asia lainnya untuk menjadi negara pengonsumsi, serta hibrid antara pengekspor dan pengonsumsi kopi secara bersamaan. Gambar 17 dan 18 menunjukkan bahwa Indonesia tetap tidak memiliki keunggulan komparatif dan relatif di kawasan Asia, semuanya didominasi oleh Kolombia. Ekspor kopi Kolombia ke Asia tidak sebesar Brazil, namun share ekspor kopinya sangat besar jika dibandingkan dengan total ekspor agregat Kolombia ke Asia. Ditambah lagi, impor kopi Kolombia dari Asia sangat sedikit sehingga menjadikannya unggul dalam daya saing. Spesialisasi dalam ekspor tidak harus digambarkan dengan nilai ekspor yang tinggi, jika ekspor suatu negara atas komoditi tertentu ke suatu kawasan tidak tinggi jika dibandingkan dengan pesaing lainnya, namun nilai ekspor tersebut berproporsi besar, maka negara tersebut berpeluang memiliki daya saing secara relatif. Hal inilah yang terjadi dengan Kolombia, dengan nilai ekspor yang sebenarnya tidak setinggi Brazil, namun dengan konsep yang sama, Kolombia memiliki daya saing tertinggi di kawasan Asia untuk komoditas biji kopi.
21 4 3 2 1 0 -1 -2 -3
2009 Brazil 0.32 Vietnam 0.39 Kolombia 2.86 Indonesia -1.66
2010 0.37 0.32 2.79 -1.86
2011 0.59 0.29 2.56 -1.8
2012 0.42 0.53 1.68 -1.45
2013 0.4 0.18 1.66 -1.18
Gambar 17 RCA HS0901 di Asia Sumber: ITC, data diolah (2015) 6 5 4 3 2 1 0 Brazil Vietnam Kolombia Indonesia
2009 2.95 3.04 5.34 1.61
2010 2.97 2.99 5.23 1.43
2011 2012 2013 2.92 2.88 2.82 2.78 3 2.69 4.91 4.17 4.07 1.3 1.6 1.74
Gambar 18 CEP HS0901 di Asia Sumber: ITC, data diolah (2015)
Indonesia tidak memiliki keunggulan kompetitif, karena nilai RC Indonesia paling rendah dibanding tiga pesaing lainnya. Gambar 19 menunjukkan bahwa nilai RC Indonesia berfluktuatif menggambarkan ketidakstabilan pasar dalam dan luar negeri. Pada tahun 2011, terjadi penurunan produksi kopi signifikan di Indonesia karena curah hujan yang abnormal, jelas mengakibatkan panen kopi Indonesia turun drastis (USDA FAS, 2014), yang mengakibatkan Indonesia harus mengimpor banyak pada tahun 2012 (adanya time-lag), terutama dari Vietnam, sekitar 92% dari total impor kopi Indonesia dari Asia dan menyebabkan ketimpangan peredaran kopi impor di dalam negeri yang
22 berdampak pada menurun jauhnya nilai RC Indonesia pada tahun 2012. Namun karena keadaan cuaca yang membaik mulai pertengahan tahun 2012, produksi kopi Indonesia ikut meningkat yang membuat turunnya impor kopi Indonesia pada tahun 2013 dari Asia secara signifikan dan berakibat pada memulihnya kondisi keunggulan kompetitif Indonesia pada tahun 2013. 4 2 0 -2 -4 -6 -8 -10 Brazil Vietnam Kolombia Indonesia
2009 0.32 0.39 2.86 -3.83
2010 0.37 0.32 2.79 -6.61
2011 0.59 0.29 2.56 -4.06
2012 2013 0.42 0.4 0.53 0.18 1.68 1.6 -7.94 -2.25
Gambar 19 RC HS0901 di Asia Sumber: ITC, data diolah (2015)
HS2101-Turunan Kopi Indonesia berada di posisi relatif menguntungkan dalam hal daya saing ekspor turunan kopi di kawasan Asia. Gambar 20 dan 21 menunjukkan tren ekspor Brazil dan Kolombia mengalami penurunan, namun Vietnam yang pada periode 2009-2012 memiliki keunggulan komparatif lebih rendah dari Indonesia melonjak tajam nilai ekspornya hingga dua kali lipat pada tahun 2013. Artinya, Vietnam melakukan diversifikasi dan penetrasi pasar yang lebih pada periode ini di kawasan Asia untuk komoditas turunan kopi. Periode melonjaknya nilai ekspor Vietnam ke Asia adalah periode di mana pasar kopi di Asia mulai mengintenskan produk-produk kopi instan, seperti di Jepang yang merupakan pasar kopi dengan Westernisasi dalam perilaku konsumsinya (All Japan Coffee Association, 2015). Jepang adalah negara dengan pengaruh budaya yang kuat, apabila ada perubahan budaya di Jepang (konsumsi kopi yang menjadi tren), maka negara-negara yang berkiblat dengan budaya Jepang juga akan mengalami hal yang sama. Tren kopi di Jepang adalah kopi yang siap minum (kopi kaleng dan botol) karena mengikuti pola kehidupan yang sibuk sehingga kopi instan siap minum adalah pilihan utama (All Japan Coffee Association, 2015). Analisis tren tersebut dibaca oleh Vietnam, sehingga menyebabkan ekspor turunan kopi dari Vietnam ke Asia melonjak hingga dua kali lipat
23 2 1.5 1 0.5 0 -0.5 -1 -1.5
2009 2010 2011 2012 2013 Brazil 0.82 0.35 0.25 0.09 -0.2 Vietnam -0.91 -0.6 -0.47 -0.31 0.46 Kolombia 1.7 1.05 1.12 0.39 0.12 Indonesia -0.7 -0.2 -0.14 0.06 -0.23
Gambar 20 RCA HS2101 di Asia Sumber: ITC, data diolah (2015) 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0
2009 Brazil 2.5 Vietnam 1.2 Kolombia 3.62 Indonesia 1.6
2010 2.27 1.52 3.06 1.94
2011 2.24 1.67 3.15 2
2012 2.13 1.81 2.45 2.1
2013 2.03 2.51 2.29 2.05
Gambar 21 CEP HS2101 di Asia Sumber: ITC, data diolah (2015)
Satu hal yang perlu diperhatikan dalam analisis keunggulan kompetitif pada Gambar 22 adalah walaupun Indonesia memiliki peluang di kawasan Asia dengan ekspor turunan kopinya, namun nilai impor Indonesia atas komoditas yang sama juga besar, bahkan hingga dua kali lipat ekspornya pada tahun 2013. Sementara Vietnam relatif menurun tingkat impornya atas turunan kopi dari Asia. Artinya, penekanan angka impor Indonesia atas komoditas turunan kopi harus dilakukan supaya keunggulan yang stabil dan meningkat dapat tercapai di pasar Asia.
24 2 1 0 -1 -2 -3 -4 -5
2009 2010 2011 2012 2013 Brazil 0.8 0.3 0.23 0.06 -0.22 Vietnam -0.91 -0.6 -0.47 -0.31 0.46 Kolombia 1.56 0.56 0.14 -1.51 -1.54 Indonesia -1.39 -0.89 -1.58 -1.06 -4.66
Gambar 22 RC HS2101 di Asia Sumber: ITC, data diolah (2015)
Kawasan Australia HS0901-Biji Kopi Indonesia tidak mempunyai daya saing secara komparatif dan relatif terhadap tiga pesaing lainnya di kawasan Australia. Gambar 23 dan 24 menunjukkan Kolombia menguasai daya saing ekspor kopi di Australia. Sekitar 45% dari total ekspor Kolombia ke Australia adalah kopi, sehingga jelas Kolombia memiliki keunggulan terhadap tiga pesaing lainnya. 5 4 3 2 1 0 -1 -2 -3 Brazil Vietnam Kolombia Indonesia
2009 1.88 -0.56 3.95 -1.32
2010 2.12 -0.41 3.81 -1.96
2011 2.14 -0.28 3.8 -2.19
2012 2.35 -0.85 3.75 -1.41
2013 2.27 -0.68 3.78 -1.63
Gambar 23 RCA HS0901 di Australia Sumber: ITC, data diolah (2015)
25 7 6 5 4 3 2 1 0
2009 Brazil 3.48 Vietnam 1.59 Kolombia 5.77 Indonesia 1.13
2010 3.76 1.81 5.72 0.78
2011 3.69 1.86 5.7 0.67
2012 3.84 1.32 5.51 1.08
2013 3.76 1.43 5.44 0.79
Gambar 24 CEP HS0901 di Australia Sumber: ITC, data diolah (2015)
Sama dengan yang terjadi di kawasan Asia, Gambar 25 menunjukkan nilai keunggulan kompetitif Indonesia atas turunan kopi adalah yang terendah di kawasan Australia. Laporan dari USDA FAS (2012) menyatakan bahwa pada pertengahan tahun 2010, mulai terjadi curah hujan yang abnormal di berbagai sentra produksi kopi Indonesia (puncaknya pada tahun 2011) menyebabkan pemerintah mengambil langkah cepat untuk mengimpor kopi, salah satunya dari Australia. Peningkatan impor kopi dari 228 US$ pada tahun 2009 menjadi 638 US$ pada tahun 2010 menyebabkan nilai RC Indonesia menurun secara signifikan pada tahun 2010. 6 4 2 0 -2 -4 -6 -8 -10 -12 -14 Brazil Vietnam Kolombia Indonesia
2009 1.88 -0.56 3.95 -3.59
2010 2.12 -0.41 3.81 -12.99
2011 2.14 -0.28 3.8 -8.44
2012 2.35 -0.85 3.75 -7.38
2013 2.27 -0.68 3.78 -3.5
Gambar 25 RC HS0901 di Australia Sumber: ITC, data diolah (2015)
26 HS2101-Turunan Kopi Tren kopi Australia rata-rata lebih berpreferen kepada kopi Arabika. Gambar 26 dan 27 menunjukkan bahwa garis keunggulan Vietnam dan Indonesia yang rata-rata spesialis Robusta berada di titik negatif. Indonesia tidak memiliki keunggulan secara komparatif dan relatif di kawasan Australia untuk komoditas turunan kopi karena berdasarkan data ITC (2015), ekspor Indonesia untuk turunan kopi adalah yang paling rendah di antara tiga pesaing lainnya. Untuk tahun 2013, ekspor Indonesia naik empat kali lipat, sedangkan Vietnam naik tiga kali lipat. Sementara penurunan ekspor Brazil dan Kolombia tidak terlalu signifikan. Artinya Indonesia dan Vietnam semakin bersaing ketat di pasar Australia. 6 4 2 0 -2 -4 -6 Brazil Vietnam Kolombia Indonesia
2009 2.89 -0.93 4.19 -4.07
2010 2.71 -0.9 4.33 -5.04
2011 2012 2013 1.87 2.56 2.22 -1.27 -1.35 -0.27 5.28 5 4.06 -3.3 -4.5 -2.97
Gambar 26 RCA HS2101 di Australia Sumber: ITC, data diolah (2015) 5 4 3 2 1 0 -1 -2 -3 -4 -5 Brazil Vietnam Kolombia Indonesia
2009 2.58 -0.11 4.55 -2.79
2010 2.35 -0.29 4.41 -3.85
2011 0.84 -1.67 4.05 -3.03
2012 1.95 -1.11 4.4 -3.75
2013 2.11 0.08 4.03 -2.03
Gambar 27 CEP HS2101 di Australia Sumber: ITC, data diolah (2015)
27 Sementara itu, analisis RC pada Gambar 28 menunjukkan Indonesia memiliki tingkat keunggulan kompetitif yang paling rendah, bahkan pada tahun 2011 sampai menurun signifikan hingga ke poin -768. Hal tersebut dikarenakan impor Indonesia atas komoditas turunan kopi relatif tinggi jika dibandingkan dengan ekspornya, sementara impor tiga pesaing lainnya hampir 0. 100 0 -100 -200 -300 -400 -500 -600 -700 -800 -900
2009 2010 2011 2012 Brazil 2.89 2.71 1.87 2.56 Vietnam -0.93 -0.9 -1.27 -1.35 Kolombia 4.19 4.33 5.28 5 Indonesia -50.74 -156.17 -768.32 -75.03
2013 2.22 -0.27 4.06 -0.19
Gambar 28 RC HS2101 di Australia Sumber: ITC, data diolah (2015)
Jika dilakukan rekapitulasi dari analisis daya saing ekspor kopi negara pengekspor utama, maka dapat dibuat susunan pasar-pasar kopi yang potensial bagi tiap negara pengekspor utama. Pasar potensial didasarkan pada negara pengekspor dengan keunggulan daya saing tinggi pada kawasan terkait, dan/atau keunggulan potensialistik negara pengekspor yang ada pada kawasan terkait. Rekapitulasi pasar potensial bagi tiap negara pengekspor disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Rekapitulasi pasar potensial Amerika Eropa Biji kopi
Brazil Vietnam Kolombia Indonesia
Turunan kopi
Biji kopi
Asia
Turunan kopi
Biji kopi
Australia
Turunan kopi
Biji kopi
Turunan kopi
28 tanda centang () menandakan pasar potensial bagi tiap negara pengekspor. Brazil memiliki keunggulan di turunan kopi dalam pasar Amerika, karena sudah memiliki basis daya saing serta dengan sedikit dorongan survei pasar, akan mampui menggeser posisi Kolombia yang memiliki keunggulan mutlak di Amerika; Brazil juga memiliki potensi di biji kopi dalam pasar Eropa. Hal ini jelas, karena Brazil adalah pemasok tetap kopi Arabika bagi banyak negara-negara Uni Eropa. Vietnam memiliki potensi di turunan kopi dalam kawasan Eropa dan Asia, di Eropa karena dengan melihat tren ekspor Vietnam yang relatif meningkat setiap tahunnya, Eropa sudah membuka pasar untuk turunan kopi; di Asia karena perubahan tren konsumsi kopi (terutama di Jepang) adalah kopi siap minum, sehingga tren ini menjadi potensi bagi Vietnam. Kolombia memiliki potensi di biji kopi dalam kawasan Amerika, Asia dan Australia, karena Kolombia memilki kontribusi ekspor yang tertinggi pada ketiga kawasan tersebut, hanya saja impor Kolombia dari ketiga kawasan tersebut juga tinggi, apabila mampu menekan angka impor, maka Kolombia akan memiliki daya saing mutlak pada kawasan tersebut; Kolombia juga memiliki potensi di turunan kopi dalam kawasan Australia karena kontribusi ekspor turunan kopi Kolombia masih dominan pada pasar Australia. Indonesia memiliki potensi di biji kopi dalam kawasan Australia karena walaupun nilai keunggulan daya saing Indonesia lemah di kawasan Australia, namun gap nilai keunggulan daya saing Indonesia dan Vietnam sangat tipis sehingga mempermudah Indonesia dalam mengenali siapa pesaing yang paling dekat dan bisa dikejar dalam rentang waktu mendatang; Indonesia juga memiliki potensi di turunan kopi dalam kawasan Eropa dan Asia, di Eropa karena dengan melihat tren ekspor Vietnam dan Indonesia yang relatif meningkat setiap tahunnya menandakan bahwa Eropa sudah membuka pasar untuk turunan kopi; di Asia karena Indonesia sudah memiliki bekal keunggulan daya saing dibandingkan Vietnam dan apabila ekspor turunan kopi dioptimalkan pada kawasan Asia, Indonesia mampu mendapat daya saing mutlak karena kompetitor seperti Brazil dan Kolombia relatif menurun tren ekspornya di kawasan Asia.
Analisis Harga Dasar Kopi Untuk kelas kopi Arabika, harga kopi Brazil (Brazillian Naturals) lebih rendah dibandingkan dengan harga kopi Kolombia (Colombian Milds) dan Arabika dari jenis lain (Other Milids). Dari Gambar 29 dapat dianalisis bahwa total ekspor Brazil adalah yang tertinggi, namun karena harga kopi Arabika dari jenis Brazillian Naturals adalah yang terendah dari kelas Arabika, berarti jumlah produksi Brazil harus tinggi, sehingga mampu mencapai nilai ekspor tertinggi. Jika dibandingkan dengan Kolombia, produktivitas Kolombia mencapai dua kali lipat Brazil, artinya Brazil memang unggul dalam luas lahan, namun apabila Kolombia melakukan pemberdayaan lahan, tentu dengan rasio produktivitas yang sama dan harga kopi yang lebih tinggi akan menghasilkan output nilai ekspor lebih besar dan berpotensi mengalahkan Brazil.
29 300 250 200 150 100 50 0 2010
2011
2012
2013
2014
ICO Composite, Gambar 29 Harga Dasar Kopi Dunia. Colombian Milds, Brazillian Naturals, Other Milds, Robustas Sumber: ICO, data diolah (2015)
Kopi Arabika Indonesia termasuk dalam kelompok Other Milds, dengan harga berfluktuasi, namun relatif setingkat dengan Colombian Milds. Jika dipadankan dengan analisis atas Kolombia, maka Indonesia memiliki potensi untuk meningkatkan nilai ekspor kopi, dengan syarat produktivitas lahan harus ditingkatkan secara signifikan, yaitu dengan produktivitas lahan tinggi dan harga kopi (terutama Arabika) yang tinggi (lebih tinggi dari Brazillian Milds), nilai ekspor kopi Indonesia akan relatif mengalami peningkatan.
Analisis Regresi Linear Berganda Dalam analisis regresi linear berganda, diuji pengaruh nilai ekspor kopi Brazil, Vietnam, Kolombia dan Indonesia terhadap harga lelang kopi dunia yang diwakilkan oleh ICO Composite Price. Persamaan regresi linear berganda secara umum untuk pengaruh nilai ekspor negara pengekspor kopi utama terhadap harga lelang kopi London adalah: Picp = 0+1X1+2X2+3X3+4X4
(4)
dengan X1 adalah nilai ekspor kopi Brazil ke dunia, X2 adalah nilai ekspor kopi Vietnam ke dunia, X3 adalah nilai ekspor kopi Kolombia ke dunia dan X4 adalah nilai ekspor kopi Indonesia ke dunia. Dalam analisis regresi linear berganda, jika memang ada pengaruh antara variabel independen terhadap variabel dependen, akan dianalisis nilai ekspor mana yang paling memengaruhi harga lelang kopi, yang bisa dijadikan bahan penilaian dan evaluasi oleh eksportir kopi Indonesia. Berdasarkan Gambar 31, harga kopi Arabika Indonesia termasuk dalam Other Milds yang berharga tinggi. Apabila ekspor Indonesia kurang berpengaruh, maka segala pihak dari hulu hingga ke hilir dalam ekspor kopi bisa menjadikan ini
30 sebagai pertimbangan untuk meningkatkan kualitas ekspor kopi Indonesia, agar kopi yang berharga mahal juga punya kekuatan untuk memengaruhi harga.
Uji Penyimpangan Asumsi Klasik Uji Normalitas Hasil uji normalitas dengan uji Kolmogorov-Smirnov menunjukkan nilai Assymp. Sig. (2-tailed) adalah 0,599 >, yang artinya data pada model regresi terdistribusi normal. Uji Heteroskedastisitas Hasil uji heteroskedastisitas dengan uji glejser menunjukkan nilai signifikansi variabel X1=0,578 X2=0,609 X3=0,099 X4=0,213 dengan semua nilai signifikansi >, sehingga dapat disimpulkan model regresi tidak terdapat penyimpangan asumsi klasik heteroskedastisitas. Uji Autokorelasi Output Run Test dengan nilai Assymp. Sig. (2-tailed) adalah 0,128 menunjukkan tidak ada autokorelasi karena nilai Assymp. Sig. (2-tailed) >. Uji Multikolinearitas Hasil uji multikolinearitas menunjukkan bahwa nilai VIF pada X1=1,761 X2=1,058 X3=1,834 X4=1,088. Artinya tidak ada penyimpangan asumsi multikolinearitas pada model regresi. Uji F-Simultan Hasil uji F-simultan menunjukkan nilai signifikansi 0,000 sehingga berimplikasi bahwa semua variabel independen memiliki pengaruh secara simultan/bersama-sama terhadap variabel dependen. Analisis Pengaruh Parsial Penelitian ini menggunakan dua atau lebih variabel independen, maka, digunakan Adjusted R Square untuk melihat persentase sumbangan variabel independen terhadap harga lelang kopi. Berdasarkan output dari SPSS pada Lampiran 5, nilai Adjusted R Square 0,7, berarti variabel independen dalam model regresi mampu menjelaskan variabel dependen 70%, dan sisanya (30%) dijelaskan oleh variabel lain yang tidak termasuk dalam lingkup penelitian ini. Dari hasil output pengolahan regresi linear berganda pada Lampiran 6, didapatkan persamaan berikut:
31 Y = 3,203 + 0,476X1 + 0,554X2 + 0,171 X3 – 0,21X4
(5)
Persamaan ini mewakili pengaruh ekspor kopi negara utama terhadap harga lelang kopi dengan X1 adalah nilai ekspor kopi Brazil, X2 adalah nilai ekspor kopi Vietnam, X3 adalah nilai ekspor kopi Kolombia dan X4 adalah nilai ekspor kopi Indonesia. Uji t-Parsial Uji t-parsial menguji nilai pengaruh nyata setiap variabel independen terhadap variabel dependen. Hasil uji t-parsial menunjukkan bahwa hanya variabel X1 dan X2 (ekspor Brazil dan Vietnam) yang memiliki pengaruh signifikan terhadap harga kopi dunia yang diwakilkan oleh harga ICO Composite, sementara variabel X3 dan X4 (ekspor Kolombia dan Indonesia) tidak memiliki pengaruh nyata terhadap harga kopi dunia yang diwakilkan oleh harga ICO Composite. Dari hasil ini, karena variabel X3 dan X4 tidak memiliki pengaruh signifikan secara parsial, maka hanya variabel X1 dan X2 yang digunakan dalam analisis. Dengan nilai koefisien X1 sebesar 0,476 dan X2 sebesar 0,554, maka koefisien X2 (ekspor Vietnam) adalah yang paling besar, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa ekspor Vietnam adalah yang paling memengaruhi harga lelang kopi dunia. Namun ada satu hal yang perlu ditelaah lebih jauh: koefisien X3 dan X4 (ekspor Kolombia dan Indonesia) tidak memiliki pengaruh parsial, hal ini disebabkan dalam konteks yang sebenarnya, ekspor Kolombia yang dominan Arabika belum bisa menggantikan posisi ekspor Brazil yang juga dominan Arabika di pasar dunia. Sementara ekspor Indonesia yang dominan Robusta belum bisa menggantikan posisi ekspor Vietnam yang juga dominan Robusta. Sebaliknya, ekspor Brazil dan Vietnam adalah yang superior di dunia dan bisa menggantikan posisi ekspor Kolombia dan Indonesia.
Implikasi Pengembangan Perdagangan Kopi Indonesia Bila berpandangan pada sistem perdagangan internasional, kopi mengalami perjalanan panjang mulai dari negara eksportir hingga konsumen akhir pada negara importir. Gambar 29 menunjukkan bahwa kopi pada negara pengekspor (yang sebagian besar adalah negara LDC), mengalami transformasi bentuk (bean to cup) yang menyebabkan penambahan nilai dari kopi itu sendiri. Mata rantai pada petani adalah yang terendah nilainya, sehingga petani kopi yang merupakan pangkal produksi kopi harus diperhatikan secara lebih. Pemerhatian dapat dilakukan dengan penerapan konsep fair trade pada petani kopi skala kecil (Chiputwa et al., 2015), karena sekitar 96% lahan perkebunan kopi Indonesia merupakan lahan usaha rakyat, belum terkorporasi secara sistematik sehingga petani kopi membutuhkan banyak intensif dalam meningkatkan kesejahteraannya.
32 Producing countries
Smallholder
Curing plant huller
Estate
Domestic trader, farmer group agent
dry cherry
Exporter
Marketing board
green coffee
Consuming countries
International trader
Broker Roaster, instant coffee manufacturer
roasted/ instant coffee
Retail supermarket
Restaurant cafe
Consumer
Gambar 30 Struktur rantai pemasaran kopi global (Ponte, 2002) Perbedaan pelaku dalam mata rantai kopi ini terlihat timpang, di mana Vietnam yang sama-sama berfokus pada Robusta, pengelolaan kopi pada mata rantai awal sudah berbasis korporasi, sementara Indonesia masih didominasi oleh usaha rakyat. Kopi Robusta tidak memiliki syarat tumbuh rumit seperti pada kopi Arabika, artinya, kopi Robusta memang sudah menjadi kekuatan utama kopi Indonesia, bila sistem penanganan kopi pada mata rantai hulu dibuat lebih tersistematis dan terkorporasi, maka diperkirakan mampu mendongkrak produktivitas kopi di rantai hulu, karena luas lahan perkebunan kopi Indonesia merupakan yang terluas kedua, namun jumlah produksinya timpang dengan luas lahan perkebunannya.
33 Selain Robusta, Indonesia juga memiliki kekuatan pada kopi Arabika-nya, kopi Arabika Indonesia sedang digemari sebagai kopi specialty single origin, kopi dengan karakteristik dan rasa yang sifatnya unik, tidak akan sama pada setiap daerah penanaman kopi tersebut. Hal ini dapat dimanfaatkan sebagai pendongkrak ekspor Indonesia. Memang sistem pengeksporan untuk komoditas kopi didasarkan pada sistem HS, sehingga penggolongannya berdasarkan pada cara kopi tersebut diolah dan kopi-kopi single origin kurang bisa dilacak secara penuh dalam data ekspor. Namun tren pencinta kopi dalam negeri mulai beralih pada kopi single origin yang terlihat dari banyaknya kafe-kafe dalam negeri yang menyajikan kopi single origin sebagai menu andalannya, ditambah lagi harga kopi Arabika Indonesia yang termasuk kelompok other milds tergolong tinggi. Kopi Arabika dan Robusta masing-masing memiliki keunggulan karakteristiknya sendiri. Di saat kopi Indonesia didominasi oleh produksi Robusta, sisanya adalah Arabika, negara pengekspor lain seperti Vietnam secara penuh memproduksi Robusta, lalu Kolombia yang secara penuh memproduksi Arabika. Indonesia memiliki keunggulannya sendiri, 93% kopi produksi Indonesia adalah Robusta dan 7% Arabika, Dua kopi tersebut dapat digabungkan, sehingga menjadi kopi blend. Blend antara Arabika dan Robusta tidak akan pernah mengalami susut variasi, di dunia ada banyak macam subjenis kopi Arabika dan Robusta, sehingga kombinasi takaran perbandingan dan jenis kopi yang digunakan untuk blend bisa tidak terbatas. Terlebih lagi, blend antara Arabika dan Robusta banyak digunakan untuk bahan dasar dalam membuat minuman kopi berbasis susu karena kopi blend memiliki gabungan karakteristik kopi Arabika yang asam dan kopi Robusta yang strong.. Yang disayangkan adalah kurangnya penanganan pemerintah dalam infrastuktur di mata rantai hulu. Sebagai contoh, kopi Arabika dari Papua adalah salah satu yang memiliki harga termahal. Kopi tersebut memiliki harga yang mahal bukan hanya karena rasa dan karakteristiknya yang unik, namun juga karena akses jalan petani ke perkebunan kopi di Pegunungan Jayawijaya sangat sulit, jalan tidak bisa dilalui mobil, sehingga petani lokal harus berjalan membawa hasil panen kopi dari pegunungan dengan tanpa bantuan alat modern dan transportasi yang memadai. Pada jangka pendek mungkin tidak terlalu besar dampaknya, eksportir masih bisa menikmati harga kopi Papua yang tinggi, namun bila terus dibiarkan seperti itu, pada jangka panjang akan menyulitkan petani sendiri dan berakar pada pihak-pihak yang terlibat dalam perdagangan kopi Papua, terutama bila permintaan akan kopi Papua semakin tinggi, mau tidak mau pemerintah harus turun tangan dalam menyokong infrastruktur bagi para petani kopi di Papua, sehingga pemerintah harus memerhatikan masalah pembangunan akses dan infrastruktur pada mata rantai hulu di setiap daerah produksi kopi di Indonesia.
Implikasi Manajerial Perencanan nasional pada analisis daya saing ekspor kopi Indonesia adalah pengoptimalan produktivitas perkebunan kopi, di mana 96% lahan perkebunan di Indonesia adalah lahan usaha rakyat, pengorganisasian pemerintah sangat berperan dalam membangun hubungan mutualisme dengan petani. Pengelolaan
34 berbasis korporasi terbukti sukses dalam peningkatan produktivitas kopi di negara pengekspor lain. Pemerintah memiliki kekuatan untuk mengubah dan mengelola semua proses input yang berhubungan dengan peningkatan produktivitas lahan perkebunan kopi. Implementasi dan aksi peningkatan produktivitas tidak selalu berhubungan dengan perluasan lahan perkebunan secara masif, namun bisa dengan cara penggunaan bibit unggul dan integrasi teknologi prapanen. Kopi Indonesia sudah termasuk kopi yang unggul, karena varietas pada kopi specialty single origin yang banyak digemari di pasar lokal maupun internasional. Strategi alternatif untuk hal ini adalah diferensiasi produk, dengan bervariasinya kopi-kopi andalan Indonesia, diferensiasi produk terhadap citra kopi Indonesia diharapkan mampu mendongkrak nilai perdagangan kopi dalam negeri dan ekspor pada saat bersamaan. Selain peningkatan secara kualitas dan diferensiasi produk, butuh adanya peran pemerintah dalam peningkatan infrastruktur pada mata rantai hulu kopi, aliran informasi, serta perbaikan perizinan dan ekspor untuk memaksimalkan kinerja ekspor kopi Indonesia.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Kopi Indonesia memiliki kekuatan dalam hal varietas pada kopi Arabika dan Robusta, selain memperdagangkan keduanya, Indonesia bisa mulai memperdagangkan kopi blend yang merupakan kombinasi kopi Arabika dan Robusta. Sementara kelemahan Indonesia adalah kurangnya keterlibatan pemerintah dalam faktor teknis, politik, ekonomi dan sosial. Kurangnya edukasi petani, infrastruktur rantai hulu, kebijakan ekonomi dalam negeri yang mendukung petani serta kesenjangan sosial yang dialami petani. Strategi alternatif yang sebaiknya dilakukan Indonesia dalam meningkatkan ekspor pada perdagangan kopi adalah diferensiasi produk kopi Indonesia supaya Indonesia bisa lebih bersaing. Kondisi Indonesia untuk ekspor biji kopi HS0901 dan turunan kopi HS2101 relatif kurang berdaya saing di pasar yang telah disempitkan. Dari empat kawasan yang telah dianalisis, Australia adalah pasar yang paling potensial untuk HS0901, sementara Asia adalah pasar yang paling potensial untuk HS2101.
Saran Tindak lanjut dari penelitian ini adalah melakukan penelitian lanjutan terhadap pengembangan model sistem perdagangan kopi yang berorientasi pada konsep fair trade bagi para petani kopi di mata rantai hulu. Selain itu, penelitian dapat berlanjut pada pengembangan strategi alternatif pengembangan kopi Indonesia yang merupakan hasil benchmarking dari negara pengekspor kopi lain.
35
DAFTAR PUSTAKA [AJCA] All Japan Coffee Association (JP). 2015. Coffee Market in Japan [internet]. [diakses 2015 Mei 25]. Tersedia dari http://coffee.ajca.or.jp/wpcontent/uploads/2012/07/coffee_market_in_japan.pdf Balassa B, Noland M. 1989. Revealed Comparative Advantage in Japan and the United States. Journal of International Economic Integration. 4 (2): 8-22. doi:10.11130/jei.1989.4.2.8. Bhattacharyya R. 2011. Revealed Comparative Advantage And Competitiveness: A Case Study For India in Horticultural Products. International Conference on Applied Economics-ICOAE 2011:21-28. Chiputwa B, Qaim M, Spielman DJ. 2015. Food Standards, Certification, and Poverty among Coffee Farmers in Uganda. World Development. 66: 400412. doi:10.1016/j.worlddev.2014.09.006 Diaz KV. 2009. Global Coffee Industry: pitfalls, successes and future perspectives [thesis]. Aarhus (DK): Aarhus School of Business. [Disbun] Dinas Perkebunan (ID). 2014. Pengembangan Agribisnis Kopi Specialty Berbasis Klaster di Kabupaten Lombok Timur [internet]. [diunduh 2015 Mei 20]. Tersedia pada http://disbun.ntbprov.go.id/index.php?p=artikel &id=19&tmenu=# [ECF] European Coffee Federation. 2014. Coffee Market Overview August 2014 [internet]. [diunduh 2015 Februari 20]. Tersedia pada http://www.ecfoffee.org/images/Coffee_market_overview_August_2014. pdf [ICO] International Coffee Organization. 2014. Coffee Consumption in East and Southeast Asia (1990-2012) [internet]. [diunduh 2015 Februari 20]. Tersedia pada http://www.ico.org/news/icc-112-4e-consumption-asia.pdf [ICO] International Coffee Organization. 2015a. World Coffee Consumption [internet]. [diakses 2015 Mei 20]. Tersedia pada http://ico.org/prices/newconsumption-table.pdf [ICO] International Coffee Organization. 2015b. Total Production by All Exporting Countries [internet]. [diunduh 2015 Mei 21]. Tersedia pada http://ico.org/ prices/new-consumption-table.pdf [ITC] International Trade Center. 2015a. Trade Statistics for International Business Development [internet]. [diunduh 2015 April 20]. Tersedia dari http://www.trademap.org/Country_SelProduct_TS.aspx [ITC] International Trade Center. 2015b. Trade Statistics for International Business Development [internet]. [diunduh 2015 April 20]. Tersedia pada http://www.trademap.org/ Bilateral_TS.aspx [Kemenperin] Kementrian Perindustrian (ID). 2009. Roadmap Industri Pengolahan Kopi [internet]. [diunduh 2015 April 21]. Tersedia pada http://agro.kemenperin.go.id/e-klaster/file/roadmap/KIKLAMPUNG_1.pdf Marques J.P. 2007. Applied Statistics Using SPSS, STATISTICA, MATLAB and R. Berlin (DE): Springer-Verlag Berlin Heidelberg. Mirzaei F, Mostafavi SM, Yazdani S. 2012. Export Comparative Advantage Analysis of Iranian Hen Egg by RCA & RSCA and RC Criteria. Modern Economy. 3: 553-556. doi:10.4236/me.2012.35072
36 Morris J. 2013. Why Espresso? Explaining Changes in European Coffee Preferences from a Production of Culture Perspective [internet]. [diunduh 2015 Mei 23]. Hertfordshire (UK): University of Hertfordshire. Ponte S. 2002. The Latte Revolution? Regulation, Markets and Consumption in the Global Coffee Chain. World Development. 30 (7): 1099-1122. Porter ME. 2008. The Five Competitive Forces that Shape Strategy [internet]. [diunduh 2015 Mei 20]. Cambridge (US): Harvard Business School Publishing Corporation. Tersedia pada https://hbr.org/2008/01/the-fivecompetitive-forces-that-shape-strategy Purnamasari M, Hanani N, Huang W. 2014. Analisis Daya Saing Ekspor Kopi Indonesia di Pasar Dunia. AGRISE. 14 (2): 58-66. ISSN: 1412-1425. Rau A. 2014. Analisis Daya Saing Kopi Indonesia di Pasar Internasional [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Supranto J. 2009. STATISTIK Teori dan Aplikasi. Jakarta (ID): Penerbit Erlangga. Thu Nha, NT. 2012. The Business Potential for Vietnamese Coffee in Scandinavian Market [skripsi]. Pirkanmaa (FI): Tampere University of Applied Sciences. [USDA FAS] United States Department of Agriculture Foreign Agricultural Service. 2012. GAIN Report Indonesia Coffee Annual 2012. GAIN Number ID1215. [USDA FAS] United States Department of Agriculture Foreign Agricultural Service. 2013. GAIN Report Vietnam Coffee Annual 2013. GAIN Number VM3026. [USDA FAS] United States Department of Agriculture Foreign Agricultural Service. 2014a. GAIN Report Brazil Coffee Semi-Annual. GAIN Number BR14008. [USDA FAS] United States Department of Agriculture Foreign Agricultural Service. 2014b. GAIN Report Colombia Coffee Annual Subsidies Subside as Prices Climb and Production Recovers. [USDA FAS] United States Department of Agriculture Foreign Agricultural Service. 2014c. GAIN Report Indonesia Coffee Annual. GAIN Number ID1416. [USDA FAS] United States Department of Agriculture Foreign Agricultural Service. 2014d. GAIN Report Vietnam Coffee Annual May 2014. GAIN Number VM4028. [USDA FAS] United States Department of Agriculture Foreign Agricultural Service. 2015a. GAIN Report Brazil Coffee Annual. GAIN Number BR15003. [USDA FAS] United States Department of Agriculture Foreign Agricultural Service. 2015b. GAIN Report Colombia Coffee Annual. [USDA FAS] United States Department of Agriculture Foreign Agricultural Service. 2015c. GAIN Report Indonesia Coffee Annual. GAIN Number ID1516. Wintgens JN. 2012. Coffee: Growing, Processing, Sustainable Production. Weinheim (DE): Wiley VCH.
37
LAMPIRAN
38
Lampiran 1 Uji Normalitas
Lampiran 2 Uji Heteroskedastisitas
Lampiran 3 Uji Autokorelasi
39 Lampiran 4 Uji Multikolinearitas
Lampiran 5 Model Summary Regresi
Lampiran 6 ANOVA Model Regresi
Lampiran 7 Koefisien Model Regresi
40
RIWAYAT HIDUP Pandu Panji Ashari lahir di Jakarta pada tanggal 4 Agustus 1993, yang merupakan putra pertama dari empat bersaudara dari pasangan Suyanto Hadi Sukarno dan Dariyah. Penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Dasar Negeri 02 Kalisari, lalu melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama Negeri 103 Jakarta, kemudian melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 39 Jakarta. Pada tahun 2011, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur SNMPTN Tulis dengan mayor Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama perkuliahan, penulis aktif mengikuti organisasi luar kampus dan berbagai komunitas, di antaranya Indonesian Nunchaku Club, Komunitas Parkour IPB, Komunitas Penerjemah Indonesia. Penulis juga mendirikan Komunitas Penerjemahan KL yang masih aktif sampai saat ini. Selain itu, penulis juga aktif dalam kegiatan entrepreneurship dan aktif dalam budidaya hisser serta jambu kristal. Penulis juga menjadi oral presentator dalam International Conference on Applied Finance and Economics (INTERCAFE) di IPB International Convention Center, November 2015.