ANALISIS KOMPARATIF KETERKAITAN INFLASI DENGAN NILAI TUKAR RIIL DI KAWASAN ASIA (ASEAN+3) DAN NON ASIA (UNI EROPA, AMERIKA UTARA)
OLEH ARIE JAYANTHY FITRIA ANDI FAUZI H14103085
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
RINGKASAN
ARIE JAYANTHY FITRIA ANDI FAUZI. Analisis Komparatif Keterkaitan Inflasi dengan Nilai Tukar Riil di Kawasan Asia (ASEAN+3) dan Non Asia (Uni Eropa, Amerika Utara) (dibimbing oleh NOER AZAM ACHSANI dan PITER ABDULLAH). Inflasi selalu menjadi salah satu isu makroekonomi yang dianggap sangat penting. Hal ini dikarenakan stabilitas harga yang merupakan salah satu ukuran stabilitas ekonomi sangat berkaitan dengan fenomena inflasi. Inflasi dapat menjadi ancaman kondisi perekonomian diseluruh dunia terutama dikarenakan kecenderungan meningkatnya laju inflasi, baik di kawasan Asia dan non Asia. Dengan demikian menelaah lebih lanjut faktor-faktor yang berkaitan dengan perilaku inflasi perlu dilakukan. Nilai tukar riil yang menjadi salah satu faktor yang berkaitan dengan inflasi akan menjadi fokus dalam penelitian ini. Kekuatan pengaruh nilai tukar terhadap inflasi itu sendiri tergantung pada sistem nilai tukar apa yang digunakan di suatu negara. Asian Financial Crisis (AFC) yang terjadi pada pertengahan 1997 menyebabkan nilai tukar domestik negara-negara ASEAN dan bahkan beberapa negara Asia Timur terdepresiasi tajam. Akibat krisis ini pula, pada akhirnya di bulan Agustus 1997 Indonesia menerapkan floating exchange rate system (sistem nilai tukar mengambang bebas). Pada sistem nilai tukar mengambang bebas, fluktuasi nilai tukar dapat berdampak kuat pada tingkat harga yang berlaku pada suatu negara dimana pengaruhnya dapat dilihat melalui saluran agregat demand (permintaan agregat) dan agregat supply (penawaran agregat). Pada sisi penawaran agregat, depresiasi mata uang domestik dapat mempengaruhi tingkat harga secara langsung melalui barang-barang impor yang dibayarkan konsumen domestik. Akan tetapi kondisi ini terjadi jika negara tersebut merupakan international price taker (negara penerima harga internasional). Pengaruh tidak langsung dari depresiasi mata uang terhadap tingkat harga suatu negara dapat dilihat dari harga imported intermediate goods (barang-barang modal yang diimpor) oleh produsen sebagai input. Melemahnya nilai tukar akan mengakibatkan harga input tersebut semakin mahal, sehingga mengakibatkan biaya produksi semakin tinggi. Produsen tentunya akan membebankan kenaikan biaya ini kepada harga barang yang akan dibayarkan oleh konsumen. Akibatnya tingkat harga di negara tersebut secara agregat meningkat atau bila terjadi secara terus-menerus akan menimbulkan inflasi. Dengan kata lain, fluktuasi nilai tukar yang lebih tinggi akan mempengaruhi sasaran-sasaran laju inflasi, laju pertumbuhan dan keseimbangan neraca pembayaran yang hendak dicapai oleh kebijakan ekonomi makro. Terkait dengan upaya mendorong liberalisasi perekonomian, saat ini perekonomian Asia diwarnai upaya negara-negara seperti China, Jepang, dan Korea Selatan untuk lebih meningkatkan kerjasama dengan negara-negara ASEAN, yang dikenal dengan konsep ASEAN+3. Bersama dengan Uni Eropa dan Amerika Utara, kini ketiga lingkup kerjasama regional ini menjadi pusat perekonomian dunia. Penelitian ini mencoba menganalisis hubungan keterkaitan inflasi dengan nilai tukar riil serta membandingkan bagaimana respon/kepekaan inflasi terhadap perubahan nilai tukar riil
di berbagai kawasan di dunia, dalam hal ini adalah kawasan Asia (ASEAN+3) dan non Asia (Uni Eropa, Amerika Utara). Penelitian ini menggunakan data sekunder dalam bentuk data panel yaitu gabungan data deret waktu tahunan periode 1991 sampai 2005 dan data cross-section yang diperoleh dari berbagai sumber diantaranya International Financial Statistic (IFS) dari International Monetary Fund (IMF), Bloomberg, dan sebagainya. Model penelitian ini mengacu pada model Kamin dan Klau (2003). Adapun ruang lingkup penelitian untuk kawasan Asia mengambil sampel lima negara utama ASEAN yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina. Terkait dengan perdagangan bebas ASEAN maka dimasukkan pula tiga negara lainnya yaitu Jepang, China, dan Korea Selatan. Untuk kawasan non Asia, penelitian ini melibatkan sampel Uni Eropa dan Amerika Utara. Dalam hal ini Uni Eropa diwakili oleh delapan negara yaitu Inggris, Perancis, Jerman, Belanda, Belgia, Denmark, Swedia, dan Norwegia. Sedangkan negara-negara yang termasuk dalam Amerika Utara adalah Amerika Serikat, Kanada, dan Meksiko. Hasil analisis eksploratif dan Granger Causality Test untuk melihat hubungan keterkaitan inflasi dengan nilai tukar riil menunjukkan bahwa ternyata terdapat korelasi yang kuat antara pergerakan inflasi dengan nilai tukar riil di sebagian besar negaranegara. Pada kawasan Asia yang berlaku adalah hubungan kausalitas satu arah dimana baik tingkat depresiasi nilai tukar nominal maupun tingkat nilai tukar riil secara signifikan memiliki pengaruh terhadap laju inflasi. Sedangkan untuk kawasan non Asia hubungan kausalitas satu arah justru terjadi dimana laju inflasi yang memiliki pengaruh secara signifikan baik terhadap tingkat depresiasi nilai tukar nominal maupun tingkat nilai tukar riil. Selanjutnya metode panel data dengan model fixed effect (efek tetap) atau dapat disebut General Least Square (GLS) disertai pembobotan cross section pada model seluruh kawasan, menunjukkan hasil interaksi dummy kawasan dengan setiap variabel yang mempengaruhi laju inflasi ternyata signifikan. Hal ini menunjukkan model dapat dibagi menjadi dua yaitu model kawasan Asia dan model kawasan non Asia. Ditemukan bahwa terdapat perbedaan pola perilaku variabel RER1, DPF, DE terhadap laju inflasi antara kawasan Asia dan non Asia. Dummy krisis yang dimasukkan dalam model menunjukkan bahwa adanya perbedaan perilaku inflasi antara sebelum dan sesudah terjadinya Asian Financial Crisis (AFC) hanya berlaku di kawasan Asia. Selain itu, ditemukan bahwa respon/kepekaan inflasi terhadap perubahan nilai tukar riil lebih tinggi di kawasan Asia dibandingkan kawasan non Asia. Secara keseluruhan, baik analisis eksploratif, Granger Causality Test, maupun estimasi model panel data memperlihatkan hasil yang sejalan yaitu terdapat keterkaitan yang erat antara nilai tukar riil dan laju inflasi, dimana nilai tukar riil signifikan berpengaruh terhadap laju inflasi untuk kawasan Asia. Keterbatasan penelitian ini adalah time series yang digunakan masih terlalu pendek, selain itu penelitian ini juga hanya menganalisis hubungan keterkaitan inflasi dengan nilai tukar riil serta membandingkan bagaimana respon/kepekaan inflasi terhadap perubahan nilai tukar riil di berbagai kawasan di dunia secara umum. Sehingga untuk penelitian selanjutnya diharapkan menganalisis faktor apa saja yang dapat menyebabkan terjadinya perbedaan respon/kepekaan inflasi terhadap perubahan nilai tukar riil di berbagai kawasan lain di dunia.
ANALISIS KOMPARATIF KETERKAITAN INFLASI DENGAN NILAI TUKAR RIIL DI KAWASAN ASIA (ASEAN+3) DAN NON ASIA (UNI EROPA, AMERIKA UTARA)
Oleh ARIE JAYANTHY FITRIA ANDI FAUZI H14103085
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa
: Arie Jayanthy Fitria Andi Fauzi
Nomor Registrasi Pokok
: H14103085
Program Studi
: Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi
: Analisis Komparatif Keterkaitan Inflasi dengan Nilai Tukar Riil di Kawasan Asia (ASEAN+3) dan Non Asia (Uni Eropa, Amerika Utara)
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing I,
Dosen Pembimbing II,
Noer Azam Achsani, Ph. D.
Piter Abdullah, M.A.
NIP. 132 014 445
PPSK- Bank Indonesia
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Rina Oktaviani, Ph.D. NIP. 131 846 872 Tanggal Kelulusan:
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENARBENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Agustus 2007
Arie Jayanthy Fitria Andi Fauzi H14103085
RIWAYAT HIDUP
Arie Jayanthy Fitria Andi Fauzi. Dilahirkan pada tanggal 14 Juni 1986 di Malang, sebuah kota yang berada di Provinsi Jawa Timur. Penulis anak terakhir dari tiga bersaudara, dari pasangan Achmad Fauzi Fauzan dan Sayekti Daruningsih. Jenjang pendidikan penulis dilalui tanpa hambatan, penulis menamatkan sekolah dasar pada SD Negeri Panaragan 1 Bogor, kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 1 Bogor dan lulus pada tahun 2000. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMU Negeri 3 Bogor dan lulus pada tahun 2003. Pada tahun 2003 penulis melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi di kota tempat tinggalnya selama 15 tahun ini. Institut Pertanian Bogor (IPB) menjadi pilihan penulis dengan harapan besar agar dapat memperoleh ilmu dan mengembangkan pola pikir, sehingga menjadi sumber daya yang berguna bagi pembangunan Indonesia tercinta. Penulis masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM). Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam organisasi Himpunan Profesi dan Peminat Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (HIPOTESA) dan berbagai kegiatan penulisan karya tulis. Penulis mendapatkan beberapa penghargaan prestasi akademik, diantaranya yaitu Juara III Lomba Karya Tulis Mahasiswa (LKTM) Bidang Pendidikan tingkat IPB tahun 2005, Juara I Lomba Karya Tulis Ilmiah (LKTI) Mahasiswa dalam rangka Lustrum VI Universitas Sebelas Maret Surakarta tahun 2006, Peringkat 3 Mahasiswa Berprestasi tingkat FEM-IPB tahun 2006, Finalis Presentasi Program Kreativitas Mahasiswa Bidang Penulisan Ilmiah Pekan Ilmiah Mahasiswa Tingkat Nasional (PIMNAS) XIX di Universitas Muhammadiyah Malang tahun 2006, Juara II LKTM Young Economist Icon IPB tahun 2006 dan menerima beasiswa penelitian dari Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK) Bank Indonesia tahun 2007. Selain itu penulis juga aktif sebagai asisten dosen untuk responsi Mata Kuliah Ekonomi Umum (2005-2007), Ekonomi Dasar 2 (2006), Mikroekonomi 1 (2006) dan Makroekonomi 1 (2006).
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis mendapat kemudahan serta kemampuan dalam menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah “Analisis Komparatif Keterkaitan Inflasi dengan Nilai Tukar Riil di Kawasan Asia (ASEAN+3) dan Non Asia (Uni Eropa, Amerika Utara)”. Kajian terhadap inflasi dan nilai tukar merupakan topik yang sangat menarik karena diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap upaya menjaga stabilitas makroekonomi di Indonesia. Karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan topik ini. Disamping hal tersebut, skripsi ini juga merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah memberikan bantuan, perhatian, dan dorongan semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Untuk itu, ucapan terimakasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada: 1. Noer Azam Achsani, Ph.D dan Piter Abdullah, M.A dari Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK) Bank Indonesia selaku dosen pembimbing yang telah memberikan ilmu serta bimbingan dengan sabar kepada penulis baik secara teknis maupun teoritis dalam proses pembuatan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik. 2. Syamsul Hidayat Pasaribu, S.E., M.Si dan Jaenal Effendi, M.A selaku dosen penguji utama dan komisi pendidikan, yang telah memberikan saran-saran dan ilmu yang bermanfaat. 3. Sahara, M.Si, Tanti Novianti, M.Si, Widyastutik, M.Si, Lindawati, S.Pi, dan seluruh civitas Departemen Ilmu Ekonomi atas pengalaman yang berharga. 4. Kedua orang tua penulis yaitu Bapak Achmad Fauzi Fauzan dan Ibunda Sayekti Daruningsih atas doa dan dukungannya. Untuk seluruh keluarga penulis yang telah banyak membantu. Terimakasih pula kepada Tony Irawan atas paket lengkap berisi ilmu, doa, semangat, dan perhatian yang diberikan.
5. Seluruh teman IE angkatan 40. Teman-teman seperjuangan Heni, Dian VP, Apsari, Gilman, Bunda, Andin, Ratih, Echa, Weni, Abah, Kakek, Yogi, Kak Edi Sumanto, Kak Nova Mardianti, Kak Fickry, Kak Ade Holis, teman-teman angkatan 37, 38, 39, 41 dan 42. 6. Pihak-pihak lain yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini namun tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa dalam menyusun skripsi ini masih banyak kekurangan. Semua saran dan kritikan dari berbagai pihak merupakan hal yang sangat berharga dalam penyempurnaan skripsi ini. Meskipun demikian, apabila terdapat kesalahan dalam penelitian ini, hal ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis. Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan.
Bogor, Agustus 2007
Arie Jayanthy Fitria Andi Fauzi H14103085
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................
iii
DAFTAR GAMBAR........................................................................................
iv
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................
v
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ...................................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah ...........................................................................
6
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..........................................................
9
1.4. Ruang Lingkup Penelitian .................................................................
10
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Inflasi . ...............................................................................................
11
2.2. Nilai Tukar.........................................................................................
14
2.2.1. Sistem Nilai Tukar .................................................................
15
2.3. Kaitan Inflasi dengan Nilai Tukar .....................................................
17
2.4. Kaitan Inflasi dengan Senjang Output (GDP Gap) ...........................
19
2.5. Kaitan Inflasi dengan Ekspektasi Inflasi.. .........................................
20
2.6. Penelitian-Penelitian Terdahulu ........................................................
21
2.7. Kerangka Pemikiran ..........................................................................
23
III. METODE PENELITIAN 3.1. Data....................................................................................................
25
3.2. Metode Analisis Data ........................................................................
26
3.2.1. Analisis Eksploratif. ..............................................................
26
3.2.2. Granger Causality Test. ........................................................
27
3.2.3. Metode Hodrick-Prescott Filter.............................................
28
3.2.4. Model Panel Data ..................................................................
29
3.2.5. Evaluasi Model ......................................................................
38
3.3. Model Penelitian ................................................................................
40
3.4. Batasan dalam Penelitian ...................................................................
42
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Analisis Eksploratif. ..........................................................................
44
4.2. Granger Causality Test .....................................................................
49
4.3. Model Seluruh Kawasan (Model 1) ..................................................
51
4.4. Model Kawasan Asia (Model 2) .......................................................
58
4.5. Model Kawasan Non Asia (Model 3). ...............................................
62
4.6. Perbandingan Model Antar Kawasan ................................................
65
4.7. Implikasi dari Hasil Penelitian ..........................................................
67
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ........................................................................................
75
5.2. Saran. .................................................................................................
76
DAFTAR PUSTAKA. ......................................................................................
77
LAMPIRAN. ....................................................................................................
79
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1.1. Pertumbuhan Ekonomi dan Laju Inflasi di Beberapa Negara ASEAN Tahun 1992 – 2000 ( Persen )..................................................................
7
3.1. Kerangka Identifikasi Autokorelasi. ........................................................
39
4.1. Granger Causality Test. ..........................................................................
49
4.2. Hasil Estimasi Fungsi Inflasi Menggunakan Model Efek Tetap dengan Pembobotan (Cross Section Weights) dan White heteroskedasticity untuk Seluruh Kawasan............................................................................ 53 4.3. Hasil Estimasi Fungsi Inflasi Menggunakan Model Efek Tetap dengan Pembobotan (Cross Section Weights) dan White heteroskedasticity untuk Kawasan Asia.................................................................................
60
4.4. Hasil Estimasi Fungsi Inflasi Menggunakan Model Efek Tetap dengan Pembobotan (Cross Section Weights) dan White heteroskedasticity untuk Kawasan Non Asia.........................................................................
63
4.5. Neraca Pembayaran Indonesia, 1996-2002 (dalam juta Dollar US) .......
68
4.6. Komposisi Nilai Barang Impor Indonesia, Tahun 1987-2002 ................
71
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
2.1. Kerangka Pemikiran Konseptual .............................................................
24
3.1. Pengujian Pemilihan Model dalam Pengolahan Data Panel....................
36
4.1. Pergerakan Inflasi dan Nilai Tukar Riil di Kawasan Asia ......................
45
4.2. Trend Hubungan Inflasi dan Nilai Tukar Riil di Kawasan Asia .............
47
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1.
Granger Causality Test ..........................................................................
80
2.
Hausman Test dengan Menggunakan Eviews 4.1 ...................................
87
3.
Hasil Estimasi Fungsi Inflasi Menggunakan model efek tetap dengan Pembobotan (Cross Section Weights) dan White Heteroskedasticity untuk Seluruh Kawasan ............................................
4.
88
Hasil Estimasi Fungsi Inflasi Menggunakan Model Efek Tetap dengan Pembobotan (Cross Section Weights) dan White Heteroskedasticity untuk Kawasan Asia.................................................
5.
89
Hasil Estimasi Fungsi Inflasi Menggunakan Model Efek Tetap dengan Pembobotan (Cross Section Weights) dan White
6.
Heteroskedasticity untuk Kawasan Non Asia.........................................
90
Neraca Pembayaran Indonesia, 1996-2002 (Juta Dollar US) .................
81
I. PENDAHULUAN
Latar Belakang Indikator dasar makroekonomi dapat dijadikan sebagai gambaran kondisi perekonomian suatu negara. Salah satu dari indikator dasar makroekonomi tersebut adalah inflasi. Umumnya laju inflasi digunakan untuk mengukur sejauh mana perekonomian
suatu
negara
mampu
mempertahankan
stabilitas
kegiatan
perekonomiannya. Secara konseptual, inflasi dapat disebabkan dari dua sisi yaitu demand pull inflation (inflasi tarikan permintaan) dan cost push inflation (inflasi desakan biaya). Untuk negara dengan perekonomian terbuka, inflasi berasal dari internal pressure (faktor dalam negeri) dan juga external pressure (faktor luar negeri). Faktor eksternal bersumber dari adanya kenaikan harga-harga komoditi di luar negeri ataupun adanya fluktuasi nilai tukar. Bagi Indonesia sebagai negara dengan perekonomian terbuka kecil, fluktuasi nilai tukar secara teoritis berhubungan positif dengan laju inflasi, dimana ketika nilai tukar terdepresiasi, laju inflasi cenderung tinggi. Kekuatan pengaruh nilai tukar terhadap inflasi itu sendiri tergantung pada sistem nilai tukar apa yang digunakan di suatu negara. Sistem nilai tukar mempunyai pengaruh dan peranan yang penting dalam mengurangi atau meminimalisasi resiko dari fluktuasi nilai tukar yang selanjutnya akan mempunyai pengaruh terhadap perekonomian negara tersebut dimana setiap perubahan dalam nilai tukar akan berdampak terhadap aktivitas perekonomian negara tersebut. Berdasarkan penelitian beberapa ahli ekonomi, bisa didapatkan beberapa kriteria yang membedakan kelompok negara yang memakai sistem kurs bebas dan yang memakai sistem kurs tetap antara lain yaitu: (1) tingkat keterbukaan perekonomian suatu negara; (2) kemampuan
untuk mempengaruhi pasar dunia; (3) pola perdagangan internasional; (4) tingkat perbedaan inflasi dalam dan luar negeri; (5) tingkat integrasi pasar finansial dalam negeri terhadap pasar keuangan internasional. Pada tanggal 14 Mei 1997, bencana tidak terduga melanda perekonomian Thailand. Saat itu mata uang baht terpukul oleh serangan spekulasi besar yang dilakukan oleh spekulan asing. Meskipun bank sentral Thailand berusaha menghadapi serangan ini dengan mengerahkan hampir semua persediaan dolar AS dimilikinya, pada akhirnya Thailand tidak mampu bertahan. Pernyataan Perdana Mentri Chavalit Yonchaiyudh untuk tidak akan mendevaluasi baht tidak terrealisasi, dimana pada akhirnya administrasi Thailand mengambangkan mata uang lokal tersebut pada 2 Juli 1997. Panik dan gejolak finansial yang di alami Thailand kemudian menimbulkan contagion effect (efek penularan) ke seluruh wilayah ASEAN yang dikenal dengan istilah Asian Financial Crisis (AFC). Contagion effect merupakan salah satu faktor yang muncul diakibatkan mekanisme pasar yang semakin bebas dan juga sistem ekonomi/moneter yang diterapkan. Efek ini muncul dengan mengasumsikan ekspektasi kesamaan reaksi dari satu negara dengan negara lainnya, yang diakibatkan persamaan profil dan kondisi ekonomi dan politik. Selain itu efek ini pun muncul karena sebuah kiblat terhadap negara tertentu ( suatu negara dianggap sebagai representasi dari negara lainnya). Contohnya depresiasi Baht Thailand mempengaruhi depresiasi Rupiah karena antara Thailand dan Indonesia mengalami persamaan kondisi ekonomi. Selain itu efek penularan ini muncul akibat faktor herd instinc, atau naluri biribiri yang menyelimuti sikap panik investor global kala itu, yang memandang semua emerging markets mirip dengan Thailand sehingga membuat situasi keuangan kacau
balau. Bahkan krisis ini menyebabkan nilai tukar domestik negara-negara ASEAN dan beberapa negara Asia Timur terdepresiasi tajam. Akibat krisis ini pula, Indonesia yang telah mengimplementasikan sistem nilai tukar yang berbeda-beda dalam periode tiga dekade terakhir pada akhirnya di bulan Agustus 1997 menerapkan floating exchange rate system (sistem nilai tukar mengambang bebas). Perubahan sistem nilai tukar mempunyai pengaruh dan peranan yang penting bagi suatu negara. Pada sistem nilai tukar mengambang bebas, fluktuasi nilai tukar dapat berdampak kuat pada tingkat harga yang berlaku pada suatu negara dimana pengaruhnya dapat dilihat melalui saluran agregat demand (permintaan agregat) dan agregat supply (penawaran agregat). Pada sisi penawaran agregat, depresiasi mata uang domestik dapat mempengaruhi tingkat harga secara langsung melalui barang-barang impor yang dibayarkan konsumen domestik. Akan tetapi kondisi ini terjadi jika negara tersebut merupakan international price taker (penerima harga internasional). Pengaruh tidak langsung dari depresiasi mata uang terhadap tingkat harga suatu negara dapat dilihat dari harga imported intermediate goods (barang-barang modal yang diimpor) oleh produsen sebagai input. Melemahnya nilai tukar akan mengakibatkan harga input tersebut semakin mahal, sehingga mengakibatkan biaya produksi semakin tinggi. Produsen tentunya akan membebankan kenaikan biaya ini kepada harga barang yang akan dibayarkan oleh konsumen. Akibatnya tingkat harga di negara tersebut secara agregat meningkat atau bila terjadi secara terus-menerus akan menimbulkan inflasi. Salah satu teori yang digunakan untuk menentukan nilai tukar adalah teori purchasing power parity/PPP, atau lebih dikenal dengan teori paritas daya beli. Teori paritas daya beli ini menyatakan bahwa nilai tukar mata uang antar negara harus mencerminkan nilai perbandingan nilai mata uang satu negara terhadap negara lainnya
yang ditentukan oleh daya beli masing-masing negara yang berarti nilai tukar antara dua negara sama dengan rasio tingkat harga dari kedua negara tersebut. Teori ini memprediksikan bahwa penurunan daya beli dari satu mata uang akan menyebabkan nilai tukar dari mata uang tersebut terdepresiasi, dan begitu pula sebaliknya depresiasi mata uang domestik dapat menyebabkan terjadinya inflasi. Dengan demikian, secara teoritis dengan asumsi PPP berlaku, maka inflasi dalam negeri yang lebih besar daripada luar negeri akan mengakibatkan nilai tukar rupiah melemah. Selanjutnya, depresiasi itu sendiri juga akan mendorong inflasi karena pass through effect dari barang-barang dan bahan baku impor sehingga biaya produksi juga akan meningkat. Dalam situasi perekonomian negara yang mengalami depresiasi sangat besar, depresiasi rupiah mengakibatkan kenaikan sangat besar pada harga barang-barang tradeable dan nontradeable dan dengan demikian inflasi meningkat. Implikasi dari ditempuhnya sistem nilai tukar mengambang bebas tersebut cukup mendasar bagi perekonomian Indonesia, dimana variabilitas nilai tukar nominal menjadi cukup tinggi dan membuat nilai tukar riil tidak stabil. Fluktuasi dan ketidakpastian mengenai gerakan nilai tukar Rupiah jelas akan menjadi tinggi. Akibatnya peranan ekspektasi pelaku pasar dan masyarakat akan menjadi lebih penting dalam mempengaruhi gerakan nilai tukar. Secara langsung fluktuasi nilai tukar tersebut akan mempengaruhi tingkat harga di dalam negeri karena imported inflation akibat banyaknya barang-barang impor. Real effective exchange rates (harga relatif) juga akan semakin berfluktuasi dan berpengaruh terhadap kinerja ekspor dan impor, dan karenanya mempunyai dampak yang semakin perlu diperhitungkan terhadap permintaan aggregat. Laju pertumbuhan ekonomi juga dapat terpengaruh. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa fluktuasi nilai tukar yang lebih tinggi akan mempengaruhi sasaran-
sasaran laju inflasi, laju pertumbuhan dan keseimbangan neraca pembayaran yang hendak dicapai oleh kebijakan ekonomi makro. Berdasarkan hal tersebut maka bagaimana hubungan keterkaitan yang terjadi antara laju inflasi dan nilai tukar riil di berbagai negara menjadi hal yang penting untuk diteliti lebih lanjut. Terkait dengan upaya mendorong liberalisasi perekonomian, saat ini perekonomian Asia diwarnai upaya negara-negara seperti China, Jepang, dan Korea Selatan untuk lebih meningkatkan kerjasama dengan negara-negara ASEAN, yang dikenal dengan konsep ASEAN+3. Hal ini ditandai dengan adanya kesepakatan ASEAN-China Free Trade Area dan juga Joint Declaration on the Comprehensive Economic Partnership antara ASEAN-Jepang, yang dilain pihak menjadi tantangan tersendiri bagi perekonomian Asia (Achsani, 2001). Tantangan ini kemudian diperkuat dengan disepakatinya untuk mengintegrasikan ekonomi ASEAN kedalam single community (komunitas tunggal) pada tahun 2020 pada pertemuan ASEAN ke-36. Bersama dengan Uni Eropa dan Amerika Utara, kini ketiga lingkup kerjasama regional ini menjadi pusat perekonomian dunia. Oleh karenanya adalah hal yang menarik untuk menganalisis sejauh mana tingkat respon/kepekaan inflasi akibat fluktuasi (perubahan) nilai tukar riil dan apakah ada perbedaan respon/kepekaan inflasi terhadap perubahan nilai tukar riil di berbagai kawasan, yaitu kawasan Asia yang diwakili ASEAN+3 dan kawasan non Asia yang diwakili Uni Eropa dan Amerika Utara. Perumusan Masalah Asian Financial Crisis (AFC) yang terjadi pada pertengahan 1997 ternyata sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi dan laju inflasi sebagian besar negara-negara ASEAN. Sebelum krisis, pertumbuhan ekonomi Thailand relatif stabil, diatas 7 persen per tahun. Akibat krisis tersebut pertumbuhan ekonomi Thailand
menurun menjadi -0,4 persen. Hal ini berdampak pada negara-negara lain di Asia Tenggara. Tahun 1998 Indonesia mengalami "Significant deteronation", dimana laju inflasi meningkat cepat seiring melemahnya nilai tukar rupiah. Sementara itu kebutuhan dana untuk berbagai kebutuhan masyarakat baik domestik maupun internasional meningkat tajam, sehingga berpengaruh terhadap perekonomian. Ekonomi Indonesia mengalami penurunan sangat signifikan yaitu sebesar -13,0 persen (tahun 1998 ). Dampak AFC terhadap pertumbuhan ekonomi dan laju inflasi di beberapa negara ASEAN dapat dilihat pada Tabel 1.1 di bawah ini. Tabel 1.1. Pertumbuhan Ekonomi dan Laju Inflasi di Beberapa Negara ASEAN Tahun 1992 – 2000 ( Persen ) Indonesia Malaysia Thailand Filipina Tahun 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000
Growth
Inflasi
6,5 7,3 7,5 8,2 7,8 4,7 -13,0 0,8 4,9
4,9 9,8 9,2 8,6 6,5 11,0 77,6 2,0 9,3
Growth Inflasi
7,8 8,3 9,2 9,5 5,6 7,8 -6,4 10,5 7,7
4,7 3,6 3,7 3,4 3,5 2,7 5,3 2,5 1,4
Growth
Inflasi
8,1 8,3 8,8 5,7 5,5 -0,4 -8,0 6,5 2,6
4,1 3,3 5,0 5,8 5,9 5,6 8,1 0,7 1,3
Growth Inflasi
0,3 2,1 4,4 4,8 5,7 5,1 -0,6 4,6 4,8
8,9 7,6 9,0 8,1 8,4 6,0 9,7 4,3 6,6
Sumber : Laporan Mingguan Bank Indonesia Beberapa Edisi
Perekonomian Malaysia menunjukkan tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan negara lain, namun akibat krisis mengalami penurunan menjadi –6,4 persen. Pertumbuhan ekonomi Filipina sebelum krisis melanda relatif baik, pada saat krisis terjadi pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan sampai –0,6 persen (tahun 1998). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa krisis yang terjadi mengakibatkan penurunan pertumbuhan ekonomi di sebagian besar negaranegara ASEAN. Di sisi lain, pada saat krisis melanda negara-negara ASEAN, tingkat inflasi mengalami peningkatan. Dari Tabel 1.1 terlihat laju inflasi di beberapa negara
ASEAN sangat berfluktuasi. Indonesia merupakan negara yang paling tinggi tingkat inflasinya, dan paling berfluktuatif. Pada tahun 1992 tingkat inflasi Indonesia sebesar 4,9 persen, dan pada tahun-tahun berikutnya cenderung meningkat. Pada saat terjadi krisis ekonomi serta ketidakstabilan sosial politik pada tahun 1998 inflasi meningkat tajam sampai 77,6 persen. Malaysia dengan laju inflasi 4,7 persen pada tahun 1992 dan terus menurun hingga tahun 1997 yaitu 2,7 persen, tetapi tahun 1998 laju inflasi meningkat menjadi 5,3 persen. Thailand juga mengalami inflasi yang cukup berfluktuatif dari 4,1 persen pada tahun 1992 menjadi 8,1 persen pada tahun 1998. Tingkat inflasi di Filipina relatif tinggi dibanding negara lainnya di ASEAN. Pada saat krisis ekonomi tahun 1998 laju inflasi mencapai 9,7 persen. Inflasi yang terjadi di suatu negara dipengaruhi beberapa faktor, salah satu yang mungkin berpengaruh adalah nilai tukar, dimana pada saat terjadinya krisis nilai tukar negara-negara ASEAN tersebut mengalami depresiasi yang cukup tajam. Penelitian Urusan Riset Ekonomi dan Moneter (UREM) menunjukkan bahwa nilai tukar mempunyai hubungan yang signifikan dengan inflasi (Waluyo dan Siswanto, 1998). Dalam penelitian tersebut (periode observasi 1984-1987), hasil uji hubungan Granger causality test menunjukkan real effective exchange rate (REER) mempengaruhi inflasi (searah) dengan lag rata-rata 1 triwulan. Dengan terjadinya krisis, penelitian tersebut perlu dilanjutkan karena tampaknya pengaruh depresiasi rupiah (atas dasar nilai tukar bilateral terhadap dolar AS) mempunyai lag yang lebih pendek dan ada kemungkinan mempunyai hubungan dua arah, yaitu depresiasi mempengaruhi inflasi timbal balik, karena secara teoritis apabila inflasi di dalam negeri lebih tinggi daripada di luar negeri maka mata uang domestik harus didepresiasi untuk mempertahankan Paritas Daya Beli (PPP). Implikasi kebijakan dari hubungan tersebut ialah bahwa depresiasi perlu dikendalikan untuk menekan laju inflasi, dan demikian pula inflasi perlu ditekan
Sebenarnya analisis mengenai bagaimana hubungan inflasi dan nilai tukar telah menjadi perhatian dari banyak studi para ekonom di dunia. Hal ini dikarenakan perilaku inflasi dan nilai tukar dapat berbeda di setiap negara, yang pada akhirnya akan turut mempengaruhi kebijakan apa yang harus diterapkan di suatu negara dalam rangka menjaga kestabilan perekonomiannya. Namun sampai sejauh ini belum ada pendekatan dan hasil yang seragam dalam analisis yang dilakukan, sehingga penelitian lebih lanjut dan berkesinambungan menjadi suatu hal yang perlu dilakukan. Lebih khusus lagi poin-poin yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu: 1.
Bagaimanakah hubungan keterkaitan inflasi dengan nilai tukar riil di berbagai kawasan yaitu kawasan Asia (ASEAN+3) dan non Asia (Uni Eropa, Amerika Utara)?
2.
Bagaimanakah respon/kepekaan inflasi terhadap perubahan nilai tukar riil di kawasan Asia (ASEAN+3) dan kawasan non Asia (Uni Eropa, Amerika Utara)?
1.3.
Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini:
1.
Menganalisis hubungan keterkaitan inflasi dengan nilai tukar riil di berbagai kawasan yaitu kawasan Asia (ASEAN+3) dan non Asia (Uni Eropa, Amerika Utara).
2.
Menganalisis adakah perbedaan respon/kepekaan inflasi terhadap perubahan
nilai tukar riil antara kawasan Asia (ASEAN+3) dengan
kawasan non Asia (Uni Eropa, Amerika Utara).
Adapun manfaat dari penelitian ini yaitu:
1.
Memberikan wawasan mengenai bagaimana hubungan keterkaitan inflasi dengan nilai tukar riil di berbagai kawasan, dalam hal ini kawasan Asia (ASEAN+3) dan non Asia (Uni Eropa, Amerika Utara).
2.
Mengetahui kemungkinan apa yang dapat menimbulkan adanya perbedaan respon/kepekaan inflasi terhadap perubahan nilai tukar riil antara kawasan Asia (ASEAN+3) dengan kawasan non Asia (Uni Eropa, Amerika Utara).
3.
Sebagai bahan referensi kepada para pembuat kebijakan baik di tingkat nasional maupun internasional.
1.4.
Ruang Lingkup Penelitian Fokus dari penelitian ini adalah untuk menganalisis bagaimana keterkaitan
inflasi dengan nilai tukar riil di kawasan Asia (ASEAN+3) dan non Asia (Uni Eropa, Amerika Utara). Adapun ruang lingkup penelitian untuk kawasan Asia mengambil sampel lima negara utama ASEAN yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina. Terkait dengan era perdagangan bebas ASEAN yang melibatkan Jepang, China, dan Korea Selatan, maka penulis juga memasukkan ketiga negara tersebut ke dalam lingkup sampel kawasan Asia. Untuk kawasan non Asia, penelitian ini melibatkan sampel Uni Eropa dan Amerika Utara. Namun karena keterbatasan ketersediaan data, dalam hal ini Uni Eropa diwakili oleh delapan negara yaitu Inggris, Perancis, Jerman, Belanda, Belgia, Denmark, Swedia, dan Norwegia. Sedangkan negara-negara yang termasuk dalam Amerika Utara adalah Amerika Serikat, Kanada, dan Meksiko.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Dalam hubungannya dengan penelitian ini maka beberapa teori yang mendukung sebagai alat bantu teoritis untuk menganalisis keterkaitan inflasi dengan nilai tukar riil adalah sebagai berikut: Inflasi Inflasi didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana terdapat kenaikan harga umum secara terus-menerus (Suparmoko, 1998). Hal ini dapat mencerminkan semakin melemahnya daya beli yang diikuti dengan semakin merosotnya nilai riil (intrinsik) mata uang suatu negara. Terjadinya inflasi merupakan akibat dari kenaikan tingkat harga di atas rata-rata yang berlaku umum yang dapat diukur dengan indeks harga barang-barang konsumsi dari tahun-ke tahun. Untuk mempelajari inflasi, para pakar ekonomi menggunakan dua konsep. Yang pertama adalah tingkat harga, yaitu tingkat rata-rata semua harga-harga dalam sistem ekonomi. Yang kedua adalah laju inflasi, yaitu laju kenaikan tingkat harga secara umum. Untuk mengukur tingkat harga rata-rata, para ekonom menyusun sebuah indeks harga dengan cara merata-rata harga komoditi yang berbeda menurut seberapa penting komoditi yang bersangkutan. Indeks harga yang paling terkenal adalah Consumer Price Index (CPI) atau Indeks Harga Konsumen (IHK) yang mengukur harga rata-rata barang dan jasa yang dibeli oleh konsumen. IHK menyatakan tingkat harga pada waktu kapan pun dalam hubungan dengan berapa harga kelompok tertentu yang dikonsumsi oleh rata-rata penduduk dalam periode dasar (Lipsey, 1995). IHK yang biasa dihitung oleh Badan Pusat Statistik mencakup harga-harga komoditas yang umumnya dibeli rumah tangga. Perubahan dalam IHK dimaksudkan
untuk mengukur perubahan gaya hidup rumah tangga secara khusus. Gerakan dalam harga konsumen dapat ditambahkan dan diringkas dalam satu indeks harga dengan cara memberikan bobot pada setiap harga yang mencerminkan tingkat pentingnya. Hal ini dilakukan apabila harga-harga komoditas yang berbeda berubah dengan proporsi yang berbeda. IHK akan memberikan bobot tinggi pada harga-harga komoditas dimana konsumen membelanjakan lebih banyak dari penghasilannya dan memberikan bobot rendah pada harga-harga komoditas dimana konsumen membelanjakan lebih sedikit penghasilannya. Jadi angka indeks dihitung dengan memberikan bobot untuk mencerminkan tingkat pentingnya unsure-unsur individual yang digabungkan. Nilai indeks ditetapkan sama dengan 100 untuk periode dasarnya (Lipsey, 1995). Sedangkan untuk mengukur laju inflasi antara dua periode waktu manapun diukur dengan kenaikan presentase indeks harga yang relevan dari periode pertama hingga periode kedua. Jika besarnya kenaikan harga diukur dari periode dasarnya, yang perlu dilakukan hanyalah pengurangan kedua indeks tersebut. Laju inflasi=
P2 − P1 ×100 P1
(2.1)
dimana P1 merupakan nilai indeks harga pada periode pertama dan P2 adalah nilainya pada periode kedua, sehingga laju inflasinya semata-mata adalah perbedaan diantara keduanya, dinyatakan dalam presentase nilai indeksnya pada periode pertama (Lipsey, 1995). Sedangkan perhitungan laju inflasi bisa digunakan CPI dengan cara mengubah dalam bentuk logaritma, dimana rumusnya adalah LIt=Δ log (P)t – log( P)t-1 =
CPI t − CPI t −1 x100% CPI t −1
(2.2)
dimana LIt adalah laju inflasi pada tahun atau periode t, CPI t adalah Indeks Harga Konsumen pada tahun atau periode t dan CPI t −1 adalah Indeks Harga Konsumen pada tahun atau periode t-1. Inflasi dapat diakibatkan oleh dua hal. Pertama, demand-pull inflation. Inflasi ini bermula dari adanya kenaikan agregate demand (permintaan total), sedangkan produksi telah berada pada keadaan kesempatan kerja penuh atau hampir mendekati kesempatan kerja penuh. Apabila full-employment (kesempatan kerja penuh) telah tercapai, penambahan permintan selanjutnya hanyalah akan menaikkan harga saja. Kedua, costpush inflation.
Cost-push inflation ditandai dengan kenaikan harga serta turunnya
produksi. Jadi dengan kata lain, hal ini merupakan inflasi yang dibarengi dengan resesi. Keadaan ini timbul dimulai dengan penurunan dalam agregate supply (penawaran total) sebagai akibat peningkatan biaya produksi. Peningkatan biaya produksi itu sendiri dapat disebabkan oleh kenaikan harga minyak dunia, tuntutan kenaikan upah oleh buruh, peningkatan harga bahan baku impor akibat depresiasi nilai tukar domestik, dan lain sebagainya. Peningkatan biaya produksi ini pada akhirnya akan menaikkan harga dan diikuti dengan turunnya produksi. Nilai Tukar (exchange rate)
Nilai tukar didefinisikan harga mata uang suatu negara yang dihitung dalam mata uang negara lain (Mishkin, 2001). Nilai tukar diantara dua negara adalah harga dimana penduduk kedua negara saling melakukan perdagangan (Mankiw, 2000). Para ekonom membedakan antara tiga konsep nilai tukar yaitu nilai tukar nominal, nilai tukar riil dan nilai tukar efektif. Nilai tukar nominal (e) adalah harga relatif dari mata uang dua negara. Nilai tukar nominal merupakan sebuah nilai par (par value) dalam masing-
masing mata uang yang dipakai negara-negara, biasanya disebut official rate. Moosa (2004) merumuskan nilai tukar nominal sebagai berikut:
e = Pd / P f
(2.3)
dimana Pd adalah tingkat harga domestik dan Pf adalah tingkat harga luar negeri. Nilai tukar riil (q) didefinisikan sebagai harga relatif dari barang-barang kedua negara. Nilai tukar riil menyatakan tingkat dimana kita bisa memperdagangkan barang-barang dari suatu negara untuk barang-barang dari negara lain atau dapat disebut Terms of Trade. Menurut Batiz (1994), nilai tukar riil dapat dirumuskan sebagai berikut: q = e(P * / P )
(2.4)
dimana e adalah nilai tukar nominal (domestic currency/foreign currency), P* adalah tingkat harga luar negeri, dan P adalah tingkat harga domestik. Sementara itu nilai tukar efektif adalah bobot kurs rata-rata antara mata uang domestik dengan valuta asing dari negara yang menjadi mitra dagang utamanya, sedangkan bobot penimbangnya adalah arti penting relatif hubungan dagang negara itu dengan setiap mitra dagangnya (Salvatore, 1997). Menurut Moosa (2004) kurs efektif pada waktu t dihitung sebagai rata-rata tertimbang dari kurs relatif, dan dapat dirumuskan sebagai berikut: m
Et = ∑ wV i it
(2.5)
i =1
wt =
Xi + Mi m
∑ Xi + Mi
(2.6)
i =1
vit =
Si ,t Si ,0
(2.7)
dimana Et adalah kurs efektif nominal pada waktu ke t, m adalah jumlah mata uang negara mitra dagang utama, w i adalah rata-rata perdagangan yang didenominasikan dalam mata uang negara i pada waktu t, Vit adalah kurs relatif dari mata uang negara i pada waktu t, Si adalah kurs pada spot market saat ini, S0 adalah kurs pada periode dasar, X i adalah nilai ekspor domestik ke negara i dan M i adalah nilai impor dari negara i.
2.2.1. Sistem Nilai Tukar Sistem nilai tukar mempunyai pengaruh dan peranan yang penting dalam meminimalisasi resiko dari fluktuasi nilai tukar yang akan mempunyai pengaruh terhadap perekonomian negara tersebut. Saat ini sistem nilai tukar yang dapat diandalkan dalam era keuangan global hanya berkisar pada dua pola, karena itu disebut sebagai bipolar system. Dua sistem pengelolaan nilai tukar tersebut adalah fixed
exchange rate system (sistem nilai tukar tetap) dan floating exchange rate system (sistem nilai tukar mengambang bebas). Pada sistem nilai tukar tetap, besarnya nilai mata uang suatu negara ditentukan nilainya secara tetap terhadap alat tukar lain yang dianggap kuat. Sistem nilai yang disepakati di dalam perjanjian, yang kemudian dikenal menjadi sistem Bretton Woods, adalah penentuan nilai tukar mata uang negara secara tetap kepada mata uang kuat (Dollar US) dengan suatu mekanisme penyesuaian. Sistem nilai tukar Bretton Woods disusun untuk dua tujuan. Di satu pihak untuk menghindarkan diri dari kemungkinan terlalu berfluktuasinya nilai tukar mata uang negara yang menganut sistem mengambang bebas. Di lain pihak, sistem ini juga disusun untuk menghindarkan diri dari kemungkinan negara-negara melakukan devaluasi nilai mata uangnya untuk menyelesaikan masalah ketidak seimbangan neraca pembayaran yang dihadapinya.
Pada sistem nilai tukar tetap, setiap individu bebas melakukan jual beli valuta asing yang diinginkan dan untuk mempertahankan nilai tukarnya maka bank sentral melakukan jual beli valuta asing. Oleh karena itu, bank sentral harus memegang sejumlah cadangan devisa untuk membiayai ketidakseimbangan neraca pembayaran sehingga nilai tukar dapat dipertahankan. Meskipun demekian, kebaikan dari sistem nilai tukar tetap ini adalah adanya kepastian akan nilai tukar mata uang domestik dengan negara lain, sehingga para eksportir dan importir dapat memperhitungkan transaksi perdagangan dengan pihak luar negeri. Sedangkan sistem nilai tukar mengambang bebas adalah sistem yang membiarkan nilai tukar mata uang suatu negara ditentukan oleh kekuatan pasar, artinya permintaan dan penawaran terhadap mata uang tersebut dalam kaitannya dengan mata uang negara lain. Dengan kata lain, pemerintah tidak ikut campur dalam penentuan nilai tukar. Di Indonesia, nilai tukar rupiah akan tergantung kepada permintaan dan penawaran akan Dollar US. Jika permintaan terhadap Dollar US lebih besar dari penawarannya, maka harga Dollar US yang diukur dengan rupiah menjadi meningkat, atau sebaliknya nilai rupiah menurun. Dan jika penawaran Dollar US lebih besar dibandingkan permintaan terhadapnya, maka hasil sebaliknya akan terjadi. Kebaikan dari sistem nilai tukar mengambang bebas diantaranya yaitu adanya penyesuaian yang lebih baik apabila terjadi defisit atau surplus neraca pembayaran, memberikan kesempatan lebih banyak pada individu atau bank sentral untuk menyusun kembali portofolio mereka, dan selain itu bank sentral tidak perlu memegang cadangan devisa yang banyak untuk menjaga likuiditas sehingga bank sentral memiliki kesempatan yang lebih untuk melakukan kebijakan yang lebih independen.
2.3.
Kaitan Inflasi dengan Nilai Tukar Nilai tukar merupakan salah satu faktor penentu inflasi yang berasal dari sisi
penawaran. Dengan demikian, terjadinya perubahan nilai tukar dapat mempengaruhi laju inflasi. Hal ini dikarenakan apabila terjadi penurunan nilai tukar atau depresiasi maka biaya impor untuk barang-barang impor baik berupa bahan baku impor ataupun barang setengah jadi impor meningkat. Akibat dari peningkatan biaya impor ini adalah kenaikan biaya produksi. Selanjutnya kenaikan biaya produksi ini akan mendorong terjadinya peningkatan harga didalam negeri sehingga menimbulkan inflasi. Kaitan inflasi dengan nilai tukar juga dapat didekati melalui teori purchasing
power parity (PPP). Teori PPP menunjukkan bagaimana depresiasi mata uang domestik dapat menyebabkan terjadinya inflasi, dimana dalam teori ini nilai tukar antara dua negara adalah sama dengan rasio tingkat harga dari kedua negara tersebut. Teori ini memprediksikan bahwa penurunan daya beli dari satu mata uang akan menyebabkan nilai tukar dari mata uang tersebut terdepresiasi, dan begitu pula sebaliknya. Teori purchasing power parity atau teori paritas daya beli mengandung dua pengertian, yaitu pengertian absolut dan pengertian relatif. Pengertian absolut mengatakan bahwa kurs keseimbangan di antara mata uang dalam negeri dan mata uang luar negeri merupakan rasio antara harga absolut luar negeri dan harga absolut dalam negeri. Sedangkan pengertian relatif menyatakan bahwa persentase perubahan kurs keseimbangan diantara mata uang dalam negeri dan mata uang luar negeri merupakan rasio antara persentase perubahan harga dalam negeri dan persentase perubahan harga luar negeri, sehingga persentase perubahan kurs tersebut mencerminkan perbedaan tingkat inflasi diantara dua negara.
Beberapa hal yang perlu ditekankan dari teori paritas daya beli adalah pertama masalah dasar dari paritas daya beli, yakni proporsionalitas tingkat harga dan nilai tukar hanya terjadi jika penyebab goncangan yang mengubah tingkat harga dari nilai tukar merupakan suatu goncangan moneter. Kedua, teori paritas daya beli tersebut tidak bekerja seketika, tetapi memerlukan waktu yang cukup lama, sehingga dapat dikatakan bahwa teori tersebut menunjukkan hubungan keseimbangan jangka panjang antara nilai tukar dengan tingkat harga. Nilai mata uang dari suatu negara yang cenderung menurun menunjukkan negara tersebut mempunyai tingkat inflasi yang tinggi dibandingkan dengan negara lain berarti harga barang-barang di negara tersebut naik lebih cepat dari negara lain. Hal ini akan berakibat ekspor akan turun dan impor akan naik karena harga barang-barang negara bersangkutan lebih mahal bila dibandingkan dengan barang-barang negara lain. Dengan demikian, supply dari mata uang asing akan turun dan demand akan naik, sehingga nilai mata uang asing akan naik (nilai mata uang domestik akan turun atau terdepresiasi).
2.4.
Kaitan Inflasi dengan Senjang output (GDP Gap) Menurut Lipsey (1995), GDP potensial (potensial Gross Domestic Product)
adalah GDP riil yang dapat diproduksi perekonomian jika sumberdaya produktif dipergunakan secara penuh pada intensitas penggunaan yang normal. GDP potensial dapat juga diartikan sebagai sisi penawaran perekonomian yang menggambarkan output maksimum yang dapat dicapai tanpa menimbulkan tekanan inflasi. Dalam jangka menengah perkiraan terhadap output potensial dapat digunakan untuk menganalisa batas pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan, yaitu yang tidak mengganggu keseimbangan internal dan eksternal.
Senjang output atau senjang GDP mengukur perbedaan antara GDP potensial dengan GDP aktual riil. Senjang GDP dapat dirumuskan sebagai berikut:
Senjang GDP
dimana
=
Ya − Y f Yf
(2.8)
Ya adalah GDP aktual riil dan Y f adalah GDP potensial. Dalam jangka
pendek, perkiraan terhadap gap antara output aktual riil dan potensial dapat digunakan sebagai patokan untuk menganalisa tekanan terhadap inflasi.
Berdasarkan
teori
kurva Philips, terdapat hubungan negatif antara inflasi dan pengangguran, dimana senjang inflasi (yang berkaitan dengan tingkat pengangguran rendah) berkaitan dengan kenaikan upah relatif terhadap produktivitas. Sedangkan berdasarkan hukum Okun, terdapat hubungan negatif antara pengangguran dan GDP riil, mengacu pada penurunan dalam pengangguran sebesar satu persen dikaitkan dengan pertumbuhan tambahan dalam GDP riil yang mendekati dua persen. Dari kedua teori ini didapatkan bahwa senjang GDP dan tingkat inflasi berhubungan positif yaitu ketika senjang GDP bernilai positif, maka hal ini akan berdampak positif terhadap tingkat inflasi. Dengan kata lain, perekonomian yang tumbuh melebihi potensialnya cenderung akan menekan laju inflasi. Ketika perekonomian sedang dalam kondisi booming, permintaan faktor produksi akan meningkat dan hal ini pada akhirnya akan mendorong kenaikan tingkat inflasi. Sebaliknya, ketika perekonomian sedang dalam kondisi resesi, permintaan faktor produksi relatif kecil dan kemudian akan menurunkan tingkat inflasi. Ini berarti kebijakan sisi penawaran ekonomi dapat diantisipasi dengan menganalisa besarnya senjang output dalam suatu periode.
2.5.
Kaitan Inflasi dengan Ekspektasi Inflasi Faktor lain yang dapat mempengaruhi laju inflasi di suatu negara adalah faktor
psikologis. Faktor ini terbentuk dari harapan atau ekspektasi masyarakat terhadap inflasi. Ekspektasi berkaitan erat dengan pola perilaku para pelaku ekonomi berdasarkan pengalaman ataupun informasi yang dimilikinya. Jenis informasi yang diterima akan bervariasi (asymetric information) dan pola perilaku masyarakat dapat berbeda-beda dalam menanggapi informasi yang sama. Ekspektasi ini terdapat di pasar barang, pasar uang, dan pasar tenaga kerja dimana masing-masing memiliki keterkaitan dan mempengaruhi perkembangan harga. Model ekspektasi ini ada dua yaitu ekspektasi adaptif (backward looking) dan model inflasi ekspektasional (forward looking expectation). Sebagian pelaku ekonomi lebih mendasarkan ekspektasinya pada inflasi periode sebelumnya. Inflasi historis suatu negara yang bertahan tinggi tak lepas dari pengaruh rangkaian peristiwa ekonomi yang menimbulkan inflasi, misalnya kenaikan harga yang disebabkan oleh kebijakan yang diambil pemerintah dan depresiasi nilai tukar. Akibat merasakan inflasi yang tinggi setiap tahun, dapat menimbulkan asa publik bahwa inflasi tinggi akan terus terjadi. Ekspektasi itu akhirnya membentuk perilaku penyesuaian harga yang dianggap ”normal” dalam perekonomian negara tersebut. Ekspektasi inflasi yang memburuk dapat membawa prediksi inflasi menjadi kenyataan.
2.6.
Penelitian-Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai perubahan nilai tukar dan pengaruhnya terhadap laju inflasi
menghasilkan dua pendapat yang berbeda. Beberapa penulis berpendapat bahwa melemahnya nilai tukar (depresiasi) di suatu negara menyebabkan peningkatan laju
inflasi. Sedangkan peneliti lain menyatakan bahwa pengaruh perubahan kurs tidak signifikan mempengaruhi laju inflasi. Hasil penelitian Ndungu’, (1997) di Kenya selama periode 1970-1993, menunjukkan bahwa tingkat inflasi domestik dan perubahan nilai tukar saling mempengaruhi. Ndungu’ melakukan penelitian ini dengan menggunakan Granger Non-
Causality Test (GNC test). Kesimpulan Ndungu’ dengan menggunakan GNC test adalah sebagai berikut: 1. Tingkat inflasi dan perubahan nilai tukar saling mempengaruhi, 2. Kredit domestik mempengaruhi tingkat inflasi tanpa efek balik dari inflasi ke kredit domestik, 3. Tingkat inflasi domestik dan perubahan cadangan saling mempengaruhi, 4. Perubahan nilai tukar dan perubahan cadangan saling mempengaruhi, 5. Perubahan kredit domestik dan cadangan internasional saling mempengaruhi. Penelitian Pradumna (1984) mengenai pengaruh perubahan nilai tukar terhadap laju inflasi di 5 negara ASEAN selama periode 1973-1979 menunjukan bahwa perubahan nilai tukar tidak berpengaruh terhadap laju inflasi di 4 negara kecuali Thailand. Perubahan nilai tukar di negara ini mempengaruhi laju inflasinya. Pradumna menggunakan model persamaan moneter dalam penelitiannya. Pradumna juga menggunakan GNC test untuk menguji pengaruh nilai tukar dan laju inflasi. Hasilnya ternyata perubahan nilai tukar memang mempengaruhi inflasi tapi inflasi tidak mempengaruhi nilai tukar. Penelitian Kamin dan Klau (2003) menunjukkan bukti empirik keterkaitan inflasi dengan nilai tukar riil di sebagian besar negara-negara. Penelitian ini sebelumnya
dilakukan untuk negara Mexico dengan menggunakan persamaan inflasi sebagai berikut: Δ pt = −αλψ + λ rert −1 + αλε ( q H − q H )t −1 + (1 − α ) Δ p *t + (1 − α ) Δ et + β Δ pt −1 (2.9)
dimana rert −1 adalah lag nilai tukar efektif riil, ( q H − q H ) t −1 adalah lag YGAP, Δp*t adalah laju inflasi luar negeri, Δet adalah laju perubahan nilai tukar nominal, dan Δpt −1 adalah lag laju inflasi domestik. Selain itu diperlihatkan pula bahwa kepekaan inflasi terhadap perubahan nilai tukar riil ternyata lebih tinggi di Amerika Latin dibandingkan di Asia maupun negara-negara industri lainnya. Meskipun penelitian ini memiliki kemiripan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kamin dan Klau (2003). Perbedaan penelitian ini dengan penelitian tersebut adalah cakupan time series (periode penelitian), negara-negara yang tergabung dalam kawasan yang diteliti, dan dalam fungsi inflasi yang diestimasi untuk seluruh kawasan selain terdapat dummy kawasan dimasukkan pula variabel dummy krisis. Selain itu perbedaan mendasar dalam penelitian ini adalah konsep nilai tukar yang digunakan bukanlah nilai tukar efektif riil, melainkan nilai tukar riil.
2.7.
Kerangka Pemikiran Skema alur berpikir pada Gambar 2.1 digunakan untuk menganalisis
permasalahan dalam penelitian ini. Variabel ekonomi yaitu nilai tukar riil (RER), senjang output (YGAP), inflasi luar negeri (PF), nilai tukar nominal (E) dan inflasi sebelumnya (P1) diduga mempengaruhi laju inflasi. Pengaruh faktor-faktor ini terhadap laju inflasi di suatu kawasan juga dipengaruhi oleh karakteristik kawasan serta krisis keuangan yang terjadi di Asia. Namun dalam penelitian ini akan lebih difokuskan pada pengaruh faktor nilai tukar riil terhadap laju inflasi.
Secara lebih spesifik, penelitian ini akan menganalisis bagaimana hubungan keterkaitan inflasi dengan nilai tukar riil serta membandingkan respon/kepekaan inflasi terhadap nilai tukar riil di berbagai kawasan yaitu kawasan Asia (ASEAN+3) dan non Asia (Uni Eropa, Amerika Utara) dengan menggunakan analisis eksploratif, Granger
Causality Test dan model panel data. Faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi
YGAP
PF
RER
E
P1
Asian Financial Crisis
Karakteristik Kawasan Inflasi
Analisis Eksploratif
Granger Causality Test
Estimasi Model Panel Data
Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran Penelitian
III. METODE PENELITIAN
Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder negaranegara kawasan Asia (ASEAN+3) dan negara-negara kawasan non Asia (Uni Eropa, dan Amerika Utara) dalam bentuk data panel yaitu gabungan data deret waktu tahunan periode 1991 sampai 2005 dan data cross-section yang diperoleh dari berbagai sumber diantaranya International Financial Statistic (IFS) dari International Monetary Fund (IMF), World Economic Statistic, Bloomberg, dan sebagainya. Selain itu penulis juga melakukan studi pustaka dengan membaca jurnal, artikel internet serta literatur-literatur yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: P
: Consumer Price Index (CPI)/ Indeks Harga Konsumen (IHK) domestik
E
: Nilai tukar nominal (domestic currency/foreign currency) (peningkatan mengindikasikan depresiasi)
RER
: Nilai tukar riil (peningkatan mengindikasikan depresiasi)
P*
: Indeks Harga Konsumen (IHK) luar negeri
YGAP : output gap; Log dari rasio Produk Domestik Bruto (PDB) aktual riil terhadap PDB potensial, dimana PDB potensial diestimasi dengan menerapkan
Hodrick-Prescott Filter terhadap PDB aktual riil.
3.2.
Metode Analisis Data Untuk mendukung penelitian mengenai analisis komparatif keterkaitan inflasi
dengan nilai tukar riil di kawasan Asia (ASEAN+3) dan non Asia (Uni Eropa, Amerika Utara), maka digunakan berbagai metode analisis data dengan bantuan software
Microsoft Excel 2003, Eviews 4.1, dan Eviews 5.1. 3.2.1. Analisis Eksploratif Menurut Nazir (1999), analisis eksploratif adalah suatu analisis dalam meneliti sekelompok objek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari dilakukannya analisis eksploratif ini adalah untuk membuat suatu deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. Dengan kata lain, analisis eksploratif secara garis besar mencoba mencari fakta dengan interpretasi yang tepat, dimana hasil dari analisis ini merupakan suatu generalisasi dari pola-pola kasus yang tipikal dari individu atau kelompok tertentu. Bentuk dari analisis eksploratif disini adalah studi kasus pengkajian pola hubungan inflasi dan nilai tukar riil secara garis besar di sebagian besar negara-negara sebagai pembanding dengan negara-negara kawasan lainnya. Analisis ini didukung tampilan gambar untuk melihat korelasi pergerakan inflasi dan nilai tukar riil serta trend yang terjadi antara dua variabel dalam penelitian yaitu nilai tukar riil dan laju inflasi.
3.2.2. Granger Causality Test pada data panel Hubungan kausalitas (Causality) adalah hubungan jangka pendek antara kelompok tertentu dengan menggunakan pendekatan ekonometrik yang mencakup juga hubungan timbal balik dan fungsi-fungsi yang muncul dari analisis spektrum, khususnya hubungan penuh antar spektrum dan hubungan partial antar spektrum
(Granger, 1969). Dari pandangan ekonometrik, ide utama dari kausalitas adalah sebagai berikut. Pertama, jika X mempengaruhi Y, berarti informasi masa lalu X dapat membantu dalam memprediksikan Y. Dengan kata lain, dengan menambah data masa lalu X ke regresi Y dengan data Y masa lalu maka dapat meningkatkan kekuatan penjelas (explanatory power) dari regresi. Kedua, data masa lalu Y tidak dapat membantu dalam memprediksikan X, karena jika X dapat membantu dalam memprediksikan Y dan Y dapat membantu memprediksikan X, maka kemungkinan besar terdapat variabel lain, katakan Z, yang mempengaruhi X dan Y (Granger, 1969). Pada tahun 1969, Granger memperkenalkan hubungan sebab akibat antara dua variabel yang saling berkaitan. Hubungan kausalitas dapat dibagi atas tiga kategori, yaitu hubungan kausalitas satu arah, hubungan kausalitas dua arah dan hubungan timbal balik. Dengan panjang lag optimal, p , maka prinsip kerja dari Granger Causality Test pada data panel didasarkan atas regresi model pooled sebagaimana diuraikan sebagai berikut :
yit = α 0 + α1 yi ( t −1) + ... + α p yi ( t − p ) + β1 xi ( t −1) + ... + β p xi ( t − p ) + ε it
(3.1)
xit = α 0 + α1 xi ( t −1) + ... + α l xi ( t − p ) + β1 yi ( t −1) + ... + β p yi ( t − p ) + υit
(3.2)
Pada persamaan regresi model pooled pertama (3.1), X mempengaruhi Y atau hubungan kausalitas satu arah dari X ke Y apabila koefisien β l tidak sama dengan nol (0). Hal yang sama juga untuk persamaan regresi model pooled kedua (3.2),
Y
mempengaruhi X atau terdapat hubungan kausalitas satu arah dari Y ke X jika koefisien
β l tidak sama dengan nol. Sementara apabila keduanya terjadi maka dikatakan terdapat hubungan timbal balik (feedback relationship) antara X dan Y atau terdapat hubungan
kausalitas dua arah (bidirectional causality) antara X dan Y. Dalam penelitian ini,
Granger Causality Test ini dilakukan untuk menganalisis hubungan inflasi dan nilai tukar riil pada data panel. Dengan menggunakan software ekonometrik, hipotesis nol yang digunakan untuk hubungan dua variabel adalah X tidak mempengaruhi Y dan Y tidak mempengaruhi X. Dasar penolakan hipotesis nol dengan menggunakan kriteria probabilitas < 0.1.
3.2.3. Metode Hodrick-Prescott Filter Ada beberapa alternatif dalam memperkirakan output potensial, salah satunya adalah metoda Hodrick-Prescott (HP) Filter. Metoda ini digunakan untuk melihat kecenderungan (trend) dari output dalam jangka panjang. Trend output (s) yang diperoleh dengan menggunakan HP filter dihasilkan dengan meminimkan kombinasi gap antara aktual output (y) dan trend output. Tingkat perubahan output diperoleh dengan: T
T −1
t =0
t =2
Min∑ ( yt − st ) 2 + λ ∑ (( st +1 − st ) − ( st − st −1 )) 2
(3.3)
dimana λ adalah tingkat smoothness dari trend. Kesulitan metoda ini adalah dalam mengidentifikasi besarnya parameter λ . Namun bantuan software ekonometrik trend output ini dapat diperkirakan. Trend dari PDB riil diasumsikan sebagai PDB potensial. Dalam penelitian ini, untuk memperkirakan PDB potensial maka digunakan pendekatan HP filter.
3.2.4. Model Panel Data Dalam sebuah penelitian, terkadang ditemukan suatu persoalan mengenai ketersediaan data (data availability) untuk mewakili variabel yang gunakan dalam penelitian. Misalnya, terkadang bentuk data dalam series yang tersedia pendek sehingga
proses pengolahan data time series tidak dapat dilakukan berkaitan dengan persyaratan jumlah data yang minim. Lain halnya terkadang ditemukan bentuk data dengan jumlah unit cross section yang terbatas pula, sehingga sulit untuk dilakukan proses pengolahan data cross section untuk mendapatkan informasi prilaku dari model yang hendak diteliti. Dalam teori ekonometrika, kedua kondisi seperti yang telah disebutkan di atas salah satunya dapat diatasi dengan menggunakan data panel (pooled data) agar dapat diperoleh hasil estimasi yang lebih baik/efisien dengan terjadinya peningkatan jumlah observasi yang berimplikasi terhadap peningkatan derajat kebebasan (degree of freedom). Penggunaan data panel telah memberikan banyak keuntungan secara statistik maupun menurut teori ekonomi. Islam (1995) dan Poirson (2000) dalam penelitian menyatakan bahwa penggunaan data panel ini dapat memperlihatkan ‘country effect’ dan menghindari terjadinya kesalahan penghilangan variabel (omitted variable bias) dibandingkan jika menggunakan data kerat lintang (cross section). Selain itu, penggunaan data panel ini memungkinkan untuk dapat menangkap karakteristik antar individu dan antar waktu yang bisa saja berbeda-beda. Menurut Baltagi (1995), penggunaan data panel telah memberikan banyak keuntungan secara statistik maupun menurut teori ekonomi. Manfaat dari penggunaan data panel antara lain adalah : 1. Mampu mengontrol heterogenitas individu. 2. Memberikan lebih banyak informasi, lebih bervariasi, mengurangi kolinearitas antar variabel, meningkatkan degrees of freedom, dan lebih efisien. 3. Lebih baik untuk mempelajari studi yang bersifat dinamis.
4. Mampu mengidentifikasi dan mengukur efek yang secara sederhana tidak dapat diperoleh dari data cross section murni atau data time series murni. 5. Dapat menguji dan membangun model perilaku yang lebih kompleks. Untuk keperluan hal ini, penulis akan membentuk beberapa notasi yang akan digunakan dalam teknik estimasi data panel. Notasi itu antara lain:
Y i t = nilai variabel terikat (dependent variable) untuk setiap unit individu (cross section unit) i pada periode t dimana i= 1,…,n dan t= 1,…,T X jit = nilai variabel penjelas (explanatory variable) ke-j untuk setiap unit individu ke-i
pada periode t dimana K variabel penjelas diberi indeks dengan j= 1,…,K. Disini pembahasan penelitian ini dibatasi pada data panel yang bersifat balanced panels saja, yaitu dimana terdapat jumlah observasi yang sama untuk setiap unit individualnya, sehingga total observasi yang dimiliki adalah n . T. Ketika n = 1 dan T memiliki sejumlah observasi, maka akan didapat bentuk data yang bersifat deret waktu (time series data). Jika kondisi sebaliknya, yaitu dimana nilai T = 1 dan n cukup besar, maka akan didapat bentuk data yang bersifat kerat lintang (cross section data). Dalam analisa model data panel dikenal, tiga macam pendekatan yang terdiri dari pendekatan kuadrat terkecil (pooled least square), pendekatan efek tetap (fixed effect), dan pendekatan efek acak (random effect). Ketiga pendekatan yang dilakukan dalam analisa data panel ini akan dijelaskan pada bagian berikut ini.
Pendekatan Kuadrat Terkecil (Pooled Least Square) Pendekatan yang paling sederhana dalam pengolahan data panel adalah dengan menggunakan metode kuadrat terkecil biasa yang diterapkan dalam data yang berbentuk
pool. Misalkan terdapat persamaan berikut ini:
Yit = α + β X it + ε it
(3.4)
Untuk i = 1, 2, . . . , N dan t = 1, 2, . . ., T. Dimana N adalah jumlah unit cross section (individu) dan T adalah jumlah periode waktunya. Dengan mengasumsi komponen
error dalam pengolahan kuadrat terkecil biasa, maka proses estimasi dapat dilakukan secara terpisah untuk setiap unit cross section. Untuk periode t = 1, akan diperoleh persamaan regresi cross section sebagai berikut:
Yi1 = α + β i1 + ε i1
(3.5)
untuk i = 1, 2, . . . , N . Hal ini berimplikasi diperolehnya persamaan sebanyak T persamaan yang sama. Begitu juga sebaliknya, akan diperoleh persamaan deret waktu (time series) sebanyak N persamaan untuk setiap T observasi. Namun, untuk mendapatkan parameter α dan β yang konstan dan efisien, akan dapat diperoleh dalam bentuk regresi yang lebih besar dengan melibatkan sebanyak NT observasi.
Pendekatan Efek Tetap (Fixed Effect) Kesulitan terbesar dalam pendekatan metode kuadrat terkecil biasa tersebut adalah asumsi intersep dan slope dari persamaan regresi yang dianggap konstan baik antar daerah maupun antar waktu yang mungkin tidak beralasan. Generalisasi secara umum sering dilakukan adalah dengan memasukkan variabel boneka (dummy variable) untuk mengizinkan terjadinya perbedaan nilai parameter yang berbeda-beda baik lintas unit cross section maupun antar waktu. Dalam pengujian skripsi ini, penulis akan menyoroti nilai intersep yang mungkin saja bisa berbeda-beda antar unit cross section. Pendekatan dengan memasukkan variabel boneka ini dikenal dengan sebutan model efek tetap (fixed effect). Pendekatan tersebut dapat ditulis dalam persamaan sebagai berikut:
Yit = a + bX it + g 2W2t + g3W3t + ... + g NWNt
+d2 Zi 2 + d3Zi 3 + ... + dT ZiT + eit
(3.6)
dimana : 1 untuk individu ke-i, I = 2, . . ., N
Wit = 0 untuk sebaliknya
1 untuk periode ke-t, t = 2, . . ., T
Zit = 0 untuk sebaliknya Dengan demikian telah ditambahkan sebanyak (N – 1)+ (T – 1) variabel boneka ke dalam model dan menghilangkan dua sisanya untuk menghindari kolinearitas sempurna antar variabel penjelas. Dengan menggunakan pendekatan ini akan terjadi
degree of freedom sebesar NT – 2 – (N – 1) – (T– 1), atau sebesar NT – N – T. Keputusan
memasukkan
variabel
boneka
ini
harus
didasarkan
pada
pertimbangan statistik. Tidak dapat kita pungkiri, dengan melakukan penambahan variabel boneka ini akan dapat mengurangi banyaknya degree of freedom yang pada akhirnya akan mempengaruhi kefisienan dari parameter yang diestimasi. Pertimbangan pemilihan pendekatan yang digunakan ini didekati dengan menggunakan statistik F yang berusaha memperbandingkan antara nilai jumlah kuadrat dari error dari proses pendugaan dengan menggunakan metode kuadrat terkecil dan efek tetap yang telah memasukkan variabel boneka.
Pendekatan Efek Acak (Random Effect)
Keputusan untuk memasukkan variabel boneka dalam model efek tetap tak dapat dipungkiri akan dapat menimbulkan konsekuensi (trade off). Penambahan variabel boneka ini akan dapat mengurangi banyaknya derajat kebebasan (degree of freedom) yang pada akhirnya akan mengurangi efisiensi dari parameter yang diestimasi. Berkaitan dengan hal ini, dalam model data panel dikenal pendekatan ketiga yaitu model efek acak (random effect). Dalam model efek acak, parameter-parameter yang berbeda antar daerah maupun antar waktu dimasukkan ke dalam error. Karena hal ini lah, model efek acak sering juga disebut model komponen error (error component model). Bentuk model efek acak ini dijelaskan pada persamaan berikut ini:
Yit = α + β X it + ε it
(3.7)
ε it = ui + vt + wit
(3.8)
dimana :
ui ~
N (0, δ u 2 )
vt ~ N (0, δ v 2 )
= komponen cross section error = komponen time series error
wit ~ N (0, δ w 2 ) = komponen error kombinasi Di asumsikan bahwa error secara individual juga tidak saling berkorelasi begitu juga dengan error kombinasinya. Dengan menggunakan model efek acak ini, maka dapat menghemat pemakaian derajat kebebasan dan tidak mengurangi jumlahnya seperti yang dilakukan pada model efek tetap. Hal ini berimplikasi parameter yang merupakan hasil estimasi akan menjadi semakin efisien. Keputusan penggunaan model efek tetap ataupun efek acak ditentukan dengan menggunakan spesifikasi yang dikembangkan oleh Hausman. Spesifikasi ini
akan memberikan penilaian dengan menggunakan nilai Chi Square Statistics sehingga keputusan pemilihan model akan dapat ditentukan secara statistik. Disamping dengan menggunakan tes statistika, terdapat beberapa pertimbangan dalam memilih apakah akan menggunakan fixed effect atau random effect. Apabila diasumsikan bahawa εi dan variabel bebas X berkorelasi, maka fixed effect lebih cocok untuk dipilih. Sebaliknya, apabila εi dan variabel bebas X tidak berkorelasi, maka random effect yang lebih baik untuk dipilih. Menurut
Judge
(1985),
beberapa
pertimbangan yang dapat dijadikan panduan untuk memilih antara fixed effect atau random effect adalah : 1. Bila T (banyaknya unit time series) besar sedangkan N (jumlah unit cross section) kecil, maka hasil fixed effect dan random effect tidak jauh berbeda sehingga dapat dipilih pendekatan yang lebih mudah untuk dihitung yaitu fixed effect. 2. Bila N besar dan T kecil, maka hasil estimasi kedua pendekatan akan berbeda jauh. Jadi, apabila diyakini bahwa unit cross section yang kita pilih dalam penelitian diambil secara acak (random) maka random effect harus digunakan. Sebaliknya, apabila diyakini bahwa unit cross section yang dipilih dalam penelitian tidak diambil secara acak maka harus menggunakan fixed effect. 3. Apabila komponen error individual (εi) berkorelasi dengan variabel bebas X maka parameter yang diperoleh denngan random effect akan bias sementara parameter yang diperoleh dengan fixed effect tidak bias. 4. Apabila N besar dan T kecil, dan apabila asumsi yang mendasari random effect dapat terpenuhi, maka random effect lebih efisien dibandingkan fixed effect. Seperti yang telah disampaikan pada bagian sebelumnya, penelitian ini akan mempertimbangkan 3 model dalam pengolahan data panel, yaitu:
1.
yit = α i + xit' β + ε it , untuk Fixed Effect dimana terdapat variasi pada intersep yang dimanifestasikan dalam bentuk dummy variable.
2.
yit = μ + xit' β + α i + ε it untuk Random Effect dimana variasi pada intersep dimanifestasikan dalam komponen galat (error component model).
3.
y it = α + β i xit + ε it untuk Pooled Least Square dimana untuk setiap cross section memiliki perilaku yang sama yang ditunjukkan dengan paramater intersep dan slope yang sama. Pemilihan model yang digunakan dalam sebuah penelitian perlu dilakukan
berdasarkan pertimbangan statistik. Hal ini ditujukan untuk memperoleh dugaan yang efisien. Diagram pengujian statistik untuk memilih model yang digunakan dapat diperlihatkan pada gambar berikut ini: FIXED EFFECT Hausman Test
Chow Test
RANDOM EFFECT LM Test
POOLED LEAST SQUARE Gambar 3.1. Pengujian Pemilihan Model dalam Pengolahan Data Panel
Secara umum, dalam pengujian estimasi model-model data panel diperlukan sebuah strategi. Strategi yang dapat dilakukan adalah dengan menguji: a) RE vs FE (Hausman Test), b) PLS vs FE (Chow Test). Kerangka pengambilan keputusan dalam memilih sebuah model yang digunakan adalah sebagai berikut: •
Jika (b) tidak signifikan maka gunakan Pooled Least Square.
•
Jika (b) signifikan namun (a) tidak signifikan maka gunakan Random Effect Model .
•
Jika keduanya signifikan, maka gunakan Fixed Effect Model. Karena dalam penelitian ini tidak mungkin menggunakan pendekatan Pooled
Least Square, maka untuk memilih pendekatan efek tetap (fixed effect) atau pendekatan efek acak (Random Effect). Hausman Test
Hausman Test adalah pengujian statistik sebagai dasar pertimbangan kita dalam memilih apakah menggunakan model fixed effect atau model random effect. Seperti yang kita ketahui bahwa penggunaan model fixed effect mengandung suatu unsur trade off yaitu hilangnya derajat kebebasan dengan memasukkan variabel dummy. Namun, penggunaan metode random effect pun harus memperhatikan ketiadaan pelanggaran asumsi dari setiap komponen galat. Hausman Test dilakukan dengan hipotesis sebagai berikut: H0: Random Effects Model H1: Fixed Effects Model.
Dengan menggunakan software Eviews 4.1 Sebagai dasar penolakan hipotesis nol yaitu jika Statistik Hausman >Chi Square Table atau dapat juga dengan menggunakan nilai
probabilitas (p-value). Jika p-value < tingkat kritis α, maka tolak hipotesis untuk memilih random effects model. Statistik hausman dirumuskan dengan: m = ( β − b ) (M 0 − M 1 ) '
−1
(β − b )
~ X 2 (K )
(3.9)
Dimana β adalah vektor untuk statistik variabel fix effect, b adalah vektor statistik variabel random effect, ( M 0 ) adalah matriks kovarians untuk dugaan FEM dan ( M 1 ) adalah matriks kovarians untuk dugaan REM. 3.2.5. Evaluasi Model
a. Multikolinearitas Indikasi multikolinearitas tercermin dengan melihat hasil t dan F-statistik hasil regresi. Jika banyak koefisien parameter dari t-statistik diduga tidak signifikan sementara dari hasil F-hitung signifikan, maka patut diduga adanya multikolinearitas. Multikolinearitas dapat diatasi dengan menghilangkan variabel yang tidak signifikan. b. Autokorelasi Autokorelasi dapat mempengaruhi efisiensi dari estimatornya. Untuk mendeteksi adanya korelasi serial adalah dengan melihat nilai Durbin-Watson (DW) dalam Eviews. Untuk mengetahui ada atau tidaknya autokorelasi, maka dilakukan dengan membandingkan DW-statistik dengan DW-tabel. Adapun kerangka identifikasi autokorelasi terangkum dalam Tabel 3.1.
Tabel 3.1. Kerangka Identifikasi Autokorelasi Nilai DW
Hasil
4-dL < DW < 4
Tolak H0, korelasi serial negatif
4-dL < DW < 4-dU
Hasil tidak dapat ditentukan
2 < DW < 4-dU
Terima H0, tidak ada korelasi serial
dU < DW < 2
Terima H0, tidak ada korelasi serial
dL < DW < dU
Hasil tidak dapat ditentukan
0 < DW < dL
Tolak H0, korelasi serial positif
Korelasi serial ditemukan jika error dari periode waktu yang berbeda saling berkorelasi. Hal ini bisa dideteksi dengan melihat pola random error dari hasil regresi. Pada analisis seperti yang dilakukan dalam model, jika ditemukan korelasi serial, maka model menjadi tidak efisien meskipun tidak bias dan konsisten. Perlakuan untuk pelanggaran ini adalah dengan menambahkan AR(1) atau AR(2) dan seterusnya, tergantung dari banyaknya autokorelasi pada model regresi yang di gunakan. c. Heteroskedastisitas Dalam regresi linear ganda, salah satu asumsi yang harus dipenuhi agar taksiran parameter dalam model tersebut BLUE adalah Var (ui) = σ 2 (konstan), semua varian mempunyai variasi yang sama. Pada umumnya, heteroskedastisitas diperoleh pada data cross section. Jika pada model dijumpai heteroskedastisitas, maka model menjadi tidak efisien meskipun tidak bias dan konsisten. Dengan kata lain, jika regresi tetap dilakukan meskipun ada masalah heteroskedastisitas maka pada hasil regresi akan terjadi “misleading” (Gujarati, 1995). Untuk menguji adanya pelanggaran asumsi Heteroskedastisitas, digunakan uji White-heteroskedasticity yang diperoleh dalam program Eviews. Dengan uji ini, Obs* R-Squared dibandingkan dengan χ 2 (Chi Squared) tabel, jika nilai Obs* R-Squared lebih kecil daripada χ 2 -tabel maka tidak ada heteroskedastisitas pada model. Dalam pengolahan data panel dalam Eviews 4.1 yang menggunakan metode General Least Square (cross section weights), maka untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas adalah dengan membandingkan Sum Square Resid pada Weighted Statistics dengan Sum
Squared Resid Unweighted Statistics. Jika Sum Square Resid pada Weighted Statistics < Sum Squared Resid Unweighted Statistics, maka terjadi heteroskedastisitas. Perlakuan untuk pelanggaran tersebut adalah dengan mengestimasi GLS dengan White Heteroscedasticity. Model Penelitian
Salah satu langkah dalam penelitian ini adalah menentukan model umum yang digunakan dengan menggunakan analisis fungsi regresi untuk seluruh kawasan. Penggunaan fungsi regresi ditujukan untuk menangkap berbagai kemungkinan perilaku dari variabel-variabel yang diestimasi. Untuk model seluruh kawasan, model ini mengacu model penelitian Kamin dan Klau (2003), namun karena adanya dugaan perbedaan pengaruh/perilaku faktor-faktor yang mempengaruhi laju inflasi terhadap laju inflasi antara satu kawasan (kawasan Asia) dengan kawasan lainnya (kawasan non Asia) maka dalam persamaan laju inflasi yang akan di estimasi dimasukkan variabel dummy kawasan (DC). Selain itu adanya kemungkinan terdapat perbedaan yang signifikan antar kawasan akan perilaku (pergerakan/laju) inflasi akibat adanya krisis finansial yang melanda Asia (Asian Financial Crisis), maka dimasukkan pula variabel dummy krisis (DK). Semua variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah dalam bentuk logaritma. Sehingga model umum seluruh kawasan yang akan diestimasi dapat dirumuskan sebagai berikut:
Δpit = αi + β1reri(t −1) + β2 ygapi(t −1) + β3Δp*it + β4Δeit + β5Δpi(t −1) + γ11reri(t −1) DC +γ 21 ygapi (t −1) DC + γ 31Δp*i (t −1) DC + γ 41Δeit DC + γ 51Δpi (t −1) DC
+β6 DK + εit Dimana:
(3.10)
Δpit
= laju inflasi
reri (t −1)
= lag nilai tukar riil ; peningkatan menandakan depresiasi
ygapi (t −1)
= lag YGAP
Δp*it
= laju inflasi luar negeri
Δeit
= laju perubahan nilai tukar nominal (domestic currency/US$); peningkatan menandakan depresiasi
Δpi (t −1)
= lag laju inflasi domestik
DC
= dummy Kawasan, bernilai 1 untuk kawasan Asia, dan bernilai 0 untuk kawasan non Asia
DK
= dummy Krisis, bernilai 1 untuk periode setelah tahun 1997, dan bernilai 0 untuk periode sebelumnya
α
i
= koefisien regresi yang menunjukkan intersep model yang berubah-ubah tiap negara
β1,...,k
= koefisien regresi yang menunjukkan slope variabel penjelas
γ k ,1
= koefisien regresi yang menunjukkan slope dummy interaksi
i ,t
= negara ke- i, pada tahun ke-t
ε
= error/simpangan
Jika hasil regresi dari dummy interaksi dengan setiap variabel penjelas dan dummy krisis signifikan maka model akan dipecah menjadi dua model yaitu model kawasan Asia dan model kawasan non Asia.
Sedangkan data yang digunakan adalah dari negara-negara berikut ini. Kawasan Asia
: Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, Jepang, China, Korea
Kawasan Non Asia
: Inggris, Perancis, Jerman, Belanda, Belgia, Denmark, Swedia, Norwegia, Amerika Serikat, Kanada, Meksiko
3.4.
Batasan dalam Penelitian
Dalam penelitian ini, akan lebih ditekankan pada penggunaan konsep nilai tukar riil dalam kaitannya terhadap laju inflasi. Pertimbangan dalam memilih nilai tukar riil sebagai variabel penjelas fungsi laju inflasi dikarenakan nilai tukar riil cukup dapat menggambarkan posisi daya saing suatu negara relatif terhadap negara lainnya. Penggunaan konsep nilai tukar efektif nominal maupun nilai tukar efektif riil sebagaimana yang dilakukan pada penelitian-penelitian terdahulu tidak dilakukan. Hal ini dikarenakan keterbatasan data nilai ekspor dan impor mitra dagang utama dari kesembilanbelas negara yang dilibatkan dalam penelitian ini, karena sebagaimana diketahui dalam konsep nilai tukar efektif diperlukan data-data tersebut untuk digunakan sebagai pembobot nilai tukar.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1.
Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai analisis komparatif keterkaitan inflasi dengan nilai tukar riil di kawasan Asia (ASEAN+3) dan non Asia (Uni Eropa, Amerika Utara), maka diperoleh dua kesimpulan, yaitu: 1. Dengan menggunakan analisis eksploratif dan Granger Causality Test untuk melihat hubungan keterkaitan inflasi dengan nilai tukar riil, ternyata terdapat korelasi yang kuat antara pergerakan inflasi dengan nilai tukar riil di sebagian besar negaranegara, selain itu untuk kawasan Asia yang berlaku adalah hubungan kausalitas satu arah dimana baik tingkat depresiasi nilai tukar nominal maupun tingkat nilai tukar riil secara signifikan memiliki pengaruh terhadap laju inflasi. Sedangkan di kawasan non Asia hubungan kausalitas satu arah justru terjadi dimana laju inflasi yang memiliki pengaruh secara signifikan baik terhadap tingkat depresiasi nilai tukar nominal maupun tingkat nilai tukar riil. 2. Dengan menggunakan metode panel data dengan model efek tetap (fixed effect) atau dapat disebut General Least Square (GLS) dengan pembobotan cross section pada model seluruh kawasan, hasil interaksi dummy kawasan dengan setiap variabel yang mempengaruhi laju inflasi ternyata signifikan yang berarti memungkinkan membagi menjadi dua model yaitu model kawasan Asia dan non Asia. Ditemukan bahwa terdapat perbedaan pola perilaku variabel RER1, DPF, DE terhadap laju inflasi antara kawasan Asia dan non Asia. Dummy krisis yang dimasukkan dalam model menunjukan bahwa adanya perbedaan perilaku inflasi antara sebelum dan sesudah terjadinya Asian Financial Crisis (AFC) hanya berlaku di kawasan Asia.
Lebih lanjut ternyata respon/kepekaan inflasi terhadap perubahan nilai tukar riil lebih tinggi di kawasan Asia dibandingkan kawasan non Asia. Secara keseluruhan, baik analisis eksploratif, Granger Causality Test, maupun estimasi model panel data memperlihatkan hasil yang sejalan yaitu terdapat keterkaitan yang erat antara nilai tukar riil dan laju inflasi, dimana nilai tukar riil signifikan berpengaruh terhadap laju inflasi untuk kawasan Asia. 5.2.
Saran
Berdasarkan penelitian penulis dapat dilihat bahwa terdapat hubungan yang erat antara nilai tukar riil dan laju inflasi, dimana terdepresiasinya nilai tukar riil akan mendorong peningkatan laju inflasi, terutama untuk kawasan Asia. Pentingnya mengelola inflasi sebagai ukuran stabilitas perekonomian suatu negara mengharuskan adanya koordinasi Bank Sentral dan pemerintah dalam langkah pengendalian laju inflasi. Dengan melihat eratnya kaitan antara nilai tukar riil dan laju inflasi, maka Bank Sentral dengan otoritas moneternya dapat menjadikan kebijakan moneter melalui saluran nilai tukar sebagai jalur kebijakan untuk mencapai sasaran inflasi. Untuk penelitian selanjutnya disarankan untuk menganalisis faktor apa saja yang dapat menyebabkan terjadinya perbedaan respon/kepekaan inflasi terhadap perubahan nilai tukar riil di berbagai kawasan di dunia. Hal ini perlu dilakukan untuk lebih memahami bagaimana perilaku inflasi itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Achsani, N. A. 2001. Sekilas Ekonomi Indonesia : “Sukses” Masa Lalu, Problema Masa Kini dan Tantangan Masa Depan. Istecs. f2o/ diskusi/paper/Noer Achsani.Pdf. Badan Pusat Statistik. 2003. Komposisi Nilai Barang Impor Indonesia, Tahun 2002. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
1987-
Baltagi, B. H. 1995. Econometrics Analysis of Panel Data. Chichester, John Willey & Sons. Bank
Indonesia. 2007. “Balance of Payment Indonesia 1996-2002”. http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/CountryData/Balance_Pymnts_Intl_Trade.pdf.
Bank Indonesia. 2002. Laporan Mingguan 1999 / 2000. Bank Indonesia, Jakarta. Batiz, F. L. R dan L. A. R. Batiz. 1994. International Finance and Open Macroeconomics. Mcmillan Publishing co. New York.
Economy,
Granger, C. W. J. 1969. “Investigating Causal Relations by Econometric Mode1s and Cross Spectral Methods”. Econometrica, 37: 424-438. Gujarati, D. 1995. Ekonometrika Dasar. Sumarno Zain [penerjemah]. Erlangga, Jakarta. Hartati, E.S. 2004. Analisis Dampak Pergerakan Nilai Tukar Terhadap Inflasi di Indonesia : Pendekatan Exchange Rate Pass Through [Tesis]. Sekolah Pascasarjana-IPB, Bogor. Islam, N. 1995. “Growth Empirics: A Panel Data Approach”. The Quarterly Journal of Economics, No.11/95. Judge, G. G., R. C. Hill, W. E. Griffith, H. Lutkepohl, dan T. C. Lee. 1985. Introduction to the Theory and Practice of Econometricsi. NewYork. Kamin, S.B. dan M. Klau. 2003. “A Multi-Country Comparison of The Linkages Between Inflation and Exchange Rate Competitiveness”. International Jornal of Finance and Economics, 8:167-184. Lipsey, R. G. dan Peter D. S. 1995. Pengantar Makroekonomi. Agus Maulana [penerjemah]. Binarupa Aksara, Jakarta. Mankiw, N. G. 2000. Teori Makroekonomi. Iman Nurmawan [penerjemah]. Erlangga, Jakarta.
Mishkin, F. S. 2001. The Economics of Money, Banking, and Financial Markets Sixth Edition. Colombia University. Nazir. M. 1999. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia, Jakarta. Ndungu’, N.S. 1997. “Price and Exchange Rate Dynamics in Kenya: an Empirical Investigation (1970-1993)”. AERC research Paper, 58. Nugraha, F. W. 2006. Efek Perubahan (Pass-Through Effect) Kurs Terhadap Indeks Harga Konsumen di ASEAN-5, Jepang dan Korea Selatan. [Skripsi]. FEM-IPB, Bogor. Poirson, H. 2000. “Factor Reallocation and Growth in Developing Countries”. Working Paper, No. 00/94.
IMF
Rana, P. B. 1983. “The Impact of The Current Exchange Rate System on Trade and Inflation of Selected Developing Member Countries”. Asian Development Bank Economic Staff Paper, No. 18. Salvatore, D. 1997. Ekonomi Internasional. Haris Munandar [penerjemah]. Erlangga, Jakarta. Suparmoko. 1998. Pengantar Ekonomi Makro. BPFE-YOGYAKARTA, Yogyakarta. Syahrial, S. 2004. Pelatihan Pengolahan Data Panel Laboratorium Komputasi Departemen Ilmu Ekonomi FEUI. LPEM FEUI, Jakarta. Waluyo, D. B dan B. Siswanto. 1998. “Peranan Kebijakan Nilai Tukar dalam EraDeregulasi dan Globalisasi”. Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Vol. 1, No. 1. Bank Indonesia, Jakarta.
Lampiran 1. Granger Causality Test • Kasus seluruh kawasan VARIABEL DP DAN DE Pairwise Granger Causality Tests Date: 07/10/07 Time: 08:47 Sample: 1992 200 Lags: 2 Null Hypothesis:
Obs
F-Statistic
Probability
DP does not Granger Cause DE DE does not Granger Cause DP
228
4.79820 36.2106
0.00912 2.4E-14
Null Hypothesis:
Obs
F-Statistic
Probability
DP does not Granger Cause DE DE does not Granger Cause DP
190
2.43792 12.2445
0.04873 7.8E-09
Null Hypothesis:
Obs
F-Statistic
Probability
DP does not Granger Cause DE DE does not Granger Cause DP
152
2.18443 6.69595
0.04800 3.0E-06
Null Hypothesis:
Obs
F-Statistic
Probability
DP does not Granger Cause LNRER LNRER does not Granger Cause DP
228
5.65380 31.1058
0.00403 1.2E-12
Pairwise Granger Causality Tests Date: 07/10/07 Time: 08:49 Sample: 1992 2005 Lags: 4
Pairwise Granger Causality Tests Date: 07/10/07 Time: 08:49 Sample: 1992 2005 Lags: 6
VARIABEL DP DAN LNRER Pairwise Granger Causality Tests Date: 07/10/07 Time: 09:09 Sample: 1992 2005 Lags: 2
Pairwise Granger Causality Tests Date: 07/10/07 Time: 09:10 Sample: 1992 2005 Lags: 4 Null Hypothesis:
Obs
F-Statistic
Probability
DP does not Granger Cause LNRER LNRER does not Granger Cause DP
190
2.42627 13.2778
0.04963 1.7E-09
Null Hypothesis:
Obs
F-Statistic
Probability
DP does not Granger Cause LNRER LNRER does not Granger Cause DP
152
1.18856 7.90401
0.31592 2.4E-07
Null Hypothesis:
Obs
F-Statistic
Probability
LNYGAP does not Granger Cause DP DP does not Granger Cause LNYGAP
228
26.9683 2.68304
3.2E-11 0.07056
Null Hypothesis:
Obs
F-Statistic
Probability
LNYGAP does not Granger Cause DP DP does not Granger Cause LNYGAP
190
11.4291 1.91454
2.7E-08 0.10988
Pairwise Granger Causality Tests Date: 07/10/07 Time: 09:10 Sample: 1992 2005 Lags: 6
VARIABEL DP DAN LNYGAP Pairwise Granger Causality Tests Date: 07/28/07 Time: 13:31 Sample: 1992 2005 Lags: 2
Pairwise Granger Causality Tests Date: 07/28/07 Time: 13:32 Sample: 1992 2005 Lags: 4
Pairwise Granger Causality Tests
Date: 07/28/07 Time: 13:32 Sample: 1992 2005 Lags: 6 Null Hypothesis:
Obs
F-Statistic
Probability
LNYGAP does not Granger Cause DP DP does not Granger Cause LNYGAP
152
6.41036 0.66317
5.6E-06 0.67949
Obs
F-Statistic
Probability
96
1.55438 14.8252
0.21688 2.7E-06
Obs
F-Statistic
Probability
80
0.95824 5.97195
0.43588 0.00034
Obs
F-Statistic
Probability
64
0.60850 3.19876
0.72231 0.00964
• Kasus kawasan Asia VARIABEL DP DAN DE Pairwise Granger Causality Tests Date: 07/10/07 Time: 14:57 Sample: 1992 2005 Lags: 2 Null Hypothesis: DP does not Granger Cause DE DE does not Granger Cause DP
Pairwise Granger Causality Tests Date: 07/10/07 Time: 14:58 Sample: 1992 2005 Lags: 4 Null Hypothesis: DP does not Granger Cause DE DE does not Granger Cause DP
Pairwise Granger Causality Tests Date: 07/10/07 Time: 14:59 Sample: 1992 2005 Lags: 6 Null Hypothesis: DP does not Granger Cause DE DE does not Granger Cause DP
VARIABEL DP DAN LNRER Pairwise Granger Causality Tests Date: 07/10/07 Time: 15:00
Sample: 1992 2005 Lags: 2 Null Hypothesis:
Obs
F-Statistic
Probability
DP does not Granger Cause LNRER LNRER does not Granger Cause DP
96
2.04660 15.0004
0.13508 2.3E-06
Null Hypothesis:
Obs
F-Statistic
Probability
DP does not Granger Cause LNRER LNRER does not Granger Cause DP
80
0.81178 8.00551
0.52182 2.2E-05
Null Hypothesis:
Obs
F-Statistic
Probability
DP does not Granger Cause LNRER LNRER does not Granger Cause DP
64
0.71482 4.37580
0.63932 0.00123
Null Hypothesis:
Obs
F-Statistic
Probability
LNYGAP does not Granger Cause DP DP does not Granger Cause LNYGAP
96
11.4628 1.23263
3.6E-05 0.29635
Obs
F-Statistic
Probability
Pairwise Granger Causality Tests Date: 07/10/07 Time: 15:01 Sample: 1992 2005 Lags: 4
Pairwise Granger Causality Tests Date: 07/10/07 Time: 15:01 Sample: 1992 2005 Lags: 6
VARIABEL DP DAN LNYGAP Pairwise Granger Causality Tests Date: 07/28/07 Time: 14:55 Sample: 1992 2005 Lags: 2
Pairwise Granger Causality Tests Date: 07/28/07 Time: 14:57 Sample: 1992 2005 Lags: 4 Null Hypothesis:
LNYGAP does not Granger Cause DP DP does not Granger Cause LNYGAP
80
5.56993 0.86277
0.00059 0.49064
Null Hypothesis:
Obs
F-Statistic
Probability
LNYGAP does not Granger Cause DP DP does not Granger Cause LNYGAP
64
3.06078 0.33309
0.01234 0.91636
Null Hypothesis:
Obs
F-Statistic
Probability
DE does not Granger Cause DP DP does not Granger Cause DE
132
18.4267 4.82828
9.4E-08 0.00953
Null Hypothesis:
Obs
F-Statistic
Probability
DE does not Granger Cause DP DP does not Granger Cause DE
110
1.65093 2.12865
0.16736 0.08268
Obs
F-Statistic
Probability
88
1.80099
0.11033
Pairwise Granger Causality Tests Date: 07/28/07 Time: 14:57 Sample: 1992 2005 Lags: 6
•
Kasus kawasan non Asia VARIABEL DP DAN DE Pairwise Granger Causality Tests Date: 07/10/07 Time: 15:06 Sample: 1992 2005 Lags: 2
Pairwise Granger Causality Tests Date: 07/10/07 Time: 15:07 Sample: 1992 2005 Lags: 4
Pairwise Granger Causality Tests Date: 07/10/07 Time: 15:07 Sample: 1992 2005 Lags: 6 Null Hypothesis: DE does not Granger Cause DP
DP does not Granger Cause DE
5.92555
4.2E-05
VARIABEL DP DAN LNRER Pairwise Granger Causality Tests Date: 07/28/07 Time: 12:22 Sample: 1992 2005 Lags: 2 Null Hypothesis:
Obs
F-Statistic
Probability
LNRER does not Granger Cause DP DP does not Granger Cause LNRER
132
15.2352 6.33615
1.2E-06 0.00238
Null Hypothesis:
Obs
F-Statistic
Probability
LNRER does not Granger Cause DP DP does not Granger Cause LNRER
110
1.09318 2.31306
0.36409 0.06264
Null Hypothesis:
Obs
F-Statistic
Probability
LNRER does not Granger Cause DP DP does not Granger Cause LNRER
88
1.67899 2.78498
0.13788 0.01685
Null Hypothesis:
Obs
F-Statistic
Probability
LNYGAP does not Granger Cause DP DP does not Granger Cause LNYGAP
132
15.1280 2.00461
1.3E-06 0.13895
Pairwise Granger Causality Tests Date: 07/28/07 Time: 12:23 Sample: 1992 2005 Lags: 4
Pairwise Granger Causality Tests Date: 07/28/07 Time: 12:23 Sample: 1992 2005 Lags: 6
VARIABEL DP DAN LNYGAP Pairwise Granger Causality Tests Date: 07/28/07 Time: 15:06 Sample: 1992 2005 Lags: 2
Pairwise Granger Causality Tests Date: 07/28/07 Time: 15:08 Sample: 1992 2005 Lags: 4 Null Hypothesis:
Obs
F-Statistic
Probability
LNYGAP does not Granger Cause DP DP does not Granger Cause LNYGAP
110
1.05115 2.68331
0.38480 0.03567
Null Hypothesis:
Obs
F-Statistic
Probability
LNYGAP does not Granger Cause DP DP does not Granger Cause LNYGAP
88
2.75995 1.23957
0.01769 0.29596
Pairwise Granger Causality Tests Date: 07/28/07 Time: 15:09 Sample: 1992 2005 Lags: 6
Lampiran 2. Hausman Test dengan Menggunakan Eviews 4.1
Data seluruh kawasan Alpha (α) Chi-Square χ2 table (K=11) Nilai h P-Value
0.05 19.675 146.7017 0.0000
Data kawasan Asia Alpha (α) Chi-Square χ2 table (K=6) Nilai h P-Value
0.05 12.392 57.54692 1.42E-10
Data kawasan non Asia Alpha (α) Chi-Square χ2 table (K=6) Nilai h P-Value
0.05 12.392 36.32825 2.38E-06
Lampiran 3. Hasil Estimasi Fungsi Inflasi Menggunakan Model Efek Tetap dengan Pembobotan (Cross Section Weights) dan White Heteroskedasticity untuk Seluruh Kawasan Dependent Variable: DP? Method: GLS (Cross Section Weights) Sample: 1992 2005 Included observations: 14 Number of cross-sections used: 19 One-step weighting matrix White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance Variable Coefficient Std. Error t-Statistic RER1? 0.046752 0.010840 4.312862 YGAP1? 0.003611 0.011221 0.321826 DPF? 0.457999 0.049634 9.227548 DE? 0.020221 0.007389 2.736620 DP1? 0.335427 0.102315 3.278372 DC?*RER1? -0.044973 0.011452 -3.926882 DC?*YGAP1? -0.005081 0.018135 -0.280176 DC?*DPF? -0.639722 0.153956 -4.155216 DC?*DE? -0.020993 0.013267 -1.582309 DC?*DP1? 0.015914 0.148033 0.107503 DK? -0.007259 0.001471 -4.936225 Fixed Effects _INA--C 0.067760 _MALAY--C 0.024985 _SGP--C 0.011392 _THAI--C 0.025831 _PHP--C 0.042631 _JPN--C 0.000848 _CHN--C 0.038499 _KOR--C 0.021284 _INGG--C 0.027193 _FRAN--C -0.076884 _JRM--C -0.018966 _BLND--C -0.021885 _BLG--C -0.160693 _DNM--C -0.081511 _SWD--C -0.091578 _NWG--C -0.086154 _AS--C 0.009273 _CND--C -0.010118 _MXC--C -0.043160 Weighted Statistics R-squared 0.606783 Mean dependent var Adjusted R-squared 0.558464 S.D. dependent var S.E. of regression 0.023460 Sum squared resid F-statistic 12.55785 Durbin-Watson stat Prob(F-statistic) 0.000000 Unweighted Statistics R-squared 0.568384 Mean dependent var Adjusted R-squared 0.515346 S.D. dependent var S.E. of regression 0.033290 Sum squared resid Durbin-Watson stat 1.983705
Prob. 0.0000 0.7479 0.0000 0.0067 0.0012 0.0001 0.7796 0.0000 0.1149 0.9145 0.0000
0.051838 0.035306 0.129888 1.936611 0.035534 0.047819 0.261547
Lampiran 4. Hasil Estimasi Fungsi Inflasi Menggunakan Model Efek Tetap dengan Pembobotan (Cross Section Weights) dan White Heteroskedasticity untuk Kawasan Asia Dependent Variable: DP? Method: GLS (Cross Section Weights) Date: 07/30/07 Time: 14:21 Sample: 1992 2005 Included observations: 14 Number of cross-sections used: 8 Total panel (balanced) observations: 112 One-step weighting matrix White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance Variable Coefficient Std. Error t-Statistic RER1? 0.015888 0.005976 2.658655 YGAP1? 0.004472 0.009526 0.469454 DPF? -0.176465 0.128071 -1.377875 DE? -0.008382 0.008632 -0.971068 DP1? 0.280412 0.083203 3.370223 DK? -0.015963 0.001875 -8.515069 Fixed Effects _INA--C -0.042771 _MALAY--C 0.014685 _SGP--C -0.021519 _THAI--C -0.017148 _PHP--C 0.000551 _JPN--C -0.060131 _CHN--C 0.017569 _KOR--C -0.068688 Weighted Statistics R-squared 0.655219 Mean dependent var Adjusted R-squared 0.609483 S.D. dependent var S.E. of regression 0.036657 Sum squared resid Log likelihood 289.3251 F-statistic Durbin-Watson stat 2.007940 Prob(F-statistic) Unweighted Statistics R-squared 0.429816 Mean dependent var Adjusted R-squared 0.354180 S.D. dependent var S.E. of regression 0.045067 Sum squared resid Durbin-Watson stat 2.052433
Prob. 0.0092 0.6398 0.1714 0.3339 0.0011 0.0000
0.065779 0.058659 0.131683 14.32603 0.000000 0.043779 0.056079 0.199040
Lampiran 5. Hasil Estimasi Fungsi Inflasi Menggunakan Model Efek Tetap dengan Pembobotan (Cross Section Weights) dan White Heteroskedasticity untuk Kawasan Non Asia Dependent Variable: DP? Method: GLS (Cross Section Weights) Date: 07/31/07 Time: 06:59 Sample: 1992 2005 Included observations: 14 Number of cross-sections used: 11 Total panel (balanced) observations: 154 One-step weighting matrix White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance Variable Coefficient Std. Error t-Statistic RER1? 0.025043 0.016495 1.518174 YGAP1? -0.015905 0.015635 -1.017288 DPF? 0.505089 0.068653 7.357158 DE? 0.019847 0.010704 1.854270 DP1? 0.342132 0.158479 2.158846 DK? -0.002736 0.002362 -1.158389 Fixed Effects _INGG--C 0.012232 _FRAN--C -0.043569 _JRM--C -0.012039 _BLND--C -0.012003 _BLG--C -0.087936 _DNM--C -0.045080 _SWD--C -0.052158 _NWG--C -0.047775 _AS--C 0.005286 _CND--C -0.007824 _MXC--C 0.003611 Weighted Statistics R-squared 0.604167 Mean dependent var Adjusted R-squared 0.557938 S.D. dependent var S.E. of regression 0.012281 Sum squared resid Log likelihood 554.1964 F-statistic Durbin-Watson stat 1.839641 Prob(F-statistic) Unweighted Statistics R-squared 0.746972 Mean dependent var Adjusted R-squared 0.717421 S.D. dependent var S.E. of regression 0.021217 Sum squared resid Durbin-Watson stat 1.406880
Prob. 0.1313 0.3108 0.0000 0.0659 0.0326 0.2487
0.036090 0.018470 0.020661 13.06909 0.000000 0.029537 0.039913 0.061673
Lampiran 6. Neraca Pembayaran Indonesia 1996-2002 (Juta Dollar US) Balance of Payments (Indonesia), 1996-2002 (US$ Million) note:/a Since 2002 foreign direct investment includes a part of privatization and banking restructuring. Items
1996
1997
1998
1999
1 Non oil/gas, merchandise. (net) -1,849 3,129 13,864 14,355 a. Export, fob 38,021 44,576 42,951 40,987 b. Import,fob -39,870 -41,447 -29,087 -26,632 2 Oil, merchandise. (net) 3,122 2,266 1,518 1,975 a. Export, fob 7,222 6,771 4,141 5,680 b. Import,fob -4,100 -4,505 -2,623 -3,705 3 Gas, merchandise. (net) 5,896 4,679 3,047 4,314 a. Export, fob 4,945 4,950 3,279 4,576 b. Import,fob -270 -271 -232 -262 4 Current account -7,801 -5,001 4,097 5,783 a. Exports, fob 50,188 56,297 50,371 51,243 b. Imports, fob -44,240 -46,223 -31,942 -30,599 c. Services, net -13,749 -15,075 -14,332 -14,861 5 Official Capital -522 2,880 9,971 5,353 a. Inflows 5,693 7,594 7,414 6,560 IGGI 5,093 7,594 5,897 6,560 Program aid 0 3,036 1,821 3,870 Project aid 4,928 4,466 3,916 2,417 ODA 3,274 2,601 1,718 1,686 Non-ODA 1,654 1,865 2,198 731 Commercial loan 600 0 1,517 0 b. Amortization -6,215 -4,714 -3,765 -4,070 c. Exceptional financing 0 3,036 6,322 2,863 - IMF Purchases 0 0 5,761 1,373 - IMF Repurchases 0 0 0 0 - Rescheduling 0 3,036 561 1,490 6 Private Capital 11,511 -338 -13,846 -9,923 a. Foreign direct investment /a 6,194 4,677 -356 -2,745 b. Others 5,317 -5,015 -13,490 -7,178 7 Capital account (5+6) 10,989 2,542 -3,875 -4,570 8 T O T A L (4 + 7) 3,188 -2,459 222 1,213 9 Errors & omissions, net -(8+10) 1,263 -1,986 2,122 2,079 10 Monetary movements /b -4,451 4,445 -7,254 -3,292
2000
2001
2002
15,963 50,341 -34,378 2,197 7,954 -5,757 6,881 7,113 -232 7,998 65,408 -40,367 -17,043 3,217 3,862 3,862 1,360 2,426 2,193 233 0 -4,272 3,627 1,124 0 2,503 -9,992 -4,549 -5,443 -6,775 1,223 3,820 -5,043
15,844 44,805 -28,961 1,533 6,921 -5,388 5,318 5,638 -320 6,900 57,364 -34,669 -15,795 636 2,482 2,482 507 1,975 1,532 443 0 -4,704 2,858 397 -1,772 2,858 -8,253 -5,877 -2,376 -7,617 -717 2,095 1,378
17,317 46,307 -28,990 205 6,549 -6,344 5,993 6,312 -319 7,825 59,168 -35,653 -15,690 -1,240 1,595 1,546 773 1,527 1,254 272 49 -5,467 2,632 1,415 -2,420 3,637 -191 145 -1,057 -1,431 6,394 -2,373 -4,021
/b Since 1998 Monetary Movement is based on Gross Foreign Assets (GFA) replacing Official Reserves. Since 2000, based on change reserve assets replacing GFA. Negative represents surplus and positive represents deficit. Source: Bank Indonesia.