ANALISIS DAMPAK EKONOMI INFRASTRUKTUR JALAN TERHADAP SEKTOR PERKEBUNAN DI PROVINSI LAMPUNG
NUNI GUSNAWATY
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Dampak Ekonomi Infrastruktur Jalan terhadap Sektor Perkebunan di Provinsi Lampung adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, September 2013 Nuni Gusnawaty NIM H451100291
RINGKASAN NUNI GUSNAWATY. Analisis Dampak Ekonomi Infrastruktur Jalan Terhadap Sektor Perkebunan di Provinsi Lampung. Dibimbing oleh BAYU KRISNAMURTHI dan ANNA FARIYANTI. Komoditas perkebunan merupakan andalan ekspor Indonesia, namun sebagian besar diekspor dalam bentuk bahan mentah. Hal ini menunjukkan belum maksimalnya proses industrialiasasi produk perkebunan. Infrastruktur jalan memiliki peran penting sebagai sektor promosi untuk industrialisasi. Tujuan penelitian ini adalah untuk (1) menganalisis peranan sektor perkebunan dan sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan dalam perekonomian Provinsi Lampung; (2) menganalisis keterkaitan dan peran investasi sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan terhadap sektor perkebunan di Provinsi Lampung; (3) menganalisis peranan jalan dalam peningkatan kinerja agribisnis perkebunan kopi di Provinsi Lampung. Penelitian ini menggunakan analisis tabel input output, analisis regresi berganda, dan analisis efisiensi menggunakan persamaan matematika. Penelitian dilakukan di Provinsi Lampung. Hasil analisis input output menunjukkan bahwa sektor kunci bagi perekonomian di Provinsi Lampung adalah sektor kelapa, kopi, serta sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan. Sektor perkebunan yang memerlukan sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan adalah sektor kelapa sawit sedangkan sektor karet berperan sebagai penyedia input. Penambahan panjang jalan berpengaruh positif terhadap produksi kopi di Lampung, sedangkan peningkatan mutu jalan dapat mengurangi biaya angkutan sebesar 22.501%. Pengurangan biaya transportasi dapat mengurangi biaya produksi, sehingga harga kopi dapat menjadi lebih kompetitif. Untuk dapat meningkatkan produksi tanaman perkebunan khususnya kopi di Provinsi Lampung upaya yang dapat dilakukan adalah membuat jalan baru, menggunakan bibit unggul sehingga produktivitas lahan meningkat, dan peremajaan pohon yang sudah tidak produktif. Kata kunci: tanaman perkebunan, input-output, jalan , α-amilase, flavonoid, salam, saponin
SUMMARY NUNI GUSNAWATY. Economic Impact Analysis of Road Infrastructure due to Estate Crops Sector in Lampung Province. Supervised by BAYU KRISNAMURTHI and ANNA FARIYANTI. Estate commodities are mainstay product for Indonesia export, but most of it was being export as fresh product. These facts showed that industrialization in estate crops product has not been maximized yet. Road infrastructure has important role as promoting sector for industrialization. The objective of this research are (1) to analyze the role of estate crops sector and roads, bridges and ports sector in Lampung Province economic development; (2) to analyze connection and role of investment in roads, bridges and ports sector for estate crops sector; and (3) to analyze role of road infrastructure for the improvement of coffee agribusiness performance in Lampung Province. Analysis tool used for this research are input output table analysis, multiple linear regression analysis, and efficiency analysis using mathematic equation. This research were held in Lampung Province. Input-Output analysis (IO) showed that the roads, bridges and ports sector, coconut sector, and coffee sector, are the key sectors in economic development of Lampung province. Estate crops sector who really need the output of roads, bridges and ports sector is the palm sector, while acting as input provider is rubber sector. Increased length of road has positive effect for coffee production in Lampung Province while improved quality of roads could reduce transportation costs up to 22.501%. Reduction in transport costs can reduce production costs and the price of coffee will be more competitive. In order to increased estate crops production specially coffee in Lampung Province, government should build new roads, encourage the use of high quality seeds, and rejuvenation of unproductive trees. Keywords: estate crops, input-output, Road
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ANALISIS DAMPAK EKONOMI INFRASTRUKTUR JALAN TERHADAP SEKTOR PERKEBUNAN DI PROVINSI LAMPUNG
NUNI GUSNAWATY
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Agribisnis
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji pada Ujian Tertutup: Dr Ir Drajat Martianto, MS
Penguji Luar Komisi
: Dr Ir Arief Daryanto, MEc
Penguji Program Studi
: Dr Ir Suharno, MADev
Judul Tesis : Analisis Dampak Ekonomi Infrastruktur Jalan Terhadap Sektor Perkebunan di Provinsi Lampung Nama : Nuni Gusnawaty NIM : H451100291
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Bayu Krisnamurthi, MS Ketua
Dr Ir Anna Fariyanti, MSi Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Agribisnis
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 11 Juli 2013
Tanggal Lulus: (tanggal penandatanganan tesis oleh Dekan Sekolah Pascasarjana)
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan November 2012 ini adalah infrastruktur dalam agribisnis, dengan judul Analisis Dampak Ekonomi Infrastruktur Jalan terhadap Sektor Perkebunan di Provinsi Lampung. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Bayu Krisnamurthi, MS serta Ibu Dr Ir Anna Fariyanti, MSi yang telah banyak memberi saran dan bimbingan selama penelitian dan penulisan tesis ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr Ir Arief Daryanto, MEc dan Bapak Dr Ir Suharno, MADev selaku penguji luar komisi dan penguji program studi atas saran yang diberikan sehingga tesis ini menjadi lebih baik. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Dr Sumaryanto di Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bapak Dr Haryono, Bapak Kasdi Subagyono, Bapak Dr Marhendro, Bapak Drs Edi Sugianto serta staf Sekretariat Badan Litbang Pertanian, dan Bapak Arif Maelan Khasani serta staf Badan Pusat Statistik yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, alm ibu, suami dan anak-anak serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, September 2013 Nuni Gusnawaty
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
x
DAFTAR GAMBAR
xi
DAFTAR LAMPIRAN
xi
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian
1 1 4 7 8 8
2 TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Infrastruktur Jalan di Indonesia Peranan Pembangunan Infrastruktur Terhadap Perekonomian dan Upaya untuk Meningkatkan Investasi di Bidang Infrastruktur Keterkaitan antar Sektor dan Peranannya dalam Pembangunan Perekonomian Daerah Peningkatan Kinerja Agribisnis 3 KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis Model Input-Output Pemutakhiran Tabel Input-Output dengan Metode RAS Teori Produksi Analisis Efisiensi Biaya Konsep Daya Saing Kerangka Pemikiran Operasional
9 9 13 15 17 19 19 19 23 24 25 25 26
4 METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Jenis dan Sumber Data Metode Analisis Analisis Keterkaitan antar Sektor Ekonomi Analisis Dampak Berganda Analisis Pengaruh Infrastruktur Jalan terhadap Kinerja Agribisnis Perkebunan Kopi
29 29 29 29 31 33
5 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Perekonomian Provinsi Lampung Keterkaitan dan Peranan Sektor Perkebunan dan Sektor Infrastruktur Jalan dalam Perekonomian Provinsi Lampung Keterkaitan ke Belakang Keterkaitan ke Depan Daya Penyebaran dan Derajat Kepekaan Dampak Pengganda (Multiplier Effect)
38 38
34
39 40 44 48 49
Dampak Investasi Infrastruktur Jalan Terhadap Sektor Perkebunan di Provinsi Lampung Peranan Jalan dalam Peningkatan Kinerja Agribisnis Perkebunan Kopi di Provinsi Lampung Peranan Jalan dalam Peningkatan Produksi Kopi Peranan Jalan dalam Efisiensi Biaya Angkutan Peranan Jalan dalam Peningkatan Daya Saing Komoditas Kopi Lampung
51 54 55 58 60
6 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
63 63 64
DAFTAR PUSTAKA
65
LAMPIRAN
68
RIWAYAT HIDUP
93
DAFTAR TABEL 1 Luas areal dan produksi tanaman perkebunan rakyat, perkebunan besar negara, dan perkebunan besar swasta di Provinsi Lampung 2011 2 Nilai ekspor per komoditi yang tercatat pada dinas perindustrian dan perdagangan Povinsi Lampung Tahun 2007-2011 (000 US $) 3 Volume ekspor per komoditi Provinsi Lampung Tahun 2002-2011 (ton) 4 Panjang jalan dirinci menurut tingkat kewenangan 1987 - 2010 (Km) 5 Ilustrasi tabel IO untuk tiga sektor 6 Struktur tabel input-output Provinsi Lampung klasifikasi 70 sektor 7 Rumus perhitungan multiplier effect menurut tipe dampak 8 Keterkaitan langsung ke belakang sektor perkebunan dan sektor infrastruktur Provinsi Lampung tahun 2011 9 Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang sektor perkebunan dan sektor infrastruktur di Provinsi Lampung tahun 2011 10 Keterkaitan langsung ke depan sektor tanaman perkebunan dan sektor infrastruktur Provinsi Lampung tahun 2011 11 Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan sektor tanaman perkebunan dan sektor infrastruktur Provinsi Lampung tahun 2011 12 Nilai keterkaitan ke belakang dan keterkaitan ke depan sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan dengan sektor perkebunan Provinsi Lampung tahun 2011 13 Indeks daya penyebaran dan indeks derajat kepekaan sektor perkebunan dan sektor infrastruktur Provinsi Lampung tahun 2011 14 Angka pengganda output sektor perkebunan dan sektor infrastruktur Provinsi Lampung 2011 15 Angka pengganda pendapatan sektor perkebunan dan sektor infrastruktur Provinsi Lampung 2011 16 Angka pengganda tenaga kerja sektor perkebunan dan sektor infrastruktur Provinsi Lampung 2011 17 Multiplier efect investasi pemerintah di sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan terhadap output sektor perkebunan dan sektor infrastruktur Provinsi Lampung tahun 2011 18 Multiplier effect investasi pemerintah di sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan terhadap pendapatan dari sektor perkebunan dan sektor infrastruktur Provinsi Lampung tahun 2011 19 Multiplier effect investasi pemerintah di sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan terhadap tenaga kerja dari sektor perkebunan dan sektor infrastruktur Provinsi Lampung tahun 2011 20 Dampak investasi sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan (juta rupiah) 21 Produksi dan luas lahan tanaman kopi di Provinsi Lampung periode 2002 sampai dengan 2011 22 Luas lahan kopi dan panjang jalan di Provinsi Lampung tahun 2002 sampai dengan 2011 23 Hasil regresi model produksi kopi di Provinsi Lampung 24 Peningkatan produksi kopi karena investasi pembangunan jalan baru 25 Ruas jalan, panjang jalan, dan kelas jalan sepanjang rute penelusuran 26 Peningkatan kinerja agribisnis kopi karena investasi jalan
4 5 5 11 21 30 34 42 43 45 46
47 49 50 50 51
52
53
53 54 55 56 57 58 59 62
DAFTAR GAMBAR 1 Kenaikan panjang jalan di Indonesia 2 Nilai ekspor komoditas perkebunan Provinsi Lampung 2007-2011 3 Grafik volume ekspor per komoditi Provinsi Lampung 2007-2011 (Ton) 4 Panjang jalan di Indonesia 1987-2010 5 Alur keterkaitan antarsektor dalam perekonomian 6 Kerangka pemikiran operasional penelitian
3 6 6 10 22 28
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Klasifikasi sektor tabel IO Lampung tahun 2000 Klasifikasi sektor tabel IO Lampung tahun 2011 Keterkaitan langsung ke belakang sektor perkebunan dan infrastruktur Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang sektor perkebunan dan infrastruktur Keterkaitan langsung ke depan sektor perkebunan dan infrastruktur Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan sektor perkebunan dan infrastruktur Multiplier effect output simulasi investasi sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan Multiplier effect pendapatan simulasi investasi sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan Multiplier effect tenaga kerja simulasi investasi sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan Hasil regresi fungsi produksi kopi = fungsi input Perhitungan rencana anggaran biaya jalan kelas I, II, dan III
68 69 71 73 75 77 79 82 84 87 90
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tanjung Karang, 20 Agustus 1981, merupakan putri kedua pasangan Helmi dan Tjarningsih. Penulis menyelesaikan Sekolah Menengah Atas pada tahun 1999 di SMU Negeri 2 Bandar Lampung, pendidikan Strata Satu jurusan teknik sipil di Fakultas Teknik Universitas Lampung diselesaikan pada tahun 2003. Penulis menjadi mahasiswi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor mayor Agribisnis pada tahun 2010 dengan beasiswa Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, yang merupakan tempat penulis bekerja sejak tahun 2006. Penulis menikah dengan Rinto Sugiharto, ST dan dikaruniai dua orang putri yang bernama Karima Kusuma Dewi dan Hasna Cendikia.
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pengembangan komoditas pertanian tidak terlepas dari peran berbagai subsistem yang terlibat dalam sistem agribisnis, baik subsistem hulu (upstream agribusiness), subsistem usahatani (on farm agribusiness), subsistem hilir (downstream agribusiness) dan subsistem layanan pendukung (supporting subsystem). Namun demikian, subsistem layanan pendukung sering diabaikan dalam upaya pengembangan komoditas pertanian. Hal ini terjadi karena pembangunan subsistem layanan pendukung seringkali bukan merupakan bagian dari pembangunan pertanian walaupun memiliki peranan yang sangat penting untuk mendukung pembangunan pertanian itu sendiri karena memiliki keterkaitan yang sangat erat dalam mendukung subsistem lainnya sehingga pengembangan agribisnis dapat berjalan dengan baik. Infrastruktur merupakan salah satu sub sistem pendukung yang penting dalam pengembangan agribisnis dan meningkatkan perekonomian Indonesia yang merupakan salah satu negara yang berbasis pertanian. Bappenas (2010) menyebutkan bahwa penyediaan infrastruktur sangat berperan dalam mendukung perkembangan pertanian, antara lain berkontribusi dalam: (i) pengembangan kapasitas sumberdaya lahan dan air untuk usahatani; (ii) mengurangi risiko usahatani; (iii) memperlancar pengadaan masukan dan penyaluran keluaran usahatani; (iv) pengadaan modal usahatani; dan (v) meningkatkan akses terhadap sumber-sumber inovasi teknologi. Dengan demikian, kondisi infrastruktur yang tidak memadai akan berdampak langsung pada peningkatan biaya, penurunan produktivitas atau kombinasi keduanya dalam jangka pendek. Sedangkan dalam jangka panjang menyebabkan terjadinya kontraksi manfaat tak langsung dari kaitan ke depan (forward linkage) dan ke belakang (backward linkage), turunnya kinerja faktor‐faktor produksi dan lambatnya pertumbuhan kesempatan kerja dan usaha, sehingga pada akhirnya menyebabkan lambatnya pertumbuhan ekonomi di wilayah yang bersangkutan (Bappenas 2010). Dengan demikian, tersedianya infrastruktur yang memadai terutama yang mendukung usaha pertanian merupakan upaya yang perlu dilakukan untuk mengembangkan perekonomian masyarakat Indonesia, dimana pada Agustus 2011 jumlah penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas yang bekerja di bidang pertanian, kehutanan, perburuan, dan perikanan sebanyak 35,86 persen (BPS 2011). Salah satu jenis infrastruktur yang sangat penting dalam menunjang aktivitas ekonomi termasuk sub sektor pertanian adalah jalan. Weiss dan Figura (2003) menyebutkan bahwa banyak keuntungan ekonomi yang diperoleh dari prasarana jalan terutama yang terkait dengan pendapatan, aksesibilitas, lapangan pekerjaan, reduksi biaya transportasi, penghematan biaya dan waktu serta peningkatan produktivitas. Selain itu, peningkatan infrastruktur jalan memiliki kemampuan paling tinggi untuk mendorong peningkatan output, penurunan tingkat harga, peningkatan ekspor, penurunan suplai impor, peningkatan upah riil tenaga kerja, dan peningkatan pendapatan rumah tangga dibandingkan dengan peningkatan infrastruktur lainnya seperti komunikasi atau listrik. (Delis 2008)
2
Terkait dengan pengembangan sektor pertanian, Napitupulu et al. (2011) menyebutkan bahwa pembangunan dan investasi sektor jalan dan jembatan dapat mempercepat perubahan wilayah berbasis pertanian menuju industralisasi. Hal ini terjadi karena jalan merupakan bagian dari infrastruktur yang berperan dalam tahap awal pembangunan ekonomi dan lebih berperan sebagai “the promoting sector” yang mendahului perkembangan sektor lainnya seperti industri. Proses industrialiasi sektor pertanian merupakan isu penting yang masih menjadi titik lemah pembangunan sektor pertanian, terutama sektor perkebunan. Komoditas-komoditas perkebunan seperti kelapa sawit, karet, kakao, dan kopi yang merupakan andalan ekspor dari sektor pertanian masih diekspor dalam bentuk primer, yang menunjukkan proses industrialiasi belum berjalan dengan baik. Dengan demikian, investasi infrastruktur terutama jalan diharapkan mampu mendorong proses industrialisasi tersebut sehingga tercipta nilai tambah dan daya saing komoditas dari sektor perkebunan. Walaupun proses industrialisasi masih berjalan lambat, komoditas perkebunan masih memegang peranan penting karena selain sumbangan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang cukup besar, komoditas perkebunan juga merupakan komoditas andalan ekspor Indonesia karena dari waktu ke waktu neraca perdagangan komoditas perkebunan hampir selalu mengalami surplus. Selama periode Juli- Agustus 2011, terjadi kenaikan surplus neraca perdagangan, baik dari sisi volume dan nilai masing-masing sebesar 87.86 persen, dan 65.61 persen. Selama periode bulan Agustus 2011, surplus neraca perdagangan yang terbesar adalah komoditas minyak sawit mencapai US$ 2.32 milyar, disusul oleh komoditas karet sebesar US$ 913,39 juta. Sementara, komoditas yang mengalami defisit neraca perdagangan dan terbesar adalah pada komoditas tebu yang mencapai US$ 117.63 juta (Pusdatin Kementan 2011). Krisis ekonomi yang melanda sebagian negara tujuan ekspor komoditas perkebunan Indonesia, dan semakin ketatnya persaingan di perdagangan internasional sehingga menuntut Indonesia dapat meningkatkan daya saing komoditas perkebunan di dunia internasional antara lain dengan harga yang lebih kompetitif, mutu yang lebih baik, dan meningkatkan dari ekspor yang berupa bahan baku menjadi bahan setengah jadi atau barang jadi.Salah satu kendala untuk memperoleh harga pasar yang lebih kompetitif untuk berbagai komoditas di Indonesia adalah masalah transportasi. Menurut Parikesit (2009) infrastruktur jalan bertanggung jawab 5-25% pada harga akhir sebuah komoditi di pasar. Sarana dan prasarana transportasi yang kurang memadai membuat biaya produksi menjadi tinggi sehingga harga produk Indonesia kurang kompetitif. Keterbatasan dana Pemerintah baik pusat maupun daerah menyebabkan kebutuhan akan infrastruktur yang lebih banyak dan lebih baik menjadi kurang tercukupi. Untuk mengatasi keterbatasan ini, maka perlu adanya peran investasi swasta. Hasil penelitian Banarjee et al. dan Wibowo (2006) menunjukkan bahwa hal-hal yang menyebabkan kurangnya minat investor untuk berinvestasi di bidang infrastruktur antara lain adalah karena kurangnya kestabilan makroekonomi, institusi dan penegakkan hukum yang buruk, dan tingkat risiko investasi yang tinggi dengan pengembalian yang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Upaya yang dapat dilakukan pemerintah untuk meningkatkan minat swasta untuk berinvestasi di bidang infrastruktur adalah menciptakan kondisi makroekonomi
3
15 10 5 0 -5 -10
1987-1988 1988-1989 1989-1990 1990-1991 1991-1992 1992-1993 1993-1994 1994-1995 1995-1996 1996-1997 1997-1998 1998-1999 1999-2000 2000-2001 2001-2002 2002-2003 2003-2004 2004-2005 2005-2006 2006-2007 2007-2008 2008-2009 2009-2010
Kenaikan Panjang Jalan (%)
yang stabil, institusi hukum yang transparan, efektif dan mampu menjamin keamanan investasi, mengurangi tingkat risiko investasi infrastruktur. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan model input-output (I-O) untuk mengetahui peranan sub sektor perkebunan dan infrastruktur terutama jalan dalam peningkatan perekonomian Provinsi Lampung pada umumnya, dan menilai peran infrastruktur jalan dalam peningkatan kinerja agribisnis sektor perkebunan dengan melihat pada salah satu komoditas perkebunan yaitu kopi. Hasil penelitian ini diharapkan dapat mendorong pemerintah pusat maupun daerah untuk meningkatkan investasi di bidang infrastruktur atau menbuat kebijakan yang dapat meningkatkan peran swasta dalam investasi infrastruktur. Sifat infrastruktur sebagai barang publik menyebabkan pengadaan infrastruktur dianggap sebagai kewajiban pemerintah, sementara karena keterbatasan anggaran maka dana yang dialokasikan untuk infrastruktur kurang memadai. Keterbatasan anggaran ini dapat diatasi dengan adanya investasi swasta di bidang infrastruktur, namun pihak swasta pada umumnya tidak mau berinvestasi di bidang infrastruktur yang menurut Banarjee et al. (2006) dan Wibowo (2006) penyebabnya adalah karena kurangnya kestabilan makroekonomi, institusi dan penegakkan hukum yang buruk, serta tingkat risiko investasi yang tinggi dengan pengembalian yang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Trend kenaikan panjang jalan di Indonesia periode tahun 1988 sampai dengan tahun 2010 pada Gambar 1 menunjukkan nilai yang minimum pada tahun 1998-1999 karena pada tahun tersebut Indonesia sedang mengalami krisis moneter. Tahun 1999 sampai dengan 2010 terjadi peningkatan pembangunan infrastruktur jalan namun kembali menurun pada tahun 2010.
Kenaikan Panjang Jalan (%)
Trendline Kenaikan Panjang Jalan
Gambar 1 Kenaikan panjang jalan di Indonesia Sumber: BPS (2012).
Peran swasta dalam investasi infrastruktur dapat ditingkatkan apabila pemerintah mampu menginformasikan atau memperlihatkan bahwa risiko investasi infrastruktur dapat diminimalkan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan menunjukkan sektor-sektor apa yang dapat dikembangkan oleh swasta sebagai timbal balik investasi tersebut. Penelitian ini mengambil komoditas perkebunan sebagai sektor yang akan digunakan sebagai timbal balik investasi karenamerupakan komoditas andalan ekspor Indonesia. Neraca perdagangan sektor perkebunan hampir selalu mengalami surplus. Tahun 2011 surplus neraca perdagangan sektor perkebunan tertinggi dimiliki oleh komoditas
4
minyak kelapa sawit mencapai US$ 19.723 miliar, disusul oleh karet sebesar US$ 10.679 miliar (Kementan Pusdatin 2012). Sementara, komoditas yang mengalami defisit neraca perdagangan terbesar adalah tebu yang mencapai US$ 1.791 miliar. Lampung merupakan salah satu provinsi yang memiliki potensi besar untuk pengembangan sektor perkebunan. Provinsi Lampung bersama dengan Provinsi Bengkulu dan Sumatera Selatan merupakan penghasil kopi robusta terbesar di Pulau Sumatera yang merupakan daerah penghasil kopi utama di Indonesia. Rumusan Masalah Provinsi Lampung menempati posisi yang sangat strategis karena merupakan provinsi penghubung Pulau Sumatera dan Jawa yang merupakan basis kekuatan ekonomi Indonesia. Provinsi ini masih mengandalkan sektor pertanian sebagai leading sector perekonomian daerah. Pada tahun 2010, sektor pertanian secara umum masih merupakan penyumbang terbesar Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Lampung dengan kontribusi sebesar 36.98 persen, diikuti sektor industri pengolahan dengan kontribusi sebesar 16 persen (BPS Prov. Lampung 2012). Pada sektor pertanian, Provinsi Lampung sejak lama dikenal sebagai produsen utama komoditas utama perkebunan seperti lada, kopi, kakao, karet, tebu dan kelapa sawit. Lahan komoditas utama perkebunan di Provinsi Lampung dapat dilihat pada Tabel 1. Nilai pada Tabel 1 menunjukkan bahwa produksi terbanyak untuk sektor perkebunan ditempati oleh tanaman tebu, tetapi tebu tidak memiliki lahan yang belum menghasilkan. Apabila luas lahan yang ada mulai tidak produktif, maka produksi tebu di Provinsi Lampung akan sangat menurun. Sedangkan komoditas perkebunan lain yang masih memiliki potensi untuk peningkatan produksi antara lain karet dan kelapa sawit. Tabel 1 Luas areal dan produksi tanaman perkebunan rakyat, perkebunan besar negara, dan perkebunan besar swasta di Provinsi Lampung tahun 2011 Komposisi Luas Areal (Ha) Menghasilkan
Tidak Menghasilkan
Jumlah
Produksi (ton)
9.217
143.904
8.121
161.242
142,986
-
28
17
45
10
Lada
8.220
47.503
8.179
63.902
21,905
Karet
48.279
69.442
2.116
119,837
72,240
Tebu
-
113.847
-
113.847
548,513
Kakao
19.441
29.451
1.051
49.943
25,541
Kelapa Sawit
36.776
121.873
1.143
159.792
370,606
Jenis Tanaman
Belum Menghasilkan
Kopi Robusta Kopi Arabika
Sumber: BPS Provinsi Lampung (2012).
Sebanyak 49.26 persen penduduk Provinsi Lampung yang bekerja di bidang pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan. Luasnya areal perkebunan dan banyaknya penduduk yang bekerja di sektor pertanian yang didalamnya termasuk
5
sektor perkebunan tersebut mengindikasikan bahwa sektor perkebunan memiliki peranan yang sangat penting bagi perekenomian masyarakat Provinsi Lampung. Nilai ekspor komoditas perkebunan di Provinsi Lampung tahun 2007 sampai dengan tahun 2011 pada Tabel 2 menunjukkan bahwa kelapa sawit merupakan komoditas perkebunan dengan nilai ekspor tertinggi di Provinsi Lampung, dari tahun 2007 – 2011 nilai ekspor untuk komoditas kelapa sawit maupun komoditas perkebunan lainnya menunjukkan nilai yang cenderung meningkat. Nilai ekpor komoditas perkebunan unggulan Provinsi Lampung lainnya dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Nilai ekspor per komoditi Provinsi Lampung tahun 2007-2011 (000 US $) Jenis Komoditi
2007
2008
2009
2010
2011
Karet
91,224
101,266
69,768
235,672
126,614
Kopi
255,296
600,977
466,051
386,670
493,374
Lada
98,619
159,814
165,192
296,592
115,156
Kakao
72,944
149,019
228,547
474,335
99,763
262,127
883,175
751,507
675,046
832,458
17,582
24,996
70,752
42,317
26,594
Minyak Kelapa Sawit Gula tetes
Sumber: BPS Prov. Lampung (2012).
Volume ekspor hasil komoditas perkebunan Provinsi Lampung tertinggi seperti terlihat pada Tabel 3 sejak tahun 2007 sampai dengan tahun 2011 adalah hasil olahan dari kelapa sawit berupa minyak kelapa sawit sebesar 788,319 ton pada tahun 2011, diikuti oleh gula tetes (olahan dari tebu) sebesar 257,958 ton, dan kopi sebesar 227,127 ton. Namun volume ekspor ketiga komoditas tersebut pada tahun-tahun terakhir mengalami kecenderungan yang menurun. Tabel 3 Volume ekspor per komoditi Provinsi Lampung tahun 2002-2011 (ton) Jenis Komoditi Karet Kopi Lada Kakao Minyak Kelapa Sawit Gula Tetes
2007 2008 2009 44,619 37,201 45,509 161,855 320,764 345,378 35,533 49,623 68,614 44,015 63,720 96,980 410,852 1,035,032 1,288,004 312,284 293,876 453,350
2010 65,385 266,658 81,617 148,467 800,030 286,781
2011 27,544 227,127 24,046 33,816 788,319 257,958
Sumber: BPS Prov.Lampung (2012).
Nilai ekspor komoditas perkebunan di Provinsi Lampung sejak tahun 2007 sampai dengan tahun 2011 cenderung mengalami kenaikan. Gambar 2 menunjukkan bahwa nilai ekspor komoditas perkebunan Provinsi Lampung sampai dengan tahun 2011 tertinggi diperoleh pada tahun 2010 sebesar US$ 2,110,632 dan turun pada tahun 2011 menjadi US$ 1,693,959.
6
2,500,000 2,000,000 1,500,000 1,000,000 500,000 0 2007
2008 2009 2010 2011 Ekspor Komoditi Perkebunan Prov. Lampung (US $) Trendline Ekspor Komoditi Perkebunan Prov. Lampung
Gambar 2 Nilai ekspor komoditas perkebunan Provinsi Lampung tahun 2007-2011 Sumber: diolah dari BPS Prov.Lampung (2012).
Gambar 3 menunjukkan tahun 2009 sampai tahun 2010 terjadi pengurangan volume ekspor kelapa sawit, yang disebabkan oleh adanya fenomena el-nino sehingga produksi kelapa sawit berkurang, dan meskipun dampak fenomena iklim sudah berlalu namun ditahun berikutnya ekspor tidak meningkat karena masalah infrastruktur yang tidak mengalami kemajuan berarti, adanya penetapan tarif ekspor untuk CPO dan produk sawit, dan berbagai bentuk non tariff barrier terhadap produk kelapa sawit Indonesia baik oleh organisasi non profit maupun grup konsumen Eropa dan konsorsium negara maju melalui PBB, serta belum jelasnya aturan tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi terutama di provinsi-provinsi penghasil kelapa sawit sehingga tidak ada kepastian hukum untuk pembukaan lahan sawit yang baru (Supriyono dan Yusuf 2012). Keseluruhan nilai ekspor komoditas perkebunan mengalami trend yang meningkat, namun volume ekspor untuk semua komoditas perkebunan mengalami penurunan terutama untuk kelapa sawit. Pengembangan komoditas perkebunan andalan tidak terlepas dari ketersediaan infastruktur seperti jalan. Infrastruktur jalan memiliki peranan yang sangat penting terkait dengan aksessibilitas dan mobilitas, baik barang, orang maupun jasa yang terkait dengan komoditas tersebut. Dengan demikian, ketersediaan infrastruktur jalan baik secara kuantitas, kualitas maupun penyebarannya di Provinsi Lampung akan memberikan dampak langsung maupun tidak langsung terhadap pengembangan komoditas perkebunan. 1,400,000 1,200,000 1,000,000 800,000 600,000 400,000 200,000 0 2007 Karet Kakao
2008 2009 Kopi Minyak Kelapa Sawit
2010 Lada Gula tetes
2011
Gambar 3 Grafik volume ekspor per komoditi Provinsi Lampung tahun 2007-2011(Ton) Sumber: diolah dari BPS Prov. Lampung (2012).
Pada tahun 2011, panjang jalan di Provinsi Lampung mencapai 18,520 km, yang terdiri dari jalan nasional sepanjang 682 km, jalan provinsi sepanjang
7
1,825 km, jalan kabupaten sepanjang 16,013 km dan jalan kota sepanjang 445.44 km (BPS Prov. Lampung 2012). Jika dirinci menurut kondisi jalan, sekitar 40.97 persen panjang jalan di Provinsi Lampung dalam keadaan baik, 21.16 persen dalam kondisi sedang, 23.12 persen dalam kondisi rusak dan 14.75 persen dalam kondisi kritis. Untuk memperbaiki kerusakan jalan provinsi, pemerintah Provinsi Lampung menganggarkan dana sebesar Rp. 481 miliar, namun jumlah tersebut hanya mampu memperbaiki sekitar 14.34 persen dari total jalan yang rusak dimana kebutuhan idealnya mencapai Rp. 3,105.39 miliar (Bappeda Prov. Lampung 2012) Besarnya anggaran yang diperlukan untuk investasi maupun pemeliharaan jalan mendorong pemerintah pusat maupun daerah harus menetapkan skala prioritas untuk membangun ataupun memperbaiki jalan. Hal tersebut tentu akan berdampak pada seluruh sektor perekonomian yang terkait, termasuk sektor perkebunan. Untuk itu, perlu dilihat keterkaitan antara pembangunan infrastruktur jalan dengan kinerja sektor perkebunan. Dengan demikian, permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana peranan sektor infrastruktur jalan, jembatan, dan pelabuhan dan sektor perkebunan terhadap perekonomian di Provinsi Lampung? 2. Bagaimana dampak ekonomi investasi infrastruktur jalan, jembatan, dan pelabuhan dalam pengembangan sektor perkebunan terutama dalam hal output, tenaga kerja, dan pendapatan? 3. Bagaimana peran investasi infrastruktur jalan terhadap peningkatan kinerja agribisnis sektor perkebunan khususnya kopi di Provinsi Lampung? Analisis keterkaitan antar sektor digunakan untuk mengetahui peran sektor perkebunan dan sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan terhadap perekonomian Provinsi Lampung secara keseluruhan. Sedangkan untuk mengetahui dampak ekonomi investasi infrastruktur di sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan terhadap perekonomian Provinsi Lampung pada umumnya dan sektor perkebunan khususnya dilihat dari sisi output, pendapatan, dan tenaga kerja dilakukan simulasi investasi dengan nilai yang tercantum dalam RPJMD Provinsi Lampung 2010-2014 untuk tahun 2013. Peran infrastruktur jalan terhadap kinerja agribisnis perkebunan kopi dilihat dari tiga hal yaitu dari sisi produksi, efisiensi biaya angkutan, dan daya saing kopi Lampung. Dari sisi produksi selain dilihat pengaruh panjang jalan terhadap produksi kopi di Lampung, dilihat juga pengaruh input-input produksi lainnya seperti produktivitas, penggunaan pupuk, pestisida, tenaga kerja, dan jumlah pohon yang produktif. Peran infrastruktur jalan terhadap efisiensi biaya angkutan diproxy dari data komposisi jalan sepanjang rute dari sentra perkebunan kopi di Kabupaten Lampung Barat ke lokasi pengolahan kopi di Bandar Lampung dengan biaya yang diperlukan dalam kondisi eksisting sehingga diperoleh berapa efisiensi yang diperoleh jika mutu jalan sepanjang rute dinaikkan. Peran jalan terhadap peningkatan daya saing akan diperoleh dari hasil analisis secara deskriptif dari berbagai sumber dan hasil analisis kuantitatif sebelumnya. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk:
8
1. Menganalisis keterkaitan dan peranan sektor infrastruktur jalan, jembatan, dan pelabuhan serta sektor perkebunan dalam perekonomian Provinsi Lampung menggunakan metode input-output (IO). 2. Menganalisis multiplier effect investasi infrastruktur jalan, jembatan, dan pelabuhan terhadap sektor perkebunan di Provinsi Lampung menggunakan metode input-output (IO). 3. Menganalisis peranan jalan dalam peningkatan kinerja agribisnis perkebunan kopi di Provinsi Lampung dilihat dari sisi produksi, efisiensi biaya, dan peningkatan daya saing. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengambil kebijakan untuk merumuskan kebijakan yang tepat dalam investasi jalan sehingga dapat mendorong perkembangan sektor perkebunan yang menjadi andalan di Provinsi Lampung. Serta secara akademis dapat menjadi bahan rujukan bagi peneliti yang menaruh minat untuk memperdalam studi tentang investasi infrastruktur maupun pengembangan ekonomi regional berbasis pertanian. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian untuk mengetahui bagaimana peran infrastruktur jalan raya terhadap sektor perkebunan di Provinsi Lampung ini tidak meneliti peran jalan terhadap keseluruhan sektor komoditas perkebunan di Lampung, tetapi hanya melihat perannya terhadap beberapa komoditas unggulan perkebunan saja yaitu kelapa sawit, kopi, karet, tebu, lada, kakao, kelapa, cengkeh. Sedangkan untuk mengetahui nilai peran jalan dalam peningkatan kinerja agribisnis akan diambil salah satu komoditas saja yaitu kopi. Dalam analisisis menggunankan metode I-O sektor infrastruktur menurut Asosiasi Konstruksi Indonesia (AKI) dapat dipisahkan menjadi sektor bangunan tempat tinggal dan bukan tempat tinggal, sektor prasarana pertanian, sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan, sektor bangunan instalasi listrik, gas, air bersih, dan komunikasi serta sektor bangunan lainnya, sehingga kajian menggunakan metode ini tidak dapat melihat hanya sektor jalan saja. Untuk melihat perbedaaan biaya yang diperlukan untuk membangun jalan kelas I, II, dan III akan digunakan ilustrasi sederhana rencana anggaran biaya jalan dengan permukaan beton. Tetapi perhitungan ini tidak dapat dijadikan acuan keperluan biaya riil untuk pembangunan jalan, karena dalam pembangunan jalan biaya yang diperlukan tergantung kondisi tanah di lokasi, kontur lahan, desain jalan, beban jalan, dan lain-lain sesuai kondisi lokasi.
9
2 TINJAUAN PUSTAKA Infrastruktur dalam agribisnis termasuk dalam subsistem kelembagaan dan penunjang kegiatan pertanian. Karena sifatnya sebagai barang publik menyebabkan pengadaan infrastruktur dianggap sebagai kewajiban pemerintah, sementara karena keterbatasan anggaran maka dana yang dialokasikan untuk infrastruktur kurang memadai. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan model input-output (I-O) untuk mengetahui berapa besar peranan investasi infrastruktur terutama jalan dalam peningkatan perekonomian Provinsi Lampung pada umumnya, dan dampaknya terhadap subsektor perkebunan pada khususnya. Serta menilai peran jalan dalam peningkatan kinerja sektor perkebunan dengan menganbil salah satu kasus saja yaitu untuk komoditas kopi. Hasil penelitian ini diharapkan dapat mendorong pemerintah pusat maupun daerah untuk meningkatkan investasi di bidang infrastruktur atau menbuat kebijakan yang dapat meningkatkan peran swasta dalam investasi infrastruktur. Kondisi Infrastruktur Jalan di Indonesia Pertumbuhan ekonomi nasional di akhir tahun 2011 mencapai 6,5%. Namun, pertumbuhan ekonomi ini tidak diimbangi dengan pertumbuhan infrastruktur. Kondisi infrastruktur di Indonesia mengalami masa kritis karena kondisi infrastruktur tidak mampu menampung kebutuhan masyarakat. Terbatasnya investasi pada pemeliharaan dan infrastruktur terlihat dari rendahnya peringkat kualitas infrastruktur Indonesia pada indeks kualitas infrastruktur yang pernah dipublikasikan pada World Economic Forum Competitiveness Report tahun 2010-2011. Indeks ini menunjukkan Indonesia berada di posisi ke-4 terendah. Pengukuran infrastruktur Indeks Daya Saing Dunia ini disusun berdasarkan tanggapan survei eksekutif akan kualitas jalan, rel kereta api, pelabuhan, transportasi udara, pasokan listrik,data tentang kabel telepon tetap dan pelanggan telepon selular serta daftar kilometer kursi pesawat udara (Purwanti dan Djumena 2011). Salah satu infrastruktur yang perlu ditingkatkan adalah infrastruktur transportasi karena infrastruktur transportasi berfungsi sebagai katalisator dalam mendukung pertumbuhan wilayah, pertumbuhan ekonomi, dan sebagai alat persatuan dan kesatuan. Berkaitan dengan peran yang diberikan oleh sub sektor transportasi di dalam mendukung pembangunan perekonomian di Indonesia, data statistik menunjukkan bahwa sub sektor ini memberikan kontribusi antara 3-4 persen terhadap PDB dari tahun 2000 – 2004 (Bappenas 2005). Besarnya kontribusi yang diberikan oleh sektor transportasi dalam peningkatan PDB tidak serta merta menyebabkan pemerintah meningkatkan sarana pendukungnya yang salah satunya adalah jalan. Tabel 4 menunjukkan kenaikan panjang jalan terbesar terjadi pada tahun 1988, dimana panjang jalan naik sebesar 1094% dari tahun sebelumnya, sedangkan kenaikkan panjang jalan menjadi negatif pada tahun 1999 karena sejak tahun tersebut jalan di Provinsi Timor-Timur sudah tidak dimasukkan dalam data karena keluarnya Timor-Timur dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (BPS 2012).
10
Tabel 4 Panjang jalan dirinci menurut tingkat kewenangan tahun 1987 – 2010 (Km) Kenaikan Tahun Negara Provinsi Kab/Kota Jumlah Panjang Jalan (%) 1987 13,863 12,594 33,398 168,784 1988 14,590 12,594 33,398 195,425 12.404 1989 17,185 17,800 32,250 208,437 7.071 1990 19,806 17,800 32,250 225,611 6.644 1991 21,858 17,800 32,250 249,535 8.679 1992 21,858 17,800 32,250 259,592 3.357 1993 23,483 17,800 32,250 275,178 5.034 1994 26,351 26,853 39,747 280,834 6.828 1995 23,857 26,853 39,747 293,151 3.545 1996 26,850 26,853 39,747 303,805 2.961 1997 27,127 26,853 39,747 305,248 0.390 1998 27,977 26,853 39,747 307,596 0.631 1999*) 26,206 26,271 38,914 283,207 -6.896 2000 26,272 26,271 38,914 282,898 -0.089 2001 26,328 26,271 38,914 287,577 1.344 2002 27,616 26,271 38,914 291,841 1.209 2003 29,318 26,271 38,914 292,774 0.261 2004 34,628 34,628 40,125 298,175 4.182 2005 34,628 34,628 40,125 316,255 4.848 2006 34,628 34,628 40,125 331,816 3.980 2007 34,628 34,628 40,125 346,782 3.681 2008 34,628 34,628 40,125 363,006 3.849 2009 38,570 38,570 48,020 389,747 8.813 2010 38,570 38,570 53,291 395,453 2.304 *) sejak 1999 tidak termasuk Timor-Timur Sumber: BPS (2012).
Panjang jalan di Indonesia terus meningkat tetapi persentase kenaikkan panjang jalan setiap tahun semakin menunun. Puncak penurunan terjadi pada tahun 1999 karena adanya krisis moneter di Indonesia disertai dengan pelepasan Provinsi Timor-Timur. Grafik panjang jalan di Indonesia tahun 1988-2010 dapat dilihat pada Gambar 4.
0
1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999*) 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Panjang jalan total (Km)
1,000,000
Panjang jalan total (Km) Gambar 4 Panjang jalan di Indonesia tahun 1987-2010 Sumber: BPS (2012).
11
Menurut Peraturan Pemerintah RI No. 34 Tahun 2006 tentang jalan, jaringan jalan berdasarkan fungsi dan perannya dapat dibedakan menjadi: 1. Sistem jaringan jalan primer Sistem jaringan jalan primer adalah sistem jaringan jalan yang disusun berdasarkan rencana tata ruang dan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk pengembangan semua wilayah di tingkat nasional, dengan menghubungkan semua simpul jasa distribusi yang berwujud pusat-pusat kegiatan sebagai berikut: a. menghubungkan secara menerus pusat kegiatan nasional, pusat kegiatan wilayah, pusat kegiatan lokal sampai ke pusat kegiatan lingkungan; b. menghubungkan antar pusat kegiatan nasional. Tipe jalan dalam sistem jaringan jalan primer terdiri dari: 1. Jalan arteri primer Jalan arteri primer adalah jalan yang secara efisien menghubungkan antara pusat kegiatan nasional atau antara pusat kegiatan nasional dengan pusat kegiatan wilayah. Kecepatan rencana minimum adalah 60 km/jam dan lebar badan jalan paling rendah 11 meter. 2. Jalan kolektor primer Jalan kolektor primer adalah jalan yang secara efisien menghubungkan antara pusat kegiatan wilayah atau menghubungkan antara pusat kegiatan wilayah dengan pusat kegiatan lokal. Kecepatan rencana minimum adalah 40 km/jam dan lebar badan jalan paling rendah 9 meter. 3. Jalan lokal primer Jalan lokal primer adalah jalan menghubungkan pusat kegiatan nasional dengan pusat kegiatan lingkungan, pusat kegiatan wilayah dengan pusat kegiatan lingkungan, antarpusat kegiatan lokal, atau pusat kegiatan lokal dengan pusat kegiatan lingkungan, serta antarpusat kegiatan lingkungan. Kecepatan rencana minimum adalah 20 km/jam dan lebar badan jalan paling rendah 7.5 meter. 4. Jalan lingkungan primer Jalan lokal primer adalah jalan yang menghubungkan antarpusat kegiatan di dalam kawasan perdesaan dan jalan di dalam lingkungan kawasan perdesaan. Kecepatan rencana minimum adalah 15 km/jam dan lebar badan jalan paling rendah 6.5 meter. Bila tidak diperuntukkan bagi kendaraan bermotor beroda 3 (tiga) atau lebih, lebar badan jalan paling rendah 3.5 meter. 2. Sistem jaringan jalan sekunder Sistem jaringan jalan sekunder disusun berdasarkan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota dan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk masyarakat di dalam kawasan perkotaan yang menghubungkan secara menerus kawasan yang mempunyai fungsi primer, fungsi sekunder kesatu, fungsi sekunder kedua, fungsi sekunder ketiga, dan seterusnya sampai ke persil. Sistem jaringan jalan sekunder terdiri atas: 1. Jalan arteri sekunder Jalan arteri sekunder adalah jalan yang menghubungkan antara kawasan primer dengan kawasan sekunder kesatu atau menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kesatu atau menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kedua. Kecepatan rencana minimum adalah 30 km/jam dan lebar badan jalan paling rendah 11 meter.
12
2. Jalan kolektor sekunder Jalan kolektor sekunder adalah jalan yang menghubungkan kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder kedua atau menghubungkan kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder ketiga. Kecepatan rencana minimum adalah 20 km/jam dan lebar badan jalan paling rendah 9 meter. 3. Jalan lokal sekunder Jalan lokal sekunder adalah jalan yang menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan perumahan, kawasan sekunder kedua dengan perumahan, kawasan sekunder ketiga dan seterusnya sampai ke perumahan. Kecepatan rencana minimum adalah 10 km/jam dan lebar badan jalan paling rendah 7,5 meter. 4. Jalan lingkungan sekunder Jalan lingkungan sekunder adalah jalan menghubungkan antarpersil dalam kawasan perkotaan. Kecepatan rencana minimum adalah 10 km/jam dan lebar badan jalan paling rendah 6.5 meter. PP nomor 36 tahun 2006 tentang jalan menyebutkan bahwa jaringan jalan menurut status jalan dikelompokan menjadi jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten, jalan kota dan jalan desa. Sedangkan jaringan jalan menurut kelasnya seperti tercantum dalam PP nomor 43 tahun 1993 dibagi menjadi: 1. Jalan kelas I Merupakan jalan arteri yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2,500 milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 18,000 milimeter dan muatan sumbu terberat yang diizinkan lebih besar dari 10 ton. 2. Jalan kelas II Merupakan jalan arteri yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2,500 milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 18,000 milimeter dan muatan sumbu terberat yang diizinkan 10 ton. 3. Jalan kelas III A Merupakan jalan arteri atau kolektor yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2,500 milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 18,000 milimeter dan muatan sumbu terberat yang diizinkan 8 ton. 4. Jalan kelas III B Merupakan jalan kolektor yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2,500 milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 12,000 milimeter dan muatan sumbu terberat yang diizinkan 8 ton. 5. Jalan kelas III C Merupakan jalan lokal yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2,100 milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 9,000 milimeter dan muatan sumbu terberat yang diizinkan 8 ton. Dana pembangunan dan pemeliharaan yang kurang seharusnya membuat Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah lebih menjaga kondisi jalan yang sudah ada, sehingga dana yang ada dapat digunakan semaksimal mungkin untuk membangun jalan baru. Untuk dapat merumuskan kebijakan yang tepat
13
pemerintah sebaiknya mengetahui penyebab rusaknya jalan sebelum tercapai umur rencana. Menurut Agah (2008) penyebab rusaknya jalan sebelum tercapai umur rencana adalah karena perilaku pengguna jalan yang mengangkut beban melebihi beban standar rencana jalan, kesalahan desain, pengaruh lingkungan seperti kondisi tanah yang memiliki sifat labil, malpraktek dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan jalan, dan kurangnya tanggung jawab sosial masyarakat untuk menggunakan prasarana jalan dengan baik. Peranan Pembangunan Infrastruktur Terhadap Perekonomian dan Upaya untuk Meningkatkan Investasi di Bidang Infrastruktur Infrastruktur merupakan salah satu komponen yang penting dalam meningkatkan perekonomian. Dari hasil penelitian menyebutkan bahwa elastisitas diacu dari produk domestik bruto (PDB) terhadap infrastruktur di suatu negara adalah antara 0.07 sampai dengan 0.44 yang berarti kenaikan satu persen saja ketersediaan infrastruktur akan menyebabkan pertumbuhan PDB sebesar 0.07% sampai dengan 0.44% (World Bank 1994). Pasar dalam negeri, termasuk untuk produk pertanian banyak dikuasai oleh produk-produk impor. Hal ini salah satunya disebabkan oleh tingginya biaya produksi yang disebabkan oleh hambatan di bidang infrastruktur pendukung. Karena itu untuk meningkatkan daya saing produk nasional yang dapat mendorong peningkatan perekonomian Indonesia diperlukan adanya investasi di bidang infrastruktur (Sindonews 2011). Menurut World Economic Forum (WEF 2011) ada 12 pilar yang mendorong peningkatan produktivitas dan daya saing yaitu: 1. Institusi hukum dan administrasi yang baik dan transparan 2. Infrastruktur yang ekstensif dan efisien 3. Stabilitas makroekonomi 4. Kesehatan dan pendidikan dasar 5. Kualitas pendidikan dan pelatihan yang tinggi 6. Efisiensi pasar barang 7. Efisiensi pasar tenaga kerja 8. Perkembangan pasar uang 9. Kesiapan teknologi 10. Ukuran pasar 11. Perilaku bisnis dalam negeri 12. Inovasi Indonesia berada pada peringkat 46 berdasarkan indeks daya saing global (Global Competitiveness Indeks) 2011-2012 yang berarti turun 2 peringkat dari tahun sebelumnya yang berada di urutan 44. Untuk meningkatkan perekonomian Indonesia, maka Pemerintah dan swasta harus bekerja sama untuk meningkatkan daya saing Indonesia di pasar dunia. Pada tahun 2011 Pemerintah membuat Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Indonesia (MP3EI) yang merupakan langkah awal untuk mendorong Indonesia menjadi negara maju dan termasuk 10 (sepuluh) negara besar di dunia pada tahun 2025 melalui pertumbuhan ekonomi tinggi yang inklusif, berkeadilan dan berkelanjutan. Untuk
14
mencapai hal tersebut, diharapkan pertumbuhan ekonomi riil rata-rata sekitar 7-9 persen per tahun secara berkelanjutan. Pengembangan MP3EI dilakukan melalui perubahan pola pikir bahwa keberhasilan pembangunan ekonomi tidak hanya tergantung pada pemerintah saja melainkan merupakan kolaborasi bersama antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, BUMN, BUMD, dan Swasta. Pihak swasta akan diberikan peran utama dan penting dalam pembangunan ekonomi terutama dalam peningkatan investasi dan penciptaan lapangan kerja, sedangkan pihak pemerintah akan berfungsi sebagai regulator, fasilitator dan katalisator. Dari sisi regulasi, pemerintah akan melakukan deregulasi (debottlenecking) terhadap regulasi yang menghambat pelaksanaan investasi. Fasilitasi dan katalisasi akan diberikan oleh pemerintah melalui penyediaan infrastruktur maupun pemberian insentif fiskal dan non fiskal. Untuk penyediaan infrastruktur karena adanya keterbatasan anggaran pemerintah, maka dalam MP3EI pemerintah akan mengembangkan model kerjasama pemerintah dan swasta atau Public Private Partnership (PPP) juga mengembangkan metode pembangunan infrastruktur sepenuhnya oleh dunia usaha yang dikaitkan dengan kegiatan produksi. Peran Pemerintah adalah menyediakan perangkat aturan dan regulasi yang memberi insentif bagi dunia usaha untuk membangun kegiatan produksi dan infrastruktur tersebut secara paripurna. Insentif tersebut dapat berupa kebijakan (sistem maupun tarif) pajak, bea masuk, aturan ketenagakerjaan, perizinan, pertanahan, dan lainnya, sesuai kesepakatan dengan dunia usaha. Infrastruktur memiliki peran dalam mendorong dinamika aktivitas ekonomi sektoral dan regional khususnya yang berbasis pertanian. Infrastruktur jalan memiliki daya pendorong paling besar terhadap peningkatan output, permintaan ekspor, upah riil, sewa lahan riil, dan sewa kapital riil serta penurunan harga dan penawaran impor (Delis 2008). Dari hasil penelitian Hartoyo (1994) subsidi pupuk tidak banyak mempengaruhi penawaran output tanaman pangan di daerah Jawa, sebaliknya investasi di bidang infrastruktur pertanian memiliki dampak yang signifikan untuk peningkatan output tanaman pangan. Hal ini disebabkan karena dengan infrastruktur yang baik maka biaya produksi akan dapat ditekan sehingga harga riil output tanaman pangan meningkat sehingga mendorong petani untuk meningkatkan outputnya. Kebutuhan infrastruktur yang terus meningkat menyebabkan dana yang disediakan oleh pemerintah saja tidak mencukupi. Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia saja tetapi juga terjadi di berbagai negara di dunia. Salah satu upaya yang dilakukan di berbagai negara antara lain dengan model kerjasama pemerintah dan swasta atau Public Private Partnership (PPP). Peran swasta dalam investasi infrastruktur di Jerman dan Perancis berkisar antara 9-13%, di Amerika Serikat 47%, dan di Inggris 71% (Milosavljevic dan Benkovic 2009). Salah satu upaya yang dilakukan Pemerintah Indonesia untuk meningkatkan peran perusahaan baik milik pemerintah maupun swasta untuk peningkatan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat sekitarnya seperti yang tertuang dalam Keputusan Menteri BUMN nomor 40 tahun 2007 tentang perseroan terbatas. Selain itu yang terbaru dicanangkan pemerintah dalam MP3EI adalah pelaksanaan PPP.
15
Hal-hal yang menyebabkan kurangnya minat investor untuk berinvestasi di bidang infrastruktur antara lain adalah karena kurangnya kestabilan makroekonomi, institusi dan penegakkan hukum yang buruk, dan tingkat risiko investasi yang tinggi dengan pengembalian yang tidak sesuai dengan yang diharapkan (Banarjee et al. dan Wibowo 2006). Dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan oleh Banarjee et al. (2006) dan Wibowo (2006) hal terpenting yang harus dilakukan pemerintah untuk meningkatkan minat swasta untuk berinvestasi di bidang infrastruktur adalah menciptakan kondisi makroekonomi yang stabil, institusi hukum yang transparan, efektif dan mampu menjamin keamanan investasi, mengurangi tingkat risiko investasi infrastruktur. Dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2012 untuk meningkatkan iklim investasi usaha-usaha yang akan dilakukan pemerintah adalah melalui perbaikan kepastian hukum, penyederhanaan prosedur, perbaikan sistem informasi, dan pengembangan infrastruktur pada koridor-koridor utama ekonomi. Penciptaan kepastian hukum dilakukan melalui reformasi dan harmonisasi regulasi secara bertahap di tingkat nasional dan daerah sehingga terjadi harmonisasi peraturan perundang-undangan dalam kerangka kebijakan yang terintegrasi dan kerangka kelembagaan yang bekerja secara sinergis sebagai dasar dari penciptaan iklim investasi yang kondusif. Menurut Ardianto (2009) beberapa alternatif strategi yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah untuk meningkatkan pembangunan infrastruktur jalan adalah dengan cara sebagai berikut: 1. Kebijakan pemerintah daerah dalam pembangunan infrastruktur jalan untuk mendapatkan peningkatan alokasi dana pembangunan infrastruktur jalan dari pemerintah pusat. 2. Penguatan promosi sumber daya alam untuk menarik minat investor 3. Optimalisasi alokasi APBD 4. Melibatkan/memberdayakan masyarakat dalam pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur jalan. Berbagai penelitian di atas menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur memiliki hubungan yang positif dengan peningkatan perekonomian, namun Shi (2012) yang meneliti tentang peran modal infrastruktur dalam pertumbuhan ekonomi regional di China memperoleh hasil yang sedikit berbeda. Shi meneliti peran empat tipe modal infrastruktur yaitu listrik, jalan, rel kereta, dan saluran telepon rumah. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa infrastruktur memiliki peran penting dalam perekonomian di hampir seluruh provinsi di China, tetapi untuk wilayah di bagian barat pertumbuhan yang makin menurun karena peningkatan pembangunan jalan yang terlalu banyak di daerah ini. Hal ini menunjukkan bahwa jika pembangunan infrastruktur pada level atau kecepatan tertentu akan menjadi kurang produktif. Keterkaitan Antar Sektor dan Peranannya dalam Pembangunan Perekonomian Daerah Setiap sektor dalam perekonomian memiliki keterkaitan satu sama lain baik keterkaitan ke depan maupun keterkaitan ke belakang. Keterkaitan antar sektor dalam perekonomian dapat ditunjukkan oleh model input-output (IO). Sektor yang
16
memiliki nilai keterkaitan ke depan dan ke belakang yang kuat merupakan ciri bahwa sektor tersebut merupakan sektor kunci yang memegang peranan penting dalam strategi pembangunan. Hasil penelitian Kula (2008) menunjukkan bahwa dala 12 sektor kunci dalam perekonomian di Turki yaitu sektor pertanian, perburuan, dan jasa terkait lainnya, sektor makanan dan minuman, sektor tekstil, sektor kimia dan produk kimia, sektor produk mineral non logam lainnya, sektor logam dasar, sektor energy listrik, gas, uap, dan air panas, sektor perdagangan, sektor angkutan darat, jasa pendukung transportasi, sektor jasa agen perjalanan, dan sektor perumahan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Permana (2009) menunjukkan bahwa dalam perekonomian di Indonesia infrastruktur memiliki keterkaitan ke belakang yang lebih tinggi daripada keterkaitan ke depannya yang berarti bahwa infrastruktur lebih berperan dalam meningkatkan produksi sektor lain yang outputnya digunakan sebagai input oleh infrastruktur dibandingkan dengan kemampuannya meningkatkan produksi sektor lain yang inputnya diperoleh dari infrastruktur. Zaini (2004) yang melakukan penelitian terhadap sektor-sektor perekonomian di Provinsi Kalimantan Timur menunjukkan hasil bahwa sektor komoditas pertanian bukan merupakan sektor kunci dalam pembangunan di Kalimantan Timur. Sektor yang merupakan sektor kunci dalam pembangunan di Provinsi ini adalah sektor daging, sayur, dan buah olahan karena memiliki nilai keterkaitan kebelakang paling tinggi dan sektor tambang dan galian karena memiliki keterkaitan ke depan yang paling tinggi. Selain menunjukkan keterkaitan antar sektor dalam perekonomian, model IO juga dapat menunjukkan dampak pengganda dari kenaikan permintaan akhir suatu sektor terhadap output, pendapatan, dan kebutuhan tenaga kerja secara keseluruhan. Untuk mengetahui seberapa besar peranan investasi infrastruktur dalam meningkatkan perekonomian di suatu daerah dapat dilihat dengan menggunakan model I-O karena secara sistematis mengukur hubungan timbal balik diantara beberapa sektor dalam sistem ekonomi yang kompleks. Penelitian yang dilakukan Hasni (2006) menggunakan model I-O untuk menunjukkan dampak investasi di sektor konstruksi terhadap perekonomian di Indonesia dimana diperoleh hasil bahwa investasi sektor konstruksi dari sisi peningkatan output dan pendapatan paling tinggi mempengaruhi sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan, hotel dan restoran, sedangkan dari sisi penyerapan tenaga kerja tiga sektor yang paling besar peningkatan penyerapan tenaga kerjanya adalah sektor konstruksi, sektor pertanian, serta sektor perdagangan, hotel dan restoran. Purnamadewi et al. (2009) melakukan studi tentang dampak investasi sektor pertanian terhadap disparitas ekonomi antar wilayah Indonesia. Penelitian menggunakan data I-O dan SNSE Indonesia tahun 2003 serta Transaksi Tabel I-O Inter-regional (IRIO) tahun 2005. Untuk mengukur dampak investasi digunakan alat analisis Computable General Equilibrium Model (CGE). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi investasi di sektor pertanian, industri berbasis pertanian dan infrastruktur memberikan dampak terbaik dalam hal peningkatan upah sektoral, peningkatan dan pendistribusian pendapatan rumahtangga, serta penurunan disparitas antar wilayah. Oleh karena itu, strategi pembangunan dengan memprioritaskan alokasi investasi terhadap sektor pertanian, agroindustri,
17
dan infrastruktur akan dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan baik antar wilayah maupun antar rumahtangga. Novita et al. (2009) melakukan penelitian tentang dampak investasi sektor pertanian terhadap perekonomian Sumatera Utara dengan pendekatan analisis I-O. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dampak investasi sektor pertanian mampu membentuk 1.35 kali lipat dari investasi yang ada dengan pembentukan output terbesar dialami oleh sektor unggas dan peternakan lainnya. Selanjutnya, investasi sektor pertanian mampu meningkatkan pendapatan dan penyerapan tenaga kerja. Agroindustri memegang peranan penting dalam perekonomian di Provinsi Lampung. Hasil analisis tabel IO Provinsi Lampung tahun 2000 yang di update ke tahun 2005 menunjukkan bahwa gabungan outputsektor agroindustri memberikan andil 27.925% dari total output daerah, memiliki nilai pengganda output, pendapatan, dan tenaga kerja yang tinggi, memiliki keterkaitan ke depan dan kebelakang yang tinggi, dan memiliki derajat kepekaan dan daya penyebaran yang tinggi sehingga mampu untuk mendorong pertumbuhan sektor-sektor lainnya (Affandi et al. 2007). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui peran infrastruktur secara spesifik di salah satu provinsi di Indonesia karena dengan adanya kebijakan otonomi daerah maka besaran dana yang akan digunakan untuk membangun infrastruktur tergantung pengajuan dari pemerintah daerah. Salah satu penelitian dengan menggunakan tabel I-O provinsi telah dilakukan oleh Koylal (2012) yang meneliti peranan sektor pertanian untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Provinsi NusaTenggara Timur (NTT). Dari penelitian tersebut diperoleh hasil bahwa di Provinsi NTT sektor pertanian memiliki kemampuan mendorong pertumbuhan sektor-sektor perekonomian lainnya lebih besar daripada kemampuan menariknya. Sektor pertanian di NTT juga memiliki kemampuan yang relatif rendah dalam menciptakan tambahan output, pendapatan,dan penyerapan tenaga kerja. Peningkatan Kinerja Agribisnis Tujuan ketiga dari penelitian ini adalah untuk melihat peran infrastruktur jalan terhadap kinerja agribisnis sektor perkebunan khususnya untuk komoditas kopi di Provinsi Lampung. Peningkatan kinerja akan dilihat dari sisi produksi, efisiensi biaya angkutan, dan peningkatan daya saing komoditas kopi. Napitupulu et al. (2011) menyebutkan bahwa jalan merupakan bagian dari infrastruktur yang berperan dalam tahap awal pembangunan ekonomi dan lebih berperan sebagai “the promoting sector” yang mendahului perkembangan sektor lainnya seperti industri. Ekaputri (2008) yang meneliti tentang pengaruh luas panen terhadap produksi tanaman pangan di Kalimantan Timur menunjukkan bahwa luas panen berpengaruh positif dalam peningkatan produksi tanaman pangan, tetapi jika peningkatan produksi terus dilakukan dengan cara pembukaan lahan baru, maka dalam jangka panjang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan, karena alih fungsi lahan hutan menjadi lahan pertanian. Karena itu diperlukan upaya lain untuk meningkatkan produksi selain dengan menambah lahan, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan intensifikasi tanaman pangan. Li dan Liu (2009) meneliti tentang pengaruh lima infrastruktur pedesaan terhadap efisiensi teknik produksi pertanian di 30 provinsi dan kota di China. Dari
18
hasil penelitiannya mereka menyimpulkan bahwa infrastruktur transportasi memegang memiliki hubungan positif tertinggi dengan efisiensi teknik sektor pertanian , diikuti dengan infrastruktur pendidikan, listrik, dan sistem persediaan air. Sementara infrastruktur telekomunikasi menunjukkan hasil sebaliknya. Kebijakan strategis yang perlu dipertimbangkan dalam peningkatan produksi pertanian khususnya tanaman padi antara lain adalah: 1. memfasilitasi pengembangan infrastruktur fisik dan kelembagaan, perbaikan sistem insentif usaha tani, dan mendorong agroindustri padat tenaga kerja di pedesaan. 2. melakukan reorientasi arah dan tujuan pengembangan agribisnis padi dengan sasaran peningkatan pendapatan dan ketahanan pangan rumah tangga petani padi, serta sebagai wahana dinamisasi perekonomian desa. 3. pengembangan infrastruktur (fisik dan kelembagaan), teknologi, permodalan, kebijakan stabilisasi, dan penyuluhan untuk komoditas alternatif non padi bernilai ekonomi tinggi tetapi memiliki risiko yang besar (Sudaryanto dan Rusastra 2006). Menurut Mundlak et al. (2004) yang meneliti tentang dinamika pertanian di Thailand, Indonesia, dan Filipina kebijakan yang dapat meningkatkan pertanian di ketiga negara ini adalah dengan kebijakan yang dapat mengurangi hambatan pasar dan mempromosikan investasi publik pada sumber daya manusia dan dan infrastruktur. Sedangkan faktor yang dapat menghambat perkembangan pertania di ketiga negara tersebut adalah keterbatasan lahan dan sumber daya air.
19
3 KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis Integrasi ekonomi yang kuat, menyeluruh, dan berkelanjutan di antara semua sektor ekonomi menjadi kunci keberhasilan pembangunan. Salah satu model yang dapat memaparkan dengan jelas bagaimana interaksi antar pelaku ekonomi terjadi adalah model input output (IO) yang diperkenalkan oleh Wassily Leontief pada tahun 1930. Penelitian ini bertujuan untuk melihat dampak ekonomi infrastruktur jalan bagi sektor perkebunan. Untuk melihat hubungan antar sektor perkebunan dengan infrastruktur serta dampak investasi di bidang infrastruktur terutama jalan bagi sektor perkebunan digunakan analisis model IO. Sedangkan untuk melihat nilai peran infrastruktur jalan terhadap peningkatan kinerja agribisnis dilihat dari peningkatan produksi, efisiensi biaya, dan peningkatan daya saing akan dianalisis dengan menggunakan analisis regresi sederhana, sistem persamaan menggunakan biaya angkut dan kondisi jalan sepanjang rute angkutan. Model Input-Output Model input-output (IO) merupakan salah satu model yang dapat menunjukkan seberapa besar aliran keterkaitan antarsektor dalam suatu perekonomian yang diperkenalkan oleh Wassily Leontief pada tahun 1930. Menurut Leontief analisis IO merupakan suatu metode yang secara sistematis mengukur hubungan timbal balik diantara beberapa sektor dalam sistem ekonomi yang kompleks (Daryanto dan Hafizrianda 2010a). Konsep dasar model IO Leontief didasarkan atas: 1. Struktur perekonomian tersusun dari berbagai sektor (industri) yang satu sama lain berinteraksi melalui transaksi jual beli. 2. Output suatu sektor dijual kepada sektor lainnya untuk memenuhi permintaan akhir rumah tangga, pemerintah, pembentukan modal dan ekspor. 3. Input suatu sektor dibeli dari sektor-sektor lainnya. 4. Hubungan input-output bersifat linear 5. Dalam satu kurun waktu analisis, total input sama dengan total output 6. Suatu sektor hanya menghasilkan suatu output, dan output tersebut dihasilkan oleh suatu teknologi. Tabel IO merupakan tabel yang menyajikan gambaran informasi dalam bentuk matriks baris dan kolom yang menggambarkan transaksi barang dan jasa serta keterkaitan antara suatu sektor dengan sektor lainnya. Tabel IO sebagai alat analisis kuantitatif dalam perekonomian, mampu memberikan gambaran yang menyeluruh dalam analisis ekonomi. Kemampuan tabel ini dalam memberikan gambaran menyeluruh antara lain terkait dengan beberapa hal sebagai berikut: 1. Struktur perekonomian suatu wilayah yang mencakup output dan nilai tambah masing-masing sektor. 2. Struktur input antara yaitu transaksi penggunaan barang dan jasa antar sektorsektor produksi.
20
3. Struktur penyediaan barang dan jasa, baik berupa produksi dalam negeri maupun barang impor yang berasal dari luar wilayah tersebut. 4. Struktur permintaan barang dan jasa, baik itu berupa permintaan oleh berbagai sektor produksi maupun permintaan untuk konsumsi, investasi dan ekspor. Beberapa kegunaan analisis IO dalam penelitian perekonomian suatu wilayah antara lain: 1. Memperkirakan dampak permintaan akhir terhadap output, nilai tambah, impor penerimaan pajak dan penyerapan tenaga kerja di berbagai sektor. 2. Melihat komposisi penyediaan dan penggunaan barang dan jasa terutama dalam analisis terhadap kebutuhan impor dan kemungkinan substitusinya. 3. Analisis perubahan harga, yaitu dengan melihat pengaruh secara langsung dan tidak langsung dari perubahan harga input terhadap output. 4. Mengetahui sektor-sektor yang pengaruhnya paling dominan dan sektor-sektor yang peka terhadap pertumbuhan ekonomi. 5. Untuk menyusun proyeksi variabel-variabel ekonomi makro. 6. Untuk melihat konsistensi dan kelemahan berbagai data statistik yang pada gilirannya dapat dijadikan landasan perbaikan, penyempurnaan, dan pengembangan lebih lanjut. Secara umum matriks dalam Tabel IO dapat dibagi menjadi empat kuadran yaitu kuadran I, kuadran II, kuadran III dan kuadran IV, dengan masing-masing penjelasan dan arti kuadran tersebut sebagai berikut: 1. Kuadran I (Intermediate Quadran) Kuadran I adalah informasi tentang transaksi barang dan jasa yang digunakan dalam kegiatan produksi. Kuadran I sering disebut juga sebagai input/permintaan antara untuk menegaskan bahwa semua transaksi pada kuadran ini hanya merupakan "antara" untuk diproses lebih lanjut, dan bukan untuk keperluan konsumsi akhir. Dengan demikian jelas, bahwa kuadran ini menunjukkan saling keterkaitan antar sektor ekonomi dalam melakukan kegiatan produksi. Isian sepanjang baris pada kuadran I menunjukkan alokasi output yang dihasilkan oleh suatu sektor dan digunakan sebagai input oleh sektor-sektor produksi. Sedangkan isian sepanjang kolomnya menunjukkan struktur penggunaan/input oleh suatu sektor yang diperoleh dari output sektor lainnya. 2. Kuadran II (Final Demand Quadran) Kuadran II sekaligus mencakup dua jenis transaksi, yaitu transaksi permintaan akhir dan komponen penyediaan (supply). Permintaan akhir yang dimaksudkan dalam hal ini adalah permintaan atas barang dan jasa selain yang digunakan dalam kegiatan/proses produksi. Permintaan akhir pada umumnya dirinci lebih lanjut ke dalam komponen-komponen pengeluaran konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, pembentukan modal tetap, perubahan inventori dan ekspor. Sedangkan yang dimaksud dengan penyediaan adalah semua barang dan jasa yang digunakan untuk memenuhi permintaan (baik permintaan antara maupun akhir). Komponen penyediaan terdiri dari impor, margin perdagangan dan biaya pengangkutan serta output dari sektor-sektor domestik. Jadi, isian sepanjang baris pada kuadran II menunjukkan komposisi permintaan akhir dan penyediaan di suatu sektor menurut jenis komponen. Sedangkan isian sepanjang kolom menunjukkan struktur masing-masing komponen permintaan akhir dan penyediaan menurut sektor.
21
3. Kuadran III (Primary Input Quadran) Informasi pada kuadaran III adalah tentang input primer atau nilai tambah bruto (NTB), sehingga kuadran ini sering disebut sebagai kuadran Nilai Tambah Bruto (NTB) atau input primer. Input primer adalah input atau biaya yang timbul karena pemakaian faktor produksi dan terdiri dari upah gaji, surplus usaha, penyusutan dan pajak tak langsung neto. Isian sepanjang baris kuadran III menunjukkan distribusi penciptaan komponen NTB menurut sektor. Sedangkan isian sepanjang kolom menunjukkan komposisi penciptaan NTB menurut komponennya di suatu sektor. 4. Kuadran IV (Primary Input-Final Demand Quadran) Kuadran IV memuat informasi tentang input primer yang langsung didistribusikan ke sektor-sektor permintaan akhir. Informasi sepanjang baris kuadran IV menunjukkan alokasi komponen NTB menurut komponen permintaan akhir. Sedangkan informasi sepanjang kolom menunjukkan struktur NTB untuk setiap komponen permintaan akhir. Namun demikian, kuadran ini bukan merupakan tabel pokok dan untuk beberapa alasan dalam penyusunan tabel input-output Indonesia, kuadran ini diabaikan. (BPS 2008) Ilustrasi tabel IO pada sistem perekonomian yang terdiri dari tiga sektor dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Ilustrasi tabel IO untuk tiga sektor into
Sector Total Output
from
1
2
3
x11
x12
x13
2
x21
Kuadran x22 I
x23
Kuadran X2 II
3
x31
x32
x33
X3
Total Input
X1
Kuadran X2 III
X3
1 Sector
X1
(Leontif W 1986) Dalam penerapan model Input-Output terdapat beberapa asumsi yang harus dipenuhi yaitu: 1. Keseragaman (Homogenity) Setiap sektor ekonomi hanya memproduksi satu jenis barang dan jasa dengan susunan input tunggal (seragam) dan tidak ada substitusi otomatis terhadap input atau output sektor yang berbeda. 2. Penjumlahan (Additivity) Suatu asumsi bahwa total efek dari kegiatan produksi berbagai sektor merupakan penjumlahan dari efek pada masing-masing kegiatan secara terpisah. 3. Kesebandingan (Proportionality)
22
Suatu prinsip dimana hubungan antara output dan input pada setiap sektor produksi merupakan fungsi linier, artinya suatu sektor akan berubah sebanding dengan berubahnya total output sektor tersebut. Selain asumsi-asumsi tersebut diatas, tabel IO sebagai metode analisis kuantitatif memiliki beberapa keterbatasan, yaitu: 1. Koefisien input atau koefisien teknis dan teknologi yang digunakan dalam proses produksi diasumsikan tetap konstan selama periode analisis atau proyeksi. Akibatnya perubahan kuantitas dan harga input akan selalu sebanding dengan perubahan kuantitas harga output. 2. Besarnya biaya yang harus dikeluarkan dalam penyusunan tabel InputOutput dengan menggunakan metode survei. 3. Semakin banyak agregasi yang dilakukan terhadap sektor-sektor yang ada akan menyebabkan semakin besar pula kecenderungan pelanggaran terhadap asumsi homogenitas dan akan semakin banyak informasi ekonomi yang terperinci tidak tertangkap dalam analisisnya. Menurut Jensen et al. (1979) aspek-aspek analisis Input-Output yang berfungsi dan berkedudukan penting dalam analisis perekonomian yaitu: 1. Analisis Keterkaitan Konsep keterkaitan biasa digunakan sebagai dasar perumusan strategi pembangunan ekonomi dengan melihat keterkaitan antar sektor dalam suatu sistem perekonomian. Konsep keterkaitan yang biasa dirumuskan meliputi keterkaitan ke belakang (backward linkage) yang menunjukkan hubungan keterkaitan antar sektor atau industri dalam pembelian terhadap total pembelian input yang digunakan untuk proses produksi dan keterkaitan ke depan (forward linkage) yang menunjukkan hubungan keterkaitan antar sektor atau industri dalam penjualan terhadap total penjualan output yang dihasilkannya. Alur keterkaitan antar sektor dalam perekonomian diilustrasikan dalam Gambar 5. Keterkaitan Tidak Langsung ke Depan
Keterkaitan Langsung ke Depan Sektor 1
Keterkaitan Langsung ke Depan Sektor 2
Keterkaitan Langsung ke Belakang
Sektor 3
Keterkaitan Langsung ke Belakang
Keterkaitan Tidak Langsung ke Belakang
Gambar 5 Alur keterkaitan antar sektor dalam perekonomian Berdasarkan konsep keterkaitan ini dapat diketahui besarnya pertumbuhan suatu sektor lain. Keterkaitan langsung antar sektor perekonomian dalam pembelian dan penjualan input antara ditunjukkan oleh koefisien langsung, sedangkan keterkaitan langsung dan tidak langsungnya ditunjukkan oleh
23
matriks kebalikan Leontief (α) karena matriks ini mengandung informasi penting tentang struktur antar sektor perekonomian. 2. Analisis Multiplier Analisis multiplier ini mencoba melihat apa yang terjadi terhadap variabelvariabel endogen tertentu apabila terjadi perubahan pada variabel-variabel eksogen seperti permintaan akhir dalam perekonomian. Ada tiga variabel yang menjadi perhatian utama dalam analisis multiplier yaitu output sektorsektor produksi, pendapatan rumah tangga dan tenaga kerja. Angka pengganda output menunjukkan nilai total dari output yang dihasilkan oleh perekonomian untuk memenuhi adanya perubahan satu unit permintaan akhir di suatu sektor. Angka pengganda pendapatan menunjukkan nilai total dari pendapatan yang diperoleh rumah tangga karena adanya perubahan satu unit permintaan akhir di suatu sektor, dan angka pengganda tenaga kerja menunjukkan total kebutuhan tenaga kerja akibat adanya perubahan satu unit permintaan akhir pada suatu sektor. Kategori dampak berganda dibedakan menjadi: 1. Dampak awal (initial impact) Dampak awal mengacu pada nilai permintaan akhir yang diasumsikan meningkat. Peningkatan permintaan akhir ini menyebabkan terjadinya suatu dampak. 2. Pengaruh putaran pertama (first round effect). Mengacu pada pembelian putaran pertama oleh sektor yang mengalami peningkatan permintaan. 3. Pengaruh dukungan industri (industrial support effect) Mengacu kepada pengaruh putaran kedua dan seterusnya sebagai gelombang beruntun peningkatan output dalam suatu perekonomian untuk penyediaan dukungan produksi sebagai respon peningkatan permintaan akhir suatu sektor. 4. Dampak imbasan konsumsi (consumption induced effect) Imbasan karena meningkatnya pendapatan rumah tangga akibat meningkatnya permintaan akhir output suatu sektor. 5. Dampak total Merupakan penjumlahan semua dampak termasuk dampak awal, pengaruh putaran pertama, pengaruh dukungan industri, dan dampak imbasan konsumsi. 6. Dampak luberan Dampak bersih yang terjadi pada seluruh sektor perekonomian karena adanya dampak awal. Dampak luberan dianggap lebih mencerminkan ukuran suatu dampak karena dampak ini mengukur dampak bersih yang dihitung sebagai selisih dampak total dengan dampak awal. Pemutakhiran Tabel Input-Output dengan Metode RAS Tabel IO regional dibuat melalui hasil survey, karena adanya kendala sumber daya manusia dan biaya menyebabkan banyak daerah yang membuat tabel IO dengan selang waktu yang sangat panjang antara 5 tahun sekali, 10 tahun, 15 tahun, bahkan banyak daerah juga yang belum menyusunnya. Untuk
24
mengatasi masalah ini, dapat dilakukan pemutakhiran tabel IO dengan metode non survey antara lain dengan metode RAS. Metode RAS diperkenalkan pertama kali oleh Richard Stone dari Cambridge University pada tahun 1961. Pada dasarnya RAS adalah nama rumus matriks dimana R dan S adalah matriks diagonal berukuran n x n yang menunjukkan penambahan jumlah permintaan output dan perubahan jumlah input sektor-sektor industri. Sedangkan A adalah matriks berukuran n x n yang menunjukkan banyaknya sektor industri. Informasi yang dibutuhkan untuk mendapatkan matriks koefisien teknologi adalah: 1. Total gross output 2. Total penjualan output antar sektor 3. Total pembelian input antar sektor. Analisis hubungan peningkatan kinerja agribisnis sektor perkebunan dengan infrastruktur jalan dilakukan pada satu komoditas saja yaitu kopi karena selain merupakan salah satu produk unggulan provinsi Lampung, kopi merupakan salah satu komoditas perkebunan Indonesia yang sangat memungkinkan untuk ditingkatkan kualitas maupun kuantitasnya untuk memperoleh keunggulan kompetitif di pasar dunia. Selama ini Indonesia dikenal sebagai negara produsen kopi robusta dengan pangsa pasar 20% dari ekspor kopi robusta dunia. Kawasan segitiga kopi Indonesia meliputi Provinsi Lampung, Sumatera Selatan, dan Bengkulu yang merupakan penghasil kopi robusta utama di Indonesia. Teori Produksi Produksi adalah suatu proses dimana sumber daya ekonomi atau input dikombinasikan untuk menciptakan atau membuat barang atau jasa. Sedangkan fungsi produksi didefinisikan sebagai sebagai suatu fungsi yang menggambarkan jumlah output maksimum yang dapat dihasilkan dari kombinasi input yang diberikan (Baye 2010). Kegunaan fungsi produksi adalah untuk mengetahui kombinasi dengan biaya termurah, untuk memaksimalkan produksi, untuk mencapai keseimbangan, membantu dalam membuat keputusan, dan sebagai dasar dalam perencanaan produksi. Bentuk aljabar fungsi produksi dapat dibedakan menjadi: 1. Fungsi produksi linear adalah suatu fungsi produksi dimana input bersubstitusi secara sempurna. Fungsi produksi linear dapat dituliskan menjadi: Q = F(K,L) = aK + bL ............................................................................ (1) dimana: Q = Produksi K = Modal L = Tenaga kerja 2. Fungsi produksi Leontif adalah suatu fungsi produksi dimana input-input digunakan dalam proporsi yang tetap. Fungsi produksi Leontif dapat dituliskan menjadi: Q = F(K,L) = min, ...................................................................... (2) dimana: Q = Produksi
25
K = Modal L = Tenaga kerja 3. Fungsi produksi Cobb-Douglass adalah suatu fungsi produksi dimana input-inputnya dapat saling bersubstitusi dengan tingkatan tertentu. Fungsi produksi Cobb-Douglass dapat dituliskan menjadi: Q = F(K,L) = KaLb ................................................................................... (3) dimana: Q = Produksi K = Modal L = Tenaga kerja Analisis Efisiensi Biaya Efisiensi pada dasarnya mencakup tiga pengertian yaitu efisiensi teknis), efisiensi alokatif, dan efisiensi ekonomis. Efisiensi teknis mencerminkan kemampuan produsen untuk memperoleh output maksimal dari sejumlah input tertentu. Efisiensi alokatif mencerminkan kemampuan produsen untuk menggunakan input dengan proporsi yang optimal pada berbagai tingkat harga input dan teknologi yang dimiliki sehingga produksi dan pendapatannya maksimal. Efisiensi ekonomis adalah bagaimana produsen dapat menghasilkan produksi yang tinggi dengan biaya yang minimum, atau secara lebih sederhana efisiensi ekonomis dapat diukur dengan kriteria keuntungan maksimum dan kriteria biaya minimum. Efisiensi ekonomis akan tercapai apabila marginal cost sama dengan marginal revenue (Lau dan Yotopoulos 1971). Suatu aktivitas produksi dapat dikatakan efisien dalam hal biaya jika: 1. Untuk menghasilkan output yang sama, biaya input yang dikeluarkan lebih kecil. 2. Dengan biaya input yang sama, output yang dihasilkan lebih banyak. Penelitian ini akan melihat seberapa besar biaya angkutan dapat dikurangi apabila ada peningkatan kelas jalan dari yang sudah ada. Biaya merupakan pengeluaran-pengeluaranyang diukur secara terus-menerus dalam uang atau yangpotensial harus dikeluarkan untuk memperoleh barang atau jasa. Menurut Baye (2010) biaya dalam proses produksi dapat dibedakan menjadi: 1. Biaya tetap (fixed cost) Biaya tetap adalah biaya yang tidak berubah meskipun ada perubahan jumlah output, termasuk biaya input tetap yang digunakan dalam produksi. 2. Biaya variabel (variable cost) Biaya variabeladalah biaya yang nilainya berubah sesuai dengan perubahan jumlah output 3. Sunk cost Sunk cost adalah biaya yang akan hilang setelah dibayarkan. Konsep Daya Saing Konsep daya saing pada awalnya berpijak dari konsep keunggulan absolut yang dikemukakan oleh Adam Smith pada abad ke 18. Inti dari teori keunggulan absolut adalah apabila di antara dua negara masing-masing memiliki keunggulan
26
absolut, maka perdagangan diantara kedua negara tersebut akan meningkatkan kesejahteraan. Konsep ini kemudian disempurnakan oleh Ricardo (1817) yang menyatakan bahwa sekalipun suatu negara tidak memiliki keunggulan absolut dalam memproduksi dua jenis komoditas jika dibandingkan negara lain, namun perdagangan yang saling menguntungkan masih bisa berlangsung selama rasio harga antar negara masih berbeda jika dibandingkan dengan tidak ada perdagangan. Selain Adam Smith dan Ricardo beberapa pakar ekonomi terus mengkaji teori keunggulan bersaing. Porter (1990) menyatakan bahwa kesejahteraan suatu negara bukan diwariskan tetapi diciptakan melalui pilihanpilihan yang strategis. Konsep daya saing menurut persepektif bisnis dikemukakan oleh Shaples dan Milham (1990) sebagai kemampuan untuk menghasilkan barang dan jasa pada waktu, tempat, dan bentuk yang tepat pada tingkat harga yang sama atau lebih baik dari supplier potensial lainnya. Kerangka Pemikiran Operasional Provinsi Lampung merupakan salah satu provinsi yang memiliki potensi besar di sektor perkebunan. Seperti di provinsi lain di Indonesia masalah transportasi terutama penyediaan infrastrukturnya masih kurang memadai. Untuk dapat menjadi acuan bagi pemerintah berapa besar pengaruh investasi dibidang infrastruktur dapat meningkatkan perekonomian Provinsi Lampung pada umumnya dan peningkatan sektor perkebunan serta menilai peran infrastruktur jalan terhadap peningkatan kinerja agribisnis sektor perkebunan dalam hal ini diambil salah satu komoditas saja yaitu kopi maka penelitian ini dilakukan. Analisis peran sektor perkebunan, dan sektor infrastruktur terutama jalan akan dilakukan dengan menggunakan model IO yang dimutakhirkan dengan metode RAS. Tahap pertama dari analisis adalah melihat peran sektor perkebunan dan sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan terhadap perekonomian Provinsi Lampung serta keterkaitan antara keduanya. Keterkaitan antar sektor akan dilihat keterkaitan ke belakang dan keterkaitan ke depan. Sektor yang memiliki keterkaitan ke belakang yang tinggi menunjukkan bahwa sektor tersebut memiliki kemampuan yang tinggi untuk menarik perkembangan sektor hulunya karena kenaikan terhadap permintaan akhir terhadap sektor tersebut akan meningkatkan kenaikan output dari sektor-sektor penyedia input antaranya. Sedangkan sektor yang memiliki nilai keterkaitan ke depan yang tinggi menunjukkan bahwa sektor tersebut mampu mendorong perkembangan sektor hilirnya. Selain keterkaitan ke depan dan ke belakang, hasil analisis tabel IO juga akan digunakan untuk menentukan sektor-sektor mana dari sektor perkebunan dan infrastruktur yang menjadi sektor kunci bagi perkembangan ekonomi di Provinsi Lampung. Sektor yang menjadi sektor kunci adalah sektor-sektor yang memiliki daya penyebaran (α) dan atau derajat kepekaan (β) yang nilainya lebih besar darii pada satu. Nilai daya penyebaran lebih dari satu (α>1) menunjukkan bahwa secara relatif permintaan akhir sektor j dalam merangsang pertumbuhan produksi lebih besar dari rata-rata, sehingga sektor ini merupakan sektor yang strategis dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Nilai derajat kepekaan yang lebih dari satu (β>1) menunjukkan bahwa secara relatif sektor ini dapat memenuhi permintaan akhir sebanyak di atas kemampuan rata-rata dari sektor lain.
27
Untuk melihat dampak investasi di sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan terhadap sektor perkebunan akan dilakukan simulasi dengan nilai investasi yang direncanakan oleh pemerintah Provinsi Lampung dalam RPJMD tahun 20102014. Nilai investasi yang akan disimulasikan adalah nilai investasi pada tahun 2013. Peran jalan raya terhadap kinerja agribisnis sektor perkebunan akan dilihat pada satu jenis komoditas saja , yaitu kopi. Kopi merupakan salah satu komoditas unggulan Provinsi Lampung, dengan luas areal panen 161,242 hektar dan total produksi 142,986 ton pada tahun 2011. Selain itu kopi Lampung juga sangat berpotensi untuk dikembangkan sebagai produk industri pengolahan kopi specialties dengan rasa khas (Kemenperin 2009). Peran jalan tehadap kinerja agribisnis komoditas kopi akan dianalisis menggunakan regresi sederhana dengan menggunakan data biaya angkut, tipe jalan sepanjang rute sentra penghasil kopi ke lokasi pengolahan, data luas lahan perkebunan kopi, data panjang jalan, data penggunaan pupuk, pestisida, dan tenaga kerja. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah sebagai pembuat kebijakan yang tepat dalam pembangunan jalan sehingga dapat mendorong sektor perkebunan dan perekonomian di Provinsi Lampung. Kerangka pemikiran operasional penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 6.
28
Latar belakang: • Infrastruktur jalan memiliki kemampuan paling tinggi untuk mendorong peningkatan output, penurunan tingkat harga, peningkatan ekspor, penurunan suplai impor, peningkatan upah riil, dan peningkatan pendapatan rumah tangga dibandingkan dengan peningkatan infrastruktur lainnya (Delis. 2008). Sifat infrastruktur sebagai barang publik, menyebabkan pengadaannya dianggap sebagai kewajiban Pemerintah namun anggaran yang terbatas, dan kurangnya investasi swasta menyebabkan pembangunan jalan terhambat. • Komoditas perkebunan merupakan andalan ekspor Indonesia, namun industrialisasi sektor ini masih terhambat. Jalan merupakan promoting sector bagi sektor lainnya antara lain sektor industri. (Napitupulu et al. 2011)
Research question: Bagaimana peran infrastruktur terutama jalan bagi perekonomian dan sektor perkebunan apa yang dapat dipromosikan sebagai timbal balik untuk investasi?
Peran sektor infrastruktur jalan, jembatan, dan pelabuhan serta sektor perkebunan dalam perekonomian Provinsi Lampung.
Dampak investasi infrastruktur jalan, jembatan, dan pelabuhan terhadap sektor perkebunan di Provinsi Lampung.
Peran jalan dalam peningkatan kinerja agribisnis perkebunan kopi di Provinsi Lampung.
Analisis Keterkaitan dengan Tabel Input - Output
Analisis Dampak Berganda dengan Tabel Input - Output
Analisis Regresi, Persamaan Matematika, dan Analisis Deskriptif
Keterkaitan ke depan, keterkaitan ke belakang, daya penyebaran, dan derajat kepekaan
Output, pendapatan, tenaga kerja
Produksi, efisiensi biaya angkutan, daya saing
Kesimpulan
Saran
Gambar 6 Kerangka pemikiran operasional penelitian
29
4 METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Provinsi Lampung karena Provinsi Lampung menempati posisi yang sangat strategis merupakan provinsi penghubung Pulau Sumatera dan Jawa yang merupakan basis kekuatan ekonomi Indonesia. Pada sektor pertanian, Provinsi Lampung sejak lama dikenal sebagai produsen utama komoditas utama perkebunan seperti lada, kopi, kakao, karet, tebu dan kelapa sawit. Penelitian dilakukan pada bulan November 2012 – Mei 2013. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer yang digunakan adalah data tarif angkutan kopi per kg dari sentra kebun kopi di Lampung Barat sampai ke pabrik pengolahan di Bandar Lampung. Data sekunder yaitu tabel input-output (IO) Provinsi Lampung tahun 2000 yang akan dimutakhirkan ke tahun 2011 dengan metode RAS, data komposisi jalan sepanjang rute sentra kebun kopi Lampung Barat-Bandar Lampung, data panel petani nasional (Patanas) untuk komoditas kopi di Provinsi Lampung tahun 2010. Data tarif angkutan dan rute yang dilalui akandiperoleh dari pengusaha angkutan. Data sekunder akan diambil dari BPS Provinsi Lampung, Dinas Bina Marga dan Dinas Perkebunan Provinsi Lampung, Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian serta berbagai sumber yang terkait dan juga melalui studi literatur melalui media cetak dan elektronik. Metode Analisis Penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan model IO karena analisis dengan menggunakan model IO dapat secara sistematis mengukur hubungan timbal balik diantara beberapa sektor dalam sistem ekonomi yang kompleks. Manfaat ekonomi sektor perkebunan dan transportsi akan dilihat dari sisi output, pendapatan rumah tangga, dan tenaga kerja. Sedangkan untuk melihat manfaat infrastruktur jalan terhadap peningkatan kinerja sektor perkebunan khususnya kopi akan digunakan persamaan sederhana dan analisis regresi linear. Tabel IO yang akan digunakan adalah tabel IO Provinsi Lampung tahun 2000 yang akan diupdate ke tahun 2011 dengan menggunakan metode RAS. Pengolahan data akan dilakukan pada 70 sektor yang ada, tetapi analisis akan dilakukan untuk sektor infrastruktur dan sektor perkebunan saja yang terdiri dari 11 sektor. Struktur tabel IO 70 sektor dapat dilihat pada Tabel 6. Untuk menjaga faktor keseimbangan antara total output dan input, maka total input antara dan dari seluruh sektor harus sama dengan total permintaan antara (total 190 = total 180). Total pengeluaran input dari seluruh sektor harus sama dengan total permintaan (total 210 = total 310).
30
Tabel 6 Struktur tabel input-output Provinsi Lampung klasifikasi 70 sektor Sektor 1 2 3 . . . 70 180 301 302 303 304 305 309 310 409 509 600
700
1 2 3 . . . 70 190
Total (180) = Total (190)
200 201 202 203 204 205 209 210
Total (210) = Total (310)
dimana: 1,2,3,… = sektor-sektor dalam perekonomian 190 = total pengeluaran input antara 200 = total impor input antara 201 = upah/gaji 202 = surplus usaha 203 = penyusutan 204 = pajak tidak langsung 205 = subsidi 209 = total input primer 210 180
= total pengeluaran input = total permintaan input antara
301
= pengeluaran rumah tangga
302 303 304 305 309 310 409 509
= = = = = = = =
600 700
pengeluaran pemerintah pembentukan modal tetap bruto perubahan stok modal ekspor barang dan jasa total permintaan akhir total permintaan total impor barang dan jasa marjin perdagangan dan biaya angkutan = total output = suplai domestik
Peran serta manfaat ekonomi sektor perkebunan dan sektor infrastruktur juga keterkaitan antara keduanya akan dilihat dari hasil analisis tabel IO dengan menggunakan analisis keterkaitan, dan analisis dampak pengganda (multiplier effect) dilihat dari sisi output, pendapatan, dan tenaga kerja. Untuk melihat dampak adanya investasi pemerintah di sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan terhadap sektor perkebunan akan disimulasikan dan menggunakan analisis dampak berganda (multiplier effect) dari sisi output, pendapatan, dan tenaga kerja. Model input-output (IO) merupakan salah satu model yang dapat menunjukkan seberapa besar aliran keterkaitan antarsektor dalam suatu perekonomian yang diperkenalkan oleh Wassily Leontief pada tahun 1930. Menurut Leontief analisis IO merupakan suatu metode yang secara sistematis
31
mengukur hubungan timbal balik diantara beberapa sektor dalam sistem ekonomi yang kompleks. Analisis Keterkaitan antar Sektor Ekonomi Keterkaitan antar sektor dibagi menjadi empat yaitu: 1. Keterkaitan ke belakang (backward linkage) Keterkaitan langsung ke belakang menunjukkan akibat dari suatu sektor tertentu terhadap sektor-sektor yang menyediakan input antara bagi sektor tersebut per unit kenaikan permintaan total. Dengan metode CheneryWatanabe keterkaitan langsung ke belakang dapat dihitung dengan rumus : BL
=
=
a .................................................................... (4)
dimana : BL = Keterkaitan ke belakang dari sektor j = Banyaknya input yang berasal dari sektor I yang digunakan untuk memproduksi sektor output j = Koefisien input dari sektor j ke sektor i Oleh karena Chenery-Watanabe menggunakan koefisien input secara langsung, yang didapat dari satu kali iterasi perhitungan keterkaitan antar sektor, maka ukuran yang diperoleh dengan metode ini sering disebut sebagai keterkaitan ke belakang secara langsung, yang mengabaikan dampak tidak langsung (indirect effect) antar sektor. Ukuran keterkaitan ke belakang dengan metode Rasmussen merefleksikan pengaruh dari kenaikan permintaan akhir pada sektor j terhadap output perekonomian secara keseluruhan, dengan kata lain ukuran ini menjelaskan besarnya perubahan output perekonomian sebagai akibat terjadinya kenaikan satu unit permintaan akhir di sektor j. Nilai keterkaitan ke belakang dapat diperoleh dengan penjumlahan kolom pada matriks invers Leontif atau dengan rumus: BL =
g ............................................................................................ (5)
dimana : BL = Keterkaitan ke belakang dari sektor j = elemen pada matriks invers leontif Model Rasmussen menggunakan matriks invers Leontif, maka ukuran keterkaitan yang diperoleh bisa dikatakan merupakan ukuran keterkaitan langsung dan tidak langsung, yang menghitung dampak total dari suatu sektor dalam perekonomian. 2. Keterkaitan ke depan Keterkaitan langsung ke depan merupakan pengaruh suatu sektor tertentu terhadap sektor-sektor yang menggunakan sebagian dari output tersebut per unit kenaikan permintaan. Dengan metode Chenery-Watanabe keterkaitan langsung ke depan dapat dihitung dengan rumus:
32
FL =
=
b ......................................................................... (6)
dimana : FL = Keterkaitan ke depan dari sektor j = Banyaknya input yang berasal dari sektor I yang digunakan untuk memproduksi sektor output j = Koefisien output dari sektor i ke sektor j Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan merefleksikan kenaikan output pada sektor j jika permintaan akhir pada setiap sektor naik satu satuan. Nilai keterkaitan ke depan dapat diperoleh dengan penjumlahan baris pada matriks invers Leontif atau dengan rumus: FL =
g ............................................................................................. (7)
dimana : FL = Keterkaitan ke depan dari sektor j = elemen pada matriks invers leontif 3. Indeks daya penyebaran Merupakan perbandingan dampak ke belakang terhadap rata-rata seluruh dampak sektor sehingga nilai ini sering disebut sebagai backward effect linkage ratio. Nilai indeks daya penyebaran dapat dihitung dengan menggunakan rumus: ! =
∑&' $() #
%$) ∑ ∑ # &' $ %
%$................................................................................................... (8)
dimana : ! = Indeks daya penyebaran dari sektor j dalam perekonomian = Elemen pada matriks invers Leontif Jika nilai α >1 maka secara relatif permintaan akhir sektor j dalam merangsang pertumbuhan produksi lebih besar dari rata-rata, sehingga sektor ini merupakan sektor yang strategis dalam memacu pertumbuhan ekonomi. 4. Indeks derajat kepekaan Merupakan perbandingan dampak ke depan terhadap rata-rata seluruh dampak sektor sehingga nilai ini sering disebut sebagai forward effect linkage ratio. Dapat dihitung dengan menggunakan rumus: * =
∑&' %() #$% ) ∑ ∑ # &' $ %
%$................................................................................................... (9)
dimana : * = Indeks derajat kepekaan dari sektor i =Elemen pada matriks invers Leontif
33
Sektor i yang memiliki nilai β >1 maka sektor ini dapat digolongkan sebagai sektor yang strategis, karena secara relatif ia dapat memenuhi permintaan akhir sebanyak di atas kemampuan rata-rata dari sektor lain. Untuk menganalisis keterkaitan antar sektor dalan ekonomi dapat dilakukan dengan melihat daya penyebaran (power of dispersion) dan derajat kepekaan (degree of sensitivity) suatu sektor dalam perekonomian. Daya penyebaran (power of dispersion) menggambarkan distribusi manfaat dari pengembangan suatu sektor terhadap perkembangan sektor-sektor lainnya melalui mekanisme transaksi pasar input. Daya penyebaran merupakan perbandingan dampak ke belakang terhadap rata-rata seluruh dampak sektor atau sering disebut backward linkage effect ratio. Derajat kepekaan (degree of sensitivity) menunjukkan tingkat kepekaan suatu sektor terhadap sektor-sektor lainnya melalui mekanisme transaksi pasar output. Derajat kepekaan merupakan perbandingan dampak ke depan terhadap rata-rata seluruh dampak sektor atau sering disebut forward linkage effect ratio. Analisis Dampak Berganda (Multiplier Effect) Analisis multiplier ini mencoba melihat apa yang terjadi terhadap variabelvariabel endogen tertentu apabila terjadi perubahan pada variabel-variabel eksogen seperti permintaan akhir dalam perekonomian. Ada tiga variabel yang menjadi perhatian utama dalam analisis multiplier yaitu output sektor-sektor produksi, pendapatan rumah tangga dan tenaga kerja. Dengan analisis multiplier effect ini juga akan disimulasikan apabila ada tambahan investasi sebesar satu satuan di sektor infrastruktur jalan raya, maka sektor perkebunan mana yang paling besar dipengaruhi. Angka pengganda output menunjukkan nilai total dari output yang dihasilkan oleh perekonomian untuk memenuhi adanya perubahan satu unit permintaan akhir di suatu sektor. Dengan pengertian ini maka angka pengganda output sama dengan koefisien keterkaitan ke belakang dengan metode Rasmussen. Angka pengganda pendapatan menghitung pendapatan rumah tangga total yang tercipta akibat adanya perubahan satu unit permintaan akhir. Angka pengganda tenaga kerja menghitung jumlah tenaga kerja total yang dibutuhkan akibat adanya perubahan satu unit permintaan akhir. Dalam sebuah model IO, biasanya rumah tangga dapat ditempatkan sebagai variabel eksogen atau variabel endogen. Jika rumah tangga ditempatkan sebagai variabel eksogen maka model IO tersebut disebut sebagai model IO terbuka (open IO model) dan nilai angka pengganda yang diperoleh disebut sebagai angka pengganda tipe I. Sedangkan jika rumah tangga ditempatkan sebagai variabel endogen maka model IO tersebut disebut sebagai model IO tertutup (closed IO model). Pada model IO tertutup variabel rumah tangga berupa upah gaji diperlakukan sebagai salah satu sektor perekonomian. Nilai angka pengganda yang diperoleh dari model ini disebut angka pengganda tipe II. Tipe dampak dalam perhitungan multiplier effect dapat dibedakan menjadi: 1. Dampak awal (initial impact) Dampak awal mengacu pada nilai permintaan akhir yang diasumsikan meningkat. Peningkatan permintaan akhir ini menyebabkan terjadinya suatu dampak. 2. Pengaruh putaran pertama (first round effect) atau pengaruh langsung
34
Mengacu pada pembelian putaran pertama oleh sektor yang mengalami peningkatan permintaan. 3. Pengaruh dukungan industri (industrial support effect) atau pengaruh tidak langsung Mengacu kepada pengaruh putaran kedua dan seterusnya sebagai gelombang beruntun peningkatan output dalam suatu perekonomian untuk penyediaan dukungan produksi sebagai respon peningkatan permintaan akhir suatu sektor. 4. Dampak imbasan konsumsi (consumption induced effect) Imbasan karena meningkatnya pendapatan rumah tangga akibat meningkatnya permintaan akhir output suatu sektor. 5. Dampak total Merupakan penjumlahan semua dampak termasuk dampak awal, pengaruh putaran pertama, pengaruh dukungan industri, dan dampak imbasan konsumsi. 6. Dampak luberan Dampak bersih yang terjadi pada seluruh sektor perekonomian karena adanya dampak awal. Dampak luberan dianggap lebih mencerminkan ukuran suatu dampak karena dampak ini mengukur dampak bersih yang dihitung sebagai selisih dampak total dengan dampak awal. Rumus perhitungan multiplier effect menurut tipe dampak dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Rumus perhitungan multiplier effect menurut tipe dampak Tipe Dampak Dampak awal Pengaruh langsung Pengaruh tidak langsung Dampak imbasan konsumsi Dampak total Dampak luberan
Output 1 ∑aij ∑gij-1-∑aij ∑(g*ij-gij) ∑g*ij ∑g*ij-1
Pendapatan Pi ∑aij-Pi ∑gijPi-Pi-∑aijPi ∑(g*ijPi-gijPi) ∑g*ijPi ∑g*ijPi-Pi
Tenaga kerja Li ∑aij-Li ∑gijLi-Li-∑aijLi ∑(g*ijLi-gijLi) ∑g*ijLi ∑g*ijLi-Li
Sumber: Daryanto dan Hafizrianda (2010).
Keterangan: aij = koefisien input langsung gij = koefisien invers leontif terbuka g*ij = Koefisien invers leontif tertutup Pi = Koefisien pendapatan rumah tangga Li = Koefisien penyerapan tenaga kerja Analisis Pengaruh Infrastruktur Jalan terhadap Kinerja Agribisnis Perkebunan Kopi Infrastruktur sebagai salah satu sub sistem pendukung dalam kegiatan agribisnis memiliki peranan penting dalam peningkatan kinerja kegiatan agribisnis. Penelitian ini mencoba melihat bagaimana dampak dari peningkatan jumlah maupun mutu jalan sebagai salah satu jenis infrastruktur terhadap peningkatan kinerja agribisnis tanaman perkebunan khususnya kopi di Provinsi Lampung. Kinerja agribisnis perkebunan kopi yang akan dilihat dalam penelitian ini adalah : 1. Peningkatan produksi kopi
35
Fungsi produksi produksi dipengaruhi oleh input-inputnya antara lain luas lahan, penggunaan pupuk, penggunaan pestisida, jumlah tenaga kerja, dan panjang jalan. Fungsi produksi kopi di Provinsi Lampung dapat dituliskan menjadi: Y = a + b- + .-/ + 0-1 + 2-3 + 4-5 + g X6 .......................................... (10) dimana: Y = Produksi kopi (kg) X1= Produktivitas lahan (Kg/ha) X2= Penggunaan pupuk (Rp) X3= Penggunaan pestisida (Rp) X4= Jumlah tenaga kerja (HOK) X5= Panjang jalan (Km) X6= Jumlah pohon yang produktif a = Intercept; b, …. g = elastisitas variabel input Variabel input yang digunakan berasal dari data patanas tahun 2010 untuk komoditas kopi di Provinsi Lampung. Untuk menjamin bahwa model yang digunakan best linear unbiased estimator (BLUE) perlu dilakukan uji statistik antara lain: 1. Uji Multikolinearitas Multikolinearitas adalah adanya hubungan linier yang signifikan antara beberapa atau semua variabel independent dalam model regresi. Untuk melihat ada tidaknya multikolinieritas dapat dilihat dari koefisien korelasi dari masing-masing variabel bebas. Jika koefisien korelasi antara masingmasing variabel bebas lebih besar dari 0,8 berarti terjadi mulikolinieritas. 2. Uji Heteroskedastisitas Heteroskedasitas merupakan keadaan dimana varians dari setiap gangguan tidak konstan. Uji heteroskedasitas dapat dilakukan dengan menggunakan White Heteroskedasticity yang tersedia dalam program Eviews. Hasil yang perlu diperhatikan dari uji ini adalah nilai F dan ObsRSquared. Jika nilai ObsR-Squared lebih kecil dari X2 tabel maka tidak terjadi heteroskedastisitas, dan sebaliknya. Untuk mendeteksi adanya masalah hetero dapat dilihat pada residual dari hasil estimasi. Jika residual bergerak konstan artinya tidak ada hetero dan jika membentuk suatu pola tertentu maka mengindikasikan adanya hetero. 3. Uji Autokorelasi Autokorelasi menunjukkan adanya hubungan antar gangguan. Metode yang digunakan dalam mendeteksi ada tidaknya masalah autokorelasi adalah Metode Bruesch-Godfrey yang lebih dkenal dengan LM-Test. Metode ini didasarkan pada nilai F dan ObsR-Squared. Dimana jika nilai probabilitas dari ObsR-Squared melebihi tingkat kepercayaan maka Ho diterima, berarti tidak ada masalah autokorelasi. 4. Uji Normalitas Uji ini digunakan untuk mengetahui apakah error term terdistribusi secara normal. untuk memperoleh hasil uji ini digunakan Jarque – Bera Test dalam eviews. Jika P-value yang dihasilkan>α, maka error term terdistribusi normal.
36
2. Efisiensi biaya angkutan Penelitian ini akan melihat seberapa besar biaya angkutan dapat dikurangi apabila ada peningkatan kelas jalan dari yang sudah ada. Efisiensi biaya angkutan akan diproxy dari biaya transport per kg kopi, dan komposisi jalan sepanjang rute dari sentra perkebunan kopi di Kabupaten Lampung Barat menuju lokasi pengolahan kopi di Kota Bandar Lampung. Komposisi jalan akan dibedakan berdasarkan kelas jalan,yaitu: 1. Jalan kelas I Merupakan jalan arteri (kecepatan minimum rencana 60 km/jam) yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2,500 milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 18,000 milimeter dan muatan sumbu terberat yang diizinkan lebih besar dari 10 ton. 2.Jalan kelas II Merupakan jalan arteri (kecepatan minimum rencana 60 km/jam) yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2,500 milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 18,000 milimeter dan muatan sumbu terberat yang diizinkan 10 ton. 3.Jalan kelas III A Merupakan jalan arteri atau kolektor (kecepatan minimum rencana 40 km/jam) yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2,500 milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 18,000 milimeter dan muatan sumbu terberat yang diizinkan 8 ton. 4.Jalan kelas III B Merupakan jalan kolektor (kecepatan minimum rencana 40 km/jam) yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2,500 milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 12,000 milimeter dan muatan sumbu terberat yang diizinkan 8 ton. 5.Jalan kelas III C Merupakan jalan lokal (kecepatan minimum rencana 20 km/jam) yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2,100 milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 9,000 milimeter dan muatan sumbu terberat yang diizinkan 8 ton. Dari data kelas jalan dapat disimpulkan bahwa waktu yang diperlukan untuk menempuh perjalan sepanjang 60 km untuk tiap kelas jalan adalah: Kelas I (x1) = satu jam, Kelas II (x2)= satu jam, kelas IIIA (x3) = satu jam setengah, IIIB (x4) = satu jam setengah, dan kelas IIIC (x5) = dua jam atau dapat dituliskan: x2 = x1; ......................................................................................................... (11) x3=1,5x1 ....................................................................................................... (12) x4 = 1,5 x1; .................................................................................................. (13) x5 = 2 x1 ....................................................................................................... (14) Sedangkan dari data biaya angkut per kg kopi (Y) dan komposisi kelas jalan sepanjang rute dari sentra produksi kopi di Kabupaten Lampung Barat akan diperoleh persamaan sebagai berikut: Y = ax1 + bx2 + cx3 + dx4 + ex5 ................................................................... (15) dimana: Y = biaya angkutan per kg kopi dengan kondisi jalan yang ada
37
a,b,c,d,e = persentase kelas jalan sepanjang rute Subtitusikan pers. (13),(14),(15),(16) ke pers.(17), maka akan diperoleh: Y = ax1 + bx1 + 1,5cx1 + 1,5dx1 + 2ex1 ....................................................... (16) atau biaya angkutan per kg kopi apabila jalan sepanjang rute seluruhnya kelas I adalah: =
8
(:;<;,5=;,5>;/?)
................................................................................ (17)
sehingga efisiensi biaya angkutan yang diperoleh dengan menaikkan kelas jalan menjadi kelas I sebesar: (8BC )
) A = 100% ...................................................................................... (18) 8 dimana: E = efisiensi Y = biaya angkutan per kg kopi dengan kondisi jalan yang ada x1 = biaya angkutan per kg kopi dengan jalan kelas I di sepanjang rute
Dengan cara yang sama akan dapat diketahui berapa biaya angkut per kg kopi untuk masing-masing kelas jalan dan tingkat efisiensinya. 3. Peningkatan daya saing Pada penelitian ini akan dikaji peranan infrastruktur jalan raya terhadap peningkatan daya saing kopi dimana esensi dari daya saing adalah efisiensi dan produktivitas. Kajian akan dilakukan secara deskriptif dari berbagi sumber, juga dengan cara kuantitatif menggunakan persamaan matematika seperti pada poin 2 di atas. Dengan berbagai variasi kelas jalan akan dilihat bagaimana daya saing dapat meningkat jika ditinjau dari peningkatan kualitas karena adanya ketepatan waktu angkut, volume angkut, dan efisiensi biaya angkutan.
38
5 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Perekonomian Provinsi Lampung Provinsi Lampung merupakan provinsi terpadat kedua di Pulau Sumatera sesudah Provinsi Sumatera Utara dengan jumlah penduduk pada tahun 2011 sebanyak 7.69 juta jiwa. Perekonomian di Provinsi Lampung berdasarkan data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) 2011 didominasi oleh tiga sektor utama yaitu sektor pertanian, sektor industri pengolahan, serta sektor perdagangan, hotel dan restoran. Sektor pertanian pada tahun 2011 memberi kontribusi terbesar terhadap PDRB sebanyak 36.05%, diikuti dengan, sektor industri pengolahan sebesar 16% dan sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 15.91%. Secara umum kegiatan ekonomi di Provinsi Lampung dibagi menjadi sembilan sektor yaitu: 1. Sektor pertanian, yang terdiri dari: a. Tanaman bahan makanan b. Tanaman perkebunan c. Peternakan dan hasil-hasilnya d. Kehutanan e. Perikanan 2. Sektor pertambangan dan penggalian, yang terdiri dari: a. Minyak dan gas bumi b. Pertambangan bukan migas c. Penggalian 3. Sektor industri pengolahan, yang terdiri dari: a. Industri migas yang dibagi menjadi industri pengilangan minyak bumi dan gas alam cair, namun karena di Provinsi Lampung tidak ada pengilangan minyak bumi dan gas alam cair, maka tidak ada kontribusi yang diberikan sub sektor ini terhadap PDRB. b. Industri bukan migas yang terdiri dari industri makanan, minuman, dan tembakau, industri tekstil, barang kulit, dan alas kaki, industri barang kayu dan hasil hutan lainnya, industri kertas dan barang cetakan, industri pupuk, kimia, dan barang dari karet, industri semen dan barang galian bukan logam, industi logam dasar besi dan baja, industri alat angkutan, mesin, dan peralatannya, serta industri barang lainnya. 4. Sektor listrik, gas, dan air bersih, yang terdiri dari a. Listrik b. Gas kota c. Air bersih 5. Sektor konstruksi 6. Sektor perdagangan, hotel dan restoran, yang terdiri dari: a. Perdagangan besar dan eceran b. Hotel c. Restoran 7. Sektor pengangkutan dan komunikasi, yang terdiri dari:
39
a. Pengangkutan dibagi menjadi angkutan jalan rel, angkutan jalan raya, angkutan laut, angkutan sungai, danau, dan penyeberangan, angkutan udara, dan jasa penunjang angkutan. b. Komunikasi dibagi menjadi pos dan telekomunikasi, jasa penunjang komunikasi. 8. Sektor keuangan, real estat, dan jasa perusahaan, yang terdiri dari: a. Bank b. Lembaga keuangan bukan bank c. Jasa penunjang keuangan d. Real estat e. Jasa Perusahaan 9. Sektor jasa-jasa, yang terdiri dari: a. Pemerintahan umum, sub sektor jasa ini dibedakan menjadi jasa administrasi pemerintah dan pertahanan serta jasa pemerintah lainnya. b. Swasta, sub sektor jasa ini dibedakan menjadi jasa sosial dan kemasyarakatan, jasa hiburan dan rekreasi, serta jasa perorangan dan rumah tangga. Data jumlah penduduk yang bekerja menurut lapangan pekerjaan tahun 2011 di Provinsi Lampung menunjukan bahwa 49.26% penduduk bekerja di sektor pertanian, 17.40% bekerja di sektor perdagangan, hotel, dan restoran, serta 12.60% bekerja di sektor jasa. Nilai ekspor provinsi lampung pada tahun 2011 mencapai US$3.44 miliar dimana 57.13% merupakan hasil industri yang sebagian besar merupakan industri yang berbahan baku komoditas pertanian, dan kontribusi komoditas pertanian sendiri terhadap ekspor sebesar 31.14%. Besarnya kontribusi terhadap PDRB, banyaknya penduduk yang bekerja di sektor ini dan besarnya nilai ekspor komoditas pertanian maupun olahannya menunjukkan bahwa sektor pertanian termasuk sektor perkebunan didalamnya memegang peranan penting dalam perekonomian provinsi lampung. Provinsi Lampung juga memegang peranan yang sangat strategis terutama pada sektor transportasi untuk wilayah Sumatera Bagian Selatan. Provinsi Lampung memiliki Pelabuhan Panjang yang merupakan pelabuhan samudera yang banyak dilalui komoditas ekspor dari wilayah Sumatera Bagian Selatan. Selain itu Provinsi Lampung juga memiliki posisi yang sangat strategis yaitu di ujung selatan Pulau Sumatera yang berbatasan langsung dengan Pulau Jawa sehingga berpotensi menjadi provinsi terpadat di luar Pulau Jawa dan Bali, serta menjadi daerah yang terbuka dan penyangga bagi kota Jakarta. Bersama Provinsi Jawa Barat dan Banten, Provinsi Lampung memiliki keuntungan secara ekonomi karena mengusai Selat Sunda yang merupakan jalur laut perdagangan internasional yang menghubungkan Samudera Hindia dan Laut Cina Selatan yang merupakan jalur alternatif dari Selat Malaka. Karena itu Provinsi Lampung harus mampu mengembangkan peluang-peluang pembangunan, terutama dengan membangun dan mengembangkan sarana dan prasarana daerah. Keterkaitan dan Peranan Sektor Perkebunan dan Sektor Infrastruktur Jalan dalam Perekonomian Provinsi Lampung Tujuan pertama dari penelitian ini adalah untuk melihat keterkaitan baik ke belakang maupun ke depan, serta peranan sektor perkebunan dan sektor jalan,
40
jembatan, dan pelabuhan dalam perekonomian Provinsi Lampung. Tabel InputOutput (IO) yang digunakan adalah tabel IO tahun 2000 yang diupdate dengan menggunakan metode RAS menjadi tabel IO tahun 2011. Pada tahun 2000 tabel IO Provinsi Lampung terdiri dari 70 sektor, klasifikasi sektor dapat dilihat pada Lampiran 1. Untuk memenuhi tujuan penelitian ini sektor bangunan dipecah menjadi sektor jalan, jembatan, pelabuhan, dan sektor bangunan lainnya. Sektor industri pengilangan minyak digabungkan dengan sektor industri barang lainnya karena di Provinsi Lampung tidak ada pengilangan minyak sehingga outputnya nol. Klasifikasi sektor tabel IO setelah diupdate ke tahun 2011 dapat dilihat pada Lampiran 2. Keterkaitan ke Belakang Ukuran keterkaitan ke belakang merefleksikan pengaruh dari kenaikan permintaan akhir pada sektor j terhadap output perekonomian secara keseluruhan, dengan kata lain ukuran ini menjelaskan besarnya perubahan output perekonomian sebagai akibat terjadinya kenaikan sebanyak satu unit pada permintaan akhir di sektor j. Hasil analisis keterkaitan langsung ke belakang dengan klasifikasi 70 sektor, nilai keterkaitan untuk sub sektor perkebunan, sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan serta sektor bangunan lainnya (Lampiran 3) menunjukkan untuk sektor perkebunan yang memiliki keterkaitan ke belakang paling tinggi adalah sektor kelapa sawit sebesar 0.151. Nilai keterkaitan langsung ke belakang sektor kelapa sawit sebesar 0.151 menunjukkan bahwa untuk memproduksi sektor kelapa sawit sebesar satu satuan membutuhkan input antara yang berasal dari sektor lain sebesar 0.151 satuan, sementara input primer yang dibutuhkan adalah 0.849 satuan. Lima sektor utama yang menjadi penyedia input antara bagi sektor kelapa sawit adalah sektor industri pupuk, pestisida, dan kimia sebesar 0.037 satuan, sektor perdagangan sebesar 0.025 satuan, sektor angkutan darat sebesar 0.044 satuan, sektor bank, dan lembaga keuangan lainnya sebesar 0.012 satuan, dan sektor jasa kesehatan/pendidikan/jasa swasta lainnya. Nilai keterkaitan langsung ke belakang untuk sektor perkebunan, dan sektor infrastruktur serta lima sektor utama yang menyediakan input antara untuk masing-masing sektor tersebut dapat dilihat pada Tabel 8. Sektor kelapa sawit memiliki nilai keterkaitan ke belakang paling tinggi dibandingkan dengan sektor perkebunan lain di Provinsi Lampung, hal ini disebabkan karena sektor kelapa sawit merupakan sektor perkebunan yang mayoritas diusahakan oleh perusahaan perkebunan besar, karena itu kenaikan permintaan akhir pada sektor ini akan langsung direspon dengan penyediaan input produksinya. Sektor-sektor yang memiliki keterkaitan ke belakang tertinggi hampir sama untuk semua sektor perkebunan antara lain: 1. Sektor angkutan darat Nilai keterkaitan langsung ke belakang tertinggi sektor perkebunan terhadap sektor angkutan darat terbesar dimiliki oleh sektor kelapa sawit. Nilai keterkaitan langsung ke belakang sektor kelapa sawit dengan sektor angkutan darat paling tinggi dibandingkan dengan sektor perkebunan yang lain karena kelapa sawit merupakan komoditas perkebunan yang memerlukan penanganan yang cepat setelah dipanen karena tandan buah kelapa sawit akan mengalami penurunan mutu dalam waktu 8 jam setelah dipanen dan proses pengolahan tandan buah segar hasil
41
panen dilakukan di pabrik pengolahan tidak langsung dilokasi kebun sehingga memerlukan angkutan darat yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan sektor perkebunan lainnya. 2. Sektor industri pupuk, pestisida, dan kimia Nilai keterkaitan langsung ke belakang tertinggi sektor perkebunan terhadap sektor industri pupuk, pestisida, dan kimia dimiliki oleh sektor tebu. Kebutuhan sektor tebu akan pupuk, pestisida dan kimia lebih tinggi dibandingkan sektor perkebunan lainnya karena usahatani tebu di Provinsi Lampung lebih banyak dilakukan oleh perusahaan besar sehingga frekuensi dan waktu pemupukan menjadi lebih banyak dibandingkan dengan sektor perkebunan lain yang lebih banyak diusahakan oleh perkebunan rakyat seperti kopi, karet, dll. Jika dibandingkan dengan sektor perkebunan yang sama-sama diusahakan oleh perusahaan perkebunan besar seperti kelapa sawit, kebutuhan pupuk, pestisida, dan kimia sektor tebu juga lebih tinggi karena frekuensi pemupukan yang lebih banyak. Sektor tebu memerlukan pemupukan 3-4 kali dalam setahun, sedangkan kelapa sawit hanya 2 kali dalam setahun. 3. Perdagangan Nilai keterkaitan langsung ke belakang tertinggi sektor perkebunan terhadap sektor perdagangan dimiliki oleh sektor kelapa sawit. Output sektor perdagangan adalah jumlah margin dari nilai barang yang diperdagangkan. Kelapa sawit memiliki nilai keterkaitan langsung ke belakang tertinggi dibandingkan sektor perkebunan lainnya dengan sektor perdagangan menunjukkan margin perdagangan kelapa sawit merupakan yang paling tinggi diantara komoditas perkebunan yang lainnya. 4. Bank dan lembaga keuangan lainnya Sektor perkebunan yang paling membutuhkan input yang berasal dari sektor ini adalah sektor tebu. Untuk meningkatkan output sektor tebu di Provinsi Lampung sangat diperlukan bantuan modal yang merupakan output sektor bank dan lembaga keuangan lainnya karena salah satu kendala peningkatan produksi tebu adalah umur tanaman tebu yang sudah terlalu tua, dan keterbatasan lahan, sehingga jika akan meningkatkan produksinya karena ada kenaikan permintaan akhir pada sektor ini diperlukan modal yang cukup besar. Nilai keterkaitan langsung ke belakang untuk sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan adalah 0.370. Nilai ini menunjukan jika ada kenaikan sebesar satu satuan pada sektor ini, maka sektor ini membutuhkan 0.370 satuan input antara yang berasal dari output lain yang lima diantaranya adalah sektor penambangan dan penggalian lainnya sebesar 0.046 satuan, sektor industri bambu, kayu, dan rotan sebesar 0.030 satuan, sektor industri barang mineral bukan logam sebesar 0.088 satuan, sektor industri logam dasar dan barang logam sebesar 0.032 satuan, dan sektor perdagangan sebesar 0.065 satuan. Sektor jalan, jembatan, pelabuhan memerlukan input yang tinggi berasal dari sektor industri barang mineral bukan logam, output dari sektor ini antara lain adalah aspal, batu kerikil, sirtu, dan lainlain. Koefisien keterkaitan langsung ke belakang belum menggambarkan dampak perubahan setiap variabel eksogen dalam permintaan akhir, seperti pengeluaran pemerintah, terhadap perekonomian secara simultan. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan matriks invers Leontif. Karena itu untuk menghitung keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang, Rasmussen mengajukan
42
penjumlahan kolom pada matriks invers Leontif. Nilai keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang untuk sektor tanaman perkebunan, dan sektor infrastruktur dapat dilihat pada Lampiran 4. Tabel 8 Keterkaitan langsung ke belakang sektor perkebunan dan sektor infrastruktur Provinsi Lampung tahun 2011 Kode IO 9
Karet
10
Tebu
11
Kelapa
12
Kelapa sawit
13
Kopi
14
Cengkeh
15
Kakao
16
Lada
17
Tanaman perkebunan lainnya
53
Jalan, Jembatan, Pelabuhan
54
Bangunan lainnya
Nama sektor
Sumber: diolah dari BPS (2012).
Keterkaitan dengan sektor Bank dan lembaga keuangan lainnya, industri pupuk, pestisida, dan kimia, angkutan darat, perdagangan, persewaan bangunan dan jasa perusahaan Industri pupuk, pestisida, dan kimia, perdagangan, bank dan lembaga keuangan lainnya, angkutan darat, tebu Angkutan darat, industri pupuk, pestisida, dan kimia, perdagangan, bank dan lembaga keuangan lainnya, kelapa Angkutan darat, industri pupuk, pestisida, dan kimia, perdagangan, bank dan lembaga keuangan lainnya, jasa kesehatan/pendidikan/jasa swasta lainnya Angkutan darat, industri pupuk, pestisida, dan kimia, perdagangan, bank dan lembaga keuangan lainnya, industri barang karet dan plastik Bank dan lembaga keuangan lainnya, industri pupuk, pestisida, dan kimia, perdagangan, angkutan darat, industri barang karet dan plastik Industri pupuk, pestisida, dan kimia, perdagangan, angkutan darat, bank dan lembaga keuangan lainnya, bangunan lainnya Industri pupuk, pestisida, dan kimia, perdagangan, angkutan darat, bank dan lembaga keuangan lainnya, lada Tanaman perkebunan lainnya, angkutan darat, bank dan lembaga keuangan lainnya, industri pupuk, pestisida, dan kimia, perdagangan Industri barang mineral bukan logam, perdagangan, penambangan dan penggalian lainnya, industri logam dasar dan barang logam, industri bambu, kayu dan rotan Industri barang mineral bukan logam, perdagangan, penambangan dan penggalian lainnya, industri logam dasar dan barang logam, industri bambu, kayu dan rotan
Total nilai keterkaitan 0.064
0.131
0.036
0.151
0.088
0.048
0.074
0.022
0.052
0.370
0.416
43
Nilai keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang untuk sektor perkebunan dan sektor infrastruktur dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang sektor perkebunan dan sektor infrastruktur di Provinsi Lampung tahun 2011 Kode IO 9
Karet
10
Tebu
11
Kelapa
12
Kelapa sawit
13
Kopi
14
Cengkeh
15
Kakao
16
Lada
17
Tanaman perkebunan lainnya
53
Jalan, jembatan, pelabuhan
54
Bangunan lainnya
Nama sektor
Keterkaitan dengan sektor Karet, bank dan lembaga keuangan lainnya, industri pupuk, pestisida dan kimia, angkutan darat, perdagangan Tebu, industri pupuk, pestisida, dan kimia, perdagangan, bank dan lembaga keuangan lainnya, angkutan darat Kelapa, angkutan darat, industri pupuk, pestisida, dan kimia, perdagangan, bank dan lembaga keuangan lainnya Kelapa sawit, angkutan darat, industri pupuk, pestisida, dan kimia, perdagangan, bank dan lembaga keuangan lainnya Kopi, angkutan darat, industri pupuk, pestisida, dan kimia, perdagangan, bank dan lembaga keuangan lainnya Cengkeh, bank dan lembaga keuangan lainnya, industri pupuk, pestisida, dan kimia, angkutan darat, perdagangan Kakao, industri pupuk, pestisida, dan kimia, perdagangan, angkutan darat, bank dan lembaga keuangan lainnya Lada, industri pupuk, pestisida, dan kimia, perdagangan, angkutan darat, bank dan lembaga keuangan lainnya Tanaman perkebunan lainnya, angkutan darat, bank dan lembaga keuangan lainnya, perdagangan, industri pupuk, pestisida, dan kimia Jalan, jembatan, pelabuhan, industri barang mineral bukan logam, perdagangan, penambangan dan penggalian lainnya, industri barang karet dan lainnya Bangunan lainnya, industri barang mineral bukan logam, perdagangan, penambangan dan penggalian lainnya, industri barang karet dan lainnya
Total nilai keterkaitan 1.086
1.170
1.048
1.206
1.120
1.069
1.099
1.028
1.062
1.518
1.583
Sumber: diolah dari BPS (2012).
Nilai keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang sektor kelapa sawit sebesar 1.206 menunjukkan bahwa jika ada kenaikan permintaan akhir di sektor kelapa sawit sebesar satu satuan maka total output perekonomian di Provinsi Lampung akan meningkat sebesar 1.206. Peningkatan output tersebut berasal dari peningkatan output beberapa sektor dimana lima sektor yang paling besar berkontribusi terhadap peningkatan output ini adalah sektor industri pupuk, pestisida, dan kimia, sektor perdagangan, dan sektor bank dan lembaga keuangan
44
lainnya. Peningkatan output ini terjadi karena untuk dapat meningkatkan output sektor kelapa sawit memerlukan input antara yang berasal dari output sektorsektor yang berkaitan dengannya. Peningkatan permintaan akhir di sektor kelapa sawit dapat menarik perkembangan sektor penyedia inputnya lebih tinggi dibandingkan sektor perkebunan lainnya. Sektor angkutan darat masih menjadi sektor yang menjadi penyedia input terbesar bagi sektor kelapa sawit karena kelapa sawit sangat membutuhkan angkutan darat untuk membawa hasil panen dari lokasi perkebunan ke pabrik pengolahan dengan segera untuk menjamin mutu minyak yang dihasilkan. Kelapa sawit merupakan komoditas perkebunan dengan produksi terbesar di Provinsi Lampung pada tahun 2011 luas lahan perkebunan kelapa sawit yang ada di Provinsi Lampung sebanyak 176,847 ha dengan produksi pada tahun 2011 sebesar 128,035 ton yang sentra produksinya tersebar di Kabupaten Mesuji, Tulang Bawang, Tulang Bawang Barat, dan Lampung Tengah. Sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan memiliki nilai keterkaitan langsung sebesar 1.518. Nilai ini menunjukan bahwa jika ada kenaikan permintaan akhir pada sektor ini, maka output total perekonomian akan meningkat sebesar 1.518 satuan. Sektor yang peningkatan outputnya paling tinggi karena adanya kenaikan permintaan akhir pada sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan adalah sektor penambangan mineral bukan logam, karena sektor ini menyediakan bahan bangunan yang diperlukan untuk pembangunan jalan, jembatan, dan pelabuhan antara lain batu, dan sirtu. Analisis yang sama juga berlaku untuk sektor lain pada Tabel 9. Keterkaitan ke Depan Keterkaitan langsung ke depan menunjukkan nilai output suatu sektor yang digunakan sebagai input sektor lainnya. Nilai keterkaitan langsung ke depan untuk sektor perkebunan dan infrastruktur dapat dilihat pada Lampiran 5. Sektor perkebunan yang memiliki nilai keterkaitan langsung ke depan paling tinggi adalah kelapa yaitu sebesar 0.659. Nilai ini menunjukkan bahwa dari satu satuan output sektor kelapa digunakan untuk memenuhi permintaan antara adalah sebesar 0.659 satuan, dimana sektor yang memerlukannya antara lain adalah sektor industri pengolahan buah dan sayuran sebesar 0.019 satuan, sektor industri kopra sebesar 0.589 satuan, industri minyak dan lemak sebesar 0.027 satuan, industri gula sebesar 0.005 satuan, dan sektor restoran sebesar 0.012 satuan. Sementara sisanya yaitu sebesar 0.341 satuan digunakan untuk memenuhi permintaan akhir pada sektor kelapa sendiri. Nilai keterkaitan langsung ke depan, dan sektor-sektor yang memiliki keterkaitan langsung ke depan dengan sektor perkebunan dan sektor infrastruktur dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 menunjukkan bahwa nilai keterkaitan langsung ke depan sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan adalah sebesar 0.218. Nilai ini merefleksikan bahwa dari satu satuan output yang dihasilkan oleh sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan sebanyak 0.218 satuan digunakan untuk memenuhi permintaan antara sektor lain yang lima sektor diantaranya adalah sektor kelapa sawit sebesar 0.005 satuan, sektor kayu sebesar 0.009 satuan, sektor penambangan dan penggalian lainnya sebesar 0.029 satuan, sektor industri alat angkut dan perbaikannya sebesar 0.115 satuan, dan sektor jasa penunjang angkutan sebesar 0.050 satuan.
45
Tabel 10 Keterkaitan langsung ke depan sektor tanaman perkebunan dan sektor infrastruktur Provinsi Lampung tahun 2011 Kode IO 9 10
Nama Sektor Karet Tebu
11
Kelapa
12 13 14
Kelapa sawit Kopi Cengkeh
15 16 17
Kakao Lada Tanaman perkebunan lainnya
53
Jalan, Jembatan, Pelabuhan
54
Bangunan lainnya
Keterkaitan dengan Sektor Industri barang karet dan plastik Industri gula, industri minuman dan rokok, peternakan dan hasil-hasilnya Industri kopra, industri minyak dan lemak, industri pengolahan buah dan sayuran, restoran, industri gula Industri minyak dan lemak Industri pengupasan biji kopi Industri pengupasan/penggilingan selain kopi, restoran Industri pengupasan/penggilingan selain kopi Industri pengupasan/penggilingan selain kopi Industri minuman dan rokok, industri pupuk, pestisida, dan kimia, industri pengolahan/pengawetan makanan lainnya, industri barang lainnya Industri alat angkut dan perbaikannya, jasa penunjang angkutan, penambangan dan penggalian lainnya, kayu, kelapa sawit Industri alat angkut dan perbaikannya, kakao, persewaan bangunan dan jasa perusahaan, jasa hiburan, rekreasi, dan budaya swasta, tanaman perkebunan lainnya
Total Nilai Keterkaitan 0.047 0.191 0.659
0.337 0.481
0.004 0.016 0.317 0.050
0.218
0.029
Sumber: diolah dari BPS (2012).
Nilai keterkaitan langsung kedepan untuk sektor perkebunan dapat menunjukkan berapa banyak output onfarm sektor perkebunan yang mengalami proses lebih lanjut. Sektor tebu misalnya dengan nilai keterkaitan langsung ke depan sebesar 0.191 berarti dari satu satuan output sektor tebu sebanyak 0.191 satuan mengalami pengolahan lebih lanjut sementara 0.809 satuan dijual langsung maupun disimpan sebagai stok. Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan merefleksikan besarnya kenaikan output pada sektor j jika permintaan akhir pada setiap sektor naik sebanyak satu unit. Nilai keterkaitan langsung ke depan untuk sektor tanaman perkebunan yang terdiri dari sembilan sektor dan sektor infrastruktur yang terdiri dari dua sektor dapat dilihat pada Lampiran 6. Untuk sektor tanaman perkebunan yang memiliki nilai keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan paling tinggi adalah sektor kelapa yaitu sebesar 1.905. Nilai ini menunjukkan bahwa apabila ada kenaikan permintaan akhir pada sektor lain sebesar satu satuan, maka output dari sektor kelapa akan meningkat sebesar 1.905 satuan. Peningkatan ini terjadi karena output dari sektor kelapa diperlukan sebagai input bagi sektor lain, antara lain sektor industri pengolahan buah dan sayuran sebesar 0.020, sektor industri kopra sebesar 0.603, sektor industri minyak dan lemak sebesar 0.209, dan sektor industri pakan ternak sebesar
46
0.026. Dari nilai ini menunjukkan bahwa sektor yang paling banyak memerlukan output sektor kelapa adalah sektor industri kopra. Nilai keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan serta lima sektor utama yang memiliki keterkaitan langsung langsung dan tidak langsung ke depan terhadap sektor tanaman perkebunan dan sektor infrastruktur Provinsi Lampung tahun 2011 dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan sektor tanaman perkebunan dan sektor infrastruktur Provinsi Lampung tahun 2011 Kode IO 9
Karet
10
Tebu
11
Kelapa
12 13
Kelapa sawit Kopi
14
Cengkeh
15
Kakao
16
Lada
17
Tanaman perkebunan lainnya
53
Jalan, jembatan, pelabuhan Bangunan lainnya
54
Keterkaitan dengan sektor
Nama sektor
Karet, industri barang karet dan plastik, kegiatan yang tidak jelas batasannya, jasa perbengkelan perorangan dan rumah tangga, industri mesin/perlengkapan listrik Tebu, industri gula, industri pengolahan/pengawetan makanan lainnya, industri minuman dan rokok, industri makanan lainnya Kelapa, industri kopra, industri minyak dan lemak, industri pakan ternak, industri pengolahan buah dan sayuran Kelapa sawit, industri minyak dan lemak, industri makanan lainnya, industri pakan ternak, restoran Kopi, industri pengupasan biji kopi, industri penggilingan kopi, hotel, restoran Cengkeh, industri pengupasan/penggilingan selain kopi, restoran, industri pupuk pestisida, dan kimia, industri makanan lainnya Kakao, industri pengupasan/penggilingan selain kopi, industri makanan lainnya, industri pengolahan/pengawetan makanan lainnya, industri pakan ternak Lada, industri pengupasan/penggilingan selain kopi, industri makanan lainnya, industri pengolahan/pengawetan makanan lainnya, hotel Tanaman perkebunan lainnya, industri minuman dan rokok, industri pupuk, pestisida, dan kimia, industri pengolahan/pengawetan makanan lainnya, industri barang lainnya Jalan, jembatan, pelabuhan, industri alat angkut dan perbaikannya, jasa penunjang angkutan, penambangan dan penggalian lainnya, kayu Bangunan lainnya, industri alat angkut dan perbaikannya, kakao, persewaan bangunan dan jasa perusahaan, jasa hiburan, rekreasi, dan kebudayaan swasta
Total nilai keterkaitan 1.190
1.232
1.905
1.377 1.741 1.004
1.017
1.350
1.054
1.251
1.035
Sumber: diolah dari BPS (2012).
Nilai keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan untuk sektor infrastruktur tertinggi dimiliki oleh sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan sebesar 1.251. Nilai ini menunjukkan apabila terjadi kenaikan permintaan akhir sebesar
47
satu satuan pada setiap sektor dalam perekonomian, maka output sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan akan meningkat sebesar 1.251 satuan. Hal ini terjadi karena meningkatnya kebutuhan akan jalan, jembatan, dan pelabuhan sebagai input bagi sektor-sektor lain. Sektor yang sangat membutuhkan output sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan adalah sektor kayu sebesar 0.009, sektor penambangan dan penggalian lainnya sebesar 0.029, sektor industri alat angkut dan perbaikannya sebesar 0.115, sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan sebesar 1.002, dan sektor jasa penunjang angkutan sebesar 0.050. Nilai keterkaitan langsung ke belakang, keterkaitan total ke belakang (langsung dan tidak langsung), keterkaitan langsung ke depan, dan keterkaitan total ke depan sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan dengan sektor perkebunan dapat menunjukan sektor perkebunan mana yang paling berperan sebagai penyedia input, dan sektor perkebunan mana yang menjadi pengguna output sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan yang lebih banyak dibandingkan sektor perkebunan lainnya. Nilai keterkaitan ini dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 menunjukkan bahwa tidak ada sektor perkebunan yang menjadi penyedia input antara secara langsung bagi sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan, sedangkan sektor perkebunan yang menyediakan input antara secara tidak langsung bagi sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan adalah sektor karet sebesar 0.003 satuan untuk kenaikan permintaan akhir sebesar satu satuan di sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan. Tabel 12 Nilai keterkaitan ke belakang dan keterkaitan ke depan sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan dengan sektor perkebunan Provinsi Lampung tahun 2011 Kode IO
Nama sektor
Keterkaitan ke belakang Langsung
Total
Keterkaitan ke depan Langsung
Total
12
Kelapa sawit
0.000
0.000
0.005
0.005
9
Karet
0.000
0.003
0.002
0.002
15
Kakao
0.000
0.000
0.002
0.002
10
Tebu
0.000
0.000
0.001
0.001
17
Tanaman perkebunan lainnya
0.000
0.000
0.001
0.001
11
Kelapa
0.000
0.000
0.000
0.000
13
Kopi
0.000
0.000
0.000
0.000
14
Cengkeh
0.000
0.000
0.000
0.000
16
Lada
0.000
0.000
0.000
0.000
Sumber: diolah dari BPS (2012).
Sektor karet memiliki keterkaitan ke belakang secara tidak langsung dengan jalan, jembatan, dan pelabuhan karena dalam proses produksinya sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan memerlukan antara lain elastomeric bearing pads (meredam getaran akibat beban di jalan, atau jembatan), rubber fender (meredam benturan kapal dengan dermaga), dan marka jalan yang berbahan baku karet. Nilai keterkaitan langsung ke depan sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan paling tinggi adalah dengan sektor kelapa sawit sebesar 0,005. Nilai ini menunjukkan bahwa dari satu satuan output yang dihasilkan sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan
48
sebesar 0.005 satuan digunakan oleh sektor kelapa sawit. Sedangkan nilai keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan dengan sektor perkebunan yang paling tinggi adalah dengan sektor kelapa sawit. Nilai ini mengindikasikan bahwa setiap kenaikan satu satuan pada permintaan akhir sektor kelapa sawit akan meningkatkan kebutuhan input yang berupa output dari sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan sebesar 0.005 satuan. Keterkaitan ke depan sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan dengan sektor perkebunan dimiliki oleh sektor kelapa sawit, karet, kakao, dan tebu karena komoditas-komoditas ini umumnya dikembangkan oleh perusahaan swasta yang memiliki infrastruktur sendiri dan setelah dipanen komoditas-komoditas ini memerlukan penanganan yang cepat dan lokasi pengolahan tidak sama dengan lokasi panen. Sedangkan nilai keterkaitan ke depan sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan dengan sektor perkebunan untuk komoditas kelapa, kopi, cengkeh dan lada sangat kecil mendekati nol karena komoditas-komoditas ini mayoritas merupakan perkebunan rakyat dan biasanya hasil panen mengalami pengolahan langsung di tempat. Daya Penyebaran dan Derajat Kepekaan Daya penyebaran dan derajat kepekaan merupakan perbandingan dampak, baik ke belakang maupun ke depan terhadap rata-rata seluruh dampak sektor, sehingga nilai ini masing-masing sering disebut sebagai backward linkage effect ratio dan forward lingkage effect ratio. Jika nilai indeks daya penyebaran sektor j lebih besar dari satu (αj> 1) maka secara relatif permintaan akhir sektor j dalam merangsang pertumbuhan produksi lebih besar dari rata-rata, sehingga sektor ini merupakan sektor yang strategis dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Begitu pula untuk sektor i yang mempunyai indeks derajat kepekaan lebih besar dari satu (βi > 1) dapat digolongkan sebagai sektor strategis, karena secara relatif ia dapat memenuhi permintaan akhir sebanyak di atas kemampuan rata-rata sektor lainnya. Nilai indeks daya penyebaran untuk semua sektor perkebunan kurang dari satu (αj< 1), hal ini menunjukan bahwa kenaikan permintaan akhir sektor-sektor perkebunan kurang mampu menarik pertumbuhan produksi sektor-sektor penyedia inputnya. Sedangkan untuk sektor infrastruktur baik sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan maupun sektor bangunan lainnya memiliki nilai indeks daya penyebaran yang lebih dari satu yang mengindikasikan bahwa kenaikan permintaan akhir pada kedua sektor ini mampu menarik pertumbuhan produksi sektor-sektor penyedia inputnya. Nilai indeks derajat kepekaan untuk sektor perkebunan yang memiliki nilai lebih dari satu (βi > 1) adalah sektor kelapa dan sektor kopi. Nilai ini menunjukan bahwa kedua sektor ini mampu menyediakan produk untuk memenuhi kebutuhan input bagi sektor lain yang mengalami kenaikan permintaan akhir di atas kemampuan rata-rata sektor lainnya. Nilai indeks daya penyebaran dan indeks derajat kepekaan untuk sektor perkebunan dan infrastruktur dapat dilihat pada Tabel 13. Sektor yang memiliki nilai indeks daya penyebaran dan atau indeks derajat kepekaan lebih dari satu dapat digolongkan sebagai sektor yang strategis dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Karena itu sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan, sektor bangunan lainnya, sektor kelapa, dan sektor kopi merupakan sektor kunci untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Provinsi Lampung.
49
Tabel 13 Indeks daya penyebaran dan indeks derajat kepekaan sektor perkebunan dan sektor infrastruktur Provinsi Lampung tahun 2011 No 11 13 12 16 53 10 9 17 54 15 14
Sektor Kelapa Kopi Kelapa sawit Lada Jalan, Jembatan, Pelabuhan Tebu Karet Tanaman perkebunan lainnya Bangunan lainnya Kakao Cengkeh
Indeks daya penyebaran 0.745 0.796 0.857 0.731 1.079 0.831 0.772 0.755 1.125 0.781 0.760
Indeks derajat kepekaan 1.354 1.238 0.979 0.960 0.889 0.875 0.845 0.749 0.736 0.723 0.713
Sumber: diolah dari BPS (2012).
Dampak Pengganda (Multiplier Effect) Selain menyajikan indikator-indikator keterkaitan antar sektor, model I-O juga bisa menurunkan angka-angka pengganda (multiplier) yang sangat berguna bagi perencanaan pembangunan daerah untuk mengamati seberapa besar perubahan output suatu sektor produksi jika terjadi perubahan dalam variabelvariabel eksogennya. Tiga variabel yang selalu menjadi perhatian utama dalam analisis angka pengganda adalah output-output sektor produksi, pendapatan rumah tangga, dan lapangan pekerjaan (Daryanto dan Hafizrianda 2010). Angka pengganda output menunjukkan nilai total dari output yang dihasilkan oleh perekonomian untuk memenuhi adanya perubahan satu unit permintaan akhir di suatu sektor. Karena itu angka pengganda output sama dengan nilai keterkaitan ke belakang. Angka pengganda output untuk sektor tanaman perkebunan dan infrastruktur Provinsi Lampung tahun 2011 dapat dilihat pada Tabel 14. Nilai multiplier effect output untuk sektor perkebunan sebelum memasukkan dampak konsumsi rumah tangga tertinggi dimiliki oleh sektor kelapa sawit karena kelapa sawit merupakan komoditas perkebunan dengan produksi terbesar di Provinsi Lampung, namun setelah dimasukkan dampak konsumsi rumah tangga nilai multiplier effect tertinggi dimiliki oleh sektor tebu. Nilai angka pengganda output untuk sektor tebu setelah ditambahkan dampak dari konsumsi yang paling tinggi dimiliki oleh sektor tebu yaitu sebesar 1.717. Angka ini menunjukan apabila ada kenaikan permintaan akhir pada sektor tebu sebesar satu satuan, maka output perekonomian akan meningkat sebesar 1.717 satuan. Sedangkan untuk sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan memiliki angka pengganda output sebesar 1.939 yang berarti setiap kenaikan permintaan akhir sebesar satu satuan untuk sektor ini akan meningkatkan output perekonomian total sebesar 1.939.
50
Tabel 14 Angka pengganda output sektor perkebunan dan sektor infrastruktur Provinsi Lampung tahun 2011 Kode IO 9 10 11 12 13 14 15 16 17 53 54
Dampak awal
Dampak langsung
1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000
0.064 0.131 0.036 0.151 0.088 0.048 0.074 0.022 0.052 0.370 0.416
Dampak tidak langsung 0.021 0.039 0.012 0.055 0.031 0.021 0.025 0.007 0.011 0.148 0.167
Sub total 1.086 1.170 1.048 1.206 1.120 1.069 1.099 1.028 1.062 1.518 1.583
Konsumsi 0.552 0.547 0.200 0.345 0.368 0.330 0.193 0.216 0.491 0.421 0.378
Total 1.637 1.717 1.248 1.550 1.487 1.399 1.292 1.244 1.553 1.939 1.961
Luberan 0.637 0.717 0.248 0.550 0.487 0.399 0.292 0.244 0.553 0.939 0.961
Sumber: diolah dari BPS (2012).
Nilai angka pengganda pendapatan untuk sektor tanaman perkebunan setelah ditambahkan dampak dari konsumsi yang paling tinggi dimiliki oleh sektor tanaman perkebunan lainnya yaitu sebesar 1.199. Angka ini menunjukan apabila ada kenaikan permintaan akhir pada sektor tanaman perkebunan lainnya sebesar satu satuan, maka pendapatan akan meningkat sebesar 1.199 satuan. Sedangkan untuk sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan memiliki angka pengganda pendapatan sebesar 0.836 yang berarti setiap kenaikan permintaan akhir sebesar satu satuan untuk sektor ini akan meningkatkan pendapatan sebesar 0.836. Nilai pengganda pendapatan untuk sektor perkebunan dan infrastruktur dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Angka pengganda pendapatan sektor perkebunan dan sektor infrastruktur Provinsi Lampung tahun 2011 Kode IO 9 10 11 12 13 14 15 16 17 53 54
Dampak awal
Dampak langsung
0.849 0.666 0.908 0.672 0.765 0.872 0.761 0.898 0.896 0.333 0.265
0.035 0.073 0.020 0.079 0.047 0.025 0.038 0.012 0.036 0.202 0.227
Sumber: diolah BPS (2012).
Dampak tidak langsung 0.012 0.021 0.006 0.028 0.016 0.010 0.013 0.004 0.006 0.078 0.088
Sub total 0.896 0.761 0.934 0.779 0.827 0.907 0.813 0.914 0.938 0.612 0.579
Konsumsi 0.293 0.291 0.106 0.183 0.195 0.176 0.103 0.115 0.261 0.224 0.201
Total 1.189 1.052 1.040 0.962 1.023 1.083 0.916 1.028 1.199 0.836 0.780
Luberan 0.340 0.385 0.132 0.290 0.258 0.211 0.155 0.130 0.303 0.504 0.516
51
Nilai angka pengganda tenaga kerja untuk sektor tanaman perkebunan setelah ditambahkan dampak dari konsumsi yang paling tinggi dimiliki oleh sektor karet yaitu sebesar 0.065. Angka ini menunjukan apabila ada kenaikan permintaan akhir pada sektor karet sebesar satu juta rupiah, maka tenaga kerja yang digunakan akan meningkat sebesar 0.065 satuan. Sedangkan untuk sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan memiliki angka pengganda tenaga kerja sebesar 0.025 yang berarti setiap kenaikan permintaan akhir sebesar satu juta rupiah untuk sektor ini akan meningkatkan kebutuhan akan tenaga kerja sebanyak 0.025. Nilai pengganda tenaga kerja untuk sektor perkebunan dan infrastruktur dapat dilihat pada Tabel 16. Nilai angka pengganda tenaga kerja sektor karet yang lebih tinggi dibandingkan sektor perkebunan lainnya menunjukkan bahwa sektor karet merupakan sektor yang padat karya karena peningkatan permintaan akhirnya dapat menyerap tenaga kerja lebih besar. Sektor karet merupakan sektor yang memerlukan tenaga kerja yang banyak karena karet merupakan komoditas perkebunan yang dapat dipanen sepanjang tahun, dan penanganan pasca panen harus dilaksanakan secepatnya untuk mencegah penggumpalan getah karet yang dipanen. Tabel 16 Angka pengganda tenaga kerja sektor perkebunan dan sektor infrastruktur Provinsi Lampung tahun 2011 Kode 9 10 11 12 13 14 15 16 17 53 54
Dampak awal
Dampak langsung
0.056 0.053 0.020 0.031 0.036 0.033 0.018 0.022 0.050 0.013 0.011
0.001 0.002 0.000 0.001 0.001 0.000 0.001 0.000 0.001 0.004 0.005
Dampak tidak langsung 0.000 0.000 0.000 0.001 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.001 0.002
Sub total 0.057 0.055 0.020 0.033 0.037 0.034 0.019 0.022 0.051 0.019 0.017
Konsumsi 0.008 0.008 0.003 0.005 0.005 0.005 0.003 0.003 0.007 0.006 0.005
Total 0.065 0.063 0.023 0.038 0.042 0.039 0.022 0.025 0.058 0.025 0.022
Luberan 0.009 0.010 0.003 0.007 0.006 0.005 0.004 0.003 0.008 0.012 0.012
Sumber: diolah dari BPS (2012).
Dampak Investasi Infrastruktur Jalan Terhadap Sektor Perkebunan di Provinsi Lampung Salah satu misi yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Lampung tahun 2010-2014 adalah untuk meningkatkan daya dukung infrastruktur dalam skala yang tinggi untuk mendukung pengembangan ekonomi dan pelayanan sosial. Untuk mencapai misi ini, salah satu program kerja yang akan dilaksanakan adalah pembangunan/rehabilitasi jalan dan jembatan. Dalam program
52
pembangunan/rehabilitasi jalan dan jembatan ini kegiatan pembangunan jalan dan jembatan pada tahun 2013 akan mendapat alokasi dana sebesar Rp 221.814 miliar. Untuk melihat dampak adanya alokasi dana ini terhadap sektor perkebunan yang ada di Provinsi Lampung maka akan disimulasikan adanya investasi sebesar Rp 221.814 miliar di sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan dan akan dilihat dampaknya terhadap output, pendapatan, dan tenaga kerja baik terhadap sektor itu sendiri maupun terhadap sektor perkebunan. Nilai multiplier effect untuk output, pendapatan, dan tenaga kerja untuk semua sektor hasil simulasi adanya investasi pemerintah di sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan sebesar Rp 221.814 miliar dapat dilihat pada Lampiran 7, Lampiran 8, dan Lampiran 9. Investasi pemerintah sebesar Rp 221.814 miliar pada sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan akan menyebabkan output perekonomian total meningkat sebesar Rp 419.977 miliar. Peningkatan output ini disebabkan karena meningkatnya output dari sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan itu sendiri serta beberapa sektor lainnya. Pengaruh adanya investasi pemerintah ini terhadap output sektor perkebunan dan infrastruktur dapat dilihat pada Tabel 17. Sektor perkebunan yang paling terpengaruh dengan adanya investasi pemerintah ini adalah sektor karet. Adanya investasi pemerintah akan meningkatkan output sektor karet sebesar Rp 821.230 juta. Tabel 17 Multiplier effect investasi pemerintah di sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan terhadap output sektor perkebunan dan sektor infrastruktur Provinsi Lampung tahun 2011
9
Dampak awal 0.000
Dampak langsung 0.000
Dampak tidak langsung 631.799
10
0.000
0.000
11
0.000
12
Kode
Sub total
Konsumsi
Total
631.799
189.432
821.230
1.555
1.555
186.493
188.048
0.000
13.368
13.368
541.331
554.700
0.000
0.000
7.264
7.264
399.536
406.800
13
0.000
0.000
1.201
1.201
123.783
124.984
14
0.000
0.000
0.520
0.520
5.104
5.624
15
0.000
0.000
0.021
0.021
4.434
4.455
16
0.000
0.000
0.445
0.445
79.961
80.406
17
0.000
0.000
5.880
5.880
123.755
129.635
53
221,814.000
0.000
503.872
222,317.872
28.868
222,346.740
54
0.000
4.812
43.821
48.633
20.619
69.252
Sumber: BPS, 2012. (diolah)
Pengaruh adanya investasi pemerintah ini terhadap pendapatan di sektor perkebunan dan infrastruktur dapat dilihat pada Tabel 18. Investasi pemerintah sebesar Rp 221.814 miliar pada sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan akan menyebabkan pendapatan total rumah tangga yang berupa upah/gaji meningkat sebesar Rp 185.467 miliar. Peningkatan pendapatan secara keseluruhan disebabkan karena meningkatnya output dari sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan itu sendiri serta beberapa sektor lainnya.Sektor perkebunan yang paling terpengaruh dengan adanya investasi pemerintah ini adalah sektor karet. Adanya investasi pemerintah
53
akan meningkatkan pendapatan total rumah tangga yang bekerja di sektor karet selama satu tahun sebesar Rp 697.175 juta. Sedangkan pendapatan rumah tangga yang bekerja di sektor jalan, jembatan dan pelabuhan itu sendiri akan meningkat sebesar Rp 73.958 miliar. Tabel 18 Multiplier effect investasi pemerintah di sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan terhadap pendapatan dari sektor perkebunan dan sektor infrastruktur Provinsi Lampung tahun 2011 Kode
Dampak awal
Dampak langsung
Dampak tidak langsung
Sub total
Konsumsi
Total
9
0.000
0.000
536.359
536.359
160.816
697.175
10
0.000
0.000
1.036
1.036
124.294
125.330
11
0.000
0.000
12.136
12.136
491.439
503.575
12
0.000
0.000
4.883
4.883
268.595
273.478
13
0.000
0.000
0.918
0.918
94.660
95.579
14
0.000
0.000
0.453
0.453
4.451
4.904
15
0.000
0.000
0.016
0.016
3.374
3.390
16
0.000
0.000
0.399
0.399
71.781
72.180
17
0.000
0.000
5.268
5.268
110.872
116.140
53
73,781.078
0.000
167.601
73,948.679
9.602
73,958.281
54
0.000
1.273
11.596
12.870
5.456
18.326
Sumber: BPS, 2012. (diolah)
Investasi pemerintah sebesar Rp 221.814 miliar pada sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan akan menyebabkan kebutuhan akan tenaga kerja total meningkat sebesar 5,525 orang. Dampak investasi pemerintah terhadap tenaga kerja di sektor perkebunan dan infrastruktur dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19 Multiplier effect investasi pemerintah di sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan terhadap tenaga kerja dari sektor perkebunan dan sektor infrastruktur Provinsi Lampung tahun 2011 Kode
Dampak awal
Dampak langsung
Dampak tidak langsung
Sub total
Konsumsi
Total
9
0.000
0.000
35.429
35.429
10.623
46.051
10
0.000
0.000
0.082
0.082
9.883
9.966
11
0.000
0.000
0.266
0.266
10.755
11.021
12
0.000
0.000
0.227
0.227
12.471
12.697
13
0.000
0.000
0.043
0.043
4.447
4.490
14
0.000
0.000
0.017
0.017
0.170
0.187
15
0.000
0.000
0.000
0.000
0.080
0.080
16
0.000
0.000
0.010
0.010
1.765
1.775
17
0.000
0.000
0.292
0.292
6.149
6.441
53
2,961.375
0.000
6.727
2,968.102
0.385
2,968.487
54
0.000
0.051
0.465
0.517
0.219
0.736
Sumber: diolah dari BPS (2012).
54
Peningkatan jumlah tenaga kerja disebabkan karena meningkatnya kebutuhan tenaga kerja dari sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan itu sendiri serta beberapa sektor lainnya. Sektor perkebunan yang paling terpengaruh dengan adanya investasi pemerintah ini adalah sektor karet. Adanya investasi pemerintah akan meningkatkan tenaga kerja yang bekerja di sektor karet sebesar 46.051 orang. Sedangkan tenaga kerja yang bekerja di sektor jalan, jembatan dan pelabuhan itu sendiri akan meningkat sebesar 2,968 orang. Dampak ekonomi adanya investasi di sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan sebesar Rp 221.814 miliar dilihat dari sisi output, pendapatan rumah tangga, dan tenaga kerja terhadap perekonomian Provinsi Lampung pada umumnya dan sektor perkebunan pada khususnya dapat dilihat pada Tabel 20. Dampak investasi sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan sebesar Rp 221.814 miliar rupiah akan meningkatkan output perekonomian Provinsi Lampung sebesar Rp 419.977 miliar, pendapatan sebesar Rp 185.468 miliar, dan tenaga kerja sebanyak 5,525 orang. Tabel 20 Dampak investasi sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan (juta rupiah) Dampak thd.
Sektor Perkebunan Provinsi Lampung
Variabel ekonomi Output Pendapatan T enaga kerja
Karet
T ebu
Kelapa
Kelapa sawit
Kopi
Cengkeh Kakao Lada
T anaman perkebunan lainnya
419,977.215 821,230 188,048 554,700 406,800 124,984
5,624 4,455 80,406
129,635
185,467.959 697,175 125,330 503,575 273,478
4,904 3,390 72,180
116,140
5,525.278 46,051
9,966 11,021
12,697
95,579 4,490
0.187 0.080
1,775
6,441
Sektor perkebunan yang terkena dampak paling tinggi akibat adanya investasi di sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan adalah sektor karet. Adanya investasi sebesar Rp 221.814 miliar disektor jalan, jembatan, dan pelabuhan akan meningkatkan output sektor karet sebesar Rp 821.230 juta, pendapatan sebesar Rp 697.175 juta, dan tenaga kerja sebesar 46.051 orang. Sektor karet menjadi sektor yang terkena dampak paling tinggi karena sektor karet merupakan sektor perkebunan yang menjadi penyedia input bagi sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan selain itu karet merupakan komoditas perkebunan yang dapat dipanen sepanjang tahun, dan memerlukan pengolahan pasca panen yang cepat untuk mencegah terjadinya penggumpalan getah karet. Hal ini menyebabkan tenaga kerja yang diserap oleh sektor ini lebih besar dibandingkan sektor perkebunan lainnya. Tenaga kerja yang banyak menyebabkan pendapatan rumah tangga yang berasal dari sektor ini dalam setahun juga tinggi. Peranan Jalan dalam Peningkatan Kinerja Agribisnis Perkebunan Kopi di Provinsi Lampung Indonesia berada di peringkat ketiga produsen kopi terbesar di dunia sedangkan Brazil masih menjadi produsen kopi nomor satu di dunia, disusul Vietnam. Dengan kondisi geografis Indonesia yang beraneka ragam memungkinkan Indonesia untuk mengembangkan produk industri pengolahan kopi specialties dengan rasa khas antara lain kopi Lintong dari Sumatera utara,
55
Kopi Gayo dari Aceh, Kopi Jawa dari Jawa, Kopi Lampung dari Lampung, Kopi Kintamani dari Bali, dan Kopi Toraja dari Sulawesi (Kemenperin 2009). Komoditas kopi menjadi ikon Provinsi Lampung tidak hanya karena produksinya yang banyak tetapi karena kekhasan rasanya. Oleh karena itu penelitian ini akan melihat peran jalan terhadap kinerja agribisnis komoditas Kopi Lampung. Untuk menganalisis bagaimana peran jalan raya dalam peningkatan kinerja agribisnis perkebunan kopi akan dilakukan dengan melihat peranan jalan raya dalam peningkatan produksi perkebunan kopi, dan efisiensi biaya angkutan. Peranan Jalan dalam Peningkatan Produksi Kopi Produksi kopi di Provinsi Lampung sepuluh tahun terakhir atau dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2011 cenderung mengalami penurunan. Data Kementerian Pertanian sejal tahun 2002 sampai dengan 2011 pada Tabel 21 menunjukkan penurunan produksi tertinggi pada rentang periode tersebut terjadi pada tahun 2011 yaitu senilai 11.732% dibandingkan dengan produksi pada tahun sebelumnya, sedangkan pada tahun tersebut luas lahan tanam kopi mengalami peningkatan sebesar 8.284% dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini mengindikasikan kurangnya produktivitas lahan kopi di Provinsi Lampung, atau dapat diakibatkan karena umur tanaman tidak berada dalam masa produktifnya. Tahun 2011 terdapat peningkatan luas lahan yang cukup tinggi, namun kopi merupakan tanaman tahunan sehingga pada masa awal penanaman belum dapat berproduksi. Tabel 21 Produksi dan luas lahan tanaman kopi di Provinsi Lampung periode 2002 sampai dengan 2011 Produksi
Selisih produksi
(Ton)
(Ton)
150,805.000 142,523.000 142,599.000 142,761.000 141,305.000 140,095.000 140,087.000 145,220.000 145,053.000 128,035.000
-8,282.000 76.000 162.000 -1,456.000 -1,210.000 -8.000 5,133.000 -167.000 -17,018.000
Tahun 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
% Selisih
-5.492 0.053 0.114 -1.020 -0.856 -0.006 3.664 -0.115 -11.732
Luas lahan
Selisih luas lahan
(Ha)
(Ha)
164,737.000 166,056.000 166,058.000 168,006.000 164,006.000 163,092.000 163,078.000 163,179.000 163,318.000 176,847.000
1,319.000 2.000 1,948.000 -4,000.000 -914.000 -14.000 101.000 139.000 13,529.000
% Selisih
0.801 0.001 1.173 -2.381 -0.557 -0.009 0.062 0.085 8.284
Sumber: Kementan (2012).
Produksi dipengaruhi oleh input-input produksinya. Sudaryati (2004) menemukan bahwa faktor-faktor yang secara signifikan mempengaruhi produksi kopi rakyat di Kabupaten Temanggung adalah luas lahan, jumlah tanaman, dan penggunaan pupuk, sedangkan tenaga kerja tidak signifikan dalam artian pemakaian tenaga kerja pada usaha perkebunan kopi tidak terlalu banyak dibandingkan dengan hasil produksi yang diperoleh. Sedangkan hasil penelitian Fatma (2011) menunjukkan hasil yang sedikit berbeda. Fatma menemukan bahwa
56
faktor-faktor yang mempengaruhi produksi kopi rakyat di Kabupaten Aceh Tengah adalah jumlah tenaga kerja, luas lahan, dan umur pohon kopi. Ridwan (2004) mengatakan bahwa produksi kopi robusta di Indonesia sangat dipengaruhi oleh luas lahannya, sedangkan untuk produksi kopi arabica dipengaruhi oleh harga riil kopi dalam negeri, harga riil teh dalam negeri, luas lahan, upah, dan produksi tahun lalu. Hartoyo (1994) melakukan penelitian yang melihat pengaruh berbagai input produksi termasuk infrastruktur jalan terhadap produksi tanaman pangan di Jawa Tengah. Dari hasil penelitiannya diperoleh bahwa jika panjang jalan meningkat sebesar 10 % maka akan meningkatkan produksi padi sebesar 3.23%, jagung 8.90%, kedelai 9.82%, kacang tanah 9.34%, dan ubi kayu 2.99%. Selain meningkatkan produksi tanaman pangan, penambahan panjang jalan juga menyebabkan kenaikkan pada penggunaan pupuk, sehingga dapat dikatakan bahwa kenaikkan panjang jalan menyebabkan peningkatan produksi pertanian dan perekonomian masyarakat pedesaan. Menurut undang-undang nomor 38 tahun 2004 jalan negara atau jalan nasional adalah jalan arteri dan jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer yang menghubungan antar ibukota provinsi, dan jalan strategis nasional serta jalan tol. Sedangkan jalan provinsi adalah jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer yang menghubungan ibukota provinsi dengan ibukota kabupaten/Kota, atau antar ibukota kabupaten/kota, dan jalan strategis provinsi. Tabel 22 menunjukkan bahwa pada periode 2002 sampai dengan 2011 luas lahan kopi kenaikannya sangat sedikit bahkan pada tahun 2006 sampai dengan 2008 mengalami penurunan. Jalan yang ada di Provinsi Lampung pada periode tersebut pun cenderung tetap, dan hanya mengalami kenaikan pada tahun 2004, 2010, dan 2011. Tabel 22 Luas lahan kopi dan panjang jalan di Provinsi Lampung tahun 2002 sampai dengan 2011 Penambahan panjang jalan
(Ha)
(KM)
(KM)
1,319.000 2.000 1,948.000 -4,000.000 -914.000 -14.000 101.000 139.000 13,529.000
3,221.230 3,221.230 3,374.130 3,374.130 3,374.130 3,374.130 3,374.130 3,374.130 3,499.300 3,501.300
Selisih luas lahan
(Ha)
Tahun
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Panjang jalan
Luas lahan
164,737.000 166,056.000 166,058.000 168,006.000 164,006.000 163,092.000 163,078.000 163,179.000 163,318.000 176,847.000
% Selisih
0.801 0.001 1.173 -2.381 -0.557 -0.009 0.062 0.085 8.284
0.000 152.900 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 125.170 2.000
% Penambahan panjang jalan
0.000 4.747 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 3.710 0.057
Sumber: BPS, 2012.
Hasil regresi model dengan produksi kopi sebagai variabel dependen dan variabel independen yang terdiri dari produktivitas lahan, penggunaan pupuk,
57
penggunaan pestisida, jumlah tenaga kerja, panjang jalan, serta jumlah pohon yang produktif ditunjukkan pada Tabel 23. Tabel 23 Hasil regresi model produksi kopi di Provinsi Lampung Keterangan Intercept Produktivitas (Kg/m2) Penggunaan pupuk (Rp) Penggunaan pestisida (Rp) Jumlah tenaga kerja (HOK) Panjang jalan (Km) Jumlah pohon yang produktif
Koefisien -5.774
t-Statistik -3.671
P-Value 0.000
0.607 -0.005 0.003 0.016 0.441 0.601
9.998 -0.881 0.439 0.763 2.412 12.076
0.000 0.380 0.662 0.447 0.017 0.000
Sumber: diolah dari PSEKP, 2013.
Input yang memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap produksi kopi di Indonesia adalah produktivitas, panjang jalan, dan jumlah pohon yang produktif. Penggunaan pupuk, dan pestisida menunjukkan nilai yang tidak signifikan karena adanya keseragaman data untuk semua responden. Peningkatan produktivitas lahan sebesar satu persen akan meningkatkan produksi kopi lampung sebesar 0.607%. Pada tahun 2011 Indonesia luas lahan perkebunan kopi di Indonesia adalah 1.3 juta hektar dengan produksi 709 ribu ton sehingga produktivitas rata-rata kopi robusta di Indonesia adalah 545.385 kg/ha sementara untuk produktivitas kopi robusta Vietnam yang menjadi saingan terdekat Indonesia adalah 2-3.5 ton/ha. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produktivitas kopi robusta di Lampung adalah dengan meningkatkan penggunaan bibit ungggul. Peningkatan panjang jalan sebesar satu persen akan meningkatkan produksi kopi Lampung sebesar 0.441%. Pembangunan jalan baru dapat membuka akses petani terhadap lahan-lahan yang masih belum digunakan sehingga pembangunan jalan baru dapat mendorong pembukaan lahan baru untuk perkebunan kopi. Selain itu pemerintah juga perlu memberikan insentif bagi petani yang membuka dan menanam kopi sehingga lahan yang terbuka akibat pembangunan jalan baru tidak berubah peruntukkannya. Jumlah pohon kopi produktif juga mempengaruhi produksi kopi di Lampung. Peningkatan satu persen jumlah pohon kopi yang produktif akan meningkatkan produksi kopi sebesar 0.601%. Data Patanas tahun 2010 menunjukkan bahwa sebagian besar pohon kopi yang ada di Provinsi Lampung masih berada dalam kondisi produktif. Untuk menjaga agar produksi kopi Lampung tetap ataupun semakin meningkat di masa yang akan datang, Pemerintah Daerah harus mampu membuat kebijakan yang dapat mendorong petani untuk konsisten dalam melakukan peremajaan pohon kopi. Hasil regresi berganda model produksi kopi menunjukkan bahwa upaya yang dapat dilakukan pemerintah untuk dapat meningkatkan produksi kopi Lampung antara lain peningkatan produktivitas lahan yang dapat dilakukan dengan cara merekomendasikan penggunaan sampai menyediakan bibit unggul bagi petani kopi, menambah pembangunan jalan baru sehingga dapat membuka lahan baru, dan mendorong petani untuk konsisten dalam melakukan peremajaan pohonpohon yang sudah tidak produktif.
58
Menggunakan ilustrasi perhitungan biaya yang diperlukan untuk membangun jalan kelas I, kelas II, dan kelas III pada lampiran 11 dan menggunakan besaran investasi dalam RPJMD Provinsi Lampung tahun 2013 untuk sektor jalan sebesar Rp 221.814 miliar, maka panjang jalan tambahan yang akan diperoleh dan besarnya kenaikan produksi kopi akibat investasi tersebut dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 24 Peningkatan produksi kopi karena investasi pembangunan jalan baru No 1 2 3
Kelas jalan
Biaya/m' (Rp)
I II III
5,502,028 5,275,725 4,002,766
Kenaikan panjang jalan (km) 40.315 42.044 55.415
% % kenaikan kenaikan panjang produksi jalan kopi 1.152 0.508 1.202 0.530 1.583 0.698
Kenaikan produksi kopi (ton) 651 678 894
Investasi sebesar Rp 221.814 miliar, jika diasumsikan digunakan seluruhnya untuk membangun jalan baru maka kenaikan produksi kopi tertinggi sebesar 894 ton diperoleh pada saat seluruh dana diinvestasikan untuk membangun jalan kelas III. Biaya yang diperlukan untuk membangun jalan kelas III lebih kecil dibandingkan biaya yang diperlukan untuk membangun jalan kelas I dan II karena itu panjang jalan baru yang dapat diperoleh juga lebih besar, model produksi kopi di atas hanya memperhitungkan pengaruh penambahan jalan tanpa memperhatikan kelas jalan. Peranan Jalan dalam Efisiensi Biaya Angkutan Hasil Penelusuran sepanjang rute dari sentra perkebunan kopi di Liwa, Kabupaten Lampung Barat menuju lokasi pengolahan kopi yang terletak di Tanjung Karang, Kota Bandar Lampung diperoleh data bahwa biaya angkutan per kilogram kopi sebesar Rp 300.00 dengan kapasitas angkut 10 ton. Rute yang dilalui dari sentra perkebunan kopi menuju lokasi pengolahan kopi sepanjang 282.460 km, dimana 41.9% adalah jalan kelas I, 15.1% adalah jalan kelas IIIA, dan 42.9% adalah jalan kelas IIIB. Data panjang jalan serta kelas jalan yang dilalui sepanjang rute dapat dilihat pada Tabel 25. Kelas jalan sepanjang rute didominasi oleh jalan kelas III, sedangkan menurut PP nomor 43 tahun 1993 muatan sumbu terberat yang boleh melalui jalan tipe ini maksimal 8 ton. Beban yang melebihi muatan maksimal yang diijinkan untuk lewat menyebabkan usia rencana jalan menjadi lebih pendek sehingga jalan menjadi cepat rusak. Menggunakan persamaan (17) untuk menghitung efisiensi biaya angkutan per kg kopi apabila jalan sepanjang rute seluruhnya kelas I adalah 22.501%. Pada persamaan (11) diperoleh bahwa waktu tempuh jika jalan seluruhnya kelas I dan jika jalan seluruhnya kelas II adalah sama maka besarnya biaya angkut dan efisiensi yang diperoleh apabila seluruh jalan kelas IIIA dan IIIB diperbaiki menjadi kelas II adalah sama dengan apabila diubah menjadi kelas I. Sehingga untuk memperoleh efisiensi sebesar 22.501% akan lebih murah menaikkan kelas jalan menjadi kelas II.
59
Tabel 25 Ruas jalan, panjang jalan, dan kelas jalan sepanjang rute penelusuran No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Nama ruas jalan Bts. Kota Liwa - Sp. Gunung Kemala Jln. Sudirman (Liwa) Padang Tambak - Bts. Kota Liwa Bukit Kemuning - Padang Tambak Bukit Kemuning - Bts. Kota Kotabumi Simp. Kotabumi - Klp. Tujuh (Kotabumi) Bts. Kota Kotabumi - Terbanggi Besar Terbanggi Besar - Gunung Sugih Gunung Sugih – Tegineneng Tegineneng - Sp. Tanjung Karang Sp. Tanjung Karang/Jl. Soekarno Hatta - Sp. Pugung Total Panjang Jalan Total Panjang Rute Porsi Kelas Jalan pada Rute
Kelas I
Panjang jalan (km) Kelas Kelas IIIA IIIB
Kelas IIIC
29.170 6.209 37.573 48.339 40.314 3.976 38.749 11.736 25.134 20.642 20.618 118.444 282.460 0.419
42.725
121.291
0.151
0.429
Sumber: BP2JN (2012).
Perbedaan antara dinaikkan menjadi kelas I atau kelas II adalah sumbu terberat kendaraan yang diperbolehkan untuk melaluinyadimana jika jalan kelas I sumbu terberat yang diijinkan adalah lebih dari 10 ton, sedangkan untuk jalan kelas II muatan sumbu terberat hanya 10 ton. Dengan demikian apabila seluruh jalan diperbaiki menjadi jalan kelas I truk pengangkut dapat mengangkut kopi lebih banyak sehingga memperoleh efisiensi lebih dari segi waktu angkut. Selain itu biaya yang diperlukan untuk menaikkan mutu jalan menjadi kelas I lebih tinggi dibandingkan dengan jalan kelas II. Dapat dilihat pada lampiran 11 ilustrasi perhitungan kebutuhan biaya untuk membangun jalan kelas I, kelas II, dan kelas III dengan desain potongan yang sama. Biaya yang diperlukan untuk meningkatan mutu jalan hampir sama dengan membuat jalan baru. Dana yang dibutuhkan untuk membangun jalan kelas I adalah Rp 5,502,028/m’, untuk jalan kelas II sebesar Rp 5,275,725/m’, dan untuk jalan kelas III Rp 4,002,765/m’. Namun besarnya biaya ini tidak dapat diaplikasikan untuk setiap lokasi karena biaya yang diperlukan untuk membangun jalan sangat ditentukan oleh kontur lahan, kondisi tanah, desain jalan, dan lain-lain yang spesifikasi berbeda untuk setiap lokasi. Dengan ilustrasi ini dan besaran efisiensi sebelumnya apabila diasumsikan satu buah truk yang mengangkut kopi seberat 10 ton melalui rute ini satu kali per hari 5 hari seminggu dan 6 bulan dalam satu tahun maka untuk mencapai titik impas biaya peningkatan mutu jalan sepanjang rute menjadi kelas II dalam setahun maka dalam sehari selama masa panen kopi minimal 10,682 truk yang melalui rute ini. Sedangkan untuk meningkatkan mutu jalan menjadi kelas I dan
60
mencapai titik impas antara biaya yang dikeluarkan dan efisiensi biaya angkut dalam satu tahun, maka diperlukan minimal 11,140 truk yang melalui rute tersebut selama masa panen. Jalan adalah barang publik, maka untuk dapat menghitung titik impas antara manfaat efisiensi yang diperoleh masyarakat dengan biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk membangun jalan maka diperlukan perhitungan yang lebih detail tentang efisiensi biaya yang timbul dari semua kegiatan yang melalui jalan tersebut. Peranan Jalan dalam Peningkatan Daya Saing Komoditas Kopi Lampung Daya saing menurut perspektif bisnis sebagaimana dikemukakan oleh Sharples dan Milham (1990) adalah kemampuan untuk menghasilkan barang atau jasa pada waktu, tempat dan bentuk yang tepat baik untuk pasar domestik maupun internasional dengan tingkat harga yang minimal sama atau lebih baik dari supplier potensial lainnya. Hasil perhitungan efisiensi biaya angkutan dapat dilihat bahwa perbaikan mutu jalan raya dapat mengurangi biaya angkutan sebesar 22.501%. Biaya angkutan merupakan salah satu komponen dari biaya produksi yang akan menentukan tingkat harga komoditas kopi. Berkurangnya biaya angkutan akan mengurangi biaya produksi sehingga harga kopi lampung dapat menjadi lebih rendah dan meningkatkan daya saingnya. Waktu tempuh yang diperlukan untuk satu kali angkut dengan kondisi jalan eksisting adalah ± 6 jam, sedangkan apabila disimulasikan kelas jalan ditingkatkan maka waktu tempuh untuk satu kali angkut adalah ±4.7 jam. Selain efisiensi biaya angkutan, peningkatan mutu jalan juga dapat mengurangi waktu tempuh komoditas untuk sampai ke pabrik pengolahan, maupun ke tangan konsumen sehingga ketepatan waktu yang menjadi salah satu komponen peningkatan daya saing dalam perspektif bisnis dapat terpenuhi. Daya saing suatu produk dapat dilihat dari segi keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Keunggulan komparatif adalah konsepsi sentral dalam teori perdagangan internasional yang menyatakan bahwa sebuah negara atau wilayah mengkhususkan diri pada produksi dan mengekspor barang dan jasa yang dapat dihasilkan dengan biaya relatif lebih efisien daripada barang dan jasa lain dan mengimpor barang dan jasa yang tidak memiliki keunggulan komparatif itu (Rinaldy. 2000). Sedangkan keunggulan kompetitif tercapai saat sebuah perusahaan menerapkan strategi biaya rendah, yang membuatnya mampu menawarkan produk yang mempunyai kualitas sama dengan produk sejenis tetapi dengan harga yang lebih rendah dibandingkan pesaingnya. Keunggulan ini juga dapat diraih dengan strategi diferensiasi produk, sehingga pelanggan menganggap memperoleh manfaat unik yang sesuai dengan harga yang cukup (Porter dalam Keegan 1995). Sektor pertanian dan termasuk diantaranya adalah komoditas perkebunan adalah sektor yang banyak memanfaatkan keunggulan komparatif. Kegiatan ekonomi di sektor pertanian diharapkan mampu mendayagunakan keunggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif jika disertai dengan pengembangan industri hulu pertanian, industri hilir pertanian serta jasa-jasa pendukung secara harmonis dan simultan artinya sektor pertanian secara terpisah tidak akan mampu menjadi penggerak ekonomi masa depan. Pertanian dapat menjadi kekuatan yang
61
besar apabila dikombinasi dengan agroindustri, perdagangan dan jasa-jasa penunjang (Nimeri, Hamidah, dan Suprihanti 2006). Munculnya banyak negara pesaing yang memproduksi kopi robusta, antara lain Vietnam menyebabkan pelaku agribisnis kopi robusta harus berupaya meningkatkan keunggulan kompetitif kopi robusta Indonesia. Strategi biaya rendah dapat meningkatkan keunggulan kompetitif kopi robusta Indonesia di pasar internasional, pembangunan dan perbaikan infrastruktur di daerah penghasil kopi robusta maupun komoditas-komoditas ekspor lainnya dapat menurunkan biaya produksi sehingga harga jual menjadi lebih rendah atau dengan tingkat harga jual yang sama insentif yang diterima petani untuk menanam kopi menjadi lebih tinggi. Selain komponen biaya rendah, hal lain yang dapat meningkatkan daya saing kopi robusta Indonesia khususnya Lampung adalah dengan meningkatkatkan mutu produk dan diferensiasi produk. Diferensiasi produk kopi dapat dilakukan dengan mengolah kopi terlebih dahulu sebelum dijual (kopi tidak dijual dalam bentuk bahan mentah atau green bean). Beberapa upaya yang dilakukan Pemerintah untuk meningkatkan daya saing kopi Indonesia antara lain: 1. Kebijakan peningkatan produktivitas dan mutu tanaman kopi Penerapannya ditempuh antara lain melalui peremajaan kopi rakyat dengan klon unggulan, konversi kopi robusta dengan arabika pada areal yang sesuai, perluasan areal kopi arabika di daerah Indonesia timur, pilot proyek kopi speciality dan organik, membangun usaha penangkaran benih, dan integrasi tanaman kopi dengan ternak. 2. Peningkatan nilai tambah kopi Kebijakan ini dimaksudkan agar ekspor kopi Indonesia tidak lagi berupa bahan mentah (green bean), tapi dalam bentuk hasil olahan dengan mutu yang dikehendaki konsumen, sehingga akan diperoleh nilai tambah di dalam negeri. 3. Dukungan penyediaan pembiayaan Kebijakan ini dimaksudkan untuk memfasilitasi sumber pembiayaan yang sesuai untuk pengembangan kopi, baik yang berasal dari lembaga perbankan maupun non bank. 4. Pemberdayaan petani Penumbuhan dan penguatan kelembagaan usaha tani. Untuk mendukung kebijakan ini telah dilakukan pelatihan dan pendampingan bagi petani agar petani dapat memanfaatkan peluang bisnis dan mengembangkan kemitraan usaha (Kementan 2013). Investasi sebesar Rp 221.814 miliar untuk sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan seperti yang tercantum dalam RPJM Provinsi Lampung tahun 2013, diasumsikan dialokasikan seluruhnya untuk peningkatan mutu jalan atau pembangunan jalan baru. Peningkatan kinerja agribisnis kopi akibat adanya investasi ini dapat dilihat pada Tabel 26. Investasi sebesar Rp 221.814 miliar pada sektor jalan akan meningkatkan produksi kopi sebesar 651 ton apabila seluruh dana dialokasikan untuk membangun jalan kelas I. Produksi kopi akan meningkat 678 ton apabila membangun jalan kelas II, dan 894 ton bila jalan yang dibangun kelas III.
62
Tabel 26 Peningkatan kinerja agribisnis kopi karena investasi jalan Kelas Variabel jalan Peningkatan kinerja agribisnis kopi 651 ton I 678 ton Produksi II 894 ton III Efisiensi biaya angkutan 22.501% harga lebih kompetitif, dan waktu angkut lebih singkat sehingga lebih menjamin Daya saing ketepatan waktu barang sampai ke pabrik pengolahan maupun ke tangan konsumen Hasil penelusuran rute menunjukkan bahwa apabila jalan kelas III pada kondisi eksisting ditingkatkan mutunya menjadi jalan kelas I atau kelas II maka efisiensi biaya angkutan yang dapat dicapai adalah 22.501%. Efisiensi biaya angkutan untuk peningkatan mutu jalan kelas I dan jalan kelas II sama karena yang menjadi acuan dalam perhitungan adalah kecepatan minimum, dimana kecepatan minimum untuk jalan kelas I dan II sama besar. Perbedaan kedua kelas jalan ini adalah beban maksimum yang dapat melaluinya. Beban maksimum kendaraan yang dapat melalui jalan kelas II adalah 10 ton sedangkan untuk jalan kelas I dapat dilalui kendaraan dengan beban di atas 10 ton. Adanya efisiensi biaya angkutan menyebabkan biaya produksi lebih rendah sehingga harga jual dapat ditekan. Selain itu waktu tempuh apabila jalan dinaikkan kelasnya menjadi lebih singkat. Harga yang lebih kompetitif, dan ketepatan waktu sampainya produk yang dapat lebih terjamin dengan lebih singkatnya waktu tempuh dapat meningkatkan daya saing kopi Lampung.
63
6 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Hasil analisis tabel IO, simulasi investasi, dan regresi menunjukkan hasil sebagai berikut: 1. Sektor perkebunan dan sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan merupakan sektor kunci dalam peningkatan perekonomian Provinsi Lampung. Sektor perkebunan yang memiliki peran penting dalam perekonomian Provinsi Lampung adalah sektor kelapa dan kopi. Sektor kelapa dan kopi mampu memenuhi kenaikan permintaan akhir di atas rata-rata kemampuan sektor perkebunan lainnya, sedangkan sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan menjadi sektor kunci karena mampu menarik pertumbuhan sektor penyedia inputnya di atas kemampuan sektor lainnya. 2. Investasi di sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan memberikan dampak pengganda output, pendapatan, dan tenaga kerja sektor perkebunan paling tinggi bagi sektor karet, karena sektor karet merupakan satu-satunya sektor perkebunan yang menyediakan input bagi sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan. Dan jika dilihat dari sisi penggunanya sektor kelapa sawit merupakan sektor perkebunan yang paling banyak membutuhkan sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan. 3. Panjang jalan memiliki pengaruh positif terhadap peningkatan produksi kopi dan peningkatan mutu jalan menghasilkan nilai efisiensi biaya sebesar 22,501%. Investasi infrastruktur terutama jalan, berpengaruh terhadap kinerja agribisnis komoditas perkebunan khususnya kopi, baik dari sisi produksi maupun efisiensi biaya. Untuk dapat meningkatkan aksesabilitas masyarakat terhadap hasil-hasil pembangunan pemerintah harus membangun atau pun memperbaiki jalan. Jika produksi dapat ditingkatkan dan biaya produksi lebih kecil, maka daya saing kopi Lampung dapat lebih meningkat. Saran Sektor perkebunan terutama kelapa dan kopi merupakan sektor kunci dalam peningkatan perekonomian Provinsi Lampung, karena itu apabila Pemerintah Daerah Provinsi Lampung ingin memperoleh peningkatan perekonomian yang lebih optimal maka harus dibuat kebijakan yang mendukung pengembangan sektor kelapa dan kopi. Selain sektor kelapa, dan kopi sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan juga merupakan sektor kunci dalam peningkatan perekonomian Provinsi Lampung, untuk itu Pemerintah baik Daerah maupun Pusat sebaiknya lebih memperhatikan peningkatan investasi pada sektor ini. Keterbatasan dana yang tersedia untuk membangun infrastruktur terutama jalan, jembatan, dan pelabuhan dapat diatasi apabila ada kerjasama antara pihak Pemerintah maupun swasta untuk berinvestasi di sektor infrastruktur. Analisis model IO menunjukkan bahwa sektor komoditas perkebunan yang paling terpengaruh oleh investasi di sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan adalah sektor karet dan sektor kelapa sawit, karena itu perlu adanya penelitian lebih lanjut bagaimanan peran infrastruktur terutama jalan bagi kedua sektor ini dan
64
mempromosikannya kepada pihak swasta sehingga dapat menarik minat investor swasta untuk ikut berinvestasi di sektor infrastruktur khususnya jalan. Kopi merupakan ikon Provinsi Lampung, untuk meningkatkan produksinya pemerintah daerah harus membuat kebijakan yang mampu mendorong peningkatan produktivitas lahan seperti penggunaan bibit unggul, konsistensi peremajaan pohon yang sudah tidak produktif, dan penambahan panjang jalan untuk membuka aksesabilitas petani.
65
DAFTAR PUSTAKA [BPS Provinsi Lampung] Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung. 2012. Lampung dalam angka 2012. Lampung. [BPS Provinsi Lampung] Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung. 2012. Statistik transportasi Provinsi Lampung 2011. Lampung [Kementan] Kementerian Pertanian. 2013. Kebijakan Peningkatan Daya Saing Ekspor Kopi. Jakarta. [WEF] World Economic Forum. 2011. The global competitiveness report 20112012. Switzerland. Agah H.R. 2008.Kerusakan jalan: akibat, kesengajaan, dampak. Jakarta: Himpunan Pengembangan Jalan Indonesia. Ardianto. 2009. Kebijakan pembangunan infrastruktur jalan di Lampung Barat [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional [Bappenas]. 2010. Rencana kebijakan strategis perluasan areal pertanian baru dalam mendukung prioritas nasional ketahanan pangan. Direktorat Pangan dan Pertanian, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta. Banerjee SG, Oetzel JM, Raganathan R. 2006. Private provision of infrastructure in emerging markets: do institution matter?. Development Policy Review 24 (2): 175-202. Bappenas. 2005. Perumusan strategi pembangunan dan pembiayaan infrastruktur kkala besar. http://air.bappenas.go.id/main/doc/pdf/prakarsa_strategis/03%20Bab%20 2%20revisi.pdf [10 Mei 2012]. Baye MR. 2010. Managerial economics and business Strategy. Ed Internasional ke-7. New York: McGraw-Hill. Daryanto A, Hafizrianda Y. 2010. Analisis input-output dan social accounting matrix untuk pembangunan ekonomi daerah. Cetakan pertama. IPB Press, Bogor. Daryanto A, Hafizrianda Y. 2010. Model-model kuantitatif untuk perencanaan ekonomi daerah. Cetakan pertama. IPB Press, Bogor. Delis A. 2008. Peran infrastruktur sebagai pendorong dinamika ekonomi sektoral dan regional berbasis pertanian [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Fatma Z. 2011. Analisis fungsi produksi dan efisiensi usahatani kopi rakyat di Aceh Tengah [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Haris A. 2009. Pengaruh penatagunaan tanah terhadap keberhasilan pembangunan infrastruktur dan ekonomi. Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan, Bappenas. Hartoyo S. 1994. Pengaruh infrastruktur terhadap penawaran tanaman pangan di Jawa: pendekatan multi-input multi-output [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Hasni. 2006. Analisis peningkatan investasi pemerintah di sektor konstruksi terhadap perekonomian di Indonesia: analisis input-output sisi
66
permintaan [skripsi]. Bogor: Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Jensen R. C., Mandeville T. D., Karunaratne N. D. 1979. Regional economic planning: generation of regional input-output analysis. Croom Helm, London. Keegan W.J. 1995. Manajemen pemasaran global. Jakarta: Prehallindo. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. 2011. Masterplan percepatan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia. Jakarta: 2011. Kementerian Perhubungan. 2000. Keputusan Menteri Perhubungan nomor KM 1 tahun 2000 tentang kelas jalan di Pulau Sumatera. Jakarta: 2000. Kemeterian Perindustrian. 2009. Roadmap industri pengolahan kopi. Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia. Jakarta: 2009. Koylal JA. 2012. Pembangunan sektor pertanian dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Provinsi Nusa Tenggara Timur [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Kula M. 2008. Supply use and input output tables, backward and forward linkages of The Turkish economy. The 16th Inforum World Conference in Nothern Cyprus: 1-5 September 2008. Lau LJ, Yotopoulos PA. 1971. A test for relative efficiency and application to Indian Agriculture. The American Economic Review. 61(1):94-109. Leontif W. 1986. Input-output economics. Edisi kedua. New York: Oxford University Press. Li Z, Liu X. 2009. The effect of rural infrastructure development on agricultural production technical efficiency: evidence from the data of Second National Agricultural Census of China. Agricultural Economists Conference. Beijing: 16-22 Agustus 2009. Milosavljevic M, Benkovic S. 2009. Institution and development: modern aspect of public private partnership. Serbia: University of Belgrade. Perspective of innovation, economics, and business (3): 25-28. Mundlak Y, Larson D, Butzer R. 2004. Agricultural dynamics in Thailand, Indonesia, and The Philippines. The Australian journal of agricultural and Resource Economics, vol.48 no.1: 95-126. Napitupulu M, Tambunan M, Daryanto A, Oktaviani R. 2011. Dampak infrastruktur jalan terhadap perekonomian pulau Jawa-Bali dan Sumatera. Jurnal Jalan-Jembatan, Vol. 28, No. 1, April 2011, hal 60 - 75. Nimeiri TE, Hamidah S, dan Suprihanti A. 2006. Daya saing kakao biji Indonesia di Pasar Internasional. JDSE. http://agriculture.upnyk.ac.id/index.php/artikel/jurnal-dinamika-sosialekonomi-jdse/52-2006/82-4-vol-7-no-1-juni-2006-titut-1 [25 Juli 2013] Novita D, Rahmanta, Mahalli K. 2009. Dampak investasi sektor pertanian terhadap perekonomian Sumatera Utara (pendekatan analisis input output). Wahana Hijau, 4(3):131-141. Permana CD. 2009. Analisis peranan dan dampak investasi infrastruktur terhadap perekonomian Indonesia: analisis input-output [skripsi]. Bogor: Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen,Institut Pertanian Bogor. Porter ME. 1990. The competitiveness of nations. New York: The Free Press.
67
Purnamadewi Y, Tambunan M, Octaviani R, Daryanto A. 2009. Dampak investasi sektor pertanian terhadap disparitas ekonomi antar wilayah di Indonesia. Jurnal ekonomi, 19(2):164-186. Purwanti T, Djumena E. 2011. Bank Dunia soroti kualitas infrastruktur Indonesia. http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/06/28/15532511/Bank.Dun ia.Soroti.Kualitas.Infrastruktur.Indonesia [10 Mei 2012]. Ricardo D. 1817. The principles of political economy and taxation. Barnes and Noble Publishing, Inc. Ridwan. 2004. Analisis dampak kebijakan terhadap produksi dan permintaan kopi di Indonesia [makalah pribadi falsafah sains]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. http://www.slideshare.net/simarshalljojo/analisadampakkebijakanterhadapproduksidanpermintaankopidiindonesia [9 April 2013]. Rinaldy E. 2000. Kamus istilah perdagangan internasional. Jakarta. Saptana. 2010. Tinjauan konseptual mikro-makro daya saing dan strategi pembangunan nasional. Forum penelitian agro ekonomi 1:1-8. Shi Y. 2012. The role of infrastructure capital in China’s regional economic growth. Michigan State University. Sudaryati E. 2004. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi kopi rakyat di Kabupaten Temanggung [tesis]. Semarang: Program Pascasarjana, Universitas Diponegoro. Suliyanto. 2011. Ekonometrika terapan: teori dan aplikasi dengan SPSS. Yogyakarta: Andi Offset. Supriyono J dan Yusuf TMS. 2012. Lahan sawit salah satu kendala produksi CPO. antaranews.com. http://www.antaranews.com/berita/345634/lahansawit-salah-satu-kendala-produksi-cpo [27 November 2012]. Sutomo B. 2008. Studi pengembangan kota terpadu mandiri (KTM) berbasis potensi agribisnis masyarakat dan kawasan di kawasan transmigrasi Mesuji Kabupaten Tulang Bawang [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Talley W. 1996. Linkages between transportation infrastructure investment and economic production. Logistic and transportation review 32: 145-154. Warlinson G. 2009. Dampak negatif penggunaan pestisida. http://usitani.wordpress.com/2009/02/26/dampak-negatif-penggunaanpestisida/ [7 Mei 2013]. Weiss MH, Figura R. 2003. A provisional typology of highway economic development project. Federal highway administration, Virginia. Wibowo A. 2006. Mengukur risiko dan atraktivitas investasi infrastruktur di Indonesia. Jurnal teknik sipil 13:123-132. World Bank. 1994. World development report 1994: Infrastructure for development. Washington D.C.
68
Lampiran 1 Klasifikasi sektor tabel IO Lampung tahun 2000 Kode 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38
Uraian Padi Jagung Ubi kayu Sayur-sayuran Pisang Nanas Buah-buahan lainnya Tanaman bahan makanan lainnya Karet Tebu Kelapa Kelapa sawit Kopi Cengkeh Kakao Lada Tanaman perkebunan lainnya Tanaman Lainnya Peternakan dan hasil-hasilnya Unggas dan hasil-hasilnya Kayu Hasil hutan lainnya Perikanan laut Perikanan darat Udang Penambangan minyak/gas dan panas bumi Penambangan dan penggalian lainnya Industri pengolahan buah dan sayuran Industri pengolahan ikan dan udang Industri pengolahan/pengawetan makanan lainnya Industri kopra Industri minyak dan lemak Industri penyosohan padi Industri gula Industri pengupasan biji kopi Industri penggilingan kopi Industri pengupasan/penggilingan selain kopi Industri pakan ternak
69
Kode 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70
Uraian Industri makanan lainnya Industri minuman dan rokok Industri pemintalan dan rajutan Industri tekstil, pakaian, dan kulit Industri bambu, kayu, dan rotan Industri kertas, barang kertas dan karton Industri pupuk, pestisida, dan kimia Industri pengilangan minyak bumi Industri barang karet dan plastik Industri barang mineral bukan logam Industri logam dasar dan barang logam Industri mesin, alat/perlengkapan listrik Industri alat angkut dan perbaikannya Industri barang lainnya Listrik, gas, dan air minum Bangunan Perdagangan Restoran Hotel Angkutan darat Angkutan air Angkutan udara Jasa penunjang angkutan Komunikasi Bank dan lembaga keuangan lainnya Persewaan bangunan dan jasa perusahaan Pemerintahan umum dan pertahanan Jasa kesehatan/pendidikan/jasa pemerintah lainnya Jasa kesehatan/pendidikan/jasa swasta lainnya Jasa hiburan, rekreasi, dan kebudayaan swasta Jasa perbengkelan, perorangan dan rumahtangga Kegiatan yang tidak jelas batasannya
Lampiran 2 Klasifikasi sektor tabel IO Lampung tahun 2011 Kode 1 2 3 4 5
Uraian Padi Jagung Ubi kayu Sayur-sayuran Pisang
70
Kode 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46
Uraian Nanas Buah-buahan lainnya Tanaman bahan makanan lainnya Karet Tebu Kelapa Kelapa sawit Kopi Cengkeh Kakao Lada Tanaman perkebunan lainnya Tanaman Lainnya Peternakan dan hasil-hasilnya Unggas dan hasil-hasilnya Kayu Hasil hutan lainnya Perikanan laut Perikanan darat Udang Penambangan minyak/gas dan panas bumi Penambangan dan penggalian lainnya Industri pengolahan buah dan sayuran Industri pengolahan ikan dan udang Industri pengolahan/pengawetan makanan lainnya Industri kopra Industri minyak dan lemak Industri penyosohan padi Industri gula Industri pengupasan biji kopi Industri penggilingan kopi Industri pengupasan/penggilingan selain kopi Industri pakan ternak Industri makanan lainnya Industri minuman dan rokok Industri pemintalan dan rajutan Industri tekstil, pakaian, dan kulit Industri bambu, kayu, dan rotan Industri kertas, barang kertas dan karton Industri pupuk, pestisida, dan kimia Industri barang karet dan plastik
71
Kode 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70
Industri barang mineral bukan logam Industri logam dasar dan barang logam Industri mesin, alat/perlengkapan listrik Industri alat angkut dan perbaikannya Industri barang lainnya Listrik, gas, dan air minum Jalan, Jembatan dan Pelabuhan Bangunan lainnya Perdagangan Restoran Hotel Angkutan darat Angkutan air Angkutan udara Jasa penunjang angkutan Komunikasi Bank dan lembaga keuangan lainnya Persewaan bangunan dan jasa perusahaan Pemerintahan umum dan pertahanan Jasa kesehatan/pendidikan/jasa pemerintah lainnya Jasa kesehatan/pendidikan/jasa swasta lainnya Jasa hiburan, rekreasi, dan kebudayaan swasta Jasa perbengkelan, perorangan dan rumahtangga Kegiatan yang tidak jelas batasannya
Lampiran 3 Kode IO
Uraian
Keterkaitan langsung ke belakang sektor perkebunan dan infrastruktur
1
9 0.000
10 0.000
11 0.000
12 0.000
13 0.000
14 0.000
15 0.000
16 0.000
17 0.000
53 0.000
54 0.000
2
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
3
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
4
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
5
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
6
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
7
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
8
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
9
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
10
0.000
0.018
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
11
0.000
0.000
0.002
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
12
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
72
Kode IO 13
9 0.000
10 0.000
11 0.000
12 0.000
13 0.001
14 0.000
15 0.000
16 0.000
17 0.000
53 0.000
54 0.000
14
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.002
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
15
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
16
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.002
0.000
0.000
0.000
17
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.022
0.000
0.000
18
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
19
0.000
0.000
0.000
0.000
0.001
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
20
0.000
0.000
0.000
0.000
0.001
0.000
0.000
0.000
0.001
0.000
0.000
21
0.000
0.000
0.000
0.001
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.007
0.007
22
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
23
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
24
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
25
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
26
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
27
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.046
0.051
28
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
29
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
30
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
31
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
32
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
33
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
34
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
35
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
36
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
37
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
38
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
39
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
40
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
41
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
42
0.000
0.000
0.000
0.001
0.000
0.001
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
43
0.000
0.000
0.000
0.000
0.003
0.000
0.001
0.002
0.001
0.030
0.034
44
0.001
0.000
0.000
0.001
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
45
0.014
0.041
0.005
0.037
0.022
0.011
0.026
0.006
0.005
0.001
0.002
46
0.000
0.000
0.001
0.006
0.004
0.004
0.000
0.000
0.000
0.028
0.031
47
0.001
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.088
0.099
48
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.032
0.036
49
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.003
0.004
50
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
51
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
73
Kode IO 52
9 0.000
10 0.000
11 0.000
12 0.000
13 0.000
14 0.000
15 0.000
16 0.000
17 0.000
53 0.000
54 0.000
53
0.002
0.001
0.000
0.005
0.000
0.000
0.002
0.000
0.001
0.000
0.000
54
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.003
0.000
0.001
0.000
0.000
55
0.009
0.024
0.004
0.025
0.015
0.008
0.015
0.005
0.005
0.065
0.073
56
0.000
0.000
0.001
0.003
0.001
0.000
0.000
0.000
0.000
0.001
0.002
57
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
58
0.010
0.019
0.016
0.044
0.024
0.008
0.013
0.003
0.006
0.023
0.025
59
0.000
0.001
0.000
0.001
0.001
0.000
0.001
0.000
0.000
0.003
0.003
60
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
61
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.001
0.001
62
0.001
0.002
0.000
0.004
0.002
0.000
0.000
0.000
0.000
0.001
0.001
63
0.019
0.020
0.003
0.012
0.008
0.011
0.010
0.002
0.006
0.010
0.011
64
0.004
0.001
0.001
0.001
0.002
0.000
0.000
0.000
0.001
0.027
0.030
65
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
66
0.000
0.001
0.000
0.001
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
67
0.001
0.000
0.000
0.007
0.001
0.001
0.000
0.000
0.000
0.002
0.002
68
0.000
0.001
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
69
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.001
0.001
70
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.064
0.131
0.036
0.151
0.088
0.048
0.074
0.022
0.052
0.370
0.416
Total
Lampiran 4 Kode IO
Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang sektor perkebunan dan infrastruktur
1
9 0.000
10 0.000
11 0.000
12 0.000
13 0.000
14 0.000
15 0.000
16 0.000
17 0.000
53 0.000
54 0.000
2
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
3
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
4
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
5
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
6
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
7
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
8
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
9
1.000
0.000
0.000
0.001
0.001
0.000
0.000
0.000
0.000
0.003
0.003
10
0.000
1.019
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
11
0.000
0.000
1.002
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
12
0.000
0.000
0.000
1.001
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
13
0.000
0.000
0.000
0.000
1.001
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
14
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
1.002
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
15
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
1.000
0.000
0.000
0.000
0.000
74
Kode IO 16
9 0.000
10 0.000
11 0.000
12 0.000
13 0.000
14 0.000
15 0.000
16 1.002
17 0.000
53 0.000
54 0.000
17
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
1.023
0.000
0.000
18
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
19
0.000
0.000
0.000
0.000
0.001
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
20
0.000
0.000
0.000
0.001
0.001
0.000
0.000
0.000
0.001
0.000
0.000
21
0.000
0.000
0.000
0.001
0.001
0.000
0.000
0.000
0.000
0.009
0.010
22
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.001
0.001
23
0.000
0.000
0.000
0.001
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
24
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
25
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
26
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
27
0.000
0.001
0.000
0.001
0.000
0.000
0.001
0.000
0.000
0.067
0.076
28
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
29
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
30
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
31
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
32
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
33
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
34
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
35
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
36
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
37
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
38
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
39
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
40
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
41
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
42
0.000
0.000
0.000
0.001
0.000
0.001
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
43
0.000
0.000
0.000
0.001
0.003
0.000
0.001
0.002
0.001
0.032
0.036
44
0.002
0.001
0.000
0.002
0.001
0.000
0.000
0.000
0.000
0.002
0.002
45
0.016
0.048
0.006
0.043
0.026
0.013
0.030
0.006
0.006
0.003
0.003
46
0.002
0.003
0.004
0.016
0.011
0.010
0.003
0.001
0.001
0.061
0.069
47
0.001
0.000
0.000
0.001
0.001
0.000
0.001
0.000
0.000
0.091
0.103
48
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.034
0.038
49
0.000
0.000
0.000
0.001
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.004
0.004
50
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
51
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
52
0.000
0.001
0.000
0.001
0.001
0.000
0.000
0.000
0.000
0.002
0.002
53
0.002
0.001
0.000
0.005
0.000
0.000
0.002
0.000
0.001
1.002
0.003
54
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.003
0.000
0.001
0.000
1.000
75
Kode IO 55
9 0.012
10 0.029
11 0.006
12 0.032
13 0.019
14 0.011
15 0.019
16 0.005
17 0.006
53 0.081
54 0.091
56
0.001
0.001
0.002
0.004
0.001
0.001
0.001
0.000
0.000
0.003
0.004
57
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.001
0.001
58
0.013
0.025
0.018
0.052
0.029
0.011
0.017
0.004
0.008
0.045
0.050
59
0.001
0.001
0.000
0.001
0.002
0.000
0.001
0.000
0.000
0.004
0.005
60
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
61
0.000
0.000
0.000
0.001
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.002
0.003
62
0.002
0.004
0.001
0.007
0.003
0.001
0.001
0.000
0.001
0.006
0.007
63
0.023
0.026
0.004
0.017
0.012
0.014
0.013
0.003
0.007
0.020
0.022
64
0.007
0.005
0.002
0.005
0.004
0.002
0.002
0.001
0.002
0.034
0.039
65
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
66
0.000
0.001
0.000
0.002
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.001
67
0.001
0.001
0.000
0.008
0.001
0.001
0.000
0.000
0.000
0.003
0.003
68
0.000
0.002
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
69
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.002
0.003
70
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.001
0.001
1.086
1.170
1.048
1.206
1.120
1.069
1.099
1.028
1.062
1.518
1.583
Total
Lampiran 5 Keterkaitan langsung ke depan sektor perkebunan dan infrastruktur Kode IO 1
9 0.000
10 0.000
11 0.000
12 0.000
13 0.000
14 0.000
15 0.000
16 0.000
17 0.000
53 0.000
54 0.000
2
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
3
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
4
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
5
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
6
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
7
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
8
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
9
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.002
0.000
10
0.000
0.018
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.001
0.000
11
0.000
0.000
0.002
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
12
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.005
0.000
13
0.000
0.000
0.000
0.000
0.001
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
14
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.002
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
15
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.002
0.003
16
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.002
0.000
0.000
0.000
17
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.022
0.001
0.001
18
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.001
76
Kode IO 19
9 0.000
10 0.002
11 0.000
12 0.000
13 0.000
14 0.000
15 0.000
16 0.000
17 0.000
53 0.000
54 0.000
20
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
21
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.009
0.000
22
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.001
0.000
23
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
24
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
25
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
26
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
27
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.029
0.000
28
0.000
0.000
0.019
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
29
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
30
0.000
0.000
0.001
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.001
0.000
0.000
31
0.000
0.000
0.589
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
32
0.000
0.000
0.027
0.336
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
33
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
34
0.000
0.163
0.005
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
35
0.000
0.000
0.000
0.000
0.479
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
36
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
37
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.001
0.015
0.314
0.001
0.000
0.000
38
0.000
0.000
0.001
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
39
0.000
0.000
0.001
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
40
0.000
0.007
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.021
0.000
0.000
41
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
42
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
43
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.001
0.000
0.000
44
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
45
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.002
0.000
0.000
46
0.046
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
47
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.001
0.000
48
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.001
0.001
49
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.001
50
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.115
0.009
51
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.001
0.000
0.000
52
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.001
53
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
54
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
55
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
56
0.000
0.000
0.012
0.000
0.000
0.001
0.000
0.000
0.001
0.000
0.000
57
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
77
Kode IO 58
9 0.000
10 0.000
11 0.000
12 0.000
13 0.000
14 0.000
15 0.000
16 0.000
17 0.000
53 0.001
54 0.000
59
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.002
0.000
60
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
61
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.050
0.001
62
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.001
0.000
63
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
64
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.003
65
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
66
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
67
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
68
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.002
69
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
70
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.047
0.191
0.659
0.337
0.481
0.004
0.016
0.317
0.050
0.218
0.029
Total
Lampiran 6 Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan sektor perkebunan dan infrastruktur Kode IO 1
9 0.000
10 0.000
11 0.000
12 0.000
13 0.000
14 0.000
15 0.000
16 0.000
17 0.000
53 0.000
54 0.000
2
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
3
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
4
0.001
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
5
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
6
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
7
0.001
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
8
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
9
1.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.002
0.000
10
0.000
1.019
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.001
0.000
11
0.000
0.000
1.002
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
12
0.001
0.000
0.000
1.001
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.005
0.000
13
0.001
0.000
0.000
0.000
1.001
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
14
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
1.002
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
15
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
1.000
0.000
0.000
0.002
0.003
16
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
1.002
0.000
0.000
0.000
17
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
1.023
0.001
0.001
18
0.002
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.001
19
0.000
0.002
0.001
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
20
0.000
0.000
0.002
0.001
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
78
Kode IO 21
9 0.000
10 0.000
11 0.000
12 0.000
13 0.000
14 0.000
15 0.000
16 0.000
17 0.000
53 0.009
54 0.000
22
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.001
0.001
23
0.001
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
24
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
25
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
26
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
27
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.029
0.000
28
0.002
0.002
0.020
0.001
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
29
0.001
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
30
0.001
0.017
0.004
0.003
0.000
0.000
0.000
0.001
0.001
0.000
0.000
31
0.000
0.000
0.603
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
32
0.001
0.000
0.209
0.338
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.002
0.000
33
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
34
0.001
0.168
0.005
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
35
0.003
0.000
0.000
0.000
0.487
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
36
0.003
0.000
0.000
0.000
0.248
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
37
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.001
0.016
0.332
0.001
0.000
0.000
38
0.001
0.000
0.026
0.009
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
39
0.001
0.004
0.007
0.010
0.000
0.000
0.001
0.013
0.000
0.000
0.000
40
0.002
0.015
0.001
0.000
0.001
0.000
0.000
0.000
0.022
0.000
0.000
41
0.001
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
42
0.001
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
43
0.001
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.001
0.001
0.000
44
0.001
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
45
0.002
0.000
0.001
0.001
0.000
0.000
0.000
0.000
0.002
0.000
0.000
46
0.094
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.001
0.000
47
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.007
0.000
48
0.001
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.003
0.001
49
0.006
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.001
50
0.004
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.115
0.009
51
0.001
0.000
0.001
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.001
0.001
0.000
52
0.001
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.002
0.001
53
0.003
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
1.002
0.000
54
0.003
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.003
1.000
55
0.001
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
56
0.000
0.001
0.017
0.008
0.001
0.001
0.000
0.000
0.001
0.000
0.000
57
0.000
0.001
0.001
0.001
0.002
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
58
0.002
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.001
0.000
59
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.003
0.000
79
Kode IO 60
9 0.000
10 0.000
11 0.000
12 0.000
13 0.000
14 0.000
15 0.000
16 0.000
17 0.000
53 0.001
54 0.001
61
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.050
0.001
62
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.001
0.001
63
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.001
64
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.003
65
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
66
0.001
0.001
0.001
0.001
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
67
0.001
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
68
0.004
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.002
69
0.009
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
70
0.026
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
1.190
1.232
1.905
1.377
1.741
1.004
1.017
1.350
1.054
1.251
1.035
Total
Lampiran 7 Multiplier effect output simulasi investasi sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan Kode
Sektor
Dampak Langsung
Dampak Tidak Langsung
-
-
0.000
0.000
0.032
0.032
-
-
5.847
5.847
357.573
363.419
-
-
11.253
11.253
1,652.312
1,663.565
-
-
8.939
8.939
1,412.154
1,421.093
-
-
1.932
1.932
523.709
525.641
-
-
1.381
1.381
209.838
211.219
-
-
1.727
1.727
637.573
639.300
-
-
2.726
2.726
379.600
382.326
-
-
631.799
631.799
189.432
821.230
-
-
1.555
1.555
186.493
188.048
-
-
13.368
13.368
541.331
554.700
Dampak Awal
Sub Total
Konsumsi
Total
1
Padi
2
Jagung
3
Ubi kayu
4
Sayur-sayuran
5
Pisang
6
Nanas
7
Buah-buahan lainnya
8
Tanaman bahan makanan lainnya
9
Karet
10
Tebu
11
Kelapa
12
Kelapa sawit
-
-
7.264
7.264
399.536
406.800
13
Kopi
-
-
1.201
1.201
123.783
124.984
14
Cengkeh
-
-
0.520
0.520
5.104
5.624
15
Kakao
-
-
0.021
0.021
4.434
4.455
16
Lada Tanaman perkebunan lainnya Tanaman Lainnya
-
-
0.445
0.445
79.961
80.406
-
-
5.880
5.880
123.755
129.635
-
-
0.560
0.560
17.545
18.105
17 18
80
Kode
19 20
Sektor Peternakan dan hasilhasilnya Unggas dan hasilhasilnya
21
Kayu
22
Hasil hutan lainnya
23
Perikanan laut
24
Perikanan darat
25
Udang
26 27 28 29 30
Penambangan minyak/gas dan panas bumi Penambangan dan penggalian lainnya Industri pengolahan buah dan sayuran Industri pengolahan ikan dan udang Industri pengolahan/pengawetan makanan lainnya
31
Industri kopra
32
Industri minyak dan lemak
33
Industri penyosohan padi
34
Industri gula
35 36 37
Industri pengupasan biji kopi Industri penggilingan kopi Industri pengupasan/penggilingan selain kopi
38
Industri pakan ternak
39
Industri makanan lainnya
40 41 42 43 44 45 46
Industri minuman dan rokok Industri pemintalan dan rajutan Industri tekstil, pakaian, dan kulit Industri bambu, kayu, dan rotan Industri kertas, barang kertas dan karton Industri pupuk, pestisida, dan kimia Industri barang karet dan plastik
Dampak Langsung
Dampak Tidak Langsung
-
-
5.252
5.252
273.891
279.144
-
-
92.175
92.175
3,460.849
3,553.024
-
1,448.993
482.087
1,931.080
32.725
1,963.805
-
3.720
133.186
136.906
38.368
175.274
-
-
87.316
87.316
2,877.346
2,964.661
-
-
65.665
65.665
3,177.557
3,243.221
-
-
29.134
29.134
659.643
688.777
-
-
-
-
-
-
-
10,135.916
4,753.319
14,889.235
150.175
15,039.410
-
-
1.985
1.985
380.403
382.388
-
-
9.718
9.718
529.529
539.247
-
-
39.068
39.068
2,073.892
2,112.959
-
-
6.565
6.565
373.949
380.515
-
-
20.651
20.651
1,185.833
1,206.484
-
-
66.215
66.215
12,445.708
12,511.924
-
-
9.076
9.076
1,106.744
1,115.820
-
-
2.499
2.499
257.572
260.071
-
-
5.068
5.068
522.357
527.424
-
-
1.231
1.231
249.098
250.329
-
-
6.171
6.171
252.219
258.391
-
-
9.964
9.964
3,642.307
3,652.271
-
-
4.313
4.313
216.868
221.181
-
1.215
48.787
50.002
131.679
181.681
-
13.708
24.940
38.648
488.468
527.116
-
6,654.289
524.212
7,178.502
329.120
7,507.622
-
94.127
313.586
407.713
240.485
648.198
-
309.475
377.560
687.034
2,825.513
3,512.548
-
6,162.815
7,439.946
13,602.761
4,071.346
17,674.107
Dampak Awal
Sub Total
Konsumsi
Total
81
Kode
Sektor
54
Industri barang mineral bukan logam Industri logam dasar dan barang logam Industri mesin, alat/perlengkapan listrik Industri alat angkut dan perbaikannya Industri barang lainnya Listrik, gas, dan air minum Jalan, Jembatan, Pelabuhan Bangunan lainnya
55
Perdagangan
56
Restoran
57
Hotel
58
Angkutan darat
59
Angkutan air
60
Angkutan udara
61
Jasa penunjang angkutan
62
Komunikasi
47 48 49 50 51 52 53
63 64 65 66
67 68 69 70
Bank dan lembaga keuangan lainnya Persewaan bangunan dan jasa perusahaan Pemerintahan umum dan pertahanan Jasa kesehatan/pendidikan/jasa pemerintah lainnya Jasa kesehatan/pendidikan/jasa swasta lainnya Jasa hiburan, rekreasi, dan kebudayaan swasta Jasa perbengkelan, perorangan dan rumahtangga Kegiatan yang tidak jelas batasannya Jumlah
Dampak Langsung
Dampak Tidak Langsung
-
19,502.487
774.433
20,276.920
248.687
20,525.607
-
7,070.935
480.822
7,551.757
50.539
7,602.296
-
695.424
121.246
816.669
108.601
925.270
-
-
1.181
1.181
1.578
2.759
-
54.094
19.812
73.907
75.243
149.150
-
87.645
385.171
472.816
858.436
1,331.252
221,814.000
-
503.872
222,317.872
28.868
222,346.740
-
4.812
43.821
48.633
20.619
69.252
-
14,335.882
3,691.370
18,027.252
7,729.289
25,756.541
-
331.714
395.302
727.016
2,431.082
3,158.098
-
55.301
67.217
122.518
37.397
159.915
-
5,003.682
4,929.374
9,933.056
8,516.965
18,450.021
-
629.069
259.326
888.395
573.782
1,462.177
-
12.201
15.723
27.924
11.154
39.077
-
278.635
248.238
526.872
272.911
799.784
-
288.854
1,110.291
1,399.145
1,843.001
3,242.146
-
2,216.611
2,174.448
4,391.059
2,675.524
7,066.583
-
5,993.028
1,621.436
7,614.465
3,997.967
11,612.432
-
-
-
-
-
-
-
46.353
61.992
108.345
2,204.228
2,312.573
-
381.670
247.812
629.483
1,888.416
2,517.899
18.475
18.475
93.169
111.644
Dampak Awal
-
221,814.000
-
231.065 82,043.722
Sub Total
Konsumsi
294.201
525.266
117.540
117.540
12.776
130.316
336,696.929
83,280.285
419,977.215
32,839.207
762.244
Total
1,287.510
82
Lampiran 8 Multiplier effect pendapatan simulasi investasi sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan Kode
Sektor
Dampak Awal
Dampak Langsung
Dampak Tidak Langsung
Sub Total
Konsumsi
Total
1
Padi
-
-
45.083
45.083
8,467.176
8,512.259
2
Jagung
-
-
4.710
4.710
288.026
292.736
3
Ubi kayu
-
-
9.849
9.849
1,446.231
1,456.080
4
Sayur-sayuran
-
-
7.036
7.036
1,111.513
1,118.549
5
Pisang
-
-
1.745
1.745
473.061
474.806
6
Nanas
-
-
1.138
1.138
172.944
174.082
7
Buah-buahan lainnya Tanaman bahan makanan lainnya
-
-
1.489
1.489
49.600
551.088
-
-
2.151
2.151
299.520
301.671
-
-
536.359
536.359
160.816
697.175
8 9
Karet
10
Tebu
-
-
1.036
1.036
124.294
125.330
11
Kelapa
-
-
12.136
12.136
491.439
503.575
12
Kelapa sawit
-
-
4.883
4.883
268.595
273.478
13
Kopi
-
-
0.918
0.918
94.660
95.579
14
Cengkeh
-
-
0.453
0.453
4.451
4.904
15
Kakao
-
-
0.016
0.016
3.374
3.390
16
Lada Tanaman perkebunan lainnya Tanaman Lainnya Peternakan dan hasilhasilnya Unggas dan hasilhasilnya
-
-
0.399
0.399
71.781
72.180
-
-
5.268
5.268
110.872
116.140
-
-
0.427
0.427
13.373
13.800
-
-
4.160
4.160
216.925
221.085
-
-
70.521
70.521
2,647.791
2,718.312
17 18 19 20 21
Kayu
-
989.471
329.202
1,318.673
22.347
1,341.019
22
Hasil hutan lainnya
-
2.566
91.867
94.433
26.465
120.898
23
Perikanan laut
-
-
65.703
65.703
2,165.124
2,230.827
24
Perikanan darat
-
-
49.737
49.737
2,406.819
2,456.556
25
-
-
20.595
20.595
466.309
486.904
-
-
-
-
-
-
-
8,399.553
3,939.037
12,338.590
124.449
12,463.039
-
-
0.392
0.392
75.066
75.457
-
-
0.701
0.701
38.202
38.903
-
-
14.285
14.285
758.316
772.601
31
Udang Penambangan minyak/gas dan panas bumi Penambangan dan penggalian lainnya Industri pengolahan buah dan sayuran Industri pengolahan ikan dan udang Industri pengolahan/pengawetan makanan lainnya Industri kopra
-
-
1.304
1.304
74.277
75.581
32
Industri minyak dan
-
-
2.459
2.459
141.185
143.644
26 27 28 29 30
83
Kode
Sektor
Dampak Awal
Dampak Langsung
Dampak Tidak Langsung
Sub Total
Konsumsi
Total
lemak 33
Industri penyosohan padi
-
-
9.790
9.790
1,840.193
1,849.983
34
Industri gula Industri pengupasan biji kopi Industri penggilingan kopi Industri pengupasan/penggilingan selain kopi Industri pakan ternak
-
-
4.811
4.811
586.657
591.468
-
-
0.400
0.400
41.234
41.634
-
-
1.215
1.215
125.253
126.468
-
-
0.146
0.146
29.449
29.595
-
-
0.736
0.736
30.098
30.834
-
-
1.695
1.695
619.655
621.350
-
-
2.380
2.380
119.666
122.046
-
0.434
17.422
17.856
47.023
64.880
-
2.673
4.864
7.537
95.263
102.801
-
2,212.820
174.322
2,387.142
109.446
2,496.588
-
32.590
108.573
141.163
83.264
224.427
-
127.644
155.726
283.370
1,165.395
1,448.765
-
885.122
1,068.547
1,953.669
584.739
2,538.407
-
8,550.381
339.531
8,889.912
109.030
8,998.942
-
2,843.373
193.349
3,036.721
20.323
3,057.044
-
196.925
34.333
231.258
30.753
262.011
-
-
0.443
0.443
0.591
1.034
-
16.677
6.108
22.785
23.197
45.982
-
34.437
151.336
185.773
337.285
523.058
73,781.078
-
167.601
73,948.679
9.602
73,958.281
-
1.273
11.596
12.870
5.456
18.326
-
10,802.168
2,781.468
13,583.636
5,824.062
19,407.698
-
113.237
134.944
248.181
829.896
1,078.077
-
16.047
19.504
35.551
10.852
46.403
-
2,702.196
2,662.066
5,364.262
4,599.514
9,963.776
-
369.887
152.481
522.368
337.379
859.747
-
5.209
6.713
11.923
4.762
16.685
-
197.765
176.190
373.955
193.703
567.658
35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53
Industri makanan lainnya Industri minuman dan rokok Industri pemintalan dan rajutan Industri tekstil, pakaian, dan kulit Industri bambu, kayu, dan rotan Industri kertas, barang kertas dan karton Industri pupuk, pestisida, dan kimia Industri barang karet dan plastik Industri barang mineral bukan logam Industri logam dasar dan barang logam Industri mesin, alat/perlengkapan listrik Industri alat angkut dan perbaikannya Industri barang lainnya Listrik, gas, dan air minum Jalan, Jembatan, Pelabuhan
54
Bangunan lainnya
55
Perdagangan
56
Restoran
57
Hotel
58
Angkutan darat
59
Angkutan air
60
Angkutan udara
61
Jasa penunjang angkutan
84
Kode
62 63 64 65 66
67 68 69 70
Sektor
Dampak Langsung
Dampak Tidak Langsung
-
208.884
802.906
1,011.790
1,332.764
2,344.555
-
1,255.526
1,231.644
2,487.169
1,515.462
4,002.631
-
4,428.855
1,198.243
5,627.098
2,954.502
8,581.600
-
-
-
-
-
-
-
24.489
32.751
57.240
1,164.511
1,221.750
-
200.130
129.941
330.071
990.197
1,320.269
-
-
11.008
11.008
55.513
66.521
-
149.149
189.902
339.051
492.017
831.068
-
-
66.699
66.699
7.250
73.949
73,781.078
4,769.478
17,276.445
135,827.001
49,640.958
185,467.959
Dampak Awal
Komunikasi Bank dan lembaga keuangan lainnya Persewaan bangunan dan jasa perusahaan Pemerintahan umum dan pertahanan Jasa kesehatan/pendidikan/jasa pemerintah lainnya Jasa kesehatan/pendidikan/jasa swasta lainnya Jasa hiburan, rekreasi, dan kebudayaan swasta Jasa perbengkelan, perorangan dan rumahtangga Kegiatan yang tidak jelas batasannya Jumlah
Lampiran 9
Kode
Sub Total
Konsumsi
Total
Multiplier effect tenaga kerja simulasi investasi sektor jalan, jembatan,dan pelabuhan Sektor
1
Padi
2
Jagung
3
Ubi kayu
4
Sayur-sayuran
5
Pisang
6
Nanas
7
Buah-buahan lainnya
8
Tanaman bahan makanan lainnya
9
Karet
10
Tebu
11
Kelapa
12
Kelapa sawit
13
Kopi
14
Cengkeh
Dampak Awal
Dampak Tidak Langsung
Dampak Langsung
Sub Total
Konsumsi
Total
-
-
1.695
1.695
318.395
320.091
-
-
0.163
0.163
9.954
10.117
-
-
0.273
0.273
40.053
40.326
-
-
0.215
0.215
33.987
34.202
-
-
0.041
0.041
11.109
11.150
-
-
0.036
0.036
5.434
5.470
-
-
0.029
0.029
10.667
10.696
-
-
0.057
0.057
7.935
7.992
-
-
35.429
35.429
10.623
46.051
-
-
0.082
0.082
9.883
9.966
-
-
0.266
0.266
10.755
11.021
-
-
0.227
0.227
12.471
12.697
-
-
0.043
0.043
4.447
4.490
-
85
Kode
Sektor
Dampak Awal
Dampak Tidak Langsung
Dampak Langsung -
15
Kakao
16
Lada
17
Tanaman perkebunan lainnya
18
Tanaman Lainnya
19 20
Peternakan dan hasilhasilnya Unggas dan hasilhasilnya
21
Kayu
22
Hasil hutan lainnya
23
Perikanan laut
24
Perikanan darat
25
Udang
26 27 28 29 30
Penambangan minyak/gas dan panas bumi Penambangan dan penggalian lainnya Industri pengolahan buah dan sayuran Industri pengolahan ikan dan udang Industri pengolahan/pengawetan makanan lainnya
31
Industri kopra
32
Industri minyak dan lemak
33
Industri penyosohan padi
34
Industri gula
35 36 37
Industri pengupasan biji kopi Industri penggilingan kopi Industri pengupasan/penggilingan selain kopi
38
Industri pakan ternak
39
Industri makanan lainnya
40 41 42
Industri minuman dan rokok Industri pemintalan dan rajutan Industri tekstil, pakaian,
Sub Total
Konsumsi
Total
0.017
0.017
0.170
0.187
-
-
0.000
0.000
0.080
0.080
-
-
0.010
0.010
1.765
1.775
-
-
0.292
0.292
6.149
6.441
-
-
0.022
0.022
0.697
0.719
-
-
0.184
0.184
9.618
9.803
-
-
2.438
2.438
91.550
93.989
-
43.425
14.448
57.873
0.981
58.854
-
0.093
3.319
3.412
0.956
4.368
-
-
2.164
2.164
71.326
73.490
-
-
2.876
2.876
139.186
142.063
-
-
0.780
0.780
17.669
18.450
-
-
-
-
-
-
-
139.898
65.606
205.505
2.073
207.577
-
-
0.008
0.008
1.584
1.593
-
-
0.016
0.016
0.866
0.882
-
-
0.306
0.306
16.223
16.528
-
-
0.045
0.045
2.538
2.583
-
-
0.023
0.023
1.337
1.360
-
-
0.124
0.124
123.331
23.455
-
-
0.086
0.086
10.454
10.540
-
-
0.009
0.009
0.948
0.958
-
-
0.014
0.014
1.470
1.484
-
-
0.003
0.003
0.618
0.621
-
-
0.013
0.013
0.521
0.534
-
-
0.040
0.040
14.695
14.736
-
-
0.025
0.025
1.258
1.283
-
0.007
0.297
0.304
0.801
1.106
0.048
86
Kode
Dampak Awal
Sektor dan kulit
43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53
Industri bambu, kayu, dan rotan Industri kertas, barang kertas dan karton Industri pupuk, pestisida, dan kimia Industri barang karet dan plastik Industri barang mineral bukan logam Industri logam dasar dan barang logam Industri mesin, alat/perlengkapan listrik Industri alat angkut dan perbaikannya Industri barang lainnya Listrik, gas, dan air minum Jalan, Jembatan, Pelabuhan
54
Bangunan lainnya
55
Perdagangan
56
Restoran
57
Hotel
58
Angkutan darat
59
Angkutan air
60
Angkutan udara
61
Jasa penunjang angkutan
62
Komunikasi
63 64 65 66
67 68 69
Bank dan lembaga keuangan lainnya Persewaan bangunan dan jasa perusahaan Pemerintahan umum dan pertahanan Jasa kesehatan/pendidikan/jasa pemerintah lainnya Jasa kesehatan/pendidikan/jasa swasta lainnya Jasa hiburan, rekreasi, dan kebudayaan swasta Jasa perbengkelan, perorangan dan rumahtangga
Dampak Tidak Langsung
Dampak Langsung -
Sub Total
Konsumsi
Total
0.087
0.135
1.712
1.848
-
43.649
3.439
47.088
2.159
49.247
-
0.693
2.308
3.001
1.770
4.771
-
1.955
2.385
4.339
17.845
22.184
14.101
17.023
31.124
9.315
40.439
-
181.887
7.223
189.110
2.319
191.429
-
46.979
3.195
50.174
0.336
50.510
-
4.873
0.850
5.723
0.761
6.484
-
-
0.012
0.012
0.016
0.028
-
0.447
0.164
0.610
0.621
1.231
-
0.201
0.883
1.084
1.969
3.053
2,961.375
-
6.727
2,968.102
0.385
2,968.487
-
0.051
0.465
0.517
0.219
0.736
-
353.751
91.088
444.839
190.727
635.566
-
2.862
3.411
6.274
20.979
27.252
-
0.566
0.688
1.255
0.383
1.637
-
29.170
28.737
57.907
49.651
107.558
-
3.033
1.250
4.283
2.767
7.050
-
0.044
0.057
0.102
0.041
0.142
-
1.545
1.377
2.922
1.514
4.435
-
1.538
5.910
7.448
9.811
17.259
-
9.564
9.382
18.946
11.544
30.490
-
18.430
4.986
23.417
12.295
35.711
-
-
-
-
-
-
-
1.103
1.476
2.579
52.467
55.046
-
3.500
2.272
5.772
17.316
23.088
-
-
0.155
0.155
0.784
0.939
-
3.225
4.106
7.331
10.638
17.969
-
87
Dampak Awal
Kode
Sektor
70
Kegiatan yang tidak jelas batasannya Jumlah
Dampak Tidak Langsung
Dampak Langsung
Sub Total
Konsumsi
Total
-
-
0.864
0.864
0.094
0.958
2,961.375
906.640
332.244
4,200.259
1,325.019
5,525.278
Lampiran 10 Hasil regresi fungsi produksi kopi = fungsi input Dependent Variable: Y Method: Least Squares Date: 05/27/13 Time: 08:07 Sample: 1 134 Included observations: 134 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C X1 X2 X3 X4 X5 X6
-5.773791 0.607228 -0.005287 0.002810 0.016398 0.440553 0.600909
1.572602 0.060737 0.006004 0.006403 0.021487 0.182654 0.049760
-3.671490 9.997668 -0.880717 0.438858 0.763140 2.411949 12.07611
0.0004 0.0000 0.3801 0.6615 0.4468 0.0173 0.0000
0.744207 0.732123 0.696047 61.52919 -137.9898 1.804029
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
5.152300 1.344841 2.164027 2.315406 61.58268 0.000000
Uji Multikolinearitas X1 X2 X1 1.000000 0.190891 X2 0.190891 1.000000 X3 0.026178 0.153082 X4 -0.002042 0.176512 X5 -0.214354 -0.141594 X6 0.331605 0.056028 Y 0.657539 0.079047 Tidak terjadi multikolinearitas
X3 0.026178 0.153082 1.000000 0.412462 -0.211193 0.144570 0.107360
X4 -0.002042 0.176512 0.412462 1.000000 -0.286070 0.070094 0.047546
X5 -0.214354 -0.141594 -0.211193 -0.286070 1.000000 -0.388387 -0.229883
X6 0.331605 0.056028 0.144570 0.070094 -0.388387 1.000000 0.732915
Uji Heteroskedastisitas White Heteroskedasticity Test: F-statistic Obs*R-squared
2.022185 22.38424
Prob. F(12,121) Prob. Chi-Square(12)
0.027662 0.033432
Y 0.657539 0.079047 0.107360 0.047546 -0.229883 0.732915 1.000000
88
Terjadi heteroskedastisitas
Test Equation: Dependent Variable: RESID^2 Method: Least Squares Date: 05/27/13 Time: 08:14 Sample: 1 134 Included observations: 134 Variable C X1 X1^2 X2 X2^2 X3 X3^2 X4 X4^2 X5 X5^2 X6 X6^2 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
Coefficie nt
Std. Error
t-Statistic
Prob.
126.9793 0.666930 0.064941 0.037602 0.005460 0.007638 0.003576 0.019492 0.003216 31.93518 2.044267 0.230118 0.007962
153.6173
0.826595
0.4101
0.477954 0.039640
-1.395386 1.638273
0.1655 0.1040
0.012736 0.003686 0.011364
-2.952457 1.481313 0.672135
0.0038 0.1411 0.5028
0.003624 0.031941 0.005585
-0.986679 0.610242 0.575801
0.3258 0.5428 0.5658
40.09336 2.608060
-0.796520 0.783827
0.4273 0.4347
0.283539 0.023482
-0.811593 0.339048
0.4186 0.7352
0.167047 0.084440 0.763708 70.57320 147.1781 2.021469
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion
0.459173 0.798149 2.390718 2.671851
F-statistic Prob(F-statistic)
2.022185 0.027662
Uji Autokorelasi Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic
1.308333
Prob. F(1,126)
0.254865
89
Obs*R-squared
1.377103
Prob. Chi-Square(1)
0.240595
Probability 0,24059 > 0.005 berarti tidak terjadi autokorelasi
Test Equation: Dependent Variable: RESID Method: Least Squares Date: 05/27/13 Time: 08:19 Sample: 1 134 Included observations: 134 Presample missing value lagged residuals set to zero. Variable
Coefficie nt
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C X1 X2 X3 X4 X5 X6 RESID(-1)
0.256433 0.005230 0.001333 -9.45E-06 0.001829 0.025547 0.004504 0.105041
1.586615 0.060835 0.006109 0.006396 0.021521 0.183795 0.049856 0.091833
-0.161623 0.085977 0.218296 -0.001477 0.084990 0.138998 0.090340 1.143824
0.8719 0.9316 0.8276 0.9988 0.9324 0.8897 0.9282 0.2549
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat Uji Normalitas
0.010277 0.044708 0.695204 60.89686 137.2977 2.029954
Mean dependent var
8.69E-16
S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion
0.680166 2.168622 2.341627
F-statistic Prob(F-statistic)
0.186905 0.987696
90
30 Series: Residuals Sample 1 134 Observations 134
25 20
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
15 10 5
Jarque-Bera Probability
0 -2
-1
0
1
8.69e-16 0.033369 2.006182 -2.276883 0.680166 -0.122524 3.998897 5.906294 0.052175
2
Probability > 0.05 berarti error term terdistribusi normal
Lampiran 11 Perhitungan rencana anggaran biaya jalan kelas I, II, dan III Perhitungan biaya jalan kelas I LHR > 10.000
Perkerasan Beton K-500, t = 28 cm
Bahu Jalan Kls B 250 cm
350 cm
350 cm
Beton K-125, t = 10 cm
250 cm
Tanah Asli
Tipikal Penampang Jalan dengan Perkerasan Beton Kelas I
I. Volume per m' 1 Biaya galian 12 x 2 Kebutuhan beton a. Beton K-450 7.00 x b. Beton K-125 7.00 x
4.56
m3
0.38
=
0.28
=
1.96
m3
0.10
=
0.70
m3
3 Kebutuhan besi dowel bar U 32, D 24 panjang 1 m a. Dipasang setiap 0.30 meter sehingga kebutuhan adalah = 4.00 batang 4 Kebutuhan material kelas B untuk bahu jalan a. 5.00 x 0.38 = 1.90 m3 5 Kebutuhan marka jalan
91
a. 0.15 x 3.00 = 0.45 m2 II. Biaya per m' jalan Rp 5,502,027.59 /m' 1 Biaya galian 4.56 x 38,302.66 = Rp. 2 a. Beton K-350 1.96 x 1,922,944.24 = Rp. b. Beton K-125 0.70 x 1,004,499.56 = Rp. 3 Kebutuhan besi dowel bar U 32, D 24 panjang 1 m 4.00 x 19,912.75 = Rp. 4 Kebutuhan material kelas B untuk bahu jalan 1.90 x 379,143.20 = Rp. 5 Kebutuhan marka jalan 0.45 x 122,719.89 = Rp. Jumlah
= Rp.
174,660.15 3,768,970.71 703,149.69 79,651.00 720,372.09 55,223.95 5,502,027.59
Perhitungan biaya jalan kelas II 5000
Bahu Jalan Kls B 250 cm
Perkerasan Beton K-350, t = 29 cm
350 cm
Beton K-125, t = 10 cm
350 cm
250 cm
Tanah Asli
Tipikal Penampang Jalan dengan Perkerasan Beton Kelas II
I. Volume per m' 1 Biaya Galian 12 x 0.39 = 4.68 m3 2 Kebutuhan beton a. Beton K-350 7.00 x 0.29 = 2.03 m3 b. Beton K-125 7.00 x 0.10 = 0.70 m3 3 Kebutuhan besi dowel bar U 32, D 24 panjang 1 m a. Dipasang setiap 0.30 meter sehingga kebutuhan adalah = 4.00 batang 4 Kebutuhan material kelas B untuk bahu jalan a. 5.00 x 0.39 = 1.95 m3 5 Kebutuhan marka jalan
92
a. 0.15 x 3.00 = 0.45 m2 II. Biaya per m' jalan Rp 5,275,725.21 /m' 1 Biaya galian 4.68 x 38,302.66 = Rp. 2 a. Beton K-350 2.03 x 1,733,554.11 = Rp. b. Beton K-125 0.70 x 1,004,499.56 = Rp. 3 Kebutuhan besi dowel bar U 32, D 24 panjang 1 m 4.00 x 19,912.75 = Rp. 4 Kebutuhan material kelas B untuk bahu jalan 1.95 x 379,143.20 = Rp. 5 Kebutuhan marka jalan 0.45 x 122,719.89 = Rp. Jumlah = Rp.
179,256.47 3,519,114.85 703,149.69 79,651.00 739,329.25 55,223.95 5,275,725.21
Perhitungan Biaya Jalan Kelas III LHR<5000
Bahu Jalan Kls B 200 cm
Perkerasan Beton K-350, t = 25 cm
300 cm
Beton K-125, t = 10 cm
300 cm
200 cm
Tanah Asli
Tipikal Penampang Jalan dengan Perkerasan Beton Kelas III
I. Volume per m' 1 Biaya galian 10 x 0.35 = 3.50 m3 2 Kebutuhan Beton a. Beton K-350 6.00 x 0.25 = 1.50 m3 b. Beton K-125 6.00 x 0.10 = 0.60 m3 3 Kebutuhan besi dowel bar U 32, D 24 panjang 1 m a. Dipasang setiap 0.30 meter sehingga kebutuhan adalah = 4.00 batang 4 Kebutuhan material kelas B untuk bahu jalan
93
a. 4.00 x 0.35 = 1.40 m3 5 Kebutuhan marka jalan a. 0.15 x 3.00 = 0.45 m2 II. Biaya per m' jalan Rp 4,002,765.67 /m' 1 Biaya galian 3.50 x 38,302.66 = Rp. 134,059.33 2 a. Beton K-350 1.50 x 1,733,554.11 = Rp. 2,600,331.17 b. Beton K-125 0.60 x 1,004,499.56 = Rp. 602,699.73 3 Kebutuhan besi dowel bar U 32, D 24 panjang 1 m 4.00 x 19,912.75 = Rp. 79,651.00 4 Kebutuhan material kelas B untuk bahu jalan 1.40 x 379,143.20 = Rp. 530,800.49 5 Kebutuhan marka jalan 0.45 x 122,719.89 = Rp. 55,223.95 Jumlah = Rp. 4,002,765.67