ANALISA PERILAKU MEMILIH PASANGAN KOLOK (PERKAWINAN TUNARUNGU DI DESA BENGKALA, KECAMATAN KUBUTAMBAHAN, KABUPATEN BULELENG, BALI TAHUN 2013 Astari Wardiah1 , Prof. dr. Hadi Pratomo, Dr.PH2 1
2
Mahasiswa Peminatan Promosi Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
Staff Pengajar Peminatan Promosi Kesehatan Fakultas Masyarakat Universitas Indonesia
[email protected] ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai karakteristik informan, pendidikan dan usia pasangan informan, faktor individu serta faktor lingkungan yang mempengaruhi perilaku memilih pasangan kolok. Pendekatan penelitian kualitatif dengan desain studi kasus pada pasangan informan kolok sebagai informan, Kepala Desa, Kepala Adat, Ketua Paguyuban kolok, dan pasangan kolok yang menikah dengan pasangan normal sebagai informan kunci pada penelitian ini. Data dikumpulkan dengan metode wawancara mendalam dan dianalisis dengan analisis isi. Hasil penelitian menunjukkan faktor individu yang berpengaruh terhadap perilaku memilih pasangan adalah self efficacy, pengetahuan mengenai kolok, pengetahuan mengenai perkawinan dan sikap terhadap perkawinan tersebut. Sedangkan faktor lingkungan yang berpengaruh adalah keluarga dan kebudayaan Bali pada proses perkawinan. Selain itu, rendahnya self efficacy pasangan informan mempengaruhi keputusan pasangan untuk tidak mau menikah dengan orang normal. Penulis menyarankan agar ditingkatkannya pendidikan dan konseling dalam persiapan perkawinan khusus bagi kelompok kolok di Desa Bengkala. Kata kunci : perkawinan, tunarungu, kolok, Desa Bengkala.
ABTRACTS This study is aimed to obtain information about informants’ characteristics, level of education, their partner’s age, both individual and environmental factors which influenced the behaviour on selecting a deaf spouse. A qualitative research approach with a case study design was employed. Four selected deaf couples were selected as informants. The head of village, traditional leader, chairman of deaf associaton, and deaf people who were selected as key informants. Data were collected using an in-depth interview technique and were analyzed by content analysis method. The result showed that individual factors affects a deaf spouse selection behavior were self efficacy, knowledge concerning kolok, knowledge and attitude toward marriage. Meanwhile, the environmental factors affects the spouse selection were family and Balinese culture relevant to marriage. Furthermore, their low level of self efficacy among the deaf couple influenced their decision in marrying a normal spouse. It is strongly recommended to develop education and councelling regarding marriage and their consequences among the single kolok community. Key words: marriage, deaf, kolok, Bengkala village
PENDAHULUAN Penyandang disabilitas yang dalam percakapan sehari-hari disebut sebagai orang cacat, sering dianggap sebagai warga masyarakat yang tidak produktif, tidak mampu menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sehingga hak-haknya pun diabaikan. Indonesia merupakan negara yang memiliki berbagai risiko untuk kecacatan, salah satunya adalah ketunarunguan.
Analisa perilaku..., Astari Wardiah, FKM UI, 2013
Menurut World Health Organization (WHO), saat ini diperkirakan terdapat 360 juta (5.3 persen)
orang di dunia mengalami gangguan cacat pendengaran, 328 juta (91 persen)
diantaranya adalah orang dewasa (183 juta laki-laki, 145 juta perempuan) dan 32 juta (9 persen) adalah anak-anak (Pusat Komunikasi Publik Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI, 2013). Penduduk Indonesia berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2010 diperkirakan mencapai 234,2 juta jiwa mengalami penaikan dibanding jumlah penduduk pada tahun 2000 yang mencapai 205,1 juta jiwa. Dari keseluruhan jumlah penduduk Indonesia, persentase populasi penyandang bisu tuli cukup besar seiring pertambahan penduduk. Jumlah penyandang bisu tuli (tunarungu) diperkirakan sebesar 1,25 persen dari total jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2010 atau sekitar 2.962.500 jiwa (Badan Pusat Statistik, 2010) Data dari World Health Organization (WHO) menunjukkan bahwa Indonesia mempunyai tingkat prevalensi gangguan pendengaran sekitar 4,6 persen dari setiap 1000 bayi yang lahir, angka yang termasuk tinggi di Asia Tenggara. Prevalensi tuli kongenital atau bawaan di Indonesia diperkirakan 0,1 persen dan akan bertambah di setiap tahunnya dengan 4710 orang, jika melihat angka kelahiran sebesar 2,2 persen pada penduduk yang berjumlah 214.100.000 orang. Angka ini akan terus bertambah mengingat faktor resiko yang mengakibatkan tuli kongenital pada masa kehamilan dan kelahiran masih tinggi. (Profil Kesehatan, 2010 dalam Agus Riyadi, 2013). Perkawinan antara bisu tuli menjadi salah satu penyebab tingginya jumlah angka bisu tuli di dunia. Data yang diperoleh dari Amerika Serikat (Finding Genes for Non-Syndromic Deafness Gallaudet University, Department of Biology and Medical College of Virginia, Department of Human Genetics), sebanyak 85 persen individu bisu tuli menikah dengan bisu tuli. Fenomena ini merupakan penyumbang terbesar dari banyaknya populasi bisu tuli yang ada. Dalam kasus perkawinan antara pasangan bisu tuli yang keduanya memiliki gen yang resesif tuli, kesempatan mereka untuk memiliki anak bisu tuli dapat berkisar antara nol sampai 100 persen. Jika kedua pasangan memiliki gen tuli resesif, maka semua anak-anak mereka akan menjadi tuli. Jika orang tua memiliki berbagai jenis ketulian resesif, semua anak dapat mendengar, yaitu sekitar 80 persen dari perkawinan antara bisu tuli. Setiap pasangan dapat memiliki keduanya, anak dengan bisu tuli ataupun anak dengan pendengaran normal, jika
Analisa perilaku..., Astari Wardiah, FKM UI, 2013
dalam hal ini setidaknya satu memiliki dominan bentuk ketulian, atau jika salah satu orang tua adalah pembawa gen resesif yang tuli, orang tua lainnya memiliki dosis ganda. Desa Bengkala merupakan salah satu desa di Kabupaten Buleleng, Bali. Secara geografis, di sebelah utara desa ini berbatasan dengan Desa Kubutambahan dan Banjar Sema Bungkulan. Bagian timur berbatasan dengan Desa Bila (Prigi), bagian Selatan berbatasan dengan Desa Bila, dan bagian Barat berbatasan dengan Tukad Daya (Desa Sawan, Menyali, Jagaraga). Jalan utama menuju Desa Bengkala bila dari Kota Singaraja melalui Desa Bungkulan, Kubutambahan (Indah, 2010). Berdasarkan data Desa Bengkala tahun 2012, desa ini terdiri dari 2 banjar dinas yaitu Banjar Dinas Kajanan dan Banjar Dinas Kelodan, dan memiliki 6 Banjar adat yaitu Banjar Punduh Jero, Tihing, Basta, Asem, Kutuh, dan Coblong. Jumlah penduduk Desa Bengkala di tahun 2012 sebanyak 2.749 jiwa dengan jumlah laki-laki sebanyak 1.247 orang dan perempuan 1.502 orang. Mata pencaharian penduduknya sebagai petani, buruh, penari dan petugas keamanan. Di desa ini ada 1 Taman Kanak-Kanak, 2 Sekolah Dasar (yang terdiri dari Sekolah Inklusi dan Sekolah normal), 3 buah Posyandu dan 1 buah Puskesmas Pembantu. Desa Bengkala memiliki komunitas bisu tuli (kolok) yang cukup besar, hingga saat ini kurang lebih ada sekitar 2 persen dari total penduduk. Perkawinan antara bisu tuli sering terjadi di wilayah ini, dimana seringkali keturunannya pun mengalami bisu tuli, yaitu sekitar 43 KK yang terdaftar di kantor Perbekel desa adalah bisu tuli (Data Sekunder Kepala Desa, 2013). Desa ini menjadi sebuah tempat yang menarik karena di wilayah ini terdapat banyak orang bisu tuli, yang sering disebut “kolok” oleh warga setempat. Data sekunder tahun 2012 menunjukkan terdapat 47 orang bisu tuli di Desa Bengkala, atau sekitar 2 persen dari jumlah total penduduknya. Angka ini cukup tinggi apabila dibandingkan dengan angka normal bisu tuli bawaan (kongenital) yang hanya terjadi pada 1/10.000 kelahiran. Menurut Kelian Adat di daerah ini, kondisi bisu tuli ini konon telah diderita secara turun temurun sejak tahun 1940-an. Pada awalnya hanya ada satu penderita bisu tuli di Desa Bengkala yang diperkirakan menjadi cikal bakal penderita bisu tuli di Desa Bengkala ini, yang bernama Kolok Puriya. Keberadaan orang kolok di Bengkala juga tidak lepas dari keyakinan masyarakat Bali terhadap keberadaan makhluk halus yang bisu tuli di alam tak
Analisa perilaku..., Astari Wardiah, FKM UI, 2013
nyata yang berpengaruh pada alam
nyata sehingga lahirlah orang kolok di Bengkala
(Prabowo,2012). TINJAUAN TEORITIS Myles Munroe mendefinisikan perkawinan secara luas. Menurutnya, perkawinan merupakan dasar utama dari masyarakat yang sehat. Perkawinan adalah dasar pembentukan keluarga. Menurut Myles, J. C. Perk perkawinan adalah suatu perjanjian, persetujuan yang dibuat oleh kedua pasangan di hadapan Tuhan dan disaksikan oleh saudara-saudara seiman (Jane Cary Peck, 1993:66-67). Murni Winarsih (2007), menyatakan tunarungu adalah seseorang yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar baik sebagian atau seluruhnya yang diakibatkan oleh tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengaran, sehingga anak tersebut tidak dapat menggunakan alat pendengarannya dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut berdampak terhadap kehidupannya secara kompleks terutama pada kemampuan berbahasa sebagai alat komunikasi yang sangat penting. Gangguan mendengar yang dialami anak
tunarungu
menyebabkan
terhambatnya
perkembangan
bahasa
anak,
karena
perkembangan tersebut, sangat penting untuk berkomunikasi dengan orang lain (Nora Tri, 2012). Pada masyarakat Bali, keluarga batih disebut kuren, yang merupakan akibat dari perkawinan monogami maupun poligami. Bentuk keluarga batih monogami terdiri dari satu suami, satu istri dan beberapa orang anak. Sedangkan bentuk keluarga batih poligami mempunyai struktur satu suami, lebih dari seorang isteri dan beberapa orang anak. Pendekatan psikologi kognitif lebih menekankan arti penting proses internal, mental manusia. Dalam pandangan para ahli kognitif, tingkah laku manusia yang tampak tak dapat diukur dan diterangkan tanpa melibatkan proses mental, yakni : motivasi, kesengajaan, keyakinan, dan sebagainya. Teori belajar sosial yang biasa disebut dengan teori observational learning, belajar observasional/dengan pengamatan itu (Pressly & McCormick, 1995) adalah sebuah teori belajar yang relatif masih baru dibandingkan dengan teori-teori belajar lainnya. Tokoh utama teori ini adalah Albert Bandura, seorang psikolog pada Universitas Stanford Amerika Serikat, yang oleh banyak ahli dianggap sebagai seorang behavioris masa kini yang moderat. Bandura memandang tingkah laku manusia bukan semata-mata refleks otomatis atas stimulus (S-R
Analisa perilaku..., Astari Wardiah, FKM UI, 2013
bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif manusia itu sendiri. Prinsip dasar belajar hasil temuan Bandura termasuk belajar sosial dan moral. Menurut Barlow (1985), sebagian besar dari yang dipelajari manusia terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling). Dalam hal ini, seorang individu belajar mengubah perilakunya sendiri melalui penyaksian cara orang atau sekelompok orang mereaksi atau merespons sebuah stimulus tertentu. Individu ini juga dapat mempelajari respons-respons baru dengan cara pengamatan terhadap perilaku contoh dari orang lain, misalnya teman atau orang tuanya. Bandura (2001) mendefinisikan self-efficacy sebagai “keyakinan manusia pada kemampuan mereka untuk melatih sejumlah ukuran pengendalian terhadap fungsi diri mereka dan kejadian-kejadian di lingkungannya” (dalam Feist & Feist, 2006).
Keyakinan efficacy
dikatakan mempengaruhi bagaimana seseorang melihat dan menginterpretasikan suatu kejadian. Mereka yang memiliki self efficacy yang rendah dengan mudah yakin bahwa usaha yang mereka lakukan dalam menghadapi tantangan yang sulit akan sia-sia, sehingga mereka cenderung untuk mengalami gejala negatif dari stress. Sementara mereka yang memiliki selfefficacy yang tinggi akan cenderung untuk melihat tantangan sebagai sesuatu yang dapat diatasi yang diberikan oleh kompetensi dan upaya yang cukup (Bandura dalam Avey, Luthans & Jensen, 2009). METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan pada 4 pasangan informan kolok yang menikah dengan kolok, di Desa Bengkala, kecamatan kubutambahan, kabupaten buleleng, Bali pada bulan Juni – Desember dengan metode kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara mendalam dibantu dengan penerjemah yang menggunakan pedoman wawancara, alat bantu handphone dengan aplikasi perekam, serta alat tulis untuk mencatat. Instrumen pengumpulan data yang digunakan adalah pedoman wawancara mendalam untuk masing-masing informan kunci dan informan. Untuk mendapatkan informasi selengkap mungkin dalam rangka menjawab permasalahan penelitian, upaya pengumpulan data ditempuh dengan cara mela kukan wawancara mendalam (indepth interview), ini dilakukan karena masalah yang ingin didiskusikan sangat sensitif.
Analisa perilaku..., Astari Wardiah, FKM UI, 2013
HASIL PENELITIAN Hasil penelitian menunjukkan faktor individu yang berpengaruh terhadap perilaku memilih pasangan adalah self efficacy, pengetahuan mengenai kolok, pengetahuan mengenai perkawinan dan sikap terhadap perkawinan tersebut. Sedangkan faktor lingkungan yang berpengaruh adalah keluarga dan kebudayaan Bali pada proses perkawinan. Selain itu, rendahnya self efficacy pasangan informan mempengaruhi keputusan pasangan untuk tidak mau menikah dengan orang normal. PEMBAHASAN 1. Karakteristik Demografis (Pendidikan dan Usia) Hasil dalam penelitian ini membuktikan bahwa seluruh informan memiliki pendidikan yang sangat rendah. Seluruh informan tidak bersekolah dikarenakan tingkat ekonomi yang sangat rendah. Rentang usia informan berkisar antara 40 – 60 tahun. Pendidikan berpengaruh terhadap keyakinan mereka dalam berperilaku memilih pasangan kolok¸sedangkan usia tidak mempengaruhi. 2. Self Efficacy Self efficacy dapat didefinisikan sebagai “keyakinan seseorang tentang kemampuannya untuk mengerahkan motivasi, sumber daya kognitif dan tindakan yang diperlukan untuk berhasil melaksanakan tugas dan dalam konteks tertentu” (dalam Avey, Luthans & Jensen, 2009). Keyakinan
efficacy
dikatakan
mempengaruhi
seseorang
dalam
melihat
dan
menginterpretasikan suatu kejadian. Mereka yang memiliki self efficacy rendah dengan mudah yakin bahwa usaha yang mereka lakukan dalam menghadapi tantangan yang sulit akan sia-sia, sehingga mereka cenderung untuk mengalami gejala negatif dari stress. Sementara mereka yang memiliki self efficacy yang tinggi akan cenderung untuk melihat tantangan sebagai sesuatu yang dapat diatasi yang diberikan oleh kompetensi dan upaya yang cukup (Bandura dalam Avey, Luthans & Jensen, 2009) Hasil penelitian ini menemukan bahwa seluruh informan memiliki self efficacy yang rendah dalam berperilaku memilih pasangan. Keyakinan yang rendah ini pula membuat mereka tidak yakin untuk mendapatkan pasangan normal. Sehingga cenderung mengikuti kelompoknya di masyarakat.
Analisa perilaku..., Astari Wardiah, FKM UI, 2013
a.
Mastery Experiences
Sumber yang paling mempengaruhi self efficacy adalah pengalaman-pengalaman tentang penguasaan, pengalaman di masa lalu yang pernah dilakukan dan berhubungan dengan perilaku saat ini (Bandura dalam Feist & Feist, 2008). Biasanya, kesuksesan suatu pengalaman di masa lalu, akan membangkitkan harapan terhadap kemampuan diri untuk mempengaruhi hasil yang diharapkan, sedangkan kegagalan cenderung merendahkannya (Feist & Feist, 2008). Hal ini terlihat pada hasil yang ditemukan pada informan yang pernah menikah dengan pasangan normal. Pengalaman mereka di masa lalu yang menghasilkan kegagalan pada perkawinannya menghasilkan harapan yang rendah, sehingga informan kembali memilih pasangan kolok. Pendidikan yang rendah mereka akui mempengaruhi mereka dalam memilih pasangan. Pendidikan yang rendah, berpengaruh pada tingkat ekonomi, dan hal tersebut berpengaruh pula pada tingkat kepercayaan diri mereka dalam memilih pasangan normal. b.
Social Modeling
Menurut Bandura (1977); Gist & Mitchell (1992), social modeling adalah pemodelan perilaku orang lain yang telah berhasil menyelesaikan suatu perilaku. Dengan mengamati atau mengobservasi orang lain yang berhasil menyelesaikan sesuatu, observer dapat meningkatkan atau memperbaiki performance mereka. Hasil penelitian ini menemukan bahwa perilaku memilih pasangan kolok terjadi karena melihat perilaku orang lain dalam lingkungannya. Pemodelan perilaku yang berhasil dilakukan pada lingkungannya membuat informan meniru dan menjadikannya contoh dalam menikah dengan pasangan kolok. Sebagian besar informan meniru keluarga mereka dalam memilih pasangan, antara lain Ayah dan Ibu, kakak, serta tetangga. c.
Social Persuasion
Menurut Bandura (1977), self efficacy dapat juga diraih atau dilemahkan melalui persuasi sosial. Efek persuasi sosial pada kondisi yang tepat akan meningkatkan atau menurunkan self efficacy. Bandura (1996) berhipotesis bahwa efek sebuah nasihat bagi self efficacy berkaitan erat dengan status dan otoritas dari pemberi nasihat (dalam Feist & Feist, 2008). Persuasi sosial terjadi ketika seseorang memberitahu kepada seorang individu bahwa mereka dapat menyelesaikan perilaku dengan berhasil.
Analisa perilaku..., Astari Wardiah, FKM UI, 2013
Hasil penelitian ini menemukan bahwa hipotesis dari Bandura dapat dibuktikan, informan kunci K4 mengungkapkan, bahwa ketika dirinya diberikan intervensi oleh Pamannya untuk dapat menikah dengan pasangan normal, keyakinan dirinya meningkat, sehingga berani membuat keputusan untuk memilih pasangan normal. Hal lain juga ditemukan pada sebagian besar informan, dalam dukungan lingkungan sosial informan, sebagian besar mendukung perkawinan kolok. Hal ini dikarenakan banyak keluarga informan yang kawin juga dengan kolok. Hal ini pula yang meningkatkan keyakinan informan untuk memilih pasangan kolok. d.
Physical & Emoticon States
Emosi yang kuat, akan mempengaruhi keputusan dan keyakinan seseorang dalam berperilaku. Ketika mengalami rasa takut yang besar, kecemasan yang kuat dan percaya diri yang rendah, seseorang akan memiliki self efficacy yang rendah pula. Seluruh informan yang memiliki riwayat keluarga kolok¸merasa tidak malu menjadi kolok dan menikah dengan pasangan kolok dan merasa hal tersebut biasa-biasa saja. Akan tetapi sebagian besar informan merasa tidak percaya diri jika menikah dengan pasangan normal. Hal tersebut menguatkan mereka untuk lebih memilih pasangan kolok saja. Informan yang riwayat keluarganya berasal dari keluarga normal, awalnya merasa malu menikah dengan kolok , akan tetapi setelah itu menjadi biasa saja karena melihat banyak nya perkawinan kolok di Desa Bengkala. 3. Pengetahuan Tentang Istilah Kolok Pengetahuan adalah hasil 'tahu' dan ini terjadi setelah orang mengalami penginderaan yang sebagian besar diperoleh melalui mata dan telinga terhadap suatu objek tertentu (Notoatmodjo, 2007 dalam Aliya Ayunita, 2012). Seluruh informan memahami istilah kolok dan pengertiannya. Mereka memahami bahwa kolok adalah kemampuan seseorang yang terbatas dalam mendengar dan berbicara. Hasil penelitian ini menemukan bahwa meskipun pendidikan informan rendah, akan tetapi mereka memahami bahwa kolok tidak dapat
disembuhkan, dan jika mereka menikah dengan pasangan kolok, keturunan yang kemungkinan besar didapatkan adalah kolok. Sebaliknya, jika mereka menikah dengan pasangan normal, keturunan yang didapatkan adalah normal. Penelitian ini pula menemukan bahwa ada hubungan antara teori belajar sosial yang mempengaruhi terbentuknya suatu
Analisa perilaku..., Astari Wardiah, FKM UI, 2013
perilaku. Lingkungan mengajarkan informan untuk mengerti dan memahami perilaku yang mereka jalankan. 4. Pengetahuan Tentang Perkawinan Sebagian besar informan tidak dapat menjelaskan arti dari perkawinan. Alasan informan untuk menikah dengan kolok adalah atas dasar kasihan dan tidak ada pilihan lain. Menurut teori timbulnya perilaku menurut Maslow, perilaku manusia terbentuk karena adanya kebutuhan (Maulana, 2009 dalam Aliya Ayunita, 2012). Maslow menyatakan bahwa terdapat lima hierarki kebutuhan dasar manusia yaitu kebutuhan fisiologis; kebutuhan keselamatan dan keamanan; kebutuhan mencintai dan dicintai; kebutuhan harga diri; serta kebutuhan aktualisasi diri (Asmadi, 2008 dalam Aliya Ayunita). Dari alasan informan untuk menikah dengan kolok adalah salah satu bentuk kebutuhan biologisnya yaitu ingin memperoleh kebahagiaan, melanjutkan keturunan dan memenuhi kebutuhan. Keuntungan yang sebagian besar informan rasakan ketika menikah dengan kolok adalah kemudahan berkomunikasi dan mudah menyampaikan sesuatu yang informan inginkan pada pasangan. Kerugian yang sebagian besar informan rasakan ketika menikah dengan kolok adalah kemungkinan kecil untuk dapat memiliki keturunan normal. 5. Sikap terhadap Perkawinan (Gibson,1987 dalam Tin Elasari, 2001) menyatakan bahwa perilaku seseorang dipengaruhi oleh faktor psikologis yang terdiri dari persepsi, sikap, kepribadian, belajar, dan motivasi. Pengukuran sikap dapat diukur dari teknik sederhana sampai teknik yang kompleks. Teknik sederhana yang dapat dilakukan dengan mengelompokkan dalam dua kategori, yaitu suka atau tidak suka, ya atau tidak dan lain sebagainya (dalam Loverria Sekarrini, 2011). Dari hasil penelitian ini, seluruh informan menganggap perkawinan pasangan kolok adalah hal yang biasa di lingkungan mereka. Informan sebagian besar setuju mengenai perkawinan kolok di Desa Bengkala. Seluruh informan mengakui merasa senang dapat menikah dengan pasangan kolok. 6. Keluarga (Role Model) Keluarga adalah kumpulan dua orang atau lebih yang hidup bersama dengan keterikatan aturan, emosional dan individu mempunyai peran masing-masing yang merupakan bagian
Analisa perilaku..., Astari Wardiah, FKM UI, 2013
dari keluarga (Friedman, 1998). Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya (Suprajitno, 2004). Dalam penelitian ini menemukan bahwa peran keluarga sangat mempengaruhi terbentuknya perilaku dalam memilih pasangan kolok. Dari hasil gambaran silsilah keluarga dari informan, ditemukan bahwa sebagian besar informan memiliki keturunan bisu tuli. Hal ini menjadi penemuan bahwa keluarga merupakan role model yang pertama kali dilihat oleh informan dalam menjalankan perilakunya. Sebagian informan mengakui meniru perilaku menikah dengan pasangan kolok dari Ayah Ibu nya, kakak, dan tetangga. 7.
Kebudayaan (Proses Perkawinan)
Masyarakat Bali seperti juga masyarakat lainnya di Indonesia, menganggap perkawinan sesuatu yang penting bagi kehidupan seseorang. Hal ini dikarenakan seseorang barulah dianggap penuh sebagai warga masyarakat dengan memperoleh hak-hak dan kewajibannya, baik dalam kelompok kerabatnya maupun dalam suatu komuniti, setelah ia kawin (Sri Saadah Herutomo, 1991). Proses perkawinan yang terjadi di Desa Bengkala tidak dibedakan antara pasangan normal maupun dengan pasangan kolok. Perbedaan hanya terletak pada kewajiban yang dikenakan pada pasangan. Pasangan normal diberikan kewajiban untuk membayar upeti (pajak) bagi setiap upacara adat yang ada di desa, sedangkan pasangan kolok tidak dibebankan untuk membayar upeti, tetapi diwajibkan untuk memberikan sumbangan tenaga ketika upacara adat berlangsung. Upaya preventif yang dapat dilakukan dalam menekan angka bisu tuli di Desa Bengkala adalah dengan memberdayakan taruna-taruni desa dalam memberikan pemahaman dari sebuah proses perkawinan, kemudian memberikan intervensi yang bersifat persuasif pada remaja kolok di desa. 8.
Symbolic Model (Paparan Media)
Bovee menyatakan media adalah sebuah alat yang mempunyai fungsi menyampaikan pesan (Sanaky,2011). Media juga merupakan alat bantu dalam proses belajar mengajar baik dalam pendidikan formal maupun informal (Widada, 2010). Dalam proses pembelajaran media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan (bahan pembelajaran), sehingga dapat merangsang perhatian, minat, pikiran dan perasaan siswa dalam kegiatan belajar untuk mencapai tujuan belajar (Santyasa, 2007).
Analisa perilaku..., Astari Wardiah, FKM UI, 2013
Hasil penelitian menemukan bahwa pemanfaatan media tidak berpengaruh pada perilaku yang dijalankan. Hal ini dikarenakan keterbatasan informan yang tidak dapat menyerap informasi yang ada pada media. Sebagian besar informan memiliki televisi, akan tetapi tidak pernah mendapatkan informasi dari media terutama mengenai ketunarunguan. KESIMPULAN
1. Karakteristik Demografis (Pendidikan dan Usia) a. Pendidikan dari seluruh informan sangat rendah. Seluruhnya tidak bersekolah. Hal ini dikarenakan latar belakang ekonomi yang sangat rendah, sehingga informan tidak ada yang bersekolah. Seluruh nya tidak bersekolah. Pendidikan berpengaruh pada keyakinan informan dalam berperilaku, memilih pasangan kolok. b. Rentang usia informan berkisar antara 40 – 60 tahun. Tidak ada perbedaan pengaruh yang terlihat dari pembagian usia menurut kriteria pada informan. Usia tidak begitu berpengaruh dalam terbentuknya perilaku memilih pasangan kolok di Desa Bengkala. 2. Self Efficacy a. Mastery Experiences - Seluruh pasangan informan mengakui bahwa perkawinan yang terjadi tidak didasarkan atas cinta dari keduanya. Tetapi atas dasar kasihan dan tidak ada pilihan lain. Pendidikan yang rendah mereka akui mempengaruhi mereka dalam memilih pasangan. Pendidikan yang rendah, berpengaruh pada tingkat ekonomi, dan hal tersebut berpengaruh pula pada tingkat kepercayaan diri mereka dalam memilih pasangan normal. b. Social Modeling - Sebagian besar informan meniru perilaku memilih pasangan kolok dari lingkungan sosialnya. Pemodelan perilaku yang berhasil dilakukan lingkungan membuat informan meniru dan menjadikannya contoh dalam menikah dengan pasangan kolok. - Sebagian besar informan meniru keluarga mereka dalam memilih pasangan, antara lain Ayah dan Ibu, kakak, serta tetangga. - Sebagian besar informan (3 dari 4 pasang informan) ada yang berkeinginan untuk menikah dengan pasangan normal, akan tetapi karena merasa malu dan tidak memilingi uang, akhirnya informan menikah dengan pasangan kolok. Sebagian informan lain mengakui hanya ingin menikah dengan pasangan kolok. Karena merasa mudah untuk berkomunikasi. c. Social Persuasion
Analisa perilaku..., Astari Wardiah, FKM UI, 2013
- Dalam dukungan lingkungan sosial informan, sebagian besar mendukung perkawinan kolok. Hal ini dikarenakan banyak keluarga informan yang kawin juga dengan kolok. - Informan yang sebelumnya pernah menikah dengan pasangan normal mengakui tidak disetujui oleh keluarganya untuk menikah dengan pasangan kolok. - Semakin besar social persuasion yang diberikan semakin kuat pula keyakinan yang terbentuk untuk berperilaku. d. Physical & Emoticon States - Seluruh informan yang memiliki riwayat keluarga kolok¸merasa tidak malu menjadi kolok dan menikah dengan pasangan kolok dan merasa hal tersebut biasa-biasa saja. - Informan yang riwayat keluarganya berasal dari keluarga normal, awalnya merasa malu menikah dengan kolok , akan tetapi setelah itu menjadi biasa saja karena melihat banyak nya perkawinan kolok di Desa Bengkala. 3. Pengetahuan Tentang Istilah Kolok - Seluruh informan memahami istilah kolok dan pengertiannya. - Sebagian besar informan mengalami bisu tuli sejak lahir, dan sebagian lain karena sakit di masa kecilnya. - Seluruh informan memahami, jika mereka menikah dengan kolok¸keturunan yang diperoleh pun kemungkinan besar akan kolok. - Seluruh informan mengakui tidak dapat disembuhkan dari bisu tuli. 4. Pengetahuan Tentang Perkawinan - Seluruh informan tidak dapat menjelaskan arti dari perkawinan - Alasan untuk menikah dengan kolok adalah atas dasar kasihan dan tidak ada pilihan lain. - Keuntungan yang dirasakan informan ketika menikah dengan kolok adalah kemudahan berkomunikasi dan mudah menyampaikan sesuatu yang informan inginkan pada pasangan. - Kerugian yang sebagian besar informan rasakan ketika menikah dengan kolok adalah kemungkinan kecil untuk dapat memiliki keturunan normal 5. Sikap terhadap Perkawinan - Seluruh informan menganggap perkawinan pasangan kolok adalah hal yang biasa di lingkungan mereka. - Seluruh informan mengakui merasa senang dapat menikah dengan pasangan kolok. 6. Keluarga (Role Model) - Sebagian informan mengakui meniru perilaku menikah dengan pasangan kolok dari Ayah Ibu nya, kakak, dan tetangga. 7. Kebudayaan (Proses Perkawinan)
Analisa perilaku..., Astari Wardiah, FKM UI, 2013
- Proses perkawinan yang terjadi di Desa Bengkala tidak dibedakan antara pasangan normal maupun dengan pasangan kolok. - Perbedaan hanya terletak pada kewajiban yang dikenakan pada pasangan. Pasangan normal diberikan kewajiban untuk membayar upeti (pajak) bagi setiap upacara adat yang ada di desa, sedangkan pasangan kolok tidak dibebankan untuk membayar upeti, tetapi diwajibkan untuk memberikan sumbangan tenaga ketika upacara adat berlangsung. - Remaja diakui oleh informan kunci (K2, K3) perlu untuk mendapatkan pemahaman mengenai proses perkawinan dan intervensi, terutama untuk remaja kolok yang nantinya juga akan mengalami perkawinan. 8. Symbolic Model (Paparan Media) - Sebagian besar informan memiliki televisi, akan tetapi tidak pernah mendapatkan informasi dari media mengenai ketunarunguan. 9. Faktor resiko yang diketahui dari penelitian ini adalah : - Informan mengetahui bahwa ketika mereka menikah dengan kolok, keturunan yang dibawa juga akan kolok. - Informan merasa nyaman saja dengan lingkungannya, karena kerabat, tetangga, keluarga mereka banyak yang menikah dengan kolok. - Informan yang pernah menikah dengan orang normal lalu bercerai mengakui bahwa komunikasi menjadi salah satu hambatan, jika mereka menikah dengan orang normal, sangat sulit jika meminta atau menyampaikan sesuatu. 10. Faktor protektif adalah suatu kondisi dalam suatu lingkup individu, keluarga, masyarakat, atau komunitas yang lebih luas yang dalam hal ini mengurangi atau menghilangkan risiko dalam masyarakat. Dalam penelitian ini faktor protektif adalah : - Apabila diberi intervensi dari lingkungan, informan ingin menikah dengan pasangan normal. Artinya, jika ada intervensi yang kuat dari lingkungan, maka perubahan perilaku akan mudah terbentuk. -
Beberapa informan merasa malu menikah dengan kolok. Artinya, informan menyadari akan kapasitas dirinya, dengan tidak adanya dukungan dari lingkungan sosial self efficacy yang terbentuk pun semakin rendah.
- Sebagian besar informan menyadari jika mereka menikah dengan kolok, maka keturunan yang dihasilkan pun akan kolok.
Analisa perilaku..., Astari Wardiah, FKM UI, 2013
11. Faktor promotif adalah faktor yang menjadi suatu upaya dalam meingkatkan kesehatan masyarakat di suatu komunitas tertentu. Dalam penelitian ini, hal yang menjadi faktor promotif adalah : -
Hampir seluruh kerabat informan menikah dengan pasangan kolok. tentunya peranan Pemuka Adat, Ketua Paguyuban Kolok dan Kepala Desa dalam hal ini mengupayakan untuk memberikan pengetahuan mengenai perkawinan, melalui pendekatan persuasif kepada masyarakat.
Bagi Pemerintahan Desa Bengkala 1. Pengingkatan sarana pendidikan (SMP dan SMA) di Desa Bengkala, mengingat rendahnya tingkat pendidikan masyarakat desa Bengkala. 2. Adanya sosialisasi dari Pemuka Adat, Perbekel Desa, dan Ketua Paguyuban kolok kepada masyarakat dalam peningkatan pengetahuan mereka dalam memahami arti dari perkawinan dalam upaya peningkatan social persuasion bagi masyarakat desa. 3. Adanya sosialisasi yang diberikan untuk remaja kolok yang nantinya akan melangsungkan perkawinan, hal ini untuk menekan angka bisu tuli di Desa Bengkala. 4.
Mengajak beberapa stakeholder desa (Puskesmas, Sekolah, Kecamatan) untuk dapat bekerja sama dalam meningkatkan pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi dan perkawinan bagi generasi muda kolok di Desa Bengkala.
5. Memberdayakan taruna-taruni untuk dapat menjadi pendidik sebaya bagi remaja kolok desa Bengkala. 6. Menggunakan fasilitas dan tenaga Puskesmas dalam rangka mensosialisasikan pendidikan kesehatan reproduksi bagi remaja kolok di Desa Bengkala 7.
Mengajak organisasi non pemerintah yang fokus terhadap permasalahan tunarungu (GERKATIN dan PORTURIN) dalam membantu memberikan edukasi kepada masyarakat desa.
Bagi Penelitian Selanjutnya Dilakukannya penelitian lain dengan menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan variabel-variabel lain yang lebih lengkap sehingga bisa melengkapi hasil penelitian ini.
Analisa perilaku..., Astari Wardiah, FKM UI, 2013
Selanjutnya mengembangkan penelitian lain dengan melihat efektifitas konseling perkawinan untuk menekan angka populasi bisu tuli di Desa Bengkala. KEPUSTAKAAN Ayunita, Aliya. (2012). Kajian Pengunaan Layanan Unit Pelaksana Teknis Terapi dan Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional (UPT T & R BNN) Lido, Sukabumi. Skripsi Universitas Indonesia Badan Pusat Statistik. (2010) http://digilib.its.ac.id/public/ITS-Undergraduate-18947-Chapter1-599761.pdf. Agustus 2013)
(27
Bandura, A. (2006). Self-efficacy in health functioning. In S. Ayers, et al. (Eds.). Cambridge handbook of psychology, health & medicine (2nd ed.). New York: Cambridge University Press. Bandura, A. (2006). Social cognitive theory. In S. Rogelberg (Ed.). Encyclopedia of Industrial/Organizational Psychology. Beverly Hills: Sage Publications. Bandura, A. (2005). Evolution of social cognitive Ktheory. In K. G. Smith & M. A. Hitt (Eds.), Great minds in management (pp. 9-35). Oxford: Oxford University Press. Bandura, A. (2005). Primacy of self-regulation in health promotion transformative mainstream. Applied Psychology: An International Review, 54, 245-254. Bandura, A. (2004). Health promotion by social cognitive means. Health Education & Behavior, 31, 143-164. Bandura, A. (2004). Modeling. In E. W. Craighead & C. B. Nemeroff (Eds.). The concise Corsini Encyclopedia of psychology and behavioral sciences (pp. 575-577). New York: Bandura, A. (2004). Self-efficacy. In E. W. Craighead & C. B. Nemeroff (Eds.). The concise Corsini Encyclopedia of psychology and behavioral sciences. (pp. 859-862). New York: Wiley. Bandura, A. (2004). Social cognitive theory for personal and social change by enabling media. In A. Singhal, M. J. Cody, E. M. Rogers, & M. Sabido (Eds.), Entertainmenteducation and social change: History, research, and practice (pp. 75-96). Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum. Bandura, A. (2003). Observational learning. In J. H. Byrne (Ed.), Encyclopedia of learning and memory. (2nd ed., pp. 482-484). New York: Macmillan. Desi, Putri. (2012). Peningkatan Kemampuan Operasi Penjumlahan Pada Mata Pelajaran Matematika dengan Bantuan Media Gambar Spongebob Bagi Siswa Tunarungu. Skripsi Universitas Negeri Yogyakarta. http://eprints.uny.ac.id/7875/3/bab%202%20-%2007103241041.pdf (4 Juli 2013) Data Sekunder Desa Bengkala, Bali (2012). Data Sekunder Desa Bengkala, Bali (2013).
Analisa perilaku..., Astari Wardiah, FKM UI, 2013
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1983). Kelakuan di Lingkungan Pergaulan Keluarga dan Masyarakat Setempat Daerah Bali. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1983). Upacara Tradisional Daerah Bali. Friedman & Schustack. (2008). Self Efficacy. http://library.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/natalia%20bab%202.pdf (25 Agustus 2013). Skripsi Universitas Bina Nusantara Friedman, Thomas B. (1998). Genetic Mapping Refines DFNB3 to 17p11.2, Suggests Multiple Alleles of DFNB3, and Supports Homology to the Mouse Model shaker-2. Laboratory of Molecular Genetics, National Institute on Deafness and Other Communication Disorders, 1998. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/9529344 (20 September 2013) Herutomo, Sri Saadah. (1991). Dampak Perkawinan Campuran Terhadap Tatakrama Daerah Bali. Direktorat Jenderal Kebudayaan, 1991. I Gede Marsaja. (2008). Desa Kolok-A Deaf Village and Its Sign Language in Bali, Indonesia, Ishara Press Stichting DEF Wundtlaan, The Netherlands. Juneman, dkk. (2013). Psikologi Konseling Pastoral : Konteks Pranikah, Pernikahan, dan Keluarga. Kanisius, Yogyakarta, 2013. Kajian Pustaka Tentang Tunarungu, 2007 http://eprints.uny.ac.id/7875/3/bab%202%20-%2007103241041.pdf, 2013)
(23
September
Kementerian Kesehatan. (2013). Pusat Komunikasi Publik Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. Kingsbury, D. S. Marital quality and stability in Deaf-Deaf and Deaf-hearing couples. Master’s thesis submitted to Bethel University, St. Paul, MN, 2011. Marriages among The Deaf . United States. http://www.southalabama.edu/oll/mobile/theory_workbook/social_learning_theory.htm (25 September 2013) Marshall, Rick. (2009). Deaf-‐Hearing Relationships: Happily Ever After?. United
States, 2009.
McIntosh, Anne. (2006). Marital Satisfaction and Conflict Styles in Deaf-Hearing Couples: A Comparison. Master’s thesis submitted to Central Piedmont Community College, 2006. Mosier, Anthony C. (1999). Marital Quality in Deaf-Deaf and Deaf Hearing Marriages. Master’s thesis submitted, 1999. Nance. (2004). A high rate of marriage among deaf individuals can explain the increased frequency of connexin deafness in the United States. www.vcu.edu. (25 September 2013).
Analisa perilaku..., Astari Wardiah, FKM UI, 2013
Nemati, Shahrooz. (2011). Prevalence of Consanguineous Marriage among Parents of Deaf and Normal Children in Ardabil, North Western Iran. University of Tehran, Iran, 2011. PB, Prabowo. (2012). Research Bengkala Village. http://prabowoprasetyobudi.blogspot.com (22 Agustus 2013) Peck, Jane Cary. (1993). Wanita dan Keluarga. Yogyakarta : Kanisius, 1993. Pertiwi, Ni Nyoman Murni Ari. (2011). Perkembangan Sekaa Janger Kolok di Desa Bengkal, Kubutambahan, Buleleng Periode 1998-2011. Universitas Pendidikan Ganesha, 2011. Puja, Gede. (1983). Naskah Tata Kelakuan di lingkungan pergaulan keluarga dan masyarakat setempat daerah Bali. Kitab Manawa Dharmasastra, 1983. Riyadi, Agus. 2012. Epidemiologi Genetik Penderita Tuli Bisu pada Masyarakat Kolok di Desa Bengkala, Bali Utara Tahun 2012. Skripsi Universitas Indonesia. Social Learning Theory. http://www.southalabama.edu/oll/mobile/theory_workbook/social_learning_theory.htm, (23 September 2013) Sudarsono. (2005). Hukum Perkawinan Nasional Taufik, M. (2010). Analisis Penyebab Perilaku Hubungan Seksual Pra Nikah Pada Remaja di Kota Pontianak (Studi Kualitatif). Skripsi Universitas Indonesia. Tri, Nora. (2012). Penerapan Metode Mind Map untuk Meningkatkan Kemampuan Membaca Pemahaman Siswa Tunarungu Kelas 3 di SLB As Syifa Lombok Timur. Skripsi Universitas NegerI Yogyakarta. http://eprints.uny.ac.id/7879/3/bab2%20-%2007103241035.pdf (25 Agustus 2013) Turner, Oliver. (2007). Suicide in deaf populations: a literature review. Published on Annals of General Psychiatry, 2007.
Analisa perilaku..., Astari Wardiah, FKM UI, 2013