ANALISA KADAR ZAT PEWARNA KUNING PADA TAHU YANG DIJUAL DI PASAR-PASAR DI MEDAN, TAHUN 2008
SKRIPSI
Oleh:
Veronica Margaret Sihombing NIM. 021000006
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2008
Veronica Margaret Sihombing : Analisa Kadar Zat Pewarna Kuning Pada Tahu Yang Dijual Di Pasar-Pasar..., 2008 USU Repository © 2009
2
HALAMAN PERSETUJUAN Skripsi Dengan Judul : ANALISA KADAR ZAT PEWARNA KUNING PADA TAHU YANG DIJUAL DI PASAR-PASAR DI MEDAN, TAHUN 2008
Yang dipersiapkan dan diseminarkan oleh :
Veronica Margaret Sihombing NIM. 021000006
Skripsi ini telah diperiksa dan disetujui untuk diseminarkan di hadapan peserta seminar Bagian Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Oleh : Dosen Pembimbing Skripsi Dosen Pembimbing I
Dr. Devi Nuraini Santi, Mkes NIP. 132206389
Dosen Pembimbing II
Dr. Surya Dharma, MPH NIP. 131655125
3
ABSTRAK Tahu merupakan suatu produk yang terbuat dari hasil penggumpalan protein kedelai dan dikenal masyarakat sebagai makanan sehari-hari yang umumnya sangat digemari serta mempunyai daya cerna yang tinggi. Pada proses pembuatan tahu produsen cenderung menambahkan pewarna kuning untuk memperbaiki penampakan makanan sehingga memberi kesan menarik bagi konsumen. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis dan kadar pewarna kuning pada tahu kuning yang dijual di sepuluh pasar di Medan yaitu Pasar Simpang Melati, Pasar Sei Sikambing, Pasar Kampung Lalang, Pasar Petisah, Pasar Sambas, Pasar Sukaramai, Pasar Simpang Limun, Pasar Perguruan, Pasar Rame, Pasar Kampung Keling. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah survei bersifat deskriptif. Berdasarkan data primer yang diperoleh dari sepuluh pasar dilakukan pemeriksaan laboratorium secara kualitatif dan kuantitatif terhadap kandungan pewarna pada tahu kuning. Penentuan jenis pewarna dilakukan dengan metode ekstraksi dan penentuan kadar pewarna dilakukan dengan metode gravimetri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari sepuluh sampel yang diperiksa dari kesepuluh pasar maka diperoleh dalam enam sampel terdapat pewarna alami dan empat lainnya menggunakan pewarna sintetik methanyl yellow dengan kadar pewarna tertinggi yaitu 0,0029 mg/kg dan terendah yaitu 0,0002 mg/kg. Berdasarkan pemeriksaan terhadap tahu kuning diperoleh kenyataan bahwa penggunaan pewarna kuning berbahaya seperti methanyl yellow pada tahu kuning masih banyak digunakan oleh produsen yang bertujuan untuk memperbaiki penampakan makanan sehingga memberi kesan menarik bagi konsumen, hal ini tidak sesuai dengan peraturan yang telah ada serta mempunyai dampak yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Perlu adanya penyuluhan, pengawasan dan evaluasi berkala dan konsisten bagi para produsen tahu tentang penggunaan pewarna kuning pada tahu kuning yang tidak membahayakan kesehatan.
Kata kunci : Tahu kuning, Pewarna Kuning
4
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
: VERONICA MARGARET SIHOMBING
Tempat/Tanggal Lahir
: Pematangsiantar/25 Maret 1984
Agama
: Kristen Protestan
Status Perkawinan
: Belum Kawin
Jumlah Bersaudara
: 2 (dua) orang
Alamat Rumah
: Jl. Gereja No.77B, Pematangsiantar-21125
Riwayat Pendidikan : 1. TK Kalam Kudus Pematangsiantar
1989 – 1990
2. SD Kalam Kudus Pematangsiantar
1990 – 1996
3. SMP Bintang Timur Pematangsiantar
1996 – 1999
4. SMU Budi Mulia Pematangsiantar
1999 – 2002
5. Fakultas Kesehatan Masyarakat USU
2002 – 2008
5
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas berkat, kasih dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul : “Analisa Kadar zat Pewarna Kuning pada Tahu yang dijual di Pasar di Medan Tahun 2008”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan guna memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Medan. Penulis menyadari bahwa dalam penyajian skripsi ini mungkin masih terdapat kekurangan yang harus diperbaiki, maka penulis mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak yang sifatnya membangun dan memperkaya materi skripsi ini. Dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak yaitu secara moril maupun materil. Untuk itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. dr. Ria Masniari Lubis, M.Si selaku Dekan Fakultas Masyarakat Universitas Sumatera Utara. 2. Ir. Indra Chahaya S., M.Si, selaku Kepala Bagian Departemen Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. 3. dr. Devi Nuraini Santi, Mkes selaku Dosen Pembimbing Skripsi I dan dr. Surya Dharma, MPH selaku Dosen Pembimbing Skripsi II yang telah banyak memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis. 4. Dra. Nurmaini, MKM, selaku dosen Pembimbing Akademi di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
6
5. Seluruh dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara beserta seluruh pegawai dan karyawan terkhusus Kak Dian yang membantu dalam kelancaran skripsi ini. 6. Dra. Norma Sinaga, selaku Kepala Laboratorium Toksikologi Kesehatan Medan yang telah memberikan petunjuk dan saran dalam penelitian penulis. 7. Prof.Dr.Harlem Marpaung selaku Kepala Bagian Laboratorium Kimia Analitik Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara. 8. Bapak, Mama, Kak Vera, Bang Hisar serta keponakan terkasih dan juga Adi Guna Tarigan tersayang. Terimakasih untuk segenap kasih sayang yang dituangkan dalam doa dan dukungan moril serta materil yang tiada hentinya kepada penulis. 9. Seluruh teman-teman angkatan ’02 terkhusus teman-teman K’Sandes, Eva, Wawa, Ani serta Yanti dan Arta dan juga KK Tamariska. Terima kasih untuk doa dan dukungannya kepada penulis. 10. Teman-teman Tim Fasilitator UKM KMK USU terkhusus periode 2006/2007 serta seluruh koordinasi UP POMK FKM USU terkhusus periode 2005/2006. 11. Semua pihak yang telah membantu kelancaran skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan di masa mendatang. Medan, Juni 2008 Penulis VERONICA MARGARET S.
7
DAFTAR ISI Halaman Persetujuan .......................................................................... i Abstrak ................... ........................................................................... ii Riwayat Hidup Penulis...................................................................... iii Kata Pengantar ....... .......................................................................... iv Daftar Isi ................ .......................................................................... vi Daftar Tabel ........... ........................................................................ viii BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ................................................................ 1 1.2. Perumusan Masalah ........................................................ 3 1.3. Tujuan Penelitian ............................................................ 4 1.3.1. Tujuan Umum .............................................................. 4 1.3.2. Tujuan Khusus ............................................................. 4 1.4. Manfaat Penelitian .......................................................... 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Asal Mula Tahu............................................................... 5 2.2. Syarat Kualitas Tahu ....................................................... 6 2.3. Aneka Tahu Komersial ................................................... 8 2.4. Pembuatan Tahu............................................................ 10 2.4.1. Tahap Persiapan ......................................................... 10 2.4.2. Tahap Proses Produksi ............................................... 14 2.4.3. Tahap Finishing.......................................................... 19 2.5. Pewarna Makanan ......................................................... 20 2.5.1. Peraturan Pemakaian Zat Pewarna untuk Makanan... 23 2.6. Pewarna pada Tahu ....................................................... 28 2.7. Dampak Zat Pewarna pada Kesehatan.......................... 30 2.8. Kerangka Konsep .......................................................... 32 BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Rancangan Penelitian .................................... 33 3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................ 33
8
3.2.1. Lokasi Penelitian........................................................ 33 3.2.2. Waktu Penelitian ........................................................ 33 3.3. Objek Penelitian ............................................................ 33 3.4. Metode Pengumpulan Data ........................................... 34 3.4.1. Data Primer ................................................................ 34 3.4.2. Data Sekunder ............................................................ 34 3.5. Defenisi Operasional..................................................... 34 3.6. Pemeriksaan Pewarna.................................................... 35 3.6.1. Penentuan Jenis Zat Pewarna pada Tahu Kuning ..... 35 3.6.2. Penentuan Kadar Zat Pewarna pada Tahu Kuning .... 37 3.7. Pengolahan dan Analisa Data........................................ 39 BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1. Hasil Pemeriksaan Kualitatif......................................... 40 4.2. Hasil Pemeriksaan Kuantitatif....................................... 42 BAB V PEMBAHASAN 5.1. Hasil Pemeriksaan Kualitatif......................................... 45 5.2. Hasil Pemeriksaan Kuantitatif....................................... 47 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ................................................................... 50 6.2. Saran.... ......................................................................... 51 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
9
DAFTAR TABEL Tabel 2.1. Zat pewarna bagi Makanan dan Minuman yang Diijinkan di Indonesia ............. ......................................................................... 25 Tabel 2.2. Zat Warna Tertentu yang Dinyatakan sebagai Bahan Berbahaya dalam Obat dan Makanan.............................................................. 26 Tabel 2.3. Peraturan Menteri Kesehatan RI tentang Bahan Makanan Berupa Zat Pewarna Kuning Buatan yang Diijinkan.................... 27 Tabel 2.4. Pewarna Makanan yang Dapat Digunakan dalam Pembuatan Tahu .................... ......................................................................... 29 Tabel 4.1. Hasil Identifikasi Jenis Pewarna pada Tahu Kuning yang Dijual di Pasar-pasar di Medan Tahun 2008............................................ 40 Tabel 4.2. Hasil Pemeriksaan Zat Pewarna Kuning pada Tahu Kuning yang Dijual di Pasar-pasar di Medan Tahun 2008................................. 41 Tabel 4.3. Hasil Pemeriksaan Kadar Zat Pewarna Kuning pada Tahu Kuning yang Dijual di Pasar-pasar di Medan Tahun 2008 dalam Satuan Volume ................................................................... 42 Tabel 4.4. Density Larutan yang Mengandung Pewarna ................................ 44 Tabel 4.5. Hasil Pemeriksaan Kadar Zat Pewarna Kuning pada Tahu Kuning yang Dijual di Pasar-pasar di Medan Tahun 2008 dalam Satuan Berat ........ ......................................................................... 44
10
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Makanan adalah salah satu kebutuhan dasar manusia. Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak terlepas dari makanan. Sebagai kebutuhan dasar makanan tersebut harus mengandung zat gizi untuk dapat memenuhi fungsinya dan aman dikonsumsi karena makanan yang tidak aman dapat menimbulkan gangguan kesehatan bahkan keracunan (Sjahmien, 1992). Salah satu makanan yang mengandung zat gizi adalah tahu. Tahu merupakan makanan yang populer di masyarakat Indonesia walaupun asalnya dari Cina. Kepopuleran tahu tidak hanya terbatas karena rasanya enak, tetapi juga mudah untuk membuatnya dan dapat diolah menjadi berbagai bentuk masakan serta harganya murah. Selain itu, tahu merupakan salah satu makanan yang menyehatkan karena kandungan proteinnya yang tinggi serta mutunya setara dengan mutu protein hewani. Hal ini bisa dilihat dari NPU (Net Protein Utility) tahu yang mencerminkan banyaknya protein yang dapat dimanfaatkan tubuh, yaitu sekitar 65 persen (Anonimous, 2005). Tahu merupakan suatu produk yang terbuat dari hasil penggumpalan protein kedelai. Tahu dikenal masyarakat sebagai makanan sehari-hari yang umumnya sangat digemari serta mempunyai daya cerna yang tinggi (Koswara, 1992). Oleh karena itu, tahu dapat dikonsumsi oleh segala lapisan masyarakat dan ikut menunjang peranan dalam pola makanan sehari-hari di Indonesia sebagai lauk
11
pauk dan juga makanan ringan. Tahu juga mengandung zat gizi yang penting lainnya, seperti lemak, vitamin, dan mineral dalam jumlah yang tinggi (Winarno, 1983). Selain memiliki kelebihan, tahu juga mempunyai kelemahan yaitu kandungan airnya yang tinggi sehingga mudah rusak karena mudah ditumbuhi mikroba. Untuk memperpanjang masa simpan, kebanyakan industri tahu yang ada di Indonesia menambahkan pengawet. Bahan pengawet yang ditambahkan tidak terbatas pada pengawet yang diizinkan, tetapi banyak pengusaha yang menambahkan formalin. Selain itu banyak juga yang menambahkan pewarna methanyl yellow. Formalin dan methanyl yellow merupakan bahan tambahan makanan yang dilarang penggunaannya dalam makanan menurut peraturan Menteri Kesehatan (Menkes) Nomor 1168/Menkes/PER/1999 (Mudjajanto, 2005). Pewarna makanan merupakan bahan makanan tambahan pangan yang dapat memperbaiki penampakan makanan. Penambahan bahan pewarna makanan mempunyai beberapa tujuan, di antaranya adalah memberi kesan menarik bagi konsumen, menyeragamkan dan menstabilkan warna, serta menutupi perubahan warna akibat proses pengolahan dan penyimpanan. Secara garis besar pewarna dibedakan menjadi dua, yaitu pewarna alami dan sintetik. Pewarna alami yang dikenal di antaranya adalah daun suji (warna hijau), daun jambu/daun jati (warna merah), dan kunyit untuk pewarna kuning. Kelemahan pewarna alami ini adalah warna yang tidak homogen sehingga sulit menghasilkan warna yang stabil serta ketersediaannya yang terbatas, sedangkan kelebihannya adalah aman untuk dikonsumsi (Syah, 2005).
12
Jenis lain adalah pewarna sintetik. Pewarna jenis ini mempunyai kelebihan, yaitu warnanya homogen dan penggunaannya sangat efisien karena hanya memerlukan jumlah yang sangat sedikit. Akan tetapi, kekurangannya adalah jika pada saat proses terkontaminasi logam berat, pewarna jenis ini akan berbahaya. Selain itu, khusus untuk makanan di Indonesia, terutama industri kecil dan industri rumah tangga, makanan masih sangat banyak mengunakan pewarna non makanan (pewarna untuk pembuatan cat dan tekstil) (Mudjajanto, 2005). Dari hasil penelitian G. Nainggolan-Sihombing (2001), yaitu beberapa macam makanan terolah berwarna kuning yang dijual di Jakarta telah diperiksa mengenai bahan pewarna yang digunakan. Ditemukan bahwa tempe dan tahu mengandung bahan pewarna non-pangan methanyl yellow. Penelitian Tresniani (2003) di Tangerang menunjukkan terdapat 20 industri tahu yang terdiri dari 11 industri tahu kuning dan sembilan industri memproduksi tahu putih. Kandungan formalin tahu berkisar dari 2-666 ppm, sedangkan kandungan methanyl yellow-nya terdapat pada tiga jenis tahu yang semuanya diperoleh dari pasar, yaitu berkisar antara 3,41-10,25 ppm (Mudjajanto, 2005).
1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka yang menjadi permasalahan yaitu bahwa di beberapa kota telah ditemukan tahu yang mengandung zat pewarna non pangan, untuk itu perlu diketahui jenis dan kadar zat pewarna kuning yang digunakan pada tahu yang dijual di beberapa pasar di kota Medan memenuhi persyaratan atau tidak.
13
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum Untuk mengetahui kandungan zat pewarna yang digunakan pada tahu kuning yang dijual di beberapa pasar di kota Medan. 1.3.2.
Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui jenis zat pewarna kuning yang terdapat dalam tahu kuning yang dijual di beberapa pasar di kota Medan. 2. Untuk mengetahui kadar zat pewarna kuning yang terdapat dalam tahu kuning yang dijual di beberapa pasar di kota Medan.
1.4. Manfaat Penelitian 1. Sebagai
informasi
bagi
konsumen
untuk
mengetahui
keamanan
mengkonsumsi tahu kuning juga sebagai petunjuk bagi produsen dalam hal memproduksi produknya. 2. Sebagai bahan masukan kepada penelitian selanjutnya dalam meneliti masalah tahu. 3. Memberikan informasi dan bahan masukan bagi Dinas Kesehatan, Badan POM, Perusahaan Daerah Pasar tentang pemakaian zat pewarna pada tahu kuning yang dijual di beberapa pasar tradisional di kota Medan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Asal Mula Tahu Budaya makan tahu berasal dari Cina karena istilah tahu berasal dari Cina tao-hu atau te-hu. Suku kata tao atau teu berarti kedelai, sedangkan hu berarti lumat menjadi bubur. Secara harafiah, tahu berarti makanan dengan bahan baku kedelai yang dilumatkan menjadi bubur. Tahu tergolong makanan kuno dan berdasarkan pustaka kuno dari Cina dan Jepang, pembuatan tahu dan susu kedelai pertama kali diperkenalkan oleh Liu An pada tahun 164 SM, pada zaman pemerintahan dinasti Han. Liu An yang adalah filsuf, guru, ahli hukum dan ahli politik dan juga mempelajari kimia dan meditasi ini kemudian memperkenalkan tahu kedelai temuannya kepada para biksu. Oleh para biksu cara membuat tahu ini disebarkan ke seluruh dunia sambil mereka menyebarkan agama Budha. Sekarang produk ini telah dikenal seantero dunia dengan berbagai nama. Di Jepang lazim disebut tohu, di negara-negara berbahasa Inggris bernama soybean curd dan tofu. Industri tahu di Indonesia mulai berkembang kemungkinan sejak kaum emigrant Cina menetap dan bermukim di tanah air ini. Usaha ini dikembangkan sebagai mata pencaharian dan tumpuan hidup (Sarwono, 2005 ).
Veronica Margaret Sihombing : Analisa Kadar Zat Pewarna Kuning Pada Tahu Yang Dijual Di Pasar-Pasar..., 2008 USU Repository © 2009
15
2.2. Syarat Kualitas Tahu Tahu merupakan pekatan protein kedelai dalam keadaan basah. Komponen terbesarnya terdiri atas air dan protein. Berdasarkan Standar Industri Indonesia (SII) No. 0270-80, ditetapkan persyaratan mengenai standar kualitas tahu. Standar kualitas tahu dapat dijelaskan sebagai berikut. 1. Air Air yang digunakan dalam proses pengolahan dan pengawetan makanan serta minuman, baik yang digunakan secara langsung (ditambahkan dalam produk), maupun tidak langsung (digunakan dalam proses pencucian, perendaman, dan sebagainya), harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. tidak berasa, tidak berwarna, dan tidak berbau; b. bersih dan jernih; c. tidak mengandung logam/bahan kimia berbahaya; dan d. memiliki derajat kesadahan nol. 2. Protein Komponen utama yang menentukan kualitas produk tahu adalah kandungan proteinnya. Dalam Standar Mutu Tahu, ditetapkan kadar minimal protein dalam tahu, yakni sebesar 9% dari berat tahu. 3. Abu Abu dalam tahu merupakan unsur mineral yang terkandung dalam kedelai. Bila kadar abu terlalu tinggi, berarti telah tercemar oleh kotoran, misalnya : tanah, pasir, dan lain-lain, yang mungkin disebabkan oleh cara penggunaan batu tahu yang kurang benar. Garam (NaCl) termasuk dalam kelompok abu, namun keberadaan
16
garam dalam produk tahu merupakan hal yang disengaja, dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas, daya tahan, dan cita rasa. Kecuali garam, kadar abu yang diperbolehkan ada dalam tahu adalah 1% dari berat tahu. 4. Serat kasar Serat kasar dalam produk tahu dapat berasal dari ampas kedelai dan kunyit (pewarna). Adapun kadar maksimal serat kasar yang diizinkan adalah 0,1% berat tahu. 5. Logam berbahaya Logam berbahaya (As, Pb, Mg, Zn) yang terkandung dalam tahu antara lain dapat berasal dari air yang tidak memenuhi syarat standar air minum serta peralatan yang digunakan, terutama alat penggilingan. 6. Zat pewarna Bahan pewarna yang beredar di pasaran sudah ditentukan penggunaannya, misalnya
untuk
tekstil,
kulit,
cat,
kertas,
makanan,
dan
lain-
lain. Pewarna yang boleh digunakan dalam pembuatan tahu hanyalah pewarna alami (kunyit) serta pewarna yang diproduksi secara khusus untuk makanan. 7. Bau dan rasa Adanya penyimpangan bau dan rasa menandakan telah terjadinya kerusakan (basi/busuk) ataupun pencemaran oleh bahan lain. 8. Lendir dan jamur Keberadaan lendir dan jamur pada tahu menandakan adanya kerusakan atau kebusukan.
17
9. Bahan pengawet Untuk memperpanjang masa simpan, tahu dapat dicampur bahan pengawet yang diizinkan berdasarkan SK Menteri Kesehatan, antara lain sebagai berikut. a. Natrium (sodium) benzoat, dengan dosis 0,1%. b. Nipagin (para amino benzoic acid/PABA), dengan dosis maksimal 0,08% c. Asam propionat, dengan maksimal 0,3%. 10. Bakteri coli Bakteri ini dapat berada dalam produk tahu bilamana dalam proses pembuatannya digunakan air yang tidak memenuhi syarat standar air minum.
2.3. Aneka Tahu Komersial Tahu diperdagangkan dengan berbagai variasi bentuk, ukuran dan nama. Selain tahu putih dan tahu biasa, di pasar juga dikenal berbagai tahu komersial yang sudah memiliki nama dan berciri khas. Misalnya tahu sumedang, tahu bandung, tahu cina, tahu kuning, tahu takwa, maupun tahu sutera (Sarwono, 2005). 1. Tahu Sumedang Tahu Sumedang disebut juga tahu pong atau tahu kulit. Tahu ini merupakan lembaran-lembaran tahu putih setebal sekitar 3 cm dengan tekstur lunak dan kenyal. Tahu putih ini disimpan dalam wadah yang telah berisi air. Tahu putih yang siap olah biasanya dipotong kecil-kecil sebelum digoreng. Tahu gorengnya berupa tahu kulit yang lunak dan kenyal. Isinya kosong (kopong – Jawa) sehingga disebut tahu pong. Tahu Sumedang biasanya dikonsumsi sebagai makanan ringan dan dilalap dengan cabai rawit.
18
2. Tahu Bandung Tahu Bandung berbentuk persegi (kotak), tekstur agak keras dan kenyal, warnanya kuning karena sebelumnya telah direndam air kunyit. Tahu digoreng dengan mengoleskan sedikit minyak di wajan. Tahu ini enak dimakan dengan lalap cabai rawit. 3. Tahu Cina Tahu Cina berupa tahu putih, teksturnya lebih padat, halus dan kenyal dibandingkan tahu biasa. Ukurannya sekitar 12 cm x 12 cm x 8 cm. Ukuran dan bobot tahu relatif seragam karena proses pembuatannya dicetak dan dipres dengan mesin. Dalam pembuatannya, digunakan sioko (kalsium sulfat) sebagai bahan penggumpal protein sari kedelainya. 4. Tahu Kuning Tahu kuning mirip tahu Cina. Bentuknya tipis dan lebar. Warna kuning dikarenakan sepuhan atau larutan sari kunyit. Tahu ini banyak digunakan dalam masakan cina. 5. Tahu Takwa Tahu Takwa merupakan tahu khas Kediri, Jawa Timur. Kalau ditekan, tahunya terasa padat. Proses pengolahan tahu takwa pada prinsipnya sama dengan tahu biasa, hanya terdapat perbedaan dalam perlakuan, terutama pada perendaman kedelai dan pengepresan tahu. Bahan bakunya dipilih kedelai lokal yang berbiji kecil-kecil. Penggumpalan sari kedelai menggunakan asam cuka. Sebelum dipasarkan, tahu takwa dimasak atau dicelup beberapa menit dalam air kunyit mendidih sehingga warnanya menjadi kuning. Tahu dijual dan
19
disimpan dalam keadaan kering tanpa perlu direndam air seperti tahu putih biasa. 6. Tahu Sutera Di pasar swalayan, dapat ditemukan tahu sutera, tahu jepang, atau tofu. Tahu ini sangat lembut dan lunak. Ulu tahu ini mudah sekali rusak sehingga harus diolah. Namun, sekarang proses pembuatannya lebih modern sehingga produknya lebih tahan lama. Oleh karenanya, tahu sutera sekarang disebut juga long life tofu. Tahu yang berasal dari Jepang ini biasanya dikonsumsi sebagai makanan penutup (dessert) dan disajikan sirup jahe agar cita rasanya lebih lezat.
2.4. Pembuatan Tahu Secara umum, proses pembuatan tahu terdiri atas tiga tahap, yaitu tahap persiapan, tahap proses produksi, dan tahap finishing (Suprapti, 2005). 1. Tahap Persiapan Kegiatan pokok pada tahap persiapan meliputi persiapan bahan baku dan persiapan bahan penggumpal. a.
Persiapan bahan Baku Agar proses pembuatan tahu dapat berjalan lancar, maka bahan baku perlu
dipersiapkan terlebih dahulu. Urutan langkah kerja kegiatan persiapan kedelai sebagai bahan baku adalah sebagai berikut. 1) Pembersihan Biji-biji
kedelai
dari
pasar
biasanya
tercampur
dengan
berbagai
kotoran,misalnya kerikil, butiran tanah, kulit ataupun batang kedelai. Agar tidak
20
ikut tergiling, kotoran tersebut harus disisihkan (dibersihkan) terlebih dahulu. Kotoran yang kering dan ringan (kulit dan batang-batang kedelai) dapat dipisahkan dengan cara ditampi. Sementara, pembersihan kotoran yang berat, misalnya kerikil dan butiran tanah, harus dilakukan dengan tangan. 2) Pengeringan Tingkat kekeringan pada kedelai kering hanya cukup untuk memenuhi syarat penyimpanan atau pengawetan, namun belum cukup untuk kedelai yang akan diproses menjadi tahu. Pengeringan lanjut dapat dilakukan dengan cara penjemuran ataupun pemanasan dalam oven dengan suhu 40° C - 60° C. Kedelai yang akan dikeringkan ditebarkan ke atas perangkat penjemuran ataupun lengser aluminium. Pengeringan dilakukan hingga kulit luar kedelai pecah-pecah. Waktu pengeringan atau penjemuran berkisar antara 3 – 7 hari berturut-turut, tergantung kondisi sinar matahari. Tujuan utama proses pengeringan biji kedelai adalah untuk mepermudah pelepasan kulit kedelai dalam proses penggilingan. 3) Pemisahan kulit Setelah kedelai dikeringkan, maka pemisahan kulit kedelai akan mudah dilakukan dengan cara menampinya. 4) Pelunakan Agar kedelai mudah hancur pada saat penggilingan dan dapat diperoleh sari kedelai dalam jumlah maksimal, perlu dilakukan penambahan bahan kimia pelunak yang berupa soda kue. Larutan pelunak dibuat dengan mencampurkan soda kue ke dalam air bersih mendidih dengan konsentrasi 5 g per 10 liter air bersih dan diaduk-aduk agar seluruh soda kue larut. Larutan pelunak diperlukan
21
sebanyak tiga kali volume kedelai yang akan dilunakkan. Untuk tiap 10 kg kedelai kering, diperlukan larutan pelunak sebanyak ± 30 liter. Pelunakan biji kedelai dilakukan dengan merendam kedelai kering pecah-pecah dalam larutan pelunak yang masih panas selama 6 - 24 jam atau sampai kedelai cukup lunak. Apabila diperlukan, kedelai dapat dimasukkan pada saat larutan pelunak masih mendidih dan dibiarkan beberapa saat hingga mendidih kembali. 5) Pencucian dan Penirisan Setelah kedelai mengembang dan cukup lunak, segera diangkat dari dalam larutan pelunak, dicuci, serta dibilas beberapa kali agar benar-benar bersih. Soda kue yang masih tersisa akan dapat menyebabkan rasa pahit, maka kedelai tersebut harus ditiriskan. Kedelai tanpa kulit yang telah lunak akan menghasilkan tahu yang kenyal dan dalam jumlah yang maksimal dengan limbah berupa ampas yang minimal. Bahkan, dimungkinkan tanpa menyisakan ampas sama sekali. b. Persiapan Bahan Penggumpal Proses
pembuatan
tahu
memerlukan
bahan
penggumpal
untuk
menggumpalkan protein yang masih tercampur di dalam sari kedelai. Dengan demikian, akan diperoleh bubur tahu yang dapat dicetak. Bahan penggumpal dapat berupa asam cuka encer, batu tahu (sioh koo) atau kalsium sulfat, ataupun cairan sisa (whey). Untuk memilih bahan penggumpal yang tepat, perlu mengetahui terlebih dahulu mengenai daya gunanya, kemudahan penyediaan dan penggunaannya, serta keuntungan dari sisi ekonominya. Langkah pemrosesan masing-masing bahan hingga menjadi bahan penggumpal protein adalah sebagai berikut.
22
1) Alternatif I Pada alternatif I, digunakan bahan baku berupa asam cuka keras. Asam cuka ini perlu diencerkan terlebih dahulu sesuai dengan kebutuhan agar penggumpalan berjalan dengan lancar dan merata. Sebenarnya, asam cuka pekat juga bisa digunakan untuk menggumpalkan protein namun digunakan dalam volume yang sangat kecil yaitu hanya 0,5 ml untuk 1 liter sari kedelai. Mengingat volume yang sangat kecil tersebut, dikhawatirkan akan terjadi penggumpalan pada saat pencampuran belum merata, sehingga sisa asam cuka terperangkap dalam gumpalan protein (tahu). Bahan penggumpal protein alternatif pertama ini dibuat dengan cara sebagai berikut. a) Siapkan 200 cc atau 200 ml asam cuka keras dalam wadah yang terbuat dari kaca/gelas, plastik, ataupun email. b) Campurkan sedikit demi sedikit air bersih sebanyak 500 cc sambil diaduk. c) Bahan penggumpal protein (alternatif I) siap digunakan dengan ketentuan : tiap cc asam cuka encer dapat digunakan untuk menggumpalkan protein dari 1 liter kedelai. 2) Alternatif II Pada alternatif II, digunakan bahan baku berupa batu tahu. Bahan tambang yang berbentuk seperti lempengan pecahan kaca yang tidak beraturan ini sering disebut gips. Agar dapat digunakan sebagai bahan penggumpal protein, maka gips tersebut perlu diproses sebagai berikut.
23
a) batu tahu berbentuk pecahan kaca dibakar beberapa saat, kemudian ditumbuk halus (dihancurkan) dan diayak menjadi serbuk berwarna putih (serbuk gips). b) Serbuk gips dilarutkan dalam air bersih hingga jenuh (tidak mampu lagi melarutkan serbuk). c) Larutan jenuh batu tahu dibiarkan beberapa saat agar butir-butir serbuk yang tidak dapat larut mengendap di dasar wadah. Kemudian, endapan dipisahkan dan diambil cairan jernihnya. Cairan jernih inilah yang kemudian digunakan sebagai bahan penggumpal protein. 3) Alternatif III Pada alternatif III ini hampir tidak perlu dilakukan kegiatan apapun, karena hanya diperlukan pemisahan sebagian dari cairan sisa penggumpalan (whey), sementara yang lainnya dibuang atau dimanfaatkan untuk pupuk, pakan ternak, dan sebagainya. Kemudian whey yang telah dipisahkan disimpan selama 24 jam ( 1 hari 1 malam), dan pada hari berikutnya sudah mampu berperan sebagai bahan penggumpal protein. Umumnya, di lapangan whey lebih banyak dipilih karena sudah tersedia di lokasi setempat. Selain itu, tidak diperlukan biaya dan penanganan khusus. 2. Tahap proses produksi Urutan proses pengolahan kedelai menjadi produk tahu adalah sebagai berikut. a. Kedelai lunak siap pakai Kedelai yang telah diproses pada tahap persiapan telah menjadi kedelai lunak siap pakai. Dalam hal ini, di beberapa industri kecil tahu dilakukan pemrosesan kedelai secara langsung tanpa mengalami tahap persiapan terlebih
24
dahulu. Kedelai hanya direndam beberapa saat dan kemudian langsung digiling. Dengan cara demikian, ampas yang diperoleh akan relatif lebih banyak dibandingkan dengan tahunya. b. Pembuatan bubur kedelai Untuk mendapatkan sari kedelai, kedelai lunak harus dihancurkan terlebih dahulu melalui proses penggilingan. Proses pembuatan bubur kedelai adalah sebagai berikut. 1) Penggilingan Kedelai dapat digiling dengan menggunakan mesin penggiling atau dengan gilingan batu. Selama proses penggilingan berlangsung harus selalu dikucur air panas. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan bubur kedelai adalah sebagai berikut. a) Penggilingan kedelai dilakukan setelah proses pengupasan kulit kedelai. Dengan demikian, penggilingan dapat dilakukan dengan lebih mudah dan hasil yang diperoleh lebih halus/lembut, serta rendemen lebih tinggi. b) Selama proses penggilingan selalu dilakukan penyiraman dengan air sedikit
demi
sedikit
(sebaiknya
digunakan
air
mendidih
untuk
mempertinggi rendemen dan sekaligus menghilangkan bau langu kedelai). 2) Pengukuran volume bubur kedelai Hasil penggilingan berupa bubur kedelai ditampung, kemudian diukur volumenya dengan menggunakan alat ukur pengganti, misalnya bak plastik.
25
3) Pengenceran Pengenceran bubur kedelai dilakukan dengan air bersih. Volume air bersih yang ditambahkan sama dengan volume bubur kedelai yang akan diencerkan. Pengadukan perlu dilakukan agar pencampuran terjadi secara merata. c. Perebusan bubur kedelai Perebusan bubur kedelai memerlukan api besar sehingga digunakan kompor brander. Dalam perebusan ini, dilakukan proses pendidihan sebanyak dua kali. Pada saat terbentuk busa pada permukaan bubur kedelai (pendidihan pertama), segera disiramkan air bersih dingin secukupnya secara merata di seluruh permukaan. Dengan demikian, busa tersebut tidak akan meluap keluar namun akan turun kembali, sementara api tetap menyala besar. Pada saat timbul busa lagi untuk yang kedua kalinya (pendidihan kedua), berarti perebusan bubur kedelai sudah dianggap cukup dan api bisa dimatikan. d. Penyaringan Bubur kedelai dalam kondisi panas akan disaring dengan saringan gantung yang terbuat dari kain. Cairan sari kedelai hasil penyaringan akan tertampung dalam bak penggumpalan. Ampas diperoleh setelah dibilas dan diperas kuat-kuat. Ampas tersebut masih mengandung 10% - 17% protein, sehingga sayang apabila tidak dimanfaatkan. Ampas yang dihasilkan dikumpulkan jadi satu dan masih dapat dimanfaatkan untuk membuat tempe, oncom, makanan ternak, tepung bubur balita, dan tepung kedelai.
26
e. Penggumpalan protein sari kedelai Cairan sari kedelai yang masih panas (± 70ºC) dicampur pelan-pelan dan sedikit demi sedikit dengan bahan penggumpal yang sudah disiapkan sebelumnya. Bahan penggumpal mula-mula ditempatkan dalam sendok besar yang digerakkan ke seluruh bagian permukaan sari kedelai dengan posisi agak miring, sehingga akan tumpah sedikit demi sedikit. Cairan sari kedelai yang semula berwarna putih susu akan pecah dan di dalamnya terbentuk butiran-butiran protein yang akhirnya akan bergabung membentuk gumpalan dan mengendap ke dasar bak (inilah yang merupakan bakal tahu). Setelah itu, cairan akan menjadi bening. Bila keadaan sudah demikian, berarti seluruh protein sudah menggumpal dan mengendap. Secepatnya carian bening dipindahkan ke tempat penyimpanan cairan bekas. Agar bubur tahu tidak terbawa serta, perlu diletakkan alat dari anyaman bambu atau kain saring untuk membatasinya, sehingga seluruh cairannya dapat dipindahkan dengan aman. f. Pencampuran bahan tambahan Bahan tambahan yang direncanakan akan dicampurkan (garam, pengawet, flavor sintetis) segera dituangkan sedikit demi sedikit ke dalam bubur kedelai sambil diaduk agar tercampur rata. Kegiatan pencampuran bahan tambahan ini harus dilakukan secara cepat sebelum suhu bubur kedelai mengalami penurunan. Suhu bubur kedelai harus dipertahankan tetap berada di atas 60ºC agar bubur tetap dicetak dengan mudah.
27
g. Pencetakan tahu Dalam keadaan panas, pencetakan bubur harus segera dilakukan. Pencetakan tersebut dilakukan sebagai berikut. 1) Cetakan disiapkan. 2) Kain saring diletakkan di atas cetakan secara merata hingga seluruh permukaan cetakan tertutup kain saring. 3) Bubur tahu dalam keadaan panas dituangkan hingga penuh ke atas cetakan yang telah dilapisi kain saring. 4) Setelah penuh, sisa kain saring ditangkupkan hingga menutup permukaan bubur tahu dalam cetakan. 5) Alat kempa (pemberat) diletakkan di atas bubur tahu dalm cetakan agar sebagian dari cairan tahu terperas keluar dan tahu yang dihasilkan cukup keras. 6) Biarkan bubur tahu berada dalam cetakan selam 10 – 15 menit atau sampai cukup keras dan tidak hancur apabila diangkat (biasanya pemberat yang diletakkan di atasnya disesuaikan dengan ukuran/kekerasan tahu yang diinginkan). 7) Selanjutnya, pemberat diambil dan kain saring dibuka, tahu segera dipotong-potong sesuai ukuran yang dikehendaki (bila cetakannya berupa lempengan). Potongan-potongan tahu selanjutnya direndam di air dingin dalam bak yang terbuat dari logam tahan karat untuk selanjutnya dipasarkan/didistribusikan.
28
Dengan demikian, proses pembuatan tahu telah selesai dan dapat diteruskan ke tahap finishing. 3. Tahap finishing Kegiatan tahap finishing pada dasarnya meliputi beberapa kegiatan berikut: pewarnaan,
penambahan
bahan
pengawet,
pengemasan,
pasteurisasi,
dan
penggorengan. Namun tidak semua jenis tahu memerlukan seluruh kegiatan finishing tersebut. Ada beberapa alternatif yang dapat dilakukan berkaitan dengan kegiatan dalam tahap finishing , yaitu sebagai berikut. a. Alternatif I ( Pewarnaan + Garam) Tahu yang diwarnai umumnya hanya terbatas pada tahu yang dicetak agak keras (padat) dan ditambah garam (agar lebih lezat) serta dipasarkan dengan harga yang lebih tinggi. Warna kuning sering dianggap semacam code atau tanda khusus bagi tahu yang berkualitas (wajar bila harganya lebih mahal). Warna kuning dapat diperoleh dari penambahan bahan pewarna ataupun kunyit yang juga memiliki kemampuan sebagai bahan pengawet. Pewarnaan dan penggaraman tahu dapat dilakukan antara lain dengan cara sebagai berikut. 1. Pewarna, garam, dan air dicampur rata, kemudian dimasukkan ke dalam wajan (untuk mempermudah pengadukan), dan dipanaskan hingga mendidih. 2. Potongan tahu dimasukkan ke dalamnya, diaduk-aduk, dan pemanasan dilanjutkan hingga warna kuning yang melekat dianggap cukup. 3. Selanjutnya, tahu diangkat dari dalam wajan dan ditiriskan.
29
b.Alternatif II Agar dapat menyajikan tahu dalam penampilan yang berbeda, beberapa pengusaha tahu memilih menyajikan tahu siap saji dalam bentuk matang dan dengan harga yang relatif murah karena menggorengnya tidak menggunakan minyak kelapa melainkan dengan air mendidih. Adapun caranya adalah sebagai berikut. 1) Tahu yang telah keras dipotong-potong sesuai dengan kebutuhan. 2) Wajan diisi air sebagaimana halnya minyak untuk menggoreng, kemudian dipanaskan hingga mendidih. 3) Potongan tahu yang masih panas dimasukkan ke dalam wajan berisi air mendidih dan “digoreng” (perlakuan sebagaimana menggoreng tahu) hingga bagian yang menempel di dasar wajan menjadi cokelat, kemudian dibalik dan seterusnya hingga seluruh permukaan berwarna cokelat dan matang. Selanjutnya, tahu yang telah matang dan berwarna cokelat diangkat dari dalam wajan dan ditiriskan.
2.5. Pewarna Makanan Penentuan mutu bahan makanan pada umumnya sangat bergantung pada beberapa faktor di antaranya cita rasa, warna, tekstur, dan nilai gizinya; di samping itu ada faktor lain, misalnya sifat mikrobiologis. Tetapi sebelum faktor-faktor lain dipertimbangkan, secara visual faktor warna tampil lebih dahulu dan kadang-kadang sangat menentukan. Suatu bahan yang dinilai bergizi, enak, dan teksturnya sangat baik tidak akan dimakan apabila memiliki warna yang tidak sedap dipandang atau memberi kesan menyimpang dari warna yang seharusnya. Selain sebagai faktor yang
30
ikut menentukan mutu, warna juga dapat digunakan sebagai indikator kesegaran atau kematangan. Baik tidaknya cara pencampuran atau cara pengolahan ditandai dengan adanya warna yang seragam dan merata (Winarno, 1995). Umumnya makanan dapat memiliki warna karena lima hal: 1. Pigmen yang secara alami terdapat pada tanaman dan hewan, sebagai contoh klorofil yang memberi warna hijau, karoten yang memberi warna jingga sampai merah, dan mioglobin yang memberi warna merah pada daging. 2. Reaksi karamelisasi yang timbul bila gula dipanaskan. Reaksi ini akan memberikan warna cokelat sampai kehitaman, contohnya pada kembang gula karamel, atau pada roti bakar. 3. Reaksi Maillard, yaitu reaksi antara gugus amino protein dengan gugus karbonil gula pereduksi, reaksi ini memberikan warna gelap misalnya pada susu bubuk yang disimpan lama. 4. Reaksi senyawa organik dengan udara (oksidasi) yang menghasilkan warna hitam, misalnya warna gelap atau hitam pada permukaan buah-buahan yang telah dipotong dan dibiarkan di udara terbuka beberapa waktu. Reaksi ini dipercepat oleh adanya kontak dengan oksigen. 5. Penambahan zat warna, baik alami maupun sintetik. Zat warna sintetik termasuk ke dalam zat adiktif atau bahan makanan tambahan makanan (BTM) yang penggunaannya tidak bisa sembarangan (Anonimous, 2004). Pada tahun 1960 dikeluarkan peraturan mengenai penggunaan zat pewarna yang disebut Color Additive Amandement yang dijadikan undang-undang. Dalam
31
undang-undang ini zat pewarna dibagi menjadi dua kelompok yaitu certified color dan uncertified color 1. Certified color Ada dua macam yang tergolong certified color yaitu dye dan lake. Keduanya adalah zat pewarna buatan. Zat pewarna yang termasuk golongan dye telah melalui prosedur sertifikasi dan spesifikasi yang ditetapkan FDA (Food and Drug Act). Sedangkan zat pewarna lake yang hanya terdiri dari satu warna dasar, tidak merupakan warna campuran, juga harus mendapat sertifikat. a. Dye Dye adalah zat pewarna yang pada umumnya bersifat larut dalam air dan larutannya dapat mewarnai. Pelarut yang dapat digunakan selain air adalah propilenglikol, gliserin atau alkohol. Dye terdapat dalam bentuk bubuk, butiran, pasta, maupun cairan yang pengunaannya tergantung kondisi bahan, kondisi proses, dan zat pewarnanya sendiri. b. Lake Diijinkan pemakaiannya sejak tahun 1959, dan penggunaannya meluas dengan cepat. Zat pewarna ini merupakan gabungan dari zat warna (dye) dengan radikal bebas (Al atau Ca) yang dilapisi dengan hidrat alumina atau Al(OH)3. Lapisan alumina ini tidak larut dalam air, sehingga lake ini tidak larut pada hampir semua pelarut. Sesuai dengan sifatnya yang tidak larut dalam air, zat pewarna ini digunakan untuk produk-produk yang tidak boleh terkena air. Lake sering kali lebih baik digunakan untuk produk-produk
32
yang mengandung lemak dan minyak. Daya mewarnai lake adalah dengan membentuk disperse yang menyebar pada bahan yang diwarnai.
2. Uncertified Color Additive Zat pewarna yang termasuk dalam uncertified color ini adalah zat pewarna mineral, walaupun ada juga beberapa zat pewarna seperti β-karoten dan kantaxantin yang telah dapat dibuat secara sintetik. Untuk penggunaannya, zat pewarna ini bebas dari prosedur sertifikasi dan termasuk daftar yang telah tetap. Satu-satunya zat pewarna uncertified yang penggunaannya masih bersifat sementara adalah carbon black (Winarno, 1995).
2.5.1. Peraturan Pemakaian Zat Pewarna untuk Makanan Uncertified color atau pewarna sintetik tidak dapat digunakan sembarangan. Di negara maju, pewarna jenis ini harus melalui proses sertifikasi terlebih dahulu sebelum digunakan pada bahan makanan. Di Indonesia peraturan penggunaan zat pewarna sintetik baru dibuat pada tanggal 22 Oktober 1973 melalui SK Menkes RI No. 11332/A/SK/73, sedangkan di Amerika Serikat aturan pemakaian pewarna sintetik sudah dikeluarkan sejak tahun 1906. Peraturan ini dikenal dengan Food Drug and Act (FDA) yang mengijinkan penggunaan tujuh macam zat pewarna sintetik, yaitu orange no. 1, erythrosine, ponceau 3R, amaranth, indigotine, napthol – yellow, dan light green. Sejak itu banyak pewarna lain yang mendapat izin untuk digunakan pada bahan makanan setelah mengalami berbagai pengujian fisiologis. Pada tahun 1938 FDA
33
disempurnakan menjadi Food, Drug, and Cosmetic Act (FD & C). Sejak itu zat pewarna sintetik dibagi menjadi tiga kelompok: FD & C color, untuk makanan, obatobatan, dan kosmetik; D & C, untuk obat-obatan dan kosmetik (tidak dapat digunakan untuk makanan); dan Ext D & C yang diizinkan untuk dipakai pada obatobatan dan kosmetik dalam jumlah yang dibatasi (Anonim, 2004). Pemerintah Indonesia melalui Menteri Kesehatan RI telah mengeluarkan Surat Keputusan tentang jenis pewarna alami dan sintetik yang diijinkan serta yang dilarang
digunakan
dalam
makanan
pada
tanggal
19
Juni
1979
No.
235/Menkes/Per/VI/79. Kemudian disusul dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI tanggal 1 Mei 1985 No. 239/Menkes/Per/V/85, yang berisikan jenis pewarna yang dilarang. Dan terakhir telah dikeluarkan pula Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 722/Menkes/Per/88, yang mengatur batas penggunaan maksimum dari pewarna yang diijinkan untuk makanan. Untuk menjamin pelaksanaan pengaturan tentang bahan tambahan makanan ini, Departemen Kesehatan melakukan pengawasan makanan. Pengawasan bahan tambahan makanan, selain ditujukan pada bahan tambahan makanan itu sendiri, juga pada makanan yang mengandung bahan tambahan makanan. Pengawasan dilakukan oleh Direktorat Pengawasan Makanan dan Minuman pada tingkat pusat oleh Kantor Wilayah Departemen Kesehatan, Balai Pemeriksaan Obat dan Makanan, serta Kantor Departemen Kesehatan Daerah di tingkat daerah. Selanjutnya di bawah ini diuraikan zat pewarna yang dinyatakan sebagai Bahan Berbahaya Dalam Obat dan Makanan berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan.
34
Berikut ini adalah pewarna yang diijinkan penggunaannya di Indonesia, yaitu : Tabel 2.1. Zat Pewarna bagi Makanan dan Minuman yang diijinkan di Indonesia Warna I. Zat warna alam Merah Merah Kuning Kuning Kuning Kuning Hijau Biru Coklat Hitam Hitam Putih II. Zat warna sintetik Merah Merah Merah Oranye Kuning Kuning Hijau Biru Biru Ungu
Nama
Nomor Indeks Nama
Alkanan Cochineal red (karmin) Annato Karoten Kurkumin Safron Klorofil Ultramarin Karamel Carbon Black Besi oksida Titanium oksida
75520 75470 75120 75130 75300 75100 75810 77007 77266 77499 77891
Carmoisine Amaranth Erythrosine Sunsetyellow FCF Tartrazine Quinelene yellow Fast Green FCF Brilliant blue FCF Indigocarmine (Indigotine) Violet GB
14720 16185 45430 15985 19140 47005 42053 42090 42090 42640
Sumber : Direktorat Pengawasan Makanan dan Minuman (1994)
35
Tabel 2.2. Zat Warna Tertentu yang Dinyatakan sebagai Bahan Berbahaya dalam Obat dan Makanan No. Nama 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30.
Auramin (CI basic Yellow 2) Alkanat Butter Yellow (CI Solvent Yellow 2) Black 7984 (Food Black 2) Burn Umber (CI Basic Orange 7) Chrysoidine (CI Basic Orange 2) Chrysoine (CI Food Yellow B) Citrus Red No.2 Chocolate Brown FB (Food Brown 2) Fast Red E (CI Food Red 4) Fast Yellow AB (CI Food Yelow 2) Guinea Green B (CI Acid Green No.3) Indanthrene Blue RS (CI Food Blue 4) Magenta (CI Basic Violet 14) Methanyl Yellow Oil Orange SS (CI Solvent Orange 2) Oil Orange XO (CI Solvent Orange 7) Oil Yellow AB (CI Solvent Yellow 5) Oil Yellow OB (CI Solvent Yellow 6) Orange G (CI Food Orange 4) Orange GGN (CI Food Orange 2) Orange RN (Food Orange 1) Orchil dan Orcein Ponceau 3R (CI Red 6) Ponceau SX (CI Red 1) Ponceau 6R (CI Red 8) Sudan I Rhodamin B Scarlet GN (Food Red 2) Violet GB
Sumber : SK Menteri Kesehatan RI No.239/Men.Kes/Per/V/85
Nomor Indeks Warna (CI.NO) 41000 75520 11020 27755 77491 11270 14270 12156 16045 13015 42085 69800 42510 13065 12100 12140 11380 11390 16230 15980 15970 16155 14700 16290 12055 45170 14815 42640
36
Tabel 2.3. Peraturan Menteri Kesehatan RI tentang Bahan Tambahan Makanan Berupa Zat Pewarna Kuning Buatan yang diijinkan No .
Nama Bahan Tambahan Makanan Bahasa Indonesia Bahasa Inggris
Jenis/ Bahan Batas Makanan Maksimum Penggunaan mg/kg Sunset Yellow 1. Jem atau 200 tunggal atau jelli campuran FCF C.I Food Yellow 3 dengan pewarna lain FD&C Yellow 6 200 mg/kg Food Yellow 5 C.I 2. Marmalad mg/kg No. 15985 3. Udang 30 produk akhir kalengan (total campuran dengan pewarna lain) mg/kg 4. Buah pir 200 tunggal atau kalengan campuran dengan pewarna lain mg/kg 5. Buah prem 300 tunggal atau (plum) campuran kalengan dengan pewarna lain mg/kg 6. Jem atau 200 tunggal atau jelli campuran dengan pewarna lain
1.
Kuning FCF
37
2.
Tartrazine
Tartrazine CI Food Yellow 4 Blue 2 FD&C Yellow No.5 C.I No. 19140
1. Lihat coklat HT 2. Yoghurt beraroma dan produk yang dipanaskan setelah fermentasi 3. Es krim dan sejenisnya 4. Buah pir kalengan 5. Ercis kalengan
Lihat coklat HT 18 mg/kg tunggal atau campuran dengan pewarna lain
100 mg/kg produk akhir (total campuran dengan pewarna lain) 200 mg/kg tunggal atau campuran 6. Kapri dengan pewarna lain kalengan 100 mg/kg Sumber : Permenkes RI No. 722/Menkes/PER/IX/1988
2.6. Pewarna pada Tahu Ada dua jenis pewarna makanan, yaitu pewarna alami dan pewarna sintetik. Produk tahu biasanya berwarna kuning. Pewarna kuning dapat menggunakan pewarna alami atau pewarna buatan/sintetik makanan yang diizinkan penggunaannya (Suprapti, 2005). Pewarna alami tahu biasanya menggunakan ekstrak kunyit. Kunyit yang berfungsi sebagai bahan pengawet, sebagaimana halnya dengan penambahan garam. Pewarnaan tahu dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut (Suprapti, 2005). a. Kunyit dicuci dan diparut. Hasil parutan direbus hingga mendidih, kemudian disaring.
38
b. Cairan kunyit tersebut selanjutnya digunakan untuk merebuis tahu yang sudah selesai dicetak. c. Kadang kala garam tidak ditambahkan pada bubur tahu, akan tetapi ditambahkan pada air kunyit tersebut. Namun, rasa enak (gurih) tidak sampai ke bagian dalam tahu. Tahu yang diberi pewarna alami ini cukup mudah dikenali karena pada permukaannya terdapat sedikit gumpalan-gumpalan dan beraroma khas kunyit. Para pembuat tahu biasanya lebih suka menggunakan pewarna sintetik dari pada pewarna alami karena lebih mudah penggunaannya dan warna tahu lebih cerah. Namun, pewarna sintetik yang digunakan kadang kala bukan pewarna makanan, melainkan pewarna cat atau kain yang bisa membahayakan kesehatan (Sarwono, 2005). Tabel 2.4. Pewarna Makanan yang Dapat Digunakan Dalam Pembuatan Tahu No. Nama Indeks Warna Nomor Batas Maksimum Pemakaian 1. Kuning kuniolin (kuning muda) 47005 300 mg/kg (tunggal atau FD & C Yellow 13 campuran dengan pewarna lain) 2. Kuning FCF (kuning telur) 15935 300 mg/kg (tunggal atau FD & C Yellow 6 campuran dengan pewarna lain) 3. Tartrasin (kuning oranye) 19140 300 mg/kg (tunggal atau FD & C Yellow 5 campuran dengan pewarna lain) Sumber : Sarwono (2005)
39
2.7. Dampak Zat Pewarna pada Kesehatan Pemakaian bahan pewarna pangan sintetis dalam pangan walaupun mempunyai dampak positif bagi produsen dan konsumen, di antaranya dapat membuat suatu pangan lebih menarik, meratakan warna pangan dan mengembalikan warna dari bahan dasar yang hilang atau berubah selama pengolahan, namun dapat memberi dampak negatif terhadap kesehatan manusia. Beberapa hal yang mungkin memberi dampak negatif tersebut terjadi bila (Cahyadi, 2006) : 1. Bahan pewarna sintetis ini dimakan dalam jumlah kecil, namun berulang. 2. Bahan pewarna sintetis dimakan dalam jangka waktu lama. 3. Kelompok masyarakat luas dengan daya tahan yang berbeda-beda, yaitu tergantung pada umur, jenis kelamin, berat badan, mutu pangan seharihari dan keadaan fisik. 4. Berbagai lapisan masyarakat yang mungkin menggunakan bahan pewarna sintetis secara berlebihan. 5. Penyimpanan bahan pewarna sintetis oleh pedagang bahan kimia yang tidak memenuhi persyaratan. Zat pewarna makanan alami sejak dulu telah dikenal dalam industri makanan untuk meningkatkan daya tarik produk makanan tersebut, sehingga konsumen tergugah untuk membelinya. Namun sudah sejak lama pula terjadi penyalahgunaan dengan adanya pewarna buatan yang tidak diizinkan untuk digunakan sebagi zat aditif. Contohnya adalah rhodamine B, yaitu zat pewarna yang lazim digunakan dalam industri tekstil namun digunakan sebagai pewarna makanan, dapat menyebabkan kerusakan pada organ hati (Anonimous, 2006).
40
Makanan yang diberi zat pewarna Rhodamine B dan Methanyl yellow biasanya berwarna lebih terang dan memiliki rasa agak pahit. Kelebihan dosis pewarna ini dapat menyebabkan kanker, keracunan, iritasi paru-paru, mata, tenggorokan, hidung dan usus (Denfer, 2004). Selain itu bahan pewarna seperti amaranth dan tartazin oleh sejumlah studi terkait dapat menyebabkan bintik-bintik merah pada kulit. Penggunaan tartazin juga menyebabkan reaksi alergi, asma, dan hiperaktif pada anak. Erythrosine menyebabkan reaksi alergi pada pernapasan, hiperaktif pada anak, tumor tiroid pada tikus, dan efek kurang baik pada otak dan perilaku. Fast green FCF menyebabkan reaksi alergi dan produksi tumor. Sedangkan sunset yellow menyebabkan radang selaput lendir pada hidung, sakit pinggang, muntah-muntah, dan gangguan pencernaan (Mudjajanto, 2005).
41
2.7. Kerangka Konsep
Pemeriksaan Laboratorium Memenuhi Syarat
Tahu Kuning
Pewarna Kuning - Jenis -Kualitatif -Kuantitatif - Kadar
Tidak Memenuhi Syarat
PermenkesRI.No.1168/Menkes/Per/1999
BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian survei ini bersifat deskriptif yaitu mengetahui gambaran hasil analisis kandungan zat pewarna pada tahu kuning yang dijual di sepuluh pasar yang ada di kota Medan yaitu Pasar Simpang Melati, Pasar Sei Sikambing, Pasar Kampung Lalang, Pasar Petisah, Pasar Sambas, Pasar Sukaramai, Pasar Simpang Limun, Pasar Perguruan, Pasar Rame dan Pasar Kampung Keling. 3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di sepuluh pasar yang ada di kota Medan yaitu Pasar Simpang Melati, Pasar Sei Sikambing, Pasar Kampung Lalang, Pasar Petisah, Pasar Sambas, Pasar Sukaramai, Pasar Simpang Limun, Pasar Perguruan, Pasar Rame, dan Pasar Kampung Keling. Alasan pemilihan lokasi pasar yaitu pada pasar-pasar tersebut menjual produk tahu kuning. Selain itu karena tahu kuning banyak digunakan dalam masakan Cina, maka beberapa pasar merupakan pasar-pasar yang kebanyakan pembelinya adalah masyarakat keturunan Cina. 3.2.2. Waktu Penelitian Waktu penelitian dilakukan mulai Mei 2008. 3.3. Objek Penelitian Objek penelitian adalah tahu kuning yang dijual oleh pedagang di sepuluh pasar tradisional yaitu Pasar Sukaramai, Pasar Sei Sikambing, Pasar Rame, Pasar
Veronica Margaret Sihombing : Analisa Kadar Zat Pewarna Kuning Pada Tahu Yang Dijual Di Pasar-Pasar..., 2008 USU Repository © 2009
43
Perguruan, Pasar Sambas, Pasar Simpang Melati, Pasar Kampung Keling, Pasar Petisah, Pasar Simpang Limun dan Pasar Kampung Lalang. Dari sepuluh pasar tersebut diambil masing-masing dua buah tahu kuning dari tiap pasar sebagai bahan yang langsung diperiksa di Laboratorium Kesehatan Medan dan Laboratorium Kimia Analitik FMIPA USU. 3.4. Metode Pengumpulan Data 3.4.1. Data Primer Pengumpulan data dilakukan melalui pemeriksaan laboratorium dari hasil analisis kandungan zat pewarna yang terkandung dalam tahu. 3.4.2. Data Sekunder Data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan dan pengumpulan informasi berupa data-data yang relevan dengan penelitian ini. 3.5. Defenisi Operasional 1. Tahu kuning dalam penelitian ini adalah salah satu jenis makanan yang dibuat dari gumpalan protein kedelai yang diperoleh dari hasil penyarian kedelai yang telah digiling dengan penambahan air dan diberi pewarna kuning yang dijual di pasarpasar tradisional . 2. Pewarna adalah zat warna sintetik yang ditambahkan untuk memberi warna kuning yang digunakan pada tahu yang menjadi sampel penelitian. 3. Permenkes RI No.1168/Menkes/Per/1999 adalah salah satu peraturan tentang Bahan Tambahan Makanan berupa zat pewarna kuning buatan yang diijinkan. 4. Memenuhi syarat kesehatan adalah apabila kandungan pewarna kuning yang terdapat dalam tahu sesuai dengan Permenkes RI No.1168/Menkes/Per/1999.
44
5. Tidak memenuhi syarat kesehatan adalah apabila kandungan pewarna kuning yang terdapat
dalam
tahu
kuning
tidak
sesuai
dengan
Permenkes
RI
No.1168/Menkes/Per/1999. 3.6. Pemeriksaan Pewarna Metode yang digunakan dalam pemeriksaan pewarna pada tahu kuning yaitu dengan menggunakan uji kualitatif, yaitu menentukan ada atau tidaknya zat pewarna kuning dalam sampel yaitu dengan metode ekstraksi dan uji kuantitatif, yaitu menentukan
kadar pewarna kuning pada sampel dengan menggunakan metode
gravimetri. 3.6.1 Penentuan Jenis Zat Pewarna pada Tahu Kuning Adapun tahapan penentuan jenis zat pewarna yang terdapat pada tahu kuning adalah sebagai berikut (Apriyantono, 1989) : 1. Peralatan dan Bahan a. Peralatan Berikut ini adalah peralatan yang digunakan dalam pemeriksaan pewarna : 1) Erlenmeyer 2) Beaker glass 3) Gelas ukur 4) Corong 5) Penangas 6) Cawan porselen 7) Batang pengaduk 8) Pipet tetes
45
b. Bahan 1) Tahu kuning 2) Benang wol berwarna putih 3) Ammonium Hydroksida (NH4OH) 4) Alkohol 70% 5) H2SO4 pekat 6) HCl pekat 7) NaOH 10% 8) Aquadest 2. Cara Kerja Pemeriksaan Cara kerja yang digunakan untuk pemeriksaan jenis zat pewarna adalah dengan metode ekstraksi . Cara
pemeriksaan jenis zat pewarna dengan mengisolasi pewarna dari
sampel secara metode ekstraksi, yaitu : a. Sebanyak 25 gram sampel ditambahkan aquadest sebanyak 75 ml kemudian dihomogenkan. Kemudian disaring dengan menggunakan kertas saring dan filtratnya diambil sebanyak 35 ml. b. Ke dalam filtrat sampel tadi dimasukkan 20 cm benang wol putih bebas lemak yang telah disterilkan dengan menggunakan alkohol, lalu dimasak selama 15 menit sampai benang wol benar-benar sudah menyerap warna tersebut. c. Benang wol yang sudah menyerap warna diangkat dan dibilas dengan aquadest panas. Kemudian benang wol dikeringkan di bawah sinar matahari dan dipotong sebanyak empat potongan.
46
d. Satu potongan benang wol yang berwarna ditetesi NH4OH 12%, perubahan warna benang wol yaitu : 1) Menjadi hijau kotor menandakan bahwa zat warna tersebut adalah pewarna alami. 2) Menjadi pudar menandakan zat warna tersebut adalah pewarna buatan. Untuk pemeriksaan lebih lanjut zat pewarna tersebut dapat diuji dengan cara berikut : Sebanyak empat potongan tadi, masing-masing ditetesi dengan HCl pekat, NH4OH 12%, H2SO4 pekat, dan NaOH 10% dan kemudian hasilnya dibandingkan dengan daftar perubahan warna benang wol pada penetapan zat warna dengan pereaksipereaksi menurut Standar Industri Indonesia (SII) yang terdapat pada Lampiran 1. 3.6.2 Penentuan Kadar Zat Pewarna pada Tahu Kuning Adapun tahapan penentuan kadar zat pewarna yang terdapat pada tahu kuning adalah sebagai berikut : 1. Peralatan dan Bahan : a. Peralatan 1) Erlenmeyer 2) Beaker glass 3) Gelas ukur 4) Corong 5) Penangas 6) Cawan porselen 7) Batang pengaduk 8) Pipet tetes
47
9) Oven 10) Eksakator 11) Neraca halus 12) Gegep kayu b. Bahan 1) Tahu kuning 2) Kalium hidrosulfat (KHSO4) 10% 3) Aquadest 4) Benang wol berwarna putih 2. Cara Kerja Pemeriksaan a. Sampel diambil sebanyak 30 mg, dimasukkan kemudian dalam Erlenmeyer, diencerkan dengan aquadest sebanyak 20 ml dan ditambahkan 10 ml KHSO4 10 % kemudian diaduk sampai rata. b. Kemudian dalam larutan dimasukkan benang wol bebas lemak atau steril yang telah lebih dahulu ditimbang lalu dipanaskan kurang lebih 25 menit sampai zat warna terikat pada benang wol. c. Benang wol yang telah berwarna dibilas sebanyak tiga kali dengan aquadest panas dan disaring. Benang wol dimasukkan kemudian dalam cawan porselen, dikeringkan kurang lebih selama 45 menit dengan suhu 105ºC. d. Dimasukkan cawan porselen yang berisi benang wol kemudian dalam eksikator selama 10 menit dan setelah dingin ditimbang.
48
3.7. Pengolahan dan Analisa Data Data yang diperoleh dari hasil pemeriksaan di laboratorium dibandingkan dengan mengacu kepada Permenkes RI No.1168/Menkes/Per/1999. Kadar zat pewarna kuning diperoleh dengan rumus berikut :
Jumlah zat pewarna yang terkandung pada benang wol (mg) Kadar = Volume sampel (liter)
Hasil diperoleh dalam satuan volume, sementara Permenkes mengatur standar dalam satuan berat, untuk itu perlu diubah dari satuan volume ke satuan berat dengan rumus berikut : Massa = berat jenis x
volume
Berat jenis dari masing-masing sampel diperoleh dengan menggunakan alat picnometer dengan pengukuran sebagai berikut : Berat Larutan = (Berat Picnometer + Larutan) - Berat
Sehingga diperoleh kadar zat pewarna kuning pada tahu kuning tersebut dalam satuan berat atau massa yang selanjutnya diolah dan dibandingkan dengan mengacu pada Permenkes RI No.1168/Menkes/Per/1999.
49
BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1. Hasil Pemeriksaan Kualitatif Dari hasil pemeriksaan sampel terhadap penggunaan jenis zat pewarna kuning yang dilakukan di Laboratorium Kesehatan Medan dapat diketahui sebagai berikut : Tabel 4.1 Hasil Identifikasi Jenis Pewarna pada Tahu Kuning Yang Dijual di Pasar-pasar di Medan Tahun 2008 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Kode Sampel A B C D E F G H I J
Hasil Penelitian Sintetik Sintetik Sintetik Alami Alami Alami Sintetik Alami Alami Alami
Keterangan kode sampel : A : Pasar Simpang Melati B : Pasar Sei Sikambing C : Pasar Kampung Lalang D : Pasar Petisah E : Pasar Sambas F : Pasar Sukaramai G : Pasar Simpang Limun 40
50
H : Pasar Perguruan I : Pasar Rame J : Pasar Kampung Keling Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa dari sepuluh sampel tahu kuning terdapat enam sampel menggunakan pewarna alami, yaitu yang berasal dari Pasar Petisah, Pasar Sambas, Pasar Sukaramai, Pasar Perguruan, Pasar Rame dan Pasar Kampung Keling dan empat sampel lainnya menggunakan pewarna sintetik, yaitu yang berasal dari Pasar Simpang Melati, Pasar Sei Sikambing, Pasar Kampung Lalang dan Pasar Simpang Limun. Hasil pemeriksaan di atas dilanjutkan dengan pemeriksaan zat pewarna kuning yang digunakan pada keempat sampel yang menggunakan pewarna sintetik, yaitu sampel A,B,C dan G. Pemeriksaan ini dilakukan di Laboratorium Kimia Analitik FMIPA USU dan hasilnya dapat diketahui sebagai berikut : Tabel 4.2 Hasil Pemeriksaan Zat Pewarna Kuning pada Tahu Kuning yang Dijual di Pasar-pasar di Medan HCl H2SO4 Pewarna No. Kode Warna NaOH NH4OH yang Sampel Ekstrak Digunakan 1. A Kuning Tidak ada Sedikit Ungu Ungu Methanyl perubahan perubahan merah Yellow 2. B Kuning Tidak ada Sedikit Ungu Ungu Methanyl perubahan perubahan merah Yellow 3. C Kuning Tidak ada Sedikit Ungu Ungu Methanyl perubahan perubahan merah Yellow 4. G Kuning Tidak ada Sedikit Ungu Ungu Methanyl perubahan perubahan merah Yellow
51
Berdasarkan tabel di atas maka dapat dilihat bahwa keempat sampel menggunakan pewarna methanyl yellow yang dilarang penggunaannya menurut Permenkes RI No. 239/Menkes/Per/V/1985.
4.2. Hasil Pemeriksaan Kuantitatif Pemeriksaan kadar zat pewarna kuning pada tahu kuning yang dilakukan di Laboratorium Kimia Analitik FMIPA USU dapat diketahui pada tabel 4.3 berikut. Tabel 4.3 Hasil Pemeriksaan Kadar Zat Pewarna Kuning pada Tahu Kuning yang Dijual di Pasar di Medan Tahun 2008 dalam Satuan Volume No. Kode Sampel Kadar Zat Pewarna Standard Kuning (mg/l) Menurut Permenkes (mg/kg) 1. A 0,0005 2. B 0,0002 0 3. C 0,0028 4. G 0,0008 Bila dilihat dari hasil pengukuran kadar zat pewarna kuning di laboratorium, kadar yang diperoleh adalah dalam satuan volume yakni mg/l dan perlu dilakukan konversi satuan atau penyetaraan kadar dari satuan volume. Berdasarkan hal tersebut, maka untuk mengetahui kadar pewarna yang digunakan dalam tahu kuning tersebut di dalam satuan berat, maka digunakan rumus mencari massa suatu zat yaitu sebagai berikut : Massa =
berat jenis x
volume
52
Untuk itu perlu diketahui berat jenis atau density (ρ) dari larutan sampel yang diperiksa dan pemeriksaan menggunakan alat picnometer. Penetapan density (ρ) dari larutan sampel yakni seperti contoh di bawah ini untuk sampel A. Volume sampel
= 5 ml
Berat Picnometer
= 11,8124 gr
Berat Picnometer + Larutan = 16,6969 Berat Larutan
= ( Berat Picnometer + Larutan ) – Berat Picnometer = 16,6969 – 11,8124 = 4,8845
Maka, ρ =
Massa Volume
=
4,8845
= 0,9769
5
Dengan cara yang sama, dapat diperoleh density (ρ) untuk larutan sampel yang lain, sehingga diperoleh hasil pada tabel 4.3 berikut ini.
No. 1. 2. 3. 4.
Tabel 4.4 Density Larutan yang Mengandung Pewarna Kode Sampel Nama Pewarna Ρ A Methanyl Yellow 0,9769 B Methanyl Yellow 1,1157 C Methanyl Yellow 0,9747 G Methanyl Yellow 1,1236
Berdasarkan berat jenis pada tabel di atas, maka untuk sampel A sebesar 0,0005 mg/l yang artinya bahwa kadar zat pewarna dalam 1 liter larutan adalah 0,0005 mg, bila diubah ke dalam satuan berat maka kadar zat pewarna tersebut di dalam 1 kg sampel; dengan berat jenis 0,9769 berdasarkan rumus mencari massa adalah :
53
Massa = Berat Jenis x Volume = 0,9769 x 1 = 0,9769 kg Sampel A = 0,0005 mg/l = 0,0005 mg/0,9769 kg Sehingga, untuk 1 kg sampel, kadar zat pewarnanya adalah : 1
x 0,0005 mg = 0,0005 mg
0,9769 Dengan cara yang sama, maka untuk masing-masing sampel adalah seperti pada tabel 4.5 berikut. Tabel 4.5 Hasil Pemeriksaan Kadar Zat Pewarna Kuning pada Tahu Kuning yang Dijual di Pasar di Medan Tahun 2008 dalam Satuan Berat No. Kode Sampel Kadar Zat Pewarna Kadar Zat Kuning (mg/l) Pewarna Kuning (mg/kg) 1. A 0,0005 0,0005 2. B 0,0002 0,0002 3. C 0,0028 0,0029 4. G 0,0008 0,0007 Berdasarkan tabel di atas, maka kadar penggunaan methanyl yellow pada sampel tahu kuning yang diperiksa berkisar antara 0,0002 – 0,0029 mg/kg dan tidak memenuhi syarat kesehatan menurut Permenkes RI No. 239/Menkes/Per/V/1985.
54
BAB V PEMBAHASAN
5.1. Hasil Pemeriksaan Secara Kualitatif Pada penelitian ini digunakan metode ekstraksi untuk uji kualitatif dalam menentukan jenis pewarna yang digunakan pada tahu kuning. Dalam metode ekstraksi digunakan empat pereaksi, yakni NaOH 10% sebagai penguji zat warna, NH4OH 12% sebagai penentu zat warna tersebut alami atau buatan, HCl sebagai penguji zat warna, H2SO4 sebagai penguji tahap akhir zat warna. Dan perubahan warna yang dihasilkan setelah masing-masing benang wol dari kelima sampel yang ditetesi dengan keempat larutan tersebut, maka hasilnya disesuaikan dengan pereaksi menurut SII. Terjadinya perubahan warna menjadi pudar ketika ditetesi NH4OH 12% menyatakan bahwa zat warna adalah zat warna buatan. Berdasarkan pemeriksaan secara kualitatif pada tahu kuning diperoleh hasil bahwa dari kesepuluh sampel yang diperiksa terdapat enam sampel yang menggunakan pewarna alami, yaitu sampel yang berasal dari Pasar Petisah, Pasar Sambas, Pasar Sukaramai, Pasar Perguruan, Pasar Rame, dan Pasar Kampung Keling sedangkan empat sampel lainnya, yaitu yang berasal dari Pasar Simpang Melati, Pasar Sei Sikambing, Pasar Kampung Lalang dan Pasar Simpang Limun, menggunakan pewarna sintetik yang tidak diijinkan yaitu methanyl yellow. Penelitian ini dilakukan mengingat pewarna sebagai bahan tambahan makanan sering juga digunakan untuk memberi warna pada makanan agar kelihatan menarik. Pada sampel tahu kuning yang diperiksa diketahui bahwa pewarna yang 45
55
digunakan adalah methanyl yellow yang tidak diijinkan penggunaannya menurut Permenkes RI No. 239/Menkes/Per/V/1985 tentang zat warna yang dinyatakan sebagai bahan berbahaya. Dari hasil penelitian G. Nainggolan-Sihombing (2001), yaitu beberapa macam makanan terolah berwarna kuning yang dijual di Jakarta telah diperiksa mengenai bahan pewarna yang digunakan. Ditemukan bahwa tempe dan tahu mengandung bahan pewarna non-pangan methanyl yellow. Methanyl yellow memiliki nama dagang atau nama lain yaitu : 1. Sodium phenylaminobenzene 2. Metaniline yellow 3. CI acid yellow 36 4. CI No.13065 Pewarna ini umumnya digunakan sebagai pewarna tekstil dan cat namun seringkali disalahgunakan untuk pewarna makanan dan minuman, misalnya kerupuk, sirup, tahu dan mie (Anonimous, 2005). Pewarna ini mengandung senyawa-senyawa pengotor yang telah terbukti menimbulkan kanker pada hewan percobaan. Namun dari hasil survei YLKI ditemukan bahwa pewarna ini masih banyak terdapat dalam makanan meskipun dilarang penggunaannya (Farida, 2004). Pada manusia penggunaan zat pewarna tekstil (bukan untuk makanan) seperti Methanyl Yellow dapat melukai mata, merusak hati, tumor hati dan karsinogenik (Syamsurizal, 2007).
56
Zat warna ini diabsorpsi dari dalam saluran pencernaan makanan dan sebagian dapat mengalami metabolisme oleh mikroorganisme dalam usus. Dari saluran pencernaan dibawa langsung ke hati, melalui vena portal atau melalui sistem limpatik ke vena kava superior. Di dalam hati, senyawa dimetabolisme dan atau dikonjugasi, lalu ditransportasikan ke ginjal untuk dieksresikan bersama urine. Senyawa-senyawa tersebut dibawa dalam aliran darah sebagai molekul-molekul yang tersebar dan melarut dalam plasma, sebagai molekul-molekul yang terikat dengan protein dan serum dan sebagai molekul-molekul bebas atau terikat tanpa mengandung eritrosit dan unsur-unsur lain dalam pembentukan darah. Zat warna yang dimetabolisme dan dikonjugasi di hati dalam waktu yang lama akan dapat menyebabkan efek kronis yaitu kanker hati (Cahyadi, 2006). Adapun gejala akut bila terpapar methanyl yellow yaitu (Anonimous, 2005) : 1. Jika terkena kulit dalam jumlah banyak akan menimbulkan iritasi pada kulit 2. Jika terkena mata akan menimbulkan gangguan penglihatan/kabur 3. Jika terhirup akan menimbulkan iritasi pada saluran pernafasan, dalam jumlah banyak bisa menimbulkan kerusakan jaringan dan peradangan pada ginjal.
5.2. Hasil Pemeriksaan Kuantitatif Pada penelitian ini digunakan metode gravimetri untuk untuk uji kuantitatif dalam menentukan kadar zat pewarna pada tahu kuning. Dalam metode ini KHSO4 digunakan untuk memisahkan zat warna dengan pelarutnya. Untuk mempermudah pembahasan sebaiknya ditinjau proses analisa gravimetri yang terdiri dari :
57
1. Melarutkan sampel 2. Mengatur keadaan larutan, misalnya temperatur 3. Membentuk endapan 4. Menyaring dan mencuci endapan 5. Memanaskan untuk memperoleh endapan kering 6. Mendinginkan dan menimbang Untuk mengetahui banyaknya kadar zat pewarna yang terdapat dalam sampel secara gavimetri dapat dihitung dengan rumus
Kadar = Jumlah zat pewarna yang terkandung dalam benang wol(mg) Volume sampel (liter) Berdasarkan pemeriksaan kuantitatif ditemukan kadar pewarna kuning yang bervariasi pada keempat sampel. Kadar tertinggi terdapat dalam sampel C yaitu yang berasal dari Pasar Kampung Lalang yaitu sebesar 0,0028 mg/kg, sedangkan yang terendah terdapat dalam sampel B yaitu yang berasal dari Pasar Sei Sikambing yaitu sebesar 0,0002 mg/kg. Tahu yang memakai pewarna buatan dapat ditandai dengan cara melihat penampakannya.
Jika
tahu
memakai
pewarna
buatan,
warnanya
sangat
homogen/seragam dan penampakan mengilap. Sedangkan jika memakai pewarna kunyit, warnanya cenderung lebih buram (tidak cerah). Jika kita potong tahunya, maka akan kelihatan bagian dalamnya warnanya tidak homogen/seragam. Bahkan, ada sebagian masih berwarna putih (Mudjajanto, 2005).
58
Penggunaan bahan tambahan ilegal seperti methanyl yellow didominasi oleh produsen industri kecil dan dilakukan sudah sejak lama sampai saat ini dan merupakan praktek pelanggaran yang paling membahayakan kesehatan konsumen. Pelanggaran bahan tambahan ilegal ini diperparah dengan ketersediaannya di berbagai tempat yang dapat dibeli bebas. Sedangkan bahan tambahan makanan hanya tersedia di toko kimia di kota-kota besar. Selain itu bahan tambahan makanan lebih mahal dibandingkan dengan bahan tambahan ilegal tetapi dengan pemakaian yang kecil sebetulnya tidak signifikan terhadap biaya produksi. Selain itu, pengetahuan industri kecil yang terbatas tidak bisa mencari alternatif selain yang sudah dikenalnya. Untuk itu perlu adanya usaha mencari pengganti bahan tambahan illegal, pemberdayaan konsumen dan tindakan tegas pelanggaran (Budijanto, 2007). Penelitian Tresniani (2003) di Tangerang menunjukkan terdapat 20 industri tahu yang terdiri dari 11 industri tahu kuning dan sembilan industri memproduksi tahu putih. Kandungan formalin tahu berkisar dari 2-666 ppm, sedangkan kandungan methanyl yellow-nya terdapat pada tiga jenis tahu yang semuanya diperoleh dari pasar, yaitu berkisar antara 3,41-10,25 ppm (Mudjajanto, 2005).
59
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan Berdasarkan pemeriksaan jenis dan kadar pewarna kuning yang terdapat dalam tahu kuning yang dijual di sepuluh pasar yang ada di Medan, yaitu Pasar Simpang Melati, Pasar Sei Sikambing, Pasar Kampung Lalang, Pasar Petisah, Pasar Sambas, Pasar Sukaramai, Pasar Simpang Limun, Pasar Perguruan, Pasar Rame dan Pasar Kampung Keling tahun 2008, dapat disimpulkan : 1. Enam sampel tahu kuning yang diperiksa, yaitu Pasar Petisah, Pasar Sambas, Pasar Sukaramai, Pasar Perguruan, Pasar Rame dan Pasar Kampung Keling mengandung pewarna alami sedangkan empat pasar lainnya, yaitu Pasar Simpang Melati, Pasar Sei Sikambing, Pasar Kampung Lalang dan Pasar Simpang Limun mengandung pewarna sintetik methanyl yellow. 2. Kadar methanyl yellow yang diperoleh pada tahu kuning yaitu
0,0005 mg/kg
diperoleh dari Pasar Simpang Melati; 0,0002 mg/kg diperoleh dari Pasar Sei Sikambing; 0,0029 mg/kg diperoleh dari Pasar Kampung Lalang; 0,0007 mg/kg diperoleh dari Pasar Simpang Limun. 3. Metode yang digunakan dalam pemeriksaan pewarna pada tahu kuning yaitu dengan metode ekstraksi untuk menentukan jenis pewarna dan metode gravimetri untuk menentukan kadar pewarna pada tahu kuning.
50
60
6.2. Saran 1. Kepada Balai Pengawasan Obat dan Makanan (POM) agar mengadakan pemantauan, pengawasan dan evaluasi secara berkala untuk mengetahui pemakaian pewarna kuning pada tahu secara teratur di seluruh pasar di Medan, sehingga dapat dilakukan tindakan pencegahannya. 2. Kepada pihak produsen yang memproduksi tahu kuning agar tetap memperhatikan pewarna yang digunakan pada tahu kuning sehingga tidak melanggar peraturan yang berlaku. 3. Perlu dikembangkan upaya pendidikan bagi konsumen/masyarakat melalui iklan masyarakat atau program-program yang menggunakan media massa tentang keamanan pangan. 4. Perlu dilakukan tindakan tegas bagi pelaku pelanggaran. Pengaturan hendaknya dilakukan secara berkelanjutan dan konsisten karena sampai saat ini tidak ada kasus pelanggaran penggunaan bahan berbahaya yang bermuara ke pengadilan.
61
DAFTAR PUSTAKA Anonimous. Mengenal Zat www.sekolahindonesia.com
Tambahan
pada
Makanan.
Anonimous, 2004. Lebih Baik Pewarna Alami. www.pikiran-rakyat.com. Anonimous, 2005. Kuning Metanil (Methanyl Yellow). www.jombangkab.go.id. Anonimous, 2006. Bahaya Penggunaan Rhodamine B sebagai Pewarna Makanan. www.yahoo.com. Adisarwanto, T., 2005. Kedelai. Penebar Swadaya, Jakarta. Apriyantono, A., Dedi Fardiaz, Ni Luh Puspitasari, Sedarnawati dan Slamet Budiyanto. 1989. Petunjuk Laboratorium : Analisis Pangan. Depdikbud, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Budijanto, Slamet, 2007. Industri Kecil VS Bahan Tambahan Pangan. www.beritaiptek.com. Cahyadi, Wisnu, 2006. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan. Bumi Aksara, Jakarta. Denfer, Ahmad, 2004. Bahan Makanan Tambahan. www.yahoo.com. Depkes RI, 1985. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 239/Menkes/Per/V/1985 Tentang Zat Warna Tertentu yang Dinyatakan sebagai Bahan Berbahaya. Depkes RI, Jakarta. -------------,1999. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1168/Menkes/Per/1999 Tentang Bahan Tambahan Makanan. Depkes RI, Jakarta. Farida, Yayuk, 2004. Pengantar Pangan dan Gizi. Penebar Swadaya. Jakarta. Koswara, Sutrisno, 1992. Teknologi Pengolahan Kedelai. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Mudjajanto, Setyo, Eddy, 2005. Tahu, Makanan Favorit yang Perlu Diwaspadai. www.kompas.com ------------------------------, 2005. Keamanan Makanan Jajanan Tradisional. www.Gizi.net
62
Sarwono, B dan Yan Pieter, 2005. Membuat Aneka Tahu. Penebar Swadaya, Jakarta. Setiadi, Rudi dan Eulis, 2005. Awas Bahan Tambahan Makanan Berbahaya dan Beracun. www.pplh.or.id Stahl, Egon, 1985. Analisis Obat Secara Kromatografi dan Mikroskopi. Penerbit ITB, Bandung. Suprapti, Lies, 2005. Pembuatan Tahu. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Syah, Dahrul, 2005. Manfaat dan Bahaya Bahan Tambahan Makanan. Institut Pertanian Bogor. Syamsurizal, 2007. Waspadai Makanan Ber-BTP Berbahaya. www.riauinfo.com Tarwotjo, Soejoeti, 1998. Dasar-dasar Gizi Kuliner. Grasindo, Jakarta. Winarno, 1983. Buku Seri Teknologi Pangan. Direktorat Pengembangan Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat Institut Pertanian Bogor. Winarno, 1995. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
63
64