ANALISA HASIL AUDIT BPK ATAS LAPORAN KEUANGAN APBN TENTANG UTANG LUAR NEGERI TAHUN 2007
BAGIAN ANALISA PEMERIKSAAN BPK DAN PENGAWASAN DPD BEKERJASAMA DENGAN TENAGA KONSULTAN Dr. HENDRI SAPARINI
I. Pendahuluan Dalam lima tahun terakhir posisi utang pemerintah Indonesia meningkat signifikan dari Rp 1.297 pada tahun 2004 menjadi Rp 1.700 triliun pada Maret 2009. Dengan kata lain dalam kurun waktu tersebut terjadi peningkatan utang rata-rata 100 triliun pertahun. Penambahan utang yang cukup progresif tersebut terutama disebabkan gencarnya penerbitan Sertifikat Berharga Negara (SBN). Peningkatan jumlah utang tersebut tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menganut fiscal deficit policy dengan menjadikan utang sebagai instrumen utama untuk menutupi defisit tersebut selain privatisasi dan pengelolaan aset negara. Selain itu penambahan utang yang signifikan tersebut juga dijadikan sebagai sumber pembiayaan utang-utang pemerintah yang telah dan akan jatuh tempo (debt refinancing). Sayangnya peningkatan jumlah utang yang besar tersebut belum disertai pengelolaan yang efektif dan efisien sehingga manfaatnya bagi perekonomian nasional menjadi kurang produktif. Secara makro berbagai kebijakan fiskal yang menyebabkan defisit anggaran seperti program peningkatan kesejahteraan rakyat (PNPM, BOS, Jamkesmas, dll), pembangunan infrastruktur, peningkatan anggaran pendidikan belum mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat secara optimal. Sementara pembayaran utang beserta bunganya untuk menutupi defisit tersebut terus menyedot APBN dalam porsi yang cukup besar. Komposisi Belanja Pemerintah Pusat 2008
Belanja Subsidi, 275.3t, 40%
Belanja Lain-lain, Belanja Barang, 56, 30.3t, 4% 8% Bantuan Sosial, 57.7t, 8%
Belanja Modal, 72.8t, 11% Belanja Pegawai, 112.8t, 16%
Pembayaran Bunga Utang, 88.3t, 13%
Secara mikro, berdasarkan hasil pemeriksaan BPK terhadap Laporan Pencatatan Utang Pemerintah masih ditemukan sejumlah persoalan baik seperti pelanggaran terhadap aturan, lemahnya pengawasan, dan masih lemahnya sistem operasional pencatatan utang. Akibatnya akuntabilitas dan transparansi pengelolaan utang tersebut masih jauh dari ideal. Oleh karena itu, kajian yang sistematis terhadap berbagai problem dan solusinya terhadap pengeloaan utang pemerintah tersebut amat diperlukan. Atas dasar tersebut diharapkan berbagai kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pengelolaan utang dapat dioptimalkan dan tidak lagi membebani APBN dalam menstimulasi, menstabilkan dan mendistribusikan perekonomian secara agregat. II. Temuan BPK: Masalah dalam Pengelolaan Utang
2
Berdasarkan audit BPK yang memeriksa pelaksanaan dan pelaporan utang tersebut ditemukan sejumlah kelemahan khususnya kelemahan pada sistem administrasi dan sumberdaya manusia. 2.1. Kelemahan Organisasi 1. Lemahnya kemampuan Departemen Keuangan dalam merealisasikan anggaran pinjaman. Realisasi Anggaran pada TA 2007 yang merupakan Realisasi Anggaran Pinjaman Luar Negeri hanya sebesar Rp2.817.327.350.699,00 (24,98%) dari pagu anggaran sebesar Rp 11.232.422.797.000,00 sebagaimana yang tercantum pada DIPA. Nilai penyerapan ini lebih rendah dari tahun 2006 sebesar Rp. 3.557.973.958.998. 2. Direktorat Pengelolaan Penerusan Pinjaman (P3) belum melaksanakan tugasnya dengan baik. Hal ini terlihat dari: a. Tidak seluruhnya pinjaman direkonsiliasi baik dengan pihak debitur maupun pihak bank penata usaha. Dari total keseluruhan 1.145 pinjaman, Direktorat P3 hanya melakukan rekonsiliasi atas 165 pinjaman (14,41%), yang terdiri dari 162 pinjaman BUMN dan 3 pinjaman Pemerintah Daerah. Ditambah lagi dari uji petik atas 219 pinjaman yang dilakukan konfirmasi kepada BUMN, ditemukan 87 pinjaman mempunyai saldo yang berbeda dengan laporan posisi Sub Loan Agreement (SLA)/RDI per 31 Desember 2007 sebesar Rp913.778,03 juta. b. Perhitungan saldo pinjaman SLA yang tercantum di Kartu Pinjaman tidak sesuai dengan ketentuan di Naskah perjanjian. Sebagai contoh: i. Direktorat P3 tidak memperhitungkan terlebih dulu adanya denda pokok dan denda biaya administrasi atas setiap pembayaran yang dilakukan Debitur, padahal seharusnya denda tersebut harus diprioritaskan, ii. Mengenakan denda atas tunggakan utang pokok hanya sebesar 2% dari saldo tunggakan dan denda terhadap biaya komitmen yang tertunggak. Padahal semestinya 2% per tahun di atas tingkat bunga yang berlaku. 2.2. Kelemahan Sistem Administrasi 1. Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) tidak melaksanakan proses administrasi dan pencatatan yang memadai. Hal ini terlihat dari dokumen-dokumen yang dijadikan sebagai dasar pencatatan atas penyaluran pinjaman maupun pelunasannya oleh debitur tidak tersedia secara lengkap. Dari jumlah penerusan pinjaman sebanyak 1.145 perjanjian, hanya 165 (14,41%) yang telah dilakukan rekonsiliasi dengan debitur dan bank penata usaha. 2. Buruknya proses adminstrasi dan pencatatan oleh Direktorat Pengelolaan Penerusan Pinjaman (Direktorat P3). Hal ini terlihat dari: a. proses administrasi dan pencatatan penarikan pinjaman Sub Loan Agreement (SLA) seringkali terlambat. Hal ini karena Note of Disbursment (NoD) yang dijadikan sebagai dasar pencatatan seringkali terlambat diterima,
3
b. Direktorat P3 mendasarkan sumber pencatatan pembayaran tagihan pada rekening koran BI. Padahal data di rekening koran BI yang menampung pembayaran pengembalian penerusan pinjaman tidak dapat diketahui rincian debitur yang melakukan pembayaran. Di sisi lain debitur tidak mengirimkan bukti setoran pembayaran kepada Direktorat P3. Akibatnya, pihak Direktorat P3 tidak dapat melaporkan dengan pasti rincian utang masing-masing debitur. c. hasil uji petik yang dilakukan oleh BPK atas 7 (tujuh) Kartu Pinjaman ditemukan Rp. 1.649.955.355.001,42 penarikan pinjaman pada tahun 2007 yang tidak dicatat pada kartu pinjaman. 3. Data yang disajikan oleh Dirjen Pengelolaan Utang (DJPU) tidak akurat. Salah satu penyebabnya adalah data penarikan utang yang diperoleh dari Notice of Disbursment (NoD) tidak jelas jumlahnya. Hal ini karena NoD sebagaimana yang diakui oleh Menteri Keuangan kerap datang setelah melewati periode anggaran. Akibatnya jumlah NoD yang diterima di luar masa anggaran jumlahnya tidak dapat diketahui secara pasti. Padahal NoD yang merupakan dokumen yang menjadi dasar pencatatan/pembukuan terhadap penarikan/penerimaan yang disajikan. Akibatnya saldo outstanding Utang Luar Negeri, yaitu Bagian lancar Utang Jangka Panjang, Accrued Interest, dan Selisih Kurs tidak dapat diyakini kewajarannya sebagaimana yang dilaporkan oleh DJPU tidak dapat diyakini kewajarannya. 4. Adanya kelemahan pada aplikasi Sistem Akuntansi Utang Pemerintah (SAUP). Sebagai contoh, entri data berpotensi berubah sebab sumber data dapat diakses oleh user yang berbeda. Sebagaimana yang diakui pihak DJPU pada akhir pemeriksaan, nilai outstanding utang menurut SAUP tidak dapat digunakan karena ada kesalahan dalam program aplikasi. Disamping itu human errror kadang terjadi pada pelaporan SAUP seperti data yang dicatat pada SAUP lebih rendah dibandingkan yang tertera pada NoD, pencatatan data yang tidak ada sumbernya di NoD, dan pencatatan lebih pada SAUP, baik dalam bentuk rupiah maupun valas. 5. Rekonsiliasi data penarikan utang antara unit-unit di Departemen Keuangan yang terkait dengan penarikan dan pembayaran utang luar negeri serta antara Pemerintah dengan BI dan kreditur tidak dilakukan secara periodik dan tidak berjalan secara efektif. Akibatnya terjadi selisih dalam laporan outstanding utang Luar Negeri antara kreditur, dan yang disajikan Pemerintah melalui SAUP. Hal ini ditunjukkan oleh sejumlah bukti: a. Berdasarkan laporan BPK yang melakukan konfirmasi kepada 37.85% lender Luar Negeri ditemukan selisih atau kurang saji pada SAUP sebesar Rp 8,221,089,180,708.68. (jika terjawab 100% tentu jumlahnya lebih banyak). Sementara kurang saja DSMF sebesar Rp. 1,437,238,379,233.59 b. Berdasarkan Laporan Keuangan BA 096 tahun 2007 versi pertama diketahui jumlah penarikan pinjaman luar negeri adalah sebesar Rp7.944.539.338.810,00, sedangkan berdasarkan data LKPP 2007
4
unaudited jumlah penarikan pinjaman luar negeri adalah sebesar Rp34.051.857.641.805,00. Dengan demikian terdapat selisih sebesar Rp26.107.318.302.995,00. Perbedaan tersebut disebabkan jumlah penarikan utang luar negeri yang disajikan di LKPP adalah berdasarkan data yang berasal dari Dit. PKN. Penyebab lainnya terdapat kesalahan jumlah penarikan menurut Laporan Keuangan Bagian Anggaran 096, yang baru mencatat penarikan sampai dengan bulan Juni 2007. c. Terdapat selisih antara laporan Depkeu dengan BI sebesar USD. 2,195,103,710. Hal ini dapat disebabkan oleh: -
adanya loan baru, pembatalan loan atau amandemen loan yang belum dicatat/dilaporkan oleh salah satu pihak
-
kekuranglengkapan dokumen penarikan sehingga salah satu pihak belum mencatat/melaporkan transaksi tersebut; Adanya loan yang telah dibayar lunas (fully paid) yang masih dilaporkan oleh salah satu pihak;
-
adanya konversi DMFAS versi 5.2 ke versi 5.3 di Dit. EAS menyebabkan kegiatan validasi masih belum sempurna sehingga harus dilakukan re-entry data.
6. Proses input data kurang kredibel karena Dirjen Anggaran (DJA) tidak lagi melakukan verifikasi terhadap data yang diterima dari Dirjen Pengelolaan Utang (DJPU). Disamping itu proses pengelolaan data masih menggunakan catatan manual dalam bentuk file Ms. Excel sebagai input Sistem Akuntansi Utang Pemerintah (SAUP). Dengan demikian tidak adanya pengendalian aplikasi atas input yang digunakan SAUP khususnya untuk laporan Surat Berharga Negara (SBN) sehingga memberikan peluang kesalahan dalam penyajian data. 7. Sistem Akuntasi Utang Negara (SAUP) dan pelaporan data pembayaran cicilan utang mengandung sejumlah kelemahan. Sebagai contoh data yang dijadikan acuan dalam penyusunan LA BA 061 diragukan validitas. Hal ini karena data sumber yang menjadi input masih bisa diubah-ubah, sehingga file inputnya bisa terdiri dari beberapa versi. Hal ini disebabkan aplikasi Sistem Akuntansi Utang Pemerintah (SAUP) ditempatkan di PC masing-masing sub unit terkait. Sementara itu para user dapat mengakses sampai ke data sumber. Hal ini menimbulkan potensi kesalahan karena terdapat kemungkinan file input yang digunakan dalam penyusunan laporan bukan file versi yang seharusnya. 8. Laporan Keuangan BA 061 tidak sesuai standar dan mekanisme yang berlaku. Hal ini terlihat dari tidak adanya Statement Of Responsibility yang ditandatangani oleh Menteri/Pimpinan Lembaga dan Pernyataan Telah Direviu oleh APIP. Di sisi lain, penyampaian LK BA 061 Tahun 2007 revisi dilakukan secara langsung oleh DJPU, bukan DJA selaku PA. Padahal pelanggaran ini merupakan pengulangan dari tahun-tahun sebelumnya (2004, 2005, 2006). Akibatnya LK BA 061 Tahun 2007 unaudited yang disampaikan oleh Menteri Keuangan mengandung sejumlah kesalahan yang baru ditemukan pada saat pemeriksaan BPK.
5
9. Penggunaan SAUP dalam penyajian cicilan Pokok Utang Dalam Negeri memeliki sejumlah kelemahan: a. Data sumber yang menjadi input masih bisa diubah-ubah, sehingga file inputnya bisa terdiri dari beberapa versi. Hal ini disebabkan aplikasi SAUP ditempatkan di PC masing-masing sub unit terkait. Sementara para user dapat mengakses sampai ke data sumber. Hal ini menimbulkan potensi kesalahan karena terdapat kemungkinan file input yang digunakan dalam penyusunan laporan bukan file versi yang seharusnya. b. Untuk laporan SBN, SAUP belum mengakomodir adanya amortisasi premium/discount dan selisih kurs di neraca untuk transaksi SBN valas. Akibatnya, karena neraca yang disajikan dalam LK BA 097 adalah output SAUP, informasi terkait selisih kurs dan amortisasi premium/discount yang disajikan di neraca tidak dapat diandalkan. 2.3. Kelemahan Sistem Pengawasan 1. Inspektorat Jendral Keuangan selaku Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP) tidak melakukan tugasnya dengan baik. Hal ini terlihat dari keterlambatannya dalam melakukan review atas informasi yang disajikan DJPU. Akibatnya informasi yang disajikan tidak akurat. 2. Kurangnya kedisiplinan dan rendahnya kontrol dan monitoring dalam pelaksanaan tugas. Akibatnya sejumlah tugas tidak berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku: a. Dalam melakukan koordinasi rekonsiliasi akhir untuk penyusunan Laporan Keuangan Bagian Anggaran 097 antara DJPU selaku Kuasa Pengelola Anggaran (KPA) dengan Direktorat Pengelola Keuangan Negara (PKN) selaku Kuasa Bendahara Umum Negara (BUN), dan antara Direktorat Anggaran III DJA selaku PA dengan Dit. APK. Hal ini terlihat pada koordinasi yang baru dilakukan pada saat proses pembuatan laporan. Padahal seharusnya hal tersebut dilakukan secara bulanan. b. Inspektorat Jenderal Departemen Keuangan selaku Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP) tidak menjalankan tugasnya untuk melakukan review terhadap Laporan Keuangan BA 097. Hal ini terlihat dari laporan tersebut yang memuat Statement Of Responsibility (SoR) yang ditandatangani oleh Direktur Pengelolaan Utang, namun tidak memuat pernyataan telah direviw oleh Inspektorat Jenderal Departemen Keuangan. Padahal hal tersebut sudah berlangsung seperti tahun-tahun sebelumnya (2004, 2005, 2006). c. Di sisi lain, penyampaian LK BA 097 Tahun 2007 revisi dilakukan secara langsung oleh DJPU, bukan DJA selaku PA. disamping itu laporan tersebut tidak disertai dengan Statement Of Responsibility (SoR) yang ditandatangani oleh Menteri/Pimpinan Lembaga dan Pernyataan telah direviu. Hal ini mengakibatkan LK BA 097 Tahun 2007 unaudited yang yang disampaikan oleh Menteri Keuangan masih
6
terdapat kesalahan-kesalahan yang tidak segera terdeteksi dan baru ditemukan pada saat pemeriksaan BPK. d. Monitoring atas penerimaan dokumen sumber pembukuan belum dilaksanakan secara optimal. Hingga akhir tahun 2007 DJA belum melaksanakan penerapan sanksi terhadap Kuasa Pengelola Anggaran (KPA) yang belum menyampaikan dokumen sumber pembukuan sebagaimana yang telah direkomendasikan oleh BPK pada tahun sebelumnya. 3. Lemahnya proses kontrol dan monitoring terhadap pelaksanaan tugas di tubuh Departemen Keuangan. Akibatnya sejumlah pelaksanaan tugas tidak sesuai dengan prosedur yang berlaku. Sebagai contoh Inspektorat Jenderal Departemen Keuangan selaku pejabat yang bertanggung jawab untuk melakukan review atas hasil pemeriksaan atas Laporan Keuangan BAPP 098 tidak menjalankan tugasnya. Hal ini terlihat dari tidak adanya pernyataan bahwa laporan tersebut telah direview oleh Aparat Pengawas Internal Pemerintah. Padahal Direktorat Keuangan III telah memberikan surat tugas Nomor ST-83/IJ/2008 tanggal 20 Februari 2008. Di sisi lain Menteri Keuangan meski tanpa disertai pernyataan telah direview menandatangani Pernyataan bertanggungjawab atas laporan tersebut. Akibatnya validitas informasi yang disajikan dalam laporan keuangan tidak dapat diyakini kebenarannya. 4. Ketidakdisiplinan dan lemahnya kontrol dan monitoring dalam pelaksanaan tugas. Hal ini mengakibatkan penyimpangan dan kelalaian pihak yang terkait dalam menjalankan tugasnya : a. Keterlambatan pelaksanaan rekonsiliasi data realisasi bunga dan biaya utang antara DJPU selaku Kuasa Pengelola Anggaran (KPA) dengan Direktorat Pengelola Keuangan Negara (PKN) selaku Kuasa Bendahara Umum Negara (BUN), dan antara Direktorat Anggaran III DJA selaku PA dengan Direktorat Pengelolaan Kas Negara yang baru dilakukan pada saat proses penyusunan Laporan Keuangan. Padahal rekonsiliasi tersebut seharusnya sebelum proses tersebut dilaksanakan. b. Dirjen Anggaran (DJA) tidak melakukan verifikasi atas data dan draft LK BA 061 yang diperoleh dari DJPU sebelum menyusun laporan. c. Monitoring atas penerimaan dokumen sumber pembukuan tidak dilaksanakan secara optimal sebagaimana yang telah diperingatkan oleh BPK pada tahun lalu. Bahkan petugas yang bertanggungjawab atas hal tersebut dibiarkan tanpa diberi sanksi. d. Inspektorat Jenderal Departemen Keuangan tidak melaksanakan tugasnya untuk melakukan kajian atas Laporan Keuangan BA 061 sebelum disampaikan kepada Menteri Keuangan. e. Menteri Keuangan juga bersikap lalai terhadap penyimpangan prosedur tersebut. Ini dibuktikan dengan pernyataan pertanggungjawanan (Statement Of Responsibility) LK BA 061 tanpa disertai dengan bukti Peryataan telah dikaji. 5. Laporan Keuangan BA 061 tidak sesuai standar dan mekanisme yang berlaku. Hal ini terlihat dari tidak adanya Statement of Responsibility yang
7
ditandatangani oleh Menteri/Pimpinan Lembaga dan Pernyataan Telah Dikaji oleh APIP. 2.4. Kelemahan Sumber Daya Manusia 1. Kurangnya kedisiplinan dalam rendahnya kontrol dan monitoring dalam pelaksanaan tugas. 2. Disamping itu human error kadang terjadi pada pelaporan SAUP seperti data yang dicatat pada SAUP lebih rendah dibandingkan yang tertera pada NoD, pencatatan data yang tidak ada sumbernya di NoD, dan pencatatan lebih pada SAUP, baik dalam bentuk rupiah maupun valas. III. Analisa Tentang Utang Pemerintah A. Aspek Mikro (Teknis-Administratif) Dari hasil pemeriksaan BPK tersebut terdapat berbagai persoalan yang cukup akut dalam proses pengelolaan utang luar negeri pemerintah antara lain: a. Rendahnya kemampuan Departemen Keuangan dalam menyerap utang yang telah dikucurkan oleh pihak kreditor. Padahal konsekuensi yang ditimbulkan oleh utang tersebut terhadap APBN seperti bunga utang, commitemet fee, dana pendampingan cukup signifikan. b. Proses rekonsiliasi data penarikan utang antara unit-unit di Departemen Keuangan yang terkait dengan penarikan dan pembayaran utang luar negeri serta antara Pemerintah dengan BI dan kreditur tidak efektif. Akibatnya data utang luar negeri yang betul-betul valid dan lengkap sulit untuk disajikan tepat waktu. c. Ketidakdisiplinan terhadap aturan yang berlaku dan lemahnya kontrol dan monitoring di jajaran Departemen Keuangan menyebabkan proses pengelolaan administrasi utang luar negeri tidak accountable. Hal ini terlihat dari ditemukan berbagai kesalahan yang cukup fatal dalam penyajian outstanding utang pemerintah dengan selisih yang cukup besar. d. Lemahnya sistem administrasi dalam proses pencatatan utang seperti sumber data penarikan utang yang tidak dapat terhimpun dalam suatu periode anggaran, sistem pencatatan terhadap penarikan pinjaman dan pembayaran oleh debitur yang menerima penerusan pinjaman belum mencover seluruh transaksi, dan akurasi Sistem Akuntansi Utang Pemerintah (SAUP) yang belum mampu mencerminkan outstanding utang secara akurat akibat program aplikasi yang masih lemah, sumber data yang tidak diverifikasi ulang di samping adanya human error pada bagian pencatatan. B. Aspek Makro Dalam berbagai kesempatan Pemerintah selalu menegaskan Indonesia harus segera mengurangi ketergantungan terhadap utang dan bantuan luar negeri karena akan membebani masa depan Indonesia. Bila pengurangan ketergantungan utang menjadi salah satu visi penting, semestinya pembiayaan pembangunan dalam pemerintah akan semakin menjauh dari utang. 8
Namun faktanya selama dalam empat tahun terakhir, outstanding utang pemerintah justru mengalami peningkatan signifikan. Pada tahun 2009 bahkan stok utang mencapai level tertinggi sepanjang sejarah. Bila pada tahun 2004 total utang pemerintah hanya sebesar Rp 1.297 triliun maka pada posisi Maret 2009 telah membengkak menjadi Rp 1.700 triliun. Artinya ada peningkatan stok utang sebesar Rp 398 triliun atau naik 31 persen. Perkembangan Utang Pemerintah Pusat 1,800 1,600
triliun Rupiah
1,400 1,200 1,000
662
693
743
906
968
730
732
2008
2009 (Mar)
803
652
661
655
649
583
613
570
583
637
620
559
586
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
800 502
600 100 400 200
453
438
1998
1999
238
1997
Utang LN
SBN
Sumber: Depkeu
Salah satu hal yang patut dicermati dalam pengelolaan utang pemerintah adalah indikator yang digunakan untuk menilai beban utang tersebut (debt burden) terhadap perekonomian. Selama ini Pemerintah menjadikan rasio utang terhadap PDB sebagai indikator untuk menilai tingkat solvabilitas utang negara. Padahal indikator tersebut adalah indikator semu dalam menilai beban utang negara. Akibatnya meski jumlah stok utang yang sangat besar tersebut, Menteri Keuangan pun dengan tegas menyatakan utang Indonesia masih aman. Padahal dengan stok utang tersebut telah menggerus belanja APBN. Jika pada tahun 2004 jumlah bunga utang yang harus dibayar masih sebesar Rp 65,2 triliun, maka pada tahun 2009 telah mencapai 110.6 triliun. Pembayaran Bunga Utang dalam APBN 120
110.6
Triliun Rupiah
100
88.3
80
79.1
79.7
2006
2007
65.2 60 40 20 0 2005
2008
2009 (dok. stimulus)
Sumber: Depkeu
Beban pembayaran utang tersebut akan semakin membengkak bila pokok utang ikut diperhitungkan. Untuk tahun 2009 anggaran pembayaran pokok utang Luar Negeri dan bunga utang mencapai Rp 182.7 triliun. Angka tersebut tentu saja tidak kecil karena merupakan belanja pemerintah yang paling besar. Jauh lebih besar dibanding anggaran belanja pegawai atau belanja modal yang hanya sebesar Rp 140.2 dan Rp 72 triliun. 9
Komposisi Belanja Pemerintah Pusat 2009 Pembayaran Bunga & Pokok Utang LN
182.7
Belanja Pegawai
140.2
Subsidi
123.5
Belanja Barang
91.7 79
Bantuan Sosial Belanja Modal
72
Belanja Lain-lain
56.8
Stimulus Fiskal
11.2 0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
200
Triliun Rupiah
Sumber: Depkeu
Namun mengapa Menteri Keuangan masih tetap menganggap utang tidak membebani keuangan negara? Tentu saja ini dapat terjadi karena indikatorindikator yang dijadikan tolok ukur hanya indikator yang mendukung Indonesia masih aman dan layak untuk mendapatkan tambahan utang. Tidak mengherankan meskipun stok utang meningkat tajam, utang masih dikategorikan ‘aman’ karena rasio utang terhadap PDB dianggap terus menurun dari 46 persen (2004) menjadi 33 persen (2008). Namun demikian pengukuran beban utang tidak bisa hanya diukur dari rasio tersebut. Bila digunakan indikator-indikator lainnya, maka kesimpulan bahwa utang Indonesia ada pada posisi ‘aman’ sangat patut dipertanyakan. Salah satu indikator yang dapat digunakan misalnya, kemampuan pemerintah dalam menyediakan cadangan devisa. Apabila ekspor terus menurun akibat daya saing, maka kemampuan untuk menyediakan cadangan devisa yang diperlukan untuk membayar cicilan utang menjadi berkurang. Apalagi diketahui bahwa dalam beberapa tahun terakhir cadangan devisa Indonesia lebih banyak disokong oleh kenaikan komoditas primer di pasar internasional dan masuknya gelombang hot money. Bila ekspor Indonesia tidak didukung oleh pertumbuhan produktivitas dan daya saing, sementara beban pembayaran utang semakin besar, maka tidak dapat dikatakan bahwa langkah untuk terus menambah utang akan cukup aman. Fakta bahwa utang jangka pendek menjadi sumber cadangan devisa ditunjukkan dengan peningkatan porsinya yang semakin besar. Sejak 2006 utang jangka pendek meningkat lebih dari 40 persen yakni dari 16,5 miliar dollar (2006), menjadi 23,21 miliar dollar pada tahun 2007. Peningkatan porsi utang jangka pendek yang cukup besar ini menunjukkan tingkat ‘bahaya’ dari utang pemerintah karena bila terjadi pembalikan (sudden reversal) akan menekan nilai tukar rupiah serta indikator-indikator lainnya. Beban pinjaman luar negeri ternyata tidak hanya terjadi pada saat utang tersebut telah dicairkan. Tetapi bahkan dimulai sejak pemerintah berkomitmen terhadap sebuah perjanjian utang. Dalam setiap perjanjian utang, pemerintah diwajibkan membayar comitment fee, asuransi dan bunga segera setelah pinjaman tersebut dicairkan oleh negera peminjam. Di samping itu setiap membuat komitmen utang untuk pembiayaan suatu proyek, pemerintah wajib menyediakan dana dalam APBN yang disebut dana pendamping. Semakin banyak kegiatan pembangunan yang didanai dengan utang terutama utang luar
10
negeri, semakin banyak pula dana APBN yang dialokasikan sebagai pendamping. Sayangnya meski banyak biaya yang telah dibayarkan untuk mendapatkan pembiayaan utang, namun proyek yang didanai belum tentu bisa jalan. Untuk dana pendamping misalnya, seringkali pemerintah telah membayar hingga tiga perempat namun proyek belum berjalan. Mungkin karena persiapan administrasinya, rusak karena bencana, dikorupsi, atau sebab lain yang mengakibatkan utang menjadi kurang produkstif. Utang-utang seperti inilah yang dapat dikategorikan sebagai utang najis (odious debt). Untuk kasus-kasus seperti ini semestinya pemerintah dapat melakukan renegosiasi untuk tidak dibayarkan. Bahkan saat ini PBB telah memberikan jalan untuk melakukan penghapusan bagi illegitimate debt. Faktor lain yang mengakibatkan mahalnya pembiayaan dengan utang adalah jenis utang. Dalam beberapa tahun terakhir untuk menutup defisit pemerintah lebih memilih mencari penjaman komersial yang nyata-nyata berbunga tinggi makin besar. Pada tahun ini pemerintah bahkan menerbitkan Global Medium Terms Note (GMTN) yang relatif mahal. Untuk surat utang berjangka waktu 10 tahun yang akan jatuh tempo Maret 2019 yield yang diberikan 11,75 persen. Imbal hasil ini tentu sangat tinggi dibanding obligasi pemerintah Amerika yang hanya sebesar 3% serta negara-negara maju lainnya. IV.
Rekomendasi Berdasarkan temuan-temuan BPK tersebut dan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam rangka tatalaksana pemerintahan yang baik, diusulkan untuk dilakukan langkah-langkah untuk memperbaiki berbagai kelemahan tersebut di atas, antara lain: Pertama, perbaikan sistem administrasi. Melihat beberapa kelemahan seperti dibahas secara ringkas di Bagian II kajian ini, perlu dilakukan perbaikan sistem administrasi – baik hardware maupun software yang terkait dengan pencatatan dan pelaporan. Misalnya: Perlunya pengembangan aplikasi SAUP, sehingga proses penyusunan LKPP dapat dilaksanakan lebih cepat dan lebih akurat. Kedua, perbaikan sistem pengawasan. Dalam hal ini, pengawasan juga meliputi penegakan peraturan yang terkait dengan tata kelola utang. Termasuk juga peraturan atau ketentuan yang diperlukan agar sistem pengelolaan utang dapat berjalan lebih baik. Langkah-langkahnya antara lain: peningkatan pengawasan secara internal pada DJPU dan Inspektorat Jendral Depkeu, tindakan yang tegas dari pejabat yang lebih tinggi terhadap pelaksana yang lalai atau tidak menjalankan tugasnya dengan baik. Ketiga, perbaikan kualitas sumber daya manusia. Sumberdaya manusia adalah kunci penting terselenggaranya good governance. Sistem yang baik tanpa SDM yang baik hanya menjadi senjata canggih yang sia-sia. Oleh sebab itu, kualitas SDM yang baik tidak saja diperlukan pada tataran pembuat kebijakan, tetapi juga pada level pelaksana teknis. Keempat, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut agar dapat diketahui akar masalah yang sebenarnya, misalnya dalam hal keterlambatan penyerapan
11
utang. Jika utang digunakan untuk anggaran pembangunan, penyerapannya seringkali disebabkan oleh keterlambatan pelaksanaan proyek, baik karena proses tender, maupun implementasi di lapangan. Kelima, Beban biaya atas utang ternyata sangat besar dan beresiko. Oleh karenanya sudah saatnya bagi pemerintah untuk segera melakukan koreksi terhadap berbagai utang. Apalagi jumlah komitmen utang Indonesia sudah sangat banyak dengan value yang sangat besar. Dimulai sejak awal 1960-an hingga akhir Juni 2008, pemerintah telah menandatangani 4.484 perjanjian pinjaman dengan kreditor. Sedangkan total nilai pinjaman luar negeri bruto yang telah ditandatangani mencapai 213,531 miliar dollar. Namun, banyak utang yang telah disepakati ternyata tidak didukung dengan prinsip akuntabilitas, tertib administrasi serta tidak jarang transaksi dilakukan secara tidak wajar. Tidak heran bila BPK menemukan sekitar 500 surat perjanjian utang hilang akibat pengarsipan yang belum tertib. Disamping itu, banyak temuan BPK yang mengindikasikan besarnya kerugian negara dalam pengelolaan utang luar negeri. Sebagai contoh, pelaksanaan 25 proyek yang didanai pinjaman luar negeri terlambat dilaksanakan. Akibatnya negara dibebankan Rp 2,02 triliun sebagai denda keterlambatan pelaksanaan proyek. Kasus lain misalnya adanya 61 rekening khusus dengan saldo Rp 74,34 miliar yang belum ditutup. Walaupun tanggal penutupan peminjaman telah lewat. Sehingga pemerintah harus menanggung beban bunga atas sisa dana di rekening tersebut walaupun tidak dimanfaatkan. Terlalu banyak masalah dan beban yang ditimbulkan dari pembiayaan pembangunan lewat utang. Sudah saatnya bagi Indonesia, siapapun pemimpin 2009 untuk melakukan koreksi terhadap berbagai beban utang. Jangan sampai karena buruknya pengelolaan utang Indonesia akhirnya benar-benar menjadi good boy yang bahkan tidak pernah tahu dan tidak tahu berapa semestinya negara harus membayar cicilan utang. Jangan sampai Bank Indonesia hanya menjadi kasir yang harus membayar berapapun tagihan dari para kreditor. Satu syarat yang harus dilakukan dalam melakukan penataan ini yakni merubah paradigma para pemimpin baik di legislatif maupun eksekutif. Tanpa perubahan paradigma, tidak akan ada yang dilakukan oleh para pemimpin baru 2009. Tidak hanya kabinet, tetapi Indonesia memerlukan juga anggota Dewan yang berani melakukan koreksi mendasar atas paradigma pembiayaan pembangunan berbasis utang. Partai dan caleg dalam kampanye seringkali menyatakan menolak penarikan utang-utang baru, tetapi fakta menunjukkan selama ini tidak pernah melakukan upaya sungguh-sungguh untuk menekan defisit. Buktinya hampir semua pengajuan utang oleh pemerintah untuk pembiayaan defisit selalu didukung Dewan. Akhirnya, selama empat tahun Dewan membiarkan defisit APBN terus membengkak tanpa ada kebijakan untuk memaksa pemerintah mengurangi utang. Harus ada langkah konkrit DPR untuk menyiapkan peraturan perundangundangan yang dapat memaksa pemerintahan baru untuk mencari alternatif pembiayaan selain utang. Meskipun selama hiruk-pikuk kampanye berlangsung hampir tidak ada partai yang mengangkat isu utang serta tawaran solusinya. Sekarang saatnya caleg dan pemimpin pilihan untuk mewujudkan harapan rakyat untuk keluar dari jerat utang.
12
Appendix
Sumber: Depkeu
Sumber: Depkeu
13