TINGKAT MATERIALITAS HASIL PEMERIKSAAN BPK ATAS LAPORAN KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH TAHUN 2006
Toro Agusriyanto
Pondok Sukatani Permai, Jl. Cerry 1 CC2 No.10, Cimanggis, Depok
[email protected]
ABSTRAK
Materialitas berhubungan dengan dampak suatu permasalahan terhadap operasi keuangan perusahaan secara keseluruhan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat materialitas dalam laporan hasil pemeriksaan BPK atas laporan keuangan pemerintah daerah untuk tahun 2006 dengan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP), Tidak Wajar (TW) dan Tidak Memberikan Pendapat (TMP). Populasi obyek yang diteliti yaitu laporan hasil pemeriksaan BPK atas laporan keuangan pemerintah daerah tahun 2006.
Pengambilan sampel menggunakan metode sampling acak bertahap (multistage random sampling) dengan jumlah sampel yang diambil sebanyak 81 laporan. Tingkat materialitas yang digunakan oleh BPK dalam laporan hasil audit atas laporan keuangan pemerintah daerah tahun 2006 dengan opini WDP rata-rata sebesar 11,28%. Tingkat materialitas yang digunakan oleh BPK dalam laporan hasil audit atas laporan keuangan pemerintah daerah tahun 2006 dengan opini TW rata-rata sebesar 17,59%. Tingkat materialitas yang digunakan oleh BPK dalam laporan hasil audit atas laporan keuangan pemerintah daerah tahun 2006 dengan opini TMP rata-rata sebesar 29,04%. Kata Kunci: Materialitas, Pemeriksaan, BPK, Laporan Keuangan, Opini
PENDAHULUAN Paragraf ruang lingkup dalam laporan hasil audit BPK atas laporan keuangan pemerintah mengandung dua kalimat penting yang terkait dengan materialitas yaitu memperoleh keyakinan memadai dan bebas dari salah saji material. Kalimat memperoleh keyakinan memadai dimaksudkan untuk memberikan informasi kepada pengguna laporan keuangan bahwa auditor tidak menjamin kewajaran penyajian laporan keuangan. Kalimat tersebut menginformasikan bahwa terdapat risiko laporan keuangan tidak disajikan secara wajar bahkan ketika pendapat auditor atas laporan keuangan adalah wajar tanpa pengecualian. Kalimat bebas dari salah saji material dimaksudkan untuk memberikan informasi bahwa kewajiban auditor terbatas pada informasi keuangan yang material.
Penilaian mengenai kesalahan atau penyimpangan yang bersifat material dalam penyusunan laporan keuangan merupakan suatu pertimbangan profesional (professional judgement) auditor. Penetapan tingkat materialitas merupakan sesuatu yang tidak sederhana, McKee dan Eilifsen menyatakan bahwa materialitas adalah sesuatu yang problematis. Hal tersebut disebabkan penetapan tingkat materialitas memerlukan pertimbangan profesional mengenai penting dan dampak dari pilihan pengungkapan dalam laporan keuangan terhadap keputusan yang diambil oleh pengguna laporan keuangan (McKee dan Eilifsen, 2000). Namun, disamping kesulitan-kesulitan dalam penetapan tingkat materialitas diatas, Højskov menyatakan bahwa diperlukan suatu standar umum bagi auditor untuk menentukan tingkat materialitas (Højskov, 1998). Pada saat ini tidak ada standar akuntansi ataupun standar auditing yang berisi pedoman tentang pengukuran materialitas secara kuantitatif.
Terdapat sedikit perbedaan penetapan materialitas antara audit sektor swasta dengan sektor publik. GAO mengemukakan bahwa penetapan tingkat materialitas pada sektor publik sebaiknya lebih rendah jika dibandingkan dengan tingkat materialitas pada sektor swasta. Hal itu disebabkan adanya keterikatan kegiatan sektor publik dengan peraturan dan perundangan yang berlaku dan adanya isu transparansi serta sensitifnya program atau kegiatan pemerintah. Atas permasalahan tersebut di atas penulis ingin lebih
mengetahui mengenai penerapan konsep materialitas pada audit sektor publik di Indonesia yang dalam hal ini dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sehingga penelitian ini diberi judul “Penetapan Tingkat Materialitas dari Hasil Pemeriksaan BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Tahun 2006”.
TINJAUAN PUSTAKA Laporan Keuangan merupakan sarana pengkomunikasian informasi keuangan utama kepada pihak-pihak di luar korporasi. Laporan ini menampilkan sejarah perusahaan yang dikuantifikasi dalam nilai moneter (Kieso et. all, 2002). Materialitas dikaitkan dengan pelaksanaan akuntansi dan audit didefinsikan sebagai “A Misstatement in the financial statements can be considered material if kowledge of the misstatement would affect a decision of a reasonable user of the statements.” (Arens et. All, 2003) Sedangkan Standar Profesional Akuntan Publik (2001:312.2) menyatakan bahwa: Laporan keuangan mengandung salah saji material apabila laporan keuangan tersebut mengandung salah saji yang dampaknya, secara individual atau keseluruhan, cukup signifikan sehingga dapat mengakibatkan laporan keuangan tidak disajikan secara wajar, dalam semua hal yang material, sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia. Materialitas berhubungan dengan dampak suatu permasalahan terhadap operasi keuangan perusahaan secara keseluruhan. Suatu permasalahan akan dianggap material jika pencantuman atau pengabaian permasalahan tersebut mempengaruhi atau mengubah penilaian seorang pemakai laporan keuangan (SAP, 2005). Kieso menyebutkan bahwa perusahaan dan para auditornya telah mengadopsi suatu aturan umum bahwa apapun yang berada di bawah 5% dari laba bersih dianggap tidak material. Security Exchange Comission (SEC) menyatakan bahwa aturan umum itu boleh digunakan untuk melakukan penilaian awal atas materialitas (Kieso et. all, 2002).
Pertimbangan materialitas menyangkut baik pertimbangan kuantitatif maupun kualitatif. Pada saat ini tidak ada standar akuntansi ataupun standar auditing yang berisi pedoman tentang pengukuran materialitas secara kuantitatif. Contoh berikut ini adalah
pedoman yang sering digunakan oleh kantor-kantor akuntan dalam praktik: 5% sampai 10% dari laba bersih, ½% sampai 1% dari total aktiva dan lain-lain (Haryono, 2001).
METODE PENELITIAN Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) adalah lembaga negara yang bertugas untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 23 ayat (5). Berdasarkan UU nomor 15 Tahun 2006, BPK merupakan satu lembaga negara yang bebas dan mandiri dalam memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara. Penelitian yang dilakukan dikategorikan penelitian yang bersifat deskriptif karena penelitian ini ingin menguraikan mengenai tingkat materialitas yang diterapkan oleh BPK dalam laporan hasil pemeriksaannya. Sampai saat ini dalam standar audit belum ada petunjuk yang jelas mengenai tingkat materialitas yang bisa digunakan oleh auditor dalam melaksanakan penugasan pemeriksaan. Penelitian mengenai tingkat materialitas yang digunakan oleh auditor BPK dalam pemeriksaan atas laporan keuangan bisa dijadikan sebagai salah satu acuan dalam menetapkan tingkat materialitas yang wajar dalam pelaksanaan penugasan pemeriksaan. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data rasio yaitu tingkat materialitas. Data ini diperoleh dari pembagian nilai temuan-temuan dalam hasil pemeriksaan BPK dengan jumlah total pos aktiva, pasiva, pendapatan dan beban masingmasing pos temuan yang bersangkutan. Hasilnya pembagian tersebut dinyatakan dalam satuan persentase. Sumber data penelitian diperoleh dari situs (website) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan seluruh pemerintah daerah untuk tahun 2006 disajikan dalam website tersebut. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sampling atas populasi untuk elemen yang sudah ditentukan. Instrumen pengumpulan data
menggunakan metode dokumentasi karena data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari laporan hasil pemeriksaan BPK. Pengambilan sampel menggunakan metode sampling acak bertahap (multistage random sampling). Pemilihan metode ini karena obyek yang akan diteliti atau sumber datanya sangat luas yaitu laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah daerah di seluruh Indonesia. Untuk menentukan laporan yang akan dijadikan sumber data, pengambilan sampel dilakukan secara bertahap. Laporan hasil pemeriksaan yang dijadikan sampel di olah datanya untuk diambil temuan-temuan hasil pemeriksaan yang mempengaruhi opini BPK atas laporan keuangan tersebut. Pengolahan data menggunakan temuan-temuan yang tertuang dalam Laporan Hasil Pemeriksaan disarikan dalam format excel dengan isi utamanya adalah uraian pos, nilai temuan, dan tingkat materialitas. Data tersebut diolah untuk diketahui tingkat materialitas dengan menggunakan dasar total aktiva, pasiva, pendapatan, beban atau pembiayaan sebagai pembagi untuk temuan-temuan yang terkait dengan masing-masing pos dalam laporan keuangan tersebut. Setelah tingkat materialitas untuk masing-masing temuan diketahui, maka dilakukan rata-rata atas tingkat materialitas tersebut untuk masingmasing pemerintah daerah.
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Hasil Hasil sampel dan perhitungan materialitas dalam laporan hasil pemeriksaan BPK atas laporan keuangan pemerintah daerah untuk tahun anggaran 2006 dengan opini WDP dapat diringkas sebagai berikut: Tabel 1 Tingkat materialitas dalam laporan dengan opini WDP No 1 2 3 4 5 6 7
Pemda Kabupaten Bantul Kabupaten Sleman Provinsi Jawa Timur Kota Malang Kabupaten Bangkalan Kabupaten Bojonegoro Kabupaten Banyuwangi
Materialitas (%) 0,83 0,84 1,02 0,09 0,01 0,38 0,95
No 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Pemda Kabupaten Lamongan Kabupaten Malang Kabupaten Mojokerto Kabupaten Nganjuk Kabupaten Probolinggo Kabupaten Sumenep Kabupaten Tuban Kabupaten Trenggalek Kabupaten Kediri Kota Pasuruan Kota Denpasar Kabupaten Bangli Kabupaten Klungkung Kabupaten Karangasem Provinsi Sulawesi Selatan Kota Makasar Kabupaten Bantaeng Kota Pare-pare Kabupaten Bone Kabupaten Barru Kabupaten Sidenreng Rappang Kabupaten Sinjai Kabupaten Wajo Rata-rata
Materialitas (%) 1,82 0,64 0,63 0,08 0,19 0,34 2,53 2,40 0,04 0,37 0,23 0,49 0,58 0,21 16,31 44,28 90,35 0,21 0,20 49,40 9,38 29,14 82,60 11,28
Rata-rata tingkat materialitas dalam laporan dengan opini WDP sebesar 11,28%. Tingkat materialitas dalam laporan hasil pemeriksaan dengan opini WDP sebagian besar berada di bawah angka 5%. Sebanyak 23 laporan, tingkat materialitasnya tersebar antara 0,01% s.d 2,53%. Sedangkan tujuh laporan lainnya tingkat materialitasnya berada di atas 5% yaitu antara 9,38% sampai dengan 90,35%. Tujuh laporan tersebut seluruhnya berada di wilayah Provinsi Sulawesi Selatan. Tingginya tingkat materialitas dalam laporan hasil pemeriksaan atas pemda di lingkungan Provinsi Sulawesi Selatan tersebut disebabkan banyaknya temuan yang terkait dengan kewajaran nilai aktiva tetap yang tercantum dalam neraca. Aktiva Tetap merupakan pos yang memiliki nilai yang signifikan terhadap total aktiva keseluruhan. Hasil sampel dan perhitungan materialitas dalam laporan hasil pemeriksaan BPK atas laporan keuangan pemerintah daerah untuk tahun anggaran 2006 dengan opini TW dapat dilihat sebagai berikut:
Tabel 2 Tingkat materialitas dalam laporan dengan opini TW No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Pemda Kab Jember Kabupaten Barito Kuala Kabupaten Barito Timur Kabupaten Biak Numfor Kabupaten Jayapura Kabupaten Katingan Kabupaten Kota Waringin Timur Kabupaten Lembata Kabupaten Mandailing Natal Kabupaten Merauke Kabupaten Mimika Kabupaten Nabire Kabupaten Sarmi Kabupaten Supiori Kota Jayapura Kota Manado Kota Pematang Siantar Provinsi Kalimantan Barat Provinsi Kalimantan Tengah Provinsi Kalimantan Timur Provinsi Papua Rata-rata
% Materialitas 4,53 16,68 3,58 31,57 29,24 1,76 7,47 11,70 0,45 29,84 24,29 19,85 32,33 29,15 20,52 5,86 38,25 19,33 1,65 16,18 25,21 17,59
Rata-rata tingkat materialitas dalam laporan hasil pemeriksaan dengan opini TW sebesar 17,59. Tingkat materialitas dalam laporan hasil pemeriksaan dengan opini TW tersebar mulai 0,45% sampai dengan 38,25%. Hasil sampel dan perhitungan materialitas dalam laporan hasil pemeriksaan BPK atas laporan keuangan pemerintah daerah untuk tahun anggaran 2006 dengan opini TMP dapat dilihat sebagai berikut:
Tabel 3 Tingkat materialitas dalam laporan dengan opini TMP No 1 2 3 4 5 6
Pemda Kabupaten Aceh Barat Kabupaten Asmat Kabupaten Balangan Kabupaten Berau Kabupaten Boven Digoel Kabupaten Dompu
% Materialitas 4,40 35,61 83,71 22,21 35,13 38,93
No 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Pemda Kabupaten Donggala Kabupaten Fakfak Kabupaten Halmahera Selatan Kabupaten Jayawijaya Kabupaten Jeneponto Kabupaten Keerom Kabupaten Kep. Aru Kabupaten Kepahiang Kabupaten Kutai Barat Kabupaten Ngada Kabupaten Nias Kabupaten Nunukan Kabupaten Pasaman Barat Kabupaten Seram Bagian Timur Kabupaten Seruyan Kabupaten Sorong Selatan Kabupaten Tapanuli Tengah Kabupaten Tebo Kabupaten Teluk Bintuni Kabupaten Toba Samosir Kabupaten Tolikara Kota Bontang Kota Palembang Kota Tebing Tinggi Rata-rata
% Materialitas 10,65 11,28 35,38 7,79 19,31 59,18 44,61 5,33 7,03 39,53 0,74 14,72 58,41 26,21 8,51 72,67 6,07 23,72 24,24 5,21 7,21 4,07 100,00 12,02 29,04
Tingkat materialitas dalam laporan hasil pemeriksaan dengan opini TMP ratarata sebesar 29,04. Tingkat materialitas dalam laporan hasil pemeriksaan dengan opini tersebar mulai 0,74% sampai 100%. Tingkat materialitas dalam laporan hasil pemeriksaan dengan opini TMP yang sangat ekstrim adalah untuk laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan Kabupaten Nias sebesar 0,74% dan laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan Kota Palembang sebesar 100%.
2. Pembahasan Hojskov (1998) menyatakan bahwa diperlukan suatu standar umum bagi auditor untuk menentukan tingkat materialitas. Petunjuk penetapan materialitas akan membuat penyusun laporan keuangan maupun auditor akan lebih mudah untuk mengungkapkan permasalahan yang dianggap material oleh pengguna laporan keuangan. Mckee dan eilifsen (2000) mengemukakan bahwa penetapan pertimbangan materialitas yang baik sangat
penting dalam keberhasilan pelaksanaan suatu audit, sebaliknya pertimbangan materialitas yang kurang baik akan menghasilkan proses audit yang tidak efektif atau tidak efisien. Panduan Manajemen Pemeriksaan (2000) yang digunakan oleh auditor BPK menyatakan bahwa materialitas ditetapkan dengan menggunakan persentase atas total penerimaan dan belanja tahun yang diperiksa. Namun BPK tidak menetapkan secara kuantitaf besaran tingkat materialitas yang dapat digunakan oleh auditor BPK. Penetapan kuantitatif tingkat materialitas diserahkan kepada professional judgement auditor. Dalam panduan tersebut juga disebutkan bahwa apabila terjadi pelanggaran ketentuan maka tingkat materialitas yang ditetapkan menjadi tidak berlaku. Sebagian kantor perwakilan BPK menerapkan kebijakan penetapan tingkat materialitas yang digunakan sebesar 5% contohnya adalah Perwakilan BPK RI di Makassar. Sampel penelitian laporan hasil pemeriksaan BPK atas laporan keuangan pemerintah daerah tahun 2006 yaitu 30 laporan dengan opini WDP, 30 laporan dengan opini TMP, dan 21 laporan dengan opini TW. Dari hasil penelitian diketahui bahwa tingkat materialitas yang digunakan oleh BPK dalam laporan hasil audit dengan opini WDP sebagian besar di bawah 5%. Dari 30 laporan yang dijadikan sampel, 23 laporan tingkat materialitasnya di bawah 5% dan tujuh laporan tingkat materialitasnya di atas 5%. Tujuh laporan yang tingkat materialitasnya di atas 5% yaitu laporan atas laporan keuangan Provinsi Sulawesi Selatan, Kota Makassar, Kabupaten Bantaeng, Kabupaten Barru, Kabupaten Sidenreng Rappang, Kabupaten Sinjai dan Kabupaten Wajo. Apabila ketujuh laporan tersebut dikeluarkan dari perhitungan tingkat materialitas, maka secara rata-rata diperoleh tingkat materialitasnya sebesar 0,66%. Terjadinya suatu penyimpangan dalam penyajian laporan keuangan disebabkan oleh dua hal yang paling utama yaitu kelemahan sistem pengendalian intern dan ketidaktaatan pada peraturan perundangan. Rendahnya tingkat materialitas yang digunakan dalam laporan hasil pemeriksaan dengan opini WDP salah satu kemungkinannya adalah terjadinya pelanggaran atas peraturan/ ketentuan yang berlaku. Adanya pelanggaran tersebut dapat membuat penetapan tingkat materialitas menjadi tidak berlaku. Dari hasil penelitian diketahui tidak semua tingkat materialitas yang sangat rendah terjadi karena adanya pelanggaran ketentuan dalam penyajian laporan keuangan.
Sebagai contoh, dalam laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan Kabupaten Bantul diketahui tingkat materialitasnya sebesar 0,83%. Penyebab dari penyimpangan dalam penyajian laporan keuangan Kabupaten Bantul tersebut bukan pelanggaran peraturan/ ketentuan tetapi kelemahan pengendalian intern. Laporan hasil pemeriksaan BPK atas laporan keuangan pemerintah daerah dengan opini TW dari hasil penelitian ini diperoleh rata-rata tingkat materialitas sebesar 17,59. Dari 21 laporan yang dijadikan sampel, sebanyak 16 laporan tingkat materialitasnya di atas 5% dan lima laporan tingkat materialitasnya dibawah 5%. Lima laporan yang tingkat materialitasnya di bawah 5% yaitu laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan Kabupaten Jember, Kabupaten Barito Timur, Kabupaten Katingan, Kabupaten Mandailing Natal dan Provinsi Kalimantan Tengah. Pemberian opini TW seharusnya berkaitan dengan terjadinya penyimpangan penyajian yang sangat material. Adanya tingkat materialitas dalam laporan hasil pemeriksaan dengan tingkat materialitas dibahwa 5% dapat menjadi suatu bahan penelitan untuk dapat mengidentifikasi penyebab terjadinya hal tersebut. Laporan hasil pemeriksaan BPK atas laporan keuangan pemerintah daerah dengan opini TMP dari hasil penelitian ini diperoleh rata-rata tingkat materialitas sebesar 29,04%. Dari 30 laporan yang dijadikan sampel, sebanyak 28 laporan tingkat materialitasnya di atas 5% dan dua laporan tingkat materialitasnya dibawah 5%. Dua laporan yang tingkat materialitasnya di bawah 5% yaitu laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan Kabupaten Aceh Barat sebesar 4,40% dan Kabupaten Nias sebesar 0,74%. Pemberian opini TMP atas laporan keuangan terutama diberikan apabila terjadi pembatasan ruang lingkup sehingga auditor tidak dapat memberikan pendapat karena auditor tidak dapat meyakini kewajaran penyajian laporan keuangan atas segmen yang sangat material. Adanya pemberian opini TMP untuk tingkat materialitas di bawah 5% bahkan sebesar 0,74% dapat menjadi suatu bahan penelitan untuk dapat mengidentifikasi penyebab terjadinya hal tersebut.
KESIMPULAN DAN SARAN 1. Tingkat materialitas yang digunakan oleh BPK dalam laporan hasil audit atas laporan keuangan pemerintah daerah tahun 2006 dengan opini WDP yang dijadikan sampel, diperoleh rata-rata sebesar 11,28. 2. Tingkat materialitas yang digunakan oleh BPK dalam laporan hasil audit atas laporan keuangan pemerintah daerah tahun 2006 dengan opini TMP secara umum rata-rata sebesar 29,04%. 3. Tingkat materialitas yang digunakan oleh BPK dalam laporan hasil audit atas laporan keuangan pemerintah daerah tahun 2006 dengan opini TW secara umum rata-rata sebesar 17,59%.
Berdasarkan uraian tersebut peneliti menyarankan kepada BPK agar memberikan panduan yang lebih rinci dengan memuat kebijakan mengenai penetapan tingkat materialitas secara kuantitatif yang dapat digunakan oleh auditor di seluruh perwakilan BPK. Penetapan tingkat materialitas secara kuantitatif tersebut dapat menjadi panduan bagi auditor untuk menentukan apakah suatu penyimpangan dalam laporan keuangan dapat dianggap material atau tidak. Dengan adanya panduan tersebut diharapkan hasil audit yang dilakukan oleh BPK dapat lebih efektif dan efisien. Selain itu, peneliti juga menyarankan kepada pemerintah daerah sebaiknya dalam menyajikan laporan keuangan menghindarkan terjadinya pelanggaran atas peraturan/ ketentuan yang berlaku. Selain itu, pemerintah daerah perlu merancang suatu sistem pengendalian intern pemerintah yang memadai sehingga tidak terjadi kesalahan maupun penyimpangan yang material dalam penyusunan laporan keuangan sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP). Pengembangan SPIP tersebut dilakukan dengan bantuan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) seperti BPKP sebagai pembina SPIP sebagaimana diamanatkan dalam peraturan pemerintah tersebut.
DAFTAR PUSTAKA Arens, Alvin A., Elder, Randal J., Beasley, Mark S., 2003, Auditing and Assurance Services, An Integrated Approach, Ninth Edition, Pearson Education International, New Jersey.
Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, 2000, Panduan Manajemen Pemeriksaan, Badan Pemeriksa Keuangan, Jakarta.
Government Accountablility Office (GAO), 2003, Government Auditing Standards 2003 Revision, GAO, Washington.
Højskov, Leif, 1998, The expectation gap between user’s and auditor’s materiality judgements in Denmark, Denmark.
Jusup, Haryono, 2001, Auditing, Bagian Penerbitan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YPKN, Yogyakarta.
Kieso, Donald E., Weygandt, Jerry J., dan Warfield, Terry D., 2002, Akuntansi Intermediate, Edisi Kesepuluh, Jilid I, Alih bahasa: Emil Salim, Penerbit Erlangga, Jakarta.
Komite Standar Akuntansi Pemerintah, 2005, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan, Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta.
McKee, Thomas E., Eilifsen, Aasmund, 2000, Current Materiality Guidance for Auditors, Foundation for Research in Economic and Business Administration, Bergen.
www.bpk-ri.go.id, 2009, Sejarah BPK-RI, BPK-RI, Jakarta