Analisa Faktor Intensitas Tegangan Modus I pada Compact Tension Specimen 2D dan 3D dengan Menggunakan Metode Elemen Hingga Agus Sigit Pramono, I Wajan Berata, Agus Kumiawan, Laboratorium Mekanika Benda Padat, Jurusan Teknik Mesin FTI - ITS Abstrak Faktor intensitas tegangan (K) sebagai salah satu parameter untuk memprediksi pertumbuhan retak dapat dihitung secara analitis, numeris, maupun eksperimental. Dalam makalah ini akan dikemukakan validasi software ANSYS Rel. 5.4 dalam menghitung range faktor intensitas tegangan (∆K) pada Compact Tension Specimen (CTS) 2 dimensi (2D) dan 3 dimensi (3D). Alat yang digunakan sebagai validasi adalah hasil eksperimen perambatan retak pada CTS di udara hampa dengan tujuan untuk mengeliminasi pengaruh lingkungan, yang artinya hasil tersebut murni dari karakteristik "intrinsic" material. Pemodelan CTS 2D menggunakan elemen quadrilateral isoparametrik 8 node, sedangkan CTS 3D dimodelkan dengan menggunakan elemen heksa-hedron isoparametrik 20 node. Temyata analisa software ANSYS Rel. 5.4 memberikan hasil ∆K yang cukup dekat dengan hasil eksperimen. Dalam makalah ini juga akan ditinjau kembali dasar teori pembentukan elemen ujung retak. Kata kunci : fatique, faktor intensitas tegangan, perambatan retak, pengaruh lingkungan, metode elemen hingga. dengan secara langsung memodelkan singularitas tegangan-regangan di ujung retak. Banks-Sills dan Bortman [41 melakukan peninjauan terhadap penggunaan elemen quadrilateral quarter-point dan prosedur ekstrapolasi perpindahan untuk mengevaluasi K pada Centre Crack Specimen (CCS) dengan hasil akurat, dimana hasil yang didapat tidak terpengaruh oleh ukuran elemen. Legowo dan Soeharto [2] menggunakan software NASTRAN dalam menghitung K pada kasus plat dengan retak tengah. Pemodelan singularitas ujung retak dilakukan dengan mengembangkan elemen yang dibentuk dari gabungan 8 elemen singular segitiga. Hasil yang didapat memberikan harga, yang sangat dekat dengan referensi, dimana dalam memodelkan singularitas ujung retak disimpulkan tidak memerlukan ukuran elemen yang terialu kecil. Dari latar belakang tersebut diatas,penulis mencoba menggunakan software ANSYS Rel. 5.4 untuk mengevaluasi K pada CTS 2D dan 3D, dimana penekanan penulisan makalah ini adalah untuk menguji validitas software tersebut. Tingkat ketelitian yang diperoleh akan terlihat ketika hasil software ANSYS dibandingkan dengan hasil eksperimen yang ada (Berata, Wajan, 1992).
Pendahuluan Metode dalam menentukan faktor intensitas tegangan (K) berkembang dengan pesat baik melalui metode analitis, eksperimen, maupun melalui metode numerik Dengan metode analitis akan didapatkan harga K yang akurat, tetapi untuk bentuk geometri spesimen, pola pembebanan dan pola retak yang rumit, metode ini akan menemui kesulitan. Sedangkan dengan eksperimen, salah satu kendala utamanya adalah mahalnya biaya dan lamanya waktu yang diperlukan dalam pengujian. Sehingga dalam dekade terakhir ini banyak dikembangkan metode numerik yang salah satunya adalah Metode Elemen Hingga. Sejumlah teknik telah diusulkan untuk mengevaluasi K, tapi representasi yang memadai dari singularitas tegangan-regangan di ujung retak yang memiliki gradien yang sangat tinggi merupakan masalah rata-rata dari Metode Elemen Hingga. Dengan memakai elemen konvensional masih memerlukan pembagian elemen yang sangat halus di sekitar ujung retak [3]. Teknik yang lain adalah metode integral J, metode elemen hingga hibrid, maupun pemakaian elemen singular. Dari teknik-teknik yang ada pemakaian elemen singular merupakan teknik yang paling banyak dipakai karena lebih menguntungkan 54
55 Jurnal Teknik Mesin, Volume 1, Nomor 2, September 2001
Permasalahan Permasalahan yang timbul dari uraian prndahuluan diatas adalah: 1. Bagaimanakah pemodelan CTS di software ANSYS dalam menentukan K? 2. Bagaimanakah transformasi konsep Metode Elemen Hingga dan Fracture Mechanics dalam evaluasi K ke dalam software ANSYS untuk mendapatkan hasil dengan error seminimal mungkin ? 3. Bagaimanakah perbandingan hasil analisa software ANSYS dengan hasil eksperimen yang ada ? Batasan Masalah Batasan masalah yang dipakai dalam penulisan makalah ini adalah : 1. Pemodelan CTS dilakukan hanya separuh bagian struktur karena terdapat kesimetrian geometri, pembebanan, kondisi batas dan material properti. 2. Singularitas tegangan-regangan di ujung retak hanya dapat ditampilkan oleh elemen yang berorde quadratik. Oleh sebab itu pemodelan CTS 2D menggunakan elemen quadrilateral isoparametrik 8 node dan yang menampilkan singularitas disebut elemen quadrilateral quarter-point. Sedangkan pemodelan CTS 3D menggunakan elemen heksahedron isoparamotrik 20 node dan yang menampilkan singularitas disebut elemen heksahedron quarter-point. 3. Evaluasi K dilakukan dengan prosedur ekstrapolasi perpindahan. 4. Material diasumsikan homogen dan isotropik. 5. Pembebanan yang digunakan yaitu beban statik maksimum dan minimum dengan rasio tegangan R = 0,1 (tarik-tarik). 6. Analisa dilakukan dalam daerah Paris dan modus pembebanan I (Opening Mode). 7. Tidak memperhitungkan adanya pengaruh lingkungan seperti korosi dan temperatur diasumsikan temperatur kamar. Dasar Teori Elemen Singular Usaha untuk mengembangkan elemen yang mampu menampilkan singularitas di ujung retak telah banyak dilakukan. Kondisi singular di ujung retak dapat diperoleh dengan menggunakan elemen yang fungsi bentuknya melibatkan kondisi singular. Secara sederhana
kondisi singular dapat diperoleh dengan menggunakan elemen isoparametrik yang dimodifikasi. Kondisi singular akan terjadi jika determinan dari Jacobian menjadi nol [3]. Elemen singular dibentuk dengan menggeser node tengah dari elemen isoparametrik quadratik ke posisi seperempat panjang sisi elemen dari node ujung retak. Dalam makalah ini akan digunakan elemen isoparametrik quadrilateral 8 node untuk masalah CTS 2D dan digunakan elemen isoparametrik heksahedron 20 node untuk masalah CTS 3D seperti yang ditunjukkan pada gambar 1 dan 2.
Gambar 1. Elemen quadrilateral isoparametrik 8 node.
Gambar 2. Elemen heksahedron isoparametrik 20 node.
Singularitas di ujung retak dapat ditampilkan dengan elemen quadrilateral. isoparametrik 8 node dengan cara memindahkan node 5 dan 8 ke posisi seperempat panjang sisi elemen dari node 1 (node di ujung retak). Dari penggeseran tersebut terbentuk suatu elemen singular quadrilateral quarter-point seperti yang terlihat dalam gambar 3a.
Pramono, Analisa Faktor Intensitas Tegangan
56
x x 1 x x − 2 − 2 u1 + 4 u = − − 1 + 2 L − L u5 (7) 2 L L 1 x x 2 u3 + − 1 + 2 2 L L
Regangan pada arah x adalah: ∂u ∂s ∂u = ∂x ∂x ∂s 1 3 4 2 4 1 1 4 (8) εx = − − u1 + − u5 + − + u2 2 xL L xL L 2 xL L
εx =
Gambar 3. Elemen singular
Dari gambar 3a, fungsi bentuk untuk node 1, 5 dan 2 setelah dimodifikasi dengan t = -1 sebagai berikut: 2
N1 = -s(l-s)/2
N5 =(1-s ) N2 = s(l +s)/2
(1)
Dari fungsi interpolasi geometri didapat: 3
x = ∑ N i xi = − i =1
1 1 1 s (1 − s )x1 + 1 − s 5 x5 + s (1 − s )x2 2 2 2
(
)
(2)
Dengan menempatkan sumbu koordinat pada node 1 dan memberikan panjang sisi 1-5-2 sebesar L, maka xl = 0, x5 = L/4, dan x2 = L, maka: x = (1-s2 )L/4 + s(l+s)L/2
(3)
atau ditampilkan dalam s yaitu : s = −1+ 2
Dari
x L
salah
Jacobian yaitu ∂x
(4) satu
∂s
komponen
matrik
dan memasukan harga s
dari persaman (4) akan diperoleh: ∂x L (5) = (1 + s) = Lx ∂s 2 Sehingga matrik Jacobian akan singular pada, node 1 dimana x = 0. Perpindahan u pada sisi 1-5-2 yaitu: 3
u = ∑ N i ui = − i =1
1 1 1 s (1 − s )u1 + 1 − s 5 u5 + s (1 − s )u2 2 2 2
substitusi s didapatkan:
(
pada
)
persamaan
(6)
(6)
akan
Tampak menunjukkan
bahwa komponen εx 1 . Dengan singularitas
r
mengganti x dengan jarak radial dari ujung retak r maka perpindahan arah u sepanjang sisi 1-5-2 akan menjadi: u = u1 + ( 4u5 − u2 − 3u1 )
r r + (2u2 + 2u1 − 4u5 ) L L
(9)
Hal yang sama dapat dilakukan pada perpindahan arah v. Singularitas regangan juga, dapat ditampilkan dengan menggunakan elemen heksahedron isoparametrik 20 node yaitu dengan menggeser node 17 dan 20 ke posisi seperempat panjang sisi elemen dari node 5 dan menggeser node 9 dan 12 ke posisi seperempat panjang sisi elemen dari node 1. Node 5 dan node 1 adalah node yang terletak di ujung retak. Dari penggeseran tersebut terbentuk suatu elemen yang disebut elemen heksahedron quarterpoint seperti yang terlihat dalam gambar 3b. Setelah medan perpindahan dan tegangan seluruh bentuk retak (terutama pada sekitar ujung retak) telah ditentukan, berarti evaluasi faktor intensitas tegangan akan dapat ditemukan. Pendekatan yang paling jelas adalah menghubungkan solusi analitik tegangan dan perpindahan pada ujung retak dari harga yang didapatkan dari metode elemen hingga. Hal tersebut memerlukan prosedur ekstrapolasi untuk mendapatkan faktor intensitas tegangan pada ujung retak. Variasi perpindahan secara analitis sekitar ujung retak adalah :
57 Jurnal Teknik Mesin, Volume 1, Nomor 2, September 2001
u=
KI 4G −
K II 4G
θ 3θ − ( 2κ + 3) sin 2 − sin 2 2π u K II = 4G r v (2κ − 31) cos θ + cos 3θ 2 2
r 3θ θ (2κ − 1) cos − cos 2π 2 2 3θ r θ (2κ + 3) sin + sin 2π 2 2
(10) K v= I 4G −
K II 4G
r 3θ θ (2κ − 1) sin − sin 2π 2 2 3θ r θ (2κ + 3) cos + cos 2π 2 2
dimana : KI, KII = faktor intensitas tegangan modus I dan II κ = 3 - 4v untuk kondisi regangan bidang = (3 - v)/(1 + v) untuk kondisi tegangan bidang v = poisson's ratio sehingga faktor intensitas tegangan dapat dievaluasi dengan menyamakan koefisien r pada persamaan (9) dan (10) dengan harga θ merupakan sudut polar dari sisi elemen 1-5-2, maka: θ 3θ ( 2κ − 1) cos − cos 2 2 = 4G 2π 4u 5 − u 2 − 3u1 KI θ θ 3 L 4v5 − v2 − 3v1 ( 2κ + 1) sin − sin 2 2
(11) θ 3θ − ( 2κ + 3) sin 2 − sin 2 2π 4u5 − u2 − 3u1 K II = 4G L 4v5 − v2 − 3v1 (2κ − 31) cos θ + cos 3θ 2 2
Terlihat bahwa faktor intensitas tegangan dapat dihitung dari salah satu dari komponen perpindahan arah u maupun arah v. Untuk harga θ = 0O atau 180O maka salah satu denominator pada persamaan di atas akan berharga nol sehingga faktor intensitas tegangan dievaluasi dengan komponen perpindahan yang tidak menghasilkan harga nol. Prosedur ekstrapolasi perpindahan dilakukan dengan melihat hubungan dari persamaan (9) sehingga dapat diperoleh : 3θ θ (2κ − 1) cos 2 − cos 2 2π u KI = 4G 3 θ θ r v1 (2κ + 1) sin − sin 2 2
(12)
Substitusi harga u, v, dan r pada titik node sepanjang garis radial pada sekitar ujung retak, dapat diperoleh hubungan antara K dengan jarak radial r. Kemudian dengan menghilangkan hasil pada titik yang sangat dekat dengan ujung retak sehingga solusi dapat diekstrapolasi pada r = 0 dengan memakai regressi linear. Teknik ini dapat dipakai bila digunakan elemen konvensional maupun elemen singular. Dari hasil penelitian terhadap elemen Blackburn tampak bahwa harga faktor intensitas tegangan yang dihitung berdasarkan perpindahan lebih akurat daripada yang dihitung atas dasar tegangan, yang dievaluasi pada variasi harga θ. Pemakaian elemen quadrilateral quarterpoint untuk memodelkan singularitas ujung retak telah diuji oleh BanksSills [4] dengan hasil yang meyakinkan menggunakan prosedur ekstrapolasi perpindahan pada ujung retak r = 0, dimana ukuran elemen tidak mempengaruhi hasil K. Data Masukan Pemodelan CTS Masukan yang dibutuhkan dalam pemodelan CTS di software ANSYS adalah sebagai berikut : 1. Material properties dari bahan Ti-6Al-4V (sesuai eksperimen yang telah dilakukan oleh Wajan Berata, 1992), Modulus Elatisitas bahan (E) = 123.000 MPa Angka poisson (v) = 0,306 2. Ukuran geometri CTS yang digunakan (sesuai eksperimen) seperti yang terlihat dalam gambar 4. 3. Kondisi batas model elemen hingga CTS yang ditetapkan sebagai berikut: • Node ujung retak untuk kasus 2D terletak pada titik B (lihat gambar 5), sedangkan untuk kasus 3D node-node ujung retak terletak pada garis BF (lihat gambar 6). • Untuk analisa 2D, node-node yang terletak pada garis AB dikekang ke arah-v. Sedangkan node yang terletak
Pramono, Analisa Faktor Intensitas Tegangan
pada titik A diberi tambahan kondisi batas yaitu dikekang ke arah-u. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam gambar 5.
Gambar 4. Ukuran CTS yang digunakan dalarn ekperimen dan pemodelan di software ANSYS
Gambar 5. Model separuh bagian CTS 2D
• Untuk analisa 3D, node-node yang terletak pada bidang FGAB dikekang ke arah-v. Sedangkan node-node yang terletak pada garis GA diberi tambahan kondisi batas yaitu dikekang ke arah u. Lihat gambar 6.
panjang retak tertentu yang disesuaikan dengan eksperimen. Untuk analisa 2D, beban terpusat tersebut bekerja pada node yang terletak pada titik C (lihat gambar 5). Sedangkan untuk analisa 31), beban statik dianggap terdistribusi merata sepanjang ketebalan CTS, dari titik C ke E (lihat gambar 6). 5. Interval pengukuran retak yang igunakan dsesuaikan dengan data eksperimen dengan panjang retak mula ao sebesar 8,441 mm (lihat gambar 4). 6. Pemodelan perambatan retak dilakukan dengan cara sebagai berikut : a. Mencatat perpindahan node-node hasil deforma.. ,ang terletak pada titik-titik luar A5 B, J, K, L. M, N, m 0, P, dan Q dari pemodelan elemen hingga dengan panjang retak ao (lihat gambar 7). Perpindahan hasil deformasi ini akan ditambahkan pada titik-titik terluar dari geometri CTS berikutnya dengan panjang retak yang baru a1. Panjang retak yang dipakai sebagai acuan dalam analisa diambil dari data eksperimen yang sebenarnya merupakan panjang retak rata-rata akibat jalannya retak yang kadang berbeda pada kedua sisi permukaan (sisi depan dan belakang) spesimen. b. Membuat model elemen hingga CTS dengan posisi ujung retak yang baru a1 (lihat gambar 8) Dan memasukkan elemen singular yang menampilkan ujung retak yang baru tersebut dengan perintah KSCON. c. Dari model elemen hingga tersebut, dihitung faktor intensitas tegangan yang baru dengan perintah KCALC. d. Langkah-langkah a - c diulang sampai semua data panjang retak dianalisa.
Gambar 6. Model separuh bagian CTS 3D
4. Pembebanan yang diterapkan pada model elemen hingga CTS: Beban yang diterapkan dianggap sebagai beban statik terpusat (Pmax dan Pmin) dengan nilai beban Pmax dan Pmin yang berbeda-beda unluk tiap
58
Gambar 7. Node-node pada titik-titik luar geometri CTS dengan panjang retak ao
59 Jurnal Teknik Mesin, Volume 1, Nomor 2, September 2001
c. Dengan analisa ANSYS melalui perintah KCALC yang menggunakan prosedur ekstrapolasi perpindahan.
Gambar 8. Node-node pada titik-titik luar geometri CTS dengan panjang retak a1
Hasil Dan Analisa Compact Tension Specimen 2D Dari hasil penelitian-penelitian [1], [2] dan [4] memperlihatkan bahwa ukuran dan jumlah elemen singular disekitar ujung retak tidak terlalu mempengaruhi hasil K karena elemen singular mampu secara langsung memodelkan singularitas ujung retak. Dalam makalah ini penulis menggunakan ukuran elemen singular sebesar r = 0,025 cm dan jumlah sebanyak N = 8 elemen karena ukuran dan jumlah tersebut memberikan hasil K yang optimal. Sebagai perbandingan hasil perhitungan rentang faktor intensitas tegangan ∆K pada kondisi awal retak ao = 8,66 mm dan beban ∆P = 3,772 kN yang didapat dari eksperimen, analisa ANSYS (kondisi plane strain), dan cara analitis sebagai berikut : a. Dengan data eksperimen dimana harga AK untuk CTS dapat diperoleh dari rumusan ASTM E-647: 2 a a 0,866 + 4,64 − 13,32 ∆P W W W ∆K = 1, 5 3 4 B W 1− a + 14,72 a − 5,6 a W W W
(
)
2+a
(
)
b. Dengan cara menghubungkan solusi analitis tegangan dan perpindahan pada ujung retak seperti yang ditunjukkan pada persamaan (11) dengan data sebagai berikut: v = 0,306 E = 123.000 MPa θ = 0O L= 0,025 cm κ = (3-4v)=1,776 G =E/[2(1 +v)]= 47.090,4 MPa ul = 0,000018106 cm u2= 0,006271193 cm u3= 0,025024414 cm
Hasil dari ketiga metode tersebut dapat dilihat dalam tabel 1. Bila hasil eksperimen dianggap sebagai acuan untuk pembanding maka tingkat kesalahan (error) yang dimiliki software ANSYS sebesar : Error =
11,100 − 10,745 x100% = 3,203% 11,100
Tabel 1. Hasil perhitungan AK dgn 3 metode Harga ∆K Metode yang dipakai Rumusan ASTM E-647
11,100
Solusi analitik tegangan dan perpindahan
11,618
Hasil ANSYS (r=0,025 dan N=8)
10,745
Dari hasil analisa Metode Elemen Hingga dengan bantuan ANSYS Rel 5.4 (baik dalam kondisi plane strain dan plane stress) dibuat kurva hubungan range faktor intensitas tegangan ∆K dan panjang retak a serta dibandingkan dengan data hasil eksperimen. Dari gambar 9 tampak bahwa hasil analisa Metode Elemen Hingga mendekati hasil eksperimen dengan error yang terjadi sebesar 3,203 %, sehingga dapat disimpulkan prosedur yang dipakai dalam analisa dengan ANSYS Rel 5.4 cukup valid untuk digunakan sebagai suatu metode mengevaluasi faktor intensitas tegangan. Dapat juga dilihat dari gambar 9, bahwa untuk analisa 2D dalam kondisi plane strain maupun plane stress ternyata memberikan hasil yang hampir sama (plane strain lebih besar sedikit dibanding plane stress dengan selisih 0,042 %). Hasil yang didapat dengan ANSYS mendekati hasil eksperimen dimana penyimpangan yang terjadi dimungkinkan oleh adanya hal-hal sebagai berikut : 1. Dari aspek pemodelan Metode Elemen Hingga Dari penelitian-penelitian sebelumnya, variasi ukuran dan jumlah elemen singular di ujung retak cenderung tidak mempengaruhi hasil perhitungan faktor intensitas tegangan. Untuk itu perlu dikaji lebih lanjut pemilihan
Pramono, Analisa Faktor Intensitas Tegangan
model 2 Dimensi dalam memodelkan CTS dibandingkan dengan model 3 Dimensi. Selain itu pemodelan beban yang dipakai masih diasumsikan berada tetap dalam kondisi lurus ke arah sumbu y, sedangkan dalam pengujian yang sebenarnya dapat dimungkinkan bergeser tidak dalam kondisi tetap lurus.
Gamba 9. Kurva hubungan ∆K dan a.
2. Dari aspek metalografi a. Asumsi yang dipakai dalam pemodelan yaitu sifat material homogen, isotropik dan kontinyu, sedangkan pada kenyataannya material spesimen yang dipakai tidak mungkin mempunyai sifat ideal tersebut. b. Analisa yang dilakukan masih memakai konsep LEFM (Linear Elastic Fracture Mechanics) yang meniadakan munculnya daerah plastis setempat pada ujung retak, ini karena fasililitas yang diberikan ANSYS dalam menghitung faktor intensitas tegangan dengan perintah KCALC hanya terbatas pada masalah elastis linier dengan material homogen dan isotropik. c. Terdapat faktor-faktor yang berpengaruh pada daerah I (perambatan retak mikro), seperti inklusi yang dapat membantu menghambat retak yang belum bisa dimodelkan dengan Metode Elemen Hingga. Sehingga asumsi model yang dipakai hanya akan valid pada daerah II (daerah Paris) karena tidak memperhitungkan faktor-faktor yang menghambat atau mempercepat pertumbuhan retak. d. Pada eksperimen ditemukan rambatan retak yang bercabang (secondary cracks), sehingga retak utama akan merambat
60
dengan kecepatan perambatan yang menurun (dengan ∆K yang sama, hasil eksperimen mempunyai panjang retak yang lebih pendek daripada hasil ANSYS). Sedangkan bentuk komparasi antara analisa ANSYS dan hasil eksperimen yang lain dapat ditampilkan dalam bentuk kurva laju perambatan retak fatik ∂a/∂N terhadap range faktor intensitas tegangan AK seperti yang diperlibatkan pada gambar 10. Dalam gambar tersebut sengaja diikutkan data hasil eksperimen di udara laboratorium terbuka (yang juga dilakukan oleh Wajan Berata, 1992), meskipun data panjang retaknya berbeda dengan yang dipakai dalam analisa ANSYS, tujuannya adalah untuk mengetahui perbedaan laju perambatan retak di udara terbuka dengan di udara hampa. Kurva dalam gambar 10 berbentuk sigmoidal yang dapat dibagi dalarn tiga daerah. Daerah 1 dibatasi oleh harga batas ∆Kth. Di bawah harga ini pertumbuhan retak tidak berarti dan retak merupakan retak yang tidak merambat. Daerah II adalah daerah dengan hubungan linear antara. Log ∂a/∂N dan Log ∆K dengan rumusan Paris ∂a/∂N = C (∆K)m. Daerah III adalah daerah dengan pertumbuhan retak yang dipercepat.
Gambar 10. Kurva hubungan ∂α/∂Ν dan ∆K dari hasil eksperimen di udara hampa, di udara laboratorium dan hasil ANSYS.
61 Jurnal Teknik Mesin, Volume 1, Nomor 2, September 2001
Dari kedua data hasil penelitian Wajan Berata (1992), tampak terdapat perbedaan yaitu laju perambatan retak di udara laboratorium yang lebih cepat dibandingkan dengan di hampa udara. Atau dengan kata lain ketahanan material terhadap perambatan retak fatik di udara laboratorium lebih rendah jika dibandingkan dengan di hampa udara., Hal ini dapat disebabkan oleh penggetasan material akibat dari proses penyerapan uap air atau oksigen yang terkandung di udara bebas, yang selanjutnya mempercepat laju perambatan retak. Dimana beraksi secara dominan terutama pada daerah laju perambatan retak yang rendah. Sedangkan kurva ∂a/∂N = ∆K hasil ANSYS mendekati hasil eksperimen di udara hampa karena sesuai dengan asumsi yang diambil dalam pemodelan. Rumusan persamaan Paris m ∂a/∂N = C (∆K) dalam daerah II dari kurva ∂a/∂N-∆K hasil eksperimen dan analisa ANSYS pada range ∂a/∂N = 10-8 s/d 10-9 sebagai berikut : • Kondisi udara, laboratorium: -13 4,3735 ∂a/∂N = 4 x 10 (∆K) -13 dimana C = 4 x 10 dan m = 4,3735 • Kondisi hampa udara: -16 6,772 ∂a/∂N = 3 x 10 (∆K) -16 dimana C = 3 x 10 dan m = 6,772 • Hasil ANSYS kondisi plane strain: -16 6,929 ∂a/∂N = 2 x 10 (∆K) -16 dimana C = 2 x 10 dan m = 6,929 Ketiga grafik ∂a/∂N-∆K dalam daerah Paris di atas dapat dilihat dalam gambar 11 sampai gambar 13. Konstanta Paris yang didapat dari hasil eksperimen di kondisi hampa udara dan hasil ANSYS tersebut hampir sama sedangkan di kondisi udara, laboratorium mempunyai hasil yang agak berbeda tapi sangat dekat dengan referensi yang ada (untuk Titanium : C = 6,8 x 10-12 dan m = 4,4). Dari kedua harga m yang merupakan slope dari kurva ∂a/∂N-∆K tampak bahwa harga m untuk kurva di kondisi udara laboratorium lebih kecil dari ada kedua hasil lainnya, yang menunjukkan laju perambatan retak di daerah Paris pada kondisi udara laboratorium lebih cepat akibat adanya pengaruh lingkungan. Untuk dasar verifikasi
konstanta Paris adalah didekati dengan beberapa hasil pengujian yang terdahulu, dimana C dan m merupakan parameter material. Harga konstanta m pada beberapa material lain berkisar antara 2 s/d 4.
Gambar 11. Kurva hubungan ∂α/∂Ν -∆K dari hasil eksperimen di udara laboratorium pada daerah Paris.
Gambar 12. Kurva hubungan ∂α/∂Ν -∆K dari hasil eksperimen di hampa udara pada daerah Paris.
Compact Tension Specimen 3D Model elemen hingga CTS 3D dibuat dengan mengextrude model elemen hingga CTS 2D sebesar tebal spesimen 0,98 cm. Cara ini diambil untuk memudahkan pemodelan elemen hingga CTS 3D yang terbagi dalam 8 elemen ke arah ketebalan (sumbu z) seperti yang terlihat dalam gambar 14.
Pramono, Analisa Faktor Intensitas Tegangan
yang tajam hanya terjadi dari (pemukaan spesimen) ke path 2.
path
62
1
Gambar 15. Lima lokasi perhitungan K (path 1, path 2, path 3, path 4 dan path 5) dalam elemen singular Gambar 13. Kurva hubungan ∂α/∂Ν -∆K dari hasil ANSYS kondisi plane strain pada daerah Paris.
Dengan demikian akan terbentuk ukuran elemen dalam arah sumbu z sebesar 0,1225 cm.
Gambar 14. Model Elemen Hingga CTS 3D
Untuk mengetahui variasi harga K di sekitar ujung retak sepanjang ketebalan spesimen maka perhitungan K dilakukan di lima lokasi, yang disimbolkan dengan path 1 (di permukaan spesimen), path 2, path 3, path 4, dan path 5 (di tengah spesimen), dimana jarak antara path sebesar 0,1225 cm. Kelima lokasi tersebut dapat dilihat dalam gambar 15. Ternyata ∆K semakin ke dalam dari arah ketebalan spesimen nilainya semakin bertambah besar (gambar 16), tetapi kenaikkan
Sedangkan dari path 3 ke path 5 (tengah spesimen), kenaikkan ∆K hanya kecil sekali. Karena ∆K dalam modus 1 merupakan fungsi tegangan (σy) dan panjang retak (∆a) dan dengan Aa yang sama maka juga dapat disimpulkan bahwa semakin ke dalam, tegangan ke arah sumbu Y (σy) nilainya juga bertambah besar. Dari persamaan hubungan tegangan-regangan diperoleh harga E {vε x + ε y } untuk kondisi plane σy = 1− v2 stress (terjadi di permukaan spesimen) dan dari persamaan yang sama diperoleh harga E {vε x + (1 − v)ε y } σy = (1 + v)(1 − 2v) untuk kondisi plane strain (terjadi di tengah spesimen), dengan memasukkan harga E dan v yang sama maka secara teoritis bisa dibuktikan bahwa tegangan (σy) yang terjadi di tengah spesimen alcan lebih besar daripada tegangan (σy) yang terjadi di permukaan spesimen. Tegangan yang lebih besar ini yang menyebabkan terjadinya perambatan retak di bagian tengah spesimen menjadi lebih cepat. Kenaikkan ∆K dari bagian permukaan ke bagian tengah spesimen tidak menyebabkan daerah plastis (ry) yang terbentuk di bagian tengah menjadi lebih besar (terdapat hubungan ∆K2 = ry), karena kenaikkan itu belum sampai tiga kalinya. Sebagai contoh untuk panjang
63 Jurnal Teknik Mesin, Volume 1, Nomor 2, September 2001
retak ao, pada path 1 terjadi ∆K = 10,07 MPa m , seclangkan pada path 5 terjadi ∆K = 11,756 MPa m , jadi cuma ada kenaikkan sebesar 1,686 Mpa m .
Gambar 16. Variasi ∆K disepanjang ketebalan spesimen (mm)
Kenaikkan ∆K dari bagian permukaan ke bagian tengah spesimen tidak menyebabkan daerah plastis (ry) yang terbentuk di bagian tengah menjadi lebih besar (terdapat hubungan ∆K2 = ry), karena kenaikkan itu belum sampai tiga kalinya. Sebagai contoh untuk panjang retak ao, pada path 1 terjadi ∆K = 10,07 MPa m , seclangkan pada path 5 terjadi ∆K = 11,756 MPa m , jadi cuma ada kenaikkan sebesar 1,686 Mpa m . Berdasarkan persamaan ukuran daerah plastis, dimana
1 K ry = 16 σ ys ry =
1 2π
K σ ys
(kondisi plane strain). Secara kuantitatif dapat dihitung daerah plastis yang terjadi di bagian permukaan sebesar ry = 1,7x 10-5 m dan di bagian tengah sebesar ry = 7,72x 10-6 m. Jika daerah plastis ini pada tiap-tiap path digambarkan maka bentuknya akan seperti pada gambar 18.
Gambar 17. Komparasi kurva ∆K-a
Sedangkan bentuk komparasi analisa ANSYS 3D dengan hasil eksperimen dan analisa ANSYS 2D kondisi plane strain berupa suatu grafik hubungan ∆K-a, seperti yang terlihat dalam gambar 17. Tampak dari gambar tersebut, harga ∆K pada path 2 lebih mendekati hasil analisa ANSYS 2D maupun hasil eksperimen. Path 2 tersebut lebih mendekati kondisi plane stress.
2
untuk kondisi plane strain dan 2
untuk
kondisi plane stress,
terdapat perbedaan penyebut dari kedua persamaan tersebut sebesar tiga kali. Bila kenaikkan ∆K hanya dalam bilangan bulat satu digit meskipun dikuadratkan maka kenaikkan itu tidak akan berarti bila dibandingkan dengan perbedaan angka penyebut dari kedua persamaan di atas yang berselisih tiga kalinya. Jadi daerah plastis yang terjadi di bagian permukaan spesimen (kondisi plane stress) akan menjadi lebih besar daripada daerah plastis yang terjadi di bagian tengah spesimen
Gambar 18.Bentuk daerah plastis tiga dimensi di ujung retak
Pramono, Analisa Faktor Intensitas Tegangan
Kesimpulan Dan Saran Kesimpulan Dari analisa dan komparasi range faktor intensitas tegangan (∆K) dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Ternyata analisa ANSYS 2D mernberikan hasil yang cukup dekat dengan hasil eksperimen yang dilakukan Wajan Berata (1992) dengan tingkat kesalahan (error) yang dimiliki sebesar 3,203 %. Sehingga dapat disimpulkan bahwa analisa software ANSYS Rel. 5.4 cukup valid untuk digunakan sebagai suatu alat dalam mengevaluasi faktor intensitas tegangan. 2. Penentuan kondisi plane strain dan plane stress dalam analisa ANSYS 2D tidak perlu dilakukan karena kedua kondisi tegangan tersebut ternyata memberikan hasil yang hampir sama (perbedaannya tidak signifikan, dalam kondisi plane strain lebih besar sedikit 0,042% daripada dalam kondisl plane stress). 3. Harga ∆K semakin ke dalam/tengah dari arah ketebalan spesimen nilainya semakin bertambah besar, tetapi kenaikan yang tajam hanya terjadi dari path I (pemukaan spesimen) ke path 2. Sedangkan dari path 3 ke path 5 (tengah spesimen), kenaikkan ∆K hanya kecil sekali (tiap-tiap path jaraknya sebesar 1,225 mm). Range faktor intensitas tegangan (∆K) merupakan fungsi dari tegangan ∆a, dan panjang retak (σy), bila ∆a tetap maka semakin ke dalam tegangan σy yang terjadi semakin besar. Itulah yang menyebabkan retak cepat merambat di bagian tengah spesimen. 4. Menurut persarnaan ukuran terjadi kenaikkan harga ∆K dari bagian permukaan ke bagian tengah spesimen, hal ini tidak mengakibatkan daerah plastis yang terbentuk di bagian tengah menjadi lebih besar daripada daerah plastis yang terbentuk di bagian permukaan spesimen. Karena kenaikkan ∆K masih lebih kecil bila dibandingkan dengan perbedaan penyebut dari kedua persamaan di atas. Sehingga ukuran daerah plastis yang terbentuk di bagian permukaan masih lebih besar daripada yang terbentuk di bagian tengah spesimen.
Saran Beberapa saran yang perlu dikemukakan dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
64
1. Perlu dikembangkan meshing secara otornatis pada tiap-tiap perambatan retak yaitu mulai dari penghapusan elemen singular di sekitar ujung retak awal dan pembuatan meshing elemen singular yang baru di ujung retak berikutnya. 2. Perlu dikembangkan kemampuan software ANSYS dalam menghitung faktor intensitas tegangan tidak hanya sebatas masalah elastis linier dengan material homogen dan isotropik. Dan perlunya dikaji lebih lanjut tentang pemasukkan pengaruh lingkungan ke dalarn analisa agar didapatkan hasil analisis yang sesuai dengan kenyataan di lapangan atau udara terbuka. Referensi [1] Berata, W., 1998, "Pengaruh Struktur Mikro Dan Lingkungan Pada Karak-teristik Rambatan Retak Ti-6A14V Oleh Pembebanan Dinamis ", ITS Surabaya. [2] Legowo, Dibyo, dan Soeharto, Djoko,, 1993, "Penentuan Faktor Intensitas Tegangan Pada Compact Tension Specimen Dengan Metode Elemen Hingga". Bandung : SITRA 93-6506. [3] Zienkiewicz, O. C, 1997, "The Finite Element Method", McGraw-Hill, London. [4] Banks-Sills, Leslie, and Bortman, Yaacov, Reappraisal Of The Quarter-point Quadrilateral Element In Elastic Fracture Mechanics., International Journal Of Fracture, 1984, vol. 25, pp. 169-180 [5] Bleackly, M. H., and Luxmoore, A. R. , Comparation Of Finite Ele-ment With Analytical And Experimental Data For Elastic-Plastic Cracked Problems. International Journal Of Fracture, 1983, vol. 22, pp. 15-39 [6] Broek, David, 1989, "The Practical Use Of Fracture Mechanics", Kluwer Academic Publisher, Netherlands. [7] ANSYS, Inc. , 1997, "ANSYS Basic Analysis Procedure Guide". [8] ANSYS, Inc. , 1997, "ANSYS Modeling and Meshing Guide". [9] ANSYS, Inc. , 1997, "ANSYS Structural Analysis Guide". [10] Choiron, M. A. , 2001, "Evaluasi faktor Intensitas Tegangan Pada Compact Tension Specimen Dengan Metode Elemen Hingga", ITS Surabaya.