Analisa J-Integral Pada Compact Tension Specimen (Cts)Ti-6Al-4v Dengan Menggunakan Metode Elemen Hingga Wajan Berata, Agus Sigit Pramono, Mas Irfan PH Jurusan Teknik Mesin FTI Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Abstrak Parameter J-Integral digunakan dalam analisa Fracture Mechanics terutama untuk analisa nonlinear dalam EPFM (Elastic-Plastic Fracture Mechanics) yang meliputi nonlinear elastis maupun elasto-plastis. Parameter ini berperan dalam analisa perambatan retak seperti halnya Faktor Intensitas Tegangan K dalam analisa LEFM (Linear Elastic Fracture Mechanics). JIntegral adalah laju energi regangan (strain energy release rate) dari suatu cracked body per unit pertambahan panjang retak yang terjadi pada body tersebut. Penggunaan J selain untuk kriteria perambatan retak juga dipakai untuk menentukan harga Faktor Intensitas Tegangan K dari suatu material dengan bentuk geometri tertentu pada kondisi pembebanan elastis. Penelitian ini meliputi analisa perambatan retak untuk material Ti-6Al-4V dalam bentuk Compact Tension specimen (CTs) dan penghitungan besarnya Faktor Intensitas Tegangan K untuk bentuk geometri tersebut. Perhitungan dilakukan secara numeris dengan menggunakan Metode Elemen Hingga memanfaatkan software ANSYS 5.4. Hasil yang didapat dibandingkan terhadap hasil eksperimen perambatan retak fatigue pada Ti-6Al-4V dengan beban siklik sinusoidal, rasio beban positif, di udara terbuka dan di ruang hampa udara, pada temperatur kamar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa harga J tidak bergantung pada sembarang lintasan yang dibuat di sekitar ujung retak (path independent) tetapi dipengaruhi oleh kondisi tegangan yang terjadi pada material atau specimen. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa harga Faktor Intensitas Tegangan K yang diperoleh dari J mendekati hasil eksperimen. Kata kunci : J-Integral (J), Faktor Intensitas Tegangan (K), elasto-plastis, laju energi regangan, Metode Elemen Hingga
plastisitas, EPFM mengenalkan besaran laju energi regangan per unit panjang retak yang dinamakan dengan J-Integral sebagai suatu kriteria patah dan perambatan retak. Parameter J-integral (Hutchinson, Rice dan Rosengren / HRR, 1968) berguna untuk analisa kelelahan (fatigue) material maupun analisa mekanika patahan elasto-plastis non linier dan dapat memberikan solusi analitis dalam menggambarkan medan tegangan dan perpindahan di sekitar ujung retak. Maka ia juga dapat dan merupakan suatu metode tersendiri untuk menentukan besarnya faktor intensitas tegangan K. Hasil perhitungan harga K pada plat dengan retak ditengah untuk beban tarik Mode I (arah pembukaan retak searah dengan arah pembebanan), untuk material elastik linier, penggunaan J-Integral memberikan tingkat
Analisa Mekanika Patahan (Fracture Mechanics) untuk material getas atau pada kondisi pembebanan elastis, dilakukan dengan menggunakan LEFM (Linear Elastic Fracture Mechanics). Berdasarkan pada teori elastisitas, medan tegangan dan perpindahan di daerah sekitar ujung retak digambarkan dan dinyatakan sebagai fungsi dari parameter faktor intensitas tegangan (stress intensity factor ) K. LEFM memiliki batas validasi dan akurasi tertentu (Owen, D.R.J., Fawkes, A.J., 1983). Oleh karena itu, maka dikembangkan EPFM (Elastic Plastic Fracture Mechanics) yang sangat berguna untuk menganalisa material bersifat ulet atau tangguh dengan berbagai harga eksponent penguatan regang (strain hardening exponent). Berdasarkan pada konsep keseimbangan energi dan teori 39
40 Jurnal Teknik Mesin, Volume 2, Nomor 2, Mei 2002
kesalahan yang relatif kecil, yaitu sebesar 2.1 % untuk meshing yang cukup kasar memakai elemen isoparametrik konvensional (Owen, D.R.J., Fawkes, A.J., 1983). Dari uraian latar belakang didepan, maka penelitian ini ditujukan untuk melakukan evaluasi parameter J-Integral pada spesimen geometri CTs, dengan Metode Elemen Hingga dan software komputer ANSYS Release 5.4. Komparasi hasil metode numerik dengan hasil eksperimental dapat menunjukkan suatu tingkat validitas dari metode tersebut. Dalam pelaksanaan penelitian ini beberapa kondisi batasan telah diambil diantaranya: • Pemodelan CTs menggunakan simetri model 2D karena terdapat kesimetrian geometri, pembebanan, kondisi batas dan sifat mekanik material. • Material yang diuji adalah paduan Titanium Ti-6Al-4V, yang diasumsikan homogen dan isotropik. • Pemilihan elemen hingga yang digunakan dalam meshing adalah elemen isoparametrik kuadrilateral 8 node dan elemen Quarter-point kuadrilateral 8 node pada ujung retak. • Tidak memperhitungkan adanya pengaruh lingkungan seperti korosi dan perubahan temperatur. • Pembebanan yang diberikan adalah pembebanan Mode I berupa beban statis maksimum dan minimum dengan rasio tegangan R=0.1 dan kondisi regangan bidang dan tegangan bidang. • Analisa perambatan retak dilakukan didalam daerah Paris (daerah perambatan retak II) Tinjauan Teori J-Integral Rice mengajukan suatu integral kontur yang bersifat tak bergantung lintasan (path independent) berdasarkan prinsip kekekalan energi. Bentuk dua dimensi dari integral tersebut dapat ditulis sebagai : ∂u ds = ………………….(1) ∫ Wdy − T ∂x
dimana : ε
W = ∫ σ d ε …….……………………….(2) 0
W = energi regangan per unit volume. Γ = sembarang lintasan di sekeliling ujungretak. ds = elemen kecil lintasan Γ. T = tarikan tegak lurus terhadap lintasan Γ. u = perpindahan (displacement). Pada suatu bodi dengan retak, dibuat suatu kontur tertutup ABCDEF di sekeliling ujung retak seperti terlihat pada gambar 1. Menurut persamaan di atas harga integral di sepanjang kontur ini sama dengan nol. ∫ + ∫ + ∫ + ∫ = 0 ………………………(3)
Γ1 CD Γ 2 FA
Di sepanjang permukaan retak tidak terjadi traksi dan komponen dy = 0, maka integral tersebut di atas menjadi : atau ∫ + ∫=0 Γ1 Γ 2 ∫ = − ∫ ……………………….…………(4) Γ1 Γ 2
Y Y T C A
D F
Γ
ds E B X
Γ2 Γ1
Γ1 Gambar 1. Kontur Integral (a) Bodi dengan retak; (b) Kontur tak bergantung lintasan
Karena Γ1 dan Γ2 adalah sembarang lintasan di ujung retak yang saling berlawanan arah maka J-Integral bersifat tak bergantung lintasan. Kriteria Energi Problema mekanika patahan dapat dianalisa dengan menggunakan prinsip kekekalan energi dengan terlebih dahulu meninjau energi–energi yang terlibat di dalamnya, yaitu: energi regangan (U), kerja yang dilakukan oleh beban luar (F) dan energi untuk membentuk retak baru (W).. Pertambahan retak sepanjang da akan terjadi jika tersedia cukup energi dan melebihi energi yang diperlukan untuk membentuk atau membuka retak sepanjang da.
X
Berata, Pramono, Analisa J-Integral
Secara matematis dituliskan : d (F − U − W ) = 0 ………………………..(5) da d (F − U ) = dW ………………………….(6) da da Ruas kiri persamaan diatas adalah laju energi regangan itu sendiri, sehingga persamaan (6) diatas menjadi: dU dW = …………………………………(7) da da Persamaan (7) ini merupakan kriteria energi untuk perambatan retak Persamaan kriteria energi untuk kondisi elastis-plastis adalah: πβ 2σ 2 a Hσ n+1a dW + = ………............(8) E F da πβ 2σ 2 a Hσ n+1a + = J R ……………….(9) E F J el + J pl = J R ………………………….(10) dimana : β = faktor geometri specimen H = faktor koreksi geometri E = Modulus Elastisitas (N/m2) F = Modulus Plastis (N/m2) n = strain hardening exponent a = panjang retak (m) JR = energi retak (Nm/m2, N/m)
Rice menunjukkan bahwa komponen plastis dari J untuk Compact Tension specimen ( CTs ) adalah : ηA J pl = ………………………………...(11) Bb η = 2 + 0.522(b / W ) ………………………(12) dimana : A = luasan dibawah kurva bebanperpindahan ( m2 ) W = lebar spesimen ( m ) B = tebal spesimen ( m ) b = sisa bagian tak retak ( m ) Maka harga J adalah : K 2 A(2 + 0.522(b / W )) JI = I + plane E Bb stress……………………………………...(13)
JI =
K I 2 (1 − ν 2 )
+
41
A(2 + 0.522(b / W )) Bb
E plane strain ….(14) dimana KI = faktor intensitas tegangan Mode I (MPa√m). Luasan dibawah kurva beban-perpindahan didapat melalui percobaan pada spesiman CTs sesuai standar ASTM. Distribusi Tegangan di Sekitar Ujung Retak Distrbusi tegangan di daerah plastis diujung retak yang dirumuskan oleh Hutchinson, Rice dan Rosengren ( HRR ) adalah : 1/ (n +1) J HRR σ (r , θ ) = σ 0 σ~(θ ) ..(15) αε σ I ( n ) r 0 0
dimana : J = J-Integral (MPa.m) σ0 dan ε0 = tegangan dan regangan yield (MPa, m/m) n = strain hardening eksponent α = konstanta Ramberg – Osgood I(n) = suatu fungsi dari n σ~ij (θ ) = fungsi angular θ KI = faktor intensitas tegangan Mode I (MPa√m) r = jarak dari ujung retak (m)
Dengan mendefinisikan besaran :
σ0 ε0 α=
= E ……………………………………..(16)
σ 0n ε0F
……………………………………(17)
persamaan (15) menjadi :
1/ (n+1) JE HRR σ (r ,θ ) = σ 0 σ~ (θ ) … (18) ασ 2 I (n )r 0
Teknik Metode Elemen Hingga Dalam Menampilkan Singularitas Tegangan/Regangan Di Ujung Retak dan Analisa J-Integral • Pemodelan Singularitas Ujung Retak Singularitas ujung retak dapat dimodelkan dengan elemen Quadrilateral
42 Jurnal Teknik Mesin, Volume 2, Nomor 2, Mei 2002
Isoparametrik 8 node dengan cara memanipulasi node posisi tengah yang disebut sebagai elemen Quadrilateral Quarter-point . Dengan memindahkan node 5 dan 8 ke posisi seperempat panjang sisi elemen dari node 1 (node ujung retak) seperti terlihat pada gambar 2 maka singularitas regangan dapat ditampilkan pada node 1.
t 7 4
3 6 s
8 1
5
2
Gambar 2. Elemen singular Quadrilateral Quarter-point 8 node. Shape function untuk node 1, 5 dan 2 adalah : 1 N1 = - (1 - s)(1 - t)(1 + s + t) 4 1 N5 = (1 - s2)(1 - t) 2 1 N2 = - (1 + s)(1 - t)(1 - s + t) 4 Sepanjang sisi 1-5-2 memiliki t = -1, sehingga : 1 N1 = - s (1 - s) 2 N5 = (1 - s2) 1 N2 = s (1 + s) 2 Dari fungsi interpolasi geometri : 3 1 X = ∑ N i xi = - s(1 - s)x1 + (1 - s2)x5 + 2 i =1 1 s(1 + s)x2................................................(19) 2 Dengan menempatkan sumbu koordinat pada node 1 dan memberikan panjang sisi 1-5-2 L sebesar L, maka x1 = 0, x5 = , dan x2 = L, 4 maka : x=(1L 1 s2) + s(1+s)L.………………………..(20) 4 2
Ditampilkan dalam s yaitu : x ………………………………(21) L Dari salah satu komponen matrik Jacobian yaitu ∂x/∂s dan dengan memasukkan harga s akan diperoleh : ∂x L = (1+s)= L x ……………………..(22) ∂s 2 Sehingga matrik jacobian akan singular pada node 1 dimana x = 0. Perpindahan arah u pada sisi 1-5-2 yaitu : 8 1 u = ∑ N i ui = - s(1 - s)u1 + (1 - s2)u5 + 2 i =1 1 s(1 + s)u2…(23) 2 Substitusi s pada persamaan ini akan didapat : 1 x x u=- − 1 + 2 − 2−2 u1+ 2 L L
s=-1+2
x x 4 − u+ L L 5 1 x x − 1+ 2 2 u3………………(24) 2 L L Regangan pada arah x : ∂u ∂s ∂u 1 3 4 εx= = =- − u1 2 xL L ∂x ∂x ∂s 2 1 4 1 4 + − u5+ − + u2 ……(25) 2 xL L xL L Tampak bahwa komponen εx menunjukkan 1 singularitas . r Dengan mengganti x dengan jarak radial dari ujung retak r maka perpindahan arah u sepanjang sisi 1-5-2 akan menjadi :
u = u1 + (4u2 - u3 - 3u1) r ……...(26) L Hal yang sama perpindahan arah v
r + (2u3 + 2u1 L
4u2)
dapat
dilakukan
pada
• Analisa J-Integral Analisa J-Integral melibatkan adanya pembuatan kontur di sekeliling ujung retak,
43
Berata, Pramono, Analisa J-Integral
P
C
B
A
Gambar 3.a. Model separuh bagian CTs 2D. 5. Interval pengukuran retak yang digunakan disesuaikan dengan data eksperimen dengan panjang retak mula a0 sebesar 8.441 mm (gambar 3.b). B = 9,8
0,55W = 17,5972 mm
Data Masukan Pemodelan Cts Masukan yang dibutuhkan dalam pemodelan CTs pada ANSYS adalah sebagai berikut : 1. Material properties dari bahan Ti-6Al-4V : • Modulus Elastisitas bahan (E) = 123.000 MPa • Angka poisson (ν) = 0,306 2. Ukuran geometri CTS sesuai dengan kondisi eksperimen (Wajan Berata, 1992) seperti pada gambar 3.b. 3. Kondisi batas model elemen hingga CTs yang ditetapkan sebagai berikut : • Node ujung retak terletak pada titik B (gambar 3.a). • Pada analisa 2D setengah model, nodenode yang terletak pada garis AB dikekang ke arah v. Sedangkan node yang terletak pada titik A diberi tambahan kondisi batas yaitu dikekang ke arah u (gambar 3.a). 4. Pembebanan yang diterapkan ke dalam model elemen hingga CTs : • Beban yang diterapkan dianggap sebagai beban terpusat statik (Pmax dan Pmin) dengan nilai beban Pmax dan Pmin yang berbeda-beda untuk tiap panjang retak tertentu yang disesuaikan dengan
eksperimen dimana pada eksperimen pembebanan yang sebenarnya adalah pembebanan dinamis bukan pembebanan statis. Pada analisa 2D setengah model, beban terpusat tersebut bekerja pada node yang terletak pada titik C (gambar 3.a).
1,2W = 38,394 mm
dimana kontur ini tentunya akan melewati elemen–elemen ujung retak maupun yang disekitarnya sesuai dengan lintasan kontur yang di buat. Bagaimanapun juga hal ini akan menimbulkan kesulitan tersendiri di dalam aplikasinya pada saat menggunakan Metode Elemen Hingga. Hal ini terjadi mengingat bahwa Metode Elemen Hingga untuk masalah struktur mendasarkan analisanya pada perpindahan dan semua besaran lainnya, seperti misalnya tegangan dan regangan, akan diturunkan dari besaran perpindahan tersebut. Berdasarkan hal tersebut maka gradien dari perpindahan maupun tegangan akan diskontinyu pada batas antar elemen sehingga sebagai konsekuensinya sejumlah kesalahan akan muncul dalam evaluasi J-Integral. Namun beberapa studi numerik menunjukkan bahwa hal tersebut tidak menimbulkan sejumlah kesalahan yang signifikan pada hasil solusi, sehingga evaluasi J-Integral dengan Metode Elemen Hingga bisa memberikan hasil yang cukup akurat.
a0 = 8,441 mm
W = 31,995 mm
0,25W = 7,9987 mm 1,25W = 39,9937 mm
Gambar 3.b. Ukuran CTs yang digunakan dalam ekperimen dan pemodelan pada ANSYS. Hasil Dan Analisa Analisa dan Hasil Komparasi Parameter J Integral Untuk Kondisi Plane Strain Pada analisa ini dibuat lima kontur path mengelilingi ujung retak mulai dari kontur path pertama yang terdekat dengan ujung retak dan seterusnya sampai kontur path kelima. Harga J pada kelima kontur path untuk semua panjang retak ditampilkan pada gambar 4.1.a, 4.1.b dan 4.1.c di bawah ini. Panjang retak
44 Jurnal Teknik Mesin, Volume 2, Nomor 2, Mei 2002
Untuk melihat lebih jelas perbedaan harga J pada setiap kontur maka diambil titik – titik data panjang retak a0, a10, a20, a30 dan a40 mewakili data panjang retak lainnya dan hasilnya ditampilkan pada gambar 4.2.a dan 4.2.b.
path untuk setiap panjang retak pada kondisi plane strain. 40 J max (M Pa.m) [ x10 -4 ]
yang digunakan pada analisa kondisi plane strain adalah panjang retak rata-rata (a-avg) sesuai kondisi eksperimen.
a0
35
a10
30
a20
25
a30
20
a40
15 10 5 0 0
1
2
Path 1
40
Path 3
30
Path 4
10 0 0
5
10
15
20
25
a (mm)
Gambar 4.1.a. Grafik harga J max pada kelima kontur path untuk setiap panjang retak pada kondisi plane strain. J min (M Pa.m) [ x 10 -4 ]
5
6
a0 a10
4
a20
3
a30 a40
2 1 0 0
1
2
3
4
5
6
Path
5
Gambar 4.2.b. Grafik harga J min pada kelima kontur path diambil dari data panjang retak a0, 10, 20, 30 dan 40 pada kondisi plane strain.
Path 1
4
Path 2 Path 3
3
Path 4 Path 5
2 1 0 0
5
10
15
20
25
a (mm)
Gambar 4.1.b. Grafik harga J min pada kelima kontur path untuk setiap panjang retak pada kondisi plane strain.
∆J (MPa.m) [ x10-4]
4
5
Path 5
20
3 Path
Gambar 4.2.a. Grafik harga J max pada kelima kontur path diambil dari data panjang retak a0, 10, 20, 30 dan 40 pada kondisi plane strain.
Path 2
J min (M Pa.m) [ x 10-4 ]
J ma x (M Pa.m) [ x 10-4 ]
50
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Path 1 Path 2 Path 3 Path 4 Path 5
0
5
10
15
20
25
a (mm)
Gambar 4.1.c. Grafik harga ∆J pada kelima kontur
Analisa dan Hasil Komparasi Parameter JIntegral Untuk Kondisi Plane Stress Harga J pada kelima kontur path untuk semua panjang retak ditampilkan pada gambar 4.3.a, 4.3.b dan 4.3.c di bawah ini. Panjang retak yang digunakan pada analisa kondisi plane stress adalah panjang retak a sesuai dengan kondisi eksperimen. Perbedaan untuk setiap kontur path ditampilkan pada gambar 4.4.a dan 4.4.b dengan mengambil titik – titik data panjang retak a0, a10, a20, a30 dan a40 mewakili data panjang retak lainnya.
Berata, Pramono, Analisa J-Integral
45
50 Path 1
∆J (MPa.m) [ x10-4]
J m a x (M P a .m ) [ x 1 0 -4 ]
60 Path 1
50
Path 2
40
Path 3 Path 4
30
Path 5
20 10
40
5
10
15
20
10 0 5
10
6 Path 1 Path 2 Path 3 Path 4 Path 5
2
15
20
25
a (mm)
Gambar 4.3.c. Grafik harga ∆J pada kelima kontur path untuk setiap panjang retak pada kondisi plane stress.
J ma x (M Pa .m) [ x 1 0-4 ]
Gambar 4.3.a. Grafik harga J max pada kelima kontur path untuk setiap panjang retak pada kondisi plane stress.
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
a0 a10 a20 a30 a40
0
1
2
1
3
4
5
6
Path
0 0
5
10
15
20
25
a (mm)
Gambar 4.3.b. Grafik harga J min pada kelima kontur path untuk setiap panjang retak pada kondisi plane stress.
Gambar 4.4.a. Grafik harga J max pada kelima kontur path diambil dari data panjang retak a0, 10, 20, 30 dan 40 pada kondisi tegangan plane stress. 5 J min (M Pa.m) [ x1 0-4 ]
J m in (M P a .m ) [ x 1 0 -4 ]
Path 5
25
a (mm)
3
Path 4
20
0 0
4
Path 3
30
0
5
Path 2
a0 a10
4
a20
3
a30 a40
2 1 0 0
1
2
3
4
5
6
Path
Gambar 4.4.b. Grafik harga J min pada kelima kontur path diambildari data panjang retak a0, 10, 20, 30 dan 40 pada kondisi plane stress.
Dari gambar 4.1.a, b dan c dan gambar 4.3.a, b dan c terlihat bahwa harga J untuk kondisi plane stress lebih besar daripada J untuk kondisi plane strain. Hal ini disebabkan karena daerah plastis kondisi plane stress lebih besar daripada daerah plastis kondisi plane
46 Jurnal Teknik Mesin, Volume 2, Nomor 2, Mei 2002
Analisa dan Hasil Komparasi Faktor Intensitas Tegangan K Analisa selanjutnya adalah menghitung besarnya Faktor Intensitas Tegangan K pada material CTs Ti-6Al-4V menggunakan harga J. Besarnya Faktor Intensitas Tegangan K didapat dengan menggunakan hubungan pada persamaan (13) dan (14) untuk komponen elastis dan ditampilkan dalam grafik hubungan ∆K dan a di bawah ini. 25 ANSYS - J (plane strain)
hasil eksperimen di udara hampa ANSYS - J (plane strain) ANSYS - J (plane stress)
∆ K (MPa√m)
20 15 10 5 0 0
5
10
15
20
25
a (mm)
Gambar 4.5.b. Grafik hubungan ∆K terhadap a 25
hasil eksperimen di udara hampa ANSYS - J (plane strain) ANSYS - J (plane stress) ANSYS - KCALC (plane strain) ANSYS - KCALC (plane stress)
20 15 10 5 0 0
5
10
15
20
25
a (mm)
Gambar 4.5.c. Grafik hubungan ∆K terhadap a
Agar lebih bermanfaat maka selanjutnya grafik pada gambar di atas dirasionalisasi dengan membuat grafik hubungan ∆K dan a/W
ANSYS - J (plane stress)
15
25
10
20
ANSYS - J (plane strain)
5 0 0
5
10
15
20
25
a (mm)
Gambar 4.5.a. Grafik hubungan ∆K terhadap a
∆ K (MPa√m)
∆ K (MPa√m)
20
25
∆ K (MPa√m)
strain. Secara fisik hal ini berarti, bahwa pada kondisi plane stress retak baru akan merambat setelah terlebih dulu terbentuk sejumlah besar deformasi plastis di ujung retaknya, bila dibandingkan dengan kondisi plane strain, untuk beban dan panjang retak yang sama. Dengan demikian ketangguhan material pada kondisi plane stress lebih tinggi dari pada kondisi plane strain. Dari gambar 4.2.a dan b dan gambar 4.4.a dan b terlihat bahwa harga J relatif konstan pada setiap kontur path kecuali pada kontur path pertama. Dengan demikian J tak bergantung pada lintasan yang dibuat di sekeliling ujung retak. Perbedaan harga J pada kontur path pertama disebabkan karena sejumlah energi regangan plastis masih tersisa pada material dari keseluruhan energi regangan yang dilepaskan.
ANSYS - J (plane stress)
15 10 5 0 0.0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
a/W
Gambar 4.6.a. Grafik hubungan ∆K terhadap a/W
Berata, Pramono, Analisa J-Integral
Tabel 4.1. Hasil perhitungan ∆K dengan 3 metode Metode yang dipakai Harga ∆K Rumusan ASTM E-647 11.113 Hasil ANSYS (KCALC) 10.956 Hasil ANSYS (J-Integral) 11.076
∆ K (MPa√m)
25 hasil ekperimen di udara hampa ANSYS - J (plane strain) ANSYS - J (plane stress)
20 15 10 5 0 0.0
0.1
0.2
0.3
0.4
47
0.5
0.6
0.7
a/W
Gambar 4.6.b. Grafik hubungan ∆K terhadap a/W
Grafik – grafik diatas menunjukkan grafik hubungan ∆K terhadap a dan grafik hubungan ∆K terhadap a/W. Harga – harga ∆K tersebut di atas diambil dari hasil yang didapat dari kontur path ketiga. Dari grafik – grafik di atas terlihat bahwa harga K untuk kondisi plane strain relatif sama dengan harga K untuk kondisi plane stress (Harga K untuk kondisi plane strain lebih besar dibandingkan dengan kondisi plane stress dengan selisih rerata 0.0051 atau 0.041 %). Dengan demikian harga K semata – mata bergantung pada jenis pembebanan, besarnya beban serta bentuk geometri spesimen yang diwakili oleh faktor koreksi bentuk β, bukan pada perbedaan kondisi tegangan. Sebagai perbandingan maka harga K yang didapat dari J dikomparasikan dengan hasil eksperimen perambatan retak hasil penelitian Wajan Berata (1992) dan hasil penelitian Agus Kurniawan (2001) dalam Tugas Akhirnya yang berjudul “ Analisa Faktor Intensitas Tegangan Modus I Pada Compact Tension specimen 2D Dan 3D Dengan Menggunakan Metode Elemen Hingga “ dimana harga K didapat secara langsung melalui perintah KCALC dengan menggunakan prosedur ekstrapolasi perpindahan dan hasilnya ditampilkan pada grafik gambar 4.5.c. Hasil perbandingan ketiga metode di atas ditampilkan pada tabel 4.1 berikut dengan menggunakan data panjang retak a1 = 8.660 dan ∆P = 3.772 kN.
Jika hasil eksperimen dianggap sebagai hasil yang benar untuk acuan pembanding maka tingkat kesalahan (error) dari hasil ANSYS adalah :
Error =
11.113 − 11.076 x 100% = 11.113
0.33% Untuk memberikan gambaran perbandingan yang lebih menyeluruh maka dihitung tingkat kesalahan (error) rerata dari keseluruhan data panjang retak. Metode KCALC memberikan tingkat kesalahan (error) rerata sebesar 1.62% untuk kondisi plane strain dan 1.65% untuk kondisi plane stress dan metode J-Integral memberikan tingkat kesalahan (error) rerata sebesar 1.55 % untuk kondisi plane strain dan 1.56 % untuk kondisi plane stress. Dari hasil tersebut di atas menunjukkan bahwa penggunaa Metode J-Integral memberikan hasil yang cukup baik dalam menghitung faktor intensitas tegangan K pada CTS Ti-6Al-4V dengan pembebanan Mode I ini terhadap hasil eksperimen dan memberikan suatu perbaikan hasil numeris pada penelitian ini. Perbedaan hasil dari ANSYS terhadap hasil eksperimen disebabkan beberapa hal sebagai berikut : Dari aspek pemodelan Metode Elemen Hingga a. Penerapan beban pada ANSYS diasumsikan merupakan beban statis maks. dan min. Pada kondisi eksperimen beban berupa beban dinamis (beban berfluktuasi). b. Pemodelan beban diasumsikan sebagai beban tunggal pada node paling atas dari hole. Pada kondisi eksperimen beban terdistribusi pada sisi – sisi hole karena
48 Jurnal Teknik Mesin, Volume 2, Nomor 2, Mei 2002
c.
d.
e.
batang penarik pada hole tersebut berbentuk silinder. Diskontinyuitas gradient perpindahan dan tegangan sebagai konsekuensi dari pembuatan kontur path di sekitar ujung retak. Meskipun error yang terjadi tidak signifikan sedapat mungkin pembuatan kontur path ini dibuat sedemikian sehingga mengikuti pola elemen – elemen ujung retak dengan jumlah node atau point seefisien mungkin karena hal ini akan berkaitan dengan aspek perhitungan numeris. Dengan demikian operasi Mapping (Map onto path) memberikan hasil yang optimal. Pembuatan kurva tegangan – regangan pada ANSYS dalam bentuk Tabel Data menggunakan pendekatan segmen – segmen garis lurus (Multilinear Isotropic Hardening) untuk mendekati kurva tegangan – regangan hasil eksperimen uji tarik. Pada pembebanan yang besar dimana plastisitas yang terjadi pada specimen secara keseluruhan relatif besar, hal ini akan memberikan error yang cukup signifikan. Untuk itu harus digunakan jumlah segmen – segmen garis lurus yang cukup banyak. Asumsi tetapnya alignment (kesejajaran) dari posisi spesimen selama pembebanan yang digunakan dalam analisa ANSYS dimana pada kondisi eksperimen dimungkinkan terjadinya pergeseran posisi spesimen.
Dari aspek metalografi a. Asumsi sifat material dalam pemodelan di ANSYS bersifat homogen, isotropik dan uniform dimana sifat dari material spesimen yang sesungguhnya tidaklah secara persis sama memiliki sifat – sifat ideal stersebut di atas. b. Terdapat faktor-faktor yang berpengaruh pada daerah I (perambatan retak mikro), seperti inklusi yang dapat membantu menghambat retak yang belum bisa dimodelkan dengan Metode Elemen Hingga. Sehingga asumsi model yang dipakai hanya akan valid pada daerah II (daerah Paris) karena tidak memperhitungkan faktor-faktor yang menghambat atau mempercepat
c.
pertumbuhan retak. Dengan demikian pemodelan pada ANSYS belum memasukkan pengaruh dari lingkungan dan hanya membandingkan terhadap hasil eksperimen di ruang hampa udara. Pengaruh perubahan struktur mikro dari material tidak dimodelkan oleh ANSYS. Propertis material hanya diwakili oleh harga Modulus Elastisitas Bahan (E) dan angka Poisson ratio (υ) tanpa memperhatikan jenis material yang mungkin memiliki harga E dan υ yang sama.
Analisa dan Hasil Komparasi Perambatan Retak Bentuk komparasi yang lain antara ANSYS dan hasil eksperimen dapat ditampilkan dalam bentuk kurva laju perambatan retak fatik da/dN terhadap range faktor intensitas tegangan ∆K seperti pada gambar di bawah ini. Pada gambar tersebut diikutkan sertakan pula data hasil eksperimen di udara laboratorium terbuka (Wajan Berata, 1992), meskipun data panjang retaknya berbeda dengan yang dipakai dalam analisa ANSYS, tujuannya adalah untuk mengetahui perbedaan laju perambatan retak di udara terbuka dengan di udara hampa. Kurva pada gambar 4.7 berbentuk sigmoidal yang dapat dibagi dalam tiga daerah. Daerah I dibatasi oleh harga batas ∆Kth. Di bawah harga ini pertumbuhan retak tidak berarti dan retak merupakan retak yang tidak merambat. Daerah II adalah daerah dimana berlaku hubungan linear antara Log da/dN dan Log ∆K (∆K) dengan rumusan Paris da/dN = C(∆K)m atau da/dN = C(∆J)m. Daerah III adalah daerah dengan perambatan retak yang dipercepat. Dari kedua data hasil penelitian Wajan Berata (1992) tampak terdapat perbedaan, yaitu laju perambatan retak di udara laboratorium lebih cepat dibandingkan dengan di hampa udara. Atau dengan kata lain ketahanan material terhadap perambatan retak fatik di udara laboratorium lebih rendah jika dibandingkan dengan di hampa udara. Hal ini disebabkan oleh penggetasan material akibat dari proses penyerapan uap air atau oksigen yang terkandung di udara bebas, yang
49
Berata, Pramono, Analisa J-Integral
selanjutnya mempercepat laju perambatan retak. Hal ini beraksi secara dominan terutama pada daerah laju perambatan retak yang rendah. 1.E-06
hasil eksperimen di udara hampa
da/dN (m/cycle)
ANSYS - J (plane strain)
1.E-08
4.
1.E-09 1.E-10 1.E-11 1
10
100
∆ K (MPaVm)
Gambar 4.7.a. Grafik da/dN terhadap ∆K hasil eksperimen di udara hampa, udara laboratorium dan ANSYS 1.E-06 ANSYS (plane strain)
1.E-07 da /dN (m /cycle )
Perhitungan regressi linear dapat dilakukan untuk mendapatkan harga konstanta Paris (m dan C). Evaluasi linierisasi data perlu diperiksa agar laik menurut ukuran statistik.
Dari hasil perhitungan dengan bantuan Microsoft Excel 97 didapatkan rumusan Paris dari hasil eksperimen dan ANSYS pada range da/dN = 10-9 s/d 10-8 sebagai berikut :
hasil eksperimen di udara lab
1.E-07
3.
1.E-08 1.E-09 1.E-10 1.E-11 1
10
100
∆ J (MPa.m)
1. Laju Perambatan Retak dalam ∆K: da/dN=C(∆K)m • kondisi udara laboratorium : da/dN = 2 x 10-13 (∆K)4.4982 dimana C = 2 x 10-13 dan m = 4.4982 • kondisi hampa udara : da/dN = 4 x 10-19 (∆K)9.1065 dimana C = 4 x 10-19 dan m = 9.1065 • Hasil ANSYS kondisi plane strain : da/dN = 3 x 10-19 (∆K)9.338 dimana C = 3 x 10-19 dan m = 9.338 2. Laju Perambatan Retak dalam ∆J: da/dN=C(∆J)m • Hasil ANSYS kondisi plane strain : da/dN = 3 x 10-14 (∆J)4.669 dimana C = 3 x 10-14 dan m = 4.669 Ketiga grafik da/dN-∆K dan grafik da/dN∆J didaerah Paris tersebut dapat dilihat pada gambar 4.8 - 4.11 di bawah ini. 1.E-06
Gambar 4.7.b. Grafik da/dN terhadap ∆J kondisi plane strain
1.E-07
da/dN (m/cycle )
Pada gambar 4.7 (a dan b) terlihat bahwa kurva da/dN-∆K hasil ANSYS plane strain mendekati kurva da/dN-∆K hasil eksperimen pada ruang hampa udara karena kondisinya sesuai dengan asumsi yang diambil dalam pemodelan. Untuk mencari rumusan persamaan Paris dalam daerah II dari kurva da/dN-∆K(∆J), berikut diuraikan langkah yang dilakukan yaitu: 1. Linierisasi persamaan perambatan retak memberikan ekuivalen persamaan garis y = ax + b dimana : y = log da/dN, x = log (∆K) atau log (∆J), a = m, dan b = log C. 2. Harga da/dN dan ∆K(∆J) diperoleh dari perhitungan data pengamatan uji fatik.
hasil eksperimen di udara lab Power (hasil eksperimen di udara lab)
4.4982
y = 2E-13x 2
R = 0.9765
1.E-08 1.E-09
1.E-10 1.E-11 1
10
∆ K (MPaVm)
Gambar 4.8. Grafik da/dN-∆K hasil eksperimen di udara lab pada daerah Paris
100
50 Jurnal Teknik Mesin, Volume 2, Nomor 2, Mei 2002
1.E-06 Eksperimen di hampa udara Power (Eksperimen di hampa udara )
da/dN (m/cycle )
1.E-07
9.1065
y = 4E-19x 2
R = 0.918
1.E-08
1.E-09
1.E-10
1.E-11 1
10
100
∆ K (MPaVm)
Gambar 4.9. Grafik da/dN-∆K hasil eksperimen di udara hampa pada daerah Paris. 1.E-06 Hasil ANSYS kondisi plane strain Power (Hasil ANSYS kondisi plane strain)
da /dN (m/cy cle )
1.E-07
9.338
y = 3E-19x 2
R = 0.8996
1.E-08
1.E-09 1.E-10 1.E-11 1
10
100
∆ K (MPaVm)
Gambar 4.10. Grafik da/dN-∆K hasil ANSYS kondisi plane strain pada daerah Paris. 1.E-06 Hasil ANSYS kondisi plane strain Power (Hasil ANSYS kondisi plane strain)
da/dN (m/cy cle )
1.E-07
4.669
y = 3E-14x 2
R = 0.8996
1.E-08
1.E-09 1.E-10 1.E-11 1
10
100
∆ J (MPaVm)
Gambar 4.11. Grafik da/dN-∆J hasil ANSYS kondisi plane strain pada daerah Paris.
Konstanta Paris yang didapat dari hasil eksperimen pada kondisi hampa udara dan hasil ANSYS kondisi plane strain diatas memiliki harga yang hampir sama sedangkan pada kondisi udara laboratorium memiliki harga yang berbeda.
Dari kedua harga m yang merupakan slope dari kurva da/dN-∆K tampak bahwa harga m untuk kurva pada kondisi udara laboratorium lebih kecil daripada kedua kurva lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa laju perambatan retak di daerah Paris pada kondisi udara laboratorium lebih cepat akibat adanya pengaruh lingkungan seperti yang telah dijelaskan di atas. Data perambatan retak da/dN dalam fungsi ∆J pada daerah Paris dapat digunakan untuk memprediksi sisa umur (cycle) dari suatu spesimen dengan panjang retak tertentu sampai spesimen tersebut mengalami patah final. Hal ini dikarenakan daerah Paris adalah daerah perambatan retak yang paling dominan dibandingkan dengan daerah perambatan retak lainnya (I dan III). Setelah melalui beberapa umur cycle (siklus) dan melewati daerah Paris maka material akan memasuki daerah perambatan retak III untuk selanjutnya akan mengalami patah final (Final Fracture) dengan cepat. Dengan demikian dapat dipahami bahwa dengan mendapatkan persamaan perambatan retak pada daerah Paris akan sangat membantu dalam menganalisa dan memprediksi umur kelelahan dari suatu material. Dengan hal ini juga dapat dilakukan langkah – langkah yang tepat untuk menghambat dan menunda merambatnya retak lebih jauh sehingga diharapkan dapat memperpanjang umur atau pemakaian dari material tersebut. Salah satu cara yang praktis dan aplikatif dalam kebanyakan praktek di lapangan adalah dengan cara melubangi material/komponen pada ujung retaknya untuk menurunkan konsentrasi tegangan di ujung retak tersebut. Dengan cara ini maka menjalarnya retak dapat ditunda/dihambat sehingga akan lebih memperpanjang umur dari material/komponen tersebut. Kesimpulan
Dari analisa-analisa diatas maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Harga J-Integral bernilai sama untuk sembarang kontur path yang dibuat cukup jauh dari ujung retak (crack tip). Dengan demikian nilai J-Integral tidak tergantung lintasan (path independent). Sedangkan didalam daerah plastis J-Integral tidak lagi
Berata, Pramono, Analisa J-Integral
bersifat path independent dan bergantung pada tingkat plastisitas yang terjadi. 2. Penggunaan J-Integral untuk menghitung besarnya faktor intensitas tegangan K dari CTs Ti-6Al-4V pada pembebanan Mode I kondisi elastis dan memberikan hasil yang cukup mendekati hasil eksperimen dengan tingkat kesalahan rerata sebesar 1.55% pada kondisi plane strain dan 1.56% pada kondisi plane stress untuk keseluruhan panjang retak. 3. Perbedaan kondisi tegangan dari material / spesimen tidak berpengaruh terhadap besarnya harga faktor intensitas tegangan K yang didapat. Kedua kondisi tegangan baik plane strain maupun plane stress memberikan harga K yang hampir sama dengan perbedaan rerata sebesar 0.041% untuk keseluruhan panjang retak. 4. Laju perambatan retak dari CTs Ti-6Al-4V pada daerah Paris bisa dinyatakan dalam da/dN sebagai fungsi dari ∆J. Sepanjang kondisi elastis terpenuhi maka rumusan fungsi da/dN terhadap ∆J tersebut bisa secara langsung dikonversikan dalam da/dN fungsi ∆K Saran 5. Ketelitian harga J bisa ditingkatkan dengan membuat bentuk kontur path yang mengikuti pola elemen – elemen yang mengelilingi ujung retak dan dengan memperbanyak point / node yang membentuk kontur path tersebut. 6. Perlu dilakukan pemodelan pembebanan dinamis (berfluktuasi) pada ANSYS sehingga lebih sesuai dengan kondisi pembebanan eksperimen. 7. Dalam penelitian lebih lanjut perlu dimasukkan adanya pengaruh – pengaruh lingkungan seperti misalnya pengaruh dari temperature dan sifat korosifitas material juga pengaruh dari adanya tegangan sisa pada material yang bisa diakibatkan oleh pengerjaan las maupun karena treatment – treatment tertentu pada material sehingga hasil analisa dapat lebih berguna sesuai dengan kondisi nyata di lapangan.
51
Referensi
[1] Agus Kurniawan, 2001, “Analisa Faktor Intensitas Tegangan Modus I Pada Compact Tension specimen 2D Dan 3D Dengan Menggunakan Metode Elemen Hingga”, Tugas Akhir S-1 ITS-Jurusan Teknik Mesin. [2] Broek, David. 1989, The Practical Use of Fracture Mechanics. Norwell Kluwer Academic Publishers. [3] Berata, W. 1998, “Pengaruh Struktur Mikro Dan Lingkungan Pada Karakteristik Rambatan Retak Ti-6V-4V Oleh Pembebanan Dinamis”. Surabaya : ITS. [4] Larsson, L. H. 1979, Advances in Elasto – Plastic Fracture Mechanics. London : Applied Science Publisher, Ltd. [5] Owen, D. R. J., Fawkes, A. J. 1983, Engineering Fracture Mechanics: Numerical Methods and Application. ,Swansea, U. K. Pineridge Press, Ltd. [6] Hellan, Kare. 1985. Introduction to Fracture Mechanics, NewYork : McGrawHill, Inc. [7] A Standard Method for JIC, A Measure of Fracture Toughness, ASTM Standard E813. [8] ASM International. 1998, ASM Handbook, Volume 11 : Failure Analysis and Prevention. USA. [9] Homma, Hiroomi. ،،Fracture Mechanics،،. Department of Mechanical Engineering, University of Technology Toyohashi, Japan. [10] Juvinall, Robert C. 1967, Engineering Considerations of Stress, Strain and Strength. New York : McGraw-Hill, Inc. [11] Dally, J. W, and Riley, W. F. 1996, Experimental Stress Analysis. London: McGraw-Hill. [12] Zahavi, Eliahu. 1996, Life Expectancy of Machine Parts: Fatigue Design, Florida : CRC Press, Inc. [13] Grandin Jr., Hartley. 1986, Fundamentals of the Finite Element Method , New York, Macmillan, Inc.